Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 14
"Bun-te,
engkau terlalu lemah. Kenapa engkau tidak hajar saja kedua orang gadis yang
tidak tahu malu itu?” Suma Hui menegur adiknya ketika mereka melakukan
perjalanan dan di tengah jalan Ciang Bun terpaksa menceritakan persoalannya
dengan dua orang gadis tadi.
“Ahh, aku
kasihan kepada mereka, enci. Apalagi, Tan Hok Sim begitu baik kepadaku. Kalau
aku berterus terang, tentu akan mengakibatkan terputusnya tali perjodohan
antara dia dan tunangannya. Pula, aku tidak menganggap mereka yang.... ehhh,
suka kepadaku itu sebagai suatu kesalahan, hanya aku yang tidak dapat membalas
cinta mereka....”
“Hemmm,
engkau memang aneh. Kulihat mereka itu cantik-cantik, kenapa engkau tidak suka
dan bahkan bersikap keras kepada mereka?”
“Aku.... aku
memang tidak pernah suka kepada gadis-gadis....,” Ciang Bun agaknya menemui
wadah penuangan perasaannya melalui enci-nya.
“Ehh....!
Bun-te, engkau sudah cukup dewasa, perasaanmu tidak pernah suka kepada gadis
itu sungguh-sungguh tidak wajar,” kata Suma Hui prihatin sambil menghentikan
langkahnya, memegang kedua pundak adiknya dan menatap wajah adiknya itu dengan
penuh selidik.
Ciang Bun
balas memandang dan dia melihat seolah-olah sinar mata enci-nya itu menembus
dadanya dan menjenguk ke dalam. Selama ini, dia melihat kelainan pada dirinya
dengan penuh kecemasan, menyimpannya sebagai rahasia dan dia tidak berani
membicarakannya kepada siapa pun juga. Tetapi kini dia berhadapan dengan
enci-nya, satu-satunya orang yang dekat dengan dia, satu-satunya orang yang
benar-benar amat disayangnya karena sejak kecil dia bergaul dengan enci-nya
siang malam.
Ayahnya
dianggapnya terlalu keras dan menakutkan, ibunya terlalu memanjakannya, hanya
enci-nya ini yang selalu bersikap terbuka dan jujur. Tiba-tiba saja ada
keharuan menyelinap di hati pemuda ini dan seperti bendungan pecah, dia pun
menangis terisak!
Bukan main
kaget rasa hati Suma Hui. Adiknya ini sejak kecil pendiam dan serius, tak
banyak bicara akan tetapi sama sekali tidak cengeng! Belum pernah ia melihat
adiknya menangis seperti ini, apalagi sekarang sudah berusia tujuh belas tahun,
sudah dewasa! Ciang Bun menangis terisak-isak? Sukar ia membayangkannya, akan
tetapi kini hal itu terjadi di depannya.
Tentu saja
ia merasa kaget dan juga khawatir dan dirangkulnya adiknya itu, seperti ketika
mereka masih kecil dan dituntunnya Ciang Bun, diajak duduk di bawah pohon yang
rindang. Tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
“Bun-te,
tenanglah. Ingat, sangat tidak baik seorang pendekar gagah seperti engkau ini
menangis. Hapus air matamu dan mari kita bicara secara dewasa. Ceritakanlah apa
yang merisaukan hatimu sampai engkau menangis. Aku enci-mu, saudara tunggalmu,
aku akan membelamu lahir batin!”
“Enci Hui,
tolonglah aku, enci....,” Ciang Bun mencoba untuk menghentikan tangisnya. Semua
kegelisahan hatinya tumpah pada saat itu melalui air mata dan akhirnya dia
merasa dadanya agak lega.
“Hemm, tentu
saja aku akan menolongmu, adikku, jika perlu dengan taruhan nyawaku. Nah,
ceritakan, apakah masalah itu?”
Ciang Bun
mengusap air matanya dan kini dia dapat memandang wajah enci-nya dengan mata
agak merah. “Enci Hui, tadi engkau mengatakan bahwa aku tidak wajar....”
“Aihh....!
Itu? Aku hanya main-main. Mungkin engkau masih terlalu kekanak-kanakan, tidak
biasa bergaul dengan wanita sehingga engkau masih belum dapat menyukai
gadis-gadis. Hal itu tidak aneh, kenapa dirisaukan?” Suma Hui tersenyum, merasa
lega karena ternyata yang dirisaukan adiknya itu hanyalah persoalan sepele
saja.
Akan tetapi
Ciang Bun menggeleng kepala. “Bukan, bukan hanya itu, enci. Ketahuilah, memang
aku.... ada sesuatu yang tidak wajar kepadaku, di dalam hatiku....”
Suma Hui
mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada
adiknya. “Hemmm, apa maksudmu, adikku? Ada ketidak wajaran apa dalam hatimu?
Engkau sungguh membikin aku heran dan cemas.”
“Enci, kalau
tidak ada engkau, tentu rahasia ini akan kubawa mati. Kepada ayah dan ibu
sendiri aku enggan bercerita. Ketahuilah, memang ada ketidak wajaran di dalam
hatiku, ada suatu kelainan yang terasa amat menakutkan hatiku. Sejak dahulu,
aku.... aku tidak pernah merasa suka kepada wanita, akan tetapi aku.... aku
malah tertarik kepada pria, kepada pemuda....”
“Ehhh....?”
Sepasang mata Suma Hui terbelalak dan dia memandang adiknya seperti melihat
hantu di siang hari.
“Enci Hui,
jangan.... janganlah memandang padaku seperti itu....!” Suma Ciang Bun
mengeluh. “Jangan engkau juga menganggap aku seperti setan....”
“Bun-te....!”
Suma Hui maju merangkul adiknya dan beberapa lamanya enci dan adik ini saling
rangkul dengan hati nelangsa. Suma Hui teringat akan nasib dirinya sendiri dan
kini ia melihat adiknya menghadapi masalah yang lebih rumit lagi.
“Bagaimana....
bagaimana bisa begitu....? Aku.... aku tidak mengerti, adikku, sungguh, aku
belum mengerti....” Suma Hui meragu. “Mungkinkah itu bahwa engkau.... engkau
adalah seorang pria pembenci wanita....?”
“Tidak,
enci. Aku sama sekali tidak membenci wanita. Aku kira.... aku akan dapat
bersahabat dengan wanita, sahabat baik, seperti aku dengan engkau ini.... akan
tetapi, hanya sampai di situ saja. Persahabatan biasa, tidak ada daya tarik
menimbulkan gairah birahi. Pendeknya, aku tidak pernah berani melihat wanita,
enci, semua wanita hanya kupandang seperti aku melihatmu, seperti saudara,
seperti sahabat.”
“Apa
salahnya dengan itu?” Suma Hui menegas karena ia belum mengerti dan selama
hidupnya baru sekarang ia mendengar hal seperti ini.
“Memang
tidak salah, akan tetapi.... aku.... aku tertarik oleh pria, oleh pemuda,
merasa mesra berdekatan dengan pemuda dan timbul gairah birahiku. Aku.... aku
hanya dapat jatuh cinta kepada pemuda, enci....”
“Hehh....?!”
Suma Hui terbelalak, melepaskan rangkulannya, lalu mendekat lagi dan menjamah
dahi adiknya seperti hendak melihat apakah adiknya tidak sedang terserang demam
sehingga mengigau.
Ciang Bun
tersenyum sedih melihat enci-nya meraba dahinya. Dengan halus dia menjauhkan
tangan enci-nya. “Enci Hui, aku tidak gila.... biar pun kadang-kadang aku
sendiri bertanya-tanya apakah aku sudah gila. Tidak, aku belum gila dan
mudah-mudahan tidak akan gila. Akan tetapi, aku melihat kenyataan yang
menakutkan ini pada diriku. Aku.... aku agaknya mempunyai selera seperti
wanita. Tubuhku pria, segala-galanya, akan tetapi seleraku, juga terutama
sekali dalam hal selera birahi, aku seperti... seperti wanita....”
“Ahhh....!”
“Enci Hui,
jangan ber-ah-eh-uh saja. Tolonglah aku!”
Suma Hui
menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah dengan tubuh lemas. Ia merasa tidak
berdaya sama sekali, bahkan bingung. “Bagaimana cara aku harus menolongmu,
Bun-te?”
“Mungkin ada
obat....”
“Kita
bicarakan saja dengan ayah dan ibu, minta nasehat mereka....”
“Tidak! Aku
akan malu sekali kalau engkau menceritakan hal itu kepada mereka, aku akan lari
minggat!”
Gadis itu
merasa prihatin sekali sehingga memikirkan keadaan adiknya, ia dapat sedikit
melupakan kedukaan hatinya sendiri. Ia kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu
dengan Cin Liong yang memimpin pasukan menyerbu ke Nepal dan ia merasa nelangsa
selama ini. Akan tetapi kini semua keprihatinan hatinya ditujukan untuk Ciang
Bun.
“Aku akan
bantu memikirkan keadaan dirimu, adikku. Engkau tenang sajalah dan jangan
terlalu menyedihi keadaanmu, kelak tentu akan ada jalan baik untukmu. Mari kita
pulang dulu, sudah terlalu lama kita meninggalkan ayah dan ibu, tentu mereka
merasa cemas dan berduka.”
Mereka pun
melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan itu mereka saling
menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah. Ciang Bun juga
merasa prihatin melihat enci-nya berduka dan kecewa karena belum juga dapat
bertemu dengan Kao Cin Liong.
Setelah
melakukan perjalanan yang jauh dan memakan waktu yang lama sekali, tanpa ada
halangan yang berarti, tibalah kedua kakak beradik ini pada suatu siang di kota
Thian-cin, tempat tinggal orang tua mereka! Berdebar juga hati mereka ketika
mereka tiba di kota yang mereka kenal sejak kecil ini dan perasaan mereka
bercampur aduk ketika mereka melihat rumah mereka dari jauh.
Ada rasa
gembira karena hendak bertemu kembali dengan ayah bunda mereka yang sudah lama
mereka tinggalkan. Ada perasaan takut-takut karena mereka dapat menduga bahwa
ayah mereka tentu akan marah sekali kepada mereka. Ada perasaan terharu karena
mereka teringat akan segala peristiwa yang terjadi di tempat tinggal mereka
ini. Bagaimana pun juga, akhirnya kampung halaman merupakan tempat yang paling
indah di dunia ini.
Pada siang
hari itu, sekitar rumah keluarga mereka nampak sunyi. Dengan jantung berdebar
tegang, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memasuki pekarangan rumah yang amat mereka
kenal itu. Seorang pelayan tua yang melihat mereka datang, segera berteriak dan
lari masuk ke dalam sambil berteriak-teriak.
“Siocia dan
kongcu pulang....!”
Seruan ini
membuat tiga orang keluar menyambut. Mereka adalah Suma Kian Lee, Kim Hwee Li,
dan Louw Tek Ciang! Sejenak dua orang kakak beradik yang baru tiba itu berdiri
saling pandang dengan mereka yang menyambut. Ada keharuan di dalam hati mereka
semua.
Suma Ciang
Bun memperhatikan ayah ibunya. Ayahnya yang kini berusia kurang lebih lima
puluh satu tahun itu kelihatan semakin tua. Agaknya selama kurang lebih dua
tahun ini Suma Kian Lee menderita tekanan batin yang membuat wajahnya dihias
banyak garis-garis yang dalam, juga rambutnya kini banyak ubannya. Ibunya masih
kelihatan muda dan sama saja, masih cantik dan wajahnya berseri, matanya
bersinar-sinar.
Di sebelah
ayahnya dia melihat suheng-nya yang tak disenanginya, yaitu Louw Tek Ciang
walau pun harus diakuinya bahwa selama dua tahun ini nampak kemajuan pada diri
pemuda itu. Tek Ciang semakin tampan dan gagah, nampak lebih matang dan
sepasang matanya itu jelas membayangkan kecerdikan dan senyumnya kini terkendali,
menunjukkan kematangan!
“Ayah....!
Ibu....!” Kakak beradik itu berseru sambil menghampiri ke depan dan memberi
hormat.
“Kalian baru
pulang....!” Kim Hwee Li meloncat dan merangkul mereka. Sepasang mata ibu yang
juga banyak memikirkan mereka ini membasah.
Akan tetapi,
Suma Kian Lee tetap bersikap tenang, seolah-olah pulangnya kedua orang anaknya
itu tidak mendatangkan perubahan pada hatinya. Memang pendekar ini pandai
menyimpan perasaannya yang pada waktu itu penuh dengan kegirangan melihat
anak-anaknya selamat dan pulang, juga penuh kemarahan, terutama sekali terhadap
Suma Hui.
“Mari kita
masuk dan bicara di dalam,” katanya dan suaranya begitu datar, membuat hati
kakak beradik itu berdebar.
“Sumoi dan
sute, selamat datang!” kata Tek Ciang dengan suara gembira dan agaknya dia
tidak tersinggung ketika kedua orang kakak beradik itu hanya memandang padanya
dan mengangguk tanpa menjawab.
Mereka semua
mengikuti Suma Kian Lee yang sudah melangkah lebar menuju ke ruangan dalam yang
luas, yang menjadi ruangan duduk atau ruangan keluarga. Tanpa banyak cakap Suma
Kian Lee duduk menghadapi meja dan semua keluarganya juga mengambil tempat
duduk. Kim Hwee Li duduk di sebelah kanannya, Tek Ciang mengambil tempat duduk
agak jauh di belakang, sedangkan Ciang Bun dan Suma Hui duduk di depan ayah
mereka dengan muka tunduk.
Keadaan amat
hening dan semua orang merasakan keheningan yang mencekam itu. Semua orang tahu
bahwa pendekar setengah tua itu dalam keadaan marah sekali. Udara di dalam
ruangan itu seolah-olah terbakar panas oleh kemarahan Suma Kian Lee ketika
duduk menghadapi kedua orang anaknya dan memandang wajah putera dan puterinya itu
bergantian.
Ciang Bun,
Suma Hui dan Tek Ciang tidak berani berkutik, menguasai diri sepenuhnya agar
jangan mengeluarkan suara. Bahkan Kim Hwee Li yang merupakan satu-satunya orang
di dunia yang dapat mencairkan kebekuan dan kemarahan hati Suma Kian Lee, saat
itu pun berdiam diri. Isteri ini ikut prihatin dan ia menghormati perasaan
suaminya, tahu benar betapa penasaran, marah dan kecewa hati suaminya terhadap
anak-anak mereka.
Tiba-tiba
pendekar itu mengeluarkan suara dan biar pun kata-katanya tidak kasar atau
keras, namun terdengar dingin menyeramkan.
“Hemm,
setelah kalian ingat untuk pulang ke rumah sini, apa yang hendak kalian katakan
sekarang?”
Suma Hui dan
Ciang Bun tidak berani menjawab, tidak berani mengangkat muka karena mereka
maklum bahwa ayah mereka itu benar-benar sedang marah sekali.
“Brakkkk....!”
Kian Lee
menggebrak meja di depannya sehingga seluruh ruangan itu seperti tergetar.
“Kenapa kalian tidak menjawab? Apakah tuli dan bisu? Kalian pergi meninggalkan
rumah tanpa pamit, orang tua kalian anggap sampah saja! Begitukah watak
anak-anak yang berbakti kepada orang tua? Apalagi engkau, Hui-ji, engkau
sebagai seorang anak perempuan sungguh tidak patut pergi meninggalkan rumah
tanpa pamit. Kalian ini sungguh hanya dapat membikin susah hati orang tua saja.
Begitukah kalian membalas budi orang tua, dengan cara merusak hati kami berdua?
Begitukah?”
Suma Hui
makin menunduk dan biar pun ia tidak mengeluarkan suara, namun kedua matanya
menjadi basah oleh air mata. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia teringat
akan nasib dirinya, akan aib yang menimpa dirinya, akan dendam sakit hatinya
terhadap Cin Liong yang belum dapat dibalas. Ia telah pergi tanpa pamit karena
hendak membalas dendam, mencari orang yang telah merusak kebahagiaan hidupnya.
Tetapi kepergiannya sia-sia, tanpa hasil dan setelah pulang, dimaki-maki
ayahnya sebagai anak puthauw (tidak berbakti)!
Hampir semua
orang tua mengharapkan agar anak mereka berbakti kepada mereka. Bahkan semenjak
kecil, anak-anak ditekankan dan diajar agar berbakti kepada orang tuanya.
Berbakti adalah sikap yang timbul dengan sendirinya karena rasa sayang, dan
perasaan sayang tidak mungkin dipelajari, tidak mungkin dilatih. Berbakti yang
dilakukan karena latihan berarti merupakan suatu sikap yang dipaksakan dan
sikap apa pun kalau dipaksakan, berarti palsu.
Sikap
berbakti yang dipaksakan bukanlah kebaktian lagi namanya, melainkan penjilatan
atau bermuka-muka. Berbakti, menghormati, menyayang, menaruh rasa iba, semuanya
itu ada dengan sendirinya apabila terdapat rasa cinta kasih di dalam hati.
Kalau ada cinta kasih di dalam hati seorang anak, maka tidak perlu lagi anak
itu diajari untuk berbakti dan sebagainya. Sebaliknya, kalau batin si anak
kosong dari cinta kasih, maka semua kebaktian yang dilakukannya itu hanyalah
palsu belaka, mengandung pamrih dan sama dengan penjilatan.
Orang tua
yang mengharapkan anaknya berbakti atau membalas budi, bukanlah orang tua yang
mencinta anaknya. Cintanya hanya cinta dagangan, dengan perhitungan untung
rugi, memberi hutang dan menagih hutang berikut bunga-bunganya. Cintanya hanya
berupa penanaman budi agar kelak dapat memetik buahnya. Cinta macam ini
hanyalah cinta nafsu, yang berarti cinta kepada diri sendiri belaka, si anak
hanya dijadikan jembatan untuk menikmati kesenangan dirinya sendiri.
Karena
itulah, maka cinta seperti ini baru dapat bertumbuh subur kalau si anak dapat
menyenangkan hatinya, sebaliknya, begitu si anak tidak menyenangkan hatinya
atau malah menyusahkan, cintanya menjadi kabur dan mungkin saja berubah menjadi
kebencian. Dan untuk menjamin kesenangan yang hendak direguknya melalui diri si
anak, orang tua tidak segan-segan untuk mempergunakan senjata berupa sebutan
hauw (kebaktian). Anak yang tidak menyenangkan hatinya disebut puthauw (tidak
berbakti atau durhaka) dan pada umumnya di Tiongkok orang-orang paling takut
disebut puthauw. Sebutan ini seperti semacam kutukan baginya.
Khong Cu
menekankan pentingnya hauw (kebaktian) ini. Akan tetapi pelajaran beliau itu
ditujukan untuk orang-orang dalam kedudukannya sebagai anak. Sayangnya, orang
dalam kedudukan sebagai anak tidak begitu memperhatikan pelajaran itu,
sebaliknya kalau sudah menjadi orang tua, hendak mempergunakan pelajaran itu
sebagai senjata agar supaya anak-anak mereka berbakti kepadanya! Berbakti yang
tentu saja berarti menyenangkan hatinya! Kita manusia ini memang ingin enaknya
saja, dalam segala bidang, bahkan dalam bidang kerohanian atau agama pun, kita
mau yang enaknya saja untuk diri kita.
Kalau di
dalam batin orang tua dan anak terdapat cinta kasih, maka segala macam
pelajaran tentang hauw, tentang penghormatan, tentang kelakuan baik dan
sebagainya itu tidak dibutuhkan lagi! Cinta kasih merupakan landasan mutlak
bagi semua tindakan, semua sikap dan perbuatan apa pun. Cinta kasih merupakan
sinar terang yang akan membuat segala perbuatan menjadi bersih dan suci, tanpa
pura-pura, tanpa pamrih demi kesenangan diri sendiri, tanpa harapan untuk
dibalas.
Suma Kian
Lee adalah seorang pendekar besar, putera mendiang Pendekar Super Sakti majikan
Pulau Es. Namun, dia tetap hanya seorang manusia biasa dengan segala
kelemahannya seperti juga kita. Kekeliruan dalam sikapnya terhadap anak-anaknya
itu merupakan kekeliruan kita pada umumnya yang kita lakukan seperti dengan
sendirinya dan tanpa disadari lagi. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata
mempelajari batin kita sendiri, mengamati sikap kita terhadap keluarga,
terhadap isteri, anak, orang tua, sahabat-sahabat, maka akan nampak dengan
jelas segala kepalsuan yang terkandung di dalamnya!
“Hayo jawab,
jangan diam saja!” Suma Kian Lee membentak, kemarahannya makin berkobar karena
kedua orang anaknya diam saja.
Melihat ayah
mereka marah, Suma Hui dan Ciang Bun tidak berani berkata apa-apa. Mereka
berdua sudah merasa salah, maka apa lagi yang hendak dikatakan? Akan tetapi,
mereka pun penasaran karena biar pun bersalah, mereka sama sekali tidak berniat
untuk menyusahkan hati orang tua mereka.
Suma Hui
pergi karena didorong oleh dendam sakit hatinya dan dia pergi untuk mencari
musuh besarnya. Sedangkan Suma Ciang Bun pergi karena selain hatinya sakit
melihat betapa ayahnya telah mengangkat ahli waris ilmu silat keluarga mereka
kepada orang lain juga ingin menyusul enci-nya. Mereka bersedia untuk ditegur
dan dimarahi, akan tetapi mereka tidak mau minta ampun!
Melihat
kemarahan Suma Kian Lee, tiba-tiba Tek Ciang yang sejak tadi mendengarkan tanpa
mengeluarkan suara, lalu turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan dirinya
berlutut menghadap suhu-nya.
“Suhu dan
subo, sudilah kiranya suhu dan subo mengampunkan sumoi dan sute, mengingat
bahwa usia mereka masih amat muda. Teecu mohon agar suhu dan subo bersabar dan
sudi mengampuni mereka.”
Suma Hui
mengerutkan alisnya dan dengan sinar mata berapi ia memandang kepada pemuda
itu, kemudian terdengar ia membentak, “Louw-suheng, siapa membutuhkan
pembelaanmu? Aku tidak ingin dikasihani dan sungguh engkau lancang mencampuri
urusan orang!”
“Hui-ji....!”
Suma Kian Lee bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada puterinya
dengan mata bersinar-sinar. “Tidak patut sekali sikapmu ini! Suheng-mu telah
memperlihatkan sikap yang amat baik, mintakan ampun untukmu dan engkau malah
berani mengeluarkan ucapan yang kasar itu. Sungguh tidak mengenal budi! Pula,
dia adalah suheng-mu dan calon suamimu!”
Kalau tadi
ketika dimarahi ayahnya Suma Hui diam saja, kini mendengar ucapan ayahnya itu
tiba-tiba ia membantah dengan suara yang cukup lantang. “Ayah, dia bukan calon
suamiku!”
Suma Kian
Lee terkejut juga mendengar bantahan yang lancang itu dan diam-diam Kim Hwee Li
tersenyum di dalam hatinya. Itulah puterinya dan dia bangga melihat sikap
puterinya! Wanita ini memang paling tidak suka melihat kelemahan karena ia
sendiri adalah seorang wanita yang keras hati dan penuh keberanian, selalu
kagum melihat kegagahan.
Akan tetapi
Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak dia beradu pandang mata dengan
puterinya. “Bagus sekali! Apakah engkau sudah lupa akan janjimu sebelum engkau
pergi? Engkau bilang bahwa engkau mau menjadi isteri Tek Ciang kalau dia dapat
mengalahkanmu dalam ilmu silat. Nah, apakah engkau sekarang hendak menjilat
ludah kembali seperti seorang pengecut?”
Suma Kian
Lee sengaja menyentuh hal ini karena dia memang sudah mengenal watak puterinya.
Suma Hui, seperti juga Kim Hwee Li, merupakan seorang gadis yang paling pantang
dikatakan pengecut. Seorang wanita gagah seperti Suma Hui atau ibunya itu lebih
baik mati dari pada menjadi pengecut! Maka, mendengar ucapan ayahnya, Suma Hui
meloncat bangun dari tempat duduknya dan memandang kepada Tek Ciang.
“Aku tidak
akan mengingkari janjiku. Louw Tek Ciang, kalau engkau memang ada kepandaian,
mari kau coba robohkan aku!” Dara itu langsung menantang dengan suara geram.
Dalam kemarahannya ia tidak menyebut suheng kepada pemuda itu melainkan
langsung menyebut namanya begitu saja.
Wajah Tek
Ciang berubah merah akan tetapi dia masih pandai bersikap merendah.
“Aih, sumoi,
mana aku berani....?”
“Ucapan
seorang gagah takkan diingkarinya sendiri. Hui-ji sudah mengucapkan janjinya
dan kini tantangannya. Hayo kalian selesaikan ketentuan urusan ini di
lian-bu-thia!” kata Suma Kian Lee sambil melangkah menuju ke ruangan silat.
Dengan
langkah tegap dan muka merah karena marah Suma Hui melangkah mengikuti ayahnya.
Barulah Tek Ciang melangkah perlahan dengan sikap ragu-ragu dan
sungkan-sungkan. Di belakangnya, Kim Hwee Li dan Ciang Bun juga turut berjalan
memasuki lian-bu-thia.
Ciang Bun
yang melihat ayahnya membersihkan ruangan bermain silat itu, kemudian
membantunya. Ruangan itu cukup luas sebab memang sengaja dibangun untuk
berlatih silat.
Kini Suma
Hui sudah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Setelah mengikatkan sabuknya
lebih erat, dara ini berdiri dengan dua kaki terpentang dan sikap menantang.
Sebaliknya, Tek Ciang bersikap hati-hati dan ragu-ragu. Dia melepaskan jubah
luarnya dan ternyata di sebelah dalamnya, dia sudah siap dengan pakaian ringkas
sekali dan dalam pakaian itu dia nampak gagah dan tampan. Pemuda ini memang
pandai sekali berdandan.
Tentu saja
diam-diam Ciang Bun mengharapkan enci-nya akan menang karena dia sendiri pun
tidak setuju kalau enci-nya menjadi isteri orang ini. Akan tetapi, Suma Kian
Lee dan Kim Hwee Li berpikir lain. Suami isteri ini tahu bahwa selama dua tahun
menerima gemblengan, Tek Ciang telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
Anak itu
memang berbakat dan cerdik sehingga ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dapat
diserapnya dan dapat dilatihnya dengan baik. Bahkan dia telah mempelajari dua
ilmu inti dari Pulau Es, yaitu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang. Walau
pun kedua ilmu ini belum dapat dikuasainya dengan baik dan dia masih kurang
latihan, namun dia sudah mampu mempergunakannya dan tenaganya cukup hebat!
Tentu saja
suami isteri pendekar ini sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa selain
menerima gemblengan ilmu dari Suma Kian Lee, diam-diam Tek Ciang juga menerima
dan mempelajari ilmu-ilmu dari Jai-hwa Siauw-ok!
Suma Hui
tidak mau membuang-buang banyak waktu lagi. Begitu melihat Tek Ciang melangkah
masuk ke ruangan dan menghampirinya, ia lalu mengeluarkan bentakan nyaring,
“Lihat serangan!” dan tubuhnya sudah meluncur maju dan ia sudah mengirim
serangan kilat yang cukup hebat.
Melihat
datangnya serangan, Tek Ciang cepat mengelak. Akan tetapi, Suma Hui terus
menghujankan serangan dan mainkan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Silat Kapas
Pencabut Nyawa). Ilmu silat ini diwarisi Suma Kian Lee dari mendiang Lulu,
ibunya dan merupakan ilmu silat yang gerakan-gerakannya halus akan tetapi di
balik kehalusan itu mengandung jurus-jurus mematikan. Tek Ciang sudah
mempelajari ilmu silat ini, maka dia pun dapat menghadapinya dan mengelak ke
sana-sini sambil kadang-kadang menangkis.
Lewat tiga
puluh jurus, Tek Ciang hanya menangkis dan mengelak saja tanpa pernah membalas.
Tetapi diam-diam Suma Hui terkejut juga karena tenaga yang ia kerahkan dengan
tenaga sinkang Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, dapat
ditangkis oleh pemuda itu dan ia merasa betapa lengan yang ditangkis menjadi
tergetar dan agak nyeri, tanda bahwa tenaga pemuda tidak kalah kuat olehnya!
Suma Hui
merasa penasaran dan ia pun merubah-rubah ilmu silatnya, namun ilmu silat apa
pun yang dikeluarkannya, dapat dihadapi dengan baik oleh Tek Ciang. Hanya
kadang-kadang saja, kalau sudah terlampau terdesak, Tek Ciang terpaksa membalas
serangan, hanya untuk membuyarkan desakan Suma Hui saja.
“Tek Ciang,
jangan main-main! Balas serang!” Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru, tidak sabar
melihat ulah Tek Ciang yang banyak mengalah itu.
Tek Ciang
terkejut dan dia pun tidak berani membantah. Kemudian mulailah dia balas
menyerang. Suma Hui melindungi dirinya dan berusaha membalas, namun ternyata
kini gerakan Tek Ciang cepat sekali sehingga ia tidak memperoleh waktu untuk
membalas. Maka segera ia terdesak hebat oleh pemuda itu.
Agaknya Tek
Ciang memang tidak mau mengalahkan Suma Hui, atau tidak ingin membuat malu
gadis itu. Pemuda ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa Suma Hui masih belum
mau tunduk kepadanya, maka dia pun ingin menundukkan hati gadis itu dengan
sikap baiknya. Kalau dia secara langsung mengalahkan gadis itu, mungkin gadis
itu akan menjadi semakin penasaran dan bahkan mungkin akan membencinya.
Maka, dia
bersikap cerdik dan tidak mau terlalu mendesak, membiarkan pertandingan itu
berjalan seru dan seimbang. Padahal, kalau dia mau, tidak terlalu sukar baginya
untuk mengalahkan Suma Hui karena selain telah mewarisi ilmu keluarga gadis
ini, juga dia telah digembleng oleh gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok
yang juga lihai sekali.
Memang Tek
Ciang sangat cerdik. Sikapnya yang banyak mengalah itu setidaknya telah membuat
Suma Kian Lee semakin suka kepadanya. Bahkan seorang wanita yang amat cerdas
seperti Kim Hwee Li juga kena diakali dan kini wanita ini tidak lagi begitu
tidak suka kepada Tek Ciang yang selalu bersikap baik, jujur dan halus. Apalagi
menyaksikan pertandingan ini, diam-diam Kim Hwee Li harus mengakui bahwa Tek
Ciang benar-benar mengalah dan hal ini dianggapnya sebagai tanda cinta pemuda
itu kepada Suma Hui.
Ciang Bun
sendiri menggigit bibir dan mengepal tinju. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian
Tek Ciang kini sudah amat hebat, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian
enci-nya dan dia dapat menduga bahwa tentu enci-nya akan kalah dan akan
terpaksa menjadi isteri Tek Ciang.
Tetapi,
tiba-tiba terjadi perubahan dalam perkelahian itu dan Kim Hwee Li mengeluarkan
seruan tertahan. Mendadak Suma Hui merubah gerakannya dan Tek Ciang nampak terkejut
dan bingung, lalu berbalik terdesak!
Kiranya kini
gadis itu memainkan Ilmu Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh)!
Ilmu ini adalah ilmu silat istimewa terdiri dari delapan jurus yang dimiliki
Kim Hwee Li dan telah diturunkan kepada puterinya. Tentu saja Tek Ciang belum
pernah mempelajari ilmu ini dan tidak mengherankan kalau dia merasa bingung
karena ilmu itu, biar pun hanya delapan jurus banyaknya, akan tetapi merupakan
ilmu silat tinggi pilihan.
Kim Hwee Li
memperoleh ilmu silat yang sakti itu dari mendiang Dewa Bongkok dari Gurun
Pasir! Apalagi kini dimainkan oleh Suma Hui yang bersemangat penuh untuk
merobohkan lawan. Tek Ciang segera terdesak mundur dan hampir terkena pukulan
sampai dia terhuyung. Melihat betapa lihainya ilmu silat yang dimainkan Suma
Hui, Tek Ciang tidak ingin kalah dan tiba-tiba dia pun menggerakkan tubuh lebih
cepat lagi, tangannya mencengkeram ke arah leher Suma Hui!
Suma Kian
Lee sendiri sampai mengerutkan alis. Jurus apa yang dimainkan muridnya itu?
Demikian keji dan tak tahu malu kalau dipergunakan menyerang lawan wanita.
Tangan kanan Tek Ciang mencengkeram ke arah leher sedangkan tangan kirinya
mencengkeram ke arah dada! Juga Kim Hwee Li terkejut dan heran.
Akan tetapi,
Tek Ciang yang tadi tanpa disadarinya memainkan jurus dari ilmu silat yang
dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, segera tersadar ketika Suma Hui
mengeluarkan seruan kaget. Betapa bodohnya dia, pikirnya dan cepat dia merubah
gerakannya, kini menggunakan jurus dari Ilmu Silat Hong-in Bun-hwat melanjutkan
cengkeramannya menjadi totokan dan tangan kanan yang tadi mencengkeram ke arah
leher digerakkan ke atas dan tahu-tahu tusuk konde Suma Hui telah dapat
dicabutnya!
“Hyaaaattt....!”
Suma Hui
marah sekali dan menendang. Tetapi sekali ini Tek Ciang memperlihatkan
kelihaiannya. Dia tidak mengelak ke belakang menghadapi tendangan itu,
sebaliknya dia malah maju dan memiringkan tubuh, tusuk kondenya dipakai menotok
atau menusuk ke arah lutut yang menendang. Melihat ini, Suma Hui menahan
tendangannya dan inilah yang dikehendaki Tek Ciang karena secepat kilat tangan
kirinya menyambar ke depan dan.... sepatu kaki yang menendang itu pun copot,
terampas oleh tangan kiri Tek Ciang.
Suma Hui
terbelalak dan menubruk ke depan, tangan kirinya dikepal menghantam dada lawan.
Tek Ciang yang sudah berhasil merampas tusuk konde dan sepatu, yang berarti
menang mutlak, menyambut pukulan ke dadanya itu sambil tersenyum. Dia sama
sekali tidak mengelak atau menangkis.
“Dukkk....!”
Tubuh Tek
Ciang terjengkang. Ketika dia bangkit kembali, bibirnya berdarah. Agaknya, biar
pun dia telah menggunakan sinkang untuk menahan pukulan itu, tetap saja getaran
pukulan membuat dia menderita sedikit luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi dia
tetap tersenyum dan menghampiri Suma Hui sambil berkata,
“Engkau
semakin lihai saja, sumoi. Maafkan aku!” Dan dia menyerahkan kembali sepatu dan
tusuk konde.
Suma Hui
menerimanya dengan renggutan, lalu mengenakan sepatunya.
“Hui-ji,
apakah engkau masih tidak mau mengaku kalah?” Suma Kian Lee menegur puterinya.
Suma Hui
bukan anak kecil, bukan pula bodoh. Sepatu dan tusuk kondenya terampas lawan,
itu berarti kalah mutlak. Ia pun tahu bahwa pukulannya yang mengenai dada Tek
Ciang tadi adalah pukulan yang sengaja diterima pemuda itu untuk ‘memberi muka’
kepadanya.
“Sudahlah,
aku mengaku kalah!” katanya dengan suara lirih.
“Dan engkau
tidak mengingkari janji, mau berjodoh dengannya?” ayahnya mendesak.
“Terserah
kepada ayah sajalah, aku hanya mentaati ayah.”
Setelah
berkata demikian, tanpa menoleh kepada Tek Ciang, Suma Hui kemudian lari
meninggalkan ruangan itu, langsung masuk ke kamarnya dan membanting tubuhnya di
atas pembaringannya lalu menangis terisak-isak, menutupi muka dengan bantal
untuk menyembunyikan tangisnya.
“Enci....”
Suara halus
Ciang Bun dan sentuhan lembut pada pundaknya membuat Suma Hui semakin terharu
dan tangisnya semakin mengguguk. Ciang Bun duduk dengan muka pucat dan alis
berkerut, membiarkan enci-nya menangis sepuasnya. Setelah enci-nya dapat
menenangkan hatinya, dia pun berbisik.
“Enci Hui,
kalau engkau tidak suka menjadi jodohnya, jangan memaksa diri. Tolak saja,
jangan mau!” Ciang Bun berkata dengan penasaran dan merasa kasihan sekali
kepada enci-nya.
Suma Hui
bangkit duduk dan menarik napas panjang. Setelah isaknya terhenti dan ia dapat
menguasai kembali hatinya, ia berkata, “Adikku, sekali ini tidak mungkin aku
mengelak. Mau tidak mau aku harus mentaati perintah ayah dan rela menjadi
isteri Louw Tek Ciang.”
“Hemm,
mengapa begitu, enci? Apakah alasanmu?”
“Pertama,
sudah banyak aku membikin susah hati ayah dan ibu dan aku tidak mau lagi
mengulanginya. Ke dua, aku tidak mau kalau sampai orang tuaku melanggar janji
kepada keluarga Tek Ciang. Ke tiga, aku sendiri mana sudi menjilat ludah, aku
harus berani mempertanggung jawabkan semuanya dan memenuhi janjiku. Ke empat,
aku sudah tidak mempunyai ikatan hati dengan siapa pun. Engkau tahu betapa
benciku sekarang kepada orang yang pernah kucinta. Ke lima, aku bisa minta
bantuan Tek Ciang dalam menghadapi si keparat Cin Liong karena sekarang ilmu
kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan hebat. Dan ke enam, melihat sikapnya
tadi, betapa dia mengalah, harus diakui bahwa sesungguhnya Tek Ciang berhati
baik.”
Ciang Bun
mengangguk-angguk. “Terlalu baik, dia itu.... terlalu baik....!”
***************
Pesta
pernikahan yang diadakan tiga bulan kemudian di rumah pendekar Suma Kian Lee di
Thian-cin itu amat meriah. Pestanya sendiri sederhana saja karena keluarga ini
bukan keluarga kaya. Namun karena nama besar pendekar Suma Kian Lee sudah amat
terkenal, apalagi sebagai keturunan keluarga pendekar Pulau Es, maka banyaknya
para tamu yang datang membuat perayaan itu menjadi meriah dan megah.
Bukan hanya
para pendekar di dunia kang-ouw yang membanjiri perayaan itu di samping para
pembesar, akan tetapi bahkan tokoh-tokoh dunia hitam ada pula yang muncul
sebagai tamu karena menghormati keluarga Pulau Es. Dan sebagian besar yang
datang itu tidak menanti undangan. Orang kang-ouw yang mendengar bahwa keluarga
Suma mempunyai kerja, merasa tertarik dan datang begitu saja sebagai tamu tak
diundang! Akan tetapi, Suma Kian Lee sekeluarga menerima kedatangan semua tamu
tanpa pandang bulu, menyambut mereka dengan sikap hormat tanpa membeda-bedakan.
Perayaan itu
menjadi amat meriah karena kesempatan itu dipergunakan oleh para pendekar Pulau
Es untuk berkumpul. Bertemulah semua keluarga mendiang Pendekar Super Sakti di
rumah Suma Kian Lee di Thian-cin dan tentu saja pertemuan keluarga ini mendatangkan
suasana gembira dan juga terharu. Mereka bergembira karena dapat memperoleh
kesempatan saling bertemu dan berkumpul sekeluarga besar, dan mereka terharu
karena mereka bersama kehilangan orang tua yang mereka hormati dan sayang,
yaitu Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya yang tewas di Pulau Es,
hanya disaksikan oleh tiga orang cucu Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Hui yang
kini menikah, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong yang pada kesempatan itu belum
juga pulang!
Kakak
kandung Suma Kian Bu, yaitu satu-satunya puteri Pendekar Super Sakti yang
bernama Milana, tidak dapat datang. Puteri Milana dan suaminya kini telah
menjauhi keramaian dunia dan bertapa di puncak Beng-san yang bernama Puncak
Telaga Warna. Akan tetapi suami isteri yang tidak lagi mau berurusan dengan
keramaian dunia ini telah diwakili oleh putera kembar mereka, yaitu Gak Jit
Kong dan Gak Goat Kong.
Seperti
telah diceritakan dalam kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’, pendekar sakti
Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana, hanya mempunyai sepasang anak kembar
itu. Pada waktu mereka berdua datang berkunjung ke dalam pesta pernikahan Suma
Hui, usia mereka sudah kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi keduanya
masih belum menikah!
Agaknya ada
keistimewaan pada sepasang pendekar kembar ini, yaitu mereka agaknya tidak rela
kalau saudaranya menikah dengan wanita lain! Padahal, agaknya sukar
dilaksanakan kalau mereka harus menikah hanya seorang isteri saja. Persoalan
sepasang pendekar kembar inilah yang membuat suami isteri Gak Bun Beng menjadi
kecewa dan mereka lebih banyak mengasingkan diri di puncak Gunung Telaga Warna.
Ada pun dua orang pendekar kembar itu sendiri pun agaknya sudah putus asa untuk
mendapatkan jodoh yang cocok.
Suma Kian Bu
dan isterinya juga hadir. Sepasang suami isteri pendekar ini pun berada dalam
keadaan tidak begitu gembira, bahkan mereka menahan dan menyembunyikan
kegelisahan hati mereka. Sampai sekian lamanya mereka belum berhasil menemukan
kembali putera mereka, yaitu Suma Ceng Liong, walau pun keduanya sudah
mengikuti jejak Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat dan kemudian kehilangan jejak
orang itu di Pegunungan Himalaya!
Suma Kian Bu
dan isterinya tentu saja merasa heran melihat bahwa Suma Hui menikah dengan
seorang pemuda yang menjadi murid Kian Lee, padahal mereka pernah melihat
huhungan asmara antara Suma Hui dengan Kao Cin Liong yang masih terhitung
keponakan sendiri dari Suma Hui. Akan tetapi tentu saja mereka menekan
keheranan mereka ini dan tidak berani bertanya, takut kalau-kalau menyinggung.
Keluarga Kao
Kok Cu tidak muncul. Tentu saja mereka yang juga mendengar tentang pernikahan
itu merasa canggung dan tidak enak untuk muncul setelah pinangan mereka
terhadap diri Suma Hui ditolak, bahkan setelah terjadi keributan dengan adanya
tuduhan bahwa putera mereka, Kao Cin Liong, telah memperkosa Suma Hui. Sejak
itu, ada ganjalan mendalam di antara kedua keluarga ini dan bagaimana pun juga,
tidak mungkin Kao Kok Cu dan isterinya berani datang berkunjung sebagai tamu.
Di antara
para tokoh pendekar yang kenamaan, yang hadir dalam perayaan pernikahan itu,
nampak pula seorang pendekar tua yang gagah perkasa. Wajahnya tampan, sikapnya
ramah dan simpatik dan semua orang yang berada di situ memandang ketika
rombongan tamu ini datang memasuki ruangan.
Dia adalah
Bu-taihiap, seorang pendekar kenamaan berusia lima puluh delapan tahun, namun
masih nampak gagah, diiringkan tiga orang wanita cantik yang usianya kurang
lebih lima puluh tahun. Tiga orang wanita cantik ini adalah isteri-isterinya
dan pendekar bernama Bu Seng Kin itu memang terkenal sebagai seorang pria
romantis yang semenjak muda dicinta banyak wanita dan bahkan mempunyai isteri
di mana-mana!
Tiga orang
isterinya itu pun bukan wanita sembarangan. Yang tertua, berusia lima puluh
satu tahun, adalah seorang puteri peranakan Nepal yang pernah menjadi Panglima
Nepal. Ilmu silat dan ilmu perangnya cukup hebat dan namanya terkenal sebagai
Puteri Nandini. Yang ke dua, berusia empat puluh delapan tahun, masih nampak
cantik manis, adalah seorang wanita berpakaian nikouw akan tetapi memelihara
rambut dan ia pun menjadi isteri pendekar petualang asmara itu, bernama Ga Cui
Bi. Yang ke tiga, mungkin yang paling lihai di antara tiga orang isteri itu,
juga termuda, dua tiga tahun lebih muda dari pada nikouw itu, adalah seorang
wanita cantik genit hernama Tan Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi
Pencabut Nyawa).
Dia sendiri
seorang pendekar yang memiliki ilmu silat amat tinggi, jarang dapat ditemukan
tandingan, masih ada tiga orang isterinya yang kesemuanya lihai-lihai selalu
berada di sampingnya! Tentu saja jarang ada pihak yang berani mengganggu
keluarga jagoan ini. Masih banyak sekali tamu yang terdiri dari orang-orang
kenamaan. Bahkan Kaisar Kian Liong sendiri mengirim utusan pribadi dan mengirim
sumbangan, suatu kehormatan yang besar sekali! Maka, suasana pesta pernikahan
itu menjadi meriah, megah dan gembira sekali.
Suma Kian
Lee dan isterinya sibuk menyambut dan melayani para tamu, menerima
ucapan-ucapan selamat dan mereka merasa gembira bukan main. Tak mereka sangka
bahwa pernikahan puteri mereka yang diawali dengan hal-hal amat menggelisahkan
itu kini dapat berlangsung dengan lancar.
Suma Hui
sendiri pun tidak banyak rewel, dan memang gadis ini benar-benar telah menyerahkan
kesemuanya kepada ayahnya tanpa membantah. Agaknya sudah bulat tekadnya yang
bertujuan satu, yaitu mengajak suaminya untuk membantunya membalas dendam dan
membunuh Kao Cin Liong kelak! Untuk itu ia siap mengorbankan diri dan hati dan
akan menerima nasib menjadi isteri Louw Tek Ciang!
Baginya toh
sama saja menjadi isteri siapa pun, hanya pada diri Louw Tek Ciang ia dapat
mengharapkan bantuan menghadapi Cin Liong. Dan bagaimana pun juga, Tek Ciang
adalah suheng-nya sendiri dan sudah dipercaya oleh ayahnya. Ia boleh salah
pilih, akan tetapi agaknya ayahnya cukup teliti sehingga tidak akan salah
memilihkan suami untuknya. Dengan pikiran ini, Suma Hui dapat melaksanakan
segala upacara pernikahan itu dengan tenang dan diam saja. Tidak nampak senyum
di wajahnya, juga tidak nampak duka. Ia hanya menunduk dan menutup semua panca
indera terhadap hal lain, dan mengikuti upacara secara membuta saja.
Kiranya
hanya Ciang Bun seorang yang dapat menyelami hati enci-nya. Pemuda yang halus
perasaan ini mengerti sepenuhnya bahwa enci-nya itu bagaimana pun juga masih
mencinta Cin Liong dan bahwa enci-nya melaksanakan pernikahan itu dengan
memaksakan diri. Dia dapat membayangkan betapa hancur hati enci-nya dan
diam-diam dia pun merasa menyesal dan berjanji dalam hatinya untuk kelak
menegur dan membalas dendam kepada Cin Liong yang dianggapnya tidak bertanggung
jawab dan telah menghancurkan kebahagiaan hidup enci-nya.
Perayaan
pernikahan itu berjalan lancar sampai selesai. Meriah dan tidak terjadi sesuatu
yang tidak baik, seperti yang sering terjadi dalam perayaan di rumah seorang
pendekar. Agaknya, hadirnya para pendekar gagah membuat kaum pengacau menjadi
gentar dan tidak ada yang berani mencoba-coba.
Setelah
semua tamu bubaran, Suma Kian Bu dan isterinya juga berpamit karena mereka
hendak kembali ke rumah mereka yang sudah terlalu lama mereka tinggalkan dalam
usaha mereka mencari Ceng Liong. Sepasang pendekar kembar she Gak juga berpamit
dari paman mereka. Tinggallah kini keluarga tuan rumah yang mempunyai kerja.
Seperti biasa
pada semua keluarga yang mempunyai kerja, di waktu pesta terlaksana tidak
terasa apa-apa, akan tetapi begitu pesta selesai, terasalah betapa lelahnya
badan! Keluarga itu menyerahkan semua pemberesan perabot-perabot dan
pembersihan tempat kepada tenaga-tenaga bantuan, dan mereka sendiri sore-sore
telah memasuki kamar masing-masing. Juga sepasang pengantin sudah memasuki
kamar mereka….
Malam itu
sungguh sunyi setelah pada siang harinya tempat itu demikian meriah dikunjungi
banyak orang. Tidak terdengar suara berisik, bahkan para tenaga bantuan yang
masih bekerja membersihkan tempat, bekerja dengan hati-hati dan tidak berani
berisik. Setelah hari gelap benar, mereka pun menghentikan pekerjaan mereka dan
mengaso di bagian belakang rumah keluarga Suma itu.
Suma Kian
Lee dan isterinya telah merebahkan diri beristirahat. Ciang Bun bergulingan
gelisah di tempat tidurnya. Tak dapat dia melepaskan pikirannya dari
membayangkan keadaan enci-nya. Dia menjadi gelisah dan sedih.
Sementara
itu, di dalam kamar pengantin sendiri, sepasang pengantin sudah bertukar
pakaian. Suma Hui duduk termenung di atas kursi. Kamar yang terhias amat indah
itu, dengan bau semerbak harum kamar pengantin, seperti tidak dirasakannya. Ia
merasa seperti ada kelumpuhan di dalam batinnya, dan kadang-kadang ia tersentak
kaget dan memejamkan mata membayangkan orang yang juga berada di kamar ini,
yang kini menjadi suaminya dan yang harus dilayaninya!
Ngeri ia
membayangkan semua itu, akan tetapi ia maklum bahwa bagaimana pun juga, ia
harus taat! Tek Ciang sendiri nampak gugup dan canggung. Pengantin pria ini pun
sudah berganti pakaian yang longgar, pakaian dari sutera biru yang membuat dia
nampak tampan.
Pada saat
Tek Ciang menghampirinya dan menyentuh pundaknya, Suma Hui merasa tubuhnya
seperti dimasuki ratusan ekor semut yang membuatnya gemetar dan bulu tengkuknya
meremang. Mengerikan, pikirnya. Tapi dia adalah seorang wanita pendekar,
seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Apa pun yang terjadi, dia
sudah menyerah dan ia harus mempertanggung jawabkan semua itu.
“Hui-moi....
Hui-moi....” terdengar suara Tek Ciang, suara yang kedengaran aneh bagi telinga
Suma Hui.
Biasanya,
kalau memanggilnya sumoi dan kalau bicara kepadanya, di dalam suara Tek Ciang
mengandung suara halus merayu dan juga perendahan diri. Kini, suara itu selain
mengandung rayuan juga kekuasaan! Maka aneh kedengarannya. Namun ia menoleh dan
menjawab lirih, “Ada apakah?”
Tentu saja
jawaban ini membuat Tek Ciang menjadi agak gugup. Dia bukan orang yang tidak
biasa berdekatan dengan wanita-wanita. Banyak sudah dia mendekati wanita dan
berhubungan dengan wanita, yang dilakukan secara diam-diam selama ini. Akan
tetapi, dia harus mengakui bahwa berdekatan dengan Suma Hui ini lain lagi, ada
sesuatu yang membuatnya merasa agak gentar.
Tadi,
panggilannya sudah jelas maknanya, panggilan seorang suami untuk isterinya,
seorang pengantin pria kepada mempelainya, yang bernada rayuan, tuntutan atau
pun pembuka jalan. Namun isterinya itu langsung bertanya terang-terangan ada
keperluan apa, maka tentu saja dia menjadi canggung.
Dia pun
membelai tangan Suma Hui yang dipegangnya. Tangan yang memiliki jari-jari
tangan kecil runcing dan berkulit halus, akan tetapi agak dingin dan Tek Ciang
tahu betapa berbahayanya jari-jari tangan berkulit halus ini! Suma Hui
mendiamkan saja ketika tangannya dibelai, hanya jantungnya berdebar demikian
kencangnya sampai kedua telinganya dapat mendengar detak jantungnya sendiri.
“Moi-moi,
engkau tentu lelah. Mari kita mengaso di pembaringan....”
Suma Hui
melirik ke arah lilin di atas meja, lalu bangkit berdiri dan berkata lirih
seperti berbisik, “Padamkan dulu lilinnya....”
Tek Ciang
tersenyum gembira, melepaskan tangan halus itu dan menghampiri meja. Sementara
itu, Suma Hui sudah mendahuluinya menuju ke pembaringan dan segera menyingkap
kelambu dan naik ke atas pembaringan yang berbau harum itu. Detak jantungnya
makin menghebat. Lilin padam dan kamar itu hanya remang-remang saja, mendapat
sedikit penerangan yang menerobos masuk melalui celah-celah atas jendela dari
luar.
Detak
jantung di dalam dada Suma Hui hampir disusul jerit yang ditahan ketika dia
merasa betapa Tek Ciang sudah naik ke atas pembaringan pula dan merangkulnya,
menindihnya dan menggelutinya, lalu menciumi seluruh mukanya, matanya, pipinya,
hidungnya dan mengecup bibirnya. Akan tetapi ia tidak mengelak, tidak menolak,
tidak pula menyambut, hanya diam saja bergumul dengan perasaan hatinya sendiri.
Hatinya ingin menolak, akan tetapi dengan kekerasan kemauan dia melumpuhkan
keinginan hatinya sendiri dan menyerah saja, bahkan memejamkan matanya, hanya
merasakan apa yang diperbuat oleh Tek Ciang atas dirinya.
“Moi-moi....
ahh, Hui-moi.... akhirnya engkau menjadi isteriku.... ahh, betapa aku cinta
padamu....” Dengan bisikan tersendat-sendat dan jari-jari tangan gemetar Tek
Ciang menggeluti isterinya.
Mendadak
terdengar jeritan melengking keluar dari mulut Suma Hui. Tanpa disengaja
tangannya meraba punggung suaminya yang tak berpakaian lagi itu dan jari
tangannya meraba benjolan daging di punggung kiri. Tonjolan daging sebesar
telur burung yang ditumbuhi rambut!
“Engkau....!”
Dan ia pun menghantamkan tangannya ke arah kepala suaminya!
Tek Ciang
kaget setengah mati. Akan tetapi dia masih sempat menggulingkan tubuhnya dari
atas pembaringan sehingga terhindar dari hantaman maut.
“Hui-moi,
ada apakah....?”
“Keparat
jahanam! Kiranya engkau malah orangnya....?” Suma Hui pun menjerit sambil
menangis.
Cepat Suma
Hui membereskan kembali pakaiannya yang tadi sudah hampir tertanggal seluruhnya
oleh jari-jari tangan Tek Ciang. Tek Ciang sendiri dalam kekagetannya cepat
membereskan pakaiannya sendiri, lalu menyalakan lilin. Kamar itu kini menjadi
terang kembali dan Suma Hui meloncat turun dari atas pembaringan, menghadapi
suaminya dengan sepasang mata berapi-api walau pun ada air mata menetes-netes
turun.
“Engkau....!”
Telunjuknya menuding ke arah muka Tek Ciang yang memandang dengan mata
terbelalak. “Engkaulah orangnya! Jahanam terkutuk, engkaulah orangnya yang
telah memperkosaku dahulu!”
Setelah
berkata demikian, dengan kemarahan meluap Suma Hui menerjang ke depan dan
menyerang dengan sekuat tenaganya, menghantam ke arah dada Tek Ciang dengan
tangan terbuka. Akan tetapi Tek Ciang mengelak dan meloncat ke belakang.
“Hui-moi,
apa yang kau katakan ini....? Sudah jelas perbuatan terkutuk itu dilakukan oleh
Kao Cin Liong....”
“Tutup
mulutmu yang busuk! Baru sekarang aku mengerti! Ternyata engkau adalah seekor ular
busuk yang amat jahat, khianat, curang dan pengecut! Engkaulah yang melakukan
perbuatan terkutuk itu, dan engkau menimpakan kesalahan kepada orang lain!
Tidak perlu engkau menyangkal, daging menonjol dan berambut yang tumbuh di
punggungmu itulah saksinya.” Suma Hui menyerang lagi dengan sengit.
“Kau salah
sangka....” Tek Ciang membela diri akan tetapi suaranya gemetar dan lemah
karena dia kehabisan akal setelah rahasianya terbuka.
Dia merasa
menyesal sekali mengapa di punggungnya tumbuh daging jadi itu, dan mengapa pula
sampai Suma Hui mengetahui tentang tonjolan daging itu. Tentu saja dia tidak
tahu bahwa dahulu ketika dia memperkosa Suma Hui, biar pun gadis itu berada
dalam keadaan terbius, namun Suma Hui masih setengah sadar ketika tangannya
bergerak dan jari-jari tangannya menyentuh punggung yang telanjang dan bertemu
dengan tonjolan daging berambut itu. Dia menyimpan rahasia itu di dalam
hatinya. Hanya itulah satu-satunya tanda yang dikenalnya dari tubuh
pemerkosanya. Sungguh tak pernah dia mengira bahwa yang punggungnya menonjol
itu adalah Tek Ciang!
Suma Hui
menyerang dengan beringas dan kini Tek Ciang juga berusaha untuk menundukkan.
Pria ini maklum bahwa rahasianya sudah terbuka dan dia hendak menundukkan Suma
Hui melalui kekerasan. Maka, sambil mengelak dia pun balas menyerang dan sebuah
tendangan mengenai paha Suma Hui, membuat wanita ini terguling.
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar suara keras dan daun pintu jebol. Muncullah Suma Kian
Lee dan Kim Hwee Li. Suami isteri ini terkejut sekali mendengar suara gaduh di
kamar pengantin dan ketika mereka keluar dari kamar menghampiri kamar
pengantin, mereka mendengar perkelahian itu, bahkan mereka sempat mendengarkan
kata-kata Suma Hui yang terakhir tadi yang membuat mereka terkejut setengah mati.
Pada saat
perkelahian menghebat, Suma Kian Lee tidak sabar lagi dan sekali dorong
robohlah daun pintu. Mereka melihat Suma Hui baru merangkak hendak bangkit dan
Louw Tek Ciang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Apa yang
telah terjadi?” Suma Kian Lee bertanya, suaranya marah, penuh selidik.
“Hui-ji, apa
artinya kata-katamu tentang pemerkosaan dan daging tumbuh di punggung tadi?”
Kim Hwee Li juga bertanya.
Tendangan
tadi tidak mendatangkan luka berat, tetapi tetap saja Suma Hui melangkah dengan
terpincang-pincang menghampiri ibunya. Air matanya bercucuran.
“Ibu....
ayah.... dia.... dialah.... iblis terkutuk yang dahulu memperkosaku! Buktinya
adalah tonjolan daging berambut di punggungnya.... dahulu aku mengetahui tanda
itu secara tidak disengaja dan tadi.... tadi pun hanya kebetulan saja....
dialah jahanam busuk itu!”
“Aihhhh....!”
Kim Hwee Li menjerit.
“Hahhh....?!”
Suma Kian Lee juga berteriak kaget.
Dia lalu
melangkah maju menghampiri muridnya. Tek Ciang menjadi semakin pucat dan dia
sudah melirik ke arah jendela dan pintu, seperti tikus tersudut hendak mencari
jalan keluar untuk melarikan diri.
“Tek Ciang!
Apa artinya ini? Benarkah apa yang diceritakan Hui-ji?” Suma Kian Lee bertanya
ragu karena dia belum mau percaya begitu saja akan hal yang demikian jauh
berlawanan dengan perkiraan dan harapan hatinya.
“Ti....
tidak.... suhu....,” jawab Tek Ciang gugup dan suaranya gemetar.
“Kalau
tidak, buka bajumu dan perlihatkan kepada kami apakah benar ada tonjolan daging
jadi di punggungmu!” Kim Hwee Li membentak.
Kini wanita
yang cerdik itu pun sudah dapat menduga dan membayangkan apa yang dahulu telah
terjadi. Suma Kian Lee hanya berdiri terbelalak, sampai tidak mampu
mengeluarkan kata-kata saking hebatnya perasaan memenuhi hatinya. Marah, heran,
ragu-ragu, menyesal dan malu bercampur aduk menjadi satu.
Dialah yang
setengah memaksakan terikatnya perjodohan antara puteri tunggalnya dan Tek
Ciang, bahkan dia telah mengangkat Tek Ciang menjadi murid utama, murid yang
mewarisi semua ilmu-ilmu keluarga Pulau Es dan kini, ternyata pemuda ini yang
telah memperkosa Suma Hui! Tentu saja sukar baginya untuk dapat menerima
kenyataan ini.
“Ayah, aku
sekarang mengerti semuanya!” Suma Hui berteriak lantang. “Ayahnya tewas karena
bersama penjahat bayaran bermaksud membunuh Cin Liong. Penyerangan itu tentu
dilakukan oleh karena mereka hendak menyingkirkan Cin Liong yang dianggap
menghalangi niat mereka untuk menarik kita sebagai keluarga. Keparat ini
mendendam kepada Cin Liong atas kematian ayahnya maka dia merencanakan
perbuatan terkutuk itu dengan mempergunakan nama Cin Liong untuk memfitnah. Cin
Liong kita musuhi sedangkan dia sendiri, si keparat busuk ini, tampil sebagai pahlawan
yang membela nama baik keluarga kita! Dia memperoleh keuntungan ganda. Dapat
membalas dendam kepada Cin Liong dengan fitnah itu, dapat menguasai diriku, dan
dapat mewarisi ilmu keturunan keluarga kita, ayah....”
“Louw Tek
Ciang! Cepat jawablah dan coba sangkal semua itu dengan penjelasan yang tepat
kalau memang engkau bukan seorang iblis terkutuk seperti yang digambarkan oleh
Hui-ji!” Suma Kian Lee membentak dan mukanya berubah merah sekali.
“Suhu,
teecu....” Tek Ciang berkata gagap karena memang apa yang dikatakan Suma Hui
itu semua tepat sekali, menelanjangi seluruh perbuatannya sehingga dia tidak
dapat menyangkal lagi.
Tiba-tiba
dari luar terdengar suara ketawa seorang laki-laki. “Ha-ha-ha, Tek Ciang,
apakah engkau bukan laki-laki lagi yang tidak berani menghadapi semua ini?”
Mendengar
suara yang amat dikenalnya ini, suara Jai-hwa Siauw-ok, gurunya yang lain, guru
rahasia, wajah Tek Ciang menjadi cerah. Datangnya bantuan ini sungguh di waktu
yang tepat sekali. Dia mengangkat dadanya dan berkata, “Suhu, semua itu benar
dan setelah sekarang aku menjadi suami Hui-moi....”
“Jahanam!”
Suma Kian Lee sudah menubruk maju dan langsung melakukan pukulan maut dengan
tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Angin keras yang amat panas menyambar ke depan.
Tek Ciang
tentu saja mengenal pukulan ini dan tahu betapa hebat dan berbahayanya serangan
gurunya. Akan tetapi karena hatinya sudah menjadi besar dengan datangnya
Jai-hwa Siauw-ok, dia pun mengerahkan tenaganya. Sambil mengelak dia menangkis,
mengerahkan tenaga sambil membongkokkan tubuhnya. Ketika lengannya menangkis,
terdengar suara aneh seperti suara katak dari perutnya.
“Desss....!”
Tubuh Tek
Ciang terhuyung, akan tetapi dengan menggulingkan tubuhnya, dia dapat meloncat
bangkit kembali.
Suma Kian
Lee terbelalak. Tenaga tangkisan itu tadi cukup kuat dan bukan dari ilmu
keluarganya, melainkan ilmu aneh yang mirip Ilmu Hoa-mo-kang atau Ilmu Katak
Buduk. Memang dugaannya benar. Ketika menangkis tadi, Tek Ciang mempergunakan
ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, untuk menyatakan bahwa mulai
saat itu dia adalah lawan keluarga Suma, pula kalau dia mengeluarkan Hwi-yang
Sin-ciang pula, jelas dia kalah kuat oleh gurunya.
Kim Hwee Li
dan Suma Hui sudah menerjang maju pula, akan tetapi pada saat itu, terdengar
seruan dari luar, “Tek Ciang, keluarlah!”
Tek Ciang
menggerakkan tangan, melemparkan sesuatu ke tengah kamar itu. Segera terdengar
bunyi ledakan keras dan asap memenuhi kamar.
“Awas asap
beracun!” teriak Suma Kian Lee untuk memperingatkan anak isterinya dan dia
sendiri cepat melompat ke arah jendela dari mana tadi dia melihat tubuh Tek
Ciang berkelebat keluar.
Setibanya di
luar, dia melihat pemuda itu telah meloncat ke atas genteng dan di atas
wuwungan telah berdiri seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun lebih,
berpakaian indah pesolek dan wajahnya ganteng.
“Iblis
busuk, jangan lari!”
Suma Kian
Lee yang kini merasa marah bukan main itu kembali menyerang Tek Ciang.
Serangannya jauh lebih hebat dari pada tadi karena dia menggunakan kedua tangan
menyerang secara beruntun, tangan kanannya mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang
Sin-ciang yang panas sedangkan tangan kiri menghantam dengan pengerahan tenaga
sakti Swat-im Sin-ciang yang amat dingin.
Walau pun
belum mampu menggabungkan kedua tenaga yang berlawanan intinya itu, pendekar
ini ternyata kini sudah demikian mahirnya untuk mempergunakannya secara
beruntun dengan kedua tangan. Tentu saja Tek Ciang menjadi gentar. Dia maklum
akan kehebatan gurunya ini, dan dia sendiri walau pun telah mempelajari kedua
ilmu mukjijat itu, namun latihannya belum matang dan tentu saja dia belum mampu
menggunakannya secara berbareng pada kedua lengannya.
Melihat
serangan hebat ditujukan kepada muridnya, Jai-hwa Siauw-ok mendengus dan
berkata, “Mana ada murid dibunuh gurunya sendiri?” Dan dia pun melangkah maju
menangkis dari kiri sedangkan Tek Ciang menangkis dari kanan.
“Dess!
Desss!”
Kedua orang
itu menangkis dua macam pukulan. Tek Ciang yang menangkis pukulan Swat-im
Sin-ciang itu merasa tubuhnya kedinginan dan dia terhuyung ke belakang. Akan
tetapi, tangkisan Jai-hwa Siauw-ok membuat dia dan Suma Kian Lee melangkah
mundur, tanda bahwa kekuatan mereka berimbang.
“Keparat!
Siapa engkau berani mencampuri urusan antara guru dan murid?” bentak Suma Kian
Lee, terkejut melihat bahwa orang ini lihai pula.
“Ha-ha, dia
muridku, tentu saja kubela dia,” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil membalas serangan
lawan. Kedua tangannya bergerak, jari-jari tangan terbuka dan terdengar suara
bercicitan ketika jari-jari tangan itu meluncur cepat sekali mendatangkan hawa
dingin.
“Cuiiiittt....!”
Jari tangan
Jai-hwa Siauw-ok kembali menyambar ke arah dada Suma Kian Lee dan pada saat
itu, Tek Ciang juga menyerangnya dengan pukulan Toat-beng Bian-kun!
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati Suma Kian Lee melihat muridnya sendiri berani
menyerangnya dengan pukulan maut. Bahkan mengeroyoknya bersama seorang tokoh
jahat, dan menggunakan ilmu keluarga Pulau Es untuk menghantamnya.
“Iblis
murtad!” bentaknya dan dia menyambut pukulan Tek Ciang dengan pengerahan tenaga
untuk merobohkan murid itu.
Akan tetapi,
sambaran jari tangan Jai-hwa Siauw-ok sudah tiba dan biar pun Kian Lee mengelak
dan membatalkan niatnya merobohkan Tek Ciang, tetapi hanya menangkis serangan
pemuda itu, tetap saja jari tangan Jai-hwa Siauw-ok menyerempet bajunya.
“Brettttt....!”
Baju di dada
Kian Lee terobek, kulitnya tergurat sehingga terasa perih seperti tergurat
pedang. Dia terkejut dan maklum bahwa itu adalah ilmu yang disebut Kiam-ci
(Jari Pedang) yang amat lihai.
Pada saat
itu, Suma Hui dan Kim Hwee Li berlompatan naik ke atas genteng. Ketika Suma Hui
melihat kakek pesolek itu, ia terkejut dan membentak, “Jai-hwa Siauw-ok manusia
iblis! Engkau datang mengantar kematian!”
Suma Hui
sudah menerjang ke depan membantu ayahnya, juga Kim Hwee Li yang melihat bahwa
lawan suaminya seorang lihai, cepat membantu suaminya. Kian Lee dan isterinya
terkejut mendengar bentakan puteri mereka itu. Baru mereka tahu bahwa yang
datang membantu Tek Ciang adalah datuk sesat yang pernah menculik dan melarikan
Suma Hui itu.
Marahlah
hati Kian Lee. Kini makin jelas baginya. Kiranya sejak dahulu, Tek Ciang adalah
seorang yang palsu, dan diam-diam mengelabuinya, dengan sikap pura-pura baik,
sehingga bukan hanya berhasil mempelajari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan
tetapi juga malah berhasil memperisteri Suma Hui setelah memperkosanya!
Berhasil pula mengadu domba antara keluarganya dan keluarga Naga Sakti Gurun
Pasir!
“Bedebah!”
bentaknya dan dia bersama isteri dan puterinya mengamuk.
Melihat
keluarga yang lihai itu sudah keluar semua karena kini nampak pula bayangan
Ciang Bun membawa pedang, Jai-hwa Siauw-ok berseru. “Tek Ciang, mari kita
pergi!”
Guru dan
murid itu menggerakkan tangan dan terdengar ledakan-ledakan diikuti asap tebal
ketika mereka membanting benda-benda bulat ke atas wuwungan. Di dalam kegelapan
asap tebal ini mereka pun menghilang.
Kian Lee,
Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun berusaha untuk melakukan pengejaran, akan
tetapi malam gelap telah menelan dua orang itu.
“Jangan
mengejar secara terpisah, mereka itu berbahaya.” Kian Lee memperingatkan
sehingga dengan mengejar berkelompok, mereka tidak berhasil dan akhirnya
terpaksa kembali ke rumah mereka.
Suma Hui
menangis dalam rangkulan ibunya. “Uhh, ibu.... aku berdosa besar sekali.... aku
telah memaki, menghina dan membenci Cin Liong.... padahal dia sama sekali tidak
berdosa.... ah, ibuuu....”
Ingin
rasanya Suma Hui menjerit-jerit ketika ia membayangkan pemuda yang dicintanya
itu. Dapat dibayangkan betapa sakit dan sengsaranya hati Cin Liong dan betapa
sakit pula hati orang tuanya menerima tuduhan yang keji itu. Ibunya hanya dapat
merangkul dan menciuminya dengan hati penuh iba.
Suma Kian
Lee terduduk di atas kursi, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Perasaan
menyesal yang amat hebat seperti gelombang menyeretnya, dan di antara
celah-celah jari tangannya ada beberapa tetes air. Terdengar suaranya penuh
getaran dan tubuhnya menggigil ketika dia bicara dari balik kedua telapak
tangan yang menutupi mukanya.
“Aku.... aku
telah merusak anak sendiri.... dan aku pun telah mengkhianati ilmu keluarga
sendiri.... aku telah berdosa terhadap keluarga Kao.... ahhh, orang bodoh macam
aku layak mati.... layak mati....!” Pendekar ini mengeluh panjang dan tubuhnya
lalu terguling.
“Ayahhh....!”
Ciang Bun menubruk dan merangkul sehingga tubuh ayahnya tidak sampai terguling
jatuh. Ternyata pendekar itu telah roboh pingsan saking hebatnya guncangan
batin yang dideritanya.
Kim Hwee Li
menjerit dan melepaskan rangkulan pada puterinya, kemudian menubruk suaminya
sambil menangis dan mengguncang-guncang pundak suaminya yang pingsan itu.
Setelah dipijat bagian leher dan bawah lengannya, Kian Lee siuman kembali.
Melihat dia rebah di pembaringan ditangisi oleh isterinya dan kedua orang
anaknya, pendekar ini sadar lalu bangkit duduk. Dia memandang kepada Suma Hui
yang berlutut di depan pembaringannya sambil menangis. Melihat puterinya ini,
tak dapat lagi Suma Kian Lee menahan hatinya.
“Hui-ji....!”
Dia menubruk dan merangkul, mendekap kepala puterinya itu, air matanya
bercucuran. “Hui-ji, kau maafkan aku....”
“Ayaahh....
ayaahhh....!” Suma Hui juga hanya dapat menangis tersedu-sedu di dada ayahnya.
Suasana sungguh amat mengharukan ketika empat orang anggota keluarga itu
membiarkan diri mereka tenggelam dalam kedukaan, dalam penyesalan yang amat
mendalam.
Akan tetapi
Kim Hwee Li yang pada dasarnya memiliki watak keras itu dapat lebih dahulu
menguasai dirinya dan ia pun berkatalah. “Sudahlah, apa gunanya penyesalan yang
berlarut-larut ini? Lebih baik kita melihat apa yang dapat kita lakukan untuk
memperbaiki semua kesalahan.”
“Ayah,
yakinkah ayah sekarang bahwa Cin Liong tidak berdosa?” Dengan halus akan tetapi
suaranya membayangkan kesedihan Suma Hui bertanya.
Suma Kian
Lee mengangguk dan pendekar itu tiba-tiba saja nampak jauh lebih tua dari pada
biasanya. “Aku pernah melupakan bahwa dia adalah keturunan Naga Sakti Gurun
Pasir....”
“Dan
ayah.... ayah masih berkeberatan terhadap hubungan antara kami?” tanya pula
Suma Hui.
Suma Kian
Lee menarik napas panjang. “Aku bersalah.... tadinya memang kuanggap tidak baik
melakukan ikatan jodoh antara keluarga sendiri. Aku lupa bahwa urusan jodoh
adalah urusan yang mutlak menyangkut diri kedua orang itu sendiri.... akan
tetapi aku telah menggagalkan segalanya, aku telah merusak kebahagiaanmu,
Hui-ji.”
“Disesalkan
pun tiada gunanya lagi,” Suma Hui menyusut air matanya. “Aku tidak patut lagi
mendekatinya. Hidupku hanya untuk dua tujuan kini. Pertama, menemui Cin Liong
dan minta agar dia sudi mengampuni dosaku, dan ke dua, aku belum mau mati
sebelum dapat membunuh si jahanam Louw Tek Ciang!”
“Hemmm, aku
sendiri yang akan menanganinya!” kata Suma Kian Lee penuh geram.
“Tidak,
ayah. Harus aku sendiri yang membunuh jahanam itu!” kata pula Suma Hui.
“Dan aku
akan membantumu, enci Hui!” kata Ciang Bun yang juga ikut merasa dendam.
Suma Kian
Lee mengangguk. “Kita semua akan maju karena jahanam itu berkawan dengan
tokoh-tokoh sesat yang pandai. Akan tetapi, kepandaian kalian masih belum cukup
untuk menandinginya, maka mulai sekarang, biar kuajar semua ketinggalan, akan
kucurahkan seluruh waktu dan perhatianku untuk mewariskan semua ilmu keluarga
kita kepada kalian.”
Demikianlah,
peristiwa hebat yang mengguncang keluarga pendekar ini bahkan membuat ayah dan
anak menjadi akrab, dan mulai hari itu, Suma Hui dan Ciang Bun digembleng oleh
ayah mereka secara tekun dan keras. Suma Kian Lee yang merasa bersalah kepada
dua orang anaknya karena dia telah mengambil murid dan ahli waris dari luar
yang ternyata seorang penjahat itu, sekarang hendak menebus kesalahannya dengan
menguras semua kepandaiannya untuk diwariskan kepada mereka. Sebaliknya, Suma
Hui dan Ciang Bun yang bertekad untuk menandingi Tek Ciang, berlatih dengan
sungguh-sungguh sehingga dalam waktu dua tahun lebih mereka sama sekali tidak
pernah meninggalkan rumah dan tempat latihan!
Segala macam
peristiwa yang terjadi dan menimpa diri kita adalah kenyataan-kenyataan yang
tak dapat dirubah lagi dan kesemuanya itu tentu mengandung sebab. Sebab-sebab
itu pun tidak akan jauh dari pada diri kita sendiri, dan sumber segala
peristiwa yang menimpa diri kita berada di dalam diri kita sendiri. Menyesalkan
peristiwa yang terjadi sungguh tidak ada gunanya sama sekali, karena penyesalan
itu hanya akan mendatangkan duka dan karenanya pikiran bahkan menjadi keruh dan
tidak dapat bekerja dengan baik.
Lebih baik
kita membuka mata melihat kenyataan itu, karena semua peristiwa yang terjadi
adalah suatu kenyataan, suatu fakta. Pengamatan yang mendalam dan terbuka
terhadap suatu peristiwa akan membuka mata kita, membuat kita waspada dan di
dalam setiap peristiwa terkandung pelajaran kehidupan yang amat berharga.
Hujan yang
jatuh tak mungkin ditahan dan diminta untuk terbang ke atas lagi. Hujan turun
merupakan satu di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi, suatu kenyataan yang
wajar, tidak baik tidak buruk. Tidak ada manfaatnya sama sekali kalau kita
bermurung atau marah-marah oleh turunnya hujan karena kita merasa dirugikan.
Juga berbahaya kalau sebaliknya kita bersenang-senang melampaui batas karena
kita merasa diuntungkan oleh turunnya hujan itu karena segala macam kesenangan
setiap saat bisa saja berubah menjadi kedukaan.
Para petani
yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan tidak akan bersenang hati saja, melainkan
waspada menjaga agar jangan sampai air hujan itu terlalu membanjiri sawahnya
sehingga bahkan merusak padinya. Anak-anak yang bergembira dan bermain dalam
hujan pun harus diamati dengan waspada, jangan sampai mereka menjadi kedinginan
bahkan sebaliknya lalu menjadi sakit.
Jadi, dalam
setiap peristiwa tentu terkandung segi baik buruknya, kalau kita sudah
membiarkan diri terseret dalam perhitungan untung rugi. Lalu apa yang kita
lakukan menghadapi setiap peristiwa, setiap kenyataan? Apakah lalu berdiam diri
saja, masa bodoh dan tidak perduli? Sama sekali tidak bijaksana kalau begitu!
Alangkah baiknya kalau dalam menghadapi setiap periswa yang menimpa diri, kita
bersikap waspada, membuka mata dan menghadapi kenyataan tanpa dipengaruhi
untung rugi.
Misalnya
hujan turun di waktu kita hendak keluar. Perlu apa mengeluh? Yang penting, akal
budi kita pergunakan untuk mengatasi halangan itu, menggunakan payung,
kendaraan, atau berteduh. Tindakan ini yang penting, bukan keluhan. Keluhan
muncul kalau pikiran kita sibuk menimbang-nimbang untung rugi. Dan ini tidak
ada manfaatnya sedikit juga. Demikian pula, seperti peristiwa hujan turun,
dalam menghadapi segala peristiwa apa pun dalam hidup, kewaspadaan dan
pengamatan yang mendalam akan menciptakan tindakan-tindakan yang tepat!
Tepat.....
***************
Kao Cin
Liong bukan hanya seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan
tetapi juga sudah digembleng oleh banyak pengalaman, baik dalam kehidupannya
sebagai seorang pendekar yang berkecimpung di dunia kang-ouw mau pun sebagai
seorang panglima muda yang berkecimpung di dalam kancah-kancah peperangan.
Semua pengalaman pahit dalam hidupnya membuat pemuda ini matang dan dia dapat
menghadapi segala peristiwa dengan tenang.
Akan tetapi,
ketika pemuda yang kini usianya sudah tiga puluh dua tahun itu pulang dari
tugasnya membebaskan Tibet dari pasukan Nepal, bahkan kemudian dia menyerang
Nepal dan berhasil menundukkan negara ini sehingga Kerajaan Nepal terpaksa
harus mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng yang kuat itu, dia menghadapi hal yang
membuat dirinya tertegun. Setelah kembali ke kota raja dan menerima hadiah dan
anugerah Kaisar Kian Liong yang memuji-mujinya, Jenderal Kao Cin Liong lalu
berpamit meminta cuti untuk menengok orang tuanya di utara.
Akan tetapi,
begitu dia memasuki rumahnya dan menghadap ayah bundanya, jenderal muda itu
tertegun melihat sikap ayah bundanya terhadap dirinya. Ayahnya memandang dengan
mata mencorong sedangkan ibunya menyambutnya dengan mata merah dan basah! Cin
Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, maka cepat
dia menjatuhkan diri berlutut depan kedua orang tuanya yang duduk di kursi
panjang.
“Ayah, ibu,
aku datang membawa berita kemenangan dan berhasilnya tugas yang kupikul. Akan
tetapi, mengapa ayah dan ibu nampak marah dan duka? Harap ayah dan ibu suka
mengampunkan kalau aku membuat kesalahan, dan harap memberi tahu kesalahan apa
gerangan yang telah kulakukan?”
“Cin Liong,
karena ulahmu, atau setidaknya karena engkaulah maka kami berdua, ayah bundamu
menerima penghinaan dan makian orang,” kata Kok Cu.
Pendekar ini
sudah hampir enam puluh tahun usianya, namun masih nampak gagah perkasa.
Buntungnya sebelah lengannya sama sekali tidak membayangkan kelemahan, bahkan
menambah kegagahannya, kegagahan yang aneh. Sikapnya tenang dan serius,
sepasang matanya mencorong seperti mata naga sehingga patutlah kalau dia
dikenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.
Di
sampingnya duduk isterinya, Wan Ceng yang kini sudah berusia lima puluh tiga
tahun. Nenek yang biasanya gembira itu nampak muram dan ketika ia memandang
kepada puteranya, hampir ia tidak dapat menahan air matanya.
Tentu saja
Cin Liong merasa terkejut sekali mendengar teguran ayahnya itu. Akan tetapi
sebagai seorang yang sudah matang dan berpengalaman, dia tetap tenang. Dia lalu
bangkit duduk menghadapi ayah bundanya, dan sambil memandang kepada mereka
bergantian dengan sinar mata penuh selidik, dia pun bertanya. “Ayah dan ibu,
apakah yang telah terjadi? Harap suka segera memberi tahu kepadaku.”
Wan Ceng
yang tetap tidak mau percaya akan kesalahan puteranya, segera mendahului
suaminya. “Liong-ji, kami telah pergi ke Thian-cin....”
“Ahhh....!”
Cin Liong teringat akan urusannya dengan Suma Hui dan tentang permintaan kepada
ayah bundanya untuk mengajukan pinangan. “Lalu bagaimana, ibu?”
“Kami tiba
di Thian-cin, berhasil menemui paman Suma Kian Lee dan keluarganya, dan kami
telah mengajukan pinangan terhadap diri Suma Hui seperti yang kau minta.” Wan
Ceng berhenti karena suaminya memotong.
“Pinangan
yang janggal karena masih keluarga, dan menurut hitungan, kita kalah tua lagi,
dan berakhir dengan aneh dan memalukan pula.”
“Ibu, apakah
yang terjadi selanjutnya?”
“Singkatnya,
pinangan kita ditolak, bahkan kami berdua dihina dan dimaki!” kata Wan Ceng
gemas.
Cin Liong
bangkit berdiri dan mengepal tinju, alisnya berkerut. “Ahhh, sungguh tidak
pantas! Mereka boleh saja menolak pinangan, akan tetapi mengapa harus memakai
penghinaan dan makian? Sungguh tidak patut, apakah mereka itu begitu tinggi
hati karena merasa sebagai keluarga Pulau Es?”
“Cin Liong,
lupakah engkau bahwa segala macam penilaian adalah palsu karena penilaian
didasari pendapat sendiri yang muncul dari perhitungan untung rugi? Dapatkah
kita menilai orang dari keadaan luarnya? Memang, menolak pinangan sambil
marah-marah tidak patut sekali, akan tetapi engkau harus menyadari bahwa setiap
sikap dan perbuatan itu tentu ada sebab-sebabnya! Jadi, tanpa mengetahui
sebab-sebabnya, kita sama sekali tidak berhak menilai sikap atau perbuatan
orang lain!”
“Maaf, ayah.
Aku terbawa oleh perasaan penasaran mendengar betapa ayah dan ibu sudah ditolak
pinangannya masih juga dihina dan dimaki. Sebenarnya, apakah yang telah
terjadi, ayah? Mengapa keluarga Suma marah-marah kepada kita?”
“Nah, begitu
lebih tepat. Setiap menghadapi persoalan, amatilah diri sendiri dan cari tahu
kenapa demikian, cari sebab-sebabnya sehingga kita tidak hanya berbuat menuruti
perasaan hati dan nafsu belaka. Ketahuilah, Cin Liong, pada waktu kami
mengajukan pinangan, paman Suma Kian Lee dan isterinya menolak. Bukan hanya
itu, bahkan Suma Hui dengan lantang mengatakan bahwa engkau telah
memperkosanya!”
“Ahhh....!”
Cin Liong terbelalak kaget dan untuk kedua kalinya dia bangkit berdiri, sekali
ini dengan muka menjadi pucat dan pandang mata penuh keheranan.
“Kami tidak
pernah meragukan dirimu, anakku,” kata Wan Ceng. “Tentu saja kami tidak percaya
dan hampir terjadi kesalah pahaman. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin pula
kalau Suma Hui mengada-ada hendak menjatuhkan fitnah kepadamu. Sebetulnya ada
apakah antara engkau dan Suma Hui?”
Cin Liong
sudah terduduk kembali dan menutupi muka dengan kedua tangannya, mulutnya
menggumam heran, “Diperkosa.... dan.... dan aku yang memperkosanya? Ya Tuhan,
apa artinya semua ini? Ibu dan ayah, aku tidak perlu bersumpah kiranya bahwa
aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Tidak kepada Suma Hui dan tidak
pula kepada siapa pun juga. Melihat penjahat memperkosa wanita, aku akan turun
tangan membunuhnya. Kalau aku sendiri yang melakukan perbuatan keji itu, tentu
aku akan membunuh diriku sendiri. Tidak, aku tidak pernah melakukan itu. Dan
sekarang baru aku mengerti, kiranya ada hubungannya dengan itu maka sikap Suma
Hui dahulu itu demikian aneh.”
“Apa yang
kau maksudkan?” tanya ibunya.
“Seperti
pernah kuceritakan kepada ayah ibu, antara aku dan Suma Hui sudah terjalin tali
cinta kasih. Kami saling mencinta dan biar pun kami tahu akan besarnya halangan
di antara kami karena ikatan keluarga, kami berdua sudah bertekad untuk
bersama-sama menghadapinya. Akan tetapi, ketika aku pergi ke kota raja dan
sebelum menerima perintah kaisar, aku pergi ke Thian-cin. Ketika bertemu
denganku, secara aneh dan tiba-tiba saja ia menyerangku dan hendak membunuh! Ia
begitu marah sehingga sukar diajak bicara, maka aku lalu pergi meninggalkannya.
Kemudian, aku terikat tugas dan sampai demikian lamanya tak pernah bertemu
dengannya, dan selama ini aku memang bertanya-tanya bagaimana jadinya dengan
pinangan ayah berdua.”
Ayahnya
mengangguk-angguk, “Aku makin yakin bahwa tentu ada sesuatu di balik semua itu.
Suma Hui menuduhmu memperkosa, bahkan berusaha membunuhmu. Dan engkau tidak
merasa sama sekali telah melakukan perbuatan keji itu. Tentu terselip suatu
rahasia di antara kedua perbedaan yang saling berlawanan itu.”
“Sudah
menjadi kuwajibanku untuk membikin terang persoalan ini, ayah. Aku akan segera
berangkat ke Thian-cin dan aku akan bicara terus terang dengan mereka.”
“Akau
tetapi, keluarga Suma sudah begitu marah kepadamu....,” kata ayahnya sambil
mengerutkan alisnya.
“Ayah. Kita
semua tahu bahwa Suma Kian Lee locianpwe adalah seorang pendekar besar. Aku
yakin bahwa kalau kuajak dia terus terang membicarakan persoalan itu dan
menyelidiki rahasianya, dia akan dapat menerimanya.”
“Tapi, Cin
Liong....” Suara Wan Ceng menjadi lembut dan pandang matanya penuh iba kepada
putera tunggalnya. “Engkau terlambat sudah.... karena tak lama setelah engkau
pergi, Suma Hui telah menikah....”
Ciu Liong
adalah seorang pemuda yang amat kuat batinnya. Berita yang diucapkan dengan
lembut oleh ibunya ini sebetulnya amat hebat menikam jantungnya. Akan tetapi
hanya mukanya saja yang sedikit pucat dan matanya tergetar sedikit, akan tetapi
selanjutnya dia nampak tenang.
“Ahh,
begitukah....?”
“Kami tidak
datang karena.... engkau tahu sendiri, tentu tidak enak bagi kami untuk hadir
setelah peristiwa peminangan dahulu itu,” kata Kao Kok Cu.
“Kami
mendengar bahwa ia menikah dengan suheng-nya sendiri, murid tunggal paman Suma
Kian Lee,” sambung Wan Ceng.
“Ah, tentu
Louw Tek Ciang itu! Hemmm.... syukurlah kalau begitu, karena pemuda itu
kelihatan baik dan berbakat.” Cin Liong menunduk, tidak tahan melihat pandang
mata ibunya yang penuh iba. Dia telah gagal lagi dalam asmara!
“Engkau
tentu tidak jadi ke Thian-cin, bukan?” tanya ibunya.
Cin Liong
mengangkat muka, memandang kepada ibunya dengan senyum. Senyum layu!
“Tentu saja,
ibu. Aku pergi untuk menjernihkan kekeruhan antara keluarga kita dengan
keluarga Suma. Bagaimana pun juga, di antara kita masih ada hubungan keluarga,
maka tidaklah baik kalau sampai awan hitam itu tidak dijernihkan. Aku harus
dapat menyadarkan mereka bahwa aku terkena fitnah, bahwa aku tidak melakukan
perbuatan itu.”
“Tapi....
tapi Suma Hui telah menjadi isteri orang. Tidak baik kalau sampai urusannya
yang mendatangkan aib itu dibicarakan,” Kao Kok Cu memperingatkan.
“Aku akan
membicarakannya dengan Suma-locianpwe dan isterinya. Pula, ketika terjadi
keributan, Louw Tek Ciang juga mengetahui sehingga dia pun telah mengetahui segala-galanya.
Dia pun sudah mengenalku.”
Karena
memang masalah yang merisaukan itu perlu dijernihkan, akhirnya Kao Kok Cu dan
Wan Ceng tidak dapat membantah dan setelah bermalam di rumah orang tuanya
selama sepekan, berangkatlah Cin Liong kembali ke selatan, hendak pergi ke
Thian-cin.
Suatu hari
tibalah dia di dusun Pei-san yang terletak di kaki Pegunungan Tai-hang-san,
tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat. Karena hari sudah lewat senja dan
dia pun merasa lelah setelah pada hari itu sejak pagi dia melakukan perjalanan
jauh naik turun gunung, maka Cin Liong ingin bermalam di dusun itu. Biar pun
dusun Pei-san berada tidak jauh dari kota raja, akan tetapi Cin Liong belum
pernah lewat dusun ini.
Dia kini
memang sengaja mengambil jalan lain di sepanjang kaki Gunung Tai-hang-san
ketika dia menuju ke Thian-cin, untuk melihat-lihat keadaan dan dia memang
hendak mengambil jalan memutar agar jangan melalui kota raja. Kalau dia melalui
kota raja, dia khawatir kalau dia mendengar sesuatu yang membuat dia menunda
kepergiannya ke Thian-cin. Kalau urusannya dengan keluarga Suma sudah selesai,
barulah dia akan kembali ke kota raja menunaikan tugasnya sebagai panglima
kembali.
Dan karena
jenderal muda ini bepergian dengan pakaian preman, tidak ada pejabat atau petugas
yang mengenalnya sehingga dia dapat melakukan tugasnya secara bebas kalau dia
sedang melakukan penyelidikan. Baru dia mengenakan pakaian kebesaran kalam dia
memimpin pasukan dengan resmi.
Pei-san
merupakan sebuah dusun di lereng bukit Pegunungan Tai-hang-san. Sebuah dusun
yang cukup makmur karena tanahnya yang subur karena letaknya yang dekat dengan
kota raja, di sebelah baratnya sehingga dusun ini menjadi semacam pintu masuk
atau jembatan, juga menjadi tempat perhentian mereka yang datang dari barat hendak
menuju ke kota raja. Para pedagang yang datang dari barat atau pergi ke barat,
selalu singgah di dusun ini, untuk mengaso, atau makan, atau juga untuk
melewatkan malam kalau mereka kemalaman di jalan. Tidaklah mengherankan apabila
di dusun itu bertumbuhan usaha penginapan dan kedai-kedai makan minum.
Ketika Cin
Liong memasuki dusun Pei-san, kesan pertama dalam hatinya adalah bahwa dusun
ini amat ramai dan sibuk. Akan tetapi, penglihatannya yang tajam dapat
menangkap bayangan-bayangan ketakutan tersembunyi di balik senyum dan pandang
mata para penduduk. Agaknya ada sesuatu, atau telah terjadi sesuatu yang
membuat hati penghuni dusun itu dicekam ketakutan.
Kesan ini
dirasakannya pula ketika Cin Liong memasuki sebuah kedai makan yang tidak
begitu ramai dan terletak di ujung jalan raya. Perutnya lapar dan tubuhnya
lelah sekali. Dia tidak suka memasuki kedai makan yang penuh sesak oleh tamu,
melainkan memilih kedai yang sepi itu. Dalam keadaan lapar, tidak perlu terlalu
memilih makanan yang enak. Segala macam makanan terasa enak di mulut kalau
perut sedang lapar.
Di kedai itu
ada beberapa orang tamu yang duduk berpencaran. Cin Liong memilih sebuah meja
di sudut dalam. Seorang pelayan tua segera menghampirinya dan dengan ramah lalu
bertanya makanan apa yang hendak dipesan oleh pemuda itu. Cin Liong juga melihat
betapa di wajah kakek pelayan ini pun terbayang rasa cemas seperti yang
dilihatnya pada wajah orang-orang lain itu.
Dia memesan
makanan dan ketika pelayan tua itu datang membawakan makanan, Cin Liong lalu
berkata, “Lopek, aku melihat wajahmu seperti orang ketakutan, dan juga pada
wajah penghuni dusun ini ada bayangan ketakutan seperti itu. Apakah yang telah
terjadi, lopek?”
Kakek
pelayan itu memandang dengan muka pucat, lalu dia menoleh ke kanan kiri,
nampaknya semakin takut, akan tetapi juga ada pandang mata heran mengapa ada
orang menanyakan hal itu, karena bukankah semua orang sudah tahu?
“Lopek, aku
bukan orang sini, dan aku baru saja masuk ke dusun Pei-san ini. Ada peristiwa
apakah?” tanya pula Cin Liong secara sambil lalu seperti lumrahnya seorang tamu
yang ingin tahu dan dia pun makan hidangan yang diantarkan oleh pelayan itu.
“Tidak ada
apa-apa, tuan.... tidak ada apa-apa....”
Cin Liong
mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengerling ke arah para tamu yang duduk
di situ. Akan tetapi para tamu itu tidak memperlihatkan suatu ketidak wajaran.
Mereka duduk, ada yang sedang makan minum, ada yang sedang bercakap-cakap
urusan perdagangan dan pekerjaan mereka. Dia tahu bahwa kakek ini membohong dan
takut bicara.
“Lopek,
jangan takut. Ceritakanlah, kalau ada apa-apa aku yang akan tanggung. Kalau ada
kesukaran menimpa dusun ini, tentu aku akan berusaha untuk membereskannya,”
kata pula Cin Liong lirih agar tidak sampai terdengar oleh orang lain.
Pelayan itu
memandang dengan ragu, akan tetapi matanya terbelalak ketika dia melihat betapa
tangan tamunya itu meremas sebuah sendok batu yang menjadi hancur seperti
tepung di antara jari-jari tangannya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Tahulah pelayan itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar.
“Di.... di
dusun ini semenjak dua pekan yang lalu ada.... ada.... Eng-jiauw-pang....”
Hanya sampai
di situ saja pelayan itu berani bicara karena dia pun cepat meninggalkan Cin
Liong sambil menoleh ke kanan kiri penuh rasa cemas. Cin Liong tidak mendesak
lebih jauh, lalu melanjutkan makan sambil termenung. Eng-jiauw-pang
(Perkumpulan Kuku Garuda)?
Dia pernah
mendengar nama itu. Kalau dia tidak salah ingat, Eng-jiauw-pang adalah
perkumpulan orang jahat, perkumpulan para perampok yang amat lihai, terkenal
dengan anggota-anggota mereka yang mempergunakan sarung tangan kuku garuda yang
selain ahli dalam ilmu silat, juga lihai dalam penggunaan racun. Akan tetapi,
perkumpulan perampok Eng-jiauw-pang itu berada di daerah Se-cuan, jauh di
barat. Bagaimana bisa muncul di tempat ini dan apa yang telah mereka lakukan
sehingga orang-orang menjadi ketakutan?
Tiba-tiba
terdengar jeritan lemah dan Cin Liong cepat menoleh. Dapat dibayangkan betapa
kaget hatinya ketika dia melihat kakek pelayan yang tadi melayaninya, tiba-tiba
jatuh terpelanting dan mangkok-mangkok terisi makanan dalam baki yang dibawanya
ikut terbanting dan menimbulkan suara gaduh. Gegerlah di rumah makan itu.
Para pelayan
lain dan para tamu segera menghampiri. Cin Liong tidak ketinggalan, malah dia
paling dulu menghampiri kakek ini, lalu dia berlutut dan memeriksa. Ternyata
pelayan itu telah tewas dengan muka berubah kebiruan, sedangkan di leher
sebelah kanan nampak tiga guratan yang masih mengeluarkan darah. Guratan tanda
kuku garuda! Dan sekali lihat saja maklumlah Cin Liong bahwa kakek ini tewas
keracunan yang memasuki tubuhnya melalui guratan-guratan pada leher itu.
Dia menjadi
marah sekali dan memandang kepada semua orang yang berada di situ penuh
selidik. Akan tetapi, karena dia tidak melihat sendiri penyerangan itu, siapa
yang hendak dituduhnya?
Pula,
melihat kenyataan bahwa tidak ada orang yang melihat bagai mana caranya kakek
itu diserang dan dibunuh, menjadi bukti bahwa penjahat itu lihai sekali. Juga
bahwa penjahat itu bisa mendengar atau mengetahui bahwa kakek pelayan tadi
telah menceritakan sedikit tentang Eng-jiauw-pang kepadanya, membuktikan bahwa
gerombolan penjahat itu benar-benar lihai...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment