Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 16
Milana
melarikan diri bersama sisa anak buahnya. Hatinya kacau dan berduka sekali
ketika mereka berhenti di dalam sebuah hutan dan mengubur jenazah Si Lengan
Buntung, Su Kak Liong dan anak buahnya yang lain yang tewas dalam pertempuran
melawan anak buah Pulau Neraka. Dia merasa penasaran sekali dan mukanya menjadi
merah saking marah dan malu kalau teringat betapa dia dipermainkan oleh pemuda
tampan, putera Majikan Pulau Neraka yang amat lihai itu.
Dia harus
melapor kepada ibunya dan minta pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi.
Untung gadis tadi menolongnya, kalau tidak tentu dia telah menjadi tawanan.
Milana bergidik kalau teringat akan hal itu tak dapat dia membayangkan apa yang
akan terjadi kalau dia menjadi tawanan pemuda yang gila itu! Thian-liong-pang
telah mengalami kekalahan dan penghinaan dari Pulau Neraka. Ibunya sendiri
harus turun tangan menghajar orang-orang Pulau Neraka.
Setelah
selesai mengubur jenazah-jenazah itu, Milana mengajak sisa anak buahnya yang
tinggal delapan orang itu untuk melanjutkan perjalanan malam itu juga.
Rombongan ibunya berada di tempat yang tidak jauh lagi dari situ. Tinggal dua
hari perjalanan paling lama. Dia tidak akan merasa aman sebelum bertemu dengan
rombongan ibunya. Dua orang pembantu utamanya, Si Lengan Buntung dan Su Kak
Liong, serta beberapa orang lagi telah tewas. Dengan munculnya orang-orang
Pulau Neraka yang dipimpin pemuda lihai itu sebagai musuh, dia merasa kurang
kuat.
Akan tetapi,
ketika rombongan terdiri sembilan orang ini memasuki sebuah hutan pada keesokan
harinya, tiba-tiba tampak banyak orang berloncatan dan mereka telah dikurung
oleh belasan orang! Milana terkejut, akan tetapi ketika melihat bahwa yang
mengurung itu adalah orang-orang yang berpakaian seperti orang kang-ouw dan
bercampur dengan beberapa orang hwesio dan tosu, maklumlah dia bahwa yang
mengurungnya bukan orang-orang Pulau Neraka seperti yang dikhawatirkannya,
melainkan orang-orang kang-ouw!
Milana cepat
meloncat maju dan menghunus pedangnya. Tali suteranya telah putus dan ditinggalkan
ketika dia hampir tertawan oleh Wan Keng In, maka kini satu-satunya senjata di
tangannya hanyalah pedangnya. Melihat bahwa yang memimpin para pengurung itu
adalah seorang hwesio tinggi besar bersenjata toya yang berjenggot pendek, dia
cepat menghampiri dan berkata, suaranya nyaring.
"Kami
rombongan orang Thian-liong-pang sudah meninggalkan tempat yang dijadikan
tempat pertemuan, hendak kembali ke tempat kami. Mengapa kalian masih
menghadang di sini? Apa kehendak kalian dan siapakah kalian? Dari partai dan
golongan apa?"
"Kami
adalah sisa rombongan yang telah dipaksa mundur oleh Thian-liong-pang, dan
karena kami merasa bahwa perjuangan kami sama, maka kami bergabung dan
mengambil keputusan untuk membasmi Thian-liong-pang yang banyak menimbulkan
bencana terhadap perjuangan orang-orang gagah." Hwesio itu berkata sambil
melintangkan toyanya.
"Hemmm...
perjuangan orang-orang gagah apa? Perbuatan kacau para pemberontak
maksudmu?" Milana berkata dengan marah setelah kini dia mendapat kenyataan
bahwa sebagian besar di antara orang-orang itu adalah benar anggota rombongan
partai-partai yang telah dikalahkan di tanah kuburan. Bahkan tiga orang hwesio
itu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai!
"Harap
kalian suka tahu diri! Setelah kalian kalah dalam pertandingan mengadu ilmu di
tanah kuburan, mengapa kalian tidak pulang dan melaporkan kepada Ketua
masing-masing akan tetapi malah diam-diam bergabung dan bersekongkol dengan
para pemberontak untuk menghadang kami?"
"Orang-orang
Thian-liong-pang penjilat pemerintah asing! Membunuh kalian bagi kami adalah
kewajiban orang-orang gagah membunuh anjing-anjing penjilat yang kotor!"
Seorang di antara mereka yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw, yang
belum pernah dilihat Milana, membentak dan sudah menerjang dengan bacokan
goloknya.
Tentu mereka
inilah pemberontak-pemberontak yang asli, sedangkan para hwesio, tosu dan
orang-orang partai hanyalah terbawa-bawa saja, terhasut oleh kaum pemberontak
yang tentu saja hendak melibatkan partai-partai besar untuk membantu gerakan
mereka.
Milana
menangkis serangan golok itu dan segera ia dikeroyok oleh enam orang yang
menghujankan serangan. Agaknya para pengeroyok itu sudah maklum bahwa dia
adalah orang yang paling lihai di antara rombongannya, maka kini yang diberi
tugas mengeroyoknya adalah enam orang yang cukup lihai, bahkan mereka itu semua
bersenjata golok besar dan gerakan mereka teratur sekali. Kiranya enam orang
itu membentuk sebuah barisan golok yang cukup kuat! Delapan orang anak buahnya
sudah lemah dan lelah, apa lagi tiga di antara mereka masih belum sembuh dari
luka-luka yang diderita dalam pertandingan yang lalu namun kini terpaksa mereka
itu mengangkat senjata melakukan perlawanan.
Milana
sendiri sudah lelah dan kurang tidur, namun permainan pedangnya membuat enam
orang lawan yang membentuk barisan golok dan mengurungnya itu kewalahan. Maka
majulah tiga orang hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, ikut mengeroyok dengan
senjata mereka. Setelah dikeroyok sembilan barulah Milana merasa sibuk juga.
Dia masih ingat bahwa tiga orang hwesio hanya terbawa-bawa saja, maka dia tidak
ingin membunuh. Justru inilah yang membuat dia repot, karena sembilan orang
pengeroyoknya itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya dan semua
serangan mereka adalah serangan maut yang jelas membuktikan akan kebencian
mereka kepadanya dan mereka bermaksud membunuhya!
Pertandingan
yang berjalan berat sebelah itu tidak berlangsung lama karena di antara delapan
orang anak buah Thian-liong-pang sudah roboh lima orang. Hanya tiga orang yang
masih melawan mati-matian, sedangkan Milana sendiri yang dikeroyok sembilan
orang baru berhasil merobohkan tiga orang. Akan tetapi, tiga orang roboh, lima
orang datang membantu sehingga dara itu terpaksa harus terus memutar pedangnya
untuk melingkari diri dari hujan senjata sebelas orang yang menyambarnya dari
segala jurusan.
Pada saat
itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang nyaring dan menyeramkan sekali.
Beberapa pengeroyok terhuyung begitu mendengar lengking itu dan dari atas
pohon-pohon meluncur sinar-sinar kecil-kecil merah yang menyambar ke bawah,
disusul meloncatnya bayangan orang berkerudung. Hanya delapan orang di antara
sebelas orang pengeroyok Milana yang berhasil mengelak, sedangkan tiga orang lainnya
roboh terkena jarum merah berbau harum yang dilepas oleh orang yang berkedok
atau berkerudung itu.
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati semua orang kang-ouw ketika melihat bahwa
yang muncul adalah wanita berkerudung yang menyeramkan, Ketua dari Thian-liong-pang!
Tak lama kemudian, muncul pula enam orang wanita cantik yang menjadi pengawal
atau pelayan Ketua itu, dipimpin oleh Tang Wi Siang!
Orang-orang
kang-ouw itu terkejut, akan tetapi mereka tidak takut biar pun maklum bahwa
kini keselamatan mereka terancam bahaya maut dengan munculnya Ketua
Thian-liong-pang bersama enam orang pelayan. Mereka menjadi nekat dan segera
Ketua Thian-liong-pang dan puterinya dikeroyok. Terjadilah pertandingan yang
kembali berat sebelah, akan tetapi merupakan kebalikan dari pada tadi. Kini
biar pun jumlahnya masih tetap lebih banyak, rombongan orang kang-ouw itu yang
terdesak hebat dan sebentar saja Ketua Thian-liong-pang yang hanya mengamuk
dengan tangan kosong itu telah merobohkan enam orang pengeroyok dengan pukulan
jarak jauh yang amat dahsyat!
Berturut-turut
para pengeroyok itu berkurang jumlahnya, bahkan dalam waktu singkat saja Milana
dan ibunya telah berhasil merobohkan semua orang yang mengeroyok mereka! Kini
yang masih terus melakukan perlawanan hanya tiga orang hwesio Siauw-lim-pai dan
tiga orang kang-ouw, termasuk dua orang tosu Hoa-san-pai yang ditandingi oleh
Tang Wi Siang dan teman-temannya. Mereka ini pun sudah terdesak hebat dan
agaknya tak lama kemudian akan roboh pula.
Tiba-tiba
kembali terdengar bunyi suara melengking, kali ini jauh lebih hebat dari pada
tadi, disusul suara orang yang berpengaruh sehingga membuat semua orang
tergetar jantungnya.
"Hentikan
pertempuran...!"
Ketua
Thian-liong-pang terkejut, menghentikan serangan dan menoleh. Demikian pula
tiga orang hwesio Siaw-lim-pai, dua orang tosu Hoa-san-pai, dan seorang
kang-ouw meloncat mundur dan menoleh. Berdebar hati semua orang ketika melihat
seorang laki-laki, entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada
di tengah-tengah mereka, seorang laki-laki yang kaki kirinya buntung, berdiri
tegak dengan tongkat kayu sederhana membantu kaki tunggalnya.
Seorang
laki-laki yang berwajah tampan sekali namun tampak diselimuti awan duka yang
membuat goresan mendalam di kulit wajahnya. Dia belum sangat tua, akan tetapi
seluruh rambutnya yang dibiarkan berurai di sekeliling kepalanya sampai ke
pundak dan punggung, semua telah berwarna putih seperti benang-benang sutera
perak.
"Pendekar
Super Sakti...!" Seorang tosu Hoa-san-pai berbisik. Walau pun bisikannya
perlahan karena keluar dari hatinya dan tanpa disengaja, namun karena keadaan
di saat itu amat sunyi, tidak ada yang bicara atau bergerak, maka suaranya
terdengar jelas.
Laki-laki
itu memang Suma Han, atau Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai Pendekar
Siluman, Majikan Pulau Es. Setelah terdengar suara lirih tosu Hoa-san-pai
menyebutkan nama julukan pria yang berwajah penuh duka itu, keadaan menjadi
makin sunyi.
"Han
Han...!"
Suara ini
lebih lirih dan oleh telinga lain hanya terdengar seperti berkelisiknya angin
di antara daun-daun pohon. Namun pendekar sakti itu kelihatan terkejut dan
tersentak kaget, memandang ke kanan kiri seperti orang mencari-cari, kemudian
diam, bengong terlongong. Tidak salahkah telinganya menangkap suara lirih itu?
Hanya ada
beberapa orang saja yang memanggilnya dengan nama itu, nama kecilnya. Han Han!
Dan suara lirih halus merdu itu amat dekat dengan hatinya, seperti suara yang
tidak asing baginya, akan tetapi dia tidak yakin suara siapa yang menyebut nama
kecilnya semerdu dan sehalus itu! Dia menjadi bingung, kemudian teringat akan
orang-orang di sekitarnya. Dia menoleh ke arah wanita berkerudung dan berkata
dengan suara keren penuh wibawa.
"Sudah
bertahun-tahun aku mendengar di dunia kang-ouw tentang keanehan
Thian-liong-pang yang selalu membikin geger dunia kang-ouw, menculiki
tokoh-tokoh kang-ouw, bahkan berita terakhir mengatakan bahwa Thian-liong-pang
membunuhi banyak tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah. Sekarang,
kebetulan sekali Pangcu berada di sini dan kebetulan pula aku dapat
menyelamatkan nyawa para sahabat ini dari ancaman maut, aku ingin bertanya,
apakah maksud Thian-liong-pangcu sebenarnya dengan semua perbuatan itu?"
Sunyi senyap
menyambut ucapan pendekar yang ditakuti, dihormati, dan disegani itu. Bahkan
Tang Wi Siang sendiri mukanya berubah pucat dan tidak berani mengangkat muka
memandang, hanya menundukkan muka saja seolah-olah silau jika memandang wajah
yang mempunyai sepasang mata yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan
sinar mata itu!
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara yang bengis dan ketus, suara yang membuat para
pendengarnya meremang bulu tengkuknya, karena nadanya dingin melebihi salju,
penuh tantangan dan seolah-olah mengandung kebencian yang amat mendalam,
"Memang
benar! Semua keributan di dunia kang-ouw itu akulah yang melakukannya! Akulah
yang bertanggung jawab! Aku yang memerintahkan anak buahku! Habis, engkau mau
apa? Dengarlah baik-baik! Semua perbuatanku itu memang kusengaja untuk
menantangmu, agar engkau datang menyerbu ke tempatku. Kalau kau berani!"
Semua orang
terkejut mendengar ini, namun terdengar suara isak tertahan sehingga semua
orang menoleh ke arah Milana. Dara itulah yang tadi terisak seperti orang
tersedak. Akan tetapi, dara itu kini menundukkan mukanya dan semua orang
kembali memandang ke arah Pendekar Super Sakti dengan hati tegang, ingin mereka
melihat apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua orang hebat itu.
Suma Han
sendiri sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ucapan Ketua Thian-liong-pang
itu demikian ketus dan bengis terhadap dirinya, maka dia terkejut dan heran
sekali. "Apa? Menantang dan mengundangku? Mengapa...?"
"Sudah
terlalu lama aku ingin mencincang hancur engkau! Engkau... manusia yang tak
berjantung! Manusia tiada perasaan!"
"Ehhh...
heiiii? Mengapa? Apa... apa maksudmu?"
"Tak
perlu banyak cakap lagi kau!"
Ketua
Thian-liong-pang itu segera menyerang dengan hebat. Pedang yang telah
dicabutnya, padahal tadi ketika pengeroyokan dia sama sekali tidak pernah
mencabut pedangnya, kini bergerak cepat sekali, berubah menjadi sinar putih
yang bergulung-gulung menerjang ke arah tubuh Pendekar Super Sakti. Sejenak
timbul niat di hati Suma Han untuk benar-benar mencoba dan menguji sampai di
mana kehebatan ilmu kepandaian Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia ini
dan untuk mengenal sumber ilmu kepandaiannya.
Akan tetapi
ia menjadi bingung juga ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh
wanita berkerudung itu adalah ilmu pedang campuran yang sukar diketahui atau
dikenal lagi dasarnya. Segala macam ilmu pedang partai besar di dunia
persilatan terdapat dalam gerakan ilmu pedang ini! Belum pernah selamanya dia
menyaksikan ilmu pedang seperti itu, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan
wanita itu cepat sekali sedangkan desing suara angin yang terbelah oleh pedang
itu sendiri menyatakan betapa kuatnya tenaga sinkang yang dimiliki wanita itu!
Terpaksa dia
menangkis dengan tongkatnya dan balas menyerang, bukan menyerang
sungguh-sungguh, hanya untuk memaksa lawan itu mengeluarkan jurus simpanannya
agar ia dapat mengenal dasar ilmu silatnya. Akan tetapi wanita berkerudung itu
benar-benar hebat sekali karena sampai belasan jurus, dalam serang-menyerang
itu, tidak pernah dia memperlihatkan dasar kepandaiannya, melainkan mainkan
jurus campuran dari pelbagai ilmu pedang yang sudah ‘dicurinya’ dari para tokoh
yang pernah diculiknya.
Memang
Nirahai amat lihai dan cerdik. Dari ilmu-ilmu silat yang dilihatnya, dia dapat
mengambil inti sarinya yang terpenting, kemudian menciptakan gabungan yang amat
hebat, tentu saja dengan mendasarkan kepandaiannya sendiri sebagai unsur pokok
yang terpenting. Oleh karena itu, sekarang Suma Han tidak dapat mengenal dasar
ilmu pedangnya!
Suma Han
memang tidak mempunyai niat untuk bertanding mati-matian. Enam orang kang-ouw
masih berada di situ, yaitu tiga orang hwesio, dua orang tosu dan seorang
kang-ouw yang tentu akan terancam keselamatan mereka kalau tidak ditolongnya.
Pula, dia sendiri menghadapi banyak urusan besar. Mencari Pedang Hok-mo-kiam
saja belum berhasil. Kalau dia harus melayani tantangan Ketua Thian-liong-pang
yang galak dan entah mengapa selalu memusuhinya dan agaknya amat membencinya
itu, berarti dia akan melibatkan diri dengan banyak urusan yang memusingkan
kepala!
Apa lagi
sekarang terdapat kenyataan bahwa Thian-liong-pang yang diketuai oleh wanita
aneh ini, aneh dan amat lihai, telah mengabdi kepada pemerintah! Kalau dia
melayani tantangannya, berarti akan menjadi berlarut-larut. Padahal dia belum
berhasil mengambil tindakan terhadap Koksu dan kaki tangannya yang telah
menghancurkan Pulau Es tanpa alasan sama sekali! Belum lagi masih banyak urusan
yang harus dia selesaikan secepatnya.
Pertama, dia
harus merampas kembali pedang Hok-mo-kiam. Kedua, dia harus minta pertanggungan
jawab terhadap mereka yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka.
Ketiga, dia harus mencari tahu bagaimana dengan keadaan Lulu setelah Pulau
Neraka dibakar! Ke empat, dia harus menyelidiki pula keadaan isterinya, Puteri
Nirahai, yang tidak diketahuinya di mana. Dia sudah merasa amat rindu kepada
mereka semua itu. Kepada Lulu, kepada Puteri Nirahai, kepada anaknya dan anak
Nirahai yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu!
"Para
sahabat kang-ouw, harap lekas pergi dari tempat ini!" Tiba-tiba Suma Han
berkata.
"Tahan
mereka! Jangan biarkan mereka pergi!" Ketua Thian-liong-pang berteriak
pula dari balik kerudungnya dengan suara yang bengis dan nyaring.
"Mengapa
tidak biarkan mereka pergi saja...?" terdengar Milana berkata perlahan.
Dara ini
sejak tadi menangis secara diam-diam. Menangis tanpa berani mengeluarkan suara
atau air mata, takut kalau ketahuan ibunya. Betapa dia tidak akan menangis,
betapa jantungnya tidak akan terasa seperti ditusuk-tusuk pisau kalau melihat
keadaan seperti itu? Dia tahu bahwa Pendekar Super Sakti itu adalah ayah
kandungnya sendiri!
Untung bahwa
Pendekar Super Sakti tidak mengenalnya, tentu telah lupa karena tentu saja
banyak terjadi perbedaan dan perubahan antara dia ketika masih kecil dengan dia
sekarang yang telah menjadi seorang dara dewasa! Betapa tidak akan hancur
hatinya melihat ibu kandungnya bertanding dan memusuhi bahkan tampak seperti membenci
ayah kandungnya sendiri? Ingin sekali dia meloncat, ingin sekali dia terjun ke
dalam gelanggang pertandingan itu, untuk memisah mereka, untuk membujuk ibunya.
Akan tetapi dia tidak berani.
Kalau dia
melakukan hal itu, tentu ibunya akan marah bukan main. Dia tidak boleh membuka
rahasia ibunya! Karena itulah dia merasa tertekan perasaannya, merasa berduka
sekali dan menangis dalam hatinya, kemudian, tanpa disadarinya, ia mencela
ibunya mengapa tidak membiarkan mereka itu pergi saja? Bukan hanya mereka
orang-orang kang-ouw itu, akan tetapi terutama sekali ayah kandungnya! Kalau
memang ibunya tidak suka kepada ayah kandungnya, mengapa harus memusuhinya,
tidak membiarkan pergi saja?
Suma Han
mendengar suara gadis itu dan diam-diam ia merasa heran. Tadi dia mendengar
gadis itu terisak, biar pun isak yang ditahan, dan kini mendengar gadis itu
berkata demikian. Bukankah gadis itu seorang anggota Thian-liong-pang yang
paling penting, bahkan kalau tidak salah pendengarannya tadi sebelum ia
memperlihatkan diri, gadis itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Puteri
wanita berkerudung yang kejam itu! Hemm, jalan satu-satunya untuk mengendalikan
Thian-liong-pang adalah puterinya ini. Pikiran ini menyelinap di dalam otaknya
dan tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan tenaga.
"Trangggg!"
Ketua
Thian-liong-pang terkejut sekali karena tahu-tahu lawannya lenyap. Tentu saja
dia mengenal Pendekar Super Sakti dan maklum pula bahwa pendekar itu telah
menggunakan ilmunya yang mukjizat, yaitu Gerak Kilat Soan-hong-lui-kun. Akan
tetapi yang membuat dia terkejut adalah ketika melihat bayangan pendekar itu
mencelat ke arah puterinya, Milana yang berdiri dengan muka tunduk. Nirahai
mengeluarkan keluh perlahan dan otomatis menyimpan pedangnya, berdiri dengan kedua
kaki gemetar!
Milana
sendiri kaget setengah mati ketika tiba-tiba tangan kanannya disambar dan
dipegang oleh tangan kiri Pendekar Super Sakti, kemudian tampak sinar
berkelebat ketika ujung tongkat itu telah menodong lehernya.
"Tidak...
tidak... jangan...!" Milana menjadi pucat, terbelalak memandang lelaki itu
dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia sama
sekali bukan takut terbunuh, melainkan merasa ngeri kalau sampai ayah
kandungnya itu tidak mengenalnya dan kesalahan tangan membunuhnya. Sebagai
seorang dara perkasa yang telah digembleng kegagahan sejak kecil, mati bukan
apa-apa baginya, tetapi mati di tangan ayah kandungnya sendiri benar-benar
merupakan hal mengerikan!
Suma Han
sendiri terbelalak kaget melihat wajah cantik jelita itu, yang tertimpa sinar
matahari dan kelihatan pucat sekali. Betapa cantiknya dara ini! Tentu amat
disayang oleh ibunya. Ketua Thian-liong-pang yang seperti iblis itu!
"Thian-liong-pangcu,
lekas kau bebaskan para sahabat kang-ouw itu, kalau tidak, aku terpaksa
membunuh anakmu di depan matamu!" Suma Han mengancam.
"Kau...!
Kau...!" Nirahai tergagap-gagap sehingga mengherankan hati semua orang.
Tang Wi
Siang juga merasa heran. Dialah seorang di antara mereka yang mengenal siapa
adanya Ketuanya yang selalu berkerudung itu. Pada waktu Nirahai menguasai
Thian-liong-pang, setelah mengalahkan semua tokohnya, pernah dia memperkenalkan
diri sehingga Tang Wi Siang tahu bahwa Ketuanya adalah Puteri Nirahai, puteri
Kaisar sendiri dan tahu bahwa Milana adalah puterinya. Akan tetapi, dia tidak
tahu siapa ayah Milana dan dia pun tidak berani bertanya, karena bertanya
berarti memancing maut! Dia pun tidak berani bertanya ketika Nirahai membantu
pemerintah membasmi para pemberontak. Akan tetapi mengapa kini sikap Nirahai
demikian berubah? Mengapa kelihatan begitu ketakutan setelah puterinya diancam
oleh Pendekar Siluman?
"Pangcu,
bolehkah saya suruh mereka pergi saja?" Tang Wi Siang mendekati ketuanya
dan bertanya penuh hormat.
Nirahai
mengangguk. "Yaaah, suruh mereka pergi."
"Kalian
boleh pergi dari sini!" Tang Wi Siang berkata kepada tiga orang hwesio,
dua orang tosu dan seorang kang-ouw yang berpakaian seperti guru silat itu.
Mereka
berenam segera menjura ke arah Pendekar Super Sakti untuk menghaturkan terima
kasih, akan tetapi Suma Han segera berkata tanpa menghentikan dorongan
tongkatnya dari tenggorokan Milana, "Harap Cu-wi segera pergi!"
Enam orang
itu kemudian membawa jenazah kawan masing-masing dan pergi dari situ dengan
cepat. Setelah bayangan mereka lenyap, barulah Suma Han berkata,
"Thian-liong-pangcu, terpaksa kulakukan hal ini..."
"Kau...
laki-laki pengecut!"
Suma Han
menghela napas panjang. "Benar agaknya, akan tetapi ketahuilah bahwa aku
melakukan ini bukan karena takut bertanding melawanmu, melainkan karena aku
ingin mengambil jalan damai agar tidak jatuh korban-korban lebih banyak lagi.
Kini, terpaksa anakmu kubawa dulu, dan baru akan kulepaskan dia, kukembalikan
padamu kalau Thian-liong-pang sudah menghentikan sepak terjangnya yang
mengacaukan dunia kang-ouw!"
"Keparat,
kembalikan anakku!" Nirahai membentak.
"Pangcu,
selamat berpisah!" Suma Han menotok Milana, disambarnya tubuh dara itu dan
dia bersuit keras. Burung rajawali hitam menjawab suitannya dari jauh dan
terbang menghampiri.
"Suma
Han! Kembali kau!" Nirahai mengejar, akan tetapi tentu saja dia tidak
dapat menyusul Suma Han yang berlompatan dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun,
kemudian bahkan meloncat ke atas punggung rajawali yang terbang rendah.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran hati Tang Wi Siang dan teman-temannya ketika
mereka semua turut mengejar, mereka tidak melihat lagi Pendekar Siluman yang
pergi membawa puteri Ketua mereka naik di punggung rajawali dan melihat Ketua
mereka mendeprok di atas tanah sambil menangis!
Sejenak
mereka hanya dapat saling pandang dengan bingung. Akhirnya Tang Wi Siang
berlutut dan berkata, "Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu menghendaki, kami
seluruh anggota dan pimpinan Thian-liong-pang sanggup untuk dikerahkan dan
mencari serta merampas kembali Nona Milana dari tangan Pendekar Siluman!"
Nirahai
mengangkat mukanya yang berkerudung, menahan isak dan bangkit berdiri.
Kedatangan anak buahnya membuat dia sadar kembali dan dapat menguasai hatinya.
Dia terlalu marah kepada Suma Han. Butakah mata suaminya itu sehingga tidak
mengenal anaknya lagi? Ataukah... Suma Han memang sengaja berpura-pura tidak
mengenal Milana dan sengaja membawa Milana pergi untuk mengendalikannya?
Betapa pun
juga, dia menangis bukan karena mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Sama
sekali tidak! Dia sudah mengenal siapa adanya orang yang pernah menjadi
suaminya itu! Andai kata benar-benar Suma Han lupa bahwa gadis itu anaknya
sendiri sekali pun, dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatan Milana. Suma Han
adalah seorang pria yang boleh dipercaya sepenuhnya! Yang dia tangiskan adalah
sikap Suma Han, orang yang dicintanya sepenuh jiwa raga, akan tetapi juga
menimbulkan sakit hati dan bencinya!
"Mari
kita pulang," katanya kepada Tang Wi Siang. "Dan suruh anak buah
mengubur semua jenazah itu."
"Semua,
Pangcu? Juga jenazah pihak musuh?"
"Semua!
Aku hendak pulang lebih dulu. Jangan melibatkan diri dalam pertempuran dengan
siapa pun juga. Kalau sudah selesai, cepat pulang menyusulku."
"Baik,
Pangcu." Akan tetapi belum habis jawaban Wi Siang, tubuh wanita
berkerudung itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.
Tang Wi
Siang menarik napas dalam. Dia kagum kepada Ketuanya itu, kagum dan penuh
hormat, juga merasa setia dan sayang karena selama ini Nirahai telah bersikap
baik sekali kepadanya, bahkan memberinya beberapa ilmu silat yang tinggi. Akan
tetapi, sampai sekarang belum juga dia dapat mengenal watak Ketuanya itu, apa
lagi tadi saat Ketuanya itu berhadapan dengan Pendekar Siluman. Ia tahu bahwa
Ketuanya amat sakti, semua tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan yang
besar tidak ada yang mampu menandinginya. Dia ingin sekali menyaksikan, siapa
yang lebih sakti antara Ketuanya dan Pendekar Siluman! Hal yang benar-benar
amat menarik dan membuat dia ingin sekali tahu, sungguh pun hatinya tegang dan
gelisah memikirkan betapa Ketuanya yang tercinta itu bertanding melawan
Pendekar Siluman yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar matanya!
Tang Wi
Siang sadar dari lamunannya dan ia cepat memerintahkan anak buahnya untuk
mengubur semua jenazah yang jatuh menjadi korban dalam pertandingan tadi. Baru
saja selesai dan mereka habis mencuci kaki dan tangan, tiba-tiba tampak
bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah berdiri di depan
mereka! Tang Wi Siang dan lima orang gadis cantik para pelayan pembantunya siap
menghadapi segala kemungkinan, sedangkan anak buah Thian-liong-pang bekas
pengikut Milana yang tinggal tiga orang jumlahnya, menjadi kaget sekali dan
cepat seorang di antara mereka berkata,
"Tang-kouwnio,
dia... dia... adalah putera Majikan Pulau Neraka..."
Tang Wi
Siang terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng
In, tidak bicara apa-apa, hanya melangkah maju menghampiri Tang Wi Siang dan
lima orang gadis pelayan, matanya memandang penuh selidik lalu menengok ke
kanan kiri, seperti orang mencari-cari.
Tadinya enam
orang wanita itu mengira bahwa pemuda tampan yang disebut sebagai putera
Majikan Pulau Neraka ini tentu mata keranjang dan seorang demi seorang, wajah
para wanita ini sudah menjadi merah karena malu dan marah. Akan tetapi ketika
melihat pemuda itu seperti mencari-cari, mereka menjadi heran.
"Mana
dia...?" Tiba-tiba Wan Keng In bertanya, pertanyaan yang ditujukan kepada
mereka semua. Suaranya halus dan manis, akan tetapi mengandung sesuatu yang
membuat rombongan orang Thian-liong-pang itu bergidik ngeri. Kecuali Tang Wi
Siang, karena wanita ini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sama
sekali tidak takut berhadapan dengan orang yang dikatakan putera Majikan Pulau
Neraka. Hanya seorang pemuda remaja, pikirnya.
"Dia
siapa yang kau cari?" Tang Wi Siang balas bertanya, suaranya dingin sekali.
Biar pun pangcunya sudah berpesan agar dia tidak membawa orang-orangnya
terlibat dalam pertempuran, akan tetapi kalau orang ini tokoh besar Pulau
Neraka, tentu saja dia tak tinggal diam.
"Siapa
lagi? Nona cantik jelita puteri Ketua Thian-liong-pang! Di mana dia? Kalian ini
bukankah orang-orang Thian-liong-pang?" Wan Keng In bertanya lagi.
"Benar
kami orang-orang Thian-liong-pang. Engkau ini orang Pulau Neraka mencari Nona
Majikan kami, ada keperluan apakah?" Tang Wi Siang membentak marah.
"Hemmm,
dia harus menjadi isteriku. Dia calon isteriku!"
"Jahanam
bermulut lancang!" Tang Wi Siang marah sekali dan tubuhnya mencelat ka
atas lalu turun menyambar dengan serangan dahsyat ke arah kepala Wan Keng In!
Wanita itu
memang memiliki ilmu kepandaian istimewa berdasarkan ginkang yang luar biasa,
yang diajarkan oleh Nirahai kepadanya, yaitu Ilmu Yan-cu-sin-kun. Melihat
datangnya serangan yang amat cepat itu, tahu-tahu tangan kiri wanita itu
memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Wan Keng In terkejut juga, cepat ia
miringkan kepala sambil melangkah mundur. Akan tetapi, Ilmu Silat Yan-cu-si-kun
(Silat Sakti Burung Walet) benar-benar hebat sekali, karena begitu pukulannya
luput, dan tubuhnya melayang, cepat sekali tubuh wanita itu sudah berjungkir
balik dan tahu-tahu kedua tangannya telah memukul lagi dari kanan kiri mengarah
kedua pelipis!
"Plak-plak!"
Wan Keng In
yang kaget sekali cepat menangkis dan tangkisan itu membuat tubuh Tang Wi Siang
terpelanting! Sekarang wanita inilah yang terkejut. Kiranya pemuda itu memiliki
kepandaian tinggi. Dia cepat meloncat dan mengirim Pukulan Touw-sin-ciang
(Pukulan Menembus Hati) yang mengandung sinkang kuat.
"Plakk!"
kembali Wan Keng In menangkis dan kali ini ia mengerahkan tenaga sehingga tubuh
Tang Wi Siang terbanting keras.
Marahlah
para anak buah Thian-liong-pang yang delapan orang banyaknya itu melihat wanita
kepercayaan Ketua mereka roboh. Cepat mereka mencabut senjata dan menerjang
maju, mengeroyok pemuda lihai itu. Tang Wi Siang juga sudah meloncat bangun dan
mencabut pedangnya, mainkan ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang sudah
disempurnakan oleh Ketuanya. Wan Keng In dikeroyok oleh sembilan orang yang
semuanya bersenjata!
Namun pemuda
itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan dia tersenyum, senyum yang membuat
wajahnya makin menarik dan tampan. Dia tidak mengeluarkan senjata sama sekali,
hanya meloncat ke sana-sini sambil berkata,
"Hemmm,
Bibi yang cantik, engkau agaknya yang menjadi pimpinan rombongan ini. Baiklah,
aku akan membiarkan kalian menghadap Ketua kalian dan katakan bahwa aku akan
menyembuhkan kalian kalau puterinya dijodohkan dengan aku. Kalau tidak, kalian
akan tewas dan seluruh anggota Thian-liong-pang akan kubasmi, kecuali puteri
Ketua yang harus menjadi isteriku, mau atau tidak!"
Tentu saja
kata-katanya itu membuat Tang Wi Siang dan teman-temannya menjadi amat marah,
dan mereka tidak dapat menjawab saking marahnya, hanya mempercepat gerakan
mereka menyerang dengan pergerahan tenaga sekuatnya. Ingin mereka mencincang
hancur tubuh pemuda yang begitu kurang ajar, hendak memaksa nona mereka menjadi
isterinya dan mengancam akan membasmi seluruh anggota Thian-liong-pang kalau
kehendaknya tidak dipenuhi! Mana di dunia ini ada kesombongan dan kekurang
ajaran yang sehebat itu?
Akan tetapi,
tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara tertawa seperti ringkik kuda dan tiga
orang yang menyerang paling dekat dengannya tiba-tiba menjadi lemas sehingga
mereka tidak mampu mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kiri pemuda itu
menepuk punggung mereka, seorang sekali.
"Plak!
Plak! Plak!" Tiga orang itu roboh terjungkal dan batuk-batuk, dari mulut
mereka keluar darah merah.
Tang Wi
Siang marah sekali, menggerakkan pedangnya dan menyerbu ke arah perut pemuda
itu sambil menggerakkan tangan kiri untuk memukul dengan mengerahkan tenaga
Touw-sim-ciang ke arah dada kiri Wan Keng In.
Pemuda itu
mengelak sedikit untuk menghindarkan tusukan pedang, akan tetapi dia agaknya
tidak tahu akan datangnya pukulan tangan kiri Wi Siang yang ampuh itu. Tang Wi
Siang merasa girang sekali karena pukulannya mengenai sasaran yang tepat dan
betapa pun lihainya pemuda itu, pukulannya yang menembus jantung itu tentu akan
merobohkahnya, atau sedikitnya melukai isi dadanya.
"Plakkk!"
Betapa kaget
hati Wi Siang ketika telapak tangannya melekat pada dada kiri pemuda itu yang
agaknya sama sekali tidak merasakan apa-apa dan bahkan kini tangan kanan pemuda
itu telah mencengkeram pergelangan tangannya yang memegang pedang dan sekali
memutar tubuhnya terbawa membalik dan sebuah tepukan pada punggungnya membuat
Tang Wi Siang terguling, kepalanya terasa pening, tenggorokannya gatal membuat
dia terbatuk-batuk dan muntahkan darah merah!
Cepat sekali
Wan Keng In bergerak, tubuhnya seperti lenyap dan beruntun ia telah menepuk punggung
lima orang gadis pelayan pembantu Tang Wi Siang sehingga mereka ini hampir
tidak tahu apa yang membuat mereka roboh terguling, dan terbatuk-batuk
mengeluarkan darah. Sembilan orang itu, termasuk Tang Wi Siang yang amat lihai,
telah roboh dan terluka oleh Wan Keng In dalam waktu beberapa menit saja!
Kalau Tang
Wi Siang tidak terkena pancingannya, tidak mengira bahwa pukulan Touw-sim-ciang
sama sekali tidak dapat menembus kekebalan tubuh Wan Keng In dan kalau wanita
itu menggunakan ilmu silatnya untuk mempertahankan diri, kiranya biar pun
akhirnya dia akan roboh juga, namun sedikitnya pemuda itu harus menggunakan
waktu yang lebih lama. Namun pemuda itu cerdik sekali dan dia sudah tahu akan
kelihaian Tang Wi Siang, maka ia sengaja membiarkan dirinya terpukul untuk
dapat merobohkan wanita itu dalam waktu yang lebih cepat.
"Bibi
yang cantik, katakanlah kepada Ketuamu bahwa kalau dalam waktu sebulan dia
tidak menerima pinanganku dan tidak mengumumkan bahwa puterinya telah menjadi
tunangan Wan Keng In dari Pulau Neraka, kalian akan mati dan aku akan datang
sendiri ke sana untuk mengambil calon isteriku dan membasmi Thian-liong-pang.
Akan tetapi kalau dia menerima pinanganku, Thian-liong-pang akan menjadi
perkumpulan yang terkuat di dunia karena bantuanku!" Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat, bayangan pemuda itu lenyap dari dalam hutan.
Tang Wi
Siang cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri di dalam dadanya. Ia melihat
bahwa semua anak buahnya sudah dapat berdiri akan tetapi menyeringai tanda
bahwa mereka pun menderita nyeri. Tahulah dia bahwa mereka semua telah terluka
di sebelah dalam tubuh oleh tepukan pada punggung tadi.
"Buka
bajumu!" Katanya kepada seorang anggota Thian-liong-pang pria yang tadi
telah dirobohkan. Orang itu membuka bajunya, setelah diperiksa ternyata di
punggungnya terdapat bekas jari yang berwarna merah!
"Hemmm,
pukulan beracun, seperti yang kuduga," kata Tang Wi Siang yang memang
sudah menduga bahwa tokoh Pulau Neraka itu tentu menggunakan pukulan beracun.
"Manusia sombong itu! Apa dikira Pangcu kita tidak akan dapat menyembuhkan
pukulan beracun macam ini saja? Hayo, kita cepat pulang menyusul Pangcu,
membuat laporan agar Pangcu dapat mengobati kita dan mencari si keparat itu
untuk diberi hajaran!"
Biar pun
mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang merasa gelisah
dan tegang sekali karena dari pertandingan tadi saja dia sudah maklum bahwa
pemuda itu benar-benar memiliki kesaktian yang amat luar biasa! Dengan perasaan
tertekan sembilan orang itu melakukan perjalanan tergesa-gesa, tanpa
mengeluarkan kata-kata menyusul Ketua mereka. Pikiran mereka tidak pernah
terlepas dari tanda tiga buah jari merah yang menempel di punggung mereka dan
tersembunyi di bawah baju masing-masing.
***************
"Hu-hu-huukkk...!"
Milana tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi ketika dia sudah berdua saja
dengan Pendekar Super Sakti di atas punggung burung rajawali yang terbang
tinggi menembus awan.
Mula-mula
dia merasa bahagia sekali dapat duduk membonceng ayah kandungnya di atas
punggung rajawali itu, hal yang sudah lama dia impi-impikan. Akan tetapi dia
teringat kembali kepada ibunya, teringat akan peristiwa antara ibu dan ayahnya,
akan permusuhan antara ibu dan ayahnya dan akan rahasia ibunya yang tidak
diketahui ayahnya.
Bagaimana
dia dapat bergembira biar pun sekarang dia sedang membonceng ayah kandungnya
kalau ayahnya itu tidak mengenal dan dia tidak boleh memperkenalkan diri? Dia
tidak akan memperkenalkan diri sebagai Milana, sebagai puteri Pendekar Super
Sakti ini, demi menjaga rahasia ibunya. Betapa pun juga dia harus membela
ibunya! Dan dia pun kini mendapat kesempatan untuk mengenal dari dekat orang
macam apakah yang menjadi ayah kandungnya ini.
"Eh,
Nona mengapa engkau menangis?" Tiba-tiba Suma Han bertanya kepada dara
yang duduk di depannya, membelakanginya ketika ia mendengar dara itu terisak.
"Apakah
setelah menjadi tawananmu, aku tak boleh menangis?" Milana bertanya tanpa
menoleh.
"Hemmm...
wanita dan tangis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tentu saja kau
boleh menangis, akan tetapi kurasa, sebagai puteri seorang ketua perkumpulan
besar macam Thian-liong-pang, sangatlah memalukan kalau harus memperlihatkan
kekecilan hati dan menjadi seorang yang cengeng."
Rasa panas
membubung ke dada Milana dan dia menggigit bibir, mengusir sisa tangis yang
berada di dalam dadanya. "Aku tidak cengeng! Aku tidak kecil hati!"
bantahnya.
Suma Han
yang duduk di belakangnya tersenyum. Ia maklum bahwa tentu puteri Ketua
Thian-liong-pang ini membencinya dan menganggapnya musuh, akan tetapi semenjak
tadi, dia sudah melihat perbedaan watak yang besar sekali antara Ketua
Thian-liong-pang dan puterinya ini.
Gadis ini
sama sekali tidak berwatak kejam, liar dan ganas seperti ibunya. Sebaliknya
dara ini mempunyai watak lembut, terbukti dari isaknya dan pencelaannya kepada
ibunya ketika berada di hutan tadi. Kini, kembali tampak sifat halusnya dengan
isak yang tertahan-tahan akan tetapi betapa pun juga, ada setitik darah ibunya
sehingga dara ini melawan perasaan sendiri dan kini berpura-pura memperlihatkan
sikap keras seperti sikap ibunya! Ahhh, betapa terbuka keadaan hati dan pikiran
dara ini baginya sehingga biar pun dara itu duduk membelakanginya dan ia tak
dapat melihat wajahnya yang memang belum diperhatikannya benar-benar, dia sudah
dapat menjenguk isi hati dan mengenal wataknya!
"Kalau
begitu mengapa menangis?"
Ih, betapa
halus suara ayahnya! Orang yang memiliki suara halus dan menggetarkan perasaan
yang halus pula itu tak mungkin seorang jahat, biar pun dijuluki Pendekar
Siluman sekali pun! Bagaimana ibunya mencacinya sebagai seorang yang pengecut,
tidak berjantung, tiada perasaan?
"Kenapa
engkau menawan aku? Apakah benar untuk menekan Thian-liong-pang agar tidak
membantu pemerintah membasmi para pengacau dan pemberontak lagi?"
Milana
merasa betapa orang yang duduk di belakangnya itu menghela napas panjang. Ingin
sekali dia menengok dan memandang wajah yang menimbulkan rasa sayang dan kagum
di dalam hatinya itu, ingin melihat tarikan muka itu dan sinar mata yang aneh
itu. Akan tetapi, pada saat itu dia sedang bersandiwara, harus beraksi seperti
orang yang asing sama sekali, yang tidak mengenal Pendekar Super Sakti, maka
tidak akan sopanlah sebagai seorang gadis tertawan kalau dia ingin memandang
muka pria yang menawan.
"Nona,
biarlah engkau mendengar hal yang sesungguhnya. Bukan menjadi pendirianku untuk
mempergunakan cara pemerasan seperti ini, untuk menggunakan seorang gadis muda
sebagai alat untuk menekan Thian-liong-pang. Cara ini, tepat seperti pendapat
ibumu, adalah cara seorang pengecut. Kalau memang aku berniat menentang
Thian-liong-pang, tentu akan kupergunakan cara laki-laki, yaitu langsung
menentangnya dan menghadapinya seperti seorang gagah, tinggal melihat hasilnya,
menang atau kalah. Akan tetapi, setelah aku melihatmu di sana tadi... hemm, aku
berpendapat lain dan aku menawanmu dengan maksud lain pula..."
Berdebar
keras jantung Milana dan dia menarik tubuh ke depan agar orang yang berada di
belakangnya itu jangan sampai tahu debar jantungnya. Dia lupa bahwa yang duduk
di belakangnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa
sehingga pendengarannya sudah amat tajam, dapat membedakan debar jantung yang
berubah, apa lagi dari jarak demikian dekat! Ayah kandungnya ini menawannya
bukan untuk dipergunakan sebagai sandera, bukan untuk memeras dan menekan
Thian-liong-pang! Habis untuk apa?
"Maksud
apa lagi kalau bukan untuk menekan Ibuku?" tanyanya, menekan hatinya agar
suaranya terdengar biasa.
Tentu saja
Suma Han dapat membedakan pula suara menggetar yang terbawa oleh perasaan
tegang itu, dan dia tersenyum, menduga tentu gadis ini mengira bahwa dia
mempunyai niat yang bukan-bukan!
"Ketika
aku melihatmu di sana tadi, timbul rasa kasihan di hatiku. Betapa seorang gadis
muda yang berdasarkan watak halus dan hati penuh welas asih dan mulia,
bergelimang dalam perbuatan-perbuatan rendah yang dilakukan oleh
Thian-liong-pang! Kalau dibiarkan saja, akhirnya tentu anak itu akan menjadi
rusak dan menjadi seorang wanita yang kejam, liar, ganas dan berwatak iblis,
seperti ibunya yang menjadi Ketua Thian-liong-pang! Karena itu, timbul niatku
untuk membawamu pergi dari lingkungan kotor ini!"
Tiba-tiba
Milana menoleh dan matanya terbelalak penuh kemarahan. "Tidak! Biarkan aku
kembali! Aku tidak peduli, aku lebih senang kalau menjadi seperti Ibu! Dia
tidak jahat, engkaulah yang jahat dan kejam! Engkau telah membiarkan Ibuku
merana dan sengsara dalam hidupnya!"
"Hahhh...?
Apa maksudmu? Aku membikin Ibumu hidup sengsara?"
Milana
terkejut sendiri. Dia telah kelepasan bicara. Cepat ia memutar otak mencari
alasan. "Tentu saja! Engkau telah menculik aku, anaknya, bagaimana Ibu
tidak merasa sengsara dalam hidupnya memikirkan keselamatanku?"
"Ah,
begitukah? Kalau dia masih mempunyai perasaan seperti seorang ibu biarlah dia
sadar bahwa dalam hidupnya, jauh lebih penting memikirkan masa depan puterinya
dari pada melampiaskan nafsu kemurkaan melalui Thian-liong-pang. Biarkanlah dia
menderita agar dia sadar. Kalau dia sudah sadar, aku pun tentu saja tidak akan
suka memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya." Setelah berkata
demikian, Suma Han menepuk leher rajawali dan menekan berat tubuhnya ke kiri
sehingga burung itu segera menukik ke kiri dan meluncur turun.
Burung itu
meluncur cepat sekali sehingga biar pun Milana telah memiliki kepandaian
tinggi, dia merasa pening dan ngeri juga. Akan tetapi di depan penawannya, atau
bahkan ayah kandungnya, dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya, dan untuk
menutupi rasa ngeri dan takutnya, dia bertanya,
"Engkau
mau membawa aku ke mana?"
"Engkau
takut?"
Wah, ayahnya
ini benar-benar amat waspada!
"Tidak!"
jawabnya, akan tetapi suaranya gemetar juga ketika ia melirik ke bawah dan
melihat seolah-olah dia dibawa jatuh ke bawah dengan kecepatan mengerikan!
"Jangan
takut, menunggang burung ini lebih aman dari pada menunggang seekor kuda."
Milana tidak
mejawab lagi karena percuma saja dia hendak menyembunyikan rasa ngerinya.
Setelah penculiknya tahu, tidak lagi berpura-pura dan untuk mengusir rasa
takutnya, dia memegangi tangan Pendekar Super Sakti yang membiarkannya saja
sambil diam-diam tersenyum karena Suma Han maklum, bagi seorang yang belum
biasa, betapa ngeri dan takutnya menunggang burung rajawali, apa lagi kalau
menukik turun. Dia sendiri ketika mula-mula menunggang burung garuda di Pulau
Es juga berkunang-kunang dan merasa ngeri!
Burung itu
hinggap di atas tanah di luar sebuah dusun. Suma Han meloncat turun diikuti
oleh Milana. Suma Han lalu mendorong tubuh burung rajawali itu sehingga
terlempar ke atas dan burung itu segera terbang tinggi.
"Mengapa
kita turun di sini? Engkau hendak membawaku ke mana?"
Sambil
membalikkan tubuhnya rnenghadapi gadis itu Suma Han menjawab, "Kita akan
pergi ke...."
Tiba-tiba
Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya dan dia berdiri dengan mata terbelalak
dan mulut agak terbuka seperti terkena pesona ketika memandang wajah dara itu.
Baru sekarang dia dapat melihat wajah Milana dengan jelas dan dari jarak dekat.
Mulut itu! Mata itu! Mata yang mengandung sinar seolah-olah dua ujung pedang
yang amat runcing menusuk sampai ke lubuk hati! Mata dan mulut yang sangat
dikenalnya, tidak asing sama sekali baginya, akan tetapi selama hidupnya baru
sekali ini dia berjumpa dengan puteri Ketua Thian-liong-pang!
"Kau...
kau kenapa, Paman?" Milana bertanya.
Suara Milana
yang halus itu menyadarkan Suma Han. Dia menarik napas panjang, lalu menggunakan
kedua telapak tangannya untuk menggosok-gosok matanya, kemudian menggosok
seluruh mukanya terus ke leher dan lalu ke tengkuknya yang dirasakan meremang
tanpa dia ketahui sebabnya.
"Aaahhhh...
tidak apa-apa..." Dia menghindarkan pandang matanya bertemu dengan sinar
mata gadis itu dan tak ingin lagi memandang wajah itu lama-lama karena merasa
aneh dan... ngeri! "Aku hendak membawamu ke kota raja."
"Ke
kota raja? Mengapa ke sana, Paman? Apakah engkau sekarang tinggal di kota raja
setelah... setelah... kudengar..." Karena Pulau Es merupakan tempat
tinggal ayah kandungnya, tempat yang sudah lama ia rindukan, maka mendengar
betapa pulau itu dibakar, Milana merasa terkejut dan duka, maka sekarang dia
pun merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya.
"Setelah
Pulau Es dibakar? Tidak, aku tidak tinggal di kota raja atau di mana pun."
"Jadi,
engkau sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, Paman?"
Suma Han
menggelengkan kepalanya dan diam-diam merasa betapa aneh keadaan mereka berdua
itu. Dia adalah penculik dan gadis itu yang diculik dan ditawannya, akan tetapi
mereka bercakap-cakap seperti seorang paman dan keponakannya saja, saling
bersimpati dan saling menaruh kasihan!
"Kalau
begitu, kenapa Paman hendak ke kota raja?"
"Aku
akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah membakar Pulau Es dan Pulau
Neraka, dan aku akan merampas kembali Pedang Hok-mo-kiam..."
"...yang
dicuri oleh Pendeta Iblis Maharya dan muridnya?"
"Eh,
bagaimana engkau bisa tahu?" tiba-tiba Suma Han bertanya dan kembali dia
merasa jantungnya seperti diguncang ketika memandang wajah yang cantik jelita
luar biasa itu.
Ingin
rasanya Milana menampar mulutnya sendiri karena kelepasan bicara itu.
"Siapa
yang tidak tahu, Paman? Hal itu sudah diketahui di dunia kang-ouw, dan aku
mendengar dari Ibuku."
Suma Han
tidak merasa heran. Peristiwa itu diketahui oleh orang lain, juga oleh Gak Bun
Beng. Andai kata pemuda itu tidak membicarakannya di luar, bisa jadi saja kalau
Tan-siucai atau Gurunya membual bahwa mereka telah merampas Hok-mo-kiam dari
tangan Pendekar Super Sakti sehingga peristiwa itu diketahui oleh Ketua
Thian-liong-pang yang lihai dan berpengaruh.
"Hemm,
begitukah? Benar, pedang itu akan kurampas kembali dari tangan mereka. Aku
mendengar bahwa kini mereka pun membantu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan
berada di kota raja."
"Wah,
Paman hendak mencari banyak musuh di kota raja. Bagaimana dengan aku?"
"Engkau
ikut saja denganku, tidak akan ada yang berani mengganggu."
"Habis,
untuk apa aku ikut kalau hanya disuruh menonton? Apakah Paman... ingin supaya
aku membantu Paman?"
Suma Han
tertawa. Bocah ini sungguh menyenangkan hatinya. Sikapnya begitu halus dan
wajar, sedikit pun juga tidak memperlihatkan sikap bermusuhan padahal jelas
bahwa dia telah membawanya secara paksa!
"Tidak,
Nona. Engkau ikut saja denganku dan di waktu luang, aku akan mengajarkan ilmu
kepadamu."
Hampir saja
Milana bersorak saking girang hatinya. Di antara hal-hal yang sangat dia
rindukan adalah belajar ilmu dari ayah kandungnya, dari Pendekar Super Sakti,
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang terkenal di seluruh jagad! Akan tetapi
dia menahan diri dan hanya kelihatan betapa bibirnya yang merah dan berbentuk
kecil mungil indah itu merekah dalam senyum, sepasang matanya yang lebar itu
terbelalak dan bersinar-sinar penuh keriangan hati. Hal ini tidak lepas dari
pandangan mata Suma Han sehingga diam-diam pendekar ini merasa terharu dan
timbul rasa suka yang mendalam di hatinya terhadap gadis ini, timbul pula niat
hatinya untuk menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi kepadanya!
"Terima
kasih, Paman. Engkau baik sekali!"
"Ha-ha-ha-ha-ha...!"
Suma Han sendiri sampai terkejut. Bertahun-tahun sudah dia tidak pernah
tertawa. Akan tetapi kini, tanpa disadarinya, dia telah tertawa begitu bebas,
suara ketawa yang langsung keluar dari dalam hatinya. Bocah ini telah
menciptakan sesuatu yang amat aneh dalam hatinya!
"Paman,
kenapa kau tertawa?"
"Aku...
tertawa...? Ahhhh, karena mendengar ucapanmu yang lucu tadi, Nona. Kau bilang
aku baik sekali padahal aku adalah penculikmu!"
"Biar
pun begitu, sikapmu amat baik kepadaku, Paman, dan aku suka ikut bersamamu. Aku
merasa bahwa dengan ikut padamu, aku akan mengalami hal-hal yang hebat, dan lagi,
menerima pelajaran ilmu dari Pendekar Super Sakti merupakan hal yang amat
menyenangkan sekali. Bagaimana aku tidak menjadi girang dan menganggap Paman
seorang yang amat baik? Nanti kalau bertemu dengan Ibu aku akan meyakinkan
hatinya betapa baiknya budi pekerti Paman."
Suma Han
menghela napas. "Aaahhh... kalau ada yang menganggap baik tentu ada yang
menganggap sebaliknya, yaitu jahat. Dan aku sendiri tidak tahu siapa yang lebih
benar di antara mereka yang menyebut baik dan mereka yang menyebutku
jahat."
"Bagaimana
ini? Aku tidak mengerti, Paman?"
"Tak
usah kau pikirkan. Jangan merusak hatimu yang masih polos itu dengan teka-teki
hidup yang tiada habisnya, juga tiada gunanya. Eh, Nona, engkau kuanggap
sebagai muridku atau sebagai... keponakanku sendiri. Ehh, aku jadi teringat
kepada Kwi Hong! Ke mana gerangan perginya bocah bengal yang sukar diurus
itu?"
"Kwi
Hong? Apakah Paman maksudkan bahwa keponakan Paman yang bernama Kwi Hong pergi
tanpa pamit?"
Suma Han
mengangguk. "Bocah itu nakalnya bukan main. Dia pergi merantau tidak
menggelisahkan karena ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk menjaga diri.
Namun, dia membawa pergi pedang Li-mo-kiam, itulah yang menggelisahkan
hatiku..."
Tiba-tiba
Milana meloncat kaget. "Aihhh...! Kalau begitu diakah...?"
Terbayang
olehnya seorang gadis yang telah menyelamatkannya ketika ia hampir saja
tertawan oleh Wan Keng In, seorang gadis yang keluar dari dalam peti mati, dan
yang memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat! Gadis itu pula
yang telah mengacau di rumah penginapan, menyelidiki keadaan rombongan
Thian-liong-pang! Ahhh, mengapa dia begitu pelupa? Tentu gadis perkasa itu Kwi
Hong!
"Heiii!
Apa engkau pernah bertemu dengannya?" Suma Han bertanya kaget.
Milana
mengangguk, tapi belum berani membuka mulut karena dia harus menekan
perasaannya yang terguncang. Bertemu dengan Kwi Hong dan dia tidak mengenalnya,
apakah Kwi Hong juga tidak mengenalnya ketika menyelidiki rumah penginapan? Dan
apakah Kwi Hong baru mengenalnya ketika turun tangan menolongnya?
"Aku
pernah bertemu dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang bersinar kilat,
Paman. Dia pernah menyelidiki rombongan Thian-liong-pang, hampir tertangkap
olehku, akan tetapi dia lihai sekali dan dapat meloloskan diri. Kemudian, dia
muncul pula bersama orang-orang Pulau Neraka!"
"Ah,
kalau begitu bukan Kwi Hong! Tidak mungkin dia bersama orang-orang Pulau
Neraka."
"Akan
tetapi dia telah menolongku ketika aku hampir tertawan oleh pemuda iblis,
putera Majikan Pulau Neraka."
"Apa?
Coba kau ceritakan yang jelas, Nona."
Dengan
singkat Milana menceritakan bentrokan yang terjadi antara rombongan
Thian-liong-pang yang dipimpinnya melawan rombongan Pulau Neraka.
"Mula-mula pihak kami sudah mendekati kemenangan, lalu tiba-tiba muncul
pemuda iblis yang lihai itu. Aku hampir saja tertawan olehnya, kemudian muncul
gadis itu dari dalam peti mati dan dengan sebatang pedang yang bersinar kilat,
dia telah menyelamatkan aku dengan membabat putus tali sutera yang mengikatku.
Karena aku maklum bahwa tempat itu berbahaya bagi rombonganku, kemudian aku
mengajak rombonganku segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Dan
gadis itu bagaimana?"
"Entah,
Paman. Ketika aku pergi, dia sedang bertanding dengan hebatnya melawan pemuda
iblis yang juga memegang sebatang pedang yang bersinar kilat!"
"Hemmm,
Sepasang Pedang Iblis...!" Suma Han berkata perlahan sambil mengerutkan
alisnya.
Milana sudah
mendengar dari Gak Bun Beng betapa sepasang pedang itu telah ditemukan Bun
Beng. Li-mo-kiam, pedang betina, diberikan oleh Bun Beng kepada Kwi Hong sedangkan
yang jantan, Lam-mo-kiam, terampas oleh Wan Keng In putera Majikan Pulau
Neraka. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu karena kalau dia menyebut Bun
Beng, tentu ayah kandungnya itu akan mengenal dan dengan demikian, rahasia
ibunya terbongkar.
"Apakah
benar dia itu keponakanmu, Paman?"
"Agaknya
begitulah. Dan dia tentu terancam bahaya..." Suma Han menggeleng kepala.
"Akan tetapi, dia keluar dari sebuah peti mati, katamu? Hemm... kalau
begitu dia bukan Kwi Hong."
Di dalam
hatinya, Milana sekarang merasa yakin bahwa gadis yang meloncat keluar dari
peti mati itu pasti Kwi Hong. Setelah diingatkan, kini dia dapat membayangkan
wajah gadis itu dan dia merasa yakin bahwa gadis itu, juga gadis yang pernah
dia ‘lasso’ kakinya di atas genteng di rumah penginapan, tentu Giam Kwi Hong
orangnya! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan isi hatinya itu.
"Nona,
kulanjutkan pertanyaanku yang tadi terganggu oleh persoalan Kwi Hong yang
bengal. Aku hendak bertanya, siapakah namamu, Nona?"
Kaget juga
hati Milana mendengar pertanyaan ini. Ayahnya, ayah kandungnya sendiri,
menanyakan namanya. Tidakkah hal ini amat ganjil? Ingin ia berteriak
menyebutkan namanya, berteriak mengaku bahwa dia adalah puteri Si Pendekar itu
sendiri, ingin ia menangis dan mencela ayahnya yang seolah-olah tidak
mempedulikan anaknya! Akan tetapi Milana terpaksa harus menekan keinginan
hatinya ini karena ia harus melindungi rahasia ibunya. Entah mengapa ibunya
menyembunyikan diri di balik kerudungnya itu, dia sendiri tidak tahu. Entah mengapa
ibunya tidak mau berbaik dengan ayahnya, tidak mau mengaku bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah ibunya, dia sendiri tidak tahu. Betapa pun juga, dia
harus membela ibunya, harus melindungi rahasianya.
"Paman,
panggil saja aku... Alan..."
"Hemmm,
nama palsu, ya?"
Milana
mengangguk. "Maaf, Paman. Aku tidak boleh memperkenalkan namaku yang
sebenarnya kepadamu..."
"Aku
mengerti. Ibumu selalu bersembunyi di balik kerudung, penuh rahasia, tentu
anaknya pun penuh rahasia pula. Tak mengapalah, Alan, aku akan menyebutmu Alan
seperti yang kau kehendaki. Mari kita melanjutkan perjalanan ke kota
raja."
"Kenapa
tidak menunggang rajawali saja, tidak melelahkan dan lebih cepat?" Milana
membantah karena memang amat menyenangkan hatinya menunggang rajawali itu,
berboncengan dengan ayahnya.
"Tidak,
Alan. Dari sini ke kota raja hanya perjalanan tiga empat hari saja dan melalui
banyak dusun dan kota. Kalau kita menunggang rajawali, tentu akan menarik
banyak perhatian orang."
"Dan
burung itu sendiri bagaimana?"
"Dia
sudah jinak dan dia akan mengikuti aku dari angkasa. Setiap kali kubutuhkan,
kupanggil tentu dia datang."
"Sungguh
menyenangkan sekali mempunyai binatang peliharaan seperti itu, Paman. Akan
tetapi... aku pernah mendengar bahwa binatang peliharaan Paman di Pulau Es
bukan rajawali, melainkan garuda putih."
Suma Han
menghela napas teringat akan dua ekor burung garudanya. "Mereka telah
tewas di tangan orang-orang yang merampas Hok-mo-kiam. Burung rajawali ini pun
dari Pulau Neraka, aku temukan dalam keadaan ketakutan karena Pulau Neraka
dibakar. Aku dapat menundukkannya dan sekarang dia sudah jinak dan
penurut."
Demikianlah,
dua orang itu berjalan memasuki dusun sambil bercakap-cakap. Mereka kelihatan
begitu rukun, sama sekali tidak pantas sebagai seorang yang ditawan dan
penawannya, lebih patut sebagai keluarga. Namun, hanya Milana seorang yang tahu
bahwa mereka adalah anak dan ayah, ayah kandung!
Dua hari
kemudian, mereka telah tiba di tapal batas, kota raja hanya tinggal lima puluh
li jauhnya, perjalanan setengah hari. Karena mereka datang dari arah utara,
mereka melalui daerah yang agak tandus dan pada pagi hari itu, mereka
beristirahat di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi, di luar sebuah
dusun.
Suma Han
mengeluarkan bungkusan roti kering yang tinggal dua potong dan sebuah guci
terisi air yang diisi penuh dalam perjalanan tadi. Tanpa bicara dia menyerahkan
sepotong roti kering kepada gadis itu, yang diterimanya tanpa berkata-kata
pula, akan tetapi tidak segera dimakannya karena Milana kini duduk sambil
memandang ayah kandungnya.
Pendekar
Sakti itu duduk bersandar dinding butut, kaki tunggalnya ditekuk bersila,
tongkat melintang di atas pahanya, tangan kiri memegang roti kering sepotong.
Melihat gadis itu tidak segera makan rotinya, dia berkata, "Tinggal ini
roti bekalku, akan tetapi perjalanan sudah dekat. Makanlah, Alan."
Namun dara
itu tidak mau makan rotinya. Melihat betapa ayah kandungnya itu makan roti
kering, kelihatan dipaksakan dan seret melalui kerongkongan, hatinya menjadi
terharu sekali.
"Paman,
kasihan sekali engkau, hanya makan roti kering tawar dan air! Aku pandai masak,
Paman. Aku ingin memasakkan yang enak-enak untuk kau makan."
Suma Han
menunda makannya, memandang dara itu dengan heran dan tersenyum. "Engkau
aneh sekali. Di tempat sunyi seperti ini, andai kata pandai masak sekali pun,
apa yang hendak dimasak? Bahannya tidak ada, bumbu-bumbunya pun tidak ada, yang
ada hanya bahan bakar dan api!"
"Di
selatan sana sudah tampak sebuah dusun, tentu ada yang menjual bahan dan bumbu.
Kalau Paman percaya kepadaku, aku akan ke sana membeli bahan kemudian akan
kumasakkan yang enak untuk Paman."
"Percaya?
Tentu saja aku percaya kepadamu, Alan."
Wajah Milana
berseri dan ia meloncat bangun. "Benarkah Paman percaya kepadaku? Terima
kasih, Paman. Aku akan pergi dulu mencari bahan masakan!" Gadis itu
membalikkan tubuh dan berlari keluar dari kuil tua.
"Heiii,
Alan! Nanti dulu!"
Dara itu
berhenti, menengok dan memandang dengan wajah kecewa. "Paman takut kalau
aku melarikan diri?"
Suma Han
tersenyum, menggeleng kepala dan mengeluarkan sebatang pedang dari buntalannya.
"Aku percaya kepadamu, akan tetapi kau bawalah pedang ini untuk membela
diri kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."

Dapat
dibayangkan betapa girangnya hati Milana. Ayah kandungnya, biar pun belum tahu
bahwa dia adalah puterinya, sudah menaruh kepercayaan dan menaruh sayang
kepadanya! Cepat ia berlari menghampiri pendekar itu menerima pedang dan
menjura, "Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali, selain percaya bahwa
aku tidak akan melarikan diri, juga engkau ingat akan keselamatanku." Ia
memandang pedang di tangannya, mencabut dari sarungnya dan berseru girang.
"Ah, pedang pusaka yang indah! Pedang pusaka apakah ini, Paman?"
"Namanya
Pek-kong-kiam, dahulu menjadi pegangan keponakanku. Akan tetapi sekarang dia
tidak memerlukannya lagi. Pergilah, Alan, dan hati-hatilah."
Alan
mengangguk, memasangkan pedang di pinggangnya kemudian berlari-lari kecil
meninggalkan kuil itu, dipandang oleh Suma Han dengan bengong.
Setelah
bayangan dara itu lenyap, dia menarik napas panjang. "Ahhh, Suma Han,
apakah engkau benar-benar memiliki dasar watak yang kotor? Mengapa engkau
seperti tergila-gila kepada dara itu?" Ingin pendekar sakti ini
menempiling kepalanya sendiri.
Ada sesuatu
dalam diri dara itu yang amat menarik hatinya, seperti besi sembrani menarik
besi! Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia merasa suka sekali,
merasa ingin sekali berdekatan selalu, memandang wajah jelita itu, melihat
senyum yang cerah dan mata yang lebar seperti matahari kembar itu. Seolah-olah
dia berhadapan dengan seorang yang sudah lama sekali dikenalnya, yang amat
dekat dengan hatinya, seolah-olah ada perasaan yang memenuhi hatinya bahwa
sudah semestinya dan sewajarnya kalau gadis itu selalu berada di dekatnya!
"Keparat!"
Suma Han menepuk tanah di depannya. "Aihhh, Nirahai... Lulu... kalianlah
yang membuat aku menjadi begini! Aku rindu kepada kalian, rindu akan kasih
sayang wanita sehingga begitu bertemu dengan gadis ini aku seperti orang tergila-gila!"
Ia mengeluh lalu duduk termenung. "Apakah yang harus kulakukan agar aku
dapat berkumpul kembali dengan Nirahai? Dengan Lulu?" Nirahai adalah
isterinya, yang ia cinta dan yakin bahwa isterinya itu pun mencintanya. Akan
tetapi mengapa sikap Nirahai seaneh itu? Mengapa? Dan Lulu? Ohhh nasib.
Dia mencinta
adik angkatnya itu, mencintanya dengan sepenuh hatinya, bukan cinta saudara,
melainkan cinta seorang pria terhadap wanita yang pertama kali merebut
kasihnya. Terkenang dia akan ucapan-ucapan Lulu ketika mereka bertemu di Pulau
Neraka. "Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua kenyataan dalam
hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu!"
Demikianlah
kata-kata Lulu yang masih menggores di hatinya. Tentu saja dia sukar untuk
dapat menerima tuntutan Lulu yang selain menjadi adik angkatnya, juga sudah
menikah dengan orang lain biar pun kini sudah menjadi janda, dan mengingat
bahwa dia sudah menjadi suami Nirahai! Karena penolakannya, Lulu memusuhinya,
sesuai dengan sumpahnya! Akan tetapi, sekarang Pulau Neraka telah dibakar
pemerintah, bagaimana nasib wanita yang menjadi cinta pertamanya itu?
Bagaimana
pula nasib Nirahai? Aihh, sikap Nirahai yang amat aneh, sama anehnya dengan
sikap Lulu. Masih terngiang di telinganya suara isterinya itu penuh dengan
kemarahan, "Kini aku tidak sudi menyembah-nyembah minta kau bawa! Dan
hanya dengan paksaan saja engkau akan dapat membawaku ke Pulau Es. Dengan
paksaan, kau dengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kau
biarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah, kejam dan
canggung!"
Suma Han
kembali menarik napas panjang, menundukkan muka dan menyangga kepalanya dengan
kedua tangan, seolah-olah kepalanya tiba-tiba menjadi amat berat begitu dia
terkenang kepada Lulu dan Nirahai. Apa yang harus dia lakukan agar mereka
berdua, wanita-wanita yang dicintanya itu dapat berada di sampingnya,
menyegarkan rasa dahaga yang selama ini dia derita, menyembuhkan sakit rindu
yang selama ini membuat hidupnya tanpa gairah, memenuhi sisa hidupnya dengan
kebahagiaan sebagai penebus kesengsaraan yang sudah amat lama dirasakannya?
"Ahh,
Lulu... Nirahai...!" Suma Han merasa jantungnya seperti diremas-remas.
Memang
demikianlah manusia pada umumnya. Selama hidupnya, semenjak dia mulai mengerti,
manusia telah kehilangan kebebasan dan kewajarannya. Mulailah datang
kesengsaraan bersama dengan pengertian itu! Mulailah manusia dicengkeram dan
dikurung dalam sangkar yang berupa pikiran, berupa gagasan yang dibentuk
semenjak dia mengerti. Segala macam gerak dan langkah hidup ditentukan oleh
gagasan, oleh pikiran yang bukan lain adalah Sang Aku yang penuh dengan loba,
dengki, iri, takut, khawatir, yang kesemuanya timbul karena iba diri, sayang
diri yang didorong rasa takut kehilangan kesenangan, kehilangan ketenteraman.
Suma Han
adalah seorang pendekar besar, pendekar sakti, seorang yang memiliki ilmu
kepandaian seperti dewa. Namun semua itu hanyalah duniawi, lahiriah belaka.
Karena itu ilmu kepandaiannya tidak akan dapat membebaskan dia dari pada duka
dan khawatir. Dia berduka mengenakan dua orang wanita yang dicintanya, dan dia
khawatir kalau-kalau sisa hidupnya akan tetap merana seperti yang dirasakannya
selama ini.
Dua orang
wanita yang dia tahu amat mencintanya, akan tetapi yang karena keadaan tidak
dapat hidup berdampingan dengannya. Karena keadaankah? Ataukah karena jalan
pikiran antara mereka yang tidak cocok? Ataukah mereka berdua yang aneh? Apakah
dia sendiri yang tidak pandai menundukkan hati wanita? Tetapi sejak masih
setengah dewasa dahulu, Lulu selalu menurut akan semua kata-katanya! Mengapa
sekarang berbeda?
Ahhh, tentu
saja berubah, pikirnya. Dahulu Lulu mentaati segala kata-katanya karena merasa
sebagai adik angkatnya, dan sekarang... wanita itu cintanya sebagai seorang
wanita terhadap seorang pria. Teringat akan Lulu, dia terbayang akan
pertemuannya dengan Lulu di Pulau Neraka, teringat pula tentang Pulau Neraka
yang telah dibumi hanguskan, dan akan burung rajawali Pulau Neraka yang
berhasil ia taklukkan dan jinakkan. Rajawali! Dia terkejut karena tidak melihat
burung itu ketika ia tiba-tiba menengadah. Tadi masih tampak burung itu
beterbangan di atas kuil, kadang-kadang menyambar turun di depan kuil. Akan
tetapi sekarang tidak tampak!
Suma Han
mencelat keluar mencari-cari burung itu dengan pandang matanya. Namun tetap
saja tidak tampak bayangan burung itu. Suma Han menjadi curiga, kemudian
mengeluarkan suara melengking nyaring. Suara yang keluar dari dadanya, dengan
pengerahan khikang sehingga suara panggilan itu bergema sampai jauh sekali.
Setelah
mengeluarkan suara melengking sampai tiga kali berturut-turut, Suma Han diam
tak bergerak menanti jawaban. Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara
burung itu, bukan sebagai jawaban panggilan, melainkan suara memekik kemarahan!
Dia merasa heran sekali. Suara burung seperti itu hanya dikeluarkan kalau
burung itu berhadapan dengan musuh atau terancam bahaya, atau sedang kesakitan!
Khawatir
kalau-kalau burung itu terancam bahaya, Suma Han lalu mempergunakan
kepandaiannya, tubuhnya lantas berloncatan cepat sekali seperti terbang. Dia
tidak memasuki dusun di sebelah selatan kuil karena suara burung itu datangnya
dari arah kiri dan kini sudah tampak olehnya dari jauh burungnya sedang
bertempur melawan seekor burung lain! Burungnya terdesak karena burung rajawali
lainnya yang menjadi lawan itu bertubuh lebih besar.
Suma Han
mempercepat loncatan-loncatannya mendaki sebuah anak bukit dan tiba-tiba ia
berdiri dengan jantung berdebar tegang, matanya tidak lagi memandang ke arah
burungnya yang sedang bertempur, melainkan ke arah bawah karena di situ terjadi
pertandingan lain yang lebih menegangkan hatinya.
Dia kini
melihat Alan, gadis tawanannya, puteri Ketua Thian-liong-pang itu, sedang
bertempur melawan seorang pemuda jangkung yang lebih lihai sekali, ditonton
oleh beberapa orang yang mukanya beraneka warna. Anak-anak buah Pulau Neraka!
Alan mempergunakan Pek-kong-kiam, menyerang dengan gerakan yang cepat sekali
sehingga tubuh dara itu lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri yang
bergulung-gulung dan berwarna putih. Akan tetapi, pemuda jangkung itu
menghadapinya dengan kedua tangan kosong dan kelihatan bersilat seenaknya saja!
Dengan
beberapa loncatan tinggi, tubuh Suma Han mencelat dan hinggap di atas atap
sebuah podok tua yang berdiri tak jauh dari tempat pertandingan. Jantungnya
makin berdegup tegang ketika melihat wajah pemuda tampan itu. Wajah itu mirip
sekali dengan mendiang Wan Sin Kiat, suami Lulu! Melihat betapa di situ hadir
enam orang yang mukanya berwarna merah muda dan hijau pupus, mudah saja bagi
Suma Han untuk menduga, siapa adanya pemuda ini. Tentu inilah Wan Keng In,
putera Ketua Pulau Neraka, putera Lulu dan mendiang Wan Sin Kiat!
Bukan main
hebatnya gerakan pemuda itu sehingga diam-diam Suma Han merasa kagum sekali.
Akan tetapi, melihat senyum dan sinar mata pemuda itu, ada sesuatu yang membuat
hati Suma Han kecewa, karena senyum dan sinar mata pemuda itu membayangkan hal
yang mengerikan, watak yang aneh dan tak dapat dipercaya! Banyak sudah dia
melihat senyum dan sinar mata seperti itu yang hanya dimiliki oleh datuk-datuk
golongan sesat. Apa lagi ketika mendengar suara pemuda itu ketika berkata
mengejek kepada Alan, hatinya makin tidak enak lagi.
"Heh-heh-heh,
Nona manis. Mengapa engkau masih nekat melawan aku? Bukankah sudah jelas bahwa
engkau bukan lawanku? Dan semenjak tadi aku tidak pernah menyerangmu, karena
aku tidak ingin melukaimu, tidak ingin mengalahkanmu karena takut kalau engkau
merasa tersinggung. Hal ini sudah membuktikan betapa mendalam cintaku kepadamu,
Nona!"
"Iblis
keji, siapa sudi kepadamu?"
Gadis itu
membentak dan mengirim sebuah tusukan ke arah ulu hati pemuda itu. Suma Han
yang berada di atas atap melihat betapa tusukan pedang itu hebat sekali dan
diam-diam dia terkejut karena mengenal jurus itu berdasarkan Ilmu Pedang
Sin-coa-kun (Ilmu Pedang Ular Sakti). Padahal Ilmu Pedang itu adalah sebuah di
antara ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Sakti Suling Emas! Akan tetapi ia teringat
bahwa ibu dara itu adalah Ketua Thian-liong-pang yang terkenal memiliki dan
mengenal segala macam ilmu silat yang diambilnya dengan segala macam cara pula,
kalau perlu dengan menculik tokoh-tokoh kang-ouw! Mungkin saja Ketua
Thian-liong-pang yang luar biasa itu berhasil pula mencuri dasar-dasar Sin-coa
Kiam-hoat yang bersumber dari Sin-coa-kun.
Akan tetapi
dengan kagum Suma Han melihat betapa pemuda itu berhasil mengelak dengan mudah,
seolah-olah sudah mengenal jurus ini, kemudian menggunakan Ilmu Pukulan
Toat-beng-bian-kun yang amat hebat! Suma Han mengerti bahwa Toat-beng-bian-kun
(Ilmu Silat Tangan Kapas Pencabut Nyawa) merupakan ilmu pukulan yang sakti dan
ampuh dari Lulu yang mendapatkan ilmu pukulan ini dari mendiang Nenek Maya yang
sakti. Dia sudah siap untuk menyelamatkan gadis itu dari pukulan itu ketika
dengan heran dia melihat bahwa pemuda itu bukan mempergunakan pukulan sakti
yang semestinya ditujukan ke arah leher itu diselewengkan menjadi sebuah
totokan ke arah pundak!
Akan tetapi,
hampir Suma Han berseru kaget dan kagum melihat betapa nona itu dapat mengelak
secara tepat sekali, yaitu dengan berjongkok, kemudian dari bawah kakinya
menyambar merupakan sebuah tendangan yang dibarengi dengan sabetan pedang.
Kakinya menendang ke arah pusar sedangkan pedangnya menyambar ke arah leher!
Yang membuat Suma Han terheran adalah cara gadis itu mengelak dari jurus
Toat-beng-bian-kun, demikian tepat dengan berjongkok seolah-olah dara itu telah
mengenal pula jurus Toat-beng-bian-kun! Apakah Ketua Thian-liong-pang juga
sudah berhasil mencuri ilmu peninggalan Nenek Maya itu? Sungguh tidak mungkin!
Kalau sudah demikian jauh, tentu Ketua Thian-liong-pang merupakan seorang lawan
yang luar biasa dan amat berat!
Setelah
melihat dengan jelas bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi dari
pada ilmu kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang, apa lagi setelah pemuda itu
kini mengeluarkan ilmu dengan gerakan amat aneh, sambil tertawa-tawa
mempermainkan dara itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus sebelum
diterkamnya, Suma Han lalu melayang dari atas sambil berseru, "Tahan
dulu...!"
Ketika itu
Wan Keng In sudah berhasil mengempit pedang lawannya di bawah lengan kiri
ketika dara itu menusuk dadanya, dan tangan kanannya bergerak menyambar untuk
mencengkeram pundak Milana. Melihat ini, Suma Han sudah menggerakkan tongkatnya
yang berubah menjadi sinar yang menyambar antara tangan Wan Keng In dan pundak
Milana.
Melihat
sinar ini Keng In cepat menarik kembali tangannya. Terpaksa dia melepaskan
kempitan pedang itu ketika ada sinar meluncur ke arah dadanya. Ia meloncat
mundur dan tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha-ha! Sudah kudengar suara
lengkinganmu tadi! Bukankah engkau ini yang berjuluk Pendekar Siluman, bekas
Majikan Pulau Es berkaki buntung yang sombong?" Pemuda itu berdiri dengan
tegak, kedua tangan bertolak pinggang, pandang matanya yang tajam penuh
kebencian, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
Enam orang
tokoh Pulau Neraka, dua wanita dan empat pria, menjadi terkejut sekali
mendengar ucapan pemuda itu. Mereka berenam telah menjadi pucat menyaksikan
munculnya Pendekar Siluman itu dan mereka sudah menunduk dengan hati tergetar
dan jeri. Kini mendengar ucapan tuan muda mereka, benar-benar mereka menjadi
kaget dan makin takut karena maklum bahwa siauw-tocu mereka telah mengucapkan
penghinaan terhadap Pendekar Super Sakti itu!
Milana sudah
marah sekali. Yang dimaki buntung sombong tadi adalah ayahnya! Maka dengan muka
merah dia sudah menusukkan pedangnya ke arah perut pemuda itu sambil membentak,
"Manusia iblis bermulut busuk!"
"Trangggg!"
Milana
meloncat mundur ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah tongkat
Pendekar Super Sakti!
"Bersabarlah
dan biarkan aku yang bicara dengan dia," Suma Han berkata halus ketika
melihat dara itu memandangnya dengan mata terbelalak heran.
"Ha-ha-ha-ha,
Nona yang cantik jelita! Apakah engkau tidak mengenal keparat ini? Dia adalah
Pendekar Siluman, Tocu Pulau Es, musuh besar kami dan musuh besar
Thian-liong-pang. Dia adalah musuh kita berdua, Nona! Mari kita berdua membunuh
manusia busuk ini!"
Milana ingin
berteriak kepada pemuda itu, mengatakan bahwa dia adalah puteri Pendekar Super
Sakti, tetapi ditahannya karena dia harus melindungi rahasia ibunya, maka
terpaksa dia hanya menelan kemarahannya, tidak menjawab ucapan pemuda itu.
Hanya diam-diam dia merasa tidak puas mengapa ayah kandungnya begitu sabar
menghadapi pemuda yang demikian menjemukan dan yang telah berani menghina
Pendekar Super Sakti.
Tentu saja
Milana tidak tahu mengapa Suma Han bersikap demikian sabar terhadap Keng In.
Wan Keng In adalah putera Lulu. Jangankan mengingat akan ibunya, sedang
mengingat akan ayahnya, Wan Sin Kiat yang pernah menjadi sahabat baik Suma Han
saja, pendekar ini tentu bersikap sabar sekali dan banyak mengalah.
"Engkau
tentu Wan Keng In, putera dari Majikan Pulau Neraka, bukan?" Suma Han
bertanya dengan suara halus mernandang wajah pemuda itu penuh perhatian dan
penyelidikan.
Wajah yang
amat tampan, bentuk wajahnya seperti wajah Wan Sin Kiat. Mulut dan matanya seperti
mulut dan mata Lulu, akan tetapi sungguh sayang sekali, karena persamaan itu
hanya pada bentuknya saja, namun sifatnya jauh berbeda, bahkan merupakan
kebalikannya seperti bumi dengan langit. Senyum Lulu adalah senyum yang manis
dan membuat dunia makin cerah, senyum yang menimbulkan rasa gembira di hati
siapa pun juga, membuat orang yang menyaksikan senyum itu ingin tersenyum pula.
Sinar mata
Lulu adalah sinar mata yang membayangkan kejujuran hati, kepolosan dan
kelembutan hati yang wajar dan tidak dibuat-buat. Akan tetapi, senyum pemuda
ini mendatangkan rasa ngeri. Walau pun senyum itu menambah ketampanan wajahnya,
namun mengandung sesuatu yang dingin mengerikan hati orang yang melihatnya. Ada
pun sinar mata pemuda itu amat tajam menusuk, seolah-olah menjenguk isi hati
orang yang dipandangnya, akan tetapi mengandung sifat kejam dan penuh kebencian
dan ketidak percayaan, pandang mata orang yang sama sekali tidak mengenal cinta
kasih antara manusia.
"Benar,
dan aku pula yang telah mengalahkan dan menghina murid dan keponakanmu! Aku
pula yang telah lama menanti munculmu, dan akan menantangmu untuk mengadu
nyawa. Kebetulan sekali sekarang kau muncul! Pendekar Siluman Suma Han, aku Wan
Keng In pada saat ini menantangmu untuk bertanding mengadu nyawa kalau engkau
berani!"
"Siauw-tocu...!"
Seorang anak buahnya berseru kaget.
"Plakkk...!"
Entah
bagaimana digerakkannya, tahu-tahu tangan Keng In telah menampar dan tubuh anak
buahnya itu terguling-guling sampai lima meter lebih, kemudian berhasil bangun
dengan muka bengkak dan ada tanda lima buah jari tangan di pipinya!
Mendengar
ucapan dan menyaksikan sikap itu, Suma Han merasa jantungnya seperti ditusuk.
Ahh, mengapa Lulu yang berwatak demikian lembut dan menyenangkan dapat
mempunyai anak seperti ini? Wan Sin Kiat bekas sahabatnya dahulu, ayah dari
anak ini pun seorang gagah perkasa. Mungkin lebih keras dan liar dibandingkan
dengan Lulu, juga berjiwa petualang, akan tetapi tidak jahat apa lagi keji.
"Wan Keng
In, tahukah engkau, dengan siapa kau bicara?"
"Tentu
saja! Dengan Suma Han, Pendekar Siluman, yang juga disebut Pendekar Super
Sakti, Majikan Pulau Es yang pandai ilmu sihir. Nah, boleh coba sihir aku, atau
boleh kau serang aku dengan ilmu-ilmumu yang katanya setinggi langit itu!"
"Ah,
anak muda... tidak pernahkah ibumu bicara tentang aku...?
"Jangan
sebut-sebut nama Ibuku!" tiba-tiba pemuda itu membentak marah sekali, lalu
menudingkan telunjuknya ka arah hidung Suma Han sambil berkata dengan keras dan
penuh kebencian, "Karena orang macam engkau inilah ibuku menderita sampai
belasan tahun, hidup merana dan selalu berduka! Karena orang macam engkaulah
maka ibuku sampai menjadi Ketua Pulau Neraka dan aku hidup di pulau itu sejak
kecil! Dan karena ibulah maka sekarang aku menantangmu untuk bertanding
mati-matian, Suma Han!
"Wan
Keng In, tahukah engkau bahwa mendiang Ayahmu, Wan Sin Kiat, adalah juga
seorang sahabat baikku, seperti saudaraku sendiri?"
"Tutup
mulutmu yang palsu! Mendiang Ayahku mati karena engkau! Keparat!" Keng In
menerjang dengan hebat, menggunakan pedang Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar
berkilat dan membawa hawa yang mengerikan. Serangan itu dahsyat bukan main, dan
hanya dengan menggunakan kelincahan Ilmu Soan-hong-lui-kun saja Suma Han
berhasil menghindarkan diri dari sambaran sinar berkilat itu.
"Wan
Keng In, Ibumu adalah adik angkatku!"
"Engkau
membuat hidupnya sengsara! Kakak angkat macam apa engkau ini? Telah kuambil
keputusan untuk memusuhimu, dan sekarang aku akan membunuhmu, bukan hanya
karena Ibuku, akan tetapi juga karena engkau menghalagi aku membawa pergi Nona
calon isteriku ini."
"Orang
muda, engkau tersesat. Ibumu akan berduka sekali melihat engkau seperti
ini."
"Tak
perlu banyak cakap lagi!" Wan Keng In sudah menerjang lagi dengan lebih
hebat lagi karena dia sudah marah, serangannya dahsyat, apa lagi kini dia
mempergunakan Lam-mo-kiam.
Sinar pedang
itu berkilat dan menyambar dengan suara bercuitan. Suma Han merasa berduka
sekali melihat putera Lulu seperti itu, cepat ia menggerakkan tongkatnya dan
menangkis dari samping agar tongkatnya tidak bertemu dengan mata pedang yang
amat ampuh itu.
"Tranggg...!"
Keduanya
terloncat mundur akibat benturan hebat antara pedang dan tongkat. Wan Keng In
tidak merasa heran ketika merasa betapa lengannya tergetar karena dia sudah
mendengar dan maklum bahwa Pendekar Super Sakti merupakan lawan yang amat
tangguh dan memiliki tenaga sinkang yang jarang terdapat tandingannya. Akan tetapi
Suma Han terkejut dan kagum bukan main. Pemuda itu benar-benar amat hebat, dan
dari benturan antara tongkat dan pedang tadi, dia dapat mengukur kekuatan
pemuda itu yang jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan tenaga sinkang yang
dimiliki Lulu!
Biar pun
maklum akan ketangguhan lawan, Wan Keng In tidak menjadi gentar, bahkan dia
makin marah dan sudah menerjang dengan hebatnya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu
pedang yang ia pelajari dari Cui-beng Koai-ong dan dari ibunya, mengerahkan
seluruh tenaganya yang mukjizat karena gurunya, datuk pertama dari Pulau Neraka
telah menggemblengnya dengan latihan-latihan sinkang yang tidak lumrah sehingga
dia menguasai kekuatan sinkang yang bercampur dengan ilmu hitam.
Begitu
pemuda itu mainkan pedangnya, mengerahkan sinkang menggunakan tangan kiri
membantu pedangnya mendorong-dorong ke depan, nampak betapa tubuhnya diliputi
kabut hitam dan dari dalam kabut itu mencuat sinar-sinar kilat pedangnya
melancarkan serangan maut ke arah Suma Han secara bertubi-tubi.
Hati Pendekar
Super Sakti merasa tidak karuan menghadapi serangan ini. Berbagai perasaan
bercampur aduk. Dia merasa terharu karena menyaksikan putera Lulu sudah menjadi
seorang pemuda dewasa, merasa kagum melihat ilmu silat pemuda ini yang
benar-benar amat hebat, jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Lulu, dan biar
pun dasarnya tidak lebih hebat dari pada dasar ilmu silat yang dimiliki Kwi
Hong, namun pemuda ini tentu tidak dapat terlawan oleh Kwi Hong karena selain
memiliki ilmu pedang yang aneh dan sinkang yang mengeluarkan kabut hitam, juga
cara bertempur pemuda ini nekat dan kejam, mengandung serangan-serangan ganas.
Akan tetapi di samping rasa keharuan dan kekaguman ini, dia juga merasa berduka
dan marah menyaksikan betapa keponakannya telah tersesat seperti itu.
Sampai
puluhan jurus Suma Han menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke
sana-sini menghindarkan diri, kadang-kadang mendorong pedang dari samping.
Melihat betapa sambaran tangan kiri pemuda itu bahkan tidak kalah lihainya oleh
pedang di tangan kanan, diam-diam Suma Han maklum bahwa hanya gerak kilatnya
saja yang akan mampu menandingi ilmu pedang pemuda itu!
Mengenai
tenaga sinkang, tentu saja dia masih menang beberapa tingkat. Kalau dia
menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun, tentu dia akan dapat menggunakan ujung
tongkatnya untuk merobohkan pemuda itu, juga dengan sinkang-nya, ia bisa
mengadu tenaga dan menangkan pertandingan. Akan tetapi dia tidak tega melakukan
hal ini, tidak tega melukai putera Lulu. Tadinya dia ingin menggunakan kekuatan
sihirnya, akan tetapi hal itu tentu akan membuat pemuda itu tidak tunduk
kepadanya, tidak membuatnya dia kapok. Kalau dia ingin supaya pemuda itu
menjadi jeri, dia harus menundukkannya dengan ilmu kepandaian.
"Wan
Keng In, aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakanlah di mana Ibumu, aku
ingin bicara dengannya!"
"Kau
harus mati di tanganku, atau boleh kau membunuhku kalau mampu!" Pemuda itu
berteriak dan memutar pedangnya dengan cepat, mengirim tusukan ke arah dada
Suma Han disusul dorongan telapak tangan kiri dari bawah mengarah pusar.
"Trakkkk...!
Plakkk...!"
Suma Han
tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menerima pedang itu dari
samping. Tangan kanannya menyambut dorongan telapak tangan pemuda itu dengan
telapak tangannya pula. Sepasang senjata dan dua buah tangannya itu saling
bertemu dan melekat! Keng In terkejut bukan main. Hampir dia tidak dapat
percaya bahwa tongkat butut lawannya itu dapat menyambut pedangnya, sedangkan
pukulan tangan kirinya mengandung hawa beracun yang amat ampuh, kini telapak
tangannya juga disambut oleh telapak tangan Pendekar Siluman, melekat dan tak
dapat ia tarik kembali seperti juga pedangnya yang melekat pada tongkat!
"Hemmm...,
orang muda, kalau aku tidak mengingat Ibumu, tentu akan kucabut saja tunas
buruk seperti engkau ini. Pergilah!" Suma Han yang mempergunakan tenaga
sinkang-nya untuk mengatasi pemuda itu, mengerahkan tenaga sakti dan tubuh Wan
Keng In terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang.
Pemuda itu
terhuyung akan tetapi tidak roboh, juga tidak terluka karena memang lawannya
tidak ingin melukainya. Wajah yang tampan itu menjadi agak pucat. Wan Keng In
seorang pemuda yang keras hati dan tidak mengenal takut, juga dia benci sekali
kepada orang yang dianggapnya membikin sengsara ibunya itu. Akan tetapi dia
bukan seorang bodoh dan dia maklum bahwa kalau dia berlaku nekat menyerang
terus, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Pertandingan membuktikan bahwa belum
tiba saatnya dia menantang Pendekar Super Sakti.
Dia harus
menyempurnakan dulu ilmu kesaktian yang dia pelajari dari gurunya, Cui-beng
Koai-ong. Setelah memandang ke arah Suma Han dengan mata mendelik beberapa
menit lamanya, dia mendengus, membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari
tempat itu, diikuti lima orang anak buahnya yang pergi tanpa berani
mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan sama sekali tidak berani melirik ke arah
Pendekar Siluman. Kekalahan tuan muda mereka tadi mereka terima dengan
sewajarnya karena memang mereka maklum akan kesaktian pendekar kaki buntung
itu.
Suma Han
berdiri mengikuti pemuda itu dengan pandang matanya sampai akhirnya bayangan
pemuda dan lima orang anak buahnya itu lenyap di balik anak bukit. Tiba-tiba
terdengar olehnya suara seperti bisikan namun cukup jelas, pemuda itu!
"Suma
Han, ingat saja engkau! Kalau aku sudah selesai menamatkan ilmuku, kelak akan
kucari engkau untuk kita bertanding lagi mati-matian! Biar pun kepandaianmu
tinggi seperti siluman, engkau Si Kaki Buntung ini akhirnya tentu akan mampus
di tanganku!"
Wajah Suma
Han menjadi merah sekali, akan tetapi diam-diam ia makin kagum. Khikang yang
disalurkan untuk mengeluarkan suara dari jarak jauh itu sudah cukup hebat!
Diam-diam dia merasa berduka.
Dia tidak
akan peduli dan memusingkan kalau dia dimusuhi tokoh-tokoh sesat dari mana pun
juga dan betapa saktinya pun. Tetapi, dimusuhi pemuda itu, putera Lulu,
benar-benar merupakan hal yang membuatnya berduka dan cemas. Sementara itu,
tiada habis rasa heran dari hatinya kalau mengingat betapa jujur, halus dan baik
watak Lulu, sedangkan Wan Sin Kiat juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan
selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, mengapa putera mereka menjadi seorang
pemuda iblis seperti itu?
Suma Han
menarik napas panjang. Ahh, tidak keliru kiranya bahwa watak manusia dibentuk
oleh keadaan sekitarnya. Anak itu semenjak kecil dibawa oleh ibunya ke Pulau
Neraka dan tentu saja setiap hari anak itu melihat watak-watak penghuni Pulau
Neraka yang terkenal ganas, liar kejam dan palsu. Dan agaknya Lulu sendiri
terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai Ketua Pulau Neraka, atau mungkin sekali
terlalu memanjakan putera tunggalnya itu sehingga pembentukan watak anak itu
sepenuhnya dikuasai oleh keadaan sekelilingnya!
Kembali Suma
Han menarik napas panjang. Betapa akan hancur hati Lulu kalau menyaksikan sepak
terjang puteranya. Dia tahu bahwa Lulu sendiri mempunyai perasaan hati yang
aneh terhadapnya. Bisa mencinta sehingga ingin menjadi isterinya, akan tetapi
juga bisa membenci sehingga ingin pula memusuhinya kalau tidak dapat menjadi
isterinya. Akan tetapi andai kata menjadi musuhnya, wanita itu tentulah seorang
musuh yang gagah perkasa dan jujur dan watak Lulu tak mungkin berubah biar pun
sudah menjadi Ketua Pulau Neraka.
"Paman,
mengapa Paman berduka?" Tiba-tiba terdengar suara halus di sampingnya.
Suma Han
seperti baru sadar dari mimpinya. Dia menoleh dan memaksa bibirnya tersenyum
ketika melihat Alan sudah berdiri di situ dan memandangnya dengan sinar matanya
yang lembut. Melihat wajah cantik dan sinar mata lembut penuh kasih ini hati
Suma Han menjadi makin sakit dan duka. Dara jelita ini adalah puteri ketua
Thian-liong-pang, seorang wanita iblis berkerudung yang terkenal jahat dan
kejam. Seorang wanita seperti iblis itu dapat mempunyai puteri sebaik ini,
mengapa sebaliknya seorang wanita seperti Lulu mempunyai seorang putera sejahat
itu?
"Paman,
mengapa Paman kelihatan berduka?" Kembali Milana bertanya.
Tadi ketika
melihat ayahnya bertanding melawan pemuda itu, dia menonton dengan penuh kagum,
tetapi juga kecewa karena ayahnya membebaskan pemuda itu begitu saja tanpa
melukainya sedikit pun. Kemudian ia melihat ayahnya berdiri termenung seperti
arca, dengan wajah yang tampan itu sebentar merah sebentar pucat, berkali-kali
menghela napas panjang sambil memandang ke depan, ke arah perginya Wan Keng In
dan anak buahnya tadi.
"Ohh,
tidak apa-apa, Alan. Hanya... eh, di mana rajawali kita?"
"Dia
terbang dikejar oleh rajawali besar tadi, Paman. Dua ekor burung tadi
bertanding, dan rajawali peliharaan Paman terdesak dan luka-luka. Mereka
bertanding sambil terbang tinggi sehingga aku tidak dapat membantu."
"Hemmm,
biarlah. Burung itu memang berasal dari Pulau Neraka, agaknya kini sudah
ditundukkan kembali oleh bekas majikannya itu. Alan, bagaimana engkau tadi
dapat bertemu dan bertanding dengan dia?"
"Aku
sedang menuju ke dusun untuk mencari bahan masakan ketika aku bertemu dengan
rombongan Pulau Neraka itu keluar dari dusun. Karena aku tahu betapa jahatnya
mereka, aku lalu melarikan diri akan tetapi mereka mengejar dan aku tersusul di
sini. Tentu saja aku melawan sedapatku, akan tetapi dia lihai sekali. Paman,
mengapa Paman tadi membiarkan dia pergi? Orang seperti itu seperti seekor ular
yang beracun dan jahat, kalau tidak dibasmi, tentu kelak hanya akan mencelakai
orang lain saja."
Suma Han
menarik napas panjang. "Aku tak mungkin dapat membunuhnya, Alan. Engkau
tidak tahu... ahhh..." Wajah pendekar itu kelihatan berduka sekali.
Melihat ini
Milana merasa amat kasihan kepada ayah kandungnya. Tentu ada sesuatu antara
ayah kandungnya dengan Pulau Neraka, ada rahasia besar yang membuat ayahnya itu
bersikap lunak terhadap Wan Keng In.
"Aku
tidak berhasil memasakkan sesuatu untukmu, Paman. Maafkan..."
"Tidak
mengapa, Alan. Aku tadi sudah makan roti kering, cukup kenyang. Marilah kita
melanjutkan perjalanan. Kota raja tidak jauh lagi, di sana tentu banyak rumah
makan besar dan kita dapat makan sepuasnya."
Milana tidak
membantah dan berangkatlah mereka berdua menuju ke selatan, ke kota raja.
Sebentar saja mereka sudah melalui jalan raya menuju kota raja yang ramai dan
tampak banyak penunggang kuda atau kereta-kereta berkuda yang datang dari
beberapa jurusan menuju ke kota raja, ada pula yang bersimpang jalan, yaitu
mereka yang baru saja meninggalkan kota raja.
Sudah
belasan tahun Suma Han tidak pernah muncul di kota raja. Biar pun di dunia
kang-ouw nama Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu Pulau Es
merupakan nama yang paling menonjol dan amat terkenal, namun jarang ada orang
pernah melihat Pendekar Super Sakti, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw sebagian besar
belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Apa lagi penduduk kota raja! Maka
kini Suma Han dengan enak dapat memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal
orang, baik oleh penduduk mau pun oleh para prajurit penjaga. Di kota raja,
yang sudah lama ditinggalkannya itu, tentu hanya beberapa gelintir orang saja
yang pernah bertemu dengannya dan mereka itu adalah orang-orang berkedudukan
tinggi seperti Thian Tok Lama, Koksu dan lain-lain yang tentu berada di dalam
gedung masing-masing dan tidak pernah berkeliaran di dalam kota.
Milana
sendiri tidak asing di kota raja. Sudah sering dia keluar masuk kota raja, akan
tetapi dia pun tidak dikenal orang sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang. Oleh
karena itu, dia pun memasuki pintu gerbang kota raja di samping Suma Han dengan
hati tenteram dan tidak khawatir dikenal orang. Apa lagi sejak dia melakukan
perjalanan di samping ayah kandungnya, terutama setelah ayahnya itu
menyelamatkan dengan mudah dari tangan Wan Keng In, hati Milana menjadi tenang
dan penuh kepercayaan bahwa selama ia berada di samping ayahnya, tidak ada
seorang pun yang akan dapat mengganggunya!
Wajahnya
berseri gembira ketika dia memasuki kota raja dengan ayahnya, penuh kebanggaan
karena kiranya tidak banyak orang yang dapat berdampingan dengan Pendekar Super
Sakti! Dia bukan hanya berdampingan, bahkan dia adalah puterinya, puteri
kandungnya biar pun hal ini masih terpaksa harus dia rahasiakan dari pendekar
itu sendiri.
Memang tidak
aneh melihat seorang berkaki buntung di waktu itu. Banyak terdapat orang-orang
yang menderita cacad akibat perang penyerbuan bala tentara Mancu yang baru saja
padam.
Seperti
halnya perang di bagian mana pun di permukaan bumi ini, semenjak jaman sebelum
sejarah sampai sekarang, perang mendatangkan mala petaka yang amat mengenaskan
hati. Setelah perang selesai, setelah hati tidak lagi dikuasai oleh nafsu
angkara murka, barulah tampak oleh mata kita akan akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh perang, akibat yang mendirikan bulu roma bagi orang yang masih
memiliki sedikit saja cinta kasih dan peri kemanusiaan.
Setelah
perang padam, tampak bangunan-bangunan bekas terbakar, kuburan-kuburan penuh
makam baru, anak-anak yatim piatu, janda-janda muda terjerumus ke dalam lembah
pelacuran, penderita-penderita cacad yang buntung lengannya, buntung kakinya,
luka-luka tubuhnya dan ada pula yang terluka jiwanya menjadi gila,
gelandangan-gelandangan karena kehilangan keluarga, kehilangan rumah,
kehilangan mata pencarian, dan dari kaum gelandangan ini timbul
pengemis-pengemis, pencuri-pencuri, atau ada yang menggabungkan dari dengan
perampok-perampok. Mala petaka ini yang tampak oleh mata, masih banyak mala
petaka lain yang tidak tampak, namun lebih mengerikan lagi, yaitu akibat perang
berupa dendam sakit hati dan iri yang menjadi bahan penciptaan perang baru!
Tidak ada
untungnya, lahir mau pun batin, dalam sebuah perang. Keuntungan yang tampak
hanyalah keuntungan palsu yang di jadikan hiburan manusia untuk menyelimuti
kengerian akibat perang. Pemerintah Mancu yang berhasil merebut tahta kerajaan
dan kepemimpinan, mengatakan bahwa mereka mendatangkan kemakmuran bagi rakyat
dan telah berhasil menumbangkan kekuasaan pemerintah lama yang penuh kelaliman.
Namun, semua itu hampa belaka, karena sungguh tidak mungkin menciptakan
perdamaian dengan peperangan!
Bangsa Mancu
menggunakan berbagai alasan hiburan untuk perjuangan mereka, yaitu memberantas
kelaliman para pemimpin dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat. Akan tetapi,
setelah perang berakhir, yang berubah dan berbeda hanyalah sifat dan caranya
belaka, namun kelaliman tetap ada, kemakmuran rakyat tetap hanya merupakan
janji-janji yang diulur-ulur panjang belaka.
Hal seperti
ini akan terus berlangsung selama manusia belum sadar akan perang yang terjadi
di dalam diri manusia masing-masing sendiri. Selama segala tindak, segala
gerak, segala usaha merupakan akibat langsung dari akal pikir yang paling suka
memusatkan segala kepada AKU, diriku, keluargaku, milikku, bangsaku, negaraku,
agamaku, dan selanjutnya. Selama AKU menguasai setiap orang manusia, maka sudah
dapat dipastikan bahwa segala peristiwa, termasuk perang, merupakan gerakan
demi kepentingan Sang AKU. Betapa pun banyak selimut yang dipergunakan untuk
menyembunyikan dasar ‘demi aku’ ini, yang disebut dengan banyak kata-kata indah
seperti perjuangan, kepahlawanan, demi nusa bangsa dan lain-lain, namun sungguh
sayang sekali, di dasar dari segala itu bersembunyilah Sang Aku yang sebenarnya
menjadi pendorong dari semua gerak hidup. Dan selama AKU bercokol menjadi dasar
yang mendorong semua gerak hidup, maka yang timbul hanyalah pertentangan dan
persoalan yang mendatangkan kepuasan di satu pihak, kekecewaan di lain pihak,
suka duka, iri dengki, dendam dan sebagainya.
Setiap
tampak akibat yang tidak baik, seluruh manusia sibuk mencarikan kambing hitam
agar diri sendiri tetap bersih! Semua manusia lupa bahwa segala macam
kemunafikan dan maksiat bukan berada di luar, melainkan berada di dalam diri
manusia sendiri! Semua manusia menujukan pandang mata keluar tanpa mengingat
untuk menujukan ke dalam biar semenit pun! Bahagialah dia yang menujukan
pandang mata ke dalam, menjenguk dan mengenal diri pribadi dengan segala macam
isinya, mengenal pikiran sendiri yang membedal ke mana-mana dengan liarnya, tak
terkendalikan!
Suma Han dan
Milana berjalan seenaknya sambil menikmati pemandangan di kota raja. Pemerintah
Mancu telah membangun gedung-gedung besar yang megah dan indah di sepanjang
jalan di kota raja sehingga kota raja nampak indah dan megah sekali, melebihi
masa yang lalu. Kemajuankah ini? Demikianlah kalau ditonton begitu saja,
ditonton keadaan kota rajanya dengan bangunan-bangunan baru yang besar dan
indah.
Akan tetapi,
adakah kemajuan dapat diukur dari keadaan bangunannya, bukan dari keadaan
manusianya? Kalau diketahui siapa pemilik gedung-gedung itu, maka akan
ditemuilah jawab dari segala sebab timbulnya perang yang semenjak jaman dahulu
selalu timbul. Gedung-gedung itu tentu saja dimiliki oleh penguasa yang menang
perang! Hanya berganti bangunan baru dan penghuni, dari mereka yang dikalahkan
kepada mereka yang menang. Rakyat hanya dapat menonton dan dari menoton ini
diharapkan ucapan mereka ‘kita telah mengalami kemajuan-kemajuan’!
Biar pun
banyak terdapat orang berkaki buntung sungguh pun tidak pernah ada yang
mengurai rambut seperti Suma Han, apa lagi kalau rambutnya yang panjang itu
sudah putih semua, dan banyak terdapat gadis-gadis muda yang biasa merantau
sebagai gadis-gadis kang-ouw, namun tetap saja Suma Han dan Milana menarik
perhatian orang. Laki-laki berkaki buntung itu wajahnya tampan dan belum tua
benar, namun rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang sutera perak
sedangkan sinar matanya membuat orang-orang yang bertemu pandang menundukkan
muka atau mengalihkan pandang mata dengan tengkuk dingin mengkirik. Ada pun
dara remaja yang berjalan dl samping laki-laki berkaki buntung ini, dengan
wajah berseri tersenyum-senyum, memiliki kecantikan yang luar biasa!
Suma Han
melihat betapa banyak orang memandang mereka penuh perhatian, maka dia lalu
mengajak dara itu memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan menyambut
mereka, mata pelayan itu tidak memandang kepada Suma Han yang tidak menarik
baginya, melainkan memandang kepada Milana yang benar-benar merupakan
pemandangan yang amat menggairahkan hatinya!
"Beri
kami dua buah kamar yang berdampingan," kata Suma Han. Pelayan itu
terkejut karena tadinya dia merasa seolah-olah terbang di sorga ke tujuh dan
berjumpa dengan seorang bidadari Sorga! Ketika ia menoleh dan bertemu pandang
dengan Suma Han, dia terkejut sekali, punggungnya seperti disiram air dingin
dan dia cepat membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka mengikutinya untuk
memilih dua buah kamar yang berdampingan.
Setelah
menaruh barang bekal di kamar masing-masing dan makanan siang yang dipesannya
dari pelayan dan dihidangkan ke ruangan depan kamar mereka, Suma Han dan Milana
duduk di dalam kamar Suma Han, bercakap-cakap.
"Kapankah
Paman akan mulai menyelidik dan mencari musuh-musuh Paman?"
"Aku harus
berhati-hati, Alan. Musuh-musuhku adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi
dan tentu berada di dalam istana-istana yang terjaga ketat oleh pasukan
pengawal. Menyelidiki di siang hari tidaklah mungkin, bahkan di malam hari pun
amat berbahaya karena biar pun pasukan yang baru tidak mengenalku, namun para
perwira dan panglima tentu akan mengenalku begitu bertemu denganku.
Sesungguhnya, mencari mereka di kota raja amat tidak leluasa bagiku, akan
tetapi apa boleh buat, malam nanti aku harus menyelidiki ke lingkungan istana,
atau ke rumah Koksu karena di sanalah berkumpulnya musuh-musuhku yang menjadi
pembantu Koksu."
"Kalau
bertemu dengan mereka, apa yang hendak Paman lakukan?" tiba-tiba Milana
bertanya.
Mendengar
pertanyaan ini, Suma Han termenung dan berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Aku... aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah merusak Pulau
Es dan Pulau Neraka. Selama ini kami tidak pernah menentang pemerintah, mengapa
kini mereka menyerbu dan merusak Pulau Es? Selain itu, karena Maharya dan
Tan-siucai juga membantu Koksu, tentu mereka berada di sini dan aku hendak
minta kembali pedang Hok-mo-kiam yang mereka rampas." Suma Han tidak mau
menceritakan niatnya yang lain, yaitu menyelidik dan mencari Nirahai yang
disangkanya tentu kembali ke kota raja!
"Paman,
di antara musuh-musuhmu itu, siapakah yang paling lihai?"
"Hemm,
hal ini agak sukar untuk ditentukan karena hanya beberapa orang di antara
mereka yang pernah bertanding melawanku, yaitu Thian-tok Lama, Pendeta Maharya,
dan mungkin beberapa orang panglima yang tertua. Dengan Koksu sendiri, aku
belum pernah bertanding dan kabarnya dia amat lihai. Akan tetapi, kurasa dia
tidaklah selihai Pendeta Maharya. Pendeta dari barat itu benar-benar merupakan
lawan yang tangguh, selain lihai sekali ilmu silatnya, juga dia seorang yang
memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat."
"Akan
tetapi, aku yakin Paman tentu akan dapat mengalahkan mereka!" kata Milana
dengan suara tegas dan pandang mata penuh kekaguman ditujukan kepada wajah
ayahnya. Melihat pandang mata gadis ini, Suma Han merasa jantungnya berdebar!
"Aku
dapat menandingi mereka satu lawan satu, tetapi kalau mereka mengeroyok, apa
lagi dibantu pasukan-pasukan pengawal yang kuat, belum tentu aku akan dapat
menang. Akan tetapi, kedatanganku bukan untuk menantang mereka bertanding,
hanya untuk minta kembali pedang dan minta penjelasan dan pertanggungan jawab
mereka mengapa Pulau Es dan Pulau Neraka diserbu pasukan pemerintah."
"Mereka
tentu akan mengeroyok dan menangkapmu, Paman!"
"Hemm,
kalau memang demikian, apa boleh buat, terpaksa aku melawan."
Hati Milana
merasa tidak enak sekali. Dia percaya bahwa ayahnya amat sakti, akan tetapi dia
tahu bahwa tepat seperti pengakuan ayahnya sendiri, kalau banyak orang sakti
maju mengeroyok ditambah pasukan-pasukan pengawal kerajaan, mana mungkin
ayahnya yang hanya seorang diri itu kuat bertahan? Baru menyelidiki ke sana
saja sudah amat tidak leluasa bagi ayahnya! Berbeda dengan dia!
Ibunya
adalah bekas puteri Kaisar dan bekas pahlawan yang berkedudukan tinggi, bahkan
kini Koksu sendiri sudah tahu, ibunya adalah ketua ketua Thian-liong-pang dan
kini Thian-liong-pang bekerja sama dengan Koksu, membantu pemerintah menentang
dan membasmi mereka yang hendak memberontak! Kalau dia yang menyelidiki, kalau
dia yang pergi kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, minta kebijaksanaan Koksu
itu untuk membujuk pembantunya, Maharya mengembalikan Hok-mo-kiam, minta kepada
Koksu agar jangan mengeroyok dan menentang Pendekar Super Sakti, tentu
harapannya lebih besar. Koksu sudah mengenalnya, juga para pembantunya sudah
tahu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang yang kini merupakan sekutu
mereka!
"Alan,
malam ini aku akan pergi menyelidik. Harap engkau menantiku di sini saja dan
jangan engkau pergi ke mana-mana. Keadaan di kota raja berbahaya, di sini
banyak terdapat orang pandai."
"Apakah
Paman tidak mengajakku pergi menyelidiki?"
"Ah,
aku hanya akan membawamu ke dalam bahaya, Alan. Dan pula, apa perlunya? Tidak,
kau tunggu saja di sini, aku pasti akan kembali sebelum pagi."
Milana
menunduk. "Baiklah, Paman. Akan tetapi sore ini aku ingin sekali pergi
berjalan-jalan melihat pemandangan kota."
"Sesukamulah,
akan tetapi harap kau berhati-hati. Engkau masih muda dan cantik jelita, akan
banyak menghadapi godaan."
"Aku
dapat menjaga diri, Paman. Eh, benarkah pendapat Paman bahwa aku...
cantik?" tanyanya dengan hati girang sekali. Ayahnya sendiri yang
memujinya, bagaimana hatinya tidak akan merasa bangga dan senang?
"Engkau
adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, Alan."
"Terima
kasih atas pujianmu, Paman. Nah, aku akan pergi berjalan-jalan. Harap Paman
nanti berhati-hati kalau pergi menyelidiki."
Suma Han
mengangguk. "Biar pun aku percaya bahwa dengan kepandaianmu, tidak
sembarang orang akan dapat mengganggumu, tetapi harap engkau suka bersabar dan
jangan menimbulkan keributan, juga jangan terlalu malam kembali ke sini."
Milana
mengangguk-angguk dan hatinya terharu. Pendekar itu menasehatinya seperti
kepada anaknya sendiri! Padahal dalam pengertian pendekar itu, dia adalah
seorang tawanan bahkan puteri musuhnya! Dengan hati senang bercampur haru,
Milana pergi meninggalkan rumah penginapan. Tentu saja dia bukan berniat untuk
berjalan-jalan, melainkan hendak menjumpai Bhong Ji Kun, Koksu negara yang dia
ketahui pula di mana letak gedungnya. Akan tetapi, agar tidak menarik perhatian
orang luar, dia pergi berjalan-jalan lebih dahulu dan setelah malam tiba,
keadaan cuaca mulai gelap, barulah dia menuju ke gedung Koksu yang megah.
Sebagai
puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu saja Milana merasa rendah kalau harus
datang menghadap Koksu seperti orang biasa. Apa lagi kalau ia datang menghadap
seperti itu, tentu dia akan berhadapan dengan para penjaga dan diperlakukan
seperti orang biasa saja. Tidak! Dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang,
tentu saja dia harus bersikap sesuai dengan kedudukan ibunya yang tinggi dan
lihai.
Dengan
kepandaiannya, tidaklah sukar bagi Milana untuk berloncatan ke atas genteng,
melalui pagar tembok gedung Koksu dengan gerakan seperti terbang cepatnya
sehingga tidak tampak oleh para penjaga dan peronda, kemudian dengan hati-hati
dia menyelinap antara bayangan gelap, mencari di mana adanya Koksu pada saat
itu.
Masih untung
bagi Milana bahwa pada saat itu, para pembantu Koksu yang lihai semua sedang
berkumpul di satu tempat, yaitu di ruangan dalam tempat mereka sedang
berunding, duduk mengelilingi sebuah meja besar di ruangan itu menghadapi
koksu. Andai kata orang-orang lihai seperti Thian Tok Lama, Maharya, para
panglima besar seperti Bhe Ti Kong dan lain-lain berada di kamar masing-masing,
juga koksu sendiri, maka kemungkinan besar kedatangan Milana akan mereka
ketahui semenjak tadi!
Milana
berhasil mengintai dari luar jendela ruangan perundingan itu dan dia melihat
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dihadap oleh Thian Tok Lama, Maharya, dan enam
orang panglima yang berpakaian gagah. Dia merasa heran tidak melihat kehadiran
Thai Li Lama dan Tan siucai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kedua orang lihai
ini telah tewas di tangan Gak Bun Beng saat mereka dahulu bersembunyi dan
mengintai pertandingan di gurun tandus yang diadakan oleh Thian-liong-pang.
Selagi
Milana hendak memperlihatkan diri dan menyatakan kedatangannya, tiba-tiba ia
mendengar suara Koksu menyebut-nyebut nama ibunya! Tentu saja ia cepat menahan
diri, bahkan menahan napas agar dapat mendengarkan lebih jelas percakapan
antara mereka.
"Puteri
Nirahai telah menjadi ketua Thian-liong-pang dan telah membantu kita membasmi
para pemberontak. Akan tetapi, Kaisar belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang
adalah puterinya! Hanya menerima pelaporan bahwa Thian-liong-pang membantu
pemerintah. Munculnya Nirahai benar-benar membikin ruwet rencana kita, agaknya
dia ingin berbaik kembali dengan Kaisar. Dia lihai sekali dan dapat
menggagalkan rencana kita yang sudah hampir masak. Tidak ada jalan lain lagi,
dia harus disingkirkan, harus dibunuh!"
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Milana mendengar ucapan itu. Jantungnya
berdebar sangat keras sehingga ia khawatir kalau-kalau suara detak jantungnya
akan terdengar oleh mereka yang sedang mengadakan perundingan di sebelah dalam,
maka dia menekan dada dengan tangan dan menekan perasaannya, memasang perhatian
untuk mendengar terus.
"Akan
tetapi dia adalah puteri Kaisar!" terdengar Thian Tok Lama berseru kaget.
"Kalau
dia berhasil terbunuh dengan memakai kerudung sebagai Ketua Thian-liong-pang
yang kita buatkan bukti-bukti memberontak, andai kata kemudian Kaisar sendiri
mendengar bahwa dia puterinya, kiranya Kaisar tidak akan menyalahkan kita.
Bahkan akan menutup rahasia itu, karena Kaisar tentu tidak ingin tersiar di
luaran bahwa puterinya menjadi ketua Thian-liong-pang yang memberontak!"
kata Koksu lagi.
"Memang
tepat apa yang dikatakan Koksu," terdengar pula suara Maharya yang kaku.
"Kalau Thian-liong-pang tidak dihancurkan lebih dulu, akan merupakan
kekuatan sebagai pembela kaisar dan untuk menghancurkannya, jalan satu-satunya
adalah membunuh Ketuanya. Memang dia lihai, akan tetapi menurut penglihatanku,
aku sendiri dapat menandinginya, dan kalau aku dibantu oleh Thian Tok Lama, aku
yakin dia akan dapat dibunuh. Pihak Mongol sudah siap, tinggal menanti isyarat
dari kita, kalau sampai terhalang oleh utusan Thian-liong-pang, tentu akan
tertunda lagi dan mereka akan patah semangat dan mundur."
"Pihak
Tibet juga sudah siap, tinggal menanti komando," kata Thian Tok Lama.
"Nah,
kalau begitu, kita harus..." Mendadak Koksu menghentikan kata-katanya
karena dia melihat tubuh Maharya sudah bergerak meloncat ke jendela sambil
menyambar senjatanya yang mengerikan, yaitu tombak yang matanya melengkung
seperti bulan sabit.
"Braaakkk!"
jendela itu hancur berkeping-keping dan terbuka, tubuh Maharya melesat keluar.
"Trang-trang-trang...!"
Senjata di tangan Maharya itu ditangkis sampai tiga kali oleh pedang
Pek-kong-kiam di tangan Milana.
"Eh,
engkau... Nona...?" Maharya terkejut sekali ketika mengenal bahwa orang
yang diserangnya adalah puteri Ketua Thian-liong-pang! Dan pada saat itu,
Koksu, Thian Tok Lama dan panglima yang tadi berada di dalam ruangan telah
meloncat ke luar semua.
Keringat
dingin membasahi dahi Milana. Serangan Maharya tadi benar-benar hebat luar
biasa. Selain pendeta itu dapat mengetahui kehadirannya di luar jendela, juga
begitu meloncat dan menerjang ke luar, senjata di tangan pendeta itu telah
langsung menyerangnya bertubi-tubi sehingga dia harus cepat-cepat mengelak dan
menangkis. Tangan kanannya terasa tergetar hebat ketika dia menangkis senjata
tombak bulan sabit di tangan pendeta Maharya tadi.
Kalau saja
dia tidak mendengarkan percakapan tadi, tentu Milana tidak menjadi gentar
menghadapi mereka yang tentu saja dianggapnya sekutu ibunya. Akan tetapi kini,
dia memandang mereka sebagai musuh-musuh yang hendak membunuh ibunya! Tentu
saja dia menjadi marah bukan main, kemarahan yang disertai kekhawatiran akan
nasib ibunya, lupa akan keadaan dirinya sendiri yang sudah terkurung dan sedang
terancam hebat itu.
"Ah,
kiranya Nona Milana yang datang. Ada keperluan apakah tiba-tiba Nona datang
berkunjung ke rumahku?" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bertanya, matanya
tajam memandang untuk menyelidiki apakah nona ini tadi mendengar percakapan
mereka atau tidak.
Milana bukan
seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa dia berada di goa singa yang amat
berbahaya. Kalau dia melampiaskan kemarahannya di saat itu, sehingga dia harus
bertanding melawan mereka, tentu dia akan celaka. Maka dia memaksa sebuah
senyum manis sambil berkata,
"Koksu,
aku datang untuk bicara mengenai urusan penting denganmu."
"Ahhh,
maafkan penyambutan kami tadi, Nona, karena kami tidak tahu bahwa engkau yang
datang. Mari, silakan masuk."
Pintu
ruangan itu dibuka lebar, kemudian mereka semua memasuki ruangan. Milana
dipersilakan duduk oleh Koksu yang masih ramah sikapnya. "Silakan duduk,
Nona Milana dan terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak."
"Terima
kasih, tidak usah, Koksu. Aku datang hanya untuk bicara sebentar dan takkan
lama di sini," jawab Milana, akan tetapi dia duduk juga melihat semua
orang sudah duduk.
"Apakah
Nona datang seorang diri? Ataukah dengan Pangcu?" Koksu bertanya, diam-diam
mengerling ke arah jendela yang sudah pecah dan terbuka karena ia khawatir
kalau-kalau nona ini datang bersama ibunya yang luar biasa lihainya itu.
"Aku
datang sendiri untuk... untuk..." Milana menjadi bingung sekali.
Setelah
mendengar percakapan tadi dan mendapat kenyataan bahwa mereka semua ini adalah
musuh-musuh yang merencanakan pembunuhan terhadap ibunya, lenyap sama sekali
keinginannya untuk membujuk Koksu agar menyerahkan Pedang Hok-mo-kiam kepada
Pendekar Super Sakti dan agar tidak menentang ayahnya itu. Mana mungkin mereka
mau memenuhi permintaannya setelah ternyata bahwa mereka ini bukanlah sahabat
melainkan justru musuh yang berbahaya? Maka ketika hendak menyatakan isi
hatinya, dia menjadi ragu-ragu dan gugup.
Tiba-tiba
terdengar Maharya membentak. "Engkau tentu sudah sejak tadi datang, bukan?
Mengakulah dengan jujur!" Ucapan ini bukan sembarangan, melainkan suara
yang disertai sinkang kuat sekali dan membawa pengaruh sihir yang seolah-olah
mencengkeram semua semangat dan kemauan Milana, membuat dara itu tidak berdaya
dan di luar kehendaknya sendiri, mulutnya mengeluarkan suara hatinya.
"Memang
aku sudah datang sejak tadi." Milana amat kaget mendengar pengakuannya
sendiri yang keluar dari hati yang jujur.
"Dan
engkau sudah mendengarkan percakapan kami? Hayo, jawab setulusnya!"
Kembali Maharya menghardik dengan suara yang bergema aneh dan penuh wibawa.
Milana kini
sudah memandang wajah kakek itu dan pandang matanya bertemu dengan sinar mata
yang mendelik dan amat tajam. Dia maklum bahwa dia terpengaruh oleh kekuasaan
sihir kakek itu, namun betapa pun dia mengerahkan sinkang melawan, tetap saja
dia tidak dapat menahan mulutnya yang menjawab, "Benar, aku sudah
mendengarkan percakapan kalian."
Koksu
mengeluarkan seruan kaget dan kembali terdengar suara Maharya, "Apakah
engkau tahu apa yang kami percakapkan? Jawab dan jelaskan!"
Milana kini
sudah hampir dapat mengatasi dirinya. Sinkang-nya sudah kuat sehingga dia mampu
melawan pengaruh mukjizat itu, dan selain ini, dara ini mewarisi sinar mata
tajam dari ayahnya sehingga pada dasarnya dia memiliki sinar mata yang amat
kuat. Akan tetapi dia belum lolos sama sekali dari cengkeraman kekuasaan sihir
Maharya, maka biar pun suaranya sudah lemah tanda bahwa dia hampir dapat
menguasai diri dan melawan tenaga mukjizat yang mendorongnya untuk mengaku,
masih saja terdengar pengakuannya.
"Aku...
aku tahu... bahwa kalian... hendak membunuh Ibuku... aihhh!" Kini Milana
sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia meloncat ke belakang sambil mencabut
Pedang Pek-kong-kiam yang tadi sudah dia sarungkan kembali. Maklumlah dia bahwa
dia sudah terlanjur membuat pengakuan dan maklum bahwa tentu mereka itu tidak
akan membiarkan dia pergi menyampaikan rahasia itu kepada Ibunya.
Benar
dugaannya, karena Koksu sudah berseru, "Dia harus kita tangkap!"
Semua orang
bergerak dan bayangan mereka berkelebatan cepat sekali, tahu-tahu Milana telah
terkurung dan berada di tengah-tengah. Maharya berada di depannya, Koksu dan
Thian Tok Lama di kanan kirinya, sedangkan enam orang panglima berada di
belakangnya!
Milana
berdiri dengan tegak, pedangnya melintang depan dada, tangan kiri terangkat ke
atas kepala, siap menghadapi serangan mereka. Seluruh urat syaraf di tubuhnya
menegang dan menggetar, matanya melirik ke depan, kanan dan kiri, dagunya
ditarik keras dan mukanya agak menunduk, kedua kakinya berdiri dengan tumit
diangkat sedikit karena dia maklum bahwa menghadapi orang-orang lihai ini dia
membutuhkan kecepatan gerak dan ginkang-nya. Sampai agak lama mereka semua diam
tak bergerak seperti arca-arca batu, suasana menjadi amat tegang.
Tiba-tiba
Maharya berkata dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Koksu. Koksu ini adalah
seorang peranakan India yang sudah menjadi Warga Negara Mancu, akan tetapi
karena sejak kecil dia tinggal di Nepal, maka dia tidak mengerti bahasa India
dan lebih paham bahasa Nepal. Karena itulah maka Maharya bicara bahasa Nepal
kepada murid keponakan itu, "Dia tahu akan rahasia kita, harus kita bunuh
sekarang, lebih cepat lebih baik!"
Akan tetapi,
dalam bahasa Nepal pula yang tak dimengerti oleh Milana dan orang lain kecuali
Thian Tok Lama, Koksu berkata, "Jangan dibunuh, dia harus ditangkap untuk
memancing dan memaksa ibunya menakluk!"
Menggunakan
kesempatan selagi dua orang itu bicara dan yang lain memperhatikan percakapan
dalam bahasa asing itu, tiba-tiba Milana meloncat dan memutar pedang
Pek-kong-kiam melindungi tubuh dari serangan di bawah kaki, sedangkan tubuhnya
melayang ke arah jendela untuk melarikan diri.
"Tranggg...!"
Tiba-tiba Maharya sudah berkelebat dan mendahului Milana menghadang di depan
lubang jendela sehingga ketika Milana menerjang, pendeta itu menangkis dengan
senjatanya dan hampir saja Milana melepaskan pedangnya saking kerasnya
tangkisan itu yang membuat tangannya tergetar hebat.
Yang
lain-lain sudah mengejar dan mengepung, namun Milana sudah memutar pedangnya
dan mengamuk dengan hebat. Dia seorang dara yang tak mengenal takut, percaya
akan kepandaian sendiri dan dia mengambil keputusan untuk melawan sampai titik
darah terakhir....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment