Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 03
Nenek
Nirahai maklum bahwa dari semua datuk, yang paling lihai adalah Hek-i Mo-ong,
maka ia pun sudah menerjang iblis ini dengan dahsyat. Pedang payungnya
menyambar bagaikan halilintar, menyambar ke arah leher lawan.
Melihat
berkelebatnya sinar senjata yang demikian menyilaukan mata, Hek-i Mo-ong
terkejut dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat sakti. Tentu saja
dia sudah mendengar tentang isteri Pendekar Super Sakti yang bernama Puteri
Nirahai ini, maka dia tak berani memandang ringan dan tombak Long-ge-pang di
tangannya diputar untuk menangkis.
“Cringg....
siuuuuttt.... singgg....!”
Pedang
payung itu tertangkis, akan tetapi tangkisan itu bagaikan menambah dorongan
tenaga yang membuat gerakan menyerong dan tahu-tahu telah menusuk ke arah ulu hati
lawan dan begitu lawan mengelak dan melintangkan tombaknya, pedang payung itu
kembali telah menusuk mata dua kali lalu ditutup dengan serangan tusukan pada
pusar dengan ganas sekali!
“Hemmm....!”
Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat mundur ke belakang.
Biar pun
tubuhnya kebal, namun dia sungguh tidak berani kalau harus mencoba-coba untuk
menerima tusukan pedang payung yang digerakkan oleh isteri Pendekar Super
Sakti. Terlalu berbahaya itu! Dia pun memutar tombaknya dan balas menyerang.
Ilmu tombak
dari Raja Iblis ini hebat sekali dan memang tingkat kepandaiannya pada masa itu
sukar dicari tandingannya. Ujung tombak berbentuk gigi serigala itu berputaran
dan menjadi belasan batang banyaknya saking hebatnya getaran yang disebabkan
oleh tenaga sinkang-nya dan kini ujung tombak itu meluncur ke depan, ke arah
tubuh nenek Nirahai tanpa dapat diduga bagian tubuh mana yang akan menjadi
sasaran!
Tetapi,
sekali ini Hek-i Mo-ong berhadapan dengan nenek Nirahai, isteri dari Pendekar
Super Sakti. Sejak muda, nenek ini telah menjadi seorang pendekar, bahkan
panglima yang tangguh. Bahkan ia pernah secara rahasia mencoba ilmu seluruh
jagoan untuk memperdalam ilmu silatnya dan ialah yang menjadi ahli waris dari
kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar wanita Mutiara Hitam. Juga ia
mewarisi kitab-kitab dari Pendekar Suling Emas, walau pun hanya sebagian saja.
Di antara
puluhan macam ilmu silat tinggi yang dikuasainya, yang terhebat adalah ilmu
silat tangan kosong Sin-coa-kun, ilmu senjata rahasia Siang-tok-ciam, dan ilmu
pedang gabungan antara Pat-mo Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat. Dari gabungan
dua ilmu pedang yang bertentangan sifatnya ini, yaitu antara Pat-mo (Delapan
Iblis) dan Pat-sian (Delapan Dewa), telah tercipta ilmu pedang yang luar biasa
sekali. Kadang-kadang nampak ganas bagaikan iblis mengamuk, tetapi
kadang-kadang nampak halus lembut seperti gerak-gerik dewa, namun di balik
semua itu terkandung kekuatan yang dahsyat.
Terjadilah
perkelahian yang sengit dan amat ramai antara dua tokoh besar itu dan Hek-i
Mo-ong makin lama merasa makin penasaran. Dia belum terdesak dan tidak merasa
kalah, akan tetapi dia ingin cepat-cepat menjatuhkan lawannya ini, seorang
nenek yang sudah tua renta.
Maka
dicabutnyalah kipas merahnya, dikelebatkan kipas yang terkembang itu di depan
muka nenek Nirahai dan dia pun membentak, “Lihat kipas ini. Merah, bukan? Merah
sekali, dan engkau menjadi silau, engkau menurut segala kehendakku!”
Akan tetapi
betapa pun kuatnya ilmu sihir yang dikuasai oleh Hek-i Mo-ong, sekali ini tidak
menemui sasarannya. Dia lupa agaknya bahwa yang coba disihirnya ini adalah
nenek Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang mahir
dalam ilmu sihir yang tentu saja telah membuka rahasia tentang sihir, memberi
tahu kepada isterinya itu bagaimana caranya menghalau kekuatan sihir dari lawan
agar dirinya tidak sampai terpengaruh. Maka, usaha Hek-i Mo-ong itu tentu saja
sia-sia.
“Nenek,
lihat siapa aku ini!” Kembali Hek-i Mo-ong mengibaskan kipasnya ke arah muka
nenek Nirahai.
Tetapi,
karena dia terlalu yakin dengan hasil kekuatan sihirnya, hampir saja datuk yang
memiliki kepandaian tinggi ini celaka. Bentakannya yang berisi sihir itu, yang
disertai gerakan tangan dan juga bibir kemak-kemik, membaca mantera untuk
merubah dirinya dalam pandangan nenek itu. Kalau nenek itu terpengaruh oleh
sihirnya, tentu dia akan nampak sebagai orang berkepala naga dan tentu nenek
itu akan menjadi ketakutan atau setidaknya terkejut sekali sehingga mudah
baginya untuk merobohkannya.
Akan tetapi,
ternyata akibatnya malah lain sekali dan sama sekali tak pernah diduga-duganya,
dan hampir mencelakainya. Nenek itu kelihatan diam sedetik, akan tetapi bukan
untuk menjadi kaget dan lengah, sebaliknya, tiba-tiba saja pedang payungnya
berkelebat dan menusuk ke arah ulu hati Hek-i Mo-ong!
“Singgg....!”
Pedang itu
berdesing dan sekiranya Hek-i Mo-ong tidak cepat menggerakkan lengan kiri
menangkis, tentu dadanya akan tembus oleh pedang payung itu, betapa pun
kebalnya.
“Brettt....!”
Lengan
jubahnya robek dan kulit lengannya lecet sedikit. Dia meloncat mundur, akan
tetapi nenek Nirahai menerjangnya lagi dengan dahsyat. Gabungan Pat-mo
Kiam-hoat dan Pat-sian Kiam-hoat itu hebat bukau main sehingga untuk beberapa
jurus lamanya Raja Iblis itu terdesak hebat.
Melihat ini,
Si Ulat Seribu cepat maju membantunya. Si Ulat Seribu ini telah berhasil
merobohkan para pelayan Pulau Es dan melihat betapa Hek-i Mo-ong belum mampu
mengalahkan nenek tua renta itu, ia menjadi penasaran dan maju mengeroyoknya.
Dan Hek-i Mo-ong yang sudah kehilangan kecongkakannya itu tidak mencegahnya
sehingga nenek itu kini dikeroyok oleh dua orang yang berilmu tiuggi.
Cin Liong
juga sudah terlibat dalam perkelahian seru melawan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can
Sui. Ketua Eng-jiauw-pang itu memiliki ilmu silat yang lihai dan ganas. Kedua
tangannya ditutup sarung tangan setinggi siku, amat berbahaya karena sarung
tangan itu dapat dipergunakan untuk menangkis pedang. Jari-jarinya kini berubah
menjadi jari-jari yang berkuku garuda, terbuat dari pada baja yang kuat. Alat
yang sudah amat kuat ini digerakkan oleh tenaga sinkang yang dahsyat, maka
tentu saja menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali.
Betapa pun
juga, yang dihadapinya adalah Kao Cin Liong, jenderal muda yang sudah banyak
pengalaman, putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir yang amat lihai itu. Maka
walau pun dia dibantu pula oleh tiga orang anak buahnya yang merupakan
tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang dan yang menggunakan senjata yang sama dengan ketua
mereka, namun Cin Liong dapat menggerakkan pedangnya dengan hebat dan sama
sekali tidak terdesak. Malah pemuda perkasa ini membalas serangan dengan
serangan yang tidak kalah berbahayanya.
Perkelahian
antara Cin Liong dan empat orang tokoh Eng-jiauw-pang ini berlangsung dengan
seru juga, tetapi dibandingkan dengan nenek Nirahai, pemuda ini nampak lebih
kuat menghadapi para pengeroyoknya. Betapa pun juga, di luar kalangan
pertempuran itu masih terdapat belasan, bahkan puluhan orang dari pihak musuh
yang sudah siap-siap menyerbu dan mengeroyok.
“Ha-ha-ha,
nona manis, lebih baik engkau menyerah dalam pelukanku, dan engkau menjadi
murid dan pengikutku, hidup senang bersamaku!” Berkali-kali Jai-hwa Siauw-ok
menggoda Suma Hui ketika dia tadi menghadapi nona ini dengan tangan kosong.
Meski ilmu
pedang Suma Hui sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun menghadapi datuk ini
dia kalah pengalaman dan juga kalah matang gerakannya, apalagi dara ini selama
mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi belum pernah mempergunakannya dalam
perkelahian mati-matian. Kalau saja ia sudah berpengalaman, dengan modal tenaga
Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang saja, tanpa pedang sekali pun kiranya
tidak akan mudah bagi penjahat cabul itu untuk bersikap sembarangan dan
memandang rendah kepadanya.
Lebih lagi
yang membuat Suma Hui agak bingung adalah sikap jai-hwa-cat (penjahat cabul)
yang menggodanya dengan kata-kata tidak senonoh itu. Kedua tangan penjahat itu
pun secara kurang ajar hendak meraba dadanya, mengusap pipinya, mencengkeram
pinggulnya dan sebagainya, dan semua ini mendatangkan rasa malu dan marah luar
biasa yang akibatnya mengacaukan gerakan sepasang pedang di tangan Suma Hui.
Ciang Bun
yang sejak tadi melindungi Ceng Liong dan menghadapi pengeroyokan para anggota
gerombolan, melihat hal ini dan dia pun menjadi marah. Usianya sudah lima belas
tahun dan dia sudah tahu bahwa datuk yang melawan enci-nya itu selain lihai
sekali, juga tidak sopan.
Maka dia
lalu menarik tangan Ceng Liong mendekati enci-nya dan membantu enci-nya
menghadapi Jai-hwa Siauw-ok. Setelah Ciang Bun maju membantu, mulailah Jai-hwa
Siauw-ok kehilangan kegembiraannya karena bagaimana pun juga, harus diakuinya
bahwa enci adik ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan!
Nenek
Nirahai akhirnya harus mengakui bahwa dua orang lawannya itu, Hek-i Mo-ong dan
Si Ulat Seribu, merupakan lawan yang terlampau berat baginya. Andai kata
dahulu, mungkin ia masih akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi
mereka, tetapi sekarang, tenaganya jauh berkurang dan terutama sekali daya
tahannya. Napasnya mulai memburu dan lehernya penuh dengan keringat. Beberapa
kali ia terhuyung dan hanya berkat ginkang-nya yang hebat sajalah ia berhasil
meloloskan diri dari ancaman maut.
Kao Cin
Liong melihat keadaan nenek itu. Dia menjadi khawatir sekali dan tahulah dia
bahwa mereka semua terancam bahaya maut. Dia teringat kepada Pendekar Super
Sakti Suma Han yang berada di dalam. Hatinya menjadi penasaran sekali.
Mengapa kong-couw-nya
yang terkenal sebagai seorang pendekar sakti itu diam saja dan membiarkan
isteri dan cucu-cucunya terancam bahaya maut? Hawa panas naik dari pusarnya
ketika hatinya dilanda penasaran dan kemarahan, maka dia pun kemudian
mengerahkan tenaga saktinya dan mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong
Hok-te. Tubuhnya merendah seperti hendak bertiarap dan dia pun lalu menancapkan
pedangnya ke dalam tanah!
Lawannya,
Eng-jiauw Siauw-ong si ketua Eng-jiauw-pang adalah seorang datuk kaum sesat
yang telah banyak pengalaman dan tinggi ilmunya. Tadi pun dia sudah merasakan
betapa lihainya pemuda ini sehingga dia dan beberapa orang pembantunya yang
merupakan tokoh-tokoh Eng-jiauw-pang, tidak mampu mendesaknya sama sekali, apa
lagi merobohkannya. Kini, melihat pemuda itu bersikap seperti itu, dia menjadi
bingung.
Selamanya
belum pernah dia melihat atau mendengar tentang Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga
Sakti Mendekam Di Tanah) ini. Dia melihat kesempatan baik untuk menyerang
pemuda yang sedang merendahkan diri hampir tiarap dalam posisi yang kaku dan
tidak menguntungkan itu. Juga tiga orang pembantunya merasa girang melihat
kedudukan lawan yang disangkanya kelelahan itu. Mereka berempat menubruk maju
dengan kedua tangan yang memakai sarung tangan kuku garuda itu diangkat lalu
menyerang.
“Hyaaaaattt....!”
Lengkingan
yang menggetarkan jantung terdengar dan tubuh Cin Liong mencelat ke depan,
seperti seekor naga sakti yang menerjang awan. Ada kekuatan dahsyat keluar dari
kedua tangan dan tubuhnya, yang menyapu empat orang itu bagaikan angin taufan.
Tak ada kekuatan yang dapat menahan kedahsyatan ini, apalagi hanya kekuatan
empat orang itu.
Eng-jiauw
Siauw-ong dan tiga orang pembantunya merasa seperti disambar halilintar, dan
tubuh mereka terlempar ke belakang, terbanting dan tak dapat bangkit kembali!
Eng-jiauw Siauw-ong tewas seketika dengan dada pecah dan tiga orang pembantunya
juga terluka parah dan andai kata di antara mereka ada yang tidak tewas,
setidaknya tentu akan terluka parah dan cacat selama hidupnya.
Melihat
seorang rekannya roboh lagi itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan penasaran.
Pulau Es hanya dipertahankan oleh sekelompok kecil orang, dan ternyata dia
telah kehilangan dua orang rekan dan sedikitnya dua puluh orang anak buah!
“Serbuuuuu....!”
teriaknya sambil memberi komando kepada para anak buahnya yang semenjak tadi
hanya menjadi penonton saja karena mereka itu tidak berani memasuki pertempuran
tingkat tinggi itu. “Serbu ke dalam istana!”
Mendapat
perintah dari Hek-i Mo-ong ini, sisa para anak buah yang masih kurang lebih
tiga puluh orang itu kemudian serentak menyerbu, sebagian membantu para datuk
dan sebagian pula menyerbu ke pintu gerbang istana.
“Cin Liong,
bawa mereka!” Tiba-tiba nenek Nirahai berseru kepada jenderal muda itu.
Cin Liong
mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek Nirahai. Memang dia melihat bahwa
keadaan amat gawat. Walau pun dia sudah berhasil merobohkan empat orang
lawannya, akan tetapi dia sendiri tadi menerima perlawanan tenaga dahsyat yang
menggetarkan isi dadanya, membuat dia sendiri harus berhati-hati dan tidak
berani mengerahkan terlalu banyak tenaga karena hal ini dapat membuat dia
terluka di sebelah dalam tubuhnya. Dan pula, pihak lawan masih amat kuat,
terutama dengan majunya semua anak buah musuh itu.
Dia
menyambar pedangnya sambil menjawab, “Baik!”
Cin Liong
lalu memutar pedang itu menerjang Jai-hwa Siauw-ok, membantu Suma Hui dan Ciang
Bun yang mengeroyok penjahat cabul itu. Kalau tadinya kakak beradik ini sudah
mampu mendesak datuk cabul itu, kini karena si datuk cabul dibantu oleh empat
orang Korea dan Jepang, keadaan kakak beradik itu berbalik terdesak. Ceng Liong
sendiri dengan tombak di tangan hanya melindungi tuhuhnya dari ancaman musuh.
Ada dua orang anggota musuh yang mengepungnya dan terus mencari kesempatan
untuk membunuh anak yang nekat dan berani ini.
Majunya Cin
Liong membuyarkan kepungan terhadap Suma Hui dan Ciang Bun, bahkan Suma Hui
dengan sepasang pedangnya mampu merobohkan seorang pengeroyok dan Ciang Bun
juga berhasil menendang roboh seorang pengeroyok lain. Jai-hwa Siauw-ok
terkejut dan meloncat mundur untuk menyusun kekuatan lagi.
Kesempatan
ini digunakan oleh Cin Liong untuk berteriak kepada tiga orang muda itu. “Lari
kalian ikuti aku!”
Suma Hui,
Ciang Bun dan Ceng Liong tidak mengerti apa yang dikehendaki Cin Liong. Akan
tetapi karena mereka telah menyaksikan kehebatan pemuda itu dan melihat bahwa
keadaan sudah terlalu mendesak, mereka pun secara membuta lalu menuruti
permintaan Cin Liong. Melihat Cin Liong sudah melompat masuk melalui pintu
samping, mereka bertiga pun berlarian dan melompat masuk.
Akan tetapi
setelah tiba di dalam dan melihat Cin Liong menutupkan pintu samping itu, Suma
Hui berseru kaget, “Kau mau apa? Aku tidak sudi melarikan diri!”
Cin Liong
sudah lebih dulu menduga akan terjadinya hal ini. Biar pun baru sebentar
mengenal gadis ini, tapi dia telah dapat menduga bahwa gadis ini memiliki
kekerasan hati dan kegagahan luar biasa. Cucu ini tentu tidak akan jauh
wataknya dari neneknya.
Kalau nenek
Nirahai yang sudah tua renta itu saja marah mendengar usulnya untuk
menyelamatkan dan meloloskan diri, apalagi dara yang penuh semangat dan masih
muda ini. Tentu dia akan menentang kalau mendengar bahwa ia diajak melarikan
diri meninggalkan musuh yang sedang menyerbu Pulau Es, apalagi harus
meninggalkan nenek dan kakeknya berdua saja menghadapi ancaman musuh!
Dia sudah
memperhitungkan sejak tadi apa yang harus dilakukan. Dia sudah berjanji kepada
nenek buyutnya dan janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa.
“Bibi Hui,
kau lihatlah baik-baik, alangkah gagahnya nenek buyut Nirahai menghadapi
pengeroyokan musuh-musuhnya!” Berkata demikian, Cin Liong mendekati dara itu
dan menudingkan telunjuknya keluar pintu samping setelah membuka sedikit daun
pintu itu.
Suma Hui
tentu saja menoleh dan memandang keluar penuh perhatian. Memang dia melihat
betapa neneknya mengamuk bagai seekor naga betina. Para pengeroyoknya yang tak
begitu tinggi ilmunya, jatuh berpelantingan kena disambar pedang payungnya.
Hanya Hek-i Mo-ong dan Si Ulat Seribu yang masih bertahan, walau pun Si Ulat
Seribu juga hanya berani mengeroyok dari jarak jauh saja.
“Tukkk....!”
Mendadak tangan Cin Liong bergerak dan tubuh Suma Hui telah menjadi lemas
tertotok pada saat ia lengah itu.
“Heiii! Apa
yang kau lakukan?!” bentak Ciang Bun.
Dan Ceng
Liong yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya telah menusukkan tombaknya ke
arah dada Cin Liong.
Cin Liong
juga sudah menduga akan hal ini, maka cepat dia mengelak dan menangkap tombak
Ceng Liong, kemudian berkata dengan suara berwibawa, “Kedua paman kecil,
tenanglah. Ini adalah perintah nenek buyut Nirahai!” Berkata demikian, Cin
Liong sudah memanggul tubuh Suma Hui yang pingsan.
Kedua orang
muda itu saling pandang dengan bimbang, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
Nirahai. “Kalian ikutilah Cin Liong dan jangan membantah!”
Mendengar
suara nenek mereka itu, barulah Ciang Bun dan Ceng Liong percaya. Mereka
mengangguk kepada Cin Liong dan pemuda ini merasa lega sekali. Cepat dia
menutupkan daun pintu.
“Mari ikut,
cepat!”
Sementara
itu, di luar nenek Nirahai mengamuk makin sengit. Ia sengaja menjaga pintu
samping itu dan merobohkan siapa saja yang hendak melakukan pengejaran terhadap
Cin Liong dan tiga orang cucunya itu. Setelah melihat cucu-cucunya diselamatkan,
wajah nenek ini berubah berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan
mulutnya tersenyum, sepak terjangnya lebih hebat lagi seolah-olah kini ia dapat
berpesta-pora dalam pertempuran itu setelah tidak ada ganjalan hati khawatir
akan keselamatan cucu-cucunya.
Ia tahu
bahwa di antara para pengeroyoknya, yang lihai adalah Si Ulat Seribu dan Hek-i
Mo-ong. Akan tetapi karena ia maklum bahwa merobohkan Hek-i Mo-ong bukanlah
merupakan hal mudah baginya, maka ia mengambil keputusan untuk merobohkan Si Ulat
Seribu lebih dulu.
Saat Hek-i
Mo-ong untuk kesekian kalinya membentak keras dan tombak Long-ge-pang
menyambar-nyambar dari atas, nenek Nirahai menggunakan ginkang-nya, menyelinap
di antara sinar tombak lawan tanpa menangkisnya. Hek-i Mo-ong terkejut, tidak
mengira bahwa nenek itu dapat lolos dari gulungan sinar tombaknya begitu saja.
Namun, nenek Nirahai bukan sembarangan meloncat dan meloloskan diri dari
kepungan gulungan sinar tombak, melainkan ia menyerbu ke arah Si Ulat Seribu
yang mengeroyoknya dari jarak aman.
Melihat
sinar pedang payung meluncur ke arahnya, Si Ulat Seribu terkejut. Sejak tadi ia
sudah merasa agak jeri karena setiap kali ujung sabuk merahnya bertemu pedang
payung, selalu tangannya terasa tergetar, kadang-kadang panas sekali, kadang-kadang
dingin bukan main. Bahkan sudah dua kali kaitan emasnya patah ujungnya.
Karena
maklum bahwa dia tidak mampu menandingi nenek Pulau Es ini, maka dia membiarkan
Hek-i Mo-ong yang menandinginya secara langsung sedangkan ia hanya membantu
dari jarak aman saja, kadang-kadang melakukan serangan dengan sabuk emasnya
untuk mengacaukan pertahanan lawan. Maka, kini melihat nenek itu tiba-tiba
dapat meloloskan diri dari kepungan sinar senjata Hek-i Mo-ong dan tahu-tahu
sudah menyerangnya dengan ganas, terpaksa ia memutar sabuk merahnya dan
menangkis serangan itu sambil mengerahkan sinkang-nya dan menggoyang tubuhnya.
“Cringgg....
prakk....!”
Tubuh Si
Ulat Seribu terpelanting dan tak bergerak lagi. Ia tewas dengan kepala retak
karena pelipisnya kena dihantam pedang payung! Tapi, ketika menangkis dan
sabuknya terbabat putus tadi, ia menggoyang tubuh dan dari kedua lengannya
beterbangan sinar bermacam warna menuju ke arah nenek Nirahai.
Nenek ini
cepat mengelak, akan tetapi tetap saja seekor ulat berbulu merah hinggap di
pipinya! Ia merasa gatal dan panas. Ketika tangan kirinya menepuk ulat itu dan
ia melihat bahwa yang hinggap itu ulat, nenek Nirahai bergidik ngeri! Ia adalah
seorang panglima, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, akan tetapi ia
tetap seorang wanita! Dan setiap orang wanita memiliki kelemahan masing-masing
terhadap binatang melata atau binatang-binatang kecil lainnya. Ada yang ngeri
melihat ular, ada yang takut melihat tikus, atau kacoa, cacing dan sebagainya.
Dan
kebetulan sekali nenek Nirahai ini paling jijik dan ngeri kalau melihat ulat!
Ketika ia masih kecil, pernah ia bermain-main di kebun dan tubuhnya terkena
bulu ulat sehingga seluruh tubuh itu gatal-gatal. Agaknya hal ini yang
mendatangkan kesan mendalam di hatinya sehingga ia selalu merasa jijik dan
takut kalau melihat ulat. Apalagi sekarang ada ulat besar berbulu merah yang
hinggap di pipinya, dan kini hancur karena tepukan dan pipinya terasa gatal dan
panas. Ia menjerit kecil dan untuk beberapa detik lamanya ia kehilangan
keseimbangan dan menjadi lengah.
Kesempatan
yang hanya beberapa detik ini tentu saja tidak mau dilewatkan oleh Hek-i
Mo-ong. Secepat kilat tombak Long-ge-pang itu meluncur, cepat dan amat kuat,
dan dilakukan dari belakang nenek Nirahai.
“Cappp....!”
Tombak itu
menembus punggung sampai dalam, lalu dicabut lagi oleh Hek-i Mo-ong yang sudah
hendak menyusulkan lagi tusukannya. Akan tetapi, mendadak nenek itu membalik
dan dengan pekik melengking nenek itu menggerakkan pedang payungnya.
“Trangggg....!”
Nampak bunga
api berpijar dan tubuh Hek-i Mo-ong yang tinggi besar itu terhuyung ke
belakang. Raja Iblis ini merasa betapa tubuhnya panas dingin dan ia menggigil
ngeri. Dia dapat menduga bahwa ini tentulah penggabungan tenaga sinkang
Yang-kang dan Im-kang yang amat terkenal dari Pulau Es! Ia menjadi agak jeri
juga, akan tetapi dia melihat nenek itu lari menuju ke pintu gerbang depan
istana dan dari punggungnya bercucuran darah yang membasahi lantai. Nenek itu
telah terluka parah.
“Kejar....!”
serunya tanpa memperdulikan lagi Si Ulat Seribu yang sudah tewas.
Sekarang
hanya Jai-hwa Siauw-ok saja satu-satunya rekan yang masih hidup dan yang segera
mengikutinya mengejar, bersama dua belas orang anak buahnya. Hanya tinggal dua
belas orang saja dari lima puluh orang lebih yang datang menyerbu! Amukan nenek
Nirahai dibantu Cin Liong, tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tadi
ternyata telah merobohkan kurang lebih empat puluh orang dan di pihak Pulau Es,
lima orang pelayan tewas dan nenek Lulu juga tewas, sekarang nenek Nirahai
terluka parah.
Nenek
Nirahai sebetulnya bukan bermaksud melarikan diri. Dia tahu bahwa dia telah
terluka hebat, tombak Hek-i Mo-ong tadi telah menembus sebuah paru-parunya dan
nyawanya tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Kalau ia kini melarikan diri ke
pintu gerbang, ada dua hal yang mendorongnya dan bukan karena ia takut melawan
lagi. Pertama adalah untuk memancing sisa musuh itu agar mengejarnya dan tidak
mengejar Cin Liong yang melarikan tiga orang cucunya, dan ke dua ia ingin
bertemu sekali lagi dengan suaminya sebelum ia mati!
Dengan
tangan kanan memegang pedang payungnya dan tangan kiri dengan susah payah
mencoba untuk menutup luka di punggungnya, Nirahai mendorong daun pintu gerbang
dengan pundaknya dan sepasang daun pintu itu terbuka lebar. Dia melihat
suaminya masih duduk bersila di dekat peti jenazah Lulu dan asap dupa mengepul
tebal.
Suaminya
masih bersila dengan kaki tunggalnya, dan kini suaminya mengangkat muka
memandang kepadanya dengan sinar mata lembut penuh kasih sayang.
“Isteriku,
engkau terluka parah....,” katanya halus dan tiba-tiba Nirahai merasa betapa
kerongkongannya seperti tersumbat.
Suara itu
mengandung getaran cinta kasih yang sedemikian besarnya, mengingatkan ia akan
masa muda mereka yang penuh kemesraan dan kasih sayang. Kemudian ia melihat
betapa suaminya menggunakan kedua tangan untuk menekan lantai dan tubuh
suaminya itu, tetap dalam keadaan duduk bersila, berloncatan maju menyambutnya!
Hal ini
dirasakan oleh Nirahai seperti tusukan pedang ke dua pada jantungnya. Kini
tahulah ia mengapa suaminya sejak beberapa hari yang lalu bersemedhi tanpa
pernah bangkit berdiri lagi! Juga ketika Lulu meninggal dunia, suaminya hanya
duduk bersila. Kiranya.... ahhh, ia tahu. Suaminya terserang penyakit lamanya.
Lumpuh!
Penyakit ini
telah dilawannya selama puluhan tahun, bahkan penyakit ini pula yang tadinya
mengeram di kaki kiri suaminya yang kemudian buntung. Dia mengira bahwa
penyakit itu telah lenyap bersama kaki kiri suaminya. Ternyata hanya karena
kehebatan ilmu kepandaian suaminya, dan karena kuatnya sinkang-nya, maka
penyakit itu dapat ditekan sedemikian rupa. Kini, dalam usia tuanya, penyakit
itu timbul dan membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah!
“Suamiku....!”
Nirahai menubruk, melempar pedangnya dan Suma Han menyambutnya dengan kedua
lengan terbuka.
Nirahai
terkulai di pangkuan suaminya. Darah mengucur dari punggungnya membasahi
pakaian mereka berdua dan sungguh aneh, Nirahai merasa seolah-olah dia menjadi
pengantin baru dengan suaminya! Terbayang semua keindahan dan kemesraan antara
mereka, dan pandang matanya semakin kabur, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh
bahagia.
“Suamiku....
engkau.... beratkah penyakitmu....?” Nirahai masih sempat berbisik sambil
memandang wajah suaminya dengan kepala terletak di pangkuan.
Pendekar
Super Sakti tersenyum, mengangguk dan mengusap dagu isterinya. “Engkau
tunggulah di sana.... aku takkan lama lagi menyusulmu....,” bisiknya lirih dan
ramah.
Akan tetapi nenek
Nirahai hanya mendengar setengahnya saja karena ia telah terkulai dan nyawanya
telah meninggalkan badannya, akan tetapi kata-kata di bibirnya sempat terloncat
keluar dalam bisikan, “Aku.... gembira.... seperti adik Lulu....”
Nirahai
telah mati. Lulu telah mati. Suma Han memandang wajah isteri di pangkuannya
itu, menutupkan mata dan mulutnya dengan jari-jari tangan, dengan sentuhan
mesra, kemudian menoleh ke arah peti jenazah Lulu, dan dia pun menghela napas
panjang.
Kedua
isterinya sungguh merupakan dua orang wanita pendekar yang gagah perkasa sampai
saat terakhir, sampai menjadi nenek-nenek tua renta! Bagaimana pun juga, dia
melihat kebanggaan menyelinap di dalam hatinya, berikut juga penyesalan mengapa
mereka berdua itu sampai akhir hidupnya bergelimang dalam kekerasan. Biar pun
dia tidak keluar dari ruangan itu, dia dapat mendengar dan membayangkan apa
yang telah terjadi di luar.
Kini dia
mendengar langkah-langkah kaki banyak orang menuju ke depan pintu gerbang yang
menembus ke ruangan itu. Sambil menarik napas, Suma Han memondong dan memanggul
tubuh isterinya dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan
sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang kembali ke tempat semula, di
dekat peti jenazah Lulu. Dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Nirahai di
samping peti jenazah Lulu. Kemudian dia pun duduk menanti, menghadap ke arah
pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di samping kirinya.
Hek-i Mo-ong
merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka
itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggota mereka
yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang
dengan bengong.
Biar pun
Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga
jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan
sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka
semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong. Ada sesuatu dalam sikap
kakek itu yang membuat mereka jeri.
Seorang
kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya
seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih
tampan itu memandang lembut ke arah mereka. Pada wajah itu sedikit pun tidak terbayang
perasaan marah atau takut.
Mereka
seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa
awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang
menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan
kagum.
Kemudian
terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong
perasaan, “Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang
tewas dan terluka.”
Suara halus
ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan
tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya,
“Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super
Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”
“Namaku Suma
Han....”
Tiba-tiba
Jai-hwa Siauw-ok berteriak, “Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia
seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang-orang muda itu!”
Berkata
demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang
hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari-jari tangan
terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar kepala Suma Han dengan
mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.
Pendekar
Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis
melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung
kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang
digerakkan perlahan ke atas itu.
“Desss....!”
Hasilnya,
tubuh Jai-hwa Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh. Mukanya
menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya.
Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, dia pun kini bergerak maju,
merendahkan dirinya seperti hampir merangkak dan tiba-tiba dia pun melancarkan
pukulan Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok. Pukulan itu
langsung datang dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti.
Pendekar ini
tenang-tenang saja, kembali menggunakan tangan kirinya untuk didorong ke depan
menyambut pukulan maut itu.
“Wuuuuttt....
plakk....!”
Dua telapak
tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok seperti daun kering
terbawa angin keras, terlempar kemudian terbanting dan masih terguling-guling
sampai tubuhnya menabrak dinding. Tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal
ini membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan keras sama keras,
namun menggunakan kelembutan.
Jai-hwa
Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Tentu saja bantingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan hatinya pun sudah
menjadi gentar sekali. Dia bangkit duduk dan memandang ke arah sosok tubuh yang
bersila itu dengan sinar mata ketakutan.
Melihat
peristiwa ini, Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal kelihaian
rekannya itu. Melihat rekannya dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti secara
demikian mudahnya, dia menjadi penasaran bukan main.
“Pendekar
Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!” bentaknya.
Kakek
raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya. Makin
lama, putaran itu menjadi makin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap
bentuknya, yang nampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa
dan angin menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing. Kemudian, dengan
memegang tombak menggunakan kedua tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun
tombak Long-ge-pang itu dan menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.
“Hyaaaaaattt....!”
Tombak itu
menyambar ke bawah dengan kekuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-ong
adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karang
pun akan hancur lebur tertimpa hantaman Long-ge-pang yang dipukulkan oleh
tenaga sedahsyat itu.
Suma Han
menarik napas panjang, mengenal pukulan maut yang amat hebat. Dengan tenang dia
kemudian menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan
tongkat bututnya itu di atas kepala.
“Desss....!”
Seluruh
ruangan itu rasanya seperti tergetar dan semua orang yang hadir merasakan
getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak.
Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika
bertemu dengan tenaga lunak pada tongkat butut.
Dan
akibatnya memang hebat sekali. Tubuh Hek-i Mo-ong terhuyung ke belakang,
mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi, dia mengeluarkan
suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan tenaganya kembali.
Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bukan
dihantamkan, tetapi ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih
tetap duduk bersila dengan tenang.
Kembali Suma
Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung tombak
yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.
“Trakkkk....!”
Untuk kedua
kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong bukan hanya
terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit
duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti hendak mengusir kepeningan.
Kemudian dia meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu
dan dadanya terengah-engah.
Dia merasa
penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi serangannya dengan
perlawanan tenaga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena sebagai
seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya
orang, tentu ada yang melebihinya. Tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali
tidak melawannya keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak bagai
meluluhkan tenaganya, atau membuat tenaganya itu membalik dan menghantam
dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia penasaran.
Sedemikian
jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini? Demikian rendahkah tingkatnya
sehingga kakek tua renta itu mampu menghadapinya seperti itu? Dia tidak
percaya! Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya
bahwa di antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti
keturunan Suling Emas itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau
kalah pun hanya sedikit saja selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan
mampu mengalahkannya dengan mudah!
Tetapi,
kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggunaan tenaga lemas saja.
Siapa yang tidak akan merasa penasaran? Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong
mengumpulkan seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, menggunakan tenaga dan
ditambah kekuatan loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun
kepala lawan.
“Siuuuutttt....
darrrr....!”
Tombak
Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-ong terjengkang dan
terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali, matanya
terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah segar!
Nampak tubuh
Pendekar Super Sakti bergoyang-goyang. Dia menunduk dan terdengar suaranya
lirih, “Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah....”
Akan tetapi,
agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang
mati-matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus
mengaku kalah dan pergi begitu saja? Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat,
kalah dalam tenaga sinkang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu
ilmu sihir! Maka dia sudah mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan
tangan kanan, diacungkan ke atas, mulutnya berkemak-kemik, kipasnya
mengebut-ngebut.
Tiba-tiba
ruangan itu menjadi remang-remang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan
terdengar bermacam-macam suara aneh, seperti suara orang-orang menangis dan
tertawa bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sendiri merasa seram akan tetapi
karena mereka tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang sedang dikerahkan
oleh pucuk pimpinan mereka, mereka merasa tenang.
“Suma Han,
aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan
membantuku untuk membasmi keluargamu. Lihatlah mereka muncul!” Dan kipasnya
mengebut-ngebut makin keras lagi.
Kini suara
yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah bayangan-bayangan hitam
bermunculan. Bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh yang mengerikan,
tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka
bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.
“Kegelapan
hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa yang
melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai dirinya sendiri!” terdengar Suma
Han menjawab halus.
Dan semua
orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini nampak
semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi
gelap. Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama
makin jelas, kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin
besar, berdiri dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walau pun kakinya hanya
sebelah, sepasang matanya mencorong seperti bintang.
Melihat ini,
Hek-i Mo-ong makin kuat mengebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya keluar
suara-suara aneh seperti orang membaca mantera dalam bahasa asing. Dan
bayangan-bayangan hitam itu menggereng-gereng dan menerjang ke depan, ke arah
bayangan putih dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa
itu. Bayangan putih yang berbentuk Pendekar Super Sakti itu mengangkat tangan
kiri ke atas, lalu membuat gerakan-gerakan dengan tongkatnya seperti orang
mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau seperti orang bersilat tongkat
secara aneh sekali.
Terjadilah pertentangan
yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-ong dengan
mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang
berbentuk Suma Han itu ‘bersilat’ atau menulis huruf-huruf di udara,
bayangan-bayangan hitam itu lalu merengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan
lengan-lengan berbulu, bagaikan anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan
dan mereka itu mundur-mundur.
Hek-i Mo-ong
memperkeras bacaan manteranya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma Han yang
tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu semakin mengecil dan
akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!
“Krekkk....!”
Kipas merah
di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri terpelanting seperti
ditabrak setan-setan itu. Dia merintih akan tetapi masih dapat bangkit lagi
sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari
mulutnya sehingga mukanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja
Iblis.
“Hek-i
Mo-ong, cepat pergilah dan tinggalkan pulau ini bersama semua kawanmu, bawa
semua kawanmu yang tewas mau pun yang terluka,” terdengar Suma Han berkata lagi
dengan suara halus.
Dengan
dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan
dasar orang yang berwatak angkuh, begitu dapat berdiri dia mengibaskan tangan
Siauw-ok sehingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri.
Sejenak
Hek-i Mo-ong memandang kepada Suma Han, kemudian dia membalikkan tubuhnya
dengan sikap angkuh dan menghardik, “Mari kita pergi!”
Jai-hwa
Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali,
cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan
susah payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-mayat para
teman mereka dan akhirnya, mereka semua pergi meninggalkan Pulau Es dengan
menderita kekalahan besar.
Setelah para
penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang, menggunakan sehelai
saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi
mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat memang tenaga
Hek-i Mo-ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah!
Dia
memandang ke arah wajah Nirahai yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke
arah peti jenazah Lulu, dan berbisik, “Tak kusangka, makin cepat kita akan
dapat saling bertemu....”
Dan dia pun
kembali bersila seperti semula di dekat jenazah Nirahai dan peti jenazah Lulu.
Asap dupa masih mengepul terus ke atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki
ruangan itu. Suasana amat hening..
Suma Hui
membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang
dilakukan Cin Liong tadi. Begitu siuman, ia mengeluh lirih, mengejap-ngejapkan
mata.
Mula-mula ia
merasa heran melihat dirinya rebah di atas lantai dalam ruangan yang
remang-remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan
melihat Ciang Bun dan Ceng Liong duduk bersila di sebelah kanannya, dan melihat
Cin Liong bersila di sebelah kirinya. Segera ia teringat akan semua yang telah
dialaminya dan sekali bergerak, dara ini telah bangkit berdiri.
“Apa yang
telah terjadi....? Ahhh.... engkau.... engkau telah menotokku dengan curang!”
Suma Hui lalu teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat
ia meloncat ke depan.
Cin Liong
bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah
menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.
“Plak! Plak!
Plak! Plak!”
Empat kali
kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah.
Dia sengaja tak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu
dan bahwa dara itu telah salah kira.
“Enci,
jangan....!” Ciang Bun memegang lengan kanan enci-nya.
“Enci Hui,
jangan pukul dia!” Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.
“Biar!
Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani
menipuku dan menotokku....!”
“Sabarlah,
enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,” kata Ciang Bun.
“Dia hanya
mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan
kita semua, enci Hui!” Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu.
Kedua tangan
Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andai kata
ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut.
Cin Liong
hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak
biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk
melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebat!
Masih untung
pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, tetapi hanya
sebagai peluapan amarah saja. Jika dara itu tadi menampar dengan pengerahan
tenaga sinkang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapa pun
marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis
tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan
sinkang.
Mendengar
bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang
biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya,
kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk
menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya,
pandang matanya tidak ganas seperti tadi. Melihat keadaan enci mereka, Ceng
Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.
“Baiklah....,”
akhirnya Suma Hui berkata, “aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas
perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu
musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin
Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah
kebiruan itu.
“Karena
itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,” jawab Cin Liong.
“Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta supaya aku
berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat
aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan
kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku,
siauw-i (bibi kecil).”
“Tapi....
bagaimana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu
bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!”
“Tapi,
bibi....” Cin Liong hendak mencegah.
Memang sudah
ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu
siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga
berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih
berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan
mereka dan akan sia-sialah semua usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk
menyingkirkan mereka dari bahaya?
Suma Hui
menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat
persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat pada waktu
dia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya. Sikap dan
pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.
“Engkau
hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang berani mencegah aku
keluar!”
Sejenak
kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi,
akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
“Baiklah,
mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggung jawabkan janjiku
kepada nenek buyut Nirahai.”
Cin Liong
tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin
dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan
dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara
ini.
“Tetapi,
nenek Nirahai akan marah kepadamu!” Suma Ciang Bun mencela. “Dan janji seorang
gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!”
“Enci Hui,
kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya melanggar
janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!” Suma
Ceng Liong juga mencela.
Cin Liong
kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur
dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan
khawatir adanya perasaan dara itu.
Dia sendiri
tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi
meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh,
sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu. Kalau dia terpaksa
menerima perintah itu adalah karena dia pun dapat melihat bahwa memang
keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia
sudah berjanji, maka bagaimana pun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi
sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu,
dia sendiri kini merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek
Nirahai.
“Biarlah,
kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari
kita keluar dan melihat keadaan di sana,” kata Cin Liong.
Tiga orang
muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek
mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu
yang akan bertanggung jawab.
Dengan
hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang muda itu keluar dari
pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka
memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar
amat hening. Tidak terdengar suara sedikit pun, juga tidak nampak sesuatu,
tidak nampak seorang pun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan
dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.
Apalagi
setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali dari pada yang mereka kira
semula. Tidak nampak bayangan seorang pun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat
mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang
roboh dan tewas.
“Mari kita
cari di dalam!” Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia
merasa gelisah sekali.
Setelah kini
berada di luar, dialah yang menjadi pemimpin. Bagaimana pun juga, Cin Liong
hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan
berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah
dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan
Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita.
Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.
Suma Hui
mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan ia pun cepat lari masuk ke dalam,
diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan
di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun
melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di
sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak
bernyawa lagi.
Keadaan di
dalam ruangan itu begitu sunyi. Kakek yang duduk bersila itu seperti arca,
tiada yang bergerak, tiada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah
asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.
“Nenek
Nirahai....!” Tiba-tiba Suma Hui menjerit. Dara ini lari menghampiri, lalu
berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis.
Melihat
enci-nya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tak dapat menahan
tangisnya. Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat
jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka,
maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia
merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal
keras.
Cin Liong
hanya menundukkan mukanya. Diam-diam dia pun merasa amat terharu dan menyesal,
mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar
sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek
itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari
semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.
Suma Hui
agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia
mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil
memejamkan kedua matanya itu.
“Kong-kong....!
Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan
orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian
kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan
mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku ini? Di manakah kegagahan
kong-kong....?”
Cin Liong
terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani
mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu
diam saja, bergerak pun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan
melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang
terkasih.
Ciang Bun
merangkul enci-nya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.
“Enci....
janganlah menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....,”
keluhnya.
Suma Ceng
Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata, “Enci Hui,
ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk
semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci
berani mencela dan menegur kong-kong!”
Suma Hui
mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong. “Kita semua
telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmu itulah, Cin Liong, maka aku
menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai
dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi
pengecut gara-gara engkau!” Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.
“Enci....!”
Ciang Bun menegur.
“Enci
Hui....!” Ceng Liong juga menegur.
Akan tetapi,
Cin Liong yang tadinya mengangkat muka memandang gadis itu, kini menunduk
kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu.
Biar pun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membencinya, namun dia
tahu bahwa semua itu timbul karena gadis itu merasa berduka sekali melihat
kematian kedua orang neneknya.
“Bibi Hui,
sesungguhnya, aku sendiri pun merasa menyesal harus meninggalkan medan
perkelahian, tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut
Nirahai?” katanya perlahan.
“Nenek
memerintahkan karena sayang kepada kami. Akan tetapi perintah itu membuat kita
semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu. Mengapa engkau mentaatinya
secara membuta saja?” Suma Hui membentak.
“Bibi,
hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan
untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang
mengandung kebenaran dan kecerdasan.”
“Melarikan
diri dari musuh kau anggap benar dan cerdas? Cin Liong, katanya engkau ini
seorang jenderal perang, mengapa berpendapat demikian? Pendapat macam apakah
itu?”
“Bibi Hui,
ketahuilah bahwa nenek buyut Nirahai adalah seorang panglima besar dan aku
sendiri sedikit banyak pernah belajar ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan
diri dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali
bukan tanda watak pengecut. Demikian pula, nenek buyut Nirahai minta kepadaku
untuk membawa kalian bertiga bersembunyi kalau keadaan menjadi gawat, sama
sekali bukan karena hendak membuat kita menjadi pengecut, melainkan berdasarkan
perhitungan yang masak, benar dan cerdas. Karena, andai kata kita tidak
melarikan diri, apakah kita akan dapat menyelamatkan nenek buyut? Ingatlah,
keadaan pihak lawan jauh terlalu banyak dan terlalu kuat, sehingga kalau toh
kita melawan, maka kita pun semua akan tewas bersama nenek buyut.”
“Lebih baik
mati bersama nenek Nirahai dari pada meninggalkannya lari, membiarkan ia
sendirian saja menghadapi musuh dan tewas! Seorang gagah akan menghadapi lawan
sampai titik darah penghabisan!” Suma Hui tetap ngotot.
“Enci Hui,
lupakah engkau akan pelajaran yang pernah kita terima dari ayah mau pun kakek?
Melawan musuh secara membuta sampai mati hanyalah tindakan orang nekat yang
bodoh. Melarikan diri karena takut barulah pengecut, tetapi melarikan diri
karena tahu akan kekuatan lawan adalah sikap yang cerdas,” kata Ciang Bun
memperingatkan enci-nya.
“Dan kita
lari bukan karena takut, enci. Melainkan karena perintah nenek Nirahai yang
memerintahkan dengan dasar perhitungan yang matang. Beliau ingin menyelamatkan
kita, dan enci tidak berterima kasih malah kini marah-marah? Bukankah kalau
demikian berarti enci marah-marah kepada nenek Nirahai yang telah tiada?” Ceng
Liong juga menegur.
Mendengar
kata-kata kedua orang adiknya itu, air matanya bercucuran dari kedua mata Suma
Hui dan melihat ini, Cin Liong merasa kasihan sekali. Sebenarnya gadis ini
memiliki kegagahan luar biasa, dan kekerasan hati akan tetapi juga kelembutan.
Ingin dia merangkul dan menghiburnya, menyusut air mata itu!
“Kukira....
kukira sebaiknya kalau kita mengurus jenazah nenek buyut.... di mana kita dapat
mencari peti jenazah....?” Akhirnya Cin Liong berkata.
“Nenek
Nirahai sudah mempunyai peti jenazah sendiri, di dalam kamarnya. Biar kita
mengambilnya,” kata Ciang Bun.
Mereka
berempat lalu bangkit dan mengambil peti jenazah itu dan bersama-sama mereka
lalu membersihkan jenazah, mengenakan pakaian yang terbaik pada jenazah itu dan
memasukkannya ke dalam peti. Semua ini terjadi dan kakek Suma Han tetap duduk
bersila tanpa pernah bergerak. Dan empat orang muda itu pun tidak ada yang berani
mengganggunya.
Kembali Suma
Hui menangis ketika ia bersembahyang di depan peti jenazah ini. Ceng Liong
menghiburnya dengan kata-kata penuh semangat, “Enci Hui, kenapa menangis? Kalau
kupikir, masih untung bahwa Cin Liong mentaati perintah mendiang nenek. Kalau
tidak demikian, tentu kita semua telah mati juga. Dan sekarang, kita masih
hidup sehingga kita akan mampu untuk membalaskan kematiannya, bukan?”
“Liong-te,
ingat. Bukankah kakek selalu memperingatkan kita agar tidak membiarkan hati
kita diracuni dendam?” Ciang Bun menegur adiknya.
Tiba-tiba
terdengar suara halus, “Kematian adalah suatu kewajaran. Tidak perlu dibuat
susah, tak perlu diributkan. Setelah matahari tenggelam, bawa mayat kami semua
ke ruangan sembahyang kemudian bakarlah. Begitu mayat terbakar, kalian harus
cepat meninggalkan pulau ini dalam perahu, dan kembalilah ke rumah kalian
masing-masing. Perintahku terakhir ini sedikit pun tidak boleh kalian langgar!”
Semua orang
terkejut sekali mendengar ini. Tadinya mereka bingung karena suara itu bagaikan
datang dari ke empat penjuru, atau kadang-kadang seperti datang dari atas.
Setelah tiga orang cucu itu mengenal suara kakek mereka, barulah mereka menoleh
dan memandang.
Akan tetapi
selagi suara itu masih terdengar bicara, bibir kakek mereka tidak bergerak sama
sekali. Akan tetapi jelas bahwa kakek Suma Han, Pendekar Super Sakti itulah
yang bicara karena suaranya tentu saja amat dikenal oleh Ceng Liong, Ciang Bun,
dan Suma Hui! Dan kalimat terakhir itu menunjukkan bahwa kakek itu telah meninggal
dunia! Cin Liong yang lebih dulu sadar akan hal ini dan dia pun cepat maju
menghampiri kakek yang duduk bersila itu, lalu meraba pergelangan tangannya.
“Beliau
telah wafat....,” katanya lirih, penuh takjub dan hormat.
Kakeknya
ini, melihat tubuh yang sudah dingin kaku itu, tentu telah meninggal dunia
sejak tadi, akan tetapi mengapa suaranya masih terdengar? Diam-diam jenderal
muda ini bergidik dan dia teringat akan cerita ayahnya tentang pendekar tua
yang luar biasa saktinya ini.
Mendengar
ini, Suma Hui menubruk kakeknya dan kembali dara ini menangis terisak-isak.
Seperti tadi, kembali Suma Hui menangis dan Ciang Bun juga mengucurkan air
mata, akan tetapi Ceng Liong yang nampaknya tidak menangis, hanya mukanya kini
menjadi agak pucat, matanya mengeluarkan sinar berkilat.
Cin Liong
membiarkan dara itu menangis sejenak, kemudian terdengar dia berkata lirih,
“Harap kalian suka ingat akan pesan kakek buyut tadi bahwa kematian adalah
suatu kewajaran yang tidak perlu disusahkan atau diributkan.”
Mendengar
peringatan ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan sambil memegangi tangan
kakeknya yang sudah dingin kaku itu, ia berkata, “Kong-kong, ampunkanlah Hui
yang tadi telah menegur dan mencelamu.... Hui tidak tahu bahwa kong-kong telah
tiada.... kong-kong, kami akan mentaati semua pesanmu tadi....”
Melihat
betapa gadis itu bicara kepada mayat yang tetap duduk bersila itu seolah-olah
bicara kepada orang yang masih hidup, Cin Liong merasa betapa jantungnya
seperti ditusuk dan dia pun mengejap-ngejapkan mata untuk menahan air mata.
Mulai detik itu tahulah dia bahwa dia telah jatuh cinta.
Namun, pada
saat itu pula dia pun melihat kejanggalan besar dalam cintanya ini. Betapa
mungkin seorang keponakan mencinta bibinya sendiri! Mencinta memang mungkin
saja, karena cinta adalah urusan hati. Akan tetapi mana mungkin cinta itu
diwujudkan menjadi suatu perjodohan? Seorang bibi berjodoh dengan keponakannya?
Walau pun usia mereka memang pantas, yaitu dia lebih tua dari pada ‘bibinya’
itu, bahkan jauh lebih tua.
Betapa pun
juga, batinnya menyangkal adanya semua peraturan ini. Batinnya tidak membohong.
Dia jatuh cinta kepada Suma Hui, dan Cin Liong siap sedia menghadapi
kegagalannya yang ke dua dalam bercinta. Dan hatinya pun terasa perih sekali.
Mereka
berempat lalu sibuk bekerja. Lima mayat pelayan juga mereka angkut sekalian ke
ruangan sembahyang yang cukup luas. Jenazah nenek Nirahai mereka masukkan peti,
diletakkan di kanan kiri jenazah kakek Suma Han yang masih duduk bersila, yang
mereka dudukkan di atas meja rendah bertilam bantal. Memang aneh sekali melihat
jenazah yang tetap duduk bersila itu. Kemudian jenazah lima orang pelayan
dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar di belakang deretan tiga jenazah
keluarga Pulau Es.
Suma Hui
tahu apa yang harus dikerjakan. Ia bahkan tahu pula apa yang dikehendaki oleh
kakeknya dalam pesan terakhir itu. Dengan air mata mengalir turun, akan tetapi
ia sudah dapat menahan diri tidak terisak lagi, ia berkata kepada dua orang
adiknya, juga kepada Cin Liong.
“Kong-kong
menghendaki agar Istana Pulau Es lenyap bersama dia dan nenek berdua.”
“Apa
maksudmu, enci Hui?” tanya Ciang Bun heran.
“Kong-kong
memerintahkan untuk membakar jenazah di ruangan sembahyang yang terkurung
tempat penyimpanan minyak. Ruangan itu akan terbakar dan istana akan terbakar
habis pula,” kata Suma Hui dengan sedih.
“Akan tetapi
hal itu sama sekali tidak boleh terjadi!” Ceng Liong berseru kaget. “Istana
Pulau Es adalah tempat keramat bagi kita, tempat pusaka, mana bisa dibakar
habis terbasmi begitu saja?”
Tiga orang
keturunan Pendekar Super Sakti ini menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan sehubungan dengan pesan terakhir dari kakek sakti itu, pesan
yang sesungguhnya berlawanan dengan suara hati mereka. Tentu saja mereka merasa
berat kalau harus membakar musnah Istana Pulau Es.
“Bagaimana
dengan pendapatmu, Cin Liong? Biar pun engkau hanya keponakan kami, akan tetapi
usiamu jauh lebih tua dan pemikiranmu lebih matang.” Akhirnya Suma Hui
berpaling kepada keponakannya itu dan bertanya.
Cin Liong
memandang kepada mereka. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum melihat tiga
orang muda itu. Masih begitu muda akan tetapi sudah jelas membayangkan watak
pendekar-pendekar yang hebat.
“Kong-couw
Suma Han adalah seorang pendekar sakti yang tentu telah memikirkan secara
mendalam sebelum mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, pesannya yang
terakhir tadi, walau pun nampak janggal dan aneh, juga malah merugikan, aku
yakin tentu juga mempunyai alasan-alasan yang sangat kuat. Dalam pesannya tadi
ditekankan bahwa kita harus mentaatinya dan bahkan ditekankan bahwa perintah
terakhir itu sedikit pun tidak boleh kita langgar. Di balik perintah ini tentu
ada suatu sebab yang amat kuat dan kurasa, kita sama sekali tidak boleh
melanggarnya, sebagai kebaktian dan penghormatan kita yang teraknir kepada
beliau.”
Tiga orang
cucu Pendekar Super Sakti itu dapat menerima pendapat ini dan mereka pun lalu
sibuk membuat persiapan, menanti sampai datangnya senja, tiada hentinya mereka
melakukan sembahyang guna memberi penghormatan teraknir kepada jenazah-jenazah
kakek dan dua orang nenek mereka itu.
Diperhatikan
oleh Cin Liong bahwa di antara mereka, hanya Ceng Liong yang memiliki
keganjilan. Suma Hui sering kali menangis sedih dan Ciang Bun juga
kadang-kadang tak dapat menahan air matanya. Akan tetapi Ceng Liong, anak itu
sama sekali tidak pernah menitikkan air mata! Padahal, dari sinar matanya, dia
tahu bahwa anak ini pun menderita kedukaan dan penyesalan besar berhubung
dengan kematian tiga orang tua yang dicintanya itu. Anak ini sungguh luar
biasa, pikirnya, mempunyai kekuatan batin yang hebat.
Akhirnya,
saat yang dinanti-nanti dengan hati tegang bercampur haru dan duka itu pun
tibalah. Matahari telah condong ke barat, kemudian tenggelam. Senja telah tiba.
Empat orang muda itu, kini dipimpin oleh Suma Hui, sudah menuangkan minyak
bakar kepada semua jenazah, baik yang di peti mau pun yang tidak, juga
kayu-kayu bakar yang ditumpuk di bawah dan sekeliling para jenazah, semua telah
disirami minyak bakar yang banyak disimpan di dalam gudang.
Kemudian,
untuk yang terakhir kalinya, tiga orang cucu dan seorang buyut keluarga
Pendekar Super Sakti itu berlutut dan bersujud. Suma Hui tak dapat menahan
tangisnya sehingga Ciang Bun juga ikut menangis. Bahkan Cin Liong tidak kuasa
menahan air matanya. Hanya Ceng Liong yang tetap melotot dengan kedua matanya
tinggal kering, walau pun cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.
“Kong-kong,
kakekku yang tercinta.... dan kedua orang nenekku yang berbudi.... ampunkanlah
kami yang tidak berbakti, yang membiarkan kakek dan nenek tewas di tangan
penjahat-penjahat. Dan ampunkanlah kami yang terpaksa melakukan upacara
perabuan jenazah kakek dan nenek secara sederhana.... bahkan harus meninggalkan
Pulau Es.... semua hanya karena ingin memenuhi perintah terakhir kakek....”
Dengan hati
diliputi penuh keharuan, tiga orang cucu itu, dibantu pula oleh Cin Liong, lalu
menggunakan obor untuk menyalakan api. Karena ruangan itu telah penuh dengan
siraman minyak bakar, maka dalam sekejap mata saja api telah berkobar dan
menelan segala yang berada di dalam ruangan.
Empat orang
muda itu dengan muka pucat masih sempat melihat dari luar ruangan betapa
jenazah kakek yang duduk bersila itu diselimuti api berkobar, demikian pula dua
buah peti jenazah dan jenazah lima orang pelayan. Hawa menjadi terlalu panas,
cahaya api terlihat menyilaukan dan mereka pun teringat akan perintah terakhir
dari Pendekar Super Sakti, maka mereka bertiga, dibujuk oleh Cin Liong,
cepat-cepat meninggalkan istana itu dan menggunakan sebuah perahu untuk
menjauhi Pulau Es.
Belum lama
mereka mendayung perahu, mereka dikejutkan oleh suara keras dari pulau itu dan
nampaklah api yang amat besar menelan istana! Istana Pulau Es itu berkobar
sedemikian hebatnya sehingga api menjulang tinggi ke angkasa, sinarnya
menerangi permukaan laut!
Empat orang
muda itu memandang dengan mata terbelalak lebar. Biar pun mereka juga sudah
dapat menduga adanya kemungkinan istana itu ikut terbakar setelah ruangan
sembahyang itu dijadikan tempat pembakaran mayat, namun mereka sama sekali
tidak menyangka bahwa api akan dapat mengamuk secepat itu. Andai kata mereka
tidak cepat-cepat pergi meninggalkan istana itu, mungkin saja mereka akan terancam
bahaya api!
Kiranya
dalam pesannya terakhir itu, kakek Suma Han memang sudah tahu akan bahaya ini
dan karenanya minta kepada mereka semua untuk cepat-cepat menyingkir
meninggalkan pulau, bukan hanya meninggalkan istana. Dan sebab dari perintah
ini pun segera mereka ketahui ketika api itu makin lama semakin hebat saja
nyalanya, bukan hanya terbatas pada istana itu yang berada di tengah pulau,
melainkan menjalar ke seluruh permukaan pulau! Pulau Es itu terbakar
seluruhnya! Dan bukan terbakar biasa saja. Api menyembur-nyembur ke atas
seolah-olah api itu menyambar sumber minyak yang meluncur ke atas.
Pemandangan
yang mentakjubkan itu membuat empat orang muda yang berada di atas perahu
melongo. Saking besarnya cahaya api, nampak oleh mereka istana itu amat indahnya.
Istana Pulau Es seolah-olah berubah menjadi emas, demikian megah dan agung dan
ajaib dalam lautan api! Akan tetapi, hawa panas membuat mereka harus
cepat-cepat mendayung perahu mereka menjauh.
Dari jarak
yang sangat jauh, mereka masih dapat menyaksikan pemandangan yang mentakjubkan
itu, api yang menggunung. Sampai semalam suntuk api itu bernyala, akan tetapi
setelah lewat tengah malam, cahaya api mulai mengecil dan istana itu mulai
runtuh. Sampai kemudian, menjelang matahari terbit, api itu padam sama sekali
dan setelah matahari naik tinggi, empat orang itu terheran-heran karena tidak
melihat lagi adanya Pulau Es! Tenggelamkah pulau itu? Ataukah permukaannya
runtuh dan sisanya terendam air lautan? Apa pun juga yang terjadi, ternyata
Pulau Es telah lenyap dari permukaan air!
“Pulau Es
telah lenyap!” teriak Ceng Liong sambil mengepal tinju.
“Sungguh
lenyap sama sekali....! Sudah tenggelamkah pulau kita itu?” Ciang Bun juga
berteriak.
Suma Hui
menangis kemudian terguling roboh, pingsan dalam pelukan Cin Liong yang dengan
sigap menerima tubuh gadis itu ketika terguling. Dia lalu merebahkan dara itu
di dalam bilik perahu, menenangkan hati Ciang Bun dan Ceng Liong.
“Tidak apa,
bibi Hui hanya terlalu banyak membiarkan hatinya dihimpit duka.... kalau nanti
siuman dan menangis, kalian biarkanlah saja.”
Dengan
beberapa kali mengurut jalan darahnya, akhkirnya Cin Liong berhasil membuat
dara itu siuman kembali. Dan benar saja, seperti yang diduganya tadi, begitu
sadar Suma Hui lalu menangis, tersedu-sedu. Dua orang adiknya hanya dapat
memandang dengan muka pucat. Mereka sendiri dapat merasakan betapa musibah
telah menimpa keluarga Pulau Es secara bertubi-tubi dan berturut-turut.
Bagaikan dalam mimpi saja semua itu!
Dalam waktu
dua hari saja, kakek dan dua orang nenek mereka, yang mereka pandang sebagai
orang-orang yang paling sakti di dunia ini, telah tewas dan bahkan istana di
Pulau Es yang mereka pandang sebagai tempat keramat, pusaka keluarga nenek
moyang mereka, terbakar habis dan pulau itu pun lenyap bersama-sama! Hanya
dalam waktu dua hari! Hampir sukar untuk mereka percaya. Baru dua hari yang
lalu mereka masih berlatih silat di pulau itu!
Setelah
pulau yang terbakar itu padam, suasana menjadi begitu sunyi, yang terdengar
hanya tangis Suma Hui yang lenyap ditelan kesunyian malam. Air laut pun begitu
tenang sehingga perahu mereka itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah
lautan pun berkabung atas kematian Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya
yang sakti, dan atas musnahnya Pulau Es berikut istananya. Malam yang amat
sunyi, sesunyi hati empat orang di dalam perahu itu.
Cin Liong
mengeluh di dalam hatinya. Dia merasa amat berduka melihat kebinasaan pulau
berikut keluarga Pulau Es yang amat dihormati dan dikaguminya itu. Akan tetapi,
pemuda yang sudah cukup dewasa ini tidak mau memperlihatkan kedukaannya, bahkan
dia selalu menghibur tiga orang yang jauh lebih muda darinya itu.
Dalam
peristiwa ini, Cin Liong kembali mendapatkan kenyataan bahwa tiada yang kekal
di dalam kehidupan ini! Pada suatu saat, setiap orang manusia akan kehilangan
segala-galanya, pasti akan tewas. Semua kepandaian, kegagahan, nama besar,
kemuliaan, harta benda, kedudukan, semua yang disayangnya, semua itu akan lenyap
bersama dengan lenyapnya nyawa dari badan!
Karena itu,
semua bentuk pengikatan batin merupakan sumber segala duka dan rasa takut.
Pengikatan batin membuat kita takut kalau-kalau kehilangan, membuat kita takut
menghadapi kenyataan karena hal itu berarti akan membuat kita terpisah dari
semua yang mengikat batin kita, dan mendatangkan duka kalau kita kehilangan
mereka itu selagi kita masih hidup.
Cin Liong
menghela napas panjang ketika kelihatan jelas olehnya betapa dia pun akan
kehilangan semua yang dikasihinya. Ayah bundanya, orang-orang yang dikasihinya,
bahkan dirinya sendiri, semua itu pada saatnya akan tiada! Akan tetapi,
kenyataan yang dilihatnya ini membuat hatinya terasa lapang. Kenapa mesti
berduka selagi hidup kalau akhirnya semua ini pun akan lenyap? Kenapa mesti
menyusahkan sesuatu setelah mengetahui benar bahwa segala sesuatu di dunia ini
tidak kekal adanya?
Kesenangan
dan kesusahan itu hanya seperti angin lalu saja, datang silih berganti dan
menjadi permainan dari pada pikiran kita sendiri. Pikiran sendiri yang
menciptakan ‘aku’, sumber dari pada segala konflik penyebab kesengsaraan, aku
yang selalu mengejar senang sehingga dalam pengejaran ini banyak melakukan
hal-hal yang jahat terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain. Dan
kesemuanya itu pun akan ditelan waktu yang diikuti oleh maut.....
***************
Kedukaan
mempengaruhi mata sehingga orang tidak lagi dapat menikmati keindahan. Akan
tetapi, setelah dia membuka mata dan melihat kenyataan tentang kematian sebagai
suatu bagian yang tak terpisahkan dari hidup, dia pun sudah dapat terbebas dari
pada kedukaan berhubung dengan kematian kakek dan nenek-nenek buyutnya dan
lenyapnya Pulau Es. Maka, dialah seorang di antara mereka berempat yang dapat
menikmati keindahan di pagi hari itu.
Matahari
tersembul dari permukaan laut di timur, menciptakan jalur keemasan di atas air
yang tenang dan berwarna biru gelap. Kadang-kadang nampak badan ikan tersembul,
putih berkilauan, hanya sekelebatan saja karena binatang itu segera menyelam kembali
dan membuat lingkaran yang makin melebar di permukaan air. Kadang-kadang ada
ikan meloncat keluar dari permukaan air, menimbulkan suara air memecah ketika
ikan itu terjun lagi dan berenang secepatnya menghindarkan diri dari pengejaran
ikan yang lebih besar.
Langit amat
cerah. Hanya ada beberapa gumpal awan putih tipis yang terbang berlalu,
bersimpang jalan dengan terbangnya burung-burung camar. Kadang-kadang kesunyian
dipecahkan oleh pekik burung camar memanggil kawannya. Sungguh merupakan pagi
yang indah, tenang dan tenteram. Seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal
yang buruk, seolah-olah keindahan itu takkan berubah lagi.
Akan tetapi
kenyataannya tidaklah demikian. Segala ketenangan itu sewaktu-waktu akan
berubah. Matahari dapat saja kehilangan cahayanya karena tertutup awan gelap.
Matahari akhirnya akan lenyap di balik langit barat dan terangnya siang akan
terganti gelapnya malam. Air laut yang kini tenang penuh damai itu dapat saja
sewaktu-waktu menjadi air laut yang ganas, mengamuk dan menelan apa saja yang
dapat ditelannya, mendatangkan maut yang mengerikan di mana-mana.
Segala
sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Yang kekal hanyalah KENYATAAN. Dan
kenyataan adalah apa adanya, tanpa sifat baik atau buruk. Hanya hidup di dalam
kenyataan apa adanya ini saja yang tak terjangkau oleh baik atau buruk, suka
atau duka, untung atau rugi. Baik atau pun buruk hanyalah penilaian, dan
penilaian hanya merupakan kecerewetan si aku yang menilai-nilai berdasarkan
untung rugi bagi si aku sendiri.
“Marilah kita
segera meninggalkan tempat ini,” akhirnya ucapan Cin Liong memecah kesunyian,
dan seperti menyeret ketiga orang muda itu kembali ke alam nyata setelah
semalam mereka membiarkan diri terbuai dalam alam kenangan yang mendatangkan
duka. “Tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk berlama-lama berada di sini.
Semua peristiwa ini harus dilaporkan kepada orang-orang tua kalian.”
Suma Hui
memandang kepada pemuda itu dan mengangguk. “Mari kita berangkat.”
Mereka
berempat lalu mendayung perahu dan layar pun mereka pasang. Angin pagi mulai
berhembus dan melajulah perahu mereka, menuju ke barat daya.
Empat orang
itu merasa lelah sekali karena semalam tidak tidur sehabis mereka pada siang
harinya bertempur mati-matian. Melihat keadaan ini, Cin Liong yang lebih teliti
itu tahu bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena mereka masih harus
menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk mencapai daratan besar.
“Kita semua
lelah dan perjalanan masih jauh. Sebaiknya kalau kita bergilir, yang dua orang
mengaso dan yang dua lagi mengemudikan perahu. Dengan cara bergilir, kita dapat
memulihkan kekuatan dan dapat menempuh pelayaran ini dalam keadaan sehat.
Biarlah aku yang berjaga dan mengemudikan perahu lebih dulu.”
“Aku juga!”
kata Suma Hui dengan suara tegas sehingga kedua orang adiknya tidak berani
membantah.
“Kalau
begitu sebaiknya kalau kedua paman pergi tidur dan istirahat. Nanti setelah
pulih kekuatan, menggantikan kami berdua,” kata Cin Liong.
Dua orang
pemuda itu pun mengangguk lalu mamasuki bilik perahu di mana mereka merebahkan
diri dan sebentar saja mereka tertidur pulas. Kedukaan mempengaruhi badan yang
menjadi lelah dan lemas dan tidur merupakan obat paling mujarab bagi kedukaan
dan kelelahan lahir batin.
Cin Liong
mengemudikan perahu, dibantu oleh Suma Hui. Perahu meluncur laju dan angin
menghembus layar sampai penuh. Karena permukaan lautan masih tenang, mereka
dapat mengemudikan perahu dengan seenaknya sambil duduk.
Beberapa
kali Suma Hui mengangkat muka memandang kepada wajah Cin Liong. Hal ini terasa
dan diketahui oleh pemuda itu, namun dia tidak berani balas memandang. Entah
bagai mana, walau pun bibinya jauh lebih muda dari padanya, namun dia selalu
merasa canggung dan malu terhadap bibinya ini.
Melihat
betapa bekas tamparannya yang kemarin masih nampak pada kedua pipi Cin Liong,
dan mengingat betapa pemuda ini telah melakukan segala-galanya untuknya dan
untuk kedua orang adiknya, bahkan telah membela keluarga Pulau Es saat
menghadapi musuh-musuh berbahaya, hati Suma Hui terasa amat tidak enak juga. Ia
tahu bahwa pemuda yang jauh lebih tua dari padanya ini, dan hanya karena ‘abu’
saja menjadi keponakannya ini, adalah seorang jenderal yang ternama dan juga
seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dalam
pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh di Pulau Es itu pun ia dapat melihat
betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai ketimbang dia atau dua orang
adiknya. Bahkan harus diakuinya bahwa andai kata tidak ada Cin Liong, tentu
lain jadinya akibat penyerbuan orang-orang jahat itu. Bukan tidak mungkin bahwa
ia dan dua orang adiknya sudah menjadi korban pula.
Kenangan ini
membuat hatinya merasa semakin menyesal atas perbuatannya sendiri ketika dia
melihat bekas tamparan tangannya pada kedua pipi pemuda itu. Seorang pemuda
yang amat gagah. Wajah yang bundar dengan sepasang mata yang lebar berseri itu,
kulit muka yang putih itu kini ternoda oleh bekas tamparan tangannya.
Suma Hui
memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengusir kenangan ketika dia menampari
muka pemuda itu yang sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak. Bahkan ia
tak menemukan perlawanan sinkang pada wajah yang ditamparnya! Pemuda itu
seolah-olah rela menerima tamparan-tamparannya. Dan ketika Suma Hui membuka
kembali matanya, ia melihat betapa pemuda itu sedang memandang kepadanya.
“Hui-i (bibi
Hui).... apakah engkau mengantuk? Kalau begitu, istirahatlah, biarlah aku
sendiri yang berjaga dan mengemudikan perahu ini. Mengasolah....”
Suma Hui
tersenyum untuk menutupi rasa tidak enak hatinya, akan tetapi ia tidak dapat
mencegah kedua pipinya yang menjadi kemerahan. “Aku tidak mengantuk....”
Cin Liong
tidak membantah lagi, akan tetapi dia tadi terpesona melihat betapa wajah yang
manis itu menjadi kemerahan. Sinar matahari pagi menimpa bagian kiri wajah itu
agak belakang, membuat kepala itu seperti dilindungi sinar keemasan. Betapa
cantik jelitanya!
Akan tetapi
dia tak berani memandang terlalu lama dan segera menundukkan mukanya.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Sungguh mati, aku telah jatuh cinta
padanya, batinnya mengeluh, keluhan yang muncul karena dia melihat kenyataan
betapa tidak mungkinnya hal ini. Seorang keponakan jatuh cinta kepada bibinya
sendiri!
Suma Hui
juga merasa canggung. Ia sudah mencoba untuk memandang pemuda itu dari sudut
pandangan seorang bibi kepada seorang keponakan. Namun tidak berhasil! Mana
mungkin memandang seperti itu kalau sang keponakan itu sudah merupakan seorang
pemuda dewasa yang lebih tua dari pada usianya sendiri? Namanya saja ia seorang
bibi dan Cin Liong seorang keponakan, akan tetapi ia kalah segala-galanya.
Kalah dalam ilmu silat, kalah dalam usia dan pengalaman, dalam segala hal ia
boleh berguru kepada jenderal muda ini!
“Cin
Liong....”
Pemuda itu
terkejut dari lamunannya dan cepat-cepat menoleh. Dia dapat menangkap pandang
mata penuh penyesalan dari gadis itu.
“Ada apakah,
Hui-i?”
“Kau.... kau
maafkanlah perbuatanku kemarin....”
Cin Liong
merasa betapa jantungnya berdebar aneh, akan tetapi dia juga merasa canggung
dan bingung. “Maafkan....? Tidak ada apa pun yang harus dimaafkan, Hui-i,
apakah maksudmu....?”
“Aku telah
menamparmu kemarin!”
“Oohh,
itu....?” Tanpa disengaja, tangan Cin Liong yang kiri mengelus pipi kirinya dan
dia pun tersenyum. “Ahhh, aku malah merasa masih untung besar hanya ditampar
saja, Hui-i. Kalau masih penasaran, engkau boleh menamparku beberapa kali
lagi.”
Alis itu
berkerut dan wajah itu menjadi semakin merah. “Cin Liong, jangan mengejekku!”
Cin Liong
mengangkat alisnya. “Aku tidak mengejek, Hui-i. Sungguh mati, tamparanmu itu
memang sudah sepatutnya. Aku telah menotokmu.... ahh, aku memang telah salah
besar kepadamu.... aku kurang ajar....”
“Tapi engkau
hanya mentaati perintah mendiang nenek Nirahai.”
“Ya, akan
tetapi sepatutnya kalau aku memberitahu kepadamu secara terus terang saja,
bukan diam-diam lalu menotokmu....”
“Tapi, kalau
kau beritahu pun aku tidak akan mau menurut.”
“Seharusnya
aku membujukmu, tidak menggunakan kekerasan....”
“Tapi kau
terpaksa melakukannya, untuk mentaati nenek dan untuk menyelamatkan aku....”
“Tapi aku
menyinggung perasaanmu....”
“Dan untuk
pertolonganmu aku telah menampari mukamu!”
“Sudah
sepatutnya karena memang aku kurang ajar!”
Keduanya
berhenti bicara dan saling pandang. Keduanya baru mengerti betapa lucunya
keadaan mereka tadi. Lucu dan aneh karena Cin Liong telah berusaha mati-matian
untuk menyalahkan diri sendiri sedangkan Suma Hui sebaliknya berusaha
mati-matian untuk membela Cin Liong!
“Heii, Cin
Liong, kenapa engkau berkeras hendak menyalahkan dirimu sendiri?”
“Dan engkau
pun berkeras hendak membelaku, Hui-i?”
Keduanya
lalu tertawa dan Suma Hui tertawa sampai kedua matanya menjadi basah. Betapa
dekatnya tangis dan tawa, hampir tidak ada jarak pemisahnya.
“Kaulah yang
seharusnya memaafkan aku, bibi.”
“Hemm, aku
baru mau memaafkan engkau kalau lebih dulu engkau memaafkan aku.”
“Baiklah,
Hui-i, aku memaafkan semua perbuatanmu terhadap diriku.”
“Dan aku pun
memaafkan semua perbuatanmu, Cin Liong.”
Keduanya
diam dan hanya saling pandang, kini sambil tersenyum dan entah bagai mana, Cin
Liong merasa betapa kegembiraan yang amat besar menyelinap di dalam hatinya,
seolah-olah senyum dan pandang mata gadis itu mengandung getaran dan sinar yang
menyusup di dalam ruang dadanya, menyentuh mesra di sanubarinya.
Dia tidak
tahu betapa gadis itu pun merasa berbahagia sekali saat itu, seolah-olah dalam
sekejap mata telah melupakan kedukaannya berhubung dengan peristiwa yang
menimpa kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es.
Untung bahwa
perahu itu, satu-satunya benda yang masih mereka miliki dari semua benda yang
berada di Pulau Es, dilengkapi dengan air tawar yang cukup banyak, tersimpan
dalam guci-guci besar. Mereka tidak takut kehausan, dan untuk mengisi perut
yang lapar, Suma Hui lalu mengail ikan. Mudah saja mengail ikan di lautan,
karena di kanan kiri perahu nampak ikan-ikan berseliweran. Apa pun yang nampak
di permukaan air mereka lahap dan sambar saja.
Ada mata
kail di perahu itu dan untuk umpannya, mula-mula Suma Hui menggunakan sepotong
kain. Setelah berhasil menangkap seekor ikan, dia menggunakan potongan-potongan
ikan itu untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar. Sebentar saja, Ciang Bun
dan Ceng Liong sudah terbangun dari tidur karena mencium bau ikan dibakar.
“Bau
panggang ikan....! Sedaaappp....!” kata Ceng Liong sambil menggeliat.
“Wah, gurih
baunya, perutku jadi lapar!” kata Ciang Bun dan keduanya keluar dari dalam
bilik.
Suma Hui
tertawa. “Kalau begitu, lekas ke sini, kita makan daging ikan dan kemudian
kalian menggantikan kami mengemudikan perahu. Lihat, Cin Liong sudah lelah
sekali dan kalian berdua enak-enak saja tidur sejak pagi tadi!”
“Hui-i lebih
capai lagi, kurang tidur, masih mengail dan memanggang ikan,” kata Cin Liong.
Mereka
berempat lalu makan daging ikan bakar. Biar pun tanpa bumbu, hanya dengan rasa
asin air laut, tetapi karena perut mereka lapar, maka makanan amat sederhana
itu terasa lezat dan cukup mengenyangkan perut empat orang yang sejak kecil
memang telah tergembleng oleh keadaan yang kadang-kadang keras dan berat itu.
“Lihat
matahari yang telah condong ke kanan itu. Arah itu adalah barat dan perahu kita
harus menyerong ke kiri, jadi matahari berada di depan kanan kita. Itulah barat
daya, takkan salah lagi.” Cin Liong memberi tahu kepada kedua orang pamannya ke
arah mana perahu harus dikemudikan.
Malam itu
mereka berhenti di antara pulau-pulau kecil yang pernah dilewati Cin Liong.
Bahkan di atas salah sebuah di antara pulau-pulau itulah dia diketahui oleh
gerombolan penjahat dan diserang sampai dia terjatuh ke laut. Pada keesokan
harinya, begitu matahari terbit, mereka melanjutkan pelayaran mereka. Akan
tetapi langit tidak cerah seperti pagi yang lalu. Awan gelap memenuhi angkasa
dan berarak mendekat seperti ancaman sesuatu yang menyeramkan.
Cin Liong
memandang ke arah awan-awan hitam itu. “Mudah-mudahan bukan tanda akan
datangnya badai,” katanya.
Akan tetapi,
ternyata bukan hanya badai yang datang, melainkan lebih hebat dari pada itu.
Belum ada dua jam mereka berlayar, muncullah empat buah perahu besar dan
sebentar saja mereka tersusul karena layar mereka itu hanya kecil saja. Dan
dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang muda ini ketika melihat bahwa
di atas empat buah perahu yang telah mengurung perahu kecil mereka itu nampak
adanya orang-orang yang pernah menyerbu Pulau Es!
Mereka
melihat pula Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok, dua di antara lima orang datuk
yang menyerbu Pulau Es. Dan dua orang tokoh jahat ini ditemani oleh sedikitnya
empat puluh orang yang kelihatan kasar-kasar dan bengis-bengis!
Tentu saja
Cin Liong merasa khawatir sekali. Akan tetapi, semangatnya bangkit dan hatinya
penuh kagum ketika dia melihat sikap tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu.
“Aku akan
mengadu nyawa dengan iblis-iblis itu!” Ceng Liong mengeluarkan teriakan sambil
mengepal dua buah tinjunya yang kecil. Sepasang matanya mencorong dan
berapi-api, seperti seekor naga kecil yang siap untuk mengamuk, kelihatan gagah
sekali ketika dia menyingsingkan kedua lengan bajunya!
“Kita lawan
sampai titik darah terakhir!” Ciang Bun juga membentak marah dan sekali tangan
kanannya bergerak, dia sudah mencabut pedang yang dibawanya dari Pulau Es
ketika mereka meninggalkan tempat itu.
“Bagus! Ada
kesempatan sekarang untuk menebus kematian kakek dan kedua orang nenek kita
yang tercinta!” Suma Hui juga berkata dan nampak dua sinar berkilat ketika ia
mencabut siang-kiam-nya.
Wajah tiga
orang muda ini sedikit pun tidak membayangkan rasa takut, walau pun Cin Liong
maklum bahwa keadaan mereka sungguh berbahaya dan sulitlah untuk dapat
menghindarkan diri dari malapetaka yang mengancam. Maka dia pun tersenyum dan
mendekati Suma Hui.
“Hui-i, aku
akan membelamu sampai mati. Bagiku, mati bersamamu merupakan suatu kebahagiaan
besar!” Kalimat terakhir ini lirih dan hanya terdengar oleh Suma Hui saja.
Gadis itu
menoleh dan memandang wajah Cin Liong dengan mata terbelalak seperti heran.
Sejenak dua pasang mata bertemu, saling selidik, kemudian bertaut dalam suatu
pengertian yang tidak membutuhkan penjelasan dengan kata-kata lagi.
Suma Hui
tersenyum mengangguk. “Bagiku juga, Cin Liong,” bisiknya.
Pada saat
itu, terdengar suara menggelegar di angkasa dan ternyata awan tebal telah
berkumpul di atas kepala mereka. Sinar matahari terhalang dan tiba-tiba saja
angin bertiup kencang dan air mulai bergelombang. Suara angin sungguh
mengerikan, apalagi diseling oleh kilatan petir yang menyambar-nyambar.
Sungguh
perubahan yang amat tiba-tiba sehingga empat buah perahu besar itu pun terlanda
badai dan nampak betapa anak buah mereka pun kebingungan dan sibuk menurunkan
layar...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment