Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 18
Berbeda
dengan suhengnya yang juga tercengkeram oleh pengaruh ilmu hitam. Kini murid
kakek ini, Kwi Hong, biar pun semenjak kecil digembleng oleh Pendekar Super
Sakti, kini tanpa disadarinya juga mulai berubah sikapnya, menjadi dingin,
murung dan kehalusan perasaannya menipis, membuatnya tak pedulian dan kejam.
"Bu-tek
Siauw-jin," Maharya mulai bicara sedangkan semua orang mendengarkan penuh
ketegangan karena belum pernah mereka yang terdiri dari orang-orang berilmu
tinggi ini menyaksikan pertandingan seaneh ini, pertandingan mengadu
pengetahuan tentang ilmu batin! "Segala macam ilmu kepandaian yang
dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya kalau manusia tidak mengerti
akan hidup dan inti hidup. Karena itu, mengapa kita mesti berkelahi seperti anak
kecil untuk menentukan siapa yang lebih unggul? Sebaiknya kita menguji
kematangan jiwa. Apakah engkau siap untuk mencoba memecahkan dan menjawab
pertanyaanku?"
"Wah,
sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu,
perlu apa banyak rewel?" Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak
sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja merangsang kemarahan lawannya.
"Bu-tek
Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"
"Apa
lagi?"
"Cukup
satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."
"Hemmm...,
di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan filsafat
yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa tiap-tiap agama mempunyai
jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari
sudut pendangan agama apa yang kau kehendaki?"
"Aku
tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada
yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu
akan menghadapi tantangan dari agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar
engkau dapat memecahkan ini dengan tepat, disertai dengan alasan-alasan yang
kuat, tidak peduli engkau mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar.
Hanya aku menghendaki jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang
berlaku, benar atau salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu.
Kalau salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini dan selamanya tidak boleh
mengganggu kami lagi."
Bu-tek
Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan
pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan
menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia dan yang sudah ribuan tahun
semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang tepat untuk
pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong.
"Kwi Hong, monyet kurus ini benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu
untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Terpaksa kita harus mengeram di dalam
kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."
Kwi Hong
cemberut, "Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap Suhu
jangan kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa
bantuan Suhu sekali pun, aku sanggup untuk membasmi mereka semua ini!" Kwi
Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan tampak sinar
kilat menyambar di dalam ruangan itu.
"Pedang
Iblis...!" Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang
berkilat-kilat di tangan gadis itu.
"Hushhh,
sarungkan kembali pedangmu, muridku." Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan
Kwi Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhu-nya
telah mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya
karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas dia menyimpan kembali
pedangnya dan menundukkan muka.
"Maharya,
engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia,
akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam
kamar tahanan sebagai tamu yang tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami
ke tempat kami!"
Dengan wajah
berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua orang itu ke
dalam kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak tangga dan
terowongan yang amat dalam. Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang ditunjuk,
kemudian pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu
kerangkeng gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid
ini menjadi orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan
minum melalui jeruji di atas pintu kamar tahanan.
"Mengapa
Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka
berada di dalam kamar tahanan.
"Wah, jangan
murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk kau berlatih dan
memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok
Lama merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apa lagi di samping mereka masih
ada belasan orang panglima dan mungkin ribuan orang prajurit. Karena itu,
sebelum kita turun tangan, engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru
lebih dulu, dan mematangkan tenaga sinkangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya
cukup. Dan selain engkau dapat berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari
jawaban atas pertanyaan Maharya itu."
Kwi Hong
mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di balik
watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka dia pun
tidak banyak cakap lagi dan berlatih dengan tekunnya di dalam kamar tahanan,
kadang-kadang saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin. Ada pun kakek ini,
untuk melewatkan waktunya kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah
otak sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan
yang diajukan Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum
juga dapat ditemukan, dia lalu bermain-main seperti anak kecil, kadang-kadang
mengumpulkan batu dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng sendirian sambil
tertawa-tawa.
Telah tiga
pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah mengalami
kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan tetapi,
pertanyaan itu masih belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin! Saking
kesalnya, ketika ia mendengar jangkrik, ia girang sekali dan ingin benar ia
menangkap jangkrik itu. Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu percakapan
mereka sedang didengarkan oleh Suma Han dan Milana di dalam kamar tahanan yang
berada di atas mereka!
Melihat
betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkrik, dan karena keadaan cuaca dalam
kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong kemudian menyalakan lampu minyak
sehingga kamar itu tidak begitu gelap lagi.
"Wah-wah,
tidak mau mengerik lagi!" Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup
dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu
batu-batu yang dicokel keluar dari lantai oleh kakek itu untuk dipakai sebagai
gundu. "Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau keadaan terang, tentu saja
jangkrik itu mengira hari telah siang dan tidak mau berbunyi."
"Memang
sekarang bukan malam, Suhu."
"Benar,
akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkrik itu mengira malam dan
berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"
"Aihh,
Suhu ini aneh-aneh saja! Biar pun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut
begitu mana dia mau mengerik? Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang
itu, biar dia mengerik sekali pun tentu dari dalam lubang."
"Oya,
kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"
"Jangan,
Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar
lubang, dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya."
Kini Kwi Hong mulai tertarik dan ia pun ikut berlutut di dekat suhu-nya, mereka
memandangi lubang jangkrik seolah-olah hal menangkap jangkrik merupakan
peristiwa yang terpenting di saat itu!
"Oya,
kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau
kukencingi, mana jangkrik itu kuat bertahan terkena kencingku? Tentu akan mati
pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah atas
lubangnya."
Dua orang
itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat keluar
seekor jangkrik yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera
bersorak girang sambil menggenggam jangkrik itu.
Kwi Hong
juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan
kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar
saja. "Besarkah jangkriknya, Suhu? Merah atau hitam bulunya?"
Mereka
mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.
"Uhhhh!"
Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.
"Sialan
dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman
tangannya. "Ini namanya jangkrik upo (jangkrik kecil pemakan nasi upo)!
Jangkrik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti Maharya
saja!"
Kakek itu
tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan... jangkrik kecil itu ditelannya bulat-bulat!
Kala menjingnya bergerak dan berbunyi "ceguk-ceguk!" ketika ia
menelan jangkrik itu hidup-hidup!
"Ihhhh!
Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkrik hidup-hidup ditelan?" Kwi
Hong mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang sebagai
guru yang pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa seperti berhadapan dengan
seorang anak kecil yang memerlukan teguran-teguran!
"Apa
kau bilang? Kotor? Wah, menelan jangkrik mentah dan hidup masih mending.
Pernahkah engkau mendengar orang-orang sinting menelan cindil (anak tikus)
hidup-hidup? Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkrik dari pada cindil?
Jangkrik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik
itu!"
Kwi Hong
tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang pandai
berdebat ini. Pula kegembiraannya telah hilang dan kembali dara itu termenung
dengan wajah muram dan dingin.
"Kwi
Hong...!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas, seolah-olah
Kwi Hong mendengar suara pamannya di dekat telinga dan pamannya seperti berdiri
di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.
"Paman...!"
"Kwi
Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara Pendekar
Super Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.
"Paman,
di mana engkau? Suaramu begini dekat...!" Kwi Hong yang merasa bingung itu
tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya bahwa
dia telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau Neraka ini?
"Ha-ha-ha-ha!
Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti Tocu Pulau Es
yang berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan
tetapi sudah bertahun-tahun aku kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara
aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang! Ha-ha-ha!"
Karena kakek
itu mengerahkan khikang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu ke
kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum dan
maklum bahwa orang yang berada di bawah bersama keponakannya itu memiliki
kepandaian yang amat tinggi.
"Siapakah
Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa penasaran karena
tadi keponakannya menyebut ‘suhu’ kepada orang itu.
"Wah-wah,
jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah seorang
kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di Pulau
Neraka."
Suma Han
makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua
Thian-liong-pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya
memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang begitu lihai dan mengaku sebagai
keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang pernah
bertemu dan bertanding dengannya, yang amat sakti itu sehingga hampir saja ia celaka?
Akan tetapi, mungkinkah Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu? Bukankah
kakek iblis itu menjadi guru Wan Keng In? Dia merasa bingung dan hatinya
tegang.
"Apakah
Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.
"Ha-ha-ha-ha,
kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suheng-ku itu? Tidak, Taihiap. Aku
hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sute-nya dan aku mendapat kehormatan besar sekali
untuk menjadi guru keponakanmu."
Kwi Hong
berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang amat
salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali murid
Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain? Hal ini
sama saja dengan menghina guru atau pamannya itu! Maka, sebelum pamannya
mengucapkan sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata
dengan pengerahan khikang.
"Paman,
harap suka mendengarkan penuturanku!" Cepat ia menuturkan pertemuannya
dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana ia sampai menjadi muridnya. Betapa
gurunya itu biar pun seorang Datuk Pulau Neraka, akan tetapi sikapnya baik
sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena kakek itu hendak membantunya
menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki kanannya.
"Sayang
sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah
pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan di sini, dan sudah tiga pekan
kami berada di sini, agaknya Suhu belum berhasil! Harap Paman suka mengampunkan
aku yang lancang... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan
amat baik, Paman."
Sunyi
sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jin tertawa kecil, agaknya merasa
geli mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.
"Bu-tek
Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena dia sudah
terlanjur menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu.
Pertanyaan apakah yang diajukan oleh Maharya kepadamu? Aku akan membantumu
mencarikan jawabannya."
"Bagus!
Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-taihiap! Tidak saja tidak marah
kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin
membantuku memecahkan teka-teki. Wah, jika engkau benar-benar bisa membantuku
memecahkan pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai
sahabatku yang paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah: Apakah yang
dinamakan Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."
Suma Han
yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit duduk
dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana
menjawabnya? Dia sudah banyak membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan
tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah itu SENG yang merupakan anugerah
Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu? Apakah itu TAO
seperti yang dimaksudkan dalam Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang
disebut-sebut oleh pendeta-pendeta Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar?
Melihat ayah
kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut pula
duduk di lantai. Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri lagi.
Dia duduk bersila dan memikirkan pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri.
Hemm, orang-orang tua ini memang aneh! Apa gunanya? Apa untungnya kalau mengetahui
AKU SEJATI? Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apa pun juga jawabannya,
siapa yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah? Adakah
manusia yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu? Mungkin ada,
pikirnya. Kalau tidak ada mengapa disebut-sebut? Adanya disebut, tentu ada yang
pernah mengalami bertemu dengannya!
Lama
kelamaan kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu.
Jangankan mendapatkan jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya.
Dia tidak mengenal yang disebut Aku Sejati itu. Mendengar pun baru sekarang!
Milana melirik ke arah ayahnya dan dia melihat pendekar itu masih duduk
termenung penuh kesungguhan. Dia tidak berani mengganggu, bahkan kemudian
menjauhinya dan untuk melewatkan waktu Milana meraba-raba dinding untuk
memeriksanya dan mencari kemungkinan membobol dinding itu.
Tiba-tiba
jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada
lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik
sekali dan cepat dia menggosok dan membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di
atas batu dinding. Maka tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di atas batu. Dengan
penuh semangat dan amat tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan
setelah bekerja keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat
sebaris huruf yang cukup jelas. Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan
membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.
"Sesungguhnya
yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
"Apa
kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang
terkejut.
Milana juga
kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu
keras-keras, "Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."
Sekali
berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran
huruf-huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula hanya perlahan,
kemudian dibacanya lagi agak keras, diulang-ulangi. SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU
BUKAN, KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA. Belum pernah dia
bertemu dengan kalimat seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya dengan
pertanyaan Maharya! Ia menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat
dalam kitab-kitab yang pernah dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya,
"Hampir sama dengan makna dalam kitab To-tik-keng ayat pertama!"
Milana yang
biar pun telah banyak membaca tetapi sejak dulu memang tidak menaruh minat
terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, lalu bertanya, "Bagaimana
bunyinya, Paman?"
Suma Han
mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab
To-tik-keng seperti yang diingatnya:
Jalan (Tao)
yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama yang
dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama
adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan Nama
adalah ibu segala benda.
Tidak Ada
kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau
kita ingin menyatakan keadaannya
keduanya
berpasangan walau namanya berbeda
pasangan
yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!
Tiba-tiba
Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru, "Wah! Kalau
begitu amat cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta
Maharya itu, Paman!"
Suma Han
melongo. "Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"
"Jawabannya
adalah itu! Tidak ada apa-apa!"
"Ah,
masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu,
diperkuat pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada
persamaan dengan kalimat di dinding itu."
"Justeru
keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus
menghancurkan pertanyaan itu, Paman"
"Alan,
engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah
pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang
dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding dan ayat pertama To-tik-keng sama
sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"
"Sudah
jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu
bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama
sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku
Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu
hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran
yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah
manusia di dunia ini yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"
"Husshh!
Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman
dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada
yang memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu
dengan Aku-nya yang Sejati!"
"Ah,
hal itu tidak mungkin, Paman!"
"Mengapa
tidak mungkin?"
"Misalnya
aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan
siapa pula yang ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu dan yang sejati saling
bertemu, yang palsu mau pun yang sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman.
Karena pikiran mengingat akan pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah
mendengar tentang Aku Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati
yang bukan lain juga khayalan pikiran sendiri belaka!"
Suma Han
mengangguk-angguk. "Hem... hem... biar pun uraianmu itu tidak berdasarkan
filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!" Suma Han
termenung, wajahnya makin lama makin terang. Beberapa kali dia
mengangguk-angguk dan menggumam. "Engkau hebat, Alan... engkau telah
membuka kesadaranku... engkau membuka mata batinku..."
Milana tidak
mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa wajah
Pendekar Super Sakti itu sekarang berubah, berseri dan bersinar seolah-olah
kemuraman yang tadinya selalu merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini
terusir bersih.
"Terima
kasih, Alan...!" Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu, kemudian
memeluknya, mencium dahinya.
Milana
terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan, tetapi ketika
ayahnya itu mencium dahinya, Milana terisak dan memejamkan matanya. Ingin dia
balas memeluk dan menjeritkan sebutan ayah, akan tetapi perasaan ini
ditahannya.
Suma Han
memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu dan
Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh
kebahagiaan.
"Ahhh,
siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"
"Apa...
apa maksudmu, Paman?"
"Aku
tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban
dari segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang
mulai menyalakan api penerangan itu, Alan. Biar pun tidak kau sengaja, karena
engkau polos, wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah malah yang
menyalakan api penerangan! Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak
bahagia, maka dia merindukan kebahagiaan, ia mengejar kebahagiaan. Setelah dia
merasa mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu
hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan
bersifat kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi
satu. Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi
renungan saja! Ha-ha-ha! Dan semua pelajaran itu... ha-ha-ha, semua itu sungguh
menggelikan. Hanya permainan khayal, lelucon hidup!"
Milana
memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat
dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas
bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa gembira walau pun bingung
juga karena tidak mengerti.
"Bagaimana,
Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"
"Sudah
terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut
dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran.
Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah
khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau
dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"
"Wah,
sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!" Milana berseru sambil
memijit-mijit pelipis kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua
kata-kata ayahnya.
"Aku
sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku, Alan.
Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan
coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walau pun
bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan
kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan,
bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa
kaum budiman di jaman dahulu memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang
bagaikan kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"
Tiba-tiba
dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin. "Heiii! Pendekar Super Sakti,
Suma-taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang telah mendapatkan
jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera memberitahukan kepadaku,
jangan menjual mahal!"
Suma Han
tersenyum, lalu menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan jawablah
bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias
palsu!"
Hening
sampai lama sekali di bawah. Karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin
menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang
dianggapnya aneh itu. Sekitar seperempat jam kemudian, barulah terdengar
suaranya. "Suma-taihiap, apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkan
aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah jawaban!"
"Mengapa
bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab
dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar filsafat
lain. Akan tetapi jawaban ini berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah
lagi. Siapa yang dapat membantah kenyataan? Dengarlah baik-baik, Bu-tek
Siauw-jin. Dia bertanya apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah,
jawabannya yang dinamakan Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan
khayalan pikiran alias palsu!"
"Kenapa
begitu?"
"Karena,
yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah
didengar dari seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan
pikiran. Jadi jelas bahwa yang dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan
pikiran, palsu."
"Hemm,
seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya. Bagai
mana kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"
"Bu-tek
Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku
Sejati, bukan mempersoalkan ada atau tidaknya. Ada atau tidaknya bukanlah
persoalan manusia, bukan persoalan hidup."
"Kau
benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan
kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang
dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma-taihiap, di antara kita sendiri,
apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"
"Bu-tek
Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita
ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan
kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau
tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi
persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa
jantung kita berdenyut, tidak ada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak
akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan
tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah
ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan
pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau
sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin,
dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya
itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran
dari masa lampau dan semua goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi
pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia sehingga timbullah
pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku
dan engkau dan dia dan mereka!"
"Wah-wah-wah!
Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-taihiap! Belum pernah selama
hidupku aku mendengar orang berbicara seperti itu."
"Aku
pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu, kini
mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."
"Kita?"
"Benar,
karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah
sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"
Terdengar
suara ledakan keras saat Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang lantai dan
lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara itu
meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin.
Ketika Kwi
Hong melihat Milana, dia terkejut sekali. Baru sekarang dia mengenal gadis itu
setelah gadis itu muncul, bersama pamannya. "Kau... kau...
Milana...!" teriaknya.
Milana juga
terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi?
"Kwi Hong...!" katanya dan ia terisak.
"Milana...?
Engkau... engkau... Alan... engkau Milana...?" Suma Han merasa seperti
disambar petir ketika dia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana.
"Aihhh, betapa bodohku! Dan ibumu... Nirahai... dia... dia..."
Milana masih
menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya. "Be... benar
Ayah...!"
Suma Han
mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana dan
tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi, pintu
kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti
itu lenyap bersama Milana.
"Paman...!"
Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak berada
di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan
robohnya para pengawal yang menjaga ketika mereka itu secara berani mati
mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar Super Sakti.
Bu-tek
Siauw-jin menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Waaah, aku kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru
kepadaku. Benar-benar aku merasa malu sekali!" Dia terus menggeleng-geleng
kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum, "tsk-tsk-tsk!" tiada
hentinya.
"Akan
tetapi ilmu yang kau ajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.
"Sudahlah,
mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring
sekali, "Haiiiii! Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini dan terima
jawabankuuuuu...!"
Bersama Kwi
Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja yang sudah ambrol,
berjalan seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti orang keluar dari kamar
tidurnya sendiri saja.
"Ayah...
harap jangan marah, Ayah... ampunkan aku, Ayah... dan janganlah marah kepada
Ibu... hu-hu-huuuk..." Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk
keluar, merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga mereka dapat keluar
dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan.
Suma Han
berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi
ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk Milana,
mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan mengelus-elus rambut yang halus
itu.
"Milana...
ahhh, anakku... aku seperti buta tidak mengenalmu...! Milana, betapa kejam hati
ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang,
melakukan hal-hal keji dan menggegerkan dunia kang-ouw? Mengapa dia begitu
kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu? Di mana dia? Di
mana Nirahai? Aku harus bertemu dengannya dan menegurnya!"
"Ayah,
jangan memarahi Ibu..."
"Aku
akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan
mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."
"Ayah,
aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah
ingin bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari,
Ibu berada di cabang kami dekat kota raja kalau aku tidak salah duga!"
Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke
markas Thian-liong-pang yang berada di dekat kota raja dan yang baru saja
didirikan setelah Thian-liong-pang membantu pemerintah.
Para anggota
Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar Super
Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka. Mereka yang belum pernah melihat
pendekar ini memandang dengan mata terbelalak ketika teman-temannya yang pernah
bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa itulah Pendekar
Siluman Tocu Pulau Es yang amat terkenal itu.
Andai kata
Suma Han datang seorang diri, biar pun jeri, agaknya mereka masih akan
menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di luar sebelum mereka
melapor kepada ketua mereka. Akan tetapi karena kedatangan pendekar ini bersama
Milana, tak ada seorang pun anggota Thian-liong-pang yang berani mencegah
mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam, dua
orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang
Chie Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.
"Siocia,
apa artinya ini...?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun
dari kursinya ketika melihat Suma Han.
"Nona,
tahan dulu...!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan ragu-ragu
dan bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan terhadap
Tocu Pulau Es yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
Milana
membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua. "Harap kedua kakek suka mundur
dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan
urusan Thian-liong-pang. Kakek Bhok, di mana Ibu?"
"Di
dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang lalu memegang tangan kawannya dan
memberi isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan
ruangan itu.
Sai-cu Lo-mo
menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah diberi tahu oleh ketua
mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti, yaitu ketika dia dahulu
melamar dara itu untuk cucu keponakannya, Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu,
suami Ketua Thian-liong-pang, telah datang dan agaknya rahasia ketua mereka
telah terbuka! Dia dapat membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini, akan
tetapi karena maklum bahwa urusan itu adalah urusan keluarga, maka dia menarik
tangan Chie Kang dan berkata,
"Chie-sute,
mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh
kita kalau kita mencampurinya."
"Eh,
apa yang terjadi, Suheng?"
"Sssstt,
diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."
Suma Han
yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti Milana
yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir sebuah
anak sungai yang airnya mengalir tenang. Tempat ini adalah pemberian dari Koksu
sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan cabang yang terbesar
karena dari sinilah dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu
pemerintah membasmi para pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.
Tiba-tiba
Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk
menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang
duduk di bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi
itu. Seketika kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika ia
melihat wanita berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini
dia mengenal betul bentuk tubuh Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biar
pun mereka telah saling berpisah lama sekali.
"Nirahai...!"
Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil saat dia mencelat ke dekat
wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter.
Wanita
berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri
sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.
"Han
Han...!" Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan
tetapi dia melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa
rahasia telah terbuka oleh Milana.
Sekali
renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona melihat wajah
isterinya itu masih cantik jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia
bertemu dengan Nirahai pada waktu Milana berusia tujuh delapan tahun yang lalu,
bahkan masih seperti waktu masih gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka
saling berpisah!
"Kau...
kau mau apa datang ke sini...?" Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar
dan kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya
bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya bergerak seperti hendak menahan
tangis.
"Nirahai!"
Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah marah
lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang.
"Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang selama ini melakukan segala
macam perbuatan keji dan rendah itu?"
Kalau
tadinya Nirahai gemetar dan pucat, pandang matanya sayu dan dia seperti
setangkai kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta
kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya menjadi kemerahan,
pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak, dada membusung, dagu
terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara dingin tegas keras, seperti
biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.
"Benar!
Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han? Seperti telah
kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu
bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua
Thian-liong-pang sampai seorang di antara kita menggeletak tanpa bernyawa di
tempat ini!"
Setelah
berkata demikian Nirahai menggerakkan tangannya dan kerudungnya sudah kembali
menutupi mukanya. Dia berdiri dan bertolak pinggang, sepasang mata dari balik
kerudung seolah-olah mengeluarkan sinar berapi yang ditujukan penuh kebencian
ke arah muka Suma Han.
"Nirahai!
Aku tidak peduli untuk apa kau lakukan itu semua, juga tidak peduli untuk
menantang aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut
itu engkau telah menyeret anak kita Milana ke dalam pecomberan! Engkau terlalu
mementingkan diri sendiri, terlalu mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak
ingat sama sekali akan kepentingan anak kita!"
"Cukup!"
Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di
sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian
telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han dan dia berkata, "Tak
perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengok tengkukmu sendiri dan bercerminlah!
Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak Milana kulahirkan, pernahkah
engkau datang mencarinya? Pernahkah engkau sebagai ayahnya menimang anakmu itu
satu kali saja? Engkau melupakan anak kita, engkau hidup dengan angkuh dan
sombong sebagai raja di Pulau Es. Sang Pendekar Super Sakti yang bertahta di
angkasa, begitu tinggi, begitu sakti bagaikan dewa! Sekarang setelah Pulau Es
hancur, engkau pura-pura mencari anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan
aku?"
"Nirahai!
Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biar pun aku sekarang sudah tidak
punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah
ikut bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta, marilah kita melanjutkan sisa
hidup ini untuk mendidik anak kita..."
"Tidak
sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"
"Nirahai,
engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo
membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu
gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik, sekarang juga akan kuhancurkan dia,
membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!"
Dengan wajah pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han
membalikkan tubuh dan berloncatan pergi.
"Ayaahhh...!
Ayaaahh... tungguuuu...!" Milana menjerit dan meloncat lalu lari mengejar,
tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi melainkan
terhuyung ke belakang dan berpegang pada batang pohon sambil menangis!
Mendengar
jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi dia tetap berdiri
tegak, tidak menoleh.
"Ayahh...!"
Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu.
"Ayah, mengapa Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak menderita karena Ayah.
Lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam tahanan? Mengapa Ayah hendak menurutkan
nafsu hati yang terdorong oleh ingatan? Apakah Ayah kembali hendak memasuki
alam penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran
sendiri yang palsu? Ayahhh...!"
Lemas
seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia lalu menghela napas panjang dan berkata
lirih, "Anakku... engkau jauh lebih bersih dari pada aku atau ibumu,
aku... aku hanya manusia lemah... manusia canggung yang tidak tahu lagi apa
yang akan kulakukan... aku tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga cacad
batiniah, lemah dan canggung. Mungkin ibumu lebih benar. Biarkanlah aku pergi
dulu, Milana..."
"Ayaaahhh...!"
Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.
"Ibuuuuu...!"
Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung
dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua
orang ibu dan anak ini bertangis-tangisan.
"Ibu,
mengapa kita menjadi begini?"
Nirahai
memeluk puterinya, menahan isaknya. "Entahlah, anakku... entahlah... aku
sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan
ayahmu..."
"Ibu
mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."
"Tidak
ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia
sudah menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang
rusak hanya..."
"Hanya
bagaimana, Ibu?"
"Biar
dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau
buka rahasia kerudungku kepadanya."
"Ah,
tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar
tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"
"Di
kamar tahanan gedung Koksu?" Nirahai menghentikan isaknya dan memandang
puterinya dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia
diculik oleh ayah kadungnya sendiri, menceritakan betapa baik ayah kandungnya
itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In kalau tidak ada ayahnya yang
menolong, kemudian tentang pengintaiannya ke gedung Koksu.
"Ibu,
mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang diadakan
oleh Koksu itu sebetulnya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki
tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela
kerajaan."
"Apa...?!"
Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan
kemarahannya mendengar ini.
Milana lalu
menceritakan sejelasnya akan semua percakapan yang ia curi di dalam ruangan
istana Bhong Ji Kun.
Kemarahan
Nirahai memuncak. "Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus
dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!" Nirahai meloncat bangun, semua
kelemahan akibat keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan semangatnya
bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang tegas!
Tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya
dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut
memasuki taman, dan dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata,
"Maaf,
Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka
parah dan perlu segera menghadap Pangcu..."
Nirahai
mengangkat tangan ke atas. "Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang
telah terjadi?"
Dengan suara
tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan tentang
perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan. "Kami
tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main, iblis cilik Pulau Neraka
itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada punggung kami dan menyuruh kami
menghadap Pangcu. Dia... dia... mengajukan pinangan kepada Nona Milana... Kalau
dalam waktu sebulan Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan
Wan Keng In, dia datang membasmi Thian-liong-pang...!"
"Bresss!
Krrakkk!" Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan
Nirahai yang menjadi marah bukan main.
"Bangsat
cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang?
Bangsat itu harus mampus di tanganku!"
"Harap
Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka
parah," tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata.
Nirahai
menghampiri seorang anggota Thian-liong-pang yang berlutut di depannya, merobek
bajunya dan langsung dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di
punggung orang itu.
"Apakah
semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.
Tang Wi
Siang mengangguk. "Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati,
kecuali kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami,
demikianlah pesannya."
"Hemm,
si keparat!" Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya
tidak hebat itu, hanya merupakan ‘cap’ merah dari tiga buah jari tangan. Ia
mencoba dengan menyalurkan sinkang, telapak tangannya ditempelkan di punggung
untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.
"Hemmm,
pukulan beracun ini aneh sekali dan aku tidak mengenal racun apa yang
terkandung dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."
Sai-cu Lo-mo
cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang pisau
tajam meruncing terbuat dari pada perak. Nirahai menggerakkan ujung pisaunya
menggurat tanda tapak jari tangan di punggung orang itu yang menggigit bibir
menahan rasa nyeri agar tidak menjerit.
"Aihhh...!"
Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan
pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari
itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih
perlahan, kemudian tak bergerak sama sekali. Ketika Nirahai memeriksanya,
ternyata dia telah mati!
Tentu saja
semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan teman-temannya
yang terluka. Tang Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya dan
berkata, "Pangcu, harap Pangcu bunuh saja saya dengan sekali pukul.
Pukulan yang beracun ini agaknya hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan
saya lebih baik mati dari pada Nona Milana diperisteri olehnya. Dari pada
menanggung derita sebulan lamanya, biarlah sekarang saja Pangcu membunuh
saya."
Nirahai
mengerutkan alisnya. "Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan
obatnya. Waktu sebulan masih lama..."
"Percuma
saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat menyembuhkan luka
beracun itu!"
Nirahai dan
semua orang cepat menengok. Mereka sama sekali tidak mendengar ada orang datang
dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik sekali biar pun
usianya sudah tidak muda lagi, kurang lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada
sesuatu yang amat mengerikan pada wanita ini yaitu mukanya. Mukanya itu
berwarna putih seperti kapur!
Entah
mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat wanita ini,
timbul rasa kasihan di dalam hati Milana! Gadis ini, dan semua anggota
Thian-liong-pang sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, wajah di dalam
kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi pucat sekali ketika dia mengenal wanita
bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai mengenalnya karena wanita itu bukan lain
adalah sumoi-nya sendiri ketika mereka berdua dahulu menjadi murid Nenek Maya.
Wanita bermuka putih dan amat cantik itu bukan lain adalah Lulu!
"Bibi
yang baik, benarkah Bibi dapat menyembuhkan mereka ini?" Milana bertanya
dan mengagumi wajah yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna putih seperti
kapur karena sesungguhnya wanita itu cantik sekali, terutama sekali matanya
yang seperti bintang dan yang membuat dia merasa suka adalah karena wajah
wanita ini mirip-mirip dengan wajah ibunya yang tersembunyi di balik kerudung.
Wanita ini
mengangguk, mukanya tetap dingin sungguh pun sepasang mata yang indah itu
memandang Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan suka. "Tentu saja aku
dapat menyembuhkan mereka dengan mudah."
Nirahai
menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka? Dan ke mana saja
selama ini perginya? Dia lalu melangkah maju, merubah suaranya menjadi suara
Ketua Thian-liong-pang yang dingin dan berwibawa,
"Siapakah
engkau? Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka mereka
ini?"
Lulu menatap
muka berkerudung itu, sesaat bertemu pandang, dan ia kagum melihat sepasang
mata yang begitu bersinar-sinar penuh semangat dan wibawa. Orang ini memang
patut menjadi Ketua Thian-liong-pang yang terkenal, pikirnya.
"Aku
merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menyembuhkan mereka
ini, biar pun engkau akan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari mana pun juga,
karena obat penawar racun ini hanya terdapat di Pulau Neraka."
"Hemm,
kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?"
Lulu hanya
menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat ini, Nirahai
bergidik. Dulu Lulu adalah seorang wanita yang periang, jenaka dan ramah,
mengapa sekarang menjadi segunduk es beku, dingin dan mengerikan?
"Pangcu,
Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa
menyembuhkan mereka!"
Terdengar
seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat bangun dan
memandang dengan mata terbelalak. "Engkau... Ketua Pulau Neraka...?"
Lulu
mengangguk dan berkata muak, "Bekas... ketua boneka..."
"Iblis
betina!"
Para anggota
Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak meloncat bangun dan menyerang
Lulu, dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan diikuti pula oleh beberapa orang
anak buah Thian-liong-pang lain yang sudah berada di situ. Tidak kurang dari
dua puluh orang menyerbu Lulu, ada yang memukul, ada yang mencengkeram, ada
yang menendang.
Terdengar
suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk ketika tubuh dua
puluh orang itu terlempar ke sana-sini dan terbanting keras. Setelah semua
penyerang roboh terjengkang, kini tampaklah Lulu yang masih berdiri dengan
tenang dan matanya yang indah itu mengerling ke sekelilingnya dengan muka
digerakkan ke kanan kiri. Melihat mereka sudah mencabut senjata dan hendak
bangkit lagi, Lulu mengangkat kedua lengan ke atas dan berkata, suaranya
melengking nyaring dan penuh wibawa karena dikeluarkan dengan pengerahan
khikang.
"Tahan...!
Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak buahmu yang lancang
dan bodoh ini? Kalau aku datang dengan iktikad buruk, perlu apa aku bicara
lagi? Tanpa turun tangan pun, dengan membiarkan mereka, anak buahmu yang
terluka itu akan mati semua. Kalau aku berniat jahat, perlu apa aku menawarkan
penyembuhan?"
Nirahai
sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan tetapi dia terlalu
heran mendengar Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau Neraka sehingga dia melongo
dan tidak sempat melarang anak buahnya menyerang Lulu yang akibatnya amat luar
biasa itu, yaitu anak buahnya terjengkang semua dan roboh seperti daun kering
tertiup angin.
Kini dia
cepat membentak, "Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo mundur semua
dan jangan turun tangan kalau tidak ada perintah!" Kemudian Nirahai
menghadapi Lulu dan berkata, suaranya masih dingin, "Jadi engkau adalah
Majikan Pulau Neraka yang tersohor itu? Hemm, sungguh aneh. Akan tetapi, bicara
tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad baikmu. Tocu (Majikan Pulau), kau
sembuhkan dulu anak buahku, barulah kita bicara."
Lulu
mengangguk dan merasa kagum. "Engkau patut menjadi Ketua Thian-liong-pang.
Buka baju kalian bagian punggung dan berlututlah berjajar agar mudah aku
mengobati kalian!"
Mereka yang
terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan anak buahnya, segera
menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang ada tandanya tapak tiga buah
jari tangan merah, kemudian berlutut dan berjajar menjadi barisan punggung
telanjang yang lucu juga. Kalau keadaan tidak demikian menegangkan, tentu
kejadian ini akan menimbulkan ketawa.
Lulu
memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah menggunakan pukulan
yang mengandung racun akar merah seperti yang diduganya ketika tadi ia melihat
akibat yang menewaskan seorang anggota yang terluka pada waktu Ketua
Thian-liong-pang menorehnya dengan pisau untuk melihat darah dan menyelidiki
racunnya. Dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hijau. Dengan jari
tangan kiri dia memukul punggung itu untuk memunahkan hawa pukulan puteranya,
kemudian tangan kanannya melaburkan obat bubuk dan menekankannya ke atas tanda
tapak jari merah di punggung. Setelah selesai mengobati semua orang, dia
berkata,
"Luka
dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan, kemudian dalam
waktu sehari akan kering seperti bekas luka yang merobek kulit. Kalian sudah
sembuh, hanya sayang seorang di antara kalian tak tertolong." Ia memandang
mayat yang masih menggeletak di situ.
Nirahai
menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya. "Bagaimana
rasanya sebelah dalam tubuhmu?"
"Sesak
napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."
Nirahai lalu
menjura kepada Lulu dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan Tocu,
silakan Tocu masuk ke dalam di mana kita dapat bicara."
Lulu tadi
mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan puteranya yang melamar
puteri Ketua Thian-liong-pang, maka dia mengangguk karena dia pun ingin bicara
akan hal itu. Tanpa bicara, kedua orang wanita aneh itu berjalan menuju ke
dalam gedung, hanya diiringkan oleh Milana karena Nirahai memberi isyarat
dengan gerak tangan kepada Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain agar tidak
mengganggu mereka.
Tiga orang
wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak mereka
saling pandang, kemudian Nirahai berkata,
"Sungguh
tidak pernah kusangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan menerima kunjungan
Tocu Pulau Neraka dalam keadaan seperti ini!"
Lulu menarik
napas panjang. "Harap jangan menyebut Tocu kepadaku karena kini Pulau
Neraka sudah tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan yang tidak
mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai anak buah..."
"Tetapi
anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!" Milana berkata,
membantah.
Kembali Lulu
menarik napas panjang. "Itulah yang menyusahkan hatiku. Puteraku itu...
Ah, Pangcu, justru karena puteraku itulah maka aku sekarang berhadapan
denganmu, dan marilah kita bicara sebagai dua orang ibu membicarakan masa depan
kedua orang anaknya!"
Diam-diam
Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu yang dahulu amat
riang gembira dan jenaka itu. Dan kini putera Lulu ingin berjodoh dengan
puterinya! Kalau saja keadaan ternyata lain, tidak seperti sekarang ini,
alangkah akan bahagianya peristiwa ini! Akan tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau
Neraka, sudah berubah seperti iblis betina, dan puteranya itu, demikian kejam
dan kurang ajarnya!
"Maksudmu
bagaimana, Tocu?" tanya Nirahai.
"Pangcu,
terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk mengobati luka
anak buahmu. Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah jalan aku melihat
anak buahmu yang terluka oleh pukulan Jari Tangan Merah, sebuah pukulan dari
Pulau Neraka. Aku terkejut dan diam-diam aku mengikuti mereka. Setelah mereka
masuk ke sini menghadapmu, aku mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah
aku tahu akan segala hal yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah
Thian-liong-pang, bahkan baru aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku,
dan terutama sekali, baru aku tahu bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu
dan mengajukan pinangan kepadamu dengan cara itu!"
"Cara
yang amat bagus!" Nirahai mencela.
Lulu menarik
napas panjang. "Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal itu, Pangcu.
Bukankah anak buahmu telah kusembuhkan? Hal itu berarti penebusan kesalahan
puteraku. Yang penting sekarang, setelah aku mengetahui bahwa puteraku jatuh
cinta kepada puterimu, tentu dia inilah puterimu dan aku tidak heran mengapa
puteraku jatuh cinta kepada dara yang cantik jelita ini, maka aku mempergunakan
kesempatan ini untuk mengajukan lamaran secara resmi."
"Tidak!
Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!"
Nirahai mengepal tangannya membentuk tinju.
"Sabarlah,
Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak menjalaninya,
bukan urusan kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi penonton. Yang
terpenting adalah anak-anak itu sendiri. Puteraku sudah jelas mencinta
puterimu, maka setelah kini puterimu hadir pula, sebaiknya kita mendengar
pendapatnya akan pinangan ini. Bukankah sebaiknya begitu?"
Nirahai
terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya sudah matang dan
sikapnya begitu tenang! Dia merasa kalah bicara, maka sambil menoleh kepada
Milana dia bertanya,
"Hemmm,
coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu? Maukah
kau menerima pinangannya?"
Wajah Milana
seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan ia bangkit
berdiri. "Aku tidak sudi! Aku... aku benci kepadanya!" Setelah
berkata demikian, Milana membalikkan tubuh dan meloncat pergi dan meninggalkan
dua orang wanita itu.
Lulu
pejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu membayangkan
kedukaan, dan kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di hati Nirahai terhadap
bekas sumoi-nya itu.
"Tocu,
kau maafkan sikap anakku."
Lulu membuka
matanya, memandang heran, "Betapa anehnya! Aku mendengar bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah seorang iblis betina yang kejam dan tidak mengenal peri
kemanusiaan. Sekarang, anakku telah melakukan penghinaan kepadamu, dan anakmu
baru bersikap sewajarnya seperti itu saja engkau mintakan maaf. Pangcu, apakah
engkau ini seorang dewi berkedok iblis, ataukah seorang iblis bertopeng dewi?
Aku memuji dan kagum kepada puterimu. Memang seharusnya begitulah sikap orang
menghadapi urusan cinta. Kalau cinta mengaku cinta, kalau benci mengaku benci,
tidak boleh pura-pura yang akan mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan
seperti yang telah kualami!"

Jantung
Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik muka seperti
topeng berwarna putih itu? Apakah yang dialami oleh Lulu selama berpisah
dengannya? Dahulu dia mendengar dari suaminya bahwa Lulu telah menikah dengan
Wan Sin Kiat dan tentu Wan Keng In adalah putera Wan Sin Kiat. Apakah kini Wan
Sin Kiat juga ikut menjadi pimpinan di Pulau Neraka?
"Tocu,
marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari Thian-liong-pang
dan engkau Tocu dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara seperti dua orang
wanita. Engkau tadi bilang bahwa menghadapi urusan cinta tidak boleh
berpura-pura karena akan mengakibatkan kesengsaraan seperti yang kau alami.
Maukah engkau menceritakan kepadaku?"
Lulu
memandang sepasang mata di balik kerudung itu. "Andai kata engkau membuka
kerudungmu dan aku melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu aku lebih baik
mati dari pada menceritakan isi hatiku. Akan tetapi, berhadapan denganmu aku
seperti berhadapan dengan bukan manusia, dan engkau malah ibu dari gadis yang
dicinta puteraku! Hemm, kau dengarlah rahasia yang selama ini hanya kusimpan di
dalam hatiku saja. Aku membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan
akan membawa akibat mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan
juga mendatangkan kesengsaraan. Bukan hanya akibat yang menimpa diri sendiri
saja, akan tetapi juga menimpa kepada orang lain, kepada keturunan! Aku sendiri
mengalaminya. Aku mencinta seseorang, semenjak remaja puteri aku cinta
kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan tetapi kami berpura-pura, malu untuk mengaku,
sehingga aku dipaksa menikah dengan pria lain yang kusangka dapat kucinta
sebagai pengganti dia. Sampai aku mempunyai seorang putera. Akan tetapi sia-sia
belaka, aku tidak bisa memindahkan cinta kasih. Akhirnya aku meninggalkan
suamiku, sedangkan suamiku membunuh diri secara tidak langsung dan halus... dan
aku lalu membawa anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling membuat
hatiku menyesal, aku telah merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi seperti
itu...! Keng In... akulah yang membuat engkau rusak... kalau aku tidak menuruti
hati yang dirundung kerinduan, dimabuk cinta kasih, dan aku rela berkorban,
hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar
yang gagah perkasa dan terhormat...!"
Lulu menutup
muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya yang terpancar dari
kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak melihat betapa mata di
balik kerudung itu memancarkan pandang mata yang aneh sekali. Dia tidak tahu
betapa jantung Nirahai seperti diremas-remas mendengar penuturannya itu, biar
pun dia tidak menyebut nama karena Nirahai sudah dapat menduga siapakah pria
yang dicinta oleh Lulu itu! Suma Han. Tentu saja setelah melihat Lulu dapat
menguasai dirinya, Nirahai bertanya dengan suara biasa, namun dengan penekanan
hatinya yang berdebar tegar.
"Lalu
sekarang bagaimana dengan pria yang kau cinta itu?"
"Dia...
dia pun seperti aku, dia... dia menikah dengan wanita lain!"
"Hemm,
dan dia masih mencintaimu?"
"Tentu
saja, biar pun dia juga mengaku bahwa dia mencinta isterinya itu."
Jantung
Nirahai berdebar makin kencang. Jadi Suma Han telah bertemu dengan Lulu dan
mengaku bahwa suaminya itu mencintanya?
"Dan
engkau?"
"Aku?
Aku sekarang... benci kepadanya! Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua,
yaitu menjadi isterinya atau menjadi musuhnya sampai seorang di antara kami
mati!" Lulu menggenggam ujung meja saking gemasnya dan terdengar suara
keras. Ujung meja itu hancur dan hangus!
"Kresss!"
Terdengar suara keras lain dan ujung meja di depan Nirahai juga hancur menjadi
tepung diremas Ketua Thian-liong-pang ini.
Dua orang
itu saling pandang. Nirahai bangkit berdiri. "Tocu, sekali lagi terima
kasih atas pengobatanmu terhadap anak buahku. Dan sudah jelas bahwa pinangan
anakmu itu kami tolak. Kalau engkau hendak menggunakan kekerasan seperti yang
dikatakan anakmu, marilah aku siap melayanimu."
"Pangcu,
biar pun aku pernah menjadi ketua boneka dari Pulau Neraka, namun dalam urusan
cinta kasih, aku tidak mau bersikap keras. Bahkan aku akan menentang tindakan
anakku kalau dia berkeras."
"Sesukamulah.
Akan tetapi katakan kepadanya, kalau dalam sebulan dia tidak datang memenuhi
ancamannya hendak membasmi Thian-liong-pang, aku sendiri yang akan mencari dia
untuk memberi hajaran!"
"Hemm,
kalau sampai terjadi demikian, sebagai ibu kandungnya sudah pasti aku akan
membelanya!"
"Hemmm,
kita sama lihat saja nanti!"
"Pangcu,
kuharap saja tidak akan terjadi demikian karena engkau tentu akan mati di
tanganku!"
"Itu
pun sama kita buktikan saja nanti!"
"Selamat
tinggal!"
"Selamat
berpisah!"
Tubuh Lulu
berkelebat dan lenyap dari situ, menerobos jendela ruangan itu dan berloncatan
dengan cepat sekali meninggalkan markas Thian-liong-pang. Perpisahan yang aneh
antara dua orang wanita yang aneh! Nirahai duduk termenung. Terlalu banyak
peristiwa menimpanya pada hari itu. Pertemuan dengan suaminya. Disusul
munculnya Lulu dengan ceritanya yang hebat! Berita yang dibawa Milana tentang
niat jahat koksu untuk membunuhnya! Terlalu banyak peristiwa hebat yang
menghimpit perasaannya, membuat wanita berkerudung yang ditakuti lawan atau
kawan ini termenung sambil menunjang dagu dengan tangannya.
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita melihat dia,
pemuda yang berwatak lembut itu mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban
pertandingan besar di daerah tandus di puncak Ciung-lai-san di Se-cuan, di mana
diadakan pertemuan oleh Thian-liong-pang. Setelah selesai mengubur semua
jenazah yang terlantar itu, Bun Beng menunggang kudanya kembali dan menjalankan
kudanya perlahan menuju ke timur.
Dia telah
berhasil merampas kembali Hok-mo-kiam, bahkan berhasil membunuh dua orang di
antara musuh-musuhnya, yaitu Tan-siucai dan terutama sekali Thai Li Lama.
Tadinya dia tidak bermaksud membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap
Thai Li Lama karena dia tidak mempunyai dendam pribadi dengan Tan Ki. Ada pun
Thai Li Lama merupakan musuhnya karena Lama ini termasuk mereka yang sudah
membunuh gurunya, yaitu Kakek Siauw Lam Hwesio.
Akan tetapi
musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai dari
pada Thai Li Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang tentu lebih
lihai lagi, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang
lebih hebat. Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik Bun Beng kalau
teringat akan kakek ini, yang pernah ia saksikan ketika kakek itu mengadu ilmu
sihir dengan Pendekar Super Sakti. Baru bertemu dan melawan Thai Li Lama saja,
karena kurang hati-hati dia terluka.
Ia harus
giat melatih diri. Mematangkan ilmu-ilmunya, terutama yang dia latih di dalam
goa rahasia di bawah markas Thian-liong-pang di lembah Huang-ho itu, sebelum
dia menghadapi musuh-musuhnya yang sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super
Sakti untuk menyerahkan Hok-mo-kiam, karena pendekar itulah yang berhak atas
pedang buatan Kakek Nayakavhira ini. Di samping itu, dia harus mencari pemuda
Pulau Neraka yang telah merampas Lam-mo-kiam!
Bun Beng
melakukan perjalanan perlahan. Dia tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan
dia terus melatih ilmunya. Ketika ia menggunakan Hok-mo-kiam untuk melatih ilmu
Pedang Lo-thian Kiam-sut yang amat dahsyat itu, dia menjadi girang karena
mendapat kenyataan betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat pula beratnya sehingga
pedang dan tangannya seolah-olah telah melekat dan bersambung menjadi satu!
Barulah hatinya puas setelah dia berhasil memainkan seluruh jurus Lo-thian
Kiam-sut tanpa berhenti. Padahal ilmu pedang ciptaan manusia sakti Koai Lojin
itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga Ketua Thian-liong-pang sendiri pun tak
mampu memainkan seluruhnya.
Setelah
melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan
melepas binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, tibalah Bun Beng di
kaki pegunungan Lu-liang-san, di tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia
selatan. Kota raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia berjalan seenaknya,
tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir
dan menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan baju sebab tanah yang kering itu
menghamburkan debu tebal ketika barisan kuda itu berlari datang.
Pasukan atau
rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa
heran karena rombongan ini terdiri dari bermacam-macam bangsa yang dapat
dilihat dari bentuk pakaian mereka. Ada orang Mongol, ada pula orang Tibet dan
banyak di antara mereka adalah orang-orang Han. Akan tetapi melihat cara mereka
menunggang kuda dan duduk dengan tegak, melihat senjata-senjata pedang yang
tergantung di punggung, melihat gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa
rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Setelah
rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin,
Bun Beng baru menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan
perjalanan menuju ke barat, ke mana rombongan tadi membalapkan kuda. Di dalam
hati timbul kecurigaan dan keheranan. Dia merasa aneh dan tertarik sekali.
Orang-orang Mongol, Tibet, dan orang-orang Han bersatu dalam sebuah rombongan?
Aneh sekali! Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu menjadi
bangsa yang paling ‘tinggi’ karena bangsa inilah yang berkuasa? Ada terjadi
apakah?
Karena
hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu
lari cepat untuk mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan
mendapat keterangan bahwa baru saja rombongan itu lewat dan mereka tidak
berhenti di dusun itu. Bun Beng membeli makanan, kemudian malam itu juga
melanjutkan perjalanan karena merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam,
dan dari dusun itu ke timur merupakan hutan lebat, mengapa mereka tidak
berhenti di dalam dusun?
Ketika dia
melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun dan beristirahat
di tempat sunyi itu, membuat api unggun dan makan dari perbekalan mereka.
Kiranya mereka itu hendak menjauhkan diri dari tempat ramai, maka mereka
memilih tempat sunyi itu untuk melewatkan malam dari pada di sebuah dusun.
Bun Beng
terus membayangi rombongan ini dan dari percakapan-percakapan mereka, dia
mendengar bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip-hong yang berada di perbatasan
Mongolia, di sebuah utara kota raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan
Pangeran Jenghan dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki Ong dari istana, dia makin
tertarik, apa lagi ketika mendengar percakapan mereka itu membayangkan sebuah
persekutuan antara Tibet, Mongol, pejuang-pejuang Han, dan dari dalam istana
sendiri! Tentu merupakan persekutuan gelap, pikirnya.
Ketika
rombongan itu tiba dipersimpangan jalan, Bun Beng merasa ragu-ragu. Kalau ke
selatan, dia akan sampai di kota raja, tempat yang ditujunya semula. Akan
tetapi, rombongan itu besok pagi tentu akan membelok ke kiri, ke utara. Untuk
apa dia mengikuti mereka ini? Urusan persekutuan itu tidak menarik hatinya
karena dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan itu. Tetapi, malam itu ketika ia
mengambil keputusan untuk melakukan pengintaian yang terakhir kalinya, dia
mendengar percakapan yang benar-benar mengejutkan dan menarik perhatiannya.
Dari
percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh
Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, merencanakan untuk
membunuh kaisar dan untuk merampas kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu
merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang gagah yang dipusatkan di
dekat Cip-hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat ‘api abadi’, yaitu
daerah setengah tandus di mana terdapat api yang bernyala-nyala dari tanah dan
tak pernah padam selamanya. Tanah di situ sebetulnya mengandung sumber minyak
yang tergali, dan minyak dari tanah itulah yang membuat api tak pernah padam.
Karena Bun
Beng merasa benci kepada Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka biar pun dia
tidak berhasrat menyelamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus
membayangi rombongan itu sebab dia ingin menggagalkan persekutuan yang dipimpin
oleh Koksu musuh besarnya itu. Lebih-lebih ketika dia mendengar bahwa pasukan
orang-orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip-hong itu merupakan
pasukan khusus untuk menghadapi Thian-liong-pang!
Hemm, mereka
juga memusuhi Thian-liong-pang dan pasukan ini khusus dipersiapkan untuk
melawan orang-orang Thian-liong-pang! Tentu saja Bun Beng menjadi makin
tertarik untuk menentang pasukan itu. Ketua Thian-liong-pang adalah isteri
Pendekar Super Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela
Thian-liong-pang, atau setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati-matian
menyelamatkannya dari bahaya maut. Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan
budi kebaikan dara ini, selama hidupnya dia tidak akan dapat melupakan dara itu
bukan hanya cantik jelitanya, bukan hanya karena dia puteri Pendekar Super
Sakti yang dikaguminya, melainkan karena... dia tidak mungkin dapat melupakan
pribadi dara itu! Dia sendiri sampai menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok
asmara!
Selama
membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan
berkuda itu tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah tempat yang sunyi, merupakan
bangunan-bangunan darurat di luar kota yang jauh dari masyarakat ramai,
dikurung pagar yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar.
Bun Beng
menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah tinggal
puluhan orang sehingga dengan para pendatang itu jumlah mereka mendekati
seratus orang yang kesemuanya kelihatan berkepandaian tinggi! Setelah malam
tiba dan cuaca mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mendekati pagar, siap untuk
meloncat dan menyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba dia berjongkok dalam
gelap ketika melihat berkelebatnya bayangan meloncati pagar. Gerakan orang itu
cukup ringan dan lincah dan sekelebatan Bun Beng melihat bahwa orang itu adalah
seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung, berusia empat puluhan tahun dan
tangan kanannya memegang sebatang golok besar.
Bun Beng
tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu tentulah
bukan anggota rombongan yang tinggal di situ, karena gerakan dan sikapnya
seperti seorang pencuri. Diam-diam Bun Beng meloncat ke atas pagar dan cepat
melayang turun ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi orang bergolok itu.
Benar saja
dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perlahan-lahan membuka
genteng! Akan tetapi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas wuwungan
menimbulkan sedikit suara, tiba-tiba Bun Beng melihat bayangan-bayangan orang
meloncat naik ke atas genteng dengan berturut-turut. Jumlah mereka delapan
orang dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat bangun dan
mengamuk. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah. Biar pun gerakan golok
pencuri itu cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan belasan orang yang
rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup kuat akhirnya dia roboh, goloknya
terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian diringkus, diikat kaki dan tangannya
dan dibawa masuk ke dalam pondok.
Bun Beng
tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih perlu
melakukan penyelidikan keadaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup luas dan
sedikitnya ada dua puluh buah pondok darurat yang dibangun secara sederhana
akan tetapi cukup kuat. Di sudut terdapat sebuah bangunan besar dan agaknya malam
itu mereka berpesta, diseling suara ketawa-ketawa laki-laki dan perempuan.
Hemm, kiranya di tempat itu disediakan pula wanita-wanita untuk menghibur
pasukan khusus itu, pikir Bun Beng.
Dia memutari
bangunan-bangunan itu dan memeriksa ke pekarangan belakang. Di tempat inilah
tampak beberapa lidah api bernyala-nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari
situ ia melihat sebuah sumur. Ketika ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya
mencium bau keras, bau minyak! Hmm, bukan air yang berada di sumur itu agaknya,
melainkan minyak! Benar-benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat menjauhi
sumur karena menjenguk sebentar saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap
minyak itu beracun agaknya!
Tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tempat gelap dan
melihat empat orang menyeret pencuri tadi yang telah dibelenggu kaki tangannya.
Melihat keadaan pencuri itu tentu dia telah disiksa karena matanya
bengkak-bengkak dan dia tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali merintih
perlahan. Tampak empat orang diikuti oleh belasan orang yang tertawa-tawa geli,
seolah-olah mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang menarik hati.
Dengan hati
ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri sial
itu di atas sumur, kepala di bawah kakinya di atas, kemudian mengereknya turun
sehingga tampak hanya kakinya di atas permukaan bibir sumur, terikat pada tali
timba sumur. Kaki itu meronta-ronta, terlihat talinya bergoyang-goyang,
sedangkan belasan orang yang mengelilingi sumur itu tertawa bergelak-gelak,
kemudian mereka meninggalkan sumur itu sambil tertawa-tawa, kembali ke dalam
pondok, dan ada pula yang agaknya hendak menuju ke pondok di sudut di mana
terdengar suara wanita bernyanyi-nyanyi dan orang-orang tertawa-tawa.
Bun Beng
tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu,
sehingga tidak perlu dia meninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk
membela seorang pencuri yang tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah orang-orang
itu pergi Bun Beng cepat loncat mendekati sumur. Malam telah hampir lewat dan
sinar kemerahan telah muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat
keluar dari tempat itu, maka Bun Beng segera menyambar tali timba dan menarik
keluar pencuri sial itu.
Orang itu
napasnya sudah empas-empis. Bun Beng lalu mengangkatnya keluar dan
merebahkannya ke atas tanah, merenggut putus belenggu kaki tangannya. Orang itu
membuka matanya yang bengkak-bengkak, tadinya mengira bahwa dia akan disiksa
lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berjongkok di dekatnya dan
pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya, mulutnya bergerak-gerak lirih,
"Persekutuan...
hendak membunuh Kaisar... membunuh Pangcu..."
Bun Beng
mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang
mata-mata agaknya!
"Engkau
anggota perkumpulan apa?"
"Mereka...
menyiksaku... aku tidak pernah mengaku... Thian... Pangcu akan dibunuh...
auugghh..." Orang itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat
menduga bahwa orang ini tentulah seorang anggota Thian-liong-pang, seorang
mata-mata Thian-liong-pang yang dapat mencium rahasia persekutuan itu, akan
tetapi tertangkap dan terbunuh.
Karena tidak
dapat berbuat apa-apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun Beng
lalu meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan tetapi
dia terlambat karena pada saat itu terdengar suara orang dan tampak belasan
orang keluar dan menuju ke sumur itu sambil membawa ember-ember besar.
Bun Beng
tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengetahui apa yang
hendak dilakukan orang-orang itu dengan ember-ember mereka? Dia melihat ke
sekelilingnya dan melihat gentong-gentong besar berada tak jauh dari sumur.
Cepat ia lari menghampiri dan memasuki sebuah di antara gentong-gentong kosong
itu, bersembunyi di situ dan menggunakan jari tangannya menusuk gentong
sehingga berlubang dan ia mengintai dari lubang itu keluar!
"Haiii!
Kenapa dia bisa terlepas...?"
"Wah,
belenggunya putus semua..."
"Akan
tetapi dia sudah mampus!"
"Hemm,
orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia
orang terkenal dari Thian-liong-pang, sayang dia berani menyelidiki kita
sehingga mati konyol."
"Dia
tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan
belenggu kaki tangannya dan mampus."
Seorang di
antara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki-laki bertubuh
raksasa, bertelanjang dada dan kepalanya gundul namun mukanya penuh cambang
bauk. Di sebelahnya berjalan seorang tinggi kurus yang mukanya pucat kuning,
tetapi sikapnya menunjukkan bahwa dialah pemimpin di situ sedangkan raksasa itu
adalah pembantu utamanya.
"Kubur
dia di sudut kosong sana!" Terdengar laki-laki tua kurus itu berkata.
Dua orang
menggusur mayat itu, kemudian laki-laki muka pucat itu berkata lagi, "Hari
ini kita menimba sepuluh gentong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran
Jenghan yang harus dikirim besok. Kemudian semua harus bersiap, karena kita
hanya menanti datangnya berita dari Koksu saja untuk segera bergerak ke selatan
secara menggelap."
Setelah
kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja menimba minyak dari
dalam sumur dan mengisi gentong-gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun
Beng merasa lega karena dia berada di dalam gentong yang ke enam belas sehingga
tidak khawatir akan disiram minyak! Diam-diam dia memperhatikan orang-orang
yang menimba minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus meninggalkan
persekutuan ini atau setidaknya mengacaukan tempat itu? Untuk melawan orang
banyak itu, kurang lebih seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi
apa gunanya?
Orang-orang
itu kelihatan pandai, apa lagi Si Kurus muka pucat dan Si Raksasa itu, tentu
bukan orang-orang sembarangan. Kalau dia sekarang meloncat ke luar dan
melarikan diri, tentu dia bisa lolos dari tempat itu, akan tetapi dia ingin
sekali melihat kedatangan utusan Koksu dan mendengar perkembangan selanjutnya
dari rombongan orang-orang kuat yang sengaja dikumpulkan di tempat itu. Selain
menjadi tempat memusatkan calon pasukan istimewa untuk melawan
Thian-liong-pang, juga agaknya mereka itu sekalian berjaga, menjaga sumber
minyak!
Untung bahwa
Bun Beng tidak menunggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua tiga jam,
sepuluh buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian mereka
semua pergi untuk membereskan tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik kukacau
mereka sekarang, kemudian melihat perkembangan lebih jauh, pikir Bun Beng. Dia
belum begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi dia tahu
bahwa api bernyala kalau bertemu minyak.
Melihat di
sekitar sumur itu sudah sunyi, Bun Beng meloncat keluar dari gentong, mengambil
sebatang kayu kering mencelupkan kayu itu ke dalam gentong yang penuh minyak,
kemudian dengan pedang Hok-mo-kiam dia memukul batu di bibir sumur sehingga
berpijarlah bunga api yang menyambar kayu itu. Kayu itu bernyala keras seperti
yang diduga oleh Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu melemparkan kayu
bernyala itu ke dalam sumur!
"Heiii!
Tangkap pengacau!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan seorang
berpakaian Han menyerang Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang
itu cukup tangkas karena dia meloncat dari jarak empat meter, sambil meloncat
pedangnya menusuk ke arah punggung Bun Beng dengan kecepatan kilat dan dengan
tenaga besar.
Pada saat
itu Bun Beng sedang berdiri tegak, pedang Hok-mo-kiam masih terhunus dan berada
di tangan kanan. Agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia sedang
memandang ke arah sumur dengan terbelalak menyaksikan betapa ada suara gemuruh
keluar dari sumur itu disusul lidah-lidah api dan asap hitam yang mengantar bau
yang menyesakkan napas. Namun, begitu ujung pedang lawan hampir menyentuh
punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang dan tubuh lawan lewat
dan tiba-tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya. Terdengar teriakan
mengerikan ketika tubuh laki-laki yang terlanjur meloncat dan kini ditambah
dorongan Bun Beng itu meluncur masuk ke dalam sumur yang bernyala-nyala!
Bun Beng
yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang terbelalak! Tak
disangkanya sama sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadinya hal mengerikan
itu! Dia tidak bermaksud untuk melempar penyerangnya itu ke dalam sumur untuk
dibakar hidup-hidup!
Teriakan
yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan tampaklah
berbondong-bondong penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng tidak mau
melarikan diri seperti pencuri karena biar pun dia dikepung, kalau hendak
meloloskan diri pun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia menyimpan
kembali pedangnya dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu.
Melihat
sikap Bun Beng, orang-orang itu menjadi ragu-ragu untuk menyerang. Apa lagi
karena mereka tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti
sampai orang kurus bermuka pucat itu muncul bersama pembantu utamanya, Si
Gundul. Orang kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi suaranya menunjukkan
bahwa dia berasal dari utara.
"Siapakah
engkau?" Orang itu bertanya sambil memandang Bun Beng dengan penuh
perhatian.
"Namaku
Gak Bun Beng," jawab Bun Beng sederhana.
"Mau
apa engkau datang ke sini? Apakah engkau juga seorang mata-mata
Thian-liong-pang?"
Bun Beng
menggeleng kepalanya. "Aku tidak disuruh oleh siapa pun juga, juga tidak
mewakili siapa-siapa. Aku kebetulan lewat dan ingin tahu apa yang berada di
dalam tempat yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi orang-orang yang mengadakan
persekutuan!"
Semua orang
memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si Tua kurus
itu mengangkat tangan menyuruh anak buahnya diam. "Kulihat engkau masih
amat muda akan tetapi sikapmu tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya
engkau memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali di sini kurang hiburan bagi
anak buahku. Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau diberi
hiburan pertandingan silat yang sungguh-sungguh tentu akan menimbulkan
kegembiraan."
"Bagus!
Bagus...! Serahkan dia kepadaku, biar kupatahkan batang lehernya!"
"Tidak,
kepadaku saja! Aku ingin merobek mulut yang sombong itu!"
"Biarkan
aku menghancurkan kepalanya!"
Si Kurus
pucat itu kembali mengangkat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu berkata
gagah. "Kita adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw, mengapa bersikap
seganas itu? Tidak, pertandingan ini akan diadakan satu lawan satu dengan adil.
Akan tetapi aku ingin sekali tahu, siapakah yang tadi mengeluarkan suara
menjerit?"
Tidak ada
seorang pun yang tahu. "Kami sendiri pun tidak tahu. Suara itu terdengar
dari sini, akan tetapi ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang
diri. Jangan-jangan setan dari mata-mata itu yang..."
"Hemmm,
tak patut orang gagah percaya akan tahyul!" Si Kurus membentak.
"Tentu ada yang berteriak tadi, terdengarnya seperti teriakan ketakutan.
Eh, orang muda she Gak, apakah engkau tahu siapa yang berteriak tadi?"
Bun Beng
mengangguk. "Aku tahu, sebab yang menjerit tadi adalah seorang anak buahmu
yang menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini."
Jawaban ini
kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah membakar
sumur, masih mengaku seenaknya dengan begitu tenang!
"Di
mana dia sekarang?" Si Kurus bertanya lagi.
"Di
dalam sana...!" Bun Beng menuding ke arah sumur yang masih bernyala itu.
Kembali
suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat
tangannya.
"Apakah
engkau yang melemparnya ke dalam sumur?" tanyanya kepada Bun Beng.
Suaranya sudah kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.
"Sama
sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk
membunuhku sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam
sumur."
Semua orang
terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan mereka yang terbakar hidup-hidup.
Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang.
"Gak
Bun Beng, kesalahanmu bertumpuk-tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat
terlarang ini tanpa ijin, seperti maling. Kedua engkau berani membakar sumur
yang kami jaga ini. Ketiga engkau telah membunuh seorang di antara anak buahku.
Menurut patut, engkau harus dibunuh sekarang juga. Tetapi melihat engkau masih
begini muda dan mengingat bahwa kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau
membunuh begitu saja..."
"Kecuali
ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata-mata Thian-liong-pang itu,
ya?" Bun Beng memotong.
"Hemmm,
itu lain lagi. Dia adalah anggota Thian-liong-pang, musuh kami. Sedangkan
engkau hanya seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Kau boleh
membela nyawamu dalam pertandingan satu lawan satu, tanpa ada
pengeroyokan."
"Hemmm,
kalau aku menang aku boleh pergi dengan bebas?"
"Kalau
sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!" kata Si Kurus dan
terdengarlah suara orang-orang tertawa bergelak. Mereka itu tentu saja memandang
rendah kepada Bun Beng. Sebagian di antara mereka adalah orang-orang kang-ouw
dan liok-lim, dan mereka belum pernah bertemu atau mendengar nama Gak Bun Beng
di dunia persilatan.
"Siapa
di antara kalian yang berani melawan bocah ini?" Pemimpin kurus itu
berseru.
Pertanyaan
itu disambut suara sorak-sorai karena hampir semua orang yang berada di situ
mengangkat tangan dan mereka seolah-olah hendak berebut menandingi pemuda itu,
bukan hanya untuk membalaskan kematian teman mereka, juga ini merupakan kesempatan
bagi mereka untuk memamerkan kepandaian!
"Locianpwe,
mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah-susah? Agar urusan cepat selesai,
suruh pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang,
berarti mereka yang berteriak-teriak itu tentu takkan ada yang berani maju
lagi, kalau aku kalah, yah, terserah!"
Si Muka
pucat ini agaknya senang sekali disebut ‘locianpwe’ oleh Bun Beng, maka kembali
dia mengangkat tangan menyuruh orang-orangnya diam, kemudian berkata,
"Ucapan bocah ini benar juga, cukup masuk akal dan bisa diterima. Tetapi
sungguh membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol kalau dia harus maju
sendiri melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah
seorang ahli silat dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang
kedua sesudah aku di tempat ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta,
dan memang ada benarnya juga agar tidak membuang waktu, biarlah aku menyuruh
orang ketiga maju melayanimu beberapa jurus. Agar kau ketahui sebelumnya bahwa
pertandingan ini merupakan pibu (adu kepandaian) sehingga terluka atau mati
bukan merupakan persoalan yang harus disesalkan."
"Aku
mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ketiga di tempat seperti ini
cukup terhormat!"
"Ha-ha-ha,
bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bukan anak
buahku. He, Thai-lek-gu (Kerbau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka
mewakili aku melayani Gak Bun Beng ini!" kata Si Kepala asrama yang kurus
itu.
Dari dalam
rombongan orang-orang itu muncullah seorang laki-laki yang membuat Bun Beng
hampir tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pendek sekali, akan
tetapi amat besar dan gendut sehingga seperti bola yang besar. Perutnya besar
bulat sehingga bajunya di bagian perut tidak dapat menutupinya dengan baik dan
tampaklah kulit perut putih halus membayang di antara kancing baju yang
terlepas. Kepalanya juga bulat dengan sepasang mata kecil sipit. Kakinya pendek
buntek, besar seperti kaki gajah, demikian kedua lengannya besar akan tetapi
panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia membungkuk sedikit saja,
kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua lengan itu mirip
sepasang kaki depan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau
Bertenaga Raksasa, karena memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang
bergantung ke bawah itu.
Thai-lek-gu
langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbuka dan terdengar
suaranya yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat itu.
"Orang
muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah
tidak lebih baik engkau cabut pedangmu itu dan memenggal lehermu sendiri supaya
lebih cepat mati dan tidak tersiksa lagi?" Ucapan ini disambut suara
tertawa di sana-sini karena semua orang mengerti bahwa ucapan itu merupakan
ejekan.
Bun Beng
tersenyum. "Aku heran sekali mengapa engkau dijuluki Thai-lek-gu, kalau
melihat matamu yang kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki
Thai-lek-ti (Babi Tenaga Raksasa), sungguh pun aku masih menyangsikan sekali
akan tenagamu."
Kembali
terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai-lek-gu yang menjadi bahan tertawa
sehingga dia marah sekali. "Bocah bermulut lancang! Kematian sudah di
depan hidung engkau masih berani kurang ajar terhadap aku?"
"Memang
kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung
siapa!" Bun Beng menggerak-gerakkan cuping hidungnya, "Menurut
hidungku, aku tidak mencium kematianku, akan tetapi ada bau-bau tidak enak
datang dari tempat kau berdiri!"
Kembali
orang-orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka
mengejek dan mempermainkan teman-temannya yang tidak berani melawan, maka kini
mendengar dia diolok-olok oleh pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan
tertawa geli, biar pun mereka semua maklum bahwa tentu pemuda itu akan tewas
oleh Si Gendut yang lihai. Karena melihat pemuda itu menggerak-gerakkan cuping
hidungnya, Thai-lek-gu otomatis juga mencium-cium, akan tetapi karena hidungnya
pesek hampir tidak ada ujungnya, maka tentu saja tidak dapat digerak-gerakkan,
hanya lubangnya saja yang menjadi makin lebar.
Saking
marahnya, dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya mengeluarkan suara
menggereng kemudian secara tiba-tiba dia menyerang Bun Beng. Biar pun tubuhnya
gendut sekali akan tetapi ternyata gerakannya cepat ketika dia menubruk dengan kedua
lengan yang panjang itu terpentang, kemudian menyergap dari kanan kiri hendak
merangkul tubuh Bun Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk-tekuk dan
dipatah-patahkan semua tulangnya!
"Bresss!"
Tiba-tiba Thai-lek-gu menjadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak
mungkin dapat dielakkan lagi, kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak
lawan, akan tetapi begitu kedua tangannya meringkus, yang diringkusnya hanya
angin saja dan tubuh pemuda itu sudah lenyap! Cepat dia membalikkan tubuhnya dan
ternyata pemuda itu sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan
tersenyum-senyum.
Terkejutlah
Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksikan betapa dengan
amat sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai-lek-gu
dan meloncat ke atas melewati kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung
walet saja di belakang Thai-lek-gu.
Juga
Thai-lek-gu yang bukan merupakan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat
menduga bahwa pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbukti dari
ginkang-nya yang istimewa, bersikap hati-hati dan tidak lagi berani memandang
rendah bahkan dia menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar dapat menghadapi
lawan dengan tenang.
Setelah
memasang kuda-kuda, mulailah Thai-lek-gu membuka serangannya. Tubuhnya seperti
menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup
oleh perutnya, dan tahu-tahu kedua lengannya sudah menyambar ke depan
bergantian, melakukan pukulan-pukulan yang amat keras sehingga terdengar
anginnya mengiuk berulang-ulang.
Bun Beng
menurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak cepat
sampai tidak tampak, tahu-tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah lengan
lawan, yang kanan mengetuk pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri
mengetuk tulang dekat siku.
"Plak!
Tukkk!"
"Wadouuhhh...!"
Thai-lek-gu berteriak keras sekali.
Ia cepat
meloncat mundur, mulutnya yang amat kecil dibandingkan dengan kepala dan
perutnya itu menyeringai kesakitan, kedua tangannya sibuk sekali bergerak
bergantian, yang kiri mengusap siku kanan, yang kanan menggosok pergelangan
tangan kiri. Kulit lengan di kedua tempat itu membiru dan tampak benjolan
sebesar telur ayam!
Dengan
kemarahan yang meluap-luap, Thai-lek-gu menyambar sepasang golok yang dibawakan
oleh seorang temannya. Sepasang golok ini pantasnya untuk menyembelih babi, dan
memang Thai-lek-gu ini dahulunya adalah seorang jagal babi!
Betapa pun
marahnya, Thai-lek-gu ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang tahu akan
kegagahan, maka sambil menahan marah, menggerak-gerakkan sepasang goloknya di
depan dada kemudian berhenti depan dada dalam keadaan bersilang dia berseru,
“Ayo keluarkan senjatamu!"
Bun Beng
tersenyum. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan pribadi dengan
orang-orang ini dan biar pun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak,
namun dia tidak pula berpihak kepada Kaisar Mancu. Andai kata mereka ini bukan
kaki tangan Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya dia pun tidak mau
mengganggu mereka. Apa lagi melihat sikap Thai-lek-gu yang masih menghargai
kegagahan dalam pertandingan ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan
yang bertangan kosong, dia mengambil keputusan untuk bersikap lunak terhadap
mereka.
"Thai-lek-gu,
tidak perlu aku mempergunakan senjataku sendiri karena engkau sudah begitu baik
hati untuk menyediakannya untukku. Nah, seranglah!"
Thai-lek-gu
memandang heran dan ragu-ragu. "Orang muda yang sombong, jangan kau
main-main. Sekali sepasang golokku ini keluar, tak akan masuk sarungnya kembali
sebelum minum darah lawan. Keluarkan senjatamu!"
"Baiklah,
akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kau pinjamkan kepadaku
itulah!" Tiba-tiba Bun Beng nenubruk ke depan dan mengirim serangan kilat,
menusukkan jari tangan kirinya ke arah mata lawan.
Thai-lek-gu
marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok kanannya berkelebat
membacok ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu
tiba-tiba merendahkan diri, gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat
di atas kepalanya dan tiba-tiba Thai-lek-gu mengeluarkan seruan tertahan dan
memandang dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah tersenyum-senyum
memandangnya dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas
secara cepat dan aneh oleh pemuda itu!
"Nah,
sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi
pinjam golok ini kepadaku, Thai-lek-gu."
Thai-lek-gu
marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam segebrakan saja
telah berhasil merampas sebatang di antara sepasang goloknya. Hal ini saja
membuktikan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Akan
tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia mengeluarkan bentakan
nyaring dan menerjang ke depan dengan nekat.
"Trang-trang-trang...!"
Tiga kali Si
Pendek gendut itu menyerang dan tiga kali Bun Beng menangkis tanpa menggeser
kaki dari tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi kemana pun golok lawan
menyambar, selalu dapat ditangkisnya dan setiap tangkisan membuat Thai-lek-gu
terpental ke belakang. Hal ini mengejutkan semua orang. Thai-lek-gu terkenal
memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut-turut
dapat ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai-lek-gu terpental!
Tentu saja
Thai-lek-gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke depan,
menyerbu dengan golok diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, kemudian golok itu
menyambar ke arah leher Bun Beng, dibarengi cengkeraman tangan kiri Thai-lek-gu
ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali dan merupakan serangan
mati-matian untuk mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak menjadi gentar. Dia
sengaja mengerahkan tenaganya, menggerakkan golok menangkis golok lawan,
sedangkan tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan lawannya dia menotok
pergelangan tangan.
"Krekk...
dessss!"
Golok di
tangan Thai-lek-gu patah-patah. Dia menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar ke
belakang dan lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapa pun diusahakannya untuk
mengatur keseimbangan tubuhnya, tetap saja dia terbanting roboh dan karena
lengan kirinya lumpuh, terpaksa dengan susah payah dia merangkak bangun.
"Maafkan
aku dan ini kukembalikan golokmu. Terima kasih!" Bun Beng melempar golok
pinjaman itu yang meluncur ke depan.
Semua orang
terkejut, mengira bahwa pemuda itu melontarkan golok untuk membunuh
Thai-lek-gu, akan tetapi golok itu berputaran kemudian meluncur turun menancap
di atas tanah di depan pemiliknya.
Tiba-tiba
terdengar suara menggereng seperti seekor beruang marah dan tanah seperti
tergetar ketika seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan
matanya yang lebar dia memandang Bun Beng, mulut yang tertutup cambang bauk
melintang galak itu bergerak-gerak dan terdengar suaranya yang kaku dan parau,
"Aku
Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan
seperti engkau. Orang muda, majulah kau, mari mulai!" Baru saja
menghentikan kata-katanya, raksasa itu sudah menubruk ke depan, kedua lengannya
yang panjang itu menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng.
Pemuda ini
mengerti bahwa lawannya memiliki tenaga yang sangat hebat, hal ini diketahuinya
dari angin sambaran kedua lengan itu. Akan tetapi karena dia memang ingin
sekali mencoba sampai di mana kehebatan lawan yang menurut Si Muka Pucat tadi
adalah jago nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli gulat, maka dia sengaja
bergerak lambat dan membiarkan pinggangnya ditangkap. Namun alangkah kagetnya
ketika tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat tubuhnya
sama sekali tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang mengangkat tubuhnya ke atas,
memutar-mutar tubuhnya sambil tertawa-tawa!
"Kiranya
tenagamu tidak seberapa hebat, orang muda. Nah, sekarang pergilah kau!"
Sambil berkata demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada
kedua lengannya dan melemparkan tubuh Bun Beng ke depan.
Tanpa dapat
dilawan pemuda ini, tenaga dahsyat mendorongnya dan membuat tubuhnya meluncur
jauh ke depan, seolah-olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang dengan
cepatnya. Namun Bun Beng dapat menguasai dirinya. Dengan ilmu ginkang-nya dia
berjungkir-balik di tengah udara dan tubuhnya kini membalik dengan tenaga
lontaran masih mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah
lawannya! Tentu saja Gozan menjadi terkejut dan terheran melihat pemuda
lawannya itu tahu-tahu telah berkelebat datang dan berdiri di depannya kembali
sambil bibirnya tersenyum-senyum mengejek!
"Engkau
masih belum pergi juga? Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!" Gozan
membentak dan kini dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan
tangannya, seperti otomatis, bergantian dan bertubi-tubi menghujankan pukulan
dan tendangan ke arah tubuh Bun Beng.
Walau pun
gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak yang
teratur, dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa
tenaga Si Raksasa itu amat besar dan bahwa terkena sekali saja oleh pukulan
atau tendangan itu, amatlah berbahaya. Maka dia mengandalkan keringanan tubuh
dan kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan kiri dan ke belakang
sampai puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi
lelah dan napasnya terengah-engah. Tiba-tiba raksasa itu menghentikan
serangannya dan memandang dengan mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan
marah dan dia berkata,
"Orang
muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu
menjauhkan diri? Kalau tidak berani bertanding, kau berlututlah dan mengaku
kalah, kalau memang berani balaslah seranganku!"
"Begitulah
kehendakmu? Nah, sambutlah ini!" Bun Beng tersenyum dan memukul ke arah
dada raksasa itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat
itu.
Akan tetapi,
secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara yang tak terduga-duga.
Gerakan kedua tangan raksasa itu seperti gerakan dua ekor ular yang menyambar
dari kanan kiri dan tahu-tahu lengan kanan Bun Beng telah ditangkapnya!
Kiranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan, raksasa itu sama sekali tidak
berdaya mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak menggunakan ilmu
gulatnya! Sebelum Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali tubuhnya sudah
terangkat ke atas, di atas kepala lawannya, kemudian dia dibanting ke bawah
dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi lemparannya tidak berhasil, kini Gozan
mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh lawan, melainkan membantingnya ke
atas tanah.
"Wuuuttt...
brukkk... ngekkk!"
Semua orang
terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si Kurus Pucat yang menjadi
pemimpin ketika menyaksikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia
memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa tinggi besar tadi kini terkapar di depan
kaki Bun Beng dalam keadaan pingsan! Jelas semua orang melihat tadi betapa
tubuh pemuda itu telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba-tiba
keadaannya terbalik, bukan tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si
Raksasa itu sendiri?
Kiranya Bun
Beng sudah bergerak cepat sekali. Ketika tubuhnya dibanting dan lengan kanannya
dicengkeram, dia menggunakan tangan kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika
tubuh raksasa itu menjadi lemas. Dengan gerakan indah sekali, namun cepat
sehingga sukar diikuti pandangan mata, Bun Beng yang masih terdorong oleh
tenaga bantingan membalikkan tubuh sehingga kakinya yang lebih dulu tiba di
atas tanah, sedangkan dia menggerakkan kedua tangan yang kini memegang pangkal
lengan raksasa itu, menggunakan sisa tenaga bantingan lawan untuk mengangkat
tubuh lawan dan membantingnya, ditambah dengan tenaga sinkang-nya sendiri.
Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak mampu mempertahankan diri dan berat
tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat akibatnya sehingga dia pingsan
seketika!
"Wirr...
siuuuuttt...!"
Bun Beng
cepat merendahkan tubuh, kaget sekali melihat senjata yang menyambar. Kiranya
Si Muka Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan senjata di tangan orang
ini benar-benar amat luar biasa. Pimpinan orang-orang gagah itu memegang gagang
pancing, lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi yang mengenal Liong Khek,
Si Kurus muka pucat ini tentu tidak akan heran karena dia memang berasal dari
keluarga nelayan. Mungkin mengingat akan asal-usulnya ini, ditambah lagi bahwa
senjata istimewa ini amat hebat dan jarang dikenal lawan, maka dia memilihnya
sebagai senjatanya.
"Orang
muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari
tempat ini dalam keadaan bernyawa!" Liong Khek berseru dan menerjang maju
dengan senjatanya yang aneh.
Bun Beng
merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia melihat
seorang ahli silat bersenjata pancing, bahkan mendengar pun belum pernah. Oleh
karena itu, dia menyabarkan diri dan ingin sekali melihat bagaimana lawannya
mempergunakan senjata istimewa itu.
"Singgg...
siuuuttt...!"
Kembali
sinar kecil itu menyambar. Bun Beng cepat mengelak dan mengulur tangan berusaha
menangkap tali pancing itu. Tetapi dengan gerakan pergelangan tangannya, Liong
Khek Si Kurus itu telah menarik kembali tali pancingnya, kemudian meloncat maju
dan sekarang menggunakan gagang pancingnya sebagai senjata tongkat untuk
menusuk lambung Bun Beng.
Pemuda ini
mengelak sambil menangkis dengan lengannya, dengan hati-hati dan penuh
perhatian menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar-benar
hebat dan berbahaya sekali. Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata
kail yang terbuat dari baja dan amat runcing melengkung itu kadang-kadang
menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali dapat
ditarik kembali kalau talinya digerakkan atau disendal. Bahkan ada kalanya,
gagang pancing menyerang dibarengi sambaran mata kail dari lain jurusan!
Benar-benar senjata yang tak tersangka-sangka ini merupakan senjata yang amat
berbahaya kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya.
Pada saat
itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang berpakaian tentara
memasuki markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat Liong Khek
bertanding melawan seorang pemuda, komandan pasukan bertanya-tanya. Ketika
mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang mata-mata, komandan pasukan
berkata marah.
"Kalau
dia mata-mata, mengapa tidak dibunuh saja? Hayo serbu!"
Selosin
orang tentara itu sudah meloncat turun dari atas kuda, dan kini bersama
orang-orang gagah yang berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok
Bun Beng.
Pemuda ini
tertawa melengking, mengerahkan khikang sehingga para pengeroyok itu terbelalak
kaget, kaki mereka menggigil dan sejenak mereka tidak dapat bergerak. Juga
Liong Khek terkejut sekali ketika suara lengkingan dahsyat itu membuat tubuhnya
tergetar. Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya tahu-tahu sebuah
tendangan mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan senjata pancingnya
telah dirampas pemuda yang luar biasa itu! Ketika terbanting jatuh, maklumlah
Liong Khek ternyata bahwa pemuda itu tadi hanya main-main saja dan bahwa
sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!
Bun Beng
mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan pakaian
dan topinya yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu
gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk caping petani yang lebar itu, menalikan
tali caping di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di depan dada
sehingga buntalan itu tergantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini
dikerjakan selagi tubuhnya di atas pagar.
Para
pengeroyoknya sudah lari mengejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang
naik ke atas pagar sambil menyerangnya.
"Wuuuttt...
wirrrrrr...!" Dua orang menjerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing
di tangan Bun Beng bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang
itu!
Timbul
kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia tadinya hendak
melompat ke luar dari tempat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran
senjata pancing itu, dia ingin mencoba lagi dan kini dia malah melompat turun
ke sebelah dalam markas! Tentu saja dia disambut pengeroyokan puluhan orang
itu, termasuk pasukan tentara yang baru tiba.
"Heii,
apakah kalian ini anjing-anjing Koksu?" Bun Beng berteriak sambil melompat
ke kiri dan menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya.
Kembali dua
orang yang menyerbunya roboh terpelanting!
"Kami
adalah pengawal-pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!"
bentak Si Komandan pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang-ouw, tentu
pemuda itu akan gentar dan tunduk kalau mendengar nama Koksu.
Akan tetapi
pemuda itu malah tertawa bergelak. "Kalau kalian anjing-anjing pengawal
dari Koksu, aku belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!"
Kini Bun
Beng mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepada pasukan itu. Mendengar
bahwa pasukan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa tidak
senangnya. Empat orang anggota pasukan segera roboh pingsan terkena tamparan
tangannya, sedangkan dua orang lagi masih mengaduh-aduh karena muka mereka
robek terkait mata kail yang runcing. Namun, orang-orang gagah yang dipimpin
oleh Liong Khek merasa marah dan merasa terhina bahwa di depan utusan-utusan
Koksu, mereka tidak mampu menangkap seorang pengacau yang masih muda. Mereka
berteriak-teriak dan mengepung Bun Beng.
Pemuda ini
menjadi kewalahan juga menghadapi demikian banyaknya pengeroyok. Dia tertawa
dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas atap kandang kuda,
senjata pancingnya terayun-ayun di tangan kiri. Dia melihat-lihat ke bawah,
hendak memilih kuda yang terbaik yang terkumpul di situ.
Perwira yang
memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu. "Kepung, jangan
biarkan dia lolos dengan mencuri kuda!" teriaknya sambil berlari cepat
diikuti sisa anak buahnya ke bawah atap di mana Bun Beng berdiri. Komandan itu
menggerakkan senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.
"Crappp!"
Tombak bercabang itu menembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun Beng
mengelak, bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.
"Auuwww...
aduuuhhh...!"
Mata kail
yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait pinggul seorang anak buah
pasukan, sekali tangan kiri Bun Beng bergerak, tubuh orang yang terpancing itu
terangkat naik ke atap. Pada saat itu, komandan pasukan dan seorang anak
buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan tombak mereka dari bawah mengarah
tubuh Bun Beng.
"Crepp!
Creppp!"
Dua batang
tombak panjang itu menembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan mudah
sekali Bun Beng meloncat menghindar kemudian turun dengan kedua kaki, menginjak
ujung dua batang tombak yang menembus atap itu! Gagang pancingnya dia gerakkan
berputar sehingga tubuh tentara itu pun terbawa berputaran, kemudian sambil
tertawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan. Karena
lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak sehingga
dia tertimpa tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling-guling.
Sebelum
komandan itu sempat bangun dan dalam keadaan masih nanar karena kepalanya
terbentur keras, tiba-tiba dia merasa pundaknya dicengkeram dan tahu-tahu
pemuda yang dikeroyoknya tadi telah berada di dekatnya, tangan kiri
mencengkeram pundak dan tangan kanan menodongnya dengan sebatang tombak, yaitu
tombaknya sendiri!
"Mundur
kalian semua, kalau tidak, kubunuh perwira ini!" Bun Beng membentak sambil
menempelkan ujung tombak yang runcing itu ke perut Si Komandan yang menjadi
ketakutan, bermuka pucat dan menggigil...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment