Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 12
"Im-kan
Ngo-ok, kalau kalian berkeras, terpaksa aku melupakan bahwa kalian adalah
tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw!” bentak Kam Hong dengan suara tegas dan penuh
wibawa.
“Bocah
lancang she Kam, lebih baik serahkan suling itu kepada kami!” bentak Sam-ok
sambil memandang ke arah suling emas di tangan Kam Hong seperti seorang anak
kecil melihat sebuah mainan yang amat menarik hatinya.
Tentu saja
Im-kan Ngo-ok sudah pernah mendengar mengenai keluarga Suling Emas yang
meninggalkan pusaka suling emas dan ilmu-ilmu mukjijat, dan kini melihat pemuda
ini, perhatian mereka jadi bercabang, sebagian masih menginginkan Koai-liong
Po-kiam akan tetapi sebagian lagi menginginkan suling emas pusaka itu!
“Hemm,
kalian ini orang-orang tua yang terlalu jauh tersesat,” kata Kam Hong.
Dan dia pun
segera menggerakkan suling dan kipas untuk menerjang mereka. Kini dia menerjang
lebih dulu karena dia sedang berusaha untuk mencegah mereka mengejar Pek In
yang sudah melanjutkan larinya. Biarlah dara itu menyelamatkan diri lebih dulu,
karena kalau dara itu sudah terbebas dari ancaman lima orang ini, dia pun akan
mudah meninggalkan mereka.
Akan tetapi
sekali ini, lima orang Im-kan Ngo-ok agaknya sudah mempersiapkan diri. Dan
memang semalam mereka telah berunding bagaimana sebaiknya kalau mereka
berhadapan lagi dengan pemuda yang luar biasa lihai itu. Kemarin sore, Ji-ok,
Sam-ok, Su-ok dan Ngo-ok telah mengeroyoknya dan merasakan kelihaiannya yang
luar biasa, dan kini mereka semua maju. Dipimpin oleh Toa-ok yang mengeluarkan
suara geraman aneh, mereka berlima sudah berlompatan mengurung Kam Hong.
Mula-mula
Ngo-ok mengeluarkan gerengan serigala dan tubuhnya telah berjungkir balik,
berloncatan di atas kedua tangan dan kadang-kadang menggunakan kepalanya dengan
gerakan yang gesit dan terlatih. Su-ok juga sudah merendahkan tubuhnya yang
sudah pendek sekali itu hingga dia nampak seperti seekor katak yang siap hendak
menerkam dan meloncat, perutnya menggembung mengumpulkan tenaga pukulan Katak
Buduk.
Ada pun
Sam-ok Ban-hwa Sengjin, yang biar pun termasuk orang ke tiga dari mereka namun
memiliki kepandaian yang setingkat dengan Ji-ok dan memiliki pengalaman yang
paling luas di antara para saudaranya, juga sudah memasang kuda-kuda lalu
tubuhnya mulailah bergerak berpusing perlahan-lahan seperti kitiran yang mulai
digerakkan oleh angin lembut! Inilah pembukaan dari ilmu yang paling dia
andalkan, yaitu Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi).
Ji-ok, nenek
bertopeng tengkorak tulen itu sudah siap dengan ilmunya yang hebat, yaitu
pukulan-pukulan dengan Ilmu Kiam-ci atau Jari Pedang, dengan kedua telunjuk
tangan yang berubah berkilauan itu. Dan orang pertama dari mereka, Toa-ok, juga
sudah siap dengan kedua tangan panjang tergantung di kanan kiri, kelihatannya
dia seperti tidak memasang kuda-kuda, tetapi kakek seperti gorila ini
sesungguhnya amat berbahaya.
Melihat
mereka berlima telah siap dan mulai bergerak mengelilinginya dalam kepungan,
Kam Hong menerjang ke arah Toa-ok sebagai orang pertama yang disangkanya tentu
paling lihai. Sulingnya berubah menjadi sinar kuning emas yang lebar, panjang
dan terang, yang mengeluarkan suara melengking merdu. Suara itu menyambar ke
arah telinga sedangkan ujung suling menotok ke arah jalan darah di bawah
telinga itu.
“Huhhh....!”
Toa-ok mendengus dan lengan kirinya yang panjang itu segera menyambar.
Lengannya menangkis suling sedangkan tangannya dilanjutkan mencengkeram ke arah
leher lawan.
Namun Kam
Hong sudah mengelak dan menggerakkan sulingnya ke atas, bersiap-siap
melanjutkan serangannya. Kipasnya dibuka, kemudian diputar ke kiri untuk
menangkis serangan Ngo-ok dan Ji-ok sekaligus. Lalu, dengan mengeluarkan suara
berdengung aneh, sulingnya membuat corat-coretan di udara secara aneh karena
tubuhnya juga terbawa oleh gerakan suling dan ternyata dia menulis di udara,
mencorat-coretkan huruf Tiong yang membuat sulingnya bergerak melingkar
membentuk segi empat, sekaligus setiap gerakan menyerang seorang lawan sehingga
empat orang lawan di sekelilingnya itu disambar sinar suling semua, kecuali
Toa-ok yang menerima serangan langsung sebagai penutup huruf Tiong itu,
serangan mengerikan karena suling itu menyambar dari atas ke bawah seperti
petir menyambar.
“Ohhh....!”
Toa-ok menahan dengan kedua lengannya, dibantu oleh Ji-ok yang menahan suling
itu dengan Kiam-ci.
“Dessss....
takkkk!”
Tubuh Toa-ok
dan Ji-ok terpelanting. Mereka tidak terluka hebat, tapi tetap saja mereka
terpelanting dan mengalami kekagetan hebat karena mereka merasakan seolah-olah
serangan suling tadi bagaikan serangan petir sungguh-sungguh. Mereka menjadi
marah dan mulailah mereka menghujankan serangan bertubi-tubi dan secara
teratur, satu demi satu namun saling berganti dan saling membantu sehingga
serangan itu terus menerus dan sambung-menyambung.
Menghadapi
penyerangan Im-kan Ngo-ok yang agaknya menggabungkan ilmu mereka itu, Kam Hong
tidak berani berlaku lengah atau sembrono, maka dia pun mengeluarkan teriakan
melengking nyaring. Tiba-tiba gerakan sulingnya berubah. Ia telah menyimpan
kipasnya dan kini sepenuhnya mengandalkan sulingnya dalam permainan Kim-siauw
Kiam-sut yang hebat luar biasa. Nampaklah gelombang sinar dan suara, sinar
kuning emas yang memenuhi tempat itu dan gelombang suara yang tinggi rendah,
amat aneh dan menggetarkan jantung siapa yang mendengarnya.
Sementara
itu, dengan lari secepatnya akhirnya Cu Pek In telah tiba di daerah goa yang
dijadikan tempat berlatih Sim Hong Bu, suheng-nya. Tetapi dapat dibayangkan
betapa kaget dan herannya ketika dia melihat suheng-nya itu duduk di luar goa
yang tertutup batu besar itu, duduk di atas sebongkah batu dan di depannya
duduk pula seorang gadis cantik yang segera dikenalnya karena gadis itu bukan
lain adalah Ci Sian! Akan tetapi rasa girang dan lega hatinya mengalahkan
keheranannya, maka begitu Hong Bu bangkit berdiri dan memandang kepadanya,
serta dengan mata terbelalak berseru,
“Sumoi....!”
Pek In lalu
menghampiri dan segera merangkul pundak suheng-nya itu dan menangis!
“Ehhh, ada
apakah, Sumoi? Apa yang telah terjadi?” tanya Sim Hong Bu dengan kaget bukan
main.
Dia tadi
sudah merasa terheran-heran melihat Pek In berlari-lari mendatangi di pagi hari
itu dan kini keheranannya bertambah dan dia terkejut melihat sumoi-nya
menangis, hal yang amat jarang terjadi karena sumoi-nya adalah seorang dara
perkasa yang gagah dan bahkan agaknya pantang menangis atau setidaknya juga
tidak secengeng wanita biasa.
“Suheng....
aku.... aku baru saja terlepas dari bahaya.... Im-kan Ngo-ok telah…. telah
menangkapku.... dan aku.... aku tertolong oleh....“
“Di mana
mereka?” Hong Bu sudah memotong kata-kata itu. Pada saat itu terdengarlah bunyi
lengking suling itu.
“Penolongku
sedang menghadapi mereka.... kau bantulah dia, Suheng....,” kata Pek In dan
mendengar suling itu, Ci Sian sudah melompat bangun.
“Itu.... itu
suling Paman.... ehh.... Suheng-ku Kam Hong....!” Dan dia pun lalu lari ke arah
suara suling itu.
Sementara
itu, tahulah Hong Bu bahwa sumoi-nya telah tertolong oleh suheng dari Ci Sian
seperti yang diceritakan oleh dara itu, maka dia pun cepat lari memasuki goa,
mengambil pedangnya, lalu menutup kembali batu di depan goa dan menarik tangan
sumoi-nya, “Mari kita bantu dia!” Mereka pun berlari-lari menuju ke arah suara
itu ke mana Ci Sian sudah lebih dulu lari.
Ketika Hong
Bu dan Pek In tiba di tempat itu, mereka melihat Ci Sian sudah berada di situ
dan mendengar dara ini mengeluarkan suara keras, memaki-maki dan mengejek lima
orang pengeroyok itu.
“Cih, kalian
ini lima ekor siluman tua bangka sungguh tak bermalu! Mau ditaruh ke mana muka
kalian yang sudah perot kempot itu, hah? Lima tua bangka mengeroyok seorang
pemuda, sungguh tidak tahu malu. Itukah namanya tokoh kang-ouw? Huh, pengecut
curang, tak berharga! Malu! Malu!”
Diam-diam
Hong Bu tersenyum geli dan tahulah dia bahwa Ci Sian adalah seorang dara yang
penuh semangat dan gairah, jenaka, galak, keras, hangat dan beraninya luar
biasa. Akan tetapi dia pun amat kagum menyaksikan sinar kuning emas
bergulung-gulung seperti gelombang dahsyat itu. Dan karena memang sejak
pertemuan pertama kali dia sudah amat kagum kepada Kam Hong, maka kini
diam-diam dia merasa makin kagum dan suka kepada pendekar sakti itu. Akan
tetapi dia pun terkejut karena maklum bahwa lima orang pengeroyok itu pun bukan
orang sembarangan dan merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi bukan main. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu meloncat
ke depan, menghunus pedangnya dan berseru. “Kam-taihiap, biar aku membantumu!”
Kam Hong
sudah melihat munculnya Ci Sian dan hatinya merasa girang, tetapi juga mulai
khawatir. Tadi dia melindungi Pek In dan setelah nona itu dapat menyelamatkan
diri, eh, kini muncul Ci Sian yang tentu saja harus dilindunginya! Kemudian
muncul pula Pek In dan seorang pemuda yang kelihatannya gagah perkasa sekali.
Ketika
melihat pemuda itu mencabut pedang dan meloncat ke dalam pertandingan, dia
merasa kaget dan kagum bukan main, juga sekarang dia mulai ingat bahwa dia
agaknya pernah bertemu dengan pemuda perkasa ini. Namun dia tidak sempat
bertanya atau mengingat-ingat karena sudah dibikin kagum bukan main menyaksikan
gerakan pedang dari pemuda itu. Gerakan pedang yang mengimbangi gelombang sinar
sulingnya, dan pedang itu bahkan mengeluarkan suara mengaung-ngaung yang
menandingi lengking suara sulingnya! Sebatang pedang yang ampuh dan ilmu pedang
yang luar biasa.
“Ahhh,
Koai-liong Po-kiam dan Suling Emas kedua-duanya hendak diserahkan kepada kita,
ha-ha!” Sam-ok tertawa akan tetapi suara ketawanya ini sebetulnya hanya untuk
menyembunyikan rasa khawatirnya menyaksikan permainan pedang sehebat itu yang
membantu gelombang sinar suling yang sukar dilawan itu.
Dan memang
kekhawatiran Sam-ok itu beralasan. Hebat bukan main permainan suling dan pedang
itu, bergulung-gulung seperti dua ekor naga bermain-main di angkasa,
bergelombang seperti badai mengamuk sehingga tempat itu penuh dengan sinar
pedang yang kebiruan dan sinar suling yang keemasan! Indah bukan main sehingga
baik Pek In mau pun Ci Sian sampai memandang bengong terlongong. Indah dan juga
menggetarkan sampai debu salju bertebaran dan semua itu ditambah lagi dengan
suara melengking dari suling dan suara mengaung dari pedang, seolah-olah ada
dua suara saling sahut atau saling mengiringi dalam perpaduan suara yang aneh
sekali.
Lima orang
Im-kan Ngo-ok itu berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi kini
keadaannya berbalik sudah. Bukan Im-kan Ngo-ok berlima yang mengeroyok, bahkan
mereka berlima itulah yang terkurung dan terdesak oleh sinar pedang dan suling
yang datang dari semua jurusan, seolah-olah mereka itu dikeroyok oleh belasan
orang lawan! Selama mereka hidup, baru sekarang Im-kan Ngo-ok mengalami hal
seperti ini, bertemu dengan dua orang muda yang tak terkenal, akan tetapi telah
memiliki kepandaian yang luar biasa dahsyatnya dan masing-masing memegang
pusaka-pusaka yang telah di jadikan rebutan oleh dunia kang-ouw. Suling Emas
dan Pedang Naga Siluman muncul bersama! Bukan main!
Tiba-tiba
terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dan mula-mula tubuh Ngo-ok yang
berjungkir balik itu roboh terguling disusul terlemparnya tubuh Su-ok dan
keduanya memegangi pundak dan paha yang berdarah terkena sambaran pedang!
Kemudian disusul Toa-ok terjengkang terkena totokan ujung suling yang mengenai
pundak kirinya, dan juga Ji-ok terkena hantaman suling pada punggungnya yang
membuat nenek ini terguling. Pada saat yang berikutnya, hanya berselisih
beberapa detik saja, sinar pedang dan sinar suling menyambar ke arah Sam-ok!
Sam-ok sudah ternganga ketika sinar biru menyambar ke arah lehernya!
“Tak perlu
membunuh!” terdengar Kam Hong berseru dan Sam-ok roboh terguling kena tertotok
ujung suling yang mengenai tengkuknya.
“Cringgg!”
nyaring sekali suara susulan disertai muncratnya bunga api ketika suling itu
langsung menangkis pedang yang nyaris membabat leher Sam-ok.
Baik Kam
Hong mau pun Hong Bu meloncat ke belakang dengan tangan tergetar dan
cepat-cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa
senjata mereka tidak rusak.
Lima orang
Im-kan Ngo-ok itu tidak terluka parah dan mereka sudah bangkit kembali, sejenak
memandang kepada dua orang muda itu bergantian, kemudian mereka lalu melompat
dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut
mereka.
“Tak usah
dikejar musuh yang sudah mengaku kalah dan melarikan diri,” kata pula Kam Hong
melihat Hong Bu hendak mengejar mereka.
Sim Hong Bu
menyimpan pedangnya dan menghadapi Kam Hong, sinar matanya penuh kagum dan ia
lalu menjura. “Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Kam-taihiap lagi di
tempat ini, terutama dapat menikmati ilmu Taihiap yang sungguh amat mengagumkan
sekali.”
Kam Hong
menarik napas panjang. Dia kini dapat mengerti bahwa pemuda inilah yang menjadi
suheng dari Pek In dan kalau pemuda ini dengan pedang yang diandalkan oleh
keluarga Cu, maka mereka itu bukanlah omong kosong belaka, “Engkau pun memiliki
kepandaian yang amat mengagumkan hatiku, orang muda....”
“Taihiap,
namaku adalah Sim Hong Bu, kita pernah saling bertemu beberapa tahun yang
lalu....”
“Hong Bu
pernah menolongku pada waktu Su-bi Mo-li muncul dahulu, Paman.... ehhh,
Suheng....!” kata Ci Sian.
Mendengar
sebutan yang ragu-ragu ini, Kam Hong tersenyum. Dia maklum akan isi hati dara
ini, yang tentu telah bercerita kepada Hong Bu bahwa dia adalah suheng-nya,
maka kini menyebutnya suheng. Dan memang sesungguhnyalah, bukankah Ci Sian itu
sumoi-nya, mengingat bahwa mereka berdualah yang berhak menjadi murid kakek
kuno yang mewariskan ilmu-ilmu itu. Mereka berdua sajalah yang berhak menyebut
diri sebagai pewaris-pewaris ilmu itu dan menjadi murid jenazah kuno yang
bernama Cu Keng Ong itu. Dan karena itu, maka sudah sepatutnyalah kalau mereka
berdua saling menyebut suheng dan sumoi. Untuk menghilangkan keraguan Ci Sian
dan juga untuk memberi muka kepada dara itu, dia pun lalu menjawab.
“Ya, aku
teringat akan hal itu, Sumoi. Memang Sim Hong Bu ini seorang yang gagah, dahulu
menolongmu dan sekarang pun menolongku pula.”
“Ahhh,
Kam-taihiap harap jangan merendahkan diri. Sesungguhnya bukanlah aku yang
menolong Taihiap, melainkan Taihiaplah yang menolong Sumoi-ku....”
“Ehh, Hong
Bu, setelah kita saling mengenal seperti ini, perlu lagikah engkau
menyebut-nyebut Taihiap kepada Suheng? Rasanya tidak enak benar,” Ci Sian
mencela.
Kam Hong
tertawa. “Benar apa yang dikatakan Sumoi, Hong Bu. Mulai sekarang jangan
menyebut Taihiap, sebut saja Toako, cukuplah.”
“Suheng,
mari kita pergi dari sini.... Ayah tentu akan merasa gelisah sekali karena
sejak kemarin aku belum pulang. Kau antarlah aku pulang agar supaya Ayah dan
para Paman percaya apa yang telah terjadi,” kata Pek In dan dia pun lalu
memegang tangan Hong Bu dan menarik pemuda itu untuk pergi.
“Sumoi,
engkau telah diselamatkan oleh Kam-tai.... Kam-twako, sudah sepatutnya kita
menghaturkan terima kasih.”
“Aku....
aku....!” Pek In memandang bingung dan membuang muka.
Kam Hong
maklum akan apa yang dirasakan oleh dara itu, maka dia pun tertawa. “Sudahlah,
di antara kita, perlukah bersikap sungkan dan pakai segala macam terima kasih
segala?”
“Suheng,
marilah!” Pek In kembali menarik tangan Hong Bu. Pemuda ini memandang kepada Ci
Sian dengan pandang mata penuh kasih sayang dan kemesraan, juga penuh dengan
perasaan kecewa dan duka karena mereka harus berpisah itu.
“Ci Sian....
kapankah kita dapat saling bertemu kembali?” Suara pemuda remaja itu terdengar
gemetar penuh perasaan, penuh harapan.
Sinar mata
Sim Hong Bu dan suaranya ini tidak lepas dari perhatian Kam Hong yang
berpandangan tajam dan tahulah dia bahwa pemuda perkasa itu agaknya jatuh hati
kepada Ci Sian! Juga Pek In adalah seorang wanita dan biasanya, seorang wanita
amat peka terhadap sikap pria dan seorang wanita akan mudah sekali mengetahui
apabila melihat pria yang jatuh cinta, maka Pek In juga dapat melihat sinar
mata penuh kasih dan suara yang menggetar mesra penuh harapan itu.
Pada saat
yang sama itu, timbullah rasa cemburu yang amat menyakitkan hati di dalam diri
Cu Pek In dan.... Kam Hong! Pendekar ini terkejut sendiri. Cepat dia memejamkan
mata dan menarik napas panjang untuk mengusir pikiran yang dianggapnya tidak
benar itu. Mengapa dia merasa cemburu kalau ada seorang pemuda jatuh cinta
kepada Ci Sian, hal yang sudah sewajarnya itu?
Sementara
itu, Ci Sian sendiri hanya merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda yang selain
amat baik, gagah perkasa, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat
itu. Dalam keadaan biasa, tentu dia pun akan bersikap biasa dan ramah saja
terhadap pemuda itu. Tetapi melihat betapa sikap Pek In amat mesra dan manja,
melihat betapa dara itu kelihatan tak senang ketika Hong Bu bicara dengannya,
timbul perasaan panas di hati dara ini. Maka dia pun tersenyum manis sekali
kepada Hong Bu dan berkata. “Hong Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak akan
dapat saling bertemu kembali! Selamat berpisah, Hong Bu.”
Ucapan ini
sebetulnya biasa, akan tetapi karena sikap Ci Sian sengaja dibuat menjadi
sangat mesra, maka tentu saja kata-kata itu bisa diartikan lain, yaitu memang
dara ini mengharap dengan sangat akan pertemuan kembali antara mereka, bahkan
memakai kata ‘jodoh’ segala!
Pek In
menjadi semakin cemberut, menarik tangan suheng-nya dan berkata, “Marilah
Suheng!”
Karena
ditarik tangannya, terpaksa Hong Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali
dia menoleh ke arah Ci Sian yang berdiri sambil memandang dengan tersenyum
manis.
“Dia memang
seorang pemuda yang hebat!”
Mendengar
ucapan Kam Hong ini, Ci Sian terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah
lenyapnya bayangan dua orang itu, dan kini dia terkejut mendengar kata-kata Kam
Hong, bukan terkejut karena isi kalimatnya, melainkan karena suaranya. Suaranya
amat berbeda, dan ketika dia menoleh dan memandang, dia merasa lebih berat lagi
karena pada wajah yang tampan itu tampak bayangan kemarahan!
“Paman....
ehhh, Suheng.... bolehkan aku mulai sekarang menyebutmu Suheng saja? Bukankah
engkau telah menganggapku sebagai Sumoi karena kita sama-sama menjadi murid
jenazah kuno.... ehhh, siapa namanya...., Cu Keng Ong itu?”
Baru saja
hatinya penuh dengan cemburu, tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang cerah dan
mendengar ucapannya, lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong tersenyum, lalu
mengangguk. “Tentu saja boleh, bahkan memang engkau seharusnya menyebut aku
Suheng, Sumoi.”
Ci Sian juga
sudah merasa lega melihat Kam Hong tersenyum, “Ehh, Suheng, engkau tadi kenapa
sih?”
“Kenapa
bagaimana?”
“Suaramu
tadi kaku dan wajahmu.... ah, aku berani bersumpah bahwa engkau tadi, baru
saja, sedang dilanda kemarahan besar. Kenapa sih?”
Kam Hong
merasa betapa wajahnya menjadi panas, maka cepat-cepat ia mengerahkan sinkang
untuk menahan agar wajahnya tidak berubah merah. Dia tersenyum lagi dan cepat
mencari alasan untuk sikapnya tadi, “Ahh, aku hanya tidak setuju melihat sikap
Nona Cu tadi, menarik-narik Hong Bu seperti itu....”
“Memang
gadis banci itu amat menjemukan! Dia kelihatan begitu manja dan mesra kepada
Hong Bu, seolah-olah....”
“Memang Nona
itu amat mencinta Hong Bu, apakah engkau tidak dapat menduganya?” dengan cepat
Kam Hong berkata dan agaknya kata-kata ini baginya merupakan berita
menyenangkan yang harus disampaikan secepatnya kepada Ci Sian.
Dara itu
memandang kepada Kam Hong dengan alis berkerut, agaknya berita itu tidak
menyenangkan hatinya. “Hemm, bagaimana engkau bisa tahu, Suheng?” tanyanya,
tidak rela membayangkan bahwa di antara pemuda seperti Hong Bu itu terdapat
cinta kasih dengan gadis seperti Cu Pek In.
“Ahhh, sudah
nampak dengan jelas sekali, bagaimana aku tidak akan tahu? Lihat saja sikapnya
ketika memandang kepada Hong Bu, saat bicara, dan cara dia menggandeng tangan
pemuda itu....”
“Huh, dasar
banci tidak tahu malu! Akan tetapi, belum tentu kalau Hong Bu juga cinta
padanya, Suheng.”
Kini, Kam
Hong mengerutkan alisnya. Memang demiklanlah kenyataan yang dilihatnya. Hong Bu
agaknya tidak mencinta Pek In, sebaliknya dia khawatir kalau pemuda itu jatuh
cinta kepada Ci Sian. Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang ini.
“Entahlah,
Sumoi. Akan tetapi, harus kuakui bahwa Hong Bu memiliki ilmu kepandaian yang
hebat sekali....”
“Aku sudah
tahu, Suheng. Aku pernah mendengar suara pedangnya yang mengaung-ngaung ketika
aku lewat di sini, suara itu keluar menembus batu besar yang menutup goa ini.
Dan dia mendorong batu besar ini dengan satu tangan saja. Sekarang aku tahu bahwa
dia.... sengaja membiarkan dirinya kena pukul olehku kemarin....”
“Engkau
memukulnya?”
Ci Sian lalu
menceritakan pertemuannya dengan Hong Bu yang mengira dia Pek In sedangkan dia
sendiri menyangka Kam Hong yang berada di balik batu. “Kami memang saling
mengenal begitu bertemu muka, Suheng. Akan tetapi ketika dia mengaku bahwa dia
adalah murid keluarga Cu, aku segera menganggapnya musuh dan menyerangnya. Iia
tak pernah melawan, akhirnya aku dapat memukul dadanya sampai dia terpelanting,
dan kemudian kami berbaikan. Sekarang aku tahu bahwa dia agaknya kemarin
sengaja membiarkan dirinya terpukul. Suheng, dia adalah murid keluarga Cu itu!
Dialah yang mewarisi pedang pusaka itu, juga ilmu pedang pusaka....”
“Benar
sekali, kuduga akan hal itu ketika aku tahu bahwa dia adalah suheng Nona Cu.
Dan melihat cara dia bermain pedang, aku pun dapat menduga bahwa tentu itulah
ilmu yang dimaksudkan oleh Cu Han Bu. Hemmm.... Ilmu Koai-liong Kiam-sut itu
memang hebat dan agaknya memang dapat merupakan lawan tangguh sekali dari
Kim-siauw Kiam-sut kita, Sumoi.”
“Tidak
mungkin!”
“Apa
maksudmu, Sumoi?”
“Tidak
mungkin Hong Bu mau memusuhi kita! Dia seorang yang baik, tidak seperti
keluarga Cu.”
Kam Hong
menarik napas panjang lagi. Kenapa hatinya merasa tidak enak mendengar dara ini
memuji diri Hong Bu? Padahal, dia sendiri pun harus mengakui kebenaran ucapan
itu. Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik.
“Mungkin
saja dia sendiri tidak, tetapi bagaimana kalau masih ada anggota atau murid
keluarga Cu yang lain, yang memiliki ilmu pedang itu dan kelak berusaha
mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut kita?”
“Akan kita
hadapi! Kim-siauw Kiam-sut kita tidak harus kalah!”
“Bagus
sekali semangat itu, Sumoi. Tetapi untuk membuktikan hal itu, ada syaratnya,
yaitu bahwa kita harus mempelajari ilmu kita sebaik mungkin sampai sempurna.
Nah, mulai sekarang kau tekunlah berlatih, Sumoi.”
“Baik,
Suheng.”
“Sekarang
aku pun akan kembali ke timur, bagaimana.... bagaimana dengan engkau, Sumoi?”
“Ke
timur....?” Ci Sian terkejut karena tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia
akan mendengar kata-kata ini. “Kenapa Suheng?”
“Aihh,
Sumoi, apakah engkau lupa? Aku datang ke tempat ini sebetulnya adalah untuk mencari
Yu Hwi, seperti pernah kuceritakan kepadamu. Sekarang setelah kutemukan dia dan
engkau mendengar sendiri janjinya untuk pulang mengunjungi kakeknya agar urusan
pertalian antara dia dan aku dapat diputuskan secara resmi dan terhormat.”
“Ke manahah
engkau hendak pergi, Suheng?”
“Ke
Pegunungan Tai-hang-san. Di sana selalu tinggal kakek dari Yu Hwi yang pernah
membimbingku sebagai guru, yaitu Sai-cu Kai-ong, juga kini tinggal pula
Sin-siauw Sengjin, kakek tua yang seperti kakekku sendiri. Kakek inilah satu-satunya
orang seperti keluargaku, sungguh pun antara kami tidak ada hubungan darah. Dia
adalah keturunan dari orang yang pernah menjadi pembantu nenek moyangku, dan
dia pulalah yang dengan setia menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu dari nenek
moyangku untuk kemudian diturunkan kepadaku. Aku berhutang budi banyak sekali
kepada dua orang kakek itu. Dan karena Kakek Sin-siauw Sengjin kini tinggal
pula di Tai-hang-san, tidak berjauhan dengan Suhu Sai-cu Kai-ong, maka mudah
bagiku untuk pergi mengunjungi mereka berdua.”
“Selain
mereka, engkau tidak mempunyai keluarga lainnya?”
Kam Hong
menggeleng kepala. “Aku tidak mempunyai keluarga lain lagi. Sumoi, aku hendak
pergi meninggalkan daerah yang dingin bersalju ini, ke timur di mana dunia
penuh dengan sinar matahari. Maukah.... kau ikut bersamaku, Sumoi? Tidak!
Bahkan aku akan senang sekali kalau engkau bersamaku, Sumoi. Ataukah.... kini
engkau ingin mengunjungi orang tuamu.... aku boleh mengantarmu....”
“Tidak, aku
tidak sudi bertemu dengan Ayahku! Aku akan ikut dengan Suheng, karena hanya
engkau seoranglah yang kupunyai di dunia ini.”
Wajah yang
tampan dan biasanya sangat tenang itu nampak gembira sekali, sepasang matanya
bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum. “Bagus, Sumoi! Dan kita akan berlatih
silat di sepanjang jalan. Mari kita pergi!”
Demikianlah,
dua orang itu, yang menjadi suheng dan sumoi secara kebetulan saja, yang
mempunyai nasib yang sama, yaitu tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini
yang boleh mereka tumpangi, kini melakukan perjalanan menuju ke timur,
meninggalkan barisan Pegunungan Himalaya yang penuh dengan keajaiban itu…..
***************
Sudah
terlalu lama kita tinggalkan Ang Tek Hoat yang hidup secara amat menyedihkan,
seperti seorang jembel yang sama sekali tidak mengurus diri, selalu hidup
seperti keadaan seorang gelandangan, juga sikapnya membayangkan otak yang tidak
waras atau yang oleh umum mungkin dianggap seperti orang yang gila.
Kehidupan
manusia memang kadang-kadang nampak menyedihkan sekali karena
perubahan-perubahan yang terjadi menimpa diri seorang manusia seolah-olah
membuat manusia yang tadinya berada di puncak tertinggi kini berada di tempat
yang paling rendah. Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini pernah menjadi calon mantu
Raja Bhutan, di samping kedudukan panglima muda yang dipegangnya, menjadi calon
suami seorang puteri cantik jelita seperti Syanti Dewi yang dicintanya. Betapa
tinggi kedudukannya ketika itu, betapa penuh bahagia hidupnya. Dan dibandingkan
dengan sekarang ini, sungguh orang takkan mau percaya bahwa jembel yang seperti
orang gila itu adalah Si Jari Maut Ang Tek Hoat itu!
Orang akan
melontarkan kesalahan kepada nasib. Namun, benarkah nasib yang mempermainkan
kehidupan manusia? Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya sebutan yang dipakai
orang untuk menyatakan keadaan seseorang dalam kehidupannya. Dan kita tidak
pernah mau membuka mata mempelajari suatu persoalan dengan penuh kewaspadaan,
apalagi kita tidak mau menjenguk ke dalamnya untuk melihat bahwa segala sesuatu
itu bersumber kepada diri kita sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri merupakan
hal yang tidak menyenangkan, juga mengerikan, maka kebanyakan dari kita lebih
suka menutup mata dan melontarkan sebab-sebabnya kepada nasib!
Biar
kelihatannya seperti orang gila, tetapi pria yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi ini tidak pernah menyesalkan nasib. Dia tahu benar akan
kesesatan-kesesatan, kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukannya pada masa
muda. Hal ini dapat dibuktikan betapa sering kali dia termenung dan mengeluh
panjang pendek, bahkan kadang-kadang lirih terdengar kata-katanya seperti
bicara kepada diri sendiri dan hal inilah yang membuat orang-orang menyangka
dia gila.
“Ijinkanlah
aku bertemu dengan dia sekali lagi untuk minta ampun dan membuktikan bahwa aku
telah bertobat....!”
Kata-katanya
itu sebenarnya sama dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia dapat
dipertemukan sekali lagi dengan kekasihnya, dengan Syanti Dewi supaya dia
memperoleh kesempatan untuk meminta ampun atas semua kesalahannya kepada dara
itu. Baru sekarang ia sadar benar betapa dia telah banyak menyebabkan penderitaan
hidup atas diri dara yang amat dicintainya itu! Baru dia sadar betapa
sebenarnya puteri itu amat mencintainya, mencintainya dengan murni, tidak
seperti dirinya yang cintanya penuh dengan pementingan diri pribadi sehingga
penuh dengan cemburu yang gila.
Hanya karena
mencari Syanti Dewi maka Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang kang-ouw
menuju Pegunungan Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki dan ternyata Sang
Puteri itu tidak berada di Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa bekas! Maka
dia pun ikut berkeliaran di Himalaya, sampai-sampai ia terbawa oleh orang-orang
kang-ouw mengunjungi Lembah Gunung Suling Emas, bahkan lalu dia terlibat dalam
pertempuran membantu Jenderal Muda Kao Cin Liong, keponakannya sendiri,
menghadapi pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja ia tak mau menerima penawaran
jenderal muda yang masih keponakannya sendiri itu untuk membantu terus, dan dia
pun langsung meninggalkan Lhagat. Dan karena merasa yakin bahwa dia tidak akan
dapat menemukan Syanti Dewi di Pegunungan Himalaya, maka dia melakukan
perjalanan kembali ke timur.
Meski dia
sudah menjadi seorang yang berpakaian jembel dan hidupnya merana, tidak
teratur, namun Tek Hoat sekarang jauh lebih mendekati kehidupan seorang manusia
utama dibandingkan dahulu ketika dia masih menjadi hamba nafsu-nafsunya. Kini
dia merupakan orang yang telah bertobat benar-benar, tidak pernah mau melakukan
hal-hal yang buruk, bahkan menghadapi siapa pun juga, dia tidak memiliki
sedikit pun perasaan benci atau ingin mengganggu.
Namun, hal
ini bukan berarti bahwa dia bersikap masa bodoh dan tidak peduli, karena setiap
menghadapi hal-hal yang tidak patut, melihat kejahatan berlangsung di depan
mata, sudah pasti dia turun tangan membela atau melindungi pihak lemah dan
menentang mereka yang bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi lenyaplah sudah Si
Jari Maut yang dahulu mudah membunuh orang, karena kini dia cukup menggunakan
kepandaiannya mengalahkan orang dan membuat orang itu takut untuk melanjutkan
kejahatannya saja. Paling hebat dia hanya merobohkan lawan dan melukainya, luka
yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si Jari Maut Ang
Tek Hoat atau juga Wan Tek Hoat sekarang, biar pun menjadi jembel miskin namun
sepak terjangnya seperti seorang pendekar tulen!
Beberapa
bulan kemudian setelah dia meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia sudah tiba
di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang cukup besar di ujung utara Propinsi
Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wu-ouw, yaitu sebuah telaga yang besar
sekali di Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota Hang-kouw karena dia
mendengar bahwa telaga yang amat besar itu indah sekali pemandangannya.
Seperti
biasa, ketika dia memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung mencari tempat
penginapan, bukan hotel atau losmen, melainkan dia mencari rumah-rumah kosong,
atau kuil kosong. Akan tetapi sungguh sial baginya, kota Kiu-kiang itu
merupakan kota yang ramai dan teratur sehingga dia tidak dapat menemukan sebuah
pun rumah atau kuil kosong! Akhirnya, karena hari sudah hampir malam, dia
terpaksa memilih tempat bermalam di bawah sebuah jembatan besar di tepi kota.
Dia
membersihkan tempat itu yang penuh batu-batu dan semak berduri, menumpuk rumput
kering lalu dia pun merebahkan diri di bawah jembatan sambil melamun. Asyik
juga rebah di situ, melihat betapa jembatan itu agak bergerak-gerak kalau ada
kuda atau kereta lewat, dan dari situ dia pun dapat mendengarkan orang-orang
bercakap cakap di atas jembatan itu tanpa yang bicara tahu bahwa di bawah
jembatan ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. Bermacam-macam hal
dibicarakan orang dan kadang-kadang Tek Hoat tersenyum sendiri jika mendengar
percakapan yang lucu-lucu baginya.
Dalam
keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari segala hal yang kita dengar atau
lihat, barulah kita dapat merasakan alangkah lucunya dan juga menyedihkan
adanya kehidupan manusia ini. Percekcokan suami isteri akan terdengar lucu,
karena sebelum mereka menjadi suami isteri, atau di waktu mereka masih
pengantin baru, tentu suami isteri itu sendiri tak pernah membayangkan bahwa
akan ada saat percekcokan di antara mereka, di mana kemarahan bahkan kebencian
meracuni hati.
Kata-kata
seseorang yang semanis madu terhadap orang lain tentu akan terdengar lucu
karena kita akan melihat betapa kemanisan itu hanya merupakan kedok belaka,
menjadi sebuah jembatan untuk mencapai sesuatu yang menjadi pamrih.
Kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan kini nampak jelas oleh Tek Hoat, membuat
dia makin merasa betapa kotornya dirinya, betapa dia telah melakukan segala
macam kekotoran dan kepalsuan.
Karena
kenyataan betapa palsunya dirinya dan semua manusia di sekelilingnya, betapa di
balik setiap sikap, setiap senyum, kata-kata manis, bahkan hampir setiap
perbuatan selalu bersembunyi sesuatu yang lain yang menjadi pamrih yang
mendorong perbuatan palsu itu, maka mungkin saja inilah yang membuat Tek Hoat
menjadi tak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti orang yang merasa muak
dengan dirinya sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya demikian untuk
sekedar ‘menghukumnya’!
Tiba-tiba
Tek Hoat bangkit duduk ketika dia mendengar percakapan yang amat menarik
hatinya. Dan kebetulan sekali yang bicara itu agaknya berhenti di atas
jembatan! Dia cepat mengerahkan pendengarannya untuk menangkap semua percakapan
itu setelah kalimat pertama ini amat menarik hatinya.
“Kalau dia
tidak mau seret saja sudah!” Kalimat Inilah yang membangkitkan perhatian Tek
Hoat karena membayangkan akan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap
orang lemah.
“Ahh, orang
macam dia mana bisa menggunakan kekerasan? Sebaiknya dibujuk saja,” terdengar
suara orang ke dua.
“Oleh karena
itulah maka aku mencari kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan kalian di
sini. Thio-wangwe mengatakan bahwa dia bersedia membayar lima belas tail perak
kepada pelukis itu kalau mau melukisnya.”
“Lima belas
tail?” seru suara pertama.
“Wah, sebuah
lukisan untuk lima belas tail? Gila itu!”
“Bahkan dia
masih menjanjikan untuk memberi hadiah dua tail perak kepadaku kalau aku dapat
membujuknya,” kata orang ke tiga.
“Wah, hebat!
Dari mana dapat mencari uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita bujuk dia
sampai dia mau!”
“Kalau tidak
mau dibujuk, biar kuancam dia.”
“Aihhh,
harus hati-hati, supaya dia mau. Kalau dia sudah mau dan menerima uang itu....
heh-heh-heh, mudah saja menggasak uang itu darinya. Pelukis tua kerempeng
seperti itu mana bisa mempertahankan uang lima belas tail?”
Ketiga orang
itu lalu meninggalkan jembatan, tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka
ada seorang pengemis brewok yang berjalan seenaknya sambil membayangi mereka.
Pengemis ini bukan lain adalah Si Jari Maut!
Karena cuaca
sudah mulai gelap, Tek Hoat lalu mendahului tiga orang itu ketika mereka lewat
di bawah sinar lampu jalan dan dia melihat bahwa tiga orang itu berwajah licik
dan kejam seperti wajah orang-orang yang biasanya melakukan
kecurangan-kecurangan dengan jalan apa pun untuk memperoleh uang. Salah seorang
di antara mereka bahkan membawa sebatang golok yang tergantung di pinggang dan
selain bertubuh besar juga nampak bengis.
Mereka
bertiga itu menuju ke sebuah losmen kecil di ujung kota yang letaknya agak
terpencil dan sunyi. Tiga orang itu menerobos masuk dan ternyata pengurus
losmen itu agaknya sudah mengenal Si Tinggi Besar yang membawa golok karena
begitu melihat orang ini, pengurus itu kelihatan takut-takut dan menyambut
dengan sikap menjilat.
Akan tetapi
dengan bengis Si Tinggi Besar itu bertanya, “Di mana kamar pelukis tua she Pouw
itu?”
“Di.... di
sana, paling belakang, tetapi kami harap.... mohon agar jangan mengganggu tamu
kami....”
Sementara
itu, Tek Hoat sudah menahului mereka dan mengintai dari atas genteng. Mudah
baginya menemukan kamar pelukis tua itu, karena memang tidak terlalu sukar
menemukan seniman-seniman seperti pelukis, penyair dan sebagainya. Seorang kakek
kurus yang berada di dalam kamar sendiri, bernyanyi-nyanyi kecil membaca sajak
atau menggubah sajak karena tangannya tidak memegang apa-apa! Ketika dia tiba
di atas kamar pelukis itu, dia mendengar orang tua itu sedang mendeklamasikan
sajak yang agaknya tengah digubahnya.
....batin
kosong tanpa isi....
....alam pun
sunyi sepi....
....hening....
diam.... suci....
....seniman
tua asyik
sepi
sendiri....
“Tok-tok!”
Ketukan pintu kamarnya mengejutkannya dan menariknya kembali ke dunia
kenyataan. Dia bersikap tenang dan tanpa turun dari atas pambaringan di mana
dia duduk bersila, dia menoleh ke pintu dan suaranya halus dan lirih,
seolah-olah dia belum sepenuhnya kembali atau keluar dari dalam khayalnya.
“Siapa di
luar?”
“Pouw-lo-siucai....
harap suka buka pintu, saya ada keperluan penting untuk dibicarakan dengan
Lo-siucai!”
Kakek itu
adalah sastrawan pelukis Pouw Toan. Seperti pernah kita kenal, sastrawan
pelukis ini ketika dia mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau Kim-coa-to, Pouw
Toan adalah seorang sastrawan perantau yang pandai sekali membuat sajak,
menulis huruf indah dan melukis. Selain ini, dia juga seorang sastrawan yang
banyak merantau di dunia kang-ouw dan banyak mengenal orang-orang gagah di
seluruh dunia, bahkan dia adalah seorang sahabat baik dari suami isteri
pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya yang amat terkenal, yaitu Puteri
Milana.
Kakek Pouw
Toan tersenyum pahit mendengar sebutan Lo-siucai itu. “Hemm, siapakah yang
menjadi siucai? Aku tak pernah merebutkan titel, aku hanyalah rakyat kecil
biasa, jangan sebut aku dengan Lo-siucai segala. Siapakah engkau yang berada di
luar dan mengganggu orang yang sedang asyik sendiri?”
“Saya....
saya pelayan, ada perlu penting sekali!” kata suara di luar mendesak.
“Hemmm, aku
ini seniman miskin, tidak takut maling dan rampok maka pintu kamarku tidak
perlu dikunci. Kalau ingin masuk dan bicara, dorong saja pintunya terbuka,”
kata Pouw Toan.
Daun pintu
didorong dari luar. Diam-diam Tek Hoat telah siap dengan pecahan genteng di
tangan, siap melindungi kakek itu jika tiga orang itu hendak menggunakan
kekerasan. Dia tahu bahwa dengan pecahan genteng itu saja dia akan mampu
melindungi kakek di dalam kamar yang aneh itu. Dia merasa amat tertarik kepada
kakek itu, apalagi ketika mendengar sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin
sekali dia mengenal kakek itu lebih jauh, tentu saja mengenalnya dengan
diam-diam karena selama bertahun-tahun ini dia tidak mau mengenal orang secara
berdepan.
Ketika
melihat bahwa yang masuk ada tiga orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw
Toan mengerutkan alisnya. “Hemm, kalian datang mau apakah? Jangan katakan bahwa
kalian ini pelayan losmen.“
Salah
seorang di antara mereka, yaitu orang yang diutus oleh Hartawan Thio dan yang
membujuk dua orang kawannya untuk membantunya, menjura kepada Pouw Toan dan
berkata, “Pouw-lo-siucai....”
“Sudah
kukatakan aku bukan siucai segala! Lekas katakan apa keperluan kalian.”
“Eh.... ehh,
begini, Pouw-sianseng....” katanya gagap karena biar pun kakek itu nampak kurus
kerempeng, harus diakui bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya bagai seorang
pendekar gagah perkasa. “Kedatangan saya ini adalah atas kehendak Thio-wangwe.
Saya diutus untuk....”
“Sudahlah,
katakan kepada Thio-wangwe bahwa saya bukan tukang gambar orang....“
“Tapi
Sianseng kemarin melukis seorang bocah penggembala kerbau di luar kota itu. Dan
karena tertarik melihat hasil lukisan Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali
dirinya dilukis oleh Sianseng.”
“Beberapa kali
sudah dia minta kepadaku untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku hanya melukis
apa yang ingin kulukis, biar dia itu penggembala kerbau atau benda berupa
sampah sekali pun. Aku tidak mau dipaksa melukis seorang raja sekali pun, atau
setangkai bunga indah sekali pun kalau aku tidak menghendakinya.”
Si Tinggi
Besar itu agaknya sudah tidak sabar lagi. “Heiii, pelukis tua yang sombong!
Thio-wangwe hendak memberimu lima belas tail perak, tahukah engkau? Lima belas
tail perak! Ingat, dalam waktu berbulan-bulan engkau tidak akan mampu
memperoleh uang sebanyak itu!”
Pouw Toan
mengangkat mukanya memandang wajah Si Tinggi Besar yang bersikap kasar itu. Dia
tersenyum sambil menggeleng kepalanya. “Seorang tua bodoh seperti aku ini sudah
tak membutuhkan apa-apa, tidak butuh uang banyak, hanya butuh kebebasan untuk
melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja yang mendatangkan kebahagiaan dalam
hatiku. Apa artinya uang lima belas tail perak bagiku?”
“Bagimu
tidak ada artinya, akan tetapi bagi kami ada!” bentak Si Tinggi Besar dengan
marah dan tiba-tiba dia telah mencabut goloknya dan menodongkan ke arah dada
kakek pelukis itu.
Tek Hoat
hanya memandang dengan urat saraf menegang, akan tetapi dia belum turun tangan
karena maklum bahwa Si Tinggi Besar itu hanya mengancam dan keselamatan Si
Pelukis itu belum perlu dibela. Dia ingin melihat bagaimanakah sikap kakek
lemah yang perkasa itu dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Dia ingin
mengenal kakek itu, mengenal dari sikap dan gerak-geriknya dalam menghadapi
ancaman itu.
Kakek Pouw
Toan adalah orang yang sudah puluhan tahun bertualang di dunia, sudah ribuan
kali menghadapi ancaman mala petaka, maka tentu saja penodongan ini hanya
merupakan hal kecil saja baginya. Biar pun dia seorang yang sama sekali tidak
pernah belajar ilmu silat, akan tetapi dia telah memiliki keberanian dan
kegagahan seorang pendekar tulen. Maka dia hanya tersenyum saja memandang
kepada penodongnya, lalu menarik napas panjang.
“Hemm,
sungguh untung sekali kau!” katanya sambil tersenyum kepada penodongnya.
Tentu saja
Si Tinggi Besar itu menjadi melongo keheranan. Selama dia menjadi tukang pukul
yang gemar mempergunakan kekerasan serta ancaman untuk memaksakan kehendaknya,
baru sekarang ini ia bertemu dengan seorang kakek lemah yang ditodong tidak
memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan tak takut, sebaliknya malah tersenyum
dan mengatakan dia yang untung!
“Ahhh, sudah
gilakah engkau? Apa maksudmu?” bentaknya.
“Ha, untung
bahwa dua orang muridku sedang pergi, kalau mereka berada di sini, aku terpaksa
akan menaruh rasa kasihan kepadamu.” Memang aneh sekali ucapan itu, akan tetapi
nampaknya kakek itu tidak menggertak.
“Sudahlah,
katakan, kau mau melukis Thio-wangwe atau tidak? Kalau mau, mari ikut dengan
kami ke gedung Hartawan Thio, kalau tidak, golokku akan minum darahmu di sini
juga!” Si Tinggi Besar mengancam.
Pouw Toan
menggerakkan pundaknya. Dia tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar macam ini
memang berbahaya, mungkin saja membunuh hanya untuk soal dan uang kecil saja.
Maka dia menarik napas panjang dan bangkit berdiri. “Yah, karena diancam golok,
mau apa lagi? Baik, aku akan melukisnya, akan tetapi jangan salahkan aku kalau
hasil lukisannya jelek.”
“Siapa
peduli baik atau jelek? Yang penting kau lukis dan menerima upah lima belas
tail perak!” kata utusan Hartawan Thio itu dengan girang melihat hasil ancaman
temannya itu berhasil. “Mari kita berangkat!”
Ketiga orang
itu berhasil menggiring Pouw Toan keluar dari losmen itu dan pengurus losmen
menarik napas lega melihat bahwa kedatangan tiga orang itu ternyata tidak
menimbulkan keributan seperti yang dikhawatirkannya. Dengan sikap tenang-tenang
saja Pouw Toan mengikuti mereka, sedikit pun tak kelihatan takut seolah-olah
dia bukan pergi sebagai seorang yang dipaksa dan diancam, melainkah sedang
pergi ‘jalan-jalan’ bersama tiga orang sahabatnya, bahkan di sepanjang
perjalanan dia bersenandung! Tidak jauh di belakang mereka, seorang pengemis
berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu saja adalah Si Jari Maut yang semakin
tertarik dan semakin kagum terhadap diri pelukis tua itu.
Thio-wangwe
menerima kedatangan Pouw Toan dengan girang sekali. Cepat dia sendiri menyambut
Pouw Toan, mempersilakan pelukis itu bersama tiga orang ‘pengantarnya’ masuk ke
dalam ruangan tamu di samping rumah dan segera hartawan itu berdandan dan
mempersiapkan dirinya untuk dilukis, sedangkan pelayan-pelayannya menyediakan
alat lukis seperti yang diminta oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya membawa
‘senjatanya’ saja, yaitu sebuah mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua ini
dilihat oleh Tek Hoat yang kembali sudah mengintai di atas wuwungan rumah
gedung itu.
Untuk
peristiwa luar biasa yang sangat menggembirakan hatinya ini, Thio-wangwe membolehkan
isteri dan para selirnya menonton ketika dia dilukis dan hal ini malah
mendatangkan kegembiraan, karena dia pun ingin agar gambarnya memperlihatkan
wajah gembira dan bahagia. Di antara para selirnya ada yang mengipasinya, ada
yang menyuguhkan hidangan dan minuman, dan hartawan ini duduk di atas kursi
empuk, tersenyum-senyum memandang kepada Pouw Toan yang asyik melukisnya.
Dan pelukis
itu pun nampak melukis dengan sungguh-sungguh, mencorat-coret ke atas kain yang
dibentangkan di depannya sedangkan tiga orang pengantarnya tadi duduk di sudut,
menghadapi hidangan dan minuman, memandang dengan wajah berseri karena mereka
membayangkan upah yang besar dan juga mereka bermaksud untuk merampas uang yang
akan dihadiahkan kepada pelukis itu!
Diam-diam
Tek Hoat agak kecewa juga. Biar pun pelukis itu bersikap gagah dan berani,
namun ternyata dia pun hanya orang yang tunduk terhadap keadaan yang memaksanya
sehingga kini, biar pun tidak memperlihatkan rasa takut, tetap saja pelukis itu
memenuhi permintaan Si Hartawan, bukan karena uang, melainkan karena paksaan.
Kegagahan macam apa ini, pikirnya dengan kecewa. Tetapi dia tetap menanti di
atas wuwungan sambil memperhatikan keadaan. Dari tempatnya bersembunyi, dia
tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari kakek itu.
Setelah
kurang lebih setengah jam Pouw Toan membuat corat-coret, kadang-kadang
memandang ke arah tuan rumah, kadang-kadang kepada lukisannya dan akhirnya dia
mengangkat lukisannya itu ke atas, memandangnya dan berkata dengan wajah berseri,
“Sudah selesai!”
Ketika dia
mengangkat lukisannya itu, dari atas genteng Tek Hoat dapat melihat lukisan
tadi dan hampir saja dia tertawa bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh dan
lucu, lukisan seorang yang pakaiannya sama benar dengan pakaian hartawan itu,
akan tetapi wajahnya yang biar pun semodel dengan wajah Thio-wangwe, akan
tetapi mempunyai ciri-ciri seperti wajah seekor babi!
Dan orang
bermuka babi itu sedang makan dengan lahapnya, air liurnya membasahi ujung
bibir, tangan kiri memegang paha ayam, tangan kanan meraba dada montok seorang
wanita setengah telanjang dan ada wanita-wanita cantik lain mengerumuninya.
Persis seperti gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi menjelma manusia
dalam cerita See-yu, yang sedang dirayu oleh sekumpulan siluman wanita.
Muka yang
seperti babi itu membayangkan nafsu-nafsu angkara murka, penuh dengan gairah
birahi dan kegembulan, muka seorang pelahap dan juga seorang yang gila
perempuan!
Mendengar
pelukis itu mengatakan bahwa lukisannya telah selesai, Thio-wangwe cepat
meloncat bangun berdiri, dengan wajah berseri-seri dia lalu berlari menghampiri
pelukis itu. “Sudah selesai? Cepat amat! Wah, perlihatkan padaku....!” Dan dia
pun menyambar lukisan itu dari tangan Pouw Toan, dengan wajah yang gembira dia memandang
dan.... seketika matanya terbelalak, mukanya berubah merah sekali.
“Kau....
kau.... sungguh kurang ajar sekali!” teriaknya dan dia merobek lukisan itu
menjadi dua dan melemparkannya ke atas lantai.
Pouw Toan
bangkit, menjura dan berkata, “Sudah kukatakan bahwa aku tidak memiliki
keinginan melukismu, Wangwe. Dan oleh karena dipaksa, maka aku hanya melukiskan
nafsu-nafsu yang bergelimangan memenuhi tempat ini. Maaf, aku tidak bermaksud
menghinamu, Wangwe, namun aku melihat betapa Wangwe terkurung dalam kurungan
emas, terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu saat nampak sebagai menyenangkan
dan memuaskan, akan tetapi pada lain saat akan berubah menjadi menyusahkan dan
mengecewakan, membosankan. Karena itu....”
“Pergi!” Kau
manusia tidak sopan, pergi dari sini! Hayo bawalah dia pergi!” bentak hartawan
itu kepada tiga orang yang mengantar Pouw Toan datang tadi.
Utusan
Thio-wangwe tadi memberi isyarat pada dua orang kawannya untuk mengantar Pouw
Toan keluar dan dia sendiri tinggal di situ untuk minta upahnya. Dengan sikap
uring-uringan Thio-wangwe melemparkan upah kepada orang itu yang cepat menyusul
teman-temannya keluar.
“Sialan!”
katanya kepada teman-temannya. “Upahku diberikan dengan marah-marah, akan tetapi
upah lukisan itu dia tidak mau berikan.”
“Kenapa?”
tanya Si Tinggi Besar.
“Kau tidak
melihat lukisannya?” Yang ditanya menggeleng.
“Lihat ini!
Dia melemparkan lukisan ini pada mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!” kata
utusan itu dan Si Tinggi Besar bersama kawannya lalu melihat lukisan yang telah
robek menjadi dua itu di bawah lampu luar gedung.
Ketika
mereka berdua melihat lukisan itu, seorang di antara mereka tertawa. “Heh,
mirip memang!”
“Hushh!”
bentak Si Tinggi Besar. “Si Tua Bangka ini sengaja mempermainkan sehingga kita
yang tidak memperoleh rejeki. Orang macam ini harus dihajar!” bentaknya dan dia
menghampiri pelukis itu.
“Sabar,
kawan,” kata temannya. “Sebaiknya kita antar dia kembali ke losmen. Tidak ada
untungnya memukul orang tua lemah seperti dia.”
Kembali Pouw
Toan berjalan seenaknya dan dengan tenang saja diiringkan tiga orang yang
kelihatan kecewa dan marah-marah itu. Tidak jauh di belakang mereka, Tek Hoat
juga selalu membayangi dan diam-diam dia mulai kagum kepada Pouw Toan. Kiranya
Pouw Toan tidaklah mengecewakan hatinya. Pelukis tua itu benar-benar hebat!
Karena dipaksa, dia mau melukis, tetapi lukisannya dilakukannya seenak sendiri
saja sehingga menjadi lukisan yang mengejek dan menelanjangi hartawan yang
berenang dalam lautan nafsu itu. Sungguh tepat sekali lukisannya dan sepatutnya
hartawan itu berterima kasih kepadanya karena telah disadarkan!
Setelah tiba
di losmen, Si Tinggi Besar itu mengantar Pouw Toan ke kamarnya dan dengan suara
keras memerintahkan pelukis itu untuk mengumpulkan seluruh barang bawaan dan
miliknya yang berada di kamar itu, kemudian memaksanya keluar lagi.
“Ehhh,
kalian hendak membawaku ke mana lagi?” tanya Pouw Toan.
“Huh,
kusuruh melukis!” bentak Si Tinggi Besar.
“Melukis
apa?”
“Melukis
neraka!”
“Ha-ha-ha,
aku senang sekali melukis neraka. Coba katakan, neraka itu macam apa?”
“Tolol! Mana
aku pernah melihat neraka?”
“Aku pun
belum, ha-ha-ha!” Pouw Toan tertawa senang.
“Mari ikut
dengan kami, kau akan melihat neraka dan akan dapat melukisnya,” kata Si Tinggi
Besar yang mendorong kakek itu. Mereka pergi lagi tetapi kini mereka membawa
Pouw Toan ke luar kota dan di tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar merampas
buntalan Pouw Toan dari pundaknya.
“Ehh, apa
yang kau lakukan ini?”
“Aku ingin
mengirim kau ke neraka agar engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah, buka
pakaianmu itu!” Si Tinggi Besar menodongkan goloknya, namun pada saat itu
tampak bayangan berkelebat.
“Desss!
Aughhhhh.... !”
Si Tinggi
Besar terpelanting ketika pundaknya ditampar oleh Tek Hoat yang tidak dapat
menahan kesabaran lagi melihat betapa pelukis itu hendak dibunuh setelah
barangnya dirampas, bahkan sebelum dibunuh pakaiannya disuruh buka!
Dua orang
teman Si Tinggi Besar terkejut sekali melihat munculnya seorang pengemis yang
berani memukul temannya, segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat menanti sampai
tangan yang menyerangnya itu mendekat, kemudian dia mengangkat kedua lengannya
menangkis.
“Krekk!
Krekk!”
Lengan kedua
orang itu patah tulangnya pada saat bertemu dengan lengan Tek Hoat! Mereka
mengaduh-aduh dan memegangi lengan yang patah tulangnya.
“Jembel
busuk, kau bosan hidup!” bentak Si Tinggi Besar yang sudah bangun dan kini dia
menyerang dengan goloknya.
Akan tetapi
Tek Hoat menerima golok itu dengan tangannya, menangkap golok itu dan sekali
mengerahkan tenaga, golok itu patah-patah dan dia lalu menampar lengan Si
Tinggi Besar dengan pecahan golok masih di tangan.
“Creppp!”
Kembali Si
Tinggi Besar menjerit dan kali ini tangan kanannya hancur dengan pecahan
goloknya sendiri menancap sampai ke dalam daging dan mengenai tulangnya yang
hancur. Dia merintih-rintih, kemudian bersama kedua orang temannya dia
melarikan diri tunggang-langgang setelah meninggalkan buntalan milik Pouw Toan.
Sejenak
suasana menjadi sunyi. Dua orang itu berhadapan di tempat remang-remang karena
kegelapan hanya dilawan oleh sinar bulan sepotong. Kemudian terdengar Pouw Toan
tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, sejak tadi engkau selalu membayangi kami, Si Jari
Maut!”
Bukan main
kagetnya Tek Hoat mendengar ini. Kakek lemah itu tidak saja tahu bahwa sejak
tadi dia membayanginya, akan tetapi bahkan telah mengenalnya pula! Akan tetapi
dia tidak peduli dan membalikkan tubuhnya, lalu pergi dari situ. Dia tahu bahwa
pelukis itu mengikutinya, akan tetapi dia pun tidak peduli akan hal ini dan Tek
Hoat lalu kembali ke jembatan yang menjadi tempat bermalamnya itu. Dia melihat
kakek pelukis itu terus mengikutinya, tetapi dia pura-pura tidak melihat dan dia
lalu turun ke bawah jembatan, lalu rebah melingkar lagi di tempatnya semula
sebelum dia tertarik oleh percakapan orang di atas jembatan tadi.
“Ha-ha,
sungguh tempat yang jauh lebih menyenangkan dari pada losmen itu!” kata Pouw
Toan. “Wan Tek Hoat Taihiap, bolehkah aku ikut bermalam di sini?”
Kembali Tek
Hoat terkejut. Orang ini bukan saja mengenalnya sebagai Si Jari Maut, bahkan
mengetahui she-nya yang sesungguhnya, padahal jarang ada yang tahu akan she Wan
itu, kebanyakan hanya tahu bahwa she-nya adalah Ang!
“Ini tempat
umum, siapa pun boleh pakai,” jawabnya singkat, kemudian disambungnya, “dari
mana kau tahu aku she Wan?”
“Ha-ha,
Taihiap, aku tua bangka tak berguna ini mengenal hampir semua tokoh di dunia
kang-ouw, maka begitu melihat Taihiap aku pun segera mengenalmu. Aku banyak
mendengar tentang dirimu dari sahabatku yang teramat baik, yaitu pendekar sakti
Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana yang masih terhitung bibimu sendiri,
bukan?”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. Dia tidak senang mendengar dirinya dikenal, apalagi
dihubungkan dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi seperti Milana, walau
pun harus diakuinya bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti dan
pendekar itu adalah kakek tirinya!
“Sudahlah,
aku sendiri sudah lupa siapa diriku, apalagi engkau, seorang lain!” Setelah
berkata demikian, Tek Hoat lalu tidur dan sebentar saja dia sudah pulas.
Diam-diam
Pouw Toan menghela napas panjang berkali-kali dan dia merasa kasihan sekali
kepada pendekar ini. Teringat dia akan pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi
dan diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang puteri cantik bagai
bidadari itu dapat begitu mendalam jatuh cinta kepada pendekar yang kini
menjadi seperti jembel gila?
Akan tetapi
dia pun dapat menduga bahwa mungkin keadaan pendekar ini sampai menjadi begini
justru karena Si Puteri itulah! Patah hati.
Dia tidak
tahu dan tidak pernah mendengar akan rahasia yang terjadi di balik hubungan
antara pendekar ini dengan Puteri Syanti Dewi, akan tetapi dia teringat akan
pesan Sang Puteri untuk menyerahkan lukisan dirinya kepada pendekar ini kalau
dia dapat menjumpainya dan kini secara kebetulan sekali dia bertemu dengan
pendekar ini!
Lukisan itu
masih selalu disimpan di dalam buntalannya dan tadi hampir saja terampas oleh
orang jahat kalau tidak muncul Si Jari Maut yang menyelamatkannya. Bahkan
nyaris dia terbunuh oleh penjahat itu. Akan tetapi, dia bukan orang bodoh. Tadi
dia sudah dapat melihat bahwa ada seorang jembel terus mengikutinya dan dia
dapat menduga bahwa Si Jembel ini tentulah Si Jari Maut, oleh karena itu dia
bersikap tenang saja dan menurut saja dibawa keluar kota oleh tiga orang itu.
Andai kata dia tidak yakin bahwa jembel itu tentu pendekar sakti itu, tentu dia
tidak mau dibawa keluar kota seperti seekor domba dituntun ke pejagalan begitu
saja.
Melihat
pendekar itu agaknya telah tertidur, Pouw Toan juga lalu merebahkan diri dan
tak lama kemudian dia pun tertidur pulas dan bermimpi indah. Pouw Toan adalah
seorang manusia bebas yang selalu merasa bahagia, dimana pun juga dia berada.
Akan tetapi,
begitu pelukis itu pulas, Tek Hoat terbangun dan dia duduk bersila. Dari bawah
jembatan itu kini nampak bulan yang condong ke barat, sinarnya gemilang sebab
tidak terhalang awan. Agak jauh dari bulan sepotong itu nampak
berkelap-kelipnya bintang dan jauh di timur nampak sebuah bintang terpencil
sendirian, sunyi. Teringat Tek Hoat akan bunyi sajak pelukis yang kini tertidur
itu. Dia masih hafal bunyinya karena amat tertarik.
....batin
kosong tanpa isi....
....alam pun
sunyi sepi....
....hening....
diam.... suci....
....seniman
tua asyik
sepi
sendiri....
Dia menarik
napas panjang. Membaca sajak itu, dia seperti dapat meraba kesunyian itu,
keheningan yang maha luas, sebagai pencerminan dari kesepian di hatinya. Akan
tetapi, kalau pelukis itu agaknya menikmati kesunyian yang disebutnya
keheningan yang diam dan suci, sebaliknya dia tersiksa oleh kesepian diri,
karena kerinduannya yang tidak kunjung henti terhadap Syanti Dewi. Dia kini
merasa seperti bintang yang terpencil di timur itu, bintang kecil tersendiri,
miskin papa dan hina, seperti dia, tidak cemerlang, hidup sia-sia.... dan dia
pun menarik napas panjang lagi.
Kalau saja
dia sudah yakin bahwa Syanti Dewi sudah tidak ada lagi di dunia ini, tentu hal
itu akan amat meringankan penderitaan hatinya. Kalau begitu halnya, hanya ada
dua pilihan, hidup dengan bebas atau mati. Akan tetapi dia yakin bahwa pujaan
hatinya itu masih hidup, entah di mana! Dan andai kata dia dapat menjumpainya,
dia pun sangsi apakah Syanti Dewi mau sekali lagi mengampunkannya. Dosanya
sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Syanti Dewi pujaannya itu. Apakah dia akan
begini terus dan akhirnya seperti pelukis itu, yang menamakan dirinya sendiri
seniman tua? Dia hanya akan menjadi jembel tua kelak!
Hampir
setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin
itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguh pun kita dikelilingi keluarga, harta
benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang
muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa,
betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita
akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita.
Rasa
kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita
untuk mengikatkan diri kepada apa pun juga yang kita anggap lebih berharga,
lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita
terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak
berarti, lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku
atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi.
Namun pada
hakekatnya, akar dari pada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri
atau si Aku yang ingin lari dari pada kesepian dan kekosongan yang mengerikan
itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan
keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan.
Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk
mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri.
Yang penting lalu keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah
bahwa yang penting itu adalah ‘ku’ nya. Peduli apa dengan agama orang lain,
karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan aku! Yang penting
adalah segala-gala yang menjadi punyaku, yang menjadi kepentinganku.
Kesepian
berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung
yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun
kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu dengan batin kosong,
dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan
kewaspadaan dan penuh kesadaran, maka akan terasalah adanya keheningan yang
menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri.
Keheningan
yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada
bedanya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup
seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah-misahkan
antara kita dengan pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung
daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti
ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada
lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas dan
kecewa, hidup mati dan sebagainya.
Akan tetapi,
pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang
segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku
yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki
dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan!
Ingin ini
dan ingin itu dan justru keinginan inilah yang meniadakan segala-galanya,
kecuali mendatangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan
mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka,
pikiran yang membentuk si Aku itulah yang mendatangkan lingkaran setan yang
tiada akhirnya!
Keheningan
sebelum si Aku masuk adalah keheningan yang menyeluruh, keheningan di mana
tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak
akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan
si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita
kemudian memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan
lahir batin.
Ada orang
yang mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya
dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan,
melalui pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di dalam goa-goa atau di
puncak-puncak gunung. Padahal, bukan tempatnya yang penting, bukan caranya yang
penting, melainkan kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena
kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun.
Bebas
berarti hening. Tidak akan dapat didaya upayakan, dicari dengan sengaja. Dalam
keadaan terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun, maka
tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat oleh sesuatu, berarti
masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini, mencari
kebebasan tiada artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin senang, maka
dicari-cari dan dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang
dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu bukanlah yang sejati. Yang
sejati tidak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin yang bebas dan
terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang
dapat ditembus sinar cinta kasih.
Pada
keesokan harinya, ketika Pouw Toan terbangun, dia melihat Si Jari Maut masih
duduk bersila di situ. Girang hati pelukis ini, karena tadinya dia khawatir
kalau-kalau orang aneh itu telah pergi sebelum dia terbangun. Dan memang Tek
Hoat menantinya sampai terbangun. Ada sesuatu yang menarik hati Tek Hoat dalam
sajak itu, dan dia ingin bertanya tentang itu kepada si pembuat sajak.
“Selamat
pagi, Wan-taihiap,” kata Pouw Toan.
“Hemm....“
Tek Hoat hanya bergumam saja karena selama bertahun-tahun ini baru kini dia
mendengar ada orang menyalam selamat pagi padanya.
“Bukan main
indah sejuknya pagi ini!” Pouw Toan bangkit berdiri dan mengembangkan dadanya
dengan membuka kedua lengannya serta menghirup hawa udara pagi yang masih sunyi
itu sebanyaknya.
Mendengar
suara yang terdengar amat gembira ini, Tek Hoat menoleh dan memandang penuh
perhatian. Orang itu memang kelihatan gembira sekali. Dia merasa heran karena
dia tak melihat sesuatu yang patut untuk membuat orang itu gembira! Sungguh
seorang manusia yang amat aneh!
“Siapakah
namamu, Paman?” Akhirnya dia bertanya.
Dia tidak
tahu betapa girangnya hati Pouw Toan mendengar pertanyaannya ini. Kiranya dia
sudah mampu menggetarkan hati yang beku dari pendekar itu!
“Wan-taihiap,
namaku adalah Pouw Toan.”
Wan Tek Hoat
mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia sudah hampir lupa akan nama-nama
orang, tetapi dia masih samar-samar ingat bahwa nama ini banyak disebut orang
dengan nada kagum.
Melihat
pendekar ini termenung mendengar namanya, Pouw Toan kemudian berkata, “Agaknya
ada sesuatu yang ingin kau tanyakan kepadaku? Silakan….”
Menerima
dorongan dari pelukis itu, Tek Hoat lalu berkata, “Aku ingin sekali tahu
tentang arti sajakmu semalam, ketika engkau membaca sajak di dalam kamar
losmen.” Kemudian, dengan suara lirih Tek Hoat mengulang bunyi sajak empat
baris itu.
Pouw Toan
terbelalak heran. Dia sendiri sudah lupa akan bunyi sajak yang digubahnya
secara iseng-iseng dalam kamar itu. Dan kini sajak itu telah dihafal oleh
pendekar ini! Dan tahulah dia mengapa demikian. Sajak itu agaknya mengena benar
di hati pendekar ini yang tentu saja sedang dilanda kesepian yang amat hebat
sehingga membuatnya seperti orang gila itu, kesepian yang tercipta karena
kerinduan.
“Ah, jadi
engkau masih ingat akan bunyi sajak itu, Taihiap? Dan engkau telah berada di
atas genteng ketika tiga orang kasar itu datang kepadaku? Sungguh hebat! Sajak
itu sudah begitu jelas, tentang keheningan dan kesepian. Bagian manakah yang
kau tidak mengerti?”
“Keadaan
yang sunyi sepi amat menggelisahkan dan menyiksa hatiku selama bertahun-tahun
ini, akan tetapi mengapa engkau yang agaknya merasakan pula kesunyian itu malah
nampak gembira dan menghadapi segala sesuatu selalu tenang dan tenteram
seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang dapat menyusahkan hatimu?”
“Ahhh....!”
Pouw Toan memandang dengan penuh iba. “Mengapa aku harus susah? Aku tidak
membutuhkan apa-apa, tidak ada apa-apa yang mengikat diriku lahir batin, kenapa
aku harus susah? Tidak, aku tidak pernah susah dan selalu gembira karena memang
hati yang kosong dari segala keinginan berarti telah memiliki segala-galanya
dan oleh karenanya yang ada hanyalah kegembiraan saja. Akan tetapi engkau,
Taihiap, kulihat engkau amat sengsara hatimu. Agaknya engkau merindukan
sesuatu, menginginkan sesuatu, kecewa akan sesuatu yang membuat engkau merasa
iba diri, kesepian dan sengsara. Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini?
Engkau masih muda, gagah perkasa, apa pun yang kau inginkan tentu dapat
terlaksana. Andai kata engkau mencinta seorang wanita dan amat merindukannya,
ingin memperisterinya, mengapa tidak kau lakukan itu? Mengapa menyiksa diri
sendiri, menyepi dan menjauhkan diri?”
Semua ucapan
itu benar-benar mengenai hati Tek Hoat. Selama ini dia tidak pernah
menceritakan semua penderitaannya kepada siapa pun juga. Akan tetapi pribadi
pelukis ini amat menarik hatinya dan menimbulkan kagum, maka kini mendengar
ucapan yang amat mengena itu dia pun menarik napas panjang dan untuk pertama
kalinya selama bertahun-tahun, dia memandang dengan sinar mata orang waras.
“Apa yang
dapat kuharapkan? Aku manusia tidak berharga ini mana mungkin dapat
mengharapkan balasan cinta seorang wanita yang amat mulia? Mana mungkin dia mau
mengampuni semua dosaku yang sudah bertumpuk-tumpuk?” Pertanyaan ini seperti
diajukannya kepada diri sendiri tanpa memandang kepada pelukis itu, maka Pouw
Toan yang tahu diri itu pun tidak langsung menjawab, melainkan diam saja
sehingga keadaan menjadi sunyi di tempat itu. Akan tetapi kadang-kadang ada
gerobak atau orang lewat di atas jembatan, memecahkan kesunyian.
“Andai kata
dia masih hidup, belum tentu dia mau mengampuniku, dan andai kata mau
mengampuniku, belum tentu dia masih mencintaiku. Andai kata dia sudah mati,
lalu apa artinya hidup ini bagiku? Ahhh, hidupku sudah hampa....!”
“Aihh,
Taihiap. Adakalanya awan mendung menutup langit sehingga sinar matahari tak
nampak sama sekali. Akan tetapi itu pun akan lenyap dan akan berubah, matahari
akan bersinar kembali! Memang kesenangan tidak kekal di dunia ini, akan tetapi
kesusahan pun tidak kekal adanya. Siapa yang masih berada dalam cengkeraman suka-duka,
tidak perlu berkecil hati selagi gelap dan tak perlu berbesar kepala selagi
terang. Terang dan gelap datang silih berganti dalam hidup. Hanya orang yang
telah mengatasi suka-duka sajalah yang bebas. Kalau engkau belum bebas, mengapa
harus menyerah kepada kegagalan? Siapa tahu kalau-kalau orang yang Taihiap
rindukan itu pun kini sedang menanti-nanti kedatangan Taihiap penuh kerinduan?”
Tek Hoat
menggeleng kepalanya, lalu bangkit meninggalkan kolong jembatan itu sambil
berkata. “Tidak mungkin.... tidak mungkin....“
“Heiii! Ke
mana Taihiap hendak pergi?” Pouw Toan berseru akan tetapi pengemis muda itu
sudah mendaki ke atas jalan, tidak menjawab dan tidak menoleh pula.
“Sungguh
keras kepala....,” Pouw Toan mengomel dan dia pun bergegas mendaki dari kolong
jembatan dan naik ke jalan yang masih sunyi.
“Tunggu
dulu, Wan-taihiap! Aku mempunyai sesuatu untuk kuberikan kepadamu!”
Akan tetapi
Tek Hoat tanpa menoleh berkata, “Aku tidak menerima apa pun dari siapa pun!”
“Tapi, ini
adalah tanda terima kasihku telah kau tolong malam tadi....”
“Lupakan
saja!”
“Wan Tek
Hoat, setidaknya kau lihatlah lukisanku ini!” seru Pouw Toan sambil membuka
gulungan sebuah lukisannya dan berdiri menghadang di depan pendekar yang
seperti jembel itu.
Dengan tidak
sabar Tek Hoat hendak menghindar, akan tetapi ketika dia melirik ke atas
lukisan yang dibentang itu dan kebetulan matahari pagi menimpa lukisan itu, dia
tersentak kaget sekali, matanya terbelalak, mukanya pucat, tubuhnya menggigil
dan sekali sambar dia telah merampas lukisan itu dan memandang lukisan dengan
mata bersinar menyeramkan. Itulah lukisan Syanti Dewi! Tidak salah lagi! Mata
itu, hidung itu, bibir itu....!
Tiba-tiba
dia mengeluarkan bunyi seperti seekor singa menggereng dan tahu-tahu dia telah
menyambar ke depan dan telah mencengkeram leher baju Pouw Toan, kemudian
diangkatnya orang itu tinggi ke atas seperti orang menangkap seekor kelinci
dengan memegang pada telinganya saja.
“Hayo
katakan, di mana dia! Di mana dia! Cepat jawab!” Dia membentak-bentak dengan
muka pucat sekali seperti kertas.
Diperlakukan
begini, Pouw Toan tidak takut, malah mencela keras, “Pantas saja dahulu dia
menjauhkan diri darimu, Wan Tek Hoat. Wanita mana yang dapat bertahan untuk
berdekatan dengan orang yang wataknya begini kasar, keras dan tidak patut?”
Sejenak
kedua pasang mata itu bertemu pandang. Sejenak mata pelukis itu tajam dan
sedikit pun tidak gentar, sinarnya seperti memasuki lubuk hati Tek Hoat,
membuat pemuda itu sadar akan perbuatannya dan tiba-tiba Tek Hoat mengeluarkan
suara bagai orang dicekik, pegangannya pada baju itu terlepas dan dia
menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, tangan kanannya masih memegang
gulungan lukisan dan dia pun terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
Pouw Toan!
“Maafkan
aku.... ohhh.... maafkan aku dan jangan siksa aku lagi.... katakanlah di mana
adanya dia....”
Pouw Toan
terkejut sekali, akan tetapi juga amat girang. Orang ini sesungguhnya belum
kehilangan sifat-sifat baiknya, sifat-sifat pendekarnya, hanya karena
kekecewaan dan kedukaan saja yang membuatnya menjadi seperti itu. Dia pun cepat
membangunkan Tek Hoat, mengajaknya duduk di tepi jalan dan dengan hati-hati dia
pun lalu bercerita tentang Syanti Dewi.
“Puteri
Syanti Dewi masih hidup dalam keadaan sehat, Taihiap. Dan dia telah menjadi
seorang seperti bidadari, disanjung dan dipuja oleh seluruh manusia, terutama
kaum prianya sehingga kabarnya Pangeran Kian Liong sendiri pun menjadi
sahabatnya! Dia hidup sebagai seorang puteri di Pulau Kim-coa-to....“ Dan
dengan singkat Pouw Toan memberi tahu letaknya pulau itu.
Akan tetapi
belum sampai dia bercerita lebih jauh, Tek Hoat sudah bangkit menjura dan
dengan mata bersinar-sinar dia memberi hormat berkali-kali.
“Terima
kasih, Paman Pouw, terima kasih....”
“Nanti dulu,
belum sempat kuceritakan bahwa aku bertemu dengan dia, dan dialah yang
memberikan lukisanku itu kepadaku dengan pesan untuk diberikan kepadamu....”
“Dia.... dia
masih ingat padaku?”
“Ingat? Ahh,
dia menitikkan air mata ketika mendengar akan keadaanmu seperti yang sudah
kudengar dari banyak tokoh kang-ouw.”
“Ahhh....,
mungkinkah itu? Dewi.... Dewi....“ Tek Hoat lalu menangis dan dia meloncat
pergi dari situ untuk segera mencari kekasihnya.
“Heii,
tunggu dulu, Taihiap, tunggu dulu....!” Pouw Toan lari mengejar karena dia
ingin sekali menasehati pemuda itu sebelum pergi mengunjungi Syanti Dewi dalam
keadaan seperti itu.
Pemuda itu
sedang dilanda kebingungan dan tekanan batin yang hebat, maka jika tak mendapat
nasehat yang benar dan menghadap Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu, tentu
keadaan hubungan antara dua orang itu akan menjadi semakin berbahaya. Akan
tetapi Tek Hoat tidak mau berhenti dan mana mungkin seorang tua lemah seperti
Pouw Toan dapat menyusulnya?
Pada saat
itu nampak berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu dua orang pemuda telah
berdiri menghadang Tek Hoat dan seorang di antara mereka membentak, “Paman Pouw
telah minta kau berhenti!” Kedua orang itu dengan gerakan yang cekatan sekali
telah menghadang dan mendorongkan kedua tangan mereka ke arah Tek Hoat yang
sedang lari.
Bukan main
kaget hati Tek Hoat karena dari dorongan tangan mereka itu menyambar hawa yang
amat kuat, yang menahan dia dan hendak memaksa dia untuk berhenti. Dia
memandang penuh perhatian dan melihat bahwa mereka adalah dua orang pemuda
berusia kurang lebih tujuh belas tahun yang tampan sekali, akan tetapi
hebatnya, wajah dan pakaian mereka, bahkan gerak-gerik mereka, pandang mata
mereka, semuanya sama sehingga mudah menduga bahwa mereka tentulah dua orang
saudara kembar!
“Kalian
minggirlah!” kata Tek Hoat. Kedua tangannya telah dipentang untuk mendorong
mereka ke kanan kiri, akan tetapi kembali dua orang muda itu dengan langkah
kaki yang ringan dan sigap sekali telah dapat mengelak, bahkan lalu menangkap
pergelangan tangannya dari kanan kiri!
“Paman Pouw
menyuruh kau berhenti!” kata seorang di antara mereka, entah yang bicara tadi
atau bukan sukar bagi Tek Hoat untuk mengenalnya karena wajah mereka yang sama
benar.
Cara mereka
mengelak, kemudian menangkap pergelangan kedua tangannya, sudah membuktikan
bahwa mereka memang benar-benar memiliki ilmu silat yang lihai sekali, maka
timbul keinginan dalam hati Tek Hoat untuk mencoba mereka. Dia tahu bahwa dua
orang pemuda kembar yang lihai ini tentu masih keluarga pelukis aneh itu, maka
tentu saja dia pun tidak mempunyai niat buruk melainkan hanya ingin menguji
mereka.
“Kalian
hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” katanya dan dia pun lalu segera
menggunakan kepandaiannya, sekali bergerak kedua lengannya terlepas dan dia pun
lalu mengirim serangan ke arah mereka dengan kedua tangannya secara
bertubi-tubi, yaitu menampar dari samping dengan tangan terbuka.
Dua orang
pemuda kembar itu bukan lain adalah Gak Jit Kong dan adik kembarnya, yaitu Gak
Goat Kong. Tentu saja keduanya, biar baru berusia tujuh belas tahun, telah
memiliki ilmu kepandaian yang hebat karena sejak kecil mereka digembleng oleh
ayah dan ibu mereka, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan Puteri Milana!
Mula-mula mereka terkejut ketika melihat betapa pengemis yang dikejar-kejar
oleh Pouw Toan itu dapat melepaskan pegangan dengan mudah, dan lebih kaget lagi
melihat tamparan-tamparan tangan yang jelas mengandung tenaga sinkang yang amat
tangguh itu.
Cepat mereka
pun bergerak mengelak dan balas menyerang, karena mengira bahwa pengemis ini
tentu orang jahat yang entah melakukan hal apa terhadap Pouw Toan. Terjadilah
perkelahian satu lawan dua yang amat hebat. Makin lama, Tek Hoat menjadi
semakin kagum. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan dua orang pemuda remaja
kembar yang demikian tangguhnya! Ilmu silat mereka amat halus dan tangguh, ilmu
silat golongan bersih yang luar biasa sekali dan anehnya, gerakan-gerakan
mereka baginya tidak begitu asing, bahkan seakan-akan ada dasar-dasar yang sama
antara ilmu silat mereka dengan ilmu silatnya yang pernah dipelajarinya dari
Sai-cu Lo-mo. Di lain pihak, dua orang saudara kembar itu pun terkejut sekali
mendapat kenyataan bahwa pengemis itu benar-benar amat lihai, mempunyai ilmu
silat tinggi sehingga pengeroyokan mereka tidak membuat pengemis itu terdesak.
Sejak tadi
Pouw Toan hanya menonton saja sambil tersenyum. Dia cukup maklum akan watak dua
orang pemuda kembar itu yang tak akan menjatuhkan tangan kejam kepada siapa pun
juga, apalagi kepada orang yang tidak mereka ketahui kesalahannya seperti Tek
Hoat itu. Dan dia pun maklum bahwa Tek Hoat adalah seorang pendekar, biar pun
sedang bingung, yang tidak akan mencelakakan orang tanpa sebab. Biarkanlah
mereka saling bertanding dan saling berkenalan melalui ilmu silat, pikirnya,
karena pelukis yang banyak bergaul dengan orang-orang dari dunia persilatan ini
maklum akan ‘penyakit’ para pendekar yang suka sekali akan pertandingan ilmu
silat, menonton atau ditonton!
Setelah
membiarkan mereka bertanding sampai beberapa lamanya, Pouw Toan yang tidak
mengenal ilmu silat itu merasa khawatir juga dan dia pun cepat maju dan berseru
keras, “Jangan berkelahi....! Kalian masih saudara-saudara sendiri, masih
keluarga sendiri!”
Tentu saja
mendengar seruan ini mereka berhenti dan dua orang pemuda kembar itu memandang
kepada Tek Hoat dengan terheran-heran. Masih keluarga sendiri? Mereka sungguh
tak dapat menduga siapa adanya jembel yang dikatakan keluarga sendiri oleh
pelukis itu. Sedangkan Tek Hoat yang tadinya tidak mau pedulikan segala hal,
kini menjadi tertarik juga dan dia menoleh kepada Pouw Toan dengan sinar mata
bertanya.
“Murid-muridku
yang baik, ini dia Si Jari Maut, Wan Tek Hoat yang menjadi keponakan tiri dari
Ibu kandung kalian.”
Gak Jit Kong
dan Gak Goat Kong terkejut sekali. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar
nama ini dari penuturan ibu mereka, akan tetapi ibunya menggambarkan orang yang
bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu tidak seperti seorang jembel
seperti ini. Betapa pun juga, mereka tidak meragukan keterangan Pouw Toan dan
mereka lalu menjura kepada Tek Hoat.
“Wan-piauwko,
maafkan kami yang tidak mengenalmu,” kata Jit Kong.
“Wan-taihiap,
mereka adalah adik-adik misanmu sendiri, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera
kembar Bibi tirimu Puteri Milana dan suaminya. Mereka ini diserahkan kepadaku
untuk belajar sastra, ha-ha-ha!”
Giranglah
hati Tek Hoat dan dia kagum sekali melihat Puteri Milana, bibi tirinya itu,
telah mempunyai putera kembar setampan dan selihai ini.
“Ah, tidak
mengapa, Adik-adikku yang lihai. Maafkan, aku tidak dapat menemani kalian lebih
lama lagi. Paman Pouw, terima kasih atas segala-galanya dan selamat tinggal!”
“Taihiap....!”
Akan tetapi seruan ini percuma karena sekali ini Tek Hoat telah berkelebat dan
lenyap dengan cepat sekali dari situ. Pouw Toan menghela napas dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh....dia manusia aneh.... kasihan
sekali....“
“Tapi.... Si
Jari Maut yang digambarkan Ibu tidak seperti itu, melainkan seorang pria yang
kata Ibu tampan dan gagah, bukan seorang pengemis yang begitu terlantar....“
Goat Kong berkata.
Pouw Toan
menghela napas. “Begitulah kehidupan manusia. Setiap manusia boleh saja
mempelajari segala macam ilmu, menjadi orang pandai, menjadi orang perkasa,
namun selama dia tidak mampu membebaskan diri dari segala nafsu yang
mencengkeramnya, dia akan menjadi permainan suka duka. Kedukaan kadang-kadang
membuat manusia kehilangan kesadaran dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan
yang hebat seperti dia itu.”
Bagaimanakah
dua orang pemuda kembar itu dapat muncul pada saat itu? Seperti telah kita
ketahui, lima tahun yang lalu dua orang pemuda ini pernah ikut pula dengan arus
orang-orang kang-ouw dan berkeliaran di Pegunungan Himalaya! Pada waktu itu
usia mereka baru kurang lebih dua belas tahun! Dan seperti kita ketahui, mereka
itu disusul oleh Su-bi Mo-li, yaitu wanita-wanita iblis yang terkenal sebagai
murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok, ditawan dan dibawa kembali ke kota raja.
Mereka
berdua itu sempat ditolong oleh Bu Ci Sian yang dibantu oleh gurunya, yaitu
See-thian Coa-ong, akan tetapi melihat keganasan ular-ular yang dipergunakan
oleh Ci Sian, dua orang pemuda kembar itu memaki Ci Sian sebagai siluman ular,
lalu pergi meninggalkan para penolongnya untuk mengejar Su-bi Mo-li. Kiranya
mereka berdua memang sengaja membiarkan diri ditawan oleh Su-bi Mo-li untuk
dibawa menghadap Sam-thaihouw yang mengutus empat orang wanita iblis itu!
Dua orang
anak kembar ini adalah putera pendekar sakti, dan ibunya adalah seorang yang
amat terkenal pula, maka tentu saja mereka memiliki watak aneh dan keberanian
luar biasa sekali. Biar pun usia mereka baru dua belas tahun, namun di dalam
darah mereka terdapat jiwa petualang besar. Maka pada waktu mendengar tentang
lenyapnya pedang pusaka Koai-liong-kiam secara aneh dari gudang pusaka keraton,
jantung mereka berdegup penuh ketegangan dan dua orang saudara kembar itu
diam-diam lalu berunding dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi melakukan
pengejaran dan pencarian terhadap pencuri pedang itu!
Memang lucu
sekali kalau diingat betapa mereka itu, biar pun sejak kecil digembleng ilmu
silat tinggi, tentu saja tidak mungkin dapat menandingi kehebatan seorang
pencuri yang dapat mengambil sebatang pedang pusaka dari dalam gudang pusaka
istana begitu saja tanpa ada yang mengetahui! Pencuri seperti ini tentulah
seorang pencuri yang sakti. Mereka pergi diam-diam dan hanya meninggalkan pesan
kepada seorang kakek tetangga yang tinggal jauh di dusun kaki Gunung Beng-san
agar kakek itu suka memberi kabar kepada ayah mereka bahwa mereka berdua hendak
pergi ‘merantau’ untuk meluaskan pengetahuan!
Tentu saja
Gak Bun Beng dan Milana terkejut bukan main mendengar berita dari kakek
tetangga itu. Mereka sudah mencoba untuk mencari-cari, namun tiada hasilnya.
Dua orang anak mereka seolah-olah lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas!
Mereka sudah mencari keterangan, akan tetapi tidak ada yang pernah melihat dua
orang anak laki-laki kembar lewat di tempat mereka! Hal ini adalah karena
kecerdikan kakak beradik itu yang meninggalkan tempat mereka sambil menyamar,
berpakaian lain dan juga Jit Kong merubah cara dia menggelung rambut dan
mencoreng-moreng mukanya sehingga tidak sama dengan muka adik kembarnya! Baru
setelah mereka berdua pergi jauh sesudah lewat berpekan-pekan, mereka
berpakaian biasa kembali seperti anak kembar.
Akhirnya Gak
Bun Beng dan isterinya kembali ke rumah mereka di puncak Beng-san. “Tenanglah,
tidak mungkin anak-anak kita itu akan mengalami bencana. Mereka sudah cukup
besar dan mereka pun bukan anak-anak yang biasa ceroboh. Juga, kurasa
kepandaian mereka sudah cukup untuk mereka pergunakan melindungi diri sendiri.”
“Tapi mereka
itu baru berusia dua belas tahun, masih belum dewasa dan di dunia ini terdapat
amat banyak orang jahat!” kata Puteri Milana menyatakan kekhawatirannya.
“Betapa pun
juga, mereka pergi berdua dan mereka dapat saling bantu. Biarlah, biar mereka mencari
pengalaman dan merasakan betapa pahitnya dan bahayanya hidup di dunia ramai.
Ingat, isteriku, kita pun dahulu merupakan petualang-petualang besar dan kita
tetap selamat sampai setua ini. Mengapa terlalu mengkhawatirkan mereka?”
Puteri
Milana adalah seorang wanita gagah perkasa, bahkan beberapa kali dia pernah
memegang kedudukan panglima dan memimpin pasukan pemerintah untuk menghadapi
pemberontak-pemberontak, maka sudah tentu saja dia bukan seorang wanita
cengeng. Maka walau pun kekhawatiran kadang-kadang masih mencekam hatinya, dia
dapat menenteramkan diri dan menanam keyakinan bahwa apa yang diucapkan
suaminya itu memang benar. Betapa pun juga, suaminya harus berjanji kepadanya
bahwa kalau sampai satu tahun anak kembar mereka itu belum pulang, mereka
berdua akan turun gunung mencarinya sendiri!
Demikianlah
asal mula Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat berada di Pegunungan Himalaya,
terbawa arus orang-orang kang-ouw yang mereka dengar berlomba mencari pedang
pusaka yang jejaknya dikabarkan menuju ke pegunungan itu. Mereka tidak tahu
bahwa kehadiran mereka diketahui oleh Im-kan Ngo-ok, dan kemudian murid-murid
mereka, yaitu empat orang iblis betina Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik)
melakukan pengejaran dan menawan dua orang anak kembar itu.
Karena
maklum bahwa empat orang wanita itu lihai sekali, apalagi mereka adalah
murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok yang juga nama besar mereka telah didengar
oleh Jit Kong dan Goat Kong, maka kedua orang anak kembar ini tidak melakukan
perlawanan dan menurut saja dibawa kembali ke timur. Untuk menjaga supaya
mereka tidak lari, mereka diborgol! Sampai mereka berdua itu bertemu dengan Ci
Sian yang menolong mereka.
Kalau Jit
Kong dan Goat Kong menghendaki, tentu saja dengan mudah mereka dapat melepaskan
diri. Empat orang iblis betina itu terlalu memandang rendah tawanan mereka.
Kalau dua orang anak kembar itu menghendaki, sekali berontak mereka akan dapat
mematahkan borgol mereka dan dapat melarikan diri. Akan tetapi mereka tidak mau
melakukan ini dan pura-pura menjadi anak-anak tak berdaya dan menyerahkan diri
saja karena mereka itu diam-diam merasa gembira dan ingin tahu apa yang akan
terjadi kalau mereka sudah dihadapkan dengan majikan dari Su-bi Mo-li, yaitu
yang katanya adalah Sam-thaihouw atau Ibu Suri Ke Tiga di istana kerajaan.
Tentu saja
mereka tidak merasa takut karena bukankah mereka berdarah keluarga kaisar?
Nenek mereka adalah Puteri Nirahai yang kini menjadi isteri Pendekar Super
Sakti di Pulau Es. Nenek mereka itu adalah seorang puteri istana asli, masih
terhitung bibi dari kaisar sekarang, sungguh pun neneknya itu puteri selir
saja. Kalau dihitung-hitung, ibu kandung mereka masih terhitung saudara misan
dari kaisar yang sekarang, malah mereka sendiri pun sebetulnya masih merupakan
dua orang pangeran! Ingin mereka tahu apa yang akan terjadi dengan mereka,
apalagi kalau diketahui bahwa mereka adalah putera dari Panglima Milana, cucu
dari Puteri Nirahai yang amat terkenal itu!
Akan tetapi
Ci Sian, gadis yang mengerikan dengan ular-ularnya itu, telah ‘menolong’ mereka
dan merusak permainan sandiwara mereka. Betapa pun, semua pengalaman mereka itu
membuka mata mereka bahwa merantau di tempat itu sungguh berbahaya sekali
karena ternyata di situ banyak berkeliaran orang-orang pandai dan orang-orang
jahat. Maka, mereka pun mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san, apalagi
mereka kini teringat bahwa tentu ayah bundanya akan menjadi khawatir sekali
dengan kepergian mereka.
Dan memang
dugaan mereka itu benar. Ketika mereka tiba di rumah orang tua mereka, yaitu di
Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san, mereka disambut oleh tangis
kegembiraan oleh ibu mereka, akan tetapi kemudian mereka pun menerima teguran
keras dari ayah bunda mereka atas kelancangan mereka pergi merantau.
“Bukan
kalian tidak boleh pergi merantau, akan tetapi harus mendapat restu orang tua,
lebih dulu diperbincangkan dengan kami sehingga tidak menyusahkan hati orang
tua. Lagi pula, kalian masih terlalu muda untuk pergi mencari pengalaman di
luar,” demikian antara lain ayah mereka menegur.
“Kemana saja
engkau pergi selama setengah tahun ini?” Milana bertanya, matanya masih basah
akan tetapi wajahnya berseri kembali setelah selama berbulan-bulan ini nampak
muram dan gelisah.
“Kami
mendengar tentang pusaka Koai-liong-kiam yang hilang dari istana dan kabarnya
dilarikan maling ke Pegunungan Himalaya, maka kami berdua pergi ke sana dengan
harapan kalau-kalau kami akan dapat menemukan kembali pedang pusaka istana
itu,” kata Jit Kong.
Milana
terbelalak. “Kalian ke Pegunungan Himalaya?” Dan wanita cantik ini tertawa
geli. “Ah, Ayahmu ingin sekali ikut mengejar ke barat, dan andai kata kalian
tidak pergi, tentu Ayahmu juga pergi ke sana.”
Gak Bun Beng
tertawa dan menggeleng-geleng kepala. “Aihh, sungguh tidak kunyana, aku yang
ingin sekali pergi, malah kalian yang mendahului. Tetapi biarlah, hitung-hitung
kalian mewakili aku. Asal saja kalian di sana tidak melakukan hal-hal yang
memalukan. Apa yang telah kalian alami di sana? Banyakkah orang kang-ouw pergi
ke sana?”
“Banyak
sekali, Ayah. Di sana amat banyak orang-orang aneh dan orang-orang pandai,”
kata Goat Kong.
“Dan
bagaimana pula kabarnya dengan pedang pusaka itu? Apakah sudah ditemukan
pencurinya dan pedang itu dapat dirampas kembali?” tanya Milana.
Jit Kong
menggeleng kepala. “Mereka semua itu agaknya bukan mencari pedang untuk
dikembalikan ke istana, Ibu, melainkan saling memperebutkan untuk masing-masing
diri sendiri.”
“Ahhh....!”
Milana berseru kecewa.
“Tidak aneh,
apakah engkau lupa akan watak orang-orang kang-ouw yang tamak akan benda-benda
pusaka, isteriku? Lalu kabarnya siapa yang mendapatkan pusaka itu?” tanya Bun
Beng.
“Kami tidak
tahu, Ayah, karena baru saja tiba di sana kami sudah ditangkap orang,” kata Jit
Kong.
Tentu saja
keterangan ini mengejutkan hati suami isteri pendekar itu. Milana bangkit dari
tempat duduknya, mukanya yang masih cantik dalam usianya yang sudah mendekati
lima puluh tahun itu menjadi kemerahan. “Ditangkap orang? Siapa yang menangkap
kalian dan mengapa kalian ditangkap?”
“Kami
ditangkap oleh empat orang wanita berjuluk Su-bi Mo-li....”
“Hemm! Su-bi
Mo-li? Siapa mereka itu?” Milana membentak marah.
“Aku pun
tidak mengenal nama itu,” kata Gak Bun Beng dan memang suami isteri ini selama
ini tidak pernah keluar ke dunia kang-ouw sehingga mereka sama sekali tidak
mengenal nama-nama baru. “Siapakah mereka itu?” tanyanya kepada kedua orang
puteranya.
“Menurut
yang kami dengar, mereka itu adalah murid-murid dari Im-kan Ngo-ok....”
“Ahhh,
keparat! Kiranya murid-murid Im-kan Ngo-ok?” bentak Bun Beng dan Milana
terkejut sekali mendengar nama Im-kan Ngo-ok yang dia tahu amat terkenal
sebagai datuk-datuk kaum sesat dan amat lihai itu. “Kenapa kalian ditangkap
mereka? Apakah kalian tidak melawan?”
“Mereka
menghadang kami dan mengatakan bahwa kami harus ikut bersama ke kota raja untuk
menghadap Sam-thaihouw. Kami sengaja tak melawan dan membiarkan diri ditangkap
karena kami ingin sekali melihat apa yang akan terjadi dengan kami di istana.
Kami tidak takut untuk dibawa ke istana!”
“Sam-thaihouw....?”
Milana terbelalak dan dia lantas mengangguk-angguk, “Pantas...., kiranya empat
iblis betina itu adalah kaki tangan Sam-thaihouw....!”
Gak Bun Beng
juga sudah tahu betapa Sam-thaihouw, ibu suri ke tiga itu menaruh dendam kepada
isterinya karena banyak hal, akan tetapi terutama karena kegagalan
pemberontakan dua orang Pangeran Liong. Maka kini dia pun mengerti mengapa dua
orang puteranya itu ditangkap atas perintah Sam-thaihouw dan dia mengerutkan
alis, akan tetapi kemudian merasa lega bahwa dua orang puteranya itu telah
selamat.
“Sudahlah,
sekarang ceritakan bagaimana kalian ditawan dan bagaimana pula kalian dapat
meloloskan diri dan pulang ke sini,” katanya kemudian.
Dengan cara
bergantian, Jit Kong dan Goat Kong lalu menceritakan semua pengalaman mereka
semenjak mereka pergi dari rumah menuju ke Himalaya dan betapa mereka
ditangkap, kemudian betapa mereka ditolong oleh seorang gadis cantik bersama
kakek Nepal yang mendatangkan ular-ular dan yang mengalahkan Su-bi Mo-li.
“Gadis itu
mengacaukan rencana kami, Ayah!” kata Jit Kong.
“Dia itu
seperti siluman ular saja. Mengerikan!” kata pula Goat Kong.
“Eh, ehh!
Bagaimana kalian dapat berkata demikian? Bukankah mereka telah bersusah payah
melawan Su-bi Mo-li untuk menolong kalian?” tanya Milana.
Dua orang
anak kembar itu bersungut-sungut. “Akan tetapi, kami memang sengaja menyerahkan
diri untuk ditangkap karena kami ingin melihat apa yang terjadi di istana
dengan kami. Kami toh hanya pura-pura menyerah.... tahu-tahu gadis liar itu
merusak sandiwara kami dan mencampuri. Karena sudah terlanjur bebas, maka kami
lalu pulang karena daerah itu amat berbahaya dan terdapat banyak orang jahat
yang amat lihai.”
“Siapakah
gadis yang bermain-main dengan ular itu? Siapa namanya?” tanya Milana yang
merasa tertarik.
“Kami tidak
tahu, Ibu. Kami tidak tanyakan namanya. Untuk apa menanyakan nama gadis siluman
ular itu?” kata Goat Kong.
“Ah, jangan
berkata demikian!” Milana membentak. “Apa kau kira asal orang bermain atau
mampu mendatangkan ular-ular lalu kau anggap dia jahat dan siluman? Tahukah
kalian bahwa Bibimu, Isteri dari Pamanmu Suma Kian Lee juga seorang ahli
tentang ular beracun?”
Dibentak
demikian oleh ibunya, dua orang anak kembar itu diam saja dan di dalam hati
mereka mengaku bahwa mereka memang bersikap salah terhadap gadis yang menolong
mereka itu. Sesungguhnya bukan semata-mata ular-ular itu yang membuat mereka
tidak suka kepada gadis itu, melainkan melihat keganasan ular-ular itu dan juga
karena gadis itu telah menggagalkan rencana dan sandiwara mereka.
Pada malam
harinya, setelah dua orang anak mereka itu tidur di kamar mereka sendiri, suami
isteri pendekar ini lalu mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa dalam
keadaan seperti dua orang anak mereka itu, yang sedang remaja dan menjelang
dewasa, maka jiwa petualangan mereka itu sedang mencapai puncaknya, maka kalau
tidak diberi saluran, mungkin saja pada suatu hari mereka itu minggat lagi.
Mereka lalu
berunding untuk menyerahkan mereka kepada sastrawan Pouw Toan yang tinggal di
lereng sebelah utara, seorang sastrawan yang menjadi sahabat baik mereka yang
mereka hormati karena sastrawan itu merupakan seorang terpelajar yang amat
mulia dan bijaksana. Biarlah anak mereka belajar ilmu tentang hidup dan
memperdalam ilmu kesusastraan dari kakek itu. Mereka mengenal betul siapa Pouw
Toan, seorang ahli sastra, seorang ahli lukis, seorang seniman sejati yang biar
pun tidak pernah belajar ilmu silat, namun memiliki tubuh sehat kuat karena
suka merantau dan yang mengenal hampir semua pendekar sakti di dunia ini.
Demikianlah,
beberapa pekan kemudian suami isteri ini pergi mengunjungi rumah pondok Pouw
Toan di lereng utara dan kebetulan sekali bagi mereka bahwa Pouw Toan baru saja
kembali dari perantauannya. Pouw Toan menyambut kunjungan suami isteri
sahabatnya itu dengan ramah dan gembira. Dia amat mengagumi pendekar dan
isterinya itu, apalagi mengingat bahwa isteri pendekar itu adalah seorang
puteri kandung dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, masih berdarah
keluarga kaisar akan tetapi memilih tinggal di puncak sunyi itu, rela
meninggalkan kemuliaan dan kemewahan serta memilih hidup sederhana namun
tenteram.
Setelah
minum arak yang disuguhkan Pouw Toan, mereka duduk bercakap-cakap dan suami
isteri ini menceritakan tentang petualangan dua orang putera kembar mereka
sampai ke Pegunungan Himalaya! Mendengar itu Pouw Toan tersenyum dan amat
tertarik. Setelah selesai dia menarik napas panjang.
“Ahhh,
sungguh hebat puteramu itu, Taihiap. Akan tetapi aku tidak dapat menyalahkan
mereka. Mereka itu adalah putera-putera suami isteri pendekar seperti Ji-wi,
tentu saja memiliki keberanian dan jiwa petualang, dan tentu tertarik mendengar
akan lenyapnya pedang pusaka itu. Aku sendiri seorang tua bangka lemah ini pun
amat tertarik dan aku sudah banyak mendengar dan menyelidiki tentang pedang
itu, sungguh pun aku tidak berkesempatan untuk ikut beramai-ramai pergi ke
Himalaya!”
Setelah
bercakap-cakap tentang bermacam hal sampai beberapa lamanya, akhirnya suami
isteri itu menyatakan keperluan mereka datang berkunjung kepada sastrawan itu,
yaitu untuk menitipkan dua orang putera mereka agar belajar ilmu sastra dan
filsafat kepada kakek itu.
“Setelah
mereka pergi dengan diam-diam, kami berdua merasa khawatir kalau-kalau mereka
pergi lagi. Mereka masih hijau, apalagi dalam soal-soal hidup, oleh karena itu
kami mohon Pouw Twako suka menerima mereka menjadi murid.”
“Ha-ha-ha,
sungguh lucu mendengar bahwa Ji-wi, suami isteri pendekar sakti yang amat
kukagumi malah menyerahkan putera Ji-wi kepadaku untuk menjadi murid! Betapa
pun juga, hati siapa takkan merasa bangga menjadi guru dari cucu Pendekar Super
Sakti? Tentu saja aku dengan senang hati menerimanya, namun, untuk mematangkan
mereka, bukan hanya harus belajar dari buku-buku melainkan mengajak mereka
merantau dan melihat kehidupan di tempat-tempat ramai.”
“Terserah
kepada Pouw-twako kalau hendak mengajak mereka merantau. Biarlah mereka itu
belajar selama dua tiga tahun sebelum mereka mempelajari Ilmu-ilmu silat yang
lebih berat dan mendalam. Selain itu, juga kami berdua ingin pergi ke kota raja
untuk menyelidiki apa maksudnya Sam-thaihouw menculik anak-anak kami.”
Setelah
mereka bersepakat, Jit Kong dan Goat Kong diberi tahu. Dua orang anak ini
menerima dengan girang perintah ayah mereka, apalagi pada saat mendengar bahwa
mereka selain diajar ilmu kesusastraan juga akan diajak pergi merantau oleh
Paman Pouw yang sudah mereka kenal dan yang mereka kagumi karena kakek itu
pandai melukis dan pandai sajak.
Demikianlah,
sejak itu, Jit Kong dan Goat Kong ikut dengan Pouw Toan, bahkan lalu diajak
pergi merantau oleh kakek yang tidak betah tinggal terlalu lama di suatu tempat
itu. Dan pada hari itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek itu
bertemu dengan Wan Tek Hoat. Ketika dia berjumpa dengan Tek Hoat dan ketika dia
dibawa pergi oleh tiga orang untuk dipaksa melukis hartawan Thio, dua orang
muridnya itu sedang pergi untuk memberi peringatan atau hajaran kepada seorang
penguasa dusun tak jauh dari kota itu yang terkenal sebagai penindas dan
pemeras para penduduknya. Memang Pouw Toan tidak melarang, bahkan menganjurkan
dua orang muridnya itu untuk mempergunakan ilmu silat yang mereka pelajari dari
orang tua mereka untuk melawan kelaliman di mana pun mereka berada.
Dan malam
itu juga Jit Kong dan Goat Kong pergi membereskan penasaran yang terjadi di
dusun itu, mendatangi kepala dusun, menundukkannya, kemudian pada keesokan
harinya mereka memaksa kepala dusun untuk mengembalikan sawah ladang yang
dirampasnya dari para penduduk tani, dan menyaksikan kepala dusun mengucapkan
janji untuk menjadi kepala dusun yang baik di depan para penduduk. Setelah
selesai, barulah dua orang remaja kembar yang luar biasa ini meninggalkan dusun
dan kembali ke kota di mana mereka melihat gurunya mengejar-ngejar seorang
laki-laki jembel.
Setelah
pertemuan dengan Wan Tek Hoat itu, Pouw Toan lalu melanjutkan perjalanan
bersama dua orang murid kembarnya menuju ke utara, karena dia ingin mengajak
dua orang muridnya merantau ke kota raja…..
***************
Sementara
itu, bagaikan orang kesetanan, Wan Tek Hoat melakukan perjalanan cepat sekali,
hampir tak pernah berhenti kecuali kalau kedua kakinya sudah seperti hendak
patah-patah, napasnya seperti hendak putus dan tenaganya sudah habis saking
lelah, haus dan laparnya, menuju ke timur. Dia melakukan perjalanan sambil
berlari cepat siang malam, hanya kalau terpaksa saja dia berhenti untuk minum,
makan dan tidur. Tujuannya hanya satu, yaitu ke Kim-coa-to, tempat tinggal
kekasihnya, Syanti Dewi!
Pendekar
yang sudah hampir rusak hidupnya dan kini seperti orang dalam kegelapan melihat
titik cahaya terang itu, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu pula di Pulau
Kim-coa-to sedang dipersiapkan oleh penghuni atau majikan Pulau Kim-coa-to,
yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yang Hui yang disebut Toanio (Nyonya Besar) oleh semua
orang yang mengenalnya, dan selain dihormati, juga amat disegani bahkan
ditakuti karena semua orang tahu belaka betapa nyonya yang berwajah amat cantik
jelita dan kadang-kadang bermata dingin ini berdarah dingin pula dan betapa
mudah membunuh orang dengan kepandaiannya yang luar biasa lihainya!
Pesta apakah
gerangan yang diadakan oleh Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang biasanya pendiam dan
suka menyendiri, tidak suka akan segala keramaian itu? Pesta ini diadakan demi
rasa sayangnya kepada Syanti Dewi yang dianggap sebagai muridnya, adiknya,
bahkan seperti anaknya sendiri itu. Pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi
genap tiga puluh tahun! Tadinya Syanti Dewi menolak diadakannya pesta itu.
“Enci
Hui....,” bantahnya, dan memang dua orang wanita yang sama cantiknya ini saling
menyebut enci dan adik, “Perlu apa diadakan pesta perayaan ulang tahun? Selain
aku tidak menginginkan itu, juga apa sih enaknya dirayakan ulang tahun kita
jika kita sudah berusia tiga puluh tahun? Kiraku, tidak ada wanita yang suka
memamerkan ketuaan umurnya!”
Ouw Yan Hui
tersenyum. “Adikku yang manis, jangan kau berkata demikian. Pesta ini memang
kusengaja, dengan bermacam maksud yang tersembunyi di baliknya. Sudah
berkali-kali kukatakan kepadamu, Adikku, bahwa keramahanmu yang menerima semua
persahabatan dari sekian banyaknya pria amatlah tidak baik jadinya. Oleh karena
itu, biarlah kuadakan pesta ini untuk melihat siapakah sesungguhnya di antara
mereka yang patut menjadi suamimu. Maka, pesta ini akan kita jadikan sebagai
suatu kesempatan bagimu untuk memilih jodoh.”
“Enci....!”
“Jangan kau
menolak lagi sekali ini, Syanti! Engkau takkan hidup seratus tahun dan biar pun
engkau memiliki kecantikan seperti bidadari, dua puluh tahun lagi engkau sudah
berusia setengah abad! Lihatlah diriku! Aku memang tetap cantik, tetapi apa
gunanya semua kecantikan ini? Jangan kau sia-siakan hidupmu, Adikku. Maka
biarkanlah aku yang mengatur semua itu. Aku akan memilihkan seorang di antara
mereka yang paling tampan, paling gagah, paling kaya dan pendeknya yang tiada
tandingnya di antara semua pria yang pernah kau kenal. Atau setidaknya, biarlah
pangeran mahkota sendiri yang akan mempersuntingmu!”
“Enci....!”
“Adikku,
mengapa engkau selalu berkeras hati? Aku tahu bahwa engkau bukanlah seorang
wanita yang dingin seperti aku. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita
berdarah panas yang selalu mendambakan cinta kasih seorang pria. Dan cintamu
terhadap kekasihmu yang pertama itu tidak pernah padam! Itu menunjukkan betapa
panasnya cintamu.
Akan tetapi,
kalau orang yang kau cinta sudah tidak peduli lagi akan dirimu, apakah engkau
akan tetap setia dan menantinya sampai akhir jaman? Tidak, Adikku, itu sama
sekali tidak benar dan aku yang sangat sayang kepadamu akan menentang ini!”
Menghadapi
wanita yang biasanya pendiam dan dingin akan tetapi sekarang begitu banyak
bicara karena penasaran itu, Syanti Dewi tak dapat banyak membantah. Betapa pun
juga, dia pun sayang kepada wanita ini dan dia sudah berhutang budi sampai
bertumpuk-tumpuk kepada wanita ini.
Memang,
tadinya terdapat rasa sayang yang tidak wajar dalam hati Ouw Yan Hui, rasa
sayang bercampur birahi yang aneh, yang dimiliki oleh wanita yang kini lebih
suka bercumbu dan bermain cinta dengan sesama wanita karena dia pembenci pria.
Akan tetapi setelah Ouw Yan Hui yakin benar bahwa Syanti Dewi tidak sudi
melayani hasrat birahinya yang tidak wajar itu, Ouw Yan Hui tidak memaksanya
dan birahinya lenyap bersatu dalam cinta kasihnya sebagai seorang sahabat atau
saudara, atau bahkan seorang ibu!
Syanti Dewi
merasakan benar kasih sayang wanita ini terhadap dirinya dan biar pun kasih
sayang itu sifatnya tidak ingin menguasai dirinya, namun sedikitnya dia harus
tahu diri dan tidak boleh selalu membantah mengukuhi kehendak sendiri. Selain
itu, dia pun diam-diam melihat kebenaran dalam pendapat-pendapat Ouw Yan Hui.
Memang dia
masih mencinta Tek Hoat, akan tetapi mungkinkah pria itu masih dapat diharapkan
lagi? Mengapa dia begitu bodoh menyiksa diri dalam kedukaan dan selalu menolak
cinta kasih pria yang demikian banyaknya? Dia tinggal memilih! Tepat seperti
yang dikatakan oleh Ouw Yan Hui. Dan usianya kini sudah tiga puluh tahun!
“Tiga puluh
tahun! Ahhh, perlukah dirayakan Enci Hui? Bukankah itu sama dengan membuka
rahasia bahwa aku sudah tua sekali?”
“Hemm, tiga
puluh tahun belumlah tua sekali, Adikku. Pula, biarlah mata mereka terbuka
bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tahun, sudah cukup matang dan bukan
seorang kanak-kanak lagi, akan tetapi juga agar mereka semua melihat betapa
dalam usia tiga puluh tahun engkau tidak kalah segar dan cantiknya dibanding dengan
seorang dara berusia tujuh belas tahun!”
“Aihh, Enci
bisa saja menjawab.”
“Bagaimana,
engkau sekali ini tidak akan mengecewakan hati Enci-mu, bukan?”
Syanti Dewi
menunduk, merasa seperti seorang dara disuruh kawin dan mukanya lalu menjadi
merah sekali. “Terserah kepadamu sajalah, Enci. Aku merasa seperti menjadi
barang dagangan di pulau Kim-coa-to ini dan engkau hendak mencari pembeli yang
berani menawar paling tinggi!”
Mendengar
ucapan ini, Ouw Yan Hui kemudian merangkul Syanti Dewi. Kalau saja dia
dirangkul oleh wanita lain, atau kalau saja dia tidak sudah tahu akan kesukaan
Ouw Yan Hui bermain cinta dengan sesama wanita, tentu dia akan merasa terharu
dan senang dirangkul.
Akan tetapi
kini, rangkulan Ouw Yan Hui terasa lebih menyeramkan dari pada rangkulan
seorang pria yang tak dikenalnya, dan Ouw Yan Hui juga merasakan betapa tubuh
puteri itu menegang, maka dia pun cepat melepaskan rangkulan sambil menarik
napas panjang. Padahal dia tadi merangkul dara itu dengan perasaan seorang ibu
merangkul anaknya.
“Syanti
Dewi, mengapa engkau sekejam itu berkata demikian kepadaku? Engkau tahu bahwa
seujung rambutku tidak ada pikiran mengganggumu sebagai barang dagangan. Engkau
boleh memilih sendiri pria yang cocok untukmu, bukan karena melihat uangnya,
tapi semuanya. Ya ketampanannya, ya kegagahannya, ya kedudukannya, ya hartanya.
Pendeknya, seorang pria pilihan!”
“Terserah
kepadamu, Enci!” kata pula Syanti Dewi sambil menutupi mukanya dengan kedua
tangan.
Ouw Yan Hui
tersenyum, menepuk-nepuk pundak puteri itu, lalu meninggalkannya.
Dan mulailah
persiapan dilakukan. Undangan-undangan dibagikan dan pengumuman-pengumuman
disebarkan sampai jauh ke daratan besar, bahkan undangan khusus juga
disampaikan kepada Pangeran Mahkota Kian Liong! Turut disampaikan pula undangan
kepada para pemuda yang dianggap pantas untuk menjadi tamu undangan, pemuda
putera dari para ketua perkumpulan yang berpengaruh, hartawan-hartawan dan para
pemuda yang tampan, ahli sastra atau ahli silat.
Pendeknya,
Ouw Yan Hui berusaha mengumpulkan semua pemuda pilihan yang bisa didapatkan di
seluruh daerah yang dikenalnya, termasuk pula Sang Pangeran Mahkota sendiri
yang memang sudah lama menjadi sahabat baik dari Syanti Dewi!
Undangan-undangan
yang dikirim, juga pengumuman-pengumuman itu tentu saja hanya berisi undangan
untuk menghadiri perayaan hari ulang tahun Syanti Dewi, akan tetapi di samping
itu, sebagai berita desas-desus yang santer dan menarik, dikabarkan bahwa Sang
Puteri cantik itu hendak menggunakan kesempatan itu untuk menentukan pilihan
jodohnya!
Berita
desas-desus inilah yang menggemparkan hati semua pemuda yang sudah lama
tergila-gila kepada puteri yang amat cantik jelita seperti bidadari itu….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment