Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 12
Malam hari
itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum
semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran
Liang dan Panglima Muda Cu Bian. Ketiga orang muda ini tentu saja tidak enak
untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya
Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biar pun dengan
malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan dengan tokoh hebat ini.
Dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama membuat hati muda mereka
berdebar-debar. Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar
yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani
karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina.
Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan
hati dan pertahanan mereka.
Karena kini
Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya
kedua orang Pangeran Kang dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan
goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini tentu saja
mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu di waktu malam dapat mengunjungi
kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain
karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi.
Akan tetapi
dasar moralnya sudah bejat dan rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil
kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan
pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya, setiap saat
ia dapat berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima
gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu
Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda ini
benar-benar keras hati. Setiap kali Lu Sian datang, dia melayani wanita ini
dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda
runtuh di bawah sikap manis dan bujuk rayu.
Malam itu
untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima
Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya,
di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu
Bian cepat melompat berdiri dan bersiap karena pada masa itu memang tidak aneh
kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat bahwa
yang datang adalah Lu Sian, ia tersenyum dan berkata. "Ah, kiranya
Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"
Lu Sian
tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata,
"Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab
apakah?"
Cu Bian
tersenyum dengan muka merah. "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara
tentang ilmu di depanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."
"Ilmu
apakah yang berada dalam kitab itu?"
"Ilmu
Sia-kut-hoat (Ilmu Pelemas Tulang)."
"Ah,
Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"
Cu Bian
cepat berdiri dan menjura. "Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang
masih bodoh."
Lu Sian
menutupi mulutnya menyembunyikan tawa. "Para panglima di sini benar-benar
pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran
Sia-kut-hoat?"
"Benar,
Toanio."
"Hemm,
apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka,
boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."
"Sungguh?
Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih."
"Ciangkun
suka?"
"Tentu
saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."
"Ilmu
Sia-kut-hoat berinti kepada penggunaan hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi
untuk mengetahui sampai di mana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi
petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja
menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa
Sia-kut-hoat dapat melawannya."
"Mana
saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan
tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."
Lu Sian
berdiri dan tersenyum manis. "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan,
Ciangkun."
Karena
mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan,
pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian. Ia lalu menyimpan bukunya dan berdiri
menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena masih merasa sungkan-sungkan, ia menjura
dan memberi hormat. "Harap Toanio maafkan kelancanganku."
"Tak
usah Ciangkun sungkan, mulailah."
"Toanio,
awas serangan!" sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan
ke arah pundak.
Pukulan ini
seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas
memukul dada dalam latihan, maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi
gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat
tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat. Sebagai seorang ahli
silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapa pun
juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam
pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan.
Melihat
tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian
sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan
yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu
terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan
seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.
"Nah,
itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi di mana
saja!" tantang Lu Sian sambil tersenyum.
Cu-ciangkun
masih belum mau percaya. "Maaf, Toanio!" katanya dan ia bergerak
maju. Kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan
kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram.
Dengan mulut
tetap tersenyum Lu Sian berkata, "Yang keras, Ciangkun, lebih keras
lagi."
Cu Bian
penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah
pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari
Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini ia berani
mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat
dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih
dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!
"Hebat...!"
Cu Bian berseru girang.
"Cu-ciangkun,
kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat
hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun
menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku
dengan kedua lengan boleh kau rangkul dan jepit."
Seketika
wajah Cu Bian menjadi merah. "Ini... ini... mana saya berani...?"
"Ihh,
Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang
berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun
menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah
kedua lenganku ke atas."
Berdebar
jantung Cu Bian. Di lubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu
kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang
pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau
saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras
menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.
"Aku...
aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?" Ia
masih membantah dan ragu-ragu.
Makin gemas
hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu
dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.
"Cu-ciangkun,
bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau
pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam
hatimu?"
Makin
bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini
bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak!
Ia segera melangkah maju dan berkata tegas, "Baiklah, Toanio!"
Lu Sian
tersenyum mengejek, lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke
atas, "Nah, kau bekuklah aku!"
Cu Bian
mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan
ke atas dan kedua tangannya bertemu di atas tengkuk Lu Sian. Jantungnya
berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir! Kasihan
sekali pemuda yang masih hijau ini. Mana bisa ia tidak merasa ‘tersiksa’ ketika
kedua lengannya merasakan kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung
yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi
kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.
"Eh-eh,
bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa
Sia-kut-hoat sekali pun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun.
Atau... khawatirkah engkau kalau-kalau leherku akan patah?"
Cu Bian
makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua
lengannya yang membekuk leher. Untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan
dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut,
kepalanya menjadi pening, dan napasnya terengah-engah!
Lu Sian
tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada
bidang dan keras yang merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa
kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa napas di belakang
tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia. Alangkah
kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat
sehingga biar pun nafsu muda yang sudah selayaknya itu mulai bergelora, namun
ia masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.
"Yang
lebih kuat lagi, Ciangkun!" Ia menggoda dan sengaja berlama-lama
melepaskan diri sehingga pemuda itu merasa semakin ‘tersiksa’.
"Sudah
cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..."
"Kenapa
sih Ciangkun terburu-buru?" Lu Sian menggoda terus.
"Saya...
eh... saya khawatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."
Karena sudah
yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya,
Lu Sian lalu berkata, "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan
melepaskan diri!" sambil berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya,
menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat ‘merosot’ ke luar dari pelukan
ketat itu!
Cu Bian
masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan
tetapi yang dipeluknya sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan
matanya!
"Bagaimana,
Ciangkun?" Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli.
Cu Bian
cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat. "Benar-benar
Toanio lihai sekali, saya merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan
mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."
"Ciangkun,
Ilmu Sia-kut-hoat mudah dipelajari, akan tetapi dasarnya harus kuat. Seperti
kukatakan tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan
pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan
tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar
lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"
Makin merah
muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini
bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau
dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat agar berhasil!
"Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?"
"Cukuplah,
asal di tempat tertutup," jawab Lu Sian menahan geli hatinya.
Mereka lalu
meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih.
Sebuah tempat tidur lebar berdiri di sudut kamar. Lu Sian tidak mau
tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu sungkan, malu
dan bercuriga. Maka ia pun berkata, "Ciangkun harus duduk bersila
menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang
membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa
tidak pantas kalau kita berlatih di atas... sana itu!" Ia menuding ke arah
ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu Sian.
"Karena itu, biarlah kita duduk bersila di lantai ini saja."
Cu Bian
tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama
hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita di dalam kamar, apalagi
berada di atas satu ranjang, biar pun hanya bersila!
"Terserah...
kepada Toanio...," jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas
lantai.
Lu Sian pun
duduk bersila di depannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak
tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata, "Atur napas kerahkan tenaga,
biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga ke sambungan-sambungan
tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."
Cu Bian
mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan
mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan
yang halus lunak itu menyalurkan hawa mukjijat yang seperti membanjir ke dalam
tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak
harum itu!
Cu Bian
cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan
sinkang (hawa sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat
yang masuk ke tubuhnya melalui telapak tangan itu menguasai hawa saktinya dan
mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya
berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan
punggung.
"Sia-kut-hoat
dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga
kita mudah lolos dari ikatan apa pun juga," Lu Sian berbisik. "Tanpa
menggerakkan tubuh sekali pun kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman apa
saja. Lihatlah buktinya!"
Tiba-tiba Cu
Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang pundaknya bergoncang. Ia
tidak melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak
bertulang lagi sehingga ia terkejut.
"Cu-ciangkun,
lihat hasilnya, buka matamu...," kembali Lu Sian berbisik perlahan.
Cu Bian
membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak
tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu,
dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna. Dia sendiri pun
bertelanjang di tubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua telah
terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih
saling menempel dan tak pernah lepas. Pemuda yang selama hidupnya belum pernah
menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya
menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora
menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu
dan memijit-mijitnya mesra.
"Tak
senangkah hatimu karena hasil ini?" Ia berbisik dengan senyum memikat dan
mata basah penuh nafsu.
Makin
berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa,
matanya tidak berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak
pernah berkedip menatap ke arah dada! Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan
menubruknya, merangkul dan menciumnya.
"Eh...
eh... Toanio...." Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan
tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang
menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu
wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya.
Akan tetapi
Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia
menoleh ke arah lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika
bibirnya meruncing untuk meniup ke arah lampu di sudut kamar sehingga
padam.....
Karena di
dalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami kehidupan yang penuh
kesenangan di mana ia dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta
dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai semua yang menjadi
cita-citanya. Sampai delapan tahun ia tinggal di dalam istana, dan selama itu
Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis
sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu
awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat
girang.
Biar pun
maklum bahwa wanita yang di dalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu
sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang
menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang tampan untuk
dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya. Hal ini adalah
karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itu pun merupakan hal yang menguntungkan.
Semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi penyerbuan musuh
dan kalau pun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti itu.
Karena
istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas
menjaga keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya ke luar istana dan
mulai membantu melakukan pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata
musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau
anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan dapat
dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja.
Yang
memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh
kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian.
Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi musuh, karena dia
melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk biasa, tidak berpakaian
sebagai panglima. Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata
yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau
Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti
yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat
sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong di
mana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada suatu
pagi, seorang diri Cu Bian yang berpakaian sebagai seorang penduduk biasa pergi
menyelidiki rumah tua di ujung kota yang sunyi di sebelah barat itu. Goloknya
ia sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu dengan hati-hati
dan menyelinap di antara pohon-pohon di belakang rumah. Biasanya rumah tua ini
kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui
jendela yang tidak berdaun lagi itu.
Setelah
dekat ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Hatinya tergerak
ketika ia melihat seorang kakek tua duduk di atas kursi sedang marah-marah
kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan. “Siapakah kakek ini?”
pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya
berwibawa!
"Goblok!
Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh?
Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar
nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di Pek-coa-to (Pulau
Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku
adalah patriot-patriot konyol seperti kalian ini, mana mungkin Kerajaan Tang
yang jaya dapat bangkit kembali?"
"Ampun,
Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi
berada di sini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan
teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita di sini menjad macet
sama sekali."
Diam-diam Cu
Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan
julukannya Kong Lo Sengjin! Ia memandang penuh perhatian. Melihat betapa kedua
kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi.
Hatinya berdebar dan ia menoleh ke belakang. Kalau saja ada pembantu, ah, kalau
saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang
kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang kedua itu pun kelihatan lemah.
"Huh,
menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan
kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kau lihat baik-baik!"
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar ke arah
jendela di mana Cu Bian mengintai.
"Brakk!"
runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke
samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam
rumah melalui jendela.
"Pemberontak
tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili dari pada harus
berkenalan dengan golokku!" bentaknya.
Kong Lo
Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh ke arah laki-laki
temannya tadi sambil bertanya, "Siapakah budak ini?"
Laki-laki
itu meloncat ke pinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata, "Ong-ya,
inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita
di kuil tua...!"
"Oho!
Bagus sekali kau mengantarkan nyawa ke sini, budak. Lekas berlutut agar kau
dapat terbebas dari kematian mengerikan!" suara Kong Lo Sengjin berubah
menyeramkan.
"Ong-ya,
dia ini seorang di antara kekasih Tok-siauw-kwi!" laki-laki itu berkata
pula.
Sementara
itu Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pemeberontak
rendah! Rasakan golokku!"
Ia menerjang
maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali. Goloknya
lenyap berubah sinar putih seperti kilat menyambar ke arah leher kakek itu.
"Singgg...!!"
Namun
goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat ke
atas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah
berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara
tertawa bergelak-gelak.
Cu Bian
penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemana pun
berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran
dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta, melainkan juga
pelajaran untuk memperhebat ginkang-nya, lweekang dan ilmu goloknya. Namun
menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu
membacok angin belaka dan pada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah
tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.
"Ha-ha,
disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!"
kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke
depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah kepala Cu Bian.
Bukan main kagetnya
pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangan ketika bertemu
dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung
lengan baju ke dua yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang
diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung lengan baju.
"Plakk!"
perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh
Cu Bian terhuyung-huyung ke belakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking
hebatnya rasa nyeri di pundaknya.
Namun orang
muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan
kemarahan meluap, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat sambil menahan rasa
nyeri yang menusuk jantung.
"Hah,
rebahlah kau!" bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya.
Hanya dengan
menggerakkan kedua tangannya, di lain saat ia telah dapat merampas golok dan
merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan
seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu
bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan
tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak
membayangkan ketakutan.
Pada saat
itu terdengar bentakan-bentakan di luar dan menerobos masuklah tiga orang
berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah
pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu Bian menyelidiki
rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
"Kau
hadapi mereka!" teriak si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah
menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang ke arah pintu.
"Serbu!
Tolong Cu-ciangkun!" teriak seorang perwira.
Mereka yang
berada dekat pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak
dan golok. Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang prajurit
ketika Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil
mengibaskan tangan mengirim tamparan. Tubuhnya sudah mencelat ke luar dengan
mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja. Ia telah
melesat jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tempat itu sambil membawa
tubuh Cu Bian yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang celaka
adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai
juga, melawan mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira
itu adalah pengawal-pengawal istana yang tangkas. Maka setelah mengalami
pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas di bawah bacokan banyak senjata dan
tubuhnya hancur.
Peristiwa
tertawannya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota
raja. Penjagaan diperketat, di seluruh kota tampak para prajurit hilir mudik
mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun
semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup ke dalam istana,
mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja ia
melompati pagar tembok yang mengurung istana tanpa terlihat oleh para penjaga,
kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana. Cu-ciangkun
masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba di atas istana sambil
mencari-cari.
Lu Sian juga
mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah karena Cu
Bian merupakan seorang di antara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia
menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu, dan samar-samar ia teringat
akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik. Pernah
beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh yang amat
lihai itu. Akan tetapi ia tidak takut sekarang. Bahkan ingin ia mencoba
kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian si
Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga
sinkang-nya untuk melakukan pukulan jarak jauh.
Malam itu Lu
Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena
hawa udara agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti
bulan purnama. Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan di
luar kamar. Akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak bergerak dari
bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang
tinggi ginkang-nya, sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara,
tengah mendekati kamarnya. Selama ini ia tak pernah berhenti berlatih sehingga
Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri.
Tiba-tiba
sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biar pun sinar itu
menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan
mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama sekali.
"Capp...!"
Sinar itu
ternyata sebatang golok yang kini menancap di atas meja di depannya, golok yang
indah dan di ujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini
tertancap golok di atas meja. Benda yang berlumur darah. Sebuah jantung
manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian,
kekasihnya. Dan jantung itu...??
Tiba-tiba
terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela,
menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh
itu terbanting ke atas lantai. Ketika ia memandang, ternyata itu adalah sesosok
mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata terbelalak.
Mayat Cu Bian!
"Ha-ha-ha!
Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau
mengotori nama besar Beng-kauw!" terdengar suara memaki dan mengejeknya di
luar.
Hampir
meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali,
sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang ke luar
dari jendela. Ketika ia turun di dalam taman bunga di pinggir rumah, ternyata
di situ telah berdiri seorang kakek, berdiri di atas kedua tongkatnya yang
menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!
"Hemmm,
kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa
Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!"
"Ha-ha-ha!
Betul sekali, Tok-siauw-kwi. Kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi
aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan
merobohkan Dinasti Tang. Aku seorang patriot sejati! Tidak seperti engkau ini!
Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau
telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau
puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..., benar-benar menyebalkan dan
merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"
"Tutup
mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan
tetapi aku tidak!"
"Ha-ha-ha,
sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini
bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampuni dirimu
dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada
hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"
"Kakek
tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungan apa denganmu? Kau peduli apa?!”
"Wah,
benar keras kepala! Kau kira aku tidak tahu bahwa kau di sini mengumpulkan
pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."
"Keparat!"
Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar
kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar,
dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan
dua tusukan berubi-tubi.
"Trang-trang-trang-trang-trang....!"
lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat ke belakang sampai
mereka terpisah dalam jarak enam meter.
Hebat
serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan si Kakek Tua. Keduanya
merasa telapak tangan mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin
terheran-heran. Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan pengerahan sinkang
dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan terpental,
bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat
Kong Lo Sengjin menjadi marah dan penasaran.
Di lain
pihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali
serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong
Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya
terasa gemetar, tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya.
Tangan kiri
Lu Sia bergerak dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum
Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum
halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah jalan darah yang
mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar
berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai di tempat sasaran!
Namun sambil
tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar
dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh di tanah sebelum
sampai ke tubuh kakek sakti itu.
"Ha-ha,
jangan berlagak di depan Kakekmu! Rasakan ini!" bentak Kong Lo Sengjin
sambil mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan.
Terdengar
angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan
karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu
(Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin pukulannya ini.
Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek ini merobohkan
banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri
melihat kedahsyatan pukulan si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian
beberapa tahun yang lalu.
Melihat
kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan
kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua
tangannya juga dia pukulkan ke depan. Pedang di tangan kanan ditarik ke dalam
di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan dorongan
hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat
ke depan!
Benturan dua
tenaga sinkang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh
mata, akan tetapi akibatnya hebat karena keduanya terpental ke belakang dengan
kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka saling pandang dengan kaget, karena adu
tenaga sinkang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal
ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi
penasaran sekali. Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada
waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong
Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.
"Kau
ingin mampus!" seru Kong Lo Sengjin.
Kini kakek
itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan
berbahaya sekali karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan
sepasang tongkatnya. Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan
ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring, lalu tubuhnya mencelat pula ke
atas menyambut serangan lawan. Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka
bertemu di udara, dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap.
Mereka
menggerakkan senjata dan bertanding di udara, saling tusuk dan tangkis sebelum
tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu disusul
muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika keduanya turun ke atas tanah,
daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap dari tembok
itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin.
Begitu
keduanya hinggap di atas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan.
Sejenak mereka tak bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah
karena biar pun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah mempergunakan
seluruh tenaga sinkang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah
sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya
robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biar
pun hanya luka ringan!
Makin panas
dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau
terluka. Kakek ini memang wataknya tidak pernah mau kalah. Kemarahannya
memuncak ketika mendapatkan dirinya hanya dapat bertanding seimbang saja dalam
menghadapi seorang wanita muda. Sambil menggereng liar ia menerjang maju.
Tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin
pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan.
Namun Lu
Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang
melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus sinar pedangnya
yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang sakti ini bertanding
dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sinkang seperti tadi, melainkan
mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan gerakan tubuh.
Hebat bukan
main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia
pelajari dari jago ginkang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan
seperti seekor lebah. Pedangnya mainkan ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat
dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main. Tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan
yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang
membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk.
Namun Kong
Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biar pun kedua
kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat
yang menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan
meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju yang
kesemuanya merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya. Kadang-kadang pedang
bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar
diikuti pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan
sinar yang saling gulung.
"Trang...
cring... plak-plak...!" tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke
belakang.
Kiranya
dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian
dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang sama Lu Sian
berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk menghantam jalan
darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling pandang,
ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo
Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam.
Setelah
membuka matanya lagi, Kong Lo Sengjin tertawa. "Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi
siluman betina. Kiranya kau benar-benar lihat sekali!"
"Tua
bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah
menerima kalah, lekas minggat dari sini!"
"Siluman
betina, siapa kalah?" Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan
tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Iblis
tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!" Muncullah Coa
Kim Bwee bersama tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan
dan memiliki kepandaian yang lumayan. Segera mereka mengurung dan menerjang
Kong Lo Sengjin!
"Ha-ha-ha,
Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu
tidak ada waktu melayani segala macam anjing!" tiba-tiba tubuh Kong Lo
Sengjin mencelat ke atas, melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat
sekali sudah menghilang ke atas tembok istana.
"Tak
usah dikejar... sia-sia belaka....!" kata Lu Sian.
Coa Kim Bwee
membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir. "Eh,
Cici, kau... kau terluka...?" Ia memegang lengan wanita itu hendak
menolongnya.
Akan tetapi
Lu Sian mengibaskan lengannya. "Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang
mengurus mayat Cu-ciangkun di dalam kamar itu."
Coa Kim Bwee
terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang
tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak berjantung lagi karena jantungnya
sudah tertancap di atas meja oleh goloknya sendiri....
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng.
Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli lagi akan dirinya dan
hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri. Ia telah
menjadi korban asmara ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian
hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan cinta yang luar biasa
dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka di hatinya yang tadinya
sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa.
Memang,
semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi,
akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia merupakan
seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu berpakaian rapi bersih, kini ia
berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti jembel. Tidak
ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang sopan dan bersih, sehingga ia di
sana-sini disangka seorang gila.
Akan tetapi
keadaan hidupnya berubah semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin,
saudara kembar Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik yang
dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi. Timbul pula kegairahan
dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena ‘nenek’ yang ternyata seorang wanita
muda cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya! Ia telah
menjadi seorang ayah dan ternyata dia dahulu sama sekali tidak melakukan
hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua, melainkan dengan seorang gadis
jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita pertama yang
menggugah cinta kasihnya.
Kegembiraan
ini ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak
pernah ia sangka bahwa muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah
putera Liu Lu Sian! Dua hal yang datang berbareng ini benar-benar telah
mengobati luka-luka di hati Kwee Seng.
Seperti
telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri, puteri dan juga muridnya ke
gunung Min-san, di mana ia hidup berbahagia dengan mereka. Khu Gin Lin adalah
seorang isteri yang mencinta suami, ada pun Kwee Eng atau biasa dipanggil Eng
Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupakan matahari ke
dua di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat
sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng.
Ada pun Bu
Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil,
menjadi amat rukun. Ketika masih kecil mereka itu seakan-akan kakak beradik,
akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih sayang mereka satu kepada
yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis itu
menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah
menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik jelita,
lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya.
Ada pun Bu
Song telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh
tinggi tegap, berwajah tampan serius, wataknya pendiam, dan pandai dalam ilmu
surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya telah terdapat dasar-dasar ilmu
silat. Bu Song telah memiliki tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya, hanya
saja ia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya!
Pada suatu
pagi yang indah di puncak gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya duduk di
depan pondok, menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan menyehatkan.
Sinar matahari pagi dari timur mulai mengusir halimun pagi yang tebal. Dalam
usianya yang empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan tua benar.
Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya
jenggot dan kumisnya yang tipis itu dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih
tua dari pada dahulu.
Ada pun
isterinya yang amat cinta kepadanya juga belum tampak tua benar. Tubuhnya masih
ramping, senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti
bintang. Ketika mereka duduk di depan pondok itu, tiba-tiba terdengar suara
ketawa Eng Eng yang nyaring gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari
mendekat puncak sambil berseru.
"Koko,
kayu bakar kita telah habis. Hayo berlomba mencari kayu!" tubuhnya yang
kecil ramping itu berkelebat cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar
ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya cantik berseri-seri.
Di
belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk
tubuh yang baik sekali. Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas
membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti seorang pelajar yang lemah,
melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis
hitam tebal berbentuk golok. Matanya lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa,
hidungnya mancung dan bibirnya jarang tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil
ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan sifat tegasnya. Sayang, wajah yang
ganteng ini terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering kali
keningnya berkerut.
"Moi-moi,
biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan
laki-laki. Kalau berlomba, tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat dari pada
larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?" biar pun ia berkata demikian,
namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman
bermain sejak kecil selama belasan tahun. Sebentar kemudian bayangan kedua
orang muda itu lenyap dalam sebuah hutan di puncak.
Suami isteri
yang duduk di depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh arti. "Tak
dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang amat cocok dan
setimpal," kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh kepuasan.
Isterinya
mengangguk. "Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka, sebaliknya Bu Song
pendiam dan penyabar, amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat
mereka itu saling mencinta. Hanya sayang...."
"Mengapa
sayang, isteriku?"
"Ada
dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya tidak hidup bahagia, rumah
tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda bercerai. Ayah kawin lagi,
Ibu..."
Kwee Seng
menghela napas. "Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah
kita harus mengukur keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak
baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun kita melihat dia
tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya. Apakah masih belum cukup dan haruskah
kita mengingat keadaan ayah bundanya?"
"Kau
memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari
keluarga yang berantakan akan tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu
Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku sayangkan, karena kalau saja
orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya...."
"Hemmm,
tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kau sayangkan, apakah itu?"
"Aku
menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan anak kita,
sungguh pun tidak sangat pandai, boleh dibilang telah memiliki kepandaian
tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang kesesuaian faham dan watak
mereka kelak?"
Kwee Seng
tersenyum. "Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini kurahasiakan
agar jangan sampai bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak yang
hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci kepada ilmu
silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai dan
penuh cinta kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia kecewa
melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya terpisah dan tersesat oleh
ilmu silat. Di samping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman dan kekejian
di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu silat hanya
menjadi alat untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka. Inilah sebabnya
ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi, aku melihat bakat baik sekali
terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih baik dari pada
aku sendiri. Karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu silat dan
telah menyuruh dia berlatih siulian dan napas. Sekarang pun ia telah memiliki
sinkang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini. Kelak, kalau ia
mengalami penderitaan hidup karena ketidak-mampuannya bersilat, baru akan
terbuka pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang yang
luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku."
Gin Lin
tercengang, akan tetapi juga girang sekali. "Syukurlah kalau begitu. Kini hilang
keraguanku. Sebaiknya kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah
mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan dapat kita tinggalkan
mereka...."
"Ah,
isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal di sini? Adakah yang lebih nikmat dari
pada hidup tenang dan tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau
masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan pertumpahan darah?"
Tiba-tiba
wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah
sehingga cepat-cepat ia mengusap air mata itu dengan sapu-tangannya. Dengan
muka tunduk ia berkata, "Suamiku, memang aku berterima kasih kepada Thian,
juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat
ini. Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah
bundaku yang terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pelacur... dan
aku sendiri, seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku? Semua
itu karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina...
Suamiku, katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin
kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikit pun akan penderitaan orang tua dan
keluargaku? Suamiku, di waktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di
samping anak kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan
bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah,
suamiku..." Gin Lin lalu menangis.
Kwee Seng
memegang pundak isterinya. "Tenangkan hatimu, isteriku. Jangan kau kira
bahwa aku pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah
tepat kalau urusan pribadi dicampur-adukkan dengan urusan negara. Keluargamu
terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena
keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja
keluargamu terlanda mala-petaka. Andai kata kau hendak membalas, kepada
siapakah kau akan membalas? Dalam keributan seperti itu, dalam perang, mana
bisa kita membalas kepada seseorang?"
"Memang
betul ucapanmu, suamiku," kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan
hatinya. "Dan memang aku tidak mendendam kepada seseorang, melainkan
menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan Dinasti Tang, karena mereka itulah
yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita sudah menikah,
aku... ijinkanlah aku membantu Paman Couw Pa Ong untuk menghancurkan musuh
sehingga dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan kewajibanku berbakti
kepada orang tua dan keluarga...."
"Baiklah...
baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa kau kira aku dapat melepasmu begitu
saja? Sekali kita berkumpul, untuk selamanya. Kalau memang kulihat bahwa
musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai seorang pendekar tentu saja aku akan
suka membantumu membasmi mereka."
Gin Lin
memegang lengan tangan suaminya. Matanya basah memandang wajah suaminya ketika
ia berkata terharu, "Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik
sekali...."
Mereka
berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas. Ia hanya menaruh kasihan
kepada wanita ini, wanita yang menjadi isterinya karena kebetulan dan terpaksa.
Ia tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya, mencintanya semenjak masih menyamar
sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan tetapi dia, cinta jugakah dia kepada
isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng akan membohongi diri sendiri
kalau dia mengaku demikian.
Cinta kasih
terhadap wanita agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah kosong.
Cintanya sudah lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampai mati pun ia tidak
akan suka menyatakan hal ini melalui mulut, bahkan ia coba mengusir dari dalam
hatinya setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin Lin dan akan membela
isterinya ini dengan seluruh jiwa raganya.
"Isteriku,
bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah berhasil pula meruntuhkan Kerajaan
Cin dan dengan demikian berarti sudah menang perang?"
"Betul,
suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan golongan lain sehingga kini
didirikan Kerajaan Han Muda (947-951). Akan tetapi Kerajaan Han ini pun selalu
dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan Paman kabarnya makin
payah...."
"Bagaimana
kau bisa tahu?"
Merah wajah
isterinya ketika menjawab, "Aku telah menyuruh seorang penduduk lereng
gunung pergi menyelidik ke kota raja...."
Kwee Seng
terkejut. “Hemmm, kiranya isteriku ini diam-diam tak pernah melupakan urusan
negara.”
Akan tetapi
pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah
berada di situ. Kedua kakinya bersila, tergantung di antara dua batang tongkat
yang dipegangnya menggantikan kedua kaki untuk berdiri.
"Paman...!"
Gin Lin berseru girang.
"Ah,
kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak dapat menyambut lebih dulu karena
tidak tahu," kata Kwee Seng yang sudah bangkit berdiri dan memberi hormat.
Sejenak
kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap tajam kepada suami isteri itu.
Kemudian dia berkata, "Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata
denganmu."
"Tentu
saja boleh. Silakan Paman masuk ke pondok kami yang buruk...."
"Tidak
di situ, Kwee Seng. Mari kau ikut aku menuruni puncak. Di lereng sunyi sana
kita bicara. Waktu hanya sedikit, musuh-musuh mengejar-ngejarku, aku perlu...
bantuanmu, suami keponakanku!"
"Paman!
Apakah yang terjadi...?" Gin Lin berseru kaget.
"Diamlah
kau, Lin-ji. Tidak perlu ribut-ribut, hanya perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han
Muda runtuh pula. Masih untung Pamanmu ini tidak tewas. Relakah kau kalau
suamimu membantuku?"
"Tentu
saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng bersama Paman. Kasihanilah,
bantulah...." Ucapan nyonya ini disertai pandang mata penuh permohonan,
juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya. Agaknya ia sedih sekali mendengar
bahwa pamannya kembali sudah jatuh!
"Baiklah,
Lin-moi. Mari, Paman!"
Kedua orang
sakti itu berkelebat cepat menuruni puncak. Di sebuah lereng yang sunyi Kong Lo
Sengjin berhenti, lalu menjatuhkan diri duduk bersila dengan sepasang kakinya
yang lumpuh sambil berkata, "Kim-mo Taisu, kali ini aku benar-benar
membutuhkan bantuanmu."
"Hemm,
bantuan bagaimana yang Paman maksudkan?"
"Duduklah
di sini. Aku sengaja mengajakmu ke sini agar lebih enak kita bicara secara
terbuka, jauh dari wanita yang tentu akan mengganggu saja."
Di dalam
hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi ia tidak
membantah, lalu duduk di depan kakek itu. Kakek yang sudah amat tua, akan
tetapi dari pandang matanya jelas tampak semangat bernyala-nyala. Setelah
melihat Kwee Seng duduk di depannya, kakek ini berkata, suaranya lambat
perlahan.
"Engkau
tentu telah mendengar dari isterimu betapa mala-petaka hebat menimpa Kerajaan
Tang berikut semua bangsawan dan keluarga kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu
betapa aku kehilangan tenaga kedua kakiku dalam perang itu dan kemudian betapa
aku mengorbankan seluruh hidupku untuk berusaha membangun kembali Kerajaan Tang
yang telah dirobohkan para pemberontak."
Kwee Seng
mengangguk.
"Bagaimana
pendapatmu tentang semua usahaku itu?"
"Sudah
sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang bekas pangeran dan Raja Muda
Tang yang tentu harus bersetia kepada Kerajaan Tang," jawab Kwee Seng
sejujurnya.
"Bukan
itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan mala-petaka yang menimpa keluargaku,
keluarga Gin Lin isterimu. Jangan mengira bahwa aku aktif bergerak untuk
mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus terang kukatakan bahwa ketika
Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan Liang, aku lalu mengundurkan
diri ke pulau kosong di mana aku melatih dua orang muridku. Baru setelah
Kerajaan Tang Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan berusaha membangun
kembali Kerajaan Tang. Akan tetapi, banyak pengikut Tang sudah tewas sehingga
terpaksa dengan mengadakan persekutuan dengan golongan lain, akhirnya kami
berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan membangun Kerajaan Han Muda. Namun,
begitu aku kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang Kerajaan Han telah
runtuh kembali, hanya berdiri selama empat tahun saja (947-951)!"
"Hemm,
lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk membantu Paman?"
"Sekarang
sudah runtuh semangatku untuk membangun kembali Kerajaan Tang. Sudah habis
sekarang keturunan kaisar, dan sudah musnah pula pengikut-pengikutnya. Apa
artinya kalau tinggal aku seorang? Betapa pun juga, aku harus membalas dendam
kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah meruntuhkan Kerajaan Tang, juga
tokoh-tokoh yang sekarang telah merobohkan Han Muda. Akan tetapi aku hanya
sendiri, dan musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh karena itulah, Kwee Seng, demi
sakit hati dan dendam isterimu, maukah kau membantuku?"
"Maaf,
Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku terbasmi dalam keadaan perang dan
dia sendiri pun tidak dapat mengatakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang
melakukan pembasmian. Dalam perang tentu keadaan kacau-balau dan seluruh
barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak mungkin saya dan isteri saya membalas
secara membabi buta, karena bukankah tentara pihak musuh itu pun hanya memenuhi
tugas mereka? Tidak ada dendam pribadi dalam urusan perang. Ada pun tentang
membantu Paman, agaknya sudah sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam
bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman tidak terancam siapa-siapa pada saat ini.
Kalau Paman mempunyai musuh-musuh pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja
harus kulihat dulu siapakah mereka itu. Kalau mereka terdiri dari golongan
jahat, tentu aku tidak akan segan-segan membantumu."
Kong Lo
Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga hancurlah batu. "Heh! Sudah
kuduga kau akan banyak membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun
aku sedang dikejar-kejar mereka. Di antara mereka adalah Ban-pi Lo-cia,
Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan, Pouw-kai-ong si Raja
Pengemis baru yang jahat, Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir
ada pula Tok-siauw-kwi...."
"Ahh...?"
tanpa sadar Kwee Seng berseru kaget.
"Hemm,
kau kaget mendengar nama Tok-siauw-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu
yang dulu menjadi tunanganmu!" kata Kong Lo Sengjin sambil memandang
tajam.
Diam-diam
Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang lalu itu telah
diketahui pula oleh kakek sakti ini.
"Mereka
adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan
saya, Paman. Pernah saya mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi
kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang menimbulkan dendam di hati saya karena
dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"
"Hah,
segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut
bersekongkol merobohkan Kerajaan Han sehingga kini berdiri kerajaan yang
menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku atau tidak menghadapi
mereka?"
"Kalau
Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari
mereka untuk memusuhi? Benar-benar kurang cocok dengan...."
Pada saat
itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin
menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong.
"Celaka....!"
bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang
saja ia berlari ke puncak.
Kakek lumpuh
itu pun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan
tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya
tersenyum dingin.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak. Dari jarak
jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang
laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang
sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan
isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki
lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya, dan isterinya yang memang kurang
berlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya.
"Lim-moi...
lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa
setiap detik nyawa isterinya terancam bahaya.
Ujung pedang
lawan itu sudah mematahkan semua jalan ke luar dan sudah mengancam hebat.
Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang
buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya terlepas. Kwee Seng meloncat dan
mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun
terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan....
"Blessss...!"
ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik
Kwee Seng terlambat.
Melihat hal
mengerikan ini Kwee Seng mengerang. Tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya
menampar.
"Krakkk!!!"
Hebat bukan
main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang
pedang yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua
biji matanya terloncat ke luar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya
terkulai tak bernyawa lagi.
Dengan
gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang
itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia
maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah
masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat
kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu
menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!
"Lin-moi...
oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi
pipinya.
Gin Lin
membuka matanya dan tersenyum. "Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku
dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk
Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku...
begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah,
lalu merangkul leher suaminya, mencium pipinya. "Koko... jaga baik-baik
anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..." tiba-tiba mata itu terpejam,
leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.
"Lin-moi...!!"
Kwee Seng
mendekap muka isterinya itu ke dada. Sejenak ia memejamkan mata, menahan napas.
Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya
masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong
Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan kedua
tongkatnya sampai hancur lebur!
"Dia
adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat
tantangan Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan
di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!"
Kwee Seng
tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan
membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditanda-tangani oleh Ban-pi Lo-cia yang
isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning di Laut Po-hai.
"Aku
akan mencari mereka!" kata Kong Lo Sengjin dengan suara geram.
Seperti
dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya. "Harap Paman berangkat
lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan
mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan menemui mereka, biar pun mereka
bersembunyi dalam neraka sekali pun!"
Kong Lo
Sengjin mengangguk-angguk. "Begitu pun baik, akan tetapi bulan pertama
tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah,
sampai ketemu lagi!" Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya,
lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san.
Kwee Seng
memasuki pondok, berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya
ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Terdengar Eng Eng
berseru tertahan dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat
yang hancur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua
orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan....
"Ayah...?!"
Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia
memandang ke atas pembaringan depan ayahnya.
"Ibu...!!!"
Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!!
Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping
mayat ibunya.
Semenjak
kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk
termenung, bersemedhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka
makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi
dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan.
Biar pun di
dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria
mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri
Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada
wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan
cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih
saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya.
Ia harus membalas dendam. Biar pun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun
ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya.
Keadaan yang
merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini
menjadi sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang
yang kehilangan semangat. Sore hari itu Kwee Seng baru keluar dari kamarnya,
akan tetapi ia tidak melihat puterinya, hanya melihat Bu Song yang sedang duduk
di depan pondok membaca kitab.
Melihat
gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat.
Suaranya terharu ketika ia berkata, "Maafkan teecu yang berlancang mulut,
Suhu. Akan tetapi teecu ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut
diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa
dilawan. Bukankah akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?"
Sejenak
Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang
menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song.
Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia.
Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan
tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku,
melainkan hal-hal yang mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi,
akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song,
berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng
selamanya."
Pemuda itu
mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya
dengan sinar mata yang jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi
selama teecu hidup!"
Tergetar
jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian
pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu
Song, apakah kau mencinta Eng Eng?"
Wajah itu
tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja, Suhu.
Teecu mencinta Adik Eng Eng."
"Mencinta
seperti adik kandung?"
"Benar,
Suhu."
"Ah,
aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik kandung."
Bu Song terkejut.
"Maksud Suhu...?"
Kim-mo Taisu
memegang pundak muridnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin kau
mencintanya seperti seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki
mencinta calon isterinya!"
Seketika
wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab
gagap, "Ah, ini... ini..."
“Jawablah
sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" Dengan hati
perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami
yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti apa yang dialami mendiang
ibunya.
Bu Song mengangguk.
"Memang teecu... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya
tak berani mengaku...."
"Bagus!
Legalah hatiku. Bu Song. Kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng,
bukan?"
Pemuda yang
memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan
canggung. Kini ia mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan
sungguh-sungguh, "Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu
yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu,
juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan
Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu
bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu
berani lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu
sebatang kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur
hidup kalau kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi
dalam kehidupan miskin sengsara."
Kim-mo Taisu
menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita
apakah? Katakan padaku."
"Semenjak
kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka
kalau tidak teecu pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota
raja...."
Kim-mo Taisu
mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih
muda. Ia pun dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena
pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian kalau tidak mampu memberi
uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu ia dapat memaklumi
isi hati calon mantunya.
"Baiklah,
Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal
kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah
itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng.
Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang
sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak
lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng
Eng?"
Bu Song
menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari
menutup diri dan tenggelam berduka cita, Eng-moi pun turut bersusah hati
sepanjang hari. Kalau Suhu tidak mau makan, Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau
Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap
hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya."
Naik
sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku... mengapa
aku selemah ini, Bu Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan
pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan dan kurang tidur! Jangan
bohong."
"Melihat
keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung
menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah.
Eng-moi bersusah, teecu bingung merana."
"Ah,
memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!"
Bu Song
girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan
Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja,
melainkan terutama sekali girang karena perubahan suhunya ini tentu akan
mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki
sebuah puncak. Ia yakin tentu Eng Eng berada di sana.
Bu Song
tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang, lalu menarik napas panjang
dan berkata seorang diri, "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak
ia akan menjadi pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana
dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu
lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia
menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!"
Tepat
seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di
puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan
hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi ketika ia melangkah mendekat,
tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur
dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa
panas.
"Eng-moi...!"
ia memanggil lirih.
Sejenak isak
itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah.
Kemudian ia menangis lagi sambil berkata, "Koko, mau apa kau menyusulku di
sini? Tinggalkanlah aku seorang diri...," tangisnya makin menjadi.
Bu Song maju
mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-moi, mengapa kau
menyiksa diri seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah
yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti merenggut, memisahkan kita
dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa
kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa
hatiku melihatmu sehari-hari menangis begini...."
"Song-koko...!"
gadis itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang
berlutut di depannya.
Bu Song
mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis
gadis itu berkurang, ia perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang
kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang mata jeli yang memerah,
hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata, pipi
yang agak pucat dan kurus.
"Moi-moi,
kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku
akan menjagamu, akan menemanimu selamanya, Moi-moi."
Air mata
bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan
matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya
menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi.
"Ah-hu-hu-hu...!"
Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu.
Bu Song
menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng
mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biar pun tangan gadis itu kecil
halus, namun ia memiliki tenaga lweekang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke
belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih
duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi,
mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah.
"Song-koko...
apa yang kau lakukan tadi...??"
"...apa...?
Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..."
"Engkau
nakal!"
"Moi-moi,
bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes.
"Memang
sejak kita masih kecil kau suka mencium, sebab kau memang tukang cium! Akan
tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau mencium
hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah.
"Ah,
maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja... aku... aku...."
Aneh sekali.
Terbayang senyum di bibir merah itu. "Sudahlah! Aku bukan marah karena kau
mencium, melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh
air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau mencium?"
Bu Song
tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil
Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah
satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng masih
kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh!
"Eng-moi,
mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu.
"Hari sudah hampir petang."
"Tidak,
aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air
matanya yang mulai keluar lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah
saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!"
"Aihh,
jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar
pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."
"Kau
bohong!"
"Wah,
kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana.
Sebentar lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang
bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu berdiri.
Eng Eng
seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret
oleh Bu Song.
"Marilah,
Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas
hatimu!"
"Siapa
mau pukul? Aku tidak marah!" akan tetapi suaranya ketus.
"Kalau
tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti."
"Kau
janji dulu!"
"Janji
apa?"
"Lain
kali mau cium, harus bilang."
Bu Song
menahan senyum. "Mengapa?"
"Biar
kubersihkan dulu pipi dan hidungku."
Bu Song tak
dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan
dada. "Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"
Eng Eng
terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu
meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja
ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik sehingga memiliki ginkang yang
lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan
seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung
rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil
tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya
girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain
sejak kecil.
Semenjak
kecil Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja.
Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia
mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar,
ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara. Akan tetapi tadi, terus terang harus
ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan
biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi,
kemudian Bu Song bersenandung.
Kegembiraan
hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya
mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng
Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Seperti cinta gurunya
terhadap ibu gurunya! Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru
dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia
gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang
sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya.
Ketika ia
tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di
balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang
berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan
Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu
gurunya yang meninggal dunia. Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget
dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh.
Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau.
"Nah,
Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali
lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya
saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri
terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut
orang gagah?"
"Kong
Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan
marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri
pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kau lihat saja,
Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"
Kakek lumpuh
itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati,
seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku
lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan.
Ha-ha-ha!"
"Sayang
sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita terpisah, biar pun musuh-musuh
kita sama. Nah, kau pergilah!"
Sambil
terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya.
Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan
gadis itu menangis. Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca
sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak
melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa
menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat
datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.
Apa
sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo
Sengjin, namun perbantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang
kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut melihat
ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa
takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras....
"Tidak!
Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya!
Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah aku ayahnya?"
Kong Lo
Sengjin tertawa mengejek. "Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar
setelah isterimu meninggal? Kau kira aku tidak tahu betapa kau dahulu
meninggalkan Gin Lin karena kau kira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan
dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena
perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa akibat perbuatanmu yang hina itu Gin Lin
menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir
dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya
dari sengsara. Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis
cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng
Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja,
sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng."
"Kong
Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa
melawanmu!" Kim-mo Taisu membentak marah.
"Aha,
kau kira aku takut? Kau kira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin
Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin,
sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi
musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng
Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah
engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!"
"Diam!!"
Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan
ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di
Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku
telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi
musuh-musuhnya."
"Ha-ha-ha!
Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin
mendesak. "Aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan
kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya
kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha,
alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar
nenek-nenek sekali pun engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa
mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para
bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku,
memusuhi Gin Lin. Dialah seorang di antara musuh-musuh yang menyebabkan
kematian Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?"
Kim-mo Taisu
merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi
apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di
depan matanya betapa ia telah mengalami hal-hal yang amat memalukan, betapa
semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap asmara.
"Pergilah...!
Aku akan menghadapinya... kau pergilah!" Hanya demikian ia menjawab dan
pada saat itulah Bu Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya.
Pemuda ini
sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang
menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andai kata ia mendengar sekali pun, ia
tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya....
Bu Song
masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan
ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam
itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng
Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Ada pun gurunya
terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar semedhinya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap.
"Bu Song," kata guru yang mukanya pucat ini. "Kau kumpulkan
semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau
yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kau bawa semua itu turun ke
lereng barat dan temui Paman Kui Sam."
"Suhu
maksudkan Kui Sam Lopek di dusun Hek-teng?" Bu Song menegaskan. Ia
mengenal Kui Sam si pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota
raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya.
"Betul,
dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima
stel pakaian sekolah untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja,
nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya."
Berdebar
jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke
kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu
adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun. "Suhu, selain
pakaian untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi,
untuk Suhu sendiri, atau lain keperluan...."
Kim-mo Taisu
menggeleng kepala. "Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun gunung
pergi ke kota raja, mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik sampai
aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian. Setelah
itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain...."
Guru ini
menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Cepat ia
mengumpulkan barang-barang itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan
menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak terlalu berat,
apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah
menjadi pekerjaannya sehari-hari.
Ia agak
merasa heran mengapa Eng Eng belum juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis
itu sebelum ia pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai
muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi.
Barang-barang itu lalu dipikulnya dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke
dusun Hek-teng yang letaknya di lereng gunung Min-san bagian barat.
Hari sudah
siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju ke rumah Kui Sam.
Pedagang itu girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat
berharga dan menguntungkan itu. Kalau barang-barang ini dibawa ke kota akan
menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam
sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka
sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima baik
oleh Kui Sam.
Bu Song
kemudian bertanya, "Kui Sam lopek, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa
semua Paman berkumpul di sini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau
perang saja?"
"Kebetulan
sekali Kongcu datang ke sini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan
dapat membantu kami mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang
di antara penduduk Hek-teng yng mewakili Kui Sam menjawab.
Muka Bu Song
menjadi merah. "Ah, maafkan, Paman. Biar pun aku benar murid Suhu, namun
aku bukan belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu,
mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?"
Tentu saja
para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah wajar
seorang pendekar murid orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati dan
pura-pura lemah.
"Wah,
Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam tertawa bergelak. "Gurumu memiliki
kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya lihai sekali. Lagi pula kami bukan
hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang."
"Bukan
orang? Lalu... apakah musuh kalian?"
"Burung.
Burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini sudah menghabiskan sepuluh ekor
domba kami!"
"Oohhh...
agaknya hek-tiauw (Rajawali Hitam) yang pernah disebut-sebut Suhu," kata
Bu Song kagum.
Pernah ia
bersama suhunya pada suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin
lama titik itu makin besar dan akhirnya tampaklah seekor burung hitam
melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka bahwa burung itu
seekor garuda, akan tetapi suhunya segera menerangkan, "Bukan, burung itu
adalah seekor hek-tiauw yang sukar dilihat. Agaknya ia datang ke sini untuk
mencari-cari tampat yang aman untuk bersarang dan bertelur."
"Mungkin
sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah
kakinya mampu mencengkeram seekor domba. Paling akhir ia mencengkeram dua ekor
domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan
tetapi matanya merah seperti api menyala."
Bu Song
makin tertarik. "Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara bagaimanakah?
Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?"
"Kami
akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui di mana sarangnya, di
puncak batu karang sebelah selatan. Agaknya dia bertelur di sana. Kita akan
obrak-abrik sarangnya, tentu dia akan lari ketakutan dan biar dia minggat
mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api,
ha-ha!"
Bu song
tertarik sekali. "Boleh aku ikut menonton?"
"Ha-ha,
tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung
raksasa itu," jawab mereka.
Berangkatlah
rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan
berjalan di depan. Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan
bersenda-gurau seperti seregu pasukan hendak maju perang melawan musuh!
Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum pernah ia rasakan selama
ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya.
Perjalanan
mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti karang, runcing
tajam dan kasar. Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui
jalan seperti itu, maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran.
Hanya kini tidak ada yang bernyanyi lagi, tidak ada yang bersendau-gurau,
karena keringat telah membasahi tubuh yang telah membasahi tubuh yang lelah dan
hati mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk
menara yang menjulang tinggi di puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung
batu karang itulah si burung raksasa bersarang.
Akhirnya
mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti
keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang,
lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi gelisah ketika tampak seekor
burung hitam raksasa terbang melayang ke luar dari atas batu karang. Inilah si
Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api
bernyala.
"Cepat
nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor.
Ada yang
mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali kadang-kadang
menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi, anak panah itu
disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak panah itu
hanyalah mainan kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak dan
mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja, karena melihat api, burung
itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas sambil
memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi kepala
dengan api, burung itu tidak berani apa-apa.
"Hayo
kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam.
Akan tetapi
jalan pendakian ke atas batu karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat
secara bersamaan mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain
lagi mendaki, akan tetapi baru kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu
menyambar dari atas.
"Awas...!!"
teriak mereka yang tinggal di bawah.
Kui Sam dan
temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi
kepala sedangkan tangan kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam
menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam itu menyambar. Akan
tetapi kibasan sayap yang besar dan amat kuat itu sekaligus memadamkan dua buah
obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah!
Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh mereka yang langsung roboh
bergulingan bersama orang-orang yang tertimpa. Biar pun babak-belur, namun
mereka selamat. Kembali burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah
ia terbang ke atas kembali setelah semua orang menyatukan obor dan
mengacung-acungkan ke atas.
"Dia
takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa
mendongkol.
"Akan
tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa
mendaki bersama, dan hal itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak
takut!" kata yang lain.
"Kita
gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita
panahkan ke bagian atas. Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah
goa," kata Kui Sam.
"Lihat
itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata.
Pemuda ini
sejak tadi menonton dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan
main menyaksikan gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. Ketika
melihat penuh perhatian ke arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah
kepala burung muncul, tiga buah kepala burung yang lucu sekali karena tidak
berbulu, matanya melotot.
Semua orang
berdongak memandang.
"Itu
anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah...!" kata Kui Sam.
Usul ini
lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan, karena selain terlindung batu karang
yang menonjol, juga semua anak panah disapu habis oleh rajawali hitam yang
melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan gempar ketika seorang di
antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas, tepat mengenai daun telinganya
sehingga robek.
Tiba-tiba Bu
Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak
burung itu dan melihat betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh
ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah ketakutan, akan tetapi anak burung
yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir. Ia sudah khawatir sekali, maka
begitu melihat anak burung itu tergelincir ke luar dan jatuh ke bawah, ia sudah
melompat dan menerima burung kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah
burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima dengan tangannya,
ternyata sebesar bebek!
"Saudara-saudara,
harap mundur. Tak baik ribut-ribut ini dilanjutkan!" Bu Song berkata
dengan suara keras. Entah suaranya yang berwibawa, entah karena mereka
menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo Taisu, akan tetapi semua orang
berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song yang memegang
anak burung itu di tangannya.
"Sekarang
aku mengerti," kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk
memelihara anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka
akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan di sini."
Anak burung
itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas,
memekik-mekik dan menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak
menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak burung itu di atas
kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk
menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas.
Burung
rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan orang-orang di
bawah sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu
Song. Namun burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi
anaknya sambil mendaki dan tidak membawa api yang ditakuti, burung itu dapat
mengerti niat orang menolong anaknya.
Setelah tiba
di puncak, Bu Song melihat sebuah goa yang besar. Kiranya di dalam goa itulah
sarang si Rajawali karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia menaruh
anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua ekor burung kecil yang serupa dan
yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song tertawa dan
mengelus-elus kepala mereka.
Tiba-tiba
matanya tertarik oleh setumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda
seperti agar-agar kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur
burung yang sudah kering dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia
lalu mengambil setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah. Burung rajawali
itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan
matanya selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song
yang mendaki turun.
Setibanya di
bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa
tidak puas karena belum berhasil membasmi musuh, malah pemuda dari puncak
Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh!
Bu Song
seorang pemuda yang luas pandangan dan cerdik. Ia maklum akan isi hati
orang-orang itu, maka ia segera berkata, "Saudara-saudara, maafkan
pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah jahat. Buktinya,
ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang
manusia sekarang ini hanya karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka
tidak perlu kita memusuhinya."
"Akan
tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seorang.
"Kalau
tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih banyak lagi!" sambung orang
kedua.
"Tidak,
asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang
sudah diterkamnya, biarlah kelak aku yang menggantinya, kutukar dengan
akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya
mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini,
burung yang lapar itu tentu akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman
begini dari pada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat berbahaya itu.
Untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?"
Akhirnya
semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati
girang pulang ke puncak membawa liur (ilar) kering burung rajawali hitam.
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas suami Liu Lu Sian, bekas
Jenderal Hou-han yang gagah perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup menduda selama tiga tahun di
samping puteranya, Kam Bu Song. Kemudian ia menikah lagi dengan Ciu Bwee Hwa,
puteri seorang sastrawan bernama Ciu Kwan yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa
ini menekan perasaan Bu Song yang lalu minggat meninggalkan rumah ayahnya.
Tentu saja
kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam Si Ek yang melakukan segala usaha
untuk mencari puteranya, namun sia-sia belaka. Baru setelah istrinya melahirkan
anak, kesedihan Kam Si Ek yang kehilangan Bu Song agak mereda, sungguh pun ia
masih senantiasa teringat dan berusaha mencari puteranya yang sulung itu.
Jenderal Kam
Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan mentaati perintah atasan. Biar pun
ilmu silatnya tidak amat hebat, namun kepandaiannya terkenal sekali dalam hal
mengatur barisan dan menggunakan siasat perang. Dengan siasatnya yang cerdik,
Jenderal Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang jauh lebih besar bala
tentaranya. Berkat kepandaiannya mengatur bala tentara inilah maka Hou-han
menjadi kuat sekali. Biar pun berkali-kali pihak musuh, terutama
pasukan-pasukan Khitan, berusaha menyerbu, selalu dapat dipukul hancur dan
digagalkan. Nama Jenderal Kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai di
Khitan dan di kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi Hou-han.
Akan tetapi
hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga terhadapi Gubernur Li Ko Yung di
Shan-si. Tadinya Li Ko Yung ia anggap seorang yang setia kepada kerajaan dan
seorang pejabat tinggi yang tidak mempunyai ambisi pribadi. Kemudian ia dapat
tahu bahwa Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk membangun kerajaan
sendiri di Shan-si, apalagi setelah Kerajaan Tang makin lemah. Kam Si Ek
mendengar bahwa Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu dengan
pemberontak!
Pada saat
itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Akan
tetapi pada hari ia hendak mengirim surat permohonan berhentinya kepada
gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh gelombang pasukan Khitan yang amat
besar. Biar pun Kam Si Ek sudah tidak suka untuk mengabdi kepada Gubernur Li Ko
Yung yang mengkhianati Kerajaan Tang, namun Kam Si Ek masih mengingat akan
nasib rakyatnya. Maka ia cepat-cepat mengenakan pakaian perang, membantah
cegahan isterinya yang menggendong puterinya yang baru berusia empat tahun.
Kini Ciu Bwee Hwa telah mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki
berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin, yang ke dua perempuan yang digendong
itu bernama Kam Sian Eng.
"Bukankah
sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan Shansi dan kita mengundurkan diri
ke gunung? Mengapa sekarang kau hendak maju perang lagi?" antara lain
isterinya memperingatkan.
"Bala
tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar dan kuat. Aku maju bukan untuk
membela Gubernur Li, melainkan untuk mencegah bangsa Khitan merusak kota-kota
dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi tugas terakhir bagiku. Kau
tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita, isteriku."
Kemudian
berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan memotong jalan yang akan dilalui
bala tentara Khitan yang datang menyerang bagaikan gelombang. Dengan siasat
memecah-mecah barisan dan membuat jebakan-jebakan dan perangkap, akhirnya ia berhasil
memotong barisan musuh menjadi beberapa bagian terpisah, lalu
pasukan-pasukannya yang terlatih baik itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi
mereka. Pertama-tama menggunakan panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara
Khitan yang sudah terpotong itu, kemudian mengurung mereka yang sudah terputus
dengan bagian perlengkapan dan setelah mereka menjadi lemah keadaannya, barulah
pasukan-pasukan ini menyerbu!
Seperti
telah kita ketahui, pada waktu itu Raja Kulukan, ayah puteri Tayami telah
meninggal dunia dan kedudukan Raja Khitan berada di tangan Kubakan, kakak tiri
Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia mengerahkan pasukannya untuk
menyerang ke selatan dan ke timur. Pasukan-pasukannya ganas dan kuat, dibantu
panglima-panglima yang kosen.
Hanyalah
karena maklum bahwa banyak panglima tua masih setia kepada Puteri Tayami, maka
Raja Kubakan bersikap baik terhadap Tayami. Akan tetapi kebaikan ini hanya
lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia amat membenci Tayami yang tidak
membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga tahu bahwa sewaktu-waktu
kedudukannya dapat goyah karena Tayami adalah Puteri Mahkota yang sebenarnya.
Ia mencari kesempatan untuk melenyapkan saingan ini.
Tayami telah
menikah dengan Salinga, seorang panglima muda, prajurit perkasa dari Khitan.
Mereka berdua hidup bahagia, saling mencinta dan setahun kemudian mereka
dikaruniai seorang puteri yang mungil dan sehat, dan yang mereka beri nama
Puteri Yalina. Makin bahagialah kehidupan mereka dan biar pun bekas Puteri
Mahkota ini tidak menggantikan kedudukan mendiang ayahnya menjadi raja,
melainkan diganti oleh kakak tirinya, Kubakan, namun hati puteri ini tidaklah
merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di samping suaminya yang mencinta
dan puterinya yang mungil.
Kurang lebih
dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami melahirkan puterinya, terjadilah
penyerbuan besar-besaran terhadap Shansi yang digerakkan oleh Raja Kubakan.
Dalam operasi ini, Raja Kubakan memerintahkan kepada Panglima Salinga, suami
Tayami untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang prajurit yang bertugas membela
negaranya, tentu saja Salinga tidak berani membantah dan siap-siap berangkat.
Akan tetapi isterinya merasa khawatir.
"Suamiku,
selama ini tugasmu menjaga keselamatan kerajaan di sini. Sekarang Raja
memerintahmu untuk memimpin pasukan menyerang Shan-si. Serbuan ini
besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat bahwa di Shan-si terdapat
Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini amat berbahaya. Aku
merasa tidak enak dan curiga, oleh karena itu, aku harus ikut," demikian
kata Puteri Tayami.
"Ah,
mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu menanti di rumah..."
"Biar
seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut mendiang Ayah melakukan
perang. Pula, aku seorang puteri, sudah menjadi tugasku pula menyertai pasukan
kita melawan musuh."
"Benar,
isteriku. Akan tetapi kau harus ingat, Yalina yang masih kecil."
"Dia
anak kita, anak orang-orang peperangan. Usianya sudah dua tahun lebih. Pula,
aku hanya mengantar dan berada di barisan belakang. Aku hanya ingin menyaksikan
sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik perintah penyerbuan ini,
suamiku."
Karena tidak
dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami berangkat juga bersama barisan yang
dipimpin suaminya. Dengan gagah Puteri Tayami naik kuda di samping suaminya
sambil menggendong puterinya yang berusia dua tahun lebih. Anggota pasukan
menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri yang gagah perkasa ini menyertai
suaminya.
Demikianlah,
terjadi perang hebat melawan bala tentara yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti
telah disebutkan tadi, Kam Si EK mengatur siasat memecah-mecah barisan Khitan,
memasang jebakan dan menyerbu dengan tiba-tiba sehingga barisan Khitan menjadi
kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan terdiri orang-orang gagah dan pandai
perang, akan tetapi menghadapi siasat Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak berdaya
dan kacau-balau. Banyak orang Khitan tewas terkena panah gelap.
Dalam
keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga tewas dalam pertempuran.
Berita ini segera sampai di telinga Puteri Tayami yang berada di barisan
belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami menjadi kaget dan
berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor kuda, menggendong
puterinya dan dengan pedang di tangan, puteri yang perkasa ini lalu terjun ke
dalam kancah perang, mengamuk secara hebat. Pedangnya merobohkan banyak lawan.
Keinginan sampai dapat bertemu dengan Jenderal Kam Si Ek yang memimpin sendiri
barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan ini hatinya akan puas.
Pedang Besi Kuning di tangannya adalah pusaka Khitan yang ampuh sekali. Setiap
senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu akan patah dan bagaikan
seekor naga betina puteri ini mengamuk terus. Akhirnya ia berhasil mendekati
tempat Jenderal Kam mengatur siasat dan memimpin pasukannya.
Semangat dan
kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan membangkitkan kembali semangat para
pasukan Khitan sehingga dalam waktu singkat banyak pula pasukan Khitan yang
ikut menyerbu di belakangnya dan sampai pula ke tempat itu. Pertempuran menjadi
makin hebat, dan melihat kegaduhan ini Jenderal Kam Si Ek terkejut. Seorang
pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh yang dipimpin seorang wanita
Khitan menyerbu dengan nekat dan berhasil menghancurkan kepungan.
Jendral Kam
meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin pasukan pengawal untuk membantu
pertahanan menghadapi amukan pasukan musuh yang menurut laporan amat berani dan
kuat itu. Dari tempat agak jauh dan tinggi ia memeriksa keadaan, lalu memberi
perintah pengepungan, memberi isyarat kepada pasukannya untuk mundur dan
bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya menghujani pasukan musuh
yang mengamuk itu dengan anak panah!
Dalam
keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri Tayami roboh dari atas
kudanya, bukan terkena anak panah musuh, melainkan terkena anak panah yang
dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya sendiri! Mengapa begitu? Kiranya
dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya untuk menggunakan
kesempatan ini membunuh Salinga dan Tayami!
Salinga
tewas dalam perang, tinggal Puteri Tayami. Namun pembunuh itu tidak mendapatkan
kesempatan melaksanakan tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain
hendak mentaati perintah raja dan mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin
menyelamatkan diri sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa
membahayakan nyawanya sendiri. Puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak
mudah dibunuh begitu saja. Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia
membunuh Tayami, tentu ia pun tidak akan selamat!
Maka kini
melihat puteri itu mengamuk, ia pun lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti
jejak puteri perkasa ini. Dalam keadaan kacau-balau karena terjebak dan
dihujani anak panah inilah, ia mendapat kesempatan baik sekali. Teman-temannya
dalam pasukan juga membalas musuh dengan anak panah. Melihat betapa Puteri
Tayami melindungi diri sendiri dan puterinya dengan memutar pedang bersinar
kuning di depannya, pembunuh ini lalu menarik gendewa dan mengirim pula anak
panahnya, bukan kepada musuh melainkan tepat ke arah Puteri Tayami! Tak seorang
pun mengetahui bahwa dialah yang menewaskan Puteri Tayami. Semua mengira bahwa
Sang Puteri menjadi korban anak panah musuh!
Robohnya
Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah menyelamatkan nyawa puteri dalam
gendongannya. Setelah ia roboh, Puteri itu tetap memeluk puterinya,
melindunginya dengan tubuh dan dengan Pedang Besi Kuning. Robohnya Puteri ini
mengagetkan pasukan Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri, banyak pula
anggota pasukan roboh terkena anak panah. Mereka menjadi agak panik dan kacau,
sungguh pun mereka tidak takut.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment