Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 15
Dia lalu
bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. “Siapa di antara saudara sekalian
yang tahu di mana adanya sarang gerombolan Eng-jiauw-pang?” tanyanya, suaranya
halus akan tetapi penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan.
Ada
kejahatan kejam terjadi di depan hidungnya, sungguh hal ini menjengkelkan
sekali, merupakan tantangan kepadanya. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia
tidak sempat memperhatikan kakek pelayan itu sehingga dia akan dapat mengetahui
kalau kakek itu diserang orang. Akan tetapi siapa pula mengira bahwa di situ
akan terjadi pembunuhan?
Begitu Cin
Liong mengeluarkan pertanyaan ini, semua orang terbelalak. Muka mereka menjadi
pucat dan cepat-cepat mereka menjauhkan diri, meninggalkan tempat itu seperti
orang ketakutan. Juga para pelayan yang lain menggelengkan kepala, tanpa
menjawab pertanyaan itu.
“Wiirrr....
singgg....!”
Cin Liong
dengan tenang mengelak dan tangannya bergerak menangkap benda hitam yang
meluncur di dekat telinganya, yang tadinya menyambar ke arah lehernya. Dengan
ibu jari dan telunjuk, ditangkapnya benda itu yang ternyata adalah sebatang
senjata rahasia berbentuk paku yang biasanya disebut Touw-kut-ting (Paku
Penembus Tulang). Akan tetapi melihat warnanya yang hitam kehijauan, mudah
diduga bahwa paku ini mengandung racun yang amat berbahaya!
Begitu
menangkap senjata rahasia itu, Cin Liong meloncat ke pintu, akan tetapi dia
tidak melihat bayangan siapa pun yang boleh disangka melakukan penyerangan itu.
Akan tetapi di daun pintu nampak sehelai kain yang tertancap pisau belati, di
mana terdapat tulisan dengan huruf merah.
ENG-JIAUW-PANG
MENANTI DI KUIL TUA HUTAN CEMARA DI SEBELAH TIMUR DUSUN.
“Hemm....!”
Cin Liong merasa penasaran sekali dan marah.
Kiranya dia
berhadapan dengan perkumpulan yang mempunyai orang-orang pandai dan kejam
sekali. Tentu penyerangan senjata rahasia tadi dimaksudkan untuk mengujinya.
Kalau dia lulus ujian, tidak mati oleh serangan itu, maka dia dianggap cukup
berharga untuk berkunjung ke sarang perkumpulan itu! Dia tahu betapa bahayanya
mendatangi sarang itu, karena para penjahat tentu telah siap siaga menanti
kedatangannya. Akan tetapi, Cin Liong adalah seorang pendekar yang selain
banyak pengalaman dan cukup waspada, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
ketabahan luar biasa.
Cin Liong
melemparkan paku itu dengan pengerahan tenaga sampai amblas ke dalam tanah,
lalu dia meninggalkan rumah makan itu. Dia langsung menuju ke arah timur dan
keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang sebelah timur. Tidak sukar mencari
hutan cemara itu karena begitu keluar dari pintu gerbang, hutan itu sudah
nampak di sebuah lereng bukit di kaki Pegunungan Tai-hang-san.
Sebenarnya,
perkumpulan apakah yang menamakan diri Eng-jiauw-pang dan menjadi momok bagi
para penghuni dusun itu? Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda) sebetulnya
adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang tadinya dipimpin oleh
seorang tokoh yang condong kepada golongan hitam atau kaum sesat. Mereka itu
kadang-kadang suka melakukan perampokan, meski perampokan kaliber besar, bukan
sembarangan perampok dan maling kecil saja.
Mereka hanya
melakukan perampokan terhadap rombongan besar para pedagang kaya atau pembesar
tinggi yang melakukan perjalanan. Karena nama Eng-jiauw-pang sudah dikenal dan
ditakuti, maka para piauwkiok (perusahaan pengawal barang kiriman) rata-rata
mendekatinya dan mengirim upeti-upeti sehingga perjalanan mereka tidak akan
diganggu oleh perkumpulan ini. Upeti-upeti yang cukup banyak itulah yang
menjadi sumber nafkah perkumpulan ini di samping hasil-hasil perampokan mereka
terhadap rombongan-rombongan yang tidak mangirim upeti kepada mereka.
Perkumpulan
Eng-jiauw-pang memang tadinya berasal dari barat, dari daerah Se-cuan. Akan
tetapi semenjak pendirinya, yaitu Eng-jiauw Siauw-ong, tewas, perkumpulan itu
meninggalkan Se-cuan dan di bawah pimpinan ketua mereka yang baru, mereka yang
terdiri dari tiga puluh orang lebih, pindah ke timur dan kini sedang
mencari-cari tempat yang baik sampai mereka tiba di hutan cemara di kaki
Pegunungan Tai-hang-san itu.
Cin Liong
memasuki hutan cemara dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa dia memasuki
sarang harimau atau goa naga. Untung baginya bahwa hutan cemara itu tidaklah
begitu liar atau gelap karena pohon-pohon itu tidak lebat.
Tidak lama
kemudian setelah dia memasuki hutan cemara itu, nampaklah dinding kuil yang
putih, agaknya tembok dinding itu baru mengalami perbaikan dan pengecatan baru.
Juga pekarangannya nampak bersih, genteng-gentengnya ada pula sebagian yang
baru, agaknya genteng-genteng tua yang jebol telah diganti dan diperbaiki. Akan
tetapi, tempat itu kelihatan sunyi saja.
Biar pun
begitu, Cin Liong tidak tertipu oleh keadaan yang sunyi dan dia tetap waspada,
yakin bahwa pada saat itu, mata pihak musuh tentu sedang mengamati
gerak-geriknya. Selagi dia merasa heran mengapa pihak musuh yang biasanya suka
bertindak curang itu belum juga turun tangan menyerangnya, tiba-tiba dia
melihat gerakan di sekelilingnya dan tahu-tahu tempat itu sudah terkurung oleh
sedikitnya dua puluh orang yang kesemuanya nampak beringas dan kejam.
Dengan
perasaan heran Cin Liong melihat betapa pada sinar mata dua puluh orang lebih
itu terbayang kemarahan dan dendam kebencian yang mendalam kepadanya! Sungguh
aneh pikirnya. Mengapa orang-orang Eng-jiauw-pang ini memusuhinya tanpa sebab?
Padahal, dia baru saja datang ke dusun itu dan tadi hanya bertanya mengenai
Eng-jiauw-pang kepada pelayan rumah makan yang kemudian dibunuh oleh
orang-orang Eng-jiauw-pang sendiri.
Akan tetapi,
hal ini tidak membuat pendekar ini merasa gentar dan dia pun mencari dengan
matanya. Melihat lima orang tinggi besar yang nampak kereng dan agaknya menjadi
pemimpin mereka semua, dia lalu menghadapi lima orang itu dan memandang tajam
ke sekeliling.
“Kao Cin
Liong, engkau datang mengantar kematian. Sungguh bagus dan memudahkan kami
untuk membuat perhitungan denganmu!” Seorang di antara mereka yang berkumis
lebat berkata.
Cin Liong
mengerutkan alisnya. “Apakah kalian ini yang disebut Eng-jiauw-pang?”
“Benar!”
jawab si kumis lebat. “Kami adalah para anggota Eng-jiauw-pang yang hendak
membalas kematian ketua kami!”
Cin Liong
memandang heran. “Aku hanya lewat di dusun itu dan mendengar bahwa perkumpulan
Eng-jiauw-pang mengacau penduduk, melakukan kejahatan hingga para penghuni
dusun hidup dicekam ketakutan. Akan tetapi sekarang kalian mengatakan hendak
membalas kematian ketua kalian. Apa artinya ini?” Dia memandang si kumis dan
melanjutkan pertanyaannya. “Dan bagaimana kalian dapat mengenal namaku?”
“Jenderal
Kao Cin Liong, tidak perlu berpura-pura tanya lagi. Engkau telah membunuh ketua
kami dan saat ini engkau akan menebus kematian ketua kami dengan nyawamu.”
“Dan
siapakah ketua kalian itu?”
“Ketua kami
adalah mendiang Eng-jiauw Siauw-ong Liok Cau Sui! Dan engkau telah membunuhnya
di Pulau Es....”
“Ahhhh!”
Kini Cin
Liong teringat. Ketika rombongan para datuk kaum sesat menyerbu Pulau Es, dia
membela Pulau Es dan dalam pertempuran mati-matian itu dia telah merobohkan dan
menewaskan seorang kakek yang memakai sarung tangan kuku garuda, yang merupakan
lawan yang amat tangguh dan lihai. Kiranya kakek bersarung tangan kuku garuda
itu adalah ketua dari gerombolan ini!
“Kiranya
kakek jahat itu ketua kalian? Memang, aku telah menewaskannya karena dia
bersama orang-orang jahat lainnya melakukan penyerbuan kepada keluarga Pulau
Es. Nah, kalian mau apa? Apakah kalian hendak menyusul ketua kalian itu ke
neraka jahanam?”
Tentu saja
dua puluh orang lebih yang mengurung pemuda itu menjadi marah mendengar ucapan
ini, terutama sekali lima orang pemimpin mereka yang merupakan murid-murid
utama dari mendiang Eng-jiauw Siauw-ong.
“Bocah
sombong! Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih besar mulut!”
teriak si kumis yang agaknya merupakan pemimpin nomor satu dan memang
sesungguhnya dia adalah murid kepala atau twa-suheng dari semua murid Eng-jiauw
Siauw-ong.
Setelah
memaki, lima orang itu lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan kuku garuda,
diturut oleh semua anggota gerombolan itu dan kini semua tangan mereka telah
mengenakan sarung kuku garuda yang terbuat dari pada baja. Setelah mengenakan
sarung tangan kuku garuda, mereka itu nampaknya menjadi bertambah bengis.
Lalu, atas
isyarat si kumis, kepungan mereka makin merapat dan tiba-tiba beberapa orang
anggota gerombolan yang berdiri di belakang Cin Liong sudah menubruk dengan
serangan mereka menggunakan kedua cakar garuda itu untuk mencengkeram. Mulut
mereka mengeluarkan suara seperti teriakan parau burung garuda, ada pun
gerakan-gerakan mereka juga seperti burung yang mencakar-cakar. Kedua lengan
mereka kadang-kadang dikembangkan dan mereka meloncat dengan gesitnya, menubruk
dari atas seperti gerakan burung menyambar dari angkasa, menggunakan kedua
cakar baja yang amat runcing itu.
Akan tetapi,
yang mereka serang adalah Kao Cin Liong, pendekar muda yang memiliki kesaktian,
putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Begitu pemuda perkasa ini memutar tubuh
dan menggerakkan kedua lengannya sambil membentak, tiga orang penyerang sudah
terpelanting dan terbanting ke atas anah dengan keras, membuat mereka tidak
dapat segera bangun kembali karena merasa kepala mereka pening.
Akan tetapi,
teman-teman mereka sudah menyerang dari empat jurusan sehingga Cin Liong
terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya karena pengeroyokan para anggota
Eng-jiauw-pang itu, terutama lima orang pimpinan mereka, bukan merupakan lawan
yang lunak!
Kao Cin
Liong adalah seorang pendekar gemblengan yang berjiwa gagah perkasa, selalu
siap untuk membela yang lemah menentang yang jahat tanpa dipengaruhi perasaan
benci. Yang ditentangnya adalah perbuatan yang jahat dan mencelakakan orang
lain, akan tetapi dia tidak pernah membenci orangnya. Oleh karena itu, dalam
sepak terjangnya menghadapi kejahatan, selalu dia berniat untuk menghukum dan
mendidik, tidak mau sembarangan membunuh orang. Jika dia sudah berpakaian
jenderal, tentu saja sikap dan tindakannya lain lagi. Sebagai prajurit tentu
saja dia harus membasmi musuh negara sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menghadapi
Eng-jiauw-pang ini, dia pun tadinya hanya bermaksud untuk menghajar dan
menghukum mereka agar bertobat dan tidak berani mengacau rakyat lagi. Akan
tetapi setelah mereka mengeroyok, dia terkejut dan mendapat kenyataan betapa
para anggota perkumpulan ini benar-benar memiliki kepandaian silat yang kuat.
Apalagi lima orang pemimpin mereka itu sungguh merupakan lawan berbahaya
setelah mereka maju bersama, dan pengeroyokan kurang lebih dua losin orang itu
membuatnya repot juga.
Untuk dapat
menghajar lawan sedemikian banyaknya dia harus memiliki tingkat jauh lebih
tinggi dari pada para lawan itu. Akan tetapi kenyataannya dialah yang terdesak
karena dia tadinya tidak ingin membunuh dan hanya menggunakan ilmu silat biasa
saja. Melihat betapa dia malah terdesak, terpaksa Cin Liong merubah
permainannya dan demi keselamatannya sendiri, kalau perlu dia harus merobohkan
beberapa orang lawan yang mungkin saja dapat menewaskan lawan karena dia hendak
mengeluarkan ilmu simpanannya.
“Hyaaaattt....!”
Si kumis
tebal menyerang dengan ganasnya, kedua tangan cakar bajanya menyambar cepat dan
yang nampak hanya sinar hitam dua gulung menyambar ke arah muka dan dada Cin
Liong. Serangan ini disusul oleh serangan empat orang kawannya dari kanan kiri
dan belakang. Cin Liong meloncat dan tubuhnya melesat keluar dari kepungan,
lalu tiba-tiba tubuhnya mendekam setengah menelungkup di atas tanah. Para
pengeroyok merasa girang sekali, mengira bahwa pemuda itu lelah atau kehabisan
tenaga atau terjatuh. Belasan orang anak buah Eng-jiauw-pang seperti berebut
menubruk musuh yang sedang mendekam di atas tanah itu.
“Haiiiikkk!”
Tiba-tiba
Cin Liong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya yang tadi mendekam
secara tiba-tiba bergerak, kaki tangannya mencuat ke sekelilingnya dan angin
yang dahsyat menyambar seperti badai mengamuk. Para pengeroyoknya terkejut
sekali, mereka berteriak kaget dan kesakitan dan belasan orang itu pun
terpelanting berjatuhan dengan terbanting keras dan ada yang terlempar sampai
beberapa tombak jauhnya! Dalam segebrakan itu saja, empat orang pengeroyok
tewas seketika, empat orang lain terluka parah dan beberapa orang lagi hanya
terlempar dan mengalami kekagetan saja, hanya lecet-lecet karena terbanting dan
terguling-guling.
Tentu saja
para anggota Eng-jiauw-pang terkejut sekali. Mereka tidak tahu bahwa ketika
mendekam tadi, Cin Liong mengeluarkan ilmu simpanan yang dipelajari dari
ayahnya, Si Naga Sakti Gurun Pasir. Itulah Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti
Mendekam Di Tanah). Ketika dia mendekam sebetulnya dia sedang mengerahkan
sinkang yang mengambil tenaga inti dari bumi. Dan pada waktu belasan orang
pengeroyok itu menyerang dan menubruknya seperti hendak berlomba
mencengkeramnya, Cin Liong mempergunakan Ilmu Sin-liong-cian-hoat (Silat Naga
Sakti), maka akibatnya sedemikian hebat.
Lima orang
pemimpin Eng-jiauw-pang dan sisa anak buah mereka melihat kehebatan pemuda ini
menjadi gentar. Mereka tahu bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, akhirnya
mereka semua akan roboh dan tewas. Maka lima orang pemimpin itu mengeluarkan
seruan memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk melarikan diri. Mereka pun
berloncatan pergi sambil menyeret teman-teman yang tewas atau terluka.
Cin Liong
sendiri masih tertegun melihat akibat dari ilmunya tadi. Sangat jarang dia mau
menggunakan ilmu simpanan itu, dan hingga saat ini dia masih selalu merasa
tertegun menyaksikan kehebatan ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya. Dia
termangu-mangu, mempertimbangkan apakah sepak terjangnya tadi tepat, dalam
segebrakan saja dia telah membunuh dan melukai banyak orang. Karena dia sendiri
merasa agak menyesal, maka ketika melihat semua lawan melarikan diri, dia pun
tidak mau mengejar dan hanya berdiri memandang sampai mereka semua lenyap dari
pandang matanya.
Setelah
menarik napas panjang, Cin Liong lalu melangkah memasuki hutan itu lebih dalam
karena dia ingin mencari kuil tua yang menjadi sarang Eng-jiauw-pang. Dia tadi
sudah memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi dia harus menemukan sarang
mereka dan membasmi sarang itu agar mereka bertobat dan tidak berani lagi
beraksi mengumbar kejahatan mereka.
Kuil tua itu
ternyata sudah mengalami banyak perbaikan. Temboknya telah dicat baru,
gentengnya banyak yang diganti baru dan dari luar saja sudah nampak bahwa kuil
tua itu kini sudah menjadi bersih dan terawat. Bahkan di pekarangan kuil itu
banyak ditanami kembang dan juga nampak bersih, tanda bahwa setiap hari tentu
disapu. Akan tetapi ketika Cin Liong menghampiri kuil itu, kelihatan sunyi
sekali. Tentu mereka sudah melarikan diri semua, pikirnya. Mereka agaknya dapat
menduga bahwa aku tentu akan mendatangi sarang mereka.
Namun dia tetap
bersikap hati-hati dan waspada ketika memasuki kuil. Dia tahu bahwa menghadapi
musuh seperti Eng-jiauw-pang itu, dia harus bersikap hati-hati karena mereka
tentu tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan dia tidak akan merasa heran
andai kata mereka kini memasang perangkap untuknya di dalam kuil ini. Maka, dia
pun melangkah dengan hati-hati ke dalam kuil yang sudah tidak dipergunakan
sebagai tempat sembahyang itu.
Ruangan
depan kosong, juga ketika dia memeriksa ke ruangan dalam dan kamar-kamar di sekitarnya,
tidak menemukan seorang pun. Akan tetapi Cin Liong tetap curiga. Dia melihat
sesuatu yang tidak wajar dalam kekosongan kuil ini. Biasanya, kalau orang-orang
meninggalkan sarang mereka dengan tergesa-gesa karena mengira bahwa sarang itu
akan diserbu musuh, tentu para penghuninya akan pergi sambil membawa
barang-barangnya dan kamar-kamar itu tentu akan mawut, barang-barang ada yang
kececeran dan dibiarkan porak-poranda.
Akan tetapi
di dalam ruangan dan kamar-kamar di kuil ini tidak nampak tanda-tanda demikian
itu. Semua kamar tetap bersih dan barang-barang seperti tempat pakaian dan
lain-lain masih utuh, juga tidak ada tanda-tanda orang membawa pergi
barang-barang dengan tergesa-gesa. Apakah para anggota Eng-jiauw-pang itu
langsuug melarikan diri tanpa singgah dulu di sarang mereka saking takutnya?
Nampaknya begitulah atau.... ada maksud tertentu dari mereka. Kalau benar tidak
ada orangnya dan tempat ini sudah ditinggalkan para penjahat itu, sebaiknya
dibakar saja, pikir Cin Liong.
Mendadak Cin
Liong tak bergerak dan mencurahkan perhatian kepada suara yang didengarnya.
Suara itu datang dari arah belakang kuil itu, suara ah-ah-uh-uh, bukan seperti
suara manusia, diselingi suara berdebukan seperti benda dipukul-pukulkan di
lantai.
Dengan
hati-hati sekali dan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf di tubuhnya menegang dan
siap bergerak melindungi diri, Cin Liong lalu menuju ke ruangan belakang,
satu-satunya ruangan yang belum dimasukinya. Daun pintu yang menembus dari
ruangan tengah ke ruang belakang itu tertutup dan dengan perlahan dan hati-hati
Cin Liong mendorongnya terbuka.
“Uhhh....
uhhhh....!”
Cin Liong
melihat seorang gadis cantik yang terbelenggu kaki tangannya, diikat di atas
sebuah dipan kayu. Mulut gadis itu ditutup pula dengan sebuah sapu tangan yang
diikatkan ke belakang kepalanya sehingga mulutnya hanya dapat mengeluarkan
suara ah-ah-uh-uh. Gadis itu mencoba melepaskan diri, meronta-ronta dengan
keras. Akan tetapi belenggu kaki tangannya itu terlampau kuat sehingga kaki
dipan kadang-kadang terangkat sedikit dan memukul-mukul lantai mengeluarkan
suara dak-duk-dak-duk.
Meski apa
yang dilihatnya itu sudah nampak jelas, yaitu seorang gadis tawanan yang
ditinggalkan di dalam ruangan belakang kuil itu, namun Cin Liong tidak
tergesa-gesa menghampiri, melainkan menoleh ke kanan kiri dan meneliti keadaan
sekitar tempat itu. Dia tidak mau jika sampai terjebak memasuki perangkap yang
dipasang para penjahat.
Melihat
pintu terbuka dan muncul seorang pemuda tampan, gadis itu menghentikan
gerakannya meronta-ronta tadi dan kini ia memandang kepada Cin Liong dengan
kedua mata basah. Gadis itu menangis dan sinar matanya mewakili mulutnya untuk
minta tolong kepada Cin Liong.
Setelah
meneliti keadaan dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali
dia sendiri dan gadis yang dibelenggu itu, Cin Liong melangkah masuk,
menghampiri gadis itu sambil memperhatikannya. Seorang gadis yang cantik
sekali, usianya tentu sudah dua puluh tahun lebih, dengan bentuk tubuh yang
matang dan padat. Agaknya gadis itu menjadi tawanan baru dan belum diganggu
oleh para penjahat. Hal ini dapat diduga melihat betapa pakaian gadis itu masih
lengkap dan utuh.
Melihat
pakaiannya yang serba mewah, dapat diduga pula bahwa gadis ini tentulah puteri
seorang hartawan atau bangsawan. Pakaian itu belum diganggu, bahkan jubah luar
terbuat dari pada bahan kain indah berwarna merah itu pun masih menempel di
tubuhnya. Akan tetapi, kaki tangannya dibelenggu amat kuatnya, dengan
menggunakan pintalan kain sebagai tali. Halus dan tidak menyakitkan kaki
tangan, akan tetapi ulet dan sukar untuk melepaskan diri dari belenggu pintalan
kain ini.
Cin Liong
kini cepat menghampiri dan pertama-tama dia melepaskan sapu tangan yang
menutupi mulut dan diikatkan ke belakang kepala itu. Begitu bebas, gadis itu
segera berkata dengan suara memohon, “Ahhh, tolonglah aku.... tolonglah aku....
mereka membelengguku dan meninggalkan aku di sini, sebentar lagi mereka tentu
datang lagi. Tolong lepaskan belenggu kaki tanganku....”
Tanpa
diminta sekali pun tentu saja Cin Liong bermaksud membebaskannya. Dia lalu
melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan merasa kasihan karena ternyata
ikatan itu kuat sekali sehingga ketika dilepaskan, kulit kaki di pergelangan
yang halus putih itu menjadi merah kebiruan! Dia pun cepat melepaskan tali
pengikat kedua lengan.
Akan tetapi
begitu dilepaskan kedua tangannya, tiba-tiba gadis itu mencengkeram ke arah
perut sendiri. Wajahnya berubah pucat, keringat membasahi muka dan lehernya dan
dia pun mengeluh, “Aduhhh.... perutku....aduhhh....”
Cin Liong
terkejut sekali. “Perutmu kenapa, nona....”
“Aduhh....
di antara mereka tadi.... ada yang menampar ke arah perutku.... Tadi tidak
begitu terasa, akan tetapi sekarang.... aduhhh.... seperti terbakar
rasanya....” Dan gadis itu pun menangis, kedua tangannya mencengkeram ke arah
perutnya dan tubuhnya berkelojotan seperti dalam keadaan yang amat nyeri.
Cin Liong
teringat bahwa orang-orang Eng-jiauw-pang pandai mempergunakan racun. Agaknya
gadis ini terluka atau terkena racun. “Maaf, biarkan aku memeriksanya, nona,
mungkin aku dapat menolongmu....,” katanya dengan perasaan kasihan kepada gadis
itu dan marah kepada para penjahat.
Agaknya
orang-orang Eng-jiauw-pang itu telah menaruhkan racun entah apa, yang akan
terasa apabila gadis itu terbebas dari belenggunya. Racun yang aneh dan jahat
sekali. Karena khawatir kalau-kalau keadaan gadis sudah parah dan sukar
ditolong lagi, Cin Liong mengesampingkan segala perasaan malu dan canggung.
Dengan hati-hati dia menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan kancing baju
gadis itu di bagian perut, untuk memeriksa keadaan perutnya yang agaknya
terluka hebat itu, entah luka di luar ataukah di dalam.
Pada saat
dia berdiri membungkuk dengan kedua tangan bekerja membuka kancing dan mukanya
menunduk, matanya memandang penuh perhatian ke arah perut, tiba-tiba kedua
tangan gadis itu bergerak dan jubah merahnya mengebut. Bubuk merah halus yang
seperti asap memenuhi udara dan sebagian besar menimpa muka Cin Liong.
Pemuda ini
sama sekali tidak menyangka. Tadi ketika dia melepaskan belenggu dan berada di
dekat nona itu, memang dia mencium bau harum yang aneh. Akan tetapi karena
keadaan gadis itu sebagai seorang tawanan yang dibelenggu kuat-kuat dan
kemudian bahkan menderita nyeri yang hebat, keraguan dan kecurigaan sedikit pun
terhadap gadis itu tidak ada. Maka, betapa pun lihainya, dalam keadaan berdiri
bungkuk seperti itu, dan dekat sekali dengan nona yang ditolongnya, ketika nona
itu menyerang dengan bubuk merah yang agaknya memang sudah sejak tadi memenuhi
jubah merahnya, pendekar ini sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dan
mukanya terkena bubuk merah yang harum.
“Hehhh....!”
Dia masih
dapat mencengkeram ke depan, maksudnya untuk menangkap gadis yang telah
mengkhianatinya itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang luar biasa gesitnya,
gadis cantik itu menangkis dan meloncat jauh.
“Dukkk!”
Gadis itu
terlempar dan Cin Liong juga merasa betapa tangkisan itu mengandung tenaga
sinkang yang amat kuat. Tahulah dia bahwa gadis itu memang seorang pandai yang
pura-pura tertawan sehingga dia terkecoh. Akan tetapi terlambat. Kepalanya
terasa ringan dan tiba-tiba saja semuanya gelap baginya. Tanpa diketahuinya,
dia roboh terkulai di atas pembaringan itu dalam keadaan pingsan.
Cin Liong
tidak tahu berapa lama dia tidak sadar. Akan tetapi ketika dia siuman, dia
mendapatkan dirinya berada di dalam ruangan yang sama. Akan tetapi kini dialah
yang terikat dan terbelenggu di atas dipan dan ketika dia memandang, ternyata
gadis cantik berpakaian mewah tadi juga berada di situ, duduk di atas sebuah
kursi dan sedang memandang kepadanya dengan sepasang mata tajam penuh selidik.
Mata itu amat tajam bersinar-sinar. Sukarlah membaca perasaan yang berada di
balik sinar mata itu.
Tiga batang
lilin di atas meja menandakan bahwa hari telah malam! Juga suasana kuil yang
tadinya sunyi kini berubah. Dia mendengar suara orang-orang di luar ruangan itu
dan tak lama kemudian, daun pintu yang menembus ruangan itu dari belakang
terbuka. Muncullah dua orang pria datang membawa baki-baki terisi hidangan
makanan dan minuman. Dengan sikap hormat mereka mengatur hidangan itu di atas
meja.
Akan tetapi
gadis itu sama sekali tidak melirik, tidak mempedulikan dan pandang matanya
masih terus ditujukan kepada Cin Liong dengan pandang mata yang aneh. Cin Liong
tahu bahwa dua orang pria itu adalah anggota-anggota Eng-jiauw-pang, karena di
pinggang mereka tergantung sepasang sarung tangan cakar baja itu.
“Siocia
(nona), silakan makan dulu, hari sudah malam!” kata seorang di antara mereka
dengan sikap hormat dan juga penuh rasa sayang.
Gadis itu
hanya mengangguk, lalu memberi isyarat dengan tangannya agar dua orang itu
pergi lagi meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Dua orang itu menjura,
lalu keluar dan menutupkan daun pintu tembusan ke dapur itu dengan perlahan dan
hati-hati.
Cin Liong
yang sudah siuman itu sejak tadi pura-pura masih belum sadar, dan hanya
mengintai dari balik bulu matanya saja. Kini dia melihat nona itu menghadapi
hidangan dan mulai makan. Namun, agaknya hidangan yang banyak macamnya dan
kelihatan lezat sehingga menimbulkan selera bagi Cin Liong yang memang lapar
sekali, agaknya tidak membuat nona itu bernafsu untuk makan. Hanya sedikit ia
makan, kemudian ia menenggak tiga cawan arak.
Cin Liong kini
sadar bahwa dia sudah terperosok ke dalam perangkap yang dipasang oleh gadis
ini secara cerdik sekali. Dia menduga-duga siapa gerangan gadis ini. Tak
mungkin anggota biasa dari Eng-jiauw-pang karena dua orang anggota perkumpulan
itu tadi bersikap sangat hormat kepadanya dan menyebutnya nona. Tentu seorang
tokoh pimpinan. Dan kecantikan seorang wanita dengan sikapnya yang pendiam dan
halus itu bahkan lebih mengerikan dan berbahaya dari pada sikap seorang musuh
yang kasar dan bengis seperti orang-orang gerombolan Eng-jiauw-pang.
Diam-diam
dia mengerahkan tenaga untuk menggunakan sinkang-nya menembus jalan darah yang
tertotok. Dia terkejut. Totokan itu istimewa sekali dan betapa pun dia
mengerahkan sinkang, tetap saja dia tidak mampu menggerakkan pusarnya dan hawa
di dalam pusarnya tetap dalam keadaan tidur karena tidak ada yang menggerakkan
keluar. Celaka, pikirnya. Kalau dia tidak dapat mengerahkan sinkang-nya, tentu
dia tidak dapat melindungi dirinya. Tali-tali belenggu itu bukan apa-apa
baginya kalau dia mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia harus bersabar
sampai pengaruh totokan itu menghilang atau menjadi lemah.
Tiba-tiba
Cin Liong mendengar langkah-langkah kaki. Dia pun memejamkan matanya kembali
dan mendengarkan penuh perhatian. Daun pintu sebelah depan terbuka dan
muncullah lima orang laki-laki dipimpin oleh si kumis tebal. Mereka ini adalah
pimpinan gerombolan Eng-jiauw-pang! Diam-diam Cin Liong merasa betapa
jantungnya berdebar kencang. Agaknya bukan hanya dia yang terkejut melihat
munculnya lima orang tokoh Eng-jiauw-pang yang lihai itu, juga gadis cantik itu
bangkit berdiri dan memandang kepada mereka dengan alis berkerut.
“Suheng
berlima datang memasuki ruangan ini mau apakah?” tanyanya dengan suara dingin.
Si kumis
tebal melangkah maju. “Sumoi, kami datang karena khawatir akan dirimu dan ingin
melihat tampangnya musuh besar kita ini. Dia harus dibunuh secepatnya, sumoi,
karena kalau dibiarkan hidup lebih lama lagi, dia bisa mendatangkan bencana
bagi kita. Dia amat lihai dan berbahaya.”
“Twa-suheng,
sudah kukatakan kepada kalian bahwa selama semalam ini, dia menjadi tawananku
dan boleh kuperlakukan sesuka hatiku. Tidak boleh ada orang lain yang
mencampuriku! Besok baru kalian boleh bicara mengenai dia dan boleh kalian
lakukan sesuka hati kalian. Nah, sekarang keluarlah, jangan mengganggu aku yang
sedang termenung!”
“Akan
tetapi, kita semua amat benci dan sakit hati kepadanya. Ahh, betapa ingin aku
menggorok lehernya dan minum darahnya untuk memuaskan hatiku. Siang tadi dia
menambah sakit hati kita dengan membunuh empat orang anak buah dan melukai
beberapa orang lagi. Dia harus mati!” kata orang ke dua yang kepalanya botak.
“Ji-suheng!”
gadis itu berkata, nada suaranya marah. “Bagaimana pun juga, orang itu telah
membunuh ayahku. Engkau hanyalah murid ayah, akan tetapi akulah puterinya!
Dendam sakit hatiku jauh lebih mendalam dibandingkan denganmu, maka janganlah
bicara tentang dendam kebencian itu dengan aku!”
“Bagaimana
pun juga, dia harus kupatahkan dulu siku dan lututnya, barulah hatiku lega,”
kata pula orang pertama yang disebut twa-suheng dan yang berkumis tebal itu.
“Kalau sudah kupatahkan lutut dan sikunya, tentu dia tidak akan dapat
melepaskan diri lagi dan tidak akan membahayakan dirimu, sumoi.”
“Twa-suheng
dan suheng sekalian. Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Ingat, siapa yang
telah menawannya? Kalian berlima, dibantu oleh para anak buah, masih tidak
mampu menangkapnya, bahkan sempat mengorbankan nyawa empat orang anak buah.
Sedangkan aku seorang diri saja mampu membekuknya. Akulah yang menangkapnya dan
aku juga yang berhak memutuskan apa yang harus dilakukan dengan dia! Aku pula
keturunan tunggal dari ayah. Sudahlah, aku hanya ingin bersama musuh besarku
semalam ini, biarkan aku melampiaskan dendam pribadiku dengan caraku sendiri.
Besok baru kita bicarakan hukuman apa yang akan kalian berikan kepadanya.
Keluarlah sebelum aku marah!”
Lima orang
itu saling pandang, lalu terpaksa mereka pergi meninggalkan ruangan itu.
Seorang di antara mereka, yang tubuhnya pendek kecil kurus, meludah ke arah Cin
Liong ketika mereka pergi, dan daun pintu mereka tutupkan dari luar dengan agak
keras, tanda bahwa hati mereka tidak puas dengan sikap gadis itu.
Diam-diam Cin
Liong yang mengikuti semua ini harus mengakui bahwa pada saat itu, gadis cantik
inilah yang telah menyelamatkannya. Karena, kalau tidak dicegah oleh gadis itu,
tentu dia sudah dibunuh atau setidaknya dibikin cacat oleh lima orang itu tanpa
dia mampu melawan sama sekali. Dia menarik napas lega.
Tiba-tiba
gadis itu menoleh kepadanya. “Kao Cin Liong, apakah engkau masih hendak
pura-pura belum sadar?”
Cin Liong
membuka matanya, menoleh dan memandang. Dia mampu menggerakkan tubuhnya, akan
tetapi tidak dapat mengerahkan sinkang-nya. Kemudian dia menarik napas panjang.
“Nona, kalau
orang-orang seperti anggota gerombolan Eng-jiauw-pang memusuhi aku, hal itu
tidaklah aneh karena mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi kalau sampai
seorang gadis cantik dan pandai seperti engkau memusuhiku, sungguh membuat aku
heran dan penasaran sekali!”
Gadis itu
mengejek. “Manusia sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa seorang pendekar
besar, seorang jenderal dan panglima muda seperti engkau tidak pantas dimusuhi
oleh orang baik-baik, begitukah?”
“Aku tidak
biasa memuji diri sendiri, nona. Akan tetapi aku selalu hanya menentang
kejahatan, dan engkau sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Maka aku
merasa heran melihat engkau menjebakku dan menawanku seperti ini.”
“Engkau
tidak usah heran. Bukankah engkau yang dulu telah menewaskan Eng-jiauw
Siauw-ong Liok Can Sui? Nah, aku adalah Liok Bwee, puterinya. Ayahku kau bunuh
dan aku berusaha membalas dendam itu. Apa anehnya?”
“Aneh,
sungguh aneh dan sukar dipercaya....!” Cin Liong berkata, dia sengaja untuk
mengulur waktu dan mencari kesempatan membebaskan diri.
“Apanya lagi
yang aneh?” Liok Bwee bertanya penasaran.
“Mendiang
Eng-jiauw Siauw-ong adalah orang jahat yang dulu telah diperalat oleh Hek-i
Mo-ong dan antek-anteknya, para datuk sesat, untuk menyerang Pulau Es,
menyerang keluarga Pendekar Super Sakti. Dan engkau, nona, engkau bahkan
mengaku puterinya. Sungguh tidak pantas dan aneh sekali bahwa seorang datuk
sesat seperti dia memiliki seorang puteri yang cantik dan gagah perkasa seperti
engkau....”
Wajah itu
sebentar merah sebentar pucat dan sepasang mata yang bening itu menatap wajah
Cin Liong yang tampan. “Sudahlah, bagaimana pun juga, aku adalah puterinya dan
aku harus membalas dendam kematiannya itu.”
“Nona Liok
Bwee, ayahmu tewas karena kesalahannya sendiri. Andai kata dia tidak kebetulan
tewas karena berkelahi melawan aku yang membela keluarga Pulau Es, tentu dia
akan tewas pula oleh keluarga yang sakti itu.”
“Cukup!
Apakah kau kira aku mau menjadi anak yang tidak berbakti?” Dan di dalam suara
gadis ini terkandung kesedihan yang besar.
“Aku sudah
terjatuh ke tanganmu, terserah kepadamu, nona. Aku tidak takut mati. Hanya aku
merasa sayang sekali, mengapa seorang gagah perkasa seperti engkau ini sampai
menggunakan akal busuk untuk menangkapku. Aku tahu bahwa engkau seorang gagah
perkasa, sehingga engkau tidak membolehkan ketika para suheng-mu hendak
membunuhku tadi. Akan tetapi, kalau engkau membunuhku dalam keadaan aku sudah
terjebak begini, sungguh aku merasa amat sayang, nona. Tidak patut seorang
seperti nona ini melakukan pembunuhan keji secara curang, tanpa memberi
kesempatan orang itu untuk membela diri. Jauh lebih baik mati sebagai seorang
gagah dari pada hidup sebagai seorang pengecut.”
Gadis itu
memejamkan matanya dan dari kedua matanya itu menitik turun beberapa butir air
mata. “Betapa kejamnya engkau.... betapa kejamnya engkau menusuk-nusuk perasaan
hatiku. Aku memang selamanya tidak setuju dengan sepak terjang ayah. Ibu sampai
meninggal dunia karena sedih memikirkan ayah yang suka bergaul dengan kaum
penjahat. Sepeninggal ibu, ayah menjadi semakin nekat, bahkan mengangkat diri
menjadi seorang di antara datuk kaum sesat. Ah, aku malu.... aku menyesal sekali.
Ketika ayah diajak Hek-i Mo-ong, aku sudah mencegahnya, menangis, akan tetapi
percuma saja. Ketika aku mendengar bahwa ayah tewas di tangan Jenderal Muda Kao
Cin Liong, tentu saja aku merasa sakit hati. Akan tetapi apa dayaku? Aku
mendengar bahwa Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir! Tetapi,
para suheng-ku tak pernah putus asa dan pada suatu hari mereka menemukan
jejakmu. Akan tetapi mereka semua kalah olehmu. Ahh, betapa kagum hatiku.
Selama hidupku, belum pernah aku melihat pendekar seperti engkau, yang dapat
memukul mundur lima orang suheng-ku berikut semua anak buah! Akan tetapi, aku
harus membalas kematian ayahku, maka aku.... aku....”
Cin Liong
diam-diam merasa girang. Tidak keliru dugaannya. Gadis ini mempunyai kelemahan
dan pada dasarnya bukanlah seorang jahat atau kejam. Namun keadaan yang
memaksanya karena ia puteri ketua Eng-jiauw-pang. Maka dia pun tersenyum.
“Nona, aku
tidak takut mati dan mati di tanganmu jauh lebih menggembirakan dari pada mati
di tangan orang-orang Eng-jiauw-pang itu. Kalau engkau menganggap sudah
sepatutnya aku mati karena membela kebenaran, nah, bunuhlah, jangan ragu-ragu
lagi. Kalau nona ragu-ragu dan melakukan tindakan yang berlawanan dengan suara
hati kecil, nona akan merasa menyesal selama hidup.”
Gadis itu
mengusap air matanya. Dengan mata basah ia memandang kepada Cin Liong, lalu
menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak.... tidak.... sejak aku berhasil
meringkusmu di sini dan sampai sekarang, aku tiada hentinya menatap wajahmu dan
terjadi perang di hatiku.... membuat aku gelisah dan bingung. Tidak, Kao Cin
Liong, aku tidak mungkin dapat membunuhmu....”
Cin Liong
tersenyum. “Sudah kuduga, nona Liok Bwee. Seorang gadis sepertimu ini, tidak
mungkin menjadi seorang yang jahat atau curang. Tak mungkin engkau mau membunuh
orang begitu saja. Engkau gagah dan baik....”
“Bukan....bukan
begitu.... kalau bukan engkau musuh besarku, tentu sudah kubunuh sejak tadi!”
Cin Liong
mengerutkan alisnya. Wanita ini sungguh aneh, pikirnya. Dan memang kalau tadi
dia memuji-muji, hal itu hanya dilakukannya untuk mengulur waktu sedangkan
diam-diam dia terus berusaha untuk memulihkan tenaganya, untuk membuyarkan
jalan darahnya yang buntu tertotok. Dia sendiri tidak mungkin dapat
mengharapkan puteri seorang datuk sesat dapat menjadi seorang yang berbudi
mulia dan baik. Watak seseorang amat dipengaruhi oleh lingkungannya, bahkan
hampir dapat dipastikan bahwa watak dibentuk oleh lingkungan. Kalau sejak kecil
terlahir dan tumbuh di dalam lingkungan penjahat, mana mungkin gadis ini tidak
menjadi jahat pula?
“Apa yang
kau maksudkan, nona?” tanyanya dengan hati berdebar tegang dan tidak enak.
“Kao Cin
Liong, aku.... sejak kecil aku bertemu dengan orang-orang kasar. Setelah aku
dewasa, ayahku berkali-kali mendesak agar aku suka menikah. Akan tetapi, di
antara pemuda-pemuda kasar dan jahat itu, mana ada yang dapat menarik
perhatianku? Sejak dewasa aku sering kali membayangkan dan mengimpikan jodoh
seorang pemuda yang gagah perkasa, halus budi dan seperti pendekar-pendekar
yang digambarkan dalam dongeng. Maka, begitu melihatmu dikeroyok oleh para
suheng-ku dan dengan gagah perkasa engkau mengalahkan mereka, melihat sikapmu
yang halus, wajahmu, gerak-gerikmu.... sejak pertama kali melihatmu aku sudah
jatuh cinta padamu, dan aku.... aku menganggapmu sebagai seorang taihiap yang
patut untuk kulayani selama hidupku. Kao-taihiap.... aku cinta padamu.... dan
aku tidak akan mengingat lagi tentang permusuhan antara kita kalau saja engkau
sudi menerimaku.... menerima cintaku....”
Cin Liong
kaget bukan main. Sungguh tidak disangkanya bahwa urusan akan membelok ke arah
itu. Mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Cinta? Betapa anehnya
bicara tentang cinta pada waktu seperti itu, dalam keadaan seperti itu, di
waktu nyawanya bergantung pada sehelai rambut.
“Nona Liok,
maksudmu....”
“Terimalah
aku sebagai isterimu, taihiap. Hanya kalau aku menjadi isterimu saja aku akan
dapat menghabiskan seluruh permusuhan antara kita. Cinta seorang isteri lebih
kuat dari pada bakti kepada ayah yang sudah meninggal....”
“Ahhh, tidak
mungkin, nona. Kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin bagiku untuk bicara
soal cinta?”
“Tapi aku
cinta padamu, taihiap, aku cinta padamu....” Gadis itu mendekat, duduk di tepi
pembaringan dan tiba-tiba ia pun sudah menjatuhkan dirinya di atas dada Cin
Liong dan menciumi muka pemuda itu, dengan malu-malu akan tetapi juga dengan
nekat dan penuh perasaan.
Tentu saja
Cin Liong menjadi bingung. Dia hanya dapat membuat gerakan lemah, akan tetapi
tidak mampu menolak dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya seperti itu. Dan
ketika bibir yang lunak itu mencium bibirnya, bagaimana pun juga darah mudanya
tersirap, jantungnya berdebar-debar dan seperti otomatis, bibirnya juga
membalas, menyambut ciuman itu. Hal ini terasa oleh Liok Bwee yang mengeluarkan
keluhan, mendekap lebih kuat dan mencium penuh nafsu sampai keduanya
terengah-engah.
“Taihiap....
terimalah aku, aku mencintamu.... dengan seluruh jiwa ragaku.... aku akan
menjadi seorang isteri yang mencinta, setia dan akan melakukan apa saja yang
kau kehendaki....”
“Nona,
tenanglah dan mari kita bicara baik-baik. Cinta adalah urusan hati, tidak
mungkin orang dipaksa untuk mencinta atau membenci. Bebaskan dulu totokanku dan
mari kita bicara dengan hati terbuka....”
Gadis itu
menggeleng kepalanya. “Tidak, taihiap. Aku hanya mempunyai dua pilihan. Kalau
engkau berjanji mau menerima cintaku, berjanji akan mengambilku sebagai
isterimu, baru aku akan membebaskan totokanmu, bahkan akan membebaskanmu dari
sini, dari ancaman para suheng-ku dan para anak buah Eng-jiauw-pang.”
“Dan kalau
aku menolak, engkau akan membunuhku?”
Kembali Liok
Bwee menggeleng. “Tidak, aku cinta padamu, aku tidak akan tega untuk
membunuhmu. Kalau engkau menolak, aku akan menjagamu semalam ini, akan tetapi
besok aku tak mungkin dapat mencegah kalau para suheng-ku datang membunuhmu.”
“Nona, tidak
dapatkah engkau melihat betapa tak masuk akalnya maksudmu ini? Mana mungkin
engkau memaksa seseorang untuk mencinta? Mana mungkin pertalian cinta
dihubungkan dengan pemerasan seperti yang kau lakukan ini! Engkau seolah-olah
hendak menukar nyawaku dengan janji cintaku. Apakah engkau tidak melihat bahwa
kalau aku berjanji menerima cintamu karena aku takut dibunuh, maka janji dan
cintaku itu adalah palsu, sekedar untuk alat menyelamatkan diri? Nona,
janganlah engkau membiarkan dirimu ikut tersesat. Bebaskan totokanku dan mari
kita bicara. Bagaimana pun juga, sudah jelas bahwa engkau adalah seorang yang
baik, dan di antara kita terdapat pertalian persahabatan....”
“Aku
membutuhkan cinta, bukan persahabatan.”
“Nona, cinta
timbul kalau hati tertarik, terutama oleh budi bahasa dan kelakuan yang baik. Kalau
hati ditekan, tak mungkin timbul cinta. Tidakkah kau dapat menyadari hal ini?
Kalau kita bersahabat, mungkin dari situ dapat tumbuh perasaan cinta, bukan
dari paksaan.”
Tiba-tiba
gadis itu menangis dan merangkulnya kembali. “Ah, taihiap, aku takut.... aku
takut kalau aku membebaskanmu, kau lalu meninggalkan aku tanpa janji.... dan
aku.... hidupku akan kehilangan pegangan lagi....”
“Akan tetapi
kalau engkau mempergunakan kesempatan ini untuk memerasku, untuk memaksaku
membalas cintamu, sikapmu ini saja sudah menjauhkan hatiku, nona. Apakah engkau
tidak menyadari akan hal ini? Dan seorang gadis seperti engkau, betapa mudahnya
mencari seorang suami yang akan sungguh-sungguh mencintamu, asal saja engkau
tidak mengikuti jejak lingkunganmu yang sesat.”
“Kao-taihiap....
aku.... aku takut untuk menerima cinta pria lain. Aku belum pernah bertemu
dengan pria sepertimu.... aku hanya menginginkan engkau seorang....” Gadis itu
kembali menciuminya dengan penuh kemesraan dan rasa cinta yang bercampur dengan
nafsu birahi.
“Braaakkk....!”
Tiba-tiba
daun pintu ruangan itu pecah berantakan dan muncullah lima orang suheng gadis
itu dengan muka merah saking marahnya. Kedua tangan mereka masing-masing telah
memakai sarung tangan cakar garuda, menandakan bahwa mereka telah berada dalam
keadaan siap tempur! Liok Bwee terkejut dan melepaskan rangkulannya dari tubuh
Cin Liong, dengan marah menghadap lima orang suheng-nya itu.
“Kalian
sungguh tidak tahu aturan, dan tidak pantas kuanggap sebagai saudara tua!”
bentaknya.
Si kumis
tebal menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. “Dan engkau sungguh tidak
tahu malu dan amat merendahkan dirimu seperti pengemis cinta, lebih rendah dari
pada seorang pelacur! Mendiang suhu menunjuk seorang di antara kami sebagai
calon suamimu dan engkau tinggal memilih seorang di antara kami. Akan tetapi
engkau menolak kami semua dan kini mengemis cinta dari seorang musuh besar,
pembunuh ayahmu sendiri!”
“Tutup
mulutmu!” bentak Liok Bwee. “Apa pedulimu dengan urusan pribadiku? Aku tidak
sudi menjadi isteri seorang di antara kalian dan kalian menjadi sakit hati.
Cih, tak tahu malu. Aku memilih siapa pun untuk menjadi suamiku, apa
hubungannya dengan kalian?”
Si kumis
tebal menyeringai dan empat orang suheng-nya juga tersenyum mengejek. Memang
mereka merasa sakit hati karena ditolak sumoi mereka itu. “Sumoi, kami tidak
peduli engkau mau memilih orang macam apa untuk menjadi suamimu. Engkau hendak
memilih anjing Kao Cin Liong ini pun terserah, bukan urusan kami. Akan tetapi,
si keparat Kao Cin Liong ini adalah pembunuh suhu dan kami sudah bersumpah
untuk membalas dendam atas kematian suhu. Maka, sekarang juga dia harus mati di
tangan kami. Engkau boleh menikah dengan bangkainya saja!” Berkata demikian, si
kumis menubruk ke arah Cin Liong yang belum mampu melawan itu, kedua tangan
cakar baja itu terulur.
“Tahan!”
Liok Bwee berteriak sambil bergerak ke samping, kedua lengannya menangkis
serangan maut dari twa-suheng-nya itu.
“Plak!
Plak!”
Tubuh Liok
Bwee terhuyung akan tetapi serangan si kumis tebal gagal. Marahlah murid pertama
dari ketua Eng-jiauw-pang itu. “Sumoi, engkau hendak membela musuh besar,
melindungi pembunuh ayahmu sendiri?”
“Dia adalah
tawananku, siapa pun tidak boleh mengganggunya!” bentak Liok Bwee dengan sikap
garang dan ia sudah meloncat ke depan tempat tidur itu, melindungi Cin Liong.
Meiihat ini,
lima orang murid kepala Eng-jiauw-pang itu menjadi marah bukan main. Mereka
melangkah maju dengan sinar mata penuh ancaman.
“Sumoi,
menyingkirlah. Biarkan kami membalas dendam kepada musuh besar kita, dan
selanjutnya kami tidak akan mencampuri urusanmu lagi,” kata pula seorang di
antara mereka.
“Tidak!”
Si kumis
tebal melangkah maju. “Sumoi, sekali lagi kuperingatkan, jangan melindungi
musuh. Menyingkirlah!”
“Tidak.
Siapa pun tidak boleh mengganggunya selama aku masih hidup!”
“Sumoi, itu
berarti pengkhianatan! Kami akan menganggap engkau berpihak kepada musuh dan
terpaksa kami akan menggunakan kekerasan terhadapmu!”
“Terserah!
Kalian orang-orang berwatak pengecut, beraninya hanya pada orang yang sudah
tidak mampu melawan. Untuk dapat menjamahnya, kalian harus melangkahi mayatku!”
gadis itu berkata dengan nekat.
“Engkau anak
durhaka! Murid murtad!” Si kumis tebal berteriak marah dan dia pun sudah
menyerang sumoi-nya sendiri dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.
Liok Bwee
mengelak dan balas menyerang. Walau pun ia puteri mendiang Eng-jiauw Siauw-ong,
akan tetapi ia tidak pernah memakai sarung tangan cakar garuda. Sejak kecil ia
merasa tidak senang dan jijik dengan senjata ini, maka oleh ayahnya yang lihai
ia dilatih ilmu silat tangan kosong, terutama sekali ilmu menotok. Ilmu inilah
yang kini ia pergunakan untuk melawan dua tangan baja twa-suheng-nya.
Totokan-totokan
jari kedua tangannya menyambar dan menyambut serangan lawan dan karena ilmu
menotok jalan darah ini memang diciptakan oleh Eng-jiauw Siauw-ong untuk
mengganti ilmu cakar baja yang tidak disukai puterinya, maka tentu saja ilmu
menotok ini tepat sekali untuk menghadapi cakar baja itu.
Terjadilah
perkelahian yang amat seru, ramai dan mati-matian antara sumoi melawan
twa-suheng-nya itu. Empat orang suheng-nya yang lain hanya berdiri menonton
karena mereka merasa yakin sekali bahwa twa-suheng itu tentu akan dapat
mengalahkan sang sumoi.
Dari tempat
dia rebah, Cin Liong memperhatikan perkelahian itu dan dia pun dapat melihat
bahwa kalau hanya satu lawan satu, ilmu silat tangan kosong yang disertai ilmu
totokan lihai dari Liok Bwee itu akan mampu menandingi cakar baja dari si kumis
tebal. Akan tetapi di situ masih ada empat orang suheng gadis itu yang dia tahu
setiap saat dapat turun tangan membantu si kumis. Maka dia amat mengkhawatirkan
keselamatan gadis yang mempertahankan nyawanya dan membelanya mati-matian itu.
Cin Liong
kembali mengerahkan tenaga sinkang-nya, namun tetap saja jalan darahnya belum
pulih dan tenaga sinkang-nya tidak mau timbul, hanya dia mampu menggerakkan
tubuhnya agak lebih kuat dari pada tadi. Betapa pun juga, dengan kekuatan otot
biasa, tidak mungkin melepaskan diri dari belenggu kaki tangan itu dan ini
berarti bahwa dia tidak akan mampu melindungi diri sendiri, apalagi membantu
Liok Bwee.
“Nona,
bebaskan totokanku!” Tiba-tiba dia berseru karena kiranya hanya nona itu yang
akan mampu membebaskannya. Sekali terbebas, tak sukar baginya untuk mematahkan
belenggu dan menghajar lima orang tokoh Eng-jiauw-pang itu.
Liok Bwee
yang sedang berkelahi mati-matian melawan twa-suheng-nya, mendengar teriakan
ini dan teringatlah ia bahwa pria yang dicintanya itu terancam bahaya maut dan
hanya akan selamat kalau totokan yang membuatnya tidak berdaya itu dibebaskan.
Ia pun tahu akan kesaktian pemuda itu dan dapat menduga bahwa sekali totokannya
dibebaskan, pemuda itu akan mampu melepaskan diri dari belenggu dan sekali
terlepas, lima orang suheng-nya ini bukanlah lawannya.
Maka ia pun
cepat mengelak dari sambaran cakar besi twa-suheng-nya yang agaknya sudah marah
sekali kepadanya karena telah mengirim serangan maut yang bermaksud merobohkan
dan menewaskan itu. Lalu, cepat sekali Liok Bwee meloncat ke samping, ke arah
pembaringan di mana Cin Liong rebah dengan maksud untuk membebaskan totokannya
atas diri pemuda itu.
Tapi, empat
orang suheng-nya yang sudah tahu akan maksudnya, cepat menubruknya dari kanan
kiri sebelum ia sempat mendekati Cin Liong. Delapan buah cakar baja
menyerangnya dan tentu saja Liok Bwee tidak dapat melawan serangan empat orang
ini sehingga kedua lengannya telah kena dicenakeram!
“Lepaskan
aku! Keparat! Lepaskan aku!” teriaknya dan meronta sehingga kuku-kuku baja itu
merobek baju dan kulit lengannya sehingga berdarah.
Akan tetapi
empat orang itu tidak mau melepaskannya dan pada saat itu, si kumis tebal yang
agaknya sudah marah dan benci sekali kepada snmoi yang bukan saja menolak cintanya
akan tetapi kini malah mencinta dan melindungi musuh besar Eng-jiauw-pang,
agaknya sudah tidak dapat menahan panasnya hati lagi. Pada saat itu dia
menubruk sambil menggerakkan kedua cakar bajanya.
“Crott!
Crottt!” Cakar baja yang runcing itu telah mencengkeram tengkuk dan punggung
Liok Bwee.
“Aihhhhh....!”
Liok Bwee menjerit saking nyerinya ketika kuku-kuku baja yang tajam itu menusuk
kulit dagingnya.
Melihat ini,
empat orang suheng-nya yang lain melepaskannya dan twa-suheng-nya, si kumis
tebal itu, agaknya juga terkejut sendiri melihat betapa dia telah mencengkeram
tubuh sumoi-nya yang tadinya pernah dicintanya! Maklum bahwa dia telah membunuh
sumoi-nya, kemarahannya lalu ditumpahkan kepada Cin Liong. Dia mengangkat tubuh
sumoi-nya yang telah tak berdaya itu ke atas kepalanya, dengan masih
mencengkeram tengkuk dan punggung, lalu dilontarkannya tubuh sumoi-nya itu
dengan penuh geram ke arah Cin Liong yang rebah di atas pembaringan.
“Nih,
ambillah sebelum engkau kucincang!” bentaknya.
“Brukkkk....!”
Tubuh Liok
Bwee yang sudah lunglai itu menimpa Cin Liong di atas pembaringan dan dipan ini
pun runtuh terguling. Tentu saja tubuh pemuda itu terbawa pula, terguling di
atas lantai dalam keadaan menelungkup.
Dengan wajah
beringas dan pandang mata bengis, lima orang itu kini menghampiri Cin Liong
dengan cepat, seolah-olah mereka hendak berlomba membunuh atau menyiksa musuh
besar yang sudah tidak berdaya, rebah menelungkup dengan kaki tangan
terbelenggu dan tubuh tertotok itu. Tubuh Liok Bwee juga terlempar sampai ke
sudut ruangan di mana ia menggeletak mandi darah, tidak mampu bergerak lagi.
“Jangan
bunuh dia terlalu cepat!” Si kumis tebal memperingatkan para sute-nya.
Musuh besar
ini amat dibencinya dan sudah mendatangkan banyak sekali kerugian. Bukan hanya
kematian suhu mereka, akan tetapi juga kematian empat orang anak buah, bahkan
kini matinya Liok Bwee juga dia timpakan kepada pemuda yang amat dibencinya
itu. Para sute-nya mengerti dan setuju, maka mereka menubruk dengan maksud
mencengkeram dan menyiksa musuh besar itu agar mati perlahan-lahan dan
mengalami penderitaan yang amat hebat.
Akan tetapi,
pada saat mereka berlima menubruk ke arah tubuh yang menelungkup tak berdaya
itu, tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring dari mulut Cin Liong. Tubuhnya
yang menelungkup itu tiba-tiba saja bergerak, membalik dan kedua tangannya yang
tadinya terbelenggu itu mendadak saja bergerak. Belenggu itu terlepas dan kedua
tangannya mendorong dengan kekuatan yang dahsyat, juga belenggu pada kedua
kakinya putus semua pada saat itu juga!
“Blaaarrrr....!”
Hebat bukan
main tenaga yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu, seperti ada kilat
meledak dan akibatnya, lima orang yang tadi menubruknya itu terlempar dan
terjengkang semua, lalu terbanting keras ke atas lantai! Seketika itu dua orang
di antara mereka tidak mampu bergerak lagi karena kepala mereka pecah. Mereka
berdua inilah yang paling dekat dan langsung menerima hantaman kedua tangan Cin
Liong.
Tiga orang
yang lain hanya kena disambar hawa pukulan saja, akan tetapi hal itu cukup
membuat mereka terjengkang dan terbanting keras. Mereka masih dapat bangkit
dengan kepala pening dan muka mereka pucat, mata terbelalak saking kagetnya.
Sama sekali mereka tidak mengetahui bahwa ketika tubuh Cin Liong terlempar dari
atas dipan tadi dan jatuh menelungkup di atas lantai, pada saat itu Cin Liong
dapat meminjam tenaga inti bumi, dengan Ilmu Sin-liong Hok-te dia dapat
menggerakkan hawa sakti dari pusarnya dan seketika jalan darahnya pulih kembali
diterjang oleh hawa sinkang yang berputar dari pusar.
Maka, saat
para pengeroyoknya menubruk, dengan Sin-liong-ciang-hoat dia menyambut dan
karena sinkang-nya masih sedang penuh-penuhnya menguasai kedua lengannya, maka
tentu saja lima orang musuh itu tidak kuat menahan, bahkan yang terkena
hantaman langsung seketika mati dengan kepala pecah sedangkan yang lain,
termasuk si kumis tebal, terguncang hebat sehingga ketika mereka bangkit lagi,
mereka merasa kepala mereka pening!
Cin Liong
sudah bangkit dan pertama kali yang dilakukannya adalah meloncat ke dekat tubuh
Liok Bwee, berlutut dan memeriksa gadis itu. Dia tidak mempedulikan akibat
sambutannya terhadap lima orang pengeroyok itu. Dia melihat betapa punggung dan
tengkuk gadis itu luka-luka, demikian pula kedua lengannya, terkena cakar-cakar
baja yang mengandung racun! Cepat dia menotok beberapa jalan darah untuk
menghentikan jalannya racun ke jantung, dan menotok jalan darah untuk
mengurangi rasa nyeri.
Pada saat
itu, si kumis dan dua orang sute-nya melihat kesempatan baik selagi pemuda itu
memeriksa dan mengobati Liok Bwee. Dua orang sute si kumis tebal sudah menubruk
dari kanan kiri. Cin Liong maklum bahwa dirinya diserang oleh dua orang dari
kanan kiri. Maka ia pun dengan hati-hati menurunkan lagi tubuh Liok Bwee dan
secepat kilat membalik, kedua tangannya menyambut dengan dorongan, menyambut
dua orang yang menyerangnya.
“Dess!
Desss....!”
Dua orang
itu tidak sempat mengeluarkan teriakan lagi karena tubuh mereka terlempar ke
atas dan sudah putus nyawanya sebelum tubuh mereka itu terbanting ke atas
lantai! Melihat ini, si kumis tebal terbelalak dan dia pun meloncat....
menjauhkan diri dan hendak lari dari ruangan itu.
“Pengecut....!”
Cin Liong memaki dan dia pun mengejar.
Akan tetapi
si kumis tebal sudah berteriak memanggil anak buahnya, maka begitu tiba di luar
ruangan itu, Cin Liong sudah dikepung oleh sisa anak buah Eng-jiauw-pang yang
jumlahnya masih ada hampir tiga puluh orang! Mereka semua mempergunakan cakar
garuda pada tangan mereka. Dengan dipimpin oleh si kumis tebal, mereka menyerbu
dan mengeroyok Cin Liong dengan mati-matian.
Karena
mereka semua tahu bahwa pemuda itu adalah musuh besar, pembunuh mendiang
Eng-jiauw Siauw-ong, bahkan kini si kumis tebal berteriak-teriak memberi
tahukan bahwa empat orang sute-nya dan sumoi-nya juga sudah tewas di tangan
musuh ini, maka semua anggota mengeroyok mati-matian untuk membalas dendam. Si
kumis tebal sendiri pun selain memberi komando, ikut pula mengeroyok,
mengerahkan seluruh tenaganya karena sekarang merupakan pengeroyokan dan
harapan terakhir baginya, karena itu harus berhasil.
Akan tetapi,
panglima muda putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu memang hebat sekali
kepandaiannya. Cin Liong juga sudah marah dan juga dia melihat kenyataan betapa
kejam dan jahatnya gerombolan ini, maka dia sudah mengambil keputusan untuk
membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Kini dia tidak ragu-ragu lagi dan dia
mengerahkan sinkang-nya, memainkan Sin-liong-ciang-hoat dan tentu saja anak
buah gerombolan itu merupakan makanan yang amat lunak bagi ilmu silatnya yang
amat ampuh dan tenaganya yang mukjijat itu.
Setiap kali
dia menyerang, tiga empat orang roboh dan tewas seketika sehingga tanpa memakan
waktu lagi, para pengeroyok itu roboh berturut-turut dan akhirnya habislah
mereka. Tempat itu penuh dengan mayat yang malang melintang dan tumpang tindih!
Hanya tinggal si kumis tebal seorang saja yang belum roboh karena melihat
kehebatan lawan tadi, dia menyingkir ke belakang anak buahnya dan memberi
komando saja.
Melihat
betapa semua anak buahnya roboh, si kumis ini menjadi ketakutan dan dia
membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun, nampak
bayangan berkelebat dan tahu-tahu musuh besar itu telah berada di depannya,
menghadang dengan berdiri tegak dan sepasang mata pemuda itu mencorong seperti
mata seekor naga sakti! Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri,
si kumis tebal menjadi nekat.
“Haiiittttt....!”
Dia menyerbu
dengan ganas, kedua tangannya membentuk cakar garuda dan tubuhnya meloncat ke
atas lalu melayang turun, persis bagaikan seekor burung garuda yang terbang
turun menyambar seekor kelinci. Namun, yang diserangnya sama sekali tidak
mengelak atau menangkis, bahkan Cin Liong juga mengulur kedua lengannya dan
kedua tangannya menyambut cengkeraman lawan!
“Plakkk!
Plakkk!”
Kedua tangan
itu bertemu. Secepat kilat Cin Liong mengerahkan sinkang pada jari-jari
tangannya, lalu dia membuat gerakan mematahkan.
“Krekkk!
Krekkk!”
Si kumis
tebal menjerit mengerikan dan tubuhnya terkulai, akan tetapi kedua cakar garuda
itu tertinggal dalam genggaman tangan Cin Liong karena kedua pergelangan
tangannya patah tulangnya, kemudian putus sama sekali berikut daging, otot dan
kulitnya karena Cin Liong membuat gerakan mematahkan dengan kekuatan yang amat
dahsyat!
Kedua lengan
itu buntung sebatas pergelangan tangan dan darah muncrat-muncrat. Si kumis
tebal itu masih belum pingsan, melolong-lolong karena nyerinya sambil berlutut
dan memandang kepada kedua lengannya yang buntung sambil menangis. Cin Liong
membalikkan kedua cakar itu, kemudian menghantamkan kedua senjata itu ke arah
pemiliknya.
“Crott!
Crott!”
Si kumis
roboh terjengkang dan kedua cakar garuda itu telah menancap dalam-dalam di kerongkongannya
dan dadanya. Agaknya ketika menyerang tadi, Cin Liong teringat akan apa yang
dilakukan orang ini kepada Liok Bwee. Sejenak Cin Liong memandang tubuh lawan
yang sudah tak dapat bergerak, kemudian dia meloncat masuk kembali ke dalam
ruangan belakang.
Liok Bwee
yang sudah membuka kedua matanya itu, nampak tersenyum ketika melihat siapa
yang berlutut di dekatnya. Apalagi ketika Cin Liong mengangkat tubuh atasnya
dan memangkunya, sinar matanya berseri gembira.
“Mereka....
mereka tewas semua....?” tanyanya lirih.
Cin Liong
mengangguk.
“....aku....
aku akan mati.... ahhh, bagaimana aku nanti dapat menemui ayah di alam
baka....?”
Melihat
kesedihan gadis itu, Cin Liong jadi terharu. Bagaimana pun juga, gadis ini
telah menyelamatkan nyawanya dan kini gadis ini kehilangan segala-galanya.
Mula-mula dia kehilangan ayahnya, lalu kehilangan para suheng-nya dan anak
buahnya, dan kini akan kehilangan nyawanya pula. Semua gara-gara dia! Dan gadis
itu merasa takut untuk bertemu dengan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu
karena dia merasa telah mengkhianati Eng-jiauw-pang.
“Nona,
kau.... maafkanlah aku....,” katanya lirih.
Alis yang
berkerut itu cerah kembali. “Ahh, tidak apa. Akan kuhadapi dia, biar di alam
baka sekali pun, karena dialah yang bersalah, anak buahnya yang jahat.
Taihiap.... engkau.... engkau tidak benci kepadaku....?”
Cin Liong
terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Benci? Ahhh, bagaimana dia dapat
membenci gadis seperti ini?
“Tidak,
nona. Aku.... sama sekali tidak benci kepadamu, aku bahkan.... suka sekali
kepadamu....”
Cin Liong
lalu mempererat dekapannya seolah-olah hendak membuktikan kata-katanya karena
memang sesungguhnya tumbuh suatu perasaan sayang dan suka sekali dalam hatinya
terhadap gadis yang malang nasibnya ini.
Wajah itu
berseri-seri dan sepasang mata itu berkilat. “Aihhh, terima kasih, taihiap....
kata-katamu itu akan menjadi sinar terang yang mengantarku ke alam sana....
terima kasih, aku sungguh cinta padamu, Kao-taihiap.... sungguh....”
Cin Liong
semakin terharu, dan seperti ada dorongan yang amat kuat dia mendekatkan
mukanya. “Liok Bwee.... kau.... kau gadis yang malang....!”
Dan dia pun
lalu menempelkan bibirnya pada mulut itu. Seperti tersentak kaget tubuh gadis
itu mengejang, mulutnya terbuka dan Cin Liong lalu menciumnya dengan sepenuh
hatinya, dengan sepenuh rasa sayangnya. Ketika dia melepaskan ciumannya dan
memandang, wajah itu pucat sekali, akan tetapi berseri dan air mata mengalir di
kedua pipinya yang pucat.
“....terima
kasih, aku cinta padamu.... terima kasih....” Dan kepala itu terkulai, matanya
terpejam dan napasnya putus. Gadis itu sudah menghembuskan napas terakhir
dengan senyum di mulut!
Cin Liong
tahu bahwa gadis yang dipangkunya itu telah meninggal dunia. Hal ini terasa
begitu menusuk perasaan hatinya, membuatnya merasa kesepian dan kehilangan. Dia
mendekap kepala itu dengan eratnya, memandangi wajahnya, menciuminya dengan air
mata berlinang. Terasa sekali olehnya betapa dia membutuhkan Liok Bwee, betapa
dia membutuhkan wanita, membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan cinta
kasih wanita. Dia merasa seperti setangkai bunga kekeringan, sebatang pohon
kehausan.
“Bwee-moi....
ah, Bwee-moi....” keluhnya, akan tetapi ketika dia memejamkan matanya,
terbayanglah wajah Suma Hui dan hatinya menjadi semakin berduka.
Tidak dapat
disangkal lagi bahwa telah menjadi pembawaan manusia, betapa pria dan wanita
saling membutuhkan dan keduanya diciptakan seolah-olah memang sudah harus
saling mengisi. Wanita selalu mendambakan kasih sayang pria dan rasanya tak
lengkap hidupnya tanpa adanya pria yang menyayangnya, melindunginya dan
memanjakannya, membutuhkan dan mementingkan dirinya.
Di lain
fihak, bagi seorang pria, kebutuhan akan adanya seorang wanita dalam hidupnya
adalah mutlak. Dia selalu membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan getaran
dalam cinta kasih seorang wanita yang nampak dalam pandang matanya, dalam
senyumnya, dalam suaranya dan dalam sentuhannya. Tanpa adanya seorang wanita
yang menyayanginya seperti itu, seorang pria akan selalu merasa kehausan dan
kekeringan, akan selalu merasa betapa hampa hidupnya.
Pria dan
wanita memang merupakan dua unsur yang saling mengisi, saling melengkapi dan
bersatunya kedua unsur Im dan Yang inilah yang menciptakan kehidupan,
keindahan, dan keserasian, seperti matahari dengan bumi. Adanya yang satu tanpa
adanya yang ke dua adalah pincang, janggal, dan tidak lengkap.
Dan
ketimpangan ini, kesepian dan ketidak lengkapan ini mulai terasa mengganggu
batin Cin Liong semenjak dia gagal dalam hubungan cinta kasihnya dengan wanita.
Pertama dengan seorang pendekar wanita yang bernama Bu Ci Sian, kemudian kedua
kalinya dengan Suma Hui dan kegagalan yang kedua kalinya ini lebih parah! Tidak
saja Suma Hui memutuskan hubungan itu dengan tiba-tiba, bahkan ia kemudian
mendengar bahwa pemutusan hubungan itu ditambah lagi dengan sebuah fitnah yang
sangat menyakitkan hatinya, yaitu bahwa dia dituduh memperkosa Suma Hui!
Cin Liong
mengubur jenazah Liok Bwee dengan kedukaan yang mendalam, kemudian dia melapor
kepada kota yang berdekatan, kepada komandan kota itu sebagai seorang panglima
muda agar komandan itu suka mengerahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat
para anggota gerombolan Eng-jiauw-pang. Dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan
menuju ke Thian-cin untuk mencari Suma Hui!
Biar pun dia
seorang pendekar sakti yang sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan
bahkan ancaman-ancaman nyawa sehingga batinnya tergembleng dan dia memiliki
ketabahan yang jarang dimiliki pendekar lain, namun ketika dia memasuki
pekarangan rumah keluarga Suma, jantungnya tetap saja berdebar tegang dan
hatinya tidak urung merasa gelisah sekali.
Dia telah
mendengar dari orang tuanya betapa mereka telah mengalami penghinaan dari
keluarga ini, bahkan hampir saja orang tuanya bentrok dengan keluarga ini. Dan
dia mendengar pula betapa dia telah difitnah, dituduh telah memperkosa Suma
Hui. Hal inilah yang harus dibereskannya dan dibikin terang. Kalau toh keluarga
Suma hendak menolak pinangannya terhadap Suma Hui, hal itu adalah hak mereka.
Akan tetapi kalau mereka hendak menjatuhkan fitnah bahwa dia telah memperkosa
Suma Hui, hal ini tidak boleh dibiarkan saja dan dia harus menerangkan
persoalan yang amat gawat ini.
Di sepanjang
perjalanannya menuju ke Thian-cin, tiada hentinya dia merenungkan fitnah yang
amat aneh itu. Kiranya, keluarga seperti itu, keturunan langsung dari Pendekar
Super Sakti, keluarga Pulau Es yang terkenal itu, tidak mungkin menjatuhkan
fitnah sembarangan saja, apalagi fitnah berupa kejahatan perkosaan! Akan tetapi,
mungkinkah seorang dara seperti Suma Hui itu berani atau sudi membohong?
Kalau Suma
Hui tidak benar-benar menjadi korban perkosaan, apa artinya menuduh dia
memperkosa? Benarkah gadis itu menjadi korban perkosaan? Ataukah Suma Hui
sengaja berpura-pura dengan pamrih lain di balik itu? Pamrih yang bagaimana?
Kalau benar terjadi peristiwa laknat itu, siapa orangnya yang akan dapat
memperkosa seorang dara seperti Suma Hui? Akan tetapi dia lalu teringat kepada
Jai-hwa Siauw-ok. Datuk sesat itu pun pernah hampir dapat memperkosa Suma Hui
kalau saja dia tidak muncul di saat yang tepat!
Pendeknya,
apa pun yang terjadi, dia harus menemui Suma Hui, menemui keluarga Suma untuk
menerangkan semua persoalan dan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
selalu mengganggu pikirannya itu.
Pada waktu
pelayan mempersilakannya duduk di ruangan tamu sementara pelayan itu melaporkan
kepada tuan rumah, Cin Liong duduk dengan hati berdebar tegang. Apa yang harus
dikatakannya kepada Suma Kian Lee dan isterinya kalau mereka keluar menemuinya?
Rasanya tidak patut kalau begitu datang dia langsung bicara tentang hal yang
merupakan aib bagi keluarga itu. Lalu, apa yang harus dikatakannya? Bagaimana
kalau begitu muncul, suami isteri sakti itu langsung menyerangnya? Haruskah dia
melawan?
Akan tetapi
dia teringat bahwa kini Suma Hui sudah menikah. Ahhh, itulah yang dapat
dijadikannya alasan. Dia datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan itu!
Langkah kaki
tegap yang menuju ke ruangan tamu itu terdengar demikian kerasnya oleh Cin
Liong, menyaingi degup jantungnya. Dia sudah berdiri ketika daun pintu kamar
tamu yang menembus ke ruangan dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki
setengah tua gagah perkasa yang bukan lain adalah Suma Kian Lee. Sudah kurang
lebih empat tahun dia tidak bertemu dengan pendekar ini dan nampak oleh Cin
Liong betapa waktu empat tahun itu menambah usia sang pendekar seperti sepuluh
tahun saja!
Pendekar itu
nampak jauh lebih tua, rambutnya sudah hampir putih semua dan banyak
garis-garis prihatin menghias mukanya, menjadi keriput-keriput mendalam.
Matanya yang lebar itu masih tenang seperti dulu, juga masih tajam, tetapi ada
bayangan duka di balik ketenangannya. Dan pada saat itu, sepasang mata itu
terbelalak membayangkan kekagetan sehingga mengherankan hati Cin Liong yang
sudah cepat menjura dengan sikap hormat.
“Kao Cin
Liong....!” kata pendekar itu dengan suara jelas membayangkan rasa kaget
melihat pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak disangkanya akan muncul di
kamar tamunya. “Engkau.... datang.... dengan maksud apakah....?”
Memang sejak
dari pertemuan dengan ayah bundanya, Cin Liong sudah membawa ganjalan hati.
Ayah bundanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, mungkin juga
penghinaan itu berlangsung di dalam ruangan tamu ini. Akan tetapi dia datang
bukan untuk melampiaskan perasaan marah dan penasaran itu, melainkan untuk
menjernihkan segala kekeruhan dan menerangkan semua kegelapan dalam perkara
itu. Maka dia masih bersabar walau pun alisnya berkerut dan pandang matanya
berkilat.
“Locianpwe,
maafkanlah kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang untuk menghaturkan
selamat atas pernikahan bibi Suma Hui. Sayang saya sedang bertugas sehingga tak
dapat menghadiri pesta pernikahan itu. Juga saya menyampaikan ucapan selamat
dari ayah dan ibu.”
Cin Liong
sengaja menyebut locianpwe agar tidak menonjolkan hubungan keluarga di antara
mereka, akan tetapi dia tetap menyebut bibi kepada Suma Hui mengingat bahwa
gadis itu telah menikah dan tidak enaklah kalau dia tetap menyebut adik seperti
biasa.
Akan tetapi,
ucapan selamat dari Cin Liong ini terasa seperti pisau beracun menusuk hati
pendekar itu. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan sepasang matanya
menatap wajah Cin Liong penuh selidik. Dia pun lupa untuk mempersilakan tamunya
duduk dan mereka masih berdiri saling berhadapan.
“Terima
kasih,” jawab Suma Kian Lee dengan suara lirih akibat menahan perasaan yang
bergolak. “Lalu apa lagi keperluanmu mengunjungi kami?”
Kerut-merut
di antara alis pemuda itu makin mendalam. Sungguh angkuh dan sombong sekali
orang ini, pikirnya. Beginikah sikap putera dari mendiang Pendekar Super Sakti?
Tentu saja dia tidak tahu bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Suma Kian Lee itu
sungguh sama sekali bukan sikap aslinya. Pendekar ini telah mengalami musibah,
seteguh-teguhnya batu karang seperti dia telah dilanda badai yang amat hebat
sehingga membuat kekokohan batinnya menjadi goyah.
“Memang ada
lagi keperluan lain, locianpwe. Saya datang untuk membikin jernih kekeruhan
yang terjadi antara keluarga locianpwe dan keluarga kami.”
“Bagus!”
Suma Kian Lee berkata tegas dan mulutnya membayangkan senyum pahit. “Seorang
gagah harus menghadapi segala keadaan dengan sikap gagah pula. Engkau datang
karena merasa bahwa keluarga Kao telah menerima penghinaan dari keluarga kami?”
Kao Cin
Liong mengangguk. “Setidaknya menerima perlakuan yang tidak semestinya kami
terima.”
“Bagus!”
kembali pendekar itu berseru. “Mari kau ikut denganku, Kao Cin Liong!”
Melihat
sikap yang tegas dan kaku itu, diam-diam di dalam hati Cin Liong sudah timbul
penasaran dan hatinya semakin terbakar. Maka tanpa banyak cakap dia mengangguk
dan mengikuti tuan rumah itu yang berjalan melalui lorong di samping rumah,
menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dia pernah mengunjungi rumah
ini dan sedikit banyak sudah mengenal keadaannya, maka dia pun hanya mengikuti
saja dengan hati penasaran ketika tuan rumah membawanya ke ruangan itu.
Ruangan yang
luas itu kosong dan keadaan amat sunyi, membuat hati Cin Liong menduga-duga ke
mana perginya anggota keluarga lainnya. Kini mereka berdiri saling berhadapan
di lian-bu-thia. Aneh sekali, Suma Kian Lee kini berseri-seri memandang wajah
pemuda itu.
“Seorang
gagah akan menyelesaikan urusan dengan cara yang gagah pula. Keluarga Kao telah
merasa terhina oleh keluargaku dan sekarang engkau datang untuk membuat
perhitungan, itu sudah adil sekali. Dan aku sebagai orang yang bertanggung
jawab atas keluarga Suma, sudah berdiri di hadapanmu, siap untuk menebus
kesalahan dengan cara yang gagah pula. Kao Cin Liong, aku sudah siap, majulah!”
Suma Kian Lee memasang kuda-kuda dengan sikap yang gagah.
Cin Liong
terkejut dan juga marah. Sungguh sombong, pikirnya. Akan tetapi dia masih ingat
bahwa sungguh amat tidak baik menanam permusuhan dengan keluarga Suma, apalagi
kalau diingat bahwa ibunya masih terhitung anggota keluarga Pulau Es pula. Dia
datang untuk menjelaskan perkara, untuk mencari kebenaran, bukan untuk menuntut
keadilan dengan membalas dendam.
“Akan
tetapi, locianpwe, kedatangan saya bukan untuk berkelahi!” bantahnya.
“Kao Cin
Liong, siapa yang mau berkelahi? Kita bertanding untuk membuat perhitungan yang
ada. Aku tahu bahwa engkau adalah putera Si Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau
telah memiliki tingkat kepandaian yang setanding dengan aku, maka aku pun tidak
malu untuk menandingimu. Mari, aku sudah siap. Kecuali kalau engkau seorang
penakut, nah, tak perlu banyak cakap, pergilah.”
“Locianpwe
terlalu tinggi hati dan terlalu memaksa!” bentak Cin Liong marah.
“Memang!
Majulah, orang muda!” Anehnya, suara pendekar ini semakin gembira.
Melihat
betapa lawannya sudah memasang kuda-kuda, Cin Liong yang tak sudi disebut
pengecut itu sudah menerjang sambil mengeluarkan teriakan peringatan. Hantamannya
amat kuat dan cepat, namun dengan indahnya serangan pertama itu dapat
dihindarkan oleh Suma Kian Lee yang juga memiliki gerakan yang mantap dan kuat.
Suma Kian Lee mengelak sambil membalas serangan dengan tidak kalah kuatnya,
akan tetapi Cin Liong juga dapat mengelak dengan cepat.
Terjadilah
serang-menyerang dengan serunya dan diam-diam kedua orang pendekar tua dan muda
ini saling agum akan kehebatan dan kegesitan lawan. Ilmu silat mereka berbeda
sekali, dari sumber yang berlainan, akan tetapi keduanya sama kuatnya, sama
indahnya dan sama mantapnya. Mungkin saja Kian Lee menang latihan dan menang
matang, akan tetapi Cin Liong yang menang muda itu tentu saja menang napas dan
menang cepat gerakannya.
“Lihat
pukulan!” Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru setelah mereka bertanding lebih dari
tiga puluh jurus dan hanya mengandalkan kecekatan mereka untuk saling mengelak
dan saling membalas.
Kini
pendekar Pulau Es itu mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang dan menghantam dengan
kecepatan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh lawan. Cin Liong terkejut,
mengenal pukulan ampuh yang hawanya mengandung dingin luar biasa ini. Dia sudah
mendengar bahwa para pendekar Pulau Es memiliki dua macam ilmu andalan, yaitu
Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan
Sakti Inti Api), maka merasa betapa dinginnya pukulan ini, dia dapat menduga
bahwa ini tentulah pukulan Tenaga Sakti Inti Salju itu.
Dia pun
cepat mengerahkan tenaganya dan karena maklum bahwa kekuatan lawan amatlah
hebatnya, dia pun tidak mau membahayakan dirinya dan langsung saja dia
menggunakan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dengan menggunakan tenaga inti bumi dalam
pengerahan tenaga Sin-liong Hok-te. Tubuhnya tiba-tiba menelungkup dan saat
pukulan datang, ia pun meloncat dan menerima pukulan kedua tangan itu dengan
kedua telapak tangannya sendiri.
“Dessss....!”
Dua tenaga
raksasa bertemu di tengah udara dan akibatnya, tubuh Cin Liong terpental ke
belakang sampai tiga tombak. Akan tetapi sebaliknya Suma Kian-Lee terhuyung,
mukanya menjadi pucat dan mulutnya mengeluarkan sedikit darah segar!
Cin Liong
terkejut bukan main. Dia tidak merasa terluka walau pun tubuhnya terlempar, dan
kini dia menghampiri lawannya, bermaksud untuk memeriksa kalau-kalau lawannya
terluka parah. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika kini Suma Kian Lee membentak
lagi, “Lihat pukulan....!”
Kali ini
pukulan pendekar Pulau Es itu membawa hawa yang panas. Tahulah Cin Liong bahwa
pukulan ini tentulah Hwi-yang Sin-ciang. Maka dia pun cepat mengumpulkan tenaga
dan menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan. Untuk mengelakkan pukulan
sakti seperti itu jauh lebih berbahaya lagi.
“Blaarrrr....!”
Cin Liong
terlempar lagi dan terbanting keras, seluruh tubuhnya terasa panas dan dia
terkejut bukan main. Akan tetapi hanya kepalanya yang terasa pening dan dia
bangkit kembali, menggoyang-goyangkan kepalanya mengusir kepeningan. Ketika
memandang, dia melihat lawannya masih berdiri tegak, namun tubuhnya
bergoyang-goyang dan dari mulutnya mengalir darah segar lebih banyak lagi. Dan
pendekar tua itu tersenyum!
“Bagus!
Tidak memalukan engkau menjadi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau memang
pantas mencuci penghinaan atas nama keluargamu. Aku tidak malu roboh di
tanganmu. Mari lanjutkan....!” Dan Suma Kian Lee sudah melangkah maju lagi
walau pun terhuyung-huyung.
Cin Liong
kebingungan. Dia tahu bahwa lawannya terluka parah. Akan tetapi, lawannya masih
hendak menyerang lagi, maka terpaksa dia pun cepat memasang kuda-kuda dengan
waspada karena maklum bahwa para pendekar Pulau Es merupakan gudang-gudang ilmu
silat tinggi yang amat hebat.
“Kao Cin
Liong, terimalah seranganku!” kata Suma Kian Lee. Akan tetapi pada saat dia
melangkah maju, siap menerjang, terdengar jeritan nyaring.
“Tahan....!”
Dan sesosok bayangan meluncur datang, lalu memeluknya dari belakang. “Suamiku,
apa yang kau lakukan ini? Ya Tuhan.... engkau.... engkau terluka....!” Wanita
itu adalah Kim Hwee Li yang segera memapah suaminya diajak duduk di atas bangku
di sudut ruangan yang luas itu.
Ditangani
isterinya, Kian Lee tidak banyak membantah. Dia pun segera duduk bersila di
atas lantai seperti yang diminta isterinya dan Kim Hwee Li sudah menempelkan
kedua tangannya ke dada suaminya.
“Kao Cin
Liong, ke sinilah dan bantu aku mengobati suamiku. Cepat!” kata wanita itu.
Cin Liong
cepat menghampiri. Biar pun dia bingung sekali, akan tetapi dia tidak ragu-ragu
untuk cepat duduk bersila di belakang kakek itu dan menempelkan kedua telapak
tangannya ke punggung Kian Lee sambil mengerahkan sinkang perlahan-lahan. Dia
pun tahu cara pengobatan dengan sinkang untuk menyembuhkan luka sebelah dalam
tubuh orang.
Setelah
diobati oleh pengerahan sinkang kedua orang itu, akhirnya wajah Kian Lee
menjadi merah kembali dan pernapasannya menjadi tenang dan pulih. Dia menarik
napas berkali-kali lalu berkata, “Sudah, cukuplah....”
Kim Hwee Li
melepaskan tangannya dan diturut pula oleh Cin Liong yang cepat bangkit berdiri
mundur beberapa largkah, menanti dengan sikap hormat. Kim Hwee Li mengajak
suaminya bangkit duduk di atas bangku dan nyonya itu setelah memandang wajah
suaminya dan Cin Liong berganti-ganti, lalu membanting kakinya.
“Suamiku ini
semakin tua semakin bandel dan keras kepala!” Lalu nyonya itu menangis,
mengusap air matanya dengan punggung tangan. Mengharukan sekali melihat nyonya
ini menahan tangisnya seperti anak kecil yang sedih sekali.
Suma Kian
Lee kembali menghela napas. “Isteriku, kenapa engkau tidak membiarkan aku mati
terhormat seperti orang gagah? Apa artinya hidup akan tetapi menanggung malu
dan telah melakukan kesalahan memalukan yang besar sekali terhadap keluarga
Kao? Aku hanya akan menjadi bahan ejekan orang saja.” Kedua mata pendekar ini
menjadi basah dan beberapa kali dia memejamkan mata untuk nenahan runtuhnya air
matanya.
Dengan air
mata masih menetes di sepanjang pipinya, Kim Hwee Li bangkit berdiri dan
menepuk dada, membanting kakinya. “Hendak kulihat siapa orangnya yang berani
mengejek suamiku! Ingin kulihat siapa berani! Siapa....?” Ia menantang-nantang
seolah-olah di depannya berdiri seluruh manusia di dunia yang berani lancang
mengejek suaminya yang dicintanya sepenuh hati.
Diam-diam
Cin Liong kagum melihat nyonya ini dan dapat merasakan besarnya cinta yang
terkandung dalam dada nyonya itu terhadap suaminya.
“Maaf....
ji-wi locianpwe.... sesungguhnya saya menjadi bingung sekali.... saya datang
untuk menjernihkan suasana, tetapi kiranya malah diterima salah dan kalau
kedatangan saya hanya makin mengeruhkan keadaan, harap sudi memberi penjelasan
dan saya bersedia untuk minta maaf,” katanya merendah.
Kim Hwee Li
menarik napas panjang. “Duduklah, Cin Liong. Suamiku ini memang keras kepala
dan keras hati pula. Dia sedang dalam keadaan sakit yang cukup parah karena
guncangan batin. Dia tahu akan keadaannya itu maka agaknya menantangmu agar dia
dapat mati di tanganmu.”
“Locianpwe....!”
Cin Liong berseru terkejut sekali sambil memandang kepada Suma Kian Lee.
Jadi itukah
gerangan sebabnya mengapa pendekar itu menantangnya dan membiarkan dirinya
terluka dalam pertemuan tenaga sakti? Kiranya sedang menderita sakit sehingga
lemah dan mencari kesempatan tewas dalam pertandingan itu! Dia bergidik. Tanpa
disadarinya hampir dia menjadi pembunuh orang yang sedang lemah dan sakit!
“Apa.... apa
artinya semua ini?”
Suma Kian
Lee menarik napas panjang dan memandang pemuda itu. Kemuraman dan kedukaan
membayang di wajahnya, sungguh berbeda dengan tadi ketika menghadapi maut,
wajah pendekar itu berseri gembira.
“Kami telah
menghina keluarga Kao, bahkan telah menjatuhkan fitnah keji atas dirimu yang
ternyata tidak berdosa. Aku merasa malu sekali. Maka ketika engkau datang,
mewakili keluargamu, sungguh kebetulan bagiku karena aku dapat menebus dosaku
itu. Kekuatan kita seimbang, akan tetapi aku sedang sakit dan kalau aku tewas
di tanganmu dalam sebuah pertandingan yang adil, aku.... aku tidak perlu malu
bertemu dengan ayah bundamu....”
“Tapi,
locianpwe. Kami sekeluarga sama sekali tidak mendendam atas perlakuan ji-wi
locianpwe sekeluarga karena ayah juga merasa yakin bahwa ada sesuatu di balik
semua itu. Begitu saya kembali ke rumah, ayah dan ibu menegur saya tentang....
ehh, tentang.... perkosaan yang katanya saya lakukan. Karena itulah saya
penasaran, locianpwe, dan ingin membikin terang duduknya persoalan, bukan
karena dendam oleh penghinaan itu. Kalau toh ada penghinaan itu terhadap
keluarga kami, tentu terjadi karena kesalah pengertian di pihak locianpwe
sekeluarga.”
“Memang
sebenarnya demikianlah, Cin Liong. Ada salah pengertian besar di pihak kami
yang baru kami ketahui setelah terlambat....,” kata Kim Hwee Li dengan suara
berat.
“Akan
tetapi, locianpwe, sebetulnya.... apakah yang telah terjadi dengan.... Hui-i
(bibi Hui)? Ji-wi locianpwe mengetahui perasaan saya terhadap Hui-i, dan
maafkan kalau pertanyaan saya itu terlalu mendesak, mengingat bahwa Hui-i
sekarang telah menikah dengan bahagia....”
“Tidak!
Dia.... dia.... ahhh....” Suma Kian Lee tidak melanjutkan kata-katanya dan
menunduk dengan muka muram.
Cin Liong
menatap wajah pendekar itu, lalu menoleh kepada isteri pendekar itu. Akan
tetapi keduanya tidak melanjutkan keterangan mereka dan nampaknya berat sekali
untuk bicara.
Akhirnya Kim
Hwee Li berkata, “Cin Liong, kami tidak dapat memberi tahu kepadamu....”
Cin Liong
menunduk, merasa terpukul hatinya. Dia bagai diingatkan bahwa dia bukanlah
apa....apa, bukan keluarga dan tentu saja tidak berhak bertanya-tanpa tentang
diri Suma Hui. Dia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berat,
“Maaf.... saya telah bersikap lancang....”
“Tidak, Cin
Liong. Engkau telah kejatuhan fitnah, biar pun kini kami mengaku telah salah
paham menjatuhkan fitnah keji, akan tetapi engkau berhak mengetahui apa yang
telah terjadi maka sampai kami menuduhmu. Akan tetapi.... karena hal ini
menyangkut pribadi Hui-ji, maka sebaiknyalah kalau engkau mendengarnya dari
mulutnya sendiri, kalau ia mau menceritakan....”
“Tapi....
tapi.... Hui-i sudah....”
“Temui saja
ia, Cin Liong,” kata wanita itu. “Ia sedang berlatih di telaga kecil sebelah
barat di luar kota ini. Temuilah saja dan lihat saja perkembangannya nanti.”
Cin Liong
sudah tahu di mana letaknya telaga kecil itu. Dia lalu memberi hormat kepada
kedua orang tua itu, kemudian tanpa bicara lagi dia lalu keluar dan berlari
cepat keluar dari kota Thian-cin menuju ke barat, ke arah telaga itu, tanpa
mempedulikan orang-orang yang memandang heran melihat seorang pemuda berlari-lari
secepat itu.....
***************
Seorang
gadis dan seorang pemuda sedang berlatih silat di tepi telaga kecil itu.
Latihan mereka sungguh akan mentakjubkan orang yang melihatnya. Akan tetapi
tempat itu sunyi dan seandainya ada orang yang melihatnya, kiranya kedua orang
muda itu tidak akan melakukan latihan di tempat itu.
Tadinya
mereka berlatih silat tangan kosong, saling serang dengan hebatnya dan dari
sambaran kedua tangan mereka ada hawa pukulan yang sangat kuat
menyambar-nyambar, menimbulkan angin pukulan yang membuat pohon di sekitar
tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kadang-kadang pukulan
mereka itu mengeluarkan bunyi bercicitan, bahkan ada kalanya pukulan mereka
mengeluarkan uap yang dingin sekali, kemudian berganti menjadi uap yang luar
biasa panasnya! Keduanya sama tangkas, sama cepat dan pukulan-pukulan mereka
sungguh menggiriskan hati siapa yang melihatnya.
Setelah
berlatih silat tangan kosong, saling serang sampai seratus jurus lebih, mereka
beristirahat sebentar, kemudian mereka berlatih di tepi telaga. Bergantian
mereka mengirim pukulan-pukulan ke arah air telaga dan bukan main hebatnya
pukulan itu. Pukulan yang mengandung hawa dingin aneh sekali sampai air yang
terlanda pukulan mereka menjadi beku seperti salju dan es! Kemudian, dengan
pukulan yang hawanya panas mereka mencairkan kembali gumpalan-gumpalan salju
itu, bahkan nona itu memasukkan lengannya ke air, menggerak-gerakkannya dengan
pengerahan tenaga, mengirim getaran-getaran melalui tangannya dan air di sekeliling
lengannya menjadi panas!
Mereka itu
adalah Suma Hui dan Suma Ciang Bun, dua orang putera dan puteri pendekar Suma
Kian Lee. Seperti telah kita ketahui, Suma Kian Lee merasa menyesal bukan main
akan aib dan musibah yang menimpa diri puterinya, merasa menyesal bahwa dia
telah salah pilih, telah menaruh kepercayaan yang amat besar kepada seorang
pemuda seperti Louw Tek Ciang yang kemudian ternyata adalah seorang penjahat
cabul murid Jai-hwa Siauw-ok! Dia bukan hanya mempercayai pemuda itu, bahkan
telah mengambilnya sebagai murid, sebagai ahli waris ilmu-ilmu silat keluarga
Pulau Es dan juga telah memilihnya sebagai mantu!
Setelah
diketahuinya bahwa pemuda bejat akhlak itu seorang penjahat licik yang telah
memperkosa Suma Hui, kemudian menggunakan nama Cin Liong untuk menjatuhkan
fitnah, Suma Kian Lee baru sadar akan kebodohan dan kekeliruannya. Dia melarang
kedua orang anaknya melakukan pencarian. Louw Tek Ciang sudah terlampau lihai
bagi mereka, apalagi di sampingnya masih terdapat seorang datuk sesat seperti
Jai-hwa Siauw-ok! Maka, dia lalu menggembleng kedua orang anaknya itu siang
malam tanpa mengenal lelah. Dua orang muda itu pun berlatih dengan amat
tekunnya sehingga lewat dua tahun saja, mereka yang memang sudah mempunyai
dasar ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, telah menguasai kedua Ilmu Hwi-yang
Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang amat hebat itu.
Sejak
mengalami peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya, yaitu pemerkosaan
terhadap dirinya yang disusul dengan guncangan-guncangan lain, Suma Hui kini
nampak matang dan ada garis-garis penderitaan di ujung bibir dan ujung matanya.
Usianya baru dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan
lebih matang.
Dia telah
digembleng pergalaman-pengalaman yang amat mengguncangkan batinnya. Pemerkosaan
atas dirinya merupakan aib yang hebat, akan tetapi persangkaan yang sudah yakin
bahwa pemerkosanya adalah Kao Cin Liong, pemuda yang dicintanya, benar-benar
menghancurkan batinnya dan membuat ia hampir putus asa. Kemudian, semua ini
masih disusul lagi oleh peristiwa keributan antara keluarganya dan keluarga
Kao, dan yang kemudian sekali, kenyataan bahwa pemerkosanya ternyata sama
sekali bukanlah Kao Cin Liong melainkan Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi
suheng-nya dan juga suaminya sendiri, benar-benar merupakan pukulan terakhir
baginya.
Pukulan
terakhir ini melandanya dengan perasaan-perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa
girang bahwa pemuda yang dicintanya, Kao Cin Liong, ternyata bukanlah seorang
jahat dan sama sekali tidak melakukan perbuatan laknat itu! Rasa girang ini
bercampur rasa penyesalan besar sekali karena ia telah menuduh pemuda itu,
menuduhnya dan hampir membunuhnya. Bahkan menuduh Cin Liong langsung di depan
orang tuanya yang mendatangkan penghinaan kepada keluarga Kao!
Di samping
rasa girang dan sesal yang hampir tak tertahankan olehnya ini, ada lagi rasa
marah dan dendam yang berkobar-kobar terhadap Louw Tek Ciang! Dendam inilah
yang membuat Suma Hui berlatih dengan amat tekunnya, tidak ingat waktu, tidak
mengenal lelah, seolah-olah tujuan hidupnya hanya tinggal belajar ilmu silat
sepandai-pandainya untuk kemudian mencari dan membunuh Louw Tek Ciang si
jahanam!
Suma Ciang
Bun juga berlatih dengan sama giatnya. Bukan saja karena semangat belajar
enci-nya itu menular kepadanya, akan tetapi juga pemuda ini mengalami
ketegangan dan guncangan batin karena konflik-konflik yang terjadi di dalam
dirinya sendiri. Melihat kelainan yang melanda batinnya, Ciang Bun menjadi
gelisah sekali.
Enci-nya
merupakan orang pertama, bahkan satu-satunya orang yang dipercayanya dan yang
mengetahui keadaan dirinya. Akan tetapi enci-nya juga bingung dan tidak mampu
menolongnya, bahkan tidak mampu memberi nasehat sehingga Ciang Bun lalu mencari
pelarian dalam berlatih mati-matian.
Dengan
melatih diri mati-matian tanpa mengenal lelah itu, sedikitnya dia dapat
melupakan kegelisahannya dan karena dia tidak banyak bergaul, maka kelainan itu
pun tidak terlalu mengganggunya...
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment