Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 15
AGAKNYA
putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang
pemuda yang pandai membawa diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk
menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain. Suma Boan lalu berteriak
memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat
orang penjaga berlarian datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas
perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak ada pekerjaan
pukul-memukul bagi mereka
"Kalian
angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!" kata Suma
Boan, kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia
melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan lenyap ke dalam pintu
berbentuk bulan.
Empat orang
penjaga itu saling pandang. "Bagaimana bisa pindah ke sini?" seorang
di antara mereka mengomel.
"Baru
saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas seperti sebuah singa
kertas saja," Ciu Tang memberi keterangan sambil tertawa.
Empat orang
itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan,
"Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?" Biar pun
mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan berempat mereka
mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan
tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!
Ciu Tang
meleletkan lidahnya saking kagum. "Empat orang tidak mampu mengangkat
patung ini, tapi Suma-kongcu dapat memainkannya dengan sebelah tangan.
Benar-benar seperti dewa!"
"Apa
anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh
dibandingkan dengan sebelah lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan
lagi untuk membantu!" Empat orang itu lalu berlarian ke luar.
"Hebat...!"
Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu.
Akan tetapi
Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya
bahwa sebuah benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan
sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian
tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin.
Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan Suma-kongcu
itu hanyalah permainan kanak-kanak.
Akan tetapi
ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar sedemikian kuatnya. Dengan hati
ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan tangan kanan
menangkap leher singa-singaan batu lalu menggerakkan tangan sambil mengerahkan
tenaga. Singa barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua meter!
Bu Song
tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata
empat orang penjaga tadi hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati
Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau, jangankan empat orang, satu
orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya.
Bu Song sama
sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula,
tenaga yang terhimpun oleh latihan-latihan semedhi dan pernapasan. Akan tetapi
ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan tenaga sakti yang
terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga
sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia sengaja.
Ketika ia
tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga
tenaga sakti dapat menerobos dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk
melemparkan singa-singaan itu. Andai kata tidak secara kebetulan tenaga sakti
itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu ia tidak akan mampu menggerakkan
singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!
Pada saat
itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di
mana Pangeran Suma Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan
dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget dari
luar, "Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh? Tadi
tidak di sini!"
Ia
tersenyum, menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti
badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing
yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di depan majikan.
Bu Song
bersikap hormat menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah dan
bermuka keren. Di antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, ada pula tercantum
bahwa orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang
bijaksana. Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka
ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika
pembesar itu muncul diikuti oleh dua orang pengawal.
Agaknya
Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu
mengumumkan bahwa Bu Song diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang
mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman, mencatatkan
harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan
negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.
Bu Song
demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di
dalam istana, mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian
kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan ucapan terima kasih,
kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan
main.
Demikianlah,
mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan
giat dan rajin sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah
pemuda ini membantunya, segala pembukuan dan catatan beres, bahkan ia mulai
mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim
dari Pangeran Suma.
Selain rajin
Bu Song juga pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak
menekan. Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal
galak itu pun suka kepada Bu Song dan seringkali di waktu malam kalau Bu Song
menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman, bermain catur atau
membuat syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan
tetapi Bu Song selalu bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat
permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan
sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi
tak senang hati.
Agaknya masa
depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya
kalau saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua
tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa
pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri
sendiri dengan cara yang amat tercela.
Tidak hanya
dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang
seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar
rendahan jika menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan
Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah pajak-pajak paksa yang dipungut dari
petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran itu
yang luasnya sukar diukur!
Malam itu
terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan.
Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di
istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan
mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan
tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam
taman bunga yang sunyi.
Di sudut
taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh terdapat sebuah pondok yang disebut
Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian
daun-daun pohon berbunga. Di tempat inilah ia termenung dengan hati duka. Ia
mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia
ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup.
Tak dapat
disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang
pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang
rendah hati dan peramah. Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan
hatinya. Biar pun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi
ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andai kata Pangeran Suma
seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki
tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak
dan pakaian bagus! Atau untuk hari depan yang gemilang?
Dalam duka
Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik
turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu
ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping
Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan.
Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang
jarang ia tiup. Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran
sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.
Getaran
suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng, maka
otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang
iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai
kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak
kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan
padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah
mengharukan.
Suara
jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan
mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama
seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu
kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba,
kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.
Sambil
bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang
berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan
pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya
terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia?
Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama,
berpakaian seperti seorang dewi kahyangan?
Wanita yang
kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak
tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah
lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang
kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu
meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu? Begitu indah, begitu
mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu, atau seorang
puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu, dihias
dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri
istana!
Berdebar
jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah
lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di
situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran
Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama
ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguh
pun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup
mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini
orang!
Ada pun anak
ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik
seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi
semua pelayan. Seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah
melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia.
Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah
gadis itu! Raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati,
tak mungkin hidup kembali.
Dengan
langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu
Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah
duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar. "Kau... yang bernama
Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"
Suara itu!
Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia
memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu
menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata,
hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata bertemu pandang, saling
mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya
berdiri berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh
bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan
purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini
bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar
jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.
"Maaf...
maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai
rendah biasa saja...."
Bagaikan
baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat
menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak
kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis itu memang benar Suma Ceng.
Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu
dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan
kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat
ia seperti mimpi, lalu turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan
memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan
sang malam indah membuat ia seperti mabok.
"Benar
sekali cerita mereka...."
"Apa
maksud Siocia...?"
Akan tetapi
Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini
berbisik seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah
hati..."
"Maaf,
Siocia. Bolehkah saya mengetahui...."
"Aku
adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu
saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari
sorga...."
Akan tetapi
setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri
majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya
Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu
Siocia dengan suara sulingku yang buruk...."
"Ah,
jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling
seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"
"Siocia...,
mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya...
saya..."
"Tidak
mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh
suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?"
"Lagu....
Setangkai Kembang Kekeringan..."
"Ahhhh...!
Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagu
seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."
"Siocia...."
Mereka
kembali berpandangan, keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali
dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing.
Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling
bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya
menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung
matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik
sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh,
terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan
sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.
Bu Song
bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan
diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya
begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah
seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita,
puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat
itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti
seekor kumbang merindukan bulan!
Dengan
langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang
berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat
tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia
bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya
berat dan tidak lancar.
Semenjak
terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu
Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati
mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng.
Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia
membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit.
Suma Ceng
adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan
tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu
memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup
sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi
Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan
seorang kaya. Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin
terjadi! Andai kata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak
mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti
dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.
Juga Suma
Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah
pemuda bersuling itu terbayang terus. Suaranya yang halus dan sopan itu
mengiang terus di telinganya. Sepasang mata lebar tajam yang terhias alis
berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun
mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang
pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya
tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau
teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan
dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang
mungkin dibencinya.
Namun cinta
adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta
kasih mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan
kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu
lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk
menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan
tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu
melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam
mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah
terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka setelah hangus
terbakar.
Akan tetapi,
seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup,
mendatangkan kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan
kenikmatan hidup. Asal orang pandai menggunakannya. Asal orang dapat
menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi
mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal mala-petaka.
Cinta itu pangkal sengsara dan pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan
lemah, yang menjadi permainan cinta. Cinta antara pria dan wanita memang
memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini.
Namun
manusia tetap lebih kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai
nafsu liar ganas seperti kuda hutan. Bahagialah orang muda yang pandai
menguasainya, sebaliknya kasihanlah mereka yang menjadi permainannya. Asal
ingat saja bahwa CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh
berbeda akan tetapi bermuka kembar! Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda
untuk memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah yang suka membawa
mala-petaka. Nafsu birahi disangka cinta, maka terseretlah ia ke jurang
kehancuran.
Demikianlah
pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga
semua pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak
adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama
sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah
malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok
kecil di ujung taman, meniup sulingnya.
Seakan-akan
suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga
tidak dapat menahan dirinya lagi sudah menyelinap ke luar dan berlari-lari
memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar
jelas alunan suara suling. Terengah-engah Suma Ceng tiba di depan pondok, bukan
karena lari tadi, melainkan karena debar jantung yang menggelora. Suara suling
terhenti karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari ke
luar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi
sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!
"Aku
tahu kau akan datang..."
"Aku
pun tahu kau menanti di sini..."
Hanya itu
ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati
masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan
mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di mana tadi Bu Song
termenung dan menyuling.
Bu Song
merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi,
seperti seorang kanak-kanak yang pernah kehilangan benda mainan tersayang, kini
didekapnya erat-erat takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi. Suma Ceng
sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang
telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya.
Kesadaran inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus
ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini.
Keduanya
mabok asmara hingga lupa diri, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri
kepada nafsu birahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali
orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan
takkan timbul kembali, sebelum.... mati!
Hanya bulan
dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di
ujung taman menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang
mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu adalah saudara loba, makin
dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, dituruti sehasta ingin
sedepa. Pertemuan dan hubungan dilanjutkan. Mesra.....
Akhirnya
tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal
adanya. Bahwa kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan
yang dibentuk sekelompok awan di angkasa raya. Sewaktu-waktu akan buyar
kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan berubah
menjadi awan menghitam yang buruk menakutkan!
Malam itulah
terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song mau pun oleh Suma Ceng.
Malam yang gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang
terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada
hanyalah terang di dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas
di dalam dua tubuh yang dicekam nafsu birahi!
Sesosok
bayangan berkelebat di depan pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali.
Bayangan itu mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng
tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan.
Sampai di situlah Bu Song mengantar kekasihnya, kemudian sejenak saling
rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.
Tiba-tiba
bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song.
Bu Song terhuyung dan roboh, Suma Ceng menjerit tertahan. Suma Boan sudah
berdiri di depan mereka dengan mata melotot!
"Lekas
kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil
terisak menangis.
Bu Song
merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang
dadanya. Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke
belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor domba yang dibawa ke penjagalan.
"Bedebah!
Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.
Bu Song diam
saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak.
Hatinya tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa
salahnya?
Di belakang
istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai
terkapar di atas tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.
Pelayan itu
menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya
marah-marah kepada pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para
pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan
kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan
golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.
Dengan kasar
ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu
ke arah pohon. Kemudian ia mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu
dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu
Song. Ia merasa betapa sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir
terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia
seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan
dari suhu-nya yang tak diketahui olehnya sendiri.
"Hayo,
sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah
maju dan....
"Plak-plak-plak!"
kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang
ke kanan kiri.
"Suma-kongcu,
bicara apa lagi? Aku dan dia saling mencinta. Kalau itu kau anggap bersalah,
bunuhlah, aku tidak takut mati."
"Setan...!"
Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam
ke arah perut.
Bu Song
maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia tidak takut mati, akan
tetapi ngeri juga membayangkan rasa nyeri dipukul, maka otomatis hawa sakti di
tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.
"Dukk!
Duukk!" dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan
tetapi alangkah kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu
dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik. Namun Bu Song
menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.
"Jaga
dia di sini sampai pagi. Kalau banyak cakap boleh pukul mukanya, tapi jangan
dibunuh!" akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat
itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang hiasan
di belakang istana.
Kiranya Suma
Boan melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran
Suma Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali. "Keparat, anak setan
tidak mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar tahu rasa!" Kemudian
pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.
Waktu itu
matahari telah bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin
gemas hatinya melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah
pemuda itu, pikirnya. Sedikit pun tidak memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal
cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.
"A
Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau
yang menjadi saksi. Tak perlu kau bicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang
tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?"
"Baik,
Kongcu."
Bu Song
mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata, "Suma-kongcu, kau
benar, urusan ini adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam
tadi, kalau kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang salah dan kau akan
menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kau bunuh, akan tetapi jangan kau
salahkan dia."
"Tutup
mulut!" bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari
saku bajunya. "A Piauw, kau ambil secawan arak!"
Pengawal itu
tadinya bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan
arak? Akan tetapi ia tidak berani membantah, segera berlari cepat meninggalkan
tempat itu dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah
lebih. Suma Boan membuka bungkusannya, menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam
cawan. Arak yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan
mengeluarkan uap! Tahulah si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia
menyeringai heran. Untuk membunuh lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok
saja dengan senjata? Mengapa harus menggunakan arak beracun?
"Bu
Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai
pecah kepala dan dadamu, atau menggunakan sebatang golok mencincang hancur
tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah melayani aku, pernah menjadi
seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan
minum racun. Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun
ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau
akan mati dalam keadaan menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali
dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu padanya!"
A Piauw yang
ingin menyenangkan hati majikannya, mengejek, "Heh-heh, orang muda.
Silakan minum anggur pengantin...."
"A
Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu?!"
A Piauw
kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya begitu marah.
Ada pun Bu
Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak
minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk
menemui maut! Ia menengadah dan membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang
mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu Song dengan tangan
kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan
arak beracun itu ke dalam mulut Bu Song.
Bu Song
merasa kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu
menyengat hidung. Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam
perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia menanti datangnya rasa nyeri
yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama
sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguh pun di dalam perutnya mulai
bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan terdengar suara tiada hentinya
seperti air mendidih.
Suma Boan
yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti
pemuda itu menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama
sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang hebat, bahkan
kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang
dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah
membaal dan tidak terasa apa-apa lagi.
Suma Boan
menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi. Bu Song kelihatan lemah oleh
lelah, lapar dan haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu
bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu Song. Suma Boan merasa penasaran dan
menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa
oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song
menggeliat-geliat disengat sinar matahari. Namun pemuda itu tetap saja
membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta
minum.
Menurut
perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun tadi tentu umurnya takkan lewat
setengah hari. Namun sampai matahari condong ke barat, Bu Song masih segar
bugar biar pun amat menderita. Hal ini membuat Suma Boan menjadi penasaran dan
marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh
atas yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh
jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai bercucuran ke luar. Namun tetap saja
Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki
sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya
pingsan.
"Kau
jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan
hidup. Kalau malam nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi
mayatnya," kata Suma Boan kepada pembantunya.
Setelah
melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan
lalu memasuki istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya
karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu, mereka berunding.
"Aku
sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya
perjodohan itu dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan
menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam bulan
ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak
perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan,
lebih baik melihat dia mati di depanku!"
"Ayah,
sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda
dan harus diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang
berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi sehingga
terjerumus...."
"Bagaimana
dia? Bagaimana keparat jahanam itu? Sudah kau bikin mampus?"
Suma Boan
mengangguk. "Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam
keadaan menderita untuk menebus dosanya!"
Malam itu
gelap gulita. Apa lagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua
pelayan atau pengawal dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja
ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan
hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!
A Piauw si
pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon, makanan dan arak yang dikirim
oleh seorang pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw
memandang ke arah tubuh yang masih lemas tergantung pada batang pohon.
Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan
yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan
rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus
dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai
tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat
dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang
pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kali pun?
Angin malam
bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas.
Entah mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian,
ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan
tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih
bersinar tajam. A Piauw mundur lagi dan makin merasa seram. Pemuda ini bukan
orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah,
terserah Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga
seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?
Kembali
angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon di mana Bu Song
terikat, terlampau keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang
berada di atas kepala A Piauw tergantung pada batu karang. A Piauw menjadi
curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu
Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.
"Heee...!
Apa... siapa...."
Hanya sekian
saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhnya seolah-olah menjadi
lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak
mampu bergerak mau pun mengeluarkan suara, hanya matanya melotot menyaksikan
betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu Song.
Penolong Bu
Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan
mengunjungi muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu
Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu
menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma
Kong, seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song
akan menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka
sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran
Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa
muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya
dan membawanya pergi ke luar dari tembok kebun istana.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi
membawa tubuh Bu Song yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu, dan
setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera memeriksanya. Lega
hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka
hebat, hanya luka di kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya
menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak
memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu
Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah
diberi minum racun hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu
Song sudah kebal setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali
hitam.
Setelah
diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia
membuka matanya dan memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat
ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu
yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar
dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali
di pembaringan.
"Ceritakan
apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.
Bu Song
menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas
calon mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia
mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti
itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah,
bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata
keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka
sambil menundukkan mukanya ia berkata.
"Suhu,
murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia
dengan menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan
segalanya secara terus terang dan andai kata Suhu menjadi marah dan lalu
menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela."
Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke
kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan
kemudian tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.
"Suhu,
teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa
menghindarkan diri dari perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu
tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat kepada Eng Eng dan
segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan
terserah kepada hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil
menundukkan muka.
Kim-mo Taisu
mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala
pengalamannya dengan wanita. Dia pun banyak mengalami mala-petaka dan
penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan
kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya?
Akan tetapi
ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita
muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin, tentang percakapan antara Kong Lo
Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya
adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu
besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja
membangkitkan amarah dalam hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan
melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!
"Bu
Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki
kepandaian silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah
dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?"
Bu Song diam
saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya
karena ia seorang lemah.
"Andai
kata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kau kira Suma Boan berani
menyiksamu? Bahkan mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada
orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah
ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik mau pun
buruk. Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada
hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya
tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah
baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari
manusia, kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau
dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua
anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau
dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak
dan menjadi jalan ke luarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu,
maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk
minum yang sehat dan jalan ke luar omongan yang baik-baik bagi manusia lain,
maka baiklah mulut itu!"
Kim-mo Taisu
bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya,
namun dengan penuh perhatian.
"Kau
dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau
melukainya, maka kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau
membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biar pun tak pandai silat, apakah
tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik,
maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri dari pada hinaan
orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk
menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan
masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh
orang-orang yang pandai ilmu silat. Sekarang kita meninjau ilmu bun (sastra).
Kau melihat sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di istana,
menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan dan berpengaruh besar? Mereka ini
tergolong orang pandai sastra, orang-orang pintar dan terpelajar. Akan tetapi,
apakah mereka menggunakan kepandaiannya itu untuk kebaikan? Memang ada, akan
tetapi hanya beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak, kepandaiannya itu
hanya untuk melakukan kejahatan yang lebih kejam dari pada membunuh orang
dengan bacokan pedang! Kepintarannya dipergunakan untuk ‘memintari’ orang lain
yang bodoh. Kau lihat, kalau ilmu bun dipergunakan untuk kejahatan, apakah
boleh kau sebut bahwa ilmu bun itu jahat dan buruk?"
Bu Song
mengangguk-angguk. "Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan
seperti sekarang ini sehingga di dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian
seperti itu. Namun teecu tidak percaya oleh karena tadinya teecu mengira bahwa
orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah
menjalani hidup menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu
lebih condong mempelajari bun dari pada bu. Akan tetapi siapa kira, setelah
teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu benar belaka."
"Jadi,
sekarang kau mau menjadi muridku, murid ilmu silat?"
Bu Song
menjatuhkan diri berlutut. "Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau
Suhu mau memberi pelajaran ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang
tiada bandingannya. Tentu saja teecu akan merasa berterima kasih sekali."
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi.
"Alangkah lucunya! Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar
ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan memperoleh hasil sepuluh
tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari
kita berangkat ke istana Pangeran Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu,
kita bawa kekasihmu itu dengan kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong
dan puteranya, Suma Boan yang sudah menyiksamu! Pembesar-pembesar korup yang
seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai perutnya gendut,
sudah sepatutnya dibunuh!"
Bu Song
menubruk kaki suhunya. "Tidak... jangan, Suhu... ampunkan teecu, jangan
Suhu lakukan hal itu...!"
"Hemm...!"
Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali. "Kalau kau masih selemah ini,
mana patut menjadi pendekar? Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan,
harus berani berbuat apa saja, kalau perlu kekerasan, asal semua tindakannya
itu beralaskan kebenaran dan keadilan!"
"Bukan
sekali-kali teecu berlemah hati. Tidak, Suhu. Hanya... teecu menghormat dan
menghargai rasa cinta kasih teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan
cinta secara itu, apalagi membawa lari seorang gadis, puteri pangeran pula.
Akan ke mana larinya nama baik Suma Ceng? Teecu amat mencintanya, tak mungkin
teecu berani melakukan hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup. Juga
tentang ayah dan kakaknya, kalau kita membunuh mereka, bagaimana jadinya dengan
nasibnya? Teecu teringat kepada Subo...."
Lemaslah
seluruh tubuh Kim-mo Taisu mendengar ini. Muridnya mengingatkan ia akan nasib
Khu Gin Lin, puteri bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih
muridnya ini, mendiang isterinya itu adalah puteri pangeran yang sekeluarganya
terbasmi dan terbunuh. Ia menarik napas panjang.
"Sesukamulah.
Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta..."
"Teecu
bersumpah takkan menjatuhkan hati cinta kepada wanita lagi, Suhu."
"Ha-ha-ha-ha!
Patah hati? Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya..."
"Tidak,
teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan mencin...."
"Hushhh!
Tak perlu bersumpah. Tidak ada yang melarang manusia untuk bercinta, muridku.
Bahkan Tuhan sendiri pun tidak. Cinta itu anugerah, bahkan hidup ini baru
berarti kalau diisi dengan cinta. Akan tetapi, bukan cinta yang digelapkan oleh
nafsu. Kelak engkau akan mengerti sendiri!"
Kakek itu
menarik napas panjang karena teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda.
Sampai kini pun ia merasa bahwa cinta kasihnya yang sejati adalah pada diri
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, ibu muridnya ini. Mungkin karena inilah maka ia
menganggap Bu Song seperti puteranya sendiri, dan ada perasaan sayang amat
besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.
Mereka tidak
lama berada di rumah Ciu Tang. Malam itu juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu
mengajak muridnya pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa
kalau terlalu lama mereka berada di situ, sudah tentu Ciu Tang akan ikut
menderita celaka.
Semenjak
saat itu mulailah Bu Song diajar ilmu silat. Seperti ketika ia mempelajari ilmu
surat, pemuda ini amat tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya
bahwa sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia telah memiliki tenaga sakti
yang hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di
depan suhunya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan
mengumpulkan semangat seperti yang ia latih sejak kecil. Dan seperti biasa,
kalau sudah begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di pusar.
"Tarik
napas dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu," terdengar
suara gurunya.
Bu Song yang
memejamkan mata menuruti kata-kata gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul
di sekitar bawah pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa
betapa tangan suhunya menempel pada pusarnya dan dari telapak tangan suhunya
itu keluar getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga ini ia
berusaha lagi dan kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga
itu bergerak naik ke dada, membuat dadanya sesak dan ia terengah-engah hendak
muntah.
"Bernapas
perlahan-lahan, akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali.
Setelah itu dorong hawa itu ke arah pundak kanan."
Demikianlah,
sedikit demi sedikit Kim-mo Taisu melatih muridnya sehingga akhirnya, dalam
waktu beberapa hari saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk
mendorong hawa panas itu mengitari tubuhnya, ke mana pun ia kehendaki. Dengan
totokan-totokan yang tepat Kim-mo Taisu ‘membuka’ jalan darah tubuh muridnya,
kemudian mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.
Memang betul
apa yang diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam diri Bu Song sudah terdapat tenaga
sinkang yang amat kuat serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia
pelajari melalui huruf-huruf yang membentuk sajak-sajak dan ujar-ujar yang
sengaja dahulu diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastra.
Kini setelah dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat
menangkap serta didorong bakatnya yang luar biasa, sebentar saja ia dapat
menguasai setiap gerakan yang betapa sulit pun.
Dalam waktu
setahun saja, dengan petunjuk suhunya, ia mampu sekali dorong merobohkan
sebatang pohon sebesar manusia! Dalam waktu enam bulan, ginkang-nya sudah
sedemikian hebat sehingga ia mampu mengikuti suhunya berloncatan di atas pohon
seperti seekor tupai, dan merobohkan pohon sebesar manusia dapat ia lakukan
dari jarak satu meter tanpa menyentuhnya! Guru dan murid ini tidak pernah
berhenti berlatih silat. Siang dan malam berlatih terus dan beristirahat pun
merupakan latihan semedhi mengumpulkan tenaga sakti. Kadang-kadang di waktu
malam gelap, mereka berdua sudah berlatih saling serang bagaikan dua setan
hutan yang berkelebatan di antara pohon-pohon. Kim-mo Taisu menggembleng
muridnya dan menurunkan seluruh ilmu-ilmunya, tidak ada yang ia sisakan.
***************
Pada waktu
itu yang memegang kekuasaan adalah Kerajaan Cou, kerajaan terakhir dari jaman
Lima Kerajaan. Seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu, juga Kerajaan Cou ini
tidak lama menguasai pemerintahan (951-960). Setelah sembilan tahun berdiri,
pada tahun 959, raja Cou jatuh sakit berat. Kekuasaannya ia serahkan kepada
putera mahkota yang pada waktu itu baru berusia sebelas tahun! Sebagai walinya
tentu saja adalah ibu ratu. Semenjak inilah maka Kerajaan Cou menjadi lemah,
karena para panglimanya banyak yang merasa tak senang melihat bahwa yang mereka
bela hanyalah seorang anak yang manja serta seorang ibu yang ingin berkuasa
saja.
Kerajaan Cou
mempunyai seorang panglima tinggi yang amat dipercaya dan disayangi oleh Raja
Cou. Panglima ini bernama Cao Kuang Yin, seorang ahli perang yang memang
keturunan orang-orang terkenal. Nenek moyangnya adalah orang-orang yang
menduduki jabatan tinggi, menjadi panglima semenjak jaman Kerajaan Tang dan
berturut-turut dalam jaman Lima Kerajaan itu, nenek moyang Cao selalu menjadi
orang-orang penting dalam pemerintahan, terutama dalam ketentaraan.
Seperti juga
para panglima dan bangsawan lainnya, diam-diam Cao Kuang Yin tidak senang akan
penggantian raja dengan seorang kanak-kanak didampingi ibunya yang tamak itu.
Bahkan ketika raja kecil atas desakan ibu suri menjatuhkan hukuman kepada
seorang pejabat tinggi yang membantah peraturan baru tentang pemungutan pajak
yang diperberat, Panglima Cao sendiri menghadap ke istana dan dengan sejujurnya
menyampaikan protes!
Peristiwa
ini diikuti dengan hati tegang oleh para pembesar. Perbuatan Cao ini dapat dianggap
sebagai sikap memberontak dan sekali raja kecil yang dipengaruhi ibunya itu
menjatuhkan hukuman mati, panglima itu tentu takkan tertolong lagi. Namun
agaknya ibu suri juga dapat melihat bahwa panglima besar ini tidak boleh
dipandang ringan. Di belakangnya banyak terdapat pasukan besar yang
mencintanya. Maka untuk meredakan ketegangan, ibu suri menerima protes itu dan
membebaskan kembali petugas atau pejabat tinggi yang terkenal setia itu.
Namun
perisitwa itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pada waktu itu, musuh utama
Kerajaan Cou, yaitu bangsa Khitan, selalu membuat kacau di daerah utara dan
seringkali menyerbu kota-kota di utara. Dengan alasan menindas kerusuhan yang
dilakukan oleh musuh itu, raja kecil atas desakan ibu suri lalu menjatuhkan surat
perintah kepada Panglima Cao Kuang Yin untuk memimpin barisannya ke utara dan
memerangi bangsa Khitan.
Sebagai
seorang panglima perang yang setia, tentu saja Panglima Cao tidak dapat
membantah perintah rajanya untuk menyerbu musuh. Apa pun alasannya, kalau ia
tidak mentaati perintah ini, tentu dia akan menjadi bahan tertawaan orang
sedunia sebagai seorang panglima yang takut perang! Terpaksa Panglima Cao
memimpin barisannya bergerak ke utara, sungguh pun ia maklum bahwa bahaya yang
mengancam kerajaan bukan hanya dari bangsa Khitan dan penjagaan tidak boleh
dipusatkan di utara saja.
Para
panglima muda, para perwira sampai para anggota barisan sebagian besar merasa
tidak puas dan tidak senang dengan tugas ini. Bukan saja perjalanan dan tugas
di utara itu amat berat, namun juga mereka dapat menduga bahwa perintah ini
merupakan ‘pembalasan’ dari ibu suri sehingga tak mungkin kelak mereka akan
menerima jasa dalam tugas yang mempertaruhkan nyawa ini. Di luar tahu Panglima
Cao, diam-diam para panglima muda dan perwira mengadakan permufakatan dan
persekutuan.
Pada malam
hari itu, ketika barisan berhenti dan beristirahat setelah melakukan perjalanan
beberapa hari dari kota raja, tujuh orang panglima muda dan sebelas orang
perwira berkumpul dalam tenda besar. Mereka bermufakat untuk memaksa Panglima
Besar Cao Kuang Yin dengan kekerasan agar suka memimpin barisan kembali ke kota
raja dan menggempurnya serta mengambil alih kekuasaan. Pendeknya mereka hendak
memaksa Coa Kuang Yin untuk memberontak terhadap raja kecil dan ibu suri!
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa bergelak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu
seorang kakek aneh telah berdiri di sudut tenda. Kakek ini sudah tua sekali,
kedua kakinya ditekuk bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang menggantikan
kakinya. Tentu saja delapan belas orang komandan itu cepat bangkit dan kaget
serta terheran-heran. Bagaimana tenda yang dijaga sekelilingnya oleh pasukan
penjaga dapat kemasukan orang luar tanpa ada yang tahu? Karena mereka sedang
merundingkan urusan rahasia yang gawat, tentu saja kehadiran seorang luar
seperti kakek ini amat mengejutkan. Serentak mereka sudah mencabut pedang dan
golok masing-masing.
"Ha-ha-ha-ha!
Cu-wi Ciangkun (Para Perwira), harap jangan kaget dan curiga! Aku datang untuk
membantu kalian melaksanakan maksud hati kalian yang amat baik ini. Kerajaan
Cou yang lapuk harus diruntuhkan!"
Karena yang
mengucapkan kata-kata ini seorang luar yang tak dikenal, tentu saja para
panglima itu makin kaget dan khawatir. Dua orang di antara para perwira yang
terkenal hebat kepandaiannya dalam ilmu memanah, telah menggerakkan tangan
dan....
"Serrr!
serrr!" dua batang anak panah dengan kecepatan kilat telah menyambar leher
dan perut kakek itu!
Kakek itu
sama sekali tidak mengelak atau kelihatan bergerak, agaknya ia tidak melihat
bahwa dua batang anak panah seperti dua tangan maut menjangkau hendak mencabut
nyawanya. Ia masih enak-enak berkata, "Biarlah aku yang akan mengajukan
alasan kepada Cao-goanswe (Jenderal Cao), dan kalau terjadi kegagalan sehingga
kalian terpaksa melawannya, aku akan membantu kalian!"
Delapan
belas orang ahli perang itu berdiri dengan mata terbelalak kagum dan keget.
Kakek itu masih bicara dan sementara itu, dua batang anak panah seakan-akan
telah mengenai dada dan leher, akan tetapi karena kakek itu bicara sambil
menggerakkan kedua tangan, mereka tidak melihat bagaimana sekarang tahu-tahu
kedua batang anak panah itu telah terjepit di antara jari-jari tangan kakek
itu!
Seorang
panglima muda melangkah maju dengan pedang di tangan. "Engkau siapa?
Berani memasuki tenda kami tanpa ijin?"
"Ha-ha-ha!
Ciangkun (Panglima), engkau masih terlalu muda untuk mengenalku. Akan tetapi di
antara kalian yang sudah tua tentu pernah mendengar namaku. Dahulu aku disebut
Sin-jiu Couw Pa Ong seorang putera pangeran Kerajaan Tang dan aku masih ingat
akan Cao Beng, Jenderal Kerajaan Tang yang menjadi kakek Jenderal Cao Kuang Yin
sekarang! Akan tetapi sekarang aku hanya seorang kakek biasa saja yang disebut
Kong Lo Sengjin!"
Kagetlah
semua orang yang berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang
amat terkenal. "Dengan cara bagaimana kau hendak mencampuri urusan kami,
urusan tentara?"
Kembali
kakek itu tertawa. "Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi
barisan tentu saja aku tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan,
kiranya aku dapat banyak membantu. Misalnya, dengan mudah aku dapat melucuti
belasan orang lawan. Kalian lihat baik-baik!"
Tiba-tiba
tubuh kakek itu berkelebat menyerbu mereka! Kagetlah belasan orang itu. Mereka
juga bukan orang-orang biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa
bertempur, maka tentu saja mereka itu pandai ilmu silat. Melihat bayangan kakek
itu berkelebat dekat, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan senjata
mereka menerjang. Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja
semua panglima dan perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka
memandang, ternyata pedang dan golok mereka yang terampas secara aneh itu telah
tertumpuk di atas meja dan kakek itu pun sudah duduk di atas bangku dekat meja
sambil tersenyum-senyum.
"Bagaimana?
Cukup berhargakah aku menjadi sekutu kalian?"
Mereka lalu
duduk kembali mengelilingi meja.
"Mengapa
Lo-cianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud apa?" tanya seorang
panglima tua, kini menyebut lo-cianpwe karena maklum bahwa kakek lumpuh itu
benar-benar sakti luar biasa.
"Dengan
maksud apa? Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang
sudah runtuh. Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan
Tang, maka sudah sepatutnya jika beliau diangkat. Akan tetapi kalau dia
menolak, kita bisa memilih lain orang. Bukan Cao-goanswe seorang di antara kita
yang cakap menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!"
Karena
tertarik oleh kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan
pembantu yang amat berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong
Lo Sengjin menjadi sekutu dan berundinglah mereka tentang niat mereka memaksa
Cao Kuang Yin untuk memberontak.
Pada saat
itu Jenderal Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini
keluar seorang diri dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil,
menatap angkasa yang dihias bintang-bintang gemerlapan. Bulan seperempat tampak
doyong di angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang, kemudian ia
menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari
terucapkan dari mulutnya.
"Liang,
Tang, Cin, Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil
mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya
bintang bermunculan dan berjatuhan, tiada satu yang menyinarkan cahaya
menerangi jagad. Bilakah akan muncul sebuah bintang yang demikian?"
Tiba-tiba
terdengar keluhan orang lain yang disambung dengan kata-kata seperti sajak.
"Bila kepalanya benar, kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan.
Bila kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik pun tidak ada
manfaatnya! Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi,
akan tetapi jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan,
tiada bedanya ia dengan pohon atau hewan!"
Cao Kuang
Yin terkejut, apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah
perkasa yang berpakaian seperti tosu berdiri tak jauh dari situ, juga
menengadah sambil menuangkan arak dari sebuah guci arak. Ucapan tadi bukanlah
kata-kata biasa, maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan
orang biasa pula. Cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata,
"Saudara yang baik, ucapanmu benar-benar mengagumkan hatiku, akan tetapi
juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan."
Orang tua
gagah itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya
kepada Bu Song selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu
yang ia suruh pergi mencari suling emas di Pulau Pek-coa-to seperti yang
diceritakan sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song. Ada pun dia sendiri lalu
mulai pergi mencari Kong Lo Sengjin. Inilah sebabnya maka ia pada saat itu
berada di atas bukit kecil, diam-diam membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal
sebagai seorang panglima besar Kerajaan Cou.
Kim-mo Taisu
sudah mendengar akan semua urusan di kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal
ini memimpin pasukan besar menuju ke utara. Ia merasa heran ketika dalam
penyelidikannya mendapat kenyataan bahwa orang yang dikejar-kejarnya, yaitu
Kong Lo Sengjin berada pula di dalam pasukan itu. Tentu saja ia tidak berani
turun tangan secara sembrono dalam barisan yang begitu besar.
Kini ia
sengaja mendekati Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk
mengukur isi hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat
sikapnya yang wajar dan jujur sopan, diam-diam ia merasa kagum sekali. Segera
Kim-mo Taisu menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.
"Cao-goanswe,
harap maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang
lima kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat
jelata. Saya merasa cocok dan tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan
Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak memiliki patriot-patriot,
pahlawan-pahlawan yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara.
Akan tetapi, kalau yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan
kesenangan pribadi, tentu saja para pahlawan itu akan disalah-gunakan
tenaganya. Akibatnya, pemimpin-pemimpin yang baik akan dikesampingkan,
pembesar-pembesar korup penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang
sebagai kaisar tentu saja adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan
terjadi melalui ikhtiar dan usaha manusia sendiri. Inilah pendapat saya
pribadi, Goanswe, kalau keliru harap dimaafkan." Kim-mo Taisu menenggak
araknya kembali.
"Ah,
tidak... tidak keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya
berhadapan dengan Kim-mo Taisu...?"
"Cao-goanswe
bermata tajam, benar-benar saya kagum sekali," kata Kim-mo Taisu.
Jenderal itu
tertawa. "Nama Taisu menjulang setinggi gunung Thai-san. Kipas di
pinggang, pedang di punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan
pendapat sedemikian bijaksana, siapa lagi orangnya kalau bukan Kim-mo
Taisu?"
Tiba-tiba
terdengar suara berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang
Cao Kuang Yin dengan senjata mereka!
"Bunuh!
Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!" begitulah teriakan-teriakan
mereka. Gerakan mereka cepat dan ringan, tanda bahwa mereka adalah orang-orang
yang berilmu tinggi.
Cao Kuang
Yin kaget sekali. Cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil
melompat mundur dan mencabut pedangnya. "Kalian siapakah? Tidak melihat
bahwa aku Jenderal Cao? Mundur!!"
"Ha-ha-ha,
justru kami mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!" seorang di antara
mereka berseru. Mereka semua ada dua belas orang yang kini mengurung.
Ketika
jenderal itu hendak menerjang mencari jalan ke luar, tiba-tiba Kim-mo Taisu
berkata, "Tenanglah, Goanswe, dan serahkan mereka kepadaku!"
Setelah
berkata demikian, Kim-mo Taisu yang tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya,
kemudian tiba-tiba ia menyemburkan arak sambil memutar-mutar tubuhnya.
Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika dua belas orang itu merasakan sambaran
arak yang seperti jarum-jarum disebar. Sebelum hilang kekagetan mereka,
tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat sekali menggunakan kipasnya. Setiap
kali kipasnya bergerak, seorang pengeroyok lantas roboh. Hiruk-pikuk suara
mereka, golok dan pedang beterbangan, dan dalam waktu beberapa menit saja dua
belas orang itu sudah roboh tak berkutik!
"Jangan
bunuh semua!" Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir
sudah roboh pula.
Jenderal itu
cepat melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia
menjambak leher baju orang itu dan membentak. "Hayo mengaku! Siapa
menyuruh kalian?!"
Orang itu
berusaha membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti
babi disembelih karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan
ia hanya dapat menuding-nudingkan telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya
melayang.
"Cao-goanswe,
orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh
semua," kata Kim-mo Taisu.
"Ah,
akan tetapi saya ingin mengetahui siapakah yang menyuruh mereka?"
"Dia
tadi menunjuk ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja
datangnya perintah."
Cao Kuang
Yin mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia
tidak mempunyai musuh, kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan
protes. Mungkinkah ibu suri yang mengirim pembunuh-pembunuh ini?
"Taisu
telah menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar."
"Penyelamat
atau pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguh pun kebetulan saya
berada di sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi
sesungguhnya bukan karena kebetulan saya mendekati Goanswe. Saya memang sengaja
membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu."
"Ahh...?"
Jenderal Cao kaget dan memandang tajam. "Maksud apakah?"
"Saya
mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan
Goanswe. Tanpa perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam
pasukan Goanswe."
Jenderal itu
mengelus jenggotnya. "Hemm, siapakah orang itu?"
"Dia
adalah Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa
Ong!"
"Hah?
Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal
itu!"
"Sudah
lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan
Goanswe."
"Kalau
begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini
harap Taisu suka menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul
ada Kakek itu dengan barisan, sudah tentu saya perkenankan Taisu untuk
menyelesaikan urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan kami."
"Terima
kasih. Goanswe benar-benar bijaksana." Kim-mo Taisu memberi hormat,
kemudian mereka berdua berjalan bersama kembali ke perkemahan.
Jenderal Cao
bercakap-cakap dan merasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka
bercakap-cakap sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat
tenda besar dan lewat tengah malam barulah keduanya menghentikan percakapan,
lalu tidur di kemah masing-masing.
Peristiwa
bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru
sinarnya kemerahan yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin
masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun dengan kaget dan tahu-tahu di dalam
kemahnya telah penuh orang. Di sana telah hadir tujuh orang panglima bawahannya
dan sebelas orang perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam
barisan yang ia pimpin, dan di antara mereka tampak seorang kakek lumpuh
bertongkat. Panglima tertua membawa sebuah baki perak yang ditutup sutera
kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!
"Heee!
Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki
kemahku dan mengganggu orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat
turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia
percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang
kepadanya.
"Kami
menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe mengenakan pakaian ini, kemudian
memimpin kami semua kembali ke kota raja," kata panglima tertua itu sambil
menyodorkan baki.
Cao Kuang
Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi
baki. Di atas baki itu tampak terlipat rapi satu stel pakaian berwarna kuning
bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian
kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia mengenakan
pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa
mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!
"Ah,
mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah.
Kakek lumpuh
itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan
orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin
dengan merobek tenda. Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima
itu dan berkata, "Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?"
Akan tetapi
Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."
Kakek itu
yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin kaget sekali melihat munculnya Kim-mo
Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata,
"Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita.
Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik
kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak
Kerajaan Tang roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan
tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala
Kerajaan Tang. Oleh karena itu para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat
Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil
alih kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para
Ciangkun ini sudah bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku
pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi
cucu bekas sahabatku sebagai musuh!"
Sebelum Cao
Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong
Lo Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara
karena kata-kata dan perbuatanmu hanya berdasarkan kepalsuan belaka, sama
seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan
sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan
berurusan dengan kau!"
Berubah
wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan
matanya memancarkan kemarahan besar.
Sementara
itu panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin
sambil berkata, "Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Kota raja sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah
bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan
seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat
mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota
raja."
"Kami
landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" terdengar riuh para panglima dan
perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.
Suasana
menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo
Taisu dan Kong Lo Sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan
bertanding mati-matian hanya tergantung dari pada jawaban Cao Kuang Yin yang
masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki.
Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar
aneh.
Di dalam
hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran.
Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu
terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar yang setia kepada
raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun sebagai seorang
bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah
mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang saudara terjadi
terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua
penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang pemimpin yang dapat
menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau.
Ia maklum
bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan
semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena
rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan seorang
kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka ini
melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah
mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja. Akan tetapi ia
pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan
menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya
terdapat Kim-mo Taisu yang sakti. Akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan
menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para
pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?
Jenderal Cao
Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring
dan berwibawa, "Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah
kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini
juga!"
Delapan
belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan
seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat
kepada kaisar baru!
Kembali Cao
Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih
dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. Akan tetapi pendekar sakti ini hanya
tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam
hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa
hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan
dari pada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang
jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.
Pakaian itu
diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena
ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya,
topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja yang sedang
memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah raja baru
mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan meneriakkan
"Banswee!" berkali-kali.
Kim-mo Taisu
maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan Hong-siang
(Kaisar) agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo
Sengjin."
Cao Kuang
Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk
dan berkata lirih, "Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan
Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."
Kim-mo Taisu
menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring,
"Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan
perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin dapat
dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.
Akan tetapi
pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali
orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar! Hidup
Kaisar! Hidup Kaisar!"
Cao Kuang
Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan
tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur
sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu
berkata, "Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini
juga kita kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian
dan kepada semua anggota barisan adalah, dilarang keras untuk melakukan
kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan.
Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan
pejabat lama, atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda
atau nyawanya. Siapa melanggar perintah laranganku ini akan dihukum mati!"
Para
komandan menyatakan taat, dan setelah memberi hormat keluarlah mereka bersama
Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula.
Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan
menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang
Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak
dan bertepuk tangan.
Gegap-gempita
keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong
Lo Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan
mendongkol sekali, dan makin yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar
seorang yang curang dan licik. Lain kali apabila ia mendapat kesempatan bertemu
muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding
mati-matian.
Karena tidak
ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan
tetapi diam-diam ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar
baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil.
Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari
kaisar baru ini.
Demikianlah
seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan
tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia
menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat
mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi
pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama.
Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar. Juga delapan belas komandan
yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat
oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka
tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru.
Mulailah Dinasti Sung yang kuat memerintah dan berhasil menyatukan bangsa.
Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).
***************
Seorang
pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana,
berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai
Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, di mana air
Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau
kecil tidak jauh dari pantai.
Pemuda ini
bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biar
pun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti
bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini
timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya,
di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya. Guratan yang timbul dari penderitaan
batin. Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan
tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya
seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh,
dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah
terpejam.
Bu Song
masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan
seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini
bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu bagaimana
caranya menjaga diri dari pada serangan orang lain. Dia sekarang adalah seorang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah
mewarisi semua ilmu kepandaian suhu-nya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa
bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.
Ketika Bu
Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhu-nya, ada dua hal yang
dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin
yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah
tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek
sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang
menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu,
Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia
gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.
"Bu
Song, kitab ini biar pun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi
sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada
suling emas itulah. Hal ini pun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua
orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan
benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan
kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara
suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat
untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah
dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu
untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."
Pesan Kim-mo
Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah
menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di
antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut
Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali
dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara.
Suhu-nya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga
dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi
agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan
pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka
inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir
Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya
seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di
atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat
di tempat lain, ular yang amat berbisa!
Selagi Bu
Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu,
tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu
kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari
ikan.
Bu Song
segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak
berlayar?"
Nelayan itu
kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang. Maka heranlah ia
melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak
asing, dengan lidah orang utara.
"Betul.
Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang
tali layar dan bersiap-siap.
"Kebetulan
sekali, Twako. Kau tolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya
pulang pergi?"
Nelayan itu
tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song.
Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu
bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"
"Itu
yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to...."
"Wah...!"
tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata
terbelalak.
Bu Song
merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"
Dengan suara
tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya,
"Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh,
muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan
ketakutan ketika memandang Bu Song.
"Ah,
aku hanya ingin pesiar, Twako."
Orang itu
menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini
bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka
ingin pesiar ke tempat itu.
"Kongcu
salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih
pulau... maut... itu?"
"Pulau
maut? Apa maksudmu, Twako?"
"Ah,
Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali.
Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para
nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah.
Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan
nyawa!"
"Mengapa
begitu?"
"Entahlah.
Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain
itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu,
membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang
terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah
pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu
benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah
ini."
"Tidak
salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. Jangan kau
khawatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau
suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak
yang ia dapat dari suhu-nya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung
uang perak dan beberapa potong uang emas.
Melihat lima
potong perak ini, si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu!
Mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia
memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau menyeberangkan
ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut."
"Tidak
usah takut, aku menjamin keselamatanmu."
"Kongcu
kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat
dari pada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu...."
"Kau
tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh
berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"
Si Nelayan
ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar
nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan
berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat dari pada
batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar
suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!
Si Nelayan
melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian
kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya
mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."
"Jangan
khawatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu
terlalu dekat, dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."
Nelayan itu
menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang
memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan si Nelayan berlayar
ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan
keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak
sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama
Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan
seram? Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun
sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah
keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu,
membuktikan omongan si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.
Dengan
perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka
sudah tiba di dekat pulau itu. Kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari
jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur.
Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya
mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh si Nelayan menggigil ketakutan. Maka
Bu Song lalu meloncat ke darat.
"Kau
pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!"
Si Nelayan
hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat
yang ditakuti ini.
Bu Song
tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau. Nelayan itu
agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ia ketakutan seperti itu. Pulau
ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali
keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke
atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan
pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu.
Setelah tiba
di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup
subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau
itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang
putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak
ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu
Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja.
Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat
sebelum senja.
Bu Song
turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah
pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya.
Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok
ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia
apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya
dan agaknya orang itu berwatak keji, karena buktinya tanpa ada angin atau hujan
tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia!
Ia memandang
ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah
kanannya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia
kaget sekali. Tiba-tiba ia diserang lagi, dan kini bahkan serangan itu datang
dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia
seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat
bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya.
Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.
"Cu-wi
sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk
bermusuhan dengan siapa pun juga."
Pada saat
itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin
memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih
itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking
kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular
putih yang kini terjepit di antara dua jarinya, akan tetapi ular itu telah
menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu
hancur.
Telapak
tangannya mengeluarkan darah sedikit, tapi Bu Song tidak khawatir. Tubuhnya
sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka
dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong ke luar
darahnya melalui luka. Darahnya yang keluar dari luka berubah putih, tanda
keracunan! Akan tetapi hanya sedikit, dan setelah yang mengucur ke luar adalah darah
merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam
merasa geli.
Kiranya ia
tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil
‘terbang’ atau lebih tepat, meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular
itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah
kini Bu Song mengapa si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan
ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan
hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan
dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba
jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan
mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara
suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan
tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu
datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit
dengan batu-batu hitam.
Girang
sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak
ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya!
Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. Kini ia tiba di daerah penuh
pasir, dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu
bergerak memutar!
Begitu
jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget
bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan
ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan
sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir
itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat
membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali
tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat
berbahaya.
Kini ia
melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali
pasir berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu
kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian
terhindarlah ia dari bahaya itu. Akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana
suara suling kini terdengar jelas.
Suara suling
itu keluar dari sebuah goa. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan
menghampiri. Goa itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia
berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan
goa, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling
berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah
Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya
datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera
terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong,
apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku
atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan
Liong?"
Bu Song
terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong?
"Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu
Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih
merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan
menikah lagi.
"Orang
muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam
goa yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar goa, buktinya dapat
mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama
sekali bukan, Paman."
"Kau
membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum
Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan
menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!"
Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang
muda, coba kau bacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu Song
sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia
sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
Matahari
bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati
begitu lahir.
Selatan
tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke
selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah
semua benda dengan sama.
Alam adalah
satu.
Kitab kecil
kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti.
Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri
Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut
ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling
bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar
Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam goa berseru girang,
"Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki
kepandaian, siapakah gurumu?"
"Suhu
bernama Kim-mo Taisu."
"Wah,
pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu
akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang
menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong
kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap
binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song
melangkah masuk. Karena orang di dalam goa sudah memberi peringatan, ia
bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya
siap sedia. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang
amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki goa itu sehingga ia
dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang
merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa! Kulitnya tebal,
matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan
dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara
mendesis makin hebat dan ternyata binatang itu bukan seekor saja, melainkan ada
empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song
berdiri memasang kuda-kuda. Begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya
menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song
segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
"Desss!!"
binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu
merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung.
Lega hati Bu
Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan dari pada membahayakan. Ia
tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului
menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi
pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras
dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di
balik batu karang yang gelap di kanan kiri goa.
"Bagus!
Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong.
Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat
keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian
muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap.
Ketika tiba
di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki
tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini
tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan ke luar,
langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di
tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar
matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling
emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.
Kakek itu
pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song.
"Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling
ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat,
jangan sampai ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song
keluar dari dalam goa.
"Apakah
Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu
berhenti di depan goa dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan
membayangkan kecurigaan. "Kau mengenal dia?"
"Tentu
saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo
Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh
keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang
bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh
tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa...? Kim-mo Taisu menjadi mantu
keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh
keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song,
kau ceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi
ke belakang tumpukan karang tak jauh dari goa. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan
Bu Song segera menceritakan keadaan suhu-nya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo
Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa
secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan
tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita
juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun
bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di
dalam jurang.
Mendengar
penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu
benar-benar telah menyeleweng jauh dari pada kebenaran! Untung bukan dia yang
mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah
meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan
hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song
bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu
agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun
membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut
dimaki dan dikutuk!"
Hening
sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca
sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu,
setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya. Suara suling
ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu
sesuai dengan bunyi sajak. Kami, yaitu aku dan adikku yang telah meninggal
adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian
anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami
semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni
sastra diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak
dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan
mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin, menjernihkan pikiran dan menghalau
segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin
yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu aku yakin bahwa dua benda ini pun
mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya
tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami.
Nah, kau bacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"
Mendengar
penjelasan itu Bu Song merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan
bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia
membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan
terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu
Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca
huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh...
ngieeehhh!"
Seketika Ciu
Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini Bu Song juga menghentikan
bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan goa tadi kini tampak
sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali,
karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki
yang di belakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh"
tadi.
Dua orang
laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus
seperti rangka terbungkus kulit, berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya
memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi
ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk
mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana
seperti orang yang pertama.
"Kiu-ji
dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup
suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka kedua
orang gundul itu menjadi ketakutan. Si Gendut lalu menggerak-gerakkan ekor kuda
agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!" Mereka
berkata ketakutan.
Benar-benar
pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keingin-tahuan
hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka
itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari
binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi
mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka
itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi
Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal
ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ciu Bun
mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! Dengarlah, Couw Pa Ong adalah
sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada
Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat
kedudukan guru sastra di kota raja! Atas ajakannyalah aku tinggal di sini untuk
menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini.
Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya
kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya
mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling
dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa
pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini
tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia
penasaran lalu memasukkan aku ke dalam goa itu, dijaga oleh binatang-binatang
liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki goa hanyalah
dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu
bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami
kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu
dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah
dapat menangkap contohku tadi?"
"Sudah,
Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena
hal ini memang amat sukar dimengerti."
"Memang.
Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."
"Paman,
saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus!
Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan
agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang
kubaca!"
Mereka
bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari
tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan
Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia
berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena
Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi
sulingnya, mengarah bunyi huruf. Ketika meniup suling, seluruh perhatiannya
dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara
sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.
ADA muncul
dari TIADA.
Betapa
mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari
ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari
titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya
semua itu kosong hampa,
sesungguhnya
tidak ada apa-apa!
Demikianlah
bunyi sajak terakhir itu. Sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus
diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru,
"Ya Tuhan....!!"
Bu Song
memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah
kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu
bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biar pun wajah itu amat pucat,
namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan
memegang kitab, lalu bibirnya bergerak. "Dapat sudah sekarang... ya Tuhan,
dapat sudah..."
Bu Song
tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman
maksudkan?"
"Bu
Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" tiba-tiba kakek itu bertanya,
suaranya biasa kembali.
"Sudah,
Paman."
"Kalau
begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kau bawalah suling itu pergi dari sini,
cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau,
Bu Song."
Bu Song
mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut
pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan?
Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau cepat pergi, jangan sampai dia
datang mendapatkan kau di sini."
"Tapi,
Paman..."
"Keraguan
hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!" Kakek itu berkata
dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi.
Ia
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu,
menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ,
menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu
membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu
seperti berteriak girang.
Akhirnya
semua itu kosong hampa,
sesungguhnya
tidak ada apa-apa!
Ketika Bu
Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan
itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru
sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kakak nelayan...!
Kemarilah...!!"
Layar itu
makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama si Nelayan yang
berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song
lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi si Nelayan memandang ke arah pulau
dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat
lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah
berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang
manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu
karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu. Dua batu karang itu
besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
"Cepat
jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat
ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang
menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan
sinkang-nya.
"Byurrr...!"
dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi
saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena
papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang
terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan
hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah
cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali
angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu
meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu....
Mereka itu tadi.... siluman.... atau ibliskah.....?"
Bu Song
tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau
Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka
akan tewas. Selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga
di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.
"Agaknya
mereka itu iblis pulau. Akan tetapi untung kita dapat melarikan diri!"
jawab Bu Song.
Jawaban ini
membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya
untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment