Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 05
Keluarga
Suling Emas di lembah ini adalah dari keluarga Cu, yaitu nama keturunan dari
kakek pembuat suling emas, yang sebetulnya masih seorang pangeran dari Kerajaan
Cin yang suka merantau dan akhirnya menetap di Himalaya, yaitu di lembah itu.
Menurut dongeng
keluarga Cu, setelah berkeluarga dengan puteri Nepal, kakek ini menetap di situ
dan hidup sampai beranak cucu. Akan tetapi pada suatu hari dia menghilang,
katanya untuk pergi bertapa dan tidak ada lagi yang mendengar tentang dirinya.
Anak cucunya
hidup terus di lembah itu, ada pula yang pergi merantau, akan tetapi lembah itu
tetap dipelihara, bahkan sekarang, keturunan terakhir yang tinggal di situ
terdapat tiga orang laki-kaki. Yang pertama bernama Cu Han Bu, pria sederhana
berusia empat puluh tahun, ayah dari pemuda tampan yang menyambut para tamu
tadi.
Yang ke dua
bernama Cu Seng Bu, pria berusia tiga puluh lima dan yang ke tiga bernama Cu
Kang Bu, pria berusia tiga puluh tahun. Kedua orang ini belum menikah. Tiga
orang inilah merupakan keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas she Cu itu.
Cu Han Bu
baru mempunyai seorang anak saja, yaitu pemuda yang menyambut para tamu tadi.
Akan tetapi anak itu sebetulnya bukan seorang laki-laki, melainkan seorang anak
perempuan. Karena ingin sekali mempunyai anak laki-laki, maka untuk menutupi
kekecewaannya, Cu Han Bu dan isterinya memperlakukan anak mereka seperti anak
laki-laki, bahkan sejak kecil anak itu memakai pakaian laki-laki, sungguh pun
dia sadar sepenuhnya bahwa dia seorang perempuan.
Sebagai
seorang anak yang berbakti, Cu Pek In, demikian nama anak itu, dia ingin
menyenangkan hati orang tuanya dan selalu berpakaian pria sehingga dia menjadi
seorang pemuda cilik sekarang! Sebagai keturunan dari kakek sakti pembuat
suling emas itu, sudah tentu saja keluarga Cu ini mewarisi ilmu-ilmu yang
mukjijat dan tinggi sekali.
Sudah
belasan tahun semenjak ayah mereka meninggal, keluarga yang terdiri dari tiga
orang pria perkasa ini tidak lagi berhubungan dengan Nepal. Mereka melihat
betapa Nepal mulai melakukan penyelewengan, mulai mencampuri urusan kaisar di
Tiongkok, maka mereka tidak mau mencampuri.
Apalagi
ketika mereka mendengar bahwa Raja Nepal yang baru mempunyai seorang Koksu yang
kabarnya merupakan orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, keluarga Cu ini makin
mengundurkan diri dan tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu, maka mereka
tidak mengenal Sam-ok Ban-hwa Sengjin, sungguh pun mereka mendengar namanya,
dan mungkin juga Koksu Nepal itu pernah mendengar tentang nama mereka.
Dan memang
demikianlah kenyataannya. Ketika pemuda tampan yang sesungguhnya adalah Cu Pek
In itu bersama rombongan dayangnya menyambut dan menyebut nama Lembah Gunung
Suling Emas, berdebar rasa jantung Sam-ok. Dia sudah mendengar tentang keluarga
di Himalaya ini, yang menurut berita di Nepal merupakan keluarga yang turun
temurun bersahabat dengan keluarga Raja Nepal, tetapi yang semenjak raja yang
sekarang, yaitu raja yang mengangkat dirinya sebagai koksu, tidak pernah lagi
terdengar beritanya dan agaknya putus hubungan antara keluarga Cu itu dengan
keluarga Kerajaan Nepal.
Sam-ok tidak
peduli akan hal itu ketika dia masih menjadi koksu, apalagi mendengar bahwa
tempat tinggal keluarga itu merupakan rahasia besar dan tidak ada seorang pun
tahu persis di mana letak tempat tinggal mereka. Yang diketahui umum hanyalah
bahwa tempat itu berada di Pegunungan Himalaya.
Dan kini,
tanpa disangka-sangkanya, dia telah ikut rombongan orang kang-ouw memasuki
daerah itu, tempat tinggal keluarga Cu yang menjadi sahabat keluarga raja sejak
ratusan tahun yang lalu! Dengan demikian, maka ada dua orang dalam rombongan
itu yang berdebar-debar hatinya, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sam-ok Ban-hwa
Sengjin.
Ketika para
tamu yang mengikuti Cu Pek In dan rombongan dayang itu sudah tiba di ruangan
depan yang luas dan terhias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, Cu Pek In
mempersilakan mereka menanti di situ dan para dayang lalu masuk ke dalam
melalui pintu besar di depan dan di tengah ruangan itu. Tidak lama kemudian,
para tamu yang masih berdiri karena belum dipersilakan duduk itu melihat pintu
itu terbuka dari dalam dan keluarlah tiga orang laki-laki. Semua orang
memandang dengan penuh perhatian.
Akan tetapi
tidak ada sesuatu yang mengesankan pada diri tiga orang pria itu. Mereka itu
berpakaian biasa saja, dengan sikap yang sederhana pula, akan tetapi wajah dan
pandang mata mereka serius dan penuh wibawa, sedangkan sinar mata mereka yang
mencorong itu mengejutkan orang karena hal itu menunjukkan bahwa mereka itu
memiliki kekuatan dalam yang hebat!
“Ayah,
inilah mereka yang membikin ribut di puncak datar. Semua, kecuali yang tewas
dalam keributan antara mereka, telah kuundang datang sebagai tamu sesuai dengan
perintah Ayah,” kata Cu Pek In sambil menyelipkan sulingnya di ikat
pinggangnya.
Tentu saja
Sai-cu Kai-ong dan Ban-hwa Sengjin, lebih-lebih dari para tamu lainnya,
memandang dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik sekali. Tiga pasang
mata dari pihak tuan rumah itu dengan tajamnya memandang para tamunya seorang
demi seorang, dan paling lama mereka memperhatikan Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang
menjadi tidak enak hati, kemudian mereka juga memandang Yeti sampai lama,
terutama ke arah pedang yang berada di tangan Yeti.
“Tidak salah
lagi, itulah Koai-liong-pokiam keluarga kami!” Tiba-tiba orang termuda di
antara mereka, Cu Kang Bu berseru. Orang ke tiga ini bertubuh tinggi besar,
bermata lebar dan selain sikapnya gagah, juga dia kasar dan jujur. “Dan inilah
Yeti seperti yang diceritakan Toaso (Kakak Ipar Perempuan Tertua)!”
Tiba-tiba
terdengar suara merdu, “Tidak salah, dialah binatang itu!”
Semua orang
menengok karena terkejut. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu
tinggi, akan tetapi tiada yang mendengar datangnya seorang wanita di tempat
itu, tahu-tahu wanita itu telah muncul saja di situ, entah sejak kapan. Wanita
itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik sekali, dengan pinggang
ramping dan gerak geriknya luwes dan lemah gemulai seperti gerakan seorang
penari pandai atau gerakan tubuh seekor ular saja, dan pakaiannya juga
mentereng dan mewah, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas seperti gelung
rambut puteri-puteri istana!
“Dialah
binatang itu, dan itulah pedang kami! Kalian harus merampasnya dari tangan Yeti
keparat itu!” bentak lagi wanita ini.
Akan tetapi
tiba-tiba Cu Pek In berkata, “Pek-bo, Ayah, Yeti itu adalah milik pemuda itu.
Sebaiknya pedang itu diminta kepadanya.”
Mendengar
ini, Cu Han Bu memandang kepada Hong Bu dengan penuh perhatian, seolah-olah
tidak percaya pada omongan puterinya. Mana mungkin Yeti, makhluk yang selama
ini menjadi dongeng dan ditakuti semua orang, yang amat sakti sehingga
Toaso-nya sendiri kewalahan menghadapinya, menjadi milik bocah ini?
“Siapakah
namamu, orang muda?” tanyanya hati-hati. Memang tokoh ini selalu bersikap
hati-hati, tidak seperti Kang Bu.
Sim Hong Bu
maklum bahwa dia berhadapan dengan keluarga yang berilmu tinggi, dan juga
mereka adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang tahu diri dan mengenal
kesopanan, dia lalu melangkah maju, memberi hormat dan menjawab, “Nama saya Sim
Hong Bu, Locianpwe.”
Sikap dan
ucapan Hong Bu ini menyenangkan hati Han Bu yang mengangguk-angguk. Bocah ini
sungguh mengagumkan dan jarang pada jaman itu menemukan bocah yang begini
matang, begini tabah dan berani berdiri di atas kakinya sendiri seperti orang
yang sudah dewasa benar. Juga, sekali pandang saja dia dapat mengukur bahwa
bocah ini memiliki bakat yang baik sekali, sinar matanya begitu tajam,
gerak-geriknya begitu tenang.
“Benarkah
bahwa Yeti ini adalah milikmu, peliharaanmu?”
Hong Bu
melirik ke arah pemuda tampan itu, lalu menjawab lantang. “Harap jangan ada
yang menghina Yeti! Dia ini sama sekali bukan binatang peliharaan, bukan
binatang liar yang jahat, harap semua mengetahui betul hal ini!”
“Huh,
omongan apa itu! Kami semua sudah merasakan kebuasannya!” Tiba-tiba Ngo-ok
mendengus marah, tangannya meraba daun telinganya yang pecah-pecah ketika dia
berkelahi melawan Yeti itu.
“Benar!”
Su-ok berteriak, “Yeti itu makhluk buas seperti iblis!”
Sepasang
alis tuan rumah ini berkerut dan sinar matanya seperti kilat menyambar ke arah
dua orang itu. “Tuan-tuan berada di tempat sopan, harap Tuan-tuan menjaga
kesopanan dan bicara menanti giliran!” kata Cu Han Bu, suaranya berwibawa.
Su-ok dan Ngo-ok berdiam diri dan wajah mereka agak merah.
“Bagaimana
jawabanmu, Sim Hong Bu? Banyak orang kang-ouw mengabarkan bahwa Yeti ini jahat,
kejam dan telah membunuh dan melukai banyak orang,” kata pula Cu Han Bu. Mereka
semua masih berdiri dan semua orang kini memandang kepada Hong Bu.
“Yang
mengatakan bahwa Yeti jahat dan kejam, suka menyerang atau membunuh orang
adalah bohong, Locianpwe!” kata Hong Bu. “Yeti ini bukan binatang buas, bukan
peliharaan saya, melainkan sahabat saya yang paling baik. Manusialah yang
jahat, yang mengganggunya, menyerangnya sehingga dia membela diri dan untuk
membela diri, tentu saja ia harus mengalahkan lawannya, jika perlu mungkin
membunuhnya. Pahanya dilukai orang ditusuk pedang, tentu saja dia menjadi
marah. Semua orang agaknya hendak membunuhnya untuk merampas pedang yang
ditusukkan di pahanya. Siapa yang tidak akan menjadi marah dan membela diri?”
“Toaso,”
tiba-tiba Cu Han Bu menoleh kepada wanita cantik tadi, “Apakah dia tidak
menyerangmu dan apakah Toaso yang mendahului menyerangnya?”
Wanita
cantik itu berjebi, bibirnya yang penuh dan merah itu bermain sebentar,
kemudian dia berkata, “Memang aku yang menyerangnya lebih dulu, akan tetapi
siapa yang tidak menjadi kaget melihat dia tiba-tiba muncul dan kelihatan
begitu buas? Aku menyerangnya dan dia melawan, ternyata dia lihai sekali dan
walau pun aku berhasil menusuk pahanya, pedang itu tertinggal di pahanya, dia
menjadi buas dan aku terpaksa melarikan diri. Lalu dia menghilang....“
Cu Han Bu
mengangguk-angguk, lalu menghadapi semua orang kang-ouw yang berdiri di
hadapannya. “Apakah Cu-wi sengaja berdatangan ke Himalaya untuk mencari pedang
Koai-liong-pokiam itu?” Dia menuding ke arah pedang yang masih dipegang oleh Yeti.
“Hemm, terus
terang saja, siapakah yang tidak ingin mendapatkan pedang itu?” jawab Toa-ok
dengan suara halus.
“Ketahuilah,
Cu-wi. Pedang pusaka itu adalah milik keluarga kami sejak turun menurun. Nenek
moyang kami yang membuatnya dan menciptakannya. Pada suatu hari pedang itu
hilang dan setelah kami mendengar pedang itu berada di istana kaisar, Toaso-ku
ini pergi ke sana dan mengambilnya kembali. Akan tetapi malang baginya, di
tengah jalan bertemu dengan Yeti dan pedang itu tertinggal di paha Yeti. Pedang
itu adalah hak kami dan hendaknya Cu-wi tidak memperebutkan lagi. Untuk itu
kami dapat menjelaskannya, dan untuk jeri payah Cu-wi kami bersedia mengganti
sekedar ongkos perjalanan yang telah dikeluarkan.”
“Ah, mana
ada aturan seperti itu?” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, suara Si
Ulat Seribu. Wajahnya yang buruk menjadi semakin buruk karena marahnya. Dialah
yang merasa paling dirugikan dalam perebutan pedang itu, karena selain empat
orang pemikul tandu yang menjadi pembantu-pembantunya itu tewas oleh
ulat-ulatnya sendiri, juga sebagian ulatnya telah mati dan lenyap pula.
“Bagaimana bisa enak saja mengakui pedang tanpa bukti-bukti yang jelas? Kalau
hanya penjelasan saja, setiap orang pun mampu mengisap jempol!”
Wanita
cantik kakak ipar keluarga Cu itu melangkah maju dan suaranya lantang ketika
dia berseru, “Perempuan buruk! Apakah kini Si Ulat Seribu sudah mempunyai nyawa
rangkap berani berkata seperti itu di sini?” Dia sudah melangkah maju, akan
tetapi Cu Han Bu lalu melerai dan berkata dengan suara berwibawa.
“Harap Toaso
suka memaafkan bicaranya. Ingat, siapa dia dan sudah patutlah kalau orang
seperti dia bicara demikian.” Agaknya Sang Toaso itu cukup segan terhadap adik
iparnya ini maka dia mundur lagi dengan mulut cemberut.
Cu Han Bu
lalu berkata kepada Sim Hong Bu, suaranya ramah dan halus. “Orang muda, apakah
engkau percaya kepada kami keluarga dari Lembah Gunung Suling Emas? Kalau
percaya, serahkan pedang itu kepadaku untuk dipergunakan sebagai bukti bahwa
memang kami yang berhak atas pedang itu.”
Sim Hong Bu
cepat berkata. “Tentu saja, Locianpwe. Saya kira, Yeti pun tidak akan serakah
mengukuhi pedang bukan miliknya, apalagi saya. Hanya kami mohon agar pedang
benar-benar dikembalikan kepada yang berhak.” Setelah berkata demikian, dia
menoleh kepada Yeti dan berkata halus. “Sahabatku Yeti, tolong pinjamkan
sebentar pedang itu.”
Aneh sekali,
sejak tadi Yeti diam saja seperti termenung, dan mendengar ucapan Hong Bu itu
dia segera menurunkan tangannya yang memegang pedang dan menyerahkan pedang itu
kepada Sim Hong Bu. Hong Bu mengambil pedang itu dan menyerahkannya dengan
sikap hormat kepada Cu Han Bu.
Tuan rumah
ini mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepalanya. “Pedang
Koai-liong-pokiam ini adalah pedang pusaka buatan nenek moyang kami, oleh
karena itu kami tahu segala hal-ihwalnya, riwayatnya dan rahasia-rahasianya.
Ada rahasia pada pedang ini. Cu-wi sekalian boleh mencoba dan mencarinya. Kalau
tidak ada yang tahu, barulah kami akan menunjukkan rahasianya sebagai bukti
bahwa pedang itu adalah milik dan pusaka keluarga kami.”
Kemudian
tanpa ragu-ragu lagi, Cu Han Bu menyerahkan pedang pusaka itu kepada orang yang
berdiri paling dekat dengannya, yaitu Si Ulat Seribu tadi. Wanita bermuka buruk
itu menerima pedang itu. Semua mata memandang dan tidak ada seorang pun yang
mempunyai pikiran untuk melarikan pedang itu, bahkan Im-kan Ngo-ok pun tidak
berani. Karena siapa yang melarikan pedang itu tentu akan berhadapan dengan
mereka semua, ditambah lagi pihak tuan rumah! Dan jalan keluar dari tempat itu
hanya melalui tambang. Tidak mungkin melarikan diri dengan pedang itu!
Maka kini Si
Ulat Seribu meneliti pedang itu, digerak-gerakkan, ditekan sana-sini, akan
tetapi karena dia memang tidak tahu rahasianya, dia tidak menemukan sesuatu
yang aneh pada pedang itu, kecuali bahwa pedang itu benar-benar amat hebat,
sebatang pedang yang terbuat dari pada logam yang aneh sekali, agak kemerahan
dan ada sinar-sinar kehijauan, amat ringannya namun membayangkan kekerasan yang
tak terlawan oleh apa pun!
“Sebatang
pedang yang luar biasa!” katanya kemudian dan dia pun mengembalikannya kepada
tuan rumah. “Akan tetapi aku tidak melihat apa-apa yang aneh padanya.”
“Nah, jelas
bahwa Si Ulat Seribu tidak dapat menunjukkan rahasianya, maka sekarang giliran
orang berikutnya.” Dan dia lalu menyerahkan pedang itu kepada tokoh lain.
Pedang itu
terus berpindah-pindah tangan setelah setiap orang meneliti dengan penuh
kecermatan, namun biar Im-kan Ngo-ok sendiri yang terkenal sebagai orang-orang
licik dan cerdik, tidak dapat menemukan rahasia itu. Orang terakhir adalah
Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang memegang pedang itu, menerimanya dari Cu Han Bu
sambil berkata.
“Sudah lama
sekali kami mengenal nama penghuni Lembah Gunung Suling Emas sebagai
orang-orang terhormat dan gagah perkasa, maka kini kami percaya bahwa dalam
urusan pedang ini penghuni Lembah Gunung Suling Emas tidak akan berlaku
curang.”
Cu Han Bu
tersenyum tenang. “Sam-ok Ban-hwa Sengjin, kami pun mendengar akan namamu
sebagai bekas Koksu Nepal yang pandai. Cobalah pergunakan kepandaianmu untuk
mengetahui rahasia pedang yang menjadi milik nenek moyang kami ini. Bahkan
Kaisar Ceng sendiri yang menyimpan pedang ini sejak dua keturunan, tidak tahu
akan rahasianya. Hanya kami, pemilik sah dari pedang ini yang akan dapat
menunjukkan rahasianya.”
Sam-ok
memeriksa dengan teliti sekali, dari ujung pedang sampai ke gagangnya. Akan
tetapi dia pun tidak dapat menemukan rahasia pedang itu. Akhirnya dia
mengembalikan kepada tuan rumah sambil berkata, “Kami tidak melihat ada rahasia
apa pun pada pedang ini.”
Cu Han Bu
menarik napas panjang, lalu berkata. “Nah, Cu-wi sekalian melihat sendiri bahwa
tidak ada seorang pun yang tahu akan rahasia pedang ini. Sekarang hendak kami
perlihatkan.”
Tuan rumah
memegang batang pedang itu dan mengacungkan pedang ke atas, ke arah udara.
“Cu-wi, lihatlah baik-baik!”
Tiba-tiba
pedang itu mengeluarkan bunyi dan tergetar, lalu nampaklah sinar berkilat
keluar dari gagang pedang, melalui dua bagian meruncing yang mengapit pedang
dan tak lama kemudian, jatuhlah dua ekor burung yang tadi beterbangan di atas,
kemudian menggelepar-gelepar sekarat! Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya
pedang itu mengandung rahasia, dapat mengeluarkan senjata rahasia seperti itu!
“Bagus
sekali!” Sim Hong Bu berteriak memuji. “Locianpwe, bagaimana hal itu dapat
terjadi?”
Tuan rumah
tersenyum, menjawab pertanyaan itu akan tetapi ditujukan kepada semua tamunya,
“Cu-wi lihat, tanpa mengenal rahasia pedang ini mana mungkin melakukan hal
tadi? Nenek moyang kami membuat pedang ini dengan menyimpan rahasia itu. Gagang
pedang menyimpan jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat rahasia di dalam
gagang, dan untuk menggerakkan alat rahasia itu kita harus mengerahkan tenaga
sinkang yang mengandung hawa panas sampai suhu tertentu, barulah alat itu
bergerak dan jarum-jarum itu dapat keluar dengan kecepatan yang mematikan.”
Semua orang
merasa kagum sekali. Akan tetapi dengan terheran-heran mereka melihat betapa
tuan rumah itu menyerahkan pedang itu kembali kepada Sim Hong Bu sambil
berkata, “Nah, terimalah kembali pedang yang kami pinjam tadi. Pedang ini telah
terjatuh ke tangan Yeti dan hal ini terus terang saja terjadi karena kelengahan
pihak kami sendiri.” Dia tidak terang-terangan menyalahkan Toaso-nya sungguh
pun semua tamu maklum wanita itulah yang lengah sehingga pedang menancap di
paha Yeti. “Oleh karena itu, kalau Yeti tidak ingin mengembalikan, kami tidak
menyalahkan dia dan kelak kami akan mempergunakan kepandaian untuk merampasnya
kembali dari tangannya.”
Sim Hong Bu
juga terkejut sekali melihat pedang dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dia
mengerti dan makin kagumlah hatinya terhadap tuan rumah yang ternyata selain
gagah perkasa, juga jujur dan budiman. Maka dia kemudian menerima pedang itu,
dan menyerahkan kepada Yeti sambil berkata, “Yeti, kalau engkau telah
menganggap aku sahabatmu, aku minta keikhlasanmu agar engkau mengembalikan
pedang ini kepada yang berhak, yaitu kepada Locianpwe majikan dari Lembah
Suling Emas ini. Akan tetapi kalau engkau tidak rela, aku pun tidak berani
memaksa, hanya aku akan kecewa.”
Yeti itu mengeluarkan
suara aneh, nampak ragu-ragu, sebentar memandang kepada pedang itu, kepada
wajah Hong Bu, kemudian menoleh ke arah wanita cantik yang telah melukai
pahanya, dan akhirnya pedang yang telah diterimanya itu dikembalikannya kepada
Hong Bu dan dia menunduk, sikapnya tak acuh!
“Yeti,
engkau merelakan pedang ini dikembalikan kepada pemiliknya yang sah?” tanya
Hong Bu dengan suara girang sekali. Yeti itu tidak menjawab, hanya mengangguk
dan tetap diam saja.
Girang dan
legalah hati Hong Bu. “Bagus, engkau sahabatku yang sejati, Yeti, jauh lebih
budiman dari pada manusia-manusia yang jahat di dunia ini!” Maka Hong Bu tidak
ragu-ragu lagi menyerahkan pedang itu dengan kedua tangannya kepada Cu Han Bu
sambil berkata, “Inilah pedang itu, Locianpwe. Yeti mengembalikannya kepada
Locianpwe sebagai pemilik yang sah. Seorang gagah tidak akan menginginkan
barang orang lain, dan Yeti, biar pun bukan termasuk manusia, namun berjiwa
tidak kalah gagahnya dengan para pendekar.”
Cu Han Bu
memandang dengan kagum kepada Hong Bu, lalu menarik napas panjang, “Amat sukar
menemukan makhluk seperti Yeti, namun lebih sukar lagi menemukan seorang anak
seperti engkau, Sim Hong Bu.” Kemudian dia menerima pedang itu dan
menyerahkannya kepada Cu Kang Bu untuk disimpan. Cu Kang Bu menerima pedang itu
dengan sikap hormat, lalu membawanya masuk ke dalam.
Dengan wajah
cerah kini Cu Han Bu mempersilakan semua tamunya duduk. “Silakan Cu-wi sekalian
duduk untuk menerima hidangan penghormatan kami dan untuk mendengarkan kisah
tentang pedang itu sekadarnya dari kami.”
Semua orang
diam-diam merasa kecewa sekali karena pedang itu telah kembali kepada majikan
Lembah Suling Emas ini dan akan sukarlah bagi mereka untuk mengharapkan
memperoleh pedang keramat itu. Akan tetapi terdapat hiburan bahwa mereka
berhasil memasuki daerah terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah merupakan
pengalaman yang luar biasa bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malu-malu lagi
lalu mengambil tempat duduk dan berkelompok memilih teman masing-masing. Sim
Hong Bu mengambil tempat duduk di sudut bersama Yeti yang tidak mau duduk di
atas kursi, melainkan mendeprok di atas lantai. Sejak tadi Yeti nampak seperti
orang yang lemas dan kesal, lebih banyak menunduk seperti orang termenung.
Hidangan pun
dikeluarkan oleh para dayang yang muda dan cantik dan berbau harum itu. Dan
semua orang semakin kagum karena arak yang dihidangkan adalah arak yang amat
baik, masakan-masakan mengepulkan uap itu pun bukan masakan sembarangan dan
terbuat dari bahan dan bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di tempat itu
terdapat ruangan es yang dingin dan yang dapat dipakai menyimpan daging atau
apa saja sehingga berbulan-bulan dalam keadaan masih segar!
Setelah
semua tamu dipersilakan makan minum, semua orang merasa puas kecuali Yeti yang
tidak mau makan apa-apa sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu lezat makan
sendirian saja, dan dayang-dayang sudah menyingkirkan mangkok piring
meninggalkan cawan dan guci arak berikut penganan, tuan rumah kemudian
bercerita tentang pedang keramat itu. Semua orang mendengarkan dengan asyik
karena memang cerita itu agak aneh.
Kakek buyut
dari ketiga orang saudara Cu itu, yang bernama Cu Hak, mewarisi kepandaian
nenek moyangnya dalam hal kesenian memasak dan membentuk logam, pendeknya
kepandaian seorang pandai besi yang luar biasa. Akan tetapi, kalau di antara
nenek moyangnya itu ahli dalam hal pembuatan benda dari logam emas, ada yang
ahli perak, dan ada pula yang ahli ukir-ukir batu atau kayu, Cu Hak ini adalah
seorang ahli pembuat pedang yang amat baik.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali Cu Hak yang sudah berusia lanjut itu bangun dalam
keadaan lemah dan agaknya penyakit jantungnya kumat. Dia mengeluh panjang
pendek dan tidak bangkit dari tempat tidurnya. Anak cucunya datang menjaganya,
akan tetapi kakek itu tetap gelisah dan akhirnya berkata bahwa malam tadi dia
bermimpi melihat seekor naga terbang melayang turun dan kemudian menghilang ke
belakang rumahnya, masuk ke bawah sebuah batu sebesar rumah yang berada di
belakang rumah mereka.
“Cari di
bawah batu itu.... carilah.... tentu ada apa-apa di situ,” pintanya
berkali-kali.
Karena
melihat kakek itu keadaannya payah, maka anak cucunya lalu beramai-ramai
mencari. Dengan kekuatan yang disatukan, keluarga yang memang lihai dan berilmu
tinggi ini mendorong batu sehingga menggelinding beberapa meter dari tempat
semula, lalu digalilah tanah di bawah batu itu. Dan mereka menemukan sebongkah
batu yang berwarna hijau kemerahan. Mereka membawa batu itu kepada kakek Cu
Hak.
Kakek yang
sedang sakit itu seketika bangkit dari tidurnya, memegang batu itu dan berseru
girang. “Hebat....! Ini adalah logam mulia! Ini adalah logam pusaka keramat.
Ah, pantas saja bersemangat naga.”
Kakek itu
seperti sembuh seketika dan dia pun menyibukkan dirinya di dalam dapur perapian
tempat dia membuat pedang itu. Bongkahan batu yang ternyata merupakan logam
mulia itu dibakar dan digemblengnya menjadi sebatang pedang yang diberi nama
Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang Naga Siluman karena ternyata ‘naga’ itu
ternyata tidak mendatangkan berkah. Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu Hak
menderita sakit. Akan tetapi dia memaksa diri menyelesaikan pedang itu, dan
kemudian pedang itu selesai dan sempurna, dia pun meninggal dunia setelah
meninggalkan pesan tentang rahasia yang terkandung dalam gagang pedang.
“Nah,
demikianlah riwayat pedang kami itu,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi,
hanya beberapa bulan setelah pedang itu jadi, pedang itu pun lenyap dari sini.
Kami tahu siapa yang mengambilnya, akan tetapi itu merupakan rahasia keluarga
kami dan tidak dapat kami ceritakan kepada siapa pun juga. Karena itu kami tak
pernah ribut-ribut dan menganggap bahwa pedang itu telah lenyap begitu saja.
Sampai kemudian setelah kami bertiga saudara menjadi dewasa, kami mendengar
bahwa pedang itu tahu-tahu sudah berada di gudang pusaka istana Kaisar! Setelah
mengetahui akan pedang kami itu, Toaso kami lalu turun tangan, datang ke kota
raja dan mengambil kembali pedang pusaka kami itu. Akan tetapi, dia bertemu
dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi telah mengetahui. Demikianlah riwayat pedang
itu, yang berada di tangan kaisar selama puluhan tahun tanpa kami ketahui dan
sekarang pedang pusaka itu telah kembali ke dalam lingkungan keluarga kami.
Maka harap Cu-wi maklumi dan tidak menjadi penasaran. Tentu saja untuk jerih
payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam dan kami hendak membekali Cu-wi
dengan hadiah sekadarnya.”
“Nanti
dulu....!” Tiba-tiba Si Ulat Seribu, wanita muda bermuka mengerikan itu berkata
dan dia sudah bangkit dari kursinya. Mukanya yang bopeng dan pletat-pletot
kelihatan merah, tanda bahwa arak tua telah mulai mempengaruhinya. Semua orang
memandang kepadanya dan pihak tuan rumah juga memandangnya dengan penuh
perhatian.
“Kami
berterima kasih kepada keluarga Cu yang telah menerima kami sebagai tamu.
Tetapi kami, terutama aku sendiri, bukanlah sebangsa pengemis yang datang untuk
minta-minta sedekah!” Dia melirik ke arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah
merugikannya. Kemudian, melihat betapa kakek ini tidak mempedulikannya, dia
melanjutkan. “Tetapi kami adalah orang-orang gagah yang terus terang saja
tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini
ternyata pedang itu adalah milik keluarga Cu di sini. Biar pun kami melihat
buktinya, namun tentu saja sebagai orang-orang yang biasa memandang kepada
kegagahan, kami merasa ragu-ragu apakah pedang pusaka itu patut dimiliki oleh
keluarga Cu. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat apakah sudah selayaknya
dan sepantasnya keluarga Cu menjadi majikan pedang itu.” Setelah berkata
demikian, tanpa nampak dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke
tengah ruangan itu. Memang Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli ginkang yang
luar biasa. Tubuhnya dapat bergerak sedemikian ringannya seolah-olah dia pandai
terbang saja!
Bagi para
tokoh yang hadir, ucapan itu sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh mengerikan
ini jelas menantang pihak tuan rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang ada semacam
‘penyakit’ yang hinggap di dalam batin hampir semua tokoh kang-ouw, yaitu
mereka ini haus sekali akan ilmu silat dan adu kepandaian. Mereka belum merasa
puas kalau belum menguji ilmu orang lain yang terkenal pandai, bahkan untuk
kesenangan mengadu ilmu ini mereka tidak akan menyesal andai kata harus
kehilangan nyawa dalam pi-bu (adu kepandaian silat) itu!
Sebelum Cu
Han Bu menjawab, terdengar suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu, wanita yang
cantik dan berpakaian mewah berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh pihak
tuan rumah, telah bangkit dari duduknya.
“Hi-hi-hik,
Si Ulat Seribu boleh berlagak di luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak
akan laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang dan kalau ada yang tidak terima
dan meragukan kemampuan kami, boleh menguji kepandaiannya dengan aku. Toa-cek
(Paman Terbesar), biarkan aku menandingi Si Ulat Seribu!” kata-kata terakhir
ini ditujukan kepada Cu Han Bu.
Wanita ini
adalah isteri dari kakak angkat Cu Han Bu, maka dia memanggil Han Bu dengan
sebutan toa-cek, kemudian kepada Seng Bu dia menyebut ji-cek (paman ke dua) dan
kepada Kang Bu menyebut sam-cek (paman ke tiga), yaitu sebutan lazim dari
seorang kakak ipar untuk menyebut adik-adik suaminya, yang menyebutnya untuk
anaknya, sungguh pun Tang Cun Ciu ini tidak mempunyai anak dalam pernikahannya
dengan mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat dari ayah keluarga Cu
itu.
Si Ulat
Seribu sudah menghadapi Tang Cun Ciu dan memandang tajam sekali. Dia tahu bahwa
orang yang mampu mencuri pedang dari dalam gedung pusaka istana tanpa diketahui
orang, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi anehnya, dia
belum pernah mendengar nama wanita ini atau bertemu dengannya, padahal hampir
semua nama orang-orang kang-ouw yang terkenal telah dikenalnya.
“Orang
menamakan aku Si Ulat Seribu, dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu ilmu
silat) dengan orang yang tidak kukenal namanya,” kata Si Ulat Seribu dengan
sikapnya yang kereng.
Tang Cun Ciu
tertawa dan semua orang harus mengakui bahwa di samping gesit, wanita ini
memang cantik dan mempunyai daya tarik atau daya pikat yang amat kuat. Apalagi
kalau tertawa nampak deretan giginya yang seperti mutiara, biar pun usianya
sudah tiga puluh tahun akan tetapi dia nampak masih seorang gadis remaja saja!
“Hi-hi-hik,
Ulat Seribu! Sungguh julukan yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu memang tidak
suka memamerkan nama di dunia kang-ouw, akan tetapi orang-orang menyebutku
dahulu Cui-beng Sian-li. Nah, kalau engkau ada kepandaian, majulah.”
Diam-diam Si
Ulat Seribu terkejut. Ternyata dia pernah mendengar nama Cui-beng Sian-li (Dewi
Pengejar Arwah)! Akan tetapi sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun yang
lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul nama ini yang amat menggemparkan, lalu
nama itu lenyap bersama orangnya. Kiranya orangnya telah berada di Lembah
Suling Emas!
“Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu! Bagus, ternyata aku melakukan pi-bu dengan orang yang
telah bernama besar dan memiliki kepandaian yang pantas untuk bertanding
melawanku. Nah, mari kita mencoba ilmu silat masing-masing! Awas serangan!”
Baru saja ucapan itu berhenti, orangnya sudah mencelat ke depan dan mengirim
serangan dengan kecepatan yang mengejutkan sekali.
Akan tetapi,
hanya terdengar Tang Cun Ciu tertawa merdu dan tubuh wanita cantik ini pun
sudah mencelat dan lenyap, tahu-tahu dia sudah berada di tempat tinggi dan kini
tubuhnya sedang melayang turun dan melakukan serangan balasan dengan tendangan
dahsyat!
“Bagus....!”
Si Ulat Seribu memuji.
Selain
terkejut Si Ulat Seribu juga gembira sekali karena ternyata lawannya ini pun
merupakan seorang ahli ginkang yang hebat. Dia cepat mengelak dan kini kedua
orang wanita yang wajahnya sungguh amat berlawanan itu, yang seorang amat buruk
dan yang seorang lagi amat cantik, mulai serang-menyerang dengan
gerakan-gerakan yang cepat sekali. Bukan hanya cepat, akan tetapi juga dari
setiap serangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang
mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya!
Berbeda
dengan tadi ketika berkelahi untuk memperebutkan pedang pusaka, Si Ulat Seribu
tidak menggunakan ulat-ulatnya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat musuh, di
tempat berbahaya dan bahwa pertandingan ini hanya merupakan adu ilmu silat
belaka, untuk menguji siapa yang lebih pandai. Maka dia hanya mengandalkan ilmu
silatnya yang aneh dan ginkang-nya yang tinggi. Ilmu silat dari wanita bermuka
buruk ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya melejit-lejit ke atas dengan tubuh
melengkung-lengkung, seperti loncatan semacam ulat. Dan gerakannya amat
gesitnya sehingga beberapa kali Tang Cun Ciu sendiri sampai terkejut.
Akan tetapi,
ternyata bahwa tingkat kepandaian silat Dewi Pengejar Arwah ini masih lebih
unggul, dan dasar ilmu silatnya lebih asli dan lebih tinggi. Bahkan dalam
gerakan yang mengandalkan ginkang yang lihai, ternyata Cui-beng Sian-li Tang
Cun Ciu juga lebih tinggi dan matang. Si Ulat Seribu hanya menang aneh saja,
namun intinya kalah kuat.
Itulah
sebabnya maka setelah lewat lima puluh jurus, Si Ulat Seribu mulai terdesak
hebat dan tidak mampu balas menyerang lagi karena dia sibuk harus menghindarkan
diri dari serangan yang amat cepat, bertubi-tubi dan teratur baik, kuat dan
indah. Dan akhirnya, Cui-beng Sian-li mengeluarkan lengking panjang yang
menggetarkan jantung, tubuhnya mencelat ke atas menukik turun dan seperti
garuda menyambar ular dia menyerang dari atas. Si Ulat Seribu berusaha
menghindar, namun dia kalah cepat dan pundaknya kena didorong oleh Cui-beng
Sian-li. Tidak dapat dihindarkan lagi, Si Ulat Seribu terpelanting roboh
bergulingan. Lawannya meloncat dan hendak menyusulkan tamparan berikutnya, akan
tetapi terdengar bentakan Cu Han Bu, ”Cukup, Toaso!”
Aneh sekali,
biar pun dia amat dihormat dan disebut kakak ipar, wanita itu agaknya taat
kepada adik mendiang suaminya ini, karena dia pun menahan serangannya dan
berdiri memandang kepada Si Ulat Seribu dengan senyum mengejek. Si Ulat Seribu
maklum bahwa kalau tadi pihak tuan rumah tidak menahan dan dia diserang lagi,
tentu dia akan celaka, maka dia hanya melangkah mundur dan duduk kembali di
atas kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Wajahnya yang buruk itu nampak
semakin buruk.
“Siapa lagi
di antara para tamu yang masih meragukan kepandaian kami? Boleh maju!” Karena
kemenangannya, Cui-beng Sian-li menantang.
Para tamu
itu terdiri dari orang-orang pandai, Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek melihat benar
betapa lihainya wanita itu, memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi
sehingga dia sendiri pun tidak berani sembrono untuk maju dalam pi-bu dan
mencari penyakit seperti Si Ulat Seribu tadi. Akan tetapi di antara mereka
terdapat Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang merasa bahwa merekalah
yang merupakan orang-orang paling pandai di dunia persilatan.
Lima orang
kakek sakti ini sudah saling pandang. Tentu saja diam-diam mereka pun merasa
tidak puas bahwa perjalanan susah payah mereka untuk merebut pedang pusaka itu
berakhir seperti ini, hanya menjadi tamu di Lembah Suling Emas dan melihat
pedang pusaka yang diinginkan itu kembali kepada pemiliknya. Tentu saja
diam-diam mereka mencari akal untuk dapat merampas pedang itu, bahkan begitu
mereka tahu bahwa tempat itu adalah Lembah Suling Emas yang tentu menyimpan
banyak macam pusaka, diam-diam mereka merasa girang dan timbul keinginan mereka
untuk dapat merampas pusaka-pusaka yang berada di tempat tersembunyi itu.
Akan tetapi
mereka pun bukan orang-orang bodoh yang sembrono. Mereka maklum bahwa mereka
berada di tempat berbahaya, tempat yang hanya mempunyai hubungan dengan dunia
melalui jembatan terbang itu, dan bahwa pihak tuan rumah terdiri dari
orang-orang yang lihai, maka semenjak mereka datang, mereka belum melihat cara
yang baik untuk dapat memetik keuntungan dari kunjungan ini. Ketika melihat Si
Ulat Seribu beraksi, diam-diam mereka menjadi girang. Mungkin inilah kesempatan
itu, ialah dengan cara berpibu! Dalam pi-bu itu, kalau mereka berlima dapat
mengalahkan pihak tuan rumah, bukankah mereka memperoleh kekuasaan? Dan menguji
kepandaian pihak tuan rumah melalui pi-bu adalah cara yang halus dan tidak
kentara!
Betapa pun
juga, kegirangan mereka itu dikejutkan dan disapu pergi ketika mereka
menyaksikan sepak terjang wanita cantik yang berjuluk Cui-beng Sian-li itu.
Wanita itu saja sudah demikian lihainya! Dari gerakan Cui-beng Sian-li ketika
melayani Si Ulat Seribu, Im-kan Ngo-ok maklum bahwa tingkat kepandaian wanita
itu saja sudah mampu mengimbangi tingkat Su-ok atau Ngo-ok! Dan hal ini berarti
bahwa yang agaknya dapat dipastikan untuk dapat menghadapi Cui-beng Sian-li
hanya Sam-ok, Ji-ok atau Toa-ok sendiri. Dan di pihak tuan rumah masih ada tiga
orang saudara Cu itu yang mereka belum dapat mengukur sampai di mana kelihaian
mereka.
Sam-ok
Ban-hwa Sengjin adalah orang yang cerdik, paling cerdik di antara lima Im-kan
Ngo-ok. Karena kecerdikannya itulah maka dia pernah diangkat menjadi Kok-su
dari Negara Nepal. Dan di antara lima orang Im-kan Ngo-ok itu, dialah yang
dianggap sebagai pengatur siasat, bahkan Toa-ok sendiri mengakui kecerdikan
adik ke tiga ini. Maka kini empat pasang mata itu pun memandang kepada Sam-ok
seolah-olah mereka menyerahkan tindakan selanjutnya kepada Si Jahat Nomor tiga
ini untuk mengaturnya.
Sam-ok lalu
bangkit dan sambil tersenyum dia menjura dan memuji. “Hebat.... hebat sekali.
Sudah lama kami mendengar kebesaran nama majikan Lembah Suling Emas dan
ternyata nama besar itu bukan kosong belaka. Si Ulat Seribu sungguh tak tahu
diri sehingga membentur batu karang! Karena itu kami Im-kan Ngo-ok amat kagum
sekali. Dan kami percaya bahwa tidak ada seorang pun di antara para tamu yang
akan berani menganggap pihak tuan rumah kurang patut memiliki pedang pusaka
itu.”
Cui-beng
Sian-li yang masih berdiri itu tersenyum. Dia paling tidak suka mendengar orang
bicara bertele-tele dan berputar-putar, maka dia lalu tertawa dan berkata
dengan suara mengejek. “Kalau Im-kan Ngo-ok hendak menguji kepandaian kami pun
boleh saja! Perlu apa banyak bicara memuji-muji kosong? Kami tidak butuh
pujian.”
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa merdu dan nyaring, disusul suara melengking tinggi.
“Cui-beng Sian-li bicara besar! Apa dikiranya Im-kan Ngo-ok terdiri dari
bocah-bocah penakut? Biar aku mencobanya, Sam-te!” Dan Ji-ok Kui Bin Nio-nio
sudah berada di depan Cui-beng Sian-li.
Sungguh
mereka merupakan dua orang wanita yang amat berlawanan. Yang seorang bertubuh
ramping dan berwajah cantik, yang ke dua juga bertubuh ramping seperti tubuh
wanita muda, akan tetapi karena mukanya ditutup topeng tengkorak, maka amat
menyeramkan, bahkan lebih menakutkan dari pada wajah Si Ulat Seribu yang buruk
itu. Dari balik topeng tengkorak itu mengintai sepasang mata yang mengeluarkan
sinar mencorong dan liar seperti mata setan, dan rambut di kepala itu telah
putih semua.
Melihat
Ji-ok telah maju, Sam-ok tersenyum dan mengundurkan diri. Dia sendiri merasa
bahwa dia akan dapat menundukkan wanita cantik itu, akan tetapi karena Ji-ok
juga wanita dan lebih tepat untuk menguji lawannya yang juga perempuan, maka
dia pun mengalah dan mengundurkan diri tanpa berkata apa pun.
Suara Ji-ok
yang melengking nyaring itu membayangkan adanya khikang dan sinkang yang amat
kuat, maka Cu Han Bu memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Cu Kang Bu.
Pria tinggi besar dan gagah perkasa yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun
ini lalu bangkit berdiri dan segera ia menghampiri Cui-beng Sian-li yang
agaknya sudah bersiap untuk menandingi Ji-ok.
“Harap Toaso
yang sudah capek melayani lawan suka mengaso, biar aku saja yang menghadapi
Ji-ok.”
Melihat
munculnya adik iparnya ini, Cui-beng Sian-li mengangguk dan dia kembali ke
tempat duduknya, lalu menyambar cawan araknya, mengisinya dengan arak dari guci
dan meminumnya. Sementara itu, pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu
kini sudah menghadapi Ji-ok. Suaranya lantang dan kasar ketika dia berkata
dengan sikap gagah.
“Aku
Ban-kin-sian Cu Kang Bu sudah lama mendengar nama Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang
tersohor kejam, jahat dan lihai! Maka sekarang dapat memperoleh kesempatan
untuk bertanding, sungguh aku merasa girang!”
Semua orang
terkejut. Betapa besar bedanya sikap Cu Han Bu dan adiknya yang bernama Cu Kang
Bu ini. Orang ini memiliki watak yang sama dengan bentuk tubuhnya yang tinggi
besar dan gagah. Wataknya kasar, jujur dan tidak menyimpan rahasia dalam
hatinya. Maka begitu bertemu, dengan jujur dan dengan suara yang tidak
mengandung ejekan melainkan sewajarnya, dia telah mengatakan Ji-ok kejam dan
jahat! Julukannya adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) yang juga
merupakan julukan yang terang-terangan, tanda bahwa dia memiliki tenaga yang
besar.
Seperti
semua tokoh di Lembah Suling Emas itu, nama Cu Kang Bu juga tidak terkenal sama
sekali, bahkan kalah terkenal dibandingkan dengan Cui-beng Sian-li yang menjadi
Toaso-nya itu. Oleh karena itu, Ji-ok belum pernah mendengarnya dan tentu saja
orang nomor dua dari Im-kan Ngo-ok ini memandang rendah.
Akan tetapi
watak Im-kan Ngo-ok memang aneh. Mereka sudah menggunakan julukan Ngo-ok (Lima
Jahat) dan ini bukan nama kosong belaka. Kejahatan bagi mereka ini bukan
merupakan suatu hal buruk yang patut membuat mereka malu, sebaliknya malah,
mereka itu seperti mengagungkan kejahatan dan malah merasa bangga kalau disebut
jahat dan kejam! Oleh karena itu, ketika Cu Kang Bu secara jujur menyebutnya
kejam dan jahat, Ji-ok tersenyum di balik kedoknya dan sepasang mata di balik
kedok itu berseri-seri!
“Hi-hi-hi-hik,
bagus sekali! Aku girang sekali mendengar bahwa namaku sampai dikenal di tempat
yang tersembunyi ini. Ban-kin-sian Cu Kang Bu, engkau hendak mewakili pihak
tuan rumah menguji kepandaianku? Bagaimana kalau sampai engkau terluka parah
atau mati? Ketahuilah, Ji-ok sekali turun tangan tentu ada yang mati!”
Cu Kang Bu
tertawa dan wajahnya nampak tampan kalau dia tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bicaramu
lucu sekali, Ji-ok! Pi-bu, kalah, menang, luka dan mati adalah hal-hal yang
merupakan rangkaian tak terpisahkan. Sudah berani pi-bu tentu berani kalah,
luka atau mati. Akan tetapi ingat, hal itu berlaku untuk kedua pihak. Bukan
hanya aku yang mungkin luka atau mati, akan tetapi engkau juga.”
“Hi-hik,
bagus! Kalau begitu bersiaplah engkau untuk mati, orang she Cu!” Baru saja dia
berkata demikian, tahu-tahu Ji-ok sudah menubruk maju, kedua tangannya
membentuk cakar-cakar setan dan gerakannya cepat bukan main, tahu-tahu tangan
kirinya sudah mencengkeram ke arah kedua mata lawan sedangkan tangan kanan
mencengkeram ke arah kemaluan! Bukan main bahayanya serangan ini, semacam
serangan yang amat curang dan kotor, yang tidak akan dilakukan oleh ahli silat
tinggi.
“Duk!
Desss!”
Serangan
maut itu sama sekali tidak dielakkan oleh Cu Kang Bu, melainkan ditangkis
dengan kekerasan! Kedua lengannya yang kuat itu menangkis dengan pengerahan
tenaga dan adu lengan itu membuat Ji-ok meringis di balik kedoknya karena kedua
lengannya yang kecil itu seolah-olah bertemu dengan dua batang baja besar yang
amat kuat!
Ji-ok bukan
seorang ahli silat sembarangan. Tangkisan yang amat kuat itu biar pun membuat
kulitnya terasa nyeri, akan tetapi tidak sampai melukai lengannya dan dia yakin
akan kekuatan lawan yang berjuluk Dewa Bertenaga Selaksa Kati itu, maka dia pun
mengandalkan kecepatan gerakannya dan mulailah dia menghujani lawan dengan
serangan-serangannya. Setiap serangan merupakan serangan maut yang mengerikan,
dan sekali saja tangan Ji-ok mengenai sasaran, akan celakalah lawannya.
Pihak tuan
rumah memandang dengan alis berkerut, maklum betapa kejinya serangan-serangan
yang dilakukan oleh Ji-ok itu. Sama sekali tidak pantas dinamakan pi-bu atau
mengadu ilmu silat untuk mengukur kepandaian masing-masing, lebih patut
dinamakan serangan-serangan yang mengarah nyawa lawan!
Akan tetapi,
betapa terkejut hati Ji-ok ketika dia melihat bahwa semua serangannya itu,
betapa cepat dan kuatnya karena dia mengerahkan segenap tenaganya, tidak ada
satu pun yang mampu membobol pertahanan orang muda itu! Cu Kang Bu bergerak
dengan tenang sekali, mantap dan tubuhnya seolah-olah dilindungi oleh benteng
baja yang tercipta dari gerakan tubuhnya, setiap serangan dapat ditangkisnya
dengan sangat mudah dan sekali-kali dia membalas dengan tamparan atau dorongan
tangan yang mengandung kekuatan dahsyat!
Ji-ok bukan
seorang bodoh. Setelah melakukan penyerangan hampir lima puluh jurus lamanya,
dia sudah tahu bahwa tingkat kepandaian lawannya itu ternyata luar biasa
tingginya dan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan! Maka dia pun kemudian
mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah mempergunakan ilmunya yang
terbaru, ilmu dahsyat sekali yang merupakan andalannya, yaitu Kiam-ci (Jari
Pedang)! Jari telunjuknya bergerak dan hawa yang seperti kilat cepatnya, amat
dingin dan tajamnya seperti pedang pusaka, menyambar ke arah dada Cu Kang Bu!
Hawa pukulan jari mukjijat ini mengeluarkan suara bercuitan amat mengerikan.
Cu Kang Bu
maklum akan hebatnya pukulan itu, dia mengenal ilmu mukjijat. Cepat dia
menangkis dengan dorongan telapak tangannya dari samping dan memutar lengan.
“Bretttt....!”
Tetap saja lengan bajunya dekat pangkal lengan terobek oleh hawa pukulan dari
Kiam-ci! Karena dia tidak menyangka, maka kulit pangkal lengannya ikut terobek
dan mengeluarkan sedikit darah, seperti bekas dicakar kucing!
“Hi-hi-hik!”
Ji-ok tertawa mengejek di balik kedoknya, akan tetapi suara tertawanya itu
segera terhenti karena Cu Kang Bu kini sudah menyerangnya dengan hebat, kedua
lengan yang besar kuat itu bergerak-gerak bergantian ke depan, kedua kakinya
juga menggeser maju. Dari kedua telapak tangan itu menyambar hawa pukulan
dahsyat sekali ke arah lawan! Ji-ok tidak berani menghadapi dengan kekerasan,
maklum akan kekuatan lawan, maka dia sibuk menghindarkan diri dan mengelak ke
sana-sini, terus didesak oleh lawan.
Ji-ok
menjadi marah sekali. Dia harus menang, demikian pikirnya. Di depan begitu
banyak orang kang-ouw, akan rusaklah nama besarnya kalau sampai dia kalah oleh
seorang lawan yang sama sekali tidak memiliki nama besar di dunia persilatan,
walau pun sungguh harus diakui bahwa tingkat kepandaian lawannya ini
benar-benar amat tinggi. Dia mengeluarkan bentakan yang menggetarkan seluruh
tempat itu dan tiba-tiba, dalam keadaan terdesak itu dia mengirim serangan
balasan, kedua jari telunjuknya mencuat ke depan seperti sepasang pedang dan
ada hawa pukulan yang amat dingin menyambar dahsyat ke arah lawan!
Diam-diam Cu
Kang Bu terkejut. Serangan ini adalah serangan mengadu nyawa, karena wanita
berkedok tengkorak itu menyerang dengan sepenuh tenaga tanpa mempedulikan
penjagaan diri lagi, pendeknya ingin membunuh lawan dengan taruhan nyawa
sendiri! Tentu saja dia tidak sudi untuk mengorbankan nyawa dan mati bersama
lawan yang amat keji dan jahat ini. Dia pun mengeluarkan seruan panjang dan
kedua tangannya dibuka menyambut terjangan ganas itu.
“Bressss....!”
Dua tenaga
sakti bertemu amat hebatnya dan akibatnya, tubuh Ji-ok terpelanting dan
terbanting ke belakang sampai bergulingan! Tubuh Cu Kang Bu tetap berdiri, akan
tetapi kedua lengannya berdarah karena kulitnya tergores seperti tergores
pedang. Dia menderita luka tergores kulitnya dan mengeluarkan darah sedangkan
Ji-ok terbanting keras, maka dalam adu tenaga ini pihak tuan rumah yang menang,
sungguh pun mengenai ilmu pukulan, sungguh Ji-ok memiliki Kiam-ci yang amat
ganas dan dahsyat!
Ji-ok sudah
meloncat bangun kembali, dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tiba-tiba
terdengar gerengan keras, nampak bayangan besar berkelebat dan tahu-tahu Yeti,
makhluk raksasa itu telah berdiri di depannya dengan sikap beringas dan
mengancam! Yeti mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar,
menggereng dan memukul-mukul dada dengan tangan kiri seolah-olah menantang
lawan, dan kemudian tangan kanannya menunjuk-nunjuk keluar sambil menggereng.
Jelas sekali gerakannya ini, yaitu dia menantang Ji-ok kalau mau berkelahi, dan
mengusir semua orang agar pergi meninggalkan tempat itu!
“Cuuuttt....!”
Kiam-ci dari tangan kiri Ji-ok, yaitu telunjuk kirinya telah mengirim serangan
ke arah Yeti. Makhluk itu menggereng saja, seolah-olah kurang cepat mengelak
dan hawa pukulan dari telunjuk kiri itu mengenai dadanya, disusul telunjuk itu
menotok dadanya.
“Dukkkk!”
Ji-ok
berteriak dan meloncat ke belakang. Hampir patah telunjuknya ketika mengenai
dada Yeti. Kiranya Yeti memiliki kekebalan yang amat luar biasa sehingga ilmu
pukulan itu tidak mempan. Dan pada saat itu Yeti menggerakkan lengannya. Hampir
saja kepala wanita berkedok itu kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat
membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.
Melihat
makhluk itu menyerang Ji-ok, Toa-ok sudah cepat bergerak ke depan, kedua
tangannya membuat gerakan memutar dan ada angin dahsyat menyambar ke arah Yeti!
Tubuh Yeti yang tinggi besar itu terbawa oleh angin dahsyat ini sampai
terhuyung, akan tetapi ketika Toa-ok menampar dengan tangan kiri, Yeti juga
menggerakkan tangannya dan tak dapat dicegah lagi dua dengan itu saling beradu.
“Dessss....!”
Dan
akibatnya, mereka berdua terpental ke belakang! Bukan main kagetnya hati
Toa-ok. Dia tadi telah mengerahkan tenaga sinkang-nya yang paling kuat, namun
Yeti itu dapat menangkisnya dan ternyata tenaga mereka seimbang! Dan dia tahu
benar bahwa Yeti itu juga memiliki tenaga sinkang, bukan hanya tenaga otot
seperti layaknya binatang buas! Benar-benar dia tidak mengerti dan
terheran-heran.
Seperti juga
tadi, Yeti memukul-mukul dada sendiri dengan tangan kiri sedangkan tangan
kanannya menunjuk keluar seperti orang mengusir. Ngo-ok berlima kini sudah
mengepung Yeti dengan sikap mengancam. Melihat ini, Cu Han Bu bangkit berdiri
dan berkata, suaranya berwibawa dan tegas, “Harap Im-kan Ngo-ok suka mundur dan
tidak membikin ribut di tempat kami!”
Lima orang
datuk kaum sesat itu melirik ke arah Cu Han Bu. Ji-ok mengeluarkan suara ketawa
mengejek, Su-ok dan Ngo-ok juga tersenyum menyeringai. Tentu saja di dalam hati
mereka tidak sudi mentaati permintaan orang yang dianggap masih muda itu. Akan
tetapi berbeda dengan saudara-saudaranya, Toa-ok dan Sam-ok yang cerdik melihat
betapa selain Cu Han Bu, juga Cu Seng Bu yang bermuka pucat dan Cu Kang Bu
sudah bangkit berdiri, juga Tang Cun Ciu wanita lihai itu. Yeti itu lihai
sekali, dan keluarga Cu itu pun tak boleh dipandang ringan, maka kalau mereka
nekat, tentu mereka berlima akan mengalami rugi.
Toa-ok lalu
tersenyum ramah dan menjura ke arah Cu Han Bu sambil berkata, “Maaf....
maaf.... kami hanya main-main saja melihat Yeti menantang.”
Cu Han Bu
memandang kepada Sim Hong Bu dan berkata, “Bujuklah dia agar jangan membikin
ribut.”
Hong Bu lalu
menghampiri Yeti, dipegangnya tangan Yeti itu sambil berkata. “Mari kita duduk
kembali dan tidak perlu membikin ribut di tempat ini....”
Yeti masih
menggereng-gereng, akan tetapi dia menurut saja dituntun oleh Hong Bu ke
pinggir.
“Pek In, kau
bagi-bagikan pek-giok (batu kumala putih) itu kepada para tamu, masing-masing
sebutir!” tiba-tiba Cu Han Bu berkata kepada pemuda tanggung tampan yang sejak
tadi hanya menonton dengan anteng itu.
“Baik,
Ayah,” jawab Cu Pek In. Pemuda tampan ini mengeluarkan sebuah kantung kuning,
membuka tali mulut kantung dan merogoh dengan tangan kanan.
“Cu-wi,
harap suka menerima pemberian hadiah dari Kim-siauw-san-kok!” katanya nyaring dan
tangan kanannya sudah mengeluarkan sebutir batu berwarna putih bening sebesar
gundu dan dia melemparkan gundu itu ke arah Si Ulat Seribu. Bukan sembarang
lemparan karena gundu itu berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah mata
kanan Si Ulat Seribu! Tetapi wanita berwajah buruk ini dengan mudah menyambut
dan menerima batu itu, memeriksanya penuh perhatian.
Cu Pek In
sudah melempar-lemparkan batu-batu putih itu, satu demi satu ke arah para tamu,
setiap lemparan dilakukan dengan gaya yang indah namun batu itu meluncur dengan
cepatnya ke arah sasaran. Karena mereka yang menjadi tamu adalah orang-orang
kang-ouw yang rata-rata berilmu tinggi, tentu saja mereka semua dapat menerima
lontaran batu itu dengan mudah, tetapi diam-diam mereka pun terkejut karena
mereka dapat merasakan betapa tenaga lontaran pemuda tanggung itu sudah
mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat!
Hanya Hong
Bu yang tidak diberi batu itu, demikian pula Yeti. Kepada Hong Bu, pemuda
tanggung yang tampan itu berkata halus. “Karena engkau dan Yeti telah
mengembalikan pedang pusaka kami, maka Ayahku sendiri yang akan memberi hadiah
kepada kalian.”
Hong Bu
tidak menjadi kecewa. Dia tidak mengharapkan dan membutuhkan hadiah.
Dikembalikannya pedang pusaka kepada keluarga Cu itu adalah hal yang wajar dan
bahkan sudah sepatutnya, maka dia tidak mengharapkan upah apa pun.
“Harap Cu-wi
tidak memandang rendah batu kecil itu,” terdengar Cu Han Bu berkata kepada para
tamu yang masih meneliti batu sebesar gundu di tangan mereka. “Itu adalah
pek-giok tulen yang terdapat dalam tempat rahasia di Pegunungan Himalaya, dan
sebagai orang-orang kang-ouw, tentu Cu-wi tahu akan khasiat pek-giok yang
tulen. Apabila terkena racun apa pun, dia akan berubah menjadi hijau. Dengan
pek-giok di tangan, Cu-wi takkan sampai terjebak oleh makanan beracun.”
Semua orang
tahu akan kegunaan pek-giok itu, maka mereka lalu menyimpan batu kecil itu ke
dalam saku baju masing-masing.
“Sekarang
kami persilakan Cu-wi untuk meninggalkan tempat kami. Jite dan Sam-te, kalian
antar mereka keluar lembah. Sim Hong Bu, engkau dan Yeti tinggal dulu di sini,
kami akan bicara dengan kalian.”
Sebetulnya
penahanan tuan rumah terhadap Sim Hong Bu ini ada maksudnya. Melihat betapa
pemuda tanggung itu tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan para orang
kang-ouw itu selain lihai juga di antara mereka banyak terdapat orang-orang
jahat seperti Im-kan Ngo-ok, maka melepas pemuda itu bersama mereka merupakan
hal yang amat berbahaya bagi pemuda itu. itu. Apalagi kalau pemuda itu membawa
hadiah pusaka yang berharga, tentu akan dirampas oleh mereka. Biar pun ada Yeti
yang agaknya melindungi pemuda itu, namun Yeti berada dalam keadaan terluka dan
hal ini diketahui benar oleh pihak tuan rumah yang bermata tajam itu. Oleh
karena itulah maka Cu Han Bu sengaja menahan Hong Bu agar keluarnya dari tempat
itu tidak berbareng dengan rombongan itu.
Cu Seng Bu
dan Cu Kang Bu lalu mengantar rombongan itu yang berjumlah delapan belas orang,
diikuti pula oleh Tang Cun Ciu dari belakang. Seperti ketika mereka memasuki
lembah, kini mereka pun harus menggunakan satu-satunya jalan keluar, yaitu
melalui jembatan tambang yang berbahaya di atas jurang yang amat lebar dan
dalam itu. Setelah mereka semua menyeberang sampai ke seberang sana, tiba-tiba
tali yang menjadi jembatan itu dikendurkan dan tali itu turun ke bawah sampai
lenyap di balik kabut yang memenuhi jurang di bawah itu.
Ketika Cu
Seng Bu, Cu Kang Bu dan Tan Cun Ciu kembali ke rumah yang disebut Istana Lembah
Suling Emas itu, terjadi keributan di situ. Kiranya, setelah rombongan
orang-orang kang-ouw itu pergi, tiba-tiba Yeti mengeluh dan roboh terpelanting.
Sim Hong Bu terkejut sekali dan cepat dia berlutut di dekat tubuh Yeti.
Ternyata Yeti itu telah roboh pingsan dan dari mulutnya keluar darah
menetes-netes!
“Yeti....!
Yeti....! Ah, Locianpwe, tolonglah....!” Hong Bu berteriak dan Cu Han Bu cepat
menghampiri dan memeriksa keadaan Yeti dengan meraba dada, memeriksa urat nadi
dan lain-lain. Dan tuan rumah ini terkejut bukan main. Kiranya Yeti ini telah
parah sekali keadaannya, bukan hanya terluka di sebelah dalam tubuhnya, akan
tetapi juga jalan darahnya kacau-balau dan ada tanda-tanda bahwa darahnya
keracunan hebat!
“Mari kita
membawanya ke dalam untuk dirawat,” katanya singkat dan dengan bantuan Hong Bu,
mereka menggotong tubuh Yeti itu ke sebelah dalam dan merebahkannya ke atas
sebuah pembaringan dalam sebuah kamar kosong.
Cu Han Bu
lalu meninggalkan kamar itu untuk mencari obat-obat yang kiranya dapat menolong
Yeti. Ketika itulah dua orang adiknya dan twako-nya kembali dari mengantar para
tamu dan mereka pun terkejut mendengar bahwa Yeti telah pingsan dengan tiba-tiba
dan keadaannya payah sekali!
"Agaknya
luka oleh Koai-liong-pokiam yang lama itu telah membuat dia keracunan dan kini
darahnya telah keracunan, juga perlawanannya terhadap banyak orang kang-ouw
mendatangkan luka parah dalam tubuhnya. Dan lebih-lebih lagi ketika dia tadi
beradu tenaga dengan Twa-ok, agaknya hal itu membuat lukanya semakin parah.
Keadaannya mengkhawatirkan sekali, betapa pun juga, kita harus berdaya untuk
menolongnya,” kata Cu Han Bu kepada adik-adiknya dan Toaso-nya.
Mereka
berempat lalu pergi ke kamar itu dan Cu Han Bu sudah membawa obat-obat yang
diperlukan. Namun ketika mereka tiba di depan kamar, mereka terkejut mendengar
suara Hong Bu yang memanggil-manggil sambil meratap sedih.
“Ouwyang-locianpwe....! Ouwyang-Locianpwe, kau.... sadarlah.”
Cu Pek In
yang diam-diam datang pula di belakang ayahnya dan paman-pamannya, mendengar
suara Hong Bu itu segera berkata heran. “Ah, bocah itu pun telah menjadi gila!”
Akan tetapi
ayahnya dan dua orang pamannya tidak mempedulikannya dan segera meloncat masuk
kamar. Mereka melihat Hong Bu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh Yeti
sambil menangis! Kiranya Hong Bu yang melihat keadaan Yeti yang terus
mengeluarkan darah dari mulut itu menjadi sedemikian khawatir dan kasihan
sehingga dia memanggil-manggil dengan nama itu karena dia yakin bahwa
sesungguhnya Yeti adalah penyamaran Ouwyang Kwan seperti yang riwayatnya dia
baca dalam goa es. Apalagi ketika tadi dia mendengar bisikan Yeti dalam keadaan
tidak sadar, “Loan Si.... Loan Si....,“ maka dia tidak ragu-ragu lagi.
Melihat
masuknya keluarga Cu, Hong Bu sadar dan terkejut bahwa dia telah membuka
rahasia itu, maka untuk menutupinya dia berkata, “Locianpwe, harap Locianpwe sudi
menolong Yeti....“
Akan tetapi
Cu Kang Bu yang kasar itu telah menangkap bahunya dan menariknya bangun. “Kau
tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe! Siapa dia?!” Pertanyaan itu amat keras
dan agak membentak.
Akan tetapi
Hong Bu adalah seorang anak yang luar biasa tabah dan tidak pernah mengenal
takut. Makin diperlakukan dengan kasar, dia akan semakin melawan. Maka dengan
mata melotot dia menatap orang yang mencengkeram bahunya itu tanpa menjawab!
Melihat ini, Cu Kang Bu yang paling menghargai keberanian diam-diam merasa
kagum sekali. Dan Cu Han Bu segera berkata halus, “Sim Hong Bu, engkau tadi
menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe, ada hubungan apakah nama itu dengan Yeti
ini?”
Ditanya
secara halus, kemarahannya Hong Bu yang sudah dilepaskan bahunya itu menjadi
cair, dan dengan muka menunduk dan halus dia berkata, “Maaf, Locianpwe. Saya
tidak berani bicara tentang itu....“
“Sim Hong
Bu, engkau menyebut nama Ouwyang-locianpwe, apakah engkau hendak maksudkan
bahwa Yeti ini adalah seorang yang bernama Ouwyang Kwan....?”
Diam-diam
Hong Bu terkejut dan menyesal sekali bahwa dalam kekhawatirannya akan
keselamatan Yeti itu tadi dia telah lupa diri dan menyebut-nyebut nama itu,
Ouwyang Kwan telah bersusah payah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai
Yeti, tentu ada sebabnya, maka jika dia sekarang membuka rahasia sungguh dia
merasa bersalah besar terhadap Yeti yang sudah menjadi penolong jiwanya
berkali-kali itu.
“Tidak....
tidak tahu.... saya tidak berani bicara....,” ratapnya.
“Ahhh, tidak
mungkin!” kata Cu Kang Bu keras.
“Dia ini....
Ouwyang Kwan....? Mana mungkin....!” kata pula Cu Seng Bu.
Tiba-tiba
Yeti yang tadi tidak bergerak-gerak itu mengeluarkan suara gerengan, Hong Bu
meloncat bangun dan menubruk dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut
mendengaar Yeti itu bicara, suaranya kaku dan aneh, seperti suara orang yang
sudah hampir lupa akan bahasanya. “Dia.... anak ini.... benar.... aku
adalah.... Ouwyang.... Kwan....“
Mendengar
ini, tiga orang pria itu terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat
pembaringan sambil menyebut, “Twa-supek....!” Melihat ini, Tang Cun Ciu juga
ikut menjatuhkan diri dan juga Cu Pek In lalu berlutut sambil memandang dengan
mata terbelalak.
Tentu saja
Sim Hong Bu menjadi terkejut, heran dan juga girang! Kiranya Ouwyang Kwan benar
adalah Yeti ini dan ternyata masih keluarga orang-orang gagah ini! Malah mereka
menyebut Twa-pek, berarti bahwa Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti adalah
kakak dari ayah tiga orang she Cu itu.
“Ouwyang
Twa-pek.... kenapa Twapek menjadi begini....?” Cu Han Bu bertanya dengan suara
halus penuh penghormatan.
“Kretttt....!”
Mendadak
Yeti itu menggunakan kedua tangannya merobek bibirnya yang tebal dan terobeklah
muka Yeti menjadi dua, dan nampak kini wajah seorang laki-laki yang tua,
sedikitnya ada tujuh puluh tahun usianya, rambut, alis dan jenggotnya sudah
putih semua, dan sepasang matanya kelihatan penuh kedukaan. Kiranya Yeti itu
hanya merupakan kedok saja, kedok yang amat bagus dan agaknya sudah menempel
pada muka pria itu karena ketika dirobek, ada sebagian leher dan pipi kakek itu
yang lecet-lecet dan berdarah! Kedua mata tua itu berlinang air mata dan dari
ujung mulutnya masih menetes-netes darah segar.
Dengan suara
yang amat kaku karena puluhan tahun tidak pernah bicara, kakek itu lalu berkata
lirih dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian. “Aku.... aku seperti
baru sadar dari mimpi buruk.... dalam saat terakhir ini baru aku sadar bahwa
aku telah berubah menjadi makhluk ganas....“
“Harap
Twa-pek jangan berkata demikian. Twa-pek terlampau lelah dan terluka, biarlah
kami merawat Twa-pek sampai sembuh. Sementara ini sebaiknya Twa-pek
mengaso...,“ kata Cu Han Bu dengan lembut.
Akan tetapi
kakek itu mengangkat tangan kanannya yang besar dan masih merupakan tangan
Yeti. “Tidak ada gunanya.... aku akan mati.... akan tetapi aku harus lebih
dahulu menceritakan semuanya kepada kalian keponakan-keponakanku.... dan
meninggalkan pesan untuk.... bocah ini....“ Tangan yang besar itu mengelus
kepala Sim Hong Bu yang masih berlutut di dekatnya dengan penuh kasih sayang.
Kakek yang
menyamar sebagai Yeti selama puluhan tahun itu lalu bercerita. Dia bernama
Ouwyang Kwan, dan di dalam keluarga Cu, sebenarnya dia adalah keturunan luar.
Ibunya she Cu yang menikah dengan seorang luar she Ouwyang. Akan tetapi karena
dia memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat, maka oleh keluarga Cu dia
diberi hak untuk mewarisi ilmu-ilmu keluarga itu yang amat tinggi. Bahkan
kakeknya, yaitu Cu Hak pembuat pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu amat sayang
kepada cucu luar yang berbakat ini.
Akan tetapi
ketika Ouwyang Kwan telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, terjadilah
malapetaka itu. Di Lembah Gunung Suling Emas datang sepasang suami isteri yang
masih pengantin baru, yaitu pendekar silat dan sastrawan yang bernama Kam Lok
dan berjuluk Sin-ciang Eng-hiong bersama isterinya yang bernama Loan Si,
seorang wanita yang amat cantik. Hati Ouwyang Kwan yang masih muda dan belum
berpengalaman itu seketika jatuh dan tergila-gila kepada isteri orang itu!
Karena dia
bersikap menggoda terhadap Loan Si, maka terjadilah kesalah-pahaman dan
terjadilah perkelahian antara Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan Ouwyang Kwan.
Dalam pertandingan ini, Ouwyang Kwan harus mengakui kelihaian lawannya dan dia
tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, dia tidak akan menang. Sesuai
dengan julukannya, yaitu Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Bertangan Sakti), Kam
Lok memiliki ilmu silat yang hebat dan kekuatan tangannya mengejutkan. Akan
tetapi, keluarga Cu lalu melerai dan melihat bahwa keluarga pihak mereka yang
bersalah, keluarga Cu lalu menegur Ouwyang Kwan dan minta maaf kepada suami
isteri yang menjadi tamu itu.
Kam Lok dan
isterinya lalu berpamit dan meninggalkan Lembah Suling Emas. Namun, Ouwyang
Kwan yang sudah tergila-gila itu lalu mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam
peninggalan kakeknya Cu Hak, lalu minggat dari Lembah Suling Emas!
“Aku.... aku
berdosa kepada keluarga Lembah Suling Emas....,” demikian kakek yang menyamar
sebagai Yeti itu berkata, menghentikan ceritanya sebentar.
Semua orang
mendengarkan dengan hati amat tertarik, dan Sim Hong Bu kini mengerti mengapa
keluarga Cu merahasiakan kehilangan pedang pusaka keluarga itu kepada para
tokoh kang-ouw. Kiranya pedang itu hilang dari keluarga Lembah Suling Emas
karena dicuri dan dilarikan oleh seorang anggota keluarga mereka sendiri!
Ouwyang Kwan
melanjutkan ceritanya dengan suara lirih dan terputus-putus. Melihat keadaan
kakek itu yang payah, beberapa kali para anggota keluarga Cu itu hendak
menghentikan ceritanya, akan tetapi Ouwyang Kwan memaksa, bahkan mengatakan
bahwa ceritanya itu merupakan pesan terakhir!
Dengan
pedang pusaka keluarganya sendiri di tangan, Ouwyang Kwan mengejar Sin-ciang
Eng-hiong Kam Lok dan dengan terang-terangan dia minta agar Loan Si diberikan
kepadanya! Tentu saja Kam Lok menjadi marah. Mana mungkin isteri diminta orang
begitu saja? Dan tentu saja pertemuan itu disusul dengan perkelahian yang lebih
seru dan dahsyat lagi. Tetapi kini Ouwyang Kwan memegang Koai-liong-pokiam,
sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dan dengan pedang di tangan ini,
Ouwyang Kwan membuat lawannya terdesak hingga akhirnya Sin-ciang Eng-hiong
tidak kuat melawan terus dan melarikan diri bersama isterinya.
Maka
terjadilah kejar-kejaran. Setiap kali terkejar, Kam Lok melawan hanya untuk
mengakui keunggulan Ouwyang Kwan, atau lebih tepat, kehebatan Koai-liong-pokiam
karena sesungguhnya pedang pusaka itulah yang membuat Ouwyang Kwan dapat
membuat lawannya repot. Tanpa adanya pedang itu Ouwyang Kwan tak akan mampu
menandingi Kam Lok.
Dan
akhirnya, Kam Lok dan isterinya berputar-putar di daerah Pegunungan Himalaya
dan bersembunyi di dalam goa batu dan es. Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah
tergila-gila kepada Loan Si, yang sudah bersumpah tidak akan berhenti mengejar
sebelum dia dapat memiliki wanita yang membuat dia jatuh hati itu, terus
mencari dan bertemulah kedua orang musuh besar ini di dalam goa! Terjadilah
perkelahian mati-matian yang amat seru, akan tetapi akhirnya, pedang
Koai-liong-pokiam bersarang di dada Kam Lok dan pendekar itu pun tewaslah!
Akan tetapi,
kenyataan tidaklah sama indahnya dengan apa yang dicita-citakan dan diharapkan.
Biar pun Ouwyang Kwan berhasil membunuh Kam Lok, namun dia tidak berhasil
menundukkan hati Loan Si. Wanita ini tidak mau diperisteri olehnya. Loan Si
hanya mencinta seuaminya seorang, dan tentu saja terhadap Ouwyang Kwan, dia
tidak hanya bersikap tidak peduli dan tidak mau membalas cintanya, bahkan
timbul rasa bencinya karena pendekar gagah perkasa ini telah membunuh suaminya!
Segala bujuk
rayu Owyang Kwan tidak menarik hatinya dan tidak ada hasilnya. Untuk
menggunakan kekerasan, Ouwyang Kwan tidak mau. Dia bukan seorang pria yang
begitu rendahnya untuk memperkosa wanita, dan pula, wanita itu amat dicintanya
sehingga dia tak tega untuk menghinanya. Dia menghendaki agar Loan Si
menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela! Ternyata hal itu sama sekali tidak
mungkin sehingga akibatnya ia sendiri yang merana dan mulailah dia menyalahkan
perbuatannya terhadap Kam Lok yang sama sekali tidak bersalah kepadanya itu.
Betapa pun
juga, gairah cintanya terhadap Loan Si makin menghebat dan inilah yang membuat
dia makin merana. Api birahi berkobar-kobar di dalam dirinya dan dia seperti
orang terbakar dari sebelah dalam. Ketika pada suatu hari dia melihat betapa
takutnya Loan Si melihat seekor beruang besar di luar goa, Ouwyang Kwan lalu
mendapat akal. Diam-diam ia membunuh beruang salju itu, mengulitinya dan dia
lalu memakai kulit beruang salju itu sebagai kedok, dengan sedikit merubah muka
atau kulit muka beruang itu. Maka terciptalah Yeti, manusia salju mengerikan.
Dengan penyamaran ini, dia hendak menakut-nakuti Loan Si dengan harapan agar
dalam keadaan takut itu Loan Si mau menoleh kepadanya, minta tolong kepadanya,
dan menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya!
Namun, apa
yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Memang tadinya Loan Si ketakutan
setengah mati. Munculnya beruang setengah monyet setengah manusia itu amat
mengejutkan hatinya dan hampir membuat dia pingsan. Akan tetapi, pada saat dia
ketakutan dan hampir memanggil musuh besarnya, Ouwyang Kwan, untuk menolong dan
melindunginya, dia teringat akan kebenciannya terhadap Ouwyang Kwan dan
mengurungkan niatnya itu. Lebih baik dia dibunuh makhluk ini dari pada minta
tolong kepada Ouwyang Kwan!
Dan
terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ouwyang Kwan! Loan Si
bukan menjadi takut kepada Yeti dan bukan minta tolong kepadanya, bahkan Loan
Si menyerahkan dirinya kepada Yeti! Wanita cantik jelita itu, yang membuatnya
tergila-gila, menolaknya mati-matian dan sekarang justru menyerahkan diri
kepada Yeti yang begitu mengerikan, menjijikkan dan menakutkan!
Akan tetapi,
oleh karena yang menjadi Yeti itu adalah Ouwyang Kwan, maka melihat penyerahan
diri wanita yang membuatnya tergila-gila itu, dia lupa diri dan terjadilah
cinta semalam suntuk di depan mayat Kam Lok yang dibiarkan membeku dalam
tumpukan salju dan es di dalam goa itu! Walau pun dia masih menyamar sebagai
Yeti, namun Ouwyang Kwan mencurahkan seluruh cinta kasihnya malam itu kepada
Loan Si, tak pernah mengenal puas. Di lain pihak, Loan Si juga merasa betapa
dia jatuh cinta kepada makhluk buas itu! Maka terjadilah hal yang luar biasa
itu, saling memberi dan saling mengambil, dengan sepenuh hati, dengan mesra dan
juga dengan buas dan liar! Akhirnya, Ouwyang Kwan tidur kelelahan sambil
memeluk tubuh wanita yang dicintanya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Loan Si terbangun lebih dulu dan mendapat
kenyataan bahwa semalam suntuk tadi dia telah menyerahkan diri dengan suka
rela, bahkan dengan panas, kepada Ouwyang Kwan! Ada rasa bahagia dalam hatinya,
karena memang dia mulai tertarik dan jatuh cinta kepada pria ini, akan tetapi
perasaan malu terhadap jenazah suaminya yang semalam suntuk telah menonton
perbuatannya yang berjinah itu, jauh lebih besar dari pada rasa senangnya. Dia
malu, dan dia merasa telah mengkhianati suaminya yang tercinta. Dan dia melihat
pedang pusaka Koai-liong-pokiam menggeletak di dekat tubuh Ouwyang Kwan. Maka
disambarnya pedang itu dan di lain saat pedang itu telah menembus jantungnya!
Bercerita
sampai di sini, kedua mata tua Ouwyang Kwan menitikkan air mata. “Aku manusia
berdosa.... aku telah menjadi Yeti, makhluk buas....!” demikian keluhnya.
Semua
pendengarnya memandangnya dengan muka pucat, kecuali Hong Bu yang memang sudah
tahu akan cerita itu, sudah dibacanya catatan dari suami isteri yang mati di
dalam goa itu. Kemudian Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya.
“Melihat
wanita yang kucinta sepenuh nyawaku itu roboh tak bernyawa di sampingku,
bergelimang darah yang keluar dari dadanya karena tusukan pedang
Koai-liong-pokiam, aku menjadi seperti gila. Dan memang aku telah gila.... aku
telah gila....!” Kembali Ouwyang Kwan menghentikan ceritanya dan menangislah
kakek itu!
Kemudian,
dengan suara yang semakin payah, dengan napas satu-satu yang menyesak dada,
Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya. Dia pun lalu mendudukkan wanita yang
tercinta itu di samping Kam Lok, membiarkan tubuh Loan Si membeku terbungkus es
seperti keadaan mayat Kam Lok. Kedukaannya membuat dia seperti linglung,
apalagi ketika ditemukannya buku catatan Kam Lok yang kemudian disambung dengan
catatan Loan Si yang menyatakan betapa wanita itu mulai meragu, mulai jatuh
cinta kepadanya, akan tetapi munculnya Yeti itu menggagalkan segalanya! Kiranya
sebelum membunuh diri, Loan Si masih sempat melanjutkan tulisannya dalam buku
catatan itu. Makin hancur rasa hati Ouwyang Kwan dan dia tidak lagi mau
menanggalkan penyamarannya sebagai Yeti! Dia merasa dirinya bukan manusia,
lebih patut menjadi makhluk buas Yeti!
“Pedang
pusaka itu yang telah membunuh Kam Lok dan Loan Si, membuat aku benci
melihatnya dan kubuang jauh-jauh ke dalam jurang yang curam,” demikian katanya.
“Dan aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak ingat bahwa aku adalah manusia. Aku
merasa bahwa aku adalah Yeti, makhluk buas!” Dia berhenti dan memejamkan mata,
seolah-olah merasa ngeri setelah dia kini teringat akan semua itu.
“Kemudian,
pada suatu hari, aku melihat seorang wanita yang membawa pedang itu. Aku masih
mengenali pedang itu dan timbul kemarahanku. Apalagi ketika wanita itu
menyerangku. Agaknya selama aku lupa segalanya itu, hanya ilmu silat yang tak
pernah kulupakan, bahkan aku memperdalam ilmu silat selama puluhan tahun
itu....!”
“Maafkan
saya, Ouwyang Twa-pek...,” terdengar Cui-beng Sian-li Tang, Cun Ciu berkata
ketika mendengar penuturan itu.
“Ya,
engkaulah wanita itu. Dan aku mulai teringat segalanya ketika Sim Hong Bu ini
membawaku ke lembah ini. Ketika aku melarikan diri, kalian belum ada di dunia
ini, akan tetapi mendengar semuanya, aku teringat kembali dan aku mulai
mengerti. Tubuhku telah kulatih sehingga kebal terhadap segala macam senjata,
namun agaknya tidak cukup kebal menghadapi Koai-liong-pokiam.... ahhh, pedang
yang kupakai membunuh Kam Lok dan telah menembus jantung Loan Si kekasihku itu,
kini ternyata mengantar pula nyawaku ke alam baka menyusul mereka. Aku tidak
penasaran....”
Sampai di
sini Ouwyang Kwan mengeluh panjang dan roboh pingsan. Tentu saja tiga orang
kakak beradik Cu itu menjadi sibuk dan berusaha menolong. Kini semua orang
mengerti atau dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya pedang pusaka itu setelah
dibuang oleh Ouwyang Kwan ke dalam jurang, kemudian ditemukan oleh seseorang
dan akhirnya pedang pusaka itu, entah bagaimana, mungkin melalui jual beli yang
mahal, terjatuh ke tangan Kaisar dan menjadi pengisi kamar pusaka istana.
Ketika hal ini diketahui oleh keluarga di Lembah Suling Emas, Tang Cun Ciu lalu
menerima tugas untuk mengambilnya kembali. Pencurian atau lebih tepat
pengambilan kembali pedang ini menggegerkan dunia kang-ouw.
Seperti
diketahui, Tang Cun Ciu yang sedang membawa pulang pedang itu, di tengah
perjalanan bertemu dengan Yeti dan karena kaget dan takut, dia menyerang
makhluk itu. Terjadi perkelahian dan ternyata makhluk itu terlalu tangguh bagi
Tang Cun Ciu sehingga ketika pedang pusaka itu berhasil menusuk paha Yeti,
wanita ini melarikan diri. Dan terjadilah peristiwa-peristiwa yang menggegerkan
itu di daerah Pegunungan Himalaya.
Pada malam
hari itu, Ouwyang Kwan siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak beradik Cu itu
yang merupakan ahli-ahli pula dalam urusan kesehatan, maklum bahwa keadaan
Twa-pek mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah telah
keracunan dan luka di dalam tubuh Twa-pek itu pun amat hebat.
Dengan napas
terengah-engah Ouwyang Kwan yang tubuhnya amat panas itu memberi isyarat kepada
Hong Bu untuk mendekat. Pemuda tanggung ini maju berlutut dan Ouwyang Kwan
membelai kepalanya. Kemudian kakek itu memandang kepada kakak beradik Cu yang
berkumpul di dalam kamar itu, lalu berkata lemah sekali.
“Dia ini
sudah kupilih menjadi muridku, jadi terhitung saudara kalian sendiri. Aku telah
mencatatkan ilmu pedang yang kuciptakan di balik kulit Yeti ini baru kalian
boleh buka setelah aku mati dan kupesan agar supaya kalian menuntun Sim Hong Bu
ini untuk mempelajarinya dan sampai berhasil menguasainya dan karena ilmu ini
kuciptakan untuk pedang Koai-liong-pokiam maka kuminta kelak kalau dia sudah
menguasai ilmunya.... kalian serahkan pedang itu kepadanya..." Mulut itu
masih bergerak-gerak, akan tetapi tidak ada suaranya lagi dan kepalanya lalu
terkulai, maka tamatlah riwayat Ouwyang Kwan yang hidup merana karena asmara
gagal itu.
Sim Hong Bu
seorang yang menangisi kematian kakek itu. Dia merasa suka, sayang dan kasihan
kepada ‘Yeti’ ini, dan kematiannya amat menyedihkan. Tiga orang kakak beradik
Cu lalu mengurus jenazah twa-pek mereka, dengan hati-hati membuka kulit beruang
yang sudah melekat pada kulit twa-pek mereka itu sehingga di sana-sini kulit
Twa-pek itu ikut terobek dan lecet-lecet. Dan ternyata bahwa di sebelah dalam
kulit ini terdapat coretan-coretan ilmu yang dimaksudkan itu. Dengan hati-hati
Cu Han Bu lalu menyimpan kulit itu dan dengan penuh khidmat jenazah Ouwyang
Kwan itu lalu dibersihkan, kemudian dilakukan pembakaran jenazah itu dalam
keadaan berkabung.
“Mulai
sekarang, Sim Hong Bu, engkau sudah murid kami! Ingat, murid Lembah Suling Emas
harus bersumpah untuk melaksanakan semua peraturan yang ada pada keluarga kami.
Pertama, engkau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin dari kami. Ke
dua, engkau tak boleh mengajarkan ilmu-ilmu dari kami kepada orang lain tanpa
persetujuan dari keluarga kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung tinggi nama
Lembah Gunung Suling Emas dan tidak menyeret nama baiknya dengan
perbuatan-perbuatan jahat. Masih ada peraturan-peraturan tambahan yang kelak
akan diberitahukan kepadamu, dan kalau engkau melakukan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan kami, maka engkau akan dianggap musuh oleh Lembah Suling
Emas.”
Sim Hong Bu
menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu,
disaksikan Tang Cun Ciu dan Cu Pek In yang tersenyum-senyum melihat ini semua.
“Bagimu aku
adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah Sam-suhu.
Akan tetapi karena aku telah dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada anakku
sendiri, maka Ji-suhu dan Sam-suhu-mu yang akan membimbingmu.”
Sim Hong Bu
yang sudah yatim piatu itu merasa girang dan cepat memberi hormat dan
menyatakan sumpahnya. Demikianlah, mulai saat itu Sim Hong Bu diterima sebagai
‘anggota keluarga’ Lembah Suling Emas, suatu hal yang amat beruntung baginya,
dan hal itu hanya mungkin terjadi karena pertemuannya dengan Yeti…..
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari
dunia sekitarnya karena terdampar ke ‘pulau’ yang merupakan gunung diselimuti
es yang terkurung jurang-jurang yang amat curam sehingga tidak memungkinkan
mereka keluar dari ‘pulau’ itu!
Biar pun dia
terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama, kakinya
yang patah tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andai kata
tidak terkurung dan terasing pun, dia toh tidak dapat pergi ke mana pun dan
perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat pertumbuhan
tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di
tubuh jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri.
Setiap hari dia berlatih meniup suling!
Memang
sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecil Kam Hong sudah pandai
sekali meniup suling. Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan
sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara yang lain sama sekali! Kini
dia belajar meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai
tingkat yang amat tinggi dalam ilmu sinkang dan khikang!
Dia berlatih
menurut petunjuk dalam catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan
itu merupakan huruf-huruf kuno yang ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang
hanya mencontoh saja tanpa tahu artinya, maka sebelum melatih diri dia harus
lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari catatan-catatan itu.
Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah ilmu
sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan
oleh nenek moyang Suling Emas yang asli itu!
Ketika
terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada
di seberang sana, dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja
hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan menonton pertempuran dahsyat itu,
akan tetapi kakinya dan tempat di mana dia berada tidak memungkinkan hal itu,
maka dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu
dan apa yang terjadi kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu,
orang-orang yang nampak di atas puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu
saja dia tidak melihat betapa orang-orang kang-ouw itu disambut oleh penghuni
Lembah Suling Emas.
Dengan tekun
sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing itu,
Kam Hong terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan
keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap hari murung saja karena merasa kesal!
Bagaimana dia tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu, setiap hari
hanya makan panggang daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat
menangkap binatang kelinci yang sebenarnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan
menjadi bosan?
Akan tetapi
kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam
Hong yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat
tinggi dan ternyata Ci Sian merupakan seorang murid yang cerdas dan juga
berbakat. Demikianlah, dua orang itu melewatkan waktu dan mengusir kekesalan
dengan berlatih ilmu. Hanya suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya
tuat-tuit kadang-kadang panjang kadang-kadang pendek itu kadang-kadang
menimbulkan kebosanan pada Ci Sian dan kalau sudah begitu dia lalu murung dan
tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru setelah Kam Hong menghiburnya
dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang kemudian lenyap lagi.
“Paman Kam
Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang amat merdu
dan indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari
catatan-catatan dari kakek pelawak itu engkau sekarang belajar menyuling
seburuk itu? Hanya tuat-tuit menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian menegur
Kam Hong yang lagi meniup suling emasnya.
Kam Hong
tersenyum. “Ahh, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar
meniup suling, akan tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sinkang
dan khikang yang paling tinggi tingkatnya!”
“Aihhh....!”
Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam Kam Hong
harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat mata seindah itu!
“Kalau begitu, kau ajarilah aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku
pun membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak mempelajarinya!”
Kam Hong
tersenyum dan mengangguk. “Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua yang
menemukan jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup
suling ini sama sekali tidaklah mudah, tetapi merupakan latihan sinkang dan
khikang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya sebelum
memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Maka, biarlah kini kuajarkan engkau
latihan sinkang melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau
memberimu pelajaran dari catatan ini.”
Dan Ci Sian
mulai melatih dengan menghimpun tenaga sinkang seperti yang diajarkan oleh Kam
Hong. Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa
terlalu menimbulkan kejemuan biar pun mereka setiap hari harus makan daging
burung dan tikus!
Tiga bulan
lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah memiliki
tenaga sinkang yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru
mampu berlatih meniup suling dengan satu lubang saja. Baru tingkat permulaan
dari latihan menurut catatan itu! Betapa pun juga, giranglah hati Kam Hong
karena biar pun baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sinkang-nya
sudah bertambah kuat, jauh lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih
meniup suling.
Pada suatu
pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang yang
mendirikan bulu romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian!
Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu berada dalam ancaman bahaya besar
dan dalam keadaan ketakutan. Dengan hati penuh kekhawatiran, sekali
menggerakkan tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya ke arah
suara itu dan berlarilah dia secepatnya.
Kini kakinya
telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali. Biar pun telah
sembuh selama beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati kalau
berjalan. Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia
lupa akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa kakinya yang patah
tulangnya itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.
Akan tetapi,
ke mana pun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal tadi
jeritnya terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil
terkurung jurang itu! Berlarilah Kam Hong ke sana ke mari, mengelilingi
sepanjang tepi jurang. Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.
“Ci
Sian....!” Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu
terkandung tenaga khikang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan
seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan
meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia
baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah.
Akan tetapi kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh
dengan kekhawatiran tentang Ci Sian.
“Ci Sian, di
mana engkau....?!” Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak
memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari
tempat itu, seolah-olah ditelan bumi.
Mengingat
hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi
ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya bagai ditusuk rasanya.
Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya
sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin
gadis cilik itu tertolong nyawanya!
“Ci
Sian....!” Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang
demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami
kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki
dan mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari
jalan, kalau perlu menuruni jurang yang curam sekali itu!
Ke manakah
perginya Ci Sian?
Kekhawatiran
dalam hati Kam Hong memang benar, dan mala petaka menimpa dara itu seperti yang
dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci
Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika
dia melihat seekor burung putih seperti burung dara di antara kelompok burung
yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa
dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa
kali disambitnya burung itu dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat.
Ci Sian
terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi
jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan
berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya melihat burung
itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung itu
kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing.
Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak
tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging
menimbulkan selera Ci Sian.
Hanya dua
meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup
kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging
burung itu, Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu.
Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil burung yang
gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di
telapak tangan.
Akan tetapi,
tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan
main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa
tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah! Ci Sian mengeluarkan jerit melengking
yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya sudah
ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul
batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri,
akan tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus
meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!
Ketika Ci
Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia
masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang
terbungkus mantel tebal. Ahh, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi,
pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!
Ci Sian
membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan
kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam goa di mana biasa dia tidur! Dia berada
di tempat lain! Tempat yang seperti sebuah istana es! Banyak terdapat batu-batu
runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih
berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia
berada di sebuah goa yang lain, di mulut goa yang aneh sekali.
Ci Sian
bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah goa, hampir dia berteriak
saking kagetnya. Di mulut goa itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak
seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya
bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya
yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari
kepala gundul yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi,
seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke pinggang, lengan dan kaki,
dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar
paha kakek itu!
Ci Sian
makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa
gentar dan ngeri saat melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar
mancung melengkung itu. Pasti seorang kakek bangsa asing, melihat bentuk
mukanya yang kurus dengan alis yang sangat lebat, mata lebar tajam sekali,
hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting,
dan kumis jenggot yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.
Melihat dara
remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi
dengan logat yang aneh dan asing. “Jangan takut, anak baik, ular inilah yang
menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi.”
“Jatuh....?
Dari atas....?” Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke
arah tebing tinggi yang puncaknya tak nampak dari bawah, tertutup awan atau
kabut.
“Ya, engkau
jatuh dari atas sana.”
Jadi, kalau
begitu ini bukan mimpi! Dia benar-benar sudah jatuh dari atas. Dia lalu
memandang ke kanan kiri dan mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung
putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai
burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia
terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju
mendekati kakek aneh itu, kini tidak takut lagi.
“Aku hendak
menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah
yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?” Dia berkata, tidak percaya bahwa
seekor ular, betapa pun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang
terjatuh dari tempat sedemikian tingginya.
“Anak baik,
engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di
dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia
menerima tubuhmu dan membelitmu sehingga dengan demikian engkau terhindar dari
bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka-luka karena
tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu.”
Ci Sian
mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan
berdarah, tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu
ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilatkan lidahnya seperti seekor
anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar
betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.
“Ah, kalau
begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!” katanya dan
wajahnya berseri.
Kakek itu
menggeleng kepala. “Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara
kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka!
Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau
akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan
kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau
dapat bertemu dengan aku dan menggugahku dari semedhiku? Bukankah semua
kebetulan ini sudah diatur? Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang
buta saja.”
Ci Sian
tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya
juga dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata,
“Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang
baik.”
Kakek itu
tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong pun.
“Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana?”
“Namaku Bu
Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika
hendak menangkap burung putih keparat itu!”
“Ho-ho,
engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu
untuk kau makan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya kau hendak mengambil
bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah kau bunuh
itu!”
Akan tetapi
Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata. “Di atas sana masih ada
Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?”
“Ahhh, yang
suka meniup suling itu?”
“Hei,
bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”
“Aku dapat
mendengar getaran suara sulingnya dalam semedhiku. Dia berkepandaian hebat!”
“Benar dia,
Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana.”
Kakek itu
menggeleng kepala. “Tak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke
langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung
jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, jika dia tidak memiliki sayap
untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun.”
“Ahh....
kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke
sini.”
“Menolong
dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja
tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?”
“Akan
tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi.”
“Ahhh, sama
sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah
bertaruh melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum
selama tiga tahun di goa ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh
melawan seorang wanita.”
“Apa? Ada
wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu
silatnya!”
“Bukan kalah
dalam ilmu silat....”
“Habis,
kalah dalam hal apakah?”
“Kalah dalam
menebak teka-teki.”
“Eh?” Ci
Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak
teka-teki. Dia tertarik sekali.
“Kek,
ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku
dapat membantumu!” Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki
dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kongkong-nya, setiap kali berkumpul
dengan anak dusun sebaya, dia selalu bermain teka-teki dan dialah yang selalu
menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit.
Wajah kakek
yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri. “Ah, siapa tahu engkau yang akan
dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara
singkat agar engkau tahu akan duduknya perkara.”
Kakek itu
adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa bangsa Nepal yang bernama
Nilagangga. Semenjak masih muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah
Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke
Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia pulang kembali ke Pegunungan Himalaya.
Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama
sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan
See-thian Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun
memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah
‘menjauhkan’ diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri
kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia
gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan suka pula bermain
teka-teki!
Demikianlah
memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar dari kita
manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu
yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain,
baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar
biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang
dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi dari pada orang-orang
lain!
Kebanggaan
diri ini telah menjadi ‘kebudayaan’ kita manusia, sejak kecil ditanamkan pada
batin kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh
guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai kini pun kita selalu
menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi
paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam ‘paling’ lagi.
Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin
menonjol dalam batin anak-anak kita?
Kemudian,
setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol,
ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita
sadar bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat
inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita
lalu melarikan diri!
Seperti
halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, kemudian menyepi,
dan menjauhkan diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini?
Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa ke mana pun juga kita pergi. Sifat
ingin menonjol itu tidak terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita
melarikan diri darinya, yang berarti kita melarikan diri dari kita sendiri.
Sungguh tidak mungkin ini!
Maka,
tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain,
seperti halnya Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu
silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi.
Kita sudah
biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, kemudian kita lari ke
dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya
lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau
kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena
itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan
terlupa atau terbius sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di
dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus dan
berkobar lagi!
“Pada suatu
hari, ketika merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung
Suling Emas tanpa aku sengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku
memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah
bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat.
Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggota keluarga
penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan
tenaga, kami ternyata seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam
teka-teki dan ternyata aku kalah!” demikian kata kakek itu melanjutkan
ceritanya.
“Bagaimana
teka-tekinya, Kek?” Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu
bertanya, hatinya tertarik sekali.
Kakek itu
melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing
mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang
yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga dari pada
nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam goa
itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan goa sebelum dapat menjawab
teka-teki itu!
“Aku
mengajukan teka-teki, tetapi dia sungguh hebat, teka-tekiku dapat dijawabnya
dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku,
sampai sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam goa ini, tetap saja aku
belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku
terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini.”
Tentu saja
Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang
memegang janji sampai mati-matian begitu? Andai kata kakek itu meninggalkan
goa, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!
“Apa sih
teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kau beritahukan, Kek, siapa tahu aku
akan-dapat menebaknya untukmu.”
“Begini
teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat
menebaknya!”
“Teruskanlah!”
Ci Sian menjadi tidak sabar.
“Apakah
perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?” Kakek itu
berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu
hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat
memberi jawaban. “Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tak mampu
menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan? Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami
berdebat, dia bilang bahwa dia adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu.
Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan
aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya
cinta itu.... wah, aku kalah.”
Ci Sian
mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak
tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama ‘buta hurufnya’ dengan
kakek tua renta itu.
“Bagaimana,
Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?”
Memang tentu
saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa,
belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang
anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya
pria yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu
membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada
pendekar sakti itu! Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil
memejamkan kedua matanya sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba
dia membuka mata memandang kakek itu, sepasang mata yang indah itu
bersinar-sinar.
“Coa-ong,
engkau sebagai seorang pria, coba kau beritahukan bagaimana perasaanmu, apa
yang kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita,” Ci Sian
menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya
adalah Raja Ular dari Barat!
Dan kakek
itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justru
merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.
“Wahhh....
engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?”
“Coa-ong,
engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat
dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang
wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan
perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu
oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu?
Ayo pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, tetapi setidaknya kita
sama-sama dapat membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita
kalau kita masing-masing jatuh cinta kepada seseorang.”
“Wah-wah....
ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi....,” kakek itu mengomel.
Akan tetapi
dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan
oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh
cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri.
Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang
dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan jika
mereka jatuh cinta!
Cinta adalah
suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak
lika-likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan
perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai
sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat!
Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini
keduanya membayangkan bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal
cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian ruwetnya dan banyak sekali
kaitan-kaitan dan lika-likunya!
Betapa pun
juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba
apa yang dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula
itu! Maka dia langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan
seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang paling
dikehendakinya dari orang yang dicinta.
Ada satu jam
lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biar pun hawa udara amat
dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai
berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang
mengepul di atas kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang,
membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah
sejak tadi membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor
anjing kalau mengusir air yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan
ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya,
merupakan butiran-butiran es kecil!
“Wah,
memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu malah mendatangkan
bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!” katanya.
Diam-diam Ci
Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu
mengerikan dan menakutkan?
“Yang
penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan
bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?”
“Aku sudah
membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu
menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! “Yang
terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku
sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia
ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!”
Kembali Ci
Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa
anehnya kakek ini! “Bukan itu maksudku, Kek. Tetapi bagaimana perasaanmu dan
apa yang paling kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta pada seorang
wanita?”
Kakek itu
mengingat-ingat. “Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, memanjakan dia,
membahagiakan dia,” akhirnya dia berkata dengan alis berkerut, seolah-olah dia
harus menjawab sesuatu persoalan yang amat rumit!
“Nah,
itulah!” Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri. “Ketemu sekarang! Biar pun
hanya hasil bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi,
Coa-ong!”
“Sudah kau
temui jawaban teka-teki itu?”
Ci Sian
mengangguk. “Agaknya tidak akan keliru lagi.”
“Bagaimana
itu?” Wajah hitam itu pun berseri dan penuh harap. “Coba jawab, apakah
perbedaan antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?”
“Seperti
keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta pria adalah ingin selalu menyenangkan dan
memanjakan, sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut
hasil khayalan dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita justru menjadi
kebalikannya, yaitu dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan, dimanjakan
oleh pria yang dicintanya.”
Kakek itu
melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu.
Jangkung kurus sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian
Coa-ong Nilagangga kini bertepuk tangan dan mengeluarkan suara melengking
seperti suara suling.
Dan
tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar
suara mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru serta mengurung
tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat bersalju bisa terdapat begitu banyak
ular!
“Coa-ong,
aku takut....!” katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia
bukan takut, melainkan jijik.
“Kenapa
takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?”
“Jadi puteri
ular? Aku.... aku tidak mau!”
“Ehh, bocah
bodoh. Jika engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu?
Sahabatmu ular-ular itu berada di mana-mana dan jika saja engkau terancam
bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu memanggil mereka! Kini engkau telah berjasa
kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau tidak mau?”
Ci Sian
menelan ludah, kini hatinya tertarik juga. “Kalau... kalau begitu, aku mau,
kukira tadi.... aku hendak kau jadikan ular....”
“Ha-ha-ha,
bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Ke sinikan
dulu kedua telapak tanganmu!”
Ci Sian
menghampiri ke depan kakek itu, kemudian mengulurkan kedua tangannya,
ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.
“Plak!
Plak!”
“Aduhhhh....!”
Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar
oleh tangan kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.
“Ha-ha-ha,
sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian,” kata kakek
itu.
Ci Sian
menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam
pemindahan ilmu untuk menalukkan ular! Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang
nampak diam tidak bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak
keluar masuk di mulut masing-masing.
Biar pun
hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala
ular-ular itu dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali!
Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat seekor ular kemerahan
sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali
tidak berani berkutik!
“Ha-ha-ha,
tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia
seketika juga?”
“Ihhh!”
Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.
“Anak bodoh,
kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!” See-thian Coa-ong lalu
mengeluarkan suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan
tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari tempat itu, seperti sekumpulan anjing
yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.
"Ha-ha-ha,
ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat,
ha-ha-ha, begitu mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita
adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi dan pria adalah Matahari!
Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk menyinari bumi,
untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan
kepada bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai,
untuk disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha, benar sekali. Pria ingin mencinta,
ingin menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin dicinta, ingin
dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya kepada
pria untuk dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu
menjawab teka-teki yang amat sederhana itu!"
Melihat
sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian lalu memperingatkan. “Jangan anggap
sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tidak mungkin
engkau dapat menjawab teka-teki itu.”
“Ha-ha-ha-ha,
benar sekali. Oleh karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku
kepadamu.”
“Aku ingin
kembali kepada Paman Kam Hong.”
“Ahhh, tidak
mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak
mungkin pula bagi Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah
merubah keadaan dan kita hanya bisa mengharapkan terjadi longsoran lain
sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat dihubungkan dengan
tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku
itu.”
Hati Ci Sian
menjadi tertarik. “Wanita yang memberimu teka-teki itu?”
“Ya, dan
kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat,
dan engkau pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kau
temanilah aku menghadapinya, dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu
itu.”
Ci Sian
berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak
terdapat jalan yang bisa membawanya kembali pada Kam Hong. Dia memerlukan
bantuan Kam Hong untuk mencari orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam
Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul kembali, apa salahnya kalau kini
Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya?
Namun dia
belum mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu
menceritakan tentang orang tuanya dan mendiang kakeknya. Sementara ini, dari
pada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini,
lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong.
Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment