Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 23
Mereka tidak
memikirkan apa-apa lagi. Mereka hendak melepaskan rindu selama belasan tahun
itu, melepaskan dahaga dengan menghirup madu cinta kasih di antara mereka
sekenyang dan sepuas mungkin.
Pemuda itu
berjalan cepat sekali. Wajahnya berseri dan bibirnya sering kali tersenyum
menandakan keriangan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh bahagia.
Betapa hatinya tidak akan merasa bangga, bahagia dan riang setelah kini secara
resmi dia diterima oleh Pendekar Super Sakti dan isterinya sebagai calon mantu!
Dia malah diberi tugas oleh suami isteri itu untuk mencari Milana! Kekasih
hatinya! Calon isterinya!
Tersenyum
dia membayangkan betapa dara itu akan menjadi merah mukanya, menjadi malu-malu
kalau dia nanti menceritakan tentang pertunangan mereka! Dan yang lebih dari
pada segala yang menyenangkan hatinya adalah kalau dia mengingat akan
pertemuannya dengan Milana yang terakhir kalinya, di mana dara itu dengan jelas
membayangkan bahwa Milana pun membalas cinta kasihnya!
Tadinya
kebahagiaan karena dara itu membalas cintanya masih diliputi awan keraguan
kalau-kalau ayah bunda dara itu tidak menyetujui. Akan tetapi sekarang setelah
kedua orang tua itu menyatakan setuju, biar pun belum disahkan, dunia
seolah-olah berubah bagi pandang mata Bun Beng! Sinar matahari menjadi lebih
cemerlang. Tumbuh-tumbuhan menjadi lebih segar. Segala yang dipandangnya, yang
didengarnya, menjadi lebih indah menyenangkan.
Bun Beng
mempercepat gerakan lari kakinya. Kota raja tidak jauh lagi. Setelah keluar
dari hutan besar yang terakhir di sebelah utara kota raja ini, dinding yang
mengelilingi kota raja sudah akan tampak. Heran sekali dia, mengapa sebelum ini
dia tidak melihat keindahan hutan besar ini?
Daun-daun
kering yang memenuhi tempat itu, yang terinjak oleh kakinya terasa lunak,
biasanya tampak buruk, sekarang menimbulkan perasaan senang melihatnya, begitu
rapi bertumpuk di atas tanah, seperti diatur saja. Dan seolah-olah sengaja
disebar untuk menjadi permadani yang lunak halus bagi kedua kakinya. Dan
baunya! Daun-daun yang sudah membusuk, menjadi sampah, bukankah biasanya
mendatangkan bau tidak enak? Sekarang kalau dia mencium, terciumlah bau
daun-daun busuk itu, akan tetapi sama sekali tidak busuk baunya, bahkan ada
kesedapan yang khas! Jelaslah kini olehnya bahwa segala yang disebut indah atau
buruk, enak atau tidak, semua tergantung dari keadaan hati seseorang!
Pendapat
seperti yang dialami Bun Beng itu menjadi pendapat umum. Akan tetapi selama
orang memandang atau mendengar sesuatu dengan penilaian akan baik buruknya yang
dipandang atau didengar itu, maka seluruhnya tergantung dari keadaan pikiran
dan hati. Karena itu, kita selalu diombang-ambingkan antara suka dan duka, puas
dan kecewa dan kalau dihitung dan dijumlah, jauh lebih banyak dukanya dari pada
sukanya, lebih banyak kecewanya dari pada puasnya.
Kalau saja
kita dapat melepaskan diri dari pengaruh pikiran! Kalau saja kita dapat
terbebas dari keinginan, dari pengejaran akan sesuatu yang tidak ada pada kita!
Kalau kita terbebas dari rasa khawatir akan kehilangan yang kita senangi dan
terbebas dari rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi! Kalau demikian
halnya, agaknya hidup ini tidaklah seperti yang kita alami sekarang ini di mana
terdapat penuh pertentangan, penuh persoalan benar atau salah, penuh dengki dan
iri hati, penuh benci, dan penuh dengan apa yang kita sebut kesengsaraan lahir
mau pun batin!
Gak Bun Beng
yang sekarang telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa berkat
gemblengan terakhir yang dilakukan bersama oleh Pendekar Super Sakti dan Kakek
Bu-tek Siauw-jin, berlari seperti terbang cepatnya dan sebentar saja dia telah
keluar dari dalam hutan lebat itu. Sejenak dia berhenti untuk memandang tembok
yang megah, yang mengelilingi kota raja sehingga dari jauh kelihatan seperti
sebuah benteng yang kokoh kuat.
Tiba-tiba
pandang matanya tertarik akan sesuatu yang bergerak tak jauh di sebelah depan,
di lereng pegunungan sebelah bawah. Seorang manusia! Dan jalannya tidak wajar
karena seperti terhuyung-huyung. Bun Beng segera meloncat ke depan dan berlari
cepat menuju ke arah orang yang terhuyung-huyung itu.
Orang itu
roboh terguling dan mengeluh ketika Bun Beng tiba di sebelah belakangnya. Bun
Beng cepat berlutut dan mengangkat tubuh bagian atas laki-laki setegah tua itu.
Beberapa buah luka yang cukup hebat memenuhi tubuhnya, pakaiannya robek-robek
dan berlepotan darah. Keadaan laki-laki itu payah sekali, napasnya empas-empis.
"Kau
kenapa, Paman? Siapa yang menyiksamu seperti ini?" Bun Beng bertanya.
Orang itu
membuka matanya, akan tetapi pandang matanya seperti orang lamur, manik matanya
tidak bercahaya lagi, seperti api yang hampir padam. Mulutnya bergerak,
"Semua tewas... aughh... mereka dari Pulau Neraka... celaka sekali... cucu
Sri Baginda mereka bawa..."
"Apa?!
Milana? Paman, jawablah! Apakah Milana yang mereka bawa?"
"Cucu
Sri Baginda... puteri Panglima Nirahai... diculik pemuda Pulau Neraka
dan..." Kepala itu terkulai.
"Ke
mana, Paman? Dibawa ke mana dia?" Bun Beng bertanya mengguncang-guncang
tubuh yang telah lemas itu. Namun tiada jawaban. Bagaimana mayat dapat
menjawab?
Bun Beng
menghela napas panjang, dan pandang matanya yang tadinya penuh kebahagiaan kini
berubah sama sekali. Penuh kekhawatiran dan kemarahan! Dia tidak mengenal orang
ini, betapa pun juga, orang ini telah berjasa kepadanya, menceritakan sesuatu
tentang Milana, sungguh pun ceritanya amat tidak menyenangkan. Maka dia segera
menggali lubang dan mengubur jenazah orang tak dikenal itu. Semua ini
dilakukannya dengan cepat dan segera dia berlari sekencangnya memasuki kota
raja untuk mencari berita.
Berita itu
mudah didengarnya. Semua orang tahu belaka bahwa cucu Kaisar, puteri Panglima
Wanita Nirahai yang amat terkenal, telah diculik dan dilarikan orang. Menurut
beritanya itu, penculiknya adalah seorang pemuda tampan bersama seorang kakek
yang seperti mayat.
"Hmmm,
siapa lagi kalau bukan Wan Keng In?" Pikir Bun Beng dengan hati panas dan
kemarahan berkobar seperti api membuat mukanya kemerahan dan pandang matanya
ganas.
Setelah
merasa yakin bahwa yang menculik kekasihnya adalah pemuda Pulau Neraka itu, Bun
Beng segera meninggalkan kota raja. Menurut kabar, Kaisar sendiri sudah
mengerahkan para pengawal yang berilmu untuk mencari cucunya, bahkan ada berita
bahwa Kaisar mengundang Pendekar Super Sakti untuk mengembalikan dara yang
diculik orang itu, dengan janji pengampunan bagi pendekar yang tadinya dianggap
seorang pemberontak dan buruan itu! Akan tetapi, Bun Beng maklum bahwa tak
mungkin dia bisa mendapatkan keterangan di kota raja ke mana larinya Wan Keng
In yang menculik kekasihnya.
Setelah
memutar otaknya, akhirnya Bun Beng menduga bahwa kemungkinan besar pemuda Pulau
Neraka itu membawa kekasihnya ke Pulau Neraka! Atau setidaknya tentu pemuda
iblis itu berkeliaran di utara, di sepanjang pantai. Hatinya menjadi sakit
sekali, penuh kecemasan akan keselamatan kekasihnya. Ia khawatir kalau-kalau
dia terlambat menolong kekasihnya.
"Aihhh!
Mengapa aku begini lemah?" Dia mencela diri sendiri. "Terlambat atau
tidak, bagaimana nanti keadaannya sajalah. Yang terpenting, aku harus
mencarinya sampai dapat!"
Pikiran ini
agak meredakan gelombang kecemasan yang melanda hatinya dan mulailah dia
melakukan perjalanan ke utara kembali, tidak berani melakukan cepat karena dia
harus melakukan penyelidikan, bertanya-tanya di sepanjang jalan. Dia menganggap
bahwa orang yang terluka dan tewas ketika bertemu dengannya itu merupakan jejak
terakhir dari Milana, dia lalu mengambil jalan yang ditempuh orang itu, dari
tempat dia bertemu orang itu lalu terus ke utara.
Di sepanjang
perjalanan Bun Beng bertanya-tanya dan untuk mencegah timbulnya kecurigaan,
maka dia bersikap bersahaja. Pakaiannya memang selalu sederhana, dan kini dia
selalu memakai sebuah caping bundar yang pinggirannya lebar, sedangkan pedang
Hok-mo-kiam tidak pernah tampak dari luar karena dia sembunyikan di balik
jubahnya. Dalam penyelidikannya, secara sambil lalu dia bertanya tentang
seorang nona muda yang cantik dengan gelung tinggi ke atas kepala, seorang
pemuda tampan yang mukanya pucat dan pakaiannya mewah, dan seorang kakek yang
kurus seperti mayat. Dia tidak mau menyebut nama-nama.
Biar pun
agak sulit baginya untuk memperoleh keterangan yang jelas, kecuali beberapa
orang yang menuturkan kepadanya pernah melihat tiga orang itu, ada pula yang
melihat serombongan orang-orang gagah naik kuda menuju ke utara, bagi Bun Beng
sudah cukup untuk mengikuti jejak para penculik yang membawa pergi kekasihnya.
Tepat seperti dugaannya, Milana dibawa ke utara!
Akhirnya
pada suatu pagi, dia tiba di tempat bekas pertempuran dan melihat banyak mayat
manusia berserakan dan sebagian sudah menjadi kerangka. Hatinya penuh dengan
bermacam perasaan. Ada rasa girang karena dia kini yakin bahwa di sinilah
terjadinya perang dan di sini pula agaknya orang yang bercerita tentang Milana
itu terluka. Tentu dia seorang di antara pengawal utusan Kaisar yang mengejar
para penculik!
Ada rasa
ngeri menyaksikan betapa di tempat ini telah terjadi penyembelihan manusia yang
agaknya dilakukan oleh Wan Keng In dan kakek seperti mayat! Atau mungkin juga
ada anak buah Pulau Neraka, karena melihat luka-luka yang diderita oleh orang
yang dijumpainya itu, hanyalah luka-luka akibat senjata tajam, sedangkan kalau
Wan Keng In sendiri yang turun tangan, apa lagi menggunakan Lam-mo-kiam yang
dirampas pemuda Pulau Neraka itu, tentu tidak memungkinkan orang itu hidup
lebih lama lagi.
Ada pula
rasa yang makin menghebat, yaitu rasa khawatir. Setelah yakin bahwa Wan Keng In
yang menculik Milana, dia merasa khawatir sekali. Kalau penculiknya orang lain,
agaknya Milana akan mampu menjaga diri karena dia tahu bahwa kekasihnya itu
adalah seorang dara yang memiliki kepandaian tinggi dan sukar ditandingi orang.
Tapi terhadap Wan Keng In, agaknya kekasihnya itu tidak akan berdaya
mempertahankan keselamatannya!
Dengan hati
tak karuan, Bun Beng cepat melanjutkan perjalanannya ke utara. Setelah matahari
condong ke barat, tibalah dia di kaki gunung dan dari tempat dia turun sudah
tampak sebuah telaga kecil yang airnya jernih kebiruan. Timbul keinginannya
untuk menyegarkan tubuhnya yang lelah, mandi di telaga itu. Maka ke sanalah dia
menuju.
Ketika tiba
dekat telaga mendadak dia berhenti. Di tepi telaga terdapat serombongan orang
terdiri dari dua belas orang dan di antaranya ada yang membawa bendera,
berhadapan dengan seorang lelaki muda dan agaknya mereka itu sedang bercekcok.
Bun Beng merasa tertarik hatinya, akan tetapi karena dia tidak tahu urusannya
dan tidak mau dianggap lancang mencampuri urusan orang lain, dia menyelinap
dekat dan diam-diam dia menonton sambil mendengarkan percekcokan mereka. Tanpa
sengaja dia mendekati tumpukan batu gunung yang menyembunyikan sebagian air
telaga dan mendengar suara air.
Ketika dia
menoleh, Bun Beng terbelalak dan seketika mukanya menjadi merah sekali. Betapa
jantungnya tidak akan berdebar tegang dan mukanya tidak akan menjadi merah
sekali kalau dia melihat seorang wanita muda dan cantik sedang merendam tubuh
yang mulus dan polos di dalam air telaga? Cepat dia membuang muka dan agak
menjauhi tempat itu, bersembunyi di belakang batu gunung dekat telaga, lalu
mengintai ke arah laki-laki muda berpakaian sederhana yang berhadapan dengan
para piauwsu (pengawal barang) itu.
"Cuwi-piauwsu
(para pengawal sekalian) hendaknya jangan mempersalahkan aku saja!"
Terdengar laki-laki muda itu membantah dengan suara keras. "Aku bukanlah
seorang tukang pukul yang sembarangan memukul orang. Kalau sampai kongcu (tuan
muda) tadi kupukuli, tentu ada sebab tertentu yang memaksa aku."
"Hemm,
kalau memang ada sebabnya, mengapa engkau tidak menceritakan kepada kami?
Apakah sebabnya?" tanya kepala piauwsu, seorang laki-laki berusia lima
puluh tahun lebih yang bertubuh tegap dan bersikap angker.
"Sebabnya
tak dapat kuceritakan kepada orang lain!" jawab orang muda itu.
Kakek yang
memimpin pengawal angkutan itu memandang tajam, suaranya terdengar tegas,
"Orang muda, jangan kau main-main dengan kami! Chi-kongcu adalah putera
Tihu dari Kang-ciu dan kami yang mengawalnya bersama barang-barangnya adalah
para pengurus Eng-jiauw-piauwkiok (Ekspedisi Cakar Garuda), anak murid
Bu-tong-pai. Lebih baik kau berterus terang agar kami mempertimbangkan."
Wajah orang
muda itu kelihatan bimbang. Kemudian dengan suara terpaksa ia berkata,
"Baiklah, biar Cu-wi mengetahui betapa kotor perbuatan kongcu yang Cu-wi
kawal itu. Isteriku sedang mandi di telaga seorang diri, lalu datang kongcu itu
menggodanya. Melihat ini, tentu saja aku tidak dapat membiarkannya saja dan
memberi hajaran. Nah, bukankah hal itu sudah pantas kulakukan?"
Para piauwsu
itu mengerutkan alis. Mereka adalah orang-orang gagah yang tentu saja merasa
tidak senang mendengar perbuatan kongcu itu, sungguh pun di dalam hati, semua
pria itu tidak merasa heran akan perbuatan itu.
"Sampai
sejauh manakah perbuatannya maka engkau memukulinya hingga mukanya
bengkak-bengkak dan berdarah?" tanya piauwsu tertua.
Tentu saja
dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan putera bangsawan yang dikawalnya.
Rombongan mereka tadi berhenti dan mengaso tak jauh dari telaga. Chi-kongcu
seorang diri berjalan-jalan ke telaga dan tak lama kemudian kongcu itu datang
berlari-lari dengan muka bengkak-bengkak berdarah, mengatakan bahwa dia
dipukuli seorang laki-laki dekat telaga.
"Ehh!
Apakah Cu-wi (Anda sekalian) tidak menyalahkan perbuatan kongcu keparat yang
kurang ajar itu?" Laki-laki muda itu balas bertanya dengan muka merah.
"Memang
kurang sopan. Akan tetapi apakah yang dilakukannya terhadap isterimu?"
"Kalau
dia sudah melakukan sesuatu, tentu dia telah kubunuh! Isteriku, mandi seorang
diri, dia datang menghampiri dan menggoda dengan kata-kata tidak sopan."
"Orang
muda, engkau agaknya terlalu mengandalkan kekuatanmu sendiri sehingga bersikap
galak! Semua perkara harus diperiksa lebih dahulu dengan jelas, jangan sembarangan
main hakim sendiri mengandalkan kekuatanmu. Harus kami akui bahwa perbuatan
Chi-kongcu tidak patut, sungguh pun kami masih meragukan mengapa dia sampai
berani menggoda seorang wanita yang sedang mandi seorang diri. Entah apa yang
telah diucapkannya yang membuat engkau marah dan memukulnya. Apakah yang
dikatakannya orang muda?"
"Aku
tidak mendengarnya sendiri, hanya kulihat dari jauh dia berkata-kata dan
tertawa-tawa kepada isteriku yang sedang mandi, dan isteriku marah-marah
kepadanya."
"Jadi
masih belum jelas lagi apa yang diucapkannya. Hemmm, biarlah hal yang sudah
terjadi tak perlu diributkan lagi. Chi-kongcu telah bersalah mengajak seorang
wanita yang mandi bercakap-cakap, akan tetapi engkau pun terlalu ringan tangan.
Kami tidak akan memperpanjang urusan ini kalau engkau suka minta maaf
kepadanya."
"Tidak
sudi! Kalau disuruh menambah pemukulan kepadanya aku mau!" Orang muda yang
berdarah panas itu membantah.
Ketua
piauwsu itu mengerutkan alisnya. "Orang muda, kami sudah mengambil jalan
tengah dan banyak mengalah kepadamu, akan tetapi engkau masih berkeras kepala.
Kami terpaksa mencampuri urusan ini karena kewajiban kami untuk mengawal
Chi-kongcu! Apakah engkau tidak memandang muka kami dan hendak menentang
kami?"
"Terserah!
Aku tidak takut pada siapa pun untuk menjaga dan melindungi kehormatan
isteriku!" Pemuda itu bertolak pinggang dan siap untuk menghadapi lawan,
sikapnya sangat gagah karena dia merasa gagah telah dapat mempertahankan
kehormatan isterinya.
"Hemm,
engkau terlalu memandang rendah murid Bu-tong-pai!" Kakek itu berkata dan
sudah mengepal tinju.
Dari tempat
sembunyinya, Bun Beng dapat melihat jelas dari sikap pemuda itu bahwa dia tidak
pandai ilmu silat, sedangkan para piauwsu itu sebagai murid Bu-tong-pai, apa
lagi kakek itu, tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Maka sebelum terjadi
perkelahian yang tentu akan mencelakakan orang muda itu, Bun Beng melompat
keluar dari tempat sembunyinya dan berdiri tegak di depan kakek pemimpin para
piauwsu sambil berkata halus, "Tahan dulu!"
Para piauwsu
memandang kepada Bun Beng penuh kecurigaan, juga orang muda itu menoleh dan
memandang heran kepada pemuda tampan yang menyembunyikan sebagian mukanya di
balik caping bundar yang lebar itu.
"Harap
Cuwi-piauwsu suka menghabiskan perkara ini, karena mendengar penuturan saudara
ini, yang bersalah adalah kongcu itu. Kurasa tidak biasanya para tokoh
Bu-tong-pai bertindak sewenang-wenang!"
Mendengar
ucapan itu, pimpinan piauwsu memandang tajam dan melangkah maju, membungkuk dan
bertanya, "Siapakah Siauw-sicu (Tuan muda yang gagah) yang mengenal
Bu-tong-pai dan ada hubungan apa Sicu dengan saudara ini?"
"Namaku
Gak Bun Beng dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Twako (Kakak) ini.
Aku hanya tidak ingin melihat nama besar Bu-tong-pai direndahkan oleh para anak
muridnya kalau Cu-wi hendak menggunakan kekerasan terhadap Twako yang tidak
bersalah ini."
Ucapan Bun
Beng ini membuat para piauwsu menjadi serba salah. Mau marah, terang bahwa
pemuda bercaping bundar ini mengangkat tinggi nama Bu-tong-pai, kalau mengalah
mereka merasa penasaran sekali karena pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini sama
sekali tidak mempunyai nama besar sehingga tidak sepatutnya kalau mereka
mengalah dan menyudahi urusan dengan orang muda itu hanya melihat muka seorang
pemuda asing yang sama sekali tidak mereka kenal.
"Orang
muda she Gak, permintaanmu sungguh berat sebelah. Engkau membujuk kami untuk
mengalah, sebaliknya engkau membiarkan orang muda itu yang telah memukuli orang
kawalan kami tanpa perhitungan apa-apa. Mengapa engkau sebagai seorang penengah
yang bijaksana, tidak minta dia untuk mengalah dan minta maaf kepada yang dia
pukuli sehingga urusan menjadi selesai dengan damai?"
Bun Beng
mengerutkan alisnya dan berkata, "Sepanjang pendengaranku tadi, jelas
sudah bahwa yang bersalah adalah kongcu itu dan sudah sepatutnya dia
mendapatkan hajaran. Sepantasnya Cu-wi sebagai pengawalnya yang lebih mengerti
tentang peraturan mintakan maaf untuknya kepada sahabat ini. Bagaimana mungkin
Saudara ini yang telah mengalami penghinaan malah disuruh minta maaf?"
Pemimpin
piauwsu itu kelihatan makin tidak senang. "Gak-sicu, agaknya engkau
terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga secara lancang mencampuri
urusan orang dan sama sekali tidak memandang muka kami sebagai piauwsu yang
bertanggung jawab terhadap kawalannya, sebagai anak murid Bu-tong-pai yang siap
memaafkan kesalahan orang asalkan orang itu suka mengaku salah dan minta maaf.
Kami yakin Sicu mengerti akan hal ini dan mau melepas tangan terhadap urusan
kecil ini."
Bun Beng
menggeleng kepalanya. "Cu-wi sekalian pikirlah baik-baik. Bukan aku yang
mengandalkan kepandaian atau sahabat ini yang bersalah, sebaliknya Cu-wi yang
hendak mengukuhi kebaikan sendiri. Harusnya Cu-wi malah berpandangan bijaksana,
menyuruh kongcu kurang ajar itu mohon maaf kepada sahabat ini atas kekurang
ajarannya terhadap isteri sahabat ini. Dengan demikian baru tepatlah tindakan
Cu-wi sebagai murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa."
"Manusia
sombong, engkau benar-benar besar kepala, tidak menghormati kami. Baiklah, kita
putuskan urusan ini dengan kepandaian!"
"Oho!
Cu-wi malah menantang? Silakan! Sahabat, mundurlah, kau bukan tandingan
orang-orang gagah ini, biar aku mewakilimu!"
"Bocah
sombong, sambutlah ini!" Seorang di antara para piauwsu, yang bertubuh
tinggi kurus, sudah menerjang maju dan menghantamkan kepalan tangan kanannya ke
arah dada Bun Beng.
Melihat
gerakan orang itu, Bun Beng maklum bahwa orang kasar itu lebih memiliki tenaga
kasar dari pada ilmu silat yang tinggi, maka dia pun tidak mau menangkis atau
mengelak, bersikap seperti tidak tahu bahwa dia sedang dipukul.
"Bukkkk!"
"Aduhhh!"
Orang tinggi kurus itu memekik kesakitan dan memegangi tangan kanannya yang
membengkak seolah-olah yang dipukulnya tadi adalah benda dari baja yang amat
keras.
Bun Beng
hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mempedulikan orang yang telah
memukulnya tadi, melainkan memandang kepada pemimpin rombongan, kakek yang
bersikap penuh wibawa itu.
"Hemmm,
kiranya engkau mempunyai kepandaian juga, orang muda. Pantas bersikap
sombong!" Kakek itu melangkah maju. "Biarlah aku memberanikan diri
berkenalan dengan tubuhmu yang kebal."
"Twa-suheng
(Kakak Seperguruan Tertua), biarkan siauwte (adik) menghadapinya, tidak perlu
Twa-suheng sendiri yang maju!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang di
antara mereka yang usianya hampir lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering
seperti orang menderita penyakit, kepalanya kecil dan wajahnya pucat.
Melihat adik
seperguruannya ini, kakek itu mengangguk, dan berkata, "Boleh engkau
mencobanya, Sute. Akan tetapi berhati-hatilah, orang muda she Gak ini agaknya
lihai sehingga dia berani bersikap keras kepala dan sombong."
"Cu-wi
yang keterlaluan, bukan aku yang keras kepala, melainkan Cu-wi sendiri yang
enggan mengalah biar pun pihak Cu-wi bersalah." Bun Beng membantah,
memandang Si Kurus Muka Pucat itu. Dia maklum bahwa orang yang seperti
berpenyakitan itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan orang kasar tadi,
maka dia tidak berani memandang rendah dan bersikap hati-hati.
"Orang
muda, sambutlah seranganku!" Orang kurus itu berseru nyaring dan tubuhnya
sudah mencelat ke depan.
Tepat
seperti yang diduga oleh Bun Beng, gerakan orang itu cepat bukan main,
membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang sudah tinggi tingkatnya, dan dia
menyerang Bun Beng bukan mengandalkan tenaga kasar seperti penyerang pertama
tadi, melainkan dengan totokan jari tangan ke arah jalan darah di dada kanan
dan di pundak kiri Bun Beng, dua totokan sekaligus secara berbareng!
Namun dari
sambaran angin serangan ini, Bun Beng juga sudah dapat mengukur tenaga lawan,
maka dia tidak khawatir akan totokan-totokan itu, hanya menutup jalan darahnya
di pundak, kemudian dengan tenang sekali dia menyambut tangan yang menotok
dadanya dengan totokan jari telunjuk tangan kirinya sedangkan totokan ke arah
pundaknya dia terima begitu saja tanpa dielakkan. Jari telunjuknya tepat sekali
menotok telapak tangan kanan lawan pada saat pundaknya juga terkena totokan tangan
kiri Si Kurus Pucat itu.
"Cusss!
Desss!"
"Aihhh!"
Si Muka
Pucat itu berseru kaget, cepat melompat ke belakang, namun dia terhuyung dan
lengan kanannya menjadi lumpuh sedangkan jari tangan kirinya yang menotok
pundak tadi pun merasa nyeri bukan main. Dia meringis dan menggunakan tangan
kirinya mengurut-urut lengan kanan yang lumpuh ketika telapak tangannya, pada
jalan darah yang berpusat di antara ibu jari dan telunjuknya, tertotok oleh
telunjuk tangan kiri Bun Beng.
"Minggir
semua!" Pemimpin para piauwsu membentak ketika melihat teman-temannya
maju, agaknya hendak mengeroyok Bun Beng. Dia terkejut bukan main melihat
betapa pemuda bertopi bundar lebar itu dalam segebrakan saja sudah dapat
mengalahkan sute-nya yang dia tahu bukanlah seorang yang lemah. Mengertilah dia
bahwa pemuda itu ternyata merupakan seorang yang berilmu tinggi.
"Orang
muda, engkau ternyata lihai bukan main. Biarlah sekarang aku sendiri mewakili
Bu-tong-pai untuk mencoba kelihaianmu!" Kakek itu menggerakkan tangan
kanannya dan....
“Singgggg!”
terdengar suara nyaring ketika sebatang pedang telah dicabutnya. Pedang itu
tergetar di tangan kanannya, mengeluarkan cahaya berkilauan.
"Lo-enghiong
(Orang Tua Gagah), aku tidak mau menghadapimu jikalau engkau mempergunakan nama
Bu-tong-pai. Perselisihan paham di antara kita ini sama sekali tiada
sangkut-pautnya dengan Bu-tong-pai, melainkan sebagai orang-orang saling
bertemu di jalan dan bentrok karena mempertahankan kebenaran
masing-masing."
"Terserah
kepadamu, akan tetapi keluarkanlah senjatamu. Aku ingin menyaksikan sampai di
mana kelihaianmu!" Kakek itu melintangkan pedangnya di depan dada dan
sikapnya amat menantang. Agaknya kakek itu sudah marah sekali melihat kedua
orang adik seperguruannya telah dikalahkan sedemikian mudahnya oleh pemuda yang
sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw itu.
Bun Beng
tersenyum dan masih bersikap tenang. "Lo-enghiong, bentrokan di antara
kita hanyalah kesalah pahaman belaka yang timbul karena Cu-wi (Anda Sekalian)
merasa terlalu besar untuk mengalah, sama sekali bukan berarti bahwa di antara
kita terdapat permusuhan besar. Kita sudah mengambil keputusan untuk
mempertahankan pendirian dan kebenaran masing-masing dengan kepalan, mengapa
sekarang Lo-enghiong mengeluarkan senjata? Senjata tidak bermata, apakah
Lo-enghiong berniat untuk membunuh aku hanya karena perselisihan kecil
ini?"
"Orang
muda, engkau memiliki ilmu silat yang lihai, apakah engkau berpura-pura tidak
tahu bahwa dalam sebuah pibu (pertandingan mengadu ilmu silat), luka-luka atau
kematian merupakan hal yang wajar? Sudahlah, tidak perlu kita berkepanjangan
dan bicara yang tiada gunanya. Keluarkan senjatamu dan hadapi pedangku. Kalau
aku kalah, baik terluka atau tewas dalam tanganmu, berarti pihakku bersalah dalam
urusan ini dan kami takkan banyak cakap lagi."
Bun Beng
menarik napas panjang. Memang bentrokan ini tak dapat dihindarkan lagi
pikirnya. Kakek pemimpin para piauwsu ini memiliki keangkuhan tinggi. Dia
merasa serba salah. Kalau dia teringat akan Ang-lojin (Kakek Ang) atau Ang
Thian Pa, ketua Bu-tong-pai, sungguh tidak enak kalau dia harus bentrok dengan
anak muridnya. Apa lagi kalau dia teringat akan Ang Siok Bi, dara jelita puteri
ketua itu, yang pernah hendak dijodohkan dengan dia! Betapa pun juga, tidak
mungkin dia membiarkan saja para piauwsu ini menekan kepada orang muda yang
isterinya telah dihina itu. Akan tetapi, tidak mungkin pula kalau dia sampai
harus mengeluarkan Hok-mo-kiam seperti menghadapi seorang musuh besar saja.
"Lo-enghiong,
engkau yang menghendaki menggunakan senjata, bukan aku. Karena itu, kalau
engkau berkeras hendak menggunakan pedang, silakan. Aku sendiri hanya akan
mengandalkan kaki dan tangan."
Ucapan yang
terus terang ini diterima salah oleh kakek itu. Dia sudah mengeluarkan pedang,
dan pemuda itu tetap hendak menghadapinya dengan tangan kosong saja, berarti
pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya. Kemarahannya meluap dan dia
membentak, "Pemuda sombong! Kalau begitu, rasakanlah kelihaian
Bu-tong-kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)!"
"Singgg...
wirrr... siuuuttt!"
Sinar pedang
berkelebatan, tiga kali kakek itu menyerang, dua kali menusuk dan satu kali
membabat. Ketika Bun Beng cepat-cepat menggerakkan tubuhnya, gerakan yang
sedikit saja namun sudah dapat menghindarkan tubuhnya dari ketiga serangan itu,
kakek murid Bu-tong-pai menjadi terkejut dan penasaran. Pedangnya diputar cepat
sekali sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi gulungan sinar
putih dan hanya kadang-kadang saja tampak bentuk pedang menjadi banyak.
Gulungan sinar ini menyambar-nyambar dan mengurung tubuh Bun Beng, namun pemuda
itu yang tentu saja dapat melihat dengan jelas gerakan pedang ini, dengan tepat
dapat mengelak ke kiri, kadang-kadang menggunakan tangannya menepuk dan
menyampok lengan lawan sehingga gerakan pedang itu menyeleweng. Dengan cara
mengelak dan menangkis ini, Bun Beng membiarkan lawannya melakukan penyerangan
sampai dua puluh jurus!
"Belum
cukupkah, Lo-enghiong?" Bun Beng bertanya. Dia sengaja mengalah dan kalau
secara ini kakek itu belum mengerti bahwa kepandaiannya masih jauh kalah oleh
pemuda yang diserangnya, benar-benar benar kakek itu keterlaluan sekali.
Demikian pikir Bun Beng.
Jago tua
Bu-tong-pai itu sama sekali bukan orang bodoh atau nekat. Tentu saja dia sudah
tahu. Dia kaget bukan main ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu yang
berani menghadapinya dengan tangan kosong, membuat semua serangan pedangnya
tidak ada artinya dan dengan mudah sekali menghindarkan semua serangan selama
dua puluh jurus tanpa membalas sedikit pun juga, padahal dia melihat sendiri
betapa kesempatan untuk itu banyak terdapat.
Dia tahu
pula bahwa agaknya akan sukar baginya untuk dapat menangkan pemuda itu. Namun
bagaimana mungkin dia mundur? Sekali ini, dia bertanding bukan hanya karena
urusan pribadi! Karena dia sudah terlanjur mengaku sebagai murid Bu-tong-pai,
maka gerakan pedangnya yang mainkan Ilmu Pedang Bu-tong-pai itu membuat dia
seolah-olah bertanding demi nama dan kehormatan Bu-tong-pai! Inilah sebabnya
mengapa dengan nekat terus menyerang tanpa memperdulikan peringatan Bun Beng.
"Cukup!
Berhentilah!" Bun Beng membentak nyaring, tubuhnya berkelebat ke kiri
kemudian sebelum kakek itu sempat membalik, dia sudah mendahuluinya dengan
sambaran tangan kanannya, dengan terbuka dan miring dipukulkan ke arah pedang
dari samping.
"Trakkk!"
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati kakek Bu-tong-pai itu ketika tiba-tiba tangannya
tergetar, gagang pedang yang dipegangnya hampir terlepas dan pedang itu sendiri
telah patah menjadi dua potong! Mematahkan pedangnya dengan sabetan tangan
kosong! Dia terbelalak, akhirnya matanya yang tadi memandang pedang buntung di
tangannya, dialihkan memandang kepada Bun Beng. Dia menghela napas panjang.
Tahulah dia bahwa biar pun andai kata dia mengeroyok pemuda itu dengan semua
saudaranya, mereka tidak akan dapat menangkan pemuda yang ternyata memiliki ilmu
kepandaian tidak lumrah ini.
"Sudahlah.
Aku menerima kalah dan tidak berhak bicara lagi!" Dia menjura, kemudian
melempar pedang buntungnya dan pergi dari situ, memberi isyarat kepada semua
saudaranya yang juga tidak berani membantah. Rombongan piauwsu itu melanjutkan
perjalanan dengan wajah murung, apa lagi kongcu bangsawan yang kena dihajar
oleh suami wanita cantik tadi dan para pengawalnya tidak mampu menebus
penghinaan dan malu yang dideritanya!
"Terima
kasih, Taihiap. Saya akan menjemput isteri saya untuk bersama-sama menghaturkan
terima kasih atas pertolongan Taihiap!" Orang muda itu cepat lari ke tepi
telaga untuk menjemput isterinya yang tadi masih bersembunyi, tak berani naik
karena suaminya berkelahi dengan kongcu yang menggodanya.
Bun Beng mengerutkan
alis. Dia tidak membutuhkan terima kasih, maka menggunakan kesempatan selagi
orang itu pergi menjemput isterinya, dia pun menggerakkan kakinya meninggalkan
tempat itu.
Pekik
melengking yang didengarnya datang dari telaga itu menahan gerak kaki Bun Beng.
Dia membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan jauh telah tiba di pinggir
telaga, meloncat turun dan memandang dengan mata terbuka lebar kepada suami
yang menangisi isterinya itu. Wanita muda cantik yang tadi dilihatnya merendam
tubuhnya di dalam air telaga, sekarang telah menggeletak tanpa nyawa dengan
mata mendelik dan lidah terjulur keluar tanda mati tercekik.
Suami itu
menoleh dan dengan suara terisak berkata, "Dia... dia telah diperkosa...
dan dibunuh...!"
Bun Beng
sudah meloncat lagi ke atas dan berlari cepat sekali melakukan pengejaran.
Siapa lagi yang melakukan perbuatan terkutuk itu kalau bukan seorang di antara
rombongan piauwsu tadi! Bahkan mungkin sekali kongcu yang melampiaskan
dendamnya dengan memperkosa dan membunuh Si Isteri selagi suami wanita itu
ribut bertengkar dengan para piauwsu. Jahanam, harus kudapatkan pembunuh biadab
itu, pikirnya.
Karena Bun
Beng mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah berhasil
menyusul rombongan itu. "Berhenti...!" serunya dengan suara nyaring.
Kakek
pemimpin rombongan dan saudara-saudaranya terkejut sekali ketika tiba-tiba
pemuda bercaping bundar yang lihai itu telah berada di depan mereka tanpa
mereka ketahui lewatnya! Kakek itu segera mengangkat tangan menyuruh
rombongannya berhenti, di dalam hatinya penuh dugaan mengapa pemuda itu
mengejar mereka. Menduga bahwa pemuda itu berniat buruk, mungkin seorang
perampok tunggal yang hendak merampok barang kawalan dalam kereta. Dia sudah
meloncat ke depan, menghadapi pemuda itu dengan pandang mata tajam.
"Gak-sicu
mengejar kami ada kehendak apakah?"
Bun Beng
yang masih marah sekali itu tidak menjawab, hanya matanya bergerak memandang ke
sekelilingnya, meneliti para piauwsu seorang demi seorang. Dia tahu bahwa para
piauwsu itu tidak ada yang berkesempatan melakukan pembunuhan, karena dia
melihat mereka itu semua bersiap-siap ketika terjadi perselisihan. Akan tetapi
ketika melihat seorang pemuda berpakaian mewah menjenguk keluar dari dalam
kereta yang dikawal, pemuda yang pipi kanannya masih bengkak, dia segera
mengenjot tubuhnya, meloncat ke dekat kereta, dan sekali menggerakkan
tangannya, dia telah menangkap leher baju pemuda berpakaian mewah itu dan
menariknya turun dari kereta!
"Ouhhh...
ehhh... ada apa ini...? Para piauwsu, tolong...!" Pemuda bangsawan itu
ketakutan dan berteriak-teriak.
"Gak-sicu,
harap lepaskan dia. Apa artinya perbuatanmu ini?"
"Semua
mundur! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian para piauwsu, akan tetapi aku
ingin bertanya kepada kongcu ini!" Bentak Bun Beng dengan suara nyaring
karena marah.
Menyaksikan
sikap Bun Beng, para piauwsu menghentikan gerakan kaki mereka yang tadinya
hendak mengeroyok untuk menolong kongcu putera bangsawan yang mereka kawal.
Kini mereka memandang kepada Bun Beng dengan penuh keheranan. Ada urusan apa
lagi dengan kongcu itu?
Bun Beng
menggunakan kekuatan tangannya mengguncang tubuh kongcu itu, lalu dia
mencengkeram pundaknya dan membentak, "Hayo engkau mengaku, apa yang telah
kau lakukan di tepi telaga tadi ketika terjadi pertandingan!"
"Aku...
aku... tidak melakukan apa-apa."
"Jangan
bohong engkau! Kuhancurkan kepalamu kalau kau membohong!" Bun Beng
membentak, makin marah. "Engkau berada di mana ketika terjadi
pertandingan!"
"Aku...
aku berada di dalam kereta... augghh, lepaskan aku...!"
"Gak
Bun Beng! Engkau sungguh keterlaluan!" Tiba-tiba kakek pemimpin para
piauwsu membentak dan melompat dekat, tangannya sudah memegang sebatang pedang
yang dipinjamnya dari seorang sute-nya. "Kalau engkau tidak segera
melepaskan Chi-kongcu, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!"
Bun Beng
melepaskan pundak Chi-kongcu, sadar bahwa dia terburu nafsu. Betapa pun mencurigakan
keadaan kongcu itu, tanpa bukti tak mungkin dia dapat menyalahkannya begitu
saja.
"Aku
menuduh dia ini sudah memperkosa dan membunuh isteri saudara muda yang
diganggunya tadi."
"Apa...?"
Kakek murid Bu-tong-pai itu bertanya dengan kaget sekali.
"Untuk
membikin terang perkara penasaran ini, kuharap Cu-wi piauwsu dan Chi-kongcu ini
suka kembali ke telaga agar kita bersama melakukan penyelidikan dan yang
bersalah harus dihukum!" Bun Beng mengerling kepada Chi-kongcu.
Akan tetapi
kongcu itu kini mengangkat dada dan berkata penasaran, "Aku memang sudah
lancang menggoda wanita dengan kata-kata memuji kecantikannya dan untuk itu
suaminya sudah memukulku. Sekarang, aku tidak tahu menahu tentang perkosaan dan
pembunuhan. Hayo kita ke sana dan menyelidiki, aku tidak takut karena aku tidak
berdosa!"
Sikap dan
kata-kata Chi-kongcu ini membuat Bun Beng makin bingung dan meragu. Akan tetapi
dia lega melihat rombongan itu tidak membantah dan suka memenuhi pemintaannya.
Beramai-ramai mereka kembali ke tepi telaga.
"Heiiii!"
"Ihhhh!"
Seruan-seruan
kaget ini terdengar dari mulut para piauwsu, sedangkan Bun Beng sendiri berdiri
memandang dengan mata terbuka lebar. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran
rasa hati pemuda ini melihat dua tubuh yang menggeletak tanpa nyawa di tepi
telaga itu. Tubuh wanita muda yang masih telanjang bulat, dan tubuh suaminya
yang juga sudah menjadi mayat tanpa luka!
"Gak-sicu,
apa maksudmu membawa kami ke sini? Apakah engkau juga hendak mengatakan bahwa
orang muda ini juga dibunuh oleh Chi-kongcu atau oleh kami?" Pemimpin
piauwsu itu bertanya dengan suara lantang dan bernada tajam.
Bun Beng
menggeleng kepala, matanya masih memandang mayat orang muda itu. "Aku
tidak mengerti... tadi dia masih hidup menangisi isterinya..."
"Apakah
engkau masih menuduh Chi-kongcu membunuh wanita itu?"
Kembali Bun
Beng menggeleng kepalanya. "Agaknya bukan dia... sungguh aneh..., aneh
sekali..."
"Sama
sekali tidak aneh!"
Suara kakek
murid Bu-tong-pai itu membuat Bun Beng menoleh dan memandang penuh pertanyaan.
"Apa maksudmu, Lo-enghiong?"
"Menurut
dugaanku, pembunuh suami isteri ini tentu hanya satu orang, dan agaknya seorang
yang lihai sekali tangannya, dapat membunuh tanpa menggunakan senjata! Lihat,
wanita itu dicekik, dan laki-laki itu tidak terluka, akan tetapi di pelipis
kirinya terdapat tanda tapak jari tangan! Jadi, tidak mungkin dilakukan oleh
Chi-kongcu yang jelas kalah oleh laki-laki muda ini. Lebih tepat kalau mereka
ini dibunuh oleh seorang yang ahli dengan ilmu silat tangan kosong!"
Kalimat terakhir ini diucapkan oleh kakek itu dengan nada yang jelas, apa lagi
ketika semua piauwsu itu memandang kepada Bun Beng dengan mata penuh tuduhan!
"Apa?
Kalian... kalian gila kalau menuduh aku!"
Chi-kongcu
yang berjalan mendekat segera berkata, "Ada saatnya menuduh dan ada saatnya
dituduh! Kalau kita berdua sama-sama menjadi tertuduh, agaknya keadaanmu lebih
berat, Gak-sicu!"
Bun Beng
mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau aku membunuh mereka, apa gunanya aku
mengejar dan menyusul kalian dan kuajak ke sini?"
"Gak-sicu,
kami tidak seperti engkau yang suka menuduh orang secara sembarangan saja. Akan
tetapi andai kata engkau dituduh, perbuatanmu menyusul dan mengajak kami ke
sini pun tidak aneh. Mungkin sekali seorang pembunuh akan mempergunakan akal
ini untuk menarik kami sebagai saksi akan kebersihannya!"
"Apa?
Dan kalian tentu bersedia menjadi saksi bahwa aku bukanlah pembunuh dua orang
ini!"
Kakek itu
menggeleng kepala. "Tak mungkin kami menjadi saksi yang sembrono seperti
itu, Sicu. Engkau seorang pemuda yang amat aneh, mencampuri urusan kami,
memiliki ilmu silat tangan kosong yang mentakjubkan akan tetapi tidak terkenal
di dunia kang-ouw. Bagaimana kami berani menanggung bahwa bukan engkau
pembunuhnya? Sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa kami menuduhmu, untuk itu
pun masih belum ada bukti dan saksinya."
Bukan main
marahnya Bun Beng. Dia menolong suami isteri itu, dan tadinya berusaha mencari
sampai dapat pembunuh wanita muda itu. Siapa kira, sekarang keadaan membuat dia
malah menjadi tertuduh, bukan hanya sebagai pembunuh wanita muda itu, juga
pembunuh suaminya!
"Pergi!
Pergi kalian!" Bentaknya marah karena dia khawatir kalau-kalau kemarahannya
membuat dia kehilangan kesabaran dan menghajar rombongan piauwsu itu.
Para piauwsu
segera meninggalkan tempat itu dan Bun Beng lalu menggali lubang, mengubur
suami isteri yang tidak pernah dikenalnya itu sambil berpikir-pikir, siapa
gerangan pembunuh suami isteri ini? Mengapa membunuh mereka secara demikian
penuh rahasia, dan seolah-olah ada hubungannya dengan dia? Siapakah pembunuh
itu, dan apakah Si Pembunuh melakukan hal itu dengan sengaja untuk merusak
namanya agar dia disangka seorang pemerkosa dan pembunuh?
Dengan hati
penuh penasaran Bun Beng tidak segera meninggalkan telaga itu setelah selesai
mengubur jenazah suami isteri yang bernasib malang itu. Dia melakukan
penyelidikan, tidak hanya di sekitar tempat pembunuhan, bahkan dia lalu melakukan
penyelidikan di sekeliling telaga itu. Akan tetapi, para penghuni dusun-dusun
di sekitar telaga itu adalah petani-petani sederhana. Ketika dia mencari
keterangan dari mereka, terdapat jawaban bahwa suami isteri yang ditanyakan
oleh Bun Beng itu bukanlah penduduk dusun itu.
"Di
sini sering kedatangan pelancong-pelancong dan agaknya orang-orang yang kongcu
tanyakan itu adalah suami isteri pelancong pula." Demikian jawaban yang ia
dapatkan.
Menjelang
malam, perhatian Bun Beng tertarik akan sebuah pondok terpencil yang berada di
sebelah timur telaga itu. Pondok ini bukan seperti rumah penduduk dusun yang
sederhana, melainkan lebih pantas rumah pondok seorang bangsawan atau hartawan
yang sengaja membangun pondok di tempat itu untuk tempat peristirahatan, terbuat
dari kayu dan atapnya dari genteng dicat cukup indah. Pondok terpencil itu
sunyi, bahkan kelihatannya kosong. Bun Beng mengambil keputusan untuk
menyelidiki pondok itu dan kalau memang kosong, akan melewatkan malam itu di
dalam pondok.
Akan tetapi
ketika dia mendekat, dia melihat penerangan api menyorot keluar dari dalam
pondok. Bukan pondok kosong, pikirnya dengan hati tegang. Keadaan pondok ini
amat mencurigakan dan siapa tahu pembunuh yang dicarinya berada di dalam pondok
ini.
Setelah
malam tiba, dengan gerakan ringan sekali Bun Beng menyelinap di bawah bayangan
pohon-pohon, mendekati pondok, kemudian setelah mendengarkan dengan penuh
perhatian dan tidak melihat atau mendengar sesuatu, Bun Beng meloncat ke atas
genteng pondok itu, cepat dan ringan seperti seekor burung. Tanpa mengeluarkan
suara dia melangkah di atas genteng, kemudian menemukan sebuah lubang di antara
genteng dan mengintai ke bawah.
Apa yang
dilihatnya di dalam pondok itu membuat dia kecewa dan terheran. Hanya seorang
kakek berpakaian seperti sastrawan, dan seorang dara cantik berpakaian mewah
dan indah seperti kebiasaan dara-dara bangsawan atau dara hartawan di kota
besar! Keduanya merupakan orang-orang yang sukar dituduh melakukan perkosaan
dan pembunuhan!
Akan tetapi,
siapa tahu? Di dalam dunia kaum sesat, bukan hanya laki-laki muda yang menjadi
jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa), bahkan banyak pula
kakek-kakek yang suka memperkosa wanita muda! Maka dia segera mendekam di atas
genteng dan mengintai sambil mendengarkan. Siapa tahu kakek itu seorang
penjahat besar yang berpakaian sastrawan. Buktinya berada di dalam pondok
bersama seorang dara cantik, berdua saja!
"Kim
Bwee, kenapa kau sering kali menyusul aku ke sini? Bukankah kau lebih senang di
kota raja! Tempat ini sepi sekali dan aku tidak mempunyai apa-apa di
sini."
"Mengapa
Kongkong meninggalkan kami dan tinggal di tempat sepi ini? Sejak kecil
Kong-kong mendidikku dengan ilmu silat dan ilmu sastra, setelah Kongkong
(Kakek) pergi, tidak ada lagi yang mengajarku. Maka aku minta ijin Ayah dan Ibu
untuk tinggal bersama Kakek di sini selama satu bulan."
Kakek itu
mengelus jenggotnya yang putih dan panjang. Dia berusia enam puluh lebih,
berwajah terang dan ramah, gerak-geriknya halus. "Aneh sekali kau, Kim
Bwee. Semua gadis seperti engkau tentu lebih suka tinggal di kota. Pula, semua
sudah kuajarkan kepadamu, apa lagi dapat kuajarkan sekarang?"
"Sajak-sajak
itu, Kongkong! Sajak buatan Kongkong membuat aku rindu kepadamu. Aku ingin
selama sebulan ini Kongkong membuatkan sajak-sajak untukku!"
"Hemm,
engkau sendiri pandai membuat sajak yang jauh lebih indah dari pada buatanku.
Engkau tentu tahu bahwa sajak dibuat orang menurut getaran perasaan
masing-masing, tentu saja untuk menuangkan perasaan itu ke dalam huruf-huruf
harus ada kepandaian menguasai seni mengatur kata-kata itu, barulah akan
tercipta sajak yang indah. Perasaanmu sebagai wanita jauh lebih halus dari pada
aku, karenanya engkau lebih pandai membuat sajak yang menyentuh rasa."
"Ahh,
Kongkong terlalu memuji! Aku senang sekali membaca sajak-sajak Kongkong yang
selalu mengandung kekuatan yang dahsyat dalam menuangkan sesuatu, seolah-olah
gerakan pedang tajam yang mengupas segala sesuatu sehingga tidak hanya tampak
kulitnya saja melainkan tampak isinya yang paling dalam!"
"Itu
adalah hasil dari pandangan seseorang akan sesuatu yang dilihatnya..."
"Pandangan
Kongkong itulah yang hebat, seolah-olah Kongkong dapat melihat sampai tembus
segala sesuatu. Bagaimanakah caranya agar dapat memiliki pandangan seperti itu,
Kongkong?"
"Hanya
dengan membebaskan pandangan itu sendiri, cucuku yang baik. Biasanya, kita
memandang sesuatu, baik itu benda mati mau pun hidup, binatang mau pun manusia,
dengan pandangan yang tidak bebas sama sekali. Kita memandang sesuatu biasanya
melalui tabir yang berupa prasangka, penilaian, kesimpulan sehingga pandangan
kita menjadi suram, bahkan menjadi palsu karena yang kita pandang bukanlah apa
yang ada melainkan tafsiran-tafsiran dari apa yang ada itu. Pandangan kita
menjadi dangkal, jangankan menangkap isinya, bahkan menangkap kulitnya saja pun
masih belum lengkap."
Dengan
gerakan lucu dara itu membelalakkan matanya dan berkata manja, "Aiiihhh!
Aku menjadi bingung, Kongkong! Coba jelaskan lagi, aku tadi tidak mengerti apa
yang Kongkong maksudkan. Apakah cara memandang saja pun ada ilmunya?"
Kakek itu
tertawa. "Bukan ilmu, katakanlah seni! Seni memandang memang ada, dan juga
seni mendengar. Hidup kita ini seluruhnya dipengaruhi oleh keduanya itu, maka
sudah sepatutnya kalau kita mengenal akan seni memandang dan seni mendengar
ini, yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya."
"Wah,
terdengar aneh dan lucu, Kongkong. Masa untuk memandang dan mendengar saja
harus ada seninya? Setiap orang bisa memandang atau mendengar, asalkan dia
tidak buta dan tidak tuli."
"Ha-ha-ha,
benarkah demikian? Kurasa tidak begitu, cucuku. Di dunia itu lebih banyak orang
buta dan tuli, sungguh pun mata dan telinganya tidak rusak. Bahkan sebenarnya
sudah tidak ada lagi yang disebut memandang atau mendengar sesuatu seperti apa
adanya. Yang kita pandang dan dengar adalah bayangan pikiran kita, dan bayangan
pikiran kita itu tentu saja sama sekali bukan hal yang sebenarnya, bukan apa
adanya."
"Aku
masih bingung, Kongkong. Coba beri contoh."
"Biasanya
kita mendengarkan dengan pikiran penuh berisi tanggapan, prasangka, penilaian
dan kesimpulan. Kalau engkau membaca sesuatu atau mendengarkan aku sekarang ini
dengan pikiran penuh tafsiran, prasangka, penilaian atau kesimpulan akan benar
tidaknya, baik buruknya, maka engkau tidak dapat mendengarkan dengan
sesungguhnya dan akan kehilangan intisarinya. Yang menjadi bagianmu hanyalah
pertentangan antara tanggapan-tanggapanmu, penilaian serta prasangkamu sendiri.
Demikian pula jika engkau memandang sesuatu. Jika engkau memandang seseorang
dengan pikiran berisi kenangan akan orang itu di masa lalu, maka pandanganmu
akan terisi penuh dengan prasangka, penilaian dan lain-lain itu sehingga bukan
orang itu yang kau pandang, melainkan bayangan melalui kenanganmu! Dengan
demikian, timbullah rasa suka, rasa benci, rasa khawatir dan lain-lain! Karena
itu kita harus tahu akan seni memandang dan mendengar ini."
"Tetapi,
Kong-kong. Bagaimana mungkin mendengar sesuatu tanpa memikirkannya, tanpa
menilai dan menarik kesimpulan akan baik buruknya, merdu tidaknya apa yang kita
dengar itu?"
"Nah,
itulah salahnya dengan pendengaran kita! Kita menginginkan sesuatu dari apa yang
baik ingin kita dengar, yang baik ingin kita dengar terus, yang buruk ingin
kita jauhi, maka terjadilah pertentangan dan persoalan! Kita mendengar suara
orang bicara ribut-ribut, merasa bising dan pening. Mengapa? Karena kita tidak
mau mendengarnya, tidak suka mendengarnya, menganggap mengganggu dan
sebagainya. Coba saja kita dengarkan tanpa penilaian, mendengar tanpa aku yang
mendengar, mendengar apa adanya, takkan timbul gangguan. Demikian pula dengan
seni memandang. Kita memandang penuh perhatian, namun tanpa tanggapan, tanpa
keinginan, dengan pikiran bebas dan kosong dari kenangan, maka tidak akan ada
istilah pandangan menyenangkan atau tidak, dan pandangan kita akan dapat
melihat dengan jelas akan sesuatu seperti apa adanya! Mengertikah engkau?"
Dengan
gerakan lucu, gadis itu menggaruk-garuk kepalanya di belakang telinga kanan.
"Dikatakan mengerti, rasanya begitu sukar diterima. Dibilang tidak
mengerti, aku dapat merasakan kebenarannya, Kongkong. Dan... heiii!" Gadis
itu terkejut dan terbelalak karena tiba-tiba kakek itu melontarkan pit (pena
bulu) yang tadi dipegangnya itu ke atas.
Benda yang
biasanya dipergunakan sebagai alat tulis itu melesat ke atas, kini berubah
menjadi senjata rahasia yang amat hebat, menembus atap dan menyambar ke arah
dada Bun Beng! Pemuda ini tadi mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia
tertarik sekali hingga lupa keadaan dan lupa diri, lupa bahwa dia mengintai dan
mendengarkan percakapan orang lain! Maka begitu dia diserang sambaran pit yang
cepat, dia terkejut bukan main, tangannya menyambar cepat dan pit dapat
ditangkapnya! Terkejut juga dia merasakan betapa benda itu menggetar di
tangannya, tanda bahwa pelemparnya memiliki sinkang yang kuat sehingga pit yang
sudah menembus atap itu masih mengandung tenaga yang kuat!
"Locianpwe
(Orang Tua Gagah) yang berada di bawah harap sudi memaafkan saya atas
kelancangan saya..." Bun Beng cepat berkata nyaring karena tidak ingin
diserang lagi. Dia sudah merasa bersalah dan kini dia tidak meragukan lagi akan
kebersihan kakek itu. Orang yang bicara seperti itu tak mungkin menjadi seorang
penjahat keji! Maka tanpa ragu-ragu dia minta maaf.
"Sahabat
yang berada di atas harap turun untuk memberi penjelasan!" Suara kakek itu
masih bernada halus akan tetapi terdengar penuh wibawa.
Mendengar
ini, Bun Beng merasa tidak enak untuk pergi begitu saja. Dia sudah merasa
bersalah, maka tanpa menjawab dia lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam
ruangan itu dengan gerakan hati-hati.
Kakek itu
dan cucunya memandang dengan kagum karena gerakan Bun Beng ketika meloncat
turun itu sudah membuktikan bahwa kepandaian pemuda bercaping lebar itu amat
tinggi. Bun Beng cepat membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada
memberi hormat kepada kakek itu, lalu kepada gadis cantik yang memandangnya
dengan sepasang mata indah terbuka lebar.
"Saya
Gak Bun Beng mengaku salah, harap Locianpwe sudi memaafkan saya," kata Bun
Beng sambil memberi hormat.
Kakek itu
tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Menyadari akan kesalahan sendiri
berarti menghapus kesalahan itu. Aku Lu Kiong bukanlah orang yang tidak dapat
menghabiskan urusan kecil seperti ini. Akan tetapi kulihat engkau bukan
penjahat, maka aku merasa penasaran sebelum mendengar penjelasanmu mengapa
engkau yang muda dan sopan ini sampai mengintai di atas pondokku."
Maka dengan
singkat berceritalah Bun Beng tentang seorang pemerkosa dan pembunuh yang
berkeliaran di daerah telaga itu, betapa pembunuh itu telah melakukan
pembunuhan kepada suami isteri pelancong dan bahwa dia berusaha mencari jejak
pembunuh itu.
"Saya
sudah mencari ke sekeliling telaga, tetapi tidak ada apa-apa di dalam
dusun-dusun di sekitar sini. Ketika melihat pondok terpencil ini yang
keadaannya berbeda dengan rumah-rumah penduduk, timbul kecurigaan saya dan
melakukan penyelidikan, harap Locianpwe suka memberi maaf."
"Aaahh,
kalau begitu persoalannya, engkau tak perlu minta maaf, Gak-sicu! Hilangkan
kecurigaanmu terhadap kami. Aku bernama Lu Kiong, seorang pensiunan pengawal
Kaisar yang mengundurkan diri dan ini adalah Lu Kim Bwee, cucuku."
Wajah Bun
Beng menjadi merah sekali dan ia kembali menjura dengan hormat. "Maaf
telah berlaku kurang ajar..."
"Tak
perlu banyak sungkan, Sicu. Tindakanmu sudah benar dan Si Laknat itu harus
ditangkap! Kurasa dia tidak akan pergi jauh dari daerah ini. Marilah aku
membantumu mencarinya. Kim Bwee, kau menunggu di sini dan berjagalah karena ada
penjahat berkeliaran."
Gadis itu
mengangguk dan kakek itu kembali memandang kepada Bun Beng. "Mari kubantu
mencari. Sebaiknya kita berpencar, engkau ke kiri dan aku ke kanan, kita
sama-sama mengelilingi telaga dan kembali bertemu di pondokku ini."
"Baik,
dan terima kasih atas bantuan Locianpwe. Harap Locianpwe suka menerima kembali
ini..." Bun Beng menyerahkan pit yang tadi menyambarnya.
Kakek Lu
Kiong menerimanya sambil tersenyum. "Mudah-mudahan saja penjahat itu tidak
akan selihai engkau, Sicu, dan pit-ku akan merobohkannya."
Keduanya
lalu keluar dari pondok. Mereka berpencar dan melakukan penyelidikan
mengelilingi telaga. Akan tetapi malam itu sunyi dan tidak terjadi sesuatu di
sekeliling telaga itu. Biar pun telaga itu tidak sangat luas, akan tetapi
melakukan penyelidikan pada malam hari dengan mengelilinginya, membutuhkan
waktu tidak kurang dari dua jam barulah Bun Beng tiba kembali di depan pondok
kakek Lu tanpa hasil.
"Jahanam
keparat...!"
Bun Beng
kaget bukan main ketika mendengar bentakan nyaring dan halus ini, apa lagi
ketika ada sinar pedang menyambar. Ketika dia cepat mengelak dan melirik,
kiranya gadis cucu kakek Lu itulah yang menyerangnya dari kiri, menusukkan
pedang ke arah dadanya, dan lebih kaget lagi dia ketika dari kanan menyambar
angin pukulan dahsyat pula dibarengi bentakan suara kakek Lu. "Manusia
iblis!"
Hanya dengan
kecepatan gerakannya yang luar biasa saja Bun Beng baru dapat menghindarkan
diri dari sambaran sepasang pit yang menotok jalan darahnya secara bertubi dari
samping kanannya.
"Eh...
eh... tahan dulu! Apakah artinya ini, Lu Locianpwe?" Bun Beng berseru
kaget dan heran, dan mulai curiga lagi. Jangan-jangan kakek dan cucunya ini
yang menjadi pembunuh! Siapa tahu, kakek itu seorang tokoh kaum sesat yang
lihai, dan gadis yang dikatakan ‘cucunya’ itu adalah pembantunya!
"Mau
bicara apa lagi? Keparat!" Gadis itu kembali menyerang dan kini dia
mainkan pedang, membacok bertubi-tubi sambil terisak menangis!
"Nona...
eh, tahan dulu...! Setidaknya... aku minta penjelasan lebih dulu...!"
"Penjelasan
apa lagi? Manusia biadab...!" Pedang itu kembali menusuk dengan cepat
sekali.
Namun untuk
kesekian kalinya, dengan mudah Bun Beng mengelak sambil melompat jauh ke
belakang, kemudian menghadapi Kakek Lu sambil berkata dengan suara penuh
penasaran, "Locianpwe, apa artinya ini? Harap jelaskan, kalau memang aku
bersalah aku tidak akan lari dari hukuman!"
Kakek itu
berkata halus kepada cucunya, "Kim Bwee, tahan dulu senjatamu. Biar aku
bicara dengan keparat ini!" Kemudian dia menghadapi Bun Beng sedangkan
gadis itu menangis terisak-isak dengan suara penuh kedukaan.
"Gak
Bun Beng, sungguh aku tidak mengira bahwa engkau adalah seorang penjahat muda
yang curang dan licik. Engkau sengaja memancing aku keluar dari pondok untuk
melakukan kekejian yang terkutuk, dan masih engkau berani berpura-pura tidak
tahu apa-apa! Kiranya pemerkosa dan pembunuh yang kau sebut-sebut tadi bukan iain
adalah engkau sendiri keparat!"
"Locianpwe...!"
"Sudahlah,
tak perlu sandiwara pula. Sekarang engkau harus mengambil keputusan dan
pilihan. Menikah dengan cucuku untuk membersihkan namanya atau mati di tangan
kami!"
"Locianpwe!
Aku... aku tidak merasa telah melakukan kesalahan..."
"Kong-kong,
apa perlunya bicara dengan iblis macam dia? Kita bunuh saja dia, lalu aku akan
membunuh diri...!"
"Tunggu
dulu, Kim Bwee! Eh, Gak Bun Beng, apakah engkau hendak menyangkal pula bahwa
engkau tadi telah sengaja memancing aku pergi, kemudian diam-diam kau datang ke
pondok, secara curang menotok roboh cucuku, memadamkan lampu dan
memperkosanya?"
"Apa...?"
Mata Bun Beng terbelalak lebar, sedangkan mukanya pucat sekali. "Aku tidak
melakukan hal itu, Locianpwe. Demi Tuhan...!"
"Bangsat!"
Kim Bwee menjerit marah. "Apakah kau kira mataku buta? Sebelum lampu
dipadamkan, aku masih melihat engkau!"
"Benarkah,
Nona? Benarkah engkau melihat aku yang melakukan hal itu?"
"Aku
melihat pakaianmu dan capingmu. Biar kau menyembunyikan muka, aku masih
mengenal bentuk tubuh, pakaian dan capingmu!"
"Fitnah
belaka! Aku tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk itu. Harap Nona dan
Locianpwe suka percaya kepadaku...!"
"Singgg...!"
Pedang itu telah menyambar dan dari belakangnya, sepasang pit di tangan kakek
itu pun menotoknya.
Bun Beng
cepat meloncat ke atas, berjungkir-balik dan melesat keluar. Dia maklum bahwa
percuma saja menyangkal fitnah itu, percuma saja meyakinkan kakek dan cucunya
itu bahwa bukan dia yang melakukan perbuatan keji itu. Dia maklum pula bahwa
kakek itu memiliki kepandaian tinggi, dan kalau dia tidak cepat-cepat dapat
menangkap penjahat yang melakukan semua perbuatan itu, dia akan terus dimusuhi.
"Aku
bersumpah akan menangkap penjahat yang melakukan kejahatan terhadapmu dan
fitnah terhadap diriku itu, Nona!" Setelah berkata demikian, Bun Beng
berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Kakek dan
cucunya berusaha mengejar, namun mereka tak dapat menandingi gerakan Bun Beng
sehingga sebentar saja pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam. Gadis itu
menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Tiba-tiba pedangnya berkelebat ke
arah lehernya sendiri.
"Tringgg...!"
Pedang itu terlepas dari pegangannya ketika disambar oleh sepasang pit yang dilontarkan
oleh kakek Lu Kiong.
"Kim
Bwee! Jangan putus asa, dan jangan melakukan perbuatan pengecut itu! Kita telah
mengetahui namanya, dan andai kata aku sendiri tidak mampu menangkapnya, aku
mempunyai banyak teman-teman yang berilmu tinggi yang tentu akan suka
membantuku mencari Gak Bun Beng dan menuntut dia mempertanggung jawabkan
perbuatannya dengan menikah denganmu atau mati di tanganmu."
Gadis itu
menangis dengan sedih. Betapa tidak hancur hatinya? Dia seorang dara yang
menjunjung tinggi nama dan kehormatan, cucu dari bekas pengawal Kaisar yang
terkenal. Kini dia telah dinodai orang, seorang muda yang tadinya amat menarik
hatinya, dan pemuda itu ternyata seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat yang
kejam!
Bukan hanya
Kim Bwee dan kakeknya yang berduka dan marah. Bun Beng yang melarikan diri itu
pun marah sekali dan andai kata dia dapat berhadapan dengan penjahat yang telah
memperkosa Kim Bwee, yang dia duga tentulah penjahat yang membunuh suami isteri
di tepi telaga siang hari tadi pula, tentu dia akan menerjangnya dan takkan
berhenti jika belum melihat penjahat itu dapat ditangkap atau dibunuhnya!
Akan tetapi,
kemarahannya itu bercampur dengan keheranan dan juga kebingungan. Mengapa
penjahat yang tentu amat lihai itu seperti sengaja melakukan kejahatan untuk
menjatuhkan fitnah kepadanya? Agaknya penjahat itu sengaja hendak membikin
buruk namanya dan kalau benar demikian, mengapa dan siapakah orang itu? Dia
menjadi bingung, tak dapat menduga-duga siapa gerangan orang yang memusuhinya
secara diam-diam itu. Sukar dia menduga siapa musuh rahasia itu dan dia pun
tidak tahu bagaimana harus mencarinya dan ke mana karena penjahat itu sama
sekali tidak meninggalkan jejak.
Betapa pun
juga, dia tidak putus harapan. Setelah dua kali melakukan perbuatan terkutuk
yang agaknya disengaja untuk merusak namanya, tentu penjahat itu takkan
berhenti di situ saja. Dia mengharap penjahat itu akan turun tangan lagi untuk
menjatuhkan fitnah, atau bahkan untuk menyerangnya secara langsung agar dia
berhadapan muka dengan musuh rahasia itu. Karena tidak tahu harus mencari ke
mana, Bun Beng melanjutkan perjalanannya ke utara dalam usahanya mencari
kekasihnya yang dia duga tentu diculik oleh Wan Keng In, pemuda iblis dari
Pulau Neraka itu.
Dalam
perjalanannya ini, Bun Beng bersikap hati-hati sekali karena dia menduga bahwa
tentu musuh rahasianya itu diam-diam membayanginya. Beberapa kali dia
mempergunakan kepandaian untuk tiba-tiba membalik dan lari ke belakang, bahkan
beberapa kali kalau dia bermalam di losmen, diam-diam dia lolos dari kamarnya
untuk mengintai keluar. Namun tak pernah dia melihat bayangan orang sehingga
diam-diam dia merasa khawatir. Apakah musuh rahasia itu tidak pernah
membayanginya, ataukah kepandaian musuh itu amat luar biasa? Atau....
***************

"Milana,
engkau sungguh kejam dan tidak mengenal budi! Kurang baik bagaimanakah aku
terhadap dirimu? Engkau bebas di sini, bahkan selama tiga bulan ini aku
membujuk guruku untuk menurunkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadamu. Aku selalu
bersabar, mengharapkan engkau akan sadar akan besarnya cintaku, dan membalas
perasaanku yang suci murni kepadamu. Akan tetapi ternyata engkau selalu dingin,
cintamu tak kunjung datang. Lebih mudah menanti bertitiknya air embun dari pada
menanti balasan kasihmu. Milana, tidak kasihankah engkau kepadaku?"
Milana yang
duduk di atas bangku memandang pemuda tampan yang berlutut di depannya. Dia
menghela napas panjang. Harus diakuinya bahwa selama dia berada di Pulau
Neraka, Wan Keng In bersikap baik sekali kepadanya, tidak pernah bersikap
kasar, tidak pernah menyinggung perasaannya, apa lagi memaksanya, bahkan selalu
berusaha untuk menyenangkan hatinya.
Taman yang
indah ini dibuat oleh pemuda itu untuknya! Sebuah pondok yang mungil dibangun
pula oleh anak buah Pulau Neraka atas perintah pemuda itu. Semenjak Milana
berada di pulau itu, anak buah Pulau Neraka sibuk terus untuk menyediakan
segala kebutuhan makan dan pakaian dara itu seperti yang diperintahkan Wan Keng
In. Bahkan gurunya, Cui-beng Koai-ong yang berwatak aneh itu dapat pula dibujuk
oleh Keng In sehingga berkenan menurunkan beberapa macam ilmu silat aneh yang
lihai kepada Milana.
"Keng
In, engkau tahu bahwa cinta tak mungkin dapat dipaksakan. Cinta tidak mungkin
dapat dibiasakan atau dipelajari! Karena itu, percuma saja engkau membujukku.
Aku tidak menyalahkan kalau engkau cinta kepadaku seperti yang sudah ribuan
kali kau katakan kepadaku. Aku malah menaruh iba kepadamu karena cintamu yang
hanya sepihak dan sia-sia itu. Keng In, sadarlah engkau. Menurut penuturanmu,
di antara engkau dan aku masih ada hubungan keluarga. Ibumu adalah adik angkat
ayahku, mengapa kita tidak dapat menjadi saudara misan yang baik?"
"Tidak!"
Tiba-tiba Keng In meloncat bangun, alisnya berkerut dan dia menekan kemarahan
dan kekecewaannya. "Aku tidak ingin menjadi saudaramu! Aku ingin menjadi
suamimu! Perlukah ini kuulangi terus? Pula, ibuku hanya saudara angkat ayahmu,
jadi tidak ada hubungan darah sama sekali. Engkau harus menjadi isteriku,
Milana. Aku cinta kepadamu, cinta yang akan kubela dengan darah dan
nyawaku."
"Akan
tetapi, aku tidak cinta kepadamu, Wan Keng In."
"Asal
engkau suka menjadi isteriku, dengan suka rela tanpa paksaan, engkau akan dapat
mencinta kepadaku kelak."
"Tidak
mungkin!"
"Milana,
seorang wanita memang tak mungkin jatuh cinta kepada seorang pria betapa pun
pria itu mengusahakannya, akan tetapi hanya kalau wanita itu sudah mencinta
seorang pria lain! Apakah engkau sudah jatuh cinta kepada seorang pria
lain?"
Hati Milana
meneriakkan nama Gak Bun Beng akan tetapi mulutnya ditutup rapat dan dia tidak
menjawab. Rahasia itu tidak perlu diketahui orang lain, apa lagi diketahui Wan
Keng In yang kadang-kadang amat dibencinya, kadang-kadang dikasihani itu.
"Sudahlah,
Keng In. Kalau kau tidak menganggap aku saudara misanmu, sedikitnya kita masih
saudara seperguruan. Bukankah aku telah mempelajari beberapa jurus ilmu silat
dari gurumu, berarti aku muridnya pula? Aku sudah berjanji kepadamu tidak akan
melarikan diri dari pulau ini asal engkau tidak menggangguku. Kalau engkau
menggangguku, aku pun tidak akan suka tinggal lebih lama lagi di sini."
"Aku
sama sekali tidak mengganggumu, Milana. Berlakulah adil. Aku hanya menghendaki
engkau membalas cintaku atau sedikitnya, menerima pinanganku menjadi isteriku.
Kita akan merayakan pernikahan kita secara besar-besaran! Semua tokoh dunia
ilmu silat, baik golongan putih mau pun hitam, akan kuundang untuk datang ke
sini. Kalau engkau menjadi isteriku, Pulau Neraka akan kubangun kembali, akan
kutambah anak buahku sampai pulau ini menjadi sebuah kerajaan kecil, aku
menjadi rajanya dan engkau menjadi permaisuriku!"
"Pikiran
gila! Aku tidak mau!"
"Hemm,
apakah engkau ingin aku menggunakan kekerasan memaksamu, Milana?"
Dara itu
bangkit berdiri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. "Menggunakan
kekerasan? Aku akan melawan mati-matian!"
"Ha-ha-ha,
Milana! Baru mempelajari sedikit ilmu tambahan dari Suhu, engkau berani
melawanku? Mari kita coba-coba!"
Milana
memang sudah menduga dengan hati penuh khawatir bahwa sewaktu-waktu pemuda yang
seperti miring otaknya ini tentu akan mencoba menggunakan kekerasan. Karena dia
maklum bahwa dia tidak akan dapat menang menghadapi pemuda itu, apa lagi di
situ terdapat banyak anak buahnya dan ada pula gurunya yang amat lihai, maka
dara ini mempergunakan akal halus, tidak melawan dan sampai tiga bulan lamanya
berhasil menghindarkan diri dari gangguan Keng In.
Dia
mempelajari ilmu dengan maksud untuk memperdalam kepandaiannya agar dapat
menghadapi Keng In sambil menanti kesempatan baik untuk meloloskan diri dari
cengkeraman pemuda iblis yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka itu. Kini tiba
saatnya Keng In kehabisan kesabarannya dan hendak menggunakan kekerasan.
Melihat bahwa akhirnya toh dia harus membela diri dengan melawan mati-matian,
kini Milana tidak berlaku sungkan lagi dan segera menerjang Keng In dengan
pukulan maut!
"Haiitt!
Gerakanmu cepat bukan main, Sayangku, akan tetapi bagiku kurang cepat!"
Keng In mengelak akan tetapi Milana yang sudah siap secara tiba-tiba
membalikkan tubuh dan menyusul dengan hantaman kedua dari samping mengarah
lambung pemuda itu.
"Dess!"
Tubuh Keng In terguling dan pemuda itu rebah miring.
Bukan main
girangnya hati Milana akan hal yang tak diduga-duganya ini. Dia menang hanya
dalam dua gebrakan! Cepat dia menubruk untuk mengirim totokan yang melumpuhkan
karena betapa pun juga dia tidak tega untuk membunuh pemuda yang mencintanya
dan yang telah bersikap baik kepadanya itu.
"Heh-heh,
pukulanmu keras akan tetapi tidak cukup keras untukku!" Tiba-tiba kedua
lengan Keng In merangkul dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh Milana sudah
dipeluknya dan hidung pemuda itu sudah mengambung pipinya! Milana terkejut dan
marah sekali, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, tubuhnya menjadi lemas
dan setengah lumpuh oleh totokan Keng In yang lihai itu.
"Nah,
berontaklah kalau bisa! Ha-ha, siapa bilang aku tidak akan dapat menguasai
dirimu kalau aku mau? Milana, Sayangku, setiap malam aku rindu kepadamu, setiap
saat aku membayangkan betapa akan indahnya kalau kita bermain cinta di taman
ini, di tempat terbuka..." Kembali Keng In menciumi muka dan bibir dara
yang sudah tak dapat mengelak atau melawan itu.
Dengan hati
hancur Milana hanya memejamkan matanya. Dia maklum bahwa takkan ada yang mampu
mencegah pemuda itu kalau Keng In hendak memperkosanya. Bahaya yang lebih hebat
dari pada maut berada di ambang pintu dan dia sama sekali tidak berdaya. Dia
hanya bersumpah di dalam hatinya bahwa kalau Keng In memperkosanya, dia akan
mencari kesempatan membunuh pemuda itu sebelum membunuh diri sendiri. Pada saat
terakhir itu terbayanglah wajah Bun Beng dan sedu-sedan naik dari dadanya ke
dalam kerongkongannya.
Keng In yang
sudah mulai menanggalkan pakaian Milana, tiba-tiba menghentikan tangannya,
bahkan menutupkan kembali pakaian yang sudah terbuka. Entah mengapa, mungkin
sedu-sedan Milana itu yang membuat dia mengurungkan kehendak hatinya dan ia
meninju tanah di samping tubuh Milana. "Tidak! Aku tidak mau mendapatkan
dirimu dengan cara ini! Aku mau engkau menyerah kepadaku dengan suka rela! Aku
ingin engkau rebah dalam pelukanku dengan bibir tersenyum dan suka membalas
ciumanku. Aku ingin engkau sebagai seorang kekasih yang hangat dan hidup dalam
dekapanku, bukan sebagai sesosok mayat yang dingin!" Setelah berkata
demikian, Keng In menangis dan membebaskan totokan pada tubuh Milana sehingga
dara itu dapat bergerak lagi.
Milana
menyembunyikan kengerian hatinya. Baru saja dia lolos dari lubang jarum, lolos
dari bahaya yang mengerikan. Namun diam-diam dia mengambil keputusan untuk
mendahului menyingkirkan pemuda ini, kalau tidak akan berbahaya sekali. Belum
tentu Keng In akan sadar seperti tadi!
"Sekali
lagi engkau melakukan hal seperti tadi, aku akan membunuh diri!" Milana
berkata lirih.
Keng In
menunduk, "Maafkan aku... tidak kuulangi lagi..."
Milana
membalikkan tubuh dengan marah lalu meninggalkan pemuda itu. Dia maklum bahwa
biar pun Keng In kelihatan begitu menyesal, begitu merendah, namun sekali dia
menimbulkan kemarahan dan kebencian di dalam hati pemuda itu, tentu pemuda itu
tidak akan segan-segan untuk melakukan apa saja terhadap dirinya, tidak hanya
memperkosa, bahkan menyiksanya dengan penghinaan lain kemudian membunuhnya.
Kalau dia teringat akan perbuatan Keng In ketika memperkosa wanita di depan dia
dan gurunya, dia mengkirik (meremang bulu tengkuknya) dan merasa takut sekali.
Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan yang merupakan
penghinaan hebat, benar-benar dia merasa ngeri dan takut.
"Aku
harus membunuhnya!" Demikian dia mengeraskan hatinya. Kalau tidak lekas
dibunuh, bagaikan seekor ular berbisa, makin lama makin mengerikan dan
berbahaya pemuda gila itu. Soalnya sekarang tinggal siapa yang lebih dulu
bergerak dan berhasil!
Biar pun
Cui-beng Koai-ong jauh lebih lihai dan berbahaya, akan tetapi kakek itu
biasanya tidak peduli kepadanya, sedangkan anak buah Pulau Neraka yang lain
akan mudah dapat dia kalahkan. Satu-satunya yang paling membahayakan dan
mengancam dia adalah Wan Keng In. Karena itu, dia harus dapat menyingkirkan
pemuda itu, harus dapat membunuh pemuda itu!
Milana mulai
mencari kesempatan. Untuk mencari kelengahan pemuda itu, agaknya tidak mungkin!
Biar pun dalam keadaan tidur nyenyak, kesiap siagaan telah mendarah daging di
tubuh pemuda yang semenjak kecil tinggal di Pulau Neraka yang penuh bahaya itu.
Biar pun sedang tidur pulas, pemuda itu akan mampu mempertahankan diri jika
diserang seolah-olah sudah memiliki indra ke enam yang membuat dia dalam tidur
sekali pun dapat ‘mencium’ datangnya bahaya! Kalau dia harus menggunakan
kekerasan secara berdepan, mana mungkin dia dapat menangkan pemuda yang selain
lebih lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik itu?
Beberapa
hari kemudian, selagi Milana berjalan-jalan di tepi pantai sambil memutar otak,
tiba-tiba dia melihat gulungan ombak laut yang seolah-olah membisikkan sesuatu
kepadanya. Di laut! Mengapa tidak? Kalau di darat dia bukan lawan pemuda itu,
belum tentu dia kalah kalau melawan pemuda itu di laut, di air! Semenjak kecil
dia memang suka renang, bahkan oleh ibunya dia dilatih menahan napas di dalam
air. Biar pun dulu dia tidak melihat kegunaan ilmu ini, sekarang barulah ilmu
di air ini menimbulkan harapannya untuk dapat mengalahkan Keng In!
Memang
sering kali dia mengukur dengan pandang matanya apakah sekiranya dia akan dapat
meloloskan diri dari Pulau Neraka dengan berenang. Akan tetapi segera dia
membuang jauh-jauh pikiran itu. Melarikan diri dengan jalan berenang pergi dari
Pulau Neraka sama saja dengan membunuh diri! Tidak saja lautan disekitar pulau
itu amat ganas, juga jarak dari pulau ke daratan besar amat jauhnya, belum lagi
bahaya mengerikan dari ikan-ikan raksasa yang akan menghadangnya di tengah
laut!
Melarikan
dengan perahu juga tidak mungkin karena semua perahu dikumpulkan menjadi satu
dan selalu dijaga. Akan tetapi, mengalahkan Keng In di air, ini mungkin sekali!
Betapa pun juga, dia harus melihat dulu sampai di mana kepandaian Wan Keng In
bermain di air. Dia tidak boleh gegabah (sembrono) dan dia tidak boleh gagal
kali ini! Dengan adanya rencana menggunakan akal ini, mulai hari itu Milana
sering kali berjalan-jalan di tepi laut. Beberapa kali Keng In datang
menjumpainya di situ, akan tetapi karena kebetulan pantai itu ramai dan di situ
terdapat beberapa orang anak buah Pulau Neraka, Milana terpaksa menunda
siasatnya.
Pada suatu
pagi, ketika Milana sedang duduk termenung seorang diri di tepi pantai,
merenung ke arah selatan membayangkan ibunya dan Bun Beng dengan penuh
kerinduan, tiba-tiba terdengar suara Keng In di belakangnya, "Milana,
mengapa engkau termenung di sini sepagi ini?"
Milana
langsung mengerling ke kanan kiri. Tempat itu sunyi sekali. Inilah kesempatan
baik untuknya. Sambil mengerling tajam dia berkata, suaranya sengaja dibuat
manja, "Pegilah kau, Keng In. Aku mau mandi."
Keng In
tersenyum nakal. "Mandilah aku tidak akan mengganggumu."
"Kau
kira aku begitu tidak tahu malu? Hmm, kalau kau berkeras, aku dapat saja mandi
tanpa melepas pakaian." Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban
Milana sudah lari menyambut air laut yang didorong gelombang ke pantai pasir.
Melihat
gadis itu berlari sambil mengembangkan kedua lengan, tampak begitu gembira,
Keng In tertawa senang. Dia membayangkan betapa akan senangnya kalau gadis itu
sudah menyerah kepadanya, dan mereka mandi bersama di pinggir laut. Milana
tidak berpakaian lengkap seperti sekarang ini. Tentu akan dipondongnya dara
itu, dibawa lari menyambut ombak sambil bersendau-gurau.
"Heiiii!
Milana! Berhenti di situ saja...!" Tiba-tiba dia berseru nyaring melihat
betapa Milana terus berlari menyambut ombak yang menyerangnya, bahkan kini gadis
itu berenang ke tengah dengan gerak renang yang kaku menandakan bahwa gadis itu
tidak dapat berenang dengan baik.
"Celaka...!"
Keng In berseru penuh kekhawatiran sambil melompat dan lari ke laut saat dia
melihat betapa ombak menyambar tubuh Milana, dilontarkan ke atas dan kemudian
dihempaskan kembali ke bawah. Tahu-tahu kini tubuh Milana sudah berada agak
jauh ke tengah.
Gadis itu
kelihatan ketakutan, tangannya menggapai-gapai dan terdengar jeritannya lemah,
"Tolooonggg!"
Tanpa
berpikir panjang lagi karena khawatir melihat kekasihnya terancam bahaya maut
ditelan ombak atau ikan raksasa, Keng In cepat berenang sekuatnya melawan
ombak. Dia sama sekali tidak tahu betapa Milana diam-diam memperhatikan
gerakannya ketika dia berenang untuk menolong kekasihnya itu dan tidak tahu
betapa gadis itu bersinar-sinar pandang matanya, merasa girang melihat bahwa
kepandaiannya berenang biasa saja! Memang Keng In bukanlah seorang ahli renang
yang pandai. Dia dapat berenang sekedarnya, dan bukan seorang ahli biar pun sejak
kecil dia tinggal di Pulau Neraka. Hal ini karena ibunya selalu melarangnya
kalau melihat puteranya yang dimanjakan itu bermain-main di laut, khawatir
kalau puteranya dihanyutkan ombak atau diserang ikan besar.
Kalau hanya
berenang untuk menolong Milana, tentu saja Keng In merasa dia mampu
melakukannya. Ia sama sekali tak menaruh kecurigaan melihat gadis itu
dipermainkan ombak dan berteriak-teriak minta tolong. Kecemasan yang hebat akan
kehilangan wanita yang dicintanya itu membuat pemuda yang biasanya cerdik ini
menjadi lengah dan sama sekali tidak menduga akan adanya siasat yang dilakukan
oleh dara yang masih belum mau menyerah kepadanya itu.
"Milana...!
Di mana engkau...?" Keng In berteriak dengan hati penuh kecemasan. Dia
sudah tiba di bagian gadis itu tadi dipermainkan ombak dan sekarang dara itu
tiba-tiba lenyap, seolah-olah tenggelam!
"Milana...!"
Keng In memandang ke kanan dan ke kiri dengan mata liar penuh khawatir.
"Haiii!"
Dia berteriak akan tetapi teriakannya segera lenyap ketika tubuhnya diseret ke
bawah. Keng In gelagapan dan cepat menutup mulut menahan napas sambil berusaha
untuk menggerakkan kaki kanannya yang telah ditangkap orang dari bawah!
Milana yang
tadi menyelam kini mempertahankan sebelah kaki Keng In yang sudah ditangkapnya.
Masih terlalu berbahaya untuk menyerang lawan ini dengan pukulan, karena dia
tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang amat kuat, maka dia lalu
menggunakan akal, menangkap kaki lawan dan menyeretnya ke bawah agar pemuda itu
tak dapat bernapas dan mati lemas! Terjadilah pergulatan di dalam air laut.
Milana berusaha mempertahankan kaki itu dan menariknya ke bawah, sedangkan Keng
In meronta-ronta dan menarik kakinya sekuat tenaga agar dapat terlepas. Dia
masih belum dapat menduga bahwa Milana yang menangkap kakinya. Dia mengira
bahwa kakinya dililit oleh ikan gurita atau ular laut, atau digigit ikan yang
besar.
Akan tetapi
Milana salah duga kalau dia mengira akan dapat membuat Keng In kehabisan napas
dengan cara menariknya ke bawah. Pemuda ini biar pun tidak pernah mempelajari
ilmu di dalam air, namun sinkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sekali
sehingga dia amat kuat menahan napasnya di dalam air, mungkin tidak kalah kuat
dibandingkan dengan Milana sendiri! Karena itulah, usaha Milana untuk membuat
pemuda itu lemas kehabisan tenaga tidak berhasil, bahkan tarikan-tarikan kaki
Keng In yang amat kuat itu menghabiskan tenaga Milana yang menahannya sehingga
akhirnya dia sendiri terbawa timbul ke permukaan air! Hanya bedanya kalau
Milana masih dapat menguasai diri dan sadar sepenuhnya, sebaliknya Keng In
menderita kegelisahan luar biasa, membuat pemuda itu gelagapan ketika berhasil
timbul di permukaan air dan dia tidak melihat betapa sebuah kepala lain, kepala
Milana, juga tersembul di belakangnya.
"Dessss!"
Milana tak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia sadar dan dalam keadaan segar. Melihat Keng
In masih megap-megap dan gelagapan menyedot hawa sebanyaknya, dia sudah
mengirim pukulan ke punggung pemuda itu.
"Aduhhh...!"
Keng In berteriak, akan tetapi tiba-tiba rambutnya dijambak (dicengkeram)
tangan yang halus dan kepalanya ditekan ke bawah permukaan air lagi!
Bagaikan
orang sekarat, tangan Keng In meraih-raih dan memukul-mukul. Terpaksa Milana
melepaskan cengkeramannya dan menyelam ke bawah, menyambar kaki Keng In dan
menyeretnya ke bawah lagi. Sesampainya di dasar laut yang belum begitu dalam,
paling dalam empat meter itu, dia melepaskan kaki Keng In sambil mengikuti
tubuh lawan yang meluncur ke atas itu.
"Plak-plak!
Desss!" Dua kali tamparan mengenai kepala Keng In dan hantaman kedua
dengan tepat sekali mengenai leher pemuda itu.
"Augghhh...!"
Kepala Keng In menjadi pening dan tubuhnya mulai menjadi lemas.
Dia masih
belum tahu apa yang menyerangnya. Selagi dia gelagapan, kembali diseret ke
bawah tanpa dapat dia lawan, karena kakinya telah dipegang dari bawah bukan
hanya satu melainkan keduanya. Sekali ini tanpa dicegahnya lagi, Keng In
terpaksa banyak menelan air laut. Kepalanya makin pening, pandang matanya
berkunang dan napasnya hampir putus, perutnya makin penuh air.
Milana masih
memegangi kaki kiri Keng In. Terpaksa dia lepaskan kaki kanan pemuda itu karena
dalam kepanikannya Keng In menendangkan kaki kanan. Ketika terasa oleh Milana
betapa kaki kiri itu berkelojotan, semua kebencian dan kemarahannya lenyap
tertutup oleh rasa jijik, ngeri dan juga kasihan!
Sungguh jauh
bedanya dengan merobohkan lawan dalam pertandingan. Sekali tangan bergerak
memukul, atau pedang menembus dada lawan, beres. Akan tetapi sekarang, memegang
kaki seorang lawan yang berada dalam keadaan sekarat, berkelojotan, benar-benar
terasa sekali betapa dia akan menjadi seorang pembunuh yang amat kejam! Dalam
keadaan seperti itu, terbayanglah dia akan kebaikan Keng In, betapa manis dan
ramah sikapnya, betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya, sungguh pun dia
tidak dapat membalasnya.
Teringat
pula dia betapa ibunya adalah seorang puteri Kaisar yang amat terkenal, yang
tentu tidak sudi melakukan pembunuhan secara pengecut seperti yang sekarang
dilakukannya itu. Apa pula ayahnya! Ayahnya adalah Pendekar Super Sakti,
Majikan Pulau Es yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia! Tidak mungkin
ayah kandungnya itu akan sudi melakukan pembunuhan securang yang dilakukannya
ini. Kiranya ayah dan ibunya akan lebih suka berkorban nyawa dari pada
melakukan perbuatan serendah itu!
Teringat
akan semua ini, Milana menggigil seluruh tubuhnya. Dilepaskannya kaki yang
mulai lemah gerakan sekaratnya itu sehingga tubuh Keng In meluncur ke atas! Dia
juga menggerakkan kaki menyusul ke atas. Dia memang harus membebaskan diri dari
kekuasaan Keng In, akan tetapi tidak begini caranya! Untuk menyelamatkan diri
melakukan pembunuhan keji dan curang seperti ini, betapa rendahnya itu! Selama
hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh bayangan Keng In yang dibunuhnya secara
pengecut dan curang. Tidak! Dia tidak boleh melakukan kecurangan yang rendah
dan hina itu!
Ketika
kepalanya tersembul ke permukaan air dan menyedot napas dalam-dalam, Milana
melihat tubuh Keng In hampir tenggelam lagi. Pemuda itu telah pingsan! Cepat
dia menyambar rambut pemuda itu yang riap-riapan karena gelungnya terlepas,
kemudian melawan ombak menyeret tubuh Keng In berenang ke darat.
Sejam
kemudian, setelah Milana mengeluarkan air dari dalam perut Keng In dengan jalan
menindih perut pemuda yang ditelungkupkannya itu sehingga air keluar dari
mulutnya, Keng In siuman kembali. Dia membuka matanya dan sebagai seorang ahli
silat tinggi, biar pun kepalanya masih agak pening, sekali bergerak dia telah
meloncat bangun dan siap menghadapi lawan! Melihat Milana duduk di atas rumput
dengan pakaian masih basah kuyup, dia terheran dan teringatlah dia akan semua
yang dialaminya.
"Ahhh,
kau... kau selamat, Milana?" tanyanya.
Milana
tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa malunya. Dia hampir membunuh
pemuda ini dan pertama kali yang keluar dari mulut pemuda itu setelah siuman
dari pingsannya adalah menanyakan keselamatannya! Betapa besar cinta pemuda itu
kepadanya dan betapa besar bencinya kepada pemuda itu. Dan dalam hal perasaan
ini, lepas dari pada jahat tidaknya kelakuan pemuda itu, dia harus merasa malu!
Bukankah cinta merupakan perasaan yang semurni-murninya, sedangkan benci
merupakan perasaan yang sekotor-kotornya?
"Tentu
saja aku selamat, Keng In. Bermain dalam air merupakan permainanku sejak
kecil!"
"Ehhhh?
Dan engkau tadi hampir saja tenggelam ditelan ombak!"
"Hanya
dugaanmu saja, memang aku sengaja memancing engkau agar mengira demikian."
"Tapi...
tapi... apakah kau tidak diserang gurita, atau ular, atau ikan besar seperti
yang kualami? Aku... aku sampai pingsan dan... dan entah bagaimana aku dapat
selamat sampai di sini. Apakah Suhu yang menolongku?"
Milana
menggeleng kepala. "Tidak ada ikan menyerangmu. Yang ada hanya aku. Bukan
ikan yang menyerangmu, melainkan aku."
"Heehhh...?"
Keng in terbelalak kaget. "Engkau yang menarik kakiku, dan engkau
memukulku?"
Milana
mengangguk. "Dan alangkah mudahnya kalau aku mau, alangkah mudahnya membunuhmu."
"Kenapa
tidak? Kenapa aku tidak mati? Kenapa kau tidak membunuhku dan... siapa yang
menolongku?"
"Aku
yang menyeretmu kembali ke darat selagi engkau pingsan."
"Mengapa,
Milana? Bukankah amat mudah kalau hendak membunuhku yang sudah pingsan? Kenapa
kau malah menolongku?"
"Aku
bukan seorang pembunuh berdarah dingin yang kejam seperti engkau, Keng In.
Melihat engkau tidak berdaya, aku malah tidak tega membunuhmu dan menyeretmu ke
sini."
"Milana...!"
Keng In hendak memeluk dara itu, akan tetapi Milana mengelak. "Itu berarti
bahwa engkau pun cinta kepadaku, Milana! Ha-ha-ha, rela aku mati tiga kali
rasanya kalau ditebus dengan cintamu kepadaku."
"Hemmm,
jangan mengira bahwa tidak tega membunuh berarti jatuh cinta. Tidak Keng In.
Aku tak membunuhmu karena aku merasa terlalu rendah dan hina kalau membunuh
seorang lawan yang tidak berdaya. Andai kata aku memiliki kepandaian lebih
tinggi darimu, sudah lama engkau tewas olehku dalam sebuah pertandingan. Aku
bukan keturunan pengecut!" Setelah berkata begitu, dara ini cepat lari
kembali ke pondoknya untuk menukar pakaiannya yang basah kuyup dan ketat
menempel di tubuhnya itu.
Keng In
terkulai penuh kekecewaan. Harapannya akan cinta kasih Milana yang tadi
membubung setinggi gunung kini pecah berantakan dan terhempas rata seperti air
tumpah. Dengan perasaan tertekan kekecewaan dan kedukaan, pemuda ini pergi
menemui Cui-beng Koai-ong, gurunya yang bersemedhi di dalam sebuah goa di
pantai Pulau Neraka, kemudian menangisi gurunya sambil minta bantuan gurunya
agar kerinduan hatinya terobati dan keinginannya memperoleh Milana dengan
penyerahan bulat itu terpenuhi.
Kakek yang
seperti mayat itu tidak bergerak, juga tidak membuka matanya. Bahkan bibirnya
tidak bergerak, namun ada suara terdengar keluar dari dalam perutnya!
"Goblok
engkau jika jatuh cinta kepada seorang wanita! Betapa mungkin memaksakan cinta
dalam hati wanita yang selalu mudah berubah seperti angin, sebentar bertiup ke
timur sebentar ke barat? Mengikatkan diri dengan wanita berarti membuka pintu
neraka yang akan menyiksamu!"
"Biarlah,
Suhu. Apa pun akibatnya akan teecu hadapi asal teecu bisa mendapatkan diri
Milana, dapat menerima penyerahan dirinya secara suka rela. Teecu tidak dapat
melakukan paksaan karena teecu cinta kepadanya, teecu ingin dia menyerah
bulat-bulat tanpa paksaan."
"Hemm,
hanya ada satu jalan. Tanpa siasat tak mungkin niatmu terlaksana. Gadis puteri
Pendekar Siluman itu memiliki kekerasan di balik kelembutannya, kekerasan
melebihi baja yang takkan dapat ditundukkan. Kau cari kumpulan racun di dalam
peti simpananku. Pergunakan bubuk racun merah dua bagian dicampur dengan sari
racun lima warna, campurkan dalam makanan dan berikan kepadanya."
"Aihh...!
Racun-racun itu adalah pembunuh-pembunuh yang tidak ada obatnya, Suhu!"
"Memang
demikian. Akan tetapi kalau sudah dicampur dengan takaran itu, akan saling
memunahkan dan berubah menjadi racun perampas ingatan. Gadismu itu akan lupa
segala kalau kau beri racun campuran itu."
"Akan
tetapi, apa gunanya kalau dia hilang ingatan, Suhu?"
"Tolol!
Kalau dia lupa lagi siapa engkau, lupa siapa yang dibenci dan dicinta, apa
sukarnya?"
"Tapi...
tapi..."
"Sudah!
Pergilah, dan jangan ganggu aku!"
Keng In
tidak berani membantah lagi. Sampai dua hari dia termenung memikirkan jalan
terbaik. Dia ingin Milana menyerahkan diri dengan suka rela padanya, bukan
membuat dara itu seperti boneka tanpa ingatan! Tiba-tiba dia teringat ketika
dahulu bersama Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan pasukan pengawal menawan Milana.
Kemudian muncul Gak Bun Beng, pemuda yang sejak kecil selalu menghadapinya
sebagai musuh!
Dan pemuda
itu telah menyerahkan Hok-mo-kiam kepada Milana, menolong gadis itu membebaskan
diri dan rela mengorbankan diri menjadi tawanan. Bahkan dia telah memukul Bun
Beng dengan pukulan Toat-beng-tok-ci, akan tetapi Bun Beng yang sudah tak
berdaya itu di tengah jalan dapat lolos berkat pertolongan orang sakti yang dia
sangka tentulah paman gurunya sendiri, Bu-tek Siauw-jin.
Ah, ada
hubungan apakah antara Bun Beng dan Milana? Mudah saja diduga bahwa Bun Beng
tentu mencinta Milana, kalau tidak, tak mungkin pemuda itu menyerahkan
Hok-mo-kiam, dan juga rela membiarkan dara itu lolos dengan mengorbankan
dirinya sendiri! Akan tetapi bagaimana dengan Milana? Cintakah Milana kepada
pemuda itu? Dia harus mengetahui lebih dulu akan hal ini sebelum dia
menggunakan siasat seperti yang dikatakan gurunya.
Beberapa
hari kemudian, ketika Milana sedang duduk seorang diri di dalam taman, Keng In
datang menghampirinya dan berkata, "Milana, aku sangat berterima kasih
kepadamu bahwa beberapa hari yang lalu engkau telah menyelamatkan nyawaku saat
aku pingsan di lautan."
Milana
menoleh, kedua pipinya menjadi merah. "Tidak perlu kau mengejek, Keng In.
Engkau pingsan karena kecuranganku dan aku sama sekali bukan menolongmu, tapi
hanya menghentikan niatku untuk membunuhmu secara pengecut."
"Betapa
pun juga, aku amat berterima kasih kepadamu, Milana. Aku mengerti engkau tentu
jemu melihat betapa aku selalu mengharapkan cintamu. Aku terlalu mencinta
engkau, Milana dan hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa engkau belum
mempunyai pilihan hati. Andai kata engkau telah mencinta seorang pria lain,
hemm... agaknya aku akan tahu diri dan akan mundur."
Tiba-tiba
Milana memandang dengan tajam penuh selidik. "Benarkah itu, Keng In?
Apakah engkau akan membebaskan aku kalau aku telah mencinta seorang pria
lain?"
"Hemm...
agaknya begitulah. Aku akan malu sekali kalau mengharapkan cinta kasih seorang
wanita yang telah mempunyai pilihan orang lain. Hal itu akan amat rendah dan
memalukan bagi seorang pria gagah. Kalau engkau memang telah jatuh cinta kepada
orang lain, aku takkan menjadi penasaran lagi dan mengerti mengapa kau tidak
dapat membalas cintaku."
"Kalau
begitu, Keng In. Dengarlah baik-baik. Aku memang telah mencinta pria lain maka
aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas cintamu!"
Kalau saja
wajah pemuda itu tidak berwarna pucat selalu, kiranya tentu Milana akan melihat
perubahan mukanya. Jantung pemuda itu bagai ditusuk rasanya dan dia harus
mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk menekan perasaannya yang tertusuk.
"Hemm...
benarkah itu, Milana? Ataukah hanya untuk alasan kosong belaka? Kalau memang
benar kata-katamu, engkau harus dapat menyebutkan nama orang yang kau cinta
itu."
"Orangnya
sudah kau kenal, Keng In. Dia adalah Gak Bun Beng..."
"Aaahhh...!"
Seruan sederhana ini bukan karena kaget, melainkan karena kemarahan yang
ditahan-tahannya. Dugaannya tidak keliru. Pemuda keparat Gak Bun Beng itu!
"Tapi
dia itu anak haram!"
"Wan
Keng In! Aku melarangmu menyebutnya dengan penghinaan seperti itu!" Milana
bangkit berdiri, bertolak pinggang dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api!
Hal ini tambah meyakinkan hati Keng In bahwa benar-benar dara yang dipujanya
ini mencinta Bun Beng!
"Memang
kenyataannya begitu! Dia putera mendiang tokoh iblis Kang-thouw-kwi Gak Liat,
sebagai hasil perkosaan iblis itu kepada seorang murid Siauw-lim-pai!"
"Perbuatan
ayah atau ibu tiada sangkut-pautnya dengan anaknya! Apa pun yang menjadi
riwayat hidup orang tuanya, aku tidak peduli dan Gak Bun Beng tetap merupakan
satu-satunya pria yang paling baik bagiku, yang ku... cinta! Nah, aku sudah
mengaku, engkau harus memegang janjimu, Wan Keng In!"
Keng In
menahan kemarahannya yang meluap-luap, timbul dari cemburu dan iri hati. Dia
meninggalkan Milana dan gadis ini diam-diam merasa khawatir juga. Dia tahu
bahwa seorang yang sudah rusak akhlaknya seperti pemuda Pulau Neraka ini sukar
diketahui isi hatinya, dan untuk meloloskan diri dari pulau itu seolah-olah
tidak ada kemungkinan lagi. Dia hanya mengharapkan pertolongan dari ibunya,
atau ayahnya.
Tidak
mungkin ayah bundanya, juga Gak Bun Beng akan diam saja. Tentu tiga orang itu
akan mencarinya dan setiap hari dia mengharap-harap munculnya seorang di antara
mereka, atau kalau mungkin ketiganya karena untuk menghadapi Wan Keng In dan
gurunya, kecuali ayahnya, agaknya belum tentu kalau ibunya atau Bun Beng akan
dapat menang. Selain mereka bertiga, dia pun mengharapkan pertolongan dari
Kaisar yang menjadi kakeknya. Tentu kakeknya itu kalau mendengar bahwa dia
diculik orang akan mengerahkan pasukan mencarinya.
Akan tetapi
Milana sama sekali tidak tahu bahwa Wan Keng In akan mengambil siasat yang amat
keji, yang sama sekali tidak pernah diduganya, yaitu menggunakan racun yang
dicampur dalam makanannya. Tanpa disadarinya, semenjak makan hidangan yang
dicampuri racun oleh Keng In, lambat laun Milana menjadi makin pelupa dan
akhirnya dia telah kehilangan ingatan sama sekali! Hanya samar-samar saja dia
masih ingat akan orang-orang yang paling dekat dengan hatinya, yaitu ayah
bundanya, dan terutama Gak Bun Beng!
Setelah
melihat hasil dari racun seperti yang diajarkan gurunya sehingga keadaan dara
tawanannya itu benar-benar tidak ingat apa-apa lagi, Wan Keng In lalu
melanjutkan siasatnya. Malam hari itu dia memasuki kamar pondok Milana, membuka
jendela dan sengaja mengeluarkan suara. "Sstttt... Milana...!"
Milana yang
sudah hampir pulas itu bangun. Biar pun dia lupa ingatan, namun dia tidak
kehilangan kepandaiannya dan sedikit suara itu cukup membuat dia terbangun dan
siap menghadapi bahaya yang mengancam!
"Siapa...?"
tegurnya.
"Aku...
Gak Bun Beng!"
"Gak...
Bun... Beng...?" Milana sudah meloncat turun dari pembaringannya dan
dengan mata terbelalak ia melihat laki-laki yang sudah berada di dalam kamarnya
itu. Seorang pemuda berpakaian sederhana, dengan memakai caping bundar lebar.
Keadaan
dalam kamarnya remang-remang sehingga wajah orang itu tidak nampak jelas, akan
tetapi andai kata keadaan terang sekali pun, Milana tidak akan mengenal lagi
wajah orang yang dicintanya itu. Yang jelas teringat olehnya hanyalah nama Gak
Bun Beng! Kini melihat orang yang selama ini dipikirkan dan dirindukannya telah
datang, tentu saja dia girang bukan main!
"Milana...
betapa rinduku kepadamu... aku cinta padamu, Milana. Aku Gak Bun Beng
kekasihmu..."
"Koko...!"
Milana berseru lirih dan dalam suaranya ini tercurah seluruh perasaan rindunya.
Ketika pemuda itu memeluknya, Milana menekan mukanya di dada yang bidang itu
sambil menangis terisak-isak, tangis kegirangan!
Biar pun
pada saat itu Milana berada di bawah pengaruh racun perampas ingatan, namun
perasaannya masih berkesan bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya dan yang
dirindukannya hanyalah ayah bundanya dan Gak Bun Beng, maka begitu pemuda itu
muncul, tentu saja dia menjadi terharu, lega, dan girang. Kegirangan yang
meluap ini membuat dia tidak menolak, bahkan menyambut dengan hangat peluk cium
pemuda itu untuk melepaskan rindunya yang menyesak dada.
"Milana,
kekasihku... jiwaku sayang..." Pemuda itu berbisik penuh gairah, mencium
dahi, mata, hidung, bibir dengan penuh kemesraan sedangkan dara itu menyambut
dengan mata dipejamkan, penuh penyerahan, penuh kebahagiaan.
Akan tetapi
ketika pemuda itu memondongnya ke atas pembaringan, ketika dia merasa betapa
tangan pemuda itu bergerak melanggar batas kesusilaan, bahkan mulai berusaha
menanggalkan pakaiannya, Milana terkejut bukan main, membuka matanya dan
meronta sambil berseru, "Jangan...!"
"Mengapa,
Milana? Aku Gak Bun Beng kekasihmu..." Pemuda itu yang bukan lain adalah
Wan Keng In yang menyamar sebagai Bun Beng, memeluk dan mendesak sambil mencium
dengan nafsu birahi yang sudah memuncak ke ubun-ubunnya.
"Jangan...!"
Milana kembali menepis tangan yang nakal itu.
"Milana,
bukankah kita saling mencinta? Kau akan menjadi isteriku, Sayang..."
"Koko,
jangan begini! Biar pun kita saling mencinta, akan tetapi kita belum menikah
dan aku bukanlah seorang wanita rendahan yang dengan mudah dan murah dapat
menyerahkan diri begini saja!" Suara dara itu terdengar tegas bercampur
nada tidak senang dan kecewa.
"Milana...!"
Kini Milana
meronta, melepaskan diri dan meloncat turun dari atas pembaringan. Sepasang
matanya masih basah oleh air mata kegirangan tadi, akan tetapi alisnya berkerut
dan suaranya tegas,
"Gak-koko!
Aku menganggap engkau seorang laki-laki yang paling baik di dunia ini, akan
tetapi mengapa sekarang engkau hendak melakukan hal yang amat keji?"
"Milana...
aku cinta padamu..."
"Gak-koko,
apa yang hendak kau lakukan ini sama sekali bukanlah cinta, melainkan nafsu
iblis...! Apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menodai kasih
sayangku?"
Wan Keng In
menekan perasaan yang sudah bergelora. Dia telah menggunakan siasat, meracuni
gadis ini agar lupa segala, kemudian dia menyamar sebagai Bun Beng. Gadis itu
memang tertipu, menganggap dia Gak Bun Beng, akan tetapi tetap saja siasatnya
tidak berhasil mendapatkan diri dara itu dengan suka rela. Tadinya, kalau
sampai usahanya berhasil dan Milana menyerahkan diri kepada ‘Gak Bun Beng’ yang
diwakilinya, maka pelan-pelan dia akan memunahkan racun yang mempengaruhi diri
Milana dan karena sudah terlanjur menyerahkan diri, tentu Milana akan menerima
kenyataan bahwa dia telah menjadi milik Wan Keng In! Siapa mengira, biar pun
berada dalam keadaan tidak sadar dan lupa ingatan, ternyata gadis itu masih
saja tetap mempertahankan kehormatannya, biar pun terhadap Gak Bun Beng, pemuda
yang dicintanya!
"Milana,
engkau mengecewakan hatiku!" Dia membentak marah akan tetapi masih ingat
untuk memburukkan nama Gak Bun Beng di depan dara itu. "Berbulan-bulan aku
menahan rindu dan setelah sekarang kita bertemu, engkau menolak pencurahan
kasih sayangku. Hmm, apa kau kira tidak ada wanita lain yang akan suka melayani
cintaku?" Setelah berkata demikian, Wan Keng In meninggalkan pondok itu.
"Gak-koko...!"
Milana menjerit dan mengejar, akan tetapi melihat bayangan pemuda itu lenyap
dalam gelap.
Kemudian dia
kembali ke dalam kamarnya, menjatuhkan diri ke atas pembaringan dan menangis.
Milana merasa bingung sekali. Dunia seakan-akan menjadi tempat yang tidak
menyenangkan baginya. Dia selalu merasa bingung dan meragu, sekarang ditambah
lagi dengan tingkah laki-laki yang paling dicintanya, yang demikian tega hendak
merenggut kehormatannya dengan paksa!
Sementara
itu Wan Keng In marah bukan main. Semua ini gara-gara Gak Bun Beng, pikirnya.
Kebenciannya memuncak setelah dia mendengar sendiri betapa Milana mencinta
pemuda yang dianggapnya musuh besar itu. Dia harus mencari Gak Bun Beng, dan
membunuhnya! Baru puas rasa hatinya kalau saingan itu lenyap dari permukaan
bumi.
Dia lalu
memanggil Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka berkepala gundul bermuka merah muda
yang menjadi orang kepercayaannya, berpesan kepada pembantu ini agar menjaga
Pulau Neraka, melayani kebutuhan gurunya, dan selama dia pergi meninggalkan
pulau agar mencampuri hidangan Milana dengan bubukan obat yang telah
disiapkannya, hanya sedikit perlu untuk menjaga agar ingatah dara itu tetap
kabur dan pelupa! Setelah meninggalkan semua pesan itu, malam itu juga Wan Keng
In naik perahu meninggalkan Pulau Neraka.
Beberapa
hari kemudian, semenjak Wan Keng In mendarat dan mulai dengan perjalanannya
untuk mencari Gak Bun Beng, mulai geger pula dunia kang-ouw dengan munculnya
seorang pemuda yang amat kejam dan ganas, yang menyebar maut di antara
orang-orang gagah, seorang pemuda yang lihai bukan main, yang memegang pedang
Lam-mo-kiam dan yang bernama... Gak Bun Beng!
Tentu saja
pemuda itu adalah Wan Keng In! Karena bencinya kepada Bun Beng yang dianggapnya
telah merebut hati kekasihnya, ia sengaja menggunakan nama musuhnya untuk
malang-melintang, mendatangi perkumpulan-perkumpulan dari golongan bersih,
membunuh tokoh-tokohnya yang berani melawannya. Sekejap saja nama Lam-mo-kiam
(Pedang Iblis Jantan) dikenal oleh dunia kang-ouw dengan hati gentar, dan nama
Gak Bun Beng yang selalu mengaku keturunan atau putera mendiang datuk kaum
sesat Gak Liat itu juga dikenal dengan hati benci.
Memang Keng
In sengaja memperkenalkan nama Gak Bun Beng sebagai putera Gak Liat. Biar pun
Gak Liat sudah meninggal dunia, namun nama Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai
seorang di antara para datuk kaum sesat amatlah terkenal, maka tidak ada
seorang pun yang meragukan lagi bahwa keturunan datuk itu yang bernama Gak Bun
Beng tentulah juga jahat sekali seperti ayahnya!
Betapa pun
jahat perbuatan Wan Keng In itu, tetapi hal ini tentu saja tidak disadari oleh
pemuda itu sendiri. Dia menganggap bahwa Bun Beng amat jahat, menghancurkan
harapannya, merusak cinta kasihnya, menggagalkan hubungannya dengan dara yang
dicintanya. Dia menganggap Bun Beng semenjak dulu menantang dan memusuhinya,
dan dia menganggap sudah sepatutnya kalau Bun Beng dihukumnya, di antaranya
dengan merusak namanya di dunia kang-ouw!
Dan anggapan
Wan Keng In ini bukanlah dibuat-buat. Sudah menjadi kebiasaan kita yang
dianggap lajim bahwa kita menilai seorang dari keturunannya, dari masa lalu,
dan karena penilaian inilah maka selalu terdapat permusuhan di dunia ini. Wan
Keng In sudah mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah seorang anak haram yang lahir
dari seorang wanita yang diperkosa oleh Gak Liat Si Datuk kaum sesat. Tentu
saja dengan sendirinya dia menganggap rendah Gak Bun Beng, dan dianggapnya
seorang yang hina dan sudah sepatutnya kalau jahat!
***************
Perahu kecil
itu meluncur cepat sekali di antara gumpalan-gumpalan es besar kecil yang
malang-melintang di atas air laut. Dara muda yang mendayung perahu dengan kedua
tangannya yang kecil halus namun penuh berisi tenaga sakti itu mendayung sambil
menangis terisak-isak. Dibiarkannya air matanya turun mengalir di sepanjang
hidungnya, di kanan kiri hidung terus ke pinggir mulut dan menitik turun ke
dada melalui dagunya. Matanya tak pernah berkejap, memandang ke depan dengan kosong.
Setelah
perahu kecil itu keluar dari gumpalan-gumpalan es, layar kecil dipasang dan
angin mulai menggerakkan perahu, dara itu bangkit berdiri, mengemudikan layar
berdiri termenung seperti arca. Isaknya tak terdengar lagi, akan tetapi air
mata masih bertitik turun jarang-jarang. Tangan kiri memegangi tali layar
tangan kanan meraba gagang pedang di pinggang.
"Singggg...!"
Tampak kilat berkelebat ketika pedang itu tercabut keluar dari sarungnya.
Tangan kanan itu membawa pedang di depan dahi, tegak dan seolah-olah hendak
diciumnya. Bibir yang halus tipis agak pucat itu bergerak dan terdengar
suaranya lirih, "Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, aku bersumpah untuk
membunuh engkau dan semua kaki tanganmu!"
Agaknya
sumpah ini meredakan kemarahan dan kedukaan hati Giam Kwi Hong. Dia
menyarungkan kembali pedang Li-mo-kiam dan duduk di perahu yang meluncur cepat
terdorong angin menuju ke darat. Setelah kini duduk melamun sambil memandang ke
barat, arah daratan besar, terbayanglah dia akan wajah seorang yang selama ini
amat dirindukannya. Wajah yang tampan, gagah dan sederhana, wajah Gak Bun Beng!
Dia mengeluh ketika teringat betapa Gak Bun Beng, pria satu-satunya di dunia
ini yang telah berhasil merampas kasih hatinya, telah ditunangkan dengan
Milana, puteri pamannya. Hancurlah hatinya. Musnahlah harapan untuk hidup
bahagia!
Memang lucu
dan janggal sekali manusia dan tingkahnya hidup di dunia ini. Kita sebagai
manusia selalu rindu akan kebahagiaan, selalu gandrung dan mengejar-ngejar apa
yang disebut kebahagiaan! Apakah sebenarnya kebahagiaan yang sebutannya dikenal
oleh semua orang, yang selalu dicari dan dikejar oleh manusia, akan tetapi yang
agaknya tidak ada seorang pun manusia memilikinya itu? Apakah sesungguhnya
kebahagiaan? Apakah itu yang disebut hidup bahagia?
Adakah
kebahagiaan itu suatu angan-angan kosong yang hanya direka oleh manusia yang
merasa tidak bahagia? Ataukah kebahagiaan itu suatu keadaan tertentu yang dapat
dirasakan dan dihayati? Orang dalam keadaan remuk redam hatinya karena
kegagalan cinta seperti Kwi Hong, kiranya kebahagiaan berarti kalau dia dapat
hidup bersama orang yang dicintanya! Orang yang menderita sakit berat, agaknya
akan menganggap bahwa kebahagiaan adalah kalau dia sembuh dari penyakitnya!
Orang yang kelaparan tentu akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah sepiring
nasi yang akan mengenyangkan perutnya, atau bagi seorang yang kehausan
kebahagiaan adalah kalau dia dapat meneguk air jernih sejuk sepuas perutnya!
Orang yang
rindu akan kebahagiaan, yang mengejar-ngejar kebahagiaan, berarti bahwa orang
itu tidak mengenal kebahagiaan. Kalau dia tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana
mungkin dia akan dapat berhasil mencari dan menemukan kebahagiaan? Kalau dalam
pencariannya dia menemukan, tentu yang ditemukan itu bukan kebahagiaan, melainkan
sesuatu yang diinginkannya, dan sesuatu yang diinginkan kebetulan sesuatu yang
sudah dikenalnya atau dialaminya. Tak dapat disangkal pula karena memang
kenyataan bahwa terpenuhinya keinginan mendatangkan kepuasan, akan tetapi
kepuasan ini disusul dengan kebosanan sehingga timbul pula keinginan untuk
hal-hal lain yang belum dapat diraihnya. Demikian terus-menerus kita terseret
oleh lingkaran setan yang tiada berkeputusan, dan kebahagiaan pun tak kunjung
tiba!
Yang
terpenting bagi kita adalah untuk mengetahui kenapa kita mencari kebahagiaan?
Orang yang mencari kebahagiaan berarti tidak berbahagia, bukan? Kalau sudah
bahagia tak mungkin mencari kebahagiaan lagi! Kalau kita tidak berbahagia, apa
sebabnya kita tidak berbahagia? Inilah yang penting! Seperti orang yang mencari
kewarasan tentulah orang yang tidak waras! Yang penting adalah untuk mengetahui
mengapa kita tidak waras, dan apa penyakit yang kita derita. Yang penting
adalah menghilangkan penyakit itu, bukannya mengejar kewarasan. Yang penting
adalah menghilangkan penyebab tidak bahagia atau yang biasa disebut derita dan
sengsara itu, bukannya mengejar bahagia! Kalau tidak ada lagi yang menyebabkan
kita tidak bahagia, maka kebahagiaan tentu ada!
Kwi Hong pun
dirusak oleh pikirannya sendiri yang seperti semua manusia, tak pernah mengenal
diri dan keadaan sendiri, tak pernah puas dengan keadaan seperti apa adanya.
Kekecewaannya mendengar Bun Beng bertunangan dengan Milana, penyesalannya
karena dia telah tertipu oleh Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya sehingga dia
melakukan kesalahan besar di depan pamannya, membuat dia berduka dan sakit
hati. Duka, sakit hati, penyesalan dan kemarahan akhirnya membentuk watak yang
keras di dalam hati Kwi Hong. Membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan
hidupnya, tidak peduli akan keadaan sekitarnya.
Perahunya
meluncur cepat, lebih cepat dari tadi setelah berhasil keluar dari gumpalan es
yang mengambang di permukaan air, kini menuju ke barat, ke arah daratan. Badai
yang mengamuk di bagian selatan Pulau Es tidak mencapai tempat yang dilalui Kwi
Hong itu, akan tetapi tetap saja pengaruhnya ada pada air laut yang
bergelombang, akan tetapi tidak mengganggu Kwi Hong yang pandai menguasai
perahu layarnya, bahkan perahu itu terdorong pula oleh lajunya ombak.
Lima orang
nelayan yang melihat betapa di udara sebelah selatan dan timur gelap, tanda
bahwa ada badai mengamuk, memandang terheran-heran ketika melihat sebuah perahu
layar kecil melaju ke arah pantai. Mereka sendiri sebagai nelayan-nelayan yang
berpengalaman, melihat ancaman badai, tidak berani melanjutkan usaha mereka
mencari ikan, dan hanya menanti di pantai. Tadinya mereka mengira bahwa perahu
layar itu tentu milik seorang nelayan yang terserang badai sehingga tersesat
sampai ke tempat itu. Akan tetapi betapa kaget dan herannya hati mereka ketika
perahu layar itu tiba di pantai, mereka melihat seorang dara yang cantik jelita
turun dari perahu layar meloncat ke darat dan sama sekali tidak mempedulikan
mereka.
Akan tetapi
tiga orang di antara para nelayan itu adalah orang-orang muda yang kasar.
Melihat seorang dara cantik sendirian saja turun dari perahu itu, mereka segera
menghampiri, dan seorang di antara mereka sudah berseru, "Aiihhh, Nona
manis, tunggu dulu!"
"A-ban,
jangan ganggu orang!" Dua orang nelayan tua yang tidak ikut maju menegur,
akan tetapi A-ban dan dua orang kawannya itu tidak mau peduli akan teguran itu
dan berlari mengejar Kwi Hong yang sudah melangkah hendak pergi.
Mendengar
seruan itu, Kwi Hong menghentikan langkahnya, tanpa menoleh, hanya berdiri
tegak seperti arca, akan tetapi sepasang alisnya berkerut dan sinar matanya
mengeluarkan cahaya kilat. Hatinya yang sedang dilanda duka, kecewa,
penyesalan, kemarahan dan sakit hati itu seperti dibakar mendengar orang secara
kasar dan kurang ajar menyebutnya nona manis!
Tiga orang
nelayan muda itu dengan sikap cengar-cengir sudah tiba di depan Kwi Hong dan
mereka makin kagum melihat dara ini dari dekat karena Kwi Hong memang memiliki
kecantikan yang mengagumkan. Melihat alis itu berkerut dan bibir manis itu
cemberut, tiga orang itu tersenyum menyeringai. Mereka mengira bahwa wanita ini
tentu bersikap ‘jual mahal’ karena jelas bahwa satu kali seruan saja cukup
membuat wanita itu berhenti, tanda bahwa ‘ada kontak’.
"Aihhhh,
Nona, jangan cemberut. Kalau engkau marah makin manis, tidak kuat aku
memandangnya!" kata orang pertama.
"Jangan
jual mahal, ah, berapa sih harganya?" orang kedua menyambung.
"Kami
hanya ingin bicara denganmu, Nona cantik manis, siapakah nama, di mana tempat
tinggal, berapa usia, sudah menikah atau belum?" orang ketiga berkata
dengan suara dibuat-buat seperti orang bernyanyi.
"Singgg...!
Crat-crat-crat...!"
Tiga orang
nelayan itu hanya melihat sinar kilat berkelebat menyambar, mereka tidak sempat
lagi terheran karena sinar kilat itu adalah sinar pedang Li-mo-kiam yang sudah
menyambar ke arah leher mereka dan robohlah tiga orang ini bergelimpangan
dengan leher hampir putus dan nyawa melayang, seketika itu juga.
"Ahhh...!"
Dua orang nelayan tua memandang terbelalak dan seketika mereka menjatuhkan diri
berlutut dengan tubuh menggigil.
Kwi Hong
sendiri terkejut menyaksikan akibat kemarahannya. Sejenak dia tertegun dan
terheran mengapa tiga orang itu dibunuhnya? Memang mereka kurang ajar, akan
tetapi dia sendiri kini merasa betapa dia telah bertindak keterlaluan, karena
kesalahan mereka itu belum patut untuk dihukum dengan kematian! Dia menyesal,
akan tetapi sudah terlambat. Kini mendengar seruan kaget itu dia menoleh dan
melihat dua orang nelayan tua berlutut dengan ketakutan, dia lalu berkata,
suaranya halus seperti biasa.
"Paman
berdua tidak perlu takut. Mereka ini menghinaku dan sudah mati. Kuburlah mayat
mereka dan ini perahuku boleh kalian ambil. Kuberikan kepada kalian."
Setelah berkata demikian, Kwi Hong berkelebat dan sekejap mata saja dia telah
meloncat dan berlari jauh, kemudian lenyap di antara pohon-pohon.
Dua orang
kakek itu terbelalak, sampai lama tidak dapat bangkit berdiri mengira bahwa
wanita yang turun dari perahu di waktu laut bergelombang itu tentu seorang
siluman atau iblis penghuni lautan!
Semenjak
Li-mo-kiam yang sejak diciptakannya selalu haus darah itu berhasil minum darah
tiga orang nelayan, pedang iblis itu menjadi makin haus darah. Pengaruhnya ini
dengan cepat dan mudah menjalar ke dalam pikiran Kwi Hong yang pada saat itu
pun sedang dihimpit sakit hati, dendam, kekecewaan, kemarahan dan kedukaan,
sehingga dara ini berubah menjadi seorang dara yang ganas sekali. Pendidikan
dasar semenjak dia kecil di Pulau Es, gemblengan yang didapatnya dari Pendekar
Super Sakti, tentu saja cukup kuat untuk mencegahnya terseret ke dalam lembah
kejahatan.
Tidak, Giam
Kwi Hong masih belum menjadi seorang wanita iblis yang suka melakukan kejahatan
sebagai kesenangannya, sama sekali tidak. Dia masih berwatak pendekar yang
selalu berhasrat menentang kejahatan, namun perubahan wataknya itu membuat dia
menjadi seorang yang amat kejam dan ganas.
Hal ini
terbukti di sepanjang perjalanannya menuju ke kota raja. Setiap kali dia
bertemu dengan orang yang dianggapnya jahat, dengan perampok dan bajak sungai,
tentu mereka itu menjadi korban kehausan Li-mo-kiam dan dibasminya semua sampai
habis ke akar-akarnya, tidak seorang pun diberi ampun. Maka muncullah nama baru
yang amat ditakuti oleh golongan hitam, julukan yang dengan sendirinya
diperoleh Kwi Hong karena pedang dan keganasannya. Perjalanannya ke kota raja
dari Pulau Es ini menggoreskan jejak yang mendalam karena perbuatannya membasmi
para penjahat itu, dan berkumandanglah nama julukan Mo-kiam Lihiap (Pendekar
Wanita Pedang Iblis)!
Karena
merasa menyesal sekali bahwa dia telah tertipu oleh para pemberontak sehingga
dia melakukan kesalahan besar kepada pamannya, bahkan dialah yang menjadi
gara-gara sampai bibi Phoa Ciok Lin tewas, Kwi Hong menjadi seorang pendendam
besar dan perasaan ini ditambah kekecewaan dan kedukaan membuat dia seorang
yang tidak mengacuhkan segala sesuatu, dan dia menjadi pula seorang pembenci!
Beberapa
pekan kemudian tibalah dia di kota raja yang sekarang sudah aman. Dia mulai
melakukan penyelidikan dan mendengar betapa pasukan pemberontak sudah hancur
sama sekali oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Hal ini
tidak menarik hatinya karena dia memang sudah tahu. Yang ingin diketahuinya
adalah di mana adanya Milana dan... terutama sekali Gak Bun Beng. Akhirnya dia
berhasil mendapat keterangan yang mengejutkan bahwa Milana, puteri dari
Panglima Wanita Nirahai, cucu dari Kaisar sendiri, telah lama lenyap diculik
orang! Tidak ada yang tahu siapa penculiknya dan tidak ada pula yang tahu siapa
atau di mana adanya Gak Bun Beng.
Hati Kwi
Hong menjadi bimbang. Kalau menurut pesan pamannya, dia harus mencari Milana
dan Bun Beng. Tapi kini sudah kurang semangatnya untuk melaksanakan perintah
pamannya itu. Apa perlunya mencari mereka? Mereka bukanlah anak kecil. Bertemu
dengan Milana dan Bun Beng, melihat mereka berdua telah menjadi calon suami
isteri, hanya akan menusuk perasaannya sendiri saja. Pamannya telah
membencinya. Jika dia berhasil menemukan Milana dan Bun Beng, berhasil mengajak
mereka pulang ke Pulau Es, tentu dia hanya akan lebih menderita lagi. Lebih
baik tidak lagi bertemu dengan Milana, tidak lagi bertemu dengan pamannya. Dia
tidak lagi akan pergi ke Pulau Es!
Kwi Hong
menggigit bibir menahan isaknya yang tersedu dari dalam dadanya. Digunakan
kekerasan hatinya untuk menahan menetesnya air mata. Tak perlu dia menangis.
Dia bisa hidup sendiri. Memang dia seorang yang sebatang kara, seorang yatim
piatu.
Ah, ada
gurunya yang kedua. Bu-tek Siauw-jin! Kakek sinting itulah satu-satunya orang
yang baik kepadanya. Teringat akan watak kakek yang sinting dan aneh itu,
lenyaplah kedukaan hati Kwi Hong dan dia tersenyum geli sendiri. Tentu saja!
Dia harus pergi mencari kakek yang menjadi gurunya itu, Bu-tek Siauw-jin, tokoh
besar Pulau Neraka. Tentu saja kakek itu kemungkinan besar kembali ke Pulau
Neraka.
Berdebar
tegang juga hatinya ketika ia mengingat akan hal ini. Juga pemuda iblis itu,
Wan Keng In, dan gurunya yang mengerikan, kakek Mayat Hidup yang berjuluk
Cui-beng Koai-ong, berada di Pulau Neraka! Sungguh pun hal ini pun belum tentu
melihat kenyataan betapa pemuda yang menjadi putera bibi Lulu yang kini menjadi
isteri pamannya di Pulau Es itu sering kali berkeliaran di daratan besar.
Andai kata
benar berada di sana dan dia berjumpa dengan pemuda iblis itu, dia pun tidak
takut. Dia akan menyampaikan pesan bibi Lulu, memberi tahu bahwa bekas Ketua
Pulau Neraka itu kini telah menjadi isteri Majikan Pulau Es dan minta supaya
pemuda itu suka menyusul ibunya ke Pulau Es. Akan tetapi kalau pemuda iblis itu
tidak mau, dia tidak akan peduli. Kalau pemuda itu masih memusuhinya seperti
dahulu, dia tidak takut menghadapinya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment