Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 03
IA
MEMANDANG. Mulut yang manis itu masih tersenyum. Tiada bosannya ia memandang
wajah ini, bagaikan orang memandang setangkai bunga mawar segar. Terpesona Kwee
Seng memandangi rambut hitam panjang yang kini awut-awutan itu, mengingatkan ia
akan syair tentang keindahan rambut yang pernah di bacanya:
Halus licin
laksana sutera
Hitam mulus
melebihi tinta
Gemuk
panjang berikal mayang
Mengikat
kalbu menimbulkan sayang
Harum
semerbak laksana bunga
Melambai
meraih cinta asmara
Sinom
berikal di tengkuk dan dahi
Pembangkit
gairah dendam birahi!
Setelah
kenyang pandang matanya menikmati keindahan rambut di kepala, lalu pandang mata
itu menurun, berhenti di alis dan mata yang terlindung bulu mata panjang
melengkung, sejenak ia terpesona oleh bukit hidung.
Kecil mungil
mancung dan patut
Halus
laksana lilin diraut
Cuping tipis
bergerak mesra
Mengandung
seribu rahasia!
Makin
berdebar jantung Kwee Seng, hampir tak tertahankan lagi, serasa hendak meledak.
Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak berkembang-kempis cupingnya,
mulut manis yang tersenyum-senyum dalam tidur, pipi yang putih kemerahan,
teringatlah ia akan Ang-siauw-hwa.
Bukan gadis
pelacur itu yang terbayang, melainkan pengalaman mesra penuh asyik yang pada
saat itu mendorong semua gairah birahi memenuhi hati dan pikirannya bagaikan
awan mendung hitam menggelapkan kesadarannya. Dengan tubuh gemetar menggigil,
Kwee Seng lalu membungkuk ke arah wajah ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu
Sian sepenuh kasih hatinya.
Suara ketawa
gadis itu mengejutkannya, membuyarkan sebagian awan mendung yang menutupi
kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya pucat dan ia cepat-cepat
menjauhkan diri. Jantungnya berdebar keras dan barulah lega hatinya ketika ia
melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara ketawa tadi pun agaknya hanya dalam
keadaan mimpi. Akan tetapi ciumannya tadi membuat ia makin dalam terjatuh ke
jurang asmara!
Lewat senja,
setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian menggeliat dan membuka matanya.
“Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. Eh... Kwee-koko, kau masih duduk di
situ sejak tadi? Tidak mengaso?”
Gadis itu
kini bangkit duduk dan membereskan rambutnya. Duduk seperti itu benar-benar
merupakan pemandangan indah. Kedua kaki di tekuk ke belakang, tubuh tegak dada
membusung, kedua lengan dikembangkan karena sepuluh buah jari tangannya sibuk
menyanggul rambut di belakang kepala.
“Hemm, kalau
saja aku pandai melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam keadaan
begini,” pikir Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan-akan tidak
mendengar akan kata-kata Lu Sian.
“Hih!
Kwee-koko, apakah kau sudah berubah menjadi arca? Apa sih yang kau lihat?” tegur
Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya berkedip-kedip mengandung ejekan.
“Eh... oh...
kau bilang apa tadi, Moi-moi...?” Kwee Seng tergagap.
Kini Lu Sian
tertawa. “Kukira kau tidak mengaso, kiranya kau agaknya malah tidur. Kwee-koko,
aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai di sini....”
“Kudengar
suara air gemericik di sebelah kiri sana, Sian-moi. Mungkin ada anak sungai
atau air terjun di sana.”
“Bagus, mari
kita ke sana, Koko.” Seperti seorang anak kecil, Lu Sian menyambar tangan Kwee
Seng dan menariknya berlari-lari ke arah kiri.
Benar saja
dugaan Kwee Seng. Di situ terdapat sebatang sungai kecil yang amat jernih
airnya, pula tidak dalam, hanya semeter kurang lebih. Batu-batu licin di dasar
tampak beraneka warna menambah keindahan dan kesejukan air.
“Wah, dingin
dan segar, Koko!” teriak Lu Sian kegirangan ketika memasukkan tangannya ke
dalam air di pinggir sungai.
“Koko, aku
hendak mandi! Kau jangan melihat ke sini sebelum aku masuk ke dalam air. Awas,
kalau kau menengok, kumaki kau kurang sopan dan kusambit kau dengan batu!”
Kwee Seng
tertawa, terseret oleh kenakalan dan kegembiraan gadis itu. “Siapa ingin
melihat?” serunya sambil membalikkan tubuh berdiri membelakangi sungai.
Ia hanya
mendengar gerakan gadis itu, suara pakaian dilepas, kemudian mendengar gadis
itu turun ke dalam air. Semua yang didengarnya ini menimbulkan bayangan yang
amat menggodanya sehingga ia meramkan kedua matanya seakan-akan hendak mengusir
bayangan itu dari depan mata.
“Sudah,
Kwee-koko. Kau sekarang boleh saja melihat ke sini, aku sudah aman tertutup
air. Ah, enak benar, Koko. Kau mandilah, segar bukan main.”
Kwee Seng
membalikkan tubuhnya dan ia terpaku di tempat ia berdiri. Kedua kakinya
menggigil dan matanya berkunang-kunang. “Aduh, Lu Sian! Apakah benar-benar kau
sengaja ingin menggodaku?” demikian keluhnya dalam hati.
Ketika ia
menengok, ia melihat pakaian gadis itu bertumpuk di pinggir sungai, di atas
sebuah batu besar, semua pakaian berikut sepatu dan pita rambut. Kemudian, apa
yang dilihatnya di tengah sungai itu benar-benar membuat ia berkunang dan
lemas. Memang gadis itu merendamkan tubuhnya di dalam air sehingga yang tampak
dari luar air hanya leher dan kepalanya. Akan tetapi agaknya Lu Sian lupa bahwa
air itu amat jernih! Ataukah memang sengaja?
Air itu
demikian jernihnya sehingga batu-batu di dasarnya tampak. Apalagi tubuh yang
duduk di atasnya! Pemandangan aneh tampak oleh Kwee Seng. Tubuh padat berisi,
sempurna lekuk-lekungnya, bergoyang-goyang bayangannya oleh air. Cepat-cepat ia
menundukkan mukanya. “Kuatkan hatimu! Ah, kuatkan hatimu sebelum kau kemasukan
iblis!” Demikianlah dengan kaki gemetar Kwee Seng berdiri menundukkan mukanya,
mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan dorongan nafsu.
“Moi-moi....”
Ia berhenti karena suaranya kedengaran aneh.
“Hemm...?
Kau mau bilang apa, Koko?”
Kwee Seng
menarik napas panjang dan mulai tenanglah gelora isi dadanya. “Sian-moi, aku
tidak mandi. Kau mandilah yang puas, biar kunanti kau di sana. Aku khawatir
kalau-kalau kuda kita dicuri orang.”
Tanpa
menanti jawaban Kwee Seng lalu membalikkan tubuhnya dan lari ke tempat semula,
di mana ia menjatuhkan diri duduk termenung memikirkan Lu Sian. Gadis yang
aneh! Ia harus mengaku bahwa hatinya sudah jatuh betul-betul. Ia memuja Lu
Sian, memuja kecantikannya. Padahal ia maklum sedalam-dalamnya bahwa watak
gadis itu sama sekali tidak cocok dengan wataknya, bahwa kalau ia mempunyai
isteri seperti Lu Sian, hidupnya akan banyak menderita. “Aku harus dapat menahan
diri, semua ini godaan iblis,” pikirnya. “Aku sejak semula tidak menghendakinya
sebagai isteri. Hanya karena sudah berjanji dengan Pat-jiu Sin-ong untuk
menurunkan ilmu yang mengalahkannya, maka sekarang mengadakan perjalanan
bersama.”
Ah, mengapa
ia menjanjikan hal itu? Ia kena diakali Pat-jiu Sin-ong yang tentu saja ingin
menguras ilmunya. Kalau sudah menurunkan ilmu, aku harus cepat-cepat menjauhkan
diri dari Lu Sian, pikirnya. Akan tetapi, teringat akan perbuatannya mencuri
ciuman tadi, kembali gelora di dadanya membuat Kwee Seng meramkan mata. Gila!
Kau sudah gila! Tiba-tiba Kwee Seng yang masih meram itu menampar kepalanya
sendiri!
“Heee!
Apakah kau sudah gila?!” teguran ini membuat Kwee Seng terkejut dan meloncat
bangun berdiri!
Kiranya Lu
Sian sudah berdiri di depannya. Biar pun cuaca sudah mulai gelap, masih tampak
gadis itu segar dan berseri-seri, makin cantik setelah mandi. Gadis itu tertawa
geli. “Kwee-koko, kukira kau tadi menjadi gila. Apa-apaan itu tadi kau menampar
kepalamu sendiri?”
“Aku...?
Ah... kau tidak melihat tadi? Banyak nyamuk di hutan ini. Mengiang-ngiang di
atas telinga, kucoba menepuk mampus nyamuk-nyamuk itu.”
Baiknya Lu
Sian percaya alasan ini. “Kwee-koko, sekarang aku hendak pergi. Kau menanti di
sini saja, ya?”
“Kemana,
Sian-moi?”
“Ke benteng
itu. Meyelidik!”
“Ah, apakah
perlunya? Jangan mencari perkara....”
“Sudahlah!
Kau seperti nenek bawel saja. Kalau tidak suka, kau tidak usah ikut. Aku tahu
kau tidak suka, maka aku akan pergi sendiri. Biarlah kau menanti di situ
bersama... eh, nyamuk-nyamuk itu. Aku pergi dulu, Koko!” Setelah berkata
demikian, Lu Sian mempergunakan kepandaiannya meloncat dan lari cepat, sebentar
saja lenyap dari situ.
Kwee Seng
mengerutkan keningnya. Gadis aneh. Ia takkan berbahagia hidup di samping gadis
itu sebagai suaminya. Akan tetapi... ah, mengapa hatinya seperti ini? Mengapa
timbul kekuatirannya kalau-kalau Lu Sian menghadapi malapetaka? Biarlah kalau
ia tertimpa bencana. Salahnya sendiri. Mencari perkara. Mencampuri urusan orang
lain! Kwee Seng mengeraskan hatinya dan mulai membuat api unggun untuk mengusir
nyamuk yang memang banyak terdapat di hutan itu. Akan tetapi hatinya tetap
merasa tidak enak. Terjadi perang di dalam hatinya antara membiarkan atau pergi
menyusul Lu Sian.
Dengan
pengerahan ginkang dan ilmu lari cepatnya, sebentar saja Lu Sian telah tiba di
luar tembok benteng. Tembok benteng itu cukup tinggi, pintu gerbangnya berada
di tengah, terjaga kuat oleh belasan orang prajurit. Pintu belakang juga
terjaga, malah tertutup rapat. Sedangkan di atas tembok itu, pada setiap
ujungnya terdapat bangunan kecil di mana tampak pula penjaga yang bersenjata
lengkap. Beberapa menit sekali, penjaga-penjaga meronda di sekeliling tembok.
Pendeknya, benteng itu terjaga rapat sekali. Untuk melompat tembok, terlampau
tinggi dan andai kata dapat juga, pasti akan tampak oleh para penjaga di empat
penjuru.
Akan tetapi
Lu Sian adalah seorang gadis yang banyak akal, berani dan lihai. Ia memilih
bagian yang agak sepi, menanti sampai peronda lewat, kemudian cepat sekali ia
menggunakan pedangnya membongkar tembok! Pedangnya bukanlah pedang biasa,
melainkan pedang pusaka, pedang buatan daerah Go-bi yang terbuat dari logam
baja biru. Oleh ayahnya pedang itu diberi nama Toa-hong-kiam (Pedang Angin Badai)
karena Pat-jiu Sin-ong memberikan pedang itu kepada puterinya ketika menurunkan
Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut.
Pedang baja
biru ini dapat dipergunakan untuk memotong besi dan baja. Apalagi tembok yang
terbuat dari pada bata itu, dengan mudah saja dapat ditembusi Toa-hong-kiam.
Belum lima menit, Lu Sian telah berhasil membuat lubang yang cukup dimasuki
tubuhnya. Di lain saat tubuhnya berkelebat menyelinap masuk dan bagaikan seekor
kucing ia sudah berloncatan cepat menghilang di antara kegelapan malam, mendekam
di tempat gelap sambil memperhatikan keadaan di dalam benteng.
Benteng itu
cukup luas, kiranya cukup untuk menampung ribuan orang bala tentara. Di
dalamnya selain terdapat lapangan luas untuk berlatih para prajurit, juga
terdapat bangunan-bangunan kecil berjajar yang agaknya menjadi tempat bermalam
para prajurit. Ada pula bangunan terbuka yang dipakai sebagai dapur, lalu
kandang-kandang kuda dan gudang-gudang perlengkapan. Di tengah sendiri terdapat
empat buah bangunan besar yang bentuknya kembar. Tak salah lagi, di sinilah
tempat para perwiranya.
Maka tanpa
ragu-ragu Lu Sian lalu berindap-indap menghampiri empat bangunan ini karena
memang kedatangannya ini terdorong oleh rasa hatinya ingin mengintai dan
menyelidiki keadaan... Jenderal Muda Kam Si Ek! Di sudut lubuk hatinya memang
ia tak pernah melupakan Kam Si Ek, pemuda gagah perkasa dan ganteng yang pernah
menggetarkan hatinya di atas panggung adu ilmu. Sayangnya pemuda itu tidak mau
melayaninya mengadu kepandaian. Namun sikapnya yang gagah dan keras, wajahnya
yang membayangkan kejantanan, telah menggerakkan hati Lu Sian sehingga ketika
dalam perjalanan ini ia mendengar disebutnya nama Kam Si Ek, sekaligus bangkit
hasrat hatinya untuk menemuinya dan mempelajari keadaannya, kalau perlu mencoba
kepandaiannya!
Hati Lu Sian
berdebar melihat bendera tanda pangkat jenderal di depan sebuah di antara empat
gedung. Ia menyelinap ke belakang gedung ini, kemudian menggerakkan tubuhnya
melayang naik ke atas genteng sebelah belakang, dan dengan hati-hati ia merayap
di atas genteng menuju ke bagian tengah. Ketika ia melihat sinar api penerangan
yang besar dan mendengar suara orang, ia membuka genteng dan mengintai ke
bawah. Betapa girang hatinya ketika ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu
Kam Si Ek sendiri, berada di dalam sebuah ruangan besar di bawahnya!
Biar pun
seorang jenderal, Kam Si Ek ternyata berpakaian biasa, mungkin karena tidak
sedang dinas. Pakaiannya serba biru dan rambutnya digelung ke atas, diikat
sutera kuning. Tubuhnya yang tegap itu kelihatan gagah dan penuh tenaga. Ia
duduk menghadapi meja besar yang penuh hidangan.
Yang membuat
hati Lu Sian kaget dan tak senang adalah ketika ia melihat tiga orang gadis
cantik yang pernah di lihatnya. Kini tiga orang gadis itu mengenakan pakaian
yang lebih mewah lagi, biar pun warna pakaiannya tetap sama, yaitu yang pertama
serba merah, yang kedua serba kuning dan yang ketiga serba hijau. Rambut mereka
digelung rapi dan dihias emas permata mahal. Muka mereka dilapisi bedak, bibir
dan pipi ditambah warna merah dan bau minyak wangi mereka sampai tercium oleh
Lu Sian yang mendekam di atas genteng!
Pada saat
itu, dengan sikap gagah dan suara tegas Kam Si Ek berkata. “Tidak bisa! Siauwte
(aku) bukanlah seorang penghianat! Sejak dahulu, nenek moyangku adalah orang-orang
yang menjunjung tinggi kegagahan, yang rela mengorbankan nyawa untuk negara dan
bangsa, yang menduduki kedudukan tinggi di dalam ketentaraan tanpa pamrih untuk
pribadinya, melainkan semata untuk berbakti kepada negara dan bangsa!
Kedatangan Sam-wi Lihiap (Pendekar Wanita Bertiga) saya terima dengan penuh
kehormatan, akan tetapi kalau Sam-wi mengajak siauwte sekongkol dengan Cu Bun,
terpaksa saya menolak keras!”
Dengan suara
manis sekali Si Pakaian Merah yang tertua di antara mereka bertiga, berkata
halus, “Kami bertiga enci adik sudah cukup mengenal kegagahan dan kesetiaan
keluarga Kam. Kami mana berani membujuk Goanswe (Jenderal) untuk bersekongkol
dengan penghianat atau pemberontak? Akan tetapi, bukankah bekas Gubernur Cu Bun
kini telah menjadi raja dari kerajaan Liang yang sudah berdiri belasan tahun
lamanya? Kini terjadi perebutan kekuasaan, dan raja tidak dapat membiarkan
mereka yang memisahkan diri, tidak mau tunduk kepada kekuasaan kerajaan baru,
yaitu Kerajaan Liang yang menggantikan Kerajaan Tang. Karena itu, kami mengajak
kepada Goanswe untuk berjuang bersama, menghalau para pemberontak, terutama
sekali bangsa buas dari luar yang hendak menggunakan kesempatan ini untuk
mengganas.”
“Maaf,
siaute terpaksa membantah. Memang benar bahwa Gubernur Cu Bun berhasil
menumbangkan Kerajaan Tang belasan tahun lalu. Akan tetapi, berhasil atau
tidaknya sebuah kerajaan baru tergantung dari pada dukungan rakyat. Dan untuk
mendapat dukungan rakyat, terutama sekali rakyat harus diberi kehidupan yang
tenteram, penghasilan yang wajar dan sumber hidup yang layak. Akan tetapi
apakah buktinya? Rakyat selalu menjadi korban. Di mana-mana timbul kejahatan,
perebutan kekuasaan, kehidupan rakyat tidak aman, masih ditekan pajak, diperas
oleh lintah-lintah darat yang berupa raja-raja kecil di dusun-dusun, masih
diganggu oleh para tentara kerajaan yang buas melebihi perampok. Buktinya?
Sam-wi dapat melihat betapa banyaknya penduduk dusun mengungsi, bingung mencari
tempat aman sehingga di dalam benteng ini saja kami terpaksa menampung seratus
orang lebih pengungsi. Bukankah ini sudah membuktikan bahwa Kerajaan Liang
tidak didukung rakyat? Dan selama pemerintahan tidak mendapat dukungan rakyat,
saya yakin takkan berhasil dan lekas runtuhlah pemerintahan itu.” Muka jenderal
muda itu menjadi merah, bicaranya penuh semangat dan wajahnya yang tampan gagah
itu mengeluarkan wibawa seperti seekor harimau yang menakutkan.
“Kam-goanswe
yang perkasa,” kata nona kedua yang berpakaian kuning. “Bolehkah saya bertanya,
Goanswe ini sebetulnya mengabdi kepada siapakah? Dahulu keluarga Goanswe
mengabdi kepada Kaisar Tang yang terakhir. Setelah kaisar jatuh, Goanswe
mengabdi kepada siapa? Kalau Goanswe tidak mengakui kekuasaan Raja Liang,
apakah Goanswe mengabdi kepada gubernur Li?”
Kam Si Ek
kini berdiri dari bangkunya. Tubuhnya yang tinggi tegap itu seakan-akan makin
besar. Ia mengepal tinjunya dan berkata. “Aku hanya mengabdi kepada tanah air
dan bangsa! Siapa saja yang mengganggu rakyatku, akan kulawan! Bangsa apa saja
yang berani memasuki tanah airku akan kuhancurkan! Aku tidak mengabdi kepada
Raja Liang, dan terhadap Gubernur Li Ko Yung yang menjadi teman seperjuanganku
dahulu. Dia tetap teman baik asal saja dia tidak menyeleweng dari pada jalan
benar.”
Nona paling
muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya kepada kedua orang encinya, lalu
bangkit berdiri menghampiri Kam Si Ek. Ia menuangkan arak dan menjura kepada
jenderal muda itu sambil berkata, suaranya halus merdu penuh rayuan.
“Maaf,
maaf... Kam-goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang seakan-akan lupa bahwa
saat ini bukanlah saat untuk bicara tentang urusan negara yang berat-berat.
Kasihan sekali suasana menjadi begini panas, sebaliknya masakan menjadi dingin.
Kam-goanswe, mari kita lanjutkan makan minum sambil membicarakan hal-hal yang
menyenangkan. Sudilah kau menerima secawan arak dariku sebagai cawan minta
maaf!” Ia melangkah maju.
Tergopoh-gopoh
Kam Si Ek balas menjura dan ia pun tersenyum. “Lihiap benar, maaf. Aku sampai
lupa diri.” Ia menerima cawan itu dan sekali tenggak habislah isinya.
Si Baju
Hijau tersenyum manis dan menuangkan arak lagi. “Untuk kedua kalinya kuharap
kau suka menerima secawan sebagai tanda persahabatan....”
Dengan sikap
yang amat mesra ia menyerahkan cawan dan dalam kesempatan ini jari-jarinya yang
halus menyentuh tangan Kam Si Ek. Pemuda itu kelihatan bingung dan kikuk.
Alisnya yang berbentuk golok dan hitam itu bergerak-gerak, agaknya ia ragu-ragu
bagaimana harus menghadapi wanita yang tiba-tiba berubah sikap ini.
“Cukup...
cukup...,” katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu lama
tangannya terpegang jari-jari halus mungil.
“Ah,
Kam-goanswe, masa tidak mau menerima penghormatanku?” Si Baju Hijau berkata
manja dan berdiri makin mendekat sehingga sebagian tubuhnya merapat, dadanya
sengaja menyentuh lengan kiri Kam Si Ek.
Hampir saja
pemuda ini meloncat pergi. Akan tetapi sebagai tuan rumah ia masih
mempertahankan diri, hanya mengisar kaki menjauhi, lalu berkata, “Baiklah,
kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!” Ia minum lagi arak dari cawannya.
Akan tetapi
alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia melihat nona muda cantik berpakaian
hijau ini tidak kembali ke bangkunya di seberang, melainkan menyeret sebuah
bangku dan duduk di sampingnya! Ini dilakukan sambil tersenyum-senyum, matanya
mengerling tajam penuh arti.
“Dari pada
berdebat yang bukan-bukan, yang sebetulnya tidak ada artinya sama sekali,
bukankah lebih baik kita berteman? Kam-goanswe, kami sudah lama mendengar nama
besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam Si Ek yang gagah perkasa dan
menjadi idaman setiap orang wanita di propinsi Shan-si! Kami bertiga enci adik
tidak mempunyai niat buruk terhadap jenderal, melainkan hendak membantu usahamu,
hendak menyerahkan jiwa raga mengabdi kepadamu, Kam-goanswe!” Sambil berkata
demikian, dengan lagak genit si baju hijau ini menggeser bangkunya sampai mepet
dengan bangku Kam Si Ek.
Si Baju
Merah dan si Baju Kuning segera tertawa-tawa dan mengitari meja, menarik bangku
dan mengisi cawan arak. “Betul sekali kata adikku yang bungsu. Kam-goanswe.
Kami menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani!” kata yang tertua sambil
menyerahkan secawan arak dan tangan kirinya memegang pundak pemuda tampan itu.
“Percayalah,
kami bertiga sanggup mengangkatmu menjadi yang dipertuan di daerah ini,” kata
si Baju Kuning yang memeluk leher Kam Si Ek dari belakang!
Dirayu dan
dikeroyok tiga orang gadis-gadis cantik yang berbau harum ini, sejenak Kam Si
Ek tertegun saking kaget dan herannya. Kemudian ia serentak bangkit dari
bangkunya, melangkah mundur tiga tindak, mukanya merah sekali dan ia berkata,
suaranya keren. “Sam-wi ini apa maksudnya bersikap seperti ini?”
“Maksud kami
sudah jelas, masa Goanswe tidak tahu? Sudah lama kami kagum dan sekarang begitu
berjumpa kami jatuh cinta, apakah kau tidak menghargai perasaan suci kami ini?”
kata Si Baju Merah tanpa malu-malu lagi.
“Kam-goanswe,
ribuan orang pemuda tergila-gila kepada kami dan semua kami tolak. Sekarang
melihatmu, kami bertiga sekaligus jatuh hati. Bukankah ini jodoh yang baik
sekali?” kata Si Baju Kuning.
“Dengan
kepandaian kami bertiga digabung kepandaianmu, apa sukarnya merampas kedudukan
raja di waktu orang pandai sedang memperebutkan kekuasaan ini? Goanswe
mempunyai tentara yang cukup banyak dan kuat,” kata Si Baju Hijau.
“Gila…!!”
Kam-goanswe berseru marah. “Pergilah kalian! Pergi dan jangan ganggu aku lagi.
Pergi!” Kam Si Ek marah bukan main, akan tetapi kemarahan ini agaknya belum
menyamai kemarahan Liu Lu Sian yang mengintai di atas genteng.
Gadis ini
marah sekali kepada tiga orang perempuan yang dianggap tak tahu malu itu. Juga
di samping kemarahannya ia pun kagum kepada Kam Si Ek! Sungguh jantan! Sungguh
gagah dan keras hati, tidak tunduk oleh gadis-gadis cantik yang tergila-gila
kepadanya.
“Singgg!!”
tampak kilatan tiga batang pedang yang dicabut berbareng oleh tiga orang gadis
jelita itu.
“Pilihan
kami hanya dua. Kau menerima kerja sama dengan kami atau kau serahkan kepalamu
untuk kami hadiahkan kepada Raja Muda Kerajaan Liang!”
“Bagus!” Kam
Si Ek melangkah mundur dua tindak dan mencabut goloknya yang berkilauan saking
tajamnya. Telunjuk tangan kirinya menuding dan ia berkata bengis, “Kalian tiga
orang wanita muda tak tahu malu. Kalian datang mengaku sebagai
See-liong-sam-ci-moi (Tiga Enci Adik Naga Barat), berlagak pendekar wanita yang
bermaksud membantu karena melihat kesengsaraan rakyat dalam jaman perang
perebutan kekuasaan. Aku menerima kalian dengan baik dan hormat. Kiranya kalian
mengandung maksud hati yang kotor dan hina. Kalau aku memberi tanda, alangkah
mudahnya anak buahku yang ribuan orang banyaknya datang menangkap kalian untuk
dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi aku Kam Si Ek seorang laki-laki sejati,
tidak mengandalkan jumlah orang banyak. Majulah, dan sudah sepatutnya golokku
mengakhiri riwayat kalian yang tersesat ke dalam jurang kenistaan!”
"Manusia
sombong!" Si Baju Merah meloncat, dan bagaikan kilat menyambar pedangnya
menusuk, berikut tubuhnya yang melayang ke depan, benar-benar seperti seekor
naga menyambar.
Hebat
serangan ini, akan tetapi Kam Si Ek yang sudah siap dengan goloknya menangkis
keras.
"Tranggg!!"
Wanita baju
merah itu terpental ke samping, akan tetapi dengan gerakan indah ia membuat
loncatan salto dua kali. Ada pun kedua orang adiknya juga sudah menerjang maju
dengan loncatan-loncatan tinggi dan menyerang dengan pedang selagi tubuh mereka
masih di udara. Kam Si Ek terkejut sekali. Tiga orang wanita ini benar-benar
patut dijuluki Naga Barat, karena gerakan mereka benar-benar lincah dan cepat
laksana naga menyambar. Ia cepat mengelak sambil memutar golok sehingga
berhasil menangkis tusukan pedang dari kanan kiri.
Akan tetapi
tiga orang enci adik itu sudah mendesaknya dengan serangan pedang bertubi-tubi.
Kam Si Ek cepat memutar goloknya dan mainkan ilmu silat keturunan keluarga Kam.
Pertahanannya kuat sekali, namun didesak oleh tiga batang pedang yang bekerja
sama baik sekali, ia hanya mampu menangkis sambil berloncatan ke sana ke mari,
sebentar saja terdesak hebat. Namun sebagai seorang jantan, Kam Si Ek berpegang
kepada kata-katanya. Ia tidak mau berteriak minta bantuan para penjaga yang
berada di luar gedung itu dan tetap mempertahankan diri dengan goloknya.
Sewaktu
pedang si Baju Merah menusuk tenggorokan dan ia menangkis dengan golok, pedang
si Baju Kuning sudah membabat pinggangnya. Cepat ia bergerak dengan jurus
Burung Walet Membalikkan Tubuh, membuat gerakan memutar untuk mengelak sambil
memutar goloknya melindungi tubuh belakang. Ia berhasil mengelak dan sekaligus
menangkis babatan pedang si Baju Hijau tepat pada waktunya. Akan tetapi kembali
pedang si Baju Merah sudah menerjang datang, disusul dua buah pedang yang lain!
Karena
ketiga orang gadis lihai itu kini menghujankan serangan di tiga bagian, yaitu
bawah, tengah dan atas, maka sibuk jugalah Kam Si Ek. Dengan ilmu golok emasnya
yang diputar merupakan benteng melindungi tubuhnya, ia hanya dapat melindungi
bagian atas dan tengah saja, sehingga menghadapi penyerangan pedang di bagian
bawah, ia harus meloncat-loncat yang membuat gerakan pemutaran goloknya
terganggu. Setelah lewat tiga puluh jurus, pemuda ini mulai berputar-putar dan
terdesak ke sana ke mari, semua jalan ke luar telah dihadang oleh tiga orang
gadis yang tertawa-tawa mengejek.
"Jenderal
sombong, dari pada mati di ujung pedang, bukankah lebih baik kau memeluk tiga
orang gadis jelita? Ah, alangkah goblok engkau! Mana bisa engkau melawan
See-liong-sam-ci-moi? Kami benar-benar mencintaimu, Kam-goanswe!"
"Lebih
baik aku mati!" teriak Kam Si Ek ganas.
Melihat
kesempatan selagi si Baju Merah bicara, golok emasnya menyambar dengan
pembalasan serangan dahsyat. Namun tiga batang pedang sudah menangkisnya dan
kembali ia terkepung tiga gulungan sinar berkilau yang mematikan semua jalan ke
luar itu.
Liu Lu Sian
yang menonton dari atas genteng segera mengetahui, bahwa biar pun Kam Si Ek
memiliki tenaga yang cukup kuat, namun di bidang ilmu silat agaknya belum dapat
diandalkan benar, jauh di bawah tingkat tiga orang gadis itu. Kemarahannya
memuncak dan kekagumannya terhadap Kam Si Ek juga memuncak.
Ia segera
mengambil jarum-jarum rahasianya dan tiga kali tangannya bergerak disertai
pengerahan sinkang yang sepenuhnya. Senjata rahasia jarum ini adalah ajaran
ayahnya, penggunaannya amat sukar karena jarum-jarum itu kecil dan ringan
sekali, harus disambitkan dengan sinkang tertentu baru dapat meluncur cepat
melebihi anak panah. Dan sekali jarum-jarum ini meluncur, sama sekali tidak
mendatangkan suara, kalau pun ada, suara itu halus sekali sukar ditangkap
telinga.
Hebat sekali
kesudahannya. Terdengar jerit melengking dan tiga orang gadis iti seperti
disambar petir. Si Baju Merah melepaskan pedangnya dan berputar-putar seperti
mabok, disusul si Baju Kuning yang melemparkan pedang dan mencekik lehernya
sendiri, kemudian si Baju Hijau terjungkal dan melingkar-lingkar di atas
lantai. Tiga orang gadis itu berkelojotan di atas lantai, dan beberapa menit
kemudian tak bergerak lagi. Si Baju Merah kemasukan jarum tepat di
ubun-ubunnya, si Baju Kuning terkena lehernya dan si Baju Hijau terserang
dadanya. Jarum-jarum itu mengandung racun kelabang yang gigitannya menewaskan
seketika, maka bukan main hebatnya.
Kam Si Ek
berdiri dengan golok melintang di depan dada, matanya terbelalak lebar. Pada
saat itu berkelebat bayangan memasuki pintu dan muncullah seorang wanita
berpakaian serba putih, wajahnya cantik dan terang, usianya sebaya dengan Kam
Si Ek. Wanita ini memegang sebatang pedang dan tangan kirinya menjambak rambut
dua orang laki-laki berpakaian tentara, lalu ia mendorong dua orang itu
sehingga terguling di atas lantai dan terus berlutut di situ dengan tubuh
menggigil.
"Eh,
Sute siapa mereka ini? Ah, bukankah ini See-liong-sam-ci-moi yang menjadi tamu
kita? Dan... ah, mereka sudah tewas dan... kau memegang golok! Apa yang
terjadi, Sute?"
Kam Si Ek
menggunakan tangan kirinya menggosok mata, lalu menyusut peluh di dahinya dan
menggeleng-geleng kepala. "Bukan aku yang membunuh mereka, Suci. Tapi
mereka patut tewas, mereka mempunyai niat busuk terhadap aku. Akan tetapi...
agaknya ada orang pandai membantuku dan membunuh mereka."
Wanita itu
membanting-banting kakinya. "Celaka! Mereka adalah tamu-tamu kita, mana
patut tewas di sini? Kalau ada orang yang membunuh mereka secara bersembunyi,
belum tentu berniat baik. Kita harus cari dia untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatannya!" Wanita baju putih itu meloncat ke luar lagi.
"Nanti
dulu, Suci. Dua orang ini... ada apakah?"
"Hemm,
sialan benar. Dia dan lima orang lain melakukan pemerasan kepada beberapa orang
pengungsi, malah mengganggu wanita. Yang lima kulukai, yang dua ini
pemimpinnya, kubawa ke sini untuk kau adili."
"Jahanam!"
Kam Si Ek menggerakkan kakinya menendang dan dua orang yang sial itu terlempar,
kepala mereka membentur tembok, pecah dan tewas seketika.
Beginilah
watak Kam Si Ek yang benci akan penyelewengan-penyelewengan. Akan tetapi kakak
seperguruannya, wanita baju putih itu sudah meloncat pergi ke luar untuk
mencari pembunuh See-liong-sam-ci-moi. Kam Si Ek juga cepat lari ke luar
setelah menyambar gendewa dan anak panahnya. Dalam ilmu silat boleh jadi dia
kurang pandai, akan tetapi ilmu panahnya terkenal di seluruh Shan-si, di
samping ilmunya mengatur siasat perang dan ilmu menunggang kuda.
Ketika Kam
Si Ek tiba di luar gedung, ia melihat para penjaga sudah ribut-ribut memandang
ke atas. Ketika ia berdongak, ia melihat bahwa suci-nya telah bertanding pedang
dengan hebatnya melawan seorang gadis yang gerakannya lincah sekali. Bulan
malam itu menerangi jagat, akan tetapi dari bawah ia tidak dapat melihat siapa
adanya gadis yang bertanding melawan enci seperguruannya itu.
"Goblok!"
terdengar wanita itu memaki, suaranya nyaring dan merdu, melengking menembus
kesunyian malam. "Beginikah kalian membalas pertolongan orang?"
"Kau
harus menyerah, tak boleh sembarangan membunuh orang di tempat kami,"
jawab suci-nya dengan suaranya yang tegas.
Pada saat
itu, entah mengapa, tiba-tiba suci-nya kehilangan keseimbangan tubuhnya,
terhuyung di atas genteng dan sesosok bayangan yang bergerak seperti terbang
telah menyambar tubuh wanita itu.
Lu Sian
kaget melihat wanita baju putih itu yang menjadi lawannya itu tiba-tiba menghentikan
penyerangannya dan terhuyung. Kemudian ia lebih kaget lagi ketika tubuhnya
tiba-tiba menjadi lemas dan tahu-tahu ia telah disambar orang dan dipanggul
pergi! Ketika melihat bahwa yang memanggulnya adalah Kwee Seng, ia
meronta-ronta, namun tidak berhasil melepaskan diri. Ingin ia menusukkan
pedangnya pada punggung pemuda ini, namun totokan tadi membuat tubuhnya terlalu
lemas.
Kam Si Ek
sudah sejak tadi merasa berhutang budi kepada wanita yang ternyata telah
menolongnya. Kalau tidak segera ditolong, rasanya ia takkan mampu menangkan
See-liong-sam-ci-moi. Tadinya ia sudah hendak meloncat naik mencegah suci-nya
menyerang wanita itu. Sekarang melihat seorang laki-laki muda berpakaian
pelajar memondong wanita itu, ia menyangka bahwa tentulah pemuda itu seorang
jahat. Cepat ia memberi aba-aba untuk menyerang pemuda itu dengan anak panah,
sedangkan ia sendiri pun lalu mementang gendawanya.
Akan tetapi
pemuda itu hanya menengok sambil tersenyum. Wajah yang tampan itu tersinar
bulan dan hati Kam Si Ek tercengang. Pemuda itu tampan bukan main dan senyumnya
manis sekali! Tentu sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang hendak melarikan
gadis dengan maksud kotor dan rendah!
"Lihat
panah!" bentaknya dan sekali gendawanya menjepret, lima batang anak panah
menyambar ke arah tubuh belakang Kwee Seng!
"Bagus!"
Kwee Seng yang masih menengok itu tersenyum lebar dan memuji, karena kepandaian
melepas panah itu benar-benar hebat. Lima anak panah itu menuju ke lima bagian
jalan darah di punggung dan kakinya dengan kecepatan yang luar biasa!
Cepat tangan
kirinya mencabut kipasnya dan ia harus mengerahkan lweekang-nya untuk mengebut
dan meruntuhkan anak-anak panah itu. Akan tetapi kini para prajurit panah sudah
pula ikut melepaskan anak panah, sedangkan Kam Si Ek dengan kecepatan luar
biasa sudah pula menghujankan anak panahnya. Terpaksa Kwee Seng kembali
mengebut sambil mengerahkan sinkang-nya, lalu sekali berkelebat tubuhnya sudah
meloncat jauh. Setelah tubuhnya melayang turun segera ia berlari cepat, dan
sekali menggerakkan kakinya, ia telah meloncat ke atas tembok benteng.
Terjadi
hujan anak panah lagi dari kanan kiri, namun pelepasan anak panah oleh para
prajurit itu tentu saja tidak begitu di hiraukan oleh Kwee Seng. Sekali
kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah membuat semua anak panah menyeleweng
arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia meloncat ke luar tembok dan lenyap!
"Suci...!
Dimana kau...?" Kam Si Ek berseru, akan tetapi ia tidak melihat kakak
seperguruannya itu.
Namun Kam Si
Ek sedang mempunyai banyak pekerjaan, maka ia tidak mencarinya lagi, melainkan
cepat mengatur anak buahnya untuk melakukan penjagaan yang lebih kuat dan
memerintah orang-orang untuk mengurus lima buah mayat yang menggeletak di
lantai ruangan gedung. Malam itu juga ia mengadili lima orang lain yang dilukai
encinya dan menggunakan kesempatan ini untuk mengancam para tentara dengan
hukuman berat apabila ada yang berani melakukan penyelewengan.
Setelah
mengatur semuanya, Kam Si Ek lalu masuk ke dalam kamarnya dan duduk termenung.
Ia maklum bahwa tidak semua anggota bala tentaranya setia kepadanya, karena
sesungguhnya ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka. Banyak di
antara mereka yang diam-diam ingin rupanya dia mengabdi kepada Raja Liang atau
kepada Gubernur Li yang juga sudah mengangkat diri sendiri sebagai raja muda di
Shan-si.
"Tidak!"
bantah suara hatinya. "Sebelum muncul pemimpin yang betul-betul akan
membuat rakyat Shan-si khususnya hidup aman tenteram dan makmur, aku tidak akan
mengabdi kepada siapa pun juga!"
Sementara
itu, Lu Sian terus meronta-ronta, kedua kakinya di gerak-gerakkan dan akhirnya
Kwee Seng menurunkannya di dalam hutan tempat mereka tadi beristirahat sambil
membebaskan totokannya.
Dengan
pedang di depan dada, Lu Sian meloncat maju dan membentak. "Kwee Seng,
kali ini kau terlalu! Mengapa kau mengganggu urusanku? Apakah kau hendak pamer
kepandaianmu?"
"Eh,
Sian-moi..., aku hanya hendak mencegah kau menimbulkan keributan di tempat
orang, aku... aku hanya bermaksud menolongmu...."
"Siapa
butuh pertolonganmu? Siapa sudi? Kwee Seng, agaknya di samping kelemahan
hatimu, kau juga memiliki kesombongan memandang rendah orang lain. Apa yang
kulakukan, kau peduli apakah?"
"Sian-moi,
mengapa kau berkata demikian? Bagaimana aku dapat tidak mempedulikan apa yang
kau lakukan? Sian-moi... kau sudah tahu akan perasaan hatiku, tak perlu
kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu! Nah, sekarang terlepaslah sudah ganjalan
hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku tak dapat membiarkanmu terancam bahaya
atau melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati,
seorang gagah perkasa, tak boleh diganggu..."
"Cukup!
Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum berhak untuk mengurusi persoalanku.
Aku bukan apa-apamu, tahu? Kau boleh mencintaku sampai mampus, akan tetapi aku
tidak mencintaimu! Dengar baik-baik, Kwee Seng. Aku tidak cinta kepadamu! Kau
memang tampan, kau memang gagah perkasa, memiliki kesaktian tinggi melebihi
aku, akan tetapi kau lemah! Kau bukan laki-laki sejati, hatimu lemah, mudah
jatuh. Kau kira aku cinta kepadamu? Ihh! Aku suka ikut bersamamu karena
mengharapkan kepandaianmu yang kau janjikan kepadaku di depan ayah. Nah kau
dengar sekarang? Setelah kau ketahui pendirianku, apakah kau kini hendak menarik
janjimu lagi seperti layaknya seorang pengecut?"
Bukan main
hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng, seakan-akan ribuan batang jarum berbisa
menusuk-nusuk jantungnya. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah, tubuhnya
gemetar, bibirnya menggigil, matanya sayu dan dua butir air mata membasahi
pipinya. Kemudian ia menggertak gigi mengeraskan perasaan, menguatkan hatinya,
mengepal tangan dan berkata sambil menengadahkan muka ke langit.
"Bagus
sekali! Memang kau patut menjadi puteri Pat-jiu- Sin-ong! Aku yang bodoh.
Ha-ha-ha, aku yang tolol. Orang macamku mana berharga menjatuhkan hati padamu?
Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik janjiku! Kapan saja kau minta, akan
kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan kau di panggung Beng-kauw ketika
itu. Memang aku cinta kepadamu, dan kau tidak mencintaiku sama sekali.
Ha-ha-ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati yang rakus ini, oleh pikiran yang
pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol merindukan bulan, ha-ha-ha!"
Senang bukan
main hati Liu Lu Sian. Memang beginilah watak gadis puteri Beng-kauwcu ini.
Mungkin karena semenjak kecil terlalu dimanja, atau memang memiliki watak aneh
keturunan ayahnya yang terkenal sebagai tokoh aneh di dunia kang-ouw, gadis ini
suka sekali melihat sebanyak-banyaknya laki-laki jatuh hati kepadanya. Suka ia
menggoda, menonjolkan kejelitaannya agar mereka makin dalam terperosok,
kemudian akan ia kecewakan mereka, akan ia permainkan mereka. Dan ketika
melihat mereka menderita, ia akan mentertawakannya!
"Untung
engkau masih belum terlalu rendah untuk menarik kembali janjimu. Kwee Seng, aku
menuntut janjimu itu pada besok malam, tepat tengah malam, di sini juga. Aku
akan menjumpaimu di sini dan...."
"Tidak,
Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin ada orang lewat dan akan melihat
kita. Kau lihat bukit di sana itu. Tampaknya sukar didatangi, terjal dan liar.
Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya mau menurunkan ilmuku kepadamu di
puncak bukit itu. Besok malam tengah malam tepat, aku menantimu di sana!"
Lu Sian
menengok ke arah timur. Matahari mulai muncul dan tampaklah bayangan sebuah
bukit yang tak berapa jauh dari tempat itu. Bukit yang bentuknya aneh,
puncaknya mencuat tinggi, bentuknya seperti kepala naga atau kepala mahluk
aneh.
"Baik,
besok malam aku akan berada di puncak itu!" Setelah berkata demikian, Lu
Sian meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu pergi meninggalkan Kwee
Seng.
Pemuda itu
berdiri tegak seperti patung, mendengarkan derap kaki kuda yang makin lama
makin jauh, lalu ia meramkan matanya. Serasa perih hatinya, serasa jantungnya
dirobek dan serasa semangatnya terbang melayang mengikuti suara derap kaki kuda
yang membawa lari Lu Sian, gadis yang selama ini memenuhi hatinya. Tiba-tiba ia
tertawa dan menampar kepalanya sendiri.
"Ha-ha-ha,
tolol! Gila perempuan!!" Kwee Seng lalu mengambil guci araknya dan minum
dari guci itu tanpa takaran lagi. Arak menggelogok memasuki kerongkongannya.
Tiba-tiba ia
berhenti minum dan menengok memandang ke arah gerombolan pohon kembang kecil
yang belum kebagian sinar matahari pagi karena masih gelap. Biar pun
perasaannya terganggu, batinnya terpukul hebat, namun telinga pemuda ini masih
amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap bahaya. Ia mendengar gerakan
orang di situ, maka dia menegur, "Siapakah mengintai di situ?"
Sesosok
bayangan putih berkelebat ke luar dari belakang pohon-pohon dan seorang gadis
berdiri di hadapan Kwee Seng dengan muka merah dan sinar mata membayangkan rasa
malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Harap Taihiap
sudi memaafkan. Sesungguhnya bukan maksud saya untuk mengintai, akan tetapi
keadaan tadi membuat saya tidak berani untuk keluar memperkenalkan diri."
Kwee Seng
cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian serba putih ini. Gadis
bermata jernih, bermuka terang dan bersikap gagah, yang belum pernah ia kenal.
Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah agaknya si Bayangan Putih
yang bertempur melawan Lu Sian di atas genteng benteng tadi.
"Hemm,
kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi memperkenalkan diri.
Tentu Nona sudah mengetahui segalanya!" kata Kwee Seng dengan hati mengkal
karena adegan dengan Lu Sian yang tadi amat memalukan, amat merendahkan
dirinya.
"Sekali
lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua dan sekarang
tahulah saya bahwa gadis lihai yang secara aneh mendatangi benteng adik
seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu yang
amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah kami duga. Andai kata
dia datang memperkenalkan diri secara wajar, sudah pasti kami akan menyambutnya
dengan segala kehormatan. Akan tetapi nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa
bersalah terhadap Kwee-taihiap yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh karena
itu saya persilakan Kwee-taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat
persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal."
Diam-diam
Kwee Seng kagum. Biar pun hanya seorang wanita, seorang gadis muda, namun nona
ini benar-benar jauh bedanya dengan wanita-wanita yang ia temui. Nona ini
membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan-santun dan hati-hati, seperti
sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu teringat bahwa ia belum
menanyakan nama, dan sebagai seorang yang begitu luas pandangannya seperti nona
ini, tentu saja tak mungkin akan memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
"Terima
kasih, Nona baik sekali. Setelah Nona mengetahui namaku, agaknya boleh juga aku
mengenal nama Nona yang terhormat."
"Saya
yang bodoh bernama Lai Kui Lan, sedang membantu perjuangan Kam-sute (Adik
Seperguruan Kam). Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam-sute, akan tetapi
saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu silat keluarga
Kam."
Kembali
jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. “Ah, kalau saja Liu Lu Sian mempunyai
watak dan sikap seperti nona baju putih ini,” pikirnya.
"Sekali
lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan tetapi,
sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman Nona dan Kam-goanswe. Tadi
pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang mendatangkan
kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan kesalahan turun tangan
terhadap Nona, karena maksud saya hanya menghentikan pertandingan."
Kui Lan
menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali. Akan tetapi ia menjawab dengan
sikap sederhana dan merendah, "Ilmu kepandaian Kwee-taihiap telah membuka
mata saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam-sute juga, kami persilakan
Kwee-taihiap untuk singgah dan menerima penghormatan kami."
"Tidak
bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga." Setelah
berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua tangan memberi hormat, lalu
melompat ke atas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah kosong.
Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak pedulian,
sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya.
Setelah
pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung di tempat itu. Berkali-kali ia
menarik napas panjang, kemudian pandang matanya bertemu dengan guci arak. Ia melangkah
maju, membungkuk dan mengambil guci arak itu. Tanpa ia sadar, ia menekankan
guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia meramkan matanya seakan-akan guci
arak yang tadi ia lihat diminum oleh Kwee Seng itu mewakili diri pemuda sakti
yang telah membuat jantungnya menggetar-getar itu. Kalau Lu Sian memandang
rendah dan menghina Kwee Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini sekaligus jatuh cinta
saking kagumnya melihat Kwee Seng dalam segebrakan merobohkan dia!
Memang
aneh-aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut asmara yang mengamuk di hati
orang-orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah dan polos ini sekali jumpa
langsung jatuh hati dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang dicintanya tidak
tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian. Sebaliknya Lu Sian
tidak mau membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar ini kagum kepada Kam Si
Ek!
Ketika Lai
Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi makin merah dan
beberapa butir air mata terlontar ke luar dari pelupuk matanya. Teringat akan
keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali pendekar itu. Jatuh cinta kepada
puteri Beng-kauwcu. Ia sudah mendengar akan Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu,
gadis jelita dan perkasa yang sudah menjatuhkan hati entah berapa banyak
pemuda. Ia mendengar pula tentang para muda yang menjadi korban di Beng-kauw.
Dan kini agaknya pendekar sakti Kwee Seng menjadi korban pula.
Kemudian ia
teingat akan sute-nya, Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kam Si
Ek. Sute-nya itu pun menjadi rebutan para gadis, membuat banyak gadis
tergila-gila, akan tetapi sute-nya tetap tidak mau menerima cinta seorang di
antara mereka. Banyak pula yang menjadi korban asmara, di antaranya tiga orang
enci adik See-liong-sam-ci-moi-itu!
Teringat
pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok tengah malam di
puncak bukit sebelah timur, segera ia merasa ngeri. Bukit itu terkenal dengan
nama Liong-kui-san (Bukit Siluman Naga). Biar pun bukan sebuah di antara
gunung-gunung besar, namun di daerah itu amat terkenal sebagai bukit yang sukar
didatangi orang, seram dan dikabarkan banyak setannya.
Kam Si Ek
sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu karena memang keadaannya amat
berbahaya, dan harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat puncak bukit itu
kelihatan aneh. Banyak jurang-jurang yang tak terukur dalamnya, dan di sana
mengalir pula sungai yang deras airnya, sungai yang sumbernya dari dalam gunung
dan kemudian menggabung dengan sungai Wu-kiang. Sungai ini pun oleh penduduk
diberi nama Liong-hiat-kang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu
sinar matahari membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah!
Kemudian Lai
Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil mendekap guci arak.
Semangatnya seolah-olah melayang pergi mengikuti bayangan Kwee Seng, Si
Pendekar Muda yang sakti dan tampan!
Kwee Seng
yang merana hatinya oleh pengakuan Liu Lu Sian yang tidak membalas cinta
kasihnya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng Jendral Kam Si Ek. Karena
teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu membelokkan kudanya ke arah
timur. Hatinya lega ketika memasuki sebuah dusun tak jauh dari kaki gunung,
sebuah dusun yang cukup ramai, bahkan di situ terdapat sebuah rumah penginapan
sederhana yang membuka pula sebuah restoran. Untung baginya, rumah penginapan
itu dalam keadaan kosong tiada tamu sehingga keadaan sunyi dan ia tidak banyak
menunggu.
Kwee Seng
menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian ia minum
mabok-mabokan sambil bernyanyi-nyanyi untuk mengusir pergi kerinduan dan kesedihan
hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel memberinya nama Sastrawan Pemabok!
Dalam maboknya Kwee Seng menyanyikan sajak-sajak romantis ciptaan penyair
terkenal Li Tai Po.
Pada senja
hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah penginapan, memandang
sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak sinar merah kekuningan menerangi
angkasa barat. Tangan kanannya memegang sebuah tempat arak terbuat dari pada
kulit labu kering. Ia bersandar kepada langkan, memandangi angkasa barat yang
berwarna indah sekali sambil sesekali meneguk arak dari tempatnya. Teringat ia
akan sajak karangan Li Tai Po, maka sambil mengangkat muka dan
menggerak-gerakkan tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak
itu.
Kunikmati
arak hingga tak sadar akan datangnya senja
Rontokan
daun bunga memenuhi lipatan bajuku
Mabok
kuhampiri anak sungai mencerminkan bulan
Ohhh, burung
terbang pergi, sunyi dan rawan
Kwee Seng
berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biar pun hawa arak sudah memenuhi
kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak melayang-layang, namun
sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap suara langkah kaki
orang. Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari bibirnya, Kwee Seng
melirik ke sebelah kanan. Ia masih berdiri bersandarkan langkan.
"He-he-he,
matahari pergi tentu terganti munculnya bulan...," ia berkata-kata seorang
diri, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan orang-orang yang baru datang.
Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan?
Ketika
melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang gadis, ia tidak
berani memandang langsung, melainkan mengerling dan memperhatikan dari sudut
matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita itu. Bukan lain adalah
gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak seperguruan) dari Jenderal Kam Si
Ek! Pakaiannya masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan
manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan pada diri gadis ini.
Kalau pagi
tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu
sama sekali tidak menengok ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak
melihatnya, padahal tak mungkin tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada
orang lain. Dan sinar mata gadis itu seperti kehilangan semangat, tidak
sewajarnya! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda
yang memandang penuh curiga kepadanya.
Kwee Seng
membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan dan
mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan
tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda.
Seorang
pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan
keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari
mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala
yang bentuknya lain dari pada biasa. Pada muka itu terbayang sesuatu yang
asing, seperti terdapat pada wajah orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa
besar, namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar
matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut
dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut
dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba yang dituntun ke
penjagalan.
Seekor domba
yang dituntun ke penjagalan! Kalimat ini seakan-akan berdengung di telinga Kwee
Seng, membuatnya termenung lupa akan araknya. Ketika dua orang itu sudah
memasuki kamar tengah, terdengar suara Si Pemuda yang berat dan parau minta
kamar yang dijawab oleh pengurus rumah penginapan.
Kemudian,
masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya
sendiri. Kalimat tadi masih terngiang di telinganya. Mungkin, bisik hatinya.
Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula
menjadi seorang penyembelih domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau
tidak demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena
sihir? Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar?
Makin gelap
keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikiran Kwee Seng menghadapi
teka-teki itu. Hatinya penasaran, biar pun beberapa kali ia meyakinkan hatinya
bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang pemuda itu sama sekali bukan
urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang mungkin sedang
di lautan madu asmara. Namun kecurigaannya mendesak-desaknya sehingga tak lama
kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas
genteng hotel dan melakukan pengintaian. Hal ini ia lakukan dengan guci arak
masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan
kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan minum arak.
Akan tetapi,
hampir saja ia terjengkang saking marah dan kagetnya ketika ia mengintai ke
dalam kamar dua orang itu. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan hatinya! Ia
melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas pembaringan dalam keadaan lemas
tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata. Terang bahwa
gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat dan mungkin
juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi gagu! Akan tetapi air mata itu
menceritakan segalanya! Menceritakan bahwa keadaan gadis seperti itu bukanlah
atas kehendak si gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Ada
pun pemuda tadi duduk di tepi pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk.
"Nona
yang baik, mengapa kau menangis?" Dengan gerakan halus dan mesra pemuda
itu mengusap-usap kedua pipi yang penuh air mata. "Aku tertarik oleh kecantikanmu,
dan andai kata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari Jenderal Kam Si Ek,
tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau menyerahkan diri
kepadaku berikut hatimu, ingin kau membalas cintaku dan kau akan kuajak ke
Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima! Dengan ikatan ini, tentu
adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami. Nona, kau tinggal pilih,
menyerah kepadaku dengan sukarela, ataukah kau ingin menjadi orang terhina
karena aku menggunakan kekerasan? Kau tidak ingin dinodai seperti itu, bukan?
Aku Bayisan, panglima terkenal di Khitan, tidak kecewa kau menjadi
kekasihku..." Pemuda itu menundukkan mukanya hendak mencium muka gadis
yang tak berdaya itu.
Tiba-tiba
pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan niatnya mencium
karena tengkuknya terasa panas dan sakit. Matanya jelalatan ke sana ke mari,
cuping hidungnya kembang kempis karena ia mencium bau arak. Ia meraba
tengkuknya yang ternyata basah, dan ketika ia mendekatkan tangannya ke depan
hidung, ia berseru kaget.
"Keparat,
siapa berani main-main dengan aku?"
"Penjahat
cabul jahanam! Di tempat umum kau berani melakukan perbuatan biadab, sekarang
bertemu dengan aku tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!"
terdengar suara Kwee Seng dari atas genteng.
Bayisan
bergerak cepat sekali, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela
kamar dan beberapa detik kemudian ia sudah meloncat naik ke atas genteng. Akan
tetapi ia tidak melihat orang di atas genteng yang sunyi itu! Bayisan celingukan,
napasnya terengah-engah karena menahan amarah, sebatang pedang sudah berada di
tangan kanannya.
"Heeeei!
Jahanam cabul, aku di sini. Mari kita keluar dusun kalau kau memang
berani!" Tahu-tahu Kwee Seng sudah berada agak jauh dari tempat itu,
melambai-lambaikan guci araknya ke arah Bayisan.
Tentu saja
orang Khitan ini makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng
lari cepat dan terjadilah kejar-kejaran di malam gelap itu, menuju ke luar
dusun. Di luar dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya.
Mereka
berhadapan. Kwee Seng bersikap tenang. Ketika lawannya datang ia sedang meneguk
araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah, matanya jalang, pedang di
tangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar pemabokan itu, ia makin
marah.
"Eh,
kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa kau lancang
dan mencampuri urusan pribadi orang lain?" Bayisan membentak menahan
kemarahannya karena ia maklum bahwa yang berdiri di depannya bukan orang
sembarangan sehingga ia harus bersikap hati-hati dan mengenal keadaan lawan lebih
dulu. Bayisan terkenal sebagai seorang pemuda yang selain tinggi ilmunya, juga
amat cerdik dan keji. Di Khitan ia terkenal sebagai seorang panglima muda yang
tangguh dan pandai.
Kwee Seng
tertawa. "Aku orang biasa saja, tidak seperti engkau ini, Panglima Khitan
merangkap penjahat cabul! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San? Belum pernah
aku mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama Kalisani sebagai tokoh Khitan
yang dipuji-puji, akan tetapi nama Bouw I San (Bayisan) tukang petik bunga
(penjahat cabul), aku belum pernah!"
"Hemm,
manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan, Panglima Khitan. Kau mendengarnya
atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu dan hendak mengambilnya sebagai
kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau kau iri, apakah kau tidak bisa
mencari perempuan lain? Tak tahu malu engkau, hendak merebut perempuan yang
sudah menjadi tawananku!"
"Heh-heh-heh,
Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau! Kau suka mengganggu
wanita, aku tidak! Kau penjahat cabul, aku justru membasmi penjahat cabul! Aku
Kwee Seng selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!"
kalimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee
Seng meringis karena ia teringat akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.
Di lain
pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya nama ini.
"Akhh, keparat! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu malu itu?
Kau telah terlepas dari tangan maut Suhu-ku Ban-pi Lo-cia, sekarang kau tak
mungkin terlepas dari tanganku!"
Setelah
berkata demikian, Bayisan menyerang hebat dengan pedangnya. Pedang itu
digerakkan ke atas akan tetapi dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke
arah kepala, kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena
sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu membacok
kepala dan menusuk dada!
Akan tetapi
Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke belakang sejauh
dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua serangan itu gagal sama sekali!
"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia? Pantas... pantas....
Gurunya hidung belang, muridnya pun mata keranjang!"
Akan tetapi
dengan gerakan kilat Bayisan telah menerjang maju. Permainan pedangnya
benar-benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah sembarang murid dari Ban-pi Lo-cia,
agaknya sudah menerima gemblengan dan mewarisi ilmu silat bagian yang paling
tinggi, di samping ilmu silat yang dipelajarinya dari orang-orang pandai di
daerah utara dan barat. Pedang di tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar
bergulung-gulung dan angin yang ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan
mengerikan.
Diam-diam
Kwee Seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya. Jarang ada orang muda dengan
ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah sayang kepandaian begini baik jatuh
pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang dengan kepandaian seperti
ini tentu akan dapat menjunjung tinggi nama besar suku bangsa Khitan yang
memang terkenal sejak dulu sebagai suku bangsa yang kuat dan pengelana yang
ulet.
Menghadapi
pedang Bayisan yang tak boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng
mengeluarkan kipasnya. Dengan kipas di tangan kiri barulah ia bisa menghalau
semua ancaman bahaya dari pedang itu.
Sebaliknya
Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul
jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng, akan tetapi gurunya tidak
bicara tentang kehebatan pemuda itu. Maka sungguh kagetlah ia ketika melihat
betapa pemuda itu hanya dengan kipas di tangan mampu menghadapi pedangnya, malah
kini semua jalan pedangnya serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama
sekali!
“Celaka!”
pikirnya.
Walau pun ia
amat meragukan, namun andai kata pun ia dapat menangkan sastrawan muda itu,
tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan sastrawan ini tidak
penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia tinggalkan dalam
kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama, apalagi gadis itu
memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia terus melayani sastrawan
ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri dari totokan, tentu akan terlepas
dan lari. Kalau sudah lari kembali ke benteng, sukarlah untuk menangkapnya
lagi. Ia akan menderita rugi dua kali, pertama kehilangan calon korban yang
begitu menggiurkan, dan yang kedua, rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek
sebagai sekutu Khitan akan gagal sama sekali.
Berpikir
demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan keras dan
tinggi, hampir merupakan suara lengking yang memekakkan telinga. Pedangnya
kemudian bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan batang anak panah.
Kwee Seng
terkejut. Lengking tadi hampir mencapai tingkat yang dapat membahayakan lawan.
Kalau pemuda Khitan ini tekun berlatih dan menerima bimbingan orang pandai,
tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik semacam Sai-cu-ho-kang (Auman Singa)
yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja! Apalagi
lengking itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar-benar pemuda Khitan ini
mengagumkan dan berbahaya.
Kwee Seng
cepat memutar kipasnya. Karena khawatir kipasnya akan rusak menghadapi hujan
tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang. Akan tetapi kesempatan itu
dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakan tangan kirinya. Benda-benda hitam
menyambar dan Kwee Seng mencium bau yang amat tidak enak ketika ia mengelak
hingga jarum-jarum hitam itu lewat di depan mukanya. Jarum-jarum beracun yang
lebih jahat dari pada jarum beracun milik Liu Lu Sian! Untuk menghilangkan bau
tidak enak, ia meneguk araknya.
Melihat
kesempatan yang terbuka itu Bayisan meloncat pergi sambil berkata, "Jembel
busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk...." Hanya sampai di sini
kata-kata Bayisan karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas!
Kiranya
secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan arak dari mulutnya dan
menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya. Gerakannya melompat seperti
kilat menyambar sehingga tidak terduga-duga oleh Bayisan yang lebih dulu sudah
tersembur arak pada punggungnya. Robohlah tokoh Khitan itu, terguling
telentang. Ia berusaha bangkit, namun tak berhasil dan roboh lagi. Di lain saat
Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada dadanya.
Kini suara
Kwee Seng kereng berpengaruh. "Bayisan? Kau terhitung apa dengan
Kalisani?"
Bayisan
orangnya cerdik sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk
menyelamatkan diri. Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada
jawabannya ini. Tanpa ragu-ragu ia berkata, "Dia kakak misanku, tunggu
saja kau akan pembalasannya karena kau berani menghinaku!"
Kwee Seng
tertawa bergelak dan melangkah mundur. "Ho-ho-ha-ha! Kau hendak
menggunakan nama Kalisani untuk menakut-nakuti aku? Aha, lucu! Justru karena
engkau saudara misannya, justru karena memandang mukanya, aku mengampuni jiwamu
yang kotor, bukan sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia rendah
yang mencemarkan nama besar orang-orang gagah Khitan!" Kwee Seng meludah,
mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke
dusun.
Ketika
memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih telentang di atas
pembaringan. Air matanya bercucuran, akan tetapi kini gadis itu sudah mulai
dapat bergerak-gerak lemah. Kwee Seng cepat menggunakan ujung kipasnya menotok
jalan darah dan terbebaslah Kui Lan.
Gadis ini
meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia bersikap seperti
orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil mengepal, matanya berapi-api
memandang ke sana ke mari, mencari-cari. "Mana dia? Mana jahanam terkutuk
itu? Aku hendak mengadu nyawa dengan jahanam itu!"
"Tenanglah,
Nona. Bayisan sudah pergi. Aku pancing dia keluar dusun dan sekarang dia
terbaring di sana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya sudah lewat, Nona,
dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga memancing banyak
orang datang dan akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama
Nona...."
Tiba-tiba
Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan pemuda itu sambil
menangis.
Kwee Seng
kebingungan dan menyentuh pundak gadis itu dengan halus. "Ah, apa-apaan
ini, Nona? Mari bangkit dan duduklah. Kalau hendak bicara, lakukanlah dengan
baik, jangan berlutut seperti ini."
Lai Kui Lan
menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee Seng tetap berdiri
dan menenggak araknya yang tidak habis-habis itu.
"Kwee-taihiap,
kau telah menolong jiwaku...."
"Ah,
kau tidak terancam bahaya maut, bagaimana bisa bilang aku menolong
jiwamu?"
"Kwee-taihiap,
bagaimana bisa bilang begitu? Bahaya yang mengancamku di tangan jahanam itu
lebih hebat dari pada maut...." Gadis itu menangis lagi, kemudian cepat
menghapus air matanya dengan sapu-tangan. "Sampai mati aku Lai Kui Lan
tidak dapat melupakan budi Taihiap..." Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi
merah dan sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih.
Melihat
sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya lagi.
"Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasihlah kepada Tuhan bahwa
kejahatan pasti selalu akan hancur."
"Ah, di
mana dia? Aku harus membunuhnya! Dia tertotok di luar dusun?" Setelah
berkata demikian, gadis itu cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.
Kwee Seng
menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di bunuh, akan tetapi ia
merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang dikagumi semua orang dunia
kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu membunuh Bayisan, dan diam-diam ia
mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan tetapi hatinya lega ketika ia melihat
bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi
bayangannya. Kembali ia merasa kagum. Pemuda Khitan itu benar-benar luar biasa,
dapat membebaskan diri dari totokan sedemikian cepatnya.
Ketika
dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak lagi melihat Kwee
Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja. Ia memungutnya dan
membaca tulisan yang rapi dan bagus.
Para pelayan
telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona tinggal lebih lama
di tempat ini, lebih baik cepat kembali.
Surat itu
tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya yang menulisnya.
Dengan helaan napas panjang, ia lalu meloncat ke luar lagi dan berlari-lari
menuju benteng sute-nya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam-diam dari jauh Kwee
Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini bertemu lagi dengan
Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia berjalan perlahan
kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan nyenyak.
Pada
keesokan malamnya Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san.
Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang
masih besar bersinar terang, menerangi jalan setapak yang amat sukar dilalui.
Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini,
bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan merasa menyesal mengapa
ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu
gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena
sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk
dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.
Tepat pada
tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar yang
luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah
selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar. Ada pun di sebelah
utara dan timur tampak jurang menganga, jurang yang tak dapat dibayangkan
betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh
sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik,
akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika tiba
di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak
tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan
lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang sukar dan banyak batunya
tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi, maka ia
melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan.
Ia diam saja
dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak
mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya
dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil
kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan dari pada
urusannya dengan Lu Sian.
Tiba-tiba ia
teringat, Lu Sian seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang
ketiga hadir, tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan
menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik. Cepat ia
berlari turun lagi menyongsong Kui Lan.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba
berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling
pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup. "Eh... ah... Kwee-taihiap...
aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai
datang bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap di sana,
aku... aku lalu datang ke sini karena aku tahu bahwa malam ini Taihiap tentu
akan datang di sini." Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap
sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.
"Kau
aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu? Akan tetapi
biarlah, karena kulihat bahwa orang yang hendak kujumpai di sini belum datang
di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku bertanya, bagaimana kau
bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan? Duduklah biar enak kita bicara."
Lai Kui Lan
bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan Kwee Seng
yang duduk di atas tanah.
"Kemarin,
setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu...." Ia mulai bicara,
suaranya menggetar. "Aku tak dapat menahan hatiku yang merasa kasihan dan
kagum kepada Taihiap. Aku kecewa Taihiap tidak sudi menerima undanganku, karena
sesungguhnya kami membutuhkan petunjuk-petunjuk orang sakti seperti Taihiap.
Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap yang menunggang kuda...."
Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi
pemuda ini diam saja, maka ia melanjutkan ceritanya.
"Setelah
keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya,
yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk bersekutu dengan orang-orang Khitan.
Tentu saja aku menjadi marah dan memaki. Kami lalu bertempur dengan kesudahan
aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan main, orang Khitan keparat itu.
Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku dibawa ke rumah penginapan itu.
Untung Tuhan melindungi diriku sehingga dapat bertemu dengan Taihiap. Kwee-taihiap,
kuulangi lagi permohonanku, sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke benteng,
berkenalan dengan Sute-ku dan kami mohon petunjuk-petunjuk dari Tahiap dalam
suasana yang kacau balau ini. Kami seakan-akan hampir kehilangan pegangan,
Taihiap, demikian banyaknya muncul raja-raja yang membangun kerajaan-kerajaan
kecil sehingga sukar bagi kami untuk menentukan mana yang baik dan mana yang
buruk."
Di dalam
hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah seorang yang
amat cinta kepada negara, orang-orang berjiwa patriot yang akan rela
mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak enaklah kalau menolak terus.
"Baiklah,
Nona Lai. Setelah selesai urusanku di sini, aku akan singgah di benteng
Jenderal Kam."
"Terima
kasih, Taihiap, terima kasih...!" Dengan suara penuh kegembiraan Kui Lan
menjura, berkali-kali.
"Ssttt,
ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada di sini, aku
ingin berpesan, kau bersembunyilah dan jangan sekali-kali kau keluar, jangan
sekali-kali memperlihatkan diri, apa pun juga yang terjadi. Maukah kau memenuhi
permintaanku ini?"
Lai Kui Lan
dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia mengangguk. Akan tetapi
karena muka itu tertutup bayangan, Kwee Seng tidak melihat kesedihan ini. Kwee
Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui Lan, mendaki puncak. Benar saja
dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan
main jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan yang tak terhalang sesuatu,
gadis ini seperti seorang dewi dari khayangan. Sinar bulan membungkus dirinya,
rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya seperti bintang.
"Kiranya
kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada di sini, siap menerima
ilmu seperti yang kau janjikan dahulu," kata Liu Lu Sian, akan tetapi
suaranya amat tidak menyenangkan hati karena terdengar dingin, alangkah jauh
bedanya dengan pribadinya yang seakan-akan menciptakan kehangatan dan
kemesraan.
Kwee Seng
tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas cinta kasihnya, juga mendendam kepadanya.
Karena itu, ia pun tidak mau menggunakan sebutan moi-moi (adinda), karena
khawatir kalau-kalau hal itu akan menambah kemarahan si gadis dan akan
menimbulkan cemoohan terhadap dirinya yang sudah terang tergila-gila kepada Lu
Sian.
"Lu
Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu itu hanyalah
Ilmu Silat Pat-sian-kun biasa saja."
"Tak
perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau turunkan
kepadaku seperti janjimu, lekas beri ajaran!"
Kwee Seng
menggigit bibirnya, lalau berkata, "Kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu
silat itu."
Ia lalu
bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia mainkan Ilmu Silat
Pat-sian-kun-hoat dengan tangan kosong, akan tetapi jelas bahwa gerakan-gerakan
ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya ilmu silat ini ada enam puluh
jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng menerima petunjuk dari Bu Kek
Siansu si Manusia Dewa, ia hanya meringkasnya menjadi seperempatnya saja, jadi
hanya enam belas jurus inti yang sudah meliputi seluruhnya dan mencakup semua
gerak kembang atau gerak pancingan, gerak serangan atau gerak pertahanan.
Setelah
mainkan enam belas jurus itu, Kwee Seng berhenti dan memandang kepada Lu Sian
sambil berkata, "Nah, inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan kepadamu,
Lu Sian, Sudahkah kau memperhatikan gerakannya? Harap kau coba latih, mana yang
kurang jelas akan kuberi penjelasan."
"Ah,
kau membohongi aku!" Lu Sian berseru marah. "Ilmu silat macam itu
saja, dilihat dari gerakannya jauh kalah lihai dari pada Pat-mo Kiam-hoat
ciptaan Ayah! Mana bisa kau kalahkan aku dengan ilmu itu? Kwee Seng, aku tahu,
setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau hendak membalasnya dengan
menyuguhkan ilmu silat pasaran untuk menghinaku!"
Gemas hati
Kwee Seng dan perih perasaannya. Gadis ini terlalu kejam kepada orang yang
tidak menjadi pilihan hatinya. "Lu Sian, siapa membohongimu? Ketika aku
menghadapimu dahulu, aku tidak menggunakan ilmu lain kecuali ini!"
"Aku
tidak percaya! Coba kau sekarang jatuhkan aku dengan ilmu itu!"
"Baiklah.
Biar kugunakan ini sebagai pedang." Kwee Seng mengambil sebuah ranting
pohon yang berada di tempat itu. "Kau mulailah dan lihat baik-baik, aku
hanya akan menggunakan Pat-sian-kun!"
Lu Sian
mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, mainkan jurus
berbahaya dari ilmu pedang ciptaan ayahnya, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk menghadapi Pat-sian-kun (Ilmu Silat
Delapan Dewa).
Melihat
pedang nona itu berkelebat menusuk ke arah dadanya dengan kecepatan luar biasa,
Kwee Seng menggeser kakinya ke kiri lalu ranting di tangan kanannya melayang
dari samping menempel pedang dari atas dan menekan pedang lawan itu ke bawah
disertai tenaga sinkang. Pedang Lu Sian tertekan dan tertempel seakan-akan
berakar pada ranting itu! Betapa pun Lu Sian berusaha melepaskan pedang, sia-sia
belaka.
"Nah,
tangkisan ini dari jurus keempat yaitu Pat-sian-khat-bun (Delapan Dewa Buka
Pintu) dan dapat dilanjutkan dengan serangan jurus ke delapan Pat-sian-hian-hwa
(Delapan Dewa Serahkan Bunga). Pedang menyambar sesuka hati, boleh memilih
sasaran, akan tetapi untuk contoh aku hanya menyerang bahu."
Tiba-tiba
ranting yang tadinya menekan pedang itu lenyap tenaga tekannya dan selagi
pedang Lu Sian yang telepas dari tekanan ini meluncur ke atas, ranting cepat
melesat dan menyabet bahu kanan Lu Sian!
Lu Sian
meringis. Tidak sakit, akan tetapi membuatnya amat penasaran. "Coba hadapi
ini!" teriaknya dan pedangnya membuat lingkaran-lingkaran lebar. Dari
dalam lingkaran itu ujung pedang menyambar-nyambar laksana burung garuda
mencari mangsa, mengancam tubuh bagian atas dari lawan.
"Seranganmu
ini kuhadapi dengan jurus ke lima yang disebut Pat-sian-hut-san (Delapan Dewa
Kebut Kipas) untuk melindungi diri," kata Kwee Seng dan tiba-tiba ranting
di tangannya berputar cepat merupakan segunduk sinar bulat melindungi tubuh
atasnya. “Dan dilanjutkan dengan serangan jurus ke empat belas yang disebut
Delapan Dewa Menari Payung!" tiba-tiba gulungan sinar bulat itu berubah
lebar seperti payung dan tahu-tahu dari sebelah bawah, ranting telah meluncur
dan menyabet paha Lu Sian sehingga mengeluarkan suara keras. Kalau saja ranting
itu merupakan pedang, tentu putus paha gadis itu!
"Aduh...!"
Lu Sian menjerit karena pahanya yang disabet terasa pedas dan sakit. "Kwee
Seng, kau kurang ajar...!"
"Maaf,
bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah kau sekarang?"
"Tidak!
Kau akali aku! Aku minta kau ajarkan ilmu-ilmu silatmu yang terkenal, seperti
Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Menaklukan Lautan), atau Cap-jit-seng-kiam (Ilmu
Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu Pukulan Bian-sin-kun (Tangan Sakti
Kapas)!"
Kwee Seng
terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan ilmu-ilmu silat rahasia simpanannya
itu? Ia menjadi curiga. Kalau Pat-jiu Sin-ong mungkin tahu, akan tetapi nona
ini? Suaranya kereng berwibawa ketika ia menjawab. "Liu Lu Sian, harap kau
jangan minta yang bukan-bukan. Aku hanya hendak mengajarkan kau Pat-sian-kun,
dan kau harus menerima apa yang hendak kuberikan kepadamu."
"Kau
hendak melanggar janji??"
"Sama
sekali tidak. Aku berjanji kepada ayahmu hendak mengajarkan ilmu yang dapat
mengalahkan ilmu pedangmu itu, dan kurasa Pat-sian-kun yang dapat menjadi
Pat-sian Kiam-hoat dapat mengalahkan ilmu pedangmu Pat-mo Kiam-hoat!"
"Hoa-ha-ha-ha!
Kau menggunakan akal untuk menipu anak kecil, Kwee-hiante. Sungguh keterlaluan
sekali!"
Kwee Seng
kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat-jiu Sin-ong sudah berdiri di situ, tinggi
besar dan bertolak pinggang sambil tertawa. Cepat Kwee Seng memberi hormat
sambil berkata, "Ah, kiranya Beng-kauwcu telah berada di sini!"
Akan tetapi
di dalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang mengapa Lu Sian
mengenal semua ilmu simpanannya, tentu sebelumnya telah diberi tahu oleh orang
tua ini yang hendak mempergunakan puterinya untuk menjajaki kepandaiannya dan
kalau mungkin mempelajari ilmu simpanannya.
"Beng-kauwcu,
apa maksudmu dengan mengatakan bahwa aku menggunakan akal untuk menipu
puterimu?"
"Ha-ha-ha!
Kau bilang tadi bahwa Pat-sian-kun dapat menangkan Pat-mo Kiam-hoat! Tentu saja
kau dapat menangkan Lu Sian karena memang tingkat kepandaianmu agak lebih
tinggi dari pada tingkatnya." Dengan ucapan ‘agak lebih tinggi’ ini terang
orang tua itu memandang rendah kepada Kwee Seng, akan tetapi pemuda itu
mendengarkan dengan tenang dan sabar. "Andai kata aku yang mainkan Pat-mo
Kiam-hoat, apakah kau juga masih berani bilang dapat mengalahkannya dengan
Pat-sian-kun?"
"Orang
tua yang baik, mana aku yang muda berani main-main denganmu? Kita sama-sama
tahu bahwa ilmu silat sama sekali bukan merupakan syarat mutlak untuk
memenangkan pertandingan, melainkan tergantung dari pada kemahiran seseorang.
Betapa indah dan sulitnya sebuah ilmu, kalau si pemainnya kurang menguasai ilmu
itu dapat saja kalah oleh seorang ahli yang mainkan sebuah ilmu biasa saja
dengan mahir. Puterimu dahulu kuhadapi dengan Pat-sian-kun, hal ini kau sendiri
tahu. Aku berjanji hendak menurunkan ilmu yang kupakai mengalahkan dia, malam
ini kuturunkan Pat-sian-kun kepadanya, apalagi yang harus
diperbincangkan?"
"Orang
muda she Kwee! Dua kali kau menghina kami keluarga Liu!" si ketua
Beng-kauw membentak. Suaranya mengguntur sehingga bergema di seluruh puncak,
membikin kaget burung-burung yang tadinya mengaso di pohon. Dari jauh terdengar
auman binatang-binatang buas yang merasa kaget pula mendengar suara aneh ini.
"Pat-jiu
Sin-ong, aku tidak mengerti maksudmu," jawab Kwee Seng tetap tenang.
"Dengan
setulus hati aku menjatuhkan pilihanku kepadamu, aku akan girang sekali kalau
kau menjadi suami anakku. Akan tetapi kau pura-pura menolak ketika berada di
sana. Ini penghinaan pertama. Kemudian kau mengadakan perjalanan dengan puteriku,
kuberi kebebasan karena memang aku senang mempunyai mantu engkau. Dalam
perjalanan ini kau jatuh cinta kepada Lu Sian, sikapmu menjemukan seperti
seorang pemuda lemah. Ini masih kumaafkan karena memang kukehendaki kau
mencintainya dan menjadi suaminya. Akan tetapi Lu Sian melihat kelemahanmu dan
tidak mau membalas cintamu, melainkan mengharapkan ilmumu. Dan sekarang, kau
yang katanya mencintainya mati-matian, ternyata hanya hendak menipunya. Kalau
betul mencinta, mengapa tidak rela mewariskan ilmu simpananmu? Inilah
penghinaan ke dua!"
Panas hati
Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara diam-diam mengawasi
gerak-geriknya. Ia menjadi malu sekali mengingat akan kebodohan dan
kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang berlaku curang dan tak tahu
malu.
"Pat-jiu
Sin-ong! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati! Kau menganggap aku menipu,
aku menganggap kau dan puterimu yang hendak mendesakku dan bahkan kau hendak
menggunakan rasa hatiku yang murni terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu
tamakmu akan ilmu silat. Tidak, Beng-kauwcu aku tetap dengan pendirianku,
karena Pat-sian-kun yang mengalahkan Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu,
maka sekarang aku hanya dapat menurunkan Pat-sian-kun saja."
"Singgg!!!"
Tanpa diduga kilat menyambar.
Kiranya
kilat itu keluar dari pedang di tangan Pat-jiu Sin-ong yang telah dihunusnya
secara cepat sekali sehingga seperti main sulap saja, tahu-tahu di tangannya
sudah ada sebatang pedang yang kemilau. Inilah Beng-kong-kiam (Pedang Sinar
Terang) yang sudah puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh ke
barat, pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau
begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan Pat-sian-kiam!" teriaknya.
Terkejutlah
Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal
main-main, karena berarti merupakan pertempuran hidup mati yang makan waktu
panjang. Pat-jiu Sin-ong pernah bertanding selama dua hari dua malam melawan
Ban-pi Lo-cia dan berkesudahan seri, tiada yang kalah atau menang. Ini saja
sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek ini. Dan sekarang kakek ini
mengajak ia bertanding pedang!
Kwee Seng
tidak mempunyai pedang. Biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti
pedang, akan tetapi sulingnya tidak ada lagi! Namun Kwee Seng adalah seorang
pemuda gemblengan yang telah memiliki batin yang kuat sekali. Kalau baru-baru
ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini tidaklah aneh karena ia
masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia tidak akan kuat bertahan!
Dengan sikap
tenang Kwee Seng mengambil ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah, lalu
menghadapi kakek itu sambil berkata, "Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mempunyai
senjata lainnya selain ini. Kalau kau bertekad hendak memaksaku, silakan."
"Ha-ha-ha-ha,
Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu
menghadapi Pat-mo-kun! Lu Sian, mundur kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali
campur tangan!"
Lu Sian
meloncat mundur, menonton dari pinggir jurang.
Pat-jiu
Sin-ong memutar-mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa bergelak. Hebat
sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar di atas kepala itu berdesingan
mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk pedang, berubah
menjadi sinar bergulung-gulung yang terangnya melebihi sinar bulan.
"Kwee
Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat-mo-kun, sambutlah!" teriak Pat-jiu
Sin-ong, disusul dengan menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Seng.
Karena
Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja diciptakan untuk menghadapi Pat-sian Kiam-hoat,
maka tentu saja gerakannya ada persamaannya. Kwee Seng mengenal baik gaya
serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini kalau dimainkan oleh
Pat-jiu Sin-ong amatlah jauh bedanya dengan permainan Lu Sian. Jurus apa saja
kalau diperagakan oleh tangan kakek ketua Beng-kauw ini merupakan jurus maut
yang amat hebat dan berbahaya.
Sekali
pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Pat-sian-kun
jurus ke sebelas. Setiap jurus Pat-sian-kun yang sudah ia ringkas itu dapat
menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil mengerahkan tenaganya ia
menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar-mutar ranting itu seperti
gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya berhasil menangkis
pedang.
"Krakkk!"
ranting itu patah menjadi dua.
Pat-jiu
Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, kau
sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim-mo-eng! Apa kau kira dapat
mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja seperti yang kau lakukan
kepada Lu Sian?"
"Kau
tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat-jiu Sin-ong," jawab Kwee
Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam-diam ia senang juga. Ternyata ketua
Beng-kauw ini biar pun wataknya aneh dan kadang-kadang kejam ganas, namun masih
memiliki kegagahan seorang tokoh besar sehingga tadi menarik kembali pedangnya
ketika senjata lawannya yang tak berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu
Sian, kau pinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba membuktikan omongannya
bahwa Pat-sian-kun dapat mengalahkan Pat-mo-kun kita."
Lu Sian
mengeluarkan suara ketawa mengejek, mencabut pedangnya dan melontarkannya ke
arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini, karena pedang itu
bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke arah Kwee Seng. Ahli
silat biasa saja tentu akan ‘termakan’ oleh pedang terbang ini. Akan tetapi
dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang
itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha-ha-ha,
sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan mencari alasan lain.
Awas, sambut ini jurus ke tujuh Pat-mo-kun!" kata Pat-jiu Sin-ong sambil
menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri Kwee Seng dilanjutkan dengan
putaran pedang membalik ke atas menusuk mata kanan.
Diam-diam
Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng-kauw ini sengaja mengejek dan
memandang rendah kepadanya sehingga setiap menyerang menyebut urutan nomor
jurus Pat-mo-kun. Kalau ia tidak memperlihatkan kelihaiannya, kakek yang
sombong ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya. Maka ia cepat memutar
pedang pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak di pakai.
Tahu bahwa
pedang Toa-hong-kiam ini merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar
dan cepat ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan pengerahan tenaga sinkang-nya. Dua
kali serangan lawan dapat ia tangkis, dengan meminjam tenaga lawan kemudian
pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya
terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sinkang-nya, maka
dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah
tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya.
Pat-jiu
Sin-ong diam-diam kaget juga karena ia tidak mengira bahwa serangan pertamanya
itu seakan-akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga bukan
merupakan serangan lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi lawan untuk
balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat mematikan! Ketika Pat-jiu
Sin-ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil menggetarkan pedangnya
untuk membuka kesempatan serangan balasan, kembali pedang Kwee Seng yang
tertangkis itu terpental dan langsung membabat leher!
Kaget sekali
hati Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi serangan ini, sebab baginya mudah
saja menghindari diri dari pada babatan. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya
adalah menyaksikan perubahan jurus-jurus Ilmu Silat Pat-sian-kun ini. Ia
mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng adalah benar-benar Pat-sian-kun. Namun
dimainkan seperti ini sehingga menjadi ilmu silat yang lihai sekali,
benar-benar ia melihat bahwa kalau ia melanjutkan serangan-serangan dengan
Pat-mo-kun, ia selalu akan terserang oleh Kwee Seng karena setiap kali ia
menangkis dengan jurus Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis
itu terpental dan langsung menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!
Pat-jiu
Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali, seakan-akan
menggetarkan bumi yang berada di telapak kaki. Gemanya sampai panjang
susul-menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat mengerahkan sinkang-nya
karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi ini. Diam-diam ia makin
kagum. Kakek ini bukan main hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah
Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal
sekali dari ketua Beng-kauw.
Kalau saja
sinkang-nya tidak sudah amat kuat, tentu ia akan menjadi setengah lumpuh
mendengar seruan ini. Bahkan ia percaya, mereka yang tidak memiliki ilmu
tinggi, mendengar lengking ini jantungnya bisa tergetar dan tewas seketika! Ia
dapat melindungi jantung dan perasaannya dari pada pengaruh lengking tadi,
sedangkan permainan pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan
melanjutkan serangan-serangan yang terus ia dasarkan pada Ilmu Silat
Pat-sian-kun. Betapa pun juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali
berjanji hendak menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus menggunakan ini, biar
andai kata ia terancam bahaya maut sekali pun!
Setelah gema
suara lengking itu mereda, sambil menusukkan pedangnya ke arah pusar lawan dengan
jurus Pat-sian-lauw-goat (Delapan Dewa Mencari Bulan), Kwee Seng berkata,
"Orang tua, apakah begitu perlu Pat-mo-kun harus kau bantu dengan
Coan-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk mengalahkan Pat-sian-kun?"
Merah wajah
Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke arah pusar sambil
menjawab, "Pat-mo Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak tingkah dan
menjadi sombong!"
Akan tetapi,
ketika pedang Kwee Seng tertangkis, pedang itu kembali sudah terpental dan
membentuk jurus Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa Menunjuk Jalan) yang menusuk ke
arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan susulan serangannya secara
otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk membalas. Karena jelas bahwa
Pat-mo-kun selalu ‘tertindih’ oleh Pat-sian-kun, makin lama makin panaslah hati
Pat-jiu Sin-ong, yang membuat dadanya serasa akan meledak!
Pat-jiu
Sin-ong menggereng, dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali dalam
usahanya untuk mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun. Pedangnya
bergulung-gulung merupakan sinar terang, berubah-ubah bentuknya, kadang-kadang
merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaran-lingkaran. Hebat sekali
memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun Kwee
Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun, karena sesungguhnya Pat-mo-kun
diciptakan dengan dasar Pat-sian-kun dan Kwee Seng adalah seorang ahli
Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat menggerakkan pedangnya yang selalu
mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu menindih, sebagian besar
dia yang menyerang. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar
pedangnya lebih luas dan lebih lebar, seakan-akan ‘menggulung’ lingkaran sinar
Pat-jiu Sin-ong!
Dua jam
lebih mereka bertanding. Selama ini Pat-jiu Sin-ong selalu mainkan Pat-mo-kun
sedangkan di lain pihak Kwee Seng mainkan Pat-sian-kun. Biar pun Kwee Seng juga
tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan pedangnya, namun dalam pertandingan
selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun lebih unggul karena delapan puluh
persen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri
dengan sekali waktu membalas serangan yang tiada artinya.
Makin lama
Pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng melainkan panas
perutnya karena benar-benar Pat-mo Kiam-sut tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun.
Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh sekali, tidak mau ia dikalahkan. Ia
sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan ia akan merasa gembira sekali
kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri Kwee Seng yang ia kagumi ini. Akan
tetapi kalau ia harus kalah, nanti dulu! Watak ini pula agaknya yang menurun
kepada Lu Sian.
"Kwee
Seng! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun, itu pun belum cukup
menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada anakku! Apa artinya Pat-sian-kun
yang biar pun sedikit lebih unggul dari pada Pat-mo-kun? Jika Pat-sian-kun
dapat mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan
membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja, yaitu
Pat-sian-kun!"
Setelah
berkata demikian, kakek itu kini memutar pedangnya sedemikian hebatnya sehingga
gulungan sinarnya bergelombang datang hendak menelan Kwee Seng! Di samping
gelombang gulungan sinar pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar
ketika tangan kiri kakek itu ikut menerjang dengan dorongan-dorongan jarak jauh
yang mengandung angin pukulan kuat sekali!
"Hei...
hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran? Hati boleh panas, kepala harus
tetap dingin!" Kwee Seng sibuk sekali memutar pedangnya untuk melindungi
diri sambil mengucapkan kata-kata memperingatkan.
"Ha-ha-ha,
orang muda, kau mulai takut?"
Kata-kata
takut adalah pantangan bagi semua orang gagah, tak terkecuali Kwee Seng.
Mendengar ia disangka takut, hatinya panas sekali. "Siapa takut?!"
bentaknya dan pandangnya berkelebat-kelebat dalam usaha membalas serangan.
Namun,
Pat-sian Kiam-sut kurang lengkap kalau harus melayani gelombang serangan ilmu
pedang itu, apalagi masih dibantu dengan sambaran angin pukulan tangan kiri
yang demikian ampuhnya. Kwee Seng masih terus mempertahankan dengan permainan
Pat-sian Kiam-hoat. Biar pun ia mampu membendung gelombang serangan, namun ia
terdesak dan harus mundur-mundur ke arah jurang hitam!
"Ha-ha-ha,
Kim-mo-eng! Begini sajakah kepandaianmu? Apakah kau hanya mengandalkan
Pat-sian-kun untuk menjagoi dan mengangkat nama sebagai seorang pendekar sakti?
Ha-ha-ha, sungguh lucu!" Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak.
Kwee Seng
biar pun sudah menerima gemblengan semenjak kecil, namun ia tetap masih seorang
pemuda yang kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sin-ong, tentu saja kalah
pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek itu
memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat pilihan untuk mendesaknya dan
sengaja pula memanaskan hatinya agar ia suka menggunakan ilmu simpanannya.
Kakek yang haus akan ilmu silat itu menggunakan semua ini untuk memancing
keluar ilmu-ilmu simpanannya!
Kwee Seng
tidak menduga akan hal ini, maka mendengar ejekan itu ia lalu berseru keras dan
tiba-tiba muncul angin yang mengeluarkan suara bersiutan menyambar dari tangan
kirinya yang sudah mengeluarkan kipasnya! Kini ia merasa dirinya lengkap!
Tangan kanan memegang pedang mainkan Pat-sian Kiam-hoat sedangkan tangan kiri
memegang kipas mainkan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat! Bukan main hebatnya.
Namun
pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat namanya sehingga
ia dijuluki Kim-mo-eng hanya dapat membendung gelombang penyerangan Pat-jiu Sin-ong
saja, tanpa dapat banyak membalas. Karena ia tidak ingin terdesak terus ke
pinggir jurang yang hanya tinggal tiga meter di belakangnya, terpaksa Kwee Seng
merobah gerakan pedangnya. Kini pedangnya mulai mainkan Ilmu pedang
Cap-jit-seng-kiam yang jarang ia keluarkan karena ilmu pedang ini merupakan
ilmu pedang rahasia yang menjadi inti sari dari pada ilmu pedang simpanannya.
Melihat
pemuda itu mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam-diam hati Pat-jiu Sin-ong
menjadi girang sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan pemuda ini bukan merupakan hal
mudah, dan memang tiada maksudnya untuk dapat mengalahkannya cepat-cepat
sebelum menguras dan mempelajari ilmu-ilmu pemuda ini yang benar-benar
merupakan ilmu pilihan.
Hebat
pertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus mengakui bahwa selama hidupnya,
baru kali ini ia menemui tanding yang luar biasa kuatnya. Bahkan harus ia akui
bahwa kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, ketua Beng-kauw ini lebih kuat
sedikit. Biar pun ia telah mengerahkan kepandaian dan tenaganya, tetap saja ia
tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi ketika tiba-tiba ia teringat akan watak
gila kakek ini yang ingin mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee
Seng yang sadar bahwa ia sedang dipancing, cepat-cepat mengacaukan gerakan Cap-jit-seng-kiam
itu dengan ilmu silat lainnya.
Melihat
perubahan ini, hati Pat-jiu Sin-ong yang tadinya kegirangan menjadi kecewa.
Timbullah kemarahannya sehingga ia memperhebat permainannya untuk mendesak dan
menekan Kwee Seng agar pemuda itu terpaksa mengandalkan Cap-jit-seng-kiam lagi.
Sekarang waktu sudah berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai membayang.
Pada saat
Kwee Seng terdesak hebat, tiba-tiba pemuda ini berseru keras dan
terhuyung-huyung ke belakang. Tadi ketika ia sedang sibuk mempertahankan diri
menghadapi gelombang serangan, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi mendesir
dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia yang amat
halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan kipasnya dan berhasil menyampok
banyak sekali jarum-jarum halus, akan tetapi sebatang jarum masih berhasil
memasuki pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali.
Pundaknya
seketika menjadi kaku dan setengah lumpuh, juga timbul rasa gatal yang
membuktikan bahwa jarum itu mengandung racun jahat. Kwee Seng terhuyung ke
belakang dan terpaksa melepaskan pedang di tangan kanannya yang sudah menjadi
lumpuh. Pada saat itu kembali ia dihujani jarum yang lebih banyak lagi. Dalam
keadaan terhuyung ini, Kwee Seng yang maklum bahwa jarum-jarum itu amat
berbahaya, menyampok dengan kipasnya sambil melompat mundur, akan tetapi ia
lupa bahwa ketika ia terhuyung-huyung ke belakang tadi ia telah mendekati
jurang sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat ke belakang sambil
menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri dari pada penyerangan
jarum-jarum rahasia, namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke dalam
jurang dan melayang-layang ke bawah tanpa dapat ditahannya! Terdengar jerit
mengerikan dari belakang semak-semak dan muncullah Lai Kui Lan yang lari ke
tepi jurang sambil menangis.
"Pengecut
keparat!" bentak Pat-jiu Sin-ong sambil lari dan menghantamkan pedangnya
ke arah bayangan hitam yang tadi menyerang dengan jarum-jarum rahasianya ke
arah Kwee Seng.
"Lo-cianpwe,
saya membantumu..." Bayangan itu yang bukan lain adalah Bayisan si Orang
Khitan, mengelak sambil memprotes.
Akan tetapi
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak mempedulikan protes ini. "Siapa butuh
bantuanmu? Kau pengecut curang patut mampus!"
Pedangnya
menyambar lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu kembali
dapat mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan! Ini tandanya bahwa orang
muda ini bukanlah orang sembarangan.
"Siapa
kau?" bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu menarik
perhatiannya, membuatnya ingin tahu siapa gerangan pemuda yang dapat mengelak
sampai dua kali ini.
"Saya
bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng...."
"Keparat
orang Khitan! Kau telah bersikap pengecut!"
Kembali
Pat-jiu Sin-ong menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan gelagapan dan maklum
bahwa ia tidak boleh main-main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat ke
belakang dan melarikan diri dalam gelap. Pat-jiu Sin-ong mengejar sambil
memaki-maki.
Sementara
itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng terjerumus ke dalam
jurang hitam yang hanya dapat berarti maut, merasa heran melihat seorang gadis
pakaian putih lari ke tepi jurang sambil menangis. Ketika ia mendekat, ia
tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita pakaian putih yang ia hadapi di atas
genteng gedung dalam benteng Jenderal Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak
seperguruan) Kam Si Ek!
Pada saat
itu, Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya. Dengan pipi basah oleh air mata, ia
mendamprat Lu Sian. “Gara-gara kau, dia celaka!”
Lu Sian yang
ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang di kaguminya,
menjawab halus, "Cici yang baik, kalau memang sejak tadi kau mengintai,
tentu kau maklum bahwa bukan aku mau pun ayahku yang membuat Kwee Seng
terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang mengaku bernama Bayisan dan
yang sekarang dikejar-kejar ayah. Akan tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal
Kwee Seng dan mengapa pula kau menangisinya?"
Tiba-tiba
wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur, maka dengan
menabahkan hati ia berkata, "Kwee-taihiap telah menolongku dari si laknat
Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan kehormatan kepada
Kwee-taihiap! Biar pun kau telah menyia-nyiakan cinta kasihnya, berlaku kejam
kepadanya, namun aku... aku... ah...." Ia menangis lagi.
"Cici!
Kau cinta padanya?" Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa kasihan
juga pada gadis ini.
"Ya!
Aku cinta padanya! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain!
Sekarang ia telah tewas.... Ah, apa lagi yang kuharapkan di dunia ini? Aku... aku
akan berdoa selamanya untuk arwahnya...." Sambil terisak Kui Lan lalu
membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
Lu Sian
menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula akan kesudahan pertandingan
antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih Kwee Seng karena
hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan kejantanan Kam Si Ek, akan
tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak menghendaki pendekar itu
mati secara begitu menyedihkan.
Ayahnya
muncul setelah malam mulai berganti fajar. Lu Sian cepat menyongsong ayahnya
dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap dan membunuh Bayisan yang
mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah ayahnya muram dan terdengar ayahnya
berkata marah. "Iblis jahanam Bayisan itu! Kepandaiannya boleh juga, ilmu
lari cepatnya hebat dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang dari
kejaranku. Lu Sian, kau seorang gadis yang goblok sekali!"
Lu Sian
membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar teguran ayahnya. Akan tetapi,
kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani banyak bicara, maklum bahwa
kalau ayahnya marah sukar untuk dikendalikan.
"Kau
menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut. Apakah kau hendak
memilih batu kali? Di mana di dunia ini ada calon suami yang lebih baik dan
gagah dari pada Kwee Seng? Siapa pun juga yang kau pilih, aku tentu tidak akan
merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."
"Ayah,
dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee
Seng, betapa pun gagah dan pandainya dia!"
"Huh!
Kau keras kepala dan sombong! Tidak akan ada Kwee Seng kedua di dunia
ini."
"Tidak
ada Kwee Seng kedua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi dia!"
"Tak
mungkin! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar-benar membikin hatiku
penuh kekecewaan dan penyesalan."
"Ayah,
kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau
tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau dapat menambah ilmu-ilmu yang kau
kumpulkan!"
Karena
rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu Sin-ong menjdi marah.
"Kau anak kecil tahu apa? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu, namun aku
masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan Kwee Seng, berarti
sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama, kau mendapat jodoh pemuda
paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi suamimu, berarti ia menjadi
keluarga kita dan ilmu-ilmunya juga menjadi ilmu keluarga kita yang akan
membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo pulang!"
"Tidak,
Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana," bantah Lu Sian yang
sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya.
Pat-jiu
Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk memusingkan
urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana seorang diri dan ia
pun tidak khawatir karena puterinya memiliki kepandaian yang lebih dari pada
cukup untuk menjaga diri.
"Sesukamulah,
anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau tidak pulang membawa
jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar
sampai lima tahun tak boleh keluar. Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang
menyebalkan, akan kubunuh laki-laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang
anggota Beng-kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku
itu!" Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya
berkelebat lenyap dari situ.
Sejenak Liu
Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya terhadap dirinya, namun
ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu akan dipegang teguh. Bagaimana
kalau kelak ayahnya tidak menyetujui pilihannya? Ah, bagaimana nanti sajalah,
demikian ia menghibur hati. Lalu ia memungut pedangnya yang tadi dilepaskan
oleh Kwee Seng. Sejenak ia berdiri di tepi jurang melongok ke bawah, bergidik
melihat jurang yang hitam tak berdasar dan mendengar suara berkericiknya air
jatuh di bawah, lalu ia menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan
puncak itu.
Ketika
tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan napas, Kwee Seng
maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri tak mungkin dapat menolong.
Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui berapa dalamnya, yang gelap pekat tak
tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh karena itu ia tidak berani menggerakkan
tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Suatu sikap
yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandai-pandainya manusia,
sekali-kali ia akan mengalami hal yang membuat ia sama sekali tidak mampu
berdaya. Ketika ikhtiar dan usaha sudah tiada gunanya lagi, memang jalan
terbaik adalah menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa keraguan lagi,
sebulat-bulatnya.
Tepatlah
kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini, kesudahannya berada
dalam kekuasaan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biar pun si
orang bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan tetap akan datang menjemput.
Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup, biar pun seribu
bahaya datang mengurung, pasti ada jalan orang itu akan tertolong.
Kwee Seng
sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening dan semangatnya
serasa melayang-layang. Betapa pun tabahnya, namun malapetaka yang dihadapinya
ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan apa yang akan menyambut tubuhnya yang
pasti akan terbanting hancur luluh pada dasar jurang. Terlalu lama rasanya ia
menanti, terlalu lama rasanya maut mempermainkan dirinya, tidak segera datang
menjangkau. Ya Tuhan, bisiknya, mengapa sebelum mati hamba-Mu ini harus
mengalami siksaan begini mengerikan? Tiba-tiba.....
"Byuuurr!!"
tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin.
Sebagai
seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh Kwee Seng
segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi tamparan air. Namun tetap
saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti pecah-pecah, nyeri, perih dan
panas rasanya. Untung baginya air itu cukup dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam,
ia cepat menendang ke bawah dan tubuhnya muncul lagi ke permukaan air.
Masih gelap
pekat di situ, dan tiba-tiba Kwee Seng merasa seram dan terkejut karena
tubuhnya terseret arus air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan
dirinya kepada Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat
baik, pikirnya. Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan
tenggelam. Arus air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar-putar sampai
kepalanya menjadi pening. Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran,
hal ini berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air yang kuat. Benar dugaannya,
makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba-tiba tubuhnya disedot ke dalam
air tanpa dapat ia pertahankan lagi!
Kwee Seng
sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia berada di bawah air
ia menggerakkan kaki tangannya kuat-kuat sehingga ia berhasil bebas dari
pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini tubuhnya hanyut oleh arus
dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul kembali di permukaan air, hatinya
girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh air sungai yang sempit dan kuat
arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap lagi sehingga ia dapat melihat.
Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin ada lima ratus meter tingginya, tebing
batu gunung yang hijau berkilau dan licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu
ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus yang kuat itu pasti akan
menghantamkannya pada batu-batu.
Karena tidak
ada tempat untuk mendarat, diapit-apit tebing tinggi, terpaksa Kwee Seng
membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan tiba-tiba ia
mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya ngeri.
Betapa tidak
akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu tertumbuk pada
tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki terowongan di dalam
tebing! Bagaimana akalnya? Untuk mendarat tidak mungkin, kanan kiri tebing
tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama, menahan arus air tak mungkin!
“Celaka,”
pikirnya. “Kali ini aku akan dibanting hancur oleh arus air kepada tebing di
depan!”
Akan tetapi
ia tidak mau menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar.
Ia cepat mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam
sedalam mungkin. Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkeraman maut. Arus
air pecah-pecah bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah
dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis
tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam perut gunung
ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi nyawanya.
Kwee Seng
terseret arus yang amat cepat. Ia hanya menahan napas dan meramkan mata,
sedapat mungkin mengerahkan sinkang di tubuhnya karena tubuhnya mulai
terbentur-bentur batu. Kalau ia bukan seorang gemblengan, tentu sudah remuk
tulang-tulangnya. Akan tetapi siksaan alam ini terlalu hebat dan ia sudah
hampir pingsan ketika tiba-tiba ia melihat cahaya terang di atas. Cepat ia
menggerakkan kedua kakinya yang terasa sakit-sakit itu dan tubuhnya mumbul ke
atas.
Ia masih
berada dalam terowongan yang amat besar, merupakan goa panjang yang amat
menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar dan
makin dangkal. Di atas bergantungan batu-batu yang meruncing seperti tombak
besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari yang entah
menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya tubuhnya yang lemas itu
tersangkut pada batu.
Kwee Seng
mengeluh. Kepalanya puyeng, tubuhnya sakit-sakit semua, lemas, dan tangan
kanannya kaku, lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap di dalam pundak
kanannya. Rambutnya awut-awutan menutupi muka, pakaiannya yang basah kuyup itu
tidak karuan macamnya, robek di sana-sini. Ia mengerahkan tenaganya untuk
bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal sepaha dalamnya.
Ketika ia
merangkak minggir, air makin dangkal akan tetapi beberapa kali ia terjatuh dan
kakinya tersangkut batu. Air yang amat jernih, akan tetapi pandang mata Kwee
Seng amat gelap, pikirannya amat keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ
berdiri seorang wanita tua, seorang nenek-nenek yang memandang ke arahnya penuh
perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput,
pakaiannya bersih, akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih
bersinar-sinar.
"Sungguh
aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini dalam keadaan masih
hidup!" Nenek itu berkata penuh keheranan, akan tetapi ia segera
melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia melihat Kwee Seng
mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak bergerak lagi karena
sudah pingsan.
Amatlah
mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek tua renta yang kurus itu
setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat tubuh Kwee Seng
bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu mudah dan ringan. Nenek itu
lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di bawah tanah yang tak jauh
dari sungai itu, melalui terowongan yang berliku-liku. Dengan hati-hati nenek
itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas pembaringan batu, kemudian sekali lagi
memeriksa tubuhnya. Ia mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak
kanan Kwee Seng berwarna hitam.
"Aihhh,
kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya.
Cepat-cepat
ia mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan lemari batu, kemudian ia
menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng, mengeluarkan jarum
hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali pijatan di sekitar pundak ia
mengeluarkan darah hitam dan menempelkan sebuah batu yang warnanya putih dan
ringan sekali, besarnya sekepalan tangan.
Aneh bukan
main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan berat,
dan kiranya darah yang berada di sekitar luka telah disedot oleh batu itu!
Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di atas api, nenek itu kembali
menggunakan batu mukjijat untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal ini
dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah merah, barulah ia berhenti,
menggunakan obat bubuk yang dituangkan ke dalam luka dan membalut luka itu
dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah sebuah ikat pinggang.
Tekanan
batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya memang hebat
sehingga ia seakan-akan keluar kembali dari lubang kubur, terlepas dari
cengkeraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh pingsan itu, selama
tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak tahu betapa
luka-lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek tua, tidak tahu betapa
setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang malam, bahkan tidur sambil
duduk bersila di dekat pembaringan batu.
Pada hari
keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya
sakit-sakit dan lemah. Ketika membuka matanya, ia melihat langit-langit batu
yang kasar. Pandang matanya terus menjalari dinding batu itu yang penuh dengan
tulisan, lebih tepat ukiran karena dinding itu penuh tulisan huruf yang agaknya
diukir. Huruf-hurufnya halus dan indah, jelas membayangkan tulisan tangan
wanita, dan sekilas pandang tahulah ia bahwa tulisan-tulisan itu merupakan
syair-syair yang amat indah pula walau pun mengandung peluapan hati berduka.
Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di dalam
sebuah ‘kamar’ batu seperti goa, teringatlah Kwee Seng. Cepat ia bangkit duduk.
Pada saat itu ia melihat seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat
pembaringan batu.
"Tubuhmu
masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku
akan masak ikan dan sayur untukmu." Suara itu halus sekali, teratur dan
sopan-santun......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment