Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 10
"Apakah
engkau mendapatkannya di bukit ini? Apakah ada pusaka lain lagi? Kitab
pelajaran kuno? Kulihat engkau menderita pukulan beracun yang amat
berbahaya!" Wan Keng In mendesak lagi, akan tetapi Bun Beng menggeleng
kepala dan memejamkan mata, tidak menjawab.
Keng In
menggerakkan jari tangannya menotok pundak Bun Beng dan pemuda yang sudah
terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak. "Kalian bawa dia ke
perahu dan bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk mengorek rahasia
darinya. Dia lihai, akan tetapi dia terluka parah dan sudah kutotok. Akan
tetapi, kalian harus tetap berhati-hati membawanya, jangan sampai gagal. Aku
akan menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup mencurigakan."
"Baik,
Kongcu (Tuan Muda)." Dua orang anggota Pulau Neraka yang bermuka merah itu
lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan membawanya turun dari bukit.
Semetara
itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan tetapi dia hanya
menemukan mayat delapan belas orang gagah itu dan biar pun dia telah mencari
sampai sehari penuh, dia tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kitab kecil
pelajaran Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat. Biar pun yang ditemukan sama sekali
bukan pusaka-pusaka yang diharapkan namun kitab ini ia kantongi dan ia bawa
pergi setelah ia bersuit memanggil burung rajawali yang mengikuti perjalannya
bersama dua orang anggotanya dari atas.
Sementara
itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke pantai sunyi di
mana mereka menyembunyikan perahu mereka, kemudian merebahkan Bun Beng di dekat
perahu dan melayarkan ke laut. Bun Beng masih berusaha sedapat mungkin untuk
membebaskan totokan. Dia memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia dibawa ke
Pulau Neraka! Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih tidak mau,
apa lagi menjadi tawanan yang luka berat seperti sekarang ini, dan dibawa ke
sana hanya untuk dipaksa mengaku tentang Sepasang Pedang Iblis!
Ia harus
dapat melepaskan diri, karena kalau sampai ia dibawa ke Pulau Neraka, habislah
harapannya. Bagaimana ia akan dapat keluar dari pulau itu? Dari pada hidup
tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati sekarang karena berusaha
melepaskan diri. Memang sukar mencari jalan bebas mengingat akan luka-lukanya,
tubuhnya yang lemah dan kakinya yang tak dapat dipergunakan. Akan tetapi dia
tidak memusingkan hal itu, pertama-tama dia harus dapat membebaskan totokan itu
lebih dulu. Kedua kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan tetapi ia masih
mempunyai kedua tangan!
Lautan utara
ini sunyi sekali. Hanya ada beberapa buah layar kecil tampak dari jauh, yaitu
layar para nelayan yang untuk mencari nafkah hidupnya berani menempuh jarak
jauh dan menentang ancaman bahaya maut di tengah laut yang kadang-kadang amat
ganas itu.
Setelah
perahu meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil membebaskan diri dari
totokan. Dia mengeluh karena setelah kini berada di perahu dan di tengah laut,
andai kata ia dapat membebaskan diri dari dua orang itu sekali pun, habis apa
yang dapat ia lakukan? Dengan hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di
pinggir geladak, menggunakan kesempatan selagi dua orang itu sibuk dengan
kemudi dan layar. Ia menjangkau langkan dan menarik tubuhnya ke atas untuk
mengintai ke luar. Sunyi di luar, tidak tampak perahu lain. Akan tetapi di
kejauhan itu... ah, ada sebuah perahu kecil di sana, dengan seorang
penumpangnya. Kalau saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu orang itu
seorang nelayan biasa yang akan suka menolongnya. Untung bahwa perahu layar
Pulau Neraka ini sedang meluncur menuju ke perahu kecil di kejauhan itu.
"Heeiii...
kau mau ke mana...?" Seorang bermuka merah yang kumisnya panjang melintang
berteriak sambil loncat mendekat. Ia takut kalau-kalau tawanan itu meloncat ke
luar perahu. Kalau sampai mereka kehilangan tawanan itu, hidup atau mati tentu
kongcu akan marah sekali dan mengingat akan hukumannya, mereka bergidik.
"Kau
tidak boleh ke mana-mana, hayo kembali ke sini!" Si Muka Merah berkumis
itu menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.
"Dessss!
Augghhhh...!" Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan secara
tiba-tiba itu mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biar pun Bun Beng
terluka, namun pukulannya itu cukup kuat untuk memecahkan kepala anggota Pulau
Neraka tingkat rendahan itu sehingga tubuhnya terjerembab dalam keadaan tak
bernyawa lagi!
"Heiii...
keparat, apa yang kau lakukan?" Orang kedua cepat meloncat bangun tidak
peduli lagi akan kemudi, perahu mulai terombang-ambing.
Dia lari
mendekati, kaget menyaksikan temannya telah tewas, dan dengan marah dia
mencabut golok lalu menyerbu Bun Beng yang masih duduk bersandar langkan.
Melihat serbuan golok ini, Bun Beng maklum bahwa dia harus bekerja cepat. Ia
tidak mempedulikan dada dan perutnya yang menjadi panas dan nyeri sekali,
terpaksa ia mengerahkan tenaga seadanya dan tubuhnya mencelat ke atas,
tangannya yang kiri memukul pergelangan tangan kanan lawan sehingga goloknya
terlepas, tangan kanannya menampar pelipis.
"Plakk!"
Orang itu roboh tanpa mengeluh.
Bun Beng
juga terbanting jatuh di atas geladak. Ia melihat betapa perahu itu dengan
layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring. Sekilas pandang ia melihat
perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali lagi ia mengerahkan tenaga,
kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya mencelat ke atas keluar dari
langkan.
"Jebuuuurrrr...!"
Bun Beng terbanting ke permukaan air laut dengan kepala lebih dulu. Bun Beng
gelagapan, berusaha untuk berenang, akan tetapi orang yang kedua kakinya sudah
tak dapat digerakkan, yang tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana mungkin
dapat berenang? Dia hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena pengerahan
tenaga tadi membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali, tetap saja
gerakan tangannya kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam sehingga terpaksa
minum air laut yang asin.
Tiba-tiba
Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya timbul kembali ke
permukaan air, kini tidak tenggelam lagi sehingga ia dapat menggunakan kedua
tangan untuk menghapus mukanya yang gelagapan. Kuncir rambutnya terlibat dan
dijambak ke atas, terasa pedas akan tetapi dia tidak marah karena hal ini malah
menolongnya, membuat dia tidak tenggelam.
Akan tetapi
ketika perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke belakang dan ia menoleh, matanya
terbelalak dan ia mendongkol juga karena ternyata yang mengait rambutnya adalah
ujung pancing yang tangkainya dipegang oleh seorang wanita di atas sebuah
perahu kecil! Dia memang ditolong, akan tetapi cara menolong itu benar-benar
menghina sekali, seolah-olah dia hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia
seperti menjadi seekor ikan aneh yang terkena pancing!
Betapa pun
juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya melayang dan terjatuh ke dalam
perahu, di atas geladak yang sempit. Ia terengah-engah, memejamkan mata, terasa
betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng mengeluh
lirih.
"Hemmm,
engkau telah tiga perempat mati, rusak luar dalam... hemmm, sungguh kasihan
orang yang tak tahu diri ini, berani menentang Pulau Neraka. Aahh, kakinya
lumpuh pula... heran, dalam keadaan begini, bagaimana dia bisa membunuh dua
orang Pulau Neraka bermuka merah?"
Suara itu
halus dan merdu sekali sehingga Bun Beng merasa seolah-olah mimpi. Ia cepat
membuka matanya dan... segera dipejamkannya kembali. Sudah matikah dia?
Beginikah rasanya mati dan bertemu bidadari? Kalau sudah mati, kenapa tubuhnya
masih terasa nyeri semua dan kakinya masih tak dapat ia gerakkan? Kalau masih
hidup, bagaimana mungkin ia bertemu bidadari di tengah lautan? Celaka, jangan-jangan
dewi penjaga lautan. Kalau manusia biasa, tak mungkin begitu cantik seperti
bidadari, begitu halus, suaranya pun tidak seperti suara manusia, begitu merdu
seperti orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang manusia semuda dan secantik
jelita itu seorang diri saja di tengah lautan?
"Eh,
aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin, mukanya rusak
begini mana bisa dikenal? Aihhhh, dia terkena pukulan beracun yang luar biasa!
Aduh kasihan sekali, siapa sih orang yang malang ini...?"
Mendengar
suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak terasa pula kedua
mata Bun Beng menjadi panas dan dua butir air mata bertitik turun. Tanpa
membuka matanya ia berkata, "Mohon pertolongan Pouwsat (Dewi)... hamba
masih belum ingin mati karena masih banyak tugas yang harus hamba
laksanakan...! Harap Pouwsat tidak kepalang menolong hamba...!"
"Aihhhh...
otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya penderitaan yang hebat ini
membuat otaknya menjadi berubah miring. Tidak mengherankan, jarang ada orang di
dunia ini masih dapat hidup setelah mengalami luka-luka parah luar dalam
seperti dia ini. Aihhhh, sungguh sialan. Memancing setengah hari tidak mendapat
ikan besar, hanya beberapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar, orang yang
tidak waras luar dalam dan pikirannya, apa yang harus kulakukan dengan
dia?"
Bun Beng
menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas, kiranya benar
seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar ucapan terakhir itu, ia
menghela napas dan berkata,
"Kalau
kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan aku kembali ke laut.
Siapa sih yang minta pertolonganmu tadi?"
"Aihhh...
masih bisa marah? Jelas miring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku selalu harus
bertemu dengan orang yang jatuh ke laut? Sungguh aneh jaman sekarang ini banyak
orang terapung-apung di laut."
Kini Bun
Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya. Memang Bun Beng
boleh dimaafkan kalau tadi menyangka wanita ini dewi laut atau bidadari karena
memang dia seorang dara yang luar biasa cantiknya. Tubuhnya tinggi ramping
dengan bentuk tubuh yang hebat, wajahnya begitu jelita seperti gambar, kulitnya
putih halus seperti salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak begitu
lemah gemulai seperti batang pohon liu tertiup angin, pakaiannya indah sekali
sesuai dengan orangnya, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu digelung
tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat dari mutiara.
Seorang dara yang... bukan main.
Akan tetapi,
begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng keduanya berseru.
"Nona
Milana...!"
"Engkau...
Gak-twako... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya engkau Gak Bun Beng!
Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini, Gak-twako?"
Bun Beng
menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk bangkit duduk. Ia
menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut Milana membantunya duduk di
atas geladak. Sejenak mereka saling pandang. Milana dengan penuh rasa kasihan.
Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan juga tidak enak hati karena ia berjumpa
dengan dara yang sejak kecil berwatak halus ini dalam keadaan seperti itu. Dara
itu kini telah dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak. Bukan
main! Seorang dara tujuh belas tahun yang seperti dewi kahyangan! Debar jantung
Bun Beng mengatasi segala rasa nyeri dan pemuda ini cepat mengalihkan pandang
matanya, menunduk dan menghela napas panjang.
"Panjang
sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas... aku dilukai oleh seorang
kakek India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang gila..."
"Ohhh?
Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu? Yang mencuri Pedang
Hok-mo-kiam?"
"Benar,
Nona Milana, engkau masih ingat itu semua? Ingat akan pengalaman kita
bertahun-tahun yang lalu itu...?"
"Tentu
saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning, kemudian sampai
kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh, Gak-twako, kenapa
mereka melukaimu seperti ini? Ini namanya sengaja menyiksa, mengapa kau tidak
dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?"
"Gara-gara
Sepasang Pedang Iblis...," jawabnya lirih dan kembali ia merintih serta
menyeringai karena dadanya terasa sakit sekali.
"Sepasang
Pedang Iblis?" Milana berseru kaget sekali.
"Benar
dan aauuggghh..." Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan tenaga tadi
ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali dan ia roboh pingsan!
Ketika Bun
Beng siuman kembali, ia telah berada di atas kuda, di belakangnya duduk Milana.
Rasa nyeri menguak ke seluruh tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengatasi debar
jantungnya ketika ia merasa betapa tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk oleh
Milana. Bukan main! Di atas segala rasa nyeri, terasa olehnya kehangatan dan
kelunakan tubuh dara itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan ingin
pingsan terus!
Tetapi dara
itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman. Didorongnya tubuh Bun
Beng ke depan. "Bagaimana, Gak-twako? Apakah kau kuat menunggang kuda
bersamaku? Harap kau pertahankan, engkau harus mendapat perawatan yang baik.
Agaknya Ibu akan dapat menolongmu..." Gadis itu bicara halus dan penuh
iba.
Bun Beng
memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan perlahan.
"Aihhh... aku menyusahkan engkau saja, Nona. Ibumu seorang sakti, akan
tetapi aku merasa sangsi apakah Beliau akan dapat menyembuhkan aku. Menurut
kata kakek India itu, dalam waktu empat puluh hari aku akan mati sekerat demi
sekerat. Melihat rasanya tubuhku, dia agaknya tidak membohong. Darahku telah
keracunan, tidak ada yang akan dapat menyembuhkanku. Aahh, semua salahku
sendiri, terlalu menurutkan kata hati tanpa mempertimbangkan dan tanpa
menyadari bahwa kepandaianku masih amat rendah. Aku berani mengacau
Thian-liong-pang... itulah mula-mula segala mala petaka yang menimpa
diriku..."
"Apa?
Kau mengacau Thian-liong-pang?"
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana mendengar ini. Thian-liong-pang
adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang. Akan
tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia tidak dapat menceritakannya
kepada siapa pun juga. "Mengapa kau memusuhi Thian-liong-pang?"
"Perkumpulan
iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh kang-ouw untuk
dicuri ilmu mereka. Hemmm, dan Ketuanya amat ganas, kejam, licik dan sakti.
Kiranya hanya Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es saja yang akan dapat
membasmi Thian-liong-pang...!"
"Gak-twako,
orang tidak perlu mencampuri urusan orang lain kalau belum diketahuinya betul
keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua Thian-liong-pang sehingga dia
kau maki ganas, kejam, licik dan sakti? Kurasa, orang seperti engkau sekali pun
akan dapat salah sangka, maka sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan
orang-orang lain, terutama Thian-liong-pang atau Pulau Neraka. Mereka amat
berpengaruh dan lihai, tidak ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani
lancang menentang mereka."
Bun Beng
mengerutkan alisnya. Mengapa puteri Pendekar Super Sakti, yang tentu memiliki
ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika menolongnya dengan
kail, mengeluarkan ucapan begitu jeri terhadap Thian-liong-pang dan Pulau
Neraka? Dia merasa penasaran melihat sikap Milana seperti ketakutan.
"Nona,
kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, mengapa kau
menolongku? Lebih baik kalau kau tinggalkan aku di sini saja!"
Milana
tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng bergerak
hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi pemuda itu
karena kakinya lumpuh dan tenaganya habis. "Gak-twako, engkau benar-benar
seorang yang amat tinggi hati! Aku menolongmu dengan hati tulus ikhlas dan
kosong tanpa pamrih, hanya berdasarkan perasaan iba yang akan kulakukan
terhadap siapa pun juga yang membutuhkan pertolongan seperti engkau. Mengapa
harus kudasarkan kepada perasaan takut atau tidak? Twako, apakah engkau
menganggap aku seorang pengecut dan penakut yang akan membiarkan orang terluka
parah seperti engkau begitu saja tanpa berusaha mengobati dan menolongmu?"
Ucapan itu
dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak mengandung kemarahan
atau penyesalan sehingga diam-diam Bun Beng merasa terkejut dan teringatlah ia
betapa ucapannya tadi kasar dan menyakitkan hati. Maka ia cepat berkata,
"Maafkan aku, Nona. Bukan sekali-kali aku bermaksud bahwa Nona seorang
penakut, hanya saja... aku telah dianggap musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan
kaum Pulau Neraka agaknya juga memusuhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan
merasa berdosa dan menyesal kalau engkau akan dimusuhi mereka pula karena
engkau telah menolongku! Aku tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar.
Biarlah aku saja yang menjadi korban keganasan mereka, jangan sampai engkau
terancam pula oleh bahaya."
Milana
tersenyum. "Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan aku tidak
akan membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu oleh siapa pun juga.
Kurasa engkau belum mengenal betul Thian-liong-pang. Menurut pendapatku,
Thian-liong-pang, kumaksudkan ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau
duga. Perbuatannya yang aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu
ada latar belakangnya."
"Aku
sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga dalam keadaan
mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar mereka mengeluarkan
jurus-jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua itu! Dan engkau keliru kalau
menganggap Thian-liong-pang tidak jahat! Anak buahnya adalah iblis-iblis yang
kejam, yang suka membunuh orang tanpa berkejap mata."
"Kurasa
tidak demikian, Twako. Kalau memang anak buah Thian-liong-pang ada yang
menyeleweng, hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua, karena tentu yang
menyeleweng akan dihukum. Ada pun Ketua itu sendiri, andai kata sampai membunuh
orang, tentu ada sebab-sebabnya yang memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia
jahat seperti iblis. Hanya engkaulah yang belum mengenalnya betul."
"Heii,
kau seperti membelanya!" Bun Beng berkata penasaraan. "Engkau tidak
tahu, aku telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di bawah tanah.
Nyaris aku dibunuhnya kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu Lo-mo yang mengaku masih
paman kakekku itu tidak membujuk Ketua Thian-liong-pang!"
"Ahhh,
jadi begitukah?" Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia mendengar
bahwa pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!
"Nona,
agaknya engkau mengenal betul keadaan Thian-liong-pang!"
"Sedikit
banyak aku sudah mendengar tentang perkumpulan itu, Twako. Siapakah orangnya
yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang terkenal? Sudahlah, engkau
perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat penguat badan, pencuci darah dan
penyambung tulang patah. Tetapi racun yang mengancam keselamatan nyawamu tak
dapat kuobati, agaknya Ibu akan dapat menolongmu, akan tetapi...." Milana
menjadi bingung dan sangsi. Betapa mungkin ibunya akan suka menolong pemuda
yang sudah memusuhi Thian-liong-pang ini?
"Akan
tetapi apa, Nona?"
"Aku...
aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan obatku harus
kugodok, maka kita membutuhkan alat dapur. Di depan ada sebuah dusun, di sana
kau dapat beristirahat, Twako."
Kuda itu
dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah gadis yang duduk di
belakangnya itu, tidak melihat betapa wajah itu penuh kekhawatiran. Juga
keadaannya tidak memungkinkan dia setajam biasa, baik penglihatan mau pun
pendengarannya, sehingga dia tidak tahu bahwa mereka berdua dibayangi oleh
beberapa orang. Akan tetapi Milana tahu akan hal ini maka gadis itu menjadi
gelisah, apa lagi karena dari gerakan dan tanda para pengejar itu dia tahu
bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya!
Dalam
keadaan setengah sadar karena menderita luka hebat itu, Bun Beng diturunkan
dari atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang rumahnya disewa
gadis itu, dan dibaringkan di atas sebuah dipan kayu sederhana dalam ruangan rumah
yang sederhana pula. Setelah petani itu meninggalkan rumahnya yang telah
dibayar sewanya secara royal oleh Milana untuk waktu seminggu, Milana sibuk
memasak obat, kemudian mencuci muka Bun Beng dengan air hangat, membersihkan
darah dari pipi dan bibir, menaruh obat luka di tempat yang terobek sepatu
Tan-siucai kemudian memberi obat yang telah dimasaknya.
Bun Beng
menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wajar karena hal itu
dapat ia harapkan dari setiap orang manusia yang masih memiliki kasih sayang di
antara manusia. Bukan, bukan pertolongan itu yang mengharukan hatinya,
melainkan sentuhan-sentuhan jari tangan yang demikian lembut, pandang mata yang
demikian halus, perhatian yang demikian penuh dicurahkan kepada dirinya. Kalau
wajah itu tidak demikian cantik jelita dan masih amat muda, tentu dia tidak
akan yakin bahwa yang merawatnya itu bukan ibunya! Hanya ibunya sendiri sajalah
agaknya yang akan merawat anaknya seperti itu!
"Nah,
biar pun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu, setidaknya engkau akan
merasa tenang dan tidak begitu menderita nyeri lagi, Twako. Dan obat yang
kugosokkan pada lututmu itu, dalam waktu sepekan tentu akan memulihkan kembali
sambungan kedua lututmu sehingga engkau akan dapat berjalan lagi."
"Nona
Milana... terima kasih. Engkau...!"
"Husshhh...
tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh..."
Gadis itu
menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi Bun Beng karena
dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh kegelisahan. Dia bukan seorang
ahli pengobatan, namun sedikit pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia
tahu bahwa pemuda itu menderita luka keracunan yang amat hebat. Biar pun ia
tahu ibunya sakti, namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan pemuda
itu. Yang membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng
memusuhi Thian-liong-pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya?
Bun Beng
dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengandung pula obat tidur.
Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga batang lilin di tempat lilin
kuno yang tergantung di sudut ruangan. Beberapa kali dia melihat berkelebatnya
bayangan orang di luar rumah dan dia tahu bahwa itu adalah orang-orang
Thian-liong-pang, anak buah ibunya. Bahkan dia mengenal pula siapa yang
memimpin rombongan delapan orang Thian-liong-pang itu, ialah sepasang kakak
beradik kembar yang amat lihai.
Dia tahu
bahwa dua orang kembar itu, Su Kak Liong dan Su Kak Houw, adalah dua orang
kepercayaan ibunya dan sudah sering diutus melakukan hal-hal berbahaya di luar
perkumpulan yang selalu dilaksanakan dengan hasil baik. Sejak kecil Milana
tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan urusan Thian-liong-pang, namun karena
dia digembleng ilmu oleh ibunya sendiri, dia tahu bahwa kepandaian dua orang
kembar ini hanya bertingkat sedikit di bawah tingkat pembantu-pembantu ibunya
seperti Lui-hong Sin-ciang Chie Kang atau Sai-cu Lo-mo sendiri!
Apa lagi Su
Kak Houw, setelah lengan kanannya lumpuh dalam sebuah pertempuran melawan orang
pandai, menerima sebuah ilmu pukulan yang amat dahsyat dari ibunya. Ilmu ini
didasari latihan khusus pada jari dan telapak tangan kiri dengan pengerahan
sinkang dan gerakan khusus pula, membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar biasa
kuatnya, dapat dipakai menangkis senjata-senjata logam yang kuat dan tajam,
bahkan tangan itu dapat dipakai membacok seperti sebatang golok tajam. Karena
inilah maka dia terkenal sebagai Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah
julukan yang lucu dan aneh karena selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan
golok dalam pertandingan, apa lagi membunuh orang dengan golok. Dia hanya
menggunakan lengan kirinya, namun lawannya yang terluka atau tewas, roboh
dengan luka-luka seperti dibacok sebatang golok besar yang tajam!
Biar pun
maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya delapan orang
termasuk Si Kembar, Milana bersikap tenang-tenang saja. Dia merasa yakin bahwa
selama Bun Beng berada bersamanya, tak ada seorang pun anggota Thian-liong-pang
yang akan berani turun tangan! Maka dia pura-pura tidak tahu akan kehadiran
mereka, sungguh pun dia tahu pula bahwa Si Kembar itu sengaja beberapa kali
bergerak di depan jendela supaya terlihat oleh Milana dan supaya ditegur oleh
puteri Ketua Thian-liong-pang itu. Namun, dia tidak mau menegur mereka dan
terus melanjutkan mempersiapkan makan dan minum sederhana untuk Bun Beng dan
dia sendiri.
Dugaan
Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam orang anggota
Thian-liong-pang tingkat pertengahan bertugas melakukan penyelidikan dan
pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos dari tempat tahanan di
bawah tanah. Dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati mereka ketika
melihat pemuda itu dalam keadaan luka berat, naik kuda bersama puteri Ketua
mereka! Tentu saja hal ini membuat mereka bingung dan tidak bergerak turun
tangan, bahkan menegur saja mereka tidak berani! Mereka merasa ngeri memikirkan
kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Ketua Thian-liong-pang terhadap mereka
kalau mereka mengganggu Milana!
Sampai lama
mereka memancing agar ditegur lebih dulu oleh Milana sehingga mereka dapat
melapor akan tugas yang mereka terima dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi
sungguh membuat mereka makin bingung ketika dara itu sama sekali tidak peduli,
seolah-olah tidak melihat mereka. Akhirnya dua orang saudara kembar itu
mengambil keputusan untuk memasuki pondok dan langsung menghadap Milana!
Ketika dua
orang laki-laki yang mukanya menyeramkan, rambutnya awut-awutan itu muncul dari
pintu pondok pada keesokan harinya, Bun Beng sudah bangun dari tidurnya, merasa
tubuhnya tidak begitu tersiksa lagi oleh rasa nyeri, sungguh pun kedua kakinya
masih lumpuh tak dapat digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak memulihkan
tenaga di tubuh bagian atas.
Tampak
olehnya Milana sedang memasak air di sudut pondok. Bun Beng menarik napas
panjang dan hal ini terdengar oleh dara itu yang segera menoleh memandang dan
tersenyum manis.
"Engkau
sudah bangun? Bagaimana tubuhmu?"
Sejenak Bun
Beng tak mampu menjawab, lehernya seperti tercekik. Sejak malam tadi, Milana
kelihatan sibuk terus mengurus dan merawat dirinya. Apakah tidak tidur semalam?
Dan melihat gadis itu di pagi hari ini, membuat Bun Beng terpesona. Belum
pernah dia melihat wajah secantik itu. Bukan main! Meremehkan segala kecantikan
yang pernah dilihat sebelumnya. Milana memiliki kecantikan yang aneh, tidak
seperti biasa dan mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada wajah
selaksa orang gadis cantik lainnya.
"Aihh,
kenapa engkau diam saja, Twako?"
Bun Beng
menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali. "Maaf... eh, aku... aku
sedang memikirkan bahwa sesungguhnya tidak perlu engkau bersusah payah untuk
aku, Nona. Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak layak menerima kebaikan
yang berlebihan ini, membuat aku berhutang budi dan... bagaimana aku akan mampu
membalasmu?"
Milana
tersenyum lebar. "Ya jangan dibalas karena aku tidak menghutangkan
apa-apa!" Sebelum pemuda itu menjawab, Milana mendahului dengan sikap dan
suara bersungguh-sungguh, "Gak-twako, mengapa engkau masih saja
memperlihatkan sikap sungkan? Bukankah kita berdua telah mengenal sejak kecil
dahulu? Kalau seandainya aku yang tertimpa bencana seperti engkau sekarang ini
dan bertemu denganmu, apakah engkau tidak akan sudi menolongku?"
"Ah,
tentu saja!" jawab Bun Beng cepat.
"Kalau
melihat engkau sungkan-sungkan seperti ini, agaknya engkau pun tentu akan segan
dan sungkan menolongku."
"Demi
Tuhan! Tidak, Nona. Aku pasti akan melaksanakan apa saja, malah kalau perlu
mengorbankan nyawa untuk menolongmu!"
Milana
tersenyum lagi dan membungkuk. "Terima kasih, Twako. Nah, kalau begitu
kita sama-sama, bukan? Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada hanya kebetulan
saja engkau yang membutuhkan pertolongan dan aku yang dapat menolongmu dan...
ohhhh!" Milana cepat membalikkan tubuh memandang kepada dua orang pembantu
ibunya yang memasuki pondok itu dengan sikap takut-takut. Bun Beng juga bangkit
duduk di atas dipan, memandang kepada dua orang itu, sikapnya tenang.
"Kalian
mau apa?" Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia tidak
khawatir kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun Beng, tentu tidak
akan berani selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi dia lebih khawatir kalau
munculnya orang-orang itu akan membuka rahasianya, yaitu bahwa dia adalah
puteri Ketua Thian-liong-pang, bahwa ibunya yang sudah dikenal Bun Beng sebagai
isteri Pendekar Super Sakti itulah sesungguhnya Ketua Thian-liong-pang!
Kedua orang
itu cepat menjura dengan penuh kehormatan kepada Milana, kemudian Su Kak Liong,
yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya lebih tua beberapa jam dari pada
Su Kak Houw, berkata hormat.
"Harap
Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami
melaksanakan perintah Pangcu terpaksa..."
"Cukup!
Pergilah, aku tidak mau diganggu!" Milana membentak marah dan kedua orang
itu menjadi pucat, saling memandang dengan bingung.
Yang lebih
bingung lagi adalah Bun Beng. Kini dia mengenal kedua orang itu yang hadir
ketika dia berada di Thian-liong-pang. Tak salah lagi, mereka adalah dua orang
tokoh Thian-liong-pang dan agaknya utusan dari Ketua Thian-liong-pang, akan
tetapi mengapa mereka bersikap begitu hormat dan takut-takut terhadap Milana?
Su Kak Liong
mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihatkannya kepada Milana
yang seketika menjadi pucat. Dara itu menutup mulut dengan jari tangan
seolah-olah hendak menahan jeritnya, matanya terbelalak memandang ke arah benda
kecil di atas telapak tangan Su Kak Liong yang ternyata adalah sebuah benda
besi hitam berbentuk tengkorak kecil sekali.
"Ohhh...
tidak...!" Milana berseru lirih.
"Siocia
maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan menghadapi rintangan
apa pun, karena kegagalan kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi,
harap sudi memaafkan kelancangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa
sekali, untuk melaksanakan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh
dia!"
Su Kak Houw
sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum bahwa sekali kakaknya
mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini
sekali pun tidak akan berani menghalangi tugas mereka. Maka, begitu mendengar
perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat
mendekati pembaringan Bun Beng, dilanjutkan dengan terjangannya yang dahsyat,
sekaligus menggunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan
tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja dan besi,
yang membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan kirinya
berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!
Menghadapi
serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng kehabisan akal dan biar pun dia
mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawanya begitu saja,
namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut. Akan tetapi, angin pukulan yang
amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka
kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan
pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serangan badai dan cara menyelamatkan
layang-layang berikut dirinya.
"Menghadapi
serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara
langsung." demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi
petunjuk untuk mengatasi. "Kosongkan tenagamu dan turutilah gerak arus
angin itu ke arah mana dia menyambar, kemudian belokkan dan buang ke depan.
Pasti layang-layang ini akan dapat menguasainya."
Teringat
akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik nyawanya terancam
maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran
itu. Dia membatalkan niatnya hendak menangkis sambaran tangan kiri tokoh
Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin
amat kuat menyambar ke arah lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk
ke belakang dan tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri
bersama arus tenaga yang datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah
dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa tenaga di seluruh
lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti
ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan
kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan.
"Crakkkk...!"
terdengar jerit mengerikan.
Bun Beng
melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh lawannya
terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan akibat dari
gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah lengan kiri lawan
itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa babatan tangan kirinya tadi telah
dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya! Tanpa disadari, Bun
Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mukjizat dari Pulau Neraka,
yaitu ilmu ’memindahkan tenaga’ yang amat hebat. Ada pun korban pertama dari
ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang,
sungguh pun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan
dari Milana.
Ketika tadi
Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehebatan tangan kiri
Su Kak Houw cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga
Su Kak Houw tadi terhenti. Andai kata tidak demikian, biar pun ilmu baru Bun
Beng mukjizat, namun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan
sebelum lengan Su Kak Houw buntung!
Su Kak Liong
terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya yang
pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. Dengan muka pucat Su Kak
Liong memandang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya
itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak
akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya itu yang
membuntungkan lengan adiknya yang lihai.
"Kami
hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami
tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melaporkan peristiwa ini
kepada Pangcu dan mohon pengadilan." Setelah berkata demikian, Su Kak
Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.
"Terima
kasih atas pertolonganmu, Nona..." Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa
nyeri hebat yang menyesakkan dada.
Milana
menoleh kepadanya. "Aihh, Twako. Ilmu mukjizat apakah yang kau pergunakan
tadi...? Ehhh... kau kenapa...?" Gadis itu meloncat dekat pembaringan di
mana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelungkupkan mukanya ke
pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!
"Kau...
kau sudah terluka...!" Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan
dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan sapu
tangan.
Bun Beng
merasa makin berterima kasih dan tidak enak. "Sudahlah, Nona... lebih baik
kau tinggalkan aku di sini... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku,
dan... kau tentu akan dimusuhi Thian-liong-pang... Tinggalkan aku, aku tidak
mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, orang yang
sudah tiga perempat mati."
"Tidak!
Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat
mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku,
jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini
akan mengganggu pasti akan kulawan!"
Biar pun
dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar
ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu
melalui kunang-kunang yang menari di depan matanya.
"Terserah
kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi... aku hanya akan suka menerima budimu
dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang
Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu
kepandaian mereka yang tinggi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar
dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan
takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang?
Harap Nona suka berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan
ragu-ragu."
Milana
menjadi merah mukanya. Sampai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng dan
melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah
dia bahwa tiada gunanya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya
kalau tidak berterus terang.
"Gak-twako,
sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan tetapi, karena engkau
bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah
mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus
menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh
Thian-liong-pang, sebaiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku... aku
adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi
itu bukan lain adalah Ibuku sendiri."
"Ohhhh...!"
Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia
terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya!
Ketika
siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu
sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati. Tubuhnya
tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah berada di atas
punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.
"Ohhhh...
engkau hendak membawaku ke mana, Nona?"
"Gak-twako,
kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah
kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu
mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?"
"Aihhh,
mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti,
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat, sakti dari mulia. Engkau
juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia! Aihhhh...
Nona, sungguh aku terkejut setengah mati mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang
adalah Ibumu. Sekarang... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak
menolongku, Nona."
"Hemm,
kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan
melindungi dan mencarikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu."
Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan
yang tak mungkin dibelokkan oleh apa pun juga.
"Tapi
Thian-liong-pang...?"
"Peduli
amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan
kuhadapi mereka semua!"
"Akan
tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri?
Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perintah Ibumu!"
"Tidak
peduli!"
Ingin Bun
Beng memandang wajah gadis itu, akan tetapi karena Milana duduk di belakangnya,
tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu
tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berdekatan. Jantungnya berdebar
tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka untuk melepaskan keraguan
hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia memberanikan diri berkata,
"Nona
Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa
begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah
sekali kepadamu, Nona."
"Biarlah,
aku tidak takut."
Hening
sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar
memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, detak
jantungnya sendiri lebih keras dari pada derap kaki kuda.
"Nona
Milana..."
"Ah,
telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut
saja namaku, tanpa nona."
"Maaf,
aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak
kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan.
Kini kita berdua menghadapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai
puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari keinginan Ibumu
sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Kuharap kau suka
menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti
ini?"
Hening pula
sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya, "Apa maksudmu, Twako?
Aku tidak mengerti."
"Nona,
mengapa engkau lebih memberatkan aku dari pada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah
besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus orang-orangnya untuk
membunuhku. Namun mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan
melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku dari pada
Ibumu?"
Kini suasana
menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis berkerut,
agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk pertanyaan Bun Beng itu.
Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terdengar ia menjawab,
"Sukar
sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya
aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar akan kesesatan Ibu dan
kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku
berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh
Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?"
Bun Beng
menggeleng kepala. "Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu terlalu
dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau harus
menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu
cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentangnya dan membela
orang lain? Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan andai kata bukan aku yang kau
jumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kau kenal, apakah engkau
juga akan membelanya dari Ibumu dan Thian-liong-pang? Begitu banyak orang
pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau
mendiamkannya saja dan tidak ada seorang pun yang kau bela? Mengapa justru aku
yang kau bela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu?
Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya, Nona?"
Kini lebih
lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan
jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya
terdengar Milana tertawa halus, suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng
adalah suara untuk menutupi kegugupannya. "Hi-hik, engkau ini aneh-aneh
saja, Gak-twako. Aku sampai menjadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab
karena aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu
mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau
yang tahu akan sebabnya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan
untukku."
"Nona
Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang
hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku,
lalu timbul hasrat untuk menolongku, melindungiku mati-matian bahkan rela
bertentangan dengan Ibu sendiri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!"
"Heiiiii...
aduuuhhh...!"
Tubuh Bun
Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah
mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring
yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas dan tergulinglah
tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!
"Ohhh,
Twako... kau tidak apa-apa?" Milana cepat meloncat turun dan berlutut di
dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.
Pemuda itu
menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit duduk dengan
menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandangan. "Aku mohon
maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku
hanya bicara menurutkan suara hati. Maafkanlah aku yang lancang mulut."
"Engkau
orang aneh!" Milana menyambar kedua lengan Bun Beng dan membawanya
melompat ke atas kuda lagi. "Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda,
malah engkau yang minta maaf."
"Tentu
saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh lengkinganmu, dan
engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya adalah aku sendiri, maka
aku yang bersalah dan aku yang minta maaf."
"Kata-katamu
tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku
tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kau maksudkan? Yang
ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin menolongmu. Apakah itu cinta yang
mendorongnya ataukah perasaan lain, aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat
akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako.
Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan
kemarahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan
terancam maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak
tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang cinta,
Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta."
Seketika
merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak
tampak oleh dara yang duduk di belakangnya. "Wah, aku sendiri tidak tahu
tentang itu, Nona, aku sendiri pun belum mengenal cinta..."
"Ah,
kau bohong, Twako!"
"Sungguh
mati!"
"Usiamu
tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua dari pada aku yang baru
tujuh belas tahun."
"Aku
enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku... aku belum pernah... eh,
maksudku mengalami cinta, dan... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama
tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara. Mana bisa?" Bun
Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa betapa gembira
hatinya. Aneh sekali!
Dia tahu
bahwa dirinya terancam maut, sedikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa
dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa berduka, bahkan
hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya masih lumpuh, dadanya masih nyeri,
akan tetapi rasa gembira mengalahkan semua ini.
"Kau
benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa
engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana
pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu."
"Hemm,
semua itu gara-gara Sepasang Pedang Iblis..."
"Ehhhh?
Sepasang Pedang Iblis? Di mana kedua pedang pusaka itu?"
Bun Beng
menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini pun terkena pula wabah ‘demam
Sepasang Pedang Iblis’ yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi
perebutan sejak dahulu. "Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku
lagi, sungguh pun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu
yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona."
"Ahhh,
suaramu itu! Apa kau kira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja
begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau
Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu
akan tertolong!"
"Eh,
kenapa begitu?"
"Ibu tentu
akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan berterima kasih
kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan mengobatimu sampai
sembuh. Betapa pun juga kalau dapat mengatakan di mana adanya pedang-pedang itu
saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana
pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau terluka hebat?"
"Yang
melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya
Maharya dengan murid-nya..."
"Aihhhh...!
Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek
Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?"
Bun Beng
mengangguk. "Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan
kepada Nona Giam Kwi Hong dan..."
"Aihhhh!
Enci Kwi Hong?" Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi
suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika gadis ini melanjutkan, "Kau...
berikan pedang itu kepadanya?"
Bun Beng
tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk. "Pedang betina
kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas..."
"Oleh
Tan Ki dan Maharya?"
"Bukan,
oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka."
"Ohhh...!"
Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali
mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah
terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka! "Bagaimana bisa demikian?"
Bun Beng
lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil
sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka
bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda lihai dari Pulau
Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan
dengan hati tertarik bercampur kecewa.
"Untung
bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong sehingga dapat
dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau
tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona
Milana."
Ucapan yang
menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong dan
teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia
membandingkan Kwi Hong segan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona,
bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti
itu dengan namanya saja. Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat
halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut
namanya begitu saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah lembut, memiliki
wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!
"Gak-twako,
engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh dunia
kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusaka-pusaka itu, mengapa
dengan mudah saja kau berikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?"
Bun Beng
termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa dapat
dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab,
mengerutkan kening berpikir, kemudian baru ia menjawab setelah berpikir lama,
"Kurasa tidaklah aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang?
Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan
kenapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku
mengambil Sepasang Pedang Iblis. Kedua, karena dia adalah murid Pendekar Super
Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya."
Hening
sejenak sebelum Milana bertanya lagi. "Gak-twako, apakah engkau mencintai
Enci Kwi Hong?"
"Hahh...?"
Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak
disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah
dia dibenamkan ke dalam air. "Apa... apa maksudmu, Nona...?"
"Twako,
semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok
dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang di antara Sepasang
Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di
dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sebatang di
antaranya. Akan tetapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi
Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku
hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?"
"Ahhhh,
Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak
untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti,
bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin dan mana pantas aku jatuh
cinta kepadanya? Tidak, Nona, harap engkau jangan menyangka yang bukan-bukan.
Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepada gurunya dan
pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulu Es yang
kuhormati."
Tanpa
terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia mendengar
jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kudanya menuruni
lembah gunung, memasuki hutan kedua yang besar dan agak gelap. Hatinya tenang
saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia sudah memasuki wilayah di
luar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bahwa ibunya melarang anak
buahnya melakukan sesuatu di luar wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama
Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu
keperluan. Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar
itu, di sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu
barangkali tabib itu akan dapat menolong Bun Beng.
"Engkau
merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?"
Kembali
pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun
Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap, "Ya... ya... begitulah."
"Misalnya...
terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk
jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako."
Bun Beng
terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini!
Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya. "Ahhh... mana aku berani,
Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri
Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku... ahh, aku hanya anak yang tidak syah
dari seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!"
Milana
merasa terharu. "Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku,
aku tidak menilai seseorang karena keturunannya, karena wajahnya mau pun karena
kepandaian atau kedudukannya. Cinta adalah urusan hati, bukan urusan mata,
urusan batin, bukan urusan lahir."
Jantung Bun
Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata yang
sukar sekali untuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang
mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan
hatinya bertanya.
"Maaf,
Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini. Apakah
Nona mencintaku?"
Bun Beng
dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tubuh dara itu,
betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu, akan tetapi jawaban yang
keluar dengan halus itu tetap tenang. "Aku tidak tahu, Twako. Bagaimana
aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku
merasa suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di
hatiku, yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk membela dan
menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana
pendapatmu, Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?"
Bun Beng tak
dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus perlahan-lahan, dan keduanya diam,
seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan
ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta di
antara daun-daun pohon, di antara sinar matahari dan bayangan benda-benda yang
bersinar oleh cahaya matahari.

Dahulu
ketika ia mengenangkan wajah tiga orang wanita, wajah Kwi Hong, wajah Ang Siok
Bi puteri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah merenungkan tentang cinta.
Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan
isterinya, Nirahai yang ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya
termenung dan mulailah ia berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita,
apa itu?
"Cinta
adalah penyakit!" Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tidak
hanya mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri karena
kata-katanya sendiri itu seperti terlompat ke luar tanpa disadarinya.
"Apa?
Cinta adalah penyakit?" Milana berseru keras.
Karena sudah
terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul di saat
itu. "Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan penyakit-penyakit
baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta,
bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria
saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik.
Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan
itu hanya nafsu belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan
diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau keinginan tidak
terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan
lain-lain. Ketidak cocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan ke
mana larinya cinta? Ketidak puasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan
kekecewaan, ke mana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan kebencian, ke mana
larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama oleh kaum pria, hanyalah
nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau
kenyataan sebaliknya, terbanglah cintanya."
Milana
membelalakkan mata, bergidik ngeri. "Aihhh, kau terlalu kejam, Twako!
Kurasa tidak demikian buruk seperti yang kau sangka, atau karena kau belum
mengenal, kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah
bagi wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih halus, lebih mendalam,
mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi,
ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apa pun, rela menyerahkan badan
dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya."
"Hemm,
di mana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakan pun terjadilah seperti
Ibu dan Ayahmu, eh, maaf...!" Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja
terbukalah matanya mengenai keretakan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan
isterinya, Nirahai.
"Kau
keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta.
Suka sama dinikmati, duka sama dipikul. Itulah cinta..."
Bun Beng
menarik napas panjang. "Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta
antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang
menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perjuangan menghadapi
kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih
menggunakan perasaannya yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak
seperti pria yang menggunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan
nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan hingga memancing datangnya
pertentangan dan persoalan..."
"Sssstt...
ada orang..." Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat
muka, ternyata di sana muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya kereng
dan menyeramkan.
Milana
menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata penuh wibawa.
Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum
bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lumpuh dari pinggang
ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan
memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring,
"Kalian
berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?"
Seorang di
antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjawab,
"Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi kedudukan dan keadaan
kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintah untuk menangkap atau
membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat berharap agar
Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan
Pangcu yang berkuasa penuh."
"Tidak.
Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan melidungi Gak Bun
Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membolehkan kalian menangkap
atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?"
"Srat-srat-sing-sing!"
Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing.
"Maaf,
Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami melayang secara
sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andai kata kami
tewas sekali pun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggota
Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai anggota setia dari
pada anggota yang murtad tidak menurut perintah Ketua."
"Hemm,
jadi kalian hendak melawanku?" Milana membentak.
"Bukan
melawan Siocia, hanya menjalankan tugas kami."
"Nona
Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu
sendiri," kata Bun Beng.
"Tidak!
Aku akan melindungimu dengan taruhan apa pun juga."
"Kalau
begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kau larikan saja kuda ini!" bisik
Bun Beng.
Lima orang
itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-tiba
seorang di antara mereka yang berada di sebelah kiri menggerakkan goloknya
membacok ke arah tubuh Bun Beng. Pemuda ini yang menggantungkan tubuh di lengan
Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti gerakan golok, menggunakan ilmu
barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan
kirinya bergerak membuang ke depan cepat mengenai punggung golok itu.
"Krekkk!"
Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang gagangnya menjadi kaku
sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya meloncat mundur sambil menjerit
kaget.
Orang kedua
menerjang, disusul orang ketiga, ke empat dan ke lima. Gerakan mereka hebat,
akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar senjata mereka
jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua mereka, maka gerakan mereka kaku dan
tidak leluasa. Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu,
cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok
dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya membabat dan
memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.
Terdengar
jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun terhuyung, ada
yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah
dikaburkan cepat-cepat oleh Milana! Mereka hanya berdiri bengong,
terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan
tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu
seperti yang dimainkan pemuda yang hanya dapat menggerakkan tubuh bagian atas
itu!
"Gak-twako,
hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih mampu
mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya.
Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya takkan kuat melawanmu!"
Bun Beng
menarik napas panjang. "Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan
itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh."
Dara itu
memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan muka itu
berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berkata, "Wah, bukankah
warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?"
"Tidak
salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kau tinggalkan aku,
biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret
engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya
dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan
Pulau Neraka."
"Sudah!
Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kau kira aku takut
menghadapi Pulau Neraka? Kau lihat saja nanti!" Sambil berkata demikian,
Milana mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang berdiri tegak itu.
"Berhenti!"
Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khikang hingga terdengar suaranya
melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu
meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar, matanya liar ketakutan.
"Orang
tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?" Milana bertanya, sedikit
pun tidak merasa takut.
Kakek itu
memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali tidak terpengaruh
oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Ia
menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan berkata, "Nona muda, aku
menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan
aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan
Muda dari Pulau Neraka."
"Aku
tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua dari Pulau
Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini adalah seorang
sahabatku, dan siapa pun tidak boleh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu
kami!"
Sinar mata
kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia
kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang rendah Pulau Neraka,
akan tetapi nona muda ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan
menghina. Melihat sikap ini, cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan Milana
berkata,
"Locianpwe
dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari
Thian-liong-pangcu."
Sinar mata
marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan. "Aahhhh? Puteri
Pangcu dari Thian-liong-pang?"
Milana
tersenyum. "Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut
terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku,
kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku
lebih dulu!"
Kakek
bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biar pun dia tidak pernah takut
terhadap lawan yang bagaimana pun, tetapi mendengar nama puteri Ketua
Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri
Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan main-main!
Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau
Neraka yang sudah memesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan
sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es.
Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata
pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andai kata
bukan puteri Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari Thian-liong-pang,
persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.
"Maaf,
Nona," akhirnya dia menjura, "Karena tidak tahu, aku bersikap kurang
hormat. Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona, akan tetapi orang
muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka
menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati
Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan menghaturkan terima kasih
kepadamu."
"Aku
tidak butuh terima kasih Kongcu-mu yang jahat! Minggirlah!" Milana
menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila
tokoh Pulau Neraka itu menyerangnya.
Kakek itu
tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipukulkan ke arah
kepala Bun Beng. Pemuda ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan
ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak
dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya menghantam ke bawah.
"Prokkk!"
Kepala kuda
itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun Beng. Muka
dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, tangannya
bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung. Itulah
belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya.
Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu.
Kakek muka
merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar
tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat
terbebas dari pada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali
tampak sinar-sinar merah menyambar dari tangan Milana.
"Ayaaa...!"
Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang jarum
menancap di rambutnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi
pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya seujung rambut selisihnya! Ia
mengeluarkan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan
seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memanggil
bala bantuan karena menghadapi puteri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai
itu.
Melihat ini
Milana cepat-cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya.
Ia berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak.
Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya
menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi. Akan tetapi karena dara itu merasa
tidak leluasa menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka
gadis ini cepat membawanya melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak,
jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di
belakang punggung!
Cepat sekali
Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus.
Biar pun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang,
namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang
Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda
ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka. Mereka mengejar terus dengan
cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang
gerakannya karena menggendong tubuh Bun Beng. Andai kata tidak demikian, tiga
orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki
sinkang sedemikian hebatnya itu.
"Nona,
di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau
tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi mereka," kata Bun
Beng yang tak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu agar Si Nona jangan
melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya.
"Aku
sedang menuju ke sana," jawab Milana "Lari mereka cepat sekali!"
Menara dari
kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga orang
pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebelah belakangnya.
Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga
orang Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang di antara mereka berseru.
"Nona,
lepaskan pemuda itu!" Dia sudah menggerakkan tangannya dan sebatang tali
panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya
menotok jalan darah.
Bun Beng
cepat menangkis dengan tangan ketika melihat tali seperti cambuk itu, akan
tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!
"Haiiiittt!"
Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan tangannya cepat menangkap
tali yang membelit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sinkang dia
membetot dengan renggutan tiba-tiba.
"Brettt!"
Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan.
Milana tidak
mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan tiga orang itu
telah meloncat dekat, senjata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu
memutar sisa tali di tangannya sebagai senjata, kakek kedua menggerakkan
sebatang pedang, sedangkan kakek pertama menggerakkan tongkatnya.
"Cuat-cuat-cuattt!"
Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang
hui-to (golok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau
Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba
berhenti bergerak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu
dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Milana yang
menoleh dan melihat ini menjadi kaget, akan tetapi juga girang sekali.
"Ibuku di sana...!" Ia berseru, kemudian mendaki sebuah tangga yang
menuju ke atas menara.
Menara itu
tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya
tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh. Ketika Bun Beng mendengar
ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga
orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh
lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun
tangan mengancam mereka adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali
golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja dilepas untuk mengusir mereka
sehingga menancap di depan mereka dalam jarak sejengkal.
Kalau
dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan
merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dilepas oleh
Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar
dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau
belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menyerang Pendekar
Super Sakti. Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung itu
bukan lain adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari
Pendekar Super Sakti!
Diam-diam ia
merasa heran sekali dan menaruh kasihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya.
Mengapa hidupnya demikian penuh duka sehingga dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia
membayangkan pertemuan pendekar sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali
percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan
Milana tadi tentang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu
Milana ini.
Dan betapa
anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa mereka
saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu seolah-olah hendak
memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran
sekali. Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami?
Berilmu
tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang cukup
berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami
seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu
si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar. Dia menjadi
penasaran dan jika tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua
Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super
Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana!
Dengan cepat
namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana memanjat tangga itu dan
setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang
duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai menara. Tubuh ramping dengan
kepala berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
"Ibu...!"
Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya.
"Locianpwe..."
Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut.
"Milana!
Apa yang kau lakukan ini?" suara merdu halus yang keluar dari balik
kerudung itu penuh teguran. "Kau berani menentang Thian-liong-pang dan
melawan anak buah kita sendiri?"
"Ibu...
aku... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu.
Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu
tidak menolongnya, dia akan mati..."
"Biar
saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan
turun tangan membunuhnya!"
"Ibu,
kasihanilah dia, ampunkanlah..." Milana berkata penuh permohonan.
"Kau
malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau
hendak membuka rahasia..."
"Locianpwe,
harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe, akan
tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah dapat
menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Super..."
"Wuuutttt...!"
Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat
menyambar tubuh Bun Beng.
"Ibu...!"
Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga
terhindar dari bahaya maut.
"Anak
setan, kau kira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kau buat di
Thian-liong-pang, mungkin aku masih dapat mengampunimu. Akan tetapi engkau
telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal
itu engkau harus mati!"
Tiba-tiba
tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk
bersila, meluncur cepat ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu
menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar
diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.
"Plak-plak-plak..."
Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pundaknya terasa nyeri dan hampir
lumpuh.
"Ibu...
jangan...!" Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan
membuat dara itu terlempar.
Rasa
penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan meledak. Dia sudah
siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak akan
puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.
"Locianpwe!
Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia
seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan
tetapi mengapa Locianpwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang
keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat,
akan tetapi Locianpwe menjauhkan diri dari padanya, membuat hatinya sengsara.
Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut bersama suaminya ke mana pun dia
pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulia
seperti Pendekar Super Sakti?"
"Anak
setan, lancang mulut, keparat!" Wanita berkerudung itu membentak.
"Locianpwe
boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apa lagi saya telah terluka dan
keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk
mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati
pendekar sakti yang saya muliakan, juga merusak penghidupan puteri Locianpwe
sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang
yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup
bahagia dan damai di sana?"
"Gak
Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan
Ayahmu!" Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuhnya
sudah mencelat lagi ke atas.
"Saya
memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit hati orang
lain, apa lagi merusak hidup suami dan anak seperti yang Locianpwe
lakukan!"
Tiba-tiba
tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik
kerudung itu terdengar suara menggetar, "Bocah setan! Kau tahu apa?
Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pendekar
Siluman yang kau puja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh!
Engkau tidak tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu
apa? Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri.
Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau
mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan
mengemis perhatiannya? Hemm, kau kira aku selemah itu? Tidak, aku akan
menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat dari pada Pulau
Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan! Akan tetapi
kau... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui
rahasiaku, dan engkau harus mampus!"
"Ibu!
Jangan..., jangan...!" Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun
Beng.
Nirahai,
Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran,
kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya.
"Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh
cinta?"
"Ibu...!"
"Locianpwe,
engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini, keturunan seorang
penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona
Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memiliki watak halus penuh
budi luhur seperti ayahnya."
"Ibu,
harap jangan bunuh dia... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan
membuka rahasia Ibu... bersumpahlah, Twako..."
Bun Beng
menarik napas panjang. "Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati
juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibumu? Akan tetapi
mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Selama hidupku, aku Gak
Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri
Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka."
"Ibu,
dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu."
Melihat
sikap puterinya ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas
cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa rendahnya! Dia tahu
betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah menguasai hati wanita. Maka jalan
terbaik hanyalah membunuh Bun Beng sebelum terlambat, sebelum cinta kasih yang
baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.
"Minggir
kau...!" Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping.
Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke
arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju
karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan
menggunakan tangannya yang ampuh.
"Wuuuutttt!"
Bun Beng
memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja menyerahkan
nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat akan
ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut. Melihat
datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya dengan didahului angin
pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus gerakan tangan lawan,
menggerakkan tubuh miring ke kanan, kemudian tangannya sendiri yang dipenuhi
aliran tenaganya sendiri ditambah tenaga lawan, dari samping menangkis dengan
pukulan dahsyat.
"Dessss...!"
"Aihhhh,
pukulan apa ini...!" Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya
yang barusan saja tertangkis secara hebatnya dan memandang Bun Beng dari balik
kerudungnya.
"Bukan
main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku mempelajari gerakanmu
yang mukjizat tadi. Sekarang terimalah kematianmu!" Dia menerjang lagi,
kini kedua tangannya bergerak dari dua arah berlawanan sehingga tidak mungkin
lagi bagi Bun Beng untuk menggunakan ilmunya memindahkan tenaga.
Apa lagi
ilmu itu pun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil, lengan Ketua
Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka jalan satu-satunya
hanyalah menggulingkan tubuhnya. Karena maklum bahwa serangan Ketua
Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh
sinkang di tubuhnya untuk menggulingkan tubuhnya. Tiga kali pukulan ketua yang
amat lihai itu luput dan Bun Beng yang merasa pundaknya terlanggar angin
pukulan yang amat kuat, mempercepat gerakannya bergulingan.
Tiba-tiba
tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke pinggir menara
dan terlempar ke bawah dari tempat yang amat tinggi itu. Masih didengarnya
jerit Milana dan selanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan Tuhan, maklum
bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting remuk di
bawah sana! Bun Beng sudah memejamkan mata, menanti datangnya maut.
Akan tetapi,
ia mendarat dengan empuk, bukan terbanting ke atas tanah berbatu, melainkan
tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram baju di punggungnya.
Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang laki-laki
yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya
panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan
berwibawa, tenang dan tidak kelihatan tua. Wajah... Pendekar Super Sakti yang
memandangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang diliputi
penderitaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super Sakti atau
Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan tongkat di
tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan baginya, dan di
sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik jelita!
"Taihiap...!
Ah, Taihiap telah menolong nyawaku...!" Bun Beng berkata, terharu, girang
akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang,
yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas menara.
"Bun
Beng, mengapa engkau jatuh dari atas sana? Dan... ahhh, kau terluka
hebat..."
Suma Han
telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. "Engkau terkena
pukulan beracun yang hebat sekali. Siapakah yang melukaimu? Apakah masih berada
di atas sana?"
Bun Beng
ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan
Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Tentu akan hebat akibatnya, dia pikir, maka
dia menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong
mengayun tubuhnya meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan
cepat seperti berlarian ke atas.
"Kwi
Hong, jangan lancang!" Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya sudah
melayang naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, melayang ke atas
menara!
Bun Beng
kagum bukan main menyaksikan ini, matanya sampai berkunang melihat tubuh
pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan
melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya
berdebar tidak karuan. Apa akan terjadi kalau suami isteri itu berjumpa di
sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang
adalah isterinya?
Ia melihat
Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tampak Kwi Hong turun
lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil berkata, "Di atas
tidak ada orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?"
Sebelum Bun
Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi. "Buka bajumu, biar
kuperiksa dulu sebelum kau bercerita," katanya dengan suara halus.
Bun Beng
membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang tinggal sebuah, Suma
Han memeriksa keadaan Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata,
"Keji
sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?"
Bun Beng
lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan Maharya
sehingga ia dilukai oleh Maharya.
"Ah,
mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?" Kwi Hong mencela dan
membanting kakinya. "Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan
terluka seperti ini!"
"Kwi
Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi
mungkin engkau akan menderita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan
ceritamu."
Bun Beng
melanjutkan ceritanya, betapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera dari
Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawanan, akan tetapi dia
dapat menyelamatkan diri. Untuk mencegah agar dia tidak usah bicara tentang
Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Milana.
Suma Han
mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut cerita Bun Beng,
kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apakah Lulu telah
keliru mendidik puteranya? Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat
menjadi seorang jahat! Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu
itu. Dia tidak memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya
makin berduka. Betapa tidak akan duka dan perih hatinya kalau ia terigat kepada
Lulu? Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang dicintanya, namun
keadaan memaksa mereka berpisah, bahkan kini timbul rasa sakit hati dalam
perasaan Lulu terhadapnya!
"Ahhh,
engkau menderita bukan main, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari
atas menara?" Kwi Hong bertanya.
Bun Beng
menjadi bingung. "Aku... aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Neraka karena
aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua kakiku
lumpuh, tentu saja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku sampai di
menara ini, bersembunyi di atas menara. Aku menderita sekali, tidak berani
turun, dan lukaku tak mungkin dapat sembuh. Dari pada perlahan-lahan menghadapi
kematian yang menyiksa seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku... aku
mengambil keputusan terjun dan mati di sini!"
"Aihhh,
pengecut!" Kwi Hong berteriak ngeri.
"Kwi
Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai
mencela!" kata Suma Han yang kemudian memandang Bun Beng. "Betapa pun
juga, cara melarikan diri dari penderitaan dengan jalan membunuh diri adalah
perbuatan bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat
mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil itu."
Tanpa
menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki kuil
tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena
ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji
kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu. Dapat dibayangkan betapa lihainya
untuk dapat pergi bersama puterinya, tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti
yang demikian lihai? Dan betapa cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, karena kalau
sampai bertemu dengan majikan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada artinya
lagi kalau pendekar ini melihat Milana dan tentu akan dapat menduga siapa
adanya wanita di balik kerudung itu.
Suma Han
cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut kaki dan memberi obat,
kemudian mulailah pendekar sakti ini mempergunakan sinkang-nya yang luar biasa
kuatnya untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng. Pemuda itu
disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya, menempelkan
kedua telapak tangan di punggung pemuda itu. Sampai sehari lamanya Bun Beng
merasa betapa dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan,
dingin dan panas! Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia
ini agaknya tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sinkang seperti yang dimiliki
oleh Majikan Pulau Es ini!
Semalam
suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan harinya,
barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiarkan dirinya diobati,
merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia
merasa dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia
cepat menelungkup dan menghaturkan terima kasih. Suma Han mengangkatnya bangun,
duduk, dan sambil minum air hangat yang dibuat oleh Kwi Hong, Suma Han berkata,
"Aku
telah berhasil membersihkan semua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng.
Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun
telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengobatinya. Aku mendengar
bahwa satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat melawan semua keracunan darah,
hanya terdapat di Pulau Neraka..."
"Ohhhh...!"
Kwi Hong berteriak, terkejut sekali. "Paman, bagaimana mungkin kita bisa
mengambil ke sana?"
Suma Han
menggelengkan kepala. "Tidak mungkin kita ke sana tanpa menimbulkan
keributan. Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat hebat,
biar pun dia tidak akan tersiksa seperti kalau hawa beracun masih di tubuhnya,
namun dalam waktu paling lama setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh
racun, dapat membuat dia menjadi gila atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh
tubuhnya!"
"Aihhh...!"
Kembali Kwi Hong berseru.
Akan tetapi
Bun Beng bersikap tenang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma Han yang
memandangnya. "Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biar pun Taihiap
tak dapat mengobati, saya tidak merasa penasaran. Kalau memang sudah
ditakdirkan saya mati karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya tanpa
keluhan. Saya sudah merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa seorang
mulia seperti Taihiap sudi memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan
memberi pertolongan."
Suma Han
mengerutkan alisnya. Terlalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati
sia-sia. Akan tetapi, betapa pun juga, dia tidak memiliki keberanian untuk
berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!
"Jangan
putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar petunjuk
bagaimana engkau dapat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah
sendiri ke Pulau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku
itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai
sembuh."
"Akan
tetapi... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam.
Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!"
"Coba
sajalah. Dengan suratku, engkau akan diterima dengan baik." Suma Han lalu
mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus
surat itu dan menyerahkannya kepada Bun Beng. "Sekarang, mari kuantar kau
ke pantai dan mencari perahu!"
Bun Beng
tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang luar biasa
seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya mendapat perhatian
dari Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga tidak mau banyak cakap karena maklum
bahwa hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun
diam-diam gadis ini merasa tidak setuju melihat betapa pemuda yang menderita
luka berat itu disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka.
Biar pun
belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat mengenal watak
pemuda ini, watak yang keras dan tidak mau mengalah, apa lagi kalau menghadapi
kejahatan. Watak seperti itu akan mendatangkan bahaya kalau pemuda itu berada
di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh dan lihai. Dan sekarang
pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berlayar ke sana. Bukankah itu sama
dengan menyuruh pemuda itu menghadapi bencana?
Betapa pun
juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga gurunya. Ia kehilangan
watak galaknya kalau berhadapan dengan pamannya, maka semua kekhawatiran dan
ketidak setujuan hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia
keluarkan melalui mulut. Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar
dan Bun Beng sudah duduk di perahu itu, memegang kemudi dengan sepeti besar
roti kering dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata
perlahan, "Hati-hatilah, Bun Beng...!"
"Gak
Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang
pedang itu. Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan
tetapi sebatang di antaranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang dari tanganmu pula.
Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewajibanmulah untuk
menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan
kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang
amat ampuh, jarang dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang
sebatang telah kau berikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang
kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam
terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu."
"Suma-taihiap,
saya berjanji bahwa jika saya dapat sembuh, saya akan mengerahkan seluruh akal
dan tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam, untuk membasmi Tan-siucai dan
gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk membalas dendam atas kematian Suhu
Siauw Lam Hwesio."
"Hemm,
cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permusuhan. Semoga
engkau akan dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah, berangkatlah!"
Setelah
memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu, Bun
Beng mendayung perahunya ke tengah. Setelah angin bertiup membuat layarnya
berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang memandangnya dari pantai itu
hanya tampak seperti dua buah titik yang akhirnya lenyap pula.
Bun Beng
memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar di mana
perahunya sekarang berada akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan
Besar untuk kemudian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu
mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia
akan melalui lautan yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan
merupakan tempat berbahaya sekali.
Bun Beng
teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat
akan pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak
senang. Akan tetapi kalau ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan
agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolong dia
dan Milana di atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas
layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri.
Betapa pun
anehnya, betapa pun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia tidak bisa membenci
kakek muka kuning itu, biar pun dia tahu bahwa kakek itu adalah seorang tokoh
besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka menolongnya dan memberi
tetumbuhan obat anti racun. Ataukah... jangan-jangan kakek muka kuning itulah
Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera
Majikan Pulau Neraka? Pemuda itu selain tampan juga pesolek, pakaiannya
indah-indah, dan kakek muka kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak
karuan dan tak bersepatu. Betapa pun juga, kakek muka kuning itu tentu bukan
tokoh sembarangan dari Pulau Neraka.
Dua hari dua
malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai
Huang-ho. Dia merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Super Sakti karena
setelah diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia
gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersambung lagi, tidak begitu nyeri
rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi. Akan tetapi, selama dua hari itu, dia
berpikir dan mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka.
Dia benci
harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya amat sombong. Dia
tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa pemuda tampan itu
akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan. Hanya sedikit sekali harapan untuk
bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka. Bukankah ia mendengar desas-desus
bahwa Pulau Neraka tidak bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah ketika ada
pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan
persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pulau Es?
Kalau memang
racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati
di mana saja dari pada di Pulau Neraka, lebih dahulu harus mengalami
penderitaan batin kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih
hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak
mereka sambut dengan baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia tentu
takkan banyak berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang demikian
lihainya.
Tidak, dia
tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu ke mana
dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke
tempat di mana terdapat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu sekumpulan
kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan lamanya! Tempat
itulah yang menjadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah
dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab
pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati di
sana, hanya sekumpulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada
seorang pun manusia lain yang akan melihat keadaannya.
Tiada
seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu
bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biar
pun penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam
pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia
akan sampai di tempat itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak,
sekali dibenturkan pada batu-batu di bawah air oleh tenaga pusaran air,
tubuhnya akan remuk. Apa bedanya? Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak
setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!
Dengan
keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah
muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu,
sampailah dia dekat pulau dan langsung ia mengemudikan perahu menuju ke sebelah
selatan pulau di mana terdapat pusaran maut.
"Haiiii...!
Orang muda, jangan ke sana... berbahaya...!" Beberapa orang nelayan dari
perahu masing-masing berteriak-teriak memperingatkan Bun Beng.
Akan tetapi
pemuda ini malah tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang
memperingatkan dia agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air
itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali melihat mereka memperingatkan
dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah menurunkan layar dan mendayung
perahunya cepat-cepat menuju ke pusaran air, diikuti pandang mata terbelalak
dan muka pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang
amat ditakuti semua nelayan.
Mereka
berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu dengan orang muda itu
dicengkeram pusaran air, perahunya berputar-putar dan tiba-tiba pemuda itu
terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah berantakan mengeluarkan
suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh pemuda itu lenyap
ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya
menggeleng-geleng kepala melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam mencatat bahwa
pusaran maut itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih
asing dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa di situ terdapat pusaran air yang
amat berbahaya.
Dalam
keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa
oleh pusaran air yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuhnya dihanyutkan oleh
kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia
merasa tubuhnya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan
karena dia maklum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya
hanya dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikit pun
sehingga tubuhnya seperti sehelai daun yang menurut saja.
Dalam
keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia
siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tempat ini,
tahu-tahu ia mendapatkan dirinya telah berada di mulut sebuah goa. Tubuhnya
terasa sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah
di sana-sini, agaknya karena terbentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran
air itu menghanyutkan tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk,
memandang ke sekelilingnya yang hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang
dan ternyata dia berada di mulut goa yang amat besar dan di sebelah kirinya
terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh.
Ia menarik
napas lega. Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali secara mukjizat dia
selamat! Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan kiri,
menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah mengeroyoknya kemudian
menjadi sahabat-sahabatnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi
saja di situ, tidak tampak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air
terjun yang bergemuruh.
Ketika ia
memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat di mana ia pertama kali
didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahulu tidak ada air
terjun yang demikian besar, dan ia dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai
yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di
depannya yang ada hanya air terjun itulah. Melihat letak dia mendarat, dia
dapat menduga bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah
bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh
bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepalanya akan pecah!
Tidak salah
lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pusaran air itu. Ini
adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah
dapat digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipakai berdiri. Ia
merangkak dengan hati-hati memasuki goa itu yang ternyata amat dalam dan
setelah merangkak sejauh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh
batu-batu liar dan matahari menyinari tempat terbuka yang luas itu. Sunyi
sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan
atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun
Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka
itu!
Meja kecil
dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terdapat sebuah
kitab! Tentu ada manusianya, karena lilin itu menyala, menyorotkan sinarnya ke
atas meja yang tertutup bayangan batu dinding tinggi! Tiba-tiba berkelebat
bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng menahan napas ketika melihat bahwa
orang itu adalah seorang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua
Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat rahasia,
agaknya menjadi tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang!
Wanita itu
agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia
membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar tegang. Ia segera mengenal
wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya ketika wanita ini bertemu
dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak mereka, Milana! Hatinya
diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, seperti Milana dan
kelihatan masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang
terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.
"Singgg...!"
Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri meja dan
membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja.
Agaknya dia
mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu
dibiarkan terbuka, dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat
gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti seorang mempelajari sebuah jurus
ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan biar pun digerakkan perlahan, pedang
itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, naik turun suaranya ketika gerakan-gerakannya
berubah sehingga seperti suling ditiup melagu! Kemudian wanita itu melangkah ke
belakang tiga tindak dan mainkan jurus dengan cepat. Bukan main!
Pandang mata
Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung sinar putih
seperti kilat yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang
membuat dia terheran-heran adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu
silat dalam kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!
Tiba-tiba
dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah bersilat pedang
beberapa lamanya, mengulang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu
terhuyung ke depan dan terdengar suaranya penuh penyesalan. "Keparat!
Selalu terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apanya
yang kurang?" Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil
menahan keseimbangan tubuhnya, melontarkan pedang itu ke belakang tanpa
menengok, melalui kepalanya.
"Wuuuttt...
singggg...!" Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!
"Ceppp!"
Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, menancap sampai
tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang
beberapa sentimeter lagi!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tubuh ke
belakang, terlentang dan tak berani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya
pucat. Ia hanya terlentang tanpa berani berkutik, memandang ke arah ujung
pedang itu. Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih
belum pulih keadaannya yang secara aneh seperti orang terserang dari dalam
tubuh sendiri dan membuatnya tadi terhuyung.
"Sratttttt!"
Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah
dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh
penasaran dan kecewa.
"Kitab
yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sinkang telah kupelajari, gerakan
pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening
dan napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ketiga belas itu? Mengapa
tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun lebih
mempelajarinya, macet pada jurus ketiga belas!"
Dengan
jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari
celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil
lebih itu agaknya menerobos terowongan goa dan menimbulkan suara gemuruh
sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia
melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya, memakai kerudung penutup kepala,
kemudian dengan langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam lilin, dan
berjalan menuju ke sebuah pintu besi yang tertutup oleh beberapa buah batu
besar. Wanita itu mendorong sebuah batu di ujung kanan dan terbukalah daun
pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment