Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 13
Melihat
musuh bergerak kacau-balau, Jenderal Kam Si Ek memberi aba-aba dan menyerbulah
barisannya dari depan dan kanan kiri. Terjadilah perang mati-matian dan
Jenderal Kam Si Ek yang sejak tadi memperhatikan dari tempat tinggi dan kagum
melihat gerakan Puteri Tayami yang disangkanya seorang prajurit wanita biasa,
lalu mengeprak kudanya, memainkan goloknya ikut menyerbu musuh. Ia mengerahkan
kudanya ke tengah lapangan mendekati tempat prajurit wanita tadi roboh.
Alangkah
kaget, kagum dan terharunya ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita
menggeletak miring dalam keadaan tak bernyawa lagi, akan tetapi tangan kanannya
masih erat-erat memegang sebatang pedang bersinar kuning dan tangan kiri
memeluk seorang anak perempuan kecil yang menangis sesenggukan! Ia merasa heran
sekali mengapa seorang prajurit wanita ikut perang membawa anaknya, namun
kekaguman dan keharuan hatinya membuat ia cepat-cepat meloncat turun dari atas
kuda dan mengambil pula pedang bersinar kuning yang berada di tangan kanan
mayat si wanita. Tak pernah ia mimpi bahwa yang ditolongnya adalah puteri
keturunan asli Raja Khitan, dan bahwa prajurit wanita itu adalah Puteri
Mahkota!
Karena
siasat dan kecerdikan Jenderal Kam Si Ek, sebentar saja pasukan Khitan yang
menyerbu Shan-si dapat dipukul hancur dan sisanya lari cerai-berai kembali ke
Khitan. Jenderal Kam Si Ek membuat laporan ke atasan, mengirim pula Pedang Besi
Kuning sebagai barang rampasan, akan tetapi ia merahasiakan soal anak kecil
itu, anak Puteri Yalima yang kemudian dibawanya pulang.
Isterinya
girang sekali menyambutnya dan terheran-heran melihat suaminya pulang perang
membawa seorang anak perempuan kecil yang cantik mungil! Kam Si Ek menceritakan
keadaan anak itu dan terharulah hati isterinya.
"Biar
kita pelihara dia. Dia pantas menjadi adik Sian Eng," kata isterinya
sambil menimang-nimang anak itu. Anak itu memang lincah dan tertawa-tawa manis.
"Siapakah
namamu, anak manis?" berkali-kali Nyonya Kam bertanya.
Anak itu
adalah anak Khitan, tidak pandai bahasa asing ini. Akan tetapi agaknya ia
cerdik dan mengerti maksud orang, buktinya ia menuding dadanya sendiri dan
berkata sambil tertawa-tawa, "Lin Lin... Lin Lin...!"
"Ah,
agaknya ia bernama Lin!" kata Nyonya Kam gembira. "Baik, Nak. Mulai
sekarang kau adalah anak kami dan bernama Kam Lin!"
Seperti
telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang melihat gelagat tidak baik dengan
sikap Gubernur Li yang agaknya hendak mendirikan kerajaan sendiri, lalu
mengajukan permohonan berhenti. Mengingat jasa-jasanya, maka permohonannya
dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan isteri dan tiga orang anaknya,
termasuk Kam Lin, ke dusun Ting-chun di kaki bukit Cin-ling-san. Di lembah
sungai Han yang tanahnya subur ini, ia hidup bertani dengan aman dan tenteram.
***************
"Ayah,
biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak mencari musuh-musuh yang telah
membunuh Ibu dan membasmi keluarga Ibu, sudah menjadi tugasku pula untuk
membantumu, Ayah!" dengan suara merengek Kwee Eng membujuk ayahnya. Mereka
duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka.
"Tidak
bisa, Eng-ji (Anak Eng). Musuh-musuh itu terlalu sakti. Aku sendiri belum tentu
dapat melawan dan menangkan mereka, apalagi engkau. membawamu berarti
membiarkan engkau terancam bahaya maut."
"Aku
tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa bagi seorang gagah, maut
bukanlah apa-apa? Nama baik lebih penting dari pada maut!"
Kwee Seng
atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya. "Betul sekali! Karena itulah
maka aku harus pergi menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di sini.
Engkau sudah dewasa dan untuk menjaga nama baik keluarga kita, terutama nama
baikmu, engkau harus berumah tangga."
"Ayah...!!"
tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali dan sepasang matanya
terbelalak seperti mata seekor kelinci berhadapan dengan harimau.
Kim-mo Taisu
dan menepuk pundak anaknya. "Mengapa kau merasa ngeri? Sudah semestinya
seorang gadis menghadapi pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik, dan aku
yakin kau akan hidup bahagia sebagai isterinya."
Tiba-tiba
Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, tidak berani ia menentang
pandang mata ayahnya. Kim-mo Taisu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.
"Inilah
sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song mengikuti ujian di kota raja. Dia
anak baik dan soal perjodohan ini sudah kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng
Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka belajar ilmu silat sungguh pun aku belum
pernah bertemu orang yang memiliki bakat dan tulang lebih baik dari padanya
untuk menjadi pendekar. Dia lebih tekun dan suka belajar sastra. Dan
dipikir-pikir memang betul dia. Buktinya ahli-ahli silat selalu hanya terlibat
dengan permusuhan dan pertempuran belaka, seperti aku ini. Karena itu dia harus
menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai dengan kepintarannya. Setelah
itu baru kalian menikah, dan kalau sudah begitu hatiku tenteram dan kelak aku
akan dapat mati meram."
"Ayah...!"
kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini wajahnya agak pucat.
"Ha-ha
mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya kalau tidak mati? Kepergianku
kali ini tidak akan lama, Eng Eng. Ayahmu hanya akan pergi mencarikan tempat
untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu bagaimana keadaan kota raja sekarang
ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang menempuh ujian. Setelah aku kembali,
baru Bu Song kusuruh berangkat. Selama Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini
bersama Bu Song."
"Ahhh,
aku... aku malu, Ayah..."
"Malu?
Malu kepada siapa?"
"...Siapa
lagi? Malu kepada... dia tentu. Habis, Ayah tidak ada... dan kami... hanya
berdua..."
"Ha-ha-ha,
anak aneh! Sudah sejak dahulu kau seringkali berdua dengan Bu Song, mengapa
malu?"
"Dulu
lain lagi, sekarang tidak sama, Ayah. Habis..."
"Sstttt!"
tiba-tiba Kim-mo Taisu mendorong tubuh anaknya ke samping dan tubuhnya sendiri
melesat ke depan. Sesosok bayangan manusia berkelebat dan di depannya telah
berdiri Kong Lo Sengjin yang tertawa lebar.
"Kau...?
Belum pergikah engkau? Mau apa kau datang lagi ke sini, Kong Lo Sengjin?"
Suara Kim-mo Taisu jelas membayangkan ketidaksenangan hatinya. Sebetulnya ia
memang membenci kakek ini yang ia tahu memiliki watak aneh dan tidak baik,
sungguh pun harus diakui bahwa kakek lumpuh ini seorang yang setia lahir batin
kepada Kerajaan Tang.
"Ha-ha-ha,
Kim-mo Taisu. Siapa yang sepatutnya bertanya? Akulah yang semestinya bertanya
mengapa engkau belum juga pergi! Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini memang
tiada gunanya hidup. Apa lagi mempunyai cita-cita! Baru berniat hendak menuntut
balas saja masih ragu-ragu dan berlambat-lambatan. Heh-heh, Kim-mo Taisu,
ingatlah. Sejak dahulu apakah artinya hidupmu? Kau mengaku sebagai seorang
pendekar, sejak kecil engkau mengejar ilmu. Setelah kini menjadi orang pandai,
kau hanya menyembunyikan diri, menjadi korban perasaanmu sendiri. Apakah engkau
lupa bagaimana kewajiban seorang satria, seorang pendekar? Berbakti kepada
negara tak pernah! Semenjak muda hanya menjadi korban perasaan dan nafsu, patah
hati dan bermain dengan wanita. Ha-ha-ha! Manusia hidup menanti mati, selagi
masih hidup tidak mengisi hidup dengan perbuatan-perbuatan berarti, untuk apa
hidup lebih lama lagi? Hanya memenuhi dunia belaka!"
Pucat wajah
Kwee Seng.
Melihat ini
Eng Eng memegang lengan ayahnya dan dengan kedua pipi basah air mata ia berkata
kepada kakek itu, "Kong-kong (kakek), mengapa kau terus mengganggu Ayah?
Kau tahu betapa hancur hati Ayah karena kematian ibu, akan tetapi engkau malah
terus mengganggunya. Kong-kong, harap kau pergi meninggalkan kami!"
"Ha-ha-ha,
Eng Eng! Ibumulah wanita yang patut dikasihani. Ibumu adalah keponakanku dan
keluarga ibumu seluruhnya habis musnah. Bahkan ibumu sendiri menjadi korban
keganasan musuh. Akan tetapi Ibumu tertipu oleh laki-laki yang kini menjadi
Ayahmu ini, yang sama sekali tidak dapat membela nama baiknya. Ibumu adalah
seorang berdarah Kerajaan Tang yang jaya!"
"Kong
Lo Sengjin!" Kim-mo Taisu membentak marah. "Pergilah! Bukankah sudah
kujanjikan bahwa aku akan mencari musuh-musuh keluarga isteriku dan takkan
berhenti sebelum membasmi mereka? Pergilah, aku takkan melanggar janji. Mengapa
kau masih datang untuk menyakiti hati kami Ayah dan Anak?"
Kong Lo
Sengjin tertawa bergelak dan tiba-tiba pada saat itu terdengar suara melengking
tinggi. Lengking tinggi yang aneh dan mirip orang tertawa, akan tetapi juga
seperti suara tangisan. Bukan seperti suara seorang manusia, patutnya lolong
srigala, akan tetapi suara itu mengandung daya yang luar biasa. Tubuh Eng Eng
menggigil. Kim-mo Taisu cepat memegang pundak puterinya dan mengerahkan sinkang
untuk memperkuat daya tahan puterinya. Kong Lo Sengjin tampak kaget dan berdiri
di atas sepasang tongkatnya dengan kepala dimiringkan, wajahnya tegang.
Suara
melengking itu terhenti, dan terganti suara orang ketawa terkekeh-kekeh. Kim-mo
Taisu cepat mendorong tubuh anaknya sambil berbisik, "Bersembunyilah di
sana!"
Eng Eng
kaget dan mentaati permintaan ayahnya, ia lari bersembunyi di balik semak-semak
sambil mengintai. Dilihatnya betapa ayahnya berdiri tenang akan tetapi
keningnya berkerut, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua tangannya
bersedekap, matanya mengerling ke arah datangnya suara ketawa. Ada pun Kong Lo
Sengjin juga kelihatan tegang. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat
mengukur kelihaian orang yang akan muncul ini dari suaranya saja. Lengking
macam itu hanya dapat dikeluarkan oleh orang yang amat tinggi ilmunya. Karena
belum tahu siapa yang datang, kawan atau lawan, sambil menduga-duga mereka
menanti dengan hati tegang.
"Heh-heh-heh-heh,
Kong Lo Sengjin kakek buntung, hayo berikan kepadaku suling emas itu...!"
terdengar suara yang seakan-akan bergema dan seperti diucapkan dari tempat amat
jauh.
Kong Lo
Sengjin kaget, akan tetapi untuk menutupi kekagetan hatinya ia tertawa. Sambil
mengerahkan khikangnya ia pun berseru nyaring, "Tak peduli siluman atau
manusia, siapa takut kepadamu? Keluarlah, jangan main sembunyi dan menggertak
seperti anak kecil!"
Baru saja
ucapan Kong Lo Sengjin ini terhenti, terdengar suara ketawa dan tiba-tiba
muncul di situ seorang kakek cebol sekali. Bentuk tubuhnya seperti kanak-kanak
belasan tahun, akan tetapi kepalanya besar dengan rambut riap-riapan dan
cambang-bauk menutupi mulut dan dagu. Kakinya telanjang tak bersepatu,
pakaiannya sederhana dan pada pundaknya hinggap seekor burung hantu yang
matanya seperti mata harimau, berwarna merah, sedangkan paruhnya runcing kuat
berwarna seperti emas. Baik Kong Lo Sengjin mau pun Kim-mo Taisu tidak melihat
bagaimana kakek aneh ini datang, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa tingkat
ilmu kepandaian kakek cebol ini amatlah tingginya.
Diam-diam
Kim-mo Taisu terkejut. Ia segera mengenal kakek cebol ini yang bukan lain
adalah Bu Tek Lojin yang pernah ia jumpai di waktu ia berkelana sampai di
Khitan! Akan tetapi Kong Lo Sengjin tidak mengenalnya, bahkan belum pernah
mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw seperti kakek cebol ini. Maka ia hanya
dapat memandang dengan heran dan bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan
kakek cebol ini dan mengapa datang-datang menuduhnya mengambil suling emas!
Kalau tadi
Bu Tek Lojin, menegur Kong Lo Sengjin, kini setelah melihat Kim-mo Taisu ia
tertawa bergelak dan menudingkan telunjuknya kepada Kim-mo Taisu sambil
memegangi jenggotnya yang panjang, "Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Apakah kau
sudah sembuh dari penyakit gilamu? Apakah kau sekarang bukan jembel lagi,
Kim-mo Taisu?"
Kim-mo Taisu
menjura dan menjawab, "Lo-cianpwe salah duga. Dahulu itu saya waras dan
sekarang inilah saya benar-benar gila."
"Huah-hah-hah!
Betul..., betul sekali...! Eh, bukankah kau terkenal sekali dengan permainanmu
sepasang senjata, kipas dan suling? Aha! Kalau begitu tentu kakek buntung ini
merampas suling emas untuk diberikan kepadamu!"
Kim-mo Taisu
tak sempat menjawab karena ia merasa terheran-heran. Adalah Kong Lo Sengjin
yang dibiarkan dan seakan-akan tidak dipedulikan itu, tak dapat menahan lagi
kemendongkolan hatinya. Ia menghentakkan tongkat kirinya ke atas batu sambil berteriak,
"Tua bangka cebol! Apakah otakmu tidak miring? Kau datang-datang menuntut
kembalinya suling emas dariku? Hemmm, kalau suling emas berada padaku, apa kau
kira aku masih tinggal di tempat ini?"
"Kong
Lo Sengjin! Dahulu ketika engkau masih menjadi Sin-jiu Couw Pa Ong memang kau
sudah terkenal jahat. Kini engkau masih sama saja! Tiada hentinya mengumbar
nafsu, haus akan kedudukan dan kemuliaan. Siapa tidak tahu bahwa engkau telah
membunuh sastrawan Ciu Bun? Nah, suling emas berada di tangannya, kalau dia
terbunuh olehmu, bukankah itu berarti sulingnya berada di tanganmu? Hayo
kembalikan kepadaku kalau kau masih ingin hidup beberapa tahun lagi!"
"Sombong!"
kembali Kong Lo Sengjin membanting ujung tongkatnya. "Kau berani bicara
macam ini di depanku?"
"Ha-ha-ha-ha,
mengapa tidak berani? Macammu ini apa sih? Pangeran atau Raja Muda yang sudah
dipensiun! Pelarian yang tiada harganya! Pecundang yang sudah berkali-kali
kalah dan keok dalam memperebutkan kerajaan. Kau mau tahu siapa aku? Namaku Bu
Tek Lojin, orang tua tiada taranya! Hayo berikan kepadaku suling emas!"
"Orang
gila! Suling emas tidak ada padaku!" jawab Kong Lo Sengjin dengan sebal
dan marah.
"Ho-ho-ha-ha!
Orang lain boleh kau bohongi, akan tetapi aku tidak! Aku tahu bahwa engkaulah
orangnya yang membunuh sastrawan Ciu Bun."
"Betul
aku membunuhnya. Siapa takut mengaku? Akan tetapi suling emas tidak ada padaku,
juga tidak ada padanya."
"Wah-wah
engkau bohong! Menjual kentut busuk!" Bu Tek Lojin mencak-mencak dan
marah.
Kim-mo Taisu
sudah tahu bahwa kakek cebol itu amat sakti, akan tetapi juga amat aneh
wataknya, maka segera ia berkata, "Bu Tek Lojin, aku cukup mengenal watak
Kong Lo Sengjin. Dia tidak pernah mau menyangkal perbuatannya. Kalau dia
mengambil suling emas, tentu dia akan mengaku."
"Ah,
kalian bersekongkol! Mungkin tua bangka ini memberikan suling itu kepadamu.
Hayo kalian lekas keluarkan suling itu sebelum aku habis sabar dan main
paksa...."
"Setan
keparat! Siapa takut padamu?" tiba-tiba Kong Lo Sengjin sudah menyambar
datang, tongkat kirinya terayun mengemplang kepala kakek cebol itu.
Hebat
serangan ini, mendatangkan angin keras. Kim-mo Taisu hendak mencegah, tapi
tidak keburu. Namun kakek cebol itu memang amat tinggi tingkat kepandaiannya.
Sekali tubuhnya menggelinding, tongkat itu menyambar angin dan tahu-tahu perut
Kong Lo Sengjin telah diserangnya dengan serudukan kepalanya yang besar!
"Celaka...!"
Kong Lo Sengjin berseru kaget.
Cepat ia
mengerahkan tenaga menekan tongkat dan tubuhnya mencelat ke atas. Ia berjungkir
balik dan dapat turun kembali ke atas tanah, akan tetapi mukanya pucat sekali
dan napasnya terengah, perutnya terasa panas biar pun hanya terkena sambaran
hawa serangan yang keluar dari kepala kakek tadi. Ia tahu betul bahwa andai
kata ia tadi kurang cepat dan perutnya sempat dibentur kepala si Cebol, tentu
nyawanya takkan tertolong lagi!
"Ho-ho-ha-ha!
Kong Lo Sengjin kiranya bukan apa-apa, hanya namanya saja yang besar. Hayo
kalian maju berdua!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu sudah
menerjang Kim-mo Taisu yang terdekat. Kedua tangannya melancarkan serangan
dengan pengerahan tenaga sakti sehingga sebelum kepalan tiba, angin pukulannya
sudah terasa amat hebatnya.
Kim-mo Taisu
tidak bermusuhan dengan kakek cebol ini, akan tetapi karena diserang terpaksa
ia melayani. Pula ia tahu bahwa Kong Lo Sengjin pasti tidak mengambil suling
emas seperti yang dituduhkan, maka dalam hal ini kalau terjadi pertempuran, ia
harus membela pihak yang tidak bersalah. Melihat datangnya pukulan yang amat
ampuh, Kim-mo Taisu yang sekarang merasa sudah kuat hawa saktinya sengaja
menangkis sambil mengerahkan tenaganya ke arah tangan.
"Dukkkk!!!"
dua tangan yang penuh terisi tenaga sakti itu bertemu.
Kuda-kuda
kaki Kim-mo Taisu tergempur sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang,
akan tetapi tubuh kakek cebol itu melayang bagaikan sebuah layangan putus
talinya. Namun jangan disangka bahwa kakek ini terlempar karena kalah tenaga.
Sama sekali bukan. Namun kakek sakti ini jauh lebih cerdik dan lebih
berpengalaman dari pada Kim-mo Taisu.
Melihat
Kim-mo Taisu berani menangkis dan menghadapi pukulannya secara keras lawan
keras, kakek ini sudah menduga bahwa Kim-mo Taisu memiliki tenaga sakti yang
ampuh pula. Apalagi dahulu ia pernah pula melihat sepak terjang Kim-mo Taisu.
Maka ia mempergunakan kecerdikannya. Di samping menggunakan tangkisan untuk
mengadu tenaga, ia pun meminjam tenaga gempuran itu untuk membuat tubuhnya
melayang. Melayang bukan sekedar melayang, melainkan melayang ke arah Kong Lo
Sengjin yang dipukulnya selagi tubuhnya melayang itu!
Kong Lo
Sengjin terkejut. Akan tetapi ia pun seorang yang sakti dan berpengalaman.
Maklum bahwa pukulan dari udara ini amat berbahaya, tidak kalah bahayanya oleh
serudukan kepalanya ke perut tadi, kakek lumpuh ini lalu mengangkat tongkat
kanannya dan menyapu tubuh kakek cebol itu dengan tongkat sambil mengerahkan
tenaga.
"Aiiihhh!"
si Kakek Cebol berseru.
Tubuhnya
yang masih melayang di udara itu tiba-tiba dapat mengelak dan seperti seekor
burung saja tubuhnya sudah menyambar turun menghantam tubuh Kong Lo Sengjin
bagian kiri. Tentu saja hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi sibuk sekali.
Kedua kakinya sudah lumpuh dan diganti dengan dua tongkat yang di pegangnya.
Kini tongkat kanannya masih terangkat untuk menyerang tadi sehingga keadaannya
seakan-akan seperti orang menendang dengan kaki kanan. Maka kini diserang
bagian tubuh kiri, ia tentu saja menjadi repot.
Namun dasar
ia lihai sekali. Secepat kilat tongkat kanannya menyambar turun dan memukul
tanah. Tenaga pukulan ini membuat tubuhnya dapat melompat sambil menggerakkan
tongkat kiri menangkis. Namun karena agak terlambat dan kalah duluan,
tangkisannya kurang kuat sehingga begitu tongkatnya terbentur lengan Bu Tek
Lojin, tubuh kakek lumpuh ini mencelat dan terhuyung-huyung hampir roboh
terguling.
"Hua-ha-ha-ha,
bagus... bagus....!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak, tertawa-tawa dan
menepuk-nepuk kedua pahanya dengan girang sekali, sikapnya jelas mengejek si
Kakek Lumpuh.
Kemudian
tiba-tiba ia sudah meloncat lagi menyerang Kim-mo Taisu yang sudah sempat memperbaiki
kedudukannya. Serangan ini merupakan serangan jurus yang amat aneh dan cepat.
Kelihatannya kedua lengannya itu tidak mengandung tenaga ketika bergerak,
seperti orang menari saja, akan tetapi begitu dekat dengan tubuh lawan, terasa
betapa gerakan itu mengandung tenaga pukulan yang dahsyat. Ternyata kakek cebol
ini menggunakan Ilmu Khong-in yang sakti, yaitu ilmu pukulan yang kelihatan
kosong, akan tetapi kekuatannya dapat merobohkan gunung, maka disebut
Khong-in-liu-san.
Biar pun
Kim-mo taisu juga seorang yang berilmu tinggi, namun belum pernah ia menghadapi
ilmu seperti ini, maka ia terjebak dan mengira si Kakek Cebol hanya main-main
dan tidak menyerang sungguh-sungguh. Maka ia pun hanya menggunakan kegesitannya
mengelak dan siap pula menangkis kalau ada susulan pukulan yang berat. Sama
sekali tak pernah disangkanya bahwa begitu pukulan kakek itu mendekati
tubuhnya, ia merasa dorongan yang hebat ke arah dada. Cepat ia mengerahkan
tenaga pula dan hendak menangkis akan tetapi tubuh lawannya tiba-tiba miring
seperti orang jatuh dan dari pinggirlah datangnya pukulan yang sesungguhnya!
Kim-mo Taisu terkejut dan cepat meloncat, namun tidak keburu atau kurang cepat.
“Brettt!”
terdengar suara dan ujung baju Kim-mo Taisu telah robek dan hancur kena
sambaran pukulan sakti si Kakek Cebol.
"He-he-ha-ha!"
Bu Tek Lojin bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan saking girangnya karena
dalam dua jurus berturut-turut ia telah memperoleh kemenangan terhadap kedua
orang lawannya.
Mendongkollah
hati Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin. Kakek cebol ini selain lihai juga
cerdik, sengaja melayani mereka berdua secara bergantian dan mengirim
serangan-serangan yang tak terduga-duga. Maka kedua orang itu sekarang
melangkah maju dan mengurung Bu Tek Lojin yang masih terkekeh-kekeh dan
enak-enak saja.
Bu Tek Lojin
melihat betapa sinar mata Kong Lo Sengjin mengeluarkan sinar maut, sedangkan
Kim-mo Taisu sudah mengeluarkan sebuah kipas. Sedangkan untuk mengganti pedang
atau suling, Kim-mo Taisu mengeluarkan sebuah guci arak yang selalu tergantung
di punggungnya. Jangan dipandang remeh sepasang senjata yang menjadi lambang
sastrawan pemabokan ini, karena dengan sepasang senjata aneh ini, Kim-mo Taisu
jarang menemui tanding!
Akan tetapi
si Kakek Cebol masih enak-enak tertawa, malah kini mengelus-ngelus kepala
burung hantu yang sejak tadi masih saja duduk di pundaknya, seakan-akan tidak
tahu menahu akan pertempuran itu.
"Bu Tek
Lojin, kau memang lihai sekali. Akan tetapi di antara kita tidak ada
permusuhan, mengapa engkau memancing pertempuran?" Kim-mo Taisu masih
menahan kemarahannya dan memberi peringatan. "Harap kau orang tua suka
pergi meninggalkan kami dan jangan melanjutkan pertempuran yang tidak ada
gunanya ini."
"Heh-heh,
siapa bilang tidak ada permusuhan? Kalau kalian tidak mengembalikan suling
emas, aku tidak mau sudah! Eh, Kim-mo Taisu, apakah kau takut?
Heh-heh-heh!"
Mendongkol
rasa hati Kim-mo Taisu. Kakek cebol ini boleh jadi lihai sekali, akan tetapi
sama sekali dia tidak takut. "Siapa takut? Aku hanya mengingatkan kepadamu
bahwa pertandingan ini tidak ada gunanya. Aku tidak tahu menahu tentang suling
emas yang kau tanyakan, juga aku berani tanggung bahwa Kong Lo Sengjin tidak
menyimpannya."
"Ah,
mengapa banyak cakap? Kakek cebol ini terlalu sombong dan sudah bosan
hidup!" berkata demikian Kong Lo Sengjin sudah menerjang maju lagi, kini
selain menerjang hebat, juga mengarahkan tongkatnya pada bagian berbahaya.
Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat.
Kembali
tubuh si Kakek Cebol meyelinap dan menyambar lewat samping tongkat, mendekati
Kim-mo Taisu dan mengirim tendangan ke arah Kim-mo Taisu. Terpaksa Kim-mo Taisu
menggerakkan kipasnya dan dengan menutup kipas ia menyambut tendangan itu
dengan sebuah totokan. Namun Bu Tek Lojin yang lincah gerakannya itu telah
menarik kembali kakinya, tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya membalik. Kini ia
ganti menerjang Kong Lo Sengjin dengan pukulan jarak jauh yang dilakukan secara
mendadak! Angin menyambar hebat dan biar pun kakek lumpuh ini sudah
bersiap-siap menahan serangan itu, tidak urung tubuhnya bergoyang-goyang
seperti pohon besar tertiup angin.
Dengan rasa
penasaran Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin lalu menerjang dari depan dan
belakang. Kakek cebol itu tubuhnya melesat ke sana ke mari, menyelinap di
antara sinar senjata lawan. Burung hantu itu mengeluarkan suara keras dan
menyambar-nyambar bergantian berusaha mematuk mata kedua orang yang mengeroyok
majikannya!
Kong Lo
Sengjin mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Hatinya geram dan
penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh yang terkenal, ditakuti di dunia
kang-ouw. Dalam perang mempertahankan dan membela Dinasti Tang, kakek ini hanya
kalah kalau menghadapi pengeroyokan banyak tokoh sakti. Akan tetapi sekarang,
menghadapi seorang kakek cebol, masih dibantu Kim-mo Taisu yang dalam hal ilmu
kepandaian belum tentu kalah olehnya, masih tidak mampu merobohkan setelah
menerjang terus sampai belasan jurus!
Di lain
pihak, Kim-mo Taisu juga merasa penasaran. Akan tetapi pendekar ini tidaklah
begitu bernafsu untuk membunuh kakek cebol ini karena sesungguhnya di antara
mereka tidaklah terdapat permusuhan. Pula ia memang telah maklum bahwa kakek
ini adalah seorang sakti yang luar biasa.
Selagi tiga
orang sakti ini sibuk bertanding, tak mau saling mengalah, tiba-tiba terdengar
suara dentang-denting yang amat merdu. Suara itu tak salah lagi adalah suara
musik yang-khim (semacam siter) yang suaranya nyaring dan iramanya tenang,
lagunya merdu. Akan tetapi pengaruhnya benar-benar luar biasa sekali. Seketika
tiga orang yang sedang bertempur dengan hati panas itu seperti disiram air
dingin.
Yang hebat
adalah kakek cebol itu. Matanya terbelalak, berputar-putar, mukanya menoleh ke
kanan kiri seperti orang ketakutan, kemudian ia melompat dan melarikan diri,
diikuti burung hantunya setelah berkata gemetar, "Dia datang...!
Benar-benar datang... Bu Kek Siansu...!"
Mendengar
disebutnya nama ini, seketika wajah Kong Lo Sengjin berubah. Di dunia ini tidak
ada orang yang ia takuti, akan tetapi mendengar nama Bu Kek Siansu, ia merasa
tidak enak. Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nama kakek yang dikabarkan
setengah dewa ini dan ia merasa betapa sepak terjangnya selama ini merupakan
modal yang amat tidak menyenangkan untuk dibawa berjumpa dengan Bu Kek Siansu.
Apalagi melihat betapa seorang sedemikian lihainya seperti kakek cebol itu saja
lari ketakutan, hatinya makin jeri. Tanpa berkata apa-apa kakek lumpuh ini lalu
melompat dan sebentar saja lenyap dari tempat itu.
Eng Eng yang
melihat dua orang itu telah pergi meninggalkan ayahnya lalu melompat ke luar
dari tempat sembunyinya dan memeluk ayahnya. Kim-mo Taisu menyimpan kembali
kipas dan guci araknya. "Benar-benar berbahaya sekali...," katanya
sambil menarik napas panjang, kemudian ia pun celingukan memandang ke kanan
kiri, pandang matanya mencari-cari.
Suara
denting tadi masih terdengar terus, makin lama makin jelas. Eng Eng yang
mendengar ini membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin erat.
"Ayah, kau dengarkah itu? Suara yang-khim di tengah hutan! Siapa
gerangan...?"
"Sssstt,
diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan
seorang suci. Mari kita menyongsong beliau."
Dengan
perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara
yang-khim, tanpa melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian
tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan tampaklah seorang kakek duduk
di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang ditabuhnya
dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan.
Kakek itu
duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini mulai bernyanyi
sambil asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu
berdiri tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula
mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan sedap didengar, kini
mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut seperti orang
membaca doa.
Bahagialah
kita sesungguhnya,
tidak
membenci mereka yang membenci kita!
Bahagialah
kita sesungguhnya,
bebas dari
pada penyakit di antara mereka yang sakit!
Bahagialah
kita sesungguhnya,
bebas dari
pada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah
kita sesungguhnya,
biar pun
kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan
mengakibatkan kebencian,
karena yang
dikalahkan takkan senang.
Bahagialah
dia sesungguhnya,
yang telah
dapat membuang kemenangan dan kekalahan!
Kim-mo Taisu
yang mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan
isi nyanyian, maka ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar
menoleh ke arah kakek yang hanya tampak punggungnya saja itu.
Kakek tua
yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda
dari pada tadi, akan tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang
berdoa.
Penyelesaian
kebencian besar yang masih meninggalkan sisa dendam,
bagaimanakah
dapat dianggap memuaskan?
Itulah
sebabnya seorang bijaksana memegang teguh perjanjian,
tapi tidak
menagih orang yang berhutang.
Maka seorang
budiman memilih persetujuan,
seorang
sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan langit
tidak memandang bulu,
namun orang
baik selalu dibantu!
Kim-mo Taisu
mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran dalam
kitab Agama Buddha, ada pun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab Agama
To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu terguncang adalah isi pelajaran itu yang
seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan keadaan dirinya sehingga ia
merasa tersindir.
Cepat ia
melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan suara setelah suara yang-khim
terhenti. "Terima kasih atas nasehat-nasehat Siansu, dan selanjutnya saya
mohon petunjuk!"
Hening
sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak bergerak. Kemudian batu yang
diduduki itu terputar, tubuh yang duduk di atasnya ikut pula terputar dan kakek
itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu. Melihat ini Eng Eng menjadi
heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil
menerima gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan tenaga-tenaga mukjijat
dalam tubuh manusia, sudah melatih diri dengan sinkang, lweekang, khi-kang, dan
ginkang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di atas batu besar itu tanpa
bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar ia merasa seperti
berhadapan dengan ilmu sihir!
Kakek tua
renta itu wajahnya membayangkan ketenangan luar biasa dan sinar matanya yang
lembut itu seakan-akan telah waspada akan segala hal di sekelilingnya. Sejenak
kakek itu memandang Kim-mo Taisu, kemudian melirik ke arah Eng Eng dan alis
matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian terdengar ia menarik napas panjang
dan berkata perlahan, "Segala sesuatu pun terjadilah sesuai dengan
kehendak-Mu! Namun kewajiban manusia untuk berusaha....."
Setelah
berkata demikian, matanya bersinar dan wajahnya berseri ketika ia menatap muka
Kim-mo Taisu. Dengan tenang tapi ramah kakek itu menegur, "Kwee-sicu
(Orang Gagah she Kwee), puluhan tahun tak bertemu, kiranya Sicu telah
dimatangkan oleh pengalaman hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah
menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti Sicu
menempatkan diri sebagai orang yang telah sadar dari pada segala ikatan
karma."
Kim-mo Taisu
menggeleng-geleng kepalanya dengan muka sedih, lalu berkata, "Siansu,
dalam pertemuan kita pertama dahulu, Siansu telah memberi petunjuk dan saya
telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang pun, Siansu telah menunjukkan jalan
yang terang, akan tetapi terpaksa sekali saya harus mengecewakan hati Siansu
dengan memilih jalan gelap."
Muka yang
tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan segar berseri di balik keriput dan
jenggot putih itu tersenyum lebar. "Yang tidak mengharapkan takkan kecewa,
Sicu. Aku tidak mengharapkan apa-apa maka tidak mengenal rasa kecewa. Aku tidak
merasa melepas budi, maka tidak pernah menghutangkan. Jalan terang atau gelap
hanyalah tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih menganggapnya
gelap, apakah gerangan yang mendorong Sicu?"
Kim-mo Taisu
menjawab, "Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk mengaku. Akan
tetapi sesungguhnya saya merasa sebagai seorang manusia yang selalu diperhamba
nafsu, hidup yang lalu hanya semata untuk diperhamba nafsu dan mementingkan
diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya akan saya isi dengan
pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah mempelajari ilmu.
Banyak orang pandai telah mengkhianati negara, membantu pemberontak-pemberontak
sehingga raja-raja jatuh bangun silih berganti. Orang-orang pandai itulah yang
mengacaukan negara, dosa mereka telah bertumpuk-tumpuk dan perlu dibasmi. Sudah
menjadi kewajiban saya untuk menghadapi mereka, karena bukankah tugas seorang
gagah untuk membela negara?"
Bu Kek
Siansu mengangguk-angguk dan tertawa. "Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia
(Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini
bagi seorang gagah tak dapat disangkal pula, Sicu. Akan tetapi rakyat yang mana?
Negara yang mana? Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang Muda,
Tang Muda, Cin Muda, dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti?
Raja-raja yang memegang tahta kerajaan semenjak jatuhnya Kerajaan Tang, apakah
juga berganti bangsa? Kemudian muncul Kerajaan-kerajaan Hou-han, Wu-yue,
Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga
bangsa lain? Siapakah yang benar di antara orang-orang gagah? Mereka yang
membela Tang lama, ataukah yang membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain? Semua
itu juga berdasarkan bekerja untuk rakyat dan raja. Kebetulan Sicu hendak
membela Kerajaan Tang lama, karena Sicu merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan
karena Sicu ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Tang!"
Kim-mo Taisu
terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia menjadi bingung. Perang dan permusuhan
tiada hentinya, kerajaan-kerajaan mucul, mereka semua berperang dengan dalih
membela kebenaran. Siapakah yang sesungguhnya benar?
"Siansu,
mohon petunjuk...!" Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng
ikut pula berlutut. Gadis ini bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa
yang dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa tak senang karena
agaknya si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang yang
sudah roboh.
Bu Kek
Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke arah wajah Eng Eng dan Kim-mo
Taisu, kemudian ia menghela napas panjang. "Kewajiban manusia untuk
berusaha, namun Tuhan berkuasa menentukan. Kewajiban manusia untuk memenuhi
tugas tanpa melibatkan diri pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya, ini
berarti memenuhi perintah Tuhan dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri
dalam tugas, berarti bekerja untuk nafsu dirinya dan pekerjaan itu menjadi
kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi. Manusia hidup di dunia
sudah mempunyai tugas kewajiban masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan
tulus ikhlas, lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu masing-masing dan segala
apa akan berjalan beres lancar dan baik. Jangan sekali-kali meninggalkan
tugasnya sendiri lalu hendak melakukan tugas orang lain, hal ini tentu akan
menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Tugas guru ialah mengajar, tugas murid
belajar, tugas tentara berperang membela negara, tugas orang tua mendidik,
tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah memimpin. Masing-masing mempunyai
tempat sendiri dan kalau masing-masing memenuhi tugasnya dengan baik dan
sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan diri pribadi, alangkah akan
baiknya keadaan dunia ini. Akan tetapi sekali orang meninggalkan tugas sendiri
mencampuri tugas orang lain, rusaklah!"
Kim-mo Taisu
mengangguk-angguk. "Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan,
Siansu?"
"Sicu
bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara! Kalau Sicu ingin melakukan
tugas tentara, masuklah dulu menjadi tentara. Setelah masuk sekali pun, bukan
tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri karena tugas seorang
tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa menjadi pendekar silat,
tugas Sicu sudah jelas, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah
tertindas menentang si kuat yang jahat. Kalau Sicu merasa diri sebagai seorang
pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi penerangan kepada yang gelap,
memberi tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena itu, kalau boleh aku memberi
nasehat, marilah Sicu ikut dengan saya, memperdalam ilmu kebatinan agar dalam
menjalankan tugas kelak, Sicu takkan sesat jalan. Pengertian tentang ini amat
penting karena banyak orang yang menyeleweng dari pada tugas hidupnya tanpa ia
sadari!"
Kim-mo Taisu
mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Maaf, Siansu. Betapa pun juga,
saya harus melaksanakan kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang seperti
Ban-pi Lo-cia dan kawan-kawannya terlalu jahat untuk dibiarkan saja merajalela.
Setelah saya melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap Siansu."
Bu Kek
Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang. "Sicu banyak
menderita, isteri dan semua keluarga isteri terbunuh, kebencian berakar di
hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati dan berbuah saling bunuh! Sekali
lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat ini dan mari ikut dengan aku ke
tempat terang..."
"Sekali
lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan mencari dan menghadap
Siansu...."
Bu Kek
Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa sambil menengadahkan muka ke
atas. "Seorang manusia kecil macam aku ini, apa artinya dibanding dengan
kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti terjadi, tiada kekuasaan di dunia mau
pun akhirat yang mampu merubahnya...." Kakek itu lalu bernyanyi dan turun
dari batu karang, berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Suara nyanyiannya
terdengar makin perlahan dan akhirnya lenyap.
Setelah
suara kakek itu tak terdengar lagi, barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil
menarik tangan puterinya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan
penyesalan dan kekecewaan hebat. "Sayang sekali bahwa aku tidak dapat
menaati nasehatnya dan ikut pergi dengannya, Eng Eng...."
"Siapakah
dia, Ayah?"
"Dia
seorang yang bahagia, Anakku. Seorang yang sudah dapat membabaskan diri dari
segala-galanya, dia disebut orang Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa."
"Akan
tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya, mengapa Kakek Cebol dan Kong-kong
yang sakti lari ketakutan?"
Kim-mo Taisu
tersenyum. "Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari keduanya,
dan sukar diukur sampai di mana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat ia
disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya, terutama sekali karena sikapnya.
Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah membenci, dan
selalu mengulurkan tangan kepada siapa pun juga, tidak peduli orang baik mau
pun jahat. Inilah yang membuat Bu Kek Siansu menjadi manusia sakti yang
ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat sewenang-wenang mengandalkan
kepandaiannya, segan dan malu berjumpa dengannya."
"Ayah,
tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya mengundurkan diri dan tidak
melibatkan diri dengan urusan perang. Bukankah begitu? Kalau Ayah menganggap
dia seorang yang amat mulia dan sakti patut diturut nasehatnya, mengapa Ayah
masih melanjutkan niat Ayah mencari dan membasmi musuh?"
Kim-mo Taisu
menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu memegang lengan puterinya, diajak
kembali ke pondok sambil berkata, "Engkau tentu tahu akan semua
penderitaan ibumu. Sesungguhnyalah, tadinya tidak sedikit pun hatiku tertarik
akan persoalan perang. Akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat
pula akan harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu kepada
mereka yang menjadi sebabnya. Hanya dengan jalan ini sajalah aku dapat membalas
budi ibumu, Eng Eng. Seperti telah kukatakan tadi sebelum datang gangguan, aku
akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah di sini bersama Bu
Song. Paling lama dua tiga bulan aku tentu datang kembali."
Maka
berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak Min-san. Niatnya hendak lebih
dulu mengunjungi Shan-si di mana kini telah berdiri Kerajaan Hou-han. Selain
hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini dan tentang kemungkinan masa depan
yang baik bagi calon mantunya, juga ia hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh
Kong Lo Sengjin di sebut-sebut sebagai seorang di antara musuh-musuh mereka!
Dari Hou-han ia akan mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat
untuk calon mantunya menempuh ujian dan mendapatkan kedudukan.
Sementara
itu Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini sudah tahu bahwa dia ditunangkan
dengan Bu Song, menanti pulangnya pemuda itu dengan hati berdebar-debar. Ia
merasa malu, bingung dan takut bertemu muka dengan pemuda itu, pemuda yang
biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang ia anggap seperti saudara atau
kakak sendiri.
Sejenak ia
tersipu-sipu ketika teringat betapa beberapa hari yang lalu Bu Song pernah
menciumnya, biar pun bukan hal aneh kalau Bu Song menciumnya, seperti sering
dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak. Dan Bu Song agaknya telah tahu
akan perjodohan mereka ketika menciumnya kemarin dulu! Teringat akan ini,
gemetar tubuh Eng Eng dan membuatnya gelisah ketika menanti pulangnya Bu Song.
Entah sudah berapa kali ia meneliti bayangannya di cermin, akan tetapi selalu
ia masih khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres pada rambut atau
pakaiannya.
***************
Lu Sian
duduk termenung di dalam kamarnya dalam istana Kerajaan Hou-han yang indah dan
mewah. Keadaan mewah, kehidupan yang serba cukup, berenang dalam lautan
kemewahan dan kedudukan tinggi mulia yang diperoleh semenjak ia tinggal di
dalam istana ini mulai membosankannya. Kini hatinya risau. Ternyata pemuasan
nafsu-nafsunya selama ini, memilih pangeran dan orang-orang muda sesuka
hatinya, hanya merupakan kesenangan lahir yang sementara saja. Ia tetap merasa
kurang puas, tetap belum dapat merasakan kebahagiaan hidup. Kesenangan tak
pernah dapat puas, makin dikejar makin hauslah ia, dan akhirnya malah
menimbulkan rasa muak dan jemu. Kebosanan menggerogoti hatinya setiap malam
sunyi kalau ia sudah tidak ada hasrat pula memilih teman.
Memang tiada
kesenangan di dunia ini yang akan dapat mendatangkan bahagia. Kesenangan lahir
hanya akan dinikmati oleh tubuh dalam waktu singkat saja. Kesenangan lahir
hanya indah apabila dikejar dan belum dapat diperoleh. Namun, sekali berada di
tangan, kesenangan itu bukan kesenangan lagi, malah menimbulkan bosan.
Lu Sian
duduk menghadapi meja, memandang lilin yang bernyala tenang karena terlindung
dari gangguan angin. Ia merenung memikirkan keadaan dirinya. Dalam keadaan
seperti itu, rindu yang hebat menggoda hatinya, rindu kepada puteranya! Belasan
tahun sudah ia meninggalkan puteranya. Kini usianya sudah empat puluh tahun
lebih. Puteranya tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Alangkah rindu
hatinya untuk dapat berjumpa dengan puteranya, dengan Bu Song! Seringkali air
matanya bertitik turun apabila ia mengenangkan puteranya dan penyesalan
menusuk-nusuk hatinya.
Di dalam
istana ia selalu dilayani amat baik oleh Coa Kim Bwee, sahabat dan muridnya
yang setia. Banyak sudah ilmu ia turunkan kepada wanita selir raja itu dan
sekarang Kim Bwee telah menjadi seorang wanita yang berilmu tinggi pula. Namun
Kim Bwee selalu bersikap hormat dan manis kepadanya.
"Aku
harus pergi dari sini," keluhnya dalam hati. Ia sudah bosan! Ingin ia
bebas lagi, terbang melayang tanpa tujuan. Alangkah nikmatnya hidup bebas.
Kasihan Liu
Lu Sian. Ia dipermainkan nafsunya sendiri. ia tidak tahu bahwa kebebasan liar
seperti itu pun hanya indah dan nikmat dalam khayalan belaka. Kenyataannya
tentu akan jauh berbeda dengan khayalan. Ia kini merasa rindu kepada puteranya,
ingin ia mencari puteranya dan hidup di samping puteranya. Ia kini maklum bahwa
usia tua akan menelannya, perlahan akan tetapi pasti ia akan diseret ke jurang
kematian yang tak dapat dielakkan lagi. Biar pun ia dapat mempertahankan wajah
dan tubuhnya sehingga tetap kelihatan muda, namun ia tahu bahwa ia tidak akan
dapat mempertahankan usia mudanya.
"Bu
Song...!" ia mengeluh lagi, teringat betapa kini namanya sudah menjadi
buah bibir orang. Betapa sebagian besar orang kang-ouw memusuhinya.
Dia tidak
takut. Apalagi selama berada dalam istana ini, ia berada di tempat yang aman
dan kuat. Sukar bagi musuh-musuhnya untuk mencapainya. Jangankan di dalam
istana di mana ia mempunyai banyak teman dan pembela, bahkan andai kata ia
berada di luar sekali pun, ia tidak akan gentar menghadapi musuh-musuhnya. Akan
tetapi kalau ia teringat akan puteranya, mau tak mau ia menjadi menyesal
sekali. Bagaimana perasaan puteranya kalau tahu bahwa ibunya adalah seorang
wanita yang dianggap iblis betina? Seorang wanita gila laki-laki dan suka
mencari musuh?
Padahal ia
dapat menduga bahwa Bu Song tentu terdidik sebagai seorang laki-laki yang baik
oleh ayahnya, Kam Si Ek! Ia teringat akan bekas suaminya ini, seorang laki-laki
gagah perkasa yang menjujung tinggi kebajikan dan kesetiaan. Seorang laki-laki
yang anti seratus prosen akan perbuatan maksiat!
Tiba-tiba Lu
Sian tersentak kaget dan sadar dari pada lamunannya yang menggores perasaan.
Suara gaduh jauh di luar menyatakan bahwa di sana terjadi pertempuran. Agaknya
perusuh-perusuh itu datang lagi. Ia menarik napas panjang. Sudah banyak ia
membunuh orang-orang yang menyerang istana. Sesungguhnya sama sekali tidak ada
permusuhan antara dia dan penyerbu-penyerbu itu, karena mereka itu menyerbu
dengan dasar permusuhan pengikut kerajan-kerajaan.
Sudah banyak
ia membunuh mata-mata dari Cin, kemudian Kerajaan Han Muda. Banyak pula
pengikut-pengikut yang ia tahu adalah kaki tangan Kong Lo Sengjin, orang-orang
yang menamakan dirinya pengikut setia Kerajaan Tang. Ia tidak senang melakukan
pembunuhan ini, karena sesungguhnya ia hanya turun tangan untuk membela
Kerajaan Hou-han. Padahal ia sama sekali tidak menempatkan dirinya sebagai
pembela Kerajaan Hou-han. Akan tetapi ia tinggal di istana Hou-han, menerima
kebaikan dari raja sendiri berikut keluarganya. Bagaimana ia dapat tinggal diam
saja?
Suara di
luar makin gaduh. Lu Sian tetap duduk tenang. Mudah-mudahan saja para pengawal
akan dapat mengatasi perusuh-perusuh itu, atau andai kata para pengawal itu
kalah, di sana masih ada Coa Kim Bwee yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi.
Ia mengharap agar malam ini ia tidak terganggu, tidak usah turun tangan
menghadapi perusuh yang hendak mengacau istana Hou-han.
Sebetulnya,
baginya sendiri ia tidak peduli akan keselamatan Raja Hou-han sekeluarga. Akan
tetapi ia ingat akan kebaikan Coa Kim Bwee dan karenanya merasa tidak enak hati
kalau tidak membantu. Maka biar pun suara gaduh itu jelas membayangkan betapa
para pengawal agaknya kewalahan menghadapi perusuh yang datang, ia tidak ambil
peduli dan tetap tenang-tenang saja di dalam kamarnya. Akan tetapi kini ia
tidak dapat melanjutkan lamunannya seperti tadi lagi.
Tiba-tiba
pintu kamarnya terbuka dari luar dan Coa Kim Bwee masuk terhuyung-huyung,
rambutnya riap-riapan, mukanya pucat dan kakinya terpincang-pincang.
"Cici... tolonglah dia amat lihai...!" katanya terengah-engah.
Lu Sian
mengerutkan keningnya. Dari cermin di sudut ia dapat melihat betapa Kim Bwee
terluka kakinya, berdarah paha kirinya. Melihat rambut Kim Bwee yang
awut-awutan itu, ia tahu bahwa selir raja ini telah mempergunakan ilmu mainkan
rambut yang sudah lihai. Akan tetapi kalau sampai kalah, padahal terang bahwa
selir ini dibantu para pengawal yang cukup kuat pula, hal ini membuktikan
betapa lihainya lawan yang datang menyerbu.
Ia menjadi
marah. Bukan marah karena musuh menyerbu istana dan melukai Kim Bwee, melainkan
marah karena penyerbuan musuh itu mengganggunya dari lamunan. Tanpa menjawab
tubuhnya berkelebat ke luar dari kamarnya setelah menyambar pedang dan
menyelipkan pedang di punggung. Dengan ilmunya yang hebat, sebentar saja Lu
Sian tiba di tempat pertempuran. Ia mengira bahwa yang datang tentulah musuh
dalam jumlah banyak. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat
bahwa di tempat pertempuran itu, para pengawal mengeroyok seorang lawan saja!
Lawan itu
seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tidak begitu jelas karena
gerakannya sangat gesit dan keadaan di situ pun tidak terang, hanya
remang-remang. Akan tetapi melihat laki-laki itu menghadapi lawan hanya
mempergunakan sebatang kipas yang kadang-kadang terbuka kadang-kadang tertutup,
hati Lu Sian berdebar keras. Mungkinkah? Mungkinkah orang mati dapat hidup
kembali? Mungkinkah orang terjungkal ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya
tidak mati? Mungkinkah Kwee Seng hidup kembali? Senjata kipas sehebat itu hanya
Kwee Seng seorang yang dapat memainkannya, dan bentuk tubuhnya pun ia dapat
mengenal.
Karena
penasaran, ia melompat dekat. Beberapa orang pengawal yang melihat munculnya Lu
Sian, menjadi girang dan cepat berseru, "Minggir! Sian-toanio sudah
tiba!"
Mendengar
seruan ini, para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang lebih dan ramai-ramai
mengeroyok seorang laki-laki berpakaian putih itu mundur dengan girang. Sudah
terlalu banyak teman mereka terluka oleh pemegang kipas yang lihai ini, dan
mereka tadi pun mengeroyok dari jarak jauh saja karena gentar. Cepat mereka
mengundurkan diri, memberi jalan kepada Lu Sian yang cepat melangkah maju.
Mereka
berdiri berhadapan, tak bergerak seperti arca, saling pandang dengan sinar mata
penuh perasaan bercampur aduk. Karena jarak antara mereka kini hanya empat
meter dan kebetulan sinar obor dan lampu terarah ke muka mereka, Lu Sian dapat
mengenal laki-laki ini. Memang Kwee Seng! Sudah tampak agak tua, akan tetapi
masih sama dengan dahulu! Malah lebih matang dan sinar matanya langsung
menembus hati.
Kwee Seng?
Terdapat dorongan di hati Lu Sian untuk lari menubruk dan memeluknya! Begitu
berhadapan, terjadi keanehan di dalam hati Lu Sian. Seakan-akan seorang yang
sudah lama merantau jauh dan merindukan kampung halaman kini bertemu dengan
sahabat baik sekampung halaman. Seakan-akan ia menemukan sesuatu yang sudah
lama terhilang dari dalam hatinya. Terasa kegembiraan mendalam yang belum
pernah ia rasakan.
Di lain
pihak, Kim-mo Taisu bengong terlongong karena terheran-heran. Benarkah wanita
jelita yang berdiri dengan sikap penuh wibawa di depannya ini adalah Liu Lu
Sian, gadis lincah jenaka dan yang pernah menawan hatinya kemudian
menghancurkan hatinya itu? Memang ia sudah mengharapkan bertemu dengan Lu Sian
di dalam istana ini karena ia sudah mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa
Tok-siauw-kwi adalah Lu Sian. Akan tetapi kalau benar wanita ini Lu Sian,
mengapa masih begini muda dan sama sekali tidak berubah sejak hampir dua puluh
tahun yang lalu? Kalau wanita ini Lu Sian, tentu sudah berusia empat puluh
tahun, akan tetapi mengapa masih tampak seperti baru dua puluh tahun usianya?
Para
pengawal merasa heran pula karena kedua orang sakti itu tidak lekas-lekas
bertanding mengadu ilmu, melainkan hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak.
Ada di antara mereka mengira bahwa kedua orang ini tentu sedang mengadu ilmu
melalui pandangan mata!
Tiba-tiba
tubuh Lu Sian melesat cepat sekali menyambar ke arah Kim-mo Taisu, akan tetapi
mereka tidak saling serang. Bagaikan seekor burung terbang, tubuh Lu Sian
mencelat lagi ke atas langsung melompat ke atas genteng istana dan di lain
detik tubuh musuh aneh itu pun melesat lenyap mengejar. Karena cepatnya gerakan
mereka berdua, para pengawal itu tidak tahu bahwa tadi Lu Sian membisikkan
kata-kata kepada Kim-mo Taisu. Memang hal ini disengaja oleh Lu Sian. Dengan
kepandaiannya, ia tadi berbisik ketika tubuhnya menyambar, "Kwee-twako,
kau ikutlah aku!"
Kedatangan
Kwee Seng atau Kim-mo Taisu ke istana ini memang dengan niat menjumpai
Tok-siauw-kwi yang menurut penuturan Kong Lo Sengjin adalah seorang di antara
musuh-musuh isterinya, bahkan yang mengirim pembunuh itu ke Min-san. Maka kini
mendengar bisikan Lu Sian, ia cepat mengejar. Memang lebih baik lagi kalau ia
dapat bicara dengan wanita itu tanpa terganggu orang lain. Namun ia merasa
kaget dan kagum juga melihat gerakan Lu Sian. Bukan main hebatnya ilmu
meringankan tubuh itu! Sama sekali tidak boleh dikatakan kalah atau di bawah
tingkatnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lu Sian sekarang bukanlah Lu Sian
dua puluh tahun lebih yang lalu! Lu Sian sekarang telah mewarisi ilmu ginkang
yang tiada keduanya dari Hui-kiam-eng Tan Hui.
Agaknya Lu
Sian juga ingin memamerkan kepandaiannya, maka wanita ini menggunakan ilmu lari
cepat sambil mengerahkan ilmunya. Larinya cepat sekali seperti terbang. Namun
ia sama sekali tidak merasa heran melihat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu dapat
mengejar dan mengimbangi kecepatannya. Memang ia sudah tahu betul bahwa Kwee
Seng memiliki kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia tidak tahu bahwa untuk
dapat mengimbangi kecepatannya, Kim-mo Taisu juga telah mempergunakan seluruh
kepandaiannya!
Karena
kecepatan yang luar biasa ini, sebentar mereka telah berada jauh di luar kota
raja, di luar sebuah hutan yang sunyi dan jauh dari perkampungan. Kembali
mereka berdiri saling berhadapan, di bawah sinar bulan yang muncul lewat tengah
malam. Berdiri saling pandang tanpa bergerak mau pun bicara sampai lama sekali.
"Kwee-twako...!"
akhirnya Lu Sian mengeluarkan suara, setengah menjerit setengah mengeluh, lari
menubruk dan merangkul leher Kim-mo Taisu lalu menangis terisak-isak di
dadanya.
Semua rindu
dendamnya akan kebahagiaan, rindu terhadap puteranya, semua ia tumpahkan di
dada laki-laki itu. Semua kekecewaan hidupnya selama ini, ia carikan hiburan di
atas dada yang lapang itu. Semua rasa kasih sayang yang bebas dari pada nafsu,
ia rasakan kini bergelora dalam hatinya terhadap laki-laki ini. Selama ini ia
menganggap semua laki-laki sebagai hiburan dan permainannya sehingga ia merasa
muak dan bosan. Ia haus dan rindu akan kasih sayang mulus dan murni di samping
perlindungan seorang pria.
Kini ia
sadar bahwa andai kata dahulu ia menjadi isteri Kwee Seng, kiranya hidupnya
tidak akan serusak sekarang ini. Dan kini ia telah bertemu Kwee Seng yang
disangkanya telah mati. Belum terlambatkah dia? Masih terbukakah pintu
kebahagiaan baginya, setelah terombang-ambing gelombang permainan nafsu selama
ini? Sudah terlalu banyak dosa-dosa dan penyelewengannya. Kalau saja Kwee Seng
tahu akan semua sepak terjangnya, tentu... tentu...! Tiba-tiba ia sadar betapa
hanya seketika tadi saja jari-jari tangan Kwee Seng membelai rambutnya, kini
laki-laki itu sama sekali tidak membelai rambutnya, bahkan urat-urat tubuh itu
menegang, kaku dan dingin.
Tiba-tiba
teringatlah Lu Sian bahwa kedatangan Kwee Seng malam hari itu adalah untuk
mengacau istana. Padahal semua orang tahu bahwa Tok-siauw-kwi berada di dalam
istana itu! Jadi kedatangan Kwee Seng adalah untuk memusuhinya! Seketika ia
merenggutkan diri meloncat ke belakang, lalu bertanya dengan suara ketus.
"Kwee-twako! Dengan maksud apakah kau menyerbu istana Hou-han?"
Sikap dan
pandang mata Kim-mo Taisu dingin ketika menjawab, "Dengan maksud
mencarimu, Tok-siauw-kwi."
"Kwee-twako!
Kau sudah tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah aku. Apakah kau juga seperti mereka,
memusuhi aku dan menyebutku Tok-siauw-kwi? Lupakah engkau bahwa aku ini Liu Lu
Sian?"
Sejenak
jantung Kim-mo Taisu terguncang keras. Memang inilah Lu Sian, satu-satunya
wanita yang pernah merampas cinta kasihnya secara mendalam! Akan tetapi ia
mengeraskan hati dan dengan suara dingin ia menjawab, "Tidak ada Lu Sian
lagi di dunia ini, dia sudah mati...."
"Kwee
Seng...!!"
"Juga
Kwee Seng sudah mati, yang ada sekarang Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
Watak Lu
Sian memang keras. Biar pun ia sudah bukan orang muda lagi, namun kekerasan
wataknya tak pernah hilang. Kini pandang matanya tajam, alisnya berdiri.
Dibandingkan dengan Kwee Seng, ia dahulu bukan apa-apanya dan sama sekali bukan
tandingannya, akan tetapi sekarang ia tidak takut. Bahkan ada keinginan hatinya
untuk menguji kepandaiannya yang telah maju dengan hebat selama dua puluh tahun
lebih ini.
"Hemmm,
begitukah? Jadi selama ini engkau mendendam kepadaku karena peristiwa dua puluh
tahun yang lalu itu? Dan sekarang engkau mencariku untuk membikin beres
perhitungan lama?"
"Sudah
kukatakan, tidak ada lagi urusan dahulu. Yang ada hanya urusan antara
Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
"Bagus!"
kata Lu Sian dengan suara mendongkol. "Aku Tok-siauw-kwi, selamanya baru
sekarang ini bertemu dengan Kim-mo Taisu. Apakah kehendakmu mencariku?"
"Tok-siauw-kwi,
apakah engkau bersekutu dengan musuh-musuh keluarga Kerajaan Tang lama?"
"Siapakah
mereka?"
"Di
antaranya ada orang-orang Khitan, juga Ma Thai Kun, Pouw Kee Lui, dan terutama
sekali Ban-pi Lo-cia."
"Cih!
Mengapa aku harus bersekutu dengan orang-orang macam itu? Kim-mo Taisu,
tuduhanmu ini sama sekali tidak masuk akal!"
"Tok-siauw-kwi,
mengapa engkau memusuhi Kong Lo Sengjin?"
Lu Sian
mengerutkan kening dan memandang tajam, kemudian tersenyum lebar dan diam-diam
Kim-mo Taisu terheran-heran melihat deretan gigi putih di balik bibir merah
itu. Benar-benar tidak ada perubahan sedikit pun juga pada diri Lu Sian,
pikirnya.
"Hik-hik!
Kakek lumpuh menjemukan itu? Heh, Kim-mo Taisu, aku tidak tahu hubungan apa
adanya antara engkau dengan kakek lumpuh itu, dan aku tidak tahu pula mengapa
engkau memeriksaku seperti seorang hakim memeriksa pesakitan. Akan tetapi
dengarlah baik-baik. Secara pribadi aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kong
Lo Sengjin si kakek lumpuh. Akan tetapi karena aku tinggal di istana Hou-han
dan dia datang menyerbu istana, tentu saja aku menghadapinya! Kalau kakek
lumpuh itu tidak kuat menghadapi aku lalu minta bantuanmu, benar-benar lucu dan
tak tahu malu!"
"Tok-siauw-kwi,
mengapa engkau mengirim seorang pembunuh ke Min-san untuk membunuh keponakan
perempuan Kong Lo Sengjin?" Kim-mo Taisu bertanya memancing.
Lu Sian
bangkit kemarahannya. Ia membanting-banting kakinya ke tanah, dan diam-diam
Kim-mo Taisu merasa terharu. Benar-benar tidak ada perubahan pada diri Lu Sian.
Kebiasaan membanting kaki kalau marah-marah pun masih sama dengan dulu!
"Kim-mo
Taisu! Apakah engkau ini seorang gila? Kalau aku memang menghendaki nyawa
seseorang, perlu apa aku menyuruh orang lain? Kalau aku ingin membunuh
keponakan Kong Lo Sengjin, biar pun ada seratus orang keponakannya itu, apa kau
kira aku tidak bisa melakukannya sendiri? Entah macam apa siluman betina itu
sehingga engkau sampai bersusah payah mencari pembunuhnya dan menuduh aku
pula."
"Siluman
betina itu adalah isteriku..."
"Ohhh...?!?"
Mata Lu Sian terbelalak kaget dan sejenak ia hanya memandang wajah Kim-mo Taisu
yang suram muram itu.
Rasa terharu
mengusap perasaan Lu Sian, kemudian rasa gembira timbul, dan tak tertahankan
lagi ia tertawa. Mula-mula tertawa lirih, terkekeh-kekeh sampai menutupkan
punggung tangan kanan di depan mulut sambil menundukkan muka, kemudian kakinya
bergerak maju dan di lain saat ia telah merangkul pinggang Kim-mo Taisu dan
menyembunyikan muka di dadanya seperti tadi lagi. Hanya kalau tadi ia menangis
terisak-isak, kini ia tertawa terkekeh-kekeh, tubuhnya berguncang-guncang
menahan ketawa.
Kim-mo Taisu
berdiri tegak, mengerutkan keningnya. Ia amat mengkhawatirkan ini. Menghadapi
lawan yang bagaimana berat dan lihai pun ia tidak gentar. Akan tetapi
menghadapi Lu Sian, melihat wajah yang masih cantik jelita, pandang mata yang
bersinar-sinar, mulut yang amat manis, mencium bau harum yang aneh dan khas dari
tubuh wanita ini, benar-benar merupakan hal yang amat berat baginya. Ia bukan
seorang yang mudah tergila-gila kepada wanita, akan tetapi tak disangkalnya
pula bahwa hatinya lemah apabila berhadapan dengan Lu Sian, wanita yang pernah
merampas cinta kasihnya. Akan tetapi, ia teringat akan isterinya, maka ia
mengeraskan hati dan meramkan mata.
"...ah,
nasib kita sama... hi-hik, tidak bahagia dalam pernikahan...," suara Lu
Sian ini membuat Kim-mo Taisu membuka matanya.
Pada saat
itu Lu Sian yang masih tertawa-tawa kecil, mengangkat muka dan ternyata dari
kedua mata wanita itu bercucuran air mata. Lu Sian yang terdengar ketawa
terkekeh-kekeh itu mengucurkan air mata seperti orang menangis!
Mereka
saling pandang, muka mereka berdekatan. Sedetik timbul hasrat dalam hati Kim-mo
Taisu untuk mendekap wajah yang pernah ia rindukan ini, untuk mencium kering
air mata yang membasahi sepasang pipi itu. Akan tetapi kembali kematian
isterinya terbayang di depan mata. Air mata di kedua pipi Lu Sian seakan-akan
berubah menjadi merah terkena sinar bulan, semerah darah isterinya yang
bercucuran. Dengan kasar ia lalu merenggut kedua pundak Lu Sian, didorongnya
menjauhi dirinya.
Seketika
terhenti tawa atau tangis Lu Sian. Sinar matanya tajam dan dingin kembali. Lalu
ia bertanya, sikapnya menantang. "Kim-mo Taisu, andai kata benar aku yang
menyuruh bunuh isterimu, habis kau mau apa?"
Dengan suara
sama dinginnya Kim-mo Taisu menjawab, "Kau pun akan kubunuh!"
Lu Sian
mencelat mundur lalu tertawa. Kim-mo Taisu bergidik. Benar-benar seperti setan
kalau Lu Sian sudah tertawa seperti itu.
"Hi-hi-hi-hik!
Kim-mo Taisu! Apakah engkau masih menganggap aku seperti Lu Sian dua puluh
tahun yang lalu, yang merengek-rengek minta kau ajari ilmu silat?"
Kim-mo Taisu
menggeleng kepala. "Tidak. Aku tahu bahwa engkau sekarang telah menjadi
seorang yang berilmu tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Tok-siauw-kwi
yang menggegerkan dunia persilatan. Akan tetapi aku tidak takut."
"Aku
pun tidak takut!" Lu Sian membentak, sambil mencabut pedangnya, pedang
Toa-hong-kiam. Sekali tubuhnya berkelebat, ia telah mengirim serangan kilat ke
arah leher Kim-mo Taisu. Cepat dan kuat sekali serangan ini, tak boleh
dipandang ringan.
Kim-mo Taisu
cepat melompat ke kanan untuk menghindari serangan kilat ini, sambil berkata,
"Kalau kau yang menyuruh orang membunuh isteriku, baru aku akan
memusuhimu, Tok-siauw-kwi."
"Tidak
peduli! Membunuh atau tidak, engkau harus menahan seranganku, jangan kira aku
takut!" Lu Sian membentak, kemarahannya sudah memuncak dan kembali
pedangnya berkelebat. Demikian hebatnya gerakannya sehingga tubuhnya lenyap
terbungkus gulungan sinar pedangnya. Terdengar bunyi angin menderu dan gulungan
pedang itu merupakan segumpal awan yang melayang-layang....
Kim-mo Taisu
tidak berani memandang rendah. Cepat ia pun mengeluarkan kipasnya, lalu
bergerak mengimbangi serangan Lu Sian. Ketika ia memperhatikan gerakan-gerakan
Lu Sian, diam-diam ia terkejut dan kagum sekali. Hebat memang kemajuan wanita
ini, sedemikian hebatnya sehingga hampir menyusul dan melampauinya! Yang jelas,
dalam hal ginkang, Lu Sian sudah tidak kalah olehnya, dan gerakan pedangnya
luar biasa sekali.
Ia sudah
mendengar akan sepak terjang Tok-siauw-kwi yang menggemparkan partai-partai
besar karena perbuatannya mencuri kitab-kitab pusaka. Kini menyaksikan
gerakannya, ia maklum bahwa tidak percuma Lu Sian mencuri kitab-kitab itu,
tentu telah dipelajarinya dan digabungkannya dengan amat baik. Karena itu
Kim-mo Taisu lalu mengerahkan tenaga dan mainkan Cap-jit-seng-kiam digabung
dengan Lo-hai San-hoat untuk menghadapi serangan pedang Lu Sian yang dahsyat
itu. Gerakannya tenang dan kokoh kuat, tidak saja ia dapat membendung datangnya
serangan yang dahsyat seperti air bah itu, namun juga ia masih mendapat
kesempatan untuk balas menyerang tidak kalah dahsyatnya.
Lu Sian
menjadi penasaran dan mengeluh di dalam hati. Banyak sudah ia menghadapi lawan
tangguh, akan tetapi baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu
benar-benar hebat sekali. Kwee Seng yang dahulu itu ternyata masih tetap kuat,
bahkan lebih lihai lagi. Pedangnya yang sukar menemui tanding itu kini
seakan-akan menghadapi tembok baja yang sukar ditembus. Bahkan ujung gagang
kipas itu masih sempat membagi-bagi totokan yang amat berbahaya.
Berjam-jam
mereka bertanding dengan hebat. Kadang-kadang mereka bergerak cepat sehingga
bayangan mereka menjadi satu, sinar senjata mereka saling belit. Kadang-kadang
gerakan mereka lambat dan dalam jurus-jurus ini mereka bertanding mengandalkan
tenaga dalam yang juga seimbang. Matahari pagi sudah muncul mengusir kabut
pagi, dan mereka masih terus bertanding seru. Keduanya sudah lelah. Keringat
mulai membasahi muka dan leher. Namun belum juga ada yang mengalah.
Tiba-tiba Lu
Sian mengeluarkan suara melengking tinggi, suaranya penuh getaran dan pada
detik berikutnya, rambutnya yang hitam panjang itu telah terlepas dari
sanggulnya dan tahu-tahu telah menyambar ke arah Kim-mo Taisu bagaikan sehelai
jaring yang aneh! Kim-mo Taisu terkejut bukan main. Lengking tadi saja sudah
mengandung tenaga yang luar biasa. Itulah Ilmu Sakti Coan-im-I-hun-to (Suara
Sakti Merampas Semangat), biar pun belum sempurna benar namun sudah amat kuat
dan suara itu saja sudah cukup merobohkan seorang lawan yang kurang kuat sinkang-nya!
Apalagi
serangan rambut itu. Hanya seorang yang sinkang-nya sudah luar biasa hebatnya
saja mampu mempergunakannya sekuat ini. Tadi ia melihat wanita cantik berambut
panjang riap-riapan di istana juga mempergunakan rambut melawannya, akan tetapi
dibandingkan dengan penggunaan rambut oleh Lu Sian ini benar-benar amat jauh
bedanya. Karena ia tidak menyangka-nyangka bahwa Lu Sian akan menyerangnya
secara ini, Kim-mo Taisu menjadi agak bingung.
Namun ia
cepat mengerahkan tenaganya dan membuka kipas serta mengebut ke arah jaring
hitam itu. Buyarlah sebagian rambut yang menyerang, namun masih ada segumpal
rambut yang berhasil melibat pergelangan tangan kanan yang memegang kipas dan
pada saat Kim-mo Taisu mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, ujung pedang
Toa-hong-kiam sudah menyambar ke arah tenggorokan!
Hebat bukan
main serangkaian serangan Lu Sian ini, tidak saja cepat seperti kilat, dan sama
sekali tidak terduga-duga, juga mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Diam-diam
Kim-mo Taisu terkejut dan maklum bahwa nyawanya dalam bahaya maut. Namun
sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak gentar. Cepat tangan kirinya
mencengkeram ke arah pedang, sebab lebih baik mempertaruhkan lengannya dari
pada membiarkan tenggorokannya tertusuk. Akan tetapi gerakan pedang itu sudah
lebih cepat dan....
"Breettt!"
pedang itu menyambar ke kiri dan bukan tenggorokannya yang terobek, melainkan
leher bajunya!
Kim-mo Taisu
melompat ke belakang karena pada saat itu gumpalan rambut yang membelit
lengannya juga sudah terlepas dan terdengar Lu Sian tertawa lirih.
"Hi-hi-hik! Kim-mo Taisu apakah kau masih mau membunuhku?"
Panas hati
Kim-mo Taisu. Memang dalam gebrakan terakhir tadi ia telah menderita kekalahan.
Akan tetapi kekalahannya tadi hanya dapat terjadi karena ia terlena. Ia telah
dikalahkan dan telah diampuni pula! Mukanya agak merah, tapi suaranya tetap
dingin ketika ia menjawab, "Tok-siauw-kwi, kalau kau yang menyuruh bunuh
isteriku, kau tetap akan kubunuh!" setelah berkata demikian, ia
mengeluarkan guci arak dari punggung, menuangkan arak ke dalam mulut dan
menggelogoknya, kemudian ia melangkah maju.
"Hemm,
kau masih belum mau mengaku kalah?"
"Sebelum
kau bersumpah bahwa kau tidak menyuruh bunuh isteriku, aku akan menyerangmu
terus dan tidak akan mengaku kalah sebelum tewas di depan kakimu. Nah, kau jaga
ini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu menerjang maju, gerakannya hebat sekali.
Ia merasa
penasaran dan juga malu bahwa dia tadi dapat dikalahkan oleh Liu Lu Sian, maka
kini pendekar ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan semua kepandaiannya.
Setelah ia mainkan dua macam senjata, kini gerakan-gerakannya hebat bukan main.
Kini guci arak itu ia mainkan dengan gerakan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat,
sedangkan kipasnya tetap mainkan Lo-hai San-hoat. Dua macam senjata dan dua
macam ilmu silat ini dapat ia mainkan menjadi perpaduan yang amat serasi dan
saling bantu, benar-benar amat hebat. Inilah ilmu kepandaian inti dari Kim-mo
Taisu sejak dua puluh tahun yang lalu. Hanya kini ilmunya ini jauh lebih masak
karena telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu yang ia dapat di dalam Neraka Bumi.
Lu Sian juga
merasa penasaran. Ia telah sengaja melepaskan laki-laki ini dari pada bahaya
maut. Mengapa masih begini nekat? Akan tetapi ia pun kini merasa terkejut
menyaksikan kehebatan serangan lawannya. Cepat ia menggerakkan pedang dan
rambutnya menjaga diri dan balas menyerang, namun alangkah kagetnya ketika
rambutnya selalu terbang membalik karena kipas di tangan Kim-mo Taisu
mengeluarkan kebutan yang luar biasa sekali.
Sedikit pun
ia tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang lagi setelah Kim-mo Taisu
menggerakkan kedua senjatanya yang aneh. Betapa pun ia berusaha dan mengeluarkan
pelbagai ilmu silat termasuk ilmu tendangan dan ilmu-ilmu lain dari kitab-kitab
yang ia curi, tetap saja semua itu berantakan menghadapi perpaduan Pat-sian
Kiam-hoat dan Lo-hai san-hoat! Betapa pun ia berusaha, tetap saja ia selalu
harus mempertahankan diri dari serangan Kim-mo Taisu yang menggelora datangnya.
Dengan gemas Lu Sian lalu mengerahkan tenaga pada rambutnya, mengeluarkan pekik
melengking lagi seperti tadi, malah lebih hebat lagi sekarang, kemudian
rambutnya menyambar menjadi puluhan gumpal menuju ke arah semua jalan darah
lawan.
"Bagus!"
seru Kim-mo Taisu.
Memang
serangan pembalasan ini luar biasa sekali. Rambut yang halus tebal itu terpecah
menjadi banyak gumpalan dan setiap gumpalnya kini menotok jalan darah dengan
kuat dan cepat!
Kim-mo Taisu
juga mengeluarkan suara melengking panjang yang mengatasi lengking suara Lu
Sian, kemudian tubuhnya bergerak-gerak cepat dan kipasnya dikebutkan. Timbullah
angin menderu-deru yang berpusing-pusing di sekitar mereka sehingga
gumpalan-gumpalan rambut Lu Sian menjadi kacau balau gerakannya, tersapu angin
yang kuat ini, bahkan ada yang membalik dan menyerang Lu Sian sendiri!
Lu Sian
kaget dan marah sekali. Cepat ia menggerakkan pedangnya yang menyambar ke arah
kipas yang mengebut-ngebut keras itu, dengan maksud untuk merusak kipas yang
ampuh dari lawan ini. Akan tetapi begitu pedangnya menempel kipas, Kim-mo Taisu
membuat gerakan memutar sehingga pedangnya ikut pula terputar-putar, dan
akhirnya tanpa dapat dicegah pula pedang itu terpaksa ia lepaskan, karena kalau
tidak tangannya bisa terluka hebat atau salah urat.
Pedang
terlepas dari tangan dan menancap ke atas tanah, sedangkan kipas dan guci arak
sudah menyambar ke arah dada dan kepala! Lu Sian dapat menghindarkan totokan
kipas, akan tetapi agaknya tidak mungkin lagi menghindarkan hantaman guci arak
yang menuju kepalanya, terpaksa ia meramkan mata menanti kematian. Akan tetapi
hantaman tak kunjung tiba!
Lu Sian
membuka matanya dan melihat bahwa guci arak itu kini berada di depan mulut
Kim-mo Taisu yang sedang menenggaknya. Suara arak menggelogok memasuki
kerongkongannya. Ada pun pedangnya masih menancap di atas tanah dan juga kipas
lawannya menggeletak di dekat pedang. Muka Lu Sian menjadi merah sekali. Jelas
bahwa dalam jurus terakhir tadi ia telah kalah. Pedangnya dirampas dan nyawanya
terancam. Jelas pula bahwa Kim-mo Taisu sengaja membebaskannya. Kekalahan dan
pembebasan ini merupakan penghinaan yang memalukan bagi Lu Sian. Tak biasa ia
menelan kekalahan.
"Kim-mo
Taisu jangan sombong! Aku belum kalah! Kita masih seri, baru satu-satu! Mari
kita mencari keunggulan tanpa mengandalkan senjata kalau kau berani!"
Dengan mata berapi-api Lu Sian menyanggul rambutnya, sedangkan Kim-mo Taisu
sudah melempar guci araknya ke dekat pedang dan kipas, lalu tertawa mengejek.
"Ada
ubi ada talas, ada budi ada balas! Tadi kau menghutangkan, kini aku membayar.
Akan tetapi engkau hutang nyawa isteriku, belum kau balas. Kali ini aku tidak
akan mengampuni engkau lagi, Tok-siauw-kwi!"
Lu Sian
mencibirkan bibirnya. "Siapa mengharapkan pengampunanmu? Kau kira pasti
akan dapat menang? Sombong! Kau terima ini!" Wanita itu menerjang maju
dengan cepat, kedua tangannya terkepal dan pukulan-pukulannya bertubi-tubi,
sangat cepat namun mengandung tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.
Kim-mo Taisu
cepat mengelak dan mengangkat lengan menangkis. Yang membuat pendekar ini
diam-diam mengeluh adalah bau harum yang makin hebat semerbak keluar dari tubuh
dan rambut Lu Sian setelah wanita ini lelah dan berpeluh. Keharuman ini yang
selalu menggelitik hatinya, mengingatkannya bahwa yang ia hadapi sebagai musuh
sekarang ini adalah wanita satu-satunya yang pernah merampas cintanya. Selain
keharuman yang khas ini, ia pun harus mengakui bahwa ilmu kepandaian Lu Sian
kini meningkat secara luar biasa sekali, sudah setingkat dan seimbang
dengannya.
Kini pun
dalam ilmu silat tangan kosong ia sama sekali tidak boleh memandang rendah,
apalagi setelah merasa betapa dari kedua tangan Lu Sian keluar hawa yang amat
panas dan kedua kepalan tangan kecil itu mengeluarkan uap, seakan-akan
menggenggam api! Ketika ia sengaja menangkis, tangan dan lengan wanita itu
benar-benar amat panas. Kim-mo Taisu terkejut dan cepat ia mempergunakan Ilmu
Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang ia mainkan dengan pengerahan
tenaga Im-kang untuk melawan hawa panas yang keluar dari tangan Lu Sian.
Biar pun
kini mereka melanjutkan pertandingan tanpa senjata, namun ternyata malah jauh
lebih seru dari pada tadi. Pukulan-pukulan mereka adalah pukulan-pukulan yang
mengandung tenaga dalam. Gerakan mereka kadang-kadang amat cepatnya,
berkelebatan dan bayangan mereka bergumul menjadi satu, kadang-kadang mereka
bergerak amat lambat dalam mengadu tenaga sinkang. Karena kini mereka hanya
mengandalkan kaki tangan, tentu saja tenaga yang mereka pergunakan lebih besar
dan lebih banyak sehingga mereka berdua makin lelah. Memang hebat kini ilmu
kepandaian Lu Sian. Tidak mudah bagi Kim-mo Taisu untuk mengalahkannya, sungguh
pun diam-diam Lu Sian harus mengakui bahwa dalam banyak hal, lawannya ini sudah
mengalah terhadapnya.
Matahari
sudah naik tinggi dan kedua orang ini masih saja berkelahi mati-matian.
Akhirnya setelah jelas bagi Lu Sian bahwa betapa pun juga ia takkan berhasil
mengalahkan Kim-mo Taisu, timbul rasa jemu di dalam hatinya. Mereka sudah
bertanding sejak tengah malam sampai matahari naik tinggi masih belum ada yang
betul-betul kalah atau menang. Ia sudah merasa lelah sekali. Akan tetapi
bukanlah watak Lu Sian untuk mengaku kalah. Maka ia lalu mengerahkan semua
tenaga dalamnya dan menerjang dengan pukulan maut yang dilakukan dengan kedua
tangan terbuka didorongkan ke depan.
Kim-mo Taisu
terkejut mendengar deru angin pukulan dan merasakan hawa panas yang hebat.
Karena ia pun sudah amat lelah, gerakannya kurang lincah lagi dan ia tahu bahwa
pukulan ini tak mungkin dapat ia elakkan. Maka ia cepat mengangkat pula kedua
tangannya, menerima pukulan itu dengan pengerahan tenaga sakti.
"Plakkkk...!"
dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat.
Karena
keduanya mempergunakan tenaga sakti, maka kedua tenaga yang hampir sama kuatnya
itu saling membuyarkan. Kini karena kelelahan mereka tidak mengadu tenaga sakti
lagi. Kedua tangan mereka yang saling menempel itu lebih disebabkan oleh
kelelahan mereka, seakan-akan dengan begitu mereka dapat beristirahat, karena
dengan kedua telapak tangan menempel, mereka untuk sementara tidak dapat saling
menyerang lagi. Peluh sudah membasahi seluruh tubuh.
"Kwee
Seng aku... aku lelah..." Lu Sian terengah-engah, kedua tangannya yang
bertempelan dengan kedua tangan Kim-mo Taisu itu seakan-akan bergantung.
"Aku
pun lelah, kau hebat sekali..." kata-kata Kim-mo Taisu itu perlahan dan
sejujurnya.
Mereka
saling pandang. Kelelahan hebat membuat mereka mengantuk. Untuk sejenak agaknya
mereka lupa bahwa mereka saling berusaha mengalahkan bahkan saling membunuh.
Kini mereka bicara berbisik-bisik seperti sepasang kekasih yang kelelahan dan
mabok buaian asmara!
"Kwee
Seng... aku sudah jemu, tak dapat mengalahkanmu, lebih baik kita hentikan
saja..."
"Mana
bisa kuhentikan kalau kau memang telah menyuruh bunuh isteriku?"
"Kwee
Seng..." Lu Sian terdiam dan mengatur napas, tangannya masih menempel pada
telapak tangan Kim-mo Taisu.
"Hemm...??"
juga Kim-mo Taisu mengatur napas untuk memulihkan tenaganya.
"Cantik
sekalikah isterimu?"
"Tidak
secantik engkau... akan tetapi bagiku dia itu penuh cinta kasih, penuh
kesetiaan dan luhur budi pekertinya...."
"Uuhhh...!"
Lu Sian merajuk dan marah. Jawaban ini baginya merupakan tamparan, seakan-akan
ia dimaki bahwa dia tidak tahu akan cinta kasih, tidak setia dan rendah
budinya. Ia mengerahkan tenaga dan mendorong sekuatnya sehingga lekatan tangan
mereka terlepas dan keduanya terdorong mundur karena Kim-mo Taisu juga cepat
mengimbagi dorongan lawan.
Sambil
memekik marah Lu Sian kembali menyerang, seakan-akan lupa bahwa ia sudah amat
lelah. Kim-mo Taisu juga mempertahankan diri dan balas menyerang. Sebuah
tendangan Kim-mo Taisu menyerempet lutut membuat Lu Sian terguling roboh. Ia
tidak mempertahankan diri saking lelahnya dan begitu punggung dan kepalanya
mencium tanah, terus saja ia berbaring, malas untuk bangun lagi karena rasa
kantuk hampir tak tertahankan lagi!
"Hayo
katakan sesungguhnya! Siapakah yang menyuruh bunuh isteriku?" Kim-mo Taisu
membentak, siap mengirim pukulan terakhir.
"Kalau
aku yang menyuruh kau mau apa? Andai kata isterimu masih hidup, akan kubunuh
juga dia!" jawaban ini terdorong hati gemas, akan tetapi juga amat
menggemaskan hati Kim-mo Taisu yang menubruk sambil mengirim pukulan ke arah
kepala Lu Sian.
Wanita ini
cepat menggulingkan tubuhnya, lalu meloncat dan mengirim tendangan kilat ke
dada Kim-mo Taisu. Kagum sekali Kim-mo Taisu. Gerakan bergulingan lalu meloncat
dan menendang ini selain lihai juga amat indah. Namun ia cepat dapat mengelak
dan mereka bertanding lagi dengan seru.
Kembali Lu
Sian mengirim serangan mati-matian dengan dorongan kedua tangan sambil
mengerahkan ilmunya Tangan Api. Kim-mo Taisu menyambutnya dengan gempuran
tangan pula sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dahsyat di udara.
Hebat sekali pertemuan tenaga ini dan akibatnya Lu Sian terhuyung-huyung,
mukanya pucat sekali. Ternyata ia kalah tenaga dan karenanya ia menderita luka
dalam. Namun ia tidak mengeluh, dan setelah terhuyung-huyung ia roboh miring.
Kim-mo Taisu
yang sudah mabok perkelahian ini dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan
mengirim pukulan dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih sempat
mengangkat kedua tangan menyambut dan kembali kedua pasang tangan mereka
bertemu dan melekat seperti tadi. Hanya bedanya, Lu Sian berbaring dan Kim-mo
Taisu berlutut!
"Kwee
Seng..." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku...aku belum mau
mati... aku tidak ingin mati sebelum bertemu anakku... Bu Song..."
Tergetar
hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. Wanita ini bukan
hanya bekas kekasihnya, bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini. Bukan
hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu Song calon mantunya!
Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya?
"Lu
Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis di
antara katupan giginya.
Lu Sian
tersenyum mendengar nama kecilnya disebut. "Kalau tadi-tadi engkau
bertanya begini, tentu aku akan bicara terus terang," jawabnya lirih.
"Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri,
bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh
bunuh siapa pun juga. Kalau ada yang hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku
sendiri, mengapa menyuruh orang?"
Kim-mo Taisu
melepaskan tangannya dan melompat ke belakang. "Mengapa tidak kau katakan
demikian sejak malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang
memenuhi mukanya.
Lu Sian
tertawa. "Aku ingin melihat sampai bagaimana jauh aku dapat melayanimu.
Ternyata kau... kau makin hebat...," tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung
dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar lengannya oleh Kim-mo
Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di
dalam yang cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di
atas rumput.
"Kau
terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam,"
katanya lirih sambil duduk bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang
sesak. Kim-mo Taisu memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti,
menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari
tubuhnya menjalar melalui tangan memasuki tubuh Lu Sian.
Ketika Lu
Sian merasa betapa hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang
menempel di punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia
tidak membuka mata dan tetap mengatur pernapasan. Kedua orang yang setengah
malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila, diam
seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan
nyeri di dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap.
"Cukup,
Kwee-twako..." katanya lirih.
Kim-mo Taisu
melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini mereka duduk bersila,
saling berhadapan. Mereka masih mengaso memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap
perlahan.
"Kwee-twako,
sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka
telah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira kau hidup, malah
sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati terbunuh orang dan kau
menyangka aku yang menyuruhnya?"
Sejenak
Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak
terjerumus ke dalam jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru
terjadi kemarin.
"Panjang
ceritanya...," ia berkata setengah mengeluh.
Tak suka ia
menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu
Sian inilah yang menjadi sebab dari pada semua pengalamannya itu. Ia sudah
menerima keadaan, tidak mendendam kepada wanita ini, maka ia lalu bertanya.
"Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han?
Banyak sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau
yang kabarnya menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan
merantau seorang diri?"
Lu Sian
menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat ke luar
dari pelupuk matanya. Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee
Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang yang dipercaya
sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya. Ia
merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup
tenteram di samping suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan
kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu
menggigit bibir dan menggeleng kepala. "Panjang ceritanya...."
Ia pun segan
menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini.
Tiba-tiba
keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak
lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras. "Tok-siauw-kwi,
hendak lari ke mana kau sekarang?!"
Berturut-turut
muncullah belasan orang dari sekeliling tempat itu. Ada yang berpakaian seperti
hwesio, ada pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang
berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka membayangkan kepandaian yang tinggi.
Kim-mo Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara belasan orang itu
ia mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu
Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu
tinggi!
Ada pun Lu
Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang
selama ini selalu mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya
tertahan oleh kekuatan penjagaan istana Hou-han tidak membuang waktu lagi.
Menghadapi mereka ini, kata-kata tidak ada gunanya. Maka ia lalu meloncat,
menyambar pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan
pedang melintang di depan dada. "Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini,
siapa bosan hidup boleh maju!"
Agaknya
dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itu pun
tidak suka bicara banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini
serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu Sian dengan bermacam-macam senjata di
tangan. Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar
saja Lu Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu
memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
Kim-mo Taisu
maklum, bahwa biar pun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian
tinggi, namun mereka itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa
lihainya. Akan tetapi pada saat itu Lu Sian baru saja sembuh dari luka dalam,
tenaganya belum pulih semua dan juga masih amat lelah, maka pengeroyokan banyak
tokoh ternama itu tentu saja merupakan bahaya besar. Bukan ini saja yang
mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga
bahaya maut mengancam keadaan para pengeroyok itu. Ia maklum bahwa andai kata
akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan banyak
sekali di antara lawan yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu
roboh.
Benar saja
apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga
orang pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian. Akan tetapi
wajah Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya
mulai terhuyung-huyung. Para pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah
merasa girang bahwa biar pun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa
saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh besar yang mereka benci itu
takkan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi
alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata
mereka terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang
ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata, dan
sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah
berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci
arak! Di antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran,
seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur, "Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu?
Mengapa mencampuri urusan kami?"
"Kim-mo
Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran.
Apakah sekarang kau hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi?
Pinto menerima perintah Suhu ketua Kong-thong-pai untuk membunuh siluman ini,
apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.
"Kami
dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!"
kata pula seorang tosu lain.
Kim-mo Taisu
sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia
kang-ouw, dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat membenarkan tindakan
Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya
dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat
bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di
depan matanya?
Dengan sikap
tenang berwibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya,
lalu berkata, "Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu
menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang
mengeroyok seorang saja sehingga terjadi pertandingan yang tidak berimbang. Di
manakah sifat kegagahan kalian?"
Seorang
hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya.
"Biarkan pinceng (aku) maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk
membalaskan kematian empat orang saudaraku!"
"Benar!
Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo
Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang
melawan iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi
seorang!" kata yang lain.
Kim-mo Taisu
maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu maka semua orang ini
tentu akan tewas, tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi
kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka
ia pun berkata, "Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi
harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka
olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil
sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali
kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."
Semua orang
itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat
maju dengan toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu
sambil membentak, "Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh menyimpang dari pada
kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu
hendak melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu
mendengus melalui hidungnya. "Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya
sendiri!"
"Akan
tetapi kebenaranmu itu sendiri menyeleweng dari pada kebenaran umum. Kami
bertindak atas dasar kebenaran umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang
nyawa kepada kami, kalau kami kini datang membalas, bukankah itu sudah
benar?" bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai yang dibenarkan oleh semua temannya.
Sikap mereka mengancam.
Kim-mo Taisu
menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak melindungi Tok-siauw-kwi,
juga tidak hendak mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi kalian.
Akan tetapi pendirianku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusan
antara dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku tetap
menyatakan tidak benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang orang
yang sedang terluka!"
"Tidak
peduli! Dia jahat, kalau dilepas, kapan dapat mencarinya lagi?" bentak
mereka.
"Oho, begitukah?
Kalian tidak memandang mukaku? Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala
perbuatan pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku.
Jika masih ada aku di sini, jangan harap kalian dapat melakukan kecurangan,
menyerang seorang yang sedang terluka. Nah, aku punya peraturan sendiri, punya
kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo
Taisu berdiri tegak lalu menenggak araknya tanpa mempedulikan mereka.
"Heh-heh-heh!
Kim-mo Taisu bicara seperti pokrol bambu! Saudara-saudara hendak membasmi
siluman, masih menanti apalagi? Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng
juga. Kita ganyang saja dia lebih dulu, biar kami bantu!" suara ini keluar
dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu.
Kim-mo Taisu
tidak mengenal mereka. Akan tetapi melihat cara mereka memegang dan
menggerakkan tongkat merah di tangan, ia dapat menduga bahwa mereka itu
tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang
amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis,
maka sambil tersenyum mengejek ia berkata, "Apakah kalian ini anak buah Si
Raja Pengemis Pouw?"
Tiga orang
pengemis itu tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang
maju. Hebat memang gerakan mereka. Cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas
di tangannya menangkis sambil membuat gerakan memutar sehingga terbebas dari
pada lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh
lain yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua sudah maju pula
mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang langsung menerjang Lu Sian yang masih
duduk bersila meramkan mata!
Kim-mo Taisu
marah sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu
menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan.
Pertama-tama dia menerjang mereka yang mengancam keselamatan Lu Sian dan sekali
terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan.
Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu
melindungi wanita ini dan memutar kedua senjatanya yang berubah menjadi
gulungan sinar melindungi tubuh mereka berdua.
Hebat sekali
pertandingan ini, jauh lebih hebat dari pada tadi ketika mereka mengeroyok Lu
Sian. Amukan Kim-mo Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah
roboh lagi oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama satu jam lebih belum juga
para pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu
menyentuh tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga.
Namun
keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah. Pendekar ini sudah terlalu lama
tadi mengerahkan tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah
banyak berkurang, bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau banyak
mengerahkan tenaga sakti, jauh melampaui daya tahan tubuhnya. Namun ia bertekad
melawan terus sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian, mempertahankan
kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada
mereka ini, akan tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka
hendak mengeroyok orang yang telah terluka. Apalagi setelah perjumpaannya
dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh
orang begitu saja di depan matanya.
Para
pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan
besar, dan tiga orang kakek pengemis itu pun lihai sekali. Andai kata Kim-mo
Taisu belum kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian selama itu, agaknya
pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biar pun
ia masih berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin
parah keadaannya, tenaganya makin habis dan dadanya terasa makin sesak dan
sakit.
Dua jam
kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah
kepada tiga orang pengemis itu berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan
hantaman kipas dan guci araknya. Seorang pengemis, yang bicara tadi, roboh dan
tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke
dua patah tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga
Kim-mo Taisu menerima sodokan toya baja yang ditusukkan oleh hwesio
Siauw-lim-pai.
Hebat bukan
main sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andai kata orang lain yang terkena
agaknya tentu akan pecah lambungnya. Akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah
mengerahkan lweekang-nya ke arah lambung hanya terlempar saja, dan pendekar ini
merasa betapa lambungnya sakit sekali. Betapa pun juga, ia masih mampu melompat
berdiri. Sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan merobohkan
beberapa orang pengeroyok.
Pada saat
itu Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa
Kim-mo Taisu terdesak hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan
lemah. Lu Sian mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya mencelat ke
udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam
menyambar ke depan dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata
para pengeroyok. Pada saat bersamaan tangannya bergerak, dan dengan jari-jari
terbuka menampar dua orang di sisi kanan kirinya yang langsung memekik ngeri
dan roboh dengan baju di bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat tanda
tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh tewas seketika.
Kacaulah
para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio
Siauw-lim-pai berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang
tewas atau terluka, lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.
Kim-mo Taisu
masih berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan, sedangkan Lu Sian
berdiri di sebelahnya, rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan.
Sunyi sekali di situ, hanya tampak bekas-bekas darah membasahi rumput-rumput
yang rebah terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran
angin-angin pukulan dahsyat tadi.
Lu Sian
menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat
menerima tubuh Kim-mo Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam
pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah menderita luka hebat di lambungnya,
dan tadi ia masih mampu bergerak melawan adalah bukti dari pada keuletannya
yang luar biasa. Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti
seorang ibu mendukung anaknya. Setelah mengumpulkan kipas, guci arak dan
pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki
hutan yang lebat. Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi
mulutnya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri.
***************
"Eng-moi....!
Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng.
Pondok sunyi
dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di mana biasanya Eng Eng suka pergi
bermain, akan tetapi di sana pun kosong.
"Eng-moi...!
Di mana kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil
berlarian ke sana ke mari.
Akhirnya ia
berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya.
Biasanya kalau ia pergi disuruh suhunya turun puncak, gadis itu selalu tentu
menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau menantinya dan begitu ia
datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa sekarang gadis itu
tidak tampak? Ia tahu bahwa suhunya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di
puncak, mengapa sekarang tidak ada?
"Eng-moi...!!"
Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak
memanggil-manggil lagi ke empat penjuru.
Hanya gema
suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi
juga mendongkol, lalu mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya.
Pernah ketika suhu-nya menyuruh ia memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja
bersembunyi, membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu,
ketika gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi, Eng Eng pergi ke hutan penuh
bunga di sebelah timur puncak. Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah
taman bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya. Juga lereng bukit
itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk.
Wajah Bu
Song berseri lagi, timbul harapan baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi
ia mengerutkan kening. Tidak mudah mencari Eng Eng di sana. Hutan kembang itu
luas sekali dan banyak terdapat pohon-pohon besar. Kalau gadis itu bersembunyi,
sukar baginya untuk dapat mencarinya. Ia teringat dahulu pun ia tidak dapat
mencarinya. Terbayang semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke
dalam pondok, mengambil sebatang suling bambu dari kamarnya lalu berlari-lari
lagi keluar dan menuju ke timur.
Memang luar
biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini,
ia benar-benar memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya
diketahui oleh suhu-nya Kim-mo Taisu saja. Jangankan seorang pemuda yang tak
pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekali pun kiranya
belum tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan
perjalanan jauh naik turun gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja
tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan perjalanan sejam
lebih naik turun puncak!
Ketika tiba
di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak
yang kemerahan. Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang
kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik. Suhunya telah berulang kali melarang
dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu, yang oleh suhunya disebut Puncak
Api. Pernah suhunya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat
berbahaya, selain sukar sekali didaki, juga di sana terdapat binatang buas,
jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di
samping rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga
yang indah ini.
Benar
seperti dugaannya, hutan bunga itu pun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan
tetapi ia yakin bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan
itu dan terkekeh-kekeh ketawa di tahan melihat ia datang mencarinya. Ia maklum
pula bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng
takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu duduk di atas
batu hitam lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan
bercakap-cakap dengan Eng Eng. Di dekat batu ini mengalir anak sungai yang
jernih sekali sehingga batu-batu putih, merah dan hijau tampak di dasarnya.
Bu Song
duduk dan mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo
Taisu adalah seorang ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah
di antara kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup
suling. Ternyata bakatnya amat baik, bahkan diam-diam Kim-mo Taisu dengan heran
mendapatkan kenyataan bahwa bakat muridnya dalam hal meniup suling lebih baik
dari pada bakatnya sendiri. Maka ia lalu diajar dan sekarang sudah pandai
mainkan lagu-lagu merdu. Selain bertiup suling, gurunya mengajarkannya pula
bermain tioki (catur), membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis.
Pendeknya, suhunya ingin menurunkan semua kepandaian bun (sastra) kepadanya.
Semua kepandaian seorang sastrawan dimiliki Bu Song!
Begitu
lubang suling menempel di bibir, meluncurlah bunyi merdu yang mengalun,
melengking dan menari-nari di angkasa, menyelinap di antara daun-daun dan
bunga, menyentuh kuncup-kuncup bunga dan bermain-main dengan ujung rumput
hijau. Angin yang bertiup perlahan membuat pohon-pohon bunga bergerak perlahan
dan pohon-pohon cemara bergoyang-goyang seperti puteri-puteri kahyangan
menari-nari diiringi suara suling yang merdu. Jengkerik dan belalang yang
biasanya hanya berdendang di waktu malam, kini agaknya tidak dapat menahan
hasrat hati ikut bernyanyi seirama dengan suara suling.
Bu Song yang
tahu akan lagu kesukaan Eng Eng, segera mainkan lagu yang iramanya merayu-rayu
kalbu. Lagu ini tentang keluh-kesah setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh
menangis menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya embun
yang akan memberi air kehidupan padanya. Karena kini Bu Song mempunyai
pandangan lain terhadap diri gadis itu, maka permainan sulingnya penuh
perasaan, sehingga menggetarkan rasa dalam hatinya terhadap gadis itu.
Bu Song
tidak usah menanti lama. Menjelang berakhirnya lagu yang ia mainkan dengan
tiupan suling, tampak berkelebat bayangan putih, bayangan Eng Eng yang kini
selalu memakai pakaian putih tanda berkabung. Dengan hati-hati Bu Song
menyelesaikan lagunya, kemudian menghentikan tiupan suling yang meninggalkan
kelengangan yang mengesankan, seolah-olah suara suling masih menggema di
angkasa. Ia segera menoleh dan melihat Eng Eng sudah berdiri di dekat anak
sungai, akan tetapi gadis itu berdiri membelakanginya, menundukkan muka
seakan-akan gadis itu tidak melihatnya, tidak tahu bahwa ia berada di situ,
seakan-akan sedang menikmati pemandangan batu beraneka warna di dasar air
jernih.
Bu Song
tersenyum dan merasa heran, mengapa jantungnya berdenyar-denyar seperti itu.
Benar-benar pengertian bahwa gadis ini menjadi tunangannya, menjadi calon
isterinya, telah merubah suasana menjadi sama sekali berbeda dengan biasanya.
Dengan hati berdebar ia melangkah perlahan menghampiri Eng Eng dari belakang,
lalu berhenti dekat punggung gadis itu.
"Eng-moi...,"
panggilnya lirih.
Kedua pundak
Eng Eng bergoyang sedikit seperti menggigil, akan tetapi gadis itu tidak
menjawab, juga tidak menoleh. Mukanya makin tunduk, kini tidak lagi memandang
air jernih, melainkan memandang ujung kakinya sendiri.
"Eng-moi...,"
Bu Song mengulang panggilannya dan kini menyentuh pundak gadis itu, lalu
tertawa karena mengira gadis itu masih saja mempermainkannya.
Akan tetapi
Eng Eng kini mengangkat kedua tangan ditutupkan pada mukanya. Bu Song terheran.
Ada apalagi gadis ini? Seperti orang malu-malu! Heran benar! Selamanya belum
pernah Eng Eng bersikap seperti ini.
"Eng-moi,
kau kenapa...?" ia bertanya, kini memegang kedua pundak itu perlahan lalu
membalikkan tubuh gadis itu supaya menghadapinya. Eng Eng menurut saja dan
tubuhnya, membalik, akan tetapi kedua tangannya masih ditutupkan di depan
mukanya yang menunduk.
Bu Song
makin terheran-heran. Kedua tangannya yang memegang pundak tadi mendapatkan
pundak yang gemetar seperti seekor kelinci ketakutan! Dari celah-celah jari
tangan yang menutupi muka, ia melihat kulit muka yang merah sekali, merah
sampai ke telinga dan leher. Alangkah bagus jari-jari tangan Eng Eng, tiba-tiba
ia berpikir. Selama ini belum pernah ia memperhatikan jari tangan gadis itu dan
baru sekarang ternyata olehnya betapa indahnya bentuk jari-jari itu, halus
meruncing dan kuku jarinya bersih mengkilap. Gadis itu tidak menangis, akan
tetapi mengapa menutupi muka seperti orang malu-malu?
"Eng-moi,
sepulangku dari dusun, setengah mati aku mencarimu. Setelah kudapatkan kau di
sini, mengapa kau menutupi mukamu? Eng-moi, kau pandanglah aku...."
Perlahan Bu
Song memegang kedua lengan gadis itu dan menurunkannya. Muka itu kini tampak,
masih menunduk dan merah sekali, bibirnya gemetar menahan senyum.
"Moi-moi
kau pandanglah aku, mengapa kau tidak berani memandangku? Kau... kenapa,
Moi-moi...?" tanyanya heran dan mulai gelisah.
Eng Eng
dapat menangkap kegelisahan dari suara Bu Song. Gadis ini menjawab tanpa
mengangkat muka, "...aku... malu, Song-ko..."
"Malu?
Malu kepada siapa dan karena siapa dan karena apa?"
Perlahan Eng
Eng kembali mengangkat mukanya, kini memandang wajah Bu Song dan menggigit
bibir, lalu berkata setelah menekan rasa malu di hatinya, "Tadi Ayah telah
berangkat pergi dan dia bilang... dia bilang... bahwa aku dan engkau...
ahh...!" Eng Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya, terlampau malu
hatinya dan ia kembali menunduk.
Bu Song
memegang lagi kedua tangan Eng Eng. Ia tertawa dan berkata, "Tentang
perjodohan kita...?"
Eng Eng
mengangguk, lalu berkata lirih, "Sejak keberangkatan Ayah, aku bingung.
Aku malu menanti kedatanganmu, aku... aku takut bertemu denganmu, maka aku lari
sembunyi...."
"Ha-ha,
lucu engkau! Mengapa kau malu, Moi-moi?" Makin erat Bu Song memegang
tangan Eng Eng. Jari-jari mereka saling cengkeram dan jari tangan Bu Song
mencegah jari tangan Eng Eng yang hendak melepaskan diri, akan tetapi usaha
melepaskan diri itu tidaklah terlalu sungguh-sungguh.
"Mengapa
malu?" Bu Song mengulang.
Eng Eng
mengangkat muka, matanya bersinar-sinar, bibir tersenyum malu, lalu cemberut
dan berkata galak, "Ahh... malu ya malu....!" Lalu ia membuang muka.
"Eng-moi,
setelah oleh Suhu kita dijodohkan, tidak... tidak senangkah hatimu? Tidak
bahagiakah perasaanmu seperti yang kurasakan?"
Mendengar
suara Bu Song menggetar penuh perasaan, sejenak jari tangan Eng Eng
mencengkeram tangan Bu Song. Gadis itu memandang lagi. Dua pasang mata bertemu
pandang, seakan-akan saling menjenguk isi hati masing-masing. Dari jari tangan
mereka terasa getaran aneh yang mewakili suara hati. Kemudian Eng Eng menunduk
perlahan, mengangguk tegas, terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bu Song
yang bidang!
Bu Song
mendekap kepala itu ke dadanya, seakan-akan ingin ia memasukkan kepala yang
dicintanya itu ke dalam dada untuk selamanya. Kedua kakinya menggigil, entah
mengapa ia hampir tidak kuat berdiri, demikian pula Eng Eng. Bu Song lalu
menarik tubuh Eng Eng ke bawah, duduk di atas rumput tebal. Mereka tidak bicara
lagi, terayun dalam gelombang asmara yang membuat mereka seakan-akan terayun di
angkasa, dibuai mimpi indah. Mereka tidak bicara, tidak bergerak. Eng Eng
meletakkan kepala di atas dada yang bidang, rambut kepalanya yang halus dibelai
jari-jari tangan Bu Song penuh kasih sayang dan dalam keadaan seperti itu
mereka saling pandang penuh kemesraan.
"Eng-moi...,"
akhirnya terdengar Bu Song berkata, suaranya terdengar oleh telinga Eng Eng
berbeda dari biasanya. Kini suara pemuda itu terdengar amat merdu dan mesra,
terbungkus kasih sayang yang membuat hatinya sendiri menjadi terharu dan
membuat ia ingin terisak menangis sepuasnya. "Eng-moi, semenjak kecil,
kita sudah saling mencinta, seperti kakak dan adik. Akan tetapi karena kita
bukanlah kakak beradik, maka tidak mungkin cinta kasih kita dapat berlangsung
selamanya. Kalau aku memikirkan betapa kelak kita harus berpisah, hatiku serasa
ditikam pisau. Akan tetapi, dengan kebijaksanaan Suhu kita dijodohkan! Alangkah
bahagia hatiku, Eng-moi, dan aku menjadi lebih beruntung lagi karena melihat
kau pun merasakan kebahagiaan seperti yang kurasakan."
Eng Eng
tersenyum penuh kebahagiaan. "Kalau Suhu sudah pulang, aku akan pergi
menempuh ujian, Moi-moi! Doakan saja aku berhasil agar aku dapat bekerja dan
setelah aku lulus ujian, kita... kita...."
"Bagaimana...?"
Eng Eng mendesak tak sabar.
"Kita
lalu kawin!"
"Ihh...!"
Eng Eng membalikkan muka, bersembunyi di dada, tak kuasa menentang pandang mata
yang nakal. Bu Song hanya tertawa dan menciumi rambut yang harum.
"Song-koko,
kemarin dulu itu...."
"Ya...?"
"Ketika
kau... kau menciumku...."
"Ya,
mengapa...?"
"Kau
sudah tahu tentang... tentang perjodohan kita?"
Bu Song
tertawa menggoda. "Tentu saja sudah. Ayahmu telah memberi tahu. Mengapa?
Kau marah-marah karena kucium hidungmu, sekarang pun aku akan...."
"Tidak!
Jangan...!" Eng Eng meronta ketika Bu Song menundukkan muka, lalu meloncat
bangun dan memegang tangan Bu Song sambil tertawa-tawa. "Tidak boleh,
Song-koko!"
"Mengapa
tidak boleh?" Bu Song bertanya heran, kagum melihat wajah yang
tertawa-tawa dan berseri-seri segar bagaikan sekuntum bunga tersiram embun
pagi. "Bukankah sejak kecil engkau sering kucium?"
"Lain
dulu lain sekarang! Dulu kita seakan-akan kakak beradik, sekarang...."
"Sekarang
bagaimana?"
"Sekarang
kita... sudahlah, pendeknya aku tidak mau sebelum kita... sebelum kita
menikah!"
Bu Song juga
tertawa dan mengangguk-angguk mengangkat tangan Eng Eng ke depan hidung dan
menciumi tangan itu. "Engkau benar, Moi-moi. Aku tadi pun hanya
bersenda-gurau. Jangan khawatir! Betapa pun besar cinta kasihku kepadamu, aku
akan menahan diri. Aku cukup menghormatimu, aku menghargaimu dan aku tidak akan
merusak kepercayaanmu kepadaku. Asal kau suka menegur saja kalau aku
lupa...."
"Ihh,
dasar! Kalau lupa berarti kau sengaja. Song-koko, sudahlah, sekarang kau
ceritakan apa yang kau lakukan di dusun tadi."
Mereka duduk
di atas batu, saling berpegang tangan dan dengan hati gembira Bu Song bercerita
tentang burung rajawali hitam yang diserbu penduduk dusun. Ia ceritakan betapa
ia telah berhasil menolong anak burung itu dan memuji-muji burung besar, gagah
dan indah itu.
Eng Eng
girang sekali mendengar ini, matanya bersinar-sinar dan ia bertepuk tangan
gembira. "Wah burung yang hebat! Ingin sekali aku dapat melihatnya, Koko.
Heiiii! Di sana itu, bukankah itu hek-tiauw (rajawali hitam)?" Tiba-tiba
Eng Eng berseru sambil menudingkan telunjuknya ke atas.
Bu Song
cepat memandang dan betul saja. Tinggi di angkasa sebelah timur tampak burung
rajawali hitam itu terbang melayang-layang amat gagahnya. Biar pun karena
jauhnya kelihatan amat kecil, namun jelas berbeda dengan burung-burung lain.
Eng Eng
saking gembira dan tertarik mendengar cerita Bu Song tadi, kini sudah meloncat
berdiri dan berkata, "Song-ko, aku mau melihatnya ke sana kalau ia
turun!" Dan larilah gadis ini dengan cepat sekali.
"Eh,
Eng-moi, tunggu...!" Bu Song juga meloncat dan lari mengejar, akan tetapi
ternyata gadis itu larinya cepat bukan main.
Bu Song yang
tidak pernah belajar ilmu ginkang dan tidak pernah belajar ilmu lari cepat,
segera tertinggal jauh. Melihat betapa kekasihnya lari ke jurusan puncak
terlarang, yaitu Puncak Api, ia menjadi khawatir sekali dan berteriak-teriak,
"Eng-moi...! Jangan ke sana...! Puncak itu terlarang bagi kita...."
Akan tetapi
Eng Eng yang melihat bahwa burung rajawali yang amat ia kagumi itu kini
menyambar turun ke arah puncak, menjadi makin gembira dan lupa akan pesan
ayahnya bahwa puncak itu tidak boleh dikunjungi karena amat berbahaya. Teriakan
Bu Song ini memang mengingatkannya, akan tetapi setelah dekat dengan puncak, ia
tidak melihat sesuatu yang boleh dianggap bahaya. Selain itu, andai kata
benar-benar ada bahaya, ia takut apa? Kepandaiannya sudah cukup untuk
dipergunakan menjaga diri. Burung itu amat indah! Maka tanpa mempedulikan
peringatan Bu Song ia lari terus, hanya menoleh dan memberi isyarat dengan
tangan supaya pemuda itu mengikutinya dan jangan berteriak-teriak karena bisa
membikin kaget burung.
Hati Bu Song
penuh kekhawatiran. Ia seorang yang amat patuh kepada suhunya, dan ia tahu pula
bahwa tidaklah percuma suhunya melarang mereka bermain-main ke Puncak Api.
Suhunya seorang sakti yang bijaksana, kalau melarang tentulah ada
sebab-sebabnya yang kuat. Kini larangan ini dilanggar oleh Eng Eng dan ia
menjadi khawatir sekali. Akan tetapi ia maklum dan mengenal baik watak Eng Eng.
Bagaimana ia dapat mencegah dan melarang gadis itu yang begitu gembira? Dengan
hati berdebar terpaksa Bu Song lari terus mengikuti Eng Eng yang amat cepat
larinya itu. Mereka kini sudah tiba di lereng puncak, memasuki sebuah hutan
yang pohonnya besar-besar menjulang tinggi, daunnya berwarna coklat membuat
keadaan hutan agak gelap.
"Eng-moi,
tunggu...!" Bu Song berteriak lagi, hatinya tidak enak ketika ia melihat
bayangan Eng Eng lenyap ke dalam hutan.
"Song-ko,
mari cepat...!" terdengar suara gadis itu menggema di dalam hutan.
Bu Song
sudah lelah sekali sekarang, namun ia memaksa kedua kakinya untuk berlari
memasuki hutan agar jangan sampai kehilangan jejak kekasihnya. Akan tetapi
terpaksa ia berhenti dan memandang ke kanan kiri dengan bingung. Hutan itu
selain besar dan agak gelap, juga amat membingungkan keadaannya karena
pohon-pohon besar itu berbaris rapi dan serupa benar keadaannya. Tak tampak
bayangan Eng Eng!
"Eng-moi,
di mana kau...??" teriaknya keras. Segera ia dibikin bingung oleh gema
suaranya sendiri yang menjawab dari semua penjuru!
Tiba-tiba ia
mendengar desis dan ketika ia berdongak, seakan-akan copot jantungnya saking
kaget dan ngeri melihat seekor ular yang besarnya melebihi pahanya dan panjang
sekali bergantungan di atas pohon. Kepala ular itu bergantung ke bawah dan
mendesis-desis, matanya yang merah memandang ke arahnya dengan bengis. Agaknya
binatang ini terkejut dari tidurnya ketika ia berteriak keras tadi. Dengan
tubuh menggigil Bu Song lari meninggalkan tempat itu, memasuki hutan lebih
dalam lagi.
"Eng-moi...!!"
Ia berteriak lagi beberapa kali karena ia benar-benar tidak tahu ke jurusan
mana gadis itu lari.
"Song-ko...!!"
tiba-tiba terdengar gema suara Eng Eng dari jauh sekali, dari arah timur
sebelah dalam hutan itu.
Bu Song
terkejut dan juga girang. Cepat ia lari mendaki bagian yang tinggi dari hutan
itu sambil memanggil-manggil nama Eng Eng, tidak peduli lagi akan kelelahan
kakinya. Akan tetapi gadis itu tidak terdengar menjawabnya lagi. Selagi hatinya
mulai gelisah ketika ia berlari memandang ke kanan kiri dan depan, mendadak
terdengar jerit suara Eng Eng. Jerit gadis itu membayangkan ketakutan hebat,
maka Bu Song cepat lari ke jurusan itu, ke pinggir hutan yang dekat dengan
pendakian ke puncak yang merupakan batu-batu karang yang runcing dan
bertumpuk-tumpuk.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Bu Song ketika melihat kekasihnya itu sedang
bertempur melawan seekor binatang mirip monyet yang besar dan kuat. Rambut Eng
Eng awut-awutan, sebagian pakaiannya ada yang robek, bahkan lengan kirinya
berdarah, agaknya kena cakar kuku binatang itu yang panjang-panjang. Gadis itu
kelihatan lemah dan lelah.
Melihat
betapa dua ekor binatang semacam itu telah menggeletak di atas tanah, Bu Song
dapat menduga bahwa tentu tadinya Eng Eng dikeroyok tiga. Gadis kekasihnya yang
perkasa itu agaknya telah merobohkan dua di antara mereka, akan tetapi kini
yang paling besar dan kuat menandinginya dan Eng Eng terdesak. Bukan main
kuatnya binatang itu, karena beberapa kali tendangan kaki Eng Eng seakan-akan
tidak dirasainya.
"Eng-moi....!"
Bu Song berseru keras dan dengan mata terbelalak ia menyerbu, lupa bahwa ia
sama sekali tidak pernah berkelahi dan tidak tahu cara menggunakan kaki tangan
yang baik dalam pertandingan.
Pada saat
itu Eng Eng sudah terhuyung ke belakang ketika binatang itu menerjang hendak
mencengkeram dan menggigit. Sial baginya, kakinya menginjak lubang tersembunyi
di bawah rumput. Tubuhnya terguling roboh!
Bu Song
melompat dan memukul binatang itu ketika melihat betapa binatang itu hendak
menubruk Eng Eng. Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong. Ternyata
binatang itu lincah sekali dan dapat mengelak dengan mudah sehingga Bu Song
yang memukul dengan seluruh tenaganya terhuyung ke depan. Pada saat itu pula
tengkuknya dipukul keras sekali oleh tangan binatang itu, tangan yang berbulu
dan besar serta berat. Bu Song merasa pandang matanya gelap dan ia roboh
tertelungkup. Ia mendengar jerit Eng Eng, dan cepat ia melompat lagi sambil
membalikkan tubuh. Kiranya Eng Eng kini sudah tertawan binatang itu, dipanggul
di pundak kiri dan melihat keadaan tubuh Eng Eng yang lemas itu ia dapat
menduga bahwa saking merasa ngeri dan takut, gadis itu telah pingsan.
"Binatang
jahat, lepaskan dia!" Bu Song dengan marah dan nekat mengejar dan menyerbu
dari belakang, berniat hendak merampas tubuh Eng Eng.
Biar pun
gerakan Bu Song kaku, namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tenaga yang besar
dan kuat. Sayang ia tak pernah belajar silat maka terjangannya itu pun kurang
cepat dan biasa saja sehingga kembali binatang yang gesit itu mudah saja
mengelak, bahkan kaki kanannya yang berkuku panjang itu berhasil mendupak dada
Bu Song. Kuku jari kaki yang panjang itu merobek baju dan tendangannya cukup
keras untuk membuat tubuh Bu Song terguling-guling ke belakang.
Namun Bu
Song bertubuh kuat. Cepat ia sudah bangkit lagi meloncat ke depan dan menubruk
dengan nekat. Ia berhasil menangkap pundak kanan monyet besar itu dan langsung
menjepit lehernya dalam usahanya mencegah si Monyet melarikan Eng Eng.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment