Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 04
Kwee Seng
terbelalak kaget. Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan
tetapi, di samping ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi,
seorang yang tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan
sikap orang-orang kang-ouw. Pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam
istana raja-raja!
Ketika
merasa pundaknya sakit dan saat diliriknya ia melihat pundaknya sudah dibalut,
dan tidak ada rasa kaku mau pun gatal tanda bahwa pengaruh racun sudah lenyap,
tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan penolongnya. Cepat ia turun dari
pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia terjungkal saking lemahnya tubuh,
kemudian ia terpaksa berlutut karena nenek itu tetap duduk bersila.
"Lo-cianpwe
(Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada saya orang muda
yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan ini."
Nenek itu
tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi mulutnya, gerakan khas
wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara terbuka di depan siapa pun
juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang halus dengan gaya bahasa yang biasa
dipergunakan oleh para bangsawan, "Saling tolong tidak mengenal tua dan
muda, dan aku pun tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan
membutuhkan pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, makhluk berjiwa apa pun
juga yang terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi.
Akan tetapi engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah setan
yang mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"
"Maaf,
Lo-cianpwe, saya kira bukan setan yang Lo-cianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang
telah melindungi saya...."
"Sudah
terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak
hati ini memohon, terlalu sering mulut ini menyebut, akan tetapi buktinya....
Ah, kalau toh ada, Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada diriku...."
Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini.
Kwee Seng
dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup yang amat
luar biasa sehingga hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh penyesalan
mengapa hidupnya selalu menderita seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya.
Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti dan malah menjadi
penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walau pun ia merasa penasaran dan
terheran-heran, mengapa seorang nenek tua yang sudah memiliki ilmu kepandaian
tinggi begitu dangkal pandangannya tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.
"Bolehkah
saya mengetahui nama Lo-cianpwe yang mulia?" akhirnya ia bertanya.
"Ah,
aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada di
sini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama untukku. Siapa saja
terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara
tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan. "Ah,
sampai lupa aku. Kau tentu lapar. Untung pada musim seperti ini, daun kelabang
di bawah Goa Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang merupakan
sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan
dimasak dengan ikan ekor putih, bukan main lezatnya." Setelah berkata
demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee Seng
memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu yang duduk
bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat
mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentu saja amat janggal.
Seorang nenek berbau harum? Apakah memakai minyak bunga? Dan mata nenek itu.
Bukan main!
Diam-diam
meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu
manusia. Ah, masih hidupkah dia? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah
keadaan neraka di mana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang iblis
betina? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka
Bumi! Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya
begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya
begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada cacat, bagian hitamnya
berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini! Ah, tak mungkin!
Tiba-tiba nenek
itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema di seluruh
ruangan, "Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau kau suka
kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab tua yang sukar sekali
dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara ini
menyadarkan Kwee Seng dari pada lamunannya. Mengapa ia harus merasa ngeri?
Manusia mau pun setan, nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya.
Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai, merawat lukanya sampai sembuh, dan
kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya. Kitab-kitab kuno? Lebih baik
melihat-lihat dari pada duduk menanti orang memasak, karena teringat akan
masakan, perutnya yang perih akan makin terasa.
Ia bangkit
berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa
betapa lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek
itu berniat baik, kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan
seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan
terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan
terowongan mencari kamar kitab-kitab itu.
Ketika
memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding
kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri banyak sekali kitab yang
berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat tidak kurang
dari seratus buah kitab yang tebal!
Sebelum
menjadi ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan),
apalagi kitab-kitab kuno yang mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat
kitab kuno berderet-deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging
segar. Lupa ia akan semua kelemahan tubuhnya. Setengah meloncat ia mendekati
rak buku batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa
judul-judul buku.
Ternyata
kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula merupakan
kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi syair-syair para
pujangga kuno. Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia
dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau mengambil
sebuah di antaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab
untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu kitab
Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak dan gerakan
bintang-bintang.
Yang
mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang semedhi itu. Alangkah girang
hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan
kitab rahasia yang amat berharga, di mana dijelaskan tentang pelbagai ilmu
semedhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan semedhi, mengenai
peredaran jalan darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri
bersemedhi untuk melatih lweekang dan memperkuat sinkang-nya, akan tetapi
pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak berarti kalau
dibandingkan dengan isi kitab ini.
Bagaikan
seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee
Seng membawa kitab Semedhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan
kembali ke ruangan tadi. Betapa pun juga, ia harus minta ijin dulu dari si
pemilik kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan
sembarang orang! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu
adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi! Heran ia memikirkan, siapa
gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia kelak yang
memilihkan nama untuknya!
Ia sedang
tekun membalik-balik lembaran kitab Semedhi ketika nenek itu muncul membawa
mangkok-mangkok batu dengan masakan yang masih mengebul dan menyiarkan bau yang
sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil
berkata, "Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu
Lo-cianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia
mengambil dua buah kitab ini. Apabila Lo-cianpwe memperkenankan, saya mohon
pinjam dua ini untuk saya baca."
Nenek itu
tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu,
lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu, "Hemm,
bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita
berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai,
mengapa harus memakai banyak tata cara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari
kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu? Hemm, kitab tentang Semedhi dan kitab
Perbintangan? Ah, justru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan
(tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang
sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab
itu."
Bukan main
girangnya hati Kwee Seng. "Lo-cianpwe amat mulia, terima kasih atas
pemberian...."
"Siapa
memberi? Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir! Mari kita
makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara nanti saja."
Untuk
menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap
lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang
gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu
menjijikkan, namun terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan
dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan
badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis
makan Kwee Seng hendak membantu si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi
cepat-cepat si Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok adalah pekerjaan
wanita. Kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku
harus bersusah payah membuat lagi." Nenek itu lalu pergi lagi.
Ketika Kwee
Seng mengikutinya, ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang
lengkap juga. Ada air mancur yang jernih, dan di satu sudut tumbuh bermacam
sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Di
situ tidak kekurangan kayu bakar, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting
yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana
terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan
tingginya.
Jalan lain
untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali! Mereka telah terkurung
hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar
masuk neraka ini! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya
harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi. Mendapat
kenyataan ini, Kwee Seng langsung lesu dan berduka. Akan tetapi kalau ia
teringat akan derita hidup karena putus cinta, dan kasihnya ditolak oleh Liu Lu
Sian, ia justru tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat itu
biar pun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat
tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ
terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti, penuh perhatian seperti
seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno
tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biar pun ia baca setiap hari
sampai selama ia hidup. Mau apa lagi?
Namun
ternyata kitab Semedhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin
menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba
bersemedhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee Seng mendapat kenyataan
bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, bhkan ia merasa
betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat,
pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu. Makin tekunlah ia
mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan.
Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan
bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi
tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang)!
Nenek itu
jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat
memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah
ditambal oleh si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa
gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya mau pun riwayatnya.
Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan
menjawab dengan suara kesal. "Sudahlah, kau sebut saja aku nenek, habis
perkara. Aku tidak suka kau sebut-sebut lo-cianpwe segala. Orang macam aku ini
ada kepandaian apa sih?"
Kadang-kadang
Kwee Seng tertegun menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambek dan marah,
kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk
menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan panggilan lo-cianpwe dan
memanggilnya Nenek. Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya
mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali
nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat
bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam
ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi karena
memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang
begini aneh.
Dengan
mendapat hiburan kitab semedhi itu, waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng.
Saking tekunnya ia melatih diri dalam semedhi dan memperdalam ilmu silatnya
dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung di dalam Neraka
Bumi itu selama hampir seribu hari! Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee
Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya.
Tenaga
sinkang-nya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa
pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik! Dengan
latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah
ranting untuk ‘mendaki’ naik sepanjang dinding tebing yang licin dan keras
dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap
seperti seekor kelabang!
Hubungannya
dengan nenek itu makin akrab dan selama itu si Nenek memperlihatkan sikap yang
penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek
sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri! Tidaklah mengherankan ketika pada
suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek
itu menangis tersedu-sedu!
"Kalau
kau pergi... aku... aku mati saja...," si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek,
mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa
mendapatkan jalan ke luar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini
dan...."
"Tidak...!
Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai? Aku mau mati di
sini!"
Kwee Seng
terharu. Ia melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu. "Harap kau
jangan berpendirian begitu, Nek...!"
"Jangan
sentuh aku!" tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng
merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat.
Ia merasa
heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu saja,
akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka.
Tenaga murni dari sinkang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga
sinkang-nya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.
"Nenek
yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu bertumpuk-tumpuk,
sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu. Oleh karena itu,
perkenankanlah aku mencari jalan ke luar dan membawamu di dunia ramai, dan aku
bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri, dan aku akan
berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu untuk membalas budi...."
"Cukup!
Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan sikap
marah.
Kwee Seng
duduk terlongong, terheran-heran. Akan tetapi sikap nenek itu tentu saja tidak
memadamkan niatnya untuk mencari jalan ke luar. Betapa pun besar ia berhutang
budi, masa ia yang masih muda mengubur diri sampai mati di tempat itu?
Tiba-tiba
terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan menjadi gelap.
Cepat-cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari minyak yang dikumpulkan dari ikan
sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang. Nenek itu datang berjalan
perlahan.
"Suara
apakah itu, Nek?"
"Hujan!
Agaknya akan datang musim hujan besar. Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih
tidak ada cahaya matahari, amat gelap di sini dan Arus Maut mengalir deras
mengamuk, membabi buta."
"Wah,
celaka! Tentu di sini terendam air, Nek?"
"Jangan
khawatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan. Tak
pernah banjir di sini, akan tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum banjir
besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumpulkan ikan untuk bahan makan,
juga mengumpulkan sayur."
Tiga hari
mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan mengumpulkan kayu bakar,
sayur-sayur. Kemudian tibalah musim gelap dan hujan yang dikhawatirkan. Air
yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi liar dan besar, batu-batu
diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu, bergema menakutkan. Lubang
di atas melalui tebing-tebing tinggi itu tidak dijenguk matahari lagi. Gelap
pekat, hanya diterangi lampu minyak yang hanya kadang-kadang kalau perlu saja
dinyalakan. Untuk menghemat minyaknya lampu itu harus seringkali dipadamkan,
apalagi di waktu mereka tidur. Si Nenek tidak marah-marah lagi. Dalam keadaan
terancam itu mereka seringkali duduk bercakap-cakap.
Pada hari ke
empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan, nenek itu bertanya
dengan suara halus menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng, apakah masih ada
niat hatimu untuk keluar dari sini?"
Kwee Seng
terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat khawatir ditinggalkan.
"Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus mengubur di sini
terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar harapanku untuk
mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula keluar
bersamaku."
Hening
sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau lebih tepat
melihat matanya. Wajah nenek yang keriputan itu tidak pernah membayangkan isi
hatinya, akan tetapi matanya dapat membayangkan. Namun di dalam gelap itu ia
hanya menanti, tanpa dapat melihat apa-apa.
"Kwee
Seng...," kata-kata si Nenek tertahan lagi.
"Ya,
Nek? Ada apa?"
"Kau
bilang hendak merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang
macam apa kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di
tempat ini. Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."
Kwee Seng
tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita. Bukankah nenek itu
pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula menceritakan tentang dirinya?
Pertanyaan nenek itu merupakan harapan. Agaknya si Nenek hendak
menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar ke dunia ramai!
"Aku seorang
yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku hidup
mengabdi kepada orang-orang, menjadi buruh tani, menggembala kerbau. Di dunia
ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang mahasiswa gagal, kepalang
tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta huruf pun tidak. Aku lebih
senang ilmu silat, itu pun serba tanggung-tanggung."
"Ilmu
silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu," bantah si Nenek.
"Ah,
agaknya aku mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau pinjamkan,
Nek."
Kemudian
Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya, karena makin banyak ia bicara,
makin terlepas lidahnya. Ia menganggap seakan-akan ia berhadapan dengan
neneknya atau ibunya sendiri. Segala dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia
tumpahkan karena justru selama ini ia membutuhkan seorang yang dapat ia
ceritakan untuk menumpahkan semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang
Ang-siauw-hwa, kembangnya pelacur di See-ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia
bercerita pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan
pertempurannya melawan Pat-jiu Sin-ong yang mengakibatkan ia terjungkal ke
dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.
"Nah,
begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng mendongkol
dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya sampai lelah,
akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas!
Akan tetapi
ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara yang serak seperti
orang menangis.
"Nek,
mengapa kau menangis?"
"Aku...
aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas kau
cinta? Agaknya... agaknya lebih patut kau mencinta Ang-siauw-hwa."
"Hemm,
memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami kebahagiaan yang
takkan terlupa olehku selamanya bersama Ang-siauw-hwa, walau pun hanya satu
malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia muda..."
"Kurasa
lebih baik begitu. Dia sudah menjadi pelacur, apakah baiknya? Hina sekali itu!
Lebih baik mati! Akan tetapi, apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia
tidak mati?"
"Hemm,
kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat! Dan wataknya... ah, jauh
lebih menyenangkan dari pada Liu Lu Sian...."
Hening pula
sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu terisak-isak menangis.
Ia mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu masih terharu mendengar riwayat
hidupnya yang memang tidak menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini
sudah amat mencintainya, seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga
mendengar semua penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka! Akan tetapi
setelah lewat satu jam nenek itu masih saja terisak-isak, Kwee Seng menjadi
khawatir juga.
"Nek,
apa kau menangis? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan hati, Nek."
Akan tetapi
nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir. Jangan-jangan nenek
yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena kesedihannya. Ia mencetuskan batu
api dan membakar daun kering, menyalakan pelita. Akan tetapi begitu lampu
menyala, menyambarlah angin yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam.
Kiranya si Nenek meniupnya dari jauh, memadamkan api.
Kwee Seng
mengangkat pundak. "Nek, kau mengkhawatirkan hatiku karena menangis sejak
tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"
Tidak ada
jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya
terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud
untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa menit kemudian terdengar
suara si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.
"Kwee
Seng..."
"Ya,
Nek. Ada apa?"
"Kalau
kau keluar dari sini...," kata-kata itu terhenti seakan sukar dilanjutkan.
"Ya....?"
Kwee Seng mendesak.
"Aku
tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan...."
"Ya...?
Permintaan apa, Nek? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua
permintaanmu."
"Kwee
Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk
membalas budi dengan merawatku selamanya?"
"Betul,
Nek, betul. Karena itu kau harus ikut...."
"Tak
perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup.
Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit...."
"Apa,
Nek? Katakanlah."
Hening
kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan
keanehan nenek itu.
"Ya,
Nek? Bagaimana kehendakmu?"
"Kwee
Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari
lagi."
"Ya,
betul agaknya. Lalu?"
"Selama
itu kau tidak boleh mencoba ke luar...."
Kwee Seng
tertawa. Hanya inikah permintaannya? Gila benar. Mengapa bersusah-susah
mengucapkannya? "Ha-ha-ha! Tentu saja, Nek. Tidak usah kau meminta pun,
bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?"
"Selama
gelap dan hujan kau tinggal di sini dan...."
"Ya...??"
Kwee Seng mulai tidak sabar.
"....dan...
kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa??!"
Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah. Saking
kagetnya, begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu. Ia terhenyak di
atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak dapat mengeluarkan
suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya
hanya, "apa...?? ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya kepada
telinganya sendiri.
Suara nenek
itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu. "Hanya itu
permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar
dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng
meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya. "Apa?? Gila
ini! Tak mungkin!!"
Sunyi
sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga
suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi
mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras. Kemudian, di antara
tangisnya terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, "Ah, aku tahu...
kau tentu menolak...."
Kwee Seng
terduduk di atas pembaringan batu. Ada sejam lebih tak bergerak-gerak,
seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu
seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu sudah menjadi
gila? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh
tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana ia sudi melayani kehendak
nenek yang gila-gilaan ini? Menjemukan sekali! Sialan! Kwee Seng mengumpat diri
sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir mati! Mana
mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa? Teringat ia akan
Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis puteri
Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu.
Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal
ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci, sudah dibuktikan dengan
perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama
seribu hari! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja! Padahal
nenek itu pun hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari
lamanya!
Ah, dapat ia
membayangkannya, betapa sakit hati nenek itu. Ia menjadi seorang yang tak kenal
budi! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin
ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih dari pada itu. Mungkin nenek itu,
ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk
dibawa mati! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian pengakuannya
beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini
tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai! Sebagai wanita yang selamanya tak
pernah menjadi isteri orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan
manis dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya!
Ah, betapa
bodohnya! Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini? Hanya bermain sandiwara,
menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara manis dan menghibur dengan kata-kata
penuh sayang. Kiranya cukup bagi si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih
dari pada itu.
Berjam-jam
Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya sendiri, sedangkan
suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar olehnya, makin lama makin menusuk
jantung. Teringat ia akan pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup,
baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas
cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya.
Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata
indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang,
mata yang....!
Kwee Seng
tersentak kaget. Mata itu! Mata nenek itu! Itulah mata Ang-siauw-hwa! Tak salah
lagi. Mata Ang-siauw-hwa si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama
lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa! Pantas ia
merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila si Nenek memandangnya.
"Ahhh...!"
terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya.
Akan tetapi
Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata
wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun
seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan
hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa artinya usia? Apa artinya
keburukan rupa?
Nenek itu
masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu
tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali nenek itu tidur di
sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh dalam ‘rumah
tinggal’ itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah
pembunuhnya! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa
rendah perbuatan ini!
Kwee Seng
berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi
tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu
marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena untuk melakukan ‘sandiwara’
yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa melihat
wajah si Nenek! Ia meraba-raba, dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal
keadaan di situ membawanya ke depan pintu kamar kitab. Nenek itu masih
terisak-isak perlahan.
"Nek...
aku datang...."
"...pergi!
Mau apa lagi kau datang? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku..., demi setan...
akan kubunuh kau!"
"Tidak,
aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai
hatimu? Aku datang kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu...."
Tiba-tiba
isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar
sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis
tapi juga berhenti bernapas! Kemudian terdengar gerakan nenek itu mendekat,
terdengar suaranya menggetar berbisik.
"Apa...?
Kau... kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai
isterimu...?"
"Ya!"
jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara terbaik
untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu
dengan kesungguhan hati, walau pun kita sama tahu bahwa aku tidak
mencintamu." Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka
kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.
"Ah,
terimakasih...!" Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis,
mendekapkan muka pada dadanya, berbisik-bisik, "Terimakasih... Kwee-koko
(Kanda Kwee)... sekarang mati pun aku tidak akan penasaran lagi...."
Girang rasa
hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan
kenang-kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini,
bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah tadi ia sudah menyatakan
sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama
sekali bukan karena cinta? Betapa pun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar
suara halus nenek itu menyebutnya ‘kakanda’!
"Niocu...,"
katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar di dadanya.
Menggigil
tubuh yang bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan ‘niocu’.
"Karena keadaan tidak mengijinkan, maka kita menikah tanpa upacara.
Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita yang tanpa upacara ini,
menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai
isteriku."
"Dan
aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku...
ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini! Hampir gila aku dibuatnya,
melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!" Nenek itu
memeluknya makin erat.
Biar pun
keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya! Akan tetapi
hidungnya kembang-kempis, bau harum yang selalu ia rasakan apabila nenek itu
mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum mengusir rasa muak dan jijik
yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan lengan yang merangkulnya begitu
halus! Begitu halus dan hangat. Dan ia teringat betapa sepasang mata nenek ini
amat indahnya.
Di dalam
gelap itu, terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama
kali dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang-siauw-hwa.
Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia menundukkan
mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang menghadapkan muka kepadanya,
sehingga muka mereka bertemu.
Kwee Seng
tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang-siauw-hwa ketika
dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia mengumpat diri.
Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati! Pikirannya dan
perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan seorang nenek yang sudah
tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk Ang-siauw-hwa! Beberapa kali ia
menciumi muka wanita dalam pelukannya ini, tangannya meraba-raba membelai muka,
rambut dan leher. Ia yakin, ini Ang-siauw-hwa! Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah
meninggal dunia! Mana mungkin?
"Kwee-koko...
ah, betapa cintaku kepadamu...," nenek itu berbisik-bisik dan terisak
penuh kebahagiaan dan haru. Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa! "Kwee-koko,
betapa rindunya aku kepadamu...."
Kwee Seng
teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai. Tangannya
meraba-raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga bunga api
berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar terang sekilat
itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia
melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung, bibir merah dan mata
indah. Muka Ang-siauw-hwa!
"Koko,
jangan nyalakan pelita, aku... malu...."
Dalam gelap
Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih
sayang, penuh kerinduan yang selama ini ditekan-tekannya.
"Kekasihku...,
kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"
Kwee Seng
menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya, bahkan
cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan
kepada nenek itu! Kesadarannya kadang-kadang memperingatkannya bahwa yang
berada dalam pelukannya adalah seorang nenek, akan tetapi ia tidak mau menerima
peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra dengan
seorang wanita muda yang dalam anggapannya kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa
dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian!
Memang di
dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, makhluk yang banyak
sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan, makhluk yang selemah-lemahnya.
Setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya.
Pemuda ini
dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan
tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia
menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti
orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan
seorang nenek? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan
cantik jelita! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu.
Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah, mudah terpengaruh.
Belasan hari
lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi
yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu
Sian! Tak pernah nenek itu membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah Kwee
Seng meninggalkan kamar kitab, selalu dilayani nenek itu yang bergerak cepat
menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan
tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri
nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya.
Dua pekan
lewat dengan cepatnya bagi dua orang makhluk yang berkasih-kasihan itu. Malam
itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya,
dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya. Ia mimpi tentang rumah
gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias indah,
di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang
puteri yang cantik jelita!
Hawa udara
amat dingin, menyusup ke tulang sumsum, membuatnya setengah sadar. Ketika
membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang. Teringat ia akan
isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus di
dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas
panjang penuh kebahagiaan.
Tiba-tiba
Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi! Ia berada dalam kamar kitab
bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi? Ada cahaya memasuki
kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti! Ia dapat melihat tangannya,
dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat
melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi!
Ia melompat
bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya,
hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba
ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur seakan-akan dipagut ular berbisa.
Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas panjang,
rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan
gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang
nenek tua bermuka penuh keriput!
Teringatlah
Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya
sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan
seorang nenek-nenek! Bukan lagi mengorbankan diri untuk menyenangkan hati
nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali
bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang
yang mesra! Dialah yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah
tergila-gila kepada seorang nenek-nenek!
Mendadak
Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri.
"Plak-plak-plak-plak!"
begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan
bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus
tertawa-tawa.
Cepat sekali
ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan
pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi
setan yang mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu! Malu dan ia
harus pergi dari situ cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak
mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus
memanggil-manggilnya. Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu
Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa
berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu
segera meloncat ke tengah.
"Byuuur!"
air muncrat tinggi.
Akan tetapi
biar pun ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air dingin, tetap
saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata,
menggerakkan kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga
sinkang-nya.
Ia tidak
tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis,
memanggil-manggil namanya dengan suara mengharukan, seorang wanita yang
rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan panjang, seorang wanita yang
pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik
jelita. Kedua pipinya kemerahan, hidungnya mancung, bibirnya merah, matanya
jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak sempat melihat betapa wanita
muda yang cantik ini menangis, di tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya
yang dahulu rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak
sempat melihat betapa tangan kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng
dari pada kulit yang amat halus buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua
renta.....!
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya merupakan tokoh
penting dalam cerita ini, kalau tidak yang terpenting. Sebelum kita melupakan
gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak gara-gara karena kecantikan dan
kegagahannya ini, marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalamannya yang amat
menarik.
Seperti yang
telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut pulang dengan
ayahnya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yang memberi waktu satu tahun kepadanya untuk
merantau dan ‘memilih suami’.
Gadis itu
masih berdiri termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang
dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapa pun juga, ia merasa kasihan
kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia
menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu
sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik."
Kemudian ia
menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia kembali menuju ke
benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan berkuda memasuki sebuah
dusun yang masih ramai karena penduduknya mengandalkan keamanan dusun mereka
dengan benteng yang letaknya tidak jauh dari situ.
Lu Sian
makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat menentramkan pikirannya
yang terguncang. Sambil makan ia mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang
amat menarik hatinya. Pada saat itulah ia mendengar derap kaki banyak kuda
memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar
orang berteriak-teriak. Tadinya Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan
tetapi ketika derap kaki kuda mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki
kuda, menandakan bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan
ketika ia menengok ke jalan, orang-orang sudah lari cerai-berai bersembunyi.
"Ada
apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan takut.
"Nona,
tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera bersembunyi dan kalau
nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."
"Ada
apakah? Barisan apa yang datang itu?"
"Entah
barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang banyak sekali
melewati kampung ini. Pada saat seperti sekarang ini, semua pasukan merupakan
perampok-perampok yang jahat, apalagi kalau melihat wanita cantik."
Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti Lu Sian lagi sudah
lari melalui pintu belakang!
Lu Sian
tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia takutkan?
Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik-baik, akan tetapi
terhadap dia, mereka akan bisa apakah? Boleh coba-coba ganggu kalau hendak
berkenalan dengan pedangnya! Akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda itu
sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk ke luar warung
menonton.
Kiranya
pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan berkuda dengan
kuda yang bagus-bagus, dipimpin oleh seorang komandan muda yang bertubuh tinggi
besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian keluar, ia melihat seorang
menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan di mana terdapat seorang wanita muda
sedang membetot-betot tangan puteranya yang berusia tiga tahun. Anak ini
agaknya senang melihat begitu banyaknya orang berkuda dan menangis tidak mau
ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan lebih dua puluh lima tahun.
Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.
"Aihh,
manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku, malam ini
bersenang-senang denganku. Ha-ha-ha!" Penunggang kuda itu membungkukkan
tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah diayun hendak
menyambar pinggang wanita muda yang menjerit ketakutan.
"Tar-tar!"
dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu,
disusul bentakan nyaring, "Mundur kau! Masuk barisan kembali! Di wilayah
Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan namaku? Orang tolol!"
Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda.
Wanita itu
cepat-cepat menggendong anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah
rumah.
Akan tetapi
mata opsir hitam tinggi besar itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas
bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurang-ajaran. Akan tetapi agaknya si
opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke
benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga
hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai.
Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi
kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek
agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang
mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang
jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang
suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas si lemah? Ia
harus menguji kepandaiannya.
Setelah
rombongan tentara itu lenyap, berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah
masing-masing. Jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik
warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk di
situ.
"Eh,
kau masih berada di sini, Nona? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang
luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau
tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti dusun-dusun lain
yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek
(Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap
rakyat?"
"Boleh
dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak
buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu
hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi
panjang umur!"
Lu Sian
termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal
ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi
dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee Seng.
Dengan penuh kekaguman ia teringat betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga
orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat
ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke
panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah.
Masih
terngiang di telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang
tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang... Akan tetapi... Bukan beginilah
caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah
kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu
juga ‘ada hati’ terhadapnya.
Malam hari
itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri
serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam
Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan di sekitar
benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang
penjaga yang berada di pintu benteng kelihatan sedang bermain kartu di bawah
sinar pelita. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui
sebatang pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah berloncatan di atas
genteng.
Akan tetapi,
ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di
tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata
dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia berindap dan dengan hati-hati
melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat ia sudah
mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran.
Ia melihat
seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak
seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak
pinggang, mukanya kemerahan dan matanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya
duduk tiga orang perwira dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di
antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi
dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
"Lai-lihiap,
sebagai bekas pembantu Sute-mu, saya harap Lihiap (Nona Yang Gagah) suka ingat
bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Lihiap tidak berhak
mencampurinya," kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul,
sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan
Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di
benteng ini, Lai-lihiap tidak berhak mencampuri urusan kami!" kata perwira
ke dua yang duduk di sebelah kanan.
"Sudah
terlalu banyak Lihiap mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum
anak buah kami padahal biar pun Lihiap adalah kakak seperguruan Kam-goanswe
namun Lihiap tetap seorang biasa, bukan anggota ketentaraan."
Makin
marahlah Lai Kui Lan. Ia menudingkan telunjuknya ke arah dua orang bekas
pembantu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada
dasarnya sesat! Sute-ku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara
menyeleweng, itu sudah semestinya! Dan aku membantu Sute-ku menegakkan nama
baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat. Apa
yang kulakukan juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah. Di depan
Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang, baru setengah hari Sute pergi
memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan,
kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk! Membiarkan anak buah
kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian
ini mana patut memimpin tentara? Pantasnya dikirim ke neraka!"
Dua orang
perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan
Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum
mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang bekas
pembantu sute-nya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun
yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura
kepada Kui Lan.
"Nona,
betapa pun juga, kedua orang saudara ini berkata benar, bahwa semenjak saat
berangkatnya Sute-mu tadi, secara sah akulah yang menjadi komandan di sini dan
bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona, sebagai seorang yang sudah
lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan peraturan-peraturan di sini,
tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah tanggung jawab sepenuhnya dari pada
komandan benteng. Mengapa Nona sekarang hendak turun tangan sendiri? Bukankah
ini berarti Nona melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata
kepada komandan barunya? Nona, harap nona suka bersabar dan dari pada kita
bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal tidak baik dan memalukan kalau
terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum bersama dan
bersenang-senang!" Setelah demikian, komandan muda itu memandang kepada
Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri-seri mulut tersenyum, jelas
membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir
meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sute-nya
sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam kekuasaan
komandannya. Maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul Sute, akan
kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah berkata
demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat ke luar dari dalam rumah itu.
Tiga orang
perwira itu tertawa-tawa bergelak. "Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi!
Baik sekali! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal di
sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek? Ha-ha-ha!" kata seorang yang duduk di
kiri.
Temannya,
yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang ke kota,
Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Suci-nya menyusul, biarlah
ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita bersenang-senang, makan minum
sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam,
kau boleh pilih yang paling mungil, ha-ha-ha!"
Mereka bertiga
tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba saja
mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata. Di depan mereka telah
berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Gadis yang bertubuh
ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk tubuhnya.
Rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas, diikat dengan pita sutera kuning,
wajahnya jelita sekali dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir
merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di
tangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang
berupa kepala naga.
Tiga orang
perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar
berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, akan tetapi juga
terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phang-ciangkun
agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah
makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang
sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka cepat ia dapat menenteramkan
hatinya, malah segera tertawa dan berkata.
"Ah,
Nona yang cantik seperti bidadari! Kau sudah menyusul datang? Apakah hendak
menemaniku makan minum?"
Akan tetapi
tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja di depannya telah melayang
ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan gadis jelita
itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya, Phang-ciangkun menangkis dan
membacok meja yang pecah menjadi dua, sedangkan dia sendiri melompat ke
pinggir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar ke mukanya,
membuat matanya pedas sekali. Dua orang temannya berseru marah dan meloncat
maju dengan golok di tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!"
teriak Phang-ciangkun, yang betapa pun juga, merasa sayang kepada gadis yang
luar biasa cantiknya ini. Ia tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin
menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya menahan golok dan meloncat mundur.
"Nona,
kau siapakah? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk? Tidak ada permusuhan di
antara kita!"
Dengan
telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka hitam itu.
"Ihh, manusia keparat! Kau masih bisa bilang tidak ada permusuhan? Kau
menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina suci-nya. Dan kau
masih bilang tidak ada apa-apa?"
"Eh,
kau apanya Kam Si Ek?"
"Tak
usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi
sinar berkilauan yang bergulung-gulung dan menyambar ke arah Phang-ciangkun.
Perwira ini
kaget bukan main. Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya
adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok
besarnya, dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri
membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang pandai
memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran untuk bertindak
sewenang-wenang, yang hanya berani dan sombong karena mengandalkan anak buah
banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian,
dara perkasa yang telah digembleng secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya?
Tak sampai
sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua
orang perwira pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang
seorang lagi sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum
roboh tiga orang itu sempat berteriak-teriak memanggil bala bantuan, akan
tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat
Pang-ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi,
sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap.
Para penjaga
berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka,
ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul
bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua bersenang-senang karena mereka
terbebas dari pada tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.
Dengan cepat
sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh perwira
yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi dan
gelap, ia membanting perwira itu ke atas tanah sambil membebaskan totokannya
dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia
segera berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut
yang biasa bertindak sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di
tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia
tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.
"Hayo
lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phang-ciangkun
untuk mencelakakan Kam Si Ek! Sekali kau membohong, pedangku akan memenggal
lehermu!"
Merasa
betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara tergagap-gagap
perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar Wanita), saya...
saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang mengatur semua adalah
Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si. Karena iri terhadap nama besar
dan kekuasaan Kam-goanswe, maka Phang-ciangkun dan kawan-kawannya bermaksud
untuk membuat jenderal itu jatuh. Beberapa hari yang lalu Gubernur memanggil
beberapa komandan pasukan dan pembesar di Shan-si untuk diajak berunding
mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun yang
mengundang Kam-goanswe ke ibu kota. Akan tetapi di sana ia telah bersekongkol
dengan teman-temannya untuk menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada
Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak mau menghadap dan malah merencanakan
pemberontakan."
"Hemm,
keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. “Hayo katakan, di mana
Kam Si Ek akan di tahan?!"
"Saya...
saya tidak tahu betul, hanya... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa
pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng
Tee-kong-bio di kota itu... dan... ahh!!" jerit terakhir ini mengiringkan
nyawanya yang melayang ketika pedang Toa-hong-kiam memisahkan kepala dari
badannya.
Lu Sian
berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika
mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah
mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya, bahkan memukuli si
pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.
Penduduk
sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun
baru. Mereka merasa khawatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan
diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika gadis ini muncul,
mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam
benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu.
Tanpa menjawab Lu Sian lenyap di dalam gelap. Dengan hati panas ia kembali ke
benteng!
Tak lama
kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng.
Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik,
tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan, telah lenyap! Akan
tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang
tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri
sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan
sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali
tidak peduli.
Kota Poki
adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok
kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur. Selain letaknya di
kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir Sungai
Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu. Pintu-pintu
gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu
gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Poki juga dikenal
sebagai kota pelabuhan sungai sehingga banyak barang mengalir masuk atau keluar
melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
Lu Sian
tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi
adalah kuda milik Phang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga
kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan
kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota,
kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu
menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil
berjalan perlahan.
Akan tetapi,
ke mana pun juga Liu Lu Sian pergi dan di mana pun ia berada, selalu gadis ini
menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi
pusat perhatian, terutama laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya yang luar
biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguh pun keadaan macam ini selalu
mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang
membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan
dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar,
memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia dari pada
perhatian orang di jalan, sungguh pun beberapa orang tamu penginapan dan para
pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan!
Karena tidak
ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan
mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman
pelayan, tahukah kau di mana letaknya Kelenteng Tee-kong bio di kota ini? Aku
hendak pergi bersembahyang ke sana."
Muka yang
membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut. Si Pelayan menengok ke kiri kanan
lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak
bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus ke
sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke
Hai-ong-bio di dekat sungai atau...."
"Tidak,
aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio," jawab Lu Sian yang sudah
menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan
hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. “Aku hendak bersembahyang membayar
kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah letaknya kelenteng itu?"
Memang tentu
saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi
dari pada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau
sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"Memang,
Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan Nona. Akan
tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang
tamu seperti Nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya,
tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak
terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan,
hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah
bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu
gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana...."
"Cukup,
aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang
merasa tak sabar lagi mendengar ucapan si pelayan. Pelayan itu melihat sinar
mata marah dari Lu Sian, maka ia membalikkan tubuhnya dan pergi sambil
mengangkat pundak.
Karena amat
menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah
penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali
banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti
berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak
menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek.
Ketika Lu
Sian lewat di jalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat
sekelompok orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di
pinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja
berdiri di tengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu tidak takut
biar pun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang
yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat
maka hendak menggodanya.
Lu Sian
tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi
urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala
macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu! Ia mengerahkan lweekang-nya dan
terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke arah
mereka.
Sebaliknya,
lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan
seperti dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih
melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar
melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan seenaknya
akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai
sejengkal dalamnya? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu
di atas jalan yang banyak batunya!
Lu Sian
mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh.
Genteng-gentengnya banyak yang pecah, sepasang ukiran naga di atas genteng
kelenteng itu pun sudah luntur warnanya, bahkan mustika naga di tengah yang
diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan
kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini
dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka menjadi amat
buruk.
Pekarangannya
luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas. Bangunannya besar,
akan tetapi di depan kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul
seperti sudah menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun di tembok besar
masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya,
yaitu huruf ‘Tee Kong Bio’ (Kelenteng Malaikat Bumi).
Dilihat dari
depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu
depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal juga
tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan dan sesampainya di
depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit
seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup.
Lu Sian
menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada
suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu saja yang
terkunci. Dari luar kini tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah
dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya.
Akan tetapi jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah ada
bekas telapak kaki yang masih baru pada debu di lantai.
Keadaan di
dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu dan kotor tidak terpelihara.
Di sana-sini tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja
toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga
kosong. Sisa barang yang masih tetap di tempatnya hanya arca-arca yang sudah
hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya. Barang-barang lain yang
berharga tidak tampak lagi.
Dengan penuh
ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak
manusia. Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di sebelah
kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki
sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang terbuat dari pada bata
tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut
ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa
lagi. Lu Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.
"Wer-wer-wer......!!"
tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya.
Lu Sian
cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di
belakangnya. "Hui-to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru kaget karena
maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang
sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.
"Hanya
pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.
Dari arah
dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja yang
memasuki tempat orang tanpa permisi!"
Merah
sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi
sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau
bukan pengecut, keluarlah!"
Terdengar
daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang
hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat yang telah menculik
Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala
kecil bertopi batok. Wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan,
terutama pada mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata
burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian,
benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.
"Aduhai,
Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang
berkunjung..!" katanya, masih terpesona.
Sebaliknya,
Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu! Mengaku-aku ini
tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah
kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"
Orang itu
segera menjura. Sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah
cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan
pendeta, melainkan seorang pemuda berdarah bangsa Khitan yang gagah berani,
namaku Bayisan...."
"Tak
peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya! Yang jelas,
serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!"
Sambil berkata demikian Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap menerjang.
Akan tetapi
pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar. "Aku tadi tidak
tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau
aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to? Untung kau demikian pandai
mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai lecet."
"Keparat
bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara
berdesing.
Bayisan
cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat,
menyerempet meja batu yang menjadi terbelah dua seperti agar-agar terbabat
pisau tajam saja!
"Kau...
kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama
Liu Lu Sian!"
Diam-diam Lu
Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat
sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya? Ia terkejut dan heran,
terpaksa menunda serangannya dan membentak. "Hemm, kau sudah tahu siapa
aku, tidak lekas berlutut?!"
Akan tetapi
Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus! Bagus sekali!
Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta
Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari Beng-kauw! Sekarang
bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya? Sudah lama aku mendengar bahwa
puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan
memiliki kecantikan yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku
melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata
tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat
lain wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian!
Aha, kebetulan sekali!"
Akan tetapi
ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi. Juga ia
menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya
dari sekali gerakan pedangnya tadi, melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang
dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi
sambil melangkah maju dan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan.
Bayisan
cepat mengelak, ia miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang
bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher.
Cepatnya bukan main! Bayisan terkejut, cepat ia menggulingkan diri ke bawah dan
bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia melepaskan
sebatang hui-to ke arah lawan.
"Tranggg!"
Lu Sian menangkis hui-to lawan, dan sekarang Bayisan sudah berdiri
menghadapinya dengan pedang di tangan sambil tertawa.
"Hebat
ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu! Kau patut menjadi isteri Panglima
Bayisan, mari juwitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut
kekuasaan di sana dan hidup bahagi...."
"Tranggg!"
terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu Sian sudah menyambar,
membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya.
Akan tetapi
selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi karena Lu Sian sudah
menyerangnya secara bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga
mengamuk dengan gerakan-gerakan aneh dan ganas. Inilah Ilmu Pedang
Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat. Angin dari pedang ini
menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar,
malah beberapa helai daun rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak
sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat ujung yang asli menyerang
ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena
cepatnya pedang bergerak.
Tentu saja
pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang
lawan. Cepat ia mengubah kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan
pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar suara nyaring bertemunya kedua
pedang. Sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, Bayisan sudah melanjutkan
pedangnya menusuk ke arah dada kiri!
Lu Sian
menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke kanan dan tepat sekali
menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah
menarik kembali pedangnya, membuat gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki,
sedangkan tubuhnya mendoyong ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya
mencengkram ke arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang
ajar!
"Aiihhh!!"
Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa, melainkan pekik
yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kalau saja Bayisan tidak kuat
sinkang-nya, tentu akan roboh karena lumpuh terserang pekik luar biasa ini!
Ternyata,
seperti juga Bayisan, gadis puteri Beng-kauwcu ini sudah mempelajari
mempergunakan jerit yang mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan.
Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu
terus dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan membabat
angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan kecepatan kilat
lalu berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak berbuat kurang ajar
tadi.
Di sini
terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserang menjadi
penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik
tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat angin itu sudah cepat menusuk
tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas lantai.
Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya.
Bayisan
mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya membabat kedua kaki,
dan begitu membabat tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi
kesempatan kepada lawan untuk membarengi dengan serangan balasan. Tiap kali Lu
Sian meloncat, pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang
turun!
“Menjemukan!"
Lu Sian berseru keras.
Tiba-tiba
tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter tingginya, dan dari atas pedangnya
langsung membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan
seekor kura-kura menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik lehernya
ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar mendesingnya pedang tepat di atas
tengkuknya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Lu Sian tidak turun ke bawah,
melainkan malah meloncat dan kini tepat berada di atas kepalanya, kedua kakinya
berbareng melakukan gerakan menendang ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya!
"Lihai...!"
serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu
tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang
tampan menjadi coreng-moreng! Akan tetapi ia selamat dari pada bahaya maut dan
kini mereka sudah saling berhadapan lagi.
"Perempuan
liar! Kau tidak tahu dicinta orang! Baik, aku akan menggunakan kekerasan
menangkapmu. Kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan
menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."
"Tutup
mulutmu!"
Lu Sian
meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo Kiam-hoat yang paling
lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi, melainkan menyambar tanpa suara, hanya
angin gerakan pedangnya terasa panas seperti mengandung api. Pedang itu
membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat dibencinya.
Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya.
Akan tetapi
Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia terima
dari Ban-pi Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama menangkis dan
kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang lawan untuk dapat
menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun perhitungannya meleset.
Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam yang penuh dengan akal muslihat,
mana mudah ditindih? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah melesat ke luar
dari tenaga tindihannya dan kini membacok ke arah paha kanannya. Bayisan
melangkah mundur, dan membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan
kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka
dengan pengerahan tenaga sinkang.
Dengan
gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah
kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya
dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek perut!
"Trang,
trang!" dua kali pedang bertemu karena begitu ditangkis pedang Lu Sian
sudah bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan
tangkisan ke dua.
Serang-menyerang
mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya.
Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi. Ada kalanya
tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka, ada kalanya mereka
bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti dua ekor ayam berlaga.
Hampir
seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang
terluka atau terdesak. Biar pun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya,
juga berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah
sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam
kelincahan gerak.
Sebagai
seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita,
tentu saja Bayisan terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki
kecantikan sukar dicari tanding. Namun kehebatan ilmu silat gadis ini membuat
ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi main-main
dan lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar
berbahaya sekali. Kini ia tidak peduli lagi apakah ia akan dapat menawan
hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah
berarti kematian baginya! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya
sudah melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.
Setelah
lewat seratus jurus Liu Lu Sian maklum akan kemenangannya dalam ginkang. Cepat
ia menggunakan keunggulan ini, mengerahkan ginkang-nya, menggerakkan tubuhnya
secepat burung walet menyambar-nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat
halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan Pat-mo Kiam-hoat, ia dapat
mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena terlalu
sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah tenaga.
Bayisan
mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Namun tidaklah mudah
bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan yang baru kali ini ia temui
tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera. Selain Kwee Seng baru kali ini ia
bertemu tanding yang begini muda tapi begini tangguh, sehingga ia merasa
penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tak akan berhenti sebelum
dapat membinasakannya!
Dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan,
meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh
karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah bergerak cepat dan berada di
belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan
gawat, salah-salah bisa putus. Maka sambil membalik tadi ia cepat membabatkan
pedang dengan setengah putaran melindungi tengkuk. Akan tetapi karena ia
menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini tenaganya tidak dapat
dipergunakan sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang
sebaliknya memang memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga
sepenuhnya, menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk
beberapa detik kedua pedang saling menempel dan lekat!
Pada detik
itu juga Lu Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan,
tangan kiri gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya
lenggak-lenggok macam ular akan tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah
mengancam sepasang biji matanya! Hebat sekali serangan Lu Sian kali ini, karena
gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan pedangnya berdasarkan
Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun
(Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga
macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan kehebatannya.
"Ayaaaaa!!"
Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang
dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang,
bergulingan sampai beberapa meter dan baru berhenti setelah tubuhnya membentur
dinding.
Akan tetapi
pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar
cepat ke arah Lu Sian! Kiranya ketika menghindarkan diri dari serangan maut
sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata rahasianya dan
begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata gelap ini. Memang hebat!
Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua kali ia pergunakan tanpa
hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun Hitam (Hek-tok-ciam) yang pernah ia
pergunakan terhadap Kwee Seng sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam
jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat hebat
ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan mempergunakan jarum racunnya.
Melihat
sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang
ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang
menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat pinggangnya dari sutera, dan
sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi
sinar kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung
ikat pinggang. Kemudian sekali ia menghentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu
terbang ke arah Bayisan! Ini masih belum hebat, biar pun sudah membikin Bayisan
berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian
menciptakan sinar hitam tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata
gadis ini pun mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan,
juga memberi ‘hidangan’ yang sama dan yang tidak kalah lezatnya!
"Aiiihhh,
perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis
jarum-jarum itu.
Lu Sian
tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang,
disusul berkerontangannya kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari
gerakan kedua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.
Pada saat
itu terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan penjahat
cabul, kau menipu kami!"
Maka
muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti jembel
pengemis. Mereka itu berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan
bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan
gerakan mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit-gesit sekali.
Mereka semua membawa sebatang tongkat di tangan, tongkat yang butut akan tetapi
di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.
Munculnya
tiga orang jembel ini menghentikan pertandingan itu.
Bayisan
memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?"
bentaknya.
"Masih
pura-pura lagi! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan
Kam-goanswe yang kami muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun Ki
san? Kau membasmi keluarga yang dengan baik hati telah menolong dan merawatmu.
Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata demikian,
mereka serentak maju menerjang.
Melihat ini
Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat, sungguh pun tentu ia
tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang pengemis ini. Namun kalau mereka
bertiga membantu Lu Sian menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan
Lu Sian berimbang, ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian,
berarti ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak
menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari
jendela.
Tiga orang pengemis
itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik
bunga)?"
Akan tetapi
Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia tidak
mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya terhadap kekurang-ajaran Bayisan. Tentang Bayisan
memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan
mencampuri. Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan
bermaksud membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan
adalah seorang sahabat Kam Si Ek?
Tiga orang
pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan
membalik dan menyerang mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis
itu bukan orang-orang sembarangan pula. Cepat mereka mengelak sehingga
jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke dalam
tembok. Akan tetapi bau jarum-jarum yang amis itu membuat mereka kaget sekali.
"Jarum-jarum
beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan
pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang
pengemis itu tidak berani mengejar lagi. Teringat akan gadis perkasa yang tadi
sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera memasuki
kelenteng.
Lu Sian
tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum mereka
membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis
manakah?"
Pada masa
itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan oleh
orang-orang kang-ouw untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah
perkumpulan-perkumpulan pengemis. Mereka dapat bergerak leluasa dan tidak
begitu menarik perhatian.
Tahu bahwa
gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan memperkenalkan
diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."
"Ah,
kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat
Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu...."
"Ah,
maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Lihiap. Maaf bahwa
beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah Lihiap
(Pendekar Wanita)."
"Tidak
apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena
ucapan mereka tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian di mana
adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak orang jahat di
kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan
itu, apa artinya semua ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."
Diam-diam
tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya
puteri Beng-kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi
mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Bang-kauw, dan
menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.
Memang
sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng
menuju ke ibu kota Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang
disampaikan oleh Phang-siangkun, si Komandan muka hitam yang diam-diam mengatur
pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan
Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu.
Celakanya,
para pengawal Kam Si Ek diam-diam sudah disogok pula oleh Phang-ciangkun,
sehingga selagi tidur Kam Si Ek dapat disergap dan dijadikan tawanan.
Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai tempat
penginapan oleh para pengawal Kam Si Ek. Sebagai seorang komandan yang jujur
dan tidak mau mengganggu rakyat, Kam Si Ek memang biasa melakukan perjalanan
sederhana, menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul
untuk bemalam di rumah kelenteng itu diterimanya dengan baik.
"Kami
menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama
menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian
seorang di antara pimpinan kai-pang (perkumpulan jembel) itu berkata,
"Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya, akan
tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat,
apalagi yang dikawal pula oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi yang sengaja
dikirim dari Kerajaan Liang?"
"Hemm,
kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah
Kerajaan Liang?"
"Betul,
Lihiap. Seperti diketahui, Kerajaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan
Tang, selalu mengalami rongrongan dari pelbagai pihak yang hendak
menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain ancaman bangsa liar
dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah
hebatnya dari bangsa sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang
roboh. Kam-goanswe terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan
pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang
ingin sekali mempergunakan tenaganya. Cara satu-satunya hanya menculiknya
karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru
yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan sejati,
seorang patriot yang betul-betul hanya mementingkan negara dan rakyat, sama
sekali tidak meributkan soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."
Lu Sian
biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan makin
kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda
pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan cerita
tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia takkan
suka mempedulikannya.
Menurut
cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh
pemberontakan Gubernur Ho-nan yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan
kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka keadaan tidak pernah aman.
Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Para pejabat
tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan
sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara itu, ancaman
dari utara dan barat masih terus datang sehingga keadaan makin kacau balau.
Banyak pula bekas pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini
pun menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah
jatuh.
"Sehari
setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul
Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah
memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya. Ketika dia minta bantuan
kami untuk menyelidiki ke mana Kam-goanswe dibawa, kami lalu mengerahkan anak
buah kami untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami
mendengar berita dari seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun
Ki-san."
"Apa
yang ia lakukan?"
"Seorang
pencari kayu di hutan pada suatu hari mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan
di dalam hutan. Pencari kayu she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke
rumah. Akan tetapi apa yang dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini?
Selama dua hari dia memperkosa dan mempermainkan anak gadis pencari kayu itu!
Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak-anaknya
sebanyak tiga orang berikut gadis itu sendiri! Tentu saja kami yang mendengar
ini menjadi marah sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Lihiap sudah lebih dulu
datang menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat
membinasakannya!"
Akan tetapi
Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini. Maka ia
cepat bertanya, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian? Kemana
Kam-goanswe dibawa oleh pasukan itu?"
"Sudah
kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."
“Ke mana pun
juga akan kukejar,” pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota
raja adalah Kai-feng, dan ia harus segera berangkat ke sana. "Dan Bayisan
itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong Kam-goanswe
pula?" tanyanya pula.
"Kami
tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat
menduganya, Lihiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan
Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan pikiran
Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali
mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin
Kam-goanswe."
"Baik,
terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak
menyelidiki ke Kai-feng."
"Berhati-hatilah,
Lihiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik
tenaga orang-orang pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting
seperti Kam-goanswe."
Dengan
tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she
Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun di luar
kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan kuda itu ke timur-laut,
menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.
Apa yang
diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan
perkumpulan jembel Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di
antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para bekas pangeran dan raja
muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar
membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan
miskin, selalu menjadi korban tiap kali terjadi perang dan keributan.
Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi,
pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil
secara paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat.
Akan tetapi,
mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang,
bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka.
Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas
keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan dari pada menjaga
keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Di masa tenteram,
orang-orang sakti akan pergi ke goa-goa, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi
laut untuk bertapa. Kini dalam keadaan kacau-balau mereka turun gunung masuk
kota raja untuk menawarkan kepandaian serta mencari jasa dan kedudukan mulia!
Dan memang
para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar amat
membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu
terdiri dari golongan hitam mau pun putih, penjahat mau pun pendeta, asal sakti
dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan
diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah,
makanan lezat, atau wanita cantik.
Memang
menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang
paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang
jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah
bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang
mempergunakan jasa mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara
perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar,
kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang
terseret-seret.
Dalam
perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di
lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat
pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi! Namun karena ia
sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja
menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan
memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para
pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari ia tertarik
juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk
menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari
itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air
hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara
seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara,
atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi
pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya
menghadapi maut. Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian.
Tiba-tiba ia
menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya
angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang
sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik
hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan
rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara
pohon dan semak-semak.
Ia melihat
seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biar pun kotor
berdebu terbuat dari pada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh, pandang
matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk di atas
sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas.
Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang
untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di
belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang
seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi.
Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul
dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat
menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana
tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di
dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan di antara mayat itu ada
yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari
mulut, hidung, mata dan telinga! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang
agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini
kelihatan buntalan-buntalan pakaian.
Pada saat
itu datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki
muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua
orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang
sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang
jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu
dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana
dia? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak
pemuda yang memegang pedang.
Para
pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek
yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua
itu..."
Si Pemuda
bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang
melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu
membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda
dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya. "Kalian juga
mengungsi? Apakah hendak tunduk kepada kerajaan pemberontak Liang?"
"Kakek
iblis! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang,
mengapa kau bunuh mereka? Siapa kau?" bentak pemuda berpedang.
"Jawab!
Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami
tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm,
kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek
gila! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..."
Pemuda itu
menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan tenang kakek itu
menggerakkan tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka. Bagaikan
sehelai daun kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat dan terlempar
ke belakang, menjerit dan roboh dengan pedang di tangan. Dari mulut, hidung,
mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu menubruknya dan menangis
ketika menyaksikan bahwa kakaknya itu ternyata telah tewas!
"Siluman
keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan melompat ke
depan, kedua tangannya bergerak memukul.
Si kakek
tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua itu
mengalami nasib yang sama. Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu terbanting ke
bawah, tewas dalam keadaan mengerikan! Kakek itu tidak berhenti sampai di situ,
ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis tanggung yang menangis itu
bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu godam, terjengkang dan tewas, juga
berdarah dari mulut, hidung, mata dan telinganya!
Melihat ini,
para pengungsi itu lari seperti dikejar setan dan keadaan di situ sunyi
kembali. Lu Sian bergidik. Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauhnya membayangkan
tenaga sinkang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan mengintai terus. Dari
jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri dari sebelas orang. Mereka
itu terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan di pinggir jalan, akan tetapi
mereka tidak menaruh curiga kepada si Kakek Lumpuh.
"Apa
yang terjadi? Lopek, apakah yang terjadi di sini? Mengapa begini banyak orang
mati...?" seorang di antara rombongan pengungsi itu bertanya.
Dengan
gerakan perlahan kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang terdiri dari
dua keluarga itu dengan pandang mata dingin. "Kalian hendak mengungsi ke
daerah Kerajaan Liang?"
"Tidak,"
jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup di
gunung-gunung di mana terdapat ketenteraman."
"Hemm,
kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
"Ah,
semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami ketenteraman
lagi. Biar pun banyak hidup kerajaan-kerajaan baru, mana ada pemerintah yang
menyenangkan sekarang ini?"
Tiba-tiba
kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia melemparkan
sekantung uang perak. "Terimalah ini, berangkatlah dan memang lebih baik
kalian mengungsi ke gunung-gunung. Selamat jalan!"
Orang itu
terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti kakek aneh ini ada
hubungannya dengan kematian begitu banyak orang. Setelah menghaturkan terima
kasih, ia tergesa-gesa membawa keluarganya meninggalkan tempat itu.
Setelah
rombongan ini pergi, sampai sore hari hanya serombongan pengungsi lagi yang
lewat di situ, terdiri dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi
sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini karena mereka itu semua
hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang! Bertumpuk-tumpuk
mayat pengungsi di tempat itu, dan si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk
di atas pikulan yang berupa dipan bambu digotong dua orang pemikulnya.
Liu Lu Sian
adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan dengan orang
kang-ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula melihat kekejaman-kekejaman yang
dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan Beng-kauw juga merupakan orang-orang
aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa berkedip. Akan tetapi
kini menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu,
laki perempuan tua muda, sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak
mengungsi ke Lok-yang, benar-benar ia menjadi kaget dan bergidik. Bukan main
kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biar pun urusannya itu tiada tiada
sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti
kakek lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba-coba kehebatan
si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali.
Kakek itu
bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh kedua orang
pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan
sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya sambil berpesan agar
besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya.
"Aku
hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku
terus?" demikian katanya dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh
sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau
bangsawan.
Dua orang
pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi mereka itu memperlihatkan sikap
menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu,
kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.
Malam itu
bulan bersinar penuh. Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat itu ketika ia
melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu
bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana si Kakek Lumpuh berada, dan
terdengar suara erangan laki-laki yang parau tetapi nyaring.
"Hee,
Couw Pa Ong! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan
saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa? Sin-jiu Couw Pa Ong,
kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar
suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. “Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap
bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong
Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang.
Orang usilan, kau siapa?"
Orang di
luar itu tertawa juga. "Ha-ha-ha, Couw Pa Ong! Setelah kau kalah dan remuk
kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekalahanmu sehingga kau mengganti nama?
Ha-ha-ha, sungguh lucu! Biar pun mengganti nama seribu kali, siapa tidak akan
mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah bangkrut
dan lumpuh? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan
saja melihat kau bertindak sewenang-wenang!"
Dari dalam
gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh! Segala macam pendeta! Kau selalu
hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi sumbangan, untuk
orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta tengik! Selama kau
menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan?
Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar? Pernah
kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata? Apa jasamu
untuk negara dan bangsa? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap
hari bersembahyang?"
"Cukup!
Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!" si
Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.
"Ha-ha-ha-ha!
Apakah tandanya orang mengenal Tuhan? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah
cukup menjadi tanda mengenal Tuhan? Dengar, pendeta tengik! Orang bisa saja
mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin
orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi
ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"
"Apa
perbuatanmu baik? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya! Kalau pinceng (aku)
tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin
merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat memasuki
pintu gubuk.
Liu Lu Sian
memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek
lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu
menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa si Kakek Lumpuh, dibarengi
suara berderak....
“Krakkkk!”
dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang
sudah patah-patah menjadi tiga potong! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar
melainkan melompat ke luar. Agaknya ia gentar dan juga marah.
"Couw
Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu
seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan tantangan! Kalau memang gagah,
datanglah di tepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho)
menantimu malam ini juga!"
"Ha-ha-ha!
Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng
segala? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor
cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat orang pengkhianat dan
penjilat Kerajaan Liang. Kalian harus kubunuh. Kau tunggulah, sekarang juga aku
datang memenuhi tantanganmu!"
Hwesio itu
melesat pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah
mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang di
antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Menurut cerita ayahnya, Couw Pa
Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi
sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena
pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah
dan terpukul hancur kedua kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi
namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh
Kerajaan Liang untuk dibinasakan.
Sekarang ia
secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar
biasa dan juga sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini
menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng. Maka ketika ia
melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipikul dua
orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia
mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak
mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang
pemikul itu, menuju ke tepi sungai. Ia melihat empat orang itu sudah menanti
musuh.
Di bawah
sinar bulan yang penuh dan terang ia memperhatikan mereka. Ia melihat seorang
hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya
oleh si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk
tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw
Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh.
Orang ke dua
adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang
tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang
tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya
terlibat sebuah cambuk hitam. Ada pun orang ke empat adalah seorang wanita
berusia empat puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang pedang. Mereka
berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya
musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment