Cerita Silat Kho PIng Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 14
Phoa Ciok
Lin makin berseri wajahnya. Dia maklum bahwa biar pun semenjak tinggal di Pulau
Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah yang
tiada keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula siapa orang yang
dicintainya. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat mengharapkan cinta kasih Suma
Han terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau
dapat bersahabat dengan pendekar ini, apa lagi dianggap sebagai seorang sahabat
yang baik.
Melihat
betapa pelimpahan cintanya membuat pendekar itu makin merasa berdosa dan
berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan pertanyaan yang serius.
"Taihiap, kalau engkau pergi mencari Hok-mo-kiam dan memberi hajaran
kepada orang-orang jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka,
habis bagaimanakah dengan anak buah kita? Agaknya pada waktu sekarang tidak
mungkin lagi bagi kita untuk kembali ke Pulau Es, sedangkan untuk membiarkan
mereka tinggal di tempat ini sebagai buronan yang bersembunyi, sangat
menyengsarakan mereka pula. Apakah yang harus saya lakukan, Taihiap?"
"Engkau
benar, Ciok Lin. Memang telah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau
kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahulu aku tidak
bermaksud mendirikan sebuah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya
karena kasihan melihat anak murid In-kok-san dan para bekas pejuang yang
tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau
yang banyak penghuninya dan aku dianggap sebagai Majikan atau Ketua Pulau Es.
Karena pulau kita terkenal, maka timbullah penentang-penentangnya dan hal itu
sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, setelah kini pulau kita dihancurkan
pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku
membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pulau Es. Kau keluarkan semua
pusaka dan harta yang dapat kau larikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu
kepada mereka agar dapat digunakan sebagai modal dan hidup di dunia ramai,
membentuk keluarga yang bahagia. Semua itu kuserahkan kepadamu untuk mengatur
seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin."
"Ohhh,
saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan
terbaik. Akan tetapi, mengerjakan perintah Taihiap itu dapat saya selesaikan
sebentar saja, saya harap Taihiap suka menyaksikannya dan meninggalkan
kata-kata perpisahan untuk mereka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan
saya untuk... pergi bersama Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan
menemukan kembali kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan
mengganggu, saya... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang
Taihiap cinta, selama-lamanya..."
"Ciok
Lin, harap jangan bicara seperti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan.
Bhong-koksu dan teman-temannya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan, apa lagi
kini muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini
menyembunyikan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin.
Engkau belumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu.
Engkau masih belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk
sebuah keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan
tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan,
biarlah aku pergi lebih dulu sekarang juga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku
tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak
kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan."
Tanpa
membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu untuk
membantah, Suma Han lalu menekankan tongkatnya di atas tanah dan di lain saat
tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung
rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang
duduk anteng di atas punggung rajawali itu.
Phoa Ciok
Lin kini tidak dapat menahan lagi air matanya yang turun bercucuran ketika ia
menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan kedua tangan
sedangkan mulutnya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar dari lubuk
hatinya. "Duhai, Suma Han... betapa aku dapat menikah dengan orang lain?
Apa artinya hidup bagiku kalau harus berpisah dari sampingmu?"
Beberapa
hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembunyian para
penghuni Pulau Es itu menjadi sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi
mencari jalan hidup masing-masing dan orang terakhir yang meninggalkan tempat
itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun,
akan tetapi masih cantik, berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar
matanya mengandung kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang
wanita berilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang kang-ouw!
Kemana
perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah lama sekali dia
terdorong oleh hasrat untuk pergi meninggalkan pantai laut, pergi merantau.
Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang
mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun
Beng! Semenjak dia ditolong oleh pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan
ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es
secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada pemuda itu.
Setelah
pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan
tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus
mambantu Ciok Lin menjaga para anak buah Pulau Es yang mengungsi di situ,
menanti sampai pamannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biar pun
pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis bertanding melawan kakek yang
seperti mayat hidup itu, namun dia percaya bahwa pamannya yang sakit akan dapat
sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di situ, tanaga bantuannya tidak
dibutuhkan lagi.
Dengan
sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong kemudian
meninggalkan pantai, melakukan perjalanan cepat berlari-larian menuju ke
selatan, melalui sepanjang pantai laut. Dia merasa gembira, merasa bebas
seperti seekor burung di angkasa. Dia akan memperlihatkan kepada dunia kang-ouw
bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es, adalah
seorang dara perkasa yang akan membalas terhadap mereka yang telah berani
menghancurkan Pulau Es! Dia akan memperlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak
percuma pemuda itu memberi pedang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya karena dengan
pedang itu, dia akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan membasmi
penjahat-penjahat, akan melakukan hal-hal yang lebih hebat dari pada yang telah
dilakukan oleh guru dan pamannya, Pendekar Siluman!
Langkahnya
cepat sesuai dengan hatinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang
usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan sinar
matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun! Wajahnya
bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua
di belakang kepala, dijadikan dua buah kuncir yang besar dan dibiarkan
bermain-main di punggung dan pundaknya kalau dia berjalan.
Anak rambut
halus berjuntai di atas dahi dan di depan kedua telinganya, melingkar indah
seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-sinar penuh gairah
hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bahkan ada sinar
memandang rendah kepada segala apa yang dihadapinya. Hidungnya mancung dan
mulutnya dijaga sepasang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali
berubah-ubah, kalau tersenyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut
amat menyeramkan seperti awan gelap mengandung kilat.
Pakaiannya
terbuat dari pada sutera berwarna yang halus mahal, akan tetapi bentuknya
sederhana. Betapa pun juga, segala macam pakaian yang menempel di tubuh itu
takkan mungkin mampu menyembunyikan bentuk tubuh dara yang sudah padat dan
masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat, seolah-olah hendak memberontak
dari kungkungan pakaian yang mengurungnya.
Ketika dia
berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa
dibuat-buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh
keserasian, mengandung daya tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata
kaum pria!
Setelah
melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi
Liau-neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang
ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat
yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat dari pada musuh-musuh yang harus
dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau
Es itu datang dari kota raja dan dipimpin oleh Koksu negara yang tentu berdiam
di kota raja?
Sebelum Bun
Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es mengungsi, pemuda itu sudah
menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang membantu Koksu
menghancurkan Pulau Es. Mereka adalah kedua orang Lama yang menurut pamannya
amat lihai dan adalah musuh-musuh lama pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai
Li Lama dan ditambah lagi dua orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka
pula, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya!
Dia harus
mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk membalas kehancuran Pulau Es, akan
tetapi juga untuk berusaha merampas kembali Hok-mo-kiam dari tangan Si
Sastrawan Gila, Tan-siucai. Dia maklum bahwa semua lawannya itu adalah
orang-orang yang amat lihai, akan tetapi dia tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di
tangannya, dia tidak takut melawan siapa pun juga. Bahkan kakek Si Mayat Hidup
yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu melawan dan
mendesaknya! Apa lagi yang lain-lain itu!
Siapa lagi
musuh-musuhnya? Demikian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan
perjalanannya. O, ya! Thian-liong-pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan
dia kacau Thian-liong-pang yang menurut kabar adalah perkumpulan yang jahat
itu! Dan Pulau Neraka yang pernah menculiknya adalah adik angkat pamannya
sendiri, dan dia sudah dilarang pamannya untuk memusuhi... ehhh, siapa namanya?
Oh, dia ingat sekarang. Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan memusuhi Bibi Lulu,
akan tetapi bocah kurang ajar itu!
Kwi Hong
menggigit bibirnya dengan gemas jika teringat kepada Wan Keng In! Bocah itu
tentu putera Bibi Lulu, pikirnya. Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu ketika
masih kecil saja sudah nakal luar biasa. Apa lagi sekarang! Dan ketika menolong
Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam berada di tangannya! Dia harus mengalahkan
bocah itu dan merampas Lam-mo-kiam karena sebetulnya Bun Beng yang berhak atas
pedang itu!
Hari telah
senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu memasuki dusun Kang-san
yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu masuk ke sebuah restoran
di pinggir jalan. Ketika para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak
mata memandangnya dengan terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat
mata laki-laki memandangnya terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu
sering dia alami semenjak dia berusia lima belas tahun dan melakukan
perantauannya keluar Pulau Es.
Mula-mula
memang dia marah-marah dan sering kali dia menghajar pemilik mata yang
memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing melihat daging itu, akan
tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak mengacuhkan lagi ketika semua
laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyambut kehadirannya dengan mata
terbelalak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi
Hong bahwa dia adalah seorang dara yang cantik menarik. Teringat akan ini,
makin girang hatinya karena terbayang olehnya betapa di antara sekian banyaknya
mata laki-laki yang bengong mengaguminya terdapat sepasang mata Bun Beng!
Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan
melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.
"He,
Bung Pelayan! Ke sinilah!" Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang
juga berdiri di sudut melongo memandangnya.
Ketika ia
mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aihhh, pandang mata mereka itu
tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm,
apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka apa sih? Tak puas hati Kwi
Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia membentak,
"Heii,
mengapa semua orang memandangku seperti anjing-anjing takut digebuk?"
Seketika
mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pandang mata ke bawah,
bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.
"Maaf...
maaf... Lihiap. Kami... ehh, kami tidak apa-apa, hanya... hanya kagum melihat
kegagahan Lihiap..."
"Hushhh!
Bohong kamu!" Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil
memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja.
"Kressss!"
Ujung meja kayu itu patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu
hancur menjadi tepung! "Hayo terus terang bicara kalau hidungmu tidak
lebih keras dari pada kayu ini!" Kwi Hong mendesis lirih, akan tetapi
penuh ancaman.
Otomatis
tangan kiri Si Pelayan meraba hidungnya, matanya melotot memandang tangan dara
itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan remuk kalau kena
dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah
sampai kepala dan lehernya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa
dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia bicara.
"Maafkan
saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum melihat
Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu sering kali muncul
gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Entah betapa
banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama
beberapa hari terjadi pertandingan-pertandingan yang menggegerkan penduduk,
terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu melihat Lihlap, kami menyangka
bahwa Lihiap tentulah seorang di antara mereka dan kami kagum sekali."
Kwi Hong
sudah menjadi sabar kembali. "Hemmm, buka mata lebar-lebar sebelum
menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi
godok istimewa!"
"Istimewa?
Maksud Lihiap...?"
"Bodoh!
Bakmi istimewa berarti pakai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang
istimewa!"
"Eh,
araknya pakai telur?" Pelayan itu melongo.
"Tolol
kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di
sini." Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya
tidak marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang
dianggapnya bodoh itu, apa lagi ada beberapa orang tamu yang ia tahu
tertawa-tawa geli biar pun mereka menyembunyikan tawa mereka dengan menutupi
muka atau memutar tubuh membelakanginya.
Tak lama
kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong dan
pada saat itu terdengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara derap
kaki kuda itu berhenti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para penunggang
kuda yang duduk tegak di atas punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan
pimpinan mereka adalah seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong
tertarik sekali.
"Siapakah
mereka itu?" tanyanya kepada pelayan yang sedang menaruh pesanannya ke
atas meja dengan sikap hormat.
"Ah,
sekarang saya yakin bahwa Nona bukanlah seorang di antara mereka. Mereka itulah
rombongan yang saya ceritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun ini, setiap
malam terjadi pertandingan dan pada keesokan harinya tampak macam-macam orang
bergelimpangan."
"Mayat-mayat
siapa?"
"Orang-orang
yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini."
"Apakah
rombongan itu orang jahat?"
"Sukar
dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin mereka
selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan
tetapi, kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka
itu memiliki kepandaian seperti iblis!"
"Hemmm..."
Kwi Hong mulai menyumpit bakminya, tetapi sebelum memasukkannya ke mulutnya
yang kecil dia lalu bertanya lagi, "Rombongan orang apakah itu? Dan apa
namanya?"
"Saya
tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah
orang-orang Thian-liong-pang yang..."
"Hemmm,
Thian-liong-pang?" Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti
dan Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan. "Kudengar tadi kuda mereka
berhenti tak jauh dari sini, mereka ke mana?"
"Mereka
bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini,
hanya terpisah tujuh rumah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu terpaksa harus
meninggalkan penginapan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada
belasan orang. Hemm, hati para penduduk menjadi gelisah terus selama mereka
berada di sini, Nona. Sungguh pun kami tidak pernah diganggunya, tetapi
semenjak mereka datang, suasana menjadi penuh ketegangan dan hati siapa tidak
akan menjadi ngeri kalau melihat hampir setiap malam terjadi pembunuhan?
Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi tentang
mereka." Pelayan itu pergi dan hati Kwi Hong menjadi panas. Hemm,
orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini? Harus dia selidiki!
Malam hari
itu Kwi Hong menyembunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya dan
setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandaiannya meloncat ke atas
genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus berloncatan, mengerahkan
ginkang-nya sehingga kedua kakinya tidak menimbulkan suara gaduh, terus
berlompatan menuju ke rumah penginapan di mana bermalam orang-orang
Thian-liong-pang yang akan dia selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun
itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana
gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang
terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan
rumah, kelihatan sunyi sekali.
Tiba-tiba
Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian gelap
ketika pandang matanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang
dari sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng menggunakan
ginkang yang cukup lumayan. Ketika mereka lewat dekat, Kwi Hong dapat memandang
wajah mereka di bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan
yang menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang.
Mereka
adalah tiga orang laki-laki setengah tua. Yang dua orang berpakaian seperti
peranakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang berpakaian seorang pelajar.
Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah mengherankan karena di dusun
itu yang termasuk Propinsi Liau-neng, daerah utara, banyak terdapat orang-orang
bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan tetapi yang
membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka.
Mereka tentu
bukan orang biasa, karena mereka menggunakan jalan di atas genteng seperti dia.
Tentunya mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari
jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong untuk melakukan hal ini karena tingkat
ginkang mereka itu masih jauh di bawahnya sehingga dia dapat membayangi mereka
tanpa mereka ketahui.
Jantungnya
berdebar tegang saat ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke rumah
penginapan di mana orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi tempat yang
akan diselidikinya. Apakah tiga orang itu anggota rombongan mereka?
Pertanyaan
ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara
mereka, yang berpakaian sastrawan atau pelajar, berseru nyaring,
"Manusia-manusia
penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhianat bangsa! Keluarlah
kalian! Kami bertiga, Sepasang Beruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok,
datang untuk membalas kematian kawan-kawan seperjuangan kami!"
Kwi Hong
cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ,
memandang ke depan penuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk
memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut
Thian-liong-pang sebagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang
ini dan mengapa pula Thian-liong-pang mereka sebut pengkhianat bangsa?
Sepanjang
pendengarannya Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan amat
kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah perkumpulan atau nama yang
terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Belum pernah dia
mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah pengkhianat bangsa. Karena dia tidak
tahu duduknya perkara, maka dia mengambil keputusan untuk mendengarkan dan
menonton saja tanpa mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti bahwa
Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah dia
akan turun tangan membasmi mereka!
Tiba-tiba
suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang berpakaian
sastrawan yang bernama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil Besi)
itu, "Heeiii, kalian orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah pemberontak
hina yang menggunakan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk mengelabui mata
rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang yang mencari
kedudukan dan kesempatan untuk merampok? Kalau sudah bosan hidup,
turunlah!"
"Ha-ha!
Orang lain boleh jadi takut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan hina
tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Beruang dari
Utara tidak takut kepada siapa pun juga!" Seorang di antara kedua orang
peranakan Mongol tadi tertawa bergelak, perutnya yang gendut berguncang.
"Kalian
hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang
masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang berani!" kembali suara
halus tadi menantang.
Ketiga orang
itu mencabut senjata masing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok mencabut sepasang
senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat dari pada besi,
sedangkan kedua orang Mongol itu mencabut sepasang tombak pendek masing-masing,
kemudian ketiganya melayang turun ke pekarangan belakang rumah penginapan yang
diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan
cepat, seperti tiga ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di
atas tanah, ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar
melindungi tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan.
Akan tetapi
ternyata tidak ada senjata rahasia yang menyambar ke arah mereka, bahkan dengan
sikap tenang sekali muncullah tiga orang kakek yang rambutnya panjang
riap-riapan dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu dan menyambut mereka
dengan senyum mengejek.
Kwi Hong
cepat menyelinap mendekat dan mendekam di atas wuwungan, sambil bersembunyi
mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti mengapa Thian-liong-pang
bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu
tidaklah bermusuhan pribadi, melainkan karena urusan pemerintah dan agaknya
jelas bahwa Thian-liong-pang berada di pihak yang membantu pemerintah sedangkan
dua orang Mongol dan sastrawan itu adalah penentang-penentang pemerintah. Akan
tetapi Kwi Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu
berpesan agar dia tidak mencampuri urusan pemerintah.
"Urusan
yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet," demikian antara lain
pamannya berpesan, "karena itu jangan sekali-kali engkau melibatkan diri
dengan urusan pemerintah. Banyak terjadi pertentangan dan permusuhan karena pro
atau anti suatu pemerintahan yang hanya terseret oleh rasa pertentangan
golongan atau pun terdorong oleh ambisi pribadi untuk mencari kedudukan saja.
Di dalam perebutan kedudukan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet."
Tidaklah
mengherankan kalau Pendekar Super Sakti memesan muridnya atau keponakannya ini
agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena pertama-tama, Kwi Hong
sendiri adalah puteri seorang pembesar Mancu. Apa lagi kalau diingat isterinya
sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik angkatnya, wanita yang
dicintanya sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Mancu. Bagaimana dia dapat
menentang pemerintah Mancu?
Kwi Hong
mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang itu
kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan kosong.
Gerakan Sepasang Beruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang tombak
pendek di tangan mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan mereka
dahsyat sekali. Ada pun permainan sepasang pit di tangan sastrawan itu halus
gerakannya namun juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu
silat Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sastrawan setengah tua itu.
Namun
diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut
panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biar pun mereka
bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua
gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas
serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat
lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga puluh jurus saja Kwi Hong sudah
dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama sekali bukanlah
tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang
saja sudah sedemikian hebat, apa lagi kalau belasan orang Thian-liong-pang
keluar semua! Dan pemimpin mereka tentu lihai bukan main!
Kwi Hong
tidak tahu siapa yang benar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah itu dan
tadinya dia pun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana. Akan
tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja dengan
mengantar nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apa lagi mengingat
akan penuturan pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh
banyak orang. Tangan kanannya meraba genteng, memecah tiga potong yang
digenggamnya dan dia berseru ke bawah,
"Sia-sia
membuang nyawa dengan nekat bukanlah perbuatan gagah, tetapi perbuatan goblok!
Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri, tidak mau pergi, lebih tolol
lagi!"
Tiba-tiba
tiga sinar hitam kecil menyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang yang
sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi hanya
seorang saja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh lalu
meloncat bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena
tertotok sambitan potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat
betapa tiga orang lawan mereka yang lihai diserang secara gelap, tiga orang
penyerbu itu cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru,
"Terima
kasih atas pertolongan Li-hiap!" Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat
dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun tangan, tentu mereka akan
tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas genteng, ketiganya lalu pergi
lari secepatnya menghilang di dalam kegelapan malam.
"Manusia
sombong yang lancang tangan!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan
halus dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul munculnya banyak
orang yang dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih
terang karena di antara mereka ada yang membawa lampu.
Kwi Hong
adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal takut. Di dasar
hatinya dia sudah mempunyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang yang
menurut penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan perkumpulan besar yang
bersikap memusuhi Pulau Es. Kini melihat munculnya dara yang amat cantik dan
yang memakinya, dia menjadi marah dan balas memaki,
"Kaliankah
orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya Thian-liong-pang adalah
perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, kiranya tiga orang kalian
tadi sama sekali tidak ada gunanya!"
"Bocah
sombong!" Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat
ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepandaian yang
lebih tinggi dari pada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga penyerbu dan
yang dipukul mundur oleh potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong.
Dengan
gerakan jungkir balik, keduanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua
jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biar pun mereka menyerang
dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka mendatangkan angin keras dan
merupakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang kuat!
Namun Kwi
Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih sinkang di Pulau Es,
di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sinkang yang
jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan itu,
cepat ia merubah kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan
itu tidak datang dari belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa menggeser
kakinya, dia mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak
tangannya sambil membentak.
"Pergilah
kalian!"
Dua orang
kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu menangkis
pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan pukulan dengan
pengerahan sinkang agar gadis yang berani menghina Thian-liong-pang ini dapat
dirobohkan dengan sekali serang.
"Desss!
Desss!"
Kedua
pukulan mereka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak, akan tetapi
betapa kaget hati mereka ketika tenaga sinkang mereka hanyut dan lenyap, sedangkan
dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar hawa dingin yang demikian hebat
dan cepatnya menyerang mereka melalui lengan mereka sehingga mereka merasa
lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin luar biasa membuat mereka menggigil,
terus hawa dingin itu merayap menuju ke dada. Mereka berusaha mempertahankan
diri, namun dorongan hawa dingin yang luar biasa itu membuat tubuh mereka
terpelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha
mengerahkan ginkang, akan tetapi karena rasa dingin tadi membuat tubuh mereka
seperti kaku, mereka masih terbanting ke atas tanah sehingga seorang di antara
mereka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk merintih-rintih sambil
memegangi pinggulnya yang terbanting keras!
Tiba-tiba
terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam meluncur ke atas
dengan cepat sekali. Sinar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur keras
seperti seekor ular panjang yang hidup, ujungnya bergerak-gerak dan menotok ke
arah kedua mata Kwi Hong! Karena cuaca di atas tidaklah begitu terang, Kwi Hong
tak dapat melihat ujung tali hitam dan hanya menangkap suara dan anginnya, maka
dia terkejut bukan main. Cepat ia menggerakkan kedua tangannya ke depan muka,
selain untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda panjang yang menyambarnya
itu.
Kiranya dara
jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah yang
mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk menyerang
Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di atas itu
hendak menangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat menggerakkan
pergelangan tangannya dan tiba-tiba ujung tali di atas itu tidak jadi
melanjutkan serangan ke arah mata, melainkan meluncur ke bawah dan tahu-tahu
telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali
secara tiba-tiba ke bawah!
"Aihhh!"
Kwi Hong terkejut bukan main.
Tali itu
demikian lemas sehingga ia tidak merasa ketika kakinya dibelit, tahu-tahu hanya
merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari atas wuwungan genteng!
Karena tarikan itu tiba-tiba dan juga tenaga tarikan berdasarkan sinkang
sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi Hong tak dapat mempertahankan kakinya
lagi yang terpeleset dan tubuhnya terpelanting, jatuh ke bawah!
"Haiiiitttt!"
Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat
menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehingga tubuhnya tertahan dan
kini terjadilah tarik-menarik!
Dara di
sebelah bawah meggunakan dua tangan yang memegang tali untuk menarik, sedangkan
Kwi Hong dengan berpegang pada wuwungan genteng, mempertahankan kakinya yang
terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke
bawah, tentu dia akan disambut oleh pengeroyokan orang-orang Thian-liong-pang.
Dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan
jatuh ke bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia mempertahankan
diri mati-matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang pada
wuwungan.
Tarik-menarik
terjadi. Betapa pun juga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba-tiba
wuwungan genteng itu tidak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan
wuwungan itu ambrol, genteng-gentengnya runtuh ke bawah disusul tubuh Kwi Hong
yang melayang turun pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya
wuwungan itu membuat orang-orang Thian-liong-pang yang berada di bawah menjadi
kaget dan takut tertimpa, maka mereka meloncat dan menyingkir. Dengan
berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka lipatan ujung tali pada kakinya dan
ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian-liong-pang yang
memukulnya, ia cepat menangkis.
"Plak!
Plak!"
Kembali Kwi
Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan tetapi
kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya
itu memiliki sinkang yang amat kuat.
"Tar-tar-tar-tar!"
Ujung tali
panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika
ia mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua
pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat-tempat berbahaya yang
ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan
secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta
menangkis totokan ujung tali secara bertubi-tubi itu.
Sementara
itu, para anggota Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut senjata
masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah
muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian-liong-pang
benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biar pun dia tidak takut
dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan
dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan
pamannya? Dia melepaskan lagi gagang Li-mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali
meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.
Empat orang
anggota Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong
yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya
menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara! Semua
orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda
yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini
karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini semua orang
hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap
ditelan kegelapan malam.
Milana, dara
jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali. Apa lagi
ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki kuda di
sebelah belakang rumah penginapan, mukanya menjadi merah.
"Si
keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!"
Anak buah
Thian-liong-pang cepat berlari-larian dan di dalam malam gelap itu mulailah
mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana, Kwi Hong
telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di kandang,
timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan diri naik
kuda curian itu! Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri
berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk
mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras,
juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.
Milana
merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar-benar telah
menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia akui bahwa gadis itu
memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi
kesempatan untuk bertanding secara benar-benar. Tentu saja Milana sama sekali
tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman,
tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang
pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu! Karena mengira bahwa gadis tadi adalah
seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian-liong-pang, Milana menjadi
penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis
cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan pengejaran dengan berkuda
pula.
Kwi Hong tidak
kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya keluar dari
dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang diri panjang
pendek. Sungguh menggemaskan hati! Mengapa hampir saja dia celaka di tangan
seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biar pun tidak begitu jelas, hanya
melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya
lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh
lebih muda dari pada dia. Seorang dara remaja belasan tahun! Dan dia hampir
celaka di tangannya! Demikian rendahkan kepandaiannya? Bukankah dia murid
bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada
bandingannya?
Pamannya
sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa dia sebagai
keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah
dari Thian-liong-pang saja hampir keok? Hmm, jika saja tidak muncul pasukan
pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai
mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi
mereka semua! Kwi Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam-diam dia
merasa ragu apakah dia benar-benar akan menang melawan gadis kecil bersama
belasan orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
"Hemm,
kalau dikeroyok, tentu saja berat!" Kwi Hong berjebi. "Kalau main
keroyokan, mereka pengecut! Jika maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup
mengalahkan mereka semua!"
Kwi Hong
melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan
dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit dan
menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah matahari mulai muncul
dari balik daun-daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman
karena sejak lewat tengah malam tadi, suara derap kaki kuda yang mengejarnya
sudah tidak terdengar.
Dia memasuki
hutan sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Biar pun dia tidak tidur
semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari pagi dan
memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok
ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan
dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput-rumput hijau segar
membasah dan kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang
melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.
Kwi Hong
tersenyum gembira. Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu pagi,
setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus.
Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang berkicauan
dan saling berkejaran. Tiba-tiba alisnya berkerut ketika ia melihat seekor
burung jantan mengejar-ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran,
bercuit-cuit amat gembira.
Teringatlah
ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia
menghela napas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya,
berlarut-larut termenung kalau saja matanya tidak tertarik oleh serombongan
orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan
kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya,
menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.
Rombongan
orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan setelah mereka
datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-orang itu
berwarna-warni. Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia sudah tahu akan
keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mereka yang seperti dicat
itu. Sebagian besar adalah orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua,
dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda.
Ah, ternyata
bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa
makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya. Akan
tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan
itu adalah orang-orang Pulau Neraka, melainkan benda yang mereka bawa dan
kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya
untuk seorang kanak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi
segala! Yang lain-lain mengiringkan dari belakang.
Begitu
mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong
sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu,
adik angkat pamannya. Akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di
tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan
dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat
tidak baik, apa lagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa
benci dan begitu melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin
sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti
mati itu, keheranannya lebih besar dari pada ketidak senangannya maka dia lalu
berkata nyaring.
"Heiii!
Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak
kalian bawa ke mana peti mati itu?"
Seorang
wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar,
keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata
bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang
sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan
dengan orang-orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah
dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat
penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja
mereka menjadi khawatir dan tidak senang.
Wanita
setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, "Bocah sombong, sudah pasti
peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!"
"Heiii,
apa kau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?" Kwi Hong membentak
marah.
"Setelah
bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan
berarti engkau menjadi calon mayat?"
"Keparat!
Engkaulah yang patut mampus!" Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah
itu melotot.
Kedua orang
bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang rendah
kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke
arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang
pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!
"Tar!
Tar!"
Melihat
kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan
mengelebatkan perut kudanya, mendahului mereka dengan serangan pecut. Biar pun
dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sinkang-nya yang hebat,
ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang berwarna
kuning tua!
"Plak!
Plak! Aiiihhh...!" Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram
ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika
lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu
bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!
"Dari
mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau
Neraka?" Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama
temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh
tinggi gendut pendek, segera menerjang maju. Biar pun jarak di antara mereka
dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan
pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si
Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.
"Wuuuuutttt!
Siuuut!"
Kwi Hong
terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan
mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau
Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki
pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya
mencelat ke atas, tapi terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh
berkelojotan sekarat.
"Berani
kau membunuh kudaku?" Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke
bawah, cambuknya digerakkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul
Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.
"Tar-tar-tar-tar!"
Biar pun Si
Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini, namun tetap saja
beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet dan
bajunya robek-robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang
dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke
belakang, meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka.
Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya
bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat
berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur
sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.
"Pe...
dang... Iblis...!" Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.
"Hemmm,
kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!" Kwi Hong
menantang.
"Melihat
pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, pergunakan asap
berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!"
Mendengar
ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk
menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah
asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan
agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik
angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain
agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu
telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah.
Apa lagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap
orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru,
"Sudahlah, aku mau pergi saja!"
Kwi Hong
meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggota Pulau Neraka
dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat
berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan
senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suara nyaring
berulang-ulang disusul teriakan-teriakan kaget karena semua senjata enam orang
itu patah-patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan, terus lari dengan cepat
sekali!
Karena takut
kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan pengejaran, bukan takut
kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong
berlari cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia
melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan Pulau
Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan
menumpahkan kemarahannya dan kejengkelannya?
Betapa pun
juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu
apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali,
sungguh pun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi
Lulu sekali pun. Apa lagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin
sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya
mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang
Lam-mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun
Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan
merampaskan Pedang Lam-mo-kiam dan akan ia berikan kepada Bun Beng!
Ketika ia
tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu merupakan
sebuah tanah perkuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu-batu bong-pai
(nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang
tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu
adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau
Neraka yang membawa peti. Celaka, pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu
menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.
Berpikir
demikian, Kwi Hong berlari terus dengan maksud hendak melewati bukit tanah
kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari
musuh-musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba-tiba bulu
tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini kedua kaki
itu agak menggigil! Kwi Hong takut?
Tidak
mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan
menjadi seram dan takut jika tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan
dan terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak.
Suara ketawa itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat
yang tertawa! Kwi Hong seorang gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini
dia benar-benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama
adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya
ternyata berisi mayat hidup! Kedua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian
sunyi, tidak terdengar suara seorang pun manusia. Dan tiba-tiba ada suara
ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!
Ah, mana ada
setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulu pun, mayat hidup
itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau
Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apa lagi di waktu pagi ini,
mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai
sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang itu terdengar bergema
ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan
sinkang-nya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari dari mana
datangnya sumber suara ketawa itu.
Benar saja
dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang mengandung
khikang amat kuat, sedangkan sumbernya dari... sebuah kuburan kuno! Kembali ia
terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit
lagi! Suara ketawa dari kuburan kuno? Apa lagi kalau bukan suara setan atau
mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya
kalau saja dia tidak merasa malu. Biar pun tidak ada orang lain yang
melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia
lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, dari pada
menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biar pun dia harus berhadapan
dengan iblis di siang hari sekali pun!
"Heh-heh-heh-heh,
hayo... biar kecil, hatinya besar, hi-hi-hik!"
Nah, benar
manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar keluar
dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada
manusia di dekat kuburan itu.
"Krik-krik-krik!"
"Krek-krek-krek!"
Eh, ada
suara dua ekor jangkrik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apa lagi ketika kembali
terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.
"Eh,
maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biar pun kecil
merica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha-ha-ha!"
Dengan
berindap-indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa
terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya saat melihat bahwa yang
disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah
tua sekali, duduk seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu
jangkrik di atas telapak tangan kirinya!
Kakek itu
sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan,
kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga
kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya,
sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali-temali
melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau.
Yang paling
menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan
pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biar pun kakek itu duduk
mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi
olehnya. Namun kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya,
bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah
kepada dua ekor jangkrik di atas telapak tangannya, pandang matanya
bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu
terbelalak.
Kwi Hong
melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas
telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkrik yang saling
berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput
sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil
adalah seekor jangkrik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang kedua adalah
seekor jangkrik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih
besar.
Kwi Hong
duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil
menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat
jangkrik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkrik akan tetapi tidak tahu
bahwa jangkrik dapat diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum
menyaksikan sikap dua ekor jangkrik itu. Setelah mengerik dan sayapnya
menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang
lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali
pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!
"Hayo,
Si Kecil Merah, biar pun kecil jangan mau kalah! Serang...!" Kakek itu
tiba-tiba melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan,
diangkat-nya kili-kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkrik itu tidak
terhalang kili-kili dan mereka saling terkam!
Kwi Hong
memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia melihat dua
ekor jangkrik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling
gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat
itu untuk mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkrik hitam yang lebih
besar itu lebih kuat. Jangkrik kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong
terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkrik
hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan
berputar-putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang jagoan
yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu silat)!
"Wah,
Si Hitam itu hebat!" Kwi Hong berkata lirih memuji.
"Puhh!
Hebat apanya?" Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong.
"Kalau bukan kau datang mengagetkan, Si Kecil Merah takkan kalah!"
Melihat
sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena
jangkrik kecil itu kalah, Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. "Apa? Aku
yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkrik yang kecil begitu mana bisa
menang?"
"Siapa
bilang tidak bisa menang? Kau kira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis
besar yang sombong!"
"Plak!
Plok!"
Hampir saja
Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu menggerakkan
tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar
dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari
celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong
meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan
bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia
melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.
"Prokkk!"
Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong memandang dengan mata
terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk
saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sinkang-nya,
mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya hancur,
tanpa sedikit pun kelihatan mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah
dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat
sinting perangainya!
Tanpa
mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu
telah menaruh jangkrik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas
tanah, kemudian menyambar jangkrik hitam kemerahan yang kalah tadi.
"Kau
harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan
mengira bahwa Si Besar yang kuat!" Dia bersungut-sungut, mengomel
marah-marah tidak karuan.
"Kau
harus dijantur biar besar hatimu!" Kakek itu mencabut sehelai rambut yang
panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya.
"Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkrik, hatinya menjadi
tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai
kepadaku!"
Biar pun Kwi
Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk menyaksikan
bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkrik kecil maju dan mengalahkan
jangkrik besar. Biar pun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si
Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya
rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua
jari tangan.

Diam-diam
Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih
luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap sehelai rambut yang melayang
dengan jepitan jari tangan. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah
wajahnya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur
jangkrik kecil merah itu pada selangkang kakinya.
Kwi Hong
memandang dengan heran dan ngeri. Jangkrik itu dijantur diputar-putar seperti
gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh
kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya kakek itu mulutnya
berkemak kemik dekat dengan tubuh jangkrik yang berputaran. Setelah gerakan
berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi
tiba-tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.
"Cuh!
Cuh! Cuh!" Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkrik merah.
"Awas
kau kalau kalah lagi!" Kakek itu berkata. "Harus kuberi tambahan
semangat!" Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkrik yang
masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya, "Busssshh!"
Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkrik merah.
"Ihhh...!"
Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil
memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan
tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah ‘gemblengan’ yang
diberikan kakek itu pada jangkrik merah benar-benar manjur, Kwi Hong tidak
pergi dan masih berdiri menonton.
Kembali
kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung
pertandingan antara kedua ekor jangkrik itu. Jangkrik merah sudah dilepas dari
rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu.
Jangkrik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari!
Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar
oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat
si Jangkrik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili-kili
di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan menyerang
kili-kili, sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!
"Ha-ha-ha-heh-heh,
bagus! Sekarang kau harus menang!" Kakek itu berkata lalu mengambil
jangkrik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya,
kakek itu terus mengili jangkrik merah yang makin ganas dan bergerak maju
menghampiri jangkrik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh
kakek itu.
"Wah,
kau licik! Kenapa jangkrik hitamnya tidak dikili?" Kwi Hong tidak dapat
menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek,
kakek itu berpihak kepada jangkrik kecil dan berlaku curang.
"Eh,
kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kau kili dia!" kakek itu
membentak marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkrik,
gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.
Biar pun
tidak diganggu kili-kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik
dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan
bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi
dia menahan diri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.
Setelah
kedua jangkrik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan
kili-kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor
jangkrik itu saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar-benar
lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya
pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan
pertama. Akan tetapi, betapa pun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia
didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.
Kwi Hong
cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah lagi.
Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai
pecah-pecah dan remuk-remuk, debu beterbangan ke atas.
"Sialan!
Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah,
harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama
hidupku sampai kau menang!"
Kembali dia
menaruh jangkrik hitam di dalam lubang dan mulailah ia melakukan
‘penggemblengan’ kedua terhadap jangkrik kecil merah. Cara menggemblengnya
makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar-benar
kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar watak
gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkrik gemblengan
kakek itu benar-benar akan dapat menang satu kali saja. Kalau kalah terus, dia
mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani
menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan
melawan dengan pedangnya.
Kakek itu
benar-benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat
seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai
perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja
kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian
pula dalam adu jangkrik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum
memang, karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri.
Kini dia
membenam-benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam... air kencingnya sendiri. Tanpa
mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi
Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkrik
merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas tanah. Tentu saja
payah jangkrik merah kecil itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong
yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti
cuka lama, apa lagi jangkrik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing!
Akan tetapi
kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan
membenam-benamkan jangkrik jagoannya sampai setengah kelenger, barulah ia
menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya siuman di bawah sinar matahari,
kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkrik itu.
Anehnya,
ketika jangkrik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja,
akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang,
sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!
"Bagus,
kau kini tidak mengenal takut lagi!"
Kwi Hong
lupa akan bau air kencing yang biar pun sudah dihisap tanah masih meninggalkan
bau lumayan. Karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan ia kini duduk
di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkrik sudah
berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkrik kecil itu
mundur terus!
"Kalau
sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!" Kakek itu mengomel dan
Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkrik kecil merah itu.
"Kek,
tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan
keburu dia jatuh ke bawah!" Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar
nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin
melihat Si Kecil yang diingkal-ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat
menang.
Kakek itu
tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan
kili-kili untuk menahan pantat jangkrik kecil merah yang terdorong terus ke
belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan
mati-matian, dan kedua jangkrik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan
air menguning!
Jangkrik
hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar,
didorongnya kepala jangkrik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga
tubuh jangkrik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga
akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di
atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya
tertusuk.
Akan tetapi
tiba-tiba jangkrik kecil yang kehilangan akal itu membuat gerakan membalik
sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkrik hitam besar mengejar, Si Kecil
itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan tiba-tiba dan
gerakannya amat cepat dan kuat. Akibatnya, tubuh jangkrik hitam besar itu
terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga
kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkrik kecil
merah yang masih berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak
ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!
"Hebat
dia...!" Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Tetapi dia segera
menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek
tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong
peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!
Kwi Hong
merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu.
Akan tetapi dia terheran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri
berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa
bergerak sedikit pun.
Akan tetapi
kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dia sedang
bergembira, girang bukan main. "Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan
sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!" katanya sambil melepaskan jangkrik
itu ke dalam semak-semak. Dia lalu menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan
bergulingan ke sana-sini, mendekati bangkai jangkrik hitam, mengejek dan
menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!
"Heh-heh,
kau kira yang besar harus menang? Ha-ha-ha!"
Ketika ia
bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja
gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan
gadis ini disalah artikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu
menentangnya, apa lagi dia melihat bahwa gadis itu tidak ikut bergembira
bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan dua
tangan dan bagaikan kilat cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis
gaya jangkrik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh
Kwi Hong!
Tentu saja
Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia
menangkis.
"Desss!"
Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan
‘temangsang’ di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!
Kakek
sinting itu berseru kaget. "Heiiii...! Wah, kenapa kau mau saja
kusepak?"
Secepat
burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan pohon,
tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara
itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali
dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar
biasa itu.
Setelah
memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira,
"Ha-ha-ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si
kecil mengalahkan si besar, ha-ha-ha!" Tiba-tiba ia melihat rombongan
orang Pulau Neraka yang berlutut di situ, lalu suara ketawanya berhenti, dia
membentak marah.
"Eiiittt!
Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang
sedang bergembira!"
Kwi Hong
kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tingkatnya tidak rendah
itu mengangguk-angguk dan seperti anjing digebah mereka kemudian pergi
mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari
tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun
mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!
"Heh-heh-heh,
mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka?
Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam
penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus
ini kepadamu."
Kwi Hong
menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan
itu!"
"Wah,
lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak
sopan!"
"Aku
adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkrik atau seekor
kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkrik atau kuda itu,
bukankah itu tidak sopan?"
"Uwaaah,
sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau
mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk
membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat
tujuannya, semua jurus yang pernah kau pelajari juga tidak sopan! Hayo, coba
kau bantah!" kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet
dan mengajak bertengkar.
"Sudahlah,
aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"
"Aihhh!
Siapa tokoh Pulau Neraka?"
"Engkau,
kakek sinting, apa kau kira aku tidak tahu bahwa engkau adalah tokoh Pulau
Neraka?"
"Dari
mana kau tahu?"
"Dari
mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!" Kwi Hong tidak mau
bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut
dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.
"Ada
apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah,
lihatlah!" Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu
tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal
putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.
"Apa
kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi
merah seperti dicat.
"Atau
biru? Hijau? Kuning?"
Kini Kwi
Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu,
seolah-olah ada yang mengecatnya berganti-ganti, dan akhirnya berubah biasa
lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.
"Jelas
engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!" Kwi Hong berkata.
"Kalau
betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau
pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa
bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku
seorang manusia seperti juga engkau! Jangan sombong kau, gadis gede..."
"Jangan
sebut-sebut aku gede! Apa kau kira engkau ini masih bocah?"
"Eh-eh,
yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau
dibandingkan dengan tubuhku?"
"Bukan
aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa
saja! Kau benar-benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih
namamu?"
"Heh-heh,
kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri,
digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan
orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia
Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku
adalah datuk Pulau Neraka... heh-heh-heh... Haa?! Mengapa kau mencabut pedang?
Waduhhh... pedangmu itu...! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid
Suheng!"
Kini Kwi
Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti
mayat hidup, guru dari Keng In!
"Bagus,
ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang
ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam-mo-kiam yang
dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus
dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari
kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"
"Mengadu
nyawa? Heh-heh-heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh, tanpa
pertaruhan aku tidak sudi susah-susah keluarkan keringat!"
Biar pun
hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. "Bu-tek Siauw-jin,
orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah tentu akan mati, mana bisa
memenuhi pembayaran?"
"Siapa
bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada
yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kau pandang rendah tadi
untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah
dan engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!"
Kwi Hong
bergidik. "Gila! Itu sama saja dengan mati!"
"Eiit,
siapa bilang sama? Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang
kenapa tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku
dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?"
Melihat
kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan
berkata, "Kalau kau yang kalah?"
"Kalau
aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu.
Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih
ampuh dari pada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah,
kau mulai."
Kwi Hong
menjadi serba susah. Biar pun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau
Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya dia pun tidak
tega. Biar pun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting dan aneh,
sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang-orang
Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main
atau pura-pura saja. Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar
biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru
Keng In. Namun demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus
menang. Apa lagi dia memegang Li-mo-kiam dan hanya dilawan dengan jurus baru
yang diperoleh kakek itu dari adu jangkrik tadi.
"Lihat
pedang!" bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika
Li-mo-kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mukjizat dan mengandung
hawa maut.
"Hayaaaaaa...!"
Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan
mengelak dari sambaran pedang.
Kwi Hong
yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan
serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu sehingga
pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek
itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin,
kadang-kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkrik meloncat. Namun
sedikit pun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus
barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkrik! Malah dia repot sekali
harus mengelak terus karena pedang Li-mo-kiam adalah pedang yang amat luar biasa,
baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.
Tiba-tiba
Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar
suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas kentut yang besar dan panjang!
Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda.
Inilah kesalahannya. Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk
menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat
tubuh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi
Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang
gagang pedang sehingga pedang Li-mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi
mengaung.
Ketika Kwi
Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah ‘terbang’ ke atas
menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum
menyeringai, "Nah, kau kalah, muridku."
Kwi Hong
menerima dan menyarungkan pedang, lalu ia menjawab, "Bu-tek Siauw-jin,
ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi
muridmu."
"Apa
kau kira aku tidak tahu? Kau anggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa?
Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak,
peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?"
Kwi Hong
makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. "Aku tidak
tahu."
"Karena
Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"
"Bagaimana?
Aku tidak mengerti."
"Kami
bertiga, Suheng Cui-beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang
sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng
mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah
itu pandai sekali, apa lagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tak ada yang
melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li-mo-kiam,
engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid
Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan
menghadapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang
mengingatkannya dengan cara mengalahkan muridnya oleh muridku!"
"Tanpa
kau beri pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!"
"Hemm,
dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau
murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari Suheng,
apa kau kira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena
dia pun mempunyai pedang yang sama ampuhnya."
"Pedang
curian!"
"Curian
atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya jika kau tidak mampu
menandingi ilmunya?"
"Siauw-jin...
ehhh... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya
dengan menyingkat!"
"Heh-heh-heh!
Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus
kalau aku disebut Siauw-jin, ha-ha-ha!"
"Bu-tek
Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku suka
mempelajari ilmu yang akan kau berikan kepadaku, biar pun untuk itu aku harus
dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan
suka kau pergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?"
"Kwi
Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri
perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma
Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu... heh-heh,
apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya
ditemukan oleh seorang bocah laki-laki, entah siapa aku tak kenal namanya.
Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam dirampas oleh murid Suheng maka
engkau akan merampas kembali pedang itu memusuhinya. Engkau harus menemani aku
dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini.
Latihan sinkang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga
Inti Bumi! Setelah berlatih semedhi dan sinkang di dalam tanah, nanti kuberikan
ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku
tadi, yang kau katakan tidak sopan."
"Ilmu
tendangan jangkrik?"
"Benar!
Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malapetaka, engkau dapat
menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga
inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam
keadaan tak terduga-duga seperti yang dilakukan jangkrik kecil tadi. Jurus ini
selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan
yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"
Kwi Hong
mengangguk. "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kau berikan."
"Bagus,
sekarang kau carilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan
terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede."
"Mencari
peti mati? Ke mana?"
"Wah,
bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke
mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main.
Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?"
Kwi Hong
terbelalak ngeri. "Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada
isinya!"
"Isinya
hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapa pun
kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia
hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih
baik dapat kau pergunakan!"
Kwi Hong
menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai
hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!"
"Uuhhh!
Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?" kakek itu bersuit tiga
kali memanggil anak buahnya. Muncullah mereka berbondong-bondong dari tempat
mereka duduk menanti.
"Hayo
cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua." Bu-tek Siauw-jin
memerintah.
"Aihh...
Ji-tocu (Majikan Pulau kedua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti
untuk To-cu," kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul.
Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu
kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun
diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.
"Cerewet
kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat
baik-baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu?
Namanya Kwi... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?"
"Kwi
Hong..., Giam Kwi Hong," kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan
tingkah gurunya yang sinting.
"Oya,
dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling
baik!"
Kwi Hong
memandang dengan hati penuh ngeri betapa orang-orang itu membongkari kuburan
dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat
dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangkanya
dikeluarkan, lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang memandang
dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat
mayat?
"Gali
sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!" kakek itu kembali memberi
perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek
Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar,
sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter
telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.
"Lekas
kau masuk ke dalam petimu!" Kwi Hong menggelengkan kepalanya. "Eh,
apa kau takut?"
Melihat
betapa semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar
pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, "Siapa bilang aku
takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!"
Tentu saja
sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!
"Eh,
siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada
orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, ataukah engkau hendak membantah
perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?"
Kwi Hong
merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak membayar
kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau
kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?
"Kalau
aku sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?" Dia mencoba
menggunakan alasan menolak.
"Bodoh!
Biar pun di dalam peti, apa kau kira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo
cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita."
Dengan jantung
berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati itu.
Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati
yang tebal.
"Brakkk!"
papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak tangannya, kemudian dipasanglah
sebatang bambu panjang yang sudah dilubangi.
"Pejamkan
matamu agar jangan kemasukan debu!" kata kakek itu sambil mengangkat tutup
peti mati dan menutupkannya.
Dunia lenyap
bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya
hitam pekat! Dia merasa betapa peti mati di mana dia berbaring terlentang itu
bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang
kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi lubang
hawa yang lebih tinggi dari pada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.
Bu-tek
Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti
itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti
mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat
menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama
sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar
sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah
bambu yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong!
Ada pun kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang
hawa.
Belasan
orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari ‘kuburan’ itu, karena
kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak boleh diganggu
dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya.
Akan tetapi mereka pun tidak berani menjaga terlalu dekat, karena kakek sinting
ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biar pun berada di dalam peti mati
yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang di
atas! Karena itu, mereka lebih ‘aman’ menjaga di tempat yang agak jauh, akan
tetapi siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu.
Dapat
dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara
berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai
akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudian sunyi,
sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di
tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang menyilaukan
mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya,
barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari
batang bambu yang tentu saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya
matahari masuk bersama hawa.
Makin ngeri
hati Kwi Hong. Lubang bambu itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu
tertutup... ihh, dia bergidik dan mendadak saja napasnya terasa sesak sekali,
seolah-olah hawa di dalam peti mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!
"Kakek
sinting...!" Dia memaki gemas. "Kalau engkau menipuku dan aku sampai
mati di sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau setanku belum
mencekik lehermu sampai putus!"
Tiba-tiba
terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, suara dari
balik kubur! "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah
demikian ganas, apa lagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, engkau
muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada
tabung bambu untuk hawa segar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan
dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih pernapasan, semedhi dan menghimpun
sinkang dari hawa inti sari bumi..."
Dengan penuh
perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang terdengar jelas sekali,
mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istimewa, kemudian mencobanya
dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih
pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk bernapas di dalam ruang tertutup
di bawah tanah!
"Jangan
memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami tokoh-tokoh dan
datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang
memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu,
sebelum semua kesukaran dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di
permukaan pulau merupakan hal yang mustahil apa lagi kalau ular-ular dan semua
binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa
angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari
tempat persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh
ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara berlatih seperti
ini! Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati? Karena dari sebuah peti kunolah
ditemukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang di antara nenek
moyang kami bersembunyi di dalam tanah dengan mengubur diri hidup-hidup,
melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam tanah
ketika dia menggali lubang, dia menemukan ukiran-ukiran dan coretan-coretan di
dalam peti mati itu yang ternyata adalah ilmu-ilmu rahasia yang agaknya
ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur di
Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya, belajarlah
baik-baik karena sesungguhnya, biar pun sifatnya berbeda, namun pada dasarnya
ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es."
Dengan tekun
dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu,
Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek
itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan penuh ketekatan, tidak merasa ngeri
atau takut lagi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang
menjadi gurunya itu.....
***************
Sebetulnya
apakah yang terjadi dengan orang-orang Pulau Neraka? Mengapa mereka berada di
situ dan bagaimana pula dengan Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka? Seperti
telah diceritakan di bagian depan, pasukan pemerintah menyerbu Pulau Neraka dan
melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar
jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.
Para
penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak
mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di
sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rombongan
perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya,
Wan Keng In, pada waktu terjadi penyerbuan itu tidak berada di pulau karena
memang puteranya itu pergi bersama gurunya yang belum pernah dijumpai Lulu.
Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir seratus lima puluh orang
penghuni Pulau Neraka itu tiba di pantai, ternyata Wan Keng In telah berada di
tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.
"Ibu,
kulihat dari jauh asap mengepul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak
membawa anak buah kita ke mana? Apa yang telah terjadi?"
"Pulau
kita diserbu pasukan pemerintah. Untung aku telah menduganya terlebih dahulu
dan membawa anak buah melarikan diri," jawab Lulu.
"Ahh,
mengapa melarikan diri? Mengapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan? Sungguh
memalukan sekali, lari terbirit-birit seperti serombongan pengecut. Bukankah
Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?"
Lulu
memandang puteranya dengan marah. "Enak saja mencela! Engkau sendiri
mengapa tidak datang melihat pulau kita terancam? Bagaimana kita mampu melawan
pasukan pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan pasukan itu dipimpin
oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun,
pendeta India Maharya, kedua orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan
Thai Li Lama, dan masih banyak lagi panglima yang lihai."
"Ibu
adalah Ketua Pulau Neraka, masa takut untuk menghadapi mereka?" Keng In
membantah.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa dari tepi pantai. "Ha-ha-ha, Ketua boneka seperti
Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku? Engkaulah yang dapat
menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!"
Lulu cepat
membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang berjalan
terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas
sepinggang, makin lama air makin dangkal dan makin tampaklah tubuhnya, akhirnya
dia berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan
terbungkuk-bungkuk di atas pasir menghampiri mereka sambil tertawa-tawa.
Melihat
kakek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan
ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut dan menelungkup, tidak berani
mengangkat muka apa lagi memandang! Melihat ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu
orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu orang pertama dari Pulau
Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.
"Orang
tua, agaknya engkau inilah yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau
menganggap aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja? Karena engkau
takut terhadap Pendekar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai
umpan? Kakek yang sombong dan pengecut, hendak kulihat sampai di mana
kelihaianmu maka kau berani mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin
kepada aku yang menjadi Ibunya!"
"Ibu,
jangan...!" Wan Keng In berseru kaget ketika melihat ibunya menerjang maju
dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat.
Memang Lulu
sudah marah sekali, maka begitu menyerang, dia telah menggunakan jurus simpanan
dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang
Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri
dingin yang kanan panas, adalah tenaga inti mukjizat yang dahulu dia latih
bersama kakak angkatnya di Pulau Es.
"Desss!
Dessss!"
Hebat bukan
main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan tetapi kakek setengah
telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan dorongan tangan, hanya
terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini
membuat Lulu menjadi makin penasaran dan sambil mengeluarkan suara melengking
dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.
"Ibu,
jangan! Kau takkan menang!" Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya
tidak mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu
karena ibunya sudah melancarkan serangannya dengan amat cepat dan dahsyat
kepada Cui-beng Koai-ong yang memandang dengan mulut menyeringai.
"Heh-heh,
Ibumu sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilarang, jangan
dihalangi, biarlah!" Kakek itu berkata dan ejekan ini tentu saja membuat
Lulu menjadi makin penasaran dan marah.
"Plak!
Plek!" Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan
kakek itu, melekat dan terjadilah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat
antara kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu,
keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan itu sedang terbakar!
"Suhu,
harap jangan bunuh Ibu...," Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia
maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawanannya terhadap
kakek yang amat sakti itu.
Tetapi,
kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan
kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan
dia mengerahkan seluruh sinkang-nya untuk menyerang kakek itu, sedangkan
Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi
itu, terkekeh kekeh senang sebab maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di
tangannya.
Sementara
itu, para anggota Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu
memandang dengan mata terbelalak. Mereka itu suka dan tunduk kepada Lulu yang
selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada
Cui-beng Koai-ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Wajah pemuda ini
menjadi pucat. Untuk menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak
sanggup dan tidak berani, akan tetapi kalau tidak dihentikan, tentu ibunya akan
tewas! Ingin dia menangis saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan
mohon kepada gurunya dan ibunya menghentikan pertandingan itu.
Kini Lulu
maklum bahwa sesungguhnya puteranya tidak sombong kalau mengatakan bahwa ilmu
kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada
kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh tenaga sinkang-nya tersedot
dan tidak berdaya, bahkan kini kedua telapak tangannya terasa panas seperti
terbakar, tanpa dia mampu menariknya atau melepaskannya dari telapak tangan
lawan.
Rasa nyeri
yang hebat mulai terasa oleh tangannya, namun Lulu mengerahkan seluruh daya
tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menyerah kalah dan
mengambil keputusan untuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua
tangannya kini bukan hanya uap dari hawa sinkang, melainkan asap dari telapak
tangannya yang mulai terbakar dan terciumlah bau yang hangus dan sangit!
"Suhu,
harap kau maafkan Ibuku...!" Wan Keng In berseru dan berlutut di depan
kaki gurunya.
Namun sekali
kakek itu menggerakkan kaki kiri, tubuh Keng In terlempar dan gurunya berkata,
"Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di
tanganku, ha-ha-ha!"
Lulu merasa
betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sinkang-nya makin lama makin
menjadi lemah, tubuhnya mulai gemetar dan dia maklum bahwa dia tidak akan dapat
bertahan lama lagi. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
"Ha-ha-ha,
Twa-suheng sungguh keterlaluan! Orang sudah berjasa, menggantikan kita memimpin
anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita
lagi, apakah tidak memalukan?"
Tahu-tahu
muncullah seorang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia
berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan
kata-katanya, "Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa
lagi?"
Begitu
punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari
punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng
Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke
belakang seperti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak
tangannya yang sudah menjadi hitam terbakar, matanya kini memandang ke kiri, ke
arah kakek pendek yang telah menolongnya.
"Apakah
engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?" tanyanya secara langsung, sedikit
pun tidak menaruh hormat karena biar pun kakek ini sudah menyelamatkan
nyawanya, namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang telah mempermainkannya,
membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!
"Ha-ha-ha,
selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhormat, seorang
siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat
ini, Suheng-ku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka
memaafkannya."
Muka Lulu
menjadi merah sekali. Berhadapan dengan kedua orang kakek yang begitu aneh
sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak
berdaya sama sekali. "Keng In, hayo kita pergi!" bentaknya kepada
puteranya yang kini berdiri sambil menundukkan mukanya.
"Maaf,
Ibu. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Suhu sekarang. Aku masih mempelajari
ilmu dan... menurut Suhu..., aku ditunjuk untuk memimpin anak buah Pulau
Neraka."
"Wan,
Keng In! Engkau adalah anakku! Engkau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi
meninggalkan setan-setan ini!" Lulu membentak lagi.
"Aku
tidak mau pergi, Ibu." Keng In membantah.
"Kau...
lebih berat kepada mereka ini dari pada kepada Ibumu?"
"Maaf,
Ibu. Kita sudah banyak menderita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh
kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan
untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderita. Bagaimana Ibu akan
dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?"
"Ha-ha-ha!
Ibumu tidak memusuhi Pulau Es, muridku. Biar pun dia telah menderita karena
Pendekar Siluman, ternyata dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya
itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan.
Ha-ha-ha, mana kau tahu akan isi hati wanita, biar pun wanita itu Ibumu
sendiri?" Cui-beng Koai-ong berkata.
"Hayaaaa!
Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya? Suheng sendiri
sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah mempunyai
seorang murid. Apa artinya ini?" Bu-tek Siauw-jin mencela suheng-nya yang
tertawa-tawa tadi.
"Siauw-jin!
Engkau mau apa mencelaku? Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak apa
mencampurinya? Kalau suka boleh lihat, kalau tidak suka boleh minggat!"
"Bagus!
Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggarnya! Kita
sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu
telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kau larang juga akan percuma saja.
Lebih baik kau pergi meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suheng-ku
yang manis ini turun tangan terhadapmu, biar pun aku sendiri akan sukar untuk
menyelamatkan nyawamu."
"Dia
benar... dia benar... pergilah!" Cui-beng Koai-ong mengomel.
Diam-diam
Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu,
yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu
kedua orang kakek itu seperti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun maklum
bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi mereka. Maka setelah
sekali lagi memandang ke arah puteranya yang tetap menundukkan muka, Lulu
segera meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu. Sekarang tujuan
hidupnya hanya satu, yaitu mencari Suma Han dan mohon pertolongan kakak angkatnya
yang juga satu-satu-nya pria yang dicintanya itu untuk turun tangan
menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!
Demikianlah,
setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang telah kehilangan pulau
itu, para anak buah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka,
menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi
tokoh-tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau
Neraka, juga oleh Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biar pun
terhitung sute dari Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama
tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suheng-nya itu, lalu pergi
sambil menyuruh lima belas orang anak buah membawa sebuah peti mati kosong untuk
berlatih di tempat yang akan dipilihnya sendiri.
Secara
kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang
dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apa lagi setelah kakek pendek ini tahu
bahwa gadis itu adalah keponakan dan juga murid Pendekar Super Sakti.
Karena kalah
dalam pertarungan, juga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-ilmu
yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara
menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang
baru, menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, semedhi dan
mengumpulkan sinkang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi!
Dia melatih diri dengan tekun, dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!
Ilmu semedhi
dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan kini
dia ajarkan kepada Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mukjizat. Sesungguhnya
latihan inilah yang mendatangkan kekuatan sinkang yang tidak lumrah dalam diri
Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang tokoh Pulau Neraka yang
selalu menyembunyikan diri itu. Ilmu mukjizat ini disertai dengan ilmu silat
Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es
yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka. Orang sakti ini menjadi sakit
hati dan putus harapan maka dia ‘membunuh diri’ dengan jalan mengubur dirinya
hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Neraka.
Akan tetapi,
rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebelum mati menciptakan ilmu
mukjizat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di
sebelah dalam peti matinya! Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau
Neraka yang menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari ancaman
binatang-binatang berbisa dan hawa berbisa di Pulau Neraka, mendapatkan peti
mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di dalam peti, maka
berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya
sehingga yang terakhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin!
Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka
Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki ilmu ini...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment