Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 06
"Baiklah,
Coa-ong. Aku akan membantumu."
Kakek itu
menjadi girang sekali, wajahnya yang berkulit hitam itu berseri dan dia lalu
menggandeng tangan Ci Sian sambil berkata, “Kalau begitu, hayolah kita
berangkat sekarang. Ingin sekali aku melihat wajah Cui-beng Sian-li ketika
mendengarkan aku menebak teka-tekinya!”
“Cui-beng
Sian-li? Itulah julukan lawanmu?” tanya Ci Sian, diam-diam dia bergidik ngeri
karena julukan itu sungguh menyeramkan. Dewi Pengejar Arwah! Tentu saja
orangnya mengerikan juga!
“Ya, dan dia
lihai sekali. Sebetulnya dia adalah warga dari penghuni Lembah Gunung Suling
Emas, akan tetapi semenjak suaminya meninggal, dia kini tinggal di Lereng Batu
Merah tidak jauh dari lembah itu, hanya di sebelah bawahnya. Seperti juga
Lembah Gunung Suling Emas, Lereng Batu Merah itu pun sukar didatangi manusia
dari luar, kecuali mereka yang sudah tahu jalannya.”
“Dan engkau
tahu jalannya, Coa-ong?”
“Tentu
saja!”
Maka
berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu. Menurut keterangan See-thian
Coa-ong, tempat tinggal lawannya itu, yaitu Lereng Batu Merah, sebetulnya tidak
jauh dari situ, masih merupakan satu daerah gunung, akan tetapi karena terjadi
longsor, terpaksa mereka harus mengambil jalan memutar yang amat jauh!
Kini
See-thian Coa-ong tidak bertelanjang lagi. Kalau tadinya dia hanya bercawat
ketika untuk pertama kali Ci Sian melihatnya, kini kakek itu telah mengambil
pakaiannya yang disimpan di dalam goa. Sesungguhnya bukan pakaian, hanya kain
kuning panjang yang dilibat-libatkannya di tubuhnya, sebelah pundaknya dan dari
pinggang ke bawah sampai ke lutut, seperti pakaian para pendeta pada umumnya.
Ular panjang besar yang telah menolong Ci Sian itu ditinggalkan.
“Tanggalkan
saja jubahmu itu. Aku akan mengajarkan ilmu untuk membuat tubuhmu hangat dan
tahan menghadapi hawa yang bagaimana dingin pun,” berkata See-thian Coa-ong
kepada Ci Sian.
Mantel bulu
itu memang sudah kotor, maka mendengar bahwa dia akan diajari ilmu yang aneh
itu, Ci Sian merasa girang. Dia percaya penuh karena dia sudah melihat sendiri
betapa kakek itu dalam keadaan hampir telanjang di dalam hawa udara yang
sedemikian dinginnya.
Demikianlah,
mereka melakukan perjalanan dan di waktu mereka beristirahat, See-thian Coa-ong
memberi petunjuk kepada Ci Sian untuk mengerahkan hawa murni dan membuat
tubuhnya terasa hangat biar pun berada dalam hawa udara yang amat dingin.
Tentu saja
ilmu ini tidak mudah karena sesungguhnya membutuhkan tenaga sinkang yang amat
kuat, akan tetapi kakek itu membantu Ci Sian dan menempelkan telapak tangannya
yang panjang dan lebar ini ke punggung Ci Sian, maka dara remaja ini pun dapat
dengan cepat menguasai hawa murni yang mengalir di tubuhnya.
Pada suatu
pagi, ketika mereka sedang mendaki lereng, tiba-tiba mereka melihat serombongan
orang turun dari puncak. See-thian Coa-ong cepat menarik tangan Ci Sian dan
diajaknya dara itu bersembunyi di balik batu besar. Akan tetapi Ci Sian dapat
mengenal wanita yang berjalan di depan bersama dua orang anak laki-laki itu.
Wanita itu bukan lain adalah A-ciu, wanita baju hijau dari rombongan empat
wanita bertandu yang pernah dia pukuli dengan bantuan Kam Hong!
Dia tidak
mungkin salah mengenalnya biar pun dari jauh, karena di belakang wanita itu
terdapat orang-orang yang memikul tiga buah tandu. Tentu tiga buah tandu itu
berisi tiga orang wanita lainnya, pikir Ci Sian. Akan tetapi yang amat menarik
perhatiannya adalah keadaan dua orang anak laki-laki itu. Mereka itu sebaya
dengan dia, dan lucunya, dua orang anak laki-laki itu serupa benar, baik
pakaiannya, wajahnya mau pun gerak-geriknya. Mudah saja diduga bahwa mereka
tentulah dua orang anak kembar.
Akan tetapi,
Ci Sian tidak merasa lucu karena dia melihat betapa dua orang anak laki-laki
itu berjalan dengan kedua lengan di belakang tubuh, tanda bahwa mereka itu
tidak bebas, terbelenggu kedua lengan mereka! Mereka itu tentu ditawan oleh
wanita-wanita jahat itu. Teringatlah Ci Sian akan pertanyaan wanita-wanita itu
di depan warung dahulu. Mereka bertanya-tanya tentang dua orang pemuda remaja
kembar! Tentu itulah mereka yang ditanyakan dan kini agaknya mereka telah
tertangkap dan menjadi tawanan.
Oleh karena
hatinya merasa sangat tidak suka kepada empat orang wanita itu yang dianggapnya
jahat, maka biar pun dia tidak mengenal dua orang pemuda tanggung itu, hati Ci
Sian condong berpihak kepada dua orang pemuda yang menjadi tawanan itu dan dia
mengambil keputusan untuk menolong mereka dari tangan wanita-wanita itu.
Akan tetapi
dia pun maklum bahwa empat orang wanita itu lihai bukan main. Dia pernah dapat
mempermainkan mereka hanya karena pertolongan Kam Hong dan kini pendekar sakti
itu tidak berada di situ. Yang ada hanya See-thian Coa-ong. Maka dia lalu
menyentuh lengan kakek itu dan berkata dengan suara berbisik.
“Coa-ong,
sekarang engkau harus membantuku, baru aku nanti membantu menghadapi lawanmu.”
“Membantu
apa, Ci Sian? Tanpa kau minta sekali pun, kalau memang diperlukan aku tentu
membantumu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik yang saling
membantu?”
Girang hati
Ci Sian mendengar ini. “Coa-ong, wanita itu dan tiga orang temannya yang berada
di dalam tandu adalah wanita-wanita jahat sekali, akan tetapi mereka juga
lihai. Dan aku pernah bentrok dengan mereka, maka sekarang aku hendak
membebaskan dua orang pemuda yang mereka tawan itu. Engkau mau membantuku,
bukan?”
“Siapakah
dua orang pemuda kembar itu? Apa kau mengenal mereka?”
“Tidak, melihat
pun baru sekarang.”
See-thian
Coa-ong menghela napas. “Ahh, Ci Sian, mengapa engkau mencari penyakit?
Bukankah engkau merupakan seorang anak yang sudah lama berkecimpung di dunia
kang-ouw? Mengapa harus mencampuri urusan orang lain?”
“Coa-ong,
mana kita dapat terlepas dari urusan orang lain? Engkau menyelamatkan aku, dan
sekarang aku ikut denganmu untuk menghadapi lawanmu. Bukankah itu berarti bahwa
engkau dan aku telah mencampuri urusan orang lain? Hayo, engkau mau membantuku
atau kau ingin melihat aku mati di tangan mereka?”
“Baiklah....
baiklah.... akan tetapi aku tidak mau kalau engkau menyuruhku membunuh orang.”
“Siapa mau
bunuh siapa? Aku hanya ingin menolong dua orang pemuda yang tertawan itu,” kata
Ci Sian.
Sementara
itu, rombongan yang menuruni puncak telah tiba di dekat dengan mereka. Memang
benar dugaan Ci Sian. Wanita yang berjalan di depan itu adalah A-ciu, wanita
baju hijau yang cantik dan berwajah bengis. Wanita itu membawa sebatang pedang
yang tergantung di belakang pundaknya, berjalan dengan langkah gagah mendahului
di depan dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan dan yang melangkah tenang
berdampingan dengan kedua lengan terbelenggu di belakang tubuh, lalu diikuti
oleh tiga buah tandu yang masing-masing dipakai oleh empat orang.
Siapakah
adanya dua orang anak laki-laki kembar itu? Usia mereka kurang lebih dua belas
tahun, pakaian mereka sederhana dan wajah mereka tampan, sikap mereka tenang
sekali. Wajah dua orang ini serupa benar, sukar membedakan satu dari yang lain,
wajah yang membayangkan kegagahan dan rambut kepala mereka yang hitam gemuk itu
dikuncir ke belakang punggung. Melihat sikap mereka, biar pun mereka itu masih
remaja dan mereka menjadi tawanan, dibelenggu kedua tangan mereka, akan tetapi
mereka nampak begitu tenang. Hal ini saja sudah jelas menunjukkan adanya
kegagahan dalam diri mereka.
Dan memang
demikianlah. Dua orang anak laki-laki kembar ini memang bukan sembarang anak.
Mereka adalah putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng dan pendekar
wanita yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan terkenal sebagai puteri
istana, juga seorang panglima wanita yang disamakan dengan nama Hwan Lee Hwa di
jaman cerita Sie Jin Kwie Ceng Tang. Wanita yang menjadi ibu mereka ini bukan
lain adalah Puteri Milana, keponakan dari kaisar!
Gak Bun Beng
dan Puteri Milana, suami isteri yang keduanya memiliki nama besar di dunia
kang-ouw itu, telah lama mengundurkan diri dan hidup aman tenteram di puncak
Telaga Warna, di Pegunungan Beng-san, di mana mereka hidup saling mencinta dan
rukun bersama dua orang putera kembar mereka yang bernama Gak Jit Kong dan Gak
Goat Kong. Di dalam bagian-bagian terdahulu dari rangkaian cerita ini, yaitu di
dalam kisah-kisah Sepasang Pedang Iblis, Kisah Sepasang Rajawali, serta pula
Jodoh Rajawali, pasangan pendekar sakti ini muncul dengan ilmu-ilmu mereka yang
menggemparkan.
Bagaimanakah
tahu-tahu dua orang saudara kembar itu, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yang
tinggal di puncak Pegunungan Beng-san dapat berada di Pegunungan Himalaya dan
menjadi tawanan Su-bi Mo-li?
Su-bi Mo-li
adalah empat orang wanita cantik yang lihai sekali karena mereka itu adalah
murid-murid gemblengan dari Im-kan Ngo-ok! Mereka berempat oleh guru-guru
mereka sengaja diperbantukan kepada Sam-thaihouw yang diam-diam mengadakan
hubungan dengan kelima Ngo-ok. Ketika mendengar dari para mata-mata yang
disebarnya bahwa dua orang putera dari Puteri Milana itu meninggalkan rumah
orang tua mereka untuk ikut beramai-ramai berkunjung ke Himalaya, Sam-thaihouw
cepat memerintahkan Su-bi Mo-li untuk melakukan pengejaran dan berusaha menawan
dua orang kakak beradik kembar itu, untuk melampiaskan kebenciannya terhadap
Puteri Milana! Mengapa Ibu Suri ke Tiga ini membenci Puteri Milana dan karena
tidak berdaya terhadap puteri itu kini hendak melampiaskan dendamnya kepada
kedua orang putera dari Puteri Milana?
Sam-thaihouw
adalah satu-satunya selir yang masih hidup dari mendiang Kaisar Kang Hsi.
Sebagai selir mendiang ayahnya, maka tentu saja kaisar yang sekarang, yaitu
Kaisar Yung Ceng, tetap menghormati ibu tiri itu, satu-satunya di antara para
selir ayahnya yang masih hidup, dan memberinya kedudukah sebagai Sam-thaihouw
atau Ibu Suri ke Tiga dan menempati sebuah istana yang cukup mewah.
Pada waktu
Sam-thaihouw ini masih muda, pernah terjalin cinta asmara antara selir ini
dengan mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yaitu pangeran yang pernah memberontak
itu. Mereka mengadakan perjinahan di luar tahunya mendiang Kaisar Kang Hsi.
Maka ketika pemberontakan dari kekasihnya itu gagal dan Pangeran Liong Khi Ong
bersama saudaranya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong, tewas, diam-diam Sam-thaihouw
merasa berduka sekali. Maka lalu ditimpakanlah semua rasa benci dan sakit
hatinya kepada keturunan Puteri Nirahai atau keturunan dari Pendekar Super
Sakti. Terutama sekali kepada Puteri Milana yang berjasa pula memberantas
pemberontakan kekasihnya itu.
Kini,
setelah selir kaisar ini menjadi tua, satu-satunya nafsu yang berkobar di dalam
dadanya hanyalah membalas dendam dan membasmi keturunan Pendekar Super Sakti
atau keturunan Milana, kalau tak mungkin menghancurkan kehidupan puteri itu
sendiri. Inilah sebabnya mengapa Sam-thaihouw mengadakan kontak dengan Im-kan
Ngo-ok melalui orang-orang kepercayaannya, dan ini pula yang menjadi sebab
mengapa Su-bi Mo-li menjadi pembantu-pembantunya dan kini empat orang wanita
cantik yang lihai itu bersusah payah pergi ke Himalaya untuk mengejar dua orang
putera kembar dari Puteri Milana ketika mereka mendengar bahwa dua orang anak
kembar itu ikut beramai-ramai ke Himalaya mencari pedang pusaka yang hilang
dari istana.
Sungguh tak
terduga oleh Su-bi Mo-li betapa di daerah Himalaya itu mereka berempat harus
kehilangan muka ketika mereka bentrok dengan Kam Hong yang ternyata adalah
keturunan Pendekar Suling Emas yang amat lihai! Akan tetapi, rasa penasaran dan
kecewa ini terobatlah ketika mereka akhirnya dapat menemukan di mana adanya dua
orang pemuda tanggung yang kembar itu! Mereka menemukan Gak Jit Kong dan Gak
Goat Kong yang sedang berkeliaran di dalam sebuah hutan dalam keadaan bingung
dan tersesat jalan! Memang kedua orang anak ini dengan keberanian luar biasa
telah meninggalkan rumah orang tua mereka tanpa pamit untuk ‘mencari
pengalaman’ di daerah Himalaya yang luas itu.
Su-bi Mo-li
tidak perlu mempergunakan kekerasan. Ketika melihat mereka dikurung oleh empat
orang wanita lihai yang mengaku utusan Sam-thaihouw yang minta kepada mereka
berdua agar ikut untuk menghadap ke kota raja, dua orang anak muda itu menyerah
tanpa perlawanan. Mereka berdua bukan merasa takut. Sama sekali tidak. Sejak
kecil mereka telah digembleng oleh ayah bunda mereka sehingga mereka tidak
pernah mengenal takut, dan biar pun keduanya baru berusia sekitar tiga belas
tahun, namun mereka telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang hebat.
Tetapi,
mereka takut kepada ayah bunda mereka yang selalu menekankan agar mereka berdua
tidak mencari permusuhan di dunia kang-ouw dan agar tidak menimbulkan
keributan. Sekarang mendengar bahwa Su-bi Mo-li adalah utusan Sam-thaihouw yang
‘memanggil’ mereka, maka kedua orang anak kembar ini menyerah dan bahkan tidak
membantah ketika A-ciu membelenggu kedua tangan mereka ke belakang dengan
alasan agar ‘jangan lari.’
Gak Jit Kong
dan Gak Goat Kong bukanlah anak-anak yang bodoh, mereka menyerah bukan hanya
untuk menghindarkan bentrokan dan keributan, akan tetapi juga mereka percaya
penuh bahwa jika mereka dibawa ke kota raja, apalagi ke istana, mereka akan
selamat dan tidak akan ada yang berani mengganggunya!
Bukankah
Kaisar masih terhitung paman mereka sendiri, masih keluarga dengan ibu mereka?
Dan siapakah yang tak mengenal Puteri Milana, ibu mereka? Siapa yang akan
berani mengganggu mereka, putera dari Puteri Milana yang terkenal? Mereka tidak
tahu tentang Sam-thai-houw!
Ketika
rombongan ini tiba ditempat Ci Sian dan See-thian Coa-ong bersembunyi,
tiba-tiba Ci Sian meloncat keluar dari balik batu besar, mengembangkan kedua
lengannya dan dengan suara yang lantang dia membentak.
“Su-bi
Mo-li! Kalian masih berani melakukan kejahatan dan menawan dua orang bocah itu?
Hayo kalian bebaskan mereka!”
A-ciu tentu
saja segera mengenal dara remaja itu dan wajahnya tiba-tiba berubah pucat.
Cepat dia menoleh kearah dua orang pemuda tanggung itu. Akan tetapi dua orang
pemuda kembar itu hanya saling lirik dan bersikap biasa saja, sikap yang
menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal dara cilik yang menghadang itu. A-ciu
juga menoleh ke kanan kiri, merasa ngeri karena mengira bahwa tentu dara itu
muncul bersama dengan Suling Emas, sastrawan muda yang membuat dia dan tiga
orang suci-nya tak berdaya.
Melihat
A-ciu hanya bengong dan memandang ke kanan kiri, Ci Sian membentak lagi dengan
marah. “Heii, apakah engkau sudah menjadi tuli? Hayo kau bebaskan dua orang
bocah itu! Apa engkau ingin kugampar lagi mukamu sampai bengkak-bengkak?”
Ucapan itu
mengingatkan kepada A-ciu akan penghinaan yang diterimanya dari dara remaja
ini. Sepasang mata wanita cantik itu lantas berkilat seperti mengeluarkan api
dan dengan menahan rasa marah karena dia masih takut pada Kam Hong, dia
berkata, suaranya nyaring, “Bocah setan! Hayo suruh Pendekar Suling Emas keluar
bicara dengan kami, jangan engkau mengacau di sini! Aku percaya bahwa Pendekar
Suling Emas tidak akan selancangmu mencampuri urusan kami yang tiada
sangkut-pautnya dengan dia!”
Ci Sian juga
seorang yang amat cerdik. Melihat sikap A-ciu itu, dia pun tahu bahwa wanita
itu masih merasa gentar kepada Kam Hong, maka dia tersenyum. Biar pun Kam Hong
tidak bersamanya, namun dia tidak merasa takut kepada wanita itu, mengingat
bahwa See-thian Coa-ong berada di belakang batu besar, siap untuk
melindunginya.
“Hemm, Paman
Kam tidak datang bersamaku, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau
boleh membangkang terhadap perintahku. Ayo kau bebaskan dua orang bocah itu.”
Mendengar
ucapan ini, tentu saja A-ciu menjadi girang bukan main. “Bagus! Sekarang
bersiaplah engkau untuk mampus, bocah setan!” teriaknya dan dia sudah mencabut
pedangnya. Walau pun tanpa pedang juga dengan mudah dia akan mampu membunuh Ci
Sian, namun saking marahnya, dia menghunus pedangnya dan siap menerjang dara
remaja itu.
Akan tetapi
pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking nyaring yang tinggi sekali,
sedemikian tinggi suara itu sehingga amat halus menggetarkan jantung! A-ciu
menahan gerakannya. Hatinya memang masih gentar terhadap Kam Hong dan kalau
memang pendekar itu berada di situ, sampai bagaimana pun dia tidak akan berani
menyentuh Ci Sian. Maka, mendengar lengking yang tak wajar ini, wajahnya
berubah dan jantungnya berdebar. Siapa tahu kalau-kalau bocah setan itu menipu
dan membohong, pikirnya dan dia menoleh ke kanan kiri.
Mendadak
terdengar suara mendesis-desis, dan bermunculanlah ular-ular dari segala
jurusan datang ke tempat itu.
“Ular....!
Ular....!” Para pemikul tandu berteriak-teriak ketakutan karena amat banyaklah
binatang-binatang itu bermunculan dari segala tempat. Ular-ular berukuran besar
kecil dan bermacam-macam warnanya.
Dan
ular-ular itu seperti digerakkan atau dikendalikan oleh suara melengking tinggi
itu kemudian langsung menyerang kepada A-ciu dan para anggota rombongan itu!
A-ciu mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang. Ci Sian juga tertawa
dan sekali meloncat dia telah menghampiri dua orang anak laki-laki yang
tertawan itu.
“Kalian
jangan bergerak keluar dari sini!” katanya dan dengan telunjuk tangan kanannya
dia menggurat tanah di sekeliling dua orang pemuda tanggung itu.
Sungguh
ajaib, ratusan ekor ular yang berkeliaran di situ, tidak seekor pun yang berani
melanggar garis bulat yang mengelilingi Si Kembar itu!
Keadaan
rombongan itu menjadi kacau balau. Karena takutnya dan jijiknya, para pemikul
tandu itu melepaskan tandu-tandu mereka dan berlompatanlah tiga orang wanita
dari dalam tiga buah tandu yang dilepaskan itu. Su-bi Mo-li tentu saja merasa
jijik dan mereka berlompatan ke sana-sini menghindarkan diri dari serbuan
ular-ular itu yang makin banyak berdatangan ke tempat itu! Akan tetapi, dua
belas orang pemikul tandu itu kurang gesit gerakan mereka dan dalam waktu
singkat mereka itu sudah tergigit ular dan mereka berteriak-teriak ketakutan.
Su-bi Mo-li
tidak tahu siapa yang memanggil ular secara luar biasa ini, akan tetapi mereka
maklum bahwa di belakang dara cilik yang bengal itu terdapat seorang sakti yang
membantu. Tidak nampak Pendekar Suling Emas membantu, akan tetapi kini muncul
seorang aneh lain yang dapat memanggil datang ular-ular demikian banyaknya!
Apalagi
melihat betapa dara cilik itu mampu menyelamatkan dua orang tawanan mereka
dengan menggurat tanah dengan telunjuk dan ular-ular itu sama sekali tidak
berani menghampiri kedua orang pemuda itu, maklumlah Su-bi Mo li bahwa orang
sakti pemanggil ular itu tentu ada hubungan baik dengan dara cilik itu yang
ternyata juga menguasai ilmu menaklukkan ular. Karena mereka berempat masih
jeri dan belum hilang rasa takutnya terhadap Kam Hong maka kini melihat dua
belas orang pemikul tandu itu roboh semua, mereka menjadi semakin jeri dan
dengan cepat mereka lalu berloncatan meninggalkan tempat itu mempergunakan
ginkang!
Setelah
mereka pergi, barulah See-thian Coa-ong muncul. Kakek ini memang tidak mau menanam
bibit permusuhan, maka dia tadi hanya menggerakkan ular-ularnya tanpa muncul
sendiri. Kini dia sudah mengusir ular-ularnya yang merubung tubuh dua belas
orang pemikul tandu, dan beberapa kali tangannya mengusap tubuh orang-orang itu
yang tadi kelihatan seperti sudah mati atau pingsan. Sungguh aneh, begitu kena
diusap oleh tangan kakek Raja Ular ini dua belas orang itu dapat bergerak
kembali lalu bangkit.
“Pergilah
kalian dengan tenang,” kata See-thian Coa-ong dan dua belas orang itu lalu
mengangguk hormat, lalu pergi dengan terhuyung-huyung meninggalkan tempat yang
mengerikan itu.
Sementara
itu, Ci Sian sudah menghampiri Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong berdua yang masih
berdiri di dalam lingkaran. Ci Sian tersenyum ramah dan berkata. “Kalian sudah
terbebas dari bahaya, biarlah kubukakan belenggu kedua tangan kalian.”
“Jangan
sentuh aku!” tiba-tiba Gak Jit Kong berseru, alisnya berkerut dan sinar matanya
memancarkan kemarahan.
“Engkau
siluman ular!” bentak Gak Goat Kong.
Ci Sian
terkejut dan melangkah mundur, matanya memandang terbelalak dan mukanya berubah
merah. Dua orang bocah kembar yang telah diselamatkannya itu sekarang malah
menghinanya! Akan tetapi, dia makin menjadi terkejut melihat dua orang anak
laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan tangan mereka dan belenggu-belenggu itu
putus semua, kemudian pada saat berikutnya, tubuh kedua orang anak kembar itu
bergerak dan mereka sudah meloncat jauh dan tinggi melewati semua ular dan
mereka lalu berlari sangat cepatnya menuju ke arah perginya Su-bi Mo-li dan dua
belas orang pemikul tandu tadi!
Tentu saja
Ci Sian menjadi bengong. Dia terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kiranya
dua pemuda tanggung tadi bukan sembarangan, tetapi memiliki kepandaian yang
cukup hebat, bahkan jauh lebih lihai dari pada dia sendiri. Ketika mematahkan
belenggu, ketika meloncat, jelas nampak betapa tinggi ilmu kepandaian mereka!
Akan tetapi mengapa mereka tidak memberontak dan melawan ketika dijadikan
tawanan? Dan kenapa mereka itu justru marah-marah kepadanya yang telah berusaha
menolong mereka?
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa geli di belakangnya. Ci Sian menengok dan melihat bahwa
yang tertawa adalah See-thian Coa-ong.
“Kenapa kau
malah tertawa?” Ci Sian bertanya dengan suara seperti membentak sebab hatinya
terasa semakin mengkal.
“Ha-ha-ha,
Ci Sian. Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kita tidak perlu mencampuri urusan
orang lain? Kau lihat, karena engkau mencampuri urusan mereka, maka engkau
hanya merasa kecewa saja. Dua orang pemuda kembar itu bukan orang sembarangan,
dan tentu ada sebabnya mengapa mereka mau saja ditawan oleh wanita-wanita itu.
Dan empat orang wanita itu pun lihai-lihai sekali.”
“Akan tetapi
bocah-bocah tak kenal budi dan kurang ajar itu malah memaki aku siluman ular!”
Ci Sian berseru dengan hati panas dan dia mengepal tinju, sekarang kemarahannya
bukan lagi ditujukan kepada Su-bi Mo-li, melainkan kepada dua orang pemuda
tanggung kembar itu!
Memang demikianlah.
Kemarahan yang mendatangkan kebencian itu merupakan api dalam batin yang tidak
dapat dilenyapkan dengan jalan menutup-nutupinya dengan kesabaran atau dengan
mencoba untuk melupakan melalui hiburan-hiburan. Kalau kita marah kepada
seseorang, kepada isteri atau suami umpamanya, kemudian kita sabar-sabarkan
dengan alasan-alasan yang kita buat sendiri, memang dapat kita menjadi sabar
dan tenang. Akan tetapi, api kemarahan itu sendiri belum padam, masih bernyala
di dalam batin, hanya tidak berkobar-kobar, tidak meledak karena ditutup oleh
kesabaran yang kita ciptakan melalui pertimbangan-pertimbangan dan akal budi.
Seperti api dalam sekam.
Kalau
mendapatkan ketika, maka api kemarahan yang masih bernyala itu akan berkobar
lagi, akan meledak lagi dalam kemarahan yang mengambil sasaran lain, mungkin
kita lalu akan marah-marah kepada anak kita, kepada pembantu kita, kepada teman
dan sebagainya! Maka kita akan terperosok dalam lingkaran setan yang tiada
berkeputusan, marah lagi, bersabar lagi, marah lagi, bersabar lagi dan
seterusnya, melakukan perang terhadap kemarahan yang pada hakekatnya adalah
diri kita sendiri. Terjadilah konflik di dalam batin yang terus-menerus antara
keadaan kita yang marah dan keinginan kita untuk tidak marah!
Akan terjadi
hal yang sama sekali berbeda jikalau di waktu kemarahan timbul kita hanya
mengamatinya saja! Mengamati tanpa penilaian buruk atau baik, tanpa menyalahkan
atau membenarkan. Ini berarti tanpa adanya aku atau sesuatu yang mengamati,
karena begitu ada si aku yang mengamati, sudah pasti timbul penilaian dari si
aku. Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, mengamati dan menyelidiki
kemarahan itu, mengikuti segala gerak-geriknya penuh perhatian. Yang ada hanya
PERHATIAN saja, tanpa ada yang memperhatikan. Dan pengamatan tanpa si aku yang
mengamati inilah yang akan melenyapkan atau memadamkan api kemarahan itu, tanpa
ada unsur kesengajaan atau daya upaya untuk memadamkan!
Dari manakah
timbulnya kebencian?
Kalau kita
semua membuka mata memandang, akan nampak jelas bahwa benci timbul karena si
aku merasa dirugikan, baik dirugikan secara lahiriah, misalnya dirugikan uang,
kedudukan, nama dan sebagainya, mau pun dirugikan secara batiniah, seperti
dihina, dibikin malu dan sebagainya. Karena merasa dirugikan, maka timbullah
kemarahan yang melahirkan kebencian. Kebencian ini seperti racun menggerogoti
batin kita, menuntut adanya pembalasan, ingin mencelakakan orang yang kita
benci, menimbulkan perasaan sadis yang dapat dipuaskan oleh penderitaan dia
yang kita benci sehingga tidak jarang mendatangkan perbuatan-perbuatan kejam
yang kita lakukan terhadap orang yang kita benci demi untuk memuaskan dendam!
Kebencian
ini dipupuk oleh pikiran yang bekerja dan yang sibuk terus, mengoceh, menilai,
mendorong, menarik, mengendalikan. Kadang-kadang pikiran membenarkan kebencian
dengan berbagai dalih, kadang-kadang pula menyalahkan. Terjadilah konflik batin
ini yang memboroskan energi batin. Pemborosan energi batin ini memupuk dan
memberi kelangsungan kepada kebencian itu, karena pikiran bekerja terus
mengingat dan menghidupkan segala hal yang terjadi, yang merugikan kita dan
mendatangkan kebencian itu. Padahal kebencian itu adalah aku sendiri, kebencian
adalah pikiran itu sendiri! Pikiran menciptakan aku dan karena aku dirugikan,
timbullah benci. Jadi benci dan aku tidaklah terpisah.
Kalau
pikiran tidak bekerja untuk menilai, kalau yang ada hanya pengamatan terhadap
kebencian itu, berarti pikiran menjadi hening, pengamatan tanpa penilaian
terhadap kebencian, maka kebencian akan kehilangan daya gerak, akan kehilangan
pupuk, kehilangan kelangsungan yang dihidupkan oleh pikiran yang menilai-nilai.
Dan kalau sudah begitu, maka kemarahan, kebencian akan lenyap dengan
sendirinya, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Pikiran yang
mengingat-ingat dan menilai-nilai itulah yang merupakan bahan bakar.
Baik
kebencian itu merupakan kebencian perorangan, kebencian demi bangsa, demi suku
dan sebagainya, pada hakekatnya adalah sama, karena di situ tentu terkandung si
aku yang merasa dirugikan. Si aku dapat berkembang menjadi bangsaku, agamaku,
sukuku, keluargaku, dan selanjutnya.
Kembali
See-thian Coa-ong tertawa mendengar gadis cilik itu marah-marah. “Mengapa
marah? Engkau muncul di antara ratusan ekor ular, tentu dua orang muda kembar
itu mengira bahwa engkau adalah siluman ular!”
“Ah, kalau
begitu, Coa-ong, aku tidak sudi belajar ilmu ular!” kata Ci Sian dan dia pun
lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil menggosok kedua matanya! Hatinya
sakit sekali dimaki orang sebagai siluman ular tadi!
See-thian
Coa-ong tersenyum lebar. “Aihhh, Ci Sian, mengapa engkau mempedulikan amat
segala pendapat orang lain? Disebut Raja Ular seperti aku, atau Siluman Ular,
atau sebutan apa pun, apakah artinya? Itu hanya sebutan yang diucapkan oleh
bibir saja, hanya kata-kata kosong. Yang penting adalah perbuatan kita dalam
hidup. Apa artinya disebut dewa kalau tindakannya lebih jahat dari pada setan?
Sebaliknya, apa salahnya dimaki orang sebagai iblis kalau hidupnya melalui
jalan benar?”
Seorang anak
perempuan yang biasa dimanja seperti Ci Sian, mana dapat menangkap ucapan
seperti itu?
“Pula, kalau
tidak ada sahabat-sahabat ular tadi yang membantu, apa kau kira empat orang
wanita itu mau melarikan diri meninggalkan engkau?”
Ci Sian
sadar kembali dan dia dapat melihat betapa pentingnya kepandaian menguasai
ular-ular itu yang sewaktu-waktu dapat dipakai membela diri dan melindungi
keselamatannya dari gangguan orang-orang jahat! Maka dia berhenti menangis. “Su-bi
Mo-li itu jahat sekali. Mereka pernah mengaku kepada Paman Kam bahwa mereka
adalah utusan dari Sam-thaihouw. Entah siapa Sam-thaihouw itu.”
See-thian
Coa-ong juga tidak mengerti dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Ci
Sian tidak dapat mengingat lagi jalan yang amat sukar dan berkeliling itu.
Melalui celah-celah jurang yang amat curam, menuruni tebing dan mendaki
bukit-bukit. Kalau bukan orang yang sudah benar-benar hafal akan jalan di situ,
tidak akan mungkin dapat mengunjungi tempat ini. Agaknya See-thian Coa-ong
sudah hafal akan jalan di situ dan beberapa hari kemudian, setelah mengelilingi
sebuah gunung besar, barulah mereka tiba di perbatasan tempat yang hendak
dikunjungi kakek itu.
“Nah, inilah
perbatasan yang berada di sebelah bawah Lembah Suling Emas. Di atas sana itulah
lembah gunung itu, dan kalau tak tahu jalan rahasia menuju ke sana, jangan
harap dapat mengunjunginya. Kecuali menyeberangi jurang yang harus menggunakan
jembatan tambang yang hanya dapat dipasang atas kehendak tuan rumah. Wanita
yang menjadi lawanku itu tinggal di bawah sini. Hati-hati, jangan sembrono,
kita sudah memasuki daerah kekuasaannya.”
“Daerah
kekuasaan yang kau sebut Cui-beng Sian-li?” tanya Ci Sian berbisik dan kakek
itu mengangguk.
Mereka maju
terus di sepanjang dinding gunung yang amat tinggi. Ketika mereka menikung,
tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkelahi. Dari jauh sudah nampak bahwa
yang berkelahi itu adalah seorang gadis cantik jelita melawan seorang pemuda
tanggung yang berpakaian pemburu, memegang busur dengan tangan kiri dan di
punggungnya tergantung tempat anak panah. Biar pun pemuda tanggung itu
kelihatan kuat dan mempergunakan senjata busur di tangan kiri untuk melawan,
namun ternyata dia terdesak hebat oleh pukulan-pukulan wanita cantik itu yang
menggunakan kedua tangannya yang dibuka dan dimiringkan, membacok-bacok seperti
dua batang pedang atau golok. Dan See-thian Coa-ong terkejut bukan main melihat
betapa sambaran tangan wanita cantik itu mengeluarkan suara bercuitan, tanda
bahwa sinkang-nya telah kuat sekali!
Sementara
itu, setelah tiba dekat dan dapat melihat mereka dengan jelas, Ci Sian segera
mengenal pemuda pemburu itu sebagai pemburu muda yang dahulu pernah menolongnya
saat dia hendak dibunuh oleh Su-bi Mo-li! Maka, tanpa diminta, dia sudah
meloncat ke depan dan membentak sambil menyerang wanita cantik itu. Baru saja
dia marah-marah kepada Su-bi Mo-li dan wanita itu pun cantik, usianya tentu
sudah dua puluh lima tahun, biar pun jauh lebih cantik dibandingkan Su-bi
Mo-li, akan tetapi ada persamaannya, yaitu seorang wanita dewasa yang cantik.
“Perempuan
jahat, jangan kau ganggu sahabatku!” Sambil berteriak demikian Ci Sian sudah
menerjang maju dan memukul wanita itu kalang-kabut.
Tentu saja
wanita itu menjadi terkejut, akan tetapi dia tersenyum mengejek melihat bahwa
serangan Ci Sian itu biasa saja dan tidak berbahaya. Dengan mudahnya wanita
cantik itu mengelak dan sebelum Ci Sian menyerang lagi, pemuda tanggung itu
sudah berseru kepadanya sambil melompat keluar dari kalangan pertandingan.
“Ehh, Nona,
harap jangan salah sangka! Kami hanya saling menguji kepandaian, bukan
berkelahi!”
Mendengar
ini tentu saja Ci Sian juga tidak melanjutkan serangannya dan dia lalu
memandang dengan heran. Siapakah dua orang itu dan mengapa mereka berada di
tempat sunyi itu dan mengadu ilmu silat?
Ci Sian
tidak keliru mengenal orang. Memang pemuda tanggung itu adalah Sim Hong Bu,
pemuda pemburu yang kini telah menjadi murid keluarga Cu di Lembah Suling Emas
itu. Dan baru sekarang dia bertemu dengan wanita cantik yang mengadu ilmu silat
dengan dia, dan belum dikenalnya benar sungguh pun tadi wanita itu telah sempat
memperkenalkan diri.
Setelah
tinggal di Lembah Suling Emas, mulailah Hong Bu berlatih ilmu silat, yaitu
dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu di bawah pimpinan Cu Seng Bu dan Cu
Kang Bu yang merupakan Ji-suhu dan Sam-suhu baginya, yaitu guru ke dua dan guru
ke tiga. Akan tetapi pemuda tanggung ini tidak pernah melupakan kesenangan memburu
binatang yang telah menjadi pekerjaannya semenjak dia kecil, maka di waktu
terluang dia selalu membawa busur dan anak panah untuk memburu binatang di
sekitar lembah, dan hasil buruannya lalu diserahkan kepada pekerja di dapur
untuk dimasak dan untuk hidangan sekeluarga Cu. Pada pagi hari itu, ketika dia
berburu dan tiba di perbatasan lembah yang hanya dapat ditempuh melalui jalan
rahasia yang hanya dikenal oleh orang-orang Lembah Suling Emas, dan yang telah
diberitahukan kepadanya pula, tiba-tiba dia melihat wanita cantik itu!
Keduanya
terkejut. Hong Bu segera menjadi curiga karena menurut para gurunya, tidak
boleh ada orang luar memasuki daerah Lembah Suling Emas. Lagi pula, daerah itu
merupakan daerah rahasia yang tidak dikenal orang luar, bagaimana tahu-tahu ada
wanita cantik muncul di situ?
“Siapa
engkau?” tegurnya. “Berani benar engkau memasuki daerah Lembah Suling Emas
tanpa ijin!”
Wanita
cantik itu juga kelihatan terkejut dan heran, apalagi melihat sikap pemuda
tanggung itu seperti seorang pemburu, maka dia menduga bahwa pemuda itu
tentulah seorang pemburu yang salah jalan. Yang membuat dia terheran-heran
adalah teguran pemuda itu, seolah-olah pemuda itu berhak mengatur orang lain
yang berada di tempat itu! Wanita itu tersenyum mengejek. “Ehh, bocah lancang.
Engkaulah yang lancang berani memasuki daerah terlarang ini. Siapa engkau?”
Melihat
sikap ini dan mendengar pertanyaan itu, Hong Bu menjadi ragu-ragu. Dia belum
lama menjadi penghuni lembah itu dan belum mengenal betul semua anggota
keluarga majikan lembah. Siapa tahu kalau-kalau wanita cantik ini juga
merupakan seorang anggota keluarga, atau seorang murid, atau seorang pelayan!
Maka dia pun bersikap halus dan cepat-cepat memperkenalkan diri. “Aku adalah
murid dari majikan lembah ini.”
Wanita itu
tersenyum lebar dan nampak cantik sekali, akan tetapi sikapnya memandang
rendah. “Aih, kiranya engkaukah yang datang bersama Yeti itu? Subo telah
bercerita tentang dirimu. Bukankah engkau yang bernama Sim Hong Bu itu?”
“Benar....”
Hong Bu menjadi semakin ragu karena dia yakin bahwa wanita ini tentu keluarga
atau murid dari lembah itu. “Dan.... siapakah engkau, Cici?”
“Aku? Engkau
harus menyebut Suci (Kakak Seperguruan) kepadaku. Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu
adalah Subo-ku.”
Hong Bu
terkejut mendengar ini, dan juga merasa heran. Toaso dari para gurunya itu,
yang dia harus menyebut Supek-bo, adalah seorang wanita yang masih kelihatan
muda dan cantik. Muridnya ini juga seorang wanita dewasa yang cantik, dan kalau
Supek-bo itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun muridnya ini tentu sudah ada
dua puluh lima tahun. Pantasnya mereka itu adalah kakak beradik, bukan guru dan
murid! Akan tetapi dia segera memberi hormat.
“Ah, harap
Suci maafkan, karena aku belum mengenal semua keluarga, maka aku tidak tahu
bahwa Suci adalah murid dari Supek-bo.”
Wanita itu
tertawa. “Tidak apa, Sute. Aku pun belum lama menjadi murid Subo. Engkau
sungguh beruntung bisa menjadi murid Lembah Suling Emas, bahkan menurut Subo,
engkau akan mewarisi pedang Koai-liong-pokiam. Entah bagaimana sih lihaimu maka
engkau dipilih? Sute, kita adalah orang sendiri. Aku adalah Suci-mu dan namaku
adalah Yu Hwi. Jangan engkau sungkan, mari kita berlatih sebentar karena aku
ingin sekali mengukur sampai di mana kepandaian silatmu.”
“Ahh, aku
belum belajar apa-apa, Suci....“ Hong Bu berkata.
Akan tetapi
wanita itu mendesak dengan kata-kata yang tegas. “Sute, murid Lembah Suling
Emas tidak boleh bersikap lemah. Apalagi aku hanya ingin mengujimu, apa
salahnya? Hayo, kau sambut ini!” Dan wanita itu lalu menyerangnya.
Hong Bu
terkejut sekali karena gerakan wanita itu sungguh amat lihai. Maka dia cepat
mengelak dan terpaksa dia melayani suci-nya itu. Namun, biar pun dia
menggunakan busurnya sebagai senjata, tetap saja dia terdesak hebat.
Tentu saja,
karena wanita itu adalah Yu Hwi, yang dulu pernah menggemparkan dunia
persilatan dengan julukan Ang-siocia! Para pembaca kisah Jodoh Rajawali tentu
masih mengenal wanita lihai ini. Yu Hwi adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong
Tek yang semenjak kecil diculik dan diambil murid oleh Hek-sin Touw-ong, raja
maling yang luar biasa lihainya itu.
Seperti
telah diceritakan dalam kisah Jodoh Rajawali, dara cantik lincah Yu Hwi yang
berjuluk Ang-siocia dan suka mengenakan pakaian merah muda ini, melarikan diri
dari depan kakeknya ketika dia diberitahu dan diperkenalkan kepada tunangannya
sejak kecil yang bukan lain adalah Kam Hong! Dia merasa malu, dan juga cinta
kasihnya terhadap Pendekar Siluman Kecil membuat dia merasa kecewa, sungguh pun
harus diakuinya bahwa Kam Hong tidak kalah tampan dan gagah dibandingkan dengan
Pendekar Siluman Kecil. Dara yang keras hati ini melarikan diri dan tidak
pernah kembali lagi. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini,
perbuatannya itu membuat Kam Hong, calon suaminya yang telah dijodohkan dengan
dia sejak mereka berdua masih kecil, merana dan pendekar ini mencari-carinya
selama lima tahun tanpa hasil!
Dan memang
dugaan dan harapan Kam Hong itu tidak kosong belaka. Ramai-ramai orang kang-ouw
yang menuju ke Himalaya memang menarik juga hati Yu Hwi. Yu Hwi adalah seorang
dara murid Si Raja Maling, dan dalam hal permalingan memang dia lihai bukan
main. Mendengar bahwa ada orang mencuri pedang pusaka dari istana dan
membawanya lari ke Himalaya, hatinya amat tertarik dan dia pun ikut pula
melakukan pengejaran dan pencarian. Ingin dia melihat siapa malingnya yang
demikian berani dan lihai, dan ingin dia menguji sampai di mana kepandaian maling
itu! Juga, dia tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggegerkan
dunia kang-ouw dan yang telah menarik hati semua orang kang-ouw untuk
ikut-ikutan memperebutkannya itu.
Akhirnya,
dalam perantauannya ke Himalaya di mana dia tidak pernah berjumpa dengan
orang-orang yang mencarinya, yaitu tunangannya, Kam Hong, dan kakeknya, Sai-cu
Kai-ong, dia malah tiba di perbatasan Lembah Suling Emas itu tanpa disengaja
dia memasuki daerah tempat tinggal Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu di kaki
gunung, di bawah lembah itu!
Di tempat
ini bertemulah Yu Hwi dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Pada saat mendengar
bahwa dara cilik itu adalah murid Hek-sin Touw-ong yang hendak mencari pencuri
pedang pusaka, Cui-beng Sian-li tertarik dan menguji kepandaiannya. Yu Hwi
tekejut bukan main, dan juga kagum karena ternyata kepandaian pencuri ini jauh
lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri, bahkan masih lebih tinggi
dari pada ilmu kepandaian gurunya, Si Raja Maling! Maka tunduklah hati dara
yang keras ini dan dia pun mengangkat guru kepada Cui-beng Sian-li yang juga
merasa suka kepada Yu Hwi.
Demikianlah
sedikit riwayat dari Yu Hwi yang kini bertemu sute-nya, karena keduanya adalah
para murid-murid dari para tokoh Lembah Suling Emas dan dalam kesempatan itu,
Yu Hwi sengaja menguji kepandaian sute-nya yang dilihat oleh Ci Sian sehingga
gadis cilik ini turun tangan hendak membantu Hong Bu.
Kini Yu Hwi
yang berdiri di samping Hong Bu memandang kepada Ci Sian dan kepada See-thian
Coa-ong dengan alis berkerut. “Sute, engkau kenal mereka?” tanyanya tanpa
menoleh kepada Hong Bu.
“Aku tidak
mengenal kakek itu, Suci, namun Nona ini pernah kujumpai di pegunungan salju.”
Lega rasa
hati Yu Hwi. Kiranya dua orang yang datang ini bukan keluarga atau sahabat
sute-nya. Maka setelah memandang penuh perhatian, dia dapat menduga bahwa kakek
gundul botak yang datang bersama gadis cilik itu tentulah seorang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Maka ia pun menghadapi kakek itu dan berkata dengan
suara tegas.
“Kalian
berdua telah memasuki daerah kami yang terlarang. Kalau hal itu kalian lakukan
tanpa sengaja, harap kalian segera pergi lagi secepatnya meninggalkan tempat
ini. Kalau disengaja, harap katakan apa keperluan kalian datang ke sini dan
siapa adanya kalian berdua!”
See-thian
Coa-ong tersenyum ramah. “Memang kami sengaja mendatangi tempat ini. Aku adalah
See-thian Coa-ong, hendak berjumpa dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.”
Terkejutlah
Yu Hwi mendengar ini dan dia menjadi semakin curiga. “Sute, harap kau pulang dulu,
tidak baik kalau sampai Subo melihatmu di sini.”
Hong Bu
mengangguk. “Baiklah, aku pergi dulu, Suci.”
Dan dia pun
lalu menoleh kepada Ci Sian. Sejenak mereka berpandangan. Kedua orang muda
remaja ini semenjak bertemu memang merasa saling suka, bahkan begitu berjumpa
mereka telah bekerja sama menghadapi Su-bi Mo-li, maka rasanya sekarang tidak
enak dalam hati Hong Bu bahwa mereka bertemu lagi dalam waktu sesingkat itu,
tanpa ada kesempatan untuk bicara panjang lebar.
“Nona,
kuharap keadaanmu akan baik selalu,” akhirnya Hong Bu berkata.
“Terima
kasih, kuharap engkau pun begitu pula,” jawab Ci Sian.
“Sute,
pergilah....,“ desak Yu Hwi, mengingat akan pentingnya urusan yang dihadapinya.
Kakek ini
jelas bukan orang Han, melainkan seorang Nepal atau India, maka kini datang
mencari subo-nya, tentu ada urusan yang amat gawat. Apalagi melihat keadaan
kakek itu yang menunjukkan tanda-tanda seorang yang berilmu tinggi.
Hong Bu
mengangguk dan membalikkan tubuhnya, akan tetapi teringat bahwa dia belum
berkenalan dengan gadis cilik itu, maka dia membalik lagi dan berkata cepat,
“Namaku Sim Hong Bu.”
Ci Sian
tersenyum. “Dan namaku Bu Ci Sian.”
Kini Hong Bu
membalikkan tubuhnya. “Sampai jumpa!” katanya.
Dia pun
berlari cepat meninggalkan tempat itu, menghilang di balik batu-batu besar. Dia
harus melalui jalan rahasia untuk kembali ke daerah Lembah Suling Emas di atas
sana, jalan rahasia terowongan yang hanya diketahui oleh para penghuni Lembah
Suling Emas saja.
Sementara
itu, Yu Hwi lalu berkata kepada See-thian Coa-ong. “Guruku tidak begitu mudah
ditemui, dan dia tidak suka diganggu.”
“Aihhh,
Nona, agaknya Nona belum berada di sini tiga tahun yang lalu sehingga tidak
mengenalku. Aku dan Gurumu sudah berjanji untuk sewaktu-waktu bertemu di sini,
maka harap kau beritahukan kepada Cui-beng Sian-li bahwa aku See-thian Coa-ong
datang untuk memenuhi janji dan untuk menebak teka-tekinya.”
Tentu saja
Yu Hwi yang belum pernah mendengar dari subo-nya tentang hal itu merasa heran
sekali. “Menebak teka-teki....?”
Selagi dia
meragu, mendadak terdengar suara bisikan halus terbawa angin memasuki
telinganya, “Yu Hwi, antarkan tamu-tamu itu ke dalam taman, aku menanti di
sini!”
“Baik,
Subo,” kata Yu Hwi dan dia pun terkejut sendiri karena maklum bahwa suara
gurunya itu dikirim melalui ilmu mengirim suara dari jauh dan yang mendengar
bisikan itu adalah dia seorang.
Namun suara
itu sedemikian jelasnya sehingga seolah-olah gurunya itu berada di sampingnya
dan bicara kepadanya! Demikian hebat kekuatan khikang dari subo-nya itu. Karena
merasa malu bicara seperti kepada diri sendiri atau kepada bayangan yang tidak
nampak, Yu Hwi cepat berkata kepada kakek itu, “Subo minta kepada kalian untuk
menghadap kepadanya di taman. Silakan!” Dan Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnya
tanpa menanti jawaban, lalu melangkah pergi.
“Hebat
memang ilmu Coan-im-jip-bit dari Cui-beng Sian-li,” kata kakek itu.
Kembali Yu
Hwi terkejut dan menduga-duga apakah kakek itu juga dapat mendengar bisikan
subo-nya? Agaknya tidak mungkin, karena sepanjang pengetahuannya ilmu itu kalau
dipergunakan hanya dapat didengar oleh orang yang ditujunya. Dia menoleh dan
melihat kakek itu bersama gadis tanggung mengikutinya.
Yang
dimaksudkan taman oleh Cui-beng Sian-li dan muridnya itu adalah sebuah tempat
terbuka yang memang indah sekali. Di situ penuh dengan pohon, akan tetapi
karena ketika itu musim dingin sedang hebat-hebatnya, maka semua pohon telah
kehilangan daunnya, yang tinggal hanya batang dan cabang berikut rantingnya
yang kini penuh dengan salju dan es yang menggantikan tempat daun dan bunga.
Dan di sana-sini nampak batu-batu terselaput es yang aneh-aneh bentuknya. Semua
itu berkilauan dan memantulkan cahaya yang beraneka warna sehingga memang
benar-benar merupakan taman yang luar biasa aneh dan indahnya.
Di tengah
taman itu terdapat sebuah kupel, yaitu bangunan tak berdinding, di mana
terdapat sebuah meja batu berikut bangku-bangkunya yang mengelilingi meja itu,
juga terbuat dari batu-batu dan jumlahnya ada delapan buah, cocok dengan meja
yang bentuknya segi delapan itu. Dan di atas sebuah di antara bangku-bangku itu
nampak duduk seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang
Cun Ciu.
“Subo, teecu
sudah mengantar tamu-tamu datang,” kata Yu Hwi yang lalu berdiri di belakang
subo-nya.
Wanita cantik
itu memutar tubuh dan memandang kepada See-thian Coa-ong, lalu memandang kepada
Ci Sian. Wajah yang cantik itu nampak suram seolah-olah sedang dibayangi
kedukaan atau kepahitan hidup. Akan tetapi dia tersenyum ketika bertemu pandang
dengan See-thian Coa-ong.
“Duduklah,
See-thian Coa-ong,” katanya lembut.
“Terima
kasih, Cui-beng Sian-li,” jawab kakek itu yang segera duduk menghadapi nyonya
rumah, terhalang meja.
Ci Sian yang
tidak dipersilakan duduk tidak mau duduk dan hanya berdiri di belakang kakek
itu, seperti yang dilakukan oleh Yu Hwi. Gadis cilik ini memperhatikan nyonya
itu dengan kagum. Tidak disangkanya bahwa di tempat sunyi seperti ini, tempat
yang terpencil dari keramaian dunia, dia dapat bertemu dengan dua orang wanita
cantik seperti guru dan murid ini. Dan sama sekali dia tidak pernah mengira
bahwa yang menjadi musuh kakek itu, yang namanya begitu menyeramkan, ternyata
adalah seorang wanita yang cantik jelita! Padahal tadinya dia membayangkan
bahwa nama itu tentu dimiliki seorang wanita yang amat menyeramkan.
“Engkau
sungguh merupakan seorang kakek yang keras hati, Coa-ong. Tidak kusangka bahwa
kekalahanmu dulu itu benar-benar kau tebus dengan mengasingkan diri sampai
sekarang dalam goa itu. Tiga tahun lamanya! Bukan main!”
“Hemmm, Sian-li.
Seandainya ketika itu engkau yang kalah, apakah engkau juga tidak akan
menjalani hukuman seperti yang kita pertaruhkan bersama?”
Wanita itu
tersenyum pahit. “Aku ragu-ragu apakah aku akan mampu setekun engkau memegang
janji yang kita buat dalam keadaan marah itu, Coa-ong. Sudahlah, buktinya
engkau kalah dan engkau baru tiga tahun bertapa di dalam goa itu. Masih kurang
dua tahun lagi. Kenapa engkau sudah keluar dan mencariku?”
“Karena
sekarang aku sudah mendapat jawaban teka-tekimu!”
“Ahh,
benarkah? Hemm.... tidak mungkin!”
“Coba
dengarlah, Cui-beng Sian-li. Akan tetapi apakah janji pertaruhan itu sekarang
masih berlaku?”
“Tentu saja.”
“Jadi, kalau
jawabanku keliru, aku harus melanjutkan bertapa di dalam goa itu dua tahun
lagi, dan kalau benar engkau tidak boleh keluar dari tempat ini selama dua
tahun.”
“Ya,
begitulah, karena yang lima tahun itu telah lewat tiga tahun.”
Kakek itu
tertawa. “Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Sekali tersesat di daerah Lembah
Suling Emas, aku mengalami hal-hal yang amat menarik. Nah, dengarlah.
Teka-tekimu dahulu itu merupakan pertanyaan begini: Apakah perbedaan pokok
antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita? Bukankah begitu
pertanyaanmu?”
“Tepat
sekali. Nah, kalau memang engkau tahu jawabannya, jawablah.” Cui-beng Sian-li
Tang Cun Ciu menantang.
“Cui-beng
Sian-li, perbedaannya adalah begini. Pria adalah Yang dan wanita adalah Im.
Pria adalah kasar dan kuat, wanita adalah lembut dan lemah. Cinta seorang pria
bersifat ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memanjakan, ingin memiliki!
Sebaliknya cinta wanita bersifat ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin
disenangkan, ingin dimiliki! Yang lembut mengalahkan yang keras, yang lemah
menundukkan yang kuat. Bukankah begitu jawabannya?”
Wajah yang
cantik itu tiba-tiba menjadi merah, lalu menjadi pucat, kemudian tiba-tiba saja
dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis! Melihat gurunya
menangis demikian sedihnya, Yu Hwi terkejut dan marah. Cepat dia melompat dan
menyerang kakek itu sambil membentak.
“Kakek
iblis, berani engkau membikin susah Guruku?!”
Serangan Yu
Hwi tentu saja hebat bukan main. Biar pun baru beberapa bulan dia menjadi murid
Cui-beng Sian-li dan baru menerima sedikit petunjuk, akan tetapi oleh karena
sebelumnya memang kepandaiannya sudah tinggi, maka begitu menggerakkan Ilmu
Kiam-to Sin-ciang, terdengar suara bercuitan dan menyambarlah angin yang amat
tajam ke arah kakek tinggi kurus hitam itu!
See-thian
Coa-ong maklum akan kelihaian dara itu, maka dia pun sudah mencelat mundur dari
bangkunya dan begitu Yu Hwi melancarkan pukulan maut bertubi-tubi dan kedua
lengannya itu seperti berubah menjadi pedang tajam yang menyambar-nyambar,
kakek ini hanya mengelak dan kadang-kadang saja menangkis dengan lengannya yang
hitam panjang.
“Hemmm,
beginikah sikap orang yang kalah taruhan?” See-thian Coa-ong mendengus dan
tiba-tiba terdengar suara melengking keluar dari dada melalui kerongkongannya
dan tidak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan datanglah ratusan
ekor ular ke tempat itu dari segenap jurusan!
Yu Hwi
merasa terkejut sekali akan tetapi tentu saja dia tidak takut. Sebelum dia
turun tangan membunuh ular-ular itu, terdengar gurunya membentak.“Yu Hwi,
jangan lancang kau. Mundurlah.”
Yu Hwi tidak
berani membangkang dan dia menghentikan gerakannya, lalu meloncat ke belakang
gurunya. Cun Ciu sudah menghapus air matanya dengan sapu tangan sutera,
kemudian berkata kepada kakek itu. “Coa-ong, maafkanlah muridku. Simpan kembali
ular-ularmu yang menjijikkan itu.”
See-thian
Coa-ong tertawa dan ratusan ekor ular itu tiba-tiba membalik dan merayap pergi
dari situ. Sebentar saja tempat itu menjadi bersih dan hening, tidak terdengar
suara mendesis seperti tadi dan bau amis dari ular-ular beracun telah lenyap
pula.
“Ha-ha, aku
sudah terlalu tua untuk menggunakan kekerasan, maka terpaksa minta bantuan
ular-ular yang menjadi sahabatku itu untuk menakut-nakuti,” kata kakek itu.
“Hemm, siapa
takut kepada ular-ularmu, Coa-ong? Dan kalau engkau melawan dengan ilmu
silatmu, mana mungkin muridku mampu bertahan terhadapmu? Sudahlah, engkau
datang bukan untuk mengadu ilmu silat, tetapi untuk menebak teka-teki dan
ternyata engkau menang. Jawabanmu benar, Coa-ong. Akan tetapi, engkau seorang
pria yang selalu tidak pernah berhubungan dengan wanita, bagaimana engkau mampu
menjawab dengan begitu tepat?” tanya Cui-beng Sian-li sambil mengusap kedua
matanya yang agak merah.
“Ha-ha,
sungguh mati aku tadinya sama sekali tidak mampu menjawab dan jangankan harus
bertapa dua tahun lagi, biar dua puluh tahun lagi aku pasti tidak akan mampu
menjawab kalau tidak bertemu dengan muridku ini. Muridku ini, Bu Ci Sian, yang
telah membantuku menjawab teka-tekimu.”
Tang Cun Ciu
memandang tajam kepada gadis cilik itu yang juga menatapnya dengan pandang mata
tidak kalah tajamnya. “Hemm, Coa-ong, muridmu itu sebenarnya masih terlalu
kecil untuk dapat menyelami perasaan wanita jatuh cinta. Akan tetapi dia
memiliki kecerdasan hebat.”
“Aku bukan
murid See-thian Coa-ong!” tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring.
Tang Cun Ciu
memandang dengan heran sekali. Dia melihat Ci Sian berdiri tegak dengan
sepasang mata berapi dan tiba-tiba dia seperti melihat seorang lain dalam diri
gadis cilik itu.
“Kau.... kau
she Bu? Ahhh, tidak salah lagi, engkau tentu anaknya!” Cui-beng Sian-li berkata
lirih dan sepasang matanya terbelalak. “Engkau.... engkau tentu puteri Bu-tai
hiap!” Tiba-tiba dia meloncat ke depan, mukanya pucat sekali. “Engkau....
serupa benar dengan ibumu dan karena itu engkau harus mampus!”
“Wuuuuttt....!”
Hebat bukan
main tamparan yang dilakukan oleh Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu ke arah kepala
Ci Sian itu. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan agaknya nyawa gadis cilik
itu takkan dapat tertolong lagi dari ancaman maut.
“Syuuuut....
dessss!”
Kedua orang
sakti itu terhuyung ke belakang dan See-thian Coa-ong tersenyum pahit sambil
berkata, “Cui-beng Sian-li, apakah kita harus mulai mengadu kepandaian lagi
seperti tiga tahun yang lalu? Apakah engkau hendak menodai nama Lembah Suling
Emas dengan membunuh seorang anak-anak yang tidak berdosa apa pun kepadamu?”
Ucapan itu
membuat Cui-beng Sian-li tersadar dan dia pun menarik napas panjang, lengan
tangannya masih tergetar hebat oleh tangkisan kakek itu tadi. “Ahhh.... aku
telah lupa diri....! Aku menyesal, Coa-ong, dan sebagai hukumanku, aku akan
menceritakan kepadamu segala peristiwa yang menimpa diriku dan kenapa aku
bersedih mendengar jawaban teka-tekimu dan mengapa aku hendak membunuh Nona
cilik ini.”
Tanpa
mempedulikan bahwa yang mendengar ceritanya bukan hanya seorang kakek itu,
tetapi juga Yu Hwi dan Ci Sian, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lalu menceritakan
riwayatnya yang seharusnya merupakan rahasia bagi seorang wanita, akan tetapi
kini dia ceritakan kepada orang lain tanpa malu-malu, seolah-olah hendak
membuka rahasia kebusukannya sendiri! Memang aneh-aneh watak dari orang-orang
dunia persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi itu!
Tang Cun Ciu
adalah seorang wanita cantik yang sejak kecil telah memiliki ilmu kepandaian
silat yang tinggi karena dia berguru kepada para pertapa di sepanjang
perbatasan Tibet. Bahkan akhirnya di dalam usia tujuh belas tahun dan merupakan
seorang gadis yang cantik dan lihai berjumpa dengan Cu San Bu, seorang pendekar
dan tokoh besar dari keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas. Cu San Bu
seketika jatuh cinta kepada dara yang cantik manis ini dan akhirnya mereka
menikah.
Kalau Cu San
Bu tergila-gila karena kecantikan Cun Ciu, sebaliknya Tang Cun Ciu tertarik
sekali kepada Cu San Bu karena kelihaian pendekar ini yang merupakan saudara
tertua dari keluarga Cu. Padahal, usia mereka berselisih lima belas tahun!
Kalau Tang Cun Ciu merupakan seorang dara remaja berusia tujuh belas tahun,
adalah suaminya itu telah berusia tiga puluh dua tahun!
Setelah
menjadi isteri Cu San Bu, Tang Cun Ciu yang amat suka mempelajari ilmu silat
itu memperoleh kemajuan hebat sekali. Suaminya yang amat mencinta itu
mengajarkan ilmunya kepada isterinya sehingga dalam waktu beberapa tahun saja
ilmu kepandaian Tang Cun Ciu sudah sedemikian hebatnya sehingga tidak
berselisih jauh sekali dari para kakak beradik Cu itu sehingga dia diterima
sebagai seorang tokoh Lembah Suling Emas pula.
Akan tetapi,
mungkin karena perbedaan usia yang terlalu banyak, atau karena memang watak
mereka pun berbeda, Cu San Bu adalah seorang pendekar yang lebih bayak menahan
nafsu-nafsunya dan lebih banyak bersemedhi, tapi sebaliknya Tang Cun Ciu adalah
seorang wanita yang berdarah panas, maka dalam pernikahan itu Tang Cun Ciu
merasa kecewa dan banyak menderita tekanan batin!
Suaminya itu
terlalu dingin baginya sehingga sering kali dia merasa tersiksa oleh gairah
nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan karena suaminya hanya teramat jarang mau
menggaulinya. Dan karena ketidak serasian ini agaknya maka biar pun sudah
menikah bertahun-tahun mereka berdua tidak mendapatkan keturunan.
Makin dewasa
usia Tang Cun Ciu, semakin tersiksalah dia karena suaminya menjadi semakin tua
dan semakin dingin dalam hubungan jasmani. Ketika dia berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun dan bagaikan bunga sedang mekar-mekarnya dan sedang panas-panasnya
gejolak birahinya, suaminya yang baru berusia empat puluh dua tahun itu sudah
jarang mau mendekatinya!
Keadaan
seperti ini agaknya tidak akan menimbulkan apa-apa dan lambat laun Tang Cun Ciu
tentu akan terbiasa dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kalau saja tidak
muncul sepasang suami isteri pendekar yang datang bertamu di Lembah Suling
Emas. Mereka ini adalah sepasang pendekar yang berusia sekitar tiga puluhan
tahun. Pendekar itu dikenal sebagai Bu-taihiap, dan isterinya seorang wanita
yang cantik dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bu-taihiap sudah mengenal
Cu San Bu, kakak tertua di antara saudara-saudara Cu itu yang memang merupakan
satu-satunya orang yang sering kali keluar dari Lembah Suling Emas dan banyak
merantau.
Mereka,
suami isteri itu, diterima sebagai seorang sahabat, bahkan mereka ditahan untuk
tinggal di lembah itu selama mereka belum menemukan tempat yang baik untuk
bertapa. Memang suami isteri itu datang ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa
dan mempelajari ilmu yang baru saja mereka dapatkan. Pada waktu itulah terjadi
godaan yang amat hebat menggerogoti hati Tang Cun Ciu yang selalu kehausan
cinta asmara itu! Wajah Bu-taihiap yang tampan, tubuhnya yang gagah, amat
menarik hatinya dan mulailah terdapat sinar-sinar cinta asmara berkilatan dari
pandang mata dan dari senyumnya terhadap sahabat suaminya itu! Hayoo!
Dan
Bu-taihiap walau pun dia merupakan seorang pendekar sakti yang selain berilmu
tinggi juga berbatin kuat, tetap saja masih seorang manusia biasa, seorang
manusia laki-laki yang masih muda dan akhirnya dia pun tidak kuat menghadapi
godaan sinar-sinar cinta asmara yang dikobarkan oleh Tang Cun Ciu yang kehausan
kasih sayang dan mendambakan belaian pria itu. Apa yang tak dapat dihindarkan
lagi pun terjadilah. Terjadilah hubungan yang biasanya dinamakan perjinahan
antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap!
Setelah
menderita tekanan batin selama bertahun-tahun di samping suaminya yang kurang
memenuhi kebutuhan jasmani dan perasaannya, dan sekarang bertemu dengan seorang
pria muda yang berdarah panas serta tidak kalah besar gelora birahinya
dibandingkan dengan dirinya sendiri, tentu saja Tang Cun Ciu bagaikan seorang
yang telah lama kehausan bertemu dengan sumber air yang segar. Tidak
puas-puasnya dia meneguk air yang menyegarkan itu, tidak peduli lagi bahwa yang
diminumnya adalah air terlarang, Lupa dia bahwa dia menjadi isteri pria lain
dan bahwa pria yang dipeluknya penuh kobaran api cinta asmara yang menggelora
dan panas itu adalah suami dari seorang wanita lain!
Dan tidak
aneh pula kalau pada suatu hari mereka tertangkap basah! Semua orang di tempat
itu, termasuk suami Tang Cun Ciu dan isteri Bu-taihiap, adalah orang-orang
lihai yang berkepandaian tinggi, maka tentu tidak mudah dikelabui dan akhirnya
perbuatan mereka berdua itu ketahuan! Namun, sebagai seorang pendekar besar
yang tidak lagi dimabok birahi dan mudah dikuasai amarah, Cu San Bu tidak
menimbulkan keributan.
Bu-taihiap
merasa malu sendiri. Kalau seandainya suami wanita itu marah-marah dan
menyerangnya, dia tidak akan merasa demikian terpukul dan malu seperti sekarang
ini. Sikap Cu San Bu yang diam seperti orang tidak marah itu lebih menyakitkan
hati bagi Bu-taihiap, karena membuat dia kelihatan semakin rendah saja! Maka
dia pun berpamit dan pergi meninggalkan Lembah Suling Emas bersama isterinya
dan semenjak itu tidak pernah nampak lagi atau terdengar beritanya.
Bercerita
sampai di sini, Tang Cun Ciu memejamkan kedua matanya dan diam sampai beberapa
lama. Ketika dia membuka lagi matanya, kedua mata yang jernih tajam itu agak
basah. Dia menarik napas panjang. Dadanya yang masih membusung penuh itu naik
turun.
“Sampai
sekarang pun aku tak pernah dapat melupakan dia! Aku mencintai mendiang
suamiku, hatiku mencinta suamiku yang amat baik kepadaku, akan tetapi tubuhku
rindu kepada Bu-taihiap.”
Diam-diam
muridnya sendiri, Yu Hwi, menjadi merah mukanya mendengar cerita subo-nya dan
mendengar pengakuan itu. Pengakuan terang-terangan dan yang menurut pendapat
dan pandangan umum merupakan pengakuan tidak tahu malu dari seorang isteri!
Wanita itu
melanjutkan ceritanya…..
Biar pun
pada lahirnya Cu San Bu diam saja seolah-olah perbuatan isterinya yang berjinah
dengan tamunya itu tidak melukai hatinya, namun sesungguhnya dia merasa
tertikam batinnya. Dia amat mencintai isterinya, tetapi cintanya tidak terlalu
condong kepada nafsu birahi. Ia tak menyesal karena merasa dirugikan, hanya
merasa menyesal mengapa isterinya melakukan perbuatan yang begitu rendah dan
memalukan. Yang lebih memberatkan perasaan batin pendekar ini adalah sikap
adik-adiknya.
Cu San Bu
adalah seorang anak angkat dari ayah ketiga orang saudara Cu. Biar pun dia
sudah dianggap anak sendiri dan memakai she Cu, namun tiga orang adiknya itu
tahu bahwa dia bukanlah darah daging keluarga Cu. Biasanya memang sikap Cu Han
Bu, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu kepadanya biasa saja, tetap menganggapnya sebagai
kakak sendiri, kakak terbesar yang selain paling lihai ilmunya, juga dapat
mereka hormati karena sikap dan perbuatan Cu San Bu yang gagah perkasa dan
baik, yang selalu menjunjung tinggi nama keluarga Cu. Akan tetapi, setelah
peristiwa perjinahan antara Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap, sikap tiga orang
pendekar itu berubah sama sekali!
Tiga orang
kakak beradik Cu itu diam-diam merasa terhina dan marah sekali oleh perbuatan
Toaso mereka. Menurut pendapat mereka, dosa Toaso mereka itu terlampau besar
dan biar pun twako mereka tidak menganggapnya sebagai dosa, akan tetapi mereka
berpendapat bahwa Toaso mereka itu telah menodai nama dan kehormatan semua
anggota keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas! Maka, sikap twako mereka yang
mendiamkan saja perbuatan hina dan rendah itu, membuat mereka diam-diam merasa
penasaran dan membenci twako mereka!
Inilah yang
membuat Cu San Bu menderita tekanan batin dan akhirnya pendekar ini jatuh
sakit! Penyakit yang sukar diobati karena bersumber dari batin yang tertekan.
Akhirnya, pendekar ini meninggal dunia dalam usia baru empat puluh tahun lebih!
Dan sebelum mati, dia sempat meninggalkan pesan atau permintaan terakhir kepada
tiga orang adiknya itu agar mereka suka memaafkan Tang Cun Ciu dan agar wanita
itu tetap diperlakukan sebagai Toaso mereka, sebagai keluarga mereka.
Permintaan yang amat berat bagi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, akan tetapi
karena merupakan pesan terakhir, mereka tidak tega untuk menentang atau
menolaknya.
“Mereka
bertiga menerima pesan suamiku, dengan syarat bahwa aku harus tinggal di luar
Lembah Suling Emas, dan demikianlah, aku memilih tempat ini, di kaki gunung dan
di sebelah bawah dari lembah itu.” Tang Cun Ciu mengakhiri ceritanya yang
sangat menarik perhatian tiga orang pendengarnya.
Akan tetapi
kakek berkulit hitam itu, yang meski selama hidupnya belum pernah terjerat oleh
perangkap-perangkap cinta asmara akan tetapi pandangannya sudah sedemikian
waspada sehingga cerita yang didengarnya itu tidak menggerakkan hatinya karena
dianggapnya wajar dan tidak aneh, lalu bertanya, nadanya penasaran, “Hemm,
ceritamu mungkin menyedihkan, Cui-beng Sian-li, akan tetapi apa hubungannya itu
dengan teka-tekimu?”
“Tiga tahun
yang lalu, aku mendapat tugas untuk menghadapimu, dan karena dalam ilmu silat
kita seimbang dan sukar untuk menentukan siapa kalah siapa menang, maka timbul
niatku untuk membuka perasaan hatiku yang penasaran terhadap adik-adik suamiku
itu melalui teka-teki ini. Nah, itulah sebabnya maka aku mengajukan teka-teki
kepadamu, dengan harapan selain engkau tidak akan mampu menebaknya, juga tiga
orang adik suamiku itu agar memikirkan pula tentang sifat-sifat cinta pria dan
wanita. Sebagai isteri mendiang suamiku yang sungguh kucinta karena
kebaikannya, sebagai seorang wanita, aku membutuhkan kasih sayang yang
diperlihatkan, butuh dimanjakan, butuh dicinta dengan mesra, dengan lembut,
butuh disenangkan dan dipuja. Akan tetapi sikap suamiku yang dingin itu
mendatangkan perasaan kepadaku seolah-olah aku tidak dibutuhkannya lagi, tidak
dicinta lagi. Seorang wanita, dari yang muda sampai yang tua sekali pun, baru
percaya akan cinta kasih seorang pria jika pria itu memperlihatkannya dengan
bukti dalam sikapnya. Dan wanita yang dilimpahi kemesraan baru akan percaya
bahwa dia memang dicintai, maka anehkah kalau aku menyerahkan segala-galanya?
Suamiku bersikap dingin, sebaliknya Bu-taihiap bersikap mesra sekali kepadaku,
maka anehkah kalau aku menyerahkan diri kepadanya untuk memuaskan kehausanku?”
Makin lama
makin merah dan jengah rasa hati Yu Hwi mendengarkan kata-kata gurunya itu.
Sebagai seorang wanita dewasa, tentu saja dia mengerti semua yang dibicarakan.
Sedangkan Ci Sian hanya mendengarkan dengan bengong, walau pun dia merasa
kasihan, akan tetapi dia tidak begitu mengerti tentang urusan cinta-mencinta
itu.
“Akan
tetapi, apa pula hubungannya orang she Bu itu dengan aku?” Tiba-tiba Ci Sian
bertanya, suaranya lantang dan mengejutkan Cui-beng Sian-li yang tidak
menyangka-nyangka akan datang pertanyaan dari bocah itu. Dia memandang wajah Ci
Sian dan alisnya berkerut, pandangannya menjadi tajam dan tidak senang.
“Mukamu sama
benar dengan isteri Bu-taihiap! Dan engkau she Bu pula, maka aku menduga bahwa
engkau tentulah puteri mereka!”
Ci Sian
adalah seorang yang cerdik. Dia tahu bahwa dugaan itu mungkin saja benar karena
bukankah ayah bundanya juga berada di Himalaya seperti yang diceritakan oleh
kakeknya, dan bahwa ayah bundanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi? Akan
tetapi, karena tiada bukti dan semua itu hanya dugaan saja, lebih baik kalau
dia tidak mengakui hal itu, karena mengakuinya berarti hanya akan menimbulkan
permusuhan dari wanita yang lihai ini.
“Hemm, biar
pun aku she Bu, akan tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa aku adalah
puteri mereka, karena itu, jangan engkau sembarangan saja menduga-duga dan
secara sewenang-wenang hendak membunuhku,” kata Ci Sian, suaranya bernada
teguran sehingga Tang Cun Ciu merasa terpukul dan malu.
Untuk
menutupi rasa malunya ditegur oleh anak-anak, dia lalu berkata kepada See-thian
Coa-ong. “Ehh, Coa-ong, engkau sekarang mempunyai seorang murid yang agaknya
akan menjadi orang yang lihai, biar pun sekarang yang lihai hanya baru mulutnya
saja! Pertandingan antara kita sudah selesai, maka marilah kita pertandingkan
murid-murid kita dalam waktu lima tahun lagi. Engkau boleh menggembleng muridmu
she Bu ini, dan aku akan membimbing muridku Yu Hwi, dan kita pertandingkan
mereka....”
“Yu
Hwi....?” Tiba-tiba Ci Sian berseru dan dia kini mencurahkan perhatiannya
kepada murid Cui-beng Sian-li itu, memandang tajam karena baru kini dia
tertarik sedangkan semenjak tadi perhatiannya dicurahkan seluruhnya kepada
Cui-beng Sian-li. Dia mulai melangkah maju mendekati Yu Hwi yang juga
memandangnya penuh perhatian, diam-diam Ci Sian harus mengakui bahwa Yu Hwi
memiliki wajah yang manis sekali, bentuk tubuh yang ramping padat, kulit yang
putih kuning halus mulus. Pendeknya, wanita itu amat cantik menarik dan memang
pantas sekali kalau menjadi isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.
“Ada apa
dengan engkau?!” Yu Hwi membentak ketika melihat Ci Sian memandangnya
sedemikian rupa setelah tadi mengucapkan namanya.
“Yu Hwi....?
Mengapa engkau meninggalkan Kam Hong....?” Karena tiba-tiba timbul rasa iba
kepada pendekar itu dan teringat akan cerita Kam Hong bahwa isteri pendekar itu
yang bernama Yu Hwi telah lari meninggalkannya, maka kini Ci Sian mengucapkan
kata-kata itu dengan nada suara menegur dan mencela.
Mendengar
ucapan ini, wajah Yu Hwi seketika berubah pucat dan matanya terbelalak
memandang Ci Sian. Sejenak dia tidak mampu berkata-kata, kemudian setelah dia
menekan perasaannya yang terguncang, dia lalu berkata, suaranya terdengar seperti
membentak marah. “Apa.... maksudmu....?”
“Bukankah
engkau yang bernama Yu Hwi, isteri yang telah meninggalkan suamimu yang bernama
Kam Hong?”
Kini wajah
Yu Hwi berubah merah sekali. “Bocah setan bermulut lancang! Aku tidak pernah
menikah dengan siapa pun juga! Pula, kau peduli apa dengan urusanku?”
“Hemm, aku
tidak tahu engkau sudah menikah atau belum. Akan tetapi agaknya engkau tentulah
Yu Hwi yang dicari-cari oleh Paman Kam Hong. Tentu saja aku peduli karena Paman
Kam Hong menderita sengsara karena mencari-carimu. Kiranya engkau menjadi murid
Bibi Cui-beng Sian-li. Wah, memang cocok. Gurunya seorang wanita yang telah
mengkhianati suami, sedangkan muridnya seorang wanita yang telah minggat dari
suaminya. Keduanya telah menghancurkan hati dan kehidupan pria-pria yang
mencintai mereka.”
“Keparat!”
“Jahanam
bermulut lancang!”
Guru dan
murid itu bergerak cepat, akan tetapi See-thian Coa-ong yang lebih dekat dengan
Ci Sian sudah menyambar tubuh anak perempuan itu dan meloncat jauh dari tempat
itu.
“Cui-beng
Sian-li, di antara kita sudah tidak terdapat urusan lagi, biarkan kami pergi
dari sini!” teriak kakek itu tanpa menghentikan loncatan-loncatannya dan
ternyata wanita itu bersama muridnya pun tidak melakukan pengejaran.
Setelah
kakek itu pergi jauh, Cui-beng Sian-li memandang pada muridnya dan dengan
pandang mata tajam dia bertanya. “Yu Hwi, benarkah engkau minggat dari
suamimu?”
“Tidak Subo,
bocah itu bicara yang bukan-bukan. Yang benar, aku melarikan diri karena hendak
dijodohkan dengan seorang pemuda yang bukan pilihanku sendiri.”
“Dan pemuda
itu bernama Hong?”
Yu Hwi
mengangguk, kemudian dia menceritakan persoalannya dengan Kam Hong. Dia
menceritakan dengan singkat akan tetapi juga terus terang, mengingat bahwa
gurunya tadi pun telah bercerita dengan terus terang tanpa menyembunyikan
perbuatan dan perasaan hatinya sendiri.
“Sebetulnya,
teecu jatuh cinta kepada seorang pendekar yang amat teecu kagumi, akan tetapi
pendekar itu agaknya tidak membalas cinta teecu. Dan tanpa teecu ketahui,
ternyata sejak kecil teecu telah ditunangkan dengan seorang pemuda lain.
Setelah kakek teecu memberitahu tentang pertunangan itu, maka ketika dipertemukan
dengan tunangan itu yang juga telah teecu kenal sebelumnya, teecu merasa malu,
dan juga kecewa dan teecu pergi melarikan diri sampai sekarang. Sudah lima
tahun lebih lamanya, dan siapa kira, pemuda itu ternyata masih mencari-cari
teecu seperti yang dikatakan oleh bocah setan tadi.”
Hening
sejenak setelah Yu Hwi menceritakan riwayatnya secara singkat. Kemudian Cun Ciu
menarik napas panjang. “Yaah, demikianlah nasib kita kaum wanita. Tidak suka
dijodohkan dengan pria pilihan orang-orang tua, disalahkan. Lari untuk
menentukan nasib sendiri pun disalahkan. Disia-siakan cintanya sehingga
kehausan dan mencari hiburan pelepas dahaga dengan pria lain pun disalahkan.
Coba yang melakukan semua itu kaum pria, tentu tidak akan ada yang menyalahkan
karena hal itu sudah dianggap biasa saja. Betapa tidak adilnya dunia ini
terhadap kaum wanita!”
“Akan
tetapi, sungguh Kam Hong itu tidak tahu diri!” Yu Hwi berkata. “Teecu tidak
menyangka bahwa dia masih terus mencari teecu. Mau apa dia? Apakah hendak
memaksa teecu menjadi isterinya berdasarkan ikatan jodoh yang dilakukan oleh
orang-orang tua kami itu? Teecu harus pergi menemuinya dan menjelaskan bahwa
teecu tidak suka menjadi isterinya!”
“Ingat, Yu
hwi. Gurumu ini telah kalah bertaruh dengan See-thian Coa-ong. Dia sendiri
telah mengorbankan waktunya sampai tiga tahun bertapa dalam goa. Dan setelah
dia dapat menebak teka-teki sehingga aku kalah, sudah sepantasnya kalau aku pun
memenuhi janji. Aku harus tinggal di sini dua tahun dan sama sekali tidak boleh
keluar meninggalkan tempat ini sebelum dua tahun. Dan engkau baru saja menjadi
muridku. Engkau harus pula belajar menemaniku di sini sampai sedikitnya dua
tahun.”
Yu Hwi tidak
berani membantah dan dia pun lalu mengikuti subo-nya kembali ke pondok kecil
mungil yang dlbangun oleh keluarga Cu di tempat itu untuk Toaso mereka. Biar
pun Tang Cun Ciu tidak diperbolehkan lagi tinggal di Lembah Suling Emas, akan
tetapi dia tetap diaku sebagai keluarga dan setiap waktu boleh saja mengunjungi
lembah melalui jalan rahasia terowongan yang hanya dikenal oleh keluarga
mereka…..
***************
Kita
tinggalkan dulu Yu Hwi yang tekun belajar di bawah bimbingan Cui-beng Sian-li
yang lihai, dan membiarkan dulu Bu Ci Sian yang ikut bersama See-thian Coa-ong
untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi pula. Marilah kita beralih ke bagian
lain dari daratan Tiongkok, meninggalkan daerah Pegunungan Himalaya dan pergi
ke sebelah timur meninggalkan daratan, menyeberang laut untuk melihat keadaan
di sebuah pulau kecil yang hanya beberapa mil jauhnya dari daratan. Dengan
mempergunakan sebuah perahu layar, kalau angin baik, dalam waktu seperempat jam
saja orang sudah akan dapat sampai ke pulau itu. Pulau ini disebut Kim-coa-to
(Pulau Ular Emas) karena menurut kabar di pulau kecil ini terdapat sejenis ular
yang berwarna kuning keemasan dan sangat berbahaya karena gigitannya mengandung
bisa yang mematikan.
Akan tetapi
bukan ular-ular kecil berwarna kuning emas inilah yang membuat para nelayan dan
pelancong tidak berani mengunjungi Pulau Kim-coa-to itu. Pulau itu sudah
belasan tahun terkenal sebagai pulau yang berbahaya karena pulau itu ditinggali
oleh seorang wanita yang hidup sebagai seorang ratu di atas pulau kosong itu.
Di atas pulau itu dibangun sebuah bangunan seperti istana kecil dan karena
wanita yang hidup seperti ratu itu selain memiliki kecantikan luar biasa juga
memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat, maka tidak ada orang berani lancang
mendekati pulau itu, kecuali kalau hendak berkunjung dengan keperluan yang
penting.
Pemilik
pulau itu, wanita yang hidup seperti ratu, terkenal sekali dengan julukannya,
yaitu Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan) dan semua orang kang-ouw tahu belaka
bahwa Bu-eng-kwi ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu ginkang yang amat
luar biasa, tidak pernah ada yang mampu menandinginya. Karena ilmu ginkang-nya
yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, tentu saja
dia merupakan lawan yang amat berbahaya.
Bu-eng-kwi
bernama Ouw Yan Hui, seorang wanita yang sesungguhnya sudah berusia empat puluh
enam tahun atau lebih. Akan tetapi kalau orang bertemu dengan dia, tak mungkin
mau percaya bahwa wanita cantik itu sudah berusia mendekati setengah abad!
Wajahnya masih cantik manis, kulit mukanya masih halus tanpa keriput sedikit
pun, pinggangnya masih ramping dan tubuhnya masih padat. Orang akan menaksir
usianya tidak akan lebih dari tiga puluh dua tahun saja!
Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui ini adalah seorang janda. Karena suaminya menyeleweng, maka
dibunuhnya suaminya itu dan semenjak itu hatinya patah dan dia menjadi seorang
wanita pembenci pria, atau setidaknya dia mempunyai kesan yang amat buruk
terhadap pria di dalam hatinya. Dia tidak pernah menikah lagi dan bahkan tidak
pernah lagi mendekati pria yang amat dibencinya. Hatinya menjadi keras dan kejam
terhadap pria.
Akan tetapi
sebagai seorang manusia yang terbuat dari pada darah daging dan memiliki hawa
nafsu, maka tentu saja dia kadang-kadang terserang oleh gairah nafsu. Hal ini
membuat dia mulai mendekati sesama kelamin dan mencari pelepasan nafsu
birahinya dengan wanita lain! Dan untuk mencari teman atau lawan dalam
kebutuhan ini, mudah saja baginya karena selain cantik, dia pun amat kaya raya
sehingga mudah saja dia memilih di antara para pelayannya yang muda-muda dan
cantik-cantik yang bertugas menemani dan melayani kebutuhan jasmaninya itu di
waktu malam. Demikianlah, dari seorang wanita yang memiliki gairah birahi yang
normal, karena patah hati dan benci kepada pria yang pernah menyakitkan
hatinya, Ouw Yan Hui berubah menjadi seorang wanita yang suka bermain cinta
dengan wanita lain, atau yang kita biasa namakan wanita lesbian.
Karena
sikapnya yang benci kepada pria inilah yang membuat para pria tidak berani
mendekatinya, biar pun dia, dalam usia tuanya, masih cantik menarik. Dan Pulau
Ular Emas itu pun dijauhi orang karena dunia kang-ouw sudah tahu bahwa
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui adalah seorang wanita pembenci pria yang amat berbahaya.
Akan tetapi, sejak kurang lebih lima tahun terakhir ini Pulau Kim-coa-to
menjadi bahan percakapan orang dan mulailah orang-orang kang-ouw mendekatinya.
Di situ
terdapat suatu daya tarik yang amat luar biasa, yang terdapat dalam diri
seorang dara yang luar biasa cantik jelita! Dara ini menjadi murid Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui sejak enam tahun yang lalu, biar pun Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui
merupakan seorang wanita yang amat cantik, akan tetapi jika dibandingkan dengan
muridnya ini, dia seolah-olah merupakan sebuah bintang yang mulai pudar karena
jauhnya dibandingkan dengan bulan purnama yang gilang-gemilang!
Memang
kekuasaan Tuhan telah demikian bermurah hati kepada dara ini sehingga dia
dikarunia kecantikan yang sukar dicari bandingnya di seluruh jagat! Wajahnya
gemilang, rambutnya hitam gemuk dan panjang berombak, digelung seperti model
sanggul puteri istana, dihias taburan permata yang berkilauan, semerbak harum
oleh sari kembang.
Sepasang
matanya yang lebar itu amat jernih dan tajam, seolah dapat mengeluarkan ribuan
sinar yang menyaingi permata di atas kepalanya, berkeredepan amat indahnya,
dihias bulu mata yang panjang lentik dan lebat sehingga bulu mata itu membentuk
garis hitam melingkari matanya, seperti dilukis saja. Sepasang alisnya yang
asli itu seperti lukisan pula, demikian indah, panjang melengkung dan kecil
hitam, rambut alisnya halus dan rebah teratur dengan rapinya sehingga setiap
helai bulu alis itu seperti memiliki kemanisannya sendiri. Hidungnya kecil
mancung, cuping hidungnya tipis dan bentuknya patut, sesuai dengan mulutnya
yang kecil namun dengan bibir yang penuh dan selalu kemerahan, merah asli
karena sehat, merah basah dan bentuknya seperti gendewa terpentang. Dagunya
meruncing menambah manis.
Luar biasa
memang dara yang cantik jelita ini. Usianya sudah ada dua puluh enam tahun,
akan tetapi dia lebih pantas dinamakan dara remaja berusia delapan belas tahun!
Hanya sikap gadis ini, caranya memandang dan caranya bicara menghadapi orang,
menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita yang sudah dewasa. Demikian
cantik jelita, demikian manis, anggun dan agung bagaikan seorang puteri istana!
Dan memang sesungguhnyalah, murid dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah
seorang puteri asli, seorang puteri kerajaan. Dia adalah Syanti Dewi, puteri
Kerajaan Bhutan!
Dalam cerita
kisah sepasang rajawali dan jodoh rajawali sudah diceritakan dengan jelas
tentang Puteri Bhutan ini. Sang Puteri ini mempunyai pertalian cinta kasih yang
amat mendalam dengan pendekar muda perkasa yang berjuluk Si Jari Maut, yaitu
Ang Tek Hoat atau lebih tepat kalau disebut Wan Tek Hoat karena pendekar ini
adalah keturunan dari Wan Keng In, putera kandung dari Lulu yang kini menjadi
isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es.
Cinta kasih
antara mereka berdua mengalami lika-liku yang amat rumit dan perjodohan antara
mereka berdua telah mengalami halangan-halangan yang sangat hebat sehingga
sampai beberapa kali mereka berdua itu saling terpisah. Sudah bertahun-tahun
lamanya Sang Puteri ini mengalami kehidupan penuh bahaya dan sengsara demi
kekasihnya, saat dia mencari kekasihnya dan merantau di dunia yang penuh
kekejaman ini seorang diri saja.
Pada
pertemuan antara mereka yang terakhir kalinya, kembali hati Sang Puteri ini
tertusuk oleh sikap kekasihnya yang mencurigainya, yang sempat menuduhnya
sebagai seorang anak yang hendak memberontak dan berkhianat terhadap ayahnya
sendiri, yaitu Sang Raja Bhutan. Padahal, yang melakukan perbuatan itu adalah
seorang wanita lain yang dipergunakan oleh kaum pemberontak untuk menyamar
sebagai dirinya.
Perlakuan
yang diperlihatkan Tek Hoat ini begitu menyakitkan hatinya, sehingga dia
meninggalkan pemuda kekasihnya itu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Tek
Hoat merana dan sengsara. Dia tidak akan mau kembali kepada pemuda itu sebelum
Tek Hoat datang mencarinya dan minta ampun kepadanya! Semua ini diceritakan di
dalam cerita jodoh rajawali.
Puteri
Syanti Dewi lalu melarikan diri ke tempat tinggal subo-nya, atau gurunya, yaitu
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Tentu saja, sebagai seorang wanita lesbian, yang selera
seksuilnya sudah berubah seperti selera seorang pria, Ouw Yan Hui seperti
tergila-gila melihat kecantikan Syanti Dewi dan keindahan lekuk-lengkung
tubuhnya. Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita seratus prosen, oleh karena
itu, dia tidak sudi melakukan permainan cinta yang tidak wajar itu. Bahkan
ketika seorang nenek yang masih cantik, guru dari Ouw Yan Hui dalam hal awet
muda yang bernama Maya Dewi, seorang wanita India, hendak mendekap dan
membelainya, mengajak bermain cinta, Syanti Dewi lalu melarikan diri dari pulau
itu!
Karena Ouw
Yan Hui benar-benar amat mencinta Syanti Dewi, maka setelah Syanti Dewi mau
kembali ke Kim-coa-to, dia berjanji bahwa dia tidak akan lagi mengganggu
muridnya itu. Hanya dengan janji inilah Syanti Dewi mau kembali dan tinggal di
pulau itu setelah dia melarikan diri dari Ang Tek Hoat. Dan pada waktu itu,
Maya Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk kembali ke negaranya sendiri,
meninggalkan ilmu yang membuat Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal
terhadap usia tua dan menjadi tetap awet muda!
Sampai
bertahun-tahun Syanti Dewi tinggal bersama gurunya di pulau itu, mempelajari
ilmu ginkang yang amat tinggi dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini Syanti
Dewi merupakan seorang wanita ke dua yang memiliki ginkang amat hebatnya. Ouw
Yan Hui amat bangga dengan muridnya yang dikasihinya seperti anak atau adik
sendiri ini, dan mereka hidup rukun serta saling menyayangi di pulau itu
bagaikan seorang ratu dan seorang puteri.
Namun,
semenjak nama Syanti Dewi dikenal, pulau itu sering kali menerima kunjungan
tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi, atau
hartawan-hartawan yang semua ingin mempersembahkan milik mereka demi untuk menundukkan
hati Syanti Dewi, puteri yang seperti bidadari cantiknya itu! Nama Syanti Dewi
menjadi buah bibir setiap orang pria dan setiap orang yang pernah melihat
senyumnya, tak mungkin dapat melupakannya lagi, bahkan senyum manis itu selalu
membayang di depan mata. Wajah jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan
banyaklah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan, dan hartawan-hartawan
besar yang tergila-gila kepada Syanti Dewi.
Meski karena
kegagalan cintanya dengan Ang Tek Hoat, Syanti Dewi berubah menjadi agak keras
hati terhadap pria, namun dia bukanlah pembenci pria seperti gurunya. Oleh
karena itu, dia tidak menolak perkenalan dengan para pria tingkat atas itu,
bahkan menyambut mereka sebagai sahabat-sahabat dengan sikap manis. Akan
tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap sanjungan, setiap pujaan, setiap
pinangan, selalu ditolaknya dengan halus sehingga tidak menyinggung yang
ditolaknya, bahkan membuat mereka semakin tergila-gila! Pendeknya, semenjak
beberapa tahun ini, nama Syanti Dewi terkenal sekali di sepanjang pantai timur,
bahkan sampai jauh ke pedalaman dan akhirnya nama itu terdengar pula sampai ke
istana kaisar!
Tentu saja
Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi menemui para pria itu, akan tetapi dia juga
tidak tega untuk melarang muridnya menerima kunjungan para pria tingkat atas
itu, dan jika Syanti Dewi dikelilingi pria-pria muda yang rupawan dan
seolah-olah berebut untuk menundukkan hati puteri juwita ini, Ouw Yan Hui yang
merasa sebal lalu mencurahkan semua ketidak senangan hatinya dengan hiburan
yang biasa dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam pelukan lembut wanita-wanita
pelayan yang biasa menjadi kekasihnya!
Pulau Ular
Emas kini seolah-olah menjadi ramai akan kunjungan perahu-perahu besar yang
mewah dan indah. Para pemuda yang tergila-gila itu ada yang mendatangkan
ahli-ahli bermain musik, penari dan penyanyi-penyanyi yang kenamaan untuk
mengadakan hiburan di tempat itu, yang tentu saja kesemuanya ditujukan untuk
menarik hati Syanti Dewi. Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw Yang Hui
bertumpuk banyak barang-barang hadiah yang berharga, yang seolah-olah
dilimpahkan tanpa mengenal hitungan oleh para pemuda itu di depan kaki Syanti
Dewi. Namun sang puteri itu hanya membalas dengan senyum manis, senyum yang
demikian gemilangnya sehingga untuk sebuah senyum kiranya setiap orang pemuda
rela untuk bertekuk lutut!
Saking
terkenalnya nama Syanti Dewi, sampai-sampai para sastrawan tertarik untuk
mengunjungi pulau itu dan di antara mereka terdapat seorang sastrawan ahli
lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw Toan. Sastrawan ini sudah berusia lima
puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya mendarat di Kim-coa-to, para penjaga memandangnya
penuh curiga. Biasanya, yang melakukan pendaratan dan kunjungan di pulau itu
hanyalah pemuda-pemuda yang rupawan dan gagah perkasa, yang datang membawa
kesan yang nampak dari sikap mereka yang gagah perkasa dari seorang ahli silat,
atau dari perahu mereka yang mewah dan pakaian mereka yang indah dari seorang
hartawan, atau dari pengawal-pengawal dan sikap angkuh seorang bangsawan. Akan
tetapi kakek ini berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan sudah tua lagi. Apa
yang diharapkan dari seorang kakek seperti itu? Maka, seorang di antara para
penjaga yang diadakan oleh Syanti Dewi setelah tempat itu sering dikunjungi
orang, cepat menghampiri dan menegur.
“Lopek, mau
apakah engkau mendaratkan perahumu di sini? Dilarang untuk mencari ikan ditepi
pulau ini!”
Kakek Pouw
Toan tersenyum. Harus diakui bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini pernah
menjadi seorang pria yang tampan sekali, dan hal ini nampak jelas ketika dia
tersenyum.
“Sahabat,
seperti juga para pendatang lain, aku ingin sekali berjumpa dengan Nona Syanti
Dewi.”
Beberapa
orang penjaga sudah mendekati tempat itu dan mereka tertawa mendengar kata-kata
ini. Biar pun pria ini tampan, akan tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa
hendak bertemu dengan Siocia, pikir mereka.
“Ehh, orang
tua. Siocia kami tidak pernah menerima kunjungan orang-orang tua! Yang menjadi
tamu-tamunya adalah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan atau
pemuda-pemuda hartawan. Lebih baik engkau lekas pergi dari sini, kalau sampai
Toanio majikan pulau ini mendengar tentang kedatanganmu, tentu dia akan marah
dan nyawamu tidak akan tertolong lagi.”
Yang
dimaksudkan oleh para penjaga dengan toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui. Kalau Syanti Dewi yang mereka sebut siocia itu merupakan seorang
yang amat mereka sayang dan hormati karena sikapnya yang ramah-tamah dan lemah
lembut terhadap semua orang, sebaliknya Ouw Yan Hui amat mereka takuti karena
memang wanita ini selalu bersikap dingin dan galak terhadap para pria, termasuk
para penjaga itu.
Kakek itu
tertawa. “Ha-ha-ha, dunia memang penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap manusia
dinilai dari lahirnya, bukan batinnya. Sahabat, kalian bermaksud baik, maka aku
berterima kasih atas nasehat kalian. Akan tetapi, aku mempunyai suatu hal yang
perlu kusampaikan kepada Nona Syanti Dewi. Maukah engkau menyampaikan hal ini
kepadanya?” Tanpa menanti jawaban, kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kipas
yang permukaannya terbuat dari kertas putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat
tulis dan dengan gerakan yang cekatan sekali dia mencorat-coret di atas kipas
itu.
Para penjaga
memandang dan melongo penuh kekaguman ketika melihat betapa corat-coret itu
merupakan tulisan huruf-huruf yang amat indah dan dilihat dari jauh merupakan
sebuah petak rumput dengan bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan bukan hanya
huruf-hurufnya yang indah, akan tetapi bahkan huruf-huruf itu tersusun
merupakan sebuah sajak yang rapi pula!
“Nah, inilah
pesanku itu, harap kalian suka menyampaikan kepada Siocia kalian.”
Seorang di
antara para penjaga itu, yang berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan
menghampiri sambil bertolak pinggang, lalu membentak, “Ehhh, engkau ini tua
bangka tidak tahu diri! Bercerminlah dulu sebelum engkau berani menulis surat
cinta kepada Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda saja, pakai hendak mengirim
surat cinta kepada Siocia!” Bentakan ini disambut suara ketawa penjaga lainnya.
Kakek itu
juga tersenyum, kemudian dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di atas ujung
perahunya. Semua orang memandang terpesona dan kembali mereka terbelalak
memandang corat-coret yang agaknya dilakukan secara sembarangan itu ternyata
telah membentuk wajah penjaga berkumis lebat itu, mirip sekali sehingga sekali
pandang saja semua orang mengenal wajah Si Kumis Lebat, lengkap dengan kumisnya
yang pada gambar di atas papan perahu itu bahkan nampak lebih menyeramkan dari
pada aslinya.
Sastrawan
tua itu tersenyum ketika dia mengangkat muka memandang kepada penjaga berkumis
yang menegurnya tadi, sambil berkata, “Nah, sudah kucatat baik-baik gambar
wajahmu agar mudah kulaporkan kelak kepada penghuni pulau ini siapa di antara
para penjaga yang bersikap kasar terhadap seorang tamu.”
Mendengar
ini, tiba-tiba wajah penjaga berkumis tebal itu berubah ketakutan. Memang
siapakah yang tidak takut membayangkan bahwa jangan-jangan sastrawan sederhana
ini adalah seorang kenalan baik Toanio dan kalau betul demikian halnya dan
kakek ini melaporkan kepada Toanio, dia tentu akan celaka! Maka cepat Si Kumis
Tebal itu menjura kepada sastrawan itu sambil berkata, “Harap Tuan sudi
memaafkan kelakar kami tadi.... dan kalau Tuan menghendaki, biarlah saya
menyampaikan pesan Tuan kepada Siocia....“
“Nah, itu
baru seorang petugas yang baik, seorang penjaga yang gagah perkasa seperti
harimau!” kata sastrawan itu dan kembali dengan alat tulisnya dia
mencorat-coret ke arah lukisan wajah penjaga itu dan semua orang memandang
kagum karena kini lukisan itu berubah menjadi kepala seekor harimau yang bagus
sekali!
Penjaga
berkumis lebat itu tidak berani main-main lagi, cepat diterimanya kipas yang
sudah ditulisi itu dengan hormat sambil berkata, “Saya akan menyampaikan kipas
ini kepada Siocia.”
“Dan aku
akan menanti balasannya di sini,” kata sastrawan itu sambil mengeluarkan
sebungkus roti kering dan seguci arak, kemudian duduklah dia di kepala
perahunya sambil makan roti, minum arak dan bersenandung kecil, kelihatannya
riang dan gembira sekali.
Pada pagi
hari itu, Syanti Dewi sedang duduk di dalam taman bunga bersama gurunya yaitu
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, menghadapi sarapan pagi di dalam taman yang indah itu,
dilayani oleh para pelayan yang cantik muda dan berpakaian bersih rapi. Taman
itu memang indah sekali, dibangun oleh Syanti Dewi sendiri yang mendatangkan
berbagai macam bunga dari daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka duduk di
bangunan kecil di tepi danau buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas beraneka
macam dan warna, yang nampak berenang ke sana kemari di dalam air yang amat
jernih itu. Jembatan-jembatan kecil dicat indah dan nyeni menambah semarak
pemandangan di taman dan batang-batang pohon yang-liu yang lentik itu
menari-nari tertiup angin pagi yang lembut.
“Dewi.” kata
Ouw Yan Hui dengan halus. Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya itu, dan tak
pernah dia bosan untuk memandang wajah yang jelita itu.
Ouw Yan Hui
biasanya bersikap dingin dan kasar angkuh kepada orang lain, akan tetapi
terhadap Syanti Dewi dia bersikap lembut dan manis budi. “Kabarnya hari ini
pangeran akan datang mengunjungi pulau kita, benarkah?”
“Benar, Enci
Hui.” Syanti Dewi biasa menyebut gurunya itu Enci dan hubungan mereka memang
lebih mirip antara kakak dan adik dari pada guru dan murid. “Kemarin seorang
pengawalnya telah menyampaikan berita itu.”
“Dewi,
sahabatmu itu adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menjadi kaisar!
Dan kulihat hubungan antara kalian demikian akrab. Hemm, dari pada engkau
dikelilingi begitu banyak pria muda, apakah tidak lebih baik kalau menentukan
pilihanmu sekarang juga? Dan kurasa, sudah paling tepatlah kalau engkau memilih
pangeran itu. Bayangkan saja kelak engkau menjadi permaisuri dan....“
“Enci Hui,
harap jangan sebut-sebut tentang hal itu!” Syanti Dewi memotong dengan alis
agak berkerut, meski wajahnya masih tetap berseri dan senyumnya masih membayang
di bibirnya yang merah basah dan sudah begitu segar nampaknya di pagi hari itu.
Kini Ouw Yan
Hui yang memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sinar matanya
serius. “Dewi, marilah kita bicara dari hati ke hati secara terbuka saja karena
yang kita akan bicarakan ini menyangkut masa depan dari kehidupanmu. Tidak
perlu kusebutkan lagi karena engkau sudah mengenalku, bahwa aku pribadi tidak
sudi berdekatan dengan pria, apalagi menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain
lagi. Engkau menentang sikap hidupku dan engkau mengatakan bahwa sekali waktu
engkau tentu akan menjadi isteri seorang pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam
tahun dan selagi sekarang terbuka kesempatan yang amat baik ini, mengapa engkau
masih hendak bertahan? Kalau memang engkau suka hidup sebagai isteri orang,
sekaranglah saatnya dan pangeran mahkota itulah orangnya yang patut menjadi
suamimu. Bayangkan, kelak engkau menjadi permaisuri. Hemm, bahkan aku sendiri
pun yang tidak suka kepada pria akan ikut merasa bangga disebut seorang kakak
angkat dari permaisuri!”
“Enci,
lupakah kau bahwa aku selalu menganggap perjodohan itu hanya mungkin apa bila
terdapat cinta kasih disitu? Apakah kau kira aku akan serendah itu, menikah
dengan seorang pria hanya berdasarkan kedudukan belaka? Ingat, di Bhutan aku
pun adalah seorang puteri tunggal Raja Bhutan!”
“Hemm, apa
artinya kedudukanmu di Bhutan kalau dibandingkan dengan menjadi permaisuri
kaisar? Dewi, apa artinya cinta kasih? Apa kau kira ada cinta kasih dalam hati
seorang pria? Huh, aku tidak percaya itu! Pria hanya mempunyai nafsu birahi,
nafsu binatang, dan selalu hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap wanita,
selalu ingin mempermainkan wanita sampai akhirnya dia menjadi bosan dan mencari
wanita baru yang lain! Kalau engkau dapat menjadi permaisuri dari sebuah
pernikahan, tidak peduli Kaisar yang menjadi suamimu itu kelak mengumpulkan
seribu orang selir, tetap saja engkau sudah memperoleh kedudukan dan kekuasaan
tertinggi bagi seorang wanita, dan....“
“Cukup,
Enci. Aku tidak mau lagi bicara tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong
hanya menjadi sahabat baikku, kami saling cocok dan saling suka, saling
menghormat, sama sekali tidak ada perasaan seperti yang kau maksudkan itu....”
“Hi-hi-hik,
kau kira aku ini anak kecil, Dewi? Aku bisa melihat jelas betapa pada sinar
matanya terdapat kekaguman dan gairah birahi....“
“Usianya
baru delapan belas tahun, aku jauh lebih tua....“
“Apa
salahnya? Melihat wajahmu, engkau lebih pantas dikatakan baru berusia delapan
belas tahun! Dan perbedaan usia itu malah akan membuat engkau lebih mudah untuk
mengatasinya.”
“Sudahlah,
kau tahu, Enci. Aku tidak akan menikah dengan siapa pun juga, betapa pun kaya
raya dan berkuasanya pria itu, kecuali dengan pria yang kucinta.”
“Tek Hoat
itu lagi, ya? Betapa bodohnya engkau....”
“Tidak! Dia
sudah kuhapus dari dalam lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak
muncul, aku mulai percaya bahwa dia memang berhati palsu!”
Ouw Yan Hui
tertawa lagi. “Bukan hanya dia, semua laki-laki di dunia ini berhati palsu!
Karena itu aku lebih suka berdekatan dengan sesama wanita yang memiliki
kelembutan, baik jasmani mau pun rohaninya. Dunia ini seharusnya dikuasai
wanita dan semua pria sebaiknya dibinasakan saja!”
Pada saat
mereka berdua tertawa santai terbebas dari percakapan tentang hal yang
mendatangkan kenangan tidak menyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu, muncullah
penjaga berkumis lebat. Melihat bahwa Siocia berada di dalam taman bersama
Toanio, wajahnya menjadi pucat dan cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut
ketika Ouw Yan Hui menoleh dan memandang kepadanya.
“Harap
Toanio sudi mengampuni saya yang berani lancang masuk ke sini, karena saya
tidak tahu bahwa Toanio di sini.”
Syanti Dewi
yang maklum akan tabiat gurunya yang membenci kaum pria dan mudah menjatuhkan
tangan kejam terhadap pria yang bersalah sedikit saja, cepat berdiri
menghampiri pria penjaga itu dan bertanya dengan sikap ramah, mendahului Ouw
Yan Hui yang sudah memandang dengan alis berkerut kepada pria berkumis lebat
itu.
“Ada
keperluan apakah engkau datang ke sini?”
“Maaf,
Siocia. Di pantai pulau ada seorang sastrawan berusia kurang lebih lima puluh
tahun yang bermaksud berjumpa dengan Siocia....”
“Siapa dia?
Apa keperluannya?” tanya Syanti Dewi.
“Usir dia
pergi!” bentak Ouw Yan Hui, suaranya melengking marah hingga mengejutkan Si
Penjaga berkumis tebal yang masih berlutut.
“Saya....
sudah berusaha mengusirnya.... akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas kipas
ini dan minta untuk disampaikan kepada Siocia....“ Cepat-cepat dia mengeluarkan
kipas itu dari saku bajunya.
“Keparat,
berani kau....?”
Penjaga itu
terkejut bukan main karena yang nampak hanya berkelebatnya bayangan dan
tahu-tahu dia merasa kepalanya seperti disambar petir dan tubuhnya terlempar
dan bergulingan. Saat dia merangkak bangkit duduk, dengan kedua tangan dia
cepat-cepat memegangi kepalanya untuk memastikan apakah kepalanya tidak copot
dan masih menempel pada lehernya! Ternyata di dalam kemarahannya tadi Ouw Yan
Hui sudah menendangnya, dan dengan sama cepatnya Syanti Dewi telah mengambil
kipas itu dan selanjutnya nona yang jelita ini menyabarkan gurunya.
“Enci, dia
hanya petugas, harap ampuni dia,” kata Syanti Dewi yang segera membuka kipas
itu dan membacanya. Sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar, mulut yang
manis sekali itu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia membaca
sajak yang ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat indahnya itu.
Kembang
indah jelita nan cantik menarik
datangnya
kumbang-kumbang beterbangan
membuat
banyak tangan ingin memetik
banyak pria
berlomba bersaing!
Aku,
sastrawan tua pengagum segala nan indah
hanya ingin
menikmati dengan pandangan mata
sebelum
kembang jelita dilayukan usia!
Kasihan
kumbang, belum kenyang madu tertusuk duri!
Kasihan
kembang, habis madu layu sendiri!
“Di mana dia
sekarang?” Syanti Dewi bertanya kepada penjaga yang masih berlutut dan mandi
keringat karena ketakutan itu. Kumisnya nampak miring dan sama sekali tidak
membayangkan kegalakan lagi.
“Dia....
menanti.... di dalam perahunya, Siocia,” jawabnya dengan lirih dan matanya
mengerling ketakutan ke arah Ouw Yan Hui.
“Kau
persilakan dia menanti di ruangan tamu, aku akan menemuinya,” kata Syanti Dewi
dengan halus. “Nah, pergilah!”
Penjaga itu
merasa lega sekali. Cepat dia bangkit dan memberi hormat, kemudian dengan penuh
penghormatan dia menjura ke arah Ouw Yan Hui. “Terima kasih atas pengampunan
Toanio....“ Dan pergilah dia dengan cepat-cepat meninggalkan taman indah akan
tetapi baginya seperti neraka menakutkan itu.
“Enci, dia
itu hanya seorang sastrawan tua yang tulisannya indah syairnya bagus sekali.
Aku mau menemuinya.”
Ouw Yan Hui
bangkit berdiri, sejenak memandang kepada puteri itu, lalu membuang muka dan
mendengus. “Huhh! Segala tua bangka menjemukan....!” Dan dia pun pergi
meninggalkan Syanti Dewi dengan wajah cemberut.
Syanti Dewi
yang sudah mengenal watak gurunya itu hanya tersenyum saja. Gurunya itu memang
tidak suka kepada pria, akan tetapi dia tahu bahwa wanita itu amat sayang
kepadanya dan tidak akan merintangi kehendaknya. Maka dia pun cepat-cepat pergi
meninggalkan taman untuk memasuki bangunan seperti istana itu.
“Siapa
namamu?” begitu bertemu dengan sastrawan tua yang masih menanti di perahu itu,
penjaga berkumis membentak. Dia masih merasa marah karena telah dihadiahi
tendangan oleh toanio dan karena hal ini adalah gara-gara munculnya sastrawan
ini maka dia menjadi marah kepada sastrawan itu.
Sastrawan
tua itu tersenyum dan membungkuk. “Namaku Pouw Toan, hanya seorang sastrawan
perantau. Bagaimana, apakah Nonamu telah menerima pesanku dalam kipas?”
“Dengarlah,
orang she Pouw!” kata penjaga itu dengan mata merah serta telunjuknya menuding
ke arah hidung sastrawan itu. “Kalau engkau tidak menceritakan yang baik-baik
tentang aku di depan Siocia agar aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau
kembali tentu akan kubikin lukisan di mukamu dengan kedua kepalan tanganku
ini!” Dia mengamangkan tinjunya yang besar kepada sastrawan itu. “Gara-gara
kedatanganmu aku telah kena marah oleh Toanio!”
Sastrawan
itu tersenyum, “Aiihhh, kiranya aku telah menyusahkanmu, sobat. Jangan
khawatir, setelah aku berhasil bertemu dengan Siocia-mu, kalau pulang aku tentu
akan memberi hadiah kepadamu. Nah, sekarang antarkan aku kepada Siocia-mu.”
Penjaga itu
lalu mengantarkan Pouw Toan menuju ke ruangan tamu di samping istana yang megah
itu. “Kau tunggu di sini, demikian pesan Siocia tadi,” kata Si Penjaga lalu
meninggalkan Pouw Toan seorang diri di dalam ruangan tamu yang luas itu.
Pouw Toan
memeriksa keadaan kamar tamu yang cukup luas itu dengan hati tertarik. Sebagai
seorang sastrawan, tentu saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu yang dihias
dengan amat menyenangkan itu, dengan warna-warna sejuk pada dinding yang
digantungi lukisan-lukisan indah. Akan tetapi dia tertarik sekali akan
serangkaian tulisan indah di sudut ruangan, dan dia berdiri seperti patung di
depan tulisan ini, dengan alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu
ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu yang tertutup tirai hijau muda.
Melihat
seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun berdiri di depan tulisan itu dengan
alis berkerut dan agaknya tertarik sekali sehingga tidak melihat dia muncul,
Syanti Dewi tersenyum. Dia tertarik melihat pria yang tidak seperti para
pengunjungnya yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini dia menerima kunjungan
orang-orang muda yang menarik dan dengan pakaian serba indah seolah-olah
bergaya dan bersaing. Tapi pria ini sudah setengah tua dan pakaiannya sederhana
saja, seperti pakaian orang yang miskin.
“Pamankah
yang ingin bertemu dengan aku?” Syanti Dewi akhirnya menegur karena pria itu
seperti terpesona oleh tulisan-tulisan di dinding.
Pouw Toan
menengok dan sejenak dia terbelalak memandang dara yang berdiri tak jauh di
depannya. Sudah banyak dia mendengar nama puteri yang berada di Kim-coa-to ini
sehingga amat menarik hatinya dan membuatnya datang singgah di pulau itu untuk
menyaksikan sendiri seperti apa puteri yang dikabarkan orang seperti bidadari
dari sorga itu. Dan setelah kini dia berhadapan, dia terpesona dan tercengang
karena dia seolah-olah melihat Kwan Im Pouwsat sendiri berdiri di depannya.
Kecantikan dara ini sungguh jauh melampaui apa yang didengarnya dalam berita
angin itu. Kecantikan yang luar biasa sekali! Sepasang matanya seperti orang
dahaga bertemu dengan air jernih, menghirup dan meneguk keindahan di depannya itu
sepuasnya!
“Nona, yang
dikabarkan sebagai bidadari Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu?”
Syanti Dewi
mengangguk dan tersenyum. Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia disanjung dan
dipuji oleh bibir-bibir para pria muda, bahkan dengan kata-kata sanjungan yang
berlebihan, tetapi anehnya, ucapan yang keluar dari mulut kakek ini membuat dia
merasa senang, bangga dan jantungnya berdebar. Mengapa?
Mungkin
karena kata-kata dan sikap pria ini begitu jujur, bukan seperti sanjungan para
muda yang penuh dengan lagak dan jelas membayangkan pamrih bersembunyi di balik
sanjungan itu. Akan tetapi pria ini tidak demikian.
“Ah, Paman,
berita itu hanya isapan jempol belaka. Mana mungkin seorang manusia biasa
seperti aku dibandingkan dengan seorang bidadari?”
Kakek itu
menarik napas panjang, masih terpesona. “Kau keliru! Engkau malah melebihi yang
dibayangkan orang, engkau lebih dari seorang bidadari! Engkau tahu, seorang
bidadari hanya suatu gambaran yang tanpa cacat, sebaliknya engkau adalah
seorang manusia berikut cacat-cacatnya, karena itu jauh lebih mempesona dari
pada sekedar gambaran kosong belaka!”
Heran
sekali, ucapan ini jelas-jelas mengandung pujian yang disertai celaan tentang
kecantikannya, akan tetapi Syanti Dewi malah merasa girang! Dia merasa kembali
menjadi manusia biasa bertemu dengan kakek ini.
“Silakan
duduk, Paman dan katakanlah apa cacat-cacatku? Engkau tentu tahu bahwa sebagai
manusia biasa, aku pun tidak pandai melihat cacat-cacat sendiri sungguh pun aku
pandai melihat cacat-cacat lain orang.”
Kakek itu
duduk dan mengangguk-angguk. “Hemm, selain kecantikan engkau memiliki
kebijaksanaan pula, Nona. Cacat-cacatmu ialah bahwa di balik kecantikanmu itu
engkau mengandung kedukaan yang mendalam yang kau coba sembunyikan di balik
senyum manis dan sinar mata yang seindah bintang. Dan selain kedukaan ini, juga
engkau menaruh dendam besar, hal itulah yang merusak kecantikanmu. Akan tetapi
cacat-cacat itu malah menghidupkanmu, bukan hanya sekedar gambar bidadari,
melainkan seorang manusia berikut kelebihan dan kekurangannya. Sayang
cacat-cacatmu itulah yang kini menciptakan kepedihan dalam hidupmu, Nona.”
Diam-diam
Syanti Dewi terkejut dan memandang tajam penuh selidik, karena merasa tepatnya
ucapan itu. “Engkau seorang ahli peramal?”
“Ha-ha-ha!”
Melihat kakek itu tertawa, Syanti Dewi merasa makin tertarik karena ketawa itu
begitu wajar sehingga dia pun ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar
matahari memasuki ruangan itu yang biasanya lembab oleh sikap Ouw Yan Hui yang
selalu muram dan dingin. “Nona, segala peramal itu hanya omong kosong belaka.
Aku dapat membaca keadaan batinmu dari wajahmu, bukankah wajah adalah cermin
dari keadaan hati seseorang?”
“Paman,
siapakah engkau?”
“Namaku Pouw
Toan, aku seorang sastrawan tua yang tidak tinggal di tempat tertentu, selalu
merantau untuk menikmati keindahan alam semesta.”
“Paman Pouw,
ketika aku memasuki ruangan ini, kulihat engkau amat memperhatikan tulisan di
dinding itu. Mengapa?” Syanti Dewi memandang karena tulisan di dinding itu yang
sebetulnya adalah buatannya sendiri! “Apakah tulisan itu buruk?”
Pouw Toan
menoleh ke arah tulisan itu. “Buruk? Tidak, tulisan wanita itu cukup halus dan
indah, akan tetapi bunyi tulisannya itulah yang palsu dan buruk!”
Diam-diam
Syanti Dewi terkejut dan penasaran. “Ahh, aku menganggap tulisan itu benar dan
baik, mengapa kau katakan palsu dan buruk? Kurasa engkau bukanlah termasuk
orang yang hanya pandai mencela tanpa dapat mengemukakan alasannya.”
“Tentu saja!
Coba kubaca tulisan itu!” Dia lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu lalu
membaca dengan suara latang dan iramanya bagus seperti bernyanyi.
Cinta membutakan
mata menulikan telinga
pedih perih
nyeri merobek-robek hati,
Akan tetapi
mengapa seluruh raga dan jiwa
selalu
mendambakan cinta?
Pouw Toan
kemudian membalikkan tubuhnya menghadapi Syanti Dewi yang diam-diam merasa
terharu mendengar cara kakek itu membacakan sajaknya, demikian indah terdengar
dan belum pernah selamanya dia mendengar ada orang mampu membaca sajaknya
dengan irama sedemikian cocok, tepat dan indahnya. Hatinya seperti merasa
tersentuh dan keharuan membuat kedua matanya terasa panas dan basah air mata
karena mendengar suara kakek itu hatinya terasa seperti terobek-robek
mengenangkan nasib dirinya dalam cinta yang gagal.
“Isi sajak
ini sangat buruk dan palsu, harus diubah sama sekali karena hanya akan
mendatangkan kedukaan dan keharuan, dan sama sekali mengandung gambaran yang
sama sekali salah tentang cinta kasih!” kakek itu berkata-kata, nada suaranya
penuh rasa penasaran. Perasaannya ini seperti yang dirasakan oleh seorang
pelukis melihat lukisan yang buruk, atau seorang ahli musik mendengarkan musik
yang sumbang.
Syanti Dewi
sudah dapat menguasai perasaannya lagi yang kini menjadi penasaran. Kakek itu
dapat membaca sajaknya sedemikian indah penuh perasaan, akan tetapi mengapa
malah mencela habis-habisan? Timbul keinginan tahunya.
“Paman Pouw,
kalau begitu, cobalah kau ubah sajak itu bagaimana baiknya.”
Kakek itu
menggeleng kepalanya. “Kau kira aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak berani
selancang itu. Mengubahnya tanpa ijin berarti menghina penulisnya!”
Syanti Dewi
tersenyum. “Jangan khawatir, Paman, aku telah memberi ijin dan akulah
penulisnya.”
“Ahh....!”
Kakek itu nampak tercengang akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini makin
menarik hati Syanti Dewi karena kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak
mempunyai sifat penjilat seperti semua pemuda yang pernah mengunjunginya.
“Di atas
meja di sudut sana itu ada kotak terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik
hati untuk membetulkan dan merubahnya, Paman.”
Akan tetapi
Pouw Toan sudah mengeluarkan alat tulisnya sendiri dari saku bajunya yang
besar. “Seorang pendekar tak pernah terpisah dari pedangnya, dan seorang
sastrawan tak pernah berpisah dari alat tulisnya. Kalau Nona sudah mengijinkan,
nah, biar kurubah tulisan ini!”
Setelah
berkata demikian, kakek itu lalu menggosok bak dan mendekati kain yang terisi
tulisan indah dari Syanti Dewi, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan
alat tulisnya di atas kain putih itu. Mula-mula dia mencoret huruf-huruf itu
dengan coretan dari atas ke bawah, coretan kasar namun tarikannya mengandung
tenaga yang halus sehingga coretan itu nampak ‘hidup’, sama sekali tidak
membuat buruk tulisan itu, bahkan seperti menjadi bayangan yang menghiasinya!
Kemudian, di tempat yang masih kosong dia menuliskan beberapa buah huruf,
dilakukan dengan cepat akan tetapi huruf-huruf yang tercipta di situ sungguh
amat indah dan hidup membuat Syanti Dewi terbelalak memandang penuh kagum. Sajak
baru yang dibuat di samping sajak lama yang dihias coretan itu singkat-singkat
sekali, setiap baris hanya terdiri dari satu huruf saja!
Api....?
Asap....!
Abu....!
Cinta....?
Kepuasan....!
Kesenangan....!
Akhirnya....?
Kecewa....!
Sengsara....!
Benci....!
Aku ada
Cinta tiada!
Setelah
selesai menuliskan sajak yang terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw Toan
menyimpan kembali alat tulisnya, sedangkan Syanti Dewi masih menatap tulisan
itu dan membacanya berkali-kali. Hanya sebuah huruf setiap baris, akan tetapi
huruf-huruf itu demikian jelas menusuk perasaan, mendatangkan kesan mendalam
dan menimbulkan pengertian yang lengkap. Namun dia masih penasaran!
“Akan
tetapi, Paman Pouw. Kenapa orang mencinta tak boleh mengharapkan kepuasan dan
kesenangan? Bukankah kita mencinta dikarenakan tertarik oleh suatu kebaikan
tertentu?”
Mereka sudah
duduk kembali saling berhadapan, menghadapi poci dan cawan teh harum yang
dihidangkan oleh pelayan yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti Dewi.
Pouw Toan
menghirup teh harum kental itu, lalu menjawab, “Mencinta karena tertarik oleh
suatu kebaikan merupakan cinta yang hanya ingin menyenangkan diri sendiri.
Dasarnya adalah ingin menyenangkan diri sendiri melalui sesuatu yang menarik
dan dianggap kebaikan itu. Kebaikan itu boleh saja merupakan wajah tampan
menarik, atau harta berlimpah-limpah, atau kedudukan tinggi, dan semua itu
dianggap menarik dan menyenangkan....”
“Tetapi bisa
saja kebaikan itu berupa sifat-sifat baik dari orang yang dicinta, kegagahan
misalnya, kebijaksanaan atau sifat-sifat budiman....,“ bantah Syanti Dewi.
“Tiada
bedanya. Sifat-sifat yang dianggap baik dan akan mendatangkan kesenangan,
kebanggaan dan sebagainya. Akan tetapi kita lupa bahwa setiap orang manusia itu
kalau sudah dinilai, sudah pasti mengandung dua sifat bertentangan, ada baik
tentu ada buruknya. Mencinta dengan dasar ketampanan, padahal ketampanan itu
dapat pudar, dapat lenyap dan dapat berkurang menurut suasana hati yang
memandangnya. Kalau ketampanannya sudah pudar, lalu ke mana perginya cinta?
Dengan dasar kekayaan, kedudukan, kejantanan atau apa saja pun sama pula,
begitu yang menjadi pendorong cinta itu pudar atau lenyap maka cintanya turut
lenyap. Dan harus diingat lagi bahwa hal-hal yang dianggap baik dan
menyenangkan itu hanya dianggap demikian karena belum tercapai oleh kita, akan
tetapi apabila sudah berada di tangan kita, biasanya muncul penyakit bosan dan
segala keindahan itu sudah tidak nampak sebaik sebelum terdapat!”
Syanti Dewi
memejamkan mata. Di dalam kepala yang berbentuk indah itu, otaknya sedang
bekerja keras sekali. Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang dia menjadi benci
sekali kepada Tek Hoat kalau dia mengingat akan sikap-sikap Tek Hoat yang tidak
menyenangkan hatinya, cintanya berubah benci! Nampak jelas olehnya betapa kalau
Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya baik dan menyenangkan, cintanya
berkobar-kobar, tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang
dianggapnya buruk dan tidak menyenangkan, cintanya melayu dan muncullah
kebencian.
Dia membuka
mata dengan penuh kengerian di dalam hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap
Tek Hoat? Hanya berdasarkan menyenangkan dirinya sendiri? Dia bergidik!
“Paman
Pouw.... Paman.... katakanlah, kalau begitu.... apa dan bagaimana cinta kasih
itu?” Suaranya lirih seperti memohon, pandang matanya sayu.
Sejenak
sastrawan itu terpesona. Belum pernah dia melihat kelembutan dan kecantikan
seperti ini. “Nona... ehh... aku memohon padamu... bolehkah aku melukis
wajahmu....?” Dia pun berbisik.
Sikap kakek
ini membuat Syanti Dewi tersenyum dan keharuannya pun membuyar. Sikap dan
bisikan kakek itu mirip dengan sikap para muda, hanya perbedaannya yang teramat
besar, kalau pemuda-pemuda itu membujuknya untuk dilayani atau dibalas cinta
mereka, kakek ini sebaliknya membujuk untuk diperbolehkan melukis wajahnya!
“Tentu saja,
Paman, Akan tetapi lebih dulu aku minta Paman menjawab pertanyaanku tadi.”
“Apa dan
bagaimana cinta kasih itu? Ahh, Nona, mana mungkin manusia biasa macam kita
dapat menggambarkan bagaimana adanya cinta kasih itu? Sama dengan harus
menggambarkan bagaimana adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita, Nona, adalah
kita tahu apa sesungguhnya yang bukan cinta itu! Selama ada si aku yang ingin
disenangkan melalui orang yang kita cinta, maka mana mungkin ada cinta kasih?
Yang ada tentulah hanya kekecewaan, kedukaan, kebencian dan permusuhan belaka!”
Syanti Dewi
tidak berani bicara lagi tentang cinta. Kini baru terbuka matanya, betapa
sesungguhnya cinta kasih merupakan hal yang amat agung dan pelik, yang tidak
mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu saja. Yang biasa kita pikirkan dan
bayangkan adalah cinta yang sesungguhnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan
diri kita dengan menggunakan sampul yang kita namakan cinta!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment