Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 17
Ia maklum
bahwa orang-orang ini adalah musuh-musuh yang tak akan membiarkan ia hidup,
maka hanya ada satu jalan baginya, yaitu melawan mati-matian dengan dua
kemungkinan, tewas di tangan mereka atau berhasil lolos untuk menyelamatkan
ibunya yang terancam bahaya maut.
"Wuuut-wuuuttttt...!"
Milana
terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali
untuk meloloskan diri dari sinar merah yang menyambarnya dari samping dan
menyilaukan matanya.
"Tarr-tarrr!"
Kiranya yang
menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit berwarna merah yang
berada di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum mengejek di depannya.
"Pemberontak
hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah. "Selain
hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku!
Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di
tanganku!" Sambil berkata demikian Milana sudah menerjang maju dengan
cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu yang
memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut
merahnya.
"Singggg...!
Tarrr... brettt!"
"Hayaaaa...!"
Bhong Ji Kun berseru kaget.
Karena
memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis secara sembarangan
saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus. Itulah jurus dari Ilmu Pedang
Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek luar dari Pendekar Sakti Suling Emas!
Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena dimainkan
oleh seorang dara remaja!
Suara
bercuit yang datang dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil
membabatkan pedangnya menangkis.
"Tranggg!"
Sekali lagi
pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja terlepas
dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke arah kiri, pedangnya bergerak dan
terdengar suara nyaring dua kali ketika ia berhasil membuat dua batang golok
patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi
belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!
"Ihhh,
keparat!" Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok
dari belakang, mengarah punggung Milana.
Dara itu
meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok
Lama yang telah berjongkok dan mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri.
Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke depan, menyambut tubuh Milana yang
masih melayang turun.
"Siuuuuutttt!"
Milana yang
merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan main. Dia
berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan terpaksa dia
mengerahkan sinkang ke arah dada dan perutnya untuk menahan serangan itu.
"Dessss!"
Angin
pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir
terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan
lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun. Napasnya sesak, mukanya pucat dan
dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di tangan Maharya
kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya
tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana. Tentu saja Milana yang
tentu tidak memperbolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan
pedangnya menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.
"Gadis
berkepala batu!" Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa
mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis
remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan
kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah
di tengkuk Milana.
"Haiiiitttt!"
Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut
Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan
pedang menyambar dibiarkannya lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu
menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan
tetapi tidak berhasil.
"Brettt...
auhhhhhh!" Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha
kirinya tampak luka dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek
diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang sedikitnya mewarisi watak
keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jeri, bahkan tangannya
kanan kiri bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau
harum ke arah tiga orang kakek dan empat orang panglima.
"Awas
jarum!" teriak Maharya.
Untung dia berseru
keras, sehingga empat orang panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu
jauh lebih rendah tingkat kepandaiannya dapat cepat melempar tubuh ke belakang
dan bergulingan. Koksu, Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah
dapat meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar mereka.
Thian Tok
Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh
perlahan dan roboh miring. Pahanya yang kiri terluka berdarah dan perut serta
dadanya juga terluka, biar pun tidak amat parah namun membuat napasnya sesak
dan tenaga sinkang-nya tak dapat ia kerahkan.
"Iblis-iblis
tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!" Tiba-tiba
terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu
melalui jendela yang tadi pecah oleh Maharya.
Sukar
diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah
berdiri di situ, berkata halus kepada Milana. "Bangkitlah dan duduk di
punggungku!"
Milana
girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun,
menahan rasa nyeri di paha, perut dan dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung
Suma Han, mengaitkan kedua kakinya yang panjang di pinggang ayahnya dan
merangkulkan kedua lengannya di atas kedua pundak. Semua gerakan ini dilakukan
selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki, sedikit pun tidak bergoyang dan
pandang matanya ditujukan kepada Maharya.
"Hemmm,
kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!"
katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Tetapi hanya
kemajuan lahiriah dan duniawi yang kau peroleh, sedangkan batinmu makin mundur
dan makin mendekati jurang kehancuran!"
"Pendekar
Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kau kira
aku takut kepadamu?" jawab Maharya.
Koksu yang
melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan tiga
kali untuk memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah suara
hiruk pikuk di luar ruangan itu dan puluhan orang pengawal telah mengurung
tempat itu dengan ketat, siap utuk melakukan penyerbuan dan pengeroyokan!
"Hemmm,
sungguh Koksu negara sekarang ini sangat gagah perkasa!" Suma Han
mengejek.
Im-kan
Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang. "Pendekar Siluman, engkau datang
seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau
adalah Tocu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau lancang mencampuri urusan
kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"
"Bhong-koksu,
aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada
sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk
bicara dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya
tetap tenang, sedikit pun tidak kelihatan gentar biar pun menghadapi
pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh,
Pendekar Siluman! Mau apa kau mencariku?!" Maharya membentak, agaknya
marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama
dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar
Siluman ini.
"Maharya,
perlukah kau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri
pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"
Dapat
dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini
percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung
itu tentulah tidak akan mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa
pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau
tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi
memberi tahu kehilangan pedang itu.
"Aku
akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula
Suma Han.
Bhong Ji Kun
tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali
mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang
yang berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara
sombong hendak menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm,
setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa
pula keperluanmu mencari aku?"
"Bhong-koksu,
engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya, tetapi
akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu
Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku kini datang untuk minta pertanggungan jawabmu,
dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari
tanganku!"
"Ha-ha-ha,
benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah
seorang manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang
koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah!
Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun
takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang
pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andai kata engkau mampu lolos dari gedung
ini, engkau pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara
penjaga."
"Kalian
memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan
pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak
akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah
memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan
orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan
Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan,
atau kita putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"
"Ha-ha-ha-ha,
kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan.
Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil
menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke
arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di
luar pintu dan jendela ruangan itu.
"Alan,
pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han
berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya.
Dia bukanlah
seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya
terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin ia dapat menandingi ratusan,
bahkan ribuan orang prajurit pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di
antara para prajurit itu, maka dia mengambil keputusan untuk melarikan diri
lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat
berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga
tertutup dan terjaga kuat.
"Jangan
harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar
menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan
senjata di tangan.
Mereka
serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung yang menggendong
gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma Han, dan biar pun
mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam dongeng
saja, sekarang melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung
sebelah itu, mereka jadi memandang rendah. Apa lagi pria yang tidak kelihatan
menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong
seorang gadis yang terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka
tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!"
Tiba-tiba
tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak senjata
para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang melintang dan
mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena mereka sudah
pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam orang
penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal
sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Tolol!
Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu
berseru memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah
membantu kami menangkap pemberontak!"
Anak buah
pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hanya karena seruan
Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman
mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman
mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria
kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti
sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak
lagi, agaknya tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka
berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang membuat mereka pingsan
saja.
Sebelas orang
panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka
menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang
panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima
tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima
belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung
ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya.
Koksu yang
menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi,
memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit
juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena
dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya dari pada senjata
tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biar pun mereka
mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang
cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jeri karena
maklum betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang.
Maharya
berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga
tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi
banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biar pun bentuk pakaiannya masih
amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh, namun kain itu
bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain
pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala
itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan
dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah!
Juga
sepasang kakinya ‘ada kemajuan’ seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau
dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu
terukir halus dengan tombol terbuat dari pada emas yang dijepit oleh ibu jari
dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biar pun kakinya beralaskan kelom kayu, akan
tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun!
Lima belas
orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi dan
bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong
melakukan pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata
tombak trisula gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan
mereka rapi, dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang
nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di
belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka.
Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana yang
digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh Milana!
Dengan kaki
tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu,
memandang dengan sinar mata aneh dan... empat orang itu menghentikan serangan
mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah
mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han
sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super
Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba
Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking
nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat
kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan
sadar! Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan
senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti
Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan
batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma Han
menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak
terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan
kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu
sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya
kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu!
Para
panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat. Mereka mengangkat
senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan
mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar, dan lima orang di
antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat
tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat
sinkang-nya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak
dapat bangkit lagi dan pingsan!
"Mundur...!"
Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya
bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin
para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.
Maharya kini
menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat sekali
dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya
berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap
sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan
ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia
menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!"
Maharya
terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat tenaga
dari pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun
yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya
terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar
Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain
pengaruh usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan
berfoya-foya dan bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam
hidup berprihatin.
"Singggggg...!"
Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang,
mengarah leher Suma Han.
"Awas...!"
Milana berseru kaget.
Dara ini
sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua
lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu terbelalak lebar, mukanya
pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri,
melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak orang
pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan
khawatir, Alan...!"
Suma Han
tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong Ji Kun dan
diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan untuk mengukur
tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang yang memegang pedang itu
tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu
merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam
hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya
yang ternyata adalah paman gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya
karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang
tertangguh adalah Maharya, kedua adalah Koksu inilah.
"Kok-kok-kok!
Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas
pukulan Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri
sudah merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah
melukainya biar pun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.
Tentu saja
tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara berkokok seperti suara katak
buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah
musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini
dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri
menekan perut dan tangan kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan
mendorong tiga kali ke arah Suma Han. Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan
dari tangan kanannya itu keluar uap hitam bergulung-gulung!
Tiga kali
pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan
pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh
dara itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan
seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu
amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga
kali ke arah dada kanan kiri dan pusar!
Suma Han
memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke depan
dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti
dahsyat sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua tenaga
raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat.
Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh
gulungan uap hitam kedua dan ketiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi
dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan
bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama
makin cepat.
Thian Tok
Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan terbuka.
Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan
mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk
menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya
Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada
dan isi perutnya sendiri, ‘dipaksa’ kembali oleh dorongan hawa sakti dari
tangan Suma Han!
Sebagai
ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan
kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan
berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma
Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!
Menghadapi
serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok
Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapa pun
cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya. Milana sampai memejamkan mata saking
ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar
dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung
rajawali dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan
gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia tidak
erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan tetapi,
ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah
turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan
Thian Tok Lama yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima
belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih
roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara
tiba-tiba dari belakang, kanan atau kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan
amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya seorang diri, dan masih
menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya gerakan ayahnya menjadi
terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi.
Kalau sampai
ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan...
ibunya akan celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri,
biar pun dia sendiri tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia
hendak dipergunakan sebagai umpan untuk memancing kedatangan ibunya? Kini ada
ayahnya, kalau mendampingi ibunya, biar pun dia tertawan apakah mereka berdua
yang bergabung menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andai kata tidak
berhasil sekali pun, yang pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh
mementingkan diri sendiri saja.
"Paman...
beritahukan kepada Ibu... mereka tadi... berunding untuk membunuh Ibu..."
Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran.
Tadi pun dia
sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai.
Bukankah menurut desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan
pemerintah? Mengapa puteri Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut
Alan, akan dibunuh?
"Jangan
khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak...
engkau saja pergi, Paman...," Milana berbisik pula.
Suma Han
terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu,
tiba-tiba Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan
beberapa detik kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah
loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!"
Suma Han
menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis pedang
yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi
mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang
diinjak pendekar itu terbuka!
Milana yang
melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin ayahnya
dapat melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang
mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan
tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah!
"Alan...!"
Suma Han
sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biar pun lantai itu terbuka
ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat
dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan
lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh
Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan
yang berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak
diduga-duganya, maka dia tidak dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih
mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan matanya terbelalak melihat
tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter
persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan...!"
Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak,
berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan!
Lantai yang
menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para
pembantunya dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan
menarik napas lega.
"Hebat
bukan main dia...!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran
sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?"
Maharya juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang
merampas Hok-mo-kiam.
"Sudahlah,
dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu.
Tidak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya
Ketua Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua
Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!"
Tiba-tiba
Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih... aihh! Mengapa
aku begitu tolol? Tentu saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri
Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya,
Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran,
tetapi hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberi
tahukan kami. Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan
dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka
benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar
kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar
mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."
Para
pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok
Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam
kamarnya.
"Ketua
Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan
diri bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak
Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian,
maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!" Semua
yang mendengarkan mengangguk-angguk. "Akan tetapi hal ini harus
dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biar pun puteri itu telah
menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh kasihan
mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."
Kemudian
para pendengarnya mengangguk. Setelah mendengar pelaporan panglima rendahan
yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar tahanan
yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka
gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa
senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai
rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapa pun
tinggi dan mahirnya tingkat ginkang Milana, namun dengan perut dan dada terasa
nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha
kirinya robek kulitnya, kiranya dia pasti akan terbanting juga ke atas lantai
kamar tahanan jikalau Suma Han tidak cepat bertindak, melayang turun dan
mendahuluinya, lalu memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas
lantai!
Akan tetapi
dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin
gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah
berhasil membebaskan diri untuk memberi tahukan ibunya. Siapa kira ternyata
ayahnya itu malah menyusulnya ke bawah!
"Aihhhh...
mengapa engkau berada di sini...?" Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Hemmm,
Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han
menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat
dari batu hitam.
Setelah
menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja
melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian
memberi tahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk
membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa
tahu, Paman justru menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, malah
tidak membebaskan diri sendiri yang aku yakin dapat Paman lakukan lebih mudah
setelah tidak menggendongku?"
Suma Han
tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik dan
cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup
hebat dan akan berbahaya kalau tidak segera diobati."
"Aku
tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman... eh,
maksudku agar Paman dapat memberi tahu Ibu..." Milana menjadi gugup karena
tentu saja dia tidak boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar
Super Sakti yang ‘bukan apa-apa’ dengan dia! "Mengapa Paman membiarkan
diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"
"Alan
yang baik dan bodoh! Biar pun menggendongmu, apa kau kira aku akan begitu mudah
mereka robohkan? Tidak, karena aku masih mempunyai harapan besar untuk
meloloskan diri. Tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku
menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus
ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi.
Aku menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam
hati Milana menjadi girang dan terharu, maka terusirlah kekecewaannya. Ayahnya
ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau saja
ayahnya mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi
ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan,
namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak
tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan
kasih sayang ayah, kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut
memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah kandungnya itu. Terhadap orang
bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia anaknya!
"Luka
di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit...!"
"Hmm,
kulit dan daging terobek kau bilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha
itu memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat
pukulan Thian Tok Lama. Bagian mana yang terkena?"
"Di
perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam
perut."
"Hemmm,
kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat
yang terpukul untuk menentukan sampai berapa hebat lukanya. Cukup kau buka
sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar
saja."
Kalau saja
laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biar pun dia terluka
parah dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi
setelah beberapa hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah
dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini, andai kata pendekar
ini bukan ayahnya sendiri sekali pun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya
tanpa ragu-ragu. Apa lagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan
sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari
depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan kiri memperlihatkan
bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma Han
yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang
sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya
terbuka lebar dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya
agak memburu. Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke
dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya
ini, salah mengenal wataknya!
"Ini...
apakah ini...?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari
tangannya menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata
kalung terbuat dari emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk
seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher Milana
seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang
telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan
mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih
kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu
hanya mata kalung, Paman."
"Mata
kalung ini... burung Hong berbulu hijau... eh... aku... aku pernah
melihatnya... di dada seorang... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda
ini?"
Ketika Milana
mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini mengkirik.
Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya
benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu.
Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan
langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali.
Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung
seperti ini, menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka
sekarang, tentu akan terbongkar rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini...?
Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar
pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti
mata orang yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini
aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma Han
menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari mata
kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu.
Dahulu ia pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus
dan putih seperti dada gadis ini!
"Ohhh...
maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara
itu, kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri.
"Ah, untung pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga
Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu
tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."
Milana
memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han memeriksa
paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu
luka itu diberi obat bubuk berwarna merah, rasa nyerinya hilang dan terasa
dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua
telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia
melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu
keluar hawa yang amat panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran
di sekitar perut dan dadanya. Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya,
rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali! Tentu saja dia
menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima
kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman
tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh
Koksu."
"Jangan
menyesalkan semua hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar
kesehatanmu cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana
menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk
menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti
orang termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa
tempat tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ!
Wajah tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana
merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini?
Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat
mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri
Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau masih
mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya,
mengapa mereka saling berpisah?
"Paman,
kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai
kalung ini, Paman?"
Suma Han
hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah dia
tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara
menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung,
"Hemmm..."
Sunyi
sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin
kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar
apa yang sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun
selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak
senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat
antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak
terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah
engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak
nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut
sehingga dia sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi
pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka saling
berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang
mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk
membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini!
Hanya ada
seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas
saudara seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi
wakilnya urusan dalam di Pulau Es. Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya
itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia hatinya, telah
menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika dia
bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan,
ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki
itu tergantung di leher... isteriku."
"Aku
pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es adalah seorang
yang tidak beristeri."
"Aku
pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di
manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah
di mana..."
"Kalung
ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya
puteri-puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai
kalung seperti ini? Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan
kepadanya?" Milana memancing.
Suma Han
menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi
memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan
penuh harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah
seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan
aku! Ohhh...!"
Melihat
betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan
lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri,
menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja
yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.
"Paman...
jangan... jangan bersedih..."
Suara yang
penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah dua
titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu
ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!
"Kau...
kau menangis?"
Milana
mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan juga keharuan
yang membayang di wajahnya karena biar pun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang
matanya basah!
"Aku
kasihan sekali padamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik
hati? Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak!
Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku... ah, aku tidak tahu
harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan
isteriku."
"Baik,
akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu
kepadaku."
"Kami
saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana,
meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia
karena dia adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi
setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan
kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia
mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi
sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri,
kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu menggembleng diri ketika
masih muda sekali, dan menjadi Tocu di sana. Dan... begitulah... agaknya kami
berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh..."
Milana
mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju
dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya?
Seorang isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana pun suaminya pergi!
"Apakah
Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah
kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia... dia telah mempunyai seorang anak
perempuan, dia anakku... anak kami... dia telah mengandung saat pergi
meninggalkan aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya
karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali.
Melihat itu,
Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu, segera
mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman,
ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat
lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan
bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara
ibunya?"
Benar saja,
pertanyaan ini memang membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan
tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan
kesedihan yang lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau
telah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu
Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan
seorang sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa
dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."
Milana
mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah
ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah,
sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah
perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh,
kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi Tocu Pulau Neraka yang
kabarnya ganas dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula kemudian puteranya
memusuhimu dan kulihat dia amat membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah
menjadi Tocu Pulau Neraka, juga membencimu?"
Suma Han
mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di
dunia ini membenciku..."
"Mengapa,
Paman?"
"Panjang
ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar
seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum
aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang
diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia
membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia
bodoh dan sangat canggung..."
Milana
memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang
tiada keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi
mulia di dunia ini!"
Mata Suma
Han terbelalak, kemudian dia berkata lagi setelah gadis itu melepaskan pegangan
tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai
hatinya.
"Ketika
aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka
itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku
mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku,
bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang
pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal
kami saling mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia
meninggalkan suaminya karena tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa
puteranya pergi. Wan Sin Kiat gugur dalam perjuangan karena dia pun tahu akan
isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin
Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan
bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai... musuhku! Hampir
sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap
untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana
mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang
matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara
bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua
pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu,
ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah
pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan
masih membawa semua perasaan terharu dan penasaran.
"Paman,
tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri
Nirahai itu, bukan?"
"Tentu
saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna
perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh
itu?"
Suma Han
mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga menanyakan
hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang
sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria
dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan
mendesak.
"Bukan
cinta kakak angkat?"
"Bukan,
Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap
wanita. Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak
pernah berhenti mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal,
semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai
kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah
dia kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami
saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang kedua
terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman,
kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya
dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan
Paman sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk
menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm,
engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang
demikianlah halnya."
"Paman,
siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah
Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang
matanya dan kini dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di
atas lantai dengan telinga menempel lantai.
"Hemm,
pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku
sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan
diukur siapa yang lebih kucinta, sungguh pun dasar yang mendorong cinta kasihku
berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu
didorong oleh masa muda kami... heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han
terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan
alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan
telunjuk ke lantai dan berbisik.
"Ada
suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han
mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia memiliki kepandaian yang
jauh lebih tinggi dari gadis itu, sinkang-nya amat kuat dan pendengarannya
tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia
tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng kepala dan berkata
tirih, "Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan.
Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana
bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai
ini, Paman. Kalau tidak percaya, kau dengarlah sendiri!"
Suma Han
memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di
lantai itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil
itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu
mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang
lantai dan... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah!
Bahkan bukan hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu
karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan juga hal-hal yang lucu,
dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak kaget
ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm,
kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai
ini," katanya.
Ucapannya
itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia
mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena
begitu pun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah,
agar gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan
telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di
bawah yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak
dapat menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!
"Heh-heh,
sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara
parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram
seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita.
"Dan siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha,
dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkrik di sini. Hayo kita cari dia!"
Diam
sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri
dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu
sedang sibuk mencari jangkrik! Seperti dua orang anak kecil saja!
"Celaka
tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa
mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa
sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku
tidak bisa menggalinya?"
"Wahhh,
tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang
tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis
bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau
memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan
jangkrik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri lubangnya
dengan air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar
sendiri!"
"Akan
tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja kadang-kadang
kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman
untuk kita!"
"Hssshhh!
kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul
memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita,
seperti setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air
yang cukup di dalam perut?"
"Ihhh!
Suhu jorok sekali!"
"Kenapa
jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok?
Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang
ini, masa jangkrik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"
"Suhu,
jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkrik itu mungkin
kuat bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan
baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.
"Kalau
Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah,
kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkrik itu mengerik di dalam
lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat
sampai di mana kemajuanmu."
Suma Han
mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua
Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau
keponakannya itu menyebut ‘suhu’ kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar
seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia
mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan
secara mukjizat! Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti
badai mengamuk, biar dia menggunakan Li-mo-kiam sekali pun! Akan tetapi, siapa
lagi kalau bukan Kwi Hong?
Kalau
Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang
yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan
gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah,
bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han
yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang
sinting itu.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng
In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In.
Kemudian guru dan murid ini menuju ke kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa
harus mentaati kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan melalui padang pasir
di utara untuk mencari racun kelabang bagi keperluan Kwi Hong sendiri dalam
menerima gemblengan ilmu mukjizat yang tinggi dari kakek sinting itu.

Mereka tiba
di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan tidak ada
seorang pun manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong merasa heran bagai mana
gurunya dapat menemukan tempat seperti ini. Kadang-kadang mereka melalui hutan
yang penuh pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian di pegunungan itu yang
gundul tidak ada pohonnya sama sekali, bahkan rumput pun tidak dapat tumbuh di
situ seolah-olah tanahnya mengandung racun yang membunuh semua tanaman. Ada
pula bagian yang penuh pasir, akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya
tinggal batangnya yang besar setinggi tiga empat meter, tanpa daun sehelai pun
dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin mencari kelabang!
Kakek itu
berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati
itu, memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Di sinilah... hmmm
aku sudah mencium bau mereka dan tampak bekas mereka..."
Kwi Hong
mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau amis
yang aneh olehnya.
"Awas
udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sinkang!"
kakek itu berkata sambil tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu yang suka
berkelakar, Kwi Hong memandang rendah dan bernapas seperti biasa.
"Suhu...
celaka...!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual
seperti diaduk dari dalam.
"Wah,
bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur
pernapasanmu." Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu
menempelkan telapak tangan kirinya di punggung, membantu gadis itu mengusir
keluar hawa beracun dari dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong mengeluarkan hawa
dari perut melalui mulut dan akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.
"Tempat
ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan racun
kelabang!" kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu
berhati-hati sekali, bernapas dengan teratur dan mempergunakan hawa murni dan
sinkang-nya.
"Suhu,
apa yang berkilauan itu?"
Tiba-tiba
Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang sebesar
kepalan tangan.
"Hemm,
itu batu biasa."
"Ah,
tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu
mulia."
"Kau
tidak percaya? Coba pegang baru kau tahu!"
Kwi Hong
membungkuk dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba dia berteriak dan
melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa
panas dan perih. Batu mengadung racun yang luar biasa!
"Ha-ha-ha!
Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan
tetapi sebetulnya mengandung racun yang berbahaya. Biar pun sinkang-mu sudah
kuat, kalau tanganmu terkena racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yang
tepat, lambat laun akan membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit
kusta!"
"Kalau
sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong
menuntut.
"Heh-heh-heh,
kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"
"Suhu
membiarkan aku keracunan? Mana ada guru seperti ini?"
"Ha-ha-ha!
Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun begitu
saja, kalau ada aku apa artinya? Biar racun yang seratus kali lebih hebat,
selama aku masih menjadi gurumu, engkau tidak akan celaka."
Bu-tek
Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya,
menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang
telapaknya berubah hitam.
Dalam waktu
singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu pulih
seperti biasa.
"Batu
ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin
memilikinya.
"Ha-ha-ha!
Batu macam ini saja apa artinya? Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu,
tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"
Kwi Hong
menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memiliki ilmu yang dapat membuat
dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang tinggi
agar kelak ia dapat menandingi Wan Keng In, pemuda yang amat dibencinya itu!
"Mari
kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"
"Hushh!
Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang
kucari adalah kelabang bunting!"
Kwi Hong
menghela napas menyabarkan hati. "Baiklah, kelabang bertelur, kelabang
bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita
menemukannya."
"Tidak
begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus
dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat
sebelum malam tiba!"
"Baik,
Suhu," Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.
"Awas,
jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua,
darahnya sudah kurang manis!"
Di dalam
hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena maklum
bahwa kecerewetan gurunya itu biar pun dilebih-lebihkan menurut wataknya yang
sinting, bukan tidak ada artinya, maka dia hanya mengangguk dan mengingat
baik-baik pesan itu lalu melesat pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis
itu telah kembali kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan
betina yang gemuk-gemuk!
"Ehh...
kenapa dua ekor?"
"Yang
seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"
"Ha-ha-ha-ha,
kau pintar sekali!" Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua
kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan
akan tetapi kakek sinting itu tidak peduli, mencabuti terus sambil berkata,
"Eh,
kenapa bengong saja? Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."
Kwi Hong
memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya,
mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping
ayam hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging
ayam, kemudian bersama gurunya makan daging panggang sambil menanti datangnya
malam gelap.
"Menurut
perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar
dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja.
Setelah ayam itu diseret, barulah kita mengikuti karena para pemenang itu terus
akan membawa ayam ini kepada kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu
kelabang jantan yang terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"
"Menurut
penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."
"Memang,
di waktu terjadi perkawinan. Tetapi setelah bunting, tidak ada lagi kelabang
jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan hadiah-hadiah
adalah calon-calon pengantin-pengantin dan calon bangkai karena pada waktu
perkawinan mereka pun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong
merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin,
membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri
kalau mengingat bahwa dia harus makan perut kelabang yang demikian menyeramkan,
yang amat beracun, sedangkan air liurnya saja sudah demikian hebatnya!
Malam tiba,
kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus. "Setelah bulan
purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita padamkan.
Betapa pun lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu takut melihat cahaya api.
Kalau sekarang api kita padamkan, mereka akan bermunculan dan tak hanya ayam
dan isi perut ayam yang mereka serang, akan tetapi juga mereka akan menyerang
kita."
"Ihhhh...!"
Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita
padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"
"Apa
sukarnya? Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu
mengejar."
"Sekarang
kita bisa meloncat ke sana, Suhu."
"Dasar
bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita
menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti ke
mana mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"
Sekarang
mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang
itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu
diganyang habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan agaknya dia masih belum puas
karena terdengar suara keletak-keletuk bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam
pecah-pecah karena gigitannya, untuk diisap sumsumnya!
"Suhu,
bulan sudah muncul. Lihat!" Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang
ke arah timur berteriak sambil menudingkan telunjuknya.
"Biarkan
dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab guruya yang
masih enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam.
Akhirnya
bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut
tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu. Bu-tek
Siauw-jin lalu melemparkan ayam gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di
samping isi perut ayam yang dipanggang tadi, kemudian memadamkan api dan
mengajak muridnya meloncat ke atas dua batang pohon mati yang berdampingan.
Dengan
tergesa-gesa karena merasa ngeri, Kwi Hong mendahului gurunya meloncat.
Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas puncak batang pohon mati seperti
seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat ke atas dan hinggap di
pohon kedua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu cukup besar
sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dari tempat
itu jelas kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena
cahaya bulan dengan lembutnya menyinari seluruh tempat itu.
Kurang lebih
dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua pekan
bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat betapa
gurunya itu duduk melenggut di atas puncak batang pohon, tidur-tidur ayam
kekenyangan daging ayam. Beberapa kali tubuh kakek itu mendoyong ke sana-sini
kelihatannya seperti akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum
terguling dan melenggut lagi. Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang
setengah mati karena tegang, gurunya enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar
dengkurnya perlahan.
Tiba-tiba
Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan mendadak
terdengar suara gurunya, "Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan
hawa beracun. Mereka sudah datang!"
Kwi Hong
cepat mengerahkan sinkang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru dengan
hawa murni, matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali tidak
berani mengeluarkan suara. Dilihatnya ayam yang diikat itu masih
bergerak-gerak, menggerakkan leher dan berusaha melepaskan diri. Bau makin
keras dan dari sebelah kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan,
bergerak-gerak mendekat. Kelihatan panjang sekali, akan tetapi setelah dekat,
barulah tampak olehnya bahwa yang datang adalah barisan kelabang yang
besar-besar dan panjang-panjang! Karena binatang-binatang itu merayap
beriringan, dari jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan
kelihatan seperti sebuah benda atau ular yang panjang.
Terlihat
tidak kurang dari lima belas ekor kelabang yang kulitnya merah mengkikap,
panjangnya masing-masing antara dua puluh sampai tiga puluh senti meter! Kwi
Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan tetapi besarnya
paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari sepuluh
senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa seperti itu!
Barisan
kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong.
Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong
memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan ekor kelabang itu seperti
terbang cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar,
lalu tak bersuara lagi. Barulah Kwi Hong berani membuka matanya.
Ayam itu
telah mati, akan tetapi kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling
gigit dan saling terjang dengan hebat. Mereka memperebutkan bangkai ayam
seperti yang telah dituturkan oleh gurunya! Kwi Hong melirik ke arah gurunya
dan melihat kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan menggosok-gosok
kedua tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-gerak dan
mengeluarkan air liur seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi
Hong bergidik!
Gurunya
benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor ayam panggang,
hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat kelabang-kelabang gemuk,
sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia sinting, atau bukan golongan
manusia! Betapa pun juga, harus dia akui bahwa gurunya amat baik kepadanya, dan
ilmu-ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat!
Saking
ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh
ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati. Empat ekor
yang lebih besar dan agaknya luka-luka tidak mempedulikan luka mereka dan
dengan lahap mereka kini merasa puas dengan isi perut ayam. Karena isi perut
itu cukup banyak terutama ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu
memperoleh bagian yang cukup dan dari atas mereka tampak seperti ulat-ulat
sutera sedang lahap makan daun murbei!
Kwi Hong melihat
bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar sebagai
pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan dia
benar-bedar tercengang akan kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher
ayam, kelabang itu mampu membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat menuju
ke sebuah di antara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah lubang di
bawah pohon dan lenyap!
"Bagus!
Tempatnya di bawah pohon itu! Mari...!" Bu-tek Siauw-jin tertawa girang
dan meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun,
begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah menahan jerit dan meloncat lagi
melihat benda melintang di bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan
tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!
"Siapkan
pedangmu!" Bu-tek Siauw-jin berbisik. "Aku akan mencabut pohon itu
dan kalau engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan
ragu-ragu, kau bacok putus bagian kepala dan ekornya, kemudian bagian tengahnya
cepat kau masukkan ke dalam botol ini dan tutup rapat." Kakek itu
menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Karena
hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat mengeluarkan suara, hanya
mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan manusia, biar musuhnya
amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan merasa gentar seujung
rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang yang menggelikan
dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang tumbuh
di tubuhnya berdiri tegak! Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya,
dipersiapkan di tangan kanan yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan
pernapasan tetap teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya
memenuhi tempat itu. Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri
pohon besar di mana kelabang raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap.
Bu-tek
Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesar tubuh manusia
itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil
mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya tiga setengah meter
itu. Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu patah-patah dan
terjebol berikut tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah
dilemparkan jauh oleh kakek sinting.
Hampir Kwi
Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan kelihatan
marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini seperti
hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini melihat bahwa kelabang ini besar
sekali, perutnya menggembung dan warna kulitnya sama seperti Kelabang-kelabang
yang tadi, merah darah akan tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar
mengkilap. Sekilas pandang ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas
jebolan pohon dan di samping bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar
yang tadi membawa bangkai, sudah mati pula. Agaknya Sang ‘Ratu’ kelabang yang
bunting ini benar-benar amat ganas. Disanjung dan dirayu oleh kelabang besar,
dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah dibalas dengan membunuhnya!
"Kelabang
celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali
pedangnya berkelebat.
"Cres!
Cress!"
Dia terkejut
karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan keras. Andai kata
bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia akan kecelik kalau tidak
mengerahkan sinkang, karena kulit kelabang itu ternyata amat tebal. Akan tetapi
Li-mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya menggila, maka dua kali
sabetan itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat
kepala dan dekat ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang
itu menggeliat-geliat hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk mengambilnya.
"Bodoh,
lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak.
Kwi Hong
menabahkan hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat
itu. Hampir saja dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli
dan jijik, seperti memegang ular saja. Akan tetapi karena botol di tangan
kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan bagian tubuh yang menggeliat-geliat
itu ke dalam botol, menutupkannya rapat-rapat kemudian hendak mengambil kembali
pedangnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah ketika tangan kanannya
mengambil tubuh kelabang.
"Aihhh...!"
Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa seluruh
tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!
"Itulah
racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!" Gurunya
menyerahkan batu hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu
menerima batu hijau dan menggenggamnya. Sebentar saja warna tangannya putih
kembali, racun yang amat jahat itu disedot habis oleh batu hijau.
"Kau
simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaruhi kulitmu. Akan tetapi
kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting,
tubuhmu lebih kebal dari racun, lebih hebat dari pada batu hijau itu!"
Kakek ini
tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di dalam
lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat dibayangkan
betapa jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat ekor kelabang besar yang tadi
dengan lahap makan isi perut ayam, kini masih melingkar di tempat tadi, diam
tak bergerak sama sekali dan tubuh mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti
mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis bersih, dan anehnya, sepuluh ekor
kelabang yang telah mati tadi pun lenyap tak tampak bekasnya sama sekali.
"Ha-ha-ha,
heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak
(pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya
sendiri masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar! Engkau makan kelabang bunting,
aku mengganyang lima ekor kelabang gembul!"
Sambil
berkata demikian, kakek sinting itu menggunakan kedua tangannya menangkap empat
ekor kelabang itu yang sama sekali tidak melawan atau meronta karena memang
sudah tak dapat bergerak saking kenyangnya! Dia mengumpulkan empat ekor
kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang terbesar yang mati di dalam
lubang betina. Empat kali telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor kelabang
itu mati dengan kepala pecah.
"Sebetulnya,
daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap,
hemmm... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok
saja. Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya sedap dan banyak vitamin!
Heh-heh-heh!"
Kwi Hong
merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan berkata,
"Suhu, aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini..." Dia
meletakkan botol terisi kelabang bunting itu ke depan suhu-nya.
"Eh-eh,
bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu yang
membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sinkang yang
tiada tandingannya di dunia? Pula, apa kau kira daging kelabang tidak
enak?"
"Aku
jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"
"Wah-wah,
picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging
kelabang?"
"Selama
hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa
selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup
‘bersih’!
"Itulah
tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang,
bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan
menjijikkan? He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru manusia-manusia yang
berwatak munafik itu!"
"Hemm,
urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak
munafik?" Kwi Hong terheran.
"Tentu
saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau
mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri,
sudah mengambil keputusan mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai
ada yang mati-matian bersumpah bahwa dia mati-matian membenci dan memusuhi
segala setan dan iblis!"
"Tentu
saja, Suhu!"
Kakek
sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri
dan membanting-banting kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah
siap menangis! "Apa? Engkau...? Muridku...? Engkau pun ikut-ikutan latah
dan munafik? Jadi engkau pun membenci dan memusuhi setan dan iblis? Coba
katakan, kenapa kau membenci mereka?"
"Hemm...
karena mereka jahat, karena musuh manusia!"
"Ngawur!
Apakah setan dan iblis itu ada? Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan
iblis?"
Melihat
suhu-nya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar juga.
Dia menggeleng kepala dan menjawab "Tidak pernah ada, Suhu."
"Kau
tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka
itu ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan
membenci mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka jahat dan musuhmu? Ehh, bocah
tolol. Coba jawab lagi, pernahkah engkau diganggu setan atau iblis? Dicubit?
Dipukul? Dimaki atau ditipu? Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau
diperlakukan jahat oleh setan atau iblis? Kalau pernah, kapan dan di mana, dan
bagaimana? Ceritakan!"
Kwi Hohg
melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu, dia
tidak dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum
pernah bertemu, bagaimana mungkin dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya
setan iblis masih merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab dengan kenyataan.
Kembali dia menggeleng kepala, "Belum pernah, Suhu!"
"Nah,
itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut
mengikuti ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret
oleh kebiasaan umum yang belum tentu benar. Karena umum biasanya makan daging
ayam, maka enak saja engkau makan daging ayam. Karena umum tidak biasa makan
daging kelabang, biar pun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah
saja kau bilang tidak enak dan menjijikkan. Munafik!"
Kwi Hong
merasa bohwat (kehabisan akal), karena biar pun ucapan gurunya kasar dan seenak
perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah.
"Maafkanlah, Suhu. Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?"
Suaranya halus dan penuh penyesalan itu sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek
Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!
"Heh-heh-heh,
engkau mau tahu rasanya? Pernahkah engkau makan daging udang?"
"Pernah,
bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur
pulau terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan
tangan dan sering kali anak buah kami menangkap udang-udang besar itu."
"Pernah
kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"
"Belum
pernah. Bagaimana, Suhu?"
"Wah,
kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apa lagi udang
besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal
sampai tidak kelihatan kulitnya, kemudian dipanggang dan dibiarkan sampai tanah
liat itu menjadi kering sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan
mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya udangnya sudah matang. Kalau sudah
tampak uap keluar dari bungkusan tanah yang retak-retak, panggang udang itu
boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas dan kulit
udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat
dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas
beruap dan sedap baunya. Rasanya? Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi
lunak, sedap manis... hemm!"
Kwi Hong
menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur)
mendengar penuturan itu.
"Nah,
daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan
kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena
kalau dipanggang, racunnya banyak yang hilang. Direbus juga enak, coba saja
nanti."
Berkuranglah
rasa jijik di hati Kwi Hong, Apa lagi setelah dia mencari air sungai yang
terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan
memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya menceritakan kelezatan daging
kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang, kepiting, belalang,
jangkrik, dan lain binatang yang kulitnya keras.
Kesibukan
memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi Hong
mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu,
sungguh pun sinar bulan banyak membantunya. Akan tetapi, akhirnya
masakan-masakan itu selesai di waktu pagi.
"Nah,
kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek
Siauw-jin.
Kwi Hong
tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging panggang, dan lagi
mana ada cuci mulut sebelum makan? Akan tetapi dia tidak membantah dan bersama
suhu-nya, dia mengupas tanah liat yang sudah kering. Benar saja kulit kelabang
itu ikut terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih kemerahan dan
mengepulkan uap tipis yang sedap. Melihat suhu-nya makan daging itu dengan
lahapnya, Kwi Hong lalu menggigit daging yang dipegangnya dan benar-benar
gurunya tidak membohong. Rasanya enak sekali, gurih dan enak manis, seperti
daging udang!
"Jangan
dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kau makan daging
rebus."
Kwi Hong
tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di mana daging
kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak
dan menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah
itu bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau yang amis dan keras.
"Makan
dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan
khawatir apa pun yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang kau
makan ini bukan hanya daging yang lezat, akan tetapi terutama sekali obat untuk
menyempurnakan latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."
Kwi Hong
mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai menggigit
dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda dengan ketika
makan daging kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang direbus
kelihatan putih dan besar, juga agak kehitaman di sebelah dalamnya, hitam
kehijauan dan dia tahu itu adalah racun kelabang yang amat jahat!
Rasanya
memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak tidak enaknya dari pada enaknya.
Memang ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama sekali oleh bau amis dan
keras bahkan bau arak itu pun tidak dapat melenyapkan bau amis. Rasanya memang
gurih, akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada rasa keras yang
membuat lidah terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat
mengunyah dan menelan. Hanya sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut
asal tidak terlalu besar, lalu ditelannya!
Dia terus
memejamkan mata dan biar pun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali
ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati
karena ini, pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama hawa panas makin hebat
sehingga terasa gerah sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah dia
merasa tubuhnya dipanggang. Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang
berhati keras dan nekat. Dia terus makan sampai akhirnya daging kelabang
bunting habis ditelannya.
Kepalanya
pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek
Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian
telapak tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari telapak tangan itu
menjalar hawa dingin sejuk yang melawan hawa panas di tubuhnya. Akan tetapi
sebentar saja tangan gurunya ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan
Swat-im Sinkang, mengerahkan inti tenaga dingin untuk melawan serangan hawa
panas itu. Sinkang-nya sudah amat kuat, apa lagi Im-kang yang didapatkannya
ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat dari pada Im-kang yang
disalurkan gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es
merupakan puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh
mereka yang berlatih di tempat panas.
"Bagus!
Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."
"Suhu,
aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging..."
"Ih,
jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi
cukup..."
"Aku
sudah kenyang sekali."
"Bodoh,
kalau tidak kau isi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari
tiga malam?"
"Apa
maksudmu, Suhu?"
"Sudahlah,
jangan banyak membantah. Kau makanlah sisa daging panggang ini dan
habiskan!"
Karena
maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan itu,
bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa
makan habis sisa daging panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.
"Sekarang,
minum kuah dalam panci itu sampai habis."
"Wah,
mana perutku kuat, Suhu? Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak
sekali!" Kwi Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan
tetapi dia merasa jijik kalau harus minum kuah itu. Baru dagingnya saja tadi
sudah begitu memuakkan, apa lagi kuahnya!
"Kwi
Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting? Andai kata
engkau tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak
minum kuahnya, kurasa akan sia-sia semua latihanmu. Sari obat berada di dalam
kuah inilah!"
Kwi Hong bergidik.
Yang dimaksudkan suhu-nya dengan ‘sari obat’ tentulah sari dan semua racun yang
mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat! Sudah terlalu jauh dia
melangkah, andai kata mendaki gunung sudah hampir sampai puncaknya. Dia
mengangkat panci, membawa bibir panci menempel bibirnya, memejamkan mata,
menahan napas agar hidungnya tidak mencium bau yang memuakkan itu, membuka
mulut dan menuangkan isi panci itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut!
Begitu isinya habis, Kwi Hong mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya
dan terguling pingsan! Bu-tek Siauw-jin sudah siap, menerima tubuhnya dan
membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah sambil menyeringai dan
tersenyum-senyum puas.
"Engkau
hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan
Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat
muridnya kalah oleh muridku!"
Kalau tadi
Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya dia
akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui oleh
Bu-tek Siauw-jin maka tadi kakek sinting ini setengah memaksa muridnya
menghabiskan daging kelabang panggang agar selama tiga hari tiga malam pingsan
itu, muridnya tidak akan terlalu kelaparan!
Pada pagi
hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh perlahan dan
membuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika melihat gurunya
duduk bersila tak jauh dari situ sambil memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi
Hong cepat bangkit duduk. Segera ia memejamkan kedua matanya karena begitu ia
bangkit duduk, matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut keras.
"Jangan
tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari
kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong
membuka matanya kembali. "Apa yang terjadi, Suhu? Apakah aku
tertidur?"
"Engkau
tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam!
Dan engkau telah berhasil!"
Kwi Hong
teringat kembali. "Aihh! Ketika minum kuah itu... aku lalu pingsan selama
tiga hari tiga malam?"
Kwi Hong
duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan ilmu
yang mukjizat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan diri.
Kakek itu benar-benar amat tekun melatih muridnya, bahkan dia kini yang
mencarikan makan untuk muridnya agar Si Murid tidak usah menghentikan latihan,
dan hanya berhenti kalau perlu makan saja. Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh
melatih diri.
Karena
memang pada dasarnya gadis ini telah memiliki kekuatan sinkang yang hebat
berkat latihan yang ia terima dari Pendekar Super Sakti, maka dalam waktu
singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek
sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan dapat dikuasai dalam
latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan tenaga mukjizat ini Bu-tek
Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi
Hong. Juga dara ini dilatih menggunakan pukulan-pukulan dengan telapak tangan,
pukulan yang amat hebat karena hawa pukulannya mengandung ancaman maut, mengandung
hawa beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari.
Tanpa
disadarinya, Kwi Hong yang semenjak kecil menerima gemblengan-gemblengan
pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang bersih, kini telah mempelajari ilmu-ilmu
golongan hitam! Memang benar bahwa segala ilmu dapat dipergunakan untuk
kebaikan mau pun kejahatan, tergantung manusianya. Akan tetapi, ilmu golongan
sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan dahsyat,
sehingga sekali turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya!
Demikianlah
sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di
kota raja, dia langsung saja menuju ke gedung koksu, berdiri di depan pintu
gerbang karena para penjaga melarang kakek sinting ini masuk. Sambil berdiri
tegak dan bertolak pinggang, kakek itu berteriak,
"Heh,
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek
Siauw-jin! Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena
aku tidak pantas lagi menjadi gurunya!"
Para penjaga
yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang menjadi
terkejut karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan mereka
tidak mampu bangkit lagi, tubuh mereka menggigil dan mereka hanya dapat
memandang dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu bersama dara jelita di
sampingnya memasuki pintu gerbang istana koksu seenaknya!
Kwi Hong
juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini.
Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana
koksu di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan terang-terangan menantang
sambil berteriak-teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang berpangkat
tinggi ditantang begitu saja seperti seorang anak kecil menantang berkelahi
anak kecil?
Teriakan
yang disertai khikang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar
terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena
bangunan besar itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk! Berbondong-bondong
keluarlah pasukan pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka menjadi
ragu-ragu ketika melihat bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang
kangkung itu hanyalah seorang kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya
setinggi pundak dara jelita yang berjalan di sampingnya!
"Manusia
lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?"
Seorang perwira pengawal membentak.
"Heh-heh!
Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja.
"Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"
Perwira itu
merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah
kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik
yang berdiri di sebelahnya dengan wajah dingin sama sekali tidak peduli.
"Wuuuuuttt...
krekkkk!"
"Hayaa...
aduuuuhhh...!" Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang
patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala
kakek sinting itu!
Para anggota
pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorang pun berani
maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para pembantunya
juga mendengar gema suara yang mengandung khikang kuat itu dan kini berbondong-bondong
mereka keluar dari istana. Melihat munculnya koksu, para pasukan lupa akan rasa
ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin.
"Tahan...!"
Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada
koksu, "Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang
tidak boleh dibuat main-main!"
"Semua
pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!" Koksu berseru dan para
panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak
turun tangan mengeroyok.
Setelah para
pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian Tok Lama bersama lima orang
panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju menghampiri kakek pendek dan gadis
cantik itu. Ketika mereka semua mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam
mereka siap untuk mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi
Hong, murid atau keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu
pernah mereka tawan dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu
kedatangannya ada hubungannya dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah
kakek pendek yang tertawa-tawa itu?
Bu-tek
Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah
memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa
kali, akhirnya dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si
Maharya yang dulu sering kali bertanding gulat melawan aku di lereng Himalaya?"
Maharya
merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu
menjawab sambil tertawa pula, "Siauw-jin, engkau masih hidup? Sungguh
panjang usiamu!"
"Ha-ha-ha,
tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi
meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh-heh, Kwi Hong muridku,
pernahkah engkau mendengar permainan adu tenaga bergulat, dan yang kalah harus
mengeluarkan bunyi seperti kambing sebagai tanda menyerah?"
Kwi Hong
semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata penuh
kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera turun
tangan menyerang dan membalas dendam.
"Belum
pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk
ini mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"
"Ha-ha-ha,
nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku sering kali
bergulat dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi
kambing menyatakan kalah. Wah, dia pandai benar meniru bunyi kambing,
benar-benar seperti kambing tulen, ha-ha-ha!"
"Suhu,
kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak
kaki orang berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.
Bhong Koksu
segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-jin yang
dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya begitu
menghormat dan mengalah. "Harap maafkan kalau saya tak mengenal Locianpwe
yang agaknya sudah mengenal baik Paman Guru Maharya. Kehormatan apakah yang
akan Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan ini?" Koksu ini
bersikap cerdik. Dia tahu bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super Sakti,
mengapa kini menyebut suhu kepada kakek pendek ini? Setelah muncul sebagai
murid kakek ini, dia bersikap hati-hati dan sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.
"Ha-ha-ha,
engkau murid keponakan Si Maharya? Koksu, kalau begitu engkau tentu murid
sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"
"Ahh!
Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"
"Ha-ha-ha!
Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak mudanya
dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya? Aku mendengar dahulu bahwa
Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu seorang pemuda tukang
penggembala kuda!"
Wajah Koksu
merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda itu!
Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk
menghadapi musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya
bergerak dan tahu-tahu pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan Koksu dan
berpindah ke tangannya.
"Bagus!
Engkau penggembala kuda itu? Dan sekarang menggembalakan orang-orang termasuk
paman gurunya sendiri? Ha-ha-ha!" Kakek itu mengembalikan pecutnya dan
Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas pecutnya tadi sudah membuktikan
bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!
"Siauw-jin,
engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!"
Maharya membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan?
Ataukah engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini hendak mencoba kepandaianku!
Boleh kau coba, mengenai ilmu silat, ilmu sihir atau ilmu kebatinan!"
"Maharya,
kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga
engkau!"
"Bocah
sombong!" Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam
menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi
asap itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong
hanya tersenyum, sedikit pun tidak mengelak sehingga angin pukulan berikut asap
itu mengenai mukanya.
Maharya
terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh
angin pukulannya mau pun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari
tangan hendak mencabut pedang, akan tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh
lengannya dan tertawa.
"Ha-ha-ha,
Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak
menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan
teka-teki, engkau pun takkan menang. Dahulu pun, teka-tekiku yang paling mudah
sudah kuberi waktu tiga hari tiga malam engkau masih tidak mampu memecahkannya.
Apa lagi sekarang! Eh, Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat
sederhana saja dia dahulu tidak becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini,
biar semua orang mendengar betapa mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari
yang hidup, berkepala dan bertubuh lengkap, akan tetapi seluruh anggota
tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua menjadi satu. Nah, apa
itu?"
Kwi Hong
termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua kelihatan
mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para
panglima dan para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan tetapi ikut
mendengarkan kata-kata Si Kakek Pendek. Melihat ini Maharya terkejut bukan
main. Biar pun hanya berupa olok-olok dan teka-teki yang dibuat kelakar, namun
suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua orang sehingga mereka semua
lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini saja sudah membuktikan betapa
kuat sinkang kakek itu, betapa mukjizat dan tidak akan menanglah dia kalau
bertanding ilmu sihir!
Tiba-tiba
Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara tawa yang melengking panjang
dan bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara kuda meringkik, dan semua
orang menjadi sadar dengan penuh keheranan betapa mereka tadi sempat
mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak untuk mencari jawaban sebuah
teka-teki, sungguh merupakan hal yang janggal sekali pada saat seperti itu!
"Hemm,
Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang rendah
karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."
"Suhu,
apa sih jawabannya? Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"
"Jawabannya?
Dengar baik-baik...!"
Kembali
semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh perhatian. Maharya
terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau
mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia mempengaruhi semua orang yang berada
di situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu menurut karena
mereka semua telah terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek
pendek itu. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya
saja dan tidak mau melakukan sesuatu, melainkan melanjutkan ucapannya yang
sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai perhatian semua orang.
"Jawabannya
adalah... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"
Semua orang
memandang heran, termasuk Kwi Hong. "Eh, Suhu, mengapa semut
dipelintir?"
"Heh-heh,
bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggota tubuhnya menjadi satu,
sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi? Dan semut itu tadinya hidup, maka
benda yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari yang hidup dan tentu saja
menjadi benda mati!"
Semua orang,
termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan seperti anak
kecil oleh kakek yang sinting ini.
"Bertanding
kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus
berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tak akan
menang..."
"Siauw-jin,
aku hendak menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba
Maharya berkata tegas.
"Heh-heh,
begitu? Boleh! Paling-paling engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku
sudah hafal semua."
"Harus
memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau
berani, kalau tidak aku pun tidak akan memaksamu."
"Wah-wah,
sejak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai
menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus? Kalau berdepan, menyembunyikan
kepala ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari belakang! Akan tetapi
jangan kira aku takut. Nah, apa taruhannya?"
"Begini!
Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan engkau
harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan
ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawab, kami akan menerimamu sebagai tamu
dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona yang menjadi muridmu ini tentu akan
kami pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa menjawab,
engkau dan muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak
boleh mencari perkara. Aku beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau
memikirkan jawabannya, engkau boleh tinggal di dalam kamar tahanan bersama
muridmu selama sebulan dengan jaminan makan minum secukupnya. Bagaimana?
Beranikah kau menerima tantanganku ini?"
"Ha-ha-ha!
Cukup adil! Boleh sekali, tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab, segala
permintaanku harus kau penuhi. Permintaanku tidak banyak, hanya menantang
Koksu, engkau dan dia ini... ehhh, bukankah aku pernah melihat hwesio gendut
ini di Tibet? Kalau tidak salah, ada seorang lagi yang kurus kering, dua orang
Lama dari Tibet..."
Thian Tok
Lama merangkap kedua tangannya di depan dadanya. "Omitohud, ingatan
Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari
Tibet."
"Bagus!
Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada Mancu, ya? Luar
biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan
permintaan muridku adalah... eh, Kwi Hong, apa permintaanmu kalau aku menang
bertaruh? Jangan malu-malu, katakan saja!"
"Suhu,"
Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya kurang senang. "Mengapa urusan ini
dibuat main-main? Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"
"Wah,
jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh? Jangan khawatir, aku
pasti menang. Nah, jika aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"
"Permintaanku,
pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung hidungnya
yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan
mencuri pedang. Kedua, Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus
membangun kembali pulau itu seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar
Super Sakti, menerima segala hukuman dan keputusan yang dijatuhkan oleh
Pendekar Super Sakti."
"Nah,
bagaimana, Maharya?"
Koksu hendak
membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak mungkin dilaksanakan.
Biar pun kakek pendek ini lihai bukan main, akan tetapi setelah berani memasuki
istananya dan dikurung oleh ratusan pengawal, bahkan kalau dia menggerakkan
pasukan sampai ribuan orang pun tidak sukar, perlu apa takut dan mengalah. Akan
tetapi Maharya sudah cepat menjawab,
"Boleh!
Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu
kebatinan."
"Suhu...!"
Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata.
Sungguh amat
bodoh memasuki istana itu, sama saja dengan memasuki goa harimau. Akan tetapi
gurunya tersenyum lebar dan berkata, "Jangan ragu-ragu, masuk saja. Hendak
kulihat apa yang akan dikeluarkan dari perut Maharya!"
Bagaikan
seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan, Bu-tek
Siauw-jin berjalan penuh gaya. Dadanya diangkat membusung, wajah berseri,
mulutnya tersenyum-senyum dan matanya memandang ke kanan kiri! Akan tetapi Kwi
Hong berjalan dengan hati-hati, agak menunduk dan sepasang matanya yang indah
mengerling ke kanan kiri, siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau jebakan
musuh.
Koksu kini
mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu secara halus, maka
dia pun diam saja, hanya diam-diam dia memberi isyarat kepada para pembantunya
untuk mengadakan persiapan dan mengerahkan pasukan untuk menjaga dan mengurung.
Ada pun Maharya diam-diam memperhatikan Bu-tek Siauw-jin.
Puluhan
tahun yang lalu dia memang pernah bertemu dengan Bu-tek Siauw-jin di lereng
Pegunungan Himalaya yang tinggi dan kakek ini dahulu hanya mengaku berjuluk
Siauw-jin saja, sebuah ‘julukan’ yang amat aneh dan kiranya orang sedunia, apa
lagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu, tidak ada yang sudi menggunakannya
karena Siauw-jin berarti manusia rendah budi! Dan orang pendek itu sejak dahulu
memang berwatak ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki ilmu yang
aneh-aneh.
Memang
Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat berbeda dengan
suheng-nya, Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka. Kalau Cui-beng
Koai-ong selalu menyembunyikan diri, lebih banyak berdekatan dengan mayat-mayat
dan kerangka-kerangka manusia dari pada dengan manusia hidup dan mencari
ilmu-ilmu hitam di dalam tanah-tanah kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini
selain mencari ilmu-ilmu hitam di kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa
tujuan dengan menggunakan nama samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa
dia datang dari Pulau Neraka. Karena itu, dia telah merantau sampai jauh ke barat,
melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan Nepal. Akan tetapi namanya tidak
terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah berjumpa dengannya
sebagai seorang yang berotak miring atau berwatak sinting. Di lain pihak, biar
pun dia sendiri tidak terkenal, namun dalam perantauannya ini Bu-tek Siauw-jin
mengenal dunia kang-ouw dan mengenal pula atau setidaknya mendengar nama para
tokoh kang-ouw dan tahu akan kelihaian dan keistimewaan mereka.
Mereka telah
memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam ruangan itu mengiringkan
Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya, Koksu, Thian Tok Lama, Bhe Ti
Kong dan belasan orang panglima pengawal. Namun tentu saja dengan diam-diam
ruangan itu, juga gedung itu, telah dikurung oleh pasukan yang melakukan
penjagaan ketat.
Tanpa
dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi, menyambar seguci
arak dan minum arak itu tanpa cawan dan tanpa penawaran tuan rumah lagi. Arak
itu dituangkan begitu saja ke mulut sampai gucinya kosong! Kemudian ia
mengembalikan guci kosong ke atas meja, mengusap bibir dengan ujung lengan baju
dekil dan berkata,
"Nah,
keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa yang hendak
kau ajukan untuk kupecahkan dan jawab? Hayo, keluarkan seluruh kepunsuanmu
(kepandaianmu)!"
Semua orang
mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri di belakang
gurunya, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba gagang pedang,
wajahnya dingin. Kalau ada orang yang sudah mengenal Kwi Hong sebelum ia menjadi
murid Bu-tek Siauw-jin, tentu kini akan terheran-heran melihat betapa wajah dan
sikap dara itu berubah sama sekali. Kini wajah yang dahulu cerah dan riang itu
kelihatan muram dan dingin, sikapnya angkuh dan memandang rendah. Tanpa
disadarinya oleh dia sendiri, pengaruh ilmu mukjizat yang dimilikinya telah
menguasai batinnya!
Hal ini
tidak diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin. Kakek ini adalah seorang yang telah
memiliki batin kuat sekali, dan memang memiliki dasar yang baik sehingga dia
dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang dipelajarinya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment