Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 15
Dia
mengingat-ingat para tokoh kaum sesat, akan tetapi tetap saja tidak mengenal
wajah yang pucat itu. Karena dia harus melindungi Pangeran dan juga harus
membela Syanti Dewi, maka dia lalu menerjang lagi, kini mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya.
Akan tetapi
segera ia mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat
kakek yang luar biasa ini, sehingga belum sampai tiga puluh jurus dia sudah
kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya!
Melihat ini,
beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran sudah
maju berturut-turut, akan tetapi empat lima orang yang maju itu satu demi satu
dapat dirobohkan dengan mudah oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek
itu menantang.
“Ha-ha-ha,
siapa lagi yang hendak mencoba kepandaian?”
Semua orang
menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan
itu, tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah
mereka bahwa kakek ini sungguh merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini
Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan terhina sekali. Dia
mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya sudah
berada di depan kakek itu.
“Ha-ha-ha,
tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni
Pulau Kim-coa-to, memiliki ginkang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan
yang boleh ditandingi. Majulah, Bu-eng-kwi, aku hendak melihat sampai di mana
kehebatanmu!”
“Pengacau
jahat, menggelindinglah!” bentak Ouw Yan Hui.
Wanita ini
sudah menerjang dengan amat cepatnya. Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan
tahu-tahu jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang
botak itu, sedangkan dua jari tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata
lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun mengeluarkan suara kaget
dan cepat melempar tubuh ke belakang.
“Hebat,
ginkang yang hebat!” kakek itu memuji.
Akan tetapi
Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia
merasa penasaran. Tetapi, kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang.
Terjadilah serang-menyerang, pertandingan yang seru bukan main, dan jauh lebih
seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi.
Wanita itu
memang mempunyai ginkang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw.
Tubuhnya seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika
mengelak atau balas menyerang. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu
silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga sinkang Ouw Yan Hui
kalah jauh, maka biar pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar
pundaknya sampai terlempar dan terguling-gullng.
Melihat ini,
Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah
meloncat dari tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia
sudah menyambar dengan pukulan tangan terbuka ke arah kepala kakek itu.
“Plakk!”
Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat
berjungkir balik dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting.
Pangeran
sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi,
akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Sam-ok, engkau sungguh
keterlaluan!”
Nampaklah
kini seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan dan bermuka penuh cambang dan
kumis meloncat ke tengah panggung berhadapan dengan kakek tinggi besar. Semua
orang memandang, begitu juga Syanti Dewi.
Akan tetapi,
begitu memandang wajah tertutup brewok itu, seketika wajah Syanti Dewi menjadi
pucat sekali, kedua matanya terbelalak, dan tiba-tiba dia mengulurkan kedua
tangan ke arah pengemis itu, mulutnya mengeluarkan jerit melengking dan
tubuhnya roboh terguling!
Ketika Ouw
Yan Hui cepat merangkulnya, ternyata Sang Puteri itu telah jatuh pingsan!
Sejenak Tek Hoat memandang ke arah Syanti Dewi, dan ketika melihat betapa
Syanti Dewi dipondong masuk oleh Ouw Yan Hui, dia pun lalu menghadapi lagi
kakek raksasa itu.
“Sam-ok,
tidak perlu engkau menyembunyikan lagi mukamu di belakang kedok, karena aku
telah mengenalmu! Para tamu sekalian, ketahuilah bahwa kakek yang menutupi
mukanya dengan kedok kulit tipis ini bukan lain adalah, Sam-ok, yaitu orang ke
tiga dari Im-kan Ngo-ok, atau juga Ban-hwa Sengjin, bekas koksu dari Negara
Nepal! Orang ini mempunyai niat tidak baik terhadap Sang Pangeran, bahkan
inilah orangnya yang mengatur segala pencegatan dan penculikan terhadap
Pangeran!”
Setelah
berkata demikian, dengan cepat Tek Hoat sudah menyerang dengan pukulan maut ke
arah leher Sam-ok. Kakek itu yang merasa bahwa tak perlu menyembunyikan dirinya
lagi, tertawa dan sekali renggut saja kedok kulit tipis yang menutupi mukanya
terbuka dan nampaklah wajah aslinya. Dia masih sempat tertawa-tawa, akan tetapi
segera dia harus mencurahkan perhatiannya karena sekali ini dia menghadapi Si
Jari Maut, seorang yang amat lihai, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan
semua lawannya yang tadi. Maka dia pun mengelak, menangkis dan balas menyerang
dengan hebatnya. Sementara itu, ketika para tamu mendengar bahwa kakek itu
adalah Sam-ok atau bekas Koksu Nepal yang hendak mencelakai Pangeran Mahkota,
mereka menjadi marah.
“Tangkap
musuh negara!”
“Bunuh
penjahat itu!”
Bukan hanya
orang-orang kang-ouw, juga sekarang Souw Kee An telah mengerahkan pasukannya
untuk mengepung dan mulai bergerak, sedangkan para anak buah Pulau Kim-coa-to
juga digerakkan oleh Ouw Yan Hui yang merasa terkejut bukan main mendengar
bahwa kakek itu adalah orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!
Dan pada
saat itu muncullah berturut-turut empat orang yang amat mengejutkan semua
orang. Mereka itu bukan lain adalah Toa-ok Su Lo Ti, kakek yang bermuka gorila,
Ji-ok Kui-bin Nio-nio, nenek yang berkedok tengkorak, Su-ok Siauw-siang-cu,
hwesio cebol dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu yang tingginya dua setengah
meter lebih itu. Kini lengkaplah sudah Im-kan Ngo-ok muncul di situ setelah Tek
Hoat tadi membuka kedok Sam-ok!
Melihat ini,
para tamu, tentu saja mereka yang mempunyai kepandaian, telah menerjang ke
depan, membantu para pasukan pengawal dan para anak buah Pulau Kim-coa-to,
mengeroyok lima orang datuk kaum sesat itu.
Akan tetapi,
lima datuk itu bukanlah orang-orang sembarangan sehingga dalam waktu singkat
saja sudah banyak prajurit pengawal, anak buah Kim-coa-to dan orang-orang
kang-ouw yang roboh terjungkal. Hanya Wan Tek Hoat dan Souw Kee An, dibantu
oleh para prajurit pengawal, yang masih terus melawan. Tek Hoat masih
bertanding dengan amat hebatnya melawan Sam-ok, keduanya tidak mau mengalah dan
mengeluarkan seluruh kepandaian mereka sehingga bayangan mereka seolah-olah
telah menjadi satu.
Namun
setelah Ji-ok membiarkan ketiga orang saudaranya menghadapi pengeroyokan para
pengawal dan dia sendiri membantu Sam-ok, Tek Hoat menjadi terdesak hebat.
Memang hebat sekali sepak terjang Tek Hoat. Biar pun dia menghadapi orang ke
dua dan ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, dia masih mampu melindungi dirinya, bahkan
membalas dengan tamparan-tamparannya yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika
Toa-ok maju pula dengan pukulan yang mendatangkan angin yang amat kuatnya, Tek
Hoat menjadi repot sekali dan akhirnya sebuah pukulan yang amat keras dari
tangan kiri Sam-ok mengenai punggungnya.
“Ughhhhh....!”
Tek Hoat
muntahkan darah segar, akan tetapi dia masih sigap dan cepat melompat ke
belakang, kemudian mengamuk lagi tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang telah
terluka di sebelah dalam oleh hantaman telapak tangan Sam-ok tadi. Kegagahannya
ini membuat para lawannya menjadi kagum juga.
“Jari Maut,
jangan khawatir, kami datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar suara halus namun
mendatangkan getaran amat kuatnya, dan nampaklah berkelebatnya bayangan dua
orang ke tempat itu.
Wan Tek Hoat
girang sekali. “Naga Sakti Gurun Pasir! Bagus engkau datang! Dan Ceng Ceng!
Bagus, kau bantulah saudaramu yang sudah kepayahan ini!”
Yang datang
itu adalah seorang laki-laki yang perkasa yang buntung lengan kirinya, berusia
kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana dan memiliki sepasang
mata yang mencorong seperti mata naga, bersama seorang wanita cantik sekali
biar pun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dan masih lincah sekali.
Mereka ini adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isteri yang menjadi
penghuni Istana Gurun Pasir, ayah bunda dari Jenderal Muda Kao Cin Liong yang
gagah perkasa itu!
“Huhh, baru
dikeroyok oleh lima siluman kecil itu saja engkau sudah kerepotan, Tek Hoat!”
nyonya itu mengejek pengemis yang sedang repot didesak tiga orang lawannya itu.
“Dan engkau kini telah menjadi jembel, ganti saja julukanmu menjadi Jembel
Maut! Hi-hi-hik!”
“Wah, engkau
masih cerewet seperti dulu juga, Ceng Ceng. Bantu sajalah, mengapa cerewet?”
Tek Hoat mencela.
Memang dua
orang ini sejak dulu suka ribut saja kalau jumpa, sungguh pun di dalam hati
mereka terdapat kasih sayang yang besar karena mereka itu adalah saudara seayah
berlainan ibu, bernasib sama pula karena mereka dilahirkan sebagai anak-anak
haram, ibu mereka telah menjadi korban perkosaan ayah mereka. Bahkan pada waktu
muda, keduanya hampir saling jatuh cinta ketika mereka belum mengetahui bahwa
mereka itu sesungguhnya seayah.
Ceng Ceng
masih mengejek, akan tetapi sambil mengejek dia sudah menerjang Ji-ok,
sedangkan suaminya, Si Naga Gurun Pasir yang pendiam, telah menerjang Toa-ok.
Sekali terjang saja, Toa-ok yang mencoba menangkis itu telah terjengkang!
Bukan main
kagetnya hati Im-kan Ngo-ok ketika melihat munculnya pria berlengan satu yang
amat sakti ini. Mereka mengenal siapa adanya Naga Sakti Gurun Pasir bersama
isterinya, maka mereka kini tahu bahwa kini keadaan menjadi berbalik dan mereka
terancam bahaya. Maka, setelah melawan beberapa lamanya dan mereka terdesak
hebat, Sam-ok yang merupakan otak mereka biar pun dia itu orang ke tiga,
bersuit nyaring dan lima orang itu lalu berlompatan jauh dan melarikan diri.
Tek Hoat
terhuyung-huyung dan terguling, pingsan. Pukulan yang tadi diterimanya dari
Sam-ok amat hebat. Melihat ini Ceng Ceng cepat menubruk kemudian memeriksanya.
Suaminya juga mendekati dan tidak mengejar lima orang datuk sesat itu yang
segera melarikan diri ke perahu mereka dan cepat berlayar pergi meninggalkan
pulau yang kini terlalu berbahaya bagi mereka itu.
“Bagaimana
dia?” Kao Kok Cu, Si Naga Sakti bertanya kepada isterinya sambil turut
memeriksa.
“Agaknya dia
mengalami luka di dalam tubuhnya. Lihat ini punggungnya,” kata Wan Ceng.
Punggung
yang telah dibuka bajunya itu nampak kebiruan. Kao Kok Cu kemudian menempelkan
telapak tangannya untuk mengobati Tek Hoat. Sementara itu, Pangeran Mahkota
yang sejak tadi tenang-tenang saja menonton pertempuran, kini menghampiri
dengan wajah girang.
“Wah, untung
ada Paman Kao dan Bibi yang datang!” katanya.
Melihat
Pangeran yang mereka kenal baik ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng menjura dan Kao
Kok Cu lantas melanjutkan pengobatannya. Sementara itu, Wan Ceng bercerita
kepada Pangeran. “Kami bertemu dengan Cin Liong. Dia masih sibuk setelah
membuat pembersihan di barat dan dia mengatakan bahwa Paduka berada dalam
bahaya, dan dia minta kepada kami untuk menyusul ke Pulau Kim-coa-to ini. Kami
terlambat, akan tetapi untung ada saudara hamba Si Jari Maut ini yang
menghadapi Im-kan Ngo-ok yang berbahaya.”
“Hemm, jadi
Paman pengemis itu adalah saudara Bibi, ya? Dan dia itu Si Jari Maut? Pantas
demikian lihainya. Dia pernah menyelamatkan aku dari para perampok pula. Ah,
tidak kusangka bahwa dialah orangnya.... pantas Enci Syanti Dewi pingsan
seketika setelah tadi melihatnya.”
“Syanti
Dewi? Di mana dia sekarang?” tanya Wan Ceng dengan girang. Memang dia sudah
mendengar bahwa Syanti Dewi berada di pulau itu, maka dia bersama suaminya yang
menyusul Sang Pangeran itu sekalian hendak menjenguk Puteri Bhutan itu yang
menjadi saudara angkatnya.
“Dia tadi
pingsan ketika melihat Si Jari Maut dan digotong ke dalam oleh Ouw-toanio.”
Mendengar ini, Wan Ceng lalu bangkit berdiri dan setelah melihat bahwa Tek Hoat
tidak berbahaya keadaannya, dia lalu lari memasuki gedung untuk mencari Syanti
Dewi.
Ternyata
Syanti Dewi telah mengalami kejutan yang menggoncangkan batinnya. Melihat
munculnya Tek Hoat dalam keadaan seperti jembel, dia terkejut, terheran, dan
terharu sehingga dia jatuh pingsan. Melihat Ceng Ceng memasuki kamar itu, Ouw
Yan Hui mengerutkan alisnya.
Akan tetapi
Ceng Ceng berkata dengan suara berwibawa. “Minggirlah, biar kuperiksa Enci
Syanti.”
Akan tetapi
Ouw Yan Hui masih memandang dengan curiga. “Aku adalah Candra Dewi, saudara
angkatnya.” Ceng Ceng memperkenalkan diri.
Mendengar
ini, barulah Ouw Yan Hui bangkit. Kiranya inilah dia orangnya yang sering
dibicarakan Syanti Dewi, wanita yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi, isteri
dari Pendekar Naga Sakti dari Gurun Pasir itu!
Ceng Ceng
kemudian memeriksa keadaan Syanti Dewi. Tahulah dia bahwa saudara angkatnya itu
mengalami pukulan batin yang mengguncangkan jantungnya dan perlu beristirahat.
“Dia tidak
berbahaya akan tetapi perlu beristirahat, biarlah saya menjaganya di sini,”
katanya lagi kepada Ouw Yan Hui.
Ouw Yan Hui
mengangguk, lalu dia keluar. Sebagai nyonya rumah, tentu saja dia harus
mengatur keadaan di luar yang tadi menjadi kacau oleh Im-kan Ngo-ok. Di ruangan
itu dia melihat Pangeran bersama Naga Sakti Gurun Pasir berlutut di dekat tubuh
Si Jari Maut yang masih pingsan, sedangkan Souw-ciangkun repot mengurus anak
buahnya yang luka-luka.
Ouw Yan Hui
lalu mengepalai anak buahnya untuk membersihkan tempat, mengangkuti yang luka
ke belakang dan mempersilakan para tamu untuk duduk kembali dan memerintahkan
para pembantunya menyuguhkan minuman baru.
Sementara
itu, Tek Hoat siuman dari pingsannya. Begitu membuka mata, dia segera bangkit duduk.
Melihat di situ terdapat Kao Kok Cu dan Pangeran, pandang matanya liar
mencari-cari ke kanan kiri.
“Mana
dia....? Ke mana dia....?”
“Engkau
mencari siapa?” Kao Kok Cu bertanya karena ketika pendekar ini tadi datang
bersama isterinya, dia tidak melihat Syanti Dewi.
Akan tetapi
Pangeran Kian Liong mengerti. Setelah dia mendengar bahwa pendekar yang seperti
pengemis ini ternyata Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka tahulah dia mengapa
Syanti Dewi pingsan ketika melihatnya. Dia tahu bahwa inilah pria yang diceritakan
oleh Syanti Dewi kepadanya, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicinta dan
masih dicinta oleh Sang Puteri itu. Maka Pangeran pun tersenyum.
“Paman,
engkau mencari Syanti Dewi? Dia berada di dalam gedung, engkau susullah dia ke
sana.” Dan dia menuding ke arah gedung. “Akan tetapi, keadaanmu seperti ini,
Paman. Sebaiknya kalau engkau berganti pakaian lebih dahulu...., tidak baik
engkau bertemu dengannya dalam pakaian seperti ini....”
Wan Tek Hoat
bangkit berdiri dan menggelengkan kepalanya, memandang kepada Pangeran itu
dengan sinar mata berterima kasih. “Biarlah, Pangeran. Biarlah hamba menemuinya
seperti ini, biar dia melihat keadaan hamba yang sebenarnya.” Setelah berkata
demikian, dia pun berjalan cepat memasuki gedung.
Melihat itu,
Kao Kok Cu menggeleng kepala dan berkata, tidak langsung ditujukan kepada Sang
Pangeran, seperti bicara kepada diri sendiri, “Sungguh dia itu menyiksa diri
sendiri sampai sedemikian rupa....”
“Akan tetapi
dia tidak menderita seorang diri, juga Enci Syanti Dewi menderita batin hebat
sekali karena dia. Cinta asmara antara dua orang itu memang sungguh amat luar
biasa sekali,” kata Sang Pangeran.
Pendekar
berlengan satu itu memandang kepada Sang Pangeran dan tersenyum, sinar matanya
yang mencorong itu menatap kagum. Pangeran ini masih begini muda, akan tetapi
nampaknya memiliki kebijaksanaan yang besar dan pandangannya mendalam sekali.
“Jadi Paduka telah mengetahui apa yang terjadi di antara mereka berdua?”
Pangeran itu
mengangguk. “Enci Syanti telah bercerita kepadaku dan karena Si Jari Maut
itulah maka sampai sekarang Enci Syanti tidak mau menyerahkan hatinya kepada
pria lain sehingga tadi terpaksa aku turun tangan untuk membantunya.”
Dengan
singkat Sang Pangeran lalu bercerita tentang sayembara ‘menangkap’ Syanti Dewi
tadi dan dia maju untuk membantu Sang Dewi keluar dari pulau itu tanpa harus
menyinggung perasaan Ouw Yan Hui yang telah menanam banyak sekali budi terhadap
Syanti Dewi.
Mendengar
penuturan Pangeran itu, Kao Kok Cu menarik napas panjang. Ia termenung
sebentar, kemudian berkata lirih. “Mereka itu saling mencinta dan patut dipuji
kesetiaan mereka. Mudah-mudahan saja pertemuan sekali ini akan membuat mereka
bersatu dan takkan terpisah kembali.”
Mereka
berhenti bicara ketika Ouw Yan Hui datang menghampiri. Wanita ini menjura
kepada Kao Kok Cu dan berkata, “Harap maafkan bahwa baru kini saya mengetahui
bahwa Taihiap adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya amat terkenal itu. Dan
saya menghaturkan terima kasih atas bantuan Taihiap dan isteri Taihiap yang
telah mengusir Im-kan Ngo-ok yang datang mengacau di sini. Adik saya, Syanti
Dewi sudah banyak bercerita tentang keluarga Taihiap, terutama tentang isteri
Taihiap.”
Melihat sikap
yang ramah ini, Kao Kok Cu balas menjura dan berkata, “Memang, Enci Syanti Dewi
adalah kakak angkat dari isteri saya.”
Mereka lalu
dipersilakan duduk di tempat kehormatan dan pesta yang tadi terganggu itu
dilanjutkan, biar pun kini para tamu saling bicara sendiri, membicarakan
peristiwa yang baru terjadi. Kemunculan Im-kan Ngo-ok itu saja telah
mengejutkan dan mengherankan semua orang karena sebagian besar dari mereka baru
sekali itu berkesempatan melihat datuk-datuk kaum sesat yang namanya sudah sering
mereka dengar itu.
Apalagi
kemudian muncul Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya seperti dongeng, sebagai
penghuni Istana Gurun Pasir yang tidak kalah terkenalnya dengan nama-nama
seperti Istana Pulau Es! Dan menyaksikan betapa Naga Sakti Gurun Pasir bersama
isterinya tadi menghadapi Im-kan Ngo-ok, bersama Si Jari Maut yang juga telah
mereka dengar namanya, membuat para tokoh kang-ouw itu kagum bukan main. Tak
mereka sangka bahwa di Pulau Kim-coa-to itu mereka akan menyaksikan perkelahian
tingkat atas yang demikian hebatnya.
Sementara
itu, dengan jantung berdebar dan kedua kaki gemetar, Tek Hoat memasuki ruangan
di mana Syanti Dewi masih rebah ditunggu oleh Wan Ceng. Dia ingin berjumpa
dengan Syanti Dewi, sebentar saja, untuk minta ampun atas semua kesalahan dan
dosanya. Dia tak ingin mengganggu Syanti Dewi, ingin membiarkan wanita itu
bahagia bersama Pangeran, bahkan tadinya dia sudah hendak meninggalkan tempat
itu tanpa diketahui seorang pun.
Akan tetapi,
melihat Syanti Dewi terancam bahaya, tentu saja tak mungkin mendiamkan begitu
saja dan ketika dia muncul dan melihat wanita itu roboh pingsan, hatinya
seperti diremas-remas rasanya. Kini tak mungkin dia pergi tanpa menengok dulu
bagaimana keadaan wanita itu, dan minta ampun. Kalau Syanti Dewi sudah mengampuni,
barulah dia akan hidup dengan hati bebas dari pada penyesalan.
Pengampunan
dari Syanti Dewi akan merupakan dorongan hidup baru baginya, dan kebahagiaan
Syanti Dewi, biar pun di samping pria lain, akan membuat dia rela untuk
menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan bebas dan dia tentu akan merasa
seperti hidup kembali, tidak seperti sekarang seolah-olah terbelenggu oleh rasa
penyesalan dan kedukaan!
“Syanti....!”
Dia memanggil lirih ketika melihat wanita itu masih rebah telentang di atas
pembaringan dengan muka pucat dan tidak bergerak seperti telah mati, sedangkan
Ceng Ceng duduk di atas bangku dekat pembaringan.
“Ssttt....!”
Wan Ceng menengok dan menyentuh bibirnya. “Biarkan dia beristirahat, dia
mengalami guncangan batin yang cukup parah.”
“Syanti....!”
Tek Hoat mengeluh dan dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat
pembaringan, menatap wajah itu dengan penuh kerinduan, penuh keharuan dan penuh
penyesalan mengapa dia sampai menyiksa hati seorang dara seperti ini! Dua titik
air mata membasahi bulu matanya dan melihat ini, Wan Ceng menjadi terharu.
Dipegangnya
tangan saudara tirinya itu. “Tek Hoat, mengapa engkau sampai menjadi begini?
Bukankah dahulu engkau dan Syanti Dewi berada di Bhutan, engkau malah menjadi
panglima dan kalian akan kawin....?”
Tek Hoat
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Ceng Ceng, aku memang bodoh, aku
seorang laki-laki yang tidak berharga sama sekali, apalagi untuk menjadi
suaminya, bahkan mendekatinya pun aku terlalu kotor. Akan tetapi aku tak
mungkin kuat untuk hidup lebih lama lagi sebelum mendapat pengampunannya....
maka aku datang untuk minta ampun kepadanya....
Wan Ceng
menatap wajah pengemis itu dan tak dapat menahan runtuhnya air matanya. Dia
merasa kasihan sekali kepada saudaranya ini. “Tek Hoat...., Tek Hoat, mengapa
engkau menyiksa hatimu sampai begini? Kenapa engkau begini sengsara,
Saudaraku?” Dia memegang lengan yang tegap kuat itu.
Tek Hoat
menunduk. “Entahlah, mungkin darah yang jahat dari Ayah kita lebih banyak
mengalir dalam tubuhku. Biarlah, Ceng Ceng, biarlah aku yang menanggung semua
dosa Ayah kita.... kudoakan saja agar engkau berbahagia.... biarlah aku seorang
yang menanggungnya....”
“Tek
Hoat....!” Wan Ceng sejenak merangkul pundak itu, kemudian dia bangkit berdiri
dan meninggalkan ruangan itu. Dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu,
sebaiknya membiarkan dua orang itu bertemu dan bicara berdua saja, setelah
Syanti Dewi sadar.
Tetapi Tek
Hoat tidak bangkit dari berlututnya. Dia mengambil keputusan untuk terus
berlutut sampai menerima pengampunan dari mulut Syanti Dewi! Dia memperhatikan
pernapasan Syanti Dewi dan merasa lega bahwa keadaan wanita itu memang tidak
lagi mengkhawatirkan, dan agaknya Syanti Dewi dalam keadaan tidur.
Satu jam
lebih Tek Hoat berlutut di depan pembaringan dan akhirnya Syanti Dewi mulai
bergerak, membuka mata dan mulutnya berbisik, “Tek Hoat...., Tek Hoat....”
Tek Hoat
merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Syanti Dewi memanggil-manggil dia!
“Aku.... aku
di sini....,” katanya dengan suara gemetar dan muka menunduk, tidak berani
memandang wanita itu.
Syanti Dewi
bangkit duduk, matanya terbelalak dan ketika dia melihat pengemis yang berlutut
di depan pembaringan itu, dia mengeluh, “Tek Hoat....!” isaknya membuat dia
sesenggukan dan tak kuasa mengeluarkan suara lagi. Setiap dia memandang keadaan
pria itu, dia mengguguk menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya dan air
matanya mengalir turun melalui celah-celah jari-jari tangannya.
“Syanti....
Syanti Dewi.... ampunkanlah aku.... aku datang hanya untuk minta ampun
kepadamu, kau ampunkanlah aku, Syanti.... agar aku dapat melanjutkan hidup
ini....”
“Tek
Hoat....” Sejak tadi Syanti Dewi hanya mampu menyebut nama ini, nama yang sudah
terlalu sering disebutnya dalam mimpi, bahkan yang selalu bergema di dalam
hatinya semenjak dahulu sampai sekarang.
“Syanti....
aku tidak ingin mengganggumu, sungguh mati.... biar aku dikutuk Tuhan jika aku
berniat buruk kepadamu.... tidak, lebih baik aku mati dari pada mengganggumu,
Syanti. Aku tadinya sudah hendak pergi diam-diam, tapi.... tapi Im-kan Ngo-ok
muncul dan kau terancam.... sekarang, kau katakanlah bahwa engkau sudi
mengampuniku.... biar kucium ujung sepatumu, Syanti, kau ampunkanlah aku....
biarkan aku berani untuk melanjutkan hidup yang tak berapa lama lagi ini....”
“Tek
Hoat.... duhai, Tek Hoat.... mengapa engkau sampai menjadi begini....?” Syanti
Dewi berkata, terengah-engah dan tersedu-sedu, dan kini tangan dengan jari-jari
halus itu meraba kepala Tek Hoat, meraba muka yang penuh brewok itu, meraba
baju yang penuh tambalan, jari-jari tangan yang gemetar. “Mengapa.... mengapa
engkau menjadi begini....?”
“Sudah
sepatutnya aku menerima hukuman, Syanti, memang sudah sepatutnya aku manusia
rendah ini hidup dalam keadaan yang serendah-rendahnya. Tapi aku belum merasa
puas kalau belum mendapat ampun darimu, Syanti...., kau ampunkanlah aku.... kau
ampunkanlah aku....” Dan pria itu lalu menunduk, hendak mencium ujung sepatu
Syanti Dewi.
“Tek Hoat,
jangan....!” Dan kini Syanti Dewi juga merosot turun dari atas pembaringan,
ikut berlutut di depan Tek Hoat dan merangkulnya!
Tek Hoat
terkejut. Dia mundur dan terbelalak. “Jangan begitu, Syanti. Janganlah kau
mengotorkan dirimu. Sungguh, aku tak ingin mengganggumu. Engkau.... engkau
sudah sepatutnya, sungguh pantas menjadi isterinya Pangeran Mahkota, dan
kelak…. kelak menjadi permaisuri.... Wahai Syanti Dewi, sungguh mati aku ikut
merasa amat bahagia melihat kebahagiaanmu....”
Kini Syanti
Dewi yang memandang dengan mata terbelalak. “Apa katamu? Engkau.... engkau akan
merasa girang kalau aku menjadi isteri orang lain? Kau.... kau rela....?”
“Tentu saja,
Syanti Dewi. Aku merelakan semuanya, apa pun…. bahkan nyawaku, demi
kebahagiaanmu....”
“Kalau
begitu, engkau.... engkau sudah tidak cinta lagi kepadaku?”
“Ehhh....?
Mengapa engkau bertanya demikian? Syanti Dewi.... aku..... cintaku.... ahhh,
orang macam aku ini mana ada harganya bicara tentang cinta? Kau ampunkan aku,
Syanti....”
“Tidak!
Kalau engkau merelakan aku menjadi isteri orang lain, sampai mati pun aku tidak
akan mengampunimu. Tek Hoat.... Tek Hoat.... sampai usia kita sudah tua begini,
apakah engkau masih belum dewasa? Bertahun-tahun aku menantimu di sini, sampai
hampir mati rasanya aku menantimu, dan kini.... begitu engkau muncul.... engkau
hanya mau menyatakan bahwa engkau rela kalau aku menjadi isteri orang lain! Ya
Tuhan, tidak akan ada hentinyakah engkau merusak, menghancurkan hati dan
perasaanku, Tek Hoat?” Syanti Dewi lalu menangis lagi sesenggukan.
Tek Hoat
yang masih berlutut itu memandang bengong bagai orang kehilangan ingatan, atau
seperti orang yang teramat tolol. Semua ucapan dan sikap Syanti Dewi sungguh
tak pernah terbayangkan olehnya sehingga dia terkejut dan kesima. Akhirnya dia
dapat juga berkata-kata, karena dia harus mengatakan sesuatu melihat Syanti
Dewi menangis mengguguk seperti itu.
“Tetapi....
tetapi, Syanti.... aku melihat sendiri, mendengar sendiri betapa engkau telah
memilih Pangeran Mahkota menjadi jodohmu.... malah aku bersyukur....”
Tek Hoat
tidak melanjutkan kata-katanya karena Syanti Dewi sudah menurunkan kedua
tangannya, dan melalui air matanya memandang kepadanya seperti orang merasa
penasaran dan marah.
“Tentu saja
engkau tak tahu! Yang kau ketahui hanya dirimu sendiri saja, kesusahanmu
sendiri saja! Pangeran sengaja melakukan itu untuk menolongku, mengertikah
engkau? Aku tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain dan sudah kukatakan
ini kepada Pangeran yang menjadi sahabatku terbaik, maka dialah yang akan
membantuku keluar dari sini tanpa menyinggung perasaan Enci Ouw Yan Hui. Aahhh,
masih perlukah aku menjelaskan semuanya lagi? Tidak cukupkah kalau aku katakan
bahwa aku tidak dapat menikah dengan orang lain kecuali dengan engkau? Bahwa
hanya engkaulah satu satunya pria yang pernah kucinta, yang masih kucinta, dan
yang selamanya akan kucinta? Atau haruskah aku bersumpah kepadamu?”
Dua mata Tek
Hoat menjadi basah dan air matanya menggelinding turun satu-satu. Dia bangkit
berdiri, memandang wanita itu, sinar harapan baru muncul dalam pandang matanya.
“Syanti.... Syanti Dewi...., be.... benarkah itu? Benarkah itu....?”
“Bodoh!
Engkau laki-laki canggung yang bodoh! Ahhh, betapa gemas hatiku....! Mari, mari
kubuktikan....!”
Kini Syanti
Dewi bangkit berdiri dan menyambar tangan kiri Tek Hoat, digandengnya tangan
kiri pria itu dengan tangan kanannya, lalu diseretnya Tek Hoat keluar sehingga
keduanya setengah berlari menuju ke ruangan itu. Di situ nampak Ouw Yan Hui dan
Pangeran Kian Liong sedang bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan Kao Kok Cu,
sedangkan para tamu sedang bercakap-cakap sendiri dengan asyiknya.
Ketika
Syanti Dewi muncul menggandeng tangan pengemis itu, semua orang menengok dan
hanya Pangeran, Ceng Ceng dan Kao Kok Cu sajalah yang memandang dengan muka
berseri karena tiga orang ini mengerti apa artinya itu. Ouw Yan Hui juga sudah
dapat menduga, akan tetapi alisnya berkerut karena dia amat mengharapkan Syanti
Dewi menjadi isteri Pangeran Mahkota Kian Liong. Para tamu terbelalak kaget dan
terheran-heran, apa lagi ketika Syanti Dewi yang mukanya masih basah air mata
itu kini berkata dengan suara lantang sekali.
“Cu-wi yang
mulia, saya hendak membuat pengumuman, harap Cu-wi sekalian menjadi saksi bahwa
saya telah memilih dan menetapkan jodoh saya, yaitu Wan Tek Hoat yang saya
gandeng ini!”
Mata para
tamu itu makin lebar terbelalak dan memandang tidak percaya. Syanti Dewi,
wanita cantik seperti bidadari itu memilih pengemis ini menjadi jodohnya? Akan
tetapi, terdengarlah tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan itu adalah
Wan Ceng dan Pangeran Kian Liong sendiri. Dan ketika para tamu melihat siapa
yang bertepuk tangan, mereka pun beramai-ramai bertepuk tangan, sungguh pun di
dalam hati mereka itu terdapat rasa penasaran sekali.
Mereka tidak
tahu akan riwayat percintaan antara kedua orang itu, dan yang mereka ketahui
sekarang hanya bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita secantik bidadari
sedangkan pria itu adalah seorang laki-laki yang nampak jauh lebih tua dan
seperti jembel pula. Tentu saja mereka merasa penasaran.
Sementara
itu, melihat betapa Sang Pangeran sendiri menyambut pengumuman ini dengan tepuk
tangan dan wajah berseri gembira, Ouw Yan Hui merasa terheran-heran. Akan
tetapi pada saat itu Pangeran Kian Liong mendekatinya dan berkata, “Ouw-toanio
sendiri tentu sudah tahu akan riwayat mereka, maka sekarang mereka telah saling
bertemu, alangkah baiknya kalau peresmian perjodohan mereka dilaksanakan di
sini juga, dengan disaksikan oleh para tamu.”
Ouw Yan Hui
memandang dengan muka agak pucat. “Akan tetapi.... tapi.... bukankah
Pangeran....?”
“Sssttt,
Ouw-toanio. Enci Syanti Dewi pantas menjadi bibiku, sekarang bertemu dengan
Paman Wan Tek Hoat yang sejak dahulu dicintainya, hanya untuk menghilangkan
rasa tidak enak dan malu saja setelah dia menolak semua calon.” Kemudian dengan
suara mendesak Pangeran itu minta kepada Ouw Yan Hui agar usulnya itu
diumumkan.
Ouw Yan Hui
merasa lemas, akan tetapi tidak berani menentang. Dia menarik napas panjang dan
bangkit dengan tubuh lesu, lalu berkata dengan suara lantang, “Cu-wi yang
mulia, Cu-wi telah melihat sendiri bahwa Adik Syanti Dewi telah memilih
jodohnya. Maka, selagi Cu-wi masih berada di sini, kami akan meresmikan
perjodohan mereka pada besok pagi. Silakan Cu-wi beristirahat di dalam pondok
tamu sementara kami akan membuat persiapan untuk pesta besok pagi.”
Para tamu
menyambut dengan gembira dan mereka kembali saling bicara sehingga suasana
menjadi bising
Ceng Ceng
menggandeng tangan Tek Hoat sambil berkata, “Hayo kau ikut aku! Calon pengantin
masa seperti ini? Engkau harus cukur dan mandi tujuh kali, juga berganti
pakaian....,” tiba-tiba nyonya ini menjadi bingung. “Wah, pakaian yang
mana....?”
Dia menoleh
kepada suaminya. Dalam perjalanan itu, suaminya ada membawa pakaian pengganti,
tetapi pakaian biasa dan tentu saja kurang pantas kalau dipakai pengantin.
Pangeran
Kian Liong tersenyum lebar. “Jangan khawatir, Bibi. Kebetulan bentuk tubuh
Paman Wan Tek Hoat hampir sama dengan tubuhku, dan aku ada membawa beberapa
potong pakaian yang akan cukup pantas kalau dipakai olehnya.”
Wan Ceng
tersenyum girang. “Sungguh Paduka selalu bisa mendapatkan akal dan jalan
keluar, terima kasih!”
Memang ada
hubungan yang akrab antara Pangeran Mahkota dengan suami isteri pendekar itu
karena putera mereka, yaitu Kao Cin Liong, merupakan seorang sahabat yang baik
sekali dari Pangeran Kian Liong. Bahkan Sang Pangeran ini pernah pula
mengunjungi Istana Gurun Pasir, bersama sahabatnya yang sekarang menjadi
seorang jenderal muda itu.
Syanti Dewi
hanya tersenyum menyaksikan Tek Hoat ditarik-tarik oleh Wan Ceng ke dalam
gedung, dan dia sendiri lalu mendekati Ouw Yan Hui dan memegang tangan enci
atau juga gurunya itu. Dia dapat melihat wajah yang muram dari Ouw Yan Hui,
maka dia berbisik, “Maafkan aku, Enci Hui. Engkau tahu, dia itu tunanganku
dan.... dialah satu satunya pria yang kucinta. Kami akan kembali ke Bhutan....,
Ayah telah tua sekali dan terlalu lama aku meninggalkan keluargaku di sana....”
Ouw Yan Hui
memandang wajah adik atau juga muridnya ini. Melihat wajah cantik itu memandang
padanya dengan penuh permohonan dan penyesalan, dia merasa terharu juga. Dia
amat sayang kepada Syanti Dewi, seperti adiknya atau seperti anaknya sendiri
maka dirangkulnya Syanti Dewi. Mereka berpelukan dan tidak mengeluarkan suara,
akan tetapi pada mata Ouw Yan Hui yang biasanya amat tabah dan berhati dingin
itu nampak air mata berlinang. Kemudian mereka pun memasuki gedung untuk
membuat persiapan.
Pesta
pernikahan itu dilakukan secara sederhana sekali, apalagi hanya dihadiri dan
disaksikan oleh para tamu kurang lebih dua ratus orang banyaknya, yaitu mereka
yang tadinya datang ke pulau itu untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun
Syanti Dewi. Memang tadinya Ouw Yan Hui mengusulkan untuk mengundur hari
pernikahan agar dia dapat mengirim undangan sebanyaknya, akan tetapi Tek Hoat
dan Syanti Dewi tidak setuju. Biarlah perjodohan mereka disahkan secara
sederhana, sudah disaksikan oleh Pangeran Kian Liong dan pihak keluarga
diwakili oleh Wan Ceng dan suaminya.
“Kami akan
kembali ke Bhutan dan di sanalah nanti diadakan pesta yang meriah,” kata Syanti
Dewi.
Biar pun
acara pernikahan itu amat sederhana, namun cukup meriah karena di situ hadir
pula Sang Pangeran. Ouw Yan Hui menangis tersedu-sedu, hal yang amat luar biasa
baginya, ketika sepasang pengantin itu memberi hormat kepadanya. Juga Wan Ceng
menangis dan merangkul kakak tirinya dengan hati terharu, lalu mencium Syanti
Dewi yang masih terhitung kakak angkatnya pula. Suasana menjadi mengharukan
sekali, namun Pangeran Kian Liong lalu maju memberi selamat kepada sepasang
mempelai dengan mengangkat cawan arak sehingga semua tamu juga mengangkat cawan
arak dan suasana menjadi gembira kembali.
Setelah Tek
Hoat dicukur, membersihkan diri dan berganti pakaian pangeran yang indah,
berubahlah jembel yang terlantar itu menjadi seorang laki-laki yang amat gagah
dan tampan, yang wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya mencorong tajam.
Betapa pun juga, dia adalah seorang pria yang usianya sudah mendekati empat
puluh tahun dan kelihatan juga setengah tua. Sebaliknya, Syanti Dewi biar pun
usianya juga sepantar dia, namun masih nampak seperti seorang dara berusia dua
puluh tahun saja!
Pertemuan
dua hati dan dua badan yang saling mencinta ini tentu saja terasa nikmat di
hati dan kebahagiaan yang amat mendalam membuat mereka merasa terharu. Tiada
habisnya mereka bercakap-cakap menceritakan semua pengalaman mereka semenjak
mereka saling berpisah, dan di dalam penuturan ini terungkaplah semua peristiwa
dan kesalah pengertian di antara mereka, juga terungkaplah bukti-bukti betapa
mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Dan akhir dari semua itu membuat
mereka merasa saling dekat, dan di dalam hati mereka bersumpah untuk tidak
saling berpisah lagi selama-lamanya. Mereka merasa berbahagia sekali.
Benarkah
mereka berbahagia?
Apakah
bahagia itu? Bagaimanakah kita dapat berbahagia? Kebahagiaan! Sebuah kata ini
kiranya dikenal oleh setiap orang manusia di dunia ini, dikenal dan dirindukan,
dicari dan dikejar-kejar selama kita hidup. Betapa kita semua, masing-masing
dari kita, selalu mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan kita.
Kata
‘kebahagiaan’ sudah menjadi kabur, bahkan sering kali, hampir selalu malah,
tempatnya diduduki oleh sesuatu yang sesungguhnya bukan lain adalah kesenangan.
atau kepuasan belaka. Kalau kita memperoleh sesuatu yang kita harap-harapkan,
maka kita mengira bahwa kita berbahagia! Benarkah itu? Ataukah yang terasa
nyaman di hati itu hanyalah kesenangan yang timbul karena kepuasan belaka,
karena terpenuhinya sesuatu yang kita harap-harapkan, atau inginkan?
Dan kepuasan
hanya merupakan wajah yang lain dari kekecewaan belaka. Kepuasan hanya selewat,
dan sebentar kemudian rasa nikmat dan nyaman karena kepuasan ini pun akan lewat
dan lenyap, mungkin terganti oleh kekecewaan yang selalu bergandeng tangan
dengan kebalikannya itu. Kepuasan dan kekecewaan, seperti juga kesenangan dan
kesusahan saling isi mengisi, saling bergandeng tangan dan selalu bergandengan
karena memang merupakan si kembar yang mungkin berbeda rupa. Di mana ada
kepuasan, tentu ada kekecewaan. Di mana ada kesenangan, tentu ada kesusahan.
Orang yang mengejar kesenangan, tak dapat tidak akan bersua dengan kesusahan.
Siapa mengejar kepuasan, tak dapat tidak akan bertemu dengan kekecewaan.
Kebahagiaan
berada di atas, jauh di atas jangkauan atau pengaruh senang dan susah, puas dan
kecewa. Kebahagiaan tak mungkin dijangkau atau dikejar, kebahagiaan tak mungkin
digambarkan. Senang dan susah adalah permainan pikiran, terikat oleh waktu dan
bersumber kepada Si Aku.
Si Aku ini
sudah tentu terombang-ambing antara senang dan susah karena Si Aku itu selalu
penuh dengan keinginan dan sudah barang tentu tidak mungkin segala keinginan
yang tiada habisnya itu selalu terpenuhi, maka terjadilah puas dan kecewa.
Bahkan jika keinginan telah terpenuhi sekali pun akan menimbulkan hal-hal lain.
Yaitu menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau kita kehilangan sesuatu yang sudah
kita miliki itu, kemudian menimbulkan pengikatan diri kepada sesuatu yang
menyenangkan itu sehingga kalau kita kehilangan, timbullah duka.
Kebahagiaan
tak mungkin dapat dimiliki, tidak dapat diperoleh dengan usaha dan daya upaya,
tidak mungkin dapat ditimbun. Kebahagiaan tiada hubungannya dengan pikiran yang
selalu mengejar kesenangan! Kebahagiaan tidak mungkin ada selama masih ada Si
Aku yang ingin senang! Kebahagiaan baru ada di mana ada cinta kasih.
Kita selalu
penuh oleh Si Aku yang selalu mengejar kesenangan dan yang selalu hendak
menjauhi kesusahan. Sedikit saja kita dijauhi kesenangan, kita lalu mengeluh
dan merasa sengsara. Kebahagiaan bukan hal yang dapat dikhayalkan. Dan kita
selalu mencari-cari yang tidak ada sehingga mana mungkin kita menikmati yang
ada? Mana mungkin kita dapat melihat keindahan sini kalau mata kita selalu
mencari-cari dan memandang sana saja?
Pernahkah
kita menikmati kesehatan? Pernahkah dalam keadaan badan sehat kita pergi keluar
kamar menghirup udara sejuk dan memandang awan berarak di angkasa? Tidak, kita
selalu sibuk dengan sesuatu, pikiran selalu penuh dengan persoalan. Kita selalu
ingin ini ingin itu sehingga mata kita seperti buta terhadap segala keindahan
yang terbentang luas di sekeliling kita.
Pernahkah
kita pada waktu subuh pergi berjalan-jalan, melihat suasana ketika matahari
mulai timbul? Pernahkah di waktu senja kita melihat suasana ketika matahari
tenggelam, betapa indahnya angkasa? Dan juga pernahkah kita menerawang
bintang-bintang di malam hari yang cerah? Tidak pernah! Pikiran kita,
siang-malam, sibuk mencari uang, mencari kesenangan, mencari ini dan itu, tanpa
ada hentinya.
Kita tidak
pernah menikmati kesehatan, akan tetapi kita selalu mengeluh kalau tidak sehat!
Kita tidak pernah ‘merasakan’ keadaan yang berbahagia. Kita bahkan tidak sadar
lagi di waktu kita sehat, tidak dapat merasakan betapa nikmatnya kesehatan,
akan tetapi kita amat memperhatikan di waktu kita tidak sehat, mengeluh dan
mengaduh.
Dalam
keadaan menderita sakit, kita selalu mengeluh dan membayangkan betapa akan
bahagianya kalau kita sembuh, kalau kita sehat. Akan tetapi bagaimana jika kita
sudah sehat? Pikiran penuh dengan keinginan laln dan ‘ingin sehat’ tadi pun
sudah terlupa, ‘bahagia karena sehat’ pun sudah terlupa dan kita tidak lagi
menikmati keadaan sehat itu!
Demikianlah
selalu. Pikiran menjauhkan kebahagiaan. Pikiran selalu mengeluh setiap saat,
merasa tidak berbahagia, atau kalau tidak ada sesuatu yang dikeluhkan, pikiran
mencari-cari sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan, lebih enak. Tentu saja
kita tidak pernah dapat menikmati bahagia kalau pikiran selalu mengejar
kesenangan yang berada di masa depan. Bahagia adalah saat demi saat, bahagia
adalah sekarang ini, tapi pikiran selalu penuh dengan kesenangan lalu, penuh
dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masa depan.
Pernahkah
Anda berdiri di dalam cahaya matahari pagi, di tempat terbuka yang cerah, yang
berhawa hangat nyaman? Memandang ke sekeliling tanpa ada Si Aku yang ingin
senang? Cobalah sekali-kali. Waspada membuat kita tidak mengeluh, tetapi
bertindak tepat menghadapi segala hal yang terjadi. Pikiran atau Si Aku selalu
membentuk iba diri dan keluhan.
Syanti Dewi
dan Wan Tek Hoat tentu saja merasa senang karena idam-idaman hati mereka
tercapai. Kerinduan hati mereka terpenuhi. Tapi kehidupan bukan hanya sampai di
situ saja. Hari-hari dan peristiwa-peristiwa, seribu satu macam, masih
membentang luas di depan dan yang terpaksa harus mereka hadapi. Selama mereka
terikat kepada kesenangan sudah pasti kebahagiaan karena pertemuan itu pun
hanya akan menjadi suatu kesenangan sepintas lalu saja!
Ahh, mengapa
kita tidak pernah mau membuka mata melihat kenyataan bahwa segala macam bentuk
kesenangan itu selalu akan menimbulkan kebosanan? Dapatkah kita hidup tanpa
harus menjadi hamba nafsu kita sendiri yang selalu mengejar-ngejar kesenangan?
Dapatkah? Kita sendiri yang harus menyelidiki dan menjawab pertanyaan kita ini
kepada diri sendiri, dengan penghayatan dalam kehidupan, bukan teori-teori
usang. Setiap hal dapat saja merupakan berkah, tapi dapat juga menjadi kutukan,
setiap hal yang menimpa kita bisa saja menjadi sesuatu yang menyenangkan atau
dapat pula menyusahkan, tetapi penilaian itu hanyalah pekerjaan pikiran atau Si
Aku! Kebahagiaan berada di atas dari semua itu, tak dapat terjangkau oleh
pikiran, seperti juga cinta kasih!
Beberapa
hari kemudian, berangkatlah rombongan itu meninggalkan Pulau Kim-coa-to. Mereka
adalah si pengantin baru Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, Wan Ceng dan Kao Kok Cu,
dan Pangeran Kian Liong, dikawal Souw-ciangkun dan sisa anak buahnya, karena
banyak di antara mereka yang terpaksa ditinggalkan dalam perawatan karena
luka-luka mereka.
Sepasang
pengantin itu diajak ke kota raja oleh Sang Pangeran, kemudian baru dari kota
raja mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bhutan dengan pengawalan khusus,
dengan sepucuk surat dari Sang Pangeran sendiri untuk Raja Bhutan. Sedangkan
Wan Ceng dan suaminya pergi ke kota raja, selain untuk mengawal Sang Pangeran,
juga ingin bertemu dengan putera mereka yang tentu telah kembali dari tugas di
barat.
Dan di dalam
perjalanan inilah, di dalam kereta yang membawa mereka, Pangeran Kian Liong
teringat akan janjinya kepada Bu-taihiap, yaitu pendekar sakti Bu Seng Kin yang
pernah menolongnya, maka dia pun lalu membicarakan hal itu kepada Si Naga Sakti
dan isterinya.
Suami isteri
itu mengerutkan alis mereka dan saling pandang. “Bu-taihiap? Siapakah dia itu?”
Wan Ceng bertanya, bukan kepada pangeran, melainkan kepada suaminya.
Si Naga
Sakti Gurun Pasir mengangguk. “Aku belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi
aku pernah mendengar namanya. Dia bernama Bu Seng Kin. Namanya pernah
menggetarkan dunia sebelah barat dan kabarnya dia memang memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi sekali.”
“Dia memang
hebat!” kata Sang Pangeran. “Aku melihat sendiri betapa dia dan
isteri-isterinya menghadapi Si Jangkung dan Si Pendek, dua orang dari Im-kan
Ngo-ok itu. Bahkan Pendekar Bu itu dikeroyok dua, dan mengalahkan dua lawan itu
dengan mudah. Dia memang lihai sekali, Paman Kao.”
Kao Kok Cu
dan isterinya mengangguk-angguk. Kalau seorang diri dapat mengalahkan Su-ok dan
Ngo-ok, berarti memang telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan
tetapi Wan Ceng yang memperhatikan ucapan Pangeran itu, kini bertanya,
“Paduka
katakan tadi isteri-isterinya? Berapakah banyaknya isteri-isterinya?”
Sang
Pangeran tertawa. “Dalam hal itu agaknya dia memang agak istimewa. Yang ikut
bersama dia pada waktu itu ada tiga orang.”
“Tiga orang
isteri? Ikut bersama?” Wan Ceng terbelalak.
“Benar, dan
ketiga orang isterinya itu pun rata-rata amat lihai!”
“Dan anaknya
itu.... anak dari isteri ke berapakah?” tanya pula Wan Ceng.
Kembali Sang
Pangeran tertawa. Kecerewetan seorang wanita dalam hal-hal seperti itu tidak
mengherankan dia. “Aku tidak tahu, Bibi, dan kami tidak sempat bicara tentang
hal itu. Akan tetapi pada waktu itu, puterinya juga ikut dan kulihat dia
seorang gadis yang cantik dan memiliki sifat gagah seperti seorang pendekar
wanita. Menurut Bu-taihiap, antara puterinya dan Cin Liong terdapat hubungan
persahabatan yang akrab. Karena itulah maka dia ingin berjumpa dengan kalian
untuk membicarakan pertalian jodoh antara mereka dan mereka minta kepadaku
untuk dapat menjadi perantara.
bahwa kami
tentu setuju!” Wan Ceng berkata tak senang.
“Isteriku,
urusan jodoh merupakan urusan dua orang yang bersangkutan. Kita orang-orang tua
hanya berdiri di belakang dan mengamati saja agar segala hal terlaksana dengan
baik dan benar, maka hal ini pun baru bisa dibicarakan kalau kita sudah bicara
dengan anak kita. Bagi kita, tidak bisa menerima atau menolak sebelum mendengar
suara Cin Liong.”
“Sayang
bahwa aku sendiri tidak tahu benar akan keadaan keluarga Bu-taihiap itu, akan
tetapi kurasa Cin Liong telah berkenalan dengan keluarga itu ketika dia
memimpin pasukan ke barat. Sebaiknya memang kalau kita, eh, maksudku Paman dan
Bibi berdua menanyakan.”
Demikianlah,
di dalam perjalanan menuju ke kota raja itu, ada bahan pemikiran yang amat
serius bagi suami isteri pendekar ini, karena yang disampaikan oleh Pangeran
itu menyangkut perjodohan dan masa depan putera tunggal mereka.
Sementara
itu, di dalam kereta lain yang sengaja disediakan oleh Pangeran, sepasang suami
isteri, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, masih tenggelam dalam kemanisan bulan
madu dan tidak mempedulikan segala keadaan lainnya, seolah-olah di dunia ini
yang ada hanya mereka berdua…..
********************
Sebelum kita
melanjutkan dengan mengikuti rombongan yang menuju ke kota raja ini, sebaiknya
kalau kita lebih dulu menjenguk keadaan Kaisar dan keluarganya, dan apa yang
sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar itu…..
Memang telah
terjadi perubahan amat besar pada diri Kaisar. Kaisar Yung Ceng mungkin
merupakan satu-satunya kaisar di jaman Pemerintahan Mancu yang pandai ilmu
silat. Memang ilmu silatnya hebat, bahkan boleh dibilang dia seorang yang ahli
dan lihai sekali karena di waktu mudanya, ketika dia masih menjadi seorang
pangeran, dia suka sekali mempelajari ilmu silat dan bergaul di tengah-tengah
kaum tukang pukul yang suka menjilat-jilatnya.
Dia
disanjung sebagai seorang ‘pendekar’, maka di waktu mudanya Pangeran ini suka
sekali berkelahi, menantang siapa pun yang dianggapnya memiliki ilmu silat.
Tentu saja, orang yang ditantangnya kalau tahu bahwa penantangnya adalah
Pangeran, mengalah dan akibatnya orang itu dipukul babak-belur dan Sang
Pangeran lalu dipuji-puji oleh para tukang pukul sebagai seorang ahli silat
yang menang pi-bu!
Pangeran
yang masih muda ketika itu, baru berusia tujuh belas tahun, merasa menjadi
seorang pendekar dan entah sudah berapa banyak guru-guru silat, orang-orang
baik, yang telah dikalahkannya, sebagian ada yang memang kalah, akan tetapi
banyak yang memang mengalah. Namun, pada suatu hari, dia membentur batu karang!
Dia bertemu dengan seorang pemuda, dan melihat pemuda ini pandai silat, dia
menantangnya dan memaksa pemuda itu untuk ‘pi-bu’, dan akibatnya, Sang Pangeran
yang kini dihajar babak-belur karena pemuda itu adalah seorang jago murid
Siauw-lim-pai!
Pangeran
Yung Ceng terkenal mempunyai watak yang keras dan tidak mau kalah. Menghadapi
kekalahan dari seorang murid Siauw-lim-pai ini membuat dia penasaran sekali dan
dia lalu menyamar sebagai seorang pemuda biasa dan pergilah dia ke kuil
Siauw-lim-si untuk belajar ilmu silat dari para hwesio Siauw-lim-pai yang
terkenal ahli.
Akan tetapi
pada waktu itu Siauw-lim-si hanya menerima anak-anak saja sebagai murid, maka
permintaan Pangeran muda itu ditolak oleh para pimpinan Siauw-lim-si. Pangeran
ini memang memiliki kemauan yang amat keras. Penolakan para pimpinan
Siauw-lim-si tidak mematahkan semangatnya dan dia tetap berlutut di depan kuil
siang malam dan tidak mau pergi sebelum permohonannya untuk menjadi murid
Siauw-lim-pai diterima!
Melihat
kemauan yang luar biasa ini, para pimpinan Siauw-lim-pai jadi tertarik. Setelah
mereka membiarkan Pangeran yang mereka kira pemuda biasa itu berlutut di situ
selama tiga hari tiga malam, mereka lalu menerima Sang Pangeran yang
menggunakan nama biasa, yaitu Ai Seng Kiauw. Diterimalah Ai Seng Kiauw sebagai
seorang murid tanpa mengharuskan pemuda ini menggunduli kepala menjadi hwesio.
Dan mulailah Pangeran itu dilatih ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat
itu.
Memang
Pangeran itu memiliki bakat yang amat baik untuk ilmu silat, hanya sayang bahwa
dia memiliki hati yang keras sekali, sungguh tidak sesuai dengan seorang
pendekar yang seharusnya memiliki keteguhan hati yang tidak mungkin tergoyahkan
oleh nafsu amarah.
Ai Seng
Kiauw atau pangeran ini tekun berlatih. Bahkan untuk mengejar ilmu silat, dia
rela membiarkan dirinya diuji oleh para pimpinan Siauw-lim-pai yang
mengharuskan dia mencari kayu bakar dan mengangsu air, yang harus dipikulnya
naik turun bukit ke dalam kuil.
Pekerjaan
ini amat berat dan selama berbulan-bulan ia melakukan pekerjaan itu sampai
pundaknya lecet-lecet dan kakinya lelah sekali. Akan tetapi setelah lewat
setengah tahun, dia dapat memikul kayu atau dua gentong air sambil
berlari-larian menaiki bukit! Tenaganya menjadi kuat sekali, tenaga sinkang-nya
bertambah dengan cepat.
Para murid
Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang mempelajari ilmu silat sebagai mata
pelajaran yang diharuskan, dan dimaksudkan untuk menggembleng tubuh mereka agar
kuat, tahan uji, dan sehat. Maka mereka itu kebanyakan hanya mempelajari ilmu
silat sekedarnya saja.
Tidak
demikian dengan Sang Pangeran. Dia belajar dengan tekun sekali, bahkan secara
diam-diam, kadang-kadang secara mencuri-curi, dia memasuki ruangan perpustakaan
di waktu malam dan membaca kitab-kitab pelajaran ilmu silat Siauw-lim-pai di
dalam ruangan itu, sering kali sampai pagi! Dan dia pun berlatih siang malam
tanpa mengenal lelah sehingga pelajaran-pelajaran yang akan dikuasai oleh lain
murid selama empat lima tahun, telah dapat diraihnya selama satu tahun saja!
Akan tetapi,
ternyata para pimpinan Siauw-lim-pai itu akhirnya dapat mengetahui bahwa murid
yang bernama Ai Seng Kiauw itu bukan lain adalah pangeran putera kaisar! Tentu
saja mereka menjadi terkejut sekali. Beramai-ramai menghadap pangeran dan
memberi hormat mereka, minta maaf bahwa karena tidak tahu, mereka telah
memperlakukan Sang Pangeran sebagai murid biasa.
Ai Seng
Kiauw atau Pangeran Yung Ceng merasa kecewa sekali. Setelah ketahuan, kini dia
tidak diperlakukan sebagai murid, dan dalam hal mengajarkan ilmu, para pimpinan
itu tidak sungguh-sungguh hati lagi. Dan kini, orang-orangnya atau
saudara-saudaranya dapat mengunjungi dia dengan bebas, juga dia boleh keluar
masuk dengan bebas dari kuil itu.
Hal ini
membuat dia merasa bosan dan karena melihat bahwa para tokoh Siauw-lim-pai
hanya setengah hati saja mengajarnya setelah mengetahui bahwa dia adalah
seorang Pangeran Mancu, maka Pangeran Yung Ceng lalu meninggalkan kuil di mana
dia belajar selama hampir tiga tahun lamanya. Kini ilmu silatnya menjadi lihai
sekali karena betapa pun juga, dia telah digembleng oleh para pimpinan
Siauw-lim-pai dan telah menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat
tangguh.
Sewaktu dia
masih menjadi ‘murid’ Siauw-lim-pai, yaitu sebelum dia dikenal sebagai
pangeran, Yung Ceng ini bersikap ramah dan bersahabat terhadap para murid-murid
Siauw-lim-pai sehingga dia amat disuka. Bahkan setelah dia diketahui sebagai
seorang pangeran, para anak murid Siauw-lim-pai masih menganggapnya sebagai
sahabat atau saudara seperguruan.
Ketika itu,
Kaisar Kang Hsi sudah tua dan sakit-sakitan selalu. Seperti biasa terjadi dalam
keluarga kaisar, terutama sekali setelah kaisar menjadi tua dan sakit-sakitan,
di antara para pangeran diam-diam terjadi perebutan kekuasaan untuk menjadi
putera mahkota atau calon pengganti kaisar kalau kaisar sudah meninggal dunia.
Dan tentu saja, di belakang para pangeran ini berdiri orang-orang ambisius yang
mengatur segala-galanya.
Menurut
perkiraan para menteri yang setia, pilihan Kaisar tentu akan terjatuh kepada
pangeran yang ke empat, yaitu Pangeran Yung Lok, yang saat itu merupakan
pangeran tersayang dan juga seorang pangeran yang bijaksana dan disuka oleh
para menteri setia. Selain itu, juga Yung Lok merupakan putera selir ke dua,
sedangkan permaisuri tidak mempunyai putera. Maka sudah sepatutnyalah kalau
Pangeran Yung Lok menjadi putera mahkota.
Hal ini pun
diketahui pula oleh Pangeran Yung Ceng yang memiliki ambisi besar untuk menjadi
kaisar. Dengan amat cerdiknya Yung Ceng lalu mendekati selir yang ke tiga dari
ayahnya, seorang selir yang paling dicinta dan dimanja oleh Kaisar dan yang
lebih sering berada di dalam kamar kaisar dari pada selir-selir lainnya. Selir
ke tiga ini tidak mempunyai anak dan selain amat cantik juga pandai mengambil
hati pria, maka Kaisar yang tua itu paling senang kalau ditemani selir ke tiga
ini. Terjadilah persekutuan antara Pangeran Yung Ceng dan selir ke tiga ini.
Pada suatu
malam, Sang Selir ke tiga ini menemui Yung Ceng dan mengabarkan bahwa kaisar
yang sudah agak payah sakitnya itu sore tadi telah membuat surat wasiat yang
ditulis oleh seorang pembantu kaisar.
“Dalam surat
wasiat itu dijelaskan bahwa yang menggantikan kedudukan Beliau adalah Pangeran
ke empat,” demikian selir itu memberi tahu.
Pangeran
Yung Ceng terkejut sekali dan merasa gelisah. “Ibu harus dapat membantuku dalam
hal ini.”
“Jangan
khawatir,” kata selir ke tiga itu. “Mari kita rundingkan ini dengan
Lan-thaikam.”
Thaikam
adalah pembesar kebiri yang bertugas di dalam keraton kaisar. Segera mereka
berdua menemui Lan-thaikam dan pembesar kebiri yang perutnya gendut inilah yang
kemudian mencari siasat.
“Surat
wasiat itu harus dapat kita pinjam untuk sebentar, agar kita dapat melakukan
perubahan-perubahan di dalamnya.” Akhirnya dia mengemukakan siasatnya. Dan
untuk tugas ini, tentu saja selir ke tiga yang paling mudah untuk melakukannya.
Pada malam
berikutnya, ketika Kaisar tidur nyenyak setelah dilayani dan dipijati oleh
selirnya yang ke tiga, selir itu lalu mengambil kunci dari ikat pinggang
Kaisar, membuka peti kecil hitam yang berada di dekat pembaringan dan mengambil
gulungan surat wasiat itu. Cepat-cepat dia keluar dari kamar, menutupkan pintunya
dan berlari kecil menuju ke salah sebuah kamar di mana telah menanti Pangeran
Yung Ceng bersama Lan-thaikam.
Sang
Pangeran membuka surat wasiat itu dan mukanya menjadi merah. Dua tangannya
dikepal ketika dia membaca sendiri surat wasiat itu di mana dengan jelas
disebutkan bahwa yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar adalah ‘Pangeran ke
empat’! Dia sendiri adalah Pangeran ke empat belas, sebagai putera dari selir
ke delapan, sebuah kedudukan yang tiada artinya dalam urutan pangeran.
“Harap
Paduka jangan khawatir, hamba telah menemukan siasat yang amat bagus sekali,”
kata Lan-thaikam, lalu dia membeber surat itu di atas meja, dan mengambil alat
tulis.
Dengan
hati-hati dia lalu membubuhi huruf angka sepuluh di depan empat, sehingga kini
kalimat ‘Pangeran ke empat’ berbunyi ‘Pangeran ke empat belas’! Wajah pangeran
itu berseri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat saking girangnya dan
dia lalu merangkul pundak pembesar itu.
“Bagus,
Paman, engkau sungguh hebat sekali. Aku pasti tidak akan melupakan kalian
berdua. Kelak kalau aku sudah menjadi kaisar, kalian tentu akan kuberi
kedudukan dan kekuasaan tinggi!”
“Hanya satu
hal yang meragukan,” kata selir itu. “Huruf-huruf tulisan dari Coa-sianseng ini
amat indah dan sukar dipalsukan, maka apakah penambahan huruf dari Lan-thaikam
ini cukup dapat dipertanggung jawabkan? Orang lain mungkin tidak dapat melihat
perbedaannya, akan tetapi Coa-sianseng sendiri yang menulisnya....”
“Hemm,
Jangan kuatir. Dia seorang yang lemah, aku akan dapat menggertaknya!” kata
Lan-thaikam. “Kalau dia tidak mau bekerja sama, biar kita habiskan saja.”
“Serahkan
hal ini kepadaku, Paman,” kata Pangeran itu. “Pada hari dia membacakan surat
wasiat itu, aku akan mengambil nyawanya untuk menutup mulutnya, tentu melalui
tangan lain.” Lalu dia menceritakan siasatnya dan dua orang itu menjadi girang
dan memuji siasat Sang Pangeran yang amat cerdik itu.
Selir ke
tiga cepat-cepat mengembalikan surat wasiat yang sudah dirubah isinya itu,
memasukkan kembali ke dalam peti kecil, menguncinya dan mengembalikan kuncinya
di ikat pinggang Kaisar. Hal ini tidak ada yang mengetahui kecuali tiga orang
itu.
Dan dalam
bulan itu juga, Kaisar Kang Hsi meninggal dunia! Tentu saja seluruh isi istana
berkabung dan pada hari yang ditentukan, peti wasiat itu dibawa ke balairung di
mana terdapat singgasana Kaisar yang kosong. Suasana di ruangan itu sunyi dan
diliputi suasana berkabung. Semua pembesar berkumpul dan pada wajah mereka
terbayang kedukaan, sungguh pun tidak ada yang tahu pasti berapa orang di
antara mereka itu yang benar-benar merasa berduka dengan kematian Sang Kaisar!
Yang sudah
pasti, terdapat ketegangan-ketegangan, karena mereka menduga-duga siapa yang
akan menjadi pengganti Kaisar, dan hal ini tentu saja amat penting bagi mereka
karena penggantian itu mempunyai dua kemungkinan hebat dalam kehidupan mereka.
Kalau kaisar baru itu pilihan mereka, tentu keadaan mereka terjamin, akan
tetapi kalau bukan, besar kemungkinan kedudukan mereka akan dirampas. Dan
hampir semua orang menduga bahwa yang akan diangkat sebagai pengganti sudah
pasti Pangeran ke empat
Ketegangan
hebat itu terutama sekali terasa oleh mereka yang berkepentingan, yaitu oleh
para pangeran yang telah berkumpul di tempat itu dengan pakaian seragam,
pakaian berkabung. Keluarga mendiang Kaisar Kang Hsi kumpul semua di tempat
itu, terutama para pembesar dalam istana. Ketika Coa-taijin, yaitu sastrawan yang
menjadi pembantu Kaisar dalam hal tulis-menulis, yang dipercaya oleh mendiang
Kaisar Kang Hsi, memasuki ruangan diikuti oleh dua orang thaikam yang membawa
sebuah peti kecil hitam, semua orang memandang dengan hati berdebar penuh
ketegangan.
Mereka semua
tahu apa isinya peti kecil hitam itu, ialah surat wasiat peninggalan Kaisar
yang akan dibacakan oleh Coa-taijin sendiri sebagai penulis surat wasiat yang
telah dibubuhi cap kebesaran dan tanda tangan Kaisar itu. Suasana menjadi sunyi
dan seluruh perhatian dari semua yang hadir tertuju kepada pembesar she Coa itu
sehingga tidak ada seorang pun yang tahu bahwa terdapat gerakan aneh dan tidak
wajar di belakang mereka, di atas balok-balok melintang di bawah atap ruangan
itu.
Semua mata
para pembesar yang hadir mengikuti semua gerak-gerik itu, seolah-olah dengan
menahan napas, dari saat ketika Coa-taijin membuka tutup peti yang dikunci,
kemudian mengeluarkan segulung kertas kuning. Dengan kedua tangan memegang
kertas kuning itu diluruskan ke depan, mulailah Coa-taijin membaca surat wasiat
itu dengan suara tenang dan terdengar jelas sekali karena suasana di ruangan
itu sunyi sekali, bahkan kalau ada jarum jatuh ke atas lantai pun agaknya akan
dapat terdengar suaranya.
Dengan ini
kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami
mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami,
Pangeran ke.... empat.... ehhh.... empat belas....?”
Coa-taijin
terbelalak, mukanya pucat, pucat sekali, kedua tangannya menggigil, dan dia
seperti tidak percaya kepada pandang matanya sendiri sehingga bagian terakhir
itu diulangnya beberapa kali. Dialah penulis surat wasiat itu, maka tentu saja
dia tahu bahwa surat wasiat itu telah dirubah orang. Dia memandang ke arah
Pangeran Yung Ceng dengan mata terbelalak dan telunjuk kanannya menuding ke
arah Pangeran itu.
Akan tetapi
sebelum dia mampu berkata-kata, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu
sebatang pisau telah menancap ke dada Coa-taijin, disusul oleh pisau ke dua
yang menancap ke lehernya! Coa-taijin terhuyung, gulungan surat wasiat terlepas
dari tangannya, dan sebelum dia roboh, dia masih menuding ke arah Pangeran Yung
Ceng dengan mata melotot, lalu dia terguling roboh dan berkelojotan.
Semua orang
menjadi panik dan gempar, dan tiba-tiba Pangeran Yung Ceng sudah berteriak
keras, “Itu dia pembunuhnya....!” Dan dia menuding ke atas.
Semua orang
memandang dan benar saja, di atas sebatang balok melintang nampak seorang
laki-laki tinggi besar bersembunyi dan hendak melarikan diri. Beberapa orang
komandan pengawal bergerak dengan sigap, berloncatan ke atas dan menyerang Si
Pembunuh yang terpaksa meloncat lagi ke bawah, ke dalam ruangan itu.
Dia seorang
laki-laki tinggi besar yang mukanya memakai kedok hitam. Gerakannya gesit dan
ringan ketika dia meloncat turun, tetapi dia segera disambut oleh seorang
panglima yang berkepandaian tinggi. Terjadilah perkelahian yang tidak memakan
waktu terlalu lama karena pembunuh itu dikeroyok oleh banyak panglima dan
komandan pengawal yang rata-rata berilmu silat tinggi dan yang pada waktu itu
memang sedang berkumpul di ruangan itu. Pembunuh itu roboh oleh sebuah
tendangan dan sebelum dia sempat meloncat bangun, dia telah diringkus!
Seorang
panglima merenggut kedoknya terlepas dan terkejutlah semua orang ketika
mengenal orang itu sebagai salah seorang di antara pengawal-pengawal dalam
istana! Seorang perwira pengawal yang biasanya bertugas mengawal di dalam harem
Kaisar, tentu saja di bagian luar karena di bagian dalam hanya mempunyai penjaga-penjaga
para thaikam (laki-laki kebiri).
“Plakk!
Plakk!” Pangeran Yung Ceng sudah meloncat ke depan dan menampari muka orang ini
yang masih diringkus oleh dua orang panglima.
“Hayo
katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan pembunuhan ini?” Pertanyaan Sang
Pangeran nyaring sekali, terdengar oleh semua orang dan kini keadaan menjadi
sunyi karena semua orang juga ingin mendengar jawaban dari mulut penjahat itu.
Pembunuh itu
memandang dengan muka pucat sekali, kemudian dia menuding ke arah Pangeran Yung
Lok, yaitu Pangeran ke empat sambil berkata, suaranya menggigil, “Dia....
dialah yang menyuruhku.... Pangeran Ke Empat....
“Bohong kau!
Keparat busuk, berani kau memfitnahku?” Pangeran Yung Lok berteriak dengan nada
marah sekali.
“Pembunuh
busuk!” teriakan ini terdengar dari mulut Yung Ceng dan sebelum ada yang tahu
atau dapat mencegah, pangeran ini telah mencabut pedangnya, dan memasukkan
pedangnya itu ke dada Si Pembunuh sampai tembus ke punggungnya!
Tentu saja
dua orang panglima yang meringkusnya itu cepat melepaskan dan tubuh Si Pembunuh
itu terpelanting. Sambil mendekap dada dengan tangan kiri, ia menudingkan
tangan kanan ke arah Pangeran Yung Ceng, lalu tangan itu membentuk cengkeraman
seolah-olah dia hendak mencengkeram Pangeran itu. Akan tetapi tenaganya habis
dan dia pun terkulai lemas karena pedang yang ditusukkan tadi telah menembus
jantungnya!
“Seorang
pengacau dan pembunuh harus dibasmi!” kata Pangeran Yung Ceng dengan suara
lantang, seolah-olah hendak membela diri dengan semua perbuatannya itu. “Dan
pembacaan surat wasiat tidak boleh ditunda lagi!”
Lan-thaikam,
sebagai kepala di istana, lalu membuka gulungan kertas wasiat yang tadi telah
diselamatkannya ketika kertas itu terlepas dari tangan pembesar Coa, kemudian
membacanya dengan suara lantang.
Dengan ini
kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami
mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami,
Pangeran Ke Empat Belas, dan penobatan agar supaya segera dilakukan sehingga
singgasana tidak terlalu lama dibiarkan kosong
Tertanda:
Kaisar Kang
Hsi.
Begitu
mendengar isi surat wasiat ini terdengar habis, semua orang, seperti diberi
komando oleh suara yang hanya terdengar oleh mereka, menjatuhkan diri berlutut
dan semua orang berseru, “Ban-swe, ban-ban-swe,” yang artinya sama dengan
‘Hidup’, sebagai penghormatan kepada Pangeran yang diangkat menjadi Kaisar baru
serta menjadi junjungan mereka yang baru itu.
Demikianlah,
Pangeran Yung Ceng dengan resmi kemudian diangkat menjadi kaisar dan
perintahnya yang pertama kali adalah agar Pangeran Ke Empat, yaitu Pangeran
Yung Lok, ditangkap dan dihukum mati! Tetapi, para panglima yang terkejut mendengar
ini, maju berlutut dan mintakan ampun. Dengan sikap bijaksaana untuk
menimbulkan kesan, Sang Kaisar baru berkata bahwa mengingat akan kesetiaan para
panglima itu, dia mau mengampuni Pangeran Yung Lok dan membuang Pangeran itu ke
selatan.
Demikianlah
sedikit riwayatnya Kaisar Yung Ceng yang ketika masih muda memang dia seorang
yang memiliki kekerasan dan kemauan hati yang amat kuat, akan tetapi sayang
sekali, kekerasan ini pula yang masih mendorongnya pada saat dia mulai
melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam hidup, sama kuatnya ketika dia
dengan keras hati mengejar-ngejar ilmu di Siauw-lim-si.
Setelah
Pangeran ini menjadi kaisar, dia semakin haus akan kekuasaan, bahkan sering
kali dia bertindak sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kekuasannya.
Lebih parah lagi, dia mulai tergelincir ke dalam lembah nafsu birahi sehingga
dia seperti tiada puasnya mendapatkan wanita-wanita yang dikehendakinya.
Dia tak
segan-segan untuk mengganggu isteri-isteri para pejabat, para pembesar di
istana, walau pun tentu saja di antara para pembesar itu banyak pula terdapat
penjilat-penjilat yang memang sengaja mempergunakan isterinya yang cantik untuk
mencari jasa sehingga mereka boleh mengharapkan anugerah dari Kaisar berupa
kenaikan pangkat dan sebagainya.
Mula-mula
para murid Siauw-lim-pai masih menganggap Kaisar ini sebagai seorang saudara
seperguruan mereka sehingga ada pula yang datang berkunjung ke istana. Dan
mereka ini selalu diterima oleh Kaisar Yung Ceng dengan ramah, diperlakukan
sebagai tamu agung dan sebagai saudara seperguruan sendiri.
Akan tetapi,
mulailah para anak murid Siauw-lim-pai geger ketika pada suatu hari, ketika
seorang murid wanita Siauw-lim-pai yang terhitung sumoi (adik seperguruan) dari
Kaisar sendiri datang berkunjung, Kaisar Yung Ceng yang memandang gadis
pendekar itu dengan sinar mata lain, telah memaksa sumoi-nya itu untuk menuruti
kemauannya!
Gadis
Siauw-lim-pai itu dirayu dan digauli dengan setengah paksa. Gadis itu kemudian
membunuh diri dan Kaisar lalu menyuruh orang-orangnya untuk mengubur jenazahnya
dan merahasiakan peristiwa itu. Akan tetapi, tetap saja rahasia itu bocor dan
akhirnya secara selentingan terdengar oleh para anak murid Siauw-lim-pai betapa
murid wanita Siauw-lim-pai itu digauli oleh Kaisar dan membunuh diri! Karena
tidak ada bukti, maka Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya mulai
memandang kepada Kaisar dengan curiga.
Akan tetapi,
rasa permusuhan dari Siauw-lim-pai terhadap Kaisar ini baru terasa ketika pada
suatu hari datang seorang suheng dari Kaisar sendiri bersama isterinya. Suheng
ini adalah seorang sahabat baik ketika Sang Kaisar masih tekun belajar di
Siauw-lim-si, merupakan sahabat dan saudara terbaik.
Akan tetapi,
celakanya adalah bahwa suheng ini datang bersama isterinya dan lebih celaka
lagi isterinya itu adalah seorang wanita muda yang cantik manis. Seketika hati
Kaisar muda itu tergiur dan karena Kaisar tahu bahwa suheng-nya itu adalah
orang yang suka sekali main catur, maka dia lalu memanggil seorang thaikam yang
pandai main catur.
Suheng-nya
segera tenggelam di meja catur semalam suntuk dengan thaikam itu dan kesempatan
ini, kesempatan yang memang sengaja diadakannya, dipergunakan oleh Kaisar untuk
memasuki kamar suheng-nya yang asyik bertanding catur di ruangan tamu itu, dan
diganggulah isteri suheng-nya! Diperkosanya wanita itu dengan paksa, dan oleh
karena wanita itu tidak berani melawan, maka dia hanya bisa menangis saja,
menyerah karena tidak berdaya. Pada esok paginya, ketika Sang Suheng kembali ke
kamarnya, dia mendapatkan isterinya telah mati menggantung diri!
Peristiwa
inilah yang membuat Siauw-lim-pai mengambil keputusan untuk secara resmi
mengeluarkan Sang Kaisar dari Siauw-lim-pai, tidak diakuinya lagi sebagai anak
murid Siauw-lim-pai! Betapa pun juga, Sang Suheng itu dapat menduga apa yang
telah terjadi, mengapa isterinya itu secara tiba-tiba tanpa sebab telah
membunuh diri.
Tindakan
para pemimpin Siauw-lim-pai itu sungguh terlalu benar! Mengeluarkan Kaisar yang
sedang berkuasa dari Siauw-lim-pai! Menganggapnya sebagai seorang murid murtad!
Tentu saja hal ini amat menyakitkan hati Kaisar Yung Ceng yang mulai saat itu
menganggap Siauw-lim-pai sebagai musuh, bukan lagi sebagai perguruan silat atau
partai persilatan yang dibanggakannya sebagai tempat di mana dia pernah digembleng.
Akan tetapi
Kaisar Yung Ceng juga tahu bahwa amatlah tidak menguntungkan kalau dia menuruti
perasaan dendam pribadi dan menggempur Siauw-lim-pai dengan pasukan, karena
betapa pun juga partai persilatan itu sangat kuat dan merupakan hal yang amat
merugikan kalau pemerintah menghadapinya sebagai musuh. Betapa pun juga, orang
orang Siauw-lim-pai masih dapat banyak diandalkan kalau negara menghadapi musuh
dari luar. Maka sakit hati itu pun disimpannya di dalam hati dan menimbulkan
dendam dan rasa tidak suka saja.
Demikianlah
riwayat dan keadaan Kaisar Yung Ceng. Putera Kaisar itu, yaitu Pangeran Kian
Liong merasa sangat berduka kalau dia memikirkan semua perbuatan ayahnya.
Sampai kini pun ayahnya itu mudah sekali tergila-gila kepada wanita cantik.
Pangeran yang bijaksana ini pun tahu bahwa ayahnya kini terjatuh ke dalam
cengkeraman dan pelukan selir ke tiga yang pandai merayu dan yang bersekutu
dengan Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga yang agaknya amat disegani dan
dihormati oleh ayahnya.
Dia tidak tahu
bahwa memang ayahnya yang kini menjadi kaisar amat tunduk kepada Ibu Suri Ke
Tiga karena ibu suri ini amat berjasa kepada ayahnya. Dia tidak tahu bahwa
memang ada persekutuan antara ayahnya, Sam-thaihouw, dan Lan-thaikam yang juga
merupakan kepala istana yang menguasai semua pejabat dan pembantu yang bekerja
di dalam istana, dan bahwa Kaisar amat percaya kepada orang kebiri tua ini.
Hal yang
amat menggelisahkan hati Pangeran Kian Liong adalah peristiwa yang terjadi
bulan lalu. Ketika itu Jenderal Kao Cin Liong memimpin pasukan untuk menggempur
pergolakan di barat, di perbatasan Himalaya, untuk membantu Tibet yang diserang
oleh Nepal. Dan pada waktu itu, di kota raja dikabarkan banyak terdapat
mata-mata musuh.
Mungkin
karena memang ada mata-mata yang menyelundup ke dalam kuil, atau memang hanya
dipergunakan sebagai alasan saja oleh Kaisar yang memang sudah membenci
Siauw-lim-pai, Kaisar memerintahkan untuk menyerbu kuil Siauw-lim-si yang
merupakan cabang dari pusat Siauw-lim-pai, sebuah kuil yang cukup besar di kota
raja, di mana para hwesio Siauw-lim-pai lebih banyak mengurus soal pelajaran
agama dari pada ilmu silat.
Serbuan itu
merupakan gerakan pertama dari Yung Ceng yang memusuhi Siauw-lim-pai semenjak
dia dipecat dari keanggotaannya. Kuil itu dibakar, semua pendetanya diusir,
bahkan dalam bentrokan itu ada beberapa orang pendeta yang tewas. Akan tetapi
karena alasan penyerbuan itu adalah untuk mencari dan membasmi mata-mata yang
dikabarkan bersembunyi di kuil, maka pihak Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat
apa-apa, hanya memesan kepada semua muridnya agar berhati-hati karena jelas
bahwa Kaisar membenci Siauw-lim-pai.
Hal ini pun
membuat Pangeran Kian Liong merasa berduka dan prihatin sekali, karena dia tahu
bahwa semenjak dulu, Siauw-lim-pai merupakan partai besar yang berdasarkan
agama, yang tugasnya menyebarkan keagamaan di samping memberi pelajaran ilmu
silat tinggi dan terdiri dari rata-rata orang-orang budiman dan
pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak pernah memberontak terhadap negara.
Ketika
rombongan Pangeran Kian Liong yang disertai oleh Kao Kok Cu dan Wan Ceng, Wan
Tek Hoat dan Syanti Dewi, pada malam hari itu memasuki kota raja, di istana
terjadi kegemparan besar. Untunglah bahwa Pangeran Kian Liong berkeras mengajak
dua pasang suami isteri itu langsung pergi ke istana dan menjadi tamu-tamunya.
“Kita telah
melakukan perjalanan jauh, sebaiknya kalau kalian berempat langsung saja ke
istana dan mengaso. Besok baru kita akan menghadap Ayahanda Kaisar.”
Akan tetapi,
ternyata bahwa ketika mereka tiba di istana, di situ terjadi hal yang amat
hebat. Kiranya malam hari itu, istana diserbu oleh seorang dara perkasa dan
tujuh orang pendeta Siauw-lim-pai yang menyamar sebagai pengawal-pengawal
istana!
Ketika itu,
Kaisar baru saja memasuki kamarnya dan selir ke tiga telah datang untuk
melayaninya ketika tiba-tiba di luar kamar itu terjadi keributan dan tiba-tiba
terdengar teriakan nyaring.
“Ada
penjahat....!”
Kaisar Yung
Ceng adalah seorang kaisar yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang cukup
tinggi, bukan seorang kaisar yang lemah, maka mendengar seruan ini, dia bukan
lari berlindung, sebaliknya malah meloncat keluar dari dalam kamar, sedikit pun
tidak merasa takut. Dan begitu keluar, dia sudah diserang oleh seorang dara
yang berpakaian ringkas berwarna putih dan dibantu seorang hwesio yang menyamar
dalam pakaian pengawal istana, akan tetapi yang kini telah membuang penutup
kepalanya sehingga nampak kepalanya yang gundul. Selain dua orang ini yang
mengeroyok Kaisar, masih ada enam orang hwesio lain yang semua menyamar dalam
pakaian pengawal sedang bertempur dikepung oleh banyak pengawal istana.
“Ai Seng
Kiauw manusia keji, bersiaplah engkau untuk mampus!” gadis itu membentak marah
dan telah menyerang dengan dahsyatnya, menggunakan sebatang pedang yang tadi
disembunyikan di balik jubahnya.
Hwesio
tinggi besar yang membantunya juga telah menyerang Kaisar dengan sebatang
golok, namun Kaisar Yung Ceng dengan sigapnya sudah meloncat lagi ke dalam
kamar, menyambar sebatang pedang yang tergantung di kamarnya, lantas melawan
dengan gagah. Melihat gerakan dua orang yang menyerangnya itu, tahulah Kaisar
Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka dia pun marah
bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak,
“Pemberontak-pemberontak
Siauw-lim-pai!”
Akan tetapi
dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan
mereka sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para
dayang menjerit dan menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan
dengan tubuh menggigil ketakutan. Sementara itu, enam orang hwesio yang berada
di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang berdatangan.
Pada saat
itulah Pangeran Kian Liong datang bersama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok
Cu, dan Wan Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri
perkasa itu segera turun tangan.
“Kalian
bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!” kata Kao Kok Cu yang
segera menerjang masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan dari
mana dia dapat melihat Kaisar sedang dikeroyok oleh dua orang.
“Li Hwa, kau
larilah!” Hwesio tinggi besar itu berseru.
Walau dia
sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk
mendorong tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum
bahwa keadaan sangat berbahaya maka sekali loncat dia pun telah lenyap melalui
jendela kamar.
Sementara
itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong,
akan tetapi begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio
Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan
bunyi seperti pedang pusaka menyambar, juga pukulan-pukulan Wan Ceng
mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor
burung beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat
menyambar-nyambar.
Biar pun
enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam
waktu belasan jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan
tiga orang yang baru datang ini, tak mampu bangkit kembali karena telah
menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan tangan Wan Tek
Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang
di antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih
hidup, biar pun dia juga tidak mungkin mampu melawan lagi.
Hwesio
tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi menyerang Kaisar bersama
gadis itu, juga sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah
terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu dan kini dia memaki-maki Kaisar.
“Ai Seng
Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tak
segan-segan untuk memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suheng-nya sendiri,
dan biar pun engkau kini telah bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami
para murid-murid Siauw-lim-pai sejati enggan hidup bersama orang durhaka
macammu ini di atas bumi!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan
pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri!
Kaisar Yung
Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi
ternyata luka itu tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia
kini mengenal wajah para hwesio itu yang ternyata adalah suheng-suheng-nya
sendiri saat dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat bahwa
masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar kemudian menghampiri dan
membentak, “Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian
melakukan penyerbuan ini!”
Akan tetapi
hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata
mendelik dan tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan
kepala di lantai, akan tetapi Kaisar telah mendahuluinya, menotok lehernya
sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.
“Hayo
mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!” Kaisar membentak lagi, wajahnya
berubah merah saking marahnya.
“Ha-ha-ha-ha!”
Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup
mulutnya.
Melihat ini,
Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut.
Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya
sudah putus oleh gigitannya sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut
terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh keluar. Syanti Dewi sendiri
sampai membuang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu.
Kaisar
semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara
dan tentu akan mati. “Cepat cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap
hidup-hidup!” teriaknya kepada para pengawal yang segera lari cerai-berai untuk
memenuhi perintah Kaisar itu.
Setelah para
pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar
mempunyai kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja
dia mengenal Kao Kok Cu dan Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang
paling diandalkan, jaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Untung
sekali kalian datang,” kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri
perkasa ini memberi hormat kepadanya. Kemudian dia mengangkat muka memandang
kepada Wan Tek Hoat, lalu kepada Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya
mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu dan agaknya pandang
matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.
“Dan
siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?” tanyanya
tanpa mengenal sungkan lagi.
Syanti Dewi
menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam diam
alisnya berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata
Kaisar itu yang ditujukan kepadanya. Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi
dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat.
Kao Kok Cu
dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng
memberi keterangan, “Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu
puteri Bhutan bernama Syanti Dewi, bersama suaminya.”
Kaisar
nampak tercengang dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah
membikin geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar
biasa, dan memiliki kepandaian tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger.
Kao Kok Cu
yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya
tertarik sekali kepada Syanti Dewi, lalu maju dan berkata, “Sebaiknya kalau
Paduka beristirahat lebih dahulu, biarlah hamba semua ikut membantu pengejaran
terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai teman-teman yang
tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam.”
Mendengar
ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya
tadi memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini
disertai suaminya, bahkan suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman
bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan berkata dengan sikap ramah
sekali, “Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk bersama
kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk
bercakap-cakap. Nah, sampai jumpa besok pagi.”
Kaisar lalu
diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke
sebuah kamar lain karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah. Keempat
orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu pula untuk membantu para pengawal
mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa amat heran akan
lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi
yang kini tidak lagi nampak lagi batang hidungnya!
Ke manakah
perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami
isteri itu. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu
melarikan diri melalui jendela kamar ayahnya, Pangeran ini kemudian menyelinap
dan melakukan pengejaran.
Dia tahu
bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka
diam-diam dia merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa
yang menyebabkan orang-orang Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang
ayahnya. Dan biar pun Pangeran ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia
mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat
mengejar dan membayangi gadis yang melarikan diri itu.
Gadis itu
sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susiok-nya (paman gurunya)
menyelundup ke dalam istana, dia dan para susiok-nya itu menyamar sebagai
pasukan pengawal. Akan tetapi dalam keadaan melarikan diri ini, tentu saja
tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana.
Di mana-mana
terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka
dia lalu menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin
bingunglah dia, tidak tahu mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa
mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika hampir kepergok para
penjaga.
Ketika dia
tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak
mengejar dan terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia
kebingungan karena dari mana-mana muncul penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di
sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi isyarat
kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan
curiga.
“Sssttt....
ke sinilah, Nona....,” kata pemuda itu berbisik.
Gadis itu
masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan
pengawal yang sedang mencari-carinya, maka dia kemudian menghampiri pemuda itu.
Seorang pemuda yang berwajah tenang dan tersenyum ramah.
“Masuklah
dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka,” pemuda itu berkata.
Karena tidak
melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu,
pedangnya masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak
cepat karena baru saja dia masuk, muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya,
tiba di depan pintu itu.
Si Pemuda
masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga
gadis itu tidak nampak dari luar. Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk
pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan.
Tetapi dia terheran-heran ketika melihat betapa semua pasukan, dipimpin oleh
komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau mereka
itu mengganggu.
“Kalian ini
mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?” tegur pemuda itu dengan
lantang.
Komandan
pasukan pengawal itu lalu menjawab dengan suara penuh hormat, “Harap maafkan
jika hamba sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang
buronan, yaitu seorang gadis yang merupakan satu di antara para penyerbu yang
mengacau di istana.”
“Hemm, aku
sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis
katamu? Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing,
apalagi seorang gadis. Pergilah kalian cari ke tempat lain.”
Pasukan itu
memberi hormat dan pergi dari tempat itu. Derap kaki mereka makin menjauh dan
akhirnya lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus
ke sebuah taman yang indah, yang cuacanya cukup terang dengan adanya
lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohon-pohon di tempat indah itu.
Sunyi sekali
di situ. Namun dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan
tadi menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang
pangeran, putera Ai Seng Kiauw, putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia
menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu menutupkan daun pintu yang
menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Pangeran
Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh
curiga dengan pedang siap menyerang!
“Untuk
sementara ini engkau aman, Nona.”
Pegangan
pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika
bertanya, “Paduka.... Paduka seorang pangeran....?”
Pangeran
Kian Liong mengangguk. “Benar, dan namaku adalah Kian Liong.”
“Ahhh....!”
Gadis itu nampak terkejut sekali dan memandang wajah Pangeran itu dengan
bengong.
Pangeran
Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata
gadis ini yang luar biasa baginya. “Mari kita bicara di taman yang sunyi itu,
Nona, dan ceritakan siapakah Nona dan mengapa Nona yang masih begini muda
tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal yang amat berbahaya
sekali.”
Sikap dan
suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu dapat
mendatangkan ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja
ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini dia telah menyimpan kembali pedangnya
di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah mantelnya.
Mereka duduk
berhadapan di atas bangku-bangku yang terukir indah di tengah-tengah taman,
menghadapi sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas yang
beraneka warna dan bentuk, yang berenang-renang di sekeliling bunga-bunga
teratai merah dan putih.
“Nama hamba
Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba…. sama sekali tidak memusuhi Sri
Baginda Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang
hendak membalaskan dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid
Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!” Gadis itu mulai menceritakan keadaan
dirinya.
Pangeran
Kian Liong mengangguk maklum. “Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan
tetapi betapa pun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi
murid Siauw-lim-pai itu sekarang adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa
yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan nekat bersama beberapa
orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar.”
Souw Li Hwa
lalu bercerita. Dia seorang anak yatim piatu yang kedua orang tuanya tewas
ketika dusunnya diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun
ketika hal itu terjadi dan dia sendiri diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai
yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya seperti anak sendiri.
Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun,
penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah
dengan seorang gadis cantik. Dia masih terus ikut gurunya, sebagai murid dan
juga sebagai pembantu isteri gurunya yang juga amat sayang kepadanya.
Karena suami
isteri itu tidak mempunyai anak biar pun mereka sudah menikah selama tiga
tahun, maka mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak
sendiri. Kemudian terjadilah mala petaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih
muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang memang memiliki wajah cantik itu,
pergi mengunjungi Kaisar di istana. Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai dan
terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima
dengan amat ramah oleh Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu
menimbulkan mala petaka hebat menimpa keluarga yang tadinya hidup dengan rukun
dan bahagia itu.
“Ketika Suhu
sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja
dilakukan oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar
seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada
saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri Suhu itu
tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar
karena tidak ada bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi
sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu menderita tekanan batin yang
membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi....” Sampai di sini, gadis itu
mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.
Pangeran
Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang
dia pernah mendengar peristiwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu.
Li Hwa
kemudian melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi masa mudanya dan menjadi murid
Siauw-lim-pai, Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi
murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai merupakan sekelompok sahabat-sahabat
akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai, demikianlah nama
julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah
untuk saling setia. Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa,
sedangkan tujuh orang lainnya adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng
Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.
“Karena
menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad
dan mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng
Kiauw telah berbuat laknat terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah
setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu mendukung niat hamba untuk
membalas dendam. Akan tetapi....” Kembali gadis itu mengusap air matanya,
“Ternyata kami telah gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang
malang itu....”
Pangeran
Kian Liong memandang tajam. Meski dia masih muda dan bukan merupakan seorang
ahli silat yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah
mengenal banyak sekali orang-orang pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini
sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras hati, melainkan seorang
nona yang halus perasaannya.
Dan entah
mengapa, baru pertama kali ini Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada
seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah yang membuat dia
terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat mendalam
dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya
hati nona ini.
“Nona,
menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi,
mengapa engkau meninggalkan tujuh orang Susiok-mu yang terkepung itu?”
Ditanya
begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berubah pucat, lalu menjadi merah
sekali, suaranya terisak ketika dia menjawab. “Itu bukan kehendak hamba! Akan
tetapi, Toa-susiok memaksa hamba.... dan.... dan hamba pikir.... kalau kami
semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam? Usaha kami ini
kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup
dan hamba akan....”
Tiba-tiba
dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar
yang hendak dibunuhnya itu dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia
menjadi bingung! Pemuda ini adalah putera Kaisar, yaitu putera musuh yang akan
dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu keselamatannya
mungkin berada di tangan Pangeran ini!
“Nona,
mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?”
“Betapa
tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... dan hamba kehilangan
satu-satunya orang yang selama ini mengasihi hamba.... dan kini, hamba
seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat penderitaan Suhu.... ah, apa yang
dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada musuhnya?”
Pangeran
Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran. “Ahh, engkau
masih terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona.
Apakah sebabnya engkau mendendam kepada Kaisar?”
“Hamba tidak
mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai....”
“Ya,
katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?”
Gadis itu
memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan. “Karena dia
membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!”
Pangeran itu
menggeleng kepalanya. “Benarkah itu? Suhu-mu itu menjadi sakit dan gila,
menurut hematku karena kelemahannya sendiri, Nona.”
“Tidak, Suhu
menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena
diperkosa....”
“Hemm, kalau
dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya,
mungkin sikap isteri Suhu-mu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan
harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya peristiwa itu adalah karena Suhu-mu
datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya lagi!
Coba
bayangkan, andai kata dia tidak datang ke istana, dan andai kata dia tidak
membawa isterinya, dan andai kata isterinya itu tidak cantik, dan andai kata
dia itu tidak tergila-gila main catur dan masih banyak andai kata lagi yang
menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa Nona
menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar,
dan berusaha membunuh Kaisar, dengan dalih apa pun juga, merupakan pemberontakan!”
Gadis itu
kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.
“Tapi....
tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang
tidak berbakti....!”
Pangeran itu
tersenyum lebar. “Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku
adalah seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kau
kenal sebagai Ai Seng Kiauw itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kau
bunuh! Dan apa yang kulakukan?
Alangkah
mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan
tewas dikeroyok pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu,
berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak dapatkah engkau berbuat seperti
aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada permusuhan di
antara kita?”
Gadis itu
kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun
belum, akan adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak
membunuh ayahnya seperti Pangeran ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biar pun
sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah Pangeran itu!
“Aku.... aku
tidak tahu....”
“Apakah Nona
menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu?
Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?”
“Tapi....
tapi Ayahmu.... dia jahat....”
Pangeran itu
menarik napas panjang, dan menggeleng kepala, “Ayahku dahulu juga seorang
pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat
baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam keadaan
sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit?
Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?”
Tiba-tiba
terdengar derap kaki banyak orang berlarian, semakin lama semakin dekat. “Hemm,
agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.”
Dara itu
meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong
berkata, “Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.”
“Habis,
apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?”
“Aku ada
akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala di bawah
dan di antara daun-daun teratai. Cepat!”
Karena dia
sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia
pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun
menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan
sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam
itu.
Ketika
pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian
Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air
kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak.
“Maaf,
Pangeran,” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat.
“Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat
berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka
masih belum tertangkap.”
Pangeran
Kian Liong mengerutkan alisnya. “Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan
carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan
ganggu, aku lagi!”
Komandan itu
dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap
marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak
terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li
Hwa untuk keluar dari dalam air.
Gadis itu
keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka
pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang
padat langsing itu.
“Terima
kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.”
Baru Sang
Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat
seluruh tubuh gadis itu basah kuyup. “Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa
sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti
kuantar engkau keluar dari dalam istana.”
Tanpa banyak
cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran.
Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang
bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada
mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa
Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut.
Mereka hanya
merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis
cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguh pun
Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang
bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal
yang luar biasa sekali.
Pangeran
Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu.
Kemudian ia mengambil satu stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa.
“Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau
akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana
tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik
tirai itu.”
Li Hwa
menerima pakaian itu dengan muka berubah merah, lalu dia pergi ke balik tirai
hijau yang tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu
mengenakan pakaian Pangeran itu yang tentu saja agak terlalu besar untuknya.
Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil membawa pakaiannya
yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu memandang dengan wajah berseri
dan kagum
“Ah, engkau
telah berubah menjadi seorang kongcu yang tampan sekali!”
Li Hwa
menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama dia merasa makin tertarik kepada
Pangeran ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang
kang-ouw, juga amat adil dan berpandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan
Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk Pangeran ini yang memang
amat bijaksana.
“Sekarang,
bagaimana selanjutnya, Pangeran?” tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang
pangeran itu.
Kembali
Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang
terang dan dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia merasa
benar-benar kagum sekali hingga pertanyaan itu seperti tak terdengar olehnya.
Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong kepadanya, Li Hwa kembali
menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar.
“Ohhh....
sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar
dari istana. Tidak akan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona.
Kemudian, setelah tiba di luar istana, engkau boleh keluar dari kota raja dan
kau pakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini, engkau
akan dapat pergi ke mana pun juga tanpa ada yang berani mengganggumu.” Pangeran
itu lantas meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf
namanya, berikut sampul surat yang ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian
tadi.
Li Hwa
menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
Sang Pangeran. “Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa
kepada Paduka. Hamba tak mungkin dapat membalasnya dan....”
“Li Hwa,
bangkitlah.” Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri.
Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih
berada di atas pundak Li Hwa. “Engkau tak perlu membalas, tak perlu berterima
kasih. Aku akan merasa girang sekali kalau engkau mau membuang jauh-jauh dendam
dari hatimu itu.”
Dara itu
menunduk, dan mengangguk, lalu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya
bersinar lembut dan bisikannya menggetar. “Demi Paduka, mengingat akan
kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini
hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu, bahkan Paduka sendiri yang
semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia.”
“Bagus! Aku
girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku sudah menjadi
kaisar....”
“Ya....?” Li
Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan
ucapannya.
“....dan
jika engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin
ini...., dan engkau selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... tentu
saja di sampingku....”
Jantung Li
Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka
sampai dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali
ucapan Pangeran ini!
Dia sudah
merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada
pengawal, yang sepatutnya menghukumnya sebagai seorang pemberontak yang
berusaha membunuh Kaisar, bukan hanya malah menyelamatkannya, menolongnya,
bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta kepadanya dan minta dia untuk
kelak mendampinginya atau menjadi isterinya!
Rasa haru
yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan
kata-kata yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau
merayunya, mencoba untuk memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan
hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan seperti itu dan diam-diam sudah
mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk memperkosanya atau
bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk
sampai titik darah terakhir.
Akan tetapi,
sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Sang Pangeran ini bukan saja telah
menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan
kini menyatakan cintanya dengan cara tidak langsung, malah meminangnya secara
tidak langsung pula!
Dia merasa
terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira
bahwa Pangeran itu akan memperkosanya….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment