Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 25
Milana
menghela napas dan menghapus sisa air matanya, "Aku pun menduga demikian
ketika Enci Kwi Hong muncul di Pulau Neraka. Akan tetapi... aku sendiri tidak
ingin ke Pulau Es setelah apa yang terjadi semua itu, setelah ayah menjodohkan
aku dengan orang yang demikian rendah. Aku girang bahwa ibu akhirnya telah
bersatu dengan ayah. Aku... aku... agaknya tidak ada jalan lain bagiku, aku
akan ke kota raja menghadap Kaisar..." Dia ragu-ragu.
"Nona
Milana, biar pun Kaisar adalah kakekmu sendiri dan tentu kau akan diterima di
istana, akan tetapi dapatkah engkau menyesuaikan diri dengan kehidupan di
istana? Nona sudah biasa hidup bebas, mungkinkah Nona hidup terkurung dan
terbatas di dalam istana?"
Milana
menarik napas panjang. "Aku pun meragukan hal itu, Bhok-kongkong. Tentu
aku tidak kerasan di sana..."
"Kalau
begitu, mengapa Nona tidak tinggal saja bersama kami? Ketika aku berhasil
menyelamatkan diri dari serbuan anak buah Koksu pemberontak itu, aku bertemu
dengan sisa para anggota Thian-liong-pang, dan bertemu dengan sisa anggota
Pek-eng-pang yang sudah kehilangan pimpinan. Maka kukumpulkan mereka, kusatukan
dan karena aku tidak berani menggunakan nama Thian-liong-pang, juga tidak sudi
memakai nama Pek-eng-pang, aku lalu mendirikan perkumpulan baru bernama Tiong-gi-pang
untuk menolong mereka, dan untuk mencegah mereka terperosok ke dalam lembah
kejahatan. Kami sedang memperbaiki sebuah kuil besar dan kuno di hutan sebelah,
Nona. Tempat itu akan menjadi pusat Tiong-gi-pang, dan kalau Nona suka tinggal
bersama kami, hatiku akan menjadi lega dan girang, juga kehadiran Nona sebagai
puteri Ketua Thian-liong-pang tentu akan mempengaruhi para anak buah
Tiong-gi-pang dan mencegah mereka dari penyelewengan."
Maka
demikianlah, mulai hari itu Milana tinggal bersama Kakek Sai-cu Lo-mo, bekas
pembantu utama ibunya di Thian-liong-pang yang sekarang telah menjadi pangcu
dari perkumpulan Tiong-gi-pang.
***************
Ketika
memasuki kota raja, gadis yang cantik manis dan lincah itu menarik perhatian
banyak mata, terutama mata laki-laki. Dia memang manis sekali, sepasang matanya
jernih dan tajam memandang ke sana-sini, bukan hanya untuk mengagumi
bangunan-bangunan besar di kota raja melainkan juga dengan penuh selidik
pandang matanya menyapu wajah orang-orang yang dijumpainya, seolah-olah dia
mencari seseorang di kota raja. Pakaiannya yang serba kuning itu membungkus
ketat tubuh yang padat berisi dan langsing. Di pinggir pinggul yang padat dan
pinggang yang langsing itu tergantung pedang, tanda bahwa dara manis berusia
kurang lebih dua puluh tahun ini adalah seorang gadis perantau kang-ouw yang
tidak boleh dipandang ringan!
Gadis baju
kuning ini adalah Ang Siok Bi, puteri tunggal ketua Bu-tong-pai yaitu Ang-lojin
(Orang Tua Ang) atau Ang Thian Pa. Seperti telah kita ketahui rombongan piauwsu
yang pernah bentrok dengan Gak Bun Beng ketika terjadi pemerkosaan dan
pembunuhan suami isteri di dekat telaga, adalah murid-murid Bu-tong-pai.
Setelah
mereka itu menyelesaikan tugasnya, pemimpin piauwsu itu lalu menceritakan
peristiwa itu kepada Bu-tong-pai dan Ang Siok Bi juga hadir dalam pertemuan
ini. Ketika mendengar bahwa Gak Bun Beng melakukan perbuatan keji seperti itu,
ketua Bu-tong-pai terkejut bukan main dan hampir tidak dapat percaya kalau yang
bercerita bukan muridnya yang dipercayanya. Terutama sekali Ang Siok Bi,
puterinya.
Dara ini
telah tahu bahwa dia oleh ayahnya hendak dijodohkan dengan Gak Bun Beng, dan
sungguh pun pemuda itu belum menerima perjodohan ini, namun ayahnya masih
selalu mengharapkan terjadinya ikatan jodoh itu. Karena inilah, juga karena dia
sendiri pun tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda itu, maka Siok Bi menganggap
dirinya sebagai tunangan Gak Bun Beng dan tidak menghiraukan lain laki-laki
lagi, bahkan di dalam lubuk hatinya dia mengambil keputusan tidak akan menikah
kalau tidak dengan Bun Beng!
Maka dapat
dibayangkan betapa kaget dan hancur hati dara ini mendengar penuturan para
piauwsu yang menduga bahwa Gak Bun Beng melakukan hal yang amat keji,
memperkosa dan membunuh seorang wanita, membunuh pula suami wanita itu di dekat
telaga. Pada keesokan harinya, Ketua Bu-tong-pai tidak melihat puterinya dan
dia hanya dapat menghela napas, maklum bahwa kepergian puterinya itu tentu ada
hubungannya dengan penuturan murid Bu-tong-pai tentang Gak Bun Beng.
Dugaan Ketua
Bu-tong-pai ini memang benar. Siok Bi meninggalkan kuil Bu-tong-pai untuk pergi
mencari Bun Beng, untuk menyatakan sendiri kebenaran penuturan itu. Dia harus
bertemu dengan pemuda itu dan akan ditanyai tentang peristiwa yang dituturkan
oleh kepala piauwsu itu. Kalau memang benar pemuda itu menjadi seorang penjahat
keji, dia akan memusuhinya dan akan diputuskannya hubungan batin yang timbul
karena janji ayahnya kepada pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak percaya
bahwa pemuda yang gagah perkasa itu berubah menjadi seorang penjahat cabul yang
berhati kejam.
Tiba-tiba
Siok Bi menghentikan langkahnya dan menoleh, memandang pada seorang pemuda yang
bercaping bundar dan berpedang di punggungnya. Gak Bun Beng! Benarkah Gak Bun
Beng pemuda itu? Telah lama dia tak bertemu dengan pemuda itu, dan ada
kemiripan pemuda yang lewat tadi dengan pemuda idaman hatinya. Dia cepat
membalik dan mengejar. Untuk menegur, dia belum berani karena takut kalau-kalau
dia salah lihat. Pemuda yang tampan itu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang
kota raja. Siok Bi terpaksa mengikutinya terus, keluar lagi dari kota raja.
Kesangsiannya
lenyap ketika dia melihat pemuda di depan itu kini berlari cepat sekali setelah
tiba di luar pintu gerbang kota raja. Siapa lagi kalau bukan Gak Bun Beng yang
pandai berlari cepat itu?
"Gak-taihiap...!"
Dia menegur sambil mengejar, mengerahkan ginkang-nya untuk berlari cepat.
Pemuda itu
berlari terus dan betapa pun Siok Bi mengerahkan kepandaiannya, tetap saja
tidak mampu mengejarnya! Maka dia berseru lagi, "Gak-taihiap, aku Ang Siok
Bi ingin bicara!"
Pemuda itu
berhenti dan membalikkan tubuh. Setelah mereka berhadapan, kembali timbul
kesangsian di hati Siok Bi. Dia meragu apakah benar-benar pemuda ini Gak Bun
Beng.
"Apakah...
apakah aku berhadapan dengan Gak-taihiap?" tanyanya sambil menatap wajah
yang tampan itu.
Pemuda itu
tersenyum. "Agaknya engkau mencari Gak Bun Beng, Nona? Aku bukan Gak Bun
Beng, akan tetapi aku adalah sababatnya. Nona siapakah dan ada urusan apa
mencari Gak Bun Beng?"
"Ahh...
maaf, saya kira engkau Gak Bun Beng. Saya... saya... Ang Siok Bi dan saya
mencarinya. Tolong beritahu di mana dia?"
"Hemm,
dia tidak mudah dijumpai begitu saja, Nona. Siapakah Nona? Akan saya sampaikan
kepadanya."
"Saya
adalah tunangannya dari Bu-tong-pai."
Pemuda itu
mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya. "Hemmm... dari Bu-tong-pai?
Baik, akan saya sampaikan kepadanya, Nona. Sebaiknya Nona pergi ke kota raja
lagi, bermalam di sebuah penginapan. Malam ini dia akan datang
mengunjungimu."
Setelah
berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan sebentar saja sudah berada jauh
sekali. Hal ini mengejutkan hati Siok Bi karena dia maklum bahwa kepandaiannya
berlari cepat tidak dapat dipakai menandingi ilmu lari cepat pemuda itu! Betapa
pun juga, hatinya girang. Pemuda itu kiranya sahabat Gak Bun Beng dan kalau sudah
disampaikan, tentu Gak Bun Beng akan menjumpainya. Jantungnya berdebar tegang
dan dia makin tidak percaya bahwa Gak Bun Beng telah mejadi seorang yang jahat.
Malam hari
itu Siok Bi menanti di dalam kamarnya dengan hati bimbang dan tegang. Kalau dia
teringat betapa dia tadi mengaku sebagai tunangan Gak Bun Beng kepada pemuda
itu, jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. Bagaimana kalau pemuda tadi
menyampaikannya kepada Gak Bun Beng? Tunangan? Pemuda itu dahulu menolak usul
ayahnya yang hendak menjodohkan mereka. Bagaimana sekarang secara tak tahu malu
dia mengaku tunangannya? Biarlah, setidaknya pengakuannya itu telah membuka
rahasia hatinya terhadap Bun Beng!
Menjelang
tengah malam, dia mendengar suara di jendela kamarnya. Dia memandang terbelalak
dan menegur halus, "Siapa...?"
"Nona
Ang Siok Bi, aku adalah Gak Bun Beng. Harap Nona suka membuka jendela,"
terdengar suara dari luar, suara yang halus dan mendebarkan jantungnya.
"Tunggu
sebentar!" Siok Bi membesarkan api penerangan, kemudian secara tak sadar
tangannya membereskan rambutnya yang berjuntai di dahi, kemudian membuka daun
jendela.
Angin
menyambar dari luar memadamkan lampu penerangan sehingga keadaan kamar itu
menjadi remang-remang, hanya mendapat sorotan lampu penerangan di luar kamar
yang dipasang di ujung lorong. Kemudian tampak bayangan seorang pemuda bertopi
caping lebar bundar melayang masuk ke dalam kamar itu.
"Eiihh,
kenapa kau memadamkan lampu?"
"Ssssttttt...
jangan ribut-ribut, nanti semua tamu terbangun. Nona Ang, ada apa engkau
mencari aku?"
"Gak-taihiap...
aku sengaja mencarimu untuk bertanya... ehhh, kami dengar penuturan para
piauwsu anak murid Bu-tong-pai bahwa engkau telah melakukan perbuatan keji. Aku
tidak percaya, akan tetapi aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri..."
"Hmm...
Nona, katakan dulu sebelum aku menjawab. Apakah engkau cinta kepadaku?"
Ditanya
demikian yang sama sekali tidak pernah disangkanya, Siok Bi menggigil dan
suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata, "Aku... aku... ahh, aku
telah ditunangkan kepadamu oleh ayah..."
"Bagus,
Bi-moi, aku pun cinta kepadamu. Betapa rinduku kepadamu!" Setelah berkata
demikian pemuda itu sudah memeluknya.
Siok Bi
hendak membantah dan menolak, akan tetapi suaranya hilang ditelan ciuman pemuda
itu. Siok Bi makin terkejut dan hendak mendorong, tetapi tiba-tiba pundaknya
ditotok dan dia roboh dengan lemas! Hanya kedua matanya yang terbelalak penuh
kengerian ketika dia dipondong oleh pemuda itu dan dilempar ke atas
pembaringan. Telinganya mendengar suara yang kini terdengar seperti suara
iblis, "Kau cinta kepadaku dan aku cinta kepadamu! Apa lagi yang lebih
menarik dari pada itu? Marilah kita mencurahkan cinta kasih kita, dan tentang
semua perbuatanku dengan wanita lain, tak perlu kau hiraukan, manis!"
Kalau saja
dia mampu bergerak, tentu Siok Bi akan melawan mati-matian, dan kalau saja dia
mampu bersuara tentu dia akan menjerit-jerit dan memaki-maki. Namun apa daya,
dia tidak mampu bersuara, tidak mampu bergerak sehingga dia hanya mampu
menangis ketika pemuda itu mulai menggagahi dirinya. Dia pergi mencari Bun Beng
untuk bertanya, untuk membuktikan sendiri apakah benar berita yang disampaikan
oleh anak murid Bu-tong-pai itu. Siapa mengira, dia kini memperoleh bukti yang
mutlak karena dia sendiri menjadi korban kebuasan pemuda yang tadinya dijunjung
tinggi itu. Pemuda yang dirindukan dan dicinta dengan diam-diam kini
mendatangkan rasa muak, benci dan dendam!
Menjelang
pagi, dalam keadaan hampir pingsan, Siok Bi melihat pemuda itu mendekati
jendela dan berkata, "Kalau engkau ingin terus menikmati malam-malam
seperti ini dengan aku, Siok Bi yang manis, datanglah kau ke kuil di atas bukit
sebelah utara kota raja dan carilah Tiong-gi-pang. Aku menantimu di sana.
Sampai jumpa lagi, kekasihku!" Tubuh itu berkelebat dan sekali loncat saja
lenyap dari dalam kamar.
Siok Bi
hanya bisa menangis! Menangis karena dua hal yang menghancurkan hatinya, yang
menghancurkan hidupnya dan harapannya. Pemuda yang diharapkan menjadi jodohnya,
yang ditunggunya dengan setia sehingga dia menolak semua pinangan orang, yang
diam-diam dicintanya, ternyata telah menjadi seorang yang buas dan hina,
seorang penjahat cabul yang kejam sekali melebihi iblis! Dan di samping ini,
dia telah menjadi korban! Dia telah menjadi seorang yang rusak kehormatannya,
tidak mungkin menjadi seorang wanita yang dihormati lagi.
Dia harus
membalas dendam ini! Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa, karena apa
artinya hidup ini setelah apa yang terjadi malam tadi? Setelah totokan itu
pulih dengan sendirinya, Siok Bi juga hanya dapat menangis, bahkan menangis pun
tidak berani terlalu keras. Kalau terdengar orang dan ada yang bertanya, apa
yang harus dijawabnya? Peristiwa mengerikan yang menimpa dirinya semalam tak
akan diketahui siapa juga, kecuali dia dan Si Laknat Gak Bun Beng!
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Siok Bi telah meninggalkan rumah penginapan keluar
dari kota raja menuju ke utara. Menjelang senja barulah dia dapat menemukan
kuil yang dimaksudkan oleh Gak Bun Beng ketika hendak meninggalkan kamarnya
tadi pagi. Namun Siok Bi bersikap hati-hati ketika melihat banyak orang keluar
masuk di bangunan kuil yang dikelilingi pondok-pondok kecil itu. Tentu mereka
ini para anggota Tiong-gi-pang! Dia datang untuk mencari Gak Bun Beng dan untuk
membunuhnya!
Kalau dia
muncul begitu saja, bukan hanya usaha membalas dendam itu akan gagal, bahkan
dia akan tertawan dan akan menjadi permainan pemuda iblis itu! Dia harus
menahan sabar dan baru turun tangan malam nanti! Dengan pikiran ini Siok Bi
bersembunyi di dalam hutan, menanti datangnya malam. Dia harus selalu menekan
hatinya untuk tidak menangis terus. Setiap kali teringat akan mala petaka yang
menimpa dirinya, ingin dia menjerit-jerit dan menangis.
Malam itu
sunyi sekali di luar Kuil Tiong-gi-pang, karena memang kuil itu berada di dalam
hutan, tidak mempunyai tetangga. Para anggota ying sudah lelah karena siang
tadi bekerja atau berlatih silat, kini sudah beristirahat di dalam
pondok-pondok kecil yang dibangun di sekeliling kuil. Hanya ada beberapa orang
penjaga yang meronda secara bergilir untuk menjaga keselamatan dan keamanan
kuil mereka.
Sesosok
bayangan berkelebat dan menyelinap di bawah bayangan pohon yang gelap. Bayangan
ini adalah Ang Siok Bi yang berhasil melompati pagar yang mengelilingi tempat
itu. Dia ingin memasuki kuil dengan diam-diam, mencari dan membunuh Gak Bun
Beng, atau kalau gagal, terbunuh. Akan tetapi, ketika dia menyelinap ke dalam
kuil melalui sebuah pintu samping yang terbuka dan tiba di ruangan depan,
tiba-tiba ada suara menegurnya, "Siapa?"
Tiga orang
penjaga muncul dengan tiba-tiba, mengejutkan hati Siok Bi, mereka itu adalah
dua orang berpedang dan seorang bersenjata tongkat. Ketika melihat bahwa orang
tak terkenal yang berkelebat masuk itu adalah seorang gadis cantik, tiga orang
penjaga itu terbelalak heran dan tidak mau sembarangan turun tangan menyerang.
Akan tetapi Siok Bi yang mengira bahwa mereka itu tentulah anak buah Gak Bun
Beng, sudah mencabut pedangnya dan menerjang tanpa banyak cakap lagi. Dia harus
merobohkan mereka ini sebelum yang lain-lain datang!
"Trang-trang...
aihhhh...!"
Tiga orang
itu terkejut, sedapat mungkin menangkis, akan tetapi gerakan Siok Bi yang
lincah dan serangannya yang tak tersangka-sangka itu terlalu lihai bagi mereka.
Dua orang terluka lengannya dan seorang lagi terluka dadanya oleh sambaran
pedang puteri ketua Bu-tong-pai yang perkasa ini.
Akan tetapi
teriakan mereka mendatangkan tujuh orang penjaga lainnya. Melihat ini, dengan
gemas Siok Bi sudah menggerakkan pedangnya mengamuk sambil berteriak marah,
"Gak Bun Beng manusia busuk! Kiranya engkau pengecut, mengandalkan banyak
anak buahmu! Keluarlah kalau kau laki-laki, kita mengadu nyawa!"
Mendengar
seruan ini, penjaga terheran dan mereka menahan senjata sambil melompat mundur,
terdengar bentakan nyaring, "Tahan senjata!"
Ang Siok Bi
juga menahan pedangnya ketika melihat munculnya seorang dara yang amat cantik
dan gagah. Dara ini bukan lain adalah Milana, yang tadi terkejut mendengar
suara ribut-ribut dan keluar dari kamarnya. Kebetulan sekali dia mendengar
disebutnya nama Gak Bun Beng yang ditantang oleh wanita muda yang mengamuk itu,
maka dia cepat menghentikan pertandingan.
Sejenak dua
orang wanita muda itu saling berpandangan. Siok Bi masih memandang marah karena
menduga bahwa tentu wanita cantik itu kaki tangan Gak Bun Beng pula, sedangkan
Milana menduga-duga siapa wanita yang agaknya memusuhi Gak Bun Beng itu, juga
dia terheran-heran mengapa wanita itu mencari Bun Beng di kuil Tiong-gi-pang.
"Siapakah
engkau? Mengapa engkau mengacau Tiong-gi-pang?" tanyanya.
Para anak
buah Tiong-gi-pang sudah berkumpul dan tiga orang yang terluka itu cepat
ditolong dan luka mereka diobati dan dibalut. Dua di antara mereka terpaksa
membuka baju agar luka di tubuh mereka dapat dibalut.
Siok Bi yang
sudah nekat melintangkan pedangnya di depan dada sambil menjawab, "Aku Ang
Siok Bi, datang untuk menantang ketua kalian bertanding sampai seorang di
antara kami tewas. Akan tetapi kalau para anggota dan kaki tangannya mau ikut
maju aku tidak takut!"
"Hemmm,
siapa mencari aku?" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah empat
orang anggota Tiong-gi-pang yang menggotong Sai-cu Lo-mo yang lumpuh.
Begitulah
ketua ini kalau menyambut datangnya orang asing atau tamu, duduk di atas papan
yang digotong empat orang anak buahnya. Untuk keperluan sehari-hari, dia
bergerak mengandalkan kedua tangannya saja yang dapat dia pergunakan sebagai
pengganti kedua kaki, berjalan dengan tubuh terangkat sedikit ke belakang!
Siok Bi
menoleh ke kiri dan memandang kakek itu dengan bingung. "Aku tidak mencari
engkau, aku mencari Ketua Tiong-gi-pang..."
"Hemm,
Nona. Akulah Ketua Tiong-gi-pang."
Siok Bi
makin terkejut, lalu menduga bahwa tentu Gak Bun Beng yang tinggal disini bukan
ketuanya.
Dengan suara
tidak sabar Milana bertanya, "Sebenarnya apakah kehendakmu dan siapa yang
kau cari?"
Dengan agak
bingung Siok Bi menjawab, "Aku mencari Si Bedebah Gak Bun Beng. Suruh dia
keluar!"
Milana makin
tertarik. Tentu ada sesuatu terjadi antara gadis itu dengan Bun Beng. Akan
tetapi mengapa mencari Bun Beng di sini?
"Ada
urusan apakah engkau mencari Gak Bun Beng?" dia masih bertanya memancing.
"Kau
tak perlu tahu. Pendeknya aku mencari Gak Bun Beng untuk kubunuh!"
Milana
menyarungkan pedang yang tadi sudah dicabutnya. Melihat ini, Siok Bi menjadi
heran.
"Engkau
salah alamat," kata Milana. "Gak Bun Beng tidak berada di sini, juga
kami bukanlah sahabatnya. Tiong-gi-pang tidak pernah ada hubungan apa-apa
dengan Gak Bun Beng. Marilah kita bicara di dalam. Kalau engkau mempunyai
penasaran terhadap Gak Bun Beng, agaknya aku akan dapat membantumu."
Siok Bi
makin terheran. Melihat sikap dara jelita itu, sikap Ketua Tiong-gi-pang yang lumpuh,
sikap para anak buah Tiong-gi-pang yang sudah mundur dan agaknya tidak
memperlihatkan sikap bermusuh kepadanya, dia juga menyarungkan pedang di sarung
pedang yang kini tergantung di punggungnya. Akan tetapi dia masih ragu-ragu
melihat Milana membuka sebuah pintu batu di atas anak tangga.
Milana yang
sudah berada di depan pintu itu menoleh dan berkata, "Engkau demikian
gagah berani sudah menyerbu Tiong-gi-pang, apakah sekarang menjadi takut untuk
memenuhi undanganku masuk ke dalam dan bicara?"
Sai-cu Lo-mo
yang sudah bersedekap penuh rasa duka itu berkata, "Masuklah, Nona. Kami
bukanlah orang-orang jahat. Kalau kami berniat buruk, perlukah memancingmu
masuk?"
Siok Bi
mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada Sai-cu Lo-mo, kemudian dia
menudingkan telunjuknya kepada Ketua Tiong-gi-pang itu dan membentak, "Aku
pernah melihat engkau. Bukankah engkau seorang tokoh Thian-liong-pang?"
Sai-cu Lo-mo
menghela napas, kemudian menjawab, "Dugaanmu benar, Nona. Dan Nona adalah
puteri Ketua Bu-tong-pai, bukan?"
Siok Bi
terkejut. Dulu, ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar di puncak
Gunung Ciung-lai-san di Se-cuan, dia ikut ayahnya menghadiri pertemuan besar
itu. Ayahnya, Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, pernah diculik oleh
Thian-liong-pang, sehingga perkumpulan itu dapat dikatakan adalah musuhnya!
"Jadi
kalian... kalian ini... anggota-anggota Thian-liong-pang...?" Di samping
kekagetan dan kemarahannya, juga ada rasa gentar di hati Siok Bi karena dia
maklum betapa lihainya orang-orang Thian-liong-pang.
"Bukan,"
jawab Milana. "Thian-liong-pang sudah tidak ada lagi dan engkau menjadi
tamu dari Tiong-gi-pang."
"Dan
kau... sekarang aku mengenalmu! Engkau adalah puteri cantik dari Ketua
Thian-liong-pang!" Siok Bi berseru lagi, makin terkejut karena dia tahu
bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Milana
tersenyum, "Kalau perkumpulannya tidak ada, ketuanya pun tentu saja tidak
ada. Marilah, apakah engkau masih tidak berani memenuhi undanganku? Di dalam
kita bicara tentang manusia bernama Gak Bun Beng itu."
Tiba-tiba
terdengar bentakan halus dan nyaring, "Gak Bun Beng manusia hina. Hendak
lari ke mana engkau?"
Dari jendela
melayang masuk sesosok bayangan yang ternyata dia adalah seorang gadis cantik
pula, sebaya dengan Siok Bi dan Milana dengan sebatang pedang di tangannya!
Gadis ini sejenak bingung memandang Milana, Siok Bi, Sai-cu Lo-mo dan para
anggota Tiong-gi-pang, kemudian menoleh ke sana-sini, pandang matanya
mencari-cari, kemudian dia membentak, "Hayo suruh Si jahanam keparat Gak
Bun Beng keluar untuk menerima kematiannya!"
Sai-cu Lo-mo
menutup muka dengan kedua tangan yang tadi disedekapkan sambil mengeluh,
"Ya Tuhan... lagi-lagi Bun Beng...?"
Milana juga
merasa tertusuk hatinya. Lagi-lagi ada orang yang mencari Gak Bun Beng untuk
membunuhnya, dan orang ini juga wanita muda cantik jelita! "Gak Bun Beng
tidak ada di sini mengapa engkau mencarinya ke sini?" Dia menegur kepada
gadis cantik yang baru datang itu.
Gadis itu
mengelebatkan pedangnya dan gaya gerakannya menunjukkan bahwa dia memiliki ilmu
pedang yang hebat juga! "Bohong! Baru saja dia lari dan masuk ke sini!
Hayo suruh dia keluar, kalau tidak, terpaksa aku akan mengobrak-abrik tempat
ini!"
Milana
terkejut. "Dia di sini?"
Sai-cu Lo-mo
juga terkejut dan cepat memberi perintah kepada anak buahnya. "Cari bocah
setan itu sampai dapat! Periksa semua tempat!"
Dengan cepat
mereka semua bergerak pergi, bahkan Sai-cu Lo-mo sendiri sudah meloncat dari
atas papan yang dipikul empat orang anggotanya, tubuhnya yang lumpuh kakinya
itu masih dapat bergerak cepat sekali. Milana juga sudah mencabut pedangnya dan
berkelebat lenyap. Tinggal Siok Bi dan gadis itu saling pandang dengan bingung.
Siok Bi yang
berkata, "Sobat, keadaan kita sama. Aku pun mencari manusia keparat Gak
Bun Beng di sini, akan tetapi kita berdua salah alamat. Kurasa jahanam itu
tidak berada di sini."
"Tak
mungkin! Tadi dia kuserang, kukejar dan lenyap di tempat ini!" Gadis itu
masih penasaran.
"Akan
tetapi orang-orang Tiong-gi-pang ini bukanlah sahabat Gak Bun Beng. Lihat saja
mereka semua marah dan mencari Si Laknat itu," bantah Siok Bi.
Gadis itu menarik
napas panjang dan mengangguk. "Akan tetapi..."
"Biarlah
kita menanti sampai mereka kembali. Ketahuilah bahwa para pimpinan
Tiong-gi-pang ini adalah bekas tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai."
Mendengar
ini, gadis ini terkejut juga, dan berdiri dengan bingung. Melihat betapa Siok
Bi tidak menghunus pedang, ia merasa kikuk dan segera ia menyarungkan pedangnya
pula.
Tak lama
kemudian, Milana datang lagi ke tempat itu. Gerakannya membuat Siok Bi dan
gadis itu terkejut dan kagum. Seperti gerakan iblis saja, hanya tampak
berkelebat dan tahu-tahu telah berada di situ. Mengertilah mereka berdua bahwa
mereka bukan tandingan dara cantik jelita ini!
Milana
memandang kepada dara yang baru tiba. "Benarkah katamu tadi bahwa Gak Bun
Beng lari, dan lenyap di tempat ini?"
"Aku
tidak bohong. Kalau tidak, apa perlunya aku masuk ke sini dan
mengejarnya?"
Milana
mengangguk dan menarik napas panjang. "Kami mencari tanpa hasil dan hal
ini memang tidak aneh. Kepandaian Gak Bun Beng tinggi bukan main, dan andai
kata kita dapat menemukannya aku masih sangsi apakah kita semua dapat
melawannya."
"Aku
tidak takut!" Siok Bi berseru.
"Aku
akan mengadu nyawa dengannya!" Gadis itu pun berseru.
Milana
mengerutkan alisnya. "Mari kita bicara di dalam. Agaknya aku dapat menduga
apa yang telah terjadi dengan kalian."
Ketika gadis
yang baru muncul itu ragu-ragu, Milana melanjutkan setelah melihat bahwa di
situ tidak ada orang lain, "Bukankah kalian berdua menjadi korban Gak Bun
Beng yang telah menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa)?"
Seketika
wajah kedua orang dara itu menjadi merah sekali. Milana menghela napas panjang.
"Ketahuilah, aku bukan sahabat Gak Bun Beng dan kalau benar seperti yang
kuduga bahwa kalian menjadi korban kebiadabannya, aku bersedia membantu kalian
mencarinya dan menghadapinya!"
Siok Bi
sudah percaya kepada Milana, maka melihat gadis yang baru datang itu ragu-ragu,
dia berkata, "Sebaiknya kita bicara dengan dia, karena dia ini adalah
puteri bekas Ketua Thian-liong-pang."
Gadis itu
kelihatan terkejut sekali. "Apa...?" Dia menatap wajah Milana dengan
tajam. "Kau... kau... Puteri Milana cucu Kaisar? Engkau puteri dari
Panglima Wanita Nirahai dan... dan Pendekar Super Sakti?"
Milana
terkejut juga melihat betapa gadis itu mengenal ayah bundanya. Dia kemudian
mengangguk dan bertanya, "Siapakah engkau?"
Gadis itu
tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Harap paduka sudi memaafkan saya
yang bersikap kurang hormat..."
Siok Bi juga
terkejut sekali mendengar itu. Kiranya Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri
Nirahai? Dia memang sudah mendengar kabar angin tentang ini, akan tetapi
ayahnya sendiri masih kurang percaya. Dan ternyata bahwa selain puteri Kaisar,
juga Ketua Thian-liong-pang yang pernah menimbulkan geger itu adalah isteri
Pendekar Super Sakti! Dia tidak berlutut seperti gadis itu, akan tetapi dia pun
tertunduk dan memandang Milana dengan segan dan hormat.
Milana
merangkul gadis itu dan mengangkatnya bangkit berdiri. "Tak perlu seperti
itu. Aku gadis biasa saja, gadis kang-ouw seperti kalian. Siapakah
namamu?"
"Saya Lu
Kim Bwee, dari Kongkong (Kakek) yang pernah menjadi pengawal Kaisar, saya
mendengar tentang ibu Paduka..."
"Hushh,
Enci Kim Bwee, jangan banyak sungkan. Jangan pakai paduka-paduka segala
kepadaku. Anggap saja kita ini sahabat-sahabat yang senasib. Marilah Enci Siok
Bi dan Enci Kim Bwee, mari kita masuk ke dalam dan kita bicara tentang manusia
jahanam Gak Bun Beng ini."
Ketiganya
memasuki kamar Milana, melalui anak tangga dan daun pintu batu yang tebal itu.
Setelah pintu ditutup kembali, dua orang gadis itu tercengang kagum melihat
betapa kamar di balik pintu yang menyeramkan itu amat indah dan bersih.
"Ini
kamarku sendiri," kata Milana. "Aku pun baru dua bulan berada di
sini. Duduklah Enci Siok Bi dan Enci Kim Bwee, panggil saja aku Milana."
Dua orang
gadis itu duduk di atas kursi yang indah, kemudian mereka saling pandang. Tidak
ada keraguan lagi di hati mereka terhadap dara jelita cucu Kaisar ini.
Milana
kembali tersenyum kepada mereka, "Sungguh mengherankan sekali. Enci berdua
muncul dalam waktu yang sama dan dengan niat yang sama pula, yaitu mencari Gak
Bun Beng, untuk membunuhnya! Ketahuilah bahwa aku pun membenci Gak Bun Beng dan
aku berjanji akan minta bantuan orang-orang Tiong-gi-pang untuk mencari jejak
manusia itu. Kalau sudah dapat ditemukan, biarlah aku akan membantu kalian
menghadapinya. Untuk kerja sama ini, sebaiknya jika kita mengetahui keadaan
masing-masing. Nah, kini kuminta Enci Siok Bi suka menceritakan pengalamannya,
mengapa memusuhi dia, kemudian Enci Kim Bwe, dan kemudian aku sendiri akan
menceritakan pengalamanku."
Karena di
situ hanya ada mereka bertiga, ditanya begini Siok Bi menangis. Milana dan Kim
Bwee yang melihat Siok Bi menangis, tak dapat menahan kesedihan hati
masing-masing dan mereka pun menitikkan air mata, teringat akan nasib buruk
yang menimpa mereka.
Sambil
terisak Siok Bi menceritakan mala petaka yang menimpa dirinya malam tadi di
rumah penginapan di kota raja. Betapa dia didatangi Gak Bun Beng dalam kamarnya
dan ditotok tak berdaya kemudian diperkosa. Betapa kemudian dia mencarinya ke
Tiong-gi-pang, karena Gak Bun Beng menyebut nama perkumpulan ini sebagai tempat
tinggalnya. Setelah selesai bercerita dia menangis sesenggukan.
Milana
mengerutkan alisnya dan mencela, "Enci Siok Bi, mengapa engkau begitu
mudah saja membukakan jendela kamar di waktu malam hari memenuhi permintaan
seorang laki-laki?"
Ang Siok Bi
teriak. "Aih... harap jangan salah sangka adik Milana... ketahuilah bahwa
semenjak ayah ditolong oleh Gak Bun Beng ketika... ketika dahulu berada di
dalam tahanan... Thian-liong-pang... ayah mengharapkan agar aku menjadi jodoh
orang itu. Dan budi itu tak terlupa oleh kami sehingga aku sudah menganggap
diriku sebagai tunangannya, sungguh pun belum resmi dan hanya menjadi niat
sepihak. Tentu saja ketika mendengar suaranya aku tidak ragu-ragu untuk
membiarkan dia masuk. Akan tetapi siapa kira... dia... dia menjadi
iblis...!"
"Keparat...!"
Milana menampar meja di depannya sehingga meja itu tergetar. Memang dia marah
sekali mendengar penuturan itu, marah kepada Bun Beng.
"Dan
bagaimana dengan engkau, Enci Kim Bwee? Apakah kau juga menjadi korban pemuda
biadab itu?" Milana menoleh kepada Lu Kim Bwee.
Sebelum
menjawab, Kim Bwee mengusap air matanya, kemudian mengangguk. "Sudah agak
lama terjadinya, sudah satu bulan lebih, ketika aku berada di pondok
kakekku...."
Dia lalu
menceritakan pengalamannya, betapa dia dan kakeknya kedatangan Bun Beng yang
tadinya bersikap mencurigakan, mengintai dari atas genteng, kemudian betapa
pemuda itu membohongi mereka dengan cerita bahwa ada suami isteri terbunuh
setelah isterinya diperkosa di dekat telaga. Betapa kakeknya membantu pemuda
itu menyelidiki di sekitar telaga dan kiranya pemuda itu hanya membohong untuk
memancing kakeknya keluar dari pondok, kemudian diam-diam pemuda itu kembali ke
pondok dan memperkosanya!
"Baru
aku dan kong-kong tahu bahwa pembunuh suami isteri itu adalah dia sendiri. Aku
tak mampu melawan karena dia telah menotokku secara tiba-tiba..." Kembali
Kim Bwee mengusap air matanya. "Sejak hari itu, aku pergi meninggalkan
pondok kakek untuk mencari jahanam itu. Tadi aku bertemu dengannya di jalan.
Aku menyerangnya, dan dia lari. Ketika kukejar, dia lari ke arah kuil ini dan
lenyap."
"Hemmm,
benarkah yang kau serang dan kejar tadi Gak Bun Beng?"
"Cuaca
agak gelap, aku tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Akan tetapi siapa
lagi pemuda memakai caping lebar itu kalau bukan dia? Pula, dia mentertawakan
aku dan dia yang memperkenalkan diri ketika kami bertemu di jalan."
"Tidak
salah lagi, tentu dia!" Siok Bi berseru penuh kemarahan. "Suami
isteri yang dibunuh itu setelah isterinya diperkosa di pinggir telaga, memang
menjadi korban kebiadaban Gak Bun Beng. Hal ini aku mendengar juga dari murid
ayah yang menjadi piauwsu." Dia lalu menceritakan kembali cerita yang
didengarnya dari para piauwsu yang bertemu dengan Bun Beng di dekat telaga.
Mendengar
semua ini, dapat dibayangkan betapa panas rasa hati Milana. Laki-laki yang
dicintanya, pilihan hatinya, bahkan yang oleh ayahnya dijodohkan dengan dia,
kiranya adalah seorang laki-laki jahat sekali. Terhapus sama sekali rasa cinta
kasihnya, kini terganti oleh rasa benci yang seperti api bernyala-nyala
membakar hatinya. Sambil menggenggam kedua tangan, dia berkata, "Kita
harus mencari jahanam itu, akan kukerahkan semua anggota Tiong-gi-pang untuk
menyelidiki, kalau kita sudah ketahui tempatnya, kita serang dan bunuh
dia."
Tentu saja
Siok Bi dan Kim Bwee menjadi girang. Mendapat bantuan seorang seperti Milana,
cucu Kaisar, puteri Pendekar Super Sakti, tentu saja amat membesarkan hati.
Mereka tahu akan kelihaian Gak Bun Beng dan tadinya mereka pun sudah menduga
bahwa andai kata bertemu dengan pemuda itu, tentu mereka yang akan roboh! Kini harapan
mereka untuk membalas dendam kepada pria yang menyeret mereka ke dalam jurang
kehinaan itu timbul kembali.
***************

Telah hampir
setengah bulan Siok Bi dan Kim Bwee tinggal di markas Tiong-gi-pang dan
menunggu hasil para anak buah Tiong-gi-pang yang disebar oleh Milana dan Sai-cu
Lo-mo untuk mencari jejak Gak Bun Beng.
Pada suatu
pagi, dua orang anggota Tiong-gi-pang datang menghadap. Kedua orang ini
terluka, dada dan perut mereka tergores-gores pedang, namun penyerang mereka
agaknya hanya ingin menyiksa saja, tidak membunuh sehingga yang pecah-pecah
hanya kulit mereka saja. Tentu saja kedua orang itu menderita nyeri yang hebat.
Sai-cu Lo-mo
cepat memeriksa mereka dan memberi obat, sedangkan kedua orang itu bercerita
bahwa mereka telah bertemu dengan Gak Bun Beng.
“Di mana Si
Jahanam itu?” Kim Bwee bertanya penuh nafsu.
“Kami sedang
menyelidiki ke selatan, dekat kota Gin-coa-thung malam tadi karena kami
mendengar bahwa di sana tampak seorang laki-laki asing yang bertopi lebar.
Tiba-tiba muncul Gak Bun Beng. Dia seorang pemuda tampan dengan topi caping
lebar. Dia menghadang kami dan mengaku bahwa dia adalah Gak Bun Beng. Kami
mencabut senjata, akan tetapi dengan sekali tangkis saja senjata kami patah
semua dan pedangnya yang luar biasa itu berkelebat beberapa kali. Kami berusaha
melawan, akan tetapi percuma dan pakaian kami robek-robek semua, perut dan dada
kami mengeluarkan darah. Kemudian dia berkata bahwa dia merasa kesepian dan
rindu kepada Nona bertiga!”
Hampir saja
Milana menampar muka anak buah Tiong-gi-pang itu kalau dia tidak ingat bahwa
orang itu hanya menceritakan pengalamannya yang tidak menyenangkan.
“Iblis busuk
Gak Bun Beng!” Siok Bi memaki marah.
“Kemudian
bagaimana? Di mana dia?”
Milana
mendesak orang yang bercerita itu, yang kelihatan takut karena dia harus
menceritakan hal yang menghina tiga orang nona pendekar itu.
“Dia
berpesan agar saya menyampaikan kepada Sam-wi Siocia (Nona Bertiga) bahwa hari
ini dia menanti sam-wi di dusun Gin-coa-thung, di sebelah selatan, di kaki
bukit.”
Mendengar
ini, seperti dikomando saja tiga orang itu sudah meloncat keluar dari ruangan
itu dan terus mereka berlari keluar dari kuil menuju ke selatan. Melihat ini
Sai-cu Lo-mo menggeleng-geleng kepalanya. Kakek yang sudah lumpuh kedua kakinya
ini berduka sekali. Dia memanggil empat orang anak buahnya dan minta dipanggul
dan dibawa menuju ke Gin-coa-thung.
Gin-coa-thung
adalah sebuah kota kecil, lebih tepat disebut dusun di kaki bukit sebelah utara
kota raja. Siang itu Gak Bun Beng keluar dari dusun di mana malam tadi dia
bermalam, untuk melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju kota raja. Dia
telah melakukan perjalanan jauh sekali. Setelah dengan susah payah dia
menemukan Pulau Neraka dan dengan hati girang dan lega melihat Milana dalam
keadaan selamat, juga Kwi Hong, dia menjadi terheran-heran dan terkejut karena
Milana menyerangnya.
Kemudian,
setelah dia melihat dua orang kakek sakti, Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek
Siauw-jin, keduanya tewas dalam pertandingan antara mereka yang amat dahsyat,
pemuda ini meninggalkan Pulau Neraka. Karena dia ingin mencari Milana yang
melarikan diri dan pergi bersama Kwi Hong, dia menuju ke kota raja dan pada
siang hari itu dia meninggalkan Gin-coa-thung menuju ke selatan, ke kota raja
yang tidak jauh lagi letaknya dari situ.
Tiba-tiba
Bun Beng berhenti melangkah ketika telinganya menangkap suara teriakan dari
belakang. Dia membalikkan tubuhnya dan wajahnya berseri ketika melihat Milana
bersama dua orang dara lain berlari datang!
“Milana....!”
Dia berseru
girang, akan tetapi merasa heran dan khawatir ketika tiga orang gadis itu sudah
tiba di depannya dia melihat bahwa dua orang gadis yang lain itu adalah Ang
Siok Bi dan Lu Kim Bwee! Tentu saja melihat Kim Bwee, timbul kekhawatirannya
karena dia disangka memperkosa gadis ini! Dan dia menjadi lebih khawatir ketika
tiba-tiba tiga orang gadis itu mencabut pedang dan memandang kepadanya dengan
sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. Dia tidak mempedulikan pandang mata
Siok Bi dan Kim Bwee, akan tetapi melihat betapa Milana memandangnya penuh
kebencian, dia benar-benar merasa cemas.
“Milana,
sungguh tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini! Kau hendak ke mana....?”
“Hendak
membunuhmu!” Milana membentak dan pedang di tangannya tergetar.
“Milana....
apa.... apa kesalahanku....?”
“Laki-laki
pengecut! Kau hendak menyangkal apa yang telah kau lakukan terhadap diriku?!”
Kim Bwee membentak dan pedangnya menyambar dahsyat.
“Singgg...
wuuuttt!”
Bun Beng
melangkah mundur kemudian memiringkan tubuhnya sehingga pedang itu menyambar
lewat.
“Nona Lu Kim
Bwee, aku tidak...”
“Siuuuttt...!”
Pedang di
tangan Siok Bi menusuk dari samping dan disusul bentakan dara ini. “Kau masih
hendak menyangkal bahwa engkau telah menghinaku?!”
Kembali Bun
Beng mengelak. “Nona Ang Siok Bi, siapa menghinamu...?”
Tiga orang
dara itu mulai menyerang, tidak memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk bicara
lagi. Tentu saja mereka tidak lagi membutuhkan penjelasan. Kesalahan pemuda ini
terhadap mereka sudah cukup jelas. Bagi Siok Bi, Bun Beng adalah orang yang
telah memperkosanya, demikian pula bagi Kim Bwee, maka tidak perlu banyak cakap
lagi.
Bagi Milana,
pemuda ini amat jahat. Selain pernah merayunya untuk mengajaknya berjinah, juga
pemuda yang ditunangkan dengannya ini dengan dia berlaku tidak setia, dan
bahkan kini telah menjadi seorang penjahat cabul tukang memperkosa. Betapa
mungkin dia dapat mengampuni?
“Gak Bun
Beng, hari ini kalau bukan kau yang mampus, akulah yang akan tewas di
tanganmu!” Milana membentak dan pedangnya berkelebat menyambar-nyambar ganas.
Di antara tiga orang dara itu memang ilmu kepandaian Milana yang paling tinggi.
“Milana...
tunggu...!”
“Tak usah
banyak cakap lagi!” Milana membentak dan kembali menerjang.
Bun Beng
menjadi bingung sekali. Dia tahu bahwa ada orang memperkosa Kim Bwee, di dekat
telaga dahulu itu, orang yang agaknya sengaja menggunakan namanya. Akan tetapi
dia tidak tahu apalagi yang menyebabkan Siok Bi ikut-ikut membencinya dan sama
sekali tidak dapat menduga mengapa Milana yang dicintanya dan yang dia tahu
juga mencintanya itu kini berubah menjadi seperti harimau ganas yang haus
darah!
Karena tiga
orang dara itu menyerangnya mati-matian, Bun Beng menggunakan kelincahannya
untuk mengelak, kemudian pada saat pedang Kim Bwee dan Siok Bi menyambar dari
kanan kiri, dia mendahului menotok pergelangan tangan dua orang itu. Dua orang
gadis itu menjerit, tangan mereka lumpuh dan pedang mereka terlepas dari
pegangan. Pada saat itu, Milana sudah menerjang lagi.
“Milana,
dengar dulu! Aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan membela diri dan rela kau
bunuh kalau aku bersalah!”
Pada saat
itu pedang Milana meluncur ke arah dada Bun Beng. Pemuda ini sengaja tidak
mengelak karena dia masih tidak percaya bahwa gadis itu benar-benar hendak
membunuhnya.
“Craaattt!”
Milana
menjerit dan Bun Beng mengeluh. Bukan mengeluh karena luka pedang, tetapi
mengeluh karena benar-benar gadis itu tega hendak membunuhnya. Ketika pedang
tadi benar-benar menancap di dadanya, pemuda ini secara otomatis menggerakkan
sinkang-nya sehingga pedang itu tertahan masuk setengah jengkal saja dalamnya.
Bun Beng
masih menaruh harapan bahwa Milana menyesal ketika mendengar gadis itu
menjerit. Akan tetapi begitu Milana mencabut pedangnya dan darah muncrat dari
luka di dada, gadis itu langsung menyerang lagi, kini pedangnya membabat ke
arah leher Bun Beng.
"Aihhh...
Milana...!" Bun Beng terpaksa mengelak dengan hati penuh kecewa. Dia
mendapat kenyataan bahwa gadis itu benar-benar tega untuk membunuhnya. Dia lalu
menggerakkan kakinya dan meloncat jauh kemudian melarikan diri.
"Jahanam
busuk, hendak lari ke mana kau?!"
Milana
mengejar, diikuti oleh Siok Bi dan Kim Bwee yang sudah mengambil pedang mereka
dan ikut mengejar pula. Akan tetapi dengan beberapa loncatan saja bayangan Bun
Beng sudah menghilang di dalam hutan di utara dan lenyap di pegunungan yang
penuh hutan lebat itu.
Milana, Siok
Bi, dan Kim Bwee melakukan pengejaran dan mencari-cari, namun tidak berhasil.
Bun Beng lenyap tanpa meninggalkan jejak. Karena hari telah menjelang senja,
terpaksa tiga orang dara ini kembali ke kuil Tong-gi-pang dengan hati kecewa
sekali.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang anggota Tiong-gi-pang yang berjaga
di luar melaporkan bahwa ada dua orang tamu datang minta bicara dengan nona
Milana. Mendengar ini, Milana segera keluar dan terkejutlah dia ketika melihat
bahwa yang datang adalah Wan Keng In dan seorang kakek yang mukanya bopeng dan
rusak sehingga kelihatan menakutkan sekali.
Kakek itu
berpakaian seperti seorang pendeta dengan jubah kuning yang lebar, kepalanya
ditutup sebuah topi kuning pula, matanya besar sebelah dan hidungnya melesak ke
dalam, mulutnya miring. Muka yang amat buruk, bahkan kulit muka itu seperti
bekas digerogoti tikus! Wan Keng In seperti biasa berpakaian amat indah dan
mewah sehingga kelihatan makin tampan. Pedang Lam-mo-kiam tergantung di
punggungnya. Ada pun kakek menakutkan itu memegang sebatang tongkat berkepala
ukiran naga.
"Kau...?"
Milana menegur keras. "Mau apa kau ke sini?"
Wan Keng In
tersenyum dan cepat-cepat dia memberi hormat kepada Milana. "Harap kau
suka maafkan kepadaku, Milana. Aku mendengar bahwa engkau berada di
Tiong-gi-pang maka aku cepat datang ke sini untuk menemuimu dan bicara
denganmu."
"Mau
bicara apa? Tidak ada urusan apa-apa di antara kita!"
"Aihh,
Milana, harap kau dapat maafkan segala kesalahanku dahulu. Aku minta maaf
kepadamu dan aku telah sadar akan semua kesalahanku dahulu kepadamu. Aku tahu
bahwa cinta tidak dapat dipaksakan, maka aku tidak menyesal bahwa engkau
menolak cintaku. Memang sekarang tidak perlu lagi bicara tentang itu karena
kita telah menjadi saudara tiri."
"Apa
maksudmu?"
"Aihh,
apakah engkau belum tahu? Ibuku kini telah berada di Pulau Es, menjadi isteri
ayahmu. Mereka bertiga di Pulau Es. Ayahmu dan ibumu, juga ibuku yang sekarang
menjadi isteri Pendekar Super Sakti. Dengan demikian, bukankah kita ini adalah
saudara-saudara tiri? Karena itu, engkau harus dapat memaafkan aku, Milana.
Ketahuilah, cintaku kepadamu telah menjadi cinta seorang kakak, dan aku sungguh
tidak rela membiarkan engkau adikku dipermainkan dan dihina oleh seorang
manusia busuk seperti Gak Bun Beng!"
"Engkau
tahu akan hal itu?"
"Tentu
saja! Apa aku buta? Aku tahu betapa di Pulau Neraka dia mempermainkan Kwi Hong,
dia hampir pula menyeretmu. Dan ketika aku melakukan perjalanan, banyak aku
mendengar akan perbuatannya yang keji. Bahkan aku mendengar pula betapa kemarin
engkau bersama dua orang nona menyerangnya tanpa hasil."
"Aku
telah melukai dadanya!"
"Aku
pun tahu akan hal itu, karena aku tahu di mana dia sekarang bersembunyi."
"Apa?!
Kau tahu? Di mana?"
"Karena
itu pulalah aku datang ke sini, Milana. Pertama, untuk menemuimu dan kedua
untuk mengajakmu bersama-sama mengepung dan membunuh Bun Beng Si Laknat itu.
Kau jangan khawatir, ini adalah seorang sahabat baikku yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Dia sudah berjanji untuk membantu kita menghadapi Bun
Beng."
"Siancai...!"
Si Kakek Muka Buruk itu menjura, "Biar pun masih muda, Gak Bun Beng telah
melakukan banyak kejahatan dan penghinaan kepada para wanita. Dia pantas
dibasmi. Harap Nona tidak khawatir, lohu (aku si tua) Koai-san-jin (Kakek
Gunung Aneh) akan membantumu menghadapi orang jahat."
Milana menjadi
girang. Dia memang maklum bahwa biar pun dibantu Siok Bi dan Kim Bwee, dia
tidak akan mampu mengalahkan Bun Beng. Akan tetapi kalau dibantu oleh Keng In
yang kepandaiannya jauh melebihinya, apa lagi ada bantuan kakek yang seperti
setan ini, agaknya Bun Beng yang jahat itu akan dapat dikalahkan.
"Baiklah,
Wan Keng In. Aku percaya kepadamu dan betapa pun juga, memang ibumu adalah adik
angkat ayahku dan kalau benar sekarang menjadi isteri ayahku, berarti kita jadi
saudara. Tunggu sebentar, aku akan memanggil Siok Bi dan Kim Bwee."
Tak lama
kemudian, Milana keluar lagi bersama Siok Bi, Kim Bwee, dan Sai-cu Lo-mo yang
digotong empat orang anak buahnya. Milana segera memperkenalkan Keng In dan
Koai-san-jin kepada dua orang gadis itu dan Ketua Tiong-gi-pang. Karena Keng In
seorang pemuda tampan yang pandai bersikap halus dan ramah, dua orang dara itu
tersipu malu dan merasa suka dan percaya kepada Keng In. Akan tetapi Siok Bi
memandang dengan lirikan tajam karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan
pemuda ini.
"Kalau
tidak salah, kita pernah saling berjumpa, Wan-enghiong," akhirnya dia
berkata meragu.
Keng In
mengangkat kedua alisnya. "Aihhh, sungguh saya kurang beruntung tidak
pernah bertemu dengan Nona sebelumnya. Baru sekali ini kita saling bertemu.
Saya kira Nona berjumpa dengan orang lain."
"Maaf,
saya telah lupa lagi." Siok Bi berkata sambil menunduk. Tentu dia yang
salah lihat, dan setelah dia ingat-ingat lagi, memang agaknya belum pernah dia
bertemu dengan pemuda tampan yang berpakaian indah dan bersikap halus ini.
Sai-cu Lo-mo
memandang mereka dengan mata bersinar tajam. Setelah berkenalan dan menuturkan
niat mereka menyerbu Gak Bun Beng yang tempat sembunyinya telah diketahui oleh
Keng In, kakek itu berkata, "Sekali ini aku akan ikut sendiri, Nona
Milana. Aku ingin melihat cucu keponakan yang murtad itu tewas menerima hukuman
akibat perbuatannya."
Kakek lumpuh
ini meloncat turun dari atas papan, kemudian ikut pergi bersama rombongan itu
dengan cara berloncatan menggunakan kedua tangannya. Biar pun dia bergerak
secara itu, namun gerakannya cukup cepat.
"Ahhh,
Pangcu. Tak mungkin saya melihat Pangcu bergerak seperti itu. Pangcu sudah tua
dan saya seorang pemuda, marilah Pangcu saya gendong saja."
Tanpa
menanti jawaban, Keng In lalu menggendong tubuh Sai-cu Lo-mo, dan biar pun dia
menggendong tubuh kakek ini, tetap saja Siok Bi dan Kim Bwee yang merasa makin
kagum itu harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat lari mendampingi
Milana, Keng In, dan Koai-san-jin.
Di puncak
bukit, di sebuah goa yang menghadap jurang yang amat dalam, Bun Beng duduk
bersila. Luka di dadanya sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan
dengan luka hatinya. Berulang-ulang dia menarik napas panjang. Dia dapat
menduga bahwa tiga orang gadis itu membenci dan mendendam kepadanya bukan tanpa
dasar dan dia tidak dapat menyalahkan mereka.
Bun Beng
tahu bahwa Kim Bwee diperkosa orang yang menggunakan namanya. Dan mungkin
sekali Siok Bi mengalami hal yang sama dengan Kim Bwee. Akan tetapi apa yang
terjadi dengan diri Milana? Terlampau ngeri baginya untuk membayangkan apa yang
terjadi dengan diri dara yang dicintainya itu. Apa yang harus dilakukannya
sekarang? Jelas bahwa ada orang yang sengaja merusak namanya di depan
gadis-gadis terutama Milana. Ada yang berusaha dengan jalan terkutuk, agar dia
dibenci oleh Milana!
Semalam
penuh dia tidak dapat tidur, diganggu oleh perasaan yang tertindih. Dia telah
ditunangkan dengan Milana, telah diberi tugas untuk mencari Milana, Kwi Hong
dan Keng In. Sekarang begitu berjumpa dengan Milana, dia telah dimusuhi dan
hendak dibunuh. Milana tidak main-main, jelas berniat membunuhnya! Betapa tega
hati dara itu kepadanya. Bun Beng merasa berduka sekali dan dia meragukan
apakah benar Milana mencintanya! Apa artinya cinta? Kalau benar Milana dahulu
itu mencintanya, mengapa kini dapat berubah menjadi benci? Andai kata benar dia
melakukan kesalahan, apakah kesalahan ini dapat merubah cinta seorang menjadi
benci? Kalau begitu, apa bedanya cinta dengan benci?
Bun Beng
termenung kosong, memandang ke arah awan yang tergantung di depan kakinya di
atas jurang yang curam itu. Sekarang pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang
cinta! Mulai dia mengingat-ingat dan mencari-cari.
Bagi manusia
umumnya, cinta telah dibagi-bagi menjadi beberapa macam! Cinta antara pria dan
wanita, cinta antara anak dan orang tua, cinta antara sahabat, dan cinta antara
manusia dengan Tuhannya! Adakah cinta yang sudah dibagi-bagi ini benar-benar
cinta?
Seorang
wanita, seperti Milana, menyatakan cinta kepada seorang pria seperti dia, akan
tetapi cinta itu hidup selama dia dianggap baik. Sekali dia dianggap buruk,
cinta itu berubah menjadi benci! Apakah ini benar cinta? Aku cinta padamu, akan
tetapi kau pun harus cinta kepadaku! Aku cinta kepadamu, akan tetapi kau harus
baik dan menyenangkan hatiku! Kalau kau tidak cinta kepadaku dan lari kepada
orang lain, kalau kau tidak baik dan tidak menyenangkan hatiku, cintaku hilang
berubah benci! Cintakah ini, ataukah hanya jual beli seperti benda yang
diperjual belikan di pasar?
Orang tua
mencinta anak kalau anak itu menurut, kalau anak itu berbakti, pendeknya jika
anak itu menyenangkan hati orang tuanya. Jika tidak? Kalau Si Anak pemberontak,
put-hauw (tidak berbakti), murtad dan tidak menyenangkan hatinya, akan tetapkah
cintanya? Atau menjadi marah-marah dan anaknya dikutuk? Cintakah kalau sudah
begini? Demikian pula dengan cinta sahabat. Kalau Si Sahabat menyenangkannya,
menguntungkannya, baru cinta. Bagaimana kalau sababat itu tidak
menyenangkannya, merugikannya? Masih adakah cinta itu? Sama saja. Ini cinta
pasar, cinta jual beli, baru cinta kalau ‘ada apa-apanya’, ada tebusannya, ada
imbalannya!
Bagaimana
dengan cinta manusia kepada Tuhannya? Adakah ini baru cinta yang sejati? Kita
bersembahyang, mohon berkah, mohon ampun, mohon bimbingan, mohon perlindungan?
Segala macam permohonan atau permintaan ini, segala macam tuntunan ini!
Cintakah itu? Betul-betulkah hati kita penuh dengan cahaya cinta kasih di saat
kita bersembahyang kepada Tuhan? Betul-betulkah kita teringat dengan penuh
kasih kepada Tuhan, ataukah kita hanya ingat kepada kebutuhan sendiri akan
berkah, akan pengampunan, dan lain-lain itu? Kita mencinta Tuhan hanya karena
ingin imbalannya, yaitu berkah, pengampunan, dan lain-lain. Adakah ini Tuhan
yang kita sembah, ataukah berkah-Nya yang kita harap?
Bun Beng
termenung dan pada saat seperti itu, pandang matanya seolah-olah menjadi
terbuka dan jelas tampak olehnya segala kepalsuan manusia. Kepalsuan yang
ditutup oleh tabir kebudayaan, peradaban, kesopanan, hukum dan lain-lain. Semua
yang indah-indah dalam hidup manusia itu hanyalah keindahan yang menyelubungi
hasrat tersembunyi, yaitu nafsu mementingkan Si Aku masing-masing! Apa pun yang
dilakukan manusia, selalu didasari oleh pusat ini, oleh Si Aku ini. Betapa
menyedihkan kenyataan ini.
Teringatlah
Bun Beng akan semua pengalamannya, akan pertemuannya dengan Pendekar Super
Sakti, akan keadaan pendekar sakti itu bersama dua orang wanita yang juga
terlibat dalam cengkeraman apa yang mereka sebut cinta dengan pendekar itu.
Teringat
pula dia akan Bu-tek Siauw-jin. Cinta telah menimbulkan banyak peristiwa yang
ganjil, menimbulkan pertentangan, kesengsaraan dan ketakutan. Benarkah cinta
semua itu kalau menimbulkan kesengsaraan, pertentangan, ketakutan dan
kebencian? Ataukah sesungguhnya hanya nafsu mementingkan diri pribadi dalam
mengejar kesenangan, kenikmatan dan kepuasan belaka yang oleh kita semua
disebut cinta kasih? Karena hanya nafsu mementingkan diri pribadi sajalah yang
akan mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Kalau benar cinta, tidak
mungkin mendatangkan kesengsaraan karena cinta adalah keindahan, kebenaran,
kesucian, kekekalan!
"Gak
Bun Beng manusia busuk, bersiaplah untuk menerima hukumanmu!" Tiba-tiba
terdengar suara bentakan nyaring sekali.
Bun Beng
membuka matanya dan mengangkat muka memandang. Kiranya di tempat itu telah
muncul tiga orang gadis dan tiga orang laki-laki yang semua telah memegang
senjata, kecuali kakek lumpuh yang dia kenal sebagai kakek yang mengaku paman
kakeknya, Sai-cu Lo-mo, bekas pembantu ibu Milana! Tiga orang dara itu bukan
lain adalah Milana, Ang Siok Bi, dan Lu Kim Bwee yang mengeroyok kemarin. Dia
terkejut dan cepat meloncat bangun ketika melihat Wan Keng In bersama mereka,
dan seorang kakek yang mukanya mengerikan, muka yang rusak dan pakaiannya
seperti pendeta.
"Milana,
apa artinya ini...?" Bun Beng berdiri tegak, memandang dara itu dengan
sinar mata penuh duka dan bimbang.
"Manusia
busuk, tidak perlu banyak cakap lagi!" Milana berseru dan pedangnya sudah
digerakkan menusuk dada Gak Bun Beng yang cepat mengelak sambil meloncat ke
kiri.
"Sing-sing-singgg...!"
Pedang di tangan Siok Bi dan Kim Bwee menyambar, disusul dengan kilatan pedang
Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In.
"Tranggg...!"
Bun Beng
terpaksa menangkis ketika melihat Pedang Iblis Lam-mo-kiam menyambar demikian
dahsyatnya. Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Hok-mo-kiam
bertemu dengan Lam-mo-kiam, dan Wan Keng In merasa betapa tangannya tergetar
hebat. Ia menjadi marah sekali dan cepat ia menyerang dengan dahsyatnya, kini
dibantu oleh Koai-san-jin yang sudah menggerakkan tongkatnya,
"Singgg...
wirrr... siuuuttt!"
Bun Beng
terkejut bukan main. Dia sudah mengenal kelihaian Wan Keng In dan keampuhan
pedang Lam-mo-kiam, akan tetapi kiranya tongkat di tangan kakek itu tidak kalah
dahsyatnya! Kakek bermuka rusak itu ternyata memiliki sinkang yang amat kuat,
dan tongkat berkepala naga menyambar dengan tenaga yang dapat menghancurkan
batu karang.
Maklumlah
dia bahwa dua orang lawan ini, Wan Keng In dan Si Kakek Muka Buruk, merupakan
dua orang lawan yang amat lihai dan yang harus dihadapinya dengan hati-hati.
Sedangkan tiga orang dara itu, terutama sekali Siok Bi dan Kim Bwee, menyerang
dengan nekat seperti orang-orang yang sudah siap untuk membunuh atau dibunuh!
Betapa pun
juga, hanya Milana seorang yang membuat dia bingung dan tidak dapat melawan
dengan baik. Keroyokan mereka itu sebenarnya masih dapat dihadapinya dan bahkan
dia merasa masih sanggup meloloskan diri atau memperoleh kemenangan biar pun
Wan Keng In dan pendeta muka buruk itu lihai bukan main. Akan tetapi adanya
Milana di situ yang ikut mengeroyok benar-benar membuat dia bingung dan gugup.
Dia
menggunakan Hok-mo-kiam, akan tetapi dia selalu menjaga agar pedangnya itu
jangan sampai menangkis pedang Milana, apa lagi menyerang dara itu. Dia hanya
menggunakan pedangnya untuk menjaga diri dari sambaran Lam-mo-kiam dan membalas
hanya kepada Keng In dan Si Pendeta Muka Buruk. Dia pun tidak mau menyerang
Siok Bi dan Kim Bwee karena maklum bahwa kedua orang dara ini pun hanya menjadi
korban orang jahat yang menyamar sebagai dia.
"Milana,
dengar dulu keteranganku! Nona Siok Bi dan Nona Kim Bwee, aku tidak
bersalah...!"
"Manusia
hina!" Milana memaki dan pedangnya sudah menerjang dengan hebatnya.
Karena Bun
Beng tidak menggunakan Hok-mo-kiam menangkis, pedangnya itu sibuk menangkis
serangan Lam-mo-kiam dan tongkat kakek muka buruk, maka elakannya masih belum
cukup menghindarkan diri dan kembali pedang di tangan Milana telah berhasil
melukai paha kirinya sehingga celana dan kulit pahanya robek dan berdarah.
"Gak
Bun Beng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cerewet lagi!"
Wan Keng In mengejek dan Lam-mo-kiam di tangannya menyambar dahsyat, dengan
bertubi-tubi menusuk dada dan membabat leher sedangkan dari belakang Bun Beng,
tongkat kakek muka buruk menyambar ganas menyerang kedua kaki dan perut pemuda
itu.
"Wan
Keng In... aku ada pesanan dari ibumu..."
"Wuuuuttt...
singgg... tranggg!" Pedang Hok-mo-kiam sekali lagi membentur Lam-mo-kiam
sampai hampir saja tubuh Keng In terpelanting.
"Desssss!"
Tongkat kepala naga itu berhasil menggebuk pinggang Bun Beng dari belakang.
Biar pun Bun
Beng sudah kebal tubuhnya oleh sinkang gabungan yang dia terima dari Pendekar
Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, namun hantaman itu hebat bukan main sehingga
Bun Beng muntahkan darah segar dari mulutnya. Hal ini bukan berarti bahwa dia
terluka hebat karena sinkang yang mukjizat telah melindungi bagian dalam
tubuhnya. Dia memutar tubuh dan membabatkan pedang Hok-mo-kiam, akan tetapi
terpaksa menarik kembali pedangnya itu karena melihat Milana sudah bergerak
menyerangnya sehingga kalau pedangnya dia lanjutkan, tentu dia akan merusak
pedang Milana!
Kembali dia
dikepung dengan ketat oleh lima orang itu yang seolah-olah telah berubah
menjadi iblis-iblis yang haus darah! Diam-diam Bun Beng mengeluh. Dua orang
itu, Wan Keng In dan Si Kakek Muka Buruk, terlampau lihai untuk ditandingi
dengan setengah hati. Akan tetapi untuk melawan sungguh-sungguh, gerakannya
terbatas oleh adanya Milana di situ dan dua orang gadis yang ikut
mengeroyoknya. Kalau saja di situ tidak ada Wan Keng In dan Si Kakek Aneh,
tentu ia dapat meloloskan diri, namun Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam bukan main
dahsyatnya, ditambah kakek yang menggerakkan tongkatnya secara lihai sekali.
Sai-cu Lo-mo
duduk di dekat goa dan menonton dengan alis berkerut dan muka kelihatan berduka
sekali. Dia masih hampir tidak dapat percaya bahwa pemuda itu telah berubah
menjadi seorang jai-hwa-cat yang hina, akan tetapi saksi-saksinya banyak. Tidak
mungkin dua orang dara itu membohong, apa lagi Milana! Hatinya seperti
diremas-remas dan melihat jalannya pertandingan, hatinya makin perih lagi
karena dia maklum bahwa Bun Beng akan celaka hanya karena pemuda itu tidak mau
melukai Milana dan dua orang gadis lain sehingga membuat gerakannya kacau dan
terbatas, sedangkan Wan Keng In dan kakek muka buruk itu gerakannya demikian
hebat.
Dugaan
Sai-cu Lo-mo memang benar. Beberapa kali Bun Beng terpaksa menerima tusukan
pedang Milana dan dua orang gadis sehingga pakaiannya sudah penuh dengan
darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, lima orang pengeroyok itu menjadi makin
ganas dan suatu saat, lima buah senjata mereka menyambar secara ber-bareng!
"Haiiiihhhh...!"
Suara
melengking dari mulut Bun Beng ini membuat Siok Bi dan Kim Bwee terpelanting
dan pedang Hok-mo-kiam berhasil menangkis Lam-mo-kiam dan membabat buntung
tongkat kepala naga, akan tetapi kembali pedang Milana berhasil membacok
pangkal lengannya di bahu kanan, membuat lengan kanannya setengah lumpuh dan
tubuh Bun Beng terhuyung ke belakang!
"Mampuslah!"
Keng In berteriak girang dan menerjang maju, menggerakkan Lam-mo-kiam membacok.
"Cringgg...!"
Bunga api
berpijar dan Keng In meloncat mundur dengan kaget karena ada pedang lain yang
sanggup menangkis pedang Lam-mo-kiam. Ternyata Kwi Hong sudah berdiri di situ
dengan pedang Li-mo-kiam di tangan! Pantas saja pedang itu kuat menangkis
Lam-mo-kiam, karena pedang itu adalah Pedang Iblis Betina yang sama ampuhnya
dengan Pedang Iblis Jantan!
"Wan
Keng In manusia keparat! Milana dengarlah... Gak Bun Beng tidak
bersalah..."
"Giam
Kwi Hong! Tentu saja engkau membela dia setelah engkau jadi kekasihnya!"
Milana berteriak penuh kemarahan.
"Ha-ha-ha,
benar-benar pasangan yang amat cocok! Bun Beng adalah anak haram dari Si Datuk
sesat Gak Liat, sedangkan Giam Kwi Hong adalah anak haram dari Si Perwira hina
Giam Cu yang telah menjadi gila. Ha-ha-ha, keduanya anak haram, tentu saja
saling membela apa lagi setelah menjadi kekasih gelap!"
"Keng
In, mulutmu jahat!" Kwi Hong berteriak dan dengan Li-mo-kiam di tangan dia
menyerang Wan Keng In.
Pemuda Pulau
Neraka ini cepat menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia maklum bahwa
gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Segera mereka bertanding,
tetapi Kwi Hong terdesak ketika kakek muka buruk sudah maju membantu Keng In.
Milana dan
dua orang gadis yang merasa sakit hati kepada Bun Beng telah menerjang Bun Beng
yang kini duduk bersila di atas tanah. Serangan-serangan mereka itu dia sambut
dengan secara terpaksa menggunakan Hok-mo-kiam.
"Trakk!
Trakkk!"
Pedang di
tangan Siok Bi dan Kim Bwee patah-patah, hanya pedang Milana yang belum beradu
dengan Hok-mo-kiam sehingga tidak rusak. Namun Siok Bi dan Kim Bwee yang sudah
nekat itu terus menerjang dengan kepalan mereka! Terpaksa Bun Beng menangkis
dengan lengan kirinya, membalikkan pedangnya agar tidak melukai dua orang dara
itu, dan dalam menangkis pun dia tidak mengerahkan tenaga sehingga tidak sampai
melukai lengan kedua orang gadis itu. Milana masih berusaha untuk menyerang
dengan pedang, akan tetapi melihat betapa dua orang gadis itu mengeroyok Bun
Beng sedemikian nekat sehingga ada bahaya pedangnya mengenai tubuh mereka
sendiri, dia lalu membalik dan membantu Wan Keng In mengeroyok Kwi Hong!
Kwi Hong
sudah terluka oleh pedang Keng In dan tongkat kakek muka buruk, namun dia masih
membela diri mati-matian. Kini Milana maju, dan gadis ini juga amat lihai, maka
tentu saja Kwi Hong menjadi makin payah dan dia hanya dapat menangkis sambil
mundur terus, tanpa disadarinya bahwa dia mundur ke arah jurang yang berhadapan
dengan goa.
"Kwi
Hong... hati-hati belakangmu... !" Bun Beng berteriak, akan tetapi
terlambat.
Tubuh Kwi
Hong tergelincir ke belakang dan terdengar dara itu menjerit mengerikan ketika
tubuhnya terjengkang dan lenyap ke dalam jurang.
"Kwi
Hong...!" Tubuh Bun Beng mencelat dengan kecepatan yang luar biasa, dan
tahu-tahu pemuda ini pun sudah meloncat ke dalam jurang, menyusul Kwi Hong!
Milana
terbelalak, dan semua orang menahan napas. Keng In dan kakek muka buruk
menghampiri pinggir jurang dan menjenguk ke bawah. Hati Keng In puas sekali
karena melihat jurang itu merupakan jurang yang dalamnya tak dapat diukur,
bahkan tidak nampak dari bawah karena tertutup awan dan halimun!
"Mereka
tentu hancur di bawah sana," kakek muka buruk berkata dengan suaranya yang
agak pelo.
Milana
memejamkan matanya yang terasa panas. Di dalam hatinya timbul dua perasaan,
perasaan cemburu dan juga perasaan duka. Perbuatan terakhir dari Bun Beng
benar-benar menyakitkan hatinya. Dalam saat terakhir pun Bun Beng membuktikan
cinta kasihnya kepada Kwi Hong sehingga rela mati bersama gadis itu meloncat ke
dalam jurang!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment