Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 22
Itulah yang
amat membingungkan dan menyedihkan hatinya. Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan
hubungannya dengan pemuda Nepal atau Bhutan ini, dia akan jatuh cinta semakin
dalam. Padahal, dia tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Dan Ganggananda
tentu akan memandangnya penuh penghinaan kalau sampai tahu akan kelainan
dirinya.
Tidak, dia
tidak akan dapat menahan jika sampai Ganggananda membencinya dan jijik
melihatnya. Ganggananda tidak boleh tahu akan kelainan dirinya. Ganggananda
amat baik kepadanya, tentu hanya sebagai sahabat, suka dan sayang kepadanya
sebagai seorang sahabat, rasa suka yang jujur dan bersih. Akan tetapi dia?
Dia mencinta
Ganggananda, bukan hanya sayang dan suka, akan tetapi juga bangkit birahinya
berdekatan dengan pemuda halus itu! Dan mana mungkin dia dapat bertahan kalau
berdekatan terus. Tidak, dia harus menjauhkan diri, harus membiarkan bayangan
dirinya tetap tinggal di hati Ganggananda sebagai seorang sahabat yang
disukanya, bukan sebagai seorang laki-laki ganjil yang dibencinya.
“Gangga,
tentu saja aku akan berusaha menolongmu kalau engkau berada dalam kesukaran,
bahkan aku rela untuk membelamu dengan nyawaku sekali pun. Gangga, aku suka
padamu, aku sayang dan cinta padamu, karena itu kalau engkau tidak
berkeberatan, aku ingin sekali mengangkatmu sebagai saudaraku!” Aneh sekali,
dalam suaranya terkandung keharuan dan kesedihan sehingga suara pendekar muda
ini agak gemetar.
Hal ini
sebenanya tidak mengherankan karena memang hatinya amat berduka. Ciang Bun
sudah mengambil keputusan, karena hanya itulah satu-satunya jalan keluar. Dia
harus mengangkat Gangga sebagai saudara!
Kalau sudah
menjadi saudara, tentu akan lain pandangannya, lain lagi perasaan hatinya
terhadap Gangga. Ikatan persaudaraan itu diharapkannya akan merubah perasaan
cinta birahi menjadi cinta saudara tanpa birahi, tanpa gairah yang menyesakkan
dada untuk dapat berdekatan dan bermesraan dengan Gangga.
Tetapi,
mendengar ucapan Ciang Bun itu, Gangga membelalakkan sepasang matanya yang
indah. Ia nampak terkejut sekali dan sebelum ia menjawab, ia sudah menggeleng
kepala tanda tidak setuju. Kemudian terdengar ia berkata, “Ahh, tidak, Ciang
Bun. Aku tidak mau, aku lebih senang menjadi sahabatmu saja, sahabatmu yang
amat baik. Apa sih bedanya menjadi sahabat atau saudara angkat?”
Dan Ciang
Bun merasa lega dengan jawaban ini! “Tidak.... tidak apa-apa, hanya aku ingin
agar hubungan antara kita lebih erat, akan tetapi kalau engkau tidak mau, aku
pun tidak kecewa dan kita menjadi sahabat yang amat baik.”
Ganggananda
khawatir kalau menyinggung hati pemuda itu dan dipegangnya tangan Ciang Bun.
“Sahabatku yang baik. Siapa orangnya tidak akan merasa bangga menjadi saudara
angkat seorang pendekar seperti dirimu? Apa lagi engkau adalah keturunan
keluarga Pulau Es! Akan tetapi, aku sudah cukup bangga dan puas menjadi
sahabatmu saja, sahabat yang setia dan akrab.”
“Terima
kasih, Gangga, terima kasih. Engkau lebih baik dari pada seorang saudara
bagiku,” kata Ciang Bun dan kembali tangannya gemetar ketika bersentuhan dengan
jari-jari tangan Gangga, membuat Gangga kembali menarik tangannya dengan halus.
Percakapan
mereka terhenti karena pada saat itu muncul seorang pemuda dan seorang gadis
dikawal oleh tujuh orang. Melihat pakaian kedua orang muda itu, mudah diduga
bahwa mereka tentulah anak-anak pembesar atau hartawan. Pemuda itu berwajah
tampan, dan gadis itu pun manis. Melihat wajah mereka, dapat diduga bahwa
mereka itu tentu saudara sekandung. Mata, hidung dan mulut mereka mirip sekali.
Pemuda itu usianya kurang lebih enam belas tahun dan si gadis agaknya adiknya,
lebih muda satu atau dua tahun.
Tujuh orang
yang mengawal mereka itu tidak berpakaian seragam, akan tetapi dari sikap
mereka ketika berjalan, dapat diduga bahwa mereka tentulah anak buah pasukan
pengawal yang memiliki ilmu silat tangguh. Di punggung mereka terselip senjata,
ada yang membawa pedang, ada pula golok. Sikap tujuh orang ini congkak seperti
sikap pengawal-pengawal dan tukang-tukang pukul pada umumnya.
Kalau
muda-mudi itu berjalan-jalan sambil melihat-lihat bunga dengan sikap gembira,
tujuh orang pengawal itu melirik ke arah Ciang Bun dan Ganggananda dengan
pandang mata penuh selidik. Akan tetapi karena dua orang muda ini tak membawa
apa-apa dan sikapnya tidak mencurigakan, mereka pun tidak memperhatikan lagi
dan sebentar saja mereka sudah lewat.
“Uh,
congkak-congkak benar sikap tukang-tukang pukul itu,” kata Ganggananda dengan
nada suara gemas. “Kalau saja ada alasannya, tentu akan senang hati aku
menghajar mereka.”
Ciang Bun
tersenyum. “Jangan galak-galak, Gangga. Tiada hujan atau angin, engkau ingin
menghajar orang. Apalagi jika hujan angin....”
“Jika hujan
angin, aku tentu lari mencari tempat perlindungan!” Gangga memotong dan
tertawa.
Ciang Bun
juga tertawa, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan
menyentuh lengan Gangga sambil menoleh ke kiri. Ganggananda juga menoleh dan
perhatiannya tertarik kepada dua orang kakek yang datang menuju ke tempat itu.
Dua orang
kakek itu agaknya mengikuti atau membayangi rombongan muda-mudi tadi, dan
keadaan dua orang kakek itu menarik perhatian mereka. Dari sikap mereka,
gerak-gerik mereka dan langkah kaki mereka, Ciang Bun dapat menduga bahwa dua
orang kakek ini bukan sembarangan, sama sekali tak boleh disamakan dengan tujuh
orang pengawal yang garang dan congkak tadi.
Pandang mata
Ciang Bun memang tajam. Dua orang kakek yang berjalan perlahan-lahan memasuki
taman dan membayangi rombongan muda mudi itu dari jauh memang bukan orang-orang
sembarangan. Bahkan keduanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan,
walau pun mereka jarang muncul di dunia kang-ouw.
Seorang di
antara mereka adalah seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh
tinggi besar. Melihat jubah dan kepalanya, mudah diduga bahwa dia adalah
seorang pendeta Lama. Kepalanya gundul tidak tertutup, jubahnya berwarna merah
kotak-kotak, telinganya amat menarik karena besar sekali, dua kali lebih besar
dari pada ukuran telinga manusia biasa.
Di lehernya
tergantung tasbeh hitam dan di pinggangnya terselip sebatang suling.
Kelihatannya seorang pendeta Lama biasa saja, akan tetapi sebenarnya dia adalah
Thai Hong Lama, seorang sakti yang tadinya pernah menjadi sekutu Gubernur Yong
Ki Pok yang memberontak di Sin-kiang.
Ada pun
orang ke dua tidak kalah lihainya. Dia pun berpakaian pendeta atau pertapa,
seperti pakaian seorang tosu. Pakaiannya putih bersih dan rambutnya yang
panjang dibiarkan terurai. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih dan tubuhnya
tinggi kurus, matanya sipit. Dia adalah Pek-bin Tok-ong, seorang pertapa dari
Pegunungan Gobi yang selain lihai, juga berhati kejam. Biar pun kedua orang
kakek ini datang dari tempat yang berjauhan, akan tetapi keduanya merupakan
rekan dan sahabat ketika mereka menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, dua orang kakek ini membantu gerakan
Gubernur Yong di barat yang memberontak. Akan tetapi gerakan itu dapat
dihancurkan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Muda Kao Cin
Liong. Gubernur itu sendiri tertawan dan tewas, gerakannya hancur. Akan tetapi
dua orang kakek ini yang memiliki kepandaian tinggi, berhasil menyelamatkan
diri dan lolos. Karena mereka berdua merasa seperjuangan dan senasib, maka
mereka pun selanjutnya menjadi sahabat dan ke mana pun mereka bersama-sama.
Sebagai
buronan pemerintah, mereka lalu menyembunyikan diri dan baru setelah kini
keadaan menjadi reda dan dingin, mereka berani muncul. Keadaan mereka sebagai
dua orang pendeta tentu saja tidak mencurigakan dan tidak menarik perhatian,
bahkan mereka dihormati dan tidak pernah diganggu oleh para penjaga. Dan kedua
orang ini pun memiliki kepandaian dan kedudukan yang terlalu tinggi untuk
merendahkan diri melakukan kejahatan-kejahatan biasa yang remeh. Andai kata
mereka itu membutuhkan uang, tentu mereka akan mengambilnya dari kamar harta
seorang pembesar atau hartawan tanpa ada yang tahu, bukan hanya mencuri atau
merampok biasa saja.
Melihat
betapa dua orang kakek itu dengan langkah kaki perlahan namun mantap berjalan-jalan
akan tetapi jelas membayangi rombongan muda-mudi yang dikawal tujuh orang itu,
Suma Ciang Bun memberi isyarat kepada Ganggananda. Mereka saling pandang dan
kemudian mengikuti perjalanan rombongan muda-mudi dengan dua orang kakek yang
membayanginya itu dengan penuh perhatian sampai mombongan itu keluar dari dalam
taman menuju ke taman atau hutan kecil di depan.
Hutan ini
hutan buatan untuk keperluan kaisar dan para pembesar tinggi melakukan
perburuan. Kalau musim berburu tiba, hutan kecil itu diramaikan oleh
binatang-binatang yang sengaja dilepas di situ untuk diburu dan dibunuh oleh
para pejabat tinggi. Setelah bayangan rombongan itu lenyap, Ciang Bun
mengerutkan alisnya.
“Gangga,
sikap dua orang kakek itu amat mencurigakan. Apa yang mereka kerjakan dengan
membayangi rombongan muda-mudi itu?”
Ganggananda
mengangguk. “Memang mencurigakan. Mungkin mereka itu merupakan pengawal pribadi
yang melakukan pengawalan secara tersembunyi. Sikap mereka jelas membayangkan
bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.”
“Engkau
benar, mereka tentu bukan orang-orang sembarangan. Mungkin juga mereka itu
menjadi pengawal-pengawal rahasia muda-mudi mewah itu, akan tetapi aku khawatir
jangan-jangan mereka itu malah mempunyai niat yang tidak sehat terhadap
rombongan pertama itu. Aku melihat kekejaman membayang pada pandang mata dua
orang kakek itu, terutama sekali si tosu. Ketika dia melirik ke sini dan
memandang kita, aku merasa seram.”
“Hemm,
biarkan saja, urusan mereka sendiri. Tujuh orang pengawal itu pun congkak
sekali, bukan watak orang-orang baik, maka biarkan mereka itu saling hantam
sendiri dengan dua orang kakek itu.”
“Akan tetapi
aku tetap curiga, Gangga. Jangan-jangan dua orang kakek itu mempunyai niat
buruk terhadap muda-mudi itu dan biar pun mereka itu dikawal oleh orang-orang
congkak, mereka sendiri adalah remaja-remaja yang tidak berdosa. Mari kita
bayangi mereka dan lihat apa yang akan terjadi.”
“Bagaimana
kalau enci-mu muncul nanti?”
“Jangan
khawatir, kami sudah saling berjanji untuk saling menanti di sini selama satu
pekan terhitung hari ini, menjaga kalau-kalau seorang di antara kami akan
terlambat. Kalau nanti ia datang, tentu ia akan menungguku.”
Keduanya
lalu bangkit dan melakukan pengejaran ke arah lenyapnya rombongan muda-mudi
berpakaian mewah tadi. Akan tetapi bayangan mereka sudah tidak nampak lagi.
Ketika Ganggananda dan Ciang Bun sedang mencari dengan mata dan telinga mereka
dan bingung karena tidak tahu harus melakukan pengejaran ke arah yang mana,
tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara orang berkelahi di sebelah barat.
Keduanya lalu cepat lari menuju ke arah itu dan tak lama kemudian mereka melihat
perkelahian yang sungguh berat sebelah.
Kakek
pendeta Lama berkepala gundul itu sedang dikepung dan dikeroyok oleh tujuh
orang pengawal! Para pengawal menggunakan senjata golok atau pedang, sedangkan
pendeta Lama itu hanya bertangan kosong saja menghadapi mereka. Akan tetapi,
sekali pandang saja tahulah Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu lihai luar
biasa dan sedang mempermainkan tujuh orang lawannya yang kelihatan galak dan
garang.
Sambaran
pedang dan golok berkelebatan dan bergulung-gulung menyilaukan mata, akan
tetapi tubuh kakek pendeta Lama itu seperti melayang-layang di antara gulungan
sinar pedang dan golok, dan jika ada sinar senjata yang menyambar terlalu
dekat, dia cukup mengebutkan ujung lengan bajunya dan senjata itu pun
terpental! Ada pun kakek ke dua yang seperti tosu itu hanya berdiri di pinggir,
menonton. Dia sama sekali tidak membantu temannya karena kakek ini tentu yakin
pula bahwa temannya akan menang dengan mudah menghadapi tujuh orang pengeroyok
yang hanya mengandalkan senjata tajam dan tenaga kasar itu.
“Lama tua,
jangan main-main seperti anak kecil. Lekas bereskan mereka!” kata tosu yang
sudah kita kenal sebagai Pek-bin Tok-ong itu.
“Ha-ha-ha!”
Thai Hong Lama tertawa sambil menyampok sebuah golok dengan lengan bajunya
sehingga golok itu terpental dan hampir terlepas dari tangan pemegangnya.
“Agaknya kau sudah tidak sabar lagi, Tok-ong? Lihat, sepasang burung dara
remaja yang lunak dagingnya itu takkan dapat terbang ke mana pun juga,
ha-ha-ha!”
Akan tetapi,
biar pun berkata demikian, agaknya pendeta Lama itu pun sudah jemu
mempermainkan tujuh orang pengeroyoknya. Tiba-tiba saja tangannya menyentuh
tasbeh yang tergantung di lehernya dan sekali tarik, dia sudah mengambil tasbeh
itu keluar dari lehernya dan dan nampaklah sinar hitam berguung-gulung ketika
tasbeh iu diputar-putar. Dan terdengarlah suara nyaring berdentangan ketika
pedang dan golok tujuh orang itu terlempar karena benturan tasbeh, disusul
teriakan mereka yang roboh satu demi satu dengan kepala pecah terpukul tasbeh!
Berturut-turut dengan masing-masing sekali serangan saja, lama itu telah
merobohkan dan menewaskan tujuh orang pengeroyoknya.
Melihat ini,
Ciang Bun dan Gangga terkejut sekali. Tadinya, melihat perkelahian itu mereka
tidak mau turut campur, karena mereka tidak tahu apa urusan mereka yang sedang
berkelahi itu. Apalagi melihat betapa pendeta Lama itu dikeroyok tujuh. Bagai
mana mungkin mereka turun tangan. Pendeta itu tidak terdesak dan jelas akan
menang, dan mereka berdua enggan membantu tujuh orang pengawal yang kasar,
congkak dan yang kini secara curang mengeroyok seorang lawan dengan tujuh
orang.
Akan tetapi,
sungguh tidak disangka oleh Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu akan
menurunkan tangan maut seganas itu, sekaligus membunuh tujuh orang lawannya. Juga
mereka berdua terkejut, maklum bahwa sesungguhnya pendeta Lama itu lihai bukan
main dan mereka pun dapat menduga bahwa temannya, si tosu itu, tentu lihai
pula.
Kini, dua
orang muda yang agaknya kakak dan adiknya itu memandang terbelalak dan dara
remaja itu menangis dalam rangkulan kakaknya. Mereka memandang pucat dan
ketakutan melihat betapa para pengawal mereka terbunuh. Keduanya lalu
membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, dua orang kakek itu
tertawa dan sekali berkelebat, mereka sudah meloncat dan di lain saat, Thai
Hong Lama telah menyambar tubuh gadis kecil itu sedangkan Pek-bin Tok-ong
menyambar tubuh pemuda remaja. Mereka menyambar bagaikan dua ekor burung
rajawali menyambar dua ekor burung dara yang ketakutan dan sambil tertawa-tawa,
keduanya memondong korban mereka dan berlari cepat sekali meninggalkan tempat
itu.
Ciang Bun
dan Gangga sejak tadi bengong saja. Mereka masih terkejut melihat betapa kakek
pendeta itu membunuh tujuh orang dengan ganas. Akan tetapi ketika mereka melihat
dua orang kakek itu menangkap dan melarikan muda-mudi, mereka berdua masih
ragu-ragu dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan dua orang kakek itu.
“Kita kejar
mereka!” kata Ciang Bun.
Akan tetapi
sebelum dia bergerak, Gangga menyentuh tangannya. “Apa gunanya kita mengejar
mereka? Mungkin juga dua orang kakek lihai itu hendak mengambil mereka sebagai
murid! Jika kita mengejar dan bisa menyusul, habis kita mau apa? Perkelahian
mereka dengan tujuh pengawal itu bukan urusan kita dan kalau mereka hendak
mengambil murid, itu pun tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Kenapa kita
harus mencampuri urusan orang dan hanya mencari permusuhan dengan orang-orang
lihai?”
“Bukan
demikian, Gangga. Akan tetapi hatiku tidak enak. Apakah engkau tidak melihat
betapa kakek gundul itu ketika menangkap gadis cilik, telah mengelus pipi gadis
itu? Dan aku melihat jelas betapa tosu itu pun mencium pipi si pemuda remaja!
Begitukah sikap orang yang akan mengambil murid? Aku curiga sekali dan mari
kita kejar mereka, dan kita lihat dan dengan teliti apa yang akan mereka
lakukan. Kalau memang benar mereka berniat baik terhadap muda-mudi itu, tentu
saja kita tidak usah mencampuri. Akan tetapi kalau mereka itu mempunyai niat
busuk, seperti yang kukhawatirkan, kita harus menolong dua orang remaja itu.”
Gangga
terpaksa harus membenarkan pendapat sahabatnya. Mereka lalu cepat-cepat
meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran ke arah larinya dua orang
kakek yang menculik dua orang muda-mudi itu. Dan ternyata mereka harus berlari
cepat dan mencari ke sana-sini karena dua orang kakek itu lenyap tanpa
meninggalkan jejak. Setelah menjelajahi hutan kecil itu tanpa hasil, Gangga
menjadi putus harapan dan hendak membujuk sahabatnya untuk menyudahi saja
pencarian yang sia-sia itu. Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala.
“Gangga,
entah bagaimana, akan tetapi perasaanku mengatakan bahwa dua orang kakek itu
adalah datuk-datuk sesat yang mampu melakukan segala macam hal yang mengerikan
dan jahat sekali. Aku mengkhawatirkan keselamatan dua orang remaja itu. Kita
harus cari dan susul sampai dapat.”
“Akan
tetapi, ke mana kita harus menyusul dan mencari? Mereka tidak berada di dalam
hutan ini, dan ternyata mereka mampu berlari cepat sekali sehingga kita
kehilangan jejak mereka.”
Ciang Bun
berpikir keras sambil menundukkan mukanya. Kemudian dia mengangkat muka dan
memandang wajah sahabatnya. “Gangga, di waktu siang seperti ini, mereka takkan
dapat melakukan perbuatan jahat di tempat umum. Maka, jika mereka memang
berniat jahat, tentu mereka akan mencari tempat sunyi dan satu-satunya tempat
sunyi tentu saja keluar dari kota raja ini. Tempat ini paling dekat dengan
pintu gerbang kota raja sebelah barat, maka kurasa mereka lari melalui pintu
gerbang itu. Mari kita kejar ke sana.”
Perhitungan
Ciang Bun memang tepat sekali. Ketika mereka tiba di pintu gerbang dan
melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, mereka mendengar bahwa memang
tadi ada dua orang kakek yang menurut penggambarannya adalah benar dua orang
yang mereka kejar, memondong pemuda remaja dan seorang gadis cilik. Menurut
keterangan dua orang kakek pendeta itu, dua orang remaja itu menderita sakit
lumpuh dan kini mereka hendak membawa muda-mudi itu ke gunung untuk diobati.
Ada pun
muda-mudi itu selain lumpuh, nampaknya payah sekali karena seperti orang
pingsan dan lemas. Melihat bahwa dua orang kakek itu adalah pendeta-pendeta
yang kelihatannya alim, tidak ada yang menaruh curiga dan dengan mudah kedua
orang pendeta itu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang sebelah barat
ini.
Mendengar
keterangan ini, makin besar keyakinan hati Ciang Bun bahwa dua orang kakek itu
tentulah mempunyai niat yang busuk terhadap dua orang muda-mudi yang mereka
tawan. Bahkan kini Gangga sendiri pun menaruh curiga dan dengan penuh semangat
ia pun bersama Ciang Bun melakukan pengejaran ke barat.
Setelah
matahari condong ke barat, tiba-tiba Ciang Bun memegang lengan Gangga dan
menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kuil tua yang terletak di lereng bukit
di depan. “Lihat, kuil tua itu berada di tempat terpencil, jauh dari desa dan
agaknya kosong. Merupakan tempat yang baik sekali untuk melakukan perbuatan
busuk, bukan?”
“Entahlah,
aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk sih!”
Mendengar
jawaban ini, Ciang Bun menatap wajah Gangga dan tersenyum lebar. “Aku pun belum
pernah. Apa kau kira aku biasa melakukan perbuatan busuk?” Pertanyaan yang
dimaksudkan untuk melayani kelakar Gangga itu tanpa disengaja telah menusuk
hatinya sendiri. Apakah kelainannya itu termasuk sesuatu yang busuk?
“Nah, kalau
kita belum pernah melakukan, mana bisa tahu apakah tempat seperti kuil itu baik
untuk melakukan perbuatan busuk.”
“Gangga,
maaf, bukan waktunya bergurau. Mari kita cepat ke sana, aku khawatir
kalau-kalau kita terlambat!”
Mereka
berlari lagi menuju ke lereng bukit itu. Di waktu mereka berlari cepat, Gangga
masih sempat bertanya, “Ciang Bun, aku tidak mengerti. Kejahatan apa yang dapat
dilakukan dua orang kakek itu terhadap muda-mudi remaja itu?”
“Kejahatan
apa? Mungkin mereka.... akan diperkosa, seperti yang sudah menimpa diri
enci-ku.”
“Hemm,
mungkin saja. Akan tetapi mana bisa hal itu menimpa si pemuda remaja? Mengapa
pula dia ikut diculik? Mau diapakan?”
“Mungkin mau
dibunuh!”
“Tidak
mungkin, kalau memang dua orang kakek itu berniat membunuh mereka, tentu sudah
dilakukannya di hutan itu, tidak usah repot-repot diculik.”
“Atau bisa
jadi untuk disiksa, dijadikan sandera, untuk minta uang tebusan. Nampaknya dua
orang muda-mudi itu anak-anak orang kaya atau pejabat tinggi.”
“Itu pun
kecil kemungkinannya. Dua orang kakek itu andai kata benar penjahat, tentu
bukan penjahat-penjahat kecil yang suka menculik dan melakukan pemerasan.”
Ciang Bun
kehabisan akal. Dia mempunyai dugaan lain di dalam hatinya terhadap diri pemuda
itu, akan tetapi dia tidak dapat menceritakan dugaannya itu kepada Gangga.
Seorang pemuda seperti Gangga tentu akan tidak percaya dan merasa heran, juga
jijik kalau dia mengatakan bahwa mungkin kakek-kakek itu akan memperkosa diri pemuda
itu pula.
“Barangkali
dua orang kakek itu mempunyai bibit permusuhan dan dendam dengan keluarga
muda-mudi itu.”
Mendengar
ini, Gangga terkejut. “Ahh, kenapa aku tidak memikirkan hal itu? Mungkin sekali
tepat dugaanmu terakhir ini. Mari kita percepat lari kita!” Dan kini Ciang Bun
harus mengerahkan seluruh tenaganya sebab begitu Gangga mempercepat larinya,
dia lantas tertinggal jauh di belakang. Dia merasa khawatir sekali.
“Gangga
tunggu....! Jangan sembrono, mereka itu lihai sekali!”
Setelah tiba
di depan kuil mereka bersembunyi dan mengintai. Sebuah kuil tua yang memang
kosong dan sudah tidak digunakan atau ditinggali orang lagi. Pintunya sudah
jebol, temboknya penuh lumut dan dijalari tanaman-tanaman liar. Atapnya
sebagian juga sudah jebol.
Ciang Bun
memberi isyarat kepada Gangga dan mereka lalu berindap menghampiri kuil dari
dua jurusan. Mereka berpencar untuk mengintai dan mengelilingi kuil dan bertemu
di belakang kuil. Gangga mengambil jalan sebelah kiri kuil dan Ciang Bun
sebelah kanan.
Dengan
cekatan Ciang Bun meloncat mendekati dinding kuil yang berlumut, kemudian
berjalan menuju ke belakang dan mengintai melalui jendela-jendela jebol.
Tiba-tiba dia menahan kakinya dan mengintai dari celah-celah dinding yang
retak. Dia mendengar suara di dalam dan ketika mengintai, matanya terbelalak
dan mukanya berubah merah sekali. Dia melihat hal yang memang dikhawatirkan
terjadi di balik dinding retak itu.
Pemuda
remaja itu nampak terbelalak ketakutan, wajahnya pucat sekali, pakaiannya
awut-awutan dan dia dipangku oleh kakek tinggi kurus seperti tosu yang menciumi
dan menjilati seluruh tubuhnya yang sebagian banyak sudah telanjang karena
pakaiannya direnggut lepas. Pemuda remaja itu tidak melawan, hanya menggigil
ketakutan dan hampir pingsan.
Ciang Bun
mengepal tinju. Hatinya merasa muak dan jijik. Sekarang dia melihat sendiri
seorang kakek yang agaknya mempunyai kelainan seperti dia, yaitu suka kepada
sama-sama lelaki, sedang melampiaskan nafsu birahinya kepada seorang pemuda
remaja. Dia merasa malu dan muak, juga jijik. Dia merasa seolah-olah dia
sendiri yang sedang melakukan itu, karena melihat pemuda tampan itu hampir
telanjang, harus diakuinya bahwa ada semacam gairah menyesak di dadanya. Gairah
itu segera ditekannya dan jiwa pendekarnya bangkit.
Pada saat
yang sama, Gangga juga mengepal tinju dan terbelalak melihat betapa dara cilik
yang usianya baru tiga belas atau empat belas tahun itu, menangis dan
menggeliat-geliat di atas pangkuan pendeta Lama yang tinggi besar dan yang
menggunakan kedua tangannya yang besar dan berbulu untuk membelai dan
menggerayangi seluruh tubuh anak itu sambil menyeringai lebar menjijikkan.
“Iblis tua
bangka cabul!” Gangga membentak marah.
Teriakan
Gangga ini terdenggar oleh Ciang Bun yang juga membentak, “Kakek iblis tak tahu
malu!”
Mendengar
bentakan-bentakan dari kanan kiri, dua orang kakek itu terkejut sekali, juga
marah. Mereka merasa betapa kesenangan mereka terganggu dan mereka mendorong
tubuh korban masing-masing dari atas pangkuan, kemudian keduanya berloncatan
keluar dari dalam kuil untuk melihat siapa yang berani menentang mereka.
Baru saja
mereka tiba di halaman depan kuil tua itu, Gangga sudah menyerang Thai Hong
Lama yang tinggi besar, dan yang diintainya tadi, dengan pukulan kilat dan
dahsyat. Juga Ciang Bun sudah menerjang dan memapaki Pek-bin Tok-ong dengan
pukulan mautnya.
“Haiiiiittt....!”
Gangga mengeluarkan suara melengking nyaring dan terkejutlah Thai Hong Lama
melihat serangan yang amat cepat ini.
“Hahh!
Ehhh....!” Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya.
Akan tetapi
demikian cepatnya gerakan tangan Gangga sehingga sebelum tangan itu tertangkis,
gerakannya sudah berubah lagi dan kini mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala
Thai Hong Lama. Untuk dapat menyerang ubun-ubun kepala lawan yang tinggi besar
ini, Gangga meloncat dengan amat ringan seperti seekor burung terbang saja.
“Hemm....!”
Thai Hong Lama tidak berani memandang ringan lawannya. Dia tahu bahwa biar pun
lawan ini masih amat muda, namun telah memiliki kepandaian hebat, terutama
sekali ginkang-nya sungguh amat luar biasa dan berbahaya.
Maka dia
tidak bersikap sungkan dan malu lagi. Dikeluarkannya senjata tasbeh hitam yang
melingkari lehernya, juga dicabutnya sebatang suling bambu dari saku jubahnya.
Inilah senjata istimewa kakek itu. Seuntai tasbeh hitam dan sebatang suling!
Dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, terdengar suara berkerotokan dari
tasbeh dan suara melengking sulingnya. Kedua senjata itu melakukan serangan
dahsyat yang membuat Gangga terpaksa mengandalkan ginkang-nya untuk meloncat
jauh ke belakang. Dara ini kaget sekali karena biar pun gerakannya cepat,
tetapi serangan tadi hampir melukainya.
“Ha-ha-ha-ha....!
Tok-ong, ini namanya ikan mendarat ke penggorengan, ha-ha-ha. Kita disuguhi
calon makanan yang lezat.” Thai Hong Lama tertawa dan dia sudah bergerak maju
lagi menerjang Gangga.
Sulingnya melakukan totokan-totokan yang
mengarah jalan darah yang melumpuhkan. Dari serangan-serangan ini saja
maklumlah Gangga bahwa lawannya tidak bermaksud mengalahkannya dengan membunuh,
melainkan menangkapnya hidup-hidup. Teringat akan penglihatan di dalam tadi,
dia dapat membayangkan bagaimana nasibnya kalau sampai tertawan hidup-hidup.
Mukanya berubah semakin merah dan kemarahannya memuncak. Ia pun mengeluarkan
suara melengking-lengking dan tubuhnya langsung berkelebatan membuat lawannya
terkejut sekali.
Di lain
pihak, Pek-bin Tok-ong juga sudah menyambut serangan Ciang Bun dengan tangkisan
sambil mengerahkan tenaga.
“Dukkk!”
Mereka
mengadu sinkang dan ternyata kakek itu cukup kuat menahan pukulan Ciang Bun
dengan lengannya, biar pun diam-diam kakek ini terkejut ketika merasakan betapa
ampuh dan kuatnya pukulan orang muda yang tampan ini. Dia tidak mau kalah lagak
dengan temannya. Mendengar suara temannya dia pun tertawa.
“Bagus,
orang muda yang tampan. Engkau boleh menemaniku untuk beberapa malam lamanya.
Engkau tentu lebih kuat dari pada pemuda hartawan itu, ha-ha-ha!”
Akan tetapi,
kakek tinggi kurus ini tidak dapat melanjutkan sikapnya memandang remeh kepada
lawannya. Cian Bun sekarang bukanlah Ciang Bun beberapa tahun yang lalu. Dia
telah menerima gemblengan dari ayah ibunya selama tiga tahun ini dan telah
mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es!
Dan kini,
menghadapi seorang lawan tangguh, pemuda ini segera mengerahkan tenaga Pulau
Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Biar pun tentu saja
latihannya belum matang karena ilmu-ilmu Pulau Es adalah ilmu-ilmu tinggi yang
membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, namun karena ilmu-ilmunya memang ilmu
pilihan, sebentar saja kakek Pek-bin Tok-ong merasa kerepotan menghadapi pemuda
ini.
“Heiiiiittt....!”
Dia membentak.
Kini dia
mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan
Melepaskan Tulang). Dua tangannya seperti dua batang golok saja membacok dan
menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan mengerikan ketika bergerak.
“Plakk!
Dukk....!”
Ketika dua
kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang dimiringkan itu, dia tidak
kalah tenaga, akan tetapi kulitnya terasa perih seperti terbacok senjata tajam.
Kedua lengannya untung terlindung oleh sinkang yang amat kuat, kalau tidak
tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas!
Pemuda ini
berhati-hati dan memainkan Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya
lembut dan lunak seperti kapas namun mengandung kekuatan yang dapat mencabut
nyawa, dan melengkapinya dengan ilmu silat aneh Cui-beng Pat-ciang yang
dipelajarinya dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang serba aneh dan tinggi
ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan heran.
Kalau Ciang
Bun dapat menguasai keadaan dengan ilmu silatnya yang pada dasarnya memang jauh
lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali menghadapi
desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di tangan kakek gendut itu
benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sinkang yang
amat kuat, juga tubuhnya kebal sehingga beberapa kali tamparan tangan Gangga
yang mengenai perut atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat
kuat saja.
Sebaliknya,
senjata-senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkannya, karena Gangga
tidak berani menangkis dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk
mencoba-coba menyambut kedua senjata itu dengan tangan, walau pun ia sudah
pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi dari ayahnya. Maka, ia hanya
mengandalkan ginkang-nya yang menang jauh ketimbang lawannya untuk mengelak,
berlompatan ke sana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua gulungan
hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.
Walau pun
Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk menjatuhkan
lawannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi dilihatnya
bahwa keadaan Gangga tak menguntungkan. Maka, dia pun cepat mencabut sepasang
siang-kiam dari punggungnya.
“Sringggg....!”
Nampak dua
gulungan sinar. Begitu Ciang Bun mainkan pedang di kedua tangannya, Pek-bin
Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi lebih pucat. Menghadapi pemuda ini bertangan
kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu sekarang
menggunakan sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini hehat bukan
main! Dia cepat meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun
untuk meloncat ke tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai
Hong Lama yang mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.
“Tringgg....
trangg....!”
Nampak bunga
api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang pedang bertemu dengan dua senjata
di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama terkejut merasa betapa kedua
telapak tangannya menjadi panas dan tergetar hebat. Pada saat itu pula Pek-bin
Tok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan! Ciang
Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata
tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan
Pek-bin Tok-ong yang juga bertangan kosong.
“Dukk!
Plakk....!”
Kembali
kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan dengan Pek-bin Tok-ong,
merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan beradu,
tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan
tetapi, kembali kehebatan ginkang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat
ke belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong
saking kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tokong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha,
Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha-ha. Tok-ciang
(Tangan Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!”
Mendengar
ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan
sepasang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa
kedua lengannya gatal-gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada
persendian kedua tangannya.
“Celaka....!”
Teriaknya sambil melompat ke belakang. “Gangga, jangan engkau biarkan tanganmu
bersentuhan dengan tangan iblis itu!”
Akan tetapi
sahabatnya itu pun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan tangan
lawan menjadi gatal-gatal. Marahlah Ganggananda.
“Iblis tua
curang!” Dan ia pun sudah menyerang dengan cepatnya.
Dara ini
adalah anak tunggal Wan Tek Hoat, seorang pendekar perkasa yang pernah dijuluki
Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga dia sudah
mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Kini, mendengar bahwa lawan
telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi
marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti terbang cepatnya.
Dia
menyerang Pek-bin Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan
pukulan-pukulan tangan miring. Bertubi-tubi datangnya serangan kedua tangan ini,
apa lagi dilakukan dengan tubuh yang demikian cepat gerakannya seperti terbang
saja.
Pek-bin
Tok-ong telah berusaha keras mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau
menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.
“Plakk....
aduhhh....!”
Tubuhnya
terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal penuh kekuatan, atau
kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya, tentu dia
tidak akan mampu bangun kembali. Tamparan tangan Gangga yang kecil halus tadi
pun hanya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibatnya membuat sambungan
tulang pundaknya terlepas dan nyeri bukan kepalang.
Dia yang
sudah terkenal dengan ilmu pukulan memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini
terpaksa mengakui keunggulan seorang dara dengan tamparan yang membuat tulang
pundaknya terlepas. Akan tetapi, dia masih mampu untuk meloncat bangun dan
menyerang membabi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan beracun.
Terpaksa Gangga kembali mengelak ke sana-sini berloncatan cepat.
Pada saat
itu, Ciang Bun sudah menyerang Thai Hong Lama lagi dan biar pun dia merasa
kedua tangannya gatal-gatal dan kesemutan, pemuda ini masih terlalu tangkas
untuk dapat dikalahkan lawan.
“Iblis-iblis
tua bangka, berani kalian mengganggu adikku?!” Tiba-tiba berkelebat sebuah
bayangan yang langsung menyerang Thai Hong Lama dari samping.
Biar pun
pendeta Lama itu masih mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki
menyambar pinggangnya. Dia pun terlempar ke belakang. Ketika dia bergulingan
sambil menyabetkan tasbehnya dan meloncat berdiri, memandang dan melihat
seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap marah, tahulah dia
bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang muda pertama
saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang agaknya
lebih galak lagi.
“Mari kita
pergi....!” Teriaknya dan Pek-bin Tok- ong yang sudah terluka tidak menanti
ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri secepatnya
meninggalkan tempat berbahaya itu.
“Iblis-iblis
busuk, ke mana kalian hendak lari?” Suma Hui, yang baru saja datang dan
menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak untuk melakukan pengejaran.
“Enci,
jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!”
Ucapan
adiknya ini membuat Suma Hui menghentikan larinya dan cepat ia menghampiri
adiknya.
“Bun-te, apa
yang terjadi denganmu? Engkau keracunan?” tanyanya dengan khawatir sambil
memandang adiknya penuh perhatian. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada
diri adiknya yang menunjukkan bahwa adiknya terluka. Ia pun menoleh kepada
pemuda langsing yang berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat
pemuda ini terluka.
“Lenganku....
Iblis itu telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!” kata Ciang Bun, akan
tetapi dia tak mempedulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan
gatal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.
“Gangga,
engkau tadi telah beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan
sesuatu yang tidak wajar?”
“Lengan
kananku bertemu satu kali dan kini terasa gatal-gatal,” jawab Gangga.
“Coba
kuperiksa,” kata Ciang Bun sambil menyingkap lengan baju Gangga.
Akan tetapi
jantungnya berdebar ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit lengan yang
putih halus itu sehingga terpaksa dia melepaskannya kembali, khawatir akan
gejolak birahi yang tiba-tiba saja bergelora di dalam hatinya.
Gangga
melanjutkan pekerjaan yang tertunda itu. Ia segera menyingkap lengan bajunya
memeriksa dan ternyata pada lengannya nampak bekas-bekas jari yang kemerahan,
bahkan agak membiru, tanda bahwa kulit lengannya keracunan. Juga Ciang Bun
sibuk pula menyingkap kedua lengan bajunya dan pada kulit kedua lengannya juga
terdapat bekas-bekas jari tangan lawan yang membuat kulit lengannya keracunan.
Suma Hui ikut memeriksa dan gadis ini mengerutkan alisnya.
“Memang
kulit lenganmu telah keracunan, tetapi karena engkau telah menggunakan sinkang,
kurasa racun itu tidak akan menembus ke dalam dan tidak akan meracuni darah.
Gunakan bubuk anti racun gigitan serangga, tentu sembuh.”
Suma Hui
mendahului adiknya, mengeluarkan obat bubuk itu dari buntalannya dan ia pun
lalu mengobati dengan menggosok-gosok kulit yang keracunan dengan bubuk putih.
Obat ini adalah satu di antara obat-obat buatan keluarga Pulau Es dan mereka
selalu membawa bekal obat-obat yang penting dan praktis kalau melakukan
perjalanan. Dan memang tepat ucapan gadis itu. Setelah di gosok obat bubuk
putih, maka hilanglah rasa gatal-gatal dan tak lama kemudian warna merah itu
pun menghilang.
Kakak
beradik itu saling pandang dan tahulah Ciang Bun bahwa enci-nya kecewa dan hal
ini tentu karena ia tidak berhasil mencari musuh besarnya, yaitu Louw Tek
Ciang. “Bagaimana, Hui-ci, apakah ada hasilnya perjalananmu?”
Suma Hui
menggeleng kepala. “Iblis itu tak dapat kutemukan, jejaknya pun tidak. Ketika
aku tiba di kota raja, aku langsung menuju ke taman yang menjadi tempat
pertemuan seperti yang kita janjikan. Akan tetapi aku tidak melihat engkau di
sana. Untung aku bisa melihat coretanmu pada batang pohon di dekat kolam ikan
emas itu, maka aku segera menyusul ke barat secepatnya. Kiranya engkau dan
kawanmu ini sedang berkelahi melawan dua orang kakek yang lihai. Apakah yang
telah terjadi dan siapakah dua orang kakek itu? Siapa pula temanmu ini?”
“Nanti dulu,
Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi korban
dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu,” kata
Ciang Bun.
Ketika kakak
dan adik ini bicara, Gangga hanya memandang dan diam-diam ia merasa kagum
sekali kepada gadis yang cantik dan gagah itu. Juga merasa kasihan karena ia
telah mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan
seorang laki-laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam
taman di kota raja itu.
Mendengar
ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di
dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan
tubuh gemetar dan muka pucat. Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling
bertemu sesudah dua orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan.
Mereka hanya
dapat saling rangkul dan menangis ketakutan. Ketika Ciang Bun, Suma Hui dan
Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit
ketakutan, akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang
kakek iblis yang mereka takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan
memandang pada tiga orang yang masuk itu dengan mata terbelalak.
“Jangan
takut,” kata Gangga. “Dua orang kakek iblis itu telah dapat kami usir dari sini
dan kami datang untuk menolong kalian.”
Mendengar
ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu
menarik tangan adiknya, diajak menjatuhkan diri berlutut di atas lantai.
“Terima kasih, terima kasih....,” kata mereka berulang-ulang.
“Bangkitlah
dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang
kakek itu,” kata Ciang Bun.
Kakak
beradik itu bangkit berdiri dan sang kakak lalu menceritakan bahwa mereka
berdua adalah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota raja. Hari itu
mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh
orang pengawal atau tukang pukul mereka.
“Kami tidak
pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami sampai di dekat hutan buatan
yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang
pengawal kami tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan
dilarikan ke sini.”
Ciang Bun
dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu kedua
orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang
sebelah barat.
“Hemm, kalau
begitu mari kami antar kalian pulang,” katanya.
Mereka
bertiga lalu mengantar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja. Di
sepanjang perjalanan, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk
bercakap-cakap.
“Bun-te,
siapakah kawanmu ini?” tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga.
Di dalam
suara gadis ini terdapat keheranan yang disembunyikan. Memang ia merasa heran
sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan
untuk lebih suka pria dari pada wanita. Akan tetapi, kini ia melihat betapa
Ciang Bun memandang amat mesra dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi
sahabat akrab sekali dengan seorang gadis, walau pun gadis itu menyamar sebagai
seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis yang menyamar pria
itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia merasa lebih
heran lagi.
“Dia bernama
Ganggananda, enci.”
“Ahhh,
seorang Nepal?”
“Bukan, saya
seorang berbangsa Bhutan,” kata Gangga.
Suma Hui
mengangguk-angguk dan memandang tajam. Seorang gadis yang sangat cantik, pikirnya,
akan tetapi penyamarannya juga baik sekali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran
itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia
sendiri pun tidak akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.
“Dan
bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?” tanyanya ingin tahu
sekali.
“Enci,
saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar
sekali kepadanya. Jika tidak ada dia yang telah menolongku secara mati-matian,
kiranya engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini.”
“Aihh, itu
terlalu dilebih-lebihkan.” Gangga merendahkan diri walau pun hatinya girang
sekali oleh pujian ini.
Suma Hui
terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas. “Apakah yang telah terjadi
denganmu, Bun-te?”
“Aku nyaris
tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci.”
Suma Hui
terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya. “Apa? Dia?!
Kau bertemu dia? Di mana jahanam itu sekarang?”
“Teranglah,
enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kita antarkan dulu dua
orang anak ini ke rumah mereka.” jawab Ciang Bun.
Suma Hui
maklum betapa pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka dia menahan
gejolak hatinya dan mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan
muda-mudi itu sampai ke pekarangan gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar
ini segera pergi, tidak mau menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu
untuk singgah.
“Ceritakan
saja semua yang terjadi dan menimpa diri kalian kepada orang tua kalian, agar
jenazah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan
pergi sekarang juga.” Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang
muda-mudi itu untuk banyak cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga,
dan tak lama kemudian mereka bertiga telah berada di atas sebuah perahu kecil
di atas telaga dalam taman itu.
Mereka
membiarkan perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun
menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu,
mencari enci-nya. Diceritakannya pertemuannya dengan Gangga dan mereka
bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang dan seorang pria
lain muncul. Betapa mereka berkelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang
dengan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewaskannya kalau tidak saja Gangga yang
menggunakan ginkang-nya yang luar biasa untuk mencarikan obat penawarnya.
Mendengar
penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya. “Sayang
sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku
berhasil membunuhnya. Ia telah melukai dan hampir saja membunuhmu, untung ada....
sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan
terima kasih atas pertolonganmu kepada adik saya.”
Melihat Suma
Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas. “Ahh.... nona, harap
jangan sungkan. Ciang Bun sudah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana
ada istilah tolong-menolong? Sudah sewajarnya dan selayaknya kalau ada seorang
di antara sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?”
Suma Hui
mengangguk-angguk, dan diam-diam dia merasa suka kepada gadis yang menyamar
sebagai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan
cinta yang mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun? Anehnya kini ia tahu benar
bahwa Ciang Bun menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu?
“Ahhh....”
Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang muda
yang lain.
“Ada apakah,
Hui-ci?”
Suma Hui
tertegun dan menjadi bingung. Dia tidak menyangka bahwa jalan pikirannya
membuat dia lupa diri tadi. “Ahh, tidak, hanya aku masih merasa kecewa tidak
dapat bertemu sendiri dengan jahanam itu.”
“Biar pun
demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak
berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan
tetapi, sebaiknya kalau kita minta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia
di kota raja dan kita ceritakan tentang jahanam itu....”
Mendengar
adiknya menyebut ‘kanda’ kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa girang dan
berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan
tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut ‘kanda’.
“Baiklah,
usulmu memang baik dan tanpa bantuan banyak tenaga, agaknya sukarlah menemukan
jahanam yang licik itu.”
Karena hari
sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong pada
keesokan harinya. Malam hari itu mereka akan bermalam di sebuah rumah
penginapan.
Melihat
betapa Ciang Bun ternyata tidak sekamar dengan Ganggananda, Suma Hui
mengerutkan alisnya. Bagaimanakah adiknya ini? Benarkah adiknya belum tahu akan
keadaan Gangga sebenarnya, bahwa Gangga adalah seorang gadis? Akan tetapi kalau
Ciang Bun mengira bahwa Gangga seorang pemuda, mengapa pula mereka berpisah
kamar?
Barangkali
Gangga yang tidak mau tidur sekamar, pikirnya. Andai kata dirinya menjadi
Gangga, dalam penyamaran sebagai seorang pria, ia pun tentu tidak mau tidur
sekamar dengan seorang kawan pria, dan akan mencari dalih apa pun agar mereka
dapat tidur berpisah. Betapa pun juga, untuk menghilangkan keraguannya apakah
adiknya itu tahu atau tidak akan keadaan Gangga, ia lalu mendatangi kamar
adiknya dan bertanya.
“Bun-te, di
mana Gangga?”
“Dia berada
di kamarnya, di sudut lorong ini.”
“Ehh, kenapa
tidak di sini saja, sekamar denganmu? Bukankah tempat tidur ini cukup besar
untuk kalian berdua?”
Wajah Ciang
Bun berubah merah dan dia lalu menyuruh enci-nya duduk, kemudian menutupkan
daun pintu. “Hui-ci, aku mau bicara denganmu,” katanya serius.
“Bicara apa?
Katakanlah,” berkata Suma Hui sambil duduk di tepi pembaringan dan memandang
adiknya dengan sinar mata penuh kasih sayang. Ia tahu akan kesulitan yang
berkecamuk di dalam hati adiknya dan ia merasa kasihan karena keadaan adiknya
sungguh membuat ia sendiri menjadi bingung.
“Enci,
maukah enci andai kata harus tidur sepembaringan dengan seorang pemuda seperti
halnya Gangga?”
“Ehhh? apa
maksud pertanyaanmu ini? Aneh-aneh saja engkau. Tentu saja aku tidak mau!” Suma
Hui berkata tegas dan heran.
“Nah,
begitulah perasaanku, enci. Mana mungkin aku tidur sekamar dengan seorang
pemuda seperti Gangga kalau aku mempunyai perasaan wanita seperti engkau itu?
Dan aku.... aku takut kepada diriku sendiri, dan aku.... tidak ingin kehilangan
Gangga, Hui-ci. Aku cinta padanya, aku cinta padanya dan aku tidak ingin
kehilangan dia, tidak ingin berpisah darinya. Karena itulah aku selalu berusaha
menjauhkan diri.... aku khawatir dia akan merasa jijik dan membenciku kalau dia
tahu akan keadaanku, dan aku.... aku tidak ingin kehilangan dia, Hui-ci.”
Melihat
adiknya yang gagah perkasa itu kini duduk menundukkan muka, dengan kedua pundak
bergantung ke depan, gambaran seorang yang patah semangat dan penuh
kegelisahan, Suma Hui merasa kasihan sekali. Hal ini sudah diduganya ketika
mereka bertiga berada dalam perahu, yang membuat dia menepuk paha sendiri
mengejutkan Ciang Bun.
Di dalam
perahu itu ia pun teringat bahwa Ciang Bun tentu jatuh cinta kepada Gangga
sebagai seorang pria! Teringat ia akan kelainan adiknya. Tak dapat dibayangkan
bagaimana akan jadinya kalau adiknya tahu bahwa Gangga bukan pria, melainkan
wanita!
Tiba-tiba
saja dia seperti memperoleh ilham! Inikah cara pengobatan untuk memulihkan
keadaan adiknya sehingga batinnya akan seirama dengan badannya? Ingin ia
melihat Ciang Bun pulih seperti seorang laki-laki biasa, bertubuh pria dan juga
berselera dan berbatin pria agar adiknya tidak akan mengalami rintangan dan
kesulitan-kesulitan di dalam hidup selanjutnya. Dan kini Suma Hui melihat
cahaya berkilat yang agaknya akan dapat memberi penerangan dalam kehidupan
adiknya. Ia tidak ingin melihat adiknya mengalami derita hidup seperti yang
pernah dialaminya.
“Adikku yang
baik,” katanya sambil memegang kedua pundak Ciang Bun dan kemudian
menegakkannya. “Seorang gagah tidak pernah putus asa dan tunduk terhadap nasib!
Aku sudah tahu keadaanmu dan aku dapat ikut merasakan betapa hebat penderitaan
batinmu. Akan tetapi, janganlah kau membiarkan kedukaan mengotori batinmu. Duka
dan putus asa hanya permainan orang lemah. Engkau harus berani melihat
kenyataan dirimu sendiri, berani menghadapinya dan berusaha mengatasinya.
Segala yang tidak wajar berarti suatu keadaan yang tidak seimbang, katakanlah
suatu penyakit. Karena itu, engkau tidak perlu merasa malu. Bersikaplah wajar
saja namun dengan penuh kesadaran dan tertib diri, tidak hanya menurutkan
dorongan nafsu yang timbul dari ketidak wajaran atau penyakitmu itu.”
“Aku tahu
akan hal itu, Hui-ci dan selama ini, aku pun sudah bertahan dan menentang
dorongan hasrat nafsuku sendiri yang tidak wajar. Akan tetapi, aku jatuh cinta
kepada Gangga, bukan semata karena dorongan nafsu birahi, bukan hanya karena
gairah, akan tetapi segala-galanya pada diri Gangga menarik hatiku, menimbulkan
rasa cinta dan aku tidak mau kehilangan dia, Hui-ci.”
Suma Hui
menarik napas panjang. Ia dapat merasakan apa yang terkandung di dalam hati
adiknya. Seperti itulah agaknya perasaannya sendiri terhadap Cin Liong.
Mencinta, sayang dan mesra, ingin sekali berdekatan dan selamanya tidak ingin
berpisah lagi.
“Adikku,
engkau pun tahu dan tentu ingat akan semua pelajaran dari ayah. Cinta kasih
adalah sesuatu yang suci. Jangan sekali-kali salah kira dan mencampur adukkan
cinta kasih dengan cinta birahi. Gejolak hatimu yang timbul dari gairah birahi
itu bukanlah cinta kasih yang sesungguhnya. Itu hanya birahi yang timbul dari
pikiran dan badan, dan bagi dirimu yang mempunyai kelainan, birahimu timbul
kalau engkau melihat seorang pria yang tampan atau yang menyenangkan hatimu.
Maka, sekarang juga aku hendak bertanya, adikku. Engkau bilang bahwa engkau
cinta kepada Gangga, apakah cintamu itu semata-mata timbul karena kenyataan
bahwa Gangga adalah seorang pemuda tampan dan gagah?”
“Kurasa
kesemuanya itu mengambil bagian, Hui-ci. Bukan hanya karena dia seorang pemuda
tampan dan gagah, akan tetapi juga karena dia berhati mulia, karena semua
gerak-geriknya amat menarik dan menyenangkan hatiku, karena ia pernah
menolongku dan secara mati-matian menyelamatkan diriku. Pendek kata, aku cinta
padanya karena pribadinya, bukan semata karena dia seorang pemuda tampan.”
“Jika
begitu, bersikaplah wajar saja dalam cintamu, adikku. Anggap dia seorang
sahabat yang baik sekali. Dan sekali waktu kelak, kalau keadaan mengijinkan,
lebih baik engkau berterus terang kepadanya tentang keadaan dirimu, tentang
kelainanmu.”
“Ah, aku
tidak berani, enci! Dia tentu akan marah dan jijik dan membenciku....!”
“Belum
tentu, adikku. Apalagi kalau dia mencintamu sebagai seorang sahabat baik yang
sudah dibuktikannya ketika dia mencarikan obat untukmu. Dia, seperti aku, tentu
akan dapat memaklumi kelainanmu sebagai suatu penyakit dan dia tidak akan
membencimu, malah akan merasa kasihan kepadamu.”
Setelah
menghibur adiknya, Suma Hui lalu meninggalkannya untuk pergi tidur. Akan
tetapi, gadis ini tidak pergi ke kamarnya, melainkan diam-diam dia justru pergi
ke kamar Ganggananda di sudut lorong. Dia bersikap hati-hati sekali dan menjaga
agar adiknya jangan sampai mengetahui perbuatannya.
Setelah tiba
di depan pintu kamar Gangga, ia mengetuk pintu perlahan.
“Siapa....?”
terdengar suara Gangga dari dalam.
“Adik
Gangga, bukalah, aku ingin bicara,” kata Suma Hui lirih.
Daun pintu
terbuka dan Ganggananda muncul, memandang kepada Suma Hui dengan sinar mata
penuh selidik. Tentu saja Ganggananda merasa heran mengapa malam-malam begini
seorang gadis seperti Suma Hui mengetuk pintu kamar seorang ‘pemuda’.
“Ahhh,
kiranya nona Suma Hui. Ada keperluan apakah....?”
Belum habis
Gangga bicara, Suma Hui sudah melangkah masuk dan menutupkan daun pintu kamar
itu. Gangga memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Suma Hui tersenyum
dan berkata, “Adik yang manis, tak perlu lagi bersandiwara. Kita sama-sama
perempuan, apa salahnya bicara dalam kamar tertutup?”
Ganggananda
atau Gangga Dewi terkejut, lalu menarik napas panjang dan tersenyum. “Ahhh,
enci Suma Hui, kiranya engkau sudah tahu? Lupa aku bahwa engkau adalah seorang
pendekar wanita yang lihai dan bermata tajam. Maafkan penyamaranku.”
“Sstt, adik
Gangga. Mari kita keluar dari kamarmu, melalui jendela saja agar jangan sampai
ketahuan Ciang Bun. Aku ingin bicara empat mata denganmu,” kata Suma Hui yang
segera menghampiri jendela kamar Gangga Dewi yang menembus ke kebun samping
rumah penginapan. Ia memberi isyarat, dan tidak lama kemudian dua orang gadis
itu telah meloncat keluar pagar setelah menutupkan daun jendela kamar itu.
“Kita ke
taman dan bicara di tempat sepi....,” kata Suma Hui.
Mereka pun
kemudian berloncatan naik ke atas genteng-genteng bangunan rumah di sepanjang
jalan. Suma Hui sudah mendengar penuturan Ciang Bun, betapa dengan mengandalkan
ginkang-nya, Gangga sudah menyelamatkannya dan berhasil mencari obat penawar
racun Hoa-mo-kang. Maka kini Suma Hui memperoleh kesempatan untuk menguji
kehebatan ginkang dari gadis Bhutan itu.
Ia sengaja
mengerahkan ginkang dan berlompatan dengan cepat sekali, melompati rumah-rumah
dan kadang-kadang melayang turun dan berlari cepat menuju ke taman besar di
mana siang tadi dia mencari adiknya dan kemudian melihat coretan-coretan di
batang pohon.
Memang
pemuda ini dengan cerdik telah membuat coretan-coretan di batang pohon dengan
harapan enci-nya akan dapat menemukannya kalau enci-nya datang. Coretan-coretan
itu dibuatnya dengan kuku jari tangan sebelum dia bersama Gangga berangkat
mencari dua orang kakek yang melarikan muda-mudi itu. Dan ternyata Suma Hui
yang cermat itu dapat menemukan coretan itu yang berisi pesan bahwa adiknya itu
pergi keluar kota melalui pintu barat.
Suma Hui
harus mengakui kehebatan Gangga, karena betapa pun dia mengerahkan tenaga untuk
meninggalkan Gangga, dia tetap tidak berhasil. Gadis Bhutan itu seperti
bayangannya sendiri saja, selalu di belakang atau sampingnya, tidak pernah
tertinggal jauh. Bahkan dari gerakan Gangga kalau berkelebat di sampingnya ia
maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki tentu akan dengan mudah mendahuluinya.
Percayalah ia kini akan kehebatan ilmu ginkang gadis ini.
Tak lama
kemudian dua orang gadis itu telah duduk di atas batu-batu yang disusun secara
nyeni sekali di tepi kolam ikan yang sunyi. Sepi sekali malam itu di taman
karena tidak ada orang mengunjunginya di waktu malam. Dan dua orang gadis itu
memang memilih tempat yang sunyi dan terbuka agar mereka dapat melihat kalau
ada orang lain mendekat.
“Nah, enci
Hui. Apakah yang akan kau bicarakan denganku?” tanya Gangga sambil memandang
wajah yang cantik dan gagah itu.
Sepasang
mata Suma Hui yang cerdik itu memandang kepada Gangga penuh selidik, kemudian
ia berkata dengan suara yang penuh kesungguhan. “Adik Gangga, sekarang
ceritakanlah siapa sebetulnya dirimu, siapa namamu yang sebenarnya dan dari
mana kau datang.”
Gangga Dewi
mengerutkan alisnya. Nada suara Suma Hui seperti orang menyelidik! Hal ini
membuat hatinya merasa tidak senang. Mengapa Suma Hui curiga kepada dirinya?
Bukankah sudah jelas bahwa dia adalah sahabat baik Ciang Bun yang bahkan sudah
membuktikan dengan usahanya menyelamatkan pemuda itu? Mengapa kini enci-nya
malah seperti orang menaruh curiga dan bertanya dengan nada menyelidik?
“Enci Suma
Hui, sebelum aku menjawab, katakanlah dahulu kenapa engkau kelihatan seperti
orang sedang menyelidiki diriku? Apakah engkau curiga kepadaku?”
Suma Hui
mengangguk. Di bawah sinar bulan, Gangga Dewi dapat melihat betapa sepasang
mata gadis itu bagai mengeluarkan cahaya mencorong, membuatnya bergidik kagum.
Gadis ini tentu memiliki sinkang yang hebat, pikirnya, teringat bahwa gadis ini
adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!
“Terus
terang saja, aku memang merasa heran dan curiga. Engkau seorang gadis cantik
menyamar sebagai pria dan engkau membiarkan adikku mengira engkau seorang pria
tulen. Kenapa begitu? Dan engkau datang dari Bhutan. Semua ini merupakan
teka-teki yang mencurigakan hatiku. Karena itulah maka kini, sebagai sama-sama
wanita, aku ingin mendengar sendiri darimu tentang keadaan dirimu.”
“Engkau
adalah seorang wanita yang lihai, gagah perkasa dan juga sangat jujur dan
cerdik, enci Hui. Baiklah, aku berterus terang saja karena aku pun sudah tahu
bahwa engkau dan Ciang Bun adalah cucu-cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es
yang terkenal itu. Sudah sejak kecil aku mendengar nama keluarga Pulau Es, dan
Ciang Bun sedemikian percayanya kepadaku sehingga dia telah ceritakan semua
tentang keadaan keluargamu. Bahkan tentang semua peristiwa menyedihkan yang
menimpa keluarga kalian dan dirimu.”
“Hemmm, dia
cerita tentang aku?” Suma Hui bertanya kaget dan semakin yakin hatinya bahwa
adiknya tentu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya dan benar-benar amat
mencinta gadis yang menyamar sebagai pria ini.
“Ya, dan
maafkan dia, enci Hui. Aku sudah mendengar semuanya, maka tidak adillah kalau
aku tidak mengaku terus terang siapa diriku. Aku bernama Gangga Dewi atau juga
Wan Hong Bwee....”
“Kau....
peranakan....?”
“Benar,
ayahku bernama Wan Tek Hoat dan ibuku bernama Syanti Dewi....”
“Ahh, Puteri
Bhutan yang terkenal itu?”
“Enci,
engkau sudah mengenal ibuku?”
“Sejak
kecil, seperti engkau pula, aku sudah mendengar tentang bibi Puteri Syanti
Dewi. Ahhh, adik Gangga, kiranya engkau puterinya? Kalau begitu.... kita bukan
orang lain. Engkau masih adikku sendiri....!” Suma Hui lalu merangkul Gangga
dan puteri Bhutan ini juga membalas pelukan gadis itu walau pun hatinya merasa
heran.
“Enci Hui,
menurut ibu dan ayah, memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga yang dekat
dengan mereka, dan ayah ibuku amat menghormati keluarga Pulau Es. Akan tetapi,
tentang hubungan keluarga, aku belum tahu....”
“Memang
antara keluarga kita tidak ada hubungan langsung, akan tetapi ketahuilah bahwa
ayahmu itu, Wan Tek Hoat, adalah cucu kandung dari mendiang nenekku Lulu....!
Nah, bukankah dengan demikian di antara kita masih ada hubungan keluarga, walau
pun jauh?”
Gangga Dewi
mengangguk-angguk dan hatinya merasa girang bukan main. “Setelah engkau
mengenal keadaanku, tentu engkau tidak menaruh hati curiga lagi kepadaku,
bukan?”
Suma Hui
menggeleng kepala dan tersenyum. “Semenjak tadi pun aku tidak menaruh curiga,
hanya aku ingin merasa yakin tentang hubunganmu dengan Ciang Bun. Engkau
seorang gadis, dan engkau menyembunyikan keadaanmu, menyamar sebagai pemuda.
Akan tetapi engkau membela adikku mati-matian. Hal ini hanya mempunyai arti, yaitu
bahwa engkau.... engkau jatuh cinta kepada adikku Suma Ciang Bun. Tidak
benarkah dugaanku, adik Gangga?”
Seketika
wajah Gangga Dewi menjadi kemerahan dan menundukkan mukanya. “Enci Hui, aku
tidak tahu.... akan tetapi sesungguhnya aku amat suka kepadanya aku merasa
kasihan melihat dia menghadapi maut ketika terluka. Tentang cinta.... aku tidak
tahu....”
“Adikku yang
baik,” Suma Hui memegang tangan Gangga dan menggenggamnya. “Biarlah aku
berterus terang saja kepadamu. Memang, kejujuranku ini mungkin akan
menyakitkan, tetapi demi kebaikanmu, demi kebaikan adikku, dan demi
kebahagiaanmu berdua, sekarang aku harus berterus terang. Gangga, ketahuilah
bahwa Ciang Bun juga mencintamu, dia sudah mengaku kepadaku bahwa dia jatuh
cinta padamu....”
“Ahhh....!”
Gangga Dewi memandang wajah Suma Hui dengan mata terbelalak. “Tidak mungkin!
Dia mengira bahwa aku seorang pria! Ataukah.... jangan-jangan dia sudah tahu
akan keadaanku, bahwa aku seorang wanita?”
Suma Hui
menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. Bagian tersukar dari tugasnya
kini harus ia lalui. Maka dia pun duduk mendekat dan merangkul pundak Gangga
Dewi karena apa yang akan diceritakannya adalah rahasia adiknya yang amat gawat
dan tidak boleh sampai terdengar orang lain. Dengan suara lirih ia pun berkata
setelah menengok ke kanan kiri dan merasa yakin bahwa tempat itu sunyi tidak
terdapat orang lain kecuali mereka berdua.
“Adik
Gangga, dari sikapmu dan juga pertolonganmu terhadap Ciang Bun aku merasa yakin
bahwa engkau sungguh mencinta dia seperti juga dia mencintaimu. Oleh karena
itu, jika kuberitahu kepadamu bahwa Ciang Bun menderita suatu penyakit yang
amat gawat, sudikah kiranya engkau membantuku untuk menyembuhkannya kembali?”
Gangga
terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya yang cerah itu
berubah sedikit pucat, alisnya berkerut penuh kekhawatiran. “Sakit? Dia sakit?
Akan tetapi, ketika tabib itu memeriksa, penyakitnya hanya keracunan pukulan
Hoa-mo-kang, tidak ada penyakit lain. Dan dia kelihatan begitu sehat dan
segar!”
“Memang
benar, akan tetapi penyakitnya bukan penyakit badan. Tidak ada yang dapat
mengetahui kecuali dia sendiri dan aku karena dia percaya kepadaku dan
menceritakan tentang penyakitnya itu. Dan aku yakin bahwa pengobatannya hanya
ada pada dirimu. Hanya engkaulah yang dapat menyembuhkannya, Gangga.”
“Ahhh, enci
Hui, jangan main-main. Engkau membikin hatiku bingung dan khawatir. Seperti
orang-orang lain yang pernah belajar silat, aku hanya membawa bekal obat-obat
luka dan hanya dapat mengobati luka-luka pukulan dan senjata saja. Mana mungkin
aku bisa mengobati penyakit Ciang Bun jika orang lain yang ahli tak mampu
menyembuhkan dirinya? Penyakit apakah itu?”
“Kami berdua
pun tidak tahu penyakit apa itu namanya. Akan tetapi adikku menderita sekali
karenanya. Jangan kaget, Gangga. Adikku itu adalah seorang laki-laki, seorang
jantan sejati, berwatak pendekar yang tidak memalukan keluarga kami. Akan
tetapi, dia.... dia mempunyai penyakit aneh, yaitu dia.... condong untuk
menyukai pria dari pada wanita.”
Sepasang
mata yang indah itu terbelalak dan mulut yang kecil itu ternganga saking
herannya hati Gangga Dewi mendengar ucapan Suma Hui itu. “Apa.... apa yang kau
maksudkan, enci Hui? Aku tidak mengerti....!”
“Adik
Gangga, memang penyakit itu amat aneh. Biar pun Ciang Bun adalah seorang
pemuda, jasmaninya adalah seorang pria yang sempurna, namun selera dan
birahinya seperti seorang wanita. Dia.... dia lebih tertarik dan suka kepada
seorang pria dari pada seorang wanita. Mengertikah engkau?”
“Ahhh....!”
Gangga Dewi menunduk, kedua pipinya kemerahan dan alisnya berkerut. Ia merasa
bingung sekali, dan tidak tahu harus bicara apa untuk menanggapi keterangan
yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya itu.
Sungguh sama
sekali tidak pernah disangkanya bahwa ada penyakit yang sedemikian anehnya,
apalagi kalau penyakit seperti itu ternyata diderita oleh Ciang Bun yang amat
dikaguminya itu. Dia seorang gadis yang cerdik dan tanpa dijelaskan sekali pun
kini tahulah ia akan kenyataan yang amat menusuk perasaannya. Jadi kalau
begitu, Ciang Bun dikatakan mencinta dirinya karena mengira ia seorang pria!
“Enci,
kalau.... kalau begitu.... engkau hendak mengatakan bahwa kalau Ciang Bun kelak
mengerti bahwa aku sebenarnya seorang wanita, maka dia.... dia tidak akan suka
kepadaku, begitukah?”
Suma Hui
mengangguk. “Akan tetapi, cinta tidak dapat disamakan dengan rasa suka yang
terdorong gairah birahi, adikku. Ciang Bun mengaku kepadaku bahwa dia amat
mencintamu, walau pun rasa cintanya itu mengandung gairah birahi karena mengira
bahwa engkau seorang pemuda. Nah, rasa cintanya inilah yang harus kita
pergunakan untuk menyembuhkan penyakit aneh yang dideritanya itu. Tentu
saja.... tentu saja kalau engkau juga mencintanya seperti yang kuduga. Adik
Gangga yang baik, demi hubungan antara orang tua kita, demi cinta Ciang Bun
kepadamu, dan demi cintamu sendiri.... sudikah engkau menolongnya?”
Dalam
suaranya terkandung nada yang penuh permohonan dan ketika Gangga Dewi
memandang, ternyata kedua mata gadis perkasa itu berlinang air mata! Gangga
Dewi merasa terharu sekali dan dia dapat merasakan betapa besar cinta kasih
gadis itu kepada adiknya. Ia sendiri pun merasa kasihan kepada Ciang Bun, walau
pun terdapat perasaan tidak enak menganggu hatinya mendengar akan keadaan Ciang
Bun yang aneh itu.
“Enci Hui,
tentu saja aku suka menolong, akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau dia tidak
suka kepada wanita, dan setelah nanti dia tahu bahwa aku sesungguhnya adalah
seorang wanita dan dia pun tidak suka kepadaku, bagaimana aku akan dapat
merubah seleranya?”
“Kita
menggunakan cinta sebagai obatnya, adikku. Biarlah cinta kasih murni yang akan
menyembuhkannya dari penyakit aneh itu.”
“Akan
tetapi, bagaimana caranya, enci Hui?”
“Begini,
Gangga. Biarkan cinta kasihnya kepadamu bersemi dengan subur dan berakar kuat
dalam hatinya dan untuk itu perlu pemupukan.”
“Pemupukan
bagaimana maksudmu, enci? Aku.... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang
cinta.”
“Sekali
waktu engkau harus meninggalkan dia, kita harus memberi pupuk kepada cintanya
dengan kerinduan. Biar dia merasakan betapa besar rasa kehilangannya kalau
engkau tidak berada di dekatnya. Rasa cintanya yang semakin subur itu mungkin
akan menghapus perbedaan antara wanita dan pria. Dia akan mencintamu, tak
peduli engkau pria atau pun wanita. Rasa cinta murni itu mungkin sekali akan
merupakan obat dan lebih kuat dari pada sekedar birahinya yang ganjil itu.
Maukah engkau melakukannya, demi cinta kalian berdua, adikku?”
Gangga Dewi
mengangguk.
“Kita sama
sekali tidak boleh menyalahkannya, Gangga. Keadaan diri Ciang Bun itu adalah
suatu kelainan yang bukan timbul akibat disengaja, atau pun karena memang
wataknya yang kotor, tetapi karena tentu ada sebab-sebabnya. Dia adalah
penderita suatu penyakit aneh, suatu kelainan yang mungkin timbul dari keadaan
darahnya, atau susunan tubuhnya, atau juga karena sebab-sebab batiniah yang
kita tidak mengerti. Bagaimana pun juga, karena keadaan itu menggambarkan hal yang
tidak sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana umumnya, maka biarlah kita
menamakannya suatu penyakit. Keadaan setengah-setengah itu, setengah pria
karena bertubuh laki-laki, dan setengah wanita karena berselera perempuan,
tentu saja merupakan hal yang amat mengganggu dan menyiksa batin. Jalan
satu-satunya hanyalah menjadikannya wanita sepenuhnya atau pria sepenuhnya.
Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya, akan lebih sempurnalah jika ia dapat
dijadikan pria sepenuhnya. Hal ini mungkin saja disembuhkan dengan cinta
kasih.”
Gangga Dewi
mendengarkan dengan kagum. Dari kata-katanya bisa dimengerti bahwa Suma Hui
adalah seorang gadis yang luas pengetahuannya dan pintar. Dan memang
demikianlah. Semenjak menderita aib yang menimpa dirinya, setelah mengalami
banyak hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, setelah memperdalam ilmunya dan
banyak melakukan perantauan, Suma Hui berubah menjadi seorang wanita yang
matang dan berpemandangan luas. Masalah adiknya sangat mengganggu hatinya dan
selama ini banyak ia memikirkan tentang adiknya sehingga ia dapat mengambil
kesimpulan seperti yang dikatakannya kepada Gangga Dewi.
Demikianlah,
terdapat suatu kerjasama antara Suma Hui dan Gangga Dewi, untuk menolong pemuda
yang sama-sama mereka cinta. Yang seorang mencintanya sebagai seorang kakak
perempuan sedangkan, yang lainnya mencinta sebagai seorang wanita terhadap
seorang pria yang dikaguminya.
***************
Dengan mudah
mereka dapat menemukan Kao Cin Liong. Kiranya panglima muda ini masih menduduki
pangkatnya di kota raja sebagai seorang jenderal muda. Ketika Kao Cin Liong
menghadap kaisar untuk meletakkan jabatannya agar dia dapat mencurahkan semua
tenaganya untuk membantu tunangannya mencari musuh besar mereka, kaisar
menyatakan keberatan! Dan ketika Kao Kok Cu, ayah pemuda itu mendengar akan hal
ini, dia pun memarahi puteranya dan menyatakan tidak setuju pula.
“Cin Liong,
lupakah engkau akan ceritaku tentang kakekmu? Kakekmu adalah seorang panglima
besar yang amat setia dan berjiwa pahlawan. Dan sejak dahulu, keluarga Kao adalah
keturunan para panglima yang gagah perkasa. Sayang bahwa aku sendiri tidak
memperoleh kesempatan untuk melanjutkan kepahlawanan nenek moyang kita. Akan
tetapi engkau yang masih muda, mempunyai kesempatan cukup dan engkau bahkan
berhasil menjadi jenderal yang banyak jasanya. Bagaimana sekarang engkau hendak
mengundurkan diri dalam usia muda hanya karena urusan wanita?”
“Akan
tetapi, ayah, demi cintaku terhadap Suma Hui, aku rela melepaskan apa pun juga.
Ia menderita aib, siapa lagi kalau bukan aku yang mengangkatnya dan mencuci
nama baiknya dengan mencari dan membunuh jahanam yang telah mencemarkan
kehormatannya, juga mencemarkan namaku karena dia mempergunakan namaku dan
melakukan fitnah?”
“Benar,
tetapi engkau harus berpikir panjang. Ingat, keluarga Suma adalah keluarga
besar dan gagah. Karena lengah dan lalai, mereka terjebak dan mengalami aib.
Biarlah mereka itu mempertanggung jawabkan sendiri kelalaian mereka, kemudian
menghukum sendiri jahanam itu. Engkau hanya membantu saja. Kalau engkau yang turun
tangan membalas, apakah hal itu tidak bahkan menyinggung harga diri keluarga
Suma?”
Bujukan
ayahnya dan larangan kaisar akhirnya membuat Cin Liong mengalah dan itulah
sebabnya, ketika Suma Hui dan Ciang Bun mencarinya, kakak beradik ini
mendapatkan Cin Liong di gedungnya, masih menjadi seorang jenderal muda yang
disegani.
Dapat
dibayangkan betapa girang dan terharu hati Jenderal Muda Kao Cin Liong ketika
dia keluar menyambut tamu dan melihat bahwa tamunya adalah Suma Hui dan Ciang
Bun bersama seorang pemuda asing. Melihat kekasihnya yang selama ini sangat
dirindukannya, ingin Cin Liong merangkulnya. Akan tetapi tentu saja di depan
banyak orang dia tidak dapat melakukan hal ini dan dia hanya membalas
penghormatan para tamu itu dengan menjura.
“Liong-ko....!”
kata Suma Hui lirih.
Biar pun ia
masih terhitung bibi dari kekasihnya itu, akan tetapi karena dapat dibilang
secara resmi telah mendapatkan restu dari orang tua dan mereka adalah tunangan,
maka tanpa ragu lagi ia kini menyebut koko kepada pemuda itu.
“Hui-moi,
kau baik-baik saja, bukan?” Cin Liong juga menyapa dengan halus.
Hanya itulah
yang dapat mereka sampaikan melalui mulut di depan orang banyak, akan tetapi
dua pasang mata itu saling bertemu, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan
bicara banyak sekali. Keharuan membuat sepasang mata Suma Hui agak basah.
“Bun-te,
engkau kelihatan semakin gagah saja!” Cin Liong menegur pemuda yang dulu
disebutnya paman itu. “Dan siapakah saudara ini?”
“Saya adalah
sahabat saudara Suma Ciang Bun, dan nama saya Ganggananda,” kata Gangga
memperkenalkan diri sambil memberi hormat.
“Ahh,
saudara dari Nepal?”
“Bukan, saya
dari Bhutan,” jawab Gangga singkat dan matanya menatap tajam wajah jenderal
muda itu.
Hatinya
menjadi terharu karena dia sudah mendengar penuturan ibunya bahwa ibunya mempunyai
seorang saudara angkat yang sangat disayanginya, dan saudara angkat ibunya itu
adalah ibu dari jenderal ini! Bukan hanya di situ saja hubungannya dengan
jenderal gagah perkasa ini, melainkan lebih dekat lagi. Ada hubungan saudara
antara ayah kandungnya dengan ibu jenderal ini karena mereka itu masih saudara
tiri, seayah berlainan ibu.
Ayahnya she
Wan, dan ibu jenderal ini juga she Wan. Akan tetapi, ia diam saja dan tidak
membuka rahasia itu. Ia sudah memesan kepada Suma Hui, satu-satunya orang yang
sampai kini sudah tahu akan rahasianya, agar tidak membuka rahasia itu kepada
siapa pun juga, tidak pula kepada Ciang Bun atau kepada jenderal Kao Cin Liong
yang masih ada pertalian keluarga dekat, karena satu kakek dengannya. Demi
penyamaran Gangga, dan demi kepentingan adiknya, Suma Hui memegang janji itu
dan tidak bicara tentang Gangga.
“Silakan
masuk, kita bicara di dalam. Kebetulan sekali ayah berada di sini, baru pagi
tadi ayah dan ibu datang mengunjungiku.”
Mendengar
bahwa ayah bunda kekasihnya berada di situ, wajah Suma Hui berubah merah. Ia
merasa malu sekali teringat akan sikapnya dahulu terhadap mereka, maka tentu
saja kini ia merasa canggung, malu dan takut. Melihat sikap kekasihnya, Cin
Liong maklum. Tanpa malu-malu lagi terhadap Ciang Bun dan Ganggananda, dia pun
lalu menggandeng tangan gadis itu dan ditariknya, diajak ke dalam, diikuti oleh
Ciang Bun dan Ganggananda.
Mereka
menunggu di ruangan dalam. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan
isterinya. Biar pun usia mereka sudah lanjut, si pendekar enam puluh tahun
lebih dan isterinya, Wan Ceng sudah lima puluh tujuh tahun, akan tetapi
keduanya masih nampak sehat dan gagah.
Karena
maklum apa yang sedang dirasakan kekasihnya dan ingin menolong kekasihnya
mengurangi perasaan tidak enak itu, begitu tiba di depan ayah bundanya, Cin
Liong menarik tangan Suma Hui dan diajaknya menjatuhkan diri berlutut,
sedangkan Ciang Bun dan Ganggananda memberi hormat dengan menjura.
“Ayah, ibu,
terimalah hormat kami, putera dan mantu ayah ibu,” kata Cin Liong.
Melihat
wajah gadis yang tengah menunduk itu, wajah yang membayangkan kecantikan,
kegagahan dan kekerasan hati, yang menunduk dengan bayangan kesedihan, hati Wan
Ceng menjadi lunak. Teringatlah ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih
gadis. Ia pun dahulu pernah menjadi korban perkosaan orang yang menghancurkan
hidup dan kebahagiaannya, membuat selalu ingin mencari dan membunuh
pemerkosanya itu.
Kini Suma
Hui mengalami nasib yang sama. Hanya bedanya, kalau ia bahkan bertemu jodohnya
dengan pemerkosanya yang bukan lain adalah suaminya yang sekarang, yang
melakukan hal itu di luar kesadarannya, sebaliknya Suma Hui menjadi korban
kekejian seorang laki-laki yang amat jahat. Laki-laki yang memperkosanya dengan
menyamar sebagai Cin Liong! Dan penjahat itu sedemikian pandainya memikat hati
keluarga Suma sehingga selain diterima menjadi murid, juga menjadi mantu!
Semua telah
didengarnya dari Cin Liong dan kini melihat gadis itu menghadapnya, Wan Ceng
melupakan semua kesalahpahaman antara keluarganya dan keluarga gadis itu. Ia
pun turun dari kursinya, membungkuk menghampiri Suma Hui dan merangkulnya.
“Suma Hui,
engkau adalah calon mantu kami yang baik....” Dan ia pun menarik bangun gadis
itu, menuntunnya dan mengajaknya duduk di kursi.
Mereka semua
duduk di kursi menghadap meja besar dan sikap Wan Ceng ini ternyata telah
melenyapkan perasaan canggung, malu dan tidak enak dari hati Suma Hui. Ketika
ditanya, Suma Ciang Bun dan Ganggananda memperkenalkan diri. Suami isteri
perkasa itu merasa girang dan bersikap amat manis.
Diam-diam
Gangga Dewi terharu sekali. Dia mengerti bahwa wanita yang rambutnya sudah
bercampur uban itu, yang demikian cantik dan gagah perkasa, adalah bibinya
sendiri! Nyonya itu adalah saudara seayah berlainan ibu dengan ayahnya. Akan
tetapi, demi menjaga perjanjian rahasianya dengan Suma Hui untuk menolong Ciang
Bun, ia diam saja dan hanya duduk sebagai penonton dan pendengar.
Dalam pertemuan
kekeluargaan ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng secara terang-terangan menyatakan
keinginan hati mereka kepada Suma Hui agar pernikahan antara Suma Hui dan Cin
Liong dapat dilaksanakan dengan secepatnya.
“Saatnya
sudah lebih dari matang,” antara lain pendekar berlengan satu itu berkata.
“Hendaknya kalian berdua ingat bahwa aku dan ibumu sudah tidak muda lagi.
Kukira demikian pula dengan ayah bunda Suma Hui, tentu seperti juga kami,
mereka sudah ingin sekali menimang cucu. Itu alasan pertama. Ke dua, tahun ini
Cin Liong sudah berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun dan kami kira Suma
Hui juga bukan seorang gadis remaja lagi. Karena cintanya dan setianya
kepadamu, Suma Hui, putera kami itu sampai sekarang sama sekali tidak mau
mendekati wanita lain, tidak menikah, bahkan memiliki seorang selir pun tidak
sehingga kawan-kawannya suka menggodanya dan mengatakan bahwa dia banci.”
Hanya Suma
Hui, Ganggananda dan tentu saja Ciang Bun sendiri yang merasakan kata ‘banci’
ini sebagai sindiran terhadap diri Ciang Bun.
“Akan
tetapi.... saya.... saya telah bertekad untuk mencari dan membunuh musuh besar
saya....”
“Kami semua
juga mengerti akan perasaanmu itu, anak Hui,” kata Wan Ceng sambil menyentuh
kepala gadis itu yang duduk di sebelahnya. “Menentang dan membasmi manusia-manusia
iblis macam Louw Tek Ciang itu merupakan tugas tiap orang gagah, bukan? Tidak
peduli urusan pribadi, akan tetapi perbuatannya itu cukup membuat kita semua
memusuhinya. Akan tetapi, urusan dendam itu dapat dilakukan setelah menikah.
Suamimu tentu akan membantumu, dan kami juga.”
“Jangan
khawatir, Suma Hui,” sambung Kao Kok Cu, “Suamimu terikat tugas dan kiranya
hanya mempunyai sedikit waktu untuk urusan pribadi. Akan tetapi, kalau kalian
sudah menikah, aku sendiri yang akan turun tangan menyeret iblis itu ke depan
kakimu!”
“Tapi....
iblis itu harus mampus di tangan saya sendiri!” Suma Hui berkata penuh geram.
Pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. “Baiklah, terserah padamu, tapi
kami sungguh mengharapkan engkau akan dapat mempertimbangkan dengan baik untuk
segera menikah dengan tunanganmu.”
Suma Hui
termenung. Ia memang merasa terharu dan kasihan kepada kekasihnya yang begitu
setia dan mencintanya, padahal ia sudah bukan seorang perawan lagi. Jarang di
dunia ini terdapat seorang pria seperti Cin Liong dan kalau sekarang ia menolak
lagi, berarti dia yang keterlaluan dan tidak mengenal budi orang. Akhirnya ia
menyetujui.
Bukan main
girangnya hati Wan Ceng. Ia melompat dan merangkul calon mantunya, menciumnya
dengan kedua mata basah. Keluarga itu lalu menahan Suma Hui, Ciang Bun dan juga
Ganggananda yang dianggap sebagai tamu, untuk bermalam di gedung besar jenderal
Kao Cin Liong dan utusan lalu dikirimkan ke Thian-cin untuk memberi kabar
kepada keluarga Suma tentang akan dilangsungkannya pernikahan itu. Menurut usul
keluarga Kao, pernikahan itu diadakan di kota raja dan di rumah keluarga Suma
tidak diadakan pernikahan lagi karena Suma Hui pernah dinikahkan di situ dengan
Louw Tek Ciang tiga tahun yang lalu. Untuk keperluan itu, keluarga Suma
diundang untuk datang ke kota raja agar dapat bersama-sama merayakan pernikahan
yang sudah lama ditunggu-tunggu itu.
Akan tetapi
Ganggananda hanya tinggal di gedung itu semalam saja. Malam itu, setelah
mempunyai kesempatan bertemu dan bicara berdua saja dengan Suma Hui, gadis itu
menganjurkan kepadanya agar supaya segera mulai dengan usahanya menolong dan
menyelamatkan Ciang Bun seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.
Rencana itu
adalah pertama-tama meninggalkan Ciang Bun agar pemuda itu merasa kehilangan
dan menderita rindu. Maka pada keesokan harinya, secara tiba-tiba saja
Ganggananda berpamit dari keluarga Kao untuk melanjutkan perjalanannya. Karena
hal itu ia lakukan pagi-pagi sekali, yang mengetahui kepergiannya hanyalah Suma
Hui dan suami isteri Kao Kok Cu, sedangkan Cin Liong dan Ciang Bun masih berada
di dalam kamarnya.
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Ciang Bun ketika keluar dari kamarnya, dia
tidak mendapatkan lagi Ganggananda yang sudah pergi. Apalagi ketika dia
mendengar dari encinya bahwa pemuda Bhutan itu memang benar-benar sudah pergi
dari rumah itu.
“Ahhh,
kenapa dia tidak pamit kepadaku? Kenapa dia pergi begitu saja....?” Ciang Bun
mengeluh dengan muka berubah pucat, nampaknya dia terpukul sekali.
Diam-diam
Suma Hui merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi ini merupakan siasatnya
bersama Gangga Dewi untuk menolong Ciang Bun.
“Adikku,
Gangga adalah seorang perantau yang biasa hidup menyendiri. Kemudian dia
menemukan engkau sebagai seorang sahabat yang amat baik. Ketika dia kita ajak
ke sini dan melihat pertemuan antara kita dengan keluarga Kao, baru dia merasa
bahwa dia adalah orang luar, maka dia merasa tidak enak dan tidak betah tinggal
lebih lama di sini, merasa tidak berhak. Karena itulah maka sepagi ini dia
pergi tanpa dapat kucegah.”
“Ahh....
kasihan Gangga. Kenapa begitu? Setidaknya dia dapat menunggu aku dan bicara
denganku. Ke mana dia pergi, enci? Ke mana aku akan dapat mencarinya?”
“Ke mana
lagi kalau tidak pulang ke negerinya?”
Seketika
wajah pemuda itu berubah pucat. “Ke Bhutan? Ya Tuhan.... Gangga, engkau pergi
begitu saja meninggalkan aku untuk selamanya? Enci, aku pergi, aku harus cepat
mengejarnya....”
Pemuda itu
meloncat dan sebentar saja dia sudah berada di luar gedung itu. Akan tetapi
nampak bayangan berkelebat dan encinya telah berdiri di depannya dengan pandang
mata serius, “Adikku, engkau mau apa?”
“Enci Hui,
tidak tahukah engkau bahwa aku.... aku amat mencintanya? Aku akan mati kalau
harus berpisah darinya, enci, sungguh.... aku.... aku....” Ciang Bun tidak
dapat melanjutkan kata-katanya. Kedua matanya sudah basah oleh air mata!
Melihat adiknya menangis, Suma Hui merasa terharu sekali. Dipegangnya kedua
tangan adiknya itu.
***************
Pemuda yang
sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh
amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nampak walau pun sinarnya telah
lama mengusir kabut dan menciptakan tetes embun menjadi mutiara-mutiara yang
bergantungan di ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak
terpencil di sebuah dusun yang sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi,
segar dan sejuk.
Pemuda itu
berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap.
Wajahnya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan
matanya membayangkan watak yang gemibira. Pada waktu itu, walau pun hawa udara
cukup dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja.
Akan tetapi
yang amat menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki
itu seolah-olah dua batang tiang baja yang kokoh kuat, tidak tergoyahkan apa
pun ketika dia memasang kuda-kuda, hanya menggeser ke sana-sini. Akan tetapi
tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang yang tidak mengerti akan
menduga bahwa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf permulaan saja dari
pelajaran ilmu silat karena ketika dia melakukan gerakan memukul atau
menendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga.
Tetapi tidak
demikian anggapan orang yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi. Ketika
tadi dia memasuki dusun Hong-cun dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki
pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak sunyi, dia mencari-cari dengan
pandang matanya. Cepat dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat
seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari sinar
matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.
Pengintai
itu menarik napas panjang dan menggumam seorang diri, “Hebat.... seorang pemuda
yang hebat tidak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda..”
Kakinya
bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan
mematahkan sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak berapa keras, akan tetapi
cukup bagi Suma Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia
menghadap ke arah pohon itu.
“Saudara
yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah,
sebaliknya jika tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya
bersembunyi dan mengintai.”
Ceng Liong
mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah tiga
tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima
penggemblengan dengan keras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng
Liong tiga tahun yang lalu, yang masih kekanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda
dewasa yang semakin mantap dan matang ilmunya. Mantap...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment