Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 14
"Harap
Paduka suka hati-hati karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tak
boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat
tinggi dan berbahaya sekali. Karena itu, sebaiknya jika Paduka memperoleh
pengawalan yang kuat," Bu-taihiap memberi nasehat.
Pangeran itu
tertawa. "Betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau
pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian
saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran
mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau
Kim-coa-to."
"Hemm,
melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk
mengawal Paduka."
"Terima
kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku
merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai
undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana."
"Di
manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?"
Mendengar
pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. "Pertanyaan itu
saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia
ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu
Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!" Pangeran lalu
dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik.
Tidak
mengherankan apa bila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah
berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tidak pernah
melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biar pun usianya sudah mendekati lima
puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tidak pernah padam, bahkan
semakin berkobar-kobar!
Memang yang
dinamakan nafsu, apa pun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan
semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tidak pernah mengenal puas.
Itulah nafsu! Oleh karena itu, sekali kita menjadi hamba nafsu, selamanya akan
terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.
"Aihhh....
kalau begitu, perlu hamba berkunjung...." Tiba-tiba dia berhenti dan
menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata
berapi-api penuh kemarahan dari ketiga orang isterinya! "Ehhh.... ohhh
berkunjung ke sana mengawal Paduka....," sambungnya cepat.
"Hemm
mengawal ataukah melihat puteri cantik?!" Tang Cun Ciu menghardik dengan
suara mendongkol.
"Huh,
tak ada puasnya!" sambung Gu Cui Bi.
"Dasar
mata keranjang!" Nandini juga mengomel.
Bu-taihiap
menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berubah kemerahan.
Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, tetapi yang amat
bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan
berkata, "Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku
sudah cukup banyak dan kurasa mereka tak akan berani lagi muncul mengganggu
setelah menerima hajaran keluargamu tadi."
Betapa pun
juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai
tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap menggunakan
kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niat keluarganya
menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.
"Jenderal
Kao Cin Liong? Ahhh, dia adalah seorang sahabatku!" Sang Pangeran itu
tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan ketiga orang
isterinya memandang girang. "Jangan khawatir, kalau memang sudah ada
kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara.
Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi."
Tentu saja
keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini,
terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan
mukanya yang menjadi kemerahan.
"Banyak
terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran," berkata
Bu-taihiap. "Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka
kembali ke sana."
Demikianlah,
setelah mengawal Pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah
dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan
ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke
kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to
dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan
ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.
Meski berita
tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Kim-coa-to, dibawa
oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi
pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan
pulau itu tetap saja ramai dan meriah.
Hanya
diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang
Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan
sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya
yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik
saja!
Ingin sekali
dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu.
Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya,
maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.
Para tamu
sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau
itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka
semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan
sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian
sangat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang
mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.
Pada saat
perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat
munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi
menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu
saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana
tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu
adalah dua orang wanita cantik ini.
Munculnya
Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah
mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapa pun juga,
pangeran mahkota itu memiliki nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang
pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan.
Tetapi di
samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya
Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih
sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi
berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam
segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang tidak adil!
Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang sangat mengharapkan
agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri
pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat
menjadi selir pertama, kedua atau syukur-syukur jika dapat menjadi permaisuri,
apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar!
Dan dia
sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu
akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah
ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat
meriah.
Ouw Yan Hui
sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh
karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah
menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua,
memilih-milih orang-orang yang sekiranya patut menjadi calon jodoh sahabat atau
muridnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada
para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka,
kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang
menonjol lagi.
Semua tamu
yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu
bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta,
tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan
hadiah sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat
semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar,
bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada
keesokan harinya.
Malam itu,
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil
mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri
gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi banyak lampu
dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar
di mana ketiga orang itu duduk menikmati hidangan serta minuman sambil
bercakap-cakap.
Sayup-sayup
terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh beberapa
orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk
memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu
percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.
Setelah
beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui kemudian
berkata dengan penuh hormat, “Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa
untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami juga telah
bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti....”
“Ahh, itu
bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja....,”
Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.
Pangeran
Kian Liong tertawa dan minum araknya. “Kehendak siapa pun juga, kurasa hal itu
sudah sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi,
sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami.”
Syanti Dewi
menundukkan mukanya yang berubah merah.
“Nah, tepat
sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau telah dengar
sendiri, Adikku.” Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan
mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. “Akan tetapi
hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Walau pun besok akan berkumpul
banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup
pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?”
Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini ‘memancing’ pendapat Pangeran tentang hal
itu.
Pangeran itu
menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Memang sukar.... memang sukar
mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini....”
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, “Tidak ada yang tepat
memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan
kehormatan itu....”
“Enci
Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.
Pangeran
Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua
tangannya itu. “Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku
seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik.
Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang
jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio.”
Syanti Dewi
bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi
sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main.
Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring
dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan
Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.
“Betapa pun
kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka
kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka
menjadi pelindung dan penasehat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan
jodoh agar jangan sampai salah pilih.”
Pangeran itu
tersenyum lebar. “Ahh, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan
melindungi Enci Syanti, sungguh pun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku
yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasehat? Aku yakin bahwa
seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih.”
Sedikit
terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan
selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang
Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua
orang sahabat atau saudara.
Maka dia pun
merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, karena itu dengan
hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan kedua
orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para
penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang
percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran
dan puteri itu.
Malam itu
indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela,
ke atas langit yang bersih seperti beludru hitam baru saja disikat, tanpa ada
debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan
gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang
tumbuh di luar pondok.
Dari sudut
kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan
silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara
celah-celah cabang dan daun, masih dapat nampak bintang-bintang di langit
belakangnya, hingga dipandang sepintas lalu seolah-olah daun-daun pohon itu
berubah menjadi benda-benda berkilauan.
Agaknya dua
orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang
keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu,
tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi
seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan
kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam
keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai
berdendang dengan suara berirama.
Seekor
nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik
kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan
kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan
suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa
dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak
terasa lagi.
“Ouw-toanio
agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti.
Betapa lucunya.”
“Ahh,
maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti
dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan
hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya
merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya
untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai
dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia.”
“Ahh, tidak
apa, Enci. Akan tetapi jika engkau memang tak setuju dengan diadakannya
pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja?”
“Pangeran....
Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui....
kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya
masih hidup. Ahh, saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya,
bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka
bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia
mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!”
“Ahhh, aku
tidak percaya!” pangeran itu berseru heran.
“Tidak
percaya yang mana, Pangeran?”
“Bahwa
usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu
baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!”
Syanti Dewi
tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. “Kecantikan dan awet muda
ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya
tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang
datang mengganggu saya....”
“Wah, jangan
masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!”
Syanti Dewi
lalu menjura dan berkata, “Jangan khawatir, Pangeran. Paduka merupakan seorang
istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang
dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada
Paduka.”
“Sudahlah,
jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau
sudah berusia tiga puluh enam tahun?”
“Dan Enci
Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!”
“Ahhh,
masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!”
“Itulah, Pangeran.
Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami
pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India.”
Pangeran itu
mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum
mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andai kata pada suatu waktu dia
ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini
sebagai perbandingan.
“Enci, kalau
benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan
untuk memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu
itu untuk mempunyai seorang suami?”
Syanti Dewi
memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan
kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan
terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk
menguras tekanan batin yang dideritanya ketika itu. Akhirnya, setelah banyak
air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah jari tangannya,
Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk
menyusuti air matanya dari pipi.
“Ampunkan
saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret
hati....” Kemudian Syanti Dewi memberi isyarat dengan tangan untuk menyuruh
para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar
meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar.
Setelah
mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus. “Sebaiknya saya
ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya pada Paduka
seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya.” Dengan
perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya
secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja
Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu
dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.
Pangeran
Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia
merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih
asmara sampai terpaksa meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan
sampai sekarang tetap tidak mau menikah.
“Tapi....
agaknya pria yang kau cinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau
benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia
belum juga datang mencarimu?”
Syanti Dewi
menggeleng kepalanya, “Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia
dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya bagiku....”
“Dan apakah
sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?”
Sampai lama
Syanti Dewi tak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih
mendekati keluhan dari pada jawaban, “Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat
betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian
batin itu.... akan tetapi, betapa pun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi
isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tak mungkin dapat
jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ahh, saya tidak tega untuk
menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya
terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya
ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar
lagi....?”
Sang
Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta
antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat
disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi
korban cinta pula!
“Kalau
memang engkau sudah bulat mengambil keputusan, nah, besok kau lakukanlah
pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat
pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar untuk Ayahmu dan sepasukan
pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan
saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan
jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki
tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula
bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan
membantumu sedapatku, Enci.”
Mendengar
ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki pangeran itu. “Ahhh, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung
tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Walau pun Paduka masih muda, namun Paduka
penuh dengan peri kemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada
hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkinlah hamba dapat
menyerahkan diri kepada pria lain....”
Pangeran
Kian Liong cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun,
kemudian menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia.
Kemudian dia mengepal tangan kanannya. “Hemm, begini hebat cintamu terhadap
pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka
pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta
kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!”
“Pangeran,
harap ampunkan dia....”
“Sudahlah,
hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi.
Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul
sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, juga untuk menyenangkan
hati Ouw-toanio sehingga engkau tak akan merasa tidak enak hati terhadapnya.
Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama
sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa telah
mengecewakan hati Ouw-toanio. Dan setelah ikut bersamaku ke kota raja, engkau
boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja,
terserah. Bagaimana pendapatmu?”
Syanti Dewi
amat terkejut dan juga merasa terharu sekali. Pangeran itu adalah seorang
sahabat yang sangat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik
akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara
mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti
itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia
seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk
mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak
dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!
“Tapi....
tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka
memilih saya dan....”
“Ah, apa sih
anehnya bagi seorang pangeran untuk meengambil seorang wanita seperti selir
atau isterinya? Tak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andai
kata aku mengambil sepuluh orang wanita sekali pun.”
“Ahhh, kalau
begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan
Paduka, Pangeran.”
“Sudahlah,
di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi
lagi?”
Pada saat
itu nampak dua orang wanita pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil
membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi
cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan
buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu.
Dengan sikap
manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu
menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. “Untuk tanda terima kasih saya,
Pangeran,” kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu.
Pangeran
Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia
menempelkan bibir cawan ke mulutnya, mendadak ada sinar hitam kecil menyambar.
Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.
“Tringgg....!”
Cawan itu
terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan
membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai
sehingga mengeluarkan bunyi nyaring.
“Ihh! Siapa
berani melakukan perbuatan ini?” Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran
dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam
kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada
saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk
orang-orang berkelahi di dalam taman.
“Pasti telah
terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita cepat tinggalkan tempat ini, kembali ke
dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka.”
Syanti Dewi
kemudian mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, lalu dengan
pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari
pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah
saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.
Biar pun
Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang
saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak
keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak
nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat dalam penerangan
bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok
pria bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para
pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah
yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu
menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.
“Mari,
Pangeran!” Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi
sambil melindunginya.
Pangeran
Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara
dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan
berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah
perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih mau pun
sebagai seorang sahabat!
Dia
memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok
itu. Walau pun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, akan tetapi dia
dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah
menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia
tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya cepat-cepat pergi
meninggalkan taman.
“Ahhh....!”
Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para
pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah
pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya.
Syanti Dewi
tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran.
Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung.
Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar
Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan
memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan
Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.
Ternyata
peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam
gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu yang telah
melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit
pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil
penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.
Akan tetapi,
ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ
sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok mau pun
para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan pada waktu diperiksa, semua
pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau
pingsan!
Dan dua
orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan
menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti
para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau
pulas, menjadi korban obat bius.
Sibuklah Ouw
Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw
Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang
wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir
sekali.
“Penyerbu-penyerbu
itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi,” komandan ini bercerita dengan
suara mengandung kekhawatiran besar. “Hamba sedang melakukan pemeriksaan di
sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba
diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik
semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan
beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan
untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba
belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu....” Komandan itu menggelengkan
kepalanya. “Sungguh berbahaya sekali, yang tengah kita hadapi adalah ahli-ahli
silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari
Paduka Pangeran.”
Pangeran
Kian Liong menggerakkan tangannya. “Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu,
Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang
baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh
dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja
engkau tak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu
dengan lebih hati-hati lagi.”
Para
pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang
dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak
mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua
orang pelayan yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka
membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang nampak
mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu
mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam
ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para
pelayan.
Melihat
kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang
orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan
apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya
untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri
di depan pintu kamar Sang Pangeran!
Tetapi
Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. “Aku tidak khawatir,” katanya
kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. “Biar pun ada yang mengancam, ada yang
berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu
melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?” Dan sambil
tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat.
Diam-diam
Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang jahat
hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra
yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya!
Malam itu
keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para
tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka
bersenda-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara
mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui
memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar supaya tidak mengabarkan hal
itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang
banyak itu.
Ketegangan
itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan
pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti
Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah
mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke Kim-coa-to Sang Pangeran telah
mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi
tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!
***************
PANGERAN
KIAN LIONG memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia
sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau
kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai
serta bijaksana.
Dalam usia
dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya
mengagumkan hati para pendekar serta ketenangannya menghadapi segala membuat
dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah
dilanda kegugupan.
Malam itu,
hanya Sang Pangeranlah, orang yang justru menjadi sasaran penyerangan gelap
itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti
Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang
dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara
bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu
membacanya!
Satu-satunya
orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini
tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan
pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu.
Baru setelah
jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk.
Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas
pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.
Belum lama
Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan
berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu
telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap
tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega
kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang
pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan!
Makin
yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel
itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit
jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur dan mengandung obat beracun! Dan
tentu jembel ini tadi melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam
usahanya menyelamatkan dia pula!
Maka dengan
tenang dia pun bangkit duduk. Betapa pun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan
juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja,
seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri
berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian
seperti setan, pikirnya.
Memang
benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot
dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita
ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan
siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang
Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan
untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu,
dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan
yang ditumpanginya.
Dapat
dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau
inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan
pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran
dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan!
SYANTI DEWI
tidak berubah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia
telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung
pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai
berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti
Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran
itu. Kedua matanya menjadi basah.
Memang,
sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota,
menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat
pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa
iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah
mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan
tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika
menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan
bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.
Dia telah mendengar
bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh.
Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan
bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas
tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak
didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena
agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga
agar supaya Sang Pangeran dapat menang.
Kemudian dia
mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya di dalam hutan berkat
pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik oleh para penjahat.
Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya
di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum
tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang
Pangeran itu berubah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon
suami Syanti Dewi.
Dia harus
selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa
Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti
Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika
mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki
ilmu kepandaian yang amat hebat!
Dia maklum
bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu jika
saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir
penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman.
Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke
dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah
orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk
diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.
Hati Tek
Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang yang ingin mencelakai
pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran,
karena jika hal itu yang dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan
nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu sudah pernah diculik dan tidak dibunuh?
Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam
keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti
Dewi!
Tek Hoat
melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya
para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki
ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara satu-satunya yang terbaik baginya ialah
melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan
karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang
menyerang, tentulah mengambil jalan dari atas wuwungan.
Dugaannya ternyata
tepat. Menjelang tengah malam, ia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan
depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja telah lenyap lagi
ditelan kegelapan malam. Wan Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana
sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya.
Lalu dia
mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan
tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira
bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit
duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri
Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.
“Sssttt....,
Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat yang hendak
datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran....,” bisik Tek Hoat.
Pangeran
Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik
kembali sambil turun dari atas pembaringan, “Baik, cepat kau gantikan aku dan
aku....” Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!
“Ahhh,
kenapa Paduka....?”
“Sssttt....,
aku mau menonton!” bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong
pembaringan!
Tek Hoat
membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggelengkan kepala. Pangeran
ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat
menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton dan sekarang bersembunyi di
kolong pembaringan! Bukan main!
Akan tetapi
tidak ada waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah
memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang
hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti.
Juga Sang
Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung
berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biar pun bukan
seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan
orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan
terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani
masuk!
Tiba-tiba
terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas
melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok,
bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana
ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu
yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke
dalam kamar.
Dari balik
kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya,
dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang
wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang
tinggi, maka dia sudah siap siaga.
Sedangkan
Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke
paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi,
Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur
tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali,
dia membayangkan.
Tiba-tiba
orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan
tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar
suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar.
Tek Hoat
terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat
meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar
lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari
terbuka, menusuk ke arah leher lawan. Itulah pukulan jari telanjang yang
membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.
“Wuuuttt....
cettt....!”
Tek Hoat
meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi,
pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa
tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan
yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok!
Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini
dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa
dingin dan seketika dapat membunuh lawan!
Akan tetapi,
bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia
tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu
merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka
kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas
perintah Sam-thaihouw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki
Pangeran. Ji-ok mengira bahwa hanya dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu
dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa
artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tidak mungkin bisa diangkat
menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka.
Maka ketika
tiba-tiba Pangeran itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat
itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari
tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang
menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak dan hal ini dibuktikan
ketika dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran
Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!
“Huh!” Ji-ok
dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang
juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah pula menyerangnya dengan
menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya.
Pertempuran
sengit pun terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi
gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan
kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat hebat!
Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama
sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan
telunjuk tangan yang amat berbahaya itu.
Akan tetapi,
keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw
Kee An sampai terbuka, tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu,
dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap! Souw Kee An
menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.
“Kejar
mereka! Cari Sang Pangeran!” teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia
mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi.
Tiba-tiba
sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke
belakang saking kagetnya, namun dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru
girang ketika mengenal kepala itu.
“Paduka
Pangeran....”
Pangeran
Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.
“Tenanglah,
Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa.”
Ouw Yan Hui
dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa
sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran.
“Paduka selamat, Pangeran? Aih, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat.
Tadi saya sempat melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas
wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah
lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?”
Pangeran itu
berkata kepada Souw Kee An, “Souw-ciangkun, lekas suruh anak buahmu keluar
semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut.”
Kemudian
setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan
kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan
Hui, dan Syanti Dewi.
“Kalau tidak
ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu
muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia
menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar.
Tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur.
Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke
arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para
pengawal datang dan mereka lalu pergi.”
Ouw Yan Hui
mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat yang berani
menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tak memandang kepada penghuni
Pulau Kim-coa-to. “Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu
akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!”
“Pangeran,
sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka
benar-benar terlindung,” kata Syanti Dewi.
“Ahh, apa
akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga
dalam kamar ini.”
“Biarkan
hamba saja yang menjaga di dalam kamar Pangeran,” kata Souw Kee An.
Akhirnya
usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan
tetapi jelas bahwa malam itu mereka tak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat
keluar apabila terdengar suara mencurigakan.
Souw Kee An
duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas
seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam
keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya
di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan
penjaga.
Jangankan
manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa
diketahui pengawal….
Menurut
hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini
mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada
lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat
yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing.
Orang
pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran
Kian Liong! Orang ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari
Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, yaitu seorang
pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama
pada waktu diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya
karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan
harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu.
Orang ke
empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua dari pada para calon lainnya,
karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang
pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum
menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman,
karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang
seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah
mengadakan pertunjukan di istana Kaisar.
Kelima orang
calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau
dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah dari pada
Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada
Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan
pilihannya.
“Adikku,
kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita
hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat
sendiri mereka itu di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang
kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku.”
Syanti Dewi
tersenyum pahit. “Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon,
mengapa tidak?”
Jawaban ini
tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran
malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biar pun dia belum melihat
empat orang yang dicalonkan itu, akan tetapi hatinya sudah merasa yakin bahwa
tidak mungkin dia bisa memilih seorang di antara mereka, maka dari itu dia
sudah mengambil keputusan untuk ‘memilih’ Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat
keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui.
Mendengar
ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri-seri. “Yakin benarkah engkau
bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon?”
“Mengapa
tidak, Enci? Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan?”
Tentu saja
hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan
olehnya. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi
calon permaisuri!
/
Pada
keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus
celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas
di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang
dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum.
Berbondong-bondong
para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat
itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan
dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda. Setelah semua tamu duduk,
jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam
golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kue
kering.
Kemudian,
seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang,
yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta
dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan dahulu pembukaan barang-barang
hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita
pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar
itu.
Setiap
bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan
benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita
lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu
benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para tamu kadang-kadang
mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan
yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar
ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlomba untuk memikat hati sang
juita melalui barang-barang sumbangan itu.
Akan tetapi
bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan
napas. Memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah
sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai
kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan
mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan
sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum
dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap
benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi.
“Sumbangan
ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!” demikian terdengar
suara wanita yang membuat laporan.
Terdengar
tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda
bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekali pun
semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she
Thio itu jelas menduduki peringkat paling atas dan hal ini saja sudah bisa
menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini melirik
ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu,
Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani,
membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya.
Syanti Dewi
mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya
dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan
tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang
tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah
berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya
berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak
membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari
emas bertaburan intan dan mutu manikam.
Betapa pun
indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua
itu nampak menyuram bila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah
yang gemilang dan berseri, cantik jelita mengandung kemanisan yang kadang-kadang
menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan birahi itu, kiranya semua pakaian
dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerak-geriknya begitu luwes
dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya
kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan.
Di samping
kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan
anggun, sungguh pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di
sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian
Liong.
Pangeran ini
adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biar pun dia hanya memandang
dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan
tadi, seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal dari pada semua barang
sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan
modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka
dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh
serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu.
Kalau Syanti
Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang
yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio
Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun
yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika
benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda
penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran.
Lalu
hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak
berpasangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu
demi satu, dan nama para penyumbangnya diumumkan. Pada saat nama pemuda Yu Cian
disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian,
terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra.
Bahkan Sang
Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang
menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat
sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak
mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah
Sang Pangeran berkata, “Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!”
Mendengar
anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian
besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata
kepadanya di antara suara bising itu, “Enci, sudah sepatutnya kalau engkau
minta penulis sajak untuk membacanya sendiri.”
Syanti Dewi
tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun
mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan
terhadapnya. Maka ia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu
wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi amat
hening sehingga terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan
halus, “Untuk memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian
Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!”
Ucapan ini
disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah. Dengan muka yang berubah merah
sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan
langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka
barang-barang hadiah sumbangan itu.
Setelah
menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah
Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda
ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia
menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi
hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu terdengar satu-satu dengan jelas
ketika membacakan sajaknya.
Cantik indah
bagai bunga anggrek
Harum
semerbak bagaikan bunga mawar.
Merdu merayu
bagaikan sumber air
Gilang
gemilang seperti fajar menyingsing.
Redup syahdu
seperti sang senja kala,
Duhai Bunga
Pulau Ular Emas!
Tiada
sesuatu mampu kupersembahkan,
Kecuali
seuntai sajak bisikan kalbu,
disertai
hati yang subur basah,
Tempat Sang
Bunga mekar berseri.
Cara pemuda
pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening
dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukannya sepenuh perasaannya
sehingga seakan dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka,
demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan
setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih hening sekali. Baru
setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat
kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai
memuji.
Pangeran
Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali
kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria
yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala
bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua bunga di
dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar, bunga yang keharumannya tidak
pernah lenyap biar pun bunganya sendiri telah lama layu!
Dan suara
apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah
berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal? Lalu dalam pemujaannya, Syanti
Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu
seperti sang senja kala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati
yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul
sebagai bola besar kemerahan yang berseri, dan keredupan senja kala di waktu
matahari tenggelam yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang
luar biasa indahnya di langit barat.
Kemudian,
yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa pun, kecuali
sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan
luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu!
Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih
sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda
berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus!
Dengan muka
kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang
Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya
raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang
kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam
lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam
lautan kemesraan!
Diam-diam
Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil ‘memperkenalkan’ dua di
antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan
mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan
tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu.
Para tamu
makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik mulai dibunyikan keras-keras
dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan
lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil
menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan
tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak ‘melupakan’ Syanti Dewi sehinga
hanya beberapa orang saja yang sempat melihat pada waktu wanita itu
meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam.
Setelah
beberapa macam tarian disajikan, mendadak Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan
dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan, “Mohon perhatian Cu-wi yang
mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka
sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian
istimewa dari Bhutan!”
Musik
berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari
dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat
betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang
kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari
terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung.
Meledaklah
suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini hingga
menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi
yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit
dan diikuti irama tetabuhan yang merdu, mulailah dia menari!
Memang indah
sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga
memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian
Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka saat dia menari semua
orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton
menjadi hening.
Tari-tarian
asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang
sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui
bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong
sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum.
Kalau para
tamu itu saja terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya
pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton
dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik
Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari
seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya ketika bersama kekasihnya
itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata
perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang.
“Syanti....
Syanti.... kekasihku....,” demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan
rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh
tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah
berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu.
Dan kini,
melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan,
bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat
tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok pada keadaan dirinya
sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun
telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin
terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak
menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu!
Dan Syanti
Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum
melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, ia tuduh telah
berjinah dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja
Bhutan, ayahnya sendiri! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes
turun.
Sorak-sorai
dan tepuk tangan meledak saat Syanti Dewi mengakhiri tariannya. Dengan
langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke
dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu,
termasuk juga Sang Pangeran.
Ouw Yan Hui
telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit
berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang
kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring, “Atas permintaan dari
Ouw-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk
tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!”
Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut
dengan tepuk tangan.
Nama Kui Lun
Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai
seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari
rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah
dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui,
kemudian berkata, “Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi.”
Kemudian,
diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni
bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi,
pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan
pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut.
Dengan enak,
karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara
beberapa buah yang-kim, kemudian dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya
sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Lalu dia mengeluarkan
sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam.
Tiba-tiba
terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini
dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk
sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona
itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya.
Mula-mula
hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan
lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat
dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu
dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang
yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak
mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang sebab mereka
seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik
kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan
saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu.
Bukan makn!
Sang
Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain
yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong
belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga
terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah
mengalir dan debu mengepul tinggi!
Ketika suara
yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara
seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang
tadinya bagai terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana
perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam
nyata. Meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.
Dengan
tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya,
bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan
kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Sekarang terdengarlah paduan
suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang
tenggelam ke dalam pesona suara yang sangat luar biasa. Paduan suara itu
demikian serasinya, mengalunkan lagu cinta yang syahdu, menghayutkan perasaan
ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung
duka dan patah hati.
Memang hebat
sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara
musik itu pada wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biar pun di antaranya
terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tidak mampu
lagi menguasai keharuan hati sehingga menjadi layu, bahkan ada yang menitikkan
air mata!
Syanti Dewi
sendiri tak dapat bertahan ketika lagu itu tiba di bagian yang sedih, seperti
hati yang meratap-ratap dan menjerit-jerit. Puteri ini teringat akan keadaan
diri sendiri yang menjadi korban cinta, sehingga dia pun tidak kuasa menahan
air matanya dan beberapa kali menyapu air mata dari pipi dengan sapu tangannya.
Semua ini dapat dilihat oleh Tek Hoat dan pendekar ini pun ikut menangis dengan
diam-diam! Ia merasa jantungnya perih. Bukan air mata lagi yang mengalir dari
matanya, tetapi seolah-olah jantungnya mengalirkan air mata darah.
Ketika
akhirnya suara musik itu terhenti, Sang Pangeran sendiri bangkit bertepuk
tangan memuji, diikuti oleh semua tamu yang benar-benar merasa kagum. Kui Lun
Eng bangkit berdiri dan menjura ke arah Syanti Dewi dan Pangeran, wajahnya agak
pucat karena permainan tadi dilakukan dengan sepenuh perasaannya sehingga
selain makan banyak tenaga batin, juga menyeretnya ke dalam keharuan. Kemudian
dengan masih diiringi tepuk sorak, dia kembali ke tempat duduknya semula.
Diam-diam
Sang Pangeran melihat adanya calon yang baik pada diri pemuda ahli musik ini.
Patut pula menjadi calon suami Syanti Dewi, pikirnya. Sudah ada tiga orang muda
yang pantas menjadi calon, yaitu Thio Seng Ki Si Hartawan, Yu Cian Si
Sastrawan, dan Kui Lun Eng Si Seniman. Akan tetapi sayang, ketiganya adalah
orang-orang yang lemah, tidak memiliki kepandaian silat, pikir Sang Pangeran.
Padahal, dia
tahu betul bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita yang lihai ilmu silatnya.
Bahkan dia sudah melihat sendiri betapa wanita itu memiliki ginkang yang amat
luar biasa, membuat dia dapat berlari seperti terbang dan bergerak dengan amat
cepatnya! Mungkinkah seorang wanita gagah dan lihai ini berjodoh dengan seorang
pria yang tidak mengenal ilmu silat?
Kini Ouw Yan
Hui bangkit berdiri lagi. Hatinya senang karena tanpa terlalu kentara, dia
telah menonjolkan tiga orang calon jodoh Syanti Dewi. Kini tinggal
memperkenalkan calon keempat dan untuk itu pun dia tidak kekurangan akal. Dari
para penyelidiknya dia sudah mendengar bahwa Si Pendekar Budiman Lie Siang Sun
adalah orang yang tepat pula menjadi calon, dibandingkan dengan ahli-ahli
silat, juga Lie Siang Sun ini terkenal sebagai pendekar budiman, tidak pernah
tercela namanya dan masih belum menikah pula.
Dengan suara
lantang Ouw Yan Hui lalu berkata, “Adik kami yang ulang tahunnya dirayakan
adalah orang yang suka sekali melihat pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu,
pesta ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Kami
tahu bahwa di antara para tamu terdapat banyak sekali ahli silat. Dan setelah
memeriksa daftar nama para tamu, kami minta dengan hormat kepada Pendekar
Budiman Lie Siang Sun, sudilah kiranya memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan
ilmu silatnya.”
Kembali
banyak di antara para tamu yang bertepuk tangan karena selain nama Pendekar
Budiman sudah terkenal dan banyak orang menaruh kagum kepadanya, juga mereka
yang merasa memiliki kepandaian silat merasa lega ada orang lain yang disuruh
maju lebih dulu. Tentu saja untuk maju sebagai orang pertama mendatangkan
perasaan sungkan dan malu-malu.
Seorang pria
yang usianya tiga puluh tiga tahun, bangkit berdiri dan nampak betapa tubuhnya
itu tinggi tegap dan gagah perkasa, sikapnya sangat sederhana seperti juga
pakaiannya. Di punggungnya nampak tergantung sebatang pedang dan dengan langkah
yang lebar tegap namun tenang, orang ini berjalan menuju panggung. Dengan sopan
ia memberi hormat ke arah Syanti Dewi, Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong,
sambil berkata,
“Sebutan
Pendekar Budiman dan ahli silat bagi saya sungguh terlalu dilebihkan, akan
tetapi karena saya hanya bisa menyumbangkan sedikit ilmu silat yang pernah saya
pelajari untuk memeriahkan pesta ini, maka harap Pangeran, Nona dan Toanio,
juga Cu-wi yang hadir di sini suka memaafkan jika pertunjukan ini kurang
berharga.”
Setelah
mengangguk ke empat penjuru, mulailah Pendekar Budiman Lie Siang Sun
menggerakkan kaki tangannya. Mula-mula ia bersilat dengan lambat, akan tetapi
makin lama semakin cepat dan gerakan-gerakannya gesit, pukulan-pukulannya
mantap dan kadang-kadang kedua kakinya yang berloncatan itu tak menimbulkan
suara sedikit pun seperti langkah-langkah seekor kucing, akan tetapi adakalanya
geseran-geseran kedua kakinya mendatangkan getaran dan membuat panggung
berderak-derak!
Memang harus
diakui bahwa ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh pendekar ini cukup
hebat dan juga indah dan bersih, ciri khas dari cabang ilmu persilatan para
pendekar yang mengutamakan keindahan dan ketangguhan, bersih dari cara-cara
yang curang. Tek Hoat juga menonton secara sepintas lalu saja karena sebagaian
besar perhatiannya selalu tertuju kepada Syanti Dewi, mengerti bahwa pemuda ini
memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai dan juga Bu-tong-pai, dan memiliki tingkat
yang cukup tinggi, maka patutlah kalau dia disebut pendekar.
Setelah
mainkan ilmu silat tangan kosong sebanyak tiga puluh enam jurus, tiba-tiba Lie
Siang Sun mengeluarkan bentakan nyaring. Nampaklah sinar berkelebat yang segera
bergulung-gulung, ternyata dia telah mencabut dan mainkan pedangnya. Gerakannya
sedemikian cepatnya sehingga kebanyakan dari para tamu tidak melihat kapan
pedang itu dicabutnya dan kini pun pedang itu tidak nampak karena telah berubah
menjadi gulungan sinar saking cepatnya dimainkan!
Tepuk sorak
menyambut permainan pedang ini dan memang Bu-tong Kiam-sut terkenal dengan
keindahan gerakannya. Banyak tamu yang terdiri dari para tokoh kang-ouw
mengangguk-anggukkan kepala dan memuji ketangkasan pendekar itu. Pangeran Kian
Liong tidak mempelajari praktek ilmu silat secara mendalam, namun
pengetahuannya tentang ilmu silat cukup banyak, maka dia pun mengenal keindahan
dan ketangguhan ilmu pedang ini, maka dia merasa kagum sekali. Dia pun
diam-diam merasa setuju kalau pendekar muda ini dijadikan calon pula karena
memang cukup pantaslah pemuda ini menjadi pelindung atau suami Syanti Dewi.
Setelah Lie
Siang Sun selesai bersilat pedang dan sudah menyimpan lagi pedangnya lalu
memberi hormat ke arah deretan Pangeran, para tamu menyambutnya dengan tepuk
tangan memuji. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yang Hui yang tadi telah
memperoleh bisikan dari Pangeran Kian Liong yang cerdik itu.
“Cu-wi
sekalian, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada
kesempatan merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami sudah memilih
calon-calon untuk dipilih sebagai jodoh adik kami Syanti Dewi.”
Para tamu
menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai, sedangkan Syanti Dewi menundukkan
mukanya yang berubah pucat. Biar pun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi
begitu tiba saatnya diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak
tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat persembunyiannya, Tek Hoat juga
memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas mendengar betapa
di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi.
Setelah
sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya, “Pertama-tama kami
mengumumkan pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga
Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri
kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing, sedangkan Thio-kongcu
telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya.”
Kembali
terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidaklah sehebat tadi karena kini
banyak yang merasa kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai
digoda rasa iri hati terhadap empat orang yang dipilih sebagai calon itu!
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring di antara penonton, “Bagaimana untuk menentukan
pemenang di antara calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau hanya
berdasarkan kekayaan, tentu orang she Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu
silat, tentu orang she Lie yang menang!”
Orang-orang
tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa
setuju dengan ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua
tangan ke atas dan baru dia mengakui bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran
kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia sendiri tidak tahu bagai
mana harus menjawab pertanyaan orang itu.
“Harap Cu-wi
mendengarkan dengan tenang!” kata Ouw Yan Hui dan oleh karena dia mengeluarkan
kata-kata ini disertai khikang, maka suaranya mampu mengatasi semua kegaduhan
dan para tamu lalu diam.
“Cu-wi yang
mulia! Biar pun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi
penentuannya siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan
adik kami. Oleh karena itu, mereka berempat itu akan diuji. Siapa di antara
mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama terbakarnya setengah bagian
dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak untuk
membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!”
Kembali para
tamu menjadi, berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa
bahwa aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar
Budiman, karena tiga orang calon-calonnya lainnya hanya orang-orang yang lemah,
mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi yang terkenal lihai itu?
Akan tetapi,
empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti
maksudnya pengumuman ini. Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan
kepada Sang Puteri untuk menentukan pilihan tanpa perlu mengeluarkan kata-kata,
hanya dengan membiarkan dirinya tertangkap oleh calon yang dipilihnya.
Dan memang
benar pendapat mereka ini, karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang
Hui, bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi
selama setengah batang hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw
Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi kalau saja Syanti Dewi tidak
menghendakinya, sebab ginkang yang dikuasai oleh Syanti Dewi telah setingkat
dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk
menggunakan akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh
Ouw Yan Hui.
Sementara
itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia
menoleh dan memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa
tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang
Pangeran.
Kian Liong
juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih, “Nah,
pemilihannya sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!” Maka mengertilah Syanti
Dewi bahwa memang hal itu sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan
pilihannya di antara empat orang calon itu.
Wan Tek Hoat
yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud
dari ujian menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun setuju karena hal
itu berarti memberi kesempatan kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan
pilihannya. Diam-diam dia pun ikut membanding-bandingkan antara empat orang itu
dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang yang pilihan dan
pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia.
Akan tetapi dia ikut berharap agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman,
karena mempunyai suami seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak
dimusuhi orang lain.
Sementara
itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka
merah, Ouw Yan Hui kemudian berbisik, “Hayo, majulah Adikku, tentukan
pilihanmu!”
Syanti Dewi
mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia
lalu melangkah ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil
tersenyum dengan muka merah.
“Dipersilakan
calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!” Ouw Yan Hui berseru.
Dan kembali
orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah
maju menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula.
Seorang pembantu lalu menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu
menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang sudah dipersiapkan. Pembantu ini
segera mundur dan Syanti Dewi yang telah mengenal pemuda she Thio itu lalu
menjura dan berkata, “Silakan mulai, Thio-kongcu.”
“Maafkan
saya....” Thio Seng Ki kemudian mulai bergerak hendak menangkap atau memegang
lengan tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan
mengelak.
Thio Seng Ki
melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan
saja. Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu
sukar ditangkap bahkan untuk menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya. Hanya
keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri itu saja yang dapat
ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati
pemuda hartawan itu.
Dengan
hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama
baiknya, dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara mana pun juga
yang dikehendaki atau diinginkannya. Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu
mengelak?
Karena
penasaran, juga karena dia ingin sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia
mengejar terus dan biar pun dia tidak pandai ilmu silat, dia mengejar dengan
secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya dielakkan
tiba-tiba oleh Syanti Dewi.
Pertunjukan
ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa
dan teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda
hartawan itu luput. Akhirnya hio yang setengahnya itu habis terbakar.
“Waktunya
habis, calon pertama telah gagal!” Demikian pengumuman pembantu wanita dan
terpaksa Thio Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh
keringat.
Syanti Dewi
lalu menjura dan memberi hormat. “Harap Kongcu suka memaafkan saya.”
Thio Seng Ki
menarik napas panjang, kecewa sekali, tapi dia membalas penghormatan itu sambil
berkata, “Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona.” Dia pun
mengundurkan diri, duduk di kursinya kembali, dan disambut sorakan para tamu,
terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak memperoleh kesempatan.
“Dipersilakan
calon ke dua, Yu Cian untuk maju!” kembali Ouw Yan Hui berseru.
Sastrawan
muda itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti
Dewi. Juga sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum
bahwa kalau wanita itu tidak menghendaki, biar sampai selama hidup pun
sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh Syanti Dewi. Akan tetapi
Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan
menjadi dua itu terbakar.
“Silakan,
Yu-siucai,” kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah
lama dikenalnya ini.
Yu Cian
mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan
untuk menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian
melangkah lagi, diulanginya hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali
menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh. Setelah mengulangi sampai lima
kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berubah agak pucat,
suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan.
“Saya
menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama
ini.” Dan sastrawan itu pun lalu mundur. Semua tamu yang melihat ini menjadi
diam, dan sastrawan itu tidak diejek ketika kembali ke bangkunya dengan sikap
masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat.
Syanti Dewi
merasa kasihan sekali dan dia pun hanya dapat menjura ke arah pemuda itu.
“Harap maafkan saya....,” katanya perlahan.
Ketika Kui
Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar
berkata, “Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya
tahu bahwa sampai mati pun saya tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang
memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima keputusan melalui
jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan
atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau
tidak, Nona cukup menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?”
Semua tamu
mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap
jujur dan terus terang, sungguh pun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti
Dewi merasa terdesak. Akhirnya, dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala
lirih. “Harap maafkan saya....”
Kui Lun Eng
tertawa dan menengadah. “Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada
diri Nona di samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran.
Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal menjadi kenalan yang baik saja.” Dan
dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan arak ke
dalam mulutnya!
Kini tinggal
seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar
Budiman inilah yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga
sebagai seorang pendekar berilmu tinggi yang agaknya dapat menangkap wanita
cantik jelita itu.
Ketika dia
dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu
menghadapi Syanti Dewi dan menjura dengan hormat. “Ingin sekali saya mencontoh
perbuatan Saudara Kui Lun Eng, tetapi karena pihak nyonya rumah sudah
mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar.”
Ketika hio
sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi
mempersilakan. Dan terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati. Kini, Lie
Siang Sun berusaha menangkap lengan atau ujung baju nona itu, dengan gerakan
silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan cepat sekali,
namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang
ramping itu mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika
Pendekar Budiman mengejar semakin cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang
nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana kemari.
Memang
menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga
dan kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu
mempergunakan gerakan yang indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas
dan sebagainya. Namun, dalam pandang mata Tek Hoat, juga beberapa orang tokoh
yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, maklumlah mereka ini bahwa Sang
Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi,
bahkan selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguh pun hal
ini bukan berarti bahwa Syanti Dewi akan dapat tertangkap kalau dia
menghendaki. Tidak, wanita itu memiliki ginkang yang jauh lebih tinggi dari
pada Pendekar Budiman, sehingga andai kata Lie Siang Sun mengejar dengan
sungguh-sungguh sekali pun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil.
Betapa pun
juga, melihat betapa Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap
Syanti Dewi, mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat,
merasa kagum. Akan tetapi Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa
kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas menolak semua calon itu!
“Ahhh, dia
akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik
Syanti....,” keluhnya.
Sang
Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak
suka dijodohkan dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang
masih dicintanya sampai saat itu. Karena melihat kenyataan bahwa benar-benar
Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon yang baik itu,
terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti
Dewi.
“Kalau
begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio.”
Seketika
wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya
wanita ini dan dia merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan
wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi
tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia memandang
dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi, ke arah Syanti Dewi yang
masih bergerak cepat dikejar oleh Lie Siang Sun.
Setelah
pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun
menghentikan gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata, “Ginkang dari
Nona sungguh amat mengagumkan sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan
maaf.”
“Harap
maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!” berkata Syanti Dewi dengan suara
mengandung penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini
tadi tak berusaha sungguh-sungguh untuk menyentuhnya. Jika saja hatinya mau
mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk menjadi jodohnya.
Tiba-tiba
terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini
terdengar amat nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi,
“Sekarang ada pengumuman penting! Harap Cu-wi Yang Mulia ketahui bahwa calon
jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu bukan
lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!”
Para tamu
tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal
dan tidak ada yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi
mereka, karena tentu akan diadakan pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi,
mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai calon, tentu saja
semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana
mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan
orang yang amat besar kedudukan dan kekuasaannya?
“Dan
sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk
menangkap Syanti Dewi,” demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula. Pembantu wanita
sudah pula menyalakan dupa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak
perlu.
Syanti Dewi
memandang pada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang
menghampirinya, dengan pandang mata berterima kasih karena dia pun tahu bahwa
perbuatan pangeran ini hanya untuk menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka
malam tadi.
“Sudah
siapkah engkau?” Sang Pangeran bertanya.
Syanti Dewi
mengangguk. “Silakan, Pangeran.”
Pangeran
Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita
itu mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula. Sang Pangeran terus
mengejar dan setelah berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil
memegang pergelangan tangan Syanti Dewi.
Melihat ini,
Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi
akan membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita
pemilik Pulau Kim-coa-to ini sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah
sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil menangkap
pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya.
Jelaslah
bagi semua orang bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya
ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu
menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng tangan Syanti Dewi,
wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya
menunduk.
Wan Tek Hoat
juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun
tahulah bahwa kekasihnya itu tadi sengaja membiarkan lengannya ditangkap
Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk
menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati perih. Pemuda
manakah yang lebih hebat dari pada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran
Kian Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu?
Hanya
sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah
melihat kenyataan bahwa Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru
dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar bahwa usia Syanti Dewi tentu
antara tiga puluh enam tahun, sungguh pun wanita itu tidak nampak lebih tua
dari pada Sang Pangeran.
Sudah,
habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu. Dia harus pergi
cepat-cepat dari tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi.
Baru sekarang dia tahu bahwa pada dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi
berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng tangan dengan wajah
kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dan
ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya.
Akan tetapi
tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan
tahu-tahu di atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang
laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh keriput dan pucat sekali, kepalanya
botak licin dan sikapnya garang.
“Sungguh
tidak adil sekali!” Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh
lima tahun itu berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang
bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai panggung itu pun melesak sampai
beberapa senti meter dalamnya!
Melihat ada
orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru, “Siapa
berani lancang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?”
Kakek itu
tertawa, suara ketawanya, bergema di seluruh ruangan. “Ha-ha-ha, mana bisa
dibilang adil kalau kemenangan ini disengaja dan dibuat?”
“Adik kami
Syanti Dewi berhak memilih siapa pun juga menjadi jodohnya!” Kembali Ouw Yan
Hui berseru sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia
tidak mengenal siapa adanya kakek ini.
“Ha-ha! Jika
memang ingin memilih Pangeran, kenapa pakai mengadakan sayembara segala macam?
Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian,
akan tetapi ternyata Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran.
Bukankah hal itu berarti menghina orang-orang yang menghargai ilmu silat?
Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw, kenapa sekarang
Pangeran yang berkedudukan tinggi, Pangeran Mahkota, malah ingin mencampuri dan
memperlihatkan kekuasaan untuk memenangkan seorang dara? Bukankah hal itu
berarti Pangeran tidak memandang mata dan menghina para orang kang-ouw pada
umumya? Apakah orang orang kang-ouw hendak dijadikan semacam pelawak-pelawak
belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi ini,
boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!”
Semua orang
kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar
terhadap Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal
sudah maju mengepung tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran.
Syanti Dewi
maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang
Pangeran untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya
agar lebih mudah dilindungi oleh para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang kepada kakek tinggi besar
itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah sekali.
Tetapi
sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan
sesuatu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah
berada di atas panggung berhadapan dengan kakek raksasa itu.
Pendekar
Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak
mengenal kakek ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya.
“Sobat, harap engkau sudi memandang mukaku dan tidak menimbulkan keributan di
tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang Mulia sebagai
jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?”
“Ha-ha-ha,
engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan
julukan Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi
engkau tidak sungguh-sungguh ketika mengejar Sang Puteri tadi.”
Pendekar
Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu
menandakan bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya awas benar. “Sobat hal itu
merupakan urusan pribadiku sendiri yang tiada sangkut-pautnya dengan orang
lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan mengingat bahwa tidak
baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang
Mulia Pangeran Mahkota.”
“Tidak!
Bagaimana pun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama
setengah dupa bernyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan
badut-badut!”
“Orang tua,
ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau
sengaja hendak mengajak berkelahi?” Mendadak Ouw Yan Hui berseru dari tempat
duduknya.
“Ha-ha-ha,
orang-orang kang-ouw jika telah berkumpul tentu mengadakan pertandingan ilmu
silat. Ini baru menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut
badut yang dipermainkan oleh Sang Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak
menghargai kita, bahkan memandang rendah dan menghina, hal ini tak boleh
dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau
Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan
pertandingan silat, siapa pun boleh maju melawanku!”
“Sobat
engkau sungguh terlalu!” Pendekar Budiman berseru. “Sikapmu sama sekali tak
patut menjadi pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau
jahat. Nah, kalau engkau ingin berkelahi, akulah lawanmu.”
“Bagus! Aku
sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!” tantang kakek itu dengan
sikap memandang rendah sekali.
“Lihat
seranganku!” Pendekar Budiman telah menerjang dengan sungguh-sungguh oleh
karena dia tahu bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran.
Dia sudah mendengar akan usaha-usaha jahat mereka yang telah menculik Pangeran
sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka dia merasa berkewajiban
untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam oleh
kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini.
Akan tetapi
ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek
itu sama sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang
dekat, kakek ini menggerakkan tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu
terpelanting!
Bukan main
kuatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang
Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang tajam. Orang ini bukan orang
sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang Pangeran
Mahkota? Mengapa?
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment