Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 17
Biar pun dia
telah memiliki ilmu-ilmu silat tangan kosong yang lihai, akan tetapi jangan
disangka bahwa Cin Liong asing dengan senjata. Sama sekali tidak, dia pandai
mainkan delapan belas macam senjata, terutama ilmu pedang!
Melihat
pemuda itu sudah memegang senjata, Cu Han Bu yang tidak mau bersikap
sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan sabuk emasnya di atas kepala,
diputar-putar makin lama makin cepat, lalu berkata, “Orang muda, lihat
seranganku!”
Tiba-tiba
dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar berkeredepan yang menyambar ke arah
kepala Cin Liong, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram ke arah dada.
Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat, sekaligus menyerang dengan sabuk
emas dan tangan kiri.
Entah mana
di antara keduanya itu yang lebih berbahaya, karena harus diakui bahwa hawa
pukulan tangan kiri yang mencengkeram itu tidak kalah kuatnya dibandingkan
dengan hawa pukulan sabuk emas yang menandakan bahwa tangan itu tidak kalah
kuatnya dibandingkan dengan senjata itu.
Cin Liong
bersikap waspada. Dia maklum bahwa lawannya ini lebih lihai dari pada Cu Seng
Bu tadi. Sedangkan terhadap Cu Seng Bu ia pun hanya memperoleh kemenangan
tipis, maka dia tahu bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang amat tangguh
dan dia harus berhati-hati. Melihat serangan itu, dia pun menangkis dengan
pedangnya ke atas, dan mendorongkan tangannya ke depan untuk menyambut
cengkeraman tangan kiri lawan.
“Tringgg....
Plakkk!”
Keduanya
terdorong mundur oleh pertemuan senjata dan tangan itu, dan Cin Liong dapat
merasakan betapa tenaga orang ini amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga Cu
Seng Bu dan dia merasa betapa tubuhnya tergetar oleh dua adu tenaga tadi.
Tetapi, Cin Liong tidak sempat berpikir lebih banyak lagi karena kini terdengar
suara berdesing-desing dan pandang matanya menjadi silau melihat gulungan sinar
keemasan yang menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya.
Gulungan itu
membungkus diri Cu Han Bu, dan suara berdesing-desing itu makin lama makin
nyaring. Sinar-sinar yang mencuat dari gulungan emas yang merupakan tembok
benteng itu makin gencar menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa harus
memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Dia merasakan desakan yang amat
kuat dari gulungan sinar keemasan itu dan setiap kali pedangnya menangkis,
terdengar suara nyaring dan dia merasa telapak tangannya perih sekali!
Memang hebat
sekali ilmu kepandaian Cu Han Bu itu. Untuk selama kurang lebih tiga puluh
jurus sabuk emasnya merupakan gulungan sinar yang menghujankan serangan kepada
Cin Liong, membuat pemuda itu sibuk sekali menangkis dan hampir tidak ada
kesempatan untuk membalas serangan lawan. Kemudian secara mendadak gulungan
sinar keemasan itu lenyap dan kini Cu Han Bu melakukan serangan satu-satu
dengan gerakan lambat.
Akan tetapi,
setiap kali sabuk emas itu menyambar terdengar suara angin dahsyat menghembus
dan begitu Cin Liong menangkisnya, pemuda ini berseru kaget karena tenaga yang
terbawa oleh sabuk itu sedemikian kuatnya sehingga kuda-kuda kakinya tergeser
dan hampir dia terhuyung, dan selain tenaga yang amat kuat ini, juga dia merasa
betapa ada hawa panas menjalar ke seluruh lengannya!
Tahulah dia
bahwa lawannya kini benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaga simpanannya!
Dia pun berusaha untuk balas menyerang, bahkan kini dia berusaha sedapat
mungkin untuk menghindarkan pertemuan senjata secara langsung karena dia maklum
bahwa tenaga sinkang-nya masih kalah kuat dibandingkan dengan orang ini.
Akan tetapi,
gerakan Cu Han Bu yang lambat itu ternyata amat aneh dan di sekitar tubuhnya
seolah-olah ada gulungan tenaga yang tak nampak sehingga tiap kali pedang Ban-tok-kiam
di tangan Cin Liong balas menyerang, ujung pedang itu menyeleweng seperti
ditangkis oleh hawa yang amat kuat. Sementara itu, setiap kali menyerang sabuk
emas tidak dapat dielakkan lagi karena biar pun gerakan sabuk itu lambat, namun
seolah-olah dapat mengikuti ke mana pun Cin Liong mengelak!
Oleh karena
ini, pemuda itu terpaksa menangkis dan menangkis lagi dan makin lama
tangkisannya menjadi semakin lemah karena memang berat rasanya menangkis sabuk
itu sehingga lewat beberapa lama kemudian, setiap kali menangkis dia tentu
terhuyung ke belakang!
Patut
diketahui bahwa ketika dia melawan Cu Seng Bu tadi, keadaannya dengan lawan itu
seimbang hingga Cin Liong terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Oleh
karena itu, setelah kini dia berhadapan dengan Cu Han Bu, yang memiliki
kepandaian lebih tinggi dan juga tenaga lebih kuat dibandingkan dengan adiknya,
tentu saja Cin Liong menjadi lelah dan semakin lama tenaganya menjadi semakin
lemah. Betapa pun juga, dengan Ban-tok-kiam di tangannya, pedang yang juga
ditakuti oleh Cu Han Bu yang mengenal pedang beracun yang amat berbahaya, dia
masih mampu bertahan sampai seratus jurus dia belum juga kalah, walau pun sudah
berkali-kali dia terhuyung ke belakang.
Tentu saja
Wan Ceng memandang dengan penuh khawatir, alisnya berkerut dan beberapa kali
dia mengepal tinju tangannya. Hanya Kao Kok Cu yang masih tetap tenang saja
karena biar pun dia juga maklum bahwa puteranya itu akan kalah, namun dia
percaya bahwa Cin Liong mampu menjaga diri sehingga tidak sampai terancam
keselamatannya.
Cu Han Bu
memang telah mengeluarkan semua kepandaiannya. Baginya, perkelahian itu adalah
soal hidup atau mati, karena kalau dia kalah, biar pun andai kata dia masih
hidup, namun dia dan adiknya seperti telah mati saja, akan mengundurkan diri
dan menjadi pendeta dengan mencukur gundul kepala mereka. Inilah sebabnya
mengapa dia menyerang dengan ganas tanpa mempedulikan lagi apakah serangannya
itu akan menewaskan lawannya.
Melihat
betapa lawannya itu semakin kuat dan semakin ganas, mendadak Cin Liong
mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, dia
sudah mengeluarkan Ilmu Sin-liong Hok-te dengan menggunakan pedang
Ban-tok-kiam. Tubuhnya meluncur ke depan, disambung oleh pedangnya, menerjang
ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat.
Melihat ini
Cu Han Bu terkejut. Dia maklum bahwa ilmu ini luar biasa sekali dan tadi
adiknya juga kalah oleh ilmu ini. Maka dia pun meloncat ke depan menyambut,
sambil memutar sabuk emasnya.
“Trannggg....
plakkkk....!”
Kini nampak
pedang Cin Liong terlempar ke atas dan pemuda itu sendiri terguling! Akan
tetapi dia sudah dapat meloncat lagi ke atas dan manyambar pedangnya, siap
untuk menyerang lagi. Pada saat itu, Kao Kok Cu mencelat ke depan dari atas
kursinya.
“Cukup, Cin
Liong. Engkau telah kalah!” katanya.
Pemuda itu
pun tidak membantah karena harus diakuinya bahwa dia telah kehilangan pedang
tadi, dan juga pundaknya telah beradu dengan ujung sabuk emas dan biar pun
tulang pundaknya tidak patah, namun lengan kirinya itu menjadi setengah lumpuh
dan kalau digerakkan menjadi nyeri sekali pada pundaknya. Jelaslah bahwa kalau
dia maju melawan lagi sama artinya dengan bunuh diri, maka dia pun menjura ke
arah Cu Han Bu dan kembali ke tempat duduknya, disambut oleh ibunya yang segera
memeriksa pundaknya.
Pundak itu
matang biru! Wan Ceng cepat mengeluarkan koyo hitam, melumerkan koyo itu dengan
hawa panas dari telapak tangannya dan menempelkan koyo itu di pundak puteranya,
dan menyuruh puteranya menelan dua butir pel hitam. Kemudian keduanya duduk
menonton pertandingan antara Kao Kok Cu dan Cu Han Bu dengan penuh perhatian
setelah Wan Ceng menyimpan kembali pedang Ban-tok-kiam.
Sementara
itu, tadi Kao Kok Cu telah menghadapi Cu Han Bu dan berkata, “Saudara Cu,
sekarang keadaan kita satu-satu. Marilah kita menentukan siapa yang akan keluar
sebagai pemenang.”
“Silakan kau
mengeluarkan senjata, Kao-taihiap,” kata Cu Han Bu dengan sikap masih
menghormat.
“Aku tidak
pernah mempergunakan sanjata. Majulah!” tantang Naga Sakti Gurun Pasir.
Cu Han Bu
percaya akan kata-kata ini dan tidak menganggap pendekar itu memandang rendah
kepadanya. Maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan sudah memutar sabuk
emasnya serta menyerang dengan gerakannya yang lambat namun mantap dan amat
kuat itu.
Tadi ketika
Cu Han Bu bertanding melawan Cin Liong, Kao Kok Cu sudah menyaksikan
gerakan-gerakannya dan sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah matang,
sekali lihat saja dia sudah tahu akan sifat-sifat ilmu silat lawan ini. Memang
harus diakuinya bahwa jarang dia melihat orang memiliki ilmu silat sehebat
keluarga Cu ini. Ilmu silat mereka adalah ilmu silat asli, ilmu silat keluarga
yang telah dilatih secara sempurna sekali dan pada waktu itu, kiranya jarang
menjumpai orang-orang dengan ilmu setinggi yang dimiliki keluarga Cu ini.
Karena dia
sudah tahu akan sifat ilmu silat lawan, maka kini dia tahu bagaimana harus
menghadapinya. Tadi dia memperhatikan gerakan Cu Han Bu. Ketika menghadapi Cin
Liong, orang ini kadang-kadang mempergunakan kecepatan yang luar biasa selama
beberapa puluh jurus, menghujankan serangan tidak memberi kesempatan kepada
lawan untuk balas menyerang, lalu dia mengubah gerakannya menjadi lambat-lambat
sekali.
Akan tetapi
Kao Kok Cu maklum bahwa justru kalau bergerak lambat-lambat inilah maka orang
ini amat berbahaya karena di sini letak seluruh kekuatannya! Kalau Cu Han Bu
bergerak perlahan-lahan dan lambat-lambat itu maka dia amat kuat dan
seolah-olah tubuhnya dikelilingi oleh benteng yang tidak nampak dan kekuatan
dalam yang dahsyat. Oleh karena itu, ketika Cu Han Bu mulai menyerang dengan
gerakan lambat-lambat itu, Kao Kok Cu tidak mau membalas serangan, bahkan dia
hanya mengelak saja selalu menanti lawan menyerang untuk dielakkan dengan amat
mudah tentunya, karena memang serangan-serangan Cu Han Bu itu biar pun amat
mantap dan kuat, namun lambat-lambat datangnya.
Karena tidak
melihat lawan dapat dipancing dengan gerakan lambat, Cu Han Bu menjadi tidak
sabar lagi. Dia mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang menggetarkan jantung
karena dia telah mengerahkan khikang-nya yang dihimpun ketika dia berlatih
suling, dia mulai menyerang dengan cepat!
Diam-diam
Kao Kok Cu merasa girang. Akan tetapi dia masih tetap mengelak ke sana-sini dan
sekali-kali menangkis dengan tangan kanannya dan hanya membalas serangan lawan
dengan cara sembarangan saja, dengan tamparan-tamparan tangan kanan yang
mengandung angin bersuitan.
Melihat
betapa lawannya bersikap tenang dan seperti tidak sungguh-sungguh. Cu Han Bu
mulai marah! Dia mulai mengira bahwa Si Naga Sakti Gurun Pasir ini memandang
ringan padanya! Gerakannya dipercepat hingga makin lama gulungan sinar keemasan
itu menjadi makin lebar, dan tubuhnya lenyap sama sekali dalam bungkusan
gulungan sinar!
Kao Kok Cu
menanti sampai gerakan itu tiba pada kecepatan puncak, kemudian tiba-tiba dia
membentak dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, seperti sebatang anak panah,
atau seperti seekor naga terbang, menyerang ke depan, dan lengan baju kirinya
yang ‘kosong’ itu bergerak-gerak dan seperti hidup!
Melihat ini,
Cu Han Bu cepat menusukkan sabuk emasnya. Akan tetapi sabuk itu dapat ditangkap
dan dilibat oleh lengan baju kiri itu yang hidup seperti seekor ular yang
membelit, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan otomatis gerakan sabuk itu
pun terhenti. Cu Han Bu terkejut dan menjadi nekat, menghantamkan tangan
kirinya.
Akan tetapi
inilah kekeliruannya, karena pada saat itu Naga Sakti Gurun Pasir sedang mempergunakan
Ilmu Sin-liong-hok-te dan kekuatan mukjijat memasuki tubuhnya, maka begitu
pendekar ini menangkis dengan tangan kanannya, dua tangan bertemu di udara dan
akibatnya, tubuh Cu Han Bu terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan sabuk
emas itu patah menjadi dua, yang sepotong masih dipegang dan yang sepotong lagi
berada dalam libatan lengan baju Naga Sakti Gurun Pasir!
Cu Han Bu
bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah dan jelas dia
menderita luka dalam yang hebat. Sejenak dia terbelalak memandang kepada Kao
Kok Cu, kemudian mengerakkan tangannya hendak memukulkan sepotong sabuk emas
itu ke arah kepalanya sendiri!
“Wuuuut....
tranggg....!”
Sepotong
sabuk emas itu terpental dan terlepas dari pegangan, disambar potongan sabuk
emas yang meluncur dari lengan baju Kao Kok Cu yang menyambitkannya ketika
melihat bekas lawan itu hendak membunuh diri.
“Hanya kaum
pengecut sajalah yang tidak berani menghadapi kekalahan dalam hidup!” terdengar
suara Kao Kok Cu berkata, suara yang menggetar dan mengandung penuh kekuatan,
sedemikian dahsyatnya sehingga seluruh benda di sekitar tempat itu pun ikut
tergetar.
Cu Han Bu
terkejut, memandang ke bekas lawannya dan menarik napas panjang, lalu jatuh
terduduk, bersila dan memejamkan matanya. Kao Kok Cu membiarkan saja dia
demikian itu seketika lamanya, oleh karena dia maklum bahwa kalau tidak
cepat-cepat majikan lembah itu mengumpulkan hawa murni, dia tentu takkan dapat
tertolong lagi. Cu Pek In lari menghampiri ayahnya, akan tetapi sebelum dia
menyentuh ayahnya dia dicegah oleh Cu Seng Bu yang memegang lengan gadis itu.
Cu Pek In memandang ayahnya dengan air mata menetes di kedua pipinya.
Suasana amat
menyedihkan dan mengharukan hati keluarga Kao Kok Cu. Mereka ini tahu bahwa
dengan berhasilnya mereka melaksanakan perintah kaisar, mereka pun berarti
menghancurkan kebahagiaan keluarga Cu ini! Mereka merasa menyesal sekali, akan
tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki kembali. Mereka bertiga
memandang ke arah Cu Han Bu, seperti yang dilakukan oleh Cu Seng Bu dan Pek In,
dan mereka menanti.
Tak lama
kemudian, pernapasan yang tadinya memburu itu menjadi semakin tenang dan
akhirnya terdengar Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu membuka matanya dan
pertama kali dia menggerakkan mata, dia memandang ke arah Kao Kok Cu.
“Terima
kasih, Naga Sakti Gurun Pasir, bukan karena engkau telah menyelamatkan aku,
melainkan karena engkau telah mengingatkan aku yang hampir menjadi pengecut.
Engkau benar, dan aku tidak akan takut menghadapi kegagalan. Kami telah kalah.
Nah, dengarlah. Pedang itu berada pada muridku yang bernama Sim Hong Bu. Dialah
yang berhak mewarisi pedang itu bersama ilmunya. Dan sekarang, dialah yang berhak
atas pedang itu, bukan kami.“
Kao Cin
Liong merasa kecewa karena tadinya dia mengharapkan bahwa kemenangan itu akan
membuat keluarga ini menyerahkan pedang pusaka itu kembali. “Dan di mana adanya
Sim Hong Bu itu, Lo-enghiong?”
Cu Han Bu
tersenyum pahit. “Goan-swe, engkau boleh menangkapku, membunuhku, akan tetapi
jangan harap akan dapat memaksa kami menjadi pengkhianat-pengkhianat yang
mengkhianati dia yang menjadi muridku dan pewaris pedang pusaka kami!”
Cu Seng Bu
dan Cu Pek In juga menentang pandang mata dengan sikap menantang. Kao Kok Cu
maklum bahwa tiada gunanya memaksa karena orang-orang gagah seperti ini tentu
akan lebih suka menyerahkan nyawa dari pada harus mengkhianati orang sendiri.
“Satu
pertanyaan lagi, Saudara Cu Han Bu. Perlukah aku menggeledah di lembah ini
untuk mencari Sim Hong Bu?”
Cu Han Bu
memandang dengan sinar mata tajam. “Percuma, dia tidak berada di sini.”
“Biar aku
akan mencarinya di sini, Ayah,” kata Cin Liong, tetapi ayahnya mencegah.
“Tidak
perlu, Cin Liong. Saudara Cu Han Bu sudah mengatakan bahwa dia tidak ada di
lembah ini. Dia sudah mengatakan sejujurnya dan aku yakin dia mempunyai cukup
kehormatan untuk tidak membohongi kita. Mari kita pergi, kita akan mencari
sendiri Sim Hong Bu!” Setelah berkata demikian, Kao Kok Cu menjura ke arah
mereka dan berkata, “Perkenankan kami pergi dari sini, Saudara Cu, dan maafkan
semua perbuatan kami.”
Kao Kok Cu
bersama anak isterinya hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Cu Han Bu bangkit
dan berkata dengan suara parau, “Kao Kok Cu!” Pendekar itu bersama isteri dan
puteranya berhenti dan membalikkan tubuh, memandang dengan alis berkerut.
“Dengarlah!
Hari ini kami keluarga Cu kalah olehmu, akan tetapi ingat, murid kami Sim Hong
Bu yang kelak akan membuktikan bahwa kami tidak kalah olehmu, dan pedang
Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka kami itu yang akan mengalahkanmu! Nah, mulai
sekarang, aku dan Adikku akan mengasingkan diri sesuai dengan janji, menjadi
hwesio dan bertapa di tempat sunyi. Biarlah murid kami itu yang kelak
membalaskan kami. Pek In, antarkan tamu sampai menyeberang!”
Dengan muka
pucat dan mata basah air mata, Cu Pek In memandang dengan mata penuh kebencian
kepada keluarga Kao, lalu berkata, “Mari!” Dia pun lalu berjalan dengan tubuh
ditegakkan, menuju ke arah jurang penyeberangan.
Kao Kok Cu
dan anak isterinya mengikutinya karena mereka maklum bahwa kalau pihak tuan
rumah menghendaki, sukar bagi mereka untuk dapat keluar dari lembah itu tanpa
bahaya. Andai kata dirusak saja jembatan tambang itu, berarti mereka tidak tahu
bagai mana harus keluar dari lembah yang terasing dari dunia luar dan hanya
dihubungkan dengan dunia luar melalui jembatan tambang itu saja.
Tanpa
mengeluarkan kata-kata, kemudian Pek In memberi isyarat kepada para penjaga.
Jembatan tambang diangkat naik, gadis itu pun meloncat ke atas jembatan tambang
itu diikuti oleh tiga orang tamunya. Setelah mereka semua tiba di seberang,
gadis itu lalu berkata dengan sikap kaku, “Selamat jalan!”
Kao Cin
Liong merasa kasihan. “Selamat tinggal, Nona, dan maafkan kami.”
Akan tetapi
gadis itu telah meloncat kembali ke atas jembatan tambang dan berlari cepat,
kembali menuju ke lembah. Kao Kok Cu lalu menarik napas panjang. “Sungguh
sayang, Cin Liong, kita sudah menanam bibit kebencian di dalam hati keluarga
yang demikian gagahnya.”
“Kita berada
dalam tugas, Ayah, bukan urusan pribadi,” kata Cin Liong tenang.
“Benar!
Kalau mereka itu benar-benar orang gagah tentu menyadari hal itu. Urusan ini
urusan tugas perintah, bukan urusan pribadi, akan tetapi kalau mereka
menganggap sebagai permusuhan perorangan dan mendendam kepada kita, adalah
karena ketololan mereka sendiri!” kata Wan Ceng yang wataknya masih belum
berubah, yaitu keras dan berani.
Kao Kok Cu
menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyangkal kebenaran ucapan isterinya
dan puteranya, betapa pun juga, dia tahu bahwa bagi sebuah keluarga yang hebat
seperti keluarga Cu itu, nama merupakan hal yang amat penting dan sekarang
mereka itu kehilangan nama, oleh karena itu sudah pasti mereka merasa sakit
hati. Pendekar ini masih mendengar ancaman Cu Han Bu dan dia sudah menganggap
nama Sim Hong Bu sebagai nama yang mungkin kelak akan menimbulkan kesukaran
baginya dan keturunannya.
Agaknya Wan
Ceng dapat membaca kekhawatirannya di wajah suaminya, maka nyonya ini berkata
dengan gagah, “Bekerja tidak boleh kepalang tanggung! Barusan kita telah
mengalahkan keluarga itu, dan kini, bagaimana pun juga kita harus bisa
mendapatkan orang yang bernama Sim Hong Bun itu dan merampas pedang pusaka
istana sebelum urusan menjadi berlarut-larut.”
Kao Cin
Liong mengangguk. “Ucapan Ibu benar sekali, dan saya kira murid mereka itu
tentu tidak berada jauh dari lembah ini!”
Demikianlah,
tiga orang itu lalu mulai mencari jejak Sim Hong Bu, akan tetapi karena mereka
belum pernah melihat wajah pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu, tentu saja
tidak mudah bagi mereka. Apalagi, seperti kita ketahui, pemuda itu
menyembunyikan diri dalam sebuah goa rahasia untuk melatih ilmu Pedang
Koai-liong Kiam-sut sampai sempurna.
Dan karena
selama beberapa hari mereka menyelidiki tempat-tempat sekitar lembah itu, maka
mereka melihat munculnya Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang baru kembali dari
perjalanan mereka mengunjungi Sai-cu Kai-ong. Tiga orang itu bersembunyi,
kemudian membayangi Yu Hwi dan Cu Kang Bu.
“Dia....
bukankah dia itu Ang-siocia, murid dari Hek-sin Touw-ong....?” Ceng Ceng atau
Wan Ceng berbisik kepada suaminya.
Kao Kok Cu
mengangguk. Kini dia pun ingat, itulah gadis yang dulu pernah membantu mendiang
ayahnya, yaitu Jenderal Kao Liang ketika ayahnya itu ditawan Pangeran Nepal di
sebuah benteng yang amat kuat. Gadis liar yang banyak akalnya dan yang pada
dasarnya mempunyai watak yang gagah perkasa dan baik, seperti yang telah
dibuktikannya ketika membantu ayahnya itu.
“Dan pria
itu.... mungkinkah dia Sim Hong Bu?” bisik Cin Liong dengan jantung berdebar
penuh harapan.
Pria itu
nampak gagah perkasa, tinggi besar seperti raksasa dan memang pantaslah kalau
menjadi murid keluarga Cu yang berilmu tinggi, walau pun raksasa ini agaknya
sudah terlalu tua untuk menjadi murid mereka.
“Hemm,
mungkin saja. Lihat, mereka menuju ke jurang pemisah lembah,” bisik Kao Kok Cu.
“Sebaiknya
kita bertanya secara terus terang saja. Heiii, tunggu dulu....!” Wan Ceng
berseru dan meloncat keluar, diikuti suaminya dan puteranya.
Yu Hwi dan
Cu Kang Bu yang sedang berjalan dengan asyik dan mesranya, sambil bergandengan
tangan dan bercakap-cakap diseling senyum mesra, terkejut sekali dan cepat
mereka saling melepaskan tangan dan membalikkan tubuh memandang kepada tiga
orang yang muncul secara tiba-tiba itu.
Seorang
pendekar seperti Si Naga Gurun Pasir tentu saja sukar dapat dilupakan orang, terutama
sekali karena lengannya tinggal sebelah itu. Demikian pula dengan Yu Hwi,
begitu melihat pendekar ini, dia terkejut sekali dan teringat, apalagi setelah
dia melihat Wan Ceng, maka dengan gagap saking kaget dan juga gembiranya dia
lantas berseru, “Bukankah.... bukankah saya berhadapan dengan Naga Sakti Gurun
Pasir, Kao Kok Cu Taihiap bersama isteri?”
Ucapan
kekasihnya ini membuat Cu Kang Bu juga terkejut bukan main. Pernah dia
mendengar nama besar seperti nama tokoh dalam dongeng ini, dan kekasihnya
pernah pula bercerita tentang pertemuan kekasihnya dengan pendekar sakti dan
isterinya ini ketika kekasihnya membantu mendiang Jenderal Kao Liang, ayah dari
pendekar sakti ini.
“Ingatanmu
kuat sekali, Nona. Benar, aku adalah Kao Kok Cu dan ini adalah isteri dan
putera kami.”
“Hemm,
engkau tentu Ang-siocia, bukan?” Wan Ceng berkata sambil memandang tajam wajah
gadis itu, akan tetapi lalu dia memandang wajah Cu Kang Bu sambil bertanya
penuh curiga, “Dan siapakah dia ini?”
Ang-siocia
atau Yu Hwi tertawa mendengar disebut nama julukannya yang sudah lama sekali
tidak pernah didengarnya, yang hampir dilupakannya itu. “Ahhh, Bibi yang gagah
perkasa, saya tidak berjuluk Ang-siocia lagi. Lihat, pakaian saya tidak merah,
bukan? Dan dia ini adalah....” Wajahnya berubah dan dia tidak melanjutkan kata
‘tunangan’ itu. “.... bernama Cu Kang Bu.”
“Ahhh....!”
Cin Liong berseru, kecewa.
“Apakah
masih saudara dengan sahabat-sahabat Cu Han Bu dan Cu Seng Bu?” tanya Kao Kok
Cu.
Cu Kang Bu
yang sudah lama mengagumi nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sudah cepat menjura
dengan hormat dan menjawab, “Mereka itu adalah kakak-kakak saya dan saya merasa
terhormat sekali dapat bertemu dengan Kao-taihiap yang nama besarnya sudah lama
saya dengar dari..... tunangan saya ini.“
Mendengar
bahwa laki-laki gagah perkasa dan bertubuh raksasa ini adalah adik dari
keluarga Cu yang merahasiakan di mana adanya Sim Hong Bu yang membawa pedang
pusaka itu, Wan Ceng yang cerdik cepat bertanya, “Saudara Cu Kang Bu, dapatkan
engkau memberitahu kami di mana adanya Sim Hong Bu....?”
“Sim Hong
Bu....?” Kang Bu dan Yu Hwi berkata heran, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Mereka tidak
tahu mengapa keluarga ini bertanya tentang murid itu, dan mereka meragu apakah
mereka boleh memberitahukan kepada orang lain karena pemuda itu sedang
menyembunyikan dirinya untuk menggembleng diri dan melatih ilmu pedang sampai
sempurna. Bukankah Sim Hong Bu mempunyai tugas yang amat berat, yaitu kelak
dialah yang harus mengangkat kembali nama keluarga lembah, dan menandingi, atau
kalau mungkin mengalahkan Suling Emas?
Selagi
mereka meragu, terdengar suara nyaring di belakang mereka. “Paman, jangan
beritahukan! Ayah dan Paman Seng Bu telah terluka oleh mereka dan sedang
menanti kedatangan Paman!”
Kiranya yang
bicara itu adalah Cu Pek In yang memandang ke arah keluarga Kao itu dan dengan
sinar mata penuh kebencian. “Mereka ingin merampas pedang pusaka kita, dan
kalau mereka tahu di mana adanya dia, tentu akan dirampasnya pedang itu!”
Cu Kang Bu
memandang dengan mata terbelalak, sedangkan Yu Hwi memandang pendekar sakti dan
isterinya itu dengan wajah terheran-heran. “Bagaimana Ji-wi dapat melakukan hal
seperti itu? Aku.... aku tidak peccaya....”
Kao Kok Cu
menarik napas panjang. “Kami adalah utusan Kaisar yang ingin supaya pedang
pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana itu dikembalikan.”
Mengertilah
kini Yu Hwi dan dia pun menjadi serba salah. Akan tetapi Kang Bu sudah menarik
tangannya. “Mari, Hwi-moi, kita menengok kedua kakak kita yang terluka.” Dan
mereka bertiga lalu lari ke arah jurang, menyeberangi jurang melalui jembatan
tambang, meninggalkan tiga orang keluarga Kao yang hanya dapat memandang saja.
“Agaknya tak
mungkin dapat diharapkan dapat menemukan Sim Hong Bu itu melalui mereka, dan
harus dicari lebih jauh lagi!” kata pendekar itu yang lalu mengajak anak
isterinya untuk meninggalkan lembah.
Akan tetapi
mereka mencari terlalu jauh. Tak lama sesudah Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke
lembah, dengan hati-hati sekali Cu Kang Bu lalu meninggalkan lembah untuk pergi
ke goa tempat persembunyian Sim Hong Bu dan dia mengajak pemuda itu untuk pergi
ke lembah. Keluarga Cu berduka cita, bukan hanya karena Cu Han Bu dan Cu Seng
Bu kalah bertanding dan terluka parah, akan tetapi juga karena keputusan dua
orang tokoh itu untuk selanjutnya mencukur gundul kepala mereka dan hidup
sebagai pertapa yang mengasingkan diri!
“Sebelum
kami berdua mencukur rambut dan kemudian meninggalkan tempat ini untuk
mengasingkan diri sebagai pendeta, aku ingin terlebih dahulu menunaikan
kewajibanku meresmikan pernikahan kalian, Kang Bu dan Yu Hwi. Keadaan kita
sedang prihatin, oleh karena itu maafkanlah saudara tuamu ini bahwa terpaksa
pernikahan kalian tidak diramaikan, cukup disaksikan oleh para pembantu murid
kita di lembah dan dilakukan upacara sembahyang kepada leluhur kita. Sesudah
itu, kalian berdualah yang kami serahi untuk mengurus lembah ini. Akan tetapi kalau
kalian menghendaki untuk tinggal di tempat lain, terserah, asalkan semua anak
buah dibubarkan lebih dulu dan jembatan yang menghubungkan lembah ini keluar
dimusnahkan. Dan aku titip Pek In kepada kalian….” Cu Han Bu berhenti sebentar
dan menarik napas panjang untuk menekan hatinya yang terharu melihat Pek In
menangis terisak-isak.
“Dan engkau,
Sim Hong Bu. Engkau adalah murid kami, juga pewaris pedang pusaka keluarga Cu.
Bahkan engkau satu-satunya pewaris Ilmu Pedang Koa-liong Kiam-sut. Engkau
sekarang menjadi buronan pemerintah, karena kaisar telah mengirim utusan untuk
merampas pedang pusaka. Bersumpahlah bahwa engkau akan mempertahankan pedang
pusaka kami itu, demi menjunjung nama keluarga kami!”
“Teecu
bersumpah, Suhu,” kata Hong Bu dengan suara tegas. “Dengan taruhan nyawa, teecu
akan mempertahankan pedang ini!”
“Bagus,
hatiku lega mendengar itu. Dan engkau mempunyai tugas yang amat berat, Hong Bu.
Selain mempertahankan pedang, juga untuk membela nama baik keluarga Cu dan
Lembah Suling Emas yang terpaksa kita rubah menjadi Lembah Naga Siluman ini,
kelak engkau harus membuktikan bahwa Koai-liong-kiam (Pedang Naga Siluman)
tidak kalah terhadap Kim-siauw (Suling Emas). Carilah Kam Hong dan ajaklah dia
bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih unggul antara kalian, dengan
demikian harapan kami selama ini tidak akan sia-sia.”
Tentu saja
Hong Bu sudah pernah mendengar akan hal ini, hal yang sungguh membuat hatinya
tidak enak. Dia amat kagum dan suka kepada Kam Hong, dan kenyataan bahwa dia
kelak harus berhadapan dengan pendekar itu sebagai musuh, sungguh membuat
hatinya tidak enak. Apalagi kalau dia teringat kepada Ci Sian yang menjadi
sumoi dari pendekar besar itu! Akan tetapi, dia maklum bahwa dia tidak dapat
menolak permintaan suhu-nya ini.
“Baik, Suhu.
Pesan Suhu ini pasti akan teecu penuhi.”
“Masih ada
lagi, muridku. Engkau melihat sendiri betapa Suhu-Suhu-mu telah terluka dan
terpaksa menjadi hwesio karena dikalahkan oleh keluarga Naga Sakti Gurun Pasir.
Aku yakin bahwa jika engkau sudah menyempurnakan latihan-latihanmu, engkau akan
mampu mengalahkan dia. Maka aku menghendaki agar kelak engkau mencari Naga
Sakti Gurun Pasir. Atas nama kami, balaslah kekalahan kami untuk mempertahankan
kehormatan nama keluarga Cu!”
Sebenarnya,
di lubuk hatinya, Sim Hong Bu tidak setuju dengan sikap suhu-nya. Suhu dan
susiok-nya ini kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir bukan karena urusan pribadi
seperti yang mereka ceritakan kepadanya tadi. Keluarga Kao itu datang sebagai
utusan Kaisar dan kalau dalam pertandingan perebutan pedang itu keluarga Cu
kalah, hal itu sudah wajar karena dalam setiap pertandingan tentu ada yang
kalah dan ada yang menang. Pula, apa jeleknya kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir
yang namanya dipuja-puja seperti tokoh dewa dalam dongeng?
Tetapi dia
tahu, suhu dan keluarga suhu-nya memang amat keras kepala, tidak dapat menerima
kekalahan karena terlalu lama terbiasa dengan anggapan bahwa keluarga mereka
adalah keluarga yang tidak pernah terkalahkan, keluarga yang menyimpan rahasia
ilmu-ilmu dahsyat, dan nenek moyang mereka yang menciptakan benda-benda pusaka
seperti Suling Emas dan Pedang Naga Siluman.
Cu Han Bu
melihat keraguan muridnya dan diam-diam dia merasa agak malu juga. Dia agaknya
dapat membaca apa yang menjadi keraguan hati muridnya, maka dia berkata lagi,
“Hong Bu, ketahuilah bahwa kami tidak memiliki dendam sakit hati pribadi
terhadap Naga Sakti Gurun Pasir. Pertentangan antara mereka dan kami hanya
kebetulan saja karena puteranya menjadi jenderal dan utusan Kaisar. Akan
tetapi, jika engkau sebagai murid dan pewaris keluarga kami tidak
memperlihatkan bahwa kita tidak kalah oleh mereka, tentu dunia kang-ouw akan
menganggap bahwa nama keluarga Cu adalah nama kosong belaka.”
“Baiklah,
teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan,” akhirnya Hong Bu menjawab dan
diam-diam dia mengeluh dalam hatinya karena selain dia kini karena pedang itu
telah menjadi buronan pemerintah, juga dia sudah terlanjur berjanji akan
menghadapi dua orang pendekar yang paling sakti di dunia ini!
“Ada satu
hal lagi, muridku. Yaitu mengenai diri Sumoi-mu, Pek In. Telah kupikirkan
dalam-dalam hal ini untuk waktu lama sekali. Aku akan merasa berbahagia sekali
kalau kelak Pek In dapat menjadi isterimu, Hong Bu.”
Tentu saja
Pek In menjadi malu dan menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan
jantungnya berdebar-debar tegang.
Sebaliknya,
wajah Hong Bu menjadi pucat, kemudian merah. Tak disangkanya gurunya akan
membicarakan hal itu secara terbuka. Dia tahu betul bahwa sumoi-nya jatuh cinta
kepadanya, dan dia pun sudah dapat menduga dari sikap suhu-nya bahwa suhu-nya
juga setuju untuk mengambil dirinya sebagai mantu. Akan tetapi dia sendiri
menyayang Pek In hanya sebagai murid suhu-nya. Tanpa disengajanya, tiba-tiba
saja wajah Ci Sian terbayang di depan matanya.
“Suhu....
tentang hal ini.... teecu.... teecu sama sekali masih belum berpikir soal….
soal perjodohan....”
Cu Han Bu
menarik napas panjang. “Hong Bu, kukatakan tadi bahwa aku akan merasa
berbahagia kalau kelak engkau dapat berjodoh dengan Pek In. Tentu saja aku sama
sekali tidak memaksamu. Urusan perjodohan adalah urusan dua orang dan terserah
kepada kalian, aku tadi hanya mengatakan akan berbahagia kalau kalian
berjodoh....“ Sampai di sini, Cu Han Bu memberi isyarat membubarkan pertemuan
itu oleh karena kesehatannya belum pulih benar dan terlalu banyak bicara
mendatangkan rasa nyeri di dadanya.
Demikianlah,
pernikahan antara Yu Hwi dan Cu Kang Bu dilangsungkan dengan sangat sederhana,
dengan pesta antara keluarga dan anak buah lembah itu tanpa dihadiri oleh
seorang pun dari luar lembah, serta disaksikan arwah nenek moyang mereka yang
mereka sembahyangi. Dan pada keesokan harinya, Sim Hong Bu harus meninggalkan
lembah, membawa bekal emas dan perak secukupnya dan menyembunyikan pedang
pusaka itu di balik jubahnya. Dua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu
sendiri yang mengantarnya sampai ke luar dari lembah.
Kemudian,
beberapa hari sesudah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu pergi menuju ke sebuah kuil
yang berada di puncak sebuah bukit dekat lembah, lalu disaksikan oleh para
hwesio mereka menggunduli rambut, menjadi hwesio lalu melakukan perjalanan
untuk mengasingkan diri mereka, sesuai dengan janji mereka terhadap Si Naga
Sakti Gurun Pasir!
Yu Hwi dan
Cu Kang Bu kini menjadi majikan lembah. Akan tetapi baru sebulan setelah
menikah, mereka telah ditimpa suatu peristiwa yang membingungkan hati mereka,
yaitu lenyapnya Cu Pek In dari lembah! Di dalam kamar gadis itu mereka
menemukan sehelai surat yang mengabarkan mereka bahwa gadis itu hendak pergi
menyusul dan mencari Sim Hong Bu dan minta agar paman dan bibinya tidak
mencarinya!
Cu Kang Bu
menjadi bingung sekali. Dia yang diserahi untuk mengurus Pek In oleh kakaknya,
akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa gadis itu untuk kembali? Setelah
berunding dengan isterinya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk tinggal diam
saja sambil manyimpan surat itu.
“Pek In
jatuh cinta dan merasa ditinggalkan Hong Bu, maka dicari pun tidak akan ada
gunanya,” demikian Yu Hwi berkata. “Dia sudah dewasa dan memiliki ilmu
kepandaian cukup, maka perlu apa khawatir? Biarlah dia merantau memperluas
pengetahuannya. Keputusan hati seorang gadis yang jatuh cinta tidak mungkin
dirubah lagi dan percuma saja kalau kau cari dia juga.”
Demikianlah,
Cu Kang Bu tidak pergi mencari Pek In karena dia dapat mengerti akan kebenaran
kata-kata isterinya. Andai kata dicari dan dapat dia temukan, apakah dia akan
menggunakan kekerasan memaksa Pek In tinggal di lembah? Tidak mungkin! Dia tahu
bahwa keponakannya itu bukan hanya suka memakai pakaian pria, akan tetapi juga
mempunyai kekerasan hati, kadang-kadang melebihi pria.....
***************
“Suhu....”
Kakek itu
membuka matanya dan memandang dengan sinar mata sayu. Kakek itu kurus sekali
dan mukanya pucat, tanda bahwa selain jarang makan, juga kakek ini kurang
memperoleh sinar matahari. Memang sudah lama Sai-cu Kai-ong, kakek yang pernah
menjadi Raja Pengemis dan menjadi tokoh kang-ouw yang disegani ini,
mengasingkan diri di sebuah kamar di gedung besar seperti istana kuno itu, di
Puncak Bukit Nelayan, seorang diri saja. Hidupnya terasa hampa setelah dia
bertemu dengan cucunya, Yu Hwi yang telah memilih suami lain. Dia tidak ingin
apa-apa legi selain menanti kematian.
Hidup ini
baginya banyak dukanya dari pada sukanya, banyak kecewanya dari pada puasnya.
Kekecewaannya yang terbesar adalah karena dia merasa bahwa dia adalah seorang
yang tidak berbakti, seorang yang tidak dapat memenuhi kehendak mendiang
ayahnya, mendiang nenek moyangnya. Dia telah gagal menjodohkan keturunan Kam
dengan keturunan Yu, dan ini baginya merupakan pukulan berat, merasa bahwa
dirinya put-hauw (tidak berbakti), seorang yang murtad.
Kata
kebaktian masih selalu didengungkan orang, bahkan dianggap sebagai suatu sila
kehidupan manusia beradab yang amat penting. Kebaktian dianggap sebagai ukuran
kebudayaan, kesusilaan, bahkan kebaikan seseorang. Bagi kebanyakan orang tua,
kata ‘hauw’ atau bakti sering dijadikan semacam pegangan atau senjata untuk
menyerang anak-anaknya kalau anak-anak itu tidak menyenangkan hatinya, dan
anak-anak itu, karena takut dianggap tidak berbakti atau murtad, maka mereka
itu memaksa diri untuk melakukan apa-apa yang dianggap hauw (bakti) terhadap
orang tua!
Berbakti
adalah suatu sikap yang dipaksakan! Betapa tidak? Di balik kebaktian ini jelas
terkandung pamrih! Jika orang ingin berbakti, jelas bahwa dia berpamrih untuk
menjadi anak baik dan tentu karena anak yang berbakti itu mendapat berkah,
banyak rejekinya, terhormat, terpandang dan sebagainya. Apakah artinya sikap
berbakti kalau di dalam hati nuraninya tidak ada cinta kasih?
Kalau kita
mempunyai sinar cinta kasih dalam batin kita, terhadap orang lain pun kita
berhati penuh kasih, penuh iba, apalagi terhadap ayah bunda sendiri! Di mana
ada kasih, maka kata berbakti itu tidak ada lagi karena dalam setiap
perbuatannya terhadap orang tua, tentu penuh dengan kasih sayang yang tanpa
pamrih! Berbakti karena tahu bahwa berbakti itu baik dan sebagainya hanya
melahirkan sikap palsu dan dibuat-buat, melahirkan perbuatan dan ucapan yang
tidak sama dengan isi hatinya. Hanya karena ingin berbakti, maka terjadilah
kenyataan betapa mulut tersenyum berkata-kata halus sungguh pun di dalam hati
memaki-maki. Pada lahirnya memberi ini dan itu padahal di dalam hatinya tidak
rela!
Hal ini
dapat kita lihat pada diri kita sendiri, pada kanan kiri kita, melihat
kehidupan seperti apa adanya, menelanjanginya dan tidak tertipu oleh kulitnya
belaka. Akan tetapi, kalau batin kita penuh cinta kasih, maka tidak akan ada
caci maki di dalam hati, tidak ada rela atau tidak rela. Yang ada hanyalah
kasih sayang saja!
Betapa kita
manusia di dunia ini sudah kehilangan api cinta kasih! Kita mengorek-orek
abunya dan mengejar-ngejar asapnya belaka. Kita rindu akan cinta kasih, ingin
semua manusia di dunia ini, ingin seluruh isi mayapada ini, ingin para dewata,
malaikat dan Tuhan, mencinta kita! Kita haus akan cinta kasih karena di dalam
diri kita kehilangan cinta kasih itu! Kita mencari-cari dan mengejar-ngejar
melalui kebaktian, kewajiban, menjadi orang baik, memuja-muja dan sebagainya
lagi. Akan tetapi yang kita kejar-kejar itu hanyalah asapnya.
Cinta kasih
tak mungkin dikejar-kejar, tak mungkin dapat diusahakan supaya ada, tak mungkin
dapat dikuasai dan diikat, tak mungkin dapat dilatih seperti pengetahuan mati!
Cinta kasih datang dengan sendirinya kalau batin kita terbuka, peka dan kosong,
dalam arti kata bersih dari pada segala keinginan dan perasaan si-aku, yaitu
keinginan untuk senang dan perasaan-perasaan iri, benci, marah, takut dan
sebagainya.
Kita tidak
mungkin memiliki batin yang peka dan ‘terbuka’, kalau masih ada kotoran-kotoran
dari si-aku, yaitu pikiran yang selalu menjangkau, mencari-cari, mengejar dan
menginginkan segala sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, lahir mau pun
batin. Barulah kalau batin kita sudah penuh dengan sinar cinta kasih, segala
perbuatan kita adalah benar, tidak pura-pura, tidak palsu, tanpa pamrih, wajar
dan bersih seperti keadaan anak kecil yang belum dikuasai oleh aku-nya.
Ada yang
berkata, “Tidak mungkin itu!”
Nah,
siapakah yang berkata demikian itu? Marilah kita lihat baik-baik. Bukankah yang
berkata itu adalah sang aku yang ingin baik, ingin dipenuhi cinta kasih, lalu
melihat bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa segalanya yang dianggapnya
menyenangkan itu? Kita dapat mengamati ulah tingkah si-aku ini setiap saat
dalam diri kita sendiri, dan ini merupakan langkah pertama ke arah
kebijaksanaan.
“Suhu....!”
Kam Hong berkata lagi ketika melihat betapa kakek itu memandangnya seperti
orang sedang mimpi, seolah-olah tidak mengenalnya lagi. “Suhu, teecu adalah Kam
Hong….”
“Kam
Hong....? Engkau Siauw Hong....?”
“Benar,
Suhu, teecu adalah Siauw Hong,” kata Kam Hong dengan hati terharu. Tak
disangkanya bahwa suhu-nya yang biasanya bertubuh tegap dan bersikap gagah
penuh semangat itu, yang menghadapi dunia dengan hati ringan, kini kelihatan
demikian tua dan lemah seperti orang kehilangan semangat.
“Dan Nona
ini siapa....?”
“Teecu
adalah Bu Ci Sian, Locianpwe,” jawab Ci Sian yang tadi masuk bersama Kam Hong.
Mendengar suara
dara yang demikian nyaring dan bersih, Sai-cu Kai-ong membuka matanya lebih
lebar. Kalau saja Yu Hwi yang berlutut di samping Kam Hong itu, pikirnya!
“Suhu, dia
ini adalah Sumoi teecu, kita sama-sama mempelajari ilmu sejati dari Suling
Emas,” kata Kam Hong.
Sai-cu
Kai-ong terbelalak. “Apa….? Apa maksudmu? Apakah itu ilmu sejati dari Suling
Emas? Bukankah engkau keturunan langsung dari Suling Emas, keluarga Kam?”
Dengan sabar
Kam Hong lalu menceritakan semua pengalamannya di Pegunungan Himalaya, betapa
dia bertemu dengan Ci Sian dan mereka berdua tanpa disengaja telah bertemu
dengan jenazah kuno dari tokoh yang membuat suling emas, dan betapa dari
jenazah itu mereka berdua menemukan ilmu sejati dari pencipta suling emas
sehingga mereka menjadi kakak beradik seperguruan. Kemudian, dengan hati-hati
sekali Kam Hong lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yu Hwi di Lembah
Suling Emas.
Kakek Itu
menarik napas panjang. “Aku sudah tahu, Siauw Hong. Yu Hwi telah datang ke sini
bersama tunangannya....”
“Cu Kang
Bu....?”
“Benar, dan
memang harus diakui bahwa pilihannya itu tidak keliru, akan tetapi tetap saja
hatiku penuh kekecewaan bahwa ikatan perjodohan itu putus....”
“Harap Suhu
suka tenangkan diri. Urusan jodoh tidak dapat dipaksakan, Suhu. Dan bukankah
kata orang bahwa jodoh berada di tangan Tuhan? Anggap saja bahwa tidak ada
jodoh antara teecu dan Yu Hwi dan hal itu tidak perlu dijadikan penyesalan
benar.”
Sai-cu
Kai-ong tersenyum pahit. “Ah, engkau tidak tahu betapa hal itu menjadi idaman
nenek moyang kami sejak dahulu...., akan tetapi sudahlah. Yang sudah terjadi
tidak mungkin diubah lagi. Siauw Hong, sekarang, ke mana engkau hendak pergi?
Ketahuilah bahwa Sin-siauw Sengjin telah meninggal dunia beberapa tahun yang
lalu, di tempat pertapaannya, di puncak tak berapa jauh dari sini. Aku sendiri
yang telah mengurus pemakamannya, di puncak itu juga.”
Kam Hong
menarik napas panjang. Berita ini tidak mengejutkan hatinya sebab memang kakek
itu sudah tua sekali. Akan tetapi sedikit banyak dia pun merasa terharu. Kakek
itu bersusah payah merahasiakan keturunan Kam, kemudian mendidiknya sebagai
guru kedua sesudah Sai-cu Kai-ong, dengan penuh kasih sayang.
“Teecu akan
bersembahyang ke makam beliau, kemudian teecu berdua Sumoi akan pergi ke daerah
Sin-kiang....”
“Hemm,
engkau baru saja tiba dari Pegunungan Himalaya dan kini hendak pergi ke daerah
Sin-kiang? Ada keperluan apakah di tempat liar itu?”
“Teecu
hendak mengantar Sumoi mencari sarang gerombolan Hek-i-mo....”
“Ah....?”
Bekas Raja Pengemis itu nampak terkejut bukan main. “Hek-i-mo....? Sungguh
berbahaya sekali. Mau apa kalian hendak ke sana?”
“Locianpwe,
Ibu teecu tewas karena penyakit yang diderita setelah Ibu bertentangan dengan
Hek-i-mo,” jawab Ci Sian.
“Hemm, jadi
urusan balas dendam, ya?” Kakek itu bertanya, nada suaranya seperti orang kesal
dan memang sesungguhnya dia merasa bosan karena sebagian besar dari pada
hidupnya dia hanya menghadapi soal balas dendam saja di dalam dunia kang-ouw
dan dia merasa muak dengan hal itu.
“Bukan itu
saja yang terutama, Locianpwe. Teecu berpendapat bahwa jika gerombolan liar dan
jahat macam Hek-i-mo tak dibasmi, maka lebih banyak orang lagi, orang-orang
tidak berdosa, akan menjadi korban mereka. Dahulu Ibu pernah gagal, biarlah
sekarang teecu sebagai anaknya melanjutkan usaha yang mulia itu, membersihkan
dunia dari gerombolan jahat. Dan Kam-suheng sudah sanggup untuk membantu
teecu.”
Sai-cu
Kai-ong menarik napas panjang. “Yah, kalian masih muda dan bersemangat besar.
Akan tetapi, Siauw Hong, yakin benarkah engkau dan Sumoi-mu ini bahwa kalian
akan mampu menghadapi Hek-i-mo? Ingat, entah sudah berapa banyaknya pendekar-pendekar
yang tewas di tangan mereka sehingga sampai kini pun tidak ada lagi yang berani
mencoba-coba menentangnya.”
“Tentu saja
sebelum melihat kekuatan mereka, teecu tidak yakin, Suhu. Betapa pun juga,
untuk menentang kejahatan dan membantu Sumoi, teecu sanggup dan berani.”
“Ci Sian,
kalau mendiang Ibumu pernah berani menentang Hek-i-mo, tentu engkau keturunan
keluarga yang hebat. Siapakah nama Ayahmu?”
Ditanya
ayahnya, Ci Sian cemberut dan hatinya tidak senang. Siapa akan merasa senang
mengaku Bu Seng Kin sebagai ayahnya kalau orang itu demikian gila wanita dan
mempunyai isteri yang tidak kepalang banyaknya? Dia malu berayah Bu Seng Kin!
Melihat
keraguan sumoi-nya, Kam Hong lalu mewakilinya menjawab, “Sumoi adalah puteri
dari Bu Taihiap yang bernama Bu Seng Kin....“
“Ahh, pantas
kalau begitu!” Sai-cu Kai-ong berseru girang. “Kiranya Ayahmu adalah pendekar
besar itu!”
Akan tetapi
Ci Sian sama sekali tidak kelihatan girang atau bangga dan hal ini dianggap
oleh kakek itu sebagai sikap rendah hati yang amat baik. Setelah bercakap-cakap
selama setengah hari, dan dalam kesempatan mana Ci Sian memasakkan makanan yang
enak-enak untuk Sai-cu Kai-ong yang seakan-akan sudah memperoleh kembali
kegembiraannya dalam pertemuan ini, mereka lalu mohon diri. Dan setelah
mendapat keterangan di mana letak makam Sin-siauw Sengjin, Kam Hong bersama Ci
Sian meninggalkan puncak Bukit Nelayan itu, diantar oleh Sai-cu Kai-ong sampai
ke depan pintu dan kakek ini memandang ke arah dua orang muda itu sampai mereka
lenyap dari pandangan mata.
Sai-cu
Kai-ong menarik napas panjang dan berkata lirih, “Jelas bahwa dia mencinta dara
itu. Puteri Bu Taihiap! Dan Yu Hwi berjodoh dengan penghuni Lembah Suling Emas!
Memang sayang sekali ikatan jodoh mereka itu putus, akan tetapi keduanya
memperoleh pengganti yang sama sekali tidak mengecewakan. Semoga Yu Hwi hidup
bahagia dengan suaminya dan Siauw Hong hidup bahagia dengan gadis she Bu itu.”
Kam Hong
melakukan upacara sembahyang sederhana di depan makam Sin-siauw Sengjin,
diikuti juga oleh Ci Sian yang sudah mendengar penuturan suheng-nya itu tentang
diri kakek yang luar biasa itu. Mereka bermalam di makam itu semalam, dan pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka menuruni puncak dan mulailah mereka
dengan perjalanan mereka menuju ke Sin-kiang, daerah barat yang liar itu, untuk
mencari Hek-i-mo, gerombolan penjahat yang dikabarkan amat ganas dan lihai sekali
bagaikan segerombolan siluman. Perjalanan yang jauh, sukar dan berbahaya.
Kita
tinggalkan dulu perjalanan kedua orang muda itu dan mari kita menengok dan
berkenalan dengan yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo. Gerombolan ini bersarang
di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang terletak di perbatasan antara propinsi
Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam)
amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan
yang menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu.
Tidak ada
perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua
perusahaan pengawal dari kedua propinsi itu semua mengenal dan bersahabat
dengan Hek-i-mo. Mereka semua dengan sikap hormat menyerahkan sejumlah ‘pajak’
atau ‘hadiah’ kepada perkumpulan ini agar pekerjaan mereka terjamin lancar.
Bukan hanya
mereka yang berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja
yang bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh
dibilang sudah dikuasai oleh perkumpulan ini. Pembesar yang bersahabat dengan
Hek-i-mo tentu akan dilindungi. Oleh karena itu, bukan merupakan pemandangan
aneh kalau orang melihat satu dua orang anggota Hek-i-mo yang dikenal dari
pakaian mereka yang serba hitam, berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang
atau Cing-hai sekali pun, dan menerima ‘sumbangan’ dari toko-toko yang besar.
Belasan
tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo terus merajalela tanpa ada yang berani
menentangnya. Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang sudah berusaha
menentang kekuasaan hitam ini, namun satu demi satu para pendekar penentang itu
roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorang pun dapat menandingi
Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk
menyerahkan nyawa begitu saja.
Karena
daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah
terdengar memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan
tak pernah merampok karena mereka ini tak pernah kekurangan ‘penghasilan’, maka
tentu saja Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan tahun tanpa terganggu.
Di manakah
letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang
kakek yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan
tahun ini dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja
Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju hitam-hitam dan tubuhnya yang
seperti raksasa itu memang menyeramkan.
Kulit
tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur
Kozak, ayahnya seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han. Wajahnya
dapat dikatakan tampan dan gagah, akan tetapi sepasang matanya yang kebiruan
itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis, mengandung
ejekan yang memandang rendah siapa pun juga. Raksasa ini rambutnya sudah putih
semua, dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh
tahun, lima belas tahun yang lalu ketika dia pertama kali muncul di barat,
rambutnya pun sudah putih.
Dahulu,
sebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia
menggunakan she Phang yang menjadi she ibunya. Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu
kepandaian yang amat hebat! Selain ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang
amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang dipelajarinya
dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan
mula-mula memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh
dan menundukkan orang-orang.
Phang Kui
ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu,
dia tak mau mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan
merajalela di antara orang-orang jahat. Ditundukkannya semua perampok, bajak
sungai, maling-maling dan semua orang jahat, ditundukkannya pula semua
perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran, semua
ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti
dan kalau orang sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga
menjadi takut!
Phang Kui
menjadi ‘rajanya’ orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong! Dan mulailah
orang-orang jahat mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau
sembarangan memilih orang. Dia akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari
golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang dipilihnya,
yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat. Dia
mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi
pasukan yang amat kuat, karena masing-masing anggota merupakan seorang ahli
silat yang tangguh di samping mempelajari satu dua macam ilmu hitam.
Semenjak
itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggotakan lima puluh orang yang
tangguh sekali. Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang
terdiri dari orang-orang yang tadinya sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di
antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini dianggap sebagai
murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I
Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i
Mo-ong. Delapan orang murid inilah yang mengurus segala urusan, dan juga
mengepalai serta menggembleng anggota-anggota Hek-i-mo.
Sedangkan
Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung
yang cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah
bersemedhi, makan enak, pesta-pesta, dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada
delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu silat atau ilmu hitam. Hanya
kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar
sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup
diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo saja.
Akan tetapi,
sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tak pernah menikah, walau
pun di bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan
orang wanita muda dan cantik yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan
atau selir-selirnya! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan pengejar wanita,
tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah ‘hadiah-hadiah’ dari kepala
perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar! Dia tidak menolaknya dan
mengumpulkan wanita-wanita muda itu, akan tetapi hanya jarang-jarang dia
menggauli mereka.
Juga Hek-i
Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tak ada yang beristeri, sungguh pun
usia mereka sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan
berarti mereka tidak mau berdekatan dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau
terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu bagi mereka hanyalah
alat bersenang-senang, tiada lain!
Dan agaknya
apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik, maka wanita itu sudah pasti
akan terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, mau pun ilmu silat atau ilmu
sihir. Betapa pun juga, suhu mereka sudah memperingatkan dengan keras para
murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga pembesar atau keluarga golongan
‘sahabat-sahabat’ mereka dan hanya membatasi pada wanita-wanita dusun dan
wanita-wanita gunung saja.
Malam itu
adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu,
Hek-i Mo-ong tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih semedhi di
tempat terbuka, untuk menampung sinar bulan purnama yang mempunyai hikmat untuk
memperkuat ilmu hitam mereka.
Tetapi tidak
seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena
ada urusan penting yang harus ditanganinya sendiri, yaitu dengan ditawannya tiga
orang musuh yang berani datang menentang Hak-i-mo! Biar pun yang manghadapi
musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang menawan juga murid-muridnya,
akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka,
harus dia sendiri yang menentukan.
Malam itu
bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius
memandikan permukaan bumi, dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput
di belakang rumah gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak
aneh dan mendatangkan hawa dingin yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali
suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di belakang gedung.
Semenjak
tadi para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul. Mereka memang disuruh berkumpul
di tempat itu untuk menyaksikan ‘pengadilan’ yang akan disidangkan untuk
menjatuhkan hukuman kepada tiga orang tawanan. Karena sebagian dari mereka
bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul hanya sekitar tiga
puluh orang, yang membentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu,
seperti pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki
terpentang dan kedua lengan di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga
puluhan orang itu telah berubah menjadi arca. Pakaian mereka yang hitam membuat
keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang
saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan
kelihatan sama sekali. Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna
hitam.
Kemudian di
bagian dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak
sebuah lingkaran lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat
lima meter, dan lingkaran itu pun merupakan lingkaran segi delapan yang
dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa (Segi Delapan).
Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun,
rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang
berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti arca, tanpa bergerak, duduk mereka
bersila dan kedua lengan terletak di atas paha.
Di
tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar berwarna
merah, dan tak jauh dari situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki
tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo, juga mereka semua mengenakan
pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai sebuah gelang warna
kemerahan. Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga mereka
nampak lebih menyeramkan dari pada para anak buah yang tidak memakai penutup
kepala, melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta
tosu.
Tak lama
kemudian, tiga puluh lebih anggota Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki
terpentang itu, tiba-tiba menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu
merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke arah belakang gedung dengan
sikap bagaikan pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga delapan
orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka
dari dalam dan dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan
langkah tenang.
Memang Ketua
Hek-i-mo ini sangat menyeramkan. Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya
yang serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya
seperti benang-benang perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya
tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu dibiarkan awut-awutan di atas
kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi mungkin
cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis.
Setelah
memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar
merah yang telah tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua
tangan ke depan hidung, dengan tangan dirangkapkan seperti orang menyembah.
Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua mereka atau juga guru
mereka.
Lingkaran
itu cukup terang di bawah sinar bulan purnama. Hek-i Mo-ong memandang ke arah
tiga tawanan yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring. Tiga orang
tawanan itu adalah tiga orang yang berpakaian ringkas seperti biasa dipakai
oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat puluh tahun,
seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis
berusia kurang lebih dua puluh tahun. Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah
terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada luka-luka berdarah di beberapa
bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali tidak
memperlihatkan rasa takut, bahkan pada saat Hek-i Mo-ong muncul, mereka
memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.
“Siapakah
dia?” Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu.
Salah
seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang
kumisnya amat lebat menutupi mulutnya, lalu berkata, “Namanya Cia Khun, adik
dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning.”
Hek-i Mo-ong
mengangguk-angguk. “Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang
Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri.
Dan orang seperti kalian ini, dengan kepandaian yang rendah, berani mencoba
untuk menentang kami? Sekarang kau sudah tertawan, mau bilang apa lagi?”
“Hanya
hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!” Kakek
yang bernama Cia Kun itu membentak.
Hek-i Mo-ong
tersenyum lebar. “Dan pemuda itu?” tanyanya tak acuh.
“Putera dari
mendiang Cia-piauwsu,” jawab muridnya yang berkumis tebal.
“Gadis itu?”
“Puterinya.”
“Keduanya
belum menikah?”
“Belum.”
“Sayang,
sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati
atau menebus nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!”
“Iblis!”
Kakek itu memaki. “Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andai kata
punya sekali pun, tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik
kami mati!”
Hek-i Mo-ong
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she
Cia, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat melarang?”
“Bunuhlah!
Siapa takut mampus?” Kakek itu membentak dengan mata melotot.
Dua orang
keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapa pun juga,
ngeri hati mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini. Mereka bertiga dengan nekat
datang untuk membalaskan kematian Cia-piauwsu, yaitu ketua perusahaan
pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh delapan orang
murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga
kalah semua, luka-luka dan tertawan. Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah
sehebat itu, apalagi kepandaian gurunya ini.
Hek-i Mo-ong
mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di
antara delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah.
Seorang murid yang duduk di bagian belakang menyanggupi, lalu meloncat bangun
dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan memasuki rumah dari pintu
belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam maka
dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis! Tak lama kemudian
dia sudah datang lagi membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah
lilin yang cukup banyak.
Hek-i Mo-ong
mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang
itu menyala! Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biar pun
malam itu ada angin lembut bertiup, namun lilin yang bernyala itu sama sekali
tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak bergerak.
Sambil
tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin
tadi dengan kedua tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin
itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu membentuk lilin-lilin putlh
menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang tawanan
itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis!
Ketiga
tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan
manusia iblis itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak
kecil saja, membuat boneka di saat menyeramkan seperti itu. Akan tetapi delapan
orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti murid-murid yang sedang
mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggota Hek-i-mo yang kini sudah ikut
duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang
dengan takjub dan penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau
mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani bergerak.
Setelah
selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah
boneka dari lilin putih itu di depannya sambil menyeringai girang. Mendadak
tangan kirinya digerakkan ke arah para tawanan. Angin dahsyat menyambar dari tangannya,
membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan.... beberapa helai
rambut mereka beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini. Hek-i Mo-ong telah
mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara
luar biasa sekali! Dan tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala
boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua ini, dan tiga orang tawanan itu
mulai merasa seram karena mereka sudah mendengar bahwa kepala gerombolan ini
adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri.
Setelah
tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah
tiga orang tawanannya. “Lepaskan belenggu mereka!” perintahnya.
“Tapi, Suhu,
mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!” kata Si Kumis
Tebal.
“Ha-ha-ha,
tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!” jawab kakek ini,
lalu dia menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepala tiga buah boneka itu
dan benar saja, setelah ketiga orang tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka
tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan, walau pun mereka tidak merasakan
nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah dan
hanya memandang pada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.
“Ha-ha-ha,
murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biar pun aku bukan seorang ahli
pembuat boneka, akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah
boneka ini adalah mereka bertiga, bukan? Kekurang sempurnaan pembuatan boneka
ini dapat disempurnakan dengan pemasangan rambut asli mereka di kepala boneka
masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam Boneka.
Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan
lihatiah.”
Kakek itu
lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas
boneka-boneka itu. Semakin lama kedua tangannya gemetar semakin hebat dan
mulutnya mengucapkan mantera-mantera dalam bahasa Tibet kuno. Dan delapan orang
muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh perhatian, dengan mata yang
hampir tidak pernah berkedip.
Dan
terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di
depan kakek itu mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di
kepala boneka-boneka itu yang bergerak-gerak seperti tertiup angin, dan agaknya
gerakan rambut ini lalu menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan mulailah
boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh. Dan ketiga orang
tawanan itu, yang kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan
gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan boneka-boneka itu, atau mungkin
sebaliknya, yaitu bagaimana pun mereka bergerak, boneka-boneka itu ikut pula
bergerak.
“Lihat
baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari
hanya teorinya saja, dan kita sekarang memperoleh kesempatan untuk
mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah, aku mulai dengan
laki-laki yang tua itu.”
Dia
mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri
sedangkan tangan kanannya kemudian mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia
mengucapkan mantera, dan mendadak dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah
telapak tangan boneka.
Terdengar
suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk
memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga
tangan boneka tertusuk jarum itu yang mengeluarkan sedikit darah.
Hek-i Mo-ong
terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri
ketika dia melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah.
Dia menancapkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan
kakek itu kembali mengeluh dan telapak tangan kanannya mengucurkan darah
seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua tangannya
kini telah terluka berdarah, akan tetapi biar pun begitu, dia masih memandang
kepada Hek-i Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian.
Hek-i Mo-ong
bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah
keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh
mereka. Mula-mula ke arah kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya,
pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak mematikan dan seluruh tubuh
kakek itu mengeluarkan darah. Di bagian tubuh boneka yang tertusuk nampak
bintik-bintik darah, tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi
seluruh pakaiannya.
Akan tetapi
kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua
rasa nyeri. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa
kakek itu berkelojotan tanpa mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih
ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh kebencian. Ada keinginan hatinya
untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia hendak
menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh
tubuhnya penuh luka-luka dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi
semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan menanti datangnya maut saja.
Hek-i Mo-ong
agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka sekarang dia menusukkan
jarumnya ke dada boneka sampai tembus. Kakek tawanan mengeluarkan sekali jerit
tertahan, tubuhnya berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah,
tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai lemas dan tak bernyawa lagi.
Sejak tadi
dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh
kengerian dan jantung berdebar-debar tegang. Mereka berdua juga tidak mampu
menggerakkan kaki tangan, seolah-olah ada tali yang tak nampak masih
membelenggu mereka. Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak bergerak lagi,
mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan
perasaan lega karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka
lalu menujukan pandang mata mereka kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian,
sedikit pun mereka tidak merasa takut walau pun mereka berdua maklum bahwa
nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.
“Ha-ha-ha,
kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan
seribu tail perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian,” berkata Hek-i
Mo-ong, masih mencoba untuk membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja
uang sebanyak itu jauh lebih penting dari pada nyawa dua orang yang tidak ada
artinya itu.
Akan tetapi,
dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang
sebanyak itu, juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.
“Hek-i
Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?” Pemuda itu berteriak
marah dan berusaha untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk
dan menyerang kakek itu. Akan tetapi usahanya sia-sia saja karena setiap kali
kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang membuatnya
lumpuh kembali.
“Bagus, kau
mau main gagah-gagahan? Nah, rasakan ini!” Kakek itu lalu menggunakan jarumnya
yang telah menewaskan kakek tawanan tadi untuk menusuk-nusuk kepala boneka
pemuda itu. Tusukannya tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk mendatangkan
rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu.
Tiba-tiba
saja pemuda itu dapat bergerak, mencengkeram dengan kedua tangannya pada
kepalanya, menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak
tertahankan lagi. Dan dari balik rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran
darah yang menetes-netes di leher dan mukanya. Mengerikan sekali.
Hek-i Mo-ong
adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan
darah dan kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar
sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa sakit-sakit dan gatal-gatal,
bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas.
Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan
tetapi dia lebih tersiksa dari pada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak
Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang sudah berbintik-bintik merah,
dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya.
Terdengar
jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan....
semua mata, terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda
itu. Sekarang tubuh pemuda itu, terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput,
mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya makin lemah dan
tubuhnya mulai meleleh, seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya
boneka lilin yang terkena api itu. Bau sangit menusuk hidung.
Bukan hanya
gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan
para anggota Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat.
Mereka itu ketakutan, membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka
terhukum oleh ketua mereka seperti itu. Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang
tidak berubah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh kegembiraan dengan
demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang sangat mengerikan itu. Akhirnya Hek-i
Mo-ong melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak
bekas tubuh pemuda itu yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang
mengeluarkan bau keras.
“He-he-he-he,
bagaimana, Nona? Apakah engkau masih hendak berkeras kepala? Jika engkau mau
berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!”
“Siluman
keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku
sekejam itu? Kau kira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah,
akan tetapi jangan harap aku akan tunduk kepadamu, Iblis berwajah manusia!”
Kakek itu
tidak marah, hanya terkekeh. “Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka
yang telah mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat
dipergunakan untuk mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga pikiran mereka.
Lihatlah, aku akan membikin percobaan dengan gadis ini.”
Mendengar
ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang
memakai sehelai rambutnya itu. Mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di
dalam pandang matanya, namun ia tetap tidak sudi untuk menakluk.
Kakek itu
mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke
bibirnya dan dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata
sebentar, lalu disemburkan arak itu ke arah boneka yang dipegangnya, dan dengan
sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia menatap ke arah wajah
boneka, mulutnya berkemak-kemik. Nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis!
Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo
memandang kepada gadis itu untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru
mereka.
Gadis itu
mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua
tangannya bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan
tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya terengah-engah dan sikapnya seperti orang
kepanasan. Makin lama, rintihannya makin sering dan keras, dan bangkitlah ia,
matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam
kamar seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu
sampai tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya.
la lalu
bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu
membuka matanya. Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian
dari gadis tadi, melainkan sepasang mata yang penuh gairah! Dan seperti
tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri
Hek-i Mo-ong, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan
belaian kedua tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu
seolah-olah telah berubah menjadi gila, atau seorang yang kehausan karena nafsu
birahi.
“Ha-ha-ha-ha!”
Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan
tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ,
memijit sedikit semut-semut itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan
itu pada boneka lilin.
Semut-semut
yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu
menjerit-jerit lirih, tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk
sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang bulat itu menggeliat-geliat,
berkelojotan. Melihat ini, kalau Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja dengan
dingin, delapan muridnya sudah memandang dengan mata melotot dan mulut berliur,
mereka mulai terserang gairah nafsu menggelora. Melihat keadaan murid-muridnya
ini, Hek-i Mo-ong malah tertawa.
“Heh-heh-heh,
kalau kalian mau, bawalah ia. Akan tetapi sesudahnya, ia harus mati agar kelak
tidak mendatangkan mara bahaya bagi kita.”
Seperti
delapan ekor serigala dilepas dari kurungan, delapan orang murid kepala itu
nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang merupakan murid tertua
atau pimpinan dari Hek-i Pat-mo, lalu meloncat dan menyambar tubuh telanjang
gadis itu, dipanggulnya dan setelah menjura kepada Hek-i Mo-ong, dia lalu
meloncat pergi diikuti oleh tujuh orang adik-adik seperguruannya. Terdengar
suara ketawa mereka, biar pun bayangan mereka sudah tidak nampak lagi dan
pandang mata para anggota Hek-i-mo mengikuti bayangan mereka tadi dengan
pandang mata penuh iri!
Akan tetapi,
ketua mereka lalu menyuruh membersihkan tempat itu dan menyingkirkan dua mayat
itu. Kemudian, dengan langkah gontai seolah-olah sedang berjalan-jalan dan
tidak pernah terjadi sesuatu, Hek-i Mo-ong meninggalkan tempat itu untuk
kembali ke gedungnya. Dia sudah menghukum tiga orang musuh yang berani
melawannya, juga telah mendemonstrasikan kepandaian ilmu hitamnya.
Pertama
untuk melatih dan memberi petunjuk kepada Hek-i Pat-mo, dan kedua untuk membuat
para anggotanya semakin tunduk dan takut. Dia tahu bahwa gadis itu tentu akan
tewas karena tidak mungkin dapat bertahan hidup setelah dikuasai oleh delapan
orang murid kepala yang telah dikuasai oleh nafsu birahi yang menggelora itu.
Dan dia tersenyum. Sekali-kali perlu juga semangat delapan orang muridnya itu
dibangkitkan agar gairah hidupnya makin besar dan kesetiannya kepadanya semakin
menebal.
Demikianlah
keadaan Hek-i-mo yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong Phang Kui. Kakek ini bukan
hanya lihai sekali ilmu sihirnya yang berdasarkan ilmu hitam, tetapi kabarnya
juga amat lihai ilmu silatnya. Bahkan Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid
kepala itu pun hampir tak pernah menemui tandingan. Entah sudah berapa puluh
atau ratus kali kaum pendekar atau mereka yang memiliki ilmu silat dan mencoba
menentang Hek-i-mo, harus mengalami kekalahan terhadap delapan orang murid
kepala ini. Sebagian besar di antara para pendekar yang berani menentang mereka
akhirnya mengalami kematian menyedihkan, dan hanya sedikit yang dapat lolos
dengan menderita luka yang cukup hebat.
Pada suatu
malam bulan purnama yang sunyi. Angkasa bersih sekali sehingga nampak bulan
purnama sepenuhnya, besar bulat dan terang tidak dihalangi sedikit pun awan
tipis sehingga bulan nampak anteng tidak pernah bergerak dengan latar belakang
langit yang hitam pekat di mana nampak bintang-bintang yang sinarnya menjadi
lemah dan layu oleh sinar bulan. Tidak ada angin bersilir di padang rumput itu.
Hek-i Mo-ong
duduk di atas setumpukan tengkorak manusia yang telah disusun menjadi tumpukan
piramida yang menuding ke atas. Hek-i Mo-ong duduk di puncak tumpukan itu, di
atas tengkorak paling atas. Amat mengherankan betapa dia dapat duduk bersila di
atas sebuah tengkorak saja dan tumpukan itu tidak sampai runtuh didudukinya.
Untuk dapat meloncat dan duduk tak bergerak di atas tumpukan tengkorak seperti
itu tentu saja membutuhkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat
tinggi.
Di
sekeliling kakek ini, di atas tumpukan tengkorak-tengkorak lain, akan tetapi
tumpukan ini jauh lebih kecil dan rendah, duduklah Hek-i Pat-mo, bersila
seperti suhu mereka pula, dan mereka itu duduk mengelilingi suhu mereka dalam
bentuk segi delapan. Kiranya Hek-i Mo-ong Phang Kui sedang melatih diri bersama
para murid-muridnya, bersemedhi untuk menerima dan mengumpulkan kekuatan yang
terkandung di dalam sinar bulan purnama untuk memperkuat kekuatan sihir mereka!
Kalau mereka
sedang berlatih seperti ini, tidak ada seorang pun anggota Hek-i-mo yang boleh
mendekat. Mereka itu hanya diwajibkan untuk menjaga di luar pekarangan itu. Dan
kalau mereka sedang berlatih seperti itu, suasananya menjadi amat menyeramkan,
seolah-olah di sekitar daerah itu terasa adanya hawa yang penuh dengan kekuatan
hitam yang mengerikan. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak, seolah-olah
alam berhenti dan mati. Yang menguasai alam di tempat itu adalah kesunyian yang
tidak wajar.
Akan tetapi,
kalau Hek-i Pat-mo bersila dengan tekun dan tenggelam dalam keheningan semedhi
yang mereka buat, sebaliknya Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Tingkat
kepandaian delapan orang muridnya belum mencapai tingkat setinggi yang
dimilikinya sehingga jika dia dapat merasakan datangnya getaran yang tak wajar,
murid-muridnya itu tidak mengetahuinya.
Hek-i Mo-ong
sudah sejak tadi sadar dari semedhinya dan dia memandang lurus ke depan, tidak
bergerak-gerak oleh karena dia sedang memperhatikan sekitar tempat itu, bukan
dengan matanya melainkan dengan telinga dan perasaannya yang amat peka di saat
itu. Dia tahu bahwa ada dua orang datang mendekati tempat itu, dua orang yang
dia tahu bukan orang sembarangan karena getarannya terasa amat kuatnya oleh
kepekaannya. Dia tahu bahwa dua orang yang dapat tiba di tempat itu, menembus
penjagaan para anggota Hek-i-mo tanpa diketahui sama sekali, tentulah
orang-orang yang berilmu tinggi.
Akan tetapi,
betapa heran hatinya ketika tiba-tiba muncul dua bayangan orang yang memang
telah diduganya, karena tidak seperti yang disangkanya, dua orang yang muncul
itu bukanlah orang-orang tua yang sepatutnya memiliki ilmu kepandaian tinggi,
melainkan dua orang muda, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis remaja! Dia
terkejut dan mengerahkan kekuatannya untuk menambah peka perasaannya, akan
tetapi perasaannya itu tidak membohonginya. Getaran yang amat hebat itu memang
datang dari dua orang muda yang telah berada di tempat itu!
Hek-i Mo-ong
masih diam saja. Dia ingin melihat apa yang hendak dilakukan oleh dua orang
muda itu. Yang dia herankan adalah betapa delapan orang murid kepala yang masih
bersemedhi itu sama sekali belum juga sadar. Hal ini saja sudah menjadi tanda
betapa lihainya dua orang muda ini, gerakannya sedemikian ringannya, jejak kaki
mereka tidak mengeluarkan sedikit pun bunyi sehingga delapan orang muridnya
yang amat lihai itu pun tidak dapat mendengar atau mengetahui apa-apa. Tanpa
menoleh, hanya mengikuti mereka dengan pendengarannya, Hek-i Mo-ong diam saja
dan terus memperhatikan.
Dua orang
itu nampak saling pandang, lalu keduanya mengangguk dan tiba-tiba saja mereka
berdua melakukan gerakan meloncat tinggi, melampaui delapan orang yang duduk
mengelilingi guru mereka dalam bentuk segi delapan itu dan ketika mereka berdua
turun, di depan Hek-i Mo-ong, hanya dalam jarak empat meter, kaki mereka sama
sekali tidak mengeluarkan suara! Dan bahkan setelah kedua orang itu berada di
dalam lingkaran delapan orang Hek-i Pat-mo itu, tetap saja Hek-i Pat-mo belum
juga sadar!
Melihat ini,
diam-diam Hek-i Mo-ong menjadi marah kepada delapan muridnya. Dia pun
mengerahkan tenaga dan dengan tenaga batinnya dia membentak murid-muridnya itu
yang tersentak kaget dan sadar dari semedhi mereka. Tentu saja mereka
terbelalak memandang kepada pemuda dan gadis yang telah berdiri di situ, di
dalam lingkaran mereka. Sungguh hal ini sangat mengejutkan hati mereka. Sejak
kapan dua orang itu memasuki lingkaran mereka tanpa mereka ketahui? Tentu guru
merekalah yang sudah melakukan ini, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja
mereka itu mendengar bisikan suara guru mereka di dekat telinga masing-masing.
“Mereka
adalah lawan-lawan lihai, hadapi mereka dengan kekuatan sihir untuk mencoba
mereka!”
Barulah
delapan orang itu terkejut bukan main. Maka mereka segera mengerahkan kekuatan
batin mereka, dan sekali mereka mengerahkan tenaga, tubuh mereka sudah melayang
turun dan mereka sudah berdiri mengepung dua orang muda itu dengan kedudukan
segi delapan. Akan tetapi mereka tidak turun tangan menyerang, melainkan bersedakap
dan mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera.
Pemuda dan
gadis itu memandang mereka dengan penuh kewaspadaan. Akan tetapi, alangkah
kaget hati gadis remaja itu melihat betapa delapan orang yang mengepung itu,
tiba-tiba saja mengeluarkan uap hitam dan tubuh mereka segera diselubungi uap
hitam yang tentu saja membuat tubuh mereka hilang dan tidak nampak. Di dalam
malam bulan purnama ini, peristiwa itu amat menyeramkan, seolah-olah delapan
orang itu sedang menghilang atau berubah menjadi asap hitam, seperti yang
terjadi pada setan-setan di dalam dongeng kuno.
Dua orang
muda itu adalah Kam Hong dan Ci Sian. Seperti kita ketahui, mereka memang pergi
ke barat mencari Hek-i-mo, musuh besar Ci Sian yang merasa sakit hati karena
ibunya telah meninggal akibat penyerbuannya kepada Hek-i-mo dan terluka oleh
gerombolan iblis itu. Di sepanjang perjalanan, dengan amat tekunnya Ci Sian
melatih diri dengan ilmu yang mereka dapatkan dari catatan pada mayat Pangeran
Cu Keng Ong itu.
Selain Ci
Sian memang berbakat, juga Kam Hong mengajar dan membimbingnya dengan penuh
kesungguhan hati, sehingga Ci Sian yang memang telah memiliki dasar dan bakat
yang amat baik itu mulai dapat menguasai ilmu silat dan ilmu meniup suling
berdasarkan pelajaran rahasia itu. Untuk keperluan ini, Kam Hong telah menyuruh
buat sebuah suling yang bentuknya sama benar dengan suling emas di tangannya,
juga suling ini terbuat dari pada emas, dibuat oleh seorang tukang pandai emas
yang amat berpengalaman. Hanya bentuk suling itu lebih kecil, untuk disesuaikan
dengan tenaga Ci Sian karena suling emas itu amat berat, lebih berat dari pada
pedang pusaka.
Ketika malam
itu mereka mendatangi sarang Hek-i-mo, kebetulan sekali mereka melihat kakek
iblis itu bersama delapan orang murid kepala sedang berlatih ilmu hitam, maka
dengan hati-hati sekali Kam Hong mengajak Ci Sian untuk menemui kakek itu. Dan
kini, melihat Ci Sian agak gentar menghadapi ilmu hitam dari delapan orang
Hek-i Pat-mo, Kam Hong segera mengerahkan khikang-nya dan tanpa mengeluarkan
suara, dia telah mengirim suaranya kepada Ci Sian.
“Sumoi,
jangan takut, itu hanya ilmu hitam, hadapi dengan tiupan sulingmu.”
Mendengar
bisikan suara suheng-nya ini, ketabahan hati Ci Sian timbul kembali. Ia lalu
mencabut suling emas dari ikat pinggangnya, dengan tenang ia menempelkan
bibirnya yang merah tipis itu ke lubang suling, jari-jari kedua tangannya siap
di lubang-lubang suling dan begitu ia meniup, terdengar suara lembut. Suara ini
bukan seperti suara suling, melainkan bagai suara desir angin semilir yang
menggerakkan daun-daun pohon dan menghidupkan suasana yang mati dan
menyeramkan.
Akan tetapi,
suara lembut seperti desir angin ini mengandung kekuatan yang dahsyat sekali,
yang mengejutkan hati Pat-mo (Delapan Iblis) itu dan membuyarkan kekuatan sihir
mereka sehingga uap hitam yang menyelubungi tubuh mereka pun perlahan-lahan
lenyap seperti asap yang tertiup angin! Nampaklah kembali tubuh mereka yang
masih berdiri dan bersedakap itu. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi juga
penasaran. Bagaimana seorang dara remaja hanya dengan suara sulingnya mampu
memecahkan pengaruh kekuatan sihir mereka? Mereka sudah siap untuk menerjang
dan menyerang gadis itu, akan tetapi terdengar suara Hek-i Mo-ong yang
terdengar penuh kekuatan khikang sehingga menggetarkan tempat itu.
“Pat-mo,
mundur!”
Delapan
orang murid kepala itu lalu membuat gerakan mundur secara otomatis, akan tetapi
tetap mereka itu membentuk lingkaran segi delapan, hanya kini di luar atau di
belakang guru mereka.
“Siapakah
dua orang muda yang datang mengganggu kami?” Pertanyaan Hek-i Mo-ong ini
terdengar manis, bahkan bersahabat.
Tetapi Kam
Hong yang sudah mendengar banyak tentang raja iblis ini, telah menasehati
sumoi-nya dan mereka berdua sudah berhati-hati dan waspada, mengerahkan tenaga
batin mereka untuk menolak semua pengaruh. Kam Hong membiarkan sumoi-nya yang
menghadapi musuhnya, maka dia pun diam saja mendengar pertanyaan itu, memberi
kebebasan kepada Ci Sian untuk menghadapi baik dalam percakapan mau pun dalam
pertempuran. Dia hanya akan membantu kalau memang sumoi-nya perlu dibantu saja.
Ci Sian maklum akan hal ini, maka mendengar pertanyaan itu ia pun lalu melangkah
maju.
“Apakah kami
berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, ketua dari gerombolan Hek-i-mo?” Suara Ci Sian
terdengar lantang dan bening, tanda bahwa sedikit pun ia tidak merasa gentar
menghadapi orang-orang yang menyeramkan itu.
Hek-i Mo-ong
tersenyum lebar. Dia sudah sering menyaksikan sikap para pendekar muda yang
datang dengan nyali besar, penuh keberanian namun yang pada akhirnya hanya akan
menemui kematian, atau jika bernasib mujur, dapat meloloskan diri dengan
membawa lari luka-lukanya. Dia tidak marah oleh sikap yang berani itu, malah
merasa gembira, bagaikan seekor kucing yang melihat lagak seekor tikus muda
yang penuh keberanian.
“Heh-heh-heh,
engkau benar, Nona. Aku adalah Hek-i Mo-ong, dan mereka delapan orang ini
adalah murid-murid dan wakilku yang disebut Hek-i Pat-mo.”
“Bagus!” Ci
Sian berseru girang. “Akhirnya aku dapat juga berhadapan dengan iblis-iblis
jahat yang telah menumpuk dosa. Hek-i Mo-ong, malam ini tibalah saatnya engkau
dan murid-muridmu menebus dosa-dosa kalian yang bertumpuk-tumpuk. Bersiaplah
engkau untuk mampus!”
“Aih-heh-heh-heh-heh,
sabar dulu, Nona. Kalau mata tuaku tidak menipuku, aku selama hidup belum
pernah bertemu denganmu, jadi tidak ada urusan antara kita. Mengapa engkau
datang dengan hati mengandung permusuhan? Siapakah engkau?”
“Hek-i
Mo-ong, ingatkah engkau akan nama Sim Loan Ci?”
Kakek itu
masih tersenyum lebar, dan alisnya berkerut. “Hemm, seolah-olah nama itu tidak
asing bagiku.... ya, tidak asing sama sekali, tentu pernah aku mendengarnya,
akan tetapi aku sudah lupa lagi di mana.... Sim Loan Ci? Siapa itu?”
“Belasan
tahun yang lalu, Sim Loan Ci pernah datang ke sini, bersama suaminya yang
bernama Bu Seng Kin....“
“Oohhh....
ahh, tentu saja! Bu-taihiap....! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang terkenal di seluruh
dunia itu, hanya untuk mengaku kalah olehku! Ha-ha, Bu-taihiap yang mata
keranjang dan lihai, juga isterinya yang lihai. Akan tetapi, mereka itu bukan
tandinganku! Hemm, Nona, aku memang mengenal mereka, dan apa hubunganmu dengan
mereka? Apa hubungannya kedatanganmu malam ini dengan mereka?”
“Engkau
telah melukai mereka!”
“Ha-ha-ha,
anehkah itu? Dalam setiap perkelahian, tentu akan ada yang luka atau mati. Aku
sudah lupa lagi. Terlalu banyak orang yang kulukai atau kubunuh, akan tetapi
yang aku ingat hanya bahwa mereka itu bukan tandinganku. Mungkin saja aku telah
melukai mereka. Habis, kenapa?”
“Ibuku, Sim
Loan Ci, tewas karena luka-luka itu! Sekarang aku, puterinya, datang untuk
membalas dendam atas kematian Ibuku itu!”
“Ha-ha-ha,
jadi engkau ini puteri mereka? Wah, pantas! Puteri Bu-taihiap, tentu saja
pandai dan perkasa. Sayangnya, Bu-taihiap itu terlalu sembrono, membiarkan
puterinya datang ke sini untuk mengantar nyawa saja. Kenapa tidak dia sendiri
yang datang ke sini? Aku lebih senang kalau dia datang sendiri ke sini sehingga
aku akan menghadapi lawan yang seimbang!”
Ci Sian
merasa dipandang rendah dan dia pun membentak, “Tua bangka sombong! Kau kira
akan dapat bebas dari tanganku?”
Gadis ini
pun sudah memasang kuda-kuda, tangannya yang kiri miring di depan dada
sedangkan sulingnya di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, menuding ke
langit. Itulah kuda-kuda yang merupakan jurus pembukaan, bernama Suling Emas
Menghadap Langit.
Melihat ini,
Hek-i Mo-ong tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada Hek-i Pat-mo.
Bagaikan iblis-lblis saja, delapan orang itu bergerak dan tahu-tahu mereka
telah menggerakkan kaki mereka, bukan berloncatan, melainkan menggeser kaki ke
depan membuat langkah aneh.
“Sett-sett
sett....!”
“Sumoi, biar
aku saja yang menghadapi Pat-mo ini, engkau bersiap saja menghadapi musuh besarmu!”
tiba-tiba Kam Hong berseru.
Pemuda ini
melihat bahwa biar pun tentu saja para murid ini tidak selihai gurunya, namun
dia dapat menduga bahwa mereka ini terlatih untuk menjadi satu barisan. Dan
satu barisan yang terdiri dari delapan orang sama sekali tidak boleh dipandang
ringan. Sebuah tin (barisan) dari delapan orang biasanya mempunyai bentuk segi
pat-kwa (segi delapan) dan pat-kwa-tin (barisan segi delapan) terkenal memiliki
perubahan-perubahan yang amat aneh dan hebat.
Seorang dara
seperti Ci Sian yang belum banyak pengalamannya dalam hal bertanding melawan
orang-orang pandai, sungguh berbahaya sekali kalau dibiarkan menghadapi
pat-kwa-tin sendirian saja. Pula, pihak lawan memakai siasat untuk melelahkan
lawan, yaitu mula-mula disuruh maju delapan murid itu, baru kemudian andai kata
delapan murid itu kalah, Si Guru yang akan maju. Kalau saja Ci Sian dibiarkan
maju menghadapi pat-kwa-tin, andai kata ia dapat menang sekali pun, tentu sudah
lelah dan kurang kuat untuk berhadapan dengan musuh besarnya.
Inilah
sebabnya, Kam Hong maju menggantikan sumoi-nya menghadapi Hek-i Pat-mo. Nanti
kalau Mo-ong maju, biarlah Ci Sian menghadapinya satu lawan satu sehingga lebih
mudah baginya untuk menjaga dan membantu apabila sumoi-nya kalah kuat.
Hek-i Mo-ong
terheran mendengar seruan pemuda itu, akan tetapi juga girang. Ketika dua orang
muda tadi muncul, yang dia khawatirkan adalah Si Pemuda. Dari sikapnya yang
pendiam, dari sinar matanya, dia dapat menduga bahwa pemuda itulah yang harus
diawasinya dan yang agaknya akan menjadi lawan tangguh. Kini, menghadapi
delapan orang muridnya, malah pemuda itu yang hendak maju dan agaknya pemuda
itu akan membiarkan sumoi-nya nanti melawannya. Biarlah, pikirnya lega, biar
murid-muridnya lebih dulu menguji Si Pemuda yang dia khawatirkan sebagai lawan
tangguh, dan andai kata murid-muridnya kalah, suatu hal yang tidak mungkin sama
sekali, tentu pemuda itu sudah terlalu lelah sehingga lebih ringan baginya
untuk merobohkan mereka berdua.
Juga Ci Sian
merasa heran mengapa suheng-nya malah hendak melawan delapan orang murid iblis
itu. Akan tetapi baginya, Kam Hong bukan hanya seorang suheng atau seorang
sahabat dalam perjalanan, melainkan juga seorang guru. Oleh karena itu, semua
saran Kam Hong tentu takkan dibantahnya dan mendengar ucapan suheng-nya itu, ia
pun sudah melompat ke belakang, berdiri tegak dengan suling siap di tangan
kanan.
Sementara
itu, Kam Hong sudah meloncat ke tengah lingkaran Pat-mo, dan sengaja membiarkan
diri dikurung sebelum mereka bergerak mengurung. Dengan demikian, dia dapat
berdiri tegak sambil memperhatikan semua perubahan yang mereka buat ketika
mereka mulai memperketat kurungan. Diam-diam dia memperhatikan dan dari
langkah-langkah kaki mereka, dia maklum bahwa delapan orang ini bukanlah
ahli-ahli ginkang yang sangat pandai sehingga dia tidak usah terlalu
mengkhawatirkan tentang kecepatan mereka.
Akan tetapi,
setiap langkah kaki, atau setiap geseran kaki, nampak demikian mantap dan kuat,
maka dia dapat menduga bahwa mereka semua rata-rata memiliki kekuatan sinkang
yang tidak boleh dipandang ringan. Dan dia melihat mereka itu tidak bersenjata,
juga tidak menyembunyikan senjata tajam di balik jubah hitam mereka.
Akan tetapi,
Kam Hong sama sekali tidak berani memandang rendah kepada pihak lawan.
Orang-orang yang tidak mempergunakan senjata dalam perkelahian, itu hanya
berarti bahwa orang itu telah memiliki tingkat kepandaian yang sedemikian
tingginya sehingga dia tidak membutuhkan senjata untuk membantunya, dan kaki
tangannya yang penuh dengan tenaga sakti itu merupakan senjata-senjata yang
cukup ampuh dan mematikan.
Setelah
delapan orang Hek-i Pat-mo itu bergerak-gerak memutari Kam Hong, kadang-kadang
berputar ke kiri lalu tiba-tiba berbalik ke kanan, jarak waktu perubahannya
menurut hitungan-hitungan tertentu, sesuai dengan ilmu barisan mereka ciptaan
Hek-i Mo-ong, pemuda ini memperhatikan dengan sudut matanya dan kekuatan
telinganya.
Tapi,
beberapa menit kemudian, pemuda ini terkejut karena dia merasa semangatnya
terbetot dan hampir saja kakinya ikut bergerak. Ada kekuatan mukjijat yang
membetot dan menariknya untuk mengikuti gerakan mereka, seperti orang-orang yang
melihat penari-penari yang lemah gemulai menggerak-gerakkan tubuh lalu timbul
keinginan untuk ikut menari. Cepat dia yang selalu waspada itu maklum bahwa
dalam gerakan-gerakan itu terkandung kekuatan ilmu hitam yang mukjijat.
Maka Kam
Hong memusatkan perhatiannya dan mengerahkan tenaga, membebaskan diri dari
pengaruh mukjijat itu sehingga pikirannya menjadi terang, pandang mata dan
pendengarannya menjadi terang kembali, tidak ada keinginan untuk mengikuti
gerakan mereka lagi. Kini dia berdiri tegak dan tenang, sama sekali tidak
bergerak, menanti gerakan lawan selanjutnya.
Bagaikan
delapan orang penangkap ikan yang merasa betapa jalanya yang mereka pasang itu
tidak mengenai ikan, atau ikannya telah lolos kembali dari jala begitu
menyentuhnya, mereka menghentikan gerakan memutar-mutar itu dan tiba-tiba saja
orang yang berada di depan Kam Hong sudah menyerangnya. Benar dugaan Kam Hong.
Laki-laki baju hitam di depannya itu menyerang dengan cengkeraman tangan kanan
dibarengi dengan totokan tangan kiri. Cengkeraman ditujukan ke arah kedua
matanya dan totokan itu menuju ke arah dada. Serangan ini hebat dan ganas,
mengandung tenaga sinkang yang kuat sungguh pun baginya tidaklah terlalu cepat.
Kam Hong
menghadapi serangan ini dengan tenang dan perhatiannya terhadap tujuh orang
lainnya tidak berkurang walau pun dia sedang menghadapi serangan dari depan.
Dan kewaspadaannya ini menolongnya. Cengkeraman serta totokan dari depan itu
ternyata hanyalah gerak pancingan belaka karena begitu Kam Hong mengelak dari
serangan lawan di depannya, secara otomatis lawan yang berada di belakangnya
telah menerjang dan menyerang dengan dahsyat, menghantam ke arah tengkuknya
dengan pukulan tangan miring yang amat kuat!
Seorang ahli
silat yang sudah memiliki tingkat seperti yang dimiliki Kam Hong telah memiliki
tubuh yang begitu hidup sehingga seolah-olah di belakang tubuh ada matanya.
Tanpa menoleh, ia tahu dengan persis bagaimana serangan itu datang
mengancamnya. Dengan hanya memutar tumit kakinya, dia sudah miringkan tubuh
sehingga sekarang serangan dari belakang itu tidak datang dari belakang lagi,
tetapi dari sebelah kanannya dan sekali Kam Hong mengangkat lengan, hantaman
itu tepat dapat ditangkisnya.
“Plakkk!”
Dan tubuh
orang itu terpental, seolah-olah tangannya tadi bertemu dengan baja yang amat
keras dan kuat, juga yang mengandung hawa dorongan kuat dan panas sekali!
Akan tetapi
kembali telah datang serangan bertubi-tubi dan susul-menyusul dari delapan
orang itu. Gerakan mereka bagai mesin yang sudah distel terlebih dahulu, begitu
teratur dan saling menyambung. Kam Hong sudah banyak pengalaman di dunia
kang-ouw, sudah pernah pula menghadapi barisan-barisan silat seperti itu, maka
dia tidak merasa gugup walau pun harus diakuinya bahwa barisan Hek-i Pat-mo ini
benar-benar amat lihai dan berbahaya. Dia membenarkan tindakannya mewakili
sumoi-nya tadi, karena biar pun tingkat kepandaian Ci Sian juga sudah tinggi,
tapi menghadapi pengeroyokan teratur seperti itu bisa membuat dara yang belum
banyak pengalaman itu menjadi gugup.
Delapan
orang itu terus bergerak-gerak, saling bantu dan saling sambung melakukan
penyerangan. Kam Hong juga menggerakkan tubuhnya, menangkis ke depan ke kanan
kiri dan belakang, ke delapan penjuru dan kadang-kadang dia mengelak.
Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan yang
bergerak cepat, tertutup oleh gerakan delapan bayangan hitam yang kadang-kadang
berputaran dan kadang-kadang berhenti di suatu tempat tertentu.
Dia tahu
bagai mana harus menghadapi barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan), maka
dia pun sejak tadi mainkan ilmu silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa)
yang pernah dipelajarinya dari Sin-siauw Sengjin, kakek pewaris ilmu-ilmu dari
Pendekar Suling Emas itu. Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) dan Pat-sian Kiam-hoat
(Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu warisan nenek moyangnya, dan karena ilmu
silat ini juga mempunyai dasar segi delapan, maka tentu saja amat tepat untuk
menghadapi barisan pat-kwa itu.
Tiba-tiba
terdengar suara berkerincing dan nyaring dan ternyata delapan orang kakek itu
telah menggerakkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan mereka.
Gelang yang berwarna hitam kemerahan. Dengan mengangkat tangan kanan ke atas
dan digetarkan, maka terdengarlah suara berkerincingan itu!
Sungguh aneh
sekali. Tadi mereka terus bergerak menyerang, dan tentu saja lengan kanannya
berikut gelang itu bergerak pula, akan tetapi tidak terdengar sesuatu. Akan
tetapi kini gelang itu mengeluarkan suara yang nyaring dan aneh. Agaknya ada
sesuatu pada gelang-gelang itu yang mengandung rahasia. Suara nyaring yang amat
halus itu seperti suara emas diketuk dengan nada tinggi dan menusuk telinga,
bahkan rasanya menyusup ke dalam jantung!
Akan tetapi
Kam Hong sudah mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak terpengaruh. Hanya kini,
delapan orang itu menyerangnya dengan gerakan yang sama, dan secara berbareng.
Delapan lengan tangan yang disertai gelang hitam kemerahan itu serentak
menyerangnya dengan gerakan yang sama dan berbareng, tapi dari delapan penjuru!
Melihat
delapan lengan yang amat kuat itu menonjok arah dadanya dari delapan penjuru
dan mendatangkan angin pukulan yang kuat, dia terkejut dan maklum bahwa
gabungan tenaga itu akan kuat bukan main. Dia tidak berani menghadapi dengan
kekerasan atau mengadu tenaga, maka tubuhnya mencelat ke atas dan delapan
tangan itu berhenti dari delapan penjuru, saling bertemu angin pukulan mereka
di tengah-tengah.
Akan tetapi,
melihat lawan mereka melayang ke atas, mereka itu pun cepat menyerang ke atas,
juga dengan gerakan yang sama. Angin pukulan dahsyat kini menyambar ke atas!
Kam Hong maklum bahwa dia akan kerepotan menghadapi gaya serangan seperti itu,
maka sambil meloncat, dia sudah mencabut suling emasnya dan berjungkir-balik,
kini meluncur turun, didahului gulungan sinar emas dari suling yang
diputar-putarnya.
Delapan
orang itu mengandalkan penggabungan tenaga mereka, berani menyambut datangnya
gulungan sinar emas itu, akan tetapi mereka terkejut ketika dari gulungan sinar
emas itu keluar hawa yang amat kuat, yang mendorong mereka dan membuat
penggabungan tenaga mereka buyar dan mereka terhuyung ke belakang. Cepat mereka
berloncatan untuk mematahkan tenaga dorongan, dan kini sudah berdiri mengepung
lagi dalam kedudukan pat-kwa, memandang pada benda mengkilap di tangan pemuda
itu dengan melongo.
Sementara
itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika
Ci Sian meniup suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau
menghubungkan suling itu dengan nama pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar
Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan sepak terjang
pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras,
“Suling Emas....!”
Kam Hong
memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya.
Dia tersenyum dan menjura, lalu berkata, “Tidaklah salah dugaanmu, Hek-i
Mo-ong. Aku bernama Kam Hong, keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang
mengantar sumoi-ku yang ingin membalas dendam kepadamu dan aku setuju karena engkau
dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang kudengar telah
melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa.”
Marahlah
Hek-i Mo-ong. “Bunuh dia!” bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam
Hong dan tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke
arah tenggorokan Kam Hong!
“Tikkk....!”
Benda itu
terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata
rahasia yang amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku
telunjuk yang panjang.
Mendengar
perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isyarat. Mereka
mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan
kiri mereka telah disambung dengan sebuah cakar setan yang berwarna hitam,
dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak perlu diragukan
lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas! Dan kini
mereka bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri
itu menyambar-nyambar dan tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang
bergelang hitam kemerahan itu pun menyambar-nyambar mengeluarkan suara
berkerincingan.
Menyaksikan
kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus
menang, pikirnya sambil melihat suheng-nya memutar suling emasnya. Kalau
suheng-nya kalah, ia sendiri pun tidak tahu apakah ia akan mampu menghadapi
iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali, dan ia
merasa menyesal mengapa suheng-nya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya,
yang lama….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment