Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 12
Setelah Kwee
Sui berangkat, Phoa Ciok Lin lalu mengumpulkan tokoh-tokoh Pulau Es, terutama
sekali Yap Sun dan Thung Sik Lun, juga Thung Ki Lok, untuk mengatur penjagaan
yang lebih ketat menjaga di sekitar pulau, kalau-kalau ada pihak musuh yang
akan mendarat. Maka sibuklah semua penduduk Pulau Es, mereka melakukan
penjagaan dan siap menghadapi segala kemungkinan selagi majikan mereka tidak
berada di pulau.
Sementara
itu, Kwee Sui seorang diri mendayung perahu kecil, meninggalkan pulau melalui
celah-celah rahasia yang hanya diketahui oleh penghuni Pulau Es. Biar pun
pemuda ini tidak sepandai Ki Lok dalam hal mendayung perahu, namun karena
semenjak kecil dia berada di atas pulau yang dikelilingi lautan dan karena
tenaga sinkang-nya amat kuat, maka perahu itu meluncur cepat sekali ketika ia
menggerakkan dayungnya. Dia tidak melihat adanya perahu besar atau kapal di
situ, maka setelah mengelilingi pulau sehingga malam tiba, Kwee Sui mendayung
perahunya ke pinggir, kemudian turun ke laut sebelah barat yang sunyi lalu
tertidur dalam perlindungan dua buah batu besar.
Kwee Sui
pulas dan mimpi bertemu dengan Kwi Hong yang dalam mimpi itu suka menyambut
rayuan cinta kasihnya. Hal ini terjadi karena sebelum tidur hatinya penuh
kekecewaan akan sikap gadis itu yang belum pernah sedikit pun mau menghargai
sikap manisnya. Kadang-kadang timbul iri hatinya karena mengira bahwa dia kalah
bersaing dengan Ki Lok, tetapi ketika tadi ia dalam persembunyiannya
menyaksikan betapa sikap Kwi Hong juga dingin saja bahkan menolak mentah-mentah
pemberian ikan oleh pemuda itu, hatinya menjadi lega dan harapannya timbul
kembali.
Kwee Sui
enak mimpi sehingga dia tidak tahu bahwa malam telah terganti pagi, dan tidak
tahu pula bahwa di depannya telah berdiri seorang pendeta berkepala gundul dan
bertubuh gendut bundar. Pendeta ini bukan lain adalah Thian Tok Lama yang amat
lihai. Dia mendapat tugas memimpin kapal yang mendekati Pulau Es di pagi hari
itu dari sebelah barat dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan dua potong
papan diikatkan di bawah sepatunya, pendeta sakti ini dapat mendarat tanpa
diketahui oleh seorang pun penjaga Pulau Es!
Para penjaga
hanya melihat betapa lima buah kapal itu mendekati dan mengurung pulau, akan
tetapi tidak berani mendarat. Tentu saja tak seorang pun di antara mereka
menyangka ada orang dari kapal yang dapat ‘berjalan’ di atas air seperti yang
dilakukan Thian Tok Lama dengan bantuan dua potong papan di bawah kakinya. Apa
lagi pendeta Lama ini mendarat ketika cuaca masih gelap.
Melihat
seorang pemuda tidur pulas di pantai dan sebuah perahu kecil terikat di situ,
Thian Tok Lama merasa girang sekali. Ia memang ingin menangkap seorang penghuni
Pulau Es untuk ditanyai keterangan dan dipaksa menjadi petunjuk jalan, maka
tanpa banyak cakap lagi dia lalu menotok jalan darah di belakang leher Kwee
Sui. Pemuda ini terkejut, terbangun, akan tetapi tidak dapat bergerak lagi
karena kedua pasang kaki tangannya lumpuh dan dia tidak dapat mengeluarkan
suara!
Thian Tok
Lama memanggul tubuh pemuda itu kemudian meloncat ke air dan meluncur dengan
ayunan tubuhnya sehingga kedua potong papan di kakinya itu seperti dua buah
perahu kecil yang diinjaknya. Tenaga ayunan kedua lengannya yang digerakkan
amat kuat sehingga dia meluncur cepat, kalau dilihat dari jauh tentu membuat
orang menduga bahwa pendeta ini berlari di atas air!
Kwee Sui
sendiri terbelalak penuh keheranan menyaksikan kepandaian pendeta yang amat
luar biasa ini. Jantungnya berdebar dan otaknya yang cerdik segera bekerja. Ia
dapat menduga bahwa tentu pendeta ini datang dari kapal-kapal itu, tentu
seorang tokoh kerajaan yang berilmu tinggi. Kalau yang datang itu adalah musuh
dan memiliki orang-orang yang begini sakti, tentu akan celakalah penghuni Pulau
Es, pikirnya. Apa lagi pada waktu itu, Pendekar Super Sakti tidak berada di
atas pulau. Dia harus berlaku cerdik dan akan menyaksikan dulu bagaimana
perkembangannya karena itu ia masih belum mengerti mengapa pendeta lihai ini
menawannya.
Setelah tiba
di atas salah satu di antara lima kapal yang mengepung Pulau Es, Thian Tok Lama
membawa Kwee Sui langsung kepada Im-kan Seng-jin Bong Ji Kun. Ketika Kwee Sui
melihat koksu yang berpakaian indah gemerlapan, melihat para panglima pengawal
dan pasukan pengawal di kapal besar yang bertopi besi berpakaian perang dan
bersenjata lengkap, hatinya menjadi gentar.
Biar pun
ilmu kepandaiannya cukup tinggi, namun pemuda ini belum ada pengalaman
bertempur, pula, melihat kepandaian Thian Tok Lama, dia sudah menjadi
ketakutan. Kalau sebuah kapal saja sudah mempunyai pasukan yang lebih dari lima
puluh orang jumlahnya, dan ada orang-orang yang berilmu begitu tinggi, apa lagi
kalau lima buah kapal itu datang menyerang semua. Dapat dipastikan bahwa Pulau
Es akan hancur!
Koksu
menggerakkan tangan dan hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan
menyambar ke arah pundak Kwee Sui dan... pemuda ini merasa betapa totokan di
tubuhnya terbebas. Bukan main kagetnya. Ilmu semacam ini, gurunya sendiri pun
tidak mampu melakukannya, kecuali barangkali Pendekar Super Sakti. Tahulah dia
bahwa pembesar yang berpengaruh dan berwibawa ini tentu memiliki kepandaian
lebih tinggi lagi dari pada Si Pendeta yang menghormat ketika menceritakan
betapa di pantai barat itu sunyi tidak tampak penjaga, dan hanya bertemu dengan
pemuda yang sedang tidur lalu ditangkapnya itu.
"Berlututlah
engkau!" Seorang pengawal membentak dan menodongkan tombaknya di punggung
Kwee Sui. "Engkau berhadapan dengan Koksu Pemerintah yang Mulia!"
Sebagai
seorang terpelajar, tentu saja Kwee Sui mengerti apa artinya kedudukan koksu
ini. Seorang yang amat berkuasa, boleh dibilang nomor dua sesudah raja di
bidang keamanan, tentu saja seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali! Maka tanpa ragu-ragu ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Pemuda ini
banyak membaca tentang sejarah dan kesusastraan, diam-diam dia ingin sekali
menggunakan kepandaiannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan, menjadi
seorang berpangkat yang dihormati ribuan orang, hidup serba mewah dan penuh
kesenangan! Maka, begitu kini berhadapan dengan Koksu Negara, tentu saja dia
hersikap hormat sekali.
"Harap
Taijin sudi mengampunkan hamba yang entah telah melakukan kesalahan apa
sehingga dihadapkan kepada Taijin," katanya dengan bahasa yang teratur
baik.
"Ha-ha-ha-ha!"
Bhong Ji Kun mengelus jenggotnya dan ketika kepalanya bergerak naik turun,
botaknya yang kelimis itu mengkilap tersinar cahaya matahari yang masuk melalui
jendela di ruangan kapal itu. "Tadinya kusangka bahwa penghuni-penghuni
Pulau Es adalah manusia-manusia setengah liar, atau seperti siluman-siluman
sehingga pemimpinnya dijuluki Pendekar Siluman. Kiranya orang muda ini cukup
tampan, berpakaian baik dan bersikap sopan dengan bahasa yang terpelajar. Eh,
orang muda, engkau siapakah dan apa kedudukanmu di Pulau Es?"
"Nama
hamba Kwee Sui, hamba hanyalah seorang biasa saja yang kebetulan mendapat
kehormatan menjadi murid dari Subo Phoa Ciok Lin, wakil Taihiap untuk urusan
pulau."
"Eh,
kiranya engkau orang penting juga! Tentu kepandaianmu cukup hebat kalau engkau
murid kuasa pulau. Akan tetapi mengapa ketika ditangkap engkau tidak
melawan?" Bhong Ji Kun membentak curiga.
"Hamba
memang telah mempelajari sedikit ilmu, akan tetapi mana mungkin hamba dapat
melawan Losuhu yang lihai ini? Selain hamba sedang tidur sehingga dapat
ditotoknya, juga andai kata hamba tahu bahwa Losuhu adalah utusan Taijin,
bagaimana hamba berani melawan?"
"Hemm,
engkau pandai bicara. Katakan, mengapa engkau tidak berani melawan
utusanku?"
"Setelah
mengetahui bahwa Taijin adalah Koksu Negara, sampai mati pun hamba tidak akan
berani melawan. Untuk apa hamba mempelajari sedikit kepandaian? Bukan lain
hanya untuk memenuhi idam-idaman hati hamba, yaitu apabila ada kesempatan,
hamba ingin mengabdikan diri kepada pemerintah."
Bhong Ji Kun
membuka lebar matanya, kemudian mengangguk-angguk. "Hemm, demikiankah
sesungguhnya? Nah, tentang kedudukan untukmu boleh kita bicarakan kemudian,
sekarang yang terpenting, hendak kulihat apakah engkau benar-benar ingin
mengabdikan diri. Apakah Pendekar Siluman berada di pulau?"
"Tidak,
Taijin. Taihiap sedang bepergian, entah ke mana."
Wajah Koksu
itu kelihatan girang. Tanpa adanya Pendekar Super Sakti yang ditakuti, tentu
mudah menaklukkan penghuni pulau itu. Kelak, menghadapi Pendekar Siluman
sendirian saja tanpa anak buah, tentu akan lebih mudah. Dan pemuda ini
kelihatannya amat ingin memperoleh kedudukan, maka tentu akan dapat membantunya
dengan baik.
"Siapa
yang sekarang berada di Pulau Es? Siapa tokoh-tokohnya yang menjaga keamanan di
sana dan berapa banyak penghuninya?"
"Selain
Subo Phoa Ciok Lin, juga tentu saja di sana terdapat Paman Yap Sun, Paman Thung
Sik Lun, puteranya yaitu Thung Ki Lok, dan terutama sekali, di sana ada juga
murid Taihiap, atau keponakannya sendiri, Nona Giam Kwi Hong. Hanya merekalah
yang menjadi tokoh-tokoh terpandai di Pulau Es, selebihnya hanyalah anak buah
yang jumlahnya laki perempuan dan tua muda kurang lebih seratus orang. Belasan
orang di antara mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Subo dahulu
sebelum menjadi penghuni Pulau Es, yaitu menurut Subo, adalah murid-murid
Toat-beng Ciu-sian-li."
"Ah-ah!
Murid-murid In-kok-san yang memberontak?" kata Koksu dengan kaget.
"Benar,
Taijin. Akan tetapi sekarang, tidak ada sedikit pun niat memberontak dalam hati
para penghuni Pulau Es. Bolehkah hamba mengetahui, mengapa Taijin membawa
pasukan ke Pulau Es?"
Bhong Ji Kun
memandang tajam kepada pemuda itu. Sekarang ujian terakhir bagi Kwee Sui dan
Koksu itu sudah siap untuk mengirim pukulan apabila pemuda itu memperlihatkan
sikap memberontak. "Kami hendak menangkap Pendekar Siluman dan
pembantu-pembantunya, dan kami hendak menduduki Pulau Es."
"Ahhhh...!"
Kwee Sui terkejut bukan main, dan kalau saja dia tidak sangat cerdik, tentu dia
sudah mengamuk. Akan tetapi, pemuda ini hanya memperlihatkan kekagetan,
kemudian bertanya, hati-hati.
"Maaf,
Taijin. Akan tetapi... apakah kesalahan kami? Apakah dosa para penghuni Pulau
Es?"
"Tak
perlu kau tahu, ini adalah perintah Kaisar! Kalau mereka melawan, akan dibunuh!
Bagaimana pendapatmu?"
"Taijin,
hamba kira tidak akan ada yang melawan, kecuali kalau Taihiap berada di Pulau.
Kalau sampai mereka melawan... aihhh, hamba tidak dapat membayangkan akibatnya.
Subo memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga kedua Paman Yap Sun dan
Thung Sik Lun amat lihai, belum lagi belasan orang saudara seperguruan Subo.
Dan terutama sekali Nona Kwi Hong... ahhh, Taijin tidak tahu, dia luar biasa
lihainya, telah mewarisi ilmu dari Suma-taihiap. Lebih lagi, baru-baru ini dia
telah memperoleh Li-mo-kiam sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis."
"Sepasang
Pedang Iblis?" Hampir semua tokoh yang hadir dalam kapal itu berseru,
yaitu yang berada di kapal koksu itu adalah Sang Koksu sendiri, Thian Tok Lama
yang menghadap, dan para panglima.
"Bagus
sekali! Kami akan menundukkan atau membunuh mereka, pedang itu dan semua pusaka
di Pulau Es harus dirampas untuk kerajaan!"
Tiba-tiba
Kwee Sui memberi hormat dan berkata, "Mohon Koksu sudi mempercayai hamba.
Hamba sanggup membantu, sehingga pasukan-pasukan pemerintah tidak mengalami
kesukaran memasuki Pulau Es yang tidak mudah diserbu, dan hamba akan mencuri
Li-mo-kiam dari tangan Nona Giam Kwi Hong, kemudian membantu Taijin menghadapi
mereka yang melawan, dan akan membujuk agar mereka tidak melawan dan menyerah
saja, akan tetapi hamba mohon janji Taijin."
"Ha-ha-ha,
orang muda. Aku mengerti, jangan khawatir, kalau berhasil penyerbuan ini dan
jasamu besar, tentu aku akan melapor kepada Kaisar dan engkau akan memperoleh
anugerah pangkat sesuai dengan kepandaianmu."
"Hamba
percaya akan hal itu, Taijin, akan tetapi ada satu hal yang hamba minta kepada
Taijin sebelum Taijin mengerahkan pasukan menyerbu Pulau Es..."
"Hemmm,
apa permintaanmu? Katakanlah, akan kami pertimbangkan."
"Hamba...
hamba mencinta Giam Kwi Hong, karena itu... harap dia jangan dilukai apa lagi
dibunuh... jika menjadi tawanan supaya diserahkan kepada hamba... hamba akan
berterima kasih sekali dan selamanya akan menyerahkan jiwa raga hamba mengabdi
kepada pemerintah di bawah pimpinan Taijin."
Koksu itu
tertawa bergelak dan tanpa banyak tanya lagi dia mengerti akan isi hati pemuda
itu. Tak salah lagi, pikirnya, tentu cinta pemuda ini ditolak oleh murid
Pendekar Siluman. Sungguh kebetulan sekali dan amat menguntungkan terlaksananya
tugasnya karena andai kata tidak ada persoalan itu, belum tentu pemuda ini mau
membantunya demikian mudah.
Tiba-tiba
tampak bayangan berkelebat dari bawah kapal dan seorang pemuda tinggi besar
yang pakaiannya basah semua, dengan sebatang golok besar di tangan kanan, telah
berdiri di situ memandang ke arah Kwee Sui dengan mata terbelalak marah,
kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Kwee Sui sambil membentak.
"Manusia
she Kwee yang berbudi rendah! Seekor anjing yang setiap hari diberi makan dan
dipelihara, masih memiliki kesetiaan. Akan tetapi engkau ini manusia lebih hina
dari pada anjing, setelah segala kebaikan yang kau terima dari Majikan Pulau
Es, sekarang pada kesempatan pertama hendak mengkhianatinya! Bedebah!"
Para
pengawal sudah mengurung pemuda itu, dan Thian Tok Lama sudah melangkah maju,
akan tetapi Im-kan Seng-ji Bhong Ji Kun berseru, "Tahan dan jangan serang
dia!" Lalu Koksu ini menoleh kepada Kwee Sui, "Kwee-sicu, siapakah
dia itu dan kenapa dia marah-marah kepadamu?"
Muka Kwee
Sui sudah merah sekali saking malu dan marahnya. Tak disangkanya bahwa
saingannya itu berada di sini dan mendengarkan ucapannya tadi. Sudah kepalang,
pikirnya. Tentu saingannya menyelidiki kapal dengan jalan berenang karena
memang dia seorang ahli renang yang luar biasa.
"Taijin,
dia itulah Thung Ki Lok putera Paman Thung Sik Lun. Dia memang membenci hamba
karena dia pun jatuh cinta kepada Giam Kwi Hong."
"Ha-ha-ha!"
Bhong Ji Kun tertawa bergelak, di dalam hatinya dia mengejek Pendekar Siluman.
Kiranya Pulau Es hanya dihuni oleh pemuda-pemuda macam ini, karena tergila-gila
kepada seorang wanita, telah melakukan hal-hal yang bodoh, pikirnya.
"Kwee-sicu, setelah engkau berjanji untuk membuat jasa kepada kerajaan.
Nah, kuperintahkan engkau menghadapi dia!"
Kwee Sui
melompat berdiri dan Thian Tok Lama menyerahkan pedangnya yang tadi dirampas
oleh pendeta Lama itu. Dengan pedang di tangan, Kwee Sui menghampiri Ki Lok dan
berkata, "Ki Lok, engkau memang sudah bosan hidup. Telah lama ingin sekali
aku memenggal batang lehermu, akan tetapi karena di pulau, tidak ada kesempatan
bagi kita mengadu nyawa. Sekarang, kita hanya berdua di sini, mari kita
tentukan siapa di antara kita yang hendak hidup!"
"Hemm,
manusia hina! Karena engkau telah menjadi anjing penjilat musuh, maka berani
bicara besar! Apa kau kira aku takut menghadapi macammu dan para majikan
barumu?"
"Tutup
mulutmu yang busuk!" Kwee Sui marah sekali dan sudah menerjang dengan
pedangnya. Ki Lok menangkis dengan goloknya.
"Tranggggg...!"
Tangan Kwee
Sui tergetar dan memang dia maklum akan besarnya tenaga yang dimiliki Ki Lok,
namun dia tidak gentar karena dia memiliki gerakan yang lebih cepat dan gesit.
Segera ia menyerang lagi, menggerakkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa
sehingga pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar dan
menyerang Ki Lok.
Karena Kwee
Sui digembleng oleh Phoa Ciok Lin yang lihai, tentu saja ilmu silatnya lebih
lihai dari pada Ki Lok. Tingkatnya lebih tinggi, terutama sekali ginkang-nya.
Akan tetapi Ki Lok memiliki keberanian yang luar biasa, membuatnya selalu
tenang dan biar pun gerakan goloknya tidak secepat gerakan pedang di tangan
lawan, namun karena dia menggerakkannya dengan tenang dan dengan tenaga yang
besar maka dia dapat melindungi tubuhnya dengan baik.
Bhong Ji Kun
menonton pertandingan ini dengan hati girang. Dia mendapat kenyataan bahwa Kwee
Sui memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi kalau dibandingkan
dengan kepandaian para panglimanya, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian Panglima Bhe Ti Kong yang dipercayanya. Boleh juga, pikirnya. Pemuda
ini akan merupakan pembantu yang boleh diandalkan, hampir setingkat dengan
kepandaian Tan-siucai! Dan pertandingan ini merupakan ujian terakhir bagi
pemuda itu! Kalau pemuda she Kwee itu benar-benar bertekad bulat untuk
menghambakan diri kepada kerajaan, tentu tidak akan segan-segan membunuh
kawannya sendiri, kawan sepulau!
Pertandingan
berlangsung mati-matian dan seru karena Ki Lok juga berusaha untuk membunuh Kwee
Sui, bukan semata-mata karena memperebutkan Kwi Hong, sama sekali tidak. Demi
nona itu yang diperebutkan cintanya, dia tidak akan begitu rendah untuk mengadu
nyawa dengan Kwee Sui. Kalau dia sekarang berusaha membunuhnya adalah karena
melihat kenyataan bahwa Kwee Sui hendak mengkhianati Pulau Es. Seratus jurus
telah lewat dengan cepatnya dan mulailah Ki Lok terdesak oleh sinar pedang Kwee
Sui, dan ia hanya dapat menangkis dan mengelak tanpa dapat balas menyerang. Ki
Lok mundur terus sampai di pinggir kapal, kakinya tersangkut tali dan ia
terjengkang. Saat itu, dua kali sinar pedang berkelebat.
"Crat-crat!"
Darah
mengucur keluar dari pangkal lengan kanan dan dada kiri Ki Lok. Pemuda ini
terjengkang ke belakang, goloknya terpental dan tubuhnya tarlempar keluar
kapal. Air muncrat ke atas dan tubuh pemuda tinggi besar itu tenggelam dan
lenyap. Yang tampak hanya sedikit air laut yang berwarna merah oleh darahnya.
Sejenak Kwee
Sui memandang ke air, sambil menyimpan kembali pedangnya. Ketika mendengar
suara Bhong Ji Kun tertawa, dia membalik dan menjatuhkan diri lagi berlutut di
depan koksu itu.
"Bagus!
Kepandaianmu lumayan dan engkau telah membuktikan kesetiaanmu. Nah, sekarang
bagaimana baiknya menurut rencanamu agar kami dapat mendarat?"
"Perkenankan
hamba kembali ke pulau. Hamba akan memberi tanda-tanda dengan sobekan-sobekan
kain putih yang menunjukkan jalan masuk yang aman, bebas dari jebakan-jebakan.
Akan hamba coba untuk membujuk mereka agar menyerah, akan tetapi kalau mereka
tidak mau, terserah kalau Taijin hendak membunuh mereka yang melawan. Hamba
akan berusaha mencuri Li-mo-kiam dan harap Taijin jangan lupa agar jangan
membunuh Nona Kwi Hong andai kata dia nekat melawan."
"Ha-ha-ha,
jangan khawatir. Kalau dia melawan akan kami tawan dia untukmu. Akan tetapi
selain pedang Li-mo-kiam, kau harus mengumpulkan pusaka-pusaka Pulau Es agar
jangan sampai mereka sembunyikan atau hancurkan. Kelak engkau akan diberi
anugerah besar dan kedudukan yang cukup tinggi."
"Baik,
Taijin. Hamba mohon sebuah perahu kecil agar hamba dapat mendarat lebih
dulu."
"Kau
beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat
menyerbu dengan aman."
"Baik!"
Kwee Sui
lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah diturunkan oleh pasukan,
kemudian mendayung perahu itu ke darat dengan jantung berdebar. Biar pun dia
telah berhasil membunuh Ki Lok, namun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia
telah bermain dengan api, dan kalau dia teringat kepada Pendekar Super Sakti,
dia bergidik.
Tidak apa,
pikirnya, menghibur diri sendiri. Kalau serbuan itu berhasil dan dia tinggal di
kota raja, membantu koksu yang memiliki banyak orang pandai, dia tentu aman
dari pembalasan Pendekar Super Sakti. Dan Kwi Hong, si cantik manis yang
membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan dan diserahkan kepadanya, hemm...
sudah pasti dia akan memaksanya menjadi isterinya, mau atau tidak! Kalau dia
sudah mendapatkan kedudukan tinggi, aman dan terjamin keselamatannya, sudah
memperoleh diri Kwi Hong yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik dari
pada ‘mati kering’ di tempat dingin itu, di Pulau Es, hanya dapat memandang Kwi
Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan.
Setelah
mendapatkan perahunya, Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain putih di
tempat-tempat tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau sebagaimana yang
telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil memasang kain putih dia memasuki pulau
dan langsung menghadapi gurunya yang masih berunding dengan Kwi Hong, bagaimana
sebaiknya menghalau musuh kalau memang kapal-kapal yang mendekati pulau itu
benar-benar musuh yang berniat buruk.
"Wah,
lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai aku menyuruh Ki Lok pergi menyusulmu.
Di mana Ki Lok?" Begitu dia datang, gurunya menegurnya.
"Celaka
sekali, Subo." Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap
air matanya.
"Eh,
ada apakah?" Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu
cengeng. "Lekas ceritakan!"
"Lok-te
telah tewas mereka bunuh...!"
"Apa...?!"
Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang tentu menjadi
terkejut sekali mendengar bahwa putera tunggalnya telah tewas dibunuh orang.
"Bagaimana terjadinya?" Suaranya gemetar, akan tetapi kakek yang
gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya mukanya saja yang pucat
sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat.
Karena
khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki Lok, Kwee Sui
kembali menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong yang terbelalak
kaget sampai tidak bisa bicara apa-apa ketika mendengar betapa pemuda yang
menjadi sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh musuh.
"Teecu
dapat mendekati sebuah di antara kapal mereka dan semalam suntuk teecu
bersembunyi sambil berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi teecu dapat
merayap naik dan selagi teecu hendak mencuri pembicaraan mereka, tiba-tiba
tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan mencaci-maki, mengusir kapal-kapal
itu supaya menjauhi Pulau Es."
"Ahhh...
dia selalu keras hati dan terlalu berani...!" Terdengar Thung Sik Lun
mengeluh sambil menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik air mata.
"Ahhh,
kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!" Kwi Hong
mengepal tinju, suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati.
"Lanjutkan
ceritamu. Mereka itu siapakah?" Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.
"Celaka
sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan dipimpin sendiri
oleh Koksu Negara yang amat sakti! Dia membawa tentara yang banyak sekali, ada
tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu menyaksikan sendiri betapa dalam
satu jurus saja Lok-te telah roboh dan terlempar ke laut! Dari kata-kata Koksu
itu kepada Lok-te teecu mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau
Es dan akan membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu
mengharap kebijaksanaan Subo dan Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu
melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang sakti itu."
"Pengecut!"
Phoa Ciok Lin membentak marah. "Kau sebagai muridku mengusulkan agar kita
menakluk saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa perlawanan?"
"Oh,
tidak... tidak... mana teecu berani? Teecu cuma menyampaikan hasil penyelidikan
teecu dan mohon pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo dan Hong-moi tentu
saja teecu taati dan teecu siap membantu dengan taruhan nyawa teecu!"
Phoa Ciok
Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia menoleh kepada
Kwi Hong sambil bertanya, "Hong-ji (Anak Hong), karena Taihiap tidak ada
di sini, bagaimana pendapatmu?"
Kwi Hong
mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam. "Bagaimana
pendapatku? Adakah pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka bunuh, Bibi?
Pendapat kita satu-satunya hanyalah mempertahankan pulau, melawan mati-matian!
Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"
Dua orang
kakek itu mengangguk. "Tidak ada jalan lain lagi," jawab Yap Sun.
"Saya
siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah
dilakukan anakku!" kata Thung Sik Lun terharu.
"Bagus,
kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!" kata Kwi Hong
penuh semangat.
Phoa Ciok
Lin yang lebih berpengalaman dari pada Kwi Hong karena dia adalah seorang bekas
pejuang, cepat berkata, "Kita bagi anak buah menjadi empat. Aku sendiri
memimpin anak buah menjaga pantai barat, engkau memimpin anak buah menjaga
pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji (Anak Sui), memimpin penjagaan di utara,
Paman Thung memimpin penjagaan di selatan, ada pun Paman Yap memimpin sisa anak
buah untuk menghadapi serbuan kapal ke lima, dari mana pun datangnya. Kebetulan
kita di sini berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi lima buah
kapal itu yang agaknya telah mengurung pulau. Mari kita berjuang membela pulau
sampai titik darah terakhir!"
Mereka lalu
keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah, membagi menjadi lima
dan segera berangkat ke tempat penjagaan masing-masing. Ketika Kwi Hong sedang
sibuk mengatur pasukannya, tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata,
"Hong-moi,
maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Saat ini kita menghadapi musuh
yang kuat dan entah kita akan dapat saling berjumpa lagi atau tidak. Maka
sebagai ucapan selamat berpisah dan selamat berjuang, aku lebih dulu mohon kau
suka memaafkan semua kesalahanku."
Kwi Hong
tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak mengeluarkan
kata-kata merayu dan mengambil hatinya, dan agaknya dalam ancaman bahaya ini
Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka dia berkata halus, "Sui-ko,
mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka memaafkan kalau engkau
bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa. Pula, siapa bilang bahwa kita
akan kalah? Lihat saja, kita akan hancurkan mereka semua!"
"Mudah
bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi langit. Juga
mudah bagi Subo dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah, tingkat kepandaianku
masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja demikian mudah terbunuh apa lagi aku?
Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti pedangmu itu, Hong-moi, agaknya aku
akan dapat mengamuk dan tidak akan mudah dikalahkan musuh!"
"Hemm,
yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."
"Kalau
begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku? Percayalah aku
akan menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di tangan, aku tidak
takut menghadapi koksu sendiri sekali pun!" Kwee Sui berkata penuh
semangat. "Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam pemberian
Taihiap."
Kwi Hong
ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan pemuda itu tak
dapat disangkal kebenarannya, dengan ramah ia lalu melepaskan sarung pedang
Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada Kwee Sui.
"Demi
mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepadamu, Sui-ko. Akan
tetapi hati-hatilah terampas musuh. Aku percaya, dengan pedang yang ampuh dan
mukjizat ini, kelihaianmu akan menjadi lipat ganda."
"Terima
kasih... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat berpisah,
mudah-mudahan kita akan saling dapat berjumpa pula." Kwee Sui menerima
Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan dipimpinnya pasukan itu menuju
ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya. Diam-diam ia tersenyum lega.
Pasti kita akan saling berjumpa lagi, Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri
baik engkau mau atau tidak!
Setelah
membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil bersembunyi,
Kwee Sui diam-diam meloloskan diri dan mulai sibuk bekerja memberi tanda kain
putih di pantai itu, kemudian ia menyusup ke timur dan ke selatan untuk memberi
tanda-tanda robekan kain putih.
"Haiiii...!"
Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat sembunyinya dan
ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka tegur itu adalah Kwee Sui, mereka
terheran-heran.
"Kwee-kongcu...
apa yang sedang kau lakukan itu?" Salah seorang di antara mereka menegur.
Kwee Sui
terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat adanya orang
lain, secepat kilat dia mencabut pedang Li-mo-kiam. Dua orang itu tak sempat
berteriak karena sinar pedang itu saja sudah membuat mereka menggigil dan
bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain saat sinar kilat berkelebat dan
kepala mereka menggelinding putus dari leher, terbabat Li-mo-kiam!
Pedang yang
sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai melepaskan dahaganya dan
ketika Kwee Sui memandang pedang itu dengan hati penuh kebanggaan, ia melihat
pedang itu lebih bersinar-sinar lagi setelah mencium darah manusia. Hebatnya,
pedang yang telah membabat putus dua leher manusia itu sedikit pun tidak
ternoda merah, seolah-olah darah telah mencucinya lebih cemerlang dan bersih.
"Li-mo-kiam...
hebat...!" Kwee Sui mencium pedang itu lalu menyarungkannya kembali,
kemudian menyeret dua orang itu ke balik batu dan menguruk mayat mereka berikut
dua buah kepala mereka dengan salju. Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus
dengan injakan kakinya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.
Baru saja ia
selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba terdengar sorak-sorai
disambut teriakan-teriakan gegap gempita dan tahulah dia bahwa pasukan-pasukan
pemerintah telah mulai menyerbu! Memang koksu telah mengabarkan kepada pimpinan
kapal masing-masing bahwa di darat telah ada pembantu mereka yang memasang
tanda kain-kain putih yang harus dijadikan petunjuk untuk menyerbu ke pulau
itu.
Terjadilah
perang yang hebat dan di lima penjuru pulau itu! Para pasukan pemerintah dapat
menyerbu pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas dari tempat-tempat yang
dipasangi jebakan dan alat rahasia berkat petunjuk robekan kain-kain putih yang
dipasang oleh Kwee Sui. Melihat ini, para penghuni Pulau Es terpaksa menyambut
mereka dengan senjata dan terjadi perang yang mati-matian. Biar pun jumlah
penghuni pulau kalah banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih
tinggi, namun para penghuni menang kuat dalam tenaga sinkang.
Selama
tinggal di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih sinkang dengan
menghimpun Im-kang sehingga tenaga mereka mengandung hawa dingin yang lebih
kuat dari pada para penyerbu. Para penyerbu rata-rata menggigil kedinginan,
bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau Es, akan tetapi juga karena
benturan senjata dengan para penghuni Pulau Es itu dilandasi Im-kang yang
membuat para lawan selalu terserang hawa dingin yang menusuk tulang.
Serangan
serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es tidak dapat
saling membantu karena mereka menghadapi musuh masing-masing yang menyerbu dari
lima jurusan. Bahkan Yap Sun sendiri kini bersama pasukannya telah menghadapi
serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tan Ki atau Tan-siucai.
"Ha-ha-ha,
kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan
pasukan pemerintah?"
"Selamanya
Pulau Es tak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang pemerintah menyerang
kami, terpaksa kami akan mempertahankan pulau mati-matian!" jawab kakek
Yap Sun dengan suara kereng.
"Ha-ha-ha!
Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap pemerintah akan tetapi
majikan kalian berdosa besar sekali, karena itu kalian pun ikut berdosa kalau
melawan."
"Orang muda,
engkau berpakaian seperti sastrawan, namun memimpin pasukan! Terang bahwa
engkau tergolong penjilat penjajah. Tak perlu banyak cakap lagi, siapa takut
kepada engkau dan pasukanmu? Anak-anak, serang mereka!" Kakek Yap Sun
memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah anak buahnya yang berjumlah hanya
tiga puluh orang menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia
sendiri sudah menerjang maju dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian
sastrawan itu.
Tan-siucai
terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari kedua tangan kakek
itu. Memang Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar
Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan
sakti yang amat hebat, karena di dalam tenaga ini terkandung hawa sakti yang
melebihi api panasnya, dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat menerimanya.
"Bagus!"
Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah mencabut
sebatang pedang yang berwarna hitam. Inilah senjatanya yang dibuat oleh gurunya
sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang yang ampuh karena diberi racun yang
merendam pedang itu sampai bertahun-tahun sehingga pedang itu berwarna hitam!
Sambil
mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki mengelebatkan
pedangnya. Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek ini pun maklum akan
berbahayanya pedang itu yang mengeluarkan bau amis, namun dia tidak gentar.
Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka mengeluarkan hawa pukulan yang
dapat menangkis dan mendorong mundur sinar pedang itu sehingga Tan Ki terpaksa
meloncat lagi dan menyerang dari lain jurusan. Sementara itu, pasukan kedua
pihak sudah saling serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding
mati-matian di mana setiap orang anak buah Pulau Es dikeroyok dua orang lawan.
Ternyata
hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang kebetulan bertemu lawan
yang seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu lawan berat dan keadaan mereka
terdesak hebat. Phoa Ciok Lin, yang merupakan orang kedua setelah Kwi Hong
dalam hal kelihaian ilmu silatnya, bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh
Thai Li Lama, pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa Ciok Lin
terpaksa harus mengeluarkan semua ilmunya, mengeluarkan seluruh ginkang dan
ilmu silatnya untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan
Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang mengandung campuran hawa mukjizat
dari ilmu hitam.
Berkali-kali
Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang amat berwibawa, membuat wanita
sakti itu kewalahan dan hampir celaka karena hampir saja dia tidak dapat
menahan pengaruh bentakan-bentakan yang mengandung ilmu hitam I-hun-to-hoat
itu. Untung bahwa sebagai pembantu istimewa yang telah digembleng oleh Pendekar
Siluman, dia memiliki batin yang kuat sehingga dengan segala kekuatan batinnya
dia masih berhasil mempertahankan diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat,
seperti juga anak buahnya yang terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama.
Thung Sik
Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki keistimewaan gerak
cepat, lebih payah lagi karena dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh
pendeta India, Kakek Maharya yang tentu saja jauh lebih lihai dari pada dia!
Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun menyerangnya dengan pukulan-pukulan
Swat-im Sin-ciang yang dapat membikin beku darah di tubuh lawan. Namun Kakek
Maharya menerima pukulannya dengan enak saja dan begitu tangan kiri Thung Sik
Lun mendarat di dada yang kerempeng itu, tangan Thung Sik Lun tak dapat ditarik
kembali, melekat dan tersedot oleh dada kerempeng itu! Thung Sik Lun terkejut,
cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan Im-kang sekuatnya memukul
ke pusar.
"Desss!"
Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik
kembali.
"Heh-heh-heh!"
Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menjambak rambut di
ubun-ubun kepala Thung Sik Lun, mencengkeram dan begitu dia mencabut, kepala
itu berikut kulit dan tulang kepala bagian ubun-ubun copot!
Otak dan
darah mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan menggelogok
darah campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima air sejuk! Setelah
darah berhenti mengucur dan Maharya melepaskan sinkang-nya, tubuh Thung Sik Lun
yang sudah tak bernyawa lagi itu terguling!
Tentu saja
robohnya pimpinan ini membikin kacau para anak buah Pulau Es. Di antara mereka
banyak yang roboh dan mereka bergidik ngeri menyaksikan kematian pimpinan
mereka, maka mereka cepat mengundurkan diri ke tengah pulau sambil menahan
majunya musuh-musuh dengan senjata rahasia mereka yang ampuh, yaitu
butiran-butiran es yang dingin sekali, yang dapat mereka kumpulkan dan gali
dari lorong bawah tanah di belakang Istana Pulau Es! Hujan butiran es yang
dingin ini sedikit banyak menghambat kemajuan para penyerang dan memungkinkan
mereka untuk mundur dan mengatur pertahanan lagi tanpa pimpinan.
Thian Tok
Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee Sui. Akan tetapi
ketika anak buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut kedatangan pendeta gundul
itu tertawa-tawa dan mereka berdua itu bercakap-cakap sambil berjalan ke darat,
mereka menjadi kacau. Apa lagi ketika Kwee Sui berseru.
"Kita
tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik
menyerah saja, tentu diampuni!"
Mendengar
ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka semua adalah
orang-orang yang setia, bahkan di antara mereka banyak terdapat bekas pejuang
yang menentang penjajahan Mancu, maka mendengar seruan ini, maklumlah mereka
bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka mereka segera melawan sambil mundur ke
tengah pulau, juga mempertahankan diri dengan serangan butiran-butiran es
dingin.
Yang berat
seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri. Gadis perkasa yang penuh
semangat ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang dipimpin oleh Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biar pun Bhong Ji Kun masih kalah sedikit kalau
dibandingkan dengan kelihaian paman gurunya, Maharya, namun bagi Kwi Hong dia
telah merupakan lawan yang amat berat, apa lagi tentu saja pasukan yang
dipimpin Koksu ini adalah pasukan pengawal yang paling kuat!
Kwi Hong
juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus berkepala botak yang
memakai pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat menduga bahwa tentu inilah
orangnya yang disebut koksu oleh Kwee Sui. Cepat dia mencabut Pek-kong-kiam
sehingga tampak sinar putih menyilaukan mata dari pedang yang berlapis perak
ini.
Bhong Ji Kun
tertawa bergelak. "Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar Siluman, Nona?
Pantas... pantas... banyak pemuda yang tergila-gila kepadamu. Kiranya engkau
benar-benar cantik jelita, sungguh tidak disangka di pulau kosong seperti ini
dapat tumbuh setangkai mawar yang begini cantik..."
"Keparat,
tutup mulutmu yang busuk!" Kwi Hong marah sekali, segera pedangnya
menyambar menjadi sinar yang panjang dan besar.
"Hehhh...!"
Bhong Ji Kun
terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona itu dapat
menggerakkan pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat bahwa dara yang
jelita ini adalah murid Pendekar Super Sakti. Dia sendiri merasa jeri terhadap
pendekar itu, yang menurut pendapat paman gurunya memang memiliki kesaktian
sukar dilawan. Kalau gurunya sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat
dipandang ringan, sungguh pun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis
dan kelihatan lemah.
Maka ia pun
cepat memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu anak buah Pulau Es, dan dia
sendiri sudah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang aneh, yaitu
sebatang pecut kuda yang berwarna merah dan panjangnya ada tiga meter,
gagangnya terbuat dari emas dihias permata! Koksu ini di waktu kecilnya, di
India, pernah bekerja sebagai seorang penggembala kuda, maka dia suka sekali
mempergunakan cambuk kuda, apa lagi di waktu dia menyiksa lawan.
Sebetulnya
dia memiliki banyak senjata yang ia keluarkan sesuai dengan keadaan lawan.
Melihat Kwi Hong cukup lincah dan lihai memegang pedang pusaka, maka dia pun
mengeluarkan cambuknya. Cambuk ini digulung di dekat gagang dan jika perlu
dapat dipergunakan menyerang lawan yang tiga meter jauhnya, juga amat cocok
untuk menghadapi senjata tajam, untuk melibat dan merampas.
"Tar-tar-tar!"
Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur turun, mengirim
totokan-totokan berantai ke arah jalan darah di leher, tengkuk dan kedua pundak
Kwi Hong.
"Haiiiittt!"
Kwi Hong melengking nyaring.
Pedangnya
diputar cepat di atas kepala, membentuk sinar seperti payung melindungi tubuh
atasnya, dan tangan kirinya sudah menyodok ke depan, mengirim pukulan jarak
jauh ke arah uluhati lawan. Bukan main kagetnya hati koksu itu. Gerakan pedang
gadis itu benar-benar membendung serangan cambuknya, dan kini pukulan tangan
kiri itu mengandung hawa dingin yang terasa menghantam dadanya, terus menyerang
ke jantung!
"Hehhhh!"
Ia mengerahkan sinkang, mengeraskan perut dan dada, menahan pukulan jarak jauh
itu sambil menarik pecutnya, dan sekali pergelangan tangannya bergerak, ujung
pecutnya menyambar dari bawah hendak melibat kaki Kwi Hong.
Gadis ini
melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan pecahan dari Siang-mo
Kiam-sut seperti yang diajarkan pamannya, dan tangan kirinya tidak lupa
mengirimkan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara
bergantian.
Koksu itu
makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini, pikirnya. Belum pernah ia
menghadapi lawan seorang muda yang begini lihai. Yang membuatnya kagum sekali
bukan hanya kegesitan dara itu, melainkan terutama sekali sinkang-nya yang kuat
dan aneh. Betapa mungkin gadis semuda ini sudah dapat membagi kedua lengannya
dengan saluran hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau tangan kanannya melancarkan
pukulan berhawa dingin, pedangnya terasa mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya
kalau dari tangan kiri menyambar hawa panas, pedangnya menjadi dingin luar
biasa!
Timbul dalam
pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia akan menawannya
hidup-hidup, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee Sui yang telah berjasa,
akan tetapi juga kalau dia dapat membujuk gadis itu membantu pemerintah tentu
kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui, mudah diselesaikan, karena baginya,
gadis ini lebih berharga sepuluh kali dari pemuda itu!
Akan tetapi,
pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih mudah dari pada
melaksanakannya. Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat tinggi dan menghadapi
Koksu itu, dia hanya kalah matang dan kalah pengalaman. Namun, gadis ini telah
mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang sebetulnya kalau sudah dilatih
sematang koksu itu, tidak akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun! Biar pun
koksu itu jauh lebih berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus
mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk tidak roboh di tangan gadis ini,
apa lagi untuk menawannya hidup-hidup! Kwi Hong yang kini percaya akan laporan
Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat, bersilat
dengan hati-hati sekali.
Diam-diam
dia agak menyesal mengapa dia tadi menyerahkan Li-mo-kiam kepada Kwee Sui.
Kalau dia menggunakan pedang mukjizat itu, agaknya dia masih akan mampu
mengalahkan lawan yang jauh lebih berpengalaman ini. Akan tetapi dia lalu
teringat akan keadaan pemuda itu sendiri, dan keadaan bibinya, dan kedua orang
pamannya. Kalau mereka itu pun menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah
Pulau Es. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat
mengalahkan koksu ini dan dapat membantu kawan-kawannya. Namun, tidaklah mudah,
karena sesungguhnya, tingkatnya masih kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin Bhong
Ji Kun.
Pada saat
Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya itu, bahkan Thung
Sik Lun telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari pantai, tampak sebuah
perahu kecil yang dijalankan dengan pesat, didayung oleh seorang pemuda tampan
yang memandang ke arah Pulau Es penuh takjub, kemudian memandang ke arah
kapal-kapal besar itu dengan alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah Gak
Bun Beng.
Setelah Bun
Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan untuk mencari Pulau
Neraka. Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menghadapi
siapa pun juga. Oleh karena itu, dia tidak takut pergi ke Pulau Neraka untuk
mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka dan minta kembali pedang Lam-mo-kiam
yang dahulu dirampasnya. Surat dan peta yang ia terima dari Pendekar Super
Sakti telah lenyap ketika ia terjun ke pusaran maut, akan tetapi ia masih ingat
sedikit gambaran itu. Pokoknya, di sebelah utara melewati sekelompok pulau
kecil yang berjajar seperti baris!
Demikianlah,
karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa disadarinya pada siang
hari itu layar perahunya yang terbawa angin membuat perahunya melaju cepat
membawanya sampai ke dekat Pulau Es! Melihat pulau yang putih itu dan melihat
kapal-kapal besar, dia terheran-heran dan menggulung layar, lalu mendayung
perahunya dengan hati-hati mendekati pulau.
"Tolongggg...!"
Tiba-tiba
teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri dan menahan
perahunya. Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah berenang menuju ke
perahunya. Ketika Bun Beng melihat bahwa orang itu ternyata luka parah, cepat
ia mendayung perahunya mendekat, lalu menyambar baju di punggungnya dan
menariknya ke atas perahu. Ternyata orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir
saja tidak kuat lagi, lukanya oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah
kehilangan banyak darah. Ia memandang dengan napas terengah-engah kepada Bun
Beng, lalu berkata.
"Sahabat,
siapa pun adanya engkau... tolonglah... tolonglah cari Taihiap..."
"Taihiap
siapa? Dan engkau siapa?"
"Taihiap...
To-cu Pulau Es... katakan... ahhhh, katakan... Pulau Es... diserbu pasukan
pemerintah... Koksu Negara... dan si pengkhianat Kwee Sui... pulau kami
terancam... aaahhhh..." Pemuda yang gagah perkasa itu menghembuskan napas
terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng mendengar ucapan tadi.
Bun Beng
merebahkan kepala yang tadi dipangkunya, kemudian mengangkat muka memandang ke
pulau itu. Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik pemerintah yang menyerbu
Pulau Es di waktu Pendekar Super Sakti tidak ada? Dan Koksu Negara. Si laknat
Bhong Ji Kun!
Bun Beng
cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga perahunya meluncur
cepat sekali ke pulau itu. Ia kini mendengar suara hiruk-pikuk di atas pulau,
suara orang bertempur. Ketika ia melihat tanda robekan kain yang diikatkan pada
tetumbuhan di pantai, ia lalu mendarat. Tentu itu merupakan tanda penunjuk
jalan, pikirnya.
Setelah
mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu di mana menggeletak mayat Ki Lok,
Bun Beng melompat ke darat dan berlari cepat ke tengah pulau. Tepat seperti
diduganya, ia melihat kain-kain putih dan segera memasuki pulau melalui jalan
kecil di mana ada tanda-tanda kain putih itu sehingga sebentar saja dia telah
berada di tengah pulau. Ia melihat pertempuran hebat, dan melihat betapa
perajurit-perajurit seragam yang tentu adalah pasukan pemerintah mendesak dan
mengejar penghuni pulau yang mengundurkan diri ke tengah pulau.
Pada saat
itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding mati-matian melawan
Bhong Ji Kun, tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan Kwee Sui. Melihat betapa
gadis itu mengadakan perlawanan yang hebat terhadap koksu, Thian Tok Lama
segera meloncat dan membantu. Dikeroyok dua oleh koksu dan Lama itu, tentu saja
Kwi Hong terdesak hebat. Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama
Thian Tok Lama.
"Sui-ko,
bantu aku...!" teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton
sambil tersenyum.
Seketika
mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat dan tadi sengaja
meminjam pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak, dan setelah memutar
pedangnya membuat kedua orang lawannya mundur, ia lalu melompat ke arah Kwee
Sui sambil memaki. "Engkau pengkhianat hina!"
Akan tetapi,
tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit lengannya yang
memegang pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan tubuh, Thian Tok Lama
telah memukulnya dari belakang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang.
"Desss!"
Angin pukulan
yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong, membuat gadis itu
langsung roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh ujung pecut koksu. Dia
memandang rendah Thian Tok Lama sehingga kena terpukul, tidak tahu bahwa ilmu
kepandaian Lama itu setingkat dengan kepandaian Bhong Ji Kun.
"Ha-ha-ha,
bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia lolos," kata
Bhong Ji Kun kepada Kwee Sui, "Dan pedang Li-mo-kiam...?"
"Sudah
di sini!" jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya.
"Baik,
bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu
hilang."
Kwee Sui
girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu dan membawanya
lari ke pantai, di mana terdapat perahunya, lalu ia membawa tubuh itu ke atas
kapal besar.
Setelah Kwi
Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau, dikejar oleh pasukan
pemerintah. Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi Tan-siucai dengan gigih,
terpaksa roboh pula ketika tiba-tiba muncul Kakek Maharya yang telah mengejar
sampai ke situ. Tampak Maharya marah sekali melihat betapa muridnya belum mampu
merobohkan kakek itu.
"Bodoh,
kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?" teriaknya sambil menonton
pertandingan itu, tidak mau membantu muridnya.
Tan Ki yang
mendengar seruan gurunya itu tertawa, tangan kirinya mencabut pedang di
pinggangnya. Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun berteriak mengerikan
ketika berbareng dengan sinar kilat pedang itu yang menangkis tangannya,
lengannya sebatas siku menjadi buntung! Kakek itu menggigit bibir, menggunakan
tangan kirinya menerjang terus, dan kembali sinar kilat berkelebat dan lengan
kirinya juga terbabat buntung! Pedang mukjizat itu berkelebat lagi, terdengar
teriakan ngeri dan tubuh Yap Sun terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh
pedang Hok-mo-kiam dan nyawanya melayang!
Tan Ki
menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada suhu-nya,
"Saya memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan yang boleh
juga."
"Sudah,
mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya.
Kulihat wanita itu lihai juga."
Memang,
hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan perlawanan terhadap
Thai Li Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini mengamuk, mendesak pendeta
itu dengan pedang yang sudah sejak tadi ia pergunakan karena dia tidak mampu
mengalahkan lawan dengan tangan kosong.
Tiba-tiba
muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok Lin yang
setengah tua itu masih cantik, segera meloncat maju. "Eh, manis, kenapa
engkau nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota raja tentu senang!"
Phoa Ciok
Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang
hitam yang dipergunakan Tan Ki.
"Tranggg!"
Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan
seluruh lengan kanannya tergetar.
"Wah,
lihai juga...!" serunya.
"Hemmm...!"
Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan angin pukulan yang
kuat berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit dan terlempar ke belakang.
Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan, lalu meloncat bangun lagi dan mengambil
keputusan nekat untuk melawan musuh-musuh lihai itu sampai napas terakhir.
Maharya
memukul lagi, "Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!" Maharya terhuyung ke
belakang, memandang terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah
menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa
ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat ia terhuyung
ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman, dia tidak akan
heran. Tadi pun ia mengira, bahwa Pendekar Siluman muncul, kiranya seorang
pemuda yang bertangan kosong!
"Toanio,
harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!" kata Bun
Beng.
"Eh,
dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!" Tiba-tiba Tan Ki berseru
kaget.
Maharya
menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat tenaganya, mengapa
sekarang begini lihai? Dengan penuh hati penasaran, dia menerjang lagi, kini
mengirim dorongan dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Bun Beng. Pemuda
ini yang sudah percaya penuh akan kekuatan sendiri, kembali menyambut telapak
tangan itu dengan dorongan telapak tangan pula.
"Plakkkk!"
Dua telapak
tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan itu yang
seolah-olah melekat. Maharya berseru keras sebelah tangannya memukul lagi akan
tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap. Demikian cepat gerakan pemuda ini yang
sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya menotok ke arah ubun-ubun kepala
Maharya.
"Aeeehhhh...!"
Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan, wajahnya yang berkulit
hitam itu menjadi agak pucat, keringat dingin mengucur karena dia maklum bahwa
hampir saja nyawanya melayang!
"Serbu...!"
Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju.
Phoa Ciok
Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa adanya itu,
sungguh pun wajah pemuda tampan itu seperti pernah dilihatnya. Tentu saja dia pernah
melihat Bun Beng, yaitu ketika terjadi pertempuran di pulau muara Huang-ho.
Akan tetapi ketika itu Bun Beng masih kecil sehingga dia tidak mengenalnya
lagi. Sebaliknya Bun Beng masih mengenal Ciok Lin maka serunya.
"Phoa-toanio,
mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!"
Ciok Lin
melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang dahulu diperebutkan
di pulau muara Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar Siluman akan dirampas dan
dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng, putera Gak Liat dan Bi-kiam Bhok Khim.
Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar saja anak buahnya terdesak
sehingga kocar-kacir dan banyak yang sudah roboh. Juga ia melihat betapa anak
buah dari pantai lain telah mundur ke tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es,
dikejar pasukan pemerintah. Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk,
membantu anak buahnya merobohkan banyak tentara pengawal pemerintah.
"Hancurkan
mereka, serbu Istana Pulau Es!" teriak Maharya. "Biar aku melayani
bocah sombong ini!" Sambil berkata demikian, Maharya yang merasa bahwa
pemuda itu tidak akan dapat ia kalahkan mengandalkan tenaga sinkang, sudah
mencabut keluar sebuah senjata yang aneh. Senjatanya itu bergagang pendek, dan
berbentuk bulan sabit yang pinggirnya tajam sekali dan kedua ujungnya yang
melengkung amat runcing.
"Sing-singg-singgg...!"
Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk
menyerang.
Namun Bun
Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan
maut karena dia telah mainkan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng yang mukjizat.
Berkali-kali Maharya mengeluarkan seruan kaget dan heran. Pemuda itu
benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat yang amat ajaib, yang dia kenal
mempunyai dasar-dasar ilmu silat golongan kaum sesat! Sementara itu, Bun Beng
yang melihat betapa Thai Li Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong
Ji Kun mulai memimpin pasukan membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat
tinggal para anak buah Pulau Es yang kewalahan, menjadi khawatir sekali.
"Orang
muda, engkau kini merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!" Tiba-tiba Maharya
membentak, menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng terpecah karena
mengkhawatirkan keadaan Pulau Es.
Bun Beng
otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia teringat ketika
kakek India membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya yang aneh. Untung pada
detik terakhir Bun Beng teringat lagi. Dia telah mengerahkan sinkang dan
menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar tubuh ke belakang sehingga bacokan
itu luput.
"Dar!
Dar! Blengggg...!"

Tiba-tiba
terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asap hitam
bergulung-gulung. Beberapa orang prajurit pemerintah roboh, bahkan Maharya
sendiri cepat meloncat ke belakang ketika ada sebuah benda hitam menyambar
kepalanya. Sambaran itu luput dan benda itu menghantam tanah, meledak dan
mengeluarkan asap hitam.
Bun Beng
meloncat bangun. Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu. Dia cepat berlari
ke arah Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan, terjadi ledakan-ledakan yang
merobohkan prajurit pemerintah. Pasukan pemerintah menjadi kacau balau, ada
yang lari bersembunyi, ada yang bertiarap. Bahkan Koksu dan rombongannya, Thian
Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang dapat
meledak sehingga mereka sibuk mengelak ke sana sini.
Bun Beng
mengerti bahwa ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia mengenal alat-alat
ledak itu seperti yang biasa dipergunakan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia
tidak peduli dan cepat menghampiri rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin
oleh Phoa Ciok Lin. Mereka ini sama sekali tidak diserang alat-alat peledak
sehingga mudah diduga bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu
bermaksud membantu anak buah Pulau Es.
"Phoa-toanio...!
Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Di mana
adanya Kwi Hong?"
"Ahhh,
menurut laporan anak buahnya, dia... tertawan, dikhianati orang kita sendiri
dan dibawa ke kapal di sebelah timur pulau."
"Kwee
Sui...?" Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya tadi.
"Eh,
bagaimana engkau tahu? Engkau... Gak Bun Beng, bukan?"
"Benar,
Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain jalan, bawa
keluar dari pulau ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi Hong!" Baru
saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ.
Phoa Ciok
Lin melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera membawa anak
buahnya memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah tanah istana. Dia
sendiri bersama orang yang dapat diandalkan menjaga di depan, melihat betapa
pasukan musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan yang asapnya mengandung racun
itu sehingga banyak anggota pasukan yang roboh tewas. Akhirnya Bhong Ji Kun
terpaksa menarik mundur pasukannya dan memerintahkan kembali ke kapal
masing-masing agar tidak jatuh lebih banyak korban sedangkan musuh yang melepas
bahan-bahan ledakan itu tidak tampak sama sekali.
Bhong Ji Kun
mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak berunding
membicarakan munculnya Gak Bu Beng dan pelempar peledak yang asapnya hitam
beracun itu. Begitu naik ke kapal dia menjenguk ke ruangan bawah, lega melihat
betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di atas bangku dengan wajah
muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ bersama selusin orang prajurit. Gadis
itu memaki-maki Kwee Sui, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan
berusaha membujuknya dengan suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan
berunding dengan Maharya di geladak kapal. Senja telah datang akan tetapi sinar
keemasan matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk dan bicara dengan
serius.
"Bocah
itu hebat juga," terdengar Maharya berkata. "Sungguh mengherankan
sekali, belum ada setahun aku melawan dia, kepandaiannya masih belum begitu
hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya dalam waktu tiga bulan dia mampus.
Bagai mana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan kepandaiannya malah
demikian hebat?"
"Hemmm,
mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman," jawab Bhong Ji Kun
sambil mengelus jenggotnya. "Akan tetapi yang aneh adalah pelempar peluru
peledak yang mengandung asap beracun itu. Apakah dia Pendekar Siluman sendiri?
Dia tentu lihai bukan main."
"Ah,
Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti
itu," jawab Maharya.
"Benar,
dan sepanjang pendengaranku, yang biasa menggunakan senjata rahasia macam itu
adalah orang Pulau Neraka."
"Akan
tetapi, tidak mungkin," bantah Maharya. "Bukankah Pulau Neraka itu
selalu bertentangan dengan Pulau Es?"
Selagi dua
orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan perahunya dan terjun
ke air, berenang lalu bergantung kepada rantai jangkar. Dia merayap naik, akan
tetapi melihat Maharya dan Bhong Ji Kun berada di situ, di atas geladak, dia
tidak berani naik. Melihat musuh-musuh besarnya ini, ingin sekali ia meloncat
dan membuat perhitungan.
Bhong Ji Kun
dulu sudah membunuh gurunya, dan dengan Maharya dia mempunyai perhitungan lain.
Akan tetapi, kedatangannya ini adalah untuk menolong Kwi Hong, jika dia
meloncat dan menerjang kedua orang yang dia tahu amat lihai itu, harapannya
untuk menolong Kwi Hong tentu akan buyar. Maka dia menanti kesempatan baik dan
bersembunyi di rantai jangkar, mepet di badan kapal.
"Sebaiknya
besok pagi kita sendiri bersama dua orang Lama turun ke pulau melakukan
penyelidikan," kata Maharya. "Kita harus mengetahui siapa orang yang
begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru peledak itu."
"Kebakaran...!"
terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang tiba di atas bilik
kapal dan tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji Kun terkejut, apa lagi
ketika mendengar suara dari atas.
"Akulah
yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"
Keduanya
meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di tali-temali
layar dekat tiang besar, tampaklah tubuh seorang wanita yang bergantung pada
tali, bergantung dengan kedua kaki sedangkan kepalanya tergantung di bawah,
rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di bawah sinar matahari senja,
wanita berpakaian hitam yang bermuka putih sekali itu benar-benar amat menyeramkan,
apa lagi kehadirannya dengan cara bergantung terbalik seperti itu!
Baik Maharya
mau pun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita yang bergantung
seperti itu, yang hanya memperlihatkan kemahiran ginkang luar biasa yang mampu
mereka lakukan juga. Yang mengejutkan mereka adalah kehadiran wanita itu yang
tidak mereka ketahui sama sekali! Siapakah wanita itu?
Dia bukan
lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar Super
Sakti! Bagaimana Lulu yang menjadi majikan Pulau Neraka dapat hadir di situ
membantu anak buah Pulau Es yang diserbu pasukan pemerintah? Untuk mengetahui
hal ini, sebaiknya kita meninjau keadaan Pulau Neraka di mana telah terjadi
perubahan besar sekali.
******************
Putera Lulu
bernama Wan Keng In telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas atau
delapan belas tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena sejak kecil digembleng
oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu memanjakan puteranya itu, apalagi setelah
mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan Sin Kiat, sengaja membunuh diri dalam
perjuangan menentang pemerintah Mancu.
Pada suatu
hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu sering kali keluar dari Pulau
Neraka menunggang burung rajawali dan biar pun berkali-kali Lulu memarahinya
namun anak yang amat manja itu selalu melanggar larangannya. Ketika Keng In
pulang, dia menghampiri ibunya dan tertawa-tawa bangga, lalu menepuk
pinggangnya di mana tergantung sebatang pedang bersarung indah sambil berkata,
"Ibu,
coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang ini. Ibu
selalu melarang aku merantau, kalau aku tidak merantau, mana mungkin
mendapatkan pusaka ini?"
Lulu
mengerutkan alisnya, lalu memandang. "Hemm, engkau mendapatkan sebatang
pedang baru. Pedang apakah yang kau banggakan itu?"
"Lihat,
Ibu!"
"Singggg...!"
"Aihhhh...!"
Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika pedang itu dicabut,
dan ada hawa yang menyeramkan langsung keluar dari sinar pedang itu.
"Itu... itu... seperti Sepasang Pedang Iblis!"
"Ha-ha-ha!
Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian, pedang jantan,
sebatang di antara sepasang Pedang Iblis yang berhasil kurampas!"
"Siang-mo-kiam...!"
Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan
menangis.
"Han-koko...!
Ah, Han-koko... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu... Sepasang Pedang
Iblis...!"
Keng In
menarik napas panjang. "Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut dia? Aku
muak mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko! Hemmm, tentu Si
Pendekar Siluman yang bernama Suma Han itu, bukan? Dia telah banyak membuat Ibu
menderita. Teringat olehku betapa dahulu, ketika aku masih kecil, Ibu sering
mimpi dan menyebut-nyebut namanya. Aku telah mendapatkan pedang Lam-mo-kiam, aku
akan mencari dia dan akan kubunuh dia dengan pedang ini agar tidak menyusahkan
hati Ibu pula!"
"Keng
In...!"
"Aku
tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu? Kakinya
buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu,
mengapa dia membiarkan Ibu merana di sini? Dan mengapa pula Ibu sering kali
menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar kelak
dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah
membenci dia? Betapa pun juga, Pendekar Siluman dari Pulau Es itu sudah banyak
membikin Ibu menderita, oleh karena itu, pada suatu hari aku pasti akan
menantangnya dan akan membunuhnya dengan pedang ini."
"Keng
In... kau... kau tidak mengerti... jangan kau bicara demikian. Tak perlu engkau
mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara. Sedangkan
kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya, apa lagi engkau. Kau kira
akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"
Terdengar
oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama Pendekar
Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali
dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab,
"Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan diri. Mungkin Ibu masih belum
mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang
anakmu."
"Singggg...
cuit...!" Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam,
lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan dahsyatnya.
Tubuhnya
lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang mencuat ke udara,
kadang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung,
indah dan hebat bukan main sampai membuat Lulu melongo keheranan. Dia tidak
mengenal ilmu pedang itu dan harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan
puteranya itu betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In menghentikan
permainannya dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya
yang tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya,
"Bagaimana
pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman
itu?"
Lulu masih
terbelalak memandang wajah puteranya. "Keng In, anakku..., dari mana
engkau mempelajari ilmu pedang itu?"
Keng In
tertawa, lalu berkata, "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan masih
banyak lagi. Di antaranya ini, harap Ibu lihat!" Tiba-tiba tubuhnya
melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik beberapa kali di udara.
Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat, kedua tangannya telah
menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat terbangnya itu. Keng
In tertawa-tawa, melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia menghampiri
sebatang pohon sambil berkata, "Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!"
Setelah berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.
"Prakkkk!"
Pohon itu
tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biar pun hanya ada
angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang
dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya yang gundul tanpa sehelai daun pun!
Lulu
terkejut bukan main. Ginkang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir
melalui tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi
adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi juga amat dahsyat, membuktikan
adanya sinkang yang mengandung hawa beracun jahat!
"Keng
In! Dari mana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!"
Keng In
duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata, "Ibu, sebetulnya aku
harus merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah
memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa aku membuka rahasia. Ibu, telah
beberapa tahun ini aku menjadi murid Cui-beng Koai-ong."
"Siapakah
Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"
Keng In
tertawa. "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak tahu
siapa sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka
kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah
tokoh-tokoh tingkat ketiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua orang lagi
yang memiliki kesaktian luar biasa, melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang
sebenarnya menjadi tokoh-tokoh pertama dan kedua dari Pulau Neraka, akan tetapi
mereka itu adalah orang-orang aneh yang tidak pernah mau memperebutkan
kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat mereka."
"Hehh...?
Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah
menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama
bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah mendengar tentang dua orang itu?
"Siapa mereka dan di mana mereka sekarang?"
"Ibu,
mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang
pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan
sekali aku bertemu dengan dia di tempat sembunyinya ketika beberapa tahun yang
lalu dia kembali ke Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi muridnya sehingga
memperoleh kemajuan besar."
"Dan
yang kedua?"
"Menurut
Suhu, orang kedua itu adalah sute-nya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti
orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau
Neraka. Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu dengan Susiok itu,
julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya
aneh dan angin-anginan sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya
untuk mengumbar wataknya yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"
Lulu menjadi
makin penasaran. "Di mana mereka? Aku ingin mencoba kepandaian mereka.
Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau
Neraka."
"Jangan,
Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain
itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"
"Ya,
mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama
Pulau Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"
"Ha-ha-ha!
Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apa lagi terhadap manusia
lain, kecuali... eh, terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan
Ibu memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu menyerang ke sana, tentu mereka
akan turun tangan membantu. Mereka hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan
Pulau Es untuk menantang Pendekar Siluman!"
"Ohhhh!"
Lulu menjadi pucat wajahnya.
Dia merasa
tidak senang sekali bahwa urusan pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh
orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan hendak memusuhi Suma Han. Betapa
mungkin? Betapa mungkin dia memusuhi dan membenci orang yang ia cintai itu?
Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu, semua itu ia lakukan
demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia perlihatkan kepada bekas kakak
angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan,
bahkan sudah patut untuk memperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar
besar seperti Suma Han. Apa lagi setelah ia mendengar bahwa Suma Han menjadi
suami Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat dari pada
Nirahai!
Sekarang
ternyata tokoh-tokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak
memperalatnya dan puteranya, putera tunggal yang dia cinta dan manjakan,
ternyata telah menjadi murid dari tokoh pertama Pulau Neraka! Tidak, dia tidak
sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka, yang menganggapnya sebagai boneka
saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es dan terang-terangan menantang Suma
Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan orang-orang Pulau Neraka. Suma Han
harus memilih, membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri!
Dengan hati
penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa
memberi tahu siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan
sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini
berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan pelayaran mencari Pulau Es di
mana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han.
Kedatangannya
di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap pulau itu.
Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu terhadap Suma Han lenyap terganti
oleh kemarahan terhadap para penyerbu yang mendahuluinya, yang dianggapnya
pengecut, melakukan penyerbuan terhadap sebuah pulau yang sedang ditinggal
majikannya. Maka dia lalu diam-diam membantu anak buah Pulau Es, melepas
senjata rahasia peledak yang berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan
hati penuh kemarahan diam-diam Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas
senjata rahasia pembakar dan memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada
tali layar dengan tubuh berjungkir kepada Koksu Bhong Ji Kun dan Maharya.
"Wanita
iblis...!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah.
Maharya
sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah senjata rahasia
berbentuk gelang yang berputar cepat ke arah kepala wanita yang menggantung di
atas itu.
"Wiirrr...
singggg...!"
Senjata
rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah gelang biasa berwarna putih,
akan tetapi karena pelemparnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini seperti peluru terkendali, kalau
luput dapat berputar kembali dan menyerang lawan seperti benda hidup! Juga
suaranya yang berdesing, mengaung seperti gasing berlubang itu dapat
mendatangkan panik kepada lawan.
Menghadapi
serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan seolah-olah tidak
melihatnya. Akan tetapi ketika gelang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba
ujung rambutnya yang riap-riapan itu seperti hidup, seperti ujung cambuk yang
bergerak ke bawah menerima gelang itu, terus melibatnya sehingga gelang itu
berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba kepala Lulu bergerak sedikit dan gelang itu
menyambar dengan kecepatan kilat ke bawah, ke arah Maharya! Pendeta India ini
terkejut bukan karena diserang oleh senjatanya sendiri karena dengan mudah ia
dapat mengelak sehingga gelang itu mengenai papan geladak dan amblas ke bawah,
melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang muncul secara
aneh itu.
"Toanio,
siapakah engkau?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menegur. Pembesar
ini pun maklum bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan, maka dia mengambil
siasat halus. "Dan mengapa pula Toanio membela Pulau Es dan menentang kami
dari pemerintah?"
Lulu
tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis sungguh pun
usianya sudah hampir empat puluh tahun. Akan tetapi karena keadaannya seperti
itu dan mukanya berwarna putih sekali, maka dia seperti mayat tersenyum,
menimbulkan rasa ngeri kepada mereka yang memandang dari bawah.
"Aku
siapa tidak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu ketenteraman
daerah ini, berlaku curang menyerang tempat yang sedang ditinggal pergi
pemiliknya!"
"Wanita
sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?" Maharya membentak
marah.
Lulu tidak
menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal
senjata rahasianya.
"Kalau
benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"
"Tak
mungkin!" Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab. "Pulau
Neraka tak pernah saling bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak pertemuan di
pulau muara Huang-ho telah saling bertentangan. Tidak mungkin kalau Toanio dari
Pulau Neraka dan mau membantu penghuni Pulau Es!"
"Mengapa
tidak? Jika kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula
Pulau Neraka!"
Mendengar
ini, marahlah koksu itu. "Perempuan pemberontak! Berani kau menentang
pemerintah? Semua pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau Neraka adalah
wilayah kekuasaan kerajaan! Tangkap pemberontak!"
Para
panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang itu, dan
terdengar Lulu tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di atas tiba-tiba
melayang turun seperti seekor burung menyambar. Para anak buah pasukan
menggerakkan senjata, akan tetapi tiba-tiba mereka menjerit dan robohlah empat
orang, tombak mereka patah-patah!
"Tar-tar-tar!"
Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan serangan dahsyat, bahkan
Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan yang luar biasa, yaitu senjata
aneh bulan sabit yang bergagang pendek.
"Siuuuuttt...
singgg!"
Lulu
bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh seorang
perwira di belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar. Ketika menendang,
lengan kiri Lulu menjepit tombak perwira itu, kini tombak itu ia lontarkan
menembus perut tubuh perwira yang masih melayang di udara!
Semua
prajurit menjadi gentar menyaksikan kelihaian wanita itu. Akan tetapi Bhong Ji
Kun dan Maharya sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Seorang perwira cepat
memberi isyarat kepada kapal-kapal lain untuk datang membantu, maka bergeraklah
dua buah kapal yang berdekatan, mendekati kapal yang sedang terbakar itu.
Sebagian para prajurit sibuk memadamkan api yang membakar bilik kapal.
Cuaca sudah
mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan cambuk di tangan Koksu
dan senjata bulan sabit milik kakek India, maka ia selalu menghindar dengan
gerakan lincah sekali, merobohkan banyak prajurit dengan pukulan dan tendangan.
Ketika koksu kembali melancarkan serangan dengan cambuknya, Lulu berhasil
menangkap ujung cambuk. Koksu malah melangkah dekat, menghantamkan tangan
kirinya dengan pengerahan sinkang yang diterima Lulu dengan ilmu sakti
Toat-beng-bian-kun.
"Cessss!"
Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa telapak tangan kirinya
bertemu dengan tangan yang lunak sekali sehingga semua tenaganya amblas seperti
tenggelam. Lulu telah melepaskan ujung cambuk dan tangan kirinya melayang ke
arah pelipis kanan lawan.
Koksu
terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya telah datang
menolong, membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran angin senjata ini
membuat Lulu terpaksa membatalkan pukulannya dan tubuhnya sudah mencelat lagi
ke belakang, kemudian dia terus berloncatan dan sekali melayang dari pinggir
kapal, dia telah berada di kapal kedua yang datang mendekat.
"Dar-darrrrr...!"
Dua buah senjata rahasia yang dilepasnya mengenai bilik kapal kedua sehingga
menimbulkan kebakaran.
Kapal kedua
ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini menyambut kedatangan Lulu dengan
serangan maut, sekaligus memukul dengan Ilmu Hek-in-hwi-hong-ciang. Tubuhnya
merendah dan perutnya mengeluarkan bunyi. Lulu baru saja melontarkan
senjata-senjata rahasianya, terkejut sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi,
karena dia kalah dulu, tangkisannya kurang tepat dan tubuhnya terhuyung,
dadanya terasa agak sakit. Marahlah wanita ini dan dia menghadapi Lama itu
dengan Ilmu Hong-in-bun-hoat yang amat lihai.
Ilmu ini
adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis di udara, sesuai
dengan namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan). Tetapi
setiap coretan merupakan gerak tangkisan mau pun serangan yang mengandung
tenaga sinkang mukjizat. Thian Tok Lama segera terdesak dan kalau saja tidak
cepat datang Maharya dan Bhong Ji Kun yang melompat ke kapal itu, tentu dia
terancam bahaya hebat.
Kini
munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan kembali wanita ini
mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menyelinap di
antara para pasukan dan merobohkan mereka. Adanya pasukan yang mengepungnya ini
malah merupakan rintangan bagi tiga orang sakti itu, karena andai kata tidak
ada anak buah pasukan, tentu Lulu akan dapat mereka kejar, kepung dan robohkan
dengan pengeroyokan mereka bertiga.
Selagi
pertandingan kacau-balau untuk mengejar dan mengepung Majikan Pulau Neraka itu
terjadi di geladak tiga buah kapal di mana Lulu berpindah-pindah dengan
loncatannya dan kini yang mengeroyoknya ditambah lagi dengan Thai Li Lama, di
ruangan bawah kapal induk pimpinan Bhong Ji Kun terjadi hal lain yang
mendatangkan kegemparan baru.
Para
prajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui, telah menerima
perintah untuk tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan menjaga Kwi Hong yang
dianggap seorang tawanan penting. Kwee Sui dan para penjaga yang selosin orang
banyaknya itu tenang-tenang saja sungguh pun di geladak terjadi keributan, apa
lagi ketika mendengar bahwa yang mengacau hanyalah seorang wanita. Betapa pun
lihainya musuh itu, dia percaya takkan mampu menandingi koksu yang dibantu
orang-orang sakti dan pula di atas terdapat banyak sekali pasukan. Maka dia
enak-enak saja menjaga dan maki-makian Kwi Hong dilayani sambil tertawa saja.
"Pengkhianat
Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, kepalamu yang lebih dulu akan
kuhancurkan!" Kwi Hong memaki-maki.
"Hong-moi,
manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus? Kalau tidak ada aku, apa kau
kira masih dapat hidup sampai sekarang ini? Kurasa semua tokoh Pulau Es
sekarang telah menjadi mayat! Ingatlah, kita tidak mungkin melawan pemerintah,
itu namanya pemberontakan! Tenanglah, dan mari kita bersama menikmati hidup di
kota raja, di mana aku akan menjadi seorang pembesar dan engkau menjadi
isteriku, menjadi nyonya besar yang terhormat dan kucinta, Manis."
"Keparat!
Lebih baik mati dari pada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam
engkau!"
Kwee Sui
tertawa, "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi isteriku!"
"Anjing,
pengkhianat hina!"
Akan tetapi
Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu merebahkan diri dengan
senang hati, membayangkan kemuliaan dan kesenangan yang akan didapatnya,
membayangkan betapa dia akan memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu,
baik dengan jalan halus mau pun dengan kekerasan. Selosin orang prajurit yang
berjaga juga mengantuk. Mereka itu lelah sekali setelah bertempur sejak pagi
dan kini masih harus menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka
mengantuk dan mereka itu duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak yang
mereka peluk, ada pula yang meletakkan kepala di atas meja. Sebentar saja di
antara mereka telah ada yang mendengkur, bahkan Kwee Sui juga mendengkur dengan
enaknya.
Melihat para
penjaganya melenggut dan tertidur, Kwi Hong yang tubuhnya masih lemas akibat
totokan, mulai berusaha melepaskan ikatan kedua lengannya yang ditelikung ke
belakang. Namun selain ikatan itu kuat sekali, juga tenaganya belum pulih
sehingga sia-sia saja ia meronta. Tiba-tiba Kwi Hong menghentikan usahanya
ketika mendengar suara. Matanya terbelalak memandang papan ruangan itu yang
bergerak. Penutup lubang papan itu yang menghubungkan ruangan ini dengan
ruangan paling bawah bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka dari bawah.
Muncullah sebuah kepala orang. Hampir saja Kwi Hong berteriak kaget. Di bawah
sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun Beng!
"Sssttttt...!"
Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis itu
diam.
Ketika
terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga girang sekali.
Dia dapat menduga bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang melepas senjata
rahasia peledak itu muncul lagi dan membikin kacau di atas geladak. Kesempatan
yang baik, pikirnya. Dia lalu menggunakan tenaganya, memecah papan di tubuh
kapal, di atas permukaan air, dan setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia
merangkak masuk.
Dia tiba di
ruangan paling bawah yang sunyi, tak seorang pun tampak manusia di sini.
Ruangan bawah itu penuh dengan bahan-bahan makan dan air minum, kiranya
dijadikan tempat persediaan ransum pasukan itu. Melalui anak tangga, dia
berjalan naik, kemudian membuka penutup papan dari bawah. Ketika ia melihat Kwi
Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba di tempat yang tepat, karena memang dia bermaksud
untuk menolong gadis itu.
Kwi Hong
menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui yang tidur
mendengkur. Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui seperti bukan
seorang prajurit atau panglima. Segera dia dapat menduga, agaknya orang inilah
yang mengkhianati Pulau Es.
Dia meloncat
dan pada saat itu, karena lupa menutup kembali penutup papan, penutup itu
menutup kembali, menimbulkan suara keras. Para penjaga terbangun gelagapan, dan
ketika mereka melihat seorang pemuda tak dikenal di situ, mereka cepat meloncat
bangun dan siap dengan tombak di tangan.
Kwee Sui
juga melompat bangun. Siapa kau...?" bentaknya. "Tangkap dia!"
Dua orang
penjaga menubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang biasa saja. Bun
Beng menggerakkan kedua tangannya dan dua orang prajurit itu roboh tanpa dapat
berkutik lagi karena telah tewas! Penjaga-penjaga yang lain menjadi marah, dan
baru mengerti bahwa pemuda itu seorang yang lihai, maka segera mereka
gedebag-gedebug menyerang dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini tubuh
Bun Beng berkelebatan dan langsung terdengar pekik berturut-turut bersama
robohnya empat orang prajurit terdepan.
"Keparat!"
Kwee Sui memaki dan....
"Singgg...!"
dia telah menghunus Li-mo-kiam!
Para
prajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru
kaget, "Li-mo-kiam!"
"Betul,
dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!" Kwi Hong berseru.
Mendengar
ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang prajurit dan menerjang maju ke arah
Kwee Sui. Pemuda ini sudah marah sekali. Biar pun dia tahu bahwa pemuda itu
yang muncul secara tak terduga ini lihai, namun dia tidak takut. Dia adalah
seorang murid Pulau Es yang berkepandaian tinggi, apa lagi dia memegang
sebatang pedang mukjizat. Cepat dia menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan
pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan suara berdesing nyaring.
Bun Beng
cepat mengelak. Walau pun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi, namun berhadapan
dengan Bun Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut menghadapi ilmu
kepandaian Kwee Sui, akan tetapi dia ngeri menyaksikan sinar kilat pedang
Li-mo-kiam itu, sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai wibawa
menyeramkan.
Melihat
lawannya mengelak cepat seperti orang jeri, Kwee Sui tertawa dan merasa bangga,
cepat ia menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak dan tiba-tiba dia
tersandung mayat seorang prajurit, roboh terjengkang. Kwi Hong mengerti akan
siasat ini, pandang matanya yang tajam dapat membedakan roboh buatan dan roboh
sungguh-sungguh. Akan tetapi untuk membantu berhasilnya siasat Bun Beng, dia
sengaja menjerit. Kwee Sui girang sekali, cepat menubruk.
"Ceppp...
auggghhh...!"
Pedang
Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam dada dan
jantung Kwee Sui! Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan pedangnya, Bun Beng
yang pura-pura jatuh tadi cepat miringkan tubuh kemudian kakinya melayang dari
samping tepat mengenai lengan kanan Kwee Sui yang memegang pedang sehingga
pedang itu terpental membalik dan masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai menembus
ke punggung!
Bun Beng
cepat-cepat meloncat bangun. Sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia sudah menyambar
gagang pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti pancuran dari dada dan
punggung Kwee Sui. Matanya terbelalak memandang ke arah Kwi Hong, kemudian
robohlah pemuda yang khianat ini dengan mata masih terbelalak sungguh pun
nyawanya telah melayang.
Bun Beng
menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan dari pada ketika
Kwee Sui menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga yang tinggal empat orang
itu roboh dengan tubuh putus menjadi dua potong. Tanpa membuang waktu lagi Bun
Beng segera meloncat mendekati Kwi Hong, membabat putus belenggunya, kemudian
melihat keadaan gadis yang lemas itu dia lalu menotok dua jalan darah di
punggung dan pundak. Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan segera
dia... menubruk Bun Beng sambil menangis!
Bun Beng
gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa disadarinya, jari
tangannya mengelus rambut yang halus itu, yang berada di dadanya. Ia merasa
betapa air mata gadis itu membasahi baju dan menembus ke dada.
"Tenanglah,
Kwi Hong. Mengapa menangis?"
"Pulau
kami... ahhh... bagaimana nasib mereka...?" Kwi Hong terisak.
Tiba-tiba
dia tersadar betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa tangan itu membelai
dan mengusap rambutnya dengan mesra. Teringat akan hal ini, cepat ia
merenggutkan tubuhnya dari atas dada Bun Beng, melompat ke belakang kemudian
memandang Bun Beng dengan mata terbelalak penuh kemarahan!
"Kenapa...
kenapa kau memelukku...?"
"Ehhh...!"
"Kenapa
kau membelai rambutku?"
"Ohhh...!"
"Gak
Bun Beng, kau... hendak kurang ajar padaku, ya?"
Bun Beng
hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.
"Hayo
jawab!"
"Ehhh...
ohhh... Kwi Hong, bagaimana ini? Kau... kau menangis dan aku... aku merasa
bingung, ikut berduka dan terharu... kenapa kau menuduhku kurang ajar?"
Tiba-tiba
Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan, dan ia sadar
kembali. Tadi kedukaan dan kebingungan yang menyusul kegelisahannya, bercampur
dengan rasa kaget dan girang melihat kenyataan bahwa Bun Beng yang disangkanya
mati ternyata masih hidup, bahkan lebih dari itu, telah menolongnya dan
kelihatan begitu lihai. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu, membuat dia
bingung dan ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan membelai rambutnya, ia
menjadi marah-marah tidak karuan. Setelah sadar ia mengeluh.
"Ohhhh...," lalu menangis lagi.
"Sudahlah,
Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini sebelum mereka
turun. Agaknya di atas geladak terjadi keributan, kurasa orang yang menolong
anak buahmu di pulau sekarang telah turun tangan lagi membikin kacau di atas
kapal-kapal ini."
"Yang
menolong anak buah Pulau Es? Siapa...?"
"Nanti
kuceritakan, mari ikut denganku." Bun Beng lalu menyambar tangannya
setelah menyerahkan pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu melarikan diri
melalui penutup papan ruangan itu ke bawah.
Kali ini Kwi
Hong menurut saja, bahkan dia berbisik, "Bun Beng, harap kau maafkan
kelakuanku tadi..."
Mereka turun
ke ruangan bawah, kemudian keluar melalui lubang di badan kapal dan meloncat ke
perahu kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan yang berada di atas tiga buah
kapal itu, dibantu oleh pasukan dari dua kapal lain yang sudah datang, sedang
sibuk memadamkan kebakaran dan malam itu gelap sehingga Bun Beng dan Kwi Hong
dapat mendayung perahu menuju ke pulau tanpa terlihat mereka. Agaknya mereka
itu sibuk memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi adanya
pertempuran.
Ketika Bun
Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat lalu berlari cepat,
dari sebuah perahu hitam kecil tampak Lulu memandang mereka. Wanita ini
menghela napas lalu mendayung perahunya meninggalkan perairan itu, kembali ke
Pulau Neraka.
Ketika
mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang jenazahnya
ditinggalkan di pantai oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi. Gadis ini menjadi
makin berduka ketika bertemu dengan Phoa Ciok Lin yang terluka sedikit
pundaknya, mendengar betapa Yap Sun, Thung Sik Lun, dan banyak lagi
paman-pamannya telah tewas dalam pertempuran. Anak buah Pulau Es yang tadinya
berjumlah seratus orang lebih hanya tinggal lima puluh orang, termasuk
anak-anak.
"Biarkan
mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!" Kwi Hong berkata
dengan air mata membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan sebelah kiri dan
pedang Li-mo-kiam berkilauan di tangan kanan.
"Kurasa
tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka
dipimpin oleh orang-orang pandai."
"Apa
kau takut? Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah takut
menghadapi mereka!" Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa kalau
tidak ada pertolongan Bun Beng entah bagaimana jadinya dengan anak buah Pulau
Es, dan terutama dengan dia sendiri.
"Hong-ji,
jangan begitu!" Phoa Ciok Lin berkata. "Bun Beng telah berbuat banyak
sekali untuk kita, dan kurasa kata-katanya memang benar. Kalau kita melawan,
biar pun dibantu Bun Beng yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu
berarti akan mengorbankan semua sisa anak buah Pulau Es. Kita bertiga agaknya
dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi bagaimana dengan anak buah kita?
Apakah masih kurang banyak jatuhnya korban di pihak kita? Lebih baik kita
melarikan diri meninggalkan pulau ini sambil menanti kembalinya Taihiap."
"Lari...?
Dan Istana...?"
"Kita
bawa lari semua pusaka istana," kata pula Ciok Lin.
"Memang
itu benar sekali, Kwi Hong." Bun Beng berkata tenang. "Kalau kita
melawan, selain anak buah Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka tanpa kita
dapat banyak melindungi karena kita sendiri tentu berhadapan dengan lawan-lawan
tangguh, juga pusaka-pusaka Istana Pulau Es akan terampas oleh mereka. Agaknya
itulah yang menyebabkan Koksu membawa pasukan datang menyerbu Pulau Es."
Menghadapi
bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun tidak ingin kelak
dipersalahkan pamannya kalau sampai terjadi pusaka-pusaka dirampas pasukan
pemerintah dan semua anak buah tewas. Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin
pergilah semua sisa penghuni Pulau Es, menggunakan semua perahu kecil yang
tersembunyi. Mereka lari dengan perahu-perahu itu melalui utara, semua berjumlah
sepuluh buah perahu kecil.
Pada
keesokan harinya, pelarian-pelarian yang tergesa sehingga tiada kesempatan
menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas, melihat bahwa lima buah kapal besar
itu melakukan pengejaran. Mereka menjadi panik, akan tetapi Ciok Lin dengan
tenang memberi aba-aba, menjadi petunjuk jalan paling depan. Perahu-perahu itu
memasuki sekumpulan es terapung yang seperti bukit-bukit kecil. Mereka
mengambil jalan berbelak-belok, jalan yang hanya diketahui oleh Ciok Lin.
Lima buah
kapal itu mengejar, namun terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka karena
kapal-kapal yang besar itu terhalang oleh bukit-bukit es dan tidak mungkin
memasuki jalan air sempit di antara bukit-bukit es itu. Dengan penasaran Bhong
Ji Kun lalu memerintahkan anak buahnya mendarat lagi di Pulau Es. Yang ada di
situ hanyalah mayat-mayat kedua pihak yang bergelimpangan. Pondok-pondok kecil
dibakar, istana dirampok, dikuras habis benda-benda berharga dari istana itu,
kemudian istana itu dibakar habis! Tamatlah istana Pulau Es, dan pulau itu kini
tampak menyedihkan sekali, menjadi gundul karena pohon-pohon yang tidak berapa
banyak tumbuh di situ ikut pula terbakar habis!
Dengan marah
sekali karena semua usahanya gagal bahkan kehilangan banyak pasukan, kerusakan
kapal-kapal, dan hanya mendapatkan barang-barang rampasan berupa harta benda
yang tidak seberapa, tanpa ada benda-benda pusaka yang diharapkan, Bhong Ji Kun
memerintahkan anak buahnya berlayar pulang ke daratan.
Sementara
itu, Phoa Ciok Lin membawa anak buahnya ke daratan pulau, akan tetapi sebelah
utara dan mereka bersembunyi di pantai yang penuh dengan tebing-tebing curam
dan goa-goa yang sunyi. Tempat persembunyian yang paling aman dan tempat itu
pun hanya diketahui oleh Pendekar Super Sakti.
Setelah
mengantar sisa anak buah Pulau Es ke tempat persembunyianya, Bun Beng lalu
berpamit. Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika dia dipamiti. Mereka berdiri di
tepi laut dan wajah gadis itu masih muram penuh kedukaan memikirkan nasib Pulau
Es.
"Engkau
hendak pergi ke manakah, Bun Beng?" Tanyanya, suaranya gemetar dan pandang
matanya sayu. Bun Beng hanya mengira bahwa sikap gadis ini karena kedukaannya.
"Aku
hendak pergi ke kota raja. Aku harus dapat merampas kembali Hok-mo-kiam yahg
dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya, juga aku harus membuat perhitungan
dengan mereka yang telah membunuh Suhu. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok
Lama, Thai Li Lama, Bhe Ti Kong, bukan hanya karena telah membunuh Suhu, akan
tetapi juga karena penyerbuan mereka ke Pulau Es."
Kwi Hong menghela
napas panjang. Ingin sekali dia ikut bersama pemuda ini, akan tetapi dia maklum
bahwa hal itu tidak pantas, maka dia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam
dari pinggangnya, menyerahkannya kepada Bun Beng sambil berkata, "Kau
terimalah kembali pedang ini, Bun Beng. Pedang ini perlu bagimu untuk
melaksanakan tugasmu yang amat berbahaya itu. Mereka adalah orang sakti
dan..."
"Tidak
usah, Kwi Hong. Aku telah memberikan pedang itu padamu, bagaimana dapat
kuterima kembali? Ataukah... engkau tidak suka menerima pemberianku?"
"Tidak
sama sekali, akan tetapi..."
"Sudahlah.
Kau bersama Bibi Phoa menjaga di sini, melindungi sisa anak buah Pulau Es
sambil menanti datangnya Suma-taihiap. Kalau bertemu di dalam perjalananku,
tentu akan kusampaikan kepadanya akan segala peristiwa yang terjadi di Pulau
Es. Selamat tinggal, sampai jumpa pula, Kwi Hong."
Kwi Hong
mengangguk dan ketika pemuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, Kwi
Hong berdiri memandang dan termenung. Tak disadarinya, dua titik air mata turun
ke atas kedua pipinya. Mengapa hatinya terasa berat berpisah dengan pemuda itu?
Apakah benar seperti pertanyaan pamannya dahulu bahwa dia mencinta Bun Beng?
Dia merasa suka, kagum, kasihan kepada pemuda itu dan ingin selalu berdekatan,
merasa berat ditinggalkan. Inikah cinta?
"Hong-ji,
dia adalah seorang pemuda yang amat baik."
Kwi Hong
cepat membalikkan tubuhnya dan cepat pula menghapus dua titik air mata dari
pipinya. Ia melihat Phoa Ciok Lin telah berdiri di situ. Jantungnya berdebar
keras dan mukanya menjadi merah sekali.
"Apa...
apa maksudmu, Bibi...?"
Wanita itu
menarik napas panjang menjawab. "Engkau cinta padanya, Hong-ji, dan aku
tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang pemuda yang baik, pantas mendapatkan
cinta seorang gadis sepertimu, dan kurasa... dia pun mencintamu, Hong-ji"
"Bibi...!"
"Jangan
marah, aku bicara karena kenyataan dan aku cukup awas melihat keadaan kalian
orang-orang muda. Cinta memang amat berkuasa dan aneh, Hong-ji." Kembali
dia menarik napas panjang dan pandang matanya sayu seperti orang melamun.
"Cinta dapat membuat orang menjadi halus perasaannya, menjadi seorang yang
mau mengorbankan apa saja, sampai nyawanya. Akan tetapi mampu pula membuat
orang menjadi kejam, menjadi mudah putus asa, akan tetapi juga dapat membuat
orang menjadi tahan derita..."
Kwi Hong
terharu memandang wanita itu. "Ahh, seperti engkau sendiri, Bibi. Bukankah
engkau mencinta Pamanku, mencinta dengan seluruh badan dan nyawamu?"
Phoa Ciok
Lin menjatuhkan diri duduk di atas batu karang, merenung ke arah lautan. Dia
mengangguk dan terdengar suaranya lirih, "Benar, tak perlu kusembunyikan.
Akan tetapi apa gunanya mencinta sebelah pihak? Salahku sendiri, orang yang tak
tahu diri. Akan tetapi aku tidak kasihan kepada diriku sendiri, Hong-ji,
melainkan kasihan kepada Pamanmu. Pamanmu jauh lebih sengsara dan menderita
dari pada aku, gara-gara dua orang wanita yang dicintanya... hemmm... cinta
dapat mendatangkan neraka dunia bagi orang yang gagal. Semoga engkau kelak
tidak gagal bersama Gak Bun Beng, Hong-ji..."
"Bibi...!"
Kwi Hong maju menubruk dan merangkul wanita itu dan kedua orang itu saling
peluk dan menangis, bukan hanya karena urusan cinta, melainkan menangisi Pulau
Es yang hancur berantakan.....
***************
Penyerangan
ke Pulau Es dan hancurnya pulau itu oleh pasukan-pasukan pemerintah
menggegerkan dunia persilatan. Ternyata koksu, atas nama pemerintah telah unjuk
gigi dan terjadilah perubahan hebat di dunia persilatan. Kalau dahulu Pulau Es
membuat semua orang kang-ouw gemetar, kini menjadi bahan tertawaan mereka.
Kiranya Pulau Es tidaklah sekuat yang mereka duga.
Kemudian
Bhong Ji Kun yang merasa penasaran karena kegagalan di Pulau Es, hanya berhasil
menghancurkan pulau itu, menimpakan kemarahannya kepada Pulau Neraka. Dia lalu
berangkat lagi, membawa lima belas buah kapal dan seribu orang anggota pasukan,
berangkat lagi berlayar ke utara mencari Pulau Neraka! Dengan petunjuk jalan
para nelayan di lautan utara, akhirnya dia berhasil menemukan Pulau Neraka, akan
tetapi apa yang didapatinya? Pulau itu telah kosong! Semua penghuni Pulau
Neraka telah lebih dulu menyingkirkan diri dan meninggalkan pulau itu,
seolah-olah mengejek Koksu. Bhong Ji Kun marah, membakar pulau itu, kemudian
kembali ke kota raja dengan tangan hampa.
Memang Lulu
telah lebih dulu mengungsikan anak buahnya ke daratan. Dia maklum bahwa tentara
pemerintah pasti akan menyerbu Pulau Neraka, maka lebih dulu dia memerintahkan
anak buahnya mengungsi ke daratan. Kini Pulau Es dan Pulau Neraka tidak ada
lagi, atau lebih tepat kosong dan sudah terbakar, semua penghuninya telah lari
dan semua orang menduga bahwa larinya tentu ke daratan di mana mereka dapat
bersembunyi dengan mudah.
Mendengar
ini Nirahai menjadi marah dan mendongkol sekali kepada Koksu. Bertahun-tahun
dia menggembleng diri, memperkuat perkumpulan Thian-liongpang untuk kelak
sewaktu-waktu menyerang ke Pulau Es, untuk menandingi kekuatan Pulau Es dan
kelihaian Suma Han. Kini didahului oleh pasukan pemerintah! Juga dia harus
mengakui di dalam hatinya bahwa dia merasa sakit hati mendengar Pulau Es
dibakar.
Watak wanita
yang kecewa dalam cinta benar-benar sangat aneh. Dia sendiri ingin menyerbu
Pulau Es, mengalahkan suaminya. Sekarang mendengar tempat suaminya
diobrak-abrik orang lain, dia marah-marah dan sakit hati! Apa lagi ketika ia
mendengar bahwa pasukan Koksu itu atas perintah kaisar sendiri, mengertilah dia
apa yang menjadi sebab penyerbuan itu. Tentu Kaisar, ayahnya sendiri, masih
merasa dendam terhadap Suma Han yang melarikannya, maka kini hendak menangkap
Suma Han, atau agaknya lebih tepat lagi, hendak mencari dia! Diam-diam Nirahai
tersenyum di balik kerudungnya. Tentu ayahnya itu, Kaisar dan kaki tangannya,
tidak pernah mimpi bahwa Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia itu adalah
Puteri Nirahai yang dicari-cari!
Ketika
mereka mendengar akan penyerbuan tentara ke Pulau Neraka, dia makin penasaran
lagi. Tadinya Thian-liong-pang dianggap sebagai perkumpulan paling kuat dan
yang menjadi tandingannya hanyalah Pulau Es dan Pulau Neraka. Kini kedua pulau
itu telah dihancurkan pemerintah, siapa lagi yang akan menjadi tandingan
Thian-liong-pang? Sekaranglah saatnya dia memperlihatkan kekuatan dan menjagoi
dunia kang-ouw.
Setelah
berunding dengan para pembantunya, maka Thian-liong-pang lalu membuat
pengumuman dan mengundang seluruh partai dan semua golongan putih dan hitam,
untuk memenuhi undangan Thian-liong-pang di mana akan diberi kesempatan kepada
semua jago silat dunia untuk membuktikan siapa yang patut menjadi datuk pertama
di dunia persilatan dan perkumpulan mana yang patut disebut perkumpulan
terkuat. Untuk keperluan ini, Thian-liong-pang memilih tempat di kaki
Pegunungan Ciung-lai-san, di daerah Se-cuan, bekas daerah pertahanan
pemberontak Bu Sam Kwi. Daerah ini selain sunyi, juga merupakan daerah tandus
seperti gurun pasir dan jauh dari kota mau pun dusun.
Beberapa
hari sebelum hari yang ditentukan untuk pertemuan itu, pihak Thian-liong-pang
telah berkumpul di tempat itu. Mereka membangun sebuah pondok gubuk yang
tingginya dua puluh meter. Kemudian lima puluh orang anggota Thian-liong-pang
pilihan berkumpul dengan dipimpin oleh Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong
Sin-ciang Chi Kang, Tang Wi Siang dan para wanita pelayan yang lihai, serta
beberapa orang tokoh Thian-liong-pang lain seperti Su Kak Liong, saudara kembar
yang kehilangan adiknya, karena adiknya, Toat-beng-to Su Kak Houw, telah tewas
ketika hendak membunuh Bun Beng dan banyak orang yang menjadi tokoh
Thian-liong-pang pula. Ada pun Nirahai sendiri bersama Milana baru datang ke
tempat itu sehari sebelumnya. Keduanya meloncat naik dan memasuki gubuk yang
tinggi, menutupkan pintunya dan tidak tampak dari luar.
Seperti
diketahui, Milana meninggalkan ibunya tanpa pamit untuk mencari Bun Beng. Namun
sebelum niat hatinya tercapai, dia mendengar pula berita akan dihancurkannya
Pulau Es oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dara ini mengkhawatirkan ayahnya
dan dia cepat pulang untuk mengabarkan hal itu kepada ibunya.
Semenjak
pagi pada hari yang ditentukan itu, datanglah berbondong-bondong pasukan
orang-orang kang-ouw dari pelbagai aliran dan partai persilatan. Bahkan
partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai yang terdiri dari belasan
orang hwesio, dan Kun-lun-pai yang diwakili oleh kaum tosu, Bu-tong-pai yang
dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Ang-lojin atau Ang Thian Pa bersama
puterinya yang menarik perhatian karena cantiknya, Ang Siok Bi. Hadir pula dari
Partai Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain, yaitu dari partai-partai aliran
bersih.
Dari kaum
perampok dan golongan hitam juga banyak yang hadir, di antaranya dari
Hek-liong-pang, Hek-kai-pang perkumpulan pengemis baju hitam, dan Hui-houw-pai
perkumpulan harimau terbang, Sin-to-pang perkumpulan ahli golok, Lam-hai-pang,
dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka itu
sudah mengenal nama Thian-liong-pang, mereka menjadi jeri dan hanya datang
untuk melihat-lihat. Semenjak Pemerintah Mancu berdiri dan semenjak pertemuan
di pulau muara Huang-ho, tidak ada perkumpulan kang-ouw yang berani lagi
mengadakan pertemuan macam ini, apa lagi pertemuan besar ini. Ada pun pihak
golongan bersih, hanya datang karena merasa sungkan kepada Thian-liong-pang,
dan juga ingin menyaksikan sendiri seperti apa macamnya Ketua Thian-liong-pang
yang disohorkan memiliki kepandaian seperti iblis, yang melampaui kehebatan
para datuk golongan hitam mau pun putih!
Karena tanah
di tempat pertemuan itu tandus, setiap ada rombongan baru datang berkuda, tentu
dari jauh tampak debu mengebul tinggi. Ada pula yang memikul ketua-ketua mereka
dengan tandu, dan ada pula yang datang berkuda. Sebagian besar di antara mereka
itu kini memelihara rambut yang dikuncir, sesuai dengan peraturan pemerintah
baru. Akan tetapi ada pula yang tidak mau mentaati peraturan ini dan masih
menyanggul rambutnya atau membiarkan saja panjang terurai seperti tampak pada
para anggota Thian-liong-pang dan para anggota perkumpulan kaum sesat. Tentu
saja peraturan ini tidak berlaku bagi para tosu yang semenjak dahulu mempunyai
mode tersendiri dalam menyanggul rambut mereka, dan para hwesio yang semenjak
dahulu memang tidak berambut kepalanya!
Kedatangan
rombongan tamu dari segenap penjuru itu disambut oleh para anak buah
Thian-liong-pang yang berkumpul mengelilingi gubuk tinggi, berbaris rapi
menghadap keluar. Setiap tokoh yang melihat tamu datang dari depan, cepat
menyambut dengan hormat sambil menjura. Di antara para orang kang-ouw itu, baik
pihak tuan rumah mau pun para tamu, tidak menduga sama sekali bahwa pertemuan
orang dunia persilatan ini tidak luput dari pengawasan pemerintah. Bahkan
banyak mata-mata pemerintah yang lihai menyeludup masuk, menyamar sebagai
rombongan orang kang-ouw.
Lebih hebat
lagi, Koksu Bhong Ji Kun sendiri bersama pembantu-pembantunya telah siap
menyerbu dengan pasukannya yang seribu orang banyaknya, begitu terdapat tanda
dari para penyelidiknya. Bhong Ji Kun bukan seorang bodoh, dan tentu saja dia
tidak akan memusuhi orang-orang kang-ouw, apa lagi partai-partai besar yang
oleh pemerintah bahkan diharapkan kerja sama mereka. Pemerintah yang telah
berhasil memelihara keamanan setelah menundukkan semua kerusuhan, tidak akan
memancing kekecewaan dan pemberontakan baru dengan jalan menindas orang-orang
kang-ouw. Tidak, Bhong Ji Kun tidak akan mengganggu Thian-liong-pang yang
merupakan perkumpulan besar yang berpengaruh, atau mengganggu tamu-tamunya.
Akan tetapi, yang diincarnya adalah orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka.
Kalau sampai
mereka yang berhasil melarikan diri dari kedua pulau itu berani muncul di situ,
barulah dia akan mengerahkan pasukan dan pembantu-pembantunya untuk menyerbu
dan menangkapi mereka dengan dalih memberontak. Dengan menangkapi para penghuni
Pulau Es dan Pulau Neraka, dia mengharapkan akan dapat memaksa mereka
menyerahkan pusaka-pusaka dari kedua pulau itu, terutama dari Pulau Es. Untuk
maksud inilah Bhong Ji Kun menyiapkan pasukan dan pembantu-pembantunya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment