Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 14
Monyet itu
menggereng, meronta, namun aneh sekali, tanpa disadari oleh Bu Song sendiri,
tenaganya terlalu besar untuk monyet itu yang tak mampu bergerak dalam
jepitannya. Di luar kesadarannya, dalam keadaan penuh kekhawatiran dan
kemarahan itu, tenaga sakti dalam tubuhnya yang memang telah terkumpul berkat
latihan pernapasan dan siulian, kini bergerak tersalur ke lengannya sehingga
jepitannya amat kuat.
Sayang
sekali bahwa Bu Song tak pernah mempelajari teori ilmu berkelahi maka ia tidak
dapat melanjutkan perkembangannya. Kalau ia dapat sedikit saja bermain silat,
tentu ia telah berhasil merobohkan binatang itu dan merampas Eng Eng. Kini
dengan bingung ia hanya menarik-narik lengan Eng Eng dengan tangan kiri
sedangkan tangan kanannya tetap menjepit leher monyet besar.
Sebaliknya
binatang itu adalah binatang yang mengandalkan hidupnya dengan kekerasan dan
perkelahian. Maklum ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan yang amat kuat
dan maklum pula bahwa lawannya ingin merampas wanita dalam panggulannya, ia sengaja
melepaskan tubuh Eng Eng.
Bu Song
terkejut karena tiba-tiba tubuh Eng Eng dapat ia tarik sehingga hampir
terbanting jatuh. Terpaksa ia melepaskan jepitan pada leher dan menerima tubuh
Eng Eng. Siapa kira monyet itu cerdik dan cepat sekali. Begitu lehernya
dilepaskan, monyet itu membalik dan tiba-tiba Bu Song terpelanting karena
perutnya dihantam sekerasnya dan di lain saat ketika tubuhnya terpelanting, Eng
Eng telah berhasil diserobot kembali dan dipanggul terus dibawa lari.
"Binatang
jahat, hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar.
Monyet itu
ketakutan. Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian
kerasnya tidak mampus bahkan mengejar lagi. Cepat monyet itu melompat-lompat
dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak Api yang menakutkan. Sebagai seorang
manusia, Bu Song yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar seekor monyet
yang mengambil jalan pendakian yang amat sukar itu. Namun Bu Song tidak gentar
dan terus mengejar, walau pun ia mulai tertinggal jauh.
Bukan main
sukarnya perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset,
tentu tubuhnya akan melayang ke bawah ratusan meter dalamnya dan akan
terbanting hancur di atas batu-batu karang di sebelah bawah. Kalau saja ia tidak
sedang marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song seorang
pemberani pun akan ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya
beberapa belas meter lagi monyet itu tentu akan mencapai puncak.
"Binatang
jahat, lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan
mempercepat pengejarannya.
Tiba-tiba
terdengar kelepak sayap dan tampaklah tubuh burung rajawali hitam yang besar
itu menyambar turun. Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru,
"Hek-tiauw-ko (Saudara Rajawali Hitam), tolonglah Eng Eng. Hajar monyet
busuk itu!"
Aneh sekali.
burung itu agaknya mengenal Bu Song yang telah menolong anaknya dan agaknya
mengerti pula bahwa monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan dengan
kuku-kuku yang runcing mengerikan ia mencengkeram ke arah kepala monyet yang
memanggul tubuh Eng Eng! Namun monyet itu pun bukan binatang sembarangan.
Dengan geram marah monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam. Burung
rajawali menggerakkan sayapnya dan tubuhnya mumbul sedikit, mengelak hantaman
monyet, kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu.
"Ceppp...
kraakkkk!" sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur,
daging kulitnya robek-robek, tulangnya patah-patah!
Monyet itu
memekik keras. Karena ia menggunakan tangan kirinya untuk menghadapi lawan yang
kuat itu, tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung
Bu Song sudah tiba di situ dan cepat pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah
tubuh gadis itu terguling ke dalam jurang. Karena tempat di situ amat berbahaya
dan satu-satunya tempat yang agaknya dapat dipakai merawat Eng Eng yang masih
pingsan hanya di puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song memanggul
tubuh Eng Eng dan merayap naik sambil jalan memutar, menjauhi tempat pertempuran.
Agaknya
pekik monyet tadi telah menarik datang kawan-kawannya karena dari atas puncak
itu berloncatan banyak sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng.
Namun monyet pertama begitu memekik, kepalanya sudah hancur dicengkeram
rajawali hitam, dan begitu monyet-monyet itu datang menyerbu, terjadilah
pertandingan yang amat hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas.
Andai kata rajawali hitam tidak pandai terbang, tentu ia takkan sanggup
menghadapi monyet yang puluhan banyaknya itu.
Namun
rajawali hitam adalah seekor burung raksasa, dikeroyok puluhan ekor monyet itu
ia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan kelihatan gembira sekali. Sambil
mengeluarkan suara menantang-nantang, burung itu terbang mengitari tempat itu
dan sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan seekor monyet. Monyet-monyet itu
memekik-mekik marah, berjingkrakan dan ada pula yang menyambitnya dengan batu.
Hiruk-pikuk di bawah puncak itu, ramai sekali pertandingan antara rajawali
hitam yang dikeroyok banyak monyet.
Sementara
itu, Bu Song mencapai puncak. Bukan main indahnya pemandangan di puncak itu.
Puncak penuh dengan hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah
agaknya yang menjadi sebab mengapa puncak ini tampak kemerahan seperti api yang
menyala dari jauh. Namun pada saat itu perhatian Bu Song seluruhnya ditujukan
kepada Eng Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan, melainkan
cepat-cepat ia menurunkan tubuh Eng Eng di atas tanah.
"Eng-moi...
Eng-moi...," Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah
sekali melihat gadis itu meramkan mata dengan muka pucat.
Eng Eng
merintih lirih, menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan.
Pemandangan pertama ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di depannya.
Gadis ini kaget, bangkit dan merangkul Bu Song, kemudian berkata,
"Song-ko... apakah kita berada di sorga?"
Bu Song
mendekap kepala itu, memeluknya dengan hati sebesar bukit. Ia mencium rambut di
kepala itu dan berbisik, "Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita
diselamatkan burung hek-tiauw yang kini masih bertanding dikeroyok banyak
monyet jahat. Bagaimana, Moi-moi? Kau tidak apa-apakah? Tidak sakit-sakit
tubuhmu?"
Mendengar
suara penuh getaran ini terharulah hati Eng Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap
rasa kasih sayang yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat
muka, menggelengnya kemudian merangkul leher Bu Song. Baru saja terlepas dari
bahaya maut membuat hati kedua orang muda ini makin dekat dan saling menyayang.
Kali ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang,
ciuman yang dilakukan saking girangnya hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng
tidak marah, malah tanpa sengaja ia mempererat rangkulannya.
Tiba-tiba Bu
Song mendorong tubuh Eng Eng ke samping sambil berkata kaget, "Moi-moi,
awas...!!" Matanya terbelalak memandang ke depan.
Eng Eng
terkejut sekali, cepat memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping Bu Song
yang sudah berdiri pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di
depan mereka telah berdiri seekor monyet berbulu merah yang besar sekali, lebih
besar dari manusia! Bulu monyet ini halus dan merah, matanya juga merah.
Taringnya yang putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan
matanya memandang penuh ancaman.
Mengingat
bahwa kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng segera maju dan berkata perlahan,
"Koko, kau sembunyilah!"
Kemudian
gadis ini dengan gerakan gesit sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah
dada binatang itu, sedangkan kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali
gerakan ini, namun monyet merah itu ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya,
gerakan monyet itu seperti gerakan orang bersilat pula ketika ia melangkah
mundur dan meloncat menghindarkan diri dari pada sapuan kaki Eng Eng, bahkan
sebelum kakinya turun ke tanah, monyet itu sudah membalas dengan cengkeraman
tangan yang berkuku panjang meruncing ke arah pundak Eng Eng.
Gadis ini
cepat miringkan tubuhnya dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo Taisu
tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang lumayan sungguh pun ayahnya diam-diam
mengakui bahwa puterinya ini tidak begitu besar bakatnya. Tendangannya
menyamping cepat sekali dan sebelum binatang yang amat gesit itu sempat
mengelak, kaki gadis itu sudah mengenai lambungnya.
"Bukkk!!"
Eng Eng
mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga
cukup keras, akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu besar,
kakinya membalik dan terasa sakit sekali. Akan tetapi monyet besar itu pun
agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan gerakan
cepat dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti seekor
harimau menerkam. Kembali Eng Eng mengelak dengan menggulingkan tubuh ke atas
tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang itu sudah dapat berjungkir balik
dan kini menyerang dan menerjang lagi.
Tiba-tiba
gerakan binatang itu terhenti. Bu Song yang tidak tega melihat begitu saja
kekasihnya berkelahi melawan binatang liar ini sudah melompat maju. Karena si
Monyet membelakanginya, ia telah menerkam pundak dan leher binatang itu, terus
menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya, sedangkan
lengan kirinya menjepit perut.
Binatang itu
kaget dan meronta-ronta, menggereng dan kedua tangannya menangkap lengan Bu
Song, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang
amat kuat. Binatang itu menggulingkan diri, mereka bergumul, namun seperti
seekor lintah menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh
monyet raksasa yang memekik-mekik marah.
Celaka bagi
Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari tangan monyet itu yang mencengkeram
lengannya. Biar pun Bu Song amat kuat, namun ia terlambat mengerahkan tenaga
dalam yang di luar pengetahuannya telah memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan.
Masih baik baginya begitu kuku-kuku itu menancap lengan, ia mengerahkan tenaga
sehingga lengannya tidak sampai terobek. Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar
dan ganas, mereka bergulingan mendekati jurang!
"Koko,
lepaskan dia...!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa
kekasihnya bersama monyet itu bergulingan dekat jurang yang curam.
Gadis ini
loncat mendekat dan mengerahkan tenaga memukul kepala monyet raksasa. Namun
kembali ia terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala,
bahkan terasa sakit. Namun bukan tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si
Monyet kembali memekik kesakitan dan kedua tangannya yang mencengkeram lengan
Bu Song terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat jurang,
maka ia melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat
ke belakang.
Monyet itu
marah sekali kepada Eng Eng yang dua kali telah memukulnya. Kini ia meloncat
dan menerjang Eng Eng dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat,
gerakannya tidak berbeda dengan ahli silat tinggi yang ahli dalam ilmu
jiauw-kang (ilmu mencengkeram). Eng Eng berusaha mengelak, akan tetapi malang
baginya, rambutnya yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap
oleh tangan monyet yang terus menarik dan mengayunnya. Tubuh Eng Eng terbawa
oleh ayunan ini. Monyet itu memekik dan mengerahkan tenaga melontarkan dan...
tubuh Eng Eng tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam!
"Eng-moi...!!"
Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya
melayang masuk jurang.
Ia lari ke
pinggir jurang dan ketika monyet itu menerkamnya, sekali menggerakkan tangan
kirinya Bu Song berhasil membuat monyet itu terlempar! Dalam keadaan gelisah
ini, secara tidak sadar Bu Song telah mempergunakan sinkang yang sudah mengeram
dalam tubuhnya sehingga sekali sampok tangan kirinya sanggup melemparkan monyet
yang begitu kuat. Tanpa ingat akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke
dalam jurang dengan tangan diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja
tubuhnya ikut pula melayang turun dengan kecepatan seperti burung terbang.
"Eng-moi...!"
Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan
keselamatan Eng Eng, seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri
melayang-layang turun menghadapi maut yang mengerikan.
"Koko...!"
Eng Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut
yang mengancam ini telah pingsan!
Barulah kini
Bu Song sadar pula akan keadaan mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah
untuk menolong dan menyelamatkan nyawa kekasihnya, maka ia lalu berteriak keras
sekali, sekuat paru-parunya mengeluarkan suara itu.
"Hek-tiauw-ko...!
Tolonggg...!!"
Karena tubuh
Bu Song jauh lebih berat dari pada tubuh Eng Eng, maka dalam luncuran ke bawah
ini ia lebih cepat menyusul tubuh Eng Eng. Dengan kemauan keras, Bu Song
mengulur tangan dan berhasil memegang lengan Eng Eng. Akan tetapi kini karena
kedua tubuh mereka menjadi satu maka berat badan menjadi bertambah dan mereka
meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan. Melihat ke bawah Bu Song
merasa seakan-akan bukan mereka yang meluncur ke bawah, melainkan batu-batu
karang di bawah yang melayang ke atas menuju mereka!
"Hek-tiauw-ko...!"
Ia menjerit lagi. Terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali hitam
yang besar itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya mengenal Bu
Song, maka agaknya hanya kepada pemuda inilah ia mau menolong. Cepat sekali
kakinya sudah menyambar pundak Bu Song.
Pemuda itu
merasa pundaknya tertusuk kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang
akan mampu menolong mereka berdua. Ia cepat menggunakan tangan kirinya
merangkul ke atas dan berhasil memeluk leher burung rajawali hitam, sedangkan
tangan kanannya tetap memegang lengan Eng Eng.
Berat tubuh
mereka berdua terlalu berat bagi burung rajawali yang sudah lelah dan terluka
karena dikeroyok monyet-monyet tadi. Maka betapa pun ia menggerakkan sayapnya,
ia tidak kuasa menahan luncuran ke bawah dan melayang-layanglah mereka bertiga.
Biar pun tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan gerakan sayap burung
yang berusaha mengangkat mereka, namun mereka masih terus meluncur tanpa
tertahankan lagi! Burung itu mengeluarkan suara seperti orang merintih ketika
mereka telah dekat sekali dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan kaki
mengangkat tubuh Bu Song ke atas sambil membalikkan tubuh sehingga tubuhnyalah
yang berada di bawah.
"Brukkkk...!!"
Mereka
terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang roboh
pingsan oleh bantingan yang hebat itu. Lama sekali Bu Song pingsan. Tubuh kedua
manusia dan seekor burung itu tak bergerak sama sekali. Hanya bulu burung yang
kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja yang bergerak-gerak
tertiup angin.
Ketika
akhirnya Bu Song membuka matanya, ia nanar dan tidak ingat apa yang telah
terjadi. Tubuhnya tak dapat bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya
kembali dan ia bergidik. Kiranya yang membuat ia tak dapat bergerak adalah
tubuh Eng Eng yang melintang di atas dadanya. Perlahan ia bangkit duduk,
mengeluh karena seluruh tubuhnya sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan
dirinya, cepat ia mengangkat tubuh atas Eng Eng. Gadis itu tidak kelihatan
terluka di luar, akan tetapi mulut, hidung dan telinganya mengucurkan darah!
"Eng-moi...!"
Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. Diguncangnya
perlahan pundak Eng Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka.
"Moi-moi...,
Eng-moi...!" Bu Song memanggil-manggil dan mengguncang-guncang, namun
sia-sia. Eng Eng tetap tidak bergerak dan tidak membuka matanya.
“Dia
pingsan,” pikir Bu Song.
Harapannya
timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak biar pun lemah,
dahinya yang ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya pingsan. Tidak
bisa dia mati! Ia ingat bahwa paling baik adalah mencari air untuk mencuci
darah dan untuk membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar kembali. Perlahan
dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu.
Kembali ia
bangkit berdiri, terhuyung-huyung akan jatuh. Akan tetapi ia menguatkan diri
dan tiba-tiba tampaklah olehnya tubuh rajawali hitam menggeletak. Kepala burung
itu pecah, otaknya berhamburan dan binatang itu tidak bernyawa lagi! Kiranya
ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang tubuhnya di bawah dan malang
baginya, kepalanya terbanting pada batu sehingga hancur seketika. Bu Song
berlutut dan mengelus-ngelus burung itu, dan titik air mata membasahi pipi.
Kemudian ia
teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi dan mencari air. Kebetulan tak jauh
dari situ terdapat air mancur dari lubang dalam batu karang. Segera ia menuju
ke air dan karena tidak ada tempat untuk mengambil air, ia hanya menggunakan
kedua tangannya, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri Eng Eng dengan hanya
sedikit sisa air di mangkuk tangannya.
Setelah muka
yang pucat itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah. Dengan mata masih meram,
bibir gadis ini bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song,
"Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..."
Bu Song
merasa seakan-akan jantungnya diremas. Ia mendekap kepala gadis itu dan
berbisik di telinganya. "Eng Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku
bersamamu, Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan tetapi matanya
tetap tidak terbuka.
"Eng-moi...
Eng-moi...."
Namun gadis
itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju ke air mancur. Kali ini ia
mendapatkan beberapa helai daun yang ia jadikan satu dan dengan daun-daun ini
ia dapat membawa air di dalamnya. Gadis itu menelan air dan mengeluh perlahan,
lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang sayu dari Eng Eng bertemu
pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu Song.
"Song-ko...,"
Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis
itu dan gerakan ini membuat Eng Eng merintih kesakitan.
"Bagaimana,
Moi-moi? Apamu yang sakit? Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh
kecemasan dilontarkan bertubi-tubi.
Eng Eng
meramkan mata, keningnya berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri hebat
yang ditahan-tahannya. Ia membuka matanya lagi, dan kini bulu matanya basah.
"Koko... tiada harapan lagi...."
Seakan-akan terhenti
detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu.
"...apa... apa maksudmu...?"
Kembali Eng
Eng meramkan mata, dan ketika membukanya lagi kini beberapa butir air mata
mengalir turun. Ia menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku...
Song-ko. Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam... dadaku... serasa
terbakar dan akan pecah... oh...."
"Eng-moi...!"
Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir
rasa nyeri di kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya
sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku
akan membawamu pulang, aku akan...."
"Ssttt,
diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini
untuk terakhir kali...! Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan
aku...?"
Makin perih
hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang
hendak runtuh, lalu menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng,
berbisik di telinganya, "Tentu saja, kekasihku, tentu saja aku girang
sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat,
kelak kita... menikah..."
Naik sedu
sedan di dada Eng Eng, dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia
meramkan matanya kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras
mengalir akan tetapi mulutnya tersenyum. "Song-ko..." tangannya
diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk,
"...mengapa kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta
padaku...?"
"Eng-moi...!"
Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar
tadi, bisikan pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta
kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..."
"Koko...,
kasihan kau...," Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan.
Bu Song tak
dapat menahan diri lagi. Air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng
Eng di pipi gadis itu yang coba ia keringkan dengan ciumannya. Air mata yang
bercampur dengan darah yang masih mengalir ke luar dari hidung. Bu Song tidak
peduli, ia menghisap air mata dan darah itu.
"Kasihan
kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi...."
"Eng-moi...!
Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan
hidup bersamaku...."
Jari-jari
tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia
hendak menggunakan saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang
sejak dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang
dan kenang saja. "Aku tahu, Koko... aku terluka dalam hebat sekali...
dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di kepalaku... tiada guna..., aku
akan mati... dalam pelukanmu."
"Moi-moi!"
Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "Kau tidak
akan mati! Kalau kau mati, aku pun ingin mati di sampingmu!"
Eng Eng
tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu
memasuki bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya
yang serasa panas terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan
ia menolak muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk.
Bu Song
tentu saja menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air,
ya? Biar kumasak air agar air hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu
kita mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup menggendongmu ke
atas. Kita pulang!"
Eng Eng
tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di
dekatnya memberi isyarat kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya.
"Kau..
kau sanggulkan rambutku...," katanya. Biar pun kelihatannya gadis ini
bertenaga kembali, namun suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya.
Bu Song
cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang
mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin.
Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya
menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan khawatir
membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia
mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur.
Eng Eng
balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan,
kata-kata lemah yang berbisik-bisik hampir tak terdengar. "Diamlah...
Koko, diamlah... kau sanggulkan rambutku... biar rapi..."
Bu Song
berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak
tangisnya ketika ia menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh
darah yang mulai membeku? Namun akhirnya berhasil juga ia menyanggul rambut
gadis itu.
"Koko...
aku... aku ingin...." Ia berhenti, sukar sekali melanjutkan kata-katanya.
Bu Song
menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi?
Kau ingin apa?"
"Ah,
aku... aku malu... hik..."
Bu Song
memeluknya. "Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi...?"
"...hemmm...?
...aku ...aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya
perlahan sekali, "aku ingin... mati sebagai istrimu...."
"Eng-moi...!"
Bu Song tak kuat menahan tangisnya.
"Koko,
jangan menangis. Maukah kau...? Maukah kau...?"
Bu Song tak
dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran
membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa
hatinya.
"Mari
kita bersumpah, Koko, marilah...."
Terpaksa Bu
Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu,
diajak berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin
bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras,
"Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng,
menjadi suami isteri, sehidup semati...!"
Eng Eng
tertawa, tertawa malu-malu. Ketika Bu Song menoleh kepadanya, gadis itu
merangkulnya dengan wajah penuh bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada
Bu Song, akan tetapi pada saat itu pula nyawanya telah melayang meninggalkan
raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa tubuh gadis
itu lemas sekali, ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa
lagi.
"Eng-moi...!!"
Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng....
***************
Pukulan
batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di
samping puterinya, membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti
hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua, wajahnya kerut-merut
dan pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak. Ketika ia mendengar
cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah
pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk.
Sehari itu
terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh
bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal
hidup lagi di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang
masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan
besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.
Setelah
mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang
Bu Song dengan pandang mata layu, kemudian bertanya. "Bu Song, semua bahan
kepandaian yang ada padaku telah kau miliki, namun agaknya engkau tidak
merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat
ternyata hanya mendatangkan mala-petaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou
Muda. Di sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda
yang pandai. Setelah sampai di kota raja, kau carilah seorang sahabatku bernama
Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri
rumah penginapan Lok-an. Kau berikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan
mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."
Dengan muka
pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan
lagi ia menubruk kaki gurunya dan menangis. "Ah, Suhu... mala-petaka telah
menimpa kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu
akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu...."
Kim-mo Taisu
menghela napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh.
Kau tidak menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia dari pada
hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song."
Dengan hati
terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak
dibawanya. Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah
pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat
sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu
dan diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata. "Teecu tidak dapat
berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk
diberikan. Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap
Suhu sudi menerimanya."
Terbelalak
kakek itu memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?"
tanyanya penuh keheranan.
Bu Song lalu
menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian
ia melihat benda ini yang segera diambilnya.
Kim-mo Taisu
menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Benar-benar kehendak Thian! Sungguh
aneh dan luar biasa! Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu
Song. Biar pun aku sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa
mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang.
Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan
tetapi kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini
baik-baik, dan setiap kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan.
Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam racun
mengganggumu."
"Teecu
serahkan kepada Suhu..."
"Ah,
aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kau simpanlah dan
turut nasehatku, kau makan semua sampai habis!"
Perpisahan
ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum
orang tua itu pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah
Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang mata muridnya yang berlutut di
depan pondok ke arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi,
baru Bu Song menggendong buntalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri
gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu
gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit
berdiri dan dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak.
Pada waktu
itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap,
wajahnya tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut
menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram, sepasang matanya
yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda
bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah
kehilangan orang-orang yang ia sayang. Akan tetapi, ia harus mentaati perintah
suhunya, ia tidak boleh mengecewakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian
dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjujung
tinggi nama suhunya dan hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang
akan dapat ia lakukan terhadap suhunya.
***************
Sementara
itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo
Taisu lalu mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke
selatan. Teringat akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali
menghela napas....
Nasib
mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas
kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang
kang-ouw. Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga
ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang mengeroyok Lu Sian.
Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan
dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu
Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka
sangkal pula.
"Lu
Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan
kasih sayang besar. "Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang
jauh."
"Mengapa
tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita
tadinya bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah
sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut
kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini
sadar, tak maukah engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"
Kim-mo Taisu
menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin
lagi...."
Lu Sian
menahan isak. "Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup
rasanya aku harus menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee
Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!" Lu
Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang
terlentang di atas dipan bambu.
"Sudah
terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan
puteramu sendiri?"
"Apa...?"
Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata
terbelalak.
Kim-mo Taisu
tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian
yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas
kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan
luka di dalam tubuh.
"Lu
Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut
denganku dan menjadi muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku."
Lu Sian
terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik
turun membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya.
"Ceritakan..." dia berbisik, "Ceritakan tentang dia...."
Dengan
singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa
Bu Song menjadi muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng
Eng.
"Anakmu
itu aneh dan bijaksana, tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat
dan sama sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat
sebagai suatu ilmu yang amat jahat."
"Hee...?
Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"
"Belajar
ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah
sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian
barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, demi kebahagiaan puteramu, kau tentu
setuju, bukan?"
Lu Sian
menundukkan mukanya. "Kalau begitu... dia... dia tentu
membenciku...."
"Dia
tidak membenci siapa pun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya
adalah Tok-siauw-kwi..."
"Aahhh...!"
Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati
dan pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi
putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar! Aku Tok-siauw-kwi!”
Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.
"Lu
Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali
lagi.
Diam-diam ia
menarik napas panjang. Amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia
maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan
mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita yang merasa
kehilangan segala-galanya itu. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang
wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah
tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri?
Kim-mo Taisu
sendiri sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat
buruk. Ia menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan
tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu keluarganya tertimpa bencana
hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya
di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat
menyedihkan....
Memang
banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan
membingungkan manusia. Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil.
Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang terjadi sudah
menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sempurnanya. Hanya
karena semua itu menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya
dengan akal dan pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh
dan janggal serta tidak adil.
Bagi
pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian
setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah dari pada semua
perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu,
setelah tua timbul sesal dan duka. Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo
Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang
pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup
menderita di waktu tua?
Memang sudah
semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan
saling dorong, saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin!
Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap, yang menderita karena
panas atau dingin! Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau
gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah
sadar dan dapat menyesuaikan diri dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya
karena maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan!
Segala
peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan
rencana-Nya dan kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu
mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau
senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya. Manusia
bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik
peristiwa itu menguntungkan mau pun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang
belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh
kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan
perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran.
Karma yang makin kuat membelenggu manusia.
Kim-mo Taisu
bukanlah seorang bodoh, akan tetapi ia seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa
yang menimpa dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia
menanam bibit kebencian dan dendam yang mendalam terhadap musuh-musuh keluarga
isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat pendekar ini hanya
mempunyai satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi
musuh-musuh keluarga isterinya.
Mulailah ia
merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo Taisu menjadi terkenal sebagai seorang
yang sepak terjangnya menakutkan. Para tokoh yang merasa pernah bermusuhan
dengan Kerajaan Tang, yang pernah bermusuhan dengan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu
Couw Pa Ong diam-diam menyembunyikan diri, takut bertemu dengan Kim-mo Taisu
yang amat hebat ilmu kepandaiannya itu.
Bu Song juga
terpukul hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda
yang kuat menderita. Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat
hatinya menjadi kuat dan kebal. Tidak mudah ia runtuh semangat. Agaknya karena
tubuh sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat melakukan perjalanan
cepat dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai
bersinar-sinar lagi, kedua kakinya melangkah lebar.
Berhari-hari
ia melakukan perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan
mulailah ia makan sarang burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum.
Juga setiap kali makan perutnya terasa kenyang dan tahan sampai sehari tidak
makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa benda yang dimakannya adalah
obat kuat yang amat langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih
dan tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah melakukan perjalanan lima belas
hari, habislah bekal sarang burung itu dan mulailah ia mencari buah-buahan di
sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli masakan di warung sebuah dusun yang
dilaluinya. Bekal yang diberikan gurunya cukup banyak.
Pada suatu
hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung yang terjal, ia mendengar suara
orang bertempur. Suara itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu
Song tertarik dan kaget adalah suara melengking tinggi yang aneh, seperti orang
tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu mempercepat
langkahnya menuju ke arah suara itu.
Benar saja,
di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani
dua orang laki-laki tua. Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita
duduk bersila di bawah pohon, sedangkan dua orang laki-laki itu berdiri di
depannya. Yang seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya sedangkan
yang ke dua seorang kakek tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang
berkilauan cahayanya.
Anehnya,
kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan senjata mereka sedangkan si Wanita
hanya tertawa-tawa mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila.
Pada saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai dari balik sebuah batu
besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin menyeramkan.
"Sekali
lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi
Siauw-lim-pai, juga tidak memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang
selalu memusuhi aku. Aku sudah bosan bertempur, bosan membunuh. Pergilah dan
jangan ganggu aku!"
"Siluman
betina, dendam di antara kita sedalam lautan. Harus ditebus dengan nyawa!"
seru kakek itu sambil menggerakkan pedangnya membacok.
"Omitohud,
Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap
Siauw-lim-pai sudah terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!"
kata si Hwesio pula sambil melangkah maju.
Tiba-tiba
wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu
bergerak ke depan, berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat.
Dua orang kakek itu terkejut sekali. Sia-sia saja mereka menggerakkan senjata
untuk membebaskan diri karena senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat
rambut dan tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah
terbang pergi dari tangan mereka dan terlempar ke dalam jurang!
"Kalian
bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!" Wanita itu berkata lagi,
tetap masih duduk bersila, bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak
semedhi.
Akan tetapi
dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman
jahat! Kami tidak takut mati. Engkau atau kami yang harus mati saat ini
juga!"
Hwesio itu
menyambar sepotong ranting pohon dan mempergunakannya sebagai tombak yang ia
lontarkan sepenuh tenaga ke arah wanita itu. Ada pun kakek dari Kong-thong-pai
itu pun mengeluarkan batang senjata piauw yang ia sambitkan sekuat tenaga ke
arah tiga bagian tubuh yang berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu Song merasa
ngeri.
Jarak antara
kedua orang itu dan si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di bawah
pohon tidaklah jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia
membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam keadaan mengerikan dan ada juga
rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang laki-laki
itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan
tetapi dua orang itu nekat saja, bahkan melakukan penyerangan yang amat curang.
Akan tetapi
tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua
tangan wanita itu. Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan
jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu menjerit keras dan... dada
si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, ada pun si Kakek
mendekap dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. Hebat sekali
luka mereka, dengan mata terbelalak mereka berputaran, lalu roboh berkelojotan
dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu.
Wanita itu
mengeluarkan suara melengking keras seperti orang menangis. Ketika Bu Song
memandang lagi, ternyata wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat
tadi. Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang amat hebat dan mengerikan
terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. Ia keluar dari tempat sembunyinya,
melangkah lebar menghampiri dua orang yang sudah menjadi mayat itu, lalu
menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia berdongak dan berkata
dengan suara keras.
"Dendam!
Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk ini manusia dilahirkan di
dunia?"
Kemudian Bu
Song turun tangan, menggulung lengan baju dan membongkar batu-batu di bawah
pohon, menggali lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang
tidak dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini, wajah wanita itu terbayang di
depan matanya dan berulang kali Bu Song menarik napas panjang. Wanita yang
patut dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan yang
tak dapat disingkirkan dan yang agaknya mengejar-ngejarnya terus. Kali ini ia
menang, apakah lain kali akan dapat menang terus? Kepandaian tidak ada batasnya
dan sekali waktu tentu wanita itu yang menjadi korban, tewas mengerikan seperti
keadaan dua orang kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya
sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka!
Setelah
selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song mengebut-ngebutkan pakaiannya dari
debu, menyandangkan bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah
pergi meninggalkan tempat itu. Matahari sudah condong ke barat dan dengan ujung
lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya.
Tiba-tiba ia
berhenti dan memandang penuh perhatian ke depan. Tadi ia melihat bayangan
berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah berdiri si Wanita cantik
berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek itu! Bu Song memandang
jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini tidak menakutkan sama
sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang matanya dingin dan
kerut pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan.
"Mengapa
engkau mengubur mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang
penuh selidik.
Bu Song
menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu, lalu ia balas
memandang dan menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita
ini dan teguran wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya.
Ia maklum bahwa wanita ini menderita batinnya dan berusaha menutupi penderitaan
batinnya dengan sikap yang dingin dan keras.
"Bibi,
pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya, mengapa
Bibi membunuh mereka?"
Wanita itu
tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini.
"He, orang muda, jawab pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa
engkau mengubur mereka? Apamukah mereka itu?"
"Bukan
apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi
mayat di jalan, sudah menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga
Bibi sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan bantuan orang lain untuk mengubur
mayat kita."
"Apa
kau bilang? Orang muda, jaga baik-baik mulutmu. Tahukah kau bahwa sekali aku
turun tangan kau takkan hidup lagi?"
Alangkah
herannya hati wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat si
Pemuda tertawa geli mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang
tidak lucu!"
"Apa...
apa maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata
terbelalak.
"Bibi
ini siapakah sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain? Bibi tidak merasa
memberi hidup kepadaku, bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?"
"Apa?
Kau menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran dari pada marah. "Tidak ada
yang menantang. Aku hanya mau katakan bahwa kalau DIA yang memberiku hidup
menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku akan mati. Akan tetapi
kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun
tangan, aku tidak akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini
siapakah hendak mengalahkan kekuasaan Tuhan? Padahal mati hidup Bibi sendiri
berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan menghendaki
nyawa Bibi kembali ke asalnya?"
Seketika
pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak dan ia meraba pipinya tanpa ia
sadari. "Aku... aku tidak akan mati...!"
Bu Song
menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil
berkata, "Bibi seorang yang patut dikasihani...!"
Angin
menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya.
"Eh, bocah lancang. Kau bilang apa tadi?"
"Aku
bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan,
dan mengingkari kenyataan bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu
berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup, bahwa Bibi kehilangan
keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kau pegang dan kau kuasai.
Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang, mengira bahwa nyawa Bibi
berada di tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah, betapa sengsara hidup
seperti Bibi ini."
Makin pucat
muka wanita itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapa pun juga! Kau lihat
sendiri tadi. Mereka berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa
memusuhiku akan mati!"
"Betulkah
itu, Bibi? Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi
barulah perbuatan mulia! Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula
menanam bibit permusuhan dan makin sengsaralah hidup. Manusia hidup untuk
saling bantu, saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Habis,
kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri
dibunuh begitu saja?"
"Ah,
Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang
memusuhi Bibi? Akan tetapi Bibi memang haus darah, suka membunuh, sungguh
keji...!"
Wanita itu
marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya sudah diangkat ke
atas. Dari tangan kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi
melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu Song yang tiba-tiba merasa
dadanya seperti ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku
takkan membunuh orang tak bernama!"
Bu Song
tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh
derita kecewa setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan
kematian yang mengancamnya. "Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan Bibi
berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku dari pada belenggu
hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata
rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song."
"Bu
Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat.
"Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?"
"Beliau
adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama guruku untuk perisai
nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan
mati hidupku!"
"Plakkk!"
Tangan itu
menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya
sendiri! Wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi
cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar oleh Bu Song yang
berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Kasihan,”
pikirnya. “Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang
sehingga pikirannya tidak waras lagi!” Ia lalu membalikkan tubuh dan
melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.
Tentu saja
Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu
kandungnya sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda
lemah yang begitu berani menasehati dan menegurnya sudah membuat wanita ini
terheran-heran, kemudian menimbulkan kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi
begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri,
ia merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia
tadi membunuh anak kandungnya sendiri!
Anaknya
begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya.
Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua
orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak
itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan
bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi
Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat
itu. Kemudian ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah hutan yang
tak jauh dari tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak
rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di depannya. Lu Sian
menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati!
Tangisnya
menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa
puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia
sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa
memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi setelah pertemuan ini,
betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya?
Tiba-tiba Lu
Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara
yang-khim yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. Sejenak ia tertegun,
timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka? Dia
sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik.
Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang
sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis?
Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat
ke arah suara itu, cepat laksana burung terbang.
Pemain
yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek
itu duduk bersila memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua
tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya
tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak
menjenguk rahasia di balik awan.
Melihat cara
kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah
seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara
tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya. Lebih
baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir.
Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah
Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sinkang ia melemparkan jarum-jarum
itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim.
Dengan jelas
Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan
tepat dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya.
Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak
mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan.
Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah
berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya
ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah
tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim!
Lu Sian tak
pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah
yang dimiliki kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai
sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini
seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian
luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya
tadi! Agaknya kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput
nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh
menerima kalah begitu saja!
Dengan penuh
kegeraman hati Lu Sian lompat mendekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya
berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu.
Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk
melakukan ini, kedua tangan Lu Sian mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan
membara saking panasnya.
Dua pukulan
yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek
tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim
sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabok. Kedua
tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti
disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan,
bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali.....
Ia bengong
memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek
itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh
hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan
kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh
perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara
yang-khim.
Kejahatan
yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa,
akan
berbalik menimpa si dungu yang melakukannya.
Bagaikan
menebarkan debu melawan arah angin,
yang akan
menimpa dirinya sendiri!
Lu Sian masih
berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu
tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek
itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari
kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan
mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.
Engkau
bagaikan setangkai daun yang mengering layu,
urusan
kematian telah mendekatimu.
Engkau
berdiri di ambang pintu kematian,
apakah
persiapanmu untuk bekal di perjalanan?
Buatlah
pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah
segera penuh bijaksana.
Apabila
engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa,
engkau akan
mencapai sorga, alam para Aria!
Berapa lama
hidup ini?
Tanpa terasa
engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan
ada tempat untuk istirahat di perjalanan,
dan engkau
belum menyiapkan suatu perbekalan!
Suara itu
merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih
lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak. "Orang
tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan
kata-kata....!"
Lu Sian lalu
menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran
dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat
hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah
betapa dirinya rindu akan kehidupan yang wajar sebagai manusia biasa dalam
sebuah keluarga bahagia selama ini.
Suara
yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya
di pundak lalu berkata, "Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya
adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi
lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup
adalah buah dari pada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri.
Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada
permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta
kubunuh?"
Lu Sian
mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata
kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut. "Semua
orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu
bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah.
Lekas kau turunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan
hidup!"
Akan tetapi
kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran,
mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan
kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan
dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya
kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar
tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."
Kini Lu Sian
memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di
kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek
Siansu...?"
Kakek itu
tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh
siapa pun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"
Suara ini
demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah
sendiri yang penuh perasaan iba. Lu Sian menjadi terharu, lalu menubruk kaki
orang tua itu dan menangis.
Kemudian
berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi
semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya.
Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada
kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang
partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri
kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian
bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis, dan pada akhir ceritanya ia
muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan
penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun
ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti
mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan
terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
"Jauhi
segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti
menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang
paling aman."
Ketika Lu
Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek
Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di
telinganya. Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao,
teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan
istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang
disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasehatnya? Lu Sian bangkit berdiri,
tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama
bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi
dengan hati perih dan pikiran hampa.
***************
Bu Song
melakukan perjalanan cepat menuju ke kota raja Cou. Hari telah siang ketika ia
tiba di wilayah kota raja, di luar pintu gerbang sebelah barat kota raja. Hari
amat panas, dan di sepanjang jalan raya yang menuju ke pintu gerbang terlihat
sunyi.
Tiba-tiba di
sebuah tikungan jalan yang membelok karena terhalang sebuah batu gunung besar,
Bu Song melihat seorang kakek berjalan terhuyung-huyung di atas jalan yang
panas berdebu. Kakek itu pakaiannya seperti seorang sastrawan, akan tetapi
pakaiannya itu sudah tua dan kusut dan jenggotnya jarang-jarang. Tangan kirinya
memegang sebuah kitab kecil dan sambil berjalan terhuyung-huyung kakek itu
menyanyi. Bu Song mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu sebagai sebuah sajak
dari pujangga Li Po.
Meneguk
secawan anggur merah,
di antara
bunga-bunga di taman indah.
tiada kawan,
hanya bulan.
Wahai bulan,
mari minum temani aku.
Kita
bertiga, aku, bayanganku, dan engkau!
Kakek itu
terbatuk-batuk, berhenti terhuyung memegangi dada, kemudian ia berdongak ke
atas sambil mengeluh, "Sayang, suling emas tiada padaku... kalau ada tentu
dapat kutiup lagu merdu...!"
Tiba-tiba
kakek itu terhuyung-huyung ke depan dan tentu jatuh kalau saja Bu Song tidak
cepat melompat dan memeluk pundaknya.
"Orang
tua, hati-hatilah. Kau bisa jatuh!" Kakek itu memandang Bu Song dengan
sepasang mata mabok, lalu tertawa dan berkata sambil kepalanya
bergoyang-goyang, "Heh-heh, jatuh ke bawah tidak apa! Celakalah mereka
yang jatuh ke atas, hah-hah-hah!"
Setelah
berkata demikian, kakek itu jatuh benar-benar dan untung Bu Song cepat
memegangnya sehingga kakek itu tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk di
tengah jalan. Pada saat itu terdengar banyak derap kaki kuda dan Bu Song yang
menengok ke belakang melihat beberapa orang penunggang kuda yang berpakaian
seragam mendatangi dengan cepat.
"Hayo
kita ke pinggir, Kek. Itu banyak kuda membalap datang!"
"Huh,
biarlah... setiap hari puluhan ribu orang rakyat sudah diinjak-injak, ditambah
aku seorang lagi apa artinya?"
Bu Song
tidak mau melayani bicara kakek ini yang agaknya sedang mabuk keras, maka ia
lalu menarik tubuh kakek itu secara paksa, dibawanya ke pinggir jalan agar
jangan berada di tengah jalan dan terancam bahaya diterjang barisan kuda.
Rombongan
kuda itu terdiri dari tujuh orang dan yang paling depan adalah seorang komandan
yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Komandan itu sekejap melihat Bu
Song dan kakek itu di pinggir jalan, lalu mendadak timbul amarahnya karena si
Kakek tertawa-tawa dan telunjuknya menuding-nuding ke arahnya. Segera cambuknya
meledak, menyambar ke arah muka si Kakek mabok.
Bu Song
cepat memasang dirinya di depan kakek itu sehingga bukan muka si Kakek yang
terhantam cambuk, melainkan punggung Bu Song! Hantaman itu keras sekali dan
baju Bu Song di bagian punggung sampai robek. Akan tetapi pemuda itu sama
sekali tidak merasa terlalu sakit, apalagi terluka. Hanya terasa agak panas
saja.
Komandan itu
tertawa dan rombongan berkuda lewat cepat meninggalkan debu mengepul tinggi.
Kakek itu masih tertawa-tawa hingga Bu Song merasa mendongkol juga. Ia
melepaskan kakek itu rebah di atas tanah, lalu ia berkata, "Kakek, kenapa
kau begitu nekat? Kalau tidak kutarik ke pinggir tentu mereka akan menubruk dan
menginjak-injak tubuhmu dengan kaki kuda."
"Ha-ha,
apa salahnya? Paling-paling mati! Lebih celaka mereka itu yang menjadi
anjing-anjing yang tidak dapat menguasai diri sendiri. Mereka itu anak buah
orang-orang yang sudah jatuh ke atas. Merekalah yang lebih celaka!"
Bu Song
tertarik. Cara kakek ini bicara seperti orang mabok, akan tetapi kata-katanya
teratur dalam kalimat yang amat baik. Ia lalu duduk di depan kakek itu yang
juga sudah bangun duduk.
Mereka duduk
berhadapan, saling pandang, dan kakek itu bertanya, "Kau ini seorang
pemuda yang baik, hendak ke mana?"
Bu Song lalu
memberi hormat dan berkata, "Nama saya Bu Song she... Liu dan saya
bermaksud untuk mengikuti ujian di kota raja!"
Kakek itu
memandang bengong lalu menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik napas
panjang. "Mengikuti ujian? Apa engkau mempunyai bekal banyak emas dan
perak murni?"
"Untuk
apa, Kek? Aku hanya membawa bekal alat tulis dan ilmu kesusasteraan!"
Kakek itu
tertawa terbahak-bahak, dari mulutnya bertiup bau arak. "Ha-ha, kau lebih
mabok lagi. Ujian tanpa modal emas dan perak mana bisa berhasil? Semua
pengurusnya adalah orang-orang yang sudah jatuh ke atas."
"Kek,
apa maksudmu dengan jatuh ke atas?"
"Mereka
itu orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi
kedudukan mereka, makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan
kekuatannya untuk menindas yang lemah. Yang pintar mempergunakan kepintarannya
untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh ke bawah, akan
tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas? Ada dua macam
kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi
yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!"
Bu Song
sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit
kakek itu. "Kek, jadi menurut keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian
dan menduduki pangkat?"
"Kalau
kau ikut-ikut jatuh ke atas...."
"Kau
keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar pendiriannya seperti
engkau ini, hanya mengeluh dan menangis, menyanyikan sajak-sajak kosong,
meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman para pembesar, apakah akan
jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin memburuk. Kita harus
bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas semua yang buruk,
mempergunakan kekuasaan dan kebisaan kita masing-masing! Bahkan dengan
kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang memungkinkan kita
menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah
artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup?
Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi betul-betul dijalankan dalam
hidup."
Tiba-tiba kakek
itu memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia
memegang pundak Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?"
"Sudah
kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan
she ayahnya, karena nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia
sengaja menggunakan she ibunya.
"Kau...
lain dari pada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid
siapakah?"
"Guruku
yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo
Taisu."
"Ahhh...!
Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau
seorang ahli silat pula yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu untuk
mencari kedudukan!"
"Harap
kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku,
sama sekali aku tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang
hanya dipergunakan untuk saling bunuh."
Sejenak
kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song.
"Bagus! Kalau begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling
emas!"
"Apa,
Kek? Apa maksudmu?"
"Orang
muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?"
Bu Song
menggeleng kepala.
"Kalau
nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi
namaku. Aku adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biar pun nama kami
berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama besar Bu Kek
Siansu."
Bu Song
mengangguk. "Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti
itu."
"Tentu
saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek
Siansu? Ketika itu di puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua
menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu menerima petunjuk ilmu silat,
sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan
suling emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di
tangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh
bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga
ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan
menghibur diri dan menenangkan hati, malah dijadikan perebutan para tokoh
kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak
Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua
sudah bersepakat untuk mempertahankan kitab dan suling, dan telah bersepakat
pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku
jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo
Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau ke sini untuk membebaskan aku
dari pada tugas menyimpan kitab ini. Kau simpanlah kitab ini baik-baik, dan
kelak kau carilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai. Kau perlihatkan kitab ini,
tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya,
kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!"
Kakek itu
cepat-cepat memasukkan kitab kecil di tangannya ke dalam saku baju Bu Song
sebelah dalam. "Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!"
tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini.
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi
dan kini mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri
sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song. Sastrawan itu masih duduk bersila
akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang dengan
sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong
dan menangkap leher bajunya, ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga
tubuh kakek sastrawan itu tergantung.
"Ah,
kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo
mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan Liong?"
"Aku
benar she Ciu bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh
biar pun keadannya amat terhina seperti itu. "Kalian ini anjing-anjing
peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa
bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?"
"Wah,
mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!" Si Muka Hitam lalu
melemparkan tubuh kakek itu kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu
sambil tertawa-tawa. Di lain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup
melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar.
"Mana
ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur si Muka Hitam.
"Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?"
"Hushh!
Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat
negara?" bentak si Muka Hitam marah sekali.
Bu Song sama
sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras,
"Justru karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan
hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan alat-alat negara
adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang
tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas
tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak,
aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian
akan dipecat dan dihukum!"
Sesaat si
Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya
ia melihat orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia
tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar
tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan.
"Ha-ha-ha,
kau boleh melapor, ha-ha! Justru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah
pembesar negeri, tolol!"
Bu Song
masih penasaran dan tendangan itu biar pun membuatnya jatuh terguling akan
tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali.
"Kalau
begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya
pula.
Si Muka
Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal
sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan
malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri?
"Kau
menentang?!" bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul,
menyambar ke arah muka Bu Song.
Pemuda ini
melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak. Kepalan tangan
kanan ke arah wajahnya memang dapat ia hindarkan, akan tetapi mukanya bertemu
dengan pukulan kiri yang menyusul.
"Dessss!"
pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang. Pada saat itu pula
sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya
terjengkang dan terbanting keras.
Tujuh orang
itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam si Muka Hitam heran dan kaget sekali
melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak
merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu!
Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan
pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak
buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa
jeri juga terhadap pemuda aneh itu.
Akan tetapi
baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara
ketawa mereka berubah menjadi jerit-jerit mengerikan, dan mereka semua termasuk
si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda. Ketika Bu Song memandang,
ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka
seperti sekawanan lembu dipotong lehernya.
Dua bayangan
melompat ke luar dari balik pohon. Mereka ini langsung menghampiri kakek
sastrawan dan menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki
ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka
empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.
"Saudara
Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua
kami. Biar ada seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi
semua."
Ciu Gwan
Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Kehormatan besar! Akan
tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada
urusan dengan ketua kalian."
"Kami
dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak
berunding."
"Ha-ha-ha,
berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang
kang-ouw di mana-mana sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan
kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu, ketahuilah bahwa kitab yang
dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada
padaku!"
Dua orang
gundul itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka berkata sambil
tertawa dingin, "Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap
Pangcu (Ketua) kami."
"Ji-wi
(Tuan Berdua) adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini
menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?" tiba-tiba Bu Song
mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat
ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku (pendeta) biar pun masih muda asal
ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan
purnama terbebas awan? Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan
kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah
melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?"
Dua orang
hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka
menjadi bengis. Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri
urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat
berkata, "He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah
dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku
sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan
perutku!"
Bu Song
terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas
memaki? Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab
kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat
kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Orang tua, kalau begitu biarlah
kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik." Kemudian
ia melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikkan
tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ.
Akan tetapi
tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak
ke depan dan menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa
dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.
"Nanti
dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!"
"Hei,
apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh
saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan
tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak
sudi kalau pergi bersama dia!"
"Dia
sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau
dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan
tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sebuah benda
bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya
sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat
sebatang golok kecil melayang menuju ke arah lehernya! Akan tetapi karena ia
tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti
itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan, menyambar
sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur hui-to
(golok terbang) itu.
"Cringg!"
golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah
batu kerikil saja.
Dua orang
hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri
seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat
yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu Song tentu saja mengenal kakek ini
yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu
gurunya! Biar pun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar,
galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah
menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.
"Kong-lo
Sengjin!" seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau
hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama ini seorang saudara kami kau bujuk membunuh
isteri Kim-mo Taisu dan kau biarkan ia tewas di tangan Kim-mo Taisu!"
"Ha-ha,
salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!"
"Kau
yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang
ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan
sekarang apalagi yang hendak kau lakukan kepada kami?"
"Hwesio-hwesio
tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang
melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut
bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari
sini!"
"Kong
Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"
Bentakan ini
disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya
banyak sekali golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek
lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan
tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai
menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak
panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan
tenaga lweekang tinggi.
Bu Song yang
menonton dari samping merasa ngeri. Selain silau memandang sinar berkelebatan,
juga ia tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari
bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh orang penunggang kuda yang lihai-lihai
tadi seketika tewas karena diserang sebuah hui-to setiap orang, dan dia sendiri
kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin tentu telah disembelih golok terbang.
Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang
sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan
betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong
daging kecil-kecil!
Akan tetapi
kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin,
seorang kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat
hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum bahwa benda-benda terbang
itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan
kosong belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang
menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah
menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar.
“Trang-tring-trang-tring!”
terdengar suara nyaring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu
itu.
Sinar-sinar
berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti
bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya
golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam musik
yang aneh. Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal kedua
orang tokoh Hui-to-pang itu.
Mereka
berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang
lawan. Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan
tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili
kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu
ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya
yang lumpuh. Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itu
pun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak.
Bu Song
kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biar pun ia tidak pernah merasa suka
kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara
mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu gurunya yang ternyata
merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun
melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah
mendekati.
"Lo-cianpwe,
apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang
tua yang lumpuh dengan golok terbang!"
Kong Lo
Sengjin tertawa. "Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak
mengapa, ada engkau di sini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau bantu
kakekmu mengantar mereka ke neraka!"
Bu Song
kaget sekali. "Apa... apa maksud Lo-cianpwe...?"
Akan tetapi
tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat ke atas. Sebelum Bu Song tahu apa
yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah
berada di atas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu bergantungan dari atas
kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya!
"Hayo
bawa aku mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin.
Tahulah kini
Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena
kakek itu lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka,
apalagi kalau disuruh bertempur. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya
terdorong ke depan dan tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah
cepat ke depan. Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk
memaksa dan mendorongnya.
Kedua orang
hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to mereka tidak berhasil
merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi
mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar
hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja Bu
Song yang tidak terluput pula dari serangan-serangan!
Dapat
dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari
depan dengan dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua
tangannya menyambar-nyambar ke depan dan bukan main hebat dan dahsyatnya angin
pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini
memutar kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan
kaget.
"Ha-ha-ha,
kalian hendak lari ke mana?" Kong Lo Sengjin berseru.
Tubuhnya
sampai hampir tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan
kedua lawannya yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu
menepuk kepala Bu Song sambil menghardik, "Hayo cepat kejar mereka,
tolol!"
Akan tetapi
Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya
saja, hanya menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau
ke kanan kiri dan melakukan langkah kalau terpaksa saja.
Ternyata
bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam
pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki
sinkang jauh lebih kuat dari pada mereka. Semua serangan mereka, baik yang
ditujukan kepada tubuh kakek itu mau pun yang mereka arahkan kepada Bu Song
membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka
menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan susah payah selama puluhan
jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri.
"Tolol,
kejar mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song.
Akan tetapi
Bu Song tidak mau, bahkan berdiri tegak. "Saya tidak bisa lari secepat
mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Lo-cianpwe?"
"Hayo
kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Kong Lo Sengjin membentak
lagi.
Akan tetapi
Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru. "Celaka,
Kakek itu menggantung diri!"
Amat cepat
gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan
dalam keadaan melayang ini sekali sambar ia sudah memutuskan tali gantungan dan
melempar tubuh Ciu Gwan Liong ke atas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah
bersila di dekatnya.
"Tua
bangka sialan!" Kong Lo Sengjin mengomel.
Akan tetapi
ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat
ia memeriksa semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan
tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi
marah, ia mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu,
mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru, "Di mana kitab
itu? Hayo katakan, di mana kitab itu?" suaranya amat menakutkan dan penuh
ancaman.
"Lo-cianpwe,
jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah...."
"Tidak
peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, di mana kitab itu kau sembunyikan?
Demi iblis, kalau tidak mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!"
"Lo-cianpwe...,"
Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak
tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu si
Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah.
"Kitab
itu kuberikan... kepada... Kim-mo Taisu..." Setelah berkata demikian,
kakek itu menjadi lemas dan ketika Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah
tewas!
Bu Song
menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Biarkan aku mengubur
jenazahnya...," katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar
dari pinggang mayat seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi. "Dan
mayat mereka juga...," tambahnya.
"Huh,
bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana gurumu? Dan mengapa engkau berada
di sini?"
"Saya
diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Lo-cianpwe. Ada pun Suhu
sendiri sudah meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo."
Kong Lo
Sengjin termenung sejenak. "Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo
lekas! Aku harus segera pergi dari sini!"
Bagi Bu
Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik. Maka tanpa membantah ia lalu naik
ke atas pohon, memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok.
Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia menyerahkan sepasang tongkat itu
kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima sepasang tongkat dan sekali
menggerakkan tubuhnya, ia sudah ‘berdiri’ di atas kedua tongkat itu.
"Kau
dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada
Suhu-mu. Hal ini berarti Suhu-mu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh
kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada siapa pun
juga. Awas kalau kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghacurkan
kepalamu, mengerti?!"
"Mengerti,
Lo-cianpwe."
Kong Lo
Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan
kecepatan yang membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak
memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya mengubur mayat
Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi. Matahari telah
terbenam ke langit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil
menggendong bungkusan pakaiannya, ia melanjutkan perjalanannya, melangkahkan
kaki menuju ke tembok kota raja.
Untung pintu
gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing
baginya. Kagum ia melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut
ketika ia menyaksikan para pengawal dan orang-orang berpakaian seperti tujuh
orang penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang
gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah
penginapan Liok-an yang berada di ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang
kota raja sebelah barat.
Rumah
penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang di atas
papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song
merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu
memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya.
Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya. Dengan mudah Bu Song
mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang
seorang pengurus rumah gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah
kiri losmen itu.
"Ciu
Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di
sebelah belakang losmen ini. Apakah Kongcu hendak menemuinya?"
"Benar,
Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya ke
sana."
Pelayan itu
senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera
menyatakan kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah
diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat losmen. Setelah
bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya.
Ciu Tang
seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi
terpelihara dan pakaiannya biar pun tidak mewah namun cukup rapi.
Bu Song
cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu
Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang
membawakan sebuah surat untuk Paman." Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu
dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot itu.
Begitu
menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat
kedua tangan memberi hormat dan wajahnya berubah penuh hormat. "Ah,
kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silakan duduk,
silakan..."
Bu Song
menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah
meja berbentuk bundar. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil
meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan
menyimpannya dalam saku baju.
"In-kong
(Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian, dan mengingat
akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat
mungkin menolongmu, Hiante."
Bu Song
cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kesanggupan
Paman, dan saya mohon petunjuk."
Orang yang
bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang. "Aahhh, dengan adanya perang
terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita
kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para
pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian
juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil
dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun saya
mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biar pun belum tentu
beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat
perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja."
"Banyak
terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar."
"Ah,
jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka
gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak ada
gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga
sudah binasa semua!" Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia
diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak
dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu
sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biar pun kecil masih dapat
berjalan sampai sekarang.
Bu Song lalu
diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki
belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung
keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song
diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu
ujian.
Memang benar
apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang menjadi
kepala bagian ujian adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang
menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan besar bagi dirinya sendiri.
Karena dia masih terhitung keluarga dengan Raja Cou Muda, maka kekuasaannya
besar juga dan biar pun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun
tidak ada yang berani mengganggunya.
Karena ia
hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan
besar, maka hasil ujian itu tentu saja bukan didasarkan atas baik buruknya
tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas besar
kecilnya uang sogokan! Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono.
Dia tentu lebih senang kalau mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena
meluluskan seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan hal yang
mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri
selalu memeriksa hasil para pengikut.
Ujian
diadakan kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja. Dengan hati
berdebar Bu Song mengikuti ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat
kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kertas ujian,
dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu,
ujian didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab
kuno. Karena Bu Song memang menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah
hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan dapat menjawab
dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah.
Ciu Tang
bukanlah seorang kaya raya. Memang ia pun memberi uang sogokan untuk membela Bu
Song, akan tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain, jumlahnya terlalu
kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi ‘perantara’ bagi para
penyogok yang tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran
Suma Kong dan inilah yang memberi harapan kepadanya karena dalam suratnya ia
mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri!
Seperti
biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan
ratusan pelajar yang semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka
dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang sia-sia mempelajari
puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar
kuno! Hanya beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang
membawa bekal cukup tebal. Di antara mereka yang dinyatakan tidak lulus
termasuk nama Liu Bu Song!
"Luar
biasa!" Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman
itu. "Semua pertanyaan dapat saya jawab dan semua sajak dan karangan saya
tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!"
"Tidak
aneh... sama sekali tidak aneh!" kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan
tangan. "Kita tidak punya banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus,
Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap inkong Kim-mo
Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..."
"Harap
Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!" cepat Bu Song berkata menghibur.
"Suhu sendiri sudah tahu akan hal ini dan sama sekali bukan kesalahan
Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biar pun saya
tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya
merasa penasaran dan heran, mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang
duduk di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang demikian memalukan?
Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu (silat) saja yang dapat dipergunakan
orang untuk kejahatan. Siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung
memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari segala macam keindahan seni
seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang
hanya patut dilakukan seorang penjahat?"
"Sekarang
bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada
inkong Kim-mo Taisu?"
Bu Song
termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana dan entah kapan kembalinya. Dan
untuk apa kembali ke puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada
hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh duka. Mencari ibunya! Ya,
dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja.
"Saya
akan pergi, Paman. Besok saya pergi, entah ke mana belum dapat saya
katakan...."
Ciu Tang
merasa kasihan kepada pemuda ini. "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di
sini, biarlah kau membantu perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk
seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil menanti
kesempatan diadakan ujian lain tahun."
Akan tetapi
sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab,
"Terima kasih, Paman. Akan tetapi saya lebih suka merantau...."
Pada
keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hendak berangkat. Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang
laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan langsung
bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang.
"Apakah
di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?"
Bu Song
cepat bangkit berdiri dan menjura. "Saya sendiri bernama Liu Bu
Song."
Orang itu
memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura. "Saya di utus sama
Suma-ongya menyerahkan sepucuk surat." Ia mengeluarkan surat itu yang
terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya.
"Ah,
kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat Ongya dengan
penghormatan selayaknya!" berkata demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu
Song untuk menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima surat
sambil berlutut!
"Silakan
Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat," Ciu
Tang menawarkan.
Orang itu
memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya
saya mendengar pesan Ong-ya tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan
kedatangannya menghadap secepatnya!" Ia menjura lagi lalu keluar dan
meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu.
Ciu Tang
menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa
kurang senang harus menerima surat secara itu, seperti menerima maklumat raja
saja!
"Lekas
buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat
dari Suma-ongya tentu ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan
baca!" Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan.
Akan tetapi
Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul
surat itu dan mencabut ke luar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan
indah.
'Pangeran
Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan
kepadanya datang menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas pekerjaan.'
"Wah,
kionghi... kionghi... (selamat..., selamat), Liu-hiante!" seru Ciu Tang
kegirangan.
Akan tetapi
Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang. Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan
yang ia harapkan dari hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan
seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa sesungguhnya yang menjadi
tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu.
Semenjak
kecil dahulu, ia mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka
membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan kitab-kitab kuno tentang
filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah
suhunya. Di samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu
kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian dan mendapat gelar siucai,
sungguh pun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar
itu. Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang
membuat ia lebih condong memperdalam ilmu sastera.
"Paman
Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku? Bagiku sendiri, aku belum tentu
suka menerima penawaran ini."
"Hah?
Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini
merupakan penghormatan yang amat tinggi! Belum tentu ada seorang di antara
seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau diingat bahwa kau
dinyatakan tidak lulus ujian!"
"Justru
itulah yang membuat hatiku menjadi dingin, Paman. Kalau aku dinyatakan tidak
lulus, mengapa diberi pekerjaan? Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku,
mengapa pula aku tidak lulus?"
"Ah,
engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya
tertarik hatinya melihat tulisanmu yang indah, lalu ingin memberi pekerjaan.
Itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Ada pun tentang tidak
lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa hal seperti
itu masih diherankan pula?"
Bu Song
mengangguk. "Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan, kenyataan
yang amat pahit, kenyataan menyedihkan yang membuat aku enggan bekerja pada seorang
pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan pergi saja sekarang juga,
Paman."
Ciu Tang
melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu, mukanya berubah pucat.
"Liu-hiante... memang saya tidak berhak memaksamu..., akan tetapi apakah
kau hendak merusak apa yang pernah dilindungi oleh Suhu-mu?"
"Apa
maksudmu, Paman?"
"Keselamatan
keluargaku pernah satu kali diselamatkan Suhu-mu dan untuk itu aku selamanya
takkan melupakan budi Suhu-mu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti
keselamatan keluargaku akan hancur. Suma-ongya tentu takkan mau menerima
penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap sebagai penghinaan dan
karena aku sudah mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja
kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga."
"Ah,
begitukah...?" Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh
lemas. Tentu saja ia tidak menghendaki hal itu terjadi.
"Kalau
Hiante suka memenuhi undangan dan perintah Suma-ongya, berarti kau telah
mengulang perbuatan mulia Suhu-mu dan telah menolong kami sekeluarga, karena
sedikit banyak diterimanya engkau di sana memberi muka terang kepadaku. Untuk
itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih!" Setelah berkata
demikian, Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
Bu Song
cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan rumah itu dan ia berkata,
"Harap Paman jangan bersikap seperti ini. Baiklah, saya akan pergi
menghadap Suma-ongya sekarang juga dan marilah Paman menemaniku."
"Tentu
saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus
mengenakan pakaian yang paling rapi, Hiante." Seperti seorang anak kecil
menerima hadiah Ciu Tang berlari-lari memasuki ramahnya dengan wajah amat
gembira.
Bu Song
menarik napas panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan
membuka bungkusan untuk berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama
kemudian keduanya telah berangkat menuju ke istana Pangeran Suma Kong. Di
sepanjang jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada
seorang kenalan bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan, "Pergi
mengantar keponakanku yang diterima menjadi pembatu Suma-ongya!"
Bu Song yang
dapat melihat dan mengenal watak manusia dari pelajaran di kitab-kitabnya,
hanya tersenyum dan diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak
lemah ini. Betapa pun juga, ia merasa amat kagum ketika ia diterima oleh
penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan istana yang megah itu.
Semua
perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan
lukisan-lukisan yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa
indahnya pula. Bukan main, pikir Bu Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa
ketika kecil dahulu pun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung besar, namun
tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang
menggetarkan hati setiap orang sastrawan yang suka akan hasil karya yang
indah-indah seperti itu.
Mereka
disuruh menanti di ruangan depan, yaitu ruangan tamu. Menurut penjaga, sang
Pangeran masih belum bangun dari tidurnya! Akan tetapi penjaga itu agaknya
maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Pangeran, maka tak
lama kemudian seorang pelayan keluar membawa teh wangi yang hangat!
Bu Song tak
dapat diam di atas bangku. Ia menoleh ke sana ke mari mengagumi dan membaca
sajak-sajak pasangan yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok ke luar
untuk menikmati keindahan taman bunga yang mengelilingi istana itu. Jauh di
samping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat
melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena
matahari pagi sudah mulai bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna
seperti pelangi. Bukan main!
Tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah
seorang pemuda yang berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh
tahun lebih. Pakaiannya seperti sastrawan pula, akan tetapi begitu bertemu
pandang, di dalam hati Bu Song mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang
mata itu, dan bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak
tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah ini, maka ia duduk saja dengan
tenang.
Tidak
demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri
menyambut maju. Begitu pemuda itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan
dalam sehingga tubuhnya terlipat dua, mulutnya berkata penuh hormat,
"Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat
gembira!"
Pemuda itu
berhenti dan membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan
kepalanya. "Ah, bukankah kau Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di
dekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi ke sini, dan siapakah Saudara
ini?"
Biar pun
kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan
berkedip kepada Bu Song, memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu
memperkenalkan, "Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini, Liu Bu Song,
mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil
menghadap."
Terpaksa Bu
Song mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan.
Pemuda itu pun hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh
perhatian. Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya tinggi besar dan
membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali
tidak memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak
membayangkan sikap menjilat seperti orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam
putera pangeran ini tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat pemuda-pemuda
yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka
menjilat.
Pemuda ini
adalah putera Pangeran Suma Kong, namanya Suma Boan. Dia bukanlah seorang
pemuda yang tidak terkenal, mungkin lebih terkenal dari pada ayahnya. Selain
suka bergaul dengan rakyat, pemuda ini juga ia terkenal pandai ilmu silat.
Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa banyaknya guru silat
yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada
seorang guru silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia
kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta diajar ilmu yang telah
mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat
itu dapat membuka perguruannya.
Wataknya
peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan ini pun
seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita cantik mengandalkan
kedudukan dan kepandaiannya. Akhir-akhir ini kepandaiannya melonjak cepat
sekali. Ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu Pouw-kai-ong
yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan
sehingga pemuda bangsawan ini memiliki ilmu silat tinggi dan bahkan di dunia
kang-ouw ia mendapat julukan Lui-kong-sian (Dewa Geledek), sebuah julukan yang
diberikan orang untuk mengangungkannya dengan maksud menjilat!
"Saudara
Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?" dengan
sikap seperti seorang kenalan lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam.
Bu Song
menggeleng kepalanya. "Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu
bahwa penggunaan kekerasan adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya
tidak pernah mempelajarinya."
Suma Boan
tersenyum mengejek dan pandangannya kini merendahkan. "Memang jarang ada
Bun-bu-coan-jai (pandai silat dan sastera) sekarang ini!" Ia berjalan ke
luar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong. "Kalian lihat, apakah
kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?"
Tangannya
menangkap leher arca itu dan sekali ia berseru, singa-singaan itu terlontar ke
atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia sambut lagi sehingga kini
terletak di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia
mengerahkan tenaganya. Kemudian sekali ia menggerakkan tangan, arca itu
terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah.
"Hebat...
sungguh luar biasa kekuatan Suma-kongcu...!" Ciu Tang bersorak, bukan
hanya terdorong sikapnya suka merendah dan menjilat, akan tetapi betul-betul ia
kagum. Singa-singaan dari batu sebesar itu tentulah amat berat.
"Bagaimana,
Saudara Liu?" Suma Boan bertanya, tidak pedulikan pujian Ciu Tang.
"Tenaga
Suma-kongcu benar-benar luar biasa. Saya kagum sekali.".....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment