Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 01
PADA JAMAN lima wangsa (thn 907-960), kerajaan Nan-Cao merupakan negara kecil di propinsi Yu Nan sebelah selatan. Mungkin karena kecilnya kerajaan ini tidak dipandang mata oleh kerajaan lain, juga oleh kerajaan Sung yang kemudian di bangun.
PADA JAMAN lima wangsa (thn 907-960), kerajaan Nan-Cao merupakan negara kecil di propinsi Yu Nan sebelah selatan. Mungkin karena kecilnya kerajaan ini tidak dipandang mata oleh kerajaan lain, juga oleh kerajaan Sung yang kemudian di bangun.
Akan tetapi,
pada pagi hari di pertengahan musim chun (semi) itu, banyak sekali tokoh-tokoh
terkenal di dunia kang-ouw termasuk ketua-ketua perkumpulan dari pelbagai
aliran, orang-orang muda yang patut di sebut pendekar silat, dan orang-orang
aneh yang memiliki kesaktian, datang membanjiri Nan-cao. Apakah gerangan yang
menarik para kelana dan petualang itu mendatangi Nan-cao? Apa pula hal yang
menarik mereka berdatangan dari tempat-tempat yang amat jauh?
Pertama
adalah pengangkatan Beng-kauwcu (Ketua Agama Beng-kauw) sebagai Koksu (Guru
Negara) Kerajaan Nan Cao. Mereka berdatangan untuk memberi selamat kepada Ketua
Beng-kauw yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Siapakah tidak mengenal
Ketua Agama Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti
Berlengan Delapan) itu?
Pada masa
itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan merupakan tokoh gemblengan yang jarang ditemukan
keduanya, jarang menemukan tanding. Selain memiliki kesaktian hebat, Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan juga merupakan pendiri Agama Beng-kauw atau pembawa agama itu
dari barat. Tidak mengherankan apabila kini tokoh-tokoh dari partai persilatan
besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, dan lain-lain mengirim
utusan untuk menghaturkan selamat atas pengangkatan tokoh sakti ini sebagai
Koksu Kerajaan Nan-cao.
Ada pun hal
kedua yang meyebabkan terutama kaum muda, para pendekar perkasa dari pelbagai
penjuru dunia ikut pula berdatangan, adalah tersiarnya berita bahwa puteri
tunggal Pat-jiu Sin-ong hendak mempergunakan kesempatan berkumpulnya para tokoh
persilatan itu untuk mencari jodoh! Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kaum
muda, menggerakkan hati mereka untuk ikut datang mempergunakan kesempatan baik
mengadu untung. Siapa tahu!
Nama Liu Lu
Sian, puteri Ketua Beng Kauw itu sudah terkenal di mana-mana. Terkenal sebagai
seorang gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki kecantikan
seperti dewi khayangan. Terkenal pula betapa gadis jelita ini telah berani
menolak pinangan-pinangan yang datangnya dari orang-orang besar, dari putera-putera
para ketua perkumpulan, bahkan menolak pula pinangan dari istana beberapa
kerajaan!
Tentu saja
para pemuda ini pun sebagian besar hanya ingin menyaksikan sendiri bagaimana
wujud rupa dan bentuk dara yang terkenal itu, karena jarang di antara mereka yang
pernah melihat Liu Lu Sian. Yang pernah bertemu dengan gadis ini memuji-muji
setinggi langit, terutama sekali tentang kecantikannya yang menjadi buah bibir
para muda, bahkan entah siapa orangnya yang membuat, telah ada sajak pujian
bagi Liu Lu Sian.
Rambutnya
halus licin laksana sutera.
harum
melambai, meraih cinta asmara!
Mata indah,
kerling tajam menggunting jantung,
bulu mata
lentik berkedip mesra membuat bingung!
Hidung
mungil, halus laksana lilin diraut,
cuping tipis
bergerak mesra menambah patut!
Hangat
lembut, merah basah juwita.
Gendewa
terpentang berisi sari madu Puspita!
Banyak lagi
puji-puji yang mesra bagi kejelitaan dara ayu Liu Lu Sian, yang dikagumi siapa
yang pernah melihatnya, dipuji dari ujung rambut sampai ke telapak kakinya!
Memang sesungguhnyalah, Liu Lu Sian seorang dara jelita.
Usianya baru
enam belas tahun (pada jaman itu sudah dewasa dan masak), namun ilmu silatnya
amat tinggi. Hal ini tidak mengherankan karena semenjak kecilnya ia digembleng
oleh ayahnya sendiri. Hanya sayang bahwa sejak berusia dua tahun, Liu Lu Sian
telah ditinggal mati ibunya. Ia tidak pernah merasa kasih sayang ibu kandung
dan mungkin hal ini yang membuat ia menjadi seorang gadis yang berwatak aneh,
riang gembira, lucu jenaka, akan tetapi juga liar bebas, tak terkekang ingin
menang dan berkuasa saja, tidak mau tunduk kepada siapa pun juga.
Para muda
yang mendatangi Nan-Cao semua tahu belaka betapa sukarnya memperoleh gadis
puteri ketua Beng-kauw itu. Bagaikan setangkai bunga, Lu Sian adalah bunga
dewata yang tumbuh di puncak gunung yang amat tinggi dan sukar didapatkan. Dara
itu puteri tunggal Pat-Jiu Sin-ong yang sakti, yang tentu saja menghendaki
seorang mantu pilihan, baik dipandang dari sudut keturunan, keadaan, mau pun
tingkat kepandaiannya. Bahkan kabarnya dara itu hanya mau menjadi isteri
seorang pendekar muda yang mampu mengalahkan dirinya! Namun, para muda yang
sudah dimabok asmara, bagaikan serombongan semut yang tertarik oleh harum dan
manisnya madu, tidak takut bahaya, berusaha mendapatkannya biar pun bahaya
mengancam nyawa.
Tiada
hentinya para muda itu mempercakapkan tentang Lu Sian, memuji-muji
kecantikannya, menyatakan harapan-harapan muluk ketika mereka bermalam di
rumah-rumah penginapan di kota raja sambil menanti saat dibukanya kesempatan
bagi mereka untuk memasuki halaman gedung Pat-jiu Sin-ong beberapa hari lagi,
dimana selain hendak ikut memberi selamat, mereka pun berharap akan dapat
menyaksikan kehebatan dara yang mereka percakapkan dan yang menjadi kembang
mimpi mereka setiap malam.
Liu Lu Sian
bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis yang manja ini maklum sepenuhnya bahwa ia
menjadi bahan percakapan dan pujian. Maka pada pagi hari itu, dua hari sebelum
ayahnya menerima para tamu, ia sengaja mengenakan pakaian indah, menunggang
seekor kuda putih, lalu melarikan kudanya mengelilingi kota raja!
Memang hebat
dara ini. Wajahnya kemerahan, berseri-seri dan pada kedua pipinya yang bagaikan
pauh dilayang (merah jambu) itu, nampak lesung pipit menghias senyum dikulum.
Rambutnya yang hitam gemuk digelung keatas, diikat rantai mutiara dan ujungnya
bergantung di belakang punggung, halus melambai tertiup angin. Tubuhnya amat
ramping, pinggangnya kecil sekali hingga agaknya dapat dilingkari jari-jari
tangan, terbungkus pakaian sutera merah muda bergaris pinggir biru dan kuning
emas, ketat mencetak bentuk tubuh yang padat berisi karena terpelihara dan
terlatih semenjak kecil.
Pengait baju
terbuat daripada benang emas yang gemilang, ikat pinggangnya dari sutera biru
yang bergerak-gerak bagaikan sepasang ular hidup. Celananya sutera putih yang
seakan membayangkan sepasang kaki indah, padat berisi dan sempurna
lekuk-lengkungnya, diakhiri dengan sepasang sepatu hitam yang berlapis perak.
Cantik tak terlukiskan! Menyaingi bidadari sorga dengan gerak tubuh yang lemah
gemulai dan elok. Akan tetapi rangka pedang yang tergantung di pinggangnya membuat
ia lebih patut menjadi seorang Dewi Kwan Im Pouwsat!
Kuda putih
tunggangannya berlari congklang dan Lu Sian memandang lurus ke depan, namun
ujung matanya menyambarkan kerling tajam kesana-sini, terutama waktu kudanya
lewat di depan rumah-rumah penginapan di mana para tamu muda berjajar di depan
pintu dengan mata jalang dan mulut ternganga, terpesona mengagumi dewi yang
baru lewat.
Setelah dara
ayu itu lenyap bayangannya, ributlah para muda taruna itu. Makin parah penyakit
asmara menggerogoti jantung. Makin ramai percakapan mereka tentang si Cantik
Manis. Rindu dendam dan harapan mereka yang terbawa dari rumah ratusan bahkan
ribuan li jauhnya terpenuhi sudah. Mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala
sendiri dewi pujaan hati mereka. Dan betapa tidak mengecewakan pemandangan itu.
Bahkan melebihi semua dugaan dan mimpi. Tergila-gila belaka mereka setelah Lu
Sian lewat di atas kudanya.
"Aduh...,
mati aku...! Kalau aku tidak berhasil menggandengnya pulang, percuma aku hidup
lebih lama lagi...!" seorang pemuda tampan tanpa ia sadari mengucapkan
kata-kata ini sambil menarik napas panjang.
"Lebih
baik mati di bawah kaki si jelita dari pada pulang bertangan hampa!"
sambung pemuda ke dua.
"Siapa
tahu, rejekiku besar tahun ini. Menurut perhitungan peramal, jodohku seorang
gadis bermata bintang. Dan matanya...! Ah, matanya..., kalah bintang
kejora!" kata pemuda lain.
"Mulutnya
yang hebat! Amboooiii mulutnya... ah, ingin aku menjadi buah apel agar
dimakannya dan berkenalan dengan bibir itu. Aduhhh...!"
Bermacam-macam
seruan para muda itu yang seakan lupa diri, menyatakan perasaan hati
masing-masing yang menggelora. Sudah lazim kalau sekumpulan orang muda
bercakap-cakap, mereka lebih berani manyatakan perasaan hati masing-masing
sehingga percakapan itu menjadi hangat dan kadang-kadang terdengar kata-kata
yang kurang sopan. Apalagi para muda yang tergila-gila pada seorang gadis
jelita ini adalah orang-orang kang-ouw, pemuda-pemuda kelana dan petualang.
Banyak sudah tempat mereka jelajahi, cukup sudah dara-dara jelita mereka
saksikan, namun baru sekali ini mereka menjumpai dara secantik Lu Sian.
Melampaui semua kembang mimpi.
Tujuh orang
pemuda yang berkumpul dalam sebuah rumah penginapan itu adalah
pendekar-pendekar muda dari beberapa partai. Seperti biasa, karena merasa
segolongan dan setujuan, mereka lekas bersahabat dan selain menuturkan
pengalaman masing-masing yang biasanya mereka lebihi, juga mereka tiada
habisnya memuji-muji dan membicarakan diri Liu Lu Sian yang diam-diam mereka
perebutkan. Setelah Lu Sian lewat di depan rumah penginapan itu, sampai jauh
malam para pemuda ini bicara tentang Lu Sian dan masing-masing menyatakan
harapan menjadi orang yang terpilih dengan mengemukakan dan menonjolkan
keistimewaan masing-masing.
"Sebagai
puteri Beng-kauw tentu kepandaiannya amat tinggi, dan belum tentu aku mampu
menandinginya. Akan tetapi ilmu golokku yang terkenal dan nama Ilmu Golok
Pelangi di Awan Biru memiliki keindahan yang melebihi keindahan seni tari mana
pun juga. Siapa tahu, keindahan seni permainan golokku akan menawan
hatinya!" kata pemuda muka putih dengan pandang mata merenung penuh
harapan, dan di depan matanya terbayanglah mulut manis Lu Sian, karena dialah
yang tadi tergila-gila oleh mulut manis itu dan ingin menjadi buah apel!
"Aku
tidak punya kedudukan, orang tuaku miskin dan aku pun tidak berpendidikan,
tidak pandai tulis baca. Akan tetapi, biar pun ilmu silatku mungkin tidak
setinggi dia, aku memiliki tenaga besar yang boleh diukur dengan tenaga siapa
pun juga," kata pemuda tinggi besar yang matanya lebar.
"Mudah-mudahan
nona Lu Sian sudi memandang nama besar Kun-lun-pai sehinga aku sebagai murid
kecil Kun-lun-pai akan menarik perhatiannya," kata pemuda ke tiga yang
tampan juga. Demikianlah, tujuh orang pemuda itu menonjolkan keistimewaan
masing-masing dengan harapan dialah yang akan terpilih.
Lewat tengah
malam barulah mereka memasuki kamar masing-masing, namun tentu saja mereka tak
dapat tidur, karena di depan mata mereka selalu terbayang wajah Liu Lu Sian. Maka
ketika terdengar ada tamu baru datang dan disambut oleh pengurus rumah
penginapan, mereka bertujuh semua keluar dan melihat tamu seorang pemuda
berpakaian indah, berwajah tampan sekali dan bersikap tenang memasuki ruang
dalam.
"Maaf,
Kongcu (tuan muda), bukan kami kurang hormat terhadap tamu. Akan tetapi, kamar
yang patut untuk Kongcu sudah penuh semua. Kecuali kalau di antara para
Enghiong (Pendekar) yang terhormat membagi kamarnya...." Dengan ragu-ragu
dan penuh harap pengurus penginapan itu memandang ke arah tujuh pemuda yang
sudah keluar dari kamar masing-masing
Tujuh orang
muda itu memandang si pendatang baru penuh perhatian. Pemuda ini berpakaian
seperti orang terpelajar, gerak-geriknya halus, sama sekali tidak membayangkan
gerak seorang ahli silat. Otomatis ketujuh orang pendekar muda itu memandang
rendah.
Mana ada
seorang pendekar suka membagi kamar dengan kutu buku yang tentu akan menjemukan
dan bicaranya tentu soal kitab-kitab dan sajak belaka? Pemuda itu agaknya
maklum akan pandang mata mereka, maka cepat-cepat ia mengangkat kedua tangan ke
depan dada, dan memberi hormat berkata dengan penuh kesopanan.
"Harap
Cu-wi Enghiong (Tuan-tuan Pendekar Sekalian) sudi memberi maaf kepada siawte
(aku yang muda). Tentu saja siawte tidak berani menggangu para Enghiong, akan
tetapi barangkali ada di antara para Cu-wi yang sudi membagi kamar...." Ia
berhenti bicara ketika melihat mereka mengerutkan kening, kemudian menanti
jawaban. Ketika tidak ada jawaban datang, ia pun tersenyum.
"Saudara
siapakah dan dari golongan mana? Apakah tamu dari Beng-kauwcu Liu-locianpwe
(Orang Tua Gagah she Liu Ketua Beng-kauw)?" tanya pemuda tinggi besar yang
bertenaga gajah.
"Siauwte
she Kwee bernama Seng. Orang lemah seperti siauwte yang setiap hari menekuni
huruf-huruf kuno tidak dari golongan mana-mana, dan siauwte hanya pelancong
biasa."
“Hmm, maaf,
kamarku sempit sekali," jawab si Tinggi Besar kehilangan perhatian.
"Kamarku
juga sempit." jawab orang ke dua.
"Aku
tidak biasa tidur berteman," kata orang ke tiga.
"Maaf, maaf,
memang siauwte tidak berani mengganggu Cu-wi. Eh, Lopek. Kau tadi bilang
tentang kamar yang patut, apakah masih ada kamar yang tidak patut?" Kwee
Seng menoleh ke arah pengurus penginapan, sedangkan tujuh orang pendekar itu
sudah kembali ke kamar masing-masing dan menutupkan daun pintunya.
"Ah,
ada... Ada, Kongcu. Akan tetapi, itu adalah kamar-kamar kecil di sebelah
belakang, dahulu menjadi kamar pelayan. Tidak berani saya menawarkannya kepada
Kongcu...."
Kwee Seng
tersenyum. "Tidak mengapa, Lopek. Malam sudah begini larut, mencari kamar
di penginapan lain pun repot. Biarlah aku bermalam di kamar pelayan itu."
Dengan
tergopoh-gopoh pengurus penginapan itu lalu mendahului Kwee Seng sambil membawa
sebuah lampu, mengantar tamunya ke sebuah kamar yang berada jauh di ujung
belakang. Benar saja, kamar ini kecil, hanya terisi sebuah pembaringan bambu
yang setengah reyot, lantainya tidak begitu bersih pula.
"Ah,
cukup baik!" seru Kwee Seng sambil menaruh bungkusan pakaiannya di atas
pembaringan. "Tidak usah kau tinggal lampumu, Lopek. Aku biasa tidur
gelap." Dia menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang mengeluarkan
bunyi berkereotan.
Pengurus
penginapan itu keluar dari dalam kamar membawa lampunya sambil menggeleng-geleng
kepala, saking heran melihat seorang kongcu berpakaian indah itu kelihatannya
sudah tidur pulas begitu tubuhnya menyentuh pembaringan. Ia menutupkan daun
pintu perlahan-lahan.
Sebentar
kemudian sekeliling tempat penginapan sunyi. Pengurus dan penjaga pun sudah
tidur. Yang terdengar hanya dengkur yang keras dari kamar pemuda tinggi besar.
Dari beberapa buah kamar lain terdengar suara orang mengigau menyebut-nyebut
nama Liu Lu Sian. Bahkan dalam mimpi pemuda-pemuda ini selalu merindukan Lu Sian!
Suara
mengigau ini keluar dari kamar pemuda anak murid Kun-lun-pai. Tiba-tiba sebagai
seorang ahli silat, pemuda tampan itu meloncat turun dari pembaringannya ketika
pendengarannya, atau agaknya lebih tepat indera keenamnya, mendengar suara yang
mencurigakan.
Ketika
meloncat tadi sekaligus ia telah mencabut pedangnya, dan sekali menggoncang
kepalanya lenyaplah semua kantuk dan ia sudah berada dalam posisi siap siaga,
sepasang matanya melirik ke arah jendela kecil kamarnya. Tiba-tiba jendela itu
terbuka daunnya dari luar, dan muncullah seorang laki-laki jangkung yang
berusia empat puluh tahun lebih, bertangan kosong. Orang ini memasuki kamar
melalui jendela dengan gerakan ringan dan sikap tenang saja.
"Siapa
kau?! Mau apa...."
"Mau
membunuhmu. Manusia macam kau yang berani menyebut-nyebut puteri Beng-kauwcu
harus mampus!" berkata bayangan laki-laki itu dengan suara mendesis, lalu
menerjang maju.
Biar pun
merasa kaget sekali, pemuda Kun-lun-pai itu tentu saja tidak menjadi gentar.
Pedangnya berkelebat dan sinarnya bergulung-gulung di depan dada. Dia hanya
bermaksud melindungi dirinya saja terhadap orang yang agaknya gila ini. Akan
tetapi, tiba-tiba sekali gerakan pedangnya berhenti seakan-akan tertahan oleh
tenaga yang tak tampak. Sebelum sempat bersuara, pemuda Kun-lun-pai ini tewas
seketika!
Suara
mendengkur dari kamar si Tinggi Besar terhenti seketika. Jagoan bertenaga gajah
ini pun biar tidurnya mendengkur, sedikit suara saja cukup membuat ia terjaga
dari tidurnya. Kamarnya berada di sebelah kamar murid Kun-lun-pai, maka ia
mendengar suara dari dalam kamar itu, cukup membuatnya terbangun dan curiga.
Karena pada
tiap kamar penginapan terdapat jendela di sebelah belakang, ia cepat membuka
daun jendela dan... seperti kilat cepatnya ia meloncat ke luar dan menerkam
seorang laki-laki yang berdiri di depan jendela murid Kun-lun-pai. Kedua
lengannya yang kuat bergerak, dalam segebrakan saja si Tinggi Besar berhasil
mencekik leher orang itu.
"Hayo
mengaku, siapa kau dan...uuhhh!" Tubuh yang tinggi besar itu seketika
menjadi lemas dan kepalanya miring, lalu ia roboh tak berkutik lagi di depan
laki-laki setengah tua yang jangkung itu!
"Apa
yang kau lakukan? Penjahat...!"
Sebatang
golok menyambar dengan hebatnya membentuk sinar melengkung seperti pelangi.
Kiranya pemuda yang memiliki Ilmu Golok Pelangi di Awan Biru telah turun tangan
melihat ada orang merobohkan temannya yang tinggi besar. Memang indah
gerakannya, gulungan sinar goloknya seperti gerakan pita dan selendang para
bidadari sedang menari-nari.
Namun dengan
mudah bayangan itu menyelinap di antara gulungan sinar golok. Dan belum juga
empat jurus si pemuda menyerang, ia sudah roboh pula terkena tamparan pada
lehernya, roboh untuk selamanya karena nyawanya melayang.
Dengan
gerakan tenang namun cepat sekali, si Bayangan Maut itu menuju ke kamar yang
lain. Namun belum sempat ia membuka jendela, empat orang pemuda yang lain sudah
berlari datang dan mengepungnya. Mereka lalu berlari ke belakang dan segera
mengepung si Bayangan Maut ketika melihat betapa dua orang temannya sudah
menggeletak pula tak bernyawa.
"Kalian
harus mampus semua...!"
Bayangan itu
mendengus, tubuhnya bergerak secara aneh sekali, menyelinap di antara sambaran
empat buah senjata para pengurungnya. Hebat memang kepandaian bayangan maut
ini.
Empat orang
pemuda yang mengeroyoknya bukanlah pemuda-pemuda sembarangan. Mereka itu sudah
terdidik dalam ilmu silat yang cukup tinggi, setingkat dengan anak murid
Kun-lun-pai dan dengan si Tinggi Besar atau si Golok Pelangi. Namun menghadapi
bayangan maut ini, mereka tak mampu berbuat banyak. Lawan yang mereka keroyok
ini seakan-akan hanya bayangan kosong yang tak mungkin dapat tersinggung
senjata mereka.
Tiba-tiba
bayangan itu terkekeh dan....
“Plak-plak-plak-plak!”
empat orang pemuda itu pun roboh, terpukul pada leher mereka dan tewas
seketika!
Setelah
membunuh tujuh orang pemuda itu, bayangan ini berdiri dengan kaki terpentang
lebar. Ia mendongakkan mukanya ke atas sambil tertawa. "Ha-ha-hah!
Alangkah lucunya! Orang-orang macam ini mengharapkan seorang dewi seperti dia!
Ha-ha-hah!"
Kemudian,
mendengar suara ribut-ribut dari pengurus penginapan yang agaknya terjaga,
sekali meloncat ia sudah berada di atas genteng, lalu bagaikan gerakan seekor
kucing, ia berlari ke arah belakang tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi
mendadak orang itu berseru perlahan ketika kakinya terpeleset karena genteng
yang diinjaknya merosot turun. Cepat ia berjongkok di atas bangunan bagian
belakang rumah penginapan itu dan membuka genteng, kemudian mengintai.
Kiranya di
situ terdapat seorang pemuda yang lagi enak tidur telentang. Sebatang lilin
kecil menyala di atas meja. Kepalanya diganjal bantalan pakaian. Tidak tampak
senjata di dalam kamar itu sehingga bayangan itu mengerutkan kening. Seorang
pemuda pelajar, pikirnya, tak mungkin dia yang main-main denganku. Akan tetapi
siapa tahu? Ia mengeluarkan sebatang jarum merah dan sekali jari-jari tangannya
bergerak, melesatlah sinar merah ke bawah melalui celah-celah genteng, menuju
ke arah leher si pemuda yang tidur telentang.
Pemuda di
bawah itu yang bukan lain adalah Si Pelajar Kwee Seng, menggeliat dan mengeluh
seperti orang mengigau dalam tidurnya, lalu miring. Akan tetapi tiba-tiba tubuh
itu menegang kaget dan tak bergerak-gerak lagi. Bayangan orang di atas genteng
tersenyum puas melihat korbannya yang ke delapan, maka ia bangkit berdiri dan
cepat ia lari pergi dari tempat itu, menghilang di dalam gelap!
"Tolong...!
Pembunuhan... pembunuhan...!!" suara pengurus penginapan ini terdengar
lantang sekali di waktu fajar itu, mengagetkan semua orang. Para pelayan
bersama para tamu lainnya berbondong keluar dan sebentar saja di tempat
pembunuhan sudah penuh dengan orang. Obor-obor dan lampu-lampu dipasang
sehingga keadaan menjadi terang sekali. Pembunuhan yang sekaligus mengorbankan
nyawa tujuh orang pemuda kang-ouw benar-benar merupakan peristiwa hebat yang
mengejutkan sekali.
Ketika
pengurus penginapan melihat Kwee Seng berada di antara orang banyak itu, ikut
menjenguk dan melihat pemuda-pemuda taruna yang menjadi korban pembunuhan aneh,
pengurus itu segera memegang lengannya dan berkata. "Ah, Kongcu
benar-benar seorang yang masih dilindungi Thian (Tuhan)! Seandainya Kongcu
diterima tidur dengan mereka, ah... tentu akan bertambah seorang lagi korban
pembunuh kejam ini!"
Kwee Seng
hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum duka. Di dalam hatinya ia
menyangkal keras pendapat pengurus rumah penginapan ini. Andaikata ia diterima
bermalam dengan mereka, belum tentu iblis maut yang malam itu merajalela dapat
menjatuhkan tangan mautnya.
Diam-diam ia
meraba jarum kecil yang ia masukkan ke dalam saku bajunya, jarum merah yang
malam tadi pun hampir membunuhnya. Menyesallah hati Kwee Seng mengapa malam
tadi ia tidak mengejar si penjahat yang mencoba membunuhnya, dan mengapa ia
begitu enak tidur sehingga ia tidak tahu di bagian depan penginapan itu menjadi
tempat penyembelihan tujuh orang muda.
Kwee Seng
adalah seorang mahasiswa gagal. Ia suka sekali akan bun (sastra), bu (silat),
namun bakatnya lebih menjurus kepada bu (silat). Seorang pemuda yatim piatu,
sebatang kara merantau tanpa tujuan. Namun ilmu kepandaiannya amat tinggi, ilmu
silatnya sukar mendapatkan tandingan. Selain ia telah mempelajarinya dari para
pertapa sakti di puncak-puncak gunung sebelah barat, juga ia pernah berjumpa
dengan manusia dewa Bu Kek Siansu yang telah menurunkan beberapa macam ilmu
kepadanya.
Bu Kek
Siansu terkenal sebagai manusia dewa yang sewaktu-waktu muncul untuk mencari
bahan baik, tulang pendekar berwatak budiman, dan menurunkan ilmu. Tak seorang
pun di dunia ini tahu dari mana asalnya dan di mana tempat tinggalnya yang
tetap.
Kwee Seng
pernah mengikuti ujian di kota raja namun gagal. Semenjak itu, ia tidak pernah
kembali ke kampung halamannya, yaitu di sebuah dusun kecil di kaki gunung
Luliang-san, karena ayah bundanya sudah lama meninggal dunia oleh wabah
penyakit ketika ia masih kecil.
Ia merantau
sebagai seorang kang-ouw yang tak terkenal karena semua sepak terjangnya ia
sembunyikan. Hanya beberapa orang tokoh besar saja di dunia kang-ouw yang
mengenal pendekar sakti muda ini, malah diam-diam ia diberi julukan Kim-mo-eng
(Pendekar Setan Emas).
Ia disebut
setan karena sepak terjangnya seperti setan, tak pernah memperlihatkan diri.
Akan tetapi ia di sebut emas yang mengandung maksud bahwa pendekar ini berhati
emas, membela kebenaran dan keadilan, pembasmi kelaliman dan kekejaman. Namun
hanya kalangan terbatas saja pernah mendengar nama ini, di dunia kang-ouw nama
Kim-mo-eng Kwee Seng tak pernah terdengar.
Kwee Seng
tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke tujuh orang pendekar pada malam
yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong yang kebetulan lewat di kota raja
Nan-Cao. Memang ia tidak mempunyai niat untuk menjadi tamu Beng-kauw, sungguh
pun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing baginya.
Ia tidak suka
tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal yang ia anggap sebagai bukti
kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan. Maka baginya, hal itu tidak perlu
diberi selamat. Apalagi mendengar berita tentang putri Pat-jiu Sin-ong yang
hendak memilih jodoh, seujung rambut pun tiada niat di hatinya untuk
ikut-ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si jelita pun sama sekali
ia tidak ada nafsu.
Memang
demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah kepada hal-hal yang
dianggapnya tidak benar atau menyimpang dari kebenaran. Padahal harus diakui
bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tiga tahun, yang
tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu berdebar-debar apabila melihat
seorang gadis cantik.
Ia seorang
pemuda yang pada dasarnya memiliki watak romantis, suka akan keindahan, suka
akan tamasya alam yang permai, suka akan bunga yang indah dan harum, dan tentu
saja bentuk tubuh seorang dara jelita. Akan tetapi, kekuatan batinnya cukup
untuk menekan semua perasaan ini dan membuat ia tetap tenang.
Peristiwa
pembunuhan di dalam rumah penginapan itu membangkitkan jiwa satrianya. Ia
mendengar keterangan sana-sini dan tahu bahwa tujuh orang pemuda itu adalah
calon-calon pengikut sayembara untuk meminang puteri Beng-kauwcu. Mendengar
pula betapa pemuda-pemuda itu sudah kegilaan akan Nona Liu Lu Sian, dara
rupawan yang pada pagi hari kemarin lewat di depan rumah penginapan.
Karena ini,
diam-diam Kwee Seng menghubungkan semua itu dengan pembunuhan. Agaknya karena
mereka itu tergila-gila kepada Liu Lu Sian maka malam ini menjadi korban
pembunuhan keji. Entah apa yang menjadi dasar pembunuhan, entah cemburu atau
bagaimana. Namun yang pasti, untuk mencari pembunuhnya ia harus datang menjadi
tamu Beng-Kauw! Inilah yang membuat Kwee Seng terpaksa menunda perantauannya
dan bersama dengan para tamu lainnya, ia pun melangkahkan kaki menuju ke gedung
keluarga Pat-jiu Sin-ong.
***************
Rumah gedung
keluarga Liu dihias meriah. Pekarangan yang amat luas itu telah diatur menjadi
ruangan tamu. Di bagian tengah agak mendalam yang letaknya lebih tinggi
daripada ruangan depan, kini dipergunakan untuk tempat tuan rumah dan para tamu
yang terhormat atau para tamu kehormatan.
Ruangan ini
disambung dengan sebuah panggung setinggi satu meter yang cukup luas dan
panggung ini diperuntukkan untuk mereka yang hendak bicara mengadakan sambutan,
juga dibentuk semacam panggung tempat main silat. Panggung semacam ini memang
lazim diadakan setiap kali ada ahli silat mengadakan sesuatu, karena perayaan
di antara ahli silat tanpa pertunjukan silat akan merupakan hal yang janggal
dan mentertawakan.
Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan belum tampak di luar. Para tamu disambut oleh tiga orang
sute-nya (adik seperguruannya). Yang pertama adalah Liu Mo adik kandungnya
sendiri. Liu Mo berusia empat puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan pendiam,
sinar matanya membayangkan watak yang serius (sungguh-sungguh) dan berwibawa.
Biarpun Liu Mo memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan merupakan orang ke dua
dalam Beng-kauw, namun ia tetap sederhana dan tidak mempunyai julukan apa-apa.
Di dalam Beng-kauw, ia merupakan pembantu yang amat berharga dari kakak
kandungnya dan boleh boleh dikatakan untuk segala urusan dalam, Liu Mo inilah
yang sering mewakili kakaknya.
Orang ke dua
adalah Ma Thai kun. Orangnya tinggi kurus, wajahnya selalu keruh dan biarpun
usianya baru tiga puluh enam tahun, namun ia memelihara jenggot dan kelihatan
lebih tua. Ia terkenal pemarah dan wataknya keras, kepandaiannya juga tinggi
dan ilmu silatnya tangan kosong amat hebat. Segala macam pukulan dipelajarinya
dan kedua tangannya mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat. Berbeda dengan
Liu Mo yang sabar dan berwibawa, orang ke tiga dari Beng-kauw ini menyambut
tamu dengan wajah gelap dan tak pernah tersenyum, juga ia memandang rendah
kepada para tamunya.
Orang ke
tiga dari para wakil ketua Beng-Kauw ini usianya hampir tiga puluh tahun, akan
tetapi wajahnya terang dan kelihatan masih muda. Dandanannya sederhana sekali,
bahkan lucu karena ia menggunakan sebuah caping (topi berujung runcing) seperti
dipakai para petani atau penggembala. Di punggungnya terselip sebatang cambuk
yang biasa dipergunakan para penggembala mengatur binatang gembalaannya! Memang
murid termuda ini seorang yang ahli dalam soal pertanian dan peternakan.
Wajahnya terang dan ia menerima para tamu dengan sikap hormat sekali. Inilah
Kauw Bian seorang pemuda desa yang menjadi sute termuda dari Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan. Biar pun sikapnya sederhana dan seperti seorang desa, akan tetapi
jangan dipandang rendah kepandaiannya, dan pecut itu sama sekali bukanlah pecut
biasa melainkan senjatanya yang ampuh!
Sebagaimana
lazimnya para tokoh besar, mereka ini selalu menahan ‘harga diri’. Tidak sembarangan
orang dapat menjumpainya dan dalam menyambut tamu, biasanya diwakilkan dan
kalau diperlukan sekali barulah ia sendiri muncul menemui tamunya. Demikian
pula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ia pun menahan harga dirinya. Ketika seluruh para
tamu sudah berkumpul semua dan tidak ada lagi yang datang, baru tokoh besar ini
muncul di ruangan tuan rumah. Para tamu segera bangkit berdiri memandang ke
arah tuan rumah dengan kagum.
Memang patut
sekali Liu Gan menjadi seorang tokoh yang terkenal. Tubuhnya lebih tinggi
daripada perawakan seorang laki-laki biasa, kekar dan berdiri tegak. Dadanya
lebar membusung, pakaiannya indah, pandang matanya berwibawa. Kepalanya
tertutup topi bulu yang terhias bulu burung rajawali.
Ketua
Beng-Kauw ini keluar sambil tersenyum-senyum dan menjura ke arah para tamu,
lalu duduk. Para tamu juga lalu duduk kembali, akan tetapi semua mata tetap
terbelalak lebar memandang gadis yang keluar bersama Pat-jiu Sin-Ong. Itulah
dia, gadis yang kini menarik semua pandang mata bagaikan besi sembrani menarik
logam. Liu Lu Sian, dara jelita yang pada saat itu mengenakan pakaian sutera
putih terhias benang emas dan renda-renda merah muda. Cantik jelita bagaikan
dewi khayangan!
Para muda
melongo, ada yang menelan ludah, ada yang lupa mengatupkan mulutnya, bahkan ada
yang menggosok-gosok mata karena merasa dalam mimpi! Namun orang yang
menjadikan para muda terpesona itu tetap duduk dengan tegak, dan senyum
manisnya tak pernah meninggalkan bibir. Tapi banyak pula yang memandang dengan
hati ngeri. Mereka semua, tua muda, sudah mendengar belaka tentang peristiwa
hebat di dalam rumah penginapan, di mana tujuh orang pendekar muda yang
tergila-gila kepada gadis ini terbunuh secara aneh.
Para tamu
yang duduk di ruangan kehormatan mulai bergerak menghampiri Pat-jiu Sin-ong
menghaturkan selamat, diikuti tamu-tamu lain dari ruangan depan. Pat-jiu
Sin-ong menyambut pemberian selamat itu sambil tertawa-tawa dan tidak berdiri
dari bangkunya, sikap yang jelas memperlihatkan keangkuhannya.
Setelah para
tamu memberi selamat, dan mereka kembali ke tempat masing-masing, tiba-tiba
Pat-jiu sin-ong berdiri dari bangkunya. Ia memandang ke luar dan berseru keras.
"Aha, saudara muda Kwee Seng! Kau datang juga hendak memberi selamat
kepadaku? Bagus! Menggembirakan sekali. Mari ke sini, kau mau duduk
bersamaku?"
Tentu saja
semua tamu menoleh ke arah luar untuk melihat tamu agung manakah yang begitu
menggembirakan Pat-jiu Sin-ong sehingga tokoh ini sampai berdiri dan berseru
menyambut segembira itu? Mereka mengira bahwa yang datang tentulah seorang
tokoh besar di dunia kang-ouw. Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika
melihat seorang pemuda berpakaian sastrawan yang melangkah masuk ke ruangan itu
dengan langkah lambat dan sikap lemah-lembut. Seorang pelajar lemah seperti ini
bagaimana bisa mendapatkan perhatian begitu besar dari Pat-jiu Sin-ong yang
terkenal angkuh dan tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir
di situ?
Pemuda itu
bukan lain adalah Kwee Seng. Memang jarang ada orang kang-ouw mengenalnya. Di
antara sedikit tokoh besar dunia kang-ouw yang tahu akan kehebatan orang muda
ini adalah Pat-jiu Sin-ong, karena Ketua Beng-kauw ini pernah bertemu dengan
Kwee Seng ketika dia mengunjungi Ketua Siauw-lim-pai, Kian Hi Hosiang yang
sakti, yang memperlakukan pemuda ini sebagai seorang tamu agung pula! Inilah
sebabnya maka Ketua Beng-kauw mengenal Kwee Seng. Biar pun belum membuktikan
sendiri kehebatan pemuda ini, ia sudah dapat menduga bahwa pemuda yang di
sambut demikian hormatnya oleh Ketua Siauw-lim-pai, yang malah dijuluki
Kim-mo-eng, tentulah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Dengan
tenang dan tersenyum ramah Kwee Seng menghampiri tuan rumah menjura dengan
hormat sambil berkata, "Liu-enghiong (Orang Gagah She Liu), maafkan saya
datang mengganggu secawan dua cawan arak. Terus terang saja, saya kebetulan
lewat dan mendengar tentang keramaian di sini saya pun ingin menonton. Akan
tetapi sama sekali bukan untuk memberi selamat. Makin tinggi kedudukan makin
banyak keruwetan, dan makin besar kemuliaan makin besar pula kejengkelan, apa
perlunya diberi selamat?"
"Ha-ha-ha-ha!
Kata-katamu ini memang cocok bagi orang yang mengejar kedudukan dan
memperebutkan kemuliaan, yang tentu saja hanya akan menemui kejengkelan dan
memperbanyak permusuhan. Akan tetapi aku menjadi koksu (guru negara) untuk
membimbing pemerintahan negaraku yang dipimpin oleh keluargaku sendiri. Ini
namanya panggilan negara dan bangsa, kewajiban seorang gagah. Aku pun tidak
butuh pemberian selamat yang semua palsu belaka, basa-basi palsu, berpura-pura
untuk mengambil hati. Ha-ha-ha! Lebih baik yang jujur seperti kau ini,
Kwee-hiante. Mari duduk!"
Dengan
gembira tuan rumah menggandeng tangan Kwee Seng, diajak duduk semeja dan segera
Liu Gan memerintahkan pelayan mengambil arak terbaik dari cawan perak untuk
Kwee Seng.
"Liu-enghiong,
aku mendengar pula bahwa kau hendak mencari mantu dalam perayaan ini...."
"Ah,
anakku yang ingin mencari jodoh. He, Lu Sian. Perkenalkan ini sahabat baikku,
Kwee Seng!" Ketua Beng-kauw itu dengan bebas berteriak kepada puterinya.
Liu Lu Sian
sejak tadi memang memperhatikan Kwee Seng yang disambut secara istimewa oleh ayahnya.
Biar pun pemuda ini gerak-geriknya halus seperti orang lemah, namun melihat
sinar matanya, Lu Sian dapat menduga bahwa Kwee Seng adalah seorang yang
memiliki kepandaian tinggi.
Mendengar
seruan ayahnya ia lalu bangkit berdiri lalu menghampiri Kwee Seng sambil
merangkapkan kedua tangannya. "Kwee-kongcu (Tuan Muda Kwee), terimalah
hormatku!" katanya dengan suara merdu dan bebas, gerak-geriknya manis sama
sekali tidak malu-malu atau kikuk seperti sikap gadis biasa.
Kwee Seng
sejak tadi hanya memperhatikan Liu Gan saja maka tidak tahu bahwa di ruangan
itu terdapat gadis puteri Liu Gan yang kecantikannya telah membuat banyak
pemuda tergila-gila, bahkan agaknya yang telah menjadi sebab daripada akibat
mengerikan di rumah penginapan malam kemarin. Mendengar suara merdu ini ia
menengok dan... pemuda itu berdiri terpesona.
Sejenak ia
tidak dapat berkata-kata, bahkan seakan-akan dalam keadaan tertotok jalan darah
di seluruh tubuhnya, tak dapat bergerak seperti patung batu! Belum pernah
selama hidupnya ia terpesona oleh kejelitaan seorang wanita seperti saat itu.
Mata itu! Bening bersih gilang-gemilang tiada ubahnya sepasang bintang, kerling
tajam menggores jantung, kedip mesra membuat bingung. Bulu mata lentik berseri
bagai rumput panjang di pagi hari, sepasang alis hitam kecil melengkung
menggeliat-geliat malas di kedua ujung!
"Kwee-kongcu...,"
kata pula Liu Sian melihat pemuda itu diam saja seperti patung, dalam hatinya
geli bukan main.
"A...
oh..., Liu-siocia (Nona Liu), tidak patut saya menerima penghormatan
ini...!" jawabnya gagap sambil cepat-cepat mengangkat kedua tangannya ke
depan dada.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa angin pukulan menyambar dari arah
kedua tangan gadis yang dirangkap di depan dada itu. Angin pukulan yang mengandung
hawa panas dan yang tentu akan cukup membuat ia terjungkal dan terluka hebat.
Alangkah kecewanya hati Kwee Seng! Dara juwita ini, yang dalam sedetik telah
membuat perasaannya morat-marit, yang kecantikannya memenuhi semua seleranya,
menguasai seluruh cintanya, ternyata memiliki watak yang liar dan ganas!
Sekilas
teringat lagi ia akan pembunuhan tujuh orang pemuda tak berdosa dan seketika
itu Kwee Seng merasa jantungnya sakit. Ia masih terpesona, masih kagum bukan
main melihat dara jelita ini, namun kekaguman yang bercampur kekecewaan. Maka
ia pun cepat mengarahkan tenaga ke arah ke dua tangannya yang membalas
penghormatan.
"Aiiihhh...!
Mengapa Kwee-kongcu demikian sungkan? Penghormatan kami sudah selayaknya!"
kata Liu Lu Sian yang berseru untuk menutupi kekagetannya ketika angin pukulan
yang keluar dari pengerahan sinkang di kedua tangannya membalik seperti angin
meniup benteng baja.
Gadis ini
sambil tersenyum manis. Ia menyambar guci arak pilihan dari tangan pelayan
bersama sebuah cawan perak, lalu menuangkan arak ke dalam cawan itu. Cawan
sudah penuh, terlampau penuh, akan tetapi anehnya arak di dalam cawan tidak
luber, tidak membanjir ke luar. Permukaan arak melengkung ke atas berbentuk
telur.
Dengan
tangan kanan memegang cawan yang terisi arak itu Liu Lu Sian berkata,
"Kehadiran Kwee-kongcu merupakan kehormatan besar, harap sudi menerima
arak ini sebagai tanda terima kasih kami."
Kembali Kwee
Seng tertegun. Dara juwita ini tidak saja cantik seperti bidadari, akan tetapi
juga memiliki kepandaian hebat. Sinkang yang diperlihatkan kali ini lebih
halus, sehingga bagi orang biasa tentu merupakan perbuatan yang tak masuk akal,
seperti sihir. Akan tetapi makin kecewalah hati Kwee Seng karena ia menganggap
bahwa gadis ini terlalu binal dan suka membuat malu orang lain. Kalau yang
menerima arak sepenuh itu tidak memiliki sinkang yang tinggi, apakah tidak akan
mendatangkan malu karena araknya pasti akan tumpah semua begitu gadis ini
melepaskan pegangannya?
"Siocia
terlampau sungkan. Terlalu besar kehormatan ini bagi saya..." Kwee Seng
menerima cawan sambil mengerahkan tenaganya sehingga ketika Lu Sian melepas
cawan itu, arak yang terlalu penuh tetap melengkung di atas cawan tanpa tumpah
sedikit pun juga.
Akan tetapi
jantung Kwee Seng berdegup keras. Ketika ia menerima cawan tadi, jari tangannya
bersentuhan dengan kulit tangan yang halus sekali, sementara itu hidungnya
mencium bau harum semerbak yang luar biasa, bau harum bermacam bunga yang baru
sekarang ia menciumnya karena tadi ia terlampau terpesona oleh kecantikan Lu
Sian. Ia tadi sudah berhati-hati sekali, sebagai seorang yang sopan, agar jari
tangannya tidak menyentuh jari gadis itu, akan tetapi toh bersentuhan juga,
maka ia tahu bahwa gadis itulah yang sengaja menyentuhkan tangannya!
Berbarengan
dengan datangnya degup jantung mengeras dan ganda harum yang memabokkan otak,
timbul hasrat hati Kwee Seng untuk memamerkan kepandaiannya pula di depan gadis
jelita yang berlagak ini. Ia segera menuangkan arak ke dalam mulutnya,
mengangkat cawan tinggi ke atas mulut dan menuangkannya. Akan tetapi, sampai
cawan itu membalik, araknya tetap tidak mau tumpah ke dalam mulut! Arak itu
seakan-akan sudah membeku di dalam cawan!
"Ah,
maaf... maaf... saya memang tidak bisa minum arak baik!" kata Kwee Seng
sambil menurunkan lagi cawannya. Tiba-tiba ia membuka sedikit mulutnya dan dari
cawan yang sudah berdiri lagi itu tiba-tiba meluncur arak seperti pancuran
kecil menuju ke atas dan langsung memasuki mulutnya hingga cawan itu menjadi
kering!
"Wah,
kehadiran Kwee-kongcu benar-benar menggembirakan. Kalau tadi secawan arak untuk
penghormatan kami, sekarang kuharap kongcu sudi menerima secawan lagi, khusus
dariku!" kata pula Lu Sian sambil menuangkan lagi arak ke dalam cawan kosong,
kali ini lebih penuh daripada tadi, lalu memberikannya kepada Kwee Seng.
Seketika
terbelalak mata Kwee Seng. Kedua pipinya menjadi merah dan sinar matanya
berkilat. Lenyap seketika pesona yang menguasai dirinya. Gadis ini benar-benar
terlalu liar, aneh, dan ganas! Ia melihat betapa tadi dari tangan gadis itu
berkelebat sinar putih memasuki cawan dan sebagai seorang pendekar sakti, ia
maklum apa artinya itu. Arak kali ini dicampuri semacam obat bubuk yang biar
pun sedikit sekali, namun ia dapat menduga tentu amat hebat akibatnya kalau
terminum olehnya. Ia tahu bahwa gadis ini tidak sengaja mencelakakannya, hanya
untuk menguji, akan tetapi cara ujian yang amat berbahaya!
"Nona
terlalu menghormat...!" jawabnya dan ia menerima cawan itu. Begitu cawan diterimanya,
ia berseru, "Ah, nona terlalu banyak mengisi araknya...!" dan
tiba-tiba, biar pun cawan itu dipegangnya lurus-lurus, isi cawan berhamburan ke
luar dan tumpah semua sampai habis. Anehnya, tangan Kwee Seng yang memegang
cawan sama sekali tidak basah karena arak itu tumpahnya ‘melayang’ ke depan dan
sebaliknya malah membasahi sebagian celana dan sepatu si jelita!
"Ah,
maaf.. maaf..!" kata Kwee Seng sambil menjura penuh hormat.
"Kwee-kongcu
terlalu merendah ...!" Sepasang pipi Lu Sian menjadi merah sekali dan
kilatan matanya membayangkan kemarahan ketika ia menjura dan mengundurkan diri
kembali ke bangkunya sambil mengusap noda arak dengan sapu tangannya.
Peristiwa
aneh ini hanya disaksikan oleh beberapa orang tamu kehormatan yang duduk
berdekatan, akan tetapi para tamu yang jauh tidak melihat jelas, dan hanya
mengira bahwa pemuda pelajar itu amat canggung sehingga menumpahkan arak yang
disuguhkan orang kepadanya. Namun banyak yang merasa iri hati melihat betapa Si
Bidadari sampai dua kali memberi suguhan arak kepada pemuda lemah itu.
"Ha-ha-ha,
lama tak jumpa, kau makin hebat, Kwee-hiante! Mari, mari kita minum sampai
mabok!"
Sambil
merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong mengajak pemuda itu menghadapi meja
penuh hidangan.
"Liu-enghiong
tentu maklum bahwa aku tidak biasa minum arak lebih dari tiga cawan,"
bantah Kwee Seng.
"Ha-ha-ha!
Ocehan burung yang tak patut didengar! Aku percaya, biar pun habis tiga guci,
orang macam kau mana bisa mabok? Ha-ha-ha marilah, tak usah sungkan. Kita orang
sendiri!"
Karena sikap
tuan rumah ini setulus hatinya, Kwee Seng terpaksa melayani. Ia maklum betapa
suara tuan rumah yang keras ini terdengar semua orang dan ia sudah melihat
sinar mata iri dilempar orang ke arahnya, terutama kaum mudanya. Ia memang
tidak suka minum arak terlalu banyak, akan tetapi kali ini hatinya sedang rusak
dan kacau.
Harus ia
akui bahwa ia tertarik oleh kecantikan Liu Lu Sian yang luar biasa, dan ia tahu
bahwa hatinya sudah siap mengaku cinta. Seorang dewa sekali pun akan jatuh hati
berhadapan dengan Lu Sian! Akan tetapi di samping perasaan yang baru kali ini
ia rasakan selama hidupnya, terselip rasa nyeri yang membuat hatinya perih,
yaitu kenyataan bahwa gadis yang menjatuhkan hatinya ini memiliki watak yang
liar dan ganas, sama sekali berlawanan dengan pendiriannya.
Karena
perasaan yang bertentangan antara perasaan cinta dan benci inilah maka Kwee
Seng menjadi seperti orang nekat dan ia menerima terus setiap kali Pat-jiu
Sin-ong menyuguhkan arak. Sebentar saja ia sudah minum arak tua belasan cawan
banyaknya!
"Lu
Sian, hayo kau gembirakan hati para tamu kita dengan tarian pedang!"
tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong berseru memerintah puterinya sambil tertawa-tawa
karena tokoh ini pun sudah terpengaruh hawa arak.
Lu Sian
tersenyum mengangguk, lalu bangkit berdiri dan dengan lenggang yang dapat
mengayun hati para muda yang memandangnya, gadis ini ini berjalan menuju ke
tengah panggung terbuka. Tepuk tangan riuh gemuruh menyambutnya. Lu Sian
menjura dengan hormat sambil berseru, suaranya merdu nyaring mengatasi keriuhan
tepuk tangan itu.
"Permainanku
masih amat dangkal, harap cu-wi jangan metertawakan!" Setelah berkata
demikian, Lu Sian menggerakan tangannya dan.... dalam pandangan mereka yang
ilmu silatnya kurang tinggi, gadis itu tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan kesana kemari dibungkus sinar putih berkilauan
bergulung-gulung dan berkilat-kilat.
Dari
sana-sini terdengar seruan kagum, yang muda-muda kagum akan keindahan ilmu
silat pedang yang benar-benar merupakan tarian luar biasa itu, ada pun golongan
tua kagum karena mereka melihat di dalam gerakan yang indah ini tersembunyi
kekuatan yang dahsyat. Setiap kelebatan pedang yang begitu indah tampaknya
sebetulnya mengandung jurus maut yang tidak mudah dilawan. Dengan bukti kehebatan
gadis ini makin tunduklah mereka akan kelihaian dan nama besar Pat-jiu Sin-ong.
Lu Sian
sengaja mainkan Hwa-kiam-hoat (Ilmu Pedang Kembang) yang indah untuk memamerkan
kepandaian dan kecantikannya. Ia bersilat sampai lima puluh jurus dan ketika berhenti
di tengah panggung sambil berdiri tegak, ia tampak gagah dan cantik jelita,
dengan sepasang pipi kemerahan karena denyut darahnya agak kencang setelah
bersilat tadi. Bibirnya tersenyum-senyum, matanya yang tajam berseri-seri
menyambut tepuk tangan yang seakan-akan hendak merobohkan panggung buatan itu.
Akan tetapi begitu Lu Sian kembali duduk di tempatnya, berkelebatlah bayangan
orang dan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun sudah berdiri di atas
panggung.
Gerakannya
yang demikian ringan dan cepatnya menandakan bahwa ia seorang yang
berkepandaian tinggi, sedangkan pakaian dan cara ia menggelung rambut ke atas
menyatakan bahwa ia seorang pendeta To atau yang disebut tosu. Di punggungnya
tergantung sebuah pedang. Tosu ini terdengar lantang suaranya setelah keadaan
tadi kembali sunyi karena terhentinya tepuk tangan.
Sambil
menjura ke arah Pat-jiu Sin-ong, tosu itu berkata, "Kauwcu (Ketua Agama),
pinto (aku) Ang Sin Tojin dari Kun-lun-pai, merasa kagum akan kebesaran nama
Pat-jiu Sin-ong, dan sengaja pinto diutus oleh ketua kami memberi selamat. Akan
tetapi tidak nyana bahwa Kawcu dengan puteri Kauwcu menimbulkan hal-hal yang
tidak baik! Kauwcu memamerkan kepandaian dan kecantikan puteri Kauwcu. Ada
kabar hendak menggunakan kesempatan ini mencarikan jodoh bagi puteri Kauwcu,
hal ini sudah sewajarnya. Akan tetapi mengapa banyak pemuda tidak berdosa yang
tergila-gila kepada puteri Kawcu menemui kematian yang penuh penasaran?....”
“Sekarang
Kauwcu tidak menyelidiki dan membikin terang perkara itu, malah Kauwcu menambah
pengaruh agar para pemuda makin tergila-gila. Apakah sesungguhnya kecantikan
yang gilang-gemilang seperti puteri Kauwcu? Kecantikan hanyalah timbul dari
kelemahan batin melalui pandang mata, sesungguhnya palsu adanya. Kecantikan
hanya terbatas sampai di kulit, namun siapa tahu isi hati yang tersembunyi di
balik kecantikan. Pat-jiu Sin-ong, Pinto kehilangan seorang anak murid Kun-lun
yang terbunuh secara tidak wajar, terpaksa mohon penjelasan!"
Seketika
tegang keadaan di situ. Terang bahwa tosu ini menuntut kematian muridnya, dan
sekaligus mencela keadaan Beng-kauw dengan adanya kematian tujuh orang pemuda
dan mencela pula pameran kecantikan dan kepandaian Liu Lu Sian! Keadaan
seketika menjadi sunyi karena semua orang menanti dengan hati berdebar.
Sambil
tersenyum Pat-jiu Sin-ong berdiri dari bangkunya, akan tetapi tidak mendekati
Ang Sin To Jin. Sambil bertolak pinggang ketua Beng-Kauw yang tinggi besar ini
bertanya, "Tosu, Kau ini apanya Ang Kun Tojin?"
"Beliau
adalah Suhengku dan Pinto hanyalah murid kedua dari Suhu."
Pat-jiu
Sin-ong tiba-tiba tertawa sambil menengadahkan mukanya ke atas. "Heh, Tosu
mentah! Kau kira kematian bocah-bocah tolol itu adalah perbuatanku atau
perbuatan anakku?"
"Pinto
tak berani menuduh siapa pun juga, akan tetapi setidaknya peristiwa maut itu
terjadi karena Kauwcu berhasrat memilih mantu karena kecantikan putrimu dan
tentu dilakukan oleh seorang dari Beng-kauw! Karena itu ketuanya harus
bertanggung jawab!"
"Ha-ha,
bertanggung jawab bagaimana?"
"Kauwcu
harus dapat menangkap pembunuh itu dan menghukumnya mati di depan kami semua.
Kemudian Kauwcu lakukan pemilihan calon mantu yang tepat dan tidak banyak
menimbulkan korban. Pilihlah mantu yang cocok, dan karena ini adalah urusan
Kauwcu, terserah caranya, asal tidak dengan cara sekarang ini yang membikin
gila banyak orang muda tak berdosa."
"Wah,
lagaknya! Kalau aku tidak menuruti permintaanmu itu, bagaimana?"
"Hmmmmm,
kalau begitu, berarti Kauwcu tidak peduli akan kematian murid Kun-lun-pai yang
menjadi tamu di sini, dan hal itu tentu saja Pinto tidak dapat tinggal diam
saja!"
"Habis,
kau mau apa, Tosu mentah?"
"Pinto
terpaksa menuntut balas atas kematian murid, dan melupakan kebodohan, minta
pelajaran dari Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong!" Dengan tegak berdiri, Tosu
itu siap menghadapi pertandingan.
"Tosu
sombong, berani kau menghina ketua kami?" tiba-tiba Ma Thai Kun yang
bertubuh jangkung kurus sudah melompat ke atas panggung, tangannya begerak
memukul ke arah Ang Sin Tojin. Gerakan Ma Thai Kun cepat sekali sehingga
kejadian yang tak tersangka-sangka itu tidak dapat ditunda lagi. Pukulannya
hebat, mengeluarkan angin bersiutan dan menuju ke arah dada tosu Kun-lun-pai
itu.
Ang Sin
Tojin adalah murid kedua dari ketua Kun-lun-pai, Kim Gan Sianjin, tentu saja
ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena itu pula ia tadi berani
mengeluarkan tantangan terhadap ketua Beng-kauw. Kini melihat seorang tinggi
kurus bermuka hitam telah berada di depannya dan mengirim pukulan maut, ia pun
cepat menggerakkan tangannya menangkis, sambil mengerahkan sinkang (tenaga
sakti).
"Dukkkkk!"
dua tangan mengandung tenaga sakti bertemu.
Ma Thai Kun
masih berdiri setengah membungkuk, tubuhnya tidak bergoyang. Akan tetapi akibat
benturan kedua lengan itu membuat Ang-sin Tojin terhuyung-huyung ke belakang
sampai lima langkah. Diam-diam tosu Kun-lun-pai ini terkejut bukan main. Harus
diakui tenaga sakti Si Muka Hitam ini hebat sekali. Sungguh pun tidak sampai
menyebabkan ia terluka parah, namun cukup menggempur kuda-kudanya dan membuat
ia terhuyung-huyung.
"Ji-sute
(Adik Seperguruan ke Dua), mundurlah! Siapa yang mencari perkara dengan aku dan
anakku, biarlah aku menghadapinya sendiri!" Pat-jiu Sin-ong menegur
adiknya.
Ma Thai Kun
mendengus marah, lalu mengundurkan diri.
"Ang
Sin Tojin, apakah kau masih tidak mau menarik kembali tuntutanmu?"
"Seorang
laki-laki sekali bicara dipegang sampai mati!" jawab tosu itu dengan suara
ketus.
"Ah,
ah, benar-benar tosu Kun-lun-pai keras kepala. Eh, tosu mentah, kau tadi bilang
kecantikan puteriku sebatas kulit. Apa artinya?"
"Pinto
mengakui bahwa puteri Kauwcu cantik jelita dan pandai. Akan tetapi semua itu
hanya sampai dikulit, hanya akibat pandangan mata lahir. Mata batin takkan
dapat ditipu dan takkan silau oleh kecantikan. Mata batin mencari sampai ke
dalam batin pula, mencari kebenaran yang sering tertutup oleh kepalsuan."
Merah muka
Pat-jiu Sin-ong, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. "Anakku memang
cantik, ini semua orang tahu. Kalau mata melihatnya tidak cantik sekali pun,
yang salah bukan dia, melainkan matanya! Tosu mentah, lekas kau pulang ke
Kun-lun-san, jangan mencari keributan di sini."
"Kalau
begitu, pinto minta pelajaran dari Beng-kauwcu!" kata tosu itu sambil
mencabut pedangnya. Ia tadi sudah membuktikan betapa hebat sinkang dari Ma Thai
Kun yang hanya merupakan adik seperguruan ketua Beng-kauw ini, maka ia tidak
berani berlaku sembrono. Dengan pedang di tangan ia mengira akan dapat
mengimbangi lawannya, karena memang Kun-lun-pai terkenal dengan kiam-hoat-nya
(ilmu pedangnya).
"Kau
menantangku?" Liu Gan bertanya, masih tersenyum.
"Pinto
siap!"
"Nah,
terimalah ini!" Kedua tangan Pat-jiu Sin-ong bergerak. Begitu cepatnya
gerakan kedua lengannya itu sehingga kedua tangan itu seakan-akan berubah
menjadi delapan! Inilah agaknya maka ia mendapat julukan Pat-jiu (Lengan
Delapan). Dalam segebrakan saja Ang Sin Tojin merasa seakan-akan ia diserang
oleh delapan pukulan yang kesemuanya merupakan pukulan maut! Cepat ia
menggerakkan tubuhnya dan memutar pedangnya melindungi diri.
"Plakk!
Tranggg... aduhhh...!"
Hanya dalam
sekejap mata saja terjadinya. Entah bagaimana tosu itu sendiri tidak tahu,
pergelangan tangannya sudah terpukul, membuat pedangnya terpental dan tiba-tiba
ia merasa amat sakit pada telinga dan mata kanannya. Ia roboh menggulingkan
diri sampai beberapa meter lalu meloncat lagi berdiri. Telinga kanan dan mata
kanannya mencucurkan darah! Ternyata daun telinga kanannya pecah bagian
atasnya, sedangkan pelupuk mata kanannya pun robek!
"Tosu
mentah! Mengingat akan suhengmu, Ang Kun Tojin, dan memandang muka terhormat
Suhu-mu, Kim Gan Sianjin ketua Kun-lun, aku tidak mengambil nyawamu. Akan
tetapi aku tidak dapat membiarkan matamu yang salah lihat dan telingamu yang
salah dengar. Hendaknya pelajaran ini membuka matamu bahwa Beng-kauw tidak
boleh dibuat main-main oleh siapa pun juga! Nah, pergilah!"
Ang Sin
Tojin maklum bahwa orang sakti di depannya ini bukan lawannya, bahkan suhunya,
ketua Kun-lun-pai sendiri, belum tentu akan dapat menandinginya. Ia bukan
seorang bodoh dan nekat. Tanpa banyak cakap ia memungut pedangnya, menjura dan
berkata, "Pinto hanya dapat melaporkan kepada Suhu bahwa pinto gagal dalam
tugas." Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan pergi dari
situ.
Keadaan di
situ sunyi sekali. Ketegangan mencekam dan suasana ini amat tidak enak. Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan lalu tertawa dan menghadapi para tamunya. "Cu-wi yang
terhormat, harap maafkan gangguan tadi. Nah, karena soal pemilihan calon mantu
sudah disebut-sebut oleh tosu mentah tadi, terpaksa kami akui bahwa hal itu
memang tidak salah. Cu-wi sudah melihat ilmu silat anakku yang rendah. Oleh
karena itu, kalau ada di antara para muda gagah yang hendak memperlihatkan
kepandaian, anakku akan sanggup melayaninya. Mereka yang dapat mengalahkan
anakku Liu Lu Sian berarti lulus dan akan diadakan pemilihan di antara mereka
yang lulus, kalau-kalau ada yang berjodoh menjadi mantukku.
"Ha-ha-ha!" setelah berkata demikian dan menjura, ketua Beng-kauw ini
duduk lagi di tempatnya.
"Eh,
saudara muda Kwee, kau lihat tosu tadi, menjemukan tidak?"
"Memang
menjemukan! Semuanya menjemukan!" kata Kwee Seng.
"Ha-ha,
urusan begitu saja jangan menghilangkan kegembiraan kita. Mari minum!"
Keduanya
lalu minum lagi dan keadaan di situ menjadi meriah pula.
Sementara
itu, Liu Lu Sian sudah meloncat ke tengah panggung lagi setelah meninggalkan
pedangnya di atas meja. Hal ini berarti bahwa ia hanya akan melayani
pertandingan tangan kosong, tanpa mempergunakan senjata.
Ketika
melihat gadis cantik itu sudah berdiri siap di tengah panggung, di antara para
tamu muda timbullah suasana gaduh. Sebetulnya banyak sekali pemuda yang datang
dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan kecantikan gadis yang sudah
terkenal itu dengan mata sendiri. Dan sekarang, setelah melihat Liu Lu Sian,
hampir semua pemuda yang hadir di situ tergila-gila dan tak seorang pun yang
tidak ingin memetik tangkai bunga segar mengharum ini. Akan tetapi, menyaksikan
ilmu kepandaian Lu Sian dan kehebatan ayahnya, sebagian besar para muda itu
sudah menjadi gentar dan tidak berani mencoba-coba.
Apalagi
kalau mengingat akan pembunuhan-pembunuhan aneh di dalam rumah penginapan
kemarin malam, mereka merasa ngeri dan membuat sebagian besar di antara mereka
mundur teratur! Betapa pun juga, di antara mereka ada juga yang nekat karena
mungkin tidak dapat menahan hatinya yang sudah runtuh oleh kecantikan Lu Sian.
Seorang
pemuda berpakaian serba hijau dan yang duduknya di bagian bawah, berjalan
dengan langkah lebar dan gagah ke arah panggung, kemudian sekali menggerakkan
tubuhnya ia sudah meloncat ke atas panggung berhadapan dengan Lu Sian. Pemuda
ini berwajah cukup ganteng, alisnya tebal dan matanya tajam, hanya mulutnya
lebar membayangkan ketinggian hati. Dengan sikap gagah ia menjura dan merangkap
kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Liu Lu Sian sambil berkata,
suaranya lantang. "Aku bernama Han Bian Ki, dikenal sebagai
Siauw-kim-liong (Naga Emas Muda) di lembah sungai Min-kiang, ingin mencoba-coba
kepandaian nona Liu yang gagah."
Lu Sian
melirik dan bibirnya melempar senyum manis sekali. Akan tetapi sesungguhnya
melihat mulut yang agak lebar itu ia sudah merasa tidak senang kepada pemuda
ini. Orang macam ini berani mau coba-coba, pikirnya. Apanya sih yang
diandalkan? Tampangnya tidak menarik, dan melihat gerakan loncatannya, juga
tidak banyak dapat diharapkan tentang ilmu silatnya.
"Han-enghiong,
tak usah ragu-ragu. Mulailah!" katanya dengan suara dingin.
Han Bian Ki
orangnya memang agak tinggi hati, mengandalkan kepandaian sendiri, dan ia amat
ingin dapat menangkan nona manis yang semalam membuat ia tak dapat tidur pulas
ini. Maka mendengar tantangan orang, ia segera berseru keras dan menggerakkan
tangannya, yang kiri mengirim pukulan ke arah lambung, pukulan pancingan karena
yang benar-benar menyerang adalah tangan kanannya yang cepat mencengkram ke
arah pundak kiri Lu Sian dengan maksud menangkap gadis itu dan mencapai
kemenangan dalam segebrakan saja.
Akan tetapi
dengan gerakan indah sekali gadis itu mengelak tanpa menangkis. Gerakannya
indah dan kelihatan lambat, namun toh serangan dua tangan itu sama sekali tidak
menyentuhnya.
Han Bian Ki
merasa heran. Cepat ia mengirim pukulan bertubi-tubi dengan ke dua tangannya
dengan maksud agar si nona suka menangkis. Andai kata ia tidak dapat menangkan
nona ini, sedikitnya ia harus dapat merasakan kehalusan dan kehangatan lengan
Si Gadis ketika menangkis pukulan-pukulannya! Sambil memukul bertubi-tubi ia
mendesak dengan langkah-langkah cepat. Kali ini dia harus menangkis, pikirnya,
kalau tidak tentu akan terdesak ke pinggir panggung.
Akan tetapi
benar-benar Lu Sian tidak mau menangkis. Pukulan-pukulan keras yang
mengeluarkan angin itu ia hindarkan dengan gerakan-gerakan pinggangnya, ke
kanan kiri dan terpaksa ke dua kakinya melangkah mundur karena Si Pemuda terus
mendesaknya. Benar seperti dugaan Han Bian Ki, akhirnya Lu Sian terdesak sampai
ke pinggir panggung dan mundur tiga langkah lagi tentu akan terjengkang. Pemuda
ini sudah menjadi girang. Sekali Si Gadis terjengkang ke bawah panggung,
berarti ia menang! Cepat ia memperhebat pukulan-pukulannya sambil mengeluarkan
seruan panjang.
Tiba-tiba
gadis itu tertawa dan Han Bian Ki kebingungan karena ia tidak melihat gadis itu
lagi. Tadi ia hanya melihat bayangan orang berkelebat dan bau harum menusuk
hidung, membuat hatinya terguncang. Memang semenjak naik ke panggung ia mencium
bau harum keluar dari arah gadis itu. Akan tetapi ketika melihat bayangan orang
berkelebat, bau harum itu makin keras tercium dan sekarang tiba-tiba Lu Sian
lenyap. Apakah sudah terjengkang ke bawah? Ia melangkah maju dan menjenguk ke
bawah, akan tetapi tidak tampak apa-apa. Ketika ia mendengar gelak tawa para
tamu, cepat-cepat ia membalikkan tubuh dan terlihat olehnya sang dara jelita
sedang tersenyum mengejek!
Seorang yang
rendah hati dan tahu diri tentu saja sadar bahwa ia kalah jauh dari gadis itu,
akan tetapi Han Bian Ki yang tinggi hati tidak merasa demikian. Malah
sebaliknya ia merasa penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang maju
dengan serangan lebih hebat, kini malah menyelingi pukulan tangannya dengan
tendangan kilat!
Lu Sian
tertawa dan tubuhnya melejit-lejit seperti ikan di darat, berputar-putar
seperti gasing namun semua pukulan dan tendangan lawan mengenai angin belaka.
Seperti tadi, tiba-tiba gadis itu lenyap dengan cara melompati atas kepala
lawannya yang kembali menjadi kebingungan. Watak Liu Lu Sian adalah manja dan
gadis ini pun memiliki kesombongan, suka memandang rendah orang lain. Apalagi
pemuda itu yang terang kalah jauh olehnya, segera menimbulkan rasa angkuh dan
sombong dalam hatinya.
Setelah
melompati kepala lawannya, gadis ini hinggap dan berdiri di tengah panggung.
Sambil menanti lawannya yang kebingungan mencari-carinya, ia berkata,
"Uhh, begini saja pemuda yang hendak mencoba kepandaianku? Kalau masih ada
yang seperti dia, harap maju saja sekalian! Jangan kuatir, aku takkan tuduh
kalian mengeroyok. Yang menang di antara kalian tetap dianggap menang. Hayo
maju, agar aku tidak lelah, melayani kalian!"
Dua orang
pemuda menyambut seruan Liu Lu Sian ini. Mereka ini adalah seorang pemuda yang
tinggi besar dan berwajah buruk, seorang lagi adalah pemuda kurus kering,
berwajah kekuningan seperti orang berpenyakitan. Dari dua jurusan mereka
melompat ke atas panggung. Agaknya mereka ini menganggap bahwa sekarang terbuka
kesempatan bagus bagi mereka untuk mencapai kemenangan!
"Saya
Bhong Siat dari lembah Yang-ce!" kata Si Muka Kuning yang suaranya seperti
orang berbisik atau kehabisan napas.
Makin muak
rasa perut Liu Lu Sian menyaksikan majunya dua orang yang berwajah buruk ini.
Memang ia sengaja menantang agar mereka maju sekaligus agar ia tidak usah
berkali-kali menghadapi mereka seorang demi seorang. Pula, tantangannya ini
merupakan akal untuk menilai mereka. Yang mau datang mengeroyoknya manandakan
seorang laki-laki pengecut dan yang tidak boleh dihargai sama sekali, perlu
cepat ditundukkan sekaligus.
Han Bian Ki
girang melihat majunya dua orang yang semaksud itu. Kini terbuka kesempatan
pula baginya untuk mencari kemenangan, atau setidaknya tentu berhasil menyentuh
kulit badan Si Nona atau beradu lengan. Maka ia tidak mau kalah semangat dan
biar pun sudah sejak tadi ia dipermainkan, kini ia memperlihatkan sikap galak
dan menerjang Liu Lu Sian dengan seruan nyaring.
Dua orang
yang baru naik itu pun tidak membuang kesempatan ini, membarengi dengan
serangan-serangan mereka karena mereka tahu bahwa serangan tiga orang secara
berbarengan tentu akan lebih banyak memungkinkan hasil baik.
"Menjemukan...!"
Liu Lu Sian berseru dan terjadilah penglihatan yang amat menarik.
Tiga orang
pemuda itu menyerang dari tiga jurusan. Serangan mereka galak dan ganas,
apalagi Si Muka Kuning Bhong Siat yang ternyata merupakan seorang ahli ilmu
silat yang mempergunakan tenaga dalam. Pukulan-pukulannya mendatangkan angin
yang bersiutan. Namun hebatnya, tak pernah enam buah tangan dan enam buah kaki
itu menyentuh ujung baju Lu Sian.
Gadis itu
dalam pandangan tiga orang pengeroyoknya lenyap dan berubah menjadi bayangan
yang berkelebatan seperti sambaran burung walet yang amat lincah. Dan dalam
pertandingan kurang dari dua puluh jurus, terdengar teriakan-teriakan dan
secara susul-menyusul tubuh tiga orang pemuda itu ‘terbang’ dari atas panggung,
terlempar secara yang mereka sendiri tidak tahu bagaimana. Mereka jatuh
tunggang-langgang dan berusaha untuk merangkak bangun.
"Hemm,
orang-orang tak tahu malu. Hayo lekas pergi dari sini!" terdengar suara
keras membentak di belakang mereka dan sebuah lengan yang kuat sekali memegang
tengkuk mereka dan tahu-tahu tubuh mereka seorang demi seorang terlempar ke
luar. Tanpa berani menoleh lagi kepada Ma Thai Kun yang melemparkan mereka ke
luar, tiga orang itu terus saja lari sempoyongan keluar dari halaman gedung.
Para tamu
menyambut kemenangan Liu Lu Sian dengan tepuk tangan riuh rendah. Para muda
yang tadinya ada niat untuk mencoba-coba, makin kuncup hatinya dan hampir semua
membatalkan niat hatinya, menghibur hati yang patah dengan kenyataan bahwa tak
mungkin mereka dapat menandingi nona yang amat lihai itu!
Akan tetapi
ternyata masih seeorang laki-laki muda yang dengan langkah tegap dan tenang menghampiri
panggung, kemudian dengan gerakan lambat melompat naik. Ketika kedua buah
kakinya menginjak panggung, Lu Sian merasa tergetar kedua telapak kakinya,
tanda bahwa yang datang ini memiliki lweekang yang cukup hebat. Ia menjadi
tertarik, akan tetapi ketika mengangkat muka memandang, ia merasa kecewa.
Laki-laki
ini sikapnya gagah dan pakaiannya sederhana. Mukanya membayangkan kerendahan
hati dan kejujuran, namun sama sekali tidak tampan. Matanya lebar dan alisnya
bersambung, sedangkan hidungnya terlalu pesek!
"Saya
yang bodoh Lie Kung dari pegunungan Tai-liang. Sebetulnya saya tidak ada harga
untuk memasuki sayembara, akan tetapi karena sudah sampai di sini dan saya amat
tertarik dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat Nona, perkenankanlah saya
memperlihatkan kebodohan sendiri." Kata-katanya merendah akan tetapi jujur
dan sederhana.
Lu Sian
tersenyum mengejek. "Siapa pun juga boleh saja mencoba kepandaian karena
memang saat ini merupakan kesempatan. Nah, silakan saudara Lie maju!"
"Nona
menjadi nona rumah dan seorang wanita, saya merasa sungkan untuk membuka
serangan," jawab Lie Kung.
"Hemm,
kalau begitu sambutlah ini!"
Secara
tiba-tiba Liu Lu Sian menyerang, pukulannya amat cepat, gerakannya indah akan
tetapi bersifat ganas karena pukulan itu mengarah bagian berbahaya di pusar,
merupakan serangan maut! Lie Kung berseru keras dan kaget. Tak disangkanya nona
yang demikian cantiknya begini ganas gerakannya. Maka cepat ia melompat mundur
dan mengibaskan tangan, lalu menangkis dengan kecepatan penuh.
Lu Sian
tidak sudi beradu lengan. Ia menarik kembali tangannya dan menyusul dengan
pukulan tangan miring dari samping mengarah lambung. Sungguh merupakan
terjangan maut yang amat berbahaya. Lie Kung ternyata gesit sekali karena
dengan jungkir balik ia segera dapat menyelamatkan diri!
Tepuk tangan
menyambut gerakan ini karena sekarang para tamu merasa mendapat suguhan yang
menarik, tidak seperti tadi di mana tiga orang pemuda sama sekali tidak dapat
mengimbangi permainan Liu Lu Sian yang gesit. Pemuda pesek ini benar-benar
cepat gerakannya, walau pun tampaknya lambat dan tenang.
Setelah
diserang selama lima jurus dengan hanya mengelak, mulailah Liu Lu Sian
mengembangkan gerakannya untuk balas menyerang. Telah ia duga bahwa pemuda ini
merupakan seorang ahli lweekang, dan ternyata benar. Pukulan pemuda ini berat
dan antep, hanya sayangnya pemuda ini berlaku sungkan-sungkan, buktinya yang
diserang hanya bagian-bagian yang tidak berbahaya.
Marahlah Lu
Sian. Sikap pemuda yang hanya mengarahkan serangan pada pundak, pangkal lengan
dan bagian-bagian lain yang tidak berbahaya itu, baginya diterima salah.
Dianggap bahwa pemuda ini terlampau memandang rendah padanya, seakan-akan sudah
merasa pasti akan menang sehingga tidak mau membuat serangannya berbahaya.
Setelah
lewat tiga puluh jurus mereka serang-menyerang, tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan
suara melengking tinggi yang mengejutkan semua orang. Gerakannya tiba-tiba
berubah lambat dan aneh, pukulannya merupakan gerakan yang melingkar-lingkar.
"Bagaimana
kau lihat pemuda itu?" Pat-jiu Sin-ong bertanya ketika ia melihat Kwee
Seng menoleh dan menonton pertandingan, tidak seperti tadi ketika tiga orang
pemuda mengeroyok Lu Sian.
Kwee Seng
memandang acuh tak acuh. "Lumayan juga. Bakatnya baik dan kalau ia tidak
terlalu banyak kehendak, ia dapat menjadi ahli lweekeh yang tangguh."
"Ha-ha,
kau lihat. Puteriku sudah mulai mainkan Sin-coa-kun ciptaanku yang terakhir.
Pemuda itu takkan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus!"
Diam-diam
Kwee Seng memperhatikan. Ilmu silat Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) memang
hebat, mengandung gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang disembunyikan dalam
gaya kedua tangan yang gerakannya seperti ular menggeliat-geliat dan
melingkar-lingkar. Namun dalam ilmu silat ini terkandung sifat yang amat ganas,
dan kembali sepasang alis pemuda ini berkerut saking kecewa. Sungguh sayang
sekali, kecantikan seperti bidadari itu, dirusak sifat-sifat liar dan ganas,
diisi ilmu yang amat keji.
Untuk
mengusir kekecewaan yang menggeregoti hatinya, pemuda ini menuangkan arak
sepenuhnya dan mengangkat cawan. "Minum biar puas!" lalu sekali
tenggak habislah arak itu.
Pat-jiu
Sin-ong tertawa bergelak dan minum araknya pula.
Ramalan
Pat-jiu Sin-ong ternyata terbukti. Tepat sepuluh jurus setelah pemuda she Lie
itu terdesak dan bingung menghadapi dua lengan halus yang seperti sepasang ular
mengamuk, lehernya kena dihantam tangan miring. Ia mengaduh dan
terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi tepat pada saat lehernya dihantam, ia
dapat mengibaskan tangannya hingga mengenai lengan Lu Sian.
“Plakk!”
gadis itu menyeringai kesakitan, lengannya terasa panas sekali.
Biar pun ia
sudah tahu bahwa pukulannya mengenai leher lawan dengan tepat, karena lengannya
tertangkis tadi, Lu Sian menjadi marah dan cepat ia maju lagi mengirim pukulan
yang agaknya akan menamatkan riwayat pemuda itu.
"Cukup...!!"
tiba-tiba sesosok bayangan meloncat ke atas panggung dan dengan cepat menangkis
tangan Lu Sian yang mengirim pukulan maut.
"Dukkk!"
dua buah lengan tangan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang sampai tiga
langkah.
Dengan
kemarahan meluap-luap Lu Sian memandang orang yang begitu lancang berani
menangkis pukulannya tadi. Ia membelalakkan matanya dan... tiba-tiba ia merasa
seakan-akan jantungnya diguncang keras, kemarahannya lenyap dan ia terpesona.
Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang pemuda yang begini ganteng!
Rambutnya
hitam tebal diikatkan ke atas dengan sehelai sutera kuning. Pakaiannya indah
dan ringkas, membayangkan tubuhnya yang tegap berisi, dadanya yang bidang.
Alisnya berbentuk golok, hitam seperti dicat, hidung mancung, mulut berbentuk
bagus membayangkan watak gagah dan hati keras. Pendeknya, wajah dan bentuk
badan seorang jantan yang tentu akan meruntuhkan hati setiap orang gadis
remaja!
Seketika Lu
Sian jatuh hatinya, akan tetapi mengingat perbuatan lancang pemuda ini, untuk
menjaga harga dirinya, ia menegur juga, hanya tegurannya tidak seketus yang
dikehendakinya. "Kau siapa, berani lancang turun tangan mencampuri
pertandingan?"
Pemuda itu
menuntun Lie Kung sampai ke pinggir panggung, menyuruhnya mengundurkan diri.
Lie Kung menjura ke arah Liu Lu Sian lalu melompat turun, terus pergi
meninggalkan tempat itu.
Setelah itu
baru pemuda yang membawa sebuah golok disarungkan dan digantungkan pada
pinggangnya itu membalikkan tubuh menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
"Maaf, Nona. Memang saya tadi berlaku lancang. Akan tetapi sekali-kali
bukan dengan maksud hati yang buruk, hanya untuk mencegah terjadinya
pertumpahan darah. Sudah terlalu banyak jiwa melayang.... Ah, sayang sekali.
Kunasehatkan kepadamu, Nona. Hentikan cara pemilihan suami seperti ini. Tiada
guna! Dan kasihan kepada yang tidak mampu menandingimu. Nah, sekali lagi
maafkan kelancanganku tadi!" Ia menjura dan hendak pergi.
"Eh
orang lancang! Bagaimana kau bisa pergi begitu saja setelah menghinaku? Hayo
maju kalau kau memang berkepandaian!" Lu Sian sengaja menantang karena
hatinya sudah jatuh dan ingin ia menguji kepandaian laki-laki yang menarik
hatinya ini. Kalau memang benar seperti dugaannya, bahwa laki-laki ini memiliki
kepandaian tinggi seperti terbukti ketika menangkisnya tadi, ia akan merasa
puas mendapat jodoh setampan dan segagah ini.
Kwee Seng
memang tampan pula, tetapi terlalu tampan seperti perempuan, kalah gagah oleh
pemuda ini. Dan biar pun ia tahu ilmu kepandaian Kwee Seng mungkin hebat, akan
tetapi sikap pemuda itu terlalu halus, terlalu lemah lembut, kurang ‘jantan’!
Pemuda itu
membalikkan tubuhnya, kembali menjura kepada Lu Sian sambil berkata dengan
suara perlahan. "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi
pemenang... akan tetapi... bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona. Biarlah aku
mengaku kalah terhadapmu!" Sambil melempar pandang tajam yang menusuk hati
Lu Sian, pemuda itu hendak mengundurkan diri.
"Apakah
engkau begitu pengecut, berani berlaku lancang tidak berani memperkenalkan
diri? Siapakah kau yang sudah berani... menghinaku?”
Dimaki
pengecut, pemuda itu menjadi merah mukanya. "Aku bukan pengecut! Kalau
Nona ingin benar tahu, namaku adalah Kam Si Ek dari Shan-si." Setelah
berkata demikian, pemuda gagah bernama Kam Si Ek itu lalu meloncat turun dari
panggung dan cepat-cepat lari ke luar dari halaman gedung.
Sampai
beberapa saat lamanya Liu Lu Sian berdiri bengong di atas panggung, merasa
betapa semangatnya seakan-akan melayang-layang mengikuti kepergian pemuda
ganteng itu.
"Pat-jiu
Sin-ong, kau baru saja kehilangan seorang calon mantu yang hebat!" Kwee
Seng berkata sambil menyambar daging panggang dengan sumpitnya.
"Kau
maksudkan bocah ganteng tadi? Siapakah dia? Namanya tidak pernah
kudengar," jawab Pat-jiu Sin-ong.
"Ha-ha-ha!
Kam Si Ek adalah panglima muda di Shan-si dan hanya karena adanya pemuda itulah
maka Shan-si terkenal sebagai daerah yang amat kuat dan membuat gubernurnya
yang bernama Li Ko Yung terkenal. Cocok sekali dia dengan puterimu. Puterimu
menjadi perebutan pemuda-pemuda, sebaliknya entah berapa banyaknya gadis di
dunia ini yang ingin menjadi istrinya! Ha-ha-ha!" Terang bahwa Kwee Seng
sudah mulai terpengaruh arak.
Memang
sebetulnyalah kalau pemuda itu tadi mengatakan bahwa dia tidak bisa minum arak
banyak-banyak. Akan tetapi karena kerusakan hatinya menghadapi cinta terhadap
Liu Lu Sian berbareng kecewa, ia sengaja nekat minum terus tanpa ditakar lagi.
"Huh,
apa artinya panglima bagiku? Dia memang tampan. Akan tetapi kalau disuruh
memilih, aku memilih kau, Kwee Seng!"
Liu Lu Sian
tersentak kaget dan membalikkan tubuh, masih berdiri di tengah panggung. Juga
para tamu mendengar percakapan yang dilakukan dengan suara keras itu. Kini
mereka memandang ke arah dua orang itu, terutama sekali Kwee Seng yang menjadi
pusat perhatian.
Pemuda ini
sudah bangkit berdiri, cawan arak di tangan kanannya. Hatinya berguncang keras
ketika ia mendengar ucapan ketua Beng-kauw itu. Betapa tidak? Jelas bahwa Ketua
Beng-kauw ini agaknya suka memilih dia sebagai mantu. Dan dia sendiri pun sudah
jelas mencintai gadis jelita itu, hal ini tidak dapat ia bantah, seluruh isi
hati dan tubuhnya mengakui.
Mau apa
lagi? Tinggal mengalahkan gadis itu, apa sukarnya? Akan tetapi di balik rasa
cinta, di sudut kepalanya di mana kesadarannya berada, terdapat rasa tak senang
yang menekan kembali rasa cinta kasihnya dengan bisikan-bisikan tentang
kenyataan betapa keadaan gadis itu dan keluarganya sama sekali tidak cocok,
bahkan berlawanan dengan pendirian dan wataknya. Ia jatuh cinta kepada seorang
dara yang berwatak liar dan ganas, sombong dan tinggi hati, licik dan keji,
gadis yang menjadi puteri tunggal Ketua Beng-kauw yang sakti, aneh dan sukar
diketahui bagaimana wataknya. Gadis yang menjadi sebab kematian banyak pemuda
yang tak berdosa!
Kesadarannya
membisikkan bahwa betapa pun ia mencintai gadis itu, cintanya hanya karena
pengaruh kejelitaan gadis itu dan kalau ia menuruti cintanya yang terdorong
nafsu, kelak akan tersiksa hatinya. Akan tetapi perasaannya membantah. Kalau ia
boleh membawa pergi gadis itu bersamanya, mungkin ia bisa membimbingnya menjadi
seorang isteri yang baik dan cocok dengan sifat-sifat dan wataknya.
"Lo-enghiong,
jangan main-main!"
"Ha-ha,
siapa main-main? Kwee-hiantit hanya kaulah yang agaknya pantas bertanding
dengan puteriku. Hayo kau kalahkan dia, kalau tidak, anakku itu akan makin
besar kepala saja dan para tamu tentu akan mengira aku hendak menang sendiri!
Ha-ha-ha!"
"Hemmm,
puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, aku pun ingin sekali menguji
kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo-enghiong, harap jangan salah sangka.
Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi,
perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu hati
masing-masing. Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki
sayembara pemilihan jodoh, hanya sekedar main-main menguji kepandaian
belaka?" Ucapan ini dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.
Akan tetapi
Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara keras pula.
"Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti, kau memang seorang yang teliti dan cermat,
terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar dan siapa
melanggar harus didenda!"
Kwee Seng
tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya bagaimana?”
“Kau harus
menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan untuk mengalahkan puteriku itu
kepadanya."
"Aku
tidak keberatan. Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."
"Boleh.
Nah, orang muda, kau cobalah!"
Hati Liu Lu
Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan antara ayahnya dan
pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat Kwee
Seng berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang
berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda seorang mabuk!
"Apakah
Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran kepandaian?"
Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata dingin. Ternyata gadis ini masih
mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin
basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara
diam-diam itu pemuda ini sudah menang setingkat dari padanya.
"Cuma
kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari kemenangan dari
seorang yang mabok!" dengan kata-kata ketus ini Liu Lu Sian hendak menebus
rasa malunya tadi.
Kwee Seng
tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang demikian eloknya. Mulut yang biar
pun menghamburkan kata-kata pedas dan pahit, namun tetap manis didengar.
Matanya yang agak mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu. Sejenak Kwee Seng
terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak memandang ke arah
mulut dara jelita di depannya. Ia hanya berdiri melamun....
Bibir merah
basah menantang
Bentuk indah
gendewa terpentang
Hangat
lembut mulut juita
Sarang madu
sari puspita
Senyum
dikulum bibir gemetar
Tersingkap
mutiara indah berjajar
Segar sedap
lekuk di pipi
Mengawal
suara merdu sang dewi!
"Heh,
kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak, lenyap sikapnya
yang menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.
Kwee Seng
sadar dari lamunannya. "Eh..., ohh... Nona, kau tahu, aku sebetulnya tidak
ingin memasuki sayembara... dan aku... aku lebih suka bertanding dengan si
pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia menoleh, matanya
mencari-cari.
"Cukup!
Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah mendengar bahwa kalau aku
kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu
Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi jangan kira akan mudah
mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan
tahu-tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak di atas meja dan
secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng.
Pemuda itu
tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah mengejek dan setengah
kagum. Begitu cepatnya gadis itu bergerak dan menyarungkan pedangnya dengan
gerakan indah.
Lu Sian
merasakan ejekan ini. Dengan gemas ia berkata," Menghadapi seorang sakti
seperti engkau ini, Kwee-kongcu, tidak bisa disamakan dengan segala cacing
tanah tadi. Aku mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!"
Sambil berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar
berkelebat, putih menyilaukan mata.
"Lu
Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu memberi
hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee Seng dan
sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.
"Wutttt!"
Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat cepat.
"Hemm,
aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari telunjuknya menotok
ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya.
Akan tetapi
secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya sehingga dalam dua
gebrakan ini mereka berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya.
"Ji-sute,
mundur kau!" kembali Liu Gan berseru keras, matanya melotot marah.
Ma Thai Kun
tidak berani membantah perintah suheng-nya dan ia mundurkan diri dengan
kemarahan di tahan-tahan.
“Orang She
Kwee, kau terlalu sombong. Lihat pedangku!" bentak Liu Lu Sian sambil
menggerakan pedangnya dengan cepat.
Pedang itu
berubah menjadi segulung sinar putih yang membuat lingkaran-lingkaran lebar,
makin lama lingkaran itu makin lebar mengurung tubuh Kwee Seng. Namun pemuda
ini hanya menggerakkan sedikit tubuhnya dan selalu ia terhindar dari kilat yang
berpencaran ke luar dari sinar pedang itu.
"Lu
Sian, jangan pandang ringan dia! Gunakan Toa-hong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin
Badai)!" seru Liu Gan dengan suara gembira, wajahnya berseri dan matanya
bersinar-sinar.
Begitu
gebrakan pertama dan selanjutnya secara cepat berlangsung, Lu Sian sudah
mengerti bahwa Kwee Seng ini benar-benar amat lihai. Pedangnya yang
menyambar-nyambar seperti hujan cepatnya itu ternyata dapat dielakkan secara
aneh dan sama sekali tidak tampak tergesa-gesa, seakan-akan semua gerakannya
ini masih terlampau lambat bagi Kwee Seng.
Oleh karena
ini, begitu mendengar seruan ayahnya, ia segera mengerahkan tenaga dan berlaku
hati-hati. Cepat ia mainkan ilmu pedang ajaran ayahnya, yaitu Toa-hong
Kiam-hoat. Gadis ini mengerti bahwa kali ini ia tidak saja harus menjaga harga
dirinya, melainkan juga menjaga muka ayahnya.
Diam-diam
Kwee Seng kaget dan kagum melihat perubahan ilmu pedang gadis itu yang kini
menderu-deru seperti angin badai mengamuk. Tidak percuma ketua Beng-kauw
mendapat julukan Pat-jiu Sin-ong, dan tidak percuma pula gadis itu menjadi
puteri tunggalnya karena ilmu pedang ini amat cepat, hebat dan berbahaya
sehingga tak mungkin dihadapi mengandalkan kecepatan belaka.
Pemuda sakti
ini maklum pula bahwa Pt-jiu Sin-ong seorang yang amat licik dan aneh. Tentu
sekarang Ketua Beng-kauw itu menyuruh anaknya mengeluarkan ilmu pedang simpanan
agar terpaksa ia mengeluarkan ilmunya yang sejati pula untuk mengalahkan Lu
Sian. Kwee Seng maklum pula bahwa janji untuk menurunkan ilmunya yang
mengalahkan Lu Sian, adalah janji yang amat licik dari Pat-jiu Sin-ong, yang
membayangkan sifat loba seorang ahli silat yang ingin sekali menguasai seluruh
ilmu yang paling sakti di dunia ini.
Melalui
puterinya, ketua Beng-kauw ini hendak memancing-mancing ilmu silatnya untuk
menambah perbendaharaan ilmu Pat-jiu Sin-ong! Karena tidak ingin menggunakan
ilmu simpanannya untuk mengalahkan Lu Sian agar ia tidak usah menurunkan ilmu
itu pada gadis ini, kembali Kwee Seng mengandalkan ginkang (ilmu meringankan
tubuh) yang lebih tinggi dari pada kepandaian gadis itu untuk melesat kesana
kemari, menyelinap di antara sambaran pedang Lu Sian yang seperti badai
mengamuk itu. Akan tetapi belum lima belas jurus Lu Sian mainkan Ilmu Pedang
Toa-hong-kian, ayahnya sudah berseru lagi.
"Lu
Sian, pergunakan Pat-mo Kiam-hoat!"
Ilmu pedang
Pat-mo-kiam (Pedang Delapan Iblis) ini sengaja diciptakan oleh Pat-jiu Sin-ong
untuk mengimbangi Ilmu Pedang Pat-sian-kiam (Pedang Delapan Dewa) yang pernah
ia hadapi dahulu. Hebatnya bukan kepalang.
Lu Sian
kembali menurut perintah ayahnya dan gerakan pedangnya berubah lagi. Kini
pedangnya tidak mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mendasarkan serangan
pada penggunaan tenaga sinkang (tenaga sakti). Setiap tusukan atau bacokan
mengandung tenaga mukjijat sehingga anginnya saja sudah cukup untuk merobohkan
lawan yang kurang kuat.
Kembali Kwee
Seng kaget dan kagum. Seperti juga sifat Pat-sian-kiam yang ia kenal, ilmu
pedang ini rapi sekali, seakan-akan dimainkan oleh delapan orang, namun
Pat-mo-kiam mengandung sifat yang lebih ganas dan keji. Mendadak ia mendapatkan
pikiran yang baik sekali. Biar pun Pat-mo-kiam diciptakan untuk menghadapi
Pat-sian-kiam, namun ilmu silat hanya sekedar teori atau peraturan gerakan
belaka, yang terpenting adalah orangnya. Karena tingkatnya lebih tinggi dari
pada tingkat Lu Sian, maka ia merasa sanggup mengalahkan Pat-mo-kiam yang
dimainkan gadis ini dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam.
Ia berseru
keras dan tahu-tahu tangannya sudah mencabut ke luar sebuah kipas yang
disembunyikan di dalam bajunya. Cepat ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian-kiam.
Kipasnya mengeluarkan angin yang kuat sekali sehingga gulungan sinar pedang
putih terdesak dan tiba-tiba Lu Sian berseru keras karena siku kanannya terkena
totokan gagang kipas. Seketika tangannya kejang dan hampir saja ia melepaskan
pedang, baiknya dengan gerakan yang cepat bukan main Kwee Seng sudah memulihkan
totokan lagi sehingga gadis itu dapat menyambar pedangnya yang sudah terlepas
tadi. Dasar gadis yang tak dapat menerima kekalahan, begitu pedangnya terpegang
lagi ia terus menyerang dengan hebat!
"Aiihh...!"
Kwee Seng berseru dan tubuhnya berkelebat.
Terpaksa ia
mempergunakan ilmunya yang hebat, yaitu Pat-sian Kiam-hoat yang sudah ia gabung
dengan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Kipasnya
mengebut pedang lawan, dan selagi pedang itu miring letaknya, gagang kipasnya
menotok dan... kini seluruh tubuh Lu Sian menjadi kaku tak dapat digerakkan
lagi! Kwee Seng cepat menempel pedang lawan dengan kipasnya, merampas pedang
itu di antara kipas sambil jari tangan kirinya membebaskan totokan!
Lu Sian
dapat bergerak lagi, akan tetapi pedangnya sudah terampas. Gadis itu marah
bukan main, siap menerjang dengan tangan kosong berdasarkan kenekatan.
"Lu
Sian, cukup! Haturkan terima kasih kepada calon suami atau gurumu!
Ha-ha-ha!" teriak Pat-jiu Sin-ong sambil melompat ke atas panggung.
Tepuk tangan
riuh menyambut kemenangan Kwee Seng ini, sedangkan Lu Sian lari ke dalam tanpa
menoleh lagi.
Sambil
merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong berkata lantang kepada para
tamunya. "Sahabat mudaku Kwee Seng telah menang mutlak atas puteriku dan
dia berhak menjadi calon mantuku. Akan tetapi, karena dia pun seorang aneh,
tidak kalah anehnya dengan aku sendiri, hanya dia yang dapat menentukan apakah
perjodohan ini diteruskan atau tidak. Betapa pun juga, ia sudah berjanji akan
menurunkan ilmunya yang tadi mengalahkan puteriku kepada Liu Lu Sian. Suami
atau guru, apa bedanya? Ha-ha-ha-ha-ha!"
Orang tua
itu menggandeng tangan Kwee Seng untuk di ajak minum sepuasnya. Sedangkan para
tamu mulai menaruh perhatian dan mempercakapkan pemuda pelajar yang tampaknya
lemah-lembut itu. Beberapa orang tokoh tua segera mengenal Kwee Seng sebagai
Kim-mo-eng dan mulai saat itu, terkenallah nama Kim-mo-eng Kwee Seng.
Tiga hari
kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan menunggang dua ekor kuda keluar dari
kota raja Kerajaan Nan-cao. Seperti telah ia janjikan, setelah memenangkan
pertandingan ia akan mengajarkan ilmu kepada Lu Sian dan gadis itu harus
menyertai peraturannya sampai menerima pelajaran itu.
Pat-jiu
Sin-ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut seguci arak kepada Kwee Seng
karena selama tiga hari di tempat itu, pemuda ini siang malam hanya makan minum
dan mabuk-mabukan saja, manjadi seorang peminum yang luar biasa. Betapa pun
juga, melihat mereka naik kuda berendeng, memang keduanya merupakan pasangan
yang amat setimpal.
Wajah Lu
Sian nampak berseri, karena betapa pun juga, menyaksikan sikap Kwee Seng, gadis
ini dapat menduga bahwa sebetulnya pemuda yang tampan dan sakti ini jatuh hati
kepadanya. Pandang mata pemuda itu dapat ia rasakan dan diam-diam merasa girang
sekali. Memang sudah menjadi watak Lu Sian, makin banyak pria jatuh hati
kepadanya makin giranglah hatinya, apalagi kalau kemudian ia dapat mematahkan
hati orang-orang yang mencintainya itu!
"Kwee-koko
(Kakanda Kwee), ke manakah kita menuju?" tanya Lu Sian dengan suara halus
dan manis, bahkan mesra.
Kwee Seng
memeluk guci araknya dan menoleh ke kiri. Melihat wajah ayu itu menengadah,
mata bintang itu menatapnya dan mulut manis itu setengah terbuka, hatinya
tertusuk dan cepat-cepat ia membuang muka sambil memejamkan matanya. "Ke
mana pun boleh!" jawabnya tak acuh, lalu menenggak araknya sambil duduk di
punggung kuda tanpa memegangi kendalinya.
"Eh,
bagaimana ini? Kau yang mengajak aku. Biarlah kita ke timur, sampai ditepi
sungai Wu-kiang yang indah. Bagaimana koko?"
"Hemm,
baik. Ke lembah Wu-kiang!" jawab Kwee Seng.
Lu Sian
membedal kudanya dan Kwee Seng masih tetap duduk sambil minum arak, akan tetapi
kudanya dengan sendirinya mencongklang mengikuti kuda yang dibalapkan Lu Sian.
Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari daerah kota raja, memasuki hutan.
Kembali Lu Sian menahan kudanya, dan kuda Kwee Seng juga ikut berhenti.
"Kwee-koko,
mengapa kau hanya minum saja? Kita melakukan perjalanan sambil bercakap-cakap,
kan menyenangkan? Apa kau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku? Kwee-koko,
hentikan minummu, kau pandanglah aku!" Mulai jengkel hati Lu Sian yang
merasa diabaikan atau tidak diacuhkan.
Kwee Seng
menoleh lagi ke kiri, makin terguncang jantungnya dan kembali ia menenggak
araknya! "Nona, tidak apa-apa, aku senang melakukan perjalanan ini. Ah
arak ini wangi sekali!"
Lu Sian cemberut
dan tidak menjalankan kudanya. "Uh, wangi arak yang menjemukan! Masa kau
tidak bosan-bosan minum setelah tiga hari tiga malam terus minum bersama ayah?
Kwee-koko, aku pernah disebut ayah bunga kecil harum, dan orang-orang di sana
semua mengatakan bahwa ada ganda harum sari seribu bunga keluar dari tubuhku.
Apakah kau tidak mencium ganda harum itu?"
Kwee Seng
tersentak kaget. Alangkah beraninya gadis ini! Alangkah bebasnya dan genitnya!
Mengajukan pernyataan dan pertanyaan macam itu kepada seorang pemuda. Dia
sendiri yang mendengarnya menjadi merah wajahnya, akan tetapi secara jujur ia
berkata, "Memang ada aku mencium bau harum itu, Nona. Semenjak kita
bertanding ganda harum itu tidak eh, tidak pernah terlupa olehku. Eh, bagaimana
ini?!" Ia tergagap, dan untuk menutupi malunya kembali ia menenggak
araknya.
Lu Sian
menahan tawanya dan hatinya makin gembira. Kiranya laki-laki ini tiada bedanya
dengan yang lain, mahluk lemah dan bodoh, canggung dan kaku kalau berhadapan
dengan gadis ayu! Alangkah akan senang hatinya dapat mempermainkan laki-laki
ini, mempermainkan pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, yang kesaktiannya
menurut ayahnya ketika membisikkan pesan tadi, tidak berada di sebelah bawah
tingkat ayahnya!
"Kwee
Seng, berhenti!!" tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang pada saat
Kwee Seng sedang minum araknya sambil di awasi oleh Lu Sian.
Gadis itu
terkejut karena mengenal suara bentakan. Cepat ia membalikkan tubuh di atas
punggung kudanya. "Ma-susiok (Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok
menyusul kami?"
Biar pun
masih duduk di atas kudanya membelakangi mereka yang baru datang, Kwee Seng
tahu bahwa yang datang adalah dua orang. Kemudian ia merasa heran juga ketika
mendengar suara Ma Thai Kun berubah sama sekali saat menjawab pertanyaan Lu
Sian.
"Lu
Sian, kau menjauhlah dulu. Urusan ini adalah urusan antara Kwee Seng dengan
aku, Percayalah, tindakanku ini sesungguhnya demi kebaikan dirimu."
Kwee Seng
adalah seorang pemuda yang amat halus perasaannya. Ia maklum orang macam
bagaimana adanya sute ke dua dari Pat-jiu Sin-ong ini, seorang kasar dan
pemarah, sombong dan tinggi hati. Mengapa tiba-tiba terkandung getaran halus
yang amat berlawanan dengan wataknya itu ketika bicara terhadap Lu Sian?
Tiba-tiba ia teringat akan semua peristiwa di Nan-cao dan keningnya berkerut.
Tahulah ia sekarang sebabnya dan sekaligus terbongkar sudah olehnya semua
rahasia pembunuhan di Beng-kauw. Hal ini mendatangkan marah di hatinya.
“Nona, lebih
baik kau menuruti permintaan susiok-mu. Kau minggirlah, dan biar aku bicara
dengannya,” ujar Kwee Seng.
Liu Lu Sian
tersenyum dan menjauhkan kudanya dengan wajah berseri. Hal inilah yang tidak
dimengerti oleh Kwee Seng. Mengapa gadis itu malah tersenyum seperti orang
bergembira padahal jelas bahwa paman gurunya mempunyai niat tidak baik terhadap
dirinya? Ia tidak peduli, lalu meloncat turun dari atas kudanya dengan guci
arak masih di tangan kiri, sambil membalik sehingga ketika kedua kakinya
menginjak tanah, ia sudah berhadapan dengan Ma Thai Kun dan seorang laki-laki
muda yang sikapnya sungguh-sungguh tenang, berpakaian sederhana memakai caping
dan punggungnya terhias sebatang cambuk. Ma Thai Kun merah mukanya, alisnya
berkerut dan sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan.
“Ma Thai
Kun, katakanlah kehendak hatimu sekarang.”
“Kwee Seng,
kau seorang yang telah menghina Beng-kauw! Kau tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh
Beng-kauw, mengandalkan kepandaian mengalahkan seorang wanita muda,
mengandalkan mulut manis mengelabui seorang tua. Twa-suheng boleh saja kau
kelabui, akan tetapi aku Ma Thai Kun takkan membiarkan kau pergi menggondol
keponakanku begitu saja untuk melaksanakan niatmu yang kotor!”
“Wah-wah!
Hatimu dan pikiranmu sendiri belepotan noda, kau masih bicara tentang niat
kotor orang lain. Bagus sekali mengenal tangan mautmu yang telah kau pergunakan
untuk membunuh tujuh orang pemuda di rumah penginapan dan tiga orang pemuda
yang sudah kalah oleh Nona Liu Lu Sian!”
“Ma-susiok!
Betulkah itu?” Tiba-tiba Lu Sian yang mendengar kata-kata ini bertanya dengan
suara terdengar gembira. Benar-benar Kwee Seng tidak mengerti dan sekali lagi
ia terheran-heran atas sikap Lu Sian ini.
Merah wajah
Ma Thai Kun. “Memang betul aku membunuh mereka. Cacing-cacing tanah itu tak
tahu malu dan berani mengharapkan yang bukan-bukan. Orang-orang macam mereka
mana patut memikirkan Lu Sian? Aku membunuh mereka apa sangkut-pautnya dengan
kau, Kwee Seng?”
“Suheng...!
Kenapa kau lakukan kekejaman itu? Bukankah Ji-suheng sudah melarang kita...,”
orang muda bertopi runcing itu bertanya, suaranya penuh kekuatiran.
“Sute, tak
usah kau turut campur! Kau anak kecil tahu apa!”
Kwee Seng
tertawa bergelak. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa orang muda yang menjadi
adik seperguruan Ma Thai Kun ini seorang yang jauh bedanya dengan
saudara-saudara seperguruannya, jauh lebih bersih batinnya.
“Ma Thai
Kun, memang urusan dengan pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan
tetapi pembunuhan keji itu tak boleh kudiamkan saja tanpa menegurmu. Apalagi
kau masih menitipkan sebuah benda kepadaku, apakah kau tidak ingin memintanya
kembali?” Sambil berkata demikian, Kwee Seng mengeluarkan sebatang jarum merah
dari saku bajunya. “Kau mengenal ini? Kau menghadiahkan ini kepadaku selagi aku
tidur, dan untuk kebaikan hati itu aku belum membalasnya,” Kwee Seng menyindir.
Berubah
wajah Ma Thai Kun. “Kau... kaukah jahanam itu...?” bentaknya dan tanpa memberi
peringatan lagi ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya
mengirim serangan maut dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sinkang
sepenuhnya.
“Aii...
aiih... inikah tangan maut yang mengandung racun merah itu?” Kwee Seng mengelak
sambil mengejek.
Tiba-tiba
dari dalam guci arak itu melesat ke luar bayangan merah dari arak yang muncrat
dan menyerang muka Ma Thai Kun. Biar pun hanya benda cair, karena arak itu
digerakkan oleh tenaga lweekang maka terasa seperti tusukan jarum. Ma Thai Kun
cepat mengibaskan tangannya dan hawa pukulannya membuat arak itu pecah
bertebaran. Akan tetapi mendadak sebuah guci arak yang sudah kosong melayang ke
arah kepalanya. Ma Thai Kun menangkis dengan tangan kirinya.
“Brakkk!”
guci itu pecah pula berkeping-keping.
Namun Kwee
Seng sudah merasa puas. Serangannya yang mendadak dapat memecahkan rahasia
gerakan Ma Thai Kun, maka ia sudah dapat menyelami dasarnya. Maka ketika Ma
Thai Kun menerjangnya lagi, ia menyambut dengan gerakan kedua tangan yang sama
kuatnya. Kwee Seng tidak mengeluarkan senjata melihat lawannya juga bertangan
kosong.
Memang di
antara para saudara seperguruannya, Ma Thai Kun terkenal seorang ahli silat
tangan kosong yang tak pernah menggunakan senjata. Namun kedua tangannya
merupakan sepasang senjata yang mengandung racun, menggila dahsyatnya dan
ampuhnya! Jarang ia menemui tandingan, apalagi kalau lawannya juga bertangan
kosong. Baru beradu lengan dengannya saja sudah merupakan bahaya bagi lawan.
Namun kali
ini Ma Thai Kun kecelik. Lawannya biar pun masih muda, namun telah memiliki
tingkat kepandaian yang sangat tinggi sekali. Tanpa diisi lweekang pun, kedua
lengannya itu telah kebal terhadap hawa-hawa beracun yang betapa ampuhnya juga.
Ketika ia merantau dan berguru kepada pertapa-pertapa di pegunungan Himalaya,
ia telah melatih dan menggembleng kedua lengannya dengan obat-obat mukjijat,
juga di dalam pertempuran berat ia selalu ‘mengisi’ kedua lengannya dengan hawa
sakti dari dalam tubuhnya.
Pertandingan
itu hebat bukan main. Setiap gerakan tubuh, baik tangan mau pun kaki, membawa
angin dan menimbulkan getaran. Bahkan tanah yang mereka jadikan landasan serasa
tergetar oleh tenaga-tenaga dalam yang tinggi tingkatnya. Beberapa kali Ma Thai
Kun menggereng dalam pengerahkan tenaga racun merah, disalurkan sepenuhnya ke
dalam lengan yang beradu dengan lengan lawan. Namun akibatnya, dia sendiri yang
terpental dan merasa betapa hawa panas di lengannya membalik. Makin merahlah ia
dan terjangannya makin nekat.
“Ma Thai
Kun, manusia macam kau ini semestinya patut dibasmi. Akan tetapi mengingat akan
persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong, melihat pula muka nona Liu Lu Sian yang
masih terhitung murid keponakan dan melihat muka adik seperguruanmu yang bersih
hatinya, aku masih suka mengampunkan engkau. Pergilah!”
Sambil
berkata demikian, tiba-tiba Kwee Seng merendahkan tubuhnya, setengah berjongkok
dan kedua lengannya mendorong ke depan. Inilah sebuah serangan dengan tenaga
sakti yang hebat. Tidak ada angin bersiut, akan tetapi Ma Thai Kun merasa
betapa tubuhnya terdorong tenaga yang hebat dan dahsyat. Ia pun merendahkan
diri, mendorongkan kedua lengannya untuk bertahan. Namun akibatnya, terdengar
bunyi berkerotokan pada kedua lengannya dan tubuhnya terlempar seperti
layang-layang putus talinya, lalu ia roboh terguling dan kedua lengannya
menjadi bengkak-bengkak.
“Orang she
Kwee, kau melukai suhengku, terpaksa aku membelanya!” kata orang muda bertopi
runcing sambil melepaskan cambuknya dari punggung.
“Saudara
yang baik, siapakah namamu?” Kwee Seng bertanya, suaranya halus.
"Aku
bernama Kauw Bian, saudara termuda dari Twa-suheng Liu Gan.”
“Hemm,
kulihat kau seorang yang jujur dan baik. Mengapa engkau hendak membela orang
yang menyeleweng dari pada kebenaran?”
“Tindakan
Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sute-nya, melihat
seorang suheng-nya terluka oleh lawan, bagaimana aku dapat diam? Kewajibankulah
untuk membelanya! Orang she Kwee, hayo keluarkan senjatamu dan lawanlah
cambukku ini!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian menggerakkan cambuknya
keatas dan terdengar bunyi bergeletar nyaring sekali.
Diam-diam
Kwee Seng kagum sekali. Cambuk itu biar pun kelihatan seperti cambuk biasa,
namun di tangan orang ini dapat menjadi senjata yang ampuh sekali. Dan ia kagum
akan isi jawaban yang membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang patut
dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan berkata. “Kauw-enghiong, sikapmu
membuat aku lemas dan aku mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku tidak
mungkin mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun percaya kau
tidak seperti Suheng-mu untuk menyerang seorang yang tidak mau melawan.”
Setelah
berkata demikian, Kwee Seng melompat keatas kudanya, menoleh kepada Lu Sian
sambil berkata, “Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku
atau tidak.” Lalu ia melarikan kudanya pergi dari situ.
Liu Lu Sian
tercengang sejenak. Gadis ini lalu tersenyum dan membedal kudanya pula,
mengejar kuda pemuda yang sudah cukup jauh. Tinggal Kauw Bian yang masih
memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat memandang dua buah
bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap itu.
“Kauw
Bian-sute! Adik macam apa kau ini? Kenapa tidak kau serang dia?”
Kauw Bian
terkejut dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di belakangnya,
meringis kesakitan dan ke dua lengannya masih bengkak-bengkak.
“Tidak
mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa menyerang orang
yang tidak mau melawan?”
“Uhhh, dasar
kau lemah....”
Mendadak Ma
Thai Kun menghentikan omelannya karena tiba-tiba bertiup angin dan sesosok
tubuh tinggi besar melayang turun. Kiranya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang.
Jelas bahwa tokoh ini marah, sepasang matanya melotot memandang Ma Thai Kun dan
begitu kakinya menginjak tanah, ia lalu membentak.
“Ma Thai
Kun! Bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau layak dipukul seperti anjing!” Tangan
kiri Liu Gan bergerak dan....
“Plakkk,
plakkk!” telapak dan punggung tangan Pat-jiu Sin-ong sudah menampar cepat
sekali mengenai sepasang pipi Ma Thai Kun yang terhuyung-huyung ke belakang.
Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya menyipit bercahaya ketika berdongak
memandang.
“Twa-suheng,
apa kesalahanku?”
“Masih
bertanya tentang kesalahannya lagi? Anjing hina kau! Kau, tua bangka, kau
berani menaruh hati cinta kepada puteriku, keponakanmu? Penghinaan besar sekali
ini, tidak dapat diampunkan!”
“Suheng, apa
buktinya?”
“Setan alas!
Kau kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu? Sebelum kau membunuhi
pemuda-pemuda itu, pada malam hari itu kau membujuk-bujuk Lu Sian dengan
kata-kata merayu, kau menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan
mau diadakan pemilihan jodoh. Huh, tak malu! Dan kau begitu cemburu dan
membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu Sian, malah engkau membunuh
tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau berani
mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya menampar mukaku.
Keparat!!”
Mendengar
ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat saking heran,
terkejut, dan bingung mendengar kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke
Tiga). Namun Ma Thai Kun malah tersenyum.
“Twa-suheng,
semua itu memang benar! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku mencinta Lu Sian?
Dia wanita dan aku laki-laki! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak
melarang perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita hanya ada hubungan
keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku mencinta Lu Sian dengan sepenuh
jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah mendengar pengakuanku, mengapa Suheng
marah-marah?”
Gemertak
bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. “Jahanam hina! Apa kau kira
menjadi tanda bahwa dia membalas cintamu? Huh, goblok dan hina! Lu Sian selalu
akan gembira mendengar orang laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena ia ingin
menikmati kelucuan badut-badut itu! Kau sama sekali tidak memandang mukaku,
maka kau harus binasa sekarang juga!” Liu Gan sudah bergerak maju, akan tetapi
ia menarik kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah
menghalanginya.
“Kau... Kauw
Bian Sute, mau apa??”
“Maaf,
Twa-suheng. Terus terang saja siauwte sendiri tidak setuju perbuatan Ma-suheng
itu. Akan tetapi, Twa-suheng, betapa pun besar kesalahannya, kiranya tidaklah
baik kalau Twa-suheng menjatuhkan hukuman mati kepada Ma-suheng. Pertama,
mengingat akan saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi buah tertawaan
dunia kang-ouw dan merendahkan nama besar Twa-suheng, malah menyeret pula nama
Beng-kauw yang kita cintai. Betapa dunia kang-ouw akan gempar kalau mendengar
bahwa ketua Beng-kauw membunuh adik seperguruannya sendiri.”
Liu Gan
mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sute-nya yang paling muda
dan memang paling ia sayangi itu. “Ah, Siauw-sute! Kau masih begini muda namun
pandanganmu luas, pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat
menahan kemarahanku. Eh, Ma Thai Kun, minggatlah kau! Mulai detik ini, aku
tidak sudi lagi melihat mukamu. Dan kalau kau berani muncul di depanku, hemmm,
aku tidak peduli lagi, pasti aku akan membunuhmu!”
Ma Thai Kun
menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di antara pohon-pohon.
Kauw Bian menarik napas panjang dan mengusap dua titik air matanya dari pipi.
“Kau
menangis, Sute?” Liu Gan bertanya heran.
Dengan suara
serak Kauw Bian menjawab, masih membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma
Thai Kun. “Perbuatan manusia selalu mendatangkan kebaikan dan keburukan,
Twa-suheng. Kalau kita mengingat yang buruk-buruk saja memang dapat menimbulkan
benci. Akan tetapi saya teringat akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama
menjadi kakak seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia
pergi untuk selamanya? Betapa pun juga, beginilah agaknya yang paling baik.
Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapa pun juga Ma-suheng pergi membawa
serta dendam dan kebencian yang hebat, yang tentu akan membuatnya nekat dan
melakukan hal-hal yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya, berarti
bahwa semua perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan Beng-kauw.”
Mendengar
kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. “Hemmm, agaknya benar
lagi pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng
kelihatan seorang yang pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat
buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau kembalilah dan bantulah
Suheng-mu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan kepada Sri Baginda bahwa
aku akan merantau selama dua tiga bulan.”
“Twa-suheng
hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian? Itu baik sekali,
Twa-suheng, karena perjalanan bersama antara seorang pria dan wanita, sungguh
merupakan bahaya besar yang bahayanya lebih banyak mengancam si wanita dari
pada si pria.”
“Sute, kau
benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi!” Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
berkelebat, angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda
yang berpakaian sederhana seperti pengembala ini menarik napas panjang saking
kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari hutan itu.
Musim dingin
telah tiba, dan melakukan perjalanan pada musim dingin bukanlah hal yang
menyenangkan atau mudah. Apalagi kalau hanya menunggang kuda tanpa ada tempat
untuk berlindung dari serangan hawa dingin yang menusuk tulang, tidak
mengenakan baju bulu yang tebal, tentu perjalanan itu akan mendatangkan
sengsara dan juga bahaya mati kedinginan. Namun, tidak demikian agaknya bagi
Kwee Seng dan Liu Lu Sian. Dua orang muda ini bukanlah orang-orang biasa,
melainkan pendekar-pendekar yang sudah gemblengan yang dengan ilmunya telah
dapat menyelamatkan diri dari pada serangan hawa dingin tanpa bantuan benda
luar seperti baju tebal dan selimut. Mereka melakukan perjalanan seenaknya dan
hanya mengaso kalau kuda yang mereka tumpangi sudah lelah dan kedinginan.
Pada siang
hari itu, mereka mengaso di pinggir Sungai Wu-kiang yang mengalirkan airnya
perlahan-lahan ke jurusan timur. Airnya tampak tenang dan sedikit pun tidak
bergelombang, membayangkan bahwa sungai itu amat dalam. Lu Sian menyalakan api
unggun untuk menghangatkan tubuh dua ekor kuda mereka, juga dengan bantuan api,
mereka merasa nikmat dan hangat.
“Kwee-koko,
sudah dua pekan kita melakukan perjalanan, akan tetapi belum juga kau penuhi
dua permintaanku,” Lu Sian berkata sambil mengorek-orek kayu membesarkan nyala
api.
“Nona....”
“Nah, yang
dua belum dipenuhi, yang satu dilanggar pula. Berapa kali sudah kukatakan
supaya kau jangan menyebut Nona kepadaku? Wah, pelajar apakah kau ini, begitu
pikun dan kurang perhatian? Mana bisa maju mempelajari sastra yang begitu
sulitnya!”
Kwee Seng
menarik napas panjang. Gadis ini memang hebat. Tidak saja benar-benar mempunyai
kecantikan yang asli dan gilang-gemilang, yang cukup meruntuhkan hatinya, namun
juga memiliki watak yang kadang-kadang membuat ia bertekuk lutut karena ia
jatuh hatinya. Watak yang berandalan, namun seakan-akan dapat menambah
terangnya sinar matahari, menambah merdu kicau burung, menambah meriah suasana
dan menjadikan segala apa yang tampak berseri-seri. Akan tetapi, juga makin
yakin hatinya bahwa di balik segala keindahan, segala hal-hal yang menjatuhkan
hatinya ini, tersimpan sifat-sifat lain yang amat bertentangan dengan hatinya.
Sifat kejam dan ganas, tidak mempedulilkan orang lain, terlalu cinta kepada
diri sendiri, dan tidak mau kalah, ingin selalu menang dan berkuasa saja.
“Memang aku
seorang pelajar yang gagal, tidak lulus ujian.” Ia menjawab, kemudian
menambahkan. “Kau minta aku menceritakan riwayatku, apakah gunanya? Aku tidak
ada riwayat yang pantas menjadi cerita. Aku seorang sebatang kara, yatim piatu,
miskin dan gagal. Apalagi? Tentang permintaanmu ke dua mempelajari ilmu silat yang
sedikit-sedikit aku bisa, nantilah, belum tiba saatnya.”
“Wah, kau
jual mahal, Koko!” Lu Sian mengejek dan mengisar duduknya mendekati pemuda itu.
Memang demikianlah selalu sikap Lu Sian, terhadap siapapun juga. Jinak-jinak
merpati, tampaknya jinak tapi tak mudah didekati! “Hawa begini dingin, kalau
ditambah sikapmu, bukankah kita akan menjadi beku? Eh, Kwee-koko, kalau aku
tidak ingat bahwa kau adalah seorang ahli silat yang lihai, kau ini pelajar
gagal dan murung mengingatkan aku akan seorang penyair yang sama segalanya dan
sama murungnya dengan engkau... hi hik...!” Gadis ini menutup mulutnya dengan
tangan, akan tetapi matanya jelas mentertawakan Kwee Seng.
“Penyair
mana yang kau maksudkan?” Biar pun tahu gadis itu hanya menggodanya, namun
bicara tentang syair dan menyair selalu menimbulkan kegembiraan bagi Kwee Seng.
“Siapa lagi
kalau bukan Tu Fu! Pernah aku mendengar ayah bicara tentang syair-syairnya,
mengerikan!”
“Mengapa
mengerikan kalau dia selalu mencurahkan isi hatinya berdasarkan kenyataan dan
terdorong oleh rasa kasihan kepada sesamanya?”
“Bukan rasa
kasihan kepada sesamanya, Koko, Melainkan rasa kasihan kepada diri sendiri!
Karena keadaannya miskin terlantar, dia pandai bicara tentang kemiskinan. Coba
dia itu kaya raya, atau andai kata tidak kaya harta benda, sedikitnya kaya akan
cinta kasih kepada alam seperti penyair yang seorang lagi... eh, siapa itu yang
suka memuji-muji alam, yang suka... mabok-mabokan, gila arak seperti kau
pula....”
“Kau
maksudkan penyair Li Po?”
“Ya, dia
itulah. Kalau Seperti Li Po yang memandang dunia dari segi keindahan, tentu
dalam kemiskinannya Tu Fu takkan begitu pahit dan pedas sajak-sajaknya. Wah,
aku seperti mengajar itik berenang! Kau tentu lebih tahu dan pandai. Aku paling
ngeri mendengar syair Tu Fu tentang anggur, daging dan tulang. Bagaimana
bunyinya, Kwee-koko?”
Kwee Seng
meramkan mata, menengadahkan mukanya yang tampan ke atas lalu mengucapkan syair
ciptaan Tu Fu dengan suara bersemangat, terpengaruh oleh isi sajak yang
memaki-maki keadaan pada waktu itu.
Di sebelah
dalam pintu gerbang merah,
hangat indah
serba mewah,
anggur dan
daging bertumpuk-tumpuk,
sampai masam
rusak membusuk!
Di sebelah
luar pintu gerbang merah,
dinding
kotor serba miskin,
berserakan
tulang-tulang rangka mereka,
yang mati
kedinginan dan kelaparan!
“Iiiihhh!
Itu bukan sajak namanya!” Lu Sian mencela, kelihatan jijik dan ngeri, “Tidak
enak benar mendengarkan sajak seperti itu.”
“Memang
sajak itu keras dan tegas, agak berlebihan, namun mengandung kegagahan yang tiada
bandingnya, Non... eh, Moi-moi.”
Sepasang
bibir indah merah terbelah memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara ketika
Lu Sian mendengar sebutan moi-moi (dinda) itu. Diam-diam ia mentertawakan Kwee
Seng di dalam hatinya. Katakanlah kau menang dalam ilmu silat, boleh kau
mengira dirimu gagah perkasa dan tampan, namun alangkah mudahnya kalau aku mau
menjatuhkanmu, membuatmu bertekuk lutut di depan kakiku! Demikianlah nona ini
berkata dalam hatinya.
“Eh, apakah
dia itu pun pandai ilmu silat seperti kau, Kwee-koko?”
“Biar pun
aku juga hanya seorang bodoh, akan tetapi sedikit banyak mengerti ilmu silat,
sedangkan mendiang Tu Fu benar-benar seorang sastrawan yang tak tahu bagaimana
caranya memegang gagang pedang, tahunya hanya memegang gagang pensil.”
“Kalau
begitu dia orang lemah. Bagaimana gagah tiada bandingnya?”
“Moi-moi,
kau tidak tahu. Biar pun orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali pada
waktu itu, tak mungkin ia berani melontarkan kata-kata yang seperti bunyi sajak
itu, karena dapat dicap sebagai pemberontak dan di hukum mati!”
“Tapi aku
lebih kagum kepada penyair Li Po. Masih teringat aku akan sajaknya yang
benar-benar membayangkan kegagahan, kalau tidak salah begini:
Alangkah
inginku dapat terbang dengan pedang sakti di tangan,
menyebrangi
samudera untuk membunuh ikan paus pengganggu nelayan!
Ketika
mengucapkan sajak ini, Lu Sian bangkit berdiri. Kedua kakinya terpentang,
tubuhnya tegak, dada membusung penuh semangat, serta kelihatan gagah dan cantik
jelita. Suaranya bersemangat, merdu dan penuh perasaan sehingga Kwee Seng
melihat dan mendengar dengan mata terbelalak dan mulut ternganga! Ia berada
dalam keadaan seperti itu dan baru tersipu-sipu membuang muka ketika Lu sian
memandangnya dan bertanya.” Kau kenapa, Koko?”
“Tidak
apa-apa, tidak apa-apa... kau pandai membaca sajak, Moi-moi...,” kata Kwee Seng
gagap.
Akan tetapi
terdengar gadis itu terkekeh tertawa, suara ketawa yang mengandung banyak arti.
Gadis itu masih tersenyum-senyum dan sinar matanya mengerling tajam penuh
ejekan ketika mereka bangkit berdiri dan berhadapan. Lu Sian menggerakkan
kakinya perlahan mendekati, sampai dekat benar, sampai terasa benar oleh hidung
Kwee Seng keharuman yang luar biasa keluar dari tubuh gadis itu. Wajah jelita
itu dekat sekali dengan wajahnya, wajah yang berseri dengan mata bersinar-sinar
dan bibir terbuka menantang dikulum senyum. Serasa terhenti detak jantung Kwee
Seng, bobol pertahanannya dan dengan nafsu yang memabokkan pikirannya
didekapnya pundak Lu Sian dalam rangkulan dan ditundukkannya mukanya untuk
mencium.
Akan tetapi
tiba-tiba Lu Sian menundukkan mukanya sehingga yang tercium oleh Kwee Seng
hanyalah rambutnya, rambut yang harum menyengat hidung. Tiba-tiba terdengar
gadis itu bertanya, suaranya dingin aneh, penuh cemooh. “Hai, Kwee Seng
pendekar muda yang sakti, pertapa belia tahan tapa dan si teguh hati, apakah yang
akan kau perbuat ini?”
Kwee Seng
gelagapan, seakan mukanya disiram air salju. Mukanya menjadi pucat, lalu
berubah merah. Dilepaskannya dekapan tangannya dan ia membuang muka, lalu
menundukkannya. “Maaf... ah, maafkan aku. Seperti sudah gila aku tadi... ah,
Nona Liu, maafkan aku. Kenapa kau begitu... begitu jelita dan... dan...
keji...?”
Liu Lu Sian
tertawa. Suara tawanya merdu sekali, akan tetapi juga penuh dengan ejekan.
“Kwee-koko, kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu menularimu. Mari kita
lanjutkan....”
Tiba-tiba
Kwee Seng mendorong gadis itu, yang segera meloncat bermodal tenaga dorongan
Kwee Seng. Pemuda itu sendiri juga sudah meloncat ke belakang dengan gerakan
cepat. Sambil mengeluarkan bunyi berciutan menyambarlah lima batang senjata
piauw (pisau terbang) dan menancap ke dalam batang pohon. Tidak hanya berhenti
di situ saja penyerangan gelap ini karena dari tiga penjuru menyambarlah
bermacam-macam senjata rahasia menghujani tubuh Kwee Seng dan Lu Sian.
Akan tetapi
kini dua orang muda yang berilmu tinggi itu kini sudah siap sedia dan waspada,
dengan mudah mereka menyelamatkan diri. Lu Sian sudah mencabut pedangnya dan
dengan putaran pedangnya secara indah dan cepat, semua piauw jarum dan senjata
rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh. Ada pun Kwee Seng sendiri hanya
dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya saja. Ujung lengan bajunya
mengeluarkan angin pukulan, cukup membuat semua senjata rahasia menyeleweng dan
tidak mengenai dirinya.......
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment