Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 03
A-hui
kemudian menjura ke arah Kam Hong. "Kepandaian Taihiap sungguh hebat, kami
mengaku kalah. Kami adalah utusan-utusan dari Sam-thai-houw, kami dikenal
sebagai Su-bi Mo-li (Empat Iblis Cantik). Agar kami dapat menyampaikan
pelaporan kami kepada Sam-thai-houw (Ibu Suri ke Tiga), maka harap Taihiap sudi
memberitahukan nama dan..."
"Kalian
sudah melihat suling emas, nah, cukup dan pergilah!" kata Kam Hong dan
sekali menggerakkan kedua tangannya, suling emas dan kipas sudah lenyap di
balik bajunya.
“Suling
Emas?” Kembali A-hui tergagap dan kemudian dia memberi isyarat, mengajak
teman-temannya pergi dari situ setelah menjura ke arah Kam Hong.
“Enaknya
pergi begitu saja!” Siauw Goat berteriak dan dia sudah mengepal salju dan
dilontarkannya bola salju itu ke arah A-hui.
A-hui
menoleh, kebetulan dia bertemu pandang mata dengan Kam Hong dan dia tidak
berani mengelak.
“Plokkk!”
Bola salju
mengenai mukanya sehingga berlepotan salju. Dia hanya mengusap salju itu dan
membalikkan tubuh, pergi bersama teman-temannya dengan muka menunduk.
“Paman,
kenapa engkau tidak membunuh mereka?” Siauw Goat menegur Kam Hong.
Tetapi Kam
Hong tidak menjawab, melainkan balas bertanya, “Apa maksudmu dengan
menyebut-nyebut Pendekar Siluman Kecil tadi?”
“Aku tidak
mengenalnya! Dia itulah yang menyombong, mengatakan bahwa di dunia ini Pendekar
Siluman Kecil merupakan jagoan nomor satu! Panas perutku mendengarnya maka aku
menantang Pendekar Siluman Kecil untuk diadu denganmu!”
Kam Hong
memandang kepada Sim Hong Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan bertubuh
kekar kuat itu. Melihat sinar mata yang demikian tajam penuh kejujuran dan
keterbukaan, diam-diam Kam Hong merasa kagum dan suka. “Saudara cilik, apakah
engkau mengenal Pendekar Siluman Kecil?”
Sim Hong Bu
mengangguk bangga. “Dia adalah bintang penolong kami semua di daerah perbatasan
Ho-nam.”
Sim Tek yang
maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar besar, lalu melangkah maju
dan memberi hormat. “Harap Taihiap sudi memaafkan kami. Saya adalah Sim Tek dan
ini keponakan saya Sim Hong Bu. Kalau dia memuji-muji Pendekar Siluman Kecil,
bukan maksudnya untuk merendahkan Taihiap. Kalau tidak ada Taihiap datang
menolong, tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di tangan mereka, oleh
karena itu, terimalah hormat dan terima kasih kami, Taihiap.”
Kam Hong
menggerakkan tangan seperti menangkis sesuatu, seakan-akan pernyataan terima
kasih orang membuat dia merasa terpukul dan tidak enak sekali, “Sudahlah! Siauw
Goat, mari kita memeriksa para piauwsu itu.”
Mendengar
ini Siauw Goat teringat akan nasib para piauwsu, maka dia lalu mengangguk dan
dengan cepat Kam Hong menyambar dan memondongnya karena Siauw Goat telah merasa
lelah sekali dan sukar untuk menggerakkan tubuh saking lelah dan dingin dan
juga laparnya. Dengan beberapa lompatan saja lenyaplah Kam Hong dari depan
kedua orang pemburu itu yang memandang dengan melongo penuh kagum.
“Paman, dia
itu lihai sekali. Entah siapa lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman
Kecil,” kata pula Sim Hong Bu penuh kagum.
Pamannya
menghela napas panjang. “Hong Bu, lain kali harap jangan engkau lancang
menyebutkan nama Pendekar Siluman Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan itu
agaknya mengenal baik Pendekar Siluman Kecil. Kalau kita bertemu dengan seorang
di antara musuh-musuhnya, tentu kita akan mendapatkan kesusahan.”
Akan tetapi
Hong Bu yang selalu merasa kagum kepada orang-orang yang berilmu tinggi seperti
tidak mendengar teguran pamannya, dan dia berkata dengan pandang mata melamun,
“Sayang kita tidak mengetahui nama dan julukannya.”
“Melihat
senjata suling yang luar biasa itu, sepatutnya dia dikenal dengan julukan
Suling Emas. Buktinya wanita-wanita lihai itu pun terkejut melihat suling emas
dari tangannya, sungguh pun kipasnya itu juga luar biasa sekali. Sudahlah, mari
kita pergi dari tempat berbahaya ini. Kita pergi ke sini untuk menyelidiki
tentang Yeti, bukan untuk mencari permusuhan dengan siapa pun.”
Keduanya
lalu pergi, melangkah lebar-lebar dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah
yang tertutup salju tebal. Sementara itu, Siauw Goat berdiri memandang dengan
wajah pucat kepada mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para
piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong tidak dapat menemukan mayat Lauw Sek
sehingga mereka merasa heran sekali.
“Ke mana
perginya Lauw-pek?” Siauw Goat bertanya dengan suara khawatir.
“Aneh
sekali.... tidak mungkin dia dapat terhindar dari tangan maut iblis-iblis
betina itu. Akan tetapi, jelas dia tidak terdapat di antara mayat-mayat ini.
Biar kukubur mereka ini....“
Kam Hong
lalu menggali lubang dan mengubur semua mayat itu dalam beberapa buah lubang
yang dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari pun sudah menjelang senja
dan dia mengajak Siauw Goat pergi dari situ.
“Ke mana
kita hendak pergi, Paman Kam?”
“Hemmm, aku
sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tertentu dan engkau.... ke manakah
rombongan piauwsu itu hendak membawamu?”
“Menurut
kata Lauw-pek, aku akan diantarkannya ke puncak Ginung Kongmaa La....”
“Hemm, ada
keperluan apa pergi ke gunung itu?”
Gadis cilik
itu memandang tajam, kemudian menarik napas panjang. “Lauw-pek tadinya memesan
kepadaku agar tidak membicarakan hal ini kepada siapa pun juga, akan tetapi aku
percaya kepadamu, Paman. Aku hendak diajaknya ke sana untuk mencari orang
tuaku, sesuai dengan pesanan mendiang Kongkong kepada Lauw-piauwsu.”
Diam-diam Kam
Hong amat terkejut. Sungguh mengherankan mendengar bahwa orang tua gadis cilik
ini berada di tempat seperti itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan
berbahaya! Dan sikap mendiang Kakek Kun sungguh penuh rahasia.
“Siapakah
nama orang tuamu, Siauw Goat?”
Kembali
sepasang mata yang bening itu menatap tajam, seperti orang yang meragu, tetapi
akhirnya dia menjawab juga. "Engkau sudah menceritakan nama dan rahasiamu
kepadaku, Paman, biarlah aku menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi yang
kuketahui hanya sedikit. Agaknya Lauw-piauwsu lebih tahu dari pada aku karena
dialah yang menerima pesanan terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak aku dapat
ingat, aku sudah hidup bersama Kongkong, aku tidak ingat lagi bagaimana rupanya
Ayah Bundaku. Kongkong dan aku hidup di sebuah dusun kecil di Pegunungan
Kao-li-kung-san sebagai petani. Kongkong melatih ilmu baca tulis dan silat
kepadaku. Pada suatu hari, datang dua orang kakek aneh yang kemudian berkelahi
dengan kongkong. Kongkong lalu berhasil mengusir mereka, akan tetapi ternyata
Kongkong menderita luka dalam yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kongkong pada
hari itu juga mengajakku pergi, katanya hendak mencari orang tuaku di Gunung
Kongmaa La di daerah Himalaya Aku tahu bahwa dia masih menderita luka hebat dan
akhirnya..." Gadis cilik itu berhenti, menunduk dan mengerutkan alisnya.
Dua butir air mata berlinang turun, akan tetapi dia tidak terisak atau menangis
sama sekali.
Kam Hong
juga mengerti, maka dia tidak mau bertanya lagi tentang kakek itu. “Jangan
khawatir, Siauw Goat. Karena engkau sekarang sebatang kara, juga aku melakukan
perjalanan sendirian saja, biarlah aku yang menggantikan Lauw-piauwsu
mengantarmu sampai di Kongmaa La mencari orang tuamu. Akan tetapi siapakah nama
orang tuamu?”
Gadis cilik
itu menggeleng kepala. “Kongkong tidak memberitahukan kepadaku. Kalau aku
mendesaknya, dia hanya bilang bahwa kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku
akan mengerti dan mendengar semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku seorang she
Bu....” Gadis cilik itu memejamkan mata dan nampak berduka karena betapa pun
juga hatinya merasa perih bahwa dia tak mengenal orang tuanya, baik nama
lengkapnya mau pun wajahnya.
“Hemm, kalau
begitu engkau she Bu?”
“Ya, namaku
sebenarnya adalah Bu Ci Sian! Aku disebut Goat oleh Kongkong hanya untuk
menggunakan nama sebutan palsu saja. Kata Kongkong wajahku mengingatkan dia
akan bulan purnama, maka aku disebutnya Goat (Bulan)....“
“Ah,
Kongkong-mu sungguh seorang yang amat aneh, dan engkau.... memang wajahmu
seperti bulan purnama.... akan tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek Kun,
siapakah namanya yang lengkap?”
“Namanya....
biarlah kulanggar pantangannya karena dia sudah meninggal adalah Bu Thai
Kun....”
“Ahhh! Kau
maksudkan Kiu-bwe Sin-eng (Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai Kun?” Kam Hong
bertanya dengan kaget karena dia pernah mendengar nama besar ini yang pernah
menggemparkan dunia selatan.
“Hemm, kau
mengenal Kakekku!” Siauw Goat atau lebih tepat mulai sekarang kita sebut nama
aslinya saja, Ci Sian, berseru girang dan bangga.
“Hanya
mengenal nama julukannya saja, pantas dia lihai.”
“Ayahku
lebih lihai! Begitu kata mendiang Kongkong. Biar pun dia tidak memberitahukan
kepadaku, akan tetapi melihat betapa Kongkong terluka oleh dua orang kakek aneh
itu lalu mengajakku mencari Ayah Ibu, tentu agaknya Kongkong hendak minta orang
tuaku turun tangan menghajar dua orang kakek aneh itu.”
Kam Hong
teringat bahwa kakek itu pernah mengatakan kepadanya bahwa dia hendak pergi
mencari musuhnya! Dia tidak dapat menduga siapa gerangan ayah dari anak ini,
dan karena Ci Sian sendiri pun tidak tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian
mengenal nama dua orang kakek aneh yang melukai kongkong-nya.
“Namanya?
Aku tidak diberitahu oleh Kongkong, akan tetapi ketika Kongkong bertengkar
dengan mereka, kudengar Kongkong menyebut mereka itu Sam-ok dan Ngo-ok.”
Bukan main
kagetnya hati Kam Hong mendengar ini. Tentu saja dia tahu persis siapa itu
Sam-ok dan Ngo-ok, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari
Akhirat), lima orang yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat yang ilmu
kepandaiannya amat tinggi!
Kini dia
dapat menduga bahwa tentu dua orang kakek jahat itu sengaja melukai kakek gadis
cilik ini dan setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe Sin-eng telah menderita
luka parah, mereka sengaja meninggalkannya agar kelak kakek itu pergi memanggil
putera dan mantunya yang agaknya bersembunyi di Pegunungan Himalaya itu! Ahhh,
dia mulai dapat mengerti.
Karena dia
sendiri sudah melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng dan agaknya kalau
dibandingkan dengan Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus dikeroyok dua,
betapa pun lihainya, Bu Thai Kun masih belum dapat menandingi mereka! Kalau dua
orang datuk sesat itu menghendaki, tentu mereka dapat membunuhnya, tidak perlu
pergi seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu terusir oleh kakeknya
biar pun kakeknya menderita luka parah. Memang sudah pasti ada rahasia
terselubung di balik semua ini yang tidak diketahui oleh Ci Sian. Namun
mendengar bahwa keluarga anak ini dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngo-ok saja sudah
cukup bagi Kam Hong untuk berpihak kepadanya dan melindunginya.
“Baiklah,
Siauw.... ehh, Ci Sian. Setelah kita saling mengenal keadaan masing-masing,
marilah engkau kuantar mencari orang tuamu, aku juga ingin mencari jejak
isteriku, kalau-kalau dapat kutemukan di daerah ini. Sekarang malam hampir
tiba, kita sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau nampak lelah dan lapar.”
Ci Sian
menurut saja. Mereka lalu menemukan sebuah goa di mana mereka melewatkan malam
dan Ci Sian bersama Kam Hong makan roti kering yang mereka kumpulkan dari bekal
para piauwsu yang banyak terdapat di tempat perkelahian itu dan yang mereka
bawa sekadarnya untuk bekal.
Sudah tiga
hari tiga malam Kam Hong dan Ci Sian melakukan perjalanan yang amat sukar,
menempuh bukit-bukit salju dan jurang-jurang yang amat curam. Malam itu pun
mereka telah tiba di dekat Kongmaa La, di Lembah Arun yang luas.
Mereka
melewatkan malam di dataran tinggi dan malam demikian indahnya sehingga Kam
Hong terpesona, meninggalkan goa di mana dia telah membuat api unggun, keluar
dan duduk di dataran tinggi sambil meniup sulingnya. Suara suling emas itu
menembus kesunyian malam, melengking naik turun akan tetapi sama sekali tidak
mengganggu keheningan. Bahkan sebaliknya, suara suling beralun naik turun itu
bahkan membuat keheningan menjadi semakin syahdu, semakin terasa keheningan
itu, semakin indah dan penuh rahasia.
Setelah
berhenti menyuling, Kam Hong menoleh. Dia sudah mendengar langkah kaki ringan
dari Ci Sian. Gadis cilik ini sudah semakin akrab dengannya. Selama dalam
perjalanan, Kam Hong merasakan benar kehadiran gadis cilik itu dan mengertilah
dia mengapa Kakek Bu Thai Kun menyebutnya Bulan! Memang dara cilik seperti
bulan purnama yang selain cantik jelita juga mendatangkan kegembiraan dalam
hati siapa pun karena dia lincah, gembira dan berseri-seri.
“Paman Kam,
suara sulingmu indah sekali....” Ci Sian berkata sambil duduk di dekat Kam
Hong, di atas rumput.
“Ah, hanya
untuk iseng saja, Ci Sian.” kata Kam Hong sederhana, akan tetapi dia sendiri
merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut gadis cilik ini dapat
membuat hatinya terasa begitu enak dan nyaman!
“Mainkan
lagi, Paman....“ Ci Sian meminta dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan
bersandar ke bahu Kam Hong.
Memang sudah
biasa dia bersikap kadang-kadang manja seperti itu, dan tidak jarang pula Kam
Hong menggandengnya kalau melewati tempat sukar, bahkan memondongnya kalau
harus berloncatan lewat jurang-jurang yang curam. Oleh karena itu, gadis cilik
ini seperti menganggap Kam Hong sebagai pamannya sendiri, dan dia tidak
ragu-ragu untuk merangkul atau memegang lengan pemuda itu.
“Baik,
kumainkan lagu yang paling kusukai, dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong dan
pemuda itu lalu meniup lagi sulingnya.
Ci Sian lalu
merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kam Hong yang duduk bersila. Suasana
kembali menjadi penuh pesona yang mukjijat dalam keheningan yang terisi suara
suling yang merdu itu. Setelah Kam Hong akhirnya menghentikan tiupan sulingnya,
seolah-olah suara suling itu masih bergema dan mengalun di udara.
“Paman,
engkau pantas benar berjuluk Suling Emas, tidak hanya sulingmu merupakan
senjata ampuh, akan tetapi juga dapat mengeluarkan bunyi yang demikian
indahnya.”
Kam Hong
tidak menjawab, jantungnya berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya seperti
kemasukan kilat yang membuatnya gemetar. Terjadi perang hebat di dalam
batinnya, terdapat dorongan aneh yang membuat dia ingin merangkul gadis cilik
itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan tetapi kesadarannya melawan dan
menolak.
“Paman....
kau.... kau kenapa....?” Ci Sian bangkit duduk dan memandang wajah yang matanya
dipejamkan itu. Di bawah sinar bulan remang-remang wajah itu nampak putih
pucat.
Kam Hong
cepat sadar kembali, lalu memegang tangan Ci Sian dan menariknya bangkit
berdiri. “Tidak apa-apa, hayo kita mengaso, kembali ke goa.”
Malam itu
Kam Hong gelisah dan tidak dapat memejamkan matanya. Alisnya berkerut dan
berkali-kali bibirnya bergerak memanggil nama yang selalu menjadi kenangannya,
“Hwi-moi.... Hwi-moi....”
Pada
keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai mendaki
lereng Kongmaa La. Salju turun dengan cukup deras, membuat tanah penuh dengan
salju tebal sehingga langkah-langkah kaki mereka amat berat dan meninggalkan
tapak yang dalam. Tiba-tiba Kam Hong memegang tangan Ci Sian dan berhenti.
Gadis cilik itu memandang dan bergidik. Di depan mereka terdapat mayat seorang laki-laki
dalam keadaan mengerikan. Kaki tangannya terpisah, dan tubuh itu seperti
dicabik-cabik. Darah berceceran di atas salju yang putih.
“Bukankah
itu korban Yeti lagi, Paman....?” Ci Sian bertanya dengan suara lirih dan agak
gemetar.
Tiba-tiba,
seperti menjawab pertanyaan itu, dari atas sana, dari puncak yang bersalju itu
terdengar lengkingan yang dahsyat sekali. Lengkingan itu seperti menggetarkan
seluruh lembah. Kam Hong menarik tangan Ci Sian untuk melanjutkan perjalanan.
Gadis cilik itu merasa semakin dingin karena kengerian. Dua tangannya yang
sudah memakai sarung tangan tebal itu menutupkan kain bulu tebal untuk
melindungi mukanya. Jalan semakin sukar dan tiba-tiba Kam Hong memondongnya.
Pendekar ini lalu berloncatan ke depan, mendaki gunung itu dengan cepat sekali.
Setelah
melewati sebuah puncak kecil dan jalan agak menurun, kembali mereka berhenti
dan kini Ci Sian memeluk pinggang Kam Hong, menggigil ketakutan. Apa yang
mereka lihat memang amat mengerikan. Dataran puncak yang putih bersih itu
dibasahi oleh genangan darah merah yang berceceran dari belasan mayat-mayat
yang sudah tidak karuan lagi macamnya. Bukan hanya bagian tubuh yang
putus-putus dan robek-robek, juga usus-usus berhamburan keluar, seperti habis
dikoyak-koyak!
Kam Hong
melihat di antara hujan salju itu sesosok bayangan berkelebatan di sebelah
depan. Dia lalu menggandeng tangan Ci Sian dan melangkah maju terus dengan hati
hati. Angin semakin kencang dan salju beterbangan dan berhamburan memukul muka
mereka, membuat mereka agak sukar bernapas.
Tiba-tiba
terdengar jeritan yang menyayat hati disertai geraman-geraman yang menggetarkan
tanah yang mereka injak. Di sebelah depan nampak belasan orang berlari-lari
turun dari puncak di depan. Belasan orang itu tentu orang-orang pandai, hal ini
dapat dilihat dari gerakan mereka yang lincah dan ringan, akan tetapi ketika
berpapasan dengan Kam Hong, jelas kelihatan mereka itu sedang dilanda ketakutan
yang amat hebat. Mereka itu lari tunggang langgang dan agaknya kepanikan membuat
mereka sama sekali tidak peduli atau mungkin juga tidak melihat kepada Kam Hong
dan Ci Sian. Ada di antara mereka yang luka-luka dan pakaian mereka itu merah
oleh darah mereka.
Kam Hong
bersikap waspada. Dengan hati-hati dia menggandeng tangan Ci Sian, terus
melangkah maju di antara pohon-pohon yang sudah tidak berdaun lagi, yang sudah
menjadi pohon putih karena tertutup salju. Tiba-tiba terdengar lengkingan
dahsyat seperti tadi dan ada angin menyambar, salju berhamburan dan tahu-tahu
di depan mereka telah berdiri seekor makhluk yang amat menakutkan, Ci Sian
menjerit dan gadis cilik yang biasanya tidak pernah mengenal takut itu sekali
ini terhuyung ke belakang dan akhirnya dia menumbuk sebatang pohon, setengah
lumpuh dia memeluk pohon itu sambil menengok dan memandang kepada makhluk itu
dengan muka pucat ketakutan.
Namun Kam
Hong menghadapi makhluk itu dengan sikap tenang dan penuh perhatian. Dia
melihat bahwa makhluk itu tinggi besar, tingginya tentu dua meter lebih, kedua
lengan tangannya yang tertutup bulu itu besar-besar dan nampak amat kuatnya.
Bulu bulu yang menutupi tubuh itu pendek kasar, berwarna merah coklat
kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Rambut di kedua pundak
paling tebal dan panjang.
Mukanya
tidak berambut seperti muka monyet atau muka beruang atau juga mirip muka
manusia, hidungnya pesek, mulutnya lebar dengan gigi besar-besar. Kepalanya
seperti kerucut agak meruncing ke atas. Kedua lengan yang amat kuat dan besar
itu panjang sampai ke lutut. Dan makhluk ini tidak berekor. Anehnya, pada paha
kanannya nampak sebatang pedang yang menancap dan menembus, pedang yang
berkilauan.
Makhluk itu
juga memandang Kam Hong dengan sepasang matanya yang mencorong. Mulutnya
bergerak sedikit dan dari kerongkongannya keluarlah suara geraman yang dahsyat.
Kedua tangannya bergerak-gerak, jari-jari tangan yang besar dengan kuku panjang
kuat dan agak melengkung seperti kuku harimau itu juga bergerak-gerak seperti
hendak mencengkeram.
Kam Hong
mengukur dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa makhluk ini tentu memiliki
kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Buktinya banyak sudah orang yang
dibunuhnya dengan ganas, dicabik-cabik, dan bahkan orang-orang yang melarikan
diri tadi dia lihat rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi, namun mereka
itu lari ketakutan, tanda bahwa mereka tidak kuat menanggulangi amukan makhluk
ini.
Makhluk ini
ganas sekali, lebih baik mendahuluinya dari pada harus mempertahankan diri
diserang oleh makhluk buas ini. Dia tahu bahwa serangan-serangan seorang ahli
silat adalah teratur dan karenanya dapat dihadapinya dengan baik karena dia
memiliki dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi serangan makhluk buas seperti ini
tentu ganas dan tidak teratur, mengandalkan kekuatan yang luar biasa dan naluri
yang amat peka. Aku harus mendahuluinya, pikirnya dan tiba-tiba Kam Hong
meloncat ke depan dengan cepatnya. Baju bulunya yang lebar itu berkibar dan dia
sudah mengirim pukulan ke arah dada makhluk itu dengan pengerahan tenaganya.
“Dukkk!”
Pukulan itu
sedemikian kuatnya sehingga tubuh makhluk itu tergetar dan terdorong ke
belakang, akan tetapi anehnya, makhluk itu tidak roboh terjengkang, sebaliknya
Kam Hong merasa betapa pukulannya itu seperti bertemu dengan gunung baja yang
amat kuat!
Tiba-tiba
makhluk itu mengeluarkan gerengan dahsyat dan secepat kilat tangan kirinya
menyambar ke arah muka Kam Hong! Pemuda ini sejenak tadi tertegun, akan tetapi
tidak kehilangan kecepatannya untuk menarik tubuh ke belakang sehingga tamparan
kuku kuku tajam itu hanya mengenai angin belaka. Diam-diam Kam Hong merasa
terheran heran.
Kalau
makhluk ini merupakan seekor binatang buas, tentu hanya memiliki tenaga otot
kasar saja. Akan tetapi bagaimana mungkin dapat menahan pukulannya yang
dilakukan dengan pengerahan sinkang amat kuat yang akan membobolkan semua
pertahanan tenaga kasar? Hanya lawan yang memiliki tenaga sinkang kuat saja
yang akan mampu bertahan. Apakah makhluk ini memiliki tenaga sakti pula?
Akan tetapi
lawannya tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk memikirkan hal aneh
itu karena kini dengan gerengan-gerengan buas, agaknya marah, makhluk itu sudah
menerjang lagi. Dan kembali Kam Hong yang berloncatan ke sana-sini untuk
menghindarkan kuku-kuku tajam itu terkejut dan heran. Makhluk itu mampu
bergerak dengan luar biasa ringannya!
Ini hanya
gerakan dari ilmu ginkang yang sudah masak, pikirnya. Mungkinkah makhluk yang
seperti binatang ini selain memiliki sinkang yang kuat juga memiliki ilmu
meringankan diri? Bergidik rasa hati Kam Hong saking ngerinya. Apakah dia
bertemu siluman? Ataukah semacam makhluk sakti seperti Kauw Cee Thian atau Sun
Go Kong itu raja kera di dalam dongeng See-yu? Jangan-jangan makhluk ini,
seperti Sun Go Kong, dapat menghilang pula, pikirnya ngeri.
Akan tetapi,
hampir saja dadanya kena dicengkeram saat Kam Hong dalam lamunannya menjadi
agak kurang cepat mengelak.
“Brettt!”
Sedikit bajunya robek oleh cengkeraman itu!
Cepat Kam
Hong mencabut suling emasnya! Dia tidak mau mempergunakan kipasnya. Makhluk itu
terlalu kuat untuk dihadapi dengan kipasnya, dan dia khawatir selain tidak ada
gunanya juga kipasnya akan rusak. Maka kini dia membalas dengan totokan-totokan
yang dilakukan dengan sulingnya.
Akan tetapi
makhluk itu pandai sekali mengelak. Nalurinya demikian tajamnya sehingga
mengatasi semua kesigapan gerak seorang ahli silat mana pun. Setiap totokan
suling itu dapat dielakkan, dan kalau sekali dua kali suling itu mengenai
sasaran, maka kenanya itu meleset karena gerakan makhluk itu terlalu cepat, dan
agaknya makhluk itu memiliki kekebalan luar biasa sehingga tusukan suling yang
dapat menghancurkan batu karang itu baginya seperti tubuh yang dipijit tangan
dengan jari halus saja! Sedikit pun tidak terasa agaknya!
Kam Hong
merasa penasaran. Dikerahkan seluruh tenaganya, dan dia mengeluarkan
gerakan-gerakan yang terhebat dari ilmu-ilmu simpanannya. Bahkan ilmu-ilmu yang
telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suling Emas,
dimainkannya untuk menundukkan makhluk ini. Akan tetapi, makhluk itu
benar-benar selain kebal kulitnya, juga memiliki tenaga dahsyat dan kecepatan
yang membingungkan pendekar ini. Kaki makhluk itu sudah tertancap pedang, namun
gerakan-gerakannya masih secepat itu.
Suling di
tangan Kam Hong sampai mengeluarkan suara seperti ditiup saja ketika dia
mainkan dengan cepatnya, dan makhluk itu agaknya menjadi semakin marah.
“Singgg....!”
Suling Kam
Hong bergerak meluncur ke arah mata makhluk itu. Makhluk yang disebut Yeti itu
menundukkan kepala sehingga meluncur di atas kepalanya.
“Wuuuttt....
dessss!”
Tangan kiri
Kam Hong dengan miring dan amat kerasnya memenggal ke arah leher. Akan tetapi
tangan itu meleset dan mengenai pundak, dan makhluk itu hanya bergoyang sedikit
saja! Bahkan tangan kanannya meraih ke depan dan pada waktu Kam Hong
menangkisnya dengan suling, dia terjengkang karena dorongan tenaga yang amat
kuat! Kakinya menginjak salju yang longsor dan jatuhlah pemuda itu terjengkang
di atas salju.
Sambil
menggereng makhluk itu menubruk dengan seluruh bobot tubuhnya yang berat, kedua
tangan dan kedua kakinya ditekuk mencengkeram, agaknya dia hendak langsung
mencengkeram dan merobek-robek tubuh lawan. Tetapi Kam Hong telah menggulingkan
tubuhnya cepat sekali ke kiri dan sulingnya bergerak ke depan, menusuk mata.
Makhluk itu luput menubruk, akan tetapi masih dapat menggunakan lengannya yang
panjang menyampok suling. Kam Hong meloncat dengan cepat sekali sebelum makhluk
itu sempat bangun dan sulingnya diayun sekuat tenaga.
“Takkkk!!”
Suling itu menghantam kepala akan tetapi.... ternyata kepala itu pun terlindung
kekebalan dan suling itu membalik seperti mengenai kepala baja, terpental dan
Kam Hong merasakan telapak tangannya panas.
Akan tetapi
senjata suling emas itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuh, maka walau pun
di luarnya tidak nampak bahwa pukulan itu mendatangkan akibat yang hebat bagi
Yeti, akan tetapi ternyata makhluk itu terhuyung juga ke belakang. Hal ini
agaknya membuat Yeti menjadi marah dan setelah dia dapat mengatur lagi
keseimbangan tubuhnya, dia memandang Kam Hong dengan mata merah, kemudian dari
mulutnya terdengar teriakan yang menggetarkan jantung, kemudian dia pun
bergerak maju lebih cepat dan lebih dahsyat lagi dari pada tadi!
Kam Hong
menjadi semakin repot. Bukan hanya kecepatan dan kekuatan makhluk itu yang
membuatnya kewalahan, akan tetapi juga hujan salju yang mendatangkan rasa
dingin dan menghalangi pandangan matanya dan juga pernapasannya. Akan tetapi
sebaliknya, makhluk itu nampaknya sama sekali tidak terganggu oleh salju,
bahkan makin deras salju turun, membuat dia agaknya menjadi semakin lincah!
Terjangan
dahsyat dari Yeti itu kini bukan merupakan cengkeraman seperti tadi akan tetapi
merupakan hantaman dengan kedua tangannya yang besar dan lengan yang panjang
itu menghantam seperti tongkat besar, menyambar dari kanan kiri. Bukan seperti
gerakan silat akan tetapi karena didorong oleh tenaga yang amat besar maka
berbahaya bukan main!
Kam Hong
meloncat ke belakang, akan tetapi Yeti menubruk lebih cepat lagi dan tangan
kanannya menyambar dari sebelah kiri Kam Hong, sedangkan tangan kiri makhluk
itu mencengkeram ke arah perut! Kam Hong tidak sempat mengelak lagi, maka dia
lalu menangkis dengan sulingnya ke arah tangan kiri yang mencengkeram,
sedangkan hantaman tangan kanan Yeti itu ditangkisnya dengan lengan kirinya
yang diangkat ke atas.
“Desss!
Dukkk!”
Akibat dari
adu tenaga ini, tubuh Yeti terhuyung kembali ke belakang akan tetapi tubuh Kam
Hong terpental dan terguling-guling! Ini saja sudah menjadi bukti bahwa Kam
Hong benar-benar kalah kuat dalam hal tenaga. Celakanya, pada saat itu, kembali
kaki Kam Hong menginjak tumpukan salju yang lunak sehingga dia tergelincir dan
bergulingan jatuh dari lereng salju.
Yeti itu
menggeram dan meloncat begitu saja dari atas untuk mengejar Kam Hong yang masih
bergulingan! Melihat ini, Ci Sian menjerit penuh kengerian dan dia pun menjadi
nekat, berlari dan meloncat turun pula untuk mengejar Kam Hong dan kalau perlu
membela pemuda itu! Akan tetapi, karena tempat itu tinggi sekali, maka dia
tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan gadis cilik ini pun jatuh dan
terguling-guling di sepanjang lereng salju, seperti Kam Hong!
Yeti itu
telah tiba lebih dulu dan cepat sekali dia menubruk dan tahu-tahu dia telah
menggunakan kedua tangannya yang kuat untuk memegang kedua lengan Kam Hong!
Pendekar ini merasa betapa pergelangan tangannya seperti dijepit oleh baja-baja
yang amat kuat, dan betapa pun dia berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia
belaka. Sulingnya terlepas dan dia sudah hampir putus harapan. Dengan tenaganya
yang dahsyat tentu Yeti itu akan mencabik-cabik tubuhnya pula. Kekalahan dan
putus asa membuat Kam Hong tidak melawan lagi, hanya dia mengerahkan tenaga
untuk menahan jika makhluk itu hendak menarik putus kedua lengannya.
Tiba-tiba
pada saat yang amat genting dan berbahaya bagi nyawa Kam Hong itu, angin
bertiup kencang sekali dan terdengarlah suara bergemuruh dari atas. Tanah
bersalju yang berada di bawah kaki Kam Hong itu tergetar dan bergoyang-goyang.
Yeti dan Kam Hong menoleh dan melihat ke arah suara gemuruh itu. Mendadak Yeti
mengeluarkan suara melengking dahsyat dan dia melemparkan Kam Hong ke samping,
lalu dengan sikap amat ketakutan dia meloncat ke kanan, terus berloncatan
dengan kecepatan seperti terbang meninggalkan tempat itu!
Kam Hong
terpelanting, akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini karena dia terus
memandang ke arah puncak gunung penuh salju itu. Suara makin bergemuruh dan
dengan mata terbelalak dia melihat betapa sebagian dari puncak itu longsor dan
kini salju menimpa turun seperti air bah, diikuti batu-batu es yang amat besar
menggelundung ke bawah, ke arah tempat itu!
“Ci
Sian....!” teriaknya dan dia melihat gadis cilik itu merangkak-rangkak karena
Ci Sian juga baru saja dapat mengatasi kepeningannya karena bergulingan dari
atas tadi.
Dengan
jantung berdebar tegang dan tubuh agak gemetar karena cemas Kam Hong meloncat,
menghampiri Ci Sian, menyambar tubuh gadis cilik itu, dipondongnya dan dia pun
cepat meloncat ke kanan karena untuk lari sudah kekurangan waktu. Kedua kakinya
berhasil mencapai lereng bukit, akan tetapi ketika kedua kakinya menginjak
salju, yang diinjaknya runtuh ke bawah dan ternyata bukit itu pun ikut bergerak
longsor terbawa dari atas!
Kam Hong tak
dapat menguasai dirinya. Dengan Ci Sian masih dipondongnya dia melayang turun
bersama salju dan potongan-potongan es, merasa tubuhnya terpukul dari sana
sini, dan dia masih mencoba untuk melindungi Ci Sian yang menjerit-jerit
ketakutan itu dengan kedua lengan dan badannya. Mereka terbanting dan Kam Hong
tidak ingat apa-apa lagi…..
***************
Runtuhnya
sebagian tumpukan es dan salju di puncak gunung itu selain mendatangkan suara
gemuruh yang hiruk-pikuk seolah-olah dunia hendak kiamat, juga menimbulkan debu
salju yang mengebul sampai tinggi dan turun seperti embun. Banyak batu-batu dan
pohon-pohon gundul yang tertutup salju dilanda arus salju dan batu-batu es ke
bawah kemudian memasuki dan memenuhi jurang-jurang yang curam di bawah kaki
gunung.
Mati hidup
manusia merupakan hal yang wajar. Dan seperti segala sesuatu di alam maya pada
ini, di dalam kewajaran terkandung rahasia-rahasia kegaiban yang amat luar
biasa dan mentakjubkan. Kegaiban yang sama sekali tak dapat terselami oleh pikiran.
Segala
sesuatu yang terjadi di dalam alam raya ini, dari beraraknya awan, berputaran
dunia, tumbuhnya pohon-pohon, kehidupan segala makhluk, semua adalah berjalan
dengan wajar dan oleh karenanya mengandung ketertiban yang amat indah. Di dalam
segala kewajaran yang penuh kegaiban itu termasuk juga kehidupan dan kematian.
Wajar, karenanya gaib.
Menurut
jalan pikiran, orang yang sudah terlanda berton-ton salju dan es yang runtuh ke
bawah, seperti yang dialami oleh Kam Hong dan Ci Sian, tentu tidak mungkin dapat
terluput dari kematian. Namun kenyataannya tidaklah demikian! Secara
‘kebetulan’ mereka itu berada di lereng, bukan di dasar kaki gunung, sehingga
salju yang longsor itu hanya lewat saja di atas mereka. Dan ‘kebetulan’ pula
Kam Hong dan Ci Sian lebih dulu teruruk oleh bukit kecil yang runtuh sehingga
mereka seperti terlindung dan biar pun keduanya pingsan karena dilalui oleh
longsoran salju dan balok-balok es sebesar itu, namun mereka tidak sampai
tewas. Lebih ‘kebetulan’ lagi bahwa kepala mereka tidak sampai terpendam salju,
karena kalau hal ini terjadi, dalam keadaan pingsan itu tentu mereka takkan
mampu bernapas dan akan tewas juga.
Lama setelah
salju yang longsor itu sudah lewat dan keadaan menjadi sunyi kembali, angin
yang tadi bertiup kencang itu agaknya sudah lewat dan tidak ada sedikit pun
angin bergerak, Kam Hong siuman dari pingsannya. Dia mendapatkan dirinya rebah
miring, dari pinggang ke bawah terpendam salju. Ada bongkahan-bongkahan es
sebesar kerbau bunting di sekitar tempat itu, dan dia merasa heran mengapa dia
masih dapat hidup, padahal tertimpa satu saja di antara batu-batu es besar itu,
tentu tubuhnya akan remuk.
Kepalanya
masih pening dan ketika dia membuka matanya, dia melihat sekelilingnya seperti
berputaran. Tetapi dia dapat melihat Ci Sian menggeletak di dekatnya, telentang
dan juga dalam keadaan pingsan. Muka yang manis itu kini kelihatan pucat,
matanya terpejam dan kulit antara kedua alisnya masih berkerut tanda bahwa dara
itu mengalami ketakutan hebat.
Kam Hong
melihat pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya luka-luka ringan, akan tetapi yang
jelas, dia masih hidup! Hawanya dingin sekali. Mereka berdua terbujur di antara
batu-batu es yang bening dan berkilauan amat aneh dan indahnya, memantulkan
cahaya matahari tertutup halimun. Kalau dia membayangkan betapa dia telah
hampir dikoyak koyak Yeti, kemudian dijatuhi puncak yang longsor seperti itu
dan kini masih hidup, juga Ci Sian masih hidup, sungguh hampir tak dapat dia
mempercayainya.
Sejenak
seluruh perasaannya membubung ke atas atau ke mana saja di mana Tuhan berada
dan batinnya membisikkan puji syukur yang mendalam. Kemudian ia membuka matanya
dan menoleh ke arah Ci Sian. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan anak itu
telah mati. Pikiran ini mendatangkan tenaga di tubuhnya yang terasa lemah dan
dia menarik kedua kakinya dari urukan salju. Akan tetapi ketika dia bangkit,
dia berteriak kesakitan dan terduduk kembali, tangannya memegangi paha kirinya.
Dia memandang dan melihat celana kirinya robek dan penuh darah. Ternyata di
dekat pergelangan kaki kirinya telah patah tulangnya!
Agaknya
teriakan kesakitan dari Kam Hong tadi membantu Ci Sian memperoleh kembali
kesadarannya. Gadis cilik ini membuka mata dan dia mengeluh kagum melihat
betapa dunia di sekelilingnya sedemikian indahnya. Seperti dalam mimpi! Dia
terpesona dan terheran-heran, mengucek kedua matanya dengan punggung tangannya
di mana sarung tangannya robek. Pandang matanya silau oleh kilatan balok-balok
es di sekitar tempat itu. Sudah matikah aku? Inikah alam baka? Demikian hatinya
berbisik karena dia teringat akan dongeng tentang alam baka. Memang melihat
sekitarnya dikelilingi benda-benda yang berkilauan itu dia merasa seperti
berada di alam lain.
Akan tetapi
suara keluhan membuat dia menengok dan barulah dia sadar ketika melihat Kam
Hong duduk sambil memegangi kaki kirinya, wajahnya menyeringai kesakitan. Dia
merangkak bangkit dan ternyata gadis cilik ini tidak terluka apa-apa, kecuali
pakaiannya yang robek di sana-sini dan kulit tubuhnya ada yang lecet-lecet
sedikit. Dia terhuyung menghampiri Kam Hong dan.... tiba-tiba dia menjerit,
mukanya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar.
Kam Hong
terkejut, sedetik lupa akan rasa nyeri di kakinya. “Eh, ada apakah, Ci Sian?”
tanyanya khawatir.
Gadis cilik
itu tak menjawab, mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya
telunjuk kanannya yang menuding, telunjuk yang menggigil. Kam Hong menoleh ke
arah kirinya dan baru sekarang dia memandang ke kiri karena tadi Ci Sian berada
di sebelah kanannya sehingga semua perhatiannya tertuju ke sebelah kanannya.
Ketika dia menoleh dan melihat apa yang ditunjuk oleh gadis cilik itu, hampir
saja dia pun menjerit seperti Ci Sian. Matanya terbelalak dan mulutnya
ternganga.
Tidak jauh
di sebelah kirinya, agak ke belakangnya di mana terdapat sebuah batu es,
sebongkah balok es yang besarnya seperti gajah, ternyata di sebelah dalam
bongkahan batu es yang amat bening ini terdapat sesosok tubuh manusia yang
masih utuh, lengkap dengan pakaiannya, nampaknya seperti sedang tidur saja di dalam
bongkahan es itu, terbungkus es bening yang seolah-olah menjadi petinya!
“Jangan
takut, dia.... dia.... hanya sepotong jenazah....,“ kata Kam Hong, namun biar
pun mulutnya menghibur seperti itu, suaranya sendiri gemetar, setengah karena
rasa nyeri di kakinya, setengah lagi karena memang dia sendiri merasa seram!
Ci Sian
menghampiri peti es itu. Dengan terbelalak dia memperhatikan tubuh manusia
dalam es itu. Sungguh mengerikan. Wajah laki-laki setengah tua itu seperti
masih hidup saja. Matanya setengah terbuka, bola matanya masih berkilau karena
dilapisi es yang berkilauan. Mukanya masih agak kemerahan. Muka yang tampan dan
gagah, akan tetapi mulutnya itu ditarik seperti orang yang merasa berduka.
Pakaiannya aneh, dan Ci Sian teringat akan gambar-gambar manusia jaman dahulu.
Pakaian yang amat kuno sekali, mungkin sudah ribuan tahun usianya! Akan tetapi
pakaian itu, seperti juga tubuh itu, masih utuh dan sama sekali tidak kelihatan
lapuk atau rusak.
Yang menarik
hati Ci Sian adalah pada saat dia melihat kedua tangan mayat itu yang dirangkap
di depan dada dan kedua tangan itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya
memegang dengan hati-hati dan erat-erat, memegang sebuah boneka kecil, yang
kurang lebih dua puluh senti panjangnya. Boneka itu telanjang, dan di tubuh
boneka yang putih itu nampak guratan-guratan dan huruf-huruf kecil yang terukir
secara aneh.
Karena
tertariknya dan keadaan mayat dalam es ini, Ci Sian seperti melupakan Kam Hong.
Baru setelah dia mendengar pemuda itu mengeluh, dia menengok dan melihat Kam
Hong merobek celana kirinya dan membuka kaki yang berdarah itu, dia terkejut
dan cepat menghampiri.
“Ehh, kakimu
kenapa, Paman?” tanyanya sambil berlutut dan memandang khawatir.
“Agaknya
tulangnya patah, Ci Sian. Biar kubersihkan darahnya.... auhhh....“ Pemuda itu
menggigit bibir menahan nyeri.
“Biar aku
yang membersihkannya, Paman. Engkau canggung benar dan dua tanganmu takkan
mencapai kakimu yang dilonjorkan.”
Ci Sian lalu
membersihkan luka itu, menggunakan sapu tangannya. Darahnya sudah membeku, dan
dengan hati ngeri dia melihat bahwa di atas pergelangan kaki kiri itu kulitnya
pecah dan melihat bentuk kaki itu mudah diduga bahwa memang tulangnya patah.
“Ah, agaknya
memang patah tulangnya. Habis bagaimana baiknya, Paman?”
Kam Hong
mengeluarkan buntalan dari balik jubahnya yang robek-robek, membuka buntalan
dan mengeluarkan sebuah botol kecil terisi obat bubuk hijau.
“Ci Sian,
aku sendiri tak mungkin menarik kakiku, maka kau bantulah aku menarik kakiku
agar tulangnya yang patah itu dapat bertemu kembali. Kemudian kau pergunakan
obat penyambung tulang ini, campur dengan salju dan paramkan di sekitar kaki
yang patah, kemudian balut dengan kuat-kuat.”
“Baik,
Paman.”
Ci Sian,
atas petunjuk Kam Hong, lalu mencari enam batang kayu, sepanjang lima belas
senti, kayu dari ranting yang cukup kuat, kemudian dia mencampur isi botol itu
dengan salju cair dan dia membuat balut dari lapisan baju bulunya yang tebal,
kain pembalut yang cukup panjang.
“Sekarang
kau duduklah di depan kakiku, pegang kakiku dengan kedua tangan dan kerahkan
tenagamu untuk menarik sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku beri tanda, dan
kalau aku sudah memberi tanda, engkau lepaskan perlahan-lahan agar tulang itu
dapat bertemu kembali dengan bagian atas. Mengerti?”
Ci Sian
merasa ngeri, maklum bahwa sastrawan itu sedang menderita nyeri yang amat
hebat, maka dia mengangguk dengan yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk di
depan kaki kiri yang patah tulangnya itu, mempergunakan kedua tumit kakinya
untuk mencari tempat menahan tubuhnya, kemudian dia memegang kaki sastrawan itu
di bawah pergelangan kaki.
“Nah, mulai
tarik!” kata Kam Hong yang sudah mengerahkan tenaga untuk menahan kakinya.
Ci Sian
menarik sekuatnya, sedikit demi sedikit. Dia melakukan ini sambil memandang
kaki itu, kemudian dia mengangkat muka memandang wajah Kam Hong. Hampir saja
dia melepaskan kaki itu ketika melihat betapa wajah sastrawan itu jelas
memperlihatkan penderitaan hebat! Sastrawan itu menggigit bibirnya, kedua
tangan memegangi paha kaki kiri bertahan, matanya setengah terpejam dan di
dahinya timbul keringat, padahal hawanya demikian dingin! Ci Sian mengerahkan
tenaga menarik terus sampai terasa olehnya pergelangan kaki yang ditariknya itu
mengeluarkan bunyi krek-krek!
“Le....
pas.... perlahan.... lahan....“ terdengar Kam Hong berkata dengan
terengah-engah. Ci Sian mengendurkan tenaganya sedikit demi sedikit dan tulang
yang patah itu pun dapat bertemu kembali.
“Lekas, beri
obat itu.... dan pasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan balut!”
Ci Sian
melakukan semua itu dengan cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya dan rasa
kasihan kepada sastrawan ini. Semua obat bubuk hijau yang sudah dicampur dengan
salju cair itu diparamkan di seputar luka, lalu dia memasang kayu-kayu itu di
seputar kaki dan mulai membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia membalut dengan
pengerahan tenaga sehingga kaki itu terjepit dan tidak akan berubah lagi letak
tulangnya. Setelah selesai, Kam Hong menarik napas lega dan mengusap keringat
di dahi dengan ujung jubahnya.
“Terima
kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan tersambung kembali tulangnya dalam waktu
beberapa hari saja.”
Ci Sian
memandang wajah itu. Mereka saling pandang dan Ci Sian melihat wajah itu agak
pucat, akan tetapi tersenyum! Baru sekarang dia melihat sastrawan yang biasanya
muram itu tersenyum, senyum yang bebas dan wajar, tidak seperti biasanya kalau
sastrawan itu tersenyum maka senyumnya itu senyum masam!
“Paman Kam,
kalau mau bicara tentang terima kasih, akulah yang harus berterima kasih
kepadamu! Engkau telah menumpuk budi, dan kalau tidak ada engkau, agaknya sudah
berkali-kali aku mati!”
“Mana
mungkin orang mati berkali-kali? Dia itu sekali mati sampai seribu tahun tak
dapat bangun lagi untuk mati kembali!” Kam Hong menuding kepada mayat dalam es
itu.
Ci Sian
cepat menoleh. Baru dia teringat akan mayat yang aneh itu sekarang setelah Kam
Hong bicara tentang itu. Segera dia mendekatinya lagi dan memeriksa dengan
teliti dari segala jurusan.
“Dia seperti
masih hidup saja, Paman!” teriaknya penuh gairah dan kegembiraan. “Sungguh
ajaib! Bagaimana mendadak di tempat seperti ini muncul mayat yang kuno ini
dalam balok es? Dan boneka di tangannya itu.... sungguh indah sekali....!”
Kam Hong
menjadi tertarik sekali melihat sikap Ci Sian. Dengan menggunakan kekuatan kedua
tangannya bertopang pada batu menonjol tertutup salju, dia bangkit berdiri di
atas satu kaki. Kebetulan dia berdiri di tempat yang agak tinggi dan sebelum
dia menghampiri Ci Sian, tanpa disengajanya dia melihat ke sekeliling tempat
itu. Matanya terbelalak dan dia mengeluarkan seruan kaget yang membuat Ci Sian
melompat dan menghampirinya, karena gadis ini mengira tentu pendekar itu
melihat hal yang lebih aneh lagi dari pada mayat dalam balok es itu.
“Ada apakah,
Paman?” tanyanya dengan cemas dan dia sudah memegang lengan Kam Hong sambil
melihat pula ke sekeliling. Dan ia pun melihat apa yang membuat pendekar sakti
itu terkejut, dan dia sendiri terbelalak.
“Wah, tempat
ini dikelilingi jurang....!” Dan gadis tanggung itu lalu melepaskan lengan Kam
Hong, berlari-lari untuk memeriksa sekeliling tempat mereka itu.
“Hati-hati,
Ci Sian, jangan sampai jatuh. Awas salju longsor!” Kam Hong memperingatkan dan
sambil berloncatan dengan sebelah kaki saja dia pun mengejar untuk melindungi
dara itu.
Mereka
memeriksa sekeliling tempat itu dan memang tempat itu kini merupakan tempat
yang terpencil. Akibat longsor hebat itu, tempat ini menjadi terkurung oleh
jurang-jurang yang amat curam dan agaknya tidak mungkin dapat dituruni, apalagi
dengan sebelah kaki patah tulangnya seperti Kam Hong. Mereka terjebak dalam
tempat yang agaknya tidak ada jalan keluarnya!
“Wah,
bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan, Paman?”
“Tenanglah,
Ci Sian. Andai kata tempat ini tidak terkurung, tetap saja kita tidak dapat
melanjutkan perjalanan sebelum tulang kakiku tersambung dan sembuh kembali.
Lebih baik kita mencari tempat untuk tinggal selama beberapa hari ini di
sekitar sini.”
“Aku mau
melihat mayat aneh itu dan bonekanya!” kata Ci Sian yang dalam waktu singkat
sudah dapat melupakan kembali kecemasan dan berlari-larian dia kembali ke
tempat di mana mereka menemukan jenazah itu.
Mau tidak
mau Kam Hong tersenyum. Melakukan perjalanan dengan seorang anak perempuan yang
tidak cengeng seperti Ci Sian memang menyenangkan. Anak itu tabah dan tidak
mudah putus asa, berbakat untuk menjadi seorang pendekar wanita. Maka dia pun
segera mengejarnya, karena dia pun tertarik sekali untuk menyelidiki keadaan
mayat yang memakai pakaian kuno sekali itu.
Sekarang
baru teringat dia akan suling emasnya. Hatinya gelisah sekali dan dia tidak
jadi menghampiri Ci Sian, melainkan mencari-cari sambil berloncatan. Tentu
sulingnya itu terlepas ketika dia tertimpa salju dan es-es balokan besar yang
longsor dari atas. Tiba tiba dia melihat sinar menyilaukan di tepi jurang.
Cepat dia berloncatan ke sana dan giranglah hatinya karena sinar itu ternyata
adalah ujung sulingnya yang tersembul keluar dari timbunan salju! Cepat
diambilnya pusaka itu, diperiksanya dan ternyata tidak rusak sama sekali.
Dengan hati lapang dan girang diselipkannya suling itu ditempat semula, yaitu
di balik jubahnya, di ikat pinggang dekat kipasnya. Baru dia menghampiri Ci
Sian yang agaknya sedang terpesona oleh jenazah dalam bongkahan es besar itu.
Memang
jenazah itu aneh sekali. Wajah jenazah itu seperti wajah orang hidup saja,
pakaiannya yang masih rapi dan seperti baru. Juga boneka yang dipegang oleh
jenazah itu merupakan boneka anak kecil yang montok dan sehat, tersenyum lebar
seperti muka yang ramah dan suci dari arca Ji-lai-hud. Melihat jenazah
terlantar seperti itu, dan melihat keadaan pakaiannya, model pakaian itu, Kam
Hong menaksir bahwa jenazah itu tentu sudah terlantar dan terbungkus es selama
sedikitnya seribu tahun, timbul rasa kasihan dalam hati Kam Hong.
“Kita harus
mengubur jenazah itu dengan baik, Ci Sian. Kasihan dia dibiarkan terlantar
seperti itu.”
Akan tetapi
Ci Sian seolah-olah tidak mendengar ucapan Kam Hong itu. Begitu asyiknya dia
mengamati boneka di tangan mayat itu sehingga dia mendekatkan mukanya sampai
hidungnya yang mancung kecil itu menyentuh balok es yang menjadi peti mayat
itu. Tiba tiba dia berseru dan matanya dilebar-lebarkan untuk dapat memandang
lebih jelas lagi, “Paman, lihat....! Ada tulisannya pada dahi boneka itu!”
“Ahh,
benarkah?” Kam Hong bertanya dan dia pun mendekat, lalu memandang dengan cermat
ke arah boneka. Akhirnya dia berkata, “Benar, itu tentu huruf-huruf yang
ditulis, akan tetapi terlampau kecil untuk dapat dibaca melalui es ini. Es
membuat huruf-huruf itu kabur dan tak dapat dibaca dari luar.”
“Kalau
begitu, apakah Paman tidak dapat memecahkan balok es ini?”
“Ahh, untuk
apa, Ci Sian? Kita tidak boleh mengganggu jenazah manusia!”
“Untuk dapat
membaca tulisan itu, Paman. Siapa tahu tulisan itu merupakan pesan untuk kita
atau siapa saja yang menemukan jenazah ini!”
Kam Hong
tertarik. Bukan tidak mungkin apa yang diucapkan gadis cilik itu. Kalau tidak
mengandung maksud tertentu, mengapa dahi boneka diberi tulisan huruf-huruf amat
kecilnya? Dia memandang kembali wajah dan pakaian mayat itu, kemudian dia
seperti memperoleh firasat bahwa mayat itu adalah jenazah seorang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi!
Maka dia
lalu berkata kepada jenazah itu, “Locianpwe, harap maafkan teecu yang berani
lancang memecahkan balok es. Teecu berjanji akan mengubur jenazah Locianpwe
baik-baik.”
Setelah
berkata demikian, dengan hati-hati Kam Hong menaruh telapak tangannya pada
balok es itu, mula-mula di atas kedua kaki jenazah. Dia mengerahkan sinkangnya
menekan.
“Krekk…
krekk…,” terdengar suara dan balok itu pun pecah di bagian bawah!
Ci Sian
hampir bersorak. “Engkau hebat sekali, Paman!”
Siauw Hong
atau Kam Hong hanya tersenyum, lalu memecah balok es di bagian atas. Terdengar
suara agak keras dan balok es itu kini terbelah menjadi dua dan mayat itu pun
nampak! Sungguh aneh, tidak ada bau busuk keluar dari mayat itu! Kalau mayat
itu tidak sampai rusak selama ribuan atau ratusan tahun, hal itu tidaklah aneh
karena mayat itu terbungkus es dan selalu terbenam dalam tempat yang suhunya
teramat dinginnya. Akan tetapi kalau kulit itu sama sekali tidak rusak dan
tidak mengeluarkan bau busuk, hal ini adalah suatu keanehan dan tentu ada
rahasia tertentu tersembunyi di balik kenyataan ini, pikir Kam Hong. Dia
menduga bahwa tentu sesudah mati mayat ini diberi semacam obat yang luar biasa,
yang membuat selain mayat itu tidak rusak selamanya, juga tidak mengeluarkan
bau busuk.
Setelah peti
es itu terbuka dan kini mayat tidak lagi tertutup es, tulisan huruf-huruf kecil
di atas dahi boneka itu dapat dibaca, sungguh pun untuk itu Kam Hong dan Ci
Sian terpaksa harus mendekatkan mata mereka kepada boneka itu. Tulisan itu
bergaya kuno, baik coretannya mau pun susunan kalimatnya, akan tetapi agaknya
Ci Sian terdidik baik sekali dalam hal sastra, karena ternyata dia mampu juga
membaca dan mengerti artinya, membuat Kam Hong merasa kagum juga.
‘Aku mohon
agar boneka ini dibakar agar pusaka keramat yang mengandung pelajaran dahsyat
ini tidak terjatuh ke dalam tangan orang jahat.’
“Aihh,
sungguh sayang sekali jika boneka ini dibakar!” Ci Sian berseru dan memandang
kepada wajah jenazah itu seolah-olah jenazah itu seorang yang masih hidup.
“Kenapa engkau meninggalkan pesan yang demikian aneh dan gila? Kalau memang
ingin melenyapkan boneka indah ini, kenapa tidak dulu-dulu kau bakar sendiri?”
Biar pun
ucapan Ci Sian itu keluar dari sifatnya yang keras, bengal dan tidak mau tunduk
kepada siapa pun juga, akan tetapi Kam Hong seperti disadarkan akan sesuatu
yang memang aneh sekali. Memang ucapan Ci Sian itu benar belaka. Mengapa
bersusah payah menulis huruf-huruf kecil di dahi boneka itu kalau memang hendak
melenyapkan boneka itu? Kenapa tidak langsung saja dibakar dari pada menanti
sampai ribuan tahun agar ditemukan orang dan dibakar oleh orang itu? Bukankah
langsung saja dibakar jauh lebih mudah dari pada membuat tulisaan huruf
kecil-kecil itu? Tentu ada rahasianya di balik semua ini.
“Ci Sian,
siapa pun adanya Locianpwe ini, beliau tidak minta kita menemukannya. Meski
kita juga tidak sengaja mencarinya, tetapi kita toh telah bertemu dengan
beliau. Maka ini namanya jodoh. Dan pesanan orang yang sudah mati merupakan
perintah keramat yang harus dipenuhi, apalagi Locianpwe ini sampai memohon dan
permintaannya itu pun tidak sukar. Mari kita bakar boneka ini seperti yang
dipesankan.”
Ci Sian
mengerutkan alisnya. “Terlalu! Itu namanya mempermainkan perasaan orang! Kenapa
boneka yang indah ini dibawa mati, dibiarkan terlihat orang? Membiarkan orang
merasa suka lalu menyuruh orang itu membakarnya, sungguh merupakan perbuatan
yang kejam sekali. Wah, jenazah orang ini dahulu di waktu hidupnya tentu
membuat banyak dosa, Paman. Sampai sudah ribuan tahun menjadi mayat pun masih
melakukan perbuatan kejam! Jangan dibakar saja, Paman, aku ingin melihat dia
bisa apa!”
“Hemmm,
tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan Locianpwe ini tentu mengandung maksud yang
amat penting. Siapa tahu boneka ini yang disebutnya benda keramat benar-benar
mengandung pelajaran yang mukjijat dan kalau sampai terjatuh ke tangan orang
jahat, bukankah dunia ini akan menjadi semakin kacau?”
“Akan tetapi
aku tahu benar bahwa engkau bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku masih
layak disebut orang jahat, akan tetapi engkau sama sekali bukan orang jahat!
Engkau seorang pendekar yang budiman. Kalau memang boneka ini mengandung
pelajaran tinggi, bukankah akan berguna sekali kalau dipelajari olehmu? Memang
orang ini mempermainkan dan memperolok orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai
sudah mati pun tidak dapat sempurna.”
“Hushhh,
sudahlah Ci Sian. Engkau tidak tahu. Seorang Locianpwe melakukan hal-hal yang
aneh bukan tidak mengandung maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu yang
terkandung dalam boneka itu mempunyai pengaruh dan daya yang aneh sehingga
siapa pun yang mempelajarinya akan berubah menjadi tersesat dan jahat. Biarkan
aku yang membakarnya.”
“Sesukamulah!”
kata Ci Sian agak marah. “Kau bakarlah boneka tak berguna itu. Aku sendiri
lebih senang membakar sesuatu yang lebih berguna bagi perutku yang lapar ini.”
Setelah berkata demikian, gadis cilik ini meninggalkan Kam Hong karena dia
melihat banyak sekali burung-burung yang berbulu putih dengan kepala hitam
beterbangan dan ada yang hinggap di tepi jurang dari tempat yang kini
seolah-olah menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau yang dikelilingi jurang
curam, bukan dikelilingi laut.
Matahari
telah condong ke barat ketika Kam Hong akhirnya berhasil membuat api. Tidak
mudah membuat api di tempat dingin itu. Akan tetapi pendekar ini memang
menyimpan batu api, bahan bakar dan dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting yang
terbawa longsor dan membersihkannya, akhirnya dengan susah payah dapat juga dia
membuat api dan membakar boneka itu.
Selagi dia
membakar boneka itu, Ci Sian datang membawa dua ekor burung yang gemuk. Burung
itu bentuknya seperti bebek, besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti semua
bulunya, tiada bedanya dengan bebek.
“Seorang
seekor, Paman. Paman tentu lapar, bukan?” katanya sambil memandang ke arah
boneka yang dibakar itu dengan mulut cemberut. “Bukankah jauh lebih berguna
membakar bebek-bebek ini?”
Kam Hong
tersenyum. “Engkau pandai sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau bisa
mencari makanan.”
Kam Hong
membakar boneka dan Ci Sian membakar dua ekor burung. Daging burung sudah
matang, akan tetapi boneka itu tidak juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal
pakaian yang dipakai boneka itu sudah hancur sama sekali. Boneka kecil itu
sekarang telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh!
"Sungguh
ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak?" Ci Sian menjadi tertarik dan
sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api
untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.
Sinar api
menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh
bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang
seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di
dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa.
Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua
nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya
seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat
mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi
kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah
mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!
“Hentikan
saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya
sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap.
Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah goa yang cukup besar untuk
kita berlindung dari angin dan beritirahat.”
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Walau pun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi
dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang
dengan bonekanya. “Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku
akan melanjutkan membakar boneka ini.”
Dengan marah
Ci Sian bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang sekarang
rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata. “Awas kau, kalau kau
yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai
balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!”
“Ci
Sian....!” Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan
lari meninggalkannya.
Kam Hong
merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk
membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka
itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.
“Maaf,
Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi
agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar,” katanya.
Dia
mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi
abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan
jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu
kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk
tetap dapat melindungi dan menjaganya. Kam Hong mendapatkan Ci Sian meringkuk
di dalam goa, agaknya merasa kedinginan.
Melihat
bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang sedikit demi
sedikit mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di
depan goa, Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan. “Sudah hancurkah
dia?”
“Belum,
sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh.”
“Huh! Lalu
kau apakan dia?”
“Kukembalikan
kepada Locianpwe itu.”
“Sudah
kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau orang
yang memang jahat dan suka mempermainkan orang lain.”
“Biar besok
akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya.”
Tidak ada
jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu
memasuki goa dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia
melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.
“Kau merasa
kedinginan?”
“Tentu
saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini?
Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!” Ci Sian menggigil.
“Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan
permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!”
“Hushh,
jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat
tubuhmu menjadi hangat. Mulai sekarang engkau harus menuruti petunjukku, aku
akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar kau
dapat melawan dingin.”
Ci Sian
menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam
Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah
tulangnya, kemudian dia menempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung
gadis cilik itu.
“Dengarkan
baik-baik,” bisiknya. “Engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan
darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba
untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam
tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku....”
Tak lama
kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui
punggungnya. Dia menjadi girang sekali dan dengan tekun dia mulai mempelajari
ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat
membuat tubuhnya menjadi hangat, sama sekali tidak lagi menderita oleh serangan
hawa dingin dari luar tubuhnya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Sian sudah keluar dari goa. Kam Hong
masih duduk bersemedhi setengah tidur. Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci
Sian pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun, dia melihat Ci Sian sudah
membuat api unggun dan dara itu sedang membakar atau memanggang sesuatu yang
sedap baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai membuat api dengan batu api dan
bahan bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat, ternyata gadis cilik itu sedang
memanggang daging, entah daging apa!
“Heii, dari
mana engkau memperoleh daging itu? Daging apakah itu?”
Ci Sian
tertawa dan mengangkat kulit yang berbulu putih ke atas. “Entah binatang apa,
macamnya seperti kelinci, gemuk sekali, Paman, dan baunya sedap, ya?”
Melihat
kulit berbulu putih itu Kam Hong menahan ketawanya dan tidak mau memberi tahu
kepada Ci Sian bahwa yang sedang dipanggangnya itu adalah daging tikus salju!
Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk
pengisi perut, dari pada kelaparan.
“Paman, aneh
sekali. Ketika tadi aku lewat di dekat jenazah itu dan melihat boneka hangus
itu, ternyata pada tubuh boneka itu pun ada huruf-hurufnya.”
“Ehhh....?
Apa bunyinya?”
“Entah aku
tidak membacanya. Aku tahu pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru dari
badut itu untuk mempermainkan kita. Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini
dari pada membaca tulisan tiada gunanya itu.”
Malam tadi
Kam Hong memang sudah sangat tertarik untuk mencari tahu rahasia dari jenazah
itu. Dia tidak percaya akan kelakar Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya adalah
seorang badut yang sengaja hendak meninggalkan lelucon untuk mempermainkan
orang lain. Tentu ada rahasia yang tersembunyi dan terkandung di dalam semua
pesan yang ditinggalkan oleh jenazah itu. Apakah dia yang keliru mengartikan
pesan itu? Ah, tidak mungkin. Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak bisa
diartikan lain.
Mungkin
orang lain akan merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian tidak rela boneka itu
dibakar, akan tetapi anak perempuan itu hanya menyayangkan keindahan boneka itu
saja, merasa sayang bahwa benda mainan yang demikian bagusnya dibakar! Akan
tetapi orang lain, terutama orang-orang kang-ouw, setelah melihat tulisan yang
menyebutkan bahwa boneka itu merupakan benda keramat yang mengandung pelajaran
dahsyat, pasti akan menyimpannya dan berusaha untuk mencari rahasia pelajaran
dahsyat itu.
Akan tetapi
dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Dia adalah keturunan Suling Emas, dan
dia sendiri sudah memiliki kepandaian peninggalan nenek moyangnya yang tinggi
dan hebat, perlu apa dia menginginkan kepandaian lain? Juga, dia tidak sudi
melanggar pesan orang yang sudah mati.
Kini,
mendengar bahwa boneka yang dibakar sekian lamanya tetap utuh itu ada huruf
hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik sekali. Tanpa berkata apa pun dia kemudian
meninggalkan Ci Sian yang masih sibuk memanggang daging ‘kelinci’ sambil
mengomel karena di situ tidak terdapat bumbu masak, dan sambil berloncatan
dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah
itu masih rebah telentang seperti malam tadi, boneka itu masih terletak di atas
dadanya, di antara tangannya seperti yang dia letakkan semalam, lalu dia
mengamati boneka yang gosong itu.
Benar! Ada
huruf-huruf pada tubuh boneka itu! Agaknya huruf-huruf itu timbul setelah
boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan tetapi nyata! Dia tahu benar bahwa
ketika dia membakar boneka itu, tidak terdapat huruf apa pun pada tubuh boneka,
kecuali pada dahinya itu. Cepat dia mengambil boneka gosong itu dan
membersihkan angus dari tubuh boneka yang masih utuh.
Bukan main
girang hatinya ketika melihat bahwa huruf-huruf yang timbul setelah boneka
dibakar itu merupakan kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan mudah. Dia
bersihkan seluruh tubuh boneka, kemudian mulai membaca dengan jantung berdebar
tegang dan tertarik sekali. Makin lama, sepasang matanya makin terbelalak,
mukanya pucat dan tangan yang memegang boneka itu menggigil. Lalu dia
menggoyang-goyang kepala dan mengejap-ngejapkan kedua matanya seolah-olah tak
percaya akan apa yang dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf yang tersusun
rapi dari atas ke bawah di tubuh boneka itu.
Mau membakar
boneka pertanda jujur dan tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti berjodoh
untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku
menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling emas buatanku. Akan tetapi suling
itu tanpa ilmu sejati, apa artinya? Muridku, rendamlah boneka itu dalam air,
dan pergunakan airnya untuk memandikan jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu
yang ada padaku dengan hati yang besih. Tunggui aku selama tiga hari tiga
malam, baru boleh engkau menguburku. Mulai saat ini engkaulah muridku dan ahli
warisku.
SULING EMAS
Dapat
dibayangkan mengapa Kam Hong menjadi terbelalak lalu bengong seperti orang
kehilangan ingatan saking bengong, heran dan kagetnya. Jenazah yang
meninggalkan pesan itu menamakan dirinya sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah
Suling Emas itu adalah Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Bu Song dan juga
merupakan nenek moyangnya? Apakah.... apakah jenazah ini jenazah nenek
moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam Bu Song?
Ah, tidak
bisa jadi! Nenek moyangnya itu meninggal dunia di utara, bukan di Pegunungan
Himalaya. Dan lagi pula, tulisan itu menyebutkan bahwa penulisnya yang bernama
Suling Emas itu hidup di jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu hidup pada
jaman sesudah Dinasti Cin atau pada kurang lebih tahun empat ratus, jadi sudah
seribu empat ratus tahun kurang lebih. Sedangkan nenek moyangnya itu, Pendekar
Suling Emas Kam Bu Song hidup dalam tahun sembilan ratus lebih. Jadi ada
selislh lima ratus tahunan antara penulis surat ini dan nenek moyangnya yang
berjuluk Suling Emas itu. Penulis atau jenazah ini jauh lebih tua.
Tetapi,
jenazah ini menyebut-nyebut tentang suling emas. Suling emas yang dikatakan
buatannya itu diberikan kepada Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta yang
amat sakti dan yang terkenal menjelajah sampai jauh ke luar Cina. Pendeta Fa
Sian ini terkenal di seluruh dunia karena dia telah mencatat semua perjalanannya
sehingga catatannya itu merupakan catatan sejarah yang amat penting. Ada
hubungan apakah antara jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam Bu Song? Dan ada
hubungan apakah antara suling emas buatan jenazah ini yang diberikan kepada
Pendeta Fa Sian itu dengan suling emas peninggalan nenek moyangnya yang
sekarang terselip di ikat pinggangnya?
Sampai
bagaimana pun juga, Kam Hong tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan itu tanpa
bahan-bahan. Tak ada hal yang lebih ajaib dari pada hal yang telah terjadi secara
‘kebetulan’. Dia tidak tahu bahwa memang suling emas yang berada di pinggangnya
itu adalah buatan jenazah inilah! Kurang lebih seribu empat ratus tahun yang
lalu! Dan memang pencipta ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah kakek yang
kini membujur di depannya sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah tangan
berapa puluh kali ketika suling emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar Kam
Bu Song.
Seperti
dapat dibaca dalam cerita SULING EMAS, pendekar Kam Bu Song memperoleh suling
itu di Pulau Pek-coa-to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu Bun. Dan dia juga
memperoleh kitab terisi sajak-sajak yang menjadi pelengkap suling emas itu dari
tangan sastrawan besar Ciu Gwan Liong, adik sastrawan Ciu Bun itu. Kedua orang
sastrawan besar she Ciu ini menerima kitab sajak dan suling emas itu dari
seorang tokoh manusia sakti yang dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu! Mungkin
saja BU KEK SIANSUmenerima suling emas itu dari orang lain, ataukah dari
Pendeta Fa Sian sendiri?
Tidak ada
yang mengetahui karena memang apa pun boleh saja dan mungkin saja terjadi pada
dua orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu, yaitu Pendeta
Fa Sian dan Bu Kek Siansu! Kakek pembuat suling emas itu telah lenyap dari
dunia selama seribu empat ratus tahun, dan kini secara kebetulan yang amat aneh
sekali, kakek itu, dengan jasad yang masih utuh, telah berhadapan dengan ahli
waris suling emas buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan yang memegang
suling emas itu!
Bagaikan
orang yang kehilangan ingatan Kam Hong masih memegangi boneka itu dan entah
sudah berapa kall dia membaca tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa
panggang daging kelincinya dengan wajah berseri.
“Paman,
sarapan dulu! Ehh, mengapa engkau melamun? Lelucon apa lagi yang ditulis oleh
badut kuno itu?”
Suara bening
merdu ini menyeret Kam Hong kembali ke alam kenyataan. Dia menoleh, tersenyum
dan menaruh kembali boneka gosong itu ke atas dada jenazah, kemudian
menghampiri Ci Sian sambil berkata. “Ada perintah baru dari Locianpwe ini.
Baiklah kita sarapan, dan nanti akan kuceritakan kepadamu suatu keanehan yang
benar-benar ajaib sekali, Ci Sian.”
Mereka lalu
makan panggang daging tikus salju itu yang terasa sedap karena memang di situ
tidak ada apa-apa lagi untuk dijadikan perbandingan. Setelah makan dan minum
air cairan es, dan mencuci tangan, barulah Kam Hong menceritakan tentang
tulisan pada boneka gosong itu. Ci Sian mendengarkan dengan ragu-ragu karena dia
sudah curiga saja kalau-kalau pamannya ini akan menjadi korban lelucon
permainan yang ditinggalkan oleh jenazah badut itu! Akan tetapi ketika dia
mendengar tentang suling emas, membuat dia mengerutkan alisnya dan
terheran-heran.
“Suling
Emas? Paman Kam, bukankah engkau juga memiliki suling emas itu?”
Kam Hong
mengangguk dan mencabut sulingnya. Nampak sinar keemasan berkilat dan pendekar
ini mengangkat sulingnya ke atas. “Bukan hanya memiliki suling pusaka ini, Ci
Sian, bahkan kepadamu aku tidak perlu merahasiakan bahwa aku adalah keturunan
terakhir dari Pendekar Sakti Suling Emas.”
“Ahhh....!”
“Kenapa?”
“Aku pernah
mendengar dari mendiang Kongkong, kiraku hanya nama dalam dongeng saja....“
“Bukan
dongeng, Ci Sian. Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song dan menjadi nenek
moyangku. Maka dapat kau mengerti betapa anehnya penemuan ini! Locianpwe ini,
seperti dapat kita baca pada pesanannya, memakai nama Suling Emas dan bahkan
mengaku dialah pembuat suling emas! Membuat aku berpikir-pikir apakah hubungan
Locianpwe ini dengan nenek moyangku? Dan apakah suling emas buatannya yang
dimaksudkan ini adalah suling yang kini menjadi milikku ini?”
Ci Sian yang
merasa tertarik sekali ikut pula membaca huruf-huruf pada tubuh boneka itu,
yang kembali dibaca oleh Kam Hong untuk ke sekian kalinya. Setelah ikut
membaca, Ci Sian berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, tidak lagi
memandang rendah kepada jenazah itu.
“Paman,
mengapa tidak kau taati perintahnya? Ternyata dia tidak main-main! Mungkin
suling emas yang diberikan olehnya kepada Pendeta Fa Sian itulah yang terjatuh
ke tangan nenek moyangmu dan sekarang menjadi milikmu. Akan tetapi ilmu yang
disebut sebutnya itu, sepatutnya kau pelajari. Kini engkau telah menjadi murid
dari Locianpwe ini, Paman! Engkau memang berjodoh dengan dia. Buktinya,
engkaulah yang berkeras ingin membakar boneka itu. Kalau aku, aku tadinya
merasa sayang, dan kalau menurut aku tentu boneka itu tidak akan pernah
kubakar.”
Kam Hong
mengangguk. “Memang benar ucapanmu, Ci Sian. Aku juga hendak mentaati
perintahnya.”
Kam Hong
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenazah yang rebah telentang itu,
kemudian berkata, “Teecu Kam Hong, hendak melaksanakan perintah Locianpwe, harap
Locianpwe memberi berkah.”
Setelah
memberi hormat, dia lalu merendam boneka gosong itu dalam air. Kemudian, air
rendaman itu dipergunakan untuk memandikan jenazah. Ci Sian yang merasa agak
ngeri dan jijik, menjauh. Apalagi karena dia mengerti bahwa dia adalah orang
luar dan tidak berhak ikut-ikut.
Setelah
memandikan jenazah itu dan membereskan kembali pakaian jenazah itu, Kam Hong
berpendapat bahwa tidak baik membiarkan jenazah itu di tempat terbuka, maka dia
lalu memondong jenazah itu dan dibawanya masuk ke dalam goa lebih kecil yang
berada di sebelah kanan goa tempat dia dan Ci Sian bermalam. Goa ini juga
diliputi es dan salju, jadi merupakan ‘peti es’ yang lebih besar lagi.
“Ci Sian,
aku harus mentaati perintah Locianpwe ini yang aku percaya adalah pembuat
suling emas ini, sehingga dengan demikian agaknya beliau ini justru merupakan
pencipta suling emas dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan pusaka itu. Maka
beliau ini masih terhitung nenek moyang perguruanku yang pertama! Maka, harap
kau tidak mengganggu selama tiga hari tiga malam ini, karena aku hendak
menjaganya seperti yang sudah diperintahkannya itu.”
Ci Sian
mengerutkan alisnya, agak cemberut karena dia merasa betapa beratnya kalau dia
selama tiga hari tiga malam harus sendirian saja, tetapi dia pun sudah membaca
sendiri pesan itu maka dia mengangguk dan berkata, “Baiklah, Paman. Itu urusan
keluargamu. Aku akan menangkap burung, kelinci dan mencoba-coba untuk mencari
jalan keluar dari tempat ini.”
“Akan tetapi
hati-hatilah, Ci Sian. Dan engkau berteriaklah kalau terjadi sesuatu. Biar pun
aku sedang menjaga jenazah, kalau engkau terancam sesuatu tentu aku akan datang
menolongmu.”
Lenyaplah
rasa tidak enak di dalam hati Ci Sian. Dia kini tidak cemberut lagi, bahkan
tersenyum manis sekali. Baru dari ucapan itu saja dia sudah maklum bahwa
sebetulnya, pada dasarnya, Kam Hong masih lebih sayang kepadanya dari pada
kepada mayat itu!
“Bagaimana
dengan makan dan minummu selama tiga hari itu, Paman?”
Kam Hong
tersenyum. “Kalau engkau memperoleh sesuatu, kau taruh saja bagianku di dekatku
tanpa bicara. Kalau aku lapar atau haus tentu akan kumakan dan kuminum.”
“Baik,
Paman,” kata Ci Sian lalu dia pergi meninggalkan Kam Hong yang duduk bersila
seorang diri di dekat jenazah.
Setelah dia
memandikan mayat itu, dia tadinya mengira tentu akan timbul petunjuk baru,
namun ternyata tidak terjadi apa-apa sehingga dia merasa heran. Pikirannya
dikerahkan untuk menduga-duga, di mana kiranya mayat ini menyimpan ilmunya yang
katanya dalam pesan terakhir itu agar dipelajarinya dengan hati bersih. Apakah
tersembunyi di dalam tubuhnya? Akan tetapi, ketika memandikan tubuh itu, dia
tidak melihat sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk.
Kini, untuk
menggeledah badan mayat itu, dia merasa tidak berani karena betapa pun juga,
dia mempunyai perasaan menghormat terhadap jenazah orang yang selain telah
mengangkatnya sebagai murid, juga diduganya merupakan nenek moyang perguruan
Suling Emas itu. Dia tahu bahwa keadaan jenazah ini memang penuh rahasia, dan
agaknya pengasuhnya sendiri, Sin-siauw Sengjin, yang merupakan keturunan
pengasuh kepercayaan nenek moyangnya dan bahkan yang menyimpan dan mewarisi
ilmu-ilmu nenek moyangnya yang kemudian diturunkan kepadanya, agaknya juga
tidak akan dapat memecahkan rahasia jenazah ini.
Sampai tiga
hari tiga malam lamanya Kam Hong menjaga jenazah itu, tepat seperti yang
diperintahkan oleh tulisan jenazah itu pada boneka. Selama tiga hari tiga malam
itu, dia sama sekali tidak pernah makan panggang daging yang setiap hari
dihidangkan oleh Ci Sian. Bukankah jenazah itu memesan agar dia mempelajari
ilmu-ilmunya dengan hati yang bersih? Dan untuk menjaga agar Ci Sian tidak
kecewa atau menyesal, Kam Hong mengubur panggang daging itu di bawah salju,
seolah-olah dia telah menghabiskan semua hidangan gadis itu.
Pada hari ke
empat, dia sudah merasa sangat yakin bahwa jenazah itu memang tidak
meninggalkan suatu petunjuk apa pun, maka dia pun mengambil keputusan untuk
menguburnya. Pagi hari ia berlutut didekat tubuh yang rebah telentang itu
sambil berkata. “Locianpwe, teecu telah memenuhi perintah Locianpwe, maka
perkenankan hari ini teecu mengubur jenazah....“
Tiba-tiba
dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat sesuatu pada kuku-kuku jari
tangan yang terletak di atas dada memegang boneka gosong itu. Pada kuku-kuku
itu nampak ada huruf-hurufnya! Padahal pada hari-hari sebelumnya huruf-huruf
itu belum ada! Hal ini dia ketahui benar karena dia sudah memeriksa seluruh
bagian tubuh yang nampak, dan ketika dia memandikan jenazah itu pun dia melihat
bahwa pada kuku yang panjang terpelihara itu tidak ada apa-apanya. Bagaimana
kini dapat timbul huruf-huruf itu? Akan tetapi pikirannya yang cerdas itu
segera dapat menangkap rahasianya. Tentu huruf-huruf itu ditulis oleh tinta
istimewa yang bara timbul setelah tiga hari sesudah dicuci dengan air rendaman
boneka gosong itu! Cepat diteliti dan dibacanya huruf-huruf itu dari kuku ibu
jari sampai kuku kelingking.
Muridku,
salurkan tenaga ‘Yang’ ke badanku agar aku tidak kedinginan.
Sungguh
aneh, pikir Kam Hong. Mana mungkin jenazah merasa kedinginan? Memang aneh-aneh
saja pesan dari jenazah ini, dan pantaslah kalau Ci Sian menganggapnya seorang
badut yang suka mempermainkan orang, biar telah mati sekali pun. Akan tetapi,
karena ada rasa hormat yang mendalam terhadap jenazah itu, Kam Hong tidak
merasa ragu-ragu lagi. Dia meletakkan kedua tangannya ke atas dada jenazah itu,
kemudian dia mengerahkan tenaga ‘Yang’ yaitu tenaga sinkang yang mendatangkan
hawa panas dan disalurkannya ke dalam tubuh itu melalui dada. Tubuh jenazah
yang tadinya dingin itu perlahan-lahan menjadi hangat, makin lama menjadi
semakin panas.
Pada saat itu,
seperti biasanya Ci Sian datang membawa hidangan panggang daging burung. Karena
sekarang sudah hari keempat, maka Ci Sian pun berani memasuki goa mendekati Kam
Hong, terheran-heran melihat betapa Kam Hong mengerahkan sinkang disalurkan
kepada tubuh jenazah itu. Apa yang hendak dilakukan oleh pendekar ini? Dia
merasa heran dan juga ngeri. Bagaimana kalau mayat itu tiba-tiba dapat bangkit
dan hidup kembali? Meremang bulu tengkuknya memikirkan kemungkinan yang tak
masuk akal ini. Akan tetapi mengapa Kam Hong mengerahkan sinkang ke dalam tubuh
mayat itu sampai tubuhnya gemetaran. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang membuat
menjerit.
“Heiii! Ada
huruf-huruf timbul di punggung tangannya!”
Kam Hong
juga melihat hal itu dan dia menjadi terkejut. Tentu saja dia menghentikan
pengerahan sinkang-nya dan sempat membaca sedikit tulisan pada punggung lengan
tangan itu yang ternyata berisi catatan-catatan pelajaran ilmu yang aneh. Akan
tetapi, baru sedikit dia membaca, huruf-huruf itu sudah memudar dan lenyap
kembali. Padahal tadi amat jelas, yaitu ketika dia masih mengerahkan
sinkang-nya. Maka dicobanya lagi. Begitu dia mengerahkan tenaga ‘Yang’,
huruf-huruf itu timbul kembali dengan jelasnya.
Sekarang
mengertilah Kam Hong. Dia lalu membuka jubah jenazah itu setelah memberi
hormat, dan begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka pada dada, perut, dan
lengan jenazah itu terdapat huruf-huruf yang disusun rapi, dimulai dari dada
dekat leher terus menurun. Akan tetapi, untuk mengerahkan sinkang sambil
mempelajari huruf-huruf itu sungguh merupakan hal yang tidak mungkin. Maka dia
lalu mencari akal.
“Ci Sian,
kini engkau harus membantuku. Tanpa bekerja sama, tidak mungkin aku dapat
mempelajari ilmu yang diwariskan oleh Locianpwe ini. Memang sesungguhnya beliau
ini adalah nenek moyang perguruanku, pembuat suling emas ini.”
“Bagaimana
engkau bisa tahu, Paman?”
“Lihat,
sedikit tulisan yang sampai kubaca tadi menyebutkan tentang pelajaran meniup
suling!”
“Wah, untuk
apa pelajaran meniup suling, Paman?”
“Aku ingin
mempelajarinya. Maukah engkau membantuku, Ci Sian?”
“Tentu saja.
Akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu?”
“Aku akan
mengerahkan sinkang dan ketika huruf-huruf itu timbul, engkau mencatatnya dari
permulaan dekat leher ke bawah.”
“Hemm,
dengan apa aku harus menulis? Tidak ada alat tulis....“
Akan tetapi
Ci Sian menghentikan kata-katanya karena dari balik jubahnya Kam Hong
mengeluarkan alat tulis berikut tinta keringnya.
“Kau kira
aku berpakaian sastrawan ini hanya untuk aksi saja? Aku selalu membawa alat
tulis ke mana pun aku pergi. Dan engkau dapat menuliskannya di sini.” Kam Hong
merobek sebagian dari baju dalamnya dan menyerahkan baju dalam berwarna kuning
muda itu kepada Ci Sian.
Ci Sian
menggosok tinta bak (tinta kering) dan mempersiapkan alat tulisnya. Kemudian
mulailah mereka bekerja sama, Kam Hong menyalurkan sinkang-nya ke dalam tubuh
jenazah itu dan Ci Sian lalu mencatat semua huruf yang timbul. Ternyata
huruf-huruf itu memang aneh sekali. Makin kuat Kam Hong mengerahkan
sinkang-nya, makin jelas pula huruf-huruf itu timbul, akan tetapi begitu Kam
Hong mengurangi tenaganya, maka huruf huruf itu pun menyuram!
Mereka
bekerja sama dengan tekun. Akan tetapi, sering kali mereka terpaksa harus
berhenti karena Kam Hong harus beristirahat dahulu untuk mengumpulkan tenaga
yang terus-menerus dikerahkan itu. Sampai selama tiga hari barulah habis semua
tulisan yang terdapat pada dada, perut dan lengan itu ditulis Ci Sian. Ternyata
di bagian punggung tidak terdapat tulisan, dan tulisan itu terus menurun sampai
ke pusar dan bawah pusar! Akan tetapi, ketika mereka sudah mengutip tulisan itu
sampai ke pusar, Kam Hong mau pun Ci Sian tidak melanjutkan lebih ke bawah
lagi.
“Paman,
kalau engkau hendak membuka celana itu aku tidak mau melanjutkan dan biar kau
tulis saja sendiri!” katanya.
“Ahhh, aku
pun tidak mau melakukan hal itu, Ci Sian. Aku menghormati Guruku, tidak mungkin
akan melakukan hal tidak sopan terhadap beliau, biar diupah pelajaran yang
bagaimana hebat sekali pun.”
Maka berhentilah
mereka. Kam Hong yang kelelahan itu lalu bersemedhi mengumpulkan hawa murni
untuk memulihkan tenaga sinkang-nya yang selama tiga hari ini terus menerus
dikerahkannya itu, sedangkan Ci Sian lalu menyusun tulisannya itu agar teratur.
Kalau saja keduanya tahu bahwa sikap mereka yang sopan terhadap jenazah itu
ternyata malah menyelamatkan mereka, atau setidaknya menyelamatkan Kam Hong!
Kiranya, locianpwe yang luar biasa saktinya itu, memang sebelum mati telah
memperhitungkan segala-galanya.
Di dalam
tempat-tempat terlarang itu memang ada dibuatnya tulisan-tulisan, akan tetapi
tulisan-tulisan di tempat terlarang ini mengandung pelajaran-pelajaran
menyesatkan yang hanya dapat menyeret orang yang mempelajarinya ke jurang
kesesatan! Jadi locianpwe itu telah memperhitungkan dengan cermat sekali,
memberi ganjaran kepada penemu mayatnya yang berwatak baik, sebaliknya memberi
hukuman kepada penemu mayatnya yang berwatak buruk! Hanya orang-orang kurang
menghormat, tidak sopan dan serakah akan ilmu sajalah yang akan membuka celana
untuk menuliskan huruf-huruf di bagian tubuh yang terlarang itu!
Setelah
tenaga sinkang-nya pulih kembali, mulailah Kam Hong membaca catatan-catatan
yang dibuat oleh Ci Sian itu. Memang kurang tersusun baik, akan tetapi akhirnya
Kam Hong dapat menyusunnya kembali dan dia menjadi girang sekali. Ternyata
catatan catatan itu mengandung dua macam pelajaran.
Pelajaran
pertama adalah pelajaran cara meniup suling! Akan tetapi bukan sembarangan
meniup suling, melainkan meniup suling dengan mempergunakan khikang dan sinkang
yang amat aneh dan tinggi. Menurut catatan itu, kalau orang berhasil
mempelajari cara meniup suling menurut pelajaran ini, maka dia akan dapat
meniup suling yang semua lubangnya ditutup, dimulai satu demi satu, sampai
akhirnya bahkan dia akan mampu meniup suling tanpa suling! Memang aneh dan
gila! Akan tetapi bukan tidak mungkin.
Kalau
tingkat khikang dan sinkang yang dimiliki sudah setinggi itu, dia akan mampu
mengeluarkan hawa tiupan melalui tenggorokkannya sendiri tanpa suling dan akan
dapat mengeluarkan bunyi seindah suara suling yang berlagu! Dan kalau sudah
setinggi ini tingkatnya, kiranya di dunia ini akan jarang sekali terdapat orang
yang akan mampu menandingi sinkang dan khikangnya sehingga pantaslah disebut
Pendekar Suling Emas yang sejati!
Pelajaran ke
dua mengandung pelajaran gerakan ilmu pedang yang hanya terdiri dari delapan
belas jurus. Ilmu pedang ini tidak begitu baik kalau dimainkan dengan pedang,
melainkan baru tepat kalau dimainkan dengan suling emas! Dan nama ilmu ini
adalah Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)!
Giranglah
hati Kam Hong dan sambil menanti sembuhnya tulang kakinya yang patah, mulailah
dia berlatih meniup suling! Kadang-kadang Ci Sian mentertawakan pendekar ini.
Kalau meniup suling dengan cara biasa, pendekar ini mampu meniup lagu-lagu
indah yang mempesona. Bahkan Ci Sian sendiri menjadi kagum mendengarnya. Akan
tetapi sekarang dia belajar meniup bagai seorang anak kecil yang belum pandai
meniup suling. Suaranya tidak karuan.
Tentu saja demikian
karena dia meniup dengan menurut pelajaran dalam catatan itu, yaitu setiap
lubang harus dapat dipergunakan untuk meniupkan suara bermacam-macam not! Dan
untuk menguasai ini tidaklah mudah, karena dia harus dapat mengatur tenaga
khikang sedemikian rupa sehingga sesuai benar dengan tenaga yang dibutuhkan
untuk menciptakan not itu. Mulailah Kam Hong belajar dengan amat tekunnya, Ci
Sian sendiri yang menjadi pencatat dari ilmu-ilmu itu sama sekali tidak
mengerti, karena dasar ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau harus
mengerti ilmu-ilmu yang amat tinggi itu.
Ci Sian,
kadang-kadang dibantu oleh Kam Hong yang sudah mulai dapat menggunakan kakinya
yang patah tulangnya, akan tetapi terpincang-pincang, sering kali mencari-cari
jalan keluar, namun mereka terpaksa harus melihat kenyataan bahwa tempat itu
benar benar dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam sekali sehingga
seolah-olah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ci
Sian hampir menangis melihat kenyataan ini.
“Haruskah
kita hidup terus di sini, sampai mati menjadi orang-orang terasing di tempat
dingin ini?” keluhnya.
“Sabarlah,
Ci Sian. Tunggu sampai kakiku sembuh sama sekali. Aku akan mencari jalan keluar
dan aku akan menuruni jurang itu untuk memeriksa kemungkinan keluar dari tempat
ini. Jangan khawatir. Sementara ini, untungnya di sini engkau bisa mendapatkan
burung dan.... ehh, kelinci itu untuk makan, bukan?”
“Aih, bosan
aku! Setiap hari makan daging burung dan kelinci tanpa bumbu! Lama-lama kita
bisa berubah menjadi binatang buas!”
Betapa pun
juga, Ci Sian bukanlah seorang anak perempuan cengeng yang hanya suka mengeluh.
Dia sudah menjadi lincah gembira kembali dan dia pun membuang waktu luangnya
untuk berlatih ilmu silat atas petunjuk dari Kam Hong sehingga dalam waktu
beberapa hari saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat…..
***************
Kita
tinggalkan dulu dua orang anak manusia yang terpencil di tempat sunyi dan
dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek.
Seperti telah kita ketahui, dua orang paman dan keponakan yang merupakan pemburu-pemburu
yang gagah perkasa ini telah menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya mereka
malah terancam bahaya maut dan baru selamat setelah Kam Hong turun tangan.
Mereka berdua kagum bukan main menyaksikan kelihaian pendekar yang memegang
kipas dan suling emas itu. Diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa bahwa ia tak
dapat berkenalan lebih jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan dengan
pendekar yang begitu perkasa.
Dua orang
pemburu ini melanjutkan perjalanan. Ketika mereka melihat adanya banyak mayat
berserakan di mana-mana dalam keadaan terluka parah dan mengerikan, timbul
keraguan dalam hati Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu.
“Paman, di
mana-mana selalu terdapat bekas amukan binatang buas seperti yang belum pernah
kita lihat sebelumnya. Kalau benar ini semua adalah perbuatan Yeti seperti yang
dikabarkan orang selama ini, sungguh amat berbahaya sekali kalau kita bertemu
dengan dia. Apakah perlu perjalanan ini kita lanjutkan?” tanyanya sambil
membantu pamannya mengubur setiap mayat yang mereka temukan di jalan.
“Hong Bu,
engkau tentu mengerti dan dapat merasakan desir darah dan tuntutan hati seorang
pemburu! Setelah melihat seekor binatang yang begini buasnya, yang bukan hanya
amat menarik akan tetapi juga telah membunuh banyak manusia, bagaimana mungkin
kita dapat kembali sebelum berusaha menangkap atau membunuhnya!”
“Aku
mengerti, Paman, akan tetapi yang kita buru sekali ini adalah makhluk yang luar
biasa kuat dan kejamnya melebihi setan! Apa mungkin kita akan mampu
menangkapnya apalagi membunuhnya kalau sekian banyaknya orang kang-ouw saja
juga tidak mampu, bahkan menjadi korban dan mati konyol di bawah kebuasannya?”
“Kalau pun
tidak mungkin menangkap atau membunuh, baru melihatnya saja pun sudah merupakan
suatu kebanggaan besar bagi seorang pemburu sejati! Pemburu manakah di dunia
ini yang sudah dapat melihat, bertemu dan berhadapan muka dengan Yeti? Belum
ada, dan aku mengharapkan untuk menjadi pemburu pertama yang mengalaminya!”
Hong Bu
tidak membantah lagi. Dia dapat merasakan hasrat itu di dalam hatinya, hasrat
seorang pemburu yang seperti juga setiap orang pemburu atau penangkap ikan,
selalu rindu akan kebanggaan bercerita tentang keanehan binatang yang
diburunya. Semakin ganas binatang itu, semakin buas dan semakin berbahaya, akan
makin banggalah untuk menceritakan pengalamannya! Ia pun terus mengikuti
pamannya tanpa membantah lagi, bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan
bersama pamannya tanpa mengenal takut.
Paman dan
keponakan ini tidak tahu bahwa di balik puncak yang menjulang di depan mereka,
yang akan mereka lewati siang hari itu, sedang terjadi hal yang lebih hebat dan
mengerikan lagi. Di antara para orang kang-ouw yang ramai-ramai mendatangi
Himalaya, tertarik akan berita tentang pedang pusaka yang diperebutkan itu,
terdapat lima orang murid-murid Kun-lun-pai. Mereka berlima ini tidak ada
hubungannya dengan tiga orang tokoh Kun-lun yang pernah diceritakan dalam awal
cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan
Hui-siang-kiam Ciok Kam yang terluka, biar pun tiga orang tosu itu pun datang
dari Pegunungan Kun-lun-san. Sama sekali tidak ada hubungannya, karena lima
orang ini adalah murid dari partai persilatan besar Kun-lun-pai yang berpusat
di pegunungan Kun-lun-san.
Mereka
adalah murid-murid kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia kang-ouw sudah
merupakan tingkat yang lumayan dan mereka telah memiliki ilmu silat yang cukup
kuat. Mereka terdiri dua orang pemuda dan tiga orang gadis yang kesemuanya
memiliki sikap yang gagah perkasa. Yang pertama bernama Tan Coan, merupakan
orang pertama dan tertua, usianya dua puluh lima tahun dan merupakan pemimpin
rombongan mereka itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula, bernama Lim Sun
berusia dua puluh tiga tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang bernama Lim
Siang, seorang gadis berusia dua puluh tahun. Yang ke empat dan ke lima juga
wanita, kakak beradik bernama Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun dan Tio
Ang Bwee berusia enam belas tahun.
Lima orang
murid Kun-lun-pai ini pun tertarik oleh berita tentang pedang pusaka yang
dilarikan pencuri dari istana dan kabarnya dibawa ke daerah Himalaya. Kebetulan
mereka berada di Pegunungan Kun-lun-san, maka mereka minta perkenan dari para
pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi ke Himalaya, sekedar untuk meluaskan
pandangan, menambah pengetahuan dan kalau mungkin mendapatkan kembali pedang
pusaka kerajaan itu untuk berbakti kepada negara. Para pimpinan Kun-lun-pai
merasa khawatir, akan tetapi karena lima orang muda itu mendesak, akhirnya para
tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan agar mereka tidak melayani
orang-orang kang-ouw dan tidak menimbulkan perkelahian dan permusuhan,
melainkan hanya sekedar untuk menambah pengalaman belaka.
Demikianlah,
ketika lima orang murid Kun-lun-pai ini tiba di daerah bersalju, tiba-tiba
mereka bertemu dengan tiga orang tua aneh yang memandang kepada tiga orang
gadis muda itu sambil tertawa-tawa. Lima orang murid Kun-lun-pai itu tidak
mengenal mereka ini, tidak tahu bahwa mereka itu adalah tiga orang tokoh kaum
sesat yang amat terkenal dan lihai sekali. Mereka itu adalah bekas para
pembantu dari tokoh sesat Hwa-i-kongcu Tang Hun, Ketua Liong-sim-pang yang
kemudian bergabung dengan pemberontak Pangeran Nepal dan kemudian tewas di
tangan pendekar yang terkenal Suma Kian Bu atau lebih terkenal lagi dengan
julukan Pendekar Siluman Kecil.
Tiga orang
aneh ini adalah orang-orang yang sudah biasa berkecimpung dalam dunia
kejahatan. Yang pertama berpakaian seperti seorang tosu, usianya kurang lebih
enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus berwajah bengis. Orang kedua
adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, usianya sebaya dengan tosu tadi, tubuhnya tinggi
besar dan mukanya hitam. Kalau Hak Im Cu terkenal dengan ginkang-nya yang
hebat, orang ke dua ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan
Selaksa Kati), tenaganya sebesar gajah dan dia adalah seorang yang memiliki
sinkang kuat sekali dan kedua kepalan tangannya merupakan senjata ampuh. Orang
ketiga adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, usianya juga sebaya, kepalanya gundul
tetapi dia bukanlah seorang hwesio. Tubuhnya pendek gemuk, tidak sesuai dengan
keahliannya, yaitu ahli bermain dalam air dan memiliki tenaga dalam yang kuat
pula. Orang ketiga ini suka tertawa-tawa, dan tangannya memegang sebatang
dayung yang kini dipergunakan sebagai tongkat.
Sesungguhnya,
sebelum mereka bertiga ini menghambakan diri kepada ketua Liong-sim-pang, walau
pun mereka itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat, namun mereka bertiga tidak atau
jarang sekali menggoda wanita. Akan tetapi, semenjak mereka menjadi
pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang selalu menghibur mereka dengan
wanita-wanita cantik, ketiga kakek ini berubah menjadi orang-orang yang haus
akan pemuasan nafsu berahi mereka yang bangkit karena kebiasaan di
Liong-sim-pang itu.
Maka, kini ketika
mereka melihat ada tiga orang gadis muda yang manis-manis, bertemu dengan
mereka di tempat sunyi, tentu saja mereka menjadi tertarik karena pikiran
mereka sudah membayangkan pengalaman-pengalaman lalu dengan wanita-wanita muda
dan membayangkan betapa akan senangnya kalau mereka mendapatkan teman seorang
satu di tempat yang sunyi dan berhawa dingin itu!
Demikianlah
timbulnya nafsu berahi atau nafsu apa pun juga yang menguasai hati dan pikiran,
menguasai batin kita setiap saat dan yang kemudian menjadi pendorong dari
setiap perbuatan kita dalam hidup ini. Pikiranlah sumbernya. Pikiran yang
bekerja mengenangkan segala kesenangan yang pernah dialami. Pikiran yang
merupakan gudang dari pengalaman dan ingatan.
Kalau mata
kita tertarik dan suka melihat segala sesuatu yang indah, setangkai bunga yang
indah warnanya, awan berarak di langit, tamasya alam terbentang luas di depan
kita, matahari senja yang menakjubkan, wajah seorang wanita yang cantik manis,
semua rasa suka memandang itu adalah wajar, karena mata kita sudah dibentuk
sejak kecil untuk menilai apa yang dinamakan indah dan apa yang buruk itu.
Kalau yang
ada hanya memandang saja, maka hal itu wajar dan tidak terjadi konflik. Akan
tetapi sayang, setiap kali kita memandang, pikiran yang penuh dengan ingatan
ini selalu campur tangan. Pikiran yang mendambakan kesenangan ini lalu
membayangkan kembali segala kesenangan yang pernah dialami atau pernah
didengarnya, kemudian membayangkan hal-hal yang menimbulkan nafsu. Mata melihat
wanita cantik jelita dan terjadi daya tarik, timbul semacam dorongan untuk
memandang keindahan yang terdapat pada wajah itu. Kalau yang ada hanya
memandang saja, maka setelah wanita itu lewat dan lenyap, habislah saja sampai
di situ. Tetapi kalau pikiran memasukinya, kemudian membayangkan betapa akan
senangnya kalau dapat bercinta dengannya dan sebagainya, maka timbullah nafsu
berahi!
Pikiran
adalah sumber segala konflik. Pikiran menjadi tempat bertumpuknya kenangan akan
hal-hal yang telah lalu, yang pernah kita alami dan selalu pikiran mengejar
kesenangan atau lebih tepat lagi, mengejar pengulangan kesenangan yang lalu
dengan menciptakan kesenangan yang ingin dialami di masa mendatang, dan selalu
karenanya menolak dan menghindarkan ketidak senangan. Oleh karena keinginan
untuk mengejar kesenangan inilah maka kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang
menyeleweng dari pada kebenaran, perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang
lain dan diri sendiri.
Setelah
melihat semua ini, dapatkah kita membebaskan diri dari pencampur tanganan pikiran?
Bisakah kita memandang atau mendengar saja penuh perhatian, tanpa adanya
pikiran yang membandingkan, mempertimbangkan lalu memutuskan baik buruknya atau
senang susahnya? Dapatkah pikiran berhenti mengoceh dan menghidupkan kembali
hal-hal yang telah lalu?
Tentu saja
bukan berarti bahwa kita hidup tanpa pikiran! Hal itu sama sekali tidaklah
mungkin! Pikiran adalah alat yang amat dibutuhkan untuk hidup, atau untuk
melengkapi hidup ini. Tanpa pikiran, tanpa ingatan tentu saja kita tidak akan
dapat pulang ke rumah, tidak akan dapat melakukan pekerjaan, tidak akan dapat
menghitung, membaca dan sebagainya lagi. Pikiran amatlah penting bagi kita,
yaitu dalam soal-soal teknis saja. Dalam soal-soal keperluan lahiriah saja.
Akan tetapi
begitu pikiran penuh ingatan memasuki batin, mengusik hubungan antara kita
dengan manusia lain, akan terjadilah konflik. Dalam komunikasi antara kita
dengan manusia lain, dengan benda, dengan batin, sebenarnya tidak dibutuhkan
pikiran yang menilai berdasarkan ingatan masa lalu.
Melihat
sikap tiga orang kakek yang jelas membayangkan bahwa mereka itu adalah
tokoh-tokoh berilmu, sebagai orang-orang muda yang tahu aturan kang-ouw, lima
orang murid Kun-lun-pai itu lalu berhenti melangkah dan menjura kepada tiga
orang kakek itu dengan sikap hormat. Tan Coan sebagai yang tertua dan pemimpin
rombongan, lalu melangkah maju.
“Sam-wi
Locianpwe (Tiga Orang Gagah), selamat berjumpa dan silakan Sam-wi lewat.”
Mereka lalu berdiri di tepi jalan untuk membiarkan mereka lewat lebih dulu.
Tiga orang
kakek itu saling pandang dan Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biasanya terus
menyeringai dan tertawa-tawa itu berkata. “Aha, kalian adalah orang-orang muda
yang tahu aturan dan menyenangkan sekali. Siapakah kalian?”
“Kami
berlima adalah murid-murid Kun-lun-pai....“
“Wah-wah-wah,
murid-murid Kun-lun-pai juga berkeliaran sampai ke sini? Apakah kalian juga
ingin pula memperebutkan pedang keramat Koai-liong-po-kiam?” berkata Hak Im Cu
dengan nada suara mengejek.
Diam-diam
Tan Coan terkejut dan tidak senang melihat sikap mereka dan mendengar
ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Sikap mereka tidak menghormat
Kun-lun-pai itu saja sudah dapat menimbulkan dugaan bahwa mereka ini adalah
orang-orang dari golongan hitam! Kaum bersih, di mana juga dia berada, tentu
akan menghormati Kun-lun-pai yang merupakan sebuah di antara partai-partai
persilatan besar. Akan tetapi dia menahan kesabaran dan menjura sambil berkata,
suaranya tetap tenang dan halus.
“Kami
mendengar tentang pokiam itu, akan tetapi kami hanya datang untuk melihat dan
mendengar, meluaskan pengalaman kami yang dangkal. Harap Sam-wi Locianpwe tidak
mentertawakan kami yang bodoh.”
“Huhh,
orang-orang Kun-lun-pai selamanya sombong dan tinggi hati!” Tiba-tiba
Ban-kin-kwi Kwan Ok mencela, suaranya berat dan memang dia pernah menaruh
dendam karena pernah dia dikalahkan oleh seorang tosu Kun-lun-pai beberapa
tahun yang lalu.
Akan tetapi
Hai-liong-ong Ciok Gu To yang masih tersenyum sambil memandangi tiga orang
gadis itu, masih bicara dengan ramah. “Orang-orang muda, ketahuilah bahwa
tempat ini amat berbahaya! Ada Yeti mengamuk dan sudah banyak sekali orang
kang-ouw yang tewas.”
“Oleh karena
itu...” sambung Hak Im Cu, “tidak baik bagi nona-nona ini untuk melakukan
perjalanan sendiri! Kalian dua orang pemuda boleh saja berjalan sendiri, akan
tetapi biarlah tiga orang nona ini melanjutkan perjalanan bersama dengan kami.
Kami akan menjaga dan melindungi keselamatan kalian, Nona-nona manis!”
“Bagus!
Seorang satu, itu baru adil namanya,” kata pula Ciok Gu Tosu sambil tertawa
bergelak. “Marilah, Nona-nona, kalian akan melakukan perjalanan yang
menyenangkan, selain akan aman juga tidak akan kedinginan lagi, ha-ha-ha!”
Lima orang
murid Kun-lun-pai itu terkejut bukan main. Muka mereka sudah berubah merah
sekali dan sinar mata mereka bernyala karena marah. Mereka memang telah
diperingatkan oleh guru mereka agar tidak bermusuhan dan agar jangan berkelahi,
akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang kurang ajar semacam tiga orang
kakek ini, apakah mereka juga harus bersahabat? Bagaimana pun juga, mereka
adalah orang-orang muda gemblengan, maka Tan Coan bisa menyabarkan adik-adik
seperguruannya dengan pandang matanya, kemudian dia menjura lagi dan berkata
kepada tiga orang kakek itu, nada suaranya masih halus namun penuh ketegasan.
“Kiranya
Sam-wi adalah orang-orang yang merupakan tokoh besar di dunia kang-ouw, maka
agaknya sengaja Sam-wi hendak menggoda kami orang-orang muda dari Kun-lun-pai!
Akan tetapi para pemimpin dan guru-guru kami telah berpesan kepada kami agar
kami tidak berlaku kurang ajar dan tidak mencari permusuhan dengan siapa pun
juga. Oleh karena itu, harap Sam-wi menaruh kasihan kepada kami dan membiarkan
kami pergi melanjutkan perjalanan kami.”
“Heh, bocah
yang bermulut manis! Kalau engkau mau pergi bersama temanmu pemuda yang satunya
lagi itu, lekaslah minggat dan menggelinding pergi! Akan tetapi tinggalkan tiga
orang gadis manis itu untuk menemani kami!” bentak Ban-kin-kwi Kwan Ok dengan
bentakan keras.
Tak mungkin
kini mereka berlima dapat menahan kemarahan mereka yang memuncak oleh ucapan
yang amat menghina ini. Sekarang jelaslah bagi mereka bahwa mereka berhadapan
dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang jahat sekali. Lim Sun yang lebih muda
dan lebih berdarah panas itu lalu maju membentak. “Siapakah kalian bertiga yang
bersikap seperti memusuhi Kun-lun-pai?” bentaknya dengan melotot.
Hak Im Cu
tertawa menyambut pertanyaan ini. “Ha-ha-ha, memang sebaiknya kami
memperkenalkan diri agar kalian berdua tidak mati penasaran dan agar ketiga
orang gadis itu akan merasa lebih senang karena telah kami pilih sebagai
teman-teman seperjalanan di tempat dingin ini. Dengarlah baik-baik, Pinto
adalah Hak Im Cu, dia itu adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, sedangkan Si Gundul itu
adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To! Nah, sudah jelaskah?”
Lima orang
muda Kun-lun-pai itu memang belum banyak pengalaman di dalam dunia kang-ouw,
apalagi dunia penjahat, maka tentu saja nama-nama itu asing bagi mereka.
“Sekali lagi
kami harap Sam-wi tidak menanam permusuhan dengan kami orang-orang muda yang
tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga dan membiarkan kami pergi,” Tan
Coan berkata lagi, sungguh pun nada suaranya tidak sehormat tadi, akan tetapi
juga tidak kasar dan dia sudah memberi tanda kepada adik-adik seperguruannya
untuk meninggalkan tempat itu.
“Haiiiit,
tahan dulu!” bentak Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biar pun tubuhnya pendek
gemuk akan tetapi dapat bergerak gesit sekali karena tahu-tahu dia sudah berkelebat
dan menghadang di depan mereka berlima. “Tulikah kalian? Yang dua laki-laki
boleh minggat, akan tetapi yang tiga wanita harus tinggal!”
“Manusia
jahat!” bentak Tio Ang Bwee, murid perempuan Kun-lun-pai yang baru berusia enam
belas tahun itu dan dia sudah menyerang dengan menggunakan pedangnya yang
dicabut secepatnya.
“Ha-ha-ha,
engkau memilih aku sayang? Aha, engkau tidak salah pilih!” Si Pendek Gendut
yang berkepala gundul ini tertawa dan dengan tenang saja dia mengelak dari
sambaran pedang Tio Ang Bwee. Sementara itu, empat orang murid Kun-lun-pai yang
lain sudah mencabut pedang dan mereka pun menerjang maju.
Hak Im Cu
dan Ban-kin-kwi Kwan Ok menyambut mereka dengan tertawa mengejek. Dan memang
sesungguhnya tingkat kepandaian murid-murid kelas dua dari Kun-lun-pai ini
masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tiga orang tokoh
sesat itu. Tanpa mengerahkan banyak tenaga, lewat belasan jurus saja lima orang
muda itu sudah terdesak hebat dan akhirnya Tan Coan dan Lim Sun roboh oleh
pedang Hak Im Cu dan senjata dayung di tangan Hai-liong-ong Ciok Gu To,
sedangkan tiga orang gadis itu telah roboh tertotok!
Sambil
tertawa-tawa tiga orang kakek yang kejam seperti binatang buas itu telah
memilih masing-masing seorang gadis, mengangkat dan memondong mereka itu sambil
terkekeh dan hendak membawa mereka pergi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat
bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang lain.
Melihat dua orang ini, tiga orang kakek itu terkejut bukan main dan wajah
mereka berubah pucat.
Yang baru
muncul ini adalah dua orang kakek lain yang amat luar biasa. Yang seorang amat
pendek, jauh lebih pendek gendut dibandingkan dengan Hai-liong-ong Ciok Gu To,
karena Si Pendek yang berkepala gundul dan berpakaian seperti hwesio ini
tingginya tidak lebih dari satu seperempat meter! Dia berdiri di situ sambil
tertawa ha-ha-ha-ha seperti orang gendeng akan tetapi sepasang matanya
mencorong menyeramkan.
Orang kedua
tidak kalah anehnya. Sebagai kebalikan dari Si Gendut Pendek, orang kedua ini
berpakaian tosu, kurus sekali dan tingginya sampai dua setengah meter, dua kali
lebih tinggi dari pada Si Pendek. Kalau Si Gendut Pendek itu berwajah riang
gembira, Si Tinggi Kurus ini mukanya sedih seperti orang menangis, sepasang matanya
sipit seperti terpejam.
Tentu saja
tiga orang kakek jahat itu terkejut seperti melihat setan, karena memang dua
orang di depan mereka itu seperti manusia-manusia setan yang terkenal sebagai
manusia-manusia yang paling jahat di kolong langit! Mereka itu adalah orang ke
empat dan ke lima dari sekelompok orang-orang sakti jahat yang terkenal dengan
julukan Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Si Pendek itu adalah Su-ok
(Jahat ke Empat) Siauw-siang-cu, sedangkan Si Jangkung itu adalah Ngo-ok (Jahat
ke Lima) Toat-beng Sian-su!
Para pembaca
cerita Jodoh Sepasang Rajawali tentu sudah mengenal mereka ini karena mereka
adalah tokoh-tokoh utama yang memimpin pemberontakan Pangeran Nepal terhadap
Kerajaan Ceng beberapa tahun yang lampau. Dan karena tiga orang kakek jahat itu
tadinya menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang juga bersekutu dengan
pemberontak tentu saja mereka bertiga mengenal siapa adanya dua orang aneh ini.
Hak Im Cu
dan dua orang kawannya cepat melepaskan tubuh tiga orang gadis Kun-lun-pai itu
dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada Su-ok dan Ngo-ok. “Sungguh tidak
mengira akan bertemu dengan Ji-wi Locianpwe di sini!” kata Hak Im Cu. Orang
seperti Hak Im Cu sampai menyebut Locianpwe terhadap mereka berdua, sungguh
merupakan penghormatan yang amat besar.
“Selamat
berjumpa, apakah selama ini Ji-wi Locianpwe baik-baik saja?” Ban-kin-kwi Kwan
Ok juga menyapa dengan ramah.
“Kami
menghaturkan hormat kepada Ji-wi Locianpwe!” kata pula Hai-liong-ong Ciok Gu
To.
Akan tetapi
Su-ok dan Ngo-ok tidak menjawab. Su-ok hanya tetap ha-ha-he-he menyeramkan,
sedangkan Ngo-ok yang cemberut itu memandang kepada tubuh tiga orang gadis muda
yang tak dapat bergerak karena tertotok itu.
Akhirnya
Su-ok menoleh kepada Ngo-ok dan melihat betapa mata yang sipit itu ditujukan ke
arah tiga orang gadis Kun-lun-pai itu, Su-ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalau
engkau menghendaki mereka, tiga ekor anjing tua ini harus dibunuh dulu.”
Ngo-ok
mengangguk. “Untuk apa kalau tidak dibunuh!” katanya.
Hak Im Cu
dan dua orang kawannya terkejut bukan main. “Ji-wi Locianpwe mengapa berkata
demikian? Kalau Locianpwe menghendaki mereka, biarlah kami mengalah dan
menghaturkan mereka kepada Locianpwe dengan senang hati.”
“Ha-ha,
anjing-anjing tua pengecut. Sudah berani naik ke sini mengapa takut mati? Hayo
majulah, bagaimana pun juga kami harus membunuh kalian.”
Tiga orang
tokoh sesat itu makin ketakutan sampai wajah mereka berubah pucat. “Locianpwe
sungguh tidak adil!” Ban-kim-kwi Kwan Ok berkata. “Kami bertiga adalah
sahabat-sahabat yang tidak pernah mengganggu Locianpwe, bahkan dengan hormat
kami mempersembahkan tiga orang gadis ini kalau Locianpwe menghendaki. Mengapa
hendak membunuh kami?”
“Siapa
bilang kita bersahabat?” Ngo-ok mendengus dan matanya terbuka sedikit, sikapnya
sungguh mengerikan.
“Locianpwe,
bukankah kita pernah bersama-sama membantu Pangeran Nepal? Bukankah kita adalah
orang-orang sendiri dan karena itu bersahabat?” Hak Im Cu berkata.
“Ha-ha-ha!”
Si Pendek Gendut Suok tertawa mengejek. “Memang ketika itu kalian
menguntungkan, maka bersahabat. Sekarang, kalian merupakan saingan kami dalam
mencari dan memperebutkan Koai-liong-pokiam, maka kalian adalah saingan kami
atau musuh dan harus dibunuh. Lain dulu lain pula sekarang! Dulu menguntungkan
maka sahabat, sekarang merugikan maka musuh!”
Sungguh
pendapat yang sama sekali mau enak sendiri saja! Akan tetapi, benarkah sikap
Su-ok dan Ngo-ok itu aneh dan jahat? Lupakah kita bahwa kita sendiri pun dengan
diselubungi oleh segala sopan santun dan kebudayaan, pada hakekatnya mempunyai
perhitungan dan pandangan yang tidak jauh bedanya dengan sikap dua orang
manusia iblis itu?
Sebaiknya
kalau kita meneliti dan memandang diri sendiri, mengenal diri sendiri. Coba
kita renungkan dan pandang dengan sejujurnya, mengapa kita mempunyai
sahabat-sahabat dan mengapa pula kita mempunyai musuh-musuh?
Bukankah
orang yang kita anggap sahabat itu adalah orang yang kita pandang akan
menguntungkan kita, baik keuntungan lahir mau pun batin?
Dan
sebaliknya bukankah orang yang kita anggap musuh itu adalah orang yang kita
pandang merugikan lahir mau pun batin?
Dan orang
yang sekarang kita anggap sahabat, kalau pada suatu hari dia itu merugikan kita
lahir atau batin, apakah dia masih kita anggap sahabat, ataukah lalu kita
anggap sebagai musuh?
Berapa
banyaknya orang yang kini kita anggap musuh itu dahulu pernah menjadi sahabat
kita?
Ahhh,
kehidupan kita penuh dengan penilaian yang didasarkan untung rugi bagi kita
sendiri, oleh karena itulah maka kita memisah-misahkan orang-orang lain sebagai
yang disuka dan yang tidak disuka, sebagai sahabat atau musuh. Bukankah pada
dasarnya kita, yang masih mempunyai sahabat dan musuh, tidak jauh beda
pandangan kita dengan Su-ok dan Ngo-ok?
Tiga orang
kakek itu sendiri adalah tokoh-tokoh jahat dan kejam. Baru saja mereka
memperlihatkan watak mereka yang kejam, dengan membunuh dua orang pemuda Kun Lun
Pai yang tidak berdosa dan hendak memaksa tiga orang gadis Kun Lun Pai untuk
melayani mereka. Maka, kini melihat sikap Su-ok dan Ngo-ok, maklumlah mereka
bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain membela diri mati-matian.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment