Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 23
Akan tetapi
ketika orang yang mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut
dan kagum. Orang itu dengan langkah lebar menghampirinya dan kini mereka saling
berhadapan, saling pandang dengan kagum. Ceng Liong memandang penuh selidik.
Belum pernah dia melihat orang ini.
Seorang
laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan
bersikap gagah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar seperti yang biasa
dipakai para pemburu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari
kepala sampai ke kaki, seluruh sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan
kegagahan yang sangat mengagumkan hati Ceng Liong.
Ceng Liong
dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang gagah yang tidak dikenalnya,
maka dia pun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai
penghormatan dan berkata, “Bolehkah saya bertanya? Siapa nama saudara yang
gagah dan ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?”
Pria itu
tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi. “Aku melihat
engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku berlatih bersamamu. Orang
muda, layanilah aku barang sepuluh dua puluh jurus!” Berkata demikian, pria itu
sudah menyerang maju dan mengirim pukulan ke arah dada Ceng Liong!
Tentu saja
pemuda ini cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai
sasaran itu sudah disusul oleh serangkaian pukulan lagi yang semakin lama
menjadi semakin dahsyat.
“Plakk! Plakk!”
Terpaksa
Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu sekarang
menggunakan lengannya menangkis. Tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan
tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan
yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat! Ceng Liong kini membalas
serangan dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang
dengan jurus-jurus pukulan yang aneh dan dahsyat.
Keduanya
menjadi semakin gembira ketika mendapatkan kenyataan bahwa lawannya benar-benar
amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang, Ceng Liong maklum bahwa
orang itu memang hanya ingin mengujinya, maka dia pun melayani orang itu dengan
gembira dan diam-diam dia pun mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk memenangkan
pertandingan itu.
Ketika
pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus,
nampak bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian
In sudah berdiri di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis
berkerut dan terheran-heran.
Mereka tak
mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding
dengan putera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami
isteri sakti ini pun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan
sungguh-sungguh, melainkan lebih tepat kalau dikatakan berlatih atau saling
menguji ilmu masing-masing.
Mendadak,
pria gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat ke
belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan sikap hormat
dan muka tersenyum ramah.
“Aku berani
bertaruh bahwa pemuda ini tentulah putera Pendekar Siluman Kecil!”
Suma Kian Bu
dan isterinya cepat-cepat membalas penghormatan tamu itu. “Siapakah saudara
yang gagah perkasa ini?” tanyanya, ditujukan kepada tamunya dan kepada
puteranya juga.
Ceng Liong
tidak menjawab karena memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi
laki-laki gagah perkasa itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha
begitu banyakkah aku berubah? Suma-taihiap sudah tidak mengenali aku, si
pemburu miskin ini?”
Suma Kian Bu
memandang lebih teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu, kemudian
wajahnya nampak berseri, sepasang matanya mencorong dan dia pun lalu berseru,
“Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong Bu! Ceng Liong, beri hormat kepada paman
Sim Hong Bu ini! Dia adalah jagoan yang lihai sekali dari Lembah Gunung Naga
Siluman, ha-ha-ha!” Kian Bu girang bukan main dan Ceng Liong lalu memberi
hormat kepada orang yang tadi telah mengujinya.
Sim Hong Bu
juga tertawa. “Suma-taihiap bersama isteri semakin gagah saja, dan telah
memiliki seorang putera yang sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Pemurah,
menurunkan berkah melimpah kepada keluarga pendekar budiman!”
“Sudahlah,
saudara Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam,
kami rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa,” kata Suma Kian Bu.
“Sesungguhnyalah,
saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat penting.”
Dengan sikap
gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu dan tak lama kemudian
mereka sudah duduk di ruangan dalam, menghadapi hidangan dan minunan yang
dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan hidangan sekedarnya dan saling
menceritakan keadaan masing-masing, Suma Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi
lalu bertanya,
“Nah,
saudara Sim, sekarang keluarkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud yang
terkandung di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?”
“Tidak begitu
jauh, Suma-taihiap, karena sudah semenjak kurang lebih tiga tahun lalu aku
meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah taihiap sekeluaga
selama ini tidak mendengar sesuatu yang sedang bergejolak di dunia para
pendekar?”
Suma Kian Bu
saling pandang dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala. “Selama
tiga tahun ini, kami bertiga tidak pernah meninggalkan rumah. Kami tidak tahu
dan tidak mendengar apa pun tentang dunia kang-ouw. Ada terjadi apakah, saudara
Sim?”
“Taihiap,
kami para patriot menganggap bahwa kini sudah terlalu lama kita membiarkan diri
ditindas kaum penjajah, bahwa kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha
meronta dan membebaskan diri dari pada belenggu penjajahan!”
Suma Kian Bu
dan Teng Siang In mendengarkan dengan alis berkerut. Itu berarti pemberontakan!
“Tapi.... tapi....,” keduanya menggagap.
Sim Hong Bu
bersikap serius. “Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini para
patriot bangkit? Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan bangsa kita telah
dikuasai penjajah asing selama kurang lebih seratus tahun lamanya! Masih kurang
lamakah itu? Kekayaan tanah air dikeruk oleh bangsa lain. Semua kedudukan
tinggi di pegang oleh tangan asing. Lihat ini....!” Sim Hong Bu menggerakkan
kepalanya dan kuncirnya yang tebal itu terlepas dari gelungnya. “Kita harus
berkuncir seperti ekor anjing! Kita dihina, ditindas, diperas. Bangsa Han yang
besar kini telah menjadi bangsa penjajahan yang diperbudak oleh segelintir
orang-orang Mancu. Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan
penjajahan, apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa
budak?”
Pria yang
gagah perkasa itu bicara dengan sikap gagah, dengan sepasang mata yang
mencorong seperti berapi-api. Agaknya semangat kepatriotannya itu membakar pula
dada Suma Kian Bu dan Teng Siang In. Kedua orang suami isteri ini beberapa kali
saling pandang dan wajah mereka berubah merah, mata mereka bersinar-sinar dan
bersemangat.
Teng Siang
In mulai mengangguk-angguk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh semangat itu.
Akan tetapi, sebelum dia mengeluarkan sepatah kata pun, suaminya telah
mendahuluinya berkata,
“Memang,
sesungguhnya kami pun tidak buta terhadap itu semua, saudara Sim. Sejak kecil
aku sudah melihat akan semua itu, sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah
oleh orang-orang Mancu. Akan tetapi.... karena kita tidak berdaya....”
“Tentu saja
tidak berdaya kalau kita tetap diam saja!” Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar
yang selalu dikaguminya itu. “Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa
kita. Kita diamkan saja berarti anak cucu kita akan terus menjadi budak-budak
hina. Dan apa artinya kita menyebut diri sebagai orang-orang gagah kalau kita
membiarkan mala petaka ini terjadi? Apakah kita tidak akan malu terhadap leluhur
kita? Terhadap tanah air kita?”
“Engkau
betul!” Teng Siang In berseru, tak tahan lagi. “Kita memang harus bergerak!”
Suma Kian Bu
mengangguk-angguk. “Biar pun nampaknya mustahil, akan tetapi, kalau kita mau
bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan, agaknya bukan tak mungkin pada
suatu hari kita melihat negara dipimpin oleh bangsa sendiri.” Ia berhenti
sebentar, lalu melanjutkan. “Dan kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu,
mengandung tugas apa lagi, saudara Sim?”
“Harap
taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan ini, secara rahasia para pendekar
yang berjiwa patriot telah mulai mengadakan hubungan, di mana-mana telah
diadakan pertemuan rahasia dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja
sendiri-sendiri lebih dahulu, menyebar luaskan niat rahasia untuk mengusir
penjajah. Mengumpulkan teman-teman sehaluan, menyusun kekuatan dan kelak akan
diadakan pertemuan besar di antara para tokoh besar dunia kang-ouw. Dalam
pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang harus kita
lakukan. Nah, dalam tugas menyebar luaskan dan mencari teman sehaluan inilah
aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini.”
“Bagus! Kami
setuju sekali dan kami siap untuk membantu!” kata Suma Kian Bu dengan nada
suara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini berseri-seri sedangkan
sepasang matanya semakin mencorong dan bersinar.
“Ah, sudah
kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah perkasa tentu akan
mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ini
membutuhkan persatuan tenaga semua pendekar, terutama sekali tenaga-tenaga muda
seperti putera Suma-taihiap ini.”
Sim Hong Bu
memandang kepada Ceng Liong yang semenjak tadi nampak diam dan menundukkan
mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan dia tidak nampak
segembira ayah ibunya.
“Tentu saja
Ceng Liong akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para pendekar.
Bukankah begitu, anakku?” kata Teng Siang In dengan bangga.
Pemuda itu
mengangkat muka memandang ibunya, kemudian ayahnya dan tamu itu. Akhirnya dia
menarik napas panjang. “Nanti dulu, ibu. Aku tentu tidak bisa mengambil
keputusan seketika saja. Peristiwa ini datangnya secara tiba-tiba sekali,
membuat aku bingung dan banyak sekali hal-hal yang tidak aku mengerti.”
“Hal-hal
apakah yang belum kau mengerti?” Ayahnya bertanya.
“Maaf, ayah.
Aku sungguh merasa bingung melihat betapa ayah dan ibu secara tiba-tiba merubah
pendirian menjadi berlawanan dari yang sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah
dan ibu selalu menentang pemberontakan? Bukankah ayah juga selalu memihak
kepada kaisar kalau terjadi pemberontakan? Bahkan ayah pernah bercerita
kepadaku betapa ayah dan ibu menyelamatkan kaisar dari serangan kaum
pemberontak. Dan sekarang? Aku mendengar ayah dan ibu menyetujui paman Sim ini
dan berjanji akan membantu para pemberontak! Bagaimanakah ini?”
“Liong-ji!
Tidak pantas kau menegur ayahmu di depan tamu!” Ibunya berseru menegur.
Akan tetapi
Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nampak kagum dan wajah mereka berseri.
“Biarlah,
dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya,” kata
Suma Kian Bu.
“Hemm,
pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw-sicu tadi memang bagus, menandakan bahwa dia
mempergunakan akal budi dan tidak hanya main ikut-ikutan saja seperti kebanyakan
orang lain,” kata pula Sim Hong Bu sambil mengangguk-angguk.
“Ceng Liong,
kalau tidak diberi penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu
menghantui batinmu. Engkau harus tahu membedakan antara pendekar dan patriot.
Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berjiwa patriot walau
pun sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air dan bangsa
bukanlah pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot berjiwa pendekar
walau pun hal ini patut disayangkan.”
“Adakah
perbedaan antara pendekar dan patriot?” Ceng Liong bertanya.
“Seorang
pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan dipandang dari sudut
peri kemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela yang lemah tertindas, dan
menentang yang kuat dan jahat, tanpa memandang bulu, tidak melihat kedudukan
atau derajat. Biar kaisar mau pun pengemis, bila terancam dan membutuhkan
pertolongan, tentu akan ditolongnya. Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong
kaisar, ketika itu kami bertindak seperti pendekar. Akan tetapi seorang patriot
adalah seorang pembela tanah air dan bangsa, baik untuk menentang pihak yang
hendak mencelakakan bangsa mau pun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi nusa
bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu pejuangan yang hendak
membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu.”
“Akan
tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang
kaisar yang baik dan bijaksana?” bantah Ceng Liong.
Mendengar
pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu
yang tersenyum sabar dan mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja
maklum sepenuhnya akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian
Liong adalah seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.
“Ceng Liong,
urusan patriot adalah urusan negara dan bangsa, bukan urusan pribadi atau
perorangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang
kaisar yang baik dan bijaksana. Akan tetapi jangan lupa bahwa dia itu kaisar
penjajah! Pemerintahannya menindas dan memeras bangsa kita. Bukan pribadi
Kaisar Kian Liong yang kita musuhi, melainkan pemerintah penjajah! Mengertikah
engkau?”
Pemuda itu
menggeleng kepala. “Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah yang
pernah aku baca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan bangsa
sendiri, rakyat banyak pula mengalami penderitaan. Bahkan di jaman Beng-tiauw
sebelum Bangsa Mancu datang, banyak tercipta kaisar lalim dan pemerintahanya
menindas dan menghisap rakyat. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong ini mencinta
rakyat. Bukankah itu berarti bahwa pemerintah penjajah di dalam tangan Kaisar
Kian Liong jauh lebih baik dari pada pemerintah bangsa sendiri di dalam tangan
kaisar-kaisar lalim?”
Ketiga orang
sakti itu menggelengkan kepala. “Tidak, tidak demikian, anakku. Hal ini
menyangkut martabat bangsa! Betapa pun jeleknya pemerintahannya, kalau berada
di tangan bangsa sendiri, kekayaan tanah air tidak akan mengalir keluar. Pula,
rakyat jelata akan dapat sewaktu-waktu mengganti kaisar seperti yang sering
kali terjadi. Sebaliknya, kalau pemerintahan penjajah, kita menjadi bangsa
taklukan, menjadi budak dan mengalami penghinaan. Seperti keharusan memakai
kuncir seperti ekor binatang, larangan membawa senjata, pajak-pajak yang berat,
kerja paksa dan lain-lain.” Suma Kian Bu menjelaskan.
“Akan
tetapi, kalau begitu mengapa tidak dari dulu-dulu ayah ibu bangkit menentang
pemerintah penjajah? Mengapa ayah dan ibu pernah membantu pemerintah menentang
pemberontakan?”
“Itu lain
lagi, anakku.” kata ibunya. “Kalau saatnya belum tiba, patriot menyimpan saja
cita-cita dalam hatinya dan kita bertindak sebagai pendekar. Bagi patriot, yang
penting adalah membantu dan membela rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas
para patriot adalah mengusir penjajah. Akan tetapi sementara itu, kalau saatnya
belum tiba, lebih dulu kita membantu penguasa yang baik, menentang penguasa
lalim.”
“Tapi,
bukankah sudah beberapa kali terjadi pemberontakan? Gubernur di barat pernah
memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu tidak membantu
pemberontakan seperti itu?”
“Bolehkah
aku menjelaskan?” berkata Hong Bu, dan melihat tuan dan nyonya rumah
mengangguk, dia melanjutkan. “Ada bermacam-macam pemberontak, orang muda yang
gagah. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang tadinya
sudah menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus menentang
pemberontakan seperti itu karena kalau perberontakan itu menang, berarti negara
kita jatuh ke dalam cengkeraman penjajah asing lainnya. Ada pemberontakan
golongan penguasa yang berusaha merebut kekuasaan demi ambisi pribadi, dan
pemberontakan macam ini pun tidak akan didukung para patriot karena golongan
itu tidak mewakili rakyat. Para patriot sudah menanti sampai seratus tahun,
menanti kesempatan baik. Dan kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan
tenaga, berjuang membebaskan rakyat, mengusir penjajah!”
“Kita usir
penjajah!” teriak Suma Kian Bu dan isterinya.
Melihat ini,
Ceng Liong mengerutkan alisnya. “Ayah, satu pertanyaan lagi.”
“Tanyalah.”
“Tapi harap
ayah dan ibu tidak marah.”
“Mengapa
marah? Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi
baik sekali.”
“Nah, ayah
dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu. Akan tetapi, ayah,
ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak dapat dibantah oleh siapa pun
juga, yaitu bahwa keluarga Pulau Es tidak dapat dipisahkan dengan keluarga
Kerajaan Ceng. Ayah, bukankah dalam tubuh kita masih mengalir darah Mancu?
Apakah kita harus melupakan kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri
Mancu yang bahkan pernah menjadi panglima? Dan bibi Puteri Milana pernah
menjadi panglima juga? Bukankah mendiang kakek Suma Han tidak pernah menentang
kerajaan?”
Mendengar
pertanyaan ini, Teng Siang In terbelalak lalu menundukkan mukanya. Juga Sim
Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Mereka ini tahu betapa gawatnya
pertanyaan itu dan hendak menyerahkan jawabannya sepenuhnya kepada Pendekar
Siluman Kecil itu. Suma Kian Bu sendiri terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya
ini merupakan serangan yang membuatnya lumpuh sejenak. Akan tetapi, dia pun
lalu tersenyum dan menatap wajah puteranya dengan tenang.
“Liong-ji,
dengarkan baik-baik. Aku tak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu
Puteri Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah kenyataannya.
Beliau sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es. Kakekmu, mendiang
ayahku itu pun tidak pernah membantu pemerintah Mancu. Mereka memang tidak
memperlihatkan permusuhan, tidak bersikap menentang Kerajaan Mancu, akan tetapi
karena selama itu belum pernah para patriot berkesempatan untuk bangkit. Lihat
saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana juga sekali waktu saja menjabat panglima,
hanya untuk memadamkan pemberontakan golongan lain dan sama sekali bukan
pemberontakan para patriot? Hendaknya engkau mengetahui betul. Puteri Milana
juga pergi mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng, menyepi
di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Memang banyak pendekar-pendekar
besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong
sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu disalahkan. Seperti kau dengar
tadi, tugas seorang patriot terbagi dua. Kalau para patriot belum sempat
bangkit mengusir penjajah, mereka itu bertugas melindungi rakyat dan
mengarahkan pemerintahan penjajah itu pada jalan yang benar, dan hal itu baru
dapat dilaksanakan kalau mereka duduk di dalam roda pemerintahan itu sendiri.
Mengertikah engkau?”
Mendengar
kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan kadang-kadang Sim Hong Bu
juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng Liong mengerti dan dia pun
menyambut cita-cita perjuangan para patriot itu dengan semangat menyala-nyala.
Sampai larut
malam empat orang itu bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim Hong
Bu menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para
patriot sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan, menyelidiki
keadaan dan kekuatan pemerintah.
“Ada satu
hal yang amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan
seperjuangan,” antara lain Sim Hong Bu bercerita. “Yaitu mengenai diri Jenderal
Muda Kao Cin Liong.”
Tentu saja
nama ini membuat keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama sekali Ceng Liong
yang mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang membuat dia teringat
akan semua pengalamannya di Pulau Es menjelang hancurnya dan lenyapnya pulau
itu.
“Paman Sim,
ada apakah dengan kanda Cin Liong?” tanyanya.
Mendengar
sebutan ini, Sim Hong Bu mengangguk-angguk. “Aku sudah mendengar bahwa antara
keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan yang cukup dekat. Dan karena
itu pula aku datang.”
“Apakah yang
terjadi?” Suma Kian Bu khawatir. “Kami baru saja menerima kabar baik dari kota
raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan keponakanku, Suma
Hui.”
“Bagus! Kami
pun sudah mendengar akan berita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita semua
untuk berkumpul di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa
Jenderal Kao Cin Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat
sekali dengan kaisar. Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan
yang amat kuat dan menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang
berbahaya.”
“Dan
maksudmu dengan kami?” tanya Kian Bu.
“Demi
perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan penjajagan,
menyelidiki kemungkinan-kemungkinan menarik jenderal itu ke pihak kita. Ia
menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau kita berhasil menariknya,
berarti bahwa setengah dari perjuangan kita sudah menang!”
Suma Kian Bu
mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Memang siasat itu bagus sekali.
Akan tetapi engkau juga tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Kita tidak boleh sembarangan bertindak.
Agaknya untuk menarik jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang
aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Kao....”
“Serahkan
saja padaku, ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku
dapat mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana
nada bicaranya,” kata Ceng Liong.
Ayahnya
mengangguk setuju. “Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami
mengadakan kontak dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua.
Kami hanya akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba.”
Setelah
mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong Bu berpamit.
Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang tuanya untuk mulai
dengan perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda dengan ketika dia hilang
diculik Hek-i Mo-ong. Kini dia melakukan perjalanan sebagai pendekar muda yang
lihai sekali, yang mewakili orang tuanya untuk mengadakan kontak dengan para
patriot, membantu persiapan perjuangan dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin
Liong ke pihak para pejuang.
Dia kini
sudah berusia hampir sembilan belas tahun dan dalam hal ilmu silat, dia sudah
setingkat dengan ayahnya! Hanya mungkin dia masih kalah dalam hal ginkang, akan
tetapi sudah pasti dia lebih kuat dalam hal sinkang. Dia kini dapat
mempergunakan sumber tenaga sinkang yang diterima langsung dari kakeknya,
mendiang Suma Han atau Pendekar Super Sakti atau majikan Pulau Es! Bahkan kini
dia telah menguasai pula ilmu sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.
***************
Rumah
perkumpulan Pek-eng-pang di kota Nam-san di sebelah selatan Tai-goan pada pagi
hari itu nampak ramai sekali dikunjungi banyak tamu. Pek-eng-pang (Perkumpulan
Garuda Putih) adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang sangat
terkenal. Ketuanya, Song-pangcu yang usianya sudah lima puluh tahun lebih
adalah seorang murid Siauw-lim-pai, tentu saja lihai ilmu silatnya. Karena dia
mempunyai keistimewaan dalam Ilmu Silat Garuda dan mengembangkannya, maka dia
menamakan perguruannya Pek-eng-pang. Dia dan para muridnya selalu memakai baju
putih, sesuai pula dengan nama perkumpulan.
Song-pangcu
terkenal sebagai orang gagah yang rendah hati dan semua muridnya menerima
gemblengan keras sehingga para murid itu selain pandai bersilat, juga pandai
membawa diri dalam masyarakat. Hal ini membuat Pek-eng-pang terpandang dan
dihormati golongan kang-ouw.
Tidak
mengherankan apabila pada pagi hari itu rumah perkumpulan Pek-eng-pang
dibanjiri tamu yang rata-rata adalah ahli silat dan orang-orang gagah, karena
pada hari itu Pek-eng-pang merayakan hari ulang tahun ke sepuluh dari
perkumpulan itu. Mereka terdiri dari wakil-wakil perguruan silat, piauwsu,
orang-orang gagah dan bahkan ada pula golongan perorangan yang tidak diketahui
benar kedudukannya, mungkin dari golongan hitam. Akan tetapi mereka semua
disambut dengan hormat oleh Song-pangcu sendiri yang ditemani empat orang murid
pertama yang bersikap gagah.
Para tamu
kehormatan dipersilakan duduk di panggung kehormatan bersama pihak tuan rumah.
Tamu-tamu yang tidak dikenal pun dipersilakan duduk di panggung samping kiri.
Pihak Pek-eng-pang sudah bersikap hati-hati dalam hal ini. Mereka tidak
mengenal para tamu itu. Siapa tahu di antara mereka terdapat orang-orang
pandai. Maka agar cukup menghormat, mereka dipersilakan duduk di panggung kiri.
Panggung kanan ditempati wakil-wakil perkumpulan lain yang memiliki kedudukan
sebagai murid saja, sedangkan orang-orang muda diberi tempat paling belakang.
Ketika tidak
nampak ada tamu baru, hidangan mulai dikeluarkan, disambut gembira oleh para
pemuda yang duduk di bagian belakang. Seperti biasanya, di mana pun juga, dalam
setiap pesta para pemuda yang berkumpul tentu bergembira ria dan suasana
menjadi meriah.
Akan tetapi
tiba-tiba muncul serombongan baru. Rombongan ini menarik perhatian karena sikap
dan pakaian mereka. Rata-rata belasan orang itu berwajah menyeramkan, bersikap
kasar dan congkak. Pakaian mereka serba hitam dan di tubuh mereka terdapat
senjata-senjata tajam.
Rombongan
tamu baru ini jelas-jelas merupakan sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang
laki-laki setengah tua bertubuh tinggi kurus yang mengiringkan seorang kakek
berusia enam puluh tahun yang berperut gendut. Hanya mereka berdua ini yang
bersikap tenang dan halus tidak seperti belasan anak buah mereka, walau pun
pada pandangan mereka dan gerak bibir seperti anggota rombongan yang lain,
yaitu penuh kecongkakan dan ketinggian hati.
Melihat
munculnya belasan orang yang jelas merupakan suatu golongan tertentu itu,
Song-pangcu dan empat muridnya cepat mengadakan sambutan. Dengan sikap hormat
ketua Pek-eng-nang ini memberi hormat, diturut oleh para muridnya, kepada
belasan orang tamu yang masih berdiri dengan sikap angkuh itu.
Akan tetapi,
hanya kakek gendut dan si tinggi kurus itu yang membalas penghormatan
Song-pangcu, sedangkan tiga belas orang anak-anak buah mereka sama sekali tidak
mempedulikan penghormatan itu. Kini Si tinggi kurus yang melangkah maju dan
bicara mewakili kakek gendut.
“Sudah lama
sekali kami dari Hek-i Mo-pang mendengar tentang Song-pangcu beserta
Pek-eng-pang. Karena kebetulan lewat dan mendengar bahwa Pek-eng-pang sedang
merayakan ulang tahun, kami semua dipimpin oleh suhu Boan It sengaja singgah
dan mengucapkan selamat!” Ucapan itu terdengar nyaring, dapat didengar oleh
semua yang hadir.
Banyak di
antara mereka yang terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Hek-i Mo-pang
(Perkumpulan Iblis Baju Hitam). Nama ini tak pernah menjadi kenyataan di dunia
kang-ouw, tetapi siapakah yang belum mendengar nama Hek-i Mo-ong pendiri Hek-i
Mo-pang?
Song-pangcu
juga terkejut sekali, akan tetapi diam-diam kurang percaya dan menduga bahwa
rombongan ini tentu hanya gerombolan liar saja yang mempergunakan nama itu
untuk menakuti orang. Betapa pun juga karena mereka datang sebagai tamu, dia
pun menghaturkan terima kasih atas ucapan selamat itu dan mempersilakan mereka
duduk. Dia mengisyaratkan para muridnya untuk mengantar rombongan baju hitam
itu ke panggung kiri di mana berkumpul tamu yang tak begitu dikenal. Panggung
inilah yang masih agak kosong.
Akan tetapi
ketika rombongan baju hitam tiba di panggung itu, si tinggi kurus menjadi
marah. Teriakannva lantang terdengar oleh semua tamu yang tentu saja memandang
ke arah rombongan yang masih berdiri berkelompok di depan panggung kiri itu,
dan tidak seorang pun di antara mereka mau duduk.
“Ini
penghinaan besar namanya! Dan kami dari Hek-i Mo-pang tidak bisa menerima
penghinaan orang begitu saja!” Si kurus berseru keras sedangkan kakek gendut
hanya berdiri dan menumbuk-numbukkan tongkat hitamnya di atas lantai dengan
alis berkerut marah.
Tentu saja
empat orang murid kepala Pek-eng-pang merasa tak senang. Sejak tadi pun mereka
merasa tak senang melihat sikap kasar orang-orang berpakaian hitam itu. Kalau
bukan suhu mereka yang mempersilakan gerombolan hitam itu duduk, agaknya mereka
akan lebih suka mengusir tamu-tamu tak diundang itu. Kini mendengar teriakan si
kurus yang sejak tadi menjadi pembicara, murid kepala yang tertua yang berkumis
panjang segera menjura kepada si tinggi kurus.
“Maafkan
kami yang tidak mengerti akan maksud ucapan saudara tadi! Siapa yang menghina
kalian?”
“Siapa lagi
kalau bukan Pek-eng-pang? Huh!”
Mendengar
ucapan ini dan melihat sikap si tinggi kurus, murid kepala yang termuda dari
Pek-eng-pang, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun bertubuh tegap yang
memang berdarah panas, segera menegur, “Ehh, saudara ini tamu tanpa diundang,
sudah kami terima dengan ramah, kenapa menuduh kami menghina? Jika bicara
urusan menghina, sikap kalian yang congkak itu baru menghina!”
Si tinggi
kurus mendelik ketika dia menoleh kepada murid Pek-eng-pang itu, kemudian
bertanya lambat-lambat dengan nada suara yang memandang rendah, “Kamu ini murid
Pek-eng-pang yang kelas berapa?”
Lelaki tegap
itu membusungkan dada. “Aku murid termuda di antara murid-murid kepala
Pek-eng-pang!”
“Begitukah?
Anak kecil mencampuri urusan orang tua. Pergilah!” Berkata demikian, si tinggi
kurus itu menggerakkan tangan kiri mendorong dada murid Pek-eng- pang. Tentu
saja yang didorong tidak tinggal diam dan cepat mengerahkan tenaga menangkis.
“Plak....
desss....!”
Kiranya
dorongan tangan kiri si kurus itu begitu tertangkis lantas mencuat ke atas dan
menampar muka murid Pek-eng-pang dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka.
Akibatnya muka murid termuda itu yang kena tampar dengan kerasnya sehingga
tubuh yang tegap itu terpelanting jauh dan roboh tak mampu bergerak lagi.
Kiranya tamparan itu telah membuat murid Pek-eng-pang itu pingsan dengan rahang
patah! Beberapa orang muda baju putih segera menolong dan menggotong masuk kawan
mereka yang pingsan itu.
Si tinggi
kurus tersenyum sinis. “Ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kemampuan murid
kepala Pek-eng-pang? Dan kelemahan seperti itu berani menghina Hek-i Mo-pang?
Hm, aku Ciong Ek Sim tak akan mau mengampuni!” Suaranya lantang, sikapnya
sombong, petentang-petenteng bertolak pinggang seperti seekor jago menantang
tanding.
Sikapnya itu
membuat para tamu merasa muak dan marah, tetapi nama Hek-i Mo-ong masih membuat
mereka merasa ngeri. Apa lagi tadi mereka telah melihat sendiri betapa lihainya
orang she Ciong yang tinggi kurus dan yang segebrakan saja telah merobohkan
seorang murid utama Pek-eng-pang itu.
Tiga orang
murid Pek-eng-pang yang lainnya menjadi penasaran, juga murid yang lain sudah
mengurung maju, siap menyerang tamu-tamu yang tak diundang yang agaknya mau
membikin kacau itu. Akan tetapi Ciu Hok Tek memberi isyarat kepada para anak
buah untuk mundur. Dia sendiri bersama dua orang sute-nya maju menghadapi Ciong
Ek Sim.
“Maafkanlah
kelancangan sute kami. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti, kenapa Hek-i
Mo-pang menuduh kami dari Pek-eng-pang melakukan penghinaan?”
Si tinggi
kurus mengerutkan alis. Dia maklum betapa semua orang yang berada di situ kini
menaruh perhatian dan semua orang memandang kepadanya. Maka dia berlagak,
bertolak pinggang dan mendelik kepada Ciu Hok Tek, murid pertama Pek-eng-pang
itu.
“Sudah
bersalah, masih pura-pura bertanya lagi? Sudah jelas kami semua mengiringi suhu
hadir di sini, tetapi kami orang Hek-i Mo-pang hanya disuruh duduk di panggung
samping! Kami mau disejajarkan dengan orang-orang biasa? Bukankah itu
penghinaan namanya. Apakah mereka yang duduk di panggung kehormatan itu lebih
tinggi ilmunya dari kami?”
“Sobat,
sikapmu ini sungguh terlalu!” Murid pertama Pek-eng-pang itu berkata, suaranya
dingin dan tegas. “Tuan rumah adalah raja di rumah sendiri. Semua peraturannya
harus ditaati tamu. Kalau tamu tidak suka dengan peraturan itu, silakan pergi,
kami pun tidak pernah mengundang Hek-i Mo-pang!”
Ucapan ini
mendapat sambutan para tamu yang rata-rata mengangguk membenarkan. Agaknya
tidak ada tamu yang memihak Hek-i Mo-pang. Akan tetapi Ciong Ek Sim si tinggi
kurus baju hitam itu tersenyum mengejek.
“Ha-ha, kau
mau bersikap gagah-gagahan ya? Bagaimana pun juga, Pek-eng-pang telah menghina
kami dan aku tidak terima!”
“Habis, kau
mau apa?” Ciu Hok Tek membentak.
“Ketua
Pek-eng-pang sendiri harus minta maaf kepada suhu kami, barulah kami mau
mengampuni, dan memberi tempat di panggung kehormatan untuk kami!” kata Ciong
Em Sim dengan galak.
Mendengar
ucapan ini, para tamu menjadi semakin penasaran. Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara Song-pangcu yang tenang menyuruh tiga orang muridnya mundur.
Kemudian dia sendiri turun dari panggung kehormatan, menghampiri kakek gendut
baju hitam yang bernama Boan It, menjura dan berkata, “Saudara pemimpin Hek-i
Mo-pang harap maafkan kelancangan murid-murid kami.”
Sikap
merendah tuan rumah ini memanaskan hati para tamu. Mereka melihat sendiri bahwa
gerombolan baju hitam itulah yang membikin kacau, bahkan berani melukai murid
tuan rumah, akan tetapi malah pihak tuan rumah yang meminta maaf. Ini sudah
keterlaluan sekali.
Boan It,
kakek gendut tokoh Hek-i Mo-pang yang sejak tadi hanya diam saja, kini menumbuk
lantai dengan tongkatnya dan membentak, “Berlutut!”
Suasana
menjadi bising. Para tamu berbisik-bisik marah. Betapa kurang ajarnya kakek
gendut itu. Betapa sombongnya. Song-pangcu sendiri menjadi merah mukanya. Dia
sudah banyak mengalah untuk menghindarkan keributan dalam pestanya. Akan tetapi
gerombolan hitam itu sungguh tak tahu diri!
“Sobat-sobat
dari Hek-i Mo-pang! Sebetulnya, kalian datang mau apakah? Kami merasa tidak ada
urusan dengan kalian!” Akhirnya dia pun berkata, hilang kesabarannya.
“Ha-ha-ha!
Pangcu dari Pek-eng-pang! Kamu sudah terlanjur menghina kami, sekarang kami
menantang. Hayo perlihatkan bahwa Pek-eng-pang memang berkulit baja dan
bertangan besi! Kalau kami dapat dikalahkan, baru kami mau pergi!” kata si
tinggi kurus mewakili gurunya.
Setelah
berkata demikian, dengan tangan kirinya dia membuat gerakan mendorong ke
samping. Angin pukulan menyambar ke arah seorang tamu muda yang sedang enak-
enak duduk nonton percekcokan itu. Pemuda itu berseru kaget ketika tubuhnya
tiba-tiba terdorong dan terpental jatuh dari kursinya.
Ketika Ciong
Ek Sim menarik tangannya, kursi kosong bekas pemuda itu melayang ke arahnya.
Kursi ditangkapnya dan dia berkata kepada si kakek gendut, “Harap suhu duduk
saja, biar aku yang menghajar tikus-tikus yang sudah berani menentang Hek-i
Mo-pang!”
Kakek gendut
itu tersenyum, menerima kursi lalu duduk di atasnya. Muridnya berkata,
“Tidakkah suhu sebaiknya menanti di panggung kehormatan?”
Kakek itu
mengangguk. Tiba-tiba dia menggunakan tongkatnya menekan lantai dan....
tubuhnya berikut kursi yang sedang diduduki itu terbang melayang ke atas
panggung kehormatan dan akhirnya hinggap berada di deretan terdepan!
Tentu saja
demonstrasi yang baru diperlihatkan Ciong Ek Sim dan Boan It itu membuat semua
orang melongo! Itulah bukti kepandaian yang amat hebat! Bahkan Song-pangcu
sendiri terkejut. Dia maklum bahwa yang diperlihatkan kakek gendut Boan It itu
adalah kehebatan ginkang dan sinkang sekaligus!
Akan tetapi,
para murid Pek-eng-pang selalu digembleng kegagahan oleh guru mereka. Biar pun
mereka juga tahu akan kelihaian si kurus Ciong Ek Sim, akan tetapi mereka tidak
menjadi gentar. Seorang di antara tiga murid utama sudah meloncat ke depan
Ciong Ek Sim, membentak dengan marah.
“Ciong Ek
Sim! Seorang gagah tak takut mati dalam menentang kejahatan, dan kalian
orang-orang Hek-i Mo-pang adalah penjahat-penjahat besar!” Setelah berkata
demikian, dia menyerang dengan pukulan tangan kanan yang terbuka sehingga
membentuk cakar garuda ke arah kepala si tinggi kurus. Itulah jurus serangan
Pek-eng-kun (Silat Garuda Putih) ciptaan Song-pangcu sebagai perkembangan dari
ilmu silat garuda Siauw-lim-pai.
“Plakkk!”
Tanpa
merubah kedudukan tubuhnya, seenaknya saja Ciong Ek Sim menangkis dengan tangan
kiri, akan tetapi agaknya dia sudah mengerahkan tenaganya sehingga tubuh murid
Pek-eng-pang terhuyung ke belakang.
“Ha-ha,
tikus macam kamu ini tidak ada harganya, tak pantas melawanku! Suruh saja
gurumu yang maju, atau kalian bertiga maju berbareng!” Ciong Ek Sim tertawa
dengan congkaknya.
Tiga orang
murid Pek-eng-pang menjadi semakin marah. Ciu Hok Tek sendiri, si murid kepala,
berseru keras dan menerjang ke depan, melakukan serangan dahsyat. Ciu Hok Tek
ini adalah murid pertama, tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari
pada para sute-nya. Ketika dia menyerang, kedua tangannya mengeluarkan angin
pukulan yang menyambar keras dengan bunyi bersiutan.
Akan tetapi,
tetap saja Ciong Ek Sim merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Semua
pukulan atau cengkeramannya dapat dielakkan atau ditangkis. Dan dia pun hanya
dapat bertahan selama sepuluh jurus saja karena begitu Ciong Ek Sim membalas
dengan tendangan kaki yang menyambar dari samping, lambungnya terkena tendangan
yang membuat tubuhnya terbanting cukup keras!
Dua orang
sute-nya maju menyerang, tetapi mereka pun bukan lawan yang seimbang, segera
disambut tamparan dan tendangan yang membuat mereka jatuh bangun! Ciong Ek Sim
menghajar tiga orang murid pertama Pek-eng-pang sambil tertawa-tawa. Jelas dia
mempermainkan karena kalau dia menghendaki, agaknya dengan mudah dia akan mampu
membunuh tiga orang lawan itu.
Kini semua
tamu menjadi terkejut. Mereka semua kini tahu bahwa orang Hek-i Mo-pang itu
lihai bukan main. Tiga belas orang anak buah Hek-i Mo-pang dengan mudah segera
memperoleh kursi yang ditinggalkan para tamu yang menjauhkan diri, nonton
sambil bersorak dan tertawa-tawa, kadang-kadang bertepuk tangan setiap kali
tangan Ciong Ek Sim merobohkan seorang lawan. Suasana menjadi tegang. Para tamu
memandang marah, tegang dan khawatir. Hanya orang-orang Hek-i Mo-pang itu saja
yang gembira sambil menyambar guci-guci arak dan meminumnya.
“Haaaitt....!”
Seorang
murid Pek-eng-pang menyerang dengan tubuh meloncat dan menerkam. Inilah jurus
Garuda Putih Menyambar Ayam yang dilakukan sambil meloncat, merupakan jurus
serangan nekat dan berbahaya, baik yang diserang mau pun yang menyerang. Akan
tetapi, sambil tersenyum mengejek, Ciong Ek Sim menyambutnya dengan tendangan
keras yang mengenai perut lawan.
“Ngekk!”
Tubuh murid
Pek-eng-pang itu terpental dan terbanting dalam keadaan pingsan. Anak buah
Hek-i Mo-pang bersorak gembira.
“Hyaaatt!”
Murid kepala
Pek-eng-pang yang ke dua juga menerjang marah, bahkan sekali ini dia
menggunakan sebatang pedang. Namun Ciong Ek Sim dapat mengelak dengan mudah.
Ketika pedang itu lewat, tendangan kakinya pada tangan lawan membuat pedang
terlempar ke atas lantai kemudian sekali sambar, tangan kirinya menjambak
rambut kepala lawan dan tangannya menampari kedua pipi lawan. Terdengar suara
plak-plok berkali-kali dan ketika dia melepaskan jambakan dan mendorong, tubuh
lawan itu terpelanting tak mampu bangun lagi, dengan kedua pipi bengkak-bengkak
matang biru!
Melihat ini,
Ciu Hok Tek kemudian menjadi nekat. Di antara empat orang murid kepala
Pek-eng-pang, tiga orang sudah roboh pingsan dan digotong pergi kawan-kawannya,
tinggal dia seorang sebagai murid pertama. Tadi pun kalau dia tidak bertindak
hati-hati dan pertahanannya lebih kuat dari pada sute-nya, tentu dia pun sudah
roboh.
“Biar aku
mengadu nyawa denganmu!” teriaknya marah dan dia pun menerjang sengit, mengirim
pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan bertubi-tubi dan dahsyat karena dia
telah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Tingkat
kepandaian Ciu Hok Tek tidak boleh disamakan dengan tingkat para sute-nya. Biar
pun dia masih bukan tandingan murid kepala Hek-i Mo-pang, namun desakan yang
dilakukan dengan nekat itu sempat membuat lawan terhuyung dan sebuah tendangan
kilat sempat mencium pinggul Ciong Ek Sim.
Melihat ini,
terdengar sorakan gembira yang segera disusul tepuk tangan pujian para tamu.
Jelaslah, para tamu ini ingin sekali melihat si tinggi kurus yang congkak itu
kalah.
Si tinggi
kurus menjadi marah, melirik ke arah orang yang pertama kali menyorakinya tadi.
Kiranya orang itu adalah pemuda yang tadi kursinya dirampas untuk diberikan
kepada gurunya. Pemuda itu memang kelihatan gembira sekali dengan desakan murid
Pek-eng-pang tadi dan kini pun masih bertepuk-tepuk tangan walau pun tamu-tamu
lain sudah berhenti bersorak karena dia telah mampu mematahkan serbuan Ciu Hok
Tek.
“Hem, hanya
sekiankah kepandaianmu? Keluarkan semua, atau kamu berlutut minta ampun dengan
mencium kakiku, baru akan kuampuni kamu!” kata Ciong Ek Sim dengan lagak
sombong.
Pemuda
bersorak tadi kini berteriak, “Ciu-eng-hiong, hajar monyet hitam itu! Pukul dan
tendang lagi!”
Teriakannya
ini pun diikuti teriakan banyak orang untuk menambah semangat pria baju putih
yang mewakili Pek-eng-pang itu. Namun diam-diam Ciu Hok Tek terkejut sekali.
Dia tadi sudah mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun hanya mampu
membuat lawan keserempet tendangan dan terhuyung. Maklum bahwa dia tidak akan
menang, dia menjadi nekat. Disambarnya sebatang pedang dari tangan salah
seorang sute-nya dan sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia pun menerjang
maju.
Sekali ini
Ciong Ek Sim sudah siap. Kalau tadi dia sampai terkena tendangan adalah karena
dia terlalu memandang rendah sehingga agak lengah. Kini, melihat lawan
menyerang dengan pedang, dia menghadapi dengan tangan kosong saja. Si baju
hitam itu mendengus penuh ejekan dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan
bergerak-gerak lincah di antara sambaran sinar pedang.
“Plakkk!”
Tiba-tiba
dengan tangan terbuka Ciong Ek Sim menangkis pedang membuat pedang terpental
dan hampir terlepas! Ciu Hok Tek kaget bukan main, demikian pula para tamu. Si
tinggi kurus itu demikian lihainya sehingga berani menangkis pedang dengan
tangan terbuka! Bukan hanya menangkis karena di lain saat dua buah tangan yang
jarinya kecil-kecil panjang itu sudah berhasil pula menangkap pergelangan
tangan Ciu Hok Tek sedemikian kuatnya membuat murid Pek-eng-pang itu tidak
mampu berkutik!
Akan tetapi
Hok Tek sudah nekat. Karena kedua tangannya seperti terjepit baja yang amat
kuat, dia lalu menggerakkan kaki untuk menendang ke arah selangkangan lawan!
“Heh-heh-heh-heh!”
Ciong Ek Sim terkekeh mengejek dan menekan tangan lawan yang memegang pedang ke
bawah!
Hok Tek terkejut,
tetapi sudah terlambat untuk menghindar! Paha kaki yang menendang disambut
ujung pedang sendiri dan celana berikut kulit dan daging pahanya terobek. Darah
muncrat dan terpaksa dia melepaskan pedangnya. Pada saat itu Ciong Ek Sim sudah
memuntir tangannya yang kiri ke belakang. Demikian kuatnya puntiran itu, tak
terlawan olehnya sehingga tubuhnya terputar membelakangi lawan. Ketika itu si
tinggi kurus berbaju hitam mendorong lengan kirinya ke atas punggung, dia
terbungkuk dan tak mampu bergerak lagi. Rasa nyeri pada pangkal lengan yang
ditekuk itu membakar seluruh tubuhnya.
“Ha-ha-ha,
tikus cilik! Kamu murid pertama Pek-eng-pang, bukan? Nah, berlututlah dan minta
ampun pada tuanmu baru aku akan mengampunimu!” kata si tinggi kurus dengan muka
penuh ejekan.
Para tamu
melihat dengan muka tegang dan pucat. Keadaan Ciu Hok Tek memang sudah tak
mampu bergerak lagi, nyawanya berada dalam tangan tokoh Hek-i Mo-pang itu.
Tentu saja mereka tegang sekali, ingin sekali melihat apakah murid Pek-eng-pang
itu mau minta ampun secara terhina itu dan apakah si baju hitam itu benar-benar
akan membunuh lawannya yang sudah tak berdaya itu.
"Ciong Ek Sim iblis busuk! Aku sudah
kalah, mau bunuh silakan, seorang gagah tak takut mati!” Ciu Hok Tek berteriak
marah!
Ciong Ek Sim
meludah. “Cuhh! Manusia sombong dan tolol. Apa sukarnya kalau aku hendak
membunuhmu?”
Pada saat
itu Song-pang-cu berseru, nada suaranya nyaring dan mengandung penuh perasaan
marah. “Orang she Ciong! Kalau engkau berani membunuhnya, kami seluruh anggota
Pek-eng-pang akan mengadu nyawa dengan gerombolan Hek- i Mo-pang, dan kami
minta bantuan semua enghiong yang hadir!”
Mendengar
ini, Ciong Ek Sim memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa mata para tamu
mengandung permusuhan ditujukan kepadanya, dan dia tahu kalau tuan rumah minta
bantuan, mereka semua tentu akan mengeroyok dia dan rombongannya. Apalagi
pemuda baju hijau yang tadi dirampas kursinya tadi bersorak dan memihak tuan
rumah. Pemuda itu mengepal kedua tinjunya dan sedang berbisik-bisik ke kanan
kiri membakar semangat para tamu lain dan agaknya sudah siap untuk maju
mengeroyok!
“Ha-ha!”
Ciong Ek Sim terkekeh. “Pek-eng-pang mengandalkan keroyokan? Pula siapa yang
mau membunuh? Kami hanya mau menghajar orang yang berani menghina Hek-i
Mo-pang!” Setelah berkata demikian, dia mendorong lengan kiri Ciu Hok Tek ke
atas dengan tenaga disentakkan.
“Krekkk....!”
Ciu Hok Tek
terbelalak pucat, keringat sebesar kedele-kedele membutir di muka dan di leher.
Tapi dia menahan nyeri yang membakar itu dengan menggigit bibir sendiri sampai
pecah berdarah. Ketika lawan mendorongnya, ia terpelanting dan pingsan.
Sambungan pangkal lengan dan sikunya putus terlepas!
Suasana
menjadi riuh dan bising. Semua orang menjadi marah dan penasaran sekali melihat
kesadisan orang Hek-i Mo-pang itu. Murid-murid Pek-eng-pang menolong Ciu Hok
Tek yang pingsan sedangkan Song-pangcu segera berusaha mengembalikan letak
sambungan tulang-tulang lengan kiri muridnya dan memberi obat.
Pemuda baju
hijau yang menjadi tamu dan sahabat baik Hok Tek ikut sibuk. Ketika dia
mengambilkan arak untuk diminumkan sahabatnya yang pingsan itu, dia lewat dekat
Ciong Ek Sim.
Si tinggi
kurus itu sudah membusungkan dada dan berkata, “Siapa saja yang berani
menentang kami boleh maju satu per satu!”
Pada saat
itu si baju hijau lewat membawa guci arak. Tiba-tiba tangan Ciong Ek Sim
menyambar dan tahu-tahu leher baju pemuda itu telah dicengkeramnya!
Pemuda itu
terkejut bukan main, tetapi karena bencinya dia mendelik dan membentak, “Ehh,
mau apa kau pegang-pegang aku?”
Ciong Ek Sim
tersenyum sinis. “Sejak tadi kamu memperlihatkan sikap anti kepada kami! Nah,
sekarang kalau ada kepandaian, mari perlihatkan kepada tuanmu!”
“Ehhh, wah,
apa-apaan kau ini? Hayo lepaskan aku! Siapa yang mau berkelahi? Kalau memang
gagah dan mau cari lawan, carilah yang sepadan di antara para orang gagah,
jangan ganggu setiap orang!”
“Huh, kamu
punya jago? Suruh dia maju!” Ciong Ek Sim mendorong dan pemuda baju hijau
terpelanting, guci araknnya terlempar dan isinya tumpah.
“Wah, galak
dan jahat sekali!” si baju hijau merangkak dan mengambil gucinya, lalu dia
menjauhkan diri.
Song-pangcu
sudah tak bisa menahan kesabarannya lagi. Orang-orang Hek-i Mo-pang ini sungguh
keterlaluan. Bukan hanya datang mengacau pesta, akan tetapi membikin malu pula
pada Pek-eng-pang dan sudah merobohkan dan melukai empat orang murid kepala!
Jelas bahwa tidak ada lagi jago di Pek-eng-pang kecuali dia sendiri!
“Keparat!”
Dia membentak dan menyambar sebatang toya besi yang menjadi senjata andalannya
dan sekali loncat dia sudah berada di depan Ciong Ek Sim! “Ciong Ek Sim! Kami
Pek-eng-pang selamanya tidak pernah mencari permusuhan. Akan tetapi bukan
berarti kami penakut. Kau dan gerombolanmu datang-datang memusuhi kami, biar
aku membela Pek-eng-pang dengan nyawaku!”
Ciong Ek Sim
memandang ketua itu dan bibirnya tersenyum menyeringai penuh ejekan, sikapnya
memandang rendah sekali. “Bagus Pangcu, kau maju sendiri dan bersenjata pula!
Apakah kau ingin membunuhku? Dan tadi kau melarang aku membunuh muridmu,
ha-ha-ha!”
“Orang she
Ciong! Tewas dalam perkelahian adalah wajar dan tidak perlu lagi dibuat
penasaran. Akan tetapi kau tadi hendak membunuh lawan yang sudah tidak berdaya
melawan lagi. Itu namanya pengecut! Nah, lihat seranganku!”
Ketua
Pek-eng-pang itu menggerakkan toyanya dan terdengar suara bersuitan saking
cepatnya toya itu bergerak dan saking kuatnya tenaga yang terkandung di
dalamnya. Song-pangcu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sudah berani
membuka sebuah perguruan silat. Ini berarti bahwa tingkat kepandaiannya sudah
tinggi, maka serangan toyanya pun hebat sekali.
Akan tetapi
ternyata lawannya tak kalah hebatnya. Biar hanya bertangan kosong, Ciong Ek Sim
sama sekali tidak kewalahan menghadapi serangan lawan. Dengan cekatan dia
mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang berani menangkis toya besi
dengan tangan dan kakinya, bahkan membalas serangan lawan tiap ada kesempatan!
Terjadilah
pertandingan seru dan mati-matian. Para tamu yang menonton perkelahian ini,
kebanyakan berpihak kepada tuan rumah. Mereka semua merasa benci kepada Ciong
Ek Sim, walau pun sebagian dari mereka, terutama dari golongan hitam, merasa
kagum. Terutama pemuda baju hijau yang memang sudah membenci sekali orang Hek-i
Mo-pang yang tadi menghinanya. Dia terang-terangan berpihak kepada Song-pangcu
dan selalu bersorak gembira setiap kali Ciong Ek Sim nampak terdesak atau
kadang- kadang terhuyung.
Ilmu toya dari
Siauw-lim-pai sudah terkenal di dunia persilatan sebagai ilmu silat yang amat
tangguh dan sukar dikalahkan. Meski si tinggi kurus itu memiliki gerakan ilmu
silat yang aneh, dan memiliki tenaga besar dan kekebalan sehingga berani
menggunakan kaki tangan untuk menangkis toya, namun desakan-desakan dari
Song-pangcu kadang-kadang membuat ia kerepotan sekali. Tentu saja hal ini
melegakan hati para tamu yang mengharapkan agar si sombong itu bisa diberi
hajaran keras dan agaknya Song-pangcu akan mampu melakukan itu. Terutama si
pemuda baju hijau tiada hentinya bersorak dan bertepuk tangan menjagoi Song-
pangcu.
Akan tetapi
tiba-tiba terjadi perubahan dalam perkelahian itu. Gerakan Song-pangcu berubah
menjadi kacau dan beberapa kali dia nampak ragu-ragu dan bingung. Bahkan, dalam
keadaan mendesak, dia berbalik terdesak dan sebuah tendangan menyerempet
pinggangnya, membuat dia terhuyung!
Tentu saja
para tamu menjadi terkejut dan setelah mendengar seruan-seruan tertahan,
suasana menjadi sunyi dan tegang. Song-pangcu memang terkejut dan bingung.
Ketika dia sudah mulai berhasil mendesak lawan tadi, mendadak saja di dekat
telinganya ada suara, “Song-pangcu, engkau sudah dikepung dari empat penjuru!
Engkau tidak akan menang!”
Suara ini
berulang-ulang berbisik di telinganya dan memaksanya untuk percaya. Suara itu
demikian penuh dengan daya pengaruh, membuat dia merasa benar-benar dikeroyok
dari empat penjuru! Tentu saja dia menggerakkan toyanya untuk melindungi
dirinya dari serangan-serangan yang datang dari empat penjuru! Karena terbagi,
daya tahannya berkurang sehingga dia kini terdesak oleh Ciong Ek Sim yang mulai
terkekeh-kekeh lagi.
Para tamu
tidak memperhatikan kakek gendut Boan It. Padahal, kakek inilah yang telah
membuat keadaan perkelahian menjadi berubah itu. Kakek gendut itu duduk seperti
tadi, akan tetapi sekarang pandang matanya ditujukan ke arah muka Song-pangcu,
tak pernah berkedip!
Seorang
pemuda yang terselip di antara para tamu muda di panggung yang paling belakang,
semenjak tadi sudah mengikuti semua peristiwa itu dengan penuh perhatian.
Beberapa kali pemuda ini mengerutkan kening, akan tetapi wajahnya yang gagah
itu selalu tersenyum. Pemuda ini berpakaian sederhana dan dari pakaian, sikap
dan gerak-geriknya sama sekali tidak terbayang bahwa dia pandai ilmu silat.
Sikapnya sederhana sekali walau pun wajahnya amat gagah. Padahal, dia bukan
sembarang orang, tetapi seorang pendekar muda yang amat lihai, memiliki
kesaktian. Pemuda ini adalah Suma Ceng Liong!
Sejak
munculnya gerombolan baju hitam, Ceng Liong sudah mengenal mereka. Dia mengenal
pula kakek gendut Boan It dan tahu bahwa mereka adalah bekas anak buah gurunya,
mendiang Hek-i Mo-ong! Dan Boan It memang seorang di antara para murid Hek-i
Mo-ong. Baru satu dua kali dia bertemu dengan Boan It yang masih terhitung
suheng-nya, walau pun tadinya dia tidak mau mengaku guru terhadap Hek-i Mo-ong
dan menjelang akhir hidup Raja Iblis itu dia mengakuinya.
Tadinya Ceng
Liong yang sedang melakukan perantauan mewakili ayahnya tidak ingin mencampuri
perkelahian itu selama perkelahian dilakukan dengan adil. Akan tetapi, kini dia
tahu akan kecurangan Boan It yang menggunakan kekuatan sihir atau ilmu hitam
untuk membantu Ciong Ek Sim dan mengacau batin Song-pangcu. Hal ini membuat
Ceng Liong penasaran sekali. Dipungutnya sebutir kacang dari tempat hidangan di
atas meja dan tanpa diketahui para tamu yang menonton perkelahian dengan tegang
melihat Song-pangcu terdesak, Ceng Liong menjentikkan jarinya membuat sebutir
kacang itu meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah Boan It.
“Tungg....!”
Kacang itu
menyambar hidung yang besar pesek itu dan biar pun hanya sebutir kacang, tetapi
karena diluncurkan melalui sentilan jari tangan yang bertenaga sinkang amat
kuatnya, tiada ubahnya sebutir peluru baja saja!
“Aduhhh....!”
Si gendut mengeluh dan cepat meraba batang hidungnya yang ternyata sudah
bengkak!
Dia terkejut
dan heran, mengira tentu ada lebah yang tadi menyengatnya. Akan tetapi tentu
saja gangguan ini sudah cukup membuyarkan pengaruh ilmu hitamnya terhadap Song-pangcu.
“Sialan....!”
gerutunya.
Masih untung
baginya bahwa peristiwa yang menimpa dirinya itu tidak diketahui orang lain.
Apalagi kini muridnya tak perlu dibantunya lagi karena Ciong Ek Sim telah
berhasil merampas toya lawan!
Memang
benar. Kini keadaan Song-pangcu makin payah. Lawannya berhasil memukul
pundaknya dan merampas toya. Dan sambil tertawa berlagak, Ciong Ek Sim yang
juga ternyata pandai main toya itu memainkan toyanya dan menyerang Song-pangcu
kalang kabut. Tentu saja beberapa kali gebukan mengenai tubuh ketua
Pek-eng-pang itu, akan tetapi orang gagah ini pantang menyerah dan melawan
terus dengan mati-matian.
Semua tamu
memandang gelisah. Bahkan pemuda baju hijau beberapa kali menutupi muka dengan
tangan ketika toya menyambar ke arah kepala Song-pangcu, seolah takut melihat
kepala itu pecah berhamburan.
Tiba-tiba
sebuah tendangan keras mengenai paha Song-pangcu yang sudah terdesak, membuat
ketua ini terpelanting dan ketika toya menyambar ke arah kepalanya, agaknya apa
yang dikhawatirkan pemuda baju hijau itu akan terjadi kalau saja Song-pangcu
tidak cepat menggulingkan tubuhnya menjauh.
“Darrr....!”
Bunga api
bepijar ketika ujung toya menghajar lantai. Sebelum Ciong Ek Sim sempat
menyerang lagi, para murid Pek-eng-pai telah menolong guru mereka dan
memapahnya ke pinggir. Ciong Ek Sim bertolak pinggang bertongkat toya,
memandang marah kepada seorang pemuda sederhana bertubuh tinggi besar yang
sudah berdiri menghadangnya.
“Hem,
siapakah kamu? Apakah kamu murid Pek-eng-pang yang sudah bosan hidup?” tanyanya
dengan senyum mengejek.
Ceng Liong
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukanlah murid Pek-eng-pang.
Tapi karena aku menjadi tamu Pek-eng-pai, tentu saja aku tak mungkin membiarkan
Hek-kaw mengacau di sini.”
Wajah Ciong
Ek Sim berubah menjadi merah dan matanya mendelik. “Julukanku adalah Hek-houw
(Macan Hitam), bukan Hek-kaw (Anjing Hitam)!” bentaknya.
“Ahh,
begitukah? Tapi seekor harimau biasanya gagah perkasa, lebih banyak berbuat
dari pada bersuara, sedangkan engkau menggonggong saja dan menggigit bagaikan
anjing!”
Tentu saja
sikap dan kata-kata yang dikeluarkan Ceng Liong menyenangkan hati para tamu,
akan tetapi mereka merasa heran dan khawatir. Apakah pemuda ini sudah gila atau
bosan hidup?
Si tinggi
kurus yang berjuluk Hek-houw ini jelas lihai bukan main sehingga Song-pangcu
sendiri pun kalah olehnya. Bagaimana seorang pemuda tidak ternama berani
bersikap seperti itu? Padahal pemuda itu hanya seorang tamu dari panggung tamu
biasa atau panggung paling belakang. Dan pemuda itu walau pun tubuhnya tinggi
besar, sikapnya seperti seorang pemuda dusun yang bodoh!
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Ciong Ek Sim mendengar ucapan itu. Saking marahnya
dia hanya mendelik saja, tidak mampu mengeluarkan kata-kata! Ceng Liong amat
benci kepada kekejaman orang ini, maka dia sengaja hendak mempermainkan dan
memberi hajaran agar orang ini menjadi kapok.
“Engkau
seperti anjing pencuri tulang, buktinya toya orang lain kau pertahankan saja!”
Semakin
marahlah Ciong Ek Sim. Dia segera membanting toya besi itu sampai toya itu
menancap setengahnya ke dalam lantai! Ceng Liong memeletkan lidah seperti orang
heran.
“Wah, kau
main sulap ya? Tentu pakai akal bulus!”
Dia lalu
menghampiri toya itu dan meraba-raba sambil geleng-geleng kepala. Sikap yang
ketolol-tololan itu membuat para tamu tak puas. Mereka mengharapkan jagoan
tangguh yang akan maju melawan si tinggi kurus itu. Baru Ciong Ek Sim itu saja
begitu lihai. Apalagi kalau gurunya, kakek gendut itu. Semua orang bergidik.
Agaknya jeri terhadap kakek inilah yang membuat orang-orang gagah di situ tidak
ada yang maju. Dan kini yang maju seorang pemuda mentah!
Ciong Ek Sim
sendiri heran dan ragu melihat sikap Ceng Liong. Kalau pemuda ini gila, tentu
tak patut dilawannya. Maka dia memberi isyarat kepada seorang anak buahnya.
“Hajar tikus ini sampai terkencing-kencing minta ampun!” katanya.
Sekali
tubuhnya melayang, dia sudah melompat ke dekat suhu-nya duduk, menyambar sebuah
kursi kosong dan duduk tanpa mempedulikan para tamu kehormatan lain. Dia malah
menggulung kedua lengan bajunya dan para tamu melihat betapa kedua lengan si
kurus ini berwarna hitam membiru seperti besi saja!
Anak buah
Hek-i Mo-pang itu bertubuh tinggi besar, satu kepala lebih tinggi dari pada
Ceng Liong. Matanya besar beringas, kumis, jenggot dan cambangnya lebat sekali
dan kelihatan kuat menyeramkam. Menerima perintah pemimpinnya, dia melangkah
maju menghadapi Ceng Liong sambil menyeringai.
“Heh-heh-heh,
aku akan menghajarmu sampai kau terkencing-kencing minta ampun, heh-heh!”
Dia nampak
gembira sekali dengan tugasnya seperti seekor kucing disuruh menerkam tikus.
Karena memandang rendah lawannya, dia tidak meraba golok besar yang terselip di
punggungnya.
Ceng Liong
hanya tersenyum dan berdiri seenaknya saja, tanpa memasang kuda-kuda seperti
lajimnya orang yang menghadapi perkelahian. Si cambang bauk terbahak, lalu
menggereng sambil mengembangkan kedua lengannya dan menubruk.
“Heeeiiitt!”
Semua tamu
melihat betapa raksasa itu menerkam luput karena Ceng Liong lari ke samping
dan.... si cambang bauk itu terjerumus dan jatuh menelungkup! Mukanya mencium
lantai dan kontan saja hidungnya yang besar menjadi penyok berdarah.
Meledaklah
sorak-sorai dan suara ketawa. Semua orang menganggap betapa tololnya orang
Hek-i Mo-pang itu. Hanya lagaknya saja yang kereng tapi menubruk luput saja
jatuh sendiri! Hanya Ciong Ek Sim dan gurunya yang merasa heran. Si cambang
bauk itu mereka tahu bukan orang tolol, sama sekali tidak lemah karena ilmu
silatnya tinggi, jauh lebih menang dibandingkan dengan murid-murid kepala
Pek-eng-pang tadi. Tapi, mengapa menyerang luput saja bisa terbanting dan
terjerembab?
“Eh, brewok,
kau mencari katak? Atau memang kesukaanmu menciumi lantai? Jangan keras-keras,
tuh hidungmu penyok!” Ceng Liong mengejek dan semua orang, terutama pemuda baju
hijau, tertawa gembira sekali.
Tentu saja
raksasa brewok itu pun terkejut dan marah. Terkamannya tadi luput, hal ini
tidak aneh karena pemuda yang ketakutan itu lari mengelak, akan tetapi kenapa
dia jatuh tertelungkup? Tentu tadi kakinya tersandung, pikirnya sambil bangkit
dan menyeka darah dari hidungnya. Sialan, perih dan nyeri juga pikirnya. Tetapi
dia harus menjaga gengsi, malu kalau harus menghadapi pemuda ingusan ini dengan
senjatanya.
“Keparat,
kakiku tersandung dan tergelincir!” gerutunya. “Bocah tolol, rasakan ini!”
Dan kakinya
yang panjang itu pun menyambar dengan tendangan yang kalau mengenai tubuh Ceng
Liong tentu akan membuat tubuh itu terlempar jauh seperti bola ditendang. Akan
tetapi Ceng Liong meloncat dengan sikap orang ketakutan.
“Wah....
menendang! Wah.... luput....”
Tendangan
itu luput dan.... agaknya, demikian anggapan semua orang, tendangan itu terlalu
keras sehingga ketika luput tubuh raksasa brewok itu melambung ke atas lalu
jatuh tunggang-langgang!
“Ha-ha-he-he....
heh! Lucu! Lucu!” si pemuda baju hijau kini tertawa-tawa dan semua orang pun
tertawa.
Memang ulah
si raksasa seperti badut saja! Raksasa brewok semakin marah. Ia bangkit dan
memegangi pantatnya yang tadi terbanting keras. Meski dia sendiri tidak
mengerti mengapa dia bisa terbanting hanya karena luput menendang saja, tetapi
kemarahan membuat dia tidak peduli. Dicabutnya golok besarnya yang berkilauan
itu!
“Wah,
curang! Pakai senjata segala! Curang! Licik!” Pemuda baju hijau
berteriak-teriak khawatir dan para tamu pun memandang gelisah. Akan tetapi
pemuda sederhana itu nampak tenang-tenang saja.
“Wah, monyet
hutan, mau apa kau bawa golok? Mau menyembelih babi? Hati-hati, bisa kena
tubuhmu sendiri!” Ceng Liong mengejek.
“Bangsat!”
Raksasa brewok itu mengayun goloknya dan dengan sikap yang lucu Ceng Liong
pura-pura ketakutan, mengelak ke kanan kiri, lari ke sana-sini akan tetapi
terus dikejar oleh lawannya.
Ketika dia
berlari dekat pemuda baju hijau, pemuda itu cepat mengacungkan sebatang pedang
yang entah diperoleh dari mana.
“Saudara
yang baik, pergunakanlah pedang ini!”
“Aku.... aku
tidak bisa menggunakan pedang....,” kata Ceng Liong sambil menyambar sebuah
bangku. Ketika si brewok membacokkan goloknya, dia menangkis dengan kaku,
menggunakan bangku.
“Crakkk....!”
Empat batang
kaki bangku itu terbabat putus akan tetapi si raksasa brewok berteriak mengaduh
dan goloknya terlempar ke lantai. Dia sendiri bergulingan di atas lantai sambil
merintih-rintih. Kiranya empat potong kaki bangku yang putus itu secara aneh
meluncur dan semua menancap di tubuh raksasa itu. Dua di kedua pundak, satu
menembus paha dan satu lagi menancap betis. Dapat dibayangkan nyerinya dan
ketika para anak buah Hek-i Mo-pang menggotongnya, nampak jelas raksasa itu
terkencing-kencing saking nyerinya.
Terdengar
ledakan sorak-sorai menyambut kemenangan pemuda sederhana itu. Walau pun mereka
masih mengira bahwa kemenangan Ceng Liong hanya dapat terjadi karena nasib baik
saja. Pemuda itu demikian pandainya berpura-pura sehingga tidak ada yang tahu
bahwa dia memang ilmunya jauh lebih tinggi!
Dapat
dimengerti betapa marahnya hati Ciong Ek Sim melihat anak buahnya yang
diharapkan akan menghajar pemuda itu sampai terkencing-kencing malah sebaliknya
dipukul roboh sampai terkencing-kencing. Dia mengeluarkan suara lengkingan
panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Kini dia berhadapan dengan Ceng
Liong yang masih berdiri tegak sambil tersenyum-senyum.
“Ha, rupanya
si Hek-kaw datang menggonggong lagi!” ejeknya.
Para tamu
tertawa gembira melihat ada orang berani mempermainkan Ciong Ek Sim yang lihai
itu, walau pun hati mereka masih khawatir memikirkan keselamatan pemuda yang
pemberani itu. Yang menggelisahkan adalah karena gerakan-gerakan pemuda itu
sama sekali tidak membayangkan kepandaian silat, tetapi memperoleh kemenangan
secara kebetulan saja. Dan yang paling khawatir adalah pemuda baju hijau yang
segera mendekati Ceng Liong.
“Saudara
yang baik, berhati-hatilah menghadapi iblis ini. Dia lihai sekali, sebaiknya
dikeroyok saja!”
Ciong Ek Sim
membanting kaki sehingga lantai tergetar dan si baju hijau terkejut, cepat
meloncat ke belakang karena takut dipukul.
“Ihhhh....
galak benar....!” katanya sambil mundur kembali dan dia pun lalu mengejek
dengan meniru suara anjing menyalak-nyalak.
“Huk....
huk-huk....!”
Semua tamu
tertawa. Meski hatinya marah sekali Ciong Ek Sim maklum betapa semua tamu
berpihak tuan rumah, maka dia tidak berani sembarangan mengejar pemuda itu dan
mengamuk di antara para tamu.
“Sudahlah
orang she Ciong, tidak perlu mengumbar kemarahan. Akulah lawanmu dan marilah
perlihatkan apakah kepandaianmu selihai mulutmu yang sombong!” kata Ceng Liong.
“Bocah
setan! Kalau aku tak dapat merobek-robek kulit dagingmu, mematah-matahkan
tulang-tulangmu dan menghancurkan kepalamu, jangan aku disebut Hek-houw (Macan
Hitam) lagi!”
“Memang engkau
Anjing Hitam, bukan Macan Hitam! Huk-huk-huk!” Pemuda baju hijau mengejek di
tengah-tengah para tamu, di tempat yang aman, sambil duduk di atas bangku dan
seperti semua tamu lain, dia nonton dengan hati penuh ketegangan.
Ciong Ek Sim
tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Tubuhnya menerjang
maju, kaki tangannya bergerak aneh dan dia sudah mengirim pukulan dan tendangan
bertubi-tubi. Setiap pukulan atau tendangan amat kuat dan mendatangkan angin
bersiutan dan terkena sekali tendangan atau pukulan itu tentu amat berbahaya.
Akan tetapi
Ceng Liong mengenal gerakan jurus-jurus itu sebagai ilmu silat khas dari Hek-i
Mo-pang tingkat pertengahan. Tentu saja tidak ada artinya bagi Ceng Liong dan
walau pun tanpa melakukan gerakan silat, dengan langkah-langkah kaki yang
memiliki dasar sama, dengan mudah dia dapat mengelak dari semua serangan itu.
Kini baru
para tamu mulai mengerti atau setidaknya mulai menduga bahwa pemuda sederhana
itu seorang yang lihai sekali. Walau pun tidak kelihatan bersilat, hanya
melangkah ke sana-sini dan meliuk-liukkan tubuh, pemuda itu sudah mampu
mengelak dari semua pukulan dan tendangan yang sedemikian dahsyatnya!
Si baju
hijau girang dan kagum, berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan melihat
betapa semua serangan si tinggi kurus gagal. Dan Ciong Ek Sim kini pun tahu
bahwa lawannya tadi hanya berpura-pura saja. Lawannya ini ternyata lihai karena
agaknya sudah tahu akan perkembangan jurus-jurus serangannya sehingga dapat
menghindar dengan cepat, membuat semua pukulan dan tendangannya mengenai tempat
kosong.
“Mampuslah!
Wuuuttt....!” Dia berteriak.
Kini dia
menggerakkan dan mengerahkan tenaga sinkang pada tangan kirinya dan
mencengkeram. Cengkeramannya ini tak mungkin dielakkan karena setiap elakan
akan dikejar terus oleh tangan kirinya.
Ceng Liong
yang merasa sudah cukup mempermainkan lawan, mengenal jurus yang diberi nama
Hek-mo-siok-mau (Iblis Hitam Menyisir Rambut) ini. Dia pun tahu bahwa mengelak
tidak akan ada gunanya, maka dia mulai menghajar iblis kejam itu dengan
tangkisannya pada tangan kiri lawannya sambil dia mengerahkan tenaga dengan gaya
memotong dan memuntir.
“Krekk....!
Aduuhh....!”
Tubuh Ciong
Ek Sim terbawa memutar dan mukanya pucat sekali menahan rasa nyeri ketika dia
memegangi lengan kirinya dengan lengan kanan. Kiranya tulang kirinya, di bawah
siku, telah patah! Akan tetapi dasar jahat dan bandel, dia menyelipkan tangan
kiri yang sudah lumpuh itu di ikat pinggangnya, matanya beringas dan merah
memandang kepada Ceng Liong.
“Hyaaattt!”
Tiba-tiba
dia menerjang dengan tangan kanan, kali ini tangannya menghantam dengan
jari-jari terbuka ke arah perut Ceng Liong untuk dilanjutkan dengan cengkeraman
ke arah kemaluan! Sebuah serangan yang amat keji dan berbahaya sekali.
Betapa kaget
hati para tamu yang pandai main silat saat melihat betapa Ceng Liong menghadapi
serangan ini dengan tenang saja, tanpa mengelak dan tanpa menangkis. Tentu akan
pecah perut pemuda itu disambar tangan terbuka yang tak kalah kuatnya dari
golok itu.
“Ceppp....!”
Tangan itu
amblas seperti menancap ke dalam perut sampai sebatas pergelangan! Semua tamu
terbelalak. Pemuda baju hijau bangkit berdiri dan menahan jeritannya.
Akan tetapi
wajah Ceng Liong tetap tersenyum. Sebaliknya, wajah Ciong Ek Sim menyeringai
kesakitan. Dia merasa betapa tangannya seperti masuk ke dalam tungku api!
Rasanya panas seperti terbakar. Tentu saja dia berkutetan, meronta untuk
menarik kembali tangan kanannya, akan tetapi tangannya tak mampu dilepaskan,
seperti terjepit catut yang membara.
“Adudududuhh....!”
Tak terasa lagi dia menjerit-jerit dan tiba-tiba tangan kiri Ceng Liong menabas
ke bawah.
“Krekkk!”
Tangan Ceng
Liong yang mengandung tenaga sakti dari Pulau Es itu memukul lengan kanan itu
dan patah pulalah tulang kanan Ciong Ek Sim! Ketika perut Ceng Liong melepaskan
tangan itu, lengan kanan si tinggi kurus itu tergantung lumpuh.
Semua orang
bersorak ramai. Pemuda baju hijau yang tadinya khawatir sekali, kini demikian
lega hatinya. Dia menjatuhkan dirinya di atas bangku dan tertawa-tawa.
“Ha-ha-heh-heh!
Anjing hitam kena gebuk, patah kedua kaki depannya! Apakah masih bisa menggonggong?
Huk-huk-heh-heh-heh....” Dia tertawa terpingkal-pingkal sampai terjungkal dari
atas bangku!
Kini setelah
kedua lengannya patah tulangnya dan tidak dapat dipergunakan untuk menyerang
lagi, baru Ciong Ek Sim sadar. Matanya seperti baru terbuka bahwa yang
dilawannya adalah seorang sakti yang luar biasa sekali lihainya! Akan tetapi
semua tamu menyaksikannya dan dia ditertawakan semua orang. Lebih baik mati
dari pada mundur dengan nama hancur. Dia berteriak seperti gerengan binatang
buas dan dengan nekat dia menyerang, menggunakan kaki kanan untuk menendang,
disusul kaki kiri, karena dia menggunakan ilmu tendangan meloncat ini harus
disertai gerakan kedua lengan untuk mengatur keseimbangan. Akan tetapi kedua
lengannya sudah lumpuh dan dia menendang dengan nekat.
Ceng Liong
memang ingin memberi hajaran yang setimpal atas kekejaman orang ini terhadap
empat murid kepala dan ketua Pek-eng-pang tadi, maka kini ia menggerakkan
tangan dengan cepat, mengetuk ke arah kedua kaki yang saling susul itu dari
samping setelah dia melangkah dengan elakannya.
“Krakk!
Krakk!”
Dua batang
tulang kaki itu pun tidak kuat menahan ketukan tangan Ceng Liong dan patah
seketika. Tubuh yang kini sudah lumpuh kaki tangannya itu terbanting jatuh.
Ceng Liong menendang dan tubuh itu lalu terlempar jauh sekali sampai keluar
rumah dan terbanting ke atas tanah di pinggir jalan.
Para tamu
bersorak girang. Mereka semua baru merasa kagum dan terkejut, menduga siapa
gerangan pemuda perkasa ini. Song-pangcu sendiri bersama para muridnya juga merasa
gembira dan terheran-heran karena mereka pun tidak mengenal tamu itu.
Tiba-tiba
suara bentakan hebat menggetarkan seluruh ruangan dan para tamu terkejut dan
berhenti bergembira. Semua mata memandang kepada kakek gendut yang nampak sudah
bangkit berdiri dan mengangkat tongkat hitamnya di atas kepala. Kakek yang
disebut dengan nama Boan It suhu itulah yang barusan tadi mengeluarkan bentakan
atau teriakan yang menggetarkan ruangan itu.
Kini semua
tamu melihat betapa kakek ini melangkah turun dari panggung kehormatan,
menghampiri Ceng Liong dengan langkah tegap dan muka keruh. Sikapnya penuh
ancaman dan menyeramkan. Akan tetapi sekarang para tamu mulai percaya akan
kemampuan pemuda itu dan mengharapkan pemuda itu akan dapat mengalahkan pula
pemimpin Hek-i Mo-pang ini.
Setelah
berhadapan dengan Ceng Liong, kakek gendut itu lantas mengangkat tongkat
hitamnya ke atas, memutar-mutar tongkat itu sehingga ujungnya membentuk suatu
lingkaran hitam dan terdengarlah suaranya yang menggelegar dan menggeledek
penuh getaran yang mengandung wibawa yang amat kuat.
“Orang muda,
aku perintahkan kamu! Berlututlah dan jilatilah sepatuku sampai bersih!
Haaaiiiitt!”
Bukan main
dahsyatnya suara bentakan ini sehingga di antara para tamu bahkan ada yang
tiba-tiba berlutut tanpa dapat mereka pertahankan lagi!
Semua orang
menonton dengan tegang dan terpesona. Akan tetapi Ceng Liong nampak tenang
saja, masih berdiri tegak menatap wajah kakek itu. Dua pasang mata saling
pandang dan saling serang! Sepasang mata Ceng Liong semakin mencorong dan
nampak betapa dalam adu mata ini akhirnya Boan It berkedip beberapa kali, tak
dapat menahan matanya yang terasa perih dan panas.
Kemudian,
Ceng Liong mengangkat tangan kiri membuat gerakan seperti menggapai ke arah
Boan It sambil berkata, suaranya halus dan ramah sekali. “Boan It, engkau ingin
sekali berlutut dan menjilati sepatuku sampai bersih? Aku akan senang sekali,
silakan Boan It, penuhi keinginan itu. Berlututlah dan jilati sepatuku!”
Semua orang
nampak heran sekali, dan Boan It nampak betapa tubuhnya menegang, beberapa kali
kepalanya digeleng keras-keras akan tetapi sepasang matanya mulai pudar
kehilangan cahaya dan akhirnya dia pun berlutut, merangkak maju lalu mulai....
menjilati sepatu Ceng Liong seperti seekor anjing besar menjilati kaki
majikannya!
Tentu saja
peristiwa aneh ini membuat semua orang melongo keheranan. Mereka masih belum
mengerti bahwa tadi antara kakek gendut dan pemuda itu telah terjadi suatu
pertandingan sihir! Boan It telah menjadi korban sihirnya sendiri yang telah
dikembalikan oleh Ceng Liong.
Seperti
diketahui, pemuda ini ketika digembleng oleh orang tuanya sendiri selama tiga
tahun terakhir ini, telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri. Maka,
menghadapi ilmu sihir Boan It yang mempelajari dari mendiang Hek-i Mo-ong, tentu
saja dia sudah mengenal baik sihir itu dan dapat mengalahkannya dengan mudah.
Hanya
sebentar saja para tamu terbelalak melihat Boan It menjilati sepatu Ceng Liong.
Segera terdengar sorak-sorai dan ketawa meledak-ledak dan hal ini mengguncang
Boan It ke dalam kesadarannya kembali. Mukanya menjadi pucat sekali dan dia
segera menggereng langsung menyerang Ceng Liong dengan tongkatnya dari posisi
berlutut itu! Akan tetapi Ceng Liong sudah bersiap-siap dan dapat mengelak
dengan loncatan ke belakang.
Boan It meloncat
bangun. Sejenak dia memandang, mukanya sebentar pucat sebentar merah, kemudian
dia mulai memainkan toyanya, diputar-putar cepat sekali di sekeliling tubuh
sebelum menyerang. Terdengar suara berdesing-desing dan tongkat itu lenyap
bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam lebar yang menyelimuti tubuh
kakek gendut itu dan angin menyambar-nyambar ke depan.
Namun, Ceng
Liong kini tidak mau main-main lagi. Dia pun mulai menggerakkan kaki tangannya,
memasang kuda-kuda yang kokoh dan nampak betapa indah dan gagahnya dia mengatur
sikap untuk menghadapi lawan yang bersenjata tongkat itu. Sikapnya ini tentu
saja mengundang pujian dan sekarang baru semua tamu tahu betapa indah dan
gagahnya gaya permainan silat pemuda itu.
“Haaaiiiit!”
Boan It membentak dan mulailah dia menyerang.
“Hem....!”
Ceng Liong mengelak dan ketika gulungan sinar hitam itu menyelimutinya, tubuh
pemuda ini pun lenyap berubah menjadi bayangan putih yang berkelebat cepat
sekali menyelinap di antara sinar hitam, menyambar-nyambar ke sana-sini.
Para tamu
mengikuti pertandingan yang seru ini dengan hati tegang, maklum bahwa yang
berkelahi adalah dua orang yang tinggi ilmu silatnya.
Jurus demi
jurus berlangsung dengan cepatnya dan semakin lama Boan It semakin terkejut dan
heran, juga hatinya mulai merasa gentar ketika pemuda ini seolah-olah mengenal
semua gerakannya dan bahkan berani menangkis tongkatnya dengan lengan tangan.
“Plakkk!
Dukkk!”
Tangkisan
itu membuat tubuh Boan It terhuyung dan terpelanting, nyaris roboh kalau saja
dia tidak cepat menjatuhkan diri dan bergulingan.
“Tahan
dulu!” Bentaknya ketika meloncat berdiri, melintangkan tongkatnya, napasnya
terengah-engah.
Belum pernah
dia bertanding dengan lawan setangguh ini dan selain gentar, dia pun ingin tahu
siapa sebenarnya pemuda ini. “Sebelum engkau mati di ujung tongkatku,
katakanlah dulu siapa engkau agar tidak mati tanpa nama.”
Para tamu
juga menantikan jawaban pemuda itu dengan tak sabar karena mereka pun ingin
sekali mengetahui siapa gerangan pemuda yang amat perkasa itu. Kini Ceng Liong
menghentikan sikapnya yang main-main dan pandang matanya mencorong penuh
wibawa.
“Boan It,
engkau seorang murid murtad! Hek-i Mo-pang telah bubar atau dibubarkan oleh
gurumu dan melarang kalian bergerak dengan nama perkumpulan itu. Akan tetapi
engkau berani memimpin anak buah, bertindak liar dan sewenang-wenang dengan
menggunakan nama Hek-i Mo- pang!”
Mendengar
ini Boan It terkejut sekali. Dia memandang tajam penuh perhatian, dan dia pun
teringat pemuda cilik yang dulu menjadi tawanan dari Pulau Es kemudian menjadi
murid Hek-i Mo-ong itu.
“Kamu....!
Kamu.... bocah dari Pulau Es itu? Kamu Suma Ceng Liong?”
“Bagus kalau
masih ingat padaku!”
“Hah! Sejak
dahulu aku ingin membunuhmu dan sekaranglah baru terbuka kesempatan itu!” Boan
It menggereng seperti binatang buas, tidak menggunakan sihir lagi karena tadi
pun dia mendapat malu ketika menggunakan sihirnya. Kini dia mengerahkan segala
ilmu dan tenaganya, menyerang dengan dahsyat.
Ceng Liong
tak mau memberi hati lagi. Ia mengelak, menangkis dan membalas dengan lebih
cepat lagi. Para tamu menjadi berisik, dan mereka saling berbisik membicarakan
pemuda itu. Mendegar bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda Pulau Es yang she
Suma, semua orang menjadi kaget dan kagum. Tahulah mereka bahwa pemuda ini
adalah keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang namanya di dunia
persilatan seperti dewa saja.
Pada waktu
itu, tingkat ilmu kepandaian Ceng Liong jauh lebih tinggi dari pada Boan It.
Bahkan kini setelah dia menerima gemblengan dari ayah bundanya selama tiga
tahun terakhir ini, andai masih hidup, Hek-i Mo-ong sendiri belum tentu dapat
menandinginya. Bahkan Suma Kian Bu sendiri harus mengakui bahwa setelah
mengusai ilmu-ilmu Pulau Es dan Ilmu-ilmu dari Hek-i Mo-ong, puteranya itu jauh
lebih lihai darinya sendiri.
Betapa pun,
Ceng Liong tidak dapat melupakan mendiang Hek-i Mo-ong, bekas gurunya yang amat
menyayanginya. Dia tahu bahwa Boan It pernah menjadi kepercayaan Hek-i Mo-ong.
Maka mengingat mendiang gurunya itu, tiba-tiba dia merasa tidak tega untuk
membunuh Boan It.
Pada saat
tongkat itu meluncur ke arah tenggorokannya, Ceng Liong meloncat ke samping dan
tiba-tiba ujung tongkat itu mengeluarkan uap hitam yang menyambar ke arah muka
Ceng Liong. Pemuda ini tidak terkejut karena dia sudah mengenal uap beracun
yang keluar dari ujung tongkat. Dia pun membuka mulut dan uap hitam itu buyar,
bahkan kini membalik terdorong oleh uap panas yang menyambar dari mulut Ceng
Liong.
“Tok-hwe-ji
(Hawa Api Beracun)....!” Boan It berseru kaget saat hawa panas menyengat
mukanya.
Ketika itu
sebuah totokan jari tangan Ceng Liong melumpuhkan tangannya dan tongkat hitam
itu pun pindah tangan. Sebelum Boan It mampu mengelak, tongkatnya sendiri telah
mengalungi lehernya. Tongkat itu telah ditekuk oleh tangan Ceng Liong dan kini
mengalungi lehernya dengan kuat. Dua kali totokan lagi membuat kaki tangan Boan
It menjadi lumpuh dan dia pun roboh terguling!
“Pergilah,
dan mulai hari ini bubarkan perkumpulanmu dan jangan lagi mengacau dunia dengan
nama Hek-i Mo-pang!” kata Ceng Liong mengulang larangan mendiang Hek-i Mo-ong.
Dia kemudian memberi isyarat kepada para anak buah baju hitam yang segera
menggotong tubuh Boan It dan Ciong Ek Sim meninggalkan tempat itu tanpa banyak
cakap lagi.
Tentu saja
kemenangan ini disambut dengan gembira dan kagum oleh para tamu. Mereka
mengelu-elukan pemuda itu, apalagi ketika Ceng Liong memperkenalkan diri
sebagai putera Suma Kian Bu, pendekar sakti yang setengah mengasingkan diri di
dusun Hong-cun di tepi Sungai Huang-ho itu.
Dalam
kesempatan ini, dengan cerdik Ceng Liong memilih-milih beberapa orang tokoh
kang-ouw yang gagah dan bersemangat untuk diajak bicara tentang negara dan
bangsa yang dijajah, tentang kepahlawanan dan akhirnya dia pun berhasil
membangkitkan dan membakar semangat beberapa orang pendekar yang menyatakan
kebulatan tekadnya untuk membantu perjuangan mengusir penjajah apabila saatnya
tiba. Juga mereka berjanji untuk menarik kawan-kawan sehaluan agar memperkuat
barisan para patriot dan mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu membantu bila
mana saatnya tiba.
Dengan hati
gembira dan puas Ceng Liong meninggalkan Nam-san untuk mengunjungi kota raja
dalam tugasnya mendekati dan menjajagi hati Jenderal Kao Cin Liong…..
***************
Suma Kian
Lee dan isterinya tentu saja menerima berita keluarga Kao dengan gembira dan
terharu. Pendekar ini sudah merasa bersalah besar terhadap keluarga Kao dan
terhadap puterinya sendiri. Maka kini dia menyetujui saja ketika menerima
berita bahwa pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong akan segera
diresmikan di rumah keluarga Kao atau di rumah jenderal muda itu. Mereka telah
merasa salah langkah.
Puteri
mereka sudah merayakan pernikahannya dengan Louw Tek Ciang, di Thian-cin. Tak
mungkin mereka dapat merayakan lagi di Thian-cin, apalagi menikah dengan pria
lain sedangkan perjodohan puteri mereka dengan Louw Tek Ciang belum lagi
diceraikan secara resmi. Tentu umum mengira Suma Hui adalah isteri yang sah
dari Louw Tek Ciang!
Karena
keadaan ini pula perayaan pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong diadakan
dengan amat bersahaja, amat sederhana. Keluarga Kao tidak mengundang banyak
tamu, hanya keluarga dekat dan rekan-rekan Jenderal Kao saja yang hadir. Dari
pihak keluarga Suma, yang hadir hanya Kian Bu, isterinya dan putera mereka
saja.
Suma Ceng
Liong masih belum berhasil bicara mengenai negara dengan Cin Liong. Dia harus
hati-hati karena jenderal muda itu nampak amat disayang kaisar, juga jenderal
itu kelihatan amat setia. Biar pun ada ikatan keluarga melalui Suma Hui, akan
tetapi kalau sampai dia salah bicara dan jenderal itu lebih berat terhadap
kaisar, tentu perjuangan akan menghadapi jalan buntu atau setidaknya menghadapi
penghalang besar. Inilah sebabnya, kenapa sampai dia hadir sebagai tamu
perayaan pernikahan itu, Ceng Liong masih belum pernah bicara tentang negara
dan perjuangan.
Yang
menyedihkan hati Suma Hui adalah tidak hadirnya Suma Ciang Bun! Kepada ayah
bundanya, juga kepada suaminya, terpaksa dia berterus terang tentang keadaan
Ciang Bun yang mempunyai kelainan itu. Mendengar ini Kim Hwee Li lalu
membanting-banting kaki kanan dan menjambak rambut sendiri!
“Dosaku....!
Semua akibat dosaku. Thian telah mengutuk aku sehingga anak-anakku yang
mengalami hukuman! Ah.... dulu aku adalah seorang wanita sesat, seorang gadis
iblis yang liar....! Aih, suamiku, kenapa engkau memilih seorang perempuan
macam aku sehingga kini engkau dan anak-anakmu ikut menderita....!” wanita ini
menangis.
Suma Kian
Lee cepat merangkulnya. ”Hushhh.... jangan berkata begitu, isteriku. Semua ini
sudah terjadi. Dari pada mengeluh dan menyesali hal-hal yang lalu, lebih baik
kita berusaha memberikan jalan keluar untuk putera kita itu kelak setelah
selesai urusan pernikahan Hui-ji....!”
Suma Hui dan
Cin Liong, dua orang lain kecuali Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li yang tahu
keadaan Ciang Bun, merasa terharu. Suma Hui cepat menceritakan kepada orang
tuanya perihal Ganggananda.
“Harap ayah
dan ibu tenang saja. Aku rasa usahaku bersama Gangga akan berhasil baik.”
“Siapa itu
Gangga?” tanya ibunya.
“Pemuda
tampan dari Bhutan itu?” tanya Cin Liong.
Suma Hui
menoleh kepada calon suaminya sambil tersenyum. “Dia bukan pemuda, melainkan
pemudi. Dan dia adalah puteri tunggal dari Puteri Syanti Dewi dari Bhutan....”
“Ahhh, puteri
Ang Tek Hoat?” Suma Kian Lee memotong.
Suma Hui
mengangguk lalu berceritalah ia. Betapa Ciang Bun bertemu dengan gadis Bhutan
yang menyamar pria bernama Ganggananda dan menjadi sahabat baik.
“Bun-te
telah jatuh cinta kepada Gangga yang dianggapnya pria! Dan dia gelisah sekali,
tetapi tak mampu berpisah dari Gangga. Dan aku telah menceritakan perihal diri
Bun-te kepada Gangga. Dan gadis itu agaknya juga mencinta Ciang Bun, dan
berjanji mau membantu. Aku minta agar ia meninggalkan Bun-te, kelak menemuinya
lagi dan setelah Bun-te benar-benar jatuh cinta, akhirnya mengaku bahwa ia
seorang wanita.” Dengan panjang lebar Suma Hui bercerita dan sepasang suami
isteri itu diam-diam memuji kecerdikan Suma Hui.
“Mudah-mudahan
usahamu berhasil baik,” Suma Kian Lee berkata.
Pada esok
harinya, upacara dilangsungkan secara sederhana numun meriah. Di antara para
tamu undangan yang menjadi rekan jenderal Kao Cin Liong, terdapat seorang
pembesar tinggi yang menjabat sebagai seorang menteri.
Menteri
Siong ini sudah berusia lima puluh tahun dan selain dia hadir sebagai undangan,
juga sebagai utusan dan wakil kaisar, maka semua orang berlutut ketika dia tiba
dan membacakan amanat kaisar. Seorang utusan dan wakil kaisar memang dihormati
sebagai kaisar sendiri ketika menyampaikan amanat. Menteri Siong lalu
dipersilakan duduk di tempat kehormatan sebagai tamu yang dihormati.
Menteri
Siong Ci Kok ini diam-diam menaruh hati dendam dan merasa tidak senang atas
pernikahan Cin Liong dan Suma Hui. Menteri itu mempunyai seorang anak gadis dan
tadinya Menteri Siong ingin sekali menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao
Cin Liong. Sudah berkali-kali dia memancing, namun jenderal muda yang
dikaguminya itu tak pernah menanggapi. Jenderal muda itu amat disayang kaisar,
kalau dapat menjadi mantunya tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat.
Bahkan
kaisar sendiri tertarik kepada gadisnya. Dan ketika dia yang khawatir kaisar
akan tertarik kepada gadisnya dan menjadikan selir, maka dia menyindir bahwa
ingin menjodohkan puterinya dengan Cin Liong. Kaisar segera menyatakan
kegembiraannya dan persetujuannya.
Akan tetapi
ketika akhirnya dia secara terus terang menyatakan keinginannya kepada Cin
Liong, jenderal muda itu menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah
punya calon isteri!
Tentu saja
dia merasa kecewa dan menyesal sekali. Maka dari itu, dalam kehadirannya
sebagai utusan kaisar itu dia hendak melampiaskan rasa kecewa dan penasaran
hatinya. Dia sudah memiliki sarananya untuk itu, sebuah surat wasiat yang kini
sudah berada di saku bajunya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment