Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 05
Lu Sian juga
memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan yang
mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua
orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek lumpuh
itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka,
menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau.
Suasana
menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa
gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.
"Berhenti!"
Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua
puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu.
Tiba-tiba
pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang
ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara
dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari
pohon. Bukan main hebatnya ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang diperlihatkan
kakek lumpuh itu!
Dua orang
pemikul lalu berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu
sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang
selama belasan tahun ini, setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang
sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari
perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan
Tang yang sudah roboh. Dalam kecewa dan sakit hatinya karena kedua kakinya
lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia
ganas, kejam dan gila-gilaan!
"Nah,
kalian menantangku, aku sudah datang. Majulah!" kakek itu menantang dengan
sikap tenang saja, masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha.
Setelah
melangkah maju setindak, hwesio itu mewakili teman-temannya menjawab,
"Couw Pa Ong, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui
lebih dulu bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak tahu bahwa kau seorang
bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang
terkenal di dunia kang-ouw. Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi
orang-orang yang kau anggap telah menghianati Kerajaan Tang, itu pinceng dan
adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan tetapi secara kejam kau
membunuhi para pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah
Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji. Dan bukan hanya kami, melainkan semua
orang gagah tentu akan menentangmu. Kami berempat sudah mengangkat saudara,
bersumpah hendak membasmi kejahatan. Pinceng Houw Hwat Hwesio murid dari
Siauw-lim-pai, Toheng ini Liong Sin Cu seorang tosu dari Kun-lun-pai, dia itu
Bun-toanio dari Hoa-san-pai beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kau lihat,
kami adalah murid-murid partai besar yang selalu mentaati perintah perguruan
untuk membasmi kejahatan...."
"Cukup!
Ha-ha-ha, hwesio mentah! Kau perlu apa berpidato di depanku? Kau tahu apa?
Dengan membunuhi para pengungsi itu, aku telah berbuat kebaikan terhadap
mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah pemerintah pemberontakan Liang sama
dengan mencari kesengsaraan, maka aku bebaskan mereka sehingga tidak usah
menghadapi bencana. Ke dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun
yang merebut tahta kerajaan, berarti mereka itu lemah dan pengecut, tidak
setia. Apa ada harganya untuk hidup lebih lama lagi?!"
"Benar-benar
alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya sendiri!" bentak
Lo Tek Gu, si murid Hoa-san-pai yang memegang tongkat. "Mari kita hajar
tua bangka keji ini!"
Liu Lu Sian
yang menonton sambil sembunyi, diam-diam merasa gembira dan kagum terhadap Kong
Lo Sengjin si Kakek Lumpuh. Lihai ilmu silatnya, lihai pula kata-katanya, aneh
dan juga terlalu sekali! Ia mengharapkan pertandingan yang ramai sehingga tidak
percuma ia mengintai dan mengikuti kakek itu sampai sehari lamanya, apalagi
kalau diingat bahwa empat orang pengeroyok ini adalah murid-murid partai
persilatan besar, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Hoa-san-pai! Tiga buah partai
besar yang sering disebut-sebut dan dikagumi ayahnya.
Mula-mula
memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali mengurung si
Kakek Lumpuh. Hwesio Siauw-lim-pai yang telah kehilangan toya itu kini
mematahkan dahan pohon dan memutar-mutar dahan ini dengan tenaga besar,
menimbulkan angin berderu. Tosu dari Kun-lun-pai yang bernama Liong Sun Cu itu
pun meloloskan cambuknya, dan terdengar bunyi keras seperti petir menyambar di
atas kepala. Sungguh pun permainan cambuk itu tidak sehebat paman gurunya, Kauw
Bian, namun Lu Sian mengagumi keindahannya. Ada pun kakak beradik seperguruan
dari Hoa-san-pai, juga tidak kalah hebatnya. Permainan pedang wanita itu amat
cepat, pedangnya lenyap berubah sinar pedang bergulung-gulung, sedangkan
tongkat sute-nya juga bergerak-gerak laksana seekor naga mengamuk.
Akan tetapi
segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki gerakan ilmu silat
indah yang kosong saja, ataukah si Kakek Lumpuh yang terlalu ampuh bagi mereka?
Disambar empat macam senjata dari empat penjuru, tubuh bagian atas kakek itu
hanya bergerak-gerak seperti batang padi tertiup angin, maka semua pukulan yang
mengancam tubuhnya menyeleweng ke kanan ke kiri.
Tiba-tiba
terdengar kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya yang masih bersila itu tahu-tahu
sudah melayang ke atas, kemudian menyambar ke arah Houw Hwat Hwesio. Hwesio
Siauw-lim-pai ini kaget sekali. Cepat ia menyambut dengan sodokan toyanya ke
arah ulu hati. Kong Lo Sengjin menangkap toya itu berbareng tangan kirinya
menampar dan dilanjutkan dengan tangan kanan yang menangkap toya mendorong
keras. Houw Hwat Hwesio berteriak sekali dan tubuhnya sudah terlempar ke bawah.
Terdengar air muncrat dan tampaklah tubuh hwesio itu terapung-apung seperti
sebatang balok hanyut!
"Siluman
tua, berani kau membunuh saudara kami?" bentak Liong Sun Cu si tosu
Kun-lun-pai. Cambuknya menyambar-nyambar dengan suara keras.
Kakek tua
itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah tadi menyerang Houw
Hwat Hwesio, maka cambuk Liong Sun Cu menyambar ke bawah, ke arah kepalanya.
Bun-toanio yang juga marah menerjang dengan tusukan pedang dari belakang,
mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek Gu menghantamkan tongkatnya ke arah
pundak kiri.
Kong Lo
Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan cambuk itu
mengenai kepalanya. Ujung cambuk menghantam kepalanya terus melibat, akan
tetapi ketika tosu Kun-lun-pai yang kegirangan melihat hasil serangannya itu
hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah mati karena cambuknya
seakan-akan telah tumbuh akar di kepala kakek itu, tak dapat ditarik kembali!
Pedang yang menusuk punggung dan tongkat yang menghantam pundak juga tidak
ditangkis, akan tetapi pedang dan tongkat meleset hanya merobek baju saja,
seakan-akan yang diserang adalah baja yang keras dan licin sekali.
Selagi tiga
orang pengeroyoknya kaget, kakek itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya
kembali mencelat ke atas. Kedua tangannya bergerak, cepat sekali sehingga sukar
diikuti dengan pandang mata, menampar tiga kali ke arah kepala para
pengeroyoknya. Sambil menampar, ia terus mencengkram dan melempar. Hanya jerit
tiga kali terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu berturut-turut melayang
dari atas tebing, jatuh ke dalam sungai dan tubuh mereka terapung-apung seperti
ikan-ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat Hwesio!
Dua orang pemikul
itu kini menghampiri si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah takut sudah
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih tua berkata.
"Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan. Sampai di sini saja hamba berdua
dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk mengambil jalan
sendiri."
Kong Lo
Sengjin memandang mereka, dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua
orang pemikul itu tentu akan mampus di tangan kakek sakti itu!
"Hemm,
kenapa? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya,
Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka
membunuh orang banyak. Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut
menghadapi pembalasan mereka. Akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat
melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang gagah datang kepada kami?"
"Hemm,
apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?"
pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.
"Ahh,
bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami? Tidak sudi kami menjadi anjing
penjilat mengekor kepada raja pemberontak! Hamba berdua malah akan masuk hutan
menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan Liang!"
"Bagus!
Nah, kau perhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!" kata kakek itu.
Kakek itu
lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi petunjuk
bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan. Agaknya kedua orang
bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran ini, dan sekarang mereka
mendapatkan petunjuk tentang rahasia-rahasianya, maka dalam waktu setengah
malam mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat yang luar biasa
itu.
Liu Lu Sian
demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam
suntuk. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu
kepada dua orang bekas pemikulnya merupakan ilmu pilihan yang termasuk tingkat
tinggi. Ia percaya bahwa biar pun baginya sendiri ilmu itu masih tidak usah
mendatangkan khawatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas pemikul ini
tentu merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan berbahaya.
Ilmu silat
tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu silat Sin-coa-kun, agaknya ciptaan si
Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula. Teringat ini, ia membayangkan betapa
hebatnya kepandaian si Kakek Lumpuh, dan kalau dibandingkan dengan ayahnya,
agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang tidak akan dapat menangkan Kong
Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee Seng, tentu ia akan berani
keluar mencoba-coba. Hanya ayahnya atau Kwee Seng, yang agaknya akan dapat
menandingi kakek ini dalam pertandingan yang luar biasa tegang dan ramainya.
Menjelang
pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah
mengirim lebih dulu cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit,
kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kong Lo Sengjin lalu
merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan dengan
langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara
dua batang bambu yang menggantikan sepasang kakinya. Biar pun kedua kakinya
terganti bambu yang terpegang kedua tangannya, namun dibandingkan dengan orang
yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan
dengan ahli-ahli ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh! Sebentar
saja bayangannya lenyap ke arah timur, dari mana malam tadi dia muncul.
Liu Lu Sian
menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng di situ. Kalau ada, agaknya
pemuda sakti itu tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu saja.
Berbeda sekali dengan dia. Andai kata dia selihai Kwee Seng, ia akan mengajak
kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian sekian
banyaknya pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur kepandaiannya,
karena ia memang mempunyai watak tidak mau kalah oleh siapa pun juga. Kalau Kwee
Seng tentu lain, tentu menggempur kakek itu karena telah membunuhi orang tak
bersalah.
Teringat
akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia kecewa. Betapa pun
juga, Kwee Seng adalah seorang pemuda tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya,
merupakan seorang teman seperjalanan yang lumayan, dari pada sekarang ini
berjalan tanpa teman! Akan tetapi setelah wajah Kam Si Ek terbayang, lenyaplah
segala kekecewaan dan pemikiran tentang Kwee Seng. Tiba-tiba ia teringat akan
keadaan Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia
meninggalkan tempat itu untuk cepat-cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan
Liang, yaitu kota raja Lok-yang yang terletak di Propinsi Honan.
Lu Sian sama
sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan di sepanjang jalan tak seorang pun pernah
melihat jenderal muda ini. Ia menduga bahwa andai kata benar pujaan hatinya itu
diculik oleh kaki tangan Kerajaan Liang, agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek
ke kota raja melalui jalan sungai. Maka ia pun segera mencari tukang perahu dan
menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang letaknya masih di Lembah Sungai
Kuning, namun agak jauh dari sungai, di sebelah selatan.
Pada saat
itu, Sungai Kuning airnya penuh, bahkan di beberapa bagian membanjir, meluap
sampai jauh dari sungai, menyelimuti ratusan hektar sawah ladang. Dusun-dusun
yang berada di lembah, yang terlalu dekat sungai, sudah banyak yang dilanda
banjir. Namun karena airnya mengalir tenang, si Tukang Perahu berani melayarkan
perahunya menurut aliran air. Keadaan di kanan kiri sungai amat menyedihkan dan
perjalanan dengan perahu kali ini bagi Lu Sian benar-benar tidak menyenangkan
sama sekali. Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan
yang mengenaskan, sungguh pun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana alam
ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan nasib
Kam Si Ek.
"Tahan
perahumu, minggir ke sana...!" tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu
ketika ia melihat sebuah perahu besar berlabuh di sebelah kanan.
Lu Sian
merasa curiga. Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu nelayan
miskin, patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar. Saat
seperti itu sama sekali bukan saat yang patut untuk berpesiar, maka adanya
perahu di tempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi ketika ia
melihat bahwa dusun di tempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah. Hanya
satu-satunya rumah gedung di dusun itu yang masih belum kemasukan air karena
kebetulan letaknya di tempat agak tinggi. Tak seorang pun manusia tampak di
dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi.
Kalau demikian halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun
kosong tidak ada orangnya?
Setelah
perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu
benar-benar kosong, ia berkata, "Kau tunggu di sini, aku hendak
menyelidiki ke mana perginya orang-orang dari perahu ini!"
Tanpa
menanti jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas wuwungan rumah ke
rumah yang terendam air. Kemudian dengan kelincahan yang mengagumkan ia
berloncatan dari satu rumah ke rumah lain, kadang-kadang melalui pohon yang
juga terendam air, menuju ke rumah gedung yang masih belum terendam air.
Tukang
perahu itu melongo, lalu bergidik. Ia sudah mengira bahwa penumpangnya adalah
seorang wanita kang-ouw yang pandai ilmu silat, kalau tidak demikian tak
mungkin gadis muda dan cantik jelita ini berani melakukan perjalanan seorang
diri, apalagi gadis ini membawa pedang! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian
seorang gadis yang pandai main pedang seperti biasa dipertunjukkan para penjual
obat, siapa kira gadis ini dapat berloncatan seperti itu.
“Jangan-jangan
dia bukan manusia,” pikir si Tukang Perahu.
Menurut
cerita rakyat, di waktu sungai banjir meluap-luap seperti itu siluman-siluman
pada bermunculan, juga para dewi-dewi yang sengaja turun dari khayangan untuk
menggempur para siluman yang hendak merusak manusia dengan air banjir. Biar pun
rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan hebat
antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman. Betapa pun juga dewa-dewi yang
menang dan air yang digerakkan siluman mengamuk ke dusun-dusun itu akan kembali
ke sungai pula seperti biasa! Kini melihat gadis penyewa perahunya pandai
‘terbang’ melayang-layang dari rumah ke rumah, si Tukang Perahu bergidik.
"Tidak
tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan.
Lebih baik aku pergi sebelum ia kembali!" Melihat Lu Sian berloncatan
makin jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung perahunya ke tengah lagi
dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu! Ia tidak peduli bahwa uang
sewa perahu belum dibayar. Ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan
gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia menerima pembayaran, malah dia harus
membayar nyawa.
Liu Lu Sian
tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia sedang
berloncatan mendekati gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan dapat
melihat Kam Si Ek. Ia meloncat ke atas genteng gedung itu dan dari atas genteng
ia mengintai ke dalam. Ternyata di dalamnya terdapat enam orang anak perahu.
Mereka duduk menghangatkan tubuh di dekat tempat perapian sambil makan roti
kering dan dendeng. Terdengar mereka bersungut-sungut.
"Kita
ditinggalkan di sini, untuk apa? Kalau banjir makin besar, ke mana kita harus
bawa perahu? Ah, lebih enak menjadi pegawai di darat kalau begini. Banyak teman
dan aman. Masa untuk mengawal seorang tawanan saja harus menggunakan pasukan
lima puluh orang lebih? Dan keadaan tawanan itu lebih enak dari pada kita!"
"Sam-lote,
kau jangan bilang begitu," cela temannya. "Tawanan itu memang seorang
penting. Siapa tidak mengenal Jenderal Kam Si Ek? Malah aku mendengar dari
anggota pasukan, bahwa komandan mereka menerima perintah khusus dari kota raja
untuk menghormati Kam-goanswe sebagai tamu agung. Kita hanya petugas-petugas
biasa, mau apa lagi?"
Lu Sian
girang sekali mendengar percakapan mereka ini. Dengan kepandaiannya yang
tinggi, ia meninggalkan tempat itu tanpa ada yang mengetahui. Gedung itu
letaknya di tempat tinggi maka tidak terlanda banjir. Di bagian belakang gedung
merupakan kaki sebuah bukit kecil dan ke sinilah Lu Sian mengambil jalan ke
selatan, ke kota raja Lok-yang.
Tak lama
kemudian ia sampai di jalan besar dan segera mempercepat larinya. Sayang
kudanya ia tinggalkan ketika ia mempergunakan jalan sungai, akan tetapi karena
ilmu lari cepatnya juga sudah mencapai tingkat tinggi, Lu Sian segera
mempergunakan Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng sehingga tubuhnya berkelebat
seperti terbang cepatnya, tidak kalah cepatnya, oleh larinya seekor kuda biasa!
Perjalanan
selanjutnya melalui pegunungan yang biar pun jalannya lebar, namun banyak naik
turun dan amat sunyi. Ini pegunungan Fu-niu yang puncaknya menjulang tinggi.
Dari atas puncak ini tampaklah gunung-gunung yang memang banyak mengepung
daerah itu. Di utara tampak puncak-puncak pegunungan Luliang-san dan
Tai-hang-san, di sebelah barat tampak Pegunungan Cin-ling-san, di selatan
samar-samar tampak dibalik mega puncak pegunungan Tapa-san. Biasanya Lu Sian
amat suka menikmati tamasya alam di pegunungan, akan tetapi kali ini ia tidak
mempunyai perhatian terhadap semua keindahan itu karena hati dan pikirannya
penuh oleh bayangan Kam Si Ek yang hendak ditolongnya.
Ketika ia
membelok di sebuah lereng, tiba-tiba ia melihat banyak tubuh orang menggeletak
di pinggir jalan. Golok dan pedang malang melintang, darah berceceran dan dua
belas orang itu sudah menjadi mayat. Mereka ini kelihatan sebagai orang-orang
kang-ouw yang gagah. Melihat betapa senjata-senjata mereka tidak berjauhan,
malah ada yang masih di dalam cengkeraman tangan, melihat tubuh mereka penuh
luka, agaknya orang-orang ini telah melakukan pertandingan mati-matian dan
nekat. Jelas kejadian ini belum lewat lama, mungkin pagi tadi dan di situ
tampak bekas-bekas pertempuran dahsyat. Lu Sian berdebar. Apakah hubungannya
belasan mayat orang ini dengan ditawannya Kam Si Ek? Hatinya makin khawatir dan
ia mempercepat larinya mengejar ke depan.
Menjelang
senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk di kaki bukit.
Jelas terdengar suara banyak orang sedang berkelahi, diselingi ringkik kuda dan
denting senjata tajam saling bertemu. Lu Sian mempercepat larinya dan napasnya
terengah-engah ketika ia tiba di tempat pertempuran, karena selain
terus-menerus ia mengerahkan ginkang untuk berlari cepat juga hatinya selalu
penuh ketegangan dan kekhawatiran akan keselamatan pemuda idaman hatinya.
Kiranya
banyak sekali orang yang bertanding di depan sebuah danau kecil di kaki bukit
itu. Hampir seratus orang banyaknya saling gempur dan merupakan perang kecil
yang kacau-balau. Ada yang masih menunggang kuda, ada yang sudah bertanding di
atas tanah, bahkan ada yang bergulat sambil bergulingan, saling cekik dan
saling jotos. Tidak kurang pula yang terlempar ke danau sedang berusaha
berenang minggir. Kacau-balau dan hiruk-pikuk, suara makian diseling teriakan
marah, keluh kesakitan dan ketakutan.
Lu Sian
dapat menduga bahwa orang-orang yang berpakaian seragam biru itu tentulah
pasukan yang mengawal atau yang menawan Kam Si Ek, karena di antara mereka ini
masih banyak yang menunggang kuda. Ada pun lawan pasukan ini adalah orang-orang
yang berpakaian macam-macam, ada yang berpakaian petani, ada pula yang
berpakaian pendeta, akan tetapi sebagian besar berpakaian pengemis. Tentulah
segolongan dengan Wei-ho Kai-pang, pikir Lu Sian dan tentu saja hatinya lalu
condong membantu para pengemis. Bukankah Kam Si Ek tertawan oleh pasukan itu
dan kini para pengemis hendak menolongnya? Akan tetapi, Lu Sian tidak berniat
membantu mereka, matanya mencari-cari karena ia tidak melihat Kam Si Ek. Ia
tidak mempedulikan pertempuran hebat itu, karena yang ia butuhkan untuk dicari
adalah Jenderal Kam.
Dengan sama
sekali tidak mengacuhkan pertandingan, Lu Sian berjalan terus memasuki
gelangang perang. Kalau ada senjata menyambar, tidak perduli senjata pihak
pasukan atau lawan mereka ia mengelak dan kaki tangannya bergerak merobohkan
siapa saja yang menghalangi jalannya! Hebat sepak terjang gadis ini. Baik pihak
pasukan mau pun pihak pengemis, sekali terkena pukulan mau pun tendangannya
pasti roboh!
"Dimana
Kam Si Ek?" Berkali-kali Lu Sian bertanya kepada seorang anggota pasukan
yang ia robohkan, akan tetapi tak seorangpun mau menjawabnya, bahkan ia segera
dikeroyok empat anggota pasukan.
Golok gagang
panjang dari dua orang lawan yang masih menunggang kuda menyambar ke arah leher
dan pinggang Lu Sian. Cepat gadis itu melompat, menyambar belakang golok,
membetot dengan gerakan mendadak sambil menendang ke arah golok ke dua. Golok
pertama yang ia tarik itu terlepas dari pegangan dan menghantam kawan sendiri
yang menyerang dari kiri, tepat mengenai pahanya dan menembus memasuki perut
kuda! Kuda itu meringkik keras dan kabur membawa penunggangnya yang hampir
putus paha kakinya. Ada pun orang yang terampas goloknya, hampir saja jatuh
terguling karena terbetot.
Pada saat
itu dua orang pasukan yang tidak berkuda sudah menyerbu pula dari depan dan
belakang dengan menggunakan pedang. Lu Sian tidak pedulikan mereka, tubuhnya
meloncat ke atas dan tahu-tahu ia sudah berdiri di atas punggung kuda, tepat di
belakang lawan yang terampas goloknya tadi. Sekali menggerakkan tangan, ia
sudah mencekik leher lawan dari belakang. Dua orang temannya hendak menolong,
akan tetapi Lu Sian mengangkat tubuh lawan dan menggunakannya sebagai perisai!
Tentu saja dua orang itu tidak berani menyerang, takut melukai tubuh teman
mereka sendiri yang ternyata adalah seorang atasan mereka.
"Hayo,
katakan di mana adanya Kam-goanswe!" Lu Sian membentak sambil mempererat
cekikan pada tengkuk si Perwira yang sudah tidak berdaya itu.
"Di...
di sana..." Perwira itu menuding ke arah batu karang besar.
Lu Sian
cepat membanting tubuhnya ke atas tanah, meloncat turun dari kuda dan
berloncatan ke arah sekelompok batu karang yang memang terdapat tidak jauh dari
tempat itu. Tempat itu terjaga oleh beberapa orang anggota pasukan, dan agaknya
orang tawanan itu disembunyikan di belakang batu-batu.
Sebelum Lu
Sian sempat turun tangan, tiba-tiba ia mendengar gaduh luar biasa di antara
orang-orang yang bertanding. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat
seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul menggunakan
kedua lengan bajunya mengamuk. Seperti sepak terjangnya sendiri tadi, laki-laki
gundul itu tidak peduli siapa saja, asal berada dekatnya, lalu disapu roboh
oleh ujung kedua lengan bajunya. Akan tetapi gerakan laki-laki ini jauh lebih hebat,
lebih ganas dan sebentar saja tubuh orang-orang bergelimpangan di sekitarnya.
Kemudian
laki-laki itu melompat dan bagaikan terbang saja tahu-tahu ia sudah tiba di
depan batu-batu karang besar. Lima orang penjaganya segera mencegat dengan
senjata di tangan, akan tetapi sekali laki-laki tinggi besar itu menggerakkan
tangan kakinya, lima orang itu terlempar semua, terbanting pada batu karang dan
hebatlah kesudahannya. Dua di antaranya pecah-pecah kepalanya, yang tiga
mungkin patah-patah tulang iganya karena mereka roboh tak dapat berkutik lagi!
Raksasa
gundul itu tertawa ha-ha-he-heh, lalu melangkah lebar memasuki sekelompok batu
karang itu dan di lain saat ia telah melesat ke luar sambil mengempit tubuh Kam
Si Ek!
Kagetlah Lu
Sian. Cepat ia menggerakkan kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melesat pula
mengejar. Akan tetapi gerakan si Raksasa Gundul itu benar-benar hebat karena
sebentar saja ia sudah jauh meninggalkan tempat pertempuran. Betapa pun juga Lu
Sian tidak mau mengalah, gadis ini mengeluarkan ilmunya berlari cepat sehingga
kedua kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah lagi!
"Lepaskan
dia!!" ia membentak setelah dapat menyusul sehingga jarak mereka hanya
tinggal lima meter lagi.
Kedua tangan
gadis ini bergerak dan serangkum sinar kemerahan menyambar ke depan. Itulah
jarum-jarum rahasia yang amat hebat. Gadis ini amat suka akan bunga-bunga yang
harum, maka sejak kecil ia mempelajari keadaan segala macam bunga. Setelah ia
pandai ilmu silat dan banyak mendapat petunjuk ayahnya tentang pelbagai macam
racun, maka ia lalu dapat mencampur racun-racun berbahaya dengan sari keharuman
bunga, maka terciptalah jarum-jarumnya yang ia namakan Siang-tok-ciam (Jarum
Racun Harum). Memang amat harum baunya jarum-jarum ini, bahkan ketika menyambar
dengan sinar merah, sudah tercium baunya yang amat harum, begitu harumnya
sehingga dapat memabokkan orang. Tidak terkena jarumnya, baru mencium baunya
saja sudah cukup berbahaya, apalagi kalau sampai jarum itu menembus kulit
memasuki jalan darah!
Akan tetapi,
raksasa gundul itu benar-benar lihai sekali. Tanpa menoleh ia sudah mengebutkan
lengan bajunya dan... jarum-jarum itu memasuki lubang tangan baju dan menancap
di situ. Tiba-tiba raksasa gundul itu berseru keras, tangannya bergerak dan
jarum-jarum itu menyambar ke luar, kembali ke pemiliknya!
Tentu saja
Lu Sian terkejut sekali. Cepat ia menyampok jarum-jarumnya sendiri dengan
pedangnya yang sudah ia cabut ke luar. Lawan ini benar lihai, pikirnya dan
terkejutlah ia ketika teringat bahwa raksasa gundul selihai ini kiranya hanya
ada seorang saja di dunia, yaitu Ban-pi Lo-cia! Ban-pi Lo-cia tokoh utara yang
sudah bertanding dua hari dua malam melawan ayahnya dan berkesudahan seri!
Bahkan Kwee Seng sendiri yang begitu sakti, sampai dapat dihancurkan sulingnya
oleh raksasa gundul ini.
Sejenak Lu
Sian meragu. Terang bahwa dia bukan lawan kakek itu. Akan tetapi Kam Si Ek
telah dikempit dan dibawa lari, bagaimana ia dapat mendiamkannya saja? Gadis
ini sudah mempersiapkan jarum-jarumnya lagi. Akan tetapi melihat kakek itu tidak
mempedulikannya dan malah lari makin cepat, ia berpikir dan tidak jadi
menyerang, melainkan terus mengikuti dengan cepat pula, takut kalau-kalau tak
dapat menyusul.
"Ia
tentu tidak berniat membunuh Kam Si Ek. Kalau hendak membunuhnya, perlu apa
dibawa lari-lari? Agaknya Kam Si Ek tidak berdaya, tentu sudah terkena totokan
sehingga terlihat lemas. Kalau mau dibunuh, sekali pukul juga mati."
Karena berpikir demikian maka Lu Sian tidak jadi menyerang secara nekat,
melainkan kini ia membayangi Ban-pi Lo-cia yang terus lari memasuki sebuah
hutan di kaki bukit.
Dengan
hati-hati sekali Lu Sian menghampiri sebuah bangunan kuil tua yang berada di
dalam hutan. Ia tahu bahwa Ban-pi Lo-cia memasuki kuil itu, maka ia tidak
berani menerjang masuk secara sembrono. Bukan ia takut menghadapi bahaya,
melainkan Lu Sian seorang gadis yang cerdik.
Sia-sia saja
kalau harus menempuh bahaya dan membiarkan dirinya dirobohkan atau ditangkap
pula, akan gagallah usahanya menolong Kam Si Ek. Ia berindap menghampiri kuil
dan mengintai. Senja telah datang akan tetapi cuaca di luar kuil belum gelap
benar. Hanya di sebelah dalam kuil yang tua dan rusak itu sudah gelap. Akan
tetapi ia dapat mendengar suara Ban-pi Lo-cia yang parau diselingi suara
ketawanya penuh ejekan.
"Heh-heh-heh,
Kam-goanswe tentu banyak kaget. Untung saya keburu datang, kalau tidak tentu
keselamatan Goanswe takkan dapat dipertahankan lagi." Kembali kakek itu
tertawa.
Lu Sian
merasa heran mendengar kata-kata ini. Ia mengarahkan pandang matanya untuk melihat
sebelah dalam yang agak gelap. Setelah matanya terbiasa, ia dapat melihat
bayangan Kam Si Ek duduk bersila di atas lantai, agaknya mengatur napas dan
tenaga, sedangkan Ban-pi Lo-cia juga duduk bersandar tembok.
Kam Si Ek
menggerakkan kedua lengannya menjura, masih sambil bersila. Terdengar suaranya
yang nyaring, "Losuhu (Bapak Pendeta) siapakah? Harap suka memperkenalkan
diri agar aku yang sudah menerima budi pertolongan akan dapat mengingat nama
besar Losuhu."
Ban-pi
Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Kam Si Ek, dengarlah. Aku bukan
seorang hwesio seperti kau sangka, aku orang biasa. Sebaliknya kau seorang
jenderal yang amat dibutuhkan orang pada saat seperti sekarang ini. Oleh karena
itu, aku menolongmu tentu sama sekali bukan untuk melepas budi, melainkan untuk
keperluan yang tiada bedanya dengan para penculikmu. Ha-ha-ha!"
"Hemmm,
kiranya begitulah? Kalau begitu, siapa pun adanya kau, dan betapa pun tinggi
kepandaianmu, tak mungkin kau akan dapat memaksa aku untuk tunduk dan mentaati
perintahmu. Raja Liang bermaksud menculikku, akan tetapi kau lihat sendiri,
banyak orang mencoba menggagalkan penculikannya. Kulihat pendeta, orang-orang
kang-ouw, dan para pengemis yang menyerbu. Aku boleh jadi terkenal dalam
perang, akan tetapi aku sama sekali tidak terkenal di antara mereka. Kalau
mereka juga berusaha menolongku, tentu juga bermaksud menguasaiku. Ah, alangkah
bodoh dan sia-sia! Selama negara terpecah-pecah seperti sekarang, selama
orang-orang besar dan pemimpin rakyat main berebutan kemuliaan dan kedudukan,
selama tentara dipergunakan untuk memerangi saudara sebangsa, aku Kam Si Ek
takkan sudi mengeluarkan setetes pun keringat untuk membantu!"
Ban-pi
Lo-cia bangkit berdiri, bertolak pinggang dan menundukkan muka memandang orang
muda yang sedang duduk bersila itu. "Ah, Kam Si Ek, tahukah kau siapa
aku?"
"Kau
seorang tua yang berilmu tinggi, sayang...."
"Eh,
kenapa sayang?"
"Sayang
bahwa seorang tua yang lihai seperti kau ini masih dapat diperalat oleh
orang-orang yang haus akan kedudukan tinggi, yang ingin memperoleh kekuasaan
dan kemuliaan di atas ratusan ribu mayat dari rakyat!"
"Ha-ha-ha!
Kalau aku memperkenalkan diriku, tentu kau juga takkan mengenal namaku karena
kau bukan orang kang-ouw, melainkan seorang ahli perang. Akan tetapi agaknya menarik
bagimu kalau kukatakan bahwa aku menangkapmu untuk kuserahkan kepada rajaku di
Khitan."
"Ahhh...!"
Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini.
Ia sudah
amat terkenal sebagai pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh
besar ini, yaitu para prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima
Akhirat)! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam
Si Ek bahwa kali ini ia tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi
memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.
"Hemm,
sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan
pengecut...."
Ban-pi
Lo-cia berseru keras, sementara itu di luar kuil Lu Sian sudah siap dengan
jarum-jarum dan pedangnya. Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia
akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke dalam
untuk mengadu nyawa!
"Apa
kau bilang?! Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah
perkasa. Bagaimana kau berani menyebut licik dan pengecut?"
"Mereka
kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul mundur dalam perang
melawan pasukanku. Mengapa sekarang mereka menggunakan akal keji untuk
menculikku? Bukankah ini cara yang licik sekali? Kalau memang gagah, mengapa
tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur
barisan?"
"Ha-ha-ha!
Kalau kau katakan itu licik, kau gila! Justru karena kami membutuhkan
kepandaianmu mengatur, maka kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal kau
pilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang terhadap kami bangsa Khitan. Untuk
membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh seekor cacing. Akan
tetapi rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan
bekerja untuk rajaku. Kelak kau tentu akan menjadi panglima tertinggi dan hidup
penuh kemuliaan."
"Tidak
sudi! Lebih baik mati ditanganmu!"
Tiba-tiba
Kam Si Ek melompat bangun dan goloknya menyambar dalam serangannya kepada
Ban-pi Lo-cia. Kiranya, tadi ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia
diperlakukan baik dan golok emasnya pun tidak dirampas. Akan tetapi Kam Si Ek
tidak melawan karena ia tidak mungkin dapat melawan puluhan orang, pula karena
ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya secara diculik. Kini
menghadapi seorang Khitan yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh
kakek ini atau takluk dan membantu Khitan, tentu saja ia lebih senang memilih
mati dari pada harus menjadi penghianat bangsa.
Ban-pi
Lo-cia tertawa bergelak. Lu Sian tidak dapat melihat jelas lagi apa yang
terjadi di dalam kuil itu. Selagi ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek,
tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia mengelak dan kiranya
golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan
menyambar ke luar mengarah Lu Sian! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat ke
luar kuil, maklum bahwa kakek itu agaknya sejak tadi sudah tahu bahwa ada orang
mengintai.
Benar saja,
bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Lu
Sian. Kakek itu menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang biji
matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah tahu bahwa ada orang
mengintai, akan tetapi karena ia memang ‘besar kepala’ dan memandang rendah
semua orang, ia tidak peduli.
Baru setelah
Kam Si Ek menyerangnya, ia ‘menangkap’ golok emas itu dengan ujung lengan baju
dan menghentak golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek, lalu
melontarkannya langsung menyerang si Pengintai. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa pengintainya adalah seorang gadis yang begini cantik jelita sehingga
membuat matanya melotot dan mulutnya mengiler. Biar pun sudah banyak sekali
kakek gundul ini mempermainkan wanita cantik, namun harus ia akui selama itu
belum pernah ia berjumpa dengan seorang gadis yang seperti ini jelitanya. Tentu
saja hatinya girang bukan main.
"Ha-ha-ha,
cantik jelita! Aduh, bidadari manis. Hampir saja aku kesalahan tangan
membunuhmu. Untung...." Ia melangkah maju jari tangannya yang besar-besar
dan berbulu itu bergerak hendak mengelus pipi Lu Sian.
Gadis ini
mencelat mundur dan wajahnya pucat ketika ia memikirkan Kam Si Ek. "Kau
apakan dia...? Kau... kau bunuh dia...?” Ia berseru dan kakinya, bergerak
hendak meloncat ke dalam kuil. "Kalau kau membunuh Kam Si Ek, aku akan
mengadu nyawa denganmu, Ban-pi Lo-cia!"
"Eh-eh,
juwita... kau tahu namaku...?" Ban-pi Lo-cia merasa heran.
Lu Sian
tidak memperdulikannya dan melangkah masuk ke dalam kuil, akan tetapi cepat ia
menghindar karena hampir ia bertumbukan dengan Kam Si Ek yang berlari ke luar
dari dalam untuk mengejar lawannya. Ia terheran-heran melihat Lu Sian yang
segera dikenalnya. Ia mendengar ucapan gadis itu tadi, maka alangkah herannya
karena sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang pertama datang untuk
menolongnya adalah... puteri ketua Beng-kauw yang pernah membuat ia
tergila-gila begitu berjumpa!
Juga Lu Sian
tercengang dan girang sekali. "Lekas..." katanya. "Lekas kau
ambil golokmu di sana. Kita keroyok, dia lihai sekali!"
Tentu saja
Kam Si Ek tahu akan kelihaian kakek gundul itu. Tadi saja di dalam gelap, sekali
gebrak goloknya sudah kena dirampas! Akan tetapi karena tidak ada jalan lain
kecuali nekat melawan, ia mengangguk dan cepat ia lari dan mencabut goloknya
yang menancap pada sebatang pohon. Setelah itu ia kembali berlari menghampiri
lawannya yang sudah berhadapan dengan Lu Sian.
Agaknya
kecantikan Lu Sian yang luar biasa itu seakan-akan menyilaukan pandangan mata
yang lebar melotot itu, membetot semangatnya dan membuat si Kakek Gundul
berdiri seperti patung, menikmati wajah ayu lalu merayap-rayap turun. Lu Sian
menjadi merah mukanya. Pandang mata itu seakan-akan mulut besar yang melahapnya
dengan rakus!
"Monyet
tua, kau melihat apa?!" Lu Sian membentak marah dan pedangnya berkelebat
dengan serangan jurus Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat. Karena maklum bahwa
lawannya ini amat lihai, maka begitu bergerak ia segera menggunakan ilmu pedang
ciptaan ayahnya itu. Pedangnya berkelebat menyambar menimbulkan angin berdesir
diikuti suara mengaung.
"Aihh,
bagus ilmu pedangmu!" Ban-pi Lo-cia berseru kaget.
Tentu saja
ia dapat mengenal ilmu pedang yang baik. Cepat ia mengebutkan ujung lengan
bajunya yang kiri. Biar pun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena
digerakkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, lengan baju itu menjadi
senjata yang amat ampuh. Ketika ujungnya menangkis pedang, Lu Sian merasa
betapa tangannya panas. Itulah tanda betapa besarnya tenaga sinkang dari
lawannya. Di lain pihak, Ban-pi Lo-cia juga heran. Ia tadi sudah mengerahkan
tenaganya dengan maksud memukul runtuh pedang Si Nona, siapa kira pedang itu
tidak runtuh. Dari rasa kaget ia menjadi gembira.
"Heh-heh-heh,
cantik jelita dan manis seperti bidadari, ilmu pedangnya lumayan pula. Heh-heh,
sukar dicari keduanya...!"
Pada saat
itu, golok di tangan Kam Si Ek sudah menyambar, membacok ke arah kepalanya yang
gundul. Kepala itu gundul plontos seperti labu, agaknya akan terbelah dua kalau
bacokan golok itu mengenainya. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh
besar yang sakti. Tanpa menoleh atau membalikkan tubuhnya, ia sudah menundukkan
kepalanya sehingga golok itu berdesing hanya beberapa senti di sebelah kanan
kepalanya.
Kakek ini
tentu saja tidak mendiamkan orang yang menyerangnya. Tangan kanannya
mencengkram ke belakang dan biar pun ia masih tetap memandang penuh kekaguman
kepada Lu Sian, namun tangan yang digerakkan ke belakang itu dengan cepat
sekali telah menyerang ke arah pergelangan tangan kanan Kam Si Ek yang memegang
golok. Jenderal muda ini kaget. Ternyata kakek yang diserang ini tanpa merobah
kedudukan badan telah dapat mengelak dan sekaligus mengancam lengannya. Cepat
ia menarik kembali goloknya dan meloncat ke samping untuk menghindarkan
cengkeraman yang amat hebat itu.
Lu Sian
sudah menerjang pula. Kini gerakan kakinya membentuk pat-kwa mengelilingi si
Kakek Gundul, pedangnya menyambar-nyambar dari delapan penjuru. Inilah Pat-mo
Kiam-hoat yang dimainkan sepenuhnya oleh gadis itu, karena ia tahu betul, tanpa
usaha keras dan sungguh-sungguh, dia dan Kam Si Ek pasti akan celaka menghadapi
lawan tangguh ini. Kam Si Ek yang masih merasa heran mengapa gadis puteri
Beng-kauwcu ini bisa tiba-tiba muncul di tempat ini dan berusaha menolongnya,
juga maklum bahwa mereka berdua menghadapi seorang lawan tangguh. Ia tidak
pernah mendengar nama Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek gundul itu sudah
membuktikan kelihaiannya. Cepat Kam Si Ek juga memutar golok emasnya dan kini
ia berhati-hati sekali, mengeluarakan jurus-jurus berbahaya mendesak dari
belakang.
Kam Si Ek
adalah murid dari ayahnya sendiri, seorang panglima perang yang ulung. Akan
tetapi karena ayahnya juga seorang ahli perang, dengan sendirinya ia lebih suka
mempelajari ilmu perang dan memimpin barisan dari pada ilmu silat. Dalam hal
menunggang kuda, melepas panah dan mencari siasat dalam memimpin barisan, ia
jauh lebih hebat dari pada ilmu silatnya. Betapa pun juga, golok emasnya yang
digerakkan dengan tenaganya yang besar, cukup berbahaya.
Ban-pi
Lo-cia agak tertegun ketika tubuhnya terpaksa bergerak ke sana kemari dan kedua
lengan bajunya berkibar-kibar karena ia gunakan sebagai senjata untuk
menghadapi hujan serangan pedang Lu Sian. Ia tertegun karena mengenal ilmu
pedang itu.
"Kau...
murid Pat-jiu Sin-ong...?" tanyanya sambil miringkan tubuh ke kiri disusul
kebutan lengan bajunya ke belakang untuk menghalau golok Kam Si Ek.
Lu Sian
tersenyum mengejek. "Ban-pi Lo-cia manusia liar, kau berhadapan dengan
puteri tunggalnya!"
"Ahh...
ha-ha-ha, bagus sekali!" Ban-pi Lo-cia tertawa keras dan tiba-tiba ia
menghentikan semua gerakannya.
Melihat hal
ini, Lu Sian dan Kam Si Ek cepat menerjang, pedang Lu Sian membabat ke arah
leher disusul dengan tangan kiri, sedangkan Kam Si Ek dari belakang membacokkan
goloknya ke arah pinggang. Hebat sekali serangan dua orang muda ini.
Akan tetapi
tiba-tiba berkelebat sinar hitam kecil panjang, seperti seekor ular terbang
mengitari tubuh Ban-pi Lo-cia. Hebat sekali sinar hitam ini yang ternyata
merupakan sehelai cambuk atau tali hitam panjang berkelebatan sambil
mengeluarkan suara meledak-ledak seperti petir menyambar. Kam Si Ek berseru
kaget. Goloknya sudah terlepas dari tangannya karena lengan kanannya tiba-tiba
menjadi lumpuh terkena totokan ujung cambuk!
Lu Sian
marah sekali, melihat cambuk itu masih mengancam Kam Si Ek ia menubruk maju
dengan nekat, menggerakkan pedangnya menusuk ke arah tenggorokan kakek itu
untuk dilanjutkan dengan gerakan mengiris ke arah cambuk. Serangan ini
benar-benar amat berbahaya dan Ban-pi Lo-cia maklum akan hal ini. Dengan
gerakan kaki ringan, kakek itu meloncat ke belakang sampai dua meter lebih dan
ketika Lu Sian menerjang maju. Tiba-tiba cambuknya mengeluarkan suara keras
lalu menyambar ke depan, ujungnya menghantam ke arah muka yang cantik jelita
itu.
Kini Lu Sian
yang menjadi kaget setengah mati. Bunyi seperti petir dari ujung cambuk itu
membingungkannya, apalagi melihat sinar hitam itu berputaran di depan mukanya.
Celakalah ia kalau menerima lecutan cambuk ini, tentu akan bercacat! Karena ini
ia menggerakkan pedang dan tangan kirinya ke depan, pedangnya berusaha membabat
cambuk, tangan kirinya menggunakan gerakan Houw-jiauw-kang (Ilmu Mencengkram
Kuku Harimau) untuk menangkap cambuk.
Ban-pi
Lo-cia terkekeh dan tahu-tahu sinar cambuknya melingkar-lingkar makin lama
makin mengecil. Tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Lu Sian, kedua lengan gadis
itu sudah terlibat cambuk, terus berputar-putar melibat dan membelenggu kedua
pergelangan tangannya. Lu Sian mengeluh kaget, pedangnya terlepas dari
tangannya dan betapa pun ia mengerahkan tenaga untuk membebaskan kedua
lengannya, namun sia-sia belaka.
"Huah-hah-hah,
manisku, kau hendak lari ke manakah?" Ban-pi Lo-cia memegangi cambuk atau
tali hitamnya itu dengan tangan kiri, kemudian ia melangkah maju dan tangan kanannya
dengan jari besar-besar dan penuh bulu itu diulur ke depan, agaknya hendak
menangkap tubuh Lu Sian, matanya melotot penuh nafsu.
Melihat muka
yang berkulit kasar, mata yang bijinya kemerahan, mulut dengan bibir tebal
menyeringai makin mendekatinya, Lu Sian hampir menjerit saking ngeri dan
seramnya.
"Binatang,
kau lepaskan dia!" Tiba-tiba Kam Si Ek yang sudah kehilangan goloknya itu
meloncat dan menubruk Ban-pi Lo-cia dari belakang!
Tadi
jenderal muda ini merasa lengan kanannya lumpuh setelah tertotok ujung cambuk
sehingga goloknya terlepas. Akan tetapi setelah cambuk itu menyambar ke arah Lu
Sian, ia cepat mengerahkan sinkang ke arah lengan untuk mengusir kelumpuhan.
Betapa kagetnya melihat kini Lu Sian yang tertangkap dan agaknya si Kakek Iblis
itu hendak berbuat kurang ajar. Rasa khawatir membuat Kam Si Ek menjadi nekat
dan seperti seekor singa muda ia meloncat dan menerkam dari belakang.
Kalau saja
berada dalam keadaan biasa, tak mungkin Ban-pi Lo-cia dapat diserang secara
kasar begini. Akan tetapi pada saat itu Ban-pi Lo-cia seakan-akan dalam keadaan
mabok, mabok kecantikan Lu Sian yang membuat semangatnya melayang-layang,
apalagi setelah ia berhasil mengikat kedua tangan gadis itu dengan cambuknya.
Bagaikan seorang kelaparan melihat panggang ayam di depannya. Ban-pi Lo-cia
tidak ingat apa-apa lagi kecuali korbannya. Inilah sebabnya mengapa Kam Si Ek
berhasil menerkamnya dan menggulatnya dari belakang. Pemuda yang bertenaga kuat
itu sudah memiting lehernya dari belakang dan menggunakan ilmu gulat yang
memang pernah ia pelajari untuk memiting dan mencekik leher Ban-pi Lo-cia!
Kagetlah
Ban-pi Lo-cia ketika tahu-tahu punggungnya diterkam dan lehernya dicekik
lingkaran tangan yang kuat! Karena jalan pernapasannya terancam, Ban-pi Lo-cia
marah sekali. Sesaat ia melupakan Lu Sian, cambuknya ia tarik kembali dan kedua
tangannya bergerak memukul kepala Kam Si Ek di belakangnya dan merenggut lengan
yang mencekiknya.
Akan tetapi
Kam Si Ek menyembunyikan kepalanya di belakang punggung, memiting dan mencekik
terus, bahkan melingkarkan kedua kakinya pada pinggang dan paha lawannya dari
belakang. Ia seakan-akan menjadi seekor lintah yang sudah menempel dan lekat,
tak dapat dilepaskan lagi! Menghadapi ilmu gulat macam ini Ban-pi Lo-cia
kelabakan. Ia bisa dan berani menghadapi tata kelahi (ilmu silat) dari aliran
mana pun juga, akan tetapi menghadapi cara berkelahi yang ngawur dan tanpa
aturan ini ia benar-benar terkejut sekali.
Pada saat
itu, Lu Sian yang sudah terbebas dari belenggu ujung cambuk. Sejenak ia mengurut-ngurut
kedua lengannya yang terasa sakit, kemudian menyambar pedangnya lagi dan cepat
melakukan serangan tusukan bertubi-tubi, juga membabat lengan kakek itu untuk
mencegah si Kakek lihai ini memukul Kam Si Ek.
Repot juga
Ban-pi Lo-cia. Kedua tangannya harus menghadapi pedang Lu Sian di depan yang
menyerang seperti seekor burung walet menyambar-nyambar, sedangkan cekikan Kam
Si Ek pada lehernya makin mengeras dan kuat sekali. Sebetulnya dengan mudah
Ban-pi Lo-cia akan dapat mengalahkan Lu Sian. Akan tetapi saking gugup dan
khawatirnya akan cekikan yang ketat, ia jadi terburu-buru sehingga menjadi
bingung sendiri. Ia mengebut-ngebutkan kedua lengan baju untuk menghalau pedang
Lu Sian tanpa mendapat kesempatan untuk memikirkan daya agar ia terbebas dari
cekikan orang muda itu.
Kam Si Ek
mengerahkan seluruh tenaganya. Niatnya hanya satu, yakni mematahkan tulang
leher lawannya! Tenaga jenderal muda ini memang besar sekali! Kalau yang ia
piting lehernya itu bukan Ban-pi Lo-cia, tentu leher itu sudah patah tulangnya
karena tenaga pitingan Kam si Ek ini mampu mematahkan tulang seekor harimau!
Akan tetapi
Ban-pi Lo-cia bukan seekor harimau, bukan pula manusia biasa, melainkan seorang
tokoh persilatan yang tinggi ilmunya dan amat kuat tenaganya. Ia pun cerdik.
Hanya sebentar saja ia bingung. Segera ia mengerti bahwa kalau ia gugup, akan
celakalah dia. Maka kini cambuknya kembali melecut-lecut dan mengeluarkan bunyi
seperti petir menyambar, membentuk lingkaran-lingkaran dan di lain saat ujung
cambuknya telah melibat pedang Lu Sian dan merampas pedang itu, kemudian ujung
cambuk yang melibat pedang itu menyambar pula sehingga pedang itu seakan-akan
dimainkan tangan menikam ke arah Lu Sian.
"Ayaaaa....!"
Lu Sian terpaksa mengelak mundur, akan tetapi pedang itu terus mengejarnya,
menikam bertubi-tubi sehingga gadis ini terpaksa menggulingkan dirinya dan
menjauhi lawan.
Saat inilah
dipergunakan Ban-pi Lo-cia untuk menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah
di dekat siku lengan Kam Si Ek yang mengempit lehernya. Ditotok jalan darahnya,
seketika lumpuhlah lengan Kam Si Ek dan otomatis kempitannya pada leher juga
terlepas. Dengan penuh amarah Ban-pi Lo-cia merenggutkan diri terlepas, lalu
membalik dan sekali tangan kirinya menampar, pundak Kam Si Ek kena pukulan dan
pemuda itu terguling roboh!
"Bocah
setan! Ditawari kemuliaan kau memilih kematian. Kau hendak mencekik aku, hendak
membuatku menjadi mayat dengan mata melotot dan lidah keluar, ya? Mari kita
lihat, siapa yang akan mampus menjadi setan penasaran!" Ia menubruk maju
dan di lain saat ia sudah menindih tubuh Kam Si Ek dan mencekik leher pemuda
itu dengan lengan kanannya yang berjari besar-besar dan berbulu! Tangan kirinya
memegang cambuk dan ia tertawa bergelak-gelak ketika kedua tangan Kam Si Ek
berusaha melepaskan cekikannya.
"Iblis
tua, lepaskan dia!" Liu Lu Sian terkejut sekali melihat pemuda itu
tercekik. Maka cepat ia menyambar pedangnya yang tadi dilepaskan libatan
cambuk, lalu ia menerjang maju dengan nekat untuk menolong pemuda pujaan
hatinya.
“He-he-he,
kau bersabar dan tunggulah, manis! Nanti kita bersenang-senang kalau bocah ini
sudah kucekik sampai melotot matanya, keluar lidahnya dan melayang nyawanya!
Ha-ha-ha!" Kakek gundul ini menggunakan cambuk di tangan kirinya untuk
menangkis setiap kali pedang Lu Sian menyambar.
Kam Si Ek
tahu bahwa nyawanya berada dalam cengkeraman maut. Ia mengerahkan tenaga pada
kedua tangannya, berusaha sekuatnya untuk merenggut lepas lengan tangan yang
mencekiknya. Namun hasilnya sia-sia belaka karena tangan kakek yang kuat itu
tidak dapat direnggutnya. Ia sudah hampir tidak tahan lagi, tak dapat bernapas,
pandang matanya sudah berkunang, telinganya penuh suara melengking tinggi,
kepalanya serasa membesar dan hampir meledak.
Tadinya ia
mengharapkan bantuan Lu Sian. Akan tetapi gadis itu pun tidak berdaya
menolongnya, pedangnya selalu tertangkis cambuk. Habislah harapan Kam Si Ek. Ia
merasa menyesal sekali, bukan menyesal harus mati. Bagi seorang gagah, kematian
bukanlah apa-apa. Akan tetapi sebagai seorang panglima perang, ia ingin mati di
dalam perang, bukan mati di tangan kakek ini yang berarti mati konyol bagi
seorang pejuang. Lebih menyesal lagi hatinya mengingat gadis penolongnya itu
pun menghadapi bencana yang agaknya akan lebih hebat dari pada maut!
Tiba-tiba
wajah Kam Si Ek yang sudah merah itu membayangkan kekagetan. Pada saat itu ia
tengah memandang ke arah Liu Lu Sian dan kini hendak melihat apa yang akan
dilakukan oleh gadis itu. Ia berteriak sekuatnya, "Jangan...!!" akan
tetapi teriakannya terhenti di tenggorokan yang terjepit erat oleh jari tangan
Ban-pi Lo-cia.
"Brett...!
Breettt! Ban-pi Lo-cia, kau lihatlah ke sini dan lepaskan dia...!"
Mendengar
suara kain robek dan suara Lu Sian menggetar, Ban-pi Lo-cia tertarik dan
menoleh. Matanya yang sudah lebar makin melebar, mulutnya terbuka dan ujung
bibirnya penuh air liur ketika ia melihat nona itu merobek bajunya sendiri
sehingga baju bagian dada terobek lebar memperlihatkan baju dalam berwarna
merah muda yang membayangkan kulit tubuh putih dengan bentuk menggiurkan.
"Kau
masih belum mau melepaskannya?" Suara Lu Sian merdu dan diucapkan dengan
mulut menyungging senyum manis ditambah lirikan mata memikat.
"Heh-heh-heh...
ah, hebat kau...!" Ban-pi Lo-cia lupa kepada Kam Si Ek dan bagaikan dalam
mimpi ia bangkit meninggalkan pemuda itu. Kini ia terkekeh, matanya tak pernah
berkedip menelan gadis di depannya, kakinya melangkah ke depan dan kedua
tangannya dikembangkan siap untuk menubruk dan memeluk.
Lu Sian
masih tersenyum-senyum, menyembunyikan pedang di tangannya di belakang tubuh,
melangkah mundur dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari sehingga
makin menonjollah keelokkan tubuhnya, terus mundur dan kadang-kadang melirik
kepada Kam Si Ek yang masih rebah di belakang kakek itu. Ketika ia melihat Kam
Si Ek sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali goloknya kemudian
bangkit berdiri, tangan kanan memegang gagang golok, tangan kiri
mengelus-ngelus lehernya yang terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian
menggerakkan tangan kirinya yang tadinya bersembunyi di belakang tubuhnya,
dibarengi teriakan nyaring.
"Bangsat
tua, makanlah ini!" Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia
disusul terjangan pedang yang menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya.
Inilah
serangan hebat sekali! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona oleh kecantikan Lu Sian,
maka hampir saja ia menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang amat lihai.
Begitu melihat kelebatan jarum dan pedang, kesadarannya pulih kembali. Sambil
berseru kaget ia mencelat ke belakang, menyampok jarum-jarum dengan lengan
bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian.
Tiba-tiba
terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya
membentuk lingkaran lebar dan sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di
belakangnya dan pedang di depannya. Segera Lu Sian dan Si Ek, tanpa dikomando
lagi, telah mengeroyok si kakek lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian
dan mengerahkan seluruh tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut
yang hebat, maka mereka menjadi nekat. Mau melarikan diri tak mungkin. Walau
pun akan kalah, maka mereka kini menyerang dengan jurus-jurus berbahaya, kalau
perlu siap mengadu nyawa!
Liu Lu Sian
adalah puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong. Biar pun tingkat kepandaiannya jauh
kalah kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang lawan
dan dapat berbahaya kalau maju secara nekat seperti itu. Ada pun Kam Si Ek,
biar pun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun pemuda ini
bertenaga besar dan tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bai
Ban-pi Lo-cia untuk merobohkan mereka tanpa melukai berat atau membunuh.
Padahal
Ban-pi Lo-cia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya
tergila-gila, ada pun Kam Si Ek tentu akan dibunuhnya kalau memang tidak dapat
ia bujuk. Setelah mencari akal, tiba-tiba cambuknya yang bernama Lui-kong-pian
(Cambuk Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan terdengarlah suara
cambuk meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar
bertubi-tubi ke arah kepala Kam Si Ek dan Liu Lu Sian.
Dua orang
muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan
telinga, maka begitu melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat
menangkis dengan senjata. Akan tetapi golok dan pedang seperti terhisap oleh
cambuk, lekat dan tak dapat ditarik kembali. Mereka berdua mengerahkan tenaga
untuk dapat menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh
Ban-pi Lo-cia untuk secara tiba-tiba melepaskan cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya
segera berjongkok dan kedua lengannya memukul ke depan dengan jari-jari tangan
terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang luar biasa ampuhnya.
Biar pun jarak mereka terpisah antara dua meter, namun begitu angin pukulan
menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh!
"Hemm,
tua bangka tak tahu malu! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah
perkasa?" tiba-tiba terdengar angin mendesing dari kiri.
Maklum bahwa
ini adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat memutar
tubuh ke kiri dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara,
tidak mengeluarkan suara, akan tetapi akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur
sampai empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang kakek tua yang
rambutnya riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang
berdiri, melainkan sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk
bersila.
"Eh...
kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan
yang lari ke sana ke mari seperti anjing terkena gebuk! Ha-ha-ha, kedua kakimu
lumpuh? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang kini menjadi pengemis lumpuh."
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.
Ia tidak
gentar menhadapi Couw Pa Ong yang kini berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat
orang itu sudah lumpuh. Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini terkenal
sekali dengan sepasang tangannya sehingga dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti).
Akan tetapi, andai kata kakek itu belum lumpuh sekali pun ia tidak takut,
apalagi sudah lumpuh. Segera ia memegang cambuk kilatnya erat-erat, siap untuk
menggempur.
Kong Lo
Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini. "Ban-pi Lo-cia, kau
tikus Khitan yang busuk. Mana aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada
harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba menganggu Kam-goanswe. Dia seorang
patriot Ahala Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"
Ban-pi
Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biar pun ia tidak akan
kalah, namun ia merasa sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat,
apalagi kalau dua orang muda itu nanti membantu si Kakek Lumpuh. Ia memang
cerdik. Perlu apa meributkan Kam Si Ek? Terang bahwa jenderal muda itu tidak
akan suka membantu Khitan, walau pun ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu
akan nekat tidak mau membantu. Tadi pun sudah tampak jelas kekerasan hati
pemuda ini. Membunuhnya pun kalau resikonya harus dikeroyok, tidak
menguntungkan. Kerajaan di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling
gempur, saling berebutan kekuasaan, apa perlunya takut akan barisan yang
dipimpin Kam Si Ek?
Ia lalu
tertawa menyeringai. "Kakek lumpuh, raja jembel! Siapa butuh dia? Kau
bawalah jenderalmu itu, yang kubutuhkan adalah si Bidadari!" Ia menoleh
dan memandang kepada Liu Lu Sian dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar.
Pada saat
itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu telah lari kepada Kam Si Ek.
Pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok
tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun siuman dari pingsannya. Untung
bahwa mereka tadi tidak terkena pukulan secara langsung, hanya terpukul oleh
anginnya saja yang membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia
dengan pukulannya Hek-see-ciang tentu nyawa mereka sukar ditolong.
Mendengar
ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi
seorang kakek saja sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama,
seorang menculik Kam Si Ek dan yang seorang pula menculik dia! Ia tertawa
cekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah Kong Lo
Sengjin. Dua orang kakek itu terheran.
Segera Lu
Sian meloncat berdiri, menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin sambil
berkata, "Ayahku Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong
adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan seorang di antara tokoh-tokoh
besar di dunia persilatan, tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku
kagum sekali. Akan tetapi setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik...."
Liu Lu Sian tidak melanjutkan kata-katanya melainkan tertawa lagi terkekeh.
Kong Lo
Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar. Maka ia membentak,
"Budak rendah! Biar pun kau puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa? Mengapa
kau mentertawakan aku? Apanya yang tidak cocok?"
"Kau
ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi!
Orang-orang yang tidak bersalah, masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu
tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang membunuh lalat saja. Akan tetapi
sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang, karena kau
tahu bahwa Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu,
nyali tikus yang beraninya hanya kepada si lemah. Orang Khitan ini hampir
membunuh Jenderal Kam, tapi kau mengalah dan ketakutan. Cihh, mana itu darah
pahlawan? Hi-hi-hik!"
Sin-jiu Couw
Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja muda
yang selalu dihormati orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar
olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka mukanya segera menjadi merah, dan ia
mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala jalang ketika
ia menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.
"Ban-pi
Lo-cia, bersiaplah kau! Biar aku melawanmu agar jangan ada siluman cilik
mengira Kong Lo Sengjin takut menghadapi seekor monyet Khitan!"
Ban-pi
Lo-cia tentu saja maklum akan kelicikan Liu Lu Sian yang menggunakan siasat
mengadu domba. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai tokoh kang-ouw tingkat
tinggi, mana bisa ia mengalah terhadap seorang kakek yang sudah lumpuh? Ia
harus memperlihatkan kelihaiannya. Setelah merobohkan kakek lumpuh ini, apa
sukarnya menangkap si Gadis Liar dan membunuh Kam Si Ek?
"Raja
Muda bangkrut! Kau lihat Lui-kong-pian mengambil nyawamu!" Ban-pi Lo-cia
membentak.
“Tar-tar-tar!”
menyusul suara keras sekali ketika cambuknya melayang ke atas dan melecut-lecut
sambil mengeluarkan bunyi seperti halilintar.
"Ha-ha-ha,
kau benar, Ban-pi Lo-cia. Hajar saja kakek lumpuh itu, mana dia kuat
melawanmu?" Liu Lu Sian berseru sambil bertepuk tangan. Besar hati Ban-pi
Lo-cia mendengar gadis itu memihak kepadanya, maka ia makin hebat memutar
cambuknya dan menyerang.
Di lain
pihak, Kong Lo Sengjin yang berwatak angkuh dan tinggi hati merasa marah
sekali. Ia tidak akan berhenti, tidak akan mau sudah sebelum ia berhasil
mengalahkan Ban-pi Lo-cia. Memang cerdik Liu Lu Sian. Ia memakai taktik
memanaskan kedua pihak, sebentar ia memihak Ban-pi Lo-cia, sebentar ia memihak
kakek lumpuh sehingga pertandingan di antara kedua orang sakti itu makin
menghebat.
Sementara
itu, seperti menjadi harapan Lu Sian, pertandingan makin lama makin hebat dan
mati-matian sedangkan cuaca menjadi makin gelap, malam pun tiba. Dengan
hati-hati Lu Sian mengumpulkan pedang dan golok Kam Si Ek dan memberi isyarat
supaya pemuda itu tidak banyak bergerak atau bicara. Kemudian di dalam gelap ia
memegang tangan pemuda itu, menyerahkan goloknya dan mengajaknya pergi dari
situ dengan perlahan-lahan dan sedikit-sedikit.
Sementara
itu dua orang kakek yang sudah dibakar perasaannya oleh Lu Sian, telah
bertanding dengan hebatnya. Mula-mula Ban-pi Lo-cia menggunakan tangan kosong
karena ia memandang rendah kepada lawannya yang sudah lumpuh. Namun tahu bahwa
lawannya ini tentu memiliki sinkang yang kuat, maka dalam serangannya ia
mengerahkan tenaga dan menggunakan Hek-see-ciang yang ia andalkan.
Seperti
biasa menjadi watak tokoh besar yang terlalu percaya kepandaian sendiri,
agaknya Ban-pi Lo-cia memang sengaja hendak menguji sampai di mana hebatnya si
Kepalan Sakti. Pukulan Hek-see-ciang yang tadi anginnya saja sudah mampu
merobohkan Lu Sian dan Si Ek, kini menghantam ke arah Kong Lo Sengjin. Hebat
memang pukulan Hek-see-ciang dari kakek gundul ini. Tentu dilatih belasan tahun
lamanya, dengan latihan mencacah dan memukul pasir besi panas yang tercampur
racun kelabang direndam arak tua. Maka kini pukulan yang dilancarkan dengan
pengaruh tenaga sinkang hebatnya luar biasa, sehingga tidak aneh kalau
orang-orang muda perkasa seperti Lu Sian dan Si Ek tadi roboh hanya oleh
anginnya saja.
Namun sekali
ini perhitungan Ban-pi Lo-cia meleset. Kong Lo Sengjin tidak percuma dijuluki
Sin-jiu atau Kepalan Sakti. Ia memang seorang ahli silat tangan kosong, maka
tentu saja ia hafal akan segala macam pukulan berbisa seperti Hek-see-ciang
atau Ang-see-jiu, mau pun Pek-lek-jiu, malah sudah tahu pula bagaimana harus
menghadapi pukulan-pukulan ini. Kini melihat Ban-pi Lo-cia yang didahului oleh
sinar hitam, ia tertawa bergelak, lalu memapaki pukulan itu dengan telapak
tangan kanannya setelah memindahkan tongkat kanan ke tangan kiri.
Ban-pi
Lo-cia girang melihat ini. Tangan terbuka merupakan sasaran lunak bagi
Hek-see-ciang, karena hawa pukulannya akan langsung menembus kulit telapak
tangan dan menyerbu ke dalam saluran darah terus ke jantung. Maka ia
mengerahkan tenaganya dan memukul telapak tangan itu.
"Dessss...!"
Ban-pi
Lo-cia kaget setengah mati karena kepalan tangannya bertemu dengan benda yang
lemas lunak seperti kapas dan mendadak ia merasa betapa tenaga pukulannya
seperti amblas tanpa dasar, tidak menemui sesuatu. Selagi ia hendak menarik
tangannya, tiba-tiba tenaga pukulannya membalik dan menyerang dirinya sendiri
melalui kepalan tangannya!
"Celaka...!"
ia berseru kaget
Cepat lengan
kirinya menampar tangan kanannya sendiri sehingga tenaga yang membalik itu
tertangkis dan ia segera melempar diri ke belakang sambil bergulingan. Kiranya
kakek buntung itu sudah mempergunakan jurus dari Bian-kun (Silat Tangan Kapas)
yang dasarnya memainkan atau mencuri tenaga lawan, kemudian dengan pengerahan
tenaga sinkang ia melontarkan kembali tenaga lawannya yang tadi tenggelam atau
tersimpan.
Marahlah
Ban-pi Lo-cia. Tahu bahwa tak boleh ia main-main lagi dengan tangan kosong
melawan kakek yang berjulukan Kepalan Sakti ini. Ia melolos Lui-kong-pian dan
terus mengadakan serangan dahsyat. Cambuknya menyambar-nyambar dan meledak di
atas kepala si Kakek Buntung.
Diam-diam
Kong Lo Sengjin terkejut. Ia lebih mahir menggunakan tangan kosong, akan tetapi
menghadapi cambuk yang demikian panas dan dahsyatnya, kalau dilawan dengan
tangan kosong, tentu ia akan terdesak. Maka ia lalu melompat ke belakang dan
mengangkat tongkat bambunya untuk menangkis, kemudian secepat kilat tongkat
bambu yang kiri menusuk perut lawan. Kiranya dua batang bambu yang dipergunakan
untuk pengganti kaki itu kini dapat dimainkan seperti senjata. Kalau yang kanan
akan menyerang, yang kiri menjadi kaki dan demikian sebaliknya. Bahkan
adakalanya tubuh kakek lumpuh ini melayang ke atas dan pada saat seperti itu,
dua batang bambunya dapat menyerang bertubi-tubi.
Hebat memang
bekas raja muda ini! Tongkat-tongkat bambunya itu tidak saja dapat menyerang
dengan pukulan dan hantaman atau sodokan seperti dua batang toya panjang, malah
ujungnya dapat ia pergunakan untuk menotok jalan darah. Karena bambu itu
berlubang, maka ketika digerakkan oleh sepasang tangan yang sakti itu,
mengeluarkan bunyi angin mengaung-ngaung seperti suara dua ekor harimau
bertanding.
Ramai bukan
main pertandingan tingkat tinggi ini. Bayangan mereka lenyap terbungkus
gulungan sinar senjata, sedangkan sekitar sana diselimuti auman-auman yang
keluar dari sepasang bambu diseling suara meledak-ledak dari ujung cambuk.
Keadaan yang seimbang ini, serta ketangguhan lawan yang membuat hati panas
menjadi gelap, membuat kedua orang tua itu tidak mendusin lagi bahwa dua orang
muda itu sudah lenyap dari situ.
Setelah
lewat seratus jurus, mendadak Kong Lo Sengjin yang teringat kepada Lu Sian
berseru, "Siluman betina, kau lihat baik-baik bagaimana aku merobohkan
monyet Khitan!"
Tiba-tiba
gerakannya berubah. Kini tongkat bambu di tangan kirinya menerjang dengan
gerakan memutar seperti kitiran sehingga suara mengaung jadi makin keras.
Demikian cepatnya putaran tongkat bambu ini sehingga Ban-pi Lo-cia terpaksa
memutar cambuknya pula untuk menangkis dan melindungi tubuh. Dengan tongkat
lawan diputar seperti itu, tak mungkin ia dapat melibat dengan cambuknya.
Tiba-tiba
sekali, selagi bayangan tongkatnya itu masih belum lenyap, tongkatnya sendiri
sudah turun dan kini sebagai gantinya, tangan kanan kakek lumpuh itu menghantam
ke depan dengan pukulan jarak jauh. Angin mendesis ketika pukulan ini
dilakukan. Pukulan ini sudah membunuh puluhan orang pengungsi tanpa mengenai
tubuh, maka dapat dibayangkan betapa ampuhnya.
Ban-pi
Lo-cia kaget dan maklum bahwa inilah pukulan maut yang membuat kakek bekas raja
muda itu dijuluki Kepalan Sakti. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka tidak
mau menangkis secara langsung karena maklum bahwa lawannya memang memiliki
keistimewaan dalam hal pukulan tangan kosong. Cepat ia menggeser kakinya
sehingga kedudukan kuda-kudanya miring, kemudian dari samping ia baru berani
menangkis dengan Hek-see-ciang. Tentu saja menangkis dari samping tidak sama
dengan menerima dari depan secara langsung. Betapa pun juga, begitu lengannya
bertemu dengan lengan kakek lumpuh, hampir saja Ban-pi Lo-cia terjengkang, maka
cepat-cepat ia melompat ke belakang sambil tertawa bergelak.
"Huah-hah-hah,
bidadari cantik manis. Kau lihat, bukankah Ban-pi Lo-cia tidak dapat roboh oleh
Sin-jiu? Sekarang kau lihat betapa aku membalasnya...." Tiba-tiba Ban-pi
Lo-cia berhenti berkata-kata, matanya liar mencari-cari di dalam gelap dan
tiba-tiba ia berseru, "Celaka, kita kena tipu gadis liar itu!"
"Huh-huh,
siapa butuh siluman itu? Biar dia mampus!" Kong Lo Sengjin memaki.
"Hayo kita lanjutkan pertandingan, tak usah banyak cerewet!" Kembali
ia menerjang maju dengan tongkat bambunya.
"Nanti
dulu!" Ban-pi Lo-cia mengelak. Lenyapnya gadis jelita yang tadinya ia
anggap sebagai korban yang sudah berada di depan mulut, melenyapkan pula
nafsunya bertempur. "Kau tahu ia itu puteri Pat-jiu Sin-ong. Mengapa pula
ia ikut-ikut memperebutkan Kam-goanswe kalau tidak diutus ayahnya? Hemm, apakah
kau kira Nan-cao tidak mengilar pula memiliki panglima seperti
Kam-goanswe?"
Kong Lo
Sengjin menyumpah-nyumpah. "Kau betul! Celaka, kita kejar dia!"
Dua orang
itu lalu melesat pergi mengejar. Tiba-tiba keduanya seperti ada yang memberi
aba-aba, meloncat ke atas pohon dan memandang dari puncak pohon besar. Biar pun
keadaan gelap, namun sinar bintang-bintang di langit cukup untuk menerangi
sebagian besar permukaan bumi dan pandangan tajam kedua orang kakek ini segera
melihat berkelebatnya bayangan dua orang muda itu yang belum lari jauh.
"Huah-hah-hah,
manisku! Kau hendak lari kemanakah?" Mereka berdua meloncat turun lagi dan
segera mengejar ke arah dua bayangan tadi.
Bukan main
kagetnya hati Lu Sian. Tadinya ia sudah merasa girang karena berhasil lari
pergi dari tempat pertempuran selagi dua orang kakek sakti itu berkutetan
mencari menang. Tanpa disengaja, mereka lari sambil berpegang tangan. Agaknya
Kam Si Ek masih belum pulih betul oleh bekas pukulan Hek-se-ciang, maka ia
menurut saja digandeng dan ditarik oleh gadis itu.
"Celaka,"
bisik Lu Sian. "Si Monyet Gundul mengejar kita...."
"Hemm,
kita bersembunyi di balik batang pohon besar, biarkan ia lewat lalu tiba-tiba
kita berdua menyerang dari kanan kiri, bukankah itu akan berhasil?" Kam Si
Ek memberi usul.
Siasat
seperti ini adalah siasat perang, akan tetapi agaknya takkan berhasil banyak
kalau dipergunakan sebagai siasat pertandingan perorangan. Dalam perang mungkin
siasat ini dapat dipergunakan melawan musuh yang lebih banyak.
"Percuma,
kepandaiannya beberapa kali lipat lebih tinggi dari pada kita, akal itu takkan
berhasil. Lebih baik bersembunyi, tapi jangan sampai dapat dicari."
Tiba-tiba
terdengar teriakan keras dari arah belakang, "Kam-goansewe, jangan takut
aku menolongmu!"
Gemetar
suara Lu Sian mendengar ini. "Wah, benar-benar celaka. Kusangka Ban-pi
Lo-cia menang dan mengejar, kiranya kedua-duanya iblis tua itu yang mengejar
kita."
"Hemm, mengapa
takut? Kalau memang tidak ada jalan ke luar, kita lawan mati-matian. Aku tidak
takut mati!"
"Aku...
aku juga tidak takut mati, akan tetapi aku masih ingin hidup, apalagi sekarang
setelah bertemu denganmu." Kata-kata Lu Sian ini membikin Kam Si Ek terkejut
dan tercengang.
Selanjutnya
ia menurut saja ketika Lu Sian menariknya ke arah kiri di mana terdapat sebuah
danau kecil. Kini bulan mulai menerangi jagat dan tampaklah permukaan danau
kilau kemilau, dan rumput alang-alang yang tumbuh di pinggir danau
bergerak-gerak seperti menari-nari ketika tertiup angin malam.
"Lekas
terjun, ini jalan satu-satunya!"
Lu Sian
menarik tangan Kam Si Ek dan mereka terjun ke dalam air danau yang gelap dan
dingin. Kam Si Ek segera menggerakkan kaki tangan hendak berenang ke tengah,
akan tetapi gadis itu menahannya.
"Tidak
usah ke tengah, kita bersembunyi di sini saja."
"Di
sini?"
"Ya,
menyelam. Lihat, alang-alang ini dapat menyembunyikan kita." Lu Sian
memilih batang alang-alang yang besar dan panjang, memotongnya dan memasukkan
ujungnya ke mulut. "Kalau mereka lewat, kita menyelam, batang alang-alang
ini membantu pernapasan kita."
Diam-diam
Kam Si Ek kagum bukan main. Gadis ini cerdik luar biasa, pikirnya setelah ia
mengerti apa yang dimaksudkan Lu Sian. Ia pun segera memotong sebatang
alang-alang dan mereka menanti. Danau di bagian pinggir itu tidak dalam, air
hanya sebatas dada mereka. Akan tetapi dinginnya bukan main!
Tidak lama
mereka menanti. Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya datang dari depan,
lalu terdengar suara Ban-pi Lo-cia, "Ke mana mereka pergi? Tak mungkin
mereka lari jauh!"
"Hemm,
kalau tidak bersembunyi di danau itu, kemana lagi?" kata pula si Kakek
Lumpuh, Kong Lo Sengjin.
Kagetlah
hati dua orang muda itu dan cepat-cepat Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek
memberi isyarat supaya menyelam. Keduanya lalu menyelamkan kepala, berlutut di
dalam danau dan batang alang-alang itu mereka pergunakan untuk menghisap hawa
dari permukaan air. Karena di situ memang banyak tumbuh alang-alang maka batang
alang-alang dari mulut mereka itu tidak tampak dari luar.
Mereka tidak
berani banyak bergerak, khawatir kalau-kalau air bergelombang dan menimbulkan
kecurigaan. Dari dalam air mereka dapat melihat bayangan dua orang itu di
pinggir danau. Agaknya dua orang kakek itu tetap menyangka mereka bersembunyi
di danau maka sengaja mereka menanti. Akan celakalah agaknya kalau tadi mereka
tidak mempergunakan batang alang-alang untuk bernapas, karena kalau tadi mereka
hanya menyelam biasa, tentu sekarang sudah tidak kuat menahan napas dan
terpaksa muncul lagi. Dan sekali mereka muncul, berarti mereka pasti akan
tertawan!
Saking
girang dan kagum hati Kam Si Ek memikirkan ini, di dalam air ia memegang tangan
Lu Sian dan menggenggamnya. Kagetlah ia karena tangan gadis itu menggigil
kedinginan. Baru ia teringat bahwa air di dalam danau ini dingin luar biasa,
maka tanpa ragu-ragu lagi Kam Si Ek lalu memeluk pundak gadis itu sambil
merapatkan tubuhnya agar dengan jalan ini mereka berdua agak merasa hangat.
Ketika
melihat dari dalam air bahwa kedua orang kakek itu berdiri agak menjauhi tempat
mereka sembunyi, Lu Sian menempelkan telinganya ke permukaan air dengan gerakan
hati-hati sekali. Daun telinganya timbul di permukaan air di antara alang-alang
dan terdengarlah suara Ban-pi Lo-cia.
"Aku
harus mendapatkan bidadari itu!"
"Ah,
monyet tua bangka tak tahu malu, masih suka mengejar-ngejar gadis remaja. Aku
sama sekali tidak peduli. Nah, kau carilah sendiri!" jawab Kong Lo Sengjin
sambil menggerakkan tongkat hendak pergi.
"Uh,
uh, kaulah yang tolol!" si Gundul memaki. "Apa kau kira Jenderal Kam
Si Ek akan aman berada di tangannya? Eh, setan lumpuh, mari kita kerja sama.
Kau mengejar ke kanan aku mengejar ke kiri, syukur kalau aku dapat menangkap Si
Bidadari Manis dan kau dapat menemukan Jenderal Kam. Kalau sebaliknya, kita
lalu saling menukar tangkapan kita, bukankah ini kerja sama yang baik sekali?"
Si Kakek
Lumpuh diam sejenak. Dipikir-pikir memang benar juga ucapan iblis gundul ini.
Iblis gundul ini lihai bukan main, kalau dia sampai mengganggu puteri
Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong, itulah baik. Biar kelak Pat-jiu Sin-ong mencarinya
untuk membalas dendam. Biar dua orang iblis itu saling gempur, dengan demikian
berarti ia akan kehilangan dua orang musuh yang tangguh, dan kalau mereka itu
sampai mampus, berarti Khitan dan Nan-cao akan kehilangan tulang punggungnya.
"Usulmu
baik sekali, mari kita kerjakan!" kata si Kakek Lumpuh.
Kong Lo
Sengjin segera meloncat ke arah kiri dan berlari cepat sekali dengan sepasang
tongkatnya. Ban-pi Lo-cia juga berlari cepat ke arah kanan dan sebentar saja
lenyaplah bayangan mereka, meninggalkan danau yang sunyi.
Lu Sian
menarik tangan Kam Si Ek dan kini keduanya berdiri lagi. Air sampai sebatas
dada mereka. Akan tetapi mereka belum berani keluar dari danau.
"Kita
tunggu sebentar, siapa tahu mereka itu hanya menipu. Kalau mereka tiba-tiba
kembali, kita dapat menyelam lagi," kata Lu Sian dan Kam Si Ek menjawab
dengan mengangguk.
Mereka masih
berpegang tangan. Kini di bawah sinar bulan mereka saling pandang dengan
seluruh rambut, muka dan tubuh basah! Melihat pandang mata Kam Si Ek seperti
itu, tak terasa lagi Lu Sian menjadi merah mukanya, berdebar hatinya dan ia
cepat menundukkan mukanya!
"Liu-siocia
(Nona Liu), tanpa bantuanmu aku tentu sudah menjadi orang halus. Aku berhutang
budi, berhutang nyawa kepadamu, entah bagaimana aku dapat membalasnya."
"Tidak
ada yang hutang dan tidak ada yang menghutangkan nyawa!" jawab Lu Sian,
kini matanya bersinar-sinar memandang. Wajah mereka hanya terpisah dua jengkal
saja, tangan mereka masih saling berpegang. "Kalau tadi aku tidak kau
bantu, aku pun sudah celaka di tangan Ban-pi Lo-cia." Ketika Lu Sian
menunduk dan melihat bajunya yang robek, ia cepat-cepat menutupkannya, dan
kembali dua pipinya tiba-tiba menjadi merah.
Kam Si Ek
bingung. Sejenak ia terpesona. Biasanya ia memandang rendah dan tidak
mengacuhkan ketika menghadapi gadis cantik yang terang-terangan memperlihatkan
cinta kasih kepadanya. Ia selalu menganggap bahwa wanita hanya akan melemahkan
semangatnya berjuang! Akan tetapi sekali ini ia benar-benar bingung. Wajah ini,
biar pun basah kuyup dan rambutnya awut-awutan, luar biasa cantiknya.
"Kenapa
kau memandang terus tanpa berkedip?" tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil
tersenyum.
"Eh...
oh... aku heran, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terkurung bencana dan dapat
datang menolong...," dalam gugupnya Kam Si Ek berkata, heran akan
kenakalan gadis ini menggodanya seperti itu.
Lu Sian lalu
menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendengar rencana jahat yang
dilakukan Phang-ciangkun untuk menipu dan menawan Kam Si Ek dan semua peristiwa
yang terjadi ketika ia melakukan pengejaran untuk menolong Kam Si Ek ke
Lok-yang. Kam Si Ek mendengarkan penuh perhatian, kagum akan kecerdikan Lu Sian
dalam mengikuti jejak mereka yang menculiknya, bergidik mendengar akan
kekejaman Kong Lo Sengjin membunuhi pengungsi.
"Dia
dahulu adalah seorang Raja Muda yang perkasa, berjuang mati-matian
mempertahankan Dinasti Tang. Sayang bahwa kekecewaan karena melihat jatuhnya
Kerajaan Tang membuat ia seperti gila dan menjadi seorang kejam."
"Kau
sendiri bersetia kepada Tang sampai rela mengorbankan nyawa," Lu Sian
menegur.
"Akan
tetapi semua kesetiaanku kutujukan kepada negara dan bangsa. Kerajaan Tang
roboh karena kesalahan Kaisar dan pembantu-pembantunya yang mengabaikan rakyat.
Sekarang, setelah Kerajaan Tang jatuh, aku hanya mengabdi kepada negara dan
rakyat, tidak mudah tertipu oleh mereka yang mengangkat diri sendiri menjadi
raja-raja kecil yang saling bertempur memperebutkan kekuasaan."
"Hemm,
kau memang... memang lain dari pada yang lain...." Lu Sian menarik napas
panjang, memandang kagum tanpa disembunyikan lagi.
Melihat
pandang mata gadis ini, berdebar jantung Kam Si Ek karena ia menjadi bingung
dan tidak mengerti mengapa gadis ini memandangnya seperti itu, menimbulkan rasa
tegang dan juga senang.
"Nona,
mengapa kau lakukan semua ini...?" akhirnya ia bertanya sambil memandang
tajam.
"Lakukan
apa?" Lu Sian balik bertanya sambil memperlihatkan senyumnya yang membuat
darah di seluruh tubuh Kam Si Ek bergelora.
"Melakukan
semua untuk menolongku. Mengapa kau seperti tidak mempedulikan keselamatanmu
sendiri hanya... hanya untuk menolong orang seperti aku?"
Sejenak
mereka saling pandang. Tanpa sengaja kini mereka saling mendekat, tinggal
sejengkal saja jarak antara hidung mereka. Akhirnya Lu Sian menundukkan mukanya
yang menjadi merah sekali, akan tetapi suaranya terdengar merdu dan jelas.
"Karena... karena aku cinta kepadamu!"
Hampir saja
Kam Si Ek terjengkang ke dalam air kalau saja Lu Sian tidak cepat-cepat
memegang lengannya dan menariknya. "Kau... kenapa.....?" gadis itu
bertanya kaget.
"Ah...
Lui Lu Sian.... Kau membikin aku hampir mati kaget...!" Kam Si Ek memang
amat kaget, kaget dan girang. Siapa yang takkan kaget mendengar seorang gadis
remaja yang demikian cantik jelita, yang dahulu telah merobohkan hatinya, kini
tiba-tiba mengaku cinta secara terang-terangan? "Lu Sian... mungkin...
mungkinkah ini...." ia lalu merangkul.
"Mengapa
tidak mungkin? Ketika kau muncul dahulu itu... menangkis pedangku, lalu bilang
bahwa hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya kau menangkan aku... nah, sejak itu
aku tak dapat melupakanmu...."
"Aduh,
kau adikku yang nakal... adikku yang manis..." Dalam kegirangan yang
meluap-luap Kam Si Ek lalu mendekap kepala gadis itu dan menciumnya.
Keduanya
yang selama hidupnya baru kali ini mengalami hal seperti itu, merasa
seakan-akan lemas seluruh syaraf di tubuh, membuat mereka tak dapat berdiri
tegak, dan tergulinglah mereka ke dalam air, masih berpelukan dan berciuman!
Dalam keadaan seperti itu untung sebelum mereka bangkit, mereka melihat
bayangan Ban-pi Lo-cia berkelebat di pinggir danau dan berdiri tak jauh dari
rumpun alang-alang! Tentu saja mereka tidak berani berkutik, dengan saling
rangkul mereka memaksa diri berendam di dalam air, menahan napas!
Setelah
bayangan itu lenyap lagi, baru mereka berani muncul dalam keadaan saling
rangkul dan terengah-engah, kemudian tertawa-tawa karena keadaan itu mereka
anggap lucu. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa, masih saling peluk dan saling
pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang. Lama mereka saling pandang tanpa
kata-kata.
Kemudian
terdengar Kam Si Ek berkata lirih, "Moi-moi, terima kasih atas budi dan
cintamu. Percayalah, semenjak aku melihatmu dahulu, aku sudah jatuh cinta
kepadamu, hanya aku... aku tahu diri. Seorang seperti aku mana mungkin
mengharapkan seorang dewi puteri Beng-kauwcu?"
Lu Sian
mencubit lengan pemuda itu. "Kau seorang Jenderal! Dan aku... aku hanya
wanita biasa, bagaimana kau bisa bilang begitu?" Ia lalu menyandarkan
mukanya pada dada yang bidang dan basah itu.
Dengan penuh
kebahagiaan Kam Si Ek mendekap kepala kekasihnya yang menggigil kedinginan.
Memang tadi di dalam air sudah amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada
dipermukaan air dan tertiup angin malam, dinginnya makin menghebat. "Ah,
kau kedinginan! Mari kita keluar dari sini!" katanya.
"Hemm,
kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura di sini," Lu Sian
menggoda.
Mereka
tertawa dan kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya ini. Jelas bahwa
Lu Sian ini memiliki watak yang bebas, lincah dan jenaka sekali. Tidak biasa ia
menghadapi watak seperti ini dan karenanya ia merasa amat gembira dan heran.
Mereka lalu meloncat ke darat.
"Kita
kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu yang membawamu masih berada di
sana?" tanya Lu Sian sambil meloncat.
"Ah,
malah kembali ke perahu?"
"Tentu
saja. Perahu itulah tempat satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua orang
kakek itu. Mereka tentu mengira kita mengambil jalan darat untuk kembali ke
bentengmu atau ke selatan."
Kam Si Ek
mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta gembira.
Mereka lalu sedapat mungkin memeras air dari pakaian yang mereka pakai,
kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap menuju ke Sungai Kuning di
utara. Di tengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu
dibawanya dalam saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek.
Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara karena khawatir kalau-kalau suara
mereka akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari tangan mereka yang
bicara banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si
Ek tak dapat menahan hatinya dan ia memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka
berdekapan dan berbisik-bisik di dekat telinga masing-masing.
Karena
melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, pada keesokan harinya pagi hari
barulah mereka sampai di sudut di mana perahu besar itu berlabuh. Alangkah
kaget hati Lu Sian melihat bahwa air bah makin membesar. Dusun yang terendam
air makin tak tampak dan keadaan di situ sunyi sekali, hanya terlihat para anak
buah perahu yang tetap berjaga. Dari tempat tinggi itu tampak perahu masih
berada di sana sehingga mereka menjadi girang sekali.
Karena
banjir makin membesar, kini rumah gedung itu mulai terendam air sedikit,
kira-kira sejengkal dalamnya. Ketika Lu Sian dan Kam Si Ek tiba di gedung itu,
mereka mendengar suara bersungut-sungut dari dalam.
"Celaka
betul, sampai sekarang belum juga ada berita dari kota raja! Apakah kita akan
didiamkan di sini sampai mati kedinginan?"
"Ah,
Laote, tak perlu mengomel. Ini termasuk kewajiban dan tentu akan ada
pahalanya!" cela suara lain.
Tiba-tiba
enam orang prajurit yang bertugas menjaga perahu itu terkejut ketika dua sosok
bayangan melompat masuk dan seorang gadis dengan pedang di tangan telah berada
di depan mereka. Apalagi ketika melihat bahwa bayangan ke dua adalah Kam Si Ek,
orang yang tadinya tertawan dan dibawa ke kota raja. Seketika mereka menjadi
pucat dan berseru, "Celaka...!"
Akan tetapi
pada saat itu, pedang di tangan Lu Sian sudah berkelebatan bagaikan seekor
burung garuda menyambar, mengeluarkan angin menderu dan muncratlah darah dari
tubuh enam orang itu yang roboh satu-satu dengan dada berlubang atau leher
hampir putus. Darah yang keluar dari luka mereka membuat sedikit air yang
merendam lantai seketika menjadi merah.
"Moi-moi...
jangan..." Kam Si Ek mencegah.
Akan tetapi
gerakan pedang Lu Sian amat cepat, secepat kilat menyambar, dan enam orang itu
telah menggeletak tak bernyawa lagi. Cegahan Kam Si Ek terlambat dan pemuda ini
berdiri dengan muka berkerut, tak senang ia menyaksikan perbuatan gadis ini
yang dianggapnya amat kejam dan ganas. Teringat ia bahwa gadis kekasihnya ini
adalah puteri tunggal Beng-kauwcu dan terbayang dalam benaknya
kekejaman-kekejaman yang terjadi di Beng-kauw. Tiba-tiba ia menjadi marah
sekali.
"Hemm,
gadis berhati kejam! Sekarang aku tahu maksud hatimu! Kau tidak ada bedanya
dengan yang lain. Tentu kau hendak membujukku untuk membantu ayahmu di Nan-cao,
bukan? Kau mempergunakan kecantikanmu untuk menjatuhkan hatiku. Memang, aku
cinta kepadamu, aku tergila-gila oleh kecantikanmu. Akan tetapi jangan harap
bahwa aku, Kam Si Ek seorang laki-laki sejati akan menjual negara dan bangsa
hanya karena seorang wanita!" Ia mencabut golok emasnya dan memandang
dengan mata penuh kemarahan.
Lu Sian
terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Ia malah tersenyum mengejek. Ia puteri
tunggal Pat-jiu Sin-ong, tentu saja ia pun mempunyai watak yang amat aneh.
Membunuh baginya bukan apa-apa. Orang yang patut dibunuh harus dibunuh,
demikian ajaran ayahnya. Kini ia memandang dengan mata penuh kagum dan cinta
kepada Kam Si Ek, akan tetapi sengaja ia tersenyum mengejek. Inilah kesempatan
baik baginya untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia lalu menggerakkan
pedangnya dan berkata.
"Kam Si
Ek, begitukah dugaanmu? Dan kau telah menghunus golokmu? Baiklah, mari kita
lihat siapa di antara kita yang lebih lihai!" Sambil berkata demikian,
gadis itu meloncat ke ruangan belakang gedung yang lebih luas karena ruangan
itu penuh mayat. Sambil melompat ia melirik dan mengeluarkan suara ketawa
mengejek, membikin hati Kam Si Ek makin panas.
"Lihat
golok!" bentak Kam Si Ek sambil meloncat mengejar bagaikan kilat.
Lu Sian
membalikkan tubuh dan menggerakkan pedangnya menangkis. Maka bertandinglah kedua
orang itu dalam ruangan belakang di mana lantainya penuh air sehingga kaki
mereka membuat air di lantai muncrat-muncrat. Golok dan pedang
menyambar-nyambar dan berkali-kali terdengar suara nyaring beradunya kedua
senjata itu! Memang aneh kedua orang muda ini. Beberapa jam yang lalu mereka
masih berpelukan, berciuman, dan sekarang mereka sudah saling serang, senjata
mereka saling mengintai nyawa!
Dalam hal
ilmu silat, Kam Si Ek masih kalah oleh Liu Lu Sian. Akan tetapi pemuda ini
mempunyai ketabahan hati luar biasa, karenanya ilmu goloknya seperti dimainkan
oleh orang nekat, juga tenaganya besar sekali sehingga untuk seratus jurus
lamanya mereka bertanding dengan seru dalam keadaan berimbang.
Lu Sian
orangnya memang cerdik sekali. Ia sudah dapat menyelami perasaan hati
kekasihnya, maka ia tidak marah ketika tadi dimaki-maki. Ia tahu bahwa cara
hidup kekasihnya itu jauh berbeda dengan dia, maka bagi Kam Si Ek, cara
pembunuhan yang dilakukan tadi tentu amat mengagetkan. Selain itu, agaknya
kekasihnya ini mulai merasa curiga, mengira bahwa dia memang bermaksud membujuk
dan menariknya untuk membantu Kerajaan Nan-cao. Oleh karena ini, maka ia
berlaku hati-hati sekali. Kalau sampai ia menyinggung hati pemuda yang sudah
menjadi kekasihnya itu, maka hal itu dapat merenggangkan perhubungan mereka
yang sudah mulai terjalin.
Kini ia
sudah merasa puas menguji kepandaian Kam Si Ek. Sungguh pun tingkat kepandaian
jenderal muda ini tentu saja sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan
tingkat kepandaian Kwee Seng, namun kalau dibandingkan dengan para pemuda yang
pernah datang ke Beng-kauw, Kam Si Ek boleh dibilang paling unggul. Tidak
banyak selisihnya dari pada tingkatnya sendiri. Kalau ia mau, tentu lambat laun
ia dapat mendesak dan mengalahkan Kam Si Ek. Maka ia sudah merasa puas.
Bakat ilmu
silat dalam diri Kam Si Ek amat baik, kalau pemuda ini menerima pelajaran ilmu
silat tinggi, tentu dia sendiri pun akan kalah! Ia sudah mencoba kepandaiannya,
akan tetapi belum mencoba hatinya. Biarlah ia mainkan ujian berbahaya ini.
Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan pedangnya dan ketika
golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis, bahkan meramkan kedua
matanya menanti maut!
Tak usah
diceritakan lagi betapa terkejutnya hati Kam Si Ek. Pemuda ini berseru kaget.
Karena sudah tak mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin ia
menyelewengkan bacokannya yang mengarah ke leher. Namun tetap saja goloknya itu
membabat ke arah pundak dan ‘makan’ ke dalam daging di pangkal lengan Lu Sian.
Darah mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak seperti
patung, mukanya pucat, matanya terbelalak, lalu ia memandang wajah Lu Sian
dengan bingung.
"Kau
bunuhlah. Mengapa tidak jadi? Bukankah engkau hendak membunuhku?" Lu Sian
berkata. Biar pun pangkal lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar
girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini. Jelas bahwa pemuda itu tidak
membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu hanya
digerakkan oleh kemarahan yang tiba-tiba.
"Kau...
kau mengapa begini aneh...? Mengapa membunuh orang... dengan kejam...?"
"Mengapa
aku membunuh mereka berenam tadi? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah
pasukan yang telah menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang
dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka ini sudah melihat kita. Kalau
tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada mereka?
Kau seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang
musuh tanpa berkedip, membunuh laksaan orang yang tidak kau ketahui apa
kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka. Sekarang aku membunuh enam orang
yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan bahaya bagi
kita, mengapa kau marah-marah? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan
membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao! Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda
bahwa cintamu palsu belaka, hanya di bibir. Aku... aku... ahhhh....!"
Tubuh Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling.
Kam Si Ek
kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu. Ia makin
gugup saat melihat betapa wajah gadis itu pucat, matanya meram, mulutnya
terkancing rapat.
"Moi-moi...
Moi-moi..., kau maafkan aku... ah, aku bodoh sekali! Lu Sian...!
Moi-moi...!"
Kam Si Ek
lalu memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang dan golok, lalu berlari ke
belakang rumah dan meloncat ke atas dek perahu besar. Hanya di perahu itulah
tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu Sian ke atas sebuah pembaringan
yang berada di bilik perahu.
"Ah,
benar-benar aku lancang tangan... Moi-moi, kau ampunkan aku...!"
Kam Si Ek
merobek baju di pundak Lu Sian dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan
mengeluarkan banyak sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda itu lalu
merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak dengan erat sekali untuk mencegah
mengalirnya darah terlalu banyak. Kemudian, melihat wajah gadis itu masih pucat
dan matanya masih meram, napasnya tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia
lari ke sana ke mari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat api dan
memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik dari pada air matang untuk mencuci
luka, pikirnya. Di musim banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat
tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih.
Ia sama
sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya terengah-engah itu menjadi
biasa kembali, mata yang tadinya meram itu, terbuka satu dan bergerak mengikuti
gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum geli! Kalau ia mendekat, mata itu
tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi! Setelah air matang Kam Si Ek
lalu membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci luka sampai bersih lalu
membalut lagi. Kemudian, melihat di perahu itu banyak perlengkapan bahan makan
ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin.
Bukan main
gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu yang biar pun sudah mulai siuman,
namun belum sadar, masih bergerak-gerak gelisah di atas pembaringan. Matanya
tetap ditutup dan sekarang malah mulutnya mengigau seperti orang terserang
demam! Dapat dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam igauannya, sambil
meramkan mata, gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya!
"Ayah,
aku tidak mau menikah dengan Kwee Seng! Tidak mau dengan raja muda di timur,
pangeran di barat atau putera mahkota di utara! Aku hanya mau menikah dengan
Kam Si Ek. Biar dia jenderal tolol, biar dia laki-laki canggung, aku sudah
cinta kepadanya, Ayah!"
Kam Si Ek
duduk bengong di pinggir pembaringan. Bermacam perasaan teraduk dalam hatinya.
Girang dan bahagia karena dalam igauannya ini Liu Lu Sian jelas membuka isi
hatinya yang amat mencintainya. Bingung karena gadis itu makin malam makin
hebat mengigau dan gelisah. Duka dan khawatir karena ia telah melukai gadis
itu, melukai tubuh dan hatinya.
Lu Sian
mengigau terus. Dalam igauannya itu malah ia menyebut-nyebut bahwa ia bersama
Kam Si Ek akan pergi menemui Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, untuk minta
bantuan gubernur ini menjadi perantara meminangnya kepada ayahnya di Nan-cao.
Mendengar igauan ini, sadarlah Kam Si Ek bahwa itulah jalan terbaik. Ia memang
tadinya menerima undangan atau panggilan Gubernur Li dan di tengah jalan ia
dijebak dan dikhianati komplotan para perwira yang memberontak dan
pasukan-pasukan kerajaan Liang. Hal itu perlu ia laporkan kepada Gubernur Li.
Di samping itu untuk mengajukan lamaran kepada ayah Liu Lu Sian yang selain
menjadi Ketua Beng-kauw, juga menjadi koksu (guru negara) di Nan-cao, siapa
lagi yang lebih tepat selain dengan perantaraan Gubernur Li?
Ia memeluk
Lu Sian dan mencium pipinya dengan mesra. "Moi-moi, tenangkanlah hatimu,
kau ampunkan kokomu yang tolol ini. Aku cinta kepadamu, Moi-moi, dan demi
Tuhan, aku akan meminangmu dari tangan ayahmu." Ia lalu sibuk melepaskan
perahu dari ikatannya, mendayung ke tengah lalu memasang layar. Biar pun bukan
ahli, Kam Si Ek tidak asing dengan pelayaran, maka biar pun hari telah berganti
malam, ia berani melayarkan perahunya di bawah sinar bulan.
Lu Sian
membuka matanya dan tersenyum-senyum girang. Melihat Kam Si Ek sibuk
mengemudikan perahu, ia lalu mengeluarkan bungkusannya, mengambil obat luka dan
mengobati pundaknya. Kemudian ia mengusap-ngusap pipinya yang masih panas oleh
ciuman Kam Si Ek, perlahan-lahan turun dari pembaringan, lalu keluar dari dalam
bilik.
"Koko
(Kanda)...," ia berseru memanggil lirih.
Kam Si Ek
terkejut dan menoleh. Melihat gadis itu berdiri bersandar pintu bilik, ia
terkejut, girang dan juga khawatir. "Eh, kau sudah bangun, Moi-moi? Kau
beristirahatlah, jangan keluar dulu, nanti kena angin...! Itu ada bubur di
meja, kau makanlah...!"
"Aku
tidak lapar, Koko, dan aku sudah sembuh." Mana bisa ia merasa lapar kalau
hatinya sebahagia itu? Pula, ketika ia berpura-pura pingsan dan mengigau,
bukankah Kam Si Ek dengan amat telaten telah menyuapinya dengan bubur sampai
kekenyangan? "Aku merasa seperti baru bangun dari mimpi. Eh, Koko. Kau
melayarkan perahu ini ke manakah?"
Girang
sekali hati Kam Si Ek melihat kekasihnya benar-benar telah sembuh, wajahnya
berseri, pipinya merah dan matanya bersinar-seinar. "Pundakmu tidak nyeri
lagi, Moi-moi?"
Dengan gaya
manja Lu Sian menggeleng kepalanya lalu berjalan menghampiri. Dengan satu
tangan Kam Si Ek memegang tali layar, tangan ke dua meraih lengan gadis itu dan
mereka berpegang tangan, saling pandang penuh kasih.
"Sian-moi,
kau tahu bahwa aku dipanggil oleh Gubernur Li, akan tetapi aku diculik oleh
pasukan yang berkhianat dan bersekongkol dengan Raja Liang. Hal ini harus
kulaporkan kepada Gubernur Li, maka aku sekarang hendak pergi ke Shan-si untuk
berunding dengan beliau. Kuharap kau suka ikut denganku ke sana. Selain
berunding urusan pengkhianatan itu, aku pun perlu minta bantuannya...."
Sampai di sini pemuda itu berhenti bicara dan mukanya menjadi merah.
"Bantuan
apa, Koko?" Lu Sian bertanya, pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam
girang sekali karena agaknya akalnya ‘mengigau’ itu berhasil baik.
"Moi-moi."
Tangan Kam Si Ek menggenggam erat-erat tangan Lu Sian. "Aku hendak mohon
bantuannya untuk menjadi orang perantara, mengajukan pinangan atas dirimu dari
tangan ayahmu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan di Nan-cao."
Girang
sekali hati Lu Sian. "Koko, ke mana pun juga kau pergi, aku suka
ikut!"
Tidak ada
kegembiraan yang lebih besar bagi muda-mudi dari pada kegembiraan dua buah hati
yang saling bertemu. Berhari-hari mereka menjalankan perahu sambil bersenda
gurau, menceritakan keadaan masing-masing, menangkap ikan dan masak-masak lalu
makan bersama. Kam Si Ek makin mendalam cinta dan kagumnya terhadap Lu Sian, mengagumi
kecantikan dan kelincahan gadis ini, termasuk wataknya yang kadang-kadang aneh.
Di lain pihak, Lu Sian juga kagum akan kekasihnya yang sudah tiada orang tua
lagi, tentang keturunan keluarga Kam yang semenjak dahulu terkenal sebagai
panglima-panglima perang jagoan. Ketika Lu Sian bercerita tentang pertemuannya
dengan kakak seperguruan jenderal itu, yaitu Lai Kui Lan di dalam benteng, Kam
Si Ek menyatakan kekhawatirannya.
"Suci
seakan-akan telah menjadi saudara kandungku. Dia seorang pendiam dan bersungguh-sungguh,
banyak membantuku dalam perang. Akan tetapi akhir-akhir ini ia sering kudapati
menangis di kamarnya, dan sama sekali tidak mau menceritakan apa
sebab-sebabnya. Aku khawatir sekali ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Malah
sebelum aku pergi dari benteng, Suci seringkali berkunjung ke Kwan-im-bio di
luar benteng, bahkan bermalam di sana. Agaknya ia menjadi kenalan baik dari
para nikouw (pendeta wanita) di kuil itu."
Mendengar
ini, Lu Sian dapat menduga dan ia hanya mengeluh di dalam hatinya, tidak mau
menceritakan apa yang menjadi dugaannya. Ia menduga bahwa Kui Lan tentu menjadi
korban asmara, tentu berduka karena Kwee Seng terjatuh ke dalam jurang dan
binasa. Gadis itu mencinta Kwee Seng dan menjadi patah hati. Ia tidak berani
bercerita tentang Kwee Seng kepada Kam Si Ek karena cerita ini tentu akan
membuka pula rahasia tentang perasaan Kwee Seng kepadanya. Akibat ceritanya ini
tentu akan mendatangkan suasana tidak enak di antara mereka, apalagi di situ
tersangkut pula diri Lai Kui Lan.
Cinta memang
aneh. Biar pun dua orang muda yang amat jauh berbeda sifat dan wataknya, namun
kalau sudah dipengaruhi cinta kasih, mereka seperti lupa akan semua perbedaan
ini. Seorang yang mabok dicinta, hanya akan melihat yang baik-baik saja dari
kekasihnya. Demikian pula dengan Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Kalau saja mereka
tidak sedang mabok cinta, tentu mereka akan dapat melihat bahwa mereka
mempunyai watak yang jauh berbeda.
Kam Si Ek
adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur, berdisplin memegang aturan, gagah
perkasa dan seorang patriot. Sebaliknya, Lu Sian memiliki dasar watak yang
aneh, kadang-kadang licik, dan menjalankan siasat-siasat yang curang bukanlah
aneh baginya. Ia tidak peduli akan segala aturan, bebas merdeka dan liar. Tidak
mau kalah oleh siapa pun juga, tidak peduli akan orang lain menderita atau
tidak, tidak peduli sama sekali tentang negara mau pun bangsa. Baginya, siapa
yang menentangnya akan ia hantam!
Perbedaan
itu secara mencolok akan tampak kalau kita dapat menjenguk isi hati dan pikiran
mereka pada saat mereka duduk melamun. Kam Si Ek melamunkan kebahagiaannya
kalau sudah menikah dengan Liu Lu Sian, melamun betapa dengan bantuan isterinya
yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa itu, ia akan dapat berjuang
dan memilih junjungan yang benar-benar tepat pada jaman itu, seorang calon raja
yang akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya,
Lu Sian di samping melamun tentang kesenangannya menjadi isteri pemuda yang
dicintanya, juga ia teringat akan kekalahan-kekalahannya yang diderita selama
ini. Hatinya panas bukan main kalau ia teringat betapa ia sama sekali tidak
berdaya menghadapi orang-orang sakti seperti Kwee Seng, Ban-pi Lo-cia, Bayisan,
dan Kong Lo Sengjin. Alangkah masih jauh ia ketinggalan dalam ilmu silat,
pikirnya dengan hati tidak puas. Ia bercita-cita untuk memperdalam ilmu
silatnya, mencari kitab-kitab pusaka dan wasiat-wasiat ilmu silat agar ia dapat
menjadi seorang tokoh sakti yang akan menjagoi dunia persilatan, mengalahkan
orang-orang itu. Pertama-tama ia akan minta kepada ayahnya untuk mewariskan
ilmu-ilmu baru ciptaan ayahnya, kemudian ia akan menitahkan anak buah suaminya
untuk menyelidiki dan mencari orang-orang berilmu!
Untung bagi
mereka, di dalam perjalanan mereka tidak bertemu dengan Ban-pi Lo-cia mau pun
Kong Lo Sengjin. Setelah tiba di wilayah Shan-si, mereka merasa aman, melakukan
perjalanan cepat dengan menunggang kuda memasuki ibu kota Shan-si, menghadap
Gubernur Li Ko Yung.
Gubernur Li
adalah seorang yang cerdik sekali. Dia merupakan seorang di antara pimpinan
pemberontakan yang menggulingkan kedudukan kaisar terakhir Dinasti Tang. Akan
tetapi ia tidak semaju Gubernur Cu Bun di Ho-nan yang akhirnya berhasil
menggulingkan Kerajaan Tang dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar pertama
Kerajaan Liang. Terhadap Jenderal Kam Si Ek, Gubernur Li berlaku amat
hati-hati. Ia maklum bahwa jenderal muda ini amat setia terhadap negara dan
bangsa, dan bahwa jatuhnya Kerajaan Tang tidak mempengaruhi hati Kam-goanswe.
Oleh karena itulah maka dengan cerdik ia hendak mempergunakan tenaga dan
pikiran jenderal muda itu secara halus.
Ia menyambut
kedatangan Kam Si Ek dengan ramah tamah dan penuh penghormatan, juga terhadap
Liu Lu Sian yang diperkenalkan sebagai puteri Beng-kauwcu, ia menyambut dengan
ramah. Ketika secara singkat Kam Si Ek menceritakan bahwa perwira she Phang
yang diutus memanggilnya ke benteng itu telah bersekongkol dengan pasukan
Kerajaan Liang untuk menawannya, Gubernur Li menjadi marah sekali.
"Keparat
itu berani melakukan kejahatan seperti itu?" Gubernur Li menggebrak meja,
memanggil seorang panglima dan memerintahnya segera berangkat membawa pasukan
dan surat perintahnya untuk menangkap Phang-ciangkun dan menjatuhi hukuman
mati! Setelah itu ia menjamu kedua orang tamu agung ini dengan arak dan
hidangan lezat, berkali-kali ia memberi selamat atas pembebasan Kam-goanswe
dari pada bahaya.
Kemudian,
setelah mereka kenyang makan minum dan mengusir para pelayan, Gubernur Li Ko
Yung berkata. "Goanswe, saya ingin sekali bicara empat mata denganmu,
untuk merundingkan urusan negara dalam keadaan kacau-balau seperti sekarang
ini," berkata demikian, ia melirik ke arah Liu Lu Sian.
Gadis ini
tentu saja maklum bahwa dia merupakan ‘orang luar’, apalagi dia adalah puteri
Guru Negara Nan-cao, maka tentu saja ia tidak berhak mendengar. Namun dasar ia
berwatak nakal dan kukwai (aneh), ia pura-pura tidak tahu dan enak-enak duduk
minum arak wangi! Kam Si Ek merasa tidak enak sekali. Mengusir Liu Lu Sian
pergi, tentu saja tidak enak baginya, mendiamkannya saja kekasihnya berada di
situ, juga tidak enak terhadap Gubernur Li. Maka dengan memberanikan hati ia lalu
berkata sambil bangkit berdiri dan menjura kepada gubernur itu.
"Li-taijin,
harap maafkan. Sebelum kita meningkat kepada percakapan urusan negara yang
penting, baiklah lebih dulu saya menyatakan terus terang bahwa Nona Liu ini
bukanlah orang luar. Dia adalah... adalah... calon isteri saya, yaitu... eh...,
kalau saja Taijin sudi melepas budi kebaikan kepada kami berdua untuk menjadi
orang perantara dan mengajukan pinangan kepada Beng-kauwcu di Nan-cao."
Setelah berkata demikian, dengan muka merah ia duduk kembali. Liu Lu Sian
tersenyum di dalam hati, akan tetapi ia diam saja pura-pura tunduk karena malu.
Sejenak
gubernur ini tercengang, kemudian ia tertawa bergelak-gelak saking girangnya.
Tidak ada kesempatan sebaik ini! Cocok benar dengan cita-cita hatinya. Mengikat
hubungan baik dengan Nan-cao! Melepas budi kepada Jenderal Kam! Mana ada
kesempatan yang lebih bagus dari pada ini demi terlaksananya cita-citanya?
"Ha-ha-ha!
Bagus..., bagus sekali! Kionghi, kionghi (selamat,selamat)! Memang sudah tiba
waktunya Kam-goanswe memilih teman hidup dan Nona Liu yang cantik jelita puteri
Beng-kauwcu benar-benar merupakan pasangan yang amat cocok dengan Kam-goanswe.
Sekali lagi kionghi, dan tentu saja dengan segala senang hati saya suka menjadi
perantara!"
Gubernur Li
mengangkat cawan memberi selamat, dan dua orang muda itu cepat menghaturkan
terima kasih. Setelah itu Gubernur Li Ko Yung berkata dengan suara
bersungguh-sungguh. "Ji-wi (kalian) tentu maklum bahwa bekas Gubernur Cu
Bun yang sekarang mengangkat diri sendiri menjadi Raja Dinasti Liang adalah
seorang pengkhianat, maka tidak mengherankan pula ia berusaha menculik
Kam-goanswe. Memang dahulu kami bekerja sama dalam usaha menggulingkan Raja
Tang yang pada waktu itu merupakan raja lalim. Akan tetapi sama sekali bukan
menjadi rencana kami untuk mengangkat diri sendiri menjadi raja, tapi hanya
bermaksud menggulingkan raja lalim dan mencari pengganti yang tepat. Siapa kira
Cu Bun berkhianat dan mendirikan dinasti baru yang sekarang ini. Maka tidak
mengherankan apabila mereka yang tadinya membantu dalam perjuangan, kini
memisahkan diri dan terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil. Sekarang, bagaimana
dengan daerah kita yang meliputi Propinsi Shan-si? Tentu saja kita tidak akan
tunduk kepada Kerajaan Liang atau kerajaan kecil yang mana pun juga. Bagaimana
pendapat Kam-goanswe?"
Kam Si Ek
mengangguk-angguk, lalu berkata, "Saya setuju dengan pendapat Taijin. Demi
kesetiaan leluhur kita yang berjuang untuk negara dan rakyat, saya sendiri
tidak akan mudah memilih junjungan, karena sekali kita salah pilih mengabdi
kepada raja lalim berarti kita pun membantu kelalimannya."
"Betul
sekali ucapan Kam-goanswe! Kita berjuang di bidang yang lain, saya di bidang
sipil, Goanswe di bidang muliter, namun pendapat dan tujuan kita cocok! Kita
boleh menanti dan memilih secara hati-hati. Sementara itu, sebelum muncul
seorang pemimpin yang betul-betul cocok, kita tidak bisa membiarkan daerah
Shan-si yang menjadi tanggung jawab kita ini dicaplok oleh raja kecil palsu
yang mana pun juga. Bukankah begitu, Kam-goanswe?"
"Betul
sekali, Taijin. Saya akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan dan
membela Shan-si!"
"Bagus!
Nah, ketahuilah, Goanswe. Di antara para raja kecil yang secara lancang
mengangkat diri sendiri, kini terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan. Bukan
hanya dari Kerajaan Liang saja datangnya ancaman terhadap wilayah kita,
melainkan dari Se-cuan, dari timur Kerajaan Wu Yue, belum lagi ancaman yang
amat membahayakan dari Bangsa Khitan. Untuk mempertahankan wilayah kita, perlu
kita membentuk pemerintahan sementara dan kerja sama yang erat antara kita
semua yang bertugas di Shan-si. Oleh karena itu, setelah nanti saya menjadi
orang perantara dan telah dilangsungkan pernikahan antara Ji-wi berdua, saya
minta agar Kam-goanswe sudi memegang tugas panglima di sini dan mengatur semua
barisan yang perlu diperkuat untuk mejaga wilayah kita dari ancaman di segala
jurusan."
Pandai
sekali Gubernur Li mengatur rencana dengan halus sehingga Kam Si Ek yang
berwatak jujur itu percaya seratus prosen. Sama sekali Gubernur Li Ko Yung
tidak membayangkan niat untuk mencari kekuasaan sendiri, maka serta merta Kam
Si Ek menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama.
Ada pun Lu
Sian yang lebih cerdik dan sudah biasa menghadapi kelicikan dan siasat busuk orang,
sedikit banyak menaruh curiga, akan tetapi ia tidak mau peduli akan cita-cita
gubernur itu. Hasratnya hanya satu, yaitu menjadi isteri Kam Si Ek yang
dicintainya, dan kalau gubernur itu dapat menjadi perantara sehingga hasrat
hatinya terkabul, ia merasa cukup puas. Baginya sama saja apakah Gubernur Li
itu seorang patriot tulen ataukah seorang pengkhianat. Juga ia tidak peduli Kam
Si Ek akan membantu siapa, asal jenderal muda yang perkasa ini menjadi
suaminya.
Ketika
utusan Gubernur Li yang merupakan sepasukan berkuda membawa seorang wakil dan
surat pribadi mengajukan pinangan, berikut pula berpeti-peti barang berharga
tiba di Nan-cao menghadap kepada Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua
Beng-kauw ini membaca surat dan menarik napas panjang. Betapa pun juga, ia
kurang cocok dengan pilihan puterinya ini, dan ia akan lebih senang kalau
puterinya mendapat jodoh seorang tokoh kang-ouw seperti Kwee Seng. Puterinya
terdidik sebagai seorang ahli silat, sebagai seorang yang biasa terbang bebas
seperti burung di udara, sekarang puterinya memilih Kam Si Ek, seorang jenderal
yang terkenal sebagai ahli perang yang berdisiplin, bagaimana dapat cocok watak
mereka?
Akan tetapi
karena surat itu dilampiri surat puterinya, dan ia mengenal baik watak
puterinya yang mewarisi wataknya sendiri, yaitu tidak mau mundur sejengkal pun
untuk melaksanakan keinginan hatinya, pula mengingat bahwa Kam Si Ek adalah
seorang pemuda perkasa yang dijadikan rebutan oleh kaum wanita, keturunan
panglima-panglima perkasa pula, terpaksa ia mengalah. Apalagi kalau Ketua
Beng-kauw ini sebagai seorang kok-su (guru negara) mengingat akan suasana dan
kedudukan Kam-goanswe sebagai panglima di Shan-si, yang tentu saja merupakan
kekuasaan yang amat baik untuk dijadikan sekutu, maka ia segera menulis surat
balasan menerima pinangan itu dan menetapkan hari pernikahan puterinya di
Nan-cao.
Semenjak
kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir tiga abad (618-907) roboh
oleh Gubernur Cu Bun yang kemudian mengangkat diri sendiri menjadi raja dari Kerajaan
Liang Muda, muncul raja-raja kecil di seluruh negara yang jumlahnya sukar
dihitung. Di samping perebutan kekuasaan di antara raja-raja kecil ini, banyak
pula keluarga Kaisar Tang yang berhasil menyelamatkan diri, dibantu oleh para
bekas panglima dan bangsawan. Kelompok ini tidak lantas berdiam diri, tapi
terus berusaha untuk merebut kembali tahta Kerajaan Tang yang sudah roboh itu.
Seorang
pangeran Tang secara diam-diam menghimpun kekuatan dan berhasil menarik
tenaga-tenaga ahli, di antaranya bahkan telah mendapat bantuan dari bekas Raja
Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah menjadi seorang kakek lumpuh yang
sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin. Pangeran ini dapat pula menarik bantuan
Gubernur Li Ko Yung yang dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si Ek, dan masih banyak
pula orang-orang gagah yang menganggap bahwa memang Pangeran Tang itu tepat
untuk mendirikan kembali Kerajaan Tang setelah berhasil merampas tahta kerajaan
dari Pemerintah Liang Muda.
Setelah
mengalami perang hebat, yang merupakan perang saudara, maka berhasillah
Pangeran Tang itu merobohkan Kerajaan Liang Muda, menghajar habis bala
tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini terjadi pada tahun 923
sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan
pertama dari jaman Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas tahun saja
(907-923).
Kini
pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan Tang, dimulai pada tahun 923
itu dan diberi nama Kerajaan Tang Muda. Akan tetapi ternyata tidaklah seperti
Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang Muda ini, karena masih
terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara ‘orang dalam’, juga ancaman
serangan dari raja-raja kecil masih terus mengepung Kerajaan Tang Muda.
Gubernur Li
yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata tidak diberi kenaikan pangkat,
tidak ditarik ke kota raja untuk dijadikan menteri, melainkan oleh Raja Tang
Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si seperti biasa dan hanya diberi
pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu pernah ikut memberontak kepada raja
terakhir Dinasti Tang! Gubernur ini tidak berani membantah secara berterang,
namun di dalam hatinya timbul dendam terhadap Kerajaan Tang Muda. Ada pun Kam
Si Ek yang tenaganya amat dihargai dan terutama sekali masih amat dibutuhkan
oleh kerajaan baru ini, masih tetap tinggal di Shan-si.
Waktu
berjalan dengan amat cepatnya. Sementara terjadi pergantian kekuasaan itu,
pernikahan antara Kam Si Ek dan Liu Lu Sian sudah berjalan tujuh tahun dan
mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun. Anak ini bernama Kam Bu
Song, seorang anak yang sinar matanya tajam membayangkan kecerdasan, wajahnya
toapan (lebar dan terang), dan mempunyai tulang dan otot yang kuat, menjadi
bahan baik untuk menjadi ilmu silat. Akan tetapi, Kam Si Ek lebih suka
menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih dulu, maka sejak berusia
lima tahun, Kam Bu Song sudah pandai membaca ribuan huruf.
Suami isteri
ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh kebahagiaan, berenang dalam madu cinta
kasih. Akan tetapi, seperti yang telah dikhawatirkan oleh Pat-jiu Sin-ong,
perbedaan watak mereka mulai terasa setelah lewat beberapa tahun. Dalam soal
pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah berbeda pendapat dan hal ini
sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian menghendaki puteranya menjadi ahli
silat yang kelak akan menjagoi kolong langit, sebaliknya Kam Si Ek berpendapat
lain, tidak menyukai puteranya menjadi seorang petualang dunia kang-ouw.
Soal-soal
lain yang jelas memperlihatkan perbedaan paham dan kesenangan segera
susul-menyusul memperlihatkan diri. Kalau tadinya perbedaan-perbedaan itu masih
terselimut cinta kasih mereka yang mesra, lambat laun perbedaan ini terlihat
mencolok dan mulai mengganggu perasaan. Lu Sian beberapa kali menyatakan
keinginannya merantau, malah mengajak suaminya meninggalkan tugas untuk setahun
dua tahun agar mereka dapat mengajak putera mereka merantau dan menambah
pengalaman di dunia kangouw. Tentu saja Kam Si Ek menolak ajakan ini.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment