Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 02
TIBA-TIBA
terdengar derap kaki kuda, dan ternyata dua ekor kuda mereka telah dilarikan
orang.
”Keparat
hina dina!” Lu Sian melompat, pedangnya berkelebat dan dua orang yang
menunggang kuda mereka terjungkal, tak bernyawa lagi!
“Ah,
Moi-moi, kenapa begitu ganas?” Kwee Seng menegur penuh sesal sambil memegangi
kendali kudanya yang terkejut dan akan memberontak.
“Penjahat
rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu hendak mencuri kuda, sudah
sepatutnya dibunuh,” kata Lu Sian dengan suara dingin sambil menyarungkan
kembali pedangnya.
Kwee Seng
membungkuk sambil memeriksa dua orang itu. Pakaian mereka tidak menunjukkan
orang-orang miskin, juga rapi tidak seperti maling-maling kuda biasa. Akan
tetapi, bekas tusukan pedang Lu Sian hebat sekali, mereka itu sudah mati dan
tak dapat ditanya lagi.
“Justeru
karena mereka mengandalkan banyak orang dan secara menggelap menyerang kita,
perlu kita ketahui apa latar belakangnya. Dua ekor kuda kita, biar pun
merupakan kuda pilihan, kiranya belum patut menggerakkan hati orang-orang
kang-ouw untuk merampasnya. Tentu saja ada apa-apa di belakang semua ini, namun
sayang, mereka sudah mati tak dapat ditanya lagi. Mari kita lanjutkan
perjalanan. Dua mayat ini tentu akan diurus oleh teman-temannya. Melihat
datangnya senjata-senjata rahasia tadi, kurasa mereka tidak kurang dari lima
orang banyaknya. Kau hati-hatilah, Moi-moi, kurasa orang-orang yang memusuhi
kita takkan berhenti sampai di sini saja.”
Lu Sian
mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali kepada ancaman musuh, lalu
melompat ke atas punggung kudanya. Dua orang muda itu segera menjalankan kuda
ke timur mengikuti sepanjang lembah sungai Wu-kiang.
Melihat Kwee
Seng naik kuda dengan wajah muram dan alis berkerut, diam saja tanpa
mengeluarkan kata-kata dan sama sekali tak pernah menoleh kepadanya, Lu Sian
bertanya, “Koko, apakah kau masih marah kepadaku?”
Tanpa
menoleh Kwee Seng berkata lirih, “Kenapa marah? Tidak!”
Diam pula
sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka yang berjalan congklang. Dari
jauh tampak tembok sebuah kota. Itulah kota Kwei-siang yang terletak di tepi
sungai.
“Kwee-koko....”
“Hemm, ada
apakah...?”
“Kau lihat
aku. Tidak enak bicara dengan orang yang tunduk saja. Apa kau tidak sudi
memandang mukaku lagi?”
Mau tidak
mau Kwee Seng menoleh. Wajahnya seketika menjadi merah ketika ia melihat wajah
gadis itu berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan cahaya yang bersinar
tajam menembusi jantungnya, yang seakan-akan mengandung penuh pengertian, yang
menjenguk isi hatinya sehingga Kwee Seng merasa seperti ditelanjangi, seperti
telah terungkapkan semua rahasia perasaan dan hatinya.
“Sian-moi,
(adik Sian), kau mau bicara apakah?” Kwee Seng mengeraskan hatinya, menekan
perasaan.
“Kwee-koko,
kau telah jatuh hati kepadaku, bukan? Kau mencintaiku sepenuh hatimu!”
Sejenak Kwee
Seng menjadi pucat wajahnya. Bukan main, pikirnya. Gadis ini benar-benar
berwatak siluman! Pertanyaan macam ini benar-benar tak mungkin diajukan oleh
gadis mana pun juga. Ia tahu bahwa pertanyaan ini disengaja oleh Lu Sian, dan
ia maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor kucing, hendak mempermainkannya
seperti seekor tikus. Ia merasa betapa jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee
Seng adalah pemuda gemblengan. Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan
mukanya berubah merah kembali.
“Tak perlu
aku menyangkal, Moi-moi. Aku memang jatuh hati kepadamu. Kau terlalu cantik
jelita, pribadimu mengeluarkan daya tarik seperti besi sembrani yang tak dapat
kulawan. Kini aku balas bertanya, apakah kau tidak mencintaiku?”
Lu Sian
kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini menggerak-gerakkan kepalanya,
matanya bersinar-sinar dan ia tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. “Aku?
Mencintaimu? Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku takkan begitu tergesa-gesa seperti
engkau mengambil keputusan tentang cinta. Belum cukup lama aku mengenalmu. Kau
terlalu lemah lembut, terlalu muram. Biarlah aku mempelajarimu lebih dulu.
Bukankah ayah telah memberi kesempatan kepadamu untuk mengawiniku, mengapa kau
menolak dan malah berjanji akan menurunkan ilmu kepadaku?”
“Aku memang
cinta kepadamu, Sian-moi, akan tetapi tentang kawin... ah, terlalu banyak aku
melihat kekejian-kekejian di Beng-kauw, terlalu banyak aku melihat
keganjilan-keganjilan yang mengerikan. Dan kau sendiri... ah, kurasa takkan
mungkin kau bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta pribadimu, tapi
mungkin aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!”
Kembali Lu
Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kwee Seng makin heran.
Benar-benar gadis yang aneh. Aneh dan berbahaya sekali. Ia tadi sengaja
berterus terang untuk membalas agar gadis ini merasa terpukul. Akan tetapi kiranya
gadis itu malah mentertawakannya!
“Hi-hik, kau
lucu, Kwee-koko. Aku pun belum percaya akan cintamu kalau kau belum buktikan
dengan berlutut menyembah-nyembah kakiku!” Setelah berkata demikian, gadis itu
berseru keras dan menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu terkejut dan
membalap ke depan.
Kwee Seng
terheran-heran, lebih heran dari pada terhina oleh ucapan aneh itu. Akan tetapi
ia merasa lega bahwa gadis itu mengakhiri percakapan yang menyakiti hatinya,
maka ia pun lalu membedal kudanya mengejar, memasuki kota Kwei-siang.
Hari telah
menjelang senja ketika mereka berdua memasuki kota Kwei-siang. Mereka mencari
sebuah rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di bagian depan. Seorang
pelayan penginapan tergopoh-gopoh menyambut mereka, merawat kuda dan memberi
dua buah kamar yang mereka minta. Setelah ke dua orang muda ini membersihkan
diri dari debu dan keringat, berganti pakaian bersih, mereka lalu mengambil
tempat duduk di rumah makan dan memesan makanan. Kwee Seng yang masih belum lenyap
rasa tekanan hatinya, lebih dulu memesan seguci arak yang paling baik.
“Wah, kau
mau mabok-mabokan lagi Koko? Benar-benar menjengkelkan! Aku malam ini ingin
sekali bercakap-cakap denganmu sampai semalam suntuk!”
Sambil
menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng menjawab, memaksa senyum, karena
kadang-kadang, seperti sekarang ini sikap Lu Sian yang kekanak-kanakan mengelus
dan menghibur hatinya, melenyapkan rasa sakit akibat ucapan-ucapan yang menusuk
dari gadis itu pula.
“Biar pun
minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja hinggap padaku semenjak aku berjumpa
denganmu, Moi-moi, akan tetapi aku tak akan begitu mudah mabok. Bercakap-cakap
sambil minum kan dapat juga.”
“Ihhh, siapa
bilang? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau lebih mencurahkan perhatianmu
pada arak, dan... eh, Koko, lihat mereka itu....”
Tiba-tiba Lu
Sian menghentikan kata-katanya ketika melihat beberapa orang laki-laki muncul
seorang demi seorang dari pintu depan dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.
Yang pertama masuk adalah seorang laki-laki yang berwajah muram, mukanya licin
tidak berjenggot, pakaiannya kumal, di punggungnya terselip sebatang golok
telanjang, usianya kurang lebih empat puluh tahun. Orang ini berjalan dengan
gerakan kaki ringan seperti seekor kucing, dan ketika memasuki pintu, matanya
mengerling ke arah tempat duduk Kwee Seng dan Lu Sian.
Karena Kwee
Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian yang berhadapan dengannya lebih
dulu melihat dan tertarik. Apalagi ketika berturut-turut masuk lima orang
laki-laki lain di belakang Si Pembawa Golok. Dua orang berpakaian tosu (pendeta
To), seorang laki-laki setengah tua yang tampan dengan rambut digelung ke atas,
kemudian seorang pemuda tampan yang pakaiannya seperti pelajar akan tetapi di
pinggangnya tergantung pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio
(pendeta Buddha) berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi yang
berat. Enam orang ini terang bukanlah orang-orang sembarangan karena
gerak-gerik mereka ringan dan gesit.
“Koko, kau
lihat mereka…” bisik pula Lu Sian.
“Moi-moi,
mari kita minum, hal-hal lain tidak perlu dihiraukan,” kata Kwee Seng yang
sikapnya tetap tenang seakan-akan tidak ada apa-apa.
Kemudian
pemuda ini minum araknya dari cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya tahu-tahu sudah mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja.
Liu Lu Sian tersenyum dan kembali memperhatikan makanan yang tersedia di atas
meja tanpa menghiraukan orang-orang itu. Ia maklum bahwa tanpa ia peringatkan,
Kwee Seng juga sudah tahu akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia
kagum akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala macam
ancaman, lebih baik bersikap tenang sehingga dapat menentukan sikap dengan
tepat.
Betapa pun
juga, Lu Sian tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat dengan kerling
sudut matanya ke arah orang-orang itu. Ternyata mereka sekarang memperlihatkan
sikap yang cukup jelas. Orang pertama sudah mencabut golok, Si Hwesio
mengangkat tongkatnya sedangkan yang lain juga sudah bersiap seperti orang
hendak bertempur. Jelas bahwa enam orang itu hendak mencari perkara karena
pandang mata mereka semua kini terarah kepadanya! Dengan gerakan penuh ancaman
enam orang itu kini makin mendekat dan akhirnya mereka mengurung meja yang
dihadapi Kwee Seng dan Lu Sian.
Namun Kwee
Seng tetap tenang sambil minum araknya, melirik pun tidak ke arah mereka. Lu
Sian juga bersikap tenang, namun hatinya berdebar. Tidak biasanya ia bersikap
seperti yang diambil Kwee Seng ini. Biasanya, begitu ada orang memusuhinya, ia
segera menurunkan tangan besi. Baginya, lebih cepat merobohkan lawan, lebih
baik.
Para
pengurus rumah makan sudah lari ketakutan menyaksikan enam orang itu
mengeluarkan senjata. Beberapa orang tamu yang tadinya sedang menikmati hidangan
juga cepat-cepat membayar harga makanan dan segera pergi. Semua orang sudah
melihat gelagat tidak baik, hanya Kwee Seng yang seakan-akan tidak tahu akan
semua kesibukan itu dan masih enak-enak minum.
“Siluman
betina! Kau harus mengganti nyawa puteraku!” tiba-tiba Si Pemegang Golok yang
berwajah muram itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu
Sian.
Gadis ini
mendongkol bukan main, akan tetapi ia tetap duduk dan tersenyum mengejek,
kemudian dengan mata berseri-seri memandang kepada pemuda tampan yang membawa
pedang. Pandang mata Lu Sian yang tajam, sekali lihat sudah tahu bahwa pemuda
tampan itu sejak tadi memandang kepadanya penuh rasa kagum, dan hal inilah yang
membuat matanya berseri dan senyumnya mengejek. Sengaja ia mengedip-ngedipkan
mata kirinya lebih dulu kepada pemuda tampan itu sebelum menjawab.
“Siapakah
puteramu dan siapa engkau? Mengapa pula aku harus mengganti nyawa puteramu?”
“Setan
betina! Masih kau hendak berpura-pura tidak tahu sedangkan tadi dengan kejam
kau membunuh pula dua orang pembantuku?”
“Aihhh...
aihhh... jadi kalian ini golongan pencuri-pencuri kuda? Sungguh sayang...,”
gadis ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kepada pemuda tampan
yang tiba-tiba menjadi merah mukanya karena Lu Sian seakan-akan menunjukkan
kata-kata ‘sayang’ itu kepadanya.
“Siluman
sombong! Puteraku dengan baik-baik memasuki sayembara karena dia begitu bodoh
tergila-gila pada kecantikanmu. Andai kata di dalam pertandingan itu dia kalah,
apakah salahnya? Kenapa dia masih harus dibunuh secara penasaran? Apakah tiap
laki-laki yang gagal mengalahkanmu harus mati seperti anakku Lauw Kong itu?”
Teringatlah
kini Lu Sian akan tiga orang pemuda yang mengeroyoknya di atas panggung. Memang
seorang di antara mereka bernama Lauw Kong, yang bermuka hitam dan mengaku datang
dari kota Kwi-san yang letaknya tidak jauh dari kota Kwei-siang ini.
“Ah, Si Muka
Hitam itukah puteramu? Memang aku sudah mengalahkannya, akan tetapi aku tidak
membunuhnya!”
“Kau...
setan betina! Siluman cantik! Banyak pemuda terbunuh karena engkau tapi kau
masih pura-pura, dasar... perempuan... ren....”
“Cukup,
ayah. Dengan maki-makian urusan takkan beres!” pemuda tampan yang membawa
pedang itu mencela dan maju ke depan menghadapi Lu Sian. Wajahnya yang tampan
itu kurang menarik ketika ia bicara, dan setelah mendekat Lu Sian melihat bahwa
mata pemuda itu agak kuning.
“Nona, kami
tahu bahwa kau adalah nona Liu Lu Sian puteri Ketua Beng-kauw. Aku adalah Lauw
Sun, dan kakakku Lauw Kong telah mencoba memenangkan sayembara beberapa pekan
yang lalu. Memang dia kalah oleh nona, dan bukan nona pula yang membunuhnya.
Akan tetapi ternyata ia terbunuh dengan pukulan beracun dan hal ini tentu saja
sepengetahuan nona. Karena itu, ayah dan kami minta pertanggung- jawabanmu!”
Muak rasa
perut Lu Sian, dan ia mendongkol sekali melihat Kwee Seng masih enak-enak minum
arak saja, seolah-olah tidak perduli dirinya dimaki-maki orang. Hemm, pikirnya,
apakah tanpa kau aku tidak mampu membereskan buaya-buaya ini?
Tiba-tiba
kakinya menghentak lantai dan tubuhnya sudah melayang ke belakang, kedua
kakinya hinggap di atas sebuah meja yang masih penuh sisa hidangan dan arak
bekas para tamu tadi, yang tidak sempat dibersihkan oleh para pelayan yang
sudah lari ketakutan. Dengan gerakan indah ringan Lu Sian meloncat ke belakang
dan kedua kakinya sama sekali tidak menyentuh mangkok cawan, kini ia berdiri di
atas kedua ujung kakinya, pedangnya sudah berada di tangan kanan melintang di
depan dada, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia
berkata.
“Orang She
Lauw, menghadapi orang-orang kasar macam kalian ini aku tidak sudi banyak
bicara. Kalau kalian hendak mengeroyokku, inilah aku Liu Lu Sian! Kalau aku
tidak berhasil membikin mampus kalian berenam tanpa turun dari meja ini, jangan
sebut lagi aku puteri Ketua Beng-kauw!”
Ucapan ini
benar-benar membayangkan keangkuhan dan kesombongan. Akan tetapi diam-diam Kwee
Seng maklum bahwa ucapan itu sama sekali bukan kesombongan kosong. Ia tahu,
kalau enam orang itu nekat mengeroyok, takkan sukar bagi Lu Sian untuk membuktikan
ancamannya. Ia dapat menduga mereka bahwa mereka itu adalah jago-jago dari kota
Kwi-san. Bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam usahanya menuntut balas atas
kematian puteranya telah minta bantuan seorang hwesio dan dua orang tosu,
agaknya tokoh-tokoh dalam kuil di kota itu.
“Bagus! Kau
harus menebus nyawa anakku dan dua orang temanku!” seru si Pemegang Golok dan
dengan gerakan cepat ia bersama enam orang temannya menyerbu ke arah meja di
mana Lu Sian berdiri.
Gadis itu
menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek. Tiba-tiba sekali gadis itu
menggerakkan kakinya tanpa terlihat hingga cawan arak, mangkok dan piring
beterbangan ke arah enam orang dibarengi bentakan Lu Sian. “Nih, makanlah
sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!”
Hebat sekali
serangan Lu Sian ini. Gadis itu dengan sinkang-nya yang sudah amat kuat hanya
menggunakan ujung kakinya menyentil barang-barang di atas meja, dan
beterbanganlah mangkok dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak, ke
arah enam orang lawannya. Demikian cepatnya sambaran benda-benda ini sehinngga
enam orang itu sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri dan setidaknya
pakaian mereka menjadi kotor tersiram kuah sayur dan arak, bahkan muka si
Hwesio terkena hantaman mangkok penuh masakan daging! Tentu saja hwesio itu
gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya pantang makanan berjiwa, kali
ini masakan daging menghantam muka dan banyak kuah memasuki mulutnya, membuat
ia hampir muntah!
Sebetulnya
melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu tahu diri, mereka sudah akan
maklum bahwa gadis itu bukan lawan mereka. Akan tetapi agaknya kemarahan
meluap-luap membuat mereka mata gelap dan segera menggerakkan senjata
masing-masing, mengepung meja itu dan menyerang dari semua jurusan.
Lu Sian
tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja, melainkan pedangnya
kadang-kadang menyambar untuk menangkis senjata pengeroyok yang terlalu dekat.
Kadang-kadang ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan golok yang
menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat melayang melalui atas
kepalanya. Gadis ini hanya menanti kesempatan baik untuk membuktikan
ancamannya, yaitu membunuh mereka tanpa turun dari meja.
Mendadak
saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kaget dan senjata
mereka semua runtuh ke atas lantai. Tanpa mereka ketahui sebabnya, tahu-tahu
tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang yang menyebabkan mereka
terpaksa melepaskan senjata masing-masing. Tercium oleh mereka bau arak dan
tepat pada jalan darah di siku lengan mereka basah. Dengan kaget dan heran
mereka saling pandang dan terdengarlah suara Kwee Seng yang masih saja duduk
minum arak.
“Menyerang
orang secara menggelap dengan senjata rahasia untuk membunuh sudah termasuk
perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok seorang gadis mengandalkan tenaga enam
orang laki-laki, sungguh amat memalukan. Apakah kalian masih belum mau insyaf
dan tidak tahu diri, menantang maut yang sudah membayang di depan mata? Lekas pungut
senjata dan pergi, barulah perbuatan orang yang berakal sehat!”
Tahulah enam
orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka semua terpaksa melepaskan senjata
adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak dengan tenangnya, sahabat puteri
Ketua Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi gentar. Nona itu
sendiri sudah cukup berat untuk dikalahkan, apalagi dengan adanya seorang yang
demikian saktinya, yang tanpa bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan
keasyikannya minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti senjata
mereka!
Orang she
Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman-temannya, lalu ia menjura ke
arah Kwee Seng. “Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu membuka mata kami
yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan dan menderita kekalahan.
Bolehkah kami mengetahui siapa nama dan julukan Siauw-enghiong yang gagah?”
Kwee Seng
menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan cawan penuh arak di tangan
kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi dengan lagak seorang mabok.
Angin kipas
mengusir lalat dan menyegarkan diri
Suara suling
mengusir harimau dan menentramkan hati
Nama, harta,
kepandaian tiada artinya
Yang penting
adalah pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!
Enam orang
itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal pemuda ini karena mereka pun
tidak pernah mendengar nyanyian itu.
Lu Sian
tertawa dan dari atas meja itu ia berkata nyaring. "Sebangsa cacing macam
kalian ini mana mengenalnya? Dia bersama Kwee Seng, para lo-cianpwe mengenalnya
sebagai Kim-mo-eng. Hanya dia seoranglah yang mampu menandingi aku. Biar pun
begitu, masih belum tentu ia bisa menjadi jodohku! Apalagi orang-orang macam
anakmu hendak memperisteri aku. Cih! Bukankah itu lucu sekali?”
Enam orang
itu kelihatan kaget. Tanpa bicara apa-apa lagi mereka lalu meninggalkan tempat
itu. Pelayan-pelayan mulai muncul kembali, memandang takut-takut ke arah Kwee
Seng dan Lu Sian. Setelah Kwee Seng menyatakan kesanggupannya membayar harga
barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang dan melayani sepasang orang
ini dengan kehormatan berlebihan.
Lu Sian juga
kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya selalu tersenyum, matanya
bersinar-sinar, wajahnya berseri dan tiada hentinya ia menatap wajah Kwee Seng
dengan sikap menggoda. Sebaliknya Kwee Seng sama sekali tidak kelihatan
gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan tetapi melihat cara ia
berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis sekali tenggak, terang
bahwa perasaan hatinya amat terganggu.
Memang
demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya, hampir ia meloncat bangun
untuk lari meninggalkan gadis ini. Ia merasa betapa gadis ini sengaja
menggodanya, sengaja hendak mempermainkannya. Ucapan Lu Sian tadi benar-benar
menikam jantungnya. Gadis itu di depan orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee
Seng yang mampu menandinginya, namun betapa pun juga, pemuda itu belum tentu
bisa menjadi jodohnya! Ia merasa makin tak senang, muak dan benci menyaksikan
sikap Lu Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah pasti akan membunuh
enam orang lawannya kalau saja ia tidak cepat-cepat turun tangan. Ia makin
benci, akan tetapi juga makin cinta! Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini,
makin besar pula daya tarik gadis itu menguasai hatinya.
“Kwee-koko,
dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut tentang kipas dan suling. Tentang
kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu kelihaiannya. Akan tetapi tentang
suling, adakah kau mempunyai suling? Dan pandaikah kau meniup suling dan
mempergunakannya sebagai senjata?”
“Aku seorang
bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas-kipas mendinginkan kepala panas
lalu menghibur diri dengan suara suling. Memang tadinya aku memiliki sebuah
suling, akan tetapi benda itu hancur ketika aku bertemu dengan Ban-pi Locia
(Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga See-ouw (Telaga Barat).”
Terbelalak
sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan ingin tahu. “Apa? Kau
betul-betul bertemu dengan Ok-hengcia (pendeta jahat) itu? Aku pernah mendengar
dari ayah bahwa pendeta perkasa itu amat cabul dan keji, akan tetapi memiliki
ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah bentrok dengan Ban-pi
Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak ada yang kalah atau menang.
Hanya karena khawatir kalau pertandingan dilanjutkan keduanya akan tewas, maka
mereka menghentikan pertandingan. Dan kau... kau bertemu dengannya? Bertanding?
Dan sulingmu hancur olehnya? Ah, Kwee-koko, apakah kau kalah olehnya?”
Kwee Seng
mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh pengaruh arak. “Dia memang
hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara kebetulan saja aku bertemu
dengannya ketika aku berpesiar di telaga See-ouw.” Pemuda itu lalu menceritakan
pengalamannya seperti berikut.
***************
Beberapa
bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak mempunyai tujuan tertentu,
tibalah Kwee Seng di telaga See-ouw. Telaga Barat ini amatlah terkenal semenjak
dahulu, karena luasnya, karena indahnya, dan karena segar nyaman hawanya.
Air
berkeriput biru sehalus beludru
tilam pembaringan
berkasur bulu
Bunga
teratai aneka warna
penghias
indah dicumbu rayu
Ikan-ikan
emas berwarna cerah
Berperahu di
telaga barat
mandi sinar
bulan minum arak
sesudah itu
mati pun tak penasaran!
Nyanyian ini
banyak dinyanyikan tukang-tukang perahu yang menyewakan perahu mereka untuk
para pelancong. Pelancong yang tergolong miskin cukup merasa puas dengan
berjalan-jalan di sekitar telaga, yang tergolong cukup beruang merasa puas
dengan menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak. Akan tetapi bagi para pelancong
kaya raya, acaranya bermacam-macam. Yang sudah pasti mereka itu akan menyewa
perahu besar yang mempunyai bilik yang terlindung dan tertutup, memesan
hidangan arak dan masakan lezat mewah, kemudian memanggil pula pelacur-pelacur
untuk melayani mereka makan minum sambil mendengarkan beberapa orang perempuan
penyanyi menabuh yang-khim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir diadakan
setiap malam di waktu musim tiada hujan, sehingga keadaan Telaga Barat amat
meriah.
Ketika Kwee
Seng tanpa disengaja tiba di telaga See-ouw, keadaan di situ sedang meriah
sekali karena musim panas telah tiba. Di waktu musim panas mengamuk, banyak
orang-orang kaya dan pembesar-pembesar merasa tidak betah tinggal di kota dan
banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau pekan lamanya ke Telaga See-ouw,
di mana mereka dapat menghibur tubuh dan pikiran, dan baru ingat pulang kalau
uang sudah habis dihamburkan!
Begitu
melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian pelajar yang cukup rapi datang
seorang diri, segera para tukang perahu merubungnya, menawarkan perahu mereka.
"Mari,
Kongcu (Tuan Muda), perahu saya bersih dan kosong!”
“Saya
pesankan arak Hang-ciu yang paling baik!”
“Kongcu
perlu hidangan yang paling lezat? Restoran Can-lok....“
“Atau
rombongan penyanyi? Anak buah Bibi Cong... cantik-cantik, muda dan bersuara
emas....”
“Atau Kongcu
suka... ehmm... ditemani bidadari jelita? Tinggal pilih menurut selera
Kongcu...”
Demikianlah,
ribut mereka menawarkan perahu sampai pelacur. Kwee Seng tersenyum dan
menggerak-gerakkan tangan menyuruh mereka agar jangan bicara sambung-menyambung
membikin bising.
“Dengar
baik-baik, jangan ribut sendiri!” katanya tertawa. “Aku hanya membutuhkan
sebuah perahu kecil yang dapat dipakai duduk berdua, tanpa pendayung. Perahu
kecil yang bersih dan tidak bocor, terbuka tanpa bilik. Kemudian, boleh
sediakan arak dan dua cawannya, beberapa macam masakan yang panas-panas dan
kemudian boleh panggil seorang pelacur yang pandai bicara, pandai main
yang-khim dan meniup suling, pandai bernyanyi dan pandai bermain catur.”
“Wah,
mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa pakai perahu kecil terbuka,
Siangkong (Tuan Muda)? Saya mempunyai yang besar, ada biliknya yang bersih dan
enak, tidak terganggu dari luar....”
Kembali Kwee
Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah. Pemuda ini tidak pantang
bersenang-senang dengan wanita, akan tetapi hanya sampai pada batas mengobrol
dan bercakap-cakap gembira, bersenda-gurau dan main catur atau mendengarkan si
cantik bernyanyi atau menabuh yang-khim dan meniup suling saja.
“Aku ingin
menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung, ada tidak?”
“Ada! Ada!
Jangan khawatir, Kongcu. Perahu saya kecil bersih, dicat biru dan tanggung
tidak bocor. Lima belas cin saja untuk semalam suntuk!”
“Dan
perempuan yang kukehendaki itu ada tidak? Pandai bicara, pandai main musik,
bernyanyi dan pandai main catur, tidak menolak minum arak!”
“Wah, wah...
yang sepandai itu agaknya, hanyalah Ang-siauw-hwa (Bunga Kecil Merah)
seorang... seorang bidadari yang tercantik dan termahal di sini!”
“Bagus! Kau
panggil Ang-siauw-hwa untukku,” kata Kwee Seng, senang hatinya.
“Ah, tidak
mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil si Kim-bwe (Bunga Bwee Emas) yang juga
pandai segala biar pun tidak secantik Ang-siauw-hwa....”
“Atau si
Kim-lian (Teratai Emas) yang pandai meniup suling dan cantik jelita, akan
tetapi tidak pandai main catur dan tidak suka minum arak....”
Hati Kwee
Seng sudah kecewa. “Tidak, aku menghendaki Ang-siauw-hwa itu. Mengapa tidak
mungkin memanggil dia? Berapa harganya? Aku sanggup bayar!”
Orang-orang
itu menggeleng kepala. Seorang yang setengah tua berkata, suaranya perlahan
seperti takut terdengar orang lain, “Kongcu, kau tidak tahu. Ang-siauw-hwa amat
terkenal di sini. Setiap ada pembesar pesiar, tentu dia dipesan. Aneh memang,
biar pun Ang-siauw-hwa merupakan kembangnya semua wanita disini, namun dia
bukanlah pelacur sembarangan. Dia hanya mau melayani bicara dan bernyanyi, main
catur atau minum arak, bahkan mengarang syair, akan tetapi belum pernah
terdengar Ang-siauw-hwa mau diajak yang bukan-bukan....”
“Bagus,
dialah pilihanku! Panggil dia!” Kwee Seng tertarik sekali.
Akan tetapi
orang-orang itu menggeleng kepala. “Sekarang dia berada di perahu Lim-wangwe
(Hartawan Lim) yang perahunya kelihatan di sana itu.” Ia menuding ke arah
tengah telaga di mana tampak sebuah perahu. “Lim-wangwe sendiri yang mengadakan
pesta bersama lima orang pendekar yang menjadi tamunya. Sejak pagi tadi
Ang-siauw-hwa berada di sana, mungkin sampai semalam suntuk mereka berpesta.
Nah, dengar, itu suara suling tiupan Ang-siauw-hwa.”
Kebetulan
angin bersilir dari arah telaga dan tertangkaplah oleh telinga Kwee Seng tiupan
suling yang merdu dan halus.
“Lebih baik
jangan panggil dia, Kongcu. Yang lain masih banyak, boleh Kongcu pilih sendiri.
Ang-siauw-hwa hanya mendatangkan ribut belaka.”
“Eh,
kenapa?” Kwee Seng terheran.
Beberapa
orang memberi isyarat, akan tetapi pembicara itu agaknya sudah terlanjur dan
berkata, “Pagi tadi timbul keributan karena dia. Lo Houw (Macan Tua), seorang
tukang pukul yang terkenal di daerah ini memaksa hendak mengajak Ang-siauw-hwa
biar pun perempuan itu sudah lebih dulu dipanggil Lim-wangwe. Lo Houw tidak mau
peduli dan hendak merampas Ang-siauw-hwa, bahkan mengeluarkan kata-kata memaki
Lim-wangwe. Kemudian ia mendatangi Lim-wangwe dengan perahunya dan kami semua
sudah merasa kuatir. Kami mengenal kekejaman dan kelihaian Lo Houw, dan kami sayang
kepada Lim-wangwe yang berbudi halus dan suka menolong kami yang miskin. Akan
tetapi, apa yang terjadi? Lo Houw menyerang ke sana dengan perahu, akan tetapi
ia kembali ke pantai dengan basah kuyup!”
Orang itu
tertawa dan yang lain juga tertawa, biar pun ketawanya sambil menoleh ke kanan
kiri, kelihatan takut kalau-kalau mereka terlihat orang.
“Eh, apa
yang tejadi?” Kwee Seng makin tertarik.
“Kabarnya
menurut tukang perahu yang kebetulan berada di dekat sana, Lo Houw meloncat ke
perahu besar dan memaki-maki. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang di antara
tamu Lim-wangwe dan dalam beberapa gebrakan saja Lo Houw yang terkenal itu
terlempar ke dalam air!”
“Ha-ha, dia
harus berenang ke tepi!” kata seorang lain.
Kwee Seng
tersenyum. Hal semacam itu tidaklah aneh baginya yang sudah biasa bertemu
dengan peristiwa pertempuran yang lebih hebat lagi. “Biarlah, kalau ia sedang
melayani hartawan itu, aku pun tidak jadi mengajaknya menemaniku. Beri saja
sebuah perahu kecil yang baik, sediakan satu guci arak dan cawannya bersama
sedikit daging panggang, tiga macam sayur dan sedikit nasi. Nih uangnya,
lebihnya boleh kau miliki.” Kwee Seng mengeluarkan dua potong uang perak yang
diterima dengan tubuh membongkok-bongkok oleh tukang perahu setengah tua itu
yang merasa kejatuhan rejeki.
“He, tukang
perahu jembel! Lekas sediakan perahu terbaik, lima guci arak wangi, lima kati
daging, lima macam sayur, mi lima kati dan nona-nona manis lima orang yang
cantik-cantik dan muda-muda! Eh, kembang pelacur yang kalian obrolkan tadi,
siapa namanya?”
Kwee Seng
membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara yang besar dan nyaring ini. Ketika
melihat orangnya, ia tertegun. Bukan hanya Kwee Seng yang terperanjat, juga
semua tukang perahu memandang dengan mata terbelalak tanpa seorang pun yang
menjawab.
Pembicara
ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, sekepala lebih tinggi dari pada
orang umum yang berukuran tinggi. Melihat pakaiannya yang sederhana dan
longgar, apalagi melihat kepalanya yang gundul, orang tentu mengatakan bahwa ia
seorang hwesio (pendeta Buddha). Akan tetapi yang meragukan, kalau benar ia
seorang pendeta, mengapa ia memesan daging, arak, bahkan pelacur? Anehnya pula,
dia itu seorang diri, mengapa memesan demikian banyaknya makanan dan minuman
yang serba lima takar? Mengapa juga memesan lima orang perempuan lacur?
Pertanyaan-pertanyaan inilah agaknya yang membanjiri pikiran para tukang perahu
sehingga sampai lama mereka terheran-heran tak mampu menjawab.
“Heh!
Jembel-jembel busuk, mengapa kalian diam saja? Apakah kalian tuli dan gagu?”
Laki-laki tinggi besar gundul yang usianya tentu lima puluh tahun itu
membentak.
Seorang
tukang perahu yang agak tabah hatinya menjura sambil tertawa-tawa. “Maaf... eh,
Lo-suhu... tapi... tapi yang Lo-suhu pesan begitu banyak....”
Hwesio itu
menyeringai dan melirik ke arah Kwee Seng yang berdiri dengan tenang sambil
menaksir-naksir dan mengasah otak untuk mengenal siapa gerangan hwesio aneh
ini.
“Heh-heh,
seorang pelajar melarat saja mampu menyewa perahu dan membayar arak, apakah kau
kira aku seorang perantau lain tidak mempunyai uang?”
Ia
menggulung kedua lengan bajunya yang lebar sehingga tampaklah lengannya kekar
kuat penuh bulu. Ia merogoh ke balik jubahnya dan keluarlah sebuah pundi-pundi
berisi penuh uang. Dibukanya tali pundi-pundi itu dan... hwesio itu
memperlihatkan potongan-potongan uang emas dan perak! Para tukang perahu
memandang melotot dan menelan ludah. Belum pernah selama hidup mereka tampak
sekian banyaknya uang.
“Ah... maaf,
maaf, Lo-suhu. Bukan sekali-kali saya meragukan Lo-suhu takkan dapat membayar.
Hanya, Lo-suhu seorang diri, pesanannya begitu banyak, apalagi pakai lima orang
bidadari....”
“Heh... heh,
goblok! Apa salahnya? Malah kembangnya pelacur itu harus pula melayani aku,
berapa pun biayanya akan kubayar.”
“Tapi,
Lo-suhu, Ang-siauw-hwa telah disewa Lim-wangwe di perahu mewah yang berada di
sana...” tukang perahu itu menunjuk.
Hwesio
tinggi besar itu memandang dan mulutnya yang berbibir tebal mengejek. “Biarlah
nanti kujemput sendiri dia. Sekarang sediakan pesananku semua. Cepat dan nih
uangnya, lebihnya boleh kalian bagi-bagi!” Hwesio itu mengeluarkan belasan
potong uang perak dan melemparnya kepada tukang perahu seperti orang melempar
sampah saja.
Gegerlah
para tukang perahu. Benar-benar hari itu mereka kejatuhan rejeki besar. Seperti
berlumba mereka lari kesana-kemari untuk memenuhi pesanan hwesio aneh.
Akan tetapi
Kwee Seng sudah merasa muak perutnya. Begitu pesanannya tiba, ia segera naik ke
perahu kecil yang sudah terisi makanan dan minuman pesanannya, kemudian ia
mendayungnya ke tengah telaga tanpa mempedulikan lagi hwesio tadi. “Hemmm...
Menjemukan sekali,” pikirnya. “Kalau para pembesar negeri suka mencuri uang
negara dan makan sogokan seperti anjing-anjing kelaparan, kalau para pendetanya
melanggar pantangan, minum arak, makan daging dan main perempuan, akan
bagaimanakah jadinya bangsa dan negara?” berpikir sampai disini hati Kwee Seng
merasa kecewa sekali.
Akan tetapi
pemandangan telaga itu benar-benar indah sehingga kekecewaannya terobati. Hari
menjelang senja dan matahari di ujung barat tampak tenggelam ke dalam air
telaga, kemerah-merahan dan indah sekali. Kwee Seng mulai makan daging dan
sayur, dan minum araknya sedikit demi sedikit. Ia memang tidak begitu suka
minum arak.
Makin gelap
cuaca, tanda malam telah tiba. Telaga See-ouw terlihat makin indah. Bulan
muncul dengan cahayanya yang gilang gemilang, langit bersih tak tampak sedikit
pun awan. Permukaan air telaga bermandikan cahaya bulan, berkilauan seakan-akan
terbakar menjadi emas. Angin bersilir membuat air emas itu berombak sedikit dan
bunga-bunga teratai yang berkelompok di sana-sini mulailah menari-nari
menggoyang-goyangkan pinggang ke kanan kiri. Perahu-perahu yang berkeliaran di
permukaan telaga mulai memasang lampu yang dihias dengan beraneka warna, ada yang
merah, hijau, kuning, menambah indahnya pemandangan di telaga itu.
Tiba-tiba
telinga Kwee Seng tertarik oleh lengking suara suling yang sayup sampai,
suaranya mengalun tinggi rendah sesuai dengan gerak air. Kwee Seng tertarik dan
mendayung perahunya ke arah suara. Ternyata suara suling itu keluar dari sebuah
perahu besar dan mewah, dan kini Kwee Seng dapat mendengar suara suling dengan
jelas sekali.
Akan tetapi
ia segera menjadi kecewa. Suara itu tadi indah kedengarannya karena
dipermainkan oleh angin. Setelah mendengar dari dekat, ia mendapat kenyataan
bahwa biar pun peniupnya menguasai lagu dan irama, namun tiupannya kurang
tenaga dan amat lemah, tidak membawakan perasaan hati peniupnya. Akan tetapi di
samping kekecewaannya, timbul dugaan yang mendebarkan jantungnya.
Perahu besar
dan mewah inilah agaknya perahu Lim-wangwe yang sedang menyambut lima orang
tamunya dan mungkin sekali suling itu ditiup oleh Ang-siauw-hwa seperti yang
diceritakan oleh para tukang perahu tadi! Hemm, kalau benar wanita itu yang
meniupnya, lumayan juga! Setidaknya, kalau seorang pelacur saja dapat meniup
suling seperti itu, benar-benar dia seorang pelacur yang luar biasa. Ketika
suling berhenti ditiup, terdengar tepuk tangan dan tertawa-tawa memuji dari
dalam perahu, tanda bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu gembira
dan kagum.
Tak lama
kemudian, kembali suling itu berbunyi, kini mainkan lagu yang menjadi kegemaran
Kwee Seng, yaitu ‘Bulan Mengembara Cari Kekasih’. Kalau tadi Kwee Seng hanya
kecewa mendengar tiupan suling yang dianggapnya kurang baik, kini telinganya
terasa sakit mendengar betapa lagu kesayangannya ‘dirusak’ orang. Karena tidak
dapat menahan lagi, pemuda yang sudah terpengaruh oleh hawa arak itu
mengeluarkan sebatang suling dari dalam bajunya, dan tak lama kemudian
melengkinglah suara sulingnya melayang-layang di permukaan telaga, mendesak
suara suling pertama yang keluar dari perahu besar. Karena suara suling Kwee
Seng luar biasa sekali kuatnya, maka suara pertama tenggelam dan tak terdengar
lagi.
“Sahabat,
alangkah indah bunyi sulingmu!”
Kwee Seng
yang baru saja menghabiskan bait terakhir cepat memandang. Seorang wanita
dengan pakaian serba indah berwarna merah muda berdiri di pinggiran perahu dan
kelihatan seperti seorang dewi telaga. “Ah, kalau saja aku bersayap, aku akan
terbang membebaskan diri dari sini untuk belajar meniup suling darimu
sahabat....”
Kwee Seng
tercengang. Inikah pelacur yang berjuluk Ang-siauw-hwa? Pantas saja terkenal
menjadi kembangnya sekalian pelacur di daerah Telaga Barat ini, pikirnya sambil
memandang kagum. Tentang kecantikannya, tak dapat ia menilai teliti karena
keadaan yang remang-remang itu tidak cukup menerangi wajah si gadis. Akan
tetapi, selain pandai meniup suling juga kata-katanya begitu halus dan teratur,
dari ucapannya itu saja mudah diduga bahwa nona ini tentu pandai bersyair.
Dengan hati
tertarik Kwee Seng mendayung maju perahu kecilnya untuk mendekati perahu besar
dan agar ia dapat memandang lebih jelas. Akan tetapi pada saat itu terdengar
suara memanggil dari bilik perahu besar. Nona berpakaian serba merah muda itu
membalikkan tubuh dan lenyap ke dalam perahu besar.
Kwee Seng
sadar dari pada kebodohannya. Perempuan itu sudah disewa hartawan pemilk perahu
besar, mau apa ia mendekat? Ah, mengapa ia begitu tertarik kepada seorang
wanita pelacur? Kwee Seng sadar akan kebodohannya sendiri dan menggerakkan
dayung untuk menjauhi perahu besar.
Akan tetapi
pada saat itu ia melihat sebuah perahu meluncur cepat ke arah perahu besar dan
di dalam perahu ini terdapat seorang hwesio tinggi besar bersama lima orang
wanita pelacur yang sedang minum-minum dan tertawa cekikikan seperti
segerombolan kuntilanak. Kwee Seng cepat mendayung perahunya menyelinap dan
bersembunyi di belakang perahu besar untuk mengintai karena ia merasa curiga
menyaksikan gerak-gerik hwesio tinggi besar yang aneh itu.
Dari balik
perahu besar itu Kwee Seng melihat jelas betapa hwesio tinggi besar itu sekali
menggerakkan kaki telah melayang naik ke atas papan dek tanpa menimbulkan
guncangan sedikit pun juga. Kwee Seng kaget dan kagum. Hwesio ini benar-benar
memiliki ilmu yang tinggi. Ketika ia memandang ke perahu hwesio tadi, ia merasa
muak. Lima orang wanita pelacur yang memakai bedak tebal itu dalam keadaan
setengah telanjang dan awut-awutan rambutnya, tertawa cekikikan dan bersenda
gurau, agaknya sudah mabok semua! Perahunya yang tidak di kuasai oleh hwesio
telah oleng ke kanan kiri tanpa diketahui lima orang pelacur mabok. Karena
merasa muak, Kwee Seng tidak mempedulikan mereka dan ia kembali memandang ke
arah hwesio yang berdiri kokoh seperti batu karang di atas papan dek perahu
besar.
“Heh,
hartawan she Lim!” Hwesio itu berseru dan suaranya yang parau keras itu
menembus desir angin. “Lekas serahkan Ang-siauw-hwa kepadaku, kutukar dengan
lima orang yang berada di perahuku!”
Tiba-tiba
dari pintu bilik perahu besar itu meloncat seorang laki-laki tinggi kurus yang
mengenakan pakaian ringkas dan punggungnya terhias sebatang golok. Gerakan
laki-laki ini ringan dan cepat, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan hwesio itu
dengan mata berkilat. “Eh, eh, hwesio jahat dari mana berani mengganggu
kesenangan kami? Apakah kau sahabat dari si jahanam Lo Houw yang kulempar ke
dalam air?”
Hwesio itu
memandang sejenak lalu tertawa. “Heh-heh-heh, aku tidak tahu itu Lo Houw, dan
tidak kenal pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk mengambil
Ang-siauw-hwa, kutukar dengan lima pelacur itu. Wanita macam Ang-siauw-hwa yang
disebut-sebut kembang pelacur di telaga ini patut mengawaniku bersenang-senang.
Lekas suruh dia keluar dan berikan kepadaku sebelum perahu ini kubikin
tenggelam berikut semua penumpangnya!”
“Hwesio
sesat! Pergilah!” si Jangkung Kurus menerjang maju dengan gerakan kilat. Cepat
sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu bahwa si jangkung itu
memiliki ilmu silat tangan kosong yang cukup hebat.
“Hwesio ini
mencari penyakit,” pikirnya. “Penghuni perahu besar itu ternyata bukan
orang-orang lemah.”
Pukulan si
jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung tenaga yang besar, tampak
gerakannya begitu mantap dan sekali pukul, kedua tangan si jangkung itu secara
berbareng menyerang dada dan lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu masih
tertawa, sama sekali tidak mengelak.
“Celaka,”
pikir Kwee Seng. “Betapa pun lihainya, mana hwesio itu akan dapat menahan
pukulan yang mengandung tenaga dalam itu?”
“Buk! “Buk!”
dua buah pukulan itu tepat mengenai dada dan lambung.
“Ha-ha-ha-ha!”
si hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun tidak terpengaruh dua pukulan
itu.
Sejenak si
jangkung terbelalak kaget, kemudian tampak sinar bergulung ketika ia mencabut
goloknya dan membacok dengan cepat ke arah leher si Hwesio.
“Celaka…!”
kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut celaka bukan untuk si hwesio
karena segera ia maklum bahwa hwesio itu benar-benar memiliki sinkang (tenaga
sakti) yang amat tinggi dan pencabutan golok oleh si jangkung itu hanya akan
berarti celaka bagi si jangkung.
Memang tidak
berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, si
hwesio sudah mampu mengelak. Sebelum si jangkung sempat menyerang lagi,
tubuhnya sudah tertangkap dan sekali melontarkan tangkapannya sambil tertawa,
hwesio tinggi besar itu sudah melempar lawannya jauh ke luar perahu!
“Byurrrr!”
air muncrat tinggi dan si jangkung megap-megap dalam usahanya menyelamatkan
diri.
“Hwesio
keparat, berani kau memukul Sute-ku (adik seperguruanku)?!”
Kini muncul
seorang pendek gemuk dengan sebatang toya (tongkat panjang) melintang di
tangan. Tanpa menanti jawaban, si gemuk ini sudah menggerakkan toyanya
menghantam leher hwesio itu. Sebagai kakak seperguruan si jangkung tadi, dapat
di bayangkan betapa hebat serangan si gemuk pendek ini. Batu karang yang kuat
agaknya akan pecah terkena pukulan toya baja itu. Namun, si hwesio sama sekali
tidak mengelak, hanya miringkan tubuh dan menerima hantaman toya itu dengan pangkal
lengannya.
“Bukkk!”
Si hwesio
masih tertawa-tawa dan kedua lengannya bergerak. Tahu-tahu si gemuk memekik
keras dan tubuhnya terlempar ke luar perahu. Kembali terdengar air menjebur dan
tubuh gemuk itu tenggelam timbul, agaknya lukanya lebih parah dari pada
sute-nya.
“Hebat…!”
Diam-diam Kwee Seng terkejut dan kagum.
Perhatiannya
kini tertuju pada hwesio itu sambil mengingat siapa gerangan hwesio yang
demikian lihainya itu. Terang bahwa kepandaian dua orang yang dikalahkannya
secara mudah tadi cukup tinggi dan hanya seorang sakti saja yang dapat
mengalahkan mereka dengan sekali gebrakan. Akan tetapi kalau memang hwesio ini
seorang tokoh sakti, mengapa sikap dan kelakuannya begitu gila-gilaan? Sama
sekali tidak patut dilakukan oleh seorang tokoh sakti yang terkenal. Merampas
seorang pelacur! Benar-benar mengherankan sekali!
Sementara
itu, dari dalam bilik perahu sudah berloncatan tiga orang laki-laki. Usia
mereka rata-rata empat puluh tahun lebih, dan ketiganya memegang pedang.
Gerakan-gerakan mereka pun cepat dan ringan, malah agaknya lebih cekatan dari
pada dua orang yang sudah kalah oleh si hwesio. Begitu keluar, mereka serentak
mengurung dan menyerang hwesio itu dengan pedang mereka.
Kwee Seng
melihat hwesio itu tertawa, akan tetapi segera perhatiannya tertarik oleh
kejadian lain. Ia melihat seorang wanita berpakaian merah muda berlari-lari ke
pinggir perahu besar itu lalu... wanita itu meloncat ke air!
“Byurrr!”
air muncrat tinggi dan tubuh wanita itu lenyap!
“Celaka...!”
Untuk ketiga kalinya selama beberapa menit itu Kwee Seng menyebut celaka, akan
tetapi ia cepat mendayung perahunya ke arah terjunnya si pakaian merah tadi.
Selagi ia hendak menyelam, tiba-tiba wanita itu muncul dan legalah hati Kwee
Seng melihat bahwa wanita itu ternyata pandai berenang! Ah, benar-benar pelacur
yang aneh sampai berenang pun pandai! Pelacur itu memang bukan lain adalah
Ang-siauw-hwa yang kini berenang cepat ke arah perahu Kwee Seng.
“Kongcu yang
pandai bersuling, kau tolonglah aku yang bernasib malang...,” katanya sambil
berusaha mengangkat tubuh memegang pinggir perahu. Akan tetapi beberapa kali
usahanya tak berhasil karena pinggiran perahu itu terlampau tinggi dari
permukaan air.
Kwee Seng
lalu mengulur tangannya dan menarik tubuh wanita itu ke dalam perahunya. Ia
memandang kagum. Memang patut dikagumi wanita ini. Pakaiannya basah kuyup, dan
karena pakaian ini terbuat dari pada sutera tipis dan halus, maka kini
tercetaklah tubuhnya membayangkan bentuk tubuh yang padat ramping, dengan lekuk
lengkung sempurna, tubuh seorang wanita muda yang sudah masak.
“Kenapa kau
meloncat ke air?” Kwee Seng bertanya, menekan gelora jantungnya yang membuat
darah mudanya bergerak lebih cepat dari pada biasanya.
“Ah, hwesio
itu demikian hebat. Kalau aku dirampasnya bagaimana nasibku? Lim-wangwe yang
sudah tua dan pendekar-pendekar itu semua bersikap sopan kepadaku, akan tetapi
belum tentu hwesio itu begitu baik sikapnya. Ah, Kongcu, kau tolonglah aku...
biarlah aku akan mengerjakan apa saja yang kau kehendaki untuk membalas budimu
ini....” Sambil berkata demikian, Ang-siauw-hwa mendekat dan bau harum menerjang
hidung Kwee Seng yang tertegun melihat wanita itu tersenyum manis dan
mengerling penuh arti.
“Aku... aku
bersedia menolong, tapi... tapi aku tidak menghendaki apa-apa darimu...,”
jawabnya gagap sambil menggerakkan dayung.
Wanita di
belakangnya menarik napas panjang. “Ahhh... sudah kuduga, kau seorang pelajar
yang sopan dan penuh susila, mana mungkin mau berkenalan dengan seorang tuna
susila macam Ang-siauw-hwa?” Suaranya mulai terisak. “Beginilah nasibku,
Kongcu. Hanya orang-orang rendah budi saja yang suka berkenalan denganku,
dengan maksud yang kotor, akan tetapi orang baik-baik selalu menjauhkan diri
dariku.”
Kwee Seng
menoleh, agak terharu juga. Memang demikianlah nasib wanita yang terperosok ke
lumpur kehinaan. “Bukan begitu, Nona. Tadi pun aku hendak memesanmu menemaniku
minum arak, menikmati keindahan telaga sambil bersuling dan bernyanyi atau
mengarang syair. Akan tetapi karena kau telah disewa hartawan itu, aku
berperahu seorang diri. Hanya perlu kau ketahui bahwa aku sekali-kali bukan menolongmu
karena hendak minta upah. Nih, kau pakai jubah luarku untuk menahan dingin dan
angin. Kita harus pergi cepat-cepat dari sini.” Setelah melemparkan jubah
luarnya untuk dipakai berselimut Ang-siauw-hwa, Kwee Seng cepat mendayung
perahunya.
Akan tetapi
di atas perahu besar terdengar suara berkerontangan, disusul pekik-pekik
kesakitan dan berturut turut tubuh tiga orang jago silat itu pun terlempar ke
dalam telaga. Bahkan orang ke tiga terlempar ke arah perahu Kwee Seng disusul
bentakan hwesio itu yang parau dan nyaring.
“Eh,
Ang-siauw-hwa kembang pelacur! Kau hendak lari ke mana? Tak boleh lari sebelum
melayaniku sampai puas!”
Melihat
menyambarnya tubuh orang ke arah perahunya, Kwee Seng menggerakkan dayung
sehingga perahunya menyeleweng mengelak dan tubuh orang itu terbanting ke dalam
air, hanya tiga kaki dari kepala perahunya. Air muncrat membasahi bajunya.
“Ah, celaka
kita, Kongcu...!” Ang-siauw-hwa berseru ketakutan, tubuhnya yang sudah dingin
itu kini ditambah rasa takut mulai menggigil.
“Tak usah
takut, kita akan minggir lebih dulu dari pada dia,” jawab Kwee Seng sambil
mengerahkan tenaga mendayung sehingga perahunya meluncur seperti anak panah
terlepas dari busurnya.
Ang-siauw-hwa
menengok dan melihat betapa hwesio yang menakutkan itu sudah meloncat ke dalam
perahunya sendiri. Sekali ia menghentakkan perahu, lima orang pelacur yang
mabok-mabokan di dalam perahu itu terlempar ke dalam air pula! “Menjemukan!
Tinggallah kalian di air!” kata hwesio itu sambil tertawa bergelak dan mulailah
ia mendayung perahunya mengejar perahu Kwee Seng.
Sementara
itu, para penghuni perahu sibuk menolong lima orang jago silat dan juga lima orang
pelacur yang menjerit-jerit dan gelagapan seperti lima ekor anak ayam terlempar
ke air.
“Kongcu,
dia... dia mengejar....” Ang-siauw-hwa memeluk pinggang Kwee Seng dari
belakang.
Bau harum
dan kelunakan tubuh yang merapat di punggungnya membuat Kwee Seng meramkan
matanya dan menahan napas. Diam-diam hatinya mengeluh. Usianya sudah dua puluh
dua dan belum pernah ia berdekatan begini dengan seorang wanita. Getaran yang
menggelora di jantungnya melemahkan tenaga sakti sehingga kurang cepat ia
mendayung perahu.
“He, orang
muda tolol! Apakah kau bosan hidup? Berhenti dan berikan gadis itu kepadaku!”
Suara hwesio itu melengking di telinganya.
Akan tetapi
Kwee Seng tidak peduli dan cepat ia mengerahkan tenaga mendayung perahunya.
“Kau ingin
mampus!” Suara ini disusul oleh desir angin ke arah kepala Kwee Seng.
Maklum bahwa
ada benda menyambar, Kwee Seng mengibaskan tangannya dan dari ujung lengan
bajunya menyambar angin yang memukul runtuh benda itu yang ternyata adalah
sekepal kayu, agaknya gagang dayung yang diremas hancur oleh hwesio hebat itu!
Kwee Seng
maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, mungkin lawan
paling tangguh yang pernah ia hadapi selama hidupnya. Dengan adanya
Ang-siauw-hwa di dalam perahu, tentu saja hal ini berarti melemahkan
kedudukannya sendiri apabila terjadi pertandingan melawan hwesio kosen itu,
apalagi kalau diingat bahwa hwesio itu memang bermaksud merampas Ang-siauw-hwa.
Selain itu juga, bertanding di atas perahu amatlah berbahaya. Kepandaiannya di
atas air hanya terbatas, sekali jatuh ke dalam air, takkan ada gunanya lagi.
Inilah sebabnya maka Kwee Seng segera mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga
perahunya meluncur lebih cepat lagi meninggalkan perahu hwesio yang
mengejarnya.
Sesampainya
di pinggir telaga, Kwee Seng cepat menarik lengan Ang-siauw-hwa dan diajaknya
melompat ke darat, lalu berkata lirih, “Nona, cepatlah, kau lari dari sini!”
“Tapi...
tapi kau... bagaimana, Kongcu...?”
“Jangan
pikirkan aku, lekas lari!”
Kwee Seng
mendorong wanita itu dalam gelap, kemudian ia meloncat lagi ke dalam perahunya
dan mendayung ke bagian lain dari tepi telaga itu untuk menyesatkan perhatian
si hwesio terhadap Ang-siauw-hwa. Usaha dan akalnya ini berhasil baik, karena
perahu hwesio itu terus mengikutinya. Setelah mendekat, kemudian terdengar
hwesio itu berseru keras.
“Bocah
setan, sekali ini aku tidak akan memberi ampun kepadamu!”
Akan tetapi
karena ia sudah terbebas dari pada keselamatan Ang-siauw-hwa kini Kwee Seng
tidak melarikan diri lagi. Ia berdiri di kepala perahunya, berkipas-kipas diri
sambil menanti dekatnya perahu si hwesio. Setelah dekat ia berkata, “Lo-suhu,
seorang beribadat seharusnya mengekang nafsu memupuk kebajikan agar menjadi
contoh bagi orang banyak. Mengapa Lo-suhu malah mengejar-ngejar seorang
pelacur, hendak merampasnya dengan paksa dan memukul orang mengandalkan
kepandaian?” Suara Kwee Seng sopan dan halus akan tetapi di dalamnya mengandung
teguran pedas.
“Heh he he
he, bocah yang masih bau susu ibu! Macam engkau ini hendak memberi kuliah
kepada Ban-pi Lo-cia? Heh he he!” Ucapan diselingi tawa ini lalu diikuti bunyi
keras seperti petir menyambar-nyambar di atas kepala Kwee Seng dan tampaklah
sinar hitam melecut-lecut di udara.
Kiranya
kakek itu sudah mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang bermain-main di atas
kepala Kwee Seng seperti seekor ular hidup yang ganas. Kwee Seng kaget setengah
mati mendengar disebutnya nama Ban-pi Lo-cia (Dewa Locia Berlengan Selaksa)!
Nama ini adalah nama seorang tokoh yang tak pernah atau jarang sekali muncul di
dunia kang-ouw, namun yang terkenal sebagai tokoh yang amat jahat, keji dan
memiliki kesaktian hebat. Kabar tentang tokoh ini yang ia dengar paling akhir
adalah bahwa Ban-pi Lo-cia menghilang di utara, di daerah Khitan, karena memang
ada berita bahwa dia mempunyai darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat
muncul secara tiba-tiba di tempat ini?
Kekagetan
dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya yang membuat ia lengah. Ketika ada
gulungan sinar hitam menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya dan tahu-tahu
pinggangnya sudah telibat cambuk yang bergerak seperti ular. Ketika Ban-pi
Lo-cia menggerakan tangan kanannya, tubuh Kwee Seng melayang seperti terbang,
terbawa oleh ujung cambuk! Kwee Seng terkejut, namun ia dapat menenangkan hati
dan mencari akal. Dengan kipas di depan dada untuk melindungi diri, ia
mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menahan tekanan ujung cambuk yang melilit
pinggangnya, kemudian ia membiarkan dirinya terlempar melayang ke arah Ban-pi
Lo-cia yang berdiri di atas perahu sambil menyeringai! Orang gendut itu
ternyata amat memandang rendah terhadap Kwee Seng yang dianggapnya seorang
pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat, maka ia bermaksud mempermainkannya.
Akan tetapi
alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika tubuh Kwee Seng sudah sudah
melayang ke dekatnya. Tiba-tiba angin pukulan yang hebat bertiup dari kipas
disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di lehernya, dilakukan oleh
gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini sehingga hampir saja jalan darah
Tiong-cu-hiat di lehernya tertotok! Ketika raksasa itu mengelak ke belakang,
tahu-tahu kaki Kwee Seng sudah menotol pundaknya. Dengan menggunakan pundak
raksasa ini sebagai batu loncatan, Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan melompat
sambil mengerahkan tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri dari pada
libatan ujung cambuk.
Usahanya
berhasil. Ban-pi Lo-cia berseru heran dan tubuh Kwee Seng sudah melayang
kembali ke atas, tepat tiba di gerombolan pohon kembang di pinggir telaga yang
cepat disambarnya. Dengan ayunan indah tubuh pemuda itu sudah berada di darat,
berdiri dengan tenang dan dengan kipas di tangan sambil memandang ke arah lawan
yang masih berada di atas perahunya!
“He he he,
kau boleh juga, bocah!” Ban-pi Lo-cia berseru setengah marah setengah kagum,
cambuknya bergerak cepat mengeluarkan ledakan-ledakan keras.
Ternyata
cambuk itu memukul air di pinggir perahu dan... bagaikan didorong tenaga gaib,
perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir telaga, kemudian sekali meloncat raksasa
itu sudah melayang dan tiba di depan Kwee Seng! Dua orang ini kini berhadapan
dan saling memandang penuh perhatian. Bulan bersinar terang bersih, indah
sekali. Akan tetapi di dalam keindahan itu tersembunyi kengerian yang di
timbulkan oleh pandang mata kedua orang yang saling bertentangan ini. Pinggir
telaga sudah sunyi, karena mereka yang mendengar tentang hwesio tinggi besar
yang mengamuk sudah melarikan diri cepat-cepat. Akan tetapi ada pula beberapa
orang yang bersembunyi dan melihat dua orang itu berhadapan dari jauh.
“Ban-pi
Lo-cia, sudah lama sekali aku mendengar namamu, dan ternyata keadaanmu cocok
benar dengan namamu!” kata Kwee Seng yang kini sudah mengeluarkan suling bambu
yang tadi ditiupnya. Ia memegang suling itu di tangan kanannya, sedangkan
kipasnya ia pegang di tangan kiri. Ia maklum bahwa menghadapi seorang sakti
seperti ini ia harus di bantu sulingnya, karena hanya dengan kipas saja kiranya
belum tentu ia akan dapat mencapai kemenangan.
“Heh, kau
mengenalku? Dan kau bilang cocok seakan-akan kau telah mengenalku baik-baik.
Orang muda lancang, keadaanku yang bagaimana kau sebut cocok dengan namaku?”
“Kau
terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam keji dan memuja kejahatan
mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar dengan perbuatanmu
sekarang?”
“Wah,
sombong! Bocah bermulut lancang, siapa namamu?”
“Aku Kwee
Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi tidak meninggalkan nama, hanya
suling dan kipas ini yang kubawa.”
“Heh-heh,
kata-kata muluk! Kau berlagak sopan dan terpelajar, akan tetapi bukankah kau
sendiri juga memperebutkan kembang pelacur telaga ini? He-heh, orang muda,
tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku lebih suka secara terbuka dan
terang-terangan, sebaliknya engkau suka sembunyi-sembunyi dan berkedok
kesopanan. Aku paling jemu melihat segala yang palsu ini, maka kau bersiaplah
mampus di tangan Ban-pi Lo-cia!” Berbareng dengan habisnya ucapan itu, sinar
hitam bergulung-gulung ke depan dibarengi ledakan-ledakan seperti petir
menyambar kepala.
Hebat bukan
main kalau Ban-pi Lo-cia mainkan cambuknya, cambuk sakti yang terkenal dengan
nama Lui-kong-pian (Cambuk Halilintar). Gerakan cambuk ini mengandung getaran
penuh dari sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Jangankan
terkena pukulan cambuk, baru mendengar bunyinya saja membuat lawan menjadi
pening kepalanya, melihat sinarnya membuat mata lawan kabur, dan hawa pukulan
yang mendahului datangnya ujung cambuk cukup kuat untuk menjungkalkan lawan
yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya! Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang
benda lemas dan licin, akan tetapi senjata ini jangan dipandang ringan.
Bahannya saja terbuat dari pada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat
dilihat belasan tahun sekali di lautan utara, di antara gunung-gunung es. Di
tangan Ban-pi Lo-cia, cambuk ini benar-benar menjadi halilintar. Bisa lemas
melebihi sutera, bisa kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada sebuah
senjata pun di dunia yang mampu membabatnya putus.
Menyaksikan
gerakan ini Kwee Seng maklum bahwa ia berhadapan lawan yang benar-benar sakti
dan berbahaya, maka ia pun tidak berani main-main, segera ia menggerakkan
suling dan kipasnya untuk menghadapi permainan cambuk halilintar yang dahsyat
itu. Karena tahu bahwa ilmu cambuk halilintar adalah ilmu sakti yang sukar
dilawan dan harus dilawan dengan ilmu sakti lagi, maka Kwee Seng segera mainkan
suling di tangan kanan menurut ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan
kipasnya ia mainkan dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat.
Ilmu pedang
Pat-sian Kiam-hoat (Delapan Dewa) dan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Mengacau
Lautan) telah menjadi ilmu silat yang sakti dan hebat setelah ia menerima
petunjuk-petunjuk dari seorang manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu, beberapa
tahun yang lalu di puncak pegunungan Himalaya. Setelah itu dan hingga saat ini,
Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat mengalahkannya. Dan sekarang
menghadapi Ban-pi Lo-cia yang demikian sakti, terpaksa ia mengeluarkan dua
ilmunya yang dimainkan dengan lincah dan penuh mengandung tenaga sinkang.
Sulingnya
ketika ia gerakkan mengeluarkan bunyi melengking tinggi, lengking yang dapat
memecahkan anak telinga lawan dan tepat sekali dipergunakan untuk melawan
pengaruh suara cambuk yang menggelegar. Ada pun kipasnya mengeluarkan angin
amat kuat yang menyembunyikan totokan-totokan maut oleh ujung gagang kipas yang
dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah yang merupakan senjata penyerang
Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak menjadi senjata penahan atau pelindung
dengan suaranya yang menahan pengaruh suara cambuk dan gerakannya yang
menangkis datangnya ujung cambuk.
Kalau Kwee
Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu cambuk lawannya, sebaliknya
Ban-pi Lo-cia kaget dan heran bukan main menyaksikan gerakan lawan. Raksasa
gundul ini tadinya memandang rendah kepada Kwee Seng yang masih muda dan
bersikap seperti seorang pelajar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa pemuda
itu demikian hebat. Tangkisan suling pemuda itu sanggup menggetarkan cambuknya,
sedangkan hawa pukulan kipas itu selalu mengancam jalan darahnya sehingga
terpaksa ia harus berlaku hati-hati dan mengelak dengan bantuan gerakan ujung
lengan baju kiri untuk menyelamatkan diri. Padahal ia mengenal betul bahwa
suling itu memainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipas itu mainkan
ilmu silat Lo-hai San-hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan permainan orang
lain.
Permainan
pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu yang amat
dahsyat, yang biar pun sudah ia kenal gerakan-gerakan dan perubahannya, namun
masih sukar untuk dihadapi! Diam-diam Ban-pi Lo-cia harus mengakui pendapat
umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang bukan semata-mata tergantung
kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang itu sendiri, kematangan dan
kesempurnaannya memepelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa
dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku hati-hati terhadap pertapa, yang
kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap wanita
yang biasanya digolongkan orang lemah!
“Wuuuttt...
tar-tar-tar!!” sekali serang cambuk itu sudah menyambar secara berturut-turut
hanya selisih beberapa detik saja ke arah ubun-ubun kepala, leher, lalu pusar.
Kwee Seng
menggerakkan suling menangkis serangan pada ubun-ubunnya, kemudian ia
memiringkan tubuh mengubah kedudukan kaki untuk menghindar dari serangan pada
leher. Ada pun pecutan pada pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil
menggerakan kipasnya ke depan menotok jalan darah pada siku lawan. Kalau
totokan ini mengenai sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.
“Aaiihhh!”
Ban-pi Lo-cia berseru keras, mengerahkan sinkang dan ujung cambuknya terus
melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia tangkis dengan ujung
lengan sebelah kiri.
“Brettt!”
robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu meleset
tidak mengenai sasaran.
Kwee Seng
terkejut karena tak mampu menarik kembali sulingnya yang terlibat. Maka ia
menggerakkan kaki maju setengah langkah, mencondongkan tubuh ke depan dan
melanjutkan gerakan kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan
menendang ke arah pusar!
Diserang
secara hebat ini, Ban-pi Lo-cia kembali berseru keras dan tubuhnya meloncat ke
belakang. Ia berhasil menyelamatkan diri dari bahaya. Namun di saat bersamaan
Kwee Seng mengerahkan tenaga, dengan sekali renggut ia membuat suling yang
terlibat lepas dari ujung cambuk! Kwee Seng menahan rasa sakit pada telapak
tangan yang memegang suling, terasa panas dan kesemutan.
“Hebat! Kau
orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan kini tangan maut Ban-pi Locia!” seru
raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri. Memang raksasa gundul ini
mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita-wanita muda yang cantik dan
berkelahi! Makin kuat lawannya, makin gembira hatinya dan makin muda cantik
seorang wanita, makin tergila-gila dia sebelum mendapatkannya!
Kini Dewa
Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri dari lawannya. Cambuknya digerakkan
dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membentuk
lingkaran-lingkaran besar kecil, lingkaran yang telan-menelan sehingga
membingungkan pandangan mata. Juga diselingi bunyi nyaring seperti halilintar
menyambar-nyambar di waktu hujan gerimis. Dengan cambuknya yang panjang, raksasa
ini dapat menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa bahaya diserang kembali
oleh lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek. Sambil menghujani lawan
dengan lecutan cambuk yang merupakan jari-jari maut itu, Ban-pi Lo-cia lari
mengelilingi Kwee Seng.
Kagetlah
hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti yang terkenal ini selain sakti,
juga amat licik dan curang, tidak segan-segan menggunakan akal pengecut untuk
mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa kedudukannya berbahaya karena dia berada
dalam lingkaran, dan dibutuhkan ketenangan sepenuhnya untuk menghadapi serangan
seperti itu. Maka ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri dengan
kuda-kuda kaki sejajar di kanan kiri, tubuhnya agak merendah, suling diangkat
tangan kanan tinggi melintang di atas kepala sedangkan kipas terbuka di tangan
kiri melindungi bagian bawah.
Anehnya,
Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan tetapi seakan-akan dapat melihat
jelas. Ia menggeser kaki setiap kali lawannya berada di belakang tubuhnya.
Serangan-serangan membanjir datang dari belakang, kanan dan kiri namun semua
itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia kebut dengan kipas. Hebat bukan
main pertandingan ini, namun merupakan pertandingan yang berat sebelah karena
Ban-pi Lo-cia selalu menyerang sedangkan Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa
mampu balas menyerang.
Mengapa Kwee
Seng meramkan kedua matanya? Apakah ia memandang rendah lawannya? Bukan, sama
sekali bukan! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa meramkan matanya.
Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan ketenangan dan pengerahan
panca inderanya, pencurahan perhatian sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka
bayangan yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan
mata dan mengacaukan perhatiannya. Biar pun kedua matanya meram, namun sepasang
telinganya cukup untuk menangkap gerakan lawan.
Dan mengapa
pula pendekar sakti yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja
tanpa mencari kesempatan balas menyerang? Ini pun merupakan siasat baginya,
karena dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya
lawannya akan cepat lelah karena harus banyak bergerak dan lari-lari
mengitarinya. Dengan penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu mempertahankan
diri.
Orang-orang
cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat dari pada yang
bergerak. Gentong air yang penuh tak berbunyi, yang kosong berbunyi nyaring.
Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air yang diam dalam, yang
bergerak dangkal.
Demikian
pula dalam dunia persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya,
terdapat keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya dari pada si
penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang menjadi
lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup diri
mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat. Karena bernafsu sekali ingin
mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk beberapa jam lamanya Ban-pi Lo-cia
lupa akan hal ini dan terus menerus menghujankan serangannya yang selalu
sia-sia karena dapat ditangkis lawan.
Namun
diam-diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini bukan lawan yang
biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah. Juga dalam tingkat
ilmu silat dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat sekali dan ia
tidak berani mengaku sudah lebih pandai dari pada lawan ini. Sulingnya sudah
retak-retak dan kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai menangkis semua
serangan itu. Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan
tenaga menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar
dari sepatunya.
Ia mencari
kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan cambuk ke atas kepala
membuat lingkaran-lingkaran baru untuk memulai serangkaian serangan dahsyat,
tiba-tiba ibu jari itu menyentil ke depan. Segumpal tanah melayang cepat sekali
‘memasuki’ lubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat menghantam
jalan darah di bawah lengan Si Raksasa.
“Ayaaaa….!”
Ban-pi Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya menjadi setengah
lumpuh, matanya melotot heran dan kaget.
Tentu saja
Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat ke depan dan
menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan kipasnya menghantamkan
serangan-serangan maut. Namun Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh yang banyak
pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan segumpal kecil tanah tadi hanya
membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini tangan kirinya sudah cepat
menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian cambuk
itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung di
depan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya. Dalam
menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lweekang-nya. Terdengar suara keras
ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya.... keduanya terlempar
ke belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan di atas
tanah!
Dengan napas
terengah-engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa gundul itu duduk di atas
tanah sambil memandang dengan muka berseri. “Heh-heh-heh, kau hebat orang
muda!”
Kwee Seng
juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan tenaganya. “Dan kau
jahat, Ban-pi Lo-cia!” jawabnya.
Kembali Si
Raksasa gundul tertawa. “Aku pernah mendengar sayup-sayup sampai tentang
seorang tokoh berjuluk Kim-mo-eng yang tingkat kepandaiannya sudah masuk
hitungan. Agaknya kaukah orangnya?”
“Tidak
salah, para Lo-cianpwe memberi sebutan Kim-mo-eng kepadaku.”
“Heh-heh-heh,
masih muda sudah sombong, ya? Kau kira Ban-pi Lo-cia kalah olehmu? Kita masih
seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita lanjutkan!” Raksasa itu
berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan kanan yang sudah pulih kembali.
Kwee Seng
juga bangkit berdiri. “Aku selau melayani kalau kau memang hendak berkelahi,
dan aku selalu akan menghalangimu kalau kau hendak melakukan hal-hal jahat!”
Ban-pi
Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya melakukan
pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak mengadu tenaga! Dalam
pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga bahwa ia menang setingkat
dalam hal tenaga dalam.
Dan hal ini
memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat kesempatan balas
menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan adu tenaga karena hal ini
akan banyak merugikannya. Sulingnya sudah retak, tentu akan hancur kalau
terus-menerus diadu dengan cambuk, sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak
mengalami kerusakan apa-apa. Kwee Seng mengerahkan ginkang (meringankan tubuh)
dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan serangan
pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih gesit dari
pada lawannya yang tua dan tinggi besar.
Kini Kwee Seng
benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala macam ilmu silat yang
pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan. Sebaliknya,
tidaklah mudah bagi Ban-pi Lo-cia untuk mengalahkan lawan yang amat kuat ini.
Dalam benturan ke dua yang sama dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali
terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Pertandingan
telah berlangsung setengah malam dan kini fajar mulai menyingsing, sinar merah
mengambang di ufuk timur. Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap putih
mengepul dari ubun-ubun kepala masing-masing.
“Wah, kau
ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu orang muda
seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar-benar gembira melakukan
pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ke dua dengan kau
inilah! Heh-heh-heh! Orang muda, aku pernah mendengar kau ini diambil murid Bu
Kek Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti, akan tetapi mengapa muridnya
hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat kulawan?”
“Aku tidak
mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku hanya pernah
beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawa-bawa nama suci Bu Kek
Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita lanjutkan.” Kwee Seng kini
bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi lawan yang begini tangguh dan
ulet.
“Heh-heh-heh,
sampai mati, bocah sombong!” Ban-pi Lo-cia menerjang maju.
Kini ia
membekuk cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang
hebat ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan
sulingnya, berbareng menyodokkan kipasnya.
“Prakkk!!
Uh-uh...!”
Kwee Seng
terhuyung mundur, sulingnya hancur! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia juga terhuyung
mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas sehingga mendadak perut itu menjadi
mulas! Kalau orang lain terkena totokan ujung kipas yang mengandung tenaga
sinkang, tentu akan tembus perutnya atau rusak isi perutnya dan mati seketika.
Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal itu hanya merasakan perutnya mulas
seperti orang terlalu banyak makan lombok saja!
“Serrr..
serrr... serrr...!” belasan batang anak panah menyambar ke arah Ban-pi Lo-cia.
Cepat kakek
itu mengibaskan lengan bajunya dan anak-anak panah itu runtuh berhamburan. Dari
kanan kiri berlompatan ke luar belasan orang yang bersenjata lengkap.
“Inilah
hwesio jahat itu! Serbu...! Keroyok...!”
Kiranya
belasan orang ini adalah lima orang jago silat bersama teman-temannya,
sedangkan di belakang mereka masih tampak puluhan orang yang merupakan regu
penjaga keamanan. Agaknya peristiwa di tengah telaga itu telah dilaporkan oleh
hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan lima orang jago silat
itu sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.
Kwee Seng
maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia, maka ia
cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga
maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau sekarang dibantu oleh
puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat dan
sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka yang mau mengeroyok. Mendadak
tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan mati seketika karena kepala
mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi Lo-cia yang menerjang sambil
melompat pergi. Dari jauh terdengar suaranya.
“Heh, Kwee
Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!”
“Sekarang
pun boleh!” Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin penasaran,
apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh orang.
Akan tetapi
beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng tidak mau
kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang tentu hanya
akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia
merasa menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai menyuling,
apalagi sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan
terasa betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan
kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang
lain.
“Kongcu...!”
kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan mengacuhkannya. Akan
tetapi justru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu, dan inilah yang
membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke kiri.
Dia berdiri
di situ! Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa! Pakaiannya masih serba merah
muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi terang bukan
pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih sekali.
Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan permata.
Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis.
Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga oleh
pandangan mata Kwee Seng yang berkunang-kunang. Pertandingan setengah malam
suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.
“Kongcu, kau
kenapa...? Kau terluka...?”
Kwee Seng
memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala.
Akan tetapi
wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya. “Ah, kau tentu terluka.
Hwesio itu jahat sekali. Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja
menunggumu di sini dan kebetulan kau lewat di sini. Bukankah ini jodoh
namanya?”
“Jo...doh...?”
tanya Kwee Seng lemah, kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan hatinya.
Ang-siaw-hwa
menarik lengannya. “Tentu saja jodoh. Kongcu. Marilah ikut Ang-siauw-hwa. Kau
perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa merawatmu....” Dengan kata-kata yang
mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan Kwee Seng dan dituntunnya
pergi.
“Kenapa...
kenapa kau begini baik kepadaku...?” Kwee Seng masih mencoba menolak.
Akan tetapi
Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan diguncang-guncangnya. “Kenapa? Karena kau
telah menolong nyawaku, menyelamatkan kehormatanku. Kongcu. Karena... karena
aku ingin belajar menyuling darimu....“
“Me...
nyuling...?” akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas.
Pertemuan
ini mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya. Seharusnya ia dapat
beristirahat memulihkan tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam pertempuran.
Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya digandeng dan dituntun
Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita itu.
Ketika Kwee
Seng membuka matanya, ia telah rebah di atas pembaringan yang hangat, bersih
dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir pembaringan ia melihat
Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan lengannya. Melihat betapa di atas meja
ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu bahwa saat itu hari telah
malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk begitu dekat dengannya dan
hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia meramkan matanya kembali.
“Ambilkan
bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini, aku hendak
melayani Kongcu makan,” terdengar Ang-siauw-hwa berkata perlahan.
Dari balik
bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita pelayan yang tadinya duduk di
bawah lalu bangkit berdiri. Tak lama kemudian mereka datang lagi membawa baki
terisi hidangan untuknya.
“Kongcu, kau
harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur,” kata Ang-siauw-hwa sambil
menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng.
Pemuda ini
bangkit duduk, memandang ke sekeliling lalu berkata penuh kegugupan dan
malu-malu, “Ah, agaknya aku tak sadar tertidur di sini, menyusahkan Nona saja.
Biarkan aku pergi....”
Akan tetapi
Ang-siauw-hwa merangkulnya. “Mengapa begitu, Kongcu? Tidak sudikah Kongcu
menerima pembalasan budi dariku? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain
memandang rendah kepadaku, seorang... pelacur?” Wanita itu masih memeluknya
sambil menangis!
Kwee Seng
menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain cantik jelita juga
halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia tidak suka
melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang pelacur.
“Sudahlah,
Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau baik sekali.”
Nona itu
mengangkat mukanya. Biar pun air mata masih membasahi pipinya, ia tersenyum
gembira. “Marilah makan, Kongcu,” katanya merdu.
Kwee Seng
tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat bermanfaat
baginya, memulihkan sebagian tenaganya. Setelah makan yang dilayani amat mesra
oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali. Ang-siauw-hwa menepuk
tangannya dan dua orang pelayan datang dan segera diperintahnya untuk
membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi lagi. Kemudian dengan
gerakan lemah gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi
Ang-siauw-hwa lalu menghampiri Kwee Seng dan... duduk di atas pangkuannya!
“Eh, Nona...
ini... ini... bagaimana...?” Kwee Seng tergagap.
“Kongcu,
budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas budimu selain
dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi budakmu dan melakukan apa
saja untuk membalas budimu. Kongcu, bolehkah aku mengetahui namamu?”
Tidak karuan
rasa hati Kwee Seng, kepalanya sampai terasa pening. Dengan halus ia mendorong
tubuh nona itu dari atas pangkuannya. “Nona, duduklah yang betul dan mari kita
bicara. Kau mau tahu namaku? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang
tiada tempat tinggal, miskin dan tak berharga.”
“Ah,
Kwee-kongcu mengapa bicara begitu? Kau seorang budiman, gagah perkasa dan amat
berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga, akulah orangnya....”
Kembali nona
itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua
tangannya. Kwee Seng melihat air mata menetes dari celah-celah jari tangan yang
putih, halus dan kecil meruncing itu.
“Nona,
kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak kelihatan seperti
gadis bodoh. Mengapa kau sampai... sampai....” tidak kuasa ia melanjutkan
kata-katanya menyebut pelacur.
“Sampai
menjadi pelacur?” Ang-siauw-hwa menurunkan tangannya dan mukanya menjadi merah
sekali. Air mata menetes di sepanjang kedua pipinya yang halus kemerahan. “Ah,
panjang ceritanya, Kwee-kongcu. Ketahuilah, di waktu kecilku aku adalah seorang
berdarah bangsawan. Ayahku seorang pangeran dari Kerajaan Tang...”
Kaget
seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng. “Ahhh! Mengapa sampai begini...?”
Nona itu
dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran bernama Khu Si Cai
yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika kerajaan Tang runtuh, sekeluarga
pangeran ini menjadi korban pula, semua tewas kecuali sepasang anak kembar itu
yang berhasil di bawa lari oleh seorang pelayan. Akan tetapi di tengah jalan
mereka terhalang oleh keributan dan perang sehingga seorang di antara dua anak
kembar itu terlepas dari gandengan tangan dan hilang. Yang hilang bernama Khu
Gin In, Sedangkan yang masih dapat diselamatkan oleh pelayan itu adalah Khu Kim
In. Anak ini lalu dipelihara pelayan itu, akan tetapi karena keadannya yang
amat miskin, hampir saja mereka berdua mati kelaparan.
Akhirnya
pelayan itu terjerat oleh cengkeraman seorang pemilik sarang pelacuran bernama
bibi Cang yang mau membantu mereka karena melihat betapa cantiknya anak
perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama hutang mereka bertumpuk dan akhirnya,
setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun, terpaksa Khu Kim In ‘dijual’
kepada bibi Cang sebagai pembayar hutang.
“Demikianlah,
Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak dapat aku melepaskan diri dari cengkeraman
bibi Cang. Akan tetapi baiknya aku disayang oleh hartawan-hartawan dan
pembesar-pembesar sekitar tempat ini sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang
dan aku agak bebas. Aku boleh memilih sendiri laki-laki mana yang akan
kulayani. Dan karena aku banyak mendatangkan hasil sehingga bibi Cang menjadi
kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik serta mendapat kebebasan, malah
aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal menyendiri. Akan tetapi semua ini
kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu. Ayah bundaku tewas, Adik Gin In
entah ke mana, dan aku... aku harus mengorbankan kehormatan, menjadi perempuan
hina yang dipandang rendah oleh orang-orang terhormat seperti kau....” kembali
Ang-siauw-hwa menangis.
Bukan main
terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya nasib gadis ini. Rasa haru dan
kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu dengan halus dan menghibur.
“Sudahlah, Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu dan aku berjanji akan
menebusmu dari bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan orang tua yang baik yang
suka memungutmu sebagai anak. Ada pun tentang nona Khu Gin In, biarlah
perlahan-perlahan kucarikan untukmu.”
“Ah,
Kwee-kongcu... kau menumpuk budi kebaikan padaku....”
Ang-siauw-hwa
menubruk Kwee Seng dan menangis sambil mendekap dada pemuda itu dengan mukanya.
Kini Kwee Seng tidak menolaknya. Ia mengusap-usap rambut wanita itu dengan
penuh perasaan kasihan dan sayang. Seorang puteri pangeran sampai begini,
pikirnya. Karena ia yakin bahwa semua sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan
keluar dari setulusnya hati yang amat berhutang budi kepadanya, maka ia pun
tidak tega untuk menolak pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat
tertarik oleh nona yang memiliki kecantikan yang jarang keduanya ini.
Setelah reda
menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang-siauw-hwa berkata dengan suara mesra
dan manja, “Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko, kuharap kau
suka mengajarku....”
Hati Kwee
Seng berdebar. Sebutan Kongcu (Tuan Muda) kini berubah menjadi Koko (Kakanda).
“Sulingku remuk oleh si Hwesio jahanam,” jawabnya sambil tetap masih mengagumi
rambut hitam halus panjang dan harum itu.
“Di sebelah
barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah kusuruh pelayan membeli
untukmu.”
“Tak usah,
biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah sembarangan, harus
dicoba dulu.”
Malam itu
merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi juga malam yang
menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu
dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa cinta kalau saja ia tidak teringat
bahwa nona ini adalah seorang pelacur!
Di lain
pihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta
kepada Kwee Seng. Selama hidupnya baru sekarang ia bertemu dengan pemuda yang
tidak memandangnya sebagai seorang pelacur yang hina. Biasanya laki-laki yang
mana pun juga hanya akan menganggap ia sebagai barang permainan, yang datang
kepadanya dengan kandungan nafsu dan mengharapkan kesenangan dan hiburan dari
padanya. Akan tetapi Kwee Seng ini berbeda sekali. Pemuda tampan ini
menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus
hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa
raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama
hidupnya!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang
masih setengah tidur di atas pembaringan. “Moi-moi, aku pergi dulu hendak
mencari suling yang baik.”
Dengan mata
masih setengah meram, Ang-siauw-hwa mengembangkan kedua lengannya yang berkulit
putih halus ke arah Kwee Seng, lalu berkata dengan suara mesra dan penuh cinta
kasih, “Kwee-koko... jangan kau tinggalkan aku lagi....”
Kwee Seng
merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta wanita ini
kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka saling cengkeram, lalu Kwee
Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum. “Jangan kuatir, Moi-moi. Aku
takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau pandai bersuling!”
Entah
mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira sekali. Lenyap
sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati-matian melawan
Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air telaga dan
pohon-pohon di sekitarnya tampak amat indah menyegarkan. Suara kicau burung
pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini tersenyum, matanya
bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan. Bibirnya tersenyum aneh
kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa! Ia harus mencari suling yang baik, tidak
saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi
senjata. Bambu pilihan yang tua dan kering betul.
Benar
seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, di sebelah barat telaga itu terdapat seorang
penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa
biar pun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat dari pada bambu biasa
saja.
“Saya
mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik
hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah
Huang-ho. Akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling,
takut tidak akan ada yang berani membelinya.” Akhirnya si tukang pembuat suling
itu berkata.
Kwee Seng
girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus,
maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.
“Mana bambu
itu? Kenapa tidak dari tadi kau bilang? Keluarkan, biar aku melihatnya.”
Setelah
bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam
yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee
Seng berkata, “Jadilah. Harap kau buatkan suling dari bambu ini sekarang juga,
aku akan menunggunya.”
Setengah
hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah
hari, suling itu pun jadi. Setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa
ukuran lubang-lubangnya memang sudah tepat, Kwee Seng membayar harga suling
yang lima puluh kali lebih mahal dari pada harga suling biasa. Ia membeli pula
sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat
larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat
istirahatnya yang tak jauh dari telaga.
“Moi-moi,
kau lihatlah suling ini!” di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru
memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan
menyambutnya.
Akan tetapi
sunyi saja di sebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan... dapat
dibayangkan betapa kagetnya Kwee Seng saat melihat dua sosok tubuh
malang-melintang di belakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa,
ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa
menderita luka yang kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.
“Moi-moi…!”
serunya.
Mendengar
ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang daun
pintu kamar dan masuk ke dalam kamar. Apa yang dilihatnya? Memang Ang-siauw-hwa
berada di situ, akan tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi.
Gadis itu telentang di atas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya
terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada. Bajunya yang
berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya,
di mana tampak menancap sebuah gunting!
Kwee segera
menubruknya. Akan tetapi sekali pandang maklumlah ia bahwa nyawa gadis ini tak
dapat ditolongnya lagi karena gunting itu tepat menancap di ulu hati. Ia
diam-diam heran, mengapa Ang-siauw-hwa tidak mati seketika dengan tusukan
seperti itu?
“Moi-moi...
siapa melakukan ini...?” Ia mengguncang-guncang pundak wanita itu.
Ang-siauw-hwa
membuka matanya yang sudah layu dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah.
“Kwee-koko... kau datang terlambat... tapi lebih baik begini... tak mungkin aku
dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadi... lebih baik aku akhiri
hidupku....”
“Apa katamu?
Kau membunuh diri? Tapi... tapi mengapa, Moi-moi...?
“Koko...
pada saat kau pergi... datang hwesio iblis itu.... Ah, dua orang pelayanku
dibunuhnya dan aku... aku....” Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah.
“Setelah bertemu dengan engkau... setelah aku bersumpah setia hanya padamu
seorang... kebiadaban hwesio itu membuat aku... tak mungkin dapat melihatmu
lagi di dunia ini... aku... aku... Ah... Koko, aku cinta padamu... kau carikan
saudaraku Gin In....”
“Moi-moi.....!”
akan tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang itu telah
menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng.
Pada saat
itu dari luar terdengar suara perempuan memanggil. “Ang-siauw-hwa...!” Kenapa
kau dua hari tidak kembali ke kota? Aku menanti-nantimu, banyak tamu menanyakan
kau...!” Lalu terdengar jerit wanita.
Kwee Seng
maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang sudah melihat dua
orang pelayan yang tewas. Maka untuk tidak melibatkan diri dalam urusan
pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang-siauw-hwa di atas pembaringan,
menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu. Secepat kilat ia melompat ke
luar kamar melalui jendela sambil membawa jubahnya yang kemarin dipinjam
Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya di dekat tubuh pelacur itu....
***************
“Demikianlah,
Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi Lo-cia yang mengakibatkan sulingku hancur!”
Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada Liu Lu Sian.
Tentu saja
dalam cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya dengan Ang-siauw-hwa secara
jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian
menang segala-galanya. Kalau Ang-siauw-hwa diumpamakan setangkai bunga, maka
pelacur itu adalah bunga botan yang tumbuh di lapangan rumput, tiada pelindung
dan mudah dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu
Lu Sian merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah
terlindungi pohon besar, di samping itu sukar dipetik karena tertutup
duri-durinya yang runcing.
“Kwee-koko,
mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi
Lo-cia, matamu berkilat marah? Seorang perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa itu,
mana ada harganya untuk dibela?” Memang ini termasuk sebuah di antara watak Lu
Sian yang aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh wanita
lain, biar pun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati dan
cemburu!
Di lain
pihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman
tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak mengerti akan sikap
ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar teguran Lu Sian.
“Ah, mengapa
kau bilang begitu, Sian-moi? Pelacur atau bukan, dia hanya seorang lemah yang
diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi kewajibanku untuk
membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah melihat kejahatan Ban-pi
Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi dengan pendeta iblis itu!”
Makin tak
senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian pelacur itu membuat Kwee
Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada si
pelacur.
“Koko,
apakah kau mencinta perempuan hina itu?” tiba-tiba ia bertanya, matanya
memandang tajam.
Kwee Seng
juga memandang. Melihat sinar mata bening tajam itu bertambah kagumlah hatinya.
“Tidak, aku hanya kasihan kepadanya,” jawab Kwee Seng, suaranya jelas
menyatakan isi hatinya.
Akan tetapi
agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan keningnya dan mendesak
lagi. “Pernahkah kau jatuh cinta? Adakah seorang wanita yang kau cinta di dunia
ini?”
Muka Kwee
Seng menjadi makin merah ketika bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh
selidik itu. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan perasaan, kemudian
katanya, “Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanya... hanya setelah
bertemu dengan engkau, Sian-moi... ah, entahlah. Agaknya kalau ini yang
dinamakan cinta, berarti aku jatuh cinta kepadamu!”
Mendengar
kata-kata ini, Lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali. Kemudian ia
bangkit dari tempat duduknya dan berkata. “Kwee-koko, mari kita melanjutkan
perjalanan.”
“Apa? Hampir
tengah malam begini?”
Akan tetapi
Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya, dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa
buntalan pakaian dan memanggil pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan
berlari-lari datang, ia cepat memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor
kuda mereka dan menyiapkannya di depan rumah penginapan.
“Mengapa
tidak, Koko? Apa salahnya melakukan perjalanan malam? Setelah keributan tadi,
aku tidak senang di sini, ingin lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada di
tempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar aku dapat enak
memikirkan.”
“Memikirkan
sesuatu saja harus pergi tengah malam di tempat terbuka?” Kwee Seng mengomel
karena sesungguhnya ingin ia mengaso. “Memikirkan apa saja, sih?”
Liu Lu Sian
tersenyum manis. “Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!”
Kwee Seng
melongo dan pipinya menjadi merah. Akan tetapi cepat-cepat ia pun mengambil
pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan, melompat ke atas kuda
dan meninggalkan pelayan-pelayan yang memandang dengan mata terbelalak,
terheran-heran menyaksikan dua orang muda yang lihai dan royal itu, yang
meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka sebelum pergi.
Begitu
keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng terpaksa mengikutinya
dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis ini, pikirnya. Hatinya berdebar
kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan pengakuan cintanya kepada Lu
Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini melakukan perjalanan setengah malam suntuk
tanpa bicara. Kwee Seng yang masih marasa malu karena pengakuan cintanya juga
tidak berani bicara apa pun, hanya mengiringkan gadis itu dari belakang.
“He, paman
tukang perahu! Mari kau seberangkan aku dan kudaku ke sana! Berapa biayanya
akan kubayar!”
Tukang
perahu yang kurus dan bermata sipit serta memakai topi lebar itu segera
meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang nelayan
karena di atas dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring. Di bagian
belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung bambu panjang.
“Naiklah,
nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang yang lari
mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana ke sini. Sungguh heran sekali
pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang ke sana,” kata si tukang
perahu dengan suara penuh keheranan.
Lu Sian menuntun
kudanya dan mengajak kuda itu melompat ke atas dek perahu, sedangkan Kwee Seng
mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan remang-remang kini ia dapat
melihat wajah gadis itu, masih berseri-seri gembira dan cantik sekali. Kali ini
Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum manis, akan tetapi juga tidak
bicara apa-apa.
“Eh, Paman,
kau tadi bilang apa?” ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu Sian bertanya.
“Orang-orang mengungsi dari sana? Ada terjadi apakah di seberang sana?”
Si tukang perahu
memandang, keningnya berkerut. “Apakah Nona belum tahu? Daerah Shan-si mulai
geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang ditumbangkan belum
pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda
Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan
kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut.
Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah perkasa
itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh gubernur dengan tuduhan
memberontak....”
“Ah…! Dan
bagaimana dengan jenderal itu? Apakah ditangkap juga? Dan di mana dia
sekarang?”
Lu Sian
agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu dengan hati
dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap keributan negara
yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi puluhan tahun yang
lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang dan tanah air menjadi
pecah-pecah karena diperebutkan.
Entah berapa
banyaknya sekarang raja-raja dan raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang
mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling
curiga-mencurigai. Seakan-akan sekelompok anjing, masing-masing mendekap
sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat manusia-manusia yang
demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi, berebutan tak tahu malu,
mempergunakan rakyat yang dipecah-belah untuk memihak demi kepentingan
masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di kalangan rakyat jelata
yang selalu hidup miskin dan bodoh!
“Mana bisa
Jenderal Kam ditangkap? Biar gubernur sendiri takkan berani menangkapnya, hanya
berani menangkapi rakyat yang tak berdaya! Pula, tanpa adanya jenderal yang
gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat
bertahan terhadap serangan dari luar?”
“Paman yang
baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?”
“Betul,
bagaimana Nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan tadi Nona tidak
tahu apa-apa tentang keributan di daerah Shan-si?”
Kini Kwee
Seng mulai memperhatikan, apalagi ketika disebut nama Kam Si Ek. Ia sudah
mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu. Bahkan belum lama ini
Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah memperlihatkan sikap dan
wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan
maut kepada seorang pengagumnya. Seorang pemuda gagah yang berwatak satria,
tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum
tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauwcu ini. Laki-laki yang tidak tunduk oleh
wajah cantik! Tidak seperti aku, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.
“Eh,
Sian-moi. Kau menyeberang sungai ini, apakah hendak melakukan perjalanan ke
utara? Mau ke manakah? Ingat, perjalanan ini adalah perjalananku, kau hanya
ikut denganku,” kata Kwee Seng setelah tukang perahu itu pergi ke kepala perahu
untuk membantu penyeberangan karena air mulai agak deras alirannya dan tidak
amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga pembantunya yang masih anak-anak.
Dengan kerling
tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung Kwee Seng serasa
ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu!
“Kwee-koko,
seorang suami saja tidak boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya harus
menghormati dan menuruti keinginan si isteri. Sedangkan kita, tunangan pun
bukan. Bagaimana aku harus selalu menuruti kehendakmu? Kau bukan suamiku, bukan
tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau belum menurunkan
apa-apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin ke utara.
Terserah kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan kepandaian
kepadaku yang berarti kau melanggar janji.”
Kwee Seng
mengeluh di dalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya. Ia tertawa
dengan sabar. “Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau tajamnya. Aku
sih tidak mempunyai tujuan tertentu, ke mana pun boleh. Akan tetapi kalau di
utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak ke sana?”
Lu Sian
tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang mulai muncul
dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon. “Justru karena ada perang aku
ingin ke sana. Aku hendak menonton keramaian! Kwee-koko, ada tontonan bagus,
mengapa kita lewatkan begitu saja? Pula, melakukan perjalanan bersamaku, biar
pun menempuh bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?” Gadis itu mengerling
manis sekali dan Kwee Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada
kepala gadis itu, membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi sinar keemasan!
“Kau...
cantik sekali, Moi-moi...,” katanya perlahan, penuh kekaguman.
Lu Sian
tertawa. “Gadis di pagi hari belum berhias, mana bisa cantik? Ihhh, kau sudah
mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok asmara...! Lu Sian
tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok di pinggir perahu, tangannya menyambar
air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya, digosok-gosoknya sehingga
seluruh kulit mukanya menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah
tersiram embun pagi.
Digoda
secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan selanjutnya ia
tidak mau banyak bicara lagi karena setiap godaan gadis itu merupakan tusukan
di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi begini lemah? Mengapa ia tidak pergi
saja meninggalkan gadis ini? Ke mana perginya keangkuhannya yang selama ini ia banggakan?
Ah, ia masih mengharap. Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan
cintanya, dan gadis ini sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang-kadang begitu
mesra seakan-akan gadis itu pun mencintainya sungguh pun ternyata ingin
memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi mengapa kadang-kadang begitu kejam
menyerangnya dengan kata-kata sindiran?
Setelah
menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng mengikuti dari
belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah hutan. Benar saja seperti
yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang tampaklah berbondong-bondong
orang mengungsi ke selatan. Karena jalan mulai ramai dengan rombongan
pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan hutan yang kecil akan tetapi
sunyi.
“Mengapa
mengungsi saja harus beramai-ramai seperti itu? Memenuhi jalan saja!” Lu Sian
mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali pohon-pohon
kecil berduri mengganggunya.
“Rakyat
sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu
bahwa mengungsi pun tidak terlepas dari intaian bahaya gangguan orang jahat
atau binatang buas, maka mereka merasa lebih aman untuk melakukan pengungsian
beramai-ramai. Pada perang sekacau ini biasanya orang-orang jahat suka
mempergunakan kesempatan merampok.”
“Wah, kau
benar, Koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau dengar itu?”
Kwee Seng
mengangguk. “Derap kaki banyak kuda dari belakang! Akan tetapi belum tentu
perampok-perampok yang mengejar kita, Moi-moi.”
Mereka
berdua berhenti dan menoleh ke belakang. Tak lama kemudian derap kaki kuda
berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda yang membalapkan
kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan mereka itu besar-besar dan
ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih besar dan baik dari pada kuda
tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian. Sedangkan tiga orang penunggangnya adalah
wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas.
Pedang berukir indah bergantung di punggung mereka, tangan kiri memegang
kendali kuda, tangan kanan memegang cambuk.
Melihat
kesigapan mereka menunggang kuda, mudah diduga mereka itu adalah wanita-wanita
yang pandai ilmu silat, apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang
baik. Yang terdepan paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya
serba merah, yang ke dua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan
yang ke tiga baru delapan belas tahun berpakaian serba hijau.
Melihat raut
muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik, dan sukar dikatakan
mana yang paling cantik di antara mereka. Semua cantik dan pandang mata mereka
tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu diperbagus lagi dengan bedak
dan yanci (pemerah bibir / pipi) sehingga menimbulkan kesan di hati Kwee Seng
bahwa tiga orang wanita ini adalah gadis-gadis pesolek, seperti Ang-siauw-hwa.
Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia lihat tak pernah memakai bedak dan yanci,
sungguh pun hal ini memang tidak perlu karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu
putih halus dan bibirnya selalu merah membasah, pipinya kemerahan seperti buah
apel masak.
“Minggir!
Minggir!” tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi kecepatan lari
kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng menarik
kendali kudanya, dipinggirkan. Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya menghadap
jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih kendali kuda
tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula.
Dua ekor
kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan tercium bau harum
minyak wangi. Kuda ke tiga yang ditunggangi gadis termuda melambat dan gadis
ini mengerling ke arah Kwee Seng, lalu melempar senyum! Setelah melirik penuh
arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan kudanya lagi.
Kwee Seng
cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan Lu Sian. Gadis ini
menggenggam jarum-jarum yang merupakan senjata rahasia dan yang tadinya hendak
ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu!
“Moi-moi,
mengapa mencari gara-gara dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal
dan tidak ada permusuhan dengan kita?”
Lu Sian
menjebirkan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee Seng, lalu
menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya. “Menjemukan! Koko, apakah kau selalu
menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?”
Merah kedua pipi
Kwee Seng. “Bukan begitu, Moi-moi. Aku hanya suka menolong kepada orang yang
perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan tetapi mereka itu
tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau serang?”
“Tidak salah
apa-apa? Ihh, kenapa matanya lirak-lirik seperti tukang copet?”
Kwee Seng
tertawa geli mendengar ini. “Tukang copet? Ha-ha, perumpamaanmu sungguh tak
tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet? Dan lagi, aku Si Miskin ini
apanya yang patut di copet?”
Lu Sian
tersenyum juga. “Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?”
Kwee Seng
membelalakkan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya mentertawakannya
tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi putih dan lubang mulut
kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya sebal dan sakit.
“Mari kita
lanjutkan perjalanan!” akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian
tetap tertawa-tawa ketika membedal kudanya di belakang pemuda itu.
“Eh, kau
terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan menyerahkan hatimu? Dia
manis sekali, Kwee-koko! Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan!”
Berkali-kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus
membalapkan kudanya.
Akan tetapi
agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali, buktinya sampai
tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga orang gadis itu. Pada
hari ke empatnya, setelah bermalam di dalam hutan yang dingin, Kwee Seng dan Lu
Sian melanjutkan perjalanan. Di persimpangan jalan mereka melihat banyak orang
pengungsi pula, akan tetapi anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan,
sebaliknya mereka menuju ke utara! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga
Kwee Seng terheran-heran sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi
laki-laki yang sudah tua.
“Lopek,
kalian semua hendak mengungsi ke manakah?”
“Ke mana
lagi kalau tidak ke benteng Naga Emas? Hanya di sanalah tempat yang aman bagi
kami, karena Kam-goanswe (Jenderal Kam) berada di sana.”
“Mengapa di
lain tempat tidak aman Lopek? Apakah yang mengancam keselamatan kalian?” Kwee
Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga mendengarkan dengan penuh perhatian.
Mendengar
pertanyaan ini kakek itu memandang heran. “Kongcu datang dari manakah sehingga
tidak tahu keadaan di sini? Di mana-mana terdapat manusia-manusia serigala,
bala tentara gubernur merajalela mengganggu penduduk, merampok harta dan
memperkosa wanita dengan alasan membasmi pemberontak! Semua orang takut
menentang Gubernur Li, hanya Kam-goanswe seorang yang berani melindungi kami.
Kongcu dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya jangan melakukan perjalanan
di daerah ini, berbahaya.” Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan
perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih
itu.
“Lopek,
masih jauhkah benteng itu dari sini?” tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil
mengajukan kudanya.
Kakek itu
menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya berkerut, tidak mau menjawab,
malah lalu berjalan lagi.
Timbul
kemarahan Lu Sian, dan ia membentak, “Eh, Kakek! Apakah kau tuli dan bisu?”
Kakek itu
cemberut, menoleh lagi dan mengomel. “Tidak ada wanita baik di jaman edan ini!”
Tentu saja
Lu Sian makin marah. Melihat ini Kwee Seng khawatir kalau-kalau Liu Sian akan
turun tangan, maka ia cepat menggeprak kudanya, maju ke depan Lu Sian dan
berkata kepada kakek itu.
“Lopek,
sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa kau tidak mau menjawab? Harap jangan
salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita yang berhati mulia.”
Lenyap
kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum mendengar pujian ini. Ada pun kakek
itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian lalu menjura.
“Harap Nona
suka maafkan. Baru pagi tadi di sini lewat pula tiga orang gadis seperti Nona,
akan tetapi mereka itu kasar bukan main. Bahkan lima orang kami mereka pukul
dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk mereka lewat dengan kuda mereka
yang besar-besar. Kalau Nona hendak mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi,
kurang lebih tiga li lagi dari sini.”
Setelah
rombongan itu bergerak lagi, dan Kwee Seng mulai menggerakkan kendali untuk
melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan berkata, “Kwee-koko,
kita berhenti di sini, mencari tempat mengaso sampai nanti malam.”
“Eh, mengapa
begitu? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa sehingga
harus berhenti di sini?”
“Keadaan
benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya juga pergi ke
sana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku hendak menyelidiki ke
sana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi.”
“Ah,
Moi-moi, mengapa kau mencari urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan kita? Urusan Jenderal Kam adalah urusan negara, dan selama orang
menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak boleh tidak ia mempunyai
cita-cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya, Moi-moi.”
Akan tetapi
Lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari tempat yang enak untuk mengaso dan
bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon yang besar, lalu turun dari
kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.
“Sudahlah,
Koko, aku lapar karena terlalu banyak bicara. Biar kucarikan daging untuk teman
roti kering kita.”
Gadis itu
meloncat dan lenyap memasuki hutan yang gelap. Tak lama kemudian ia
tertawa-tawa sambil memegang dua ekor kelinci gemuk pada telinganya. Kwee Seng
tidak berkata apa-apa, hanya membantu gadis itu menguliti kelinci dan membakar
dagingnya. Setelah mereka makan kenyang, Lu Sian merebahkan diri di atas rumput
yang gemuk empuk. Tak sampai sepuluh menit kemudian gadis itu sudah tidur
nyenyak, mukanya miring berbantal tangan, napasnya panjang teratur, pipinya
kemerahan, bulu matanya yang merapat kelihatan panjang, membentuk bayangan pada
pipi.
Berjam-jam
Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh yang rebah miring di depannya.
Pikirannya melayang-layang. Alangkah cantiknya gadis ini. Rambutnya yang hitam
itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas dari ikatan menutupi pipi dan
kening. Dahi yang halus putih itu agak basah oleh peluh karena hawa memang
panas menjelang senja itu. Kwee Seng melihat ini lalu memadamkan api unggun
yang tadi dipakai memanggang daging kelinci. Kemudian ia duduk lagi menghadapi
Lu Sian sambil menikmati wajah ayu itu....
Lu Sian
bergerak sedikit dalam tidurnya, bibirnya tersenyum, tangannya menyibakkan
rambut yang menutup pipi dan kening, lalu tubuhnya bergerak terlentang.
Terdengar bisikan Lu Sian, “Kwee-koko....”
Berdebar
keras jantung Kwee Seng. Gadis ini mengigau dan menyebut-nyebut namanya dalam
tidur! Bukankah itu berarti bahwa Lu Sian juga menaruh hati kepadanya?....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment