Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 07
Senang
sekali Syanti Dewi bercakap-cakap dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya
mengandung makna mendalam. Maka mulailah dia dilukis. Dia cuma diminta duduk
dan bercakap-cakap seperti biasa saja, dan kakek itu setelah menerima sehelai
kain putih yang bersih dan kuat, lalu mulai melukisnya, sambil omong-omong
pula! Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya duduk santai saja seperti biasa
kalau dia bercakap-cakap.
Banyak hal
yang dibicarakan. Syanti Dewi teringat akan pengakuan kakek itu yang tidak
mempunyai tempat tinggal tertentu dan seorang perantau yang menikmati keindahan
alam semesta.
“Kau tentu
miskin sekali, Paman?”
Kakek itu
terbelalak memandang Sang Puteri lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, justru
sebaliknya, Nona. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaya di dunia
ini! Segala keindahan di dunia ini adalah untukku! Aku dapat menikmati alam
semesta di mana pun juga, tanpa memilikinya. Sekali orang memiliki sesuatu,
maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya
itu!”
“Ehh, apa
pula maksudmu, Paman?”
“Jelas
sekali. Begitu kita memiliki sesuatu, maka yang kita miliki itu akan kehilangan
keindahannya karena kita telah terjangkit penyakit tamak, ingin memiliki yang
lebih dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya menimbulkan sengketa,
persaingan, perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki, dialah yang akan
kehilangan dan agar jangan sampai kehilangan itu, kalau perlu dia akan
menjaganya dengan taruhan segala kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah
demikian?”
“Jadi, kau
tidak memiliki apa-apa, Paman?”
“Ha-ha-ha,
justru karena aku tidak memiliki apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah
untukku belaka!”
Syanti Dewi
masih belum mengerti betul akan inti dari semua kata-kata sastrawan itu.
Mendadak timbul pikirannya bahwa orang aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak
pengalamannya di dunia kang-ouw dan mengenal banyak orang sakti.
“Paman Pouw,
apakah Paman mengenal seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng dan isterinya
yang bernama Puteri Milana?” Dia memancing.
“Ah, tentu
saja! Kami adalah sahabat-sahabat baik dan sungguh menggembirakan kalau bicara
dengan Gak-taihiap dan keluarganya! Dia tinggal di Puncak Telaga Warna yang
indah di Pegunungan Beng-san.”
“Tentu Paman
mengenal pula keluarga Majikan Pulau Es, kalau begitu?”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Memang aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan macam
aku ini mana mungkin bisa berdekatan dengan mereka? Terlalu jauh.... terlalu
tinggi, dan aku tidak mampu membawa perahu mencapai Pulau Es. Tentu pendekar
sakti itu, Suma Han Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, kini telah
tua dan tidak pernah kudengar beritanya di dunia kang-ouw. Bahkan
putera-puteranya pun tidak terdengar beritanya. Agaknya sekarang semua pendekar
sedang menikmati ketenangan hidup di tempat masing-masing, sungguh pun belum
lama ini terjadi geger di dunia kang-ouw karena lenyapnya Pedang Pusaka Naga
Siluman dari istana kaisar.”
Dengan
singkat namun jelas sastrawan itu lalu bercerita sekedarnya tentang pedang
pusaka yang kabarnya dilarikan maling sakti ke Pegunungan Himalaya itu dan
betapa banyak orang kang-ouw melakukan pengejaran ke sana untuk memperebutkan
pedang pusaka keramat itu.
“Akan
tetapi, kurasa pendekar-pendekar sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu
tidak akan merendahkan diri memperebutkan pedang pusaka itu,” tambahnya.
Syanti Dewi
mendengarkan dengan hati tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang sejak tadi
berada di ujung lidahnya, diajukan dengan suara yang dibikin setenang mungkin,
“Paman Pouw, pernahkan Paman mendengar atau bertemu dengan seorang tokoh
Kang-ouw yang berjuluk Si Jari Maut?”
Sastrawan
itu mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng kepalanya. “Aku belum pernah
bertemu muka, akan tetapi aku sudah banyak mendengar tentang tokoh muda itu.
Akan tetapi menurut berita terakhir, pendekar muda yang terkenal dan bahkan
kabarnya masih anak keluarga penghuni Istana Pulau Es itu kini menjadi
gila....“
“Ehhh....?”
Syanti Dewi hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangan.
“Atau
menurut kabar, keadaannya seperti orang kehilangan ingatan, pakaiannya seperti
pengemis, rambut dan brewoknya tidak terpelihara dan dia sering kali tertawa
dan menangis. Memang aneh sekali tokoh itu.... heiii, kenapa....?” Sastrawan
itu terkejut melihat Syanti Dewi mendadak menutup muka dengan kedua tangan dan
menangis tersedu-sedu!
Sejenak
sastrawan itu termangu, akan tetapi dia lalu mengangguk-angguk maklum.
Dihubungkannya bunyi sajak tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang ketika
mendengar tentang pendekar muda berjuluk Si Jari Maut itu, dan mengertilah dia
bahwa tentu ada hubungan cinta yang gagal atau patah antara dara ini dan Si
Jari Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana dia tidak ingin mengganggu dan
membiarkan dara itu menangis melampiaskan duka yang agaknya sudah terlalu lama
ditahan-tahannya itu dan dia enak-enak saja melanjutkan dan menyelesaikan
lukisannya.
Memang
lapanglah rasa dada Syanti Dewi setelah menangis, sungguh pun kini dia merasa
seluruh tubuhnya lemah dan hatinya penuh dengan haru dan iba terhadap
kekasihnya yang dikabarkan menjadi berubah ingatan itu! Dia mengusap air
matanya dan memandang kepada sastrawan itu dengan mata merah.
“Maafkan
sikapku, Paman, tetapi aku ingin beristirahat dan tak dapat menemanimu lebih
lama lagi....“
“Tidak
mengapa, Nona. Lukisan ini sudah rampung dan terimalah lukisan ini sebagai
persembahan dan terima kasihku bahwa Nona telah sudi menerimaku serta memberi
kesempatan kepadaku untuk menikmati kecantikanmu dan sungguh pertemuan ini
tidak akan terlupakan selama hidupku.” Dia menyerahkan lukisan itu kepada
Syanti Dewi.
Syanti Dewi
menerima lukisan itu dan dia terkejut dan kagum. Lukisan itu tidaklah dapat
dibilang indah, dalam arti kata indah menurut keinginannya dilukis secantik
mungkin, akan tetapi beberapa goresan-goresan itu amat kuatnya mencerminkan
segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya lahiriah akan tetapi juga batiniah.
Melihat lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat dirinya sendiri dibalik
cermin dalam keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup hiasan apa pun, wajahnya
‘telanjang’ sama sekali dalam lukisan itu dan nampaklah bayangan-bayangan duka
yang mendalam! Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan dengan jari-jari
gemetar dia mengembalikan lukisan itu.
“Paman Pouw,
terima kasih atas pemberianmu. Akan tetapi, kuharap engkau kalau kebetulan
bertemu dengan dia sudilah kau memberikan lukisan ini kepadanya, siapa tahu
dapat menolongnya....“ Suaranya gemetar dan makin lirih.
Tanpa perlu
disebut namanya pun kakek yang bijaksana itu sudah tahu siapa yang dimaksudkan,
maka dia menerima lukisan itu, digulungnya dan dia lalu bangkit berdiri.
“Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat berjumpa dengan dia. Nah, selamat
tinggal, Nona dan terima kasih atas keramahanmu telah sudi menyambut aku
sebagai seorang tamu.”
“Aku merasa
girang sekali dapat berkenalan dengan seorang seperti engkau, Paman Pouw.
Selamat jalan.... mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu lagi.”
Pouw Toan
lalu meninggalkan ruangan tamu itu, tapi tiba-tiba dia teringat akan penjaga
berkumis, maka dia berhenti, menoleh sambil tersenyum dan berkata, “Nona,
penjaga berkumis tebal itu menerima pukulan gara-gara kedatanganku, harap kau
suka ingat kepadanya.”
Syanti Dewi
tersenyum dan mengangguk. Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru dia tiba di
luar istana, dia sudah disambut oleh penjaga itu yang memandangnya penuh
perhatian dengan sinar matanya yang mengandung pertanyaan.
“Siocia-mu
tentu akan memperhatikan nasibmu,” kata Pouw Toan sehingga giranglah penjaga
itu. Dengan ramah dia lalu mengantar Pouw Toan kembali ke perahunya dan tidak
lama kemudian perahu yang didayung perlahan-lahan oleh sastrawan tua itu pun
meninggalkan Kim-coa-to.
Sementara itu,
Syanti Dewi memanggil penjaga dan memesan bahwa hari itu dia tidak mau menerima
tamu lagi.
“Tapi,
Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu sudah sejak tadi menunggu!” penjaga itu
berkata. Dia yang sudah sering kali menerima hadiah dari dua orang pemuda itu tentu
saja mencoba untuk membujuk nona majikannya untuk mau menerima dua orang pemuda
itu.
Pemuda she
Ouw adalah pemuda hartawan yang kaya-raya, sedangkan pemuda she Ang adalah
sahabatnya, putera seorang pembesar. Pemuda hartawan dan bangsawan itu datang dari
seberang, dari daratan dengan menggunakan sebuah perahu besar yang mewah milik
Ouw-kongcu.
“Biar siapa
pun juga yang datang, aku tidak akan menemui mereka. Katakan bahwa aku sedang
tidak enak badan dan tidak dapat menemui tamu.” Setelah berkata demikian,
Syanti Dewi pergi ke kamarnya, mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas
pembaringan, kedua matanya menatap langit-langit dan membayangkan keadaan Tek
Hoat yang menyedihkan.
Timbul
keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi sendiri, meninggalkan pulau dan
mencari Ang Tek Hoat, menghiburnya, mengobatinya. Akan tetapi, dia membayangkan
pengalamannya yang lalu dan dia mengeraskan hati. Dia harus melihat sikap Tek
Hoat lebih dulu, harus melihat pemuda itu datang ke pulau ini, baru dia akan
mengambil keputusan apakah dia menganggap baik untuk melanjutkan hubungan cinta
mereka yang telah putus. Dia tidak mau menderita lagi, tidak mau bertepuk
tangan sebelah. Dia hanya mendengar keadaan pemuda itu yang menyedihkan, akan
tetapi dia belum melihat sendiri bagaimana sikap Tek Hoat sekarang terhadap
dirinya.
Dua orang
pemuda yang menerima kabar bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima mereka karena
dia tidak enak badan, tidak menjadi marah sungguh pun mereka kecewa sekali.
Mereka tidak putus asa dan mereka juga tidak mau pulang, hanya menanti di
perahu itu sampai Syanti Dewi sembuh. Bahkan mereka mengirim buah-buah dan
makanan-makanan lain yang mereka bawa dari daratan, mereka berikan kepada Sang
Puteri yang katanya sedang sakit itu melalui para pelayan yang tentu saja mau
menyampaikan semua itu karena menerima hadiah-hadiah!
Syanti Dewi
membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan dan makin diingat, makin beratlah
duka menindih hatinya. Dia merasa amat sengsara dan tidak bahagia dalam
cintanya, namun dia pun merasa pula betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama
ini tidak pernah mati, sungguh pun dia mencoba dengan segala daya upaya untuk
menyatakan kepada diri sendiri bahwa hubungan cinta mereka telah putus! Maka,
teringat akan semua itu, tak tertahankan lagi puteri ini menangis seorang diri
di dalam kamarnya, menangis sesenggukan dan menyembunyikan mukanya dalam
himpitan bantal yang telah menjadi basah oleh air matanya.
Betapa
menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan,
kekecewaan dan penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit
sekali suka yang hanya kadang-kadang muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak
saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari mana timbulnya?
Jelaslah
bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari
kita sendiri dan kita sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba
diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa kecewa karena dirampas apa yang
menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari kesenangan yang
mendatangkan nikmat lahir mau pun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya
sendiri.
Pikiran,
tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu,
mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri
itu. Pikiran seperti berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan
hati, maka terlahirlah duka! Tanpa adanya pikiran yang mengenang-ngenang segala
hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka. Biasanya, kalau duka
timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk
melupakannya.
Akan tetapi,
hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih
ada. Sekali waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu.
Sebaliknya, kalau kita waspada menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu,
mempelajarinya, tak lari darinya melainkan mengamatinya tanpa ingin
melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin.
Justru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi
kekuatan si duka untuk terus menegakkan dirinya!
Bicara
tentang duka tidaklah lengkap kalau kita juga tidak bicara tentang suka atau
kesenangan, karena kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu
ada duka! Justru pengejaran kesenangan inilah yang merupakan sebab utama dari
lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan, berarti kita berkenalan
dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita!
Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan
kesenangan, maka sekali yang menyenangkan itu dicabut dari kita, akan
menyakitkan dan menimbulkan duka.
Kesenanganlah
yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran
inilah timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan jahat. Dan kesenangan
ini pun merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan
mengingat-ingat. Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat, membayangkan segala
pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbul keinginan untuk mengejar
bayangan itu!
Kita tak
pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar itu,
bayangan yang nampaknya amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai
ternyata tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah
mengejar kesenangan lain yang lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi!
Maka
terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari pengejaran kesenangan yang
tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana pasti terdapat dua
kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka
lagi kalau berhasil, dan rasa takut kalau kehilangan.
Dalam duka
baru kita ingat kepada Tuhan, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan
semua ini wajar, timbul dari rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita lupa
kepada Tuhan, karena pementingan diri yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri
sendiri.
Semua ini
bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama
sekali tidak! Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi,
pengejaran terhadap kesenangan itulah yang menyesatkan! Ini merupakan
kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus waspada dan
sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan
diri sendiri akan mendatangkan tindakan langsung tersendiri yang akan
melenyapkan semua itu…..
***************
Seperti
telah tercatat dalam sejarah, Kaisar Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari
Dinasti Ceng atau bangsa Mancu yang besar dan jaya telah berhasil mengembangkan
kekuasaan kerajaan itu sehingga terkenal sampai di luar negeri. Akan tetapi
semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar
Yung Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai menyuram. Kaisar Yung Ceng telah
berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng, namun dia
tidak dapat mencapai keadaan seperti ketika kekuasaan berada di tangan Kaisar
Kang Hsi.
Hal ini
adalah karena banyaknya terjadi pertentangan di dalam keluarga kaisar sendiri
sejak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya
pemberontakan di tempat-tempat yang jauh dari kota raja sehingga tentu saja
peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan Kerajaan Ceng diwaktu itu.
Pemberontakan
terjadi di mana-mana, berupa pemberontakan kecil-kecilan yang cukup merongrong
kewibawaan pemerintah. Terutama sekali karena di sebelah dalam istana sendiri
terdapat pertentangan yang digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi yang
disebut Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri ke Tiga. Sam-thaihouw ini tentu saja masih
mempunyai pengaruh yang besar, dan terutama sekali karena di antara pembesar
militer banyak yang membantu atau mendukungnya.
Tentu saja
pembesar-pembesar itu adalah mereka yang selain masih terhitung keluarga dengan
Ibu Suri ke Tiga ini, juga yang pernah banyak menerima budi dari ibu suri ini,
bahkan yang memperoleh kedudukan tinggi karena jasa ibu suri. Kaisar sendiri
tahu akan sepak terjang Ibu suri yang kadang-kadang bertindak sewenang-wenang
terhadap para pembesar yang menentangnya dan dianggap musuhnya. Akan tetapi
Kaisar Yung Ceng memiliki kelemahan, yaitu tidak berani banyak bertindak
terhadap keluarga angkatan tua. Dia terlalu ‘berbakti’ terhadap angkatan tua,
hal yang sesungguhnya hanya menunjukkan kelemahannya.
Bahkan pada
akhir-akhir ini, secara terang-terangan Sam-thaihouw yang merasa sakit hati dan
menaruh dendam kepada keluarga puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari
Pendekar Super Sakti di Istana Pulau Es, memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan
orang-orang kang-ouw yang pandai dan sakti dalam usahanya untuk membalas dendam
kepada keluarga itu dan juga kepada para pembesar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang
dianggap memusuhinya. Maka sering kali terjadi pembunuhan yang aneh dan keji di
malam hari terhadap ‘musuh’ Sam-thaihouw, pembunuhan yang hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Hal ini selain menggegerkan kota raja,
juga menggegerkan dunia kang-ouw dan nama Sam-thaihouw sebentar saja
disebut-sebut dan terkenal di antara orang-orang kang-ouw sebagai seorang yang
amat berbahaya dan ditakuti.
Kegawatan memuncak
dan kemerosotan pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling rendah ketika terjadi
pencurian pedang pusaka keramat dari gudang pusaka keraton! Sungguh hal ini
merupakan tamparan bagi istana. Gudang pusaka merupakan tempat yang terjaga
dengan amat ketat, akan tetapi ada sebatang pedang pusaka yang berada di
dalamnya dicuri orang tanpa ada yang mengetahuinyal Peristiwa ini disimpulkan
oleh para golongan yang menentang pemerintah sebagai bukti-bukti kelemahan,
maka semakin beranilah mereka memperlihatkan sikap menentang!
Para
pembesar mulai gelisah melihat kelemahan pemerintah. Banyak pembesar setia yang
menasehati kaisar untuk mengambil tindakan dan bertangan besi, bukan hanya
terhadap pemberontak, akan tetapi juga terhadap keluarga istana sendiri. Namun,
Kaisar tetap tidak berani sembarangan bertindak terhadap Sam-thaihouw, maka hal
ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pembesar. Mereka mulai memasang mata
mencari-cari orang yang kiranya dapat mereka harapkan untuk dapat menolong
kerajaan. Dan orang itu bukan lain hanyalah Pangeran Kian Liong!
Pangeran ini
terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, pandai dalam ilmu sastra
dan sering kali pangeran ini menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyelidiki
kehidupan rakyat, mendengarkan keluh-kesah mereka, kritik-kritik dan usul-usul
mereka untuk kemudian dia lanjutkan dengan tindakan-tindakan yang tepat untuk
merubah keadaan yang memberatkan rakyat jelata. Karena ini, nama Pangeran Kian
Liong segera terkenal sebagai seorang pangeran muda yang budiman dan juga kalau
perlu dapat bertangan besi terhadap pembesar-pembesar yang korup dan menindas
rakyat.
Sam-thaihouw
tidak suka kepada pangeran ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak berani
sembarangan bertindak terhadapnya, karena selain pangeran ini merupakan
pangeran yang mempunyai harapan menggantikan kaisar, juga diam-diam pangeran
ini selalu dilindungi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi! Memang
luar biasa sekali! Banyak tokoh-tokoh besar dan partai-partai persilatan,
tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan berilmu, bekerja sama melakukan penjagaan
dan pengamatan siang malam atas diri pangeran ini sehingga ke mana pun pangeran
ini pergi, selalu pasti ada tokoh-tokoh sakti yang mengawasi dan menjaganya,
melindunginya tanpa diketahui oleh Si Pangeran itu sendiri!
Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan kalau para pembesar yang setia kini menujukan
pandang mata mereka kepada Pangeran Kian Liong dengan penuh harapan, sungguh
pun pangeran itu sendiri tidak memperlihatkan ambisi apa-apa kecuali sebagai
seorang pangeran yang selalu bersikap melindungi rakyat yang tertindas.
Empat lima
tahun telah lewat semenjak terjadi keributan di Pegunungan Himalaya oleh karena
orang-orang kang-ouw memperebutkan Pedang Pusaka Naga Siluman. Dan pada waktu
itu, berhubung dengan kelemahan kaisar di kota raja, di bagian barat mulai lagi
timbul keributan-keributan, yaitu di negara bagian Tibet yang pernah
ditundukkan dan dikuasai oleh pasukan pemerintah Ceng ketika masih berada di
bawah pimpinan mendiang Kaisar Kang Hsi.
Terdapat
kabar bahwa mulai berdatangan mata-mata dan berkelompok-kelompok pasukan kecil
dari luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan kabarnya pasukan-pasukan Tibet
kewalahan menghadapi gangguan-gangguan kecil ini. Pasukan-pasukan itu datang
dari arah barat dan selatan, dari arah Negara Nepal dan mungkin juga dari
India…..
***************
Pada suatu
pagi yang cerah, dengan sinar matahari mulai nampak di bagian yang dingin dari
dunia itu, yaitu di kaki Pegunungan Himalaya yang berada di bagian paling timur
dan utara, nampak seorang dara remaja menuruni lereng dengan sikap yang gembira
dan lenggang seenaknya.
Dara ini
bertubuh ramping padat, caranya melangkahkan kaki seperti seekor rusa, demikian
ringannya namun di balik pakaiannya yang sederhana itu nampak tubuh yang padat
berisi dan mengandung tenaga yang kuat. Wajahnya manis sekali, wajah yang amat
cerah, secerah matahari pagi.
< br>
Sepasang mata dan mulutnya membayangkan kesegaran, sesegar embun yang
bergantung pada pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang nampak pada muka, leher dan
tangannya mulus halus putih, seputih salju yang masih tersisa di puncak gunung
yang nampak dari kejauhan.
Dara cantik
manis ini baru berusia kurang lebih enam belas tahun, seorang dara remaja yang
baru menanjak dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar. Kedua
pipinya yang halus itu kemerahan seperti buah tomat mulai masak, dan bibirnya
yang menyungging senyum dikulum itu nampak merah delima membayangkan kesegaran
tubuh yang sehat. Meski pakaiannya terbuat dari pada kain kasar saja dan
potongannya pun sederhana dan kasar, akan tetapi tidak mengurangi kecantikan
dara itu, bahkan kesederhanaan pakaian itu lebih menonjolkan kejelitaannya yang
wajar dan asli.
Dara itu
sama sekali tidak memakai perhiasan, akan tetapi dari jauh dia nampak seperti
memakai sebuah gelang emas yang cukup besar, sebesar jari tangannya, gelang
emas berbentuk seekor ular yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Akan
tetapi, kalau didekati, orang akan melihat bahwa ‘gelang emas’ itu
bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar lidah hitam menjilat-jilat keluar
masuk dan baru orang akan tahu bahwa gelang itu adalah seekor ular asli, seekor
ular hidup! Dan memang sesungguhnyalah. Ular itu seekor ular hidup yang
memiliki sisik indah sekali, kuning keemasan, dengan mata kecil merah dan lidah
yang hitam!
Melihat
seorang dara remaja dengan pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian bulu yang
melindungi tubuh dari dingin, melakukan perjalanan seorang diri serta seenaknya
saja menuruni lereng Pegunungan Himalaya yang terkenal dingin sekali itu, sungguh
sudah merupakan hal yang aneh. Apalagi melihat gelang ular emas hidup itu!
Melihat dua hal ini saja, mudah diduga bahwa di balik kelembutan seorang dara
remaja yang cantik manis ini tentu terdapat kekuatan yang hebat, membayangkan
seorang dara perkasa yang tidak jarang muncul di dunia kang-ouw pada waktu itu.
Dugaan ini memang tidak keliru karena dara ini bukan lain adalah Bu Ci Sian!
Seperti kita
ketahui, Bu Ci Sian adalah seorang dara yang sejak muda sekali telah mengalami
hal-hal yang amat hebat, yaitu ketika kita mula-mula melihat dia bersama
mendiang kakeknya, yang sebetulnya adalah seorang tokoh besar selatan
berjulukan Kiu-bwe Sin-eng bernama Bu Thai Kun, melakukan perjalanan di
Pegunungan Himalaya dan mengalami banyak hal-hal yang hebat.
Akan tetapi,
Bu Ci Sian yang pada pagi hari yang cerah itu menuruni lereng bukit sama sekali
tidak dapat disamakan dengan dara cilik yang kita kenal empat tahun yang lalu
itu. Biar pun pada waktu itu Ci Sian telah merupakan seorang gadis cilik yang
penuh keberanian dan memiliki dasar-dasar ilmu silat, tetapi dibandingkan
dengan sekarang, keadaannya sudah jauh lebih hebat. Sekarang dia merupakan
seorang dara remaja yang berilmu tinggi setelah digembleng secara hebat dan
tekun sekali oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong Nilagangga!
Seperti kita
ketahui, dara ini terpisah dari pendekar Suling Emas Kam Hong dan setelah
ditolong oleh See-thian Coa-ong, akhirnya dia menjadi murid kakek sakti
perantau dari Nepal ini dan dibawa ke sebuah puncak bukit yang sunyi di mana
dia menggembleng muridnya dengan berbagai ilmu silat yang aneh-aneh, di
antaranya juga mengajarkan ilmu menaklukkan ular-ular kepada muridnya itu. Ci
Sian yang memang suka sekali akan ilmu silat, belajar dengan tekun sekali
setiap hari, sungguh pun dia merasa amat kesepian di tempat sunyi itu dan
hatinya selalu terkenang kepada Kam Hong dan ayah bundanya yang sedang
dicarinya.
Setelah
belajar siang malam selama empat tahun dan merasa bahwa dia telah memiliki ilmu
yang cukup untuk dapat diandalkan dalam mencari Kam Hong atau ayah bundanya
sendirian saja, Ci Sian lalu menyatakan kepada gurunya bahwa dia ingin pergi
turun gunung untuk mencari Kam Hong dan mencari ayah bundanya.
“Ci Sian,
engkau baru saja belajar empat tahun, dan sungguh pun hampir semua ilmuku telah
kuajarkan kepadamu, akan tetapi engkau harus melatih dan mematangkan lagi
selama setahun. Aku telah berjanji kepada Cui-beng Sian-li untuk
mempertandingkan murid kami, yaitu engkau melawan muridnya. Maka engkau harus
menanti setahun lagi.”
“Suhu, yang
berjanji adalah Suhu, dan aku bukanlah seekor ayam aduan. Mengapa selalu Suhu
membuat janji-janji aneh seperti anak-anak itu? Jangan layani dia. Aku harus
turun gunung untuk mencari Paman Kam Hong atau ayah bundaku, dan kurasa dengan
kepandaian yang kupelajari dari Suhu ini sudah cukup untuk bekal perjalananku
mencari mereka.”
“Muridku, di
dunia ini aku hanya mempunyai engkau seorang. Kalau bukan engkau yang menjaga
namaku, habis siapa lagi? Kalau setahun kemudian engkau tidak mau menandingi
murid Cui-beng Sian-li, bukankah nama See-thian Coa-ong akan menjadi bahan
ejekan para penghuni Lembah Suling Emas dan kemudian menjadi bahan tertawaan
seluruh dunia kang-ouw?”
Ci Sian
menarik napas panjang. “Kukira Suhu sudah tidak butuh apa-apa, ternyata masih
membutuhkan nama besar! Begini saja, Suhu. Waktu berlatih yang setahun ini akan
dapat kulakukan dalam perjalanan mencari orang tuaku. Dan perjanjian antara
Suhu dan Cui-beng Sian-li itu hanya perjanjian untuk mempertandingkan murid
Suhu dan muridnya, akan tetapi bukan janji bahwa aku akan datang mencari
muridnya! Jadi, perjanjian itu berlaku juga untuk dia, dan muridnyalah yang harus
pergi mencari aku! Nah, kalau sewaktu-waktu dia datang, Suhu katakan saja bahwa
aku menanti-nantinya dan dia boleh mencariku sampai dapat!”
Menghadapi
kebandelan Ci Sian, See-thian Coa-ong tak berdaya, apalagi memang dia amat
sayang kepada muridnya itu dan maklum betapa tersiksanya dara remaja seperti Ci
Sian untuk hidup terasing di tempat seperti itu bersama dia. Anak itu dapat
bertahan hidup seperti pertapa kesepian di tempat itu selama empat tahun sudah
merupakan hal yang amat mengagumkan, dan dia pun tahu bahwa dasar ilmu
kepandaian Ci Sian sudah lebih dari cukup untuk dipakai menjaga diri, maka
akhirnya dia pun tidak menahan lebih lanjut dan memperbolehkan dara itu turun
gunung!
Demikianlah,
pada pagi hari itu, dengan wajah yang cerah dan semangat yang bernyala-nyala,
Ci Sian menuruni bukit dan tentu saja dia merasa seolah-olah seperti seekor
burung yang baru saja terlepas dari sangkar di mana dia tekun mempelajari ilmu
selama empat tahun dan di mana dia sering kali menahan-nahan rasa rindunya akan
dunia luar! Kini dia merasa bebas! Dan kegembiraan mendebarkan jantungnya kalau
dia teringat akan kemungkinan bertemu dengan Kam Hong! Baru sekarang dia merasa
betapa rindunya dia kepada pendekar itu!
Dan dia pun
harus mencari Toat-beng Hui-to Lauw Sek, yaitu Lauw-piauwsu untuk menanyakan di
mana dia akan dapat mencari ayah bundanya, karena dia tahu bahwa piauwsu itulah
yang telah menerima pesan terakhir dari mendiang kongkong-nya tentang tempat
ayah bundanya. Dan kalau dia sudah tahu tempat itu, dia akan mencari ayah
bundanya sampai dapat. Apalagi kalau dia dapat bertemu dengan Kam Hong dan
minta bantuan pendekar itu, dia yakin pasti akan berhasil menemukan ayah
bundanya. Dengan bayangan-bayangan ini dalam benaknya, Ci Sian menuruni bukit
dengan hati riang dan penuh harapan.
Akan tetapi,
setelah belasan hari dia mencari-cari di sekitar tempat di mana dia terpisah
dari Kam Hong, dia tidak dapat menemukan pendekar itu. Bahkan tempat di mana
dia dan Kam Hong terasing ketika terjadi longsor itu, kini telah berubah pula
dan tiada jejak Kam Hong di situ. Dia mulai menyusuri jalan di mana dia dan Kam
Hong melalui ketika mereka berdua meninggalkan Lhagat. Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk mencari Lauw-piauwsu ke kota Lhagat.
Betapa
kagetnya saat dia tiba di daerah Lhagat, dia melihat banyak orang
berbondong-bondong mengungsi dan meninggalkan daerah itu. Dari para pengungsi
ini tahulah Ci Sian bahwa Lhagat, kota yang berada di perbatasan antara Tibet,
Nepal dan India itu, yang menjadi tempat pemberhentian para pedagang dan
orang-orang yang melakukan perjalanan dari atau ke tempat-tempat tersebut,
sekarang telah diduduki oleh pasukan-pasukan asing yang menyerbu dari selatan!
Itu adalah
pasukan yang amat kuat dari Nepal! Pasukan itu bentrok dan bertempur dengan pasukan
Tibet, memperebutkan daerah Lhagat dan akhirnya pasukan Tibet dipukul mundur
dan Lhagat pun diduduki oleh pasukan Nepal yang memang bermaksud untuk terus
menyerbu ke utara dan timur, tentu saja hendak menundukkan Tibet untuk terus
menggempur Tiongkok. Menurut cerita para pengungsi, berkali-kali pihak tentara
Tibet kena digempur dan menderita kekalahan, mundur dan dikejar musuh memasuki
daerah Tibet.
Ketika Ci
Sian mendengar betapa banyak orang-orang Tibet dan orang dari pedalaman telah
ditawan oleh pasukan Nepal, apalagi sesudah mendengar keterangan bahwa
Lauw-piauwsu yang dicari-carinya itu mungkin saja ikut tertawan, dia lalu
melanjutkan perjalanan menuju ke Lhagat! Semua pengungsi memberi nasehat agar
dia jangan mendekati Lhagat, apalagi seorang wanita muda cantik seperti dia.
Namun, tentu saja Ci Sian tidak mempedulikan semua peringatan ini dan dengan
cepat dia melakukan perjalanan menuju ke kota yang sudah diduduki musuh itu.
Setelah
sampai dekat Lhagat, dia bertemu dengan serombongan pengungsi lagi yang membawa
berita terakhir dari kota Lhagat. Dari mereka ini, dia mendengar berita yang
lebih hangat, berita terakhir tentang apa yang terjadi di daerah itu. Kiranya,
menurut penuturan para pengungsi ini yang terdiri dari orang-orang lelaki yang nampaknya
kuat karena mereka adalah para pemuda Lhagat yang tadinya ikut pula
mempertahankan kampung halaman mereka dari penyerbu asing, pada waktu itu
kedudukan pasukan Nepal semakin kuat dengan datangnya bala bantuan lagi dari
Nepal.
Pasukan itu
bahkan telah berhasil menggagalkan bantuan pasukan Kerajaan Ceng yang kini
telah terperangkap, terkepung di lembah sebelah timur Lhagat! Ketika mendengar
akan penyerbuan pasukan Nepal ke daerah Tibet, Kaisar Kerajaan Ceng cepat-cepat
mengirim pasukan yang terdiri dari lima ribu orang untuk membantu pasukan Tibet
yang menjadi negara taklukan Kerajaan Ceng, dan untuk mengusir pasukan Nepal
itu.
Akan tetapi,
sungguh di luar perhitungan Pemerintah Ceng bahwa kali ini Nepal
bersungguh-sungguh dalam serbuan mereka itu sehingga belum juga pasukan itu
berhasil menyerbu untuk merampas kembali Lhagat, mereka telah terkepung ketika
mereka sedang beristirahat di lembah gunung. Pihak musuh yang mengepung
berjumlah tiga empat kali lebih banyak, maka pasukan Ceng itu tidak berhasil
membobolkan kepungan dan hanya mampu bertahan saja.
Berkali-kali
pasukan Nepal yang mengurung itu menyerbu ke atas, mencoba hendak menghancurkan
musuh, akan tetapi ternyata dalam waktu singkat, komandan pasukan yang pandai
dari barisan Ceng telah dapat menyusun benteng pertahanan yang kokoh kuat. Oleh
karena itu, kini pasukan Nepal hanya mengurung ketat, hendak membiarkan pihak
musuh mati kelaparan! Sudah setengah bulan pasukan yang terjebak itu dikepung,
dan karena pihak Nepal maklum bahwa sewaktu-waktu dapat datang bala bantuan
dari Kerajaan Ceng, maka penjagaan di sekitar daerah itu dilakukan dengan amat
ketat.
Setiap orang
yang lewat di daerah itu tentu digeledah dan diperiksa, kalau-kalau ada
terselip mata-mata dari pihak musuh. Di mana-mana terdapat tentara Nepal dan
seperti biasa yang terjadi dalam setiap huru-hara, dalam setiap peperangan,
maka di daerah pegunungan itu pun terjadi pula hal-hal yang mengerikan setiap
hari. Perampokan, perkosaan, pembunuhan, terjadi setiap saat. Manusia
kehilangan peri kemanusiaannya. Yang nampak hanyalah angkara murka dan di
mana-mana manusia dicekam rasa takut yang hebat.
Biar pun dia
masih belum dewasa benar, baru berusia hampir tujuh belas tahun, namun Ci Sian
adalah seorang anak yang tergembleng oleh keadaan dan memang pada dasarnya dia
cerdik. Dia mengenal bahaya, maka dia pun mengambil jalan-jalan melalui
hutan-hutan. Dia sudah mengenal daerah ini karena ketika dia berada di Lhagat
beberapa tahun yang lalu, dia sering pergi berburu ke hutan-hutan. Oleh karena
itu, dalam penyelidikannya untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu, dia
pun menyelinap-nyelinap di antara pohon-pohon di hutan dan tidak berani
sembarangan memperlihatkan dirinya kepada pasukan Nepal yang berjaga di
mana-mana.
Ketika dia
mencoba menyelidiki keadaan pasukan pemerintah Ceng yang terkurung di lembah
gunung kecil itu, dia terkejut bukan main. Gunung kecil atau bukit di mana
pasukan itu terkurung telah dikelilingi pasukan Nepal yang bersembunyi dan yang
telah mempersiapkan segala macam jebakan dan barisan pendam dengan anak panah
selalu siap di tangan. Pendeknya, kalau pasukan di lembah itu berani
mencoba-coba untuk membobolkan kurungan itu, mereka pasti akan dihancurkan!
Diam-diam Ci
Sian mencari akal bagaimana kiranya cara pasukan itu akan dapat diselamatkan.
Dia teringat akan cerita kakeknya dahulu tentang kepahlawanan, tentang
kegagahan para pendekar pada jaman dahulu, tentang perbuatan-perbuatan yang
menggemparkan karena gagah perkasanya. Ingatan-ingatan itu mendorongnya untuk
melakukan sesuatu guna menolong pasukan yang terkurung, di samping dorongan
rasa bahwa sudah menjadi tugasnya untuk menolong pasukan bangsanya yang
terkurung tanpa berdaya itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin seorang dara remaja
seperti dia, seorang diri saja, akan mampu menyelamatkan lima ribu orang
tentara yang sudah terkurung tak berdaya itu? Apa dayanya menghadapi puluhan
ribu pasukan Nepal?
Pagi hari
itu, Ci Sian berjalan di dalam hutan sambil termenung. Sudah beberapa hari
lamanya dia mencari-cari akal, namun dia tetap tidak dapat menemukan siasat
yang baik bagaimana dia akan dapat menolong pasukan pemerintah yang terkurung
musuh itu. Hatinya menjadi kesal dan dia makin merindukan Kam Hong karena dia
percaya bahwa kalau Kam Hong berada di sampingnya, tentu pendekar itu akan
dapat mencari siasat untuk menolong pasukan yang terkepung rapat itu.
Tiba-tiba
dara itu berkelebat lenyap dan dia sudah menyelinap ke belakang sebatang pohon
besar. Gerakannya memang cepat bukan main, seolah dia pandai menghilang saja.
Dia mendengar suara ringkik kuda disusul suara kaki kuda dan suara manusia
mendatangi dari depan!
Tak lama
kemudian nampak rombongan orang berkuda itu. Yang paling depan adalah seorang
gadis yang cantik, usianya tentu hanya lebih satu dua tahun dibandingkan dengan
dia. Seorang gadis yang berbentuk tubuh ramping agak kecil, wajahnya bulat
telur dan cantik manis, terutama dagunya yang runcing. Melihat pakaiannya,
gadis ini adalah seorang Han, akan tetapi dua losin tentara yang mengawalnya
itu jelas bukanlah tentara kerajaan, melainkan tentara Nepal!
Ci Sian
bersembunyi dan tidak berani menampakkan diri, akan tetapi diam-diam dia merasa
heran sekali mengapa ada seorang gadis bangsanya yang kini dikawal oleh pasukan
Nepal! Kini kuda yang ditungganggi gadis cantik itu, yang berbulu hitam dan
bertubuh tinggi besar, seekor kuda yang amat baik, telah tiba di dekat pohon di
belakang mana Ci Sian bersembunyi. Kuda hitam itu tiba-tiba meringkik
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, mendengus-dengus ke arah pohon
besar itu!
Jelas bahwa
kuda itu bukan kuda sembarangan, dan agaknya seekor kuda yang amat terlatih,
seperti seekor anjing yang cerdik, begitu mencium bau seorang asing kemudian
memperingatkan majikannya! Dan gadis cantik itu agaknya pun tahu akan ulah
kudanya itu, dapat menduga bahwa di belakang pohon tentu ada seorang asing atau
ada seekor binatang berbahaya.
“Keluarlah!”
bentaknya dan begitu tangan kirinya bergerak, sebatang piauw kecil yang memakai
ronce merah di gagangnya melucur ke arah belakang batang pohon itu!
Ci Sian
terkejut bukan main. Kehadirannya telah diketahui orang, maka dia pun cepat
mengelak dari ancaman pisau dan dengan tenang dia lalu keluar dari balik pohon
itu sambil memandang dengan sinar mata marah namun penuh ketabahan.
“Orang
kejam!” dia membentak sambil menatap wajah gadis cantik itu. “Apa salahku maka
kau datang-datang menyerangku dengan senjata rahasiamu?”
Gadis cantik
itu tercengang keheranan. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa yang
mengejutkan kudanya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Juga dua
losin pengawalnya semua mengeluarkan seruan kaget dan heran. Mana mungkin ada
seorang dara seperti itu berkeliaran di daerah ini tanpa pernah dapat nampak
oleh penjaga? Kini semua mata memandang Ci Sian dengan penuh kecurigaan.
Sudah
tersiar berita di kalangan para tentara Nepal bahwa Kerajaan Ceng ada mengirim
seorang penyelidik yang sakti dari kota raja menuju ke tempat itu, tentu saja
dalam usaha untuk menolong pasukan kerajaan yang terkepung itu. Maka setiap
orang asing dicurigai, apalagi orang-orang Han. Biar pun Ci Sian hanya
merupakan seorang dara remaja, namun mereka semua tahu bahwa wanita-wanita Han,
biar pun masih muda, tak boleh dipandang ringan karena di antara mereka banyak
yang merupakan seorang ahli silat yang amat lihai.
Gadis cantik
itu sendiri adalah seorang wanita yang agaknya berkepandaian tinggi, hal ini
terbukti dari sambitannya dengan pisau kecil tadi. Kini gadis itu pun memandang
dengan penuh curiga kepada Ci Sian, walau pun mulutnya sekarang tersenyum dan
dia menjawab, “Salahmu sendiri! Orang baik-baik tidak bersembunyi-sembunyi
seperti seorang pencuri, dan kudaku ini selalu marah kalau melihat orang yang
memiliki niat buruk di dalam hatinya.”
Kemudian dia
menggerakkan cambuk kudanya ke atas hingga terdengar suara ledakan nyaring,
lalu melanjutkan. “Engkau tentu seorang mata-mata, karena engkau berniat buruk
maka engkau merasa takut dan bersembunyi!”
“Siapa yang
takut? Apa yang perlu ditakuti?” Ci Sian mengejek. “Aku tidak takut, dan tadi
aku bersembunyi hanya karena enggan bertemu dengan pasukan yang kabarnya
merupakan orang-orang jahat yang suka merampok, memperkosa, dan membunuh.”
Gadis cantik
itu mengerutkan alisnya dan memandang marah. “Siapa bilang pasukan kami begitu
jahat?”
Ci Sian
tersenyum pahit. “Uhh, masih pura-pura bertanya lagi? Apakah matamu buta,
apakah telingamu juga tuli sehingga engkau tidak melihat atau mendengar ratap
tangis rakyat di sini? Jangan pura-pura bodoh!”
Wajah yang
cantik itu berubah marah. “Bocah bermulut lancang! Dalam setiap peperangan
tentu saja jatuh korban, itu sudah jamak! Akan tetapi jangan mengira bahwa kami
membiarkan para pasukan melakukan kejahatan, apalagi perkosaan! Soal menyita
barang musuh, atau membunuh musuh, sudah wajar.”
“Wajar kalau
yang disita itu barang musuh dan kalau yang dibunuh nyawa musuh, sesama
tentara. Akan tetapi kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa yang diganggu,
dirampok, dibunuh, wanita-wanita diperkosa, lalu apa bedanya tentaramu itu
dengan orang-orang biadab?”
“Bocah
sombong bermulut besar!” Gadis itu memaki dengan marah sekali. “Kau berani
mengeluarkan kata-kata seperti itu di sini?”
“Mengapa
tidak? Apa kau kira aku takut menghadapi beberapa gelintir anjing-anjing
pengawalmu ini?”
Para
pengawal sudah marah sekali mendengar ini dan mereka sudah gatal-gatal tangan
akan tetapi mereka tidak berani bergerak sebelum menerima perintah dan agaknya
mereka itu tidak berani mendahului gadis cantik yang mereka kawal itu.
“Hemmm,
agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian juga maka berani bersikap lancang.
Beranikah engkau melawanku?”
“Kau?” Ci
Sian sengaja mengejek dan memandang rendah. “Biar ada sepuluh orang seperti
engkau aku tidak akan mundur selangkah pun!”
Diam-diam
gadis itu di samping kemarahannya, juga kagum menyaksikan sikap Ci Sian yang
sedemikian tabahnya. Dia meloncat turun dari atas kudanya, diturut oleh semua
pengawalnya yang menambatkan kuda-kuda itu pada batang pohon, kemudian mereka
membentuk sebuah lingkaran panjang, mengelilinginya dan agaknya para pasukan
itu gembira dapat menyaksikan dua orang gadis cantik yang hendak mengadu ilmu
itu. Ci Sian mengikuti gerak-gerik mereka itu dengan sikap gagah dan tenang.
Kemudian, gadis cantik itu menghampirinya di tengah-tengah lingkaran.
“Singgg!”
Gadis cantik Itu sudah mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan sambil
melintangkan pedang di dada, dia berkata, “Nah, kau keluarkanlah senjatamu!”
Akan tetapi
Ci Sian memang tak pernah memegang senjata, bahkan gelang ular hidup tadi pun
telah dilepaskannya dan dibiarkannya merayap pergi ketika dia keluar dari
tempat sembunyinya. Dia tersenyum dan memandang calon lawan itu. “Aku tak
pernah membawa senjata. Akan tetapi jangan dikira aku takut kalau engkau
membawa pisau dapur itu!”
Mendengar ejekan
ini, tentu saja gadis itu menjadi marah. Dan menyarungkan kembali pedangnya,
melepaskan tali ikatan sarung pedang dan melemparkan pedang dengan sarungnya
kepada seorang pengawal. “Lihat, aku telah melepaskan pedangku, kita sama-sama
tidak bersenjata. Nah, kau sambutlah seranganku ini” Tiba-tiba gadis cantik itu
menyerang dengan pukulan yang amat cepat.
Diam-diam Ci
Sian terkejut melihat betapa cepatnya gadis ini bergerak dan tahulah dia bahwa
dia berhadapan dengan seorang ahli ginkang yang berkepandaian cukup tinggi. Di
samping itu, juga sikap gadis itu yang menyingkirkan pedangnya membuat dia
senang dan berkuranglah kebenciannya. Gadis ini betapa pun juga telah
membuktikan kegagahannya dan tidak mau menghadapi lawan bertangan kosong dengan
pedang di tangan!
Maka dia pun
cepat mengelak dan membalas. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang
dara yang sama cantiknya ini, ditonton oleh para pengawal yang merasa yakin
bahwa nona mereka akan menang karena mereka tahu bahwa nona mereka itu memiliki
kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka sendiri!
Akan tetapi,
apa yang terjadi sekarang membuat semua pengawal menjadi bengong. Dara remaja
itu ternyata bukan hanya dapat mengimbangi nona mereka, bahkan perkelahian itu
terjadi amat seru dan cepat, membuat mata mereka berkunang dan sukar bagi
mereka untuk mengikuti gerakan dua orang dara itu yang seolah-olah menjadi dua
bayangan yang menjadi satu! Dan lebih hebat lagi, kini nona mereka mulai
terdesak dan mundur terus sambil mengelak atau menangkis serangan lawan yang
bertubi-tubi datangnya itu!
“Serbuuuu....!”
Melihat nona mereka terdesak, kepala pasukan segera memberi aba-aba dan dua
puluh empat orang pengawal itu sudah bergerak memperketat kepungan dan hendak
mengeroyok Ci Sian. Tangan mereka sudah meraba gagang senjata karena mereka itu
merasa ragu sendiri apakah mereka harus mengeluarkan senjata kalau hanya
mengeroyok seorang dara remaja saja!
Di lain
pihak, ketika melihat betapa para pengawal itu bergerak maju, Ci Sian lalu
mempercepat gerakannya, tubuhnya mencelat ke samping dan dari samping tangannya
menampar ke arah pundak lawannya. Gerakannya itu demikian aneh dan cepatnya
sehingga biar pun lawannya dengan cepat pula mengelak, tetap saja pundaknya
kena diserempet oleh telapak tangan Ci Sian.
“Plakk!”
Tubuh wanita cantik itu terpelanting dan dia tentu terbanting roboh kalau saja
dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.
Ci Sian
menggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu dari tenggorokannya keluar suara
melengking tinggi yang membuat para pengawal itu tersentak kaget dan tidak ada
yang bergerak saking heran dan kagetnya karena tiba-tiba saja ada getaran aneh
pada telinga mereka, getaran yang seperti menembus jantung!
Sejenak
keadaan menjadi sunyi sekali dan mendadak terdengar suara hiruk-pikuk ketika
kuda-kuda mereka yang ditambat pada batang pohon-pohon itu meringkik dan
meronta-ronta, kemudian memberontak dan terlepas dari ikatan lalu melarikan
diri dengan panik! Semua pengawal terkejut dan bingung, akan tetapi segera
terdengar suara mendesis-desis dan dari empat penjuru datanglah ratusan ekor
ular menuju ke arah Ci Sian! Kiranya ular-ular inilah yang tadi membuat semua
kuda lari ketakutan.
Kini
ular-ular itu telah berkumpul, ratusan ekor banyaknya, besar kecil dengan
macam-macam warna, di sekeliling kaki Ci Sian, bahkan seekor ular emas yang
kecil kini merayap naik malalui kaki Ci Sian dan terus ke atas. Ci Sian
memegangnya dan memakai ular emas itu di lengan tangan kirinya seperti gelang.
Ular itu melingkar di situ, persis sebuah gelang emas yang berkilauan!
Setelah itu
Ci Sian menggerakkan bibirnya, dan terdengarlah suara melengking lain dan kini
ular-ular itu bergerak menyerang ke arah para pengawal! Gegerlah para pengawal
itu diserang oleh ratusan ekor, ular yang sebagian besar adalah ular-ular
beracun! Wanita cantik tadi kini sudah bangkit dan dia pun menjadi terkejut dan
jijik bukan main, akan tetapi aneh sekali, tidak ada ular yang merayap ke
arahnya. Semua ular merayap ke arah dua puluh empat orang pengawal itu.
Terjadilah
pemandangan yang lucu dan juga mengerikan. Para pengawal itu ketakutan, dan
mereka berusaha untuk menghalau ular-ular itu dengan golok mereka, akan tetapi
karena banyaknya ular-ular itu, mereka menjadi ngeri dan bingung. Memang ada
beberapa ekor yang mati kena bacokan, akan tetapi hampir semua pengawal telah
kena digigit, bahkan ada seorang pengawal gendut yang roboh karena tubuhnya
dililit oleh seekor ular berwarna hitam!
Tepat pada
saat itu terdengar suara gaduh dan muncullah seorang wanita cantik yang dikawal
oleh sedikitnya seratus orang prajurit! Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga
puluh lima tahun, wajahnya cantik, hidungnya mancung dan bentuk tubuhnya masih
padat dan ramping. Dari pakaiannya saja mudah diketahui bahwa dia adalah
seorang panglima wanita, dengan pakaian panglima yang dilindungi oleh lapisan
baja di sana-sini, dengan wajah cantik yang bengis dan sepasang mata yang tajam
penuh semangat!
Wajah wanita
ini pun membuktikan bahwa dia adalah seorang wanita berbangsa Nepal, namun
rambutnya disanggul ke atas seperti model sanggul puteri-puteri bangsa Mancu!
Rombongan ini datang berkuda dan kini dengan gerakan yang amat cekatan wanita
itu meloncat turun dari atas kudanya dan dengan alis berkerut dia memandang ke
arah dua puluh empat orang pengawal yang masih repot menghadapi amukan
ular-ular itu, kemudian dia menoleh dan memandang kepada gadis cantik yang
masih berdiri dalam keadaan kaget dan ngeri, kemudian menoleh ke arah Ci Sian
dan sepasang matanya seperti mengeluarkan sinar berapi.
Wanita itu
kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan nampaklah sinar bercahaya
keluar dari batu hijau yang dipegangnya itu. Lalu, dengan tangan kirinya dia
menyebar bubuk putih ke arah ular-ular itu dan.... ular-ular yang tadinya
mengamuk itu seketika diam tak bergerak liar lagi, hanya menggeliat-geliat
seperti lumpuh! Wanita itu lalu memandang kepada Ci Sian, kemudian mengangkat
tangannya sambil membentak, “Bunuh siluman ular ini!”
Para
prajurit yang seratus orang banyaknya itu sudah mengeluarkan busur dan anak
panah, siap untuk menghujankan anak panah kepada Ci Sian.
“Tahan,
Ibu....!” Tiba-tiba gadis cantik itu berseru dan dia pun meloncat ke dekat Ci
Sian sehingga tentu saja para prajurit tidak berani melepaskan anak panah,
takut kalau mengenai puteri panglima mereka itu.
“Siok Lan,
siluman ular ini telah mengganggumu dan merobohkan para pengawal, apa lagi yang
kau lakukan ini?”
“Tidak, Ibu.
Akulah yang mula-mula membuat dia terpaksa melawan. Kami berjumpa di sini dan
aku menantangnya berkelahi. Aku hampir kalah dan para pengawalku, tanpa
kuperintah, maju hendak mengeroyok, maka dia lalu memanggil ular-ularnya. Bukan
salahnya, Ibu, maka harap kau suka ampunkan dia.”
Panglima
wanita yang gagah perkasa itu mengerutkan alis, kelihatan meragu sejenak, akan
tetapi setelah lama beradu pandang mata dengan puterinya, agaknya karena
sayangnya kepada puterinya, dia mengalah, “Hemm, baiklah, akan tetapi kalau dia
kelak memperlihatkan sikap tidak semestinya, aku akan membunuhnya!”
Gadis yang
bernama Siok Lan itu kelihatan girang sekali. Dia memegang tangan Ci Sian
sambil tersenyum dan berbisik, “Lekas kau haturkan terima kasih kepada Ibuku,”
dan dia mengguncang tangan Ci Sian.
Melihat
sikap gadis bekas lawannya ini demikian baik, dan karena melihat terbukanya
kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan pasukan Nepal dan mencari
Lauw-piauwsu, maka Ci Sian yang sebetulnya tidak mengenal takut itu lalu
mengangguk ke arah panglima itu.
“Terima
kasih, Bibi.”
Akan tetapi
panglima wanita itu bersikap tidak peduli.
“Siapa
namamu?” Siok Lan berbisik.
“Namaku Ci
Sian,” jawab Ci Sian tanpa menyebutkan nama keturunannya karena dia tidak ingin
membuka atau memperkenalkan nama orang tuanya yang dirahasiakan.
“Ci Sian,
lekas kau usir ular-ularmu itu,” Siok Lan berkata, nadanya penuh permintaan.
Ci Sian
memandang ke arah ular-ular itu. Dia tahu bahwa wanita perkasa itu tadi telah
menyebar garam yang membuat ular-ularnya menjadi jinak dan lumpuh, juga amat
menderita. Maka dia kemudian mengeluarkan sapu tangannya, dan beberapa kali dia
mengebut ke arah ular-ular itu dengan pengerahan sinkang. Bubuk putih yang
mengena tubuh ular dan yang tersebar di sekeliling ular itu terkena kebutan
saputangannya lalu beterbangan ke mana-mana.
Melihat ini,
panglima wanita itu nampak terkejut sekali, tetapi dia hanya mengerutkan alis
dan tidak berkata apa-apa, sungguh pun dia tahu bahwa dara penaluk ular itu
sungguh-sungguh amat lihai ilmu kepandaiannya. Ular-ular itu tidak menderita
lagi setelah semua bubuk putih diterbangkan bersih dari tempat itu, dan begitu
Ci Sian mengeluarkan suara melengking halus, ular-ular itu lalu bergerak pergi
dari tempat itu, meninggalkan beberapa ekor ular yang telah mati dalam
pertempuran tadi, bagaikan sekumpulan pasukan pulang dari medan perang
meninggalkan mayat kawan-kawan mereka!
“Terima
kasih, Ci Sian, kau baik sekali. Sekarang kau obatilah pengawal-pengawalku yang
luka oleh gigitan ular-ular berbisa itu,” kata pula Siok Lan. Ci Sian memandang
ke arah dua puluh empat orang pengawal yang mengerang-erang kesakitan itu dan
dia pun mengangguk, lalu menghampiri.
“Tidak
perlu, aku bisa mengobati mereka!” Tiba-tiba wanita perkasa itu berkata, nada
suaranya tidak senang. “Siok Lan, apa sih sukarnya menolong mereka? Kau gunakan
batu bintang hijau ini untuk menyedot racun dari tubuh mereka!” kata Sang Ibu
dan tangannya bergerak. Batu berkilauan itu melayang ke arah Siok Lan yang
menyambut dan menerimanya dengan cekatan sekali, menggunakan tangan kanannya.
Dia pun
menoleh kepada Ci Sian sambil tersenyum. “Adik Ci Sian, kau lihatlah betapa lihainya
ibuku!”
Dan dia pun
menghampiri para pengawal itu, menempelkan sebentar batu hijau itu pada luka
dan sungguh menakjubkan sekali, dalam waktu beberapa detik saja semua racun
telah disedot oleh batu bintang hijau itu dan mereka semua tertolong, hanya
menderita luka kecil bekas gigitan yang tentu saja tidak ada artinya lagi
karena racunnya telah lenyap.
Tentu saja
Ci Sian memandang dengan kagum dan diam-diam dia juga heran atas kelihaian
wanita yang menjadi ibu Siok Lan itu. Ketika mengembalikan batu hijau itu
kepada ibunya, Siok Lan berkata, suaranya mengandung kemanjaan, “Ibu, aku suka
bersahabat dengan Adik Ci Sian yang lihai ini, aku akan mengajaknya menjadi
tamu di tempat tinggal kita. Boleh bukan?”
Panglima itu
mengerutkan alisnya, lalu mengerling ke arah Ci Sian sambil berkata singkat.
“Sesukamulah, akan tetapi jangan suruh dia main-main dengan ular lagi, aku
tidak akan mau mengampuninya lain kali!” Setelah berkata demikian, dengan
cekatan sekali walau pun dia berpakaian perang, wanita itu meloncat ke atas
punggung kudanya dan memberi tanda kepada pasukannya untuk pergi dari situ.
Siok Lan
tersenyum memandang kepada Ci Sian. “Ibuku hebat, bukan?”
Ci Sian
mengangguk, bukan hanya untuk menyenangkan hati sahabat barunya ini, melainkan
sesungguhnya dia pun menganggap wanita tadi hebat! Dan dia merasa suka kepada
Siok Lan, karena dia melihat hal-hal yang baik pada diri gadis ini. Pertama,
Siok Lan tidak mau melawannya yang bertangan kosong dengan senjata, hal ini
sudah membuktikan kegagahannya, dan ke dua, Siok Lan malah mintakan ampun
baginya kepada ibunya, yang tentu saja bermaksud menyelamatkannya dari bahaya
maut, sungguh pun dia sendiri tadi sama sekali tidak takut menghadapi ancaman
hujan anak panah. Dan hal itu saja sudah membuat Siok Lan patut menjadi
sahabatnya, di samping keuntungan baginya untuk memasuki Lhagat dan mencari
Lauw-piauwsu.
Setelah
menyuruh para pengawalnya mengumpulkan kembali kuda yang tadi melarikan diri
karena takut ular, Siok Lan lalu mengajak Ci Sian berkuda menuju ke Lhagat. Dia
memberi seekor kuda kepada Ci Sian dan mengajak dara itu mendahului para
pengawal menuju ke Lhagat, karena pengawal-pengawalnya selain masih luka dan
kaget juga terpaksa mereka boncengan karena tak semua kuda dapat mereka
kumpulkan kembali.
Hal ini saja
sudah menimbulkan rasa suka dalam hati Ci Sian. Sudah jelas bahwa Siok Lan
merupakan bekas lawan yang tidak mampu menandinginya, dan kalau saja dia
menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat mencelakakan puteri panglima itu,
apalagi kalau melakukan perjalanan berdua. Akan tetapi Siok Lan mengajak dia
melakukan perjalanan bersama, berdua saja, hal ini menunjukkan betapa Siok Lan
sudah percaya sepenuhnya kepadanya!
Ketika
mereka tiba di pintu gerbang kota Lhagat tentu saja Ci Sian dapat memasuki kota
itu dengan mudah, bahkan ketika dia dan Siok Lan lewat berkuda, para penjaga
cepat memberi hormat yang tentu saja ditujukan kepada puteri panglima itu.
Siok Lan
membawa sahabat barunya itu ke dalam gedung besar yang tadinya menjadi tempat
tinggal kepala daerah Lhagat. Kini, setelah pasukan Nepal menguasai Lhagat,
kota itu menjadi semacam benteng dan gedung itu dipakai oleh panglima bala
tentara Nepal yang melakukan penyerbuan ke daerah Tibet, yaitu panglima wanita
yang kebetulan bertemu dengan Ci Sian itu, ialah ibu dari gadis cantik bersama
Siok Lan.
Setelah
tinggal di dalam gedung di kota Lhagat itu sebagai tamu dan sahabat Siok Lan,
kemudian mereka berdua bercakap-cakap panjang lebar, barulah Ci Sian mengerti
mengapa Siok Lan suka kepadanya dan ingin bersahabat dengannya. Kiranya Siok
Lan adalah seorang gadis peranakan, ibunya seorang puteri Nepal sedangkan
ayahnya seorang berbangsa Han yang menurut Siok Lan adalah seorang pendekar
besar yang tak pernah dilihatnya dan juga Ibunya tidak pernah menyebut siapa
nama pendekar itu.
“Aku hanya
diberi nama bangsamu di samping nama Nepal, yaitu Siok Lan, dan aku sendiri
tidak tahu siapa nama she (nama keturunan) Ayah kandungku itu,” kata gadis itu
dengan nada kesal. “Ibu amat keras hati dan tidak pernah mau bercerita tentang
Ayah kandungku. Bahkan ketika Ayah tiriku masih hidup, dia pun tidak pernah mau
bercerita tentang Ayahku yang sebenarnya.”
“Ayah
tirimu....?” Ci Sian bertanya, heran dan juga tertarik.
Siok Lan
memegang tangan Ci Sian dan menarik napas panjang. “Ibu melarang aku bercerita
tentang ini, dan aku pun tidak pernah bicara kepada orang lain tentang riwayat
kami ini, akan tetapi aku suka kepadamu dan kau sudah kuanggap adik sendiri, Ci
Sian. Dengarlah Ibuku adalah seorang wanita perkasa, akan tetapi bukan
bangsawan, melainkan puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari
ilmu-ilmu silat. Ibu menikah dengan seorang pangeran Nepal, dan karena ibu
pandai ilmu perang, maka dia lalu menduduki pangkat dalam kemiliteran. Ketika
aku terlahir dan sudah agak besar, aku hanya tahu bahwa Ibu adalah isteri
pangeran Nepal. Akan tetapi aku sejak kecil memakai pakaian anak bangsa Han.
Kemudian Ibu mengatakan bahwa pangeran yang menjadi suaminya itu adalah Ayah
tiriku, sedangkan Ayah kandungku adalah seorang pendekar Han. Hanya itulah! Ibu
tidak mengatakan siapa pendekar itu dan apakah dia masih hidup....”
Siok Lan
tampak berduka, kemudian melanjutkan. “Karena wajahku adalah wajah wanita Han,
juga kulitku, maka aku merasa terasing dan tidak mempunyai teman. Aku tekun
belajar ilmu silat dari Ibu, akan tetapi aku tidak pernah hidup bahagia di
kalangan Istana Nepal. Ada bisik-bisik bahwa aku adalah anak haram, bahwa aku
adalah berdarah bangsa lain dan sebagainya. Maka, ketika Ibu memimpin tentara
menyerbu Tibet, aku ikut! Dan aku pun ikut bertempur! Dan di sini aku bertemu
dengan engkau, betapa menyenangkan hati!”
Ci Sian yang
kini mengerti mengapa gadis itu suka bersahabat dengan dia, yang dianggap
merupakan orang sebangsa, dan pula juga sama-sama suka ilmu silat, bahkan
puteri panglima itu agaknya kagum akan ilmu silatnya yang lebih tinggi, lalu
bertanya sambil lalu, “Akan tetapi mengapa tentara Nepal menyerbu ke sini?” dan
dengan hati-hati ditambahnya, “Dan mengapa pula pasukan Kerajaan Ceng kabarnya
dikurung di lembah?”
Sepasang
mata itu nampak bercahaya penuh semangat, seperti mata ibunya yang menjadi
pangllma itu. “Tentu saja! Sejak dahulu Tibet memiliki hubungan batin yang erat
dengan Nepal, dan boleh dibilang Tibet merupakan daerah yang tunduk kepada
Nepal. Akan tetapi semenjak Tibet diduduki dan ditaklukkan oleh Kerajaan Ceng
di timur, sikap Tibet tidak bersahabat, bahkan sering memusuhi Nepal. Kedudukan
Nepal agak kacau oleh seorang koksu yang ternyata seorang jahat yang hendak
memberontak, maka selama itu kami diam saja. Kini, setelah kami dapat
menghimpun kekuatan, di bawah pimpinan Ibuku kami menyerbu untuk menghajar
orang-orang Tibet. Ehhh, tahu-tahu pasukan Kerajaan Mancu di negerimu itu
mencampuri, tentu saja kami tidak tinggal diam.”
Mendengar
ini, Ci Sian yang tidak ingin mencampuri urusan perang, juga yang tidak tahu
apa-apa tentang politik, diam saja. Bahkan dia berpura-pura menaruh simpati
karena dia ingin memperoleh kepercayaan agar dia mendapat kesempatan
menyelidiki dan mencari Lauw-piauwsu, satu-satunya orang yang agaknya dapat
menunjukkan di mana adanya ayah kandungnya.
Kota Lhagat
memang sudah mulai ramai dan biasa kembali setelah kini perang tidak lagi
terjadi di daerah itu. Pasukan Tibet telah didesak mundur terus sampai jauh
masuk ke daerah Tibet sendiri, sedangkan pasukan yang tidak berapa kuat itu
masih menanti-nanti bantuan dari timur, dari Kerajaan Ceng...
Sementara
itu, pasukan Ceng yang dikurung di lembah bukit juga tak mampu menyerbu ke
luar, maka keadaan untuk sementara dapat dikatakan tenang, sungguh pun sewaktu-waktu
diharapkan akan meledak pertempuran besar lagi, baik dari pasukan yang
terkurung itu kalau menyerbu ke luar kepungan mau pun kalau datang bala bantuan
dari Kerajaan Ceng. Sementara itu, panglima wanita itu telah mendatangkan bala
bantuan pula dari Nepal untuk sewaktu-waktu mengadakan pukulan terakhir,
menyerbu sampai ke ibu kota Tibet.
Karena
keadaan menjadi tenang kembali, kota Lhagat mulai ramai, para pedagang mulai
berani berdagang, para pemburu mulai lagi bekerja dan para petani mulai lagi
berladang. Juga ternyata sekarang oleh Ci Sian betapa sebenarnya Siok Lan tidak
membohong, bahwa ibu gadis itu amat keras terhadap pasukan-pasukannya dan
setiap kali terdapat gangguan pasukan yang menyeleweng atau pun melakukan
kejahatan, terutama perkosaan, tentu akan dihukum berat. Namun, tentu saja
kadang-kadang sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran. Maklum dalam keadaan
perang di mana hawa napsu merajalela menguasai hati semua manusia.
Ketika dia
ditanya oleh Siok Lan, Ci Sian juga hanya mengatakan bahwa namanya Ci Sian
bahwa dia pun tidak pernah melihat ayah bundanya dan bahwa dia tadinya ikut
dengan kakeknya dan kakeknya itu tewas ketika mereka mengadakan perantauan di
daerah Himalaya. Diceritakannya bahwa dia bertemu dengan Yeti dan kemudian dia
berguru kepada seorang pertapa aneh yang berjuluk See-thian Coa-ong.
Mendengar
disebutnya nama ini, Siok Lan berseru girang, “Ahh, sudah kuduga bahwa engkau
tentu murid pertapa aneh itu! Tentu Ibu pun sudah menduganya, maka dia mau
mengampunimu!”
“Ehh, kau
mengenal Guruku?”
“Siapa tidak
pernah mendengar nama See-thian Coa-ong? Dia itu orang Nepal, akan tetapi kata
Ibu, sejak muda dia pergi merantau dan bertapa di daerah Himalaya. Ilmu
kepandaiannya hebat sekali, kata Ibu, dan agaknya, Ibu mengingat dialah maka
Ibu bersikap lunak terhadapmu, Ci Sian. Kalau tidak demikian, kiranya engkau
tentu telah dibunuhnya. Ibu keras sekali terhadap musuh. Ceritakan kepadaku
tentang orang aneh itu, Adikku, kabarnya dia itu.... ehh, kawin dengan ular?”
Ci Sian
tertawa. “Mana ada manusia kawin dengan ular, Enci Lian? Suhu itu manusia
biasa, hanya dia suka bertapa dan mempelajari ilmu, dan kesukaannya yang lain
adalah mengadu ilmu, ilmu apa saja! Memang dia ahli menjinakkan ular, akan
tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia kawin dengan ular!”
“Soal ilmu
perularan ini di Nepal tidak asing lagi, Adik Sian. Akan tetapi aku sendiri
selalu takut, ngeri dan jijik terhadap ular. Bukankah binatang itu jahat dan
berbahaya sekali?”
“Tidak lebih
jahat dan berbahaya dari pada manusia, Enci Lian.”
“Mengapa kau
berkata demikian?”
“Ular tidak
pernah pura-pura. Sebagai sahabat dia setia dan sebagai musuh dia jujur dan
tidak curang seperti manusia.”
Mereka lalu
bicara tentang ilmu silat dan dengan sejujurnya karena dia pun mulai merasa
suka kepada Siok Lan, Ci Sian memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada
teman barunya ini sehingga hubungan mereka semakin akrab.
Setelah
tinggal selama beberapa hari di Lhagat, Ci Sian mendengar berita yang amat
menggelisahkan semua orang, terutama sekali golongan atas, para pimpinan
pasukan Nepal, yaitu bahwa ada seorang tokoh besar, seorang jenderal yang
berilmu tinggi dari Kerajaan Ceng hendak datang melakukan penyelidikan ke
Lhagat dengan tugas untuk menolong dan membebaskan pasukan Ceng yang terkepung
di lembah itu. Bahkan Siok Lan membuka rahasia siasat ibunya yang menjadi
panglima bahwa pengepungan pasukan itu memang sengaja dilakukan untuk memancing
datangnya tokoh-tokoh Kerajaan Ceng untuk kemudian ditangkap dan dijadikan sandera
untuk memaksa Kerajaan Ceng menarik mundur semua pasukannya dan tidak melakukan
‘campur tangan’ terhadap gerakan Nepal untuk menyerbu dan menguasai Tibet.
Ci Sian
mulai dipercaya oleh Siok Lan, bahkan panglima wanita yang bernama Puteri
Nandini, ibu Siok Lan itu juga tidak begitu memperhatikan Ci Sian yang
dianggapnya hanya seorang dara kang-ouw yang baru turun dari perguruannya,
apalagi ketika dia mendengar dari puterinya bahwa Ci Sian adalah murid
See-thian Coa-ong seperti yang memang telah diduganya semula ketika dia melihat
dara itu pandai menguasai ular-ular.
Begitu
sukanya Siok Lan kepada sahabat barunya ini, dan begitu percayanya sehingga
tidak jarang Ci Sian diajak oleh puteri panglima itu melakukan perondaan di
sekitar Lhagat untuk meneliti keadaan dalam tugasnya membantu pekerjaan ibunya.
Pada suatu senja, kedua orang dara remaja itu melakukan perondaan dan seperti
biasa kalau melakukan perodaan seperti itu, mereka menggunakan ilmu kepandaian
mereka, berloncatan ke atas genteng-ganteng rumah untuk melihat kalau-kalau ada
penjahat beraksi, atau untuk mendengar-dengarkan kalau-kalau mereka akan dapat
menangkap rahasia apakah Jenderal Ceng atau tokoh pandai pihak musuh sudah ada
yang menyelundup ke dalam kota Lhagat.
Selagi dia
menggunakan ginkang dengan cepat berkelebat di atas genteng-genteng rumah,
tiba-tiba Ci Sian berhenti karena telinganya menangkap rintihan atau keluhan
wanita yang sedang ketakutan, di antaranya tangis seorang bayi! Melihat Ci Sian
berhenti lalu mendekati sahabatnya yang berdiri di atas genteng dan kemudian
dia mengikuti Ci Sian yang meloncat ke atas genteng rumah di sebelah kiri, lalu
keduanya berjongkok di atas sebuah kamar rumah dari mana terdengar keluhan dan
tangis bayi itu.
“Kalau
engkau tetap keras kepala dan menolak, bayimu ini akan kukirim ke neraka lebih
dulu!” terdengar suara bentakan tertahan, agaknya orang yang membentak itu pun
tidak ingin membuat gaduh.
“Jangan....
ohh, jangan bunuh anakku....“ terdengar suara seorang wanita sambil terisak
ketakutan.
Ci Sian cepat
membuka genteng dan mereka berdua mengintai ke dalam. Apa yang mereka lihat di
sebelah dalam kamar itu membuat keduanya terbelalak dengan muka berubah merah
dan pandang mata penuh kemarahan! Seorang laki-laki tinggi besar bermuka
bengis, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang perwira rendahan dari pasukan
Nepal, sedang mencengkeram baju seorang anak kecil berusia kurang dari setahun,
mengangkat anak itu dengan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya
yang memegang sebatang golok besar itu diancamkan ke leher anak itu yang
seolah-olah hendak disembelihnya!
Anak itu
meronta-ronta lemah dan menangis. Seorang wanita muda, paling banyak dua puluh
dua tahun usianya, berwajah cukup manis dan bertubuh montok karena masih
menyusui, berlutut dengan air mata bercucuran dan dua tangan menyembah-nyembah
minta diampuni.
“Engkau
masih menolak kehendakku?” bentak laki-laki itu bengis.
“Aku mau....
ahhh, aku mau.... lepaskan anakku....“ Wanita itu menangis sambil dengan tangan
gemetar mulai menanggalkan bajunya.
Melihat ini,
perwira rendahan itu tertawa, melemparkan anak itu ke atas pembaringan,
menancapkan goloknya di atas meja dan dengan buas dia menubruk wanita itu lalu
memeluk dan menciuminya penuh nafsu. Wanita itu, demi keselamatan anaknya,
hanya merintih dan menangis, tidak berani menolak atau melawan lagi.
Tentu saja
Ci Sian dan Siok Lan marah bukan main. Akan tetapi sebelum dua orang dara ini
mampu melakukan sesuatu, tiba-tiba jendela kamar itu jebol dan dari luar
melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali. Tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang pria berpakaian prajurit Nepal, akan tetapi wajah orang ini
tidak dapat nampak jelas dari atas genteng.
Perwira yang
sedang menciumi wanita itu dan tangannya mulai merobeki pakaian korbannya
terkejut dan kelihatan marah. Namun, sebelum dia mampu mengeluarkan suara,
tangan kiri prajurit itu bergerak dan terdengar suara benda pecah ketika tangan
itu menampar dan mengenai kepala perwira itu! Tubuh perwira itu terpelanting
dan tewas seketika! Wanita itu terbelalak ketakutan, lalu menghamplri anaknya
yang masih menangis, mendekap anaknya sambil menangis sesenggukan.
Prajurit
yang tubuhnya tidak seberapa besar itu mengeluarkan sekantung uang dan menaruh
kantung itu ke atas meja. Terdengar suaranya lembut, suara dalam bahasa daerah
yang tidak kaku. “Jangan takut, aku akan menyingkirkan mayat. Sebaiknya engkau
bawa pindah anakmu dari Lhagat, dan uang ini dapat kau pergunakan untuk biaya.”
Setelah
berkata demikian, prajurit itu memondong tubuh yang sudah tewas itu, lalu
meloncat dengan gerakan yang amat tangkas keluar kamar melalui jendela. Akan
tetapi sebelum ia melompat itu, dia menengadah ke atas, seolah-olah dapat
memandang dua orang dara yang berada di atas genteng! Wajahnya tidak dapat
nampak jelas, akan tetapi Ci Sian terkejut sekali melihat sepasang mata yang
mencorong seperti mata naga, mengingatkan dia akan mata dari pendekar sakti
Suling Emas atau Kam Hong!
“Lekas....
kita kejar dia! Dia mencurigakan sekali, aku mau tahu siapa prajurit itu!”
Bisik Siok Lan dan kedua orang dara ini cepat melayang turun dari genteng dan
ketika mereka melihat tubuh prajurit yang memanggul mayat itu berlari cepat,
mereka segera mengejarnya.
Akan tetapi,
betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa prajurit itu dapat berlari cepat
sekali! Mereka berdua sudah mengerahkan seluruh ginkang mereka, namun tetap
saja dalam waktu singkat prajurit itu telah lenyap, seolah-olah dapat terbang
atau pandai menghilang! Tentu saja kedua orang dara ini menjadi penasaran.
Mereka
adalah dua orang dara yang memiliki kepandaian silat tinggi, sedangkan yang
dikejar hanya seorang prajurit biasa, yang malah sedang memanggul tubuh perwira
yang tewas itu, namun ternyata mereka tidak mampu mengejarnya! Dengan penasaran
sekali Siok Lan mengajak Ci Sian mencari-cari, namun hasilnya nihil. Prajurit
yang memanggul mayat itu lenyap. Bahkan setelah Siok Lan memerintahkan pasukan untuk
membantunya, tetap saja tidak dapat menemukan prajurit itu. Akhirnya mereka
merasa putus harapan dan duduk beristirahat dengan hati mengandung penuh
penasaran.
“Dia itu
pasti seorang mata-mata,” kata Siok Lan. “Tidak mungkin ada seorang prajurit
biasa yang memiliki ilmu kepandaian seperti itu!”
“Memang dia
lihai sekali,” Ci Sian membenarkan. “Cara dia dengan hanya sekali tampar
membunuh perwira itu dan ketika dia melarikan diri. Betapa pun, kita tetap
harus mengaguminya, karena dia telah menolong wanita yang sengsara itu.”
Siok Lan
mengerutkan alisnya. “Dia lancang! Dia telah membunuh seorang perwira pasukan
kami dan dia tidak berhak!”
“Akan
tetapi, Enci Lan, engkau tidak adil! Bukankah perwira itu cabul dan jahat
sekali? Andai kata orang itu tak membunuhnya, aku sendiri tentu turun tangan
membunuhnya!” Ci Sian yang berwatak jujur itu berkata terus terang.
“Memang aku
sendiri pun sudah ingin turun tangan. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa
penjahat itu adalah seorang perwira, maka dia tunduk kepada hukum dan disiplin.
Mengapa harus orang lain yang menghukumnya, apalagi kalau orang lain itu
agaknya adalah mata-mata musuh?”
“Betapa pun
juga, sekarang terbukti lagi bahwa orang-orangmu jahat-jahat, Enci Lan. Perwira
itu sungguh berhati binatang, bahkan seperti iblis jahatnya, patut sekali dia
dibunuh sampai sepuluh kali!”
Siok Lan
menarik napas panjang. “Aahh, begitulah perang. Menurut ilmu perang yang
kupelajari dari Ibuku, memang perang selalu mendatangkan akibat-akibat seperti
itu! Pasukan yang berada dalam perang selalu terancam nyawanya, penuh dengan
dendam dan rasa takut, penuh dengan kebencian terhadap musuh. Hal ini baik
sekali untuk semangat pasukan. Lagi pula mereka itu jauh dari keluarga, jauh
dari isteri sehingga rata-rata menjadi lemah kalau melihat wanita. Nah, semua
itu mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan seperti yang kita lihat, Adik
Sian.”
“Jadi,
menurut anggapanmu, perbuatan itu tidak salah dan sudah sepatutnya? Apakah
engkau tidak membayangkan bagaimana seandainya engkau yang menjadi wanita itu,
Enci yang baik?” Biar pun nada suaranya halus, namun penuh ejekan dan
kemarahan.
Siok Lan
tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. “Simpan kemarahanmu, Adik Ci Sian.
Aku tadi sudah bilang bahwa aku sendiri akan membunuhnya kalau tidak didahului
oleh mata-mata itu! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya, bukan
melindunginya atau membelanya. Oleh karena itu, Ibu mengeluarkan peraturan
keras dan disiplin. Akan tetapi, sudah tentu saja kadang-kadang terjadi
pelanggaran oleh orang-orang yang lemah batinnya dan dan hal ini adalah lumrah.
Kurasa di seluruh dunia pun terjadi hal-hal yang sama di waktu terjadi perang.
Akan tetapi, jangan karena ada satu dua orang tentara yang dikuasai nafsu itu
melakukan pelanggaran lalu engkau memberi cap bahwa semua pasukan Nepal seperti
itu! Buktinya, aku sendiri adalah puteri panglima pasukan Nepal yang berkuasa
di sini, akan tetapi aku menentang keras perbuatan jahat itu.”
Kini
mengertilah Ci Sian dan dia pun mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kagum
karena biar pun usia Siok Lan masih muda, paling banyak setahun lebih tua dari
padanya, namun sudah memiliki pengetahuan yang luas.
“Sekarang,
apa yang hendak kau lakukan, Enci Lan?”
“Aku akan
segera melaporkan kepada Ibu. Prajurit itu sangat mencurigakan dan melihat
kelihaiannya, tentu dia seorang tokoh besar Kerajaan Ceng, atau.... siapa tahu,
dia malah jenderal yang diberitakan akan datang ke sini itu....” Lalu dia
menghela napas panjang dan berkata, “sayang.... kita tidak dapat melihat
wajahnya dengan jelas.”
“Ahh, kurasa
tidak mungkin dia seorang tokoh besar, apalagi jenderal. Biar pun aku juga
tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun gerak-geriknya menunjukkan
bahwa dia adalah seorang pria yang masih muda, atau setidaknya, belum tua
benar.”
Siok Lan
mengangguk. “Apa anehnya seorang jenderal perkasa dan tokoh besar yang masih
muda? Ibuku sendiri seorang wanita, dan belum tua benar, namun dia telah
dipercaya untuk memimpin pasukan yang menyerbu ke sini dan menjadi panglima.”
Tiba-tiba
datang seorang perwira melapor bahwa ada seorang prajurit yang sikapnya
mencurigakan kelihatan di luar kota Lhagat. Mendengar ini, Siok Lan dan Ci Sian
lupa akan kelelahan tubuh mereka yang semalam suntuk tidak tidur itu dan cepat
mereka lalu pergi ke tempat yang ditunjukkan itu.
Ketika
mereka mengintai, memang benar ada seorang prajurit yang berjalan perlahan
sambil menundukkan kepala. Karena mereka melihat dari jauh, dari belakang, maka
mereka pun tidak tahu apakah benar prajurit itu yang mereka lihat semalam. Akan
tetapi, menurut laporan penyelidik, prajurit itu baru saja mengubur mayat di
lereng bukit itu, maka tidak salah lagi tentulah prajurit itu yang telah
membunuh perwira dan yang mereka kejar-kejar.
“Mari kejar
dia!” Siok Lan berseru dan Ci Sian sudah melompat keluar dari balik pohon dan
mengerahkan ginkang untuk mengejar.
Karena
memang kepandaian Ci Sian lebih tinggi setingkat, maka dia yang lebih dulu lari
dan Siok Lan mengejar di belakangnya. Tiba-tiba prajurit itu menoleh. Sejenak
saja, dan kembali Ci Sian melihat sinar mata mencorong, maka dia pun tidak
ragu-ragu lagi. Itulah orang yang mereka cari-cari. Mereka berdua mengejar
terus, akan tetapi kini prajurit itu pun melarikan diri, sedemikian cepat
larinya sehingga sebentar saja dua orang dara perkasa itu telah kehilangan
jejaknya!
“Keparat!
Dia menghilang lagi!” Siok Lan memaki sambil mengepal tinju ketika mereka berdua
tiba di luar sebuah hutan dan tidak tahu ke mana lenyapnya prajurit yang mereka
kejar itu. “Mari kita mencari terus!”
Ci Sian juga
merasa penasaran. Tentu saja dia tidak mempunyai keinginan seperti Siok Lan
yaitu menangkap atau menyerang prajurit itu. Akan tetapi dia ingin sekali
bertemu dan melihat wajah prajurit itu dan mengetahui apakah benar dia itu
adalah mata-mata Kerajaan Ceng, terutama apakah benar dugaan Siok Lan bahwa dia
itu adalah seorang tokoh besar atau jenderal yang didesas-desuskan itu. Maka
mereka lalu melakukan pengejaran dan Siok Lan yang sejak kecil diajar ilmu
perang dan sudah berpengalaman itu dapat mengikuti jejak orang itu dengan
melihat daun-daun kering yang berserakan atau jejak-jejak yang halus di atas
tanah.
Menjelang
tengah hari, tibalah mereka di tepi sungai. Siok Lan yang menjadi pemburu jejak
itu berlari di depan sedangkan Ci Sian mengikuti dari belakang. Di tepi sungai
itu nampak sebuah perahu dan seorang pengail ikan sedang duduk di ujung perahu
memegang joran pancing. Mereka cepat berlari menghampiri dan melihat bahwa
pengail itu adalah seorang pemuda remaja yang sedang tekun memancing. Wajah
pemuda itu sebetulnya tampan, akan tetapi ketika menoleh kepada mereka, nampak
betapa sepasang matanya itu juling dan mulutnya agak menyerong, ujung kiri ke
bawah dan ujung kanan ke atas. Cacat pada mata dan mulut ini tentu saja membuat
wajahnya yang berkulit putih itu dan berbentuk tampan itu menjadi buruk dan
menggelikan.
“Heeii,
apakah engkau melihat seorang prajurit lewat di sini?” Siok Lan bertanya dengan
napas agak terengah-engah karena dia tadi berlari-lari.
Pemuda itu
memandang dengan mata julingnya, lalu menjawab agak bersungut-sungut. “Kalian
ini mengganggu saja! Ikan-ikan pada lari mendengar kalian membikin bising.
Sejak pagi aku tidak melihat seorang pun kecuali kalian dan sungguh sialan
ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan kini beterbangan pergi lagi!”
“Kalau
ikan-ikan dapat terbang, kepalamu pun dapat kubikin terbang!” Siok Lan yang
merasa kecewa dan gemas itu mengomel, tangan kanannya menghantam ujung batu di
tepi sungai itu.
“Krakkk!”
Ujung batu itu pecah berantakan terkena tamparan tangannya yang berkulit halus
itu.
Pengail itu
melongo dan mukanya menjadi semakin buruk, apalagi kini tangan kirinya mengusap
dahi dan ternyata tangannya itu kotor sehingga mukanya menjadi coreng moreng.
“Am....
ampunkan.... saya....,” katanya gemetar dan joran pancing di tangannya itu kini
menggigil seperti kalau umpannya disambar ikan.
“Nah, jangan
main-main sekarang. Katakan apakah engkau tidak melihat seorang laki-laki lewat
di sini? Seorang yang berpakaian prajurit?”
“Ti....
tidak.... tidak ada.... tidak ada orang lain....”
“Berani
sumpah?”
“Saya berani
sumpah.... tidak ada orang lain di sini.... kecuali saya sendiri, Nona....”
Dengan hati
mengkal Siok Lan lalu melanjutkan pengejarannya, menyusuri tepi sungai itu. Dia
tidak melihat betapa Ci Sian tersenyum geli dan sekali lagi Ci Sian menoleh ke
arah pengail itu yang melanjutkan pekerjaannya dengan tekun.
Setelah
lewat tengah hari dan sama sekali tidak menemukan jejak prajurit itu, dengan
hati kecewa dan penasaran sekali Siok Lan lalu mengajak Ci Sian pergi dari situ
dan ketika mereka lewat di tepi sungai yang tadi, perahu Si Pengail itu sudah
tidak nampak lagi. Agaknya Si Pengail merasa jemu karena tidak berhasil dan
pindah ke tempat lain.
Siok Lan
mengajak Ci Sian menemui ibunya dan melaporkan semua peristiwa tentang prajurit
aneh yang membunuh perwira itu. Panglima Nandini marah sekali. Cepat dia memanggil
pembantunya dan memerintahkan agar memperkeras tindakan terhadap anak buah yang
melakukan kejahatan, dan juga agar lebih memperketat penjagaan dan menambah
penyelidik untuk menangkap mata-mata yang menyamar sebagai prajurit itu dan
untuk menangkap setiap orang mata-mata yang berani menyusup ke Lhagat.
Ci Sian
diam-diam merasa kagum sekali kepada mata-mata yang menyamar sebagai prajurit
itu dan dia mengambil keputusan untuk ikut menyelidiki, bukan sekali-kali untuk
melaporkan atau mencelakakan mata-mata itu, melainkan untuk belajar kenal
karena dia tahu bahwa mata-mata itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Dan dia pun sudah dapat mendengar bahwa Lauw-piauwsu sekarang mendekam di
penjara sebagai seorang tawanan penting karena ternyata Lauw-piauwsu sudah ikut
pula menentang penyerbuan pasukan Nepal, dan malah telah memimpin orang-orang
untuk melakukan perlawanan ketika pasukan Nepal menyerbu Lhagat. Oleh karena
itulah maka dia dianggap musuh dan kini ditahan dalam penjara yang dijaga ketat
sehingga sukarlah bagi Ci Sian untuk dapat menolongnya. Mengharapkan
pertolongan dari Siok Lan dia belum berani, karena melihat betapa Lauw-piauwsu
dianggap musuh maka jangan-jangan dia sendiri malah akan dicurigai. Maka dia
menanti saat baik untuk dapat menyelamatkan piauwsu itu.
Beberapa
hari telah lewat tanpa ada peristiwa penting dan mata-mata yang menyamar
sebagai prajurit itu agaknya telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Karena
tidak terjadi peristiwa penting, maka keadaan di Lhagat kembali menjadi tenang
sehingga orang-orang berani melanjutkan pekerjaan sehari-hari dengan tenteram.
Siok Lan dan
Ci Sian setiap hari masih saja meronda, namun tidak pernah memergoki sesuatu
yang mencurigakan. Pada suatu pagi, Siok Lan menyatakan kepada Ci Sian bahwa
dia akan pergi menyelidiki serombongan pemburu yang kabarnya sedang melakukan
perburuan di sebelah bukit yang penuh dengan hutan-hutan lebat di mana banyak
terdapat binatang-binatang buruan. Mendengar ini, Ci Sian menjadi gembira. Dia
membutuhkan hiburan dan pergantian keadaan, dan memang dia sendiri pun suka
berburu.
Siok Lan
yang sudah dipesan oleh ibunya agar berhati-hati, telah mempersiapkan sepasukan
pengawal. Akan tetapi dia ingin bebas bersama Ci Sian, maka dia hanya
memerintahkan para pengawal untuk menyusul ke bukit itu, sedangkan dia sendiri
bersama Ci Sian telah mendahului naik kuda dan membalapkan kuda mereka keluar
dari Lhagat menuju ke bukit itu, sebuah bukit yang tidak jauh letaknya dari
bukit di mana terdapat lembah tempat pasukan musuh dikurung.
Siok Lan
adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh ibunya sendiri, dengan
ilmu silat dan ilmu perang sehingga dia memiliki keberanian yang tidak kalah
oleh laki-laki yang gagah perkasa. Apalagi kini ada Ci Sian di sampingnya, yang
dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya dan boleh
diandalkan, maka tentu saja dia menjadi semakin berani. Dengan membalapkan
kuda, dua orang dara itu tiba di kaki bukit dan memandang ke atas. Bukit itu
memang penuh dengan hutan dan terkenal sebagai bukit yang dihuni oleh banyak
binatang buas, menjadi tempat yang baik sekali bagi para pemburu, di samping,
tentu saja, juga amat berbahaya karena di situ masih banyak terdapat
harimau-harimau yang besar dan ganas.
“Mari, Adik
Sian!” Siok Lan berkata dengan gembira dan dia sudah membedal kudanya naik ke bukit
memasuki hutan lebat.
Ci Sian juga
menjadi gembira sekali dan dengan cepat dia mengikuti sahabatnya itu. Ternyata
hutan itu selain lebat sekali, juga jalannya kecil melalui jurang-jurang yang
curam. Namun, karena Siok Lan adalah seorang ahli menunggang kuda, maka dia
tidak takut dan membalapkan kudanya menyusup di antara pohon-pohon, melompati
semak belukar dan berlari cepat di tepi jurang yang mengerikan.
“Heii, Enci
Lan, hati-hatilah!” Beberapa kali Ci Sian memperingatkan sahabatnya yang
dianggap bersikap lengah di tempatnya berbahaya seperti itu.
Namun Siok
Lan hanya menjawab dengan suara ketawa panjang dan terpaksa Ci Sian juga
membedal kudanya untuk mengikuti karena dia tidak mau kalau sampai terpisah
dari sahabatnya itu di tempat yang asing ini.
Tiba-tiba
terdengar suara gerengan yang disusul auman menggetarkan jantung dan dari balik
semak-semak belukar keluarlah seekor harimau yang luar biasa besar. Kuda yang
ditunggangi Siok Lan terkejut dan ketakutan, meringkik keras dan mengangkat
kedua kaki depan ke atas lalu meronta dan membedal ke depan!
“Enci Lan,
lompatlah....!” Ci Sian berseru kaget, cepat mengejar dengan membalapkan
kudanya dan tidak mempedulikan harimau yang masih menggeram dahsyat itu. Namun
Siok Lan tidak mau melompat turun, berusaha menguasai kudanya yang kabur dan
panik penuh rasa takut itu.
Seekor kuda
yang sudah ketakutan amatlah berbahaya kalau ditunggangi. Kuda yang panik itu
berlari dengan kacau dan tidak melihat lagi rintangan di depannya. Memang
sebaiknya kalau dapat melompat turun dari atas punggung seekor kuda yang lari
ketakutan seperti itu. Akan tetapi Siok Lan adalah seorang dara yang keras
hati. Sejak kecil dia sudah mahir menunggang kuda, maka kini pun dia tidak mau
mengalah dan dia merasa sanggup untuk menguasai kembali kudanya yang kabur
ketakutan itu. Dengan menarik kendali kuda dia hendak mengekang dan memaksa
kudanya untuk berhenti. Kuda itu meringkik dan berdiri di atas kedua kaki
belakang, mendengus dan meringkik marah karena rasa nyeri pada mulutnya, kemudian
begitu kendali itu mengendur, dan meloncat ke depan dan tentu saja tubuhnya
melayang turun karena di depannya adalah jurang!
“Enci
Lan....!” Ci Sian menjerit ketika melihat betapa kuda itu bersama Siok Lan
terjatuh ke dalam jurang!
Akan tetapi
pada saat itu, dari tepi jurang sebelah kiri menyambar sinar hitam kecil dari
seuntai tali yang meluncur dengan amat cepatnya ke bawah, ke arah tubuh Siok
Lan yang melayang di atas punggung kudanya dan disusul teriakan seorang
laki-laki yang nyaring. “Cepat tangkap tali ini!”
Tali itu
ternyata merupakan laso yang meluncur cepat sekali dan tahu-tahu sudah melaso
tubuh Siok Lan dari atas. Kalau dara itu tidak cepat menangkap tali yang
menjiratnya, tentu lehernya akan terjirat dan sentakan itu tentu membahayakan
nyawanya. Untung baginya, dia mendengar teriakan itu dan cepat dia melepaskan
kendali kuda dan menangkap tali yang menjirat tubuhnya, maka ketika luncuran
tubuhnya tertahan oleh laso itu, lehernya tidak terjerat dan dia dapat menahan
dengan kekuatan kedua tangannya! Kini tubuhnya tergantung pada tali laso itu.
Ci Sian
sudah melompat turun dan berlari menghampiri pemuda yang memegang ujung tali di
mana Siok Lan bergantung di bawah sana. Tanpa diminta, tanpa mengeluarkan
kata-kata, dia pun membantu pemuda itu menarik tali perlahan-lahan dan akhirnya
tubuh Siok Lan dapat ditarik keluar dari dalam jurang, sementara kudanya masih
terus meluncur turun dan terdengar suara gedebukan mengerikan ketika akhirnya
tubuh kuda itu menimpa dasar jurang tentu saja hancur dan tewas!
Siok Lan
agak menggigil ketika dia dapat ditarik ke tepi jurang. Sejenak dia memandang
ke dasar jurang, kemudian menoleh kepada pemuda itu. Dia tercengang karena
pemuda itu ternyata adalah seorang pemuda tampan dan gagah, biar pun pakaiannya
biasa dan kasar saja dan sikapnya amat sederhana. Seorang pemuda dusun atau
seorang pemuda pemburu.
“Terima
kasih, engkau telah menyelamatkan nyawaku,” kata Siok Lan kepada pemuda itu
yang kelihatan tersipu malu.
“Ahh, hanya
kebetulan saja aku dapat menyelamatkanmu, Nona. Aku girang bahwa engkau
demikian cekatan dapat menangkap tali lasoku,” kata pemuda itu sederhana.
“Kepandaianmu
hebat sekali!” kata Ci Sian memuji.
Pemuda itu
memandang kepada Ci Sian, kemudian menunduk dan memandang tali laso di
tangannya, lalu menjawab dengan sikap wajar, “Tali laso ini? Ahhh, Nona, aku
adalah seorang pemburu dan akhir-akhir ini banyak pedagang yang membutuhkan
binatang-binatang hidup, maka kami para pemburu hanya mempelajari ilmu melempar
laso untuk dapat menangkap binatang hutan hidup-hidup. Baru saja aku sedang
mengintai dan membayangi seekor kijang untuk kutangkap dengan laso ini ketika
aku melihat Nona ini terjatuh dengan kudanya ke dalam jurang.”
“Jadi engkau
adalah seorang di antara para pemburu yang sedang memburu binatang di bukit
ini?” Siok Lan bertanya sambil memandang tajam.
“Benar,
Nona. Kami berkemah di puncak bukit. Aku she Liong bernama Cin.... dan sungguh
amat mengherankan bertemu dengan dua orang dara remaja di tempat seperti ini.
Tidak tahu siapakah Ji-wi dan hendak ke mana....?”
“Enci ini
adalah puteri panglima pasukan Nepal....”
Siok Lan
cepat memandang kepada Ci Sian penuh teguran, akan tetapi Ci Sian sudah
terlanjur bicara sehingga dia tak dapat mencegah lagi sahabatnya itu
memperkenalkan dirinya. Sementara itu, pemuda pemburu itu nampak terkejut dan
cepat-cepat dia menjura dengan hormat.
“Ahh, harap
Nona sudi memaafkan, karena tidak mengerti....“
“Sudahlah,
engkau telah menyelamatkan aku dan aku berterima kasih kepadamu. Sekarang
antarkan kami ke perkemahan para pemburu, aku ingin melihat keadaan mereka,”
kata Siok Lan.
Mereka
bertiga lalu menyusup-nyusup di antara pohon-pohon menuju ke perkemahan itu.
Kuda tunggangan Ci Sian dituntun oleh pemburu muda itu. Akhirnya tibalah mereka
di perkemahan para pemburu. Ternyata di situ berkumpul tujuh belas orang
pemburu yang semua terdiri dari laki-laki yang kasar dan kuat. Akan tetapi
begitu mendengar dari Liong Cin bahwa Siok Lan adalah puteri panglima pasukan
Nepal, para pemburu itu bersikap hormat.
Melihat
keadaan mereka yang betul-betul tengah memburu binatang, dengan hasil-hasil
buruan, mati atau hidup, dikumpulkan di perkemahan mereka. Siok Lan percaya dan
tidak menaruh curiga. Setelah menerima hidangan mereka yang berupa panggang
daging-daging binatang buruan, Siok Lan dan Ci Sian berpamit. Mereka diantar
oleh Liong Cin dan seekor kuda diberikan oleh mereka kepada Siok Lan. Ketika
hendak berpisah, Siok Lan melepaskan seuntai kalung dari lehernya, sebuah
kalung dengan hiasan bunga teratai emas dihias permata, dan menyerahkan kalung
itu kepada Liong Cin.
“Sebagai
tanda terima kasihku atas budi pertolonganmu tadi, terimalah kalungku ini,”
katanya singkat.
Liong Cin
menerimanya dan Siok Lan lalu membedal kudanya meninggalkan pemuda itu, diikuti
oleh Ci Sian, dan dipandang oleh Liong Cin yang masih berdiri bengong dengan
kalung itu di tangannya.
“Ehhh, Enci
Lan, dia itu gagah dan tampan, ya?” kata Ci Sian ketika dia berhasil
menjajarkan kudanya di samping kuda Siok Lan.
“Apa?
Siapa?” Siok Lan nampak terkejut karena agaknya dia sedang melamun.
“Aihh, siapa
yang kau beri hadiah?” Ci Sian menggoda.
“Hushh! Aku
memberi hadiah karena dia telah menyelamatkan nyawaku! Itu merupakan suatu
kenyataan dan bukankah sudah sepatutnya kalau aku kemudian memberi hadiah
kepadanya? Jangan kau mengira yang bukan-bukan!”
“Ihh, siapa
yang mengira bukan-bukan? Aku pun hanya mengatakan yang sebenarnya. Bukankah
dia memang tampan dan dia gagah karena sudah menolongmu? Kau kira aku menyangka
apakah Enci Lan?”
Siok Lan
cemberut dan membalapkan kudanya. Ci sian mengejar sambil tertawa.
“Enci Lan,
jangan marah dong! hanya mau bilang bahwa dia tentu senang sekali memiliki
kalung yang biasa kau pakai di lehermu.”
Siok Lan
menahan kudanya, lalu menoleh, memandang kepada sahabatnya itu. “Ehh, apa
maksudmu?”
Ci Sian
tertawa. “Maksudku engkau tahu sendiri, hi-hik!”
“Ehh, anak
nakal! Engkau genit, ya? Kucubit bibirmu....!” Siok Lan meraih dengan tangannya
untuk mencubit, Ci Sian mengelak dan melarikan kudanya, dikejar oleh Siok Lan.
Kedua orang
dara itu berkejaran sambil bersendau-gurau, tertawa-tawa dan akhirnya mereka
memasuki kota Lhagat dengan selamat. Siok Lan memberi laporan kepada ibunya
tentang para pemburu yang dikatakannya adalah pemburu-pemburu tulen dan orang
baik-baik. Para pengawal yang terpaksa balik kembali ketika mereka bertemu
dengan dua orang dara yang berkejaran itu, tidak melihat apa-apa.
Atas pesan
Siok Lan, Ci Sian juga tidak mau bicara tentang pemburu muda yang telah
menyelamatkan sahabatnya itu kepada orang lain. Siok Lan sendiri hanya secara
singkat menceritakan kepada ibunya bahwa kudanya kaget melihat harimau dan
membawanya terjun ke jurang, akan tetapi seorang di antara para pemburu itu
telah menyelamatkannya dengan menggunakan tali laso. Mendengar ini, Puteri
Nandini terkejut juga, akan tetapi akhirnya dia mengangguk-angguk dengan alis
berkerut.
“Lain kali
kau harus hati-hati. Dan bagaimana pun juga, kita harus menyuruh penyelidik
mengamat-amati para pemburu itu. Seorang pemburu mampu menolong dengan laso
seperti itu, cukup aneh dan mencurigakan.”
“Ah, Ibu
terlalu curiga kepada semua orang pandai. Kalau memang dia itu berniat buruk
dan kalau dia itu mata-mata musuh, tentu dia sudah mengenalku dan mana mungkin
mata-mata musuh mau menyelamatkan puteri panglima musuhnya?” Ucapan ini dapat
diterima oleh panglima wanita itu, maka kecurigaannya terhadap para pemburu itu
pun banyak berkurang.
Sunyi sekali
malam itu, akan tetapi para penjaga berjaga-jaga penuh kewaspadaan di
sekeliling bukit yang terkurung itu. Baru kemarin pagi, ketika matahari baru
timbul, ada penjaga-penjaga di bagian barat bukit itu melihat adanya
bayangan-bayangan orang berkelebat dan bagai beterbangan saja cepatnya naik ke
atas bukit. Mereka tidak tahu bagaimana ada orang-orang mampu menyusup melalui
penjagaan mereka.
Ataukah
bayangan sosok tubuh itu bukan bayangan manusia? Para penjaga sudah
menghujankan anak panah ke arah bayangan-bayangan itu, akan tetapi tak ada yang
berhasil. Anak-anak panah itu seperti mengenai bayangan-bayangan saja! Oleh
karena itu, malam ini juga diadakan penjagaan ketat setelah terjadinya
peristiwa itu.
Pasukan yang
bertugas menjaga dengan anak panah di tangan telah siap dan setiap beberapa jam
sekali pasukan ini diganti agar mereka tidak sampai kelelahan dan kurang
waspada. Menjelang tengah malam, dari atas bukit nampak ada cahaya berkedip dan
cahaya ini lalu meluncur turun ke bukit. Melihat ini, para penjaga sudah siap
menyambut karena tidak mungkin ada cahaya turun tanpa dibawa orang. Setelah
agak dekat, dari jauh para penjaga dapat melihat bahwa cahaya itu adalah
sebatang obor yang bernyala. Hal ini menimbulkan keyakinan dalam hati mereka
bahwa memang ada orang yang berlari turun membawa obor itu.
“Siap....!”
bisik komandan pasukan panah.
Para penjaga
itu sudah mencabut anak panah dan menyiapkan anak panah pada busur
masing-masing. Kini dari cahaya obor itu dapat nampak bahwa yang melarikan obor
memang benar seorang manusia yang bergerak ringan dan cepat sekali.
“Berhenti!”
Tiba-tiba komandan jaga membentak.
Akan tetapi,
pembawa obor itu malah melemparkan obornya ke arah para penjaga. Tentu saja
keadaan menjadi geger.
“Serang!”
Komandan memberi aba-aba dan puluhan batang anak panah meluncur ke arah tempat
di mana orang tadi nampak.
Setelah
melemparkan obornya, tentu saja keadaan di mana orang itu berdiri menjadi gelap
dan tidak nampak lagi orang itu. Kiranya orang itu, yang memiliki gerakan amat
gesitnya, telah menyelinap ke dalam kegelapan malam, menjauhi penerangan yang
ada di tempat penjagaan, dan dapat menyusup pergi selagi para penjaga menjadi
panik.
Akan tetapi
karena bayangan itu telah lenyap, para penjaga tidak dapat berbuat lain kecuali
melakukan penjagaan semakin ketat agar jangan ada lagi orang dari atas bukit
yang terkurung itu dapat meloloskan diri. Sementara itu, bayangan tadi dengan
sangat cepat telah berlari seperti terbang saja di antara pohon-pohon dan
menuju ke kota Lhagat!
Dan malam
itu terjadi geger di gedung yang menjadi tempat tinggal Sang Panglima, yaitu
Puteri Nandini! Tanpa dilihat oleh seorang pun penjaga yang menjaga gedung itu
dengan ketat, sesosok bayangan manusia menyelinap dan memasuki kamar kerja Sang
Panglima wanita itu, dan setelah menggeledah sepuasnya, baru dia meloncat
keluar sambil membawa beberapa buah benda yang amat penting.
Kebetulan
sekali pada saat itu Puteri Nandini sedang melakukan ronda dan telinganya yang
amat tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar ini. Dengan gesit,
seperti seekor burung walet saja, panglima ini yang memakai pakaian biasa
karena dia hanya meronda di gedung tempat tinggalnya sendiri, meloncat ke atas
genteng. Sungguh kebetulan sekali, pada saat itu maling yang memasuki kamar
kerjanya itu baru saja melayang naik.
“Berhenti!”
bentak Puteri Nandini.
Akan tetapi
bayangan itu hendak meloncat pergi dan sekali menggerakkan tangan, panglima ini
sudah menyerang bayangan itu dengan lemparan senjata rahasianya yang amat
berbahaya, yaitu segenggam jarum yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh
batang. Jarum-jarum halus itu menyambar seperti anak-anak panah kecil, lembut
sekali sehingga tidak nampak, hanya sinarnya saja berkelebat, dan seluruh tubuh
maling itu telah dijadikan sasaran, dari mata sampai ke lutut kaki! Akan
tetapi, betapa kaget hati Sang Panglima ketika dengan amat mudahnya, bayangan
itu meloncat ke samping dan dengan kebutan lengan baju, jarum-jarumnya runtuh
semua ke atas genteng!
“Mata-mata
busuk, menyerahlah engkau atau mati!” bentak Puteri Nandini.
Kini dia
menyerang dengan tubrukan seperti seekor harimau betina. Tubuhnya meloncat ke
depan, kedua lengannya terbentang dan kedua tangannya sudah bergerak, yang
kanan mencengkeram ke arah leher, dan yang kiri menusuk dengan totokan ke arah
lambung. Sungguh serangan ini hebat bukan main dan amat berbahaya!
Akan tetapi,
orang itu sungguh lihai bukan main. Biar pun menghadapi serangan yang amat
berbahaya ini, dia bersikap tenang saja, tangan kirinya masih tetap memegang
benda-benda yang diambilnya dari dalam kamar itu, yaitu sebuah gulungan kertas
dan beberapa buah buku.
“Plak!
Plak!”
Dua kali
tangannya menangkis dan akibatnya tubuh panglima itu terpental! Tentu saja
Puteri Nandini terkejut. Keadaan di atas genteng demikian gelapnya sehingga dia
tidak dapat melihat wajah orang itu, hanya dapat menduga bahwa lawannya ini
adalah seorang pria yang perawakannya sedang dan tegap, akan tetapi dia tidak
dapat mengatakan apakah pria ini tua ataukah muda.
Pada saat
dia terhuyung oleh tangkisan yang amat kuat itu, dari bawah melayang naik
beberapa orang perwira pengawal yang berkepandaian cukup tangguh, di antara
mereka ada yang membawa obor. Melihat ini, orang itu melompat jauh ke depan dan
sekali loncat saja dia telah turun ke atas tanah, jauh di samping gedung itu.
Bukan main
kagetnya hati Sang Panglima menyaksikan kehebatan ginkang dari orang itu. Maka
dia pun cepat meloncat turun sambil berteriak. “Cepat kejar!”
Sambil
mengejar, Puteri Nandini mencabut pedangnya. Dia merasa menyesal mengapa tadi
memandang rendah lawannya. Kalau saja dari tadi dia mencabut pedang, tentu
setidaknya dia dapat mendesak dan mengurung, tidak memberi kesempatan kepada
maling itu untuk dapat meloloskan diri.
Dan memang
ginkang orang itu hebat sekali. Walau pun Sang Puteri dan para perwira pengawal
mengejar mati-matian, tetap saja mereka tertinggal jauh dan sebentar saja orang
itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Dan betapa pun para penjaga telah
melakukan penjagaan ketat pada pintu-pintu gerbang dan para pengawal juga sudah
melakukan pencarian di seluruh kota Lhagat, semua itu sia-sia belaka.
Bayangan
yang memasuki gedung panglima itu lenyap dan bersama dia, lenyap pula beberapa
buah benda yang penting dari dalam kamar kerja Puteri Nandini. Benda-benda itu
adalah sebuah peta dari kota Lhagat dan sekelilingnya, termasuk peta yang amat
jelas dan terperinci dari bukit di mana terdapat lembah yang menjadi tempat
pasukan Ceng yang terkepung. Ada pula buku-buku, catatan Sang Panglima tentang
penyerbuannya dan rencana-rencana penyerbuan ke Tibet selanjutnya. Dan dengan
lenyapnya semua itu, tentu saja Puteri Nandini menjadi marah bukan main dan dia
terpaksa akan diharuskan merubah semua rencana penyerbuannya!
Setelah
terjadi peristiwa itu, desas-desus tentang jenderal sakti dari pihak musuh
menjadi semakin santer. Betapa pun Sang Panglima mencoba untuk merahasiakan
kehilangan benda-benda yang amat penting itu, namun berita bahwa ada seorang
mata mata musuh menyerbu gedung dan lalu dapat lolos, padahal Sang Panglima
sendiri yang mengejarnya, membuat geger semua orang dan menggetarkan hati para
perwira Nepal.
Desas-desus
ini bukan hanya membikin gentar hati orang-orang Nepal, akan tetapi juga
membesarkan hati orang-orang Tibet dan penduduk kota Lhagat yang mengharapkan
terusirnya pasukan Nepal dari situ. Mereka yang telah dirugikan, dirampok,
dibunuh sanak keluarganya, atau diperkosa isteri dan anaknya, diam-diam amat
mengharapkan pasukan Tibet atau pasukan Ceng dapat menghancurkan pihak musuh
yang mereka benci itu.
Bahkan di
antara para penghuni tetap kota Lhagat itu terdapat pula orang-orang jahat yang
dahulunya menjadi jagoan-jagoan di situ dan yang hidupnya dari memeras kanan
kiri mengandalkan keberanian dan kelihaian mereka, dan setelah Lhagat diduduki
pasukan Nepal mereka itu kehilangan pengaruh dan sumber penghasilan. Mereka ini
pun menaruh dendam kepada tentara asing itu, dan kini mereka pun mulai nampak
berani karena mereka percaya bahwa jenderal sakti dari Kerajaan Ceng itu
agaknya muncul! Orang-orang seperti ini beranggapan bahwa munculnya jenderal
sakti itu seolah-olah hendak membantu dan melindungi mereka!
Betapa
banyaknya kita melihat di sekitar kita keadaan seperti ini. Dengan jelas kita
melihat, semenjak dulu seperti yang kita baca dalam catatan sejarah, sampai
sekarang ini pun, orang-orang yang sesungguhnya melakukan perbuatan-perbuatan
sesat setiap harinya, memeras, menipu, mengandalkan kekuasaan dan kedudukan,
mengandalkan harta kekayaan, mengandalkan kepintaran, melakukan penindasan
sewenang-wenang. Yang berkedudukan tinggi menekan yang lebih rendah, yang lebih
rendah menekan yang rendah lagi, dan selanjutnya. Hukum rimba berlaku di
mana-mana. Siapa kuasa dia menang dan dia benar!
Akan tetapi
anehnya, kita semua masing-masing merasa bahwa kita benar! Kita saling
memperebutkan pahala dan jasa! Kita masing-masing merasa bahwa kitalah orang
terbaik, orang paling berguna, paling patriot dan sebagainya. Beginilah akibat
dan hasilnya kalau kita tidak belajar mengenal diri sendiri. Segala sesuatu
mengenai diri kita, yang kita ingat hanyalah segi-segi baiknya saja, sebaliknya
segala sesuatu mengenai diri orang lain hanya kita ingat segi-segi buruknya
belaka.
Kalau saja
kita masing-masing belajar mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan
tidak membiarkan mata kita menilai orang-orang lain, tentu akan nampak jelas
betapa buruk dan kotornya kita ini masing-masing. Dan hanya kewaspadaan dan
kesadaran dalam pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat inilah yang
mungkin sekali dapat mengadakan perubahan dalam diri kita masing-masing. Dan
kalau kita sendiri sudah berubah, barulah dapat diharapkan masyarakat, bangsa,
dunia akan berubah keadaan kehidupannya, tidak seperti sekarang ini di mana
permusuhan, kebencian, dendam, iri hati, dan perang merajalela.
Karena
sesungguhnya keadaan dunia tak dapat dipisahkan dari keadaan alam batin kita
masing-masing. Kitalah yang membuat dunia seperti keadaannya pada saat ini,
kita masing-masinglah yang bertanggung jawab untuk itu. Oleh karena itu, harus
terdapat perubahan pada diri kita, pada batin kita masing-masing.
Seorang di
antara mereka yang biasa mempergunakan keberanian dan kepandaian untuk memeras
orang lain adalah seorang jagoan yang bernama Su Khi. Mungkin karena dia ini
masih peranakan Mancu, dan pada waktu itu bangsa Mancu dianggap sebagai bangsa
besar karena berhasil menguasai seluruh Tiongkok, maka dia merasa angkuh dan
lebih tinggi dari pada orang lain. Hal ini ditambah lagi dengan kepandaian
silatnya yang membuat dia dijuluki Toa-to Hui-houw (Harimau Terbang Bergolok
Besar), maka membuat Su Khi menjadi besar kepala dan menganggap bahwa di dunia
ini tidak ada yang lebih gagah dari pada dia.
Ketika
pasukan Nepal menyerbu dan menguasai Lhagat, Su Khi yang selain jahat dan
sewenang-wenang juga amat cerdik ini, hanya bersembunyi, tidak ikut melawan.
Dia tahu bahwa tiada gunanya melawan pasukan yang besar sekali jumlahnya! Maka
dia pun selamat dan tidak dimusuhi oleh pasukan Nepal! Akan tetapi diam-diam
tentu saja dia amat benci kepada pasukan Nepal yang dianggap amat merugikannya,
membuat dia tidak berani berkutik dan kehilangan nama besar dan sumber
hasilnya.
Kini,
semenjak munculnya penyerbuan gedung panglima dan santernya desas-desus tentang
jenderal sakti, bahkan dikabarkan orang bahwa jenderal itu telah siap untuk
merebut Lhagat, Su Khi mulai beraksi. Mulailah dia keluar dan mengganggu
penduduk, minta apa saja yang dikehendakinya dengan ancaman, seperti dulu
sebelum pasukan Nepal datang.
Akan tetapi
Su Khi tidak tahu bahwa perbuatannya itu menimbulkan keluhan penduduk yang lalu
terdengar oleh Ci Sian! Gadis ini menjadi marah sekali, apalagi ketika dia
mendengar bahwa Su Khi bukan hanya ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya,
tetapi juga karena Su Khi pandai menyogok para penjaga keamanan dan membagikan
barang rampasannya kepada para penjaga sehingga dia seperti terlidung oleh para
penjaga Nepal.
Pagi hari
itu, ketika seperti biasa Toa-to Hui-houw Su Khi sedang menjalankan aksinya,
menggoda seorang dara remaja anak seorang pemilik warung nasi dan minta
dilayani untuk sarapan dengan memilih makanan yang paling enak, tiba-tiba Ci
Sian muncul di depan warung itu sambil membentak, “Si Keparat yang bernama Su
Khi itu di mana? Hayo keluar!”
Su Khi
terkejut mendengar bentakan ini, dan terheran-heran ketika melihat bahwa yang
menegurnya hanyalah seorang dara remaja yang cantik sekali. Dia belum pernah
bertemu dengan Ci Sian dan tidak tahu siapa adanya dara ini. Maka tentu saja
dia marah sekali dimaki keparat oleh seorang dara remaja seperti itu di depan
banyak orang. Dia, seorang ‘patriot’ yang terlindung pula oleh para penjaga
Nepal, kini dihina seorang gadis, malah seorang yang masih amat muda, seperti
kanak-kanak.
Cepat dia
keluar dari warung itu setelah melepaskan lengan perawan cilik yang tadi dia
pegang, kemudian sambil menyambar golok besar yang selalu dibawanya, dia
berjalan keluar dengan sikap mengancam dan golok besarnya kemudian
diamang-amangkan untuk menakut-nakuti anak perempuan itu. Namun Ci Sian
memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan bibir tersenyum mengejek.
“Engkaukah
yang telah berani berlancang mulut memaki Toa-to Hui-houw Su Khi tadi?” Dia
membentak setelah berhadapan dengan Ci Sian, memandang dara itu dari atas
sampai ke bawah dan diam-diam dia terpesona oleh kecantikan dara itu.
“Benar!”
jawab Ci Sian. “Apakah engkau yang bernama Su Khi itu?”
“Betul,
akulah Toa-to Hui-houw Su Khi!” Dia membolak-balik goloknya sehingga nampak
sinar berkilauan ketika cahaya matahari pagi menimpa permukaan golok.
“Tukang
pukul jahanam yang suka menghina penduduk dan memeras orang-orang lemah dengan
mengandalkan golok penyembelih babi itu? Kaukah itu?”
Wajah Su Khi
menjadi merah sekali, matanya melotot dan alisnya yang tebal bergerak-gerak,
hidungnya mendengus-dengus penuh kemarahan. “Kau.... kau.... bocah bosan hidup!
Berani engkau memakiku? Hemmm.... akan kubunuh engkau....! Tidak, akan
kutelanjangi engkau di depan umum, kemudian engkau harus melayani aku sampai
engkau bertobat!”
Berkata
demikian, dia menubruk maju, tangan kirinya yang besar itu mencengkeram ke arah
dada Ci Sian, maksudnya untuk merenggut baju itu agar terlepas. Akan tetapi,
dengan setengah langkah ke belakang, Ci Sian sudah dapat mengelaknya dan sekali
tangan kiri dara itu menyambar ke depan.
“Plokkk!”
terdengar suara dan tubuh besar itu terpelanting roboh!
Semua orang
yang menyaksikan peristiwa ini terkejut dan bengong, akan tetapi mereka semua
lalu tersenyum girang melihat betapa dara jelita itu dengan mudah mampu
menghajar jagoan sombong ini.
Su Khi
terbelalak dan merangkak bangun, meraba pipi kanannya yang menjadi bengkak
terkena tamparan tadi. Dia tadi merasa seperti disambar petir, maka terkejutlah
dia, dan dia pun tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang dara yang memiliki
kepandaian silat tinggi! Pantas saja dara itu berani memakinya, kiranya
mengandalkan ilmu silat pikirnya.
“Perempuan
setan! Berani engkau melawan aku, ya? Benar-benar engkau bosan hidup, dan
sekarang, aku tidak akan mau mengampunimu lagi!” Berkata demikian, Su Khi lalu
menggerakkan goloknya dan sekarang dia menubruk dan membacok dengan goloknya,
serangan yang dimaksudkan membunuh dara itu dengan satu kali bacok!
Hemm,
manusia ini memang kejam luar biasa, pikir Ci Sian. Dia maklum bahwa tadi pun
orang itu sungguh-sungguh hendak menelanjanginya, dan tentu akan melaksanakan
ancamannya kalau mampu. Sekarang pun menyerang dengan niat membunuh. Manusia
seperti ini memang tidak layak dibiarkan hidup, hanya akan membahayakan
kehidupan orang lain saja.
Maka begitu
melihat lawan membacok, dia cepat menghindar dan dia pun maklum bahwa orang ini
seperti gentong kosong, hanya nyaring suaranya saja, karena sesungguhnya hanya
mengandalkan ilmu silat kasar dan tenaga besar belaka. Maka, biar pun golok itu
setelah luput membacok terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, dengan mudahnya
Ci Sian dapat mengelak ke kanan kiri, kadang-kadang melompat tinggi
menghindarkan golok yang membabat kaki, sambil tersenyum-senyum.
Sementara
itu, banyak penduduk berdatangan ke tempat itu dan melihat perkelahian yang
mereka anggap mengerikan itu, karena mereka merasa ngeri membayangkan betapa
golok besar tajam itu akan membabat tubuh dara remaja itu. Sekali sambar saja
pinggang ramping itu tentu akan putus!
“Perempuan
setan, bocah hina, mampuslah!” Su Khi membacok lagi dan ketika Ci Sian
mengelak, dia melanjutkan dengan babatan pada paha dara itu, Ci Sian melompat
tinggi ke atas, kaki kirinya bergerak menendang dengan kecepatan yang sukar
dapat diikuti pandang mata lawan.
“Plokk!”
Dagu yang kuat itu bertemu ujung sepatu. Kepala Su Khi seperti terlempar ke
belakang dan tubuhnya terjengkang.
“Brukkk!”
Dia terbanting roboh dan di antara para penonton ada yang tertawa, akan tetapi
cepat-cepat ditutupinya mulutnya dengan tangan.
Su Khi
bangkit dan mukanya sebentar pucat sebentar merah, dari ujung bibirnya terus
mengalir darah karena bibirnya pecah tergigit sendiri ketika dagunya tertendang
tadi, napasnya terengah-engah dan hidungnya mendengus-dengus seperti seekor
kerbau gila.
“Kau....
kau.... siapa kau dan mengapa engkau memusuhi aku?” dia akhirnya bertanya
karena dia tahu bahwa anak perempuan itu sungguh bukan orang sembarangan.
Ci Sian
tersenyum. “Orang macam engkau tidak patut mengenal aku, ketahuilah bahwa kalau
engkau berjuluk Harimau Terbang, aku adalah seorang ahli pembunuh harimau busuk
yang mengganggu ketenteraman penduduk di sini.”
Pada saat
itu, karena terjadi keributan, dari jauh datang sekelompok penjaga yang terdiri
dari belasan orang. Melihat ini, bangkit kembali keberanian Su Khi karena dia
merasa yakin akan mendapat bantuan dari para penjaga yang sudah biasa
disogoknya itu, maka dia lalu membentak, dengan suara nyaring karena memang
dimaksudkan agar terdengar oleh para penjaga yang berlarian mendatangi itu.
“Siluman
betina! Engkau tentu mata-mata jahat!” Dan dia pun lalu menyerang kembali
dengan ganas.
Marahlah
hati Ci Sian. Tadi dia bermaksud memberi hajaran saja, akan tetapi melihat
lagak orang ini yang agaknya mengandalkan para penjaga itu, dia makin menjadi
muak dan begitu golok berkelebat, dia mengelak dan tangannya menyusup masuk
melalui bawah sinar golok.
“Kekkk!”
Tubuh tinggi besar itu terbungkuk dan roboh menelungkup, goloknya terlepas dari
tangannya.
Ci Sian
menginjakkan kaki kanannya di atas punggung di bawah tengkuk Su Khi dan jagoan
itu tak dapat berkutik lagi! Dia merasa seolah-olah punggungnya tertindih benda
yang beratnya ratusan kati, membuatnya sukar dapat bernapas dan ia hanya
mengeluh terengah-engah seperti babi terhimpit. Dan pada saat itu, belasan
orang penjaga sudah datang mendekat dan mereka telah mencabut golok
masing-masing, serta dengan sikap mengancam mereka mendekati Ci Sian.
“Kalian mau
apa?” bentak Ci Sian menatap para penjaga itu dengan marah.
“Kau
mata-mata....?!” Para penjaga membentak, “Lepaskan dia, dia adalah sahabat
kami!”
“Huh, siapa
tidak mendengar bahwa kalian sudah makan sogokan dari jahanam ini?” Ci Sian
balas membentak.
Kepala
pasukan lalu membentak marah. “Serang! Tangkap dia!”
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara nyaring, “Tahan!” dan di situ telah muncul Siok Lan
yang menatap para penjaga dengan muka merah dan mata marah. Wanita cantik ini
berdiri dengan sikap tenang dan menyilangkan kedua lengan di atas dadanya, lalu
berkata dengan lantang, “Siapa yang hendak menyerang dan menangkap sahabatku
ini?”
Para penjaga
terkejut ketika melihat munculnya Siok Lan. Kepala penjaga itu dengan golok di
tangan menunjuk kepada Ci Sian, “Maaf, tapi dia.... dia itu.... telah
menganiaya Su Khi....“
“Hemm,
kalian menjadi kaki tangan penjahat ini, ya?” bentak Siok Lan dan wanita ini
menyambung sambil berteriak nyaring. “Hayo berlutut, kalian manusia-manusia
busuk!”
Empat belas
orang penjaga itu terkejut bukan main. Cepat-cepat mereka menjatuhkan diri
berlutut. Siok Lan mengangkat tangan kanan ke atas dan muncullah beberapa orang
pengawal. “Mereka ini telah biasa makan suap dari penjahat, maka sudah
sepatutnya diberi hukuman. Cambuk mereka masing-masing sepuluh kali dan
komandan mereka lima belas kali!”
Tentu saja
empat belas orang penjaga itu menjadi ketakutan, akan tetapi mereka tidak
berani membangkang. Lima orang pengawal lalu membuka baju mereka dan tak lama
kemudian terdengarlah bunyi cambuk meledak-ledak ketika lima orang pengawal itu
menjatuhkan hukuman itu, di tempat terbuka dan terlihat oleh semua orang. Darah
mengalir dari kulit-kulit punggung yang pecah-pecah dan terdengar rintihan-rintihan
kesakitan. Setelah hukuman itu dijalankan, Siok Lan berkata kepada Ci Sian.
“Adik Sian,
kau lepaskan jahanam itu.”
Ci Sian
melepaskan injakan kakinya dan Su Khi lalu merangkak bangun dengan mulut merah
karena dia tadi sampai muntah darah.
“Sekarang
kuserahkan jahanam itu kepada kalian dan boleh kalian perbuat sesuka hati
kalian terhadap dia. Awas, sekali lagi kalian makan suapan, aku akan minta
kepada Ibu agar kalian dihukum penggal kepala!” kata Siok Lan.
Empat belas
penjaga itu menghaturkan terima kasih, kemudian seperti serigala-serigala
kelaparan mereka lalu menangkap Su Khi.
“Tidak....
tidak.... jangan.... ampunkan aku....!” Orang itu berteriak-teriak dan
meronta-ronta.
Namun empat
belas orang yang telah menerima hukuman yang sangat nyeri itu kini menimpakan
semua dendam mereka kepada Su Khi. Tidak lama kemudian, di luar kota, Su Khi
ditelanjangi dan dicambuki oleh empat belas orang itu sampai kulit tubuhnya
pecah-pecah dan dia tewas dalam keadaan mengerikan...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment