Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 11
Kam Hong
maklum bahwa dia tidak boleh main-main, maka dia pun lalu menggerakkan
sulingnya dengan gerakan panjang dari kanan ke kiri lalu memutar seluruh
tubuhnya, dan mulailah dia mainkan Kim-siauw Kiam-sut seperti yang
dipelajarinya selama hampir lima tahun ini!
Begitu Kam
Hong bergerak dan tubuhnya pun lenyap dibungkus sinar keemasan yang lebih
gemilang lagi, Han Bu tak dapat menahan seruan kagetnya. Apalagi ketika mereka
berdua sudah saling menyerang dengan hebatnya, keheranan Han Bu makin
meningkat.
Ternyata
pemuda lawannya itu mampu memainkan ilmu silat keturunan keluarganya dengan
demikian hebat dan lengkap, dengan perkembangan-perkembangan aneh yang belum
pernah dilihat atau didengarnya!
Sementara
itu, para penonton, yaitu tiga orang gadis yang tingkat kepandaiannya belum
setinggi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, segera menjadi agak pening dan tidak
dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan pandang mata mereka.
Mereka
melihat betapa dua orang itu bergerak terlalu aneh dan terlalu cepat sehingga
tubuh mereka terbungkus dua sinar yang sama-sama keemasan dan gilang-gemilang,
sedangkan suara mendengung-dengung dari sabuk emas di tangan Han Bu itu kini
ditambah lagi dengan suara suling melengking-lengking aneh sehingga terdengar
luar biasa sekali.
Suling di
tangan Kam Hong itu seolah-olah tidak sedang digerakkan seperti sebatang
senjata melainkan sedang ditiup dengan lagu yang aneh melengking-lengking,
kadang-kadang tinggi serta kadang-kadang rendah dan mendatangkan kepeningan
pada yang mendengarnya.
Memang hebat
luar biasa perkelahian antara dua orang pendekar sakti itu. Bagi Kam Hong,
semenjak ia meninggalkan gurunya dan pewaris ilmu-ilmu keluarga Suling Emas,
yaitu Sin-siauw Sengjin, Cu Han Bu ini merupakan lawan yang paling lihai
sesudah Yeti! Dan sebaliknya bagi pihak tuan rumah, Kam Hong merupakan lawan
paling lihai yang pernah dijumpainya!
Setiap
serangan mereka disertai sinkang yang amat kuat, dan setiap jurus serangan
dibalas dengan jurus serangan lain. Dasar-dasar gerakan ilmu silat mereka sama,
dan biar pun yang seorang menggunakan senjata sabuk emas dan yang lain
menggunakan suling emas, namun mereka menggunakan senjata-senjata itu seperti
orang memegang sebatang pedang dan ilmu silat yang mereka mainkan juga ilmu
silat pedang!
Akan tetapi
perkembangan gerakan itu yang berbeda sehingga diam-diam Cu Han Bu harus
mengakui bahwa ilmu silat lawan ini benar-benar luar biasa, merupakan ilmu
silat pusaka keluarganya akan tetapi lebih ampuh dan lengkap. Juga dalam hal
sinkang, dia merasa tidak mampu menandingi kekuatan pemuda sastrawan ini.`
Akan tetapi,
keluarga Cu ini sudah terlampau lama, mungkin telah beberapa keturunan, merasa
bahwa mereka adalah keluarga yang tidak dapat dikalahkan, yang memiliki
kepandaian tinggi turun-temurun, maka mereka tidak biasa dengan kekalahan. Hal
itu membuat mereka dalam mengasingkan diri selalu memandang rendah orang lain
meski diam-diam keluarga ini amat memperhatikan dan mempelajari orang-orang
kang-ouw yang terkenal, bukan hanya mengenal bentuk-bentuk mereka, julukan dan
keistimewaan mereka, akan tetapi juga mempelajari keistimewaan mereka itu dan
tiga orang saudara itu selalu mencari kelemahan mereka.
Akan tetapi
mereka belum pernah mendengar tentang Kam Hong ini dan begitu pemuda yang tidak
terkenal di dunia kang-ouw ini maju, mereka harus kalah! Tentu saja Cu Han Bu
tidak dapat menelan ini, dan dengan penasaran memuncak dia pun melakukan
perlawanan mati-matian dalam pertandingan itu.
Setelah
lewat hampir dua ratus jurus, tahulah Kam Hong bahwa kalau pertandingan ini
dilanjutkan, akhirnya tentu salah seorang di antara mereka akan roboh dengan
terluka parah, kalau tidak tewas. Dan dia tidak ingin sampai menewaskan tuan
rumah, apalagi karena memang tidak terdapat permusuhan apa pun di antara
mereka.
Di dalam
ilmu yang dipelajarinya dari catatan di tubuh jenazah itu, terdapat jurus yang
dinamakan Tiang-khing-toan-san (Bianglala Memecahkan Bukit) dan jurus ini
khusus untuk mematahkan senjata lawan yang bagaimana pun ampuhnya. Akan tetapi
untuk ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga khikang yang dihimpunnya dari
latihan meniup suling.
Kalau tidak
berhasil, berarti dia akan menghamburkan banyak sekali tenaga dalam. Akan
tetapi melihat bahwa itu merupakan jalan satu-satunya untuk mengakhiri
pertandingan ini tanpa merobohkan lawan, maka dia lalu mulai memainkan jurus
ini.
Cu Han Bu
terkejut sekali ketika tiba-tiba gulungan sinar emas dari lawan itu berubah
memanjang dan melengkung, dan terdengarlah suara melengking tinggi sekali
sampai hampir tidak tertangkap oleh telinga, namun yang mengandung getaran yang
luar biasa, membuat jantungnya terasa perih dan kedua kakinya menggigil!
Semua orang
yang berada di situ agaknya terpengaruh juga, karena Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu
cepat duduk bersila menghimpun tenaga untuk melawan getaran itu, sedangkan Cu
Pek In, Yu Hwi, dan Ci Sian cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan untuk
menutup telinganya rapat-rapat karena mereka merasa telinga mereka seperti
ditusuk-tusuk!
Kam Hong
maklum akan hal ini, maka begitu tenaganya sudah bulat terhimpun, dia
meluncurkan sulingnya ke atas, seolah-olah hendak menyerang kepala lawan. Cu
Han Bu cepat mengangkat sabuk emasnya untuk melindungi kepala dan pada saat
itu, dengan gerakan melengkung seperti bianglala, suling emas di tangan Kam
Hong datang melayang dan menghantam ke arah sabuk emas itu.
“Cringggg....!
Trakkkk!!”
“Aiihhhh....!”
Cu Han Bu
meloncat jauh ke belakang, berdiri dengan muka pucat memandang ke arah sabuk
emasnya yang telah patah menjadi dua hingga yang tinggal di tangannya hanya
sepotong pendek sedangkan patahannya berada di atas tanah, di bawah kaki lawan.
Cu Han Bu
boleh jadi adalah seorang yang berhati keras dan tidak pernah mau kalah oleh
orang lain, tetapi dia memiliki kegagahan dan tahu bahwa dalam pertandingan
ini, betapa pun sukar dipercaya, dia telah kalah oleh Kam Hong! Mukanya yang
pucat itu menjadi merah sekali dan dia lalu melempar sisa sabuk emas itu ke
atas lantai dan dengan sikap terpaksa sekali dia menjura ke arah Kam Hong
sambil berkata,
“Aku Cun Han
Bu harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul dari pada
aku, sobat Kam Hong, sungguh pun aku sama sekali tidak mengerti bagaimana
engkau dapat mainkan ilmu pusaka keturunan keluarga kami. Akan tetapi biarlah
hal itu nanti kita bicarakan. Dalam ilmu silat aku kalah, akan tetapi sesuai
dengan nama Suling Emas yang dipakai oleh kedua pihak, biarlah sekarang kita
memperlihatkan siapa di antara kita yang lebih tepat memakai nama itu dengan cara
meniup suling. Engkau yang membawa-bawa pusaka suling emas dan keluargamu
memakai julukan Suling Emas tentu pandai sekali meniup suling. Maukah engkau
melayaniku mengadu ilmu meniup suling, sobat Kam?”
Karena
tantangan ini pun mengenai nama keluarganya, maka tentu saja Kam Hong tidak
menolak, apalagi karena memang dia ingin melihat sampai di mana kepandaian
keluarga yang mengaku sebagai keluarga Suling Emas dan yang ternyata mampu pula
memainkan ilmu yang mirip dengan Kim-siauw Kiam-sut itu.
“Baik, aku
sebagai tamu hanya melayani kehendak tuan rumah.”
Cu Han Bu
lalu minta suling emas yang dibawa oleh Pek In, kemudian mempersilakan Kam Hong
duduk sedangkan dia sendiri lalu duduk bersila di atas lantai. Kam Hong melihat
tuan rumah duduk bersila menghadapinya, hanya dalam jarak kurang lebih empat
meter mereka duduk bersila saling berhadapan.
Sejenak,
kedua orang yang sama-sama memegang suling emas yang bentuknya serupa benar
itu, hanya suling di tangan Kam Hong agak lebih besar, saling pandang dengan
penuh perhatian. Cu Han Bu menggunakan ujung baju lengan kirinya untuk mengusap
keringat di dahi dan lehernya. Pertandingan selama dua ratus jurus yang
mempergunakan banyak tenaga itu tadi membuat dia merasa lelah sekali dan
tubuhnya basah oleh keringat. Akan tetapi sebaliknya, Kam Hong hanya
berkeringat sedikit saja.
“Saudara Kam
Hong, aku kagum sekali padamu,” akhirnya Cu Han Bu berkata, ucapan yang
sejujurnya sungguh pun kekagumannya itu bercampur dengan rasa penasaran. “Kalau
ternyata engkau juga mampu mengalahkan aku dalam hal meniup suling, biarlah aku
mengaku kalah. Engkau bersiaplah menerima permainan sulingku.” Cu Han Bu lalu
menoleh kepada puterinya dan berkata kepadanya, “Pek In, bagikan pelindung
telinga kepada Nona tamu dan Yu Hwi.”
“Baik,
Ayah,” jawab Cu Pek In dan dia mengeluarkan benda-benda kecil penyumbat telinga
berwarna putih terbuat dari karet, lalu memberikan sepasang kepada Yu Hwi
kemudian dia menghampiri Ci Sian dan diberinya pula sepasang kepada dara ini.
Akan tetapi
Ci Sian tersenyum mengejek dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak perlu memakai
pelindung telinga,” katanya.
Tentu saja
wajah Pek In menjadi merah oleh penolakan ini. Dia sudah menjadi marah, akan
tetapi ketika dia memandang kepada ayahnya, Cu Han Bu menggelengkan sedikit kepalanya
sehingga dia mundur lagi, duduk di tempat semula dan dia pun kemudian
mengenakan sepasang penyumbat telinga.
“Nona, kau
harus memakai pelindung telinga, kalau tidak, maka akan berbahaya bagi
keselamatanmu,” tiba-tiba Cu Seng Bu berkata karena tokoh ini merasa tidak enak
kalau sampai pihak tamu yang tidak ikut mengadu ilmu kena celaka.
Ci Sian
masih tersenyum ketika dia menggeleng kepala. “Mengapa celaka? Andai kata perlu
melindungi telinga, bukankah aku masih memiliki dua tangan untuk menyumbat
kedua telingaku?”
Cu Seng Bu
tidak bicara lagi dan bersama Cu Kang Bu, dia pun menyumbat kedua telinganya
dengan karet pelindung telinga itu karena dia maklum bahwa kakaknya akan
mengeluarkan ilmu meniup suling yang mukjijat, yang suaranya dapat merobohkan
lawan, bahkan dapat membunuhnya!
Sementara
itu, Kam Hong terkejut bukan main saat melihat Ci Sian menolak pemberian
pelindung telinga itu. Dia makin menghargai pihak tuan rumah yang ternyata
demikian baik hati untuk menawarkan pelindung telinga kepada Ci Sian, akan
tetapi celakanya, dara yang keras hati itu menolak dan dia tahu bahwa hal ini berarti
bahaya besar bagi Ci Sian, mungkin bahaya maut karena suara tiupan suling yang
dilakukan oleh orang yang amat kuat tenaga khikangnya dapat merusak telinga
atau bahkan membunuhnya.
Akan tetapi
karena Ci Sian sudah terlanjur menolak, dia pun tentu saja tidak mau memaksa
gadis itu menarik kembali penolakannya karena hal itu sampai mati pun kiranya
tidak akan dilakukan oleh Ci Sian yang keras hati. Maka dia pun lalu mengambil
keputusan untuk melindungi Ci Sian dari bahaya ancaman suara suling Cu Han Bu.
Kini Cu Han
Bu sudah mulai menempelkan ujung suling pada bibirnya dan mulailah dia meniup
suling emas itu. Mula-mula terdengar suara suling yang merdu naik turun, akan
tetapi kemudian suara suling itu terus menaik dan mulailah Ci Sian merasa
tersiksa karena kedua telinganya bagai dikilik-kilik rasanya. Suara suling itu
makin meninggi saja dan rasa yang mula-mula hanya geli itu makin nyeri dan
telinganya seperti dimasuki semut dan digigit! Ci Sian tadinya hendak
mempertahankan, akan tetapi akhirnya dia tidak kuat lagi dan dia menggunakan
kedua tangan untuk menutupi lubang telinganya!
Akan tetapi
betapa kaget rasa hati Ci Sian bahwa suara itu masih saja terus mengiang di
dalam telinganya, makin lama makin hebat sehingga kini terasa seperti
telinganya ditusuk-tusuk jarum! Tubuhnya mulai menggigil dan matanya terbelalak
memandang ke arah Kam Hong seolah-olah hendak minta tolong.
Pada saat
itu, Kam Hong sudah mendekatkan suling di bibirnya dan meniup sulingnya sambil
menutup semua lubang suling. Dia tahu bahwa jika dia menggunakan sulingnya
untuk balas menyerang, dia akan dapat membuat lawan celaka, akan tetapi juga Ci
Sian akan ikut celaka, maka kini ia meniup sulingnya dengan lembut sekali.
Terdengar suara lembut dari sulingnya, suara yang bergelombang halus akan
tetapi dapat menggulung suara melengking lirih yang mengandung getaran
berbahaya dari suara suling Cu Han Bu.
Ci Sian
merasa betapa perlahan-lahan kenyerian di telinganya lenyap, dan dia berani
membuka kedua tangannya dan kini yang terdengar olehnya hanya suara suling
lembut yang amat merdu dan mendatangkan rasa nikmat! Makin lama, makin lembut
suara suling Kam Hong dan akhirnya Ci Sian tidak dapat menahan lagi, tubuhnya
terguling dan dia tertidur pulas di atas lantai!
Suara suling
dari suling emas yang ditiup Kam Hong itu semakin kuat saja, dan kini setelah
dia meilhat Ci Sian tidur pulas, dia menambah kekuatan tiupannya dan suara
suling itu menggetar halus, biar pun kedua telinga orang-orang yang berada di
situ telah ditutup penyumbat telinga dari karet, namun getaran itu masih terus
menyerang melalui urat saraf di atas telinga dan pelipis sehingga akhirnya,
berturut-turut Cu Pek In dan Yu Hwi juga terguling dan roboh pulas!
Melihat ini,
Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu terkejut sekali. Mereka berdua kini duduk bersila di
atas lantai, mengerahkan tenaga sinkang mereka untuk melawan serangan suara
suling dari suling Kam Hong.
Sementara
itu, Cu Han Bu juga memperhebat suara sulingnya untuk menyerang lawan. Namun
semua serangan suara sulingnya itu tenggelam di dalam kelembutan itu seperti
bara api yang berkobar dijatuhkan ke dalam kubangan air dingin saja. Sedangkan
alunan suara suling dari Kam Hong terus bergetar menyerang ketiga orang kakak
beradik Cu itu yang kini makin hebat melakukan perlawanan dan mengerahkan
sinkang mereka.
Dari
ubun-ubun kepala Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu sampai mengepul uap putih dan muka
mereka menjadi merah sekali karena keduanya telah mengerahkan sinkang sekuatnya
untuk menahan rasa kantuk hebat yang menyerang mereka. Syaraf mereka seperti
diayun atau dibelai oleh suara itu, suara yang mengandung kekuatan mukjijat dan
yang membuat seluruh tubuh terasa lemas dan satu-satunya hal yang mereka
inginkan saat itu hanyalah tidur, lain tidak!
Memang hebat
sekali kekuatan yang terkandung dalam suara suling yang ditiup secara istimewa
oleh Kam Hong itu. Suara itu selain dapat menembus pelindung telinga, juga
langsung menyerang dan merangsang syaraf-syaraf di kepala menembus kulit kepala
yang perasa seperti di pelipis dan bagian lain, terutama sekali merangsang
syaraf di pusat pendengaran.
Cu Seng Bu
dan Cu Kang Bu yang merupakan orang-orang yang memiliki kesaktian dan memiliki
tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi dan amat kuat itu, mereka
telah mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu, akan tetapi lambat
laun wajah mereka yang merah menjadi semakin pucat, uap putih yang mengepul di
kepala mereka semakin menipis dan akhirnya keduanya tertidur pulas dalam
keadaan masih duduk bersila!
Kini tinggal
Cu Han Bu seorang yang masih terus melawan sambil meniup sulingnya. Cu Han Bu
juga merasa betapa tenaga suara sulingnya itu kini sama sekali tidak dapat
menembus suara suling lawan yang seolah-olah merupakan benteng yang amat kuat,
dan dia pun bahkan mulai merasa betapa gelombang yang hebat menggulung dirinya,
membuainya dengan nikmat sekali. Diam-diam dia terkejut, maklum bahwa suara
suling Kam Hong benar-benar memiliki kekuatan yang amat dahsyat.
Dia berusaha
melawan terus, kadang-kadang meniup sulingnya amat tinggi, kadang-kadang amat
rendah, namun semua usahanya itu gagal karena semua perlawanannya itu membalik
dan bahkan agaknya menambah kedahsyatan gelombang getaran dari suara suling Kam
Hong. Akhirnya tanpa disadari sendiri, Cu Han Bu juga jatuh pulas dalam keadaan
bersila sedang sulingnya masih berada dalam genggaman dan masih menempel di
bibirnya yang tidak bergerak lagi. Dia seolah-olah telah berubah menjadi patung
orang menyuling!
Setelah
melihat lawannya tertidur, barulah Kam Hong menghentikan tiupan sulingnya.
Wajahnya agak pucat dan seluruh tubuhnya basah oleh peluh! Kiranya dia pun
telah mengerahkan banyak tenaga tadi dan baru setelah dia mengeluarkan semua
tenaganya dia dapat menyelamatkan Ci Sian dan sekaligus membuat tidur semua
orang, termasuk lawannya yang kuat itu. Dia menyimpan sulingnya lalu
menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluhnya.
Setelah kini
suara suling terhenti dan getaran suara yang amat kuat itu lenyap, berturut
turut terjagalah mereka semua yang tertidur pulas itu. Pertama-tama adalah Cu
Han Bu dan dua orang adiknya yang terjaga.
“Ahhhh....!”
Cu Han Bu mengeluh dan terbelalak, lalu teringat akan segala yang telah
terjadi, maka dia pun meloncat bangun lalu cepat-cepat dia menjura ke arah Kam
Hong yang juga telah bangkit dengan tenang.
“Saudara Kam
Hong, sungguh engkau luar biasa sekali dan aku Cu Han Bu benar-benar harus
mengakui keunggulanmu, baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal ilmu meniup
suling. Engkau memang berhak memakai julukan Suling Emas!”
Juga Cu Seng
Bu dan Cu Kang Bu tidak ragu-ragu lagi untuk memberi hormat kepada pendekar
yang jelas memiliki tingkat kepandaian di atas mereka itu.
Kam Hong
cepat-cepat membalas penghormatan mereka dan dia pun berkata, “Harap Sam-wi
tidak merendahkan diri karena terus terang saja, baru kini saya menemukan
keluarga yang memiliki kepandaian sehebat yang dimiliki Sam-wi. Saya percaya
bahwa tentu ada hubungannya antara Sam-wi dengan Suling Emas.”
Pada saat
itu, tiga orang dara juga telah terjaga dan mereka mula-mula merasa bingung dan
terheran-heran, tetapi setelah teringat dan melihat betapa sikap tiga orang she
Cu itu amat menghormati Kam Hong, mereka maklum bahwa Kam Hong telah menangkan
pertandingan aneh itu. Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan,
akan tetapi dia telah bangkit dan menghampiri Cu Kang Bu, kekasihnya. Sedangkan
Ci Sian lari menghampiri Kam Hong.
“Paman,
engkau telah menang?”
Kam Hong
hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Tentu saja Ci Sian merasa sangat penasaran
dan dia lalu menoleh kearah Cu Han Bu, dan bertanya dengan lantang, “Paman Cu
Han Bu, apakah engkau mau bersikap jantan mengakui bahwa Paman Kam Hong telah
memperoleh kemenangan dalam pertandingan ini?”
Cu Han Bu
menarik napas panjang. Dara itu telah berkali-kali membikin sakit perasaan,
akan tetapi dia tak dapat mengelak lagi. “Benar, Saudara Kam Hong telah
mengalahkan kami.”
“Nah, apa
kubilang? Dialah Pendekar Suling Emas yang sejati!”
“Ssssttt, Ci
Sian, menyombongkan diri di atas kemenangan hanyalah perbuatan yang bodoh.” Kam
Hong mencela dan Ci Sian mengerutkan alisnya, bersungut-sungut dan tidak banyak
cakap lagi.
Dia sering
kali ditegur Kam Hong dan setiap kali ditegur, dia merasa tidak senang, apalagi
kini ditegur di depan banyak orang, di depan Yu Hwi terutama sekali. Dia ingin
marah, akan tetapi tidak berani karena dia tahu bahwa kalau dia marah terhadap
Kam Hong di depan banyak orang, hal itu akan merendahkan nama Kam Hong yang
baru saja keluar sebagai pemenang. Maka dia pun lalu duduk diam saja di dekat
Kam Hong, bibirnya yang merah mungil itu agak meruncing.
“Saudara Cu,
kiranya sudah sepatutnya kalau sekarang Sam-wi menceritakan kepadaku tentang
keluarga Cu yang tinggal di Lembah Suling Emas ini....“ Kam Hong berkata kepada
Cu Han Bu karena memang dia ingin sekali mendengar riwayat keluarga yang amat
lihai ini dan ingin tahu apa hubungan mereka dengan Suling Emas. “Setelah itu,
baru saya akan menceritakan tentang keluarga Pendekar Suling Emas.”
Cu Han Bu
mengangguk, lalu dia memandang ke arah Yu Hwi dan Ci Sian. “Riwayat keluarga
kami adalah rahasia kami, tidak boleh didengar oleh orang lain. Engkaulah orang
pertama yang akan mendengarnya, Saudara Kam Hong. Yu Hwi, biar pun engkau
seorang luar, akan tetapi mengingat akan hubunganmu dengan Kang-te, berarti
engkau merupakan calon keluarga juga, maka engkau boleh mendengarnya. Hanya
Nona ini....“ Dia memandang Ci Sian dengan ragu-ragu.
“Dia adalah
keponakanku dan juga boleh dianggap adik seperguruanku, maka kalau aku boleh
mendengar, dia pun berhak mendengarkan pula.” Kam Hong cepat-cepat berkata
karena dia tahu bahwa kalau sampai dara ini dilarang ikut mendengar, Ci Sian
tentu akan marah dan entah apa yang akan dilakukan kalau dia marah. Dalam
tempat seperti itu, dia tidak ingin membiarkan Ci Sian berpisah dari
sampingnya, karena hal itu akan amat membahayakan keselamatannya.
Mendengar
ini, lenyaplah sama sekali rasa tidak senang dari hati Ci Sian oleh teguran Kam
Hong tadi. Dia tersenyum dan memandang kepada pihak tuan rumah dengan sinar
mata menantang!
Cu Han Bu
menarik napas panjang. “Kalau begitu baiklah, karena Saudara Kam Hong yang
menanggung dia. Nah, dengarkanlah cerita singkat dari keadaan keluarga kami,
terutama yang bersangkutan dengan Suling Emas…..” Maka mulailah pendekar yang
menyembunyikan diri di lembah itu bercerita tentang keluarganya.
Dari cerita
turun-temurun dalam keluarga itu, Cu Han Bu dan keluarganya mendengar bahwa
seorang di antara nenek moyang mereka pada seribu tahun lebih yang lalu ialah
seorang pangeran bernama Cu Keng Ong yang melarikan diri dari kota raja karena
berselisih dengan kaisar. Cu Keng Ong ini mengasingkan diri ke lembah Kongmaa
La di Pegunungan Himalaya itu bersama keluarganya dan hidup sebagai pertapa dan
petani di tempat ini.
Cu Keng Ong
adalah seorang pangeran yang berilmu tinggi, selain pandai ilmu silat juga ahli
dalam hal kerajinan tangan, terutama mengukir dan membuat benda-benda dari pada
emas. Ketika berada dalam pengasingan ini, Cu Keng Ong bahkan memperdalam
ilmu-ilmunya dari para pertapa di Himalaya sehingga akhirnya dia menjadi
seorang manusia yang amat lihai, tetapi yang selalu menyembunyikan diri dan
hidup tenteram dalam lembah itu.
Karena
kehidupan di lembah itu sama sekali tidak memerlukan emas, maka Cu Keng Ong
lalu mengumpulkan semua emas yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian dia
melebur emas itu dan dibuatlah sebatang suling emas yang amat baik, bukan saja
indah bentuknya akan tetapi terutama sekali dengan ukuran-ukuran sempurna
sehingga akan mengeluarkan bunyi yang amat indah kalau dimainkan. Karena Cu
Keng Ong sering kali bertiup suling di lembah itu dengan suling emasnya, dan
suara sulingnya terdengar sampai jauh ke luar lembah, maka mulailah lembah itu
diberi nama Lembah Suling Emas!
“Demikianlah
asal-usul nama lembah ini menurut dongeng keluarga kami,” Cu Han Bu
melanjutkan. “Akan tetapi sayang, menurut dongeng keluarga turun-temurun itu,
tidak ada lanjutan tentang nenek moyang kami yang bernama Cu Keng Ong itu dan
suling emas itu pun tidak ada pada keluarga kami lagi. Yang ada hanyalah suling
emas ini yang dibuat oleh seorang nenek moyang kami kemudian yang bernama Cu
Hak dan yang juga ahli dalam pembuatan benda-benda dari emas dan baja. Kakek
buyut Cu Hak itu kabarnya hanya membuat suling ini disesuaikan dengan cerita
keluarga itu tentang bentuk suling emas asli buatan Cu Keng Ong. Dan di samping
suling ini, juga keluarga kami mewarisi ilmu silat yang menjadi pasangan dari
suling ini, yaitu ilmu silat yang disebut Kim-siauw Kiam-sut dan yang telah
kumainkan dengan sabuk emas karena saya lebih biasa berlatih dengan sabuk emas
itu. Akan tetapi ternyata Saudara Kam Hong juga mainkan ilmu itu dengan suling
emasnya, bahkan lebih sempurna dari pada saya!” Han Bu menarik napas panjang.
Diam-diam
Kam Hong terkejut sekali dan saling lirik dengan Ci Sian. Kedua orang ini
setelah mendengar riwayat keluarga Cu, dapat menduga bahwa kakek kuno yang
jenazahnya mereka temukan itu tidak salah lagi tentulah Cu Keng Ong adanya!
Akan tetapi mereka diam saja dan mendengarkan terus.
Cu Han Bu
melanjutkan ceritanya. Nenek moyang yang bernama Cu Keng Ong itu menurut berita
keluarganya telah lenyap, dan ada berita bahwa kakek itu mengawetkan jenazahnya
dan jenazah itu mengandung rahasia ilmu keluarga mereka yang paling tinggi.
Sejak turun-temurun, keluarga Cu berusaha mencari jenazah kakek Cu Keng Ong
ini, akan tetapi tanpa hasil. Juga suling emas buatan Pangeran Cu Keng Ong itu
lenyap dari keluarga Cu. Hanya bentuk-bentuk suling dan warisan turun-temurun
yang sampai pada tiga orang kakak beradik Cu ini.
“Karena
merasa khawatir bahwa suling pusaka itu akhirnya lenyap sama sekali, kami
pernah melakukan penyelidikan. Dan kami mendengar bahwa suling itu terjatuh ke
tangan Pendekar Suling Emas beberapa ratus tahun yang lalu. Kami berusaha untuk
mendapatkan keturunannya, akan tetapi usaha kami sia-sia saja, seolah-olah
keluarga Suling Emas itu sudah musnah dan bersama namanya terbawa lenyap pula.
Agaknya Saudara Kam Hong telah mempelajari ilmu-ilmu keluarga kami dengan lebih
sempurna dari pada yang kami warisi sendiri!” Ucapan terakhir itu keluar dengan
nada penuh rasa penasaran.
Kam Hong
dapat merasakan ini dan dapat mengerti mengapa pihak tuan rumah merasa
penasaran dan diam-diam dia pun merasa kasihan. Sekarang mengertilah dia
mengapa keluarga Cu ingin sekali mengalahkan dia dan merasa amat penasaran
ketika tidak berhasil, karena itu berarti bahwa keluarga itu dikalahkan orang
dengan menggunakan senjata pusaka dan ilmu pusaka keluarga mereka sendiri! Biar
pun tahu bahwa hal itu bukan kesalahannya, namun dia sedikit merasa bahwa dia
seolah-olah menjadi pencuri pusaka dan ilmu keluarga Cu.
“Demikianlah
riwayat keluarga kami yang berhubungan dengan suling emas, Saudara Kam.
Sekarang harap Saudara ceritakan tentang keluarga Saudara yang menggunakan nama
Suling Emas, agar kami mengerti bagaimana duduk perkaranya,” kata Han Bu.
Kam Hong
menghela napas. Dia harus menceritakan semuanya agar mereka ini tidak merasa
penasaran dan menganggap bahwa keluarganya adalah pencuri-pencuri ilmu dan
pusaka! Setelah memandang ke arah wajah tiga orang kakak beradik she Cu yang
duduk dihadapannya itu, Kam Hong lalu berkata,
“Julukan
Suling Emas dipakai oleh nenek moyangku yang bernama Kam Bu Song dan beliau
pulalah yang pertama-tama memiliki suling emas ini yang menurut cerita keluarga
kami diterimanya dari sastrawan besar Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to (Pulau Ular
Putih). Suling emas ini secara turun-temurun lalu dimiliki oleh keluarga Kam
dan memang pada akhir-akhir beberapa keturunan ini keluarga kami menyembunyikan
diri, sampai kepada saya. Demikianlah riwayat suling emas ini dan dapat
kujelaskan bahwa suling emas ini kumiliki dari warisan nenek moyang yang sudah
tujuh ratus tahunan lamanya, dan kakek besar Kam Bu Song itu pun menerima dari
pemberian yang syah, bukan mencuri. Dan sekarang tentang ilmu yang baru saja
kupergunakan untuk menghadapi Saudara Cu Han Bu.”
Tiga orang
kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka dapat percaya
keterangan itu dan mereka menduga bahwa tentu suling yang hilang itu akhirnya,
entah secara bagaimana tak ada seorang pun mengetahui, terjatuh ke tangan
sastrawan Ciu Bun itu dan diberikan kepada Pendekar Suling Emas. Dengan
demikian, keluarga pendekar itu memang berhak memilikinya. Kini mereka ingin
sekali mendengar bagaimana Kam Hong dapat mainkan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut
dan ilmu meniup yang merupakan ilmu pusaka keluarga mereka dengan demikian
baiknya, lebih baik dari pada yang mereka miliki.
“Tadinya
saya hanya mewarisi ilmu-ilmu pusaka keluarga kami yang tidak Sam-wi kenal,
yaitu ilmu-ilmu yang saya pakai saat menghadapi Saudara Cu Kang Bu tadi.
Sedangkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang saya mainkan dengan suling ketika
menghadapi Saudara Cu Han Bu tadi, juga ilmu meniup suling, baru saja saya
pelajari selama kurang lebih empat tahun baru-baru ini, yaitu kupelajari dari
catatan yang terdapat pada jenazah kuno yang kami temukan....“
“Ahhhh....!”
Tiga orang gagah itu bangkit berdiri dan muka mereka pucat, mata mereka
terbelalak karena kaget.
“Jadi engkau
malah yang telah menemukan jenazah Kakek Cu Keng Ong leluhur kami itu....?” Cu
Kang Bu bertanya dengan suara yang mirip bentakan.
Kam Hong
mengangguk tenang. “Mungkin saja jenazah itu ialah jenazah Cu Keng Ong seperti
yang kalian ceritakan tadi. Saya tidak tahu benar, hanya saya tahu dari catatan
di tubuhnya bahwa dia adalah pembuat suling emas dan siapa yang dapat menemukan
jenazahnya dianggap berjodoh untuk mewarisi ilmunya....“
“Celaka....!”
Cu Seng Bu berseru nyaring dan penuh dengan penyesalan, dan dia sudah meloncat
ke depan.
Akan tetapi
Cu Han Bu cepat memegang lengannya dan memandang adiknya dengan sinar mata
tajam penuh teguran. “Seng-te, bukan demikian sifat keluarga kita! Kita harus
dapat mengendalikan diri dan tidak memalukan leluhur kita!” Kemudian Cu Han Bu
menoleh kepada Kam Hong sambil berkata, “Sungguh aneh sekali mengapa suling pusaka
dan ilmu pusaka keluarga kami dapat terjatuh semuanya kepadamu, Saudara Kam
Hong. Maukah kau menceritakan tentang jenazah leluhur kami itu?”
“Terjadinya
secara kebetulan. Saya dan Ci Sian diserang gunung salju longsor sehingga kami
hampir saja tewas. Di antara gumpalan-gumpalan salju longsor itu, kami kemudian
menemukan jenazah kuno itu dan setelah kami selidiki, jenazah mengandung
tulisan-tulisan yang mewariskan ilmu-ilmu itu kepada kami. Karena kami dianggap
sebagai jodoh yang berhak mewarisi ilmu, dan oleh karena di situ tidak
disebut-sebut tentang keluarga di sini, maka tentu saja saya mempelajari
ilmu-ilmu itu dan saya tidak merasa bersalah sedikit pun. Apalagi diingat bahwa
suling emas buatan kakek itu juga telah menjadi milik keluarga sejak ratusan
tahun! Nah, kupelajari ilmu-ilmu itu selama hampir lima tahun, dan sekarang
saya ketahui siapa guru saya yang ternyata bernama Cu Keng Ong dan menjadi
leluhur penghuni lembah ini....“
“Dan kau
pergunakan pusaka dan ilmu itu untuk mengalahkan kami!” Cu Kang Bu berteriak
lalu menutupi muka dengan kedua tangan.
Pendekar
tinggi besar yang gagah perkasa ini menangis tanpa bersuara! Yu Hwi yang duduk
di sampingnya lalu memegang tangannya hingga kedua tangan mereka saling
genggam. Melihat ini, diam-diam Kam Hong merasa terharu juga dan dia merasa
terheran-heran mengapa sebelum dia bertemu dengan Yu Hwi, sering kali dia amat
merindukan dara itu, sering membayangkan wajahnya yang manis dan membayangkan
kemesraan bersama calon isterinya itu!
Akan tetapi
sekarang, setelah bertemu dengan Yu Hwi, melihat Yu Hwi bermesraan dengan pria
lain, dia tidak merasa cemburu atau sakit, walau pun pada pertama kalinya dia
merasa penasaran dan marah. Apakah yang menyebabkan kedinginan terhadap Yu Hwi
itu, dan perbedaan yang amat jauh antara dahulu ketika dia masih merindukan Yu
Hwi dan sekarang?
Mendadak dia
merasa ada tangan halus yang menyentuh lengannya. Dia menoleh dan memandang
wajah Ci Sian yang jelita dan pada saat dua pasang mata mereka saling bertemu
sinar pandangan, Kam Hong melihat kenyataan yang sangat mengejutkan hatinya.
Bayangan Yu Hwi itu kiranya telah lama lenyap dari lubuk hatinya, sepenuhnya
terganti oleh bayangan Ci Sian!
Dia telah
jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak lama, semenjak Ci Sian masih merupakan seorang
dara tanggung empat tahun yang lalu! Dan sekarang, Ci Sian telah menjadi
seorang dara cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Kenyataan yang nampak
jelas olehnya itu membuat jantungnya berdebar tegang.
“Paman,
marilah kita pergi saja dari sini....,” Ci Sian berkata halus dan ucapannya itu
membuyarkan dunia mimpi aneh dan lamunan Kam Hong yang tadi seperti terpesona
oleh kenyataan itu.
“Baik, mari
kita pergi....,“ kata Kam Hong yang memegang tangan Ci Sian dan bangkit
berdiri. Sejenak Kam Hong memandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata, “Nona Yu,
demi untuk kebaikan namamu sendiri, seyogyanya kalau engkau pulang dan
menerangkan kepada Suhu Yu Kong Tek akan keputusan yang kau ambil agar
pertalian jodoh antara kita itu dapat dibatalkan atau diputuskan secara resmi.”
Yu Hwi
membalas pandang mata Kam Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya yang masih
menunduk, kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada Kam Hong, tidak
berani lagi memandang rendah bekas tunangan itu yang ternyata telah menjadi
seorang yang mempunyai kesaktian hebat. “Baiklah, sekali waktu aku pasti akan
mengunjungi Kongkong.”
Setelah
menerima janji ini, Kam Hong lalu menarik tangan Ci Sian diajak keluar dari
gedung itu. Tidak ada seorang pun yang bergerak menghalangi, dan dengan
langkah-langkah tenang mereka keluar dari dalam gedung. Akan tetapi ketika
mereka tiba di pintu gerbang depan, nampak bayangan tiga orang berkelebat dan
ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu telah berdiri di depan mereka,
wajah mereka pucat.
“Hemm, apa
lagi yang kalian kehendaki?” Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap untuk
menghadapi mereka kalau saja mereka hendak menggunakan kekerasan.
Cu Han Bu
melangkah maju dan menjura sambil berkata. “Saudara Kam Hong, kami hanya hendak
bertanya di mana kau temukan jenazah nenek moyang kami itu. Kiranya itu adalah
hak kami untuk menanyakan di mana adanya jenazah leluhur kami.”
“Tentu saja,
akan tetapi sayang sekali, jenazah kuno itu telah kubakar....“
“Dibakar....?”
terdengar Seng Bu dan Kang Bu berteriak.
“Benar,
sesuai dengan tulisan pesan terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu telah
kubakar menjadi abu dan kukubur di tempat itu.”
“Ahhhh....!”
Tiga orang
itu saling pandang dengan muka putus asa. Tadinya mereka mempunyai harapan
untuk menemukan jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari ilmu pusaka
keluarga mereka, akan tetapi harapannya itu hancur sama sekali mendengar betapa
jenazah itu telah dibakar oleh Kam Hong.
Dengan hati
duka penuh kekecewaan Cu Han Bu mengepal tinjunya, kemudian berkata dengan
suara mengandung geram kekecewaan dan kemarahan. “Nenek moyang kami Cu Keng Ong
itu sudah mewariskan suling emas dan ilmu pusakanya kepadamu. Baiklah, mulai
sekarang kami takkan memakai lagi nama Lembah Gunung Suling Emas, melainkan
kami ganti menjadi Lembah Gunung Naga Siluman!
Dan kau
tunggulah, Kam Hong, biar pun engkau telah mewarisi ilmu yang tadinya menjadi
milik keluarga kami, akan tetapi kami masih mempunyai ilmu pusaka yang lain,
yang diciptakan oleh Toa-pek kami sendiri. Kelak akan tiba saatnya Ilmu
Kim-siauw Kiam-sut itu akan dikalahkan oleh ilmu keluarga kami, yaitu
Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!”
Kam Hong
menarik napas panjang dan menjura. “Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun
juga. Perkenankanlah kami pergi dari sini.”
Cu Han Bu
bisa mengatasi kekecewaannya. Melihat sikap tamunya yang cukup hormat dan tidak
merasa tinggi hati oleh kemenangannya itu, dia pun menarik napas panjang dan
balas menjura, “Saudara Kam Hong, maafkan sikap kami yang kecewa karena nasib
telah mempermainkan kami yang kehilangan benda pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari
kuantar kalian sampai ke jembatan tambang.”
Setelah
berkata demikian, Cu Han Bu seorang diri saja lalu menemani Kam Hong dan Ci
Sian menuju ke tepi jurang yang amat curam itu. Ketika mereka tiba di tepi
jurang, Cu Han Bu memandang ke arah para penjaga jembatan itu dan bertanya
dengan tegas.
“Apakah
kalian tadi melihat Nona di sini?”
Para penjaga
nampak ketakutan mendengar pertanyaan itu. Seorang di antara mereka, yaitu
kepala jaga, lalu memberi hormat dan menjawab, “Harap ampunkan kami.... tadi
Cu-siocia (Nona Cu) memaksa kami memasang tambang dan dia telah menyeberang.
Kami tidak berani menolak permintaannya.”
Dalam
keadaan biasa tentu Cu Han Bu akan menjadi marah dan melakukan pengejaran
kepada puterinya. Akan tetapi saat itu hatinya sedang kesal dan murung, maka
dia pun tidak peduli, lalu memberi tanda agar jembatan tambang itu diangkat dan
membiarkan dua orang tamunya menyeberang.
“Silakan,
Saudara Kam Hong,” Cu Han Bu mempersilakan ketika jembatan tambang itu sudah
diangkat dan membentang lurus menyeberang jurang.
Melihat
jembatan tambang itu dan membayangkan betapa dia dan Kam Hong berdua harus
menyeberang dan meninggalkan tuan rumah yang sedang dalam keadaan marah, kecewa
dan penasaran itu, hati Ci Sian tentu saja merasa ngeri sekali.
“Nanti dulu,
Paman Kam Hong,” katanya menahan lengan pendekar itu yang sudah siap
menyeberang. “Berbeda dengan ketika kita datang sebagai tamu, kini kita pergi
sebagai orang-orang yang dimusuhi dan tidak disukai, dan jika ketika datang
kita menyeberang bersama mereka, kini kita harus menyeberang berdua saja.
Bagaimana kalau selagi tiba di tengah-tengah jembatan, tambang ini lalu dibikin
putus olehnya?”
Kam Hong
terkejut sekali mendengar kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi tiba tiba
Cu Han Bu sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan pendekar itu mengangkat
tangan kanan ke atas. Kam Hong sudah siap untuk melindungi Ci Sian, akan tetapi
pria yang sekarang matanya melotot dan mukanya menjadi merah itu menurunkan
tangan kanannya dan mencengkeram jari kelingking tangan kirinya sendiri.
Terdengar bunyi tulang patah dan darah mengucur ketika jari kelingking tangan
kirinya sendiri itu telah remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian terbelalak
memandang dengan muka pucat.
“Nona....
kau.... kau sudah berkali-kali terlalu menghina kami!” Cu Han Bu berkata,
matanya masih melotot dan napasnya agak terengah menahan marah. “Kalau tidak
melihat muka Saudara Kam Hong, aku tentu sudah membunuhmu! Akan tetapi kalau lain
kali kita bertemu kembali, aku takkan dapat mengampunimu lagi!”
Ci Sian
merasa ngeri, bukan hanya melihat sikap orang itu, akan tetapi juga melihat
jari kelingking yang hancur dan masih meneteskan darah segar itu. Akan tetapi
pada saat itu Kam Hong sudah menarik tangannya dan mengajaknya meloncat ke atas
tambang dan dengan cepat berlari ke seberang. Setelah mereka dengan selamat
meloncat ke daratan di seberang, tambang itu lalu diturunkan kembali dan lenyap
di dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian setelah mereka selamat sampai ke
darat.
“Ci Sian,
mengapa engkau begitu lancang mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu seperti
itu? Lain kali engkau harus berhati-hati kalau bicara, jangan menurutkan hati
dan pergunakan kebijaksanaan.”
Ci Sian
kaget, sejenak dia menatap wajah Kam Hong karena suara teguran itu benar benar
dirasakan amat pedas dan menusuk, dan tiba-tiba ia menangis. Bukan menangis
manja, melainkan menangis sedih sekali. Dia sudah tak punya siapa-siapa lagi,
ayahnya yang diharapkannya itu ternyata mengecewakan hatinya dan dia tidak
mungkin hidup di samping ayahnya yang telah mempunyai isteri begitu banyak.
Kini tinggal Kam Hong seoranglah yang dianggapnya sebagai pelindung dan orang
terdekat, dan sekarang.... Kam Hong agaknya marah-marah dan tidak senang
kepadanya. Karena sedih, maka dia menangis.
Melihat Ci
Sian menangis, Kam Hong menggeleng-geleng kepala, lalu menghampiri dan memegang
pundaknya. “Sudahlah, kenapa kau malah menangis?”
Akan tetapi
Ci Sian menarik pundaknya dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara isaknya dia
berkata. “Dia orang jahat.... hu-huuh, dia mengancam untuk membunuhku, kau....
kau peduli apa? Aku.... aku hanya membikin susah padamu saja....”
Kam Hong
menyambar lengan dara itu dan menariknya mendekat, “Kau marah oleh teguranku
tadi? Ci Sian, ingatlah, aku menegur demi kebaikanmu! Dan selama ada aku di
sampingmu, takkan ada seorang pun yang boleh mengganggumu! Akan tetapi.... ada
waktunya berkumpul tentu akan datang saatnya berpisah, dan karena itu engkau
harus mempelajari ilmu yang kita temukan itu dengan tekun agar kelak engkau
akan mampu menjaga diri sendiri kalau terancam oleh lawan yang lihai.”
Ci Sian
mengangkat muka memandang wajah itu. “Kau.... kau tidak marah kepadaku, Paman?”
Terpaksa Kam
Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak marah, aku tadi menegur agar
engkau sadar bahwa hal itu berbahaya bagimu sendiri.”
Ci Sian
cepat merangkul pundak dan menyembunyikan mukanya di dada Kam Hong.
“Paman.....aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali engkau, maka janganlah kau
marah padaku....”
Kam Hong
mendekap dan sejenak hatinya merasa amat terharu, kemudian berdebar aneh ketika
menyadari betapa dia mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini segera dengan
halus dia melepaskan dekapannya dan mendorong tubuh dara itu menjauh sambil
berkata, “Sudahlah, mari kita mulai berlatih. Engkau telah mulai maju dalam
latihan ginkang menurut ilmu penghimpunan khikang dari tiupan suling, maka mari
kita lanjutkan latihan ginkang itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan itu
dan pergunakan semua tenagamu.”
“Baik,
Paman, mari kita berlomba!” Ci Sian telah melupakan kesedihannya. Air matanya
masih belum kering, kedua pipinya masih basah, akan tetapi bibirnya yang manis
itu telah tersenyum lagi ketika dia mulai meloncat dan lari ke depan dengan
cepat seperti seekor kijang betina muda yang bahagia. Kam Hong tersenyum dan
dia pun mengejar, maka berlarianlah dua orang itu menuju ke puncak bukit di
depan.
Ketika dia
berlari-lari di samping Ci Sian, Kam Hong seolah-olah mendengar suara nyanyian
yang timbul dari perasaan hatinya sendiri, yang membuat dia merasa demikian
senang. Dia sendiri merasa heran sekali dan dia masih dalam keadaan meraba-raba
dan menduga-duga, apakah ini yang dinamakan cinta asmara? Benarkah dia jatuh
cinta kepada Ci Sian? Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di dalam
hatinya dan dia belum berani menentukannya.
Dahulu,
sebelum bertemu dengan Ci Sian, Kam Hong selalu menganggap bahwa dia mencinta
calon isterinya, Yu Hwi, sungguh pun antara dia dan Yu Hwi belum pernah terjadi
hubungan yang akrab. Bahkan ketika Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu, Yu
Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga membuktikan bahwa Yu Hwi tidak setuju
dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak cinta kepadanya. Akan tetapi,
karena adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu mengenangkan Yu Hwi, kenangan
yang luar biasa karena dia mula-mula mengenal Yu Hwi sebagai seorang pemuda
bernama Kang Swi Hwa.
Dan dialah yang
membuka rahasia Kang Swi Hwa itu sebagai seorang gadis ketika dia hendak
mengobati ‘pemuda’ itu dan melihat bahwa pemuda itu mempunyai dada seorang
dara! Kenangan inilah yang mengingatkan dia akan Yu Hwi sebagai seorang wanita,
lebih lagi sebagai seorang calon isterinya, kenangan yang lucu, mesra dan aneh.
Ini pula agaknya yang membuat dia merasa selalu rindu kepada Yu Hwi dan ini
pula yang membuat dia mengira bahwa dia mencinta Yu Hwi.
Akan tetapi,
semenjak dia bertemu dengan Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci Sian
hanya seorang dara cantik berusia tiga belas tahunan, ada sesuatu di dalam
hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini, setelah berjumpai kembali dengan Ci
Sian sebagai seorang dara yang sudah dewasa, dia merasa seolah-olah Yu Hwi hanya
merupakan bayangan mati dan kini terganti oleh seorang dara yang benar-benar
hidup dan yang membutuhkan perlindungannya!
Apalagi
setelah dia berjumpa sendiri dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap calon
isterinya itu, bayangan lama tentang Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan
dia merasa gembira! Kalau dulu dia tidak berani memikirkan bahwa dia tertarik
kepada Ci Sian sebab dia selalu ingat bahwa dia adalah seorang pria yang telah
mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah ditentukan sehingga haram baginya
untuk menoleh kepada wanita lain, kini dia merasa seolah-olah dia telah
terbebas dari belenggu ikatan itu.
Dia telah
bebas, sama bebasnya dengan Ci Sian. Inilah agaknya yang mendatangkan rasa
senang sekali di saat dia berlari di samping Ci Sian itu. Benarkah dia telah
jatuh cinta kepada dara ini? Dara yang memanggilnya paman, yang memang
sepatutnya menjadi keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci Sian kurang lebih baru
tujuh belas tahun, sedangkan dia sendiri sudah berusia dua puluh tujuh tahun!
Pantaskah kalau dia jatuh cinta kepada dara remaja ini?
Akan tetapi,
pada saat itu keraguan kecil ini segera lenyap seperti awan tipis terhembus
angin. Dia merasa gembira, bahkan dia ingin berloncatan dan bermain-main
seperti kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya kembali menjadi semuda Ci
Sian.
Cinta asmara
memang sesuatu pengalaman hidup yang amat luar biasa bagi setiap orang manusia.
Segala macam perasaan tercakup lengkap di dalamnya. Ada dorongan-dorongan yang
timbul dari dalam, bukan dari pikiran, yaitu membuat kita merasa amat mesra,
ingin selalu berdekatan, ingin selalu memandang, ingin selalu menyenangkan
hatinya, ingin selalu mendengar suaranya. Ada sesuatu yang sukar diselidiki,
yang timbul di luar kesadaran kita, sesuatu yang amat mengharukan, yang mendorong
hati kita untuk condong bersatu dengan dia, takkan terpisah lagi, ada sesuatu
yang lebih dari pada sekedar kegembiraan, sekedar dorongan birahi belaka.
Tetapi, jika
kita tak berhati-hati, pikiran yang selalu ingin mengejar kesenangan pribadi,
baik kesenangan jasmani atau rohani, pikiran dapat menimbulkan
bayangan-bayangan kenikmatan nafsu yang menjurus kepada nafsu birahi dan sekali
nafsu menguasai batin, menjadi yang terpenting, maka akan cemarlah yang
dinamakan cinta itu. Birahi adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani, daya
tarik antara pria dan wanita, yang alamiah karena dari daya inilah lahirnya
keinginan untuk bersatu dan dari sinilah pula datangnya rahasia
perkembang-biakan manusia, anak beranak.
Daya tarik
ini merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada unsur kesengajaan, karenanya
alamiah dan gaib, dan hal itu tercakup pula dalam cinta. Akan tetapi, begitu
nafsu birahi dipupuk oleh pikiran dengan dasar mencari kepuasan atau
kenikmatan, akan rusaklah segala-galanya dan cinta menjadi sesuatu yang mungkin
saja menimbulkan segala macam kerusakan, kekerasan, konflik dan kesengsaraan.
Cinta yang telah dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu birahi itu, yang pada
hakekatnya adalah nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, akan
menimbulkan cemburu, ingin menguasai, dan bahkan dapat berbalik menjadi benci
kalau keinginan menyenangkan dirinya sendiri itu terhalang.
Akan tetapi,
kalau pikiran membentuk nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri itu tidak
mencampuri, tidak mengotori, yang tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat
indah, cinta yang sinarnya memenuhi seluruh jagat dan menembus ke lubuk hati
setiap orang manusia, yang getarannya menghidupkan segala sesuatu yang nampak
mau pun yang tidak nampak. Kalau sudah ada sinar dan getaran cinta itu, maka
tidak ada lagi persoalan, segala sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan birahi
pun menjadi sesuatu yang indah dan suci, cinta asmara antara seorang pria dan
seorang wanita pun menjadi sesuatu yang indah dalam sinar cinta kasih.
Pada saat
Kam Hong berlari-larian dengan Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi
hatinya, mendatangkan perasaan yang amat luar biasa, kebahagiaan yang tak
terpisah dari alam, dari segala-galanya yang nampak, batinnya begitu penuh
dengan kebebasan dan keheningan, yang ada hanya rasa bahagia itu saja, yang
lain-lain tidak ada lagi!
Kiranya tiap
orang pernah merasakan hal ini, namun sayang, hanya sekilas saja karena batin
sudah diserbu lagi oleh keinginan-keinginan memuaskan diri dengan
kesenangan-kesenangan. Bahkan rasa bahagia itu pun lalu berubah menjadi
kesenangan yang dikejar-kejar! Sungguh sayang.....
Ketika
mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba Ci Sian yang agak terengah-engah karena
memang tenaganya belum kuat benar dan dia tadi telah mengerahkan terlalu banyak
tenaga, berhenti berlari dan menuding ke depan. Keringat halus memenuhi leher
dan dahinya.
Kam Hong
ikut memandang ke depan dan nampaklah olehnya seorang pemuda di atas lereng
bukit di depan, lalu pemuda itu berhenti dan muncul dua orang kakek. Agaknya
terjadi percekcokan dan pemuda itu berkelahi dengan dua orang kakek. Akan
tetapi hanya dalam waktu singkat, pemuda itu kena ditawan, agaknya pingsan lalu
dipanggul oleh seorang di antara dua kakek itu dan dibawa pergi.
“Dia itu Cu
Pek In....!” kata Kam Hong. “Ci Sian, kau tunggu saja di sini, aku harus
mengejar mereka dan menolong Nona Cu!” setelah berkata demikian, sekali
berkelebat saja Kam Hong telah pergi dan lenyap dari situ, mengejar ke depan,
turun dari puncak bukit itu.
Ci Sian juga
mengenal bahwa pemuda yang ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu Pek In,
gadis puteri majikan Lembah Suling Emas atau yang kini dirubah namanya menjadi
Lembah Naga Siluman, merasa tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak bukit
yang sunyi itu. Maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya ikut lari mengejar
turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu sudah tidak
nampak lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong sudah lenyap sehingga Ci Sian
menjadi bingung, akan tetapi dia masih terus mengejar, lari turun bukit menuju
ke bukit di mana tadi Pek In dan dua orang kakek itu nampak.
Dengan napas
terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat, akhirnya terpaksa Ci Sian berhenti
di lereng bukit itu karena dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana larinya
dua orang kakek yang menawan Cu Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan
Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga tidak tahu apakah dia tidak tersesat
jalan. Dia merasa bingung dan khawatir.
Membayangkan
bahwa dia akan terpisah selamanya dari Kam Hong, ingin rasanya dia menangis dan
ingin dia berteriak-teriak memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi dia menahan
diri. Dia merasa malu kalau harus berteriak-teriak memanggil, apalagi baru saja
Kam Hong telah menegurnya. Dia tidak akan sembarangan lagi membuka mulut. Pula,
Kam Hong adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian hebat, apa sukarnya
bagi pendekar itu untuk mencari dan menemukannya? Dia harus bersikap tenang,
seperti Kam Hong. Bukankah dia juga diakui sebagai adik seperguruan? Masa adik
seperguruan Pendekar Suling Emas yang perkasa itu harus menjadi seorang gadis
cengeng dan penakut?
Dengan
pikiran itu yang merupakan hiburan baginya, pulihlah kembali semangat dan keberaniannya
dan mulailah dia berjalan menuruni bukit itu dengan hati-hati sambil memasang
mata, tidak lagi lari seperti tadi. Hari telah makin menua, matahari mulai ke
barat, dan biar pun dia mulai merasa khawatir lagi, namun diberani-beranikan
hatinya dan dia melangkah terus. Dia mendaki bukit penuh salju di depan karena
dia melihat tapak kaki di atas salju tebal.
Ketika tiba
di lereng bukit itu, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan memasang telinga
dengan penuh perhatian. Ada suara berdengung-dengung atau mengaung-ngaung dari
arah kiri. Tadinya dia mengira bahwa itu suara suling dari Kam Hong, tetapi
ternyata bukan, suara suling tidak seperti itu, mengaung dan kadang-kadang
berdesing tajam itu lebih mirip suara gerakan pedang yang luar biasa sekali,
akan tetapi dia pun meragu karena mana mungkin gerakan pedang biasa berdengung
seperti itu, seperti berirama dan menyanyikan lagu aneh.
Betapa pun
juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang
atau mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju.
Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia,
dan siapa pun adanya manusia itu, harus dia temui untuk ditanya kalau-kalau
tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain dari
pada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu.
Dengan hati
tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju ke
kiri, melalui bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah
batu besar sekali dan berhenti, memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu
tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya bahwa suara mengaung-ngaung itu
keluar dari dalam batu besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi tak
salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya
pada batu itu dan suara itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara
itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar biasa sekali. Akan tetapi,
mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar,
sebesar pondok?
Mulailah dia
membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama
hidupnya, biar pun dia sering kali mendengar dongeng tentang setan dan iblis,
dia belum pernah bertemu dengan iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan
mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba suara mengaung-aung
itu pun berhenti! Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti,
sunyi yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan
dia bahwa dia tidak seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dan
menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka
dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya, “Haiii!
Adakah orang di dalam batu ini?”
Karena
ketegangan hatinya takut ditinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa
lucu pertanyaan yang dikeluarkannya itu. Biasanya, jika orang bertanya, tentu
bertanya apakah ada orang di dalam rumah, tetapi kini dia bertanya apakah ada
orang di dalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu?
“Haiii!
Siapakah yang berada di dalam batu ini?” kembali dia berteriak dan
memukul-mukulkan batu yang dipegangnya itu pada batu besar.
Mendadak
terdengar suara dari dalam batu itu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut
tersumbat, akan tetapi cukup dapat didengarnya, “Sumoi, engkaukah itu?”
Bukan main
girang hatinya. Tentu itu Kam Hong! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau
bukan Kam Hong? Meski biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi
bukankah pendekar itu sudah mengakui dia sebagai sumoi-nya? Dan kalau suara Kam
Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu berada di dalam batu! Tentu
suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali Kam
Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar?
“Benar,
Suheng, ini aku!” teriaknya dengan nyaring. Karena Kam Hong menyebutnya sumoi,
mengapa dia tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik
seperguruan), lalu dia menjawabnya dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau
diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng dari pada menyebut
paman kepada Kam Hong.
“Mau apa
engkau datang menyusulku, Sumoi?” kembali terdengar suara itu, suara aneh
karena tentu saja tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu.
“Mau apa
menyusulmu?” Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong
telah menjadi miring otaknya, jika tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu
besar seperti itu dan masih bertanya lagi kepadanya mengapa dia datang
menyusul?
“Bukalah aku
mau bicara!” katanya dengan nyaring karena tidak enak jika berbantahan dari
luar dan dalam batu!
“Tunggu
sebentar....!”
Ci Sian
melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar
dari dalam batu itu. Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih
mengherankan lagi, bagaimana masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah
keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab semua keheranannya.
Mendadak
batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur,
tetapi dia menahan diri ketika melihat betapa di balik batu itu kelihatan
lubang hitam yang makin lama semakin melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu
berhenti dan dari dalam goa yang tersembunyi di balik batu besar itu muncullah
seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun
terkejut ketika mereka saling pandang. Lalu wajah mereka nampak berseri ketika
mereka saling mengenal.
“Engkau....?”
“Engkau....?”
Pemuda itu pun berseru hampir berbareng. “Bukankah engkau ehhh...., Siauw Goat
dan kita pernah berjumpa lima tahun yang lalu?” Suaranya penuh keraguan karena
ketika dia bertemu dengan dara ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan
seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik jelita seperti ini.
“Dan engkau
tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?” Ci Sian menjawab.
“Kau tadi
kusangka Sumoi....”
“Dan engkau
kusangka Suheng....”
Keduanya
diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa
pertemuan itu membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sekali sehingga
mereka mengeluarkan kata-kata yang hampir berbareng dan bersamaan artinya,
sehingga tidak terjadi tanya jawab sebagaimana mestinya dan percakapan itu
menjadi kacau!
“Hong Bu,
ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi
engkau dapat mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan
ketika masih kecil dahulu?”
Hong Bu yang
sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum,
mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula. “Memang
tidak ada bedanya dalam pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan
tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm, cantik jelita sekali, Siauw Goat!”
Tiba-tiba
wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu,
dan untuk menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata, “Jangan sebut aku
Siauw Goat lagi, Aku bukan anak kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil
lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah adanya Sumoi-mu yang
tadi kau sebut-sebut?”
“Bu Ci
Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tetapi mengapa dulu namamu Siauw
Goat....?”
Mendengar
pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pertanyaannya, bahkan bertanya
tentang namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga. “Siauw Goat hanya
nama julukan yang diberikan orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja,
namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu sama sekali
tidaklah indah....“
“Siapa
bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... ehhh, Ci Sian!”
“Sudahlah,
sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoi-mu itu?”
“Sumoi-ku?
Ahh, Sumoi-ku bernama Cu Pek In....“
Hong Bu
terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara
yang jelita itu berubah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang.
Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu ketika dia melihat dara itu mengepal
tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap mengancam.
“Bagus, jadi
engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga
siluman itu? Nah, suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu
sebelum membasmi guru-gurunya!” Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali
Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada Hong Bu!
“Eh, Ci Sian....
eh, ada apa ini....?” Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak ke kanan
kiri saat dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang
mengandung tenaga yang cukup dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tak bicara lagi,
melainkan menyerang semakin ganas.
Harus
diketahui bahwa pada saat itu tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami
perubahan yang amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh
tiga orang kakak beradik Cu yang melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai
dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti.
Dan karena
Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya
yang besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar
ilmu silat tinggi keluarga itu dengan baiknya, bahkan dalam hal penghimpunan
tenaga sinkang dan kematangan ilmu silat, dia telah jauh melampaui Cu Pek In,
dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu atau pun Cu Seng Bu.
Kini, dia
mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam goa di mana ia
pernah diajak oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmu yang telah
dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu
yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan, terutama sekali Ilmu Pedang
Koai-liong-kiam itu.
Oleh karena
itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan tentu tidak sukar baginya
untuk merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran ilmu silat
dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim Hong Bu sama sekali tidak tidak mau melawan.
Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Ia
terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima
tahun yang lalu itu. Kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia
hanya merasa terkejut dan terheran-heran saja. Sedikit pun ia tak bermaksud
untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadang-kadang saja menangkis tanpa
menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci
Sian.
Akan tetapi,
hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian.
Melihat betapa Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas
sedikit pun, sedangkan dia sudah mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang
dan semua tiada hasilnya sama sekali membuat dia penasaran dan hampir menangis.
“Balaslah!
Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!” bentaknya berkali-kali
sambil terus menyerang.
Hong Bu yang
merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak
melawan itu agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan
watak yang dianggapnya aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan
ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak tertahan. Maka
ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika
mengelak.
“Dukkkk....!”
Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting.
Begitu
melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga
berbareng merasa kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu
tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu untuk menyerang lebih lanjut ketika
melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa penasaran dan
juga kedukaan itu.
“Ci Sian,
harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, lalu
menyerang tanpa alasan?” Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya
yang kotor oleh debu saat ia terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang sengaja
diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak terasa
nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sinkang yang lemas sehingga
dara itu pun tidak sampai terluka tangannya.
Ci Sian
memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi
mengerahkan tenaga dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh
orang!
“Tidak....
tidak sakitkah dadamu yang kupukul?”
Mendengar
pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk
menahan rasa geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci
Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya begitu dia kena terpukul, gadis itu
bertanya dengan nada penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat meringis dan
mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul.
“Bukan main
nyerinya.... pukulanmu tadi kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak
mengapalah, biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi,
bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu
maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?”
Setelah dia
berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan
dari hati Ci Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimana pun
juga, pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia.
Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan dengan muka tetap
cemberut, biar pun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata, “Keluarga Cu itu
gurumu, bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling
Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan
Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh Suheng-ku dan sudah berjanji tak akan
lagi memakai nama Suling Emas.”
“Ehh, apakah
yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu, juga
aku sama sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau
marah-marah kepada aku yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan
bicara dengan tenang.”
Mereka lalu
duduk di depan batu besar yang menutupi goa itu. Ci Sian sudah tak marah lagi
sungguh pun ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini
ternyata adalah murid dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya, dia membenci
keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak membunuhnya, bahkan pada waktu
menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan ancamannya?
“Nah,
sekarang ceritakanlah kepadaku, apa artinya semua ini, Ci Sian?”
“Ceritakan
dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka,” kata Ci Sian.
Hong Bu
tersenyum, kemudian menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat
hatinya, dan biar pun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, akan tetapi
tidak mengurangi daya tariknya yang amat kuat. Dan dia merasa yakin bahwa
kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada alasannya yang
kuat, karena itu biar pun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan
rela memaafkan gadis itu!
“Aku menjadi
murid mereka secara kebetulan saja,” dia mulai menceritakan keadaan dirinya.
Dia harus merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. “Secara
kebetulan aku terbawa oleh rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di
Lembah Suling.... ehhh, di lembah keluarga Cu itu dan karena ternyata bahwa
pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli
waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu,
maka dengan sendirinya aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku
belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang Suhu-ku she Cu itu. Nah,
demikianlah pengalamanku mengapa aku dapat menjadi murid mereka, Ci Sian. Dan
sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?”
“Jika engkau
murid mereka, mengapa engkau kini berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa
yang terjadi di lembah?” Ci Sian masih merasa tidak puas.
“Sejak tiga
bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam goa di balik batu ini, Ci
Sian, karena telah tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang
diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai
sekarang pun aku belum keluar dari dalam goa itu.”
“Dan kau
sangka.... aku.... Sumoi-mu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?”
“Ya, benar.
Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?”
“Tentu saja,
aku sudah bertemu dengan banci itu!”
“Banci?”
Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran.
“Ya, banci.
Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci
namanya?”
Hong Bu
tertawa geli dan Ci Sian memandang marah. “Kenapa kau tertawa?”
“Karena kau
lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena
dahulu, mendiang ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia
menjadi terbiasa dan sampai sekarang suka sekali berpakaian pria.”
Mendengar
bahwa ibu dari Pek In sudah tiada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya
kepada dara yang senasib dengan dia itu.
“Apakah yang
telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci
Sian?”
“Aku dan
Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong,
datang....”
“Ahhh.... !
Pendekar perkasa yang dahulu pernah menolong kita itu? Yang senjatanya
mempergunakan suling emas dan kipas?”
“Benar,
dialah orangnya!” kata Ci Sian bangga. “Karena Suheng merasa penasaran dengan
julukan Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang ke lembah
dan di sana, untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas,
Suheng mengalahkan tiga orang she Cu itu....”
“Ahhh....!”
Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga
orang gurunya dapat dikalahkan orang.
“Apa ahhh?”
Ci Sian menatap tajam.
“Tidak
apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka
suling emas itu buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga halnya pedang
Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka lembah itu dinamakan Lembah Gunung
Suling Emas.”
“Andai kata
benar begitu, suling itu sudah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam
Hong, dan secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga diwariskan kepada kami oleh
pencipta suling itu, maka Suheng-lah yang berhak menyebut diri Suling Emas yang
asli.”
“Lalu
bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau
tewas?” tanya Hong Bu dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang
telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cu.
“Hemm, kalau
Suheng tidak ingin memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi
mereka yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak
memakai nama Suling Emas. Kami lalu meninggalkan lembah....“
“Kalau
begitu, mana Suheng-mu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi
kau kira tadi aku Suheng-mu itukah?”
“Ya, aku
sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua
adalah gara-gara Si Banci.... ehhh, Cu Pek In itulah.”
“Gara-gara
Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?”
“Aku dan
Suheng sedang meninggalkan lembah setelah menyeberangi tambang. Ketika kami
tiba di puncak bukit, kami melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari
tempat jauh itu kami melihat betapa dia diserang dan ditawan oleh dua orang
kakek....”
“Ahhh....!”
Sim Hong Bu terkejut bukan main mendengar penuturuan ini.
“Melihat
itu, Suheng lalu lari melakukan pengejaran dan meninggalkan aku,” kata Ci Sian
dengan suara tak senang. “Maka aku lalu mengejar pula, akan tetapi tentu saja
Suheng lenyap karena cepatnya gerakannya.”
“Ahhh! Ke
mana perginya kakek yang menculik Sumoi itu? Aku harus menolongnya!”
“Hemm, kalau
aku tahu, apa kau kira aku berada di sini? Aku pun sedang mencari-cari Suheng
yang melakukan pengejaran.”
“Kalau
begitu, biar aku mencarinya untuk membantu Suheng-mu menghadapi dua orang kakek
itu dan menolong Sumoi.”
“Ke mana kau
hendak mencarinya? Pula, kau pikir Suheng membutuhkan bantuanmu? Kita tunggu
saja di sini, pasti Suheng akan datang membawa Sumoi-mu itu dalam keadaan
selamat.”
“Benarkah?
Benarkah Suheng-mu akan dapat menyelamatkannya? Apakah tidak perlu kucari
mereka dan kubantu Suheng-mu?”
“Hemm,
bantuanmu itu hanya akan membikin Suheng repot saja dan membantunya berarti
menghinanya. Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti akan dapat mencari aku
di sini.”
Sejenak Hong
Bu merasa bimbang. Akan tetapi kemudian menurut apa yang diusulkan oleh Ci
Sian. Pertama, kalau dia mencari, ke mana dia harus mencari kalau tidak tahu ke
arah mana sumoi-nya dilarikan dua orang kakek itu, dan juga, bukankah pendekar
Kam Hong yang sakti itu telah melakukan pengejaran? Ke dua, kalau dia pergi,
lalu bagaimana dengan Ci Sian yang seorang diri itu?
“Kalau
begitu, marilah kita masuk ke dalam goa, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan
hawa akan sangat dingin malam ini di luar sini. Di dalam lebih hangat dan kita
bisa menanti di dalam.”
“Akan tetapi
bagaimana kalau Suheng datang mencariku di sini?“
“Hemm,
bukankah Suheng-mu sedang menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tempat ini walau pun
dia belum pernah memasuki goa ini. Dan andai kata Sumoi langsung kembali ke
lembah, besok pagi-pagi kita dapat menyusul ke lembah dan tentu kita akan
mendengar segalanya dan engkau akan dapat bertemu dengan Suheng-mu.”
Karena tidak
ada lain jalan dan memang cuaca mulai menjadi gelap dan hawa menjadi dingin
sekali, Ci Sian mengikuti Hong Bu memasuki goa itu dan dia melihat dengan penuh
takjub betapa pemuda itu mendorong batu besar itu dengan tangan kirinya saja
untuk menutup lubang goa itu! Diam-diam dia merasa heran mengapa tadi ketika
menangkisnya, dia tidak merasakan kedahsyatan tenaga tangan pemuda itu!
Akan tetapi
dia tidak sempat lagi memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu menyalakan api
penerangan, dia menjadi takjub bukan main menyaksikan keindahan goa itu yang
seolah-olah merupakan sebuah dunia lain dengan dinding-dinding es yang kemilau
dan runcing bergantungan dari langit. Akan tetapi, untuk tidak membuka rahasia
tempat itu, Hong Bu tidak mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di mana terdapat
mayat-mayat yang tidak rusak karena terbungkus oleh es. Mereka hanya duduk di
ruangan depan yang luas dan Ci Sian menerima dengan girang ketika Hong Bu
menghidangkan roti kering dan air jernih untuk makan malam.
Mereka makan
minum sambil mengobrol dan diam-diam Hong Bu harus mengakui bahwa dia tertarik
sekali kepada Ci Sian, dan dia merasa khawatir karena menduga bahwa dia telah
jatuh cinta kepada dara itu! Segala gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara
dara itu menggerakkan cuping hidung tanpa disadarinya, lesung pipit di tepi
mulut sebelah kiri, cara dara itu memandang dengan kepala agak dimiringkan,
cara dara itu mengusap anak rambut yang berjuntai di dahinya, pendeknya setiap
gerak-gerik dara itu begitu menarik dan mempesonakan hatinya, membuatnya
tergila-gila!
Di lain
pihak, Ci Sian juga amat suka kepada Hong Bu karena semenjak pertemuan lima
tahun yang lalu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang berwatak
mulia, gagah perkasa dan juga jujur. Oleh karena itu, ketika malam telah larut
dan dia telah mengantuk, dia tidak ragu-ragu sama sekali ketika Hong Bu
mempersilakan dia mengaso dan tidur di atas setumpuk daun kering di sudut
ruangan depan goa itu. Dia tidak merasa takut dan khawatir sama sekali dan
sebentar saja, dara yang sudah lelah ini tertidur pulas.
Hong Bu
berjaga tak jauh di situ sambil menjaga api unggun agar tidak sampai padam
untuk memberi hawa hangat kepada dara yang sedang tidur pulas. Sambil menatap
ke arah wajah dan tubuh yang tidur miring itu, berkali-kali Hong Bu menghela
napas panjang. Melihat betapa hawa amat dingin dan biar pun di situ tidak
sedingin di luar, apalagi sudah ada api unggun yang bernyala, akan tetapi tetap
saja dara itu tidur meringkuk kedinginan, dia kemudian masuk ke dalam,
mengambil baju mantelnya dan menyelimuti Ci Sian, kemudian duduk kembali dekat
api unggun…..
***************
Sementara
itu, Kam Hong yang melakukan pengejaran terpaksa harus mengerahkan tenaganya
karena dua orang kakek yang menawan Pek In itu juga lihai sekali dan dapat
melarikan diri dengan kecepatan luar biasa, dan selain itu memang jarak di
antara mereka cukup jauh. Baiknya, dua orang kakek itu sama sekali tidak
mengira bahwa kini mereka telah dikejar orang. Karena inilah agaknya maka Kam
Hong akhirnya dapat juga menyusul dua orang kakek itu. Setelah kini dapat
melihat jelas, diam-diam Kam Hong terkejut.
Dia belum
pernah jumpa dengan dua orang kakek itu, akan tetapi melihat bentuk tubuh
mereka, dia dapat menyangka bahwa dua orang kakek yang menawan Pek In itu
tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau dia tidak salah, kakek
yang berpakaian seperti tosu yang tingginya luar biasa itu, sedikitnya dua
setengah meter, tentulah Ngo-ok Toat-beng Sian-su, sedangkan kakek berkepala
gundul dan berpakaian hwesio, bertubuh gendut pendek sekali, hanya setengahnya
Ngo-ok itu tentulah Su-ok Siauw Siang-cu atau orang ke empat Im-kan Ngo-ok!
Kam Hong
telah mendengar tentang mereka satu demi satu, akan tetapi belum pernah bertemu
dengan mereka. Kini, melihat betapa tubuh Pek In tidak bergerak dipanggul di
pundak kakek tinggi kurus itu, dia mempercepat larinya. Akan tetapi, ternyata
dua orang kakek itu lihai bukan main karena tiba-tiba mereka menengok dan
melihat betapa ada orang mengejar mereka dengan amat cepatnya mereka pun segera
mempercepat lari mereka!
Kam Hong
terus mengejar dan ternyata dua orang itu melarikan diri ke sebuah kuil tua yang
berada di kaki bukit, agaknya kuil kosong yang sudah ditinggalkan penghuninya
bertahun-tahun yang lalu, karena kuil itu tidak terawat. Mereka berdua lenyap
memasuki kuil melalui pintu depan yang tidak berdaun pintu lagi dan keadaan
amat sunyi di situ ketika Kam Hong sampai di pekarangan depan kuil yang tidak
terawat, yang dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat tumbuh di tempat
dingin itu. Tidak ada salju di sini, akan tetapi hawa udara bahkan lebih dingin
dari pada di puncak bukit yang tertiup salju.
Kam Hong
tidak berani ceroboh memasuki kuil. Dia tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah
datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi sekali, maka menghadapi mereka
tak boleh disamakan dengan menghadapi penjahat-penjahat biasa. Sejenak dia
meneliti keadaan dan setelah dia merasa yakin bahwa dari tempat dia berdiri itu
dia akan dapat melihat apabila ada orang keluar dari dalam kuil itu baik
melalui jurusan mana pun juga, dia lalu berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang lebar, kedua lengan bersilang di depan dada, kemudian dia berseru
dengan suara tenang dan nyaring.
“Yang berada
di dalam kuil, bukanlah Im-kan Ngo-ok? Silakan keluar, aku Kam Hong ingin
bicara!”
Hening
sejenak sampai gema suara Kam Hong itu menghilang. Kemudian terdengar teriakan
dari dalam kuil. “Mana keluarga Cu? Apakah orang yang datang ini utusan
keluarga Lembah Gunung Suling Emas?” Suara yang berteriak itu terdengar
menggetar penuh dengan tenaga khikang yang amat kuat dan tahulah Kam Hong bahwa
orang yang berteriak itu sengaja memamerkan kepandaian untuk menakutinya.
“Aku bukan
utusan siapa pun, aku datang atas namaku sendiri karena melihat seorang gadis
kalian tawan!” kata Kam Hong terus terang.
“Huh,
apamukah Nona ini maka engkau lancang mencampuri?” terdengar suara orang
membentak marah dari dari dalam kuil itu.
“Bukan
keluarga, bukan teman, bukan apa-apa, tetapi melihat seorang gadis ditawan
dengan paksa apakah kalian mengira bahwa aku akan diam saja? Im-kan Ngo-ok,
telah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai datuk-datuk perkasa, apakah
kini aku harus melihat kenyataan bahwa kalian hanyalah penculik-penculik gadis
yang pengecut saja dan tidak berani menghadapi aku sebagai laki-laki?”
“Sombong....!”
Tiba-tiba
sesosok bayangan seperti bola menggelundung dari pintu kuil dan tahu-tahu
seorang pendek gendut seperti hwesio itu sudah mencelat ke depan dan menghantam
ke arah dada Kam Hong setelah tadi menggelundung bagai seekor binatang
trenggiling turun dari lereng. Hantaman itu dahsyat bukan main sampai angin
pukulannya terasa menyambar oleh Kam Hong. Melihat serangan maut ini, Kam Hong
maklum betapa lihai dan kejamnya orang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga
pada lengan kirinya dan menangkis.
“Dukkk!
Bresss!”
Tubuh yang
pendek gendut itu terguling dan kembali tubuh itu bergulingan menjauh, lalu
meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang ke arah pemuda yang mampu
menangkis serangannya sehebat itu.
Dugaan Kam
Hong memang tepat karena pada saat itu, dari pintu kuil keluarlah empat orang
lain dan dengan penuh perhatian Kam Hong memandang ke arah mereka, dan dia kini
bertemu dengan lima orang yang gambarannya telah lama dia dengar sebagai Im-kan
Ngo-ok.
Orang
pertama adalah seorang kakek yang wajahnya mirip sekali dengan seekor gorilla.
Gerak-geriknya halus dan meski wajahnya mengerikan seperti gorila, namun
mulutnya selalu membayangkan senyum ramah! Dia inilah Toa-ok Su Lo Ti, orang
pertama dari Im-kan Ngo-ok.
Orang ke dua
merupakan seorang nenek yang mukanya tertutup topeng tengkorak. Tubuhnya kecil
ramping seperti tubuh wanita muda. Sepasang mata di balik tengkorak itu
mencorong seperti mata setan, agak kemerahan mengerikan. Dia inilah Ji-ok
Kui-bin Nio-nio orang ke dua dari Lima Jahat Dari Akhirat ini.
Orang ke
tiga merupakan seorang kakek raksasa yang berkepala botak. Dia memakai mantel
merah dan pakaiannya mewah, sikapnya penuh wibawa dan pandang matanya bengis.
Inilah Sam-ok Ban-hwa Sengjin, orang ke tiga. Orang ke empat adalah Su-ok Siauw
siang-cu yang tadi telah menyerang Kam Hong, seorang hwesio pendek gendut yang
mukanya nampak gembira. Sedangkan orang ke lima, yang kini memanggul tubuh Pek
In yang lemas, adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang jangkung seperti gila.
Kakek ke lima ini mukanya selalu nampak sedih dan matanya sipit hampir selalu
terpejam.
Setelah
yakin benar bahwa mereka ini adalah Im-kan Ngo-ok, Kam Hong lalu menjura dan
berkata. “Kiranya benar bahwa aku berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang sudah
tersohor. Mengingat akan besarnya nama Ngo-wi, maka aku harap Ngo-wi akan dapat
bersikap sesuai dengan kedudukan dan suka membebaskan gadis ini, dan aku
bersedia minta maaf atas gangguanku ini.” Kam Hong tidak ingin menanam bibit
permusuhan, apalagi dengan lima orang datuk kaum sesat ini. Bukan dia merasa
takut, akan tetapi merasa segan untuk mencari permusuhan yang berarti akan
mendatangkan gangguan terus-menerus dalam kehidupannya.
Lima orang
itu pun mengamati Kam Hong dengan penuh perhatian dan mereka pun merasa heran
mengapa mereka belum mengenal pemuda ini, padahal, melihat betapa pemuda ini
tadi menangkis serangan Su-ok, jelas membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang
sembarangan!
“Siapakah
engkau?” tanya Toa-ok Su Lo Ti, seperti biasa suaranya amat halus dan ramah.
“Namaku Kam
Hong dan sekali lagi kuharap Ngo-wi suka membebaskan gadis ini.”
“Hemmm,
engkau sudah mengenal kami, akan tetapi masih berani mencampuri urusan kami?
Apakah kau sudah bosan hidup? Ehhh, bocah she Kam, kalau kami tidak mau
membebaskan gadis ini, habis kau mau apa?” tiba-tiba Su-ok yang merasa
penasaran bertanya sambil mendekati Kam Hong.
“Kalau
Ngo-wi tetap memaksa, apa boleh buat, aku akan memberanikan diri untuk
menyelamatkan gadis ini dengan menggunakan kekerasan,” kata Kam Hong.
“Apa? Engkau
menantang kami? Nah, mampuslah kalau begitu!” Su-ok sudah maju menerjang dan
gerakannya cepat bukan main karena memang demikian watak para datuk sesat ini,
selalu tak segan-segan menggunakan kecurangan demi untuk mencapai kemenangan.
Agaknya dari
pertemuan tenaga pertama kali tadi, Su-ok maklum bahwa pemuda sastrawan itu
bukan merupakan lawan yang lemah, maka kini begitu dia menyerang, dia telah
mempergunakan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu pukulan Katak Buduk. Angin
pukulan dahsyat menyambar disertai bau yang amis sekali, menyambar ke arah
perut Kam Hong!
Namun pemuda
ini semenjak tadi sudah siap, maka pukulan itu pun sudah dihadapinya dengan
tenang. Cepat-cepat dia mengelak ke kiri dan mengambil keputusan untuk tidak
memperpanjang waktu perkelahian. Yang terpenting bukanlah perkelahian itu,
tetapi bagaimana dia harus menyelamatkan Pek In yang masih berada dalam
pondongan Ngo-ok. Kalau dia dapat merampas Pek In, dia dapat melarikan dara itu
dan dia percaya bahwa dia akan dapat melarikan diri dengan selamat mengandalkan
ginkang-nya yang sekarang sudah meningkat dengan hebat sekali semenjak dia
mempelajari ilmu dengan menghimpun khikang melalui ilmu bertiup suling.
Maka, sekali
mengelak ke kiri, dia sudah menubruk ke arah Ngo-ok yang berdiri tak jauh dari
situ, tangan kiri mencengkeram ke arah muka Si Tinggi Kurus itu sedangkan
tangan kanannya berusaha untuk merampas tubuh Cu Pek In. Serangan ini dilakukan
dengan kecepatan kilat sehingga mengejutkan Ngo-ok. Akan tetapi, sayang sekali
bahwa justru Ngo-ok ini merupakan orang yang paling tinggi ginkang-nya di
antara para saudaranya, maka walau serangan itu amat hebat dan mengejutkan, Si
Jangkung itu masih mampu melesat ke samping sehingga cengkeraman kedua tangan
Kam Hong itu meleset dan saat itu Su-ok sudah datang lagi menubruk dan
menghantamnya.
Terpaksa Kam
Hong menangkis dan melayani Su-ok yang merupakan seorang lawan yang tidak boleh
dipandang ringan. Selagi dia mendesak Su-ok, tiba-tiba ada sambaran angin dari
belakangnya. Cepat dia membalik dan menangkis sambil balas memukul. Kiranya
Ngo-ok sudah datang pula mengeroyoknya! Ketika Kam Hong melirik, ternyata bahwa
Si Jangkung itu telah melepaskan Pek In ke atas tanah, akan tetapi dara itu
berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak dan di sana masih
ada tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang menjaganya! Diam-diam Kam Hong merasa
kecewa sekali. Kalau begini caranya, akan lebih sukar untuk merampas Pek In dan
agaknya jalan satu-satunya baginya adalah bahwa dia harus mengalahkan mereka
lebih dulu!
“Baiklah
kalau kalian menghendaki kekerasan!” bentaknya.
Dan segera
tubuhnya bergerak dengan aneh dan cepat. Sedemikian cepat gerakannya sehingga
para pengeroyoknya itu tidak merasa mengeroyok satu orang lagi, bahkan seakan
mereka berhadapan dengan lebih dari dua orang! Apalagi karena Kam Hong
mengerahkan tenaga khikang sehingga setiap kali mereka beradu lengan, Su-ok dan
Ngo-ok selalu terpental dan terhuyung, tanda bahwa mereka berdua itu kalah
kuat!
Melihat
betapa lihainya lawan, Ngo-ok mengeluarkan gerengan seperti seekor serigala dan
tubuhnya sudah berjungkir balik dan dia sudah menyerang Kam Hong dengan kedua
kakinya yang panjang dan berada di atas, dibantu oleh kedua tangan dari bawah.
Gerakannya bahkan lebih gesit dan lebih cepat dibandingkan kalau dia berdiri
dengan kedua kaki di bawah! Sedangkan Su-ok juga sudah mengirim pukulan-pukulan
Katak Buduk yang amat dahsyat itu.
Akan tetapi,
Kam Hong tidak gentar menghadapi mereka. Dengan Khong-sim Sin-ciang, dibantu
oleh tenaga khikang dahsyat yang disalurkan kepada seluruh tubuh, terutama
kepada kedua lengannya, dia masih dapat mendesak kedua orang lawan itu, bahkan
dia telah berhasil menampar masing-masing satu kali kepada dua orang
pengeroyoknya dan biar pun tamparan itu tidak mengenai dengan telak, namun
cukup membuat mereka menjadi agak jeri dan selanjutnya terus didesaknya dua
orang lawan itu dengan hebat.
Melihat ini,
Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok terbelalak memandang penuh kagum. Kalau saja yang
dikeroyok oleh Su-ok dan Ngo-ok itu merupakan tokoh kang-ouw sakti yang sudah
mereka kenal maka tentu saja mereka tidak akan merasa penasaran dan heran
melihat betapa mereka terdesak. Akan tetapi pemuda ini sama sekali belum mereka
kenal. Bagaimana mungkin kini pemuda yang agaknya baru muncul di dunia kang-ouw
ini telah dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya?
“Tahan....!”
Tiba-tiba Sam-ok meloncat ke depan dan menahan pukulan Kam Hong yang mendesak
Su-ok yang sudah bergulingan itu.
“Dukkkk!”
Sam-ok
tergeser mundur oleh tangkisan itu dan diam-diam dia makin terkejut. Ketika dia
menangkis untuk menyelamatkan Su-ok dan juga untuk menghentikan perkelahian itu
tadi, dia menggunakan tenaga sepenuhnya, akan tetapi pertemuan tenaga lewat
lengan itu ternyata membuat dia terdorong dan kuda-kudanya tergeser! Bukan main
hebatnya kekuatan pemuda sastrawan ini, pikirnya.
Karena pihak
lawan minta perkelahian dihentikan dan ingin bicara, Kam Hong tidak melanjutkan
serangan dan dia pun berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang, namun
dengan penuh kewaspadaan karena dia sudah mendengar akan nama Im-kan Ngo-ok
yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang paling curang dan paling
jahat.
“Orang she
Kam, sesungguhnya kami tidak ingin bermusuhan dengan engkau yang tidak kami
kenal. Biar pun engkau memiliki sedikit kepandaian, akan tetapi jangan harap
engkau akan dapat menentang kami. Jangan kau mencampuri urusan kami yang tidak
kau ketahui sama sekali.”
“Hemm, apa
artinya aku bersusah payah mempelajari ilmu jika aku harus mendiamkan saja
melihat seorang dara diculik orang?” jawab Kam Hong dengan suara dingin.
“Ah, kau
salah paham, sobat muda,” kata Sam-ok dengan nada suara mengejek. “Kami tidak
bermaksud mengganggu anak perempuan ini. Kami hanya menahannya untuk memaksa
ayahnya datang menemui kami....“
“Hemm....
sungguh cara yang curang untuk bertemu dengan penghuni Lembah Gunung Suling
Emas. Kalau ada kepentingan, mengapa tidak langsung saja menemui keluarga Cu di
sana?” Kam Hong mencela. “Mengapa harus menawan puterinya?”
Lima orang
itu saling lirik. “Aha, jadi engkau mengenal mereka, ya? Engkau sahabat mereka
dan hendak membela mereka?”
“Aku bukan
sahabat mereka dan aku hanya membela orang yang terancam bahaya, dalam hal ini
adalah Nona inilah. Bebaskan dia dan aku tak akan mencampuri urusanmu dengan
keluarga Cu di sana.”
“Engkau
tidak tahu persoalannya, orang muda. Kami ingin keluarga itu menukar puteri
mereka dengan pedang pusaka yang kami kehendaki....”
“Hemm,
Koai-liong Po-kiam yang diperebutkan itu, ya?” Kam Hong sudah mendengar tentang
ribut-ribut pedang pusaka itu yang dulu kabarnya dilarikan pencuri dari istana
kaisar. “Aku pun tidak peduli tentang pedang itu, akan tetapi rebutlah dengan
cara yang jantan, bukan dengan menawan seorang gadis remaja.”
“Bocah
sombong, engkau sungguh bosan hidup!” Sam-ok sudah tidak dapat menahan
kesabarannya lagi dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya.
Kam Hong
cepat mengelak dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu Su-ok dan Ngo-ok
sudah mengeroyoknya pula. Dikeroyok oleh tiga orang tokoh yang lihai ini,
terutama sekali Sam-ok yang lebih lihai dari pada Su-ok dan Ngo-ok, Kam Hong
merasa repot juga. Ilmu kepandaian tiga orang pengeroyoknya itu telah berada di
tingkat yang amat tinggi dan jurus-jurus ilmu silat mereka aneh-aneh dan
berbahaya sekali, maka Kam Hong menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar
putih ketika dia mencabut kipasnya dan dia pun mulai melayani mereka dengan
kipasnya. Dengan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang
telah diwarisinya dari peninggalan nenek moyangnya, dia melawan mereka, dibantu
oleh tangan kanannya yang melancarkan tamparan-tamparan dan totokan-totokan
dahsyat, dia berhasil menahan mereka bertiga.
Tentu saja
Sam-ok merasa penasaran sekali melihat betapa mereka bertiga sama sekali tak
mampu mendesak lawan, bahkan dia sendiri pun harus berhati-hati karena gerakan
kipas itu benar-benar amat dahsyat. Semua serangan kandas oleh tangkisan-tangkisan
gagang kipas yang sambil menangkis juga lantas menotok jalan darah di
pergelangan tangan atau sikut, dan angin yang menyambar dari kipas yang
dikembangkan kadang-kadang membuat dia bingung sehingga dua kali dia hampir
tertotok oleh gagang kipas. Harus diakuinya bahwa tanpa bantuan dua orang
saudaranya, seorang diri saja dia akan sukar sekali dapat bertahan melawan
pendekar muda yang belum dikenalnya itu! Dia merasa semakin penasaran, akan
tetapi juga geram ketika mendengar betapa Ji-ok memuji-muji pemuda itu.
“Bagus,
bagus! Ilmu kipas yang bagus! Wah, Sam-te, engkau dengan bantuan Su-te dan
Ngo-te masih tidak mampu mengalahkan dia? Sungguh memalukan sekali!”
“Ji-ci, dari
pada banyak cerewet, lebih baik lekas bantu kami agar urusan kita dapat segera
diselesaikan!” kata Sam-ok dengan marah karena ejekan itu.
“Hi-hik!
Kalau aku sekali turun tangan, tentu bocah ganteng ini akan kehilangan kepala.
Sungguh sayang!”
“Hemm, Si
Mulut Besar! Hendak kulihat kenyataan bualanmu!” kata pula Sam-ok karena dia merasa
yakin bahwa biar pun Ji-ok sendiri agaknya akan mengalami kesulitan untuk
mengalahkan bocah ini. Kepandaiannya sendiri tidak lebih rendah dibandingkan
dengan Ji-ok, meski sampai sekarang dia belum mampu menandingi Kiam-ci (Jari
Pedang) dari nenek itu yang benar-benar luar biasa hebatnya, namun pada umumnya
kepandaiannya setingkat dibandingkan dengan Ji-ok.
“Hi-hik, kau
lihat sajalah!” kata Ji ok dan dia pun menerjang ke depan.
“Singggg....
cuiiiiitttt....“
“Ehhhhh....!”
Kam Hong terkejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang untuk
menghindarkan diri dari sinar kilat pada saat telunjuk tangan nenek itu
menyambar dan mengeluarkan hawa dingin berkilat yang amat dahsyatnya.
“Hi-hi-hik,
engkau kaget, bocah ganteng? Nah, lekaslah berlutut minta ampun, Nenekmu akan
mempertimbangkan,” kata Ji-ok.
Namun Kam
Hong sudah menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa nama besar Im-kan
Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi
itu ternyata sekelompok orang yang berjiwa pengecut dan tidak segan-segan dan
tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan.
“Siapa takut
padamu?!” bentaknya dan di lain saat, empat orang pengeroyoknya itu menjadi
silau dan terkejut melihat berkelebatnya sinar kuning emas yang cemerlang.
Mereka terkejut bukan main ketika melihat betapa kini pemuda yang mereka
keroyok itu memegang sebatang suling emas yang berkilauan.
“Suling
Emas....!” Tiba-tiba Toa-ok berseru keras. “Cepat rampas suling pusaka itu!”
Empat orang
itu pun sudah mengenal suling emas yang pernah mereka dengar seperti dongeng
itu, maka serentak mereka pun menerjang ke depan untuk menyerang dan berusaha
merampas benda pusaka itu.
Namun Kam
Hong sudah mainkan ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan sulingnya di
udara, membentuk huruf Thian (Langit). Dan empat kali sulingnya membuat gerakan
mencoret dari kiri ke kanan, dua kali untuk menangkis serangan Ngo-ok dan
Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke kiri, disusul dari atas ke kanan
memanjang dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Su-ok terjungkal lalu
bergulingan.
Ternyata
dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang
merupakan gerakan silat yang berdasarkan mencorat-coret atau ‘menulis’ huruf di
udara menggunakan suling, sekaligus telah menangkis serangan empat orang sakti
bahkan telah melukai pundak Su-ok dan juga membuat tangan Ji-ok terasa nyeri
bukan main! Empat orang itu terkejut dan sejenak mereka merasa gentar.
“Hayo serang
dia!” Toa-ok memberi komando.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara lengking panjang bersama sinar emas bergulung-gulung,
dan itulah sinar suling emas yang digerakkan oleh Kam Hong dengan Ilmu Silat
Kim-siauw Kiam-sut yang baru saja dia pelajari sambil mengerahkan seluruh
tenaga khikang-nya sehingga suling yang dimainkan itu mengeluarkan suara
melengking tinggi dan semakin lama semakin tinggi sekali.
Empat orang
itu kalang-kabut dan mengelak ke sana-ke sini, tetapi mereka terserang oleh
suara melengking-lengking itu, makin tinggi suaranya makin menusuk telinga dan
seolah-olah hendak menembus jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan sengaja
mengerahkan sinkang untuk melindungi diri dari ancaman suara khikang suling itu
dan bersiap untuk mengepung, mendadak saja Kam Hong meloncat ke arah Pek In
yang masih rebah di atas tanah, menyambar tubuh dara itu, memanggulnya dengan
lengan kiri setelah menyimpan kipasnya, kemudian meloncat jauh dan terus
berloncatan sambil mengerahkan ginkang-nya. Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun,
akan tetapi mereka segera menjadi marah sekali dan langsung saja mereka
berloncatan melakukan pengejaran sambil memaki-maki karena merasa dipermainkan
oleh pemuda itu.
Biar pun
pada waktu itu Kam Hong telah memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang hebat
berkat tenaga khikang yang terhimpun di dalam tubuhnya, tapi para pengejarnya
itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang menduduki tingkat satu dan mereka,
terutama sekali Ngo-ok, mempunyai ginkang yang amat hebat. Apalagi Kam Hong
masih harus memondong tubuh Cu Pek In.
Dan senja
mulai tiba, maka setelah berlari cukup lama, tetap saja lima orang itu masih
terus mengejarnya. Kam Hong berpikir bahwa kalau dia tidak cepat lari ke bagian
yang ditumbuhi pohon-pohon yang pada saat itu sebagian besar gundul, sukar
baginya untuk membebaskan diri karena di daerah pegunungan salju itu dari jarak
yang jauh pun dia masih akan nampak dan dapat terus dikejar. Maka dia pun lalu
melarikan diri ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan ditumbuhi pohon-pohon.
Sementara
itu, malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai gelap sehingga hal ini pun
menyukarkan Kam Hong untuk dapat berlari cepat. Kegelapan akan memungkinkan dia
salah langkah dan tergelincir ke dalam jurang. Maka dengan hati-hati dia
memasuki daerah yang tidak gundul itu. Batang-batang pohon dan batu-batu di
sana akan dapat menyembunyikan dirinya dari penglihatan musuh. Akan tetapi
betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa lima orang itu masih terus
mengejarnya.
Dia teringat
bahwa biar pun dirinya tidak kelihatan, akan tetapi kelima orang itu masih
dapat mengikutinya dari jejak kakinya di atas tanah yang tertutup salju. Dan
pula dara ini bagi mereka teramat penting untuk di jadikan sandera, guna
ditukar dengan pedang pusaka, maka tentu lima orang itu tidak mau mengalah dan
akan terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong pun tidak pernah berhenti,
mengharapkan bahwa setelah cuaca gelap benar, lima orang itu akan kehilangan
jejak kakinya.
Harapannya
itu memang tidaklah sia-sia. Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan Ngo-ok
terpaksa menghentikan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali bukan
berarti mundur dan menghentikan usaha mereka, karena Toa-ok berkata, “Kita
berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan mengikuti jejak kakinya.”
Kam Hong pun
terpaksa menghentikan langkahnya karena cuaca amat gelap dan amat berbahaya
untuk melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan Pek In dan setelah meraba tengkuk,
kedua pundak dan punggung dara itu, dia menotoknya dan membebaskannya dari
totokan. Dara itu mengeluh lirih, memijit-mijit kaki tangannya yang terasa
lemas.
“Kiranya
engkau malah yang telah menolongku....,“ katanya lirih.
“Hemm, hanya
kebetulan saja. Aku harus membebaskanmu dari mereka yang jahat.”
“Im-kan
Ngo-ok sungguh manusia-manusia busuk yang tidak tahu malu. Mereka pernah
berkunjung ke lembah sebagai tamu, dan sekarang malah hendak menawanku sebagai
sandera. Kalau Ayah tahu, mereka pasti takkan diberi ampun. Ehhh, di mana dia?”
“Siapa?”
“Anak
perempuan itu, ehhh, Ci Sian....”
“Kutinggalkan
dia di puncak sebuah bukit. Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan dengan
Im-kan Ngo-ok dan memakan waktu lama untuk membebaskanmu, bahkan sekarang pun
mereka tak jauh dari sini. Tentu mereka menanti dan besok pagi akan melanjutkan
pengejaran. Kita sendiri tidak dapat melanjutkan perjalanan, begini gelap dan
aku tidak mengenal jalan....”
“Aku
mengenal tempat ini, akan tetapi di malam gelap begini tidak mungkin kita dapat
melanjutkan perjalanan. Besok pagi-pagi kita dapat pergi dari sini.... dan
tempat Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita bisa ke sana dan minta
bantuannya.”
“Suheng-mu?
Bertapa?”
“Ya, dan dia
tentu akan dapat menghalau Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai walau pun
dibandingkan Ayah.”
Kam Hong
tidak bertanya lagi, akan tetapi diam-diam dia kagum sekali dan teringat akan
pesan Cu Han Bu ketika mereka hendak saling berpisah. Tokoh keturunan kakek
pencipta suling emas itu mengatakan bahwa keluarga mereka masih mempunyai ilmu
pusaka, yaitu Koai-liong Kiam-sut yang mereka harapkan kelak akan bisa
mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisinya. Keluarga itu memang hebat,
maka tidaklah aneh andai kata benar ucapan Pek In bahwa dara ini masih memiliki
seorang suheng yang sedang bertapa dan bahwa suheng ini mempunyai kepandaian
yang tidak kalah lihai dibandingkan dengan kepandaian ayahnya.
Malam itu
mereka terpaksa berdiam di tempat itu.
“Sekarang
kau tidurlah, Nona, biar aku menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tak dapat
menyalakan api unggun untuk membantu menghangatkan tubuh, sebab jika kita
lakukan itu tentu mereka akan melihat dan akan datang.”
Pek In
merasa lelah dan baru saja mengalami ketegangan. Kini dia merasa lega, segera
merebahkan diri miring dan tak lama kemudian dia tidur pulas dengan tubuh
meringkuk kedinginan.
Melihat hal
ini, hanya melihat remang-remang saja karena yang membantu pandangan mata hanya
sedikit sinar bintang di langit, Kam Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar
dan menyelimutkan jubahnya pada tubuh dara itu. Dia sama sekali tidak dapat
menduga bahwa pada saat yang sama, di dalam sebuah gua, seorang pemuda lain
sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula!
Sebetulnya,
baik Ci Sian mau pun Pek In sudah mempunyai kepandaian dan tenaga sinkang yang
cukup kuat untuk melawan dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan tidur tentu
saja mereka tidak dapat mengerahkan sinkang dan hawa dingin membuat mereka
dalam keadaan tidak sadar itu meringkuk seperti anak kecil kedinginan. Ada pun
Kam Hong yang berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan hawa dingin itu dengan
penyaluran sinkang-nya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun. Dia cepat merenggut
jubah itu dari tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia
bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca
masih gelap remang-remang tertutup kabut.
“Engkau
sudah bangun?” Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh.
“Terima
kasih untuk jubahmu ini,” kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam
Hong yang menerimanya. “Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya.”
“Masih agak
gelap, sukar melihat jelas ke depan.”
“Aku tahu
jalannya, marilah.”
Keduanya
lalu bangkit dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Biar pun Pek
In sebagai penunjuk jalan berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong tak pernah
mengurangi kewaspadaan, diam-diam menjaga kalau-kalau Pek In terperosok ke
dalam jurang atau mengalami halangan lain. Matahari pagi telah mengusir kabut
gelap ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu dan tiba di kaki sebuah
bukit.
“Tak jauh
lagi dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng bertapa,” kata Pek In dengan
nada suara girang.
“Lihat,
mereka sudah mengejar!” Tiba-tiba Kam Hong berkata. “Mari kita cepat lari!”
Pek In
menengok dan benar saja, lima sosok bayangan sedang menuruni lereng dari mana
mereka berdua datang tadi dan gerakan mereka amat cepat.
“Mari
kupondong kau, Nona!” kata Kam Hong.
“Tidak,
jangan sentuh aku!” tiba-tiba Pek In berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong
menjadi merah sekali ketika dia bertemu pandang dengan dara itu. Dari pandang
mata itu dia melihat kemarahan!
“Ahhh, aku
hanya bermaksud agar kita dapat melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada maksud
lain,” katanya menghela napas.
Sejenak
mereka berpandangan, kemudian Pek In menunduk. “Maafkan aku.... aku.... biarlah
aku lari sendiri saja.”
“Terserah.”
Mereka lalu
berlari mendaki bukit itu. Akan tetapi Kam Hong maklum bahwa betapa pun
lihainya nona ini, namun dalam hal berlari cepat, dia masih kalah jauh
dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka kalau terlalu lama waktunya berlari,
tentu akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok. Dugaannya benar karena kini
terdengar bentakan-bentakan dari belakang, tanda bahwa lima orang lawan itu
sudah mengejar semakin dekat.
“Nona,
mereka telah datang dekat,” kata Kam Hong, tidak berani menawarkan lagi untuk
memondong nona itu, meski pun dia ingin sekali untuk diperbolehkan
memondongnya, karena dengan jalan itu dia masih sanggup untuk melarikan diri
dari jangkauan lima orang itu.
Akan tetapi
Pek In berkata, sambil menunjuk ke depan. “Tempat Suheng sudah dekat!”
“Kalau
begitu, cepatlah kau lari ke sana dan berlindung, biar aku menghalangi mereka
mengejarmu, Nona,” kata Kam Hong.
Dan dia
sudah berdiri tegak membalikkan diri, menanti datangnya lima orang itu dengan
kipas di tangan kiri dan suling emas di tangan kanan. Sikapnya amat gagah
sehingga sejenak Pek In memandang penuh kagum, kemudian dia pun segera lari
menuju ke lereng bukit di mana dia tahu terdapat goa tempat suhengnya bertapa
dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia belum pernah
memasuki goa itu karena dilarang oleh ayahnya, akan tetapi dia sudah tahu
tempatnya, maka kini dia pun tidak ragu-ragu lari menuju ke situ.
Sementara
itu, Kam Hong yang berdiri tegak itu, menghadang datangnya kelima orang Im-kan
Ngo-ok, kini sudah berhadapan dengan mereka..
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment