Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 08
Semenjak
terjadi peristiwa itu, nama Ci Sian dikenal. Baru sekarang mereka tahu bahwa
gadis bangsa Han itu menjadi sahabat baik dari puteri panglima dan bahwa dara
cantik itu ternyata mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat! Akan tetapi,
para pendekar merasa bersyukur juga bahwa dara itu ternyata berani membela
penduduk, bahkan puteri panglima itu pun telah memperlihatkan keadilan di depan
rakyat.
Menurut
pendapat Siok Lan dan ibunya, Su Khi malah dianggap sebagai kaki tangan
mata-mata yang sengaja menimbulkan kekeruhan di Lhagat! Memang, sejak
terjadinya pencurian di dalam kamar kerja panglima oleh seorang maling yang
berilmu tinggi itu, setiap orang dicurigai dan setiap hari para pengawal
menangkapi orang-orang yang dicurigai sehingga penjara menjadi penuh menampung
orang-orang tangkapan baru ini.
Puteri
Nandini sebagai panglima yang paling merasa terpukul dengan adanya pencurian
benda-benda penting dari kamar kerjanya, bertindak keras, bahkan setiap kali
ada orang tangkapan baru, dia sendiri datang untuk memeriksa. Ingin sekali dia
dapat menemukan maling yang telah memasuki kamar kerjanya itu.
Ketika pada
suatu pagi ada laporan bahwa tertangkap pula seorang pemuda yang amat
mencurigakan karena malam-malam pemuda itu berkeliaran di dekat bukit tempat tentara
musuh terkurung, cepat panglima itu berpakaian, naik kuda dan datang sendiri ke
tempat penangkapan itu. Begitu panglima itu tiba di tempat penjagaan, para
penjaga mendorong seorang pemuda yang kedua kakinya dibelenggu, demikian pula
kedua lengannya.
Seorang
pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana, berwajah terang dan sama sekali
tidak menunjukkan wajah seorang jahat. Akan tetapi justru wajah demikian ini
yang menimbulkan kecurigaan, karena bukankah yang dikirim oleh pihak musuh
adalah orang-orang pandai dan mungkin saja orang-orang yang juga memiliki
kedudukan tinggi?
Dari atas
kudanya, panglima wanita itu mengamati pemuda tawanan itu dengan penuh
perhatian. Pemuda seperti ini memang pantas menjadi seorang utusan, karena biar
pun nampaknya seorang yang lemah, akan tetapi sinar matanya berkilat
membayangkan kekuatan dan kecerdasan. Komandan jaga maju memberi hormat kepada
panglima wanita itu, lalu melaporkan bahwa pemuda itu pagi-pagi sekali tadi
ditangkap ketika sedang menyusup-nyusup seorang diri di dekat perkemahan para
penjaga yang sedang bertugas mengurung bukit di mana pihak musuh terjebak itu.
“Alasannya
adalah mencari jejak binatang buruan dan setelah kami menggeledahnya, kami
tidak menemukan senjata pada dirinya, melainkan kalung ini.” Komandan jaga
menutup laporannya sambil menyerahkan seuntai kalung kepada panglimanya.
Puteri
Nandini menerima kalung itu dan menyembunyikan kagetnya ketika dia mengenal
kalung itu. Sebuah kalung dengan hiasan berbentuk sebatang bunga teratai emas
yang terhias permata. Tentu saja dia mengenalnya oleh karena kalung itu adalah
kalungnya sendiri di waktu muda dan yang sudah diberikannya kepada puterinya,
Siok Lan!
Diam diam
dia terkejut dan marah, dan hampir saja dia berteriak membentak pemuda itu
untuk bertanya dari mana pemuda itu memperoleh kalung puterinya. Akan tetapi
dia masih sempat menahan diri dan tidak mau membuka rahasia puterinya sehingga
kalau terdengar oleh para penjaga bahwa kalung puterinya berada pada pemuda
ini, tentu akan menimbulkan prasangka yang buruk.
“Engkau
seorang pemburu?” panglima itu bertanya tanpa turun dari atas punggung kudanya.
Pemuda itu
mengangguk. “Benar, Li-ciangkun. Saya adalah seorang di antara para pemburu di
bukit sebelah sana itu.”
“Kenapa kau
berkeliaran di sini?”
“Semalam
kawan-kawan saya mengepung seekor harimau yang amat buas dan yang sudah lama
kami coba untuk menangkapnya. Akan tetapi harimau itu dapat lolos dan saya
mengikuti jejaknya sampai ke sini, tahu-tahu saya ditangkap....”
“Hemm,
mengikuti jejak harimau dengan pakaian seperti itu? Pakaianmu bukan seperti
pakaian pemburu!”
“Maaf,
karena semalam saya memang sudah hendak tidur, sudah terlalu lelah memburu pada
siang harinya. Tetapi mendengar suara ribut-ribut para kawan, saya terbangun
dan ikut mengejar harimau yang lolos....”
Panglima
wanita itu lalu memerintahkan untuk menahan pemuda itu di dalam kamar tahanan
di tempat penjagaan itu. “Aku hendak memeriksanya sendiri,” katanya.
Dia pun
meloncat turun dari atas kudanya, mengikuti para penjaga yang mendorong pemuda
tawanan itu memasuki rumah penjagaan. Setelah menyuruh semua penjaga pergi,
Puteri Nandini memandang kepada pemuda yang disuruh duduk di depannya itu
dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian dia mengeluarkan kalung dari saku
bajunya dan memperlihatkannya kepada pemuda itu.
“Dari mana
engkau memperoleh kalung ini?” tanyanya halus, tetapi pandang matanya seperti
hendak menembus dada menjenguk isi hati.
Pemuda itu
nampak tenang-tenang saja, hanya agak kemalu-maluan ketika mendengar pertanyaan
ini. “Dari.... dari seorang dara....,” jawabnya.
“Hemm,
mengapa dia memberikan kalung ini kepadamu?”
Pemuda itu
kelihatan semakin malu. “Sebetulnya.... hanya kebetulan saja, Li-ciangkun.
Ketika itu.... saya melihat seorang gadis menunggang kuda dan kudanya itu
terkejut karena bertemu harimau, harimau keparat yang kami kejar-kejar itulah!
Dan kudanya terpeleset ke dalam jurang. Kebetulan saya berada di dekat situ dan
saya memang sudah siap dengan laso untuk menangkap harimau, maka saya berhasil
mencegah dia terbawa jatuh ke dalam jurang dengan laso saya....“
Puteri
Nandini tidak terkejut karena memang dia tadi sudah menduga demikian. Oleh
karena dia menduga bahwa pemuda ini adalah penyelamat puterinya itulah maka dia
tadi memerintahkan penjaga membawa pemuda itu ke sini untuk diajak bicara. Akan
tetapi sekarang pun dia tidak memperlihatkan perasaan apa-apa pada wajahnya
yang nampak bengis namun masih tetap cantik itu. Tadi sebelum memasuki tempat
ini dia sudah diam-diam menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat memanggil Siok
Lan agar datang ke tempat ini.
Puteri
Nandini menyuruh pemuda itu menceritakan riwayatnya dan mengapa jauh-jauh ke
tempat ini untuk berburu. Pemuda itu bercerita dengan singkat bahwa dia dan
rombongannya adalah pemburu-pemburu yang selain memiliki pekerjaan memburu dan
hidup dari hasil buruan, juga suka dengan pekerjaan ini.
“Kami sudah
banyak menjelajahi daerah-daerah yang terkenal memiliki binatang-binatang aneh
dan buas. Kami sebetulnya tiba di sini karena tertarik oleh berita tentang
binatang atau makhluk aneh yang dinamakan Yeti atau dikabarkan sebagai manusia
salju di daerah Himalaya. Akan tetapi ternyata kami tidak berhasil menjumpai
makhluk itu, maka kami memburu harimau dan lain-lain binatang buas di bukit
itu."
Demikian
antara lain pemuda itu bercerita. Dia mengaku she Liong bernama Cin dan sebagai
seorang pemburu yang banyak bertualang ke tempat-tempat jauh, dia menguasai
bahasa Tibet, bahkan sedikit dia dapat berbahasa Nepal.
Selagi
mereka bicara, terdengarlah suara derap kaki dua ekor kuda di luar rumah
penjagaan itu dan tak lama kemudian masuklah dua orang dara ke dalam ruangan
itu. Mereka ini bukan lain adalah Siok Lan dan Ci Sian. Siok Lan datang dengan
sangat cepat setelah menerima panggilan ibunya dan dia mengajak Ci Sian,
apalagi ketika mendengar dari pengawal itu bahwa para penjaga menangkap seorang
pemuda yang mengaku sebagai seorang pemburu dan kini sedang diperiksa oleh
panglima.
Begitu
mereka masuk dan melihat Liong Cin, Siok Lan segera berkata kepada Ci Sian,
“Benar, dia!” Lalu dia menghampiri ibunya. “Ahhh, Ibu, mereka salah tangkap!
Dia ini adalah pemburu yang pernah menyelamatkan aku dulu!”
Puteri
Nandini mengangguk. “Aku sudah menduganya, hanya menanti kedatanganmu untuk
kepastiannya.” Lalu Sang Puteri ini memandang kepada pemuda itu, tersenyum dan
berkata. “Orang muda, kau maafkan kesalahan para penjaga kami. Akan tetapi
engkau juga bersalah mengapa mengejar buruan sampai dekat dengan perkemahan
kami. Harap beritahu kawan-kawanmu agar jangan mendekati tempat ini.”
Liong Cin
menggeleng kepalanya dengan sedih. “Tak mungkin mereka berani mendekat ke sini
lagi, Li-ciangkun. Setelah mendengar atau melihat saya ditangkap, saya berani
memastikan bahwa mereka tentu sudah lari ketakutan dan tidak akan kembali lagi
ke tempat ini.”
Panglima itu
mengerutkan alisnya dan memandang tajam. “Kalau begitu kini engkau ditinggalkan
oleh teman-temanmu?”
Liong Cin
mengangguk. “Selama ini kami memang sudah khawatir melihat betapa tempat buruan
kami dekat dengan medan perang dan sudah sering kali kami beruding untuk pergi
saja. Akan tetapi harimau itu....”
“Sudahlah,
orang muda. Aku menyesal bahwa engkau terpaksa ditinggalkan teman-temanmu.
Sekarang engkau boleh bebas. Engkau adalah seorang yang mempunyai kepandaian
tinggi, harap kau suka melepaskan belenggu tangan dan kakimu sendiri.” Panglima
itu mencoba.
Tetapi
pemuda itu menggeleng kepala dan mukanya menjadi merah. “Harap Li-ciangkun
tidak main-main. Mana mungkin saya dapat melepaskan diri dari belenggu yang
sekuat ini?”
“Tapi engkau
telah mampu menyelamatkan puteriku.”
“Itu lain
lagi, Li-ciangkun. Saya memang mempelajari ilmu mempergunakan tali laso, akan
tetapi untuk mematahkan belenggu-belenggu ini.... sungguh saya tidak sanggup
melakukannya.”
Panglima itu
tersenyum. Senyumnya hanya sebentar saja, seperti kilatan cahaya di hari
mendung. Lalu dihampirinya pemuda itu dan dengan kedua tangannya panglima
wanita itu mematah-matahkan belenggu pada kaki tangan itu sedemikian mudahnya,
bagaikan mematahkan ranting-ranting kecil saja! Pemuda itu terbelalak penuh
kaget dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga panglima wanita ini.
Dan memang
itulah yang dikehendaki oleh Puteri Nandini, agar pemuda ini terkejut dan jeri
sehingga tidak akan berani melakukan hal-hal yang dapat merugikan pasukan
Nepal. Biar pun dia percaya kepada pemuda ini, akan tetapi pemuda ini adalah
bangsa Han, maka sudah tentu saja sedikit banyak dia masih bersikap hati-hati
dan curiga.
Siok Lan
menghampiri pemuda itu dan berkata dengan suara menyesal. “Harap kau suka
memaafkan, Liong Cin. Karena ingin berhati-hati, para pasukan penjaga telah
salah tangkap, engkau yang menjadi penolongku malah disangka mata-mata musuh.”
Liong Cin
juga tersenyum dan menjura. “Tidak mengapa, Nona. Ini malah merupakan tambahan
pengalamanku, hanya sayang... sahabat-sahabatku telah pergi meninggalkan aku di
sini....”
“Kalau
begitu, mari ikut bersama kami ke Lhagat,” Siok Lan mengajak dan sebelum pemuda
itu menjawab, dara ini sudah segera berpaling kepada ibunya. “Ibu, harap Ibu
perkenankan Liong Cin untuk ikut bersama kita ke Lhagat, sekedar untuk membalas
budinya dan untuk minta maaf kepadanya atas perlakuan kita yang tidak
semestinya terhadap seorang penolong.”
Siok Lan
memang pandai bicara dan ibunya tidak dapat menolak, tidak enak untuk menolak
setelah puterinya mengeluarkan kata-kata seperti itu. Biar pun, di dalam
hatinya dia tidak setuju karena hal itu memungkinkan adanya bahaya kalau-kalau
pemuda ini benar-benar kaki tangan musuh, namun mana mungkin dia menolak dengan
adanya kenyataan bahwa pemuda ini telah menyelamatkan puterinya, kemudian malah
ditangkap karena disangka mata-mata? Menolaknya sama dengan menampar muka
sendiri!
Siok Lan
sudah meneriaki pengawal minta seekor kuda untuk Liong Cin dan tak lama
kemudian, Siok Lan, Ci Sian, dan Liong Cin sudah membalapkan kuda mereka menuju
ke Lhagat. Di sepanjang perjalanan, Ci Sian tidak pernah bicara kepada Liong
Cin, akan tetapi diam-diam dia amat memperhatikan pemuda itu dan dia pun
melihat betapa terjadi perubahan besar pada diri Siok Lan. Dara ini kelihatan
amat gembira sekali, sikapnya menjadi semakin lincah dan jenaka!
Mulai saat
itu, Liong Cin diterima sebagai seorang tamu terhormat, atau juga seorang
sahabat baik dari Siok Lan, dan diberi sebuah kamar tersendiri di dalam gedung
tempat tinggal panglima itu. Puteri Nandini sendiri yang mengusulkan hal ini.
Pada lahirnya dia hendak bersikap baik terhadap pemuda yang pernah
menyelamatkan nyawa puterinya itu, akan tetapi di dalam hatinya dia menghendaki
agar pemuda itu tinggal di gedung karena dengan demikian akan lebih mudah
baginya untuk mengawasi gerak-geriknya. Juga dia melihat betapa agaknya
puterinya tertarik kepada pemuda itu, dan mengingat bahwa pemuda itu, biar pun
harus diakuinya bahwa pemuda itu tampan dan gagah, hanya seorang pemburu biasa
saja, maka sudah tentu hatinya tidak rela dan dia pun ingin mengamat-amati
hubungan antara puterinya dan pemuda itu.
Mula-mula
Liong Cin menolak halus dan menyatakan bahwa dia tak ingin mengganggu keluarga
panglima itu, akan tetapi Siok Lan cepat mendesaknya. “Saudara Liong Cin, sudah
jelas kini dari pelaporan para penyelidik bahwa benar seperti dugaanmu, semua
kawanmu, rombongan pemburu yang tadinya berkemah di bukit itu telah melarikan
diri semua, entah ke mana. Oleh karena itu, tidak baik kalau engkau pergi
mencari mereka, dalam keadaan gawat dan dalam ancaman perang ini. Sebaiknya
engkau beristirahat dahulu di sini bersama kami, kelak kalau keadaan sudah aman
barulah engkau pergi mencari kawan-kawanmu. Setidaknya, berilah kesempatan
kepadaku untuk menyatakan terima kasih dan membalas budimu.”
Meghadapi
ucapan Siok Lan ini, Liong Cin tidak dapat membantah dan demikianlah, mulai
hari itu dia tinggal di gedung panglima dan diperlakukan sebagai seorang tamu
terhormat dan memperoleh kebebasan. Dia bergaul dengan akrab sekali dengan Siok
Lan, dan tentu saja Ci Sian juga sering menemani mereka bercakap-cakap, akan
tetapi agaknya di antara dua orang muda ini, keduanya merupakan tamu dan
sahabat Siok Lan, terdapat sesuatu yang membuat hubungan mereka agak renggang.
Ada celah di antara keduanya, dan kadang-kadang mereka saling pandang dengan
sinar mata membayangkan kecurigaan dan keraguan.
Memang
sesungguhnyalah Ci Sian menaruh rasa curiga kepada pemuda itu, rasa curiga yang
sama sekali bukan tanpa alasan. Semenjak pemuda itu datang, dia selalu
mengamati gerak-geriknya dan meski dia melakukan hal ini secara diam-diam,
agaknya terasa juga oleh Liong Cin sehingga pemuda ini pun merasa tidak enak
terhadap Ci Sian. Bahkan semenjak Liong Cin berada di gedung itu, setiap malam
Ci Sian kurang dapat tidur nyenyak karena pikirannya selalu membayangkan pemuda
itu dengan penuh curiga, dan bahkan sering kali diam-diam gadis ini keluar dari
dalam kamarnya untuk bersembunyi dan melakukan pengintaian!
Dan beberapa
hari kemudian, pada suatu malam kecurigaannya ini memperoleh bukti. Dia melihat
bayangan berkelebat cepat dan dia dapat mengenal Liong Cin yang bergerak cepat
melakukan penyelidikan di dalam gedung dan keluar dari gedung itu menuju ke
taman bunga dengan sikap yang mencurigakan sekali. Akan tetapi, pemuda itu
ternyata lihai bukan main.
Walau pun Ci
Sian sudah membayangi dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang-nya sehingga
tubuhnya bergerak cepat dan ringan tanpa menimbulkan suara berisik, agaknya
pemuda itu telah tahu bahwa ada orang yang membayanginya dan tiba-tiba pemuda
itu berhenti dan menoleh ke belakang, tahu-tahu telah berhadapan dengan Ci Sian
yang bersembunyi di balik pohon dan semak-semak!
Keduanya
terkejut ketika saling berhadapan itu. Sejenak mereka hanya saling pandang
dengan alis berkerut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Ci Sian
tersenyum berkata. “Terkejut? Aku tahu siapa engkau, Liong Cin!”
Pemuda itu
memandang dengan sinar mata penuh selidik. “Apa maksudmu? Tentu saja engkau
mengenalku. Aku sedang jalan-jalan dan kau mengejutkan aku, Nona....“
“Hemm, tidak
perlu engkau berpura-pura sebagai pemburu yang tolol! Engkaulah Si Pengail yang
kami tanya tentang prajurit itu, dan engkau pula prajurit yang membunuh perwira
yang hendak memperkosa wanita itu, engkau mata-mata....“
Cepat
seperti kilat tangan pemuda itu sudah menangkap pundak Ci Sian dan jari-jari
tangan kirinya sudah menempel di ubun-ubun kepala dara itu, ancaman maut yang
amat mengerikan karena sekali jari-jari tangan itu bergerak, dara itu pasti
akan tewas seketika!
Ci Sian
sendiri terkejut bukan main karena biar pun dia sudah waspada, ternyata dia
sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tahu-tahu dia sudah
‘ditodong’ seperti itu, sama sekali tidak berdaya! Akan tetapi dia tersenyum,
sedikit pun tidak menjadi gentar sehingga berbalik pemuda itulah yang
terheran-heran. Dan apa yang keluar dari mulut Ci Sian membuat dia semakin
heran dan sedemikian kaget sehingga pegangannya pada pundak dara itu terlepas.
“Jenderal,
engkau salah tangkap!”
Wajah pemuda
itu berubah pucat, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara tegas,
“Siapa engkau?”
Ci Sian
tersenyum. “Aku? Aku bernama Ci Sian dan menjadi sahabat Siok Lan seperti yang
kau ketahui.”
“Tidak!
Kalau demikian keadaanmu, tentu engkau sudah membuka rahasiaku. Ci Sian, jangan
main-main, katakan siapa engkau, jangan sampai aku kesalahan tangan.”
Ucapan itu
mengandung kesungguhan yang membuat bulu tengkuk Ci Sian meremang. Tahulah dia
bahwa kalau dia main-main dan salah bicara, tentu bagi orang ini tidak akan
ragu-ragu lagi untuk turun tangan membunuhnya karena dia tentu dianggap
berbahaya telah mengetahui rahasia orang itu.
“Aku bukan
kaki tangan orang Nepal! Aku ke sini juga hendak mencari seseorang yang
ditahan, seorang piauwsu bernama Lauw Sek. Harap kau jangan curigai aku.”
Pemuda itu
kelihatan lega hatinya dan dia menarik napas panjang. “Katakan, bagai mana
engkau dapat mengetahui keadaanku?”
“Dari sinar
matamu,” jawab Ci Sian. “Engkau boleh menyamar, merubah bentuk muka dan
berganti pakaian, berganti suara, akan tetapi engkau tak mungkin menyembunyikan
sinar matamu.”
“Sinar
mataku....? Mengapa dengan sinar mataku?”
“Sinar
matamu mencorong seperti sinar mata seseorang yang tidak pernah dapat
kulupakan. Sinar matamu persis seperti sinar mata Pendekar Suling Emas.”
“Pendekar
Suling Emas? Siapa itu?”
“Dia she
Kam, bernama Hong.”
Pemuda itu
menggeleng kepala. “Aku tidak mengenalnya. Ternyata pandang matamu tajam betul,
Ci Sian. Sekarang katakan, bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku seorang
jenderal....?”
Ci Sian
tersenyum. “Hanya orang tolol saja yang tidak dapat menduga. Begitu mudah
seperti dua tambah dua sama dengan empat. Desas-desusnya sudah santer
dikabarkan orang bahwa akan ada seorang jenderal sakti dari Kerajaan Ceng yang
datang untuk menyelidik kesini dan membebaskan pasukan yang terkepung. Kini
melihat keadaanmu, melihat kelihaianmu, siapa lagi engkau kalau bukan Si
Jenderal yang didesas-desuskan orang itu?”
“Engkau luar
biasal” pemuda itu berseru dan berbisik. “Mari kau ikut aku. Tidak leluasa
bicara di sini!” Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dengan cepat sekali
dari taman itu.
Ci Sian
terpaksa harus mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk mengejar, akan tetapi
betapa pun dia mengerahkan tenaga, tetap saja dia tertinggal jauh dan
kadang-kadang pemuda itu terpaksa harus menunggunya hingga akhirnya mereka tiba
di sebuah tanah perkuburan di pinggir kota yang amat sunyi. Sunyi dan
menyeramkan, membuat Ci Sian bergidik. Biar pun ia seorang dara perkasa yang
dapat dibilang tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana pun juga, akan
tetapi pada malam hari gelap itu berada di dalam tanah kuburan, benar-benar
merupakan pengalaman yang belum pernah dihadapinya.
Malam itu
bulan sepotong menyinari permukaan tanah kuburan, menambah seramnya
pemandangan. Gundukan-gundukan tanah itu seolah-olah dalam cuaca remang-remang
merupakan tubuh-tubuh manusia raksasa yang telentang, dengan perut besar dan
seperti bergerak dan bernapas. Hembusan angin pada daun-daun pohon yang tumbuh
di tanah kuburan itu seperti bisikan-bisikan, agaknya dalam keadaan mati pun
manusia masih tidak dapat melepaskan kebiasaannya yang lama semasa hidup, yaitu
mengoceh dan membicarakan keadaan orang-orang lain, terutama tentang
kesalahan-kesalahan orang lain. Ci Sian merasa seolah-olah dialah yang kini
menjadi bahan pergunjingan dalam bisikan-bisikan itu dan dia menggigil.
“Nah, kau
mau bicara apa?” katanya dan suaranya agak gemetar menahan rasa ngeri.
Pemuda itu
tersenyum di bawah sinar bulan yang pucat, membuat wajahnya yang tampan nampak
pucat juga. “Kau takut dan seram juga? Ahh, tempat ini merupakan tempat paling
aman bagi kami....“
“Kau dan
anak buahmu?”
Pemuda itu
mengangguk. “Engkau memang luar biasa dan aku kagum padamu, Nona Ci Sian,
atau.... namamu itu juga nama palsu?”
“Namaku
tidak palsu, apa perlunya aku harus memakai nama palsu seperti engkau, Jenderal?”
“Hemm,
engkau sudah menduga sedemikian jauh sehingga tahu akan nama yang kupakai?”
“Engkau
seorang yang amat penting dan ternama tentu saja, maka akan bodohlah kalau
engkau menggunakan nama sendiri selagi melakukan tugas mata-mata.”
“Engkau memang
cerdik luar biasa dan aku percaya padamu, Nona. Ketahuilah, aku memang utusan
kaisar untuk menolong pasukan kami yang terkurung. Dan di sana aku memang
menjadi jenderal. Biar pun nama yang kupakai palsu, akan tetapi tidak banyak
selisihnya dengan namaku yang tulen, hanya di balik. Namaku adalah Cin Liong,
Kao Cin Liong.”
Semenjak
kecil Ci Sian sudah banyak bertemu orang pandai, akan tetapi belum pernah dia
mendengar nama ini. Kalau dia tahu siapa pemuda ini, tentu dia akan terkejut
setengah mati. Pemuda ini sesungguhnya bukanlah orang biasa, melainkan
keturunan pasangan suami isteri pendekar yang pernah menggegerkan kolong langit
dengan ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi.
Para pembaca
cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI tentu dapat mengingat atau
menduga siapa adanya pemuda she Kao ini. Kao Cin Liong ini adalah cucu Jenderal
Kao Liang yang sangat terkenal, seorang jenderal yang gagah perkasa dan yang
membiarkan dirinya tewas terbakar demi setianya terhadap kerajaan dan demi
menjaga nama baik keluarga Kao.
Ayah dari
Kao Cin Liong bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok
Cu, seorang pendekar yang memiliki kepandaian luar biasa dan terkenal sebagai
seorang pendekar sakti yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Ibunya yang
bernama Wan Ceng atau Candra Dewi adalah saudara angkat dari Puteri Bhutan
Syanti Dewi, dan juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Suami isteri
ini tinggal di dalam Istana Gurun Pasir dan merupakan tokoh-tokoh besar dalam
dunia persilatan yang disegani.
Agaknya
darah kakeknya mengalir dalam dari Cin Liong karena semenjak kecil, selain suka
akan ilmu silat dan sastra, anak ini juga tertarik sekali akan sejarah para
pahlawan. Apalagi riwayat kakeknya seperti yang dia dengar dari ayahnya amat
menarik hatinya dan sejak kecil dia pun bercita-cita untuk menjadi seperti
kakeknya, menjadl seorang pahlawan dan panglima di kerajaan! Melihat bakat dan
semangat puteranya, setelah puteranya itu memperoleh pendidikan Ilmu silat yang
cukup tinggi darinya, Kao Kok Cu dengan persetujuan isterinya lalu membawa Kao
Cin Liong ke kota raja dan dengan perantaraan adiknya, yaitu Kao Kok Han yang
telah menjadi seorang perwira tinggi, Cin Liong lalu memasuki ketentaraan.
Karena
kepandaian silatnya memang hebat sekali, dan kaisar amat kagum kepadanya,
apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah cucu mendiang Jenderal Kao Liang yang
gagah perkasa, maka dalam waktu pendek saja pemuda perkasa ini telah memperoleh
kedudukan tinggi. Apalagi ketika beberapa kali dia berhasil memimpin pasukan
untuk menindas pemberontakan-pemberontakan di sepanjang pantai Po-hai dan di
utara, bahkan melakukan pembersihan terhadap para bajak laut, dia berjasa besar
dan dalam usia yang masih amat muda dia sudah berpangkat jenderal! Tercapailah
cita-citanya untuk hidup seperti mendiang kakeknya yang amat dikaguminya. Dalam
melaksanakan tugasnya, pemuda ini memang hebat dan tegas, persis seperti
kakeknya dahulu.
Ketika
Kaisar mendengar pelaporan bahwa pasukan Nepal mengganggu perbatasan Tibet dan
memukul mundur pasukan Tibet yang melakukan penjagaan di tapal batas, bahkan
telah menduduki Lhagat, dia lalu memerintahkan untuk menggempur pasukan Tibet
yang telah menjadi daerah taklukan itu. Lima ribu orang pasukan dikirim ke
barat, dipimpin oleh panglima yang amat gagah perkasa karena panglima ini bukan
lain adalah Kao Kok Han. Akan tetapi, karena kelihaian panglima Nepal, pasukan
ini terjebak dan terkurung di lembah bukit sehingga tidak mampu lagi untuk
membobolkan kepungan.
Mendengar
ini, Kaisar menjadi marah dan hendak mengirim pasukan lebih besar. Akan tetapi
Jenderal Muda Kao Cin Liong lalu menghadap Kaisar dan kepada panglima besar dia
pun minta ijin untuk diperkenankan melakukan penyelidikan ke barat karena dia
merasa yakin bahwa dengan bantuan orang-orang Tibet dia akan dapat
menyelamatkan pasukan yang terkepung itu! Tentu saja dalam hal ini, Cin Liong
bukan hanya ingin menyelamatkan pasukan itu, melainkan juga untuk menyelamatkan
pamannya, yaitu Kao Kok Han pemimpin pasukan yang terkepung itu. Dia telah
ditangisi oleh keluarga pamannya itu untuk menyelamatkan pamannya dan anak
buahnya.
Demikianlah,
karena ingin melakukan penyelidikan secara bebas terhadap kedudukan panglima
wanita yang lihai itu, maka Cin Liong dengan jalan menyelamatkan Siok Lan dan
membiarkan dirinya ditangkap akhirnya dapat diterima sebagai sahabat dari
puteri panglima itu dan memperoleh kebebasan di Lhagat sehingga dia dengan
mudah dapat melakukan penyelidikan, apalagi karena dia disuruh tinggal di
gedung panglima!
Mendengarkan
penuturan panglima muda itu, diam-diam Ci Sian menjadi kagum bukan main. Pemuda
ini sungguh berani dan juga amat cerdik. Kalau saja dia sendiri tidak mengenal
sinar mata mencorong itu, agaknya dia pun tidak nanti akan menduga bahwa pemuda
itu adalah jenderal sakti yang datang utuk menolong pasukan yang terkepung itu!
“Dan mengapa
engkau begini percaya kepadaku, Ciangkun?”
“Ahhh, Nona,
harap engkau jangan menyebutku dengan sebutan ciangkun. Ingat, aku masih
menyamar sebagai Liong Cin di sini, maka jangan kau merubah sebutanmu agar
tidak menimbulkan kecurigaan. Engkau tentu mau membantu kami, bukan?”
Ci Sian
tersenyum. Orang ini begitu percaya kepada diri sendiri! “Baiklah, Liong
Cin.... Aihh… betapa janggalnya menyebut nama palsu orang! Aku ingin sekali
tahu mengapa engkau begini percaya kepadaku sehingga engkau telah berani
membongkar rahasiamu kepadaku? Bukankah hal ini berbahaya sekali? Kalau aku
membocorkan rahasiamu, bukan saja usahamu akan gagal, pasukan yang terkepung
tak akan dapat diselamatkan, dan engkau sendiri tentu akan tertimpa bencana.”
Cin Liong
menggeleng kepala. “Aku yakin bahwa engkau tidak akan melakukan hal itu.”
“Bagaimana
engkau dapat yakin?” Ci Sian mendesak. “Kita baru saja bertemu dan berkenalan,
engkau tidak mengenalku, tidak mengenal watakku.”
“Nona, di
dalam ilmu perang terdapat ilmu mengenal watak orang dari wajahnya, dari sikap
dan gerak-geriknya. Engkau memiliki kepandaian silat yang tinggi dan wajahmu
membayangkan kegagahan, bahwa engkau tidak mungkin berbuat hal-hal yang rendah
dan jahat. Pula, aku dapat melihat dari sinar matanya bahwa panglima wanita itu
menaruh curiga kepadamu, sungguh pun Nona Siok Lan percaya penuh kepadamu. Dari
semua itu saja aku sudah tahu bahwa engkau bukanlah musuh dan dapat menjadi
sekutuku.”
“Hemm, terus
terang saja, aku tidak mau terlibat dalam perang dan permusuhan. Apalagi harus
memusuhi Siok Lan yang begitu baik. Sekarang aku hanya ingin mencari
Lauw-piauwsu.”
“Aku
berjanji akan mencari piauwsu itu dan membawanya kepadamu asal engkau mau membantuku,
Nona.”
“Membantu
bagaimana?”
“Menutupi
rahasiamu.”
“Ahh, kalau
hanya begitu, tentu saja aku tidak keberatan.”
Tiba-tiba
jenderal muda itu memegang lengan Ci Sian dan menariknya bersembunyi ke balik
sebuah batu besar di tanah kuburan itu. Ci Sian hampir menjerit ngeri ketika
dia mendapat kenyataan bahwa dia telah ditarik dan mendekam di atas gundukan
tanah kuburan! Akan tetapi melihat kesungguhan pemuda itu, dia pun memandang ke
depan.
Ternyata ada
bayangan orang yang berjalan seenaknya ke arah mereka dan bayangan itu mengomel
panjang pendek, kemudian setelah dekat, bayangan itu berkata, “Huhh, dasar
tidak tahu malu, berkencan di tanah kuburan! Berjanji simpan-simpan rahasia
lagi! Persekutuan busuk, ha-ha.... sungguh persekutuan busuk!”
Tentu saja
Ci Sian terkejut bukan main. Akan tetapi Cin Liong sudah meloncat keluar dan
tanpa banyak cakap dia sudah menyerang dengan totokan ke arah pundak orang itu.
“Desss....!”
Keduanya
terdorong ke belakang dan tentu saja Cin Liong terkejut bukan main karena
ternyata orang itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, atau setidaknya
dapat mengimbangi tenaganya sendiri sehingga ketika orang itu menangkis, dia
sampai terpental ke belakang. Sebaliknya orang itu yang juga terpental,
kemudian tertawa, membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tanah kuburan
yang sunyi itu. Cin Liong yang merasa terkejut dan curiga, cepat melakukan
pengejaran. Melihat itu, Ci Sian juga lalu mengejar sekuatnya karena dua orang
yang berkejaran itu ternyata dapat berlari secepat angin!
Bayangan
yang dikejar oleh Cin Liong itu berlari terus dan melompat dinding kota tanpa
mempedulikan para penjaga yang banyak berkeliaran di tempat itu. Tentu saja Cin
Liong tidak mau melepaskannya karena orang yang lihai itu amat mencurigakan,
dan dia terus mengejar. Demikian pula Ci Sian melakukan pengejaran. Melihat
berturut-turut ada tiga bayangan orang berkelebatan meloncati pagar tembok,
para penjaga menjadi geger dan mencoba untuk melakukan pengejaran, namun mereka
tertinggal jauh dan komandan jaga yang merasa khawatir cepat memberi laporan ke
dalam.
Sementara
itu, bayangan yang dikejar-kejar itu seperti hendak mempermainkan Cin Liong dan
Ci Sian yang terus melakukan pengejaran. Kadang-kadang dia tersusul dekat dan
terdengar suaranya tertawa-tawa, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia melesat
jauh sekali dan meninggalkan para pengejarnya. Setelah tiba di sebuah bukit,
bayangan itu mendaki naik, akan tetapi ketika tiba di lereng bukit, tiba-tiba
dia memutar dan turun kembali, kini bahkan lari ke arah kota Lhagat!
“Gila dia!”
Cin Liong memaki dalam hatinya dan terus mengejar.
Karena bulan
sepotong sudah turun ke barat, maka malam yang menjadi gelap itu menyulitkan
dia untuk dapat menyusul orang itu, sedangkan Ci Sian sudah mandi keringat
karena lelah. Mereka berkejaran sampai setengah malam, dipermainkan oleh
bayangan itu dan akhirnya, ketika malam terganti pagi dan cuaca tidak gelap
lagi, orang itu berhenti berlari, bahkan sekarang berhenti di tengah jalan
menanti para pengejarnya sambil bertolak pinggang dan tertawa-tawa. Namun
wajahnya yang penuh ditumbuhi jenggot itu juga mengkilap basah oleh peluh,
tanda bahwa main berlari-larian itu telah membuatnya lelah juga!
Cin Liong
sudah berhadapan dengan orang itu ketika Ci Sian datang terengah-engah dan
kedua kakinya terasa lelah dan lemas. Mereka berdua menatap orang yang
mempermainkan mereka itu dan diam-diam. Ci Sian terkejut. Untuk ketiga kalinya
dia bertemu dengan orang yang matanya mencorong. Pertama adalah mata Kam Hong,
ke dua mata Kao Cin Liong dan ke tiga adalah mata orang ini! Dan begitu melihat
wajah yang menyeramkan itu, dan melihat bibir yang tersenyum menyeringai di
balik jenggot dan kumis yang awut-awutan, tiba-tiba Ci Sian teringat. Dia
pernah bertemu dengan orang ini! Akan tetapi dia telah lupa lagi di mana.
“Siapakah
engkau?” Dengan suara penuh wibawa Cin Liong bertanya sambil menatap tajam.
Orang itu
berusia tiga puluh tahun lebih, hampir empat puluh tahun agaknya. Tubuhnya
sedang dan tegap, tapi pakaiannya seperti pakaian pengemis. Rambutnya, jenggot
dan kumisnya tak terpelihara, awut-awutan, padahal dalam keadaan seperti itu
pun masih nampak bahwa orang ini memiliki wajah yang gagah dan tampan, terutama
sekali sepasang matanya yang tajam dan memancarkan cahaya aneh, tetapi
kadang-kadang sinar mata itu menjadi suram dan seperti lampu hampir padam
diliputi kedukaan.
Mendengar
pertanyaan itu, orang berpakaian jembel ini tertawa dan ketika dia tertawa, nampak
deretan giginya yang kuat dan putih, sungguh berbeda dengan keadaan rambut dan
pakaiannya. “Ha-ha-ha, siapa aku, dan siapa engkau? Siapa jenderal yang menjadi
mata-mata? Siapa yang masih muda sudah menjadi seorang perwira tinggi, mengejar
kedudukan? Ha-ha-ha!”
Wajah pemuda
itu menjadi merah sekali. Begitu berjumpa dia dimaki orang, orang jembel dan
gila lagi, dimaki sebagai pengejar kedudukan!
“Siapa
engkau? Kalau engkau tidak mau mengaku, jangan katakan aku kejam kalau terpaksa
aku akan menyerangmu!” bentaknya mengancam.
“Kau?
Menyerang aku? Ha-ha-ha, anak kecil berhati besar. Hayo sekarang majulah,
seranglah, siapa takut padamu? Ha-ha!”
Ditantang
seperti ini, tentu saja Cin Liong menjadi marah. Akan tetapi dia dapat
menguasai hatinya, karena maklum bahwa kemarahan bukanlah cara untuk mengatasi
keadaan. Dia menatap tajam, kemudian berkata, “Aku akan menyerangmu karena
engkau mungkin membahayakan usahaku.”
“Ha-ha-ha,
anak kecil, kau majulah!”
Cin Liong
lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menyerang dengan pukulan cepat
dan kuat sekali ke arah lawan. Orang jembel itu tertawa dan cepat dia mengelak.
Gerakannya aneh dan cepat sekali, juga ketika dia membalas dengan tamparan
tangan kirinya, gerakannya memang hebat. Cin Liong terkejut dan maklum bahwa
dia berhadapan dengan lawan tangguh. Dia menduga bahwa agaknya orang ini yang
menyamar seperti orang gila tentu utusan dari panglima musuh!
Maka dia pun
lalu menangkis dan menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan tenaganya sehingga
dari kedua tangannya menyambar hawa yang mengeluarkan suara bercuitan. Lawannya
berseru kagum dan juga bergerak cepat, jari-jari tangannya terbuka dan pada
waktu tangannya bergerak, jari tangannya meluncur seperti pedang dan
mengeluarkan suara bercuitan pula!
Setelah saling
serang dan saling mengelak sampai beberapa belas kali, mendadak mereka harus
mengadu lengan dan mereka saling mengerahkan tenaga.
“Dukkk!”
Untuk ke sekian kalinya dua lengan yang sama kuatnya bertemu dan keduanya
terpental ke belakang!
“Ha-ha-ha, heh-heh-heh,
kau hebat juga....!” Pengemis aneh itu tertawa lagi dan kini wajahnya berseri,
nampak gembira dan dalam keadaan seperti itu dia tidak kelihatan tua benar
sehingga usianya tentu tidak lebih banyak dari empat puluh tahun.
Dan melihat
wajah yang tertawa, mata yang berseri-seri itu, tiba-tiba Ci Sian teringat di
mana dia pernah bertemu dengan jembel ini. Dahulu, di waktu dia melakukan
perjalanan dengan rombongan Lauw-piauwsu! Pengemis yang dapat mencengkeram
golok sampai rompal di dalam goa itu!
“Benar
dialah itu!” tiba-tiba dia berseru.
Dan kedua
orang yang sedang berhadapan itu menengok dengan heran dan kaget. Ci Sian
menghampiri pengemis itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis itu.
“Benar dia! Inilah jembel yang menolak roti dan mencengkeram golok anak buah
Lauw-piauwsu itu!”
Jembel itu
tertawa dan kini dia menubruk lagi kepada Cin Liong yang cepat mengelak dan
berseru, “Ci Sian, kau mundurlah!” Karena dia tahu betapa lihainya jembel itu
dan amatlah berbahaya bagi Ci Sian kalau sampal diserang oleh orang itu.
Akan tetapi
dia terlalu memandang rendah Ci Sian. Setelah menjadi murid See-thian Coa-ong,
dara ini telah memiliki kepandaian yang tinggi, maka tentu saja tidak menjadi
gentar dan kini dia malah ikut maju dan menyerang. Begitu tangan kanannya
bergerak, seekor ular belang kuning hitam telah menyambar ke arah leher jembel
itu.
“Ular!
Ular....!” teriak Si Jembel dan dia mencoba untuk mencengkeram ular itu dengan
tangannya.
Namun ular
itu dapat mengelak dan dengan pergelangan tangannya, Ci Sian membuat ular itu
membalik dan menggigit ke arah lengan Si Jembel. Namun jembel itu memang lihai
sekali dan dia dapat mengelak sambil meloncat ke kanan dan kini kedua tangannya
menyambar-nyambar, dengan jari-jari tangan terbuka menotok dan menampar ke arah
Cin Liong dan Ci Sian secara hebat sekali.
Kembali Cin
Liong terkejut. Pertama dia kagum menyaksikan kehebatan Ci Sian, kedua kalinya
dia terkejut karena benar-benar jembel itu amat lihai. Betapa pun juga, dia
masih mengkhawatirkan keselamatan Ci Sian, dan selain itu dia pun merasa malu
kalau harus mengeroyok seorang jembel sinting, padahal dia adalah seorang
jenderal muda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi. Ayah bundanya tentu
akan marah kalau mendengar bahwa dia mengeroyok seorang jembel sinting.
“Ci Sian,
aku belum kalah, biarkan aku menghadapinya. Tidak perlu kita mengeroyok!”
katanya.
“Ha-ha-ha,
he-he-heh! Keroyokan juga boleh! Boleh kau tambah lagi dengan barisan
mata-matamu, orang muda, heh-heh!”
Tadinya Ci
Sian tidak mau menurut perintah Cin Liong, akan tetapi mendengar ucapan jembel
itu, dia merasa malu sendiri. Seorang jembel cacat pikirannya, orang sinting
begini, mana pantas dikeroyok berdua? Maka dia pun meloncat mundur dan hanya
menonton dan diam-diam dia menjadi kagum. Dia harus mengakui bahwa pemuda itu
hebat sekali ilmu silatnya, akan tetapi gerakan-gerakan jembel itu pun lihai
dan aneh.
Tiba-tiba
jembel itu merebahkan diri ke atas tanah dan dengan menolak tanah menggunakan
kedua tangan, kakinya meluncur dengan serangan aneh ke arah tubuh lawan.
Hebatnya, dari kedua kakinya itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan
main! Cin Liong mengelak, akan tetapi masih terhuyung, dan saat itu
dipergunakan oleh lawannya untuk berjungkir balik dan kedua tangannya dengan jari
tangan terbuka sudah menghujankan tamparan bertubi-tubi.
Melihat ini,
Cin Liong yang agak terdesak mudur itu tiba-tiba mengeluarkan lengking nyaring
dan dia merubah ilmu silatnya, kedua lengannya kadang-kadang membentuk cakar
naga dan tubuhnya lalu menggeliat-geliat seperti seekor naga. Itulah Ilmu Silat
Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti) dan begitu dia
mainkan ilmu ini, Si Jembel itu berseru kaget dan terdesak hebat. Begitu Jembel
itu mundur, Cin Liong terus mendesak dan biar pun jembel itu masih berusaha
mempertahankan diri, namun serangan-serangan Cin Liong terlampau hebat membuat
dia kewalahan dan tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang.
“Aihh,
putera Ceng Ceng sungguh kurang ajar sekali, berani melawan orang tua!”
Mendengar ucapan
ini, tiba-tiba Cin Liong berhenti bergerak dan memandang dengan mata terbelalak
kepada jembel itu. Dan anehnya, jembel itu yang tadinya tertawa-tawa, kini
mulai menangis!
“Ceng
Ceng.... Ceng Ceng.... kau memiliki putera yang lihai.... kau bahagia....
sungguh membuat aku mengiri padamu.... hu-hu-huuhh....!” Jembel itu menangis
sesenggukan seperti anak kecil.
Cin Liong
dan Ci Sian memandang dengan penuh keheranan dan juga mulai merasa kasihan
kepada orang lihai yang sinting itu. Akan tetapi kalau Ci Sian hanya
terheran-heran, sebaliknya Cin Liong terkejut sekali mendengar ucapan dalam
tangis Si Jembel itu. Wajahnya yang tampan itu berubah dan dia memandang dengan
mata terbelalak, kemudian melangkah maju dan bertanya dengan suara meragu.
“Apakah Paman.... ehhh.... Si Jari Maut....?”
Mendengar
pertanyaan ini, jembel sinting itu menghentikan tangisnya, mengangkat muka
memandang Cin Liong dan seketika tangisnya terganti senyum ramah “Ehh,
engkau.... engkau sudah mengenalku....?”
Cin Liong
merasa terharu bukan main. Kiranya jembel sinting itu adalah pendekar yang
terkenal itu, saudara seayah lain ibu dengan ibunya sendiri, jadi masih
terhitung pamannya sendiri! Jembel sinting ini adalah Wan Tek Hoat, saudara
seayah lain Ibu dari ibunya yang bernama Wan Ceng dan menurut penuturan ibunya
Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar besar yang tampan dan gagah, dan bahkan
telah diambil mantu oleh Raja Bhutan, juga diangkat menjadi seorang panglima di
Kerajaan Bhutan! Akan tetapi mengapa kini pendekar itu menjadi seperti ini,
seorang jembel yang sinting?
“Maafkan
saya, Paman Wan Tek Hoat.... karena saya tidak mengenal Paman, maka saya telah
bertindak kurang ajar. Akan tetapi Paman.... ahh, mengapa keadaan Paman menjadi
seperti ini....?” Cin Liong berkata sambil menjura dengan sikap hormat, hal
yang membuat Ci Sian menjadi bengong terheran-heran.
Orang
seperti jembel yang sinting itu memang Wan Tek Hoat. Karena himpitan kecewa dan
duka karena asmara gagal, pendekar ini akhirnya menjadi seperti orang sinting,
suka tertawa dan menangis, dan hidup tidak mempedulikan apa pun, bahkan tidak
peduli akan keadaan dirinya yang sepertl jembel itu! Kadang-kadang, kalau dia
lagi sendirian di tempat sunyi, teringatlah dia akan semua kebahagiaan yang
dinikmatinya ketika dia berada di samping kekasihnya, Puteri Syanti Dewi.
Teringatlah
dia akan cinta kasih puteri itu kepadanya yang teramat besar, lalu teringat
pula dia akan semua penyelewengannya, akan semua perbuatannya yang menyakiti
hati Sang Puteri, maka timbullah penyesalan yang amat hebat, yang
menghentak-hentak di dalam hatinya, yang menghimpit hatinya dan mendatangkan
kedukaan dan kekecewaan serta penyesalan yang hampir tidak kuat ditahannya dan
yang membuat dia beberapa kali hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh
diri saja!
Hidup ini
rasanya seperti dalam neraka baginya! Bertahun-tahun dia menderita, rasa rindu
yang menggerogoti kalbu, penyesalan diri yang amat mendalam, kemudian rasa
khawatir bahwa kekasihnya itu mungkin sekarang telah melupakannya, bahkan
mungkin sekali kini telah menjadi isteri orang. Semua ini membuat keadaan batin
pendekar ini makin lama makin lemah dan tertekan.
Sepintas
lalu kita akan merasa kasihan kepada pendekar ini. Namun kita lupa bahwa betapa
kita sendiri pun hampir setiap hari menghadapi hal-hal yang sama atau tidak
jauh selisihnya dengan keadaan Tek Hoat.
Hidup di
dunia ini begini penuh kesengsaraan, begini penuh konflik dan duka nestapa,
hanya kadang-kadang saja kita dapat menikmati kebahagiaan selintas seperti
cahaya kilat di antara awan mendung yang memenuhi angkasa kehidupan. Kalau kita
mau membuka mata melihat kenyataan, seluruh dunia ini penuh dengan konflik,
kebencian, dendam, permusuhan yang tidak kunjung habis, bahkan yang
kadang-kadang meletus dalam perang yang menewaskan ratusan ribu orang umat
manusia! Bunuh-membunuh, dendam-mendendam yang terjadi di dalam dunia kita ini,
dalam jaman modern dan ‘maju’ ini, ternyata jauh lebih hebat dan mengerikan dari
pada yang terjadi dalam cerita silat mana pun!
Di dalam
kenyataan hidup sehari-hari, kita semakin menjauhi ke-Tuhan-an dan peri
kemanusiaan! Ke-Tuhanan dan peri kemanusiaan hanya menjadi hiasan bibir belaka
bagi kita, hanya kita dengang-dengungkan sebagai slogan-slogan kosong!
Kenyataan pahit ini harus kita hadapi dengan mata dan telinga terbuka, dan
untuk menyelidiki kebenarannya, kita harus membuka mata mengamati diri kita
sendiri masing-masing!
Benarkah
kita ini ber-Tuhan? Benarkah kita ini berperi kemanusiaan? Tak perlulah untuk
menilai orang lain apakah dia atau mereka itu ber-Tuhan atau berperi
kemanusiaan, karena penilaian kepada orang lain itulah yang membuat kita
menjadi palsu, yang membuat kita menggunakan pengertian ber-Tuhan dan berperi
kemanusiaan itu untuk menyalahkan dan menyerang orang lain! Akan tetapi marilah
kita mengamati diri kita sendiri masing-masing!
Kita semua
mengaku beriman, kita semua mengaku ber-Tuhan, akan tetapi mari kita singkirkan
semua pengakuan yang tidak ada arti dan gunanya ini, melainkan kita mengamati
batin sendiri apakah benar-benar kita ber-Tuhan! Kalau kita benar-benar
ber-Tuhan, sudah tentu setiap saat kita waspada, setiap saat kita sadar bahwa
Tuhan mengamati semua perbuatan kita, mendengarkan semua suara hati dan mulut
kita!
Sebaliknya,
kalau kita ber-Tuhan hanya di mulut belaka, maka terjadilah seperti yang
sekarang ini terjadi di dunia, di antara kita semua, yaitu bahwa dalam keadaan
menderita saja kita ingat kepada Tuhan, sedangkan waktu selebihnya kita lupakan
begitu saja, lupakan dengan sengaja karena kita haus akan kesenangan dan Tuhan
kita anggap sebagai penghalang kesenangan!
Dapatkah
kita hidup ber-Tuhan bukan dengan kata-kata kosong, pengakuan mulut, melainkan
dengan sepenuhnya, secara mendalam, mendarah daging dan nampak dalam setiap
gerakan, ya, bahkan setiap tarikan napas kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya
bukti pada diri kita sendiri, karena semua jawaban teori hanya kosong melompong
tanpa arti. Penghayatan dalam kehidupan setiap saatlah yang menentukan
segalanya.
Kita selalu
ingin disebut sebagai orang yang berperi kemanusiaan! Betapa menggelikan dan
juga menyedihkan! Seolah-olah peri kemanusiaan hanya semacam cap atau semacam
hiasan belaka! Pernahkah kita meneliti, mengamati diri sendiri lahir batin
apakah kita ini berperi kemanusiaan ataukah tidak! Adakah api ‘kasih’ bernyala
dalam batin kita? Tidak ada! Api itu padam sudah! Yang ada hanya abu dan
asapnya saja yang membutakan mata. Yang ada hanyalah pengejaran uang,
kedudukan, dan pengejaran kesenangan jelas meniadakan cinta kasih! Pengejaran
kesenangan memupuk dan membesarkan si aku yang ingin senang, dan makin besar
adanya si aku, makin jauhlah sinar cinta kasih dari batin.
Semua itu,
yang nampak demikian gemilang dan menyilaukan, yang nampak demikian menyenangkan,
sesungguhnya hanyalah lorong lebar menuju kepada kesengsaraan hidup. Memang,
kita boleh tersenyum mengejek dengan sinis, boleh saja. Kita semua seperti
dalam keadaan buta selagi mengejar-ngejar kesenangan yang kita namakan dengan
istilah-istilah muluk seperti kemajuan dan sebagainya.
Kapankah
kita akan sadar bahwa hidup tanpa cinta kasih tidak mungkin membuat kita hidup
ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan? Ber-Tuhan berarti hidup penuh sinar cinta
kasih! Berperi kemanusiaan berarti penuh cinta kasih! Dunia penuh dengan
konflik, penuh kebencian, penuh pertentangan dan permusuhan, penuh
pemberontakan dan peperangan, namun kita masih selalu bicara tentang damai
tentang peri kemanusiaan dan sebagainya! Hal ini sama dengan membicarakan
tentang bunga dan buah selagi pohonnya sakit dan rontok.
Mendengar
pertanyaan Cin Liong, Wan Tek Hoat sejenak bengong, lalu dia menjawab dengan
heran, “Aku mengapa? Keadaanku mengapa?”
Cin Liong
tidak berani menyinggung lagi keadaan pamannya itu. Dia tahu bahwa orang sakti
seperti pamannya ini kadang-kadang memang mempunyai watak yang aneh, dan siapa
tahu bahwa pakaian jembel itu, sikap sinting itu, adalah sesuatu yang disengaja
karena memang banyak orang-orang sakti di dunia kangouw yang bersikap
aneh-aneh.
“Paman,
setelah Paman mengetahui tugas saya berada di sini, mengingat beratnya tugas
itu dan betapa pasukan kita terkepung dan terancam bahaya, saya mohon bantuan
dan petunjuk Paman.” Pemuda yang cerdik ini merubah bahan percakapan dan
langsung saja dia mengeluarkan isi hatinya.
“Kao Cin
Liong, begitu namamu, bukan? Sudah lama aku mengamati gerak-gerikmu dan engkau
memang hebat sekali. Apa lagi yang dapat kubantu? Kulihat banyak orang pandai
telah membantumu, bahkan Nona muda ini pun merupakan seorang pembantu yang
hebat.”
Cin Liong
lalu mengajak mereka bertiga untuk duduk di bawah sebatang pohon di tempat
sunyi itu dan dia lalu menceritakan apa yang telah dilakukannya sebagai siasat
untuk menyelamatkan pasukannya yang terkepung musuh. Kiranya jenderal muda ini
memang amat cerdik dan lihai sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia telah
berhasil menyusup ke atas bukit di mana pasukan itu dikurung dan selama
beberapa hari dia mempelajari keadaan bukit itu bersama pamannya, yaitu
Panglima Kao Kok Han.
Ketika
melihat anak sungai yang mengalir menuruni lembah, dia kemudian mencari
sumbernya dan begitu bertemu dengan sumber air, dia lalu memerintahkan pasukan
untuk membuat bendungan besar untuk menampung air sebanyak-banyaknya di tempat
yang tinggi. Pasukan menggali waduk besar dan membendung air dari sumber itu.
Melihat besarnya air yang keluar dari sumber itu, Cin Liong sudah
memperhitungkan berapa lama dia harus menampung air itu untuk dapat dipakai
melaksanakan siasatnya.
Kemudian
diam-diam ia lalu mengatur pasukan Tibet, dipilihnya pasukan-pasukan yang gagah
berani dan kuat, kemudian sebagian besar dari pasukan itu diselundupkannya ke
Lhagat dan sekitarnya, tetapi ada pula yang bersama dia menyamar sebagai
pemburu-pemburu, sebagai pedagang-pedagang atau pencari-pencari ikan.
“Kita masih
harus menunggu tiga hari lagi, Paman. Tiga hari lagi air waduk itu akan cukup
banyak untuk dipergunakan. Sementara itu, aku harus tetap berada di Lhagat
untuk memimpin pasukan gerilya kalau saatnya tiba. Tetapi ternyata panglima
wanita itu lihai sekali dan kalau aku tidak hati-hati, tentu dia dapat
mengetahui rahasiaku.”
Wan Tek Hoat
mengangguk-angguk. Dalam menghadapi percakapan serius itu ‘gilanya’ tidak kumat
dan dia dapat mempergunakan pikirannya dengan baik. “Jangan khawatir, aku
mendapatkan jalan untuk membantumu agar engkau tidak dicurigai lagi.”
Ketika Cin
Liong menanyakan ‘jalan’ itu, Tek Hoat tidak mau menerangkan, melainkan
menyuruh dua orang muda itu cepat kembali ke Lhagat.
Akan tetapi
tiba-tiba mereka mendengar suara orang dan Tek Hoat sudah menerjang Cin Liong
dengan pukulan-pukulan dahsyat sambil berbisik. “Cepat lawan aku!”
Cin Liong
adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biar pun terkejut, dia sudah dapat
mengetahui siasat pamannya itu, maka dia pun cepat menangkis dan balas
menyerang. Ci Sian juga seorang dara yang cerdik, akan tetapi sejenak dia
bengong karena tidak tahu mengapa jembel sinting yang ternyata masih paman dari
jenderal muda itu, tiba-tiba malah menyerang pemuda itu. Akan tetapi ketika dia
mendengar derap kaki banyak kuda, mengertilah dia dan dia pun segera membantu
Cin Liong menyerang jembel sinting itu!
Terkejutlah
tiga orang yang sedang bertempur ini ketika melihat bahwa pasukan yang datang
itu adalah pasukan Nepal yang dipimpin sendiri oleh panglima wanita, Puteri
Nandini yang ditemani oleh Siok Lan.
“Kalian
harus roboh....,“ bisik Wan Tek Hoat dengan cepat dan lirih, hanya terdengar
oleh dua orang muda itu, dan dia pun cepat melakukan serangan dahsyat kepada
dua orang muda itu.
Cin Liong
dan Ci Sian menangkis, akan tetapi mereka berteriak kaget dan terlempar,
terpelanting dan roboh. Melihat ini, Puteri Nandini dan Siok Lan membalapkan
kuda mereka dan berloncatan sambil mencabut senjata dan menyerang Wan Tek Hoat.
Akan tetapi jembel sinting ini mengelak dari sambaran pedang panglima wanita
itu, kemudian dengan jari tangan terbuka dia menghantam pedang di tangan Siok
Lan dari samping. Dara ini menjerit kaget karena pedangnya menjadi patah-patah
ketika bertemu dengan jari-jari tangan itu! Puteri Nandini juga terkejut dan
cepat dia menerjang sambil memberi aba-aba agar pasukannya bergerak.
Wan Tek Hoat
tertawa bergelak melihat pasukan maju hendak mengeroyoknya itu. Dia melempar
tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah, terus melompat jauh sambil
tertawa terus. Puteri Nandini mencoba untuk mengejar, namun jembel sinting itu
telah lenyap di balik pohon-pohon dan dia hanya dapat memerintahkan para
pembantunya untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Sementara itu, Siok Lan
sudah cepat lari menghampiri Ci Sian dan Cin Liong.
Akan tetapi
pertama-tama dara ini berlutut di dekat pemuda itu dan bertanya dengan nada
suara khawatir, “Kau terluka....?”
Cin Liong
bangkit dan mengeluh lirih. Pangkal lengan kirinya terluka, baju di bagian itu
robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Hanya luka kecil saja. Juga Ci Sian
menderita luka kecil pada pundaknya, berdarah sedikit.
“Tidak
berapa parah, Nona. Penjahat itu lihai luar biasa.... kami berdua tidak mampu
menangkapnya....”
“Hemm,
kurasa dia itulah mata-mata yang pernah mencuri dalam gedung, Enci Lan! Tentu
dia itulah yang dikabarkan orang-orang jenderal dari kota raja Ceng itu!” Ci
Sian menyambung dengan bersungut-sungut.
Panglima
wanita itu cepat memeriksa luka mereka dan mengobatinya, lalu mengajak mereka
bicara. Dia menanyakan bagaimana keduanya dapat berada di tempat ini dan
bertanding dengan jembel yang lihai itu.
Ci Sian dan
Ci Liong lalu saling bantu, menceritakan betapa malam tadi mereka berdua
melihat bayangan berkelebat di gedung. Karena tidak ingin menggegerkan gedung
dan pula karena percaya pada diri sendiri bahwa mereka berdua akan mampu
menangkap penjahat itu, keduanya kemudian mengejar. Akan tetapi ternyata
penjahat itu lihai dan mempermainkan mereka, melarikan diri keluar dari kota
sampai ke tempat ini, bahkan berlari-larian dan berkejaran sampai pagi, baru
penjahat itu menanti mereka dan terjadi perkelahian yang merugikan mereka
berdua.
Cin Liong
menarik napas panjang ketika mengakhiri ceritanya. “Li-ciangkun, harap suka
berhati-hati. Mata-mata itu sungguh amat lihai. Saya dan Nona Ci Sian sama
sekali tidak mampu berbuat apa-apa terhadapnya dan kalau dia menghendaki,
agaknya kami berdua sudah tewas sewaktu kami melawannya tadi. Masih untung
bahwa kami hanya menderita luka yang tidak parah.”
“Biar dia
lihai seperti setan, kalau lain kali bertemu dengan dia, aku akan menantangnya
untuk berkelahi sampai seribu jurus!” Ci Sian berseru dan kelihatan amat
penasaran.
“Akan
tetapi, bagaimana bisa begitu kebetulan bahwa hanya kalian berdua saja yang
melihat mata-mata itu pada saat yang sama?” Tiba-tiba Siok Lan bertanya dan
dari sikap dan suaranya jelas dapat ditangkap bahwa dara ini merasa cemburu!
“Enci Lan,
engkau menyangka apa?” Ci Sian membentak dengan wajar, sesuai dengan wataknya
yang memang keras dan sikapnya ini banyak menolong dia dan Cin Liong dari
pengamatan dua pasang mata yang memandang tajam dari Siok Lan dan ibunya.
“Seperti biasa, malam itu karena gerah aku keluar dari kamar dan aku memang
selalu waspada untuk membantumu mengamat-amati gedung kalau-kalau ada tamu yang
tak diundang menyelundup. Dan tiba-tiba aku melihat bayangan penjahat itu,
dibayangi oleh Liong Cin. Dia memberi isyarat kepadaku bahwa dia mengejar orang
di depan, maka aku pun ikut mengejar. Kami membantumu untuk mengejar mata-mata
dan kini engkau hendak mencurigai kami?”
“Memang
benar demikian, Nona Siok Lan. Malam itu mendengar orang di luar jendela
kamarku. Aku lalu mengintai dari jendela dan melihat bayangan orang itu
longak-longok seperti maling. Aku sengaja tidak menegur, melainkan diam-diam
aku membayanginya, maka ketika dia lari keluar dari gedung dan aku mengejarnya.
Nona Ci Sian melihat kami dan ikut mengejar.”
“Biarlah aku
pergi saja dari Lhagat kalau sudah tidak kau percaya lagi, Enci Lan!”
Siok Lan
memegang lengan Ci Slan. “Maaf, Adik Sian. Bukan kami tak percaya padamu atau
kepada Saudara Liong Cin, melainkan.... ehh, kami harus hati-hati dalam keadaan
seperti ini.... Sudahlah, kami sungguh berterima kasih kepada kalian berdua,
sungguh pun amat sayang bahwa mata-mata itu dapat meloloskan diri.”
“Lain kali,
jika kalian melihat hal-hal yang mencurigakan, harap suka berteriak memberi
tahu supaya kami semua dapat serentak bergerak menangkapnya.” Puteri Nandini
juga berkata, akan tetapi dari sikap panglima ini dan puterinya, mereka berdua
agaknya sudah tak curiga lagi dan tentu saja hal ini membuat Ci Sian dan Cin
Liong merasa lega.
Akan tetapi,
di samping kelegaan hati itu, ada sesuatu perasaan amat tidak enak dalam hati
Ci Sian. Semenjak peristiwa itu, kalau kini dia melihat Cin Liong bersama Siok
Lan berdua sedang berjalan-jalan atau bercakap-cakap, melihat betapa mesranya
sikap Siok Lan kepada pemuda itu, diam-diam dia merasa tidak senang!
Kadang-kadang
dia melawan perasaannya sendiri ini. Apakah dia cemburu? Ihh, mana mungkin?
Perasaan ini timbul ketika dia merasa betapa Siok Lan cemburu terhadapnya. Dia
amat sayang kepada Siok Lan dan merasa bahwa di samping semua keadaan mereka
yang berlawanan, namun terdapat perasaan suka dan sayang antara mereka,
perasaan suka antara dua orang sahabat yang cocok.
Akan tetapi
setelah kini dia merasa yakin bahwa Siok Lan jatuh cinta kepada pemuda itu.
Dialah yang kini merasa tidak senang atau setidaknya ada perasaan tidak nyaman
dalam hatinya. Tentu saja dia mengambil sikap tidak peduli dan selalu dia
menekankan di dalam hatinya bahwa sikap manis Cin Liong kepada Siok Lan itu
merupakan alasan dari jenderal muda itu untuk menjauhkan kecurigaan dan untuk
menyembunyikan diri, tentu saja.
Tiga hari
semenjak terjadinya peristiwa itu, pagi hari itu Siok Lan mendekati Cin Liong
dan mengajak pemuda ini berjalan-jalan ke atas sebuah bukit kecil di tepi kota
Lhagat. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, berjalan berdampingan dan Siok
Lan yang beberapa kali menengok dan memandang wajah pemuda itu bertanya,
“Liong-ko (Kakak Liong), mengapa kau kelihatan termenung saja sejak tadi?”
Cin Liong
terkejut akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Dia bukan hanya
terkejut karena teguran yang membuktikan ketajaman mata dara ini, akan tetapi
juga terkejut mendengar sebutan Liong-ko. Hanya jarang sekali dara ini
menyebutnya koko, biasanya hanya menyebut namanya saja, terutama kalau berada
di depan ibu dara ini atau di depan Ci Sian.
“Ahh, tidak
apa-apa, Nona.”
Mereka
berjalan terus melalui tempat penjagaan dan tidak mempedullkan pandangan para
prajurit Nepal yang menyeringai. Mereka berdua terus asyik bercakap-cakap dan
agaknya sudah bukan rahasia lagi betapa akrabnya hubungan antara puteri
panglima itu dengan pemuda ‘pemburu’ itu.
Mereka
sekarang tiba di puncak bukit kecil itu dan mereka duduk berdampingan di atas
rumput hijau, memandang ke arah utara di mana nampak bukit yang dikepung
tentara Nepal, bukit di mana terdapat lembah di mana tentara Ceng sedang
dikepung. Sudah hampir sebulan mereka dikepung tak berdaya di tempat itu!
Melihat bukit ini, tak terasa lagi jantung Cin Liong berdebar keras sekali,
penuh ketegangan.
Malam nanti
saat itu tiba, seperti telah diaturnya dengan matang. Ia telah menghubungi
semua pembantunya dan semua pembantu itu tentu telah bersiap-siap melaksanakan
semua perintah dan siasatnya sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Dia
sendiri perlu berada di Lhagat, selain mengamati gerakan panglima musuh, juga
untuk membantu lancarnya penyerbuan ke Lhagat setelah malam nanti pasukannya
berhasil lolos dari kepungan. Dan dia yakin pasukannya akan berhasil. Semua
sudah diperhitungkannya masak-masak.
Dia dapat
membayangkan apa yang akan terjadi kalau bendungan di atas itu dibobol dan air
yang dipergunakan sebagai pasukan pelopor untuk menghantam dan menjebol
kepungan musuh. Dan pada saat yang sama, pasukan-pasukan Tibet yang sudah
dipersiapkannya akan bergerak pula menghantam dari arah lain untuk mengalihkan
perhatian lawan. Dan pada saat air menipis, pasukan yang terkepung akan
meloloskan diri, turun dari bukit, keluar dari lembah melalui jalan yang telah
dibikin rata dan aman oleh air bah itu! Dan dengan kekuatan disatukan dengan
pasukan-pasukan Tibet, lalu pasukannya akan menggempur Lhagat! Untuk semua itu,
dia juga amat mengharapkan bantuan orang-orang pandai yang telah diam-diam
diselundupkan ke Lhagat dan sekitarnya!
“Liong-koko....”
Cin Liong
terkejut dan sadar dari lamunannya. Dengan enggan dia menarik kembali pandang
matanya yang sejak tadi ditujukan ke arah bukit itu dan dia menoleh kepada dara
yang duduk di sampingnya. Dia melihat betapa sepasang mata yang jeli itu
menatapnya dengan sayu, sepasang mata yang nampaknya seperti setengah terpejam,
seperti mata yang mengantuk, akan tetapi ada sinar aneh dari sepasang mata di
balik bulu-bulu mata yang lentik itu.
Siok Lan
memang cantik sekali, kecantikan yang manis dan aneh seperti biasa terdapat
pada kecantikan dara-dara yang berdarah campuran. Siok Lan adalah seorang dara
berdarah peranakan Han dan Nepal dan agaknya dara ini menerima kurnia yang luar
biasa dari alam, dia agaknya telah mewarisi segi-segi baiknya saja dari ayah
bundanya yang berbeda bangsa itu.
Kulitnya
putih kuning halus seperti kulit wanita bangsa ayahnya, demikian pula pada
kehitaman dan kelebatan rambutnya, ramping dan semampainya bentuk tubuhnya. Dan
dia memiliki sepasang mata yang lebar dan indah dengan bulu mata lentik, hidung
yang agak mancung dan dagu meruncing seperti kemanisan wajah ibunya.
Cin Liong
adalah seorang pemuda yang semenjak kecil mengejar ilmu kepandaian dan belum
pernah melibatkan diri dengan hubungan antara pria dan wanita. Hubungannya
dengan Siok Lan hanya merupakan hubungan yang berdasarkan siasat perangnya
belaka, maka selama ini dia menganggap dara ini sebagai puteri dari panglima
pasukan musuhnya, sungguh pun secara pribadi dia amat mengagumi dara ini, juga
ibunya yang dianggapnya seorang panglima yang pandai. Dan dara ini memiliki
watak yang sangat baik.
Kini, dalam
keadaan santai, duduk berdua di tempat sunyi itu, mendengar suara Siok Lan
memanggilnya, kemudian setelah menoleh bertemu pandang mata yang demikian indah
dan penuh getaran perasaan memandangnya, jantung Cin Liong terasa berdebar
aneh. Selama dia hidup baru kini dia merasakan suatu getaran aneh dalam
hatinya, dan wajah dara itu seolah-olah baru sekarang dilihatnya, baru sekarang
dia menemukan keindahan dan kecantikan luar biasa pada mata dan bibir itu!
Sejenak dua
pasang mata itu bertemu pandang, bertaut seolah-olah ada sesuatu yang membuat
mereka terpesona dan seolah-olah pandang mata saling melekat tak dapat
dipisahkan lagi. Akan tetapi akhirnya Cin Liong dapat menguasai debaran
jantungnya dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia bertanya lirih. “Ada
apakah, Nona?”
Siok Lan
juga baru sadar bahwa sejak tadi dia seperti terayun dalam alam mimpi, dan dia
menjadi malu sekali. Cepat dia menunduk dan mukanya yang menjadi lebih merah
dari pada muka pemuda itu. “Liong-ko, sejak tadi kulihat engkau melamun saja,
seperti orang yang berduka, atau seperti orang yang khawatir. Ada apakah?”
Cin Liong
tersenyum. “Tidak apa-apa, Nona.”
Dara itu
mengangkat muka memandang dan kini sepasang matanya tidak sayu lagi seperti
tadi, melainkan bersinar tajam penuh selidik. “Sejak kita datang ke tempat ini,
engkau duduk melamun dan memandang ke arah bukit di sana itu, Liong-ko. Aku
dapat merasakan bagaimana kedukaan dan kekhawatiran menekan hatimu melihat
pasukan kerajaan itu terkepung di sana sudah sebulan....”
“Ahh,
tidak....!” Cin Liong cepat membantah dan diam-diam dia terkejut sekali.
Apakah dara
ini mengetahui pula rahasianya? Kalau begitu, amat berbahaya dan dia harus
cepat turun tangan. Terbongkarnya rahasianya akan berbahaya sekali, dan dapat
menggagalkan siasatnya yang akan dilaksanakan malam nanti.
Akan tetapi
dara itu nampak tenang saja, bahkan tersenyum pahit. “Aku mengerti, Liong-koko.
Engkau adalah seorang bangsa Han, dan tentu saja tidak senang melihat pasukan
bangsamu terkepung dan menghadapi kehancuran....”
Karena masih
meragu, Cin Liong belum turun tangan, dan ia memancing. “Engkau tahu bahwa aku
hanyalah seorang pemburu Nona, aku tidak mencampuri urusan perang....”
“Aku
mengerti, Liong-ko, akan tetapi aku pun dapat menduga betapa hatimu duka dan
khawatir oleh akibat perang yang mengancam pasukan bangsamu. Aku sendiri pun
benci perang! Aneh kedengarannya. Ibu seorang panglima perang, namun aku benci
perang. Dan tahukah engkau, Liong-ko, Ibu sendiri pun benci perang!”
“Ehh....?”
Cin Liong benar-benar terkejut mendengar ini, dan dia menatap wajah cantik itu
dengan heran.
Siok Lan
mengangguk kemudian menunduk, merenung. “Ya, Ibuku benci perang. Ibuku adalah
seorang puteri Nepal, sejak kecil mempelajari kesenian dan kesusastraan. Akan
tetapi dia pun mempelajari ilmu silat dan perang. Walau pun begitu, dia selalu
mencela perang!”
“Akan tetapi
mengapa dia menjadi panglima?”
“Karena....
patah hati.... gagal dalam asmara.”
“Ahhh....!”
Dara itu
menoleh dan menatap wajah Cin Liong, kemudian dia menggeser duduknya sehingga
berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak dia menatap tajam, kemudian dia berkata,
“Dengarlah, Liong-ko, aku akan menceritakan riwayat kami kepadamu. Akan tetapi
harap semua ini dirahasiakan.” Cin Liong hanya mengangguk-angguk dan merasa
heran mengapa dara ini demikian percaya kepadanya.
“Ibuku
adalah seorang wanita Nepal, puteri dari seorang pendeta yang semenjak kecil
mempelajari seni, ilmu sastra, silat dan ilmu perang. Kemudian Ibuku menikah
dengan seorang pangeran Nepal, seorang pangeran tua yang menjadi Ayah tiriku.”
“Ayah
tirimu....?”
“Ya, aku....
Ayah kandungku adalah seorang pria berbangsa Han, seperti juga engkau,
Liong-ko.”
“Hemmm....
sudah kuduga itu, melihat keadaanmu.”
“Karena Ibu
lebih perkasa dan pandai dari pada Ayah tiriku, maka Ibu lalu diangkat menjadi
perwira tinggi dalam ketentaraan. Ibu menerima pengangkatan itu hanya untuk
menghibur hatinya, karena.... karena sesungguhnya Ibu tidak mencinta suaminya
yang jauh lebih tua, dan hal itu terjadi sampai Ayah tiriku meninggal dunia.
Semenjak itu Ibu menjadi panglima dan biar pun dia membenci perang, terpaksa
dia melakukan tugas kewajibannya sebaik mungkin.”
“Dan....
Ayah kadungmu?”
Dara itu
menggeleng kepala. “Ibu merahasiakannya. Aku bahkan tidak tahu siapa she Ayahku
itu. Aku tidak tahu di mana dia, masih hidup ataukah sudah mati. Heran sekali,
Ibu agaknya amat membenci Ayah kandungku sehingga setiap kali aku bertanya, dia
marah-marah dan bahkan pernah menamparku karena bertanya tentang itu.
Agaknya.... agaknya dia akan sanggup membunuhku kalau aku bertanya terus.” Dan
sampai di sini Siok Lan, dara yang biasanya lincah gembira itu kelihatan
berduka, bahkan ada air mata menitik turun dari kedua matanya.
Diam-diam
Cin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia diam saja, masih
terheran-heran mendengar cerita yang luar biasa itu. Ibu dara ini, panglima
yang pandai dan perkasa itu, ternyata menyimpan rahasia kehidupan yang amat
menyedihkan! Siok Lan mengusap air matanya, berhenti menangis, kemudian menarik
napas panjang berulang-ulang.
“Liong-ko,
betapa inginku pertemuan antara kita tidak terjadi di tempat ini, pada waktu
perang seperti ini. Ahhh, betapa akan senangnya duduk bercakap-cakap denganmu
di tempat ini kalau tidak ada perang di situ, kalau keadaan tenteram dan damai.
Akan tetapi.... betapa pun juga.... oleh karena adanya perang inilah, maka kita
dapat saling bertemu.”
Cin Liong
diam saja, tidak tahu harus mengatakan apa dan dia pun tidak tahu mengapa dara
itu mengeluarkan ucapan seperti itu.
“Liong-ko,
di mana adanya Ayah Bundamu?”
Pertanyaan
tiba-tiba ini mengejutkan Cin Liong juga, akan tetapi dengan sikap tenang dia
menjawab, “Mereka tinggal jauh di utara, Nona.”
“Liong-ko,
harap kau jangan menyebut Nona padaku, Panggil saja namaku!”
“Akan
tetapi, Nona....”
“Apakah
engkau tidak mau menganggap aku sebagai seorang.... sahabat baikmu?” bertanya
demikian, dara itu mengangkat muka dan menatap wajah Cin Liong dengan sepasang
mata yang tajam berseri. Akhirnya Cin Liong menunduk dan mengangguk.
“Baiklah,
Lan-moi (Adik Lan). Engkau sungguh baik sekali.”
“Bukan aku,
melainkan engkaulah yang baik sekali, Liong-ko. Aku berhutang budi dan nyawa
padamu....”
“Cukuplah
itu, harap engkau jangan sebut-sebut lagi soal itu. Engkau dan Ibumu telah
menerimaku di sini dengan baik sekali, malah akulah yang harus malu....“ Cin
Liong teringat betapa kehadirannya itu adalah sebagai mata-mata padahal dara
ini demikian baik kepadanya. Nampak makin jelaslah olehnya betapa keji dan
kejamnya perang!
“Akan
tetapi, peristiwa itu tidak akan terlupakan olehku selama hidup, Liong-ko.
Dan.... kalung itu.... apakah masih kau simpan?”
Otomatis
tangan kiri Cin Liong meraih ke lehernya, dan gerakan ini saja membuat Siok Lan
merasa girang sekali dan dia yakin bahwa kalung itu masih dipakai oleh pemuda
ini, maka ia lalu melanjutkan kata-katanya. “Terima kasih jika masih kau
simpan. Liong-ko, ketahuilah jika aku.... aku memberikan kalung itu.... dengan
sepenuh hati.... kalung itu pemberian Ibu dan.... mewakili diriku....”
Tiba-tiba dia menunduk dan mukanya menjadi merah sekali.
Cin Liong
juga dapat merasakan kejanggalan kata-kata ini dan makna mendalam yang
dikandungnya, maka dia pun tiba-tiba merasa jengah dan malu. Sejenak mereka
berdua yang duduk berhadapan itu tidak mengeluarkan kata-kata, keduanya lebih
banyak menunduk dan kalau kebetulan saling pandang, lalu tersenyum canggung!
Hati Cin Liong tergetar dan tertarik.
Dara ini
memang memiliki daya tarik yang kuat sekali, akan tetapi selama ini, biar pun
bergaul dengan akrab, dia tidak merasakan daya tarik ini karena seluruh
perhatiannya tercurah kepada tugasnya. Kini baru dia merasakan daya tarik itu
yang membuat dia ingin sekali memandang wajah itu dan menikmati kejelitaannya,
ingin sekali bersikap dan berbicara manis, ingin sekali menyentuh dan merangkul
mesra. Akan tetapi Cin Liong masih ingat akan kedudukan dan tugasnya, maka dia
mengeraskan hatinya dan akhirnya dia bangkit berdiri. Siok Lan juga ikut
bangkit dan memandang heran.
“Nona....
eh, Adik Siok Lan, marilah kita pulang. Ibumu tentu akan mencarimu, dan tidak
baik bagimu kalau berlama-lama kita duduk berdua saja di tempat ini.”
Dara itu
mengerutkan alisnya dan sinar matanya mengandung kekerasan. “Liong-ko, mengapa
tidak baik bagiku? Aku tidak peduli dengan orang lain, dan Ibu tentu tidak akan
melarang kalau aku berdua di sini bersamamu.”
Cin Liong
tersenyum. Dalam marahnya, dara itu bahkan nampak semakin cantik! “Syukurlah
kalau begitu, Lan-moi. Akan tetapi, akulah yang merasa tidak enak, karena aku
adalah seorang tamu yang diterima dengan ramah dan baik, dan aku hanya seorang
pemburu miskin biasa, sedangkan kau.... kau puteri panglima....“
“Hussshh,
jangan ucapkan lagi kata-kata seperti itu, Liong-ko! Ingat, Ibuku hanya anak
seorang pendeta sederhana yang miskin dan bodoh. Dan aku.... hemm, aku bahkan
tidak pernah kenal siapa Ayah kandungku! Engkau yang mempunyai Ayah Bunda yang
jelas dan terhormat, engkau lebih terhormat dari pada aku.”
Kembali Cin
Liong tersenyum. Banyak segi-segi yang baik pada diri dara ini, pikirnya.
“Baiklah, Lan-moi. Engkau benar, akan tetapi sudah lama kita di sini, mari kita
kembali.”
Tanpa
disengaja, tangannya menyentuh tangan dara itu. Perbuatan tidak disengaja oleh
Cin Liong ini berakibat besar karena dara itu merasa tangannya dipegang dan dia
cepat memegang tangan pemuda itu dan jari-jari tangan mereka saling pegang,
kemudian sambil bergandeng tangan mereka menuruni bukit itu. Dua orang muda
remaja yang selama hidupnya baru pertama kali ini mendekati lawan jenisnya,
merasa betapa ada getaran-getaran halus pada jari tangan mereka, getaran yang
timbul dari hati mereka yang berdebar-debar tidak karuan, getaran mesra yang
menjalar ke seluruh tubuh, yang membuat mereka kadang-kadang saling pandang,
saling senyum tanpa kata-kata.
Namun apa
artinya lagi kata-kata dalam keadaan seperti itu? Senyum dan pandang mata ini
sudah cukup mengeluarkan seluruh apa yang terkandung dalam perasaan
masing-masing, yang belum tentu dapat dilukiskan dengan kata-kata yang betapa
indah sekali pun.
Tiba-tiba
Cin Liong melepaskan tangannya yang saling bergandengan dengan gadis itu dan
Siok Lan juga cepat-cepat agak menjauhkan diri dari pemuda itu ketika dia
melihat munculnya Ci Sian di tikungan depan.
“Eh, Enci
Lan, kucari engkau ke mana-mana tidak tahunya berada di sini. Hemm, maaf ya,
aku mengganggu, ya?” kata dara ini sambil tersenyum menggoda, sungguh pun ada
perasaan tidak enak di dalam hatinya, perasaan tidak enak yang dia sendiri
tidak tahu mengapa.
“Ahh,
ada-ada saja engkau, Sian-moi. Siapa mengganggu siapa? Aku bercakap-cakap
dengan.... ehhh, Liong-ko....”
Akan tetapi
dia berhenti karena teringat bahwa baru sekarang di depan Ci Sian dia menyebut
pemuda itu dengan sebutan koko. Mukanya menjadi merah sekali dan melihat ini,
Ci Sian tersenyum walau pun hatinya terasa semakin tidak enak. Mereka bertiga
kemudian kembali ke gedung di mana Puteri Nandini sudah menunggu karena memang
panglima inilah yang menyuruh Ci Sian untuk pergi mencari Siok Lan dan
memanggilnya pulang karena dia perlu untuk bicara.
Setelah tiba
di dalam gedung, Siok Lan langsung memasuki kamar ibunya dan di situ dia
melihat bahwa ibunya sedang berunding dengan para panglima pembantu ibunya, dan
sikap mereka menunjukkan bahwa tentu terjadi sesuatu yang gawat.
“Ibu, ada
apakah?” tanyanya.
“Duduklah.
Dengar baik-baik, Siok Lan. Menurut para penyelidik, ada sesuatu yang aneh
sedang direncanakan oleh pihak musuh, entah apa. Ada pergerakan dari
pasukan-pasukan Tibet yang telah kita kalahkan. Kita tidak percaya bahwa
pasukan Tibet akan berani bergerak menyerang Lhagat tanpa suatu rencana
tertentu. Agaknya mereka merahasiakan rencana itu dan keadaan pasukan musuh yang
terkepung juga nampak tenang-tenang saja. Ketenangan inilah yang membuat hatiku
tidak enak. Maka, siapa pun harus kita curigai. Engkau bertugas selain menjaga
keamanan gedung ini, juga untuk memata-matai dua orang tamu kita itu.”
“Apa? Ibu
maksudkan Adik Sian dan Liong-koko?”
Mendengar
puterinya menyebut koko pada pemuda itu. Puteri Nandini memandangnya dengan
sepasang mata penuh selidik dan mata ibu yang tajam ini melihat betapa ada
warna kemerahan pada kedua pipi puterinya.
“Ya, dua
orang itu adalah orang-orang asing bagi kita. Biar pun sampai kini tidak ada
gerakan-gerakan dan bukti-bukti yang menjadikan kecurigaan kita, namun kita
harus tetap waspada. Dan karena mereka adalah teman-temanmu, maka sebaiknya
engkau yang menyelidiki dan membayangi keadaan mereka agar tidak terlalu
mencolok.”
Siok Lan
tidak dapat membantah, apalagi di situ hadir banyak pembantu ibunya, maka dia
cepat mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Ibu.”
Mereka lalu
berunding dan Sang Panglima Wanita itu lalu membagi-bagi tugas untuk
memperketat penjagaan dan bahkan memutuskan bahwa kalau sampai dua hari lagi
pasukan yang terkepung tidak menyerah dan tidak ada tanda-tanda kedatangan
orang-orang penting dari kota raja, maka lembah itu akan digempur dan pasukan
terkurung itu akan dipaksa untuk menyerah!
Malam itu
tiada bulan nampak di langit. Hanya ada bintang-bintang gemerlapan di langit
hitam, seperti ratna mutu manikam di atas kain beludru hitam, berkilauan
cemerlang, berkedip-kedip seperti ada selaksa bidadari bermain mata kepada
manusia di atas bumi. Bima sakti nampak nyata, dibentuk oleh kelompok
bintang-bintang yang berderet memanjang putih, sehingga nampaknya seperti awan
putih cemerlang, membentuk bayang-bayang hitam yang tetap dan dalam.
Pada malam
hari yang indah dan kelihatan penuh ketenteraman itu, dengan angin malam lembut
bersilir, orang-orang di Lhagat dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan oleh sinar
yang berluncuran dari bawah. Sinar-sinar yang seperti kembang api meluncur
tinggi ke atas, berwarna hijau, kuning dan merah. Mula-mula warna merah yang
lebih dulu meluncur dari lembah bukit di mana pasukan Ceng terkepung, lalu
disusul oleh luncuran warna-warna lain dari bukit-bukit dan bahkan dari dalam
kota Lhagat!
Selagi
orang-orang menonton kembang api itu dengan heran, kagum hati bertanya-tanya
siapa yang meluncurkan ke atas dan apa artinya itu, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh dari atas puncak bukit di mana pasukan musuh terkepung, suara ledakan
keras disusul gemuruhnya air membanjir! Itulah permulaan dari gerakan yang
dilakukan oleh Panglima Kao Kok Han bersama pasukannya yang terkepung, sesuai
dengan siasat yang telah diatur oleh Panglima Kao Cin Liong!
Mula-mula
saling diluncurkan anak-anak panah api ke atas oleh para pasukan yang
terkepung, yang disambut oleh pasukan-pasukan Tibet, kemudian disambut pula
oleh para anggota pasukan gerilya yang telah menyelundup ke dalam kota Lhagat.
Lalu, Panglima Kao Kok Han, yaitu paman dari Kao Cin Liong, memimpin anak
buahnya membobolkan bendungan air yang telah merupakan danau kecil di puncak
karena mereka membendung air yang keluar dari sumber sehingga terkumpul amat
banyaknya. Jebolnya bendungan ini tentu saja membuat air yang amat banyak itu
membanjir ke bawah dengan derasnya, kemudian langsung menyerbu ke arah pasukan
Nepal yang mengepung di bagian barat lembah bukit itu!
Tentu saja
pasukan Nepal di sebelah barat bukit ini menjadi kaget, panik dan kacau balau
diserang oleh banjir yang datang dari puncak bukit itu. Mereka tidak tahu apa
yang terjadi sehingga ada air yang mendadak menyerbu mereka dari atas, menyeret
perkemahan mereka, dan membunuh banyak orang serta menyeret orang-orang itu,
menghempaskan mereka kepada batu-batu dan pohon-pohon. Mereka masih belum
menyangka bahwa ini adalah perbuatan musuh, dan kepanikan menjadi semakin hebat
ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan hujan anak panah datang dari sebelah
luar kepungan yang merobohkan lebih banyak orang lagi karena mereka tidak
sempat berlindung dan masih panik oleh serangan air bah dari atas bukit.
Kepanikan
ini menjadi-jadi ketika pasukan dari atas bukit yang terkepung itu tiba-tiba
menyerbu turun, mengikuti air yang makin menipis. Pasukan Nepal yang mengepung
segera memusatkan kekuatan di tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah kena
gempuran air dan pasukan Tibet yang menghujankan anak panah tadi, mereka
mengira bahwa tentu pasukan Ceng-tiauw memperoleh bantuan barisan Ceng-tiauw
yang besar, dan mereka sudah terlalu panik sehingga mereka melakukan perlawanan
dengan hati takut.
Makin banyaklah
pasukan-pasukan Tibet muncul dari berbagai jurusan, menghadang bagian pasukan
Nepal yang tadinya mengepung dari arah lain dan kini berdatangan ke tempat itu
untuk membantu kawan-kawan mereka. Pasukan-pasukan gerilya Tibet ini
memotong-motong pasukan itu dan terjadilah pertempuran di sana-sini membuat
pasukan Nepal yang mengepung itu terpecah-pecah dan kacau-balau.
Mereka
mencoba untuk mempertahankan diri, namun akhirnya, menjelang fajar mereka semua
terpaksa harus mundur dan memasuki kota Lhagat setelah mereka kehilangan lebih
dari separuh jumlah pasukan yang sebagian tewas atau roboh oleh air bah,
sebagian pula oleh hujan anak panah dan yang terbesar karena pertempuran yang
berat sebelah itu karena kalau pihak Nepal bertempur dengan hati panik dan ketakutan,
adalah pihak tentara Ceng-tiauw yang ingin bebas dari kepungan dan tentara
Tibet yang ingin mengusir musuh itu bertempur dengan penuh semangat!
Panglima
wanita Nandini dengan pakaian perang ternoda banyak darah musuh yang
dirobohkannya dalam pertempuran tengah malam itu, dan muka serta leher basah
oleh peluh terpaksa memimpin sisa pasukan itu memasuki Lhagat. Siok Lan yang
bertugas menjaga kota itu menyambut bersama para pengawalnya dan terkejut
melihat keadaan ibunya. Tanpa banyak tanya pun dia tahu bahwa pasukan Ibunya
kalah dan kini sisa pasukan itu mundur memasuki Lhagat.
Akan tetapi,
baru saja pasukan yang sudah patah semangat itu memasuki kota Lhagat, nampak
kebakaran terjadi di semua penjuru kota itu! Orang-orang berteriak-teriak
kebakaran dan keadaan menjadi semakin panik ketika dengan marah sekali Panglima
Nandini memerintahkan para pembantunya untuk memeriksa kebakaran-kebakaran itu
dan memadamkannya.
“Di mana Ci
Sian? Di mana Liong Cin?” Panglima itu membentak dengan muka agak pucat kepada
Siok Lan.
Siok Lan
memandang ibunya, wajahnya juga menjadi pucat dan dia berkata dengan hati
tegang. “Tadi mereka membantuku melakukan perondaan, bahkan aku memberi tugas
kepada mereka berdua untuk menjaga di sekitar penjara agar jangan sampai
tawanan memberontak dan membobol penjara dalam keadaan seperti ini, Ibu.”
Panglima itu
mengangguk-angguk, tetapi tetap saja alisnya berkerut karena dia merasa
ragu-ragu. Dia sudah memperoleh pukulan hebat dan sama sekali tidak disangkanya
bahwa musuh demikian lihai menjalankan siasatnya sehingga dia benar-benar tak
dapat menduga sama sekali bahwa pasukan yang terkepung itu akan mampu
meloloskan diri. Tentu ada pengaturnya semua siasat itu, dan pengaturnya
tentulah jenderal sakti yang dikabarkan orang datang dari kota raja dan yang
kabarnya amat lihai itu. Kini baru dia tahu bahwa berita itu tidak
berlebih-lebihan, bahwa di pihak musuh terdapat seorang ahli siasat perang yang
hebat.
“Celaka,
Li-ciangkun..!” Tiba-tiba seorang penjaga dengan tubuh luka-luka parah datang
berlari dan langsung roboh di depan kaki panglima itu.
Biar pun
orang itu sudah terluka parah, akan tetapi melihat orang itu dalam keadaan
ketakutan seperti itu, Panglima Nandini membentak, “Pengecut! Bangun dan
ceritakan apa yang terjadi!” Suara panglima ini penuh kemarahan.
“Penjara....
bobol dan semua tawanan.... lolos.... kami tak dapat menahan mereka....“
“Ahh!
Bagaimana terjadinya? Siapa yang berkhianat?”
“Mereka....
mereka.... seorang pemuda dan gadis.... tamu Li-ciangkun....”
“Keparat!”
Panglima itu membentak marah dan sekali meloncat dia telah berada di atas
kudanya kemudian melarikan kudanya itu ke arah penjara, diikuti oleh Siok Lan
yang wajahnya menjadi pucat sekali dan ada dua butir air mata meloncat turun ke
atas pipinya. Hampir dia tidak percaya, Liong Cin seorang pengkhianat? Seorang
mata-mata musuh yang meloloskan para tawanan bersama Ci Sian? Dan Ci Sian....?
Ahhh, dia hampir tidak dapat mempercayai hal ini.
Akan tetapi
para tawanan memang telah lolos keluar dan terjadilah pertempuran di mana-mana
antara para tawanan dan para penjaga, juga di antara para tawanan itu terdapat
beberapa orang yang lihai berbangsa Tibet dan Han, dan mereka ini bukanlah
tawanan yang lolos, melainkan tenaga-tenaga baru yang entah muncul dari mana!
Puteri
Nandini dengan marah lalu mengamuk dan merobohkan empat orang tawanan yang
tidak dapat menahan sambaran pedangnya. Akan tetapi pada saat itu terdengar
tambur tanda bahaya dari menara dan ternyata pasukan musuh telah mulai
menyerang pintu-pintu gerbang kota Lhagat! Hal ini tentu saja mengejutkan
Nandini dan terpaksa dia meninggalkan tempat itu untuk pergi ke menara.
Penyerbuan musuh dari luar lebih penting dari pada pemberontakan para tawanan
itu. Siok Lan juga mengikuti ibunya karena bagaimana pun juga, dalam keadaan yang
genting dan gawat itu, dia harus selalu mendekati ibunya untuk membantu ibunya.
Dan memang
pasukan Ceng-tiauw yang dibantu oleh banyak sekali pasukan Tibet telah mulai
menyerbu benteng tembok Lhagat dari pelbagai jurusan! Serbuan itu dimulai pagi
sekali ketika cuaca masih gelap. Tentu saja pasukan-pasukan Nepal menjadi
semakin panik karena mereka baru saja mengalami kekalahan dan gempuran hebat.
Dalam keadaan lelah lahir batin mereka kini terpaksa dikerahkan untuk
mempertahankan kota itu dari kepungan musuh. Celakanya, dari sebelah dalam juga
terjadi serbuan-serbuan, pembakaran-pembakaran, yang amat menggelisahkan para
pasukan itu.
Terutama
sekali Puteri Nandini yang menerima laporan bertubi-tubi tentang adanya
serbuan-serbuan pada gedung-gedung pemerintah, pembakaran-pembakaran, bahkan
gedung tempat tinggalnya tidak terkecuali mengalami penyerbuan dan para
pengawal gedung itu tewas semua. Mendengar laporan-laporan ini, maklumlah Sang
Puteri yang menjadi panglima ini bahwa kota Lhagat ternyata penuh dengan
mata-mata yang kini dibantu oleh para tawanan yang lolos untuk mengacaukan
kota. Kalau kekacauan di sebelah dalam ini tak segera dibasmi, tentu akan
membahayakan pertahanan kota dari serbuan musuh di luar.
Oleh karena
itu, sambil mengajak puterinya dia lalu turun dari menara, menyerahkan
pengaturan penjagaan pintu-pintu gerbang kepada komandannya dan dia bersama
puterinya lalu menuju ke tempat-tempat terjadinya penyerbuan para pengacau itu.
Akan tetapi para pengacau itu bergerak secara bergerilya. Kalau pihak penjaga
terlampau kuat mereka menghilang, menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan
membakar atau mengacau di bagian lain, dan tujuan mereka agaknya selain untuk
mengacaukan penjagaan juga untuk mendekati pintu-pintu gerbang karena mereka
bertugas untuk membobolkan pintu itu dari sebelah dalam.
Dirongrong
seperti ini dari dalam, para penjaga Nepal menjadi semakin panik dan lelah
sekali dan akhirnya, pintu gerbang sebelah selatan bobol dan dengan suara
hiruk-pikuk pasukan Kerajaan Ceng-tiauw bersama pasukan Tibet menyerbu masuk
bagaikan air bah terlepas dari bendungan yang pecah. Keadaan dalam kota Lhagat
menjadi semakin kacau dan bersama dengan terbitnya matahari, pasukan Ceng dan
Tibet yang terbagi bagi menjadi beberapa pasukan itu menyerbu dari semua pintu
gerbang yang akhirnya dapat dibobolkan.
Terjadilah
pertempuran-pertempuran di dalam kota itu dengan hebatnya. Bala tentara Nepal
kehilangan kepercayaan diri, dan para pemimpin mereka tak dapat lagi memberi
komando secara langsung karena pertempuran telah pecah di mana-mana memenuhi
kota itu. Penduduk yang memang banyak bersimpati kepada Tibet, sekarang keluar
dan membantu pihak Tibet untuk menggempur pasukan Nepal yang mereka benci! Dan
di dalam pasukan mata-mata yang menyelinap di dalam kota dan tadi telah
melakukan pembakaran-pembakaran terdapat cukup banyak orang-orang pandai yang
mengamuk bagaikan harimau-harimau buas, membuat pasukan Nepal menjadi makin
gelisah.
Di antara
pertempuran-pertempuran yang pecah di mana-mana secara kacau-balau itu,
pertempuran-pertempuran jarak dekat yang amat seru, nampak Panglima Nandini dan
Siok Lan mengamuk bahu membahu. Dengan pedang di tangan, ibu dan puterinya ini
mengamuk, bukan lagi mempertahankan kota atau demi pasukan Nepal, melainkan
untuk mempertahankan diri yang dikepung dan dikeroyok!
Sementara
itu, yang membongkar penjara adalah Cin Liong sendiri dibantu oleh Ci Sian.
Dara itu ikut membongkar penjara karena dia hendak mencari Lauw-piauwsu yang
dia tahu berada di antara mereka yang menjadi tawanan. Setelah penjara
terbongkar dan semua tawanan menyerbu keluar, Ci Sian seorang diri memasuki
penjara dan bertanya-tanya kepada para tawanan yang lolos itu di mana adanya
Lauw-piauwsu. Para tawanan itu yang menjadi gembira sekali memberi tahu bahwa
Lauw-piauwsu dalam keadaan sakit payah dan mendengar ini Ci Sian segera
berlari-lari menuju ke kamar tahanan orang tua itu.
Akhirnya dia
melihat laki-laki tua itu rebah di atas lantai beralaskan rumput kering dalam
keadaan mengenaskan sekali. Biar pun selama bertahun-tahun Ci Sian tidak
bertemu dengan orang ini dan keadaan Lauw-piauwsu amat menyedihkan, namun Ci
Sian segera mengenalnya dan cepat dia berlutut di atas lantai dekat tubuh yang
kurus kering itu. Tubuh itu kurus sekali, dengan muka pucat dan mata sayu,
napasnya tinggal satu-satu dan tubuhnya amat panas. Kiranya kakek itu diserang
demam hebat. Sungguh menyedihkan sekali keadaan Toat-beng Hui-to Lauw Sek yang
dulunya adalah seorang kakek yang demikian gagahnya itu!
“Paman
Lauw....,” Ci Sian memanggil dengan hati terharu melihat keadaan orang ini.
Lauw Sek membuka
matanya yang tadinya dia pejamkan, seolah-olah dalam keadaan mata terbuka sayu
tadi dia sama sekali tidak melihat gadis itu memasuki kamarnya setelah
mematahkan rantai yang mengunci daun pintu.
Sejenak mata
yang sudah kelihatan tidak bersemangat itu memandang, akan tetapi agaknya dia
tidak ingat lagi kepada Ci Sian. “Siapa.... siapa engkau....?”
“Paman Lauw,
lupakah engkau kepadaku? Aku Ci Sian....”
“Ci....
Sian....?”
“Aku Ci Sian
atau.... Siauw Goat, cucu dari Kakek Kun, lupakah kau, Paman?”
“Ahhh....”
Sejenak mata itu bersinar dan agaknya dia teringat. “Engkau.... ahhh, Nona....
aku.... aku.... amat payah....”
“Paman,
tolong kau beritahukan aku menurut penuturan Kakek Kun dahulu itu, siapakah
adanya Ayah kandungku, Ibu kandungku, dan di mana aku dapat mencari mereka?”
“Ahhh....
aku.... aku tidak kuat lagi membawamu ke sana....”
“Aku akan
mencari sendiri, Paman. Harap kau katakan saja di mana mereka dan siapa mereka
itu.”
Lauw Sek
terengah-engah, agaknya pertemuannya dengan gadis yang sama sekali tak
disangka-sangkanya ini, gadis yang tadinya disangkanya sudah tewas,
mendatangkan ketegangan yang menambah berat penyakitnya.
“Paman....
Paman.... tolonglah, kuatkan dirimu, dan beritahu aku....“ Ci Sian memegang
pundak orang itu.
Mata yang
sudah terpejam itu terbuka lagi. “Ayahmu.... Bu-taihiap.... petualang besar....
Ibu.... Ibumu.... telah meninggal.... kau disia-siakan dan ditinggal.... sebab
dia sudah mempunyai isteri lain lagi.... Dia.... dia di....”
Kakek itu
terkulai lemas dan Ci Sian cepat meletakkan telapak tangannya pada dada orang
tua itu untuk menyalurkan tenaga sinkang dan membantu peredaran darahnya. Mata
itu dibuka lagi, nampaknya terkejut dan heran menyaksikan kelihaian dara itu.
“Di mana
dia, Paman? Di mana Ayah?”
“Di puncak
Merak Emas di Kongmaa La.... Kakekmu.... dia.... Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun
Ayahmu Ayahmu....” Kakek itu mengeluh, terkulai dan Ci Sian menarik kembali
tangannya.
Kakek itu
telah mengakhiri hidupnya, tanpa sempat memberitahukan nama ayahnya. Dia hanya
tahu bahwa ayahnya disebut Bu-taihiap, dan hal ini amat mendatangkan rasa nyeri
di dalam dadanya. Teringatlah dia akan sikap dan ucapan Cui-beng Sian-li Tang
Cun Ciu yang pernah berhubungan dengan seorang pendekar yang disebut
Bu-taihiap! Dan juga menurut penuturan mendiang Lauw Sek, ayahnya seorang
petualang besar, dan Ibunya sudah meninggal dunia pula. Bahkan dia telah
ditinggalkan oleh ayahnya itu, disia-siakan!
Ci Sian
mengepal tinjunya. Teringat dia akan pesan kakeknya bahwa dia harus bertemu
dengan ayahnya yang bertanggung jawab padanya. Sekarang, ternyata ayahnya
adalah seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab, seorang petualang besar,
agaknya gila perempuan karena buktinya, bersama isterinya, dan entah isteri
yang mana, entah ibu kandungnya atau bukan, pernah datang menemui Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu yang cantik dan ayah kandungnya itu berjinah dengan Tang
Cun Ciu. Betapa memalukan dan rendah! Ayahnya seperti itu! Apa pula perlunya
dia mencari ayahnya jauh-jauh?
Dia lalu
meninggalkan jenazah itu setelah menggerakkan bibir mengucapkan terima kasih
kepada mendiang Lauw-piauwsu, kemudian berlari keluar dari penjara. Di
mana-mana terjadi pertempuran dan malam telah terganti pagi, cuaca sudah tidak
gelap lagi. Matahari telah terbit disambut oleh aliran darah dan
teriakan-teriakan kematian, mayat berserak-serakan, dan di antara suara
beradunya senjata terdengar nyaring pekik-pekik kemenangan dan jerit-jerit
kesakitan.
Melihat
keadaan ini, tahulah Ci Sian bala tentara Ceng sudah berhasil menyerbu dan
memasuki kota Lhagat, dibantu oleh pasukan-pasukan Tibet. Maka diam-diam dia
merasa kagum bukan main kepada Cin Liong, karena dia tahu bahwa pemuda itulah
yang mengatur segala-galanya. Dia lalu teringat kepada Siok Lan dan
mengkhawatirkan keselamatan sahabat baiknya itu. Maka dia kemudian
mencari-cari, tidak mempedulikan pertempuran yang terjadi di sekelilingnya.
Akhirnya dia
dapat menemukan ibu dan anak itu yang sedang mengamuk, dikeroyok oleh kurang
lebih dua puluh orang tentara dan perwira yang rata-rata mempunyai kepandaian
silat tangguh. Puteri Nandini yang masih berpakaian perang itu kelihatan telah
lelah sekali, bahkan pundaknya telah luka berdarah, sedangkan Siok Lan sudah
terpincang-pincang karena kaki kirinya terluka. Namun dua orang wanita itu
dengan gagahnya, agaknya mengambil keputusan tidak akan sudi menyerah selama
masih mampu melawan dan akan melawan sampai titik darah terakhir.
Melihat ini,
hati Ci Sian menjadi tidak tega. Dia telah mengenal Siok Lan yang amat baik
kepadanya, dan tahu akan kegagahan dara itu, maka melihat sahabat itu
dikeroyok, mana mungkin dia mendiamkannya saja?
“Lan-cici,
jangan khawatir, aku membantumu!” bentaknya dan dia pun meloncat ke dalam
kalangan pertempuran.
Begitu dia
maju menubruk, dia telah berhasil menampar dari samping yang mengenai leher
seorang pengeroyok. Orang itu berteriak kaget dan jatuh terpelanting tak dapat
bangkit kembali, pedangnya telah pindah ke tangan Ci Sian!
“Sian-moi....!”
Siok Lan berteriak girang bukan main, bukan girang oleh karena dibantu semata,
melainkan girang dan lega melihat bahwa gadis yang oleh ibunya disangka
memberontak dan membantu musuh, berkhianat itu, ternyata tidak demikian dan
kini dibuktikannya dengan membantu dia dan Ibunya!
Juga Puteri
Nandini terkejut, akan tetapi diam-diam girang juga bahwa ternyata dara yang
menjadi sahabat puterinya itu bukanlah pengkhianat, melainkan seorang sahabat
sejati. Maka dia pun cepat memutar pedangnya dan merobohkan seorang pengeroyok
pula.
Akan tetapi
kini kepungan makin ketat dengan datangnya pasukan baru dan jumlah mereka tidak
kurang dari lima puluh orang! Tentu saja tiga orang wanita itu, betapa pun
lihai mereka, mulai terdesak dan kepungan semakin sempit sehingga
gerakan-gerakan mereka semakin tidak leluasa.
“Adik Sian,
cepat panggil ular-ularmu!” Siok Lan berseru, melihat keadaan mereka yang
terancam.
“Ahhh, mana
mungkin, Enci Lan? Kota penuh orang yang bertempur, ular-ular itu tidak berani
muncul!” jawab Ci Sian sambil memutar pedang rampasannya tadi.
Kini dia tak
lagi dapat menyerang lawan, melainkan hanya membela diri dan menangkis semua
sanjata para pengeroyok yang datang menyambar bagaikan hujan. Demikian pula
Siok Lan dan ibunya yang hanya mampu menangkis. Mereka bertiga kini saling
membelakangi, membentuk posisi segi tiga dan menahan serbuan senjata-senjata
para pengeroyok dari luar. Namun keadaan mereka sungguh sudah sangat terdesak
dan mudah dibayangkan bahwa tak lama lagi akhirnya mereka tentu akan roboh
juga.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi keselamatan tiga orang wanita itu, tiba-tiba terdengar
bentakan halus, namun nyaring dan penuh wibawa. “Tahan semua senjata! Hentikan
pengeroyokan!”
Luar biasa
sekali bentakan ini, sebab selain dapat menembus semua suara kegaduhan, juga semua
pengeroyok itu seketika berhenti, mundur dan berdiri dengan amat hormat,
memberi jalan kepada seorang pemuda yang mengeluarkan perintah yang amat
ditaati itu. Panglima Nandini dan Siok Lan memandang kepada orang itu dan mata
mereka terbelalak, karena mereka mengenal pemuda yang berpakaian jenderal amat
indah dan mentereng ini.
“Liong-ko....!”
Siok Lan berseru kaget sekali karena jenderal muda yang gagah itu bukan lain
adalah Liong Cin.
“Hemm…,
kiranya Liong Cin adalah jenderal sakti yang dikabarkan orang itu?” Puteri
Nandini juga berkata dengan kaget dan penasaran.
Akan tetapi
Cin Liong yang begitu masuk memandang kepada Ci Sian, berkata kepada dara itu
dengan alis berkerut, “Ci Sian, engkau membantu mereka?”
Ditanya
dengan suara penuh teguran itu, Ci Sian menegakkan kepalanya, sepasang matanya
bersinar marah dan dia menjawab gagah, “Tentu saja! Aku diterima dengan baik di
sini, Enci Siok Lan adalah sahabatku, melihat dia dan Ibunya terancam bahaya,
tentu saja aku membantu dan membela mereka. Aku bukan seorang yang tidak kenal
budi!”
Mendengar
jawaban ini, Cin Liong menahan senyumnya dan dia memandang kepada Siok Lan yang
masih terbelalak. Ketika dara ini melihat betapa sahabatnya itu agaknya sama
sekali tidak heran melihat keadaan Liong Cin yang muncul sebagai jenderal, dia
lalu berkata, “Dia.... dia.... jenderal musuh....?”
“Ya, Enci
Lan, jangan kaget. Dialah jenderal yang dikabarkan orang itu, jenderal muda
sakti yang datang menyelundup dan kalian malah telah menerimanya sebagai tamu
dan sahabat! Dan namanya bukanlah Liong Cin, melainkan Kao Cin Liong!” jawab Ci
Sian yang tahu bahwa keadaan panglima muda itu tidak perlu lagi disembunyikan
sekarang.
Mendengar
bahwa nama yang dikenalnya itu hanya nama palsu, atau nama asli yang dibalikkan
saja, Siok Lan memandang kepada panglima muda itu dengan heran, akan tetapi
ibunya, Puteri Nandini menjadi terkejut bukan main.
“She Kao?”
Panglima wanita itu berseru. “Apakah hubungannya dengan Jenderal Kao Liang?”
Cin Liong
mengangguk kepada puteri peranakan Nepal yang gagah itu. “Mendiang Jenderal Kao
Liang adalah Kakekku.”
“Hemm....”
Puteri Nandini mengangguk-angguk, tidak penasaran lagi bahwa dia telah
dikalahkan oleh jenderal muda ini karena nama Jenderal Kao Liang telah sangat
terkenal dan tentu saja cucunya ini pun mewarisi kepandaian yang hebat dari
jenderal besar itu. “Jadi kalau tidak salah, Ciangkun adalah putera pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir?”
Kembali Cin
Liong mengangguk tanpa menjawab oleh karena dia memang tidak ingin memamerkan
keadaan keluarganya.
“Setelah
kami kalah, apa yang hendak kau lakukan dengan kami?” kini Puteri Nandini
bertanya, dalam suaranya mengandung tantangan.
“Li-ciangkun,
dan.... Nona Siok Lan, tepat seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, kami
bukanlah orang-orang yang tidak mengenal budi. Oleh karena itu, sebagai
pembalasan budi, silakan kalian pergi dengan aman.”
“Apa? Engkau
berani membebaskan kami?” Puteri Nandini berteriak kaget dan juga heran. Dia
adalah seorang panglima musuh yang telah kalah, dan sekarang dibebaskan begitu
saja oleh panglima ini!
“Li-ciangkun
hanya seorang petugas, bukan biang keladi peperangan ini. Silakan!”
“Mari,
Anakku!” kata Nandini sambil menarik tangan Siok Lan. Dara ini masih menoleh
dan memandang kepada Cin Liong, mukanya pucat dan sepasang matanya basah.
“Selamat
jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat saling bertemu kembali dan maafkan semua
kesalahanku,” kata Cin Liong sambil menjura ke arah Siok Lan yang terisak dan
menutupi mukanya.
“Ci Sian,
engkau sahabat baik kami, apakah engkau tidak mau pergi bersama kami?” Puteri
Nandini mengajak Ci Sian akan tetapi dara ini menggeleng kepala dengan sikap
yang keras. Kembali ada rasa tidak enak di hatinya menyaksikan sikap Cin Liong
dan Siok Lan.
“Tidak,
Bibi, aku mau pergi sendiri, aku mempunyai urusan pribadi!” katanya dan tanpa
banyak cakap lagi, bahkan tanpa menoleh kepada Cin Liong, dia lalu meloncat dan
pergi dari tempat itu.
“Adik
Sian....!” Terdengar panggilan Siok Lan dengan suara mengandung isak.
Ci Sian
berhenti, menoleh dan berkata kepada sahabatnya itu, “Sampai jumpa, Enci Lan!”
Dan dia pun melanjutkan larinya tanpa mempedulikan lagi.
“Mari, Siok
Lan!” Puteri Nandini menarik tangan puterinya, akan tetapi Siok Lan masih
menoleh dan memandang kepada Cin Liong. Akhirnya, dengan menahan isak, dia pun
mengikuti ibunya lari pergi dari tempat itu, diikuti dan dikawal oleh pasukan
pengawal atas perintah Cin Liong agar ibu dan anak itu tidak diganggu dan
dibiarkan lolos dari kota Lhagat di mana masih terjadi pertempuran-pertempuran
dengan sisa pasukan Nepal yang masih melakukan perlawanan. Sebagian besar
pasukan Nepal sudah roboh atau melarikan diri.
Setelah
Panglima Nandini dan puterinya pergi lolos dari Lhagat, pertempuran pun tak
lama kemudian berhenti karena pasukan Nepal sudah kehilangan semangat dan
keberanian. Sebagian dari mereka melarikan diri atau membuang senjata dan
menaluk. Para taklukan ini oleh Cin Liong diserahkan kepada para pimpinan
pasukan Tibet untuk dijadikan tawanan, kemudian Cin Liong yang menduduki gedung
bekas tempat tinggal Puteri Nandini mengumpulkan para pembantunya. Di antara
mereka itu terdapat pula Wan Tek Hoat yang berjasa besar ketika membantu
pasukan membobolkan kepungan karena pendekar sinting ini yang mengamuk sehingga
membuat pasukan kocar-kacir.
“Paman, saya
telah menerima perintah untuk melanjutkan gerakan ini ke Nepal, untuk menghajar
pemerintah Nepal yang telah berani menyerang dan memasuki wilayah Tibet. Saya
sedang minta bantuan pasukan dari kerajaan untuk memperkuat barisan. Harap
Paman sudi membantu kami.”
Akan tetapi
Tek Hoat menggeleng kepala. “Aku tidak mau lewat Bhutan, aku tidak mau perang,
aku tidak bisa ikut.”
Cin Liong
hanya menarik napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada pamannya yang
gagah perkasa ini dan melihat keadaannya seperti jembel sinting ini dia merasa
kasihan sekali.
“Kalau
begitu sebaiknya Paman mengunjungi orang tua saya, Ibu tentu akan senang sekali
bertemu dengan Paman.”
Cin Liong
lalu memberi bekal, kuda, pakaian dan uang secukupnya. Akan tetapi Tek Hoat
tertawa bergelak melihat pemberian ini.
“Jenderal
muda, kau kira aku masih membutuhkan semua itu? Bukan itu yang sekarang kubutuhkan,
sama sekali bukan....” Dia masih tertawa ketika berlari pergi meninggalkan Cin
Liong yang menjadi bengong.
Jenderal
muda ini lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali. Dia
sudah banyak bertemu orang-orang pandai di dunia kang-ouw yang memang wataknya
aneh-aneh, dan pamannya itu mempunyai watak yang lebih aneh lagi…..
***************
“Siok Lan,
diamlah jangan menangis lagi!” Nandini membentak dengan marah.
Di sepanjang
perjalanan puterinya hanya menangis saja, menangis demikian sedihnya. Semenjak
kecil, puterinya itu adalah seorang anak yang tabah dan tidak cengeng, bahkan
belum pernah dia melihat Siok Lan menangis seperti sekarang ini, menangis
demikian sedihnya! Dikiranya bahwa anaknya itu menangis karena kekalahannya
yang dideritanya.
“Di dalam
perang, kalah menang adalah hal yang lumrah sekali, seperti juga dalam
pertempuran dunia persilatan. Harus kita akui bahwa pihak musuh mempunyai
seorang ahli yang amat lihai dan siasatnya itu sama sekali tidak pernah
kusangka-sangka dan kuperhitungkan. Kita sudah kalah, mengapa harus ditangisi?
Biasanya engkau bukanlah seorang anak cengeng!”
Siok Lan
tidak menjawab akan tetapi tangisnya semakin sedih.
“Semula
memang aku sudah menduga bahwa tidak mungkin bala tentara Nepal akan mampu
mengalahkan bala tentara Kerajaan Ceng-tiauw yang amat kuat. Semua adalah
kesalahan koksu jahat itu yang membikin Nepal bermusuhan dengan Kerajaan Ceng.
Dan kekalahanku ini membuat aku tidak ada muka untuk kembali ke Nepal....! Ahh,
kita hanya hidup berdua, Anakku, kita tidak mempunyai apa-apa di Nepal, maka
jangan kau terlalu menyusahkan kekalahan ini.”
“Bukan....
bukan itu, Ibu,” kata Siok Lan yang berhenti berjalan dan dara ini duduk di
tepi jalan, di antara sebuah batu besar dan kembali air matanya jatuh berderai.
Nandini
terkejut dan memandang penuh selidik. “Kalau bukan karena kekalahan itu, habis
mengapa kau menangis dan begini berduka?”
“Ibu.... dia
ternyata jenderal musuh.... hu-hu-huuuuhhh....“ dan kini Siok Lan menangis
sesenggukan dan menubruk kaki ibunya, berlutut sambil menangis.
Nandini
terkejut dan sejenak dia termenung, menunduk, kemudian memandang kepala anaknya
yang menangis di depan kakinya. Lalu dia mengangkat bangun anaknya itu setengah
paksa, merangkul dan membawanya duduk kembali di atas batu, membiarkan anaknya
itu menangis di atas dadanya. Puteri itu memejamkan matanya dan tiba-tiba
terbayanglah semua pengalamannya di waktu dahulu, di waktu dia masih muda,
masih sebaya dengan puterinya ini.
Nandini
adalah puteri seorang pendeta bangsa Nepal yang hidup di atas puncak sebuah
bukit yang sunyi. Ayahnya adalah seorang pertapa yang sakti dan oleh ayahnya,
dia digembleng dengan ilmu-ilmu ketangkasan dan ilmu silat. Pada suatu hari,
pada saat Nandini sedang memburu binatang di dalam salah sebuah hutan, dia
melihat perampok-perampok sedang merampok seorang Pangeran Nepal.
Nandini
menggunakan kepandaiannya menolong pangeran itu, dan Sang Pangeran amat
berterima kasih dan sekaligus jatuh cinta kepadanya, lalu melamar Nandini dari
tangan ayahnya. Sang pendeta tentu saja merasa terhormat dan menerima lamaran
itu dengan girang. Akan tetapi Nandini sendiri merasa berduka karena dia tidak
suka kepada pangeran itu.
Biar pun
kedudukannya tinggi, sebagai seorang pangeran yang tentu saja terhormat, mulia
dan kaya raya, namun pangeran itu sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun,
berwajah kasar buruk dan kabarnya telah memiliki belasan orang selir. Biar pun
dia akan diambil sebagai isteri, bukan selir, namun hatinya tidak senang. Akan
tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja dia tidak berani menolak kehendak
ayahnya dan demikianlah, dia menjadi tunangan pangeran tua itu!
Dan pada
suatu hari, beberapa bulan sebelum dia menikah, bertemulah dia dengan pendekar
itu di dalam hutan! Seorang pendekar bangsa Han yang masih muda, tampan, sakti
sekali, dan di samping itu, pandai merayu hatinya sehingga jatuhlah hati
Nandini! Apalagi jika dia membandingkan pendekar muda ini dengan calon
suaminya, membuat Nandini kehilangan kesadarannya dan dia menyerahkan dirinya
kepada pendekar itu yang memang merayunya. Terjadilah hubungan di antara mereka
di dalam hutan itu, hubungan mesra yang kini terbayang oleh sepasang mata yang
dipejamkan itu.
Akan tetapi
hubungan antara mereka itu akhirnya ketahuan! Ayahnya menjadi marah dan
menyerang pendekar itu, tetapi ayahnya sama sekali bukan tandingan pendekar itu
dan ayahnya malah tewas dalam penyerangan itu, bukan tewas oleh karena tangan
Si Pendekar, tetapi tewas karena serangan jantung karena kemarahannya yang
meluap-luap.
Kemudian
terjadilah hal yang sangat menyakitkan hatinya. Pendekar itu kemudian pergi
meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja, padahal dia sudah mengandung!
Hasil dari pada pencurahan kasih dan nafsu birahi antara mereka selama hampir
satu bulan di dalam hutan!
Namun,
pangeran tua itu ternyata amat mencintainya dan bahkan mau memaafkan semua
hubungannya dengan Si Pendekar. Pangeran itu tetap saja mengawininya, dan tidak
mau menjamahnya sampai dia melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Siok Lan!
Melihat kebaikan pangeran itu, sungguh pun sebagian dari penyebabnya adalah
karena pangeran itu ingin menutupi aib yang akan mencemarkan namanya sendiri,
akhirnya Nandini menerima nasib dan mau melayani pangeran itu sebagai suaminya.
Kemudian, berkat ilmu kepandaiannya, suaminya memberi jalan kepada Nandini
sehingga dia dapat bertugas di dalam ketentaraan dengan pangkat lumayan. Dan
ketika pangeran itu meninggal dunia karena suatu penyakit, Nandini terus
menanjak dalam kedudukannya sampai akhirnya dia mendapat kedudukan tinggi
sebagai seorang panglima perang!
Dan akhirnya
kedudukannya itu berakhir dengan kekalahan yang amat memalukan! Dia tidak
berani kembali lagi ke Nepal. Kemudian, mendengar tangis puterinya, teringatlah
dia akan semua pengalamannya itu, terbayanglah wajah tampan pendekar itu!
“Siok Lan,
apa yang sudah terjadi antara engkau dan Jenderal muda itu?” Akhirnya dia
bertanya, setengah mengkhawatirkan bahwa peristiwa yang dialaminya dahulu itu
kini terulang lagi pada puterinya!
Siok Lan
memandang ibunya dan melihat sinar mata ibunya tajam penuh selidik, dia pun
membalas dengan pandang mata bersih dan tenang. “Tidak ada terjadi apa-apa
kalau itu yang kau maksudkan, Ibu. Akan tetapi kami.... kami telah saling jatuh
cinta.... akan tetapi.... tentu saja kusangka bahwa dia seorang pemburu muda
biasa, bukan seorang jenderal besar.... hu-huuuhh, apalagi jenderal musuh....”
Nandini
mengelus rambut kepala puterinya. “Aku girang bahwa tidak terjadi apa-apa
antara engkau dan dia.... dia memang seorang pemuda yang patut mendapat
cintamu, Anakku, akan tetapi.... dia jenderal musuh! Mana mungkin dia mau
menikah atau berjodoh dengan seorang seperti engkau....”
“Tapi, kami
sudah saling mencinta, Ibu!”
Hemm.... dia
seorang ahli siasat perang! Siapa tahu bahwa cintanya kepadamu itu pun hanya
merupakan siasatnya belaka....“
“Ibu....!
Jangan begitu kejam.... ahhh, tidak mungkin itu! Ibu, aku mau susul dia, akan
kutanyakan hal itu. Kalau.... kalau benar cintanya itu hanya siasat, aku....
aku akan....”
“Kau mau
apa?”
“Aku akan
membunuhnya!”
Nandini
tersenyum sedih. Dia pun dahulu ingin membunuh pendekar tampan itu, akan tetapi
dia tahu bahwa biar pun dia belajar sampai sepuluh tahun lagi, tidak mungkin
dia dapat menandingi pendekar itu. Dan puterinya ini, biar belajar puluhan
tahun lagi mana mungkin dapat menandingi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu
mendiang Jenderal Kao Liang?
“Kau takkan
menang Anakku.”
“Tidak
peduli! Kalau dia menipuku, hanya bersiasat dalam cintanya, biar dia atau aku
yang mati!”
“Hemm, itu
tidak bijaksana, Siok Lan. Ingat, engkau adalah puteri panglima musuh, selain
perbuatanmu menyusul jenderal musuh itu amat memalukan, juga begitu muncul
engkau tentu akan dianggap musuh dan dikeroyok para anak buah pasukan....“
“Aku tidak
takut!” kata Siok Lan yang nampak amat penasaran mengingat betapa cinta pemuda
itu mungkin hanya siasat perang saja! “Lebih baik aku mati dikeroyok dari pada
tidak ada harapan berjodoh dengan dia!”
Siok Lan
sudah nekat. Memang benar bahwa pemuda itu dan dia masing-masing belum pernah
menyatakan cinta dengan kata-kata melalui mulut, akan tetapi dia merasa benar
ketika mereka saling pandang, saling senyum dan saling bergandeng tangan. Dia
dapat merasakan cinta kasih itu melalui sinar mata, melalui seri senyum,
melalui getaran dalam sentuhan jari-jari tangan antara mereka.
“Siok Lan,
jangan terburu nafsu. Aku sebagai ibumu dapat memaklumi perasaanmu dan aku
setuju sepenuhnya andai kata engkau dapat berjodoh dengan Jenderal muda itu.
Dia itu adalah cucu Jenderal Kao Liang, ini saja sudah merupakan suatu jaminan.
Apalagi diingat bahwa dia putera Naga Sakti Gurun Pasir, itu lebih lagi. Pula,
kita sudah melihat betapa lihainya dia mengatur siasat perang, dan aku yakin
bahwa ilmu silatnya pun amat tinggi. Maka, mana mungkin engkau, hanya anak
seorang Panglima Nepal yang telah kalah....“
“Ibu,
bukankah Ibu pernah mengatakan bahwa aku juga seorang anak kandung dari
pendekar yang sakti?”
“Ayahmu....?”
Wajah wanita yang masih cantik itu berubah merah, kemudian menjadi pucat
kembali.
Dia
memejamkan matanya dan terbayanglah dia ketika dia belum berangkat memimpin
pasukan, pernah ada seorang pengembara datang membawa surat dari pendekar bekas
kekasihnya itu, ayah kandung Siok Lan. Surat itu seperti juga watak orangnya,
penuh rayuan dan ternyata pendekar itu sudah mendengar bahwa dia telah menjadi
seorang janda dan pendekar itu merayunya dalam surat, menyatakan rindunya,
menyatakan bahwa pendekar itu kini hidup seorang diri, kesepian dan menanggung
rindu, dan membujuknya agar suka datang ke tempatnya, menikmati hidup bersama!
Surat itu telah dirobek-robeknya dan dia berangkat memimpin pasukan menyerbu ke
Tibet. Akan tetapi kini, ketika puterinya merengek, teringatlah dia akan isi
surat.
“Hemmm,
memang hanya ada satu jalan. Dan Ayah kandungmu itu, yang selama hidupnya belum
pernah menderita jerih payah merawat dan mendidikmu, sekarang dia harus
bertanggung jawab! Ya, dia harus membuktikan bahwa dia seorang ayah yang patut
dan yang sudah sepantasnya kalau menjodohkan puterinya! Mari kita pergi
kepadanya, Siok Lan, dan kita serahkan urusan jodoh ini kepadanya!”
Siok Lan
merasa girang sekali dan kedukaannya segera terhapus dari wajahnya dan pada
wajah yang cantik itu terbayang penuh harapan ketika dia pun berlari mengikuti
ibunya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment