Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 16
Karena
sampai lama gadis itu tak menjawab dan hanya menunduk, Sang Pangeran lalu
melepaskan tangan kirinya yang berada di pundak kanan gadis itu, lalu dengan
hati-hati menggunakan jari-jari tangan kiri memegang dagu gadis itu dan
mengangkat muka itu perlahan-lahan menghadapinya. Muka yang agak pucat, kedua
matanya terpejam dan beberapa butir air mata menitik turun dari mata itu ke
atas kedua pipinya.
“Li Hwa....
jawablah, maukah engkau....?”
Li Hwa
membuka mata dan sejenak mereka saling berpandangan, kemudian gadis itu
mengangguk dan menggenggam cincin itu. “Hamba.... akan menyimpan cincin ini....
sampai akhir hayat....”
“Tok-tok-tokk!”
Keduanya
terkejut sekali dan otomatis Li Hwa melangkah mundur, membalikkan tubuh
memandang ke arah daun pintu itu.
“Siapa....?”
Pangeran Kian Liong membentak dengan suara kereng.
“Saya,
Pangeran. Harap buka pintu!” terdengar suara wanita dari luar pintu.
Mendengar
suara ini, Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa dia
menghadapi ancaman! Akan tetapi, dia bersikap tenang dan pura-pura tidak
mengenal suara itu, lalu bertanya. “Saya siapa?”
“Saya Ibumu
ke tiga, Pangeran.”
“Ahh, harap
Ibu tidak mengganggu, saya ingin tidur.”
“Bukalah,
Pangeran, dan tidak perlu lagi berpura-pura. Ibumu sudah tahu bahwa engkau
menyembunyikan wanita pemberontak itu di dalam kamar!”
“Singgg....!”
Li Hwa mencabut pedangnya.
Namun
Pangeran Kian Liong memberi isyarat agar wanita itu bersikap tenang, bahkan dia
lalu memegang dan menggandeng tangan kiri Li Hwa dan berbisik menyuruh gadis
itu menyarungkan pedangnya. Kemudian dia berkata, menghadapi pintu.
“Tunggu,
saya hendak keluar dengan teman saya.” Dan Pangeran itu lalu menggandeng tangan
Li Hwa, diajaknya menghampiri pintu, membuka daun pintu dan melangkah keluar
sambil menggandeng tangan gadis yang kini memakai pakaian pria yang agak
kedodoran itu! Diam-diam Li Hwa merasa gelisah sekali, jantungnya berdebar
tegang dan dia sudah siap untuk melawan kalau-kalau dia hendak diserang atau
ditangkap.
Melihat
Pangeran Mahkota itu melangkah dengan amat gagah menggandeng seorang ‘pemuda’
yang pakaiannya kebesaran, Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga itu terbelalak
dan tahulah dia bahwa ‘pemuda’ itu tentu wanita pemberontak yang tengah
dikejar-kejar. Tadi dia menerima laporan mata-matanya, yaitu seorang di antara
para pelayan thaikam yang melihat Pangeran itu masuk ke kamar bersama wanita
yang pakaiannya basah kuyup.
“Pangeran,
tunggu! Engkau tidak boleh....”
“Apa?”
Pangeran itu berhenti, membalik diri dan menghadapi wanita tua itu, kemudian
memandang tajam kepada para pengawal yang datang bersama ibu suri itu, pandang
matanya penuh tantangan, “Siapa berani menghalangi aku keluar dari sini? Siapa?
Ingin kulihat orangnya yang berani menghalangiku!” Sikapnya amat gagah dan
menantang sehingga semua pengawal menundukkan muka, tidak berani menentang
pandang mata Pangeran itu.
Melihat ini,
Pangeran Kian Liong tersenyum dan dia pun lalu menggandeng tangan Li Hwa dan
terus diajak berjalan keluar. Sejenak Sam-thaihouw tertegun menyaksikan
keberanian Pangeran itu dan kemudian dia pun sadar bahwa bagaimana pun juga,
tidak akan ada pengawal yang berani menghalangi Pangeran Mahkota itu.
Kalau dia
yang mengerahkan pengawal pribadinya, tentu pengawalnya akan berani, akan
tetapi dia tahu bahwa hal itu amat tidak baik baginya. Betapa pun juga,
Pangeran itu adalah Pangeran Mahkota, putera terkasih dari Kaisar, maka dia
harus bersikap hati-hati.
Maka, dengan
marah dan mendongkol sekali dia berkata, “Pangeran, tunggu saja nanti apa kata
Sri Baginda kalau mendengar bahwa Pangeran telah meloloskan seorang pemberontak
dan pembunuh Kaisar!”
Tetapi Kian
Liong pura-pura tidak mendengarnya, terus mengajak Li Hwa keluar dari istana
itu. Setiap pengawal dan penjaga yang masih sibuk mencari-cari ‘pemberontak’
wanita itu, begitu melihat Pangeran itu bergandengan tangan dengan seorang
‘pemuda’ yang mereka tentu saja kenal sebagai gadis pemberontak yang mereka
kejar-kejar itu, berdiri tertegun, bengong dan tidak tahu harus berbuat apa,
kemudian begitu bertemu dengan pandang mata Pangeran yang menantang, mereka
memberi hormat dan menundukkan muka!
Li Hwa
merasa betapa tubuhnya panas dingin saking tegangnya ketika dia digandeng oleh
Pangeran itu keluar dari istana, melalui lorong-lorong dan ruangan-ruangan luas
yang penuh dengan penjaga-penjaga.
Diam-diam
dia merasa makin terharu. Pangeran ini ternyata sungguh-sungguh menolongnya dan
dia tahu bahwa untuk ini, Pangeran itu mengorbankan diri terancam oleh
kemarahan Kaisar! Dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan marahnya Kaisar
kalau mendengar bahwa puteranya sendiri yang meloloskan orang yang hendak
membunuhnya!
Akan tetapi,
tak ada seorang pun berani menegur, apalagi menghalangi Pangeran yang
menggandeng tangan gadis yang menyamar pria itu sampai mereka keluar dari pintu
gerbang istana! Pangeran Kian Liong melewati penjaga terakhir di pintu gerbang
dan terus mengajak Li Hwa berjalan keluar tembok istana dan berhenti di tempat
yang gelap oleh bayangan tembok pagar dan pohon.
“Nah, dari
sini engkau dapat melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang kota raja
sebelah selatan, Li Hwa. Ingat, perlihatkan cincin dan suratku, dan kutanggung
takkan ada seorang pun yang berani mengganggumu.”
Li Hwa
menjatuhkan diri berlutut. “Pangeran telah menunjukkan budi kebaikan dan cinta
kasih yang amat besar, untuk itu hamba Souw Li Hwa tidak akan melupakan selama
hidup hamba....”
Pangeran
Kian Liong membungkuk dan memegang kedua pundak gadis itu, menariknya bangun
berdiri dan biar pun cuaca cukup gelap di tempat ini, terlindung bayangan
tembok dan pohon, akan tetapi karena mereka berdiri berhadapan dekat sekali,
mereka dapat saling melihat garis muka masing-masing.
“Li Hwa,
kalau benar engkau tidak akan melupakan, kelak engkau tentu akan memenuhi janji
datang kepadaku dan hidup bersamaku.”
Li Hwa
merasa demikian terharu dan juga berbahagia sehingga dia agak terisak ketika
berbisik, “Hamba bersumpah....” akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dalam sebuah
ciuman yang mesra dan penuh kasih sayang.
Dalam
dorongan gairah asmara yang bergelora, dibangkitkan oleh rasa terima kasih,
gadis itu hanya merintih dan membalas ciuman itu dan merangkulkan kedua
lengannya pada leher Sang Pangeran.
“Pemberontak,
kalian hendak lari ke mana?”
Bentakan ini
tentu saja membuat mereka terkejut, melepaskan ciuman dan rangkulan
masing-masing dan Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Sesosok bayangan orang yang
tinggi besar telah berada di situ, berdiri bertolak pinggang dengan sikap
mengejek. Pangeran Kian Liong yang mengira bahwa orang itu tentu seorang di
antara para penjaga pintu gerbang istana, menjadi marah.
“Hemm,
manusia lancang. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?”
Akan tetapi,
sikap dan jawaban orang itu sungguh mengejutkan hati Sang Pangeran. Orang itu
tertawa bergelak, “Hoa-ha-ha-ha-ha, tentu saja aku tahu. Engkau adalah Pangeran
yang mengkhianati Kaisar, membantu pembunuh melarikan diri!”
“Eh, siapa
engkau? Dan mau apa kau?” Pangeran membentak, wajahnya berubah agak pucat
karena maklum bahwa ada terjadi sesuatu yang luar biasa dan yang mengancam
keselamatannya, terutama sekali keselamatan Li Hwa.
“Aku?
Ha-ha-ha, aku adalah orang yang hendak menangkap kalian, mati atau hidup!”
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar orang tinggi besar ini bergerak
maju.
Melihat ini,
Li Hwa yang sudah memegang pedang di tangan kanannya itu segera menerjang,
mendahului orang yang mengancam keselamatan Pangeran Kian Liong. Gerakannya
cepat dan ganas sekali karena dara ini sudah menjadi marah dan nekat. Kalau
orang ini hendak mencelakai Sang Pangeran, biarlah dia mengadu nyawa! Maka,
seluruh kekuatan dan kepandaiannya dikerahkan dalam serangan-serangannya tanpa
mempedulikan bagian pertahanan lagi.
Akan tetapi,
orang tinggi besar itu hanya tertawa dan dengan lengan dan tangan kosong dia
menangkis pedang nona itu.
“Trakkk!”
Sekali
tangkis, pedang di tangan gadis itu patah menjadi dua seperti bertemu dengan
benda yang luar biasa kerasnya! Li Hwa terkejut bukan main, akan tetapi dia tak
mundur sama sekali.
“Keparat,
jangan kau berani mengganggu Pangeran!” bentaknya dan dengan pedang buntung itu
dia menerjang lagi, pedang buntungnya membacok dan tangan kirinya mengirim
pukulan ke arah pusar lawan, gerakannya amat ganas.
“Bressss....!”
Orang tinggi
besar itu memapaki dengan tendangan tanpa mempedulikan serangan gadis itu, yang
pada waktu bertemu dengan tubuhnya yang kebal bagaikan menyerang orang-orangan
dari karet yang amat kuatnya, sedangkan tendangan itu membuat tubuh Li Hwa
terjengkang dan terbanting sampai berguling-gulingan.
“Li
Hwa....!” Pangeran Kian Liong lari menghampiri dan berlutut, merangkul dara
itu.
“Hamba tidak
apa-apa, Pangeran. Paduka menyingkirlah, biar hamba mengadu nyawa dengan
keparat ini!” Li Hwa bangkit lagi akan tetapi dia dirangkul oleh Pangeran Kian
Liong.
Melihat ini,
orang tinggi besar itu tertawa.
“Biarlah
kami menyerah, engkau boleh menangkap kami dan kami tidak akan melawan,” kata
Pangeran itu yang merasa khawatir kalau-kalau gadis yang dicintanya itu akan
terluka atau tewas di tangan orang yang lihai itu.
“Ha-ha-ha,
sungguh-sungguh lucu! Pangeran Mahkota berpacaran dengan perempuan pemberontak
yang berusaha membunuh Kaisar, ayahnya sendiri. Ha-ha, sayang sekali, Pangeran,
perintah yang tadi kuterima adalah menangkap kalian dalam keadaan tidak
bernyawa lagi. Bersiaplah kalian untuk mati bersama, mati yang mesra,
ha-ha-ha!”
Orang tinggi
besar itu menerjang maju. Pangeran Kian Liong dan Li Hwa yang maklum akan
kesaktian orang itu hanya menanti datangnya pukulan maut tanpa dapat membela
diri lagi.
“Dessss....!”
Tubuh orang
tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak mencoba menembus
kegelapan malam dalam pandang matanya ketika dia melihat seorang pria yang
berlengan satu sudah berdiri di situ dan laki-laki itulah yang tadi
menangkisnya!
“Pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir....” Orang tinggi besar itu tergagap.
“Hemm,
Sam-ok, keberanianmu melewati batas!” kata orang berlengan satu itu yang bukan
lain adalah Kao Kok Cu.
Kiranya
orang tinggi besar yang lihai itu adalah Sam-ok Ban-hwa Sengjin, maka pantas
saja Li Hwa sama sekali tidak berdaya menghadapi datuk kaum sesat yang sakti
ini. Karena usahanya digagalkan, biar pun dia tahu akan kesaktian Si Naga
Sakti, Sam-ok menjadi nekat dan rasa penasaran membuat dia lupa diri! Tubuhnya
sudah membuat gerakan berpusing cepat dan dia sudah mainkan ilmunya yang amat
diandalkan, yaitu ilmu Silat Thian-te Hong-i (Badai Mengamuk Langit Bumi).
Sambil
berpusing, tubuhnya yang lenyap menjadi bayangan berpusing cepat itu telah
meluncur ke arah Si Naga Sakti. Kao Kok Cu adalah seorang yang memiliki tingkat
kepandaian tinggi sekali, maka melihat gerakan lawan ini dia bersikap
tenang-tenang saja dan hanya berloncatan ke kanan kiri, untuk menghindar setiap
kali dari bayangan berpusing itu mencuat sinar yang merupakan serangan-serangan
tangan atau kaki yang amat berbahaya dari Sam-ok.
Sementara
itu, melihat munculnya pendekar sakti itu yang menolongnya, hati Pangeran Kian
Liong menjadi lega dan dia lalu rnendekap Li Hwa, menciumnya satu kali dan
berkata, “Li Hwa, cepat kau pergilah dari sini. Ingat, pergunakan cincin dan
surat!”
Li Hwa
terisak, “Pangeran.... selamat tinggal....”
“Jangan lupa
pesanku, Li Hwa.”
Gadis itu
lalu meloncat dan melarikan diri ke dalam kegelapan malam, menuju ke pintu
gerbang kota raja sebelah selatan. Dengan cincin dan surat itu, tentu saja dia
akan dengan mudah dapat keluar dari kota raja, karena di dalam surat itu Sang
Pangeran memerintahkan agar gadis itu dilindungi dan siapa yang berani
membangkang terhadap perintah gadis itu berarti membangkang terhadap
perintahnya dan si pembangkang akan dihukum berat!
Sungguh
terjadi perubahan besar sekali atas batin Li Hwa. Kalau tadi ketika memasuki
istana dia merupakan seorang gadis yang penuh semangat permusuhan, serta penuh
kebencian dan dendam terhadap Kaisar, kini dia meninggalkan kota raja dengan
hati seperti tertinggal di istana penuh keharuan, kekaguman dan juga cinta
kasih terhadap Pangeran Kian Liong, juga kedukaan bahwa dia harus berpisah dari
Pangeran yang amat dikaguminya itu.
Dia masih
merasa putus asa untuk dapat berjumpa kembali dengan Pangeran yang dicintanya
itu, sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa kelak dialah yang menjadi selir
paling terkasih di antara para selir Pangeran Kian Liong setelah Pangeran itu
menjadi Kaisar yang amat berkuasa kelak!
Sementara
itu pertandingan antara Kao Kok Cu melawan Sam-ok tidak berjalan lama. Baru
belasan jurus saja sudah dua kali tubuh Sam-ok terpental sampai jauh dan biar
pun dia tidak mengalami luka parah, namun dadanya terasa sesak setiap kali dia
bertemu tangan dengan pendekar sakti itu. Dan akhirnya Sam-ok lalu melompat dan
melarikan diri karena kalau sampai datang pasukan pengawal, tentu dia akan
celaka.
Kao Kok Cu
tidak mengejar, melainkan berkata kepada Pangeran Kian Liong dengan tenang,
“Sebaiknya Paduka kembali ke dalam istana.”
“Kembali
engkau telah menyelamatkan aku, Paman,” jawab Pangeran Kian Liong yang lalu
menambahkan, “Harap Paman menyimpan rahasia tentang apa yang Paman lihat pada
malam hari ini.”
Kao Kok Cu
mengangguk, paham bahwa yang dimaksudkan tentulah rahasia Pangeran itu yang
mengenal diri gadis Siauw-lim-pai itu. Kemudian dia mengawal Sang Pangeran
kembali ke istana, disambut oleh Wan Ceng, Wan Tek Hoat, dan Syanti Dewi. Lima
orang ini bercakap-cakap dan Wan Tek Hoat yang pernah mengintai keadaan Im-kan
Ngo-ok, menceritakan bahwa Im-kan Ngo-ok adalah tokoh-tokoh yang diperalat oleh
Sam-thaihouw, demikian pula murid-murid Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-bi Mo-li.
Pangeran Kian Liong yang sudah menduga akan hal ini, diam-diam marah sekali dan
mengambil keputusan untuk tidak akan mendiamkan saja sepak terjang Sam-thaihouw
yang amat membahayakan ayahnya itu.
Pada
keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, setelah menanti sampai lama,
dua pasang suami isteri pendekar itu dipersilakan memasuki ruangan makan pagi
seperti yang dikehendaki oleh Kaisar, yaitu mereka diundang untuk makan pagi
bersama Kaisar untuk bercakap-cakap. Dalam pertemuan ini hadir pula Pangeran
Kian Liong yang sekalian membuat laporan kepada Kaisar tentang perjalanan ke
Pulau Kim-coa-to.
Tetapi
Kaisar agaknya hanya setengah hati mendengarkan laporan puteranya. Pandang
matanya lebih banyak ditujukan kepada Syanti Dewi yang lebih sering menundukkan
mukanya. Wan Tek Hoat, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, juga Sang Pangeran sendiri,
dengan mudah dapat menduga bahwa Kaisar yang terkenal mata keranjang itu mulai
tertarik oleh kecantikan Syanti Dewi yang memang luar biasa itu.
“Kami
mendengar bahwa Anda memiliki ilmu silat amat lihai,” dalam suatu kesempatan
Kaisar berkata, dan ditujukan kepada Syanti Dewi. “Timbul keinginan hati kami
untuk menyaksikan, bagaimana seorang puteri yang demikian halus dan cantik,
lemah lembut seperti Anda pandai main silat. Maka, hendaknya Anda suka
memperlihatkan ilmu pedang Anda antuk membuka mata kami yang selalu haus untuk
mengagumi ilmu silat yang baik.”
Semua orang
diam-diam terkejut mendengar ini. Ini namanya sudah keterlaluan. Biar pun dia
seorang kaisar, akan tetapi yang diperintahnya adalah tamu, dan seorang wanita
yang baru saja menikah pula. Mana mungkin Kaisar memerintah orang yang bukan
menjadi pengawal atau anak buahnya begitu saja, apalagi kalau orang itu seorang
wanita seperti Syanti Dewi dan perintahnya untuk bermain silat lagi?
Syanti Dewi
dengan sikap tenang lalu menjura. “Harap Paduka sudi mengampunkan hamba. Hamba
hanya belajar sedikit, mana berani hamba memperlihatkan kejelekan di hadapan
Paduka?”
“Aih, Anda
terlalu merendahkan diri. Kami sendiri telah mendengar desas-desus, bahwa dewi
dari Kim-coa-to selain cantik jelita seperti bidadari juga memiliki ilmu silat
yang amat tinggi, yang sukar dicari bandingannya. Kecantikan seperti bidadari
itu telah kami buktikan dan malah melebihi desas-desus itu kenyataannya, hanya
ilmu silat itu belum kami saksikan. Harap Anda jangan menolak, demi untuk
menggembirakan suasana pagi ini.” Kaisar mendesak sambil tersenyum dengan sikap
ceriwis, tanpa sungkan sedikit pun juga meski pun di situ hadir suami puteri
itu, hadir pula puteranya dan suami isteri pendekar yang selama ini amat
dikaguminya.
Syanti Dewi
melirik ke arah suaminya, akan tetapi Tek Hoat duduk dengan tenang-tenang saja,
jelas bahwa suaminya tidak hendak mencampuri dan menyerahkan Si Isteri untuk
mengambil keputusan sendiri bagaimana cara menghadapi permintaan Kaisar itu.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar pemberitahuan dari pengawal yang berseru dengan suara
lantang, “Yang Mulia Sam-thaihouw berkenan menghadap Sri Baginda Kaisar!”
Kaisar
menoleh dan mengerutkan alisnya karena merasa terganggu, tetapi sebelum dia
membantah, dan kiranya belum tentu Kaisar berani membantah kalau ibu suri ke
tiga itu muncul, Sang Ibu Suri sudah memasuki ruangan itu dari pintu. Seorang
nenek yang masih nampak jelas bekas-bekas kecantikannya, dengan muka yang
dirias tebal, rambut yang ditambah dengan cemara tebal dan hitam digelung rapi,
pakaian yang mewah sekali dan begitu dia muncul tercium bau semerbak wangi yang
amat mencolok hidung. Tentu ada setengah botol minyak wangi yang dihamburkan di
atas pakaian dan tubuhnya.
Setelah
menghampiri meja itu, Sam-thaihouw lalu menjura ke arah Kaisar dan untuk
menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang tahu aturan, Kaisar juga bangkit
berdiri dan membalas penghormatan orang yang menjadi Ibu tirinya itu.
“Semoga
Thian memberkahi Sri Baginda!” kata Sam-thaihouw.
“Semoga Ibu
selalu dalam keadaan sehat,” balas Sri Baginda Kaisar.
Sam-thaihouw
lalu memutar tubuh dan menghadapi Pangeran Kian Liong yang masih tetap duduk di
atas bangkunya, bersikap tidak mengacuhkan ketika wanita ini masuk. Kemudian
dengan gerakan lambat seperti gerakan teratur seorang pemain wayang,
Sam-thaihouw mengangkat lengan kirinya, mengeluarkan tangannya yang tersembunyi
di dalam lengan baju yang panjang, telunjuk kirinya menuding ke arah muka
Pangeran itu dan mulutnya mengeluarkan kata-kata lantang, “Sri Baginda sudah
makan pagi bersama dengan seorang pengkhianat.”
Tentu saja
Kaisar merasa terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang kepada ibu
tirinya itu dan akhirnya bertanya, “Apa yang Ibunda maksudkan?”
“Tentu Sri
Baginda telah memaklumi bahwa seorang di antara gerombolan pemberontak yang
semalam menyerang Paduka, yaitu seorang penjahat wanita, telah berhasil lolos.
Tahukah Paduka apa yang terjadi semalam? Saya telah melihat sendiri di mana
adanya gadis pemberontak itu semalam!” Dia berhenti lagi, untuk menambah
ketegangan dan memperbesar keinginan tahu kaisar.
“Di mana?”
Kaisar mendesak dan memang Kaisar merasa terkejut, heran dan ingin tahu sekali.
“Di dalam
kamar Pangeran Kian Liong!”
“Ahhh....”
Kaisar terkejut sekali dan menoleh, memandang kepada puteranya.
“Bukan itu
saja, Sri Baginda. Bahkan Pangeran Kian Liong juga telah ikut membantu
pemberontak itu, membawanya sendiri sampai keluar dari dalam istana,
menyelamatkan perempuan jahat itu dari tangan para pasukan pengawal. Itulah
sebabnya maka saya berani mengatakan bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang
pengkhianat!”
Wajah Kaisar
berubah merah serta sinar matanya jelas membayangkan kemarahan besar ketika
kini dia memandang kepada Pangeran Kian Liong. Dua pasang suami-isteri pendekar
itu memandang kepada Sang Pangeran dengan hati gelisah, akan tetapi juga mereka
kagum bukan main ketika melihat betapa Pangeran itu kelihatan tenang-tenang
saja, bahkan ada senyum bersembunyi di balik sinar matanya.
“Pangeran,
apa jawabanmu sekarang? Benarkah apa yang tadi sudah dikatakan oleh
Sam-thaihauw?” Karena di situ terdapat orang-orang lain sebagai tamu, maka
sikap Kaisar terhadap puteranya itu kaku dan penuh aturan.
Pangeran
Kian Liong mengangguk! “Harap Paduka dengarkan dengan sabar penjelasan hamba
tentang gadis itu. Gadis itu datang bersama orang-orang Siauw-lim-pai yang
tentu Paduka kenal, dan gadis itu datang bukan sebagai pemberontak melainkan
ada kunjungan dengan urusan pribadi, yaitu antara Suhu-nya dan Paduka. Jadi
urusan tadi malam adalah urusan dalam keluarga perguruan Siauw-lim-pai, tidak
ada hubungannya dengan pemberontak dan Kaisar. Memang hamba telah menyuruh Nona
itu pergi setelah hamba berhasil menyadarkannya akan kekeliruan tindakan
murid-murid dari Siauw-lim-pai. Hamba juga menyuruh dia menyadarkan para murid
Siauw-lim-pai bahwa menganggap Paduka sebagai murid Siauw-lim-pai adalah
keliru, dan hamba ingatkan Paduka adalah Kaisar dan siapa pun yang menentang
Paduka, dengan dalih apa pun, berarti memberontak. Hamba mengampuni dan
menyelamatkan gadis itu demi untuk menghentikan rasa permusuhan dari para murid
Siauw-lim-pai terhadap Paduka. Kalau Paduka tetap menganggap hamba bersalah,
hamba hanya menyerahkannya kepada kebijaksanaan Paduka Ayahanda Kaisar!”
Mendengar
jawaban yang terus terang ini, Kaisar mengangguk-angguk. Tentu saja dia
mengerti apa yang telah terjadi. Dia pun mengenal tujuh orang suheng-suheng-nya
dari Siauw-lim-pai yang telah tewas semua itu dan dia dapat menduga bahwa gadis
itu tentu murid dari suheng-nya yang datang bersama isterinya yang cantik
beberapa bulan, bahkan sudah setahun yang lalu itu.
Agaknya
puteranya itu pun tahu akan hal itu dan betapa bijaksana puteranya yang tidak
membuka rahasia itu. Biar pun dia kurang puas karena seorang di antara
calon-calon pembunuhnya itu lolos, bahkan diselamatkan oleh puteranya sendiri,
namun betapa pun juga puteranya berusaha untuk menghentikan permusuhan dalam
hati para murid Siauw-lim-pai terhadap dirinya.
Melihat
Kaisar mengangguk-angguk, diam-diam Sam-thaihouw merasa tidak puas sama sekali.
Dia melihat kesempatan baik sekali untuk menjatuhkan Sang Pangeran yang
dibencinya, untuk menjauhkan Pangeran ini dari ayahnya, dan untuk membangkitkan
kebencian atau setidaknya kemarahan di hati Kaisar terhadap Pangeran Mahkota,
akan tetapi melihat Kaisar itu justru mengangguk-angguk mendengar jawaban
Pangeran Kian Liong, dia menjadi kecewa sekali.
“Sungguh
keterangan yang bohong!” teriaknya. sambil menudingkan telunjuknya pada
Pangeran Muda itu. “Pangeran telah jatuh cinta kepada gadis itu! Kedua mataku
belum lamur, aku melihat sendiri betapa gadis itu memakai pakaian Pangeran! Dan
betapa Pangeran menggandeng tangan gadis itu amat mesranya! Dan kalau pangeran
sudah bersekongkol, bercinta dengan seorang musuh yang baru saja hendak
membunuh Paduka, sungguh hal itu merupakan bahaya besar bagi Sri Baginda,
seolah-olah mempunyai musuh di dalam selimut! Karena itu, sudah sepantasnya
kalau Paduka mengeluarkan perintah menangkap pemberontak ini, pengkhianat ini
dan menyelidikinya dengan cermat berapa jauh hubungannya dengan para
pemberontak. Siapa tahu dia pula yang memungkinkan para pemberontak malam tadi
itu memasuki istana....”
Pangeran
Kian Liong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang saja, akan tetapi suaranya
lantang ketika dia memotong kata-kata nenek tirinya itu, “Tidakkah akan lebih
lengkap lagi bagi Sri Baginda untuk mendengar cerita Sam-thaihouw tentang
Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat itu yang kini menjadi kaki tangan
Sam-thaihouw, termasuk juga Su-bi Mo-li, empat orang siluman betina itu?”
Sam-thaihouw
terkejut mendengar itu, tetapi dia cepat menegakkan leher dan berkata dengan
suara mengandung wibawa yang keluar dari keangkuhan dan keyakinan akan
kekuasaannya, “Apa salahnya aku menggunakan tokoh-tokoh kang-ouw dari golongan
mana pun juga? Dari golongan mana pun, mereka adalah rakyat yang setia kepada
kerajaan, dan aku menggunakan mereka demi untuk menyelamatkan negara, bukan
sebaliknya untuk mengkhianati Negara, bahkan Kaisar sendiri!” Sam-thaihouw
kembali menyerang dan memang nenek ini pandai berdebat.
Mendengar
perdebatan mereka, Kaisar menjadi bingung. Dia hanya menoleh kepada dua orang
itu berganti-ganti mengikuti perdebatan itu dan nampaknya tertarik.
Pangeran
Kian Liong tersenyum. Pangeran ini biar pun masih muda namun sebenarnya dia
sangat cerdik dan memang tadi dia hanya memancing saja. Begitu mendengar
pembelaan diri Sam-thaihouw, dia tersenyum dan merasa pancingannya berhasil dan
merasa yakin akan kemenangannya. Memang jawaban inilah yang ditunggu-tunggunya.
“Sam-thaihouw
menuduh saya bersekutu dengan pemberontak, padahal sudah jelas bahwa
orang-orang Siauw-lim-pai itu bukan pemberontak dan saya hanya berusaha
melenyapkan sikap bermusuhan mereka terhadap Kaisar. Akan tetapi Sam-thaihouw
agaknya sengaja hendak menutup mata akan kenyataan siapa adanya Im-kan Ngo-ok!
Sam-thaihouw kiranya dapat menceritakan kepada Sri Baginda, siapa adanya orang
ke tiga dari Im-kan Ngo-ok? Siapakah adanya Sam-ok Ban-hwa Sengjin itu? Yang
sudah berkali-kali hendak menculik saya ketika saya pergi ke Kim-coa-to?”
Wajah
Sam-thaihouw menjadi agak pucat. Dia mulai bingung dan gelisah, memandang
kepada wajah Kaisar, kemudian kepada wajah Sang Pangeran dan mulutnya sedikit
bergerak-gerak, akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa.
“Kenapa
Sam-thaihouw tidak mau berterus-terang saja? Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang kini
menjadi orang yang paling dipercaya di antara Im-kan Ngo-ok oleh Sam-thaihouw,
bukan lain adalah bekas koksu dari Nepal yang pernah mengatur pemberontakan dan
penyerangan terhadap tanah air kita.”
Kaisar
terkejut sekali mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali ibu tirinya itu,
yang sejak dulu kelihatan amat setia kepadanya, ternyata diam-diam dia telah
mengumpulkan tenaga-tenaga dari pihak musuh! Dia cepat menoleh dan memandang
kepada nenek itu dan melihat betapa wajah yang tertutup bedak tebal itu menjadi
pucat sekali, matanya terbelalak ketakutan dan kedua kaki yang tertutup pakaian
panjang itu menggigil, membuat tubuhnya bergoyang-goyang!
“Harap
Ibunda menjelaskan apa artinya semua ini!” terdengar suara Kaisar yang kini
kelihatan marah terhadap nenek itu.
“Saya....
saya.... tidak tahu akan hal itu.”
“Sam-thaihouw
tidak tahu? Hemm, berbeda sekali dengan semua yang telah saya alami. Im-kan
Ngo-ok berusaha untuk menculik saya ketika saya pergi Kim-coa-to, berusaha
untuk merusak nama saya dan semua itu adalah atas perintah Sam-thaihouw. Bahkan
nyaris mereka itu berani untuk membunuh saya dan hal itu tentu sudah terlaksana
kalau saya tidak dilindungi oleh orang-orang gagah, temasuk orang-orang
Siauw-lim-pai! Dan empat orang iblis betina Su-bi Mo-li itu pun pernah menculik
putera kembar Paman Gak Bun Beng. Mereka pun mengaku bahwa perbuatan itu adalah
atas perintah Sam-thaihouw! Usaha Sam-thaihouw dengan mempergunakan
tenaga-tenaga macam bekas Koksu Nepal semua itu bukankah semata-mata untuk
menyingkirkan saya agar kelak yang menggantikan kedudukan kaisar adalah pilihan
Sam-thaihouw di mana Sam-thaihouw akan dapat memegang kekuasaan tertinggi?”
Serangan ucapan Pangeran Kian Liong memang sudah diperhitungkan baik-baik dan
wajah nenek itu nampak semakin ketakutan.
Kaisar
semenjak tadi terus mendengarkan ucapan puteranya sambil menatap wajah
Sam-thaihouw. Tanpa diketahui oleh nenek itu, Kaisar sesungguhnya amat mencinta
dan sayang, juga kagum kepada puteranya itu, maka segala usaha nenek itu untuk
memisahkan putera mahkota ini dari ayahnya sungguh merupakan usaha yang
sia-sia, bahkan memukul diri sendiri! Baru sekaranglah Sam-thaihouw menyadari
akan hal ini, dia merasa menyesal sekali atas kebodohannya sendiri. Menyesal,
bingung dan juga ketakutan.
“Benarkah
semua itu, Ibunda? Kalau tidak benar, harap Ibunda suka menyangkal dengan
bukti-bukti!”
Sam-thaihouw
sudah terpojok dan tidak mampu bicara lagi, akhirnya menundukkan mukanya.
Kaisar
menjadi marah. Akan tetapi mengingat bahwa nenek, itu memiliki kekuasaan yang
cukup besar dan mengingat akan jasa-jasanya di masa lampau, maka dia pun tidak
memerintahkan pengawal untuk menangkapnya, melainkan hanya menudingkan telunjuk
ke arah pintu sambil berkata, “Pergilah, Sam-thaihouw!”
Nenek itu
lalu melangkah ke arah pintu, agak terhuyung dan dia seolah-olah dalam waktu beberapa
menit saja telah berubah menjadi seorang nenek yang sudah amat tua dan lemah.
Setelah tiba di luar pintu, dia dikawal oleh pasukan pengawal pribadinya
meninggalkan tempat itu, akan tetapi sebelum tiba di kamarnya sendiri, dia
roboh dan terpaksa digotong oleh para pengawalnya.
Akan tetapi,
tak lama kemudian, sebelum dia tiba di kamarnya, nenek ini telah menghembuskan
napas terakhir. Kiranya dia tewas karena serangan jantungnya yang memang kurang
begitu kuat sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Rasa penyesalan, kekagetan
dan rasa takut dan bingung membuat jantung yang lemah itu terserang dan
mengakibatkan dia tewas seketika!
Kematian
Sam-thaihouw ini secara tidak langsung telah menyelamatkan Syanti Dewi! Atau
setidaknya menghindarkan wanita cantik ini dari hal-hal yang amat tidak enak
baginya. Sudah terasa olehnya, bahkan diketahui pula oleh suaminya dan oleh
suami isteri Pendekar Naga Sakti bahwa Kaisar yang berwatak mata keranjang itu
telah tergila-gila kepada Syanti Dewi. Bahkan setelah minum arak agak banyak di
pagi hari itu, kata-katanya mulai berani ditujukan kepada Syanti Dewi, seakan
membayangkan kehendaknya agar Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi untuk sementara
tinggal di istana sebagai tamu agungnya!
Akan tetapi,
selagi mereka berenam masih melanjutkan percakapan setelah makan pagi, mendadak
datang laporan bahwa Sam-thaihouw telah meninggal dunia secara mendadak. Hal
ini tentu saja mengejutkan juga kepada Kaisar dan pertemuan itu segera
diakhiri.
Peristiwa
kematian Sam-thaihouw mendatangkan beberapa kesibukan dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Tek Hoat dan Syanti Dewi, dibantu oleh Pangeran Kian Liong,
untuk meninggalkan istana dan pulang ke Bhutan tanpa menemui Kaisar lagi, cukup
berpamit kepada Pangeran Kian Liong saja. Bahkan mereka tidak mau dikawal oleh
pasukan, hanya menerima sebuah kereta kecil dengan dua ekor kuda dan hanya
membawa surat dari Pangeran Kian Liong untuk Raja Bhutan, ayah Syanti Dewi.
Demikianlah,
bagaikan sepasang burung baru terlepas dari sangkar emas yang mengancam akan mengurung
mereka dan menghadapkan mereka kepada hal-hal yang amat tidak enak, bahkan
mungkin sekali berbahaya, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi lolos dari kota raja,
melakukan perjalanan yang amat jauh namun amat penuh dengan kebahagiaan mereka
berdua, bagaikan sepasang pengantin baru melakukan tamasya di tempat-tempat
sunyi nan indah.
Mereka
menuju ke Bhutan, naik kereta berdua dan kadang-kadang berhenti untuk mengaso
atau untuk bercumbuan! Dunia penuh dengan keindahan terbentang luas di depan
mereka, seolah-olah menjadi hadiah bagi mereka berdua yang sudah bertahun-tahun
lamanya menderita kerinduan dan kesunyian yang mendatangkan kedukaan.
Biar pun
Kaisar telah mengetahui rahasia Sam-thaihouw dan diam-diam telah menyuruh
tangkap semua kaki tangan nenek itu yang tidak keburu melarikan diri dan
melempar mereka ke dalam tahanan, namun demi menjaga nama baik keluar istana,
kematian Sam-thaihouw menjadi peristiwa perkabungan resmi. Bahkan Kaisar
melakukan upacara sembahyang seperti lajimnya, dan menerima ucapan bela
sungkawa dari negara-negara tetangga.
Gak Jit Kong
dan Gak Goat Kong muncul bersama guru mereka, yaitu sastrawan Pouw Tan, dan dua
orang pemuda putera Milana yang masih mempunyai hubungan darah dengan
keluarga-keluarga Kaisar ini lalu diantar oleh Pangeran Kian Liong untuk pergi
menghadap Kaisar.
Dua orang
pemuda ini lalu mengulang semua pengalamannya ketika beberapa tahun yang lalu
mereka ditangkap oleh Su-bi Mo-li, mengulang semua yang telah diceritakan oleh
Sang Pangeran kepada Kaisar. Mendengar penuturan ini, Kaisar menjadi semakin
sadar bahwa selama ini ia telah berdekatan dengan orang-orang yang pada
hakekatnya ingin menyeretnya ke dalam kekuasaan mereka.
Dengan
terbongkarnya kebusukan Sam-thaihouw ini, maka terbongkar pula kepalsuan
Lan-thaikam, orang kebiri yang dahulu pernah membantu Kaisar melakukan
kecurangan dalam memperebutkan kekuasaan menggantikan kedudukan Kaisar Kang
Hsi. Setelah diselidiki, ternyata Lan-thaikam ini menyimpan harta kekayaan yang
banyaknya luar biasa, yang menyaingi isi gudang kekayaan Kaisar sendiri. Ribuan
tail emas berada di dalam gudang rahasianya, belum lagi tanah yang tak terbatas
luasnya!
Karena
maklum bahwa antara Lan-thaikam dan mendiang Sam-thaihouw terdapat hubungan
yang amat erat, dan bahwa terbongkarnya rahasia Sam-thaihouw itu akan membuat
Lan-thaikam menjadi berhati-hati dan berbahaya, maka dengan rahasia Kaisar lalu
membunuh thaikam ini dengan jalan menyuruh orang meracuninya! Maka, tidak lama
kemudian, hanya beberapa hari setelah Sam-thaihouw meninggal, tewas pulalah
thaikam tua itu yang dianggap sebagai kematian wajar karena usia tua sehingga
tidak menimbulkan keributan.
Setelah
upacara pemakaman Sam-thaihouw selesai, datang pula Kao Cin Liong dari barat.
Jenderal Kao Cin Liong yang muda belia dan gagah perkasa ini telah berhasil
menumpas pergolakan di barat. Jenderal muda ini disambut dengan upacara
kebesaran ketika menghadap Kaisar dan menceritakan atau melaporkan semua
pelaksanaan tugasnya kepada Kaisar yang mendengarkan dengan girang.
Kaisar
menghujani jenderal muda dengan hadiah dan pujian, akan tetapi di dalam
pertemuan yang dihadiri pula oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti dan Pangeran
Kian Liong, Kaisar menyatakan rasa penasaran dan tidak puasnya dengan hilangnya
pusaka istana Koai-liong Pokiam yang lenyap dicuri orang itu. Pasukan yang dikirim
dari istana untuk menyelidiki hilangnya pedang pusaka ini ternyata telah
mengalami kegagalan.
“Kiranya
tidak ada orang lain kecuali Kao-goanswe (Jenderal Kao) yang akan dapat
menemukan kembali pedang pusaka itu,” kata Kaisar antara lain, dan lalu melanjutkan.
“Pedang itu sendiri tidaklah sangat penting dan istana masih mempunyai banyak
pedang pusaka yang lebih baik lagi. Akan tetapi, hal ini menyangkut kehormatan
istana. Sungguh memalukan sekali kalau sampai pemerintah tidak berdaya
menghadapi seorang pencuri saja dan tidak dapat merampas kembali pedang yang
dicuri. Lalu bagaimana akan kata dunia kang-ouw terhadap kebesaran istana
sehingga para pengawal dan ponggawanya tidak mampu menangkap seorang maling
saja?”
Jenderal
Muda Kao Cin Liong menyatakan kesanggupannya dan baru setelah mereka semua
kembali ke rumah gedung tempat tinggal jenderal muda itu, Pangeran Kian Liong
yang ikut pula berkunjung ke situ mengajak mereka semua berunding. Dari Wan Tek
Hoat, Pangeran ini telah mendengar tentang pedang Koai-liong-kiam.
Di depan
Kaisar, Pangeran itu memang tidak mengatakan sesuatu, karena tentu Kaisar akan
marah sekali dan mungkin akan mengirim pasukan ke Lembah Suling Emas untuk
merampas kembali pedang itu. Maka dia diam saja dan baru sekarang, dia menceritakan
tentang pedang yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw itu, menceritakan
kepada Cin Liong dan ayah bundanya, seperti yang didengarnya dari Tek Hoat.
“Menurut
ceritanya itu, jelaslah bahwa pedang Koai-liong-kiam yang telah menjadi pusaka
istana itu dahulunya adalah milik keluarga Cu di Lembah Suling Emas,” kata Kao
Cin Liong. “Betapa pun juga, perintah Kaisar harus ditaati, dan pula, memang
sudah belasan tahun pedang itu menjadi pusaka istana, maka kita pun berhak
untuk menuntutnya dan untuk itu, tak perlu mempergunakan pasukan. Pangeran,
hamba akan berangkat sendiri tanpa pasukan, karena menghadapi keluarga yang
menurut cerita Paman Wan Tek Hoat kepada Paduka itu adalah keluarga sakti yang
menyembunyikan diri, sebaiknya diambil jalan menurut kebiasaan kang-ouw, bukan
dengan serbuan pasukan tentara.”
Sang
Pangeran mengerutkan alisnya. “Tetapi, apakah tidak akan terlalu berbahaya?
Perjalanan ke tempat itu, yang berada di Pegunungan Himalaya, amatlah jauhnya
dan sukar sekali. Pula, menurut Paman Wan Tek Hoat, ilmu kepandaian keluarga Cu
itu sungguh amat hebat, bahkan katanya jauh lebih hebat dari pada tingkat
kepandaian Paman Wan Tek Hoat sendiri.”
“Memang
berbahaya, akan tetapi itulah pekerjaan seorang pendekar, Pangeran,” kata Kao
Kok Cu dengan tenang. “Dan kami berdua akan menemani Liong-ji (Anak Liong)
untuk mencari pedang itu dan membawanya kembali ke istana.”
Mendengar
ucapan itu, bukan main girangnya hati Pangeran itu. Terasa lapang dadanya,
karena kalau pendekar itu bersama isterinya ikut, maka dia yakin bahwa pedang
pusaka itu akan dapat didapatkan kembali dan dia tidak usah mengkhawatirkan
keselamatan jenderal muda yang menjadi sahabat baiknya itu. Dia tertawa dan
bangkit berdiri. “Kalau begitu, saya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.”
Pangeran itu lalu kembali ke istana di mana telah menanti dua orang muda kembar
yang masih ada hubungan keluarga dengan dia, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat
Kong.
Sementara
itu, setelah Sang Pangeran kembali ke istana dikawal oleh pengawal-pengawalnya,
barulah Kao Kok Cu dan isterinya mempunyai kesempatan untuk bicara secara bebas
dengan putera mereka. Suami isteri ini merasa bangga sekali melihat betapa
putera mereka kembali dari tugas ke barat dan mendapatkan sambutan yang meriah
dari Kaisar. Mereka bertiga kini pesta sendiri dengan suasana santai dan bebas
di ruangan gedung jenderal muda itu. Dalam kesempatan inilah suami isteri
pendekar itu lalu bertanya kepada Cin Liong tentang Bu Siok Lan, gadis keluarga
Bu itu.
Tentu saja
Kao Cin Liong terkejut dan merasa heran bagaimana tiba-tiba orang tuanya
bertanya tentang gadis itu. Dan melihat betapa ayah bundanya memandang
kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, tahulah dia bahwa mereka itu serius
dan tentu telah terjadi sesuatu yang ada hubungannya dengan gadis itu, maka dia
pun menjawabnya dengan terus terang.
“Ahh, Bu
Siok Lan? Dia adalah puteri musuh, akan tetapi telah berjasa besar dalam usaha
menyelamatkan pasukan yang terkepung di barat itu. Dan ibunya memang hebat,
seorang Panglima Nepal yang tangguh sekali!”
Ayah
bundanya mendengarkan dengan mata terbelalak heran ketika Cin Liong bercerita
tentang usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung itu dan betapa dia berhasil
menyelundup ke markas musuh dan bahkan memperoleh kepercayaan dari Panglima
Nandini, dan menjadi sahabat baik dari Bu Siok Lan, puteri panglima itu, sampai
bagaimana akhirnya dia berhasil menyelamatkan pasukan dan mengalahkan musuh,
menghancurkan siasat Panglima Nandini yang pandai itu.
“Nah,
demikianlah ceritanya,” dia menutup kata-katanya. “Dan bagaimana Ayah dan Ibu
dapat mengenal nama Bu Siok Lan? Apakah yang telah terjadi?” Kini dialah yang
ingin sekali mendengar dari mereka tentang Siok Lan yang tak pernah dijumpainya
semenjak mereka berpisah sebagai musuh.
“Jadi dia
itu puteri Panglima Nepal? Sialan!” Wan Ceng mengepal tinjunya dan nampak marah
sekali. “Ini penghinaan namanya!”
“Tenanglah,
isteriku. Ingat bahwa ayahnya adalah Bu-taihiap, seorang pendekar besar yang
pernah menyelamatkan Pangeran....”
“Tidak
peduli ayahnya pendekar atau dewa sekali pun, ibunya adalah seorang Panglima Nepal,
panglima musuh. Bagaimana mereka itu berani menemui kita dan bicara tentang
perjodohan?” Nyonya itu berkata lagi dengan marah.
“Ayah, Ibu,
apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapakah mereka yang akan datang menemui
Ayah Ibu dan bicara tentang perjodohan?” Cin Liong ingin sekali mendengar
keterangan mereka.
Karena
melihat isterinya marah-marah, Kao Kok Cu mewakili isterinya, memandang kepada
puteranya dan bertanya, suaranya sungguh-sungguh, “Cin Liong, katakanlah,
apakah ada hubungan cinta antara engkau dan Nona Bu Siok Lan itu?”
“Apa.... apa
maksud Ayah....?” Cin Liong bertanya dengan heran.
“Mendengar
penuturanmu tadi, jelaslah bahwa antara kau dan dia terdapat hubungan
persahabatan, sungguh pun hubungan di pihakmu itu terjadi sebagai siasatmu untuk
menyelamatkan pasukanmu yang terkepung. Akan tetapi di samping itu, apakah
engkau jatuh cinta kepada gadis itu?”
Cin Liong
mengerutkan alisnya dan membayangkan keadaan yang lalu ketika ia masih menjadi
sahabat Siok Lan dan juga Ci Sian. Cintakah dia kepada Siok Lan? Terbayang
wajah Ci Sian dan dia lalu menjawab tenang, “Tidak, Ayah! Aku memang suka
padanya karena dia seorang gadis yang amat baik, akan tetapi hal itu bukan
berarti bahwa aku cinta padanya.”
“Nah, apa
kataku? Mereka itu tidak tahu malu!” Wan Ceng berkata lagi.
“Mengapakah
mereka, Ibu?” Cin Liong bertanya.
“Keluarga
yang tak tahu malu itu pernah bertemu dengan Pangeran Kian Liong dan hanya
karena mereka kebetulan menyelamatkan Sang Pangeran maka mereka itu telah minta
kepada Pangeran untuk menjadi perantara bagi mereka untuk memberitahukan kami
bahwa mereka itu secara tak tahu malu sekali hendak mengikatkan perjodohan
antara anak perempuan mereka itu denganmu!”
“Ahhh....!”
Cin Liong terkejut juga mendengar berita ini. Tak pernah disangkanya bahwa
Panglima Nandini, yang telah dikalahkannya, yang tentu malah mendendam
kepadanya, kini malah hendak menjodohkan puterinya yang tunggal itu dengan dia!
“Kita harus
menghadapi urusan ini dengan kepala dingin,” Kao Kok Cu berkata, sambil
memandang kepada isterinya yang masih cemberut. “Jadi sudah jelas bahwa antara
engkau dan gadis itu tidak ada hubungan cinta, Cin Liong?”
“Tidak,
Ayah.”
“Dan
bagaimanakah pendapatmu tentang uluran tangan mengadakan ikatan jodoh ini?
Ingat, urusan perjodohan adalah urusanmu sendiri, Cin Liong, maka engkaulah
yang berhak untuk memutuskan sendiri. Apalagi dalam hal ini, kami sebagai Ayah
Bundamu belum pernah melihat gadis itu dan tidak tahu bagaimana watak-wataknya,
sebaliknya engkau malah sudah bersahabat dengan dia sehingga engkau tentu
mengerti pula bagaimana keadaan dan wataknya. Nah, bagaimana pendapatmu?”
Pemuda yang
sudah menjadi jenderal dan sudah terbiasa dengan hal-hal yang hebat-hebat,
bahaya yang besar-besar, namun sekali ini, ditanya tentang perjodohan, dia
tidak mampu menyembunyikan rasa malunya dan wajahnya menjadi merah sekali.
“Ayah....
Ibu.... terus terang saja, aku belum mempunyai pikiran tentang perjodohan....”
“Jadi,
berarti engkau menolaknya?”
“Ya,
begitulah. Bukan menolak karena Siok Lan bukan seorang gadis yang baik, tetapi
karena aku belum mempunyai pikiran untuk menikah, Ayah.”
“Baiklah,
kalau begitu, kami dapat memberi jawaban yang tegas kalau sampai keluarga itu
datang menemui kami.”
Urusan itu
tidak diusik lagi dan keluarga ini lalu melanjutkan makan siang, kemudian Kao
Kok Cu dan isterinya beristirahat, demikian pula Cin Liong yang baru saja
pulang dan masih merasa lelah. Mereka mengambil keputusan untuk pergi atau
berangkat melakukan tugas baru mencari pedang pusaka itu tiga hari kemudian.
Akan tetapi
pada keesokan harinya, lewat pagi menjelang siang, serombongan tamu datang
mengunjungi rumah Jenderal Kao Cin Liong. Cin Liong keluar menyambut dan
terkejutlah dia ketika melihat Siok Lan yang datang bersama laki-laki setengah
tua yang gagah perkasa, dan tiga orang wanita cantik, seorang di antaranya
dikenalnya sebagai Panglima Nandini!
Dia sudah
diceritakan oleh ibunya yang mendengarnya dari Pangeran Kian Liong bahwa ayah
Bu Siok Lan yang terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu memiliki banyak isteri,
dan Panglima Nandini, ibu Siok Lan adalah seorang di antara isteri-isterinya,
entah isteri yang keberapa! Baru saja Cin Liong keluar, dia sudah disusul oleh
ibunya dan ayahnya.
Melihat
Puteri Nandini dan Siok Lan yang sudah dikenalnya, Cin Liong segera maju
memberi hormat dan bersikap biasa sebagai kenalan, seolah-olah puteri atau
panglima itu bukan merupakan bekas panglima musuhnya. “Ahh, kiranya Bibi dan
Adik Siok Lan yang datang berkunjung. Selamat datang, dan siapakah Paman dan
para Bibi yang lain ini?”
Semenjak
tadi, dengan sepasang mata yang mencorong tajam itu Bu-taihiap sudah memandang
kepada pihak tuan rumah dan dia kagum bukan main melihat pemuda yang gagah
perkasa itu, juga dia sedikit terkejut kemudian kagum memandang pria berlengan
satu itu. Tak perlu diperkenalkan lagi, dia dapat menduga siapa adanya pria
berlengan satu itu.
“Ah, kalau
mataku yang sudah mulai tua ini tidak salah lihat, agaknya kami sekeluarga
berhadapan dengan pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi di langit, Si
Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, benarkah dugaan saya?” kata Bu-taihiap
sambil menjura dengan sikap hormat namun terbuka dan sederhana.
Melihat
sikap dan mendengar ucapan ini saja, Kao Kok Cu sudah merasa tertarik sekali.
Dia dapat mengenal orang yang sikapnya terbuka dan membayangkan pemandangan
yang luas dan tajam.
Dia pun
cepat membalas penghormatan orang dan menjawab. “Dan saudara yang perkasa
tentulah pendekar yang dikenal dengan Bu-taihiap, bukan?”
“Ha-ha-ha,
orang macam saya ini mana pantas disebut pendekar oleh Si Naga Sakti Gurun
Pasir?”
“Silakan,
silakan masuk, biarlah kami mewakili putera kami untuk mempersilakan tamu masuk
ke ruangan dalam untuk bicara,” kata Kao Kok Cu, merasa tidak enak melihat
betapa isterinya menerima kedatangan rombongan tamu itu dengan sikap cemberut
dan muram.
“Terima
kasih, akan tetapi biarlah saya memperkenalkan dulu keluarga kami. Memang benar
bahwa saya adalah Bu Seng Kin, ayah Bu Siok Lan puteri kami yang telah dikenal
oleh putera Taihiap. Dan dia adalah Puteri Nandini Ibu dari Siok Lan, yang ini
adalah Tang Cun Ciu, dan dia itu adalah Gu Cui Bi. Mereka bertiga adalah
isteri-isteri saya.” Tanpa sungkan-sungkian atau malu-malu, pendekar she Bu itu
memperkenalkan isteri-isterinya yang cantik.
Terpaksa Wan
Ceng membalas pengbormatan mereka, tetapi dia tetap mengerutkan alisnya dan
cemberut. Akan tetapi karena suaminya telah mempersilakan mereka, maka terpaksa
Wan Ceng mendahului mereka menuju ke ruang tamu di mana para tamu itu
dipersilakan duduk.
Setelah
mereka semua duduk di ruangan yang cukup luas itu, Kao Kok Cu yang maklum bahwa
pertemuan ini tidak akan membawa kegembiraan bagi kedua pihak, tidak mau
membuang banyak waktu lagi dan segera dia membuka kata-kata dengan suara tenang
dan halus, “Kami sekeluarga mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada
keluarga Bu yang telah datang mengunjungi kami. Mengingat bahwa hubungan antara
kedua pihak hanya pernah dilakukan oleh putera kami Kao Cin Liong dengan puteri
Cu-wi dan ibunya, maka apakah kunjungan ini hanya karena perkenalan itu ataukah
ada keperluan lain?”
Bu Seng Kin
tersenyum dan memandang kagum. Begitu bertemu, dia pun merasa suka dan kagum
kepada pendekar berlengan satu itu, yang dilihatnya sebagai seorang yang
benar-benar gagah, tidak berliku-liku dan bersikap jantan tanpa
sungkan-sungkan. Dia menarik napas panjang.
“Kao-taihiap,
maafkanlah kedatangan kami kalau kami mengganggu. Namun sebelum saya mewakili
keluarga mengemukakan apa yang menjadi keperluan kunjungan kami, terlebih
dahulu saya ingin bertanya apakah Taihiap sekalian telah mendengar sesuatu
tentang keluarga kami dari Pangeran Mahkota Kian Liong?”
Si Naga
Gurun Pasir mengangguk. “Benar, kami sudah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan
beliau telah menyampaikan keinginan Bu-taihiap sekeluarga untuk dapat
mengadakan ikatan jodoh antara anak-anak kita.”
Mendengar
ini, Bu Siok Lan mengerling ke arah Cin Liong, akan tetapi pemuda itu
menundukkan kepalanya dengan alis berkerut. Dapat dibayangkan betapa tidak enak
rasa hati pemuda ini. Ia akan lebih suka dihadapkan dengan musuh-musuh yang
ganas dari pada sekarang ini, di mana dia menghadapi hal yang tidak amat enak.
Dia dapat menduga bahwa Siok Lan jatuh cinta kepadanya, dan agaknya keluarga
Siok Lan telah mengambil keputusan untuk mengikatkan perjodohan antara dia dan
Siok Lan. Kalau pihak wanita sudah mengemukakan keinginan seperti itu, dan
pihak pria menolaknya, dan hal itu terpaksa harus dilakukannya karena dia tidak
jatuh cinta kepada Siok Lan, maka tentu akan menimbulkan perasaan ditolak dan
hal ini dapat mengakibatkan rasa terhina di pihak si wanita.
“Ah,
Kao-taihiap telah bersikap terus terang dan terbuka, sungguh melegakan hati
kami. Memang benar demikian, Taihiap. Saya sendiri baru sekarang berkesempatan
melihat putera Taihiap yang gagah perkasa, akan tetapi Siok Lan dan Ibunya
telah memperoleh kehormatan untuk bertemu dan berkenalan dengan putera Taihiap
untuk mengikatkan perjodohan antara puteri kami Siok Lan dan putera Taihiap.
Dan untuk membicarakan keinginan kami itulah maka sekarang kami sekeluarga
datang bertemu dengan Taihiap sekeluarga.”
Bagi Kao Kok
Cu, tugas menjadi wakil pembicara keluarganya ini pun tidaklah ringan. Dia juga
merasakan, seperti juga puteranya, betapa tidak enaknya suasana saat itu. Akan
tetapi sebelumnya dia sudah membicarakan urusan itu dengan isterinya dan
puteranya, maka kini tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab dengan suara tenang
namun tegas, “Harap Bu-taihiap sekeluarga suka memaafkan kami kalau kami
terpaksa memberi jawaban yang tidak sesuai dengan harapan Cu-wi (Anda
Sekalian). Setelah kami mendengar dari Pangeran Mahkota, kami bertiga telah
membicarakan hal itu dan kami telah mengambil keputusan bahwa pada waktu ini,
putera kami Kao Cin Liong belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri
dalam perjodohan dengan siapa pun juga.”
Jawaban itu
sungguh mengejutkan keluarga Bu dan kini Bu Seng Kin dan dua orang isterinya
yang lain semua memandang pada Nandini dan puterinya, Siok Lan. Bukankah
Nandini dan Siok Lan telah mengatakan, bahwa ‘ada apa-apa’ antara jenderal muda
itu dan Siok Lan. Bukankah pinangan atau usul perjodohan ini sudah pasti akan
diterima? Maka, penolakan halus ini sungguh di luar dugaan mereka dan amat
mengejutkan. Apalagi Bu-taihiap yang merasa terpukul sekali, wajahnya menjadi
pucat ketika dia menoleh kepada isterinya, Nandini.
Siok Lan
sendiri mengangkat muka dengan kaget dan memandang kepada Cin Liong, tetapi
pemuda itu bersikap tenang saja. Puteri Nandini yang merasa terpukul, terhina
dan malu, lalu bangkit berdiri dan menegur Cin Liong, “Kao Cin Liong apakah
engkau hendak mempermainkan Anakku?”
Mendengar
kata-kata keras ini dan melihat sikap Nandini yang bangkit berdiri, Wan Ceng
tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia pun bangkit berdiri. “Beginikah
sikap seorang tamu yang baik? Ataukah tamu kami ini hanya seorang yang tidak
tahu aturan dan liar?”
Dua orang
wanita itu saling pandang dengan sinar mata berapi. Nandini lalu berkata lagi,
ditujukan kepada Wan Ceng, dan karena memang dia itu seorang yang biasa
memimpin pasukan dan tidak biasa bersikap sopan-santun, dia berkata dengan
lantang dan sejujurnya, “Puteramu telah saling mencinta dengan puteriku, akan
tetapi sekarang dia menolak puteriku dengan dalih belum ingin mengikatkan diri
dalam perjodohan, bukankah itu bararti puteramu hendak mempermainkan puteriku?”
“Siapa
mencinta puterimu?” Wan Ceng semakin marah. “Kalau anakku bersikap baik kepada
kalian, apakah itu berarti dia mencinta puterimu?”
“Siok Lan!”
Nandini yang sudah marah itu membentak puterinya. “Apa artinya ini? Kau bilang
bahwa kalian sudah saling mencinta!”
Dapat
dibayangkan betapa perihnya hati seorang gadis dalam keadaan seperti itu. Akan
tetapi, dengan muka pucat dia memandang kepada Cin Liong dan menjawab. “Aku
memang cinta kepadanya, Ibu, dan.... aku yakin dia pun cinta padaku....”
“Cin Liong,
aku percaya engkau cukup gagah untuk berkata sejujurnya dan memberi penjeiasan
tentang hal ini,” terdengar Kao Kok Cu berkata kepada puteranya, suaranya tegas
penuh wibawa.
“Aku tidak
pernah mencintanya dan tidak pernah menyatakan cinta kepada Adik Siok Lan!”
kata Jenderal Muda itu, suaranya juga tegas dan lantang sambil matanya menatap
ke arah gadis itu, sehingga tidak dapat disangsikan lagi kebenarannya.
Dengan suara
gemetar Nandini berseru, “Siok Lan....?”
Gadis itu
menundukkan mukanya dan beberapa butir air mata menuruni pipinya. Dapat
dibayangkan betapa hancur hati seorang dara menghadapi semua itu, di mana
seorang pemuda yang dicintanya terang-terangan menyatakan bahwa tidak mencinta
dirinya! Padahal tadinya dia sudah begitu yakin!
“Dia memang
tak pernah menyatakan cinta, akan tetapi.... suaranya, pandang matanya,
senyumnya..... ahhh, Ibu, bunuh saja aku....!” Dan dia pun menangis!
Wan Ceng
sekarang merasa menang dan dia pun menjadi penasaran sekali. “Hemm, sungguh
tidak tahu diri! Mana mungkin puteraku bisa jatuh cinta kepada anak seorang
panglima pasukan musuh? Dan bagaimana pun juga, aku tidak sudi menjadi besan
seorang Panglima Pasukan Nepal!”
“Jaga
mulutmu!” Nandini membentak. “Jangan mencampurkan urusan jodoh dengan
kedudukan!”
“Huh, kau
mau apa? Kau kira aku takut kepadamu?” Wan Ceng menantang.
Kedua orang
wanita itu sudah saling pandang bagaikan dua ekor singa betina yang
memperebutkan anak mereka, akan tetapi pada saat itu, Kao Kok Cu sudah memegang
lengan isterinya dan berbisik, “Tenanglah, mereka adalah tamu-tamu yang harus
kita hormati.”
Sementara
itu, Bu-taihiap juga melerai dan berkata kepada isterinya, “Hushhh, diamlah,
kita adalah tamu-tamu dan pula penolakan pinangan adalah hal wajar, mengapa
harus ribut-ribut?” Kemudian, pendekar ini dengan muka merah sekali menghadapi
Kao Kok Cu, memberi hormat dan berkata, “Harap Kao-taihiap suka memaafkan kami
yang tidak tahu diri. Memang tadinya kami sudah berpendapat bahwa tidak mungkin
orang seperti Naga Sakti Gurun Pasir mau berbesan dengan kami yang bodoh.
Maafkanlah dan kami mohon diri.”
Kao Kok Cu
merasa tidak enak sekali. Dia pun balas memberi hormat dan berkata, “Harap
Bu-taihiap tidak terlalu merendahkan diri. Taihiap juga tahu bahwa urusan jodoh
adalah urusan anak-anak, dan kalau mereka tidak mau, tidak mungkin dipaksakan.”
“Kami mengerti,
selamat tinggal.”
“Selamat
jalan!”
Bu-taihiap
bersama tiga orang isterinya dan Siok Lan yang ditarik oleh ibunya, pergi dari
rumah itu dengan muka merah dan diam-diam Kao Kok Cu yang mengantar sampai ke
depan itu maklum bahwa tanpa dapat dicegah lagi, tentu timbul semacam dendam
antara keluarga Bu dan keluarga Kao, sungguh pun hal itu bukan karena kesalahan
pihak keluarga Kao. Betapa pun juga, keluarga Bu tentu merasa terhina oleh
peristiwa ini.
Dua hari
kemudian, Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Kao Cin Liong,
berangkat meninggalkan kota raja untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh
Kaisar, yaitu mencari dan merampas kembali Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka
Naga Siluman) yang telah lenyap dicuri orang dari gudang pusaka istana beberapa
tahun yang lalu….
"Bu-koko,
sebaiknya jika engkau menanti dulu di sini, biarlah aku yang lebih dulu masuk
menemui kakek. Setelah aku bicara dengannya, barulah aku akan memanggilmu. Hal
ini untuk melancarkan pembicaraan antara kakek dan aku.”
Mendengar
kata-kata Yu Hwi ini, Cu Kang Bu mengangguk dan dia menyentuh lengan
kekasihnya. “Mudah-mudahan segalanya akan berjalan baik, Hwi-moi.” Dia tahu
bahwa Yu Hwi menghadapi persoalan yang cukup menegangkan dan tidak enak bagi
gadis itu yang terpaksa harus membicarakan tentang keputusan untuk membatalkan
ikatan jodoh antara dia dan Kam Hong, yang berarti tentu saja menentang
keputusan yang telah diambil oleh kakeknya, yaitu Sai-cu Kai-ong.
Matahari
telah naik tinggi dan pemandangan di Puncak Bukit Nelayan itu indah sekali.
Akan tetapi, rumah besar yang seperti istana kuno itu nampak sunyi sekali,
sesunyi puncak-puncak lain di Pegunungan Tai-hang-san itu. Berdebar rasa
jantung Yu Hwi ketika dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci itu. Tempat
yang terlalu besar untuk kakeknya yang agaknya kini hanya dapat menyendiri saja
di tempat ini, apalagi kalau tempat itu nampak kosong seperti itu, menjadi amat
menyeramkan, seperti rumah kediaman para iblis dan siluman.
Tiba-tiba
terdengar suara halus yang terdengar dari jauh di dalam gelap itu, akan tetapi
terdengar jelas oleh Yu Hwi, “Siapa di luar....? Harap jangan mengganggu aku
seorang tua yang sudah tidak ingin berurusan dengan siapa pun....!”
Mendengar
suara ini, Yu Hwi berseru girang. “Kongkong...., ini aku, Yu Hwi yang
datang....”
Hening
sejenak, seolah-olah suara Yu Hwi itu mengejutkan pendengarannya, sampai lenyap
gema suara gadis itu. Yu Hwi berdiri di ruangan depan yang luas, menanti
sejenak dan dari dalam nampaklah seorang kakek yang pakaiannya sederhana, tubuh
itu masih tinggi tegap dan gagah akan tetapi mukanya kelihatan amat tua dan
tidak bersemangat, muka dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek! Mereka berhadapan dan
saling pandang, kemudian Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut.
“Kongkong....!”
“Yu Hwi....
engkaukah....? Benarkah engkau yang datang?”
Kakek itu
mengejap-ngejapkan kedua matanya memandang wajah yang menengadah itu. Selama
bertahun-tahun dia terus mengharap-harap kedatangan cucunya ini, bahkan
kemudian pergi merantau bertahun-tahun mencarinya, sampai akhirnya membawanya
ke Pegunungan Himalaya, namun semua usahanya sia-sia belaka dan akhirnya, semua
harapan itu memudar dan setelah dia merasa bahwa tubuhnya telah terlalu tua dan
sahabatnya, yaitu Sin-siauw Sengjin yang pada tahun-tahun terakhir bertapa di
sebuah puncak berdekatan dengan puncak Nelayan di mana dia berada itu meninggal
dunia, kakek ini tak lagi pergi mencari Yu Hwi, bahkan tak lagi mengharapkan
kedatangannya. Dia mengira bahwa cucunya itu telah tiada lagi di dunia ini, dan
harapannya melihat cucunya berjodoh dengan keturunan Suling Emas sudah
membuyar.
Akan tetapi,
pagi hari ini dia mendengar suara Yu Hwi dan bahkan kini dia berhadapan dengan
cucunya itu! Dia masih mengenal wajah cantik itu dan keharuan yang amat sangat
membuat kakek ini memejamkan mata dan menahan dua butir air mata yang hendak
runtuh. Betapa pun juga, dia adalah bekas Raja Pengemis, seorang tokoh besar di
dunia kang-ouw yang gagah perkasa, dan semenjak dia muda, menangis merupakan
pantangan baginya. Namun, perjumpaan ini seolah-olah perjumpaan dengan seorang
yang baru bangkit dari kematian, maka dia terkejut, heran, terharu dan girang
sekali.
“Cucuku....!”
Dia maju dan menyentuh kepala gadis itu.
“Kongkong....,
ampunkanlah bahwa baru sekarang saya datang menghadap....!” Yu Hwi berkata
dengan suara mengandung isak karena gadis ini pun merasa terharu sekali.
Semenjak
kecil dia telah diculik dan dibawa pergi oleh orang yang kemudian menjadi
gurunya yang tercinta, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling dan semenjak kecil
dia terpisah dari kakeknya. Kemudian, setelah mereka saling bertemu kembali, ia
melarikan diri ketika mendengar bahwa sejak kecil dia dijodohkan dengan Kam
Hong! Dan sejak itu, kembali dia berpisah dari kakeknya dan baru sekarang
mereka saling bertemu kembali.
“Yu Hwi....
Yu Hwi, ke mana sajakah engkau selama ini pergi? Betapa dengan susah payah aku
mencari-carimu Yu Hwi....”
“Maaf,
Kongkong, saya hanya mendatangkan banyak pusing dan susah saja kepada Kongkong
selama ini.”
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Hemmm.... dan kedatanganmu ini pun hanya akan menimbulkan
kecewa padaku, bukan?”
“Maaf...
agaknya demikianlah... Kedatangan saya ini hanya untuk meresmikan putusnya
pertalian jodoh yang Kong-kong adakan dahulu antara saya dengan Kam Hong.”
Akan tetapi
ucapan itu sudah tidak lagi mendatangkan kekecewaan dalam hati kakek itu yang
memang sudah tidak mengharapkan lagi dapat dilanjutkannya ikatan jodoh itu. Dia
menarik napas panjang. “Sin-siauw Sengjin juga sudah meninggal dunia...., dia
kiranya dapat memaafkan aku. Akan tetapi, pemutusan ikatan itu tidak mungkin
dapat dilakukan sepihak saja, Yu Hwi, maka harus dibicarakan dengan yang
bersangkutan, yaitu Kam Hong....”
“Hal itu
sudah beres, Kongkong. Saya telah berjumpa dengan Kam Hong dan kami berdua
sudah membicarakan tentang itu. Adalah Kam Hong yang menasehatkan agar saya
datang kepadamu dan memberitahukan akan pemutusan ikatan itu agar resmi.”
Kakek itu
mengangguk-angguk. Agaknya, kini sudah kehilangan kesungguhan hatinya tentang
hal itu. “Sesukamulah.... sesukamulah...., tetapi kalau boleh aku mengetahui,
kalau engkau masih menganggap aku sebagai Kakekmu, apakah sebabnya maka engkau
memutuskan ikatan itu? Apakah tidak ada kecocokan antara engkau dengan Kam
Hong....?”
“Sesungguhnya
karena saya.... saya sudah menemukan calon suami saya sendiri, Kongkong.”
“Hemmm....”
“Bahkan dia
pun mengantar saya menghadap Kongkong, tetapi saya suruh menanti di luar agar
tidak mengejutkan hati Kongkong. Kalau Kongkong memperkenankan, saya akan
memanggil dia masuk....” Yu Hwi memandang kepada kongkong-nya dengan ragu-ragu,
lalu bangkit berdiri.
Untuk
beberapa lamanya kakek itu memandang wajah cucunya. Harus diakui bahwa cucunya
itu telah jauh lebih matang sekarang dan dia pun tahu bahwa bagi seorang
wanita, cucunya itu telah lewat batas usia kepantasan untuk menikah dan
diam-diam dia menaruh hati iba kepada cucunya ini.
“Cukup,
tahukah engkau berapa usiamu sekarang?”
Yu Hwi
tersenyum. “Tentu saja, Kongkong. Antara dua puluh tujuh dan dua puluh delapan
tahun.”
Sai-cu
Kai-ong. menarik napas panjang. “Dan baru sekarang engkau menemukan calon suamimu?
Berapa usia calon suamimu itu?”
“Dia sudah
berusia tiga puluh tahun, Kongkong....,” jawab Yu Hwi.
Wajah kakek
itu agak berseri mendengar ini. Setidaknya, cucunya memperoleh seorang calon
suami yang sepadan usianya.
“Tentu saja
aku ingin sekali berkenalan dengan calon cucu mantuku. Suruh dia masuk, Yu
Hwi.”
Yu Hwi lalu
membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan kata-kata seperti sedang bicara dengan
orang yang berdiri di depannya saja, perlahan-lahan dan biasa saja, “Bu-koko,
Kongkong telah memperkenankan engkau masuk. Masuklah, Koko!”
Biar pun
ucapan itu lirih saja, namun Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. Suaranya tadi
mengandung getaran yang tinggi dan dengan getaran seperti itu, suara itu akan
dapat dikirim sampai jauh. Itulah semacam Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara
Dari Jauh) yang mengandalkan khikang yang amat kuat. Dia sendiri pun belum
tentu sekuat itu!
Dan dari
luar masuklah sesosok tubuh seorang pria yang membuat kakek itu kagum. Tubuh
seorang pria yang tinggi besar seperti tokoh Kwan Kong dalam dongeng Sam Kok
dan setelah pria muda itu tiba di depannya dan memberi hormat dengan sikap yang
amat gagah, Sai-cu Kai-ong diam-diam merasa girang sekali. Keadaan pria ini
sungguh merupakan obat yang mujarab untuk menghapus sama sekali sisa-sisa kekecewaan
atas terputusnya tali perjodohan antara cucunya dengan Kam Hong. Pria ini
sungguh tidak mengecewakan, bahkan mengagumkan. Begitu gagah perkasa dan
jantan! Akan tetapi, di samping rasa puas ini pun dia merasa terkejut karena
dia merasa seakan-akan pernah dia bertemu dengan pemuda tinggi besar dan gagah
perkasa ini.
“Ehh....
rasanya.... aku pernah berjumpa dengan Sicu yang gagah ini....,” katanya sambil
memandang wajah itu penuh selidik.
Pemuda
perkasa itu segera menujura. “Tidak salah apa yang Locianpwe katakan. Kami
sekeluarga di Lembah Suling Emas pernah menerima kehormatan dengan kunjungan
Locianpwe beberapa tahun yang lalu.”
“Ahh,
sekarang aku ingat....! Sicu adalah seorang di antara tiga saudara Cu yang
sakti itu!”
Kembali Cu
Kang Bu menjura. “Saya adalah Cu Kang Bu, saudara termuda dari Cu.”
Tentu saja
Sai-cu Kai-ong menjadi terkejut, terheran dan juga diam-diam merasa girang
sekali. Dia pernah menyaksikan kehebatan ilmu silat pemuda tinggi besar ini
yang tidak kalah lihainya ketika melawan Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan
Ngo-ok! Pemuda seperti ini mungkin tak kalah dalam ilmu silatnya dibandingkan
dengan keturunan Suling Emas, Kam Hong sekali pun! Gagal mempunyai cucu mantu
seperti Kam Hong akan tetapi mendapatkan pengganti seperti ini tidaklah terlalu
mengecewakan!
“Dan
Cu-taihiap yang menjadi calon suami cucuku yang bodoh?”
Kang Bu
adalah seorang pemuda yang jujur dan sederhana, maka disebut Taihiap itu dia
cepat berkata, “Harap Locianpwe tidak menyebut Taihiap kepada saya karena
keluarga kami sejak dahulu tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw.
Tidak salah bahwa Hwi-moi dan saya telah bersepakat untuk menjadi suami isteri
dan mohon doa restu dan ijin dari Locianpwe.”
Sai-cu
Kai-ong tertawa gembira. “Ah, tentu saja! Sejak dahulu, bukankah Yu Hwi telah
menentukan pilihannya sendiri? Yu Hwi, anak nakal, bagaimana engkau dapat
bertemu dan bersahabat, hingga akhirnya berjodoh dengan Cu Kang Bu?”
“Kongkong,
sesungguhnya Kang Bu Koko ini masih Susiok saya sendiri!”
“Susiok-mu?
Engkau menjadi murid siapakah?”
“Cui-beng
Sian-li Tan Cun Ciu adalah Subo saya....”
“Apa?! Orang
yang sudah mengambil pedang pusaka dari istana itu?” Sai-cu Kai-ong
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pantas saja
cucunya menjadi demikian lihai, kiranya menjadi murid wanita yang sudah
menggegerkan dunia kang-ouw ketika mencuri pedang pusaka dari gudang pusaka
istana tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. “Sungguh nasibmu amat luar
biasa, Cucuku. Sejak kecil sekali sudah menjadi murid seorang seperti Hek-sin
Touw-ong, kemudian menjadi murid Cui-beng Sian-li, dan kini malah menjadi jodoh
seorang seperti Cu Kang Bu!”
Yu Hwi lalu
menceritakan kepada kongkong-nya segala hal yang telah dialaminya semenjak dia
meninggalkan kakeknya itu dan juga tentang pertemuannya dengan Kam Hong.
Setelah mendengarkan semua penuturan Yu Hwi, kakek itu mengangguk-angguk dan
beberapa kali menarik napas panjang. Walau pun wajahnya masih memperlihatkan
tanda bahwa dia merasa girang juga, kalau dia teringat betapa hubungan antara
keluarga Kam dan keluarga Yu terjalin semenjak ratusan tahun yang lalu, dan
kini, pada keturunan terakhir, dia gagal untuk mengikatkan perjodohan antara
dua keluarga itu, hatinya terasa amat berduka.
“Kongkong,
setelah kami berdua datang menghadap Kongkong, dan Kongkong dapat menyetujui
ikatan jodoh antara kami, kami mohon agar Kongkong sudi bersama kami ke Lembah
Suling Emas di mana kami akan meresmikan pernikahan kami dan agar Kongkong
dapat memberi doa restu kepada kami!”
Kini kakek
itu mengerutkan alisnya dan menjawab, “Sayang sekali, hal itu tidak mungkin aku
lakukan, Yu Hwi. Tentu saja aku tidak keberatan kalau engkau berjodoh dengan Cu
Kang Bu, akan tetapi aku sendiri tidak mungkin menghadiri pernikahan....”
“Kenapa,
Kongkong?”
“Aku telah
bersumpah untuk mengikatkan keluarga Kam dan keluarga Yu kita dalam ikatan
perjodohan, namun aku telah gagal. Aku telah mengecewakan leluhur kita, bagai
mana mungkin aku dapat menghadiri pernikahanmu dengan keluarga lain? Aku sudah
tua dan aku akan tinggal di sini, mengasingkan diri sampai mati. Aku tidak akan
keluar meninggalkan tempat ini, apa pun yang akan terjadi di luar. Nah, kalian
kembaliiah ke barat dan jadilah suami isteri yang baik, tentu saja doa restuku
menyertai kalian berdua.”
Jawaban ini
menyedihkan hati Yu Hwi, akan tetapi karena semenjak kecil dia tidak bersama
kakeknya, maka dia pun dapat menguasai hatinya. Maka untuk terakhir kalinya dia
lalu berlutut di depan kakek itu untuk berpamit, diikuti pula oleh Cu Kang Bu
karena kakek itu adalah calon kongkong-nya juga.
Melihat
betapa dua orang itu berlutut di depannya, Sai-cu Kai-ong merasa tarharu juga.
“Semoga Thian selalu melindungimu, Cucu-cucuku, Dan kalau kebetulan kalian
bertemu dengan Kam Hong, katakanlah kepadanya bahwa sebelum aku mati aku ingin
berjumpa dengannya, minta agar dia suka datang ke sini mengunjungiku.”
Demikianlah,
setelah mendapat doa restu kakek itu, Yu Hwi dan Cu Kang Bu lalu meninggalkan
Puncak Bukit Nelayan itu dan menuruni Pegunungan Tai-hang-san untuk kembali ke
Lembah Suling Emas atau yang sekarang telah berubah namanya menjadi Lembah Naga
Siluman. Mereka, termasuk juga Yu Hwi, tidak merasa bersedih, bahkan
sebaliknya, mereka merasa gembira sekali karena mereka kini menuju pulang untuk
segera melangsungkan pernikahan mereka! Mereka sudah mendapat persetujuan dan
doa restu Sai-cu Kai-ong, bahwa ikatan jodah antara Yu Hwi dengan Kam Hong
telah putus secara resmi. Tidak ada lagi yang menjadi penghalang atau ganjalan
di antara mereka untuk dapat menikah dengan resmi.
Senang dan
susah mirip ombak dalam samudera kehidupan, susul-menyusul dan datang silih
berganti. Tangis dan tawa merupakan bumbu-bumbu kehidupan seperti masam dan
manis dalam masakan. Selagi terbuai dalam kesenangan, kita tidak tahu bahwa
kesusahan sudah berada di ambang pintu untuk mendapat giliran menguasai kita,
menggantikan kesenangan yang terbang lalu tanpa meninggalkan bekas lagi.
Yu Hwi dan
Kang Bu melakukan perjalanan menuju ke Lembah Naga Siluman dengan hati girang,
bermesraan di sepanjang perjalanan, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat
mereka melakukan perjalanan itu, terjadi sesuatu yang hebat di lembah itu.
Apakah yang terjadi? Mari kita menengok keadaan lembah itu dan meninggalkan
sepasang calon suami isteri, sepasang kekasih yang penuh kemesraan dan
kebahagiaan itu…..
***************
Pada pagi
yang cerah itu, Cu Pek In, gadis berusia delapan belas tahun yang selalu
berpakaian pria, dengan rambut digelung ke atas dan ditutup sebuah topi pelajar
itu, sedang berjalan pulang ke lembah dengan wajah riang. Dia baru saja kembali
dari goa rahasia di mana Sim Hong Bu masih tekun ‘bertapa’ sambil
menyempurnakan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Tidak ada orang yang mengetahui
tempat rahasia itu kecuali keluarga Cu, bahkan selama Hong Bu bertapa di situ
memperdalam ilmu pedang pusaka itu, tidak ada orang lain yang boleh masuk
kecuali Pek In. Gadis inilah yang dalam waktu beberapa hari sekali datang
menjenguk sambil membawakan bahan makanan untuk Hong Bu.
Pada pagi
hari itu Pek In baru saja kembali dari kunjungannya kepada Hong Bu, pemuda yang
dicintanya itu, dan karena sikap Hong Bu kepadanya cukup manis, maka hatinya
gembira sekali pada pagi hari itu. Ia berjalan sambil kadang-kadang berloncatan
dan bernyanyi-nyanyi gembira, lupa bahwa suara nyanyiannya ini sepenuhnya suara
wanita, jauh berbeda dengan pakaiannya. Kalau dia tidak mengeluarkan suara,
tentu dia akan disangka seorang pemuda yang amat tampan sekali. Sebagai seorang
gadis, kecantikan Pek In biasa saja, tidak terlalu menonjol. Akan tetapi kalau
dia dianggap pria karena pakaiannya, maka dia adalah seorang pria yang amat
ganteng, dengan muka yang putih dan mata yang jeli dan menarik.
Sebagai
puterti tunggal Cu Han Bu orang pertama dari keluarga Cu, tentu saja dara ini
memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun, kini dia tidak tahu bahwa ada
tiga pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya dari jarak dekat! Hal ini saja
sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian tiga orang yang membayanginya itu
jauh lebih tinggi lagi dibandingkan dengan dia. Tiga orang ini baru melihatnya
setelah dia berada di dekat lembah, dan memang sudah sejak kemarin tiga orang
ini mengintai di lembah itu.
Tiga orang
ini bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya.
Mereka sudah tiba di pegunungan ini dan tahu bahwa Lembah Suling Emas yang
dimaksudkan sebagai tempat tinggal keluarga Cu itu tentu di sekitar tempat ini.
Akan tetapi mereka belum juga menemukan tempat itu, maka mereka kemudian
menyembunyikan diri dan mengintai karena mereka merasa yakin bahwa pada suatu
waktu tentu ada penghuni lembah yang keluar untuk suatu keperluan.
Sudah sehari
semalam tiga orang sakti ini menanti dan akhirnya usaha mereka berhasil. Mereka
melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dengan sikap gembira sekali. Keluarga
Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja dengan sekali pandang sudah tahu bahwa
‘pemuda’ yang berjalan seorang diri itu adalah seorang gadis. Mereka lalu
membayangi dengan hati-hati. Mereka melihat bahwa dara yang berpakaian pria itu
menuju ke tepi sebuah jurang yang amat lebar dan amat dalam, jurang yang pernah
mereka datangi.
Ketika tiba
di tepi jurang, seperti biasa Pek In menoleh ke kanan kiri dan belakang,
setelah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak terdapat orang lain, kemudian
dia mengeluarkan suling emasnya dari balik bajunya dan meniup sulingnya.
Terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan hati ketiga orang pengintai
itu. Mereka maklum bahwa tiupan suling itu bukanlah tiupan biasa, melainkan
tiupan seorang yang memiliki khikang yang kuat.
Tiga orang
yang melakukan pengintaian itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan
dan juga kekaguman ketika mereka melihat betapa dari dasar jurang itu kini
nampak sehelai tambang yang cukup besar dan kuat, perlahan-lahan naik ke atas
dan akhirnya melintang menyeberang jurang. Mengertilah mereka kini bahwa dara
itu tadi mempergunakan suara suling untuk memberi tanda kepada orang-orang di
seberang jurang yang tidak nampak, dan orang-orang itu telah menarik tambang
yang merupakan jembatan dan jembatan tambang itu tadinya menjulur kendur ke
bawah, tersembunyi kabut.
Memang benar
dugaan mereka, karena sekarang dengan gerakan ringan sekali, dara berpakaian
pria itu meloncat ke atas tambang itu dan berjalan di atas tali dengan gerakan
yang lincah.
“Cepat, aku
akan mendahuluinya dan kalian di belakangnya. Dia akan membawa kita ke seberang
sana!” bisik Si Naga Sakti Gurun Pasir kepada isteri dan puteranya.
Wan Ceng dan
Cin Liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar sakti itu, maka mereka
mengangguk dan begitu pendekar itu berkelebat cepat meloncat ke depan, Wan Ceng
dan Cin Liong juga meloncat dengan kecepatan kilat menuju ke tepi jurang.
Bagaikan seekor burung saja, tubuh pendekar berlengan satu itu telah berada di
atas tambang, dan gerakannya sedemikian ringannya sehingga Pek In yang berjalan
di depan itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang
mengikutinya.
“Nona,
perlahan dulu!”
Ucapan itu
mengejutkan Pek In dan dia menoleh sambil menunda langkahnya. Akan tetapi pada
saat itu, orang yang tiba di belakangnya telah meloncat ke atas, melewati
kepalanya dan tahu-tahu seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berlengan
satu telah berdiri di atas tambang di depannya!
Pek In
memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang
berani melakukan perbuatan yang amat berbahaya seperti itu, ialah meloncati
atas kepalanya dan turun lagi ke atas tambang di depannya. Hanya seekor burung
saja yang agaknya akan mampu melakukan hal itu! Akan tetapi, dia tidak sempat
terheran-heran terlalu lama, karena tambang itu bergoyang di belakangnya dan
ketika dia menengok, ternyata di belakangnya terdapat dua orang lain yang sudah
berjalan di atas jembatan tambang itu. Dia telah dikepung dari depan dan
belakang!
“Siapa
kalian?! Mau apa kalian?” bentaknya, maklum bahwa dia tidak berdaya, dan bahwa
para penjaga yang bertugas menarik dan mengendurkan tambang itu pun tidak
berdaya karena kalau mereka itu mengendurkan tambang, bukan hanya tiga orang
asing, itu yang akan terjerumus ke dalam jurang, akan tetapi dia juga karena
dia berada di tengah-tengah antara mereka!
“Maaf, Nona.
Kami hanya ingin agar Nona membawa kita ke seberang. Kami ingin bertemu dengan
para penghuni Lembah Suling Emas!” kata Kao Kok Cu dan dia pun segera melangkah
ke depan, mendahului gadis itu menyeberang.
Pek In tidak
membantah karena tahu bahwa percuma saja membantah. Dia pun lalu melangkah ke
depan, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya, “Tunggu dulu.
Biarkan kami jalan lebih dulu!” Dan Pek In menghentikan langkahnya, menoleh.
Pada saat
itu, nampak dua sosok tubuh melayang lewat dan seperti orang pertama dua orang
itu pun melayang seperti burung terbang saja ke depannya melalui atas kepala
dan kini mereka bertiga bersicepat mendahuluinya menyeberang! Tentu saja Pek In
terkejut bukan main. Lembah itu telah didatangi oleh tiga orang yang
kepandaiannya amat tinggi! Maka dia pun cepat menyeberang. Setelah dia
menyeberang, dia memberi isyarat dengan tangannya dan para penjaga tambang lalu
menurunkan lagi tambang itu sampai tidak nampak tertutup kabut yang bergantung
di dalam jurang.
“Siapa
kalian dan mau apa kalian memasuki tempat kami dengan paksa?” Pek In membentak
setelah dia berhadapan dengan tiga orang itu. Dia memperhatikan mereka dan
mendapat kenyataan bahwa selain orang pertama, yang buntung lengannya dan
bersikap gagah tadi, juga wanita setengah tua dan pemuda yang berdiri di
depannya itu membayangkan kegagahan yang mengagumkan.
“Nona,
benarkah di sini yang dinamakan Lembah Suling Emas? Kami tidak sangsi lagi
bahwa di sinilah Lembah itu, maka kami minta kepada Nona sukalah membawa kami
bertemu dengan para penghuni lembah, yaitu keluarga Cu. Kami mempunyai
keperluan yang penting untuk kami bicarakan dengan mereka.”
Sampai
beberapa lamanya dara itu memandang kepada mereka dengan penuh selidik,
kemudian tiba-tiba dia berkata sambil bertepuk tangan, “Aih, bukankah aku
berhadapan dengan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
Kao Kok Cu
dan anak isterinya tertegun. Tak mereka sangka bahwa dara berpakaian pria ini
memiliki pemandangan yang demikian tajamnya, dan sekali bertemu telah dapat
mengenal mereka.
Dan memang
Pek In dapat menduga siapa adanya mereka karena dara itu melanjutkan, “Dan
kalau Paman ini Naga Sakti Gurun Pasir, tentu Bibi ini adalah isteri Paman dan
dia ini tentulah Jenderal Kao Cin Liong, putera Paman!”
“Hemm,
siapakah engkau, Nona? Dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?” Wan Ceng
bertanya, sinar matanya tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah dara itu.
Cu Pek In
tersenyum bangga. Memang dia memiliki pengetahuan yang amat luas tentang
orang-orang kang-ouw yang belum pernah dilihatnya. Dia mendengar banyak
keterangan dari ayah dan para pamannya, dan juga dari bibinya, Tang Cun Ciu.
Dia pernah mendengar tentang Naga Gurun Pasir, dan cacad pada lengan yang
buntung sebelah, maka ketika dia menyaksikan kehebatan kepandaian pria
berlengan buntung itu, kemudian menyaksikan kelihaian wanita dan pemuda itu,
tidak sukarlah baginya untuk menebak siapa adanya mereka. Apalagi dia pun sudah
mendengar banyak tentang diri Jenderal Kao Cin Liong yang telah memperoleh
kemenangan gemilang atas pasukan Nepal baru-baru ini.
“Namaku Cu
Pek In dan kalau kalian hendak menjumpai Ayahku, marilah!”
Setelah
berkata demikian, gadis yang lincah ini lalu berlari ke depan, meloncat dan
menggunakan seluruh kepandaian ginkang-nya untuk berlari secepat mungkin. Tentu
saja maksudnya untuk menguji kepandaian tiga orang ini. Dia memang memiliki
ginkang yang hebat, maka larinya seperti terbang saja. Setelah lari cepat
beberapa lamanya, dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya
melihat bahwa tiga orang yang ditinggalkannya itu kini berada tepat di
belakangnya, kelihatan berjalan seenaknya saja namun tak pernah tertinggal
sedikit pun olehnya! Maka tahulah dia bahwa nama besar Naga Sakti Gurun Pasir
sekeluarganya bukan nama kosong belaka dan malah diam-diam dia merasa khawatir sekali
karena dia belum tahu apa maksud kedatangan mereka, maksud bersahabat ataukah
maksud bermusuh.
Dan pada
saat itu, yang berada di dalam lembah hanyalah ayahnya dan Pamannya, Cu Seng
Bu, sedangkan pamannya yang lain, Cu Kang Bu sedang pergi bersama Yu Hwi, juga
Sim Hong Bu yang boleh diandalkan itu masih berada di dalam goa. Betapa pun
juga, Pek In menenteramkan hatinya dengan penuh kepercayaan bahwa bagaimana
saktinya pihak tamu, kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, dia
percaya bahwa ayahnya dan pamannya yang kedua akan mampu menanggulanginya.
Lembah ini
memang telah dilengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga ketika Pek In membawa
tiga orang tamunya itu sampai ke depan rumah besar keluarga Cu, maka dua orang
gagah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, telah berada di situ menanti kedatangan
mereka! Kiranya para penjaga yang tadi melihat kedatangan tiga orang yang
setengah memaksa Pek In, diam-diam telah mengirim berita melalui alat rahasia
sehingga sebelum gadis itu tiba bersama para tamu itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu
telah mengetahui dan kini mereka telah menanti kedatangan Pek In di depan
rumah.
Pek In
mengerti bahwa tentu ayahnya telah mendengar dari para penjaga bahwa ada tamu
yang amat lihai datang dengan cara memaksa Pek In, maka kini dia ingin mencoba
ayah dan pamannya, dengan ucapan gembira, “Ayah, Paman, tahukah Ayah siapa yang
datang sekali ini?”
Sejak tadi
Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memang telah mencurahkan perhatian mereka kepada Kao
Kok Cu dan diam-diam mereka terkejut sekali! Kalau ada pendekar yang amat
tinggi kepandaiannya dan dia itu hanya berlengan satu, dengan isterinya yang
cantik dan gagah penuh semangat, dan puteranya yang juga gagah perkasa dan
memiliki mata seperti ayahnya, mata yang mencorong seperti mata naga, siapa
lagi pendekar itu kalau bukan Si Naga Sakti Gurun Pasir yang hanya pernah
mereka dengar namanya seperti dalam dongeng itu? Maka Cu Han Bu lalu menjura,
diikuti oleh Cu Seng Bu yang juga sudah dapat menduga seperti kakaknya.
“Maaf, kalau
dugaan kami keliru. Akan tetapi benarkah bahwa lembah kami yang buruk ini
memperoleh kehormatan besar dengan kunjungan pendekar besar Si Naga Sakti Gurun
Pasir beserta isteri dan puteranya?”
Kembali
keluarga itu terkejut. Orang-orang lembah ini sungguh lihai. Naga Sakti Gurun
Pasir boleh jadi amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak pernah
keluar sehingga jarang ada yang mengenalnya, akan tetapi keluarga lembah ini
sekali lihat telah dapat menebaknya dengan tepat.
Kao Kok Cu
lalu balas menghormat dan berkata tenang. “Tidak salah dugaan itu, kami adalah
keluarga Kao dan kami datang untuk bicara dengan majikan lembah.”
“Kami adalah
keluarga Cu, pemilik lembah ini. Saya bernama Cu Han Bu dan dia adalah adik
saya bernama Cu Seng Bu, dan dia itu adalah Cu Pek In, anak tunggal saya.
Keluarga kami kebetulan hanya kami bertiga inilah yang saat ini berada di sini,
oleh karena itu, Kao-taihiap sekeluarga silakan masuk dan mari kita bicara di
ruangan tamu.”
“Terima
kasih.”
“Silakan!”
Cu Han Bu mendahului para tamunya masuk, dan setelah tiga orang tamu itu
mengikutinya, Cu Seng Bu dan Pek In lalu mengikuti pula dari belakang.
Yang disebut
ruang tamu itu adalah sebuah ruangan yang amat luas dan di sinilah mereka
dipersilakan duduk oleh pihak tuan rumah. Mereka berenam duduk mengelilingi
sebuah meja besar.
Setelah
memandang wajah Naga Sakti Gurun Pasir sejenak, akhirnya Cu Han Bu berkata,
suaranya datar dan tegas, namun penuh hormat, “Kao-taihiap, setelah Taihiap
sekeluarga berhadapan dengan kami, nah, silakan memberitahu keperluan apakah
yang membawa Taihiap bertiga datang mengunjungi kami.”
Kao Kok Cu
menarik napas panjang. Tugas yang dipikul bersama isteri dan puteranya itu
sungguh bukan merupakan tugas yang enak di hati. Sudah menjadi peraturan umum
yang tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa orang yang telah dapat menguasai
sebuah benda dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya, maka dia pun berhak
menjadi pemilik benda itu. Akan tetapi, betapa pun juga, dia dan isterinya
hanya membela puteranya yang mengabdi kepada Kaisar.
“Cu-taihiap,
tiada lain kedatangan kami ini adalah untuk bicara dengan keluarga Cu tentang
pedang Koai-liong-pokiam!”
Pada wajah
Cun Han Bu dan Cu Seng Bu tidak nampak perubahan sesuatu, hanya Cu Pek In yang
memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati dara ini merasa tidak senang.
Cu Han Bu memandang tajam dan berkata, “Apakah Naga Sakti Gurun Pasir termasuk
orang-orang yang hendak memperebutkan pedang pusaka itu seperti yang dilakukan
oleh sekelompok orang kang-ouw beberapa tahun yang lalu?” Pertanyaan ini
merupakan serangan atau ejekan yang membuat Kao Kok Cu merasa agak bingung.
Akan tetapi
dia ditolong oleh puteranya. Dengan suara lantang dan tegas Kao Cin Liong
berkata, “Hendaknya Cu-lo-enghiong ketahui bahwa kami datang bukan atas nama
pribadi, melainkan atas perintah Sri Baginda Kaisar. Saya adalah seorang
panglima yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan kembali pedang
Koai-liong-pokiam yang telah lenyap dicuri orang dari gedung pusaka istana
beberapa tahun yang lalu. Dan Ayah Bunda saya hanya menemani saya dalam tugas
ini.”
Ucapan itu
tegas dan jelas. Dua orang saudara Cu itu saling pandang, dan sejenak mereka
tidak dapat menjawab. Menghadapi orang-orang kang-ouw, mereka memang tidak usah
merasa malu dan sungkan akan kenyataannya bahwa pedang itu dicuri oleh keluarga
mereka, akan tetapi menghadapi utusan Kaisar lain lagi soalnya! Mereka bukan
hanya dapat dituduh pencuri hina, akan tetapi bahkan juga sebagai pemberontak!
Kalau
jenderal muda ini datang bersama pasukan besar, tentu mereka tidak dapat
melawan dan terpaksa melarikan diri. Akan tetapi jenderal muda itu datang tanpa
pasukan, hanya ditemani ayah bundanya, hal ini berarti bahwa mereka datang
sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walau pun
sebagai utusan Kaisar. Dan kedatangan orang gagah yang hendak merampas kembali
pedang pusaka harus dihadapi dengan kegagahan pula, dengan kepandaian! Agaknya
hal ini sudah diperhitungkan oleh jenderal muda itu, dan oleh karena itulah dia
datang bersama ayah dan ibunya yang sakti.
Cu Han Bu
mengangguk-angguk lalu berkata, “Tidak kami sangkal lagi bahwa pencuri pedang
dari dalam gudang pusaka adalah seorang di antara keluarga kami. Akan tetapi
hal itu hendaknya tidak dianggap sebagai pencurian, melainkan sebagai hak kami
untuk mengambil kembali pedang pusaka keluarga kami yang dulu hilang. Pedang
itu adalah buatan nenek moyang kami dan kami yang berhak atas pedang itu! Jadi,
kami tidak merasa mencuri dari istana.”
“Hemm, kami
tidak tahu dari mana asal pedang itu. Yang kami ketahui hanyalah bahwa pedang
Koai-liong-pokiam itu berada di dalam gudang pusaka istana sebagai satu di
antara benda-benda pusaka kerajaan. Tentang asal mulanya, seperti juga asal
mula semua benda pusaka di istana, kami tidak tahu. Kenyataannya adalah bahwa
pedang itu dicuri dari dalam gudang pusaka, dan untuk itulah kami datang,
sebagai utusan Kaisar untuk mengambil kembali pedang itu. Kami harap keluarga
Cu sadar akan hal ini dan suka mengembalikan pedang itu kepada kami, supaya
memudahkan tugas kami sebagai utusan Kaisar.”
Jelaslah
bahwa Cin Liong selalu mempergunakan nama Kaisar sebagai kesan bahwa dia sama
sekali tidak berniat mencampuri urusan pedang pusaka dan hanya bertindak
sebagai utusan, bukan mencampuri permusuhan atas nama pribadi. Dan ayahnya
setuju dengan sikap puteranya, walau pun ibunya, Wan Ceng, bersungut-sungut dan
menganggap puteranya itu terlalu merendahkan diri!
“Pedang itu
kini tidak ada pada kami lagi,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang.
Cin Liong
memandang tajam penuh selidik dan penghuni lembah itu harus mengakui bahwa
sinar mata pemuda itu membuat bulu tengkuknya meremang karena sepasang mata itu
amat tajam dan mencorong.
“Cu-lo-enghiong,
banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi bahwa keluarga Cu berhasil mendapatkan
pedang itu dari Yeti dan bahwa pencurinya dari istana adalah Cui-beng Sian-li
yang menjadi keluarga di sini. Kalau pedang itu kini tidak ada pada keluarga
Cu, lalu berada di mana?”
Cu Han Bu
bangkit berdiri, alisnya berkerut. “Orang muda, engkau terlalu mendesak!”
Kao Cin Liong
juga bangkit berdiri, sikapnya gagah. “Lo-enghiong, saya adalah utusan Kaisar,
harap engkau orang tua tidak menyembunyikan di mana pedang itu kini.”
“Kalau aku
tidak mau memberi tahu?”
“Kami akan
menganggap bahwa engkau yang menyembunyikan pedang itu!”
“Hemm,
pedang itu didapat dengan mengandalkan kepandaian dan karena pedang itu adalah
milik keluarga kami, maka bagaimana pun juga harus kami pertahankan. Tapi, kami
tidak ingin dianggap memberontak terhadap pemerintah. Nah, keluarga Kao, kami
hanya mau memberitahukan di mana pedang itu sekarang berada....”
“Ayah....!”
Pek In berseru akan tetapi ayahnya memberi isyarat dengan tangan agar puterinya
itu duduk kembali yang segera ditaati oleh Pek In, akan tetapi dengan wajah
penuh kekhawatiran.
“Untuk
mendapatkan keterangan dari kami, lebih dulu Sam-wi harus dapat mengalahkan
keluarga Cu!”
“Bagus!
Kenapa tidak dari tadi bicara begitu? Berliku-liku bukan sikap orang gagah!”
bentak Wan Ceng yang sudah bangkit berdiri.
Akan tetapi
Kao Kok Cu bersikap tenang, dan dia menyentuh lengan isterinya untuk
menyabarkannya. Lalu ia menghadapi Cu Han Bu dengan suara yang terdengar
tenang, sedikit pun tidak dipengaruhi amarah, namun terdengar penuh wibawa,
“Saudara Cu Han Bu telah menyatakan kehendaknya. Kita bukan anak-anak kecil,
juga bukan orang-orang yang suka mencari permusuhan. Kami datang untuk
menemukan kembali pedang pusaka istana, dan Saudara Cu agaknya hendak
mempertahankan pedang itu atau segan memberitahu di mana adanya pedang itu
tanpa lebih dulu ditebus dengan adu ilmu. Nah, bagaimana syarat yang diajukan
oleh kalian sebagai pihak tuan rumah?”
Cu Han Bu
bersikap hati-hati sekali. Ketenangan Naga Sakti Gurun Pasir itu sedikit banyak
mendatangkan rasa jeri di dalam hatinya, karena dia maklum bahwa seperti itulah
sikap seorang pendekar sejati yang tidak ragu-ragu lagi akan kekuatan diri
sendiri dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi apa pun juga, tak lagi
dapat dipengaruhi oleh rasa marah, rasa takut atau lain perasaan lagi, kokoh
kuat seperti batu karang di tengah laut.
“Di pihak
keluarga kami pada saat ini hanya ada saya dan Adik Cu Seng Bu. Kami berdua
akan maju mewakili keluarga kami untuk menghadapi pihak utusan Kaisar,” kata Cu
Han Bu, sengaja menggunakan sebutan utusan ‘Kaisar’ untuk menekankan bahwa
mereka tidak menganggap keluarga Naga Sakti Gurun Pasir sebagai musuh-musuh
pribadi.
“Hemm, dua
lawan dua, itu sudah adil,” kata Cin Liong. “Saya dan Ayah akan maju menghadapi
kalian. Akan tetapi bagaimana kalau di antara dua orang yang seorang kalah dan
seorang lagi menang?”
“Yang menang
akan saling berhadapan, sampai ada yang kalah,” sambung Cu Han Bu, tenang.
“Bagaimana
kalau kami kalah?” tanya lagi Cin Liong.
Cu Han Bu
tersenyum. “Kami tidak terlalu mengharapkan itu. Akan tetapi kalau pihak kami
menang, kalian harus pergi dari sini dan bersumpah tidak akan mengganggu kami
lagi dalam urusan pedang.”
“Tapi itu
berarti mengabaikan perintah Kaisar!” Cin Liong berseru.
“Terserah!
Tapi itulah perjanjian dalam adu ilmu ini, tentu saja kalau pihak kalian tidak
keberatan.”
Cin Liong
mengepal tinju. Kata ‘keberatan’ itu sama dengan ‘takut’!
“Baik.”
jawabnya. “Kalau kami kalah, kami akan pergi dan kami bersumpah tidak akan
mengganggu kalian dalam urusan pedang, dan aku sendiri akan mengundurkan diri
dari kedudukanku di istana karena berarti tidak mampu melaksanakan perintah
Kaisar!”
“Cin Liong....!”
Wan Ceng berseru kaget, akan tetapi suaminya kembali menyentuh lengannya.
“Ucapan
Liong-ji cukup tepat sebagai seorang gagah,” katanya tenang.
“Dan
bagaimana kalau kalian yang kalah?” Cin Liong kini balas mendesak.
Cu Han Bu
tidak tersenyum, melainkan memandang tajam. “Kalau kami yang kalah, kami akan
memberitahukan di mana adanya pedang itu dan di samping itu, kami berdua akan
menggunduli kepala dan mengasingkan diri, menghabiskan sisa hidup sebagai
hwesio.”
“Ayah....!”
Pek In berseru kaget, mukanya pucat.
“Pek In,
seorang laki-laki harus mempunyai harga diri. Tadi Jenderal Muda Kao telah
mempertaruhkan kedudukannya yang tinggi, maka keputusan itu patut dihormati dan
diimbangi dengan keputusan kami mempertaruhkan keputusan kami pula. Dan, kalah
dalam tangan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir merupakan kekalahan yang
terhormat. Keputusanku tidak dapat dirubah pula.”
“Aku setuju
dengan keputusan yang diambil Bu-twako,” sambung Cu Seng Bu yang memang sebelum
mereka menghadapi keluarga Naga Sakti Gurun Pasir itu telah berunding dengan
kakaknya dan keduanya mengambil keputusan ini.
“Baik
sekali. Nah, kita boleh mulai,” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan ia pun
bangkit berdiri, siap untuk bertanding.
Akan tetapi
Cin Liong sudah maju ke depan ayahnya. “Tidak, Ayah. Biarkan aku maju lebih
dulu.”
Melihat ini,
Kao Kok Cu tersenyum dan duduk kembali. Dia percaya penuh kepada puteranya yang
telah mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya dan dia tahu bahwa biar pun
masih muda, namun Cin Liong bukan orang yang sembrono, bahkan sudah banyak
pengalamannya dalam menghadapi lawan yang pandai pada saat menjalankan
tugas-tugas sebagai seorang panglima perang.
Kao Cin
Liong sudah melangkah maju ke tengah ruangan di mana telah menanti Cu Seng Bu
yang maju lebih dulu mewakili keluarga Cu.
Cu Seng Bu
berdiri tegak dan menatap calon lawannya itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu
masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun atau dua puluh tahun
usianya, dia berpikir. Biar pun pemuda itu putera tunggal Naga Sakti Gurun
Pasir, akan tetapi dalam usia semuda itu, mana mungkin memiliki ilmu kepandaian
yang sangat tinggi? Rasanya mustahil kalau dia sampai kalah oleh seorang yang
baru saja dewasa.
Akan tetapi
dia tidak berani memandang rendah. Sim Hong Bu, muridnya dan murid kakaknya
juga sebaya dengan pemuda ini, dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Sim Hong
Bu akan melampaui dia kalau pemuda itu sudah dapat menguasai Koat-liong
Kiam-sut secara sempurna.
Cu Seng Bu
berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan). Julukan ini saja sudah menunjukkan
bahwa dia tentu seorang ahli ginkang yang hebat, sehingga saking cepatnya dia
bergerak, saking ringan tubuhnya, maka dia mendapat julukan itu, karena
seolah-olah dia dapat berkelebat tanpa nampak bayangannya saking cepatnya. Oleh
karena itu, dia menanti datangnya Cin Liong tanpa mencabut pedangnya, karena
dia percaya bahwa dengan kecepatan gerakannya, dia akan mampu mengalahkan
pemuda itu.
Kini mereka
sudah berdiri, saling berhadapan dengan sinar mata saling pandang, saling
menilai dan menyelidik.
“Kao-goanswe,
kau majulah!” Cu Seng Bu menantang. “Engkau adalah tamu, maka silakan mulai
lebih dahulu!”
Cin Liong
tersenyum. Dia tahu bahwa dalam ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya, siapa
maju menyerang lebih dulu berada di pihak yang lebih lemah. “Cu-lo-enghiong,
pihakmulah yang menantang, maka silakan mulai lebih dulu, aku menanti,”
katanya.
“Hemm,
pemuda ini cukup tenang, sikap yang mengkhawatirkan dan berbahaya.” Cu Seng Bu
pun tidak mau membuang waktu lagi, diam-diam dia mengerahkan semua tenaganya
dan berseru nyaring, “Jaga seranganku!”
Belum juga
habis ucapan itu keluar dari mulutnya, tubuhnya telah melesat ke depan dengan
kecepatan yang mengejutkan dan tahu-tahu tangan kanannya yang membentuk paruh
garuda yang runcing melengkung itu telah mematuk ke arah leher Cin Liong.
Kecepatan itu amat mengejutkan, dan tenaga yang terkandung dalam serangan itu
pun dahsyat bukan main.
Akan tetapi
Cin Liong memiliki ketenangan ayahnya dan ketabahan ibunya. Dia menghadapi
serangan dahsyat itu dengan mata tanpa berkedip, dan cepat namun tenang sekali
dia sudah menggeser kaki ke kiri, mengelak dan mencari lubang pada lawan.
Akan tetapi,
sungguh hebat lawannya itu karena begitu melihat serangannya gagal, tanpa
memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas serangan, Cu Seng Bu sudah
merubah serangannya. Sekarang dari samping dia menubruk lagi, tangan kiri
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, sedangkan tangan kanan tetap merupakan
paruh garuda menotok ke arah pusar!
Gerakannya
mirip dengan seekor burung garuda yang mencakar dan mematuk, akan tetapi
berbeda dengan ilmu silat garuda yang lajim, terutama sekali gerakan kakinya
yang berbeda, sedangkan tubuhnya meliuk seperti tubuh ular atau seperti leher
bangau. Dan yang amat berbahaya adalah kecepatannya itulah. Dari serangan gagal
tadi dia dapat melanjutkan serangan ke samping, ini menunjukkan bahwa orang itu
selain ahli ginkang juga sudah menguasai setiap gerakannya dengan sempurna.
Namun Cin
Liong tidak mau didesak. Dia mengelak ke bawah untuk menghindarkan cengkeraman
pada ubun-ubun kepala dan dengan tangan kiri dia menangkis totokan pada
pusarnya. Sedangkan tangan kanannya, pada saat itu juga, selagi tubuhnya
merendah, sudah menghantam ke arah lutut kaki kiri lawan dengan tangan miring,
tidak kalah dahsyatnya dibandingkan kalau dia menggunakan golok membacok kaki
itu, dan kalau mengenai sasaran, tentu sedikitnya sambungan lutut itu akan
terlepas kalau tidak tulangnya remuk sama sekali.
Namun, Cu
Seng Bu sungguh memiliki gerakan yang cepat bukan main karena tiba-tiba saja
tubuhnya sudah melesat ke atas seperti burung terbang saja. Akan tetapi sungguh
tidak diduganya bahwa pemuda itu pun memiliki kecepatan yang hebat karena
melihat lawannya mencelat ke atas, Cin Liong juga meloncat mengejar dan
mengirim pukulan dengan dahsyat dengan tangan terbuka. Pada saat itu, Cu Seng
Bu juga menyambut lawan dengan tendangan tumit kakinya. Tak dapat dihindarkan
lagi, tangan dan kaki itu saling bertemu selagi tubuh mereka masih di udara.
“Dessss....!”
Keduanya
terpental dan keduanya dapat turun ke atas lantai dengan baiknya. Dan
masing-masing merasakan getaran yang cukup hebat akibat benturan itu.
“Haiiittttt....!”
Cu Seng Bu
sudah menyerang lagi, gerakannya indah, tangan kirinya terbuka melingkar ke
depan merupakan serangan gertakan, tetapi yang sungguh-sungguh menyerang adalah
tangan kanannya yang mencuat dari bawah lengan kiri itu, dan langsung
menghantam ke arah dada lawan dari bawah dengan kecepatan luar biasa dan tenaga
dahsyat. Itulah jurus yang disebut Hio-te-hoan-hwa (Mencari Bunga di Bawah
Daun).
Cin Liong
maklum bahwa jurus itu mempunyai banyak sekali perubahan, maka dia pun mengelak
dengan menggeser kaki kiri ke belakang. Benar saja dugaannya, lawannya
tiba-tiba telah merubah gerakan, tubuhnya merendah dan dari bawah kedua tangan
itu menyambar bergantian ke atas, menyerang pusar dan perut, kemudian disambung
dengan tendangan sambil bangkit berdiri, tendangan yang amat kuat mengarah pada
dagunya! Itulah jurus Hai-ti-lauw-goat (Menyelam Laut Mencari Bulan)!
Cin Liong
lalu menangkis sambil berloncatan dan selanjutnya dia pun membalas dengan
jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu silat istimewa dari
ayahnya. Tubuh Cin Liong meliuk-liuk bagai seekor naga beterbangan di angkasa,
dan kedua tangannya membentuk cakar-cakar naga, serangannya datang dari atas
dan bawah secara tidak terduga-duga karena tubuhnya yang naik turun dengan
cepat dan lincah sekali.
Melihat
betapa pemuda itu menguasai kelincahan seperti dia, Cu Seng Bu menjadi
penasaran. Ketika dia melihat pemuda itu memukulnya dengan lengan kanan membuat
gerakan melengkung dari samping mengarah pelipisnya, dia pun lantas mengerahkan
tenaganya dan menangkis sambil membentak keras.
“Dukkk!”
Kedua lengan
itu bertemu dan keduanya telah mengerahkan sinkang masing-masing. Kuda-kuda
kaki Cin Liong tergeser dan dia mundur dua langkah, akan tetapi tubuh Cu Seng
Bu terhuyung-huyung! Dari kenyataan ini saja terbukti bahwa dalam hal tenaga,
ternyata Cu Seng Bu masih kalah setingkat!
Akan tetapi,
Cu Seng masih penasaran dan berkali-kali mereka saling tangkis, tidak mengelak
lagi, menggunakan kekerasan. Terdengar suara ‘dak-duk’ menggetarkan jika lengan
mereka saling bertemu dan berkali-kali tubuh mereka tergetar dan terdorong atau
terhuyung.
Perkelahian
itu telah berlangsung sampai seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau
menang, sungguh pun sudah beberapa kali Cu Seng Bu nampak terhuyung dan
beberapa kali pula dia menyeringai seperti menahan sakit. Memang dalam
benturan-benturan tenaga sinkang, dia kalah kuat dan dia mengalami guncangan hebat
yang ditahan-tahannya. Sayang bahwa keluarga Cu biasanya memandang diri sendiri
terlalu tinggi, dan sikap seperti ini menimbulkan sifat tidak mau kalah atau
sukar menerima kenyataan bahwa dirinya kalah kuat. Setiap kekalahan
mendatangkan rasa penasaran dan Cu Seng Bu menjadi semakin nekat.
Tiba-tiba
dia mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan dahsyatnya dia menubruk maju,
kedua tangannya didorongkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Melihat ini, Cu
Han Bu sampai menggerakkan kedua tangan ke depan, seolah-olah ingin mencegah
adiknya.
Sementara
itu, melihat hebatnya serangan yang dia tahu seperti hendak mengadu nyawa ini,
Cin Liong maklum bahwa dia harus berani mengambil keputusan. Maka dia pun
mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya pun tiba-tiba meluncur ke
depan dalam kedudukan seperti menelungkup, bagaikan seekor naga yang sedang
terbang!
Itulah ilmu
Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Tanah) dan biar pun ilmu itu untuk
seorang yang berlengan satu, namun Kao Kok Cu mengajarkan juga kepada Cin
Liong. Tentu saja gerakannya menjadi kaku dan pemuda ini tidak sepenuhnya dapat
menguasai ilmu ini, akan tetapi tenaga yang timbul karena ilmu ini amat
dahsyatnya, terpusat kepada lengan yang menjulur ke depan.
“Bressss....!”
Hebat sekali
pertemuan antara dua orang yang berilmu tinggi ini di udara. Seolah-olah ada
dua bintang bertubrukan dan tubuh Cu Seng Bu terlempar ke belakang seperti
layang-layang putus talinya, kemudian terbanting ke atas lantai. Dia
mengeluarkan keluhan lirih dan merangkak bangun, dari ujung mulutnya menitik
darah segar. Dapat juga dia bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya,
sebatang pedang lemas.
Akan tetapi,
melihat keadaan adiknya, dan melihat betapa pemuda perkgsa itu masih berdiri
tegak dalam keadaan segar. Cu Han Bu maklum bahwa adiknya telah kalah dan kalau
dibiarkan maju lagi dengan berpedang, hal itu amat memalukan sebab merupakan
suatu kenekatan yang terdorong oleh sikap tidak tahu diri dan tidak mau kalah.
“Cukup, Adik
Seng Bu. Engkau sudah kalah dan biarkan aku yang maju sekarang!” kata Cu Han Bu
sambil memegang lengan adiknya dan menariknya mundur dengan lembut.
Cu Seng Bu
tidak membantah, melepaskan lagi gagang pedangnya dan dia menarik napas panjang
berkali-kali, kelihatan menyesal sekali. “Adikmu ini tiada guna, Twako,”
katanya dan tiba-tiba dia muntahkan darah segar.
“Mengasolah,
Adikku,” kata kakaknya.
Cu Seng Bu
menolak tangan Cu Pek In yang hendak memapahnya, dan dia pun lalu kembali ke
tempat duduknya, duduk dengan kedua kaki dinaikkan, bersila dan mengatur
pernapasan untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya akibat benturan hebat
dengan lawan yang amat tangguh tadi.
Dia
diam-diam menyesal mengapa tidak sejak semula dia menghadapi lawan itu dengan
pedangnya. Kalau dia menggunakan pedang dan pemuda itu pun bersenjata, belum
tentu dia kalah dan andai kata dia kalah pun, lebih banyak kemungkinan dia mati,
tidak seperti sekarang ini, menderita luka dan tidak tewas sehingga dia harus
menghadapi kekalahannya dan menderita rasa malu.
Melihat Cu
Han Bu maju dan menoleh kepadanya, Cu Pek In lalu berseru, “Sambutlah, Ayah!”
Dan begitu
tangan kanannya bergerak nampak sinar emas berkelebat menuju ke arah ayahnya
itu yang mengangkat tangan kanan menyambutnya. Ternyata yang dilontarkan oleh
dara itu adalah sebatang suling emas! Cu Han Bu memegang suling emas itu,
memandangnya sebentar, menarik napas panjang lalu menggeleng kepala.
“Tidak, Pek
In! Aku adalah penghuni Lembah Naga Siluman, bukan lagi Lembah Suling Emas!”
Dia
tersenyum pahit mengenangkan kekalahannya terhadap Kam Hong yang lebih tepat
berjuluk Suling Emas dan sejak kekalahannya itu, dia tidak ingin lagi mengingat
tentang suling emas, apalagi mempergunakan suling emas sebagai senjata karena
hal itu hanya mengingatkan akan kekalahannya dan seperti ejekan saja.
Dia lalu
melontarkan kembali suling itu kepada putrinya yang menyambutnya dengan alis
berkerut, penuh kekhawatiran karena dara ini maklum bahwa di antara semua
senjata, bahkan dibandingkan dengan sabuk emas yang dipakai ayahnya, suling itu
merupakan senjata yang paling ampuh bagi ayahnya.
Cu Han Bu
sudah melolos sabuk emasnya dan berdiri tegak memandang kepada Kao Kok Cu,
dengan sinar mata yang mempersilakan pendekar itu maju melawannya. Melihat ini,
Kao Kok Cu juga sudah bangkit dari tempat duduknya.
Akan tetapi
Cin Liong yang masih berdiri tegak dan belum kembali ke tempat duduknya,
berkata, “Ayah, akulah yang wajib melaksanakan perintah dari Sri Baginda. Ayah
hanya membantu saja kalau aku telah gagal. Oleh karena itu, sebelum aku kalah,
harap Ayah jangan turun tangan terlebih dahulu. Marilah, lo-enghiong, mari kita
tentukan hasil adu kepandaian ini. Ayah hanya akan maju kalau aku sudah kalah“
Cun Han Bu
memandang kagum. Kalau saja keadaan tidak memaksa mereka itu saling berhadapan
sebagai musuh, dia akan merasa bangga dan senang sekali mempunyai sahabat
seperti keluarga Kao yang gagah perkasa ini. Maka dia pun menghampiri pemuda
itu dengan sabuk emas dipegang gagangnya oleh tangan kanan sedangkan ujungnya
yang lain dipegang oleh tangan kiri. Sikapnya kereng ketika dia berkata,
“Kao-goanswe,
engkau sungguh hebat dan Adikku sudah kalah olehmu. Kalau sekarang aku pun
kalah olehmu, maka berarti pihak kami mengaku kalah. Nah, silakan engkau
mengeluarkan senjatamu!”
Kao Cin
Liong telah mempelajari ilmu-ilmu sakti dari ayahnya dan dia telah digembleng
sehingga kedua tangan dan kakinya seakan-akan sudah menjadi pengganti senjata.
Seperti ayahnya, dia tidak pernah memegang senjata, kecuali kalau berpakaian
dinas sebagai jenderal. Pedang yang tergantung di pinggangnya kalau dia
berpakaian dinas hanya merupakan tanda pangkat belaka. Maka pada saat itu pun dia
tidak membawa senjata.
Melihat ini,
Wan Ceng lalu melolos pedangnya dan memandang kepada suaminya untuk minta
persetujuan suaminya. Kao Kok Cu mengangguk dan isterinya lalu melontarkan
pedang itu ke atas.
“Cin Liong,
terimalah pedang ini!” serunya dan pedang itu meluncur ke atas, kemudian
seperti mempunyai mata saja, pedang itu berputaran di udara lalu meluncur turun
ke arah Cin Liong yang menerimanya dengan manis.
Itulah
pedang Ban-tok-kiam! Pedang ini sangat berbahaya karena mengandung racun-racun
yang amat hebat, nampak kehitaman seperti penuh karat, nampak menyeramkan
sekali. Jangankan sampai tertusuk bagian tubuh yang penting, baru tergores saja
sudah dapat membawa maut….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment