Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 04
Dan karena
mereka sudah tahu akan kelihaian Su-ok dan Ngo-ok, maka mereka pun tidak mau
mengalah dan tidak segan melakukan kecurangan demi untuk menyelamatkan diri!
“Haiiittttt....!”
Mendadak
Hai-liong-ong Ciok Gu To yang berdiri di sebelah agak kiri dari Su-ok, sudah
menggerakkan dayungnya yang terbuat dari pada kuningan itu dan menghantam ke
arah kepala Su-ok yang pendek gendut seperti dirinya, akan tetapi tetap saja
dia masih lebih tinggi sehingga Su-ok itu hanya sampai di bawah telinganya saja
tingginya. Dayung itu menyambar dengan dahsyat sekali.
Melihat ini,
Hak Im Cu sudah menerjang maju lagi dengan pedangnya, sedangkan Ban-kin-kwi
Kwan Ok sudah menggunakan kepalan tangannya untuk membantu Ciok Gu To
mengeroyok Su-ok yang mereka tahu lebih lihai dari pada Ngo-ok Si Jangkung itu.
Terjadilah
perkelahian yang amat seru. Su-ok dengan enak saja menyelinap ke bawah dan
dayung itu menyambar ke atas kepalanya. Ketika melihat berkelebatnya bayangan
Ban-kin-kwi yang memukul sehingga menyambar angin pukulan dahsyat dari tokoh
bertenaga gajah ini, Su-ok tertawa dan tubuhnya sudah bergulingan ke atas tanah
sehingga pukulan itu pun luput.
Dua orang
lawannya terus mengepung dan mengirim serangan bertubi-tubi, namun Su-ok selalu
dapat mengelak dengan ilmu silatnya yang aneh, tubuhnya kadang-kadang
berloncatan, kadang-kadang menggelundung ke sana sini seperti trenggiling dan
kalau dia meloncat dari atas tanah, dia sudah mengirimkan pukulan yang amat
kuat sehingga beberapa kali kedua orang lawan yang sudah mengelak itu tetap
saja terhuyung, terbawa angin pukulan yang amat dahsyat.
Sementara
itu, Ngo-ok juga dengan enaknya menghadapi pedang di tangan Hak Im Cu. Tubuhnya
yang jangkung itu kalau mengelak hanya dengan lengkungan-lengkungan panjang dan
pedang itu selalu mengenai angin, kemudian kedua tangan itu dari atas menyambar
dengan lengan yang panjang seperti dua ekor burung menyambar-nyambar dari atas
membuat Hak Im Cu sibuk sekali untuk melindungi tubuhnya dari sambaran dua buah
tangan itu. Pedangnya terpaksa diputarnya secepat mungkin dan membentuk sinar
bergulung-gulung yang merupakan benteng yang melindungi tubuhnya.
Tingkat ilmu
silat dari tiga orang kakek itu sesungguhnya sudah mencapai tingkat tinggi dan
nama mereka di dunia kang-ouw sudah terkenal sekali. Murid-murid Kun-lun-pai
kelas dua tadi pun sama sekali bukan lawan mereka, dan di dunia kaum sesat
mereka ini sudah merupakan tokoh-tokoh yang disegani.
Akan tetapi
sekali ini mereka bertemu dengan datuk-datuk kaum sesat yang jauh lebih lihai
dari pada mereka. Baru ada satu saja di antara Im-kan Ngo-ok, ada Su-ok atau
Ngo-ok seorang saja, belum tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkannya.
Apalagi sekarang sekali muncul ada dua orang, tentu saja mereka menjadi
kewalahan sekali.
Yang pertama
kali mengalami desakan hebat adalah Hak Im Cu. Hal ini tidak mengherankan
karena biar pun tingkat kepandaian Ngo-ok masih kalah setingkat dibandingkan
dengan tingkat kepandaian Su-ok, akan tetapi Hak Im Cu menghadapi tokoh ini
seorang diri saja, dan watak Ngo-ok berbeda dengan Su-ok.
Su-ok adalah
orang yang suka bergurau dan suka mempermainkan orang, maka kini menghadapi
pengeroyokan dua orang lawan itu dia pun sengaja mempermainkan mereka, seperti
dua ekor tikus dipermainkan seekor kucing yang sudah merasa yakin akan kekuatan
dan kemenangannya. Oleh karena itulah maka kalau Ngo-ok sudah dapat mendesak
lawannya. Su-ok masih belum mendesak dan membiarkan dua orang lawannya itu
melakukan serangan bertubi-tubi yang dapat dihindarkannya dengan mudah saja.
Ngo-ok sudah
mendesak hebat dan kedua tangannya semakin gencar melakukan serangan ke arah
kepala Hak Im Cu. Tosu ini sudah mandi keringat karena berkali-kali tangan yang
berlengan panjang itu hampir saja berhasil menotoknya atau menghantam kepalanya
dari arah yang tidak terduga-duga sebelumnya karena dia tidak mungkin dapat
mengikuti gerakan dari atas itu.
Dengan
kegelisahan yang membuatnya nekat, mendadak dia menusuk ke depan, memutar
pedang itu dan tangan kirinya ikut melancarkan pukulan yang mengandung sinkang
kuat ke arah dada lawan, pedangnya berputar hendak merobek perut. Serangan ini
dahsyat bukan main sehingga biar pun Ngo-ok amat lihai, tokoh ini terkejut
juga.
Dan
tiba-tiba terjadilah apa yang dikhawatirkan sejak tadi oleh Hak Im Cu. Tubuh
tinggi kurus itu tiba-tiba berjungkir balik dan selagi Hak Im Cu terkejut dan
tidak tahu bagaimana harus menghadapi lawan ini, tahu-tahu ubun-ubun kepalanya
kena dicium ujung jari kaki kanan Ngo-ok.
“Aughhhh....!”
Hak Im Cu terhuyung ke belakang, pandang matanya berkunang-kunang dan pada saat
itu, Ngo-ok sudah menubruk ke depan dengan tubuh berjungkir balik kembali
seperti semula dan dua kali tangannya menampar.
“Krekk!
Krekk!” terdengar suara dan patahlah kedua pergelangan tangan Hak Im Cu.
Pedangnya terlempar jauh dan tahu-tahu jari-jari tangan kiri yang panjang dari
Ngo-ok telah mencekik lehernya dari belakang disambung oleh jari-jari tangan
kanannya dari depan.
Hak Im Cu
meronta-ronta, tidak mampu melakukan tendangan karena tubuh lawan berada di
belakangnya, sedang kedua lengannya sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Dia
meronta-ronta dan tubuhnya berkelojotan, namun sia-sia belaka. Cekikan itu
makin kuat saja. Sungguh merupakan penglihatan yang amat mendirikan bulu roma
apa yang dilakukan oleh Ngo-ok secara kejam bukan main itu. Akhirnya tubuh itu
berhenti juga berkelojotan dan Ngo-ok melemparkan tubuh Hak Im Cu yang telah
mati dengan mata melotot dan lidah keluar sampai memanjang.
“Aha, engkau
terburu-buru amat, Ngo-te!” Su-ok yang dikeroyok dua itu masih sempat
mentertawakan Ngo-ok. Akan tetapi Ngo-ok sudah tidak mau mempedulikan lagi
karena manusia iblis ini dengan langkah panjang sudah menghampiri Tio Gin Bwee,
gadis Kun-lun-pai yang berusia delapan belas tahun itu.
Tiga orang
gadis itu tidak pingsan, hanya tertotok saja dan tidak mampu menggerakkan
tubuhnya. Semenjak tadi, mereka itu menangis melihat kedua orang suheng mereka
tewas, kemudian mereka menonton pertempuran antara manusia-manusia iblis itu
dengan hati merasa ngeri dan takut. Mereka adalah gadis-gadis yang sudah
menerima gemblengan lahir batin, akan tetapi baru sekarang mereka merasa ngeri
dan takut karena maklum betapa mereka itu sama sekali tidak berdaya dan mereka
terjatuh ke dalam tangan manusia-manusia yang lebih jahat dari pada iblis
sendiri.
Saat Si
Jangkung itu menghampiri dan menyambarnya seperti seekor elang menyambar anak
ayam saja, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, Tio Gin Bwee menjadi ketakutan dan
merintih. Dua orang lainnya memandang dengan mata terbelalak dan jantung
berdebar. Rintihan Gin Bwee makin lama menjadi jeritan-jeritan menyayat hati
ketika dia dibawa ke balik tumpukan salju oleh Si Jangkung itu dan akhirnya tak
terdengar lagi jeritannya.
Tak lama
kemudian Ngo-ok sudah datang lagi dan sekarang tangannya yang berlengan panjang
itu menyambar tubuh Lim Siang, juga seperti tadi dibawanya gadis itu ke balik
tumpukan salju. Terdengar oleh Ang Bwee bagaimana suci-nya ini menjerit-jerit
akan tetapi makin lama jeritannya menghilang terganti isak tangis yang
menyedihkan.
Sementara
itu, terdengar Su-ok tertawa dan kini mulailah dia menyerang kedua orang
pengeroyoknya. Tubuhnya merendah bagaikan berjongkok dan pada waktu tangannya
dihantamkan ke depan, Hai-liong-ong Ciok Gu To berteriak dan tubuhnya terlempar
ke belakang, terbanting dan tewas seketika, dari mulutnya menyembur darah
segar. Itulah pukulan Katak Buduk yang berbau amis dan beracun, akan tetapi
juga ampuhnya menggila itu!
Melihat ini,
Ban-kin-kwi Kwan Ok tidak mempedulikan rasa malu lagi, dia telah meloncat
hendak melarikan diri. Akan tetapi tahu-tahu Si Pendek itu sudah berada di
depannya dan sekali Su-ok melancarkan pukulannya seperti tadi, Ban-kin-kwi juga
terjengkang dan tewas seketika dengan muntah-muntah darah!
“Ho-ho-ha-ha-ha....!”
Su-ok tertawa dan pada saat itu Ngo-ok sudah menangkap Ang Bwee, gadis ke tiga.
Gadis ini
saking takut dan ngerinya telah berhasil membebaskan diri dari totokan, maka
kini dia meronta-ronta dan melawan, menangis sambil berusaha mencakar dengan
kedua tangannya. Akan tetapi Ngo-ok tidak peduli, lalu membawa gadis itu ke
tempat tadi, diikuti oleh Su-ok dan dengan buas dia merenggut dan merobek-robek
pakaian Ang Bwee, kemudian memperkosa gadis itu di bawah penglihatan Su-ok yang
tertawa-tawa gembira. Ang-Bwee sempat mengeluarkan jerit yang amat melengking
saking takut dan ngerinya, akan tetapi selanjutnya dia tidak berdaya seperti
dua orang suci-nya yang sudah rebah sambil menangis dan dalam keadaan setengah
pingsan itu.
Agaknya
jeritan inilah yang terdengar oleh Sim Hong Bu dan Sim Tek. Dua orang paman dan
keponakan yang melakukan perjalanan mencari Yeti ini mendengar suara jerit aneh
di tempat sunyi itu. Mereka tadinya mengira bahwa jerit-jerit yang mereka
dengar terdahulu dan hanya terdengar lapat-lapat itu adalah jerit dari makhluk
yang mereka buru, yaitu Yeti. Maka mereka menuju ke tempat itu, di balik
puncak, dengan hati-hati agar mereka tidak sampai bertemu begitu saja dengan
makhluk berbahaya itu.
Mereka
berindap-indap dan mendekati tempat itu sambil berlindung. Akan tetapi jerit
terakhir yang mereka dengar, yaitu jerit yang keluar dari mulut Ang Bwee,
adalah jerit yang jelas dapat mereka kenal sebagai jerit yang keluar dari
seorang wanita yang mungkin berada dalam keadaan ketakutan amat hebat. Maka
kini keduanya berlari-lari menuju ke arah datangnya suara. Mereka mendengar
suara orang tertawa-tawa di balik tumpukkan salju dan jerit wanita tadi tidak
terdengar lagi. Maka keduanya lalu meloncat dan menuju ke balik tumpukan salju.
Apa yang
mereka saksikan membuat kedua orang pemburu ini berdiri terpukau dengan mata
terbelalak dan sejenak mereka seperti berubah menjadi patung. Kemudian wajah
mereka menjadi merah sekali, terutama sekali Sim Hong Bu. Mereka melihat
seorang kakek tinggi kurus sedang memperkosa seorang gadis yang bergerak
meronta lemah, sedangkan seorang kakek lain yang berpakaian hwesio dan
berkepala gundul sedang menonton sambil tertawa-tawa seolah-olah sedang
menonton pertunjukkan yang amat lucu dan menyenangkan.
“Manusia
hina-dina! Manusia iblis tak berjantung!” Sim Hong Bu sudah memaki dan dia
meloncat ke depan sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan tangan kiri
memegang busurnya. Niatnya untuk menerjang kakek yang sedang memperkosa gadis
itu, akan tetapi tiba-tiba kakek gundul itu menggerakkan tangannya menampar dan
angin dahsyat menyambar ke arah Sim Hong Bu dan membuat pemuda ini terjengkang
dan bergulingan.
“Ha-ha-ha-ha!
Ada lagi yang bosan hidup!” kata Su-ok ketika dia melihat Sim Tek yang juga
sudah tidak dapat bertahan menyaksikan peristiwa yang terkutuk itu, sudah
menyerang pula dengan pedang di tangan kanan dan busur di tangan kiri.
Sim Tek
maklum bahwa kakek gundul pendek itu lihai bukan main, akan tetapi untuk
membela gadis yang diperkosa itu, dia tidak peduli akan apa pun dan bersedia
untuk mengorbankan nyawanya kalau perlu. Juga Hong Bu sudah bangkit lagi dan
membantu pamannya menyerang. Akan tetapi tetap saja mereka berdua tidak mampu
menyerang kakek jangkung yang sedang memperkosa gadis itu, karena kakek pendek
gundul selalu menghadang mereka. Maka terpaksa mereka kini menerjang kakek
gundul dan terjadilah perkelahian yang tidak seimbang.
Jangankan
dikeroyok oleh dua orang pemburu paman dan keponakan ini. Sedangkan
pengeroyokan dua orang berilmu tinggi seperti Ban-kin-kwi Kwan Kok dan
Hai-liong-ong Ciok Gu To pun berakhir dengan kematian dua orang lihai itu! Kini
dengan enaknya Su-ok mempermainkan paman dan keponakan itu. Dia hanya berdiri
saja sambil bertolak pinggang, sedikit pun tidak bergerak, hanya kalau dua
orang itu datang menyerang, dia mendorong dengan tangan kanan atau kiri dan
kedua orang itu sudah terjengkang sebelum disentuh oleh telapak tangannya!
Melihat ini,
Sim Tek marah sekali dan cepat dia memasang anak panah pada busurnya. Memang
dia seorang pemburu yang pandai dan terlatih, juga berpengalaman, maka begitu
dia mainkan anak panah pada busurnya, dengan cepat sekali anak panah menyambar
bertubi-tubi ke arah Su-ok. Melihat ini, Hong Bu juga meniru perbuatan
pamannya, akan tetapi dia tidak membidik ke arah Su-ok, melainkan menujukan
anak-anak panahnya ke arah punggung dan pinggul Ngo-ok yang telanjang!
Terjadilah
hal-hal yang amat luar biasa. Su-ok hanya menggerakkan kedua tangannya dan
semua anak panah yang dilepas oleh Sim Tek itu kembali ke arah penyerangnya
dengan kecepatan jauh lebih laju lagi dari pada ketika anak-anak panah itu tadi
meluncur dari gendewa Sim Tek! Pemburu ini terkejut dan berusaha mengelak, akan
tetapi sebatang anak panah yang ditangkap oleh Su-ok dan dilontarkannya,
seperti kilat menyambar dan menembus dadanya! Robohlah pemburu itu dengan dada
tertembus anak panah sampai ke punggung dan tentu saja dia roboh dan tewas!
Anak-anak
panah yang dilepas oleh Hong Bu dengan tepat mengenai punggung dan pinggul Si
Jangkung, akan tetapi anak panah itu seperti mengenai tubuh dari baja saja,
semua terpental dan meleset, tidak ada sebatang pun yang mampu melukai tubuh
Ngo-ok! Dan sebelum Hong Bu dapat memanah lagi, tahu-tahu tengkuknya telah
dipegang oleh Su-ok dan dia tidak mampu bergerak lagi, hanya meronta-ronta di
udara sambil memaki-maki.
“Kalian
membunuh Pamanku! Kalian adalah iblis-iblis terkutuk, kalian manusia-manusia
jahanam! Hayo, bunuh aku sekalian!” teriaknya sambil kakinya menendang-nendang.
“Su-ko,
jangan bunuh bocah itu. Mulutnya kotor, dia cocok untuk menjadi bujang kita,”
Ngo-ok berkata dan dia sudah bangkit berdiri.
Kemudian, di
depan mata Hong Bu yang terbelalak penuh kengerian, Ngo-ok mencabuti kuku ibu
jari tiga orang gadis yang rebah diperkosanya itu. Gadis-gadis itu menjerit
satu kali dan roboh pingsan. Kemudian, setiap habis mencabut kedua kuku ibu
jari tangan, Ngo-ok melemparkan tubuh itu dan dia sengaja membanting secara
keras sehingga kepala gadis yang dibantingnya itu menimpa batu dan pecah, tewas
seketika! Tiga orang gadis itu tewas dalam keadaan yang amat mengerikan dan
menyedihkan.
“Iblis kau!
Bukan manusia kau! Terkutuk kau, menjadi intip neraka kelak, jahanam busuk!”
Sim Hong Bu memaki-maki dan hampir dia pingsan saking ngeri menyaksikan
kekejaman yang belum pernah disaksikan sebelumnya, bahkan belum pernah dia
mendengar atau mimpi tentang kekejaman sehebat itu!
“Uhh,
mulutmu benar busuk! Kau sungguh pandai memaki, bagus sekali!” Su-ok tidak
marah bahkan memuji-muji!
Tentu saja
Hong Bu tidak sudi dipuji dan dia memaki-maki makin hebat. “Anjing kau, babi
kau! Kalian buas dan keji, melebihi binatang, melebihi iblis!”
“Hemm, suruh
dia diam, Su-ko. Biar pun dia pandai bernyanyi, akan tetapi lama-lama bosan
juga,” kata Ngo-ok. “Atau biar kurobek saja perutnya dan kita lihat isi perut
anak yang begini berani?”
“Ha-ha-ha,
nanti dulu, Ngo-te. Di tempat seperti ini kita butuh pembantu, dan anak ini
mempunyai bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang tokoh kita kelak. Lihat saja,
keberaniannya menonjol, dan mulutnya pun cukup busuk. Kalau saja kelak
tindakannya sebusuk mulutnya, wah, dia bisa menandingi kita.”
“Jahanam
keparat, siapa sudi ikut kalian? Hayo bunuhlah aku, keparat. Kau kira aku
pengecut takut mati? Mau merobek perutku, robeklah, siksalah, kalian memang
anjing-anjing serigala yang buas. Lihat saja, kalau ada Pendekar Siluman Kecil
di sini, kepala kalian tentu akan dihancurkan!”
Saking
marahnya dan karena merasa tidak berdaya melihat orang-orang ini berbuat kejam,
dia teringat kepada pendekar yang dikaguminya itu dan menyebut namanya. Akan
tetapi, dua orang tokoh sesat itu terkejut bukan main, wajah mereka berubah dan
mereka memandang ke kanan kiri, seperti orang ketakutan!
“Di mana
Pendekar Siluman Kecil?” bentak Ngo-ok yang biasanya pendiam dan tenang itu,
kini kelihatan beringas dan gentar.
Hong Bu
adalah seorang anak yang cerdik sekali. Melihat perubahan pada wajah kedua
orang manusia iblis ini, tahulah dia bahwa nama pendekar yang dijunjungnya itu
kiranya juga sudah dikenal oleh mereka ini dan mereka kelihatan gentar terhadap
pendekar itu, maka dia lalu tertawa.
“Kalian
masih bertanya lagi? Kalian tentu tahu sendiri kalau sudah mengenal beliau
bahwa beliau adalah malaikat yang bisa menghancurkan iblis-iblis macam kalian
dan dapat muncul sewaktu-waktu!”
“Kau ingin
mampus!” Ngo-ok menghantam ke arah kepala Hong Bu dan anak ini tanpa berkedip
menanti datangnya maut.
“Plakkk!”
tangan Ngo-ok itu ditangkis oleh Su-ok.
“Ehh, kau
mengapa, Su-ko?” Ngo-ok mendengus marah.
“Bodoh, anak
ini agaknya memang mengenal dia dan kalau benar dia muncul, kita dapat
mempergunakan dia sebagai sandera, tolol!”
Hong Bu juga
segera mengerti persoalan ini dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, kiranya
kalian ini hanya garang kalau menghadapi orang lemah saja. Sekali mendengar
nama Pendekar Siluman Kecil, kalian terkencing-kencing dan terkentut-kentut
ketakutan dan menggunakan akal licik dan curang untuk menggunakan aku sebagai
sandera. Ha-ha-ha lihat siapa di sana itu?” Tiba-tiba dia menuding ke kanan.
Dua orang
itu terkejut bukan main, cepat menoleh ke kanan akan tetapi di situ tidak ada
siapa-siapa.
“Oho, siapa
itu di sana?” Kembali Hong Bu menuding ke kiri, dan secepat itu pula kedua
orang itu menengok ke kiri, sikap mereka jelas membayangkan ketakutan sehingga
Hong Bu mentertawakan mereka.
“Bocah ini
mempermainkan kita!” Ngo-ok mengomel.
“Sudah kukatakan
dia berbakat untuk menjadi tokoh golongan kita,” kata Su-ok. “Mari kita pergi!”
Dia lalu melompat sambil tetap mencengkeram tengkuk Hong Bu, diikuti oleh
Ngo-ok.
“Ehh, kalian
tidak tahu? Di depan situ, lihat siapa yang menanti kalian!” kata pula Hong Bu
yang sengaja hendak mempermainkan mereka. Dia tidak berdaya, tidak mampu
melawan, tidak mampu membalas, maka dia hanya dapat membalas mereka dengan
menakut-nakuti mereka saja.
“Bocah
tolol, kamu kira dapat menakut-nakuti....”
Tiba-tiba
ucapan Ngo-ok ini terhenti dan dia diam berdiri seperti patung, juga Su-ok
mengeluarkan seruan kaget. Bahkan Hong Bu sendiri juga terkejut setengah mati
ketika pada saat itu terdengar suara geraman yang luar biasa dahsyatnya, suara
geraman yang membuat salju berhamburan dan tanah yang mereka injak berguncang!
Dan di depan mereka telah berdiri seekor makhluk yang mengerikan dan menakutkan
sekali. Tingginya luar biasa sekali, sama dengan tingginya Ngo-ok yang sudah
terlalu luar biasa itu, akan tetapi kalau Ngo-ok kecil kurus, makhluk itu
sebaliknya tinggi besar, lebih besar dari pada Su-ok yang gendut.
Otomatis
Su-ok melepaskan Hong Bu karena dia harus bersiap siaga menghadapi makhluk ini
yang mereka sudah dapat menduganya karena selama beberapa pekan ini mereka
sudah sering mendengar tentang makhluk ini. Yeti! Sepasang mata makhluk itu
kemerahan dan liar, beringas seperti sedang marah sekali. Sebatang pedang
menancap di paha kanannya dan dia berdiri agak membungkuk, agaknya siap untuk
menyerang!
“Yeti....!”
Sim Hong Bu merangkak ke samping, lalu terduduk dengan kedua kaki lemas karena
tegang dan ngerinya.
Dia belum
pernah merasa takut, walau pun di dalam perburuan semenjak dia kecil, banyak
sudah dia menghadapi bahaya maut dan menghadapi binatang-binatang buas yang kuat
dan liar. Akan tetapi belum perah dia bertemu dengan makhluk seperti ini! Tidak
seperti binatang buas lain, juga jauh dari pada manusia liar, melainkan lebih
dekat dengan ujud dari setan neraka sendiri! Ahh, sayang pamannya telah tewas.
Kalau ada pamannya di situ, tentu pamannya itu akan terpesona dan hatinya penuh
kebanggaan. Kebanggaan seorang pemburu yang menjadi pemburu pertama yang dapat
berhadapan dengan Yeti, makhluk yang selama ini hanya terdapat dalam dongeng
belaka!
Sementara
itu, Su-ok dan Ngo-ok sudah bersiap siap. Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi,
mereka tidak mau mendahului karena mereka sudah mendengar betapa tangguhnya dan
berbahayanya makhluk ini. Banyak sudah tersiar berita betapa orang-orang
kang-ouw yang pandai-pandai menjadi korban Yeti ini. Hal itu mereka tidak
pedulikan, karena sesungguhnya bukan hanya Yeti yang membunuh mereka. Banyak
pula yang mati di tangan Im-kan Ngo-ok!
Memang,
mereka ini membunuhi banyak orang kang-ouw, terutama dari pihak kaum bersih
agar mengurangi saingan dalam memperebutkan pedang pusaka yang terkenal itu.
Dan kini, melihat sebatang pedang menancap di paha Yeti, timbullah niat mereka
untuk merobohkan makhluk Ini. Dua pasang mata yang tajam itu mengenal pedang
yang baik, dan bukan tidak boleh jadi bahwa pedang itulah yang sedang
diperebutkan orang-orang kang-ouw. Pedang itulah yang bernama
Koai-liong-pokiam! Akan tetapi bagaimana pedang yang diperebutkan oleh semua
orang kang-ouw itu menancap di paha Yeti?
Su-ok dan
Ngo-ok tidak mempedulikan hal ini. Yang lebih penting bagi mereka adalah
merobohkan Yeti dan merampas pedang itu. Dan sekali Yeti terluka oleh pedang
itu, agaknya tak akan sukar bagi mereka untuk dapat menundukkannya. Selama ini
semua orang yang bertemu dengan Yeti tentu mati, maka tidak ada seorang pun
yang pernah bercerita tentang pedang yang menancap di paha Yeti. Kalau pun ada
yang melihatnya, agaknya juga tidak akan mau membuka rahasia ini kepada orang
lain!
“Ngo-te,
bersiaplah kau di belakangnya. Hati-hati, dia nampak kuat, pergunakan semua
pukulan mematikan!” kata Su-ok.
Tetapi
Ngo-ok adalah seorang yang sombong dan terlalu mengagulkan kepandaiannya
sendiri. Dia memandang rendah makhluk ini. Hanya binatang buas yang agak besar,
apanya yang berbahaya, pikirnya.
“Mampuslah....!”
bentaknya.
Tiba-tiba
dia sudah menerjang dari samping, lengannya yang panjang itu terulur dan dengan
pengerahan sinkang yang amat dahsyat tangan itu menghantam ke arah kepala
makhluk itu dari atas ke arah ubun-ubun yang dianggap tempat yang lemah dan
agaknya Ngo-ok ini hendak merobohkan makhluk itu dengan sekali pukul saja maka
dia mengerahkan seluruh tenaganya.
Melihat Si
Jangkung ini sudah menyerang, Su-ok juga membarengi dengan pukulan dahsyat,
Katak Buduk yang dilakukan sambil berjongkok, menghantam ke arah perut makhluk
itu. Serangan orang ke empat dan ke lima dari Im-kan Ngo-ok itu dahsyat bukan
main dan seorang ahli silat yang jagoan sekali pun kiranya tidak akan begitu
mudah untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan yang hebat itu.
Makhluk yang
disebut Yeti itu mengeluarkan gerengan dahsyat sekali. Seolah-olah tidak tahu
bahwa dirinya diserang dengan pukulan-pukulan maut dan tanpa mempedulikan
serangan lawan, kedua lengannya yang besar panjang berbulu itu tahu-tahu sudah
mencengkeram ke arah dua orang lawan yang menyerangnya. Jadi serangan-serangan
lawan itu dibalasnya dengan serangan pula dari jari-jari tangan yang berkuku
panjang dan runcing tajam melengkung itu!
“Desss!
Bukkk!”
Hantaman
Ngo-ok pada kepala dan hantaman Su-ok pada perut itu tepat mengenai sasaran,
akan tetapi seperti menghantam bola karet saja karena kedua pukulan dahsyat itu
membalik begitu menyentuh tubuh Yeti! Kiranya Yeti itu memiliki kekebalan yang
sungguh luar biasa dan selamanya belum pernah dilihat oleh dua orang datuk kaum
sesat itu. Dan pada saat itu, kedua tangan Yeti sudah menyambar ke arah leher
mereka dengan cepat dan kuatnya!
Dua orang
datuk kaum sesat itu berseru keras dan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi
angin sambaran tangan itu menyambar dan membuat mereka merasa leher mereka
perih seperti diserempet pedang tajam! Kagetlah kedua orang datuk itu dan
mereka tahu bahwa Yeti itu ternyata bukan lawan sembarangan, melainkan makhluk
yang memiliki kekebalan sukar dipercaya. Maka mereka berhati-hati dan kini
Ngo-ok mengeluarkan suara mendengus dan tubuhnya sudah berjungkir balik,
sedangkan Su-ok sudah mengumpulkan kekuatannya dan bergulingan seperti seekor
trenggiling!
Yeti
menggereng-gereng dan berdiri agak membungkuk, kedua tangan diangkat seperti
sikap seekor beruang, dengan gerakan kepala dan lirikan matanya yang merah itu
dia mengikuti gerakan aneh dari dua orang pengeroyoknya itu. Yang seorang
berjungkir balik dan berloncatan dengan kepala menjadi kaki sehingga terdengar
suara dak-duk-dak-duk sedangkan yang seorang lagi bergulingan bagaikan
trenggiling atau seperti seorang anak kecil yang rewel!
Mendadak
Ngo-ok mendengus lagi dan tubuhnya menyambar ke depan. Mulailah dia menyerang
dengan kedua kakinya, dengan ujung kaki dia menotok ke arah jalan darah di
leher dan sebelah kaki lagi menusuk ke mata Yeti itu! Sedangkan dari arah lain
Su-ok yang tadinya bergulingan itu sekarang telah berjongkok serendahnya
sehingga perut gendutnya mengenai tanah, sikapnya seperti seekor kodok tulen,
dan dari bawah itu dia mengeluarkan pukulan yang ampuh dengan pengerahan
seluruh tenaga sehingga tercium bau amis bukan main ketika terdengar suara
mencicit diikuti angin berdesir dari kedua telapak tangannya, menghantam ke
arah Yeti.
Agaknya Yeti
itu pun tahu bahwa dua orang lawannya ini adalah orang pandai, dan mungkin
pengetahuannya ini timbul ketika dia merasakan hantaman mereka yang pertama
tadi, yang biar pun dapat diterimanya dengan kekebalan yang luar biasa, namun
agaknya juga terasa olehnya. Pukulan kaki Ngo-ok ke arah leher dan mata datang
lebih dulu dari serangan Su-ok. Yeti itu tiba-tiba miringkan tubuh atas
sehingga totokan itu luput dan dengan cepat dia menyambar dengan tangannya.
Gerakannya itu cepat bukan main dan tahu-tahu sebelah kaki Ngo-ok telah dapat
dicengkeramnya! Ngo-ok terkejut bukan main, mengerahkan tenaga dan meronta.
Pada saat itu, pukulan Su-ok telah tiba dan menghantam dada Yeti.
“Dessss!”
Sekali ini
karena Yeti itu membagi tenaganya untuk menangkap kaki Ngo-ok dan Su-ok memukul
dengan pengerahan seluruh tenaga, maka Yeti menggereng, pegangannya terlepas
dan dia terlempar ke belakang, lalu jatuh terbanting. Akan tetapi hal ini
membuatnya semakin marah dan agaknya dia hanya nanar sedikit saja, kemudian dia
meloncat dan menubruk ke arah Su-ok!
Bukan main
kagetnya orang pendek gendut ini ketika merasa betapa tubrukan ini mengandung
tenaga sedikitnya seribu kati. Dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan
sehingga terhindar dari tubrukan itu. Sebaliknya, yang kena ditubruk adalah
sebuah batu besar terbungkus salju dan terdengar suara keras ketika batu itu
pecah berhamburan mencelat ke sana-sini! Su-ok bergidik juga menyaksikan
kedahsyatan Yeti itu. Kini dia dan terutama sekali Ngo-ok tidak berani
main-main lagi. Mereka berdua lalu menerjang dari depan belakang, mengeluarkan
semua ilmu kepandaian mereka, mengandalkan kegesitan dan secara bertubi-tubi
namun hati-hati mereka menyerang dengan pukulan-pukulan sakti.
Yeti itu
agaknya juga berhati-hati kini. Dan mulailah dia menggerak-gerakkan kedua
tangannya dan sungguh aneh sekali, gerakan-gerakannya itu biar pun kelihatan
kaku dan lucu, namun ternyata mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga
demikian pula gerakan dan loncatan kedua kakinya sambil terpincang-pincang
sehingga terjadilah pertempuran yang amat hebat.
Melihat ini,
Sim Hong Bu yang sejak tadi merasa kasihan kepada Yeti yang kakinya sudah
tertusuk pedang itu, memaki-maki dua orang datuk kaum sesat itu. “Kalian berdua
kakek tua bangka yang jahat! Manusia berwatak iblis! Yeti itu sudah terluka
pedang, dan kalian masih mendesaknya. Sungguh tidak tahu malu sama sekali!
Kalian lebih buas dan liar dari pada binatang! Tak tahu malu! Pengecut,
beraninya mengeroyok seekor binatang yang sudah terluka pula. Cih, tak tahu
malu!”
Untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya, Sim Hong Bu mencari batu-batu sebesar kepalan
tangan dan mulailah dia menyambiti dua orang kakek yang mengeroyok Yeti itu!
Tentu saja sambitan-sambitan itu tidak ada artinya bagi Su-ok dan Ngo-ok, akan
tetapi mereka tidak dapat melayani Hong Bu dan tidak mempedulikan anak itu
karena mereka sendiri terdesak hebat oleh Yeti!
Memang hebat
sekali makhluk itu. Setiap kali dua orang datuk itu beradu lengan atau kaki
Ngo-ok bertemu dengan lengan yang berbulu itu, mereka berdua merasa betapa
tubuh mereka tergetar hebat. Diam-diam mereka merasa heran dan juga terkejut,
karena mereka tahu bahwa Yeti itu bukan hanya mempergunakan tenaga kasar atau
tenaga otot seperti binatang-binatang buas pada umumnya, melainkan tenaga
sinkang yang luar biasa kuatnya! Sungguh sukar dapat dimengerti bagaimana
mungkin makhluk yang seperti binatang buas ini dapat menghimpun sinkang yang
sedemikian kuatnya!
Dua orang
datuk itu telah merasa lelah dan seluruh tubuh sakit-sakit, juga pipi Su-ok
telah berdarah terkena cakar, sedangkan telinga kiri Ngo-ok pecah-pecah terkena
sambaran pukulannya! Mereka kewalahan sekali dan akhirnya dengan marah Su-ok
berkata. “Ngo-te, mari satukan tenaga dan serang dia!”
Ngo-ok yang
juga merasa penasaran sekali, lalu meloncat ke dekat Su-ok. Memang mereka merasa
penasaran. Masa mereka, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok yang menggetarkan
dunia persilatan, kini harus mengaku kalah terhadap seekor binatang, padahal
mereka maju bersama? Hal ini kalau sampai diketahui oleh dunia kang-ouw,
bukankah nama mereka akan runtuh dan terseret ke dalam lumpur?
Su-ok
sekarang berjongkok mengerahkan tenaga Katak Buduk, sedangkan Ngo-ok juga
mengerahkan tenaganya, kemudian dengan berbareng mereka menghantamkan kedua
tangan mereka dengan tangan terbuka ke arah Yeti yang menerjang maju. Angin
yang dahsyat bukan main menyambar ke depan, dan inilah pukulan jarak jauh yang
disertai penggabungan tenaga sinkang oleh kedua orang datuk kaum sesat itu.
Agaknya Yeti itu pun maklum akan hal ini, maka sambil menggereng, gerengan yang
menggetarkan jantung dua orang lawannya dia pun mendorongkan kedua tangannya ke
arah mereka!
Terjadilah
adu tenaga yang amat hebat di tengah udara yang dingin itu dan akibatnya, Yeti
itu terhuyung ke belakang akan tetapi dua orang datuk kaum sesat itu terlempar
ke belakang seperti dua buah layang-layang putus talinya! Akhirnya mereka
terbanting ke atas salju dan keduanya mengeluh panjang, lalu merangkak bangun,
menoleh ke arah Yeti dengan muka pucat. Melihat Yeti masih berdiri dengan tubuh
agak membungkuk, mata merah penuh kemarahan itu, keduanya lalu lari
tunggang-langgang! Adu tenaga yang terakhir itu meyakinkan hati mereka berdua
bahwa mereka sungguh kalah kuat dan kalau dilanjutkan pertempuran itu, agaknya
mereka akhirnya akan kalah.
Yeti itu
tidak mengejar, dan setelah dua orang lawan yang tangguh itu lenyap, dia jatuh
terduduk! Yeti itu mengeluarkan suara merintih-rintih dan kedua tangannya
memijit-mijit pahanya yang tertusuk pedang. Sim Hong Bu yang masih duduk di
atas batu itu memandang dengan bengong. Dia melihat Yeti itu merintih dan dari
kedua mata yang merah itu turun beberapa tetes air mata! Yeti itu menangis!
Tadi Hong Bu
merasa kagum bukan main menyaksikan sepak terjang Yeti. Sungguh di luar
dugaannya bahwa dua orang manusia iblis yang luar biasa lihainya itu bukan
hanya tidak mampu menandingi Yeti, bahkan mereka terdesak hebat dan kemudian
mereka bahkan lari tunggang langgang. Ingin rasanya dia bersorak-sorai dan
bertepuk tangan menyaksikan kesudahan dari perkelahian yang seru dan dahsyat
itu karena memang di dalam hatinya dia menjagoi dan berpihak kepada Yeti.
Akan tetapi
kini melihat Yeti ini merintih-rintih, bahkan menangis, timbul rasa kasihan
yang mendalam di hatinya. Dia sendiri tidak perlu melarikan diri, karena merasa
percuma saja. Mana mungkin melarikan diri dari makhluk yang amat dahsyat itu?
Sekali loncat saja Yeti itu akan dapat menangkapnya, karena itulah maka tadi
dia pasrah saja. Akan tetapi Yeti itu tidak mengganggunya, menengok puh tidak,
bahkan kini merintih-rintih, memijati kakinya yang tertusuk pedang dan
menangis.
“Ah, Yeti
itu sesungguhnya tidak jahat!” Kini Hong Bu teringat bahwa tadi pun bukan Yeti
itu yang lebih dulu menyerang dua orang datuk sesat itu, melainkan mereka yang
lebih dulu menyerang, barulah Yeti bergerak melawan. Makin kasihanlah rasa
hatinya.
Luka itu
hebat, dan kalau dibiarkan tentu akan membengkak dan membusuk. Sebagai seorang
pemburu, tentu saja di dalam saku baju Hong Bu tersimpan obat-obat, terutama
sekali obat luka, obat untuk melawan racun dan gigitan binatang berbisa.
Bagaimana pun juga, tadi dia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang kakek
iblis yang telah membunuh pamannya itu, dan tipislah harapannya untuk dapat
selamat di tangan mereka itu. Kini dia terbebas dan hal ini tidak dapat
disangkal lagi adalah karena pertolongan Yeti ini. Maka, akan malulah dia kalau
sekarang tidak membalas budi selagi Yeti itu dalam keadaan yang demikian
sengsara!
Maka Hong Bu
lalu bangkit berdiri, perlahan-lahan dia melangkah menghampiri Yeti yang masih
duduk di atas salju memijit-mijit kaki atau paha kanannya itu. Luka yang
tertusuk pedang itu kini mengeluarkan darah yang agak kehitaman.
“Ahhh, dia
keracunan,” pikir Hong Bu. “Harus cepat diberi obat.”
Ketika Hong
Bu sudah tiba mendekat di depan Yeti itu, tiba-tiba Yeti itu mengangkat
kepalanya, sepasang mata merah itu memandang, mata yang masih basah oleh air
mata dan tiba-tiba Yeti itu menggereng dengan geram. Hong Bu terkejut sekali,
akan tetapi anak ini sudah bertekad untuk menolong makhluk itu, maka dia
menuding ke arah paha Yeti sambil berkata, “Yeti.... aku.... aku hanya ingin
membantumu, mengobati luka di pahamu itu.”
Yeti itu
masih menggereng-gereng, tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi seolah-olah
hendak menghantam. Akan tetapi Hong Bu yang sudah nekat itu memandang dengan
sepasang matanya yang jernih, terang dan tajam, sedikit pun tidak merasa takut.
Dia sudah melampaui rasa takut karena maklum bahwa melawan atau tidak, lari
atau tidak, kalau Yeti itu menghendaki, dia tentu akan mudah dibunuhnya!
“Aku
memiliki obat untuk luka, dan lukamu itu sudah keracunan. Biarlah aku merawatmu
dan mengobatimu untuk membalas budimu telah membebaskan aku dari dua orang
jahat tadi.” Hong Bu menuding ke arah larinya dua orang kakek iblis tadi,
kemudian dia mengeluarkan bungkusan obat dari dalam saku jubahnya sebelah
dalam.
Yeti itu
masih menggereng-gereng, akan tetapi hanya perlahan saja dan kelihatannya tidak
marah lagi, sungguh pun masih nampak curiga. Ketika Hong Bu mendekati dan
berlutut di depannya, dia memandang dengan matanya yang merah basah, kemudian
dia mengangguk-angguk! Girang bukan main hati Hong Bu, Yeti ini bukan hanya
pandai berkelahi dan amat tangguh melebihi ahli-ahli silat kelas tinggi, akan
tetapi juga dapat mengerti kata-katanya agaknya. Buktinya dia
mengangguk-angguk!
Hong Bu
menyentuh paha itu dan memeriksanya. Luka itu memang sudah agak membengkak,
akan tetapi baiknya ketika dipakai berkelahi tadi, lukanya pecah sehingga darah
hitam keluar. Tidak ada lain jalan, pedang itu harus dicabut lebih dulu, baru
mungkin mengobati luka yang menembus paha itu!
Dan Yeti itu
perlu diberi minum pel pencuci darah dengan segera! Akan tetapi, mana mungkin
mencabut pedang itu selagi Yeti dalam keadaan sadar? Pencabutan pedang itu akan
mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan kalau hal ini dilakukan, tentu Yeti
akan marah dan mungkin salah sangka, mengira dia menyakitinya dan tentu akan
membunuhnya sebelum pedang tercabut semua! Serba sulit, pikirnya.
Akan tetapi
Hong Bu yang sejak kecil seolah-olah sudah belajar hidup sendiri dan menghadapi
sendiri segala macam kesulitan dan bahaya itu telah memiliki kecerdikan luar
biasa. Di antara obatnya terdapat bubukan obat bius, yaitu yang kadang-kadang
perlu dipergunakan oleh para pemburu yang ingin menangkap binatang buas
hidup-hidup memenuhi pesanan langganan, untuk menjebak harimau-harimau atau
beruang-beruang atau sebangsa binatang buas dan kuat lainnya, kemudian membius
binatang itu agar pingsan sehingga mudah diikat atau dimasukkan kerangkeng dan
ditangkap hidup-hidup.
“Yeti,
engkau telah keracunan, harus makan obat ini. Maukah?” Hong Bu mengeluarkan
sebungkus obat bubuk dan memperlihatkannya kepada Yeti. Obat bubuk itu adalah
obat bius yang biasanya dicampur dengan daging atau makanan lain untuk
diberikan sebagai umpan kepada binatang buas yang akan ditangkap. Kembali Yeti
itu mengangguk-angguk.
Giranglah
hati Hong Bu. Dengan sebuah cawan yang selalu dibawanya, dia mencampur obat
bubuk itu dengan salju. Biasanya, untuk seekor harimau cukup diberi seperempat
bungkus saja. Akan tetapi dia tahu bahwa Yeti ini amat kuat, jauh lebih kuat
dari pada seekor binatang yang bagaimana besar pun, maka dia menaruh seluruh
isi bungkusan itu ke dalam cawan dan mencampurnya dengan salju. Tentu saja
tidak bisa mencair seperti air dan Hong Bu menjadi bingung.
“Ahh, di
mana bisa mendapatkan air di tempat yang semuanya serba beku ini?”
Gerakan
mulut Yeti itu mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh aneh, kemudian sekali sambar,
cawan itu sudah pindah tangan. Hong Bu terkejut sekali.
“Yeti,
engkau harus meminumnya!” katanya.
Makhluk itu
memandang sebentar ke arah cawan, dalam beberapa detik dia tidak bergerak dan
Hong Bu terbelalak melihat betapa cawan itu mengepulkan uap dan salju di
dalamnya menjadi cair seolah-olah cawan itu ditaruh di atas api! Kemudian
sekali tenggak isi cawan itu pun lenyaplah memasuki perut Yeti melalui
mulutnya!
Yeti
mengembalikan cawan kepada Hong Bu yang menjadi girang bukan main. Dia masih
terheran-heran bagaimana cawan itu dapat mengepulkan uap dan salju itu dapat
mencair. Keluarganya yang semua merupakan ahli-ahli silat belum mencapai
tingkat setinggi itu sehingga melihat hal itu seperti sulapan saja.
“Yeti yang
baik, engkau memang cerdik sekali. Nah, kini percayalah, Hong Bu akan
menolongmu, akan menyelamatkan nyawamu seperti engkau tadi telah menyelamatkan
nyawaku!”
Hong Bu lalu
mengelus-elus paha itu. Agaknya Yeti itu merasa keenakan dan dia diam saja,
kemudian dia menguap seperti orang diserang kantuk! Hong Bu kembali
terheran-heran. Makhluk ini memang mirip manusia, bisa menguap segala kalau
mengantuk, dan dia tahu bahwa obat bius itu sudah mulai bekerja. Maka sambil
mengelus-elus paha itu dia berkata halus, “Yeti, kau tidurlah kalau lelah dan
mengantuk. Biar aku menjagamu di sini. Tidurlah!” Dengan lembut dia mendorong
dada Yeti itu disuruhnya berbaring. Yeti itu agaknya mengerti karena dia lalu
merebahkan diri miring, berbantal lengannya yang besar dan tak lama kemudian
dia pun sudah tidur atau pingsan karena pengaruh obat bius!
Hong Bu
kemudian mengeluarkan perlengkapannya dari dalam saku-saku jubahnya. Dia membuat
api, hal yang amat sukar akan tetapi akhirnya dia berhasil juga dan menggodok
obat-obat luka dan obat-obat minum. Setelah itu, barulah dia mencoba untuk
mencabut pedang itu dari paha Yeti. Agaknya pedang itu terselip antara tulang
dan otot, sukar sekali dicabutnya biar dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya.
Tiba-tiba Yeti mengeluarkan suara dan terkejutlah Hong Bu, mengira makhluk itu
sadar! Akan tetapi ternyata tidak dan agaknya rasa nyeri membuat Yeti mengigau
dalam tidur atau pingsannya.
Hong Bu mengerahkan
tenaganya lagi. Dia menginjakkan kaki kirinya pada paha Yeti itu, dan kedua
tangannya memegang gagang pedang lalu menarik. Dia menahan napas, mengerahkan
tenaga sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dan akhirnya pedang itu mulai
dapat ditarik!
Begitu
bergerak, maka sekali dia mengerahkan tenaga, pedang itu tertarik keluar dan
dia pun jatuh terjengkang! Bukan main girangnya, tetapi matanya silau melihat
pedang yang berkilauan itu. Pedang yang hebat, pikirnya, dan dengan hati-hati
dia meletakkan pedang itu di dekat tubuh Yeti. Darah mengalir keluar dari depan
dan belakang paha, darah yang agak menghitam. Hong Bu memijit-mijit paha itu.
Akan tetapi paha itu terlalu besar dan keras sehingga akhirnya dia menggunakan
kedua kakinya, menginjak-injak paha itu dan mengenjot-enjotnya agar darah dapat
keluar dari dua lubang luka di depan dan belakang paha.
Usahanya ini
berhasil dan lebih banyak darah hitam lagi keluar. Lalu darah pun berhenti dan
betapa pun dia mengusahakan, tidak ada lagi darah yang keluar. Terpaksa dia
lalu menaruh obat-obat luka di kedua luka itu sampai penuh, dan dibalutnya paha
itu kuat-kuat dengan robekan kain ikat pinggangnya. Setelah selesai, puaslah
hatinya. Kini dia tinggal menanti Yeti itu sadar dan akan diberinya minum obat
pencuci darah yang telah digodoknya itu.
Tiba-tiba
dia mendengar suara di belakangnya. Cepat Hong Bu menoleh dan dilihatnya
seorang tosu yang usianya setengah tua, berwajah tampan dan gagah, tubuhnya
tinggi tegap, kedua tangannya memegang sepasang pedang, sudah berdiri di situ
sambil memandang dengan penuh perhatian ke arah Yeti yang sedang tidur atau
pingsan. Tosu ini bukan lain adalah Hui-siang-kiam Ciok Kam, tosu dari
Kun-lun-san itu, yang pernah bertemu dengan Yeti bersama dua orang temannya,
yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti. Hanya kebetulan
saja tosu ini lolos dari maut, dan dia merasa sakit hati, terus mencari jejak
Yeti dan akhirnya tibalah dia di tempat ini, melihat Yeti sedang tidur atau
pingsan dan seorang anak laki-laki tanggung duduk di dekat tubuh Yeti yang
rebah miring!
Hampir dia
tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana ada seorang pemuda tanggung
yang berani duduk di dekat Yeti dan tidak apa-apa lagi? Akan tetapi
perhatiannya segera tertuju kepada sebatang pedang di dekat tubuh Yeti itu,
pedang yang berkilauan indah dan dikenalnya sebagai pedang yang dulu menancap
di paha Yeti yang kini dibalut kain putih! Itulah pedang yang dicari-cari oleh
semua orang. Tak salah lagi! Jelas bahwa itu adalah sebatang pedang keramat,
pedang yang terbuat dari bahan luar biasa, pedang pusaka. Kembali dia
mengerling ke arah wajah Yeti yang masih tidur, hatinya berdebar tegang.
“Dia.... dia
kenapa....?” Akhirnya dia bertanya kepada Hong Bu karena dia masih ragu-ragu
untuk bergerak. Siapa tahu kalau-kalau Yeti itu hanya tidur dan akan bangkit
kalau diganggu, dan dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Yeti itu.
Hong Bu
tentu saja tidak tahu bahwa tosu yang datang ini mengandung sakit hati yang
besar terhadap Yeti dan bermaksud membunuhnya, maka dia lalu menjawab. “Dia
sedang tidur, pengaruh obat bius. Sekarang pedang itu telah kucabut dan lukanya
telah kuobati.”
Mendengar
ini, bukan main girangnya hati Hui-siang-kiam Ciok Kam. “Baguslah! Kalau begitu
tibalah saatnya aku membalas dendam! Minggirlah, orang muda, biar kubunuh
makhluk iblis kejam ini!”
Dapatlah
dibayangkan betapa kaget rasa hati Hong Bu mendengar kata-kata itu dan melihat
sikap tosu itu yang sudah melangkah maju dan mengangkat pedangnya. “Ehh,
Totiang... eh, jangan! Apa yang hendak kau lakukan itu!” teriaknya sambil
bangkit berdiri dan menghadang di depan tosu itu.
“Pinto
hendak membunuhnya!”
“Jangan,
Totiang! Jangan.... dibunuh....!” Hong Bu berkata dengan kaget dan matanya
terbelalak, kedua tangannya diangkat dan digoyang-goyangkan.
“Engkau anak
kecil tahu apa! Dua orang sahabatku telah dibunuhnya secara kejam, juga banyak
sekali orang kang-ouw telah dibunuhnya. Dia makhluk jahat sekali, kalau tidak
dibunuh tentu akan mendatangkan banyak mala petaka.”
Hong Bu
menjadi bingung sekali. Ia memang tahu bahwa Yeti telah banyak membunuh orang,
akan tetapi melihat betapa Yeti itu baik kepadanya, dan melihat pertempuran
antara Yeti dengan dua orang kakek iblis itu, dia dapat menduga bahwa Yeti
tentu membunuh siapa yang hendak mengganggunya. Jadi Yeti ini seperti hampir
semua binatang buas yang dikenalnya, hanya menjadi buas dan ganas kalau
diganggu yang merupakan naluri untuk membela diri dan melindungi
keselamatannya. Tetapi kini Yeti masih pulas, tentu takkan mampu melawan dan
akan mati kalau dia tidak membelanya. Cepat disambarnya pedang yang tadi
menusuk paha Yeti dan dipegangnya erat-erat.
Melihat
bocah itu mengambil pedang, Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, “Minggir dan
serahkan pedang pusaka itu kepada pinto!”
Mendengar
ini, Hong Bu memandang ke arah pedang di tangannya. Pedang ini ringan dan aneh,
dan kalau semua orang memusuhi Yeti, apakah bukan untuk memperebutkan pedang
ini? Dia pun mendengar desas-desus tentang sebatang pedang keramat yang
kabarnya dicuri orang dari kota raja dan dibawa ke Himalaya dan kini
orang-orang kang-ouw memenuhi daerah ini hanya untuk mencari pedang keramat
itu. Inikah gerangan pedang yang diperebutkan itu?
“Totiang,
sesungguhnya.... Totiang hendak membunuh Yeti ataukah hendak merampok pedang
ini....?”
Wajah
Hui-siang-kiam Ciok Kam berubah merah. Memang tidak dapat disangkal pula, yang
mendorong dia membayangi dan mencari Yeti adalah pedang yang menancap di paha
Yeti itu, dan tentu saja juga karena dia ingin membalas kematian kedua orang
sahabatnya.
“Pinto....
pinto.... wah, engkau anak kecil banyak cerewet. Minggirlah biar kubunuh dia!”
“Tidak!
Engkau tidak boleh membunuhnya!” Hong Bu berkata dengan tegas dan berdiri
melindungi tubuh Yeti yang masih rebah miring.
“Hemm, bocah
setan, engkau hendak melindungi binatang buas seperti itu?” Hui-siang-kiam Ciok
Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke atas,
gerakannya ringan dan cepat sekali dan dia bermaksud untuk melampaui Hong Bu
dan menyerang ke arah Yeti yang masih rebah.
Hong Bu
terkejut bukan main menyaksikan gerakan yang cepat itu dan tahu-tahu tosu itu
sudah melewati atas kepalanya. Dia membalik dan melihat betapa tosu itu sudah
menusukkan kedua pedangnya ke arah leher dan dada Yeti dengan kecepatan kilat.
“Jangan....!”
Hong Bu memekik dengan sekuatnya dan tubuhnya menubruk ke depan, pedang di
tangannya digerakkan untuk menangkis dua sinar pedang yang menyerang Yeti itu.
Terdengar
suara nyaring pada saat sepasang pedang itu patah-patah bertemu dengan pedang
di tangan Hong Bu, disusul jeritan tosu yang roboh mandi darah bergulingan
sampai beberapa meter jauhnya, kemudian diam tak bergerak lagi. Hong Bu
terbelalak memandang ke arah mayat tosu itu, lalu kepada tangannya sendiri yang
memegang pedang. Dia cepat menghampiri tosu itu dan dapat dibayangkan betapa
kagetnya ketika dia melihat tosu itu telah tewas dengan dada luka bercucuran
darah!
Terdengar
suara gerengan dan ketika dia menoleh, dia melihat Yeti itu sudah bangkit
duduk, lalu Yeti itu sekali lompat sudah tiba di dekat mayat tosu itu dan
melihat tosu itu sudah tewas, Yeti lalu mengeluarkan suara aneh seperti orang
tertawa, dan sekali menggerakkan tangan dia telah merampas pedang dari tangan
Hong Bu kemudian dia memondong Hong Bu, diangkatnya tinggi-tinggi dan dia
menari-nari kegirangan sambil terpincang-pincang. Kiranya Yeti itu tadi telah
sadar dan melihat betapa Hong Bu sudah membelanya dan merobohkan tosu yang
menyerangnya, maka dia girang bukan main, apalagi melihat bahwa pedang sudah
dicabut dari pahanya dan pahanya sudah diobati dan dibalut.
Yeti itu
lalu meloncat jauh sekali. Hampir Hong Bu berteriak karena merasa ngeri ketika
Yeti itu kini berlompatan dan berlari dengan kecepatan yang luar biasa, melalui
tempat-tempat tinggi, melalui jurang-jurang yang curam dan memasuki ‘dunia es’
yang amat aneh bagi Hong Bu. Tempat yang dilalui oleh Yeti ini amatlah sukar
dan tidak mungkin dilalui oleh manusia dengan kecepatan seperti itu, maka
kadang-kadang Hong Bu memejamkan mata karena merasa ngeri kalau Yeti itu
setengah berloncatan melalui tebing-tebing yang curam sekali.
Yeti yang
masih memondong tubuh Hong Bu sambil membawa pedang itu terus mendaki puncak
Gunung Kongmaa La dan di antara bongkahan-bongkahan es yang besar dan batu-batu
gunung raksasa Yeti itu bergerak cepat. Dia tentu sudah hafal akan tempat ini
karena dia bergerak di antara batu-batu dan bukit-bukit salju dan es itu dengan
cepat tanpa ragu-ragu, kemudian dia menyelinap antara dua buah batu yang
berhimpitan dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi baru masuk lima langkah,
Yeti itu berhadapan dengan batu bulat yang amat besar dan tidak nampak ada
jalan sama sekali.
Hong Bu
mengira bahwa tentu Yeti itu tersesat jalan, akan tetapi tiba-tiba Yeti itu
menggunakan tangan kanannya untuk mendorong batu itu, sedangkan tangan kirinya
masih memondong tubuh Hong Bu. Batu sebesar bukit kecil itu bergerak dan
menggelinding beberapa kaki ke kiri, dan nampaklah sebuah lubang yang besarnya
hanya satu meter persegi! Yeti itu menurunkan Hong Bu, menuding ke arah lubang
dengan isyarat seolah-olah menyuruh Hong Bu masuk.
Pada waktu
itu, Hong Bu merasa sendirian saja di dunia ini, sudah tidak ada siapa-siapa
lagi setelah pamannya tewas. Maka kini dia pasrah saja kepada Yeti dan dia pun
merangkak masuk. Yeti itu pun masuk, akan tetapi lebih dulu dia mengerahkan
tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk menarik batu itu menggelinding
kembali menutupi lubang.
Mereka lalu
merangkak melalui lubang terowongan itu sampai beberapa puluh meter dalamnya
dan tiba-tiba saja nampak cahaya terang dan lubang kecil itu berubah menjadi lorong
yang besar dan berlantai batu. Kiranya di situ terdapat terowongan rahasia yang
besar dan Yeti itu menggandeng tangan Hong Bu, diajaknya masuk terus. Mereka
berjalan maju, berlika-liku melalui terowongan yang kadang-kadang gelap sekali
akan tetapi ada kalanya terang karena bagian atasnya terdapat lubang-lubang
atau celah-celah batu dari mana sinar matahari dapat masuk.
Ketika Yeti
itu akhirnya berhenti, mereka tiba di ruangan dalam puncak atau di bawah
batu-batu, ruangan yang amat luas. Hong Bu merasa seperti hidup di alam mimpi.
Bukan main indahnya pemandangan dari ruangan itu. Terdapat lubang-lubang besar
seperti jendela dan dari sini dia dapat melihat puncak-puncak yang diliputi
salju, lain bagian memperlihatkan dunia es yang bentuknya bermacam-macam dan
berkilauan memantulkan sinar matahari, dan ada lagi bagian yang penuh
tumbuh-tumbuhan, hal yang amat aneh sekali di puncak itu. Di sudut ruangan itu,
agak tertutup dan sebagai penghalang, dia menemukan dua orang manusia yang
sedang duduk bersila!
Akan tetapi
ternyata mereka itu duduk di dalam es atau salju yang turun dari atas sehingga
tempat itu tidak pernah lepas dari kurungan es. Dua mayat orang yang masih
seperti hidup saja, masih lengkap pakaiannya dan melihat pakaian mereka itu,
jelas bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang tampan dan cantik, juga
keduanya menunjukkan sifat gagah!
“Yeti,
siapakah mereka ini....?” Tak terasa lagi Hong Bu bertanya kepada Yeti
seolah-olah Yeti itu adalah seorang manusia lain yang dapat bicara.
Akan tetapi
ternyata anehnya, Yeti menghampiri tempat itu dengan langkah lemas, kemudian
melihat mayat wanita yang cantik, yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
tiba-tiba dia menjatuhkan diri di depan kurungan es di mana wanita itu bersila,
dan dia pun menundukkan mukanya dan mengeluh panjang pendek, dan dari kedua
matanya bercucuran air mata pula! Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut,
terheran dan juga kasihan. Dia menghampiri Yeti itu, meraba pundaknya dan
berkata lirih.
“Yeti, perlu
apa menangisi orang yang sudah mati? Yang mati takkan hidup kembali, dan kita
yang hidup toh akhirnya akan mati juga seperti mereka ini.”
Yeti itu
mengeluarkan suara ah-uh, akan tetapi agaknya dia pun berhenti berduka, lalu
dia mengajak Hong Bu dengan menggandeng tangannya meninggalkan arca aneh itu,
menghampiri sudut di mana terdapat sebuah peti hitam. Dibukanya peti itu dan
lalu dikeluarkannya sebuah kitab catatan yang diserahkannya kepada Hong Bu.
Setelah begitu, Yeti itu lalu merebahkan dirinya di sudut lain yang kering dan
tak lama kemudian sudah terdengar dengkurnya!
Kasihan,
pikir Hong Bu. Semua gerak-gerik dan sikap Yeti itu sama sekali bukan seperti
binatang, melainkan seperti seorang manusia yang dirundung malang dan menderita
kepedihan hati yang hebat! Maka dia lalu membawa kitab itu ke dekat jendela
yang terang dan mulailah dia membalik lembaran pertama dari kitab itu.
Kitab itu
terbuat dari kertas yang sudah tua sekali, sudah menguning dan tulisannya juga
sudah kabur, akan tetapi masih dapat dibaca karena ditulis dengan huruf-huruf
yang kuat dan jelas. Hong Bu mulai membaca catatan itu dengan asyik, dan
tahulah dia bahwa catatan itu adalah catatan yang dibuat oleh mayat pria yang
seperti pendekar itu, agaknya menceritakan atau mencatat semua peristiwa yang
mereka alami di tempat ini….
Kami adalah
suami isteri yang malang, demikian catatan itu memulai. Percuma saja aku
disebut Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Tangan Dewa) kalau ternyata aku tidak
mampu melindungi diri sendiri dan isteriku. Aku, Kam Lok, hanyalah seorang
laki-laki lemah yang terpaksa melarikan diri bersama isteriku karena
dikejar-kejar musuh besarku yang tak dapat kulawan! Kasihan Loan Si, isteriku
yang tidak dapat menikmati kehidupan suami isteri dalam rumah tangga yang
tenteram karena semenjak menikah harus mengikuti aku melarikan diri.
Kami lari ke
Himalaya, namun raksasa itu terus mengikuti jejak kami! Agaknya dia tidak mau
menerima kenyataan bahwa dia kalah memperebutkan Loan Si yang lebih dulu suka
menjadi isteriku dari pada menjadi isteri raksasa yang tergila-gila kepadanya
itu. Ouwyang Kwan, engkau sebagai seorang pendekar yang gagah, bekas sahabat
baikku, kenapa tidak mau melihat kenyataan dan masih terus merasa penasaran?
Ahh, andai kata aku dapat mengalahkanmu pun, sukar bagiku untuk bertega hati
membunuhmu, engkau sahabatku yang amat baik dan yang kutahu benar-benar amat
mencinta Loan Si. Akan tetapi apa daya, sahabatku juga musuhku, Loan Si tidak
membalas cintamu, cintanya melainkan untukku seorang!
Kami
berhasil menemukan lorong rahasia yang tersembunyi ini, dan merasa aman tinggal
di sini sampai setahun lebih! Betapa senang kami melewatkan bulan-bulan madu di
tempat ini, berdua saja, mencurahkan segala cinta kasih antara kami tanpa ada
yang mengganggu. Sayang, karena ancaman Ouwyang Kwan, maka ketegangan mengisi
lubuk hati isteriku sehingga hubungan kami tidak dapat menghasilkan keturunan!
Akan tetapi,
kehidupan kami yang tenteram itu hanya berlangsung satu tahun saja, karena pada
suatu hari, tiba-tiba muncullah Ouwyang Kwan, bekas sahabatku yang kini telah
menjadi musuh besar kami itu, atau lebih tepat musuh besarku, karena dia tidak
memusuhi Loan Si, bahkan sebaliknya dia amat mencintanya!
Tiada jalan
lain bagi kami kecuali bertanding memperebutkan Loan Si! Pertandingan
mati-matian di tempat ini, hal itu sudah pasti akan terjadi. Aku terpaksa
menghentikan catatan ini karena kami berdua sudah berjanji untuk bertanding
sekarang juga, begitu matahari terbit dan sinarnya menerangi ruangan ini.
Semalaman ini, mungkin malam terakhir, kuhabiskan untuk mencurahkan seluruh
cintaku kepada Loan Si, isteriku. Siapa tahu, malam ini merupakan malam yang
terakhir.
Sampai di
sini, catatan itu ditulis dengan gaya tulisan lain, gaya tulisan yang halus,
tulisan seorang wanita! Mereka bertanding mati-matian dan amat mengerikan,
demikian tulisan wanita ini memulai.
Betapa risau
dan gelisah hatiku. Aku tidak dapat membantu, karena selain tingkat
kepandaianku jauh lebih rendah, juga suamiku tidak menghendaki demikian. Mereka
bertanding sebagai dua orang pendekar yang gagah perkasa, yang tidak menemukan
jalan lain kecuali saling bertanding mati-matian untuk memperebutkan aku. Ahh,
betapa hancur rasa hatiku. Aku hanya mencinta Kam Lok, suamiku, mana mungkin
aku harus mencinta orang lain? Mereka itu setingkat, akan tetapi semalam
suamiku telah mengaku bahwa sebetulnya ia masih kalah kuat oleh lawannya itu.
Aku hanya dapat memandang dengan gelisah dan berdoa dalam hati semoga suamiku
yang akan menang.
Berjam-jam
mereka bertanding dan akhirnya, apa yang kutakuti terjadilah. Suamiku roboh
dengan muntah darah dan tewas setelah mengucapkan hanya dua buah kata memanggil
namaku. Aku menangis, kemudian aku dihibur oleh Ouwyang Kwan yang menyatakan
cintanya, yang juga bersumpah bahwa dia akan mencintaku melebihi cinta suamiku.
Akan tetapi, aku benci melihat raksasa itu. Aku benci kepadanya!
Aku lalu
menyerangnya kalang kabut, akan tetapi dengan mudah dia menghindar dan pergi dari
tempat itu. Sesuai dengan pesan suamiku, aku lalu membereskan pakaian jenazah
suamiku, lalu mengatur agar dia duduk di sudut ruangan di mana turun salju dan
es melalui celah-celah sehingga tubuhnya akan terbungkus salju dan es, dan
tidak akan rusak sehingga aku dapat memandangnya setiap hari, seolah-olah dia
masih hidup.
Setiap hari
Ouwyang Kwan datang, membujukku, mengancamku. Akan tetapi aku bertekad untuk
tidak melayaninya. Aku mengatakan kepadanya bahwa lebih baik aku mati dari pada
harus menjadi isterinya, bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya, bahwa
sebaliknya aku benci kepadanya. Akan tetapi orang itu sungguh keterlaluan, dia
tak mau melakukan kekerasan, sebaliknya membujuk-bujuk, memohon-mohon sehingga
kadang-kadang timbul juga rasa kasihan dalam hatiku. Akan tetapi, aku berkeras
tidak mau menjadi isterinya, bahkan tidak mau melayani hasratnya.
Sampai
setahun lebih ia terus-menerus membujukku, menyediakan segala keperluanku,
bahkan dia memelihara jenazah suamiku sehingga nampak terbungkus es dengan
baik, tak pernah rusak. Dia menyatakan menyesal sambil menangis jika dia
melihat suamiku. Akan tetapi, aku tetap tidak mau melayaninya, bahkan aku mulai
senang menggodanya, melihat dia tersiksa oleh cintanya yang tidak kubalas. Dia
jelas amat menderita dan itulah hukumannya! Kadang-kadang dia menangis sendiri
di sudut, lalu bicara sendiri.
Aku khawatir
dia menjadi gila karena rindunya dan cintanya yang tak terbalas dan tak
terpuaskan. Aku makin menggodanya, aku sengaja berganti pakaian di depannya agar
dia makin tergila-gila melihat tubuhku setengah telanjang, akan tetapi kalau
dia sudah berapi-api aku lalu menghina dan mengejeknya, menyatakan benciku. Aku
ingin dia memperkosaku, karena kalau hal itu terjadi, dia tentu akan terpukul
hebat batinnya, tentu akan merasa menyesal sekali demi cintanya kepadaku yang
kutahu memang benar-benar amat mendalam itu. Godaanku membuat dia semakin gila.
Pada suatu
hari, ketika aku berada di luar, aku bertemu dengan makhluk aneh. Agaknya
itulah yang bernama Yeti. Aku terkejut dan ketakutan, jatuh pingsan di depan
Yeti, akan tetapi Ouwyang Kwan menyelamatkan aku, membawa lari masuk ke dalam
goa dan menutup goa dengan batu besar. Yeti itu berkeliaran di luar goa sampai
tiga hari dan tiga malam mengeluarkan suaranya yang aneh. Aku ketakutan bukan
main.
Dan mulai
hari itu, hampir setiap hari aku melihat Yeti dan makin jarang melihat Ouwyang
Kwan. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku menjadi nekat dan ingin menyerahkan
diriku kepada Yeti! Aku ingin mengecewakan hati Ouwyang Kwan karena hatiku
sakit mengingat suamiku dibunuh, akan tetapi aku sebetulnya mulai jatuh cinta
kepadanya, mungkin karena kebutuhanku kepada pria! Namun, benciku melebihi
cintaku sehingga aku lebih suka menyerahkan diri kepada Yeti, makhluk buas
menyeramkan itu dari pada kepada Ouwyang Kwan.
Akan tetapi,
pengalamanku ketika aku menyerahkan diri kepada Yeti malam itu membuat aku
semakin tergila-gila. Aku jatuh cinta kepada Yeti, demikian pikirku. Akan
tetapi, ketika pada keesokan harinya aku terbangun dalam pelukan Yeti, ternyata
Yeti itu adalah Ouwyang Kwan yang menyamar. Aku malu, aku benci, aku menyesal,
apalagi karena aku tahu bahwa seluruh tubuhku jatuh cinta kepada Ouwyang Kwan
pembunuh suamiku.
Aku harus
mati…! Aku lebih baik mati…! Aku semalam telah mengkhianati suamiku, di depan
mata suamiku sendiri aku telah bermain cinta, berjinah semalam suntuk dengan
Ouwyang Kwan, musuh dan pembunuh suamiku. Aku harus mati....!
Tulisan itu
berakhir, akan tetapi pada lembar berikutnya terdapat tulisan kasar seperti
cakar ayam, tulisan yang besar-besar hurufnya dan ditulis oleh tangan yang
kaku.
Aku
menyebabkan kematiannya. Aku berdosa! Aku binatang, bukan manusia! Aku Yeti
yang buas!
Demkianlah
isi buku catatan yang dibaca oleh Hong Bu dengan asyiknya. Dia lalu termenung.
Hebat sekali pengalaman suami isteri pendekar itu. Dia lalu menghampiri lagi
mayat-mayat yang seperti arca itu. Pendekar itu memang tampan, dan setelah dia
meneliti, dia melihat memang pada bajunya terdapat lubang bekas tusukan pedang,
tepat di ulu hatinya. Kemudian dia meneliti jenazah wanita itu. Terdapat pula
lubang bekas tusukan senjata tajam di lambung kirinya. Agaknya wanita itu telah
bunuh diri. Dan agaknya tulisan kasar terakhir itu adalah tulisan Ouwyang Kwan
yang menaruh mayat Loan Si di dekat suaminya, kemudian tentu saja Ouwyang Kwan
meninggalkan tempat itu.
Akan
tetapi.... tiba-tiba Hong Bu teringat dan bulu tengkuknya meremang, Yeti itu!
Mengapa menangis di depan mayat Loan Si? Dan di dalam catatan Loan Si, Yeti
yang diserahi dirinya adalah yang penyamaran Ouwyang Kwan! Dan Ouwyang Kwan
mulai menjadi gila!
Dan Yeti
itu, gerak-geriknya lebih mirip manusia, malah bisa merintih, menangis, dan
seolah-olah mengerti dan dapat menangkap kata-katanya. Jangan-jangan Yeti yang
sekarang ini pun adalah penyamaran Ouwyang Kwan! Bukankah dalam catatan-catatan
itu disebutkan bahwa Ouwyang Kwan bertubuh raksasa? Jadi, tentu tinggi besar,
pantas kalau menyamar sebagai Yeti!
Hong Bu
berindap mendekati Yeti yang masih tidur. Tidurnya nyenyak dan mendengkur.
Dengkurnya seperti dengkur manusia! Berdebar jantung Hong Bu. Benarkah makhluk
ini yang dinamakan orang Yeti, ataukah ini adalah Ouwyang Kwan yang menyamar?
Bagai mana dia akan dapat membuka rahasia ini? Betapa pun juga, jelas bahwa
makhluk ini memperlihatkan sifat-sifat yang liar dan ganas, maka dia harus
berhati-hati dan jangan sampai membuatnya marah, karena hal itu amatlah
berbahaya. Makhluk buas, atau manusia yang sudah menjadi gila dan merasa
dirinya menjadi binatang, sama saja berbahayanya, maka dia harus bersikap halus
dan hati-hati.
Malam itu
Hong Bu tidur dalam ruangan itu yang tidaklah begitu dingin seperti kalau
berada di luar, Yeti tidak nampak, semenjak tadi telah pergi. Hong Bu tidak
berani sembarangan mencarinya karena memang dia tidak tahu harus pergi ke mana,
dan tak lama kemudian nampak bayangan berkelebat dan Yeti telah berada di
dekatnya dan menyerahkan segebung daun-daun yang kekuning-kuningan.
Dia
menerimanya dalam keremangan cahaya malam yang berbulan tipis itu, sinar bulan
yang memasuki ruangan melalui jendela, tetapi tidak tahu mengapa Yeti memberikan
daun-daun itu kepadanya. Untuk tilam tidur? Akan tetapi daun-daun basah itu
malah tidak enak kalau untuk tidur, lebih enak tidur di atas tanah dalam
ruangan itu yang cukup hangat. Akan tetapi, Yeti itu mengambil setangkai daun
lalu memakannya dan memberi isyarat dengan tangan agar Hong Bu makan daun itu
pula!
Celaka,
pikirnya, kalau Yeti ini termasuk binatang pemakan rumput dan daun, apa
dikiranya dia pun harus hidup sebagai kerbau atau kuda? Akan tetapi, agar tidak
membikin marah binatang itu, dia pun mengambil sehelai dan dimasukkan ke
mulutnya, lalu dikunyahnya. Eh? Rasanya enak! Hong Bu menjadi girang sekali.
Daun itu rasanya enak, seperti daun sawi! Maka dia pun lalu makan daun-daun
itu. Lumayan untuk mengisi perut kosong. Dan malam itu dia tidur nyenyak,
dengan perut kenyang walau pun hanya diisi daun-daun itu.
Pada
keesokan harinya, Yeti itu memberi isyarat pada Hong Bu untuk ikut bersamanya
keluar dari ruangan itu. Hong Bu menurut saja. Yeti itu keluar melalui jendela
dan ketika Hong Bu menjenguk keluar, hampir dia berteriak saking ngerinya.
Ternyata di luar ‘jendela’ itu merupakan tebing yang luar biasa curamnya, tak
berdasar lagi karena tertutup oleh kabut kebal. Demikian pula semua jendela di
ruangan itu dikelilingi tebing yang curam. Akan tetapi Yeti mengajaknya keluar
dari situ! Mana mungkin?
Yeti agaknya
mengerti dan dengan tangan kirinya dia mengempit Hong Bu sedangkan pedang yang
kemarin menancap di pahanya itu diangsurkan kepada Hong Bu. Hong Bu mengerti
bahwa dia disuruh memegang pedang itu, maka dia pun memegang pedang itu dengan
hati-hati dan mulailah Yeti itu memanjat tebing! Bukan main! Berkuranglah
kecurigaan Hong Bu. Kalau Yeti ini manusia yang menyamar, agaknya tidak mungkin
ada manusia berani atau dapat memanjat tebing seperti ini!
Hong Bu
beberapa kali memejamkan matanya kalau Yeti itu melompat-lompat dan akhirnya
mereka tiba di sebuah taman yang luar biasa. Di sekeliling itu terdapat es yang
berkilauan, bermacam-macam betuknya. Ada es yang kemerahan, ada yang berwarna
biru, seperti batu-batu akik yang besar-besar. Tetapi kalau Hong Bu
membantingnya, maka di dalamnya tidak ada apa-apa dan warna itu pun menghilang.
Kiranya itu hanyalah warna sinar matahari yang tertangkap bagian-bagian
tertentu saja oleh bentuk-bentuk yang aneh itu.
Dan di situ
tumbuh berbagai tanam-tanaman. Sungguh luar biasa ada tanaman dapat hidup di
tempat sedingin ini! Yeti lalu berloncatan pergi membawa pedang itu. Hong Bu
yang ditinggal sendiri diam saja, menanti dengan tenang karena dia maklum bahwa
tentu Yeti itu hendak melakukan sesuatu dan dia disuruh menanti di situ. Benar
saja tak lama kemudian Yeti kembali dan tangan kirinya menggenggam dua ekor
ular! Ular salju yang berwarna kemerahan. Merah darah! Selain itu, Yeti masih
membawa pula sepotong cula, semacam cula badak yang cukup besar.
Tanpa
mengeluarkan kata-kata, Yeti itu mengulurkan tangan memberikan ular itu kepada
Hong Bu. Tentu saja Hong Bu melangkah mundur dan menarik tangannya, tidak mau
menerima. Untuk apa dia diberi ular? Kalau seperti ketika memberi daun semalam
dia disuruh makan ular, maka Yeti atau apa pun adanya makhluk itu sudah
benar-benar menjadi gila!
Biar pun dua
ekor ular itu telah mati, agaknya dipencet oleh jari-jari tangan yang kuat itu,
akan tetapi Hong Bu masih merasa ngeri. Bukan dia tidak pernah makan ular.
Sering kali malah, akan tetapi daging ular kembang yang besar, diambil
dagingnya dipanggang atau dimasak. Bukan ular kecil merah yang agaknya
mengandung bisa amat jahatnya ini.
Yeti lalu
memisahkan dua ular yang saling belit itu, kemudian membawa seekor ke dekat
mukanya, membuka mulut dan....
“Kress!”
kepala ular itu digigitnya, putus sampai ke leher dan dikunyahnya, matanya
berkedip-kedip, kelihatan enak sekali.
“Huh-huhh!”
katanya lagi sambil menyerahkan yang seekor kepada Hong Bu.
Celaka,
pikir Hong Bu. Benar-benar sudah gila. Akan tetapi melihat sinar mata yang
keras dan seperti memaksa itu, dia takut untuk menolak. Dia harus dapat
mengambil hati Yeti dengan halus, dan kalau perlu biarlah dia ikut-ikutan
menjadi gila sedikit. Dia menerima ular itu, dan seperti yang dilakukan oleh
Yeti tadi, dia membawa, kepala ular itu ke mulutnya, membuka mulut dan menutup
matanya, lalu….
“Krekk!”
kepala ular itu digigitnya kuat-kuat sampai putus sebatas leher, kemudian
sambil memejamkan mata rapat-rapat dia lalu mengunyah kepada ular itu yang
hanya sebesar ibu jari kakinya. Terasa agak masam, akan tetapi ada manisnya dan
dia terus memakannya sampai habis, menelannya sampai kepalanya bergerak naik
turun karena dipaksanya seperti orang minum obat pahit.
Yeti itu
kelihatan gembira sekali ketika Hong Bu membuka matanya. Ditangkapnya pinggang
Hong Bu dan dilemparkannya tubuh anak itu ke atas, ketika melayang turun,
diterimanya tubuh itu lalu dilontarkannya ke atas, makin lama makin tinggi!
Hong Bu yang diperlakukan seperti bola itu tadinya gembira, akan tetapi karena
makin lama dia dilontarkan semakin tinggi, dia merasa ngeri juga dan dia
berteriak-teriak. “Heii! Yeti, turunkan aku....!”
Yeti itu
menyambut tubuhnya dan menurunkannya ke atas tanah, sepasang matanya sekarang
berseri dan bersinar-sinar, lenyap keliarannya. Kemudian Yeti itu melanjutkan
makan ular merah, dan memberi isyarat kepada Hong Bu untuk makan ularnya pula.
Biar pun muak, Hong Bu memejamkan matanya dan terus makan ular itu
mentah-mentah begitu saja sampai akhirnya habis juga seluruh ular itu dari
kepala sampai ekornya ke dalam perutnya!
Dia mau
muntah, akan tetapi ditahannya dan tiba-tiba dia merasa kepalanya pening. Dia
terhuyung-huyung dan seluruh tubuhnya terasa panas, perutnya mulas dan bergerak
gerak seolah-olah ular yang dimakannya tadi hidup lagi dan meronta-ronta di
dalam perutnya.
“Celaka,
Yeti! Ular itu beracun....!” Hong Bu sudah terlalu banyak pengalaman dalam
pekerjaannya berburu sehingga dia dapat menduga apa yang terjadi dengan
dirinya. Dia sudah mencari-cari di dalam saku bajunya untuk cepat menelan obat
penawar racun, akan tetapi Yeti menggereng dan merampas bungkusan obat itu,
lalu membuangnya jauh-jauh obat!
“Ahhh!” Hong
Bu berseru.
Obat-obatnya
telah dibuang ke dalam jurang! Padahal, dia masih membutuhkan untuk memberi
obat pencuci darah untuk Yeti, karena makhluk itu belum minum obat pencuci
darah, tidak sempat ketika kemarin di serang orang setelah dia bela, kemudian
sadar dan terus saja pergi tanpa minum obat pencuci darah! Dan kini semua
obatnya telah dibuang, bukan hanya obat pencuci darah untuk Yeti namun juga
obat penawar racun untuk menyelamatkan nyawanya.
“Celaka,
agaknya engkau hendak membiarkan aku mati!” serunya penuh sesal.
Dengan suara
ah-ah-uh-uh, Yeti lalu menarik tangan Hong Bu, disuruhnya menirukan dia. Dan
Yeti itu lalu duduk bersila dengan kedudukan kaku berbentuk teratai, yaitu
duduk bersila dengan kedua kaki di atas paha kanan kiri! Aneh seekor binatang
dapat duduk bersila seperti itu. Akan tetapi Hong Bu lalu mencontohnya. Tentu
saja dia pun tidak asing dengan cara bersila seperti itu.
Yeti itu
lalu menunjuk ke arah pusarnya. Dan memang di situlah Hong Bu merasakan hawa
panas yang luar biasa. Lalu Yeti menarik napas panjang, menahan napas itu, dan
menyuruh Hong Bu menirunya. Demikianlah, Yeti lalu memberi contoh cara bernapas
kepada Hong Bu, cara menyalurkan hawa panas itu ke seluruh tubuhnya dan dengan
jari tangan kirinya yang besar Yeti menotok beberapa jalan darah di tubuh Hong
Bu dan terbukalah jalan darah itu sehingga hawa panas dari pusar itu dapat
menembus naik. Lalu dengan gerakan tangan dia memberi contoh pengerahan napas
untuk membuat hawa itu berputar-putar.
Hong Bu
merasa terheran-heran, akan tetapi secara membuta dia menurut petunjuk Yeti dan
sungguh luar biasa sekali. Perutnya tidak sakit lagi, peningnya lenyap dan kini
bahkan tubuhnya terasa hangat. Yeti itu lalu membuka jubah tebalnya dan dia
tetap merasa hangat, padahal hawanya di situ amat dinginnya! Setelah duduk
berlatih napas selama satu jam lebih, Hong Bu merasa betapa tubuhnya enak
sekali.
Yeti kini
melompat bangun dan Hong Bu tersenyum kepadanya. Diam-diam dia makin curiga dan
terheran-heran. Yeti ini sama sekali tidak pantas kalau menjadi binatang buas,
lebih patut menjadi seorang manusia sakti yang sedang bingung dan berubah
ingatannya! Makin tebal dugaannya bahwa Yeti ini tentulah Ouwyang Kwan yang
lagi menyamar.
Sekarang
Yeti mengambil cula badak salju itu, lalu menggunakan kuku jarinya untuk
mengeruknya, dan memberikan kepada Hong Bu isi dari cula itu yang agak empuk,
seperti tulang muda, dan menyuruh dia makan cula itu! Hong Bu tidak ragu-ragu
lagi kini, disuruh apa pun dia akan menurut dan biar pun agak keras, seperti
makan tulang muda, dia pun makan cula itu sampai habis dan ternyata baunya
amis-amis harum. Dia tidak tahu bahwa dia sedang diberi makan racun ular, daun
salju dan cula badak salju yang dapat menguatkan badannya. Makanan seperti ini
dapat membuat tubuh tidak hanya kuat, akan tetapi juga kebal seperti tubuh Yeti
itu!
Sampai tiga
hari lamanya, setiap hari Yeti mengajak Hong Bu ke tempat ini dan Hong Bu kini
ikut pula menangkap ular merah untuk dimakannya mentah-mentah saja, dan juga
mencari daun-daun salju dan cula badak salju. Pada hari ke empat, Yeti mengajak
Hong Bu keluar dari terowongan itu dan menutupkan lagi batu bundar itu menutupi
lubang rahasia itu, kemudian dia mengajak Hong Bu untuk berjalan menuju ke
sebuah puncak bukit yang tak jauh dari situ. Tiba-tiba saja bermunculan
beberapa orang yang agaknya memang sejak lama telah menanti dan bersembunyi di
situ dan agaknya memang mengamat-amati jejak Yeti!
Melihat
betapa di antara mereka itu terdapat kakek jangkung dan kakek pendek, yaitu
Su-ok dan Ngo-ok, Hong Bu terkejut sekali. Tetapi Yeti lalu menyambar pinggangnya,
memanggulnya dan kemudian membawanya lari dari tempat itu. Dengan cepat sekali
ia berlompatan, dengan kaki masih terpincang-pincang. Dan para tokoh kang-ouw
yang memang mengamati gerak-gerik Yeti dan terutama sekali pedang di tangan
Yeti itu, juga menggunakan ginkang mereka, bergerak dengan ringan dan cepat,
mengikuti jejaknya yang nampak jelas di atas salju.
Terjadilah
kejar-kejaran dan sampai dua hari dua malam Yeti terus berjalan tanpa henti,
hanya makan bekal daun yang dibawa Hong Bu ketika mereka keluar dari
terowongan. Akan tetapi, setiap kali Yeti berhenti mengaso, nampak sudah
orang-orang kang-ouw yang ternyata berilmu tinggi itu berdatangan dan
membayangi dari jauh!
Pada hari ke
tiga, ketika dia tiba di puncak yang tinggi dari Pegunungan Kongmaa La, di
bagian yang penuh rahasia bahkan dia sendiri jarang datang ke tempat berbahaya
itu, Yeti yang melihat belasan orang kang-ouw itu tetap saja masih
membayanginya, menjadi marah bukan main. Dia menggereng dan meloncat ke balik
sebuah bukit salju yang bertumpuk di tepi puncak yang datar itu, akan tetapi
dia tidak lari melainkan bersembunyi mendekam di situ sambil tetap memeluk Hong
Bu dan memegang pedang.
Benar saja,
semua orang kang-ouw kini mengejar ke tempat itu. Hong Bu yang juga ikut
bersembunyi mengintai itu melihat banyak orang yang aneh-eneh bentuk mau pun
pakaiannya. Bahkan ada pula empat orang laki-laki gundul yang tinggi besar
seperti raksasa memikul sebuah tandu yang tertutup sehingga tidak dapat dilihat
apa atau siapa isinya. Sungguh lucu sekali kalau dipikir. Mengejar atau
membayangi jejak Yeti kenapa mesti naik tandu yang dipikul empat orang? Seperti
orang pesiar saja! Sungguh gila!
Akan tetapi
begitulah kenyataannya dan Hong Bu memandang terus. Ada beberapa orang kakek
yang aneh yang berdekatan dengan Su-ok dan Ngo-ok, dan ada pula seorang nenek
yang amat mengerikan, karena nenek ini, atau wanita itu, karena sukar dikatakan
tua atau muda, memakai topeng tengkorak manusia tulen! Ada pula seorang kakek
tinggi besar yang persis gorila bentuknya, baik bentuk tubuhnya mau pun bentuk
mukanya, seperti gorila memakai pakaian! Dan ada pula raksasa berkepala botak
yang memakai mantel merah.
Dia tidak
tahu bahwa mereka itu adalah Twa-ok Su Lo Ti Si Kakek Gorila, kemudian Ji-ok
Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak, kemudian Sam-ok Ban Hwa Sengjin
yang berkepala botak. Mereka itulah, bersama Su-ok dan Ngo-ok merupakan
gerombolan lengkap dari Im-kan Ngo-ok, datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi di
samping kelima orang ini dan empat orang penggotong joli yang melihat
gerakannya juga merupakan orang-orang pandai, masih terdapat lagi beberapa
orang sehingga jumlah mereka hampir dua puluh orang! Semua orang itu nampak
berilmu tinggi dan berkumpul di puncak datar itu, siap untuk mengejar Yeti.
Akan tetapi,
tiba-tiba Yeti mengeluarkan gerengan keras dan melompat keluar dari tempat
persembunyiannya, memondong Hong Bu dengan tangan kiri dan memegang pedang
berkilauan itu dengan tangan kanan, memutar-mutar pedang ke atas kepala dan
menggereng-gereng memperlihatkan kemarahannya karena dia terus dibayangi oleh
orang-orang kang-ouw itu.
Akan tetapi,
orang-orang kang-ouw itu bersikap tenang dan siap untuk membela diri. Mereka
itu semua menanti kesempatan baik. Tentu saja orang-orang seperti Im-kan Ngo-ok
yang datang dengan lengkap itu tidak takut terhadap Yeti dan merasa bahwa kalau
mereka berlima maju, mereka akan mampu merampas pedang keramat yang amat
diinginkan itu. Namun mereka adalah orang-orang cerdik, mereka dapat berpikir
secara jauh. Kalau mereka merampas pedang itu, berarti mereka akan menghadapi
pengeroyokan orang-orang kang-ouw lainnya dan hal itu merupakan bahaya yang
jauh lebih besar lagi. Mereka melihat betapa setiap orang kang-ouw yang
melakukan pengejaran ini terdiri dari orang-orang yang amat tinggi
kepandaiannya. Oleh karena itulah maka belasan orang kang-ouw itu hanya
membayangi Yeti saja, belum mau turun tangan merampas pedang.
Kini
tahu-tahu Yeti itu sendiri yang agaknya hendak menyerang mereka maka mereka
siap siaga untuk menghadapi amukan Yeti. Betapa pun juga, setelah mendengar
betapa banyaknya orang-orang kang-ouw yang tangguh-tangguh binasa di tangan
Yeti ini, maka ketika Yeti melangkah maju mengayun-ayun pedang yang berkilauan
itu, semua orang menjadi agak gentar juga dan melangkah mundur. Akan tetapi,
empat orang gundul tinggi besar seperti raksasa itu agaknya tidak mengenal
takut karena mereka tidak melangkah mundur, hanya berdiri diam saja memanggul
tandu sambil memandang kepada Yeti dengan muka seperti topeng, sedikit pun tidak
membayangkan perasaan apa pun.
Yeti sudah
marah sekali karena orang-orang yang mengepungnya itu tidak mau pergi. Dia lalu
melemparkan tubuh Hong Bu begitu saja ke samping dan pemuda ini
terguling-guling, kemudian bangkit duduk dan merangkak ke belakang sebuah batu
besar untuk berlindung. Yeti menggereng-gereng, lalu dengan gerakan tiba-tiba
dan cepat sekali, tangan kirinya menyambar ke depan, ke arah rombongan orang
terdekat, yaitu ke arah empat orang pemikul tandu itu sendiri.
Meski dia
hanya menampar dengan tangan kiri, namun tamparan itu hebat bukan main
akibatnya. Empat orang yang tinggi besar dan nampaknya kuat kokoh seperti
menara besi itu, kini seperti pohon-pohon cemara dilanda angin kencang. Mereka
terpelanting ke kanan kiri dan tandu itu pun terlepas dari pundak mereka dan
jatuh ke atas tanah dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tangan kiri Yeti
meluncur terus dan dengan tepat dan keras mengenai lagi tandu itu.
“Brakkk....!”
Tandu itu
hancur berantakan kena pukulan itu dan bersama dengan hancurnya tandu, nampak
pecahan-pecahan tandu berhamburan dan di antara pecahan-pecahan itu nampak
berkelebat bayangan yang sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat diikuti oleh
pandang mata para tokoh kang-ouw yang memandang peristiwa itu, saking cepatnya
gerakan bayangan yang meloncat keluar dari tandu itu sebelum tandu itu hancur
lebur.
“Yeti
keparat!” terdengar bentakan nyaring merdu dan ternyata di situ telah berdiri
seorang yang wajahnya amat.... buruknya!
Tubuh wanita
itu tinggi ramping dan montok, dengan lekuk lengkung tubuh seorang wanita yang
sudah matang dan yang memiliki daya tarik yang menggairahkan. Namun apabila
orang melihat wajahnya tanggung semua gairah akan terbang lenyap dari hati
orang itu, karena wajah wanita ini benar-benar luar biasa buruknya, bukan hanya
buruk bahkan menjijikkan dan menakutkan. Kulit muka ini agak kehitaman,
belang-belang dan berlubang-lubang semacam bopeng yang berat, dan selain itu
juga pletat-pletot seolah-olah terbuat dari malam yang terkena panas! Sungguh
ganas sekali alam memberi wajah cacat sedemikian buruknya pada seorang wanita
yang melihat bentuk tubuhnya adalah seorang wanita muda yang sedang-sedangnya
berkembang!
Semua orang
memandang dengan terheran-heran. Bahkan Im-kang Ngo-ok sendiri tidak mengenal
nona buruk muka itu, padahal melihat gerakannya tadi jelas bahwa tingkat
ginkang yang dimiliki wanita itu tidak kalah oleh tingkat ginkang dari Ngo-ok
sendiri! Gerakannya seperti dapat menghilang saja, sedemikian cepatnya gerakan
tadi sampai tidak nampak oleh mata mereka.
Biar pun
sinar matanya membayangkan kemarahan karena tandunya dihancurkan Yeti, akan
tetapi wanita itu dengan tenang berdiri tegak, kemudian dia menyingsingkan
kedua lengan bajunya! Mula-mula nampak kulit lengannya yang halus mulus, montok
dan putih bersih, akan tetapi segera semua orang menahan napas, bahkan ada yang
menahan seruan karena merasa ngeri. Ternyata bahwa kedua lengan itu penuh
dengan ulat-ulat berbulu! Ulat-ulat yang gemuk dan berbulu lebat, ada yang
berwarna putih, merah, biru, hijau, hitam, kuning dan sebagainya. Baru melihat
saja sudah menimbulkan perasaan gatal-gatal di tubuh, apalagi kalau sampai
terkena bulu-bulu lebat yang kesemuanya pasti mengandung racun yang amat hebat
itu.
“Binatang
liar, berani engkau merusak tanduku? Hayo tukar dengan pedangmu itu!” bentak
wanita itu dengan suara yang melengking nyaring.
“Si Ulat
Seribu....,” terdengar Ji-ok Kui-bin Nio-nio berseru kaget.
Wanita
bermuka buruk itu menoleh kepada wanita bermuka tengkorak. “Heh-heh, Ji-ok
Kui-bin Nio-nio kiranya? Huh, kalau tidak bersama-sama dengan Ngo-ok
selengkapnya, mana berani keluar?”
Diejek
demikian itu, Ji-ok mendengus marah. “Bocah sombong! Siapa yang takut
ulat-ulatmu?”
Akan tetapi
Si Ulat Seribu tidak mempedulikan Ji-ok lagi karena tiba-tiba, selagi dia
bicara kepada Ji-ok dan mukanya agak menengok ke arah wanita bertopeng
tengkorak itu, mendadak saja tangannya bergerak menyambar dan dia sudah
menyerang Yeti! Sungguh suatu gerakan yang selain cepat, juga tidak
terduga-duga sama sekali dan membayangkan kelicikan dan kecurangan hebat dari
orang-orang golongan sesat!
Akan tetapi
Yeti itu pun memiliki ketangkasan yang luar biasa sekali. Biar pun dia diserang
secara tiba-tiba, tangan kiri wanita itu menyambar ke arah pusarnya dan tangan
kanan wanita itu langsung menyambar ke atas untuk merampas pedang, akan tetapi
dia malah membiarkan saja pukulan ke arah pusarnya itu, sedangkan pedangnya
cepat digerakkan ke bawah menyambut lengan kanan Si Ulat Seribu.
“Dukk....!
Aihhh....!” Si Ulat Seribu itu untungnya dapat bergerak dengan kecepatan kilat
sehingga lengannya tertolong sungguh pun ujung lengan bajunya terbabat putus
hanya oleh sinar pedang itu sehingga dia memekik kaget.
Kekagetan
akibat putusnya ujung lengan ini ditambah dengan terpentalnya tangannya yang
menghantam pusar, seolah-olah bertemu dengan perut dari baja atau bola karet
yang amat kuat! Akan tetapi, ulat-ulat dari lengannya itu beterbangan dengan
warna-warnanya yang cerah sehingga seperti kembang api berpijar dari percikan
ke mana-mana, terutama sekali ke arah tubuh Yeti.
Akan tetapi,
tubuh Yeti penuh bulu maka ulat-ulat itu tidak mempengaruhi dirinya. Tidak ada
bulu ulat yang dapat membuat gatal kulit yang dilindungi bulu! Yeti itu hanya
menggoyangkan tubuhnya dan sungguh aneh, ulat-ulat itu semua beterbangan ke
satu jurusan, yaitu ke arah empat orang raksasa gundul para pemikul tandu tadi
sehingga terjadilah pemandangan yang mengerikan.
Empat orang
itu segera bergulingan, menggunakan kuku jari tangan menggaruki seluruh
tubuhnya sampai pakaian mereka robek-robek semua dan dalam waktu singkat mereka
itu sudah bertelanjang bulat menggaruki semua bagian tubuh mereka yang
bintul-bintul dan bengkak-bengkak! Hebatnya, bagian yang digaruk dan mengeluarkan
darah segera dilekati oleh ulat-ulat yang ternyata suka minum darah seperti
lintah-lintah! Dan dalam waktu singkat saja empat orang raksasa gundul tukang
pikul tandu Si Ulat Seribu itu telah tewas semua, badan mereka yang telanjang
bulat itu penuh dengan ulat-ulat yang kini menjadi semakin menggembung gemuk
kekenyangan darah!
Semua orang
mengkirik karena seram, akan tetapi seorang kakek berjenggot panjang, seorang
di antara para tokoh kang-ouw yang datang ke tempat itu, menjadi tidak senang.
Dia lalu menggosok kedua telapak tangannya, lalu memukulkan kedua telapak
tangan itu ke arah mayat-mayat tadi. Hawa panas menyambar-nyambar dan keempat
mayat itu menjadi kehitaman seperti hangus, dan semua bulu berwarna-warni dari
ulat-ulat itu rontok terbakar semua, akan tetapi hebatnya, ulat-ulat itu tidak
menjadi mati! Kini semua ulat itu menjadi ulat-ulat gundul yang makin
menggelikan lagi, juga menjijikkan karena nampak gerakan-gerakan perut mereka
yang naik turun.
Si Ulat
Seribu menjadi semakin marah, kini kemarahannya ditumpahkan kepada kakek
berjenggot panjang itu. “Keparat, berani engkau merusak ulat-ulatku!”
Dan
tiba-tiba saja tubuhnya menggeliat roboh ke atas tanah, kemudian seperti
gerakan seekor ulat, tubuhnya menggeliat-geliat dan tiba-tiba melenting ke
atas, ke arah kakek berjenggot panjang itu dan kedua tangannya sudah mengirim
serangan. Bukan main cepatnya gerakan ini, sukar diikuti pandang mata.
Kakek itu
sudah kaget setengah mati, tidak mengira bahwa dia akan diserang secepat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang laki-laki yang
berpakaian seperti pengemis, mukanya ditumbuhi kumis dan jenggot lebat tak
terpelihara, sikapnya acuh tak acuh dan mulutnya yang tersembunyi di balik kumis
itu terkekeh aneh. “Jangan ganggu orang tua!” dia mendengus dan tiba-tiba jari
telunjuk kanannya menuding dan menyambar ke depan, memapaki serangan Si Ulat
Seribu itu.
“Dukk!
Aihhhh....!” Untuk kedua kalinya Si Ulat Seribu menjerit dan tubuhnya terdorong
ke belakang, tubuhnya tergetar hebat. Dia berdiri dan memandang kepada jembel
yang ternyata masih muda itu dengan sinar mata penuh kemarahan, akan tetapi
juga dengan muka agak pucat karena dia terkejut bukan main.
“Kau....
kau.... Si Jari Maut....?”
Im-kan
Ngo-ok juga sangat terkejut mendengar disebutnya nama ini dan mereka semua
memandang ke arah jembel muda itu. Mereka sudah mengenal Si Jari Maut Wan Tek
Hoat, calon mantu Raja Bhutan! Benarkah jembel muda itu adalah mantu Raja
Bhutan? Sungguh mengherankan hati Im-kang Ngo-ok, dan tiba-tiba Sam-ok Ban Hwa
Sengjin tertawa bergelak sampai perutnya yang tersembunyi di balik mantel itu
bergerak-gerak.
“Ha-ha-ha-ha!
Kiranya Si Jari Maut tidak jadi menjadi mantu Raja Bhutan, melainkan menjadi
jembel terlantar!” katanya sambil memandang kepada jembel muda yang bukan lain
adalah Wan Tek Hoat atau juga dahulu disebut Ang Tek Hoat Si Jari Maut itu.
Akan tetapi, orang muda yang menjadi seperti jembel itu hanya ha-ha-he-he saja,
terkekeh dan kemudian malah mengguguk dan terisak menangis!
“Oohhh, dia
telah menjadi gila....!” kata Twa-ok Su Lo Ti dan semua orang memandang karena
merasa aneh. Kakek ini seperti gorila, pantasnya sikap dan kata-katanya tentu
kasar, akan tetapi sebaliknya malah, suaranya dan ucapannya itu seperti orang
yang mempunyai belas kasihan besar sekali!
Melihat
munculnya demikian banyaknya orang lihai, Si Ulat Seribu tidak mau mencari
penyakit dan dia sudah menerjang lagi, menerjang Yeti yang semenjak tadi
berdiri kebingungan. Mereka berdua segera bertarung lagi, akan tetapi tetap
saja Si Ulat Seribu terdesak hebat dan terpaksa harus menggunakan ginkang-nya
yang memang istimewa kalau dia tidak mau tubuhnya disayat-sayat oleh pedang di
tangan Yeti yang digerak-gerakkan secara aneh dan seperti ngawur namun amat
berbahaya itu!
“Twa-ko,
biar kucoba sampai di mana Si Jari Maut yang telah menjadi gila ini!” tiba-tiba
terdengar Ngo-ok berseru.
“Baiklah,
Ngo-te!” kata Twa-ok dengan halus.
Ngo-ok yang
jangkung itu lalu berseru keras dan tubuhya sudah menubruk Si Jari Maut Wan Tek
Hoat. Akan tetapi ternyata pengemis muda ini juga memiliki gerakan yang amat
gesitnya. Dengan mudah dia meloncat ke kiri sambil terkekeh. Akan tetapi
tiba-tiba kakek berjenggot panjang yang tadi ditolongnya dari serangan Si Ulat Seribu
itu telah meloncat ke depan.
“Siancai,
mengapa Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai jagoan-jagoan cabang atas itu
hendak mengganggu seorang muda yang ternyata sedang terganggu jiwanya? Tidak
mungkin aku, Sai-cu Kai-ong, mendiamkan saja kekejaman ini!”
Im-kan
Ngo-ok terkejut bukan main. Kiranya kakek berjenggot panjang yang berpakaian
sederhana, bukan pakaian pengemis itu, adalah Sai-cu Kai-ong yang amat terkenal
sebagai keturunan dari ketua Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal dan akhirnya
telah mengundurkan diri dan kabarnya telah bertapa di Pegunungan Tai-hang-san
itu.
Akan tetapi,
Ngo-ok adalah orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Dia pun sudah
mendengar nama orang yang terkenal di golongan bersih ini, akan tetapi dia
tidak menjadi gentar, apalagi karena di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap, takut
apa? Dia mendengus marah. “Kaukah Raja Pengemis? Biar kubikin kau menjadi
pengemis mati?” Dan dia sudah berjungkir-balik dan menyerang Sai-cu Kai-ong
dengan hebatnya!
Para pembaca
cerita jodoh sepasang rajawali tentu tidak lupa kepada tokoh ini. Sai-cu
Kai-ong adalah seorang tokoh besar, keturunan dan ahli waris dari ketua-ketua
Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia
bernama Yu Kong Tek dan tinggal di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai sebelah
selatan kota Paoteng, di Pegunungan Tai-hang-san. Seperti telah diceritakan
dalam cerita jodoh sepasang rajawali, kakek ini pernah mendidik Kam Hong saat
pendekar itu masih kecil, bahkan dasar-dasar ilmu silat yang dimiliki Kam Hong
adalah hasil didikan kakek ini.
Kini,
menghadapi cara berkelahi dari Ngo-ok yang aneh, dengan jungkir balik itu,
Sai-cu Kai-ong tidak menjadi gentar dan dia segera mainkan Ilmu silat Khong-sim
Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong). Dengan tenang dia menghadapi setiap
serangan kaki atau tangan, dan dia membalik keadaan, yaitu menghadapi kedua
kaki lawan dengan kedua tangannya, sedangkan kedua tangan lawan dihadapi dengan
kedua kakinya! Artinya, dia menangkis tendangan-tendangan kaki dengan tangan,
dan sebaliknya menangkis pukulan-pukulan tangan dengan kaki! Terjadilah
perkelahian yang amat aneh dan seru sehingga keadaan di situ menjadi semakin
ribut.
Setelah kini
ada yang berani turun tangan menyerang Yeti, maka mulailah beberapa orang
kang-ouw mencoba-coba untuk merampas pedang di tangan Yeti itu. Mereka seolah-olah
membantu Si Ulat Seribu, padahal tentu saja maksud mereka tidak demikian,
melainkan mereka menyerang Yeti untuk dapat merampas pedang itu. Akan tetapi
sungguh akibatnya hebat sekali. Beberapa orang di antara mereka terkena sambar
sinar pedang keramat itu dan roboh tewas, ada pula yang dirubung ulat-ulat dari
lengan Si Ulat Seribu sehingga jatuh beberapa orang lagi menjadi korban. Akan
tetapi ada pula yang masih terus mengurung Yeti sehingga Hong Bu yang melihat
keadaan itu menjadi khawatir sekali akan keselamatan Yeti.
Tiba-tiba
Wan Tek Hoat tertawa-tawa dan dia pun segera masuk ke dalam medan pertempuran!
Memang dia sedang bingung dikarenakan kedukaannya mencari-cari kekasihnya tanpa
hasil. Maka dia pun berkelahi seperti orang bingung, kadang-kadang membantu
Sai-cu Kai-ong, kadang-kadang dia membantu Yeti, dan ada kalanya juga dia
menyerang Yeti! Akan tetapi anehnya belum pernah dia menyerang Sai-cu Kai-ong!
Maka terjadilah perkelahian yang simpang-siur akan tetapi karena dilakukan oleh
orang-orang yang berilmu tinggi, maka menjadi pertempuran yang amat seru dan
timbul angin pukulan yang menyambar-nyambar amat dahsyatnya.
Selagi
pertempuran yang kacau itu berlangsung dengan serunya, tiba-tiba terdengar
suara nyanyian merdu yang diiringi oleh bunyi musik yang amat indah. Sungguh
merupakan hal yang teramat aneh di tempat seperti itu, di tengah-tengah orang
yang sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu
diiringi suara musik yang demikian indahnya. Tentu saja suara aneh ini membuat
semua orang terheran-heran dan otomatis yang sedang berkelahi itu dengan
sendirinya berhenti dan semua orang berloncatan mundur, membuat Yeti dan Wan
Tek Hoat menjadi bingung. Yeti berdiri bengong seperti tidak tahu harus berbuat
apa, dan Tek Hoat terkekeh aneh, akan tetapi keduanya lalu diam dan juga
seperti terpesona oleh suara nyanyian dan musik itu.
Suara itu
adalah suara wanita, amat merdu, akan tetapi juga mengandung tenaga yang
mukjijat dan seolah-olah dapat meredakan panasnya hati mereka semua. Semua mata
memandang ke arah datangnya suara dan dari bawah puncak datar itu muncullah
seorang pemuda yang diiringkan oleh belasan orang dayang yang berpakaian indah
dan berwajah cantik-cantik.
Pemuda itu
sendiri adalah seorang pemuda tanggung, kurang lebih lima belas tahun usianya,
berwajah tampan sekali dan kulit mukanya halus, sepasang matanya yang lebar itu
mengandung sinar jernih dan tajam. Di belakangnya ada seorang dayang yang
membawa sebuah bendera yang berwarna merah dan ada sulaman benang emas yang
berbunyi Kim Siaw San Kok (Lembah Gunung Suling Emas).
Setelah tiba
di atas pucak datar yang menjadi tempat pertempuran itu, Si Pemuda Tanggung
memandang kepada mereka semua, lalu memandang kepada mayat-mayat di atas tanah,
kemudian dia berkata kepada seorang dayang yang berpakaian kuning, “Kui Hwa,
lenyapkan mayat-mayat itu untuk membersihkan tempat kita.”
Wanita
berpakaian atau berbaju kuning itu mengangguk, kemudian dia mengeluarkan sebuah
botol yang bentuknya seperti tubuh ular, membuka tutup botol dan begitu dia
memercikkan sedikit cairan berwarna putih seperti perak ke atas tubuh
mayat-mayat itu, maka nampaklah asap mengepul tebal dan dalam waktu beberapa
menit saja mayat-mayat itu lenyap menjadi cairan kuning dan akhirnya cairan itu
pun lenyap masuk ke dalam tanah di antara salju! Semua orang menjadi bengong,
apalagi mereka yang tahu akan obat-obatan seperti Sai-cu Kai-ong, karena dia
tahu bahwa obat yang dapat mencairkan mayat secepat itu hanya terdapat dalam
dongeng saja dan dia sendiri belum pernah menyaksikannya dengan mata kepala
sendiri! Kini tinggal bau yang tidak enak saja tercium di tempat itu, sedangkan
mayat-mayat itu lenyap sama sekali, berikut ulat-ulat gundulnya!
“Lan-hwa,
lenyapkan bau busuk agar berubah wangi,” kembali pemuda itu berkata, suaranya
halus dan tenang seolah-olah di situ tidak ada orang lain kecuali dia dan para
dayangnya!
Seorang
dayang berbaju hijau yang juga muda dan cantik mengangguk, lalu mengambil
sebuah botol merah, menghampiri bekas tempat mayat dicairkan tadi, dan ketika
dia membuka tutup botol itu dan memercikkan sedikit isinya ke atas
tempat-tempat itu, terciumlah bau yang sedap harum dan lenyap sama sekali bau
yang tidak enak tadi, membuat semua orang merasa seakan-akan mereka berada di
taman yang penuh dengan bunga!
Kini pemuda
itu memandang kepada semua orang yang berada di situ, dan ketika pandang
matanya bertemu dengan Yeti, dia membelalakkan sepasang matanya yang lebar dan
indah itu, “Aih, kiranya inikah yang selama ini didesas-desuskan sebagai Yeti?
Dan dia pula yang telah menemukan pedang kami? Betapa anehnya!”
Pada saat
itu, Hong Bu yang sejak tadi khawatir akan keselamatan Yeti yang dikeroyok,
kini merasa lega dengan munculnya pemuda yang tampan halus itu. Akan tetapi dia
terkejut menyaksikan kelihaian pemuda itu menyingkirkan mayat-mayat dan bau-bau
mayat dicairkan, dan dia juga mendengar ucapan terakhir tadi. Maka meloncatlah
dia keluar dari balik batu besar, mendekati Yeti dan memegang lengan Yeti
seperti hendak melindungi.
“Memang Yeti
yang menemukan pedang ini, akan tetapi sama sekali tidak pernah merampas pedang
seperti yang akan dilakukan oleh semua orang yang tak tahu malu ini!” Dia
menentang pandang mata semua yang hadir dengan penuh keberanian. “Melainkan ada
orang yang menusukkan pedang ini di pahanya. Lihat, pahanya masih juga belum
sembuh. Dan sekarang, kembali dia dikejar-kejar hendak dibunuh dan dirampas
pedangnya! Sungguh manusia merupakan makhluk paling kejam dan licik di dunia
ini!”
Pemuda
tampan itu seperti tercengang mendengar ini dan sampai lama matanya menatap
wajah Hong Bu seperti orang tidak percaya akan apa yang didengarnya. “Siapa
kau?” akhirnya pemuda itu bertanya, suaranya mengandung keheranan dan mungkin
pula kekaguman.
“Aku Sim
Hong Bu, dan aku adalah satu-satunya manusia yang menjadi sahabat Yeti!” jawab
Hong Bu dengan bangga dan berani. Yeti agaknya senang mendengar ini, tangan
kirinya mengelus-elus rambut kepada Hong Bu dan tangan kanan masih memegang
pedang dengan kaku.
“Cukup semua
ini!” Tiba-tiba Sam-ok Ban Hwa Sengjin berkata dengan suaranya yang nyaring.
“Siapakah engkau, orang muda? Dan mengapa engkau mengatakan bahwa pedang itu
adalah pedang kalian?“
Pemuda itu
menoleh dan menghadapi Ban Hwa Sengjin. “Aha, kiranya Sam-ok Ban Hwa Sengjin
yang bicara! Bukankah engkau pernah menjadi Koksu dari Nepal? Dan semua
saudaramu juga turut hadir. Hemm, juga Si Ulat Seribu, Si Golok Setan, dan
bukankah Anda Sai-cu Kai-ong?” katanya mengangguk kepada kakek berjenggot itu.
“Hem, dan inikah Si Jari Maut? Betapa bedanya dengan yang pernah kami dengar.
Yang di sana itu, bukankah kalian bertiga adalah Liok-te Sam-mo (Tiga Iblis
Bumi)? Kulihat hadir pula Pat-pi Kim-wan (Lutung Emas Tangan Delapan), dan dia
itu Tok-gan Sin-liong (Naga Sakti Mata Satu), mengapa matamu yang sebelah kau
tutupi dengan kain? Hemm, masih banyak tokoh-tokoh yang terkenal. Pantas saja
tempat ini menjadi ramai!”
Semua orang
terkejut bukan main dan mereka memandang kepada pemuda itu dengan mata
terbelalak. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenal pemuda ini,
akan tetapi pemuda ini mengenal mereka satu demi satu, padahal mereka itu
datang dari seluruh pelosok dunia, ada yang dari selatan, dari timur, dari
utara dan dari barat! Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi ingin sekali
tahu, kecuali tentu saja Si Jari Maut dan Yeti yang tetap tidak peduli
sikapnya.
“Siapakah
engkau?” tanya pula Ban-hwa Sengjin, kini suaranya menjadi halus, dan
hati-hati.
“Anda
sekalian yang telah datang ke sini hendaknya jangan membuat ribut di tempat
kami ini. Ini termasuk wilayah Lembah Gunung Suling Emas, tempat keluarga kami
sejak turun temurun ribuan tahun lamanya. Jika kalian hendak berkunjung ke
tempat kami, lakukanlah hal itu dengan sopan seperti layaknya tamu-tamu
terkenal. Ayah dan paman-pamanku tentu akan menyambut kalian dengan gembira.
Silakan! Juga engkau, Sim Hong Bu. Sahabatmu, Yeti itu, boleh ikut pula, jangan
khawatir, kami tidak biasa membeda-bedakan tamu, baik dia itu anjing, beruang,
atau pun manusia!” Bibir itu tersenyum dan Sim Hong Bu juga tersenyum karena
ucapan itu setidaknya menyatakan bahwa dalam pandangan pemuda tampan itu,
derajat Yeti tidaklah kalah oleh manusia mana pun!
Sungguh aneh
memang. Kini pemuda itu diikuti oleh para dayangnya yang belasan orang
banyaknya itu membalikkan tubuh dan berjalan perlahan pergi dari situ tanpa
menoleh sedikit pun juga kepada para tamu itu seolah-olah mereka semua yakin
bahwa para tamu yang sudah dipersilakan itu tentu akan mengikuti mereka. Dan
memang kenyataannya pun begitu! Para tokoh kang-ouw itu kini melangkah dan
perlahan-lahan mengikuti rombongan aneh itu menuruni puncak datar itu.
Orang-orang
yang tadinya saling berkelahi itu kini seperti serombongan tamu terhormat,
berjalan bersama-sama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di dalam hati
masing-masing memang ingin sekali tahu siapa ‘tuan rumah’ yang memiliki tempat
seaneh ini. Mereka tidak berani lancang melanjutkan perkelahian yang belum
menentu itu, apalagi jika sampai pihak tuan rumah turun tangan. Tentu membuat
mereka yang sudah saling berlawan sendiri itu menjadi makin berabe. Maka,
mereka semua ingin melihat bagai mana perkembangannya agar mereka dapat
mengambil tindakan yang menguntungkan pihak masing-masing. Tentu saja kecuali
Si Jari Maut yang hanya ikut-ikutan saja dengan rombongan itu, dan Yeti yang
ditarik lengannya oleh Hong Bu.
Pemuda
tampan itu bersama rombongannya berjalan terus berliku-liku, melalui
lereng-lereng yang terjal, menyelinap di antara bukit-bukit es yang amat banyak
terdapat di situ, ada puluhan buah banyaknya dan macamnya sama sehingga orang
luar akan sukar sekali untuk mengenal jalan yang dilalui rombongan ini.
Akhirnya
mereka berhenti di tepi tebing yang curam sekali. Tidak ada jalan turun atau
naik dan semua tamu itu sudah melongo keheranan mengapa rombongan pemuda itu
membawa mereka ke tempat seperti itu. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu
menggerakkan tangannya dan dia sudah memegang sebatang suling. Suling dari
emas! Tentu saja melihat ini Sai-cu Kai-ong terbelalak dan hampir saja dia
mengeluarkan seruan kaget. Bukankah yang memiliki suling emas itu hanya bekas
muridnya dan calon cucu mantunya, Kam Hong keturunan langsung dari keluarga
Suling Emas?
Dan kini
pemuda tampan itu menyuling. Suara sulingnya merdu bukan main, bernada tinggi
sampai melengking dan seperti hendak memecahkan anak telinga. Tiba-tiba pula
dia berhenti meniup suling dan dari bawah tebing itu ‘terbanglah’ sehelai
tambang yang merentang antara tepi tebing itu sampai ke puncak di depan sana!
Kiranya tadinya tambang itu memang sudah ada, hanya tergantung ke bawah
sehingga tidak nampak, dan kini, atas isyarat bunyi suling, agaknya para
penjaga di sebelah sana, yaitu di puncak depan yang nampak tertutup sebagian
oleh awan atau kabut, menarik ujung tambang di sana sehingga kini tambang yang
diikatkan ujungnya yang sebelah sini pada batu besar dan ditanamkan di tebing
sini, merentang kuat-kuat dan nampak jelas.
“Maaf, Cu-wi
yang terhormat. Tiada jalan lain menuju ke lembah kami kecuali melalui jembatan
ini. Siapa saja yang ingin mengunjungi tempat tinggal kami, kami persilahkan
mengikuti kami.”
Setelah
berkata demikian, pemuda itu dengan tenang lalu melangkahkan kaki ke atas
tambang itu, diiringkan oleh belasan orang dayang itu dan mereka semua lalu
berjalan di atas tambang itu, merupakan barisan yang aneh. Hebatnya, selagi
menyeberang jurang tebing yang amat curam itu melalui tambang, mereka yang
memegang alat musik itu masih memainkan lagu merdu, seolah-olah mereka bukan
sedang berjalan di atas tambang maut, melainkan sedang berjalan-jalan di kebun
bunga saja!
Para orang
kang-ouw yang berada di situ adalah orang-orang pandai. Berjalan di atas
tambang seperti itu saja tentu bukan merupakan hal aneh bagi mereka. Akan
tetapi mereka maklum dan bergidik kalau memikirkan bahwa orang luar tidak
mungkin dapat melalui tambang ini karena pasti terjaga siang malam dan sekali
ada orang luar berani lancang mempergunakan tambang ini tanpa ijin, pihak sana
tinggal melepaskan ujung tambang di sana dan orang luar yang lancang hendak
memasuki daerah itu, betapa pun saktinya dia, tentu akan menghadapi kematian
yang mengerikan di dasar jurang yang luar biasa curamnya sehingga tidak nampak
dari atas itu. Mereka lalu melangkah ke atas tambang dan satu demi satu mereka
pun berjalan di atas tambang.
Hong Bu juga
tidak takut untuk berjalan di atas tambang, akan tetapi hatinya merasa ngeri
juga ketika melihat ke bawah dan tidak nampak apa-apa, hanya nampak kabut saja,
seolah-olah orang berjalan di atas tambang yang direntang di udara yang amat
tinggi. Akan tetapi Yeti agaknya tidak sabar lagi, dan dia sudah menyambar
pinggang Hong Bu lalu dipanggulnya dan dia berjalan di atas tambang itu dengan
mudah dan enaknya. Tambang itu agak terayun-ayun karena tubuh Yeti yang lebih
berat dari pada yang lain.
Akhirnya
semua tamu tibalah sudah di tepi sana, yaitu di tebing dari sebuah lembah yang
sungguh lain dari pada di seberang sini. Sungguh aneh sekali karena lembah ini
biar pun juga tidak terhindar dari hawa dingin dan salju, namun salju tidak
begitu tebal dan di sini tumbuh macam-macam tumbuhan yang aneh-aneh, bahkan ada
burung-burung dan ada binatang-binatang berkeliaran di lembah itu. Puncaknya
juga tertutup salju, akan tetapi diselang-seling warna hijau daun-daun. Dan
lembah itu sungguh tak mungkin dapat didatangi orang luar kecuali melalui tambang
tadi karena selain terkurung jurang-jurang yang curam, juga melalui
daerah-daerah yang mudah sekali terjadi salju dan tanah longsor sehingga
merupakan daerah maut!
Semua tamu,
kecuali Si Jari Maut dan Yeti yang nampak tidak mengacuhkan apa pun, memandang
ke sekeliling penuh takjub. Anehnya, Yeti kelihatan biasa saja, bahkan
tenang-tenang sekarang, dan kadang-kadang ada nampak oleh Hong Bu betapa Yeti
menarik napas panjang beberapa kali. Dan agaknya daerah ini bukan merupakan
daerah asing bagi Yeti, seoah-olah dia berada di rumah atau daerah sendiri. Dan
hal ini mungkin saja, pikir Hong Bu. Yeti memiliki kepandaian menjelajahi
daerah salju itu jauh lebih hebat dari pada kepandaian manusia mana pun, tentu
bukan tidak mungkin kalau Yeti pernah mendatangi tempat ini melalui jalan lain
betapa pun tidak mungkin hal itu dilakukan agaknya oleh manusia.
“Cu-wi,
silakan,” kata pemuda itu dan para tamu melihat betapa dari tempat penjagaan di
tepi tebing sebelah sini, nampak beberapa orang laki-laki yang bertubuh tinggi
tegap memutar alat penggulung tambang dari baja.
Benar dugaan
mereka, tempat itu selalu terjaga dan bahkan jembatan tambang itu selalu dijaga
orang sehingga tidaklah mungkin orang luar datang melalui tambang itu tanpa
seijin pemilik lembah yang dinamakan Lembah Gunung Suling Emas ini! Mereka lalu
mengikuti rombongan dayang dan pemuda itu menuju ke tengah lembah di mana
nampak bangunan-bangunan mengelilingi sebuah bangunan besar yang megah dan
mewah.
Sungguh
mengagumkan dan juga mengejutkan sekali bagaimana di tempat seperti itu, yang
terasing dari keramaian dunia ada orang dapat membangun bangunan yang seperti
istana itu! Dan mereka makin kagum ketika tiba di dekat bangunan-bangunan
seperti perkampungan itu karena di situ memang indah, terdapat taman-taman
bunga yang aneh-aneh, yang penuh dengan batu-batu ukir-ukiran, arca-arca yang
dibuat secara indah sekali.
Ketika
melewati sebuah taman, tiba-tiba Yeti mengulur tangannya memetik setangkai
bunga merah dan langsung saja memakannya, bahkan memberikan setangkai kepada
Hong Bu yang tanpa ragu-ragu juga memakannya. Dan memang seperti yang diduga,
Yeti tidak menipunya, bunga merah itu berbau sedap dan rasanya enak, agak
masam-masam seperti buah apel! Melihat ini, pemuda itu menengok dan berkata
dengan wajah berseri, “Aihhh, kiranya Yeti mengenal Bunga Hati Merah kami!”
serunya gembira dan juga kagum.
“Dia adalah
penjelajah nomor satu di Himalaya, tentu saja mengenal segalanya,” jawab Hong
Bu membanggakan sahabatnya.
Pemuda
tampan itu hanya tersenyum, lalu dengan tangannya mempersilakan semua orang
untuk melanjutkan perjalanan menuju ke ruangan depan rumah terbesar di
perkampungan aneh itu.
Ketika
mereka tiba di depan rumah besar dan indah seperti istana itu, nampak papan
nama yang besar dan indah tulisannya dipasang orang di depan pintu gerbang.
Istana Suling Emas, demikian bunyi tulisan dan kembali Sai-cu Kai-ong tertegun.
Para pembaca
tentu juga sama herannya seperti Sai-cu Kai-ong, karena bukankah keluarga
Pendekar Suling Emas adalah keluarga yang sudah habis dan kini tinggal diri Kam
Hong seorang sebagai keturunan terakhir? Bagaimana di Himalaya, di tempat
terasing ini terdapat perkampungan yang disebut Lembah Gunung Suling Emas, dan
pemuda yang menyambut mereka itu pun tadi meniup suling emas dan kini istana
ini disebut Istana Suling Emas? Apa hubungannya ini dengan nenek moyang dari
cucu mantunya itu?
Akan tetapi
sebelum menerangkan soal yang aneh ini, lebih dulu sebaiknya kita ketahui
bagaimana Sai-cu Kai-ong, tokoh kang-ouw yang sudah lama menutup diri di
Tai-hang-san itu, kini tiba-tiba muncul pula bersama orang-orang kang-ouw di
Himalaya? Apakah dia juga ingin memperebutkan pedang keramat yang dikabarkan
lenyap dari istana itu?
Sesungguhnya
tidak demikian. Seorang kang-ouw yang gagah perkasa seperti Sai-cu Kai-ong
tidak sudi lagi memperebutkan sesuatu seperti sebagian besar tokoh-tokoh kaum
sesat. Dia memang datang ke Pegunungan Himalaya sehubungan dengan berita
membanjirnya orang-orang kang-ouw di pegunungan yang tinggi itu, akan tetapi
bukan untuk mencari pedang. Andai kata dia dapat memperoleh pedang itu, tentu
hanya untuk dikembalikan ke istana kaisar.
Tidak, dia
tak ingin berebut pedang, akan tetapi dia mengharapkan untuk dapat bertemu
dengan cucu perempuannya yang telah menghilang bertahun-tahun lamanya. Cucu
perempuan itu adalah Yu Hwi, atau yang pernah dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau
Ang Siocia, seorang yang cantik dan lincah, penuh keberanian dan kecerdikan,
pandai sekali menyamar menjadi apa pun, dan memiliki ilmu mencopet yang luar biasa.
Semua ilmu ini dipelajarinya dari gurunya, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja
Maling yang terkenal itu.
Cucu
perempuan yang menjadi tunangan Kam Hong itu sudah melarikan diri, agaknya
menolak dijodohkan dengan Kam Hong dan sampai kini tidak pernah ada beritanya!
Maka hal ini amat menyusahkan hati kakek ini dan berangkatlah dia ke Pegunungan
Himalaya untuk mencari cucunya itu yang diharapkannya akan datang juga ke
daerah itu untuk beramai-ramai memperebutkan pedang keramat. Maka, sudah tentu
saja kakek ini terheran-heran bukan main ketika disambut oleh pemuda yang
bersuling itu dan dibawa ke dalam perkampungan luar biasa yang dinamakan Lembah
Gunung Suling Emas, karena keluarga Suling Emas adalah sahabat dari keluarganya
sendiri.
Sejak
ratusan tahun yang lalu, keluarganya, yaitu keluarga Yu dari Khong-sim Kai-pang
adalah sahabat-sahabat dari keluarga Pendekar Suling Emas dan karena mengingat
pertalian persahabatan antara nenek moyangnya itulah maka diambil keputusan
untuk menjodohkan Yu Hwi, keturunan terakhir dari keluarga Yu, dengan Kam Hong,
yaitu keturunan terakhir dari keluarga Kam atau keluarga Suling Emas. Dan kini
tiba-tiba muncul keluarga Suling Emas lain di tengah-tengah Pegunungan
Himalaya!
Tentu saja
Sai-cu Kai-ong tidak tahu akan hal ini. Akan tetapi di lain pihak, keluarga
yang tinggal di Lembah Gunung Suling Emas ini adalah keluarga yang benar-benar
hebat, sedemikian hebatnya sehingga keluarga ini sudah mengenal semua orang
yang mendatangi daerah mereka dan pemuda yang menyambut tadi pun sudah mengenal
nama-nama mereka!
Meski
keluarga ini tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw, akan tetapi mereka
mempunyai banyak sekali penyelidik, apalagi dalam menghadapi perebutan pedang
keramat itu, maka mereka sudah menyelidiki semua tokoh yang ikut naik ke
Pegunungan Himalaya sehingga gambaran-gambaran tentang mereka telah dikenal
oleh semua penghuni lembah itu dan pemuda itu pun dengan mudah dapat
mengenalnya satu demi satu!
Keluarga
Suling Emas yang berada di lembah ini bukan lain adalah keturunan langsung dari
kakek kuno yang ditemukan mayatnya oleh Kam Hong di bagian lain dari lembah
itu! Memang aneh sekali. Keluarga ini sendiri tidak tahu bahwa masih ada mayat
nenek moyang mereka yang masih utuh dan membawa-bawa rahasia terbesar dari ilmu
keturunan mereka dan sama sekali tidak mengira bahwa mayat nenek moyang mereka
itu akan ditemukan oleh Kam Hong dan bahkan pemuda ini yang akhirnya mewarisi
semua ilmu nenek moyang mereka!
Mereka ini
adalah keturunan dari kakek pembuat suling emas yang lihai itu, dan turun
temurun tinggal di tempat itu. Karena mereka merupakan keluarga yang pandai,
dan berhubungan dekat dengan keluarga Raja Nepal, maka mereka tidak kekurangan
sesuatu.
Semenjak
nenek moyang mereka, mereka itu merupakan sahabat keluarga Raja Nepal dan
seringkali memberi nasehat dan petunjuk, dan sebaliknya Raja Nepal juga selalu
mencukupi keperluan mereka, bahkan mendirikan istana itu untuk mereka setelah
pada puluhan tahun yang lalu keluarga mereka berjasa mengusir musuh-musuh yang
datang dari barat Kerajaan Nepal!
Jadi memang
ada perbedaan besar antara keluarga Suling Emas yang berada di Himalaya ini
dengan keluarga Suling Emas, yaitu keluarga Kam yang menjadi keturunan Pendekar
Suling Emas Kam Bu Song. Keluarga Suling Emas di Himalaya ini adalah keturunan
dari pembuat suling emas itu, sedangkan keluarga Kam adalah orang yang akhirnya
mendapatkan Suling itu dan dipergunakan sebagai senjata sehingga akhirnya
terkenal dengan julukan Pendekar Suling Emas.
Jadi
terdapat perbedaan yang besar sekali, dan tidak ada hubungannya sama sekali,
kecuali hubungan melalui suling emas yang kini dipegang Kam Hong itu, hubungan
antara pembuat suling dan pemakai suling. Sungguh pun terdapat suatu
keistimewaan yang sama, yaitu ahli menggunakan suling sebagai senjata….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment