Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 22
Kakek yang
tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan Keng
In juga kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara yang
dicintanya itu ternyata adalah puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong
mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian tubuhnya
mencelat dekat, tangannya bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah
cepat.
"Brettt-brett-brettt...!"
Milana
menjerit kaget melihat tubuhnya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali
karena tiga kali renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat
seluruh pakaiannya, luar dan dalam, terobek dan tanggal semua.
"Suhu...!"
Cui-beng
Koai-ong melemparkan pakaian itu ke atas tanah. "Perkosa dia! Hayo kau
perkosa puteri Pendekar Siluman ini!" katanya kepada Keng In.
Keng In
membuka jubah luarnya dan menubruk gadis telanjang bulat yang matanya
terbelalak lebar dan mukanya pucat, yang dengan sia-sia mencoba menggunakan
tangan untuk menutupi tubuhnya, menutupkan jubah itu menyelimuti tubuh Milana.
Dengan cepat gadis itu menggunakan jubah menutupi tubuhnya dan memandang kepada
kakek itu dengan sinar mata penuh kebencian akan tetapi juga kengerian.
"Keng
In, perkosa dia!" Kembali Cui-beng Koai-ong berkata. "Kalau tidak,
aku yang akan melakukannya!"
"Suhu,
jangan, Suhu. Aku ingin mendapatkan dia dengan suka rela karena aku cinta
padanya."
"Aku
tidak peduli kau cinta atau tidak. Saat ini aku ingin melihat engkau memperkosa
seorang perempuan, dan kau harus melakukan hal itu!"
"Suhu,
tunggu...! Ada orang...!" Wan Keng In berseru dan meloncat ke depan.
Benar saja
tampak bayangan berkelebatan dan muncullah lima orang yang gerakannya gesit dan
bersikap gagah. Empat orang laki-laki setengah tua yang bersenjata pedang dan
seorang wanita berusia tiga puluhan tahun, juga gagah sikapnya, bersenjata
sebatang cambuk.
"Cepat
bebaskan Nona itu!" Wanita itu sudah membentak dan cambuknya bergerak
mengeluarkan suara meledak-ledak. Juga empat orang laki-laki itu sudah
menerjang maju, disambut oleh Keng In yang sudah mengeluarkan pedangnya. Begitu
pemuda ini mengelebatkan pedangnya, tampak sinar berkilat dan sinar ini
menyambar ke arah empat orang penyerangnya.
"Cringgg
trak-trak-trak-trak!"
Empat batang
pedang di tangan empat orang laki-laki gagah itu patah semua ketika bertemu
dengan Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, bahkan disusul robohnya tubuh mereka
yang hampir putus menjadi dua potong. Mereka roboh dan tak bergerak lagi, mandi
darah mereka sendiri.
Milana
tadinya hendak bergerak membantu para penolongnya, akan tetapi terpaksa
mengurungkan niatnya karena teringat akan tubuhnya yang telanjang bulat dan
hanya terselimut jubah luar. Kalau dia bergerak, tentu jubahnya terbuka! Apa
lagi melihat betapa dalam segebrakan saja Keng In telah membunuh empat orang
itu, harapannya lenyap kembali.
Wanita
bercambuk itu menjadi kaget dan marah. Cambuknya menyambar ke arah Wan Keng In
yang sambil tersenyum telah menyarungkan Lam-mo-kiam kembali. Cambuk menyambar
dan mengenai leher Keng In, melibat leher dan wanita itu menarik. Namun, tubuh
Keng In sama sekali tidak bergoyang, bahkan sekali Keng In menarik leher ke
belakang, tubuh wanita itu terhuyung ke depan, tertangkap oleh pelukan kedua
lengan Keng In. Wanita itu hendak meronta, akan tetapi cambuknya sudah mengikat
kedua tangannya sehingga tidak dapat berkutik.
"Apakah
Suhu masih tetap ingin melihat aku memperkosa perempuan?" Keng In yang
sengaja tidak membunuh wanita ini karena ingin menolong Milana, menoleh kepada
gurunya.
"Hem,
hayo cepat!" gurunya yang gila itu berkata.
Keng In
menotok wanita itu sehingga menjadi lemas, kemudian dia menanggalkan seluruh
pakaian wanita itu satu demi satu, melempar-lemparkan pakaian itu kepada Milana
sambil berkata, "Milana, kau pakailah pakaiannya, pakaianmu sudah robek
semua."
Milana tidak
mengerti apa yang akan terjadi, akan tetapi melihat pakaian itu
dilempar-lemparkan kepadanya, ia lalu memakainya. Untung bahwa bentuk tubuh
wanita itu hanya sedikit lebih besar dari tubuhnya, maka pakaian itu, dari
pakaian dalam sampai pakaian luar, dapat dipakainya dengan baik. Akan tetapi,
betapa kaget dan ngeri hati Milana ketika melihat Keng In mulai menanggalkan
pakaiannya sendiri kemudian menubruk wanita tawanan yang sudah menggeletak di
atas rumput tanpa pakaian itu.
"Kau...!"
Milana marah bukan main, lupa diri dan bergerak menyerang Keng In.
Tetapi,
dengan tangan kirinya Keng In menyambar cambuk wanita tadi, menggerakkan cambuk
itu sehingga ujungnya menotok pundak Milana yang terguling roboh dan tidak
mampu bergerak lagi. Gadis ini mula-mula terbelalak memandang penglihatan yang
terjadi hanya dua meter di depan matanya, kemudian dia memejamkan matanya dan
seluruh tubuhnya menggigil. Hatinya penuh dengan kebencian dan dia berjanji
untuk membunuh Wan Keng In dan gurunya itu karena dia menganggap mereka itu
bukan manusia, kejam melebihi binatang buas, bahkan iblis sendiri belum tentu
seganas dan sejahat mereka!
Biar pun dia
telah memejamkan matanya, namun Milana tetap saja mendengar rintihan wanita
itu. Betapa heran dirinya setelah beberapa lama, terdengar wanita itu berkata
diseling isak, "Aku... aku akan membantumu... aku bersedia menjadi
pembantumu yang setia... asal jangan bunuh aku... ampunkanlah aku..., aku telah
berani menentang seorang gagah seperti engkau..."
Ucapan itu
terhenti, terdengar suara "prakkk!" dan keadaan lalu menjadi sunyi.
Tidak terdengar apa-apa lagi. Setelah agak lama, baru Milana merasa pundaknya
disentuh dan dia terbebas dari totokan. Dibukanya matanya dan dia terbelalak.
Sinar matahari pagi menimpa tubuh yang telanjang bulat, tubuh yang berkulit
putih bersih, akan tetapi kini kulit yang putih kuning itu telah berlepotan
darah, di antaranya darah yang masih menetes keluar dari kepalanya yang pecah!
"Ihhh...!"
Milana menutupi mata dengan kedua tangannya.
Wan Keng In
yang sudah berpakaian lagi itu merangkulnya dan berbisik, "Terpaksa
kulakukan untuk memuaskan hati Suhu, dan sebagai penggantimu..."
Biar pun
masih nanar, Milana maklum apa artinya semua itu, dan kejijikan terhadap Keng
In makin menghebat. Direnggutnya secara kasar tubuhnya dari rangkulan Keng In.
Tiba-tiba
Wan Keng In meloncat ke atas batu besar di puncak itu, memandang ke arah
sekeliling. Kemudian dia melayang turun lagi, berkata kepada suhu-nya yang
masih duduk di atas batu, "Suhu, kurang lebih lima puluh orang telah
mengurung puncak ini, agaknya teman-teman lima orang itu. Bagaimana baiknya?
Apakah teecu amuk dan bunuh saja mereka?"
"Mana
anak buah kita?" Kakek itu berkata tak acuh.
"Belum
ada yang muncul, Suhu."
"Hemmm...,
panggil mereka. Suruh mereka basmi anjing-anjing itu!"
Keng In lalu
membuat api unggun, terus ditambahi dahan dan daun kering sehingga bernyala
besar sekali. Kemudian dia menggunakan tenaga khikang untuk meniup dan setiap
kali tiup, segumpal asap hitam bergulung-gulung ke angkasa. Beberapa kali dia
lakukan hal ini dalam jarak-jarak waktu tertentu. Milana hanya memandang dengan
heran. Hatinya tegang. Benarkah ada lima puluh orang mengurung tempat ini?
Siapakah mereka? Dan siapa pula lima orang yang berusaha menolongnya akan
tetapi tewas semua ini?
"Ibuuuuuuu...!"
Tiba-tiba Milana berteriak sambil mengerahkan khikang-nya. Suaranya melengking
tinggi dan bergema di seluruh lereng gunung.
"Milana,
jangan...!" Keng In meloncat dengan sigapnya, mengejar gadis yang berusaha
melarikan diri itu dan seperti ketika pertama kali dia menculik Milana, gadis
itu dikempit pinggangnya dan dipanggulnya setelah ditotok lemas.
Milana
meronta-ronta tanpa hasil. Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, akan
tetapi suara itu mengecewakan hati Milana karena bukan lengking suara ibunya,
bukan pula suara ayahnya yang sudah dikenalnya. Dan ternyata memang bukan
karena Keng In segera mengeluarkan teriakan yang sama sebagai jawaban. Tak lama
kemudian Milana mendengar suara hiruk-pikuk orang bertanding di sekeliling
puncak.
"Suhu,
anak buah kita sudah mulai berpesta membunuhi mereka," Keng In berkata dan
gurunya hanya mendengus.
"Tahukah
engkau, Milana? Anak buah kita, para penghuni Pulau Neraka, telah datang.
Sebentar lagi orang-orang yang mengurung kita tentu akan terbasmi dan kita akan
melanjutkan perjalanan ke Pulau Neraka. Jangan mencoba untuk lari lagi, Manis.
Kau tahu hal itu percuma, dan pula, bukankah aku sudah bersikap baik terhadapmu?
Aku cinta padamu. Milana, berilah ciuman..." Keng In mendekatkan mulutnya,
akan tetapi Milana berkata dengan suara mendesis saking marahnya.
"Aku
berjanji takkan melarikan diri, berjanji akan menyerah. Akan tetapi kalau kau
berani menciumku, berani menjamahku, biar pun aku tidak dapat melawanmu, aku
akan membunuh diri!"
Mulut Keng
In yang sudah hampir menyentuh pipi Milana itu ditarik ke belakang.
"Aihhh...
jangan, Manis. Kalau kau bunuh diri, habis aku bagaimana...?" Ucapannya
terdengar tolol dan kekanak-kanakan, atau seperti ucapan orang yang tidak waras
otaknya.
"Kalau
begitu, lepaskan aku. Aku takkan lari."
Keng In
cepat menurunkan tubuh Milana dan membebaskan totokannya. Mereka bertiga duduk
di situ menanti sampai suara hiruk-pikuk dari senjata beradu dan teriakan
kematian diseling sorak kemenangan itu makin berkurang, akhirnya berhenti. Tak
lama kemudian tampak bermunculan tiga puluh lebih orang-orang Pulau Neraka yang
mukanya berwarna-warni, ada yang merah, biru, hijau, merah muda dan hijau
pupus. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan Keng In dan Cui-beng
Koai-ong.
"Mohon
ampun atas kelambatan kami, Siauw-tocu."
"Tidak
mengapa," kata Keng In kepada seorang kakek berkepala gundul bermuka merah
muda yang memimpin rombongan orang Pulau Neraka itu. "Kong To Tek, siapa
para pengepung tadi dan bagaimana keadaan mereka sekarang?"
"Mereka
adalah orang-orang kang-ouw yang bergabung dengan pengawal-pengawal yang
dipimpin oleh seorang panglima pengawal. Kami telah menyerbu dan menurut
penglihatan kami, mereka yang jumlahnya lima puluh dua orang telah mati semua,
Siauw-tocu. Kami menanti perintah selanjutnya."
"Bagus!
Sediakan sebuah perahu, kami hendak kembali ke Pulau Neraka."
Orang-orang
yang berlutut itu mengangkat muka dan kelihatan terkejut dan tidak
menyangka-nyangka. "Dan kami..., Siauw-tocu?"
"Kalian
juga. Kita bangun kembali pulau kita, aku yang akan memimpin bersama calon
isteriku ini, dibantu oleh Suhu."
Orang-orang
itu bersorak girang. "Perahu sudah siap di pantai dekat goa Naga Hitam,
Siauw-tocu."
Sebentar
saja mereka sudah menuntun datang beberapa ekor kuda, yaitu tunggangan para
penyerbu yang telah tewas semua itu. Para pengurung puncak itu memang benar
rombongan pengawal dari kota raja yang dipimpin oleh seorang panglima.
Rombongan ini berhasil mengikuti jejak Wan Keng In dan di sepanjang jalan
mereka minta bantuan orang-orang kang-ouw, termasuk empat orang dan seorang wanita
yang telah lebih dulu menjadi korban keganasan Wan Keng In itu.
"Apakah
Suhu juga hendak menunggang kuda?" Wan Keng In bertanya ragu kepada
suhu-nya. Biar pun kakek itu gurunya, namun dia sama sekali tidak mengenal
betul keadaan kakek itu, yang gerak-geriknya penuh rahasia dan tidak pernah mau
bercerita tentang dirinya sendiri.
Cui-beng
Koai-ong mendengus, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya yang kaku itu telah
lenyap. "Suhu telah pergi lebih dulu ke Pulau Neraka. Hanya kalian kawal
kami berdua. Semua orang harus tunduk dan hormat kepada Puteri Milana ini, dia
adalah calon isteriku. Siapa yang membuat hatinya tidak senang akan
kubunuh!"
Semua orang
itu adalah tokoh-tokoh Pulau Neraka dan sebagian di antara mereka sudah
mengenal Milana, bahkan sudah pernah bentrok dengan gadis ini ketika Milana
memimpin orang-orang Thian-liong-pang. Mereka tahu bahwa Milana adalah puteri
Ketua Thian-liong-pang, maka mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan
perkasa itu akan menjadi isteri majikan mereka, hati mereka menjadi
terheran-heran, akan tetapi juga girang.
Berangkatlah
Keng In dengan rombongannya. Milana yang tidak mempunyai harapan untuk dapat
lolos lagi itu, kini menurut saja. Yang penting baginya sekarang adalah
mencegah Keng In memaksanya sebagai isterinya, dan tentang meloloskan diri,
akan diatur sebaiknya kalau sudah ada kesempatan terbuka.
Tiada
halangan terjadi yang menghalangi rombongan ini sampai mereka menggunakan
perahu melanjutkan perjalanan dan tiba di Pulau Neraka. Milana merasa ngeri
melihat keadaan pulau ini. Sebuah pulau liar penuh dengan binatang buas yang
beracun, dan biar pun sudah pernah diserbu dan dibakar oleh pasukan pemerintah
yang amat kuat, kini tidak kehilangan keangkerannya.
Dia tidak
banyak memperlihatkan perlawanan, bahkan membantu ketika Keng In dan anak
buahnya membangun kembali bangunan yang telah terbakar. Bahkan dia bersikap
baik terhadap Cui-beng Koai-ong yang sudah lebih dulu berada di pulau itu.
Dengan perantaraan Keng In, gadis ini malah mulai mempelajari ilmu-ilmu aneh
dan mukjizat dari Cui-beng Koai-ong!
"Aku
hanya bersedia menjadi isterimu dengan satu syarat, yaitu ayah bundaku harus
menyetujuinya. Sebelum itu, biar kau paksa sekali pun, aku tidak akan menurut
dan kalau kau menggunakan paksaan, aku akan membunuh diri lalu rohku akan
selalu mengejarmu untuk membalas dendam."
Ucapan yang
dikeluarkan Milana dengan sungguh-sungguh ini membuat Wan Keng In maklum bahwa
dia harus memenuhi permintaan itu sebelum dia dapat menundukkan dara itu agar
secara suka rela menjadi isterinya. Dia merasa tersiksa sekali karena harus menahan
nafsunya yang kadang-kadang membakar dirinya. Dia terlalu mencinta Milana dan
ingin hidup selamanya di samping wanita ini, maka betapa pun sukarnya, dia akan
mengusahakan agar orang tua dara itu menyatakan persetujuannya, kalau perlu
dengan kekerasan dan untuk ini dia mengandalkan bantuan gurunya.
Mulailah
sebuah kehidupan baru bagi Milana, di atas Pulau Neraka yang sedang dibangun
oleh Keng In, di mana dia dikenal sebagai calon isteri Siauw-tocu, dan di mana
dia harus mempergunakan seluruh kecerdikannya untuk menyelamatkan diri dari
gangguan Keng In tanpa menimbulkan kecurigaan pemuda luar biasa itu.
***************
Andai kata
tidak ada Kwi Hong yang menjadi petunjuk jalan, biar pun Im-kan Seng-jin Bhong
Ji Kun, Thian Tok Lama dan beberapa orang panglima pembantunya pernah melawat
ke Pulau Es, namun agaknya perahu mereka itu takkan pernah dapat sampai ke
Pulau Es. Berkat petunjuk Kwi Hong, biar pun makan waktu sampai dua pekan,
akhirnya sampai juga perahu besar itu dan mendarat di Pulau Es. Kwi Hong
melompat ke darat lebih dahulu. Hatinya terharu sekali menyaksikan pulau di
mana dia tinggal sejak kecil yang kini keadaannya sudah banyak rusak, istana
pulau yang dari jauh sudah kelihatan runtuh bekas terbakar.
Teringat ia
akan pemuda Thung Ki Lok yang mencintanya dan tewas oleh pengkhianat Kwee Sui,
teringat akan para paman pembantu Pendekar Super Sakti yang tewas dalam
pertempuran ketika pasukan pemerintah menyerbu. Hatinya menjadi terharu sekali,
akan tetapi tidak ada setitik pun air mata tumpah. Hati dara ini telah mengeras
karena gemblengan-gemblengan pengalamannya.
Para tokoh
yang membantu Bhong Ji Kun mengikuti bekas Koksu itu meloncat turun pula.
Mereka itu adalah Thian Tok Lama yang mengiringkan Pangeran Yauw Ki Ong yang
digandeng oleh dua orang selirnya, yaitu bekas-bekas pelayan yang masih bisa
melarikan diri bersamanya, disusul oleh Liong Khek, tokoh kurus muka pucat yang
tidak ketinggalan membawa senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang gagang
pancing lengkap dengan tali dan mata kailnya, Gozan jagoan Mongol yang bertubuh
tinggi besar bagaikan raksasa, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut bertangan panjang
yang bersenjata sepasang golok, dan seorang yang tinggi besar bersenjata tombak
panjang.
Orang ini
sikapnya kereng, gerak-geriknya gesit dan dihormat oleh pembantu lainnya. Dia
adalah seorang ahli tombak dari selatan, berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti)
bernama Ciat Leng Souw. Memang ilmu tombaknya hebat bukan main, juga tenaga
sinkang-nya amat kuat sehingga di dalam rombongan itu, kiranya hanya Bhong Ji
Kun dan Thian Tok Lama saja yang akan mampu menandingi tombaknya yang lihai!
Pantas kalau dia dihormat oleh para pembantu bekas Koksu itu.
Selain para
jagoan ini, juga ada beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi, dan
beberapa orang pelayan biasa, tukang kuda yang bertugas sebagai tukang perahu
dalam pelayaran itu. Mereka berbondong turun dan kasihan sekali para pelayan
yang tidak memiliki kepandaian tinggi karena begitu mendarat di Pulau Es,
mereka sudah menderita kedinginan!
Rombongan Pangeran
Yauw Ki Ong yang dikawal Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ini bersama Kwi Hong
jumlahnya masih ada dua puluh orang. Segera atas perintah Bhong Ji Kun, mereka
mulai membetulkan bekas istana Pulau Es yang telah terbakar itu. Karena istana
itu memang besar dan jumlah mereka tidak begitu banyak, maka tempat itu cukup
untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Sebuah api unggun yang besar terpaksa
harus dinyalakan terus di dalam istana itu melawan hawa dingin.
Ketika Kwi
Hong yang telah rindu kepada pulau ini mengadakan peninjauan seorang diri,
kesempatan ini dipergunakan oleh Bhong Ji Kun untuk mengajak Pangeran Yauw dan
para kaki tangannya untuk berunding. Mereka tadinya membujuk Kwi Hong selain
untuk menarik Pendekar Super Sakti di pihak mereka, juga untuk memanfaatkan
tenaga gadis itu. Sekarang, setelah Kwi Hong berhasil mengantar mereka ke Pulau
Es, mereka harus cepat mengambil keputusan menundukkan gadis itu sebelum gadis
berwatak keras dan aneh sukar ditundukkan itu berubah pikiran dan memberontak.
Tetapi
diam-diam Bhong Ji Kun dan dibantu oleh Thian Tok Lama dan Sin-jio Ciat Leng
Souw melakukan penyelidikan di sekitar pulau sambil mencari-cari pusaka-pusaka
Pulau Es itu. Namun usaha mereka tidak ada hasilnya, maka pada keesokan
harinya, Bhong Ji Kun mengundang Kwi Hong untuk mengadakan perundingan. Mereka
semua berkumpul di dalam ruangan istana, tentu saja para pelayan dan dua orang
selir Pangeran Yauw yang tidak ikut.
Kwi Hong
masih belum lagi menyadari keadaannya sehingga dia tidak curiga ketika dipersilakan
duduk, di antara Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun, sedangkan Ciat Leng Souw
duduk di sebelah belakangnya, berhadapan dengan Pangeran Yauw dan para
panglima.
"Giam-lihiap,
kami berterima kasih sekali bahwa lihiap telah suka membawa kami untuk berlindung
di pulau ini. Terpaksa kita semua harus tinggal untuk sementara di sini selama
kekuatan pasukan kita belum tersusun. Kita harus mengadakan hubungan dengan
saudara-saudara di Mongol, Tibet, dan Nepal, juga mengadakan perhubungan baru
dengan kaum orang gagah di pedalaman yang mendendam sakit hati kepada Kaisar.
Karena itu, sambil menanti keadaan dan untuk menghilangkan rasa kesepian di
pulau yang dingin ini, kami harap saja Lihiap suka memperlihatkan setia kawan
dan suka mengeluarkan kitab-kitab pusaka Pulau Es agar kita dapat
mempelajarinya untuk menambah pengetahuan."
Ucapan Bhong
Ji Kun ini terdengar seperti guntur di siang hari oleh Kwi Hong. Sama sekali
tidak pernah disangkanya bahwa bekas Koksu ini akan mengeluarkan pernyataan
seperti itu, karena soal pusaka Pulau Es tadinya tidak pernah disinggung dalam
persekutuan dan kerja sama mereka.
"Apakah
yang kau maksudkan, Bhong-Koksu?" Biar pun sekarang bukan Koksu lagi,
namun Kwi Hong dan beberapa orang lain masih menyebut Koksu, hal ini adalah
karena memang dia dicalonkan sebagai Koksu juga kalau Pangeran Yauw Ki Ong
berhasil dengan pemberontakan itu dan merebut tahta kerajaan.
"Maksudku
sudah jelas, Nona." Suara Bhong Ji Kun terdengar halus namun dingin dan
penuh ejekan. "Ketika kami bertugas menyerbu pulau ini, kami tidak dapat
menemukan pusaka-pusaka yang tersimpan di Istana Pulau Es. Padahal Istana Pulau
Es dahulu adalah tempat tinggal Manusia Dewa Bu Kek Siansu yang terkenal. Maka
kami merasa yakin bahwa pusaka-pusaka itu tentulah disimpan dan disembunyikan,
dan Nona sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es,
tentu dapat mengetahui tempat penyimpanannya."
Bukan main
marahnya hati Kwi Hong. Mukanya menjadi merah sekali dan suaranya lantang
ketika dia menjawab, "Aku tidak mengerti mengapa engkau membawa-bawa
urusan pusaka ke dalam kerja sama kita ini, Bhong-koksu. Akan tetapi
sesungguhnya aku tidak tahu akan pusaka yang disimpan. Semua pusaka dan benda
berharga Pulau Es telah dibagi-bagikan oleh paman kepada para anggota sebelum
dibubarkan, dan kalau kau maksudkan kitab-kitab, semua itu hanya paman yang
mengetahui dan menyimpannya."
"Mustahii
Giam-lihiap sebagai muridnya tidak tahu di mana disembunyikannya kitab-kitab
itu? Pinceng (Saya) rasa lebih baik Lihiap memperlihatkan kepada Bhong-koksu
sehingga terbuktilah bahwa Lihiap memang benar-benar ingin bekerja sama dengan
kami," kata Thian Tok Lama mendesak.
"Aku
tidak tahu! Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Kalau tidak percaya, habis
kalian mau apa?" Kwi Hong sudah marah sekali dan kedua tangannya yang
berada di atas meja dikepal keras.
"Hemm,
Lihiap masih bersikap keras kepada kami. Padahal Lihiap adalah pembantu kami
dan sebagai pembantu harus taat kepada pimpinan. Perlukah kami harus mengambil
jalan kekerasan?"
"Brakkkk!"
Kwi Hong bangkit berdiri dan menggunakan tangannya menggebrak meja. Alisnya
diangkat ketika matanya dilebarkan, memandang dengan sinar berapi kepada Bhong
Ji Kun. "Boleh saja! Siapa takut akan jalan kekerasanmu?"
Pangeran
Yauw segera bangkit berdiri, ia mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Aih-aih... apa perlunya semua ini? Giam-lihiap, harap suka duduk kembali
dan harap suka bersabar. Bhong-koksu, tidak semestinya mendesak Lihiap. Kalau
Lihiap bilang tidak tahu tentu benar-benar tidak tahu. Giam-lihiap adalah
sahabat kita, bahkan aku telah menganggapnya sebagai pengawal yang paling
kupercaya. Di antara orang sendiri tidak semestinya terjadi keributan hanya
karena soal kecil saja."
Bhong-koksu
tersenyum lebar dan cepat dia berdiri dan menjura ke arah Kwi Hong sambil
berkata, "Ahhh, kami sudah terburu nafsu dan harap maafkan kami, Lihiap.
Agaknya kekalahan yang kami derita, kemudian keadaan yang penuh kesukaran di
sini membuat kami lupa diri. Tetapi, hendaknya Lihiap juga tidak selalu
memperlihatkan sikap keras. Sikap Lihiap tentu saja menimbulkan keraguan kami
dan hanya ada satu jalan yang kiranya akan membuat keraguan kami lenyap sama
sekali, dan bahkan mendatangkan keyakinan di dalam hati kami akan
kesetia-kawanan Lihiap terhadap persekutuan kami."
Kwi Hong
mengira bahwa tentu Koksu itu tetap akan minta pusaka Pulau Es, dan kini dengan
jalan halus dan bujukan, maka dengan kemarahan ditahan dia bertanya, "Satu
jalan apakah yang kau maksudkan?"
Koksu
melirik ke arah Pangeran Yauw Ki Ong yang tersenyum dan mengangguk-angguk,
kemudian berkata, "Pangeran telah membuka rahasia hatinya kepadaku.
Semenjak beliau bertemu dengan Lihiap, beliau telah tertarik dan jatuh cinta
kepada Lihiap. Maka Pangeran berkenan mengambil Lihiap sebagai selir, dan tentu
saja kelak kalau perjuangan kita sudah berhasil, Lihiap akan diperisteri secara
resmi dan besar kemungkinan Lihiap kelak akan menjadi permaisuri."
Wajah Kwi
Hong menjadi pucat seketika, kemudian berubah merah. Maklumlah dia bahwa
orang-orang yang disangkanya sahabat ini ternyata adalah orang-orang yang
memiliki niat jahat terhadap dirinya, dan ternyata selama ini dia dikelilingi
oleh musuh! Teringatlah dia akan arak suguhan Pangeran Yauw dan tentang surat peringatan
yang dikirim secara aneh penuh rahasia oleh orang tak dikenal. Bukan main rasa
menyesalnya. Dia telah membantu orang-orang jahat ini! Bahkan dia telah membawa
mereka ke Pulau Es! Apakah yang telah dia lakukan?
Akan tetapi
dia masih menahan sabar dan bangkit berdiri sambil berkata, "Aku tidak
dapat menerima permintaan itu!"
Tentu saja
semua ini memang telah direncanakan oleh Bhong Ji Kun, Pangeran Yauw dan para
pembantunya. Sama sekali bukan maksud mereka untuk mengangkat dara itu menjadi
permaisuri. Maksud sesungguhnya adalah kalau sampai Kwi Hong dapat diperisteri
oleh Pangeran Yauw, otomatis Pendekar Super Sakti tentu kelak akan mau membantu
usaha pemberontakan mereka.
Sekarang
melihat sikap Kwi Hong yang dengan keras menolak, Bhong Ji Kun dan para
pembantunya meloncat mundur, Pangeran Yauw cepat menyelamatkan diri dan mundur
di belakang para jagoannya dan mereka membuat gerakan mengurung Kwi Hong yang
masih berdiri tegak dengan sikap gagah, tangan kiri bertolak pinggang, tangan
kanan dengan jari-jari terbuka siap di dekat gagang pedang Li-mo-kiam!
"Jika
begitu, jelas engkau tidak berniat baik, maka terpaksa kami harus menggunakan
kekerasan!" Bhong Ji Kun berkata sambil mencabut senjatanya, pecut kuda
berbulu merah dan sebatang golok besar.
Thian Tok
Lama juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat pendeta, sebuah senjata baru yang
kini selalu dipegangnya karena pendeta ini dalam pengalamannya maklum bahwa
kedua tangan kosongnya yang biasanya amat ampuh itu tidak cukup untuk
menghadapi seorang lawan tangguh seperti murid Pendekar Super Sakti ini.
Sin-jio Ciat Leng Souw Si Tombak Sakti sudah siap pula dengan tombak gagang
panjang dilintangkan di depan dada, demikian pula para tokoh pembantu Koksu
yang lain telah pula siap dengan senjata masing-masing mengurung Kwi Hong.
"Bhong-koksu,
harap jangan melukainya, apa lagi membunuhnya," berkata Pangeran Yauw
sebelum mengundurkan diri dari ruangan luas itu.
"Ha-ha,
jangan khawatir, Ong-ya. Akan hamba tangkap hidup-hidup untuk Paduka."
Kemarahan
hati Kwi Hong yang terdorong rasa penyesalan besar itu tidak dapat ditahannya
lagi. Sambil mengeluarkan seruan melengking tinggi nyaring, dara perkasa itu
sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan
dia telah menerjang Bhong Ji Kun yang amat dibencinya.
Kakek ini
cepat-cepat mengelak dan dia masih sempat berseru, "Ingat jangan bentur
senjatanya!"
Memang
sebelum terjadi pengeroyokan ini, Koksu telah mengatur terlebih dahulu siapa
yang akan menghadapi dara ini, dan mereka semua telah diperingatkan untuk tidak
mengadu senjata mereka dengan pedang Li-mo-kiam yang amat ampuh itu. Maka semua
serangan Kwi Hong hanya dielakkan oleh yang diserangnya, sedangkan teman lain
cepat turun tangan menerjang dara itu dari belakang sehingga yang diserang oleh
Kwi Hong selalu tertolong, sebaliknya dara itu sendiri yang menghadapi serangan
serentak dari belakang dan kanan kiri.
Terjadilah
pertandingan mati-matian bagi Kwi Hong karena para pengeroyoknya adalah
orang-orang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Yang mengepungnya berjumlah sepuluh
orang, dan sebagian besar dari mereka yang paling lihai semua memegang senjata
panjang. Bhong Ji Kun dengan cambuk merahnya, Thian Tok Lama dengan tongkat
pendetanya, Ciat Leng Souw dengan tombak panjangnya, Liong Khek dengan senjata
pancingnya, Thai-lek-gu dengan sepasang golok, dan empat panglima lain yang
bersenjata pedang. Hanya Gozan yang bertangan kosong, akan tetapi raksasa
Mongol ini tidak ikut menerjang maju, hanya siap untuk turun tangan kalau
keadaan mengijinkan untuk menangkap dara itu hidup-hidup seperti yang
dikehendaki Pangeran Yauw Ki Ong tadi.
Giam Kwi
Hong adalah murid Pendekar Super Sakti, dan dia bahkan telah digembleng oleh
Bu-tek Siauw-jin, tentu saja ilmu silatnya hebat. Apa lagi di tangannya ada Li-mo-kiam
yang ampuh, maka andai kata diadakan pertandingan satu lawan satu, kiranya
hanya Bhong Ji Kun seoranglah yang akan mampu mengatasinya, sedangkan Thian Tok
Lama dan Ciat Leng Souw kiranya akan menghadapi kesukaran hebat untuk dapat
mengalahkan dara perkasa ini.
Akan tetapi
kini dia dikepung ketat oleh sepuluh orang, dan mereka itu bersikap hati-hati,
tidak mau menangkis pedang Li-mo-kiam, melainkan selalu menyerang serentak dari
belakang kalau dia menyerang seorang di antara mereka. Senjata mereka panjang
dan ini masih ditambah oleh pukulan-pukulan sinkang jarak jauh yang dilontarkan
oleh Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama. Tentu saja Kwi Hong menjadi repot sekali,
bahkan beberapa kali dia terhuyung oleh angin pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang
yang dilakukan oleh Thian Tok Lama.
Pendeta
Tibet ini memang terkenal sekali dengan ilmu pukulannya ini, pukulan mukjizat
yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh. Tangan kanannya berubah menjadi
biru dan setiap kali dia melakukan pemukulan dengan dorongan telapak tangan,
dari perutnya terdengar bunyi kok-kok seperti ayam betina habis bertelur, dan
dari telapak tangannya menyambar uap hitam!
Yang amat
merepotkan Kwi Hong adalah ujung pecut merah Bhong Ji Kun yang
menyambar-nyambar dari atas, meledak-ledak dan mengancamnya dengan totokan-totokan
maut. Namun Kwi Hong tidak menjadi jeri dan sudah mengambil keputusan untuk
bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa. Karena dia maklum bahwa di antara
mereka semua, yang paling lihai adalah Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama, maka
kedua kakek inilah yang menjadi sasaran utama dari sinar pedangnya.
Dengan
gerakan yang amat cepat disertai bentakan nyaring, pedang Li-mo-kiam yang
berubah menjadi sinar kilat itu menyambar ke atas lalu meluncur ke arah
tenggorokan Thian Tok Lama yang cepat meloncat ke belakang. Tetapi sinar pedang
itu mengejar terus. Mata pendeta Tibet itu menjadi silau dan terpaksa dengan
kaget sekali dia menangkis dengan ujung tongkatnya. Sementara itu, Bhong Ji Kun
melihat temannya terancam bahaya, sudah menggerakkan cambuknya dan ujung pecut
ini menyambar ke arah jari-jari tangan kanan Kwi Hong yang menggenggam gagang
pedang. Hal ini sudah dijaga oleh Kwi Hong, maka tanpa menghentikan serangannya
kepada Thian Tok Lama, dia merubah kedudukan kaki sehingga tubuhnya membalik,
tangan kirinya menyambar dan menangkap ujung pecut itu sambil mengerahkan
tenaga menahan!
"Crokkk!"
Ujung
tongkat Thian Tok Lama terbabat patah sedikit dan sinar pedang Li-mo-kiam masih
terus menyambar tenggorokannya. Pendeta itu berteriak kaget, dengan terpaksa membuang
tubuhnya ke belakang dan bergulingan. Biar pun dia kaget setengah mati, dan
ujung tongkatnya patah, namun dia selamat.
Dengan
tangan kiri masih memegang ujung pecut, Giam Kwi Hong menggerakkan pedangnya
yang gagal mengenai Thian Tok Lama untuk menangkis datangnya senjata yang
bertubi-tubi. Semua senjata cepat ditarik kembali karena takut terbabat rusak,
akan tetapi tali pancing itu di tangan Liong Khek Si Muka Pucat telah melibat
pedang, sedangkan Ciat Leng Souw yang melihat pedang yang ditakuti itu
sementara tak dapat dipergunakan karena terlibat tali pancing, cepat
membabatkan tombaknya ke arah kedua kaki Kwi Hong!
Dara perkasa
itu terkejut sekali. Tangan kirinya masih memegang ujung cambuk Bhong Ji Kun
dan pedangnya tertahan oleh tali pancing, kini kedua kakinya terancam bahaya
diserampang oleh tombak. Maka dia lalu menggunakan tenaga pertahanan cambuk dan
tali pancing, menggenjot tubuhnya dan meloncat ke atas sehingga sambaran tombak
itu lewat di bawah kakinya. Tetapi pada saat itu, Gozan yang sejak tadi telah
siap menanti saat baik, menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu
dan besar itu telah merangkul tubuh Kwi Hong, meringkusnya dengan kekuatan
seekor gajah!
Sebelum Kwi
Hong yang kaget sekali dapat melawan, Koksu telah menotok pundak kirinya
sedangkan gagang tombak Ciat Leng Souw telah mengetuk lututnya. Tubuh dara itu
lemas dan dia tidak dapat bergerak lagi, tak dapat melawan ketika kaki
tangannya dibelenggu dan dia diseret dan dilempar ke dalam sebuah kamar di
istana itu, dipaksa rebah di atas pembaringan dan kaki tangannya dibelenggu
pada kaki pembaringan!
Pangeran
Yauw minta dengan sangat kepada Koksu agar Kwi Hong tidak diganggu, dan hal ini
pun dipenuhi oleh Koksu yang melarang para pembantunya mengganggu tawanan itu.
Dia masih menaruh harapan besar agar Kwi Hong dapat ditundukkan, karena hal ini
akan menguntungkan mereka. Sebaliknya, kalau terpaksa gagal, mereka tentu akan
dimusuhi oleh Pendekar Super Sakti dan hal ini tidak menguntungkan usaha
pemberontakan mereka. Karena inilah maka Koksu memerintahkan kepada para
pembantunya yang melakukan penjagaan untuk mengirim makan minum kepada tawanan
itu dan memperlakukannya baik-baik.
Akan tetapi,
Kwi Hong sama sekali tidak mau makan, bahkan setiap kali ada yang memasuki
kamar tahanan, dia memaki-maki dan berusaha meronta. Wajahnya menjadi pucat
setelah selama dua hari dua malam dia tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur
sama sekali. Mendengar laporan tentang dara itu, Pangeran Yauw menjadi khawatir
akan keselamatan Kwi Hong, maka dia mengambil keputusan untuk membujuk sendiri.
Demikianlah
pada hari ketiga, setelah menyuruh para penjaga menjauhkan diri agar tidak
menyaksikan pertemuan itu, Pangeran Yauw seorang diri lalu memasuki kamar
tempat Kwi Hong ditahan. Begitu masuk, pangeran itu mengeluh dan berlutut di
dekat pembaringan di mana Kwi Hong dibelenggu kaki tangannya.
"Ahhh,
betapa sakit hatiku melihat keadaanmu seperti ini, Nona. Mengapa engkau
berkeras kepala? Kalau tidak aku yang minta-minta kepada mereka, tentu engkau telah
dibunuh atau diperlakukan lebih mengerikan dari pada kematian. Aku yang minta
agar kau tidak diganggu dan dilayani sebaiknya, akan tetapi engkau tetap keras
hati."
"Cukup!
Mau apa engkau datang ke sini? Mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati? Mendengarkan
omonganmu yang beracun lebih mengerikan dari pada menghadapi maut!"
"Aihhhh,
Kwi Hong... kenapa engkau bersikap begini? Tidakkah engkau melihat bahwa semua
kesabaran itu, semua kerendahan ini kulakukan karena aku cinta padamu? Karena
aku tergila-gila kepadamu? Engkau menurutlah menjadi isteriku, kelak engkau
akan kuangkat menjadi permaisuri, dan...," suara Pangeran Yauw menurun
menjadi bisikan halus, "...sakit hatimu akan terbalas semua. Setelah aku
berhasil dengan perjuanganku, aku akan menghukum mampus Bhong-koksu dan semua
pembantunya yang telah menghinamu... kau mau bukan menjadi kekasihku, menjadi
permaisuriku, sayang?"
"Cuhhh...!"
Kwi Hong meludah dan tepat mengenai pipi kanan pangeran itu.
"Aduhhh...!"
Pangeran itu terjengkang dan meraba pipinya yang terasa nyeri seperti dihantam
benda keras. Matanya terbelalak penuh kemarahan, telunjuknya menuding ke arah
muka Kwi Hong. "Perempuan laknat! Berani engkau meludahi aku? Aku akan
menyiksamu untuk penghinaan ini! Akan kusuruh semua orang memperkosamu di depan
mataku, sampai engkau mampus...!"
Pangeran
Yauw tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba sebuah ledakan
terdengar dan sinar merah menyambar ke lehernya, tubuhnya terangkat ke atas dan
ternyata dia sudah tergantung di ujung cambuk yang dipegang oleh Koksu. Mata
pangeran itu mendelik, kaki tangannya bergerak-gerak.
"Hemm...
engkau hendak membunuh kami kelak, ya? Pengkhianat tak tahu malu, tak mengenal
budi!" Bhong Ji Kun melemparkan tubuh di ujung cambuk itu kepada Gozan
yang bersama yang lain ikut pula masuk, lalu berkata, "Lemparkan dia dalam
keadaan telanjang bulat ke luar!"
Pangeran
Yauw berteriak-teriak minta ampun dan melimpahkan janji-janji muluk, tetapi
Gozan mengangkatnya seperti seorang mengangkat anak kecil, membawanya keluar
dari istana. Pangeran itu meronta-ronta, meratap-ratap, namun tidak ada yang
suka atau berani menolongnya. Dengan renggutan-renggutan tangannya yang kuat,
Gozan menelanjangi pangeran itu hingga tak ada secarik kain pun yang melindungi
tubuhnya ketika tubuh itu dilempar ke atas salju yang dingin. Pangeran itu
berlutut, menyembah-nyembah minta ampun, akan tetapi setiap kali dia hendak
lari ke istana mencari tempat berlindung dari hawa dingin, dia ditendang ke
luar. Akhirnya suara ratapannya makin lemah, tak lama kemudian dia sudah rebah
meringkuk dengan tubuh beku kedinginan di atas tumpukan salju!
Dua orang
pelayan wanita yang tadinya menjadi selir pangeran dan selalu dipandang dengan
sinar mata penuh iri oleh anggota rombongan yang lain, kini menjadi rebutan di
antara para pembantu Bhong Ji Kun, kecuali Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw
yang telah tua. Satu-satunya nafsu keinginan mereka hanyalah mengejar kedudukan
dan kemuliaan. Lalu atas perintah Bhong Ji Kun, kedua orang pelayan muda itu
harus menyerahkan diri kepada Liong Khek Si Muka Pucat dan Gozan raksasa
Mongol!
Memang patut
dikasihani seorang manusia yang hidupnya dikuasai nafsu-nafsu keinginan seperti
Pangeran Yauw Ki Ong. Dia sebagai seorang makhluk manusia dengan penghidupannya
sama sekali tidak ada artinya, tidak penting lagi karena yang terpenting
hanyalah pengejaran segala keinginannya itulah. Ketika tergila-gila kepada Kwi
Hong, agaknya pangeran yang entah sudah berapa ratus kali berganti selir-selir
baru itu, bersedia untuk bersumpah bahwa dia mencinta Kwi Hong. Akan tetapi
kenyataannya, begitu Kwi Hong menolak cintanya, perasaannya yang disebut cinta
itu berubahlah menjadi benci yang hebat! Cinta macam itu sungguh tidak ada
harganya!
Cinta yang
begitu mudah merubah diri menjadi benci, hanyalah nafsu birahi, yang nilainya
sama rendah dengan benci. Namun, betapa banyaknya orang yang masih belum sadar
akan hal ini, menganggap dengan penuh keyakinan bahwa perasaan seperti itu
adalah cinta! Bahkan cinta suci katanya! Ada yang kalau cintanya ditolak
berubah benci. Ada pula yang cintanya ditolak lalu membunuh diri. Ini lebih
gila lagi, karena apa yang di sebutnya hanya sama nilainya dengan kegilaan,
karena hanya orang yang tidak waras otaknya sajalah yang akan melakukan bunuh
diri! Bagi mereka yang masih belum sadar ini, cinta mereka sama dengan benci,
atau cinta mereka sama dengan gila!
Pangeran
Yauw Ki Ong selama hidupnya juga didorong untuk selalu memperoleh yang
diinginkan. Dia tidak tahu bahwa nafsu memperoleh ini ujungnya adalah
kebosanan. Nafsu memperoleh ini pada awalnya menimbulkan gairah, namun pada
akhirnya, setelah yang diinginkannya itu diperoleh, berubahlah gairah menjadi
kebosanan, dan timbullah pula nafsu memperoleh hal atau benda lain lagi. Dengan
demikian ia terseret dalam lingkungan setan yang tiada berkeputusan, hidupnya
seperti makhluk penasaran yang selalu mengejar-ngejar nafsu yang dibuatnya
sendiri. Tidak menyedihkankah hidup seperti itu, menjadi boneka permainan nafsu
keinginan?
Bhong Ji Kun
tak hanya marah kepada Pangeran Yauw Ki Ong yang mengkhianatinya, akan tetapi
juga dia marah kepada Kwi Hong yang terang-terangan sampai mati pun tidak akan
suka menuruti kehendaknya, yaitu menyerahkan pusaka Istana Pulau Es. Kekecewaan
hatinya menimbulkan kemarahan yang membuat dia makin kejam dan ganas,
merencanakan hukuman dan siksaan yang dianggapnya paling keji dan hebat bagi
Kwi Hong.
"Engkau
tetap keras kepala, ya? Baiklah ingin kulihat apakah engkau cukup keras untuk
tidak minta ampun seperti Pangeran Yauw, Si Keparat tadi! Dua orang selirnya
masih jauh lebih terhormat nasibnya dari pada perempuan keras kepala macam
engkau! Setidaknya mereka menjadi milik pribadi dua orang pembantuku yang
berkedudukan tinggi! Akan tetapi engkau! Hemmm, biar pun engkau seorang yang
masih perawan, akan tetapi engkau akan kuserahkan kepada para bujang, tukang
kuda dan pelayan. Engkau akan menjadi milik mereka secara bergiliran! Dan siapa
yang dapat membuat engkau mengeluh dan menangis akan kuberi hadiah! Ha-ha-ha,
ingin sekali aku mendengar teriakanmu seperti yang dilakukan pangeran gila
tadi!"
Para bujang
yang jumlahnya ada delapan orang itu tentu saja menyeringai gembira, biar pun
hati mereka merasa agak gentar juga. Mereka adalah orang-orang yang tidak
memiliki ilmu kepandaian tinggi, tetapi menghambakan diri kepada seorang
majikan macam Bhong Ji Kun, tentu saja membuat watak mereka pun tak dapat
dikatakan baik. Setelah mendengar keputusan Koksu yang menghadiahkan gadis
tawanan itu kepada mereka, dimulai malam nanti, beramai-ramai delapan orang itu
sibuk menjadikan Kwi Hong semacam hadiah undian untuk menarik giliran
masing-masing!
Kwi Hong
yang masih rebah telentang di atas pembaringan, tak dapat melakukan sesuatu
ketika Bhong Ji Kun menotok dua jalan darah di punggungnya yang membuat kaki
dan tangannya lemas dan setengah lumpuh. Iia dapat bergerak, tetapi tak mampu
mengerahkan tenaga sinkang-nya. Setelah ikatan kaki dan tangannya dilepaskan,
dia segera meloncat. Akan tetapi dia terbanting roboh lagi di atas pembaringan
karena selain kedua kaki dan tangannya lemas juga tubuhnya lemah akibat kurang
makan, kurang minum, dan kurang tidur. Bhong Ji Kun tertawa bergelak lalu
meninggalkan kamar tahanan itu.
Kwi Hong
rebah miring. Dia maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Maklum bahwa
mengandalkan tenaganya, tidak mungkin dia menghindarkan diri dari mala petaka.
Tanpa dapat menggerakkan kaki tangan secara leluasa, tanpa dapat mengerahkan
sinkang, apa dayanya. Kehormatannya terancam dan dia tidak mampu mempertahankan
kehormatannya dengan ilmu silat dan tenaga. Akan habiskah dia? Tidak adakah
harapan lagi baginya? Dan pada saat itu, terbayanglah wajah Gak Bun Beng.
Tidak terasa
lagi dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Dia mencinta Bun Beng, dan
biar pun hanya menjadi rahasia hatinya sendiri, sering kali dia bermimpi
berjumpa dengan pemuda itu yang dalam mimpinya juga mencintanya. Beberapa kali
dia mimpi bercumbu dengan pemuda itu, bahkan mimpi menjadi isteri pemuda itu.
Betapa bahagianya! Akan tetapi semua itu hanya mimpi, dan sekarang dia berada
di tepi jurang kehancuran, terancam mala petaka yang lebih mengerikan dari pada
maut sendiri, dikorbankan oleh Bhong Ji Kun untuk diperkosa secara bergiliran
oleh para bujang tanpa dia dapat mempertahankan diri sama sekali.
"Bun
Beng... ahhh, Bun Beng..., di manakah engkau...?" Kwi Hong mengeluh dan
air matanya bercucuran.
Apakah dia
harus minta ampun kepada Bhong Ji Kun? Akan tetapi tidak mungkin. Hal itu hanya
akan menimbulkan bahan penghinaan dari para musuhnya itu, karena dia
benar-benar tidak tahu di mana pamannya menyimpan kitab-kitab pusaka Istana
Pulau Es. Andai kata dia tahu sekali pun, dia tidak percaya bahwa dengan
memberikan kitab-kitab itu dia akan terbebas dari kematian.
Orang-orang
seperti Bhong Ji Kun dan kaki tangannya sama sekali tak mungkin dapat dipercaya
dan mereka itu baru bersikap baik kalau mempunyai maksud tertentu demi
keuntungan mereka sendiri. Buktinya telah ada, Pangeran Yauw sudah merencanakan
pembunuhan mereka, dan begitu hal ini diketahui Bhong Ji Kun, dengan kejam
pangeran itu dibunuh tanpa ampun lagi. Dia, sebagai murid dan keponakan Pendekar
Super Sakti, musuh besar mereka, mana mungkin bisa mendapatkan ampun? Betapa
bodohnya dia! Mudah saja ditipu oleh Bhong Ji Kun!
Malam tiba.
Hal ini diketahui Kwi Hong dari lenyapnya sinar matahari yang makin menyuram
melalui lubang angin di bawah genting kamar tahanan dan terganti sinar
penerangan dari ruangan samping. Cuaca menjadi remang-remang dan jantung Kwi
Hong berdebar. Bahaya telah mulai datang mendekat dan dia mencari akal
bagaimana untuk dapat mempertahankan diri.
Yang akan
muncul tentulah seorang di antara pelayan yang sebagian besar sudah tua dan
lemah. Biar pun dia tidak dapat mengerahkan sinkang, dan tubuhnya lemas, akan
tetapi dia masih menguasai ilmu silat. Dia akan menggunakan sedikit tenaga yang
ada untuk merobohkan, kalau bisa membunuh setiap laki-laki yang berani
menjamahnya! Dia tahu caranya. Dengan tendangan perlahan mengenai alat
kelaminnya, dengan tusukan jari tangan mengenai matanya, dua serangan ini saja,
betapa pun lemahnya, cukup membuat pengganggunya tak berdaya.
Timbul lagi
harapannya untuk lolos dari ancaman bahaya ini. Untung bahwa kebencian Bhong Ji
Kun kepadanya amat besar sehingga saking inginnya menghinanya sampai
serendah-rendahnya, dia tidak diberikan kepada para pembantunya yang memiliki
kepandaian tinggi, melainkan kepada para bujang untuk diperkosa secara
bergilir. Kalau dia diberikan kepada seorang seperti Thai-lek-gu atau Gozan,
tentu akan habis harapannya, karena dalam keadaannya seperti ini takkan mungkin
dia melawan seorang di antara mereka. Dia bergidik! Membayangkan betapa dia
dipermainkan seorang laki-laki seperti Gozan, raksasa Mongol yang tubuhnya
berbulu-bulu sampai ke jari tangan dan lehernya itu!
"Gerriiittt...!"
Pintu kamar tahanan terbuka dari luar, bayangan seorang laki-laki agak bongkok
memasuki kamar, membalik dan menutupkan kembali daun pintu.
Dengan
gerakan otomatis Kwi Hong meloncat dari keadaan berbaring. Dia lupa diri, maka
loncatan itu membuat tubuhnya terbanting kembali ke atas pembaringan. Dia
menahan keluhan, terpaksa bangkit duduk di atas pembaringan dengan mata
terbelalak memandang laki-laki itu yang sekarang sudah membalikkan tubuh lagi
menghadapinya sambil menyeringai.
Seorang
laki-laki yang bertubuh tinggi besar akan tetapi agak bongkok dan kurus,
mukanya penuh brewok yang sudah bercampur uban, usianya tentu kurang lebih enam
puluh tahun, pakaiannya tidak karuan dan sepasang matanya bergerak liar,
mulutnya menyeringai aneh, Si Gila! Kwi Hong pernah melihat seorang di antara
pengurus kuda yang keadaannya menyedihkan ini dan oleh teman-teman pelayan lain
dia disebut Si Gila. Aihh, benar-benar Bhong Ji Kun ingin merendahkannya sampai
yang paling hina sehingga untuk malam pertama itu dia diserahkan kepada pelayan
paling mengerikan dan menjijikkan!
"Heh-heh-heh-heh,
ini namanya hukum karma...!" Si Gila itu melangkah perlahan-lahan
menghampiri Kwi Hong, tangan kirinya memegang sebatang tabung bambu. Ketika
bicara, air ludahnya muncrat-muncrat.
Saking
jijiknya, Kwi Hong segera turun tangan. Dia turun dari pembaringan, menahan
napas mengumpulkan semua tenaga yang ada, kemudian melakukan serangan dengan
jari-jari tangan kiri menusuk ke arah mata Si Gila itu, disusul gerakan kaki
kanannya menendang ke bawah pusar. Biar pun serangannya itu tidak mengandung
tenaga sinkang, dan tidak lebih hanya mengandung tenaga seorang wanita yang
hampir kelaparan, namun kalau mengenai sasaran, mata dan anggota kelamin,
agaknya cukup membuat Si Gila itu terjungkal!
"Ehhh...?"
Si Gila berseru dan tubuhnya bergerak cepat di luar dugaan Kwi Hong.
Tusukan mata
dapat dielakkan, tendangan berhasil ditangkis, dan tubuh Kwi Hong didorong
kembali hingga jatuh ke atas pembaringan dalam keadaan telentang! Celaka,
pikirnya. Kiranya Si Gila ini bukanlah orang yang lemah. Bahkan
gerakan-gerakannya tadi jelas membayangkan gerakan silat yang cukup baik!
Habislah harapan Kwi Hong dan dia mulai ketakutan ketika Si Gila mencelat dan
duduk di pinggir pembaringan sambil terkekeh-kekeh.
"Hukum
karma atau bukan... heh-heh-heh... aku tidak rela engkau dipermainkan orang.
Lebih baik kau mati saja dari pada diperkosa mereka secara bergilir." Si
Gila itu lalu membuka tutup tabung bambu. "Bocah bodoh, kenapa engkau
tidak membunuh diri saja? Apa... apa engkau memang suka untuk diperkosa secara
bergilir oleh mereka?"
Kwi Hong
memandang dengan mata terbelalak. Orang ini bicaranya tidak karuan, jelas bahwa
otaknya miring, akan tetapi isi kata-katanya benar-benar membuat dia berdebar.
"Apa...
apa maksudmu...?"
"Biar
pun ibumu diperkosa, tetapi pemerkosanya bertanggung jawab dan memang mencinta
ibumu. Sedangkan mereka yang hendak memperkosamu secara bergiliran hanya ingin
mempermainkanmu, ingin memakaimu seperti orang memakai pakaian yang kalau sudah
butut dan rusak dicampakkan begitu saja dan tidak ditoleh lagi!"
"Apa...
apa maksudmu dengan Ibu...?"
"Heh-heh!
Ibumu masih perawan tulen ketika diperkosa, seperti engkau... heh-heh-heh, akan
tetapi pemerkosanya bertanggung jawab, ibumu dijadikan isterinya... dan engkau
terlahir. Biar pun ibumu diperkosa, aku tidak rela melihat engkau diperkosa
orang! Heh-heh-heh, biar pun aku memperkosa ibumu, tetapi aku cinta padanya...
dan aku yang membunuhnya... heh-heh, akan tetapi... aku tidak rela melihat
engkau diperkosa orang! Lebih baik kau mati!"
Si Gila itu
menggerakkan tabung bambu dan keluarlah seekor ular merah. Karena disentakkan
keluar, ular itu tiba di leher Kwi Hong, akan tetapi begitu dia menyentuh leher
Kwi Hong sambil dipandang oleh Si Gila yang terkekeh-kekeh, tiba-tiba ular itu
menyambar membalik dan menggigit lengan Si Gila.
"Auggghhhh...!"
Si Gila memekik dan roboh di atas lantai. "Kwi Hong... lebih baik kau mati
dari pada diperkosa... ahh..." Si Gila itu masih sempat berkata kemudian
tubuhnya berkelojotan dan ular merah ikut bergerak-gerak di lengannya.
Kwi Hong bangkit
berdiri, terbelalak dengan muka pucat memandang wajah Si Gila yang berkelojotan
itu. Kini teringatlah dia. "Ayaaahhhh...!" Ia menubruk.
Tentu saja!
Tentu saja orang ini ayahnya! Dan tentu ayahnya ini pula yang dahulu
memperingatkannya tentang arak beracun di taman yang disuguhkan Pangeran Yauw.
Ayahnya telah menjadi gila, atau berpura-pura gila? Bagaimana mungkin dia
mengenal ayahnya, yang ditinggal pergi bersama pamannya ketika dia masih kecil?
Apa lagi ayahnya yang dahulunya seorang perwira tinggi itu kini telah menjadi
tukang kuda yang gila dan pakaiannya tidak karuan. Bagaimana dia dapat
mengenalnya?
Betapa pun
juga, sampai saat terakhir ayahnya dengan cara gilanya masih berusaha
menyelamatkannya dari perkosaan dan penghinaan, yaitu dengan cara membunuhnya.
Tentu ayahnya tidak tahu bahwa di dalam tubuhnya telah mengalir obat penolak
ular merah sehingga begitu mencium kulit lehernya, ular itu menjadi takut dan
membalik menggigit Si Gila sendiri! Entah bagaimana ayahnya dapat menangkap
ular dalam tabung itu.
"Ayah...!"
Akan tetapi Kwi Hong maklum bahwa ayahnya telah mati.
Racun
gigitan ular merah memang amat hebat. Bagi yang lemah berakibat kematian, bagi
yang kuat sekali pun akan mendatangkan pengaruh mukjizat, ada yang menjadi
terangsang nafsu birahinya, ada pula yang menjadi gila!
Melihat
ayahnya, biar pun gila dan menjijikkan akan tetapi tetap ayah kandungnya,
menggeletak tak bernyawa lagi dan kini wajahnya yang tadi diselubungi kegilaan
tampak tenang dan makin jelas persamaannya dengan wajah ayahnya dahulu, Kwi
Hong menjadi marah. Dipegangnya ular itu, ditariknya terlepas dari lengan
ayahnya, dan akan dibantingnya. Akan tetapi dia teringat dan tiba-tiba wajahnya
berseri biar pun air matanya bercucuran ketika dia memandang ayahnya.
"Ayah,
beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Usaha pertolongan Ayah tidak sia-sia, anak
berterima kasih, Ayah."
Dia lalu
menggerakkan sisa tenaganya, menggurat-guratkan tubuh ular pada batu dinding
yang agak kasar sehingga kulit itu pecah terluka dan berdarah. Ular itu sama
sekali tidak berani melawan, dan setelah dilepaskan di atas lantai dekat mayat
Giam Cu, bekas perwira ayah Kwi Hong yang telah menjadi gila itu, ular
berkelojotan dan darah mengucur dari luka-lukanya. Kwi Hong maklum bahwa darah
ular merah yang keluar dari seekor ular merah yang masih hidup mempunyai bau
yang mengandung daya mengundang ular-ular merah lain.
Telah
dituturkan di bagian depan cerita ini betapa Giam Cu, panglima tinggi besar
brewok yang diwaktu bala tentara Mancu menyerbu ke selatan telah memperkosa Sie
Leng, gadis enci (kakak perempuan) Pendekar Super Sakti, akan tetapi lalu
menculik gadis itu dan menjadikannya sebagai isterinya. Dalam pernikahan ini
Sie Leng mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Giam Kwi Hong.
Ketika
Pendekar Super Sakti dituduh melarikan Puteri Nirahai, dalam kekhawatirannya
tersangkut karena isterinya adalah enci Suma Han, Giam Cu lalu membunuh
isterinya sendiri. Perbuatannya ini membuat dia menyesal bukan main karena dia
memang mencinta isterinya. Maka setelah Kwi Hong dilarikan Suma Han, perwira
tinggi ini menjadi gila! Tentu saja dia tidak dapat menduduki pangkatnya lagi,
dan akhirnya orang tidak tahu ke mana dia pergi. Kiranya, setelah gila dan
terlantar, tidak ada orang yang mengenalnya lagi, diam-diam bekas perwira yang
gila ini bekerja sebagai tukang kuda di istana Koksu!
Melihat
mayat ayahnya, Kwi Hong merasa terharu. Dia mengangkat mayat itu ke atas
pembaringan, pekerjaan yang amat sukar bagi tenaganya yang masih lemas itu,
kemudian dia duduk bersila, mengumpulkan hawa Swat-im Sinkang yang dilatihnya
sejak kecil, perlahan-lahan dia berusaha memulihkan tenaganya dan membuyarkan
pengaruh totokan sambil menanti hasil usahanya memanggil ular-ular dengan darah
ular merah tadi.
Betapa
girangnya ketika hidungnya mencium bau wangi-wangi yang aneh namun tidak asing
baginya, dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan
tampaklah ular-ular merah merayap-rayap datang dari segala penjuru, memasuki
kamar tahanan itu! Kegirangan Kwi Hong bukan hanya karena ular-ular itu dapat
melindunginya sehingga orang-orang hendak mengganggunya tidak berani mendekat,
akan tetapi juga hawa beracun dari ular-ular merah itu mempunyai daya yang
mukjizat.
Hal ini
adalah penemuan pamannya dan dia pernah disuruh berlatih sinkang di antara
ular-ular merah ini dan hawa yang bagi orang lain mengandung racun berbahaya
itu, baginya adalah memperlancar latihannya. Karena itu, kini dengan bantuan
hawa beracun, dia makin tekun melancarkan jalan darahnya dan menghimpun tenaga
sinkang untuk memulihkan tenaganya. Dia tetap duduk bersila di lantai,
membiarkan pembaringannya ditempati mayat ayahnya.
Kalau dia
teringat masa lalu, dia terbayang di depan matanya betapa ibu kandungnya
dibunuh ayahnya ini, ditusuk dadanya sampai tembus dengan pedang, maka ingatan
itu membuat dia tidak dapat berduka oleh kematian ayahnya. Namun, melihat
betapa setelah tersiksa dan hidup seperti orang gila, namun pada saat-saat
terakhir masih berusaha melindungi anaknya, hatinya merasa terharu juga.
"Ular...!
Ular...!"
Jeritan-jeritan
itu terdengar dari mulut para penjaga ketika mereka melihat ular-ular merah,
apa lagi ketika mereka mengejar ular-ular itu ke kamar tahanan, melihat gadis
tawanan itu duduk bersila di atas lantai tengah kamar, dikelilingi ular merah
ratusan banyaknya, dan tubuh Si Gila yang menjadi mayat menggeletak di atas
pembaringan.
Tak lama
kemudian Koksu dan teman-temannya datang. Mereka berada di luar kamar memandang
dengan mata terbelalak.
"Mundur
semua! Ular-ular itu beracun!" bekas Koksu Bhong Ji Kun berteriak dan
semua orang cepat mundur karena bau harum bercampur amis itu pun membuat mereka
muak dan tidak tahan.
Tentu saja
kecewa sekali hati Kwi Hong. Tenaganya belum pulih, dan dia sudah ketahuan.
Kalau Bhong Ji Kun turun tangan, tentu dia tidak mampu membela diri. Akan
tetapi dia tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan tersenyum dan menggertak,
"Siapa
berani mendekati aku, tentu akan mampus! Bhong Ji Kun, aku ingin sekali melihat
apakah engkau berani memasuki kamar tahanan ini!"
Bhong Ji Kun
menggereget giginya. "Perempuan siluman! Lekas kau enyahkan semua ular
itu, kalau tidak, kamar ini akan kubakar sampai engkau dan ular-ularmu mati
hangus!"
Tentu saja
ancaman membunuhnya dengan cara apa pun juga tidak mendatangkan rasa takut di
hati Kwi Hong. Dia memang sudah berada di ambang maut, peduli apa dengan segala
gertakan? Akan tetapi dia tidak ingin melihat ular-ular itu ikut pula mati
terbakar, dan pula, selama masih ada kesempatan, dia harus mempergunakannya
untuk menyelamatkan diri. Kalau sudah tidak ada jalan lain, dalam menghadapi
penghinaan, kini dia menemukan cara yang paling tepat, seperti yang dikatakan
oleh ayah kandungnya tadi, yaitu membunuh diri! Takut apa lagi? Ia tersenyum.
"Bhong
Ji Kun, engkau menyuruh aku mengusir ular-ular ini, kalau mereka sudah pergi,
kau akan senang melihat aku diganggu orang-orangmu, bukan? Benar-benar engkau
seorang yang amat baik hati. Baiklah, aku akan mengusir ular-ularku. Buka pintu
kamar ini agar lebih cepat mereka pergi."
Bhong Ji Kun
sendiri melangkah maju membukakan pintu, sedang para pembantunya berdiri di
belakangnya dengan muka membayangkan kengerian. Mereka sungguh merasa heran
mengapa gadis tawanan itu dapat mengumpulkan ular beracun sekian banyaknya dan
sama sekali tidak terganggu! Benar-benar seorang gadis yang amat lihai dan tak
boleh dipandang rendah.
Kwi Hong
mengeluarkan bunyi dengan lidahnya untuk membangkitkan perhatian ular-ular itu,
mengambil ular yang terluka dan masih berkelojotan, kemudian tiba-tiba dia
melempar ular terluka itu ke arah Bhong Ji Kun sambil membentak, "Makanlah
ini!"
Bhong Ji Kun
cepat mengelak, lalu meloncat jauh ke pinggir. Di belakangnya terdengar orang
berseru kaget dan ular yang terluka itu ternyata mengenai dadanya, dan... semua
ular merah yang berada di dalam kamar itu menyerbu keluar dan langsung
menyerang Panglima Mancu yang terkena ular terluka tadi, tubuhnya penuh dengan
ular merah yang langsung menggigit. Panglima itu memekik nyaring mengerikan dan
roboh berkelojotan terus tewas seketika!
Bhong Ji Kun
sudah meloncat ke dalam kamar tahanan yang sudah tidak ada ularnya. Kwi Hong
meloncat bangun, namun tubuhnya masih belum pulih, masih lemah maka dalam
beberapa gebrakan saja dia telah roboh oleh Bhong Ji Kun yang lihai.
"Gunakan
api, usir ular-ular itu!" Bhong Ji Kun berteriak marah.
Para
pembantunya cepat menggunakan api. Benar saja, ular-ular itu segera melarikan
diri keluar dari tempat itu. Seperti binatang-binatang apa saja di dunia ini,
ular-ular itu pun takut sekali akan api yang amat panas itu.
"Bhong-koksu,
bunuh saja gadis itu!" Thian Tok Lama berkata.
Ucapan ini
dibenarkan semua pembantu Bhong Ji Kun. Setelah menyaksikan betapa dalam
keadaan lemah saja gadis itu telah berhasil mengakibatkan kematian seorang
bujang dan seorang panglima, mereka menjadi gentar dan akan selalu cemas
sebelum gadis yang berbahaya itu dibunuh.
"Dia
sudah kutotok dan takkan dapat bergerak selama semalam suntuk. Memang mudah
membunuhnya. Akan tetapi kalau dipikir lagi, apa gunanya membunuhnya? Kurasa,
kalau dia hidup dia lebih berguna dari pada kalau dia mati. Siapa tahu gunanya
kelak. Biarlah besok kita rundingkan lagi, pendeknya dia harus selalu dijaga
ketat agar tidak mendapat kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan
lagi."
Keputusan
Bhong Ji Kun ini membuat Kwi Hong hampir kehilangan akal dan kehabisan harapan
karena selain tertotok, dia pun dibelenggu kaki tangannya, dilempar ke atas
pembaringan dalam kamar tahanan itu, pintunya dipalang dari luar dan di luar
pintu selalu ada dua orang pembantu Bhong Ji Kun yang berdiri menjaga dengan
bergilir! Andai kata dia dapat membebaskan totokan, dia harus membebaskan
belenggu, dan masih harus berhadapan dengan dua orang penjaga yang berilmu
tinggi dan yang tentu akan memanggil datangnya Bhong Ji Kun dan para
pembantunya yang lain!

Akan tetapi,
kenyataan bahwa dia belum dibunuh oleh Bhong Ji Kun menimbulkan harapan baru.
Hal itu hanya berarti bahwa bekas Koksu itu masih ingin melihat dia hidup, dan
selama masih ada harapan untuk hidup, dia tidak akan putus asa dan tidak akan
membunuh diri seperti yang dianjurkan ayah kandungnya. Memang amat mudah
membunuh diri, tidak memerlukan tenaga dan biar pun dia dibelenggu seperti itu,
masih amat mudah membunuh diri. Bagi seorang yang terlatih seperti dia, menahan
napas dan dengan paksa menghentikannya sudah cukup untuk membuat nyawanya
melayang, atau lebih sederhana lagi, menggigit lidahnya sendiri sampai putus!
Gadis yang
keras hati dan tahan uji ini sama sekali tidak tahu bahwa pada keesokan harinya
terjadi perubahan yang amat besar, terjadi peristiwa hebat sekali di Pulau Es.
Peristiwa itu dimulai dengan munculnya Majikan Pulau Es sendiri, Suma Han
Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang datang berperahu bersama dua
orang wanita sakti, Nirahai dan Lulu, atau kedua orang isterinya yang bersama
dia akan memulai hidup baru di pulau itu!
Ketika pagi
hari itu Suma Han tiba di Pulau Es dan melihat sebuah perahu besar telah
berlabuh di pantai, pendekar ini mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua
orang isterinya. "Agaknya kita telah didahului tamu-tamu tidak diundang.
Jarang ada orang luar berani mendatangi Pulau Es. Nirahai dan Lulu, kita sudah
saling berjanji tidak akan mencari urusan di luar, karena aku tahu bahwa kalian
masih mempunyai kekerasan hati, maka apa pun yang terjadi nanti, kuharap kalian
tinggal diam dan menonton saja. Biarlah aku sendiri yang akan
menanggulanginya."
Nirahai dan
Lulu saling pandang, tersenyum dan keduanya mengangguk. Telah terjadi perubahan
besar atas diri pria ini, pria berkaki buntung yang mereka cinta dan junjung
tinggi. Jika dahulu Suma Han merupakan seorang pendekar sakti yang berhati
lemah, kini mulai tampak kejantanannya, dan pertama-tama kejantanannya itu
diperlihatkan dengan menguasai kedua orang isterinya!
Setelah
menarik perahu kecil mereka di pantai yang dangkal, ketiganya melompat turun ke
darat dan berdiri tegak dengan sikap tenang, memandang Bhong Ji Kun yang sudah
diberi kabar oleh anak buahnya dan kini berlarian datang menyambut bersama
seluruh pembantunya, dengan senjata siap di tangan masing-masing. Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget dan berdebar penuh kegelisahan hati Bhong Ji Kun
ketika melihat bahwa yang datang bukan hanya Pendekar Super Sakti seorang,
melainkan ditemani oleh Puteri Nirahai bekas Ketua Thian-liong-pang dan Lulu
bekas Majikan Pulau Neraka! Baru Pendekar Super Sakti seorang saja sudah
merupakan seorang lawan yang amat menakutkan dan amat berat dilawan, apa lagi
masih ada dua orang wanita sakti itu!
Dengan sikap
tenang Suma Han, Nirahai, dan Lulu berdiri di pantai. Hanya bola mata mereka
yang bergerak, melirik ke arah Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang datang
dari kanan kiri. Diam-diam Suma Han merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa
yang boleh dicatat sebagai lawan tangguh hanyalah Bhong Ji Kun sendiri, Thian
Tok Lama, dan agaknya orang yang memegang tombak gagang panjang itu. Dia merasa
sanggup untuk mengatasi mereka.
Akan tetapi
dia merasa curiga melihat sikap Bhong Ji Kun yang kelihatannya sama sekali
tidak takut kepadanya, padahal dia datang bersama Nirahai dan Lulu. Salah
seorang wanita itu sendiri saja sudah cukup untuk menandingi Bhong Ji Kun! Akan
tetapi kakek itu begitu berani menyambutnya dengan sikap seolah-olah keadaannya
lebih kuat. Tentu ada apa-apanya ini!
"Aha,
Pendekar Super Sakti, engkau baru datang? Sudah lama kami mengharapkan
kedatanganmu!" kata Bhong Ji Kun sambil menekan debar jantungnya.
"Hemm,
mengunjungi tempat orang tanpa ijin, dan selagi tempat itu ditinggalkan
penghuninya. Hanya orang seperti engkaulah yang tidak malu melakukan kedua hal
itu, Im-kan Seng-jin," kata Suma Han dengan suara halus namun nadanya
cukup membuat para pembantu Bhong Ji Kun merasa seram.
Di antara
mereka semua, hanya Ciat Leng Souw seorang yang belum pernah bertemu dengan
Suma Han, hanya mendengar nama julukannya saja. Kini melihat bahwa orang yang
disohorkan sebagai dewa atau siluman itu ternyata hanyalah seorang yang
wajahnya masih muda dan tampan, rambutnya putih semua, dan sebuah kakinya
buntung, senjatanya hanya sebatang tongkat butut. Apanya sih yang perlu
ditakuti?
Berubah
wajah Bhong Ji Kun mendengar ucapan itu. "Harap Tocu (Majikan Pulau) tidak
salah paham, karena sesungguhnya kedatangan kami ke sini bukan sebagai tamu
tidak diundang."
"Tidak
sebagai tamu, melainkan sebagai pelarian-pelarian perang yang sudah hancur
kekuatannya!" Nirahai tak dapat menahan hatinya dan berkata nyaring, akan
tetapi tidak melanjutkan karena Lulu menyentuh tangannya, membuat dia teringat
akan larangan suaminya!
Bhong Ji Kun
menjura ke arah Nirahai dan Lulu. "Pelarian sementara! Karena itulah, maka
kami bergembira sekali kini berhadapan dengan Pendekar Super Sakti dan dengan
Ji-wi Lihiap (Kedua Wanita Pendekar) yang berilmu tinggi, karena kami yakin
bahwa dengan kerja sama antara kami dengan Sam-wi (Anda Bertiga), kekalahan
kami akan tertebus dan akhirnya perjuangan kami akan berhasil."
"Apa?!
Mengajak kami bekerja sama...?" Nirahai kembali berseru saking herannya.
"Aihh,
dia sudah gila!" Lulu juga tidak dapat menahan untuk berseru heran.
Siapa
orangnya tidak akan heran. Dia dan Nirahailah yang memimpin pasukan pemerintah
menghancurkan pemberontak ini, dan sekarang bekas Koksu pemberontak itu
mengajak mereka untuk bekerja sama memberontak. Hanya orang gila saja yang
mengajukan usul demikian.
Akan tetapi
Suma Han berpikir lain. Sejak tadi dia sudah curiga menyaksikan sikap Koksu
Bhong Ji Kun yang memberontak itu sama sekali tidak gentar, bahkan kelihatan
terlalu berani. Sekarang dengan pertanyaannya itu, yaitu mengusulkan kerja sama,
bahkan bukan mengusulkan, karena kata-katanya itu seperti menentukan, makin
jelas bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat bekas
Koksu ini yakin akan kemenangannya!
"Im-kan
Seng-jin, apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan suka bekerja
sama denganmu? Tidak perlu bersikap rahasia, katakanlah saja!" Suma Han
berkata sambil memandang tajam.
Akan tetapi,
teringat akan nasehat mendiang Maharya agar berhati-hati menghadapi Pendekar
Siluman ini, terutama jangan sekali-kali menentang pandang matanya, sejak tadi
Bhong Ji Kun tidak pernah berani bertemu pandang dengan pendekar itu. Bhong Ji
Kun bertepuk tangan, isyarat yang memang sudah diatur sebelumnya dan muncullah
seorang Mongol raksasa mengempit tubuh Kwi Hong yang kaki tangannya dibelenggu,
wajahnya pucat dan pakaiannya compang-camping.
Bukan main
kagetnya Suma Han melihat ini, akan tetapi selain raksasa Mongol itu siap untuk
memukul kepala Kwi Hong dengan tangannya yang besar dan kuat, juga Thai-lek-gu
yang gendut telah meloncat ke dekat Gozan dan menodongkan goloknya pada gadis
tawanannya itu! Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan untuk mencoba menolong
keponakannya, pikir Suma Han. Dia tentu kalah cepat dan andai kata dia dapat
membunuh semua orang itu, tentu Kwi Hong akan terbunuh lebih dulu.
"Ahhh,
Si Jahanam menawan Kwi Hong...!" Lulu berteriak.
Nirahai juga
terkejut ketika mendengar bahwa murid atau keponakan suaminya telah menjadi
tawanan. Mengertilah dia kini mengapa bekas Koksu itu bersikap seberani itu.
Kiranya sama sekali bukan gila, melainkan licin dan curang sekali! Melihat
betapa Suma Han menggerakkan jari tangan ke arah mereka, maklumlah kedua orang
wanita itu bahwa mereka dilarang untuk turun tangan. Dan memang mereka pun
sudah cukup cerdik untuk tidak sembarangan turun tangan, karena hal ini berarti
kematian bagi Kwi Hong.
"Kwi
Hong! Bagaimana engkau bisa tertawan?" Suma Han menegur muridnya.
Air mata
bercucuran dari kedua mata Kwi Hong dan suaranya berduka sekali ketika dia
menjawab, "Harap Paman tidak mendengarkan permintaan iblis-iblis ini.
Biarkan aku mati, Paman, memang sudah patut kalau aku harus mati. Aku telah
ditipunya, aku telah bersekutu dengan pemberontak-pemberontak laknat ini,
karena menyangka bahwa pemerintah adalah musuh Paman. Setelah pemberontakan
gagal, aku malah mengajak mereka menyembunyikan diri ke pulau ini. Akan tetapi,
ternyata mereka adalah iblis-iblis yang jahat. Aku telah salah, dan aku rela
mati. Harap Paman tidak mengorbankan apa-apa untukku!"
"Wah,
dia benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa!" Bhong Ji Kun memuji.
"Akan tetapi kami masih sangsi apakah Pendekar Super Sakti yang terkenal
itu memiliki cukup kegagahan seperti muridnya untuk berkorban demi muridnya.
Terserah pilihanmu, Tocu!"
"Jahanam
busuk!" Nirahai membentak.
"Keparat
hina!" Lulu juga memaki.
Akan tetapi
Suma Han mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua orang wanita itu bersabar
dan tidak turun tangan. Kemudian dia menghadapi Bhong Ji Kun dan berkata,
"Bhong Ji Kun, engkau tentu mengerti dengan baik bahwa sampai mati sekali
pun kami bertiga tidak mau melibatkan diri dalam pemberontakan yang kau pimpin
itu. Permintaanmu sebagai pengganti kebebasan keponakanku sungguh tidak masuk
akal. Pikirlah baik-baik sebelum terpaksa kami membasmi kalian sebagai penukar
nyawa murid dan keponakanku."
Diam-diam
Bhong Ji Kun mempertimbangkan. Tak dapat diragukan lagi, jika Pendekar Super
Sakti mengamuk dibantu dua orang wanita sakti yang entah bagaimana kini menjadi
baik dengan Pendekar Super Sakti, tentu dia dan semua pembantunya ditukar hanya
dengan nyawa gadis itu!
"Tentang
kerja sama biarlah kita bicarakan kemudian," kata Bhong Ji Kun yang cerdik
itu. "Sekarang kuganti penukarannya. Pertama kami mau membebaskan muridmu
asal engkau dan dua orang wanita itu tidak mengganggu kami."
"Sudah
tentu! Kalau engkau suka membebaskan Kwi Hong, kami pun tidak akan mengganggumu
dan kalian boleh pergi dengan aman," jawab Suma Han, jawaban yang membuat
alis kedua orang wanita sakti itu berkerut. Mereka sama sekali tidak setuju
kalau orang-orang macam Bhong Ji Kun dan teman-teman-nya itu dibiarkan pergi
begitu saja! Akan tetapi keduanya tidak berani membantah!
Agaknya
mereka pun sudah menarik pelajaran dari pengalaman mereka setelah mereka
menderita batin karena asmara gagal selama belasan tahun.
"Dan
kedua, engkau harus menyerahkan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu
yang tentu tadinya berada di Pulau Es kepada kami."
"Kitab-kitab
pusaka Pulau Es tidak berada padaku. Ketika pasukan yang kau pimpin menyerbu ke
sini, pusaka-pusaka itu telah dibawa oleh pembantuku."
"Hemm,
jangan kau main-main dengan nyawa muridmu, Tocu, dan amat memalukan kalau
seorang pendekar dengan kedudukan seperti engkau mengeluarkan kata-kata
membohong."
Sepasang
mata Suma Han mengeluarkan cahaya menyambar seperti kilat, membuat Bhong Ji Kun
terkejut dan cepat menundukkan muka.
"Bhong
Ji Kun, untuk kata-katamu itu saja, dalam lain keadaan sudah cukup menjadi
alasan bagiku untuk menghancurkan mulutmu!"
Nada dalam
suara Pendekar Super Sakti itu membuat wajah bekas Koksu itu menjadi pucat
karena dia merasa betul betapa penuh wibawa dan bukan ancaman kosong saja
kata-kata itu.
"Siapa
yang bisa percaya bahwa seorang Tocu tidak menyimpan sendiri pusaka milik
istananya?" Dia membela diri.
"Pusaka
ada di sini...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan bayangannya
berkelebat datang. Kiranya orang ini adalah Phoa Ciok Lin yang datang membawa
sebuah peti kayu cendana yang berukir indah.
Melihat peti
ini, Kwi Hong dengan suara tangisnya berkata, "Bibi... jangan... jangan
kau berikan kepada mereka...! Lebih baik aku mati saja dari pada mengorbankan
pusaka-pusaka itu...!"
Phoa Ciok
Lin, wakil urusan dalam di Pulau Es, pembantu Suma Han yang usianya sebaya
dengan kedua isteri pendekar itu, mengerling kepada Suma Han dan dua orang
isterinya, tersenyum penuh syukur akan tetapi pandang matanya sayu penuh derita
batin, kemudian cepat menghampiri bekas Koksu dan berkata, "Im-kan
Seng-jin, engkau membutuhkan pusaka Pulau Es? Inilah pusaka-pusaka itu, boleh
kuserahkan kepadamu asal engkau membebaskan Kwi Hong lebih dulu!"
Mata Bhong
Ji Kun dan kawan-kawan-nya terbelalak penuh gairah memandang ke arah peti
berwarna coklat itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun yang sudah biasa melakukan segala
macam tipu muslihat, tentu saja menjadi seorang yang tidak mudah percaya dan
selalu berprasangka buruk. Memang demikianlah, watak seseorang dibentuk oleh
kebiasaan dan pengalamannya sendiri. Seorang pembohong akan selalu tidak
percaya kepada kata-kata orang lain, seorang penipu akan selalu curiga terhadap
semua orang.
"Suma
Tocu, benarkah ini peti berisi pusaka Istana Pulau Es?" tanyanya sambil
menoleh ke arah Suma Han.
Pendekar ini
mengangguk dan suaranya dingin sekali ketika menjawab, "Dia adalah wakilku
dan kepercayaanku yang membawa pusaka Istana Pulau Es."
Makin
berseri wajah Bhong Ji Kun. "Suma-tocu, aku mau menukar muridmu dengan
pusaka-pusaka itu, akan tetapi berjanjilah bahwa engkau tidak akan menghalangi
dan merampas kembali kalau peti berisi pusaka telah diserahkan kepadaku."
"Aku
berjanji!"
"Paman,
jangan! Lebih baik aku mati!"
"Diam
kau!" Suma Han membentak dan Kwi Hong hanya terisak menangis.
"Im-kan
Seng-jin, bebaskan Kwi Hong, baru akan kuserahkan kepadamu peti berisi pusaka
ini!" kembali Phoa Ciok Lin mendesak, wajahnya yang cantik itu agak pucat.
Bhong Ji Kun
tersenyum lega. Setelah mendapatkan janji Suma Han, siapa lagi yang dia takuti?
Dia lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala kepada Gozan dan Thai-lek-gu.
Dua orang ini lalu melepaskan belenggu kaki tangan Kwi Hong, lalu mendorong
tubuh dara yang sudah lemas dan lemah itu ke arah Pendekar Super Sakti.
Kwi Hong
jatuh berlutut di depan kaki pamannya, dia menangis terisak-isak dan tidak
berani mengangkat muka. Suma Han sama sekali tidak mempedulikan dia, hanya
memandang Phoa Ciok Lin dengan alis berkerut dan hati menekan kegelisahan.
"Tawanan
telah kubebaskan, berikan peti itu!" Bhong Ji Kun berkata sambil mengulur
tangan hendak mengambil peti dari tangan Phoa Ciok Lin.
Akan tetapi
tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara ketawa aneh, petinya terlempar ke
belakang, ke arah Suma Han, sedangkan dia sendiri seperti gila telah menubruk
bekas Koksu itu dengan pukulan kedua tangannya, pukulan maut yang amat
berbahaya.
"Ciok
Lin, jangan...!" Suma Han berseru mencegah pembantunya.
Namun
terlambat. Serangan Phoa Ciok Lin yang hebat itu membuat Bhong Ji Kun terkejut
bukan main. Untuk mengelak sudah tiada kesempatan lagi, maka dia hanya dapat
menangkis pukulan ke arah pusarnya yang amat berbahaya dan terpaksa menerima
tamparan pada dadanya.
"Desss...!"
Phoa Ciok
Lin adalah murid nenek yang terkenal sebagai datuk kaum sesat, Toat-beng
Ciu-sian-li, maka tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Apa lagi setelah dia
menjadi pembantu Pendekar Super Sakti dan memperdalam ilmunya selama
bertahun-tahun di Pulau Es. Biar pun tentu saja dia masih kalah jauh kalau
dibandingkan dengan bekas Koksu yang sakti itu, namun pukulannya itu pun
bukanlah pukulan ringan sehingga tubuh Koksu yang sakti itu sampai roboh
terjengkang. Akan tetapi dia sendiri pun terhuyung ke kiri karena daya tolak
tenaga sinkang bekas Koksu yang lihai itu. Dan tampak sinar putih berkelebat
disusul keluhan Phoa Ciok Lin yang roboh terguling, dadanya terluka oleh tombak
di tangan Sin-jio Ciat Leng Souw yang menyerangnya dengan kecepatan kilat
sehingga Suma Han sendiri sampai tercengang dan tidak mampu mencegahnya.
"Bibi...!"
Kwi Hong menjerit dan meloncat menubruk Phoa Ciok Lin, lalu mengangkat tubuhnya
dan membawanya ke pinggir.
Terdengar
suara melengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuh Suma Han telah berada di
depan Bhong Ji Kun yang sudah bangkit kembali. Setelah menyerahkan peti pusaka
dalam perlindungan Lulu dan Nirahai, Suma Han dengan marah kini menghadapi
bekas Koksu dan para pembantunya.
"Bhong
Ji Kun!" Suaranya terdengar tegas dan penuh wibawa sehingga bekas Koksu
itu dan para pembantunya memandang dengan hati gentar, akan tetapi juga dengan
kesiap siagaan para jagoan yang tahu bahwa mereka menghadapi seorang lawan
tangguh. "Sebagai penghuni Pulau Es menghadapi orang-orang yang
mengotorkan pulau, aku menantang kalian untuk mengadu ilmu!"
Bhong Ji Kun
tentu saja menjadi penasaran dan marah sekali, juga kecewa. Ia sengaja
mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Ha-ha-ha, Pendekar Super Sakti, Tocu
Pulau Es yang terkenal itu ternyata hanyalah seorang yang suka bermain curang!
Hendak menarik kembali janjinya, melanggar janji seperti seorang yang rendah.
Hendak kemana kau taruh mukamu nanti?"
"Bhong
Ji Kun, mulutmu lancang sekali! Kuhancurkan nanti!" Nirahai berteriak
marah mendengar suaminya tercinta dimaki orang.
Namun Suma
Han bersikap tenang, biar pun pandang matanya tajam menusuk. "Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun, siapakah yang curang? Aku tadi berjanji tidak
menghalangi apabila pembantuku menyerahkan peti. Akan tetapi dia tidak
menyerahkan peti kepadamu, hal itu adalah urusan antara kau dan dia! Dia
menipumu dan engkau telah membebaskan Kwi Hong dan mengeroyok pembantuku sampai
terluka hebat. Perbuatanmu sungguh tidak patut. Antara kita tidak ada
perjanjian apa-apa lagi."
"Ha-ha-ha!
Bukankah kau berjanji bahwa kalau kami membebaskan muridmu, engkau akan
membiarkan kami pergi tanpa mengganggu?"
"Benar!
Akan tetapi ingat, engkau membebaskan Kwi Hong bukan karena perjanjian antara
kita, melainkan karena perjanjianmu dengan Phoa Ciok Lin. Sekarang aku
menantang kalian mengadu ilmu. Kalau kalian tidak berani, aku baru mau
melepaskan kalian kalau kalian mau berlutut dan minta ampun kepada kedua orang
isteriku!"
Bhong Ji Kun
membelalakkan mata. Kiranya pendekar ini telah akur kembali dengan Puteri
Nirahai! Dan Ketua Pulau Neraka itu pun telah menjadi isterinya! Bukan main!
Akan tetapi dia tidak berani menyatakan sesuatu akan pengakuan pendekar itu,
apa lagi mengejek, karena kalau hal itu dia lakukan, tentu dia akan celaka di
bawah tangan suami isteri, tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu!
Kalau harus berlutut minta ampun, benar-benar hal ini amat berat. Dia adalah
bekas Koksu, bahkan seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw. Demikian pun
para pembantunya adalah orang-orang gagah yang lebih menghargai nama dan
kehormatan dari pada nyawa.
"Pendekar
Siluman!" teriaknya dengan muka merah. "Menyuruh kami berlutut minta
ampun sama dengan menyuruh matahari timbul dari barat!"
"Bagus,
kalau begitu majulah, dan juga para pembantumu, terutama yang memegang tombak
cagak gagang panjang itu!" Suma Han melirik ke arah Ciat Leng Souw karena
hatinya masih panas mengingat betapa pembantunya, Phoa Ciok Lin roboh oleh
tombak orang ini.
"Wuuuuttt...
syettt!"
Sin-jio Ciat
Leng Souw dengan gerakan tangkas sudah meloncat dan berdiri tegak di depan Suma
Han, tombak panjangnya itu dipalangkan di depan dada, sikapnya gagah sekali dan
matanya menentang lawan sambil memperhatikan keadaan pendekar yang amat
terkenal itu, kemudian berkata, "Pendekar Siluman! Orang lain mungkin
takut mendengar namamu, tetapi, aku Sin-jio Ciat Leng Souw sama sekali tidak
gentar untuk menghadapimu!"
Suma Han
memandang orang tinggi besar itu. Sekelebatan saja matanya yang tajam dapat
menaksir keadaan calon lawan ini. Tentu memiliki tenaga yang amat kuat dan ilmu
tombak yang sakti. Sayang bahwa orang gagah ini sampai dapat terbujuk menjadi
kaki tangan Bhong Ji Kun. Kalau dia menghendaki, dengan kekuatan sihir, tentu
Suma Han akan dapat menundukkan calon lawan ini dengan mudah. Akan tetapi dia
tidak mau melakukan hal ini.
Dia telah
menunjukkan kegagahannya kepada dua orang isterinya, telah menunjukkan
kejantanan dengan memaksa mereka mengikutinya ke Pulau Es. Sekarang pun dia
harus memperlihatkan, tidak hanya kepada kedua isterinya tercinta, akan tetapi
juga kepada Bhong Ji Kun dan semua pembantunya bahwa nama Pendekar Super Sakti
sebagai Majikan Pulau Es bukanlah nama kosong belaka, dan bahwa dia, tanpa
bantuan siapa pun, akan dapat mempertahankan pulaunya.
"Bagus!
Engkau seorang pemberani dan gagah, Ciat Leng Souw, dan tentu ilmu tombakmu
lihai sekali. Cobalah robohkan aku seperti engkau merobohkan pembantuku secara
membokong tadi!"
Mendengar
tantangan yang mengandung teguran dan ejekan ini merahlah muka Ciat Leng Souw.
Dia adalah seorang tokoh yang terkenal di selatan dan belum pernah tombaknya
menemui tandingan. Kalau tadi dia turun tangan melukai Phoa Ciok Lin adalah
karena melihat wanita itu menggunakan kecurangan dan mengancam keselamatan
Bhong Ji Kun. Melihat betapa Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan para orang gagah
yang membantu bekas Koksu itu kelihatan gentar menghadapi Suma Han, dia sudah
merasa penasaran sekali.
Dia sudah
banyak mendengar nama Pendekar Super Sakti, akan tetapi melihat betapa pendekar
yang disohorkan orang itu hanya seorang yang sederhana dan berkaki buntung, dia
makin penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya. Kini kesempatan itu
tiba. Mendengar ucapan Suma Han, Ciat Leng Souw mengeluarkan suara menggereng
dan tombak panjangnya sudah bergerak meluncur dan menyambar ke arah dada Suma
Han dengan tusukan kilat.
"Trakkk!"
Tombak itu
tertangkis oleh tongkat di tangan kiri Suma Han. Benar saja dugaan pendekar
buntung itu, tenaga jago dari selatan ini memang kuat sekali. Betapa pun juga,
kalau Suma Han menghendaki, dengan pengerahan sinkang-nya yang mukjizat, dia
akan dapat mengalahkan lawan dalam pertemuan tenaga pertama kali itu. Akan
tetapi dia tidak mau mengalahkan lawan dengan menggunakan sinkang-nya yang
jarang ada tandingannya, juga tidak mau menggunakan kekuatan pandang matanya
yang dapat melumpuhkan pikiran orang. Melihat betapa lawannya sudah cepat
sekali menarik kembali tombaknya yang tertangkis lalu menggerakkan tombak
dengan lihai sehingga tampak sinar panjang menyambar-nyambar, Suma Han cepat
menghindar dan selanjutnya dia mempergunakan ilmunya yang amat dahsyat, yaitu
Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun.
Ilmu silat
yang mukjizat ini merupakan gerakan-gerakan berdasarkan ginkang yang hanya
dapat dilakukan oleh orang berkaki buntung! Tubuhnya berkelebatan bagaikan
seekor burung terbang dan betapa pun Ciat Leng Souw mainkan tombaknya dengan
hebat, tetap saja gerakan tombaknya tidak dapat mengikuti berkelebatnya
bayangan lawan yang makin lama makin cepat seperti kilat menyambar-nyambar dan
sebentar saja kepalanya menjadi pusing dan pandang matanya berkunang karena
bayangan lawannya menjadi bertambah banyak! Hal ini bukan terjadi karena ilmu
sihir, melainkan saking cepatnya Suma Han bergerak.
"Siluman...!"
Ciat Leng Souw berseru dan dia mulai merasa gentar.
"Krekkk!
Plak! Plak!"
Tubuh yang
tinggi besar itu terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan dari mulutnya
mengalir darah segar, tombaknya patah-patah dan akhirnya dia roboh terguling
dan mengeluh. Suma Han telah berdiri dengan tegak, tongkat di tangan dan dia
tidak mempedulikan lagi Ciat Leng Souw yang dirobohkan. Pendekar ini dengan
sikap tenang menanti majunya jago lain di pihak musuh. Dia telah berhasil
mengalahkan Ciat Leng Souw tanpa membunuhnya, hanya mematahkan tombaknya dan
dua kali menampar pundak lawan, membuat tulang kedua pundak Ciat Leng Souw
patah!
Melihat ini,
Gozan, jagoan Mongol yang seperti raksasa, Liong Khek, Si Muka Pucat yang
bersenjatakan pancing, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut yang bertangan panjang
dengan sepasang golok jagal babinya, dan tiga orang panglima kaki tangan Bhong
Ji Kun sudah bergerak maju mengurung Suma Han.
"Tak
tahu malu!" Lulu membentak.
"Betapa
gagahnya, main keroyokan!" Nirahai juga mengejek.
"Biarkan
saja tikus-tikus ini, kalian jaga saja peti itu!" Suma Han menoleh kepada
dua orang isterinya sambil tersenyum.
Padahal
tanpa dia beritahu pun Nirahai dan Lulu tidak akan bergerak membantu suami
mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi pengeroyokan itu, suami mereka
tidak perlu dibantu, apa lagi mereka bertugas menjaga peti pusaka Istana Pulau
Es.
Gozan
sebagai seorang jagoan Mongol yang juga memandang rendah Suma Han, apa lagi dia
mengandalkan ilmu gulatnya dan tenaganya, sudah tidak sabar lagi dan sambil
memekik dia lari menerjang dan hendak menangkap pendekar kaki buntung itu
dengan kedua lengannya yang berotot kuat. Menghadapi serangan ini, Suma Han
hanya berdiri tenang saja, bahkan ia tidak mengelak sama sekali ketika kedua
tangan lawan ini mencengkeram pundak dan pinggangnya. Akan tetapi, betapa
terkejut hati Gozan ketika dia merasa seolah-olah jari-jari tangannya mencengkeram
baja yang dingin dan keras! Dia mengerahkan tenaga, hendak mengangkat tubuh itu
dan membantingnya namun betapa pun dia mengerahkan seluruh tenaganya, tubuh
yang hanya berdiri dengan satu kaki itu sama sekali tidak bergoyang.
"Pergilah!"
Suma Han membentak sambil menggoyangkan tubuh dengan gerakan berputar.
"Krekk!
Krekk!" Gozan terpelanting roboh dan mengaduh-aduh, kedua lengannya
tergantung lumpuh karena sambungan siku dan pergelangan kedua tangannya telah
terlepas, terbawa oleh gerakan memutar tubuh Pendekar Super Sakti tadi.
Liong Khek
dan teman-temannya sudah menerjang maju, menggunakan senjata mereka. Hujan
senjata menyambar ke arah tubuh Suma Han. Pendekar ini tenang-tenang saja
memegang tongkatnya, kemudian secara tiba-tiba tongkatnya diputar, dan
terdengarlah suara nyaring disusul runtuhnya senjata para pengeroyok yang
patah-patah dan terpental ke sana-sini, kemudian tampak bayangan Suma Han
berkelebat di antara mereka.
Para
pengeroyok mengeluh panjang pendek dan seorang demi seorang terlempar ke kanan
kiri tanpa dapat melawan lagi karena sambaran tongkat Suma Han yang terarah dan
dengan tenaga terbatas para pengeroyok itu menderita patah tulang, tertotok
lumpuh, atau terluka dalam! Belasan orang itu roboh hanya dalam waktu belasan
jurus saja! Tadinya memang hanya enam orang yang maju, akan tetapi begitu Gozan
roboh, semua kaki tangan bekas Koksu itu maju mengeroyok. Kini hanya tinggal
Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berdua saja masih berdiri dengan muka agak
pucat, namun sikap mereka ditenang-tenangkan ketika Suma Han menghadapi mereka.
"Bhong
Ji Kun, sekarang aku ingin merasai kelihaianmu. Dan Thian Tok Lama, kita adalah
lawan-lawan lama yang sudah puluhan tahun tak pernah saling mengukur
kepandaian. Agaknya engkau telah memperoleh kemajuan hebat, hanya sayangnya,
semenjak dahulu kedudukanmu tidak mengalami kemajuan dan selalu menjadi kaki
tangan pemberontak!" Wajah Thian Tok Lama menjadi merah mendengar ejekan
ini, karena memang dia dan sute-nya yang sudah tewas, Thai Li Lama, dahulu
pernah terlibat pula dalam pemberontakan.
Thian Tok
Lama sudah pernah mengalami bertanding melawan Pendekar Super Sakti dan dia
merasa gentar karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh
Majikan Istana Pulau Es itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk
mengaku kalah, apa lagi di situ ada Bhong Ji Kun yang dia andalkan. Bekas Koksu
ini biasanya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri, namun biar dia belum
pernah bentrok dan mengadu ilmu melawan Pendekar Super Sakti, nama pendekar ini
membuat dia merasa gentar, apa lagi setelah menyaksikan betapa dengan mudah
saja pendekar itu tadi merobohkan semua anak buahnya, maka nyalinya menjadi
kecil.
Dia memang
cerdik dan dengan suara dibuat-buat agar tidak kentara perasaan jerinya, dia
bertanya, "Suma-tocu, apakah engkau menantang kami maju berdua? Benarkah
engkau berani menghadapi kami berdua tanpa bantuan orang lain?" Berkata
demikian bekas Koksu itu sengaja melirik ke arah Nirahai dan Lulu.
Kalau
seorang saja di antara kedua orang wanita sakti itu maju, tentu dia dan Thian
Tok Lama takkan mampu menandinginya. Akan tetapi kalau pendekar kaki buntung
sebelah ini dia keroyok bersama Thian Tok Lama dia masih tak percaya kalau mereka
berdua tidak akan mampu keluar sebagai pemenang!
"Bhong
Ji Kun manusia pengecut!" Nirahai membentak marah. "Beraninya hanya
main keroyok. Hayo kau lawan aku kalau memang ada kepandaian!"
"Aku
pun siap menghadapimu satu lawan satu!" Lulu juga menantang.
Bhong Ji Kun
tersenyum. "Bukan kami yang menantang, melainkan Suma-tocu. Kalau dia
tidak berani, kami pun tidak akan memaksa."
"Im-kan
Seng-jin tak perlu banyak cakap lagi. Majulah bersama Thian Tok Lama, aku sudah
siap menghadapi kalian berdua." Terdengar Suma Han berkata, suaranya
tenang karena dia tidak dapat dipanaskan hatinya oleh sikap dan ucapan Bhong Ji
Kun yang cerdik.
"Tar-tar-tar...!"
Pecut merah di tangan bekas Koksu itu meledak-ledak di udara. Kini dia bersikap
sungguh-sungguh dan telah melangkah maju dengan senjata istimewa itu di tangan.
Juga Thian
Tok Lama sudah siap, lengan kanannya di gerakkan berputaran perlahan dan tangan
itu berubah menjadi biru, sedangkan tangan kirinya memegang golok, diacungkan
di atas kepala. Dengan langkah-langkah lambat dua orang itu menghampiri Suma
Han sambil mengatur posisi yang baik, pandang mata mereka tidak pernah berkedip
ditujukan kepada Pendekar Super Sakti.
Suma Han
berdiri dengan sikap tenang sekali, tidak bergerak seperti sebuah arca, tongkat
di tangan kiri masih membantu berdirinya kaki tunggal itu, tubuh tegak akan
tetapi mukanya menunduk, hanya pandang matanya yang bergerak perlahan mengikuti
gerak-gerik kedua orang lawannya.
"Hyaaaattt...!
Tar-tar-tar-tar...!"
"Haiiittt...!
Sing-sing-sing-wuuutttt!"
Serangan
yang datang mengikuti pekik yang keluar dari mulut Bhong Ji Kun dan Thian Tok
Lama hampir berbareng itu datang bagaikan hujan ke arah tubuh Suma Han. Pecut
merah berubah menjadi sinar merah yang menyambar-nyambar dan meledak-ledak
seperti halilintar, bertubi-tubi menyambar ke arah kepala dan dada Pendekar
Super Sakti. Golok di tangan kiri Thian Tok Lama merupakan sinar putih yang
bergulung-gulung membabat ke arah kaki tunggal lawan, sedangkan tangan kanannya
digerakkan dengan dorongan dahsyat ke arah pusar Suma Han, mengeluarkan uap
hitam karena pukulan itu adalah pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang (Pukulan Sakti
Api Angin dan Uap Hitam), dari perut pendeta Lama ini keluar suara kok-kok
seperti ayam betina habis bertelur!
Suma Han
maklum betapa lihainya kedua orang yang mengeroyoknya itu. Dia sudah mengenal
kelihaian Thian Tok Lama dan sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat ilmu
kepandaian kakek pendeta dari Tibet ini, akan tetapi dia belum hafal benar akan
sifat dan tingkat ilmu silat Bhong Ji Kun, karena itulah maka dia berlaku
hati-hati dan tadi hanya bersikap menanti dan berjaga-jaga. Setelah melihat
kedua orang lawannya secara tiba-tiba dan serentak menerjangnya secara dahsyat,
Suma Han segera mengerahkan tenaga dan mempergunakan ilmunya yang mukjizat,
yaitu Soan-hong-lui-kun.
Tubuhnya
melesat ke sana-sini, cepatnya melebihi sinar senjata lawan, bagaikan kilat
menyambar untuk menghindarkan diri dari serbuan kedua orang lawannya. Ketika
tubuhnya dapat lolos dari kurungan serangan kedua orang dan melesat ke udara,
tampak sinar merah pecut berkelebat menyambar dari bawah mengejar bayangan Suma
Han. Pendekar Super Sakti diam-diam merasa terkejut dan kagum akan kecepatan
gerak senjata lawan, namun tidak menjadi gugup, kaki tunggalnya digerakkan dan tubuhnya
membalik, tongkatnya menangkis sinar cambuk merah.
"Tarrr...!"
Tampak asap
mengepul dari pertemuan dahsyat antara tongkat dan cambuk itu, dan Suma Han
sudah melayang turun lagi. Diam-diam dia kagum juga akan kelihaian lawan karena
dalam pertemuan tenaga tadi tahulah dia bahwa tenaga sakti bekas Koksu ini
lebih kuat dari pada Thian Tok Lama! Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan
untuk membanding lebih lama lagi karena cambuk merah itu sudah meledak-ledak
mencari sasaran, sedangkan golok di tangan Thian Tok Lama juga sudah
menerjangnya secara bertubi-tubi.
Suma Han
menggerakkan tongkatnya, menangkis semua serangan kedua orang pengeroyoknya.
Sampai tiga puluh jurus lebih pendekar ini hanya menjaga diri, mengelak dan
menangkis untuk menguji lawan. Melihat sikap suami mereka itu, Lulu dan Nirahai
hampir kehilangan kesabaran mereka. Kalau saja mereka menurutkan watak mereka
yang dahulu, tentu mereka sudah tadi-tadi turun tangan membunuh bekas Koksu dan
pendeta Tibet itu.
Akan tetapi
mereka merasa takut kepada suami mereka, takut kalau suami mereka marah! Apa
lagi karena mereka yakin bahwa suami mereka tidak akan kalah, maka kedua orang
wanita perkasa itu hanya menonton. Peti pusaka Istana Pulau Es terletak di
depan kaki mereka.
Ada pun
semua anak buah Bhong Ji Kun biar pun tidak ada yang tewas dan hanya terluka
ketika mereka dirobohkan Suma Han, tidak ada yang berani maju lagi membantu
Bhong Ji Kun. Mereka hanya menonton dan tentu saja mengharapkan agar dua orang
kakek itu dapat mengalahkan Pendekar Super Sakti.
Ternyata
harapan mereka itu kosong belaka karena kini Pendekar Super Sakti mulai membuat
gerakan balasan dengan tongkatnya. Begitu tongkat di tangan kirinya itu
menambah gerakan menangkis dengan serangan dahsyat, Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun dan Thian Tok Lama terdesak hebat dan terpaksa banyak mundur karena betapa
pun mereka memutar senjata, beberapa kali ujung tongkat itu tahu-tahu telah
menyelonong depan hidung mereka dan mengancam bagian tubuh yang lemah.
Ini memang
siasat Suma Han yang dalam segala hal, juga dalam pertandingan, bersikap tenang
dan penuh perhitungan. Kalau saja dia tadi tidak bersikap mengalah dan
mempertahankan diri, kiranya tidak mudah baginya untuk mendesak kedua orang
lawannya yang juga memiliki kepandaian sangat tinggi, terutama sekali mendesak
Bhong Ji Kun.
Akan tetapi,
ketika dia hanya mempertahankan diri selama tiga puluh jurus lebih tadi,
diam-diam dia mempelajari dasar gerak kedua orang lawannya, terutama sekali
gerakan cambuk Bhong Ji Kun, karena dia sudah tahu akan kepandaian Thian Tok
Lama. Tiga puluh jurus cukuplah bagi Pendekar Super Sakti ini, dan setelah
mengenal dasar gerakan lawan, barulah kini dia mengeluarkan kepandaiannya untuk
menyerang lawan.
Thian Tok
Lama merasa cemas karena hal ini memang sudah dikhawatirkannya. Ada pun Bhong
Ji Kun yang tadinya sudah merasa girang dan memandang rendah lawan ketika dia
dan temannya seolah-olah sudah mendesak Suma Han, kini merasa terkejut bukan
main. Tongkat pendekar kaki buntung itu gerakannya aneh sekali, sama anehnya
dengan gerakan tubuh pendekar itu yang dapat mencelat ke sana-sini secara luar
biasa, dan dari tongkat itu menyambar keluar hawa pukulan yang membuat bekas
Koksu ini makin bingung. Tongkat itu kadang-kadang kaku melebihi baja,
kadang-kadang lemas seperti batang pohon cemara, akan tetapi yang lebih hebat
lagi, kadang-kadang mengandung hawa serangan panas dan ada kalanya amat dingin!
Mendadak
terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari dalam dada Pendekar Super
Sakti. Tongkatnya bergerak menyambut golok dan cambuk lawan dan tiga buah
senjata melekat menjadi satu. Betapa pun Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama
berusaha menarik kembali senjata mereka, sia-sia saja seolah-olah cambuk dan
golok sudah menjadi satu dengan tongkat!
"Haiiiiittttt!"
Bhong Ji Kun menggunakan tangan kiri memukul dengan telapak tangan didorongkan
ke depan.
"Hyaaattt!"
Thian Tok Lama sudah menggunakan pula tangan kanannya, melakukan pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam.
Suma Han
maklum akan bahaya maut ini. Pukulan tangan kosong Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan Hek-in-hwi-hong-ciang dari pendeta
Lama itu. Cepat dia melepaskan tongkatnya selagi kedua lawannya mencurahkan
perhatian pada pukulan mereka, kemudian dengan tubuh tegak pendekar kaki
tunggal ini sudah mendorongkan pula kedua tangannya ke depan menyambut pukulan
kedua lawannya.
"Desss!
Desss!"
Tubuh Bhong
Ji Kun menggigil dan terhuyung ke belakang. Dia telah terkena hantaman Inti Es
yang selain menolak pukulannya sendiri juga dengan kekuatan dahsyat masih
mendorongnya. Sedangkan Thian Tok Lama terlempar ke belakang dan terbanting
roboh dengan muka merah seperti dibakar. Dia tadi dilawan dengan pukulan panas
Inti Api yang luar biasa dahsyat dan kuatnya.
Dengan
kemarahan meluap-luap, Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah meloncat bangun
lagi tanpa mempedulikan darah yang menetes keluar dari ujung bibir mereka.
Bhong Ji Kun menerjang dengan cambuknya yang tadi sudah terlepas dari tongkat
Suma Han. Akan tetapi karena benturan tenaga sakti tadi telah mendatangkan luka
di dalam dadanya, gerakannya tidak sedahsyat tadi dan menghadapi serangan ini,
Suma Han yang telah memegang tongkatnya lagi bersikap tenang sekali.
"Tarr-tarrrr...!"
Cambuk merah
itu menyambar ke arah kepala, ujungnya seperti patuk burung garuda mematuk ke
arah ubun-ubun kepala Suma Han. Dengan sikap tenang Suma Han menggerakkan
tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar kilat berkeredepan
menusuk ke arah dada pedekar itu. Suma Han mengeluarkan seruan kaget, maklum
bahwa lawannya menggunakan senjata yang luar biasa ampuhnya, maka sambil
menggerakkan tubuh mencelat ke kanan, tongkatnya bergerak menangkis senjata
yang berkeredepan itu.
"Cringggg!
Trakkkk!" Tongkat di tangan Pendekar Super Sakti itu patah menjadi dua
bertemu dengan pedang itu.
"Li-mo-kiam...!"
Suma Han berteriak kaget. Cepat dia mendorongkan kedua tangannya, yang kiri
memukul ke arah pergelangan tangan kiri lawan yang memegang Pedang Iblis itu,
sedangkan yang kanan mendorong ke arah dada Bhong Ji Kun.
"Desss!
Augghhh...!"
Pedang Iblis
Betina terlepas dari pegangannya dan cepat disambar oleh Suma Han, sedangkan
tubuh bekas Koksu itu terjengkang seperti dihantam palu godam raksasa yang amat
kuat. Mulutnya muntahkan darah segar. Dia terkena pukulan yang mengandung
tenaga sakti Inti Api, yang sama sekali tidak diduganya karena dia mengira
bahwa lawannya akan menggunakan Im-kang seperti tadi. Apa lagi dia telah
mempergunakan Li-mo-kiam yang dirampasnya dari Kwi Hong. Melihat pendekar itu
terkejut dan tongkatnya patah, hatinya sudah girang sekali, membuat
kewaspadaannya berkurang.
"Singggg...
trakkkk! Desss!"
Golok di
tangan Thian Tok Lama patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam, tangan kanan Thian
Tok Lama yang melancarkan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang bertemu dengan tangan
kiri Suma Han yang menyambutnya dengan Im-kang sehingga pendeta Lama dari Tibet
ini terpental sampai beberapa meter jauhnya dan roboh pingsan dengan muka pucat
kebiruan!
Suma Han
memandang Li-mo-kiam di tangannya, mengebutkan bajunya dan kemudian menghampiri
Bhong Ji Kun yang sudah merangkak bangun sambil meringis. Suma Han memandang
bekas Koksu itu dan berkata dengan suara dingin penuh wibawa, "Bhong Ji
Kun, bawa semua kaki tanganmu ke perahumu dan lekas tinggalkan tempat
ini!"
Sambil
meringis Bhong Ji Kun bangkit berdiri, mukanya pucat dan mulutnya masih
berlepotan darahnya sendiri. Dia memandang ke sekelilingnya. Thian Tok Lama
masih pingsan dan anak buahnya tidak seorang pun tewas, akan tetapi semua
menderita luka yang membuat mereka tidak berdaya. Dia mengangguk, menarik napas
panjang dan berkata, "Engkau hebat. Pendekar Super Sakti. Sekali ini aku
mengaku kalah, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku menebus kekalahan
ini."
Sambil
terhuyung-huyung, bekas Koksu ini mengambil cambuk merahnya, kemudian menyuruh
anak buahnya membawa teman yang lukanya agak berat, menggotong Thian Tok Lama,
kemudian tanpa berkata apa-apa kepada Suma Han dia bersama anak buahnya naik
perahu yang segera dilayarkan meninggalkan Pulau Es, menuju ke selatan.
"Anjing-anjing
licik macam itu mengapa tidak dibunuh saja?" Baru sekarang Nirahai membuka
mulut mencela suaminya.
"Memang
sepantasnya mereka dibunuh, kalau tidak kelak hanya akan menimbulkan kekacauan
saja," Lulu juga berkata tak puas, dan memandang bekas kakak angkat yang
kini menjadi suaminya yang tercinta itu.
Suma Han
menarik napas panjang. "Aku kasihan kepada orang-orang sesat seperti itu.
Mudah-mudahan kekalahan mereka ini menjadi pelajaran dan membuat mereka
bertobat. Pula, aku tidak menghendaki pembunuhan di pulau ini, apa lagi aku
tidak ingin memulai hidup baru kita dengan pembunuhan."
"Akan
tetapi mereka telah membunuh pembantumu!" kata Nirahai.
Suma Han
terkejut dan menengok, seolah-olah baru teringat kepada pembantunya yang setia
itu. Dengan cepat dia menghampiri, diikuti oleh Nirahai dan Lulu. Mereka
bertiga berlutut dekat Phoa Ciok Lin yang masih rebah di atas tanah dipeluki
oleh Kwi Hong yang masih menangis terisak-isak.
Melihat keadaan
Phoa Ciok Lin yang dadanya ditembus tombak, Suma Han maklum bahwa nyawa
pembantunya itu tak mungkin ditolong lagi. Melihat muridnya atau keponakannya,
alisnya berkerut. Dara inilah yang menjadi gara-gara, pikirnya penuh kekecewaan
dan penyesalan.
"Perlu
apa engkau menangis lagi? Menangis setelah terlambat tiada gunanya! Kenapa
sebelumnya engkau tidak berpikir panjang dan percaya kepada orang-orang seperti
mereka?"
Tangis Kwi
Hong semakin meledak ketika dia mendengar suara yang bernada penuh teguran dari
pamannya itu. Dia merebahkan tubuh Phoa Ciok Lin perlahan-lahan di atas tanah,
kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han sambil menangis dan
berkata, "Harap Paman bunuh saja aku yang berdosa ini!"
Suma Han
memandang tajam, kerut di alisnya makin mendalam. "Hemmm, pernahkah aku
mengajarmu bersikap seperti pengecut ini? Setiap orang membuat kesalahan, dan
sikap terbaik adalah menyadari kesalahan itu, bukan dengan penyesalan yang
menimbulkan keinginan untuk bunuh diri! Sekarang aku mempunyai tugas untukmu,
jika engkau melaksanakan tugas ini dengan baik berarti engkau mempunyai
keinginan untuk menebus kesalahanmu. Sanggupkah engkau?"
"Biar
harus mengorbankan nyawa, akan saya laksanakan tugas itu, harap Paman lekas
beritahukan kepada saya."
"Kau
pergilah meninggalkan pulau ini, carilah Milana sampai dapat, bawa dia ke pulau
ini menyusul kami. Juga kau selidiki di mana adanya Gak Bun Beng yang sudah
kusuruh mencari Milana. Mereka telah kami tunangkan dan keduanya harus menyusul
kami di sini untuk dilaksanakan pernikahannya. Juga kau harus mencari Wan Keng
In, selain minta dia menyerahkan Lam-mo-kiam juga katakan kepadanya bahwa
ibunya telah berada di Pulau Es, menjadi isteriku. Nah, berangkatlah!"
Wajah Kwi
Hong seketika pucat ketika dia mendengar perintah ini. Biar pun amat sukar
menundukkan Wan Keng In, apa lagi memaksanya menyerahkan Lam-mo-kiam dan
mengajaknya ke Pulau Es, namun hal itu masih tidak membuat dia terkejut. Yang
membuat wajahnya pucat adalah ketika dia mendengar akan pertunangan antara Gak
Bun Beng dan Milana! Jantungnya seperti ditusuk rasanya dan cepat menundukkan
mukanya untuk menyembunyikan kepucatan wajahnya dan dua titik air mata yang
sudah bergantung di bulu matanya. Dia mengangguk, kemudian menerima pedang
Li-mo-kiam yang disodorkan pamannya. Tanpa menjawab, tiba-tiba tubuhnya
berkelebat dan dia sudah berlari-lari ke pantai, meloncat ke dalam sebuah
perahu kecil yang tadi dipergunakan oleh Phoa Ciok Lin, dan meluncurkan perahu
dengan cepatnya menuju ke utara, melalui celah-celah pegunungan es yang
terapung di lautan.
Suma Han
berdiri tegak memandang bayangan keponakannya itu, alisnya berkerut. Pendekar
Super Sakti ini diam-diam merasa kasihan dan terharu. Dia memang sengaja tadi
memberitahukan tentang pertunangan antara Bun Beng dan Milana, karena dia tahu
bahwa keponakannya itu menaruh hati cinta kepada Bun Beng. Dia ingin agar
keponakannya yang mudah dibujuk orang jahat itu belajar melihat kenyataan hidup
dan menghadapinya dengan penuh keberanian! Hal ini akan menanamkan kepercayaan
kepada diri sendiri, membuatnya waspada dan tidak lengah. Mengingat betapa dia
telah menggembleng dara itu, dan bahwa Bu-tek Siauw-jin juga sudah menurunkan
ilmu kepada keponakannya itu, dia tidak khawatir lagi akan keselamatan Kwi Hong
yang tentu sudah cukup kuat untuk menjaga diri, apa lagi dengan Li-mo-kiam di
tangannya.
"Taihiap
engkau sungguh kejam...!"
Mendengar
suara Phoa Ciok Lin ini, Suma Han cepat menengok lalu berlutut di dekat kedua
isterinya. Kiranya pembantunya itu telah siuman dari pingsannya dan sekarang
memandang kepadanya dengan muka pucat sekali dan mata sayu. Dengan terharu dia
memegang tangan wanita yang sedang sekarat itu tanpa dapat mengeluarkan
kata-kata.
"Taihiap,
apakah engkau tidak tahu... bahwa Kwi Hong mencinta Bun Beng seperti...
seperti... aku mencintamu pula? Aku bukan seorang muda, aku dapat melihat bahwa
cintaku sia-sia, bahwa aku bertepuk sebelah tangan... dan demi cintaku... aku
bahagia menyaksikan engkau telah dapat berkumpul dengan kedua orang wanita yang
kau cinta. Aku... aku... demi cintaku kepadamu, aku dengan senang hati suka
berkorban, aku akan mati dengan hati tenteram... akan tetapi Kwi Hong masih
muda sekali! Dapatkah dia bersikap seperti aku? Taihiap... kasihan dia... entah
apa yang akan terjadi dengan dia... tapi... aku percaya kepadamu Taihiap,
selamat tinggal...!"
Phoa Ciok
Lin menghembuskan napas terakhir. Agaknya kekhawatiran dalam hatinya mengenai
nasib Kwi Hong tidak dapat mengusir kebahagiaan hatinya menyaksikan orang yang
amat dikasihinya itu akhirnya dapat berkumpul dengan Lulu dan Nirahai, sehingga
tepat seperti yang diucapkannya tadi, dia menghembuskan napas terakhir dengan
senyum di bibirnya!
Suma Han
menarik napas panjang, berbisik, "Ciok Lin, aku pun cinta padamu, akan
tetapi bukan cinta seperti yang kau maksudkan itu..."
Kemudian,
dengan dibantu oleh Lulu dan Nirahai yang tidak berkata sesuatu, Suma Han
menguburkan jenazah Phoa Ciok Lin di bagian yang paling tinggi di pulau itu
agar kuburannya tidak selalu tertimbun oleh salju.
Ketika
mereka bertiga berdiri di depan kuburan itu dan kebetulan mereka menghadap ke
selatan, mereka melihat udara di selatan amat gelap dan tampak kilat
menyambar-nyambar dan awan hitam bergumpal-gumpal amat menakutkan. Nirahai yang
belum pernah menyaksikan penglihatan seperti itu menjadi ngeri dan memegang
tangan suaminya.
"Ihhh!
Apakah di sana itu?"
Lulu yang
menjawabnya, karena Lulu sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Es ini,
"Badai. Di selatan ada badai yang mengamuk, Suci. Dan anjing-anjing tadi
yang di sini mendapat pengampunan, ternyata tidak diampuni oleh Tuhan. Mereka
tentu tewas semua ditelan badai!"
"Untung
bahwa Kwi Hong tadi mengambil jalan ke utara," Suma Han berkata.
Dia
menggandeng tangan ketua orang wanita itu, dan dengan penuh kasih sayang mereka
bertiga berjalan bergandengan menuju ke istana Pulau Es, menuju ke hidup baru
setelah belasan tahun ketiga orang sakti ini merana oleh cinta yang putus di
antara mereka.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment