Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 13
Pulau
Kim-coa-to terletak di Laut Kuning, beberapa mil jauhnya dari muara Sungai
Huai. Dari tepi pantai hanya nampak sebagai sebuah titik kecil saja kalau laut
sedang tenang. Dan kalau orang naik perahu layar, maka dalam waktu empat lima
jam akan sampai di pulau itu.
Kota
Tung-king berada tidak jauh dari muara itu, dan pada hari itu kota Tung-king
yang berada di lembah Sungai Huai nampak lebih ramai dari pada biasanya. Memang
kota ini sedang diramaikan oleh tamu-tamu yang hendak berkunjung ke Pulau
Kim-coa-to!
Pembesar
setempat, yaitu Kepala Daerah Tung-king ikut menjadi sibuk pula karena hari itu
Pangeran Kian Liong juga datang berkunjung bersama pasukan pengawalnya yang
berjumlah dua losin orang!
Sang
Pangeran yang biasanya suka melakukan perjalanan secara menyamar itu, sekali
ini karena menerima undangan resmi, berkunjung sebagai pangeran dan tentu saja
dikawal dan mengendarai kereta yang indah.
Karena hari
telah menjadi senja ketika tiba pangeran itu memutuskan untuk bermalam di kota
Tung-king dan tentu saja kepala pengawal langsung membawa kereta menuju ke
gedung kepala daerah yang menjadi sibuk bukan main!
Pangeran
Mahkota sendiri yang datang bertamu, tentu saja dia menjadi sibuk. Namun
alangkah bingung dan herannya ketika pangeran itu dengan suara tegas melarang
dia terlalu menyibukkan diri, hanya cukup kalau dia diberi sebuah kamar biasa
dan makan malam biasa pula, menolak untuk diberi hidangan apalagi ditemani
wanita.
Baru sekali
ini selama hidupnya Lu-taijin, kepala daerah kota Tung-king itu, mendengar dan
bahkan menghadapi sendiri seorang pangeran, bahkan pangeran mahkota pula, yang
mau tidur di kamar biasa, makan biasa pula dan menolak hiburan dan wanita!
Di samping
kebingungan dan keheranannya, dia pun merasa kagum sekali. Diam-diam dia memperoleh
kenyataan akan kebenaranan berita bahwa Sang Pangeran Mahkota ini adalah
seorang pemuda yang sederhana, terpelajar, pandai dan tidak suka akan kemewahan
yang berlebihan, tidak suka berfoya-foya sebagaimana lajimnya para pangeran dan
pembesar lainnya.
Tentu saja
para pengawal mempersiapkan diri, menjaga keamanan pangeran mahkota itu, dan
karena pasukan pengawal ini adalah pengawal dalam istana, maka pakaian mereka
yang berwarna biru dan bersulamkan benang emas itu amat indah dan megah. Selain
itu, mereka adalah pasukan pengawal pilihan, dengan tubuh tegap-tegap dan wajah
tampan-tampan, mengagumkan semua orang, juga mendatangkan kesenangan.
Sementara
itu, di sebuah rumah makan kecil di sudut kota, malam itu terdapat tiga orang
laki-laki yang makan minum sambil bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik.
Biar pun tiga orang itu berpakaian biasa saja, akan tetapi sikap dan keadaan
mereka tentu menimbulkan kecurigaan mereka yang berpemandangan tajam.
Seorang di
antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada enam puluhan
tahun, pakaiannya seperti penduduk biasa saja, akan tetapi matanya tinggal yang
sebelah kanan saja karena yang sebelah kiri telah buta. Tubuhnya tinggi besar
dan sikapnya perkasa, kuncir rambutnya yang masih panjang hitam itu besar
melingkari lehernya.
Meski
kelihatan mengenakan pakaian biasa saja, namun sesungguhnya orang ini dia
bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal,
terutama sekali di daerah Propinsi Ho-pei karena dia dahulu adalah seorang
jagoan yang dipercaya oleh Gubernur Ho-pei.
Dia berusia
enam puluh satu tahun, bernama Liong Bouw dan julukannya adalah Tok-gan
Sin-ciang (Tangan Sakti Mata Tunggal). Sekarang Liong Bouw telah pensiun dan
hidup sebagai petani, akan tetapi dia masih selalu aktip dalam dunia kang-ouw
sebagai seorang yang disegani dan di samping kegagahannya sebagai pendekar,
juga ia masih amat setia kepada kerajaan.
Orang ke dua
dan ke tiga adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dua orang kakak beradik berusia
kurang lebih lima puluh tahun yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang
tinggi. Kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini menjadi utusan untuk menyelidiki
keadaan Kaisar Yung Ceng karena terdengar desas-desus bahwa setelah menjadi
kaisar, maka Yung Ceng yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai itu banyak
melakukan penyelewengan-penyelewengan.
Meski pun
Yung Ceng kini telah menjadi kaisar, Siauw-lim-pai berhak untuk menyelidiki
kelakuannya dan kalau ternyata murid Siauw-lim-pai itu melanggar
larangan-larangan, maka Siauw-lim-pai berhak untuk mengeluarkan dari perguruan
sebagai seorang murid yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, para
pimpinan Siauw-lim-pai mengutus Ciong Tek dan Ciong Lun, dua orang kakak
beradik itu, untuk melakukan penyelidikan di kota raja.
Mereka
memperoleh kenyataan bahwa memang benar murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi
kaisar itu melakukan banyak pelanggaran, di antaranya yang paling parah adalah
menguasai isteri orang dengan jalan kekerasan! Memang ada beberapa kali Yung
Ceng merampas isteri orang, yaitu pejabatnya sendiri, yang kecantikannya
membuatnya tergila-gila.
Maka mereka
lalu melaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan dengan suatu upacara
antara pimpinan, Yung Ceng dinyatakan sebagai murid murtad dan tidak diakui
sebagai murid Siauw-lim-pai lagi. Selain kenyataan ini, juga dua orang saudara
Ciong melaporkan tentang kebaikan-kebaikan Pangeran Mahkota Kian Liong. Oleh
karena itu, mereka diberi tugas untuk bersama dengan para pendekar lainnya yang
diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Mahkota yang banyak melakukan
perjalanan secara menyamar itu.
Memang
Pangeran Kian Liong banyak melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa.
Dengan cara ini ia dapat bergaul dengan rakyat kecil, mendengarkan percakapan
mereka, pendapat mereka tentang pemerintah dan dia pun mendengar celaan-celaan
yang ditujukan kepada kaisar.
Dan karena
tanpa setahunya banyak pendekar sakti yang diam-diam melindunginya, maka tiap
kali terjadi mala petaka yang hendak menimpanya, selalu dapat dihalau sehingga
orang-orang mulai menanam kepercayaan yang bersifat tahyul, yaitu bahwa
pangeran mahkota itu telah dijaga oleh malaikat, dan ini menjadi tanda bahwa
dia benar-benar seorang calon kaisar yang hebat!
Tiga orang
yang kini bercakap-cakap di rumah makan itu adalah tiga orang perkasa yang
diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Kian Liong. Mereka sedang
berbisik-bisik dan bicara dengan serius, dengan nada suara penuh khawatir.
“Benarkah
penyelidikan kalian itu?” Si Mata Satu bertanya sambil menoleh ke kanan kiri,
memperhatikan dengan sapuan pandang matanya yang tinggal satu ke seluruh sudut,
takut kalau-kalau percakapan mereka didengar orang lain.
“Benar,
Liong-lo-enghiong, kami sudah menyelidiki dengan seksama. Semua itu benar
digerakkan oleh Sam-thaihouw....“
“Ssttt....
hati-hati kalau bicara....”
Liong Bouw
bangkit dan kembali memeriksa ke seluruh ruangan. Tidak. Tidak ada yang
mencurigakan dan dia pun duduk kembali. “Apa kau bilang? Sam-thaihouw....?“
Nama
Sam-thaihouw memang amat menakutkan banyak orang, seolah-olah nama itu dapat
mendatangkan bencana, walau pun hanya disebut saja. Memang pengaruh dan
kekuasaan Sam-taihouw ini besar sekali, dan dia amat bengis sehingga banyak
sudah orang-orang yang dianggapnya bersalah terhadapnya harus menerima hukuman
yang mengerikan. Bahkan kaisar sendiri pun agaknya sudah tidak mampu mencegah
segala perbuatan Sam-thaihouw yang mempunyai banyak jagoan yang tangguh.
Seorang
menteri, yaitu Menteri Kim sebagai Menteri Kebudayaan, beberapa bulan yang lalu
pernah berani mengecam nenek yang menjadi Ibu Suri Ke Tiga ini di depan kaisar.
Dan apa yang terjadi kemudian? Beberapa malam sesudah itu, Sang Menteri tewas
di dalam kamarnya, bersama isterinya dan tiga orang puteranya dan tiada seorang
pun tahu siapa pembunuhnya!
Akan tetapi
kaisar tidak memerintahkan penyelidikan tentang pembunuhan ini dan dengan
lantang Sam-thaihouw berkata kepada siapa saja yang kebetulan dijumpainya bahwa
itulah hukuman bagi menteri yang lancang mulut itu! Masih banyak orang-orang
yang harus tewas dalam keadaan mengerikan karena berani menentang Sam-thaihouw
sehingga namanya merupakan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.
Itulah
sebabnya ketika Ciong Tek menyebut nama Sam-thaihouw, Liong Bouw menjadi
terkejut dan khawatir sekali, maklum betapa bahayanya kalau nama ini
disebut-sebut. Lalu dia berbisik, bertanya dengan hati tertarik, “Apakah yang
sesungguhnya terjadi?”
“Agaknya
Sam-thaihouw telah mampu mempengaruhi Kaisar sehingga percaya kepada Nenek itu
jika Pangeran Kian Liong dianggap sebagai pengundang datangnya bahaya bagi
pribadi Kaisar sendiri. Karena itu, persekutuan antara mereka sudah memutuskan
untuk mengenyahkan Pangeran itu, atau paling tidak membatalkan dia sebagai
calon pengganti Kaisar.”
“Ahh, mana
mungkin? Pangeran itu adalah putera kaisar sendiri!” bantah Si Mata Satu.
“Itulah
anehnya! Bekas murid Siauw-lim-pai yang murtad itu ternyata sudah berubah
menjadi seorang pria lemah yang tunduk di bawah kekuasaan mulut manis seorang
wanita cantik yang sudah membuatnya tergila-gila. Selirnya yang ke tiga, yang
juga mempunyai seorang putera itulah yang menjadi senjata ampuh Sam-thaihouw
untuk menjatuhkan hati Kaisar.
Dan agaknya
kaisar juga telah setuju untuk menggantikan pangeran mahkota dengan pangeran
yang usianya baru lima tahun itu, putera dari selir ke tiga itu. Dan semua ini
adalah hasil bujukan Sam-thaihouw yang telah mengerahkan banyak tokoh kaum
sesat untuk membantunya. Kabarnya malah Im-kan Ngo-ok telah dapat
diperalatnya.”
“Aih,
berbahaya sekali kalau begitu. Dari mana kalian dapat memperoleh semua rahasia
kerajaan ini?”
“Seorang
murid keponakan kami, murid Siauw-lim-pai, kebetulan kini menjabat pangkat
komandan muda dalam pasukan pengawal dalam istana. Dialah yang sudah melakukan
semua penyelidikan itu untuk kami, sebab sebagai murid Siauw-lim-pai dia
menganggap hal itu sebagai tugas sucinya untuk menyelidiki kelakuan murid
Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu.”
Hening
sejenak dan ketiga orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka tahu
akan adanya bahaya besar berhadapan dengan kekuasaan di tangan nenek iblis yang
berkuasa di istana itu.
Akhirnya
Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw bertanya, “Menurut kalian, apakah yang akan
terjadi dan bahaya apa yang mengancam diri Pangeran?” Lalu disambungnya dengan
nada suara gentar, “Apakah kalian kira Im-kan Ngo-ok sendiri akan turun
tangan?”
Dua orang
kakak beradik itu saling pandang lalu menggeleng kepala. “Kami rasa hal itu
tidak akan mungkin terjadi,” kata Ciong Lun. “Ini bukan urusan kecil, dan
mereka sudah dikenal di dunia kang-ouw. Kalau mereka berani turun tangan
sendiri mengganggu Pangeran, tentu seluruh orang gagah di dunia kang-ouw akan mencarinya
dan mereka tentu tak akan berani menghadapi resiko sehebat itu. Tidak, mereka
tentu hanya akan mengirim orang yang tidak terkenal, biar pun sudah dapat
dipastikan suruhan mereka itu tentu amat lihai. Oleh karena itu, kita harus
siap siaga dan berhati-hati.”
“Menurut
penyelidikan kalian, apa yang akan mereka lakukan terhadap Pangeran?”
“Entah, hal
itu kami belum dapat mengetahuinya. Akan tetapi yang kami tahu adalah bahwa
sebelum Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan dengan Im-kan Ngo-ok
yang diwakili oleh Toa-ok sendiri dan murid keponakan kami itu hanya dapat
menangkap bahwa mereka telah membicarakan tentang kepergian Pangeran ke
Kim-coa-to ini. Maka agaknya di Kim-coa-to itulah akan terjadinya hal-hal yang
penting. Kabarnya pemilihan suami oleh Syanti Dewi itu dilakukan dengan
sayembara ilmu silat pula. Nah, agaknya itulah kesempatan untuk mencelakai
Pangeran.”
“Betapa pun
juga, kita tidak boleh lengah. Baiknya Sang Pangeran juga dikawal oleh
sepasukan pengawal yang baik. Pasukan Pengawal Garuda itu boleh diandalkan dan
setia. Kita harus menyamar sebagai tamu-tamu di Kim-coa-to dan selalu
membayangi Pangeran,” kata Liong Bouw.
Setelah
selesai berunding dan makan, mereka membayar makanan, lalu meninggalkan rumah
makan itu dengan berpencar. Memang mereka bekerja melindungi Pangeran Kian
Liong secara berpencar agar lebih leluasa bergerak dan tidak mudah diketahui
oleh pihak lawan.
Apa yang
sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar? Rakyat banyak tak mengetahui
karena segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga kaisar amat dirahasiakan dan
dari luar nampaknya bahwa kehidupan keluarga kaisar itu tenang-tenang saja,
bergelimang kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, serta selalu riang gembira dan
tenggelam dalam hiburan-hiburan. Akan tetapi, sesungguhnya kehidupan seorang
kaisar, tiada bedanya dengan kehidupan seorang petani biasa, bahkan kalau
dipandang bukan dengan ukuran kesenangan duniawi, maka kehidupan keluarga
petani jauh lebih tenteram dibandingkan dengan kehidupan keluarga kaisar!
Kehidupan
keluarga kaisar penuh dengan konflik yang selalu disembunyikan di balik senyum
dan tata cara sopan santun yang berkelebihan. Orang yang berlutut di depan
kaisar dengan dahi dibentur-benturkan pada lantai dengan penuh khidmat dan
hormat, yang mulutnya mengucapkan ‘ban-ban swe’ (hidup selaksa tahun) sebagai
pengucapan penghormatan dan pujian bagi kaisar, yang dari ujung rambut sampai
pangkal sepatu membayangkan kesetiaan, penghormatan dan kebaktian, mungkin saja
di balik semua itu menaruh dendam yang amat mendalam
Dan antara
keluarga kaisar, di antara selir-selir dan putera-putera, yang kesemuanya hidup
menurut adat-istiadat dan tata cara istana, hampir semua menggunakan sikap
sebagai pakaian saja. Di sebelah dalam terdapat hati yang bermacam-macam, penuh
ambisi, penuh pamrih, penuh iri, penuh dendam dan persaingan. Konflik terjadi
setiap saat, akan tetapi hanya terjadi di dalam batin saja.
Sam-thaihouw
adalah Ibu Suri Ke Tiga yang sudah nenek-nenek namun masih memiliki ambisi yang
besar sekali. Kegagalan dua orang Pangeran Liong dalam pemberontakan mereka,
bahkan yang disusul oleh kematian mereka, diam-diam menikam perasaan
Sam-thaihouw yang pada waktu mudanya amat sayang kepada dua pangeran yang
menjadi adik iparnya itu, adik ipar tiri. Akan tetapi tentu saja sakit hati ini
dipendamnya di dalam hati. Oleh karena itu, dia lalu menaruh dendam mendalam
kepada Milana dan keluarga Pulau Es yang dianggap menjadi biang keladi
kegagalan gerakan dua orang pangeran itu.
Juga, dia
ingin menanamkan kekuasaannya di dalam istana, maka dia pun berhasil mendekati
Kaisar Yung Ceng. Kaisar ini di waktu mudanya adalah seorang pangeran yang
gagah perkasa, bahkan pernah menjadi murid dalam Siauw-lim-si, mempelajari
ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Akan tetapi setelah menjadi kaisar,
setelah seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, dia menjadi mabok akan
kekuasaan, mabok pula akan penjilatan dan sanjungan. Mulai lenyaplah
sifat-sifat gagahnya dan mulailah dia menghambakan diri pada
kesenangan-kesenangan yang menumpuk nafsu nafsu menjadi majikan dari batinnya.
Banyak sudah
para pemimpin atau pembesar yang menasehatinya dengan halus dan kadang-kadang
nasehat itu ada manfaatnya pula, mengingatkannya. Akan tetapi, di samping
mereka yang menasehatinya, lebih banyak pula yang menjilat-jilatnya dan
mendorongnya untuk berenang dalam kesenangan, karena hanya dengan demikian itu
sajalah para penjilat dapat melihat kaisar menjadi lemah sehingga mereka itu
dapat merajalela!
Di antara
para penasehatnya, majulah Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran yang tadinya
amat dekat dengan Kaisar Yung Ceng sewaktu masih pangeran. Akan tetapi,
pengaruh nasehat Pangeran Yung Hwa ini kalah oleh pengaruh bujukan-bujukan yang
mulai dilancarkan oleh Sam-thaihouw yang mendekati kaisar sebagai putera
tirinya itu, dan Ibu Suri Ke Tiga ini bahkan memasukkan racun bisikan bahwa
Pangeran Yung Hwa agaknya iri hati dengan kedudukan kakaknya. Dan akibatnya,
Pangeran Yung Hwa lalu diangkat menjadi gubernur di wilayah barat, di propinsi
Se-cuan yang jauh! Namanya saja diangkat dan diberi kedudukan, tapi sebetulnya
itu merupakan suatu pembuangan agar pangeran itu jauh dari istana!
Demikianlah
keadaan di istana. Kegilaan para penjilat dan pembujuk yang dikepalai oleh
Sam-thaihouw itu semakin berani saja, makin gila sehingga mereka tidak
segan-segan untuk mulai mengutik-utik kedudukan Pangeran Mahkota Kian Liong!
Untuk melakukan ini, Sam-taihouw mempunyai pembantu yang amat baik, yaitu selir
ke tiga dari Kaisar Yung Ceng, selir cantik jelita yang dirampasnya dari tangan
seorang pembesar istana pula!
Selir ini
mempunyai seorang putera yang usianya sudah lima tahun, maka tentu saja dia pun
berambisi untuk melihat puteranya itu menjadi putera mahkota yang kelak akan
menggantikan kedudukan kaisar! Melihat kesempatan ini, Sam-thaihouw yang merasa
tidak senang kepada Pangeran Kian Liong yang tidak dapat didekatinya, bahkan
yang berani menentangnya secara terang-terangan, mulailah nenek ini untuk
menghasut dan menjauhkan hubungan antara ayah kandung dan putera mahkota ini,
antara Kaisar dan Putera Mahkota Kian Liong!
Demikianlah
keadaan di dalam istana, di mana terjadi persaingan dan pertentangan hebat
tanpa diketahui oleh rakyat jelata. Bahkan hanya beberapa orang tertentu saja
di istana yang mengetahui akan hal ini, dan yang mengetahui tidak berani
membuka mulut untuk bercerita kepada siapa pun, bahkan kepada anak isteri pun
tidak berani, karena kalau sampai ketahuan oleh pihak yang bersangkutan, tentu
mereka tidak akan mampu menyelamatkan nyawanya, bahkan mungkin nyawa
keluarganya pula.
Pangeran
Kian Liong sendiri bukan tidak tahu akan segala konflik yang terjadi di dalam
keluarga ayahnya. Itulah sebabnya dia merasa tidak betah dan muak berada di
istana yang dianggapnya sebagai sumber segala kepalsuan, penjilatan,
kepura-puraan dan iri hati, di mana setiap saat terjadi persaingan untuk
mencari muka kepada kaisar dan terdapat perebutan kekuasaan yang sangat
memuakkan hatinya.
Dia lebih
senang merantau dengan menyamar sebagai orang biasa, bergaul dengan rakyat jelata,
tanpa pengawal, tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah pangeran mahkota! Dengan
cara demikian pangeran ini pernah bekerja membantu nelayan, petani dan
sebagainya! Dan tentu saja sering kali dia terancam bahaya, akan tetapi selalu
saja ada bintang penolong yang menolongnya dengan sembunyi.
Ketika
pangeran ini mendengar tentang Syanti Dewi, hatinya tertarik dan dia pun datang
berkunjung ke Kim-coa-to, bukan menyamar, tetap sebagai pangeran akan tetapi
secara sederhana. Dan dalam pertemuan itu, kedua pihak merasa amat kagum.
Pangeran
Kian Liong kagum sekali melihat seorang wanita yang sedemikian cantik
jelitanya, berdarah bangsawan bahkan puteri dari Raja Bhutan, dengan kecantikan
seperti bidadari, juga memiliki pengertian yang amat mengagumkan tentang sastra,
pandai menari, bernyanyi dan bersajak, bahkan pandai ilmu silat pula! Dan
pandangan-pandangannya tentang hidup sedemikian matangnya sehingga pangeran ini
tertarik untuk bersahabat.
Pangeran
Kian Liong bukanlah seorang pemuda mata keranjang, dia lebih mengagumi
kecantikan batiniah dari pada kecantikan lahiriah, dan jika dia tertarik oleh
Syanti Dewi, adalah karena pribadi wanita itulah, bukan kecantikannya
semata-mata. Dan tertariknya pun bukan tertarik dengan gairah nafsu birahi,
melainkan tertarik untuk bersahabat, bercakap-cakap, bercengkerama dan
bergurau, kadang-kadang melihat dara itu menari atau mendengarkan bernyanyi,
dan membuat sajak bersama-sama atau bicara tentang orang-orang kang-ouw dan
ilmu silat.
Biar pun dia
sendiri hanya mempelajari ilmu silat dasar saja untuk olahraga menjaga
kesehatan, akan tetapi Pangeran Kian Liong senang sekali mendengar pembicaraan
tentang ilmu silat dan dia mengagumi kehidupan para pendekar. Dalam diri Syanti
Dewi dia benar-benar mendapatkan seorang sahabat yang amat menyenangkan dan
cocok.
Di lain
pihak, Syanti Dewi sendiri amat suka kepada pangeran yang biar pun usianya
lebih muda namun telah memilliki pandangan tentang filsafat dan hidup dengan
amat luasnya. Juga pangeran ini berbeda dengan semua pria yang mendekatinya.
Semua pria, tua atau muda, yang mendekatinya, selalu memandang kepadanya dengan
mata terpesona penuh kagum akan kecantikannya, dan di balik pandang mata itu
terdapat nafsu birahi yang bernyala-nyala.
Akan tetapi
kekaguman yang terpancar keluar dari pandang mata pangeran ini bersih,
kekaguman yang wajar seperti orang mengagumi setangkai bunga mawar atau
mengagumi langit di waktu matahari terbenam. Oleh karena itu, biar pun usia
mereka berselisih sepuluh tahun, keduanya dapat bersahabat dengan baiknya dan
saling merasa akrab, sama sekali tidak canggung.
Pada waktu
menerima undangan pesta ulang tahun Syanti Dewi, Pangeran Kian Liong gembira
sekali dan dia sudah mengambil keputusan untuk berangkat dan seperti biasa dia
bermaksud untuk melakukan perjalanan sendirian saja dengan menyamar. Akan
tetapi ketika pengawalnya yang setia, yaitu komandan Pengawal Pasukan Garuda,
mendengar akan niat pangeran yang amat dibelanya itu, dia cepat datang
menghadap.
Komandan yang
sudah lima puluh tahun lebih ini bernama Souw Kee An, seorang komandan tua
pasukan pengawal yang terkenal itu, dan dahulu dia pernah menjadi pengawal yang
setia dari Pangeran Yung Hwa sebelum pangeran itu dinaikkan pangkat atau
dilempar sebagai gubernur di barat. Karena tahu akan kesetiaan Souw Kee An,
maka Pangeran Yung Hwa lalu menugaskan untuk menjadi pengawal dari pangeran
mahkota, yaitu Pangeran Kian Liong.
“Harap
sekali ini Paduka sudi untuk mendengarkan nasehat saya dan tidak melakukan
perjalanan tanpa dikawal. Saya mendengar banyak desas-desus yang tidak baik dan
juga amat berbahaya bagi keselamatan Paduka, Pangeran,” demikian komandan tua
itu membujuk.
“Ah,
Souw-ciangkun, sudah beberapa tahun ini aku sering kali pergi merantau
sendirian dan menyamar sebagai orang biasa, ternyata tidak terjadi hal-hal yang
tidak baik dan sampai sekarang aku masih hidup dan selamat,” kata Pangeran itu
sambil tersenyum.
Souw Kee An
menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Akan tetapi berapa kali Paduka
terancam bahaya maut dan kalau tidak ada malaikat pelindung berupa orang-orang
sakti yang kebetulan melihat Paduka terancam lalu melindungi, apakah tidak
berbahaya sekali? Dan pula, sekarang Paduka menerima undangan acara resmi, apa
salahnya kalau Paduka juga datang secara resmi sebagai seorang Pangeran pula?”
Setelah
dibujuk-buruk dan Souw Kee An menceritakan betapa akan banyaknya hadir
tokoh-tokoh kang-ouw di Kim-coa-to, baik dari golongan bersih mau pun dari kaum
sesat, dan bahwa menurut desas-desus yang didengarnya ulang tahun itu
dipergunakan pula untuk memilih suami dan akan dipertandingkan ilmu silat
sehingga tentu akan terjadi keributan, akhirnya Pangeran Kian Liong setuju juga
untuk pergi dengan dikawal oleh Souw Kee An sendiri bersama dua puluh orang
Pasukan Garuda. Souw Kee An kemudian memilih anggota-anggota yang memiliki
kepandaian cukup, dan berangkatlah pangeran setelah mendapat persetujuan
kaisar, pergi ke Kim-coa-to.
Demikianlah,
karena hari telah mulai gelap, rombongan Pangeran Kian Liong terpaksa berhenti
di Tung-king. Souw-ciangkun telah mengatur penjagaan yang ketat karena dia
maklum bahwa semakin dekat mereka tiba di tempat tujuan, semakin gawatlah
keadaan dan dia percaya bahwa pada waktu itu tentu banyak terdapat orang-orang
kang-ouw di kota Tung-king itu.
Dan
dugaannya itu memang tidak meleset kalau kita ingat betapa tak jauh dari tempat
bermalam Pangeran, di rumah makan kecil di sudut kota itu telah terjadi
pertemuan-pertemuan antara tiga orang gagah yang diam-diam melakukan perlindungan
pula terhadap keselamatan Pangeran Kian Liong. Souw Kee An sendiri pun maklum
akan gerakan diam-diam yang dilakukan oleh Sam-thaihouw, dan justru oleh karena
itulah dia membujuk Pangeran agar melakukan perjalanan dengan terkawal. Dan
pengawalan Pasukan Garuda yang ketat itu memang ternyata ada hasilnya.
Buktinya,
sampai tiba di Tung-king, belum pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
seolah-olah pihak yang mempunyai niat buruk terhadap Pangeran merasa jeri
dengan adanya pengawalan pasukan yang terkenal kuat itu. Akan tetapi ternyata
hal itu hanya sementara saja dan pihak lawan itu memang ada dan sedang menanti
saat baik! Untuk melihat siapa adanya pihak lawan itu marilah kita mengikuti
mereka semenjak dari sebuah kamar rahasia di gedung peristirahatan
Sam-thaihouw!
Di dalam
kamar rahasia itu, sesaat sebelum Sang Pangeran berangkat, Sam-thaihouw
mengadakan pertemuan untuk ke sekian kalinya dengan Toa-ok, yaitu tokoh pertama
dari Im-kan Ngo-ok yang telah menjadi kaki tangannya. Selain Toa-ok di situ hadir
pula empat orang wanita cantik yang bukan lain adalah Su-bi Mo-li yang memang
bekerja sebagai pengawal pribadi Sam-thaihouw dan seperti kita ketahui, Su-bi
Mo-li adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok dan empat orang wanita ini
pernah menculik Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, tetapi usaha mereka itu gagal
karena percampuran tangan Ci Sian.
“Maaf,
Thaihouw, akan tetapi mengapa tidak mengambil jalan yang mudah saja dan
membunuh Pangeran itu?” Dengan sikapnya yang halus, sopan dan ramah Toa-ok berkata
kepada nenek yang berpakaian indah itu.
Itulah
Sam-thaihouw, seorang nenek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun akan
tetapi pakaiannya masih mewah sekali dan mukanya juga dibedaki tebal. Alisnya
sudah habis, akan tetapi sebagai gantinya dibuatlah coretan alis hitam kecil
dan panjang yang melengkung!
Im-kan
Ngo-ok adalah orang-orang yang terkenal sebagai datuk kaum sesat dan tentu saja
Sam-thaihouw tidak sudi berhubungan langsung dengan orang-orang seperti Ji-ok,
Su-ok atau Ngo-ok, maka yang dapat mewakili mereka hanyalah Toa-ok yang sopan
dan halus walau mukanya mengerikan seperti gorila.
Sebetulnya
Sam-ok seoranglah yang pandai bersikap menghadapi orang besar, namun karena
Sam-ok adalah seorang bekas Koksu Nepal, yaitu seorang musuh, maka tidak
leluasalah bagi Sam-ok untuk bergerak di tempat terbuka, apalagi di kota raja.
Karena itu, setiap kali Sam-thaihouw hendak mengadakan perundingan dengan para
pembantunya yang istimewa ini, yang telah banyak sekali menerima emas dan
permata darinya, selalu Toa-ok yang mewakili, di samping empat orang Su-bi Mo-li
yang memang sudah biasa berada di dalam gedung Ibu Suri ini.
“Aihhh,
Lo-enghiong!” Ibu Suri itu selalu menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepada
Toa-ok, seolah-olah kakek itu adalah seorang pendekar yang tengah membantu
‘perjuangannya’. “Enak saja kau bicara! Apakah engkau tidak tahu siapa Pangeran
Kian Liong? Jika engkau melakukan hal itu, tentu engkau akan dimusuhi oleh para
pendekar sedunia, kerajaan menjadi geger dan juga Kaisar tentu akan marah
kepadaku. Tidak, bukan pembunuhan yang kumaksudkan!”
“Akan tetapi
Paduka tadi mengusulkan agar kami menghancurkan Pangeran....“
“Menghancurkan
namanya, kedudukannya, pengaruhnya, tetapi bukan orangnya! Sekali namanya telah
rusak, setelah rakyat melihat bahwa dia adalah seorang pangeran yang melakukan
hal-hal buruk, nah, namanya tentu akan dikutuk dan dicela orang, dan akan lebih
mudahlah untuk memindahkan kedudukan pangeran mahkota kepada yang lain.
Mengertikah engkau akan maksudku?”
Bukan orang
pertama dari Im-kan Ngo-ok namanya kalau rencana keji sekecil itu saja tidak
dimengerti. Dia mengangguk-angguk. “Harap Paduka tenangkan hati. Pekerjaan itu
amat mudah dan sudah pasti kami dapat melakukannya dengan baik. Paduka tunggu
saja, sebelum dia kembali dari Kim-coa-to, Pangeran Kian Liong sudah berubah
dari seorang pangeran yang disanjung dan dipuji menjadi pangeran yang dikutuk
dan dicela, baik oleh rakyat mau pun para pejabat.”
“Bagus,
hadiahmu akan besar sekali, Toa-ok!” kata nenek itu, saking girangnya lupa
menyebut Lo-enghiong, tetapi hal ini malah menggirangkan Toa-ok yang
sesungguhnya tidak suka disebut ‘enghiong-enghiong’-an segala.
“Harap
Paduka tidak melupakan apa yang mendorong Im-kan Ngo-ok suka membantu Paduka
dengan taruhan nyawa,” dia memperingatkan dengan suara halus.
“Ah-he-he-he,
tentu saja kami tidak lupa, Lo-enghiong. Kalau berhasil kelak, dan Kaisar
berada dalam kekuasaan kami, sudah tentu kami akan mengajukan usul agar kalian
berlima diangkat menjadi orang-orang yang berkedudukan tinggi di kota raja!”
Toa-ok
merasa puas dengan janji ini, maka dia pun kemudian mohon diri dan pergi
meninggalkan kamar rahasia itu bersama dengan empat orang muridnya, yaitu Su-bi
Mo-li yang akan membantunya melaksanakan rencana yang akan diatur oleh Im-kan
Ngo-ok sendiri. Karena Sam-thaihouw melarang mereka menggunakan tangan maut
membunuh pangeran, maka harus diambil tindakan yang cerdik untuk menghancurkan
nama baik pangeran itu. Dan melalui kerja sama Im-kan Ngo-ok dengan empat orang
murid mereka yang lihai dan cerdik itu, dibantu pula oleh anak buah mereka,
Toa-ok merasa yakin bahwa rencana itu sudah pasti akan berhasil. Sukses…..
***************
Pangeran
Kian Liong sama sekali tidak pernah mengira bahwa perjalanannya menuju ke
Kim-coa-to itu sebetulnya selalu dibayang-bayangi banyak orang, baik pihak para
pendekar yang diam-diam melindungi mau pun pihak lawan yang mencari kesempatan
untuk menyeretnya ke dalam lumpur.
Oleh karena
itu, dengan wajah berseri gembira, pada hari berikutnya Pangeran Kian Liong
meninggalkan rumah gedung pembesar Tung-king, diantar oleh pembesar itu sampai
keluar pintu gerbang, menunggang kereta dan dikawal oleh Souw Kee An dan dua
puluh orang pengawalnya.
Karena
Pangeran Kian Liong paling tidak suka disanjung-sanjung dan disambut oleh
rakyat di sepanjang perjalanan sebagai seorang pangeran yang harus dihormati,
maka dia pun lalu menutup pintu dan tirai kereta dan duduk sambil bersandar di
bangku kereta. Berbeda kalau dia melakukan perjalanan dengan menyamar sebagai
orang biasa, dia dapat menikmati pemandangan alam dan pergaulan dengan rakyat
tanpa ada yang menyanjung-nyanjung dan menjilat-jilat palsu.
Begitu dia
mengenakan pakaian pangeran, maka pangeran muda ini segera merasakan betapa
kehidupan menjadi berbeda sama sekali. Segala di sekelilingnya menjadi tidak
wajar dan penuh kepalsuan, membuatnya merasa muak. Berbeda kalau dia berpakaian
biasa dan tiada seorang pun tahu bahwa dia pangeran mahkota, maka semua orang
bersikap wajar kepadanya, kalau tersenyum ya senyum setulusnya, kalau tidak
senang ya tidak disembunyi-sembunyikan. Begitu dia menjadi pangeran, semua
wajah baginya seolah-olah menjadi semacam kedok atau boneka.
Setelah
kereta meninggalkan jalan raya yang dilalui banyak orang dan melalui lembah
yang sunyi, barulah pangeran itu membuka jendela dan tirai kereta dan menikmati
keindahan alam di sekelilingnya. Bahkan dia menyuruh kusir memperlambat
jalannya kereta agar dia dapat menikmati pemandangan lebih baik lagi. Akhirnya
rombongan itu tiba di dalam hutan dekat pantai, di lembah muara sungai Huai.
Sebuah hutan yang sunyi dan tenang.
“Aih, sejuk
sekali di sini!” kata pangeran itu lalu membuka semua jendela kereta agar dia
dapat lebih banyak menikmati hawa yang sejuk dengan harum daun-daun segar dan
rumput hijau setelah tadi mereka melalui dataran terbuka yang panas. Matahari
telah naik tinggi dan matahari berada di atas kepala, tetapi karena daun-daun
pohon di hutan itu rimbun sekali, seolah-olah menjadi payung-payung hijau
raksasa yang melindungi pangeran dari sengatan terik matahari siang itu.
Tiba-tiba
terdengar seekor kuda yang berada di depan kiri meringkik, meronta lalu kuda
itu roboh. Semua pengawal sibuk dan terkejut melihat kuda itu roboh karena
dadanya tertancap anak panah secara dalam sekali, mungkin menembus jantungnya.
“Kepung
kereta!”
“Lindungi
Pangeran!” teriak Souw Kee An dan dia cepat mengatur pasukannya untuk mengepung
dan menjaga kereta.
Pangeran itu
duduk tenang-tenang saja tanpa menutupkan jendela-jendela keretanya, menoleh ke
kanan kiri untuk melihat siapa orangnya yang telah memanah mati seekor di
antara empat ekor kuda yang menarik keretanya.
Gerakan
mereka itu bagaikan bayang-bayang setan saja, tidak banyak menimbulkan suara,
tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi. Mereka itu
terdiri dari dua puluhan orang, semua memakai pakaian serba hitam dan kedua
mata serta sebagian atas hidung mereka tertutup kedok hitam pula,
menyembunyikan bentuk wajah asli mereka. Akan tetapi Souw-ciangkun dapat
menduga bahwa beberapa orang di antara mereka adalah wanita-wanita.
Dan seorang
di antara mereka, dengan suara wanita melengking tinggi lalu membentak, “Tinggalkan
kereta dan barang-barang kalau kalian ingin selamat!”
Ini adalah
bentakan biasa yang umumnya dipergunakan oleh para perampok-perampok.
Orang-orang berkedok ini ternyata adalah perampok-perampok, atau mungkin juga
orang-orang yang menyamar, pikir Souw Kee An yang cerdik dan telah
berpengalaman. Maka dia bersikap hati-hati sekali.
“Sobat,
bukalah matamu baik-baik!” teriaknya nyaring. “Kami adalah Pasukan Pengawal
Garuda yang sedang mengiringkan Yang Mulia Pangeran Mahkota! Harap kalian suka
menyingkir dan tidak mengganggu kami yang sedang bertugas!” Teriakan ini
diucapkan oleh Souw-ciangkun bukan karena dia takut menghadapi mereka, hanya
dia tidak ingin terlibat dalam pertempuran selagi mengawal dan menjaga
keselamatan pangeran.
Akan tetapi
wanita berkedok itu berseru nyaring, “Pangeran atau Raja atau siapa saja harus
membayar pajak jalan kalau lewat di sini! Kawan-kawan, hayo tangkap pangeran
itu untuk minta uang tebusan!”
Melihat
lagak para perampok yang dipimpin oleh wanita itu, dan mendengar betapa mereka
hendak menangkap seorang pangeran mahkota untuk meminta uang tebusan, tiba-tiba
pangeran itu tidak dapat menahan ketawanya. Keadaan itu dianggapnya amat
lucunya.
“Ha-ha-ha-ha!
Kalian bukan saja menyaingi pemerintah memungut pajak jalan, bahkan akan
menawan pangeran untuk dijadikan sandera guna memeras uang tebusan. Bukan
main…. ha-ha-ha, bukan main!”
Semua
perampok berkedok sejenak tertegun menyaksikan sikap pangeran itu. Seorang
pangeran muda yang berwajah tampan dan memiliki sepasang mata yang amat tajam
dan penuh wibawa, dengan suara ketawa wajar dan ramah, bukan dibuat-buat,
dengan sikap yang benar-benar mencengangkan. Mereka menduga bahwa tentu
pangeran itu ketakutan, ternyata pangeran itu sama sekali tidak takut bahkan
tertawa geli.
“Serbu....!”
Wanita berkedok itu berteriak nyaring memecahkan keheranan para anggota
perampok dan mereka pun menerjang ke depan, disambut oleh pasukan pengawal yang
sudah turun dari masing-masing kudanya dan menjaga di sekeliling kereta itu.
Para
pengawal ini merupakan pasukan pilihan, masing-masing memiliki ilmu silat yang
cukup tinggi, maka dengan gagah mereka menyambut serbuan para perampok itu,
dengan keyakinan bahwa dalam waktu singkat saja mereka akan mampu membasmi para
perampok itu. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika mereka mendapat
kenyataan bahwa para perampok itu ternyata bukanlah perampok-perampok biasa
karena rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang tangguh dan mampu menandingi
mereka!
Souw Kee An
juga terkejut bukan main ketika dia menandingi wanita berkedok yang memimpin
gerombolan itu. Wanita itu mempergunakan pedangnya secara hebat sekali, sama
sekali tidak pantas menjadi perampok kasar biasa! Memang Souw Kee An sudah
curiga dan menduga bahwa perampok-perampok yang tidak gentar mendengar nama
Pasukan Pengawal Garuda dan berani merampok bahkan hendak menculik pangeran
mahkota tentulah bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar
sebagai perampok biasa! Maka dia pun memutar pedangnya dan melawan wanita
berkedok itu.
Akan tetapi
hatinya mulai gelisah melihat betapa di antara para perampok itu terdapat
wanita-wanita yang amat lihai dan anak buahnya mulai terdesak hebat, bahkan ada
pula yang sudah terluka. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi
mengkhawatirkan keselamatan pangeran mahkota, maka dia pun cepat-cepat
meninggalkan lawan untuk meloncat ke dekat kereta, guna melindungi pangeran
sampai titik darah terakhir kalau perlu.
“Pangeran,
harap sembunyi di dalam kereta, tutup pintu dan jendelanya!” teriak Souw Kee An
sambil memutar pedang melindungi.
Namun
pangeran itu hanya tersenyum dan menonton mereka yang sedang berkelahi,
seolah-olah semua pertempuran itu baginya hanya merupakan perang-perangan saja!
Hal ini bukan sekali-kali menjadi tanda bahwa pangeran itu tolol atau ceroboh,
sama sekali bukan, melainkan karena dia tahu bahwa bersembunyi di dalam kereta
pun tiada gunanya. Kalau memang semestinya dia menghadapi bahaya, atau tewas
sekali pun, biarlah dia menyaksikan terjadinya hal itu dengan mata terbuka! Dan
pangeran ini pun tahu bahwa tidak ada orang yang akan membunuhnya. Tiada
alasannya untuk hal itu. Mungkin mereka itu hanya ingin menawannya, dan mungkin
perampok-perampok gila itu benar-benar hendak menggunakannya sebagai sandera
untuk minta uang tebusan! Betapa lucu dan aneh, juga menarik dan menegangkan
hatinya!
Akan tetapi
kini dua di antara para wanita tangguh itu telah berada dekat kereta dan
mendesak Souw Kee An dan dua orang anak buahnya yang menjaga kereta. Keadaan
menjadl kritis dan berbahaya sekali! Tiba-tiba, setelah menangkis pedang Souw
Kee An dan membuat komandan itu terhuyung, salah seorang di antara
wanita-wanita itu sudah meloncat ke atas kereta dan tangan kirinya bergerak
menyambar hendak menangkap Pangeran Kian Liong.
“Wuuuttt,
plakkk....!”
Tiba-tiba di
atas kereta itu nampak seorang laki-laki tinggi besar bermata satu yang
melayang turun dari pohon dan menangkis tangan wanita itu. Wanita itu terkejut,
akan tetapi pria tinggi besar itu sudah menyerangnya dengan sebatang golok
tipis. Terpaksa wanita itu menangkis dan terjadilah pertandingan yang amat seru
di atas kereta.
Pangeran
Kian Liong dengan mata terbelalak dan wajah berseri menjulurkan kepalanya dari
jendela untuk dapat menyaksikan pertandingan baru di atas keretanya itu. Kereta
itu bergerak-gerak. Sungguh luar biasa sekali pangeran ini. Nyalinya amat besar
dan dia sedikit pun tidak merasa takut, bahkan dalam keadaan yang demikian
mengancam dia masih mampu untuk tersenyum gembira seperti seorang anak kecil
melihat tontonan yang menarik!
Pertempuran
di bawah kereta juga mengalami perubahan dengan munculnya dua orang pria yang
bukan lain adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, yaitu kakak beradik Ciong Tek dan
Ciong Lun yang mengamuk, membantu pasukan pengawal tanpa mengeluarkan kata-kata
apa pun. Mereka berdua menggunakan senjata toya (tongkat) dan memainkan ilmu
toya dari Siauw-lim-pai yang memang terkenal tangguh itu.
Keadaan
pertempuran menjadi berubah dan para anak buah pasukan pengawal kini memperoleh
semangat mereka kembali, mereka mengamuk dan kini mendesak para perampok.
Sedangkan pertempuran antara Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan wanita berkedok
di atas kereta pun berlangsung dengan amat serunya. Ternyata wanita itu memang
tangguh sekali sehingga dia dapat mengimbangi permainan golok dari kakek mata
satu itu.
Hanya
dorongan-dorongan tangan kiri kakek itulah yang membuat wanita berkedok itu
kewalahan, karena memang dari dorongan itu menyambar hawa pukulan yang amat
kuat dan itulah sebabnya maka Si Mata Satu ini diberi julukan Tangan Sakti.
Kini ada beberapa orang perampok yang roboh terluka dan semangat para pengawal
menjadi semakin besar dengan adanya bantuan tiga orang gagah yang tidak mereka
kenal itu.
Selagi
keadaan amat tidak menguntungkan untuk para perampok ini, tiba-tiba muncul
seorang anggota perampok lainnya yang juga berpakaian hitam dan memakai topeng.
Perampok ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Begitu perampok ini muncul,
sekali meloncat dia sudah tiba di tengah-tengah pertempuran itu dan begitu kaki
tangannya bergerak, ada tiga orang pengawal yang terpelanting. Hebat bukan main
kepandaian kakek raksasa ini! Semua pengawal mencoba untuk mengeroyoknya, akan
tetapi siapa yang berani datang mendekat tentu akan terlempar lagi, hanya oleh
tamparan tangan atau tendangan kaki sembarangan saja!
Melihat
betapa hebatnya kakek ini, Ciong Tek dan Ciong Lun kemudian meloncat dan
menyerang kakek itu dari kanan kiri, menggunakan toya yang mereka mainkan
dengan dahsyatnya. Namun, melihat gerakan toya ini, kakek raksasa itu
mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah memandang rendah,
lantas kedua tangannya berusaha menangkap toya. Ketika dua saudara itu menarik
toya agar tidak terampas, kakek itu menampar ke kanan kiri, gerakannya biasa
saja akan tetapi dari tamparannya ini datang angin keras yang hebat. Dua orang
saudara Ciong terkejut dan menangkis dengan hantaman toya sekuatnya. Dua batang
toya bertemu dengan dua buah lengan.
“Dukkkk!
Dukkkk!” Akibatnya, kedua orang saudara Ciong itu terpelanting dan roboh
bergulingan seperti daun kering tertiup angin!
Kini kakek
itu melayang ke atas kereta dan dengan sebuah tendangan saja, Tok-gan Sin-ciang
Liong Bouw yang sedang bertanding dengan serunya melawan perampok wanita, telah
terlempar dari atas kereta karena ketika dia menangkis dengan lengan kiri,
tendangan itu memiliki tenaga yang membuat dia terlempar! Wanita itu sudah
mengejar dan meloncat sambil membacokkan pedangnya.
“Cringgg!”
Untung bagi
Liong Bouw bahwa ketika dia terjatuh tadi, dia berjungkir balik dan tidak
terbanting jatuh telentang, kemudian menggunakan pinggulnya menyentuh tanah,
terus bergulingan sehingga ketika wanita itu menyerangnya, dia mampu
menggerakkan golok menangkis lantas melompat berdiri dan kembali dia menghadapi
serangan wanita itu. Hatinya gelisah sekali karena di pihak musuh muncul orang
tinggi besar itu yang tidak turun lagi dari atas kereta. Mengapa?
Karena
ternyata tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari belakang kereta itu nampak
seorang jembel mendaki sambil tertawa-tawa memandang kepada Si Tinggi Besar
yang menjadi terkejut sekali oleh karena suara ketawa itu mengandung tenaga
khikang yang menggetarkan jantungnya! Tahulah dia bahwa jembel yang rambutnya
awut-awutan dan mukanya brewokan ini mempunyai kepandaian hebat dan tentu saja
hendak membela pangeran. Maka dia pun tidak membuang banyak waktu lagi, cepat
mengirim hantaman dengan tangan kanan dan disusul tangan kiri. Terdengar suara
angin bercuitan saking hebatnya pukulan kedua tangan itu.
“Heh-heh-heh,
hebat juga engkau!” kata Si Jembel itu, mulutnya memuji akan tetapi dia tertawa
saja dan kedua tangannya kemudian menangkis sambil mengerahkan tenaga. Agaknya
Si Jembel ini memang hendak mengukur tenaga orang.
“Desss!
Dessss!”
Akibat dari
adu tangan melalui kedua lengan mereka itu membuat keduanya terkejut karena Si
Jembel itu terhuyung dan nyaris terlempar dari atas kereta, sedangkan Si
Perampok tinggi besar itu pun terjengkang dan hampir jatuh! Kereta itu
berguncang hebat dan Si Kusir Kereta sibuk menenangkan tiga ekor kuda yang
semenjak tadi sudah menjadi panik itu. Akhirnya kusir itu meloncat turun, dan
cepat melepaskan tali yang menghubungkan tiga ekor kuda itu dengan kereta. Tiga
ekor kuda itu meringkik-ringkik, menyepak-nyepak karena mereka dibebani seekor
kuda yang sudah mati. Akan tetapi kereta itu sudah terlepas sekarang dan
berdiri bergoyang-goyang karena di atas kereta itu, Si Jembel dan Si Tinggi
besar sudah bertanding lagi dengan hebatnya!
Si Jembel
itu tentu saja bukan lain adalah Si Jari Maut, sedangkan Si Perampok tinggi
besar itu tentu saja amat lihai karena dia itu adalah Sam-ok alias Ban-hwa
Sengjin, bekas koksu dari Nepal, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok yang amat
lihai! Seperti kita ketahui, setelah memperoleh keterangan tentang Syanti Dewi
dari pelukis Pouw Toan, Wan Tek Hoat lalu melakukan perjalanan siang malam
menuju ke Kim-coa-to dan pada hari itu kebetulan sekali dia tiba di tempat itu
dan melihat betapa pangeran mahkota terancam perampok-perampok.
Tadi, selama
para pengawal masih menang angin, apalagi saat dibantu oleh tiga orang kang-ouw
yang perkasa itu, dia pun hanya nonton saja dari jauh. Akan tetapi ketika
muncul perampok tinggi besar yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tidak
tinggal diam dan cepat dia melindungi pangeran dan naik ke atas kereta untuk
menghadapi perampok tinggi besar yang dia tahu tak dapat ditandingi oleh mereka
yang melindungi pangeran.
Pertandingan
antara Si Jari Maut melawan Sam-ok sungguh hebat sekali, dan harus diakui bahwa
kakek itu memang masih lebih lihai dibandingkan dengan Si Jari Maut. Ban-hwa
Sengjin adalah seorang datuk kaum sesat yang mempunyai ilmu kepandaian amat
hebatnya. Pendeta yang nama aslinya adalah Pendeta Lakshapadma ini, yaitu nama
Nepal, selain memiliki banyak ragam ilmu silat yang pernah dipelajarinya, juga
memiliki sinkang yang sukar ditandingi saking kuatnya.
Dia pun
memiliki ilmu yang disebut Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi). Ilmu ini
dimainkan dengan berpusing, yaitu tubuhnya berputaran seperti gasing amat
cepatnya hingga sukarlah bagi lawan untuk mengarahkan serangan mencari sasaran,
sedangkan dari tubuh yang berpusing itu kadang-kadang mencuat keluar serangan
yang tidak terduga-duga dari orang tinggi besar seperti raksasa itu.
Karena
Sam-ok memakai kedok dan bercampur dengan para perampok, juga karena tidak
berani mengeluarkan ilmunya Thian-te Hong-i yang sudah dikenal dunia kang-ouw
karena dia takut jika ketahuan rahasianya sebagai pimpinan yang menyerang
pangeran mahkota, maka Tek Hoat tidak mengenalnya. Sebaliknya, Sam-ok tadinya
juga tidak mengenal jembel itu, akan tetapi setelah bertanding belasan jurus
dan mengadu tenaga, mulailah dia mengenal Si Jari Maut.
Dia merasa
mendongkol sekali terhadap orang muda ini. Namanya disejajarkan dengan
tokoh-tokoh kaum sesat, bahkan dijuluki Si Jari Maut yang terkenal kejam dan
ganas, tetapi sudah beberapa kali sepak terjangnya malah membantu pemerintah,
membantu para pendekar dan menentang kaum yang dinamakan golongan hltam.
Sekarang, tanpa disangka-sangka, orang ini muncul kembali dan menentangnya
tanpa alasan apa pun juga! Tak mungkin kalau Si Jari Maut ini sekarang menjadi
pelindung pangeran, apalagi kalau dilihat betapa hidupnya sudah rusak, menjadi
jembel yang sama sekali tidak mengurus diri dan jelas nampak sengsara dan
terlantar itu!
Maka Sam-ok
mendongkol bukan main dan terus menyerang dengan hebat. Akan tetapi semua
serangannya mampu ditangkis dan ditolak oleh Tek Hoat dan selama Sam-ok tidak
berani mengeluarkan Thian-te Hong-i, dia pun tidak dapat mendesak Si Jari Maut
ini.
Kembali
kedua tangan mereka bertemu, saling dorong dan keduanya menggunakan kekuatan
pada kedua kaki mereka.
“Krekekkk....!”
Mendadak
atap kereta yang mereka injak itu retak-retak dan pecah, tetapi keduanya dengan
cepat sudah meloncat turun sehingga tidak sampai kejeblos, karena kalau hal ini
terjadi, tentu amat berbahaya bagi mereka selagi menghadapi lawan yang selihai
itu. Hampir saja Pangeran Kian Liong celaka ketika atap kereta pecah itu. Akan
tetapi untungnya komandan pengawal Souw Kee An sudah cepat menyambar tubuhnya
turun dari kereta. Kiranya, ketika terjadi pertempuran antara Sam-ok melawan Si
Jari Maut, pertempuran di bawah kereta banyak yang terhenti dan mereka yang
tadi bertempur kini menonton pertandingan yang amat dahsyat itu.
Sam-ok
bukanlah seorang bodoh. Kalau pertempuran itu dilanjutkan dan menjadi pusat
perhatian, akhirnya orang akan mengenalnya juga. Dan melawan Si Jari Maut itu
tanpa mempergunakan Thian-te Hong-i, sungguh bukan merupakan hal ringan,
sedangkan para pembantunya sudah kewalahan menghadapi pasukan pengawal yang
dibantu oleh tiga orang pendekar itu. Maka dia pun lalu mengeluarkan bunyi
teriakan nyaring sebagai tanda rahasia bagi anak buahnya dan mereka semuanya
lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka atau tewas dalam
pertempuran itu. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi Souw Kee An
yang tidak berani meninggalkan pangeran segera mengeluarkan aba-aba memanggil
mereka kembali.
Setelah
semua orang berkumpul, dan dicari-cari, ternyata tiga orang pendekar yang tadi
membantu mereka kiranya sudah tidak nampak lagi. Mereka mengira bahwa tiga
orang pendekar itu tentu melakukan pengejaran, akan tetapi sesungguhnya mereka
sudah cepat menyingkirkan diri karena memang mereka tidak ingin memperkenalkan
diri dan hanya melindungi pangeran secara sembunyi saja. Hanya jembel yang tadi
bertanding dengan hebatnya melawan perampok tinggi besar yang lihai itu, masih
berada di situ, diam saja dan sikapnya tak acuh. Souw Kee An mengumpulkan
orang-orangnya dan ternyata ada dua orang yang terluka berat sedangkan
selebihnya hanya terluka ringan saja.
Sementara
itu, Pangeran Kian Liong sudah menghampiri Tek Hoat. Sejenak pangeran ini
memandang penuh perhatian dan dia melihat bahwa jembel ini sebetulnya memiliki
wajah yang gagah dan tampan, hanya muka itu tertutup cambang brewok yang tak
terpelihara, juga rambutnya yang panjang awut-awutan itu menutupi sebagian
mukanya. Tubuh jembel itu juga nampak tegap dan membayangkan tenaga tersembunyi
yang hebat. Tahulah dia bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang pendekar
yang hidup mengasingkan diri dan bersembunyi sebagai seorang jembel yang
sengsara. Namun diam-diam pangeran ini merasa heran, mengapa orang yang begini
gagah perkasa membiarkan dirinya begitu menderita dan terlantar.
“Terima
kasih atas pertolonganmu, Taihiap. Bolehkah kami mengenal dan mengetahui namamu
yang terhormat?” Pangeran itu sudah menegur dengan sikap ramah dan halus.
Wan Tek Hoat
mengangkat mukanya memandang dan sejenak mereka saling pandang. Keduanya
terkejut karena kalau pangeran itu menatap sepasang mata yang mencorong penuh
kekuatan, sebaliknya Tek Hoat melihat sepasang mata yang bersinar lembut namun
mengandung wibawa yang membuat setiap orang akan tunduk hatinya. Maka dia pun
cepat menjura dengan hormat.
“Paduka
adalah seorang pangeran yang terhormat dan mengagumkan, sedangkan saya hanyalah
seorang jembel hina yang tidak pantas dikenal oleh Paduka. Selamat tinggal dan
maafkan saya!” Setelah berkata demikian, kembali dia mengangkat kedua tangan
memberi hormat lalu berkelebatlah dia dan lenyap dari tempat itu!
Souw Kee An
yang menyaksikan semua ini, cepat mendekati pangeran dan berkata lirih,
“Pangeran, sungguh Thian telah selalu melindungi Paduka. Orang yang seperti
pengemis tadi tentulah seorang di antara pendekar-pendekar sakti. Kepandaiannya
hebat bukan main.”
Pangeran itu
mengangguk-angguk, lalu menggumam, “Aku kasihan kepadanya....”
Souw Kee An
merasa amat heran, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya karena pangeran
itu seperti bicara pada diri sendiri, maka dia melanjutkan keterangannya, “Dan
perampok-perampok itu jelas bukan perampok biasa. Wanita-wanita bertopeng itu
amat lihai, apalagi perampok yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu,
dia memiliki ilmu yang luar biasa. Syukurlah bahwa Thian masih selalu
melindungi Paduka.”
Namun
pangeran itu tidak kelihatan seperti orang yang baru saja terlepas dari bahaya
maut, tidak menjadi lega dan bersyukur seperti komandan pasukan pengawalnya.
Dia hanya berkata dengan nada suara gembira, “Ah pengalaman yang mengasyikan
sekali tadi itu!”
Kuda yang
mati terpanah itu diganti kuda lain dan biar pun atas kereta itu sudah rusak,
namun kereta itu masih dapat berjalan. Perjalanan dilanjutkan dan lewat tengah
hari mereka tiba di pantal laut. Ternyata tempat itu, pantai laut dekat muara
Sungai Huai, sudah ramai dengan orang-orang yang hendak menyeberang ke
Kim-coa-to. Dan di situ telah tersedia sebuah perahu besar yang indah, perahu
milik majikan Pulau Kim-coa-to yang sengaja dikirim ke situ untuk menyambut
pangeran!
Ouw Yan Hui,
majikan Pulau Kim-coa-to, adalah seorang wanita yang amat kaya-raya. Di pulau
itu sendiri, terutama di dalam gedung yang seperti istana dan amat besar itu,
tidak ada seorang pun laki-laki. Semua pelayannya adalah wanita belaka,
wanita-wanita muda yang cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa
dia tidak mempunyai pembantu-pembantu pria. Mereka itu ada banyak, akan tetapi
mereka adalah yang bekerja di bagian luar, yang mengurus perahu, berjaga di
tepi pulau dan sebagainya. Tanpa seijin Ouw Yan Hui, tidak boleh mereka itu
memasuki gedung, kecuali para penjaga kalau memang ada keperluan penting.
Perahu besar
yang dikirim untuk menjemput Sang Pangeran itu lengkap dengan anak buahnya,
sebuah perahu yang indah dan kokoh kuat. Para anak buahnya berbaris dengan rapi
dan pemimpin mereka menyambut Sang Pangeran dengan hormat dan mempersilakan
Sang Pangeran untuk segera menaiki perahu.
Akan tetapi,
tidak semua pengawal dapat naik ke perahu itu, karena jumlah mereka terlalu
banyak. Maka, hanya Sang Pangeran bersama Souw Kee An dan dua orang pembantunya
yang dapat naik ke perahu itu, sedangkan delapan belas orang pengawal lain,
termasuk yang terluka, terpaksa harus mengikuti perahu itu dengan perahu lain.
Kehadiran
Sang Pangeran di situ menjadi tontonan. Mereka yang juga hendak pergi ke
Kim-coa-to turut menonton pula dan diam-diam di antara mereka itu yang
mempunyai niat mempersunting Sang Puteri di Kim-coa-to menjadi kecil hatinya
melihat kehadiran pangeran mahkota. Mana mungkin mereka bersaing melawan
pangeran mahkota dari kerajaan? Perbandingan yang tidak adil sama sekali….
Setelah
perahu besar indah itu bergerak dan mulai berlayar, maka perahu-perahu lain
juga mulai meninggalkan pantai dan beberapa buah perahu di antara mereka
sengaja berlayar dekat-dekat dengan perahu besar itu, agaknya untuk membonceng
kebesaran Sang Pangeran. Ada pula beberapa perahu layar kecil, yaitu
perahu-perahu nelayan biasa yang berlayar untuk mencari ikan dan tidak ada
sangkut-pautnya sama sekali dengan keramaian pesta yang diadakan di Pulau Kim-coa-to.
Setelah
perahu berlayar, hati Komandan Souw Kee An merasa lega sekali. Setidaknya,
pangeran yang dikawalnya sudah aman sekarang sampai tiba di pulau itu. Akan
tetapi, kalau sudah tiba di pulau itu berarti pihak majikan pulau yang
bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dan mengingat akan kelihaian pemilik
pulau yang berjuluk Bu-eng-kwi itu, dan betapa tentu akan banyak berkumpul
orang-orang pandai, kiranya tidak akan ada yang berani mengganggu pangeran di
pulau itu. Sekarang Souw Kee An dapat duduk dengan hati lega, melihat betapa
pangeran itu memandang ke arah air laut yang bergelombang dan berkilauan
tertimpa sinar matahari yang sudah agar miring ke barat.
Dia melihat
ada dua buah perahu nelayan terlalu mendekati perahu besar akan tetapi tidak terjadi
sesuatu yang mencurigakan. Tiba-tiba saja, terdengar teriakan-teriakan di dalam
perahu dan perahu besar itu mulai oleng! Kiranya ada air masuk dari dasar
perahu yang tiba-tiba saja bocor!
“Ada orang
melubangi dasar perahu!” terdengar para anak buah perahu berteriak-teriak dan
sibuklah mereka.
Perahu itu
terguncang dan oleng, dan pada saat itu, dari perahu-perahu nelayan tadi
berloncatanlah ke atas perahu besar itu orang-orang berpakaian ringkas dengan
muka bertopeng lagi! Tentu saja Souw Kee An cepat-cepat menyambut dan dengan
sebuah tendangan kilat dia menjatuhkan seorang di antara mereka kembali ke
bawah perahu, ke dalam air. Akan tetapi anak buah perahu besar itu bukanlah
lawan orang-orang yang berloncatan ke atas perahu.
“Hai, apa
yang kau lakukan ini? Lepaskan aku!” terdengar Sang Pangeran membentak.
Souw Kee An
menoleh dan kaget melihat Sang Pangeran sudah diringkus oleh seorang bertopeng.
Dia meloncat untuk menolong, akan tetapi perahunya miring tiba-tiba dan dia pun
terguling, untung ke dalam perahu, tidak keluar! Dan pada saat itu, pangeran
sudah dibawa loncat oleh penangkapnya tadi ke atas perahu nelayan kecil itu.
Lalu terdengar suitan-suitan dan semua orang bertopeng berloncatan ke atas dua
perahu nelayan kecil itu yang segera di dayung pergi dan terbawa oleh layar
mereka yang berkembang.
“Kejar....!”
Souw Kee An meloncat ke arah perahu yang ditumpangi oleh anak buahnya yang tadi
hanya menonton dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Loncatan
yang barusan dilakukan oleh Souw Kee An adalah loncatan yang jauh dan
berbahaya, oleh karena kurang jauh semeter saja dia tentu akan terjatuh ke air
yang bergelombang. Juga anak buah perahu besar sudah cepat dapat menggunakan
alat untuk membuang semua air yang masuk ke dalam perahu dan menambal dasar
perahu yang bocor, dan ternyata dibor dari bawah perahu itu.
Akan tetapi
pada saat itu, para penjahat yang menculik pangeran itu melepaskan anak panah
berapi ke arah perahu yang ditumpangi para pengawal yang mengejar dua perahu
nelayan, juga layar dari perahu besar menjadi sasaran. Dalam beberapa menit
saja layar-layar itu terbakar dan perahunya tentu saja tidak dapat maju cepat
kalau hanya dengan kekuatan dayung pada saat air berombak besar seperti itu.
Souw Kee An membanting-banting kakinya melihat betapa dua perahu nelayan kecil
itu dengan cepatnya berlayar kembali ke daratan, membawa pangeran yang
dikawalnya.
“Celaka,
hayo lekas kembali ke darat!” bentaknya berkali-kali dan dia sendiri ikut bantu
mendayung. Peristiwa ini menggegerkan keadaan di situ. Bahkan perahu-perahu
lain menjadi ketakutan, ada yang melanjutkan perjalanannya ke Kim-coa-to, ada
pula yang ikut kembali ke darat!
Dua buah
perahu nelayan kecil itu dapat berlayar amat cepatnya, sedangkan perahu-perahu
lainnya hanya maju perlahan-lahan. Ada dua perahu layar lain yang mencoba
mengejar, tetapi mereka ini pun dilumpuhkan oleh anak panah berapi yang mambakar
layar mereka.
Setelah tiba
di daratan, Souw Kee An yang wajahnya menjadi pucat itu hanya dapat menemukan
dua perahu nelayan tadi sedangkan semua penjahat itu lenyap, membawa pangeran
bersama mereka. Dapat dibayangkan betapa bingung hati Souw Kee An. Dia cepat
mengatur pasukannya untuk mencari-cari Sang Pangeran, bahkan dia kemudian
mengutus seorang anak buah untuk minta bantuan pasukan dari kepala daerah di
kota Tung-king untuk membantu mencari pangeran yang terculik orang. Betapa pun
dia hendak merahasiakan lenyapnya pangeran yang terculik ini, namun karena
peristiwa itu disaksikan oleh banyak orang luar, sebentar saja berita itu
tersiar ke mana-mana dan tentu saja sekeliling daerah Tung-ting menjadi gempar.
***************
Biar pun dia
tidak ditotok dan tidak dibelenggu, dan dilarikan naik kuda, Pangeran Kian
Liong tak pernah berteriak minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak pernah
merasa takut. Ketika dia dilarikan dibawa loncat ke dalam perahu nelayan, dia
kagum sekali melihat keringanan tubuh orang yang menangkapnya itu. Dan dia pun
amat kagum melihat betapa orang-orang berkedok itu dengan cerdiknya membakar
layar-layar dari perahu yang mengejar.
“Kalian
sungguh cerdik!” dia malah memuji dan diam-diam dia mencatat ini sebagai akal
yang baik sekali dipergunakan dalam perang lautan, sungguh pun anak panah
berapi itu tentu saja belum dapat disamakan dengan meriam-meriam kapal-kapal
asing dari dunia barat. Dia tertarik sekali menyaksikan kejar-kejaran itu dan
dia tidak pernah membantah ketika dia dibawa mendarat, kemudian pelarian itu
dilanjutkan dengan naik kuda. Dia bahkan tidak mau dibonceng.
“Biarkan aku
menunggang kuda sendiri!” katanya.
Para
penculik itu pun tidak membantahnya, memberinya seekor kuda dan pangeran itu
meloncat ke atas punggung kuda dan segera ikut pula membalapkan kuda dengan
hati gembira. Dia benar-benar mengalami peristiwa yang amat menegangkan
hatinya, sebab belum pernah dia merasakan diculik orang! Dan dia sama sekali
tidak merasa takut, bahkan dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin dibunuh.
Penjahat-penjahat
ini tidak akan membunuhnya, karena kalau itu tujuan mereka, tidak mungkin
diculik dengan segala susah payah itu. Alangkah akan mudahnya membunuh dia di
perahu tadi! Kalau para penjahat itu dengan segala jerih payah menculiknya, hal
itu berarti bahwa mereka membutuhkan dirinya hidup-hidup! Inilah yang membuat
dia bersikap tenang-tenang saja, bahkan ikut membalapkan kuda seolah-olah
membantu atau memperlancar usaha mereka membawanya lari.
Yang
melarikan pangeran itu adalah lima orang laki-laki yang kini berani membuka
kedok mereka, bahkan mereka semua berganti pakaian, tidak berpakaian hitam lagi
melainkan berpakaian sebagai orang-orang biasa. Mereka berwajah biasa saja, dan
Pangeran Kian Liong tidak mengenal mereka.
Akan tetapi
orang yang bermata juling, yang menjadi pimpinan dari kelompok yang yang
bertugas melarikan pangeran itu, berkata dengan suara hormat akan tetapi
mengandung ancaman yang sungguh-sungguh, “Pangeran, kami hanya melakukan tugas
saja untuk membawa Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami harus sampai ke sana
besok pagi-pagi. Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak membantah, tentu kami
pun tidak akan berbuat keluar dari apa yang ditugaskan kepada kami. Akan
tetapi, kalau Paduka di tengah jalan berteriak dan mengaku pangeran, tentu kami
tidak akan segan-segan membunuh Paduka guna menyelamatkan diri kami sendiri.”
Pangeran
Kian Liong tersenyum dan mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu dan pula,
perlu apa dia berteriak-teriak minta tolong seperti wanita cengeng? Dia
diam-diam juga memuji cara mereka ini melarikannya, karena rombongan yang
tadinya berjumlah belasan orang itu dibagi-bagi. Rombongannya membawanya ke
utara sedangkan ada kelompok-kelompok lain yang melarikan diri berkuda dan ke
segala jurusan dengan meninggalkan bekas yang jelas di atas tanah. Tentu untuk
menyesatkan para pengejar. Sungguh cerdik. Dia pun menurut saja ketika dia
diberi pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa, sedangkan pakaiannya yang
mewah itu diminta oleh Si Mata Juling.
Malam itu
mereka terus melakukan perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang-kadang kalau
jalannya sukar dan gelap, perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Pada keesokan
harinya, dalam keadaan yang cukup lelah akan tetapi tidak melenyapkan
semangatnya yang masih gembira mengikuti perkembangan pengalamannya ini,
Pangeran Kian Liong dan para penculiknya itu tiba di sebuah dusun di kaki
sebuah bukit. Dusun ini cukup besar dan tidak ada seorang pun di antara
penghuni dusun yang dapat menduga bahwa di antara keenam penunggang kuda itu,
yang termuda dan tampan, adalah pangeran mahkota! Dengan berpakaian seperti
ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan senang hatinya, sungguh pun saat ini
dia tidak sedang melakukan perjalanan sendirian dengan bebas, melainkan sebagai
seorang tawanan.
Rombongan
itu memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan di tempat itu telah menanti
Su-bi Mo-li dan dua orang di antara Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok! Sang
Pangeran disambut oleh dua orang wanita cantik yang bersikap manis. Mereka
memberi hormat dan menggandeng tangan pangeran itu ke dalam sebuah kamar di
mana Sang Pangeran dilayani, disediakan air hangat untuk mencuci muka dan
badan, diberi pakaian pengganti dan disuguhi makanan dan minuman.
Pangeran
Kian Liong tidak menolak semua ini, dia mandi, berganti pakaian, makan dan
minum, lalu beristirahat sampai tertidur. Akan tetapi ketika dia terbangun, dia
terkejut sekali melihat dirinya sedang dikelilingi tujuh orang gadis-gadis muda
yang cantik-cantik, dengan pakaian dalam yang sangat tipis sehingga nampak
jelas tubuh mereka yang menggairahkan membayang di balik pakaian tipis itu.
Mereka itu bersikap manis dan mulai merayunya, memijatinya dan mengeluarkan
kerling mata, senyum, bisikan-bisikan yang memikat dan mencumbu.
Akan tetapi
Pangeran Kian Liong mendorong wanita yang terdekat dan dia bangkit duduk
kemudian berteriak, “Apa artinya semua ini? Aku tak membutuhkan
perempuan-perempuan ini! Hayo kalian pergi dari sini!”
Tujuh orang
wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapa pun
juga, selain mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang
mata dan suara pangeran itu amat berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu,
mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh lemah gemulai dan berbau
minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak, “Kalau
tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!”
Akhirnya
tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, hanya meninggalkan
bau harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang
memimpin pelarian semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu.
“Hei, Mata
Juling!” Pangeran Kian Liong menegur, “Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan
itu menggodaku?” bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara,
akan tetapi lalu menjura dengan hormat.
“Harap
Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka
tidak mau menerima kebaikan dari kami.”
“Hemm, jadi
menyuguhkan wanita-wanita itu kau anggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan
yang biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa
maksud kalian dengan susah-payah menculik dan membawaku ke sini? Apakah benar
seperti yang dikatakan para perampok teman-temanmu di hutan itu bahwa tujuan
kalian hendak minta uang tebusan?”
“Maaf....
kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja
menanti di kamar ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak
terpaksa sekali, harap Paduka tenang.” Si Mata Juling itu mundur dan tidak lama
kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman.
Jengkel juga
hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka
lakukan terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar
ini, dan dicoba untuk digoda oleh wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa
penasaran sekali. Mengapa mereka masih menyembunyikan kehendak mereka yang
sebenarnya?
Dia tidak
khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, dan
tidak akan tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah sering kali
dia diselamatkan oleh orang-orang pandai. Diam-diam dia teringat kepada
pengemis sakti itu dan mengharapkan pula agar pengemis itu yang akan
menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang
dia tahu adalah seorang manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat
itu. Karena kejengkelannya itu, maka ketika datang makanan dan minuman, dia
lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak tahu bahwa arak itu telah
dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan
pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan!
“Nah, inilah
satu-satunya cara!” kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar
itu bersama Ngo-ok dan Si Mata Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di
rumah pelacuran. Kita suruh pelacur-pelacur itu melayaninya, menelanjanginya
dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan pangeran mereka
mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!” Su-ok tertawa-tawa
dan berkata kepada Ngo-ok, “Ngo-te, kau bawa dia. Akan tetapi biarkan dia
berjalan seperti orang mabok dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran.
Apakah di sana sudah siap?” tanyanya kepada Si Mata Juling.
“Sudah,
tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana,” jawab Si Mata Juling.
Su-ok
tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah susah payah membawa tujuh orang
pelacur kota yang termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat
tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh
akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok, dan
membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian
membiarkan orang-orang penting melihat serta ‘menangkap basah’ pangeran itu
sebagai seorang pemabok dan pemuda hidung belang yang suka bermain-main dengan
para pelacur! Sungguh hal ini merupakan siasat yang amat keji, yang sudah
diatur oleh Im-kan Ngo-ok.
Demikianlah,
dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong
digandeng, setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, lalu
diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke daerah pelacuran yang terkenal di dusun
itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir yang sering dikunjungi
kaum hidung belang dari kota-kota di sekitarnya!
Akan tetapi
mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, “Manusia-manusia jahat, lepaskan
Pangeran!”
Si Mata
Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain
adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah
menolong pangeran dari perampokan di dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah
pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam hutan, tiga orang
pendekar ini kemudian menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka
mengintai ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan
merasa lega.
Ketika
mereka sedang mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu,
mereka melihat Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka
mencoba mengejar, namun karena yang dikejar itu menunggang kuda semalam suntuk,
maka mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan harinya mereka menemukan
jejak mereka memasuki dusun itu. Ketika melihat Pangeran digandeng oleh banyak
orang di tengah jalan raya di dusun itu, dan pakaiannya sudah berganti pakaian
biasa, mereka menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi
diri sendiri.
Si Mata
Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi
mereka berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok
menjadi marah dan dengan kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi
mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang Su-bi Mo-li yang juga muncul
segera berkata, “Ngo-suhu dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami
berempat yang menghajar tikus-tikus ini!”
“Hayolah,
Ngo-sute, jangan mencampuri!” kata Su-ok dan dia pun lalu menggandeng tangan
Pangeran dan menariknya pergi.
“Ehh,
ehhh.... hemm, biarkan aku menonton pertandingan ini....,” Sang Pangeran yang
setengah mabok itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus
menariknya berjalan maju.
Sementara
itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal
gerakan pedang dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara
wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.
“Ah, kiranya
kalian yang menjadi perampok!” bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang
wanita baju kuning yang tadi bicara, tetapi hatinya penuh penasaran serta
gelisah melihat Pangeran dibawa pergi, padahal kini dia dapat menduga siapa
adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu.
Meski dia
belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, tetapi nama besar datuk-datuk kaum
sesat itu pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita
cantik ini menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua
orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar demikian, sungguh berbahayalah
keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi,
kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan
A-kiauw yang berbaju merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Mata Satu
ini sudah terdesak dengan hebat.
Sementara
itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain,
yaitu A-bwee yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau. Empat orang wanita
ini adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu
kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai pertengahan
itu tidak mampu menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua
puluh jurus kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun
terkena tusukan pada pundak kanannya sehingga berdarah.
Tahu bahwa
dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak
keras dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah
mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari
mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh dua orang kakek itu. Bagaimana
pun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun orang
yang menawan Pangeran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita
itu.
Untung
baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok
dan Ngo-ok, berjalan terhuyung-huyung bagaikan orang mabok dengan Su-ok sengaja
tertawa-tawa untuk memberi kesan bahwa pemuda yang digandeng memang sedang
benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolah-olah tidak peduli kepada Liong
Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak kanan
bercucuran darah.
“Heii,
berhenti! Lepaskan dia!” bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk
dari belakang.
Akan tetapi
Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan
memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi,
kakinya yang menyepak seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw.
“Dess....!”
Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli
akan pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua
batang pedang dari dua orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar
lagi ke depan.
Pada saat
itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat
rombongan yang terdiri dari seorang pria setengah tua yang kelihatan gagah
perkasa dan tampan bersama beberapa orang wanita yang cantik-cantik, dia dapat
menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu datang dari
kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda
di depan itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring,
“Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang ditangkap penjahat itu!”
Pada saat
itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan
mengelak sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan
biar pun dia sudah mengelak, tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh
dengan paha terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si Baju Kuning menggerakkan
pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi
tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai
tasbeh.
“Cringgg....!”
Pedang di
tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga
orang adiknya cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu adalah seorang
wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian seperti nikouw tetapi
kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang tasbeh yang terbuat
dari gading.
“Omitohud,
di tengah hari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!”
Su-bi Mo-li
segera memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang laki-laki setengah
tua, tiga orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang
wanita yang lain dan gadis itu datang menghampiri, sedangkan laki-laki setengah
tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang
aneh.
A-hui marah sekali.
“Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini
atau mampus di ujung pedangku!”
Nikouw itu
tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih. “Amithaba, kalau engkau
dapat membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di
ujung pedang!”
A-hui
berteriak nyaring dan menyerang. Nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil
tersenyum dan terdengar pria setengah tua itu berkata, “Hati-hati, sebagai
nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!” Ucapan ini seperti kelakar saja dan
nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya.
A-kiauw yang
berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua
yang kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya
putih kemerahan agak gelap sudah menghadang dengan pedang terhunus.
“Main
keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kau lawanlah aku, Iblis
betina!” wanita itu memaki sembarangan saja, namun hal ini sangat menusuk
perasaan A-kiauw oleh karena memang mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat
Iblis Betina Cantik).
“Mampuslah!”
dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu.
Melihat
betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera
melompat ke depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah
menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil mengerling ke arah Su-ok dan
Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu. Dan
dengan alis berkerut, dia berkata, “Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di
sini!”
Su-ok dan
Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka
tidak mengenal wanita itu. “Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di
Lembah Suling Emas?”
Wajah Su-ok
dan Ngo-ok berubah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka
teringat. Itulah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, Toaso dari keluarga Lembah
Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak
mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak
nampak keluarga Cu yang sakti di situ.
Ada pun
A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita
cantik yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak
memperingatkan dua orang murid itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu sudah
menggerakkan kaki tangannya dan nampak dua batang pedang terlempar disusul
terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak
mereka.
Baru saja
A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui
bersama A-kiauw juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh. Mereka juga
roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal
ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw itu bukan lain adalah
Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu adalah Nandini, bekas
panglima perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi
isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai maka wanita ini
dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih dahulu!
Si Mata
Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang
bukan lain adalah Bu Siok Lan. Namun melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan
demikian mudahnya, Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah membalikkan
tubuh dan mengambil langkah seribu!
Kini tinggal
Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang
murid mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu,
maka tentu saja dua orang datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun
Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang tersenyum itu amat
mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut.
“Siapakah
engkau?” Tanya Ngo-ok tanpa melepas pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan
Su-ok juga tetap memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu.
Pria itu
tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. Walau pun dia pernah menjadi seorang
pendekar yang namanya menjulang tinggi di dunia barat sana, akan tetapi karena
belum pernah bertemu atau bentrok dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek
itu tidak mengenalnya.
“Siapa
adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian
pegang itu,” kata Bu-taihiap dengan suara tenang.
Su-ok
tertawa. Dia lebih tenang dari pada saudaranya. “Ehhh, Sobat, tahukah engkau
siapa dia ini?”
Bu-taihiap
menggeleng kepala. “Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh
karena itu, harap kalian sudi melepaskan dia.”
Tok-gan
Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan
heran melihat betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang
memiliki kepandaian hebat luar biasa, demikian hebatnya sehingga empat orang
wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa gebrakan saja oleh
wanita-wanita itu!
Dan dia kini
memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana,
berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok
seperti yang dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun
belum pernah mendengar tentang Lembah Suling Emas, maka sekarang dia tak berani
sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh harapan bahwa pangeran akan
dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran masih
berada di tangan dua orang kakek iblis itu!
Su-ok adalah
seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang
lain, karena untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan
memang sebetulnya mereka berdua pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan
Pangeran saja. Akan tetapi tak mereka kira bahwa di sini akan muncul Cui-beng
Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini.
Tiga orang
wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di
mana kelihaiannya, tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh
dipandang ringan. Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia
sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut, hanya dia harus bersikap
cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan
ini merupakan modal yang baik sekali!
“He, sobat,
engkau tak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya
engkau mengenal dulu siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!”
Tentu saja
Bu-taihiap terkejut bukan main, tetapi sedikit pun tidak nampak perubahan pada
wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. “Sudah kukatakan, siapa pun
adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia.”
“Kalau kami
tidak mau melepaskan dia?” tanya Su-ok juga tersenyum.
Bu-taihiap
tertawa. “Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat.”
“Ha, sobat,
bagaimana jadinya kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan
rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran
Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini menggunakan gertakan.
Sementara
itu, Pangeran Kian Liong memang telah dilolohi arak yang mengandung obat
pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti
seluruh percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. “Hidup atau mati,
hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa
bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! Heiii, kau hwesio cebol
dan tosu jangkung, apa kau kira hidup lebih enak dari pada mati? Kalau kalian
membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan
tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum
lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum
siksa. Ha-ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!”
Bu-taihiap
tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan
menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani
dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat diucapkan
di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan
yang luar blasa.
“Ha-ha-ha,
kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah sebaiknya kita
menggunakan dia sebagai taruhan?” kata Bu-taihiap.
“Taruhan?”
Sekarang Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari
‘atas’ dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah
Si Jangkung itu.
“Ya, mari
kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang
minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian
berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau
kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian?”
Ucapan itu,
terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya
miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang
berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah jelas mengatakan
bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok?
“Hemmm,
kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga
kepalamu!” kata Ngo-ok marah.
“Ha-ha-ha,
boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun sudah tidak bisa lagi mempertahankan
kepalaku. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan
aku tidak butuh kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu
saja, Jangkung!”
Sementara
itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap
tenang, demikian pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin
benar akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka hanya memandang dengan penuh
perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka bukan tandingan
rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh dan dengan hati gelisah. Bukan
hanya rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota,
bahkan agaknya usaha mereka juga mengalami kegagalan setelah bertemu dengan
rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka akan muncul ini.
Su-ok dan
Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga
bahwa tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi
tanda kepada Ngo-ok sambil berkata, “Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang
menantang. Marilah kita layani dia.”
Mereka
kemudian mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh
di depan mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan
membunuh Sang Pangeran atau tidak. Menghadapi orang yang tidak mempedulikan
Sang Pangeran sama sekali, maka tiada gunanya untuk mengancam dan menjadikan
pangeran itu sebagai sandera.
Dan memang
mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh
Sang Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di
hati mereka dan mereka tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran,
hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan saja bagi mereka yang takkan lagi
dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan tersiksa
hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir, dengan harapan
akan mampu menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan bisa melanjutkan
siasat mereka merusak nama baik pangeran.
Tentu saja
Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum
sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biar pun pada lahirnya dia nampak
tenang dan tersenyum-senyum saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak
memandang rendah dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kini melihat dua orang
itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat-cepat dia melangkah
maju menghampiri dua orang lawannya. “Nah, kalian mulailah!” tantangnya sambil
tersenyum.
Melihat
sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah.
Biasanya lawan yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat
berhati hati, tidak seperti orang ini yang begini memandang rendah sambil
tersenyum-senyum saja.
“Kami tidak
pernah membunuh orang tanpa nama,” medadak Su-ok berkata untuk membalas
pandangan ringan itu. “Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka
menyembunyikan nama, katakan siapa engkau agar kami tahu siapa yang akan kami
habisi nyawanya!”
Bu-taihiap
tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa
itu. “Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga
ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung
kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang
akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan
namaku, sampai lupa. Hanya she-ku saja yang masih kuingat. Aku she Bu.”
Nama ini
saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan dari barat, maka
siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia
barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu?
“Jadi engkau
ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha,
kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar
garuda!”
Bu-taihiap
merasa disindir. Permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka
itu agaknya telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya
dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa
dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.
“Bagus, kau
sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?” bentaknya dan
sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi.
Dua orang
lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.
Karena
maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka
begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu
Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan
dua tangannya mendorong dari bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar
diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan
yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang
kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya
saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau
sampai terkena hantaman telapak tangan itu!
Biar pun
Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal
keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga-duga bahwa pukulan yang mendatangkan
angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap
waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah
berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain
jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya
dari atas!
Kembali
Bu-taihiap mengelak dengan sigap sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan
ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada
dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang
membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.
“Ha-ha-ha,
kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi
semakin pendek mau merubah diri menjadi katak, dan yang jangkung berjungkir
balik seolah-olah masih kurang jangkung.... heeiiitt.... bahaya, tapi luput!”
Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah.
Tadi dia
mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala
Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin
menyambar dahsyat. Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai
karena kalau pukulan tadi tepat mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar
bagi dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil
bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan
menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari
atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga telah mengirim serangan
bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!
Bu-taihiap
cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, tetapi sudah berbeda dari
aslinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, namun juga tak sama. Ilmu silat ini
adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu
silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan
terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat
dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal.
Namun harus
diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan
gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang
baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sinkang
yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak
Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu
seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.
Selama dua
puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan
sifat-stfat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia betul-betul mengenal,
Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata
sambil tertawa, “Apakah kalian hendak terus melawak di sini?”
Melihat
lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga
girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak
dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada
lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya itu sama sekali
tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan
itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram
tengkuk Su-ok!
Su-ok merasa
girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka
itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan
suara.
“Kekkk!” dan
tengkuknya sudah dicekik kuat.
Karena
tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan sekarang
tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biar pun kedua
tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan
agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua
tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main
seolah-olah tulang lehernya akan patah!
Pada saat
itu Ngo-ok sudah menerjang dengan dua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke
arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala
Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali
melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru
meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.
“Heii,
hati-hati....!” Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.
“Heii, apa
ini....?” Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk
menahan tubuh di atas tanah sedangkan dua lengannya yang panjang sudah bergerak
menyambut tubuh kawannya.
“Plakkk!”
Kedua tangannya seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok,
akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang
dipeluknya.
“Brukkk....!”
Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang
langgang dan tumpang tindih.
Kiranya saat
Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah
ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia
melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak
berdaya karena dia ‘berdiri’ di atas kepala saja. Akibatnya, tubuh kedua orang
itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tindih seperti itu.
Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka
melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa.
“Wah, kalian
masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh
tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena
memang cukup lucu!”
“Bedebah!”
bentak Su-ok.
“Keparat
sombong!” Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih
ganas dari pada tadi.
Bu-taihiap
sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan
kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba
Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah!
Tentu saja
kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini? Lawan mereka duduk
bersila. Mana ada orang berkelahi dengan cara duduk bersila seperti arca? Akan
tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini
seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk
membunuhnya.
Dan tentu
saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar
pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, oleh karena ilmu ini
dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, lantas dipukulkan ke arah
atas, barulah terdapat tenaga mukjijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk
bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah.
Demikian
pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya
berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati
kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan
berdiri di atas kedua kaki seperti biasa.
Tanpa
berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari
kiri. Mereka merasa yakin bahwa biar pun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka
yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila
itu.
Mereka sama
sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh,
di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai)
ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan
tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu
bersila dengan dua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan
tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak
dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga
yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari
tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang bagaimana
tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan
binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya.
Bu-taihiap
juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan
Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat
lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan
akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini.
Ketika kedua
orang lawannya itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan
maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya
yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang
ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat. Dari perutnya
keluar bunyi dan melalui mulutnya dia mengeluarkan suara melengking.
“Hiiaaaattt....!”
Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang
lawannya.
“Dessss!
Dessss!”
Akibatnya
hebat luar biasa. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa
seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan
biar pun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat
itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang serta terlempar sampai lima
meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut
mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah
dalam tubuh mereka!
Sekarang
tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah
memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata,
“Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!”
Dan dia
bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi
Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap
hari itu sebagai hari sial karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap
yang demikian lihainya!
“Ha-ha-ha,
bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!” Pangeran Kian Liong bertepuk tangan
dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah
sadar.
Melihat ini,
Bu-taihiap segera menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit
kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu
untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi
kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap lalu merangkulnya dan membantunya duduk
di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh
menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya
dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya
tadi, Sang Pangeran segera menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran
ketika melihat seorang pria setengah tua sedang membersihkan bibir dan dagunya
dengan sapu tangan.
“Paduka
sudah pulih kembali sekarang, Pangeran.”
Pangeran
Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat
orang wanita itu dan mengerutkan alisnya. “Ahh, apa yang terjadi? Bukankah tadi
terjadi pibu di sini? Mana mereka yang telah menculikku tadi?”
“Mereka
telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat.”
Sang
Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. “Benar, kulihat engkau mengalahkan dua
orang tinggi dan pendek itu. Aihhh, engkau hebat sekali, dan mereka ini....
adalah wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini?”
Bu-taihiap
menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula
Siok Lan. “Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari
bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan semua mereka ini adalah
keluarga hamba....“ Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan
juga. “Mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba.” Dia
lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan
dan tiga orang wanita itu memberi hormat.
“Hebat,
sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat
yang tangguh....“ Sang Pangeran memuji.
Pada saat
itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An
sendiri. Ketika melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan
pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri
berlutut. “Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka,
akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat.”
Pangeran
Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan
itu untuk bangun. “Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih,
maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena
mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!”
Souw Kee An
terkejut sekali dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia
bangkit menjura kepada Bu Seng Kin. “Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima
kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang sudah menyelamatkan Sang
Pangeran.”
Souw Kee An
mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan
itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, oleh karena kalau
pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia
sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung
jawab atas keselamatan Sang Pangeran.
Akan tetapi
Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, lalu
Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong, “Pangeran, hamba kira sangat
tepat ucapan Souw-ciangkun ini, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada
Thian saja. Betapa pun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin
hamba dapat menyelamatkan Paduka.”
Sang
Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya lalu mempersilakan
Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di
pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk
beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang
cukup mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak
berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tak dapat
menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke
pantai laut tempat penyeberangan ke Pulau Kim-coa-to.
Ucapan dari
Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam
segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal
ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini
menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu
yang Maha Kuasa.
Manusia
agaknya merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki otak yang mampu
dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam dari pada apa
yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan
yang luar biasa.
Dengan
kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan,
keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tak dapat terjangkau
oleh alam pikirannya. Kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan,
bintang-bintang, dan dunia, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik
yang bergerak mau pun yang tidak.
Manusia
dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ada sesuatu yang
lebih berkuasa dari pada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidupnya, atas
segala benda.
Inilah
agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam
sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi
kepercayaan turun-temurun, menjadi agama.
Yang Sesuatu
itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai
nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau pun tradisi
atau agama masing-masing.
Sebutan
Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi,
apakah artinya ber-Tuhan itu? Apakah kalau kita sudah selalu mempersiapkan di
bibir sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah mengaku bahwa kita percaya,
lalu kita sudah boleh ber-Tuhan?
Nama dan
sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas bukan
yang dinamakan atau disebutkan itu. Akan tetapi pada kenyataannya, kita lebih
mementingkan nama dan sebutan ini! Kita selalu lebih mementingkan gerak bibir
yang menyebut atau menamakan itu.
Oleh karena
itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari
pengakuan bibirnya. Kita agungkan sebutannya belaka hingga untuk mempertahankan
itu, kalau perlu kita saling serang, saling bunuh! Sebutannya itu telah menjadi
terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-Aku.
Tuhan-Ku!
Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ
unsur AKU yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada
si-Aku, mengikat si-Aku, maka dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan
orang lain sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-Ku, keluarga orang lain
masa bodoh. Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain sesukamulah! Dan
demikian selanjutnya.
Mengapa kita
terkecoh dan terbuai oleh sebutan? Apakah bukti iman itu terletak pada bibir
dan lidah? Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga
semudah itu pula kita melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan
itu! Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat kepada sebutan itu saja,
yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan
sebagainya.
Sebaliknya,
dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu
sama sekali. Baru setelah terjadi akibat dari pada mengejar kesenangan itu yang
menyusahkan kita, kita menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu. Kenapa
demikian? Mengapa begitu mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan?
Dengan dada
penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri
sendiri, mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan? Tanpa adanya cinta kasih di
dalam batin setelah semua kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia
yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata yang seluas-luasnya?
Tanpa adanya
cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan merupakan pementingan
diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata
sebenarnya, yaitu manusia yang berperi kemanusiaan?
Manusia
ber-Tuhan, berperi kemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang
manusia yang ber-Tuhan sudah pasti berperi kemanusiaan, dalam arti kata,
hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya
sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan dan
sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang
ingin senang. Jadi dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak
mungkinlah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan, dalam arti kata
yang sesungguh-sungguhnya.
Kalau pun
mulut mengaku ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan, maka itu hanya ucapan si-Aku,
dan tentu dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau
kesenangan si-Aku itu pula. Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini
semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing? Beranikah kita membuka
melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita
masing-masing? Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari
kemunafikan.
Apa artinya
kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan
yang jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha
Adil?
Apa artinya
kalau hanya mulut mengaku berperi kemanusiaan akan tetapi di dalam batin
mengandung kebencian terhadap manusia atau manusia-manusia lainnya? Semua ini
perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus membongkarnya dengan berani!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment