Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 13
Tidak mudah
bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota
raja. Pada waktu itu, kota raja sedang dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai
penjuru daerah yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini
memenuhi rumah-rumah penginapan.
Ujian itu
berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga
perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka
kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak
pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi
semakin ramai.
Karena tidak
berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa
Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sini pun penuh dengan para
pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih
tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uang pun tidak
perlu banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar
sokongan saja kepada kuil itu.
Ketika
memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar
yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa
kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus
yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa bagaikan seekor burung gagak
yang masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka,
pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya
bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat
yang kasar!
Ketika Ciang
Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang
sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya
menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia
lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya
lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.
Seorang
pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang tengah dibacanya
dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya
tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang
usianya kurang lebih dua puluh tahun. Dia pun lalu balas tersenyum dan
mengangguk.
“Maaf,” kata
pemuda itu, “Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti
ujian?”
Melihat
keramahan pemuda itu yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi itu, Ciang Bun
tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk
serius dan pendiam walau pun dia dapat pula bersikap ramah.
“Ya, aku
baru saja datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian,
melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja.”
Pemuda itu
menutup bukunya dan menyimpannya di dalam buntalan, lalu menggeser duduknya
mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia
berkata, “Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan
tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!”
Ciang Bun
memandang dengan mata terbelalak. “Aihh, mengapa demikian? Justru aku yang
merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu
sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!”
Tiba-tiba
pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa.
“Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang,
saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan dari
pada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor
burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang
hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa
susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan
burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman dari pada kehidupannya di luar
kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung
yang lain itu dapat terbang bebas ke tempat mana pun ia suka, tidak seperti dia
yang gerakannya terbatas dalam kurungan.”
“Akan tetapi
kita bukan burung....”
“Ha-ha, apa
bedanya? Engkau yang bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh
segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti
engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirubah semau kita. Saudara yang
baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui
namamu?”
“Namaku Suma
Ciang Bun,” jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau
she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan.
Akan tetapi,
Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang
akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.
Perkenalan
itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim
pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka
bicara mengenai ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari
ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.
“Tidak enak
bicara di sana,” kata Tan Hok Sim. “Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah
suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi
kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak
pula.”
“Rahasia
apakah, twako?” tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang
tiga empat tahun lebih tua darinya.
“Tentang
ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang
memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?”
“Tukang
korupsi?”
Hok Sim
mengangguk. “Betapa pun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat
besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau
memiliki keluarga yang berpengaruh, baik karena kedudukannya atau hartanya,
jangan harap akan dapat lulus.”
“Eh, mengapa
begitu?” tanya Ciang Bun heran dan penasaran. “Kalau yang pandai tidak
diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu namanya
bukanlah ujian.”
“Memang
bukan kepandaian yang diuji, semata-mata melainkan isi kantongnya,” Tan Hok Sim
menjawab marah.
“Lalu
bagaimana dengan engkau, twako?”
“Hemm, aku
tidak mempunyai harapan lagi walau pun besok masih akan kulanjutkan mengikuti
ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walau pun tidak mencapai angka terbaik,
kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok,
mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru
silat....”
“Ayahmu
seorang guru silat!” Ciang Bun berseru kaget dan gembira. “Ahh, kalau begitu
engkau tentu pandai ilmu silat!”
“Ahh, pandai
sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami,
ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat
bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka
ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari
bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak
mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?”
“Aku suka
merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah
mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya,
siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?”
“Di sana
terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi,
tentu saja para pengawas itu pun harus menyogok atasan mereka dan orang yang
paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri.”
“Hemm, tentu
menteri bagian kebudayaan atau pendidikan.”
“Kurasa
begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?”
“Mengapa
engkau tidak mendatangi saja menteri itu, dan kemudian melaporkan tentang
penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?” tanya Ciang Bun.
Tan Hok Sim
membelalakkan matanya. “Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan
nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap,
dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?”
Ciang Bun
menarik napas panjang. “Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan
dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang
yang terkena ketidak beresan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan mampu
memperbaiki keadaan? Kenapa engkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk
memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?”
Hok Sim
menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun tadi menggerakkan hatinya.
Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami
nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan
para pengawas, namun siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh
pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana jika para pembesar
itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?
“Hal itu
tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian
sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau
keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai
uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, dari pada bersusah
payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit
sekali.”
Ciang Bun
diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi dia pun maklum bahwa kegetiran
membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat
lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak
akan diluluskan kalau tanpa uang?
“Kalau
begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka
aku tidak khawatir tidak diluluskan.”
Tan Hok Sim
memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu.
“Bun-te, apa yang hendak kau lakukan?”
Ciang Bun
tersenyum. “Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan
ada perubahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam
kuil.”
Setelah
berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya yang berdiri melongo, mengikutinya
dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat
dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan
bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya,
mana mungkin kini akan dirubah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma
Ciang Bun?
Dia sangat
mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimana pun juga, sahabat barunya itu menarik
hatinya. Dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang
Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya malah akan ditangkap dan
dihukum! Dia pun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati
teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya
yang aneh itu.
Teman-temannya
tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka
yang hendak menghadapi ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak
mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini
adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau
pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apa pun tanggapan mereka, berita
tentang seorang pemuda yang bukan pengikut ujian tetapi hendak melaporkan
kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka
dan menimbulkan ketegangan.....
***************
Siang hari
itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari
persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti
itu, dia tidak mau diganggu dan para penjaga di luar gedung pun tidak berani
banyak membuat gaduh agar tak mengganggu sang menteri yang sedang beristirahat
di dalam kamarnya. Oleh karena itu, para penjaga ini menolak dengan keras
ketika Suma Ciang Bun datang dan minta pada mereka untuk melaporkan kepada
Ciong-taijin bahwa dia minta diterima menghadap.
“Orang muda!
Siapakah engkau dan ada urusan apakah engkau berani minta untuk menghadap
taijin?” bentak kepada jaga yang brewok dan bertubuh tinggi besar sambil
bertolak pinggang. “Tidak sembarang orang boleh begitu saja mengganggu waktu
taijin!”
“Aku
mempunyai urusan pribadi dengan menteri, hendak membicarakan soal ujian para
pelajar yang diadakan di kota raja sekarang ini.”
Kepala jaga
itu mengerutkan alisnya. “Huh, kau kira menteri hanya seperti petugas kecil
saja yang dapat ditemui setiap saat? Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap
ke kantor beliau dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bukan datang ke
rumah beliau dan mengganggu beliau!”
“Akan
tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting....”
“Cukup!”
Kepala jaga itu menghardik. “Lekas kau pergi dari sini atau akan kugunakan
kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?”
Wajah Ciang
Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka memandang
wajah si brewok yang tinggi besar itu. “Beginikah sikap seorang petugas
keamanan terhadap rakyat? Seperti penjahat saja....”
“Keparat!
Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini,
akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!”
Ciang Bun
tidak dapat menahan dirinya lagi. “Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk,
engkaulah yang perlu dihajar!”
Orang-orang
yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula kepala
jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat,
dan terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kaisar saja. Maka,
begitu melihat seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu
padanya, kemarahannya langsung memuncak. Sambil mengeluarkan suara gerengan,
kepalan tangannya yang hampir sebesar kepala Ciang Bun itu melayang dan
menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Ciang Bun
tenang-tenang saja. Tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri
dan secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga gerakan susul-menyusul,
mula-mula menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disusul totokan
pada pundak lengan itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.
“Dukk! Tukk!
Plakkk!”
Tamparan itu
cukup keras. Mula-mula tangkisan membuat lengan terpental, lalu totokan membuat
si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah badannya dan tamparan itu mengenai
pelipis, membuat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling
dan matanya menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah
bintang-bintang yang berjatuhan dan menari-nari di depan matanya itu mengabur,
dia bangkit lagi dengan marah.
Agaknya,
tamparan itu tidak membuatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar
disiramkan ke atas api kemarahannya. Dia sekarang menubruk dan kedua tangannya
membentuk cengkeraman, seperti seekor beruang dia menubruk kepada pemuda itu,
penuh geram.
Kembali
Ciang Bun menghadapinya dengan tenang. Begitu tubuhnya yang besar itu menubruk
dekat, maka pemuda ini berjongkok atau setengah berjongkok, membiarkan tubuh
atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan
tenaga lawan, dia mengangkat dan membanting.
“Desss....!”
Debu
mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk bangkit,
tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya punggungnya mengalami salah
urat ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan
hanya mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat komandan jaga mereka roboh,
setelah kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.
“Berani kau
melawan tentara?” bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan tombaknya.
“Tahan!”
Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda
remaja. “Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami
adalah urusan pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar
terhadap lain orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan ketentaraan.”
Setelah
berkata demikian, Ciang Bun membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka.
Para penjaga itu bengong. Mereka pun melihat sendiri betapa komandan jaga
mereka menghina pemuda itu dan melihat pula betapa dengan mudahnya pemuda itu
merobohkan komandan mereka. Mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan.
Apalagi mereka pun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti itu ingin
bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu. Membayangkan
kemungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan pemuda
itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.
Ciang Bun
tidak pergi jauh tetapi mengambil jalan memutar dan menghampiri dinding pagar tembok
yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun tubuhnya ke
atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Cepat dia menyelinap di antara tembok
bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai,
mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.
Akhirnya dia
melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah
lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh
tiga orang wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam
puluh tahun ini meram melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu
kadang-kadang menyuapkan sepotong kueh dengan sumpit ke mulutnya.
Melihat ini,
Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah menteri yang dicarinya itu.
Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini. Setelah membuka
genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan itu.
Bagaikan
seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak
terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan.
Ketika seorang di antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang
pemuda tahu-tahu telah berada di tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan
sepasang sumpit itu pun terlepas dan jatuh berkerontang di atas lantai.
Teman-ternannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar membuka mata dan
menoleh, lalu bangkit dengan marah.
“Siapa
engkau?” bentaknya.
Dengan
tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan
sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang. Akan tetapi karena dia adalah
keturunan Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka dia pun
tidak merasa asing atau ragu-ragu, tidak merasa gentar sedikit pun ketika
berkata, “Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil para pelajar dan saya
ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan sekarang.”
Tentu saja
pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang
pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dikejutkan oleh
jeritan-jeritan tadi dan kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan,
hatinya menjadi semakin tabah.
“Engkau
masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!”
Dua orang
pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap pemuda itu.
Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun bergerak cepat menyambut dengan tendangan
yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjengkang. Untung bahwa
Ciang Bun hanya mempergunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak
terluka, hanya merasa sesak napas mereka. Mereka bangkit kembali dan kini
menggunakan golok untuk menyerang.
Kembali
Ciang Bun menggerakkan kakinya, menendang pergelangan tangan diteruskan ke
lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini
tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang mengenai lambung itu membuat
perut mereka terasa mulas!
“Taijin,
kedatangan saya ini bukan untuk melakukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka
menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan
terhadap paduka!” Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar
yang kini menggigil ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya
yang gendut itu telanjang bulat.
“Ampun....,”
rintihnya.
Melihat
seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak
diapa-apakan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan
pemimpin? Menghadapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakutan! Pengecut
seperti ini dijadikan pemimpin dan hendak memimpin rakyat? Pengecut seperti ini
kalau berada dalam bahaya, disuruh apa pun tentu akan taat, disuruh menjual
negara sekali pun atau mengkhianati bangsa tentu akan taat, asal nyawanya
diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seorang yang selalu mementingkan diri
pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penindas kejam sewaktu
jaya.
“Taijin,
saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata
saya. Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua
saja di kamar ini.”
Pada saat
itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar. Akan
tetapi, melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan
tubuhnya menggigil, juga celananya menjadi basah, mereka tidak berani
sembarangan bergerak.
“Kalian
pergilah, tinggalkan kami berdua,” kata pembesar itu dengan suara gemetar
kepada para pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya.
Para
pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar
gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat
keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu,
lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan,
menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa
takut yang melandanya tadi.
“Taijin,
maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena
tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.”
Kini debar
jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan dia pun merasa lega
melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai
seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan
dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri
pemuda ini yang membuat dia jeri, mungkin pada sinar mata yang mencorong
itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang
berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, dan bukan
seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.
“Tidak
mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan
kami?”
Mendengar
betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi
dia kemudian berkata, “Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang
berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?”
Kini
pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri. “Ahh, apakah taihiap hendak
memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....”
“Tidak!”
Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka. “Justru
inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian
itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biar pun
pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok dengan uang, tentu akan lulus.
Sebaliknya, betapa pun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok,
ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?”
Wajah yang
tadinya sudah mulai berseri itu berubah pucat kembali, sepasang mata itu
membayangkan ketakutan lagi. “Ini.... ini.... kami tidak tahu....”
“Baru saja
taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu
kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka
tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan
saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan
yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar
tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara
kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok
pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama
sekali. Kalau masih ada, aku pasti akan kembali dan turun tangan terhadap
paduka dengan caraku sendiri!”
Menteri
Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia
mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan
memberi hajaran kepadamu! “Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.”
Ciang Bun
masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang
bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka dia pun bangkit berdiri dan
berkata lagi, “Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat
mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi
dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang
Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga
Jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, boleh renungkan
baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!”
Pemuda itu
lalu menggunakan ginkang-nya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui
lubang yang dibuatnya tadi. Di atas genteng itu telah menanti pasukan pengawal
yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan
Ciong-taijin, “Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!”
Tentu saja
para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang
Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar
dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.
Sementara
itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya. “She Suma?
Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!”
Pada
keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka
yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang
telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara
betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar
keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu
mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal.
Sebaliknya,
para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, sekarang benar-benar diuji
kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tan Hok Sim.
Dia pun lulus walau pun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu
dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya
semua sistim sogokan.
Hok Sim
dikerumuni ternan-temannya. Kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu
bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada
menteri. Biar pun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan dia
pun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu
membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil dari pada
‘bualan’ teman barunya itu!
Setelah
selesai pengumuman, Hok Sim segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun.
Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu. “Wah, Bun-te, terima
kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat
usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau
dapat berhasil merubah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan
petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?”
Ciang Bun
tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya. “Ahh,
biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan
protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan
untuk merubahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan
dengan baik.”
“Semua
berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji
ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya
untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya
ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan?
Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau
seorang yang luar biasa!”
Ciang Bun
tersenyum. Bagaimana pun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat
pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik
telah lulus ujian. “Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku
seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.”
“Mustahil
seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merubah jalannya
ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun
mengotori sistim ujian di kota raja.”
“Mungkin
karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.”
“Bagaimana
pun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak
percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biar pun aku
tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi,
akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ahh, aku
ingin pulang sekarang juga, sore ini juga agar dapat cepat sampai ke rumah.”
“Aku pergi
bersamamu, twako. Aku pun hendak melakukan perjalanan ke barat untuk mencari
seseorang.”
Pernyataan
ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi
siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan mereka pun cepat
berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari
itu juga menuju ke barat.
Malam itu
mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah
utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua
melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik
dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh
lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di
situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai,
begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang
di tengah jalan.
Melihat
sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka
dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya.
Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh
perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang
dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan
mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan
kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu.
Akan tetapi
dia bersikap tenang saja dan dia pun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang
saja walau pun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan
keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang
disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya
itu diam-diam menyembunyikan pedang.
“Tenanglah,
twako,” dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang.
Mereka pun
maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi
oleh lima orang tadi. Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata
dengan suara lantang dan sikap kasar, “Siapakah di antara kalian yang kemarin
mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?”
“Akulah
orangnya!” jawab Hok Sim sambil melangkah maju.
“Bagus! Dan
inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat
pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?”
“Benar,
akulah orangnya,” kini Ciang Bun yang menjawab.
“Ha-ha-ha,
kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!” Lima orang itu
sudah bergerak maju mengepung, akan tetapi si muka hitam mengangkat kedua
tangannya.
“Kalian
berempat mundurlah. Sungguh memalukan kalau hanya membereskan dua ekor kelinci
muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bocah-bocah sial, bersiaplah kalian
untuk mampus!” bentak si muka hitam sambil melangkah maju.
“Tahan!”
Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun,
melindungi pemuda ini. “Aku tahu bahwa kalian tentu utusan para pengawas korup
itu untuk membalas dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak
bersalah. Dia hanya mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk
mengajukan protes dan ternyata berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas
dendam, balaslah kepada kami dan jangan mengganggu sahabatku yang tidak berdosa
ini!”
Diam-diam
Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas dirinya,
akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai.
“Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-gagahan? Nah, kalau sudah
bosan hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memperoleh
bagiannya.” Sambil berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan
besar itu menyambar ke arah kepala Hok Sim.
Tangan itu
adalah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah menebal dan ada
tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini telah
melakukan latihan memperkeras tangannya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan
seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran,
akan membuat kepala pemuda itu pecah!
“Huhh....!”
Hok Sim
cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup gesit
ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini
menjadi agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk menolong pemuda itu
sekiranya terancam bahaya.
Si muka
hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul
saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bocah itu. “Hemm, kiranya selain
menjadi kutu buku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya? Bagus, aku jadi
tidak malu membunuhmu!” Berkata demikian, raksasa yang usianya mendekati lima
puluh tahun ini sudah melakukan serangan berantai dengan kaki tangannya.
Tentu saja
Hok Sim menjadi repot sekali. Selain sejak kecil dia lebih banyak disuruh
belajar membaca dari pada ilmu silat oleh ayahnya, juga andai kata ayahnya
sendiri yang maju, maka ayahnya itu pun tidak akan dapat menandingi si muka
hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim berloncatan, mengandalkan kegesitannya
mengelak ke sana-sini, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan
menangkis ketika sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi
baginya untuk mengelak.
“Dukkk!”
Lengan Tan
Hok Sim yang kecil itu bertemu dengan lengan besar si muka hitam dan akibatnya,
pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu
bagaikan hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus menggulingkan tubuhnya
mendekati buntalan pakaiannya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah
meraih dan mencabut pedangnya dari buntalan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah
berada di sampingnya dan memegang pundaknya.
“Tenanglah,
twako. Simpan kembali pedangmu.”
“Tidak, aku
tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!” bantah Hok Sim.
“Twako,
kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau tak akan menang, serahkan
saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku?” Berkata
demikian, Ciang Bun meninggalkannya kemudian membalikkan tubuh sambil melangkah
maju menghadapi si muka hitam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.
“Hui-to
Ngo-houw, pergilah kalian dan jangan ganggu kami lagi!” kata Ciang Bun dengan
sikap masih tenang sekali.
Si muka
hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh
pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok
Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja
Ciang Bun mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari
Pao-ting dan biar pun dia belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul
ini, namun dia sudah banyak mendengar dari ayah ibunya tentang tokoh-tokoh
dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan kota raja.
Dari ciri-ciri
yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang tergantung di punggung
mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang
terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena
dihapuskannya sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para
pengawas lama, mungkin saja Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, untuk
menghadang dan membunuhnya bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa
itu.
“Bocah
lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami? Hayo mengaku
sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!” Si muka hitam membentak marah, akan
tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia
berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she
Tan itu saja.
“Namaku
tidak ada artinya bagi kalian dan tidak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap
kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat
hendak menggunakan kekerasan dan ingin membunuh kami, terpaksa aku akan
menyingkirkan kalian dari permukaan bumi ini supaya tidak mengganggu manusia
lain yang tidak berdosa.”
Ucapan ini
tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, tetapi lima
orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya jika seorang
pemuda remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam akan
membunuh mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh
Pao-ting, bahkan terkenal sampai jauh keluar kota! Mereka tertawa geli, akan
tetapi juga marah sekali.
Si muka
hitam yang sedang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan
memang demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja
saja dia masih menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya
lebih lihai. Suara ketawanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang
itu tiba-tiba saja menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun.
Sebelum
kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah
mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau
mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua
tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan
dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum
kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.
“Tuk! Tukk!”
Pada saat
itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja
kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali,
seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan
dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.
“Desss....!”
Kaki Ciang
Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas
tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja,
maka dia pun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali
tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya
juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan
golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.
“Bun-te, kau
pakailah pedangku ini!” Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya
yang berdebar tegang sejak tadi.
Kini dia pun
tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli
silat yang pandai! Betapa pun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang
memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.
“Tidak usah,
twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,” jawab Ciang Bun dan mendengar
ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan
memandang dengan jantung berdebar tegang.
Kini lima
orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya mereka pun
ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi
karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya
tidak nampak dia menyembunyikan sesuatu senjata, lima orang itu merasa semakin
penasaran. Mereka berlima yang sekarang memegang senjata golok andalan mereka,
yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang
pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini
diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.
“Bunuh setan
cilik ini dan pelajar itu!” teriak si muka hitam.
Dia
mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan
tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi
Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari
empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali. Ciang Bun
mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut dengan
gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa
menyambar ke tubuh mereka.
“Plak-plak-plak!
Desss....!”
Tiga orang
meloncat ke belakang sambil mengaduh. Lengan mereka yang bertemu dengan tangan
pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan
mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok
itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya.
“Tringgg....
wuuutt, crottt....!”
Pemilik
golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan
menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun
kembali, tewas oleh goloknya sendiri.
Bukan main
kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan
suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan mereka pun berloncatan
menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang sudah membuat
mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang
kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama
ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia
memperoleh kemajuan pesat.
Ilmu pukulan
yang mengandalkan tenaga sinkang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi
salah satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es.
Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu
Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan dia pun
sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh,
tidak seperti enci-nya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat.
Namun,
dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin
penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah
pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mukjijat itu, dengan tangan terbuka,
mengenai dada seorang di antara mereka.
“Plakkk!”
Orang itu
tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada
hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu. Isi
dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia...
Melihat ini
si muka hitam berubah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sim yang
berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak
menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk
membuat Ciang Bun yang lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan
seorang penakut. Dia pun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu
dengan tusukan pedangnya.
“Tranggg....!”
Golok si
muka hitam menangkis amat kuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok
Sim! Si muka hitam menyeringai, kemudian menggerakkan tangan kirinya untuk
mencengkeram dan menangkap Hok Sim. Akan tetapi, Hok Sim memukulkan tangan
kanannya ke arah muka orang itu.
“Dukkk!”
Tangkisan si
muka hitam membuat Hok Sim terpelanting roboh. Sambil menyeringai Si muka hitam
menubruk, akan tetapi pada saat itu nampak sinar putih berkelebat.
“Crottt....
aughhh....!”
Sebatang
golok terbang dan menancap di lambung si muka hitam. Dia melepaskan goloknya,
menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa
golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah
merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan
memegangi lambung yang tertusuk golok.
Hok Sim
meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima
orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah
yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada
saat itu, si muka hitam masih dapat merintih dan mengangkat muka memandang
kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya
itu.
“Orang muda,
siapakah namamu....?”
Ciang Bun
maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia
menjawab. “Namaku Suma Ciang Bun.”
Mata yang
sudah sayu itu terbelalak. “Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?” Dan dia
pun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw
itu.
Hok Sim
bergidik. Biar pun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat,
tapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi
sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.
“Mengapa....
mengapa mereka.... harus dibunuh....?” Hok Sim bertanya dengan suara
membayangkan kengerian.
Dengan sikap
tenang dan dingin Ciang Bun melirik ke arah mayat-mayat itu, dan dia berkata,
“Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka
adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat. Mereka tadi jelas
sekali hendak membunuh kita berdua, maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan
dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau
mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan
tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan
membunuh kita.”
Hok Sim
memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa
sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya
dari dongeng dan cerita ayahnya.
“Ah, kiranya
engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa
selama ini aku kurang hormat....,” Hok Sim lalu menjura dengan hormat.
Ciang Bun
tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya. “Aih, twako, aku tidak mau
engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap
Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!”
Mereka
kemudian tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah
perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.
“Bun-te,
sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirubah. Malam itu tentu engkau
telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?”
Ciang Bun
hanya tersenyum. “Hal itu terjadi karena kesadarannya....”
Hanya
demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang
keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah
para pengawas lama?
Semenjak
terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi makin
akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim sangatlah jauhnya,
memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim
menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar
gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.
“Bun-te, aku
ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang
saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang....
hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan
Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.”
Akan tetapi,
Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak
menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan,
sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda
yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walau pun ilmu
silatnya tidak seberapa tinggi.
Mulailah Hok
Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda
pendekar yang dikaguminya itu. Dia dapat melihat betapa Ciang Bun selalu
berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali.
Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus
perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya
terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!
Ciang Bun
tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya
dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan
itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan
yang ada pada dirinya.
Tanpa
disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan
jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee
Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali
betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok
Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.
Pada suatu
hari tibalah mereka di kota Wang-sian, yaitu sebuah kota di tepi Sungai
Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan
memutari kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan
mereka merasa lelah sekali. Tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam
Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai
dalam beberapa hari saja.
“Aku ingin
besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di
rumah, Bun-te,” kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam
kamar itu.
“Engkau
agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.”
“Kepada
mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....” Dan suara pemuda
itu terdengar penuh kemesraan.
Ciang Bun
mengangkat muka, lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil
bertanya, “Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya sama
sekali selama ini.”
Wajah Hok
Sim berubah menjadi merah dan dia pun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya.
“Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi
karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggota keluarga, biarlah
kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku,
calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru
kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti
di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami
tetangga....” Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya
sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak
segembira wajahnya.
Mengapa Ciang
Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya
itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai
seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat
sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tunangannya itu,
secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang
berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan
tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.
Setelah
melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota
Ceng-to dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan
mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya
yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan
malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.
Ketika Hok
Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan
Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa
pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian,
tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun.
Ayah Hok Sim
adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum
sekali. Pada saat Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan
ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut
Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat
bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.
“Ahhh,
kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
Dia hanya
mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa
sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, tetapi dia sudah merasa amat
kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.
“Sudahlah,
paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya
merasa sungkan saja,” Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas
panjang.
Semakin
kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan
rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan
penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan
tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru
silat Tan ini pun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan
puteranya, akan tetapi dia pun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak
tentang Ciang Bun.
“Ah, betapa
akan bahagia hatiku kalau dia dapat bcrjodoh dengan adikmu....,” kata ayah ini.
Hok Sim
tersenyum. “Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah
akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.”
Akan tetapi,
dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya,
Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada
pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui
tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupan
untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.
Demikianlah,
atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di
rumah keluarga Tan selama dua pecan. Setelah itu dia baru akan melanjutkan
perjalanannya mencari jejak enci-nya. Apalagi karena dia mendengar bahwa
pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan
gerakannya menyerbu ke Negara Nepal.
Dia merasa
yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, enci-nya tentu belum mungkin dapat
menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapa
pun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini.
Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak
keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.
Di lubuk
hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali
tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi
perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali
tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia
bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan
Hok Sim dari pada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.
Dan dalam
pergaulan yang beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat
perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa
sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan
memikat-mikat. Dan dia pun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga
tidak wajar, dan biar pun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap
sopan, namun kerling mata dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak
menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti
orang yang jatuh hati kepadanya!
Hatinya
merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis
yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka
terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai
sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam
merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa
sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang
tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?
Dari Ci
Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan
Seng Nio masih juga belum mengalami ‘kemajuan’ seperti yang diharapkan keluarga
itu.
“Loan-moi,
Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiri pun banyak belajar ilmu silat.
Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar
ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat
itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja
dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,” kata Hok Sim kepada
tunangannya.
“Baiklah,
Sim-koko,” jawab tunangannya dengan gembira.
Hok Sim
tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin
memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena
diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang
menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki
tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan
bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat
yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang
amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus,
gerak-geriknya yang lemah lembut.
Tetapi Ciang
Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga.
Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu.
Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu
lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.
“Aku harus
kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku
nanti menyusul!” katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka.
Tentu saja
ia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar sebab maksudnya hanya
untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari
kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh
tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan
membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu
kasar dan tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.
Ciang Bun
bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira
sekali. Tempat itu memang indah bukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar
matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan
cahayanya yang indah cemerlang.
Ketika tiba
di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan
pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.
“Hebat....
indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!” Dia berkata seperti kepada
diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.
“Suma-taihiap,
kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah,
suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk
kami,” kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.
“Benar
sekali! Suma-taihiap, aku pun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai
keindahan Omei-san!” kata Ci Loan dengan gembira.
Suma Ciang
Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu,
maka dia pun berkata, “Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak
mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.”
“Aihh,
janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!” Seng Nio berkata.
Ciang Bun
lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan dia pun
mulai bersajak bebas,
Segalanya
nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai
cahaya putih
menembus
celah-celah daun
awan menjadi
penghias matahari
daun kering
berserakan
menyuburkan
bumi
Bunga gugur
membawa
keindahan mengharukan
berbahagialah
mata
memandang
semua ini!
Harum bunga
semerbak dihembus angin lalu
sedapnya
rumput dan tanah
menyentuh
kalbu
berbahagialah
hidung
mencium
semua ini!
Kicau burung
dan dendang air terjun
desir angin
pagi
mempermainkan
daun-daunan
berbahagialah
telinga
mendengar
semua ini!
“Bagus
sekali!” Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. “Sajakmu sederhana namun
berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.”
“Wah, enci
Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak
begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?” Seng
Nio yang tidak begitu mengerti mengenai sajak bertanya sedangkan Ciang Bun
hanya tersenyum saja.
“Suma-taihiap
dapat merubah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik
menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah
menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan
bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga,
sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air
terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang asli!”
sambung Ci Loan.
Gembira juga
hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan
karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka dia
pun menjura kepada dua orang gadis itu.
“Ahh,
kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,” katanya.
Ci Loan
tersenyum manis lalu berkata. “Aku ingin mengambil bunga-bunga mawar yang
kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini
saja.”
Tanpa
menanti jawaban Ci Loan langsung meninggalkan mereka. Karena sebelumnya memang
sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak
menahan kepergian calon kakak iparnya itu.
Ditinggalkan
berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak
merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam
yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu
dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar
matahari yang makin meninggi.
Sejak tadi
Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon
kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, ingin sekali
agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas
anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula
akan meninggalkan dia berduaan saja dengan pemuda itu.
Tentu saja
ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu
bertemu dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang
pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya
memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal
kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan
lemah lembut!
“Taihiap....”
Ciang Bun
sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di
sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan
alisnya melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra
dan mengandung daya pikat yang kuat.
“Ada apakah,
nona?”
“Suma-taihiap,
aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh....”
Ciang Bun
tersenyum menenangkan melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu.
“Engkau minta apakah, nona? Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang
aku dapat memenuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu.”
“Aku
hanya.... mohon petunjuk tentang ilmu silat....”
Ciang Bun
tersenyum. “Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu
dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... “
“Tapi, ayah
dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari pada tingkat
ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat
baik untuk berlatih silat, bukan? Maukah engkau, taihiap?”
Tentu saja
Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan
sekeluarganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat
ramah dan baik kepadanya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu
silat kepada Seng Nio sekedar untuk membalas kebaikan mereka. Tentu saja tidak
mungkin mengajarkan ilmu silat dalam waktu singkat. Maka dia pun berkata ramah.
“Baiklah, aku akan memberi sedikit petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan
jurus-jurus silatmu dan aku akan mencoba untuk memperbaiki jurus-jurus itu.”
“Terima
kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan
tunjukkan mana yang kurang betul!” Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung
saja mulai menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Ia
merasa gembira sekali mendapatkan kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang
dikaguminya ini dan mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat
bersentuhan akan tetapi juga dengan harapan akan dapat meningkatkan
keakrabannya.
Sebetulnya
bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Dengan melihat gadis itu
bermain silat saja dia sudah akan dapat mengetahui bagian-bagian yang lemah.
Akan tetapi karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja dia pun mengelak
sambil memperhatikan. Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi
puteri seorang guru silat karena gerakan-gerakannya cukup cepat dan mengandung
tenaga lumayan. Dia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya
beberapa jurus sambil memperhatikan. Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.
“Tahan....!”
Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. “Nona, jurusmu yang
terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah
engkau mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?”
Seng Nio
memandang dengan wajah berseri dan ia pun mengulang serangannya yang terakhir,
yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Serangan ini dilakukan
dengan tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan
dengan gerakan cepat.
Ciang Bun
mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya ‘masuk’ melalui bawah ketiak gadis
itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga
dada di bawah lengan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan
memukul ke arah dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.
“Ihhhh....!”
Seng Nio menjerit manja dan mukanya berubah merah.
Tentu saja
Ciang Bun tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memperdulikan muka gadis itu
yang berubah merah seperti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk.
“Jurus
seranganmu itu cukup baik dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus
diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi terbuka dan pertahananmu lemah.
Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian pertahanan, oleh karena itu
cara menusukkan jari tangan itu tadi harus dilakukan amat cepat dan jangan
sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andai kata serangan gagal dan lawan
memasuki bagian yang lowong, lenganmu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat
menangkis serangan lawan. Coba ulangi lagi, sekarang dengan lengan tidak
terulur sepenuhnya dan siap membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian
yang terbuka.”
Dengan
gembira Seng Nio mengulang serangan dengan jurus Sian-jin-ci-louw itu. Pada
saat lengannya meluncur dan jari tangannya menusuk ke arah leher Ciang Bun,
pemuda ini mengelak dan seperti tadi, membalas dengan cepat, sekali ini bukan
memukul melainkan menendang ke arah lambung yang terbuka.
“Dukkk!”
Seng Nio
yang kini sudah waspada dan tidak menggunakan seluruh kekuatan pada serangannya
tadi, menekuk siku dan lengannya menangkis ke bawah sehingga tendangan itu
dapat tertangkis.
“Bagus!
Sekarang lanjutkan, nona.”
Dengan
gembira Seng Nio melanjutkan dengan beberapa jurus, menyerang pemuda itu dengan
sungguh-sungguh karena selain ingin memperoleh petunjuk, juga ia ingin
bersentuhan dengannya. Kembali ada jurus yang diperbaiki dan sekali ini,
pukulan Seng Nio menurut petunjuk Ciang Bun harus dilanjutkan atau dirubah
menjadi cengkeraman untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan.
“Begini
sebaiknya, nona,” kata Ciang Bun memberi contoh dengan pukulan seperti tadi dan
ketika si nona menangkis, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan tahu-tahu
pergelangan tangan gadis itu telah ditangkapnya. “Nah, sekarang engkau cobalah
meniru gerakanku tadi.”
Seng Nio
menirunya, menyerang dengan jurus yang sudah diperbaiki tadi, ketika Ciang Bun
menangkis, cepat pukulannya berubah cengkeraman dan dia berhasil menangkap
pergelangan tangan pemuda itu. Akan tetapi ia mencengkeram dengan kuat, tidak
mau melepaskannya lagi sehingga Ciang Bun berseru kaget dan menarik lengannya.
Karena tenaganya memang jauh lebih besar, tarikan yang tiba-tiba itu membuat
tubuh Seng Nio terguling! Tentu gadis itu akan roboh terbanting, kalau saja
Ciang Bun tidak cepat-cepat menangkap dan merangkulnya.
Ciang Bun
merangkul gadis itu hanya untuk menghindarkan tubuh gadis itu jatuh terbanting.
Akan tetapi Seng Nio membiarkan dirinya dirangkul, bahkan menyandarkan
kepalanya ke dada pemuda itu!
“Ehhh, nona,
maafkan aku tidak sengaja....”
“Ah, tidak
mengapa, taihiap, aku.... aku justru senang sekali begini....” dan kini kedua
lengan Seng Nio merangkul leher!
“Ehh....
Tan-siocia, apa artinya ini....?” Ciang Bun menegur heran dan kaget, dengan
lembut hendak melepaskan kedua lengan yang merangkul lehernya. Akan tetapi
gadis itu memperkuat rangkulannya.
“Taihiap....
koko.... masih perlukah aku bicara....? Aku kagum padamu, aku jatuh cinta
kepadamu....”
“Ihhh....!”
Dengan sentakan agak keras Ciang Bun merenggutkan dirinya dan gadis itu
terhuyung hampir jatuh. “Nona, jangan bersikap tidak sopan!”
Wajah Seng
Nio berubah pucat dan kedua matanya memandang terbelalak. “Tapi.... tapi aku
cinta....”
“Jangan
bicara tentang cinta! Aku tidak mencinta siapa pun!” Ciang Bun membentak marah.
“Sikapmu sungguh tidak tahu malu....!”
Wajah yang
pucat itu kini berubah merah sekali dan dengan isak perlahan Seng Nio
meninggalkan Ciang Bun, lari mencari Ci Loan yang tadi sengaja menjauhkan diri
dan memetik kembang yang sebenarnya hanya merupakan alasan yang dicari-cari
saja.
Melihat
gadis ini lari sambil menangis, Ciang Bun lalu duduk di atas batu dan
termenung. Baru terasa olehnya betapa kasarnya sikapnya tadi terhadap Seng Nio.
Kekasaran yang tidak disengaja karena dia terkejut dan juga tidak senang
mendengar pengakuan cinta gadis itu. Dan dia pun termenung dengan bingung dan
menyesal.
Dia tahu
bahwa kalau Seng Nio jatuh cinta kepadanya, hal itu sudahlah wajar. Akan tetapi
dia, sebagai seorang pemuda, menerima pernyataan cinta seorang gadis dengan
hati yang muak dan tidak suka, ini baru namanya tidak wajar dan dia merasa
menyesal sekali. Akan tetapi, apa yang harus dilakukannya?
Dia tadi
bicara dan bergerak menurutkan naluri atau perasaan hatinya, tanpa disengaja
dan baru sekarang dia tahu betapa dia telah menyakiti hati Seng Nio! Sampai
lama dia termenung memikirkan keadaan dirinya sendiri dan makin banyak dia
melihat kelainan pada dirinya, terutama dalam hal perasaan hatinya terhadap
pria dan wanita.
“Suma-taihiap....”
Suara wanita
yang halus ini menyadarkannya dari lamunan dan ketika dia menoleh, dilihatnya
Ci Loan telah berdiri di dekatnya. Dia pun cepat bangkit berdiri.
“Suma-taihiap,
mana adik Seng Nio?” Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali.
Senyum gadis
ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang
mata seperti itu selayaknya hanya diberikan gadis ini kepada tunangannya saja,
jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio
membuat dia gugup juga.
“Tan-siocia....
telah pergi....”
“Pergi? Ehh,
kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?”
“Ya, akan
tetapi ia sudah pergi....”
“Kenapa dan
ke mana?”
“Entah....
aku tidak tahu....” Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa
bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh
tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga
mengetahuinya.
Akan tetapi
kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu,
kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk
sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.
“Taihiap,
kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?” Gadis itu bertanya dan dari
samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.
Ciang Bun
menggeleng kepala. “Tidak apa-apa....”
“Apakah adik
Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap.”
“Tidak
apa-apa....”
Hening
sejenak dan Ciang Bun tak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena
duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.
“Suma-taihiap,
kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang
gadis?”
Sungguh
sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja
dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi
sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan
tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?
“Belum....,”
katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah gadis di sampingnya
itu.
“Tapi, tentu
hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau
telah mempunyai seorang kekasih.”
Kembali
jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan
saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia
menggeleng kepala tanpa menjawab.
“Akan tetapi
itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan,
bahkan belum mempunyai pacar?”
Terlalu,
pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, tetapi dia masih
teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tak mau
menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan
sahabatnya ini.
“Hmmm, siapa
suka kepadaku?” jawabnya sekedarnya dan dia pun turun dari batu dan bangkit
berdiri.
Ci Loan
melompat turun dan menghampirinya. “Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap,
engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang
pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya
siapa suka kepadamu? Setiap gadis akan berlomba untuk menjadi kekasihmu,
Suma-taihiap, bahkan aku pun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku
belum bertunangan....”
Ciang Bun
terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang
ajar, lebih tidak sopan dari pada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang
ditahan, dia pun merasa penasaran dan bertanya. “Kalau belum bertunangan
bagaimana?”
Gadis itu
memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa
betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol. “Kalau saja aku belum
bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu....”
“Keparat!”
Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi.
Dia
merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis
itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci
Loan. “Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan
Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!”
Seketika
wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tidak disangkanya bahwa Ciang
Bun akan dapat bersikap segalak itu, apa lagi sampai memakinya. Tadi dia
mendapat laporan dari Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak
cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu. Akan
tetapi karena memang di lubuk hatinya dia telah jatuh cinta kepada pendekar
muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, dia lupa akan
tugasnya hendak menjodohkan calon adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan
sebaliknya dia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena
malu ia pun menjadi marah sekali.
“Manusia tak
tahu diri, tidak mengenal budi!” Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan
kilat.
“Plakkk!”
Ciang Bun
menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan
roboh terbanting di atas tanah!
“Manusia
kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?” Tiba-tiba muncullah
Seng Nio.
Agaknya kini
gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya
ditolak mentah-mentah bahkan ia telah dihina oleh Ciang Bun tadi. Melihat Ci
Loan terpelanting, dia pun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun
dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci
Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan
diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat
meninggalkan keluarga itu.
“Manusia
rendah, engkau hendak lari ke mana?” Dua orang gadis itu dengan pedang di
tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.
Tentu saja
Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat dari pada mereka dan agaknya dia akan
dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang
mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah
jalan. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san
setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan
dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.
“Heiii....
Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?” tegur Hok Sim.
Melihat
munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak
menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat
melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah
dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus
bicara apa!
“Bun-te,
apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?” Hok Sim
bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar
itu dan hatinya gelisah sekali.
“Mereka....
mereka di belakang....,” jawabnya gugup.
“Tapi
kenapa....?” Tiba-tiba dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan
menuruni lembah. “Ehhh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?”
“Kami....
main kejar-kejaran....”
Hok Sim
tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main
kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.
“Ehh....?
Kenapa mereka membawa pedang?” tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis
itu sudah datang dekat. Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng
Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.
“Sim-ko,
manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!” teriak Seng Nio.
“Dan dia....
dia memaki-maki aku....!” sambung Ci Loan.
“Ehhh,
kenapa? Mengapa begitu?” Hok Sim bingung.
“Agaknya
dia.... dia hendak memperkosa kami!” kata Seng Nio yang sudah kepalang
tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka sekarang dia
hendak membalas dendam.
“Ahhh? Benarkah
itu?” bentak Hok Sim.
“Benar, dia
memang manusia berwatak rendah!” Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak
ragu-ragu lagi.
Kalau
adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah
meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak
mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan dia pun
mencabut pedangnya.
“Dengarkan
dulu....,” kata Ciang Bun.
Akan tetapi
Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya. Dua orang gadis itu pun
sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun harus
menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim
ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki,
tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan
tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap
dirinya, maka dia pun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari
sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.
Seperti
telah kita ketahui, pada saat Ciang Bun dikeroyok oleh tiga orang itulah muncul
Suma Hui! Tentu saja dengan mudah Suma Hui dapat mengakhiri pengeroyokan itu
dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Hok Sim dimintai keterangan
oleh Suma Hui mengapa dia bersama dua orang gadis itu mengeroyok Ciang Bun.
“Siapa yang
tidak marah? Suma Ciang Bun telah kami anggap sebagai seorang pendekar budiman
dan kami terima sebagai seorang tamu agung, yang kami hormati. Akan tetapi dia
telah melakukan perbuatan kotor terhadap tunangan dan adikku! Dia menghina
adikku dan hendak memperkosa tunanganku!” demikian Hok Sim menutup ceritanya
yang tentu saja berbeda dengan kenyataan itu kepada Suma Hui.
“Hemm,
benarkah keterangan itu bahwa engkau hendak memperkosa tunangan orang dan
menghina seorang gadis lain? Benarkah itu, adikku?” Suma Hui bertanya heran dan
penuh ketidak percayaan sambil memandang kepada Ciang Bun.
Ciang Bun
menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali bahwa Hok Sim yang tidak
bersalah apa-apa terpaksa akan menderita tekanan batin kalau mengetahui
persoalannya. Dia tidak ingin melihat pemuda yang disukanya itu menderita.
“Aku tidak
perlu bercerita. Silakan kedua orang nona ini saja yang bercerita, dan kuharap
mereka akan menceritakan hal yang sebenarnya.” Sambil berkata demikian,
sepasang matanya mencorong seperti mata naga menatap wajah Seng Nio dan Ci
Loan, dan kedua orang gadis itu menjadi pucat.
Kini timbul
keraguan dalam hati Hok Sim melihat sikap Ciang Bun dan kedua orang gadis itu.
Timbul keraguannya karena rasanya memang sukar dapat dipercaya bahwa seorang
pendekar seperti Suma Ciang Bun sampai melakukan hal yang demikian rendahnya!
“Seng-moi,
hayo ceritakan yang sesungguhnya apa yang terjadi! Engkau tadi bilang bahwa
engkau dihina dan dipukul, hayo ceritakan mengapa demikian dan yang
sesungguhnya terjadi bagaimana? Jangan membohong!”
Wajah Seng
Nio menjadi merah sekali. Ia merasa serba salah. Ia tahu bahwa Ciang Bun adalah
seorang pendekar sakti dan agaknya kakak perempuannya ini pun seorang pendekar
yang lihai sekali. Berbohong takkan berguna, apalagi bukankah kakaknya sendiri
yang mendorongnya agar ia berusaha mendekati Ciang Bun?
“Aku tadi
hanya menyatakan perasaan hatiku kepadanya, Sim-ko. Bukankah ayah dan engkau
sendiri menghendaki agar aku berjodoh dengan Suma-taihiap? Aku menyatakan cinta
dan.... dan dia marah-marah.... dan dia memaki aku tidak sopan dan tidak tahu
malu!”
Hok Sim
mengerutkan alisnya. Tahulah dia mengapa Ciang Bun marah-marah. Tentu Seng Nio
‘mendesak’ dengan cintanya dan pemuda pendekar itu menganggap Seng Nio sebagai
seorang gadis tidak tahu malu. Dia mengeluh dalam batinnya. Jelaslah bahwa
Ciang Bun tidak dapat membalas cinta kasih Seng Nio.
“Dan engkau,
Loan-moi? Apa yang terjadi?” kini Hok Sim menoleh kepada Ci Loan.
Wajah gadis
ini menjadi pucat sekali. Ia mengerti bahwa apa yang terjadi antara ia dan
Ciang Bun hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Bahkan Seng Nio juga tidak
mengetahuinya. Kalau ia mengaku, maka tentu pertunangannya dengan Hok Sim akan
putus. Ia melirik ke arah Ciang Bun. Pendekar ini hanya berdiri tegak dan
memandang dengan sikap tenang. Kini tergantung kepada pendekar itu, pikirnya.
“Aku
menerima laporan adik Seng yang menangis dan merasa terhina. Lalu kudatangi
Suma-taihiap dan kutegur, akan tetapi dia.... dia bersikap kasar sehingga kami
cekcok dan aku menyerangnya, lalu datang adik Seng yang membantuku. Dia lari
dan kami kejar sampai bertemu denganmu, koko.”
Hok Sim
membanting kakinya dan menarik napas panjang. “Ah, akulah yang bodoh dan terburu
nafsu, tidak bertanya dulu, lalu percaya saja kepada omongan perempuan dan
menyerangmu. Suma-taihiap, maafkan aku, maafkan kami....”
“Sudahlah,
mari kita pergi, enci Hui!” kata Ciang Bun. “Aku akan mengambil pakaianku lebih
dulu di rumah, Tan-twako.”
Kakak
beradik itu sekali berkelebat lenyap dari situ, membuat Hok Sim dan kedua orang
gadis itu melongo dan semakin gentar. Lalu terdengar Hok Sim mengomel, “Ah,
kalian yang kurang waspada dan ceroboh sekali. Kalau sampai Seng-moi tidak
berjodoh dengan dia masih tidak mengapa. Akan tetapi kita kehilangan seorang
sahabat yang amat baik dan gagah perkasa. Sekarang, keluarga Pulau Es itu marah
kepada kita, semua ini karena kalian berdua kurang hati-hati.”
Dua orang
gadis itu hanya menundukkan mukanya, diam-diam merasa malu sekali atas kelakuan
mereka terhadap Ciang Bun tadi.
“Tapi, aku
melihat sikapnya kepadamu amat akrab!” tiba-tiba Seng Nio berkata.
“Bahkan
kadang-kadang amat mesra!” tambah Ci Loan. “Kami sering membicarakan hal ini,
dan kami merasa heran mengapa sikapnya jauh lebih mesra terhadapmu dari pada
terhadap kami.”
Diam-diam
Hok Sim terkejut dan teringat bahwa memang demikian keadaannya. Ciang Bun
kadang-kadang bersikap terlalu mesra kepadanya! Bahkan sekarang dia teringat
bahwa andai kata Ciang Bun seorang wanita, agaknya dia akan menjadi saingan Ci
Loan!
“Sikapnya
itu kadang-kadang membuat aku curiga, jangan-jangan dia itu seorang gadis yang
menyamar pria!” kata pula Seng Nio.
"Ahhh....!
Kalian bicara yang bukan-bukan karena sedang marah saja. Sebetulnya dia itu
laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Mungkin saja
dia.... ehhh, agaknya pemalu dan tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga
begitu dekat dengan kalian dia merasa canggung dan malu-malu. Sudahlah, betapa
pun juga, kita kehilangan seorang sahabat yang luar biasa!" Mereka pun
pulang dengan hati kecewa dan menyesal.
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment