Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 09
Puncak Merak
Emas merupakan satu di antara puncak-puncak Gunung Kongmaa La yang menjulang
tinggi di atas awan-awan. Kongmaa La merupakan gunung yang nomor tiga tingginya
dari deretan Pegunungan Himalaya, dan mempunyai banyak puncak yang sedemikian
tingginya sehingga hampir selalu tertutup es dan salju.
Akan tetapi,
puncak Merak Emas hanya pada musim salju saja tertutup es dan pada musim-musim
lain, terutama di musim semi dan musim panas, puncak Merak Emas amat indahnya
dan subur dengan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon besar. Mungkin karena
banyaknya terdapat merak dengan bermacam-macam warna, maka puncak itu dinamakan
puncak Merak Emas, meski pun jarang sekali ada manusia yang dapat bertemu
dengan seekor merak yang bulunya keemasan.
Karena
tanahnya yang subur dan keadaannya yang lebih enak ditinggali, tidak seperti
puncak-puncak lainnya di Pegunungan Himalaya, maka di kaki dan lereng gunung
ini terdapat kelompok-kelompok dusun yang penghuninya bekerja sebagai petani
atau pemburu binatang hutan.
Namun di puncaknya
sendiri hanya terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana akan tetapi kokoh kuat
dan setiap hari orang dapat mendengar suara seorang pria membaca sajak dengan
suara yang lantang dan merdu dari dalam pondok itu. Di belakang pondok itu
terdapat kebun yang cukup luas, penuh dengan tanaman sayur-sayuran seperti
kobis, sawi, wortel, lobak dan sebagainya lagi, di samping beberapa petak sawah
yang ditanami padi gandum.
Semua
penghuni dusun di sekitar puncak itu tahu bahwa pondok itu dihuni oleh seorang
pria yang hidup menyendiri di situ, di tempat sunyi itu. Seorang pria yang
berpakaian seperti petani biasa, usianya sudah empat puluh tahun lebih namun
masih nampak gagah dan muda, tampan dan periang.
Tubuhnya
kokoh kuat biar pun gerak-geriknya halus seperti seorang sastrawan, wajahnya
yang gagah dan tampan itu selalu berseri kemerahan, sepasang matanya
bersinar-sinar dan jenggot serta kumisnya terpelihara rapi selalu. Meski
pakaiannya sederhana, pakaian petani, namun selalu nampak bersih dan rapi,
sungguh amat berbeda dengan para petani yang biasanya selalu berlepotan lumpur.
Melihat
betapa dia hidup dalam keadaan tenang dan tenteram, nampaknya amat berbahagia,
orang akan menganggap dia seorang petani biasa yang berbahagia, tidak butuh
apa-apa lagi, hidup sehat dan penuh damai. Akan tetapi kalau malam tiba, dan
orang melihat dia duduk di senja kala menikmati matahari tenggelam sambil
melamun, kadang-kadang minum arak sendirian dan membaca sajak-sajak yang indah
dengan suara lantang, maka, melihat wajahnya yang lantas menjadi berduka,
mendengar bunyi rangkaian sajak yang bernada sedih, maka orang akan tahu bahwa
sebenarnya ada kedukaan besar tersembunyi di balik kehidupan yang nampak
bahagia itu.
Dan kalau
sudah begitu, maka akan jelaslah bahwa dia bukanlah seorang petani biasa, baik
dilihat dari caranya membaca sajak, dan gerak-geriknya. Bahkan, di waktu
keadaan sunyi sekali dan dia merasa yakin tidak ada mata lain memandang,
tubuhnya akan berkelebatan seperti kilat pada saat dia berlatih ilmu silat yang
sangat hebat sehingga gerakan tangan kakinya dapat membuat daun-daun pohon
rontok dan tanah di sekeliling tempat dia berlatih itu tergetar seperti ada
gempa bumi!
Akan tetapi
ada kalanya, agaknya untuk melarikan diri dari kesepian, orang itu nampak
bercakap-cakap dengan orang-orang dusun yang tinggal di lereng. Dia sengaja
turun dari puncak membawa arak buatannya sendiri, mendatangi para penghuni
dusun yang diajaknya minum arak sambil bercakap-cakap, tentang tanaman atau
tentang alam atau juga tentang filsafat kehidupan sederhana menurut pandangan
para penghuni dusun.
Ada kalanya
pula dia nampak berada di sebuah kuil yang juga berada menyendiri di sebuah
lembah di lereng gunung, sebuah kuil yang dihuni oleh hanya seorang nikouw.
Keadaan nikouw ini pun aneh, sama anehnya dengan petani yang suka bersajak itu,
karena nikouw ini tinggal seorang diri dalam kesunyian pula. Nikouw ini masih
muda, kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya, berwajah bersih dan cantik,
namun jarang dia memperlihatkan wajahnya yang selalu disembunyikan di balik
kerudung putih.
Nikouw ini
sangat ramah dan manis budi terhadap para penghuni dusun, sering kali
berkeliling untuk memberi petunjuk dan pengobatan, dan sering kali menerima
orang-orang bersembahyang memohon berkah dari para dewa. Biar pun tidak pernah
bertanya dan tidak pernah melihat buktinya, namun semua penduduk dusun dapat
merasakan bahwa baik si petani di puncak, mau pun nikouw di kuil sunyi itu
tentulah bukan orang-orang sembarangan.
Nikouw itu
mendiami kuil lama yang dibersihkan dan diperbaikinya sendiri, juga hidup dari
bertanam sayur di belakang kuil. Tiada seorang pun dapat mengatakan kapan dua
orang ini muncul di tempat itu, akan tetapi seingat para kaum tua di
dusun-dusun itu, kemunculan mereka juga dalam waktu yang sama.
Ada kalanya
pula petani itu duduk seorang diri di waktu pagi sekali atau di waktu senja
menikmati matahari timbul atau matahari tenggelam, sambil meniup suling
bambunya. Dia pandai bermain suling, suara tiupan sulingnya mengalun halus dan
lembut sekali, mendatangkan hikmat ke mana pun suara itu dapat terdengar.
Melihat para petani itu membaca sajak dan meniup suling, dapat diduga bahwa dia
tentu seorang ahli sastra, di samping ahli silat.
Pada senja
hari itu, kembali dia meniup sulingnya sambil duduk menghadap ke barat,
menikmati keindahan angkasa yang seperti terbakar oleh warna merah, kuning dan
biru dari sinar matahari senja. Ketika suara sulingnya melambat dan melirih
kemudian hilang ditelan keheningan, petani itu tersenyum dan biar pun dia
menunduk, namun matanya mengerling ke kanan dan dia melihat berkelebatnya
bayangan orang di bawah puncak. Dia bersikap tidak peduli, bahkan lalu bangkit
berdiri dan melangkah lambat-lambat memasuki pintu pondoknya.
Bayangan
yang berkelebatan cepat itu adalah Ci Sian. Dara ini, seperti kita ketahui
telah meninggalkan Lhagat, kemudian dia melakukan perjalanan menuju ke
Pegunungan Kongmaa La, mencari tempat tinggal ayahnya seperti yang diketahuinya
dari penuturan mendiang Lauw Sek. Sore tadi, atau lewat tengah hari, dia tiba
di kuil sunyi dan melihat seorang nikouw muda dan cantik sedang mencangkul di
kebun sayur belakang kuil.
Sejenak Ci
Sian merasa terheran melihat seorang nikouw yang muda dan cantik sendirian saja
di kuil tua yang sunyi, apalagi melihat nikouw itu melakukan pekerjaan berat
mencangkul kebun. Akan tetapi nikouw itu tiba-tiba berhenti mencangkul, menoleh
dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian terdengar
suaranya bertanya, suaranya mengandung teguran halus namun tajam.
“Siapakah
engkau dan mengapa melihat orang yang sedang bekerja?”
Ci Sian
adalah seorang dara yang berwatak keras. Melihat sikap nikouw itu, terutama
mendengar nada suara pertanyaannya, dia sudah merasa tidak senang. Tetapi
karena dia datang untuk bertanya, maka dia masih bersabar dan dia cepat
menghampiri.
“Nikouw yang
baik, saya ingin bertanya apakah di tempat ini ada seorang pertapa she Bu?”
Sungguh
mengherankan sekali, mendengar pertanyaannya itu, jelas nampak betapa nikouw
itu menjadi marah. Mukanya yang putih halus itu menjadi kemerahan, sepasang
mata yang bening itu kini berapi-api.
“Mau apa
engkau mencari orang she Bu?”
“Ehhh, apa
hubungannya hal itu denganmu?” Ci Sian bertanya kembali, kini dia mulai marah.
“Beri tahu saja di mana aku dapat bertemu dengan pertapa she Bu itu!”
Sepasang
mata yang bening dari nikouw itu makin tajam dan penuh selidik. “Hemm, engkau
ini perempuan masih begini muda juga sudah tergila-gila kepadanya?”
Mendengar
ini Ci Sian terkejut dan marah bukan main. Mukanya seketika berubah merah dan
dia membentak. ”Engkau nikouw yang seharusnya hidup suci dan bersih, kiranya
mulutmu begini kotor! Hayo beri tahu di mana adanya orang she Bu itu!”
“Huh, kau
tidak mau memberi tahu keperluanmu, aku pun tidak sudi memberi tahu. Kau cari
sendiri saja!” Setelah berkata demikian, nikouw itu mengambil kembali
cangkulnya dan mulai lagi mencangkul, mengayun cangkulnya kuat-kuat dan
mencangkul tanah tanpa mempedulikan lagi kepada Ci Sian.
Ci Sian
sudah mengepal tinju untuk memberi hajaran kepada nikouw yang dianggapnya tidak
sopan dan menuduhnya yang bukan-bukan itu, akan tetapi dia terbelalak melihat
betapa batu-batu yang terkena hantaman cangkul itu terbelah seperti tanah lempung
saja! Maklumlah dia bahwa nikouw ini adalah orang yang memiliki kepandaian
tinggi, maka dia pun tak berani bertindak lancang dan ceroboh. Dia hendak
mencari ayahnya, dan tempat ini merupakan tempat sunyi di mana dia tahu banyak
terdapat pertapa-pertapa yang sakti, maka tidak baik kalau dia mencari
keributan dengan sembarang orang. Maka setelah memandang sekali lagi, dia lalu
membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan kebun dan nikouw yang aneh
itu.
Setelah
meninggalkan nikouw itu, Ci Sian melanjutkan penyelidikannya dan setelah dia
bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu, akhirnya
dia mendengar tentang seorang petani aneh yang berada di puncak Merak Emas,
tinggal seorang diri dalam pondok dan biar tidak ada seorang pun di antara
mereka yang tahu she dari petani itu, tidak ada pula yang mengenal seorang
pertapa she Bu, namun hatinya tertarik untuk menyelidiki petani itu.
Dan pada
senja hari itu dia mendaki ke arah puncak. Dari jauh dia telah mendengar suara
suling yang amat merdu itu dan diam-diam dia sudah merasa semakin tertarik dan
terheran karena bagaimana mungkin seorang petani dapat memainkan lagu-lagu
klasik itu? Dia mengenal beberapa buah lagu kuno yang tentu hanya dikenal oleh
pemain-pemain musik yang pandai, bukan oleh seorang petani biasa saja. Maka dia
pun mempercepat gerakannya untuk mendaki puncak, dan setelah melihat pondok
itu, dia mempergunakan suara suling untuk menyembunyikan bunyi gerakannya dan
cepat dia meloncat naik ke atas wuwungan rumah, lalu bersembunyi di balik
wuwungan sambil menanti datangnya malam untuk mengintai ke dalam.
Petani itu
kini duduk di dalam pondok, minum arak seorang diri dan setelah ruangan dalam
pondok itu gelap, dia menyalakan lampu minyak sehingga ruangan itu nampak
remang-remang namun cukup terang bagi Ci Sian yang mengintai dari atas genteng.
Dia melihat dengan jelas kini wajah seorang laki-laki yang tampan dan gagah,
wajah yang terpelihara baik-baik dan tidak pantas dengan pakaiannya yang amat
sederhana itu.
Perabot rumah
itu pun amat sederhana pula, dan pondok itu pun hanya memiliki sebuah ruangan
saja, di mana terdapat sebuah meja bundar dengan enam buah bangku, semua
terbuat dari pada kayu sederhana, dan di sudut ruangan itu terdapat sebuah
dipan dari kayu yang besar. Pria itu duduk di sebuah di antara bangku-bangku
itu, menghadap ke arah pintu. Dua buah daun jendela berada di kanan kirinya,
sudah tertutup dan kini pria itu agaknya sudah merasa cukup minum arak. Dia
meletakkan cawan araknya di atas meja, mengusap bibir dengan saputangan dan
jari-jari tangannya membereskan jenggot dan kumisnya yang terpelihara baik-baik
itu dan dia kemudian mengambil suling yang menggeletak di atas meja.
Tak lama
kemudian, terdengarlah lagi alunan suara suling yang amat merdu, terutama sekali
terdengar dengan amat jelasnya oleh Ci Sian yang mengintai di atas genteng. Dia
tidak berani turun memperlihatkan diri karena dia masih belum yakin apakah
benar orang ini yang dicarinya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau
membayangkan bahwa ada kemungkinan inilah orangnya, inilah ayah kandungnya!
Akan tetapi dia masih ragu-ragu karena dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat
membuktikan bahwa dugaannya tidak keliru. Bagaimana dia bisa yakin bahwa orang
ini adalah benar-benar ayahnya?
Selagi dia
merasa bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba matanya yang
tajam dapat menangkap berkelebatnya bayangan dua orang di dekat pondok itu. Dia
terkejut dan terheran, hatinya merasa semakin tegang karena dia menduga bahwa
tentu akan terjadi sesuatu, atau kalau sampai orang di bawah itu menerima tamu
dan bercakap-cakap, mungkin saja hal itu akan menjadi jawaban keraguannya
apakah benar orang ini ayah kandungnya ataukah bukan.
Ketika Ci
Sian melihat betapa dua bayangan yang berkelebat dengan gerakan ringan dan
cepat itu kini mendekati pondok dengan hati-hati lalu mengintai ke dalam
melalui jendela di sebelah utara, hatinya semakin tegang dan dia memperhatikan.
Bukan main kaget dan herannya ketika dia merasa mengenal bentuk tubuh dua orang
itu. Dua orang wanita!
Dan Ci Sian
hampir berani memastikan bahwa mereka itu adalah Siok Lan dan ibunya! Semakin
yakin hatinya ketika dia melihat wanita yang sekarang memberi tanda dengan
menaruh jari di depan bibir kepada wanita kedua, tanda bahwa mereka tidak boleh
membuat suara gaduh. Karena merasa amat tertarik, Ci Sian lalu mengintai lagi
ke dalam dan melihat betapa pria itu masih saja enak-enak meniup sulingnya,
sekarang dengan suara yang makin merdu dan romantis, juga mengandung
suara-suara keluhan duka.
Memang tidak
keliru dugaan Ci Sian. Kedua sosok bayangan wanita itu adalah Puteri Nandini
dan anaknya, Siok Lan. Seperti diketahui, ibu dan anak ini telah meninggalkan
Lhagat dan Puteri Nandini tidak mau kembali ke Nepal setelah kekalahan
pasukannya, melainkan mengajak anaknya untuk pergi mencari ayah kandung Siok
Lan untuk diajak berunding tentang niat Siok Lan berjodoh dengan Jenderal Muda
Kao Cin Liong. Ketika dia mendengar bahwa di puncak itu terdapat seorang petani
setengah tua yang hidup menyendiri, dia tidak merasa ragu-ragu lagi dan
mengajak puterinya untuk melakukan penyelidikan.
“Hati-hati,
jangan kau sembarangan ikut campur kalau terjadi keributan di rumah itu. Urusan
antara aku dan siapa pun di sana, jangan kau mencampurinya.”
Siok Lan
mengangguk, sungguh pun dia merasa heran dan tidak mengerti. Betapa pun juga,
hatinya tegang sekali membayangkan betapa dia akan bertemu dengan ayah
kandungnya yang selamanya tidak pernah dilihatnya itu.
Dengan
jantung berdebar dan tangan terkepal membentuk tinju, perasaannya tidak karuan,
Puteri Nandini mendekati jendela dengan puterinya. Mendengar tiupan suling yang
merdu sekali itu, hatinya tergetar dan dia memejamkan kedua matanya, wajahnya
menjadi merah dan terbayanglah semua pengalamannya di masa lampau, pengalaman
penuh kemesraan.
Dia kemudian
mengintai melalui jendela itu dan begitu dia melihat petani itu yang duduk
meniup suling dengan wajah mengandung duka, diam-diam dia mengeluh dan tubuhnya
gemetar, penuh kerinduan yang selama belasan tahun ditahan-tahannya akan tetapi
di samping keindahan itu juga terdapat perasaan duka dan penyesalan yang amat
pahit. Setelah memejamkan mata sejenak, wanita ini mengintai lagi dan pada saat
itu, tiupan suling yang mengalun itu berbunyi panjang dan semakin bernada penuh
duka, makin lama makin lambat dan lirih sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
Pria itu
mengeluh, lalu melepaskan suling ke atas meja, kemudian memejamkan mata,
menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya dan terdengar keluhannya
panjang pendek. Tak dapat ditangkap jelas apa yang dikeluhkannya, akan tetapi
bekas panglima wanita Nepal itu dengan sangat jelas dapat menangkap namanya
disebut-sebut dalam keluhan itu, keluhan yang menyatakan rindu terhadap
Nandini!
“Nandini....
kekasihku.... mengapa kau tidak kasihan kepadaku.... aku rindu padamu, kenapa
kau tidak mau menemaniku di sini....?” Demikianlah kata-kata di antara keluhan
yang dapat tertangkap oleh telinga Nandini.
Tentu saja
wanita ini segera menjadi terharu sekali dan tubuhnya terasa panas dingin
mendengar suara yang amat dikenalnya dan yang pernah amat dicintanya itu! Suara
yang dahulu selalu merayunya dengan kata-kata indah, dan betapa pun besar
perasaan marah, sakit hati dan penyesalannya mengingat betapa dia ditinggalkan
begitu saja oleh pria ini, namun begitu melihat wajahnya, melihat bentuk
tubuhnya, mendengar suara tiupan sulingnya, mendengar suara keluhannya, semua
kekerasan hatinya mencair dan kini dia mengintai dengan dua mata basah air
mata!
Terbayanglah
semua pengalamannya yang mesra bersama pria ini! Suasana romantis penuh
kemesraan ketika dia dan pria ini memadu kasih, belasan tahun yang lalu pada
waktu mereka berdua masih sama-sama muda. Teringat olehnya betapa ilmu silatnya
menjadi selihai sekarang karena dia menerima petunjuk dari pria ini. Berlatih
silat, bermain cinta, di antara pohon-pohon dan bunga-bunga di tempat terbuka.
Betapa hidup penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan di waktu itu.
Teringat
akan semua ini, Nandini ingin sekali membobol daun jendela itu, ingin sekali
menghampiri, mendekati, menghibur pria itu. Cintanya yang dulu timbul kembali
karena memang tidak pernah padam sama sekali. Bahkan, penyerahan dirinya
sebagai isteri pangeran tua itu menambah rindu dan cintanya kepada pria ini.
Akan tetapi dia teringat akan Siok Lan yang berada di situ, maka
ditahan-tahannya perasaannya, hanya hatinya yang merintih menyebut nama pria
yang pernah menjadi kekasihnya ini.
“Nandini....
ahhh, Nandini, tidak terasakah hatimu betapa aku menderita rindu?”
”Omitohud....!
Dasar mata keranjang, hidung belang, jahanam ceriwis keparat!” dari luar
jendela yang berlawanan, yaitu di sebelah selatan, terdengar suara menyumpah
yang nyaring ini.
Mendengar
ini, pria itu menoleh ke arah jendela sebelah selatan, tanpa bangkit berdiri,
melainkan tersenyum. Dan begitu dia tersenyum, wajahnya nampak semakin menarik,
tampan dan kelihatan jauh lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya. Memang
pria ini amat tampan, di waktu mudanya dahulu sudah tentu amat tampan dan
banyak menjatuhkan hati kaum wanita, sedangkan sekarang pun masih nampak sangat
tampan menarik.
“Aihh,
Bi-moi yang manis, mengapa engkau main sembunyi-sembunyi dan mengintai? Kalau
memang kau merasa rindu padaku dan ingin bicara dan bercanda, masuklah,
sayang!” Sungguh ucapan ini mengandung rayuan maut bagi seorang setengah tua
seperti dia dan terdengar amat menggairahkan dan juga amat menarik hati.
“Omitohud,
dasar gila wanita!” terdengar suara dari luar jendela itu dan tiba-tiba jendela
itu jebol didorong dari luar dan melayanglah sesosok tubuh ke dalam kamar itu.
Melihat
siapa yang masuk ini, Ci Sian terkejut sekali. Tadi dia telah bengong
terlongong ketika dia mengenal bahwa dua orang wanita itu adalah Siok Lan dan
ibunya. Selagi dia kebingungan dan terheran-heran belum tahu benar siapa pria
itu dan mengapa Siok Lan dan ibunya berada di situ mengintai seperti dia, maka
ketika mendengar suara wanita dari luar jendela selatan itu dia pun amat kaget.
Karena dia sejak tadi mengintai, maka dia tidak melihat munculnya wanita ini di
belakang jendela selatan dan tahu-tahu dia mendengar suaranya. Kini, melihat
siapa yang muncul di dalam kamar dengan gerakan yang demikian ringan dan
cekatan, Ci Sian hampir berseru kaget. Wanita yang masuk ini bukan lain adalah
nikouw muda cantik yang dijumpainya siang tadi! Makin bingung dan heranlah dia,
akan tetapi dengan penuh perhatian dia terus mengintai dari atas genteng.
Nikouw muda
itu kini berhadapan dengan pria itu, wajahnya yang putih halus itu merah
sekali, tanda bahwa dia sudah amat marah dan suaranya nyaring ketika dia
berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku runcing terpelihara
itu ke arah hidung pria itu.
“Dasar
kerbau hidung belang kau! Katanya hendak bertapa di sini menjauhkan diri dari
semua wanita, siapa tahu diam-diam engkau merindukan wanita lain! Keparat,
sungguh tak tahu malu engkau!”
“Eh....
ehhh.... sabarlah, sayang. Engkau sendiri yang dulu mengambil keputusan untuk
menjadi nikouw sehingga aku terpaksa kekeringan dan kesepian di sini, membuat
aku teringat kepada bekas-bekas kekasih lama yang kurindukan. Mengapa kini kau
marah? Marilah, sayang, mari kau mendekat, aihhh, tidak tahukah engkau betapa
selama ini aku amat rindu kepadamu, dan betapa setelah engkau berpakaian nikouw
dan kepalamu gundul engkau menjadi semakin cantik saja?”
“Phuhh,
siapa sudi dengan rayuanmu? Dan kepalaku sudah tidak gundul lagi!” Berkata
demikian, nikouw itu membuka penutup kepalanya dan memang benar, kepala gundul
itu sudah ditumbuhi rambut, walau pun baru setengah jari panjangnya.
“Aduh,
engkau makin manis. Ke sinilah, mari minum arak bersamaku, Cui Bi kekasihku
yang denok!”
“Brakkkkk!”
Tiba-tiba
daun jendela sebelah utara pecah berantakan disusul melayangnya tubuh Nandini!
Wanita ini sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi melihat betapa pria itu
merayu nikouw itu sedemikian rupa. Hatinya penuh dengan cemburu yang membuat
dadanya hampir meledak sehingga dia tak ingat apa-apa lagi lalu menghantam
jendela itu dan meloncat masuk.
“Nandini....!”
Pria itu berseru, nampaknya kaget akan tetapi mulutnya tersenyum penuh daya
pikat. “Engkau baru datang, bidadariku dari Nepal?”
“Laki-laki
kejam, mata keranjang dan rendah budi! Jadi untuk nikouw inilah engkau dulu
meninggalkan aku?” bentak Nandini sambil menudingkan telunjuknya.
“Bu Seng
Kin! Jadi engkau telah mempunyai gendak orang Nepal ini?” bentak nikouw itu dan
dua orang wanita itu sejenak saling pandang penuh kebencian dan cemburu, akan
tetapi kemarahan mereka itu kini tertumpah kepada pria yang disebut Bu Seng Kin
itu dan mereka berdua kini menubruk maju dan menyerang pria dari kanan kiri
dengan pukulan-pukulan maut yang amat cepat dan ganas!
“Wah,
beginikah kalian memperlihatkan rasa rindu kalian? Heh-heh, mana bisa kalian
menyerangku dengan ilmu-ilmu pukulan yang kuajarkan sendiri kepada kalian?
Ha-ha, tidak kena! Wah, hampir saja, Nandini! Nah, meleset, Cui Bi!” Biar pun
diserang dengan ganas oleh dua orang wanita itu, namun dengan amat mudahnya
pria itu menggerakkan langkah-langkah kaki sedemikian rupa sehingga semua
serangan itu mengenai tempat kosong belaka!
“Wah, mana
bisa kita bicara baik-baik kalau kalian marah-marah begini? Sabarlah,
tenanglah....!” pria itu membujuk.
Akan tetapi
bagaikan dua ekor singa betina yang marah-marah, dua orang wanita itu terus
menyerang semakin hebat. Akhirnya, entah bagaimana Siok Lan yang mengintai dari
jendela dan Ci Sian yang mengintai dari genteng itu tidak tahu benar, tiba-tiba
saja dua orang wanita yang marah-marah itu telah kena dirangkul pinggang mereka
di kanan kiri dan pria itu sambil tersenyum-senyum menarik mereka dan mengajak
mereka duduk di atas bangku, di kanan kirinya!
Akan tetapi
Ci Sian segera dapat menduga bahwa tentu pria yang amat lihai itu telah
berhasil menotok jalan darah dua orang wanita itu sehingga menjadi lemas dan
tidak dapat melawan lagi. Dugaannya memang benar karena biar pun mereka tidak
melawan ketika dirangkul dan didudukkan ke atas bangku, keduanya memaki-maki
kalang-kabut!
“Bu-taihiap,
kalau engkau sampai mengganggu dan menghinaku, aku bersumpah akan memusuhimu
sampai titik darah terakhir!” Nandini berkata, akan tetapi tidak mampu melepaskan
dirinya yang dipaksa duduk di samping pria itu sedangkan pinggangnya yang masih
ramping itu dirangkul!
“Bu Seng
Kin, aku bersumpah akan membunuh diri kalau engkau berani mengganggu diriku!”
nikouw itu juga berkata tanpa mampu melepaskan dirinya yang juga dirangkul
pinggangnya.
“Ha-ha-ha,
manisku, sayangku, kalian adalah isteri-isteriku, kalian adalah jantung hatiku,
aku sayang dan cinta kepada kalian, mana mungkin aku akan mengganggu dan
menghina kalian? Akan tetapi kalian juga jangan mengecewakan hatiku lagi, dan
suka temani aku makan.”
Sambil
tersenyum girang, petani yang bernama Bu Seng Kin itu kemudian melepaskan
rangkulannya dan mengeluarkan beberapa makanan dari sudut belakang ruangan yang
merupakan dapur. Tak banyak macamnya makanan itu, hanya beberapa macam sayur
sederhana, nasi dan daging kering. Akan tetapi dengan lagak sedang pesta besar,
Bu Seng Kin kemudian mengatur semua itu di atas meja. Kedua orang wanita itu
hanya memandang saja, kadang-kadang saling lirik dan saling menyelidiki keadaan
masing-masing.
“Ha-ha, mari
kita makan, manis. Nandini sayangku, kau makanlah, sawi putih ini dahulu
menjadi kesukaanmu, bukan?” Dan dia lalu mengambil sepotong sayur dari mangkok
dengan sumpitnya dan membawa makanan itu ke mulut Nandini. Karena maklum bahwa
dia tidak berdaya, juga karena terharu akan sikap yang manis dan menyayang dari
pria itu, Nandini tidak dapat menolak, membuka mulut dan makan sayur itu.
“Dan
kesukaanmu dahulu adalah daging dendeng asin ini, bukan, Cui Bi?” Dia lalu
mengambil sepotong kecil daging dengan sumpitnya dan mendekatkannya ke mulut
Cui Bi yang kecil mungil itu.
“Gila! Kau
tahu sebagai nikouw aku tidak makan daging!” Cui Bi berkata.
“Ahh, engkau
menjadi nikouw karena terpaksa dalam kemarahanmu, bukan sewajarnya. Sekarang
setelah berkumpul kembali dengan aku, tidak perlu kau berpantang daging lagi.
Hayolah, jangan pura-pura, manisku.” Dengan terpaksa nikouw itu menerima pula
daging itu dan memakannya.
Demikianlah,
dengan sikap luar biasa gembira Bu Seng Kin kemudian makan minum, menyuapkan
makanan secara bergantian kepada dua orang wanita di kedua sisinya itu, juga
memberi mereka minum arak. Karena pandainya dia bicara dan merayu, dua orang
wanita itu agaknya perlahan-lahan lenyap kemarahan mereka, bahkan kadang-kadang
mereka sudah mau tersenyum oleh cerita lucu, walau pun senyum yang
ditahan-tahan.
“Hayo
ceritakan pengalamanmu semenjak berpisah dariku, Bu-taihiap, ceritakan semua
tanpa ada yang kau sembunyikan tentang wanita-wanita yang kau ambil sebagai
penggantiku, baru aku mau melanjutkan makan minum bersamamu,” tiba-tiba Nandini
berkata sambil melirik ke arah nikouw yang berada di samping kiri pendekar itu.
“Benar! Aku
pun harus mendengar semua petualanganmu sebelum bertemu dengan aku yang agaknya
merupakan seorang di antara banyak wanita yang kau rayu dan menjadi jatuh!”
kata pula nikouw itu. “Kalau tidak, aku pun tidak sudi duduk bersamamu lagi.”
Bu Seng Kin
tersenyum lebar dan berdongak ke atas, mengejutkan hati Ci Sian karena dara ini
merasa seolah-olah pendekar itu tepat memandang kepadanya yang sedang
mengintai. Akan tetapi pendekar itu lalu menunduk kembali dan dia pun
mencurahkan perhatiannya.
Biar pun dia
merasa muak menyaksikan adegan roman-romanan itu, akan tetapi dia pun ingin
mendengar cerita orang yang diduganya adalah pria yang dicarinya, yaitu ayah
kandungnya. Hatinya sudah seperti disayat-sayat karena kecewa melihat tingkah
pria di bawah itu yang jelas merupakan seorang pria tukang merayu wanita,
seorang pria yang hidung belang yang pandai sekali menjatuhkan hati wanita.
“Ha-ha-ha,
baiklah, baiklah, akan kuceritakan. Aihh, biar pun sudah lewat belasan tahun,
hampir dua puluh tahun, engkau masih nampak cantik jelita saja, Nandini, betapa
masih kuingat benar ketika aku terpaksa meninggalkanmu, kasihku.”
“Bohong! Dan
jangan sebut aku kekasihmu, kalau engkau benar cinta padaku tidak mungkin
engkau meninggalkan aku!” kata Nandini dengan marah karena hatinya masih panas
kalau teringat betapa dalam keadaan mengandung dia telah ditinggal pergi oleh
kekasihnya ini.
“Aihh,
jangan kau berkata begitu. Saat itu aku pergi meninggalkanmu dengan hati yang
berdarah, luka parah oleh kedukaan. Ahhh, ya, Cui Bi belum tahu akan riwayat
kami, biarlah kuceritakan secara singkat.”
Pendekar itu
kemudian bercerita, didengarkan oleh Siok Lan dan Ci Sian yang masih mengintai.
“Biar pun
terus terang saja, Nandini bukan merupakan wanita pertama yang pernah menjadi
kekasihku, akan tetapi baru kuakui bahwa dialah wanita pertama yang benar-benar
membuat aku tergila-gila dan dengan Nandinilah untuk pertama kali aku
benar-benar menaruh cinta.”
“Huh, siapa
yang percaya?” kata Nandini, akan tetapi sepasang matanya berseri penuh
kegembiraan mendengar ini, dan nikouw di sebelah itu memandang iri!
“Sungguh
mati! Akan tetapi, seperti kau ketahui, Ayah Nandini marah-marah melihat
hubungan antara puterinya dan aku karena Nandini telah ditunangkan kepada
seorang pangeran. Ayah Nandini bahkan menyerangku dan berusaha membunuhku, akan
tetapi dia sudah tua dan sampai meninggal karena serangan jantungnya sendiri.
Aku merasa menyesal sekali, apalagi ketika aku mendengar bahwa kalau Nandini
tidak berpisah dariku, maka pangeran itu akan menangkap dan membunuh seluruh
keluarganya. Tentu saja aku tidak menghendaki hal itu terjadi, maka aku lalu
pergi meninggalkan Nandini, dengan hati hancur berdarah, hanya demi menjaga
keselamatan keluargamu, Nandini.”
“Hemm,
benarkah itu?” Nandini bertanya, nampaknya terharu.
“Aku berani
bersumpah tujuh turunan....“
“Turunanmu
jangan dibawa-bawa ke dalam hukuman akibat petualanganmu!” Nandini memotong.
“Teruskan
ceritamu,” kata Gu Cui Bi, nikouw itu, dengan hati semakin iri dan cemburu.
“Setelah
meninggalkan Nepal, tentu saja aku bertemu dengan banyak wanita cantik, di
antaranya adalah puteri kepala suku Biauw yang manis, ada pula
pendekar-pendekar wanita petualang kang-ouw, ada pula puteri-puteri datuk kaum
sesat, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan-selingan saja dan
tidaklah sungguh-sungguh seperti yang terjadi antara aku dan Nandini. Kemudian,
kurang lebih setahun sejak meninggalkan Nepal dan bertualang dengan belasan
orang wanita secara selewat saja, aku bertemu dengan seorang pendekar wanita
yang bernama Sim Loan Ci dan kami saling mencinta lalu kami menikah.”
Hampir saja
Ci Sian mengeluarkan suara saking kagetnya, akan tetapi dia cepat-cepat menutup
mulutnya dan mengerahkan tenaga untuk menekan batinnya yang terguncang ketika
dia mendengar nama ibunya disebut-sebut itu!
Sim Loan Ci
adalah ibunya, ibu kandungnya seperti yang pernah didengarnya dari kakeknya
bahwa ibunya she Sim dan ayahnya seorang pendekar besar yang tentu saja she Bu,
sama dengan she kakeknya. Dia lalu mendengarkan lagi dengan penuh perhatian.
“Dialah
isteriku pertama yang sah, walau pun wanita seperti Nandini ini juga kuanggap
isteriku sendiri, dan juga engkau, Cui Bi.”
“Tak perlu merayu,
lanjutkan ceritamu,” desak dua orang wanita itu.
“Setelah
menikah setahun lamanya, kami mempunyai seorang anak perempuan. Akan tetapi,
berbareng dengan kebahagiaan ini, datanglah malapetaka. Kiranya hubunganku
dengan puteri-puteri datuk kaum sesat itu, yang kutinggalkan karena memang
kuanggap hanya hubungan selewat dan merupakan hiburan belaka, mulai
mendatangkan akibat panjang! Aku dicari-cari oleh para datuk kaum sesat, bahkan
di antaranya terdapat pula Im-kan Ngo-ok yang mencari-cariku, karena seorang
puteri mereka telah membunuh diri setelah kutinggalkan sehingga kini Im-kan
Ngo-ok mencariku untuk membunuhku!”
“Huh, sudah
sepatutnya engkau dibunuh!” kata Nandini.
“Dasar mata
keranjang!” Nikouw itu menyambung.
“Biarlah
kulanjutkan ceritaku dahulu,” kata pendekar itu setelah menarik napas panjang.
“Semenjak melahirkan, kesehatan Loan Ci amat buruk. Hal ini menggelisahkan
hatiku, karena dalam keadaan seperti itu, memiliki seorang bayi dan seorang
isteri yang tidak sehat, tentu saja amat berbahaya menghadapi ancaman
musuh-musuh seperti Im-kan Ngo-ok yang lihai itu. Maka terpaksa aku lalu
membawa isteriku dan anakku kepada Ayahku. Ayahku adalah seorang pendekar yang
amat terkenal, yaitu Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, seorang tokoh besar di dunia
selatan. Ketika itu aku agak takut-takut menghadap Ayah, oleh karena aku pernah
diusir oleh Ayah ketika di waktu muda aku bermain-main dengan seorang gadis
dusun tempat kami.”
“Dasar
hidung belang ceriwis!” Nandini kembali mencela.
“Mata
keranjang tak tahu malu, kecil-kecil sudah gila perempuan sehingga diusir Ayah
sendiri!” Gu Cui Bi menyambung.
“Wah, kalian
ini terus menerus mencelaku,” Bu Seng Kin terkekeh. “Ayahku tidaklah segalak
kalian. Dia memaafkan aku dan menerima kedatanganku dengan sangat baik.
Kemudian malah Ayah menganjurkan agar meninggalkan anak kami bersama Ayah,
kemudian aku bersama isteriku pergi menjauhkan diri agar Im-kan Ngo-ok tidak
dapat mencelakai anak kami. Beberapa kali kami tersusul oleh mereka dan aku
melakukan perlawanan mati-matian. Kalau saja isteriku tidak dalam keadaan sakit
payah, kiranya kami berdua tidak akan takut menghadapi mereka. Akan tetapi
karena isteriku sedang sakit, dan aku harus melindunginya, maka terpaksa aku
melarikan diri bersama isteriku dan terus dikejar-kejar oleh Im-kan Ngo-ok.
Tetapi akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari mereka, kami bersembunyi di
Pegunungan Go-bi-san dan di sanalah isteriku meninggal dunia....”
Pendekar itu
diam dan di atas genteng, Ci Sian menangis. Air matanya berlinang-linang dan
dia menahan isaknya. Jelaslah sekarang bahwa pria di bawah itu, pria yang mata
keranjang itu, adalah ayah kandungnya, dan ibunya benar-benar telah meninggal
dunia.
“Semenjak
itu, kembali aku berkeliaran....”
“Dan main
perempuan....!” Nandini mencela.
“Habis, mau
apa lagi? Agaknya aku tidak boleh berjodoh lama-lama dengan wanita yang
kucinta. Aku pindah dari pelukan satu ke lain wanita, akan tetapi semua itu
hanya merupakan selingan hidup dan aku tidak pernah bersungguh-sungguh. Paling
lama sebulan aku dapat bertahan dalam pelukan seorang wanita dan aku sudah
pergi lagi....”
“Mencari
yang lain! Phuihh!” Nandini mencela.
“Sampai
engkau berjumpa denganku,” tiba-tiba nikouw itu berkata, di dalam suaranya
mengandung kebanggaan.
Pendekar itu
menarik napas panjang. “Ya, sampai aku bertemu denganmu, Cui Bi. Sekarang biar
Nandini mendengar cerita tentang kita. Setelah aku mulai bosan merantau, bosan
bertualang, pada suatu malam bertemulah aku dengan seorang nikouw di sebuah
kuil Kwan-im-bio, di sebelah lereng bukit. Nikouw itu cantik dan muda dan aku
jatuh cinta….”
“Pada
seorang nikouw? Dan engkau merayunya pula?” Nandini bertanya, alisnya berkerut.
“Ha, apa
bedanya? Dia pun seorang wanita, bukan? Dia masuk menjadi nikouw karena patah
hati, akan dikawinkan dengan seorang kakek kaya. Dia tidak sudi dan melarikan
diri setelah dipaksa menjadi isteri kakek itu selama sepekan. Lalu dia masuk
menjadi nikouw dan bertemu dengan aku.”
“Engkau
makhluk berdosa, Bu Seng Kin! Engkau merayu pinni dan menyeret pinni ke dalam
jalan sesat!” Tiba-tiba nikouw itu berkata dan dalam suaranya mengandung isak
penyesalan. Bu Seng Kin cepat merangkul pundaknya.
“Aih, Cui
Bi, hal itu telah lama berlalu, bukan? Kita sama-sama mencinta, dan kemudian
engkau melarikan diri dari kuil bersamaku, memelihara rambut lagi dan menjadi
wanita biasa, kita hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan.”
“Ya, sampai
aku tahu bahwa engkau adalah Si Petualang besar, bahkan engkaulah Si Perayu
yang pernah membuat Bibiku tergila-gila dan diceraikan oleh Paman sehingga
akhirnya Bibiku mati karena nelangsa. Kiranya engkaulah petualang yang telah
menghancurkan hati banyak sekali kaum wanita itu. Aku menyesal dan aku lalu
kembali menjadi nikouw, untuk minta ampun atas dosaku, juga untuk mintakan
ampun atas dosamu. Dan engkau sudah berjanji akan bertapa di sini, untuk
menebus dosa!”
Bu Seng Kin
tersenyum lebar. “Sudah kuusahakan hal itu, Cui Bi. Engkau tahu betapa
bertahun-tahun aku menahan diri, aku hidup kesepian penuh kerinduan, terutama
rindu sekali kepada orang-orang yang kucinta. Engkau menyiksaku, Cui Bi, maka
sekarang, bertepatan dengan kedatangan Nandini, kita berkumpul di sini bertiga.
Marilah kita hidup bersama, menikmati kehidupan kita yang tinggal tidak lama
lagi ini, menikmati kebahagiaan hidup kita bertiga di hari tua bersama. Aku
cinta kalian....!” Dia lalu merangkul keduanya.
“Bu-taihiap,
demi Tuhan, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan mengganggu dan menghinaku!”
Nandini berseru.
“Orang she
Bu, jangan engkau mengotori diriku, telah dua tahun aku menyucikan diri!”
Nikouw itu pun berkata.
“Aku
bersumpah tak akan mengganggu dan menghina kalian berdua, aku cinta pada kalian,
tidak mungkin aku mau menyusahkan kalian,” kata pendekar itu dan tiba-tiba dia
menarik leher Nandini dan.... mencium mulut wanita itu dengan penuh kemesraan.
Nandini
terkejut sekali, tak mampu bergerak, bahkan tubuhnya menggigil dan naik sedu
sedan dari dadanya. Setelah pria itu melepaskan ciumannya, dia memandang dengan
mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Kau....
kau.... manusia busuk.... kau melanggar sumpahmu....!”
“Ha-ha,
siapa melanggar sumpah, Nandini yang manis? Aku bersumpah tidak akan mengganggu
dan menghina kalian. Engkau adalah isteriku yang kucinta, kalau seorang suami
mencium isterinya, apakah itu mengganggu atau menghina namanya?”
“Aku.... aku
bukan isterimu, engkau bukan suamiku!”
“Mungkin
menurut umum, namun bukankah kita sudah menjadi suami isteri, bukankah engkau
pertama kali menyerahkan diri kepadaku, dan bukankah kita saling mencinta,
Nandini? Apa salahnya orang yang saling mencinta berciuman?”
“Laki-laki
busuk, mata keranjang, hidung belang.... tak tahu malu!” Cui Bi memaki-maki
dengan marah, akan tetapi tiba-tiba dia pun harus menghentikan maki-makinya
karena mulutnya sudah dicium pula oleh pria itu, dengan sama mesranya seperti
ketika dia mencium Nandini tadi! Nikouw itu gelagapan tanpa mampu bersuara, dan
dia hanya memejamkan mata dan tanpa disadarinya, kedua lengannya merangkul
leher pendekar itu!
“Kau memang
tak tahu malu!” Nandini membentak penuh cemburu dan tangannya bergerak
menampar, akan tetapi tamparan yang sama sekali tidak bertenaga.
Bu Seng Kin
lalu membujuk rayu keduanya dengan kata-kata manis. “Maafkanlah aku, Nandini
dan Cui Bi, aku cinta kalian, tidak kasihankah kalian kepadaku? Aku hanya ingin
menikmati kehidupan di dunia ini bersama kalian orang-orang yang kucinta
sepenuh jiwa ragaku.”
Pendekar itu
bahkan berlutut di depan mereka, memohon-mohon dan akhirnya kembali dia
merangkul mereka dan sekali ini, ketika dia mencium mereka, dua orang wanita
itu hanya dapat memejamkan mata dengan muka berubah merah sekali. Mereka lupa
segala! Ternyata pria ini masih hebat kemampuannya untuk merayu dan menundukkan
wanita-wanita, dan terutama sekali karena memang dua orang wanita itu tak
pernah mampu melupakannya dan masih mencintanya.
Ci Sian yang
melihat tontonan ini, di samping merasa heran dan juga malu, terutama sekali
dia merasa berduka, teringat akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia,
maka dia menghapus air matanya dan mengambil keputusan untuk pergi saja lagi
dari situ. Untuk apa menemui seorang ayah kandung seperti itu? Seorang petualang
asmara yang memalukan. Seorang laki-laki hidung belang, mata keranjang yang
berwatak gila perempuan!
“Brukkkk....!”
Tiba-tiba
saja pintu depan dari pondok itu runtuh ke dalam, tertendang orang dari luar
dan muncullah seorang wanita cantik yang kelihatan galak. Seorang wanita yang
selain cantik juga berpakaian mewah, dan melihat wanita ini, kembali Ci Sian
terkejut bukan main dan dia tidak jadi meninggalkan tempat itu, melainkan
mengintai penuh perhatian dengan hati tertarik dan amat tegang karena dia mengenal
wanita itu yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita tokoh
Lembah Suling Emas, musuh dari gurunya See-thian Coa-ong itu! Teringatlah dia
akan cerita Tang Cun Ciu. Wanita ini pernah bercerita bahwa dia memiliki wajah
seperti isteri Bu-taihiap, dan bahwa berjinah dengan Bu-taihiap ketika pendekar
itu bersama isterinya berkunjung ke Lembah Suling Emas! Mengertilah dia
sekarang! Tentu wanita isteri Bu-taihiap yang datang bersama pendekar itu ke
Lembah Suling Emas adalah ibu kandungnya!
Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu yang sudah marah sekali melihat bekas kekasihnya itu
berkasih-kasihan dengan dua orang wanita, kini sudah melangkah masuk dan
seketika dia menuding ke arah muka pria itu. “Sungguh sampai sekarang engkau
masih mata keranjang dan gila perempuan! Dan engkau mudah melupakan yang lama
berganti yang baru, laki-laki tak punya jantung!”
“Eh-ehhh....
lihat siapa yang datang ini! Bidadari dari Lembah Suling Emas! Cun Ciu,
kekasihku yang manis. Mari, mari sayang, mari duduk bersama Kakanda....”
“Keparat,
engkau sudah main gila dengan wanita asing ini dan dengan seorang nikouw malah,
tak tahu malu! Dan engkau masih berani bersikap manis kepadaku! Selayaknya
kalau kubunuh engkau, Bu Seng Kin!”
Pada saat
itu, sungguh aneh sekali, Nandini dan Gu Cui Bi sudah meloncat dengan sigapnya
dari atas bangku mereka dan berdiri di kanan kiri Bu Seng Kin dengan pandang
mata dan sikap marah! Diam-diam Ci Sian dan Siok Lan merasa heran sekali.
Bukankah dua orang wanita itu seperti tertotok dan kehilangan tenaga, akan
tetapi mengapa kini tiba-tiba saja mampu bergerak selincah itu?
Hal ini
tidaklah aneh dan merupakan sebab pula mengapa Bu Seng Kin begitu yakin akan
dirinya sendiri dalam merayu dua orang wanita itu. Dia hanya menotok dua orang
wanita itu untuk membuat mereka kehilangan tenaga sementara saja, sebentar
saja. Akan tetapi, melihat dua orang itu tidak pulih-pulih tenaganya, tahulah
dia bahwa mereka itu sengaja berpura-pura masih belum bebas dari totokan, tentu
hanya dengan maksud agar mereka berdua dapat ‘mendekatinya’ tanpa harus merasa
malu, karena berada dalam keadaan ‘tertotok’. Mengetahui rahasia mereka ini
maka tadi Bu Seng Kin berani melanjutkan rayuannya, maklum bahwa dua orang
wanita itu ternyata menyambut rayuannya dan ternyata bahkan mengharapkan
rayuannya. Kini, melihat betapa ada seorang wanita lain mengancam kekasih
mereka, dua orang wanita itu tanpa mereka sadari sudah meloncat dan hendak
menghadapi wanita itu.
Cun Ciu
adalah seorang wanita yang berwatak keras dan juga memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi. Dia masih marah sekali oleh cemburu ketika tadi melihat bekas
kekasihnya itu bermesraan dengan dua orang wanita itu, yang dilihatnya sama
sekali bukanlah isteri kekasihnya itu. Maka sambil berseru nyaring dia sudah
menerjang maju, mengirim pukulan ke arah Bu Seng Kin.
“Ah, jangan
marah dong, sayang!” Bu Seng Kin cepat mengelak dan menangkis karena dia tahu
betul bahwa wanita ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, merupakan
seorang di antara tokoh-tokoh Lembah Suling Emas yang merupakan keluarga sakti.
“Dukkk!!”
Dua buah
lengan bertemu dan akibatnya, baik Bu Seng Kin yang tentu saja tidak
mengerahkan seluruh tenaga itu, mau pun Cun Ciu terdorong mundur ke belakang.
Diam-diam Bu Seng Kin kagum dan terkejut karena dari pertemuan lengan itu saja
maklumlah dia bahwa wanita ini telah memperoleh kemajuan hebat semenjak
berpisah darinya belasan tahun yang lalu!
“Cun Ciu
Moi-moi, engkau sungguh lihai!” dia memuji, akan tetapi wanita itu sudah
menyerangnya lagi kalang kabut. Dan memang wanita ini memiliki ilmu kepandaian
hebat, maka terjadilah pertandingan yang amat hebat dan membingungkan Bu Seng
Kin.
“Ah, mengapa
kau marah-marah, Ciu-moi? Apakah kau datang menemui aku yang rindu kepadamu ini
hanya untuk menyerang dan hendak membunuhku?”
“Tutup mulut
dan jaga serangan ini!” bentak Cun Ciu yang menyerang terus.
Tingkat
kepandaian Bu Seng Kin sudah amat tinggi dan kalau dia bersungguh-sungguh, biar
Cun Ciu sendiri pun takkan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tentu saja dia
tidak mau bersungguh-sungguh melawan wanita cantik ini, maka dia kelihatan
terdesak hebat.
Melihat ini,
Nandini membentak, “Dari mana datangnya perempuan liar?” Dan dia pun maju
membantu kekasihnya.
“Pinni juga
tak mungkin diam saja melihat perempuan ganas hendak membunuh orang!” Dan Gu
Cui Bi juga sudah meloncat ke depan dan mengeroyok.
Dua orang
wanita ini tentu saja bukan wanita sembarangan, melainkan wanita-wanita lihai
yang sudah memiliki tingkat tinggi, maka begitu dikeroyok tiga, Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu menjadi kewalahan dan terdesak juga.
Melihat ini,
Bu Seng Kin khawatir kalau-kalau dua orang kekasihnya itu akan melukai Tang Cun
Ciu, maka dia lalu membentak keras, “Tahan....!”
Tang Cun Ciu
yang memang sudah terdesak itu kemudian melompat ke belakang dan memandang
dengan mata marah. “Mau apa engkau menghentikan pertempuran?” bentaknya.
Nandini dan Gu Cui Bi memandang dengan kagum karena mereka berdua tahu bahwa
wanita yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada
tingkat kepandaian mereka sendiri.
“Cun Ciu,
mengingat akan hubungan antara kita dahulu, tidak maukah engkau bicara
baik-baik dari pada menyerang dan marah-marah seperti itu?”
“Siapa tidak
marah? Aku jauh-jauh meninggalkan lembah, hanya karena tidak betah lagi di sana
dan aku rela meninggalkan keluarga di sana untuk mencarimu dan apa yang
kudapatkan? Bukan engkau hidup bersama isterimu, melainkan dengan dua orang
wanita asing....“
“Ahhh,
engkau salah paham, manis. Ketahuilah, dia ini bernama Nandini dari Nepal dan
dia merupakan isteriku yang pertama! Dan ini adalah Gu Cui Bi, dia ini adalah
isteriku yang terakhir.”
“Hemm....
begitukah....?” Tang Cun Ciu memandang ragu. “Dan di mana isterimu yang dahulu
bersamamu mengunjungi lembah?”
“Dia sudah
meninggal dunia. Mari, kau duduklah, Cun Ciu, dan kita bicara baik-baik.
Sungguh mati, aku akan sedih sekali kalau engkau memusuhiku, aku.... aku cinta
padamu, Cun Ciu, dan engkau tentu tahu akan hal ini.”
Dirayu
seperti itu, hati Tang Cun Ciu mulai menjadi dingin, kemarahannya mereda dan
dia pun langsung duduk menghadapi meja bersama pendekar itu dan dua orang
wanita saingannya.
“Bu Seng
Kin, kau bilang hanya ada kami berdua, sekarang muncul seorang lagi!” Gu Cui Bi
menegur.
“Dia.... dia
ini bernama Tang Cun Ciu. Ketika aku datang ke Lembah Suling Emas, aku dan
dia.... ehhh, kami saling jatuh cinta. Dan sampai sekarang.... ahh, aku masih
cinta kepadanya.... apalagi setelah dia menyusulku ke sini, rela meninggalkan
suaminya....”
“Suamiku
sudah lama meninggal dunia!” kata Cun Ciu. “Belum ada setahun semenjak engkau
pergi, suamiku meninggal dan aku terus tinggal menjanda sampai sekarang.
Kutunggu-tunggu beritamu akan tetapi engkau tak kunjung datang atau memberi
kabar, sungguh engkau kejam sekali!”
“Ahhh, siapa
tahu bahwa engkau sudah menjadi janda, kekasihku? Kalau aku tahu.... hemm,
mungkinkah aku membiarkan engkau kesepian sendiri?” berkata Bu Seng Kin sambil
memegang tangan yang halus itu di atas meja. Cun Ciu cepat-cepat menarik
tangannya karena dia merasa malu melihat tangannya dipegang-pegang di depan dua
orang wanita lain.
“Cun Ciu,
kalian bertiga ini adalah wanita-wanita yang kucinta sepenuh hatiku. Engkau
tinggallah bersamaku di sini, kita hidup bersama, berempat, sampai akhir
hayat....“
“Hemm, dan
esok atau lusa bermunculan lagi wanita-wanita lain bekas kekasihmu yang tak
dapat dihitung banyaknya!” Nandini menegur ketus.
“Aih,
Nandini manis. Aku memang belum menceritakan tentang Cun Ciu karena mengira dia
masih menjadi isteri orang. Tak baik menceritakan isteri orang, bukan? Berbeda
lagi kalau dia sudah menjanda. Dia memang bekas kekasihku, kami saling
mencinta....”
“Kalau ada
wanita lain lagi yang muncul, bagaimana?” tanya Cun Ciu.
“Aku
bersumpah, hanya tiga orang kalian ini saja, tidak ada yang lain!” kata Bu Seng
Kin.
“Laki-laki
macam engkau ini mana bisa dipercaya?” kata Gu Cui Bi.
“Sungguh
mati....”
“Begini
saja,” kata Cun Ciu, “aku memang meninggalkan lembah untuk tinggal bersama dia.
Dan mengingat bahwa kalian berdua sudah datang terlebih dahulu, aku pun mau
menerima hidup di sini bersama kalian, asal dia tidak pilih kasih! Dan kalau
ada datang wanita lain, kita bertiga maju membunuh wanita itu! Dan kalau perlu,
membunuh juga dia ini!”
“Cun Ciu
benar, memang dia seorang belum tentu dapat mengalahkan aku, akan tetapi kalau
kalian bertiga maju bersama, mana aku bisa menang?” kata Bu Seng Kin sambil
tertawa. “Nah, isteri-isteriku yang terkasih, marilah kita rayakan pertemuan
ini dengan minum arak. Cun Ciu, aku sungguh rindu padamu!” Dan tanpa malu-malu
dia merangkul wanita ini dan menciuminya, di depan Nandini dan Cui Bi yang
memandang sambil tersenyum masam tentunya!
Cun Ciu
meronta lemah akan tetapi seperti dua orang wanita terdahulu, dia pun tidak
mampu melawan rayuan maut dari pria itu dan akhirnya mereka berempat duduk
dengan mesra, bercakap-cakap dan sambil makan minum mereka menceritakan riwayat
dan pengalaman masing-masing.
Kalau Ci
Sian terkejut dan kemudian merasa semakin penasaran dan muak melihat semua yang
terjadi itu, adalah Siok Lan yang merasa khawatir ketika melihat ibunya ikut
bertempur tadi. Akan tetapi karena dia sudah menerima pesan ibunya agar tidak
ikut campur, maka dia hanya menahan diri dan seperti juga Ci Sian, dia merasa
kecewa menyaksikan tabiat ayah kandungnya yang demikian mata keranjang dan
tukang merayu wanita. Hatinya sendiri penasaran, akan tetapi melihat betapa
ibunya sudah mau berbaik dengan pria itu bahkan dengan dua orang madunya, dia
pun tidak dapat berkata apa-apa.
Akan tetapi
Siok Lan tidak dapat berdiam diri lagi dan meloncatlah dia dari luar jendela,
memasuki pondok itu. Semua orang, kecuali Nandini dan Bu Seng Kin, memandang
dengan kaget. Kiranya Bu Seng Kin sudah tahu bahwa di balik jendela itu ada
orang yang mengintai, bahkan dia sudah tahu sejak tadi bahwa di atas genteng
juga ada yang mengintai, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memandang
rendah. Kini, melihat bahwa yang mengintai dari balik jendela ternyata adalah
seorang dara yang cantik, wajah pendekar ini berseri gembira.
“Ahhh,
seorang dara cantik seperti bidadari! Apakah kedatanganmu juga mencari aku,
Anak manis?”
“Laki-laki
gila, sudah butakah engkau dan hendak merayu anakmu sendiri?” Nandini marah.
“Ehhh, anak
sendiri?”
“Dia itu
anakmu, anak kita. Lupakah engkau betapa ketika kita hidup bersama selama
sebulan itu mengakibatkan aku mengandung? Dan lupakah engkau bahwa ketika aku
menyatakan kekhawatiranku itu, engkau meninggalkan dua nama untuk seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu kalau-kalau kekhawatiranku
terbukti? Anak ini namanya Bu Siok Lan, nama yang telah kau tinggalkan itu.”
“Ahhh....!”
Bu Seng Kin memandang dengan mata terbelalak kepada Siok Lan. “Anakku....
anakku....!”
“Siok Lan,
inilah macamnya ayah kandungmu!” kata Nandini kepada puterinya.
Biar pun
hatinya kurang senang dan meragu, namun Siok Lan lalu melangkah maju dan
berlutut di depan kaki pria itu sambil menyebut, “Ayah....”
“Anakku yang
baik.... kau maafkan Ayahmu yang berkelakar tadi,” kata Bu Seng Kin dan
mendengar kesungguhan dalam suara pria itu, diam-diam Siok Lan merasa terharu
juga. Agaknya sikap ayahnya yang mudah merayu wanita itu seolah-olah terlalu
dibuat-buat! Beginikah sesungguhnya watak dasar dari pria ini? Dia masih meragu.
“Bu-taihiap,”
kata Nandini yang tidak bisa mengubah sebutan Bu-taihiap itu kepada pria yang
menjadi ayah kandung puterinya itu, “sesungguhnya, kedatanganku ini bersama
anakmu Siok Lan adalah untuk keperluan anak kita itu.”
“Tentu
saja,” jawab Bu Seng Kin. “Dia berhak untuk bertemu dengan Ayahnya. Kau
duduklah, Siok Lan,” kata Bu Seng Kin sambil menarik bangun puterinya. Dara itu
pun lalu duduk di atas sebuah bangku, di dekat ibunya.
“Bukan
begitu maksudku. Ketahuilah bahwa seperti yang telah kuceritakan tadi, aku baru
saja mengalami kekalahan dalam memimpin pasukanku, kalah melawan pasukan
Kerajaan Ceng sehingga terpaksa aku melepaskan Lhagat dan pergi ke sini. Nah,
di dalam peristiwa itu, terjadi hal yang menimpa anak kita, yang membuat aku
bingung sekali dan terpaksa kami datang untuk minta bantuanmu.”
“Tentu saja
aku siap membantu anakku. Urusan apakah itu?”
Nandini lalu
dengan singkat menceritakan betapa ketika dia masih memimpin pasukan menduduki
Lhagat, di situ kemudian muncul seorang jenderal muda yang menyelinap dan
menyamar, dan jenderal muda itu akhirnya telah berhasil mengalahkannya dalam
perang. “Ketika Jenderal muda itu menyamar dan menyusup ke Lhagat, dia menjadi
seorang pemburu muda dan dengan pandainya dia berhasil menjadi tamu kami karena
dia pernah menyelamatkan nyawa Siok Lan. Kemudian.... mereka berdua, Jenderal
Muda itu dan Siok Lan, saling jatuh cinta....“
“Bagus
sekali! Anakku tentu pantas menjadi isteri Jenderal Muda!” pendekar itu berkata
sambil tertawa girang.
“Enak saja
kau bicara! Tidak begitu mudah!”
“Apa? Apa
kau sendiri tidak setuju? Karena Jenderal itu adalah Jenderal yang pernah
menjadi musuhmu?”
“Bukan
begitu. Kekalahan itu membuat aku enggan pulang ke Nepal dan memang kami hendak
mencarimu. Akan tetapi, engkau tidak tahu siapa Jenderal itu.”
“Siapa dia?
Seorang jenderal muda, apa sih artinya? Tidak terlalu tinggi untuk puteriku,
bahkan andai kata dia Pangeran pun tidak akan terlalu tinggi!”
“Engkau
tidak tahu siapa dia. Jenderal Muda Itu bernama Kao Cin Liong, dan dia adalah
putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, cucu mendiang Jenderal Kao Liang!”
“Ahhh....!”
Yang
mengeluarkan suara itu adalah Bu Seng Kin, Gu Cui Bi dan juga Tang Cun Ciu
karena mereka terkejut bukan main mendengar nama-nama yang sangat terkenal itu.
Bahkan pendekar she Bu itu sendiri mengerutkan alisnya yang tebal,
termangu-mangu. Lalu dia memandang kepada puterinya dengan penuh perhatian.
Dipandang seperti itu, Siok Lan menundukkan mukanya. Pendekar itu menggeleng
kepala dan menarik napas panjang berkali-kali. Puyeng….
"Naga
Sakti Gurun Pasir.... bukan main....!”
“Apakah
sekarang kau hendak mengatakan bahwa dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih
berani memandang rendah?” Nandini bertanya dan yang ditanya seperti orang
kahabisan akal karena terkejutnya.
“Ahhh, siapa
kira akan terjadi peristiwa aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah Jenderal
Muda itu putera Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Dia telah
diperkenalkan pada saat terakhir. Maka, dapat kau bayangkan betapa kaget dan
bingungku ketika anak kita memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang wanita
Nepal, mana mungkin membicarakan hal ini dengan keturunan Jenderal Kao Liang?
Akan tetapi, mengingat bahwa orang tua jenderal itu adalah pendekar yang amat
kenamaan, maka sebaiknya engkau yang menemuinya, Bu-taihiap, sebagai sesama
pendekar kiranya akan lebih mudah membicarakan urusan jodoh itu.”
Bu Seng Kin
mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya masih berkerut. “Akan tetapi aku tidak
berani bertindak ceroboh. Siok Lan anakku, benarkah engkau dan putera Naga
Sakti Gurun Pasir itu saling mencinta?”
Ditanya
seperti itu, tentu saja jantung dara itu berdebar dan mukanya berubah merah
sekali. Akan tetapi dia adalah keturunan orang gagah yang sejak kecil
mengutamakan kegagahan, maka cepat dia membuang rasa malu itu dan memandang
wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan menjawab, “Aku tidak tahu bahwa dia
adalah seorang jenderal muda, lebih tidak tahu lagi bahwa dia putera seorang
pendekar sakti dan cucu seorang jenderal terkemuka. Pada waktu itu aku hanya
mengenalnya sebagai seorang pemburu muda, Ayah.”
“Tidak
peduli tentang itu, yang penting, apakah benar bahwa kalian saling mencinta?”
“Aku.... aku
cinta padanya.... Ayah.”
“Dan dia?
Apakah dia juga cinta padamu?”
“Kukira
begitulah.”
“Ehhh,
bagaimana ini? Cinta orang tidak, anak baik. Apakah engkau tidak yakin benar
bahwa dia cinta padamu?”
“Aku yakin.”
“Lalu
mengapa engkau mengira-ngira saja? Apakah dia sudah menyatakan cintanya
kepadamu dengan jelas, melalui kata-kata?”
Dara itu menggeleng.
“Habis bagaimana? Ayah, perlukah kujelaskan hal ini? Seorang wanita akan dapat
mengetahui apakah pria itu mencintanya ataukah tidak, melalui sinar matanya,
melalui senyumnya, melalui suaranya, dan.... dan.... pendeknya aku yakin dia
pun cinta padaku, Ayah.”
“Hemmm....
kita tidak boleh ceroboh, Anakku. Sekali aku, Ayahmu ini, mengajukan
perjodohan, haruslah diterima oleh pihak sana, karena kalau tidak, hal itu akan
dapat menimbulkan kesan yang menghina, kecuali kalau pihak sana mengemukakan
dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera mereka tidak cinta atau jika dia sudah
bertunangan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebelum aku menemui Naga Sakti
Gurun Pasir, hal yang selama hidupku belum pernah kuimpikan, aku harus yakin
dulu bahwa pihak sana akan menerima.”
“Jadi engkau
mau mengurus perjodohan anak kita?” tanya Nandini dengan girang.
“Tentu saja,
itu sudah menjadi kewajibanku. Semenjak Siok Lan kecil, aku tidak pernah
memperlihatkan kasih sayang sebagai seorang ayah, maka kini aku berkesempatan membuktikan
sayangku kepada anak.”
“Lalu apa
yang akan kau lakukan?”
“Kita
bersama pergi ke kota raja! Ya, kita semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga.
Kalau memang kalian bertiga sudah bertekad untuk hidup bersamaku, suka duka
ditanggung berempat, mari kalian ikut bersamaku ke kota raja. Di sana, biar
Siok Lan bertemu dengan jenderal muda itu dan memperoleh ketegasan bahwa dia
memang mencinta anak kita dan bahwa jenderal muda itu belum terikat jodoh
dengan orang lain. Setelah ada ketentuan ini, barulah aku akan pergi menghadap
pendekar sakti itu.”
“Baik, Ayah,
aku setuju,” kata Siok Lan yang maklum akan maksud ayahnya itu.
“Hemm, belum
mau turun jugakah kamu yang berada di atas sejak senja tadi?” tiba-tiba orang
she Bu itu berseru sambil memandang ke atas.
Ci Sian
mendengar semua urusan yang dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa semakin
berduka. Sambil menahan isak dia hendak meloncat turun, maka ketika tiba-tiba
dia mendengar suara pria yang sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri itu,
dia seperti didorong saja dan cepat dia melayang turun dari atas genteng.
“Ada orang!
Dan kau sudah mengetahui sejak tadi, mengapa diam saja?” Tang Cun Ciu berteriak
dan wanita ini sudah berkelebat keluar melalui jendela untuk melakukan
pengejaran.
Khawatir
kalau kekasihnya yang berhati keras dan berwatak ganas itu akan melakukan
sesuatu yang lancang, Bu Seng Kin mengejar dan dua orang wanita lain bersama
Siok Lan juga melakukan pengejaran.
Keadaan di
luar malam itu ternyata cukup terang karena bulan tersenyum di atas,
seolah-olah mentertawakan ulah manusia-manusia di dunia ini. Tidak ada segumpal
pun awan menghalangi senyumnya sehingga keadaan cukup terang. Nampaklah
bayangan Ci Sian berlari-lari meninggalkan puncak itu, dikejar oleh mereka
semua.
Pengejar Ci
Sian itu adalah orang-orang yang tinggi ilmunya, maka sebentar saja Ci Sian
tersusul, apalagi karena memang dara ini tidak ingin berlomba lari. Dia
terpaksa menghentikan larinya dan berdiri tegak menanti orang-orang yang
mengejarnya itu. Diam-diam ia lalu mengerahkan tenaga dan ilmunya, terdengar
suara melengking tinggi dari mulutnya yang menggetarkan seluruh keadaan
sekeliling tempat itu. Mendengar suara ini, Bu Seng Kin mengeluarkan seruan
heran, demikian pula Tang Cun Ciu karena mereka berdua mengenal khikang yang
tinggi dan aneh.
Dan ketika
mereka semua tiba di depan dara yang berdiri tegak itu, mereka terbelalak kaget
melihat betapa banyak ular berdatangan dari segenap penjuru dan sekarang
mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri, seolah-olah merupakan pasukan
pengawal yang melindungi dara itu. Sedikitnya ada seratus ekor ular besar kecil
berada di situ dan dari jauh masih nampak beberapa ekor ular bergerak datang.
Agaknya semua ular yang berada di puncak dan sekitarnya telah memenuhi panggilan
dara pawang ular itu!
Tang Cun Ciu
merasa seperti mengenal dara itu, akan tetapi begitu melihat Ci Sian, Nandini
dan Siok Lan berseru heran.
“Ci
Sian....!” Nandini berseru.
“Sian-moi,
engkau di sini? Mengapa engkau di sini dan mengapa engkau melakukan
pengintaian? Singkirkan ular-ularmu itu, Sian-moi, kita bukanlah musuh!”
Akan tetapi
dengan sikap dingin Ci Sian lalu berkata, “Pergilah kalian semua, aku tidak
butuh dengan kalian semua. Pergi....!”
“Omitohud,
bocah siluman ini berbahaya!” kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat begitu
banyak ular yang seakan-akan melindungi dara itu.
“Hemm, tak
semudah itu, Nona!” Bu Seng Kin membentak. Dia tidak ingin mengganggu nona muda
itu, akan tetapi dia tahu bahwa nona muda inilah orang pertama yang mendatangi
pondoknya dan sejak tadi mengintai.
“Dia ini
yang siang tadi berkeliaran menanyakan tempat tinggalmu!” Gu Cui Bi berseru dan
Bu Seng Kin merasa makin curiga, lalu dia bergerak maju hendak menangkap dara
itu. Tetapi Ci Sian mengeluarkan suara melengking nyaring dan ular-ularnya
bergerak menyerang semua orang itu!
Terdengar
jerit-jerit karena jijik, akan tetapi wanita-wanita yang lihai itu tentu saja
tidak mudah menjadi korban ular dan mereka pun mengelak dan menendang atau
menginjak ular-ular itu. Ci Sian sendiri mengamuk, menyerang orang yang berani
mendekatinya dan karena yang berani menyerangnya adalah Tang Cun Ciu dan Bu
Seng Kin, maka dia menerjang dua orang ini dengan kemarahan meluap-luap! Dara
ini mengeluarkan seluruh ilmunya yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong.
Akan tetapi dia berhadapan dengan Cui-beng Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap
yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu saja dia terdesak hebat dan
ular-ularnya pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja Bu Seng Kin menghendaki, tentu
dalam waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu akan roboh.
Akhirnya,
semua ularnya mati dan Ci Sian yang melihat ini merasa begitu marah dan berduka
sehingga dia menjerit dan tidak dapat mengelak ketika tangan Cui-beng Sian-li
menampar ke arah lehernya. Melihat serangan dahsyat yang mengancam nyawa dara
muda itu, Bu Seng Kin cepat menyentuh lengan kekasihnya itu sehingga
menyeleweng dan hanya mengenai pundak Ci Sian, namun cukup membuat Ci Sian
roboh terguling dalam keadaan pingsan karena selain terkena tamparan itu, juga
dara ini menderita tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di pondok itu.
Tang Cun Ciu
memiliki watak yang sangat keras. Melihat betapa tamparannya disentuh oleh
kekasihnya sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak, hatinya tidak puas
sekali. “Budak siluman ini harus dibunuh!” Dan dia pun sudah mengirim pukulan
lagi ke arah tubuh yang sudah tidak bergerak itu.
“Cun Ciu,
jangan....!” Bu Seng Kin mencegah dan dia pun bergerak maju mengulur tangan
untuk mendahului wanita itu, menyelamatkan nyawa dara itu.
“Dukkkk!”
Tiba-tiba
ada sesosok bayangan berkelebat, sebuah lengan menangkis tangan Cun Ciu dan Bu
Seng Kin sekaligus. Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga berilmu tinggi itu
terkejut bukan main sebab tangkisan lengan itu membuat mereka terdorong ke
belakang sampai terhuyung! Ketika mereka memandang ke depan, sudah tidak ada
apa-apa lagi di situ kecuali bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh dara
muda yang tadi menggeletak pingsan itu pun telah lenyap!
“Ehh, ke
mana dia....?” Bu Seng Kin berseru kaget.
“Aku hanya
melihat bayangan berkelebat,” kata Gu Cui Bi, nikouw itu.
Nandini dan
Siok Lan juga melihat berkelebatnya bayangan hitam dan mereka pun tidak melihat
ke mana perginya Ci Sian yang tadi terpukul roboh.
“Ahh....
telah muncul seorang yang memiliki kepandaian luar biasa hebatnya!” seru Bu
Seng Kin dengan nada suara penuh kagum dan juga khawatir. “Mudah-mudahan saja
dia tidak salah paham, bukan maksud kita untuk mencelakai dara itu. Sungguh
heran, siapakah dara itu, dan mengapa ia datang ke sini?”
“Ayah, dia
bernama Ci Sian dan....”
“Ah, aku
ingat sekarang! Dia adalah gadis murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar, gadis
yang.... ahhh, sekarang aku mengerti mengapa dia datang ke sini. Apakah engkau
tidak sempat melihat wajahnya, Kin-koko?” Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini
menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan yang mesra.
“Tidak, aku
tidak begitu memperhatikan wajahnya.”
“Dia serupa
benar dengan mendiang Sim Loan Ci, isterimu....!”
“Ahhh....!
Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci Sian, aihh, kenapa aku bisa melupakan dia?”
Sekali berkelebat, tubuh pendekar ini sudah lenyap.
Ketiga orang
kekasihnya hanya mengangkat pundak, maklum bahwa agaknya pendekar itu hendak
melakukan pengejaran terhadap puterinya yang lenyap dibawa orang itu. Mereka
lalu kembali ke dalam pondok.
Tak lama
kemudian Bu Seng Kin memasuki pondok dengan wajah muram. Dia kelihatan kecewa
dan menyesal sekali. “Dia lenyap tak berbekas. Orang yang membawanya sungguh
memiliki kepandaian yang luar biasa sekali. Mungkinkah gurunya, See-thian
Coa-ong yang membawanya pergi?”
“Tidak
mungkin. Aku pernah bertanding melawan kakek itu dan biar pun terus terang saja
aku tidak mampu mengalahkan dia, akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat
mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan tadi bukan main kuatnya, jauh lebih kuat
dari pada tenaga Raja Ular itu,” kata Tang Cun Ciu.
Bu Seng Kin
menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menarik napas panjang, nampaknya
dia menyesal bukan main. “Dan dia sudah sejak tadi mengintai di atas, kudiamkan
saja. Ahh, dia telah mendengar semuanya, tahu akan kematian ibunya, tentu dia
merasa berduka, kecewa dan menyesal sekali. Ah, mengapa tidak dari tadi kusuruh
dia turun?”
“Hemm, sesal
kemudian tiada gunanya! Semua adalah salahmu sendiri. Karena itu, Bu Seng Kin,
kau bertobatlah dan mintalah ampun atas semua dosa-dosamu. Semua yang terjadi
adalah karena kesalahanmu sendiri, maka sekarang engkau memetik buah dari pohon
yang kau tanam sendiri. Omitohud....!” Nikouw Gu Cui Bi berkata dengan nada
menegur.
Pendekar itu
hanya menarik napas panjang. Kemudian Gu Cui Bi, wanita nikouw itu, menggandeng
tangan Nandini dan berkata, “Marilah Nandini Cici, engkau dan puterimu
sebaiknya ikut bersamaku, bermalam di kuilku yang cukup luas, tidak seperti
gubuk ini yang terlalu sempit.”
Nandini
mengangguk dan bersama Siok Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju ke pintu
bersama nikouw itu. Setibanya di pintu, nikouw itu berhenti dan menengok, lalu
memandang ke arah Bu Seng Kin yang nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu yang
duduk tenang saja di atas bangku, lalu berkata kepada pendekar itu, “Bu Seng
Kin, kalau malam nanti engkau tidak datang ke kuil menengok Cici Nandini,
berarti engkau seorang laki-laki yang selain tidak punya budi juga tidak adil
sama sekali dan tidak pantas mempunyai tiga orang isteri.” Setelah berkata demikian,
dia lalu pergi bersama Nandini dan Siok Lan.
“Hemm,
jangan khawatir, aku tentu akan datang menengokmu, Cui Bi.”
“Bukan aku,
melainkan Cici Nandini!” teriak nikouw itu dari luar, tetapi yang terdengar
hanya suara tawa pendekar itu disusul padamnya lampu di dalam pondok itu!
“Sialan,
dasar laki-laki mata keranjang!” Cui Bi Nikouw itu mengomel dan melanjutkan
perjalanannya bersama Nandini dan puterinya.
Dua orang
ini segera dapat akur karena mereka berdua maklum bahwa di antara tiga orang
kekasih Bu Seng Kin, kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan mereka berdua
masing-masing bukanlah tandingan wanita tokoh Lembah Suling Emas itu. Oleh
karena itu, mereka segera saling mendekati karena kalau mereka maju berdua,
kiranya mereka akan mampu menandingi Cun Ciu! Pula, biar bagaimana rindu hati
mereka terhadap Bu Seng Kin, kalau harus bermalam bersama-sama di pondok yang
kecil itu, tentu saja mereka merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok Lan.
Sementara
itu, diam-diam Seng Kin menjadi bingung dan mengeluh sendiri karena dia tahu
bahwa bagaimana pun juga, malam itu harus mengunjungi kuil di mana dia tidak
tahu bagaimana dia harus melayani tiga orang wanita yang seperti tiga ekor
harimau betina yang kelaparan itu! Lempoh…..
***************
Ci Sian
merasa terapung-apung di angkasa gelap. Dia melihat seorang pria, ayah
kandungnya, bersama seorang wanita yang tidak begitu jelas air mukanya,
berjalan di sebelah depan, seperti melayang-layang. Ibunya, pikirnya. Itulah
ibunya yang berjalan bersama ayahnya. Tetapi tiba-tiba ayahnya melihat ke depan
dan berlari meninggalkan ibunya, mengejar banyak sekali wanita-wanita yang
tertawa-tawa genit. Ibunya lalu terhuyung dan terjatuh, melayang turun dari
angkasa! Dia terkejut sekali, berusaha hendak lari mengejar sambil menjerit,
“Ibu.... Ibu....!” Akan tetapi dia pun tergelincir dan jatuh tergelincir.
“Ibu....!”
Sebuah
tangan yang halus menjamah dahinya yang berkeringat dan agak panas.
“Ibu....,“
Ci Sian mengeluh lirih dan tangan yang halus itu mengusap rambut di atas
dahinya, dia merasa nyaman dan tidak begitu pening lagi, lalu tertidur kembali,
sekali ini tanpa mimpi.
Tak jauh
dari situ nampak api unggun bernyala memberi cahaya yang cukup terang dan
ternyata bahwa dara itu rebah di dalam sebuah goa yang besar, bertilamkan
rumput kering dan berselimutkan jubah panjang. Seorang pria duduk bersila di
dekatnya dan setelah dara itu tidur pulas, pria itu memejamkan mata sambil
terus bersila sampai pagi.
Pada
keesokan harinya, ketika sinar matahari kemerahan telah mulai memasuki goa itu
dari samping, Ci Sian mengeluh panjang kemudian membuka matanya. Dia
mengejap-ngejapkan matanya sebab silau oleh sinar merah yang menerobos masuk
dan menimpa lantai dekat kepalanya, lalu dia terbelalak keheranan ketika
melihat bahwa dia berada di sebuah goa yang diketahuinya karena melihat
langit-langit batu itu. Lalu dia menoleh dan melihat seorang pria duduk bersila
di sebelahnya, seorang pria yang berwajah tampan dan ramah, yang memandang
kepadanya sambil tersenyum.
“Ah....
ahh.... aku.... aku masih mimpi....,“ Ci Sian mengejap-ngejapkan dan
menggosok-gosok kedua matanya.
“Tidak, Ci
Sian, engkau tidak mimpi,” kata pria itu dengan halus.
Ci Sian
terbelalak, lalu bangkit duduk, memandang kepada pria itu. “Engkau.... engkau
Paman Kam Hong....!”
Pria itu
mengangguk dan tersenyum, lalu menambahi kayu bakar sehingga api unggun
membesar karena hawa pagi itu amat dinginnya meski sinar matahari telah
memasuki goa. Pria itu tentu saja dikenalnya baik-baik. Wajah itu tak pernah
meninggalkan lubuk hatinya dan ternyata pendekar itu tidak berubah sama sekali
setelah berpisah hampir lima tahun dengan dia! Masih seperti dahulu, tampan,
pendiam dan tenang, begitu tenangnya!
“Tapi....
tapi.... mengapa aku di sini? Bukankah aku dikeroyok....”
“Engkau
terlalu menuruti nafsu amarah dan engkau pingsan, maka kubawa lari ke tempat
ini, Ci Sian.”
Setelah
merasa yakin bahwa dia tidak mimpi, tiba-tiba saja Ci Sian menutupi mukanya.
Tidak terdengar isaknya, hanya pundaknya terguncang dan di antara celah-celah
jari kedua tangannya mengalir air mata. Dia menangis! Akan tetapi dasar hatinya
keras, dia menahan tangisnya sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
“Kalau
engkau sedang merasa berduka, kecewa dan penasaran, menangislah, Ci Sian,
menangislah, tidak ada yang mendengarmu di sini,” kata Kam Hong yang memandang
dengan penuh iba.
Ci Sian
menggeleng kepala dengan kedua tangan masih menutupi mukanya. “Aku tidak mau
menangis! Aku tidak mau menangis! Mereka.... mereka telah membunuh semua ular
itu....!” Dan kembali dia menunduk dan air matanya menetes-netes.
“Karena itu,
lain kali janganlah sembarangan minta bantuan ular-ular untuk menghadapi lawan,
Ci Sian. Apa sih kekuatan ular-ular itu kalau menghadapi orang pandai? Hanya
bisa menakut-nakuti anak kecil saja dan sayang membuang nyawa ular-ular yang
tidak bersalah apa-apa.”
Mendengar
suara yang nadanya menegur ini, Ci Sian menurunkan kedua tangannya dan muka
yang masih basah air mata itu dihadapkan kepada pendekar itu, sepasang mata
yang masih merah basah itu memandang tajam. “Kau salahkan aku....?”
Kam Hong
mengangguk. Sejenak Ci Sian memandang dengan penuh penasaran, akan tetapi
akhirnya dia pun menangis, sekali ini nangis dan bersuara! “Kau.... kau malah
memarahiku.... hu-hu-huuh, ahhh.... Ibuku telah mati.... Ayahku.... Ayahku....
aku benci Ayahku! Aku benci manusia itu, aku benci! Hu-huuh, aku tidak punya
siapa-siapa lagi di dunia ini....”
“Hemm, masih
ada aku, Ci Sian.”
“Kau.... kau
malah memarahiku.... hu-huuhh!”
Diam-diam
Kam Hong merasa geli akan tetapi juga terharu sekali. Orang-orang yang sedang
dikuasai perasaannya, baik itu perasaan terlalu girang, terlalu marah, atau
terlalu duka, suka bersikap seperti kanak-kanak. Dara ini sekarang sudah
dewasa, akan tetapi pada saat itu dikuasai oleh himpitan batin yang hebat.
Perasaan kecewa, penasaran, marah dan duka menindihnya sehingga dia tidak mampu
menguasai dirinya lagi dan bersikap seperti kanak-kanak, sungguh patut
dikasihani. Maka dia pun lalu mendekati dan mengelus rambut kepala dara itu
bagaikan sikap seorang paman yang menghibur seorang keponakannya yang masih
nakal.
“Sudahlah,
tenanglah, aku tidak marah padamu, Ci Sian, sama sekali tidak....”
Mendengar
ucapan itu, dan merasa betapa tangan yang mengelus kepalanya itu amat lembut
dan penuh perasaan sayang, Ci Sian menjerit lalu menyembunyikan mukanya pada
dada pendekar itu, lalu menangislah dia sejadi-jadinya. Kam Hong membiarkan
saja karena hal itu amat baik bagi Ci Sian. Kekuatan yang mendorong perasaan
marah atau duka amatlah kuatnya dan kalau tidak disalurkan keluar melalui
tangis, akan terpendam di dalam dan selain dapat meledak menjadi pelampiasan
marah yang berbahaya, juga amat berbahaya bagi kesehatan dara itu sendiri.
Setelah
menangis sesenggukan tanpa mengekangnya, akhirnya Ci Sian merasa dadanya lapang
sekali. Dia teringat betapa dia menangis di atas dada Kam Hong dan membuat baju
pendekar itu menjadi basah, maka cepat-cepat dia menjauhkan dirinya dan
memandang kepada baju yang basah itu.
“Maaf, Paman....
aku telah membasahi bajumu.”
Kam Hong
melihat bajunya dan tersenyum sabar. “Baju basah bisa dijemur, Ci Sian. Yang
penting, engkau tidak menyimpan perasaan dalam batin lagi. Nah, mari kita
bicara sekarang.”
Ci Sian
mengerutkan alis dan menarik napas panjang. Terasa hawa yang disedotnya itu
memenuhi paru-paru sampai ke pusar, dan terasa dadanya nyaman sekali.
Mengertilah dia kini mengapa pendekar itu membiarkan dia menangis sepuasnya di
dadanya tadi, dan dia merasa berterima kasih sekali.
“Aku sedih
sekali mengingat nasib Ibuku, Paman. Aku tidak tahu mengapa Ibu dapat menjadi
lemah begitu, padahal menurut penuturan Ayah.... ahhh, orang itu, Ibu adalah
seorang pendekar wanita. Aku belum tahu jelas mengapa sampai meninggal dunia
begitu mudah, hanya karena sakit-sakitan. Tubuh seorang pendekar wanita mana
mungkin sakit-sakitan begitu?”
“Aku tahu,
Ci Sian.”
“Ehh?
Bagaimana kau tahu?”
“Kebetulan
saja. Setelah membawamu ke sini, aku berjaga-jaga dan melihat Ayahmu itu....“
“Jangan
sebut dia Ayahku lagi! Aku benci mempunyai Ayah macam dia!”
“Membenci
bukanlah sikap bijaksana dalam hidup.”
“Lanjutkan
ceritamu, Paman, apa yang kau lihat dan dengar?”
“Ayahmu itu
agaknya mencari-carimu, akan tetapi tanpa hasil dan diam-diam aku lalu
membayanginya sebab aku ingin memperoleh keyakinan apakah benar kita tidak
dikejar orang. Dan aku membayanginya sampai ke pondoknya di mana dia bicara
dengan.... ehh, wanita-wanita yang menjadi isterinya itu dan dia menceritakan
bahwa Ibumu yang bernama Sim Loan Ci itu menjadi lemah dan sakit-sakitan
semenjak dia dan Ayahmu bertanding melawan gerombolan siluman di Sin-kiang yang
terkenal dengan sebutan Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam).”
“Siapakah
itu Hek-i-mo?”
“Aku sendiri
belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi sudah kudengar nama mereka.
Hek-i-mo adalah perkumpulan, atau lebih tepat dinamakan gerombolan yang
merajalela di daerah Sin-kiang. Selain berpengaruh dan mempunyai hubungan dekat
dengan penguasa, juga gerombolan itu lihai bukan main, dipimpin oleh
datuk-datuk kaum sesat dan memiliki pasukan yang kuat.”
“Jadi ibu
berpenyakitan setelah bertanding melawan mereka?”
“Begitulah
menurut penuturan Ayahmu kepada seorang di antara isterinya, karena dalam
pertempuran antara orang tuamu melawan gerombolan itu, mendiang Ibumu menderita
pukulan beracun dan pada waktu itu Ibumu sedang mengandung. Hanya itulah yang
kudengar dari percakapan mereka dan aku lalu pergi karena merasa tidak enak
mendengarkan pembicaraan suami isteri.”
“Kalau
begitu, aku akan mencari Hek-i-mo dan akan membasminya untuk membalaskan
kematian Ibu!”
“Hemm,
jangan kira hal itu mudah saja, Ci Sian. Sepanjang pendengaranku, Hek-i-mo
merupakan gerombolan yang amat berbahaya dan sudah banyak pendekar-pendekar
berilmu tinggi yang gagal dan bahkan menemui kematian ketika berhadapan dengan
mereka. Bahkan Ayah Ibumu yang demikian lihai pun agaknya gagal.”
“Aku tidak
takut gagal, aku tidak takut mati!”
Kam Hong menahan
senyumnya. Dara ini masih seperti dulu, pemberani dan keras hati sehingga amat
mengkhawatirkan karena sikap seperti itu banyak mengakibatkan mala petaka
kepada diri sendiri.
“Biar pun
engkau berusaha, kalau sudah pasti bahwa engkau akan gagal, apa artinya? Engkau
harus memperdalam ilmu kepandaianmu, dan untuk itu, aku mau membantumu, Ci
Sian. Ingat, aku masih ada hutang padamu.”
“Hutang?
Hutang apa?”
“Hutang
ilmu. Lupakah kau akan ilmu yang kita bersama temukan pada tubuh jenazah kakek
kuno itu? Aku masih harus mengajarkannya kepadamu dan engkau pun berhak
mempelajarinya, karena kita berdualah yang menemukannya.”
Ci Sian
mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh pendekar ini memang benar. Biar pun
tadinya dia merasa bahwa ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari See-thian
Coa-ong cukup tinggi, namun ternyata bahwa ilmunya itu masih jauh dari pada
cukup jika dia berhadapan dengan orang-orang pandai, juga ular-ularnya itu
tidak ada artinya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Dan dia percaya bahwa
pendekar ini memang memiliki ilmu yang tinggi sekali, kalau tidak demikian,
mana mungkin dapat melarikan dia dari tangan ayahnya dan isteri-isteri ayahnya
yang demikian lihainya?
“Baiklah,
Paman, aku akan belajar darimu.”
“Nah,
sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu semenjak kita saling
berpisah. Ke manakah engkau pergi ketika kita berdua terdampar di lembah tanpa
jalan keluar itu? Kau ingat ketika bukit itu longsor dan kita terasing di
lembah salju?”
“Aku sedang
mencari burung dan aku lalu terpeleset jatuh ke dalam jurang.”
“Hemm, sudah
kuduga begitu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat tetap hidup setelah terjatuh
ke dalam jurang yang sedemikian dalamnya?”
“Aku
ditolong oleh seorang kakek yang bernama See-thian Coa-ong, Paman.” Dara itu
lalu menceritakan pengalamannya sampai dia diambil murid oleh kakek Raja Ular
itu.
“Bagus
sekali, engkau beruntung, selain dapat diselamatkan dari ancaman bahaya maut,
juga masih menemukan seorang guru yang pandai. Pantas saja engkau pandai
bermain-main dengan ular.”
“Paman, hal
itu belum seberapa penting. Yang kuanggap paling menarik dan penting adalah
ketika aku diajak oleh guruku itu untuk menemui musuhnya di Lembah Suling Emas,
yaitu di luar lembah di mana tinggal musuh Guruku. Di situ aku bertemu degan
seseorang yang tentu akan membuat Paman terkejut sekali, dan tak mungkin Paman
dapat menduganya siapa.”
Di dalam
hatinya, Kam Hong tertarik sekali, akan tetapi dia tetap nampak tenang dan
tersenyum, seperti seorang dewasa mendengarkan penuturan seorang anak kecil
saja. “Siapakah dia yang kau maksudkan itu?”
“Musuh
Guruku itu adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara.... eh,
isteri Ayah, wanita yang paling galak dan paling lihai yang hampir membunuhku
malam tadi. Dia adalah seorang tokoh Lembah Suling Emas dan ilmunya tinggi
sekali.”
“Hemm,
sungguh aneh sekali ada lembah yang bernama Lembah Suling Emas.”
“Aku pun
tadinya merasa heran, Paman. Menurut Guruku, Lembah Suling Emas itu adalah
lembah tempat keluarga yang amat sakti, yaitu keluarga Suling Emas.”
“Hemmm....!”
Kam Hong mengelus dagunya dan alisnya berkerut. Apa pula ini?
“Aku pun
merasa penasaran, Paman. Bukankah Paman satu-satunya Pendekar Suling Emas dan
Paman memiliki sebuah suling dari emas, juga Paman malah memiliki ilmu-ilmu
peninggalan Pendekar Suling Emas, namun di Pegunungan Himalaya ada lembah yang
yang bernama lembah Suling Emas dan menjadi tempat tinggal keluarga Suling
Emas! Akan tetapi Guruku tidak dapat bercerita lebih jelas. Akan tetapi Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu itu memang lihai bukan main sehingga Suhu-ku sendiri hanya
mampu mengimbangi dalam ilmu silat tanpa dapat mengalahkannya. Dan yang luar
biasa adalah muridnya, Paman.”
“Murid
wanita itu? Bagaimana hebatnya?”
“Dia itu
bukan lain adalah Yu Hwi!”
Sekali ini
benar-benar Kam Hong terkejut bukan main dan dia menatap wajah dara itu dengan
mata terbelalak. Akan tetapi hanya sekejap saja karena dia sudah bersikap biasa
kembali, tenang dan agak dingin. “Sungguh-sungguhkah engkau, Ci Sian?”
“Mengapa
tidak, Paman? Aku malah sudah menegurnya, dan mengingatkan dia akan namamu,
dan.... ahhh, sungguh aku tidak mengerti akan sikap isterimu itu, Paman.
Mengapa dia begitu.... ehhh, agaknya begitu membencimu dan tidak peduli
kepadamu? Aku sudah menegurnya, mengingatkan dia tentang engkau, akan tetapi
dia malah marah-marah. Dan tahukah engkau apa yang terjadi? Gurunya, Si
Cui-beng Sian-li itu, mengadakan perjanjian dengan suhuku, See-thian Coa-ong,
untuk mengadukan murid-murid mereka, yaitu Yu Hwi itu dan aku, setelah belajar
lima tahun lamanya. Coba pikir, bukankah perjanjian itu gila?”
Kam Hong
menarik napas panjang. “Yu Hwi adalah calon isteriku, ikatan jodoh antara kami
telah disahkan oleh orang-orang tua yang menjadi wali kami. Dia belum menjadi
isteriku, akan tetapi menurut keputusan wali-wali kami, kami harus saling
berjodoh. Di manakah dia, Ci Sian? Aku harus menemuinya.”
“Hemm, Paman
Kam Hong. Kalau dia tak mau, apakah akan dipaksa menjadi isterimu?”
“Justru aku
harus menemuinya untuk membicarakan urusan kami itu. Selain itu, aku pun ingin
sekali berkenalan dengan keluarga yang tinggal di Lembah Suling Emas itu, Ci
Sian.”
“Baik, aku
akan mengantarmu ke sana, Paman. Akan tetapi dengarkanlah lanjutan ceritaku….”
Ci Sian lalu
menceritakan tentang semua pengalamannya, betapa dia setelah belajar empat
tahun dari See-thian Coa-ong lalu meninggalkan pertapaan gurunya itu dan hendak
mencari Kam Hong atau Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana adanya orang tuanya
seperti yang diceritakan oleh kakeknya kepada piauwsu itu. Kemudian betapa dia
terlibat dalam perang di Lhagat, tentang Jenderal Kao Cin Liong, tentang Siok
Lan, panglima wanita Nandini dan lain-lain sampai kemudian perang berakhir
dengan kekalahan di pihak tentara Nepal dan dia mendengar tentang tempat tinggal
ayahnya dari Lauw-piauwsu yang tewas karena luka-lukanya.
“Begitulah,
aku bertemu dengan Ayahku, akan tetapi dalam keadaan yang sama sekali tidak
menyenangkan hatiku dan aku tidak sudi bertemu dengan dia! Sekarang, kau
ceritakan pengalamanmu semenjak kita berpisah, Paman.”
“Mari kita
berangkat, Ci Sian. Di dalam perjalanan nanti akan kuceritakan semua itu
kepadamu.”
Mereka
melakukan perjalanan lagi, seperti lima tahun yang lalu. Hanya bedanya, kini Ci
Sian bukan lagi anak-anak, bukan lagi anak perempuan tiga belas tahun,
melainkan seorang dara remaja yang sudah berusia tujuh belas tahun, seorang
dara remaja yang amat cantik dengan tubuh yang padat meranum, seperti setangkai
bunga yang sedang mulai mekar!
Diam-diam
Kam Hong harus mengakui bahwa dia kagum sekali kepada dara ini, kagum akan
kecantikannya yang sukar dicari keduanya itu, dan diam-diam dia merasa amat
bergembira dapat bertemu kembali dengan Ci Sian dan dapat melakukan perjalanan
bersama kembali. Lenyaplah segala rasa kesunyian dan nelangsa sebagai akibat
perpisahan dengan Yu Hwi semenjak dia bertemu dengan dara ini kurang lebih lima
tahun yang lalu.
Sebaliknya,
setelah kini berjumpa dengan Kam Hong hati Ci Sian merasa begitu ringan dan
gembira. Semua kekecewaan dan rasa penasaran, semua rasa duka yang tertimbun
sejak kekecewaannya menyaksikan hubungan antara Siok Lan dan Cin Liong sampai
kepada kenyataan yang amat pahit dari keadaan ayah kandungnya, kini lenyap tak
berbekas dan wajahnya yang jelita itu berseri-seri! Dia lupa sama sekali kepada
bayangan Cin Liong yang tadinya amat dikaguminya itu, dan dia merasa bergembira
sekali, gembira dan puas seolah-olah dia memperoleh kembali sesuatu yang hilang
dari lubuk hatinya.
Seperti juga
dulu, mereka melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi,
lembah-lembah yang dingin dan puncak-pucak bukit yang tertutup es. Seperti juga
dulu, Kam Hong yang bersikap pendiam dan tenang, bahkan agak dingin itu,
seperti gunung es menghadapi api karena sikap Ci Sian sebaliknya dari pada dia.
Dara ini, panas dan penuh semangat, penuh gairah hidup dan selalu jenaka, kocak
dan gembira, agak kenakal-nakalan sehingga mulai mencairlah gunung es dalam
hati Kam Hong itu!
Sambil
melakukan perjalanan seenaknya, Kam Hong bercerita tentang pengalamannya
semenjak dia berpisah dari Ci Sian. Akan tetapi tidak banyak yang dapat
diceritakan. Seperti kita ketahui, ketika Ci Sian tergelincir ke dalam jurang
yang mengelilingi ‘pulau salju’ terpisah dari tempat-tempat lain itu, Kam Hong
merasa amat gelisah, khawatir sekali dan berduka. Dia mengira bahwa tentu dara
itu telah tewas tergelincir ke dalam jurang.
Akan tetapi
dia tidak dapat berbuat sesuatu. Biar pun dia sudah berusaha keras untuk
mencari jalan turun, namun dia mendapatkan kenyataan yang makin mendukakan
hatinya bahwa tidak mungkinlah menuruni tempat itu dan siapa yang tergelincir
ke bawah yang tidak nampak dasarnya saking dalamnya itu, agaknya tidak mungkin
dapat diharapkan akan selamat. Pendekar itu selama beberapa hari termenung di
tepi jurang, penuh kedukaan dan hampir dia menangis kalau teringat betapa gadis
cilik itu kini telah mati! Batinnya yang sudah tertekan selama bertahun-tahun
dengan lenyapnya Yu Hwi, kini bertambah berat dengan dugaan bahwa Ci Sian telah
mati tergelincir ke dalam jurang.
Sampai
hampir sepekan dia merenungi keadaan yang menyedihkan itu, akan tetapi akhirnya
dia sadar bahwa membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan merupakan hal yang
tidak baik sama sekali, maka dia lalu menyibukkan diri dengan latihan ilmu yang
baru saja dia peroleh dan pelajari dari catatan di tubuh jenazah tua. Dan ilmu
itu memang hebat bukan main, merupakan ilmu yang amat tinggi, sakti dan penuh
rahasia. Ilmu meniup suling berdasarkan sinkang yang luar biasa tingginya itu
dipelajarinya dengan amat susah payah, kemudian dia melatih pula ilmu pedang
Kim-siauw Kiam-sut yang dilakukan dengan suling.
Selama
setahun lebih Kam Hong terasing di tempat itu, tidak memperoleh kesempatan
untuk keluar dari tempat itu. Kemudian, setelah pergantian musim, puncak bukit
di atas longsor dan jutaan ton es batu tanah dan salju menutup jurang sehingga
tempat itu kembali tertutup dan dia dapat keluar dari pengasingan itu!
Maka
dipilihnyalah tempat yang amat baik untuk melatih ilmu, di lereng sebuah puncak
yang subur, tidak seperti di tempat pengasingan itu yang hanya terdiri dari
batu es dan salju yang amat dinginnya. Di tempat ini, Kam Hong melanjutkan
latihannya setelah beberapa hari dia mencari-cari di sekitar tempat pengasingan
itu dan tidak berhasil menemukan Ci Sian, bahkan tulang kerangkanya pun tak
dapat ditemukannya. Dia menduga bahwa tentu gadis cilik itu telah tertimbun es
dan tidak mungkin ditemukan lagi kerangkanya.
Selama tiga
tahun Kam Hong memperdalam ilmunya sampai dia berhasil menguasai ilmu-ilmu itu,
walau pun untuk bersuling tanpa suling dia masih belum sanggup melakukannya.
Akan tetapi, kini dia dapat menyuling tanpa menutup lubang-lubang sulingnya dan
dapat menyanyikan lagu apa pun juga melalui sulingnya tanpa memainkan jarinya.
Bahkan dia dapat mainkan ilmu pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling
Emas) sedemikian rupa sehingga sulingnya mengeluarkan suara berlagu merdu!
Kemudian dia
meninggalkan tempat pertapaannya untuk melanjutkan usahanya mencari Yu Hwi, dan
dalam perjalanan inilah dia mendengar tentang perang yang terjadi di Lhagat,
dan tentang pasukan pemerintah yang terkepung di lembah oleh pasukan-pasukan
Nepal. Kedatangannya tepat sekali, karena pada waktu itu, pasukan Kerajaan
Ceng, dibantu oleh pasukan Tibet dan orang-orang kang-ouw yang lihai sedang
mulai dengan gerakan mereka.
Melihat
betapa pasukan yang terkurung itu mulai membuka bendungan sehingga air dari
puncak membanjir, disusul gerakan pasukan yang terkepung itu untuk membobolkan
kepungan, Kam Hong segera turun tangan pula membantu, diam-diam dia mengamuk
dan mengacaukan pasukan Nepal yang mengepung, seperti yang juga telah dilakukan
oleh Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Akan tetapi karena mereka berdua itu bergerak
di kanan kiri air bah, jadi terpisah, maka mereka tak saling jumpa. Setelah
melihat betapa pasukan pemerintah Ceng berhasil merebut Lhagat, Kam Hong tak
mencampuri perang tadi dan dia menyingkir tanpa memperlihatkan diri.
Tetapi dia
melihat panglima wanita Nepal bersama seorang dara melakukan perjalanan
tergesa-gesa dan diam-diam dia membayangi mereka dari jauh sampai ke Pegunungan
Kongmaa La.
“Demikianlah,
tanpa tersangka-sangka olehku, aku dapat bertemu denganmu, Ci Sian.” Pendekar
itu mengakhiri ceritanya. “Mula-mula aku memang pangling, apalagi ketika
melihat seorang dara memanggil ular-ular itu. Aku hanya ingin menolongnya
karena dia dikeroyok oleh orang-orang yang demikian lihainya, dan baru aku
mengenalmu setelah aku membawamu ke dalam goa itu.”
“Dan aku
merasa seperti dalam mimpi begitu membuka mata dan melihatmu, Paman. Akan
tetapi sekarang, setelah aku yakin bahwa kita benar telah berkumpul kembali,
aku merasa seolah-olah perpisahanku denganmu selama hampir lima tahun itu hanya
mimpi belaka!”
Kam Hong
tersenyum karena ucapan itu sama benar rasanya seperti yang berada dalam
hatinya. Dia seolah-olah tak pernah berpisah dari Ci Sian, seolah-olah semua
yang dialaminya sendiri tanpa Ci Sian selama ini hanya sebuah mimpi saja…..
***************
Gadis itu
bersilat dengan cepatnya. Gerakannya gesit bukan main, pukulan-pukulannya
mendatangkan angin bersuitan dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu
bergoyang-goyang, bahkan ada yang rontok tertiup angin pukulan kedua tangan dan
kakinya yang berloncatan ke sana sini seperti seekor burung yang sedang
berlagak di pagi hari itu. Pagi hari itu cerah dan indah sekali dan lapangan
rumput itu amat bersih, kehijauan, segar, hening tidak nampak seorang pun
manusia lain di situ.
Gadis itu
memang lihai sekali karena dia ini bukan lain adalah Yu Hwi. Usianya sudah dua
puluh delapan tahun, akan tetapi dia nampak masih muda, agaknya hanya dua puluh
dua atau dua puluh tiga tahun. Pakaiannya yang serba merah muda itu membuat dia
nampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Dan memang gadis ini lihai
bukan main. Apalagi sekarang setelah dia menjadi murid tersayang dari Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti, tentu saja kepandaiannya meningkat dengan amat
pesatnya.
Dulu pun dia
telah merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai, yang terkenal dengan
julukan Ang Siocia karena pakaiannya selalu kemerahan. Dari gurunya yang
pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling, dia telah mewarisi ilmu silat
yang tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang
dan Golok) amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia mampu memutuskan benda-benda
keras bagai disabet dengan pedang atau golok saja! Di samping ilmu Kiam-to
Sin-ciang ini, dia pun terkenal pandai melakukan penyamarannya, dan pandai pula
dalam ilmu mencuri atau mencopet, kepandaian khas dari Hek-sim Touw-ong!
Seperti
telah kita ketahui dari cerita JODOH RAJAWALI, hati gadis ini merasa kecewa
bukan main. Sebagai seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta. Dia jatuh hati
kepada seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu
putera dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Akan tetapi cintanya
bertepuk tangan sebelah, pendekar yang dicintanya itu ternyata mencinta dara
lain sehingga hati gadis ini menjadi hancur dan patah-patah.
Kemudian Yu
Hwi mendengar tentang rahasia dirinya, bahwa ia adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong
Yu Kong Tek dan bahwa sejak kecil dia diculik oleh gurunya Si Raja Maling. Hal
ini tidak menyusahkan hatinya, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia
mendengar bahwa sejak kecil dia telah ditunangkan dengan seorang anak laki-laki
yang bukan lain adalah Siauw Hong atau Kam Hong, pemuda yang sudah dikenalnya,
bahkan pemuda yang tanpa disengaja pernah membuka rahasia penyamarannya pada
saat itu sebagai seorang pemuda.
Maka, karena
malu terhadap Kam Hong, juga karena berduka mengingat bahwa hatinya telah jatuh
cinta kepada Siluman Kecil, Yu Hwi kemudian melarikan diri, meninggalkan
kakeknya, dan mengambil keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah gagal
cintanya dengan Siluman Kecil, dan dia tidak sudi dikawinkan dengan orang lain,
apalagi yang bukan pilihannya sendiri, sungguh pun harus diakuinya bahwa
tunangannya itu adalah seorang pemuda yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu
dan tidak mau kembali lagi.
Dan di dalam
perjalanannya itulah dia bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun Ciu dan
diambil sebagai murid. Hatinya menjadi girang sekali, apalagi saat ia
diperkenalkan dengan keluarga sakti yang menjadi penghuni Lembah Suling Emas.
Hatinya kagum bukan main, terutama sekali kepada seorang di antara para tokoh
lembah itu, yang masih terhitung susiok-nya (paman seperguruannya), yaitu yang
bernama Cu Kang Bu, pemuda sakti tinggi besar dan gagah itu. Dia merasa kagum
bukan main terhadap keluarga yang amat sakti itu, terutama para paman gurunya
yang menurut subo-nya bahkan lebih lihai dari pada subo-nya sendiri yang sudah
amat dikaguminya itu!
Selama
beberapa hari ini, subo-nya nampak murung saja, tetapi hatinya girang karena
subo-nya mengatakan bahwa pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu yang lima
tahun itu sudah hampir tiba dan dia akan harus berhadapan dengan murid
See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji dua orang yang bermusuhan secara aneh
itu, untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Dahulu, dalam pertempuran
mati-matian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dan See-thian Coa-ong, tiada
yang kalah atau menang, kepandaian mereka seimbang. Maka kini, murid-murid
mereka yang akan menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka.
Yu Hwi
merasa girang, bukan hanya karena dia akan bertanding mewakili subo-nya,
melainkan karena dia telah bebas dan setelah melakukan pertandingan itu, dia
boleh turun gunung atau pergi dari tempat itu, melanjutkan perjalanan atau
perantauannya. Dan dia sudah merasa rindu untuk kembali ke timur, ke dunia
ramai. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat dia merasa
berat meninggalkan Lembah Suling Emas, dan selama berbulan ini wajah yang gagah
dari susiok-nya sering muncul di alam mimpi, menggerakkan gairah di dalam
hatinya yang sudah lebih dari dewasa, bahkan yang sudah agak terlambat itu,
mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun!
Pagi hari
itu, dalam cuaca cerah dari hari yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan tangan
kosong, berlatih sebaik-baiknya dan dia merasa girang karena dapat bergerak
dengan lancar sekali dan merasa yakin bahwa dalam mewakili subo-nya, dia tentu
akan dapat mengalahkan anak perempuan murid See-thian Coa-ong yang bicara
lancang tentang Kam Hong itu!
Setelah dia
berhenti bersilat dan menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba terdengar tepuk
tangan. Yu Hwi terkejut bukan main. Kalau ada orang mampu datang ke tempat itu
tanpa diketahuinya, tentu ilmu kepandaian orang itu tinggi bukan main. Akan
tetapi ketika dia menoleh dengan kaget dan melihat siapa yang bertepuk tangan
itu, wajahnya berseri dan kedua pipinya berubah kemerahan.
“Aihh....
kiranya Sam-susiok (Paman Guru ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk, harap
Susiok jangan mentertawakan,” katanya dengan sikap agak genit, tersenyum manis
dan mengerling tajam.
Pria yang
tinggi besar dan telah berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu tersenyum dan
meloncat turun dari atas sebuah batu besar di mana dia tadi berdiri,
menghampiri gadis itu dengan pandang mata penuh kagum.
“Sungguh
mati, Yu Hwi, aku tidak mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi lincah dan hebat,
dan amat manis sekali, sungguh pun aku melihat adanya beberapa kelemahan yang
agaknya tidak nampak oleh Subo-mu.”
“Ahh,
betulkah Sam-susiok? Harap Susiok sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap Susiok
ingat bahwa beberapa hari lagi aku harus menghadapi murid See-thian Coa-ong
mewakili Subo untuk mengadu kepandaian seperti janji mereka lima tahun yang
lalu.”
Pria itu
menarik napas panjang. “Ahh, Toaso…, Subo-mu itu, selalu menuruti hati panas
sehingga suka berjanji untuk mengadu ilmu. Mempelajari ilmu silat bukan untuk
diadu seperti ayam jago atau jangkerik.”
Yu Hwi
tersenyum. “Betapa pun, janji tetap janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar
janjinya? Sam-susiok, berlakulah baik untuk memberi petunjuk agar supaya aku
dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahan itu. Susiok tidak ingin melihat aku
kalah dalam pertandingan itu, bukan?”
“Tentu saja
tidak. Nah, dalam jurus ke sebelas dan dua belas, juga jurus ke sembilan belas
dan ke dua puluh, kau terlalu menekankan kepada penyerangan, terlalu bernafsu
sehingga kau melalaikan pertahananmu hingga pada bagian-bagian itu pertahananmu
amat lemah dan mudah sekali dimasuki lawan.”
“Ahhh,
begitukah, Susiok? Akan tetapi menurut Subo, permainanku sudah sempurna,” kata
Yu Hwi dengan kaget.
“Mari kita
coba. Kau seranglah aku dengan jurus ke sebelas itu.”
Karena
maklum betapa lihainya susiok-nya yang ganteng dan gagah ini, yang menurut
subo-nya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari subo-nya, dan karena dia
akan memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi menjadi girang dan tanpa ragu-ragu
kemudian dia mengerahkan tenaganya dan menyerang sambil berseru, “Awas Susiok!”
Jurus ke
sebelas disebut Lam-hong Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi), dilakukan
dengan pukulan tangan kiri yang disambung dengan langkah kaki kanan ke depan
lalu kaki kiri menyambar dari samping dengan jalan memutar. Gerakan yang amat cepat
dan tidak tersangka oleh lawan, berbahaya sekali.
“Pinggang
kananmu terbuka!” kata Kang Bu.
Dan dengan
memutar tubuh, setelah mengelak dan menepuk kaki yang menendang, tahu-tahu
tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu Hwi. Tentu saja tidak
dia lanjutkan, hanya jari-jari tangannya menyentuh pinggang itu, menimbulkan
rasa geli.
“Seharusnya
tangan kananmu merapat ke pinggang, seperti ini!” Dengan jelas Kang Bu lalu
memberi contoh dan memegang tangan kanan Yu Hwi, merapatkan di pinggang.
“Mengertikah
engkau? Setiap serangan sudah tentu membuka sebagian dari tubuh kita, dan hal
itu akan dipergunakan oleh lawan yang tangguh untuk mencari titik kelemahan
kita, dan oleh karena itu, di samping penyerangan kita harus mengenal titik
kelemahan sendiri sewaktu menyerang dan sedapat mungkin melindungi kelemahan
itu.”
Yu Hwi
mengerti dan mengulang jurus itu sampai beberapa kali sehingga Kang Bu
mengangguk-angguk puas. “Nah, sekarang coba seranglah aku dengan jurus ke dua
belas,” katanya pula.
“Baik, nah,
awas Susiok! Haitttt....!”
Jurus ke dua
belas ini memang seharusnya dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus ini
disebut Sia-hong-khai-bun (Angin Bawah Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat
dari pada tadi karena tiba-tiba dara itu merendahkan tubuhnya dengan menekuk
kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong dari bawah ke atas dengan kekuatan
hebat karena didasari tenaga sinkang yang amat kuat sehingga angin pukulannya
menyambar dahsyat. Namun tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas, berjungkir
balik dan kedua tangannya dari atas melakukan dua pukulan, yang kiri menusuk ke
arah mata Yu Hwi sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun!
“Aihhhhh....!”
Yu Hwi terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh ke belakang dan
bergulingan, mukanya berubah pucat.
Kang Bu
sudah berdiri di depannya sambil tersenyum. “Bagus sekali cara engkau tadi
menyelamatkan diri. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena apa kau kira aku
hendak mencelakakan engkau dengan sungguh-sungguh?”
“Aku.... aku
kaget, Susiok....“ kata Yu Hwi dan dia pun tersenyum malu-malu ketika Kang Bu
membantunya membersihkan pakaiannya yang terkena tanah ketika tadi dia
bergulingan.
“Nah, engkau
lihat betapa berbahayanya jika engkau mencurahkan seluruh tenaga dan
perhatianmu untuk menyerang di jurus ke dua belas itu. Memang jurus ini
merupakan jurus berbahaya bagi lawan, akan tetapi kalau lawanmu memiliki
ginkang yang tinggi dan melihat keterbukaan bagian kepalamu, engkau sebaliknya
akan terancam bahaya. Oleh karena itu, pada saat memukul, perhatikan gerakan
musuh, kalau dia membalikkan keadaan dengan meloncat dan mengancam kepalamu,
kau tinggal melanjutkan pukulan itu ke atas, mendahuluinya, dan menghantamnya
dari bawah. Mengertikah engkau?”
“Baik, aku
telah mengerti dan terima kasih, Sam-susiok. Memang engkau benar sekali,
Susiok.”
“Sekarang
jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus yang
bergandengan, yaitu See-hong-coan-in (Angin Barat Menerjang Awan) yang lalu
disambung dengan Pak-hong-sang-thian (Angin Utara Naik Langit) dan merupakan
dua jurus terampuh dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru
Angin) itu. Coba kau serang aku dengan dua jurus yang bersambungan itu.”
“Baik,
Susiok.”
Yu Hwi
kemudian menyerang. Gerakannya cepat bukan main, kedua tangan bergantian
melakukan pukulan sambil meloncat, lalu dengan kedua kaki ditekuk dua tangannya
menyambar ke depan ke arah leher dan pusar lawan.
“Lihat
dadamu terbuka!” terdengar susiok-nya itu berkata dan kedua tangannya telah
terpentang oleh tangkisan dan tangan susiok-nya yang besar dan kuat itu
tiba-tiba telah mencengkeram ke arah dadanya, hampir saja menyentuh buah
dadanya, akan tetapi Kang Bu sudah cepat menarik kembali tangannya. Kemudian Yu
Hwi melanjutkan gerakannya, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya
menyerang dengan totokan dari atas ke arah pundak dan ubun-ubun kepala lawan.
Gerakannya memang cepat bukan main sehingga dalam pertandingan yang
sungguh-sungguh, pihak lawan akan terancam bahaya.
“Bagian
belakangmu kosong!” teriak pula Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki sehingga
dua tendangan itu luput dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di sebelah belakang
Yu Hwi dan sekali tangannya menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!
“Ihhh....!”
Yu Hwi terkejut dan melayang turun dengan muka merah, memandang ke arah kakinya
yang hanya tinggal berkaus saja sedangkan sepatu kaki kirinya telah berada di
tangan susiok-nya.
“Maaf, ini
hanya untuk membuktikan betapa bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau tidak
hati-hati. Jadi ingat baik-baik, jurus ke sembilan belas jaga baik-baik dadamu
dan jurus ke dua puluh memiliki kelemahan di bagian belakang tubuhmu pada saat
engkau meloncat.”
Yu Hwi tak
dapat berkata-kata, mukanya merah sekali dan jantungnya berdebar-debar ketika
dia melihat betapa paman gurunya itu berjongkok dan memasangkan sepatu kirinya.
Lebih berdebar lagi rasa jantungnya ketika dia melihat betapa jari-jari tangan
yang kokoh kuat dari pendekar yang lihai itu gemetar tidak karuan ketika
membantunya memakai kembali sepatunya!
Mereka lalu
duduk berhadapan di atas rumput hijau, bercakap-cakap dengan mesranya. Seperti
biasa, dalam pertemuan dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi petunjuk-petunjuk
dalam hal ilmu silat kepada Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan juga mesra, jelas
sekali nampak betapa pria muda itu ‘ada hati’ terhadap murid keponakan yang
manis itu! Dan diam-diam Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia amat tertarik
kepada pemuda ini, seorang pria yang jantan, matang, pendiam, jujur dan tidak
pernah berpura-pura, sikapnya terbuka dan ilmu kepandaiannya amat luar biasa.
Pria seperti ini dapat dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil sekali pun!
Tanpa mereka
sadari, dari tempat yang agak jauh sepasang mata bening memandang ke arah
mereka, dan kemudian sepasang mata itu nampak tidak senang, dan akhirnya
lenyap….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment