Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 21
"Di
mana aku....?" Ciang Bun membuka mata dan mengeluh.
"Tenanglah,
Ciang Bun, tenanglah. Engkau berada di rumah Gu-sinshe, seorang tabib kenamaan
di kota raja."
"Ohhh....!"
Ciang Bun
teringat dan meraba dadanya. Dadanya terasa sesak dan perutnya mual. Muak
rasanya bau amis itu dan dia menahan diri agar tidak muntah. Ganggananda duduk
di dekatnya dan dia rebah di atas pembaringan.
“Bagaimana
rasanya, Ciang Bun?” pemuda remaja itu bertanya dengan nada suara khawatir.
Ciang Bun
teringat, memandang wajah tampan itu dan memaksa tersenyum. “Nanda, engkau
seorang sahabat baru, namun ternyata engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku
berhutang nyawa padamu, adik Nanda.”
“Sudahlah,
tak perlu bicara tentang hutang-pihutang. Yang penting sekarang ini adalah
menyembuhkanmu dari luka dalam penuh hawa beracun itu.”
“Hawa beracun?
Di tubuhku? Ahhh, aku merasa dada sebelah kanan kadang-kadang panas
kadang-kadang dingin dan ada rasa muak, bau amis....”
“Itulah!
Menurut Gu-sinshe, engkau terkena pukulan beracun yang amat berbahaya.”
“Mana dia
sekarang?”
“Dia sedang
mengundang seorang hwesio tua ahli racun untuk datang memeriksamu.”
Ciang Bun
merasa heran. Ia juga pernah mendengar nama Gu-sinshe sebagai seorang tabib
yang pandai, bahkan kabarnya kadang-kadang tabib ini dipanggil ke istana kaisar
untuk memberi pengobatan dan pemeriksaan. Bagaimana sekarang tabib itu demikian
memperhatikan dia, bahkan mengundang seorang ahli untuk memeriksanya?
“Nanda,
apakah engkau mengenal baik tabib itu sehingga dia mau memperhatikan aku
seperti ini?”
Ganggananda
tersenyum dan jantung Ciang Bun berdebar kencang. Dia pun terpaksa membuang
muka karena senyum pemuda remaja itu seperti mencengkeram jantungnya dan
membuatnya merasa aneh. Dia teringat bahwa beginilah perasaannya ketika dulu
dia dicium oleh Liu Lee Siang ketika pemuda itu mengajarnya menolong orang yang
tenggelam atau kecelakaan di air.
“Ciang Bun,
aku bingung saat membawamu ke darat. Engkau pingsan terus dan segala usahaku
untuk menyadarkanmu gagal. Maka terpaksa kau kubawa ke sini dan karena aku tahu
bahwa seorang tabib terkenal tidak sembarangan mau mencurahkan perhatian kepada
orang biasa, aku pun lalu berkata bahwa engkau adalah seorang anggota keluarga
Suma dari Pulau Es. Benar saja dugaanku, mendengar ini dia tergopoh-gopoh
memeriksamu dengan teliti, kemudian bahkan dia keluar untuk mengundang seorang
hwesio kenalannya yang ahli tentang pukulan beracun.”
“Ahh....!
Berapa lama aku pingsan?”
“Dua hari
dua malam! Baru sekarang siuman, itu pun setelah diberi obat tusuk jarum dan
macam-macam oleh Gu-sinshe. Nah, menurut pesan Gu-sinshe, jika engkau sudah
sadar, aku harus menyuapimu dengan bubur encer ini. Makanlah.” Dan Ganggananda
lalu menyuapkan sesendok bubur.
“Biar
kumakan sendiri....!” Ciang Bun hendak bangun, akan tetapi kepalanya seperti
terputar-putar rasanya sehingga dia harus memejamkan mata kembali dan terpaksa
merebahkan diri lagi.
“Nah, jangan
rewel, biar kusuapkan. Makanlah.”
Baru habis
beberapa suap, Ciang Bun tidak mau lagi. “Rasanya semakin mual dan hendak
muntah....”
Tiba-tiba
seorang kakek masuk ke dalam kamar itu. Ciang Bun memandang dengan mata yang
agak kabur. Seorang kakek berpakaian sasterawan yang tubuhnya jangkung kurus
dan melihat pakaiannya dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu Gu-sinshe. Orang
kedua adalah seorang hwesio gendut yang mukanya riang dan selalu tersenyum,
matanya lebar dan tajam.
“Inikah
Suma-taihiap yang terkena pukulan beracun?” kata hwesio itu. “Ahhh, untung
taihiap memiliki tubuh yang kuat. Mudah-mudahan pinceng dapat menemukan racun
apa yang sudah digunakan orang untuk memukul taihiap sehingga sahabatku ini
dapat memberikan obatnya yang tepat.”
“Terima
kasih, locianpwe....,” kata Ciang Bun.
Hwesio itu
lalu membuka baju Ciang Bun, dibantu oleh Ganggananda. Dia kemudian memeriksa
seluruh tubuh Ciang Bun bagian atas, memijat sana-sini, menepuk sana-sini dan
berkali-kali dia menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Taihiap,
bagai mana rasanya kalau sebelah sini kutekan seperti ini?” Dan hwesio itu
menekan dada kanan.
Ciang Bun
menggigit bibirnya. “Rasanya perih dan panas.”
“Dan taihiap
mencium sesuatu?”
“Amis....
mau muntah....”
“Omitohud....!
Tak salah lagi, taihiap terkena pukulan yang mengandung hawa racun katak
buduk!”
“Ehh, apakah
itu? Aku belum pernah mendengarnya, dan apa obatnya?”
Hwesio itu
menggelengkan kepala. “Masih untung bahwa, seperti menurut ceritamu tadi,
Sinshe, Suma-taihiap sudah diselamatkan oleh sahabatnya yang membawanya ke
sini. Terlambat akan celaka. Dan kalau dalam waktu tiga hari dia tidak
memperoleh obatnya yang tepat, kurasa tidak akan ada obat yang dapat
menolongnya lagi.”
“Apakah obat
itu? Dan di mana obat itu bisa aku dapatkan?” Ganggananda bertanya dengan
lantang dan tak sabar.
“Obatnya
hanya terdapat di tepi Sungai Huang-ho, akan tetapi pernah pinceng melihat
katak buduk hitam di dalam rawa di sebelah utara kota raja yang serupa dengan
katak-katak di Sungai Huang-ho itu. Katak buduk berkulit hitam yang matanya
merah. Nah, kalau bisa didapatkan belasan ekor saja anak katak buduk itu, tentu
Suma-taihiap ini akan dapat disembuhkan dari pengaruh racun pukulan
Hoa-mo-kang.”
“Biar aku
pergi mencarinya! Tunjukkan dan gambarkan di mana rawa itu, locianpwe.” kata
Ganggananda.
Hwesio itu
sejenak memandang wajah pemuda remaja itu dan menarik napas panjang. “Omitohud,
anda seorang pemuda yang baik sekali dan amat setia kawan. Akan tetapi, rawa
itu terlalu jauh. Dengan menunggang kuda yang paling cepat pun, belum tentu
akan dapat dilakukan pulang pergi selama tiga hari. Belum lagi waktu mencari anak
katak itu....”
“Tapi aku
dapat melakukannya, locianpwe!” kata Ganggananda penuh semangat.
Gu-sinshe
menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang putih jarang. “Bagai mana
caranya, orang muda? Apa yang dapat berlari lebih cepat dari pada seekor kuda
yang baik?”
“Aku dapat,
Sinshe. Lariku lebih cepat dari kuda. Lekas gambarkan di mana rawa itu dan
bagaimana aku harus mencari anak-anak katak itu dan aku akan segera lari ke
sana.”
Dua orang
kakek itu saling pandang dan menggerakkan pundak seolah-olah tidak percaya
kepada Ganggananda akan tetapi karena tidak ada jalan lain, si hwesio lalu
menggambarkan di mana letak rawa-rawa di sebelah utara di luar tembok kota raja
itu. Ternyata tempat itu memang amat jauh, naik turun gunung dan sudah dekat
dengan Tembok Besar. Sesudah memperoleh keterangan lengkap, Ganggananda
merenggut buntalan pakaiannya.
“Aku pergi
sekarang juga. Kau tunggulah aku, Ciang Bun!” Dan sekali berkelebat, pemuda itu
pun lenyap dari dalam ruangan itu.
Mereka semua
hanya melihat bayangan berkelebat lenyap seakan-akan pemuda itu dapat
menghilang dan merubah dirinya menjadi asap. Saking heran dan kagumnya, dua
orang kakek itu lari ke jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Dan
mereka melihat sebuah titik hitam bergerak cepat jauh di depan dan sebentar
saja lenyap. Mereka kembali saling pandang dan hwesio itu berbisik.
“Sinshe,
hebat sekali orang muda itu, dan makin percayalah aku bahwa pendekar yang
terluka itu memang benar keturunan para pendekar Pulau Es.”
Sementara
itu, Ganggananda berlari cepat. Tidak mengherankan kalau dia dapat berlari
secepat itu karena Ganggananda ini, seperti para pembaca tentu sudah dapat
menduganya, adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri dari Wan Tek Hoat dan
Syanti Dewi!
Dara yang
kini sudah berusia tujuh belas tahun ini memang suka sekali berkelana. Sudah
sering ia meninggalkan Bhutan, menjelajahi hutan-hutan dan pegunungan di
sekitarnya sehingga kadang-kadang orang tuanya menjadi gelisah dan
mencari-carinya. Akan tetapi kesukaannya ini tidak pernah berkurang dan
akhirnya, jalan satu-satunya untuk menenteramkan hati mereka, ayah dan ibu ini
lalu menggembleng puteri mereka, menurunkan semua ilmu mereka agar puteri
mereka menjadi seorang gadis yang tangguh dan cukup kuat untuk menjadi bekal
pembela diri dalam perantauannya.
Wan Tek Hoat
pendekar sakti yang di waktu mudanya pernah mempunyai julukan Si jari Maut
mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang tinggi. Juga Syanti Dewi mengajarkan ilmu
ginkang-nya yang hebat, yang dahulu dipelajarinya dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hwi.
Setelah
menguasai banyak ilmu, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee pergi berangkat merantau
menuju dunia timur (Tiongkok), yaitu negara tempat asal ayahnya. Sejak usia
belasan tahun, ketika mulai gemar merantau, Hong Bwee suka menyamar sebagai
pria dan ia memakai nama Ganggananda. Hal ini pun dianjurkan oleh orang tuanya
yang berpendapat bahwa sebagai pria, tentu puteri mereka tidak terlalu banyak
menghadapi gangguan di waktu melakukan perjalanan seorang diri.
Dari seorang
kakek pemain sandiwara di istana Raja Bhutan, Hong Bwee juga sudah mempelajari
cara berhias dan menyamar sebagai pria sehingga ia dapat membuat kulit mukanya
nampak kasar. Bahkan ia dapat menambah alisnya menjadi tebal dengan alis
tempelan namun sama sekali tidak kentara kepalsuannya.
Demikianlah,
dengan bekal semua kepandaian ini, dara yang sejak kecil digembleng bu (ilmu
silat) dan bun (ilmu sastera) oleh orang tuanya itu, berangkat merantau sampai
ia bertemu dengan Ciang Bun. Selain dibekali kepandaian, juga ia fasih
berbahasa Han walau pun agak asing terdengarnya, dan dia pun sudah banyak
mendengar cerita ayah ibunya tentang para tokoh dunia persilatan, baik para
pendekar mau pun para datuk sesat. Hal ini perlu diketahui agar ia dapat bersikap
hati-hati kalau bertemu dengan para tokoh itu.
Raja Bhutan
sendiri dan para pembesar tadinya merasa tidak setuju dan tidak rela melihat
Hong Bwee yang mereka sayang itu, sebagai seorang gadis dewasa, pergi merantau
sendiri sejauh itu. Akan tetapi, Syanti Dewi dan Tek Hoat menenangkan hati
mereka. Syanti Dewi mengingatkan bahwa dia sendiri pada waktu masih gadisnya
juga meninggalkan Bhutan dan merantau ke timur. Ada pun Tek Hoat sendiri adalah
seorang pendekar yang suka merantau, tentu saja tidak berkeberatan akan
kesukaan puterinya.
Di samping
itu juga, bagaimana akan dapat mencegah kehendak Hong Bwee? Anak ini memiliki
kekerasan hati melebihi ibunya, tidak mungkin kehendaknya dihalangi. Tidak
mungkin merantainya di rumah. Kalau dihalangi tentu gadis itu malah akan
minggat dan hal ini jauh lebih buruk dari pada jika gadis itu berangkat
merantau dengan restu orang tuanya.
Biar pun
demikian, diam-diam Raja Bhutan mengutus beberapa orang pengawal pilihan untuk
membayangi dan melindungi gadis itu. Sialnya, tidak ada seorang pun di antara
para pengawal itu yang mampu menandingi kecepatan lari Hong Bwee sehingga dalam
waktu beberapa hari saja mereka sudah kehilangan jejak dan tertinggal jauh.
Terpaksa mereka melanjutkan perjalanan ke timur dan mencari-cari karena mereka
tidak tahu ke mana tujuan perjalanan gadis itu.
Demikianlah,
dengan menyamar sebagai pria, Hong Bwee tiba di kota raja. Ia merasa gembira
sekali melihat kota raja yang besar, megah dan indah itu, jauh lebih besar dan
lebih indah dari pada kota raja Bhutan. Ketika ia bertemu dengan Suma Ciang
Bun, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menarik perhatiannya. Baru dara ini
mengerti bahwa ada suatu persamaan atau kemiripan pada diri pemuda ini dengan
Ceng Liong sehingga menarik perhatiannya ketika ia mendengar bahwa Ciang Bun
adalah saudara sepupu Ceng Liong.
Mendengar
bahwa Suma Ciang Bun ialah saudara sepupu Ceng Liong, hatinya merasa hangat dan
tertarik. Bagaimana pun, ada hubungan akrab antara ibunya dan keluarga Pulau Es
sehingga ia merasa seperti bertemu sahabat lama atau sanak keluarga ketika
berjumpa dengan Ciang Bun.
Kini ia
mengerahkan semua tenaga dan ilmunya berlari cepat untuk menyelamatkan nyawa
pemuda itu. Ia harus dapat mencari dan menemukan katak-katak buduk hitam dalam
waktu tiga hari. Menurut perhitungannya setelah mendengar penjelasan hwesio
ahli racun, kalau ia berlari cepat, dalam waktu sehari tentu ia akan dapat tiba
di rawa yang dimaksudkan itu. Ia harus dapat menemukan obat itu. Ngeri ia
membayangkan betapa pemuda yang tampan, pendiam dan halus lagi gagah perkasa
dan pandai bersajak itu akan mati konyol keracunan.
Ilmu berlari
cepat Jouw-sang Hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) dari Wan Hong Bwee memang
hebat sekali. Tubuhnya ringan dan ia dapat berlari bagaikan terbang saja, dan
dalam waktu sehari lebih, hanya berhenti untuk makan roti bekal dan minum air,
ia telah tiba di tepi rawa.
Akan tetapi,
hari telah malam dan cuaca gelap sekali. Tak mungkin dapat mencari katak buduk
pada waktu malam gelap itu. Menurut keterangan hwesio ahli racun, katak-katak
buduk hitam itu berkeliaran di waktu malam mencari mangsa. Berbeda dari
katak-katak biasa yang makan serangga biasa seperti semut, nyamuk dan
sebagainya, katak buduk hitam mencari makanan serangga berbisa dan suka sekali
makan binatang berbisa seperti kelabang, kalajengking, bahkan ular-ular kecil
yang berbisa. Hebatnya, katak ini tidak takut terhadap ular besar!
Menurut
hwesio itu, sukar menangkap anak-anak katak di waktu malam karena selain
katak-katak besar itu berkeliaran, juga amat berbahaya menangkap katak besar.
Anak anaknya di waktu malam bersembunyi di dalam goa-goa kecil atau celah-celah
batu, sukar ditemukan. Waktu yang tepat untuk menangkap adalah pada pagi hari
di waktu induk-induk katak memberi makan anak-anaknya di tepi rawa. Caranya
adalah dengan memberinya makanan yang dimuntahkan dari perutnya.
Karena itulah,
Hong Bwee lalu mencari tempat yang kering dan enak untuk melewatkan malam, tak
jauh dari rawa itu. Ia mengumpulkan rumput kering, menumpuknya di bawah
sebatang pohon. Kemudian ia mencari kayu kering dan membuat api unggun, bukan
untuk melawan dingin karena tubuhnya yang terlatih itu mampu menahan hawa
dingin mau pun panas, melainkan untuk mengusir nyamuk. Memang ia dapat
melindungi tubuhnya dari gigitan nyamuk, akan tetapi bunyi nyamuk di sekitar
telinga sungguh amat mengganggu dan membuatnya tidak dapat mengaso enak. Api
unggun akan membuat nyamuk-nyamuk itu menjauhkan diri karena panas dan asap.
Akan tetapi,
baru saja api unggun itu jadi, tiba-tiba ada angin menyambar kuat dan nyala api
itu padam! Padamnya api membuat bara api pada kayu-kayu itu mengeluarkan asap
yang memedihkan mata. Akan tetapi Hong Bwee segera maklum bahwa angin yang
menyambar tadi bukanlah angin biasa, melainkan angin pukulan yang datangnya
dari arah kiri, maka ia terkejut sekali dan cepat meloncat ke arah tempat itu.
Dan benar saja, di dalam cuaca remang-remang yang hanya diterangi oleh jutaan
bintang di langit, ia melihat sesosok tubuh seorang wanita tua yang agak
bongkok.
“Engkaukah
yang tadi memadamkan api unggunku?” tanya Hong Bwee ragu-ragu karena ia tidak
tahu pasti apakah benar nenek bongkok ini yang memadamkan api dari jauh
menggunakan angin pukulannya.
Nenek itu
agaknya melihat kelincahan Hong Bwee ketika meloncat, maka ia pun berkata
dengan suara membela diri, “Api itu akan menakutkan ular dan katak!”
Disebutnya
katak membuat hati dara ini tertarik sekali. Ia mendekat, namun sikapnya
waspada dan ternyata nenek itu menyembunyikan sebuah teng (lampu minyak) yang
tertutup kertas tipis merah sehingga lampu itu mengeluarkan cahaya kemerahan
yang cukup menerangi wajah nenek itu ketika ia mengeluarkan lampu dari balik
tubuhnya. Kini Hong Bwee dapat melihat bahwa biar pun tubuhnya agak bongkok,
ternyata wajah nenek ini menunjukkan tanda-tanda bahwa dahulu di waktu muda ia
tentu memiliki wajah yang cantik. Juga pakaiannya bersih dan rapi, rambutnya
disisir rapi.
“Nenek yang
baik, apa maksudmu dengan ular dan katak?”
“Hi-hik,”
nenek itu terkekeh. “Engkau melakukan perjalanan seorang diri dan berani tidur
di tepi rawa, tentu engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian lumayan.
Akan tetapi pernahkah engkau melihat betapa ular besar dibunuh seekor katak?
Aku sedang mengintai seekor ular besar dan tiba-tiba engkau di sini membuat api
unggun. Tentu saja ular dan kataknya akan ketakutan dan mana mungkin aku dapat
menangkap ular itu?”
“Ahh,
maafkan aku, nek. Aku ingin sekali melihat engkau menangkap ular.”
Hati Hong
Bwee tertarik sekali karena dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang
kang-ouw yang aneh dan berkepandaian tinggi. Hal ini terbukti dari keanehan
sikap, bicara dan perbuatannya seperti ketika dia memadamkan api unggun tadi.
“Kau mau
nonton? Heh-heh-heh, boleh sekali. Mari ikut aku.” Nenek itu membalikkan
tubuhnya dan berjalan berindap-indap. Hong Bwee yang merasa tertarik sekali
segera mendekati dan berjalan di dekat nenek itu.
“Engkau
melarang aku membuat api unggun, akan tetapi engkau sendiri membawa lentera,
apakah sinar lenteramu itu tidak akan menakutkan ular dan katak?”
“Heh-heh-heh,
lentera ini merah, tidak akan menakutkan mereka. Sssttt.... sekarang diamlah....”
Nenek itu
mendekati batu-batu besar di mana terdapat celah-celah dan ia mengeluarkan
sebuah kantung hitam dari punggunguya, di mana tergantung buntalan besar.
Kantong ini bergerak-gerak, tanda bahwa di dalamnya terdapat sesuatu yang
bernyawa. Ketika nenek itu meneteskan arak dari sebuah guci ke mulut kantong
hitam, terdengarlah bunyi “kok-kok-kok” keras sekali sehingga mengejutkan hati
Hong Bwee.
Akan tetapi
karena nenek ini sudah memberi tahu agar diam, Hong Bwee tidak berani membuka
mulut, hanya memandang penuh perhatian. Ia menujukan pandang matanya ke arah
mata nenek itu memandang, yaitu ke arah sebuah celah besar di antara batu-batu
hitam.
Dan
tiba-tiba saja terdengar bunyi berdesis, mula-mula perlahan, makin lama semakin
nyaring dan akhirnya dari celah-celah batu itu tersembul keluar sebuah kepala
ular yang besarnya sekepalan tangan. Kembali nenek itu meneteskan arak dan
kembali terdengar suara “kok-kok-kok” berkali-kali. Agaknya suara inilah yang
menarik perhatian ular itu. Binatang itu kini keluar dari dalam celah batu dan
ternyata tubuhnya sebesar betis orang dan panjangnya ada enam tujuh kaki!
Seekor ular kembang yang besar dan agaknya lapar.
Dengan
tangan kanannya, nenek itu memungut sebuah batu dan sekali tangan terayun, batu
itu meluncur dan memasuki celah tadi, menutupnya. Bidikannya demikian tepat
sehingga kembali Hong Bwee menyadari bahwa nenek ini memang lihai. Dan kini
nenek itu membuka mulut kantong hitam dan melemparkan isinya ke arah sang ular.
Kiranya isi
kantong itu adalah seekor katak buduk hitam yang besarnya tiga empat kali katak
biasa. Akan tetapi dibandingkan dengan ular itu, katak ini tentu saja amat
kecil dan sekali caplok tentu ular itu akan dapat melahapnya. Lemparan nenek
itu tepat pula. Katak terlempar dan terbanting ke atas kepala ular, membuat
kedua binatang itu terkejut dan segera bersiap siaga ketika saling berhadapan.
Agaknya sang ular menganggap bahwa ia memperoleh mangsa, sebaliknya katak itu
merasa berhadapan dengan seekor binatang yang menjadi musuh besarnya.
Hong Bwee
semakin tertarik. Ia tahu bahwa katak adalah satu di antara binatang yang
menjadi makanan ular. Akan tetapi ia sudah mendengar dari hwesio itu bahwa
katak buduk hitam demikian berbahaya dan lihainya sehingga berani melawan
seekor ular besar. Agaknya kini secara kebetulan ia akan menyaksikan
pertunjukan yang tak masuk akal itu.
Ular itu
memandang dengan mata beringas, mengangkat kepalanya dan mendesis-desis,
agaknya marah melihat sikap katak yang menantang. Memang katak itu bersikap
menantang, tubuhnya merendah, perutnya menempel tanah dan dari lehernya keluar
bunyi “kok-kok-kok!” nyaring sekali. Semua ini dapat dilihat jelas oleh Hong
Bwee, di bawah cahaya lentera merah yang agaknya tidak mengganggu kedua ekor
binatang yang sedang berlagak itu.
Tiba-tiba
ular itu menyerang. Kepala yang diangkat itu bergerak meluncur ke depan dengan
moncong terbuka, siap untuk mencaplok. Akan tetapi katak itu pun tiba-tiba
menggunakan kaki belakangnya yang besar dan kuat, mengenjot tubuhnya menubruk
ke depan, menyambut kepala ular dari samping dengan tak kalah cepat dan
kuatnya.
“Plokkk!”
Tubuh bagian
atas ular itu terpental dan ular itu kembali mengangkat kepala dan leher,
menggoyang-goyang kepala seperti mengusir rasa pening. Lalu dia mendesis dan
menyerang lagi. Kepalanya meluncur ke depan dengan moncong dibuka lebar hendak
mencaplok ke arah katak. Katak itu meloncat ke samping mengelak dan tiba-tiba
saja ia sudah melompat ke atas kepala ular itu dan menggigitnya.
“Bagus!”
Ganggananda memuji kagum.
Akan tetapi
ketika ular itu menggerak-gerakkan kepalanya untuk melepaskan diri dari
terkaman katak tanpa hasil, ia menggerakkan ekornya menghantam dari atas ke
arah katak di kepalanya. Katak itu amat cekatan dan cerdik sekali, cepat
mengelak dengan lompatan ke bawah.
“Tarrr!”
Ekor ular
itu melecut kepalanya sendiri! Kepalanya sudah terluka oleh gigitan katak, kini
masih dicambuknya sendiri membuat binatang itu merasa kesakitan dan makin
marah. Ia pun menyerang lagi dengan ganasnya. Serangan ini disambut oleh katak
buduk hitam dengan suara “kok-kok-kok!” dari mulutnya dan keluarlah uap hitam
disemburkan ke depan.
Agaknya sang
ular kebal terhadap racun katak, akan tetapi matanya terkena uap hitam,
sehingga menjadi nyeri dan ia pun menggoyang kepala dengan gelisah. Kesempatan
ini digunakan oleh katak hitam untuk meloncat dan menerkam lagi kepala ular,
menggigit tengkuk yang agaknya menjadi sumber utama kekuatan ular. Ular itu
mencoba untuk melepaskan diri dari gigitan. Akan tetapi tenaganya semakin lemah
dan tubuhnya berkelojotan.
Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangannya
dan kantong hitamnya sudah menubruk katak dan kepala ular. Sekali tangan
kirinya dibacokkan miring ke arah leher ular, terdengar suara keras dan leher
itu pun hancur dan putus! Dan kini kepala ular dan katak itu sudah masuk
kantong yang mulutnya cepat diikatnya kembali. Katak buduk hitam bergerak-gerak
di dalam kantong, lalu terdengar suara katak berkokok disusul suara
berkerotokan seolah-olah katak itu sedang menggerogoti tulang kepala ular.
Ganggananda bergidik ngeri.
Nenek itu
menyimpan kantongnya dalam buntalan, lalu menusuk ekor bangkai ular dengan kayu
yang ditancapkan pada akar pohon. Direntangnya bangkai itu dan ia pun merobek
perut ular menggunakan kuku jari telunjuknya dan semua isi perut ular itu pun
dikeluarkan. Ganggananda memandang heran.
Nenek itu
mengangkat muka memandang dan terkekeh. “Apakah engkau tidak merasa lapar,
orang muda?”
“Kalau lapar
mengapa, nek?” Ganggananda bertanya, tertegun mendengar pertanyaan aneh itu.
“Hi-hik,
orang muda yang bodoh. Ular ini adalah ular kembang. Dagingnya gurih dan manis,
pula menguatkan otot-otot kaki, berguna bagi perantau-perantau seperti kita
yang suka berjalan kaki dan melakukan perjalanan jauh. Nah, sekarang buatlah
api unggun, biar kupanggang daging ini dan nanti kita makan sambil
bercakap-cakap.”
Ganggananda
dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang nenek yang luar biasa dan
berilmu tinggi, dan yang dia yakin tentu tahu banyak tentang katak buduk hitam
yang amat dibutuhkan itu. Maka dia pun tidak mau membantah. Nenek ini harus
dibaiki, pikirnya, sehingga dia tentu dapat mengharapkan bantuan nenek ini
untuk memperoleh obat bagi Ciang Bun.
Segera dia
membuat api unggun yang cukup besar, bahkan membantu nenek itu ketika mulai
memanggang daging ular yang sudah dikuliti dan dipotong-potong itu. Ternyata
dagingnya putih bersih dan ketika dipanggang terciumlah bau sedap, apalagi
karena nenek itu agaknya sudah membawa bekal bumbu. Terciumlah bawang dan garam
yang membuat daging itu berbau sedap.
Ketika nenek
itu mengajak Ganggananda makan, gadis yang menyamar pemuda ini pun tidak
menolak. Dan ternyata bahwa memang daging ular panggang itu lezat sekali! Nenek
itu pun mengeluarkan seguci arak sehingga lengkaplah kini hidangan mereka.
Tanpa banyak cakap mereka makan dan nenek itu lahap sekali. Daging panggang itu
diganyangnya panas-panas.
Setelah
daging ular itu habis, barulah nenek itu bicara. “Orang muda, engkau seorang
diri saja di tempat sunyi yang amat berbahaya ini, sebetulnya bermaksud
apakah?”
“Nenek yang
baik, memang ada kepentingan yang amat mendesak sehingga aku berada di tepi rawa
ini, dan pertemuanku denganmu ini sungguh menggembirakan karena aku yakin bahwa
engkau akan dapat membantuku sehingga aku akan berhasil dalam tugasku.”
Nenek itu
mengerutkan alisnya dan terkena cahaya api unggun, wajahnya nampak kemerahan.
Akan tetapi wajah itu tidak mengerikan, bahkan sebaliknya, wajah itu jelas
membayangkan bahwa nenek itu amat cantik di waktu mudanya. “Kepentingan? Tugas?
Tugas apakah itu yang membawamu ke tepi rawa ini?”
“Aku harus
mencarikan obat untuk orang yang keracunan pukulan Hoa-mo-kang....”
“Ihh! Su-ok
sudah lama mampus dan pukulan jahat itu dibawanya mati. Siapa yang mampu
melukai orang dengan pukulan Hoa-mo-kang?”
“Entahlah.
Pokoknya, seorang sahabat baikku sudah terkena pukulan itu dan menurut
keterangan tabib yang ahli, obatnya harus dicari di tempat ini.”
“Katak buduk
hitam?”
“Benar, nek,
karena itu aku mengharapkan bantuanmu.”
“Engkau
takkan berhasil!”
“Kenapa
tidak? Menurut keterangan ahli itu, besok pagi aku akan dapat menangkap
anak-anak katak di tepi rawa, ketika sedang diberi makan induknya.”
“Hi-hik,
engkau tolol!”
Ganggananda
mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menahan kemarahannya. “Hemm, mungkin juga,
akan tetapi mengapa engkau menyebutku tolol? Dalam hal apa?”
“Engkau
takkan berhasil, tidak mungkin berhasil karena kini belum waktunya terdapat
anak-anak katak. Tiga bulan lagi mungkin ada karena sekarang belum waktunya
katak-katak itu bertelur. Yang ada hanyalah katak-katak buduk hitam besar dan
engkau takkan mampu menangkap mereka.”
“Ahh....!”
Ganggananda terkejut dan bingung, mukanya berubah pucat. “Lalu bagaimana
baiknya? Sahabatku itu akan mati kalau selama tiga hari tidak memperoleh obat itu,
nek.”
“Mengobati
pukulan beracun Hoa-mo-kang dengan anak-anak katak memang tepat dan manjur
sekali, akan tetapi tidak praktis. Aku mempunyai pel-pel racun katak buduk yang
jauh lebih mudah ditelan, juga hanya menelan berturut-turut tiga butir saja sudah
akan menyembuhkan, tak perlu menghancurkan belasan ekor anak katak untuk
diminumkan airnya. Ihh, kejam membunuhi begitu banyak anak katak.”
“Nenek yang
baik, kau tolonglah aku. Tolonglah sahabatku itu dan aku mohon kau suka memberi
pel-pel itu kepadaku.”
Nenek itu
memandang tajam. “Hemm, di dunia ini memang harus tolong-menolong. Kalau
menolong sepihak saja tentu tidak mungkin. Aku mau menolongmu, akan tetapi ada
syarat-syaratnya, orang muda.”
“Apa
syarat-syarat itu, nek?”
“Pertama,
engkau harus dapat mengalahkan aku, dan ke dua engkau harus dapat membantuku
menghadapi musuh besarku.”
Ganggananda
mengerutkan alisnya. Menandingi nenek ini merupakan hal yang berat, karena dia
dapat menduga bahwa nenek ini tentu lihai sekali. “Nek, untuk menghadapi musuh
bersama, aku mau membantu asal kau katakan terlebih dulu mengapa engkau
memusuhinya. Akan tetapi apa perlunya aku harus menandingimu lebih dulu?”
“Heh-heh,
kalau mengalahkan aku saja engkau tidak mampu, lalu apa perlunya engkau
membantuku? Musuhku itu jauh lebih lihai dari pada aku. Kalau aku sendiri mampu
mengalahkannya, apa perlunya minta bantuan orang lain?”
“Ah,
begitukah?” Jantung Ganggananda berdebar tegang.
Nenek ini
saja dia duga tentu sudah amat lihai, kalau musuhnya itu lebih lihai, wah,
tugasnya sungguh tidak ringan. “Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengira
bahwa aku memiliki kepandaian silat, nek? Aku hanya seorang perantau yang tidak
berilmu, mana bisa menandingimu?”
“Heh-heh,
orang muda, jangan engkau mencoba untuk membodohi aku. Seorang muda seperti
engkau ini sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri, apalagi berani
bermalam di tepi rawa berbahaya ini seorang diri, bahkan bertugas mencari katak
buduk hitam, mana mungkin berani kalau tidak memiliki kepandaian lihai?”
“Mungkin aku
pernah melakukan sedikit latihan silat, akan tetapi bagaimana akan dapat
menandingimu? Engkau yang selihai ini saja tak mampu mengalahkan musuh besarmu
itu, apalagi aku. Sudahlah, nek, lebih baik engkau berbaik hati memberi pel
obat itu kepadaku dan hal itu berarti engkau telah berjasa besar menyelamatkan
nyawa orang dari cengkeraman maut.”
“Enak saja
kau bicara. Orang hidup harus saling menolong! Sebetulnya, dalam ilmu silat dan
tenaga, aku tidak kalah oleh musuhku itu, hanya aku kewalahan dan selalu kalah
karena dia memiliki ginkang yang amat tinggi. Dia terlampau cepat bagiku.”
“Ginkang?”
Ganggananda bertanya dan sinar harapan muncul di dalam hatinya. “Jadi aku harus
memiliki ginkang yang lebih tinggi darinya?”
“Setidaknya,
harus setingkat agar engkau mampu membantuku.”
Ganggananda
mengangguk. “Baiklah, nek, aku hendak mencoba. Bagaimana kalau kita berlomba
memetik bunga putih di puncak pohon di depan itu?”
Biar pun
malam itu hanya diterangi sinar bintang-bintang yang remang-remang, akan tetapi
bunga-bunga putih bergerombol di puncak pohon tinggi di depan itu mudah dilihat
karena menyolok warna putihnya di antara daun-daun yang nampak hitam.
Nenek itu
mengangkat muka memandang. “Setinggi itu? Kita berlomba memanjat dan
memetiknya?”
“Dengan
ginkang, tentu akan dapat dilakukan dengan cepat, berloncatan dari cabang ke
cabang.”
“Baik, nah,
mari kita siap. Aku menghitung sampai tiga dan kita berlomba.” Nenek itu
berkata dengan suara girang karena ia mulai memperoleh harapan. Kalau pemuda
ini sanggup bertanding ginkang, berarti pemuda ini memiliki ilmu kepandaian
tinggi yang boleh diharapkan akan dapat membantunya sampai ia berhasil
menghadapi lawannya yang tangguh.
Mereka
berdiri dan nenek itu menghitung “Satu.... dua.... tiga....!”
Dan
melesatlah tubuh nenek itu ke depan karena dia sudah mengerahkan seluruh
tenaganya untuk meloncat dan berlari ke arah pohon itu. Ia hanya melihat
bayangan berkelebat di sampingnya dan tahu-tahu ia melihat pemuda itu sudah
tiba di pohon, padahal ia sendiri masih jauh dari tempat itu.
Ketika ia
melihat betapa tubuh pemuda itu berloncatan tinggi sekali, kemudian seperti
burung terbang atau seekor tupai berloncatan dari cabang ke cabang, maklumlah
dia bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat. Maka ia pun tidak melanjutkan
larinya, melainkan menonton saja dari bawah, melihat betapa pemuda itu dengan
cepat sekali telah memetik bunga, lalu dari atas meloncat turun, bahkan
melayang tanpa melalui cabang-cabang pohon lagi ke atas tanah, hinggap di tanah
sedemikian ringannya bagai sehelai daun kering melayang, kemudian melesat ke
dekat api unggun kembali.
“Hebat....
engkau telah mengalahkan aku....!” Nenek itu berkata sambil berlari menyusul.
Wajahnya berseri gembira. “Engkau.... kiranya engkau lihai sekali, engkau tentu
akan dapat mengalahkan ginkang-nya! Engkau bantulah aku, orang muda, dan kalau
aku sudah berhasil membunuhnya, engkau akan kuberi tiga butir pel racun katak
buduk hitam untuk menyembuhkan sahabatmu.”
“Nanti dulu,
nek. Aku bukan tukang pukul yang suka membantu orang membunuh orang lain begitu
saja. Aku hanya mau membantu orang tertindas, bukan membantu orang melakukan
kejahatan atau berbuat sewenang-wenang. Ceritakan dulu, siapakah musuh besarmu
itu dan kenapa engkau hendak membunuhnya?”
“Aha,
ternyata engkau berjiwa pendekar, ya? Bagus, memang aku mencari bantuan dari
pendekar, bukan dari kaum sesat. Orang muda, siapakah namamu dan siapa gurumu
maka engkau dapat memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya?”
“Namaku
Ganggananda, nek.”
“Ha, orang
Nepal?”
“Bukan,
orang Bhutan. Dan yang mengajarkan sedikit ilmu silat kepadaku adalah ayah
bundaku sendiri,” kata Ganggananda cepat dan segera menyambungnya karena ia
tidak suka banyak cerita tentang keluarganya, tidak suka diketahui orang bahwa
ia adalah keluarga Raja Bhutan. “Sekarang ceritakanlah, nek, agar supaya aku
dapat mengambil keputusan apakah aku akan membantumu atau tidak.”
“Baik,
dengarkanlah ceritaku. Puluhan tahun yang lalu, ketika usiaku baru tiga puluh
tahun lebih, aku hidup sebagai isteri seorang pendekar dan tinggal di selatan.
Pada suatu hari datanglah seorang sahabat suamiku bertamu di rumah kami. Dia
amat tampan dan gagah, pandai merayu dan aku pun jatuh oleh rayuannya.”
Nenek itu
menarik napas panjang dan Ganggananda memandang penuh perhatian, merasa
tertarik sekali. Tak disangkanya bahwa nenek ini mempunyai riwayat yang
demikian romantis, akan tetapi juga penuh aib. Seorang isteri jatuh hati kepada
sahabat suaminya sendiri?
“Aku jatuh
hati benar olehnya dan lupa daratan sehingga aku pun rela menyerahkan diri kepadanya,
menyambut uluran cintanya. Akhirnya, hal ini diketahui oleh suamiku. Kami
tertangkap basah. Tentu saja suamiku marah dan sahabat itu diserangnya.
Terjadilah perkelahian seru. Ilmu kepandaian sahabat itu amat tinggi dan kalau
dia mau, dengan mudah dia akan dapat membunuh atau mengalahkan suamiku, akan
tetapi sahabat itu juga seorang pendekar gagah. Dia merasa bersalah, maka dia
pun hanya melindungi diri saja tanpa mau membalas. Melihat ini, aku berpikir.
Kalau sampai aku harus kembali pada suamiku, tentu suamiku akan membenciku,
bahkan mungkin akan membunuhku, setidaknya menceraikan aku. Sudah kepalang
bermain air sampai basah, lebih baik menyelam saja sekali, pikirku. Maka aku
pun membantu kekasihku itu dan karena kesalahan tangan, suamiku roboh dan tewas
oleh sahabatnya. Inilah yang kukehendaki agar aku dapat terlepas dari suamiku
dan selanjutnya hidup bersama pria yang telah menjatuhkan hatiku itu.”
Ganggananda
mengerutkan alisnya. “Ahhh, engkau kejam terhadap suamimu, nek,” celanya.
“Tidak,
bukan kejam. Sejak menikah, pilihan orang tua, aku tidak pernah cinta suamiku.
Dan aku sudah jatuh hati kepada orang she Bu, sahabat suamiku itu. Dan aku pun
bukan turun tangan membunuh suamiku, melainkan hanya membantu sahabat itu,
terutama sekali untuk membuka mata suamiku bahwa aku berpihak kepada kekasihku,
juga membuka mata kekasihku agar dia tahu bahwa aku bersedia membantunya dan
ikut dengannya. Akan tetapi terjadi kesalahan tangan sehingga suamiku roboh dan
tewas.”
“Hemm, lalu
bagaimana?” Ganggananda bertanya tidak puas. Dia sudah memperoleh gambaran
bahwa nenek ini dan orang she Bu itu keduanya adalah orang-orang yang tidak
baik! “Setelah suamimu tewas, engkau lalu hidup bersama orang itu?”
Nenek itu
mengepal tinju tangan kanannya dan mengacungkannya ke atas. “Itulah yang
membuat aku sakit hati, mendendam dan harus membunuhnya! Dia menolakku. Dia
merasa menyesal sekali telah kesalahan tangan membunuh suamiku dan dia bahkan
menyalahkan aku, memaki aku bahwa akulah yang menyebabkan sahabatnya tewas!”
Diam-diam
Ganggananda mentertawakan nenek itu dan dalam hatinya berbisik, “Puas! Rasakan
engkau!” akan tetapi mulutnya diam saja.
“Aku telah
memohon, membujuk dan menangis, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menerimaku
dan meninggalkan aku. Tentu saja aku merasa sakit hati sekali. Aku memperdalam
ilmuku dan mencarinya, menyelidiki siapa sebenarnya kekasihku itu yang belum
kukenal baik karena baru pertama kali itulah aku bertemu dengan dia. Kemudian
aku mendengar bahwa kiranya dia itu memang seorang laki-laki yang terkenal
sebagai tukang mempermainkan wanita! Dengan modal kegagahannya, ketampanannya
dan kepandaiannya yang tinggi, dia merayu dan menjatuhkan hati banyak wanita,
tidak peduli masih gadis, isteri orang, muda atau tua. Orang she Bu yang di dunia
kang-ouw terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu ternyata adalah seorang perayu
dan lelaki gila perempuan!”
Ganggananda
tidak pernah mendengar nama Bu-taihiap ini dan hatinya sudah merasa semakin
tidak suka kepada laki-laki itu. Kini dia pun dapat membayangkan bahwa bukan
semata kesalahan nenek ini kalau sampai menyeleweng, akan tetapi terutama
karena pandainya orang she Bu itu merayu wanita sehingga nenek ini pernah
tergelincir.
“Aku
berusaha menemuinya dan minta pertanggungan jawabnya. Aku hidup sebatang kara
setelah suamiku meninggal dunia, dan hanya dia satu-satunya orang yang menjadi
harapanku. Akan tetapi, dia tetap marah-marah kepadaku dan mengusirku. Aku
bahkan berusaha untuk menyerangnya, akan tetapi selalu aku kalah olehnya.”
Ganggananda
merasa bingung. Dia merasa tidak tahu bagaimana dia harus bersikap menghadapi
urusan itu. Dia ingin mendengarkan terus.
“Puluhan
tahun aku menekan dendam ini. Aku bertapa, berkelana mencari guru-guru dan
belajar silat dengan tekun dan mati-matian sampai akhirnya aku bisa mengimbangi
tingkat musuh besarku itu. Akan tetapi, aku masih kalah dalam ginkang sehingga
masih sukarlah bagiku untuk mencapai kemenangan. Maka, aku minta bantuanmu.”
“Hemm, tidak
begitu mudah, nek. Aku hanya memiliki waktu tiga hari untuk mengobati
sahabatku, dan sekarang sudah lewat sehari. Tinggal dua hari lagi. Kalau
terlambat, sahabatku akan tewas. Jadi waktuku untuk membantumu hanya ada sehari
saja, karena pada hari ke tiga harus kupergunakan untuk berlari cepat kembali
ke kota raja.”
“Cukup,
engkau tidak akan terlambat kalau sekarang juga kita berangkat. Kebetulan
musuhku itu berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini. Dia senang
melakukan perjalanan dan si bedebah itu membawa ketiga orang isterinya!”
“Tiga....?”
“Itu yang
resmi menurut penyelidikanku. Di mana-mana dia mempunyai kekasih yang
ditinggalkan begitu saja seperti aku. Mereka itu tidak berdaya menuntut, tidak
mampu melawan. Dan sampai sekarang pun, si tua bangka itu masih saja suka
merayu dan mempermainkan wanita-wanita muda.”
“Dia tentu
sudah tua sekali!”
“Sedikitnya
enam puluh lima tahun usianya, akan tetapi dia masih.... gagah dan tampan.
Marilah, mari kita berangkat. Pada besok pagi-pagi kita sudah dapat tiba di
tempatnya.”
“Tapi obat
itu....”
Nenek itu
mengeluarkan tiga butir pel dari dalam sebuah botol. “Inilah obatnya, akan
tetapi kusimpan dulu sampai selesai tugas kita. Mari!” Dan nenek itu pun sudah
lari meninggalkan tempat itu, seolah-olah tidak memberi kesempatan kepada
Ganggananda untuk membantah lagi.
Dara yang
menyamar pria ini terkejut. Satu-satunya harapan untuk bisa menyelamatkan nyawa
Ciang Bun adalah nenek itu. Dia pun cepat menyambar buntalan pakaiannya dan
meloncat, berlari mengejar. Karena memang ginkang dari Ganggananda amat hebat,
sebentar saja nenek itu sudah tersusul. Mereka turun dari lembah dan perjalanan
itu melalui tanah datar, menuju ke sebuah bukit yang banyak batu-batu besarnya.
Kini
perjalanan mendaki dan agak sukar, dan karena malam itu hanya diterangi
bintang-bintang, cuaca suram muram, maka perjalanan dilanjutkan dengan jalan
kaki, tidak dapat berlari cepat lagi. Kesempatan ini digunakan oleh Ganggananda
untuk mencari keterangan lebih lanjut.
Nenek itu
memperkenalkan diri sebagai Gan Cui. Akan tetapi ketika ditanya tentang keadaan
Bu-taihiap, ia tidak mau banyak bicara, hanya mengatakan bahwa Bu-taihiap
adalah seorang laki-laki yang gila perempuan.
Kalau saja
Ganggananda tahu siapa adanya Bu-taihiap, tentu dia akan terkejut sekali karena
Bu-taihiap yang dianggap musuh besar oleh nenek Gan Cui sebetulnya adalah
seorang pendekar sakti yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai
seorang datuk yang berilmu tinggi. Didalam Kisah ‘Suling Emas Naga Siluman’
banyak diceritakan tentang pendekar ini.
Bu-taihiap
bernama Bu Seng Kin. Memang dia terkenal sebagai seorang pria yang ganteng,
tampan dan gagah dan pandai sekali merayu wanita. Memang dia romantis sekali,
dan tidak aneh kalau disebut gila perempuan karena dia jarang mau melepaskan
kesempatan untuk menggoda dan merayu setiap kali bertemu wanita cantik. Entah
berapa ratus wanita cantik yang sudah jatuh oleh rayuannya, menjadi kekasihnya.
Bahkan
isterinya pun banyak, di antaranya yang terus mendampinginya sampai tua adalah
Tang Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li, tokoh Lembah Suling Emas yang kini
berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, karena nyonya ini tadinya adalah
isteri seorang di antara tokoh keluarga Cu, yaitu mendiang Cu San Bu. Begitu
bertemu dengan Bu-taihiap, nyonya ini pun dirayu dan jatuh. Dan akhirnya nyonya
ini pun mencari Bu-taihiap dan ikut mendampinginya.
Ada pula
yang bernama Gu Cui Bi, seorang nikouw! Nikouw yang sudah jatuh pula ini pun
mendampingi suaminya yang bangor. Yang ke tiga adalah Nandini, seorang wanita
Nepal, bukan sembarang orang karena wanita ini pernah menjadi panglima Nepal.
Tiga orang isteri yang mendampinginya di hari tua ini rata-rata memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Nenek Gan
Cui adalah satu di antara ratusan orang wanita yang jatuh oleh rayuannya,
kemudian ditinggalkannya begitu saja. Tidak mengherankan jika nenek itu tidak
pernah berhasil membalas dendam, karena yang dihadapinya adalah seorang
pendekar sakti yang amat terkenal. Kalau dahulu di waktu mudanya Bu-taihiap
tinggal di Puncak Merak Emas di Pegunungan Himalaya, kini ia lebih suka
merantau di seluruh daratan bersama tiga orang isterinya. Karena mereka kini
sudah tua, sudah rata-rata enam puluh tahun usianya, maka kalau mereka
memperoleh tempat yang indah menyenangkan, mereka tinggal di tempat itu untuk
sementara. Setelah bosan lalu berangkat merantau lagi.
Dan pada
waktu itu, Bu-taihiap dan tiga orang isterinya tinggal untuk sementara di bukit
berbatu-batu itu. Bukit itu puncaknya ternyata datar dan indah, penuh dengan
pohon bunga yang aneh-aneh dan yang jarang terdapat di daerah lain. Di tempat
ini Bu-taihiap membangun sebuah pondok kayu yang cukup besar dengan beberapa
buah kamar untuk dirinya dan tiga orang isterinya.
"Nenek
Gan, engkau sendiri yang begini pandai tidak mampu mengalahkan Bu-taihiap, lalu
bagaimana seorang muda seperti aku akan mampu mengalahkannya. Aku harus tahu
diri, dan kalau aku disuruh menghadapi seorang yang ilmunya jauh lebih tinggi
dariku, bukaukah itu berarti aku akan mati konyol dan akan bunuh diri?”
“Heh-heh,
aku tidak setolol itu. Aku sudah mengenal wataknya. Selain mata keranjang,
manusia she Bu itu pun tinggi hati dan angkuh sekali. Dia tidak pernah mau
kalah dalam ilmu kepandaian. Maka, aku akan menemuinya dan menantang kepadanya
untuk mengadu ilmu ginkang. Karena ilmu itu merupakan andalan dan
kebanggaannya, tentu dia dengan girang menerimanya dan aku akan mengajukan
engkau sebagai jagoku. Dan kalau dia sampai kalah, heh-heh, selain dia harus
memenuhi janji, juga dia akan malu setengah mati. Dia, Bu-taihiap jagoan
terkenal itu, jagoan perempuan, akhirnya harus mengaku kalah oleh seorang
wanita!”
Ganggananda
terkejut sekali dan cepat ia agak menjauh dan menghentikan langkah, memandang
nenek itu dengan mata terbelalak. “Apa maksudmu, nek?”
“Hi-hik,
antara kita sama-sama wanita, tentu engkau berpihak padaku dari pada laki-laki
gila perempuan itu, bukan?”
“Bagaimana
engkau bisa tahu, nek?” Ganggananda bertanya penasaran.
Selama ini,
penyamarannya dapat dibilang sempurna sehingga belum pernah ada orang yang
dapat mengenalnya sebagai wanita. Akan tetapi nenek ini yang sejak tadi tidak
memperlihatkan sikap bahwa ia tahu akan keadaan dirinya, menyebutnya orang
muda, bagaimana tiba-tiba kini mengatakan bahwa ia seorang wanita?
“Ah, apa
sukarnya bagiku! Penyamaranmu memang baik dan engkau seorang ahli pula dalam
hal itu. Akan tetapi terhadap ketajaman penciumanku, mana mungkin engkau mampu
menyembunyikan atau merubah bau khas seorang wanita? Dengan ketajaman hidungku,
aku dapat mencium bau binatang-binatang berbisa dari jarak jauh. Ular itu pun
dapat kucium walau pun dia bersembunyi di dalam lubang, bukan? Dan semenjak
pertemuan pertama, baumu sebagai wanita sudah pula tercium olehku. Dan karena
engkau seorang wanita pulalah yang mendorongku untuk minta bantuanmu. Wanita
mana pun akan membenci pria yang suka mempermainkan wanita.”
Ganggananda
atau Gangga Dewi atau yang biasa disebut Gangga saja, menarik napas panjang dan
diam-diam dara ini kagum terhadap nenek yang selain lihai juga memiliki
ketajaman penciuman yang istimewa itu. “Engkau benar, nek. Aku adalah seorang
gadis. Akan tetapi merantau seorang diri dalam dunia yang begini kotor dan
penuh dengan orang jahat....”
“Memang
tepat menyamar sebagai pria agar lebih aman, apalagi kalau bertemu dengan
laki-laki jahat dan gila perempuan macam Bu-taihiap, sungguh tidak aman sekali
bagi seorang wanita yang muda lagi cantik seperti engkau.”
Pada
keesokan harinya, ketika matahari telah menyinari permukaan bumi, membuat
bayangan panjang dan masih lemah, tibalah nenek Gan Cui dan Gangga di depan
sebuah pondok kayu yang berada di tanah datar puncak bukit itu. Rumah itu
terpencil, sederhana dan keadaan sekeliling tempat itu sunyi namun indah.
Memang indah pemandangan alam di tempat itu.
Dari puncak
ini nampak bumi terhampar luas, sinar matahari tak terhalang apa pun dan tanah
di puncak itu sendiri amat subur, penuh dengan tanaman bunga dan tanaman obat.
Akan tetapi tidak nampak seorang pun manusia, seolah-olah pondok itu kosong.
Hal ini mulai dikhawatirkan Gangga. Kalau pondok itu kosong, berarti usaha
mereka gagal dan bagaimana nenek itu akan mau memberikan obat yang amat
dibutuhkan Ciang Bun? Akan tetapi, nenek itu tidak nampak khawatir seperti
Gangga. Ia kelihatan tegang dan siap, maju menghampiri pondok dari depan.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang yang muncul dari sebelah kiri pondok dan ternyata ia
adalah seorang nenek yang usianya tentu sudah lima puluh lima tahun kurang
lebih, namun masih nampak bekas kecantikannya. Nenek ini memakai pakaian mewah,
tubuhnya masih ramping dan padat dan gerakannya gesit. Wajahnya yang cantik dan
terawat baik itu membayangkan kegalakan dengan sinar matanya yang tajam.

Sebatang
pedang yang tergantung di punggungnya menandakan bahwa nenek ini adalah seorang
ahli silat dan hal ini pun kentara dari gerakannya ketika berkelebat datang
tadi. Kini ia sudah berdiri di depan Gan Cui dan Gangga, sejenak memandang
tajam penuh selidik, kemudian tersenyum mengejek menatap wajah nenek Gan Cui.
“Hemm,
perempuan tak tahu malu. Engkau masih berani merangkak datang lagi setelah
berkali-kali kalah oleh suamiku?” kata wanita itu dengan suara mengejek.
Wanita ini
adalah seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap dan dialah yang memiliki
tingkat kepandaian paling tinggi. Ia adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu,
janda tokoh keluarga Lu yang tergila-gila kepada Bu-taihiap dan kini menjadi
seorang di antara isteri-isterinya yang selalu mendampingi pendekar petualang
asmara itu.
Disambut
dengan ucapan keras itu, nenek Gan Cui tetap tenang saja. Agaknya ia tidak mau
ribut dengan para isteri Bu-taihiap karena urusannya adalah urusan pribadi,
antara ia dan pendekar itu sendiri. Kalau sampai ia melibatkan
isteri-isterinya, terlalu berat dan berbahaya baginya, karena ia pun maklum betapa
lihainya para isteri Bu-taihiap. Maka, ia pun hanya memandang tajam dan
berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan orang she Bu. Dan sekali ini aku
tidak akan gagal.”
“Kami sudah
tahu akan kedatanganmu dan kami sudah siap menyambutmu. Marilah masuk dan
langsung saja ke ruangan belakang di mana suami kami telah menantimu,” kata
nyonya itu yang segera membalikkan tubuhnya masuk ke dalam pondok.
Nenek Gan
Cui mengikutinya tanpa ragu-ragu, sedikit pun tidak kelihatan takut, padahal
Gangga mempunyai perasaan seperti memasuki goa naga atau sarang harimau. Bagai
mana takkan merasa ngeri memasuki rumah orang yang dianggap musuh? Dan melihat
sikap gagah nyonya rumah itu, ia pun merasa semakin ngeri. Ia sudah dapat
menduga, dari langkah kaki nyonya tua itu, bahwa nyonya itu tentu lihai sekali,
apalagi telah berani bersikap memandang rendah seperti itu terhadap seorang
nenek seperti Gan Cui.
Ruangan
belakang itu ternyata cukup luas dan dinding belakangnya tidak ada, terbuka
menembus ke taman bunga di belakang. Hawanya sejuk sekali di ruangan itu. Di
ruangan ini nampak duduk seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh
tahun lebih, dan di sebelah kirinya duduk dua orang wanita.
Kakek itu
bertubuh tegap dan wajahnya yang sudah mulai dibayangi ketuaan usianya itu
masih nampak amat tajam dan ganteng, dengan kulit mukanya yang bersih
kemerahan. Alisnya yang tebal dan pandang matanya yang demikian tenang dan
penuh pengertian, mulutnya selalu tersenyum dan tahulah Gangga mengapa pria ini
banyak digandrungi wanita. Senyumnya itu! Sungguh merupakan senyum yang sangat
melumpuhkan. Dan sepasang matanya juga begitu hidup seolah-olah dia dapat
menyatakan isi hatinya melalui pandang mata dan senyumnya.
Kedua orang
wanita itu pun cantik-cantik. Yang seorang memakai penutup kepala pendeta,
berjubah seperti seorang nikouw, wajahnya putih bundar, mulutnya kecil dan ia
nampak manis sekali walau pun usianya juga sudah lima puluh tahun lebih. Wanita
ke dua juga beberapa tahun lebih tua, akan tetapi wanita ini jelas bukan orang
Han. Sekali pandang saja tahulah Gangga bahwa wanita itu adalah seorang wanita
berbangsa India atau Nepal, tubuhnya kecil jangkung, hidungnya mancung dan
matanya hitam tajam sekali, sikapnya ketika duduk itu membayangkan kegagahan.
Kedua orang
nenek ini adalah dua orang isteri Bu-taihiap di samping Cui-beng Sian-li Tang
Cun Ciu yang menyambut tamu tadi. Yang seorang adalah Gu Cui Bi yang pernah
menjadi nikouw dan sampai sekarang tidak pernah mengganti jubah nikouwnya dan
selalu menutupi kepalanya dengan penutup kepala para nikouw. Ada pun yang ke
dua adalah Nandini, puteri Nepal yang pernah memimpin pasukan Nepal sebagai
panglima yang gagah perkasa. Dua orang wanita ini duduk dengan anteng, hanya
pandang mata mereka menyambut munculnya nenek Gan Cui dan Gangga dengan sikap
memandang rendah. Tanpa bicara apa pun, Tang Cun Ciu juga duduk di kursi
pertama di sebelah kiri suaminya.
Kini
Bu-taihiap memandang nenek Gan Cui sambil tersenyum. “Adik Cui, engkau baru
datang? Apakah sekali ini engkau datang untuk menerima usulku dan menghabiskan
sisa hidup bersama kami? Agaknya engkau membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
mengambil keputusan yang amat baik itu.”
“Orang she
Bu! Jangan engkau mimpi bahwa aku akan mengalah begitu saja! Aku datang untuk
menantangmu!”
Pendekar itu
menarik napas panjang dan masih tersenyum, menoleh kepada tiga orang isterinya
dan berkata lirih, “Lihat, ia ini sungguh memiliki hati yang keras seperti
baja!”
Ucapan itu
bukan memburukkan, bahkan lebih condong memuji. Tiga orang wanita di sampingnya
hanya melirik. Melihat cibiran bibir mereka menunjukkan bahwa ketiganya merasa
tidak puas dengan ucapan ini dan di dalam hati mereka mengejek, walau pun tidak
sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Gangga melihat semua ini dan
diam-diam dara ini tertarik sekali. Sebuah keluarga yang aneh, pikirnya, juga
penuh diliputi sikap gagah.
Kini
Bu-taihiap memandang kepada Gan Cui, masih terus tersenyum. “Adik Cui, kiranya
selama tiga tahun ini tidak jumpa, engkau terus menghimpun kekuatan untuk
berusaha menantangku kembali? Hemm, engkau menantangku? Ingat baik-baik,
tidaklah mudah mengalahkan ilmuku dan andai kata aku kewalahan menghadapimu,
tentu tiga orang isteriku ini tak akan tinggal diam. Apakah engkau mampu
menghadapi kami berempat?”
“Boleh!
Kalau kalian begitu tidak tahu malu untuk mengeroyokku, aku pun tidak takut!”
“Bukan
mengeroyok, akan tetapi sebagai isteri, tak mungkin mendiamkan saja suaminya
terancam bahaya. Sudahlah, kenapa engkau tidak mau menempuh jalan damai saja?”
“Orang she
Bu, aku datang bukan untuk mendengar ocehan dan rayuanmu, Pendeknya, sekali ini
aku datang untuk menantangmu mengadu ilmu ginkang. Kalau aku kalah, aku akan
pergi dan takkan mengganggumu lagi. Akan tetapi kalau engkau kalah, engkau
harus memenuhi tuntutanku!”
“Wah,
tuntutanmu itu tidak masuk akal, adikku yang manis! Mereka bertiga ini adalah
isteri-isteriku yang setia, mana mungkin harus kutinggalkan begitu saja agar
aku dapat hidup berdua saja denganmu? Sebaiknya kalau engkau tinggal bersama
kami, hidup aman dan damai bersama kami....”
“Tidak!
Tidak sudi aku kalau cintamu dibagi-bagi!”
“Siapa yang
membagi-bagi? Cinta tak mungkin dibagi-bagi. Aku cinta pada mereka, aku cinta
kepadamu seperti cinta kepada banyak orang lain lagi. Kalau aku menghadapimu,
aku mencintamu sepenuhnya, demikian pula kalau aku menghadapi seorang di antara
mereka. Marilah, adikku, untuk apa kita bersitegang? Kita sudah tua, tinggal
menikmati hidup tenteram beberapa tahun lagi saja.” Pendekar itu sungguh pandai
merayu dengan suara halus dan pandang mata demikian lembut, senyumnya tak
pernah meninggalkan bibirnya.
Dan Gangga
yang mendengarkan percakapan itu diam-diam terkejut bukan main. Bagai mana pula
ini? Pendekar itu dengan baik-baik membujuk nenek Gan Cui untuk hidup bersama
dia dan isteri-isterinya, tapi sebaliknya nenek ini ingin Bu-taihiap
meninggalkan isteri-isterinya yang lain agar supaya dapat hidup berdua saja
dengannya, agar ia dapat memonopolinya? Mulailah kini dia mengerti dan dia
meragukan kebenaran nenek yang dibantunya.
“Cukup semua
kata-kata itu! Berani atau tidak engkau menerima tantanganku mengadu ginkang?
Kalau tidak berani engkau harus memenuhi tuntutanku dan mengaku kalah!”
Tiba-tiba
pendekar itu tertawa dan begitu dia tertawa, dia nampak jauh lebih muda dari
pada usianya. Dan memang dia masih ganteng!
“Ha-ha-ha,
engkau lucu, adik Cui. Engkau tahu bahwa dalam hal ginkang, engkau kalah jauh
dari aku. Biar engkau belajar puluhan tahun lagi, belum tentu engkau akan mampu
mengalahkan aku. Tentu saja kuterima tantanganmu.”
“Dan kalau
engkau kalah, engkau akau memenuhi tuntutanku?”
“Aha, soal
itu nanti dulu.”
“Tapi, tiga
tahun yang lalu, seperti yang sudah-sudah, engkau menerima taruhan itu!” Nenek
Gan Cui berteriak penasaran.
“Hemm,
karena ketika itu aku merasa yakin akan kemenanganku. Dan sekarang, selagi aku
semakin tua dan engkau semakin bersemangat mempelajari ilmu-ilmu, aku harus
hati-hati.”
“Tapi engkau
terima tantanganku?”
“Tentu
saja.”
“Nah,
dengarkan baik-baik, Bu Seng Kin! Kini aku menantangmu untuk mengadu ilmu
ginkang dan aku mengajukan jagoku ini!” Nenek Gan Cui menepuk pundak Gangga.
“Siapa dia?”
Bu-taihiap bertanya dengan sikap kaget, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja
yang datang bersama Gan Cui itu ternyata adalah jago yang hendak diajukan oleh
nenek yang keras hati itu. Kini dia menatap tajam wajah dan tubuh Gangga, penuh
selidik.
“Tidak perlu
kau tahu siapa dia. Pendeknya, dia adalah jagoku dan wakilku untuk menandingimu
dalam ilmu ginkang. Kalau dia kalah, berarti aku kalah olehmu, akan tetapi
kalau dia menang, berarti engkau harus mengaku kalah.”
Bu-taihiap
tidak merasa khawatir, bahkan kelihatan sepasang matanya bersinar-sinar,
seperti merasa gembira menghadapi peristiwa yang menarik. Dia
mengangguk-angguk. “Baiklah, adik Cui, lalu bagaimana pertandingan ini akan
diatur?”
“Aku tidak
ingin tertipu olehmu yang licik. Aku akan pergi ke ujung puncak ini dan membawa
ini. Kemudian kalian berdua merebut botol ini dari tanganku dan berlari dari
sini.”
Nenek itu
mengeluarkan sebuah botol dan melihat ini, Gangga terkejut karena botol itu
adalah botol yang terisi tiga butir pel katak buduk hitam yang dibutuhkannya!
Agaknya nenek yang cerdik itu sengaja mengeluarkan benda itu untuk dipakai
berebut, agar ia mau berlomba dengan sesungguhnya mengalahkan Bu-taihiap untuk
memiliki obat itu!
“Perempuan
licik!” Tiba-tiba Tang Cun Ciu membentak. “Pertandingan macam apa itu? Kalau
engkau yang menjadi sasarannya, tentu engkau akan membantu agar jagomu yang
menang! Katakan saja engkau hendak mengeroyok!”
Bu-taihiap
tertawa dan menggerakkan tangan mencegah isterinya itu marah-marah.
“Biarkanlah. Tentu saja aku tahu bahwa kalau kami berdua tiba di dekatnya, ia
akan menyerahkan benda itu kepada jagoannya dan kalau aku yang hendak
mengambilnya tentu ia akan melawan. Akan tetapi, jagoannya itu masih begini
muda, patutnya menjadi muridku, maka biarlah dibantu oleh adik Cui. Bagaimana
pun juga, akhirnya aku yang akan menang. Baik, adik Cui, engkau bawalah benda
itu ke ujung sana dan kami berdua akan berlomba. Siapa yang lebih dahulu
mendapatkan botol di tanganmu itu, dia yang menang!”
Nenek itu
menyeringai. “Orang she Bu, sekali ini engkau akan kecelik dan kalah!” Dan ia
pun menoleh kepada Gangga sambil berkata, “Ingat, engkau tidak boleh kalah
kalau engkau menghendaki benda ini!” Setelah berkata demikian, nenek itu pun
berlari cepat sekali menuju ke ujung puncak itu.
Jarak itu
cukup jauh dan tubuhnya semakin kecil, akhirnya hanya menjadi sebuah titik
hitam yang makin mengecil. Puncak itu memang merupakan tanah datar yang amat
panjang, akan tetapi permukaannya yang halus hanyalah di sekitar pondok,
sedangkan jarak itu melalui tanah yang penuh dengan batu besar kecil yang kasar
dan tidak mudah dilalui karena kalau tidak berhati-hati, orang dapat
tergelincir.
Gangga
tadinya sudah merasa tidak senang kepada nenek Gan Cui yang ternyata sedikit
membohong ketika bercerita tentang urusannya dengan Bu-taihiap. Ia sudah mulai
ragu-ragu apakah baik kalau ia melanjutkan pertolongan dan bantuannya kepada
nenek itu. Akan tetapi ketika ia mendengar kata-kata Bu-taihiap tentang dirinya
yang dianggap terlalu muda dan hanya patut menjadi murid pendekar itu dengan
pandang mata dan nada suara memandang rendah, hatinya menjadi panas juga.
Pendekar ini terlampau sombong, pikirnya, memandang rendah orang lain. Inilah
sebabnya timbul dorongan hati untuk membuktikan bahwa dia tidaklah selemah itu
untuk bisa dipandang ringan saja.
Bu-taihiap
sudah bangkit berdiri bersama tiga orang isterinya. Bagaimana pun juga, tiga
orang isterinya tidak akan tinggal diam saja dan mereka itu hendak mengikuti
sang suami agar jangan menjadi korban kecurangan lawan.
“Kita
mulai?” tanya Bu-taihiap kepada Gangga sambil tersenyum.
Setelah
Gangga mengangguk, Bu-taihiap berkata lagi. “Akan kuhitung sampai tiga dan kita
mulai berlari. Satu, dua.... tiga!”
Dua tubuh
itu melesat ke depan. Bu-taihiap mengerahkan tenaganya dan larinya cepat
sekali, seperti terbang saja. Akan tetapi, betapa kaget hatinya ketika dia
melihat Gangga berkelebat di sampingnya. Ternyata pemuda itu bergerak dengan
demikian ringannya seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi! Sebentar
saja tubuh pemuda itu sudah melesat ke depan dan melewatinya.
Bu-taihiap
menjadi penasaran dan dia pun mengerahkan seluruh tenaganya, mengenjot tubuhnya
untuk menyusul. Akan tetapi, pemuda itu agaknya juga menambah tenaganya dan
betapa pun dia membalap, tetap saja pemuda itu berada di depannya! Barulah dia
benar-benar terkejut dan dari gerakan kaki pemuda itu dia dapat menduga bahwa
pemuda itu memiliki ilmu ginkang Jouw-sang Hui-teng (Ilmu Terbang Di Atas
Rumput) yang amat hebat. Mereka berkejaran dengan cepat sehingga tiga orang
wanita yang juga membayangi tertinggal jauh dan sebentar saja mereka sudah
dapat melihat nenek Gan Cui berdiri di ujung timur tanah datar puncak bukit
itu.
Sementara
itu, Gangga merasa amat puas bahwa ternyata ginkang-nya tidak kalah oleh
Bu-taihiap. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa sebenarnya ia membantu orang
yang tidak benar, dan diam-diam ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Kalau
sampai nanti ia menang, seperti yang sudah jelas dapat diduga, lalu nenek itu
minta yang bukan-bukan, bukankah berarti ia telah membantu kesewenang-wenangan?
Tetapi, dia membutuhkan obat itu!
Tiba-tiba
nenek Gan Cui lari menuju ke selatan, menjauhi dua orang yang sedang berlari
cepat ke arahnya itu. Hal ini mengingatkan lagi kepada Gangga bahwa nenek yang
dibantunya itu adalah seorang yang penuh tipu muslihat dan sudah beberapa kali
memperlihatkan kecurangannya. Bagaimana kalau nanti melanggar janji dan tidak
mau memberikan obat itu kepadanya?
Mereka kini
terpaksa juga merubah arah mengejar nenek itu yang sudah berada di ujung
selatan. Dan dengan sengaja Gangga memperlambat larinya sehingga Bu-taihiap
dapat berlari di sampingnya. Kakek itu sudah agak terengah dan mandi peluh.
Gangga menoleh kepadanya, tersenyum dan menambah lagi tenaganya sehingga
tubuhnya kembali melesat ke depan dalam jarak satu tombak. Ia masih ingin
meyakinkan hatinya bahwa ia memang lebih menang dalam adu ginkang ini.
“Nona,
perlahan dulu....!” Tiba-tiba ia mendengar suara Bu-taihiap dan ada tenaga aneh
yang menahannya dari belakang.
Pendekar tua
itu agaknya telah menggunakan ilmu kepandaiannya untuk menahannya dari
belakang, dengan tenaga sinkang! Dan pendekar tua itu pun telah mengetahui
penyamarannya, tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Gangga cepat mengerahkan
sinkang-nya pula dan tangan kanannya ditepiskan dengan pengerahan sinkang yang
kuat.
“Wuutttt....!”
Dan tenaga yang menahannya dari belakang itu pun terlepas.
Kembali
Bu-taihiap terkejut bukan main. Kiranya gadis ini bukan hanya tukang lari yang
ahli ginkang, melainkan juga mampu menangkis sinkang-nya yang dipergunakan
untuk menahan larinya yang cepat itu.
“Ahhh....
nona....,” katanya agak terengah-engah. “Engkau sungguh.... seorang dara yang
luar biasa! Masih begini muda, begini cantik, dan memiliki kepandian tinggi....
aku kagum sekali, nona....”
Berdebar
rasa jantung dalam dada Gangga. Hati siapa tak akan senang mendengar pujian?
Apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut orang penting, dan Bu-taihiap adalah
seorang pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi ia pun teringat bahwa
pendekar tua ini adalah seorang perayu, seorang penaluk wanita, maka sikapnya
menjadi keras lagi.
“Nona,
sehebat engkau ini.... mengapa membantu orang yang sesat? Gan Cui bertindak
salah dalam urusan kami.... aku membujuknya untuk hidup rukun.... tapi ia
menghendaki agar aku menceraikan semua isteriku dan harus melayani ia seorang
saja.... apakah itu adil namanya?”
Biar pun ia
bersikap tak acuh, namun diam-diam Gangga mendengarkan semua kata-kata itu dan
dengan sendirinya dia pun mengurangi lagi kecepatan larinya. Dia sudah menduga
apa yang terjadi antara pendekar ini, dan nenek itulah yang mau menang sendiri
dalam urusan itu.
“Aku membutuhkan
obatnya itu untuk menolong seorang sahabatku yang keracunan,” katanya.
“Aha, jadi
ia memaksamu membantu dan mengalahkan aku karena obat itu? Sudah kuduga. Dan
kau kira ia akan menyerahkan obat itu padamu? Dia seorang yang keras hati dan
licik sekali, dan jika ia tidak mau memberikan kepadamu, jangan harap dengan
mudah engkau akan bisa memperolehnya. Ia curang dan lihai!”
“Aku.... aku
sudah menduga begitu....”
“Nona,
biarkan aku yang merampasnya untukmu. Kalau engkau tidak mendahuluiku, dan aku
lebih dahulu mencapainya, tentu ia akan berusaha menghindariku, akan tetapi,
aku dapat menguasainya.”
Gangga hanya
menggunakan waktu sejenak untuk berpikir dan mengambil keputusan. Entah
bagaimana, ia merasa jauh lebih percaya kepada pendekar ini dari pada nenek Gan
Cui yang curang.
“Silakan....,”
katanya dan ia pun memperlambat larinya.
Tubuh
Bu-taihiap melesat ke depan dan berlari di depannya, seolah-olah pendekar itu
mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya dan dapat menyusul dara itu. Melihat
ini, tiga orang isterinya yang tertinggal jauh di belakang merasa lega. Mereka
bertiga memang tidak dapat dibilang suka kalau melihat suami mereka menambah
seorang isteri lagi, akan tetapi urusan seperti itu bagi mereka kecil saja
artinya. Mereka sudah terbiasa oleh ulah suaminya yang suka perempuan itu dan
agaknya baru akan sembuh kalau sudah mati. Bagi mereka, lebih penting lagi
kalau suaminya tidak sampai kalah, karena wanita itu tentu akan berbuat yang
bukan-bukan, menuntut yang tidak-tidak dan juga, suaminya akan terpukul
perasaannya dan akan merasa malu kalau sampai kalah oleh seorang muda!
Sebaliknya,
ketika melihat betapa kini jagonya tertinggal, nenek Gan Cui terkejut sekali.
Tadi ia sudah merasa girang melihat betapa Gangga dapat berada di depan dan ia
sengaja lari menjauh untuk memberi kesempatan kepada Gangga untuk meninggalkan
lawannya jauh di belakang. Ia sudah merasa yakin bahwa jagonya tentu akan
menang karena selain sudah berada di depan, tentu daya tahan Gangga lebih kuat
dari pada lawannya yang sudah tua, napasnya juga lebih panjang. Akan tetapi
kenyataannya, kini Gangga tersusul dan tertinggal, makin lama makin jauh.
Gan Cui
segera menjauhkan diri lagi, lari ke arah barat.
“Bocah
tolol, lari ke sini....!” Ia berteriak-teriak dan berusaha mendekati Gangga.
Akan tetapi
Bu-taihiap selalu menghadang antara ia dan Gangga, dan pendekar itu kini makin
dekat dengannya. Terpaksa nenek itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Akan
tetapi, ginkang-nya memang kalah dibandingkan Bu-taihiap sehingga pendekar itu
sebentar saja dapat mengejarnya.
“Adik Cui,
jangan curang. Aku yang lebih dulu mencapaimu, serahkan botol obat itu!”
“Tidak....
tidak....!” Gan Cui menghindarkan diri ketika Bu-taihiap mengulur tangan untuk
menyambar botol di tangannya itu.
“Adik Cui,
jagomu sudah kalah, kau jangan main curang! Serahkan botol itu!” kembali
Bu-taihiap menubruk, akan tetapi sekali ini Gan Cui menyambutnya dengan pukulan
yang dilakukan dengan cepat dan kuat sekali, pukulan maut karena pukulan itu
adalah jurus dari Ilmu Coa-tok-ciang (Tangan Racun Ular) yang dahsyat sekali!
Bu-taihiap
tentu saja mengenal pukulan ganas itu dan cepat-cepat dia mengelak dan membalas
dengan totokan jari tangannya ke arah leher Gan Cui. Namun, nenek itu pun
memiliki gerakan cepat. Ia sudah mengelak sambil melayangkan kakinya menendang
ke arah perut lawan disusul dengan cengkeraman tangan kanan ke arah mata,
sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol itu pun disodokkan ke arah ulu
hati. Sekali bergerak wanita itu telah mengirim tiga serangan yang kesemuanya
mematikan!
“Hemm,
engkau sungguh keras hati, adik manis!” kata Bu-taihiap mengejek dan pendekar
ini mengerahkan tenaga sinkang-nya menerima tendangan di perutnya, mengelak
dari cengkeraman ke arah mata dan tangan kiri yang menggenggam botol itu
disambutnya dengan cengkeraman untuk merampas botol.
“Bukkk!”
Tendangan
itu tepat mengenai perut dan sebagian mengenai bawah perut di mana terletak
anggota rahasia. Akan tetapi Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang
memiliki sinkang amat kuatnya. Bukan saja seluruh bagian perut telah dilindungi
oleh hawa sakti sehingga menjadi kebal, akan tetapi juga anggota kelaminnya
telah tersedot memasuki perut dan terlindung sehingga ketika tertendang, yang
terkena tendangan hanyalah kulit yang keras dan licin saja.
Gan Cui
terkejut. Ia memang membual ketika menceritakan kepada Gangga bahwa dalam hal
ilmu silat ia dapat menandingi Bu-taihiap, hanya kalah dalam hal ginkang saja.
Sebetulnya, mana ia mampu mengalahkan tingkat kepandaian Bu-taihiap? Biar ia
belajar sampai selama hidupnya, agaknya ia tidak akan mampu menyusul tingkat
pendekar itu karena selain kalah dasar, juga kalah bakat. Kini, setelah
melakukan tiga serangan sekaligus, ia berbalik malah terancam akan dirampas
botol obat di tangannya. Gan Cui mengeluarkan teriakan nyaring, tangan kanannya
mencabut sapu tangan hitam yang dikebutkannya ke arah muka Bu-taihiap sedang
tangan kiri yang menggenggam botol diangkatnya tinggi-tinggi untuk dijauhkan
dari lawan.
Bu-taihiap
terkejut menghadapi kebutan kain hitam yang mengeluarkan debu hitam kehijauan
ini. Cepat dia meniup dan mengebutkan ujung lengan bajunya untuk mengusir debu
beracun, dan pada saat itu, Gan Cui menjerit karena tiba-tiba saja botol di
tangan kirinya terlepas dan terampas dari tangannya. Ia mengangkat mukanya dan
melihat bahwa yang merampas botol itu adalah Gangga!
Kiranya
Gangga telah menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan ginkang-nya, melompat
ke atas tinggi sekali lalu menukik turun dan merampas botol itu tanpa Gan Cui
mengetahuinya.
Tentu saja
nenek itu menjadi terkejut dan marah. “Bocah tolol! Kembalikan botol itu....!”
Akan tetapi
ia tidak dapat bergerak lagi karena pada saat itu Bu-taihiap telah menubruk dan
merangkulnya, serta memegangi kedua pergelangan tangannya. Nenek itu hendak
meronta, akan tetapi Bu-taihiap memeluknya dan berbisik di telinganya.
“Adik Cui
yang manis, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan selalu memusuhiku? Aku
masih tetap cinta padamu....” Dan pendekar itu mengusap leher Gan Cui dengan
hidungnya.
Seketika
lemaslah seluruh tubuh Gan Cui. Merasa betapa kulit lehernya dicium oleh
laki-laki yang sebenarnya masih amat dicinta dan dirindukannya ini. Lenyaplah
seluruh daya lawannya dan ia seperti lumpuh, menyandarkan diri ke atas dada
yang bidang itu dan menangis lirih!
Tiga orang
isteri Bu-taihiap yang telah tiba di situ membuang muka dan mencibirkan bibir,
akan tetapi tidak merasa cemburu lagi karena memang sejak dahulu mereka tahu
bahwa Gan Cui adalah seorang di antara wanita-wanita yang jatuh oleh rayuan
suami mereka. Sementara itu, Gangga yang telah berhasil merampas botol terisi
tiga butir pel, memandang dengan muka merah.
“Adik Cui,
mulai saat ini, engkau mau bukan hidup bersama kami dengan damai?” Kembali
Bu-taihiap berbisik dan Gan Cui mengangguk.
Bu-tahiap
maklum bahwa ia telah menalukkan hati nenek itu, maka ia pun melepaskan kedua
tangannya dan masih tetap menggandeng lengannya dengan sikap mesra. Gan Cui
mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya, kemudian memandang ke arah
Gangga. Biar pun sikapnya tidak galak lagi seperti tadi, seolah-olah seekor
kucing liar yang sudah dijinakkan, namun suaranya masih tidak senang ketika ia
berkata kepada Gangga.
“Engkau
telah kalah, engkau tidak berhak mengambil obat itu. Kembalikan!”
“Adik Cui,
engkau salah paham. Sesungguhnya, dalam hal ginkang, aku Bu Seng Kin harus
mengakui keunggulan gadis ini.”
Sepasang
mata Gan Cui terbelalak. “Engkau.... kalah? Dan engkau tahu ia seorang gadis?
Engkau tidak malu kalah oleh seorang gadis muda?”
“Mengapa
mesti malu? Ia memang memiliki ilmu Jouw-sang Hui-teng yang langka. Sungguh
luar biasa sekali ilmu ginkang-nya itu. Nona, kulihat engkau bukan gadis Han.
Dari manakah engkau dan siapa gurumu?”
“Tak salah
lagi, ia tentu puteri atau murid Syanti Dewi!” Tiba-tiba nenek Nandini berkata.
Gangga
terkejut dan memandang wanita Nepal itu, juga Bu-taihiap terkejut karena dia
pun sudah pernah mendengar nama puteri Bhutan yang kabarnya memiliki kecantikan
amat luar biasa, juga di samping itu memiliki ginkang yang hebat.
“Benarkah,
nona?”
Gangga
mengangguk. “Benar, ibuku adalah Puteri Syanti Dewi dan ayahku bernama Wan Tek
Hoat yang pernah berjuluk Si Jari Maut.”
“Ahhh....!”
Bu-taihiap berseru kaget dan kagum. “Jikalau begitu, aku semakin tidak merasa
malu lagi kalah dalam ginkang olehmu, nona!”
“Siapakah
namamu?” tanya Nandini.
“Gangga
Dewi.”
“Nama yang
indah sekali. Mari, nona, mari silakan duduk dalam pondok kami dan kita
bercakap-cakap,” Bu-taihiap berkata, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak
kesakitan ketika lengannya dicubit keras sekali oleh Gan Cui.
“Lelaki mata
keranjang! Baru saja berkumpul denganku, sudah berani berlagak memikat gadis
muda?” bentak Gan Cui.
Dan tiga
orang isteri pendekar itu menahan tawa, kelihatan geli dan juga mengejek dan
menyukurkan keadaan suami mereka. Biar engkau rasakan sekarang, pikir mereka,
mendapatkan isteri lagi yang amat cemburu dan galak! Tentu saja Bu-taihiap
tersipu-sipu mendengar teguran ini karena sesungguhnya dia sama sekali tidak
mempunyai niat sedikit pun untuk merayu Gangga Dewi, hanya mempersilakan ke
rumah untuk beramah tamah karena dia pun kagum sekali mendengar bahwa gadis
muda ini ternyata puteri orang-orang terkenal.
“Terima
kasih atas kebaikan kalian semua,” kata Gangga Dewi sambil menjura. “Tapi
sahabatku itu terancam nyawanya oleh pukulan Hoa-mo-kang dan obatnya hanya
racun katak buduk inilah. Maka, aku mohon diri, tak dapat berlama-lama di sini.
Aku harus cepat ke kota raja untuk memberikan obat ini kepadanya.”
“Ahh,
pukulan beracun Hoa-mo-kang?” tanya Bu-taihiap kaget. “Bukankah Su-ok Siauw
Siang-cu sudah mati?” Pertanyaan yang sama seperti pernah diajukan oleh nenek
Gan Cui kepada Gangga.
“Bukan Su-ok
yang memukulnya, mungkin murid atau keturunannya. Menurut kata ahli yang
mengobatinya, hanya tinggal waktu tiga hari. Kalau dia tidak mendapatkan obat
racun katak buduk hitam, dia akan mati. Sejak kemarin pagi aku melakukan
perjalanan, kini sudah lewat dua hari, tinggal sehari lagi. Maka aku harus
pergi sekarang juga.” Lalu ia menoleh kepada Gan Cui. “Sudah benarkah obat ini?
Dan bagaimana cara menelan pil ini? Sehari berapa kali, sekaligus ataukah
satu-satu?”
Akan tetapi
nenek Gan Cui mendengus marah. “Engkau merampasnya dariku dengan curang, perlu
apa aku memberi tahu? Cari saja sendiri bagaimana caranya!”
Akan tetapi
Bu-taihiap yang sudah amat tertarik mendengar cerita tadi bertanya, “Nona
Gangga, bolehkah aku bertanya siapa pendekar atau sahabatmu yang terkena
pukulan Hoa-mo-kang itu?”
“Namanya
Suma Ciang Bun dan dia berada di kota raja....”
“Suma....?”
Bu-taihiap terbelalak.
“Ya, dia
cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!” kata Gangga dengan suara
bangga.
“Ahh....!
Adik Cui, kalau begitu kita tidak boleh sembarangan. Hayo katakan bagaimana
caranya mempergunakan pelmu itu untuk mengobatinya.”
“Sehari
makan satu pel, dalam waktu tiga hari tentu penyakit itu lenyap dan orangnya
sembuh,” jawab nenek itu singkat dengan muka masih cemberut. Agaknya kegalakan
wanita ini sudah benar-benar dapat ditundukkan dan dijinakkan oleh Bu-taihiap.
“Terima
kasih!” kata Gangga dan sekali berkelebat gadis itu lenyap dari depan mereka.
Bu-taihiap menggeleng-geleng kepala tanda kagum.
“Bukan
main....!” katanya dan sambil menggandeng isterinya yang baru, pendekar ini
lalu kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.
Kembali
Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk lari
secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melakukan perjalanan secepatnya dan
pada keesokan harinya, pada hari ke tiga, tibalah ia kembali ke tempat tinggal
tabib yang mengobati Ciang Bun.
Tabib dan
hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah hampir putus asa menanti
kembalinya. Bagaimana pun, bagi mereka agaknya tidak mungkin bisa mendapatkan
obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja,
menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai dalam waktu tiga hari pulang
pergi! Maka, kemunculan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejutkan hati
mereka, juga mendatangkan harapan yang menggembirakan.
“Bagaimana
hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?” tanya mereka.
Gangga
mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu. “Kini belum
musimnya telur katak menetes, tidak mungkin mencari anak-anak katak buduk
hitam. Akan tetapi aku mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang
sakti yang harus diberikan kepada Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut
sampai tiga hari.”
Tabib dan
hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu
begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk. “Omitohud.... racun katak
buduk hitam yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda
gagah itu akan dapat disembuhkan.”
Dengan
girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang
masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun
sampai tiga hari tiga malam lamanya! Sedikit pun dara ini tak pernah mau
meninggalkan pembaringan Ciang Bun. Bahkan makan atau tidur pun ia lakukan di
dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur sambil duduk dan selama tiga hari itu,
wajahnya menjadi agak pucat karena kurang tidur dan kurang beristirahat.
Akan tetapi
hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama saja, wajah Ciang Bun
yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berubah, dan setiap hari berangsur
baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap
sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan
siuman! Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja
selama tiga hari lebih, tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak
membuka mata dan menoleh ke kanan kiri.
“Di manakah
aku....?” tanyanya lemah.
Gangga yang
duduk di dekatnya dan mengantuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia tersenyum
girang sekali. “Ahhh, engkau sudah siuman? Bagus sekali! Engkau telah sembuh,
bahaya telah lewat!”
Melihat
pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk, akan tetapi
tubuhnya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan dirinya kembali.
Ganggananda
cepat membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus, “Jangan engkau bangun
dulu. Sudah empat hari engkau tidak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan
bubur untukmu.” Setelah berkata demikian, dia pun bangkit dan cepat-cepat
meninggalkan kamar menuju ke dapur.
“Omitohud,
engkau beruntung sekali mempunyai sahabat sebaik itu, orang muda.”
Ciang Bun
menoleh dan memandang heran kepada dua orang kakek yang duduk tak jauh dari
situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu,
yang duduk di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil tersenyum girang. Akan
tetapi dia cerdik dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya
itulah yang membawanya ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan
rumah, bahkan mungkin sekali yang menolongnya dan mengobatinya. Bukankah
menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat hari?
Sambil masih
terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada. “Ji-wi
locianpwe, maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk
menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi.”
Dua orang
kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati mereka.
Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga dari pada pemberian benda berharga apa
pun juga.
“Si-cu tidak
perlu berterima kasih kepada kami sebab yang menyelamatkan nyawa si-cu
sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu,” kata kakek tabib.
Dia segera
menceritakan kepada Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut
oleh pukulan Hoa-mo-kang dan betapa Ganggananda dengan kecepatan yang sukar
dapat dipercaya telah pergi mencarikan obat penawarnya sampai berhasil
menyembuhkan Ciang Bun.
“Omitohud....!
Yang paling sukar didapatkan di dunia ini adalah seorang sahabat yang setia
tanpa pamrih. Sahabat si-cu itu sampai lupa makan lupa tidur untuk menjaga
si-cu, sungguh kebaikannya amat mengharukan hati pinceng.”
Diam-diam
Ciang Bun merasa terharu sekali dan hatinya semakin erat terikat kepada
Ganggananda yang sebelumnya memang sudah amat menarik hatinya. Tidak pernah
disangkanya bahwa pemuda yang lincah jenaka, yang pandai bersajak dan sangat menyenangkan
itu ternyata memiliki hati semulia itu dan merupakan seorang sahabat yang amat
baik. Dia merasa bersyukur sekali.
“Terus-terang
saja, si-cu, kalau tidak ada sahabatmu itu, nyawamu tidak mungkin dapat
ditolong lagi. Si-cu berhutang nyawa kepadanya,” kata si tabib dengan suara
sungguh-sungguh.
Perasaan
cinta yang tulus semakin mendalam di hati Ciang Bun terhadap pemuda yang selain
menarik hatinya, juga telah menyelamatkan nyawanya itu. Setelah kekuatannya
pulih kembali, dia bersama Ganggananda berpamit dari tabib yang ramah tamah itu
dan meninggalkan rumah tabib dengan ucapan terima kasih. Ganggananda bahkan tak
lupa memberi hadiah yang cukup besar. Ternyata pemuda ini membawa bekal emas
yang cukup banyak sehingga mengherankan hati Ciang Bun. Tahulah dia bahwa
sahabatnya itu adalah seorang yang selain pandai sastera dan silat, juga kaya
raya.
“Ahhh, tak
terasa lima hari telah lewat dan hari ini adalah hari yang telah kami tentukan
untuk bertemu di kota raja,” katanya kepada Ganggananda.
Gangga memandang
penuh perhatian. “Kami? Siapa yang kau maksudkan?”
“Adik
Ganggananda yang baik, aku belum menceritakan riwayatku kepadamu. Yang
kumaksudkan dengan kami adalah aku dan cici-ku yang bernama Suma Hui.”
“Hemm,
agaknya masih ada hubungannya dengan musuh besarmu itu, ya? Dia pun menyebutmu
seolah-olah engkau masih sanaknya. Apakah musuh besarmu itu.... kakak iparmu,
suami enci-mu?”
“Engkau
adalah seorang yang amat mulia, Gangga, dan aku sudah berhutang budi dan nyawa
padamu, maka baiklah kuceritakan keadaan keluargaku, keluarga kami yang
malang.”
Ciang Bun
menoleh ke kanan kiri, akan tetapi taman itu masih sunyi karena hari masih pagi
sekali. Dia mengajak Gangga pergi ke taman ini karena di sinilah dia berjanji
dengan enci-nya untuk mengadakan pertemuan pada hari ini atau hari-hari
berikutnya kalau-kalau ada yang terlambat. Mereka lalu duduk di atas sebuah
bangku panjang, di bawah pohon yang rindang sambil menghadapi sebuah empang
ikan emas yang dihias tumbuh-tumbuhan bunga teratai merah dan putih.
Dengan hati
mengandung penuh kepercayaan kepada sahabat barunya ini, Ciang Bun kemudian
menceritakan semua riwayatnya, sejak dia bersama enci-nya dan Ceng Liong
belajar ilmu di Pulau Es sampai pertemuannya dengan musuh besarnya, yaitu Louw
Tek Ciang. Diceritakannya mala petaka yang menimpa keluarga kakeknya di Pulau
Es yang kemudian disusul mala petaka yang menimpa diri enci-nya, Suma Hui, dan
kejahatan yang dilakukan oleh Tek Ciang yang menjadi murid ayahnya dan juga
menjadi suami enci-nya itu.
Gangga mendengarkan
dengan penuh perhatian dan penuh perasaan hingga wajahnya sebentar merah karena
marah dan pucat karena turut merasa terharu dan berduka. Pandang matanya tak
pernah lepas dari wajah pemuda itu. Baru sekaranglah ia tahu mengapa pemuda ini
mati-matian menyerang Louw Tek Ciang yang telah menjadi kakak iparnya. Dan ia
ikut merasa marah sekali mendengar akan kelicikan dan kejahatan Louw Tek Ciang
yang telah menghancurkan kehidupan Suma Hui, kakak perempuan pemuda ini.
Setelah Ciang Bun menceritakan semuanya, pemuda itu menarik napas panjang.
“Demikianlah,
Gangga. Sudah bertahun-tahun kami mendendam kepada jahanam itu dan secara tidak
terduga-duga dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya di telaga dalam taman.
Dapat kau bayangkan betapa girang rasa hatiku dan betapa dengan penuh semangat
aku berusaha untuk membunuhnya. Akan tetapi dia lihai dan juga licik, bahkan
kini pun dia dibantu seorang kawan yang agaknya lihai pula. Nyaris aku tewas
kalau tidak ada engkau yang menyelamatkanku, sahabatku,” berkata demikian,
Ciang Bun menjulurkan tangannya dan dipegangnya tangan Gangga.
Pegangan ini
dilakukan dengan perasaan penuh keharuan dan juga penuh rasa kasih sayang
sehingga terasa oleh Gangga betapa jari-jari tangan itu mengandung getaran
halus yang seolah-olah menembus kulit tangannya dan menjalar sampai ke dalam
dada, membuat jantungnya berdebar-debar, sementara bulu-bulu di lengan dan
tengkuknya meremang. Maka dengan halus pula Gangga menarik dan melepaskan
tangannya dari genggaman tangan pemuda itu.
“Ahhh,
kenapa engkau begini sungkan dan bicara seperti itu, Ciang Bun? Bukankah kita
ini sahabat dan di antara sahabat baik tidak ada istilah tolong-menolong? Apa
yang kulakukan untukmu itu adalah wajar saja di antara sahabat. Dan andai kata
aku yang menderita seperti engkau, apakah engkau tidak mau menolongku juga?”
Jawaban yang
sederhana dan jujur ini membuat Ciang Bun merasa amat terharu dan semakin suka
kepada pemuda ini. Dan diam-diam dia pun mengeluh. Penyakit lamanya telah
kambuh dan kini semakin hebat! Selama ini, sudah tiga kali dia tertarik kepada
pria, bukan hanya tertarik biasa sebagai teman, melainkan tertarik seperti
orang jatuh cinta yang mengandung gairah!
Pertama
adalah kepada Kao Cin Liong, walau pun pada waktu itu dia belum dewasa benar
dan rasa sukanya kepada Cin Liong disertai kekaguman akan kelihaian pemuda itu
dan juga rasa akrab sebagai seorang kekasih enci-nya. Kemudian dia pun jatuh
cinta kepada Liu Lee Siang, pemuda Pulau Nelayan itu walau pun pada waktu itu
dia masih belum sadar benar akan kelainan pada dirinya. Akan tetapi yang ke
tiga kali ini, dia merasa betapa dia benar-benar jatuh cinta kepada
Ganggananda!
Sekarang dia
menyadari benar keadaan dirinya, bahkan selama ini dia sudah berusaha dengan
segala kekuatan batinnya untuk melawan hasrat dan kecondongan hati yang tidak
seperti pria pada umumnya itu. Kini dia merasa betapa seluruh batinnya
mencintai Gangga, dan timbul hasrat untuk berdekatan, sedekat mungkin, untuk
melindungi, untuk bergantung.
Ada suatu
kemesraan di dalam batinnya terhadap Gangga dan segala gerak-gerik pemuda ini
amat manis dalam pandang matanya, amat gagah, baik dan membuatnya tidak ingin
berjauhan, tidak ingin berpisah lagi.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment