Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 11
Namun,
sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya,
khawatir kalau-kalau wanita itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat
dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu dengan wanita itu. Mungkin
dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat menduga apa yang akan
dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu.?
Setelah
hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan muncul, Bun
Beng merangkak keluar dari belakang batu menghampiri meja. Lututnya sudah tak
terasa nyeri, hanya masih lemah, maka dengan berpegang pada meja, ia dapat
mengangkat tubuh berdiri. Dengan tangan kiri menahan, menekan ujung meja,
tangan kanannya memeriksa kitab yang terletak di atas meja itu. Kitab yang tidak
berjudul, akan tetapi di dalamnya terkandung pelajaran semedhi menghimpun
sinkang yang aneh, dan di bagian belakangnya terdapat pelajaran ilmu silat
pedang yang gerakan-gerakannya mirip dengan gerakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng.
Bun Beng
tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan tidak ada jalan
keluar baginya, berarti bahwa agaknya dia harus tinggal di situ sampai kematian
merenggutnya. Dari pada termenung memikirkan nasib, sebagai seorang penggemar
ilmu silat tentu saja kitab itu merupakan hiburan besar baginya, untuk mengisi
kekosongan. Mulailah ia membaca bagian pertama, bagian berlatih sinkang.
Dia sudah
banyak melatih sinkang dengan cara semedhi yang berlainan, yang ia pelajari
dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, di mana dia
menerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang.
Kemudian ia pun mempelajari cara semedhi dan melatih sinkang dari pelajaran
yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu
mempunyai cara tersendiri, sungguh pun mirip dengan cara yang diajarkan di
Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan cara perkembangannya.
Setelah
membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersemedhi, ia berhenti dan
membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman
dua puluh, karena perutnya terasa lapar sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa
yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada sebatang pun pohon di
situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang. Dia mulai merangkak di antara
batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang
agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan
banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warnanya agak kemerahan dan baunya
amis seperti darah.
Bun Beng
memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu warnanya
merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begitu ia dekatkan ke
mulut, bau amis membuat ia muak dan dia tidak jadi memakannya. Kemudian ia
teringat akan ucapan mendiang suhu-nya mengenai manusia, di antaranya tentang
cara manusia makan. Terngiang di telinganya suara gurunya itu,
"Bun
Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi pertentangan dalam
batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan dikendalikan oleh
nafsunya. Penggunaan panca indrianya sudah tidak pada tempatnya lagi. Lihat
saja kalau manusia makan. Apakah sebetulnya maksud dari makan? Apakah manfaat
dan kegunaannya?"
"Agar
perut yang lapar menjadi kenyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu,"
jawabnya dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun.
"Benar,
dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pengertian itu
hanya menjadi hafalan kosong belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam
hidup. Manusia makan bukan untuk perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu,
bukan sang perut yang diingat di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan
manfaatnya bagi sang perut lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang
mulut sehingga hilanglah arti sesungguhnya dari pada makan. Maka timbullah
bermacam pertentangan batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang
enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi akan arti makan bagi
perut, melainkan mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak
bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut atau
tidak."
Sekarang dia
baru mengerti akan tepatnya ucapan suhu-nya itu, dan ia mengingat akan wejangan
selanjutnya.
"Seperti
juga dengan mulut, manusia menyalah gunakan mata, telinga, hidung dan semua
panca indranya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya dari pada semua anggota yang
menjadi alat hidup itu sehingga semuanya dikuasai oleh nafsu ingin nikmat,
ingin senang tanpa menjenguk faedahnya. Maka selalu mencari pemandangan yang
indah indah dan merangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga selalu mencari pendengaran
yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu mencium yang sedap-sedap bagi
nafsu, tanpa mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian, hidup ini
menjadi kosong dan tidak berarti, hanya menjadi gerak pemuasan sang nafsu,
menjadi budak pengabdi keinginan nafsu belaka!"
Teringat
akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi
jernih dan dapat menangkap arti dari pada ucapan suhu-nya itu, baru terbuka
mata batinnya. Ia memandang lagi jamur di tangannya, kemudian dengan menekan
nafsu yang menguasai hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya,
dan dimakanlah jamur itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasanya karena tidak mau
lagi dikuasai nafsu, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi.
Setelah menghabiskan
tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya
terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai ke sudut dan membuang air
besar di antara batu-batu basah, demikian hebat perutnya terkuras sampai dia
jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur yang dimakannya itu tentulah
mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak merasa menyesal,
juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi kematian.
Mati sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya?
Bun Beng
siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-ngiang
diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepalanya yang dipukuli
dengan irama teratur? Dia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan
kepalanya tidak dipukuli orang. Akan tetapi suara itu masih terus berbunyi,
mengiang-ngiang dan berdetak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang
terdengar mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak
adalah denyut jantungnya! Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya.
Akan tetapi,
biar pun dia menanti datangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak datang
menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah akhirnya lenyap. Jalan
darahnya normal kembali. Ia bangkit duduk dan aneh, lututnya tidak selemas
tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih terasa kenyang.
Wajah pemuda
itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhu-nya lagi, dan dia tidak
peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya kalau
perutnya membutuhkan. Dia tidak perlu khawatir akan kebutuhan air. Di banyak
tempat terdapat air bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari celah-celah
batu. Dan jamur merah banyak sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan
bertahun-tahun karena tentu akan tumbuh lagi. Yang jelas, jamur itu
mengenyangkan perutnya.
Makin
giranglah hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa kini perutnya tidak mulas
lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur, dan kedua lututnya
cepat sekali sembuh, tenaganya pulih.
Pada hari
ketiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan semedhi seperti yang diajarkan di
dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi dan
mengetahui kalau wanita itu muncul, dia menumpuk beberapa batu sebesar kepalan
tangan di depan pintu rahasia. Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu itu tentu
akan runtuh dan mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi.
Kekuasaan
Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan belum
menghendaki seseorang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa
disadarinya. Demikianlah pula dengan keadaan Bun Beng. Pemuda ini sudah jelas
keracunan darahnya, dan Pendekar Sakti Suma Han sendiri sudah memeriksa dan
menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat
hidup paling lama setengah tahun saja!
Akan tetapi,
karena terpaksa, tidak ada makanan lain kecuali jamur merah, dan karena sadar
akan wejangan mendiang suhu-nya, Bun Beng nekat makan jamur, sama sekali tidak
tahu bahwa jamur itu mengandung racun yang amat kuat. Racun terhisap oleh
darahnya dan bertemu dengan racun di dalam darahnya akibat perbuatan Pendeta
Maharya. Betapa ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang sifatnya
bertentangan sehingga saling membunuh! Andai kata Bun Beng tidak keracunan
darahnya, tentu dia akan mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah
menjadi ‘obat’ yang menghilangkan ancaman maut oleh racun yang berada dalam
darahnya. Tentu saja Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa
kesehatannya pulih kembali dengan cepat.
Dengan
hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua
Thian-liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebulan
sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng cepat
bersembunyi dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu
selalu macet kalau berlatih ilmu pedang sampai ke jurus tiga belas! Selalu
terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat, napasnya menjadi sesak.
Dengan tekun
Bun Beng melatih sinkang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian
pelajaran ini selesai dilatihnya dan dengan girang sekali ia mendapat kenyataan
bahwa tenaga sinkang-nya meningkat secara luar biasa sekali, beberapa kali
lipat lebih kuat dari pada sebelum ia berlatih. Yang lebih menggirangkan
hatinya lagi, setelah melatih diri dengan sinkang menurut petunjuk kitab itu,
dia kini mampu melakukan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan dan mudah,
bahkan dia dapat melakukan gerakan dengan cara ilmu memindahkan tenaga dengan
tepat sekali.
Untuk ilmu
memindahkan tenaga ini ia berlatih dengan batu besar yang ia lontarkan ke atas.
Ketika batu itu meluncur ke arah tubuhnya, ia mengikuti gerakan batu itu, serta
mengerahkan sinkang ke ujung tangan yang berlawanan kemudian ia memindahkan
tenaga luncuran batu itu ditambah sinkang-nya sendiri menghantam dari samping,
membuat batu itu pecah berantakan!
Setelah
selesai melatih sinkang, mulailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat
dalam kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki gerakan yang
hampir sama dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri,
menggunakan pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu karang yang banyak
terdapat di tempat itu. Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan
dia melatih setiap jurus dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya
ketika ilmu pedang yang hampir serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata
setiap jurusnya merupakan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-keng! Agaknya ilmu
pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menandingi Sam-po-cin-keng!
Untuk setiap
jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ketiga belas,
dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih jurus ketiga
belas ini, dia dapat mainkan jurus itu dengan baik dan tidak terjadi sesuatu
dengan dirinya seperti yang diderita oleh Ketua Thian-liong-pang! Bun Beng jadi
tercengang dan termenung setelah selesai melatih jurus ketiga belas ini.
Mengapa dia bisa mainkan dengan baik sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh
lebih lihai dari pada dia itu tidak mampu?
Pemuda ini
tidak tahu bahwa kini ilmu sinkang-nya sudah amat tinggi, hampir menandingi
sinkang Ketua itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal karena tidak menguasai
peraturan pernapasan ketika mempelajari jurus ketiga belas itu! Ada pun Bun
Beng sendiri, biar pun tidak mempelajari pernapasannya karena kitab itu tidak
lengkap, namun dia telah mempelajari pengaturan napas ketika mainkan
Sam-po-cin-keng sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan Sam-po-cin-keng,
bahkan menjadi imbangannya.
Dengan
girang sekali Bu Beng mendapat kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada
di tempat itu, dan kesehatannya terasa makin baik! Dia telah sembuh! Secara
aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu dia sekarang telah mati seperti yang
dikatakan Pendekar Super Sakti. Pendekar itu tidak mungkin membohonginya. Jamur
itu! Kini ia dapat menduga bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya,
maka diam-diam ia menjadi girang dan bersyukur sekali.
Sampai tiga
bulan lebih ia mempelajari ilmu pedang dan akhirnya ia dapat mainkan semua
jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sadar bahwa ketika ia
mainkan batu kecil panjang seperti pedang itu, terdengar suara nyaring
melengking dan tampak sinar berkelebatan yang mengandung hawa sebentar panas
sebentar dingin!
Selama itu,
dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini telah
selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah
keinginan hatinya untuk keluar dari tempat itu. Tak mungkin dia selamanya akan
tinggal di tempat itu setelah kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi
bagaimana mungkin dia dapat keluar dari situ?
Dia bersikap
sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari dimakannya
itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai mencoba jamur
lain karena selain jamur merah, di situ terdapat jamur putih, biru, hijau dan
lain-lain. Selama ini yang dimakannya hanyalah jamur merah yang amis karena
ternyata bahwa jamur itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia
sehingga tidak kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk
mencoba jamur yang lain.
Pertama-tama
dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berbentuk segi lima ujungnya
meruncing seperti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya
agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng
duduk bersandar batu karang dan merasa betapa selain mengantuk, juga tubuhnya
makin lama makin terasa panas! Mula-mula rasa panas hangat-hangat ini nyaman
sekali, dan ada perasaan girang luar biasa di dalam hatinya.
Akan tetapi
makin lama, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat
syaraf menegang dan dia menjadi gelisah bukan main. Dorongan hasrat nafsu
birahi yang amat hebat membakar tubuhnya, membuat dia menderita hebat sekali,
gelisah dan bingung, mengerang-ngerang seperti orang dibakar perlahan-lahan,
bergulingan ke sana-sini untuk melawan dan menekan hasrat yang meluap-luap itu.
Terbayanglah di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita
dari Milana, Kwi Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu.
Terbayang olehnya betapa mereka itu berganti-ganti tersenyum, bersikap manis
dan bergema di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
"Aduhhhh...
gila! Aku sudah gila...!" Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun
tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya,
membuat nafsu birahinya makan memuncak.
Semalam
suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum pernah dia
alami. Dia merasa tersiksa sekali, tetapi juga diam-diam merasa beruntung bahwa
pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang
akan dilakukannya, apa yang akan terjadi andai kata di waktu itu ada seorang di
antara tiga orang gadis itu yang berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan
lagi! Setelah matahari terbit pada keesokan harinya, barulah dia terbebas dari
pada siksaan menggila itu. Seluruh tubuhnya terasa lemah dan lelah sekali, akan
tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantungnya normal kembali. Ia cepat
mandi di bawah air terjun di depan goa, membiarkan air terjun menyiram kepala
dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar.
Ketika dia
kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjanji tidak akan
mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa
jamur-jamur di situ mengandung daya yang demikian mukjizat.
Ia kini
melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah jamur-jamur
ini? Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi? Betapa pun
juga, hatinya takkan pernah merasa puas sebelum ia mencobanya. Dia telah makan
jamur merah selama setengah tahun di tempat itu dan akibatnya justru
menguntungkan dirinya. Dia telah pula mencoba jamur putih yang biar pun membuat
dia tersiksa hebat semalam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak merugikannya.
Apa salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain?
Dengan
hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia sudah kapok, tidak
berani makan banyak sehingga andai kata jamur itu beracun pula, pengaruh
racunnya tidak terlalu hebat. Dan jamur ini lezat rasanya! Tidak berbau, dan
rasanya gurih seperti digarami!
Dengan
jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur
biru itu. Suara air terjun bergemuruh terdengar dari situ. Tiba-tiba ia
terbelalak, lalu memejamkan matanya. Apakah ini? Mabokkah dia? Suara air
bergemuruh itu kini lain sekali didengarnya. Seperti berubah menjadi berlagu
dan berirama! Begitu indahnya, seolah-olah bukan suara air terjun, melainkan
selosin macam alat musik ditabuh oleh tangan orang-orang ahli! Seperti dalam
mimpi, Bun Beng membiarkan pikirannya melayang-layang terbuai dan seolah-olah
diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang berubah menjadi musik
merdu itu.
"Aihh,
jangan-jangan aku telah menjadi gila sekarang," pikirnya dan ia cepat
membuka matanya.
Ia
terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang sekarang menjadi
berwarna-warni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah bentuknya dan
begitu penuh rasa seni! Benarkah semua ini? Tempat itu dalam pandang matanya
seolah-olah menjadi amat berbeda, menjadi seperti... ah, agaknya sorga
begitulah macamnya! Dia menggerakkan kaki tangannya dan hampir dia berteriak.
Dia seperti melayang-layang! Dia masih duduk di situ, akan tetapi merasa
seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di antara sinar matahari yang
berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara
mega-mega di angkasa.
Di antara
keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar
menakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan
keadaan sekitarnya, semua nampak indah, bahkan dia tidak kaget atau tidak takut
ketika melihat pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita berkerudung
meloncat keluar dari pintu, dan terdengar wanita itu berseru kaget dan meloncat
cepat, tahu-tahu telah berdiri di depannya. Bun Beng memandangnya dengan
tersenyum manis dan ramah, senyum sewajarnya seolah-olah dia bertemu dengan
seorang sahabat lama, atau seorang bidadari kahyangan. Memang pantasnya
bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biar pun kepalanya ditutupi
kerudung, namun kelihatannya pantas dan serasi dengan tubuhnya!
"Kau...?
Gak Bun Beng...?" Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan,
kekagetan dan juga kemarahan.
Bun Beng
tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh kegirangan
dan kejujuran ketika ia berkata, "Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng.
Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia dan sehat seperti
saya!"
Agaknya
jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa
akan kemarahannya. "Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Saya?
Saya terbang... heh-heh, saya... saya hanyut oleh air surga, sampai di sini,
senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya surga ini... heh-heh..."
Sepasang
mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkerudung itu,
mengerutkan alisnya. Heran sekali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke
sini? Dia melihat sikap dan mendengar bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi
gila!
Pada
dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu
adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar
kebajikan dari kitab-kitab kesusastraan kuno yang penuh filsafat di samping
ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah
dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum
pemberontak yang amat disegani.
Memang
wataknya berubah menjadi dingin karena tekanan batin setelah dia berpisah dari
suaminya, Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena merasa disia-siakan
suaminya yang tercinta itu membuat dia menjadi makin keras dan dingin, namun
hal ini sama sekali bukan mengubahnya menjadi seorang yang berwatak kejam. Dia
tadinya bermaksud membunuh Bun Beng, karena pemuda ini selain telah mengacaukan
Thian-liong-pang dan telah membunuh orang-orangnya, juga telah mengetahui
rahasianya bahwa Ketua Thian-liong-pang yang selalu menyembunyikan keadaan
dirinya di balik kerudung, sebetulnya adalah isteri Pendekar Super Sakti.
Di samping
itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah anak haram dari datuk sesat Gak
Liat, maka dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan seorang jahat yang berwatak
rendah dan jahat pula. Tetapi ketika tanpa disangka-sangkanya pemuda itu
tahu-tahu muncul di dalam tempat rahasianya ini dalam keadaan seperti orang
gila, dia menjadi tak tega untuk membunuhnya dan merasa kasihan di samping
keheranannya bahwa pemuda itu yang tadinya ia lihat lumpuh dan terluka hebat,
masih belum mati, bahkan tidak lumpuh lagi.
"Bocah
gila, berapa lama engkau berada di sini?"
"Ha-ha-ha,
Lociapwe baru tahu sekarang, ya? Saya sudah lama sekali di sini, sudah setengah
tahun. Ha-ha... sudah habis kitab itu saya pelajari...!"
"Apa...?
Kau...!" Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengkeram ke
arah pundak Bun Beng.
"Wuuutttt...
heeeiiihhh!"
Dengan
gerakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan tubuhnya dan Nirahai
berturut-turut melanjutkan cengkeramannya sampai tiga kali, tetap saja ia
mencengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan mudah. Diam-diam ia
terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan gesitnya itu.
"Heii,
tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!" Bun
Beng mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya
bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan, seolah-olah melayang-layang.
Sedikitnya tidak ada pikiran takut, khawatir atau apa saja karena pikiran itu
kosong, pandang matanya menjadi terang, pikirannya terang dan ia merasa
seolah-olah dunia, semua benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu
telah berubah sama sekali, semua kelihatan menyenangkan hati!
Inilah
akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengandung racun yang hebat dan luar
biasa, lebih hebat dari pada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini
mempengaruhi sistem syaraf di dalam otak, membuat dia tidak memikirkan, tidak
membayangkan sesuatu.
Segala rasa
khawatir, takut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan ingatan. Pikiran
menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain. Maka setelah
pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini, dalam keadaan kosong dan bersih
pikiran mereka jadi terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu yang
timbul dari pikiran. Itulah sebabnya maka segala hal tampak, terdengar, dan
terasa amat indah oleh Bun Beng, karena jauh berbeda dari pada biasa. Pikiran
yang dibebani segala macam kekhawatiran, ketakutan dan macam-macam perasaan
lain mengeruhkan pandangan dan pendengaran, seperti yang diderita oleh semua
manusia. Namun dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi kenyataan yang
lain dari pada biasanya.
"Locianpwe,
saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan
sekali?"
Nirahai yang
sudah mengangkat tangan itu menurunkan lagi tangannya, memandang tajam penuh
keraguan. Jelas bahwa bocah ini lebih gesit dari pada dahulu ketika membuat
kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya, seperti
orang yang miring otaknya. Mana mungkin dia berada di sini selama setengah
tahun tanpa dia ketahui? Apa lagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi,
siapa tahu?
"Kau
sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu pedangnya?"
Ia bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil
melatih ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal dalam jurus ketiga belas dan
seterusnya!
"Heh-heh,
tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ketiga belas dan
ke empat belas."
"Apa...?!"
Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini
dapat tahu akan hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama
berada di sini dan telah mempelajari isi kitab!
"Dan
engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu? Ahhh, siapa
mau percaya omonganmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak punya."
"Saya
mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil panjang
menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar.
"Gak
Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian
Kiam-sut..."
"Aihh, namanya
Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan main! Locianpwe tentu
ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"
Nirahai
mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.
"Terutama
jurus ketiga belas dan seterusnya, bukan?"
Kembali
Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu
seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam
keadaan terpengaruh racun jamur biru itu, ketika pikiran Bun Beng kosong
bersih, pandang matanya menjadi tajam luar biasa.
"Nah,
lihatlah, Locianpwe!"
Pemuda itu
lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang mulai dari jurus ketiga
belas. Gerakannya demikian gesit dan sempurna sehingga Nirahai memandang
bengong, penuh keheranan dan iri hati karena dia mendapat kenyataan betapa Bun
Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus itu, ketiga belas sampai terakhir,
dengan lancar, sempurna, dan sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti
yang telah dialaminya. Pedang batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking
seperti suling ditiup, dan terasalah olehnya hawa dingin dan panas silih
berganti keluar dari angin pedang batu itu!
"Hebat...!
Luar biasa...!" Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat
pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar.
Tiba-tiba
wanita itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun
Beng yang merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk
sama sekali sehingga dia tidak mengelak mau pun menangkis.
"Cussss!"
Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan
robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan
tetapi masih memandang ke arah wanita itu dengan senyum menghias bibir,
seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan rasa senang yang luar biasa!
Setelah
menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah
menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari
jurus ketiga belas. Pemuda itu bisa memainkannya, masa dia tidak? Tingkat
kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada pemuda itu, buktinya pemuda itu
dapat dirobohkannya sekali totok. Mungkin karena dia takut-takut, maka dia
tidak pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak menghentikan gerakannya
kalau ada kepeningan dan sesak dada menyerangnya.
Dalam
keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini
ia dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di
bagian pengaturan napas. Dia melihat dan mengetahui ini, akan tetapi karena dia
kagum akan keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu,
dia diam saja, hanya memandang dengan mulut tersenyum.
Nirahai
bersilat dengan gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut, kepalanya terasa
pening dan dadanya sesak, akan tetapi dia tetap nekat melanjutkannya dengan
jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung, napasnya terengah, namun dia masih
dapat bermain sampai jurus kedua puluh dan tiba-tiba ia mengeluarkan keluhan
pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!
Bun Beng
mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya ia
sadar. Tanpa disengaja oleh Nirahai, totokan itu telah membuyarkan pengaruh racun
jamur biru. Makin sadar, makin terkejutlah Bun Beng teringat akan semua yang
telah terjadi tadi. Teringat pula dia akan keadaannya setelah makan jamur biru
dan dia menjadi bengong. Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia berani
bersikap seperti mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak
menjadi takut? Kini timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh tenaga
sinkang-nya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol totokan dan jalan darahnya
kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua
Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.
Ah, inilah
kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar dari
tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar, membayangkan kemungkinan
dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari akal, ia cepat melepaskan kerudung
penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga menanggalkan jubah luar seperti
mantel yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan dingin, tidak
lupa mengambil pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh
Ketua yang pingsan itu, menghampiri pintu rahasia.
Dia sudah
tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di sudut dan pintu
itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi kepalanya, mengenakan
jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si Ketua yang telah diambilnya.
Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki pintu rahasia. Ketika ia menengok ke
arah tubuh yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-jamur di
sebelah kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik.
Jamur-jamur
merah telah menolongnya, jamur putih membuat dia terangsang birahi hebat, dan
jamur biru... ah, dia bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh
jamur itu, ataukah sebaliknya? Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal
bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang? Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan
membela diri mati-matian, dan besar kemungkinan dia akan terbunuh. Kalau
begitu, belum tentu jamur biru itu mencelakakannya, bahkan sebaliknya, telah
menolongnya sehingga akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan
membuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.
Pintu
rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang,
ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah
berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu mulai naik melalui tangga batu
dan terus naik. Ketika ia keluar dari pintu terakhir, kiranya lorong itu
menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di
tengah-tengah tanah pekuburan.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika di kanan kiri lobang kuburan itu berdiri
belasan orang tokoh Thian-liong-pang tingkat tertinggi! Untung ia masih ingat
akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang. Satu-satunya masalah yang akan
dapat menggagalkan penyamarannya adalah suaranya. Akan tetapi, mengingat betapa
anehnya watak Ketua Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan
suara dan siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini? Dia akan
menutup mulut, tidak mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang
sedang berduka, marah, atau sedang bertapa... bisu!
Melihat
Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera
memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati
yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan
besi yang atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan lagi sehingga kini kuburan
itu kelihatan seperti kuburan biasa.
Melihat
Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui
lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata,
"Harap
Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya
Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena
tempat kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."
"Apa...?"
Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita itu,
sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah
kata-kata saja, dengan suara ditinggikan, Bun Beng tidak melihat adanya bahaya
dikenal perbedaannya.
"Mereka
berjumlah lima orang dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang
berwarna terang. Agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa hendak
berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka berada di dalam ruangan tamu
dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."
Bun Beng
mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi Siang
yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang. Timbul
kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir akan keselamatan Milana. Maka dia hanya
mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai perintah agar
mereka mengantarkan ke tempat tamu.
Sikap ini
agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya mengira
bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja hendak
muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal dan diantar oleh para
pembantunya. Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan diikuti oleh Bun Beng
yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal
tanah kuburan ini. Kalau dia sudah sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang
terletak di lembah Sungai Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena
dia pernah berada di situ sebagai ‘tamu’ kemudian sebagai tawanan.
Ketika tiba
di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong dan
duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus, ungu
muda, dan merah muda, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke arah
‘Sang Ketua’ dan seorang di antara mereka yang bermuka merah muda dan berkepala
gundul kelimis seperti lilin, berkata,
"Kami
dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat
kepada Thian-liong-pangcu."
Bun Beng
hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai kepada Tang
Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng tidak
berkata-kata, hanya menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan menggerakan
kepalanya diangkat sedikit, sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang mewakilinya
bicara dengan para tamu itu.
Tang Wi
Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan
tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita
yang cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya lalu berkata nyaring.
"Ketua
kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih
dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup
murah hati dan menerima kedatangan kalian. Sekarang, harap kalian suka bicara
setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan kalian datang mengunjungi
Thian-liong-pang!"
Lima orang
Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali.
Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah
utusan pribadi Ketua atau Majikan mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang
menerima mereka tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti memandang sangat
rendah!
Si Kepala
Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk pendek,
segera berkata, "Saya Kong To Tek bersama Sute Chi Song." Dia
menuding ke arah orang muka merah muda kedua yang tubuhnya gendut tinggi besar
kepalanya kecil, kemudian melanjutkan, "ditemani tiga orang para sute yang
satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan To-cu kami, selain datang
menghaturkan hormat kepada Ketua Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa
Thian-liong-pangcu telah mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena
itu, To-cu kami mohon agar Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami
dengan ilmu kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal
ini, To-cu menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau
tidak, berarti benar bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari
mereka yang telah diculik, maka tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami
sendiri karena pihak kami belum pernah ada yang dapat diculik."
Keadaan
menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah. Yang hadir di
ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang,
Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi
Kang, dan beberapa orang lagi yang kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang
ke arah Ketua mereka, menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar
lima orang Pulau Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu.
Akan tetapi,
Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu Thian-liong-pang,
kemudian menuding ke arah lima tamu itu. Jelas maksudnya bahwa ‘Sang Ketua’
yang tiba-tiba menjadi ‘pendiam’ itu memerintahkan agar para tokoh
Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu yang menantangnya berpibu.
"Ngo-wi
(Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang dengan suara
nyaring. "Andai kata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum
tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas untuk dilayaninya sendiri. Apa
lagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau Neraka
berniat baik, mengapa mesti menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini
cukup tersedia tenaga untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan,
kami para pembantunya sudah cukup untuk membuka mata kalian bahwa
Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"
Bun Beng
mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka
dilanjutkannya, "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, kami akan
menandingi!"
Kong To Tek,
tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan berkata,
"Aahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan kami? Cukup
mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar kita coba-coba sebentar agar Pangcu dari
Thian-liong-pang menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau Neraka sudah cukup
berharga untuk ditandingi sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan
kami sebagai utusan majikan kami untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu,
bukan untuk mengadakan pibu (pertandingan silat), maka biarlah kami hanya
mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan saya sendiri. Sute, majulah
dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima petunjuk
Thian-liong-pangcu sendiri."
Laki-laki
gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan
melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi ‘Ketua’ Thian-liong-pang dan
menjura sambil berkata, "Thian-liong-pangcu, saya Chi Song, orang dari
kalangan tingkat tiga di Pulau Neraka, mohon petunjuk darimu."
Tang Wi
Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke arah
Ketuanya sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di antara
kami untuk meghadapinya."
Seingat Bun
Beng, orang paling lihai di dalam perkumpulan itu sesudah Ketua
Thian-liong-pang, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali Paman
kakeknya, Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar ini, sebagai sute
Si Gundul, tentu tidak selihai Si Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song ini
dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang.
Ia
mengharapkan agar kedua orang ‘pembantunya’ itu akan memperoleh kemenangan
sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan, karena kalau dua orang itu
kalah, apa lagi dia sendiri! Dan kalau dia turun tangan, tentu akan terbuka
rahasianya. Hal ini akan menimbulkan keributan. Sebaliknya kalau dua orang
tokoh Thian-liong-pang itu dapat ‘membereskan’ kedua orang Pulau Neraka itu,
tentu urusan menjadi selesai dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan
tempat berbahaya itu. Kalau sampai berlama-lama, kemudian muncul Milana, apa
lagi kalau sampai muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di dalam tempat
rahasia, wah, tentu celaka dia!
Tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu
Lo-mo. Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti
muka singa ini, yang pakaiannya sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk
dan kelihatan lenggat-lenggut mengantuk setelah dia tadi mengantarkan Sang
Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha!
Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan memilih
saya untuk memberi hadiah beberapa gebukan kepada Si Muka Merah ini!" Dia
melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan,
keduanya saling pandang dengan sinar mata tajam menyelidik, seperti tingkah dua
ekor ayam yang hendak bertanding.
Chi Song
memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata, "Kalau tidak
salah dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal itu!"
"Ha-ha-ha!
Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik lekas
berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan buntutmu lalu
angkat kaki dari sini!"
Chi Song
bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata menghina.
Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau Neraka, apa lagi
bersama suheng-nya saat itu menjadi utusan Majikannya. Tentu saja dia maklum
bahwa kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata memancing panasnya hati karena
kemarahan merupakan langkah awal yang keliru dan merugikan dalam menghadapi
pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum dan
berkata,
"Kebetulan
sekali, Sai-cu Lo-mo. Biar pun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum berhasil
menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang tokoh
Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya aku
khawatir, kalau sampai engkau kalah oleh seorang tak terkenal seperti Chi Song
ini, hal itu tentu akan menimbulkan malu besar!"
"Ha-ha-ha,
engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil
memanaskan hati lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"
Chi Song
tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan berkilau.
"Engkau lebih tua dari pada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku mengalah.
Mulailah!"
"Apa?
Biar pun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan
rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!" Kedua orang ini
memang cerdik dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka
mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi seorang ahli silat kelas tinggi,
menyerang lebih dulu tidak menguntungkan.
"Baik,
sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak.
Tiba-tiba
seluruh tubuhnya tergetar dan kedua tangannya bergerak perlahan. Tadinya kedua
tangan dirangkap di depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua
telapak tangan saling membesut, yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai
tegak di atas kepala, yang kanan terus bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk
tanah di bawah perut, warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak tua,
sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara
berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini.
Melihat ini,
Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sinkang yang
mukjizat dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan anehlah
kalau sinkang lawannya itu mengandung hawa beracun yang dahsyat. Maka dia cepat
memasang kuda-kuda, pandang matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan, siap
menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini
sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Ketuanya,
yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat
Delapan Iblis dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa).
Kedua
kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi tubuhnya dari
lutut ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik turun dengan lutut
ditekuk, juga berputar ke kanan kiri, namun matanya tak pernah meninggalkan
lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang maklum bahwa dua orang
kakek itu sedang saling mencari sasaran.
"Haiiiitttt...ttt!"
Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah menerjang
maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka, menyambar
atas dan bawah bertubi-tubi dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.
"Hiaaaahhhh!"
Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan kiri, kedua
kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi
delapan), kedua tangannya juga menangkis dengan pengerahan sinkang, yaitu
menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa pukulan tangannya sendiri karena dia
maklum betapa bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan ternyata
mengeluarkan bau amis dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!
Bun Beng
terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua orang itu
kurang cepat, akan tetapi tenaga sinkang yang terkandung dalam pukulan-pukulan
mereka membuat ia bergidik. Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga sinkang-nya
kini telah meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa dia tidak akan sanggup
menghadapi pukulan dengan tenaga sinkang seperti yang dilakukan oleh Chi Song
atau paman kakeknya.
Pertandingan
berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan lawan
dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil
ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya
adalah ilmu silat lama yang dahulu menjadi ilmunya pendekar wanita sakti
Mutiara Hitam. Namun, berkat pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat
tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan
jurus yang diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan
mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya, dibandingkan
dengan kehebatan ilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu, kini
lebih dahsyat lagi!
"Plak-plak-dukkkk!"
Kedua orang
itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka beradu dan disusul
tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat menjatuhkan diri
dan bergulingan kemudian meloncat bangun kembali, tepat pada saat lawannya yang
tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke belakang sampai lima kali
dan kini juga sudah berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam
jarak hampir sepuluh meter!
Chi Song
menjadi penasaran sekali. Ia telah menggunakan pukulan yang mengandung hawa
beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan tenaga
yang amat besar, sama besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh oleh
hawa beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena
kakek bermuka singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga
Khong-in-ban-kin, tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat
terpengaruh oleh hawa pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat
sekali.
"Ha-ha-ha,
orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut
tinggal di neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.
"Heaaaaaahhhhhhtt!"
Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas dengan tendangan
kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa.
Inilah
keistimewaannya Si Tinggi Besar muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang!
Sai-cu Lo-mo terkejut sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang
berantai itu tetap saja menyerempet pundaknya. Betapa pun juga, kakek ini masih
sempat menangkap kaki kiri dan membetot ke bawah sehingga biar pun dia
terhuyung oleh tendangan itu, tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai
berdebuk dan kalau saja Chi Song tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan
remuk. Chi Song menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu
Lo-mo yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya.
"Ha-ha-ha,
tendangannya luar biasa sekali. Ahhh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat.
Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau
Es, tentu Pulau Es akan dapat dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo berkata memuji.
"Uhhh,
kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu
tidak mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja
sama dengan To-cu kami!"
Hati Bun
Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau Neraka
untuk menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini dari pada
harus memusuhi Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia sudah
meloncat dari atas kursinya. Dia hampir berteriak karena loncatannya itu luar
biasa cepat dan ringannya, sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia
tidak cepat berjungkir balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di
depan Chi Song!
Gerakannya
amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song mengeluarkan seruan kaget.
Sai-cu Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya turun tangan, karena diam-diam dia
mengharapkan agar mereka dapat bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai
banyak orang pandai, untuk menyerang Pulau Es yang amat mereka segani dan
takuti.
"Bagus,
Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri?
Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"
Bun Beng
hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Karena sikap
ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras dan
cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala yang
berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu memindahkan tenaga, maka dengan
tenang dia menarik kepalanya ke belakang. Begitu tangan lawan menyambar dekat,
dia mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan, namun dia
tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
"Dukkk...!"
Tubuh Chi
Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari belakang,
mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia tak dapat
menahan lagi tubuhnya terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah
tenaga amat dahsyat dari ‘Ketua’ Thian-liong-pang.
"Ehhhh...,
bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru
dengan mata terbelalak.
Chi Song
sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk rasanya.
"Tidak salah lagi," katanya heran. "Itulah ilmu memindahkan
tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo saja yang dapat
melakukannya!"
Bun Beng
menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab, hanya
berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua
Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu pun tak pernah mendengar
bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau
Neraka!
"Aku
masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan
dia sudah melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu
tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga meloncat dan sengaja membuang
diri ke belakang ketika tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari samping dengan
cara memindahkan tenaga lawan, dia menendang betis kanan Chi Song.
"Plakk!
Aduhhhh...!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu
terpincang-pincang dia menghampiri kursinya, menjatuhkan diri duduk di atas
kursi, menyeringai kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya, dipijit-pijitnya,
karena selain tulang betisnya patah, juga urat-uratnya rusak sehingga terasa
nyeri bukan main, menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Kong To Tek
meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura, "Pangcu
benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan menggunakan ilmu
memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan hanya diketahui oleh To-cu
kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan kami!"
Bun Beng
kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan diangkat ke
depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan tetapi, teringat
bahwa dia adalah seorang ‘ketua’ di saat itu, amatlah tidak baik kalau dia
memperlihatkan kegugupan, maka dengan nekat ia lalu mengerahkan sinkang yang
dilatihnya selama enam bulan di dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang,
menyalurkannya ke dada dan menerima hantaman tenaga sinkang dari kedua tangan
lawan itu.
Kong To Tek
terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh lawan,
bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak terengah dan
dadanya sesak!
Bun Beng tak
berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya disertai tenaga
sinkang dan... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke belakang sampai
tiga langkah! Diam-diam Bun Beng merasa kaget dan heran sendiri, hampir dia
tidak percaya bahwa sinkang-nya telah meningkat sedemikian hebatnya! Dengan
mukanya yang merah muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek mengatur
keseimbangan tubuhnya dan memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata
terbelalak.
Adu tenaga
sinkang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan para
anggota Pulau Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan dengan
kibasan lengan baju saja membuat Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang
marah menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat melangkah maju dan
berkata,
"Pangcu,
serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia,
barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan
pentungan besar?" Ucapan terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar
seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcu-nya yang bertingkat jauh
lebih tinggi itu turun tangan sendiri.
Bun Beng
mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya, sengaja
mendemonstrasikan sinkang-nya. Tidak tertampak kakinya bergerak, hanya lengan
bajunya dikebutkan dan... tubuhnya melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu
telah duduk kembali ke atas kursi Ketua!
Melihat ini,
para anggota Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan Tang Wi Siang dan yang
lain-lain melongo karena mereka mendapat kenyataan betapa gerakan Ketua mereka
menjadi lebih lihai dari pada biasanya! Mereka girang dan mengira bahwa Ketua
mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia, melalui lorong yang pintu
masuknya adalah kuburan tua itu.
Tang Wi
Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan telunjuknya dan
memaki. "Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis, akan tetapi
kenyataannya engkau curang, berani engkau lancang menyerang Pangcu kami dengan
serangan gelap! Pangcu kami tadi sudah mengampuni nyawa tak berharga sutemu
itu!" Dia menuding ke arah Chi Song yang duduk di kursi dengan muka
cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat karena masih nyeri. "Akan tetapi
agaknya aku tidak akan dapat mengampunimu!"
Si Gundul
itu tersenyum lebar dan menjura. "Aih, maaf, karena kami memang sengaja
hendak mohon petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku sengaja menyerangnya.
Pangcu-mu hebat bukan main, namun sayang, dia menghadapi seranganku dengan ilmu
lain, bukan ilmu dari kami seperti ketika dia mengalahkan Sute. Kalau engkau
hendak mewakili Pangcu-mu, silakan. Akan tetapi jangan marah kalau aku sampai
kesalahan tangan!"
"Cihhh,
sombongnya! Kau kira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang, kepala pelayan
Pangcu Thian-liong-pang? Majulah dan terima kematianmu!"
Si Gendut
Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas. "Aih, celaka sekali! Hari ini
aku benar-benar menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh datang hanya
dihadapkan seorang pelayan. Kalau tidak bisa menang, memang aku tidak layak
hidup lagi! Kouwnio, terimalah seranganku!"
Tiba-tiba Si
Gundul ini menerjang dengan gerakan yang cepat sekali. Sungguh tak
disangka-sangka bahwa orang yang gendut pendek sehingga kelihatan seperti
seekor katak itu memiliki gerakan kaki tangan amat cepat sehingga dilihat
begitu saja, kedua pasang tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi
masing-masing tiga pasang!
Namun, kalau
hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang masih cantik dan
bertubuh ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam hal ginkang, kiranya Si
Gundul itu kini bertemu gurunya! Justru dalam hal ginkang inilah Wi Siang
menerima gemblengan Nirahai karena memang dia mempunyai bakat. Oleh Ketua
Thian-liong-pang yang sakti itu, Wi Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu
silat yang mengandalkan ginkang sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti
seekor burung terbang, sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu
Silat Sakti Burung Walet).
Maka
keceliklah Kong To Tek ketika tiba-tiba bayangan lawannya berkelebat dan
lenyap! Hanya ada angin bertiup melalui atas kepalanya ke belakang, maka cepat
ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya telah berada di belakangnya. Ia
terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan kecepatannya karena maklum bahwa
lawannya adalah seorang ahli ginkang yang jauh lihai dari padanya.
Kini dia
melakukan serangan dengan kaki tangannya, tidak mengandalkan kecepatan lagi,
melainkan mengandalkan tenaga sinkang-nya. Baik hantaman tangan mau pun
tendangan kakinya didahului angin yang mengeluarkan bunyi mencicit seperti
sebatang golok atau pedang yang memecah angin! Hebat bukan main tenaga Si
Gundul ini, Wi Siang juga maklum bahwa mungkin dia lebih cepat, juga ilmu
silatnya lebih tinggi, namun belum tentu dia dapat menandingi kekuatan sinkang
Si Gundul yang benar-benar kuat itu.
"Hehhh!"
Kong To Tek
mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah lambung kiri Wi Siang.
Wanita ini cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang, akan tetapi tangan
kiri orang gundul itu sudah menonjok atau mendorong dengan telapak kanannya ke
arah dada! Wi Siang kembali mengandalkan kecepatan mengelak dengan miringkan
tubuh, akan tetapi angin pukulan yang menyerempet pundaknya masih saja membuat
dia terhuyung ke samping. Marahlah wanita ini.
"Haiiikkk!"
Ia mengeluarkan suara melengking.
Tubuhnya
mencelat ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong To Tek memutar
tubuh, Wi Siang sudah membalas serangannya dengan pukulan Touw-sim ciang
(Pukulan Menembus Jantung) yang bukan main ampuhnya.
"Hehhh!"
Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya.
"Dukk!"
Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya.
"Keparat!"
Wi Siang membentak marah sekali dan kini ia mainkan ilmu silatnya dengan gerak
cepat Yang-cu Sin-kun, mengirim pukulan Touw-sim-ciang yang kalau mengenai
tubuh lawan dengan tepat, tentu akan merenggut nyawanya.
Menghadapi
kecepatan yang luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan, apa lagi karena
dia pun maklum kalau dadanya sampai terkena pukulan itu, kekebalannya takkan
dapat melindunginya. Maka dia mulai terdesak hebat dan Bun Beng dapat melihat
bahwa tak lama lagi Si Gundul itu akan roboh oleh ‘pelayannya’ yang benar-benar
amat tangkas dan lihai itu.
Ketika Wi
Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan bertubi-tubi,
tiba-tiba tubuh Si Gundul yang pendek itu merendah, seperti merangkak sehingga
kedudukannya seperti seekor katak berkaki empat karena kedua tangannya menapak
tanah, dan dari perutnya keluar suara melalui kerongkongan.
"Kok-kok-kok!"
Tiba-tiba
dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal berwarna putih
kehitaman, lingkaran-lingkaran uap yang menyerang ke atas ke arah tubuh Wi
Siang! Wanita ini kaget sekali. Dia mengelak, akan tetapi celana pada betis
kanannya terkena uap dan terasa olehnya betapa kulit betisnya panas, perih dan
gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia ingin sekali menggaruk.
Pada saat
itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu tiba-tiba diangkat ke atas
dan dua kali tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh lawan dengan bunyi
"kok-kok!" maka menyambarlah angin pukulan yang dahsyat bukan main ke
arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget, mengelak dengan cara melempar
tubuh ke belakang dan berjungkir-balik beberapa kali. Dia dapat menghindarkan
pukulan maut itu, akan tetapi kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh
merangkak seperti katak, mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan
kerongkongannya mengeluarkan bunyi seperti katak besar.
Diserang
seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan ginkang-nya untuk melesat
ke sana-sini, namun karena dia maklum akan bahayanya uap itu, dia tidak berani
mendekat dan terpaksa harus mengelak terus tanpa dapat balas menyerang,
sedangkan lawannya itu menyelingi semburan uapnya dengan pukulan-pukulan dari
bawah yang mengandung tenaga mukjizat!
Bun Beng
sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul itu benar-benar
amat berbahaya, pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan Wi Siang dengan muka
gelisah harus meloncat ke sana ke mari menghindarkan diri dari uap-uap itu dan
pukulan-pukulan maut yang dilancarkan oleh manusia seperti katak itu. Maka
sekali lagi dia mencelat dari atas kursinya dan pada saat itu Wi Siang sedang
meloncat pula ke atas menghindarkan sebuah pukulan.
Betapa pun
cepat gerakan Wi Siang, namun bagi Bun Beng kelihatannya biasa saja. Ketika
tubuhnya dekat dengan tubuh Wi Siang di udara, ia cepat menyambar lengan
‘pembantunya’ itu dan sekali sentak tubuh Wi Siang terlempar melayang ke
tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan cepat-cepat merobek celana bagian
betisnya. Ternyata kulit betisnya telah ‘termakan’ racun dalam uap tadi,
kelihatan merah totol-totol. Cepat ia mengambil obat anti racun dan menggosok
betisnya dengan obat itu. Namun rasa gatal, panas dan perih masih belum lenyap.

Ketika Kong
To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau membuang waktu.
Ketika Bun Beng meloncat turun, ia sudah menyambut dengan serangan uap dari
mulutnya. Tubuhnya merangkak maju dengan ‘empat kaki’, dari kerongkongannya
keluar suara berkokok seperti katak buduk, dan uap kehitaman menyerang Bun
Beng. Namun pemuda ini, mengingat akan niat orang-orang Pulau Neraka agar
dikalahkan dengan ilmunya sendiri, cepat merendahkan diri seperti merangkak
pula, mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan dia meniup ke arah uap yang
melingkar-lingkar itu.
"Kok-kok-kok...!"
Si Gendut berkokok.
"Wush-wushhh-wushhh!"
Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong, kembali ke arah
penyerangnya!
Tentu saja
Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka uap itu tidak
mempengaruhi kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan ketika uap-uap itu
membuyar dan menghantam mukanya sendiri. Cepat ia mengangkat kedua tangannya,
melakukan pukulan ke depan mendorong dengan tenaga mukjizat.
Bun Beng
juga mendorongkan kedua tangannya, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat
kenyataan bahwa tenaga dorongan kakek gundul itu bukan mengandung sinkang
sewajarnya dan selain amat kuat juga mengandung hawa beracun yang mukjizat
pula. Tentu merupakan latihan sinkang yang disertai penggunaan racun yang
banyak terdapat di Pulau Neraka, pikirnya. Maka ketika Bun Beng merasa betapa
dorongan kakek itu dapat membahayakan, cepat ia membuang diri ke samping,
menggunakan ilmu memindahkan tenaga. Ketika hawa dorongan lewat ia cepat
membarengi dengan kibasan lengannya yang sudah menjadi berganda tenaganya itu
ke arah muka Si Gendut Gundul.
"Kok-kok!"
Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena hantaman
ujung lengan baju Bun Beng.
"Plakkk!"
Kembali Bun
Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga sinkang berganda
itu ketika mengenai pundak lawan yang mengeluarkan bunyi seperti katak, terasa
seperti membentur benteng baja dan membalik! Sementara itu, Si Kakek Gundul
yang merasa terlindung oleh ilmu kataknya yang mukjizat, mempercepat bunyi
berkokok di tenggorokannya dan siap menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba Bun
Beng berkelebat dan lenyap, tahu-tahu tubuh ‘ketua’ ini sudah melayang turun ke
atas punggung lawan yang sedang merangkak sambil berkokok itu.
"Kok-kok-kok...
ngekkkk! Brooottt!"
Kakek gundul
itu yang tadinya mengeluarkan bunyi seperti katak, ketika kedua kaki Bun Beng
menginjak punggung disertai tenaga sinkang yang membuat tubuhnya seperti
menjadi laksaan kati beratnya, tak dapat menahan sehingga terdengar suara
‘ngek!’ dan tiba-tiba disambung suara memberobot amat keras dari tubuh
belakangnya!
Kiranya Bun
Beng dapat menaksir di mana letak kelemahan manusia yang berlagak katak ini,
maka begitu punggung terinjak kuat, hawa sakti yang membuat kakek itu berkokok
dan menghembuskan uap, terpencet keluar tanpa dapat ditahannya lagi dan hawa
itu menerobos melalui mulut belakang. Terdengar suara di sana-sini dan semua
orang menutupi hidungnya, kecuali orang-orang Pulau Neraka, karena hawa yang
keluar dari ‘mulut belakang’ kakek itu benar-benar amat hebat... baunya! Akibat
racun yang terkandung di dalamnya sehingga bau itu memenuhi ruangan tamu.
Kakek gundul
itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini digotong oleh
teman-temannya ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah meloncat kembali ke
kursinya dan duduk dengan tenang. Diam-diam ia merasa girang sekali dan kini
yakinlah dia bahwa penderitaannya selama setengah tahun di dalam tempat rahasia
itu telah menyembuhkan luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia
memperoleh kemajuan yang amat hebat, baik dalam ginkang, sinkang, dan ilmu
silat! Maka tenanglah hatinya karena kini dia merasa dapat menjaga diri
terhadap siapa pun juga.
Chi Song
terpincang-pincang menghampiri ‘ketua’ dan dengan kaki kanan berjinjit ia
menjura. "Banyak terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh
Thian-liong-pangcu. Biarlah kami kembali melaporkan semua peristiwa ini kepada
To-cu kami."
Setelah
memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin tiga orang
temannya yang menggotong tubuh suheng-nya yang masih pingsan. Tetapi baru saja
mereka itu tiba di pintu ruangan, tampak berkelebat bayangan orang dan
terdengar bentakan halus nyaring.
"Setan-setan
Pulau Neraka berani mengacau di sini?"
Terdengar
suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To Tek tadi
terpelanting ke kanan kiri sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar pula, akan
tetapi malah membuatnya siuman dan ia mengeluh panjang. Chi Song yang melihat
munculnya seorang dara yang amat cantik jelita dan yang datang-datang menerjang
dan merobohkan orang-orangnya, menjadi kaget, apa lagi ketika dara itu telah
menerjang maju dan menonjok ke arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar
diikuti pandang mata. Dia mengelak, namun karena kakinya pincang dan gerakan
dara itu cepat sekali, bahunya terkena pukulan dan ia terpelanting. Melihat
betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan tidak tewas oleh
pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah.
"Srattt!"
Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba lengannya diraba orang
dan tahu-tahu Bun Beng sudah berada di situ, menyentuh lengannya untuk
mencegahnya turun tangan membunuh orang-orang Pulau Neraka.
Bun Beng
terpaksa turun tangan mencegah ketika melihat betapa Milana, dara jelita itu,
hendak melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para tamu yang tentu dianggap
oleh dara itu mengacau di Thian-liong-pang, apa lagi karena dara itu pernah
bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka ketika menggendongnya dahulu.
Melihat
sentuhan pada lengannya, Milana menoleh.
"Ibu...!"
Ia berkata dan menyarungkan pedangnya.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh lima orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari
situ secepatnya.
Bun Beng
cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah muncul! Dia
harus cepat-cepat pergi dari situ tanpa menimbulkan keributan, tetapi
terlambat. Milana yang terheran-heran menyaksikan sikap ibunya, cepat
menghampiri, memandang ke arah sepasang mata di balik lubang kerudung kepala
itu dan tiba-tiba ia berseru hampir menjerit.
"Engkau...
engkau bukan Ibuku!" Dara ini menjadi pucat mukanya, dan semua tokoh
Thian-liong-pang mencelat bangun dari tempat duduknya masing-masing.
"Jubah
itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung Ibuku. Akan
tetapi engkau bukan Ibuku! Siapa engkau? Dan... ohhh... di mana Ibu? Kau apakan
dia...?"
Milana
mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para tokoh
Thian-liong-pang mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi Siang lalu
mengeluarkan suara bersuit keras sebagai tanda bahaya dan segera tempat itu
dikurung oleh puluhan orang anggota Thian-liong-pang yang masih bingung dan
tidak mengerti mengapa Tang-kouwnio memberi tanda bahaya sedangkan tamu-tamu
dari Pulau Neraka telah dikalahkan dan telah melarikan diri keluar dari
Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget dan heran hati mereka ketika melihat
Milana dan para tokoh itu dengan senjata di tangan mengurung Sang Ketua
sendiri!
"Buka
kerudungmu!" Milana membentak lagi.
"Hayo
perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan Pangcu
kami!" Tang Wi Siang membentak dan barulah para anak buah Thian-liong-pang
dapat mengerti dengan hati penuh kaget dan heran bahwa orang yang berkerudung
seperti Ketua mereka itu kiranya adalah orang palsu!
"Nona,
maafkan aku...!" Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang menutupi
kepalanya.
"Kau...?!"
Milana berseru kaget sekali.
Dia girang
melihat Bun Beng yang disangkanya tentu telah mati oleh luka-lukanya biar pun
ketika terjatuh dari menara ditolong oleh Pendekar Super Sakti, kini masih
hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat menyambarnya dan membawanya pergi ketika
melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu disambar oleh Pendekar Super Sakti.
"Aku
tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!" Ibunya berbisik penuh duka
dan marah ketika Milana berusaha menahan ibunya agar suka bertemu dengan ayah
kandungnya itu, dan ibunya terus membawanya lari secepat kilat tanpa diketahui
oleh Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es itu.
Dan kini,
Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di samping rasa girang
yang amat besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia bertanya, "Engkau...?
Bagai mana ini...? Di mana Ibu?"
"Maaf,
Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di bawah sana.
Karena ingin membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung dan jubah ini...,
maafkan aku..."
Akan tetapi
Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak mencari ibunya yang
pingsan di tempat rahasia. Dia sudah tahu akan tempat rahasia itu dan sudah
tahu jalannya sungguh pun dia dan siapa pun juga dilarang dan tidak pernah
pergi ke sana. Sementara itu, para tokoh Thian-liong-pang yang kini mengenal
Bun Beng menjadi marah dan segera menyerangnya, karena dia dianggap sebagai
musuh Thian-liong-pang, seorang pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos.
Tentu saja
hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak bergerak dan memandang bengong kepada cucu
keponakannya itu. Selain dia tidak mau membunuh cucu keponakan, satu-satunya
keturunannya biar pun hanya cucu luar, juga dia kagum bukan main, teringat
betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan tokoh-tokoh lihai dari Pulau Neraka
secara demikian mudahnya! Padahal, hanya kurang lebih setahun yang lalu, pemuda
itu masih belum sedemikian hebat ilmu kepandaiannya!
Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan pukulan badainya, Tang Wi Siang yang
bersenjata pedang, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata golok sudah
menerjang Bun Beng dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat. Bun Beng
yang menghadapi pengeroyokan ini cepat menggerakkan kaki tangannya, berkelebat
ke sana-sini dan tangannya bergerak menangkis atau mendorong dan... empat orang
pengeroyok itu terjengkang semuanya, ada yang terguling, ada pula yang
terhuyung seperti pohon-pohon disapu angin ribut!
Bun Beng
terkejut sendiri melihat akibat tangkisan dan dorongannya. Dia gunakan
kesempatan ini untuk loncat ke atas, melalui kepala orang-orang yang
mengepungnya, menendangi senjata-senjata yang ditujukan ke arahnya dan terus
melesat ke luar dari ruangan itu melalui jendela.
"Kejar!"
Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.
"Berhenti!
Tahan senjata!" terdengar seruan melengking disusul masuknya seorang
wanita berkerudung yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang sendiri,
bersama Milana yang menggandeng tangan ibunya. "Jangan kejar dia, biarkan
dia pergi... ahhh...!" Nirahai terhuyung dan cepat dibimbing oleh
puterinya menuju ke kursinya.
Semua tokoh
Thian-liong-pang menghentikan gerakan mereka, menghadap Ketua mereka dan
memandang penuh kekhawatiran karena melihat tanda-tanda bahwa Ketua mereka
mengalami luka dan kelihatan lemah.
"Jangan
memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus kalian akui
bahwa di telah menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang sehingga kita tidak
sampai mengalami penghinaan dari Pulau Neraka!"
Bun Beng
yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang itu,
merasa malu sendiri. Dia lalu meloncat kembali memasuki ruangan itu, menjura di
depan Nirahai sambil berkata,
"Teecu
mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan Locianpwe karena
keadaan terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk kecuali ingin bebas dari
dalam neraka di bawah sana."
Nirahai
tersenyum di balik kerudungnya. "Tidak apa, Bun Beng. Semua kesalahanmu
kulupakan, mengingat engkau telah membela nama baikku dan nama baik
Thian-liong-pang. Bahkan untuk jasamu itu, aku akan menghadiahkan apa pun yang
kau minta. Ajukanlah permintaanmu, kalau engkau suka, dan aku akan berusaha
memenuhinya."
Berdebar
jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan rasa permusuhan
dari hati wanita aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja sudah merupakan suatu
hadiah yang amat besar artinya baginya. Akan tetapi ia teringat akan keadaan
para tokoh kang-ouw yang terculik, terutama sekali teringat akan Ang-lojin atau
Ang Thian Pa, Ketua Bu-tong-pai, ayah dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata,
"Terima
kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Sebenarnya teecu tidak
menginginkan sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan... jika Locianpwe tak
keberatan, teecu mohon sudilah Locianpwe membebaskan para tokoh kang-ouw yang
menjadi tamu di sini."
Kembali
Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Permintaanmu cukup pantas, bahkan
cocok dengan keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan mempelajari ilmu lain
yang pada hakekatnya sama dasarnya, dan sekarang tinggal beberapa saja yang
masih menjadi tamu kami. Wi Siang, bebaskan mereka dan biarkan mereka pulang
sekarang juga, masing-masing beri kuda dan perbekalan secukupnya. Bun Beng,
bangkitlah dan saksikanlah sendiri terpenuhinya permintaanmu."
Dengan hati
girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama kemudian dia sudah
keluar lagi mengiringkan lima orang ‘tamu’, di antaranya Ang Thian Pa. Mereka
ini adalah orang-orang yang selalu memperlihatkan sifat menentang sehingga
masih belum dibebaskan oleh Thian-liong-pang. Akan tetapi setelah kini mereka
dibebaskan, bahkan disertai perlengkapan dan kuda, mereka merasa lega dan
berterima kasih kepada Ketua Thian-liong-pang yang selama ini memperlakukan
mereka dengan baik sungguh pun mereka itu merupakan tamu yang terpaksa!
Seorang demi
seorang menjura dengan hormat kepada Nirahai sambil berpamit dan mengucapkan
terima kasih. Ketika tiba giliran Ang Thian Pa sebagai orang terakhir, kakek ini
menjura dan berkata, "Selama berbulan-bulan saya menerima kebaikan
Thian-liong-pangcu, mudah-mudahan di lain kesempatan Bu-tong-pai dapat membalas
kebaikan-kebaikan itu."
"Kami
yang minta maaf kepadamu, Ang-lojin," kata Nirahai.
Tiba-tiba
Ang Thian Pa melihat Bun Beng dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut dan
dia berkata kepada pemuda itu, "Dahulu kusangka seorang taihiap yang
budiman, berani menentang kejahatan dan membela yang tertindas. Kiranya engkau
adalah seorang di antara tokoh Thian-liong-pang agaknya. Hemm, benar-benar aku
telah salah lihat...!" Ia menghela napas panjang penuh kekecewaan dan
penasaran.
Wajah Bun
Beng menjadi merah sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa.
"Ang-lojin,
memang engkau telah salah lihat dan salah menduga. Gak Bun Beng bukanlah orang
Thian-liong-pang dan ketahuilah bahwa atas permintaannyalah maka saat ini
engkau kami bebaskan."
Kakek itu
terkejut, lalu menghampiri Bun Beng dan menjura penuh hormat. "Ahhh,
maafkanlah mataku yang benar-benar telah lamur, Taihiap. Dan untuk menebus
kebodohanku yang tak dapat menghargai kebaikan orang, biarlah kusampaikan
apa-apa yang menjadi idaman hatiku semenjak aku berada di sini. Yaitu... jika
kiranya Taihiap belum berkeluarga dan sudi menerima, aku... ingin menyerahkan
puteri tunggalku sebagai jodoh Taihiap!"
Hampir saja
Bun Beng mencelat dari tempat ia berdiri saking kagetnya mendengar ini. Mukanya
menjadi makin merah dan terbayanglah wajah Siok Bi yang cantik manis. Dia
dijodohkan dengan dara yang manis itu! Begitu saja! Akan tetapi, sambil menahan
debaran jantungnya dia balas menjura dan berkata,
"Ang-locianpwe...
banyak terima kasih atas kebaikan Locianpwe... akan tetapi soal itu... hemm...
soal jodoh... ehhh, belum terpikir olehku, karenanya, bukan aku menolak,
hanya... tak mungkin aku dapat menerima hal yang amat penting bagi hidupku itu.
Aku akan menganggap saja bahwa tadi Locianpwe tidak pernah bicara apa-apa
tentang perjodohan."
Kakek itu
menghela napas panjang. "Memang anakku tidak cukup berharga untuk seorang
seperti engkau, Taihiap. Hanya aku masih menaruh harapan besar, kalau memang
berjodoh kelak tentu akan terjadi. Aku dan anakku akan selalu menanti
kunjunganmu, Taihiap." Setelah berkata demikian, sekali lagi kakek itu
menjura kepada Nirahai lalu meninggalkan ruangan itu.
"Aku
pun mohon diri, Locianpwe. Nona Milana, selamat tinggal. Banyak terima kasih
atas semua kebaikan Locianpwe dan nona yang telah dilimpahkan kepada diriku,
semoga kelak aku dapat membalas itu semua." Tergesa-gesa Bun Beng meloncat
keluar dari tempat itu karena dia merasa tidak enak sekali akan ‘pinangan’
Ketua Bu-tong-pai tadi yang disampaikan di depan banyak orang, terutama di
depan Milana!
Nirahai yang
masih belum sembuh benar akibat salah latihan segera membubarkan anak buahnya
dan masuk ke dalam ruangan dalam digandeng oleh Milana yang merasa khawatir
akan keadaan ibunya.
Bubarlah
para anggota Thian-liong-pang dan mereka membicarakan Bun Beng dengan penuh
kagum dan keheranan. Terutama sekali Sai-cu Lo-mo, termenung dengan hati tegang
dan penuh kegembiraan saat mendapat kenyataan betapa cucu keponakannya telah
menjadi seorang yang amat lihai, dan betapa Ketuanya suka mengampunkan pemuda
itu.
Timbul pula
pikirannya bahwa mengingat akan perlindungan dan pembelaan Milana terhadap cucu
keponakannya itu seperti yang ia dengar dari para anak buah Thian-liong-pang
yang melakukan pengejaran terhadap Bun Beng yang dipimpin oleh kedua orang
saudara kembar Su Kak Liong dan Su Kak Houw, alangkah baiknya kalau cucu
luarnya itu dijodohkan dengan puteri Pangcu! Biar pun dengan hati takut-takut
dan berdebar tegang, beberapa hari kemudian dia memberanikan hatinya menghadap
Nirahai menyampaikan niatnya itu, yaitu meminang Milana untuk cucu keponakannya
Gak Bun Beng!
Sampai lama
Ketua Thian-liong-pang itu tidak bergerak dari kursinya, sedangkan Sai-cu Lo-mo
yang menanti jawaban duduk menundukkan muka dengan hati berdebar. Dia tidak
dapat menduga apa yang akan menjadi jawaban Sang Ketua yang wataknya aneh
sekali itu, bahkan dia tidak akan merasa heran kalau sebagai jawaban, wanita
berkerudung itu melancarkan serangan dan membunuhnya! Akhirnya terdengar wanita
itu menjawab, suaranya halus akan tetapi dingin, membuat Sai-cu Lo-mo yang
mendengarnya terasa sakit seperti tertusuk dan menjadi beku.
"Sai-cu
Lo-mo, sudah kau pikir masak-masak pinanganmu ini? Kalau mengingat akan dirimu,
dan akan keponakanmu, mendiang Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng
tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, memang tidak mengecewakan dan patut
dipertimbangkan pinanganmu itu. Akan tetapi, apakah kau sengaja atau pura-pura
lupa bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Si Setan Botak, datuk kaum sesat Gak
Liat yang merupakan manusia iblis? Yang lebih dari itu pula, apakah kau
pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng terlahir sebagai anak yang tidak syah,
terlahir dari perbuatan keji, yaitu pemerkosaan yang dilakukan Gak Liat
terhadap Bhok Khim? Dan engkau masih berani mengajukan lamaran untuk pemuda
itu, melamar anakku?"
"Maafkan
kelancangan saya, Pangcu..." Sai-cu Lo-mo berkata, suaranya gemetar, bukan
karena takut, melainkan karena kedukaan hatinya. Bukan saja lamarannya ditolak,
bahkan ia diingatkan akan keadaan Bun Beng yang dianggap hina dan rendah. Di
dalam hatinya ia memberontak. Apakah kesalahan cucu keponakannya itu dalam hal
pemerkosaan dan kelahiran tidak syah? Apa hubungannya dengan seorang ayah
seperti Gak Liat? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah.
Nirahai
dapat mengerti kedukaan hati pembantunya ini, maka dia berkata lagi,
"Lo-mo, engkau hanya mengenal aku sebagai Ketuamu, hanya mengenal aku
sebagai puteri Kaisar. Kalau engkau tahu siapa Ayah puteriku, engkau akan
berpikir seribu kali sebelum mengajukan lamaran itu. Nah, mundurlah!"
Jantung
Sai-cu Lo-mo berdebar. Sering kali dia menduga-duga siapa sebenarnya suami
Ketuanya ini. Dia memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu,
dan hatinya terasa berat sekali. Sepanjang pengetahuannya, Puteri Nirahai yang
dahulu amat terkenal itu belum pernah menikah! Akan tetapi dikabarkan secara
bisik-bisik bahwa puteri itu melarikan diri dari istana bersama Pendekar Super
Sakti! Apakah Milana puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai? Ia
bergidik, ngeri memikirkan bahwa dia telah berani meminang anak dari Panglima
Puteri Nirahai, puteri Kaisar, dan anak dari Ketua Pulau Es, Pendekar Siluman
atau Pendekar Super Sakti! Tentu saja dia tidak akan berani melakukan pinangan
itu sekiranya dia tahu bahwa Ketuanya masih merasa dirinya sebagai puteri
Kaisar, dan sekiranya dia tahu bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti!
Baik Nirahai
sendiri mau pun Sai-cu Lo-mo tidak tahu bahwa percakapan mereka tadi terdengar
oleh Milana. Dara ini tadinya hendak mengunjungi ibunya, dan dia berhenti
mendengarkan dari luar ketika melihat Sai-cu Lo-mo menghadap ibunya. Ketika ia
mendengar jawaban ibunya, Milana merasa jantungnya seperti ditusuk. Cepat-cepat
dia meninggalkan tempat itu, kembali ke kamarnya dan menghapus beberapa titik
air mata yang membasahi pipinya.
Dia
menganggap ibunya terlalu menghina Bun Beng! Tidak ingatkah ibunya bahwa Gak
Bun Beng tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai keturunan Gak Liat, sama
seperti dia yang tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai puteri Pendekar
Super Sakti dan cucu Kaisar? Mengapa ibunya masih juga memandang keturunan dan
kedudukan, setelah kesengsaraannya yang dialami ibunya karena kedudukannya
sebagai puteri Kaisar?
Milana tidak
kecewa karena penolakan ibunya. Dia tidak terlalu ingin, bahkan tidak ada
keinginan sama sekali menjadi isteri siapa pun juga, tidak ingin menjadi isteri
Bun Beng. Juga dia tidak tahu apakah dia cinta kepada pemuda itu atau tidak.
Yang jelas, dia suka kepada Bun Beng dan merasa kasihan kepadanya. Apa lagi
kini ibunya sendiri menghina pemuda itu, dia merasa penasaran sekali dan rasa
kasihan di dalam hatinya makin mendalam.
Melihat hati
ibunya yang rela menderita dan memaksa memisahkan diri dari ayahnya, Pendekar
Super Sakti, melihat sepak terjang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh
kang-ouw sungguh pun kini usaha itu telah dihentikan ibunya dan semua tokoh
telah dibebaskan, Milana merasa bosan tinggal di situ dan dia ingin sekali
bertemu dengan Bun Beng, melakukan perjalanan bersama pemuda itu. Tiba-tiba ia
teringat akan musuh-musuh Bun Beng, teringat pula betapa pedang Hok-mo-kiam
terampas oleh Tan-siucai dan Maharya, teringat pedang Lam-mo-kiam yang terampas
oleh putera Pulau Neraka. Betapa banyak tugas yang dihadapi Bun Beng. Akan
senang sekali kalau ia dapat membantu pemuda itu.
Pada
keesokan harinya, Nirahai tak melihat puterinya. Milana telah pergi dari situ
tanpa pamit dan biar pun Nirahai menyebar anak buahnya untuk mencari, usahanya
sia-sia belaka, Milana tetap lenyap tanpa memberi tahu ke mana perginya dan apa
tujuannya. Nirahai hanya dapat menarik napas panjang dan menyesali sikapnya
yang terlalu memanjakan anak itu. Hanya dia tidak khawatir karena maklum bahwa
tingkat kepandaian puterinya itu sudah cukup tinggi sehingga takkan mudah
diganggu orang jahat. Mengapa puterinya tidak berterus terang saja kalau ingin
merantau? Tanpa pamit begini, sedikit banyak membuat dia tidak tenang.
*************
Pendekar
Super Sakti Suma Han dan Giam Kwi Hong keponakannya juga muridnya, berdiri di
pantai laut. Sebuah perahu layar putih, perahu Pulau Es yang menjemput mereka,
telah menanti.
"Kwi
Hong, pedang itu tidak patut kau bawa-bawa. Engkau tidak layak memegang senjata
laknat seperti itu." Pendekar Super Sakti berkata halus sambil memandang
pedang Lam-mo-kiam yang tergantung di punggung keponakannya.
Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Akan tetapi,
bukankah seluruh tokoh kang-ouw mencari Sepasang Pedang Iblis? Bahkan Paman
sendiri dahulu pernah menyatakan kepadaku akan mencari Sepasang Pedang Iblis
sampai dapat?
Setelah
sekarang sebatang di antaranya berada di tanganku, mengapa Paman berkata
demikian? Harap beri penjelasan karena saya tidak mengerti."
Pendekar
Super Sakti menarik napas panjang dan berdiri menekan tongkatnya.
"Memang
semua pendekar, baik dari golongan bersih mau pun kotor, ingin sekali
memperoleh sepasang pedang yang ampuh dan mukjizat itu, tentu saja dengan
maksud agar sepasang pedang itu dapat membantu mereka mengangkat nama,
mengandalkan keampuhannya. Akan tetapi aku mencari pedang itu dengan maksud
untuk kulenyapkan selama-lamanya agar tidak menimbulkan keributan lagi di
dunia."
Tangan kanan
Kwi Hong mengelus sarung pedangnya, alisnya berkerut. "Mengapa, Paman?
Mengapa hendak dilenyapkan?"
"Engkau
tidak mengerti. Riwayat Sepasang Pedang Iblis itu busuk sekali. Sungguh pun
yang membuatnya adalah atas perintah mendiang pendekar wanita Mutiara Hitam,
namun sepasang pedang itu telah dimasuki pengaruh roh jahat dari
pembuat-pembuatnya berdasarkan ilmu hitam sehingga sepasang murid Mutiara Hitam
pun menjadi korban saling bunuh. Akulah yang mula-mula menemukan mereka saling
bunuh, kasihan mereka..." Suma Han termenung, teringat akan masa lalu di
waktu dia masih kecil dan mendapatkan Sepasang Pedang Iblis.
Akan tetapi
bukan kakek dan nenek murid Mutiara Hitam yang terbayang olehnya, melainkan
wajah Lulu, adik angkatnya, juga wanita yang paling dicintanya, yang kini
menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia lalu menghela napas panjang. "Aku
menguburkan jenazah mereka berikut Sepasang Pedang Iblis. Kemudian sepasang
pedang itu lenyap dan kini yang sebatang terjatuh di tanganmu. Bagaimana hatiku
akan tenang kalau engkau bersenjata pedang jahat itu?"
"Akan
tetapi, Paman, bukankah Paman pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang baik
atau jahat? Saya rasa demikian pula dengan senjata. Baik atau jahatnya
tergantung dari pada si pemakai, bukankah demikian? Kalau pedang ini
dipergunakan untuk kejahatan, maka jahatlah dia, kalau dipergunakan untuk
kebaikan, apakah juga jahat namanya? Maaf, Paman, bukan sekali-kali saya hendak
membantah kehendak Paman. Jika Paman menghendaki, saya akan menanggalkan pedang
ini dan terserah hendak Paman apakan pedang ini. Tetapi, pedang ini adalah
pemberian Bun Beng, dan..." Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan
menundukkan mukanya.
Suma Han
memandang tajam, kemudian menarik napas panjang dan berkata, "Ah, hampir
aku lupa bahwa engkau bukan kanak-kanak lagi, Kwi Hong. Engkau telah dewasa,
sudah terlalu dewasa malah. Anak baik, apakah engkau mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong
tidak menjawab, mukanya merah sekali, kemudian ia mengangkat muka, berkata
tanpa berani menentang pandang mata pamannya, "Saya tidak tahu, Paman.
Hanya... saya pikir... tidak baik kalau menyia-nyiakan pemberian orang, apa
lagi kalau dilenyapkan begitu saja... dan dia... sudah begitu baik kepada saya
ketika bertemu dengan Tan-siucai dan Maharya, rela mengorbankan diri terluka
hebat. Aihhh, mungkin sekarang dia... dia... dia telah... mati..."
"Jangan
khawatir. Mati hidup manusia berada di tangan Tuhan. Kalau dia sampai di Pulau
Neraka dan menyerahkan suratku, aku yakin dia akan tertolong. Nah, biarlah
sementara ini kau bawa pedang itu, apa lagi engkau harus menjaga keamanan Pulau
Es. Aku hendak pergi mencari Tan-siucai dan Maharya, perlu kuambil kembali
Hok-mo-kiam, sebab kalau ada pedang itu padaku, aku tak khawatir lagi
kalau-kalau Sepasang Pedang Iblis akan menimbulkan bencana. Nah, berangkatlah
dan hati-hati menjaga pulau."
Kwi Hong
berangkat naik perahu dan setelah perahu itu berlayar menuju ke utara sampai
jauh sekali dan hanya tampak sebagai sebuah titik yang kadang-kadang lenyap
oleh naik turunnya ombak, Pendekar Super Sakti lalu membalikkan tubuhnya dan
melesat pergi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya.
Diam-diam
dia mengambil keputusan untuk menjodohkan Kwi Hong dengan Bun Beng. Dia melihat
anak keturunan Gak Liat itu mempunyai watak yang baik sekali. Dia tidak
mengingat akan keburukan watak ayah Bun Beng, karena bukankah ayah Kwi Hong
sendiri, perwira Mancu, Giam Cu, tidak lebih baik dari pada Si Setan Botak Gak
Liat? Akan tetapi, ia tahu bahwa pikiran itu terlalu jauh melayang karena
keadaan Bun Beng sendiri belum diketahui bagaimana keadaannya, sedangkan
lukanya amat berbahaya.
***************
Pada waktu
itu, Kerajaan Mancu yang mendirikan Wangsa Ceng mengalami kemajuan amat
pesatnya, menjadi sebuah negara besar yang amat kuat. Bintang Kerajaan Mancu
ini mulai naik dengan pesat, menjadi cemerlang ketika pemerintahannya berada di
tangan Kaisar Kang Hsi (1663-1722). Kaisar ini ternyata adalah seorang yang
berbakat dan ahli untuk menjadi pemimpin. Dia seorang jenderal perang yang amat
pandai mempergunakan tenaga-tenaga ahli, sehingga semua perlawanan rakyat, baik
dari kaum patriot yang mempertahankan tanah air dari penjajahan bangsa Mancu,
sampai gerombolan-gerombolan bersenjata yang sebetulnya hanyalah
perampok-perampok yang berdalih perjuangan, dapat dihancurkan satu demi satu.
Daerah Se-cuan yang dipertahankan oleh Bu Sam Kwi yang gigih melawan bangsa
Mancu, juga dapat direbut dan semua perlawanan dipatahkan dalam tahun 1681.
Setelah Se-cuan jatuh, maka kerajaan Mancu boleh dibilang menguasai seluruh
Tiongkok, bahkan jauh lebih luas lagi dari pada wangsa yang sudah-sudah.
Bangsa
Mongol yang dahulu membantu penyerbuan bangsa Mancu ke selatan merasa kecewa
oleh politik Bangsa Mancu dan merasa kurang diberi bagian keuntungan, lalu
memberontak. Namun, pemberontakan-pemberontakan yang amat gigih dan kuat itu
pun dapat dihancurkan oleh pemerintah Ceng di bawah Kaisar Kang Hsi dan akibat
perang ini seluruh Mongolia jatuh dan dikuasai bangsa Mancu. Bahkan dalam
mengejar sisa-sisa pasukan Mongol, bala tentara Mancu memasuki daerah Tibet dan
menguasai pula.
Makin
luaslah daerah kekuasaan Kerajaan Ceng. Batas-batasnya sampai di seluruh
Mancuria, Mongolia luar, Sin-kiang, Tibet dan seluruh daerah selatan Tiongkok.
Bahkan di dalam perang-perang perbatasan yang mendatang, Kerajaan Ceng ini
telah menaklukkan negara-negara tetangga, di antaranya Afganistan, Kasmir,
Nepal, Birma, Muangthai, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. Negara-negara ini
mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Tiongkok dan menyatakannya dengan membayar
upeti!
Kaisar Kang
Hsi bukan hanya pandai dalam hal kemiliteran, juga dalam urusan politik dan
sipil dia ternyata seorang ahli. Kaum koruptor diberantas hingga
pemerintahannya bersih dari perbuatan korupsi dan penyuapan, hal yang telah
berlangsung ratusan tahun lamanya, yang tak pernah dapat diberantas oleh
kerajaan-kerajaan yang lain. Pemerintahan yang sehat dan jujur disusun, kaum
penjilat dienyahkan, hukuman-hukuman berat dikenakan kepada orang-orang yang
melakukan perbuatan jahat.
Di samping
ini, Kaisar Kang Hsi menghargai kebudayaan Tiongkok. Kebudayaan itu
diperkembang luaskan, bahkan dia mengundang sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli
pikir untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahannya. Tentu saja
undangan dan sikap Kaisar ini mendapat sambutan yang hangat dari kaum
terpelajar, dan sekaligus merubah pandangan mereka yang tadinya benci akan
penjajahan terhadap bangsa Mancu ini.
Membanjirlah
kaum sastrawan dari pelbagai daerah ke Peking yang menjadi kota raja. Mereka
diterima oleh Kaisar Kang Hsi, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian
masing-masing. Bukan hanya kaum sastrawan yang mendapat kedudukan, juga Kaisar
yang bijaksana ini memberi kesempatan kepada kaum kang-ouw, kepada ahli-ahli
silat yang pandai, untuk membantu pemerintahannya, menerima mereka serta
memberi kedudukan-kedudukan yang menjamin kemewahan dan kecukupan hidup bagi
mereka. Inilah sebabnya mengapa Kaisar ini mempunyai barisan yang amat kuat,
yang bukan hanya terdiri dari pasukan-pasukan Mancu yang sudah tergembleng oleh
perang, juga dibantu oleh orang-orang pandai dari dunia kang-ouw.
Setelah
keadaan dalam negeri menjadi aman, semua pemberontak telah ditumpas dan
orang-orang kang-ouw banyak menggabung dan mengabdi kepada kerajaan baru ini,
mulailah Kaisar Kang Hsi memperhatikan persoalan dalam istana. Sudah lama dia
merasa tak senang dengan hilangnya puterinya, yaitu Nirahai yang pernah berjasa
besar ketika Kerajaan Mancu sedang berhadapan dengan banyak orang pandai yang
memberontak. Dan semua itu adalah gara-gara seorang pendekar bernama Suma Han
yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai
Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
Setelah
Pulau Formosa dikalahkan dan diduduki oleh Kerajaan Ceng, Kang Hsi mulai
memikirkan hal ini dan berkeinginan hendak mengirim pasukan menyerbu Pulau Es,
menangkap Suma Han yang dianggap telah memperkosa dan mencemarkan nama dan
kehormatan Kerajaan Ceng, dan menarik kembali Puteri Nirahai ke lingkungan
istana. Selain ini, Kaisar yang mempunyai banyak sekali pembantu terdiri dari
orang-orang berilmu tinggi ini mendengar akan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu
Kek Siansu dan Koai-lojin, yang kabarnya berada di Pulau Es.
Pada suatu
hari, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, yaitu orang yang diangkat menjadi koksu
dalam urusan pengumpulan orang-orang kang-ouw, menghadap Kaisar bersama dua
orang tamu. Bhong Ji Kun ini adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi kurus
dan berkepala botak, seorang peranakan India yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali. Dialah yang menjadi ‘orang pertama’ di antara jagoan istana,
bahwa dia pula yang membentuk barisan pengawal kaisar istana. Koksu ini
mempunyai dua orang pembantu yang lihai pula, yaitu Thian The Lama dan Thian Li
Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang jarang dapat menemukan tanding.
Ketika
Kaisar menerima kunjungan Koksu-nya, Kaisar memandang dengan wajah tertarik
kepada dua orang yang datang bersama Bong Ji Kun itu. Seorang laki-laki berusia
empat puluh tahunan, berwajah tampan dan bersikap halus berpakaian sebagai
sastrawan, bersama seorang kakek India yang berpakaian sederhana, seperti biasa
kaum pertapa India, hanya kain panjang yang dibelit-belitkan tubuh,
bertelanjang kaki, dan bersorban.
Ketika
Kaisar mendengar bahwa kakek India itu yang bernama Maharya adalah paman guru
Sang Koksu sendiri, bukan main girang hati Kaisar ini dan segera memerintahkan
Bhong Ji Kun untuk menerima Maharya sebagai tamu agung dan memberi segala
pelayanan, juga apabila dikehendaki mengangkatnya sebagai penasehat dalam
urusan keamanan. Juga murid pendeta itu yang diperkenalkan sebagai Tan Ki,
seorang siucai yang selain ahli dalam hal ilmu silat, juga ahli sastra, diberi
kedudukan, mencatat dan mengurus keperluan semua pasukan pengawal. Tentu saja
guru dan murid ini merasa girang sekali dan berlutut menyembah menghaturkan
terima kasih.
Dengan
masuknya Maharya menjadi pembantu kerajaan, tentu saja kedudukan kerajaan
menjadi makin kuat, apa lagi selain Maharya dan Tan-siucai, banyak pula orang
pandai dari pelbagai aliran dan golongan masuk menjadi pengawal-pengawal dan
panglima-panglima pengawal.
Setelah
mendapat bantuan Maharya, Bhong Ji Kun baru merasa besar hatinya dan dia
menerima perintah Kaisar dengan penuh kepercayaan, untuk menyerbu Pulau Es.
Tadinya dia selalu menangguhkan niat Kaisar ini dengan alasan bahwa Pendekar
Siluman dari Pulau Es amatlah saktinya dan pelayaran menuju ke pulau itu
berbahaya sekali. Namun, kini dengan bantuan paman gurunya yang dalam ilmu
kepandaian bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia sendiri, dia
menyanggupi perintah itu, lalu mempersiapkan pasukan yang amat kuat, terdiri
dari pengawal-pengawal pilihan, dikepalai panglima-panglima pilihan pula. Dari
barisan armada lautan, koksu menerima beberapa buah kapal yang cukup besar dan
kuat, ditangani oleh anak buah yang ahli dalam pelayaran.
Berangkatlah
pasukan yang terdiri dari tiga ratus orang itu, selain dipimpin oleh para
panglima pilihan, juga dikepalai sendiri oleh Bhong Ji Kun, Maharya,
Tan-siucai, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan beberapa orang pandai yang menjadi
pembantu koksu itu. Lima buah kapal besar melayarkan mereka menuju ke utara,
seolah-olah sebuah armada yang hendak menyerbu daerah musuh! Perintah Kaisar
adalah, menawan Pendekar Super Sakti Suma Han berikut semua anak buahnya, atau
membunuh kalau mereka melawan, menduduki Pulau Es, dan merampas semua pusaka
yang berada di pulau itu!
Tidaklah
mudah bagi kapal-kapal perang Ceng itu untuk dapat menemukan Pulau Es, akan
tetapi anak buah kapal-kapal itu dipimpin oleh nakhoda kapal yang
berpengalaman, dan kapal-kapal itu menjelajah ke utara, di antara pulau-pulau
yang banyak terdapat di sana. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah terlalu jauh
ke utara sehingga di utara pulau-pulau itu terdapat Pulau Neraka yang namanya
menggetarkan dunia orang gagah!
Pulau Neraka
hanya kelihatan sebagai sebuah pulau menghitam yang menyeramkan, dengan
batu-batu karang menonjol di permukaan laut sekitar pulau sehingga amat
berbahaya bagi kapal atau perahu yang berani mendekatinya. Namun, karena yang
mereka cari adalah Pulau Es, maka lima kapal itu tidak memperhatikan
pulau-pulau lain, mereka hanya meneliti kalau-kalau terdapat pulau yang
berwarna putih, yang permukaannya tertutup es dan salju.
Setelah
hilir mudik sampai tiga pekan lamanya, pada suatu malam, sewaktu kapal-kapal
itu terpaksa membuang jangkar dan melewatkan malam yang dingin di bawah sinar
bulan purnama, tiba-tiba terdengar teriakan dari atas tiang di mana terdapat
penjaga-penjaga yang mempergunakan teropong. Pada waktu itu teropong merupakan
barang baru yang telah dimiliki oleh pasukan Kerajaan Ceng.
Mendengar
teriakan ini panglima pengawal Bhe Ti Kong yang kebetulan malam itu mengepalai penjagaan,
cepat meloncat dan memanjat tangga tali menuju ke atas.
"Apa
yang kau lihat?" tanyanya.
"Ciangkun,
harap periksa di sebelah timur itu!" si penjaga berkata sambil menyerahkan
teropongnya.
Bhe Ti Kong
menerima teropong dan mengarahkan alat itu ke timur. Dia berseru kaget dan
heran! "Lekas beritahu kepada Koksu!"
Penjaga itu
cepat menuruni tangga tali dan melapor kepada Bhong Ji Kun yang sedang duduk
makan minum dan bercakap-cakap dengan para pembantunya di ruangan kapal besar.
"Hamba
melapor kepada Taijin bahwa di sebelah timur kelihatan benda mencorong yang
aneh sekali. Hamba diutus Bhe-ciangkun untuk melapor kepada Taijin."
Mendengar
ini, Im-kan Seng-jin, diikuti oleh Maharya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan
Tan-siucai segera keluar menghampiri tiang besar yang ujung atasnya digunakan
untuk tempat penjaga memeriksa keadaan dengan teropong.
Bergantian
Bhong Ji Kun, Maharya, dan kedua orang Lama meloncat dan melayang ke atas untuk
memeriksa benda aneh di timur itu dengan teropong, sedangkan Tan-siucai
terpaksa naik seperti yang dilakukan Bhe Ti Kong tadi, yaitu dengan melalui
tangga tali. Hanya bedanya, kalau Bhe Ti Kong memanjat biasa, adalah siucai itu
naik cepat sekali, seperti berloncatan dibantu oleh tangga itu.
"Ahh,
tidak salah lagi. Tentu itulah Pulau Es!" kata Im-kan Seng-jin setelah
turun kembali.
Benda yang
tampak oleh mereka itu adalah benda besar panjang yang mencorong tertimpa sinar
bulan, berkilauan putih seperti kaca. Hanya pulau yang tertutup es sajalah yang
dapat mengeluarkan pantulan sinar bulan seperti itu. Kalau siang tidak tampak
karena sinar matahari terlalu terang. Akan tetapi, sinar bulan yang lembut
membuat cuaca remang-remang dan karena itu pantulan sinar bulan dapat tampak.
"Besok
pagi kita menuju ke sana. Kalau memang benar di sana letak Pulau Es, setelah
mendekati, lima kapal harus dipencar dan mengurung pulau. Pasukan dibagi dan
dari sekarang kita harus mengatur rencana," kata Bhong Ji Kun.
Dia segera
mengumpulkan semua pembantu dan para panglima pemimpin pasukan. Malam itu juga
dia membagi pasukan menjadi lima bagian dipimpin oleh komandan masing-masing,
juga masing-masing pembantunya mengepalai pasukan sekapal. Kapal pertama
dipimpin oleh koksu sendiri, kedua oleh Maharya, ketiga dan ke empat oleh kedua
orang Lama, sedangkan kapal terakhir oleh Tan-siucai. Malam itu juga, mereka
yang ditugaskan pindah ke kapal masing-masing dan semua pasukan mempersiapkan
diri, yang tidak tugas jaga diperbolehkan tidur agar besok menjadi segar jika
menghadapi pertempuran.
**************
Kwi Hong
yang berlayar di atas perahunya mengaso di dalam bilik perahu, membiarkan
perahu-perahu itu dilayarkan oleh lima orang anak buah Pulau Es. Ketika perahu
itu tiba di tepi pantai, sebuah perahu kecil meluncur cepat menyambutnya.
Perahu ini didayung oleh seorang pemuda tampan bertubuh tinggi besar, dan di
dalam perahu penuh dengan ikan besar.
Pemuda ini
adalah Thung Ki Lok, putera dari Thung Sik Lun tokoh Pulau Es, sute dari Yap
Sun. Usianya sudah dua puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, mewarisi
ilmu kepandaian ayahnya. Di punggungnya tergantung sebatang golok besar yang
tajam mengkilap, dan tangannya memegang sebuah jala ikan. Melihat perahu itu
dan melihat Kwi Hong berdiri di kepala perahu, dia melempar jala di atas
ikan-ikannya, kemudian mendayung perahunya cepat sekali menyambut.
Ketika
perahu besar yang ditumpangi Kwi Hong menempel di darat, pemuda itu meloncat ke
atas perahu, membawa seekor ikan yang besarnya sepaha orang, ikan yang kulitnya
keemasan dan amat gemuk sehingga dalam keadaan mentah saja sudah kelihatan
enak!
"Selamat
datang, Nona. Sungguh besar sekali untungmu, begitu pulang aku berhasil
mendapatkan seekor kakap merah yang sangat lezat. Nah, kupersembahkan ikan ini
kepadamu, Nona!" kata Thung Ki Lok sambil tersenyum lebar, memperlihatkan
deretan gigi yang kuat dan bersih.
Hati Kwi
Hong sedang kesal karena selalu memikirkan Bun Beng yang dikhawatirkan
keadaannya. Dia menjadi makin sebal melihat penyambutan yang amat ramah ini.
Dia tahu bahwa sudah bertahun-tahun pemuda putera pembantu pamannya ini menaruh
hati kepadanya. Sungguh pun Ki Lok tidak pernah membuka rahasia hatinya dengan
kata-kata, namun dari gerak-geriknya, dari pandang matanya, dari suaranya,
jelas menyatakan bahwa pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini jatuh cinta
kepadanya. Anehnya, hal ini membuat Kwi Hong selalu merasa jengkel dan tidak
senang!
"Terima
kasih, Lok-ko. Aku lelah dan ingin mengaso, malas untuk masak-masak," dia
berkata sambil melompat ke darat.
Sejenak Ki
Lok melongo, namun dengan senyum yang tak pernah meninggalkan mukanya, dia
meloncat pula mengikuti dan menghadang di depan Kwi Hong sambil berkata,
"Biarkan kumasakkan untukmu, Nona. Engkau suka ikan panggang, bukan? Akan
kupanggang untukmu, kuberi bumbu yang enak. Harap kau jangan makan dulu, tunggu
sampai ikan ini matang dan..."
"Sudahlah,
Lok-ko, kau makan sendiri ikan yang dengan susah payah kau tangkap itu, kau
makan bersama ayahmu. Aku tiada nafsu makan. Terima kasih!" Kwi Hong lalu
meloncat ke depan dan berlari ke tengah pulau.
Tinggal Ki
Lok yang berdiri dengan ikan di tangan, dipondong di atas kedua lengannya, dan
berdiri melongo memandang bayangan gadis itu yang lenyap di antara pohon-pohon.
"Thung-kongcu,
wanita itu seperti burung dara, kalau didiamkan mendekat, kalau didekati
terbang menjauh. Lihatlah..." Seorang di antara anak buah Pulau Es
menuding ke arah pulau.
Ki Lok
sadar, mukanya menjadi merah dan ia menengok ke tengah pulau itu. Musim ini, di
mana banyak sinar matahari, pulau itu ditumbuhi beberapa macam pohon sehingga
kelihatannya lebih hidup dari pada di musim dingin yang membuat pulau itu
gundul sama sekali.
Di antara
pohon-pohon ia melihat Kwi Hong sedang berhadapan dengan seorang pemuda,
bercakap-cakap. Ki Lok membalikkan tubuhnya, meloncat ke dalam perahu, melempar
ikan kakap merah di antara tumpukan ikan-ikan lain lalu mendayung perahunya
menjauhi perahu yang baru tiba. Lima orang tukang perahu itu hanya menghela
napas panjang karena mereka pun maklum bahwa seolah-olah terjadi perebutan
antara Thung Ki Lok dan Kwee Sui, seorang pemuda tampan anak keluarga Pulau Es
yang diambil murid oleh Phoa-toanio, yaitu Phoa Ciok Lin wakil majikan Pulau Es
untuk urusan dalam. Namun semua orang maklum bahwa terhadap kedua orang muda yang
seolah-olah bersaing memperebutkan cinta gadis cantik murid Pulau Es itu, Kwi
Hong bersikap acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang memperlihatkan dengan jelas
bahwa dia tidak senang menghadapi rayuan mereka.
Pemuda yang
kini menyambut kedatangan Kwi Hong itu adalah Kwee Sui. Dia berusia dua puluh
enam tahun, tubuhnya tidak tinggi besar seperti Ki Lok, akan tetapi sedang dan
wajahnya tampan sekali, juga dalam hal bicara dan mengambil hati, dia lebih
pandai dari pada saingannya yang agak kaku. Memang sifat kedua orang pemuda itu
jauh berlainan, sungguh pun keduanya sama tampan dan sama gagah.
Semenjak
kecil Ki Lok suka bekerja di luar, yaitu mencari ikan menentang panasnya
matahari dan melawan serangan ombak laut, berjuang melawan alam di samping
mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya terbuka dan jujur, pemberani dan
agak kaku. Sebaliknya, Kwee Sui yang menjadi murid Phoa Ciok Lin dapat
mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi karena gurunya adalah wakil Pendekar
Super Sakti, bahkan Phoa Ciok Lin adalah murid dari iblis betina Toat-beng
Ciu-sian-li yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw. Di samping ilmu silat,
Kwee Sui juga suka belajar ilmu sastra dan ia selalu mengenakan pakaian bersih
dengan potongan seorang sastrawan.
"Hong-moi,
engkau baru pulang? Dan di mana Pamanmu, Suma-taihiap, mengapa tidak ikut
pulang?" demikian Kwee Sui menyambut dengan sikap ramah.
Sebagai
murid Phoa Ciok Lin, dia lebih dekat dalam pergaulannya dengan Kwi Hong dan
menyebutnya moi-moi (adik), tidak seperti Ki Lok yang menyebutnya nona. Ada pun
semua anggota Pulau Es menyebut taihiap (pendekat besar) kepada Suma Han yang
tak pernah suka disebut Pangcu (ketua perkumpulan) atau To-cu (majikan pulau).
"Paman
masih banyak urusan, aku disuruh pulang lebih dulu."
"Ahh,
engkau tentu lelah. Biar kusuruh koki menyediakan makanan yang paling kau
sukai, Hong-moi. Apakah kau juga ingin mandi air hangat? Biarlah kusuruh
pelayan menyediakan..."
"Terima
kasih, Sui-ko, tidak usah repot-repot. Jikalau aku perlu, aku akan menyuruh
sendiri," jawab Kwi Hong singkat, mulai tak senang hatinya. Datang-datang
dia disambut oleh rayuan-rayuan kedua orang pemuda itu, betapa menyebalkan!
"Eh,
engkau mendapatkan pedang baru, Hong-moi? Bukan main indahnya sarung pedang
itu... ihhh, bolehkah aku melihatnya?"
Kwi Hong
meraba gagang pedangnya dan menghunusnya separuh.
"Ayaaaa...!"
Kwee Sui meloncat ke belakang sampai tiga meter lebih dan mukanya berubah.
Matanya
silau ketika tadi melihat pedang yang baru dihunus setengahnya, dan ia bergidik
setelah Kwi Hong menyarungkan kembali pedangnya. Gadis itu tersenyum,
setidaknya dia girang betapa pemuda itu terkejut dan kagum bukan main melihat
Li-mo-kiam. Dia merasa bangga akan pedang itu.
"Bukan
main, Hong-moi. Pedang pusaka apakah itu? Luar biasa sekali, baru sinarnya saja
agaknya sudah dapat membunuh orang!"
"Hemm,
tentu saja ampuh. Pedang ini adalah Li-mo-kiam, sebuah di antara
Siang-mo-kiam."
"Sepasang
Pedang Iblis...?" Kwee Sui terbelalak dan matanya lebar memandang ke arah
pedang yang tergantung dalam sarung pedang di pinggang Kwi Hong. "Yang
sebatang lagi mana, Hong-moi? Apakah dibawa Taihiap?"
Kwi Hong
hanya menggeleng kepala. "Tidak perlu banyak bertanya, Sui-ko. Sudahlah,
aku ingin bertemu Bibi Phoa kemudian beristirahat." Gadis itu lalu
meninggalkan Kwee Sui yang masih berdiri terlongong.
"Sepasang
Pedang Iblis..." Pemuda itu berbisik dan bergidik, tetapi hatinya ingin
sekali melihat dan memegang pedang yang amat terkenal dan yang ia dengar
diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu.
Setelah
bertemu dengan Phoa Ciok Lin, Kwi Hong berkata, "Bibi, dalam pelayaranku
pulang, aku melihat dari jauh lima buah kapal perang, tentu milik pemerintah
dan entah apa yang mereka cari di daerah ini. Harap Bibi suka perintahkan anak
buah melakukan penjagaan lebih ketat, aku amat lelah dan ingin
beristirahat."
Phoa Ciok
Lin mengerutkan alisnya mendengar penuturan ini. "Lima buah kapal perang
pemerintah? Apa gerangan yang dicarinya di daerah ini?"
"Subo,
biarlah teecu pergi menyelidiki!" Tiba-tiba terdengar suara Kwee Sui yang
ternyata menyusul masuk dan mendengar percakapan gurunya dengan Kwi Hong itu.
"Baiklah,
lakukan penyelidikan dan usahakan untuk mengetahui apa kehendak mereka
mendatangi daerah ini. Akan tetapi, jangan kau lancang memancing keributan
dengan mereka. Taihiap tidak menghendaki kita terlibat dalam permusuhan dengan
pihak mana pun juga."
"Baik,
Subo, teecu mengerti."
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment