Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 10
Tiba-tiba Yu
Hwi berkata, suaranya halus dan lembut, agak mengandung kemanjaan seorang
wanita yang yakin bahwa dirinya dicinta. “Sam-Susiok....”
“Ehhh,
mengapa? Mengapa tidak kau lanjutkan bicaramu?” Kang Bu bertanya sambil
memandang heran, melihat betapa dara itu memanggilnya kemudian menunduk, dan
kelihatannya seperti ragu-ragu dan bimbang.
“Aku hendak
bertanya sesuatu, akan tetapi takut Susiok marah.”
Kang Bu
tertawa, ketawanya bebas lepas. “Ha-ha-ha-ha, engkau aneh sekali, Yu Hwi.
Pernahkah aku marah kepadamu? Dan pula, kenapa aku harus marah?”
Yu Hwi
mengingat-ingat dan memang belum pernah susiok-nya ini marah. Semenjak dia
diperkenalkan kepada para penghui Lembah Suling Emas, dia merasa amat takut
kepada toa-susiok-nya, yaitu Cu Han Bu yang sikapnya pendiam, serius dan
kelihatan galak. Juga dia tidak pernah bicara dengan ji-susiok-nya, yaitu Cu
Seng Bu yang juga pendiam.
Hanya kepada
sam-susiok ini saja dia merasa suka dan cocok, dan susiok-nya ini selain amat
ramah dan baik, juga usianya tidak banyak selisihnya dengan dia. Susiok-nya ini
paling banyak baru berusia tiga puluh empat tahun. Apalagi semenjak
diperkenalkan, dari sinar mata sam-susiok-nya ini dia tahu bahwa pendekar gagah
ini tertarik dan sayang kepadanya. Naluri kewanitaannya amat tajam dan tentu
saja dia dapat menangkap hal ini.
“Tapi aku
merasa khawatir kalau-kalau engkau marah mendengar pertanyaanku ini,
Sam-susiok.”
“Ha-ha,
kalau aku marah, biarlah engkau hitung-hitung mengalami satu kali mendapat
marah dariku!” Pendekar itu kemudian memandang dengan matanya yang lebar dan
mencorong. “Yu Hwi, katakanlah, apa yang akan kau tanyakan kepadaku?”
“Sam-susiok....
aku ingin sekali tahu lebih banyak tentang keluargamu, keluarga Suling Emas
yang amat sakti itu. Kulihat Toa-susiok sudah menduda, padahal dia belum tua
benar, dan Pek In semenjak kecil tidak beribu. Kenapa Toa-susiok tidak pernah
menikah lagi, Susiok? Dan juga Ji-susiok tidak pernah menikah....”
“Ahh, engkau
tidak tahu, Yu Hwi. Twako kematian isterinya yang sangat dicintainya dan dia
tidak berani menikah lagi, tidak melihat adanya wanita yang dapat menggantikan
isterinya, apalagi setelah melihat betapa mendiang Twako Cu San Bu suami
Subo-mu itu menderita karena ulah isterinya.
Maka dia
tidak percaya lagi kepada wanita dan memilih tidak kawin lagi selamanya. Ada
pun Ji-ko Cu Seng Bu, dia.... dia itu memiliki penyakit sejak kecil, penyakit
yang tak dapat disembuhkan dan jika dia menikah, maka penyakit itu akan
membahayakan nyawanya. Selain itu, dia melihat kehidupan yang sengsara dari
mendiang Twako Cu San Bu dan Cu Han Bu sehingga dia merasa ngeri untuk
menikah.”
“Akan
tetapi, keluarga Cu belum memiliki keturunan seorang laki-laki….“
Cu Kang Bu
menghela napas panjang. “Memang hal itu kadang-kadang membuat kami gelisah.
Akan tetapi semenjak datang Sim Hong Bu, hati kami terhibur. Anak itu baik
sekali, dan memiliki bakat yang amat besar. Dia telah dipilih oleh mendiang
Toapek, dan ternyata dia dapat mewarisi ilmu kami dengan baik. Biarlah dia yang
menjadi murid dan juga keturunan kami, siapa tahu dia kelak akan dapat menjadi
suami Pek In seperti yang telah direncanakan dan diharapkan oleh Twako Han
Bu....“
“Ahh, apakah
di antara Sumoi dan Sute itu ada pertalian cinta....?”
Yang ditanya
menggeleng kepada. “Mereka itu masih terlalu muda kiraku untuk itu, akan tetapi
hubungan di antara mereka cukup baik. Engkau tahu, murid kami Hong Bu itu
memang hebat sekali. Dia bahkan sudah berhasil, atau hampir berhasil melatih
ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang-toapek, ilmu yang amat sukar dan mukjijat
itu....“
“Koai-liong
Kiam-sut?”
Yang ditanya
mengangguk dan sejenak mereka diam.
“Sam-susiok….“
“Ya....?”
“Bagaimana
dengan kau sendiri?”
“Aku
mengapa?”
“Maksudku....
eh, apakah engkau juga seperti Ji-susiok yang merasa ngeri menghadapi
pernikahan dan menganggap tidak ada wanita yang patut menjadi.... ehh,
jodohmu?”
Pertanyaan
itu membuat wajah pendekar tinggi besar itu menjadi merah. “Aku.... eh, aku
tidak pernah.... aku belum memikirkan soal jodoh....,“ jawabnya gagap. Pendekar
sakti yang menghadapi ancaman maut apa pun juga akan bersikap tenang ini,
menghadapi pertanyaan tentang jodoh itu menjadi gugup. Sungguh hebat!
“Ahh,
Sam-susiok, kenapa?”
“Aku....
ehh, kurasa belum waktunya bagiku untuk memikirkan jodoh.”
“Belum
waktunya? Menurut dugaanku, Sam-susiok tentu sudah berusia tidak kurang dari
tiga puluh tiga tahun sekarang....”
“Sudah tiga
puluh lima.”
“Nah, kenapa
masih belum waktunya? Apakah engkau tidak juga hendak menikah kalau sudah
berusia setengah abad?”
“Ha, bukan
begitu, Yu Hwi, akan tetapi.... selama ini memang belum ada seorang gadis yang
cocok untukku.... dan sekarang.... setelah ada yang cocok, hemm.... aku mungkin
sudah terlalu tua untuknya.”
Yu Hwi
adalah seorang dara yang sudah matang, maka tentu saja dia dapat menduga ke
mana tujuan percakapan itu dan siapa yang dikatakannya tidak cocok itu. Dengan
sikap seolah tidak tahu dan manja dia bertanya. “Siapakah dara itu, Susiok?
Mengapa mengatakan terlalu tua? Aihhh, coba dengar ini kakek-kakek yang berusia
seabad mengeluh....“ Dia menggoda.
Kang Bu
tidak pandai bicara, akan tetapi sekali ini dia bercakap-cakap sampai
sedemikian banyaknya dengan Yu Hwi, sungguh membuat dia sendiri merasa
terheran. Mendengar godaan itu dia tersenyum, akan tetapi segera memandang
tajam kepada Yu Hwi dan memegang tangan dara itu.
Sekali ini
Yu Hwi memang terkejut, tidak dibuat-buat karena tak disangka-sangkanya bahwa
pemuda itu akan memegang tangannya dan dia merasa betapa jari-jari tangan yang
amat kuat itu menggenggam tangannya dan ada terasa getaran olehnya, getaran
hangat dan mesra yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
“Yu Hwi,
katakanlah, engkau pun seorang dara yang usianya sudah cukup dewasa, kenapa
sampai sekarang engkau belum juga menikah?”
“Aku.... aku
sudah ditunangkan dengan orang, Susiok!”
“Ah....!”
Tiba-tiba Kang Bu menarik kembali tangannya seolah-olah dia telah memegang bara
api, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu.
“Maafkan aku.... ahhh, mafkan aku....,“ katanya gagap. “Sungguh aku lancang....
nah, habislah harapan Cu Kang Bu!”
“Susiok,
aku.... aku ditunangkan di luar kehendakku, di waktu aku masih kecil, dan
karena itulah aku pergi minggat dari rumah Kakekku, tidak mau kembali lagi ke
sana. Aku tidak sudi dipaksa berjodoh dengan orang yang bukan pilihanku
sendiri. Aku telah membebaskan diri, dan yang menyatakan pertunangan itu adalah
orang-orang tua, sedangkan aku tidak merasa terikat jodoh dengan siapa pun
juga!”
Kata-kata
yang tegas ini seakan-akan mengembalikan darah ke muka Kang Bu. Dia memandang
dengan sinar mata mencorong, kemudian dia memegang lagi tangan Yu Hwi, harapannya
pulih kembali. “Benarkah itu, Yu Hwi?”
“Aku
bersumpah bahwa apa yang kukatakan itu setulusnya dari hatiku, Susiok.”
“Kalau
begitu biarlah aku berterus terang. Aku.... aku telah menemukan wanita yang
cocok dengan hatiku itu, Yu Hwi, dan wanita itu adalah engkau. Aku cinta
padamu!”
Bukan main
bahagia rasa hati Yu Hwi. Dia balas memegang tangan pemuda itu dan memandang
dengan wajah berseri, dan senyum malu-malu. Dari pandangan matanya saja, sudah
jelas terlukislah bahwa dia menerima cinta kasih pemuda itu dan bahwa pemuda
itu tidak bertepuk tangan sebelah.
“Yu
Hwiiii....!” Tiba-tiba terdengar suara panggilan subo-nya.
Yu Hwi
terkejut dan melepaskan tangannya. “Sam-susiok, Subo memanggilku. Sampai jumpa
nanti.... ah, aku bahagia sekali, Susiok!” Dan dara itu lalu meloncat dan
berlari-lari meninggalkan Kang Bu menuju ke pondok subo-nya, diikuti pandangan
Kang Bu yang tersenyum dengan hati penuh kebahagiaan.
Ketika ia
duduk berhadapan dengan subo-nya, Yu Hwi dapat menduga bahwa tentu telah
terjadi sesuatu karena sikap subo-nya tidak seperti biasa. Subo-nya kelihatan
berwajah muram, bahkan seperti orang marah ketika memandang wajahnya.
“Yu Hwi,
engkau jangan main-main dengan keluarga Lembah Suling Emas,” begitu dia
berhadapan dengan Subo-nya, dia mendengar kata-kata yang aneh dan mengejutkan
ini.
“Subo, apa
maksud Subo dengan kata-kata itu?” tanyanya sambil memandang wajah gurunya
dengan heran dan penuh selidik.
Sepasang
mata subo-nya yang biasanya jeli dan cemerlang itu sekarang nampak agak muram
dan terbayang kemarahan. “Engkau saling mencinta dengan Kang Bu, bukan?”
Yu Hwi tidak
merasa terkejut karena dia tahu bahwa subo-nya adalah seorang yang
berkepandaian tinggi, maka tentu sudah dapat menduga tentang hubungannya yang
mesra dengan Kang Bu. Maka dia tidak mau banyak menyangkal, melainkan hanya
mengangguk.
“Hemm, apakah
engkau akan mengulangi pengalamanku yang pahit? Engkau jatuh cinta, kemudian
menjadi isteri Kang Bu, berarti menjadi keluarga Lembah Suling Emas dan hidup
terkurung di situ, seperti seekor burung dalam sangkar, tidak boleh keluar,
tidak boleh berhubungan dengan dunia luar sampai engkau tua dan mati di situ!”
“Ehh, Subo!
Apa artinya ini? Teecu tidak mengerti....”
“Tidak
ingatkah engkau kepada apa yang kualami di lembah itu? Aku menjadi isteri
mendiang Cu San Bu, kakak tertua mereka, dan aku hidup seperti boneka di dalam
lembah itu, tidak pernah keluar, dan tidak diperbolehkan berhubungan dengan
dunia luar. Siapa kuat? Siapa dapat bertahan?
Maka ketika
datang tamu yang menarik dan amat ramah, aku mudah tertarik, salah siapa? Dan
kau ingat lagi ibunya Pek In! Mana mungkin dia dapat tahan hidup seperti burung
dalam sangkar? Keluarga Cu itu adalah keluarga iblis!
Mereka mau
hidup enak sendiri, mau merahasiakan tempat mereka dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan keluarga mereka. Mereka menganggap keluarga mereka sebagai
keluarga langit, tak boleh dikotori dengan hubungan bersama manusia lain di
luar lembah. Dan engkau mau membiarkan dirimu tersesat ke dalam neraka itu?”
“Ahhh....!”
Yu Hwi benar-benar terkejut bukan main mendengar ini.
“Aku sebagai
Gurumu, aku sayang kepadamu, maka kuperingatkan engkau tentang hal ini, karena
aku akan pergi meninggalkan tempat ini.”
“Subo mau
pergi....?”
“Benar,
sekarang juga. Dan oleh karena itulah engkau kupanggil, bukan hanya untuk
memperingatkanmu tentang hal tadi, akan tetapi juga untuk memberi tahu bahwa
hari ini kita saling berpisah. Engkau harus tidak mengecewakan aku. Kau
wakililah aku, temui See-thian Coa-ong dan kau kalahkan muridnya agar hatiku
puas.”
“Baik, Subo.
Akan tetapi, Subo sendiri.... hendak pergi ke manakah?”
Wanita itu
menoleh dan memandang keluar pondok, ke arah puncak yang jauh di sana.
“Entahlah, aku hendak pergi menurutkan kata hatiku. Aku sudah tidak tinggal
dalam Lembah Suling Emas, maka aku bebas pergi ke mana pun juga. Dan aku
mungkin tidak akan kembali lagi ke tempat ini untuk selamanya.”
“Tapi....
tapi ke mana Subo pergi? Agar teecu dapat tahu dan dapat menyusul kelak.”
“Mau apa kau
menyusulku? Engkau kembalilah ke tempat asalmu, ke dunia ramai di timur. Aku
akan merantau di pegunungan ini, Pegunungan Himalaya yang maha luas....”
“Subo akan
pergi mencari Bu-taihiap?”
Tiba-tlba
wanita itu bergerak dengan cepat dan tahu-tahu lengan tangan Yu Hwi sudah
dicengkeramnya, “Bagaimana kau tahu?”
Yu Hwi tidak
kaget dan juga tidak takut, melainkan tersenyum. “Subo demikian dekat dengan
teecu, sudah seperti Ibu sendiri atau kakak sendiri. Subo pernah bercerita
tentang Bu-taihiap, dan teecu tahu bahwa Subo masih mencintanya. Maka begitu
Subo mengatakan hendak merantau ke Pegunungan Himalaya, siapa lagi yang Subo
cari kecuali Bu-taihiap?”
Wanita itu
mengangguk lesu, “Engkau memang cerdik sekali, muridku. Akan tetapi.... aku
berhak menikmati hidupku, berhak meraih cintaku....“
“Demikian
pula teecu, Subo.”
“Aku tahu,
akan tetapi engkau akan sengsara kalau menjadi keluarga di Lembah Suling
Emas.... tapi kau cerdik, engkau lebih cerdik dari pada aku, semoga saja kau
berhasil mengatasi hal itu. Nah, kau berangkatlah mencari See-thian Coa-ong,
muridku, aku pun akan pergi sekarang juga.”
Dua orang
wanita itu sejenak saling berpandangan, kemudian mereka saling rangkul untuk
beberapa lamanya. “Hati-hatilah engkau, muridku,” kata Cui-beng Sian-li Tang
Cun Ciu lirih dan mereka lalu saling melepaskan rangkulan dan berpisahlah
mereka.
“Akan tetapi
janji itu masih kurang beberapa hari lagi, Subo.” Yu Hwi berkata ketika mereka
akan berpisah.
“Memang,
kurang sebulan lagi. Nah, aku pergi dulu, selamat tinggal, Yu Hwi.”
“Selamat
jalan, Subo, harap Subo jaga baik-baik diri Subo,” kata dara itu dengan hati
terharu. Memang, subo-nya berhak menikmati hidupnya, berhak meraih cintanya.
Akan tetapi, pria yang dicinta oleh subo-nya itu telah beristeri! Diam-diam dia
merasa kasihan sekali kepada wanita yang menjadi gurunya itu.
Setelah tiba
waktunya, kurang lebih sebulan kemudian, berangkatlah Yu Hwi mencari See-thian
Coa-ong di tempat pertapaan kakek itu. Dia berangkat dengan hati besar sebab
selain dia percaya kepada diri sendiri dan merasa yakin akan dapat mengalahkan
murid Raja Ular itu, juga dia merasa tenang karena dia tahu bahwa diam-diam
kekasihnya atau juga paman gurunya, Cu Kang Bu, diam-diam membayanginya dari
jauh seperti yang telah dijanjikan oleh pendekar sakti itu. Kang Bu tidak mau
datang berterang membantu Yu Hwi karena hal ini amat merendahkan nama keluarga
Lembah Suling Emas yang terkenal, maka dia hendak melindungi kekasihnya secara
diam-diam saja.
Akan tetapi
betapa kecewa hati Yu Hwi ketika dia tiba di tempat pertapaan kakek itu,
seperti yang diberitahukan subo-nya, dia hanya mendapatkan kakek itu seorang
saja! See-thian Coa-ong bangkit berdiri, menyambut kedatangannya dan kakek ini
berkata dengan ramah.
“Jadi engkau
adalah murid Cui-beng Sian-li, Nona? Memang hari ini adalah hari perjanjian
antara Gurumu dan aku untuk saling menguji kepandaian murid masing-masing,
untuk menentukan siapa di antara kami yang lebih becus mengajar murid. Akan
tetapi sayang, muridku itu telah pergi setahun yang lalu. Ahh, dia masih
kanak-kanak, tidak dapat bertahan menanti sampai lima tahun, Nona, dan dia
telah pergi....” Kakek itu menarik napas panjang. “Oleh karena itu, biarlah aku
tua bangka yang tiada gunanya ini sekarang mengaku kalah kepada Subo-mu,
Cui-beng Sian-li karena aku tidak dapat memenuhi janji.”
Yu Hwi
mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan dia merasa penasaran sekali. Dia tahu
bahwa gurunya memang suka kepadanya dan suka pula mengajarkan ilmu-ilmu silat
kepadanya, akan tetapi di samping itu, gurunya mengajarnya selama lima tahun
juga dengan maksud agar dia dapat mengalahkan murid kakek ini. Dan sekarang,
harapan dari subo-nya itu dikesampingkan begitu saja, dengan sedemikian
mudahnya seolah-olah janji itu hanya main-main belaka. Bagaimana dia akan
menjawab kalau subo-nya kelak bertemu dengan dia dan bertanya tentang
pertandingan itu? Lalu apa buktinya terhadap subo-nya yang telah dengan susah
payah melatihnya selama lima tahun itu?
“See-thian
Coa-ong, mana mungkin engkau membatalkan janji selama lima tahun dengan
demikian mudahnya? Jika memang muridmu itu takut menghadapi aku, kenapa engkau
membuat janji lima tahun yang lalu? Kalau begitu, biarlah engkau saja mewakili
muridmu dan aku mewakili Guruku! Pertandingan lima tahun yang lalu kita
lanjutkan sekarang.”
“Ahh, jangan
begitu, Nona. Mana mungkin aku yang tua bangka ini melawan engkau yang masih
muda? Lawanmu adalah muridku, dan karena muridku kini tidak ada....“
“Maka
engkaulah yang menjadi wakilnya, See-thian Coa-ong. Nah, majulah!” Yu Hwi
menantang.
Kakek itu
menggeleng kepala. “Aku sudah tua....”
“Kalau
begitu kau berlututlah menghadap ke barat dan mengaku kepada Subo bahwa engkau
kalah olehnya!” kata Yu Hwi.
Kakek itu
tersenyum. “Eh, mana mungkin ini? Aku mengaku kalah cara mengajar murid, bukan
kalah bertanding.”
“Kalau
begitu sambutlah ini. Haiittt....!” Yu Hwi mengeluarkan suara melengking
sebelum menyerang, kemudian dia menerjang maju mengirim serangan kepada kakek
itu!
“Ehh....!”
See-thian Coa-ong cepat mengelak sehingga serangan pertama itu luput, akan
tetapi Yu Hwi sudah menerjangnya lagi kalang-kabut sehingga kakek itu harus
cepat mengelak dan menangkis karena serangan-serangan yang dilakukan oleh gadis
itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Kepandaian
Yu Hwi pada waktu itu telah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga tidak
sembarang orang akan mampu bertahan terhadap serangan-serangan yang dilakukan
untuk memaksakan kemenangan ini. Akan tetapi See-thian Coa-ong adalah seorang
pertapa sakti yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat Cui-beng
Sian-li, maka tentu saja dia mampu melindungi dirinya dari serangkaian serangan
yang dilakukan oleh Yu Hwi. Akan tetapi karena kakek ini sama sekali tidak
pernah membalas serangan-serangan itu, dan hanya bertahan saja, maka sudah
tentu dia segera terdesak hebat dan berloncatan mundur sambil beberapa kali
menangkis.
Pada saat
itu, nampak sesosok tubuh ramping berlari-lari mendatangi dari jauh menuju ke
tempat itu dan setelah dekat, terdengar suara orang yang datang ini berseru
keras. “Siapa berani menghina Suhu?”
Yang datang
itu bukan lain adalah Ci Sian! Seperti kita ketahui, Ci Sian ditolong oleh
Pendekar Suling Emas Kam Hong, lalu ketika mereka saling menceritakan
pengalaman, Ci Sian bercerita kepada pendekar itu tentang diri Yu Hwi, calon
isteri yang dicari-cari oleh pendekar itu. Mendengar ini, Kam Hong menjadi
girang sekali dan dia minta kepada Ci Sian untuk mengantarkan dia menemui Yu
Hwi di kaki Bukit Lembah Suling Emas. Selain ingin bertemu dengan Yu Hwi, juga
Kam Hong tertarik sekali mendengar tentang lembah yang bernama Lembah Suling
Emas itu dan ingin menyelidikinya.
Di sepanjang
perjalanan, mulailah Kam Hong memberi petunjuk-petunjuk kepada Ci Sian dalam
ilmu silat, terutama sekali untuk memberi dasar kepada dara ini agar dapat menerima
ilmu-ilmu yang mereka dapatkan bersama dari catatan di tubuh kakek kuno! Kam
Hong juga mulai melatih Ci Sian cara memainkan suling, dan untuk memudahkan
latihan, Kam Hong membuatkan sebuah suling bambu gading untuk dara itu.
Karena
tempat pertapaan See-thian Coa-ong berada di antara perjalanan menuju ke Lembah
Suling Emas, maka Ci Sian mengajak Kam Hong untuk singgah di tempat pertapaan
kakek itu karena dia hendak menjenguknya. Ketika dari jauh dia melihat suhu-nya
sedang diserang oleh seorang wanita, dan suhu-nya itu hanya mengelak dan
menangkis tanpa membalas, Ci Sian terkejut dan marah sekali, maka berlarilah
dia secepatnya ke tempat itu meninggalkan Kam Hong sambil berteriak-teriak
marah.
Mendengar
teriakan itu, Yu Hwi meloncat ke belakang dan See-thian Coaong berseru girang
sekali, “Ci Sian....!”
Sementara
itu, Ci Sian sudah mengenal Yu Hwi dan dia berkata, “Hemmm, kiranya engkau yang
menyerang Suhu? Suhu, mengapa dia menyerang Suhu?”
“Ci Sian,
lupakah kau? Hari ini adalah hari perjanjian antara Gurumu dan Gurunya. Syukur
engkau datang....”
“Ahh,
kiranya begitu? Bagus, aku sudah datang. Engkau Yu Hwi murid Ciu-beng Sian-li,
bukan? Hayo, akulah lawanmu, jangan menghina orang tua!”
Yu Hwi
tersenyum mengejek, memandang kepada dara yang cantik itu, cantik dan muda,
kelihatan masih hijau maka tentu saja dia tidak gentar. “Bagus, memang engkau
yang kucari untuk menentukan guru siapa yang lebih pandai. Aku menyerang Gurumu
sebagai penggantimu, gara-gara engkau ketakutan dan melarikan diri setahun yang
lalu!”
“Apa? Aku
melarikan diri? Aihhh, engkaulah manusia yang paling sombong di dunia ini, yang
paling tak tahu diri, kejam dan angkuh!” Ci Sian teringat betapa wanita ini
telah meninggalkan Kam Hong dan menyia-nyiakan kesetiaan Kam Hong, membuat
pendekar itu selama bertahun-tahun menderita.
Yu Hwi
terbelalak, tidak mengerti mengapa dara remaja itu agaknya amat marah dan benci
kepadanya! “Hemm, tidak perlu banyak mulut, kalau memang ada kepandaian, kau
majulah!” tantangnya.
“Baik, baik!
Aku akan melawanmu sampai selaksa jurus!” bentak Ci Sian dan dua orang wanita
yang sama-sama cantik manis itu sudah saling terjang, entah siapa yang lebih
dulu menyerang karena keduanya sudah sama-sama menyerang!
Tentu saja
mereka berdua juga terkejut dan kini mereka keduanya mengelak. Terjadilah kini
pertempuran yang amat seru dan hebat, jauh bedanya dengan tadi ketika Yu Hwi
menyerang See-thian Coa-ong karena kakek itu sama sekali tak membalas. Kini
kedua orang muda itu saling serang dengan dahsyatnya!
See-thian
Coa-ong sudah duduk bersila dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar. Kakek
ini memang mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton orang
bertanding silat dan suka pula bertanding sendiri mengadu kepandaian, namun
bukan bertanding didasari marah atau benci, melainkan semata-mata karena suka
bersilat dan bertanding silat, seperti bertanding olah raga, lupa bahwa
bertanding silat sama sekali tidak dapat disamakan dengan pertandingan olah
raga atau catur umpamanya karena dalam ilmu silat terdapat ancaman-ancaman maut
yang mengerikan.
Sedikit pun
tidak ada sikap berat sebelah atau ingin membantu muridnya dalam hati Coa-ong,
sungguh pun, seperti seorang botoh adu jago, dia ingin melihat muridnya menang.
Baginya, kalah menang, luka atau mati sekali pun dalam adu ilmu silat, bukan
apa-apa dan bukan hal yang dapat dibuat sesalan!
Pertandingan
silat itu sungguh hebat bukan main. Setelah menerima petunjuk-petunjuk dari
kekasihnya, yaitu Cu Kang Bu, ilmu kepandaian Yu Hwi telah meningkat hebat. Dia
bersilat dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari subo-nya, yang memang
sengaja dilatihnya dengan tekun untuk menghadapi murid See-thian Coa-ong, yaitu
Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun. Di samping memainkan ilmu silat yang banyak
ragamnya, dan yang kedudukan kakinya mengatur kedudukan Pat-kwa ini, Yu Hwi
juga mempergunakan tenaga sinkang untuk melancarkan pukulan dari Ilmu Kiam-to
Sin-Ciang sehingga kedua tangannya itu seolah-olah berubah menjadi pedang dan golok!
Hebatnya ilmu ini bukan kepalang!
Akan tetapi
lawannya, Ci Sian, biar pun masih muda, namun memang sudah memiliki ilmu
kepandaian yang hebat pula. Tak percuma See-thian Coa-ong menggemblengnya
selama empat tahun dan menurunkan Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang (Ilmu Silat Bumi
Langit Ular Sakti) yang hebat. Ilmu ini adalah ciptaan See-thian Coa-ong
sendiri, digabung dari Ilmu Silat Thian-te-kun dengan gerakan-gerakan binatang
ular yang lincah! Karena dia sendiri merupakan seorang pawang ular yang sudah dijuluki
Raja Ular, tentu saja dia mengenal baik gerakan-gerakan ular dan dia mengambil
bagian-bagian yang amat lincah dari gerakan-gerakan ular yang bertarung dan
menciptakan gerakan-gerakan ini menjadi ilmu silat digabungkan dengan Ilmu
Silat Thian-te-kun.
Maka
sekarang setelah Ci Sian memainkan Ilmu Silat Sin-coa Thian-te ciang,
gerakan-gerakannya amat aneh, lincah dan tidak terduga-duga sehingga Yu Hwi
sendiri sampai menjadi kaget dan kagum. Akan tetapi, andai kata dara remaja ini
tidak menerima petunjuk-petunjuk dari Kam Hong, tentu dia akan kalah menghadapi
ilmu silat Yu Hwi yang lebih matang. Baiknya, latihan-latihan yang diberikan
Kam Hong baru-baru ini telah membangkitkan sinkang yang luar biasa dalam diri
Ci Sian hingga mampu mengimbangi pukulan-pukulan Kiam-to Sin-ciang dari lawan
yang amat berbahaya itu. Maka terkejut dan kagumlah Yu Hwi ketika sambaran
angin pukulan Kiam-to Sin-ciang darinya dapat terpental kembali oleh hawa yang
keluar dari kedua tangan dara remaja itu ketika menangkisnya.
Bukan main
serunya pertandingan antara dua orang gadis itu, sehingga Kam Hong sendiri yang
menonton dari jauh merasa kagum. Tidak disangkanya bahwa Yu Hwi, tunangannya
yang bertahun-tahun tidak pernah di jumpainya itu, kini sudah menjadi seorang
wanita yang matang dan semakin cantik bahkan telah memiliki kepandaian yang
tinggi. Akan tetapi dia juga kagum melihat Ci Sian, kagum dan bangga bahwa dara
remaja itu ternyata mampu menghadapi Yu Hwi yang demikian lihainya! Dia melihat
bakat yang amat baik pada diri Ci Sian dan mengambil keputusan untuk menurunkan
Ilmu-ilmu yang mereka dapat dari tubuh jenazah kuno itu, karena Ci Sian juga
berjasa dalam menemukan rahasia ilmu-ilmu itu.
Juga
See-thian Coa-ong kegirangan bukan main menyaksikan pertandingan seru itu. Dia
menggerak-gerakkan kedua tangannya, seperti seorang anak kecil yang nonton adu
jago atau adu jangkerik dan tidak dapat menahan emosinya, ikut menjotos jika
melihat muridnya menyerang dan ikut mengelak kalau melihat ada pukulan
menyambar ke arah muridnya. Sungguh menggelikan dan lucu sekali tingkah kakek
yang gila tontonan adu silat ini!
Hanya
seorang yang menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah.
Orang ini bukan lain adalah Cu Kang Bu! Dia adalah seorang pendekar sakti dan
tentu saja dengan mudah dia dapat mengikuti jalannya pertandingan dan maklum
bahwa kekasihnya tidak kalah oleh lawannya. Akan tetapi dia melihat pula bahwa
tidaklah mudah bagi kekasihnya untuk mengalahkan lawan, karena dara remaja itu
memang lihai sekali, terutama memiliki dasar ginkang dan sinkang yang aneh dan
kuat.
Sebagai
seorang yang sedang jatuh cinta dan tergila-gila, tentu saja dia merasa amat
khawatir kalau-kalau kekasihnya itu terluka. Membayangkan Yu Hwi terluka
mendatangkan rasa ngeri dalam hatinya, maka diam-diam dia lalu mengerahkan
khikang-nya dan bibirnya bergerak-gerak sedikit. Biar pun tiada suara yang
keluar, namun nampaklah perubahan pada pertempuran itu!
Yu Hwi
terkejut ketika tiba-tiba dia mendengarkan bisikan-bisikan di dekat telinganya.
Dia tidak tahu suara siapa itu, karena hanya terdengar lirih berbisik-bisik
seperti suara angin bermain pada daun-daun pohon, namun jelas sekali tertangkap
olehnya dan ketika dia mendengar bahwa bisikan-bisikan itu merupakan
petunjuk-petunjuk untuk gerakan-gerakannya selanjutnya, giranglah hatinya
karena dia dapat menduga bahwa siapa lagi jika bukan Kang Bu yang memberi
petunjuk kepadanya?
Maka dia
kemudian bergerak mengikuti petunjuk ini dan dalam beberapa jurus saja dia
telah berhasil menampar pundak Ci Sian sehingga dara remaja ini terpelanting.
Memang tidak tepat benar kenanya, akan tetapi setidaknya dia telah mampu
mengenai tubuh lawan, maka dia mendesak lagi dengan penuh semangat sambil terus
mentaati bisikan-bisikan yang memberi petunjuk itu!
Melihat ini,
See-thian Coa-ong terkejut dan mengeluh, tetapi tiba-tiba dia merasa girang
ketika dalam keadaan terdesak dan terhuyung, mendadak saja kaki Ci Sian
bergerak sedemikian rupa dan ujung sepatunya dapat mencium betis lawan, membuat
Yu Hwi juga terhuyung! Kiranya dalam keadaan terdesak itu, tiba-tiba Ci Sian mendengar
suara bisikan yang amat jelas, memberi petunjuk kepadanya dan dia pun tahu
bahwa suara itu tentu suara Kam Hong, oleh karena siapakah yang demikian
saktinya untuk memberi petunjuk kepadanya? Suhu-nya tidak mungkin mau melakukan
hal itu karena suhu-nya itu memang luar biasa ‘sportifnya’, tidak mau berlaku
curang. Dan memang dugaannya itu benar.
Kam Hong
amat khawatir menyaksikan keadaannya, apalagi ketika pendekar ini melihat
seorang pria muda yang berdiri jauh di belakang Yu Hwi dan dia cepat mengheningkan
cipta. Dia dapat merasakan getaran-getaran kuat datang dari pria itu, maka dia
terkejut bukan main karena maklumlah dia bahwa pria itu amat lihai dan sedang
mengirimkan suara dari jauh untuk membantu Yu Hwi! Maka, dia pun cepat
mengerahkan khikang untuk membantu Ci Sian sehingga tanpa diduga-duga oleh Yu
Hwi, Ci Sian yang kena ditampar pundaknya itu mampu membalas dan dapat
menendang betis lawan.
Kini terjadi
pertandingan yang semakin hebat. Gerakan-gerakan mereka menjadi makin aneh,
akan tetapi setiap serangan amat hebat dan ganas, menyimpang dari gerakan
semula, akan tetapi hebatnya, masing-masing lawan dapat saja menghindarkan diri
dan membalas pula dengan serangan yang tidak kalah aneh dan dahsyatnya!
Kini
See-thian Coa-ong berhenti menggerak-gerakkan kedua tangannya dan matanya
terbelalak memandang ke arah pertempuran itu. Mulutnya ternganga karena dia
melihat hal yang luar biasa sekali, yang hampir tak dapat dipercayainya. Dia
seperti melihat betapa dua orang wanita itu berubah menjadi dua orang lain
karena kini pertandingan itu berlangsung dengan hebatnya, dengan
gerakan-gerakan yang amat aneh. Muridnya itu sama sekali tidak lagi
menggerakkan ilmu Sin-coa Thian-te-ciang lagi! Dan gerakan lawan muridnya itu
pun amat anehnya!
Yu Hwi dan
Ci Sian kini hanya bergerak menurutkan petunjuk bisikan-bisikan itu saja, dan
ternyata dengan menurut petunjuk-petunjuk itu, mereka masing-masing bisa selalu
menghindarkan diri dari serangan lawan yang amat dahsyat, maka mereka lalu
menurut secara membuta, maklum bahwa mereka masing-masing sudah dituntun oleh
petunjuk-petunjuk yang dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat jauh lebih
tinggi dari pada mereka!
Cu Kang Bu
merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian dara remaja itu. Akan tetapi
dia segera melihat Kam Hong berdiri jauh di belakang Ci Sian dan maklumlah dia
bahwa ada orang pandai yang melakukan hal yang sama dengan dia, yaitu membantu
dara remaja itu dengan melalui Ilmu Coa-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh).
Dia merasa penasaran dan makin memperhebat petunjuknya, akan tetapi betapa
kagetnya ketika melihat bahwa dara remaja itu tetap selalu dapat menghindarkan
diri, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya!
Juga Kam Hong menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang membantu Yu Hwi itu
benar-benar sakti dan luar biasa sekali!
Tiba-tiba
terdengar suara teriakan nyaring sekali, menggetarkan seluruh tempat itu dan
membuat dua orang wanita yang sedang bertanding itu terkejut dan meloncat
mundur. Tiba-tiba saja di situ sudah berdiri Cu Han Bu yang tadi mengeluarkan
teriakan nyaring, sikapnya tenang, akan tetapi suaranya mengandung penuh wibawa
ketika dia berkata. “Hentikan semua pertandingan bodoh ini!”
Semua orang
memandang kepada pendekar ini, seorang pria berusia empat puluh lima tahun,
berpakaian sederhana, bertubuh tegap dan sedang, rambutnya sudah banyak
putihnya dan rambut itu digelung ke atas, tidak dikuncir seperti pada umumnya
di jaman itu. Inilah Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas),
tokoh pertama dari Lembah Suling Emas. Biar pun pakaian dan sikapnya sederhana,
namun sungguh dia berwibawa sekali sehingga Kam Hong yang juga sudah
menghampiri tempat itu memandang kagum. Kedua orang itu, Cu Han Bu dan Cu Kang
Bu, benar-benar merupakan dua orang pria hebat dengan sinar mata yang mencorong
membayangkan tenaga dalam yang amat hebat.
Sementara
itu, See-thian Coa-ong juga terkejut melihat munculnya dua orang laki-laki
gagah lain, yaitu Cu Kang Bu dan Kam Hong. Cepat-cepat dia bangkit berdiri dan
menghampiri Cu Han Bu, memandang penuh perhatian lalu menjura dengan hormat.
“Harap
maafkan kalau mataku yang sudah lamur ini tidak salah lihat. Apakah kini saya
berhadapan dengan Kim-siauw San-kok-cu (Majikan Lembah Gunung Suling Emas) yang
berjuluk dan bernama Kim-kong-sian Cu Han Bu?”
Cu Han Bu
memandang pada kakek itu dengan sikap dingin akan tetapi cukup hormat. Dia
membalas penghormatan kakek itu dan berkata, suaranya cukup ramah. “Harap
See-thian Coa-ong tidak terlalu sungkan. Saya memang Cu Han Bu dan dia itu adik
saya Cu Kang Bu.” Ia menuding ke arah adiknya, agaknya yang tinggi besar dan
gagah perkasa itu.
“Aihhh,
ternyata Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati)? Sungguh merupakan
penghormatan besar bagiku dapat berjumpa dengan tokoh-tokoh besar Lembah Suling
Emas!” kata See-thian Coa-ong dan Kang Bu membalas penghormatan orang dengan
sikap bersahaja.
Mendengar
semua ini, Kam Hong menjadi makin kagum. Dua orang itu memang hebat, pikirnya
dan semakin tertariklah dia saat mendengar bahwa mereka berdua itu adalah
majikan-majikan atau tokoh-tokoh Lembah Suling Emas.
“Coa-ong,
kami sudah mendengar akan persaingan seperti kanak-kanak antara engkau dan
Toaso kami.”
“Wah,
wah.... Cui-beng Sian-li memang hebat dan bersemangat sekali, telah membuat
perlombaan yang menggembirakan, sayang dia tidak hadir...,” kata kakek itu
tersenyum.
“Dia sudah
pergi dan tidak berada di daerah lembah lagi, Coa-ong. Oleh karena itu,
habislah sudah semua perjanjian dan perlombaanmu dengan dia. Dan kami harap
agar engkau suka menghentikan persaingan bodoh itu. Engkau dan Toaso telah
melakukan permainan berbahaya, sehingga murid-murid diadu, bahkan engkau telah
minta bantuan orang pandai. Perbuatanmu itu dapat membuahkan
permusuhan-permusuhan!” kata Cu Han Bu dengan suara menegur dan dia menoleh dan
memandang ke arah Kam Hong yang sejak tadi memandang kepada mereka dan kepada
Yu Hwi yang kini berdiri dekat sekali dengan Kang Bu.
“Minta
bantuan orang pandai? Ah, aku tidak minta bantuan siapa pun juga....!”
See-thian Coa-ong berseru dan kini dia pun memandang kepada Kam Hong yang
berdiri dekat Ci Sian dengan heran. Melihat betapa Ci Sian nampaknya sangat
akrab dengan pemuda berpakaian sastrawan itu, dia menegur, “Ci Sian, muridku,
siapakah temanmu itu?”
Kini Kam
Hong melangkah maju dan dengan penuh hormat dia pun menjura kepada See-thian
Coa-ong dan kepada dua orang pendekar sakti itu. Suaranya halus dan tenang
ketika dia berkata. “Harap Sam-wi tidak salah mengerti. Sesungguhya saya tidak
hendak mencampuri urusan Locianpwe ini, dan kedatangan saya di sini adalah
untuk urusan pribadi. Maafkan saya!”
Dia lalu
melangkah maju dan berdiri menghadapi Yu Hwi, memandang dengan tajam sampai
beberapa lama. Yu Hwi melangkah mudur dan tanpa dia sengaja tangannya menyentuh
tangan Kang Bu yang menggenggam tangan itu.
“Moi-moi,
kuharap dengan hormat dan sangat agar engkau suka ikut bersamaku,” Kam Hong
berkata dengan singkat saja karena dia tidak ingin banyak bicara dengan Yu Hwi
di depan begitu banyak orang asing.
Wajah Yu Hwi
sebentar pucat sebentar merah memandang kepada Kam Hong, lalu dia menoleh
kepada Kang Bu, memegang tangan yang besar itu semakin kuat dan dia memandang
lagi kepada Kam Hong, lalu berkata suaranya lirih namun tegas, “Aku tidak mau
pergi bersamamu!”
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Tidak mungkin dia bicara banyak di depan banyak orang yang
semua memandang kepadanya dan kepada Yu Hwi itu, karena yang akan dibicarakan
adalah urusan pribadi. Dia merasa heran kenapa Yu Hwi tak mau mengerti akan hal
ini dan mengapa gadis itu masih bersikap begitu keras kepala seperti seorang
anak kecil saja.
“Dinda Yu
Hwi, bertahun-tahun aku mencarimu dan setelah kita bertemu, mengapa kau
bersikap begini? Aku hanya ingin bicara denganmu, dan orang-orang tua di rumah
menanti-nanti.”
“Aku tidak
mau pulang! Aku tak mau bicara lagi tentang urusan kita!” Yu Hwi berkata, di
dalam suaranya terkandung isak.
“Hwi-moi....,”
Kam Hong masih hendak membujuk. Betapa pun juga, baik perjodohan itu
dilanjutkan atau dibatalkan, mereka harus dibicarakan dengan baik-baik di depan
para orang tua yang menjodohkan mereka.
Mendadak
terdengar suara lantang dan nyaring, besar dan kasar tetapi mengandung
keterbukaan. “Memaksa seseorang yang tidak mau apalagi kalau yang dipaksa itu
seorang wanita, merupakan perbuatan rendah dan pengecut!”
Kam Hong
yang tadinya memandang kepada Yu Hwi, perlahan-lahan mengalihkan pandangannya
dan kini dia memandang kepada wajah yang gagah perkasa itu. Sejenak dua pasang
mata yang mencorong seperti mata naga-naga sakti itu saling pandang,
seolah-olah kedua orang pendekar sakti ini sudah saling serang melalui sinar
mata mereka dan keduanya tak ada yang mau tunduk, keduanya memiliki kekuatan
pandang mata yang luar biasa.
Kam Hong
tersenyum tenang dan suaranya juga halus ketika dia berkata, “Mencampuri urusan
pribadi orang lain merupakan perbuatan yang lebih rendah lagi selain tidak
sopan sama sekali.”
Kembali
suasana menjadi hening menegangkan setelah terdengar kata-kata yang sama
menusuknya ini. Kang Bu nampak terkejut dan dia memandang kepada kekasihnya
yang berdiri di dekatnya, lalu bertanya lirih, “Yu Hwi, diakah orangnya....?”
Pertanyaan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua dan Yu Hwi mengangguk.
Melihat
kenyataan ini, wajah Kang Bu menjadi merah sekali dan tahulah dia bahwa dia
berada di pihak yang salah. Pria yang tampan dan lembut berpakaian sastrawan
ini kiranya adalah tunangan Yu Hwi! Tentu saja, sebagai orang luar, dia sama
sekali tidak berhak mencampuri pembicaraan atau urusan antara dua orang
tunangan! Kang Bu adalah seorang gagah, maka kini dia merasa terpukul dan tidak
berani bicara lagi, hanya memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata tak
senang dan mengepal tinjunya yang besar, tidak tahu harus berkata apa atau
bertindak apa!
Sejak tadi
Ci Sian memperhatikan kesemuanya itu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali
kepada Kam Hong dan menyesalkan sikap Yu Hwi yang demikian keras kepala. Apa
sih hebatnya perempuan ini sehingga berani bersikap demikian angkuh terhadap
Kam Hong? Menurut penilaiannya, Yu Hwi masih belum pantas menjadi calon isteri
Kam Hong, sama sekali belum pantas! Lalu dia melihat sikap Kang Bu, melihat
betapa Kang Bu dan Yu Hwi saling berpegang tangan dan mengertilah dara ini.
Hatinya terasa panas sekali dan tiba-tiba dia terkekeh.
Suara ketawa
yang halus nyaring ini tentu saja seperti halilintar memecah kesunyian yang
menegangkan itu sehingga semua orang memandang kepadanya. Ci Sian berjebi,
bibirnya yang kecil mungil dan merah itu meruncing dan dia memandang kepada Yu
Hwi dan Kang Bu, lalu berkata dengan suara mengejek sekali. “Laki-laki yang
merebut calon isteri orang dan perempuan yang sudah bertunangan masih
bergandeng tangan dengan laki-laki lain, sungguh merupakan pasangan yang
setimpal sekali!”
Bukan main
hebatnya ejekan ini yang ditujukan kepada Kang Bu dan Yu Hwi. Wajah Yu Hwi
sampai menjadi pucat dan wajah Kang Bu menjadi merah bukan main dan tangan
mereka yang saling bergandengan itu tiba-tiba terlepas.
“Ci
Sian....!” Kam Hong menegur karena dia merasa betapa ejekan itu melampaui
batas, terlalu kasar dan menusuk perasaan walau pun dia mengerti bahwa dara itu
melakukan ejekan karena kasihan kepadanya dan marah kepada Yu Hwi dan pria
gagah perkasa itu.
“See-thian
Coa-ong....,” terdengar suara Kang Bu dalam dan berat, menggetar dan membuat
jantung yang mendengarnya ikut tergetar, “Jikalau engkau tidak mampu menghajar
mulut muridmu, biarlah aku yang akan menghajarnya. Dia menghina orang
keterlaluan!”
Dan
tiba-tiba saja tangannya bergerak ke depan, dan dia sudah menampar ke arah Ci
Sian! Betapa pun Ci Sian memiliki gerakan cepat, namun dia sama sekali tidak
mampu mengelak lagi dan hanya terbelalak. Pada saat itu, See-thian Coa-ong
meloncat dan menangkis.
“Desss....!”
Tubuh kakek itu terbanting keras ke atas tanah sampai bergulingan!
“Hemm,
engkau malah melindungi muridmu yang kurang ajar itu?” kata pula Kang Bu dan
kembali dia hendak menyerang Ci Sian, kini bahkan meloncat ke depan.
Akan tetapi
tahu-tahu di depannya sudah berdiri Kam Hong. Kang Bu sengaja tidak
mempedulikan orang ini dan tangan kirinya tetap menampar ke arah Ci Sian yang
lari berlindung ke belakang Kam Hong.
Kam Hong
berkata, “Sabarlah, Sobat!” Dan dia pun menangkis.
“Dukkk!” Dua
lengan beradu dan akibatnya keduanya bergetar, akan tetapi tubuh Kam Hong sama
sekali tidak terguncang dan dia memandang dengan sinar mata dingin.
“Hemm, tadi
pun engkau telah mengajakku main-main, apakah artinya ini? Dara remaja itu
tidak salah karena apa yang dikatakan itu adalah kenyataan belaka. Apakah
benar-benar engkau hendak mencampuri urusan antara dua orang yang sejak kecil
sudah dijodohkan untuk menjadi calon suami isteri?” berkata Kam Hong sambil
memandang tajam.
Kang Bu
merasa serba salah. Akan tetapi dia adalah seorang yang jujur, tidak mau
berpura-pura karena sopan santun, dan dia suka bertindak atau mengucapkan apa
yang terkandung di dalam hatinya. “Engkau tentu yang bernama Kam Hong, tunangan
Yu Hwi, bukan? Nah, terus terang saja, aku sudah mendengar tentang engkau dan
kini ketahuilah bahwa Yu Hwi tidak suka menjadi tunanganmu, dan kami berdua
saling mencinta. Aku akan melindunginya, kalau perlu mempertaruhkan nyawaku
untuk itu!”
“Hemm,
caramu kasar sekali, sobat!” Kam Hong mencela.
“Tidak
peduli, aku sudah bicara terus terang! Kalau engkau hendak memaksa dia, nah,
biarlah kita memperebutkan dia melalui kepalan atau ujung senjata. Kita adalah
laki-laki, tidak perlu kiranya banyak bicara!” Setelah berkata demikian, Kang
Bu memasang kuda-kuda dan siap untuk berkelahi.
Tubuh Cu
Kang Bu memang tinggi besar dan kokoh kuat, dan kini dia berdiri dengan tubuh
tegak, dua kaki dipentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri
tubuhnya, agak ditekuk sikunya dan nampak jari-jari tangannya menggetar, tanda
bahwa tenaga sinkang dari dalam pusarnya telah mengalir ke seluruh tuhuh, siap
untuk dipergunakan menghadapi lawan! Wajahnya membayangkan kemarahan dan
kejujuran, kasar namun terbuka sesuai dengan wataknya.
Sebaliknya,
Kam Hong sejak kecil telah terdidik dengan budi pekerti dan sopan santun, juga
dia telah mendalami kitab-kitab Su-si Ngo-keng, juga pelajaran-pelajaran
tentang kebatinan dan kesusastraan. Maka sikap Cu Kang Bu itu terasa amat kasar
dan tidak sopan baginya, biar pun sebagai seorang yang berjiwa pendekar dia
amat menghargai kejujuran orang itu.
Melihat
betapa kekasihnya itu telah memasang kuda-kuda dan menantang Kam Hong berkelahi,
hati Yu Hwi merasa khawatir juga. Memang dia tidak mau dijodohkan dengan Kam
Hong, akan tetapi hal ini bukan karena dia membenci Kam Hong, melainkan karena
kekecewaannya. Dahulu dia tergila-gila kepada Siluman Kecil yang dalam hal ilmu
kepandaian jauh lebih tinggi dari pada tingkat Siauw Hong atau Kam Hong, maka
kenyataan bahwa dia dijodohkan dengan pemuda ini sedangkan dia jatuh cinta
kepada Siluman Kecil amat mengecewakan hatinya. Andai kata dia dulu tidak jatuh
cinta lebih dulu pada Siluman Kecil yang dikaguminya, belum tentu dia akan
menolak perjodohan yang ditentukan oleh orang-orang tua itu.
Dan kini,
dia telah melakukan pilihan hatinya lagi, yaitu kepada Cu Kang Bu, pria yang
dianggapnya amat gagah perkasa. Maka melihat betapa Kang Bu menantang Kam Hong,
dia merasa khawatir dan dia tidak menghendaki Kang Bu bertempur melawan Kam
Hong, yang bagaimana pun juga tidak mempunyai kesalahan apa-apa kepadanya.
Wajarlah kalau Kam Hong yang ditunangkan dengan dia kini datang mencarinya dan
mengajaknya pulang.
“Sam-susiok....!”
Dia berteriak sambil mendekati Kang Bu dan menyentuh lengannya. “Jangan
berkelahi....!”
Mendengar
ini, Kam Hong menjadi terheran-heran. “Hemm, Susiok-nya, ya?” katanya dengan
suara dingin karena dianggapnya amat aneh dan janggal jika kini tunangannya itu
jatuh cinta dengan susiok-nya sendiri. Bagi dia yang telah memiliki dasar
pelajaran tata susila, seorang susiok (paman guru) tiada bedanya dengan seorang
paman sendiri, maka tidaklah pantas kalau terjadi hubungan cinta antara seorang
keponakan dan seorang pamannya sendiri.
Mendengar
kata-kata yang nadanya mencela atau mengejek itu, Cu Kang Bu segera memandang
kepada tunangan kekasihnya dengan sinar mata mencorong dan dia pun berkata
dengan suara lantang. “Benar, dia adalah murid Toaso-ku! Dia adalah murid
keponakanku, akan tetapi kami saling mencinta dan kami hendak menikah. Hayo,
kalau engkau memang seorang jantan, hadapi aku sebagai laki-laki sejati!”
Kam Hong
tersenyum. “Hemm, lagaknya seperti seorang jagoan tukang pukul di pasar saja,
padahal, kalau aku tak keliru mendengar tadi, engkau adalah seorang tokoh besar
dari Lembah Suling Emas yang berjuluk Ban-kin-sian. Tidak tahu apa hubungannya
lembah tempat tinggalmu itu dengan Suling Emas! Kalau tokohnya hanya seorang
laki-laki yang sekasar engkau, aku menyangsikan apakah suling yang kalian pakai
sebagai nama itu benar-benar terbuat dari pada emas, ataukah hanya tembaga yang
diselaput emas?”
Ucapan Kam
Hong ini selain hendak menyelidiki tentang Lembah Suling Emas, juga sebagai
ejekan karena hatinya mulai panas melihat orang menantangnya tanpa ada
perkaranya, hanya karena orang ini mengaku cinta kepada Yu Hwi.
“Engkau
laki-laki cerewet seperti nenek-nenek! Hayo maju kalau engkau berani!” Cu Kang
Bu yang tidak pandai bicara itu semakin marah.
Akan tetapi
pada saat itu, Cu Han Bu sudah melangkah maju dan menjura ke arah Kam Hong.
Gerakan kedua tangannya memberi hormat itu mendatangkan suara bersuit nyaring
sehingga diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan dia sudah siap menjaga diri
dengan mengangkat kedua tangannya pula ke depan dada. Akan tetapi sambaran
angin itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan dan hal ini membuat Kam Hong kagum
bukan main. Hanya orang yang sudah amat kuat sinkang-nya saja mampu menguasai
gerakan angin tenaga yang keluar dari gerakan tangan semacam itu, maka dia
mulai memperhatikan orang ini.
Seorang pria
yang usianya empat puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian sederhana sekali
seperti seorang petani, bertubuh sedang dan tegap, rambutnya tidak dikuncir
seperti kebiasaan orang-orang pada waktu itu melainkan digelung ke atas dan di
kanan kiri kepalanya sudah terdapat banyak uban, tetapi sepasang matanya yang
bersinar lembut itu mengandung wibawa yang dingin dan kadang-kadang mencorong
bagaikan mata harimau.
“Perkenankan
saya Cu Han Bu mintakan maaf terhadap sikap adik saya Cu Kang Bu. Maklumlah,
orang yang sedang jatuh cinta kadang-kadang berkurang kesadarannya dan mudah
marah kalau orang yang dicintanya terancam atau tersinggung. Akan tetapi,
Saudara tadi menyinggung-nyinggung tentang Lembah Suling Emas.
Ketahuilah
bahwa kami keluarga lembah sejak turun-temurun adalah orang-orang yang
menjunjung tinggi keluarga Suling Emas yang menjadi nenek moyang kami, maka
Saudara yang telah berani meremehkan keluarga Suling Emas, agaknya memiliki
kepandaian yang berarti. Maka, biarlah sekarang adikku Cu Kang Bu mencoba
kepandaianmu, bukan untuk membela kekasih, melainkan untuk membela nama Lembah
Suling Emas. Tentu saja kalau Saudara berani menyambutnya."
Tadinya Kam
Hong sudah hendak minta maaf dan tidak melayani tantangan itu, akan tetapi tak
disangkanya sikap sopan dan hormat dari orang itu ditutup dengan ucapan yang
kembali mengobarkan kemarahannya. Kalimat ‘tentu saja kalau Saudara berani
menyambutnya’ itu merupakan tantangan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi! Maka
tersenyumlah dia, senyum yang pahit.
“Jadi kalian
adalah keturunan Suling Emas? Hemmm, agaknya keluarga kalian terlalu memandang
tinggi kepandaian sendiri, maka mudah saja menantang semua orang. Baiklah,
kalau urusannya untuk mempertahankan nama dan menantang pibu, aku menerimanya,
asal bukan untuk memperebutkan wanita!” Sambil berkata demikian, dia mengerling
ke arah Yu Hwi yang menjadi merah mukanya dan gadis ini pun lalu melangkah
mundur, membiarkan kekasihnya menghadapi tunangannya yang sah itu.
Dua orang
pendekar itu sudah saling berhadapan. Kang Bu tetap memasang kuda-kuda seperti
tadi, sedangkan Kam Hong berdiri biasa saja, namun seluruh urat syaraf di
tubuhnya sudah menegang dan bergetar.
Mendadak Ci
Sian melangkah maju dan berkata dengan suara lantang, “Nanti dulu, Paman Kam
Hong!”
Suasana yang
amat tegang itu menjadi kendur kembali dan semua mata ditujukan kepada dara
lincah itu yang telah berani menghentikan dua orang sakti yang hendak mengadu
ilmu.
“Paman, kita
harus berhati-hati menghadapi mereka ini! Orang-orang yang telah berani
menggunakan nama orang lain sebagai nenek moyangnya tentu merupakan orang-orang
yang tidak boleh dipercaya! Paman hanya seorang diri saja sedangkan mereka ini
begini banyak. Jangan-jangan Paman akan dikeroyok nanti, maka sebaiknya
diadakan perjanjian lebih dulu. Hei, orang-orang Lembah Suling Emas! Bagaimana
kalau kalian bersumpah dulu bahwa kalian tidak akan mengeroyok Paman Kam Hong?”
Mendengar
ucapan ini, See-thian Coa-ong berseru, “Aihhh, Ci Sian..... apakah engkau mau
mati? Engkau tak mengenal siapa Kim-siauw-kok-san-cu dan keluarganya! Mereka
adalah pendekar-pendekar sakti yang tak pernah terkalahkan, yang gagah perkasa
dan yang tidak pernah mencampuri urusan dunia, nama mereka bersih laksana air
gunung!”
Tiba-tiba
terdengar suara, “Han-ko, apakah yang telah terjadi?”
Dan belum
juga gema suara itu lenyap, orangnya sudah nampak di situ seolah-olah dia
pandai menghilang saja! Inilah Cu Seng Bu, orang kedua dari keluarga Lembah
Suling Emas dan tokoh ini memang memiliki kelebihan diantara saudara-saudaranya
dalam hal ginkang. Gerakannya amat cepat sehingga tadi pun suaranya telah
datang dan masih bergema ketika tubuhnya tahu-tahu telah berada di situ tanpa
nampak bayangannya!
Melihat ini,
See-thian Coa-ong yang tadi kata-katanya terputus, kini melanjutkan kata-kata
yang ditujukan sebagai teguran kepada muridnya itu, “Ah, ahhh.... kini
lengkaplah sudah dan mataku yang memang hari ini untung besar. Ci Sian,
lihatlah baik-baik dan kenalilah orang-orang sakti di masa ini.
Pemilik
Lembah Suling Emas yang pertama itu adalah pendekar Cu Han Bu yang berjuluk
Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas), dan yang kedua dan baru datang ini adalah Cu
Seng Bu yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan), kemudian yang ketiga
dan tinggi besar itu adalah pendekar Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian
(Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Mereka adalah tiga saudara sakti majikan-majikan
Lembah Suling Emas, maka jangan kau bicara sembarangan, mana mungkin akan
terjadi pengeroyokan?”
“Ahhh, Suhu
hanya terkesan oleh julukan-julukan! Biar pun julukannya dewa, apa dikira dewa
tidak ada yang jahat? Buktinya tadi ada susiok yang berpacaran dengan murid
keponakannya sendiri hendak membunuhku!”
“Ci Sian,
sudahlah. Aku percaya bahwa mereka tidak akan terlalu pengecut untuk
mengeroyokku. Pula, siapa yang takut dikeroyok?”
“Bagus!” Ci
Sian bertepuk tangan memuji. “Itu baru suara seorang gagah sejati! Hayo, kalian
penghuni-penghuni Lembah Suling Emas, kalian keroyoklah Paman Kam Hong kalau
kalian memang tebal muka!”
“Bocah
bermulut kotor!” Tiba-tiba Yu Hwi membentak dan melotot kepada Ci Sian. “Dari
pada banyak mulut, mari kita lanjutkan pertempuran tadi sampai seorang di
antara kita mampus dan tidak dapat mengoceh lagi!”
“Yu Hwi, kau
mundurlah dan jangan layani anak-anak. Sobat Kam Hong, benar seperti yang
dikatakan oleh Han-ko tadi, mari kita saling menguji kepandaian untuk menebus
kelancanganmu merendahkan keluarga kami tadi,” kata Cu Kang Bu sambil mendorong
kekasihnya mundur dengan halus. Suaranya kini tenang dan sabar dan hal ini
dianggap berbahaya oleh Kam Hong, maka dia pun tidak berani memandang rendah.
“Silakan,
aku sudah siap sejak tadi.”
“Kang-te
(Adik Kang), hati-hatilah, lawanmu ini bukan orang lemah,” kata Cu Seng Bu
kepada adiknya.
“Aku
mengerti, Seng-ko,” jawab adiknya.
Dua orang
pendekar itu segera saling mendekati dan semua orang memandang dengan penuh
perhatian dan hati tegang, karena betapa pun tenang sikap mereka berdua, semua
maklum bahwa di balik pibu ini terdapat semacam ‘perebutan’ atas diri Yu Hwi!
Yu Hwi sendiri merasakan hal ini dan wajahnya menjadi merah sekali, jantungnya
berdebar.... girang dan bangga! Dia merasa bagaikan seorang puteri yang
diperebutkan oleh dua orang pahlawan perkasa seperti yang terjadi dalam dongeng!
Memang
naluri kewanitaan selalu mendorong perasaan hati wanita untuk condong ke arah
ingin dicinta, ingin dikagumi, ingin dimanja, ingin diperhatikan dan tentu saja
semua itu memuncak apabila dirinya diperebutkan! Dan dia tidak merasa khawatir
karena dia maklum benar akan kelihaian kekasihnya, Cu Kang Bu. Dia sendiri
sudah merasakan betapa saktinya pemuda ini sehingga dia sendiri, yang semenjak
kecil telah menerima latihan ilmu-ilmu silat tinggi seperti tidak mampu apa-apa
berhadapan dengan Cu Kang Bu.
Dan apakah
kepandaian Kam Hong? Dahulu, ketika dia mengenalnya sebagai Siauw Hong,
kepandaian pemuda itu tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sebelum dia
menjadi murid Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, bahkan mungkin dia masih unggul
sedikit.
Andai kata
sekarang kepandaian pemuda itu sudah meningkat maju sekali pun, rasanya tidak
mungkinlah kalau akan mampu menandingi ilmu kepandaian Cu Kang Bu yang dia
anggap tidak akan kalah oleh Pendekar Siluman Kecil sekali pun.
Kam Hong
mengerti bahwa lawannya ini merupakan seorang yang memiliki kepandaian tinggi,
merupakan lawan terpandai yang pernah dijumpai dan merupakan orang pertama yang
baik sekali untuk dipakai menguji ilmu-ilmu yang baru saja dipelajarinya secara
tekun sekali dari catatan di tubuh jenazah kakek kuno, selama lima tahun di
tempat sunyi itu.
“Majulah!”
katanya tenang sambil menghadapi dan menatap wajah lawan.
“Tidak, aku
mewakili keluarga Lembah Suling Emas sebagai pihak tuan rumah, engkau mulailah,
sobat.” jawab Kang Bu.
Kam Hong
tersenyum. Kalau dia tidak ingat lagi tentang urusan Yu Hwi, tentu dia akan
merasa kagum dan suka kepada keluarga yang sikapnya gagah ini. “Nah, sambutlah
seranganku!” katanya, kemudian tubuhnya sudah bergerak ke depan. Dia mulai
dengan tamparan tangan kirinya yang dilakukan dengan kecepatan luar biasa
sehingga tahu-tahu tangan pendekar ini sudah menyambar ke arah leher lawan.
Sebelum dia
mempelajari ilmu-ilmu yang mukjijat dari catatan di tubuh jenazah kuno,
sebetulnya Kam Hong sudah memiliki kepandaian yang luar biasa. Seperti
diketahui, di waktu masih remaja dia sudah digembleng oleh seorang tokoh besar
dunia persilatan, yaitu Sai-cu Kai-ong yang telah menurunkan ilmu-ilmu silat
tinggi Khong-sim Sin-ciang sebagai ilmu warisan dari Khong-sim Kai-pang
kepadanya, di samping juga Ilmu Sai-cu Ho-kang yang dilakukan dengan pengerahan
khikang pada suara sehingga dapat mengeluarkan suara gerengan singa yang
melumpuhkan lawan yang kurang kuat sinkang-nya.
Kemudian dia
digembleng pula oleh Sin-siauw Sengjin, yaitu kakek keturunan pelayan keluarga
Suling Emas yang menjadi pemegang pusaka ilmu-ilmu Suling Emas, dan kakek ini
dengan penuh kesungguhan menurunkan semua ilmu-ilmu itu kepada Kam Hong sebagai
keturunan terakhir keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas. Dari mendiang
Sin-siauw Sengjin ini Kam Hong mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa hebatnya,
yaitu Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hong-hoat, Kim-kong Sin-in, dan Lo-hai
San-hoat.
Dengan
ilmu-ilmu silat yang sangat tinggi itu saja sebetulnya dia sudah merupakan
seorang tokoh yang akan sukar dicari tandingannya, apalagi setelah dia
menemukan rahasia peninggalan jenazah kuno pembuat suling emas itu! Kim-siauw
Kiam-sut merupakan ilmu pedang yang memang khusus diciptakan oleh pembuat
suling itu untuk dimainkan dengan suling emas buatannya sehingga merupakan ilmu
pedang yang luar biasa dahsyatnya, sedangkan ilmu meniup suling yang diajarkan
melalui catatan rahasia di tubuhnya itu pun merupakan ilmu tinggi yang
memperkuat khikang hebat pula.
Cu Kang Bu
adalah seorang pemuda yang sejak kecil tekun mempelajari ilmu-ilmu warisan
keluarganya, ilmu-ilmu silat kuno simpanan yang sudah jarang dilihat di dunia
persilatan. Dalam keluarganya, di antara kakak beradik yang tiga orang itu,
kiranya Cu Han Bu yang lebih tinggi setingkat kepandaiannya, akan tetapi mereka
memiliki keistimewaan masing-masing dan Cu Kang Bu terkenal dengan kekuatan
tubuhnya yang hebat sehingga dia dijuluki Ban-kin-sian atau Dewa Bertenaga
Selaksa Kati, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Biar pun dia merupakan
seorang pemuda perkasa yang kasar dan jujur, namun dia bukanlah orang bodoh dan
dia tidak memandang rendah lawan karena dia dapat menduga bahwa bekas tunangan
kekasihnya ini bukan seorang yang lemah.
Maka begitu
melihat tamunya sudah mulai menyerang dengan tamparan tangan kiri yang
menyambar cepat ke arah lehernya, dia pun sengaja mengerahkan tenaganya yang
besar pada lengan kanan dan menangkis sambil membuat gerakan memutar. Maksudnya
adalah untuk mengadu tenaga, dan kekuatan yang ditimbulkan oleh lengan yang
diputar itu bukan main dahsyatnya, dapat mematahkan tulang lengan lawan yang
ditangkisnya. Pendeknya dia mengandalkan kekuatannya untuk mengadu tenaga dan
mengalahkan lawan dalam segebrakan saja atau setidaknya dia akan dapat mengukur
sampai di mana kekuatan Kam Hong.
Melihat
tangkisan kasar ini, Kam Hong tersenyum dan tahulah dia apa yang dikehendaki
oleh lawan. Dengan tenang ia melanjutkan tamparannya tanpa mempedulikan
tangkisan itu.
“Plakk!”
Tangkisan
itu keras dan kuat bukan main. Lengan kanan Cu Kang Bu yang menangkis itu
seolah-olah berubah menjadi tongkat baja yang keras dan kuat, yang bukan hanya
akan dapat mematahkan tulang, bahkan senjata besi pun kiranya akan dapat
dibikin patah atau melengkung. Akan tetapi, ketika lengan itu bertemu dengan
lengan Kam Hong, wajah Cu Kang Bu berubah, matanya terbelalak karena dia merasa
betapa lengannya yang keras bertemu dengan benda yang lunak dan lentur hingga
lengannya itu membalik seolah-olah sepotong besi memukul karet saja! Mengertilah
dia dengan kaget bukan main bahwa lawannya telah memiliki tenaga sinkang yang
amat tinggi tingkatnya, yang mampu mempergunakan tenaga lemas sedemikian rupa
sehingga di balik kelunakan itu terdapat kekuatan dan keuletan yang amat ampuh
sehingga dia tidak mungkin lagi dapat mengandalkan kekuatan tenaga besar.
“Bagus!”
pujinya dan dia pun kini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya
beruntun dan setiap pukulan mengandung hawa pukulan dahsyat, juga kedua tangan
yang memukul itu berubah-rubah, kadang-kadang terkepal, kadang-kadang terbuka
jari-jari tangannya, sedangkan dari kedua tangan itu menyambar hawa pukulan
yang kadang-kadang keras, kadang-kadang lemas, sehingga terasa hawa yang
kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin!
“Hemmm....!”
Kam Hong berseru kaget dan juga kagum.
Dia memang
sudah menyangka akan kelihaian lawan, namun apa yang diperlihatkan lawan dalam
serangkaian serangan ini benar-benar merupakan ilmu yang amat tinggi dan
berbahaya. Maka dia pun lalu cepat menyambutnya dengan mainkan ilmu silat
tangan kosong Khong-sim Sin-ciang.
Ilmu silat
warisan dari Khong-sim Kai-pang ini mengandalkan kepada kekosongan untuk
melawan yang berisi, mengandalkan keluwesan menghadapi kekasaran, mengandalkan
kelembutan menghadapi kekerasan. Karena lawannya menyerang dengan kekerasan,
maka yang paling tepat baginya untuk menghadapi serbuan itu adalah dengan Ilmu
Silat Khong-sim Sin-ciang itulah. Dan memang sesungguhnya, semua serbuan itu
seolah olah tenggelam tak berbekas, semua serangan dapat dielakkan atau
ditangkis dengan mudah sehingga dalam serangkaian serangan yang tidak kurang
dari dua puluh jurus banyaknya, Cu Kang Bu sama sekali tidak berhasil mengenai
tubuh lawannya.
Tiba-tiba Cu
Kang Bu berseru nyaring dan seruan itu melengking seperti suara suling! Kam
Hong terkejut bukan main. Itulah suara lengkingan yang didasari khikang yang
mirip dengan yang dipelajarinya, hanya tingkatnya masih belum begitu tinggi,
namun sudah tentu akan dapat menggetarkan perasaan orang yang kurang kuat sinkang-nya
jika diserang oleh suara ini.
Kang Bu
melengking dan terus menubruk, kini gerakan-gerakannya bagaikan seekor harimau,
kedua lengannya juga ditekuk di bagian siku, pergelangan tangan dan buku-buku
jari persis menyerupai cakar harimau. Itulah semacam Houw-kun (Ilmu Silat
Harimau) yang hebat, karena kalau Ilmu Silat Harimau itu biasanya mengandalkan
tenaga otot dan jari-jari terlatih saja, kini didasari tenaga sinkang yang amat
kuat sehingga sebelum ‘cakaran’ datang lebih dulu telah ada hawa pukulan yang
menyerang lawan dan hawanya amat panas sehingga dari kedua tangan yang
membentuk cakar harimau itu mengepul uap putih!
Kam Hong
maklum akan lihainya Ilmu Silat Harimau yang aneh dan lain dari pada yang lain
itu, sementara itu suara melengking-lengking masih kadang-kadang terdengar dari
kerongkongan lawan yang mengiringi setiap tubrukan atau cakaran tangan. Melihat
gerakan Cu Kang Bu, lawan yang kurang kuat sinkang-nya tentu akan melihat
seolah-olah pemuda tinggi besar itu telah benar-benar berubah menjadi seekor
harimau yang amat kuat dan ganas!
Kam Hong
lalu mengerahkan tenaga dari dalam pusarnya dan ketika dia menggunakan khikang
melalui tenggorokan, terdengarlah gerengan singa yang menggetarkan tanah di
sekeliling tempat itu! Itulah Sai-cu Ho-kang, ilmu yang dipelajarinya dari
Sai-cu Kai-ong, akan tetapi karena tenaga khikang di dalam diri Kam Hong sudah
jauh maju setelah dia mempelajari ilmu meniup suling dari ilmu rahasia jenazah
kuno, maka kekuatannya sudah sedemikian hebatnya sehingga kalau kalau Sai-cu
Kai-ong sendiri mendengarnya dia tentu akan merasa terkejut dan heran.
Hebatnya
ilmu ini adalah hawa suara itu dapat dipusatkan dan diarahkan kepada yang
hendak diserang saja, sehingga kalau lain orang di situ hanya merasakan getaran
hebat saja, tidaklah demikian dengan Cu Kang Bu. Dia terhuyung dan mukanya agak
pucat karena suara gerengan itu seolah-olah memasuki tubuhnya dan menyerang
jantungnya, dan selagi dia terhuyung itu Kam Hong sudah maju dan melakukan
tamparan-tamparan dengan Ilmu Khong-sim Sin-ciang yang lembut namun amat berbahaya
itu.
Cu Kang Bu
mengeluarkan seruan kaget dan dia cepat melindungi dirinya dengan putaran kedua
tangan, akan tetapi tetap saja dia didesak dan dihimpit oleh lawan. Bukan main
heran dan kagetnya rasa hati pendekar tinggi besar ini. Dia memang tidak memandang
rendah lawan dan dapat menduga bahwa lawannya lihai, akan tetapi sama sekali
tidak pernah diduganya akan sedahsyat ini! Maka sambil mengeluarkan bentakan
nyaring karena dirinya sudah terdesak dan terancam bahaya, tiba-tiba tangannya
meraba ke pinggang dan nampaklah sinar hitam berkelebat disusul suara ledakan
yang mengeluarkan asap putih dan tahu-tahu tangan kanan pendekar ini telah
memegang sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya.
Cambuk baja
lemas ini berwarna hitam dan kini meledak-ledak di udara. Akan tetapi, Cu Kang
Bu sama sekali tidak menyerang lawan, hanya membunyikan cambuknya di udara
tanpa berkata-kata, sikapnya menantang dan penuh rasa penasaran bahwa dia telah
dikalahkan oleh bekas tunangan kekasihnya itu dalam adu silat tangan kosong. Di
tempatnya dari pinggiran, Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak
keheran-heranan melihat betapa ‘Siauw Hong’ yang dulu merupakan kacung dari
Pendekar Siluman Kecil itu ternyata kini mampu menandingi seorang pendekar
sakti seperti Cu Kang Bu yang menjadi kekasihnya.
Sementara
itu, biar pun dia agak pening oleh lengkingan-lengkingan dan gerengan-gerengan
yang menggetarkan tadi ditambah mengikuti gerakan mereka yang amat cepat, namun
Ci Sian dapat menduga bahwa pihak Kam Hong tentu menang karena kalau tidak,
tidak nanti pihak lawan mengeluarkan senjata. Melihat cambuk hitam itu
meledak-ledak mengeluarkan asap, hatinya gentar bukan main, akan tetapi sambil
tertawa dia berkata, “Paman Kam Hong, lawanmu telah kalah dan kini mengandalkan
cambuk kerbau! Hati-hati, jangan kena dicurangi olehnya!”
Tentu saja
ucapan Ci Sian ini membikin panas perut Cu Kang Bu dan saudara-saudaranya, akan
tetapi tetap saja Cu Kang Bu tidak mau menyerang lawan yang masih bertangan
kosong. Katanya dengan suara parau karena menahan kemarahan, “Sobat Kam Hong,
ilmu silatmu dengan tangan korong hebat sungguh, akan tetapi marilah kita
main-main dengan senjata sebentar dan kau hadapi cambukku ini!”
Diam-diam
Kam Hong juga kagum. Sukar atau jaranglah mencari orang gagah seperti Cu Kang
Bu ini. Ilmu silatnya jelas amat lihai dan tinggi, dan selain tidak sombong,
juga sama sekali tidak curang dan tidak mau mempergunakan senjata menyerang dia
yang masih bertangan kosong. Betapa pun juga, pria ini agaknya tidak akan
mengecewakan kalau menjadi suami Yu Hwi dan pilihan Yu Hwi kiranya tidaklah
keliru! Akan tetapi, batinnya terasa panas juga kalau mengingat betapa Yu Hwi
adalah tunangannya, calon isterinya yang hendak direbut oleh pemuda tinggi
besar ini!
“Hemmm, kau
masih penasaran? Hendak mengadu senjata? Baiklah, akan tetapi aku bukan tukang
bunuh atau tukang siksa maka tidak membawa senjata mengerikan. Aku hanya
membawa sebuah alat pengusir panasnya badan dan batin ini!”
Tangan
kirinya bergerak dan seperti sedang main sulap saja, tahu-tahu tangan itu telah
memegang sehelai kipas yang dikembangkan dan dipakai mengipasi lehernya seolah
olah dia merasa gerah sekali. Namun, meski kipasnya digerak-gerakkan, tiga
pasang mata dari kakak beradik penghuni Lembah Suling Emas yang memiliki
penglihatan terlatih dan tajam sekali itu dapat membaca huruf yang tertulis di
permukaan kipas yang digoyang-goyangkan itu.
Tentu saja
untuk dapat melakukan hal ini orang harus memiliki kepandaian yang sudah amat
tinggi sehingga mata mereka sedemikian tajamnya dapat mengikuti gerakan kipas
yang bagi mata biasa tentu membuat huruf-huruf itu kabur dan tidak terbaca.
Diam-diam mereka bertiga memandang dan membaca huruf-huruf itu. Kipas itu
permukaannya putih bersih dan huruf-huruf indah itu berwarna hitam, maka jelas
sekali bagi mereka.
Hanya yang
kosong dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang
lembut dapat menerobos yang kasar
Yang merasa
cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!
“Hmm,
khong-sim (hati kosong). Sobat Kam Hong masih mempunyai hubungan apakah dengan
yang terhormat Sai-cu Kai-ong Ketua Khong-sim Kai-pang?” tiba-tiba terdengar Cu
Han Bu bertanya dengan suara halus.
Kam Hong
terkejut dan diam-diam kagum akan keluasan pengetahuan orang itu.
“Beliau
pernah menjadi Guruku,” jawabnya jujur dan sederhana.
“Dia memang
pernah menjadi seorang yang disebut Pangeran Pengemis!” Tiba-tiba Yu Hwi
berkata dan di dalam suaranya mengandung cemooh.
Kini mulai
mengertilah Kam Hong mengapa dara itu tidak setuju menjadi jodohnya. Kiranya
latar belakang kehidupannya yang dahulu, pertemuan mereka yang pertama di mana
dia menjadi pengemis dan menjadi semacam pelayan dari Siluman Kecil, yang
membuat gadis ini memandang rendah kepadanya! Dia tersenyum.
“Benar sekali....
aku hanya seorang pengemis dan sekarang pun bukan majikan yang kaya raya!”
Akan tetapi
melihat betapa pemuda itu menyindir kekasihnya, Cu Kang Bu sudah menjadi marah
lagi. “Kam Hong, kalau kipas itu merupakan senjatamu, beranikah engkau
menghadapi cambuk bajaku dengan kipas itu?”
“Mengapa
tidak berani? Aku hanya melayanimu, sobat!” berkata Kam Hong sambil tersenyum.
“Hajarlah
dia, Paman Kam Hong! Dia belum mengenal kipas mautmu!” Ci Sian berkata lagi,
sungguh pun di dalam hatinya dia merasa kecut sekali melihat senjata pihak
lawan yang berupa cambuk hitam panjang terbuat dari baja itu sedangkan
‘senjata’ Kam Hong hanya sebuah kipas yang lebih tepat untuk mengusir kegerahan
saja. Namun, kini telah semakin tebal kepercayaannya kepada Kam Hong, maka ia
mengusir kekhawatirannya dan diam-diam dia mendekati See-thian Coa-ong,
gurunya.
“Suhu....
bagaimana pendapat Suhu....? Apakah Paman Kam Hong dapat menang?” bisiknya.
Sungguh lucu
dara ini. Dia berbisik seolah-olah tidak akan dapat terdengar oleh orang-orang
yang berilmu tinggi. Ia bicara hanya sambil berbisik-bisik, semua orang
termasuk juga Yu Hwi dapat menangkap bisikannya itu, tetapi mereka terlalu
tegang memandang ke arah kedua orang pendekar yang sudah siap untuk bertanding
lagi itu dan tidak mempedulikan ulah Ci Sian.
“Apa....?”
Kakek hitam botak itu berkata, lalu menarik napas panjang. “Aahhhh, aku seperti
baru sadar dari mimpi! Sungguh mati, selama hidupku baru ini menyaksikan
pertandingan seperti ini! Sungguh beruntung mata ini dapat menyaksikan
pertandingan tingkat atas yang demikian hebatnya. Ternyata Pegunungan Himalaya
yang tinggi masih ada yang melebihi tingginya....“ kakek itu menarik napas
panjang lagi.
“Suhu,
bagaimana? Apakah Paman Kam Hong akan dapat menang?” kembali Ci Sian bertanya
sambil mengguncang lengan gurunya yang seperti orang sedang terpesona memandang
ke arah dua orang pendekar itu.
“Siapakah
aku ini yang dapat menentukan kalah menangnya pertandingan antara dua ekor
naga? Kita lihat saja, Ci Sian, kita lihat saja....,“ katanya pelan tanpa
mengalihkan pandangannya.
Ci Sian
menjadi makin gelisah dan diam-diam dia lalu duduk bersila dan mengerahkan
kekuatan batinnya untuk memanggil ular-ular sebanyak mungkin ke tempat itu
untuk dapat membantu Kam Hong! Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa
pencurahan kekuatannya itu membuyar dan terdengar suara See-thian Coa-ong,
“Anak bodoh kau, pembelamu itu takkan kalah!”
Ci Sian lalu
teringat betapa dia pernah memanggil ular-ular ketika menghadapi isteri-isteri
ayah kandungnya, dan akibatnya malah ular-ularnya yang tewas dan dia dimarahi
oleh Kam Hong! Maka dia tidak jadi melanjutkan usahanya itu dan kini dia
memandang ke arah perkelahian yang sudah mulai berlangsung.
“Tar-tar-tarrrr....!”
Cambuk hitam
itu melayang-layang ke udara kemudian turun meluncur dan melecut sampai tiga
kali ke arah kepala Kam Hong, tetapi dengan tenang pendekar ini mengelak dua
kali dan sambaran yang ketiga kalinya dia kebut dengan kipasnya. Aneh sekali,
ujung cambuk baja itu begitu kena dikebut lalu menyimpang atau melecut ke
samping, menyeleweng seperti sehelai rambut ditiup saja!
Dan ujung
cambuk itu luput mengenai kepala Kam Hong, menyambar ke bawah dan mengeluarkan
ledakan nyaring, mengenai sebuah batu sebesar kepala orang yang pecah
berantakan menjadi beberapa potong! Melihat ini, Ci Sian merasa betapa bulu
tengkuknya meremang dan dingin. Batu saja terkena lecutan menjadi pecah
berantakan, apalagi kepala manusia!
Akan tetapi
Kam Hong masih tetap bersikap tenang, seolah-olah melihat batu pecah berantakan
terkena ujung cambuk itu hanya merupakan permainan anak-anak baginya. Dan kini
dia tidak membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan cambuk, melainkan kedua
kakinya bergerak dengan langkah-langkah indah dan tahu-tahu dia sudah menyusup
dekat melalui gulungan sinar hitam dari cambuk itu dan menggunakan ujung kipas
untuk membalas serangan lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan darah dari
ubun-ubun sampai ke lutut lawan! Gerakan kipasnya cepat dan tak terduga-duga
datangnya, sebab dia telah mainkan ilmu silat kipas Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas
Pengacau Lautan) yang merupakan satu di antara ilmu silat warisan nenek
moyangnya, yaitu Pendekar Suling Emas!
Memang
satu-satunya jalan untuk melawan musuh yang menggunakan senjata panjang hanya
dengan cara melakukan perkelahian jarak dekat, apalagi kalau dia sendiri hanya
bersenjata sebuah kipas yang amat pendek. Kam Hong juga melakukan siasat ini,
dia menggunakan langkah-langkah Pat-kwa-pouw dari Ilmu Silat Pat-sian-kun-hoat
dan dengan langkah-langkah ini dia dapat selalu mendekati lawan hingga dapat
menyerang dengan kipasnya.
Akan tetapi
Cu Kang Bu adalah seorang tokoh yang sudah mahir sekali menggunakan senjata
yang diandalkannya itu, maka biar pun senjatanya merupakan senjata untuk
menyerang dari jarak jauh, ujung cambuk bajanya itu dapat membalik dan
menyerang dari arah belakang, kanan, kiri atau atas bawah! Hebat bukan main
gerakan cambuknya dan ujung cambuk itu seolah-olah hidup menuruti segala
gerakan pergelangan tangan Kang Bu.
Bukan main
serunya perkelahian itu. Kipas di tangan kiri Kam Hong berubah-ubah, sebentar
terbuka untuk mengebut ujung cambuk lawan, kadang-kadang tertutup untuk
menyerang dengan totokan-totokan yang amat berbahaya. Sukar dikatakan siapa di
antara mereka yang mendesak dan siapa yang terdesak karena mereka seolah-olah
saling menukar serangan yang selalu dapat dipecahkan dan dilumpuhkan oleh
lawan. Kurang lebih seratus jurus telah lewat dan perkelahian itu diikuti oleh
semua orang sambil menahan napas karena memang amat menegangkan hati.
Kam Hong
sendiri merasa kagum. Semenjak tadi, dia hanya mempergunakan ilmu-ilmu yang
telah dipelajarinya dari Sai-cu Kai-ong dan dari Sin-siauw Sengjin, yang telah
dikuasainya dengan matang sehingga akan sukarlah mencari lawan yang mampu
menandinginya dengan ilmu-ilmu itu. Akan tetapi, dengan ilmu-ilmu itu dia hanya
dapat berimbang saja dengan lawannya ini.
Diam-diam
dia merasa penasaran juga dan dikumpulkannyalah tenaga khikang yang
diperolehnya ketika dia mempelajari ilmu pusaka yang tercatat di tubuh jenazah
kuno. Dan tiba-tiba saja suara pernapasannya terdengar mencicit nyaring, makin
lama makin tinggi sehingga tidak tertangkap oleh telinga, namun bagi Cu Kang
Bu, dia merasakan getaran yang luar biasa hebatnya dari tubuh lawannya! Dia
terkejut sekali dan berusaha untuk meloncat mundur sambil menggerakkan pecut
bajanya.
Akan tetapi,
kini Kam Hong mendesak ke depan, kipasnya terbuka dan begitu kipasnya mengebut,
ada angin dingin menyambar ke arah muka lawan dan Cu Kang Bu hampir tidak kuat
membuka matanya yang tersambar angin dingin. Begitu matanya berkejap, maka
ujung kipas itu telah meluncur dan melakukan totokan-totokan, membuat Kang Bu
kaget setengah mati dan terhuyung ke belakang sambil memutar cambuk dan tangan
kiri melindungi tubuhnya. Akan tetapi lawannya mendesak dan akhirnya, maklumlah
bahwa mempertahankan diri sama dengan mencari mati, Kang Bu meloncat jauh ke
belakang lalu turun dan merangkap kedua tangan depan dada.
“Aku Cu Kang
Bu mengaku kalah!”
Kam Hong
membuka kipas di depan dada dan dia merasa semakin kagum dan suka kepada bekas
lawannya itu, seorang yang kasar jujur namun juga tidak keras kepala dan mampu
menghadapi kekalahan sendiri secara jantan. Seorang yang benar-benar patut,
bahkan terlalu baik mungkin, untuk menjadi jodoh Yu Hwi!
“Saudara Cu
Kang Bu, kepandaianmu sungguh amat hebat, aku kagum sekali!” katanya membalas
penghormatan orang.
Akan tetapi
dengan muka pucat Cu Han Bu melangkah maju. Pendekar ini diam-diam merasa
penasaran bukan main melihat kekalahan adiknya. Hampir dia tidak dapat percaya
bahwa adiknya dengan cambuk bajanya dapat dikalahkan lawan yang hanya memegang
setangkai kipas!
Sungguh
kekalahan yang menghancurkan keharuman nama besar keluarga Lembah Suling Emas,
apalagi di situ ada orang-orang lain yang menyaksikan seperti See-thian Coa-ong
dan terutama sekali dara murid Coa-ong yang pandai bicara itu, yang tentu akan
menyiarkan berita kekalahan keluarga Lembah Suling Emas ke seluruh dunia
kang-ouw! Mukanya menjadi pucat karena penasaran dan marah.
“Saudara Kam
Hong, harap jangan membikin kami penasaran dan jangan bertindak
kepalang-tanggung. Kau kalahkanlah aku sebagai orang pertama dari Lembah Suling
Emas, agar kami yakin benar bahwa di luar lembah ada orang yang lebih pandai
dari pada kami!” Setelah berkata demikian, sambil membungkuk dan memberi
hormat, Cu Han Bu melolos sebuah sabuk emas dari pinggangnya.
Sikap orang
ini sedemikian sungguh-sungguh sehingga Kam Hong maklum bahwa jalan
satu-satunya baginya adalah memenuhi tantangan orang pertama dari Lembah Suling
Emas ini. Pula, diam-diam dia pun merasa penasaran bahwa dialah yang
benar-benar keturunan keluarga Suling Emas dan mereka ini hanya kebetulan saja
memakai nama Lembah Suling Emas. Kalau dia dapat menangkan orang pertama dari
keluarga lembah yang aneh ini, tentu dia berhak untuk minta dengan hormat
kepada mereka agar nama Suling Emas tidak mereka pakai lagi.
Kam Hong
maklum bahwa sebagai orang pertama dari keluarga itu, tentu pria yang
berpakaian sederhana dan bersikap halus dan dingin ini tentulah memiliki
tingkat kepandaian yang hebat dan lebih tinggi dari pada tingkat Kang Bu.
Padahal, Kang Bu saja sudah demikian lihainya. Maka dia pun tidak boleh
main-main lagi dan dia tentu akan harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
mencapai kemenangan. Maka, sambil tetap membuka kipasnya dengan tangan kiri,
tangan kanannya lalu meraih ke pinggang dan begitu bergerak, nampak sinar emas
berkilauan dan tangan kanan itu telah memegang sebatang suling emas yang
tadinya tersembunyi di balik jubahnya!
Kalau tadi
ketika Cu Han Bu mengeluarkan dan melolos sabuk emas dari pinggangnya nampak
sinar keemasan yang menyilaukan mata, kini suling emas di tangan kanan Kam Hong
itu mengeluarkan cahaya yang amat gemilang, apalagi karena gerakannya ketika
mengeluarkan amat cepat sehingga selain mengeluarkan cahaya yang amat kemilau,
juga terdengar suara mendengung seolah-olah suling itu ditiup!
“Silakan!”
katanya dengan suara tenang.
Akan tetapi,
Cu Han Bu dan dua orang adiknya berdiri seperti kena pesona, mata mereka
terbelalak menatap suling emas di tangan Kam Hong dan muka mereka menjadi pucat
sekali.
“Suling
Emas....!” Tiba-tiba mereka bertiga berseru dengan suara hampir berbareng dan
ketiganya sudah melangkah maju menghadapi Kam Hong.
Tentu saja
Kam Hong bersiap siaga dan alisnya berkerut, karena sama sekali tidak pernah
disangkanya bahwa orang-orang gagah itu akan maju bertiga! Benarkah apa yang
dikhawatirkan oleh Ci Sian tadi bahwa orang-orang ini dapat bertindak curang
dan hendak mengeroyoknya? Dengan sinar mata mencorong dia memandang mereka dan
siap untuk menghadapi mereka dengan suling dan kipasnya.
Akan tetapi
Han Bu malah menyimpan kembali sabuk emasnya dan dengan muka masih pucat dia
berkata dengan suara gemetar, “Sobat Kam Hong.... dari mana engkau memperoleh
suling itu....?”
Kam Hong
memandang kepada suling di tangannya, lalu kepada mereka bertiga dan menjawab
tenang, “Suling ini telah ada pada keluargaku semenjak ratusan tahun yang lalu,
semenjak jaman Kerajaan Sung tujuh delapan ratus tahun yang lalu....“
“Ahhh....!
Keluarga Pendekar Suling Emas....?”
Kam Hong
memandang tajam penuh selidik. Ia maklum bahwa keluarganya itu memiliki banyak
musuh di samping sahabat, oleh karena itu banyak pula orang kang-ouw yang
berlomba untuk mendapatkan pusaka-pusaka dari nenek moyangnya dan terpaksa dia
sampai harus disembunyikan di waktu kecil sebagai keturunan terakhir dari
keluarga itu, demikian Sin-siauw Sengjin bercerita kepadanya. Dia tidak tahu
apakah ketiga orang kakak beradik yang amat lihai ini merupakan golongan
sahabat ataukah musuh. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi mereka, baik
sebagai sahabat mau pun musuh.
“Benar, aku adalah
turunan terakhir dari keluarga Suling Emas! Hemm, kalian kelihatan heran,
padahal aku sendiri juga merasa amat heran, kenapa di tempat ini ada keluarga
Lembah Suling Emas!”
Pada saat
itu terdengar suara suling yang amat merdu, akan tetapi juga amat nyaring
melengking dan di dalam suara itu terkandung kekuatan yang menggetarkan dada
pendengarnya. Itu bukan suara suling sembarangan, melainkan suara yang
diciptakan dengan tiupan yang didasari khikang kuat!
Semua orang
menoleh ke arah datangnya suara suling itu dan tidak lama kemudian nampaklah
seorang pemuda tampan sekali berjalan perlahan-lahan menuju ke tempat itu
sambil meniup sebatang suling. Suling itu berkilauan dan dari jauh saja sudah
nampak bahwa suling itu terbuat dari pada emas.
Kam Hong
memandang dengan heran dan penuh perhatian. Suling yang ditiup oleh pemuda itu
lebih kecil dari pada sulingnya, akan tetapi modelnya serupa benar! Dan pemuda
yang meniupnya itu juga amat menarik. Wajahnya amat tampan, terlalu tampan
malah dan usianya masih tampak amat muda dan caranya meniup suling menunjukkan
bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan dan telah memiliki khikang yang
lumayan kuatnya.
Setelah
pemuda tampan itu tiba dekat, terdengar Cu Han Bu menegur dengan suara halus,
di balik suara teguran itu terkandung kasih sayang mendalam.
“Pek In,
hentikan tiupan sulingmu yang bodoh itu!”
Dengan
gerakan cepat Kam Hong telah menyimpan kembaii sulingnya di balik jubah
lebarnya dan dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu
menghentikan tiupan sulingnya, memainkan suling emas itu di antara jari-jari
tangan yang kecil meruncing, diputar-putarnya di antara jari-jari tangannya
dengan gerakan yang gagah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan dia
memandang kepada Cu Han Bu dengan sikap manja.
“Ayah,
mengapa tidak boleh bermain suling? Mengunjungi Suheng tidak boleh, bermain
suling sendiri mengusir sunyi juga tidak boleh, aihh, betapa menjemukan hidup
ini....!” Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya karena pada saat itu
dia baru melihat bahwa ayahnya dan para pamannya sedang berhadapan dengan
seorang pria berpakaian sastrawan yang memegang sebatang kipas dan di situ
terdapat pula seorang dara jelita, seorang kakek botak kurus dan juga di situ
terdapat Yu Hwi, murid Cui-beng Sian-li yang dia tahu berpacaran dengan
pamannya dan yang diam-diam tidak disukainya itu.
Akan tetapi
Cu Han Bu tidak mempedulikan puterinya, dan dia sudah menjura kepada Kam Hong.
“Maafkan gangguan puteriku tadi.”
Kam Hong
kini mengerti mengapa pemuda itu luar biasa tampan dan halusnya, kiranya
seorang dara! “Kulihat puterimu juga mempunyai sebatang suling yang mirip
dengan sulingku.”
“Itulah dia
Saudara Kam Hong! Di antara keluarga kita ada sesuatu yang perlu kita
bicarakan. Sudah lama kami mendengar tentang keluarga pendekar Suling Emas, dan
kami pernah mencoba mencarinya namun tidak berhasil. Maka, mendengar bahwa
engkau adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan melihat pula
bahwa memang engkau yang memiliki suling emas pusaka itu, kami terkejut bukan
main. Juga girang, karena yang kami cari-cari ternyata kini malah datang
menjenguk kami. Oleh karena itu, kami persilakan kepadamu untuk berkunjung ke
lembah kami di mana kita akan bicara lebih mendalam tentang suling emas agar
semua rahasia dapat saling kita ketahui.”
“Paman Kam
Hong, hati-hatilah, jangan kena dibujuk mereka. Siapa tahu mereka hendak
menjebakmu!” Ci Sian berseru.
“Nona, harap
jangan bicara sembarangan!” Cu Seng Bu yang sejak tadi diam saja kini berseru
keras. “Kami bukanlah sebangsa pengecut yang suka bermain curang dan suka
menjebak orang! Gurumu See-thian Coa-ong berada di sini dan engkau juga. Kalian
berdua dapat menjadi saksi kalau kami bermain curang dan tentu dunia kang-ouw
akan mengutuk kami!”
“Ci Sian,
tenanglah. Aku percaya kepada mereka, dan pula, siapakah yang takut akan
jebakan dan kecurangan. Aku akan pergi mengunjungi mereka,” kata Kam Hong
dengan sikap tenang dan tersenyum.
“Aku ikut!”
Ci Sian berkata nyaring.
“Ci Sian,
jangan kau lancang....!” See-thian Coa-ong menegur muridnya dengan suara
khawatir.
Dia
menganggap muridnya terlalu lancang bersikap seberani itu terhadap keluarga
Lembah Suling Emas yang demikian lihainya, akan tetapi diam-diam dia pun merasa
amat bangga dan girang bahwa muridnya itu mengenal baik bahkan kelihatan akrab
dengan pendekar yang memiliki suling emas dan yang kepandaiannya juga amat luar
biasa tingginya itu. Apalagi ketika dia juga mendengar bahwa pria sakti itu
adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas, hati kakek ini sudah
menjadi gembira bukan main. Ia merasa beruntung sekali pada hari itu dapat
menyaksikan pertandingan hebat dan bertemu dengan orang-orang yang amat hebat,
yaitu penghuni Lembah Suling Emas dan bahkan dengan keturunan Pendekar Suling
Emas.
“Tidak,
Suhu! Paman Kam Hong orangnya terlalu baik hati, terlalu mengalah, maka perlu
aku harus menemaninya untuk menjadi saksi apakah benar-benar mereka ini tidak
hendak menjebaknya. Kulihat mereka tidak berniat baik, mungkin hendak merampas
senjata keramat dari Paman Kam Hong. Biarlah aku ikut untuk menjadi saksi di
dalam lembah, dan Suhu tinggal menanti di sini, sebagai saksi di luar lembah.
Kalau Paman Kam Hong dan teecu tidak keluar lagi dari lembah, berarti kami
berdua sudah masuk perangkap dan dicelakai mereka, dan Suhu boleh siarkan
kepada seluruh dunia bahwa para penghuni lembah ini adalah orang-orang yang
curang dan jahat.”
“Hei! Dari
mana datangnya perempuan liar yang membuka mulut seenaknya memburuk-burukkan
keluarga Lembah Suling Emas?” Tiba-tiba Pek In berseru marah sambil memandang
kepada Ci Sian dengan mata berapi-api. “Kami adalah keluarga baik-baik, tidak
seperti engkau ini perempuan siluman yang menggunakan kata-kata buruk untuk
memaki orang!”
Ci Sian
bersungut-sungut dan memandang kepada Cu Pek In, kemudian tersenyum mengejek.
“Memang keluarga Lembah Suling Emas tak bisa dipercaya. Ada isteri yang
menyeleweng dengan pendekar yang menjadi tamunya! Ada perempuan yang sudah
bertunangan melarikan diri dan ditampung di lembah! Ada pula hubungan gelap
antara paman guru dan murid keponakannya sendiri. Dan sekarang muncul lagi
seorang.... banci! Phuh, sungguh tidak layak dipercaya!”
Wajah Pek In
yang putih halus itu seketika berubah merah. Baru sekarang ini selama hidupnya
ada orang berani memakinya seperti itu. Dia dinamakan banci! Kalau saja dia
memakai pakaian wanita seperti umumnya, kiranya makian ini tak akan
mendatangkan kemarahan di hatinya. Akan tetapi karena memang sejak kecil dia
mengenakan pakaian pria, yang mulanya dilakukan oleh ayah bundanya yang
menginginkan anak laki-laki sehingga dia menjadi terbiasa dan lebih suka
mengenakan pakaian pria setelah dia remaja dan dewasa, maka makian itu sungguh
menyentuh dan menyinggung perasaan dan membuat dia marah bukan main!
“Aku bukan
banci! Kau perempuan siluman!” Dan dara ini sudah mencabut sulingnya pula yang
tadi ditancapkan di ikat pinggang dan dia sudah meloncat dan menyerang Ci Sian.
“Huh, siapa
takut padamu?” Ci Sian mengelak dan balas menyerang.
“Tahan!” Cu
Han Bu berseru keras. “Pek In, kau mundurlah. Mereka ini adalah tamu-tamu kita,
bukan musuh.”
“Tapi
mulutnya busuk, Ayah. Dia memakiku!”
“Dan kau pun
memakiku. Siapa memaki aku perempuan liar dan perempuan siluman? Huh, tak tahu
diri!” Ci Sian juga berteriak.
“Ci Sian,
harap kau bersabar dan mari kita mengunjungi mereka dan bicara dengan baik-baik,”
kata Kam Hong kepada Ci Sian.
Seketika
lenyaplah kemarahan Ci Sian. Dia tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau tidak
akan diperbolehkan mengunjungi lembah menemani Kam Hong, akan tetapi kini Kam
Hong mengajaknya! Kegirangan hatinya mengusir semua kemarahan.
“Aku boleh
pergi menemanimu, Paman? Baiklah, mari kita pergi dan aku tidak akan banyak
cakap lagi.”
“Sobat Kam
Hong, silakan!” kata Cu Han Bu.
Kam Hong
mengangguk dan balas memberi hormat, lalu melangkah bersama pihak tuan rumah
meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata See-thian Coa-ong yang kelihatan
tegang dan girang bukan main. Dia merasa gembira dan bangga sekali menjadi
satu-satunya orang yang menyaksikan pertemuan antara orang-orang sakti yang
hebat itu, apalagi karena kini Ci Sian, muridnya, menemani pendekar keturunan
Pendekar Suling Emas memasuki lembah itu bersama keluarga Lembah Suling Emas!
Betapa hebatnya peristiwa ini dan tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw kalau
dia menceritakan di luar.
Melihat Ci
Sian berjalan di samping Kam Hong, Yu Hwi dan juga Pek In memandang kepada dara
itu dengan sinar mata tidak senang. Apalagi Pek In yang sedang jengkel itu.
Seperti diketahui, kurang lebih empat lima tahun yang lalu, Sim Hong Bu
diterima di lembah itu sebagai murid keluarga Cu, atau sebagai ahli waris dari
Ouwyang Kwan yang berubah menjadi Yeti, mewarisi pedang Koai-liong-po-kiam dan
Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang hanya boleh dipelajari oleh pemuda itu.
Semenjak
itu, Sim Hong Bu digembleng oleh ketiga orang saudara Cu itu secara bergantian
sehingga dia memperoleh kemajuan yang amat pesat, apalagi karena memang pada
dasarnya Hong Bu mempunyai bakat yang amat baik sekali. Dan di antara pemuda
itu dan Pek In pun terjalin hubungan persahabatan yang amat akrab.
Melihat ini,
dan melihat betapa baiknya bakat dalam diri Sim Hong Bu dan melihat pula bahwa
pemuda itu memiliki dasar watak yang gagah perkasa, jujur dan bernyali besar,
diam-diam tiga orang saudara Cu itu merasa kagum. Apalagi melihat hubungan yang
akrab antara pemuda itu dan puteri tunggalnya, diam-diam timbul dalam hati Cu
Han Bu untuk menjodohkan puterinya dengan murid itu.
Dalam waktu
hampir empat tahun, berkat ketekunan dan kesungguhan hati tiga orang saudara Cu
itu, Sim Hong Bu telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dan sudah memiliki
dasar yang cukup kuat untuk mulai dengan pelajaran ilmu peninggalan Ouwyang
Kwan! Pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu bahkan telah jauh
melampaui tingkat kepandaian Pek In karena memang selain Hong Bu memiliki dasar
atau bakat yang lebih besar, juga tiga orang she Cu itu mencurahkan seluruh
perhatian dan harapan mereka kepada pemuda ini untuk kelak mengangkat tinggi
nama Lembah Suling Emas!
Setelah
memiliki dasar yang cukup kuat, ketiga orang gurunya itu lalu menyuruh Hong Bu
untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan dalam
kulit Yeti-nya, dan untuk keperluan ini, Hong Bu tidak boleh diganggu siapa pun
juga karena hanya dia seorang yang diperbolehkan mempelajari ilmu-ilmu itu.
Maka, dia diharuskan oleh guru-gurunya untuk belajar sendiri di dalam goa di
mana terdapat mayat suami isteri Kam Lok dan Loan Si yang tewas oleh pedang
Koai-liong-kiam itu! Di tempat sunyi inilah dia harus mempelajari catatan
ilmu-ilmu peninggalan Ouwyang Kwan, terutama Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut.
Hanya beberapa pekan sekali ketiga orang gurunya datang menjenguknya dan
melihat muridnya berlatih.
Sementara
itu, Cu Pek In memang diam-diam cinta kepada suheng-nya itu, kepada Sim Hong Bu
dan walau pun dia tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata, namun dalam
hubungan mereka yang akrab itu nampak jelas bahwa dara ini memang jatuh cinta.
Maka, dapat dibayangkan betapa dara itu merasa kesepian setelah pemuda yang
dicintanya itu ‘bertapa’ di luar lembah dan tak pernah dapat dijumpainya.
Bahkan ketika dia minta kepada ayahnya untuk menjenguk suheng-nya, ayahnya
melarangnya dan mengatakan bahwa Sim Hong Bu tidak boleh diganggu untuk waktu
sedikitnya satu tahun! Inilah yang membuat dara itu menjadi amat kesepian dan
gelisah, juga jengkel sehingga kejengkelannya itu nampak ketika dia bertemu
dengan Ci Sian.
Ketika
mereka tiba di tepi jurang lebar yang dijadikan tempat penyeberangan ke lembah,
Cu Kang Bu mengeluarkan pekik melengking nyaring untuk memberi tanda kepada
para penjaga di seberang sana untuk menarik tambang yang kalau tidak akan
dipergunakan lalu diturunkan sehingga lenyap di dalam kabut tebal yang memenuhi
jurang. Tak lama kemudian, nampaklah tambang itu dari bawah, makin lama makin
naik dan akhirnya menegang, merupakan jembatan yang aneh dan mengerikan.
“Maaf, hanya
inilah jembatan yang akan membawa kita ke Lembah Gunung Suling Emas!” kata Cu
Kang Bu kepada Kam Hong. “Harap saja Saudara Kam Hong dan Nona tidak merasa
sungkan untuk menyeberang dengan menggunakan tambang ini.”
Di dalam
hatinya, Ci Sian merasa ngeri. Kalau hanya berjalan di atas tambang, tentu saja
bukan hal sukar baginya. Disuruh lari pun dia sanggup. Akan tetapi, kalau
tambang itu menyeberang di atas jurang yang tak nampak dasarnya seperti itu,
penuh kabut, tak dapat diukur betapa dalamnya, tentu saja hatinya terasa ngeri
bukan main dan dia merasa mulutnya kering!
“Tidak
mengapa, jembatan ini cukup baik,” kata Kam Hong dengan tenang.
Mendengar
ucapan ini, Ci Sian kemudian menarik napas panjang dan menenteramkan jantungnya
yang berdebar penuh ketegangan dan kengerian itu. “Cukup baik.... cukup
baik....,” katanya dan dia tidak berani bicara banyak-banyak, takut kalau-kalau
suaranya terdengar menggigil!
Akan tetapi
tetap saja dia khawatir. Bagaimana kalau dia dan Kam Hong menyeberang tambang
itu dan tiba di tengah-tengah lalu pihak tuan rumah membikin putus tambang itu?
Ngeri dia membayangkan peristiwa ini, membayangkan bahwa dia dan Kam Hong
meluncur turun ke bawah jurang! Teringat dia akan pengalamannya ketika terjatuh
ke dalam jurang dan nyaris nyawanya melayang kalau saja tidak ada See-thian
Coa-ong yang menyelamatkannya. Dara itu merasa jantungnya berdebar, tengkuknya
dingin dan rasa takut mencekam hatinya.
Rasa takut
memang selalu menguasai kehidupan manusia semenjak masa kanak-kanak sampai
sudah tua sekali pun. Dari manakah timbulnya rasa takut ini? Mengapakah hidup
ini penuh dengan rasa takut atau khawatir, cemas dan tidak menentu sehingga
kebanyakan dari kita lalu hendak melarikan diri dari rasa takut ini, mencari
perlindungan, mencari keamanan, mencari hiburan agar rasa takut atau khawatir
terlupa?
Takut akan
setan, takut tidak lulus ujian sekolah, takut kehilangan pekerjaan, takut
kehilangan orang-orang yang dicinta, takut menderita, takut sengsara, takut
sakit, takut mati dan selanjutnya. Mengapa kita selalu dikelilingi oleh rasa
takut ini?
Dapatkah
kita hidup bebas dari rasa takut yang seolah-olah menjadi bayangan kita ini?
Dapatkan kita menghentikan sumber dari mana timbul rasa takut yang
terus-menerus ini? Mengalahkan, rasa takut satu demi satu tidaklah mungkin,
karena selama sumber itu masih terus menciptakan rasa takut, maka tidak akan
ada habisnya selama kita hidup dan kita akan harus bergulat mengatasi rasa
takut itu satu demi satu. Akan tetapi kalau sumbernya sudah diketahui sehingga
sumber itu tidak lagi menciptakan rasa takut, maka kita tidak perlu lagi
mengalahkan rasa takut satu demi satu.
Apakah rasa
takut itu dan bagaimana timbulnya? Rasa takut adalah bayangan pikiran akan
sesuatu yang mungkin akan mendatangkan kesusahan kepada kita atau akan sesuatu
yang mungkin akan merampas kesenangan kita. Rasa takut adalah bayangan pikiran
akan sesuatu yang belum ada atau belum terjadi. Jadi, rasa takut atau khawatir,
gelisah, cemas dan sebagainya adalah permainan dari pikiran sendiri.
Pikiran
selalu mengenang masa lalu, memisah-misahkan pengalaman-pengalaman di masa lalu
antara yang menyenangkan dan yang menyusahkan. Kemudian pikiran selalu berusaha
untuk mengejar kesenangan, untuk mengulang semua kesenangan yang telah
dialaminya, dan berusaha untuk menolak segala kesusahan yang pernah dialaminya.
Dan apabila pikiran melihat masa depan, membayangkan bahwa dia akan ditimpa hal
yang tidak menyenangkan, lalu timbul rasa takut!
Hal ini
dapat kita lihat kalau kita mau membuka mata memandang diri sendiri, kalau
sewaktu timbul rasa takut kita mau menghadapi rasa takut itu TANPA MELARIKAN
DIRI, menyelidiki dan mempelajarinya. Jadi, jelaslah bahwa pikiran itu sendiri
yang menjadi pencipta rasa takut. Tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan
hal yang belum terjadi, takkan ada rasa takut itu.
Mungkin ada
yang bertanya, apakah kita lalu harus acuh sehingga kita menjadi lengah
terhadap sesuatu yang mengancam di masa depan? Tanpa membayangkan hal-hal yang
belum terjadi, mana mungkin kita dapat bersiap-siap menjaga diri dan menghindar
dari bencana atau menghindarkan bencana?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu timbul dari rasa takut itu sendiri! Sama sekali bukan menjadi tidak
acuh. Bahkan kita selalu waspada, bukan waspada yang timbul dari rasa takut,
bukan waspada terhadap sesuatu yang mengancam, melainkan waspada setiap saat
akan diri sendiri lahir batin dan akan keadaan sekeliling.
Sebaliknya,
rasa takut yang mencekam hati akan membuat kita melakukan hal-hal yang
menyeleweng, membuat kita mungkin saja menjadi pengecut saking takutnya, dan
tidak jarang membuat kita menjadi kejam karena dalam usaha melenyapkan hal-hal
yang mendatangkan rasa takut itu dapat terjadi perbuatan-perbuatan kejam!
Banyak sekali orang-orang yang melakukan hal-hal kejam terhadap manusia lain
sebenarnya didorong oleh rasa takut yang mencekam hatinya! Dia selalu merasa
terancam dan oleh karena itu, untuk menghalau semacam itu dia tidak segan-segan
mendahului dan melenyapkan orang lain yang dianggap menjadi sumber atau
penyebab rasa takutnya. Atau karena rasa takut, maka kita lalu melarikan diri
mencari hiburan dan dari sinilah timbulnya segala pelarian kepada ilmu klenik
dan ramalan-ramalan.
Sebaliknya,
kalau kita menghadapi rasa takut itu sebagaimana adanya, bukan ingin
mengendalikan atau mengalahkannya, melainkan menghadapinya dan mengamatinya di
waktu rasa takut timbul, mempelajarinya, akan nampak jelaslah bahwa rasa takut
itu hanyalah permainan pikiran yang ingin mengulang kesenangan dan ingin
menjauhi kesusahan belaka! Tanpa permainan pikiran yang mengenang-ngenang masa
lalu dan membayang-bayangkan masa depan, yang ada hanyalah kewaspadaan dan
kesadaran setiap saat terhadap segala sesuatu yang terjadi! Dan di dalam
kewaspadaan ini, perhatian sepenuhnya ini, tidak ada rasa takut, yang ada
hanyalah tindakan yang timbul dari kecerdasan dan kewajaran. Jadi, setiap saat
timbul rasa takut, atau khawatir dan sebagainya, kita mengamatinya,
menyelidikinya, mempelajarinya. Cobalah.....
“Sebagai
pihak tuan rumah, silakan Saudara menyeberang lebih dulu,” kata Kam Hong dengan
nada suara halus kepada Cu Han Bu dan hati Ci Sian lega bukan main. Kiranya Kam
Hong juga cerdik, pikirnya.
Cu Han Bu
memandang dan tersenyum. “Agaknya sobat Kam Hong masih curiga?” tanyanya akan
tetapi dia pun lalu meloncat ke atas tali itu.
“Bukan
curiga, hanya berhati-hati,” jawab Kam Hong tersenyum pula dan dia pun lalu
meloncat ke atas tali di belakang Cu Han Bu.
Ci Sian juga
melangkah ke depan dan menginjak tali itu, lalu melangkah hati-hati di belakang
Kam Hong dan dia melihat bahwa di belakangnya melangkah pula pihak tuan rumah.
Hatinya lega karena kalau tali putus, mereka semua yang akan jatuh, bukan hanya
dia dan Kam Hong!
Lihatlah
betapa besar si Aku menguasai batin manusia! Setiap kali tertimpa mala petaka
atau tercekam rasa takut, manusia akan merasa terhibur kalau melihat ada orang
lain juga tertimpa hal yang sama! Seolah-olah melihat orang lain tertimpa mala
petaka, apalagi kalau lebih besar dari pada mala petaka yang menimpa dirinya,
hal itu menjadi hiburan yang amat manjur! Tangis karena menyedihi mala petaka
yang menimpa diri bisa saja berubah tawa ketika melihat orang lain mengalami
hal yang sama atau lebih parah!
Sebaliknya,
si Aku ini selalu tidak rela kalau dalam menerima keuntungan lalu ada orang
lain yang juga menerima keuntungan yang sama, apalagi yang lebih besar.
Timbullah iri hati! Ahhh, kalau saja kita mau mengamati diri setiap saat, akan
nampaklah dalam diri sendiri segala kekotoran, kemunafikan, kepalsuan,
kebencian, iri hati dalam si Aku ini! Sayang, kita hanya suka mengamati orang
lain, mencela orang lain, tidak pernah mau mengamati diri sendiri, atau kalau
mau pun kita hanya mau melihat kebaikan-kebaikan diri sendiri belaka dan itu
bukanlah pengamatan namanya!
Mereka semua
dapat menyeberang dengan selamat sampai di seberang dan setelah semua orang
melompat ke tepi jurang di daerah lembah, tali itu lalu dikendurkan lagi
sehingga menghilang tertutup kabut.
“Mari
silakan, sobat!” Cu Han Bu mempersilakan ketika mereka tiba di depan sebuah
gedung yang cukup megah di tengah-tengah lembah.
Dengan
tenang Kam Hong bersama Ci Sian mengikuti tuan rumah memasuki gedung itu dan
mereka lalu dipersilakan untuk duduk di ruangan dalam yang luas dan di sinilah
dua orang tamu ini dijamu oleh pihak tuan rumah. Mereka semua mengelilingi
sebuah meja panjang. Kam Hong dan Ci Sian duduk bersanding di tempat
kehormatan, kemudian berturut-turut duduk Cu Han Bu, Cu Seng Bu, Cu Kang Bu,
lalu Yu Hwi dan Pek In sendiri duduk di dekat ayahnya. Mereka duduk makan minum
sambil bercakap-cakap atau lebih tepat, yang bercakap-cakap adalah Kam Hong dan
Cu Han Bu berdua saja, karena yang lain hanya diam mendengarkan.
Ci Sian
melihat betapa kadang-kadang Yu Hwi mengerling ke arah Kam Hong dan dia menangkap
pandang mata penuh kagum dari wanita itu kepada bekas tunangannya. Hati Ci Sian
merasa puas. Hemm, perempuan tolol, pikirnya, menolak Kam Hong dan memilih pria
tinggi besar itu sama dengan menolak batu intan dan memilih batu karang! Tentu
saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya tidaklah demikian.
Yu Hwi sudah
jatuh cinta kepada Kang Bu dan tentu saja baginya tidak ada pria yang lebih
hebat dari pada kekasihnya itu. Dia memandang kagum kepada Kam Hong adalah
karena kekaguman yang sungguh-sungguh, mengingat bahwa dulu kepandaian bekas
tunangannya ini hanya setingkat dia, bahkan lebih rendah mungkin. Akan tetapi
kini, ternyata bukan hanya mampu menandingi Kang Bu, bahkan sekarang berani
memasuki Kim-siauw San-kok dengan sikap demikian tenangnya. Betapa bedanya
dibandingkan dengan Siauw Hong dahulu!
Setelah
mereka selesai makan minum dan semua mangkok piring telah dibersihkan dari
meja, Cu Han Bu lalu berkata kepada Kam Hong, “Nah, sekarang kami harap sudilah
kiranya engkau menceritakan mengenai nenek moyangmu, keluarga Pendekar Suling
Emas, sobat Kam Hong.”
Kam Hong
tersenyum. “Saudara Cu, bukan aku yang sengaja datang, melainkan karena kalian
yang mengundangku, oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau lebih dulu
menceritakan keadaan keluargamu dan mengapa ada hubungan di antara keluarga
kita seperti yang kau katakan. Apa pula sebabnya tempat ini memakai nama Suling
Emas, dan bagaimana puterimu dapat memiliki sebatang suling emas yang serupa
dengan sulingku, sungguh pun lebih kecil.”
Cu Han Bu
juga tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat,
“Hemm, rahasia keluarga kami tidak boleh diceritakan begitu saja kepada siapa
pun juga.”
“Demikian
pun keadaan keluarga nenek moyangku bukan untuk diceritakan kepada pihak lain.”
“Betapa pun
juga, kita berdua mempunyai hubungan melalui suling emas, oleh karena itu
terpaksa kita harus saling menceritakan keadaan kita. Dan karena tidak ada
jalan untuk menentukan siapa yang harus bercerita lebih dulu, marilah kita
tentukan dengan cara menguji kepandaian masing-masing, sobat Kam Hong. Adikku
telah kalah olehmu, maka aku ingin sekali untuk mengukur sendiri kehebatanmu,
dan biarlah ini dijadikan penentu siapa yang lebih dulu menceritakan
keadaannya.”
“Hemm, aku
tidak ingin bertanding, akan tetapi kalau pihak tuan rumah meminta, aku sebagai
tamu tidak berani menolak.”
“Bagus,
sikapmu amat mengagumkan hatiku, sobat!” kata Cu Han Bu yang tadinya khawatir
kalau-kalau tamunya akan menolak.
Ketika
melihat adiknya kalah, hatinya sudah dipenuhi rasa penasaran dan ingin sekali
dia maju untuk menandingi pemuda itu. Akan tetapi oleh sikap dan kata-kata Ci
Sian, pula karena baru saja adiknya kalah, apa pula ditonton oleh See-thian
Coa-ong, dia merasa sungkan juga untuk langsung menantang Kam Hong. Juga melihat
adanya senjata suling emas itu sangat mengejutkan hatinya maka dia tidak berani
lancang menantang di tempat itu, di luar lembah.
Kini mereka
tengah berada di dalam lembah dan dia memperoleh kesempatan untuk menantang Kam
Hong dengan cara yang lebih ‘lunak’, dalam suasana persahabatan, sebagai
seorang tuan rumah menghidangkan sesuatu kepada tamunya yang terpaksa harus
diterimanya. Dalam pertandingan ‘persahabatan’ ini, kalau sampai kalah,
tidaklah begitu menjatuhkan nama, tidak seperti dalam pi-bu yang memang sengaja
diadakan untuk menentukan siapa kalah siapa menang, siapa lebih pandai.
Kini meja
itu disingkirkan dan semua orang duduk di atas kursi yang ditarik ke pinggir
dekat dinding sehingga ruangan itu menjadi sebuah tempat terbuka yang cukup
luas. Cu Han Bu telah mengeluarkan sabuk emasnya dan sambil tersenyum dia
melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu.
“Silakan,
sobat Kam Hong!” katanya.
Kam Hong
juga melangkah maju. Tanpa sungkan lagi ia pun mencabut suling emasnya. Melihat
lawan hanya memegang sebatang senjata, dia pun tak mengeluarkan kipasnya,
sungguh pun dibantu oleh kipasnya, dia akan menjadi semakin lihai.
Kemudian Cu
Han Bu berkata lagi, “Saling uji kepandaian ini selain untuk menentukan siapa
yang harus lebih dahulu menceritakan keadaan keluarganya, juga biarlah untuk
menentukan siapa yang berhak memakai nama Suling Emas.”
Kam Hong
mengerutkan alisnya, memandang dengan mata mencorong tajam kemudian berkata
dengan suara lambat namun mengandung tekanan kuat, ”Saudara Cu Han Bu, apa
maksudmu dengan kata-kata itu?”
“Sobat,
engkau memakai julukan Pendekar Suling Emas, atau setidaknya mengaku sebagai
keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, sedangkan kami mengaku sebagai
keluarga penghuni Lembah Suling Emas dari mana datangnya suling emas yang asli.
Karena itu,
biarlah kita mengeluarkan ilmu warisan keluarga kita masing-masing untuk
menentukan siapa yang asli dan siapa yang kalah berarti tidak boleh lagi
menggunakan julukan Suling Emas, baik bagi namanya mau pun bagi tempat
tinggalnya. Jelaskah?”
Suling Emas
mengangguk-angguk. Tentu saja di dalam hatinya dia tidak setuju dengan taruhan
gila ini, namun dia pun terpaksa tidak dapat menolak karena seorang pendekar
amat memegang kehormatan dan nama baik. “Jikalau demikian kehendakmu, baiklah,”
jawabnya.
“Bagus,
sikapmu memang amat mengagumkan. Nah, kau sambutlah, sobat Kam Hong.”
Cu Han Bu
sudah mulai menyerang dan begitu menyerang, dia sudah mengeluarkan seluruh
kepandaian dan mengerahkan semua tenaganya. Sabuk emas yang lemas itu tiba-tiba
menjadi kaku bagaikan sebatang pedang dan ketika Cu Han Bu bergerak menyerang,
hampir Kam Hong berseru kaget oleh karena dia mengenal bahwa gerakan itu mirip
sekali dengan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang telah dipelajarinya dari
catatan jenazah kuno!
Memang
gerakan itu tidak serupa benar, perkembangan selanjutnya bahkan berbeda, akan
tetapi gerakan dasar dan permulaannya tak dapat diragukan lagi adalah Kim-siauw
Kiam-sut!
Dan bukan
main hebat dan dahsyatnya, tenaganya amat besar dan sabuk itu mengeluarkan
suara berdesing kemudian mengaung-ngaung dan mengeluarkan suara seperti suling
ditiup, sungguh pun tidak melengking terlalu tinggi!
Lenyaplah tubuh
Cu Han Bu, terbungkus sinar keemasan yang bergulung-gulung...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment