Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 24
SETELAH
hidangan dikeluarkan dan para tamu akan menyaksikan upacara bertemunya sepasang
pengantin, saat itu dianggap amat penting bagi Menteri Siong Ci Kok untuk
mengadakan penyerangan. Apalagi semua yang bersangkutan sudah berada di satu.
Kao Cin Liong sang pengantin yang siap menyambut mempelai wanita yang sebentar
lagi akan muncul, Kao Kok Cu dan isterinya, juga Suma Kian Lee dengan isterinya
yang oleh Cin Liong diperkenalkan kepada utusan dan wakil kaisar itu.
“Sungguh
menggembirakan sekali kami dapat hadir dalam saat yang berbahagia ini,”
demikian katanya dengan lantang kepada kedua keluarga itu. “Kami adalah sahabat
baik Kao-goanswe dan sudah lama kami mengharapkan datangnya hari bahagia ini.
Dan mendengar bahwa calon isteri Kao-goanswe adalah keturunan keluarga Suma
dari Pulau Es, sungguh hati kami semakin gembira rasanya.”
“Siong-taijin,”
kata Kao Kok Cu dengan sikap hormat, “Paduka telah berkenan hadir dalam
perayaan pernikahan anak kami yang sederhana ini, bahkan sebagai wakil sri
baginda kaisar, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi kami seluruh keluarga
mempelai. Semoga kehadiran paduka ini akan dapat menambah doa restu bagi kedua
mempelai.”
“Ahh, kami
dengan keluarga Kao-goanswe sudah bagaikan keluarga sendiri, harap saja
Kao-tahiap tidak sungkan-sungkan lagi. Kao-goanswe adalah putera tunggal bukan?
Dan isterinya, Suma-siocia, tentunya puteri Suma-taihiap yang ke dua,” katanya
dengan nada suara sambil lalu dan menoleh kepada Suma Kian Bu dan isterinya.
Suma Kian
Lee mengerutkan alisnya dan sejenak saling pandang dengan isterinya, kemudian
tanpa menduga sesuatu, dia pun menjawab. “Bukan yang ke dua, taijin, tetapi
yang pertama dan kami hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal.”
Akan tetapi
betapa kaget dan heran rasa hati mereka semua yang hadir di situ ketika
pembesar itu terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Mana
mungkin? Bagaimanakah ini? Harap Suma-taihiap tidak main-main.”
Kini Suma
Kian Lee saling pandang sekilas dengan Kao Kok Cu dan hatinya merasa tidak
enak. “Apakah yang taijin maksudkan? Saya sama sekali tidak berani main- main.”
Pembesar itu
menepuk paha dengan tangan kanan. Hal ini sengaja dia lakukan untuk menarik
perhatian dan memang usahanya berhasil baik. Para tamu lain yang duduk tidak
jauh dari situ mulai mencurahkan perhatian dan ikut mendengarkan percakapan
itu.
“Sungguh
sangat mengherankan! Beranikah orang-orang membohong kepadaku ketika
mengabarkan bahwa Suma-taihiap pernah menikahkan seorang puteri taihiap? Tiga
tahun yang lalu, di Thian-cin, kabarnya puteri taihiap yang bernama Suma Hui
telah menikah dengan seorang she Louw, kabarnya murid taihiap sendiri! Lalu
yang akan menikah dengan Kao-goanswe ini siapakah, kalau taihiap hanya
mempunyai seorang puteri tunggal?”
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka semua mendengar ucapan itu. Juga para tamu
kehormatan sekarang tertarik sekali. Untuk sejenak kedua keluarga pengantin tak
mampu menjawab.
“Benar,
taijin. Puteri kami hanya seorang saja, bernama Suma Hui. Dan semua yang taijin
katakan tadi memang benar pernah terjadi!”
Pembesar itu
pura-pura membelalakkan matanya. “Ah...., jadi.... benarkah begitu? Kalau
begitu lalu.... lalu.... bagaimana sekarang Kao-goanswe....,” dia tak
melanjutkan dan memandang wajah jenderal muda itu.
Kedua pasang
besan itu saling pandang dan dalam pertukaran pandang mata itu, watak gagah
mereka pun bangkit.
“Kami dapat
menerangkan hal itu!” kata Suma Kian Lee dengan suara tenang.
“Dan memang
sebaiknya kami menjelaskan kepada semua para tamu yang hadir!” sambung Kao Kok
Cu dengan suara tegas.
“Siong-taijin,
maafkan saya,” kata Cin Liong sambil mengerutkan alisnya. “Bolehkah saya
mengetahui dari siapa taijin mendengar semua itu?”
Mendengar
nada suara jenderal muda itu yang agak keras dan menuntut, pembesar itu pun tak
mau main-main lagi. Dia sudah melaksanakan niatnya, melampiaskan dendam hatinya
yang kecewa, yaitu membongkar rahasia keluarga itu. Dikeluarkannya sebuah
sampul surat dari dalam saku jubahnya dan dia berkata, “Maaf, Kao-goanswe.
Bukan maksudku untuk membuka rahasia. Akan tetapi kami menerima surat ini
beberapa hari yang lalu, surat dari orang yang bernama Louw Tek Ciang. Kami
tidak mengenalnya akan tetapi dia yang menceritakan bahwa Suma-siocia telah
menikah tiga tahun yang lalu. Tadinya kami tidak percaya dan tak tahu apa
maksudnya mengirim surat seperti ini. Karena hati kami penasaran, maka tadi
kami tanyakan langsung kepada Suma-taihiap.”
Mendengar
keterangan itu tahulah kedua pasang besan itu dan juga Cin Liong bahwa musuh
besar mereka, Louw Tek Ciang, ternyata telah mulai beraksi dan tidak tinggal
diam saja, ingin merusak perayaan itu dan nama baik mereka melalui Menteri
Siong. Wajah Suma Kian Lee berubah merah sekali, demikian pula wajah Kao Kok
Cu. Akan tetapi mereka tidak menyalahkan pembesar itu yang agaknya tanpa
disadarinya telah diperalat Louw Tek Ciang. Hanya Cin Liong yang diam-diam
dapat menduga bahwa agaknya surat itu membuka kesempatan bagi Menteri Siong
untuk dapat melampiaskan dendam kecewanya.
Dengan suara
lantang Suma Kian Lee berkata. “Taijin, kami tidak akan merahasiakan hal itu
walau pun itu sesungguhnya merupakan urusan pribadi kami yang tiada
sangkut-pautnya dengan orang lain. Memang, puteri kami Suma Hui tiga tahun yang
lalu pernah menikah dengan Louw Tek Ciang. Akan tetapi, pada hari pernikahan
itu pula kami baru mengetahui bahwa dia seorang penjahat besar, murid dari
iblis Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menipu kami sehingga telah kami ambil
murid dan sekaligus mantu. Sejak hari pernikahan itu, hubungan kami sekeluarga
dan dia menjadi putus, bahkan dia menjadi musuh besar kami. Puteri kami bukan
isterinya lagi.”
“Dan kami
sekeluarga pun sudah tahu akan semua itu!” sambung Kao Kok Cu lantang. “Dan
seperti dikatakan oleh saudara Suma Kian Lee tadi, urusan ini adalah urusan
pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain!”
Menteri
Siong dan para tamu yang lain mendengar ucapan dua orang pendekar sakti itu,
yang dikeluarkan dengan suara penuh wibawa, menjadi terkejut dan
terheran-heran. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani memberikan komentar
lagi karena kedua orang pendekar itu sudah menekankan bahwa urusan itu adalah
urusan bersifat pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Mereka
hanya dapat membatin, betapa anehnya watak tokoh-tokoh perkasa itu. Kalau orang
biasa, sungguh tak mungkin seorang pemuda, apalagi dengan kedudukan setinggi
Jenderal Muda Kao Cin Liong, mengawini seorang janda!
Sementara
itu, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya juga terkejut mendengar ucapan dua besan
itu dan diam-diam Ceng Liong mencatat nama Louw Tek Ciang yang telah berhasil
menipu pamannya sehingga diambil murid bahkan mantu olehnya. Padahal, Tek Ciang
adalah murid Jai-hwa Siauw-ok dan dia pernah bertemu dengan mereka ketika
bersama dengan mereka, mendiang Hek-i Mo-ong menyerbu ke rumah keluarga Kam di
Bukit Nelayan.
Walau pun
ada gangguan batin karena ulah Menteri Siong tadi, upacara pernikahan
dilangsungkan dengan lancar. Wajah sepasang mempelai berseri penuh kebahagiaan
pada waktu mereka melakukan upacara penghormatan kepada para orang tua dan
keluarganya. Pesta sederhana lalu dirayakan dengan gembira.
Pada
keesokan harinya, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya sempat mendengar penuturan
Suma Hui sendiri yang ditemani suaminya tentang malapetaka dan aib yang menimpa
keluarga ayahnya karena kejahatan Louw Tek Ciang. Ia tak menyembunyikan apa-apa
lagi karena bicara di antara keluarga.
“Dulu,
bersama suamiku ini, aku pernah singgah dan bertemu paman Kian Bu berdua ketika
kami kembali dari Pulau Es dan paman Kian Bu telah memperingatkan kami akan
banyak halangan dan rintangan bagi perjodohan kami. Dan ternyata memang benar.”
Suma Hui menutup ceritanya.
Kian Bu
mengangguk. “Bagaimana pun juga, semua telah lewat dan anggap saja semua itu
sebagai mimpi buruk. Aku sungguh kagum kepada kalian. Cinta kasih antara kalian
demikian besar dan murni dan dengan cinta kasih seperti itu kalian tentu akan
hidup berbahagia.”
Kian Lee
menarik napas panjang. “Semua adalah karena kesalahanku. Dulu aku terlalu kukuh
dan aku lengah sehingga mudah tertipu oleh iblis itu.” Dia mengepal tinju
dengan gemas.
“Manusia
boleh berusaha bagaimana pun, akan tetapi Thian yang berkuasa akhirnya
menentukan,” kata Kao Kok Cu.
“Aku telah
bersumpah untuk mencari dan membunuh jahanam Louw Tek Ciang dan gurunya,
Jai-hwa Siauw-ok!” kata Suma Hui sambil mengepal tinju.
“Harap paman
dan juga enci Hui dapat menenangkan hati. Ketahuilah bahwa Jai-hwa Siauw-ok
telah tewas tiga tahun yang lalu,” kata Ceng Liong.
Mereka
semua, kecuali ayah bunda Ceng Liong yang sudah tahu, terkejut mendengar berita
ini. “Bagaimana terjadinya? Siapa yang membunuh jahanam itu?” tanya Suma Kian
Lee.
“Dia
berkelahi dengan Hek-i Mo-ong dan dia terpukul roboh dan tewas.”
“Hek-i
Mo-ong? Pemimpin gerombolan yang menyerbu Pulau Es?” Suma Hui dan Cin Liong
terkejut.
Ceng Liong
mengangguk. “Benar. Dan bukan hanya Jai-hwa Siauw-ok yang tewas, juga Hek-i
Mo-ong telah meninggal dunia karena luka-lukanya, setelah bertanding dengan
musuh-musuhnya.” Dia tidak menceritakan keadaan dirinya sebagai bekas murid
raja iblis itu karena ini akan mendatangkan suasana yang tidak enak saja.
Suma Hui
mengerutkan alisnya, lalu menghitung. “Mereka semua ada lima orang yang
memimpin penyerbuan itu. Ngo-bwe Sai-kong telah tewas oleh nenek Lulu, juga Si
Ulat Seribu telah tewas oleh nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas
pula oleh Cin Liong-koko. Jikalau sekarang Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok
telah tewas, berarti semua datuk iblis yang menyerbu Pulau Es telah tewas!”
Pada hari
itu juga, Suma Kian Bu, isteri dan puteranya berpamit. Mereka meninggalkan kota
raja tanpa berani menyinggung soal perjuangan melawan penjajah karena jenderal
muda itu kelihatan masih amat bersemangat membela kerajaan. Mereka harus
bersikap hati-hati sebelum merasa benar yakin bahwa ada kemungkinan besar
jenderal itu akan mendukung. Ceng Liong sendiri belum berani menyinggung soal
gawat itu.
Kita
tinggalkan dulu pengantin baru yang berbahagia itu dan kita menengok keadaan
kota Lok-yang di mana selama beberapa hari ini terjadi hal-hal yang
menggemparkan.
Sejak
kira-kira sebulan lamanya terjadi beberapa pembunuhan dan pengrusakan terhadap
sarang-sarang penjahat. Juga rumah dua orang pembesar korup tidak terlewat dan
menjadi korban serbuan seorang pendekar aneh. Dua orang pembesar itu adalah
orang-orang yang suka melindungi kejahatan dengan menerima uang sogokan. Akan
tetapi kalau kepala penjahat itu dibunuh, dua orang pembesar itu hanya
dibuntungi kedua telinga mereka sebagai peringatan keras.
Dan dari
mereka inilah, juga dari anak buah penjahat yang sempat melihatnya, tersiar
berita bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, bersikap
halus namun ilmunya tinggi sekali. Dan melihat betapa dia membunuh para kepala
penjahat, membasmi sarang penjahat dan menghajar dua orang pembesar korup,
jelas bahwa dia tentulah seorang pendekar muda!
Dan memang
dunia kang-ouw di sekitar Lok-yang sudah mulai mendengar kemunculan pendekar
ini, semenjak dari sebelah barat kota raja sampai ke Lok-yang. Di sepanjang
perjalanan, ada seorang pendekar muda tengah menyebar maut di antara para
penjahat dan mengulurkan tangan kepada setiap orang yang menderita dan yang
tertindas.
Peristiwa
ini menggelisahkan Koo-taijin, kepala daerah kota Lok-yang. Sudah dua orang
pembesar pembantunya yang didatangi oleh pendekar itu! Dan dia sendiri yang
merasa korup, bahkan suka menggunakan tenaga para penjahat untuk memperkuat
kedudukan, menerima sogokan-sogokan dari para penjahat pemilik rumah pelacuran,
rumah-rumah judi, dan kepala para maling, perampok dan copet, tentu saja merasa
ketakutan. Dia seolah-olah dapat merasakan, betapa pendekar ini sedang
menanti-nanti kesempatan untuk mendatanginya!
Beberapa
malam yang lalu sudah ada bayangan yang berkelebatan di atas genteng gedungnya.
Akan tetapi karena diketahui penjaga, bayangan itu tak sempat melakukan sesuatu
dan melarikan diri. Sejak malam itu dia memerintahkan orang-orangnya agar
melakukan penjagaan ketat. Namun dia masih juga merasa ketakutan dan akhirnya
dia mengumpulkan tiga orang kepala penjahat di Lok-yang, tiga orang jagoan yang
terkenal sebagai Lok-yang Sam-liong (Tiga Naga Lok-yang)! Kini tiga orang
jagoan itu siang malam tinggal di gedung Koo-taijin. Barulah hati kepala daerah
Lok-yang itu merasa tenang.
Akan tetapi
pembesar itu lupa bahwa memasukkan tiga orang pentolan penjahat ke dalam
rumahnya untuk menjaga keselamatan rumah sama dengan menggunakan tiga ekor
serigala atau harimau untuk menjaga rumah! Dia mampu menyenangkan hati tiga
orang jagoan ini dengan makanan dan minuman yang berlimpah dan hadiah uang
secukupnya. Akan tetapi dia lupa akan sesuatu hal. Bahwa mereka itu, atau
seorang di antara mereka, adalah seorang mata keranjang yang haus akan
perempuan!
Dan di dalam
gedung pembesar itu, terdapat banyak wanita cantik! Selir-selirnya saja masih
muda-muda dan cantik-cantik, jumlahnya sampai tujuh orang. Belum lagi para
pelayan wanita yang muda-muda dan manis-manis, yang kadang-kadang bertugas juga
sebagai selir tak resmi pembesar itu! Belum lagi puteri-puteri pembesar itu
sendiri.
Seorang di
antara tiga jagoan ini berjuluk Tiat-liong (Naga Besi). Dia she Coa. Tubuhnya
tinggi besar dan kokoh kuat, sesuai dengan julukannya. Usianya kurang dari
empat puluh tahun dan bajunya selalu terbuka di bagian dada. Dia agaknya suka
berlagak memamerkan dadanya yang berbulu hitam lebat! Naga Besi ini memang
nampak gagah dan jantan. Dia gila perempuan dan entah sudah berapa banyaknya
wanita yang dia taklukkan, baik melalui kegagahannya termasuk bulu dada itu,
atau rayuan mautnya, mau pun dia taklukkan dengan kekerasan mengandalkan
keberanian dan kelihaiannya yang membuat dia ditakuti. Di lengan kanannya ada
gambar cacahan berbentuk naga.
Dua orang
temannya berusia lebih dari lima puluh. Yang seorang she Can dan berjuluk
Ang-liong (Naga Merah). Dia memakai julukan itu karena mukanya berwarna merah.
Orang ke tiga bertubuh pendek gendut, she Lui berjuluk Hek-liong (Naga Hitam)
dan untuk mengabadikan julukannya, di lengan kanannya juga ada gambar cacahan
seekor naga hitam. Mereka merupakan tiga serangkai yang bekerja sama menguasai
dunia hitam di Lok-yang.
Ketika
mereka menerima tugas berjaga dan melindungi Koo-taijin, tiga orang ini girang
sekali. Mereka sudah mendengar akan munculnya pendekar tampan itu dan tentu
saja mereka menganggapnya musuh. Mereka merasa keselamatan mereka masing-masing
menjadi terancam. Maka, dengan tinggal di gedung Koo-taijin, mereka memperoleh
banyak keuntungan.
Pertama,
mereka akan dapat saling membantu dan bersama-sama menghadapi musuh. Ke dua,
mereka akan mendapat bantuan pula dari pasukan pengawal dan penjaga gedung
pembesar itu. Ke tiga, mereka tentu hidup serba enak dan menyenangkan di gedung
pembesar itu dan akan menerima hadiah besar tanpa bekerja keras!
Dan bagi
Tiat-liong, ada lagi kenyataan yang membuat dia mengilar. Ketika dia melihat
wanita-wanita muda dan cantik itu! Wanita-wanita yang dia tahu sedang kehausan
dan melayangkan pandang mata ke arah dadanya yang berbulu dengan mata yang
bersinar-sinar!
Kedua orang
kawannya sudah mengenal baik watak si Naga Besi ini, memperingatkan agar dia
jangan mengganggu wanita-wanita itu. Akan tetapi, mana mungkin melarang seekor
anjing melahap tulang-tulang muda yang berserakan di depan hidungnya? Baru pada
malam ke dua, kawan-kawannya tidak melihatnya tidur di kamarnya lagi. Si Naga
besi itu sudah terlena dan tenggelam ke dalam pelukan seorang di antara
selir-selir Koo-taijin yang kehausan!
Pembesar itu
sudah berusia enam puluh lebih. Mana mungkin dia mampu memuaskan belasan orang
wanita, yaitu isteri, para selir dan para pelayannya? Tentu saja para selir
yang menjadi hamba nafsunya begitu bertemu dan dapat berhubungan dengan pria
seperti Si Naga Besi, merupakan suatu kelegaan yang membuat mereka
tergila-gila. Dan bukan seorang selir saja yang tergila-gila kepadanya. Si Naga
Besi lalu diantri dan laki-laki hidung belang ini tentu saja merasa keenakan
dan senang sekali. Dua orang kawannya menggeleng-geleng melihat kegilaan Si
Naga Besi.
Beberapa
hari kemudian. Malam itu gelap sekali. Gelap, dingin dan sunyi karena tadi
turun hujan lebat sekali. Kini hujan sudah berhenti, akan tetapi langit masih
gelap. Bintang-bintang tak nampak, terhalang awan hitam. Keadaan seperti itu
membuat orang amat mudah ngantuk. Dan untuk melawan ngantuk, para penjaga
keamanan di rumah Koo-taijin minum arak penghangat tubuh dan main kartu.
Naga Merah
dan Naga Hitam melakukan perondaan. Melihat semua aman, mereka pun segera
memasuki kamar masing-masing. Si Naga Besi seperti biasa, sejak tadi sudah
mendekam dalam kamar salah seorang selir Koo-taijin. Sekali ini dia berani mati
sekali, berhasil merayu selir ke tiga pembesar itu, selir yang paling disayang
oleh Koo-taijin.
Karena malam
gelap dan dingin, para penjaga segan berjaga di udara terbuka. Mereka agak
lengah. Ah, siapa orangnya yang mencari penyakit berkeliaran di luar dalam
cuaca seperti itu? Mereka tidak pernah mengira bahwa sedikit kelengahan mereka
itu telah dimanfaatkan sesosok tubuh bayangan hitam yang berkelebat di atas
genteng rumah Koo-taijin ketika tidak melihat adanya penjaga di luar rumah seperti
biasa.
Dengan
gerakan yang sangat lincah dan ringan, bayangan itu sudah berloncatan di
wuwungan gedung, kemudian melayang turun dan menyelinap di dalam bayang-bayang
gelap. Tidak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela sebuah kamar. Hanya
sebentar dia mengintai lalu membuang muka. Sudah cukup baginya. Seorang
laki-laki tinggi besar yang diketahuinya melalui penyelidikan beberapa hari ini
sebagai Naga Besi, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik di dalam
kamar itu. Wajah bayangan itu tersenyum mengejek lalu meninggalkan kamar itu,
menyelidiki kamar lain.
Akhirnya dia
menemukan apa yang dicarinya. Kamar Koo-taijin! Pembesar yang kurus kering itu
ternyata sudah tertidur pulas, mendengkur di dalam pelukan seorang pelayan
perempuan muda yang malam itu bernasib bagus dipilih majikannya untuk
melayaninya. Tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak terdengar oleh enam orang
penjaga yang bermain kartu di dalam ruangan yang menembus ke kamar itu,
bayangan tadi membuka jendela dan sekali meloncat dia telah berada di dalam
kamar Koo-taijin. Sinar lampu kemerahan di kamar itu menimpa mukanya.
Ia masih
muda. Antara dua puluh tiga tahun usianya. Wajahnya bulat dan kulit mukanya
agak gelap, akan tetapi muka dan rambutnya terawat rapi sehingga nampak tampan
sekali. Pakaiannya juga rapi dan indah, bersih dan terawat. Di pungungnya
tergantung sepasang pedang yang berada dalam sarung pedang yang terukir indah.
Gagang pedangnya bagus pula, dengan ronce-ronce biru.
Sejenak dia
berdiri dalam kamar dan menyingkap kelambu. Apa yang sudah dilihatnya
samar-samar dari luar kelambu tadi kini nampak jelas. Tubuh seorang wanita muda
yang telanjang bulat memeluk tubuh kerempeng seorang kakek setengah telanjang.
Bibir itu bergerak seperti membayangkan perasaan jijik, lalu tangan kirinya
bergerak. Dua batang jarum halus yang harum baunya menyambar tengkuk wanita
itu. Wanita itu menggerakkan tubuh berkelojotan, lalu mengeluh dan terlentang
diam, pingsan karena dua jalan darah tertusuk dua batang jarum halus.
Dengan
tenang pemuda itu menggulung tubuh Koo-taijin dengan selembar selimut, lalu
mengempitnya dan membawanya keluar kamar. Tubuh itu tidak mampu bergerak atau
berteriak karena sudah ditotoknya terlebih dahulu. Dia membawa tubuh pembesar
itu melalui jendela dan tak lama kemudian dia sudah tiba di luar kamar di mana
selir ke tiga pembesar itu masih berdekapan dengan Si Naga Besi. Daun jendela
dibukanya dari luar dan setelah dia membebaskan totokannya pada tubuh
Koo-taijin, dia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kamar, ke atas pembaringan
di mana dua orang manusia itu sedang berjinah.
Begitu
terbebas dari totokan, Koo-taijin yang semenjak tadi ketakutan setengah mati
langsung bergerak. “Tolooonggg....!”
Tubuhnya
terbanting ke atas pembaringan, di antara dua tubuh telanjang yang tumpang
tindih.
“Brukkk....!”
“Aduhh….,
aduhhh....!” Koo-taijin berteriak-teriak, juga selirnya ikut menjerit akibat
tubuh suaminya itu jatuh menimpa dada dan kepalanya. Akan tetapi Si Naga Besi
yang juga merasa terkejut sudah meloncat turun dari atas pembaringan, menyambar
pakaiannya dan bergegas memakainya.
Ketika
Koo-taijin melihat selirnya yang tersayang tidur bertelanjang bulat bersama Si
Naga Besi, dia lupa akan rasa kaget dan takutnya. Seketika dia maklum apa yang
terjadi antara selirnya dan jagoan itu. Dia sudah mendengar desas-desus di
antara para pengawalnya bahwa salah satu di antara tiga jagoan yang menjaga
keselamatannya itu kabarnya main gila dengan beberapa orang selirnya.
Akan tetapi
karena dia tidak melihatnya sendiri, dia pun tidak percaya dan pura-pura tidak
tahu. Apalagi pada waktu itu dia amat membutuhkan perlindungan dan bantuan tiga
orang jagoan itu. Akan tetapi kini, melihatnya sendiri betapa selirnya ke tiga
yang paling disayangnya berada dalam satu pembaringan bertelanjang bulat dengan
Si Naga Besi, kemarahannya memuncak.
“Perempuan
hina, apa yang sedang kau lakukan ini?” Dan dia tak dapat lagi menahan
kemarahannya, ditinjunya muka selirnya dengan keras.
“Bukkk....!”
Perempuan
itu sedang mengeluh kesakitan karena tadi kepala dan dadanya tertimpa tubuh
suaminya, kini menjerit dan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terjengkang di
atas kasur.
Koo-taijin
semakin marah, turun dari pembaringan dan menyerang Si Naga Besi sambil
memaki-maki, “Bajingan kamu! Berani meniduri isteriku?”
Dan dia
mencoba untuk memukul jagoan yang sedang sibuk mengenakan pakaiannya itu. Akan
tetapi, Si Naga Besi dengan tak sabar menangkis dan mendorong pembesar itu
sehingga jatuh terjengkang.
“Tenanglah,
taijin. Siapa yang melempar taijin?”
Pada saat
itu terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Para penjaga tadi mendengar
teriakan si pembesar itu dan mereka berlari ke sana-sini berebutan mencari
majikan mereka yang tadi berteriak minta tolong. Mendengar pertanyaan Si Naga
Besi, baru Koo-taijin teringat akan peristiwa tadi. Mukanya pucat dan sekali
lompat dia sudah bersembunyi lagi ke dalam kelambu dan merangkul selir ke tiga
yang tadi dipukulnya, tubuhnya menggigil ketakutan.
“Tolong....
penjahat.... pembunuh....!”
Dari luar
terdengar pintu digedor-gedor oleh para pengawal. “Taijin…! Taijin…! Apakah
paduka berada di dalam?”
Ketika Si
Naga Besi hendak membuka pintu, setelah membereskan pakaiannya, tiba-tiba dari
atas menyambar sesosok bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung
garuda menyambar. Kiranya bayangan itu adalah pemuda yang melemparkan tubuh
Koo-taijin tadi, yang ternyata barusan bersembunyi di atas tiang melintang di
atas kamar itu.
Melihat
pemuda tampan ini, Si Naga Besi segera dapat menduga bahwa tentu inilah musuh
yang dinanti-nanti, maka tanpa banyak cakap dia sudah menerjang ke depan dan
menyerang dengan dahsyatnya. Pemuda itu tidak mengelak, melainkan menangkis dan
begitu lengannya beradu dengan lengan Si Naga Besi, penjahat itu terpelanting
dan meringis kesakitan. Lengannya yang tertangkis tadi rasanya seperti bertemu
dengan baja membara saja, keras dan panas! Dia maklum akan kelihaian lawan dan
sekali meloncat dia telah menyambar golok besarnya yang tadi dia letakkan di
atas meja.
“Bocah setan
bosan hidup!” bentaknya.
Dia
memutar-mutar goloknya yang besar di atas kepalanya kemudian menerjang maju,
menyerang secara membabi buta. Pemuda itu mengelak dengan loncatan ke kanan
kiri, lalu menggerakkan tangan kiri. Nampak betapa golok menyambar lewat
kepalanya dan tangan kirinya itu menonjok ke depan, disusul tendangan kaki
kanannya.
“Tuk....!
Bruukk!”
Golok
terlepas ketika sodokan tangan kiri pemuda itu mengenai dada di bawah ketiak
kanan lawan, dan pada saat tendangan mengenai perut membuat tubuh Si Naga Besi
terlempar menimpa tembok, nyawanya telah melayang. Ternyata pukulan tangan kiri
tadi sedemikian hebatnya sehingga mengguncang dan memecahkan jantungnya!
Pada saat
itu daun pintu kamar pecah dan masuklah dua orang kakek yang bukan lain adalah
Naga Merah dan Naga Hitam, masing-masing memegang pedang dan tombak gagang
panjang. Di belakangnya nampak belasan orang pengawal yang memegang senjata,
siap mengeroyok!
Pemuda itu
tidak mempedulikan mereka. Dia memungut golok Si Naga Besi dan sekali menggerakkan
kaki dia telah meloncat ke pembaringan, dengan tangan kiri menjambak
Koo-taijin. Pembesar itu sedemikian ketakutan dan mendekap selirnya lebih kuat
lagi sehingga ketika tubuhnya terseret turun dari pembaringan, selirnya ikut
tertarik dan terbanting.
“Ampun....ampunkan
saya....!” Pembesar itu meratap dan kini dia sudah melepaskan tubuh selirnya
dan berlutut, merangkak dengan kedua tangan di depan dada.
“Orang she
Koo! Engkau ini seorang pembesar kepala daerah yang jahat! Engkau sudah
bersekongkol dengan para penjahat, korup dan makan sogokan. Engkau bukan
pemimpin rakyat yang baik. Orang macam engkau ini sudah selayaknya mampus!”
“Ampun....
ampun, taihiap....!” Pembesar itu meratap.
Sementara
itu, Naga Merah dan Naga Hitam sejenak tertegun saat melihat Naga Besi
menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian melihat pemuda itu membelakangi mereka
dan mencurahkan perhatiannya kepada pembesar yang berlutut di depannya, Naga
Merah menggerakkan pedangnya sedangkan Naga hitam menggerakkan tombaknya, menyerang
dari belakang.
“Wuuutt....!
Singg....!”
Pedang
menyambar kepala sedangkan tombak meluncur ke arah lambung pemuda itu. Pemuda
itu masih tetap menjambak rambut si pembesar dengan tangan kirinya. Dia tidak
mengelak, juga tidak menengok menghadapi serangan-serangan itu. Akan tetapi
ketika pedang dan tombak itu sudah menyambar dekat, tangan kanannya bergerak
dan golok tadi dia gerakkan ke belakang tubuhnya.
“Trang....!
Cringg....!”
Pedang dan
tombak itu tertangkis golok dan terpental, hampir saja terlepas dari tangan
pemegangnya yang meloncat ke belakang dengan kaget. Kulit telapak tangan yang
memegang pedang terasa panas dan perih.
“Pembesar
Koo, sekali ini aku ampuni nyawamu. Lekas kau rubah cara hidupmu dan menjadi
pembesar pelindung rakyat. Kalau tidak, lain kali aku pasti datang mengambil
kepalamu!”
Golok
berkelebat dan pembesar itu menjerit. Rambutnya terbabat habis dan hidungnya
putus. Dia mendekap mukanya, dan darah mengalir dari celah-celah jari
tangannya, mulutnya mengeluarkan suara sengau. “Aduh.... aduh.... aduh....!”
Sementara
itu, dua orang jagoan sudah memberi aba-aba kepada para pengawal untuk
mengeroyok. Akan tetapi para pengawal itu hanya mengacung-acungkan senjata dan
tidak berani maju. Betapa pun juga, dengan adanya belasan orang pengawal itu,
hati kedua jagoan menjadi besar dan mereka berdua sudah menerjang maju lagi. Si
Naga Merah yang memegang pedang memutar pedang di atas kepala sedangkan Si Naga
Hitam menggerak-gerakkan ujung tombak untuk menggertak, mencari saat yang tepat
untuk menusuk.
“Penjahat-penjahat
keji macam kalian hanya mengotorkan dunia saja!” Nampak dua sinar berkelebat.
“Trang....
trang....!”
Dua jagoan
itu terbelalak kaget melihat senjata mereka yang patah-patah disambar dua sinar
tadi. Akan tetapi sebelum mereka sempat menghindar, dua sinar pedang yang berada
di kedua tangan pemuda itu kembali berkelebat dan robohlah Naga Merah dan Naga
Hitam. Mereka berkelojotan dan nampaknya tidak luka, akan tetapi dari celah
jari tangan mereka yang menutup dada nampak darah bercucuran. Kiranya dua
batang pedang di tangan pemuda itu telah menusuk dada menembus jantung!
Para
pengawal terkejut dan berebutan menyerbu. Pemuda itu sudah siap memutar
sepasang pedangnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan sengau dari
Koo-taijin, “Tahan....! Jangan serang dia! Taihiap, harap ampunkan kami. Mulai
sekarang kami hendak merubah semua kesalahan!”
Pemuda itu
menoleh kepada pembesar yang terus mendekap hidungnya yang masih berdarah.
Bukit hidung itu sudah lenyap terbabat pupus oleh golok tadi. Nyeri bukan main
dan berdarah terus. Pemuda itu mengangguk, kemudian melemparkan sebuah
bungkusan kepada pembesar itu.
“Bagus,
taijin. Biar cacad badan, kelak paduka akan menjadi pemimpin rakyat yang baik.
Pakailah obat ini, dilumurkan pada lukamu, tentu segera sembuh. Selamat
tinggal!”
Baru saja
kata-kata ini habis diucapkan, tubuh pemuda itu berkelebat ke arah langit-
langit kamar. Terdengar suara keras pada saat atap itu jebol berlubang dan
tubuhnya lenyap menerobos atap!
Ternyata di
kemudian hari bahwa Koo-taijin benar-benar bertobat, berubah menjadi seorang
pembesar yang baik, memperhatikan kepentingan rakyatnya dan mengerahkan pasukan
keamanan untuk mengadakan pembersihan-pembersihan, membasmi sarang-sarang
penjahat, bahkan tidak segan-segan menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan.
Pemuda
perkasa yang telah membunuh Lok-yang Sam-liong dan menghukum Koo-taijin itu
berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain dengan kecepatan seperti terbang
saja. Dia terus keluar kota dan memasuki kuil tua yang tak dipergunakan orang
lagi. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun di ruangan belakang, duduk
bersemedhi di dekat api unggun. Buntalan pakaiannya terletak di dekatnya. Biar
pun dia telah berhasil baik sekali dalam tugasnya sebagai pendekar pada malam
itu, namun ketika cahaya api unggun menerangi wajahnya, dia sama sekali tidak
kelihatan puas dan gembira.
Sebaliknya
malah, wajahnya nampak suram muram. Wajah yang tampan itu digelapkan awan
kedukaan dan sekali-kali dia menarik napas panang, lalu terdengar keluhannya
dengan suara menggetar, “Gangga.... ahhh, Gangga....!”
Pemuda itu
adalah Suma Ciang Bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika
mendengar bahwa Gangga pergi tanpa pamit dan menurut enci-nya pemuda Bhutan itu
pergi ke Bhutan, Ciang Bun menjadi kaget dan berduka. Dia pun segera melakukan
pengejaran ke barat. Akan tetapi, dia tidak menemukan jejak pemuda Bhutan itu!
Hatinya
semakin rindu dan semakin berduka, takut kalau selamanya dia takkan dapat
bertemu lagi dengan orang yang sangat dicintainya itu. Dia tidak berani
melakukan perjalanan terlalu cepat, takut membuatnya semakin jauh dari Gangga.
Dia melakukan perjalanan perlahan-lahan, berhenti di setiap kota untuk
melakukan penyelidikan, lalu melanjutkan terus ke barat. Yang membuat dia
berduka adalah karena dia tidak pernah berhasil mendapat keterangan tentang
pemuda itu.
Untuk
mengurangi kedukaan dan menghibur kekesalannya, Ciang Bun mulai bertindak
sebagai seorang pendekar yang menentang semua penjahat yang diketahuinya. Juga
dia memberi hajaran kepada para pejabat yang korup, seperti yang telah
dilakukannya di Lok-yang tadi. Mulai dia dikenal sebagai seorang pendekar muda
yang berilmu tinggi dan yang bertangan maut terhadap para penjahat. Memang dia
tak mau mengampuni penjahat. Hal ini mungkin menjadi akibat dari semua
pengalamannya.
Di PULAU ES
dahulu dia menyaksikan betapa kakek dan kedua orang neneknya tewas dan Pulau Es
lenyap karena perbuatan penjahat. Kemudian, betapa keluarga ayahnya tertimpa
aib karena perbuatan penjahat pula. Semua ini memupuk semacam dendam kebencian
di dalam hatinya terhadap para penjahat sehingga dia tak mau memberi ampun
kepada setiap penjahat yang ditemuinya.
Suma Ciang
Bun terbenam dalam kedukaan. Dia teringat akan rencana pernikahan enci-nya. Dia
takkan dapat hadir dalam perayaan pernikahan itu. Dia sudah mengambil keputusan
untuk tidak kembali sebelum dia dapat bertemu kembali dengan ‘pemuda’ yang
dicintanya, Ganggananda.
“Aih....
Gangga, di manakah engkau berada....?” keluhnya penuh kerinduan sebelum dia
tenggelam ke dalam semedhinya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Bun sudah meninggalkan kuil itu dan
melanjutkan perjalanannya ke barat. Dia tidak lagi memasuki kota Lok-yang
karena selama beberapa hari ini dia sudah melakukan penyelidikan dan agaknya
tidak ada seorang pun melihat pemuda Bhutan seperti Ganggananda di kota itu.
Ciang Bun mulai menduga bahwa mungkin sekali pemuda itu mengambil jalan yang
lain, tidak melalui Lok-yang. Akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda itu terus
menuju ke barat dan dia akan mencari terus sampai ke negeri Bhutan!
Ciang Bun
mengambil jalan ke barat menyusuri sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Pada waktu
musim hujan membuat Sungai Huang-ho pasang dan airnya berlimpah-limpah. Dalam
keadaan seperti itu, sungai ini menjadi liar, arusnya kuat sekali sehingga amat
berbahaya untuk naik perahu menentang arus. Maka Ciang Bun hanya berjalan kaki
saja, kadang-kadang mempergunakan ilmu lari cepat kalau melalui jalan sunyi.
Dia akan pergi ke kota Si’an yang jauhnya masih antara tiga ratus kilometer
dari situ. Kalau dia melakukan perjalanan cepat, dalam waktu empat hari saja dia
sudah sampai di sana. Tentu saja kalau di tengah jalan tak ada sesuatu yang
akan menyita waktunya.
Dua hari
kemudian tibalah dia di sebuah puncak bukit. Dari puncak itu dia dapat melihat
pemandangan yang amat indah. Sungai Huang-ho yang lebar nampak berkilauan dari
atas. Sejauh mata memandang, tak nampak adanya dusun di sebelah barat,
melainkan penuh hutan memanjang di sepanjang tepi sungai. Maka dia pun
mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat indah ini.
Ciang Bun
lalu melepaskan buntalan dan siang-kiamnya dari punggung, menjatuhkan diri
duduk di atas rumput hijau tebal lunak. Indah bukan main pemandangan menjelang
senja itu. Indah dan sunyi. Sunyi sekali. Dia mengeluarkan sebungkus roti
kering dan seguci air jernih dari buntalan. Akan tetapi ketika dia menoleh ke
kanan kiri, merasa betapa sunyinya keadaan, betapa sepi dan kosong perasaan
hatinya, roti kering itu tak jadi digigitnya.
Dia
menyimpan kembali roti dan guci air. Tidak jadi makan atau minum walau pun
perutnya lapar dan tenggorokannya haus. Dia tidak dapat makan karena pada saat
itu hatinya dicekam keresahan dan kedukaan. Dia merasa betapa sepi hidupnya,
betapa rindu kepada Ganggananda dan justru kerinduan inilah yang mendukakan
hatinya. Terngiang di telinganya pertanyaan enci-nya ketika dia akan pergi
mengejar Gangga.
“Yakinkah
engkau bahwa cintamu terhadap Gangga itu murni? Ataukah hanya nafsu yang timbul
karena dia seorang pemuda tampan?” Demikian enci-nya bertanya.
Ciang Bun
menundukkan mukanya. Gangga adalah seorang pria! Dan bagaimana kalau Gangga
mendengar pengakuan cintanya, mengerti bahwa dia adalah seorang dengan
kelainan? Apakah Gangga akan memandangnya dengan jijik, akan menjadi marah,
membencinya dan takkan sudi berdekatan lagi dengannya?
Ciang Bun
mengangkat mukanya dan ternyata kedua pipinya yang menjadi pucat itu sudah
basah semua. Dia menangis dan tidak mampu menahan perasaannya lagi. Ditutupnya
mukanya dengan kedua tangan dan dia menangis tersedu-sedu, bagaikan anak kecil,
seperti perempuan!
“Ciang
Bun....!” Suara halus terdengar oleh Ciang Bun seperti nyanyian sorga. Seketika
dia menurunkan kedua tangan dari mukanya.
“Gangga....?
Gangga....?” bisiknya penuh keraguan, penuh harapan, penuh kegelisahan
kalau-kalau tadi pendengarannya telah menipunya dan harapannya akan hampa. Akan
tetapi ketika dia menoleh, di dalam cuaca remang-remang itu dia melihat pemuda
itu dengan jelas! Bukan mimpi, bukan khayal!
“Gangga....!”
Dia meloncat berdiri dan berlari menghampiri dengan lengan terbuka. Di situ
Ganggananda berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh haru, dengan bibir
tersenyum.
“Ciang
Bun....!” Katanya dengan air mata berlinang.
Ciang Bun
mengembangkan kedua lengannya dan merangkul. Gangga diam saja dan membiarkan
pemuda itu memeluk dan mendekapnya dengan kuat sekali. Ganggananda diam-diam
harus melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam dari pelukan Ciang Bun, kalau
tidak bisa patah-patah tulang iganya didekap sekuat itu!
“Gangga....
ah, Gangga.... betapa girang hatiku, betapa.... rinduku kepadamu....!” Ciang
Bun berbisik berkali-kali.
Dia mendekap
tubuh itu seolah-olah hendak memasukkan Gangga ke dalam dadanya supaya tidak
sampai dapat berpisah lagi. Kemudian, saking girangnya dapat bertemu dengan
Gangga kembali, dan saking rindunya, dia lalu mencium pemuda itu, ciuman sayang
dan mesra pada pipi kanannya. Dia merasa betapa tubuh Gangga gemetar keras dan
tiba-tiba Ciang Bun teringat akan keadaan dirinya.
“Ahhh....!”
Dia melepaskan pelukannya seperti melepas ular, lalu membalikkan tubuhnya dan
menjambak-jambak rambutnya sambil menangis!
“Ciang
Bun....!” Ganggananda terkejut, menghampiri dan menyentuh pundaknya. “Ada
apakah....?”
Ciang Bun
menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang-goyang dan air mata
menetes dari celah-celah jari tangannya. Melihat ini, Gangga Dewi menjadi
terharu sekali. Betapa sikap pemuda ini seperti seorang wanita saja, padahal
sepak terjangnya selama ini begitu gagah perkasa sebagai seorang pendekar
sejati. Sungguh sulit membayangkan betapa seorang pemuda selihai ini, cucu
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat menangis sesenggukan seperti seorang
wanita cengeng!
“Ciang Bun,
ada apakah? Apakah yang menyusahkan hatimu?” tanyanya.
Ciang Bun
mengusap air matanya dan dia lalu duduk di atas rumput tebal. Gangga Dewi juga
duduk dan untuk menghilangkan suasana yang tidak enak itu, ia berkata. “Tahukah
engkau betapa selama beberapa hari ini, dari sebelum engkau tiba di Lok-yang
sampai sekarang, aku selalu membayangimu?”
Ucapan ini
berhasil menolong. Ciang Bun yang sudah dapat menguasai hatinya, memandang
heran. “Begitukah?” katanya. “Pantas aku tidak pernah dapat menyusulmu, kiranya
engkau berada di belakangku.”
Gangga Dewi
tersenyum dan suasana yang amat tidak enak bagi Ciang Bun tadi agak berubah,
hatinya menjadi tenang kembali.
“Gangga,
sebetulnya engkau hendak ke manakah? Apakah benar seperti keterangan enci Hui
bahwa engkau hendak pulang ke Bhutan?”
“Dan kau
sendiri hendak ke mana?” Gangga balas bertanya.
“Aku.... aku
hendak menyusulmu. Karena engkau pergi tanpa pamit padaku....”
“Aku memang
tidak pamit karena masih pagi sekali dan aku memang ingin pulang ke Bhutan.
Kenapa engkau mengejarku?”
“Aku....?
Aku.... merasa kehilangan sekali ketika engkau pergi, Gangga. Aku.... aku rindu
sekali kepadamu.”
“Kau memang
sahabatku yang amat baik, Ciang Bun. Akan tetapi di antara sahabat, ada waktu
berkumpul dan ada waktu berpisah.”
“Akan tetapi
aku tidak mau berpisah darimu, Gangga. Selamanya jangan sampai kita berpisah!”
“Ehhh,
mengapa begitu? Mana mungkin begitu?”
“Gangga,
aku.... aku cinta padamu, Gangga!”
Gangga Dewi
sengaja mengatur sikap untuk menguji batin Ciang Bun sesuai dengan rencananya
menolong pemuda itu sembuh, walau pun jantungnya terasa berdebar dan kedua
pipinya terasa panas. Ia pura-pura terbelalak heran.
“Tentu saja,
aku pun suka sekali kepadamu, Ciang Bun. Kita memang sahabat yang saling
mencinta, sahabat karib, bukan?”
“Tidak,
tidak! Bukan begitu, aku.... aku.... ahhh....!” Dan pemuda itu menunduk untuk
menyembunyikan mukanya.
Gangga Dewi
memegang pundak Ciang Bun. “Ciang Bun, ada apakah? Sikapmu begini aneh. Tadi
juga kau.... menangis. Ada apakah?”
Inilah
saatnya! Saat yang selama ini amat menggelisahkan hatinya. Tetapi, bagaimana
pun, apa pun yang akan menjadi akibatnya, dia harus mengaku terus terang kepada
Ganggananda. Mungkin Gangga akan menjadi jijik kepadanya, mungkin menjadi
marah, membencinya sehingga mungkin juga akan meninggalkannya, untuk selamanya.
Akan tetapi dia harus berani menanggung akibatnya.
Lebih baik
menghadapi kenyataan dan memperoleh kepastian, betapa pun pahitnya, dari pada
tersiksa dalam keraguan dan ketidaktentuan, terus-menerus tenggelam dalam
kerinduan dan kebimbangan. Dia harus berani bersikap gagah sebagaimana layaknya
seorang pendekar!
Maka, dia
cepat menghapus air matanya. Untung baginya bahwa cuaca sudah mulai gelap
sehingga Gangga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Hal ini menolongnya
dan mengurangi rasa sungkan dan malunya.
“Gangga,
sahabatku yang baik, kalau aku berterus terang dan kata-kataku menyinggung dan
tidak menyenangkan hatimu, maukah engkau.... memaafkan aku?”
Diam-diam
Gangga Dewi merasa terharu sekali. Ia merasa kasihan kepada pemuda itu dan ia
tahu betapa sukarnya bagi Ciang Bun untuk menjawab pertanyaannya tadi.
“Tentu saja,
Ciang Bun. Orang yang berterus terang, berarti mempunyai maksud baik dan sudah
sepatutnya kalau dimaafkan.”
“Tapi....
tapi aku....” Ciang Bun menghentikan lagi kata-katanya, nampak berat sekali
untuk membuat pengakuan dan menceritakan keadaan dirinya.
“Engkau
kenapa? Katakanlah!”
Ciang Bun
mengepal tinju dan menguatkan hatinya. Dia seorang pendekar, tdak boleh
bersikap lemah. “Gangga, aku akan bicara terus terang dan mungkin sekali akan
tidak menyenangkan hatimu, tidak enak kau dengar.”
Melihat
sikap tegas ini, Gangga tersenyum. “Nah, begitu lebih patut bagimu, pendekar
Suma Ciang Bun. Bicaralah!”
“Gangga,
tadi aku mengatakan bahwa aku cinta padamu, tetapi bukan seperti yang kau
maksudkan, tidak seperti yang kau sangka. Bukan cinta sebagai seorang sahabat!”
Gangga sudah
tahu akan keadaan pemuda ini dari Suma Hui, akan tetapi ia pura-pura heran. Dia
memandang dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Ciang
Bun.”
“Tidak
terasakah olehmu saat aku.... memelukmu tadi? Aku.... ketika aku.... menciummu
tadi? Nah, cintaku seperti itulah!”
“Tapi
aku.... aku seorang pria juga!” Gangga memancing.
“Itulah,
Gangga, justru itulah! Aku.... aku bukan seorang yang waras.... aku seorang
yang sakit dan menderita kelainan. Karena itulah aku merana dan aku.... takut
kalau kau menjadi benci kepadaku, menjadi jijik lalu meninggalkan aku untuk
selamanya....”
Pemuda itu
menundukkan mukanya, tidak menangis lagi tapi terbenam dalam kedukaan besar.
Gangga Dewi memandang dan hatinya terharu. Ia sendiri belum merasa yakin benar
apakah ia mencinta pemuda ini setelah mengetahui rahasianya dari Suma Hui. Yang
jelas ia tidak membenci, tidak jijik melainkan heran, terkejut dan kasihan
sekali.
“Ciang Bun,”
katanya halus. “Sebetulnya apakah yang sedang kau derita itu? Kelainan dan
penyakit bagaimanakah yang kau maksudkan?”
Ciang Bun
menghela napas panjang. Betapa pun sukar dan beratnya, dia tetap harus berterus
terang, harus menceritakan semua tentang dirinya kepada orang yang sangat
dicintanya ini.
“Gangga,
mungkin engkau akan kaget, heran dan jijik setelah mendengar penyakit apa yang
mengganggu diriku. Baiklah aku mengaku terus terang saja, Gangga. Aku adalah
seorang laki-laki yang berselera wanita. Aku tidak tertarik kepada wanita
sebagai teman hidup, tetapi aku tertarik kepada sesama pria. Aku hanya
bergairah terhadap seorang pemuda, aku hanya dapat jatuh cinta kepada seorang
pria! Dan aku…. aku…. cinta padamu. Bukan hanya sebagai sahabat, melainkan
lebih mendalam lagi, seperti.... seperti cinta suami isteri.... Aku ingin hidup
bersamamu, selamanya di sampingmu dalam suka mau pun duka, tidak akan terpisah
lagi. Nah, aku sudah menceritakan semua dan.... dan engkau tentu muak dan
membenciku!”
Hening
sejenak. Gangga Dewi teringat akan siasat yang diatur Suma Hui. Memang, ia
berjanji untuk membantu penyembuhan pemuda ini. Tetapi hanya untuk mengguncang
batinnya, menyadarkannya dengan harapan mudah-mudahan pemuda itu akan dapat
sembuh, melalui cinta pemuda itu terhadap dirinya. Akan tetapi, ia sendiri
tidak yakin apakah ia juga mencinta pemuda ini. Ia merasa suka dan kagum, akan
tetapi cinta? Ia sendiri belum tahu benar, apalagi setelah melihat kelainan
yang ada pada batin Ciang Bun.
“Ciang Bun,
jadi kau.... kau mencinta diriku?”
“Aku cinta
padamu, Gangga, walau pun aku maklum bahwa mungkin sekali engkau akan merasa
muak dan membenciku.”
“Engkau
mencinta diriku karena.... aku seorang pria, seorang pemuda yang menarik
hatimu?” Sepasang mata yang bening tajam itu bersinar menyaingi bintang-bintang
yang mulai bertebaran di langit, berusaha menembus kegelapan untuk dapat
menjenguk isi dada pemuda itu dan mengetahui isi hatinya.
Ciang Bun
mengangguk, teringat bahwa cuaca gelap dan Gangga tidak akan dapat melihatnya,
maka dia berkata gagap, “Ya.... ya, begitulah....!”
Tiba-tiba
Gangga bangkit berdiri. “Hemm, jadi yang kau cinta hanyalah diriku sebagai
seorang pemuda yang menarik? Ciang Bun, jika engkau hanya membutuhkan pemuda
tampan menarik, mudah saja bagimu untuk memperolehnya setiap saat dan di mana
pun! Aku.... aku tidak sudi menjadi korban nafsu-nafsumu!” Setelah berkata
demikian Gangga meloncat jauh dan lari.
Sejenak
Ciang Bun termangu. Dia sudah menduga bahwa pengakuannya itu tentu akan
berakibat hebat, namun begitu dia teringat bahwa Gangga telah pergi
meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, dia pun meloncat dan mengejar turun
dari puncak bukit.
“Gangga....!
Tunggu dulu, aku mau bicara denganmu!”
Gangga
berhenti, membalik dan menanti sambil bertolak pinggang. “Mau bicara apa lagi?”
tanyanya angkuh.
“Gangga,
maafkan kalau aku telah menyinggung perasaanmu dengan kata-kataku tadi yang
bodoh dan canggung. Gangga, aku cinta padamu, sungguh bukan hanya karena engkau
seorang pemuda tampan yang menarik. Tidak! Aku cinta padamu karena dirimu,
karena pribadimu, biar ditukar seribu orang pemuda tampan sekali pun aku tidak
mau!”
“Ciang Bun,
engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak suka kepada wanita, begitu bukan?”
“Benar,
Gangga, dan itulah penyakitku, itulah kelainan diriku....”
“Nah,
sekarang lihat baik-baik, Ciang Bun, lihat baik-baik!”
Gangga lalu
menggunakan tangannya melepas kain pengikat dan penutup rambutnya, menanggalkan
pula alis palsunya. Rambutnya yang halus panjang terurai lepas. Biar pun cuaca
remang-remang akan tetapi cukup terang bagi Ciang Bun untuk melihat perubahan
itu dan dia pun terbelalak.
"Gangga....! Kau.... kau...."
“Namaku
Gangga Dewi, aku seorang wanita yang menyamar pria agar aman dalam perjalanan.
Nah, aku seorang wanita dan engkau tidak bisa jatuh cinta kepada wanita, bukan?
Selamat tinggal!”
Gangga Dewi
meloncat dan terus lari secepatnya, meninggalkan Ciang Bun yang berdiri bengong
dengan wajah pucat. Gangga ialah seorang wanita! Kenyataan ini merupakan
pukulan hebat baginya. Baru sekarang dia mengerti akan pertanyaan enci-nya
apakah dia mencinta pribadi Gangga ataukah hanya karena Gangga dianggapnya pria
saja.
Kalau Gangga
tadi bertanya seperti enci-nya, agaknya masih mudah baginya untuk menjawab
bahwa dia mencinta Gangga, mencinta pribadinya, bukan karena Gangga seorang
pria. Akan tetapi, Gangga tidak hanya bertanya, melainkan dengan mendadak saja
merubah dirinya, membuka rahasianya. Hal ini membuat Ciang Bun terkejut dan
batinnya terguncang hehat, membuat dia tidak mampu mengambil keputusan, tidak
tahu harus berbuat apa.
Gangga
seorang wanita! Kenyataan ini amatlah hebatnya, terlalu hebat mengguncang
perasaannya sehingga dia hanya berdiri terbelalak seperti patung. Dia tidak mengejar
lagi sekarang. Terlalu bingung dan pada saat itu, dia sendiri pun tidak tahu
bagaimana perasaan hatinya terhadap Gangga. Masih tetap mencintakah? Dia tidak
tahu.
Yang terasa
pada saat itu hanyalah kekecewaan, keheranan dan penyesalan. Rasa kecewa jauh
lebih besar dan dia dicekam kekecewaan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas.
Dia merasa seolah-olah piala harapan yang dirawatnya baik-baik dan
dipuja-pujanya itu mendadak hancur berkeping-keping.
“Ya Tuhan,
apa yang harus kulakukan?” ratapnya sambil menutupi muka dengan kedua
tangannya. Kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh terduduk di atas tanah.
Cinta asmara
didorong oleh nafsu birahi yang timbul karena kecocokan selera dan daya tarik
alamiah yang memang ada dalam diri setiap makhluk antara jantan dan betina.
Daya tarik alamiah ini memang sangat diperlukan guna perkembang biakan segala
makhluk hidup. Dengan adanya daya tarik ini, jantan dan betina didorong untuk
saling mendekati, berhubungan dan berkembang biak. Oleh sebab itu di dalamnya
terkandung kenikmatan dan kepuasan, seperti juga halnya makan atau minum yang
mengandung keenakan dan kepuasan sebagai daya tarik penyambung hidup, pengisian
kebutuhan badan.
Kenikmatan
dan kepuasan ini, yang menjadi pendorong pengisian kebutuhan badan, sebaliknya
dapat menjadi racun bagi batin. Batinlah yang dicengkeram oleh kenimatan
sehingga mencandu dan batin yang mendorong kita untuk mengejar-ngejar dan
mengulangi segala kenikmatan dan kepuasan itu, batin yang mendorong kita untuk
mengejar kesenangan itu. Padahal, kesenangan itu terpisahkan dari kesusahan dan
kepuasan tak terpisahkan dari kekecewaan, apabila kita kejar-kejar.
Dalam
pengejaran terkandung harapan atau keinginan memperoleh, dan harapan inilah
yang melahirkan kekecewaan apabila gagal diperoleh. Karena ulah batin sendiri,
maka cinta asmara yang sedianya menjadi pendorong sesuatu yang dapat kita
nikmati, seperti kelezatan makan selagi lapar dan kepuasan minum selagi haus,
sebaliknya menjadi ajang pertentangan antara senang dan susah, antara puas dan
kecewa.
Ciang Bun
tenggelam ke dalam duka dan kebimbangan. Ada perasaan yang saling bertentangan
bergelut di dalam batinnya. Di satu pihak dia ingin selalu berdampingan dengan
pemuda Ganggananda, di lain pihak dia tidak mungkin dapat mendekati dan bermesraan
dengan gadis Gangga Dewi. Padahal, Ganggananda dan Gangga Dewi adalah satu
orang juga! Ketika dia teringat bahwa Gangga telah meninggalkannya, mungkin
untuk selamanya, hatinya merana.
“Gangga....!”
Dia berseru dan meloncat berdiri, hendak mengejar. Akan tetapi dia segera
teringat bahwa Gangga adalah seorang wanita dan tiba-tiba saja kedua kakinya
mogok dan berhenti berlari.
“Gangga....
ahhh, Gangga....” Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan seolah-olah
terasa ngeri menyaksikan keadaan dirinya sendiri dan dia membiarkan dirinya
hanyut dalam ketidak tentuan yang menimbulkan duka…..
***************
Kam Hong,
pendekar sakti yang halus budi bahasanya dan sederhana hidupnya itu masih tetap
tinggal dan menghuni istana kuno di puncak Bukit Nelayan, di Pegunungan
Tai-hang-san. Usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi karena dia
hidup di pegunungan yang sunyi dan berhawa sejuk bersih, apa lagi karena dia
tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga kehidupannya tenang dan penuh
damai, maka dia nampak masih amat muda, bahkan belasan tahun lebih muda dari
pada usianya yang sebenarnya.
Seperti
biasa, dia selalu memakai pakaian sasterawan yang sederhana dan kebesaran.
Melihat sepintas lalu, orang akan memandang rendah kepadanya. Seorang
sasterawan setengah tua yang nampaknya malas-malasan, hanya bermain suling saja
yang menjadi kesukaannya. Sedikit pun, dalam gerak gerik mau pun sikapnya, dia
tak nampak seperti seorang pendekar. Akan tetapi, jika orang menyaksikan
kelihaiannya, dia akan bergidik dan takjub.
Pendekar ini
telah menguasai banyak sekali ilmu silat gemblengan yang ampuh-ampuh. Dialah
pewaris ilmu-ilmu silat yang amat tinggi dari Pendekar Suling Emas yang menjadi
nenek moyangnya. Dari Sai-cu Kai-ong dia mewarisi ilmu-ilmu silat, antara lain
yang hebat adalah Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong) dan Sai-cu
Ho-kang (Auman Singa). Dari Sin-siauw Seng-jin dia mewarisi ilmu-ilmu
peninggalan Suling Emas, antara lain yang hebat adalah Hong-in Bun-hwat (Silat
Sastera Angin Hujan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), dan Lo-hai
San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).
Biasanya
pedangnya diganti dengan suling dan dimainkan bersama kipas, sungguh sukar
dicari tandingnya. Semua warisan ilmu itu diperhebat secara berlipat ganda pada
saat dia secara kebetulan sekali mewarisi ilmu mukjijat dari jenazah kuno,
yaitu ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sim-in
yaitu ilmu meniup suling yang mengandung getaran khikang amat kuatnya sehingga
suara tiupan itu saja dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini hidup tenteram di tempat sunyi
itu bersama isterinya dan anak tunggalnya, yaitu Kam Bi Eng. Ketentraman itu
sempat terganggu hebat dengan menimpanya mala petaka yang menewaskan enam orang
pelayan atau murid mereka dan hampir saja puteri mereka juga tertimpa bencana
kalau saja tidak diselamatkan oleh Suma Ceng Liong. Malapetaka itu dikarenakan
oleh penyerbuan Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok bersama seorang muridnya yang
lihai, yang bukan lain adalah Louw Tek Ciang.
Kini Kam Bi
Eng ikut bersama calon mertuanya, Sim Hong Bu, untuk memperdalam ilmu silat.
Sedangkan putera Sim Hong Bu yang bernama Sim Houw, yang telah ditunangkan
dengan gadis itu, berada di istana tua Khong-sim Kai-pang untuk memperdalam
ilmunya pula kepada pendekar Kam Hong. Memang sudah disetujui bersama oleh Kam
Hong dan Sim Hong Bu untuk menggabung kedua ilmu mereka yang sebenarnya berasal
dari satu sumber akan tetapi yang diciptakan untuk saling menentang itu.
Pagi hari
suasana di sekitar istana kuno Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan sunyi
dan tenteram. Matahari pagi bersinar cerah seperti biasa, memandikan seluruh
permukaan puncak dengan sinar perak lembut yang menghidupkan. Sejak fajar tadi,
Sim Houw telah berlatih silat seorang diri di kebun belakang.
Pemuda ini
memang tekun sekali. Dalam waktu tiga tahun saja, di bawah bimbingan Kam Hong,
dia telah menguasai inti dari Ilmu Pedang Suling Emas dan dibantu oleh Kam Hong
menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dengan Koai-liong
Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajarinya dari ayahnya. Biar pun
Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Kam Hong itu tentu saja
tidak sehebat yang dikuasai calon mertuanya dan ilmu Koai-liong Kiam-sut juga
tidak sehebat yang dikuasai ayahnya, namun penggabungan kedua ilmu ini
benar-benar amat hebat sehingga dalam usianya yang baru sembilan belas tahun
itu ilmu pedangnya tidak kalah kuat dibandingkan dengan ayahnya mau pun calon
ayah mertuanya.
Pendekar Kam
Hong sejak pagi juga sudah bangun dan setelah berjalan-jalan ke atas puncak
selama beberapa jam, kini dia duduk menikmati suasana pagi yang cerah itu di
depan istana kuno seorang diri. Isterinya, Bu Ci Sian, sedang sibuk menyiapkan
sarapan mereka di dapur.
Gerakan dua
bayangan orang itu sejak tadi sudah ditangkap oleh pandang mata pendekar Kam Hong
dan diam-diam sambil duduk tenang menikmati burung-burung yang menyambut
datangnya pagi dengan gembira, dia memperhatikan. Dia tidak tahu siapa adanya
kedua orang itu, akan tetapi melihat betapa mereka itu menyelinap dari pohon ke
pohon, dan melihat pula gerakan mereka yang ringan dan cepat, Kam Hong sudah
dapat menduga bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian tinggi dan tentu
datang bukan dengan niat baik sebab datangnya menyelinap bagai orang
bersembunyi.
Namun, dia
tidak mau mengambil kesimpulan atau berprasangka, melainkan menanti dengan
sikap tenang. Semenjak kematian para pelayan tiga tahun yang lalu, dia tidak
menggunakan tenaga pelayan lagi. Kini dia hidup bertiga saja bersama isterinya
dan muridnya atau calon mantunya, cukup lihai untuk dapat melindungi dirinya
sendiri.
Dia tidak
mau lagi membahayakan keselamatan orang lain dengan mempergunakan bantuan
tenaga pelayan, karena dia tahu bahwa di sana banyak terdapat orang-orang dari
golongan hitam yang memusuhinya dan memusuhi isterinya. Siapa tahu masih ada
orang-orang yang mendendam kepada keluarganya dan kalau musuh datang selagi dia
dan keluarganya tidak ada atau sedang lengah, tentu para pembantu atau pelayan
yang akan tertimpa mala petaka. Dia tidak mau peristiwa menyedihkan itu
terulang kembali. Karena itulah maka melihat dua bayangan orang yang
mencurigakan itu, dia bersikap tenang saja, diam-diam dia memperhatikan dan
menduga-duga siapa gerangan mereka itu dan apa yang terkandung dalam hati
mereka.
Dua orang
itu agaknya kini dapat melihat pula pendekar yang duduk seorang diri di depan
istana kuno itu dan mereka muncul dari balik pohon-pohon dan langsung kini
melangkah lebar menghampiri Kam Hong. Pendekar ini sekarang dapat melihat
mereka, dua orang pria muda yang bersikap gagah. Kam Hong memandang penuh
perhatian, merasa pernah melihat mereka, atau setidaknya seorang di antara
mereka yang bertubuh pendek tegap dan bermuka putih tampan. Dia memperhatikan
wajah mereka.
Yang
bertubuh pendek tegap itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya
pesolek atau setidaknya rapi sekali. Wajahnya cerah dan terhias senyum,
sepasang matanya membayangkan kecerdikan, langkahnya tegap dan membayangkan
tenaga sinkang yang kuat. Orang ke dua lebih muda, paling banyak usianya dua
puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna hijau, sikapnya pendiam dan
alisnya berkerut, wajahnya diliputi keraguan dan kebimbangan, tidak seperti
kawannya yang nampak lebih tabah.
Kam Hong
adalah seorang pendekar yang telah mencapai tingkat tinggi. Biasanya, para
datuk atau pendekar yang sudah tinggi tingkatnya, bersikap dingin dan memandang
rendah kepada orang-orang muda. Akan tetapi Kam Hong adalah seorang sasterawan
pula yang menjunjung tinggi kesusilaan dan sopan santun, maka begitu dua orang
menghampirinya, dia bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat.
“Dua orang
sobat yang muda dan gagah perkasa, siapakah, dari mana dan kabar baik apakah
yang ji-wi bawa?”
Melihat
kegagahan dan keramahan orang yang berpakaian sasterawan ini, si baju hijau
cepat membalas dengan penghormatannya. Sikap Kam Hong ini saja sudah membuat
hatinya amat terpukul dan dia menjadi kagum. Si baju hijau ini adalah Pouw Kui
Lok, sedangkan si pendek tegap adalah Louw Tek Ciang.
Seperti
telah kita ketahui, kedua orang ini ditemukan oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu di
kuil Kun-lun-pai yang mengangkat keduanya menjadi murid-murid dan dibawa ke
Lembah Naga Siluman. Selama tiga tahun mereka digembleng oleh dua orang tokoh
barat itu dan kini mereka datang ke puncak Bukit Nelayan sebagai utusan para
tokoh keluarga Cu untuk menebus kekalahan mereka terhadap Kam Hong!
Begitu
bertemu dengan Pendekar Suling Emas Kam Hong dan melihat sikapnya, Pouw Kui Lok
segera merasa tunduk dan kagum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang
pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Biar pun dia maklum bahwa adalah
menjadi tugas kewajibannya untuk menghadapi pendekar sakti ini sebagai lawan
untuk berbakti kepada guru-gurunya, yaitu keluarga Cu sebagai balas budi mereka,
namun dia sebagai seorang pendekar merasa ragu-ragu dan bimbang. Andai kata
yang menjadi musuh guru-gurunya itu adalah seorang penjahat, atau setidaknya
orang yang berwatak sombong, tentu tugasnya akan terasa ringan dan hatinya tak
diliputi keraguan lagi.
Berbeda lagi
dengan apa yang terasa di hati Louw Tek Ciang. Orang ini sama sekali tak
memiliki jiwa pendekar walau pun pada lahirnya dia pandai sekali membawa diri
dan berlagak bagai seorang pendekar sejati. Di dalam hatinya, begitu melihat
pendekar yang pernah merobohkan dia dan gurunya ini, timbul suatu kebencian
serta dendam yang besar. Ingin sekali ia dapat membalas dan jika mungkin
membunuh pendekar itu, bukan demi membalas budi keluarga Cu yang sudah
menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya, melainkan demi membalas dendamnya sendiri.
Namun dia
amat cerdik. Oleh Pouw Kui Lok yang kini menjadi sute-nya karena mereka berdua
sama-sama menjadi murid keluarga Cu, dia dikenal sebagai seorang yatim piatu
yang berjiwa pendekar. Kui Lok tidak pernah dia ceritakan tentang keadaan
dirinya, kecuali hanya bahwa dia adalah murid keturunan pendekar Pulau Es! Sama
sekali dia tak pernah bercerita bahwa dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok dan
bersekutu dengan Hek-i Mo-ong menyerbu ke Bukit Nelayan. Maka kini, melihat
betapa Kam Hong tidak mengenalnya, dia pun diam saja dan pura-pura belum pernah
bertemu dengan Kam Hong. Bahkan dia membiarkan Kui Lok untuk menjawab
pertanyaan tuan rumah itu.
Karena
suheng-nya diam saja tidak menjawab, Pouw Kui Lok cepat-cepat membalas
penghormatan tuan rumah dan dialah yang menjawab dengan suara lantang akan
tetapi dengan sikap menghormat. “Apakah locianpwe yang bernama Kam Hong?”
“Benar orang
muda, aku yang bernama Kam Hong.”
“Locianpwe,
kami berdua adalah murid-murid dari Lembah Naga Siluman yang sedang ditugaskan
oleh para suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu untuk menebus kekalahan mereka dan
menandingi locianpwe!” Sambil berkata demikian, Pouw Kui Lok mencabut pedangnya
diikuti pula oleh Louw Tek Ciang yang merasa girang bahwa Kui Lok tidak memperkenalkan
nama.
Memang
pemuda baju hijau ini tidak memperkenalkan nama karena mereka datang bukan
karena urusan pribadi melainkan hanya mewakili guru-guru mereka. Dan pula, Pouw
Kui Lok yang merasa lebih kuat kalau menggunakan pedang, telah mendahului mencabut
pedang.
Dia sudah
mendengar bahwa lawannya ini adalah Pendekar Suling Emas yang biasa menggunakan
suling sebagai senjata, maka dia mendahului mencabut pedangnya untuk memaksa
lawan bertanding dengan senjata. Pemuda ini pun cerdik karena jika mereka bertanding
dengan tangan kosong, dia dapat membayangkan bahwa dalam hal tenaga sinkang dan
ilmu silat tangan kosong, agaknya dia bukanlah tandingan pendekar sakti yang
tentu sudah lebih banyak pengalamannya itu.
Tek Ciang
yang biasanya mengandalkan tangan kaki dan ilmu-ilmu silatnya yang banyak
macamnya, kini pun mempergunakan senjata pedang karena di Lembah Naga Siluman
dia memperoleh latihan yang mendalam dalam ilmu pedang. Dia pun sudah mengenal
baik kehebatan pendekar itu, maka dia juga bersikap hati-hati sekali.
Kam Hong
menarik napas panjang. Hatinya menyesal sekali mendengar bahwa dua orang muda
yang gagah perkasa dan bersikap seperti pendekar-pendekar gagah ini ternyata
datang sebagai musuh dan lawan. Apa lagi mendengar bahwa mereka itu mewakili
keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, dia semakin menyesal.
Bagaimana
pun juga, antara keluarga Pendekar Suling Emas, nenek moyangnya, dengan
keluarga Cu sebetulnya terdapat hubungan yang amat dekat, mengingat bahwa
mereka berasal dari satu sumber. Dan dia pun tahu bahwa permusuhan keluarga Cu
terhadap Suling Emas yang diciptakan oleh nenek moyang keluarga Cu ternyata
jatuh ke tangan keturunan keluarga Kam.
Dia merasa
menyesal mengapa keluarga Cu demikian picik pandangan, demikian lemah batinnya
sehingga mudah dikuasai iri dan dendam hanya karena pernah dikalahkannya.
Padahal, selain iri, tidak ada urusan lain yang membuat mereka harus barhadapan
sebagai musuh.
“Aih,
sobat-sobat muda yang baik. Sungguh merupakan kehormatan bagiku menerima
kunjungan kalian dari tempat yang jauh, dan kehormatan itu akan disertai
kegembiraan besar kalau sekiranya ji-wi datang sebagai sahabat-sahabat. Akan
tetapi sayang, ji-wi datang dengan maksud mengajak bertanding. Mengapa keluarga
Cu belum juga mau menghabiskan urusan kecil yang tidak ada artinya itu?
Bagaimana kalau ji-wi pulang saja dan melaporkan kepada kedua orang locianpwe
itu bahwa aku mengaku kalah dan menyampaikan permintaan maafku kepada mereka?”
Mendengar
ucapan ini, seketika hati Pouw Kui Lok jatuh dan andai kata dia seorang diri
yang mewakili keluarga Cu, tentu dia akan mundur teratur dan dengan senang hati
menyampaikan pesan yang sangat bijaksana itu. Belum pernah dia bertemu dengan
seorang pendekar yang begini rendah hati, padahal pendekar ini telah
mengalahkan kedua orang gurunya, tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman. Bukan main!
Akan tetapi,
selagi dia meragu dan bimbang, tidak tahu harus bersikap bagaimana, Tek Ciang
sudah menjawab dengan suara lantang.
“Tidak
mungkin! Kami adalah utusan suhu dan sebagai murid-murid yang berbakti kami
harus membalas budi kebaikan suhu dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya.
Hanya ada dua pilihan bagi kami. Pertama, kalau kami kalah biarlah kami berdua
tewas dalam melaksanakan tugas kami atau kalau locianpwe tidak mau melawan
kami, maka locianpwe harus ikut dengan kami sebagai tawanan dan kami hadapkan
kepada suhu kami untuk diambil keputusan.”
Kam Hong
mengangguk-angguk. Jawaban yang singkat dan gagah. “Sobat-sobat muda,
ketahuilah bahwa sesungguhnya antara Lembah Naga Siluman dan keluargaku tidak
ada permusuhan apa-apa, hanya kekerasan hati guru-gurumu yang tak mau menerima
kekalahan dalam pertandingan yang sudah wajar. Karena itu, tidak mungkin kalau
aku harus menghadap ke sana sebagai tawanan. Dan pertentangan antara
guru-gurumu dengan aku pun bukan merupakan permusuhan yang haus darah dan
nyawa. Maka, biarlah aku yang sudah mulai tua dan malas ini membuka mata
melihat kemajuan para muda masa kini. Tetapi, harap ji-wi suka memberi tahukan
nama ji-wi agar perkenalan ini menjadi lebih akrab.”
“Kami datang
bukan untuk berkenalan, juga tidak membawa urusan pribadi, melainkan sebagai
murid-murid Lembah Naga Siluman yang hendak menebus kekalahan. Karena itu,
locianpwe tidak perlu mengetahui nama pribadi kami, cukup kalau mengetahui
bahwa kami berdua adalah murid-murid dari suhu Cu Han Bu dan suhu Cu Seng Bu,”
jawab Tek Ciang lagi mendahului sute-nya. “Locianpwe, cabutlah suling emasmu
itu dan ingin kami melihat sampai di mana kehebatan suling emas yang tersohor
itu!” Sengaja Tek Ciang menambahkan untuk memanaskan hati pendekar itu dengan
nada suara mengejek.
Sepasang
alis Kam Hong berkerut, akan tetapi dia masih tenang saja. “Kalau ji-wi
memaksa, apa boleh buat. Akan tetapi biarlah sulingku kupakai untuk meniup
lagu-lagu merdu saja, tidak perlu kupakai untuk bertanding.”
Pada saat
itu nampak berkelebat bayangan yang amat cepat dari dalam rumah dan tahu-tahu
di situ telah berdiri seorang nyonya yang usianya sudah tiga puluh enam atau
tujuh tahun, akan tetapi masih nampak jauh lebih muda dari pada usianya. Nyonya
ini sudah memegang sebatang suling emas kecil mungil dan mukanya nampak merah,
matanya berkilat saat dia memandang pada dua orang laki-laki muda yang
memandang kaget dan kagum akan kecepatan gerak wanita ini.
“Dua orang
bocah banyak lagak! Murid-murid Lembah Naga Siluman mana ada yang tak sombong?
Guru-gurunya pun orang-orang yang kukuh, keras kepala dan sombong. Apakah
kalian mengira akan mampu mengalahkan kami?”
“Nio-cu....!”
Suaminya mencegah.
Akan tetapi
Bu Ci Sian, nyonya itu, yang tadi sudah mendengar percakapan antara suaminya
dan dua orang pendatang itu, sudah marah. “Kalian minta agar suamiku menjadi
tawanan dan kalian bawa menghadap ke Lembah Naga Siluman? Huh, hal itu baru
bisa terjadi kalau melalui mayatku. Majulah kalian!”
Nyonya itu
menggerakkan suling emasnya di tangan kanan dan terdengarlah suara suling itu
melengking-lengking seperti ditiup dengan mulut! Nyonya itu nampak gagah sekali
dan bagaimana pun juga, dua orang muda itu memandang dengan bengong dan jeri!
Apalagi Tek Ciang sudah mengenal kelihaian wanita itu.
“Tidak....!”
Tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dan menghalangi isterinya. “Nio-cu,
ingatlah, mereka ini hanyalah orang-orang muda yang menjadi utusan saja. Dan
yang ditantang oleh keluarga Cu adalah aku seorang, maka kalau memang mereka
ini hendak mengadu kepandaian, biarlah dengan aku, bukan engkau. Mundurlah dan
mari kita lihat apakah dua sobat muda ini dapat menandingi aku.” Setelah
berkata demikian, Kam Hong meloncat ke depan menghadapi Kui Lok dan Tek Ciang.
“Ji-wi, silakan maju dan mari kita main-main sebentar.”
Akan tetapi
melihat betapa tuan rumah tidak mengeluarkan suling emasnya yang amat ditakuti,
diam-diam Tek Ciang merasa lega. Kalau dia dapat memancing agar pendekar itu
tidak mempergunakan suling, sungguh menguntungkan apabila mereka maju berdua
menandinginya. Yang amat ditakuti adalah sulingnya itu.
“Sute,
locianpwe ini tidak bersenjata, sebaiknya kalau kita pun tidak mempergunakan
pedang kita,” kata Tek Ciang.
Cepat dia
menyarungkan pedangnya kembali. Bagi dia, bertangan kosong lebih lihai dari
pada berpedang, karena selama berada di lembah keluarga Cu, selain ilmu pedang,
juga dia mempelajari ilmu-ilmu silat tangan kosong keluarga itu sehingga
ilmu-ilmunya menjadi semakin banyak dan lengkap.
“Baik,
suheng, memang demikianlah seharusnya agar adil,” kata Pouw Kui Lok. “Bahkan
tidak enaklah kalau kita maju bersama melakukan pengeroyokan.”
Kam Hong
kagum mendengar ucapan-ucapan mereka berdua yang jelas menunjukkan kegagahan
ini dan dia merasa semakin menyesal harus menghadapi dua orang gagah ini
sebagai lawan. “Tidak apa, aku jauh lebih tua dan aku malu kalau harus
menghadapi ji-wi satu demi satu. Majulah ji-wi bersama agar kita bertiga dapat
bermain-main lebih gembira lagi.”
“Locianpwe,
awas serangan!” Tek Ciang sudah menerjang dengan cepat, tidak mau memberi
kesempatan kepada sute-nya untuk bersungkan-sungkan lagi.
Melihat
suheng-nya sudah menerjang maju, dan maklum pula betapa lihainya tuan rumah,
Kui Lok juga bergerak menerjang sambil membentak nyaring. Kam Hong sudah
menantang mereka agar maju bersama, maka dia pun tidak ragu-ragu lagi membantu
suheng-nya.
Melihat
gerakan dua orang muda itu yang cukup dahsyat, Kam Hong merasa kagum dan cepat
dia mengelak dua kali untuk menghindarkan diri dari serangan mereka. Maklum
bahwa kalau dua orang muda itu maju bersama maka kekuatan mereka akan dapat
mengimbanginya, maka dia pun tidak merasa sungkan lagi dan cepat membalas
dengan tamparan kedua tangannya ke arah lawan.
Angin
pukulan yang dahsyat menyambar, dan dua orang muda itu terkejut, akan tetapi
dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang. Terjadilah
serang-menyerang dan mula-mula Kui Lok dan Tek Ciang bertahan dengan ilmu silat
yang mereka pelajari di Lembah Naga Siluman. Dari Bu-eng-sian Cu Seng Bu mereka
memperoleh latihan ginkang yang membuat tubuh mereka dapat bergerak cepat dan
ringan, sedangkan dari Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas)
mereka memperoleh ilmu-ilmu silat dan sinkang.
Tetapi,
dengan ilmu silat yang mereka pelajari selama tiga tahun itu ternyata mereka
sama sekali tak mampu mendesak lawan, bahkan ketika Kam Hong membalas dengan
ilmu silat Khong-sim Sin-ciang, mereka menjadi bingung dan kewalahan. Oleh
karena terdesak dan beberapa kali hampir terlanggar pukulan, tanpa disadarinya
lagi, secara otomatis dua orang muda itu menggunakan gerakan-gerakan yang sudah
mendarah daging pada diri mereka. Kui Lok segera mainkan jurus-jurus
Kun-lun-pai yang sudah lebih lama dilatihnya sehingga lebih dikuasainya dibandingkan
dengan ilmu silat baru yang dipelajarinya dari keluarga Cu.
“Wuuuuttt....
plakk!”
Kam Hong
terpaksa menangkis karena terkejut melihat jurus lihai dari Kun-lun-pai dan dia
meloncat mundur.
“Eh, engkau
murid Kun-lun-pai....?” tegurnya heran.
“Dahulu
sebelum menjadi murid keluarga Cu, saya adalah murid Kun-lun....,” jawab Kui
Lok sejujurnya.
Akan tetapi
Tek Ciang sudah menerjang lagi, tak memberi kesempatan kepada mereka untuk
bercakap-cakap. Dan tentu saja Kui Lok juga melanjutkan serangannya. Kam Hong
mengelak dan menangkis.
“Akan
tetapi.... aku tidak pernah mempunyai permusuhan dengan Kun-lun-pai, bahkan
bersahabat....”
“Tugas saya
hanya menghadapi dan menandingi locianpwe tanpa membawa-bawa nama Kun-lun-pai,
maka tentu saja saya menggunakan semua yang saya bisa untuk mencoba mengalahkan
locianpwe,” kata Kui Lok sambil melanjutkan terjangannya.
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Dia merasa tidak senang kalau harus menghadapi ilmu
Kun-lun-pai karena hal ini berbahaya, dapat menyeret Kun-lun-pai menjadi lawan
pula. Dia sama sekali tidak tahu bahwa masuknya pemuda murid Kun-lun-pai ini
menjadi murid keluarga Cu adalah atas persetujuan ketua Kun-lun-pai pula.
Tiba-tiba
Kam Hong mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan kedua orang muda itu terhuyung
ke belakang. Terjangan Kam Hong yang tadi menggunakan jurus dari Lo-hai
Kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) dibarengi dengan gerengan Sai-cu Ho-kang
membuat tubuh dua orang muda itu tergetar dan terhuyung. Kesempatan itu
digunakan oleh Kam Hong untuk menubruk maju dan mengirim dorongan telapak
tangan untuk menggulingkan kedua orang muda itu dan mengakhiri perkelahian.
Akan tetapi
tiba-tiba Louw Tek Ciang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut, sedangkan
Pouw Kui Lok sudah menggunakan loncatan dari ilmu meringankan tubuh
Kun-lun-pai, tubuhnya mencelat ke udara dan di situ dia berjungkir balik sampai
lima kali, terhindar dari terjangan hebat tangan Kam Hong tadi.
“Desss....!”
Tangan Tek
Ciang menahan dorongan Kam Hong dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan
Kam Hong merasa betapa hawa dingin yang dahsyat menerjangnya dari kedua telapak
tangan Tek Ciang.
“Ihhh....!
Ini.... ini.... ilmu dari Pulau Es....?” katanya dengan mata terbelalak.
Tek Ciang
tersenyum mengejek. Cepat dia menerjang ke depan, tubuhnya berjongkok rendah
dan kedua tangannya mendorong ke depan. Tenaga dahsyat menyambar ke depan dan
tercium bau amis dan dari perut pemuda itu keluar bunyi berkokok.
Kam Hong
terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti yang tangguh,
maka menghadapi pukulan Hoa-mo-kang yang ampuh ini dia masih dapat menangkis
sambil menghindar ke samping. Dia melanjutkan lompatannya ke belakang agak jauh
dan mukanya berubah agak pucat.
“Tahan dulu!
Apa artinya semua ini? Kalian bukan lagi menggunakan ilmu-ilmu Lembah Naga
Siluman, melainkan menggunakan ilmu Kun-lun-pai dan Pulau Es! Dan pukulan
tadi.... pukulan keji.... bukankah itu pukulan dari golongan sesat?”
“Harap
locianpwe tidak banyak berbantah lagi. Kalau locianpwe takut, lebih baik
menjadi tawanan dan kami bawa menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman. Kalau
berani, ilmu apa pun yang kami gunakan, adalah hak kami untuk dapat menandingi
locianpwe,” kata Tek Ciang.
“Memang
tidak perlu berbantah, kalian ini bocah-bocah sombong harus dibasmi!” Bu Ci San
meloncat ke depan dan memutar sulingnya.
Akan tetapi
kembali suaminya mencegahnya dan memegang tangannya.
“Jangan
mencampuri. Aku tadi hanya merasa heran saat mengenal pukulan-pukulan
Kun-lun-pai dan Pulau Es. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan dengan
Kun-lun-pai, apalagi para pendekar Pulau Es. Sungguh mengherankan sekali
bagaimana keluarga Cu dapat memperalat murid Kun-lun-pai dan murid keluarga
Pulau Es. Aku menyesal sekali kalau harus bersalah paham dengan mereka. Dan
mereka berdua ini masih muda, tidak enaklah bagi seorang tua seperti aku harus
melawan yang muda....”
“Suhu, mohon
perkenan suhu. Biarlah teecu yang mewakili suhu!” Mendadak muncul seorang
pemuda yang bertubuh kekar dan berpakaian sederhana, berusia sembilan belas
tahun akan tetapi karena tubuhnya yang kekar dan tinggi besar, nampak lebih
tua.
Dia adalah
Sim Houw, putera tunggal Sim Hong Bu, yang telah dipertunangkan dengan Kam Bi
Eng dan kini berada di Istana Khong-sim Kai-pang untuk belajar ilmu dari calon
mertuanya. Dia masih menyebut suhu dan subo kepada calon ayah dan ibu mertuanya
dan selama ini dia telah dapat menguasai Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut dengan
baik, bahkan mulai dapat menggabung Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong
Kiam-sut.
Gurunya
memandang murid atau calon mantu ini dengan alis berkerut. “Houw-ji, kenapa
engkau hendak mencampuri urusan ini?” tanyanya, dalam keadaan seperti itu dia
ingin menguji dan mengenal isi hati calon mantunya itu.
“Suhu tadi
mengatakan bahwa suhu merasa sungkan harus melawan orang muda yang tingkatnya
adalah murid suhu. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau suhu mewakilkan kepada
teecu sebagai murid suhu untuk menghadapi mereka, mewakili suhu. Bukankan mereka
itu pun datang hanya sebagai wakil, murid-murid yang mewakili suhu mereka? Jadi
menurut teecu sudah sepatutnya kalau di sini suhu juga mewakilkan kepada teecu
untuk menghadapi mereka.”
“Tidak,
Houw-ji. Engkau tidak tahu. Mereka ini, yang seorang murid Kun-lun-pai dan
seorang lagi murid keluarga para pendekar Pulau Es! Bagaimana mungkin aku akan
menentang Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es?”
Sim Houw
biasanya berwatak pendiam, pemberani dan jujur. Akan tetapi sekali ini agaknya
dia tidak mau diam lagi karena tidak setuju dengan pendapat suhu-nya dalam
menghadapi orang-orang yang memusuhi suhu-nya.
“Maafkan
teecu, suhu. Sekali ini terpaksa teecu menyatakan bahwa teecu tidak dapat
menyetujui pendapat suhu. Bukankah seorang pendekar tidak boleh melihat asal-usul
seseorang, tetapi melihat perbuatan dan sepak terjangnya? Meski murid
Kun-lun-pai atau keluarga Pulau Es, kalau tindakannya tidak patut, sudah
semestinya kita jadikan lawan, sebaliknya biar keturunan orang jahat, kalau
tindakannya benar seyogianya kita jadikan kawan. Yang kita musuhi bukanlah
perguruannya, melainkan perbuatan orang itu. Sebatang pohon belum tentu
menghasilkan buah yang semuanya baik, tentu ada beberapa butir buah yang busuk.
Baik buruknya seseorang mana bisa diukur dari perguruan atau keturunannya,
suhu?”
Diam-diam
Kam Hong merasa girang akan pendirian calon mantunya ini. Tentu saja dia pun
seorang pendekar sejati dan dia membenarkan pendapat ini. Memang tepat. Kalau
keluarga Cu yang iri hati kepadanya dan memusuhinya sekarang mengirimkan murid,
sepatutnyalah kalau dia pun mengajukan muridnya untuk menghadapi murid Lembah
Naga Siluman itu. Dan muridnya ini, dia tahu cukup boleh diandalkan. Biarlah
hitung-hitung menguji kepandaian murid atau calon mantunya ini, dan kebetulan
yang datang adalah lawan yang tangguh. Hanya dia merasa curiga kepada lawan
yang pendek tegap ini karena lawan ini tadi menggunakan ilmu pukulan sesat yang
amat berbahaya.
“Baiklah,
kalau begitu coba kau hadapi murid Kun-lun-pai itu!” katanya dengan gembira
karena dia ingin menguji kepandaian muridnya setelah tiga tahun memperdalam
ilmu silatnya di situ.
Pouw Kui Lok
yang tidak ingin menderita kekalahan, apalagi dari murid pendekar itu sudah
mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan dia merasa lebih aman, karena selain
dia mempunyai ilmu pedang dari mendiang gurunya yang pertama yaitu Yang I
Cin-jin, juga dia telah mempelajari ilmu pedang Kun-lun-pai yang hebat. Dan di
Lembah Naga Siluman dia pun digembleng oleh keluarga Cu dengan ilmu pedang yang
khas dari keluarga itu.
Melihat
lawannya mencabut pedang, Sim Houw tersenyum girang. Memang itulah yang
dikehendakinya. Dia ingin mencoba ilmu pedangnya yang kini sudah merupakan ilmu
pedang gabungan antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dia pun
melolos pedangnya. Pedangnya itu tentu saja tidak sehebat Koai-liong Po-kiam
milik ayahnya, atau tak sehebat Suling Emas milik suhu-nya, akan tetapi juga
bukan pedang sembarangan dan karena dia telah mahir menggabung kedua ilmu itu,
maka pedangnya itu merupakan senjata yang amat ampuh.
“Silakan!”
tantangnya kepada Kui Lok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
“Sambutlah
seranganku!” teriak Kui Lok.
Dia
mengelebatkan pedangnya, selanjutnya pedang itu diputar dan berubahlah pedang
di tangannya menjadi segulung sinar yang tebal dan panjang. Sim Houw
menggerakkan pedangnya menangkis dan terdengar suara nyaring ketika sepasang
pedang bertemu, diikuti muncratnya bunga api. Mereka menarik pedang
masing-masing dan merasa lega ketika memeriksa dan melihat bahwa pedang
masing-masing tidak rusak.
Mulailah
mereka saling serang dengan pedang masing-masing. Semakin lama gerakan mereka
makin cepat, yang nampak hanya dua gulung sinar pedang yang membungkus bayangan
kedua orang muda itu. Akan tetapi, di samping suara berdesingnya pedang,
terdengar pula suara seperti tiupan suling dan ternyata pedang di tangan Sim
Houw itulah yang mengeluarkan suara seperti itu!
Louw Tek
Ciang hanya berdiri menonton. Dia merasa serba salah. Tidak disangkanya bahwa
pihak lawan mempunyai seorang murid yang demikian tangguhnya. Seingatnya, tiga
tahun lebih yang lalu, keluarga Kam hanya mempunyai seorang anak gadis yang
cantik. Dia merasa yakin akan mampu mengalahkan gadis itu tanpa banyak
kesukaran. Kini, murid pendekar Kam itu demikian tangguh dan kalau sampai Kui
Lok tidak mampu mengalahkannya, bagaimana dia akan dapat menang menghadapi Kam
Hong sendirian saja? Belum lagi diperhitungkan isteri pendekar itu yang juga
memiliki kepandaian lihai sekali!
Mulailah dia
merasa khawatir dan menyesal mengapa dia begitu bodoh menerima tugas berat ini
berdua dengan Pouw Kui Lok saja. Boleh jadi mereka berdua kini telah memiliki
tingkat kepandaian yang sulit dicari tandingannya, akan tetapi kalau dihadapkan
dengan keluarga Kam, masih terlampau berat lawan itu.
Pertandingan
pedang antara Sim Houw dan Pouw Kui Lok masih berjalan seru. Akan tetapi
sesungguhnya Kui Lok sudah terkejut bukan main. Setiap jurus serangannya
dipatahkan oleh lawan dengan sangat mudahnya, seolah-olah lawan sudah mengenal
semua jurus serangannya. Dan memang kenyataannya juga demikian. Semua jurus
ilmu pedangnya yang didapatkannya di Lembah Naga Siluman tidak asing bagi Sim
Houw, bahkan pemuda ini adalah ahlinya dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut!
Apalagi
setelah dia mempelajari Kim-sauw Kiam-sut, maka ilmu pedang keluarga Cu yang
berasal dari satu sumber, amat dikenal olehnya dan dengan demikian, selama Kui
Lok mempergunakan ilmu pedang dari Lembah Naga Siluman, dia seperti menghadapi
seorang guru atau setidaknya orang yang jauh lebih ahli ketimbang dia! Barulah
kalau dia bersilat pedang dengan ilmu pedang dari Kun-lun-pai, pihak lawan
tidak mengenal dan bersikap hati-hati dan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut,
baru dia dapat sedikit mengimbangi ilmu pedang lawan.
Betapa pun
juga, ilmu pedang lawan itu sungguh amat aneh gerakannya dan kadang-kadang
mengeluarkan bunyi melengking-lengking seperti suling ditiup dengan gerakan serangan
yang luar biasa sekali. Hal ini membingungkan hatinya dan mulalah dia terdesak
hebat. Dia kini hanya dapat memutar pedangnya melindungi dirinya saja, tanpa
dapat membalas sedikit pun, hanya main mundur.
Tiba-tiba,
ketika Sim Houw menyerang lagi dengan tusukan kilat, tubuh Kui Lok mencelat ke
atas dengan gaya yang amat indah. Sim Houw terkejut dan dia mengenal ilmu
ginkang dari keluarga Cu, atau dari tokoh ke dua, yaitu Cu Seng Bu yang
berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) yang juga merupakan paman kakeknya.
Dia maklum akan kehebatan ginkang ini yang dia sendiri belum mempelajarinya
karena tidak diberi kesempatan, dan dia dapat menduga bahwa dari atas, tentu
lawan akan menyerangnya dengan Ilmu Pedang Naga Siluman Mencakar Bumi, serangan
yang paling tepat dilakukan dalam keadaan melompat dan menukik seperti itu. Dan
serangan ini amat berbahaya.
Benar saja,
dari atas, tubuh Kui Lok menukik ke bawah dan kini dia menyerang bukan dengan
jurus Kun-lun-pai, melainkan dengan jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya
dari keluarga Cu. Pedangnya menusuk ke arah ubun-ubun dengan gerakan
diputar-putar untuk membingungkan lawan. Akan tetapi Sim Houw sudah mengenal
jurus ini, menangkis dengan pedangnya kemudian menjatuhkan diri dan bergulingan
sehingga serangan dahsyat itu dapat dihindarkan.
Melihat
sute-nya kewalahan, Tek Ciang mendadak meloncat ke depan, tangan kirinya
meluncur dan mulutnya beseru, “Mundurlah, sute....!”
Mulutnya
berkata demikian dan tangannya sudah meluncur ke depan. Terdengar suara bercicit
dan terdapat sinar menyambar ke tubuh Sim Houw yang sedang bergulingan itu. Tek
Ciang memang curang sekali. Mulutnya menyuruh sute-nya mundur seolah-olah dia
bersikap jujur tidak main keroyok, akan tetapi karena pada saat itu pihak lawan
sedang bergulingan menghindarkan serangan Kui Lok tadi maka sama saja dengan
dikeroyok!
Melihat
serangan tangan kosong yang aneh ini, Sim Houw meloncat dan mengelak. Akan
tetapi dia kurang cepat.
“Brettt….!”
terdengar suara dan baju di pundaknya robek oleh serangan aneh itu yang
dilakukan oleh jari tangan Tek Ciang dari jarak jauh.
“Ihhhh....
itu.... itu.... Kiam-ci (Jari Pedang), ilmu iblis dari mendiang Ji-ok!”
tiba-tiba Bu Ci Sian berseru kaget. “Iblis ini tentunya ada hubungannya dengan
Ngo-ok!” Berkata demikian, Bu Ci Sian hendak menerjang, akan tetapi kembali
suaminya mencegah dan memberi isyarat dengan mencabut suling emasnya. Melihat
suaminya mencabut suling emas, Bu Ci Sian tidak melanjutkan serangannya.
Sementara
itu, hanya sebentar saja Sim Houw terkejut dan kini dia sudah menerjang maju
melawan Tek Ciang yang juga telah mencabut pedangnya. Tek Ciang lebih cerdik
dari pada Kui Lok. Tadi dia maklum bahwa tentu pemuda kekar ini sudah mengenal
ilmu dari Lembah Naga Siluman hingga semua serangan dari Kui Lok dapat
dipatahkannya dengan mudah.
Maka, dia
pun tidak mau mempergunakan ilmu pedang yang baru dipelajarinya itu dan dia
menghadapi lawan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dimainkan dengan
sebatang pedang sedangkan untuk mengimbanginya, tangan kirinya juga menyerang
dengan Kiam-ci! Hebat bukan main permainan pedang yang diimbangi dengan Jari
Pedang tangan kiri ini.
Akan tetapi
kali ini dia menemukan lawan yang amat tangguh. Maklum akan kehebatan lawan,
Sim Houw lalu mainkan ilmu pedang gabungan yang baru saja dipelajari dan sedang
dimatangkan, dan ilmu pedang ini memang hebat sekali, mampu menandingi serangan
lawan, bahkan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.
“Sute, lekas
bantu aku!” berkali-kali Tek Ciang berseru.
Kui Lok
merasa serba salah. Jika dia membantu berarti dia dan Tek Ciang mengeroyok
seorang pemuda yang jauh lebih muda usianya, akan tetapi kalau mendiamkan saja
Tek Ciang terancam bahaya sedangkan dia hanya berdiri menonton, sungguh amat
tidak enak. Dia sudah menggerakkan pedangnya, akan tetapi masih ragu-ragu dan
pada saat itu terdengarlah suara suling ditiup secara istimewa!
Alunan suara
suling yang halus merdu itu naik turun dengan halus akan tetapi di dalam
kelembutan itu terkandung getaran suara yang menusuk telinga! Tak lama
kemudian, suara itu pun disusul oleh lengkingan suling lainnya yang lebih
tinggi akan tetapi yang mengikuti lagu suling pertama.
Dua orang
muda penyerbu itu terkejut karena merasa betapa suara suling itu seperti
menembus kulit daging dan menusuk jantung. Ketika mereka memandang, ternyata
Pendekar Suling Emas Kam Hong dan isterinya sudah duduk bersila sambil meniup
suling emas mereka. Tiba-tiba Sim Houw juga meloncat mundur ke dekat suhu dan
subo-nya, lalu duduk bersila dan pemuda ini pun mengeluarkan suara bersenandung
dengan mulutnya yang mengikuti pula nada dan irama kedua suling itu!
Tek Ciang
yang memang berwatak licik dan amat curang, melihat tiga orang itu asyik
berlagu sambil duduk bersila, merasa memperoleh kesempatan yang baik sekali
untuk melaksanakan niat busuknya. Dengan pedang di tangan dia meloncat dan
menerjang, maksudnya hendak membunuh Kam Hong dengan sekali tusukan. Akan
tetapi tiba-tiba tubuhnya terjengkang dan jantungnya berdebar, seolah-olah
suara suling yang halus itu mempunyai tenaga mukjijat yang menolaknya dan kini
dia sudah meloncat bangun lagi. Tanpa mempedulikan suara suling yang bagaikan
menusuk telinga dan menembus jantungnya, dia berusaha untuk menyerang lagi.
Akan tetapi begitu dia meloncat, dia pun terbanting jatuh lagi.
“Suheng,
jangan....!” Kui Lok berseru kaget dan wajahnya sudah pucat sekali. Pemuda ini
menderita hebat oleh suara suling yang halus itu, makin halus suara itu, makin
sakit rasa telinga dan jantungnya.
Akan tetapi
Tek Ciang memang bandel. Dia bangkit lagi dan hendak menyerang lagi, akan
tetapi sekali ini, begitu meloncat, tubuhnya seperti menubruk benteng baja dan
dilontarkan ke belakang. Segera dia terbanting dan muntah darah, pedangnya
terlepas dan pingsan...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment