Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 06
Lu Sian
menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu kepandaiannya agar kelak
dapat diturunkan kepada puteranya atau setidaknya, kelak takkan dapat terhina
lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah mereka derita ketika mereka bentrok
melawan orang-orang sakti. Akan tetapi Kam Si Ek menjawab bahwa bukanlah ilmu
silat yang dapat melindungi manusia, melainkan watak yang baik!
Demikianlah,
percekcokan-percekcokan kecil timbul, disusul dengan percekcokan-percekcokan
besar. Kam Si Ek yang berwatak keras dan jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya
tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang tadinya penuh kebahagiaan itu menjadi
berantakan! Pada suatu pagi yang cerah, kegelapan meliputi rumah Panglima Kam
Si Ek karena isterinya tidak berada di dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa
petualang! Hanya sehelai kertas ditinggalkan berikut beberapa huruf tulisannya.
Kam Si Ek,
Kita
berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi dengan seorang yang kau anggap
cocok dengan keadaanmu. Aku titip Bu Song, kelak kalau aku sudah berhasil, akan
kujemput dia.
Liu Lu Sian
Kam Si Ek
menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri di atas kursi dalam kamar
sambil memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah
pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama sekali berbeda dengan
wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia
menerima penderitaan dari kesalahan ini dengan hati tabah. Betapa pun juga, ia
mencinta isterinya itu. Sekarang hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih
melihat kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya. Terbayang percekcokan
mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya membujuknya untuk
meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.
"Si
Ek!" demikian isterinya berkata marah. Isterinya itu sejak menikah
menyebut namanya begitu saja. "Kau sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda
ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan ini
menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya
mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa
kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?"
"Lu
Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan
diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku.
Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap
bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut
dengan kelaliman mereka. Aku bertugas menjaga keamanan di perbatasan barat
untuk menghalau musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas
mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat."
"Apa
bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya.
"Kau kurung dirimu dengan tugas, dan kau kurung diriku pula dengan
kekukuhanmu. Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku? Ah, kiranya
cintamu terhadapku sudah mulai luntur!" Lu Sian bersungut-sungut, akan
tetapi dia tidak menangis, tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau
bertengkar.
"Lu
Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri?
Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak,
tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh pernikahan. Cinta
muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya
tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih
matang dan libat-melibat dengan kewajiban, saling berkorban dan mengurangi
pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai
suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di sisiku melaksanakan
kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya? Kalau kau ajak aku dan
anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan diri
dari pada kewajiban? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song? Kau tahu
sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."
Lu Sian
menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak.
"Cukup! Bosan aku mendengar kuliahmu! Kalau aku tahu bahwa cintamu
terhadapku hanya untuk membuat aku terikat kewajiban-kewajiban, tidak sudi
aku!" Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting
pintu keras-keras.
Kam Si Ek
berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas
panjang. Kemudian ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya
makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu, isterinya sama sekali
tidak suka didekatinya. Di dalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai
akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan di atas kedua lengan.
Dan pada
pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi meninggalkannya,
meninggalkan putera mereka. Dia yang sudah mengenal baik watak isterinya, tahu
pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula kalau ia menanti.
Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali mengeluarkan
kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!
Baru tujuh
tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru
berusia dua puluh lima! Mereka berdua masih muda dan sudah harus berpisah. Kam
Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang dialaminya. Apalagi kalau Bu Song,
puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang ibunya, serasa
dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang
berusia enam tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan
bundanya.
"Apakah
ibu nakal dan ayah mengusirnya? Apakah kesalahan ibu?" berkali-kali Bu
Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke
selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao.
Bu Song
tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi
begitu saja tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya atau pun dia.
Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka itu
membentaknya dengan keras. Sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi tentang
ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan
menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah dan ibunya. Ia sudah terlalu
sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok. Ia tahu bahwa mereka bertengkar
akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya
yang salah di antara mereka.
Semenjak
isterinya pergi meninggalkannya, hidup seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek.
Setelah Lu Sian pergi, barulah ia merasa betapa sunyi rasanya dan betapa tiada
kegembiraan sama sekali dalam hidupnya. Kalau keadaan Kerajaan Tang Muda tidak
seburuk itu, agaknya ia akan mendapat hiburan dengan pekerjaannya. Akan tetapi
keadaan Kerajaan Tang Muda ini benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian
dalam pertengkaran mereka.
Memang betul
bahwa Kerajaan Liang yang merobohkan Dinasti Tang itu dapat dihancurkan dan
dapat pula didirikan Kerajaan Tang Muda dengan pimpinan para keturunan keluarga
Raja Tang, namun keadaannya sudah amat buruk dan rusak. Pimpinan muda itu hanya
sekelompok orang-orang yang mengumbar nafsu, orang-orang yang mengejar
kesenangan belaka, mengejar kedudukan dan kemuliaan. Setelah memperoleh
kedudukan dan kemuliaan, orang-orang yang tadinya menjadi pejuang gagah berani
menjadi lupa sama sekali akan tujuan perjuangan mereka.
Setiap orang
pejuang tadinya bercita-cita menghalau penindas, menghalau kelaliman demi
kesejahteraan rakyat jelata, demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, begitu para
pejuang ini merasakan kenikmatan dari pada kedudukan dan kemuliaan, maboklah
mereka dan lupalah mereka akan cita-cita luhur itu. Masa bodoh rakyat yang
melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku yang berjuang mati-matian. Aku
yang bertaruh nyawa. Aku pula yang harus senang. Mengapa memikirkan orang lain?
Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan mereka apabila sewaktu-waktu suara
hati pejuang menuntut mereka di dalam hati sanubari.
Namun di
dunia ini tiada yang kekal. Kesenangan tidak, kedudukan pun tidak. Semua pasti
berakhir, kesenangan dan kesusahan silih berganti mengisi hidup. Semua serba
berputar. Selama manusia mengenal suka, tentu ia akan bertemu dengan duka.
Siapa yang mengabdi kepada duka, pasti sekali waktu akan diperbudak suka.
Inilah hukum timbal balik yang tak terbantahkan lagi. Im Yang! Titik kedua
ujung poros yang memutar segala sesuatu di alam mayapada ini.
Tiga tahun
semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa pernah ada berita, maka Kam Si Ek
mengalami pernikahannya yang kedua. Gadis pilihannya kali ini adalah puteri
seorang siucai (gelar sastrawan), bernama Ciu Bwee Hwa. Tentu saja tidak
secantik Liu Lu Sian karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki kecantikan
yang sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik sebagai seorang
wanita yang halus perangainya, bersusila dan berkebudayaan tinggi. Yang
mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai Kui Lan yang sekarang
telah menjadi nikouw (pendeta wanita) di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk
Kui Lan Nikouw.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Lai Kui Lan ini pun menjadi korban asmara.
Ia jatuh hati kepada Kwee Seng, kemudian patah hati melihat Kwee Seng
terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa maut bagi pendekar itu.
Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw, setelah ia
tertarik oleh ajaran dan ceramah para pendeta wanita yang sering dikunjunginya.
Kui Lan
Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga sute-nya, menjadi ikut berduka.
Maka dari itu, dialah yang mendesak kepada Kam Si Ek untuk menikah lagi, karena
hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek sendiri, juga amat perlu bagi Bu Song. Anak
itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena ibunya sendiri
sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti seorang ibu yang
baik budi. Dan pilihan mereka jatuh kepada Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal
sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun Ting-chun dikaki Gunung
Cin-ling-san di lembah sungai Han.
Upacara
pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana
sekali. Namun karena Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan
disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan datangnya para pembesar dan
orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta pernikahan itu
selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih
menderita lagi.
Tepat pada
malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, di waktu malam sunyi dan
kedua mempelai sudah memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu
diketuk orang dari luar dan ada suara membentak, "Kam Si Ek, kalau kau
benar laki-laki, keluarlah!"
Mendengar
suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan
suaminya sambil berkata dengan suaranya gemetar, "Harap jangan layani
orang itu...!"
Tentu saja
Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, mana
mungkin ia tidak melayani orang yang menantangnya seperti itu? Ia memandang
tajam wajah isterinya, lalu bertanya, "Mengapa? Siapa dia?" Dalam
suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran.
Tiba-tiba
Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak berkata, "Dia... dia... itu
Giam Sui Lok, orang sekampung denganku. Dia... seorang jago silat muda di kampung
kami... dan dia pernah melamarku akan tetapi... ditolak oleh ayah. Biar pun dia
seorang pendekar yang terkenal baik, namun ayah tidak suka... karena dia buta
huruf. Ah, dia telah bersumpah hendak menjadi suamiku dan kalau aku menikah
dengan orang lain, maka dia akan memusuhi suamiku. Harap kau suka menaruh
kasihan... dan jangan melayaninya...."
Kam Si Ek
mengerutkan keningnya. Mana ada aturan begini? Biar pun disebut pendekar oleh
isterinya, jelas bahwa pemuda itu seorang yang tidak tahu aturan. Setelah
ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah hendak memusuhi siapa pun yang
menjadi suami Bee Hwa? Dan kalau dia tidak mau melayaninya, bukankah ia akan
disangka pengecut dan penakut?
“Kau
bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau melarangku melayaninya? Apakah kau
suka kepadanya?"
Bwee Hwa
masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan suaminya.
"Bagaimana kau bisa bilang begitu? Ahh..., bukankah aku sudah menjadi
isterimu? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana pikiranku dapat mengingat
laki-laki lain? Suamiku, aku memohon kau tidak melayaninya, karena aku tidak
ingin kalian bertempur, kemudian seorang di antara kalian terluka atau
terbunuh. Kau suamiku, tentu saja aku berpihak kepadamu... akan tetapi, dia
terkenal sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami, dia bukan orang
jahat...."
Kam Si Ek
mengangkat bangun isterinya dan memeluknya. "Jangan kau khawatir, aku akan
menasehatinya. Kalau tidak terpaksa, aku takkan bertanding dengannya."
Kembali daun
jendela diketuk dari luar. "Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari Cin-ling-san!
Ada urusan di antara kita berdua yang harus diselesaikan sekarang juga. Apakah
kau benar-benar tidak berani keluar?"
"Hemm,
kau tunggulah!" Kam Si Ek lalu melepaskan isterinya, menyambar senjatanya
dan membuka daun jendela, terus melompat ke luar.
Di
pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah sinar bulan purnama, ia
melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan dan
kejujuran. Biar pun merasa tak senang melihat orang ini begitu tidak tahu
aturan, namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian dan kejujurannya.
"Orang
she Giam, baru saja isteriku bercerita tentang dirimu. Kau seorang laki-laki,
bagaimana begini tak tahu aturan dan tak tahu malu? Dia sudah menjadi isteri
orang, mengapa kau masih saja mengejar-ngejar? Apakah di dunia ini hanya ada
dia seorang wanita? Perbuatanmu datang malam ini, benar-benar merupakan
penghinaan bagiku. Akan tetapi mengingat bahwa kau bertindak karena
kebodohanmu, aku mau maafkan dan harap kau segera pergi dari sini, jangan
memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis sampai di sini saja."
Giam Sui Lok
mengertak gigi dan berkata, suaranya lantang penuh kegeraman hati, "Kam Si
Ek, enak saja kau bicara! Semenjak kecil aku mengenal Bee Hwa. Belasan tahun
aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan ayahnya menolak lamaranku karena aku
seorang miskin dan bodoh! Karena itu aku sudah tak dapat hidup lagi kalau tidak
dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah bersumpah akan mati di ujung
senjata siapa yang menjadi suaminya, atau membunuh suami itu. Sekarang dia
menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan persoalan ini. Kau harus mati di
tanganku atau aku yang akan mampus di tanganmu untuk mengakhiri penderitaan
batin ini!" Sambil berkata demikian, Giam Sui Lok mencabut goloknya.
Kam Si Ek
menjadi marah. "Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan dan tidak
menggunakan aturan."
"Tak
perlu banyak cakap! Pendeknya berani atau tidak kau mengakhiri urusan ini di
ujung senjata? Kalau tidak berani, sudahlah, sedikitnya aku tidak akan
menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa memilih kau bukan karena kau
lebih gagah dari pada aku, melainkan karena kau seorang panglima, biar pun
hanya panglima pengecut."
"Tutup
mulut! Lihat golokku siap menandingimu!" bentak Kam Si Ek yang juga sudah
mencabut golok emasnya.
Giam Sui Lok
tertawa bergelak lalu menerjang maju dan terjadilah pertandingan hebat dan seru
antara kedua orang itu. Pemuda tinggi besar bermuka hitam itu bertanding dengan
nekat. Goloknya menyambar-nyambar dengan amat cepat dan kuat, agaknya bernafsu
sekali untuk segera merobohkan lawan yang amat dibencinya karena telah mengawini
wanita yang menjadi idaman hatinya! Kalau saja ilmu silatnya agak lebih tinggi
tingkatnya, agaknya Kam Si Ek akan repot menghadapi terjangan penuh nafsu dan
nekat ini.
Akan tetapi
ternyata tingkat kepandaian Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan
dengan Kam Si Ek ia kalah jauh. Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan
golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat
kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah
ia menerjang dan membalas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh
lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah
melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya.
Giam Sui Lok
mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak
mengerang kesakitan, hanya menahan rasa nyeri, lalu berkata, "Kau menang.
Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!"
Kam Si Ek
tersenyum dan menyimpan goloknya. "Justru aku hendak membiarkan kau hidup,
sobat! Kau masih muda dan biarlah kau hidup lebih lama untuk menyesali
perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan merasa malu sendiri akan sepak
terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok
memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. "Kam Si Ek! Aku
mengaku kalah dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau
ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang saatnya aku kembali mencarimu.
Sebelum aku mati di tanganmu atau kau mati di tanganku, aku takkan mau
sudah!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya
lalu pergi menghilang di balik gelap malam.
Kam Si Ek
berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi,
seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak.
Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song! Semenjak beberapa hari ini, Bu
Song mengunci diri di dalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia membawa
buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan
pertempuran di pekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian
setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia cepat berlari ke luar dan lenyap
pula di tempat gelap.
Dapat
dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang ke
dua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa
dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi peristiwa kedua,
larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali. Tentu
saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia
belaka. Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa
meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan
penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam
Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama
sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song!
***************
SUDAH
TERLALU LAMA kita meninggalkan Kwee Seng! Sengaja kita lakukan ini agar jalan
cerita dapat tersusun baik, karena memang ada hubungannya antara tokoh-tokoh
yang diceritakan itu.
Telah kita
ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee Seng telah melayani cinta kasih
seorang nenek-nenek di Neraka Bumi selama belasan hari ketika Arus Maut di
Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca menjadi gelap. Setelah cuaca menjadi
terang kembali, pikirannya pun menjadi terang dan sadarlah ia bahwa ia telah
mencurahkan kasih sayangnya kepada seorang nenek-nenek yang memang menghendaki
ia menjadi suaminya! Bagaikan gila Kwee Seng memukuli muka dan kepalanya
sendiri, kemudian ia meloncat ke dalam air Arus Maut, menyelam dan berenang
melawan arus.
Bukan main
kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya takkan mampu berenang melawan arus
itu. Akan tetapi selama tiga tahun berdiam di dalam Neraka Bumi, Kwee Seng
telah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Berkat latihan semedhi menurut
ajaran kitab semedhi, tenaga lweekang-nya meningkat hebat beberapa kali lipat,
sedangkan ilmu silatnya juga tanpa ia sadari telah menjadi hebat luar biasa
setelah ia memahami kitab Ilmu Perbintangan.
Kini
menghadapi terjangan arus yang demikian ganasnya, Kwee Seng dapat mempergunakan
lweekang-nya, menyelam dan berenang sepenuh tenaga sambil menahan napas.
Beberapa kali ia terpukul kembali, namun dengan gigih Kwee Seng maju terus.
Benturan-benturan dengan batu ketika ia dihempaskan Arus Maut, tidak terasa
oleh tubuhnya yang sudah menjadi kuat dan kebal. Kadang-kadang ia muncul di
permukaan air untuk mengambil napas, lalu menyelam kembali dan bergerak maju
terus. Bukan main hebatnya perjuangan melawan Arus Maut ini. Perjuangan
mati-matian dan ia tidak tahu bahwa andai kata tiga tahun yang lalu ia harus
melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan tewas!
Akhirnya ia
dapat keluar dari dalam terowongan dan ketika ia muncul di permukaan air, ia
melihat langit menyinarkan cahaya terang benderang, membuat matanya silau
karena sudah terlalu lama ia tinggal di tempat agak gelap. Biar pun sudah
keluar dari terowongan Arus Maut, namun sungai yang diterjangnya ini
diapit-apit dinding batu karang yang amat tinggi. Ia berenang terus dan
akhirnya, sejam kemudian, ia melihat dinding yang biar pun masih amat tinggi
dan curam, namun tidak selicin dinding yang telah ia lalui. Cepat ia berenang
ke pinggir, menangkap celah dinding batu karang dan mengangkat tubuhnya ke atas.
Cepat ia bersila di bawah dinding karang untuk memulihkan tenaganya dan
pernapasannya.
Akan tetapi,
setelah tenaganya pulih, ia teringat akan perbuatannya dengan nenek itu dan...
tiba-tiba Kwee Seng menangis, lalu menampari pipinya beberapa kali sampai kedua
pipinya bengkak-bengkak matang biru! Sebentar kemudian ia tertawa-tawa, suara
ketawanya bergema di sepanjang sungai yang diapit dinding karang. Kemudian ia
merayap naik melalui dinding yang tidak rata, menggunakan tangan kirinya
menangkap dan menginjak celah-celah karang. Cepat sekali gerakannya, seperti
seekor monyet saja. Tak sampai seperempat jam, ia telah berada di atas tanah
datar, di lembah sungai di lereng Bukit Liong-kui-san! Tak jauh di sebelah
depan, ia melihat puncak di mana tiga tahun yang lalu ia bertanding mati-matian
melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, di mana ia dirobohkan secara pengecut oleh
jarum-jarum beracun Bayisan.
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Tiba-tiba Kwee Seng tertawa bergelak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang lebar. Rambutnya riap-riapan karena ketika melawan arus tadi pita
rambutnya hilang entah ke mana, bajunya robek-robek, kedua pipinya
bengkak-bengkak, akan tetapi matanya bersinar terang biar pun mulutnya
tersenyum setengah mewek seperti orang mau menangis!
Masih
terdengar suaranya tertawa-tawa ketika tubuhnya berloncatan dengan gerakan yang
luar biasa, tidak seperti manusia lagi, melainkan lebih pantas iblis penjaga
gunung sedang menari-nari. Memang patut dikasihani Kwee Seng ini. Karena
tergila-gila akan kecantikan Liu Lu Sian dan kecewa melihat watak gadis yang ia
cinta, ia menjadi seorang pemabok. Kini setiap kali teringat kepada Lu Sian ia
masih tertawa-tawa.
Kemudian
pengalamannya dengan nenek-nenek di dalam Neraka Bumi benar-benar telah membuat
rusak pikirannya, membuat ia tak kuat lagi menahan tekanan batin, membuatnya
seperti gila. Kalau teringat kepada nenek-nenek itu, ia menangis. Maka sejak
saat itu kembali ke dunia ramai, tawa dan tangis silih berganti dilakukan oleh
pendekar muda ini! Seorang pendekar muda yang tadinya terkenal tampan dan gagah
perkasa, kini berubah menjadi seorang berpakaian compang-camping yang suka
tertawa dan menangis, pendeknya berubah menjadi seorang jembel gila! Dan semua
ini karena asmara.
Akan tetapi,
sesungguhnya Kwee Seng sama sekali tidaklah gila. Ia hanya seperti orang gila
kalau teringat kepada Liu Lu Sian dan teringat pula kepada si Nenek, karena
kedua orang itu mengingatkan ia akan semua pengalaman dan perbuatannya. Kalau
ia sedang sadar, Kwee Seng tetap merupakan pendekar yang gagah perkasa, yang
cerdik dan berpemandangan luas.
Ia tidak
pernah pula melupakan Bayisan yang telah berlaku curang dan menyebabkan ia
terjungkal ke dalam jurang di puncak Liong-kui-san. Ia tidak pula dapat
melupakan guru Bayisan, Ban-pi Lo-cia yang telah membunuh atau lebih hebat
lagi, menodai Ang-siauw-hwa sehingga wanita itu membunuh diri. Tidak pula lupa
kepada Liu Lu Sian yang telah menolak cintanya dan bahkan menghinanya.
Demikianlah,
Kwee Seng mulai dengan perantauannya. Ia tetap berpakaian seperti jembel,
pakaian yang compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan, akan tetapi
tubuhnya selalu bersih terpelihara! Di dalam perantauannya bertahun-tahun ini,
tak pernah ia melupakan tugasnya sebagai seorang gagah, seorang pendekar yang
aneh dan sakti. Namun, tetap seperti dahulu, ia melakukan perbuatannya dengan
cara sembunyi-sembunyi. Maka dari itu, semenjak ia keluar dari Neraka Bumi,
muncullah di dunia kang-ouw seorang tokoh aneh tak terkenal yang luar biasa,
yang menggegerkan dunia kang-ouw karena banyak sekali tokoh-tokoh dunia hitam
dihancurkan oleh pendekar gila ini.
Akhirnya ada
yang mengenalnya sebagai Kim-mo-eng dan makin terkenallah nama ini yang dahulu
malah tidak begitu terkenal. Kalau dulu hanya tokoh-tokoh terbesar di dunia
kang-ouw saja yang mengenal Kim-mo-eng sebagai seorang pendekar muda yang
berkepandaian tinggi, kini dunia kang-ouw mengenal Kim-mo-eng sebagai seorang
pendekar gila, sungguh pun jarang ada orang pernah melihatnya beraksi. Dengan
demikian, dalam perantauannya, orang-orang yang bertemu dengan Kwee Seng hanya
mengira dia seorang jembel gila, sama sekali tidak ada yang pernah mengira
bahwa dia inilah Kim-mo-eng, tokoh kang-ouw yang baru muncul dan membikin geger
dunia persilatan itu!
Rasa
penasaran di hatinya terhadap Bayisan membuat Kwee Seng mengarahkan
perantauannya menuju ke daerah Khitan! Ia hendak meluaskan pengalaman dan
sekalian mencari Bayisan atau Ban-pi Lo-cia yang keduanya masih mempunyai
perhitungan dengannya.
Bangsa
Khitan adalah bangsa nomad (perantau) yang terkenal gagah perkasa, ulet dan
pandai perang. Karena iklim dan keadaan tanah di mana mereka hidup, yaitu di
daerah timur laut yang penuh gunung-gunung, gurun-gurun pasir, dan salju, maka
mereka dipaksa oleh keadaan untuk selalu berpindah-pindah tempat untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa suku bangsa Khitan
amat ulet dan berani.
Dan ini pula
agaknya yang menyebabkan Khitan seringkali mengadakan penyerbuan ke selatan
dalam usaha mereka mencari tempat yang lebih makmur untuk bangsa mereka. Akan
tetapi, berkali-kali mereka terpukul mundur oleh bala tentara kerajaan selatan
sehingga akhirnya mereka tidaklah begitu berani melakukan penyerbuan secara
liar, melainkan baru berani menyerbu setelah direncanakan terlebih dahulu.
Karena usaha mereka yang terus menerus menyerbu ke selatan inilah maka bangsa
Khitan selalu dianggap sebagai musuh besar oleh orang selatan, dari jaman
dinasti mana pun juga.
Pada waktu
Kwee Seng melakukan perantauannya ke daerah Khitan, yang dijadikan ibu kota
Khitan adalah kota Paoto di lembah Sungai Kuning, termasuk daerah Mancuria
selatan. Rajanya adalah Raja Kulu-khan, seorang raja yang terkenal gagah dan
suka perang, namun amat dicinta oleh rakyatnya karena ia selalu bertindak adil
dan penuh perhatian terhadap rakyatnya.
Raja
Kulu-khan mempunyai belasan orang putera dan puteri, akan tetapi semua itu
lahir dari para selir. Ada pun permaisurinya hanya mempunyai seorang anak
perempuan, yang dengan sendirinya menjadi puteri mahkota. Puteri mahkota ini bernama
Puteri Tayami yang semenjak kecil digembleng oleh ayahnya sendiri, pandai
menunggang kuda, pandai bermain panah dan pandai pula mainkan tombak dan
pedang. Selain ini, ia pun seorang puteri yang amat cantik jelita, menjadi
kenangan dan kembang mimpi semua pemuda Khitan.
Namun tak
seorang pun di antara para pemuda berani main-main dengan puteri Tayami. Bukan
saja karena Tayami adalah Puteri Mahkota, akan tetapi terutama karena mereka
gentar menghadapi kegagahan puteri ini. Kalau Tayami sudah ikut maju perang
dengan pedang pusaka di tangan, yaitu Pedang Besi Kuning, dengan gendewa dan
anak panah menghias bahu, menyengkelit tombak, bukan main hebatnya puteri ini.
Entah sudah berapa banyak tentara musuh yang roboh oleh anak panahnya,
pedangnya, mau pun tombaknya.
Khitan memiliki
pula banyak panglima-panglima perang yang berilmu tinggi di antaranya adalah
Panglima Tua Kalisani dan Panglima Muda Bayisan. Hanya dua orang ini yang
paling hebat kepandaiannya di antara semua panglima yang juga memiliki
keistimewaan masing-masing. Akan tetapi hanya kedua orang panglima itu yang
memiliki ilmu silat dari selatan dan barat. Ada pun Ban-pi Lo-cia, biar pun
terkenal namun tidaklah langsung membantu pergerakan bangsanya. Dia adalah guru
dari Panglima Muda Bayisan, namun jarang ia tinggal terlalu lama di Khitan. Ia
lebih suka merantau ke selatan, ke dunia yang lebih ramai dan lebih banyak
terdapat kesenangan-kesenangan yang sesuai dengan selera nafsunya.
Dasar watak
manusia jantan, di mana-mana sama saja. Asalkan melihat wanita cantik, tentu
mereka itu saling berebutan. Yang kasar yang halus, ya begitu juga. Hanya yang
kasar itu mengeluarkan perasaan hatinya melalui kata-kata kasar atau pandang
mata kurang ajar, sedangkan yang halus diam-diam menyimpan di hati. Namun
hakekatnya, sama juga. Di antara sekian banyaknya pemuda Khitan yang jatuh hati
terhadap Puteri Tayami, termasuk juga Bayisan dan... Kalisani!
Kita sudah
mengenal Bayisan sebagai seorang tokoh muda yang haus akan wanita cantik, yang
jahat dan keji, tidak segan-segan melakukan perkosaan terhadap wanita yang mana
pun juga, baik ia isteri orang mau pun anak orang, baik ia mau atau pun tidak.
Maka tidak mengherankan apabila Bayisan tergila-gila kepada Puteri Mahkota
bangsanya sendiri yang demikian jelita ayu.
Akan tetapi,
yang amat mengherankan adalah Panglima Tua Kalisani. Usianya sudah empat puluh
tahun lebih, dua kali usia Tayami, namun panglima yang belum pernah menikah ini
secara diam-diam tergila-gila pula kepada Tayami. Hanya bedanya, kalau Bayisan
mengungkapkan perasaannya melalui senyum dan pandang mata, kadang-kadang
kata-kata kurang ajar, adalah Kalisani memendam dalam hati, dan mungkin hanya
dapat terlihat oleh Tayami sendiri melalui pancaran sinar mata penuh kasih
sayang.
Namun, semua
harapan para muda termasuk dua orang panglima itu, sebenarnya sia-sia belaka.
Puteri Mahkota Tayami sudah mempunyai pilihan hati sendiri. Ia telah
menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang bekas temannya semenjak kecil, putera
dari pelayan pribadi ayahnya. Kini bekas teman itu telah menjadi seorang pemuda
tampan dan gagah. Biar pun pangkatnya hanya perwira menengah, namun
kegagahannya dalam pandang mata Tayami tiada yang dapat menandinginya! Pemuda
ini bernama Salinga, biar pun keturunan pelayan raja, namun semenjak nenek
moyangnya dahulu amat setia dan berdarah patriot.
Raja
Kulu-khan amat mencinta puterinya, dan raja ini pun berpemandangan luas, tidak
mengukur pribadi seseorang dari kedudukannya. Maka biar pun ia tahu akan
hubungan antara puterinya dengan Salinga, raja ini tidak pernah menegur
puterinya. Malah ketika Bayisan mengadukan hubungan itu, ia memarahi Bayisan.
Bayisan ini biar pun terkenal di luaran sebagai panglima muda, namun adalah
putera Raja Kulu-khan juga. Putera yang lahir dari seorang wanita yang telah
bersuamikan seorang pembantu raja, akan tetapi oleh suaminya seakan-akan
‘dijual’ kepada raja karena mengharapkan kenaikan pangkat!
Peristiwa
ini terjadi ketika Raja Kulu-khan masih muda dan tidak kuat menghadapi godaan
isteri ponggawa itu. Namun setelah mengetahui niat licik dari ponggawa yang
menjual isterinya sendiri itu, raja ini malah menjatuhkan hukuman kepada si
Ponggawa, sedangkan isteri ponggawa itu ia ambil sekalian menjadi selirnya. Hal
ini dilakukan untuk mencuci segala noda. Anak yang lahir dari hubungan inilah yang
sekarang menjadi Panglima Muda Bayisan!
"Cinta
kasih antara orang muda adalah cinta kasih murni yang timbul dari hati
sanubari. Adalah Dewa yang menjodohkan, bagaimana kita manusia hendak
merusaknya, Bayisan? Kalau adikmu Tayami memang saling mencinta dengan Salinga,
biarlah. Salinga seorang pemuda baik, apa salahnya?"
"Akan
tetapi, Sri Baginda. Adinda Tayami adalah seorang Puteri Mahkota, sedangkan
Salinga... seorang prajurit biasa..."
"Hemm,
dia seorang perwira..."
"Apa
artinya? Seorang Puteri Mahkota jodohnya adalah pangeran, atau yang
setingkat..."
"Ha-ha-ha,
Bayisan. Alangkah sempit pandanganmu. Siapakah yang membuat hati dan
menimbulkan cinta? Hanya para Dewa yang tahu. Siapa sekarang yang membuat
segala macam pangkat dan kedudukan? Hanya manusia. Apa sukarnya kalau sekarang
aku mengangkat Salinga menjadi Pangeran atau Ponggawa yang tinggi kedudukannya?
Mudah saja, bukan? Akan tetapi aku tidak mau lakukan itu, sebab kenaikan
tingkat harus dilakukan menurut jasa dan pahala. Kalau aku mengangkat Salinga,
berarti suatu penghinaan, baik bagi Salinga mau pun bagi keluargaku sendiri.
Nah, cukup, tak perlu kau mencampuri urusan dalam hati Tayami!"
Demikianlah,
dengan hati mengkal dan penuh dendam Bayisan selalu mencari kesempatan untuk
menjatuhkan hati Tayami dan menjatuhkan diri Salinga. Akan tetapi, tentu saja
ia tidak berani secara berterang melakukan hal ini, karena Salinga adalah
kekasih Tayami dan bahwa dia tergila-gila pula kepada Tayami, adik tirinya!
Pagi hari
itu Kwee Seng memasuki kota raja Paoto yang sedang ramai. Segera ia menarik
perhatian karena pakaiannya yang compang-camping dan penuh tambalan itu
menunjukkan bahwa dia orang dari selatan. Namun sikapnya yang seperti orang
gila membuat orang-orang hanya tertawa kepadanya. Memang pada waktu itu banyak
sekali orang Khitan sudah berpakaian seperti orang Han, dengan pakaian yang
dapat mereka rampas kalau mereka menyerbu ke selatan, atau pakaian yang mereka
tukar dengan kulit dan bulu domba. Banyak juga pedagang-pedagang dari selatan
sampai Khitan, mempertaruhkan keselamatan nyawanya. Bagi para pedagang, di mana
ada ‘untung’ ke sana ia pergi, tak peduli di sana terdapat bahaya menantang.
Keramaian
kota raja Paoto ada sebabnya. Beberapa pekan yang lalu, di bawah pimpinan
Panglima Muda Bayisan sendiri, sepasukan orang Khitan menyerbu dan
menghancurkan pasukan Kerajaan Cin Muda yang ternyata adalah pasukan yang
melarikan diri membawa barang-barang berharga hasil perampasan mereka terhadap
Kerajaan Tang Muda yang kalah perang. Banyak sekali barang rampasan ini, belum
lagi kuda dan senjata, maka saking gembiranya Raja Kulu-khan lalu mengadakan
pesta untuk menghormati pasukan itu.
Dan
sebagaimana biasanya, dalam setiap keramaian seperti itu tentu diadakan perlombaan-perlombaan
ketangkasan di tepi Sungai Kuning. Perlombaan macam ini bukan hanya sebagai
hiburan untuk menggembirakan suasana, namun ada pula maksudnya untuk
mengumpulkan tenaga-tenaga muda. Tak jarang dalam kesempatan seperti ini
bermunculan perwira-perwira baru yang diangkat karena kemenangannya dalam
perlombaan.
Kwee Seng
hanyut dalam arus gelombang manusia yang menuju ke tepi sungai, ke tempat
perlombaan. Kwee Seng ikut berlari-lari sambil makan roti susu kambing yang
tadi dibelinya dari warung dan kini digerogotinya. Lapangan di tepi sungai itu
luas sekali dan memang tempat ini sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga rata
dan baik untuk tempat perlombaan ketangkasan.
Hati Kwee
Seng berdenyut girang ketika ia mengenal seorang di antara para perwira tinggi
yang hadir di tempat itu. Seorang Muda yang tinggi kurus, berpakaian panglima,
bertopi indah dengan hiasan bulu, bukan lain adalah Bayisan, musuh lama yang
dicari-carinya. Matanya tetap mencari-cari dan ia agak kecewa tidak melihat
Ban-pi Lo-cia di tempat itu. Di panggung yang sengaja dibuat, duduklah Raja
Khitan, ditemani Bayisan, Kalisani, dan belasan orang panglima tinggi lainnya.
Di samping raja ini duduk pula seorang gadis yang cantik jelita, pakaiannya
serba hijau, pedang yang bergagang indah tergantung di belakang punggung.
Inilah Puteri Mahkota Tayami. Kwee Seng juga dapat menduganya karena seringkali
ia mendengar nama puteri ini disanjung-sanjung orang dalam perjalanannya di
daerah Khitan.
Pada saat
itu, enam orang penunggang kuda masing-masing, berdiri sejajar, agaknya menanti
tanda untuk segera dimulainya berlomba lari cepat. Kwee Seng melihat betapa di
sebelah depan dipasangi tombak berjajar-jajar, antara dua meter tingginya dan
ada empat meter lebarnya. Tombak-tombak itu memenuhi jalan dan dipasang amat
kuatnya, gagangnya menancap pada tanah dan ujungnya yang runcing di atas. Tak
jauh dari situ, di sebelah kiri jalan berdiri belasan orang barisan panah yang
siap dengan busur dan anak panah. Kwee Seng tertarik dan bertanya kepada penonton
di sebelahnya, seorang Han yang agaknya adalah seorang dari pada para pedagang
perantau.
"Inilah
saat penentuan bagi para pemenang," orang itu menerangkan. "Enam
orang itu adalah orang-orang pilihan yang telah keluar sebagai pemenang
beberapa perlombaan. Kini diadakan perlombaan untuk memilih yang paling gagah
di antara mereka. Pertandingan kali ini tentu seru, karena Salinga ikut. Tuh
dia yang berbaju kuning!"
Kwee Seng
melihat bahwa pemuda yang berbaju kuning adalah seorang muda yang memang tampan
dan gagah, kudanya berbulu putih dan ia berada di tempat paling kiri. Lima
orang pemuda lain juga gagah-gagah, bertubuh kekar dan sinar matanya penuh
semangat.
"Perlombaan
apa saja yang akan dipertandingkan?" Kwee Seng bertanya gembira.
Orang itu
menengok. Melihat orang yang bertanya, biar pun dari suaranya jelas seorang
Han, namun pakaiannya yang compang-camping dan sikapnya yang bebas lepas dan
tertawa-tawa menunjukkan bahwa orang ini tak beres otaknya, maka ia lalu
menjawab singkat, "Kau lihat saja, tak usah banyak tanya!"
Kwee Seng
membelalakkan mata, mengangkat pundak dan tersenyum lebar. Manusia di mana-mana
masih belum dapat melempar wataknya yang buruk, yaitu menilai seseorang dari
pakaiannya. Makin indah pakaianmu, makin dihormat oranglah kamu! Akan tetapi
Kwee Seng tidak peduli dan melongok-longok, mendesak di antara banyak orang
untuk dapat menonton lebih jelas.
Sementara
itu, di panggung Bayisan memohon kepada Raja untuk mengikuti pertandingan ini.
"Ahh,"
jawab Raja Kulu-khan. "Siapa yang tidak tahu bahwa kau adalah Panglima
Muda dan memiliki kepandaian tinggi? Apa perlunya kau hendak ikut
pertandingan?"
Bayisan
tersenyum. "Hamba rasa amatlah perlu, untuk memberi contoh dan menambah
kegembiraan para peserta, dan hal ini dapat menarik perhatian para muda kita
agar mereka berlatih lebih giat lagi. Bukankah dengan cara ini, Paduka kelak
akan mendapatkan banyak pemuda-pemuda perkasa?"
Raja
Kulu-khan tersenyum. Di dalam hatinya ia maklum bahwa panglima mudanya ini juga
mencari kesempatan ‘jual muka’ memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena alasan
tadi ada benarnya pula, maka ia mengangguk memberi ijin.
"Heh-heh-heh,
Bayisan, hati-hati kalau kau sampai kalah, bisa jatuh nama!" Panglima Tua
Kalisani menegur Bayisan dengan suaranya yang penuh kelakar. Memang Kalisani
terkenal sebagai seorang yang suka bergurau dan selalu berwatak gembira. Dia juga
terhitung masih sanak dengan keluarga raja.
Bayisan
hanya tersenyum mengejek, lalu mengerling ke arah Puteri Tayami sambil berkata,
"Mana mungkin aku kalah dengan segala macam perwira seperti mereka
itu?" setelah berkata demikian, ia memberi hormat kepada raja dan meloncat
turun dari panggung. Ucapan ini secara langsung merupakan ejekan terhadap diri
Salinga, pemuda pilihan hati Tayami. Hal ini tentu saja dimengerti oleh Tayami
sendiri, mau pun Raja Kulu-khan dan juga Kalisani.
Ketika Kwee
Seng melihat Bayisan datang menunggang seekor kuda merah, ikut berjajar sebaris
dengan enam orang penunggang kuda, tangannya gatal-gatal untuk segera menerjang
orang yang telah berbuat curang terhadapnya itu. Akan tetapi ia menahan nafsu
hatinya karena maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbukan kegemparan.
Kalau ia kemudian dikepung oleh semua orang Khitan, bukankah sulit untuk
meloloskan diri? Lebih baik ia bersabar dan menanti sampai terbuka kesempatan,
turun tangan di waktu malam sunyi.
Raja memberi
tanda dengan tangan diangkat ke atas, terompet tanduk menjangan dibunyikan
orang dan perlombaan ketangkasan dimulai. Peserta paling kanan dengan kuda
hitamnya, seorang pemuda yang tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang,
berteriak keras. Kudanya dicambuk dan larilah binatang ini cepat laksana
terbang. Debu mengepul tinggi dan para penonton mengulur leher mengikuti
larinya kuda yang makin mendekati barisan tombak yang menghalang jalan. Kwee
Seng sudah tidak tampak lagi di antara penonton, karena ia sudah enak-enak
duduk di atas cabang pohon, tertawa-tawa dan dapat menonton dengan enak.
Setelah tiba
dekat barisan tombak, pemuda berkuda hitam itu berseru keras dan kudanya
melompat ke atas. Hebat lompatan kuda ini. Keempat kakinya hampir menyentuh
ujung tombak. Ketangkasan yang luar biasa, akan tetapi juga permainan yang amat
berbahaya. Sebuah saja dari keempat kaki kuda itu menyentuh mata tombak, tentu
tubuh kuda akan terguling dan jatuh di ‘sate’ ujung banyak tombak, mungkin
berikut penunggangnya! Namun kuda hitam bersama penunggangnya amatlah tangkas,
secepat kilat kuda itu sudah mewakili barisan tombak dan turun dengan selamat,
menimbulkan debu mengebul tinggi dan sorak-sorai tepuk tangan gemuruh dari para
penonton. Raja mengangguk puas. Makin banyak ia mempunyai orang-orang setangkas
itu, makin kuatlah Kerajaan Khitan.
Akan tetapi
lomba ketangkasan itu belum selesai. Ujian bukan hanya sampai pada melompati
barisan mata tombak. Ini masih belum berbahaya! Ujian kedua lebih hebat lagi,
yaitu melalui barisan anak panah. Penunggang kuda hitam sudah melarikan kudanya
cepat-cepat, kembali lagi setelah tiba di ujung sana untuk memasuki lingkungan
barisan anak panah yang sudah siap sedia.
Begitu kuda
itu memasuki lingkungan itu, busur-busur di pentang dan melesatlah puluhan
batang anak panah menyambar ke arah tubuh si Penunggang Kuda. Semua pelepas
anak panah adalah ahli-ahli pilihan sehingga tidak sebatang pun anak panah yang
akan mengenai tubuh kuda, melainkan menyambar tepat di atas tubuh kuda, lewat
dengan cepat, dekat sekali dengan punggung, bahkan ada yang menyerempet pelana
di punggung kuda.
Akan tetapi
Si Penunggang Kuda yang cekatan itu tahu-tahu telah lenyap dari atas kuda.
Demikian cepatnya gerakan itu sehingga ia seolah-olah menghilang, padahal
ketika anak-anak panah menyambar, penunggang ini sudah menjatuhkan diri ke
kiri, terus tubuhnya menggantung ke bawah perut kuda, hanya kedua kakinya yang
menahan tubuh, kedua kaki yang dikaitkan kepada pelana kuda itu.
Kuda lari
terus, penunggangnya bergantung di bawahnya, sungguh ketangkasan yang
mengagumkan! Tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ketangkasan ini setelah
kuda beserta penunggangnya selamat melewati barisan anak panah. Dengan gerakan
indah si Penunggang mengayun tubuhnya dan dari sebelah kanan perut kuda ia
telah duduk kembali dengan tegaknya!
Ujian ke
tiga adalah ujian ketangkasan memanah. Sambil menunggang kuda yang mengitari
lapangan, Si Penunggang Kuda hitam itu mementang busur dan berturut-turut ia
melepas anak panah yang menancap tepat pada dada dan perut boneka besar berupa
manusia yang menjadi sasaran dan ditempatkan di tengah lapangan. Tujuh kali si
Penunggang Kuda hitam itu melepas anak panahnya, dan lima di antaranya menancap
tepat di tengah dada, yang dua agak meleset, menancap di pundak dan paha. Namun
ini saja sudah cukup menyatakan bahwa ia lulus! Dengan bangga si Penunggang
Kuda hitam itu lalu menjalankan kudanya ke bawah panggung, melompat turun dan
berlutut ke arah raja, kemudian menuntun kudanya berdiri di pinggir ikut
menonton peserta-peserta berikutnya.
Peserta ke
dua mengalami saat naas baginya. Ketika kudanya melompati barisan tombak, di
bagian terakhir kudanya terjungkal jatuh ke bawah. Perut kuda tertembus
tombak-tombak itu dan penunggangnya pun mengalami nasib yang sama, perut dan
dadanya tembus oleh tombak. Penonton berseru kengerian dan beberapa orang
penjaga segera lari mendatangi untuk membawa pergi mayat kuda dan orang. Korban
mulai jatuh dalam permainan berbahaya ini, dan penonton mulai tegang!
Peserta ke
tiga selamat melampaui barisan tombak, dan ketika melampaui barisan anak panah,
kurang cepat ia bersembunyi sehingga pundak dan pahanya terserempet anak panah.
Ketika ia memanah orang-orangan dalam keadaan luka ringan ini, di antara tujuh
batang anak panahnya, hanya dua yang mengenai sasaran, maka tentu saja ia pun
dinyatakan gagal!
Peserta ke
empat hanya berhasil melampaui barisan tombak. Ia terjungkal roboh dengan anak
panah menancap di perut dan lehernya! Kembali ada korban yang kehilangan
nyawanya dalam lomba ketangkasan ini. Namun para penonton tidak lagi menjadi
ngeri. Bahkan menjadi makin tegang, karena sekarang ternyata oleh mereka betapa
sukarnya olah ketangkasan yang diperlombakan ini.
Peserta ke
lima mukanya sudah pucat melihat betapa rekan-rekannya gagal, bahkan ada yang
tewas. Semua orang memandang penuh ketegangan ketika pemuda itu membentak
kudanya agar mulai lari membalap. Peserta ke lima ini tubuhnya jangkung kurus
namun bahunya bidang dan lengannya kelihatan kuat. Ia berhasil melompati
barisan tombak, berhasil pula melewati barisan anak panah dengan cara sembunyi
di bawah perut kuda seperti dilakukan peserta pertama, akan tetapi ketika ia
memperlihatkan keahliannya memanah, di antara tujuh batang anak panahnya hanya
dua yang menancap pada perut sasaran, yang lima meleset semua. Kegagalan inilah
yang menyebabkan ia dianggap tidak lulus, tidak diterima menjadi calon panglima
dan hanya dinaikkan pangkatnya satu tingkat saja. Namun ia masih beruntung
kalau dibandingkan dengan rekan-rekannya yang tewas atau terluka parah.
Tibalah kini
giliran Salinga. Begitu pemuda berkuda putih ini maju, para penonton bertepuk
tangan. Pemuda ini amatlah tampan dan sikapnya tenang, jelas bahwa orangnya
rendah hati dan tidak sombong, namun pandang matanya yang tajam itu
membayangkan semangat dan keberanian yang luar biasa. Para penonton yang sudah
tahu bahwa pemuda ini adalah pilihan Puteri Mahkota, tentu saja simpati dan
mengharapkan pemuda ini akan berhasil baik dan lulus. Sebaliknya, Puteri Tayami
biar pun kelihatan tenang-tenang saja, diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau
kekasihnya takkan berhasil. Perlombaan atau ujian sehebat ini hanya diadakan
beberapa tahun sekali kalau Raja berkenan hendak memilih calon-calon panglima
yang harus benar-benar gagah perkasa.
Seperti juga
yang lain-lain. Salinga membawa kudanya ke depan panggung, lalu ia turun dan
memberi hormat sambil berlutut ke arah raja. Kemudian matanya mengerling
sekilas ke arah kekasihnya. Alangkah besar hatinya ketika ia menerima kiriman
senyum dari Tayami, senyum yang menimbulkan keyakinan di dalam hatinya bahwa
demi untuk puteri pujaannya, ia harus dan akan berhasil!
Pada saat ia
bangun kembali dan melompat ke atas punggung kudanya, tiba-tiba terdengar suara
derap kaki kuda dan tahu-tahu seekor kuda berbulu merah telah berada di
dekatnya. Salinga tercengang ketika mengenal penunggangnya yang bukan lain
adalah Panglima Muda Bayisan! Segera ia menjura di atas kuda putihnya dan
berkata.
"Salam,
Tuan Panglima!"
"Salam,
perwira Salinga yang gagah!" balas Bayisan.
"Ada
pesan apa gerangan yang hendak Tuan sampaikan kepada saya?"
"Tidak
ada apa-apa Salinga. Hanya, melihat bahwa peserta terakhir tinggal engkau
seorang dan aku yang hendak mencoba-coba sukarnya ujian, sebaiknya kita lakukan
itu bersama. Bukankah hal itu akan menambah kegembiraan dan akan membesarkan
hati kita, juga menggembirakan para penonton?"
Tentu saja
Salinga maklum bahwa di antara para saingannya dalam merebut hati tuan puteri,
Bayisan ini merupakan saingan terberat dan juga paling berbahaya. Sudah sering
kali kekasihnya, Puteri Tayami, memperingatkan agar ia berhati-hati terhadap
Bayisan. Ia tentu saja dapat menduga bahwa panglima muda yang sebetulnya juga
pangeran ini mempunyai maksud tersembunyi dalam mengajak ia melakukan ujian
bersama.
Terang bahwa
Bayisan takkan mungkin berani mencelakainya di depan begitu banyak saksi, di
antaranya raja dan puteri mahkota sendiri. Salinga menaruh curiga dan tidak
suka, akan tetapi betapa pun juga, tak dapat ia menolak, tak dapat ia berlaku
tidak hormat kepada Bayisan. Pertama, Bayisan adalah panglima muda, jadi masih
termasuk atasannya biar pun ia dimasukkan ke dalam pasukan yang langsung
dikepalai panglima tua. Ke dua, Bayisan adalah putera raja sendiri, biar pun
hanya putera selir yang tidak begitu harum namanya karena menjadi selir raja
atas kehendak suaminya yang kemudian di hukum mati.
"Tuan
Panglima amat gagah perkasa, tentu saja bagi Tuan ujian ini hanya sebagai
main-main belaka, berbeda dengan saya yang harus mempertaruhkan nyawa untuk
dapat lulus," kata Salinga merendah.
Mendengar
ini Bayisan tertawa bergelak dan sengaja berkata dengan suara keras agar
terdengar orang lain, terutama tentu saja, agar terdengar Puteri Tayami.
"Ha-ha-ha, mempertaruhkan nyawa untuk permainan macam itu saja? Ha-ha, kau
berkelakar, Salinga! Siapa yang tidak tahu akan ketangkasanmu? Hayolah, jangan
membuang waktu lagi. Kuda kita sama-sama baik, usiamu lebih muda dari pada
usiaku, tentu kau lebih tangkas. Ha-ha!"
Bayisan lalu
mencambuk kudanya yang melesat maju. Merah muka Salinga karena ia maklum apa
yang dimaksudkan oleh Bayisan tadi. Akan tetapi ketika ia mengerling ke arah
panggung, ia melihat Tayami kembali tersenyum kepadanya, senyum yang mengatakan
berpihak kepadanya. Ia pun tersenyum pula dan mencambuk kuda putihnya yang
terbang maju ke depan.
Penonton
bersorak riuh rendah. Hebat memang melihat kedua orang gagah itu. Kuda yang
mereka tunggangi juga merupakan kuda pilihan. Kuda putih tunggangan Salinga
adalah kuda pemberian Puteri Tayami, tentu saja merupakan kuda pilihan dari
kandang istana. Ada pun kuda merah tunggangan Bayisan juga datang dari kandang
istana, karena kuda ini hadiah dari raja sendiri ketika ia berhasil menumpas
pasukan musuh beberapa hari yang lalu. Banyak di antara penonton hanya
mendengar kegagahan panglima muda dari cerita para anggota pasukan belaka,
jarang ada yang pernah menyaksikan sendiri, maka kesempatan yang amat baik
tentu saja menggembirakan hati mereka.
Sementara
itu, Kwee Seng yang ikut merasa tegang dan gembira, tiba-tiba terkejut bukan
main ketika ia mendengar suara berkeresekan di atasnya. Ketika mengangkat
mukanya, ia melihat seorang kakek tua sudah duduk di atas cabang, hanya dua
meter di sebelah atasnya! Inilah yang membuat ia merasa kaget bukan main. Biar
pun ia tadi memperhatikan ketegangan di bawah, namun bagaimana ia tidak dapat
mendengar ada orang yang tahu-tahu berada di atasnya?
Ia
memperhatikan kakek itu. Kakek yang aneh sekali. Pendek, luar biasa pendeknya
paling-paling satu meter tingginya. Tubuhnya, kaki tangannya, kecil seperti
kaki tangan anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kepalanya sebesar kepala
orang dewasa, bahkan lebih besar lagi tampaknya karena rambutnya yang penuh
uban itu riap-riapan. Kumis jenggotnya memenuhi separuh muka, alisnya juga
panjang sampai ke pipi, bibir yang merah tampak membayang di antara kumis
jenggot, tersenyum-tersenyum lebar dan matanya yang kecil itu bersinar gembira
seperti anak yang nakal. Di pundaknya sebelah kanan bertengger seekor burung,
burung hantu atau burung malam yang matanya seperti mata kucing, kelihatan
cerdik licik dan menakutkan!
Sekali
pandang saja maklumlah Kwee Seng bahwa kakek pendek aneh yang duduk di sebelah
atasnya itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia bersikap
hati-hati dan waspada. Ia tidak pernah mendengar di dunia kang-ouw ada tokoh
macam ini, maka ia tidak tahu dari golongan mana kakek ini dan bagaimana pula
sepak terjang serta wataknya.
Karena sejak
tadi ia sendiri tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya, bahkan ketika naik
ke atas pohon itu pun ia mendaki seperti orang biasa, maka Kwee Seng merasa yakin
bahwa tak seorang pun dapat menduga ia berkepandaian, juga kakek itu tentu
tidak. Maka ia segera pura-pura tidak melihatnya, atau tidak mempedulikannya,
tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan melanjutkan keasyikannya tadi menonton
perlombaan.
Tangkas sekali
Salinga dengan kuda putihnya. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, Salinga
mencambuk dan kudanya melompat ke atas melewati barisan tombak. Rambut dan
ujung baju Salinga berkibar-kibar bersama ekor kuda ketika mereka melayang di
atas barisan tombak, selamat sampai di ujung dan turun kembali ke atas tanah.
Akan tetapi
lebih hebat sorak-sorai menyambut lompatan kuda merah yang ditunggangi Bayisan.
Panglima muda ini sengaja melompat tepat di belakang Salinga dan begitu kuda
merahnya melompat, diam-diam Bayisan mengerahkan lweekang dan ginkang-nya. Ia
menjepit perut kudanya dan menambah tenaga loncatan kuda dengan loncatannya
sendiri sehingga dia bersama kudanya melayang jauh lebih tinggi dari pada
Salinga!
Para
penonton dengan jelas melihat betapa kuda merah itu semeter lebih berada di
atas kuda putih dan melayang lebih cepat. Kalau saja Bayisan menghendaki, bisa
saja ia menurunkan kuda merahnya tepat di atas Salinga sehingga pemuda itu
dengan kuda putihnya akan celaka. Kalau hal ini terjadi, tentu merupakan
kecelakaan yang tidak disengaja. Namun Bayisan tetap khawatir kalau-kalau Raja
dan Tayami mengetahui rahasianya. Selagi para penonton menahan napas dan
berseru kaget melihat kuda merah meluncur di atas kuda putih, tiba-tiba Bayisan
berseru keras sekali dan tahu-tahu kuda merahnya itu berjungkir balik membuat
salto di udara dan turun beberapa meter di sebelah depan kuda putih!
Gemuruh
sorak dan tepuk tangan menyambut pertunjukan yang hebat ini. Bahkan Kwee Seng
sendiri yang ikut bertepuk tangan, diam-diam terkejut dan kagum menyaksikan
kelihaian Bayisan. Ia tahu bagaimana caranya Bayisan melakukan semua itu, dan
inilah pula yang menyebabkan ia kagum karena tokoh Khitan itu ternyata amat
maju dalam lweekang dan ginkang-nya.
Kalau semua
orang bertepuk dan bersorak, adalah kakek di atas Kwee Seng itu
bersungut-sungut, "Ah, bau...! Bau...!"
Kwee Seng
mendengar ini akan tetapi pura-pura tidak dengar dan tidak tahu, karena
sebenarnya ia pun tidak mengerti mengapa kakek itu mengatakan bau. Bau apa sih?
Dengan lagak
dibuat-buat Bayisan sengaja minggirkan kudanya dan memberi isyarat dengan
tangan agar Salinga melarikan kudanya terlebih dahulu memasuki barisan anak
panah. Para penonton sudah diam semua karena kini mereka mulai merasa tegang.
Bagaimanakah gerangan cara kedua orang gagah ini menghadapi hujan anak panah?
Apakah juga seperti yang dilakukan peserta pertama tadi bersembunyi di bawah
perut kuda?
Cara seperti
ini memang amat populer di antara orang-orang Khitan. Boleh dibilang setiap
prajurit mempelajarinya, walau pun tidak banyak berhasil baik karena cara ini
hanya dapat menyelamatkan diri dalam keadaan darurat saja. Dalam keadaan perang
sungguh-sungguh, cara ini malah kurang tepat, karena biar pun tubuh sendiri
tidak terkena anak panah, kalau kudanya yang terkena dan roboh, bukankah
penunggangnya akan tergencet dan memudahkan musuh untuk membunuhnya? Betapa pun
juga, cara lain tidak ada dan kini menyaksikan dua orang muda itu memasuki
barisan panah, tentu saja para penonton, termasuk Raja sendiri dan juga Puteri
Mahkota memandang penuh perhatian dan ketegangan.
Ketika
kudanya telah memasuki barisan anak panah, begitu terdengar suara menjepret dan
anak panah menyambar-nyambar, sekali menghentakkan tubuhnya, Salinga telah
meloncat dan berdiri di atas punggung kudanya, berdiri sambil menekuk lutut
membuat tubuhnya sependek mungkin, hampir berjongkok. Dengan begini, anak panah
menyambar ke arahnya ke seluruh bagian tubuh dari kepala sampai ke kaki! Para
pemanah itu memang diperintahkan untuk memanah si Penunggang Kuda dan sama
sekali tidak boleh memanah kudanya.
Begitu
puluhan batang anak panah itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba Salinga berseru
keras dan tubuhnya mencelat ke atas dalam keadaan masih seperti berjongkok.
Kudanya lari ke depan, akan tetapi karena Salinga juga mencelat ke depan,
ketika ia turun lagi, tepat kakinya tiba di atas pelana kudanya. Kembali anak
panah menyambar, akan tetapi kembali tubuh Salinga mencelat ke atas dan
demikianlah secara bertubi-tubi anak panah itu dapat dielakkan sambil meloncat
ke atas dengan gerakan yang tangkas sekali!
Sorak-sorai
menyambut cara menghindarkan anak-anak panah ini, cara yang dianggap lebih
tangkas dan lebih berani dari pada cara bersembunyi di perut kuda, akan tetapi
sudah tentu saja merupakan cara yang lebih sukar, yang hanya dapat dipelajari
orang-orang pandai.
Tiba-tiba
sorak-sorai lebih menggegap-gempita ketika Bayisan dengan tenangnya memasuki
barisan anak panah bersama kudanya yang ia jalankan seenaknya saja. Anak panah
menyambar bagaikan hujan ke arahnya, namun panglima muda ini sama sekali tidak
membuat gerakan mengelak. Semua orang termasuk Raja kaget karena bagaimana
orang itu begitu enak-enakan sedangkan puluhan anak panah menyambar dengan
cepat ke arahnya?
Akan tetapi
tiba-tiba Bayisan menggunakan cambuk di tangan kanan yang diputar-putar cepat
sekali, menangkis semua anak panah yang runtuh ke kanan kiri begitu terkena
sambaran cambuk yang diputar. Tangan kirinya juga ikut membantu, begitu lengan
baju yang kiri menyampok, anak panah menyeleweng atau terpental. Kembali Kwee
Seng diam-diam memuji. Kiranya Bayisan sudah banyak maju kalau dibandingkan
dengan beberapa tahun yang lalu.
"Ah,
bau...! Tengik dan kecut! Jembel busuk tak pernah mandi!" terdengar makian
perlahan di sebelah atas Kwee Seng.
Mendengar
makian ini, Kwee Seng mengerutkan kening. Kurang ajar, pikirnya. Kiranya yang
dimaki bau tengik dan kecut adalah dia! Dengan hati mendongkol Kwee Seng
berdongak, memandang kakek itu yang juga memandang kepadanya sambil menutup
lubang hidung dengan telunjuk dan ibu jari yang menjepit hidung.
"Heh-heh,
kakek cebol. Bau tengik dan kecut itu datangnya dari jenggot dan kumismu. Coba
kau cukur bersih cambang baukmu, tentu lenyap bau tak enak itu,
heh-heh-heh!"
Mendengar
ini, kakek itu melepaskan dekapan pada hidungnya, lalu tangannya menyambar
jenggot dan kumisnya yang panjang, dibawa dekat-dekat ke ujung hidung lalu ia
mendengus-dengus dan mencium-cium. Mendadak ia berbangkis dua kali.
"Haching!
Haching! Apek... apek! Wah, jembel busuk, kau berani mempermainkan aku, hah?
Burung setan, kau wakili aku pancal hidungnya sampai keluar kecap dan tampar
kedua pipinya sampai bengkak-bengkak!" kakek itu berkata perlahan.
Kwee Seng
memang sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan karena orang takkan dapat
menduga apa yang akan dilakukan seorang kakek aneh seperti itu. Akan tetapi ia
kaget juga ketika tiba-tiba sesosok sinar abu-abu menyambar ke arah mukanya.
Kiranya burung hantu itu telah menyerang dengan gerakan terbang yang sama
sekali tidak menimbulkan bunyi, tahu-tahu burung itu telah menggunakan paruhnya
untuk mematuk hidungnya, disusul tamparan dengan kedua sayap burung itu ke arah
kedua pipinya! Serangan yang hebat sekali, lebih hebat dari pada sambaran
anak-anak panah yang betapa laju pun.....
"Plak-plak-plak!!!"
beberapa helai bulu burung rontok.
"Huuuk...
huuuuk...!" dan burung itu sendiri mengeluarkan suara, lalu terbang ke
atas dan lenyap ke atas pohon, mengeluh kesakitan.
Hidung Kwee
Seng sama sekali tidak mengeluarkan kecap dan sepasang pipinya tidak
bengkak-bengkak seperti yang diharapkan kakek cebol itu. Kwee Seng masih duduk
enak-enakan dan tidak pedulikan lagi kakek di atasnya, melainkan menonton
kelanjutan perlombaan di bawah. Tadi ia menggunakan sentilan dan tamparan
mengusir burung tanpa membunuhnya karena ia tahu bahwa burung itu tidak
bersalah apa-apa, hanya memenuhi perintah si Kakek Cebol.
Saat itu
Salinga sudah melarikan kuda putihnya mengelilingi lapangan untuk
memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah. Pemuda ini biar pun tidak
selihai Bayisan namun ketangkasannya sudah cukup untuk menjadi seorang perwira
jagoan di dalam barisan Khitan. Gendewanya yang besar dan berat mengeluarkan
suara menjepret, hanya dua kali dan tahu-tahu tujuh batang anak panah telah
menancap, empat batang anak panah yang kesemuanya tepat mengenai sasaran di
bagian yang penting dan mematikan. Tentu saja para penonton, termasuk Puteri
Tayami sendiri, menyambut ketangkasan ini dengan tepuk sorak gemuruh, karena
jelas bahwa Salinga telah lulus ujian dan patut menjadi calon panglima!
Akan tetapi,
apa yang dilihat penonton selanjutnya benar-benar membuat penonton besorak
lebih gemuruh lagi, karena pertunjukan Bayisan benar-benar mengagumkan mereka.
Seperti juga Salinga, panglima muda ini melarikan kuda merahnya amat cepat
mengelilingi lapangan, demikian cepatnya kuda merah itu lari sehingga merupakan
bayangan merah yang bagaikan terbang mengelilingi sasaran.
Ketika
larinya kuda tiba di depan sasaran, tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar
dari atas kuda menuju sasaran, dan.... tiga belas batang hui-to (pisau terbang)
telah menancap di tiga belas bagian tubuh yang mematikan yaitu di antara kedua
alis, ditenggorokan, di kedua pundak, di kanan kiri dada, di pusar, di kanan
kiri lambung, dikedua paha dan kedua lutut!. Tentu saja ini merupakan
demonstrasi ilmu melempar senjata yang amat hebat, yang belum pernah disaksikan
oleh mereka semua.
Memang
sebenarnya Bayisan merahasiakan kepandaiannya ini, akan tetapi karena ingin
mengalahkan Salinga dan memamerkan kepandaiannya di depan Tayami, kini terpaksa
ia perlihatkan.
"Bau...
bau...! He, jembel muda yang tengik. Kau berada di bawahku, baumu naik memenuhi
hidungku. Hayo kau bersamaku memperlihatkan kepada monyet-monyet itu bahwa
tidak ada artinya semua pertunjukan ini. Akan tetapi karena kau bau sekali, kau
harus berada di atasku, aku menjadi kuda, kau boleh menunggang
punggungku!"
Kwee Seng
berdongak, ia terkekeh geli. Kakek itu tidak tampak lagi mukanya, ditutup baju
yang ditariknya ke atas, kemudian tubuh kakek itu melayang jauh ke bawah.
Ketika sampai di depannya, kakek itu menyambar tangannya untuk ditarik turun
bersama ke bawah. Kwee Seng terkejut, namun ia cepat mengerahkan ginkang-nya
yang ikut melayang ke bawah.
Kwee Seng
merasa gembira karena maklum bahwa kakek ini memang hendak main-main dan cari
perkara. Begitu melihat kakek itu tiba di tanah dalam keadaan merangkak, yaitu
kedua tangan menjadi kaki depan seekor keledai kecil sekali, ia tidak merasa
sungkan-sungkan lagi dan melayani kehendak si Kakek. Cepat ia melompat dan
tepat tiba di punggung kakek itu dengan ringan!
Begitu
merasa tubuh jembel muda itu tiba-tiba di punggungnya, si Kakek memperdengarkan
suara meringkik mirip kuda, lalu ia ‘lari’ dengan empat kakinya, lari congklang
ke tengah lapangan! Kwee Seng terkekeh-kekeh, rambutnya riap-riapan. Ia menoleh
ke kanan kiri dengan lagak congkak, meniru lagak Bayisan dan lain-lain peserta
tadi. Seolah-olah ia juga seorang peserta yang gagah perkasa menunggang kuda
yang tangkas.
Ributlah
para penonton. Terdengar gelak tawa di sana-sini, lalu pecah terbahak-bahak.
Lucu sekali memang. Penunggangnya seorang jembel berpakaian compang-camping
penuh tambalan, rambutnya riap-riapan bertelanjang kaki, ‘kudanya’ mirip seekor
anjing buduk yang pincang kakinya.
Para
prajurit penjaga menjadi marah dan hendak menghalangi si Gila itu membikin
kacau, akan tetapi raja mengangkat tangan mencegah. Sambil tertawa-tawa Raja
Kulu-khan berkata, "Biarkan! Biarkan! Bukankah ini merupakan pertunjukan
lawak yang menarik?"
Diam-diam si
Kakek aneh itu kagum ketika tadi merasa tubuh jembel muda itu tiba di
punggungnya seperti sehelai daun kering. Rasa kagum yang disusul rasa
penasaran, karena biar pun ia sudah tua bangka, namun ia adalah seorang yang
memiliki watak yang tidak mau kalah oleh siapa pun juga! Maka kini ia lari
mencongklang ke arah barisan tombak. Kemudian sekali ia menggerakkan kaki tangannya,
tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas tombak! Di atas ujung mata tombak
yang runcing, yaitu empat buah tombak pertama. Tangan dan kakinya menekan ujung
itu seperti seekor burung hinggap di atas cabang! Kwee Seng terkejut sekali dan
diam-diam ia merasa amat kagum.
Gelak tawa
dari para penonton seketika terhenti, dan kini para penonton melongok
terheran-heran. Senyum Raja Kulu-khan sendiri terhenti di tengah-tengah. Puteri
Tayami bangkit berdiri, dan para penglima, termasuk Kalisani dan Bayisan berubah
air mukanya. Ini bukan pelawak-pelawak gila lagi, melainkan pertunjukan yang
hebat! Bayisan segera lari ke arah barisan panah dan memberi perintah dengan
suara perlahan, kemudian kembali lagi di tempat semula sambil memandang penuh
perhatian.
Tanpa
mempedulikan keadaan sekelilingnya, kakek yang menjadi kuda itu melangkahkan
‘empat kakinya’ setapak demi setapak melalui ujung mata tombak yang
berjajar-jajar itu, sedangkan Kwee Seng enak-enak duduk di atas punggungnya.
Karena Kwee Seng juga merasa panas perutnya melihat kakek ini seakan-akan
memamerkan kepandaiannya, maka diam-diam Kwee Seng tidak menggunakan lagi
ginkang-nya, membiarkan tubuhnya memberat dan menindih kakek itu.
Akan tetapi
kakek itu cerdik juga karena sekarang ia cepat melompat-lompat di atas mata
tombak, tidak menekankan tangan kaki lagi seperti tadi melainkan memegang
dengan tangan lalu melompat sehingga akhirnya ia sampai di baris terakhir lalu
melompat ke bawah.
Para
penonton sudah sadar kembali dari kaget dan heran, maka kini suara sorak-sorai
mengalahkan yang tadi karena sorakan itu diseling tawa terbahak saking kagum
dan lucu. Akan tetapi, suara ketawa mereka itu hanya sebentar karena ‘orang
gila’ bersama ‘kudanya’ yang aneh sekali itu telah mendekati barisan anak
panah. Apakah mereka benar-benar hendak memasuki barisan itu? Mencari mampus?
Ketegangan
memuncak karena Kwee Seng yang masih enak-enak ‘nongkrong’ di punggung kakek
itu seakan-akan tidak melihat bahaya, membiarkan dirinya dibawa ke dalam
barisan anak panah, di mana ahli-ahli panah telah siap melepaskan anak panah.
Busur telah mereka tarik sepenuhnya! Bahkan di panggung kehormatan tidak ada
suara berkelisik, semua mata memandang penuh ketegangan, agaknya napasnya pun
ditahan menanti detik-detik yang akan datang itu.
Dari mulut
Raja Kulu-khan terdengar suara. "Ah, sayang... kalau sampai mereka
tewas...." Akan tetapi suara ini hanya seperti bisik-bisik saja. Pula pada
saat seperti itu, siapa orangnya tidak ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan
peristiwa aneh itu? Raja sendiri biar pun mulut berkata demikian, hatinya amat
ingin menyaksikan dan tentu akan melarang kalau ada yang hendak menghalangi
orang gila itu memasuki barisan anak panah.
Para ahli
panah yang telah menerima bisikan dari Bayisan menanti sampai orang gila itu
tiba di tengah-tengah lapangan. Tepat pula seperti yang diperintahkan Bayisan,
mereka memanah untuk membunuh, maka begitu terdengar suara tali busur menjepret
disusul berdesirnya anak panah yang puluhan batang banyaknya, semua anak panah
itu selain menuju ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Kwee Seng, juga
ada yang mengaung lewat di pinggir dan atas kepalanya untuk mencegah orang gila
itu mengelak!
"Aduh
celaka...!"
"Ahhhh...!"
"Mati
dia...!"
Bahkan Raja
Kulu-khan sendiri mengeluarkan seruan kecewa, demikian pula puteri Tayami dan
yang lain-lain ketika melihat betapa anak-anak panah yang banyak sekali
mengenai tubuh ‘orang gila’ itu sehingga tubuhnya seperti penuh anak panah, di
kanan kiri dada, bahkan ada yang menancap di mukanya! Akan tetapi anehnya,
‘kuda’ kecil itu masih merayap terus dan orang gila itu masih enak-enak duduk
mengantuk, seakan-akan anak-anak panah yang menancap pada dada dan mukanya itu
tidak dirasainya sama sekali!
Kembali anak
panah yang banyak sekali menyambar, kini menuju kepada ‘kuda’! Berbeda dengan
peraturan yang berlaku dalam ujian ketangkasan itu, kini karena telah diberi
komando Bayisan yang tahu bahwa dua orang itu adalah orang-orang pandai yang
agaknya memancing keributan, mereka lalu menghujani ‘kuda’ itu dengan anak
panah pula.
"Anak
kecil itu pun mati...!" teriak orang-orang yang menonton yang tentu saja
sudah dapat menduga bahwa kuda itu adalah kuda palsu, bukan kuda melainkan
seorang manusia. Tentu seorang anak-anak karena kaki tangannya begitu kecil dan
pendek.
Aneh pula,
seperti halnya penunggangnya, kuda palsu itu pun sama sekali tidak mengelak dan
tubuhnya pun penuh dengan anak panah! Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia masih
saja merangkak-rangkak, bahkan kini menuju ke lapangan di mana tersedia sasaran
boneka besar untuk menguji kepandaian memanah!
Barulah kini
orang-orang melihat bahwa anak-anak panah yang disangka menancap di dada orang
gila itu sama sekali bukan menancap, melainkan di kempit di antara kedua kelek
(ketiak) dan di antara jari-jari tangan, malah yang tadinya disangka menancap
di muka ternyata adalah anak-anak panah yang kena gigit oleh ‘orang gila’ itu.
Entah bagaimana cara ‘kuda’ itu menerima anak-anak panah yang kelihatannya
masih menancap pada tubuhnya, karena tubuh itu masih tertutup baju yang
dikerobongkan di kepala! Setelah tiba di lapangan memanah, tiba-tiba ‘kuda’ itu
lari congklang, bukan main cepatnya, agaknya tidak kalah cepatnya oleh larinya
kuda!
Tentu saja
kenyataan itu membuat para penonton menjadi kaget, kagum, heran, dan gembira
sehingga meledaklah sorak-sorai mereka, melebihi yang sudah-sudah, Raja
Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya, Puteri Mahkota Tayami bertukar pandang
dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang lucu adalah Kalisani.
Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil kegirangan dan mulutnya
tiada hentinya berteriak.
"Hebat...!
Mereka orang-orang sakti! Ah, mana bisa kepandaian kita dibandingkan dengan
mereka?"
Hanya
Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Pada saat
itu ia mendekati seorang pangeran yang juga merupakan putera Raja Kulu-khan
dari selir, tapi lebih tua dari pada Bayisan yang bernama Pangeran Kubakan.
Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik dengan Bayisan.
"Siapakah
mereka...?" tanya Kubakan.
"Aku
tidak tahu..." jawab Bayisan bingung.
"Jangan-jangan...."
Kubakan menoleh ke arah ayahnya yang berdiri dan memandang kagum ke arah
lapangan, malah kini kedua tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji
bersama semua penonton.
"Ah,
agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan tetapi siapa tahu? Malam ini
kita harus turun tangan...."
Kembali
Kubakan menoleh ke arah ayahnya, lalu mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang
pangeran ini bertukar pandang, kemudian mereka berpisah. Bayisan lari ke arah
lapangan untuk menyaksikan dua orang aneh itu dari dekat.
Setelah lari
cepat seputaran dengan cara berloncatan seperti kuda, kakek yang menggendong
Kwee Seng itu tiba di depan sasaran, jaraknya sama dengan jarak para peserta
tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan seruan bentakan yang nyaring sekali
sehingga beberapa orang penonton yang jaraknya terlalu dekat roboh terguling.
Berbareng dengan seruan ini tubuhnya meloncat turun dari punggung ‘kuda’ dan
sekali kakinya menjejak, tubuhnya itu terbang cepat ke arah sasaran.
"Cap-cap-cap-cap!!!"
Cepat sekali anak-anak panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran,
tak sebatang pun luput.
Akan tetapi
para penonton memandang bingung karena tidak tampak bekasnya. Setelah mata yang
memandang tidak begitu kabur lagi oleh berkelebatnya anak-anak panah itu,
tampaklah oleh mereka betapa semua anak panah yang dilepaskan oleh Kwee Seng
itu telah menancap di atas gagang tiga belas buah pisau terbang panglima muda!
Gegerlah semua penonton saking kagum dan herannya, akan tetapi diam-diam
Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa ‘orang gila’ itu memusuhinya,
buktinya anak-anak panah itu menancap di gagang hui-to yang tadi ia lepaskan.
Tiba-tiba
terdengar suara berkakakan dan ‘kuda’ itu meloncat berdiri di atas dua kaki
belakangnya sehingga tampaklah seorang kakek cebol yang wajahnya seperti wajah
patung dewa di kelenteng. Kedua tangannya sudah menggenggam banyak sekali anak
panah dan sambil masih tertawa-tawa bergelak, kedua tangannya bergerak ke depan
dan meluncurlah anak-anak panah itu beterbangan ke arah sasaran. Anehnya,
anak-anak panah itu terbangnya masih berkelompok dan setelah dekat dengan boneka
lalu terpisah menjadi lima rombongan yang menyambar ke leher, kedua pundak dan
kedua pangkal paha.
“Prak-prak-prak...
Brakkk!” tahu-tahu boneka yang dijadikan sasaran telah roboh. Anak-anak panah
masih menancap tepat di tengah kepala kedua pangkal lengannya, dan kedua
kakinya telah patah!
Tanpa
mempedulikan keributan semua orang di situ, Kwee Seng kini berdiri dengan kakek
aneh. Kakek itu tertawa bergelak-gelak, Kwee Seng pringas-pringis menyeringai
aneh, keduanya orang-orang aneh atau mungkin juga keduanya sudah miring
otaknya!
"Hoa-ha-hah,
jembel muda bau busuk, kau lumayan juga! Aku harus mencobamu!"
"Kakek
cebol menjemukan! Siapa gentar menghadapi kesombonganmu?" Kwee Seng
menjawab, karena betapa pun juga, ia mendongkol melihat kakek ini amat jumawa
(takabur). Biar pun Kwee Seng berdiri acuh tak acuh, sama sekali tidak memasang
kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang berdiri dengan kaki
dibengkokkan secara lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan waspada karena
maklum bahwa seorang sakti seperti kakek ini, sekali menyerang tentulah amat
hebat sekali.
Akan tetapi
pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan
menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikin rusuh.
Melihat ini,
kakek cebol tertawa bergelak. "Aha-ha-ha! Sudah cukup main-main hari ini,
jembel muda bau. Kakekmu tidak ada waktu lagi, sudah lapar dan mengantuk.
Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau
terkencing-kencing oleh pukulanku!"
Setelah berkata
demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin tinggi lompatannya yang
modelnya seperti katak melompat. Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai
melewati kepala orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala
atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan
oleh si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu
dan lumpur. Malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang,
kadang-kadang si Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa
terbahak-bahak!
Kwee Seng
juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat
larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap di antara pohon-pohon yang
tumbuh lebat di lembah sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan
cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan
seterusnya.
Kalisani
mendekatinya dan berkata, "Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas
bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat
buruk terhadap kita, bahkan agaknya mereka berdua itu pun tidak saling
mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka
sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar
mereka seperti maling?"
Dengan wajah
berkerut Bayisan menjawab, "Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini
berbeda. Betapa pun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga
keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakukan perondaan di
dalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka
amatlah lihai."
Setelah
berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh
kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan
kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin sekali bertemu dan
berkenalan dengan mereka. Kalisani biar pun seorang tokoh Khitan, namun
pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan,
mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai
pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan kakek
cebol yang begitu aneh.
Malam itu
indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tenteram pada malam hari
itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan
purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air
sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu letih semua
penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian,
sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan
sinar bulan. Kecuali tentu saja, anak-anak dan orang-orang muda yang masih
selalu haus akan kesenangan.
Di tepi
sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda
perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu
sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul ke
atas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias
bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.
"Betapa
bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami,"
terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair. "Lihat
bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"
"Sudah
semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan
bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan
permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku
namun aku amat khawatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini.
Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali." Mereka
menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.
"Sesungguhnyalah
Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah
menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima
menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua
panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih dirimu sehingga
persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah
bahagia hatiku...."
Akan tetapi
wajah Tayami membayangkan kekhawatiran. "Betapa pun juga Kanda Salinga,
kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar
matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya?
Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan
cahaya berapi."
"Ah,
dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih
condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya."
"Kau
tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi.
Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita? Si Pengemis
Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau si Kakek Cebol. Betapa
pun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa
gerangan mereka?"
"Memang
aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal
itu. Tak perlu khawatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda
Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti
kaca. Mari kita berperahu. Di sana ada perahu kecil."
Tanpa
menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun
dari kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali
bergandengan tangan. Sambil berbisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke
pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama
kemudian perahu itu meluncurlah ke tengah. Salinga mendayung perahu, Tayami
duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.
Kwee Seng
berdiri di belakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan
mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam
madu asmara, di bawah sinar bulan purnama di dalam biduk kecil yang
diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juwita terurai
di atas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di
telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorga-loka.
Tanpa
disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya
menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh di masa lampau. Saat
membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia
tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah. Kemudian terbayang wajah nenek
di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan
menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia
teringat kepada nenek itu, karena tiap kali teringat akan segala yang ia
perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk
dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur
dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia
menjadi seperti orang gila.
Mendadak
Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang
tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia
menyelinap, lalu mendekat. Di bawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat
tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.
"Ah,
mengapa justru kita yang mendapat tugas berat ini...?" Seorang di antara
mereka mengeluh. "Mereka tidak pandai berenang."
"Goblok!
Apa kau hendak membantah perintahnya? Justru mereka tidak pandai berenang, maka
memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu
agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang
sedang main-main di perahu tertimpa malapetaka, perahu terguling dan mereka
mati tenggelam...."
"Ahhh...!"
kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak
seperti yang dua orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.
"Sudahlah,
tak usah banyak ribut, mari kita mulai!" Tiga orang itu lalu
perlahan-lahan turun ke dalam air, kemudian mereka menyelam dan berenang dengan
cepat.
Kwee Seng
maklum bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum pula bahwa
ada komplotan jahat hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda yang asyik
dimabok cinta itu. Ia menarik napas berkali-kali kemudian dengan hati mengkal
karena perasaannya amat terganggu oleh peristiwa ini, karena suara hatinya
tidak membolehkan dia berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang pohon
terdekat dengan tangan dimiringkan.
"Krakkkk!"
batang pohon itu tidak dapat menahan hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh,
bagian yang dihantam pecah remuk dan patah, membuat pohon itu tumbang seketika!
"Eh,
apa itu...?" terdengar dari jauh suara Salinga ketika mendengar suara
keras robohnya batang pohon.
"Aiihhh,
Kanda... celaka...!" disusul jeritan Tayami karena pada saat itu perahu
mereka tiba-tiba terguling membalik dan mereka berdua terlempar ke dalam air!
Perahu itu
meluncur cepat dalam keadaan tertelungkup menuju ke tengah dan diseret arus air
menjauhi mereka. Dua orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki tangan
mereka, akan tetapi karena tidak pandai berenang, banyak sudah air yang
memasuki mulut.
"Tolonggg...!"
Tayami menjerit akan tetapi suaranya terhenti oleh air yang memasuki hidung dan
mulut.
"Dinda...!"
"Kanda
Salinga... ooohh...!"
Mereka
saling menangkap tangan, akan tetapi justru ini membuat gerakan mereka
mengurang dan tubuh mereka tenggelam kembali. Cepat-cepat mereka
menendang-nendang dengan kaki dan muncul lagi gelagapan. Pada saat itu, entah
dari mana datangnya, sebatang pohon meluncur di dekat mereka.
"Dinda
Tayami, cepat pegang ini...!" Salinga berseru girang.
Tak lama
kemudian mereka sudah berhasil menangkap batang pohon itu. Dengan bantuan
Salinga, Tayami sudah duduk di atas batang pohon sambil muntahkan air yang
telah banyak diminumnya. Salinga sendiri memeluk batang pohon itu agar jangan
bergulingan. Pakaian mereka basah kuyup, rambut mereka terurai, akan tetapi
untuk sementara mereka selamat.
"Kanda...
mengapa perahu kita terguling..?"
"Entahlah,
tidak perlu dipikirkan sekarang. Paling penting kita harus dapat mendayung
batang ini ke pinggir..." Dengan susah payah Salinga berusaha
menggerak-gerakkan batang itu ke pinggir akan tetapi karena tidak didayung,
batang pohon itu bergerak perlahan menurutkan arus sungai.
Pada saat
itu terdengarlah suara, "Huuukk... huuukkk...!" dan menyambarlah
seekor burung yang matanya berkilauan seperti mata kucing.
"Ihhh...
burung hantu...!" seru Tayami dengan perasaan ngeri. Sudah menjadi
kepercayaan di daerah itu bahwa burung hantu ini pembawa berita kematian, maka
siapa bertemu dengannya tentu akan kematian seorang keluarga.
"Ia...
membawa bungkusan...!" seru pula Salinga terheran-heran.
Betul saja.
Kuku burung itu mencengkram tali di mana tergantung sebuah bungkusan kecil.
Anehnya, begitu melihat mereka, burung itu menyambar turun dan sayapnya hampir
saja mengenai muka Tayami kalau saja gadis ini tidak cepat-cepat mengelak
sambil berseru jijik. Akan tetapi burung itu bukannya menyerang, melainkan melepas
tali sehingga bungkusan itu jatuhlah ke depan Tayami, tepat di atas batang
pohon!
"Ada
tulisannya!" Tayami berseru heran melihat tulisan huruf-huruf besar dan
jelas di atas bungkusan. Kalau huruf-huruf itu tidak jelas tentu takkan dapat
terbaca di bawah sinar bulan.
‘Lekas
pulang dan isi bungkusan ini pakai sebagai bedak, baru malapetaka dapat
dicegah.’
Tayami
membaca dengan keras sehingga terdengar pula oleh Salinga. "Apa artinya
ini?"
"Entahlah,
Dinda. Semua terjadi serba aneh. Perahu kita terguling. Kita hampir celaka,
lalu tiba-tiba ada batang pohon ini yang menolong kita. Lalu muncul burung
hantu yang memberi bungkusan dan surat. Ihhh, benar-benar menyeramkan sekali.
Kau simpan bungkusan itu, mari bantu aku mendayung batang pohon itu dengan kaki
agar dapat minggir." Mereka segera bekerja dan betul saja, sedikit demi
sedikit batang kayu itu bergerak ke pinggir.
Sementara
itu, tiga orang Khitan yang telah selesai melakukan pekerjaan jahat itu,
cepat-cepat menyelam dan berenang ke pinggir kembali. Akan tetapi begitu mereka
muncul di pinggir dan meloncat ke darat, mereka kaget sekali karena di depan
mereka telah berdiri seorang yang terkekeh-kekeh dan mereka menjadi ngeri
ketika mengenali laki-laki gila yang pagi tadi mengacaukan perlombaan.
"Heh-he-he,
setelah membunuh lalu lari, ya?" Kwee Seng menegur.
Tentu saja
mereka bertiga terkejut bukan main. Pekerjaan mereka tadi mencelakai dan
membunuh Puteri Mahkota adalah perbuatan yang amat berbahaya. Kalau diketahui
orang, tentu mereka akan celaka, maka sekarang mendengar bahwa jembel gila ini
sudah melihat perbuatan mereka, serentak dua orang yang bertubuh tinggi besar
itu mencabut golok dan menerjang Kwee Seng! Cepat gerakan mereka ini, dan cepat
pula hasil ayunan golok mereka, yaitu kepala mereka sendiri terbelah oleh golok
masing-masing sampai hampir menjadi dua dan tubuh mereka masuk ke dalam sungai
dan hanyut. Hanya dengan sentilan jari tangannya Kwee Seng telah membuat golok
yang menyerangnya itu membalik dan ‘makan tuan’.
Sejenak ia
memandang dua buah mayat yang menggantikan tempat Tayami dan Salinga itu,
kemudian sekali berkelebat ia telah meloncat dan menangkap tengkuk orang ke
tiga yang melarikan diri ketakutan. "Ke mana kau hendak lari?"
"Am...
ampun... hamba tahu pekerjaan itu terkutuk... akan tetapi hamba terpaksa...
kalau tidak mau melakukan tentu akan dibunuh...."
"Hemm,
aku tadi telah mendengar keraguanmu melakukan perbuatan itu. Siapa yang
memaksamu melakukannya?"
"Panglima
Muda Bayisan...."
"Mengapa?
Mengapa Puteri Mahkota dan Salinga akan dibunuh?"
"Hamba...
hamba tidak tahu... mungkin karena cemburu setelah... Sribaginda menerima
Salinga menjadi calon mantu...."
"Hemmm...."
Kwee Seng mengangguk-angguk, kemudian tangannya bergerak cepat, tahu-tahu orang
Khitan itu telah roboh tertotok, lumpuh seluruh tubuhnya. Kemudian tubuhnya
berkelebat lenyap dalam kegelapan malam.
Setelah
berhasil mendarat, Salinga dan Tayami segera lari ke arah kuda mereka, meloncat
ke punggung kuda setelah melepaskan kendali dari pohon, lalu membalapkan kuda
kembali ke kota raja.
"Aku
merasa khawatir sekali akan terjadi sesuatu di kota raja," kata Salinga.
Akan tetapi
ketika mereka tiba di kota raja, keadaan sunyi saja dan biasa, tidak ada
tanda-tanda terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena pakaian mereka masih basah
dan hati mereka masih tegang oleh peristiwa tadi, mereka langsung melarikan
kuda sampai depan istana.
"Kau
pulanglah, Kanda Salinga. Urusan tadi tak perlu kau ceritakan siapa pun juga.
Biar besok kita bertemu lagi dan kita bicarakan peristiwa itu!"
Salinga
mengangguk. Tentu saja ia tidak mau bicara dengan siapa pun juga tentang
peristiwa itu sebelum ia dapat membuka rahasianya. Peristiwa yang penuh
keanehan. Akan tetapi sebelum ia memutar kudanya pergi, ia berkata,
"Adinda, sebaiknya kau jangan tergesa-gesa memakai isi bungkusan sebagai
bedak. Lebih baik suruh selidiki dulu oleh ahli obat."
Tayami
mengangguk dan mereka pun berpisah. Tayami menyerahkan kuda kepada pelayan,
lalu berlari-lari memasuki istana, langsung ke kamarnya untuk bertukar pakaian.
Sedangkan Salinga melarikan kuda menuju ke rumahnya.
Setelah itu
para pelayan sibuk membuka pakaian basah sang puteri cantik ini, menyusuti
tubuhnya sampai kering kemudian menggantikan dengan pakaian bersih. Ketika
mereka hendak menyanggul rambut yang belum kering benar itu, Tayami mengusir
mereka, "Keluarlah kalian semua, aku ingin mengaso seorang diri."
Sambil
tersenyum-senyum maklum para pelayan itu berlari-lari ke luar dan Tayami duduk
di atas pembaringan dengan rambut terurai, seluruh tubuh terasa segar karena
habis digosoki. Bungkusan yang dijatuhkan burung hantu tadi ia buka
perlahan-lahan. Ternyata isinya adalah sejenis obat bubuk yang halus sekali
berwarna kuning. Begitu dibuka tercium bau yang amat harum oleh Tayami. Ganda
harum ini dan tulisan yang menganjurkan agar ia memakainya sebagai bedak untuk
mencegah malapetaka, membuat tangannya gatal-gatal untuk memakainya. Akan
tetapi pesan kekasihnya Salinga, bergema di telinganya.
“Salinga
benar juga,” pikirnya. “Aku tidak tahu siapa yang memberi bedak ini, dan
mencegah malapetaka apakah? Di sini aman saja.” Puteri Tayami bimbang antara
kepercayaannya akan tahyul dan pesan kekasihnya. Bungkusannya yang sudah
terbuka itu ia taruh di atas meja dekat pembaringan.
Gadis puteri
raja ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada dua pasang mata mengintai
penuh kekaguman. Mana ia bisa tahu kalau dua orang yang mengintainya itu datang
seperti setan tanpa menimbulkan suara sedikit pun ketika kaki mereka menginjak
genteng? Dan dua pasang mata yang memandang kagum ke dalam kamar itu pun tak
dapat dipersalahkan. Siapa orangnya, apalagi kalau ia laki-laki, takkan
terpesona dan kagum melihat gadis Puteri Mahkota yang cantik jelita itu?
Melihat pakaiannya ditukar oleh para dayang keraton, kemudian kini dengan
pakaian tidur yang longgar dan tipis, duduk termenung seorang diri di dalam
kamar yang indah.
Kwee Seng
datang terlebih dulu karena sejak tadi dari jauh ia mengikuti puteri ini. Ia
bersembunyi di sudut atas, maka ia pun tahu akan kedatangan sesosok bayangan
yang gesit dan ringan sekali, bayangan yang membuka genting dan mengintai ke
dalam pula, seperti dia! Berdebar hatinya ketika mengenal orang itu, yang bukan
lain adalah Bayisan, orang yang dicarinya untuk dibalas kecurangannya beberapa
tahun yang lalu. Akan tetapi karena ia pun terpesona oleh keindahan di dalam
kamar itu, Kwee Seng tidak segera turun tangan, ingin melihat dulu apa yang
dikehendaki Bayisan. Pula, melihat kecantikan Puteri Khitan, teringatlah ia
kepada Liu Lu Sian dan Ang-siauw-hwa, membuatnya termenung dan penyakitnya
hampir kumat!
Tayami
sedang termenung di dalam kamarnya, mengenang peristiwa di sungai tadi.
Teringat akan kekasihnya, ia tersenyum. Akan tetapi ketika ia teringat akan
peristiwa yang amat berbahaya, ia bergidik, lalu ia memandang bubukan obat.
Apakah maksudnya pengirim obat ini? Benarkah burung itu bukan burung biasa?
Ataukah disuruh oleh orang sakti? Sungguh harum baunya bedak ini. Dan kalau
memang bedak ini dipakai untuk menolak malapetaka, apa salahnya? Tentu
pengirimannya berniat baik. Tidak akan ada salahnya kalau aku pakai sedikit
untuk coba-coba. Berpikir demikian, jari-jari tangan yang halus runcing itu
bergerak mendekati kertas, hendak menjumput bedak.
Akan tetapi
tiba-tiba gerakannya tertahan karena melihat bayangan berkelebat, api lilin
bergoyang-goyang. Cepat Tayami menggunakan tangan kiri merapatkan bajunya yang
terbuka lebar sambil membalikkan tubuhnya. Terbelalak matanya saking kaget
melihat bahwa di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki yang
tersenyum-senyum, Bayisan!
"Kanda
Panglima Bayisan...! Apa artinya ini? Mengapa kau masuk ke sini secara
begini?" Tayami bertanya gagap.
Bayisan
memandang dengan sinar mata seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis di
depannya. Mulutnya menyeringai lalu terdengar ia berkata, suaranya gemetar
penuh perasaan, "Alangkah indahnya rambutmu, Tayami... alangkah cantik
engkau...., bisa gila aku karena birahi melihatmu...."
Tiba-tiba
Tayami bangkit dan matanya memancarkan sinar kemarahan. "Kanda Panglima!
Apakah kau sudah gila? Berani kau bersikap kurang ajar seperti ini di depanku?
Pergi kau keluar! Kau tahu apa yang akan kau hadapi kalau kuadukan
kekurang-ajaranmu ini kepada ayah?!"
Bayisan
tertawa mengejek. "Huh! Ayahmu juga ayahku. Biarlah ia tahu asal malam ini
kau sudah menjadi milikku. Tayami, kita sama-sama memiliki darah Raja Khitan,
kau lebih patut menjadi isteriku dari pada menjadi isteri seorang berdarah
pelayan rendah. Tayami, kekasihku, marilah... aku sudah terlalu lama menahan
rindu birahiku...!" Bayisan melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan
seperti akan memeluk, matanya yang agak kemerahan karena nafsu itu disipitkan,
mulutnya menyeringai.
"Bayisan,
berhenti! Kalau tidak, sekali aku menjerit kamar ini akan penuh pelayan dan
penjaga. Ke mana hendak kau taruh mukamu?"
"Heh-heh-heh,
menjeritlah manis. Para pelayan dan penjaga sudah kutidurkan pulas dengan
totokan-totokanku yang lihai. Lebih baik kau menurut saja kepadaku, kau layani
cinta kasihku dengan suka rela karena... karena terhadapmu aku tidak suka
menggunakan kekerasan."
Tayami
menjadi makin panik mengingat akan kemungkinan ucapan Bayisan yang memang ia
tahu amat lihai. Sambil berseru keras ia melompat ke samping, menyambar
pedangnya, yaitu pedang Besi Kuning yang tergantung di dinding, lalu tanpa
banyak cakap lagi ia menerjang Bayisan dengan bacokan maut mengarah leher.
Cepat bacokan ini dan dilakukan dengan tenaga yang cukup hebat karena Tayami
adalah seorang Puteri Mahkota yang terlatih, menguasai ilmu pedang yang cukup
tinggi. Akan tetapi, tentu saja silat Puteri Mahkota ini tak ada artinya.
"Heh-heh,
Tayami yang manis. Kau seranglah, makin ganas kau menyerang, akan makin sedap
rasanya kalau nanti kau menyerahkan diri kepadaku!"
"Keparat!
Jahanam berhati iblis! Tak ingatkah kau bahwa kita ini seayah? Tak ingatkah kau
bahwa aku ini Puteri Mahkota dan kau ini Panglima Muda? Lupakah kau bahwa pagi
tadi ayah telah menjodohkan aku dengan Salinga? Bayisan, sadarlah dan pergi
dari sini sebelum kupenggal lehermu!"
"Heh-heh-heh,
Tayami bidadari jelita. Kau hendak memenggal leherku, kau penggallah, sayang.
Tanpa kepala pun aku masih akan mencintaimu!" Bayisan mengejek dan
betul-betul ia mengulur leher mendekatkan kepalanya, malah mukanya akan mencium
pipi gadis itu.
Tayami marah
sekali. Pedangnya berkelebat, benar-benar hendak memenggal leher itu dengan
gerakan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bayisan tertawa, miringkan
tubuh menarik kembali kepalanya. Pedang menyambar lewat, jari tangan Bayisan
bergerak menotok pergelangan lengan dan... pedang itu terlepas dari pegangan
Tayami, terlempar ke sudut kamar!
Bayisan
sudah mencengkeram rambut yang panjang riap-riapan itu ke depan mukanya,
mencium rambut sambil berkata lirih, "Alangkah indahnya rambutmu...
halus... ah, harumnya...."
Tayami kaget
sekali, tangan kirinya diayun memukul kepala, akan tetapi dengan mudah saja
Bayisan menangkap tangan ini dan ketika tangan kanan Tayami juga datang
memukul, kembali tangan ini ditangkap. Kedua tangan gadis itu kini tertangkap
oleh tangan kanan Bayisan yang tertawa menyeringai.
"Kau
lihat, alangkah mudahnya aku membuat kau tidak berdaya!" Tangan kirinya
mengelus-elis dagu yang halus. "Kau baru tahu sekarang bahwa aku amat
kuat, amat kosen, jauh lebih lihai dari Salinga, dari laki-laki mana pun juga
di Khitan ini!" Sekali mendorong, ia melepaskan pegangan tangannya dan
tubuh Tayami terguling ke atas pembaringan.
Gadis itu
takut setengah mati, lalu nekat menerjang maju lagi sambil melompat dari atas
pembaringan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas ketika jari tangan
Bayisan menotok jalan darah bagian thian-hu-hiat yang membuat seluruh tubuhnya
menjadi seperti lumpuh! Dengan lagak tengik Bayisan kembali mengusap pipi gadis
itu sambil tertawa.
"Heh-heh,
betapa mudahnya kalau aku mau menggunakan kekerasan. Kau tak dapat bergerak
sama sekali, bukan? Akan tetapi aku tidak menghendaki demikian, juwitaku. Aku
ingin kau menyerahkan diri secara sukarela kepadaku, ingin kau membalas cinta
kasihku, bukan menyerah karena terpaksa dan tak berdaya. Nah, bebaslah dan
kuberi kesempatan berpikir."
Tangannya
menotok lagi dan benar saja, Tayami dapat bergerak kembali. Muka gadis ini
sudah pucat sekali, akan tetapi sepasang matanya berapi-api saking marahnya. Ia
akan melawan sampai mati, tidak nanti ia mau menyerah! Baru sekarang ia
teringat untuk menjerit. Tadinya, selain terpengaruh oleh ucapan Bayisan yang
katanya telah merobohkan semua penjaga dan pelayan, juga ia merasa malu kalau
peristiwa ini diketahui orang luar. Akan tetapi melihat kenekatan Bayisan yang
seperti gila itu, ia tidak peduli lagi dan tiba-tiba Tayami menjerit sekuatnya.
Aneh dan kagetlah ia ketika tiba-tiba lehernya terasa sakit dan sama sekali ia
tidak dapat mengeluarkan suara!
"Heh-heh-heh,
jalan darahmu di leher kutotok, membuat kau menjadi gagu! Nah, insyaflah,
Tayami, betapa mudahnya bagiku. Dengan tertotok lemas dan gagu, apa yang dapat
kau lakukan untuk menolak kehendakku? Akan tetapi aku tidak mau begitu... aku
ingin memiliki dirimu sepenuhnya, berikut hatimu. Manis, kau balaslah cintaku...."
Bayisan melangkah maju lalu memeluk.
Tayami
memukul-mukulkan kedua tangannya, akan tetapi pukulan-pukulan itu agaknya sama
sekali tidak terasa oleh Bayisan. Pemuda Khitan yang seperti gila ini menciumi
muka Tayami, membujuk-bujuk dan terdengar kain robek. Terengah-engah Tayami
ketika Bayisan untuk sejenak melepaskannya sambil memandang dengan mulut
menyeringai. Baju Tayami bagian atas sudah robek, wajah gadis ini pucat sekali.
“Celaka,”
pikirnya. “Tidak ada senjata lagi.”
Tiba-tiba
Tayami teringat akan bungkusan bedak di atas meja. Kalau bedak itu mengenai
mata, tentu untuk sesaat Bayisan takkan dapat membuka matanya, mungkin ada
kesempatan baginya untuk lari ke luar kamar.
Bayisan
sudah hendak memeluk lagi. "Tayami sayang, aku cinta kepadamu... kau
layanilah hasratku...."
Tiba-tiba
Tayami memukulkan tangan kirinya ke arah ulu hati Bayisan. Melihat pukulan itu
keras juga dan mengarah bagian berbahaya, sambil tertawa Bayisan menangkap
tangan ini dan hendak mendekap tubuh Tayami. Mendadak tangan Tayami yang kanan
menyambar, dan segumpal uap putih menghantam muka Bayisan yang sama sekali
tidak menyangka-nyangka itu. Begitu melihat sambitannya mengenai sasaran,
Tayami cepat melompat ke belakang sampai mepet dinding belakang pembaringan.
"Kau...
kau apakan mukaku? Tayami... kau gunakan apa ini...?" Ia terhuyung-huyung
menuju ke meja rias di mana terdapat sebuah cermin. Ketika ia memandang
wajahnya pada cermin itu, keluar teriakan liar seperti bukan suara manusia
lagi.
Tayami yang
sudah tak dapat menahan ngerinya, menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Tak
sanggup ia melihat lebih lama lagi. Ia memang seorang gadis perkasa, tak gentar
menghadapi perang, sudah biasa melihat mayat bertumpukan sebagai korban perang,
melihat orang terluka parah. Akan tetapi peristiwa yang mereka hadapi sekarang
ini benar-benar mengerikan sekali, apalagi kalau ia ingat betapa tadi sebelum
Bayisan datang, hampir saja ia menggunakan bedak beracun itu untuk membedaki
mukanya. Menggigil kengerian ia kalau membayangkan betapa kulit mukanya yang
halus itu akan digerogoti perlahan-lahan oleh racun itu, betapa mukanya akan
tak berkulit lagi, seperti muka iblis yang seburuk-buruknya.
Kembali
Bayisan menggereng seperti binatang liar ketika ia membalikkan tubuh menghadapi
pembaringan di mana Tayami duduk bersimpuh kengerian dan ketakutan.
"Kau... kau... setan betina... kucekik lehermu sampai mampus..."
Ia menubruk
maju, akan tetapi tiba-tiba ia berseru kesakitan dan terhuyung ke belakang.
Tangan kirinya meraih ke arah pundak kanannya yang terasa sakit, lumpuh dan
gatal panas. Ketika ia berhasil mencabut jarum hitam yang menancap di pundak
kanannya, ia berteriak kaget, mundur beberapa langkah dan berdongak ke atas. Di
sana, di celah-celah genteng, tampaklah sebuah muka menyeringai, muka seorang
muda yang rambutnya riap-riapan.
Bayisan
tentu saja mengenal jarum hitamnya, maka tadi ia kaget setengah mati melihat
pundaknya dilukai orang dengan jarumnya sendiri. Kini melihat muka itu, muka
jembel muda yang siang tadi membikin kacau, teringatlah ia akan muka Kwee Seng,
teringatlah ia akan semua peristiwa di puncak Liong-kwi-san.
"Liong...
kwi.... san...." Bayisan mengeluh, mukanya pucat sekali dan tahulah ia
bahwa tidak harapan baginya untuk menghadapi pemuda gila yang ternyata Kwee
Seng adanya itu. Tahu pula ia bahwa tak mungkin ia dapat tinggal di istana
setelah apa yang ia lakukan terhadap Tayami, setelah kini mukanya menjadi
seperti muka iblis yang mengerikan. Terdengar ia melengking panjang seperti
lolong seekor srigala hutan yang kelaparan ketika tubuhnya berkelebat ke arah
jendela dan lenyaplah Bayisan di dalam kegelapan malam.
Kwee Seng
tersenyum puas. Tak perlu ia membunuh Bayisan, cukup dengan mengembalikan
jarumnya di tempat yang sama. Ia puas melihat Bayisan sudah cukup terhukum oleh
perbuatannya sendiri yang jahat. Siapa kira, bungkusan yang ia duga dikirim
kakek cebol untuk Puteri Mahkota Khitan itu, ternyata berisi bedak beracun dan
secara tidak sengaja telah dapat memberi hukuman mengerikan kepada Bayisan si
manusia jahat!
Akan tetapi
kakek cebol itu juga jahat. Bagaimana seandainya bedak itu dipergunakan oleh
Puteri Mahkota? Kwee Seng bergidik. Tak sampai hatinya membayangkan hal ini.
Dia amat sayang akan segala yang indah-indah, kalau sampai wajah yang jelita
itu, dikupas kulitnya oleh bedak beracun, hiiiih!
"Kakek
cebol, kau iblis tua bangka, tak dapat kudiamkan saja perbuatanmu ini!"
kata Kwee Seng di dalam hatinya dan ia pun meloncat turun dari atas genteng,
menghilang di dalam gelap.
Pada
keesokan harinya, kota raja bangsa Khitan itu geger ketika Pangeran Kubakan
mengumumkan bahwa Raja Kulu-khan telah meninggal dunia secara mendadak karena terserang
sakit setelah menghadiri pesta perlombaan kemarin. Tentu saja hal ini
mengejutkan bangsa Khitan yang merasa sayang kepada raja yang adil itu. Semua
orang berkabung untuk kematian yang tak tersangka-sangka ini.
Ada pun di
dalam istana sendiri, tidak kurang hebatnya pukulan yang tak tersangka-sangka
ini. Tayami menangisi jenazah ayahnya dan para panglima hanya saling pandang
dengan penuh pengertian. Tidak ada tanda-tanda penganiayaan, akan tetapi
tahu-tahu raja telah meninggal dunia di atas pembaringannya, tidak ada tanda
luka, tidak ada tanda minuman atau makanan beracun.
Akan tetapi
bagi pandang mata yang awas dari para panglima yang tahu akan ilmu silat
tinggi, yaitu misalnya Kalisani Si Panglima Tua, atau juga panglima-panglima
kosen seperti Pek-bin Ciangkun (Panglima Muka Putih) dan Salinga, dapat menduga
bahwa kematian raja mereka itu adalah akibat pukulan jarak jauh yang mengandung
tenaga sinkang dengan hawa beracun. Dari sembilan lubang di tubuh raja itu
keluar darah menghitam, ini tandanya keracunan hebat oleh pukulan yang merusak
tubuh sebelah dalam.
Ketidak
hadiran Bayisan menimbulkan dugaan mereka ini bahwa Bayisan itulah yang telah
membunuh raja, ayahnya sendiri! Mungkin karena tak senang dengan pengangkatan
Salinga sebagai calon panglima dan mantu raja. Akan tetapi, setelah mereka
mendengar penuturan Puteri Mahkota tentang kekurang-ajaran Bayisan memasuki
kamar Sang Puteri lalu dapat diusir oleh Puteri Tayami dengan bubuk beracun
sehingga Bayisan menghilang, para panglima itu tidak mau lagi membicarakan hal
ini di luaran. Hanya diam-diam mereka mencari Bayisan untuk membalas dendam
atas kematian raja, namun semenjak saat itu Bayisan menghilang sehingga orang
menyangka bekas panglima itu tentu telah tewas oleh racun.
Sejak
kematian Raja Kulu-khan itulah timbul perebutan kedudukan raja di Khitan. Tentu
saja menurut sepatutnya karena yang menjadi Puteri Mahkota adalah Tayami, maka
puteri inilah yang menggantikan kedudukan raja. Akan tetapi ia seorang wanita
yang merasa kurang mampu mengendalikan pemerintahan, sedangkan calon suaminya
hanyalah keturunan pelayan, maka hal ini menjadi perdebatan sengit di antara
mereka yang pro dan yang kontra. Sayangnya bagi Tayami, yang pro dengannya
tidaklah banyak. Terutama sekali yang mendukungnya adalah panglima tua
Kalisani, yang bicara penuh semangat di depan sidang.
"Biar
pun tak dapat disangkal bahwa pimpinan puteri tidaklah sekuat pimpinan putera,
akan tetapi apa gunanya kita semua menjadi pembantu raja? Kalau ada urusan,
cukup ada kita yang akan maju dengan persetujuan raja. Puteri Tayami adalah
Puteri Mahkota, hal ini mendiang raja sendiri yang menetapkan. Kalau kita
sekarang tidak mengangkat beliau menjadi pengganti raja, bukankah itu berarti
kita tidak mentaati perintah mendiang raja kita?" demikian antara lain
Kalisani membela kedudukan Puteri Tayami!
Akan tetapi
pihak lain membantah dengan sama kerasnya. "Kita semua maklum bahwa bangsa
Khitan menghadapi banyak tantangan di selatan. Kalau kita sebagai bangsa yang
gagah perkasa tidak sekarang mencari tempat di selatan, mau tunggu sampai kapan
lagi? Dan penyerbuan itu membutuhkan bimbingan seorang raja yang gagah berani,
seorang laki-laki sejati. Kita percaya bahwa Paduka Puteri Tayami juga seorang
wanita jantan yang gagah perkasa, akan tetapi betapa pun juga, langkah seorang
wanita tidak selebar laki-laki. Biarlah Puteri Tayami juga tinggal dalam
kedudukannya sebagai Puteri Mahkota yang kita hormati, akan tetapi pimpinan
kerajaan harus berada di tangan seorang pangeran."
Perdebatan
sengit terjadi, akan tetapi akhirnya Kalisani kalah suara. Sebagian besar para
panglima dan ponggawa memilih Pangeran Kubakan untuk mengganti kedudukan
ayahnya menjadi raja di Khitan! Hal ini mengecewakan hati Kalisani yang amat
tidak suka melihat perebutan kekuasaan yang bukan haknya itu, apalagi karena
dengan adanya perdebatan itu, setelah ia mengalami kekalahan, tentu saja
golongan raja ini akan membencinya. Maka pada hari itu juga ia meletakkan
jabatan dan meninggalkan Khitan untuk melakukan perantauan yang menjadi kesukaannya
sejak dahulu. Karena kesukaannya akan merantau ini pula agaknya yang membuat
Kalisani tidak juga mau menikah. Sebelum pergi meninggalkan Khitan, Kalisani
hanya minta diri kepada Puteri Tayami.
"Harap
Paduka menjaga diri baik-baik. Setelah ayah Paduka wafat, belum tentu keadaan
pemerintahan akan sebaik sebelumnya. Terutama sekali, harap Paduka berhati-hati
terhadap Bayisan, kalau-kalau dia kembali lagi. Selamat tinggal, Tuan Puteri.
Selamanya saya akan berdoa untuk kebaikan Paduka."
Tentu saja
Tayami telah maklum bahwa Kalisani sejak dahulu juga menaruh hati cinta
kepadanya. Ia menjadi terharu sekali karena maklum bahwa perasaan cinta
panglima tua ini benar-benar perasaan yang jujur dan tulus ihklas, yang murni.
Ia maklum pula akan pembelaan Kalisani kepadanya di dalam sidang. Mengingat
betapa sekaligus ia ditinggal pergi ayahnya dan Kalisani, dua orang yang
benar-benar menaruh sayang kepadanya, tak terasa pula Tayami menangis.
Puteri ini
lalu mengambil dua buah roda emas yang menjadi barang permainan dan
kesayangannya sejak kecil, lalu menyerahkannya kepada Kalisani sambil berkata,
"Terima kasih atas segala kebaikan yang telah kau limpahkan kepadaku,
Kalisani. Semoga para dewa yang akan membalasnya dan terimalah sepasang roda emas
milikku ini sebagai kenangan-kenangan."
Kalisani
mengejap-mengejapkan kedua matanya yang menjadi basah, menerima sepasang roda
emas, mencium kedua benda mengkilap itu, lalu mengundurkan diri sambil berkata,
"Sampai mati aku takkan berpisah dari sepasang roda emas ini...."
Biar pun
kemudian Kubakan menjadi raja bangsa Khitan, namun Puteri Tayami masih
mendampingi kakak tirinya ini dan kekuasaan Puteri Mahkota ini masih besar
sekali. Raja Kubakan yang baru tidak berani mengganggu Tayami, karena sungguh
pun para panglima membenarkan dia yang menggantikan raja, namun boleh dibilang
semua panglima masih bersetia penuh kepada Puteri Mahkota. Raja Kubakan merasa
kehilangan sekali karena Bayisan pergi tanpa pamit dan tidak ada orang yang
tahu ke mana perginya. Kalau seandainya ada Bayisan di sampingnya, tentu rasa
ini akan merasa lebih kuat dan ada yang diandalkan.
Demikianlah,
secara singkat dituturkan di sini bahwa Puteri Mahkota Tayami menikah dengan
Salinga dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta. Tidak terjadi
sesuatu di antara raja baru dan Puteri Tayami mau pun suaminya karena mereka
tidak saling mengganggu, bahkan di waktu bangsa Khitan berperang menghadapi
musuh, keduanya berjuang bersama-sama. Akan tetapi sesungguhnya di dalam hati
mereka itu terdapat semacam ‘perang dingin’.
Kita kembali
kepada Kwee Seng yang meninggalkan istana dan terus keluar dari kota raja.
Sambil menggerogoti sepotong paha kambing panggang yang ia sambar secara sambil
lalu dari dapur istana sebelum keluar, ia berjalan seenaknya di malam hari itu.
Tak pernah ia mengaso karena bagi Kwee Seng yang kondisi tubuhnya sudah luar
biasa anehnya itu, tidak tidur selama seminggu atau tidak makan selama sebulan
bukan apa-apa lagi, juga sebaliknya ia bisa saja tidur tiga hari tiga malam terus-menerus
atau sekali makan menghabiskan makanan sepuluh orang!
Kwee Seng
masih enak-enak berjalan memasuki hutan setelah matahari muncul mengusir
kegelapan malam. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang tertawa-tawa,
suara tergelak-gelak yang amat dikenalnya karena itulah suara si Kakek Cebol!
Mendengar suara si Cebol, bangkitlah amarah di hati Kwee Seng. Si Kakek Cebol
yang kejam! Sekejam-kejamnyalah orang yang berniat merusak muka yang demikian
cantiknya seperti muka Puteri Mahkota Tayami! Kakek iblis itu harus diberi
hajaran. Dengan tangan kanan memegang tulang paha kambing, tangan kiri
menyambar sehelai daun yang kaku dan lebar, Kwee Seng lalu mempercepat
langkahnya menghampiri arah suara ketawa.
Kakek cebol
itu tampak berdiri dibawah sebatang pohon besar, tertawa-tawa sambil memeriksa
muka seorang yang menggeletak di depan kakinya. Ketika Kwee Seng mengenal orang
yang menggeletak itu, ia terheran-heran dan kaget, karena orang itu bukan lain
adalah Bayisan! Memang aneh kakek itu. Ia membungkuk, mengamat-amati muka
Bayisan yang rusak, lalu terpingkal-pingkal ketawa lagi, membungkuk lagi,
memeriksa dengan jari-jari tangan, lalu terkekeh-kekeh lagi seperti orang gila.
"Huah-hah-hah,
lucu perbuatan si tangan jahil iblis siluman! Muka si Cantik halus yang aku
arah, kiranya malah bocah tolol ini yang terkena! Heh-heh-heh!"
Makin yakin
kini hati Kwee Seng bahwa kakek cebol ini sengaja mengirim obat bubuk beracun
untuk merusak muka Tayami, maka ia menjadi makin marah. Di samping
kemarahannya, ia pun ingin sekali mengerti mengapa kakek itu hendak berbuat
sedemikian kejinya terhadap Tayami. Kwee Seng menanti sesaat untuk melihat apa
yang akan dilakukan selanjutnya oleh kakek itu. Bayisan agaknya pingsan, atau
mungkin sudah mati, karena tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Tiba-tiba
kakek itu berseru. "Aiiihhh, bau... bau...! Bau jembel tengik...!"
Terkejutlah
Kwee Seng. Dengan kening berkerut ia menggerakkan muka ke kanan kiri, hidungnya
kembang-kempis mencium-cium. Benar-benarkah ia berbau begitu tengik sehingga
kehadirannya tercium oleh kakek itu? Tentu saja pakaiannya yang sudah butut itu
tak enak baunya, akan tetapi tidaklah begitu tengik sehingga dapat tercium dari
jarak sepuluh meter jauhnya. Ia mendongkol dan berbareng juga kagum. Kakek
cebol itu tentu sengaja memakinya dan kenyataan bahwa kakek itu dapat
mengetahui kehadirannya menunjukkan kelihaiannya. Terpaksa ia muncul dari balik
pohon dan melangkah maju menghampiri.
Kakek itu
berdiri membelakanginya dan kini kakek itu mencak-mencak berjingkrakan sambil
mengoceh. "Wah, baunya, baunya makin keras! Jembel busuk tengik ini kalau
tidak cepat dicuci bersih, bisa meracuni keadaan sekelilingnya. Wah, bau...
bau... tak tertahankan...!" Kakek itu lalu berbangkis-bangkis.
Rasa
mendongkol di dalam hati Kwee Seng seperti membakar, "Kakek cebol tua
bangka tak sedap dipandang!" Ia memaki. "Sudah mukamu seperti monyet
tua, tubuhmu cebol, mulutmu kotor, watakmu pun keji seperti ular berbisa!"
Kakek itu
kini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Seng, matanya dibelalakkan lebar,
mengintai dari balik alisnya yang panjang dan berjuntai ke bawah menutupi mata.
"Jembel tengik, jembel bau, kiranya benar engkau yang mengotori hawa udara
di sini! Ucapanmu tentang muka, tubuh dan mulutku tidak keliru. Memang mukaku
seperti monyet, apakah kau mengira bahwa muka monyet itu lebih buruk dari pada
muka orang? Hah-hah-hah, coba kau tanya kepada monyet betina, muka siapa yang
lebih gagah menarik, muka monyet jantan berbulu ataukah mukamu yang licin
menjijikkan! Tubuhku memang cebol, lebih baik cebol dari pada merasa tubuhnya
besar dan gagah sendiri tapi tanpa isi seperti tubuh yang menggeletak di sini.
Tentang mulut kotor, memang kau benar. Mulut manusia mana yang tidak kotor?
Segala macam bangkai dimasukkan ke mulut, sedangkan yang keluar dari mulut pun
selalu kotoran-kotoran melulu. Bukankah segala penyakit disebabkan oleh yang
masuk melalui mulut, dan bukankah segala cekcok dan ribut disebabkan oleh apa yang
keluar melalui mulut? Memang mulut manusia kotor dan bau pula! Huah-hah-hah!
Tapi tentang watak keji seperti ular berbisa? Eh, jangan kau menuduh dan memaki
sembarangan, bocah jembel!".....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment