Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 26
Ciang Bun
meraba pundak dan dada Ceng Liong, memandang kepada adiknya itu penuh kagum.
“Liong-te....
aihh, siapa bisa mengenalnya kalau engkau sekarang sudah begini besar? Lihat,
engkau tidak hanya lebih besar dari pada aku, bahkan lebih tinggi. Engkau
begini gagah perkasa, ahhh, adikku, aku bangga sekali melihatmu!”
“Bun-toako,
sudah hampir sepuluh tahun kita tidak pernah saling jumpa. Tidak kusangka akan
bertemu denganmu pada saat tadi aku mendaki bukit ini, mencari penyanyi yang
suaranya begitu menarik hatiku. Kiranya engkaulah yang bernyanyi tadi. Toako,
kenapa hatimu begitu berduka?”
Ciang Bun
menarik napas panjang. Pertanyaan itu tentu saja membuat dia teringat akan
keadaan dirinya, teringat akan Gangga. Dan begitu dia teringat kepada gadis
yang telah meninggalkannya itu, dia pun teringat bahwa Gangga pernah menyebut
nama Ceng Liong dan dia pun memandang dengan penuh perhatian dan alisnya
berkerut.
“Liong-te,
sebelum kita bicara lebih banyak, jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah
bahwa engkau telah menjadi murid iblis tua Hek-i Mo-ong....?”
Tentu saja
Ceng Liong terkejut mendengar ini, tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Bun-toako, hal itu merupakan cerita yang panjang sekali. Tanpa mendengar
seluruh keadaan pada waktu itu, hanya mendengar bahwa aku menjadi muridnya,
tentu akan menimbulkan rasa penasaran....”
“Jadi benarkah
berita itu? Liong-te, benarkah itu? Tentu saja aku merasa penasaran setengah
mati! Liong-te, engkau sendiri juga mengetahui bahwa kakek iblis itu bersama
kawan-kawannya telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es yang lalu mengakibatkan
tewasnya kakek dan dua orang nenek kita, bahkan telah mengakibatkan
tenggelamnya Pulau Es dan kau.... kau.... bahkan lalu menjadi muridnya?”
“Sabar dan
tenanglah, toako dan mari dengarkan dahulu keteranganku tentang hal itu.
Dengarlah ceritaku semenjak kita saling berpisah di tengah lautan itu. Aku
melihat enci Hui dilarikan penjahat, serta melihat engkau dan juga Cin Liong
terlempar ke dalam lautan dan aku sendiri lalu dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai
seorang tawanan.”
Ceng Liong
lalu menceritakan semua pengalamannya dan sebab-sebabnya mengapa dia sampai
menjadi murid Hek-i Mo-ong, musuh besar yang mencelakakan kakek dan kedua
neneknya di Pulau Es. Ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya sampai
pada saat Hek-i Mo-ong tewas di tangan kakek itu sendiri yang seolah-olah membunuh
diri, karena dalam keadaan terluka parah kakek itu nekat menyerang pendekar Kam
Hong. Diceritakannya betapa kakek iblis itu telah melimpahkan budi kepadanya
hingga sukarlah baginya untuk menganggap kakek itu sebagai musuh.
Setelah
mendengar semua cerita adik misannya, Ciang Bun yang mendengarkan sejak tadi
dengan hati amat tertarik itu mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas
panjang. Memang, dia sendiri pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya kalau
dia dilimpahi budi pertolongan dan kasih sayang oleh kakek iblis itu.
“Bun-toako,
dari manakah engkau mendengar bahwa aku telah diambil murid oleh Hek-i Mo-ong?”
kini Ceng Liong bertanya.
Ciang Bun
baru sadar dari lamunannya. Sekarang dia teringat bahwa Ceng Liong belum
bercerita kepadanya tentang pertemuan adiknya itu dengan Gangga Dewi seperti
yang pernah dikatakan gadis Bhutan itu kepadanya, meski tadi Ceng Liong juga
menceritakan bahwa adiknya itu diajak merantau oleh Hek-i Mo-ong sampai jauh ke
wilayah barat, ke Pegunungan Himalaya bahkan sampai ke negara Bhutan.
“Liong-te,
aku mendengarnya dari seorang gadis bernama Gangga Dewi....,” katanya memandang
tajam. Wajah adik misannya ini di bawah sinar bulan purnama sungguh nampak
gagah sekali.
“Gangga
Dewi....?” Ceng Liong berseru kaget dan girang. “Ahhh, Gangga Dewi gadis Bhutan
itu....”
“Liong-te,
engkau kenal padanya?”
“Kenal!
Tentu saja!” Ceng Liong tertawa ketika dia teringat kepada anak perempuan
bernama Gangga Dewi yang galak itu. “Ha-ha, tentu saja aku kenal, toako.
Bukankah ia bernama juga Wan Hong Bwee, puteri Bhutan itu? Bukankah ia masih
ada hubungan keluarga pula dengan kita?”
Kini Ciang
Bun benar-benar terkejut bukan main. “Puteri Bhutan? Wan Hong Bwee dan masih
ada hubungan keluarga dengan kita? Bagaimana ini, Liong-te, aku tak tahu sama
sekali. Ceritakanlah kepadaku siapa sesungguhnya gadis itu.”
“Ha-ha-ha,
dia tidak pernah bercerita kepadamu? Wah, memang sungguh bengal anak itu!
Ketahuilah, toako, Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee itu adalah puteri tunggal
dari Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.”
“Ahhh....
ahhh.... maksudmu Wan Tek Hoat cucu mendiang nenek Lulu, jadi.... masih kakak
tiriku sendiri?” Ciang Bun benar-benar terkejut karena tidak pernah menyangka
sama sekali.
Kenapa gadis
Bhutan itu tak pernah menceritakan tentang keadaan dirinya? Ayah gadis itu, Wan
Tek Hoat, sudah amat dikenal namanya oleh para cucu Pulau Es. Dia pun telah
mendengar bahwa pendekar yang masih terhitung kakak tirinya itu menikah dengan
Puteri Syanti Dewi, puteri istana Bhutan dan kini tinggal di Bhutan.
Jadi kalau
begitu, Gangga adalah keponakannya sendiri, biar pun keponakan yang jauh. Dan
tentu saja Gangga sudah tahu akan semua ini. Bukankah Gangga mengatakan bahwa
dia sudah mengenal Ceng Liong dan tahu pula bahwa dia sendiri adalah cucu
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Akan tetapi gadis itu tidak pernah menyinggung
keadaan dirinya, dan kini gadis itu telah pergi!
“Dan
bagaimana dengan engkau sendiri, toako? Apa yang telah kau alami sejak engkau
terlempar ke dalam lautan dari perahu kita yang diserang penjahat itu? Dan
mengapa pula engkau tidak hadir dalam pesta pernikahan enci Hui?”
Kembali
Ciang Bun menarik napas panjang dan termenung, kelihatan berduka sekali
sehingga Ceng Liong memandang khawatir, tak berani mendesak melainkan menunggu
saja kakak misannya itu bicara.
Akhirnya
Ciang Bun berkata dengan nada suara yang lesu, “Tidak ada apa-apa yang menarik
dalam hidupku, Liong-te, kecuali kemuraman dan kekecewaan. Seperti kau lihat,
aku masih hidup sekarang karena ketika aku terlempar ke lautan dari perahu kita
yang diserbu penjahat sepuluh tahun yang lalu itu, aku berhasil meloloskan diri
dari cengkeraman maut. Dan selanjutnya, aku hanya terombang-ambing antara
kedukaan dan mala petaka yang menimpa keluargaku....” Pemuda itu menarik napas
panjang.
Ceng Liong
mengangguk-anggukkan kepala. “Bun-toako, aku juga menghadiri perayaan
pernikahan enci Hui dan pada saat itu aku mendengar bahwa engkau belum lama
pergi meninggalkan kota raja, dan aku sudah mendengar dari keluargamu tentang
segala yang telah terjadi, yang menimpa diri enci Hui. Akan tetapi untunglah
bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Cin Liong yang gagah perkasa dan
baik hati.”
“Engkau
benar, Liong-te. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat hadir di waktu
pernikahan enci Hui dirayakan, karena aku.... pada waktu itu aku sedang gila
mengejar bayangan kosong.... dan sampai sekarang aku belum pulang. Biarlah,
adikku, biarlah nasib membawa diriku seperti sebuah layang-layang putus talinya
dan tertiup angin badai ke angkasa raya tanpa tujuan....”
Melihat
betapa pemuda itu kembali tenggelam ke dalam kedukaan, Ceng Liong merasa
kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu kakak misannya ini menderita
tekanan batin yang hebat sekali sehingga seperti orang kebingungan. Maka dia
pun berusaha menggembirakan hati kakaknya itu. Suaranya meninggi gembira ketika
dia bertanya, “Toako, bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Hong Bwee?”
“Hong
Bwee....?”
“Ya, atau
yang bernama Gangga Dewi itu! Ia tinggal di Bhutan, apakah engkau pernah
merantau sampai ke Bhutan pula?”
Ciang Bun
menggelengkan kepala dan menjawab lesu. “Tidak di Bhutan, aku bertemu dengannya
ketika ia merantau sampai ke kota raja....”
“Aihhh....!
Anak itu memang luar biasa! Pemberani dan juga tentu saja lihai,” kata Ceng
Liong, masih belum puas melihat kakak misannya demikian murung dan berusaha untuk
menggembirakan hatinya. “Waah, toako, tak kusangka engkau kini gemar bernyanyi
dan suaramu hebat pula! Dan nyanyianmu tadi, wah, romantis sekali, toako. Ehmm,
siapa sih gadis yang begitu kau cinta sehingga untuk memperoleh cintanya,
engkau tidak peduli segala hal lain yang terjadi?”
Akan tetapi,
mendengar ucapan yang nadanya bergurau itu, Ciang Bun malah menarik napas
panjang. Pertanyaan itu seperti menyeretnya kembali ke alam kenangan yang penuh
dengan bayangan Gangga yang meninggalkannya. Dan bertemu dengan Ceng Liong dia
merasa bertemu dengar saudara sendiri, dengan orang yang dapat dipercaya
sepenuhnya, bahkan orang yang dapat pula dijadikan tempat penumpahan segala
rasa dukanya.
“Liong-te,
semua keadaan diriku ini, yang seperti orang gila ini.... bukan lain adalah
karena dia pula.... orang Bhutan itu....”
“Hong
Bwee....?” Kata Ceng Liong terbelalak memandang wajah kakaknya.
“Gangga....
dialah yang membuatku merana.... ah, tidak, Liong-te, bukan dia sebabnya,
melainkan diriku sendiri, keadaanku sendiri. Dia tidak boleh disalahkan, bahkan
sudah sepatutnya kalau dia meninggalkan aku, penuh kemuakan dan kebencian....”
Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangannya karena teringat sepenuhnya akan
semua itu membuat dia berduka sekali.
Dan Ceng
Liong memandang dengan penuh keheranan, apalagi melihat betapa diam-diam kakak
misannya itu telah menangis di balik kedua tangan yang menutupi muka! Kakak
misannya ini bukan anak kecil lagi, sudah dewasa, gagah perkasa dan dia tahu
bahwa kakaknya ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sekarang menangis,
karena seorang gadis! Menangis seperti anak kecil, atau seperti seorang wanita.
Dia tidak
tahu harus berbuat apa, harus berkata apa untuk menghibur hati Ciang Bun karena
dia sendiri terlalu kaget dan heran mendengar pengakuan kakak misannya yang tak
disangka-sangkanya itu. Agaknya kakaknya ini telah jatuh cinta kepada Hong Bwee
atau Gangga Dewi, dan agaknya gadis Bhutan itu menolaknya dan meninggalkannya.
“Bun-toako,
apa yang telah terjadi antara engkau dan Gangga Dewi? Maukah engkau
menceritakannya kepadaku?”
Sampai lama
Ciang Bun menundukkan mukanya, lalu ia melangkah menjauh dan duduk di atas akar
pohon, tetap menunduk dan seperti orang melamun jauh. Rahasia dirinya hanya
pernah dia buka kepada kakaknya saja, yaitu Suma Hui. Akan tetapi Suma Hui
adalah seorang wanita, belum tentu dapat ikut merasakan penderitaan batinnya
secara tepat. Dan Ceng Liong adalah saudara misan yang tiada bedanya dengan
saudara sendiri karena dia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. Apa
salahnya kalau dia berterus terang kepada Ceng Liong? Siapa tahu, adik misan
yang sejak kecil banyak akalnya ini akan mampu membantunya dan mencari jalan
yang terbaik untuknya.
“Liong-te,
ke sinilah, duduk di sini dan marilah kau dengarkan ceritaku, mudah-mudahan
engkau akan dapat membantuku memikirkan bagaimana aku harus melanjutkan hidup
ini,” akhirnya dia berkata.
Mendengar
kata-kata itu, Ceng Liong terkejut bukan main. Suara kakak misannya begitu
serius. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat kepada diri kakaknya ini dan
dia merasa gelisah juga dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di atas batu
berhadapan dengan Ciang Bun yang duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan
tanah. Untuk beberapa lamanya mereka saling pandang dan keadaan amatlah
sunyinya.
Langit
bersih tiada awan sehingga sinar bulan purnama menerangi tempat itu seperti
pagi yang cerah. Hawa udara sejuk dan bahkan dingin, akan tetapi dua orang
pemuda perkasa itu tidak menderita akibat hawa dingin. Pada saat mereka berdiam
diri, yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan belalang mengurung diri
mereka dari segenap penjuru.
Kemudian
terdengar suara lirih Suma Ciang Bun, berbisik-bisik menceritakan keadaan
dirinya, kelainan yang terdapat dalam batinnya. Betapa dia amat suka, bahkan
tergila-gila dan mudah sekali bangkit gairahnya terhadap pria lain, sedangkan
terhadap wanita dia tidak mempunyai perasaan suka itu, kecuali rasa suka
seperti seorang sahabat, sama sekali tidak ada gairah terhadap wanita.
Meski Ceng
Liong adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah terguncang perasaannya,
mendengar penuturan kakak misannya ini dia terkejut dan juga prihatin sekali,
di samping perasaan heran yang tidak terbayang pada wajahnya.
Ciang Bun
lalu melanjutkan ceritanya tentang diri sendiri, betapa dia berjumpa dengan
seorang pemuda bernama Ganggananda yang membuatnya jatuh cinta, bahkan
tergila-gila. “Ahhh, betapa pun aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Ganggananda
itu adalah tidak wajar, adikku. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku adalah seorang
pria, dan aku jatuh hati, benar-benar aku tergila-gila kepada seorang pemuda
lain, seorang pria lain. Namun aku tidak mampu melawan gejolak dalam hatiku,
kesadaranku seolah-olah sudah membutakan diri, tidak mau peduli lagi karena
gairah dan hasrat hatiku terhadap Ganggananda tidak mungkin dapat dibendung
lagi….”
Pemuda itu
diam dan berulang kali menarik napas panjang, beberapa kali membuka mulut
seperti hendak melanjutkan namun tidak ada suara keluar dari mulutnya,
seolah-olah dia tidak kuasa untuk melanjutkan.
Suma Ceng
Liong merasa kasihan sekali melihat keadaan kakak misannya itu dan dia pun
menyentuh tangan Ciang Bun sambil berkata. “Sudahlah, Bun-toako, kalau engkau
merasa berat untuk melanjutkan, tidak perlu kau bicara lagi. Aku sudah
mengerti, atau setidaknya aku akan berusaha untuk mengerti.”
“Tidak, aku
harus menceritakan seluruhnya. Aku sudah kuat, Liong-te, dengarlah baik-baik.”
Suma Ciang
Bun kemudian melanjutkan, betapa dia bertahan diri untuk tidak membuka cintanya
terhadap Ganggananda karena khawatir kalau-kalau pemuda Bhutan itu akan merasa
muak dan jijik kepadanya, lalu membencinya karena keadaannya yang tidak wajar
itu. Akan tetapi betapa akhirnya dia tidak kuat bertahan dan mengakui cintanya,
siap menerima segala akibatnya andai kata Ganggananda kemudian menjadi jijik
dan membencinya. Akan tetapi, sebaliknya dialah yang terpukul.
“Betapa
terkejut dan hancurnya perasaanku, Liong-te. Betapa bingung dan malu rasa
hatiku saat Ganggananda membuka rahasia bahwa dia adalah seorang wanita bernama
Gangga Dewi dan sama sekali bukan pemuda seperti yang selama itu kuduga! Dan
aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya bahwa aku tidak suka wanita! Ah, ia
menjadi marah-marah, tentu ia amat benci kepadaku dan ia lalu meninggalkan aku,
Liong-te....! Dan aku.... aku merasa malu, aku tidak tahu lagi apa yang harus
kulakukan, dan aku merana, aku bahkan tidak mau pulang walau pun aku tahu bahwa
enci Hui merayakan pernikahannya. Aku adalah seorang manusia sampah....
membikin malu saja....”
“Bun-toako!”
Terdengar suara Ceng Liong seperti membentak, menggeledek sehingga mengejutkan
Ciang Bun. “Begitukah sikap seorang pendekar yang gagah perkasa? Begitu cengeng
penuh dengan iba diri, merasa seolah-olah diri sendiri menjadi orang yang
paling sengsara di permukaan bumi ini?”
Ciang Bun
terkejut sekali. Baru sekarang ini dia mendengar orang bicara seperti itu
kepadanya dan sepasang mata adik misannya itu mencorong menakutkan! Dan sikap
Ceng Liong itu seketika menggugah semangatnya, seperti mengguncangnya dari
tidur pulas dan mimpi buruk. Dia melihat Ceng Liong bangkit berdiri dan dengan
sepasang mata bersinar memandang kepadanya.
“Bun-toako,
bagaimana pun juga, apa pun juga yang terjadi atas dirimu, engkau harus berani
menghadapi kenyataan! Katakanlah bahwa engkau mengalami atau menderita
kelainan, yang berbeda dengan pria pada umumnya, akan tetapi bagaimana pun juga
keadaanmu itu adalah suatu kenyataan dan segala kenyataan adalah benar dan
tidak dapat diubah hanya dengan tangisan dan keluhan belaka!”
Kata-kata
itu seperti tusukan-tusukan pedang yang terasa benar di hatinya, membuat Ciang
Bun perlahan-lahan bangkit berdiri. Hiburan-hiburan baginya tiada artinya lagi.
Akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulut Ceng Liong ini sama sekali bukan
hiburan, melainkan pisau-pisau yang melakukan operasi membuka segalanya
sehingga nampak olehnya, nampak olehnya kenyataan yang ada pada dirinya.
“Ceng
Liong.... adikku.... engkau benar. Lalu.... lalu apa yang harus kulakukan,
adikku?”
“Toako, aku
bukan gurumu dan engkau bukan muridku. Kalau engkau hanya mengekor saja pada
pendapat orang lain, termasuk pendapatku, engkau akan terlibat pula dalam
pertentangan batin, akan diputar-putar antara rasa benar dan salah. Keadaan itu
adalah keadaanmu sendiri, badanmu sendiri, dan hanya engkau sendiri yang dapat
merasakan, maka engkau sendiri pula yang dapat menentukan baik buruknya, engkau
sendiri yang bisa mengambil ketentuan, akan melanjutkan atau menghentikan.
Mengertikah, toako?”
Ciang Bun
mengangguk-angguk dan dia mulai memandang adik misannya itu dengan penuh kagum.
Baru sekarang dia merasa semangatnya tergugah, tidak tenggelam di dalam
kemurungan dan kekecewaan, tenggelam dalam perasaan yang nelangsa dan putus
asa. Kini matanya seperti dibuka dan dia dipaksa berhadapan dengan kenyataan
sesungguhnya yang ternyata tidaklah begitu mengerikan atau menakutkan seperti
kalau dibayangkan. Keadaan dirinya bukanlah suatu keadaan yang sudah rusak sama
sekali. Tidak! Benar Ceng Liong. Badan ini adalah badannya, berikut baik
buruknya dan cacat celanya. Dialah yang berkuasa atas badan ini. Tidak
sepatutnya kalau batinnya terseret dan tenggelam oleh keadaan badannya!
“Ahh, terima
kasih, Liong-te, terima kasih. Kata-katamu merupakan minuman pahit akan tetapi
sungguh bermanfaat sekali bagiku, seperti cambuk tetapi dapat menggugahku dari
tidur nyenyak! Selama ini aku bersikap terlalu lemah dan baru nampak olehku
sekarang!”
“Toako,
keadaanmu itu sebenarnya tidak perlu diributkan benar. Kelainan pada dirimu itu
tidak lebih dari kelainan dalam nafsu birahi atau nafsu kelamin belaka. Dan
nafsu itu bukanlah satu-satunya urusan dalam hidup ini bukan? Lebih baik kita
melupakan hal yang sudah lalu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan
setiap saat. Hanya kenangan lama saja yang menimbulkan gelisah dan duka. Mari
kita bergembira, toako!”
Ciang Bun
merangkul adik misannya itu kemudian memandang wajahnya dari dekat, memandang
penuh kagum. “Ahh, tak kusangka adikku yang dahulunya seorang anak yang bengal
itu kini menjadi seorang pemuda yang batinnya jauh lebih dewasa dari pada aku,
dan baru sekarang aku melihat betapa diriku selama ini tersiksa oleh batinku
sendiri. Batinku selalu tenggelam dalam keluhan dan kesengsaraan yang kubuat
sendiri. Engkau memang benar. Hidup ini bukan hanya urusan nafsu birahi semata
dan cintaku yang sudah-sudah itu hanyalah nafsu birahi belaka karena aku pun
menyadari bahwa cinta kasih yang murni tidak membeda-bedakan dan tidak
memilih-milih. Tetapi terus terang saja, adikku. Setelah aku mengetahui bahwa
Gangga seorang gadis, dan aku mengamati perasaanku, aku hampir merasa yakin
bahwa aku memang cinta padanya, tidak peduli dia itu pria atau wanita. Akan
tetapi.... ahh, sudahlah. Ia tentu sudah benci kepadaku dengan perasaan muak
dan jijik, pula, kalau kupikir-pikir lagi, seorang gadis sehebat dia itu memang
tidak layak kalau menjadi sisihan seorang laki-laki sinting macam aku yang
tidak lumrah pemuda biasa ini.”
Ceng Liong
tersenyum. Ucapan itu nadanya bukan keluhan lagi dan wajah Ciang Bun tidaklah
muram seperti tadi lagi.
“Toako,
kalau ia membencimu, kalau ia merasa jijik dan muak, itu tandanya ia tidak
cinta padamu. Dan dalam urusan jodoh, cinta haruslah ada di kedua pahak, bukan?
Kalau hanya kita yang mencinta setengah mati akan tetapi sang gadis tidak,
untuk apa dilanjutkan? Berarti hanya penyiksaan batin sendiri, bukan?”
“Cocok! Dan
aku tidaklah begitu tolol membiarkan diriku tersiksa sendirian. Ha-ha-ha,
engkau seperti dewa penolong yang menyingkirkan batu yang tadinya menindih
hatiku, Liong-te.” Ciang Bun tertawa dan mungkin baru sekali inilah dia dapat
tertawa dengan sepenuh hatinya semenjak dia ditinggalkan Gangga Dewi.
“Yang
menyingkirkan adalah engkau sendiri. Orang lain atau aku tidak mungkin dapat
menyingkirkannya, paling banyak hanya mampu membantu menunjukkannya saja. Nah,
sekarang ceritakanlah, toako. Bagaimana engkau dapat berada di sini? Apakah
engkau juga ingin menghadiri pertemuan antara para pendekar di tempat ini?”
Ciang Bun
mengangguk-angguk dan kini dia bercerita dengan suara yang wajar dan bebas.
“Aku
merantau tanpa tujuan dan aku membatalkan niatku menyusul ke Bhutan. Dalam
perantauan itu aku mendengar berita angin bahwa para pendekar akan mengadakan
pertemuan di Hutan Cemara ini, maka aku pun segera pergi ke sini.”
“Tahukah
engkau, toako, apa yang akan dilakukan atau dibicarakan para pendekar dalam
pertemuan di Hutan Cemara ini?”
Ciang Bun
menggeleng kepala dan memandang wajah adiknya dengan alis berkerut. “Aku tidak
tahu, hanya mendengar bahwa para pendekar akan mengadakan pemilihan seorang
bengcu (pemimpin rakyat).”
“Para
pendekar mengadakan pertemuan di sini untuk membicarakan urusan tanah air yang
dijajah Bangsa Mancu, toako. Membicarakan tentang rencana perjuangan untuk
memberontak dan membebaskan negara dan bangsa dari penjajah Mancu dan untuk itu
agaknya memang akan diadakan pemilihan seorang bengcu yang akan memimpin
gerakan itu.”
Sepasang
mata Ciang Bun terbelalak. “Pemberontakan....? Para pendekar hendak melakukan
pemberontakan....?”
“Kenapa kau
terkejut, toako?” tanya Ceng Liong, teringat akan kekagetan hatinya sendiri
ketika untuk pertama kalinya dia mendengar dari pendekar Sim Hong Bu. Dia ingin
tahu akan isi hati dan perasaan kakak misannya ini mengenai pemberontakan
menentang pemerintah Mancu ini.
“Kenapa pula
tidak terkejut?” Ciang Bun balas bertanya. “Kita sama sekali tidak boleh
mencampurinya kalau seperti itu maksud pertemuan para pendekar itu!”
“Kenapa,
toako?”
“Engkau
masih bertanya lagi kenapa, Liong-te? Jelas bahwa kita tidak mungkin dapat
mencampuri urusan pemberontakan, apalagi ikut-ikut memberontak! Ingat saja
kepada mendiang nenek Nirahai! Ingat saja kepada bibi Milana dan sekarang lebih
lagi kalau aku mengingat bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Kao Cin
Liong!”
Suma Ceng
Liong menghela napas. Persis benar perasaan kakak misannya ini dengan perasaan
hatinya sendiri saat untuk pertama kali dia membantah ayahnya dan pendekar Sim
Hong Bu.
“Mula-mula
aku pun berpendapat begitu, toako. Akan tetapi ayahku sendiri menyetujui
rencana para pendekar itu. Setelah bercakap-cakap, aku pun dapat melihat
kebenaran pendapat mereka yang hendak menentang pemerintah Mancu.”
Ceng Liong
lalu menerangkan kepada kakak misannya tentang para patriot yang ingin
membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajahan Mancu dan dalam perjuangan
membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan tidak dikenal kepentingan pribadi.
“Boleh jadi
kaisar sekarang, walau pun seorang Bangsa Mancu, merupakan seorang kaisar yang
baik, akan tetapi bagaimana pun juga baiknya, dia termasuk ke dalam alat dari
bangsa asing yang menjajah bangsa kita. Dalam perjuangan ini kita tidak
memusuhi pribadi-pribadi, dan juga kita bukannya berjuang untuk kepentingan
pribadi, melainkan perjuangan rakyat terhadap penjajah.”
“Hemm, kalau
begitu, engkau datang untuk ikut dalam pertemuan itu, berarti ikut pula
merencanakan.... pemberontakan?” Ciang Bun bertanya, wajahnya menjadi agak
pucat mendengar urusan yang amat gawat itu.
Ceng Liong
tersenyum. “Toako, seperti juga engkau, dan kuharapkan juga seperti semua orang
muda, aku pun tidak mudah puas menerima suatu pendapat begitu saja. Aku datang
untuk melakukan penyelidikan, meneliti keadaan dan mengenal orang-orang yang
hendak memimpin perjuangan itu, apakah benar-benar mereka itu adalah para
pendekar-pendekar dan patriot-patriot sejati yang hendak menyumbangkan jiwa
raga demi kepentingan bangsa, ataukah hanya segerombolan orang yang suka
bertualang mencari keuntungan diri pribadi belaka.”
Ciang Bun
menggeleng-geleng kepalanya perlahan. “Aku bingung, Liong-te. Aku tidak tahu
apakah aku dapat mencampuri urusan pemberontakan. Semua terjadi demikian
mendadak. Sebelum mendengar keteranganmu ini, aku bahkan sama sekali tak pernah
membayangkan akan adanya rencana pemberontakan. Tetapi engkau benar. Sebelum
mengambil keputusan, sebaiknya kalau aku pun melihat dan mendengar lebih dulu,
menyelidiki dahulu dengan teliti.”
“Bagus,
begitulah seyogianya, toako. Dan mengingat bahwa kita berdua adalah anggota
keluarga Pulau Es, dan karena kita berdua masih ragu-ragu dan bermaksud
menyelidik, lebih baik kalau kita berpencar. Sebaiknya kalau kita
menyembunyikan nama keluarga kita agar tidak mudah dikenal orang. Bagaimana pun
juga, semua pendekar tahu belaka bahwa keluarga para pendekar Pulau Es masih
mempunyai hubungan, bahkan memiliki darah keluarga kaisar Mancu! Kenyataan ini
tentu akan menimbulkan kecurigaan dan mendatangkan hal-hal yang mungkin tidak
baik.”
Ciang Bun
mengangguk, “Baik, adikku. Dan tempat ini kita jadikan tempat pertemuan kita.
Kita akan berpencar dan melakukan penyelidikan sendiri-sendiri secara terpisah,
kemudian pada malam harinya kita bertemu di sini dan membanding-bandingkan
hasil penyelidikan kita.”
Dua orang
kakak beradik misan ini kemudian saling berpisah meninggalkan bukit itu,
mengambil jalan yang bertentangan.....
***************
“Huh,
tikus-tikus macam kalian ini tidak patut menyebut diri pendekar-pendekar!”
Bentakan itu
dikeluarkan oleh seorang gadis yang berdiri sambil bertolak pinggang,
menghadapi tiga orang laki-laki yang menyeringai gembira. Pagi itu masih agak
gelap, matahari masih terlampau rendah untuk dapat mengusir kegelapan yang
ditimbulkan oleh pohon-pohon yang lebat dalam hutan itu.
Seorang
gadis yang usianya antara delapan belas atau sembilan belas tahun. Tubuhnya
padat ramping dan tingginya sedang. Pakaiannya sederhana, bukan saja
potongannya melainkan juga terbuat dari kain kasar, akan tetapi justru pakaian
sederhana ini bahkan menonjolkan kecantikannya dan keindahan bentuk tubuhnya.
Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan digelung ke atas, tanpa
perhiasan, hanya ditusuk dengan dua potong bambu sebesar sumpit.
Sepatunya
dari bahan kulit, menutupi seluruh kaki sampai ke betis. Melihat sikap dan
dandanannya, mudah diduga bahwa ia adalah seorang gadis yang biasa melakukan
perjalanan jauh, biasa menempuh dan menghadapi bahaya, seorang gadis kang-ouw.
Namun tidak nampak sebuah pun senjata menempel di tubuhnya.
Sepasang
matanya tajam bersinar-sinar, apalagi pada saat ia sedang marah seperti itu.
Cuping hidungnya yang kecil mancung itu dapat bergerak-gerak sedikit, dan
mulutnya yang cemberut itu berbibir merah basah, tanda bahwa dia sehat dan
segar. Kedua pipinya, pada tonjolan pipi di tepi bawah mata nampak merah sekali
bagaikan diberi pemerah muka, padahal pipi itu merah asli seperti juga
bibirnya.
Tiga orang
laki-laki itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Biar dimaki
oleh gadis itu, mereka tetap bergembira dan tersenyum-senyum genit. Dari
pandang mata mereka, sikap dan bau mulut mereka, mudah diketahui bahwa mereka
sedang mabok atau kebanyakan minum arak di pagi itu.
Sepagi itu
sudah mabok, ini merupakan tanda orang-orang yang sudah menjadi hamba minuman
keras. Dalam keadaan mabok seperti itu, biasanya orang tidak lagi sadar akan
apa yang mereka lakukan, meniadakan sopan santun dan watak-watak asli mereka
akan nampak keluar tanpa hambatan.
“Heh-heh,
nona manis. Apa salahnya kalau kami mengajak engkau bersenang-senang di pagi
hari yang sunyi dan sedingin ini? Ha-ha-ha!” seorang di antara mereka yang
matanya sipit sekali berkata.
“Bercumbu
sedikit tiada salahnya, nona. Kami para pendekar pun suka bermain cinta,
hi-hi-hik!” kata orang ke dua yang hidungnya bengkok seperti hidung burung
kakatua.
“Ha-ha-ha,
benar, benar! Pendekar pun lelaki biasa yang suka bercanda dengan gadis cantik seperti
engkau, nona. Dan tahulah engkau? Kedua pipimu begitu merah dan apa artinya
kalau seorang gadis manis merah pipinya?” Orang ke tiga yang jenggotnya lebat
berkata.
“Artinya?”
sambung yang pertama. “Artinya gadis itu minta dicium pipinya, ha-ha-ha!”
Mereka
bertiga tertawa bergelak, terbahak-bahak sambil memegangi perut.
“Ha-ha, akan
tetapi jangan engkau yang mencium. Mukamu penuh brewok, kasihan ia akan mati
kegelian,” kata pula yang sipit dan kembali mereka tertawa-tawa.
Gadis itu
membanting-banting kakinya. “Keparat! Kalian bertiga ini pantasnya anggota
gerombolan penjahat, sama sekali tidak pantas berada di tempat ini, di antara
para pendekar yang mengadakan pertemuan. Kalau tidak ingat bahwa mungkin sekali
kalian ini pendekar-pendekar yang tersesat dan bahwa sekarang akan diadakan
pertemuan antara para orang gagah, tentu sudah kuhancurkan mulut kalian yang
busuk itu!” Sambil berkata demikian, gadis yang menahan kemarahannya itu
membalikkan tubuhnya dan hendak pergi dari situ.
Akan tetapi,
tiga orang itu menggerakkan tubuh mereka dan tahu-tahu mereka sudah berlompatan
menghadang di depan gadis itu. Dari cara mereka bergerak melompat, dapat
diketahui bahwa tiga orang pria ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian
silat yang lumayan.
“Wah, wah,
nanti dulu, nona!” kata yang bermata sipit, yang paling tua dan agaknya menjadi
pimpinan di antara mereka.
“Kalian mau
apa?!” bentak gadis itu dengan kemarahan yang hampir tidak dapat dia
pertahankan lagi.
“Nona manis,
engkau sungguh tidak adil. Kami bertiga bertemu denganmu, menjamah pun tidak,
mengganggu pun tidak, hanya memuji-muji kecantikanmu. Untuk pujian itu, sudah
sepatutnya kalau kami menerima hadiah. Sebaliknya, engkau memaki-maki dan
menghina kami. Karena itu, tidak boleh engkau pergi sebelum kami menerima ganti
rugi atas perlakuanmu yang tidak adil kepada kami.”
“Hemm, apa
yang kalian kehendaki?”
“Tidak
banyak, hanya masing-masing dari kami menerima satu ciuman saja darimu.” Si
mata sipit menyeringai dan dua orang temannya mengangguk-angguk dengan jakun
turun naik karena mereka sudah membayangkan betapa akan sedapnya menerima
sebuah ciuman dari dara yang manis dan jelita ini.
Kini
kemarahan dara itu tidak dapat ditahannya lagi. Mukanya menjadi merah dan
matanya mencorong seolah-olah mengeluarkan api. “Keparat jahanam bermulut
busuk! Sekali lagi, pergilah sebelum aku terpaksa menghajar kalian!”
“He-he-he,
ia mau menghajar kita!” si mata sipit tertawa.
Dua orang
kawannya tertawa pula. “Biarlah, dihajar oleh tangan yang halus itu aku siap!
Sudah lama aku tidak diusap tangan halus.”
“Dan aku pun
ingin dipijiti jari-jari mungil itu, heh-heh-heh!”
“Pergilah....!”
Gadis itu menggerakkan tubuhnya dan kaki tangannya bergerak cepat sekali.
“Plak! Plak!
Plak!” terdengar suara beberapa kali dan tubuh tiga orang itu terpelanting,
dibarengi keluhan mereka.
Mereka
terbelalak, masing-masing meraba pipi mereka yang menjadi bengkak oleh tamparan
nona tadi. Yang membuat mereka terkejut adalah cepatnya tangan itu bergerak,
sehingga berturut-turut mereka kena ditampar tanpa mereka dapat mengelak atau
menangkis sama sekali. Dan karena tamparan itu memang membuat pipi bengkak dan
muka panas, nyeri rasanya, ditambah lagi rasa malu karena sudah ditampar oleh
seorang gadis muda, tiga orarg itu pun menjadi marah.
“Berani kau
memukul kami?”
Mereka
bangkit berdiri dan mengepung gadis itu, kemudian, sambil berteriak marah mereka
mulai maju. Dari serangan mereka dapat dilihat bahwa mereka masih memiliki niat
kotor sebab serangan mereka itu bukan pukulan, tapi cengkeraman-cengkeraman.
Agaknya mereka itu ingin membalas tamparan si nona dengan cengkeraman untuk
menangkap tubuh yang denok itu atau merobek pakaiannya!
Akan tetapi,
mereka kecelik kalau mengira bahwa mereka berhadapan dengan seekor domba betina
muda. Nona itu ternyata memiliki gerakan yang amat gesit dan dengan lincahnya
tubuh yang ramping itu berloncatan ke sana-sini dan semua terkaman itu hanya
mengenai angin belaka. Kemudian, kaki yang kecil itu bergerak tiga kali
berturut-turut. Untuk ke dua kalinya, tiga orang setengah mabok itu
terpelanting dan mengaduh-aduh! Si dara itu sama sekali bukan seekor domba
betina muda yang lunak dagingnya, melainkan seekor macan betina yang galak dan
kuat.
Baru
sekarang tiga orang itu sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang
lihai. Akan tetapi, dasar mereka memang memiliki watak yang buruk, mereka tidak
menyadari kesalahan mereka, sebaliknya dengan penuh kemarahan ketiga orang itu
bangkit lagi dan mereka mencabut senjata mereka, yaitu sebatang golok tipis dan
dengan senjata di tangan mereka kini mengurung si dara dengan wajah bengis.
Akan tetapi,
gadis itu sama sekali tidak nampak gentar menghadapi ancaman tiga orang
laki-laki yang memegang golok itu. Bahkan dia berdiri tegak dengan kedua tangan
di pinggang dan memandang dengan senyum simpul mengejek, akan tetapi matanya
bersinar-sinar penuh kemarahan. Agaknya ia sama sekali tidak khawatir karena
dalam dua gebrakan tadi saja gadis ini sudah yakin benar bahwa tiga orang
lawannya hanya galak aksinya saja akan tetapi sesungguhnya merupakan
gentong-gentong kosong yang nyaring suaranya.
“Hemm,
kalian memang perlu dihajar lebih keras lagi agar bertobat!” katanya dengan
senyum tak pernah meninggalkan wajah yang manis.
Tiga orang
itu kini telah kehilangan selera mereka untuk menggoda dan berbuat kurang ajar.
Sekarang yang ada di dalam benak mereka hanyalah membalas dan kalau perlu
membunuh gadis yang telah membikin malu mereka dengan tamparan dan tendangan
yang membuat mereka terpelanting roboh tadi.
“Haiiiittt....!”
Si mata
sipit sudah menerjang dengan gerakan goloknya yang membentuk gulungan sinar
terang. Dua orang temannya agaknya tidak mau ketinggalan dan dari kanan kiri
mereka pun menyerang dengan golok mereka. Sungguh tiga orang ini tidak tahu
malu, menyerang seorang gadis bertangan kosong dengan golok mereka secara
keroyokan seperti itu.
Tapi gadis
itu sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar golok.
Tiga orang itu menjadi semakin bernafsu ketika golok mereka membabat udara
hampa saja dalam penyerangan pertama mereka. Maka mereka lalu menyusulkan
serangan-serangan berikutnya yang datang dengan bertubi-tubi.
Gadis itu
tetap mengelak ke sana-sini mencari kesempatan untuk membalas dan kurang lebih
sepuluh jurus kemudian, mendadak dia mengeluarkan suara melengking nyaring
sekali. Tiga orang pengeroyoknya terkejut, sejenak seperti menjadi lumpuh oleh
suara yang menusuk telinga dan menyayat perasaan hati mereka itu. Dan pada saat
itulah si gadis lihai menurunkan tangan membalas.
Tiga kali
dia memukul dan tiga orang itu roboh berpelantingan sambil mengaduh-aduh dan
golok mereka terlepas dari tangan kanan karena lengan kanan itu seketika lumpuh
dan pundak mereka nyeri. Kiranya gadis itu tadi memukul ke arah pundak kanan
dan membuat tulang pundak mereka remuk. Tentu saja lengan itu langsung menjadi
lumpuh seketika.
“Hemm, aku
masih mengampuni nyawa kalian, dan mudah-mudahan pelajaran ini membuat kalian
bertobat!” kata si gadis dengan kata-kata yang tegas.
Akan tetapi,
pada saat itu bermunculan belasan orang dikepalai oleh dua orang kakek yang
berpakaian seperti tosu dan yang memegang sebatang tongkat baja. Melihat tiga
orang yang mengaduh-aduh itu, belasan orang ini lantas mengurung si gadis yang
memandang dengan sikap tenang namun waspada. Dua orang kakek itu menghampiri
tiga orang yang terluka, lalu menggunakan jari tangan mereka menotok beberapa
jalan darah dekat pundak untuk mengurangi rasa nyeri. Kemudian mereka bangkit
lagi dan menghadapi si gadis yang berdiri dengan sikap tenang itu.
“Nona, siapakah
engkau yang begitu berani melukai tiga orang murid kami?” seorang di antara
mereka bertanya. Sikapnya tenang dan angkuh, seakan-akan sikap seorang
locianpwe kepada seorang yang tingkatannya lebih muda dan rendah.
Melihat
jubah putih dari dua orang tosu itu dan gambar bunga teratai putih di atas
dasar biru bundar di dada, gadis itu mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan
suara halus akan tetapi mengandung nada mengejek. “Siapa adanya aku tidak perlu
dibicarakan, akan tetapi jika tidak salah, ji-wi adalah orang-orang
Pek-lian-pai yang sangat terkenal, bukan? Tiga orang yang menjadi murid ji-wi
itu adalah anggota-anggota Pek-lian-pai. Akan tetapi mengapa mereka bersikap
bagaikan penjahat-penjahat rendah yang suka mengganggu wanita? Apakah memang
para murid Pek-lian-pai diajar untuk kurang ajar terhadap wanita?”
Wajah dua
orang kakek itu berubah merah dan tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek
menghentakkan tongkatnya di atas tanah.
“Siancai,
nona muda bermulut lancang! Mana mungkin murid-murid kami melakukan hal yang
rendah? Akan kutanya mereka!” Dia lalu menoleh kepada tiga orang yang masih
menyeringai itu. “Coba katakan, apakah benar kalian mengganggu wanita? Hayo
jawab sebenarnya!”
Si mata
sipit yang mewakili dua orang kawannya cepat menjawab. “Sama sekali tidak,
susiok! Kami mana berani mengganggu wanita? Kami bertemu dengan nona ini dan
karena merasa bahwa di antara kami dan nona ini terdapat persamaan paham, kami
menganggapnya sebagai seorang sahahat dan kami menyapanya. Akan tetapi ia
marah-marah dan memaki-maki kami, bahkan lalu menyerang dan melukai kami.”
Tosu pendek
gendut itu kembali memandang gadis itu dengan alis berkerut. Akan tetapi gadis
itu telah mendahuluinya dan berkata sambil tersenyum mengejek.
“Aku
mendengar bahwa Pek-lian-pai mempunyai dasar Agama Pek-lian-kauw (Agama Teratai
Putih) yang menjadi cabang dari Agama To-kauw. Mengambil gambar teratai putih
untuk menunjukkan bahwa Pek-lian-pai putih bersih. Akan tetapi siapa kira,
murid-muridnya selain pemabok-pemabok dan pengganggu wanita, juga adalah
pembohong-pembohong besar dan pengecut, yang tidak berani mengakui kesalahan
dan tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatan mereka!”
Si tosu
gendut itu marah. Matanya terbelalak dan tongkatnya digerakkan melintang di
depan dadanya. “Hemm, engkau ini bocah perempuan lancang mulut dan sombong,
agaknya mengandalkan sedikit kepandaian untuk menghina Pek-lian-pai! Majulah,
pinto hendak melihat sampai di mana kelihaianmu.”
Setelah
berkata demikian, kakek gendut itu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan dia
menerjang maju, mengirim tamparan ke arah pundak gadis itu. Bagaimana pun juga,
sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, dia merasa malu kalau harus
menghadapi seorang gadis remaja dengan senjatanya. Ketika menyerang pun dia
hanya menampar pundak karena tidak bermaksud mencelakai, melainkan hanya
memberi hajaran saja kepada gadis muda yang dianggapnya sombong dan keterlaluan
telah berani melukai tiga orang murid Pek-lian-pai itu.
Agaknya
kakek ini merasa yakin bahwa tamparannya itu tentu akan berhasil, karena bukan
tamparan biasa, melainkan jurus ilmu silat Pek-lian-pai yang lihai, tamparan
yang dilanjutkan dengan cengkeraman dan dilakukan dengan amat cepat, juga
mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat.
Akan tetapi
kakek gendut itu kecelik. Dengan gerakan indah namun cepat sekali, juga
dilakukan seenaknya, dengan merendahkan tubuh dan miring lalu menggeser kaki ke
belakang, gadis itu telah mampu menghindarkan serangannya itu dengan amat
baiknya. Hal ini membuat si tosu penasaran. Kakinya melangkah ke depan dan dia
mengirim serangan ke dua. Kakinya menendang ke arah lutut, dilanjutkan
cengkeraman ke arah pundak dengan tangan kiri dan totokan jari tangan kanan ke
arah leher. Sungguh merupakan serangkaian serangan yang amat berbahaya!
Kembali
kakek itu kecelik. Dengan gerakan tubuh yang amat lincah, gadis itu dapat
menghindarkan diri pula dengan sangat baiknya dan tiga serangan beruntun itu
pun semua hanya mengenai tempat kosong belaka. Setelah lewat belasan jurus
serangan yang semua dapat dihindarkan gadis itu dengan elakan yang lincah,
tiba-tiba ketika kakek itu menghantamkan tangan kanannya dari atas ke arah
gadis itu karena dia pun sudah mulai penasaran dan kini menyerang
sungguh-sungguh, gadis itu mengangkat tangan kirinya menangkis.
Melihat ini,
kakek Pek-lian-pai menjadi girang. Inilah yang diharapkan sejak tadi. Gadis itu
terlalu lincah gerakannya sehingga sukarlah mengenai tubuhnya, seperti
menyerang seekor kupu-kupu yang lincah saja. Tetapi kalau gadis itu menangkis,
dia akan dapat menghajar gadis itu dengan beradunya kedua lengan. Biarlah gadis
itu akan menerima hukuman dan tulang lengannya akan patah. Maka, melihat gadis
itu mengangkat tangan menangkis, dia pun segera mengerahkan tenaga sinkang ke
dalam lengan kanan yang ditangkis.
“Dukkk....!”
Dua lengan
bertemu dan kakek itu terkejut bukan main karena pertemuan lengan yang
diharapkan akan dapat mematahkan tulang lengan lawan atau setidaknya membuat
gadis itu roboh, sebaliknya malah membuat dia terhuyung ke belakang dengan
lengan terasa nyeri sekali. Ada semacam tenaga aneh yang amat kuat menangkis
tenaganya dan tenaga itu bahkan mendorongnya sehingga tanpa dapat dipertahankannya
dia terhuyung ke belakang.
“Totiang,
apakah engkau masih juga hendak melanjutkan kesesatanmu?” Gadis itu membentak,
kelihatan marah.
Dalam
pertemuan tenaga yang membuat kakek itu terhuyung tadi, ia sama sekali tidak
bergoyah, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dalam hal sinking pun gadis itu
lebih lihai. Namun tosu gendut itu memang tidak tahu diri atau memang sudah
nekat karena merasa malu untuk mengaku kalah. Dia meloncat ke belakang, mencari
tongkat yang tadi menancap di tanah dan dengan tongkat melintang dia menerjang
maju lagi. Tongkat itu membentuk gulungan sinar dan mengeluarkan suara angin
mendesir ketika bergerak menyambar ke arah kepala gadis itu!
“Wuuuuttt....!”
Tongkat
menyambar luput dan kini kakek ke dua yang tinggi kurus sudah ikut pula
menyerang dengan tongkatnya, menusuk ke arah belakang lutut gadis itu dengan
maksud merobohkannya. Gadis itu terkejut. Nyaris belakang lututnya tertotok,
maka ia pun meloncat jauh ke belakang dan tangan kanannya bergerak ke arah
pinggangnya. Nampak sinar keemasan menyilaukan mata dan gadis itu ternyata
telah memegang sebatang suling terbuat dari emas yang indah sekali!
“Hemm,
kalian tidak bisa diberi hati, harus dihajar. Majulah!” Gadis itu kini
menantang.
Dua orang
kakek itu pun merasa penasaran sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh besar
Pek-lian-pai, masa saat menghadapi seorang gadis remaja saja tidak mampu
menang? Keduanya tak tahu malu lagi karena terdorong rasa penasaran untuk bisa
mengalahkan gadis itu.
Akan tetapi
sebelum bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ
telah berdiri seorang pemuda remaja berusia dua puluh tahun yang bertubuh
tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, berwajah ramah penuh senyum cerah.
Pemuda ini segera menyelinap di antara mereka dan menghadapi dua orang kakek
itu sambil mengangkat kedua tangan ke atas, lalu menjura dengan hormat.
“Ji-wi
totiang harap sabar dulu. Harap ji-wi pikirkan baik-baik, apakah sudah cukup
pantas kalau ji-wi melanjutkan perkelahian ini?” pemuda itu bertanya dengan
suara lantang.
Melihat
sikap pemuda ini yang mudah diduga tentu seorang pendekar, dua orang tosu itu
merasa ragu-ragu dan si tinggi kurus bertanya. “Orang muda, mengapa engkau
mencampuri urusan kami dan apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi?”
“Ji-wi
totiang adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai. Kedatangan ji-wi di tempat ini bersama
anak buah ji-wi tentu ada hubungannya dengan pertemuan para pendekar dan
patriot yang akan diadakan di tempat ini, bukan?”
“Benar, lalu
apa hubungannya dengan urusan kami menghadapi gadis jahat itu?”
“Totiang,
harap jangan keliru menilai orang. Nona ini sama sekali bukanlah orang jahat,
melainkan puteri dari pendekar sakti Suling Emas, Kam-locianpwe. Dia adalah
seorang pendekar wanita yang lihai, dan tentu kehadirannya juga ada hubungannya
dengan pertemuan para pendekar patriot. Totiang, kalau pertemuan para pendekar
dan patriot diawali dengan perkelahian antara kita sendiri, mana mungkin kita
bersatu menghadapi pemerintah penjajah?”
Dua orang
tosu itu kelihatan terkejut. Biar pun mereka belum pernah berkenalan atau
berjumpa, akan tetapi nama besar pendekar sakti Suling Emas sudah pernah mereka
dengar. Pantas saja gadis itu lihai bukan main.
"Akan tetapi, nona ini sudah melukai
tiga orang murid kami,” bantah si gendut untuk menempatkan pihak sendiri di
sudut yang menguntungkan.
“Tentu saja
aku melukai dan menghajar tiga orang itu yang berani bersikap kurang ajar
menggangguku!” bantah gadis itu. “Kalau bukan tiga orang mabok itu
menggangguku, perlu apa aku mengotorkan tangan terhadap mereka?”
Pemuda itu
mengangkat kedua tangan menyabarkan kedua pihak. “Ji-wi totiang, harap sudahi
saja perkara kecil ini. Bagaimana pun juga, nona ini adalah seorang pendekar
dan tidak mungkin tanpa sebab ia berkelahi dengan murid-murid ji-wi, dan
ternyata bahwa murid-murid ji-wi dalam keadaan mabok. Kita sama-sama tahu
bagaimana sikap laki-laki yang sedang mabok kalau melihat wanita muda dan
cantik. Kalau sampai terdengar oleh para pendekar dan patriot lain, tentu nama
Pek-lian-pai akan menjadi merosot saja kalau perkelahian dengan puteri
Kam-locian-pwe ini dilanjutkan.”
Memang dua
orang tosu Pek-lian-pai itu sudah dapat menduga bahwa murid-murid mereka tentu
yang lebih dulu menggoda nona yang cantik ini. Mereka tadi turun tangan hanya
karena merasa marah melihat murid-murid mereka dipatahkan tulangnya, dan juga
karena malu sebelum dapat membalas nona itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa
nona itu adalah puteri pendekar sakti Suling Emas, mereka sudah dapat melihat
bahwa kalau dilanjutkan pertikaian itu, tentu nama mereka akan rusak karena
membela tiga orang murid mabok.
“Baik, kami
akan sudahi saja urusan ini. Akan tetapi siapakah engkau, orang muda?” Tosu
tinggi kurus bertanya.
“Dia adalah
cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!” Tiba-tiba gadis itu berkata, seperti
hendak membalas ketika pemuda itu tadi memperkenalkannya sebagai puteri
pendekar Suling Emas.
Tentu saja
dua orang kakek Pek-lian-pai itu semakin terkejut. Cucu Pendekar Pulau Es?
Mereka tidak berani lagi banyak lagak dan sambil menjura mereka lalu
mengundurkan diri dan membentak tiga orang murid mereka yang menjadi gara-gara
pertikaian itu.
Setelah
mereka pergi, pemuda itu membalikkan tubuh, menghadapi gadis itu. Mereka
berdiri saling berpandangan, sampai lama tidak dapat mengeluarkan suara. Dua
pasang mata itu bertemu, bertaut dan seolah-olah mereka menjadi gagu seketika.
Bayangan dan kenangan lama muncul di dalam pikiran mereka. Tiba-tiba keduanya
mengeluarkan seruan hampir berbareng.
“Bi
Eng....!”
“Ceng
Liong....!”
Keduanya
melangkah maju mengulur tangan, akan tetapi tiba-tiba Bi Eng berhenti dan dia
berdiri memandang dengan muka berubah merah sekali. Teringat dia bahwa yang
kini berada di depannya bukan anak-anak lagi, bukan remaja yang pernah
dikenalnya beberapa tahun yang lalu, melainkan seorang pemuda dewasa yang gagah
perkasa! Dan ia sendiri sudah menjadi seorang gadis dewasa, bahkan menjadi
seorang calon isteri, tunangan pemuda yang kini menjadi murid ayahnya, yaitu
Sim Houw!
Melihat
keraguan di wajah gadis itu, Ceng Liong juga menghentikan langkahnya. Kini
mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter saja dan Ceng Liong mengamati
wajah itu dengan hati penuh kagum. Dia terpesona oleh sepasang mata itu, oleh
hidung dan mulut itu. Bi Eng telah menjadi seorang gadis yang menurut
penglihatannya teramat cantik. Belum pernah ada seorang gadis yang begini
menarik hatinya.
Jantungnya
berdebar tegang, penuh kegembiraan dan juga harapan ketika dia teringat akan
janjinya kepada mendiang Hek-i Mo-ong bahwa kelak dia akan menjadi suami Bi
Eng! Dan dia maklum pada saat dia memandang wajah itu bahwa dia akan berbahagia
sekali apabila harapan gurunya itu terlaksana. Dia jatuh cinta kepada gadis ini
sekarang! Dan Ceng Liong merasa terkejut sendiri mengikuti jalan pikirannya.
“Bi Eng....
ahh, tak kusangka akan bertemu dengan engkau di sini! Hampir aku tidak dapat
mengenalmu lagi, engkau.... sudah begini besar....!”
Bi Eng
memandang kepadanya dan gadis itu tersenyum. Tersirap darah dari jantung Ceng
Liong melihat lesung pipit di sebelah kiri mulut itu. Betapa manisnya!
“Ceng Liong,
engkau bilang tidak dapat mengenalku akan tetapi engkau bisa memberi tahu
kepada kakek-kakek Pek-lian-pai itu bahwa aku puteri pendekar Kam!”
Memang
tadinya aku tidak mengenalmu, dan barulah aku teringat pada waktu engkau
mengeluarkan suling emas itu.”
Bi Eng
mengangguk-angguk. “Dan engkau pun bukan anak-anak lagi, sudah menjadi seorang
pemuda dewasa.”
“Akan tetapi
engkau langsung menganalku.”
“Yang
berubah hanya tubuh dan mukamu, akan tetapi mata dan senyumanmu yang nakal itu
masih sama.”
“Bi Eng,
kalau tidak salah dugaanku, engkau datang ke sini tentu ada hubungannya dengan
pertemuan para pendekar dan patriot di Hutan Cemara, bukan?”
Gadis itu
mengangguk. “Benar, dan tentu engkau pun juga datang untuk keperluan itu,
bukan? Apakah engkau datang bersama orang tuamu? Apakah para pendekar keluarga
Pulau Es ikut datang menghadiri pertemuan itu?”
“Tidak, aku
datang seorang diri saja. Orang tuaku mewakilkan kepadaku. Dan engkau? Apakah
Kam-locianpwe dan isterinya juga hadir?”
Bi Eng
menggeleng kepalanya. “Tidak, Ceng Liong. Aku datang bersama.... guruku.”
Tiba-tiba wajah gadis itu berubah merah. Hampir saja dia tadi menyebut
‘mertuaku’, bukan ‘guruku’.
Jawaban ini
mengherankan hati pemuda itu. “Bi Eng! Engkau ini adalah puteri tunggal
Kam-locianpwe yang memiliki kepandaian setinggi langit dan kurasa mewarisi
ilmu-ilmu ayah bundamu saja sudah membuat engkau menjadi orang yang sukar
sekali dicari tandingannya. Dan ternyata engkau masih mempunyai seorang guru
lain dari pada ayah bundamu?”
Bi Eng
bertolak pinggang dan memandang pemuda itu dengan senyum mengejek. “Ceng Liong,
engkau sejak dahulu banyak lagak dan tidak mau bercermin melihat diri sendiri.
Apa anehnya kalau aku mempunyai seorang guru lain? Tengok dirimu sendiri.
Engkau cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kurang bagaimanakah keluarga
para pendekar Pulau Es? Namun ternyata engkau masih berguru kepada mendiang
Hek-i Mo-ong!”
Ceng Liong
tersenyum. Gadis ini masih galak dan tidak mau kalah kalau bicara. Akan tetapi
dia seperti diingatkan kepada mendiang Hek-i Mo-ong dan dia pun menarik napas
panjang.
“Hek-i
Mo-ong memang seorang datuk sesat, akan tetapi nasibnya buruk sekali. Aku
merasa kasihan kepadanya.”
“Akan tetapi
dia berwatak baik, dia pernah menyelamatkan aku. Sayang dia menjadi datuk
sesat....”
“Dan dia
mati ketika berhadapan dengan keluangamu.”
“Akan
tetapi, bukan ayah yang membunuhnya! Hek-i Mo-ong sendiri yang menyerang ayah,
padahal saat itu dia dalam keadaan luka parah sehingga gerakan serangannya itu
menewaskannya sendiri!” Bi Eng membantah.
Ceng Liong
menganggguk-angguk. “Hek-i Mo-ong memang berwatak aneh, kadang-kadang dia jahat
bukan main, akan tetapi kadang-kadang baik sekali. Bagaimana pun juga, andai
kata dia tewas di tangan seorang pendekar sakti seperti ayahmu pun sudah
sepatutnya. Dialah yang menyebabkan kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es tewas,
dia penyebab mala petaka yang melenyapkan Pulau Es....”
Sepasang
mata yang indah itu terbelalak. “Apa?! Dan engkau masih mau menjadi muridnya?”
tanya Bi Eng dengan seruan kaget dan penuh keheranan.
Ceng Liong
menghela napas panjang. “Dia sudah berkali-kali menyelamatkan nyawaku,
membelaku dan sangat mengasihiku. Dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan
setulus hatinya. Mana mungkin aku membalas budinya dan kasih sayangnya dengan
kebencian?”
“Tapi....
tapi dia menyerbu keluarga Pulau Es dan menyerbu orang tuaku....”
“Itulah satu
di antara keanehan dan kejahatannya. Dia tidak pernah mau menerima kekalahan.
Karena itu dia menjadi penasaran karena pernah kalah oleh ayahmu, dia selalu
ingin membalas kekalahannya itu. Akan tetapi sudahlah, Bi Eng. Dia sudah
meninggal dunia, tewas oleh ulahnya sendiri. Baigaimana pun juga, aku tidak
dapat melupakan semua kebaikannya. Ingatkah kau ketika dia mengobatimu?”
Bi Eng
mengangguk-angguk dan menggigit bibirnya.
“Dan engkau
dahulu ditipunya, obat manjur dikatakan akan membunuhmu.” Ceng Liong tertawa.
Teringat
akan hal itu, Bi Eng tertawa juga. “Gurumu itu jahat dan nakal, suka menggoda
orang. Aku sudah marah dan merasa ngeri karena maut berada di depan mata ketika
dia berbohong mengatakan bahwa obatnya itu adalah racun.”
“Dan dia
memaksa kita bersumpah agar menjadi.... suami isteri....”
Tiba-tiba
wajah Bi Eng berubah merah sekali dan bersungut-sungut. “Engkaulah yang
berjanji, bukan aku!” Kemudian gadis itu menyambung secara tiba-tiba. “Ceng
Liong, kenapa engkau berjanji seperti itu kepada Hek-i Mo-ong?”
Ceng Liong
memandang kepadanya dan melihat betapa gadis itu kelihatan malu. Dia merasa
tidak enak hati. “Bi Eng, aku terpaksa menerima janji suhu karena aku ingin
menolongmu. Aku sendiri tidak akan mau berjanji seperti itu kalau tidak
terpaksa karena melihat engkau terancam maut. Dan engkau sendiri, kenapa engkau
menolak keras ketika disuruh berjanji? Apakah.... apakah engkau benci
kepadaku?”
Bi Eng
menggeleng kepala. “Bukan karena benci, tetapi mana mungkin aku mau berjanji
seperti itu? Bagiku, urusan pernikahan adalah bagaimana keputusan dari orang
tuaku saja....”
“Ah, sungguh
sebaliknya dengan aku, Bi Eng! Bagiku, urusan pernikahan adalah urusan dua
orang yang bersangkutan, sama sekali tidak boleh ditentukan orang lain, walau
pun orang lain itu orang tua sendiri atau guru. Dahulu itu, kalau tidak
terpaksa untuk menolongmu, aku tidak akan mau berjanji. Aku tidak mau kalau
jodohku dipilihkan dan ditentukan oleh guruku atau orang tuaku sekali pun.”
Gadis itu
mengangguk-angguk, alisnya berkerut dan dia lalu melangkah perlahan-lahan
meninggalkan tempat itu, didampingi Ceng Liong. Keduanya seperti berjalan-jalan
tanpa tujuan, tanpa disengaja, hanya untuk berjalan-jalan di dalam hutan itu
sambil bercakap-cakap.
“Kalau
begitu.... janjimu itu tidak mengikat? Jadi.... engkau menganggap janji kepada
mendiang Hek-i Mo-ong itu sebagai kosong belaka....?”
“Begitulah!
Aku tidak mau dipaksa oleh siapa pun juga untuk menerima jodoh yang dipilihnya
atau dipaksakannya, apalagi kalau pilihan itu sendiri tidak suka kepadaku.”
“Hemm, kalau
begitu.... jodoh yang bagaimana yang cukup berharga untuk hidup di sisimu
selamanya?”
Bertanya
demikian, gadis itu menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menghadapi Ceng
Liong dan kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya memandang tajam dan
mulutnya tersenyum mengejek seperti orang menantang!
Diam-diam
Ceng Liong terkejut dan merasa heran, juga gugup menghadapi pertanyaan tadi.
Tetapi dia menenangkan dirinya, dan menjawab dengan suara sungguh-sungguh, “Ia
harus seorang gadis yang kucinta dan mencintaku, itu saja syaratnya.”
Hening
sejenak dan Bi Eng melangkah maju lagi perlahan-lahan, diikuti oleh Ceng Liong.
Gadis itu nampak tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia berhenti lagi dan
menghadapi Ceng Liong, membuat pemuda itu agak terkejut dan dia pun ikut
berhenti. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang dan keadaan menjadi amat
kaku bagi Ceng Liong.
“Ceng Liong,
apakah sudah ada gadis yang kau cinta itu?”
Pertanyaan
ini terlalu tiba-tiba dan sama sekali tidak terduga-duga oleh Ceng Liong,
membuat pemuda itu menjadi gugup. “Eh.... itu.... eh, selama ini memang belum
ada.... ehhh, memang ada, ya, ada memang....”
Gadis itu
mengerutkan alisnya. “Ceng Liong, kalau engkau tidak percaya kepadaku dan tidak
suka menjawab pertanyaan itu, katakanlah, jangan pura-pura. Ada atau tidakkah
gadis yang kau cinta itu? Yang tegaslah, jangan plintat-plintut!”
“Ada....
ada.... Ya benar, ada memang!” Ceng Liong berkata menutupi kegugupannya dengan
sikap tegas.
“Hemm....
dan.... dan ia pun cinta padamu?”
Ceng Liong
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Bi Eng.... belum tahu....”
Karena
pertanyaan-pertanyaan itu makin lama makin mendekati sasaran, yaitu hal-hal
yang mengguncangkan batinnya di saat itu, Ceng Liong yang gagah perkasa itu
merasa betapa kedua kakinya agak gemetar dan tubuhnya lemas. Maka dia pun lalu
duduk di atas batu yang besar di dekat situ. Anehnya, Bi Eng juga duduk di atas
batu berhadapan dengannya dan gadis itu kelihatan tertarik sekali.
“Engkau
belum tahu? Engkau mencinta seorang gadis dan engkau belum tahu apakah ia
mencintamu atau tidak? Ceng Liong, mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?”
“Aku.... aku
takut, Bi Eng.”
“Kau? Kau
takut?” Gadis itu tertawa dan menutupi mulutnya dengan punggung tangan. “Engkau
cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es, juga murid Hek-i Mo-ong Si Raja Iblis, dan
engkau mengenal takut?”
“Bi Eng, aku
takut kalau-kalau cintaku ditolak, kalau-kalau ia tidak cinta padaku, aku takut
dan tidak tahu harus berbuat apa.... Bi Eng, maukah engkau memberi nasehat, apa
yang harus kulakukan menghadapi keadaan begini?”
Bi Eng
tersenyum pahit, matanya bersinar layu memandang jauh. “Engkau....? Minta
nasehat dariku? Ahh, bagaimana sih keadaanmu itu? Engkau mencinta seorang gadis
dan engkau tidak tahu apakah ia juga mencintamu ataukah tidak. Dan engkau malu
atau takut bertanya, karena takut ditolak? Begitukah?”
Ceng Liong
mengangguk.
“Dan gadis
itu sudah tahu bahwa engkau mencintanya?”
Ceng Liong
menggeleng.
“Wah,
bagaimana ini? Jadi selama ini cintamu hanya kau simpan di hati saja? Lama-lama
bisa menjadi racun kalau begitu!”
Ceng Liong
memandang kagum. “Aih, agaknya engkau ahli benar dalam urusan cinta-mencinta!”
“Tentu
saja!” Bi Eng menghardik.
“Kalau
begitu, tentu engkau sudah saling mencinta dengan seorang pemuda....”
“Kalau itu
sih belum pernah!”
Ceng Liong
terbelalak dan nampak girang. “Ehh, kalau belum bagaimana engkau bisa tahu
tentang hal ihwal cinta?”
“Aku kan
wanita dan yang kau cinta itu pun wanita, bukan?”
Ceng Liong
mengangguk-angguk bingung. “Sudahlah, sebaiknya bagaimana menurut nasehatmu, Bi
Eng? Aku cinta seorang gadis akan tetapi aku tidak tahu apakah ia juga
mencintaku. Dan aku takut menyatakan cintaku, takut kalau-kalau ia akan marah
dan menolakku....”
“Ceng Liong,
tidak ada wanita di dunia ini yang akan marah kalau ada pria menyatakan cinta
kepadanya. Baik diterimanya atau ditolaknya cinta itu, akan tetapi yang jelas
akan ada perasaan bangga menyelinap di lubuk hatinya. Kecuali, tentu saja, jika
pernyataan cinta itu dinyatakan secara kasar atau kurang ajar. Kalau kau tak
menyatakan cintamu, mana dia tahu? Dan kalau engkau tidak tanya kepadanya, mana
kau tahu apakah dia mencintamu atau tidak? Maka, kalau engkau minta nasehatku,
datangi gadis itu dan akuilah terus terang tentang cintamu dan minta jawabannya
secara jujur.”
“Begitukah
nasehatmu, Bi Eng? Gadis itu benar-benar takkan marah?”
“Mengapa
marah? Sepatutnya ia bangga menerima cinta seorang cucu Pendekar Super Sakti
Pulau Es!”
“Nah, kalau
begitu biarlah kupergunakan kesempatan ini untuk menyatakan perasaan hatiku
itu. Bi Eng, aku cinta padamu....”
Seketika
gadis itu meloncat bangun dari atas batu ke belakang menjauhi Ceng Liong.
Mukanya pucat dan matanya terbelalak, alisnya berkerut dan matanya mengeluarkan
sinar menyambar-nyambar ke arah wajah pemuda itu.
“Apa....?
Apa yang kau katakan itu....?”
“Bi Eng, aku
cinta padamu dan semoga engkau sudi menerimanya, semoga engkau dapat membalas
cinta kasihku kepadamu....”
“Ceng Liong,
engkau berani main-main denganku?” Bi Eng mengepal tinju dan mukanya berubah
merah, sinar matanya membayangkan kemarahan.
Melihat ini,
Ceng Liong lalu menjura. “Bi Eng, maafkan aku. Ingat bahwa engkau sendiri yang
tadi menasehatiku untuk berterus terang, engkau sendiri yang mengatakan bahwa
gadis itu takkan marah....”
“Tapi....
tapi.... kukira bukan aku gadis itu, dan.... dan bukankah kau tadi mengatakan
bahwa janjimu kepada Hek-i Mo-ong itu hanya kosong belaka? Bahwa janjimu itu
tidak mengikat apa-apa?”
“Memang
benar, janjiku itu dahulu kulakukan hanya untuk menyelamatkanmu. Dan aku
menentang janji itu dalam batinku, Bi Eng. Aku tidak mau mendiang suhu memaksa
kita untuk berjodoh begitu saja.”
“Tapi....
kita baru saja berjumpa lagi dan kau menyatakan cinta....?”
“Bi Eng,
semenjak pertemuan kita dahulu, aku sudah merasa kasihan dan suka sekali
kepadamu. Tentu saja aku belum tahu pada waktu itu tentang perasaan cinta.
Karena aku kasihan dan suka, maka aku menolongmu ketika engkau terpukul oleh si
jahanam Louw Tek Ciang, dan engkau tahu sendiri, aku bahkan lalu melawan dan
menyerang mendiang guruku sendiri karena mengira engkau diracunnya. Akan
tetapi, setelah kini kita saling jumpa, barulah aku tahu dan merasa yakin bahwa
aku mencintamu. Aku cinta padamu, Bi Eng, bukan karena janjiku terhadap
mendiang Hek-i Mo-ong. Aku cinta padamu dan aku akan merasa berbahagia sekali
kalau engkau pun membalas perasaan cinta kasihku.... Bi Eng, Bi Eng, engkau
kenapa....?”
Gadis itu
sudah menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Terisak-isak Bi Eng menangis,
seperti anak kecil menutupi muka dengan kedua tangannya. Air mata nampak
menetes-netes dari celah jari-jari tangannya. Tentu saja Ceng Liong terkejut
bukan main dan dia pun cepat menghampiri dan berlutut pula di depan gadis itu.
Ingin dia menghibur, ingin dia menyentuh, akan tetapi tidak berani dan timbul
kekhawatiran besar di dalam hatinya.
“Bi Eng....
ahhh, Bi Eng, kau maafkanlah aku kalau semua kata-kataku menyingung perasaanmu.
Bi Eng, kalau engkau merasa terhina oleh pengakuanku tadi, biarlah aku mengaku
salah, dan boleh engkau menghukumku. Pukullah aku, sumpahi mati pun aku tidak
akan membalas.”
Bi Eng
menurunkan kedua tangannya dan dengan mata basah dan hidung merah ia memandang
pemuda itu. Mereka saling pandang dan tiba-tiba Bi Eng menangis lagi, menutupi
lagi mukanya dengan kedua tangan.
Ceng Liong
menjadi semakin bingung dan khawatir. Dia adalah seorang pemuda gagah perkasa,
penuh keberanian dan ketenangan. Akan tetapi sekarang menghadapi gadis yang
dicintanya menangis tidak karuan mendengar pengakuan cintanya, dia menjadi
bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
“Bi Eng,
sekali lagi maafkanlah aku.... mengapa engkau kelihatan begini berduka? Kalau
engkau marah kepadaku, hal itu masih dapat kumengerti, akan tetapi kenapa
engkau berduka? Kenapa menangis? Engkau yang segagah ini?”
Bi Eng
semakin mengguguk dan akhirnya Ceng Liong membiarkan gadis itu menangis.
Agaknya gadis itu harus menghabiskan dahulu air matanya, baru dapat diajak
bicara, pikirnya. Dan meski pendapatnya ini hanya ngawur saja, akan tetapi
buktinya memang demikian. Setelah puas menangis, tangis gadis itu mereda, bahkan
ia lalu dapat bicara.
“Ceng Liong,
aku.... aku tidak marah kepadamu, tapi.... kata-katamu tadi membongkar semua
isi batinku dan membuatku berduka. Ketahuilah, aku.... aku telah bertunangan
dengan orang lain....”
Ceng Liong
menatap wajah gadis itu, sikapnya tenang, akan tetapi wajahnya berubah pucat
dan dia merasa betapa jantungnya seperti ditikam pedang. Dia menggigit bibirnya
dan termenung sejenak.
“Tetapi….,
bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak pernah.... saling mencinta dengan
seorang pria?”
Gadis itu
makin terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju. “Itulah
sebabnya aku menangis. Aku.... aku tidak mencintanya, aku hanya menurut
kehendak ayah ibuku saja....”
“Ahhh, dan
dia? Dia tentu mencintamu, bukan?”
Gadis itu
menggeleng kepala. “Dia pun seperti aku, hanya menurut kehendak orang tua. Kami
tidak sempat bergaul, begitu bertemu orang tua kami saling setuju menjodohkan
kami, kemudian aku ikut calon ayah mertuaku untuk dididik ilmu silat,
sebaliknya dia ikut ayahku untuk menerima pendidikan ilmu pula.”
Ceng Liong
menarik napas panjang. Hatinya terasa nyeri. Dia tahu bahwa amat banyak
orang-orang muda seperti Bi Eng dan tunangannya ini. Bahkan ada orang baru
melihat isteri atau suaminya setelah bertemu sebagai sepasang mempelai. Menjadi
mempelai seperti beli undian saja, untung-untungan!
“Sungguh aku
merasa heran, bagaimana seorang gadis seperti engkau mau begitu saja dijodohkan
tanpa mempertimbangkan perasaan hatimu sendiri?”
“Aku tidak
berani menolak, karena aku tidak ingin menyusahkan hati ayah ibuku yang hanya
mempunyai seorang anak tunggal yaitu aku, Ceng Liong.”
Hening
sejenak. Keheningan yang amat tidak enak bagi Ceng Liong. “Jadi engkau tidak
cinta kepada pemuda itu, tidak suka kepadanya?”
“Aku tidak
mencintanya, bukan berarti tidak suka. Dia cukup baik dan gagah perkasa.”
“Siapakah
dia, kalau aku boleh mengetahuinya, Bi Eng?”
“Dia bernama
Sim Houw, putera tunggal dari paman Sim Hong Bu....”
“Ahh....?”
Ceng Liong melompat berdiri dengan kaget sehingga Bi Eng juga terkejut dan
mengangkat muka memandang. “Putera orang tua yang gagah perkasa itu? Ah, pantas
kalau begitu orang tuamu menerimanya. Kalau begitu.... aku tidak tahu diri,
sungguh aku yang tidak tahu diri berani menyatakan cinta kepada calon mantu
Sim-locianpwe. Maafkan kelancanganku, nona.... dan selamat tinggal....” Dengan
hati terasa perih dan tubuh lemas Ceng Liong lalu meninggalkan gadis itu,
setelah membalikkan tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan.
“Ceng
Liong.....!” Terdengar seruan lemah.
Kaki Ceng
Liong bagai tertahan. Benarkah apa yang didengarnya tadi? Suara Bi Eng
memanggilnya, disusul isak tangis gadis itu! Dia membalikkan tubuh dan
memandang. Dilihatnya Bi Eng menangis, berdiri dengan kedua tangan diulur ke
depan, kedua lengan itu terbuka dan air mata bercucuran di atas sepasang
pipinya.
“Ceng
Liong.... jangan.... jangan kau pergi, jangan tinggalkan aku....!” gadis itu
berkata terisak-isak.
“Bi Eng....
apa artinya ini....?”
Ceng Liong
lari menghampiri dan mereka saling tubruk, saling rangkul, entah siapa yang
bergerak merangkul lebih dulu. Bi Eng menyembunyikan mukanya di atas dada
pemuda itu dan dia pun menangis terisak-isak. Ceng Liong menjadi bengong
sejenak, kedua lengannya merangkul pundak dan leher gadis itu, mendekap kepala
itu ke dadanya dan perlahan-lahan dia merasa kehangatan air mata itu menembus
bajunya dan membasahi dadanya.
Terasa segar
bagaikan siraman embun ke atas bunga yang tadi melayu di dalam hatinya, membuat
bunga itu berkembang kembali dengan segarnya. Dia hampir tidak dapat percaya
akan keadaan ini. Seujung rambut pun tadi dia tidak pernah menyangka bahwa Bi
Eng akan bersikap begini, bahkan sekarang pun, setelah dia merangkul gadis itu,
merasakan kehangatan tubuhnya dan kehangatan air mata di kulit dadanya, dia
masih ragu-ragu dan belum percaya.
“Bi Eng....
ah, Bi Eng apa artinya ini? Kenapa engkau menangis....?” Kedua lengannya
memeluk ketat dan kini jari-jari tangannya mengelus rambut kepala yang bersandar
di dadanya itu penuh kasih sayang.
Tanpa
mengangkat mukanya, Bi Eng menjawab lirih dan malu-malu, “Ceng Liong....,
apakah engkau belum dapat mengerti? Aku.... aku tidak hanya menerima cinta
kasihmu, aku.... aku bahkan juga.... mencintamu....”
Dengan
jari-jari tangan gemetar dan jantung berdegup girang, Ceng Liong menyentuh dagu
yang meruncing itu dan mendorongnya ke belakang sehingga wajah gadis itu
tengadah. Mereka saling pandang. Wajah itu kemerahan dan masih ada butir-butir
air mata seperti mutiara di kedua pipi itu.
“Bi Eng....
mimpikah aku....?” Ceng Liong bertanya seperti seperti orang bingung, suaranya
lirih mengandung getaran kuat.
Wajah yang
basah itu kini tersenyum, seperti sekuntum bunga bermandikan embun kini merekah
segar. Nampak sebagian deretan gigi putih berkilau dan sepasang mata yang masih
mengandung air mata itu memandang mesra. Meski dia belum berpengalaman, dan
walau pun getaran jantungnya membuat tubuhnya menggigil, ada sesuatu yang
mendorong Ceng Liong untuk menunduk dan dua kali mencium pipi kanan kiri yang
kemerahan, mencucupi butiran air mata dari pipi. Dua pasang lengan itu otomatis
saling memeluk lebih ketat seolah-olah keduanya ingin menyatukan diri dalam
pelukan itu.
Setelah
gelora perasaan itu mereda, Ceng Liong yang semenjak tadi masih dilanda
keraguan dan sulit menerima dan mempercayai kebahagiaan yang tiba-tiba melanda
dirinya itu, sekali lagi menyentuh dagu gadis itu dan mengangkat mukanya.
Sejenak mereka bertatapan pandang penuh kemesraan, lalu terdengar Ceng Liong berkata
lirih. “Bi Eng.... tapi.... tapi kau telah bertunangan....”
Bagaikan
dipagut ular berbisa, Bi Eng cepat melepaskan diri dari pelukan Ceng Liong,
meloncat ke belakang dan memandang wajah Ceng Liong dengan muka berubah pucat
sekali. Lalu gadis itu mengepal kedua tangannya dengan kuat, matanya
mengeluarkan sinar dan ia nampak penasaran sekali.
“Engkau
benar! Aku telah bertunangan atau lebih tepat lagi, ditunangkan dan dipaksa
berjodoh. Aku bukan anjing, atau kucing, bukan boneka. Aku tidak boleh menerima
begitu saja. Aku harus menentangnya!”
“Tapi, Bi
Eng, kalau engkau memutuskan tali pertunangan itu karena aku, tentu orang tuamu
akan marah kepadaku dan menganggap aku yang menjadi biang keladi, padahal
mereka itu tidak suka kepadaku. Dahulu pun, mereka menolak keras ketika
mendengar usul mendiang Hek-i Mo-ong yang hendak menjodohkan kita. Lagi pula,
aku sangat menghormati Sim-locianpwe, bagaimana aku ada muka untuk berhadapan
dengannya kalau kini aku menjadi perusak pertalian jodoh antara engkau dan puteranya?”
“Ceng Liong,
benarkah engkau cinta padaku?”
“Tentu
saja!”
“Sebesar aku
mencintamu?”
“Ya, lebih
lagi, ini aku yakin!”
“Kalau
begitu, mengapa engkau kelihatan takut-takut menghadapi segala resiko dan
akibatnya?”
“Bukan
takut, Bi Eng, hanya merasa tidak enak hati. Aku menghormati dan mengagumi
orang tuamu, juga Sim-locianpwe, dan aku khawatir akan nasibmu kalau menentang
orang tuamu....”
“Jadi, kalau
begitu engkau menganjurkan aku menerima saja nasibku? Menerima saja dijodohkan
dengan orang lain? Ceng Liong, cinta macam apa yang ada di hatimu terhadap
diriku?”
“Tidak,
bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin agar.... dengan halus engkau dapat
memberi alasan kepada orang tuamu supaya mereka tidak memaksamu, dan kita....
dengan terus terang menghadap orang tuamu, menceritakan tentang cinta kita.”
“Nah, begitu
baru benar!” Bi Eng menjadi gembira dan ia melangkah maju, dipegangnya kedua
tangan pemuda itu. “Ceng Liong, kalau aku berada di sampingmu, kalau aku
bersamamu, aku tidak akan takut menghadapi apa pun juga. Bersamamu aku berani
menghadap guruku dan orang tuaku untuk berterus terang, minta dibatalkan
pertalian jodoh paksaan itu dan menceritakan tentang cinta kasih kita.”
Ceng Liong
merangkulnya dan kembali mereka saling berpelukan. “Aku pun tidak takut,
Eng-moi....”
Bi Eng
tersenyum. “Ihh, lucunya kau menyebut Eng-moi kepadaku!”
“Habis,
bagaimana? Sudah sepatutnya demikian, bukan?”
“Dan aku
harus menyebut apa padamu, Ceng Liong?”
“Bagaimana
pun juga, selain lebih tua darimu, aku pun calon suamimu, kan? Pantasnya engkau
menyebut koko.”
“Liong-koko....
ihh, lucu juga!”
Melihat
kekasihnya itu dengan mata masih basah bekas air mata kini telah
tersenyum-senyum manis dan gembira, Ceng Liong tidak dapat menahan hatinya dan
diciumnya gadis itu, kini diciumnya bibir yang merah itu. Dia masih canggung
karena selama hidupnya baru pertama kali itu mencium, itu pun dilakukannya
hanya menurut dorongan naluri kejantanannya saja.
Bi Eng
terkejut, mengeluh dan meronta sebentar, akan tetapi lalu tubuhnya menjadi
lemas dan dia pun membuang semua perlawanan dan keraguan, menyerah dengan
sepenuh hati dan mereka pun berciuman, canggung namun mesra.
“Eng-moi,
aku cinta padamu. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu.”
“Tidak perlu
sampai membahayakan nyawa, koko. Aku yakin bahwa guruku dan juga ayah bundaku
adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan dapat menyadari kekeliruan
mereka. Kita menentang mereka karena memang sekali ini mereka terlalu sembrono
dan keliru dalam menjodohkan anak-anak mereka tanpa perhitungan lebih dulu,
tanpa mempedulikan isi hati antara yang bersangkutan.”
“Mudah-mudahan
begitu. Eng-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?”
“Aku datang
ke tempat ini bersama-sama suhu, dan tadi kami berpisah, masing-masing
melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini. Suhu menyuruh aku memasang mata
kalau-kalau tempat ini terdapat orang-orang dari golongan lain yang
menyelundup. Aku lalu bertemu dengan orang-orang Pek-lian-pai mabok yang
menggangguku.”
Ceng Liong
melepaskan rangkulannya dan mereka kini bicara dengan sikap serius, karena
perhatian mereka mulai tertarik dan teringat akan keperluan mereka datang ke
tempat itu. “Aku pun heran mengapa orang-orang seperti mereka itu turut hadir
pula di sini. Kehadiran mereka itu saja sudah membuat aku menjadi semakin
ragu-ragu akan kebenaran pertemuan ini.”
“Menurut
suhu, Pek-lian-pai ialah perkumpulan yang paling gigih menentang pemerintah
sejak dulu. Yang kita pandang bukanlah perangai mereka, melainkan semangat
mereka menentang pemerintah penjajah. Karena itu tadinya aku banyak mengalah,
akan tetapi karena mereka semakin kurang ajar, terpaksa aku menghajar mereka,”
kata Bi Eng.
“Sekarang
mereka sudah mulai berkumpul di Hutan Cemara, mari kita pergi ke sana, Eng-moi.”
“Sebaiknya
engkau pergi ke sana dulu, Liong-koko. Aku akan mencari suhu dulu dan nanti
kita bertemu kembali di Hutan Cemara.”
Menuruti
perasaan hatinya, Ceng Liong ingin berdampingan terus dengan kekasihnya. Akan
tetapi dia pun tahu bahwa kekasihnya itu tidak mungkin meninggalkan gurunya
atau juga calon ayah mertuanya itu begitu saja. “Baiklah, kita saling jumpa di
Hutan Cemara, Eng-moi,” katanya.
Mereka
saling menggenggam tangan dan saling berpandangan dengan penuh perasaan mesra.
Bi Eng lalu melepaskan tangannya dan membalik, lalu berlari cepat, lenyap di
balik pohon-pohon. Sampai beberapa lamanya Ceng Liong berdiri bengong, kemudian
dia pun melanjutkan perjalanan menuju ke Hutan Cemara.
Di Hutan
Cemara telah berkumpul banyak sekali orang. Ada seratus orang lebih yang sudah
datang berkumpul. Mereka itu rata-rata nampak gagah perkasa dan penuh semangat.
Hutan di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu nampak ramai walau pun hal ini
agaknya tidak diketahui oleh para penduduk dusun yang berada di sekitar
Tai-hang-san namun cukup jauh dari tempat pertemuan yang sepi itu.
Pada waktu
itu, sudah terdapat beberapa buah perkumpulan yang anti pemerintah, di
antaranya yang paling terkenal pada waktu itu adalah Pek-lian-pai atau
Pek-lian-pang yang intinya adalah Agama Pek-lian-kauw. Kemudian Pat-kwa-pai dan
Thian-li-pai yang juga merupakan perkumpulan rahasia yang selalu dikejar-kejar
pemerintah oleh karena mereka itu terang-terangan menentang pemerintah Mancu
yang berkuasa.
Pada mulanya
memang cita-cita menentang penjajah ini digerakkan oleh orang-orang yang
berjiwa patriot di antara para tokoh mereka. Akan tetapi sungguh sayang,
cita-cita ini kemudian dicampuri dengan cita-cita pribadi atau cita-cita
kelompok yang lain lagi, yang hanya mementingkan keuntungan diri pribadi atau
kelompok, ambisi untuk mencari kedudukan atau keuntungan.
Bahkan lebih
buruk lagi, di antara para anak buah perkumpulan-perkumpulan rahasia itu ada
yang terlalu mengandalkan kekuatan, kekuasaan atau pengaruh perkumpulannya
sehingga sering kali mereka bertindak sewenang-wenang. Bahkan banyak pula
orang-orang yang memang berwatak jahat menyelundup masuk dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengotorkan nama perkumpulan.
Ketika Ceng
Liong tiba di Hutan Cemara, banyak orang sudah berkumpul. Yang amat menyolok
adalah tiga buah perkumpulan itu. Mereka datang dengan anggota yang puluhan
orang banyaknya dan nampak bendera-bendera mereka berkibar dan pasukan mereka
berada di belakang bendera perkumpulan masing-masing.
Di depan
bendera Pek-lian-pai berdiri seorang tosu berusia enam puluh lima tahun,
bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, tetapi sepasang matanya yang mencorong
itu menunjukkan bahwa tosu yang tua ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi. Di kanan kirinya berdiri dua orang tosu tua yang tadi ribut dengan Bi
Eng.
Sikap tiga
orang tosu ini angkuh dengan muka ditegakkan menghadap ke depan, kedua tangan
di belakang tubuh dan kedua kaki dipentang lebar. Akan tetapi sikap para anak
buah Pek-lian-pai tidak teratur. Mereka nampak berbisik-bisik dan ada yang
tersenyum-senyum dengan mata melirik ke kanan kiri.
Pat-kwa-pai
dengan benderanya yang angker, bentuk segi delapan dengan garis-garis pat-kwa,
dipimpin oleh seorang kakek pula yang bertubuh sedang, berpakaian putih dan
kuning bagai pakaian pertapa, dengan rambut, jenggot dan kumis awut-awutan
panjang tak terpelihara. Dia diiringkan dua puluh lebih anak buah Pat-kwa-pai
yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dengan gambar pat-kwa di bagian
dada. Sikap mereka ini lebih serius dan pendiam dari pada para anak buah
Pek-lian-pai yang berbendera gambar bunga teratai itu.
Berbeda
dengan dua perkumpulan terdahulu, Thian-li-pai yang tiba dengan anak buah
sebanyak lima puluh orang itu dipimpin oleh seorang pria berusia empat puluh
tahun, berpakaian ringkas serba hitam dengan sepasang pedang tergantung di
punggungnya. Sikapnya pendiam dan gagah. Juga anak buahnya kelihatan gagah
dengan pakaian yang serba hitam dan ringkas.
Oleh karena
saat pertemuan yang ditentukan telah tiba, maka di dataran tinggi yang
dikelilingi para peserta itu muncul seorang pria yang gagah perkasa, yang
memakai baju dari kulit harimau. Pria ini berusia kurang lebih empat puluh
tahun dan begitu muncul di dataran tinggi itu, pria ini menjura dengan sikap
gagah dan hormat ke empat penjuru sambil berseru dengan nada suara yang
lantang.
“Cu-wi
(saudara sekalian) yang terhormat, mohon perhatian!”
Suaranya
yang mengandung getaran khikang yang kuat itu mengatasi suara berisik para
pendatang yang memenuhi tengah hutan cemara itu dan suasana lalu menjadi tenang
dan sunyi karena semua orang menghentikan percakapan masing-masing, dan kini
semua mata ditujukan kepada pria itu.
Melihat pria
itu Ceng Liong merasa betapa jantungnya berdebar. Andai kata tidak terjadi
pertemuan antara dia dan Bi Eng, maka melihat pria ini tentu akan mendatangkan
rasa girang, tidak bercampur tegang seperti sekarang ini. Pria itu adalah Sim
Hong Bu, pendekar yang mewarisi Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)
dengan ilmunya itu. Pendekar yang menjadi guru Bi Eng, juga menjadi calon
mertua!
Setelah
memberi hormat ke empat penjuru, Sim Hong Bu berkata, nada suaranya masih
lantang dan gagah. “Cu-wi yang terhormat, harap maafkan kelancangan saya
mewakili para locianpwe dan para sahabat untuk sementara memimpin rapat ini
sebelum kita semua memilih pimpinan. Bagi cu-wi yang belum mengenal saya, saya
perkenalkan diri bahwa nama saya Sim Hong Bu. Bagaimana pendapat cu-wi,
setujukah kalau saya untuk sementara memimpin pertemuan ini?”
“Setuju....!”
terdengar teriakan dari mereka yang sudah mengenal pendekar ini. Mereka yang
belum mengenalnya dan masih ragu-ragu pun diam saja, hanya mendengarkan.
Agaknya para
pimpinan tiga perkumpulan besar yang hadir itu pun sudah mengenal pendekar ini
karena mereka mengangguk-angguk. Karena sebagian besar di antara yang hadir
menyetujuinya, Sim Hong Bu makin bersemangat.
“Terima
kasih atas kepercayaan cu-wi. Saya akan menceritakan dahulu sedikit tentang
timbulnya gagasan mengadakan pertemuan pada hari ini. Beberapa orang locianpwe
dan sahabat baik, yang berjiwa pendekar dan mencinta tanah air dan bangsa,
pernah mengadakan pertemuan dan membicarakan tentang tanah air kita yang
dijajah Bangsa Mancu puluhan tahun lamanya. Sebagai pendekar dan patriot, tentu
saja kita tidak mungkin hanya tinggal diam saja. Maka saya pun diberi tugas
untuk menghubungi para sahabat dan pendekar yang sehaluan, serta mengundang
mereka untuk mengadakan pertemuan pada hari ini. Maksud dari pertemuan ini
adalah untuk menghimpun tenaga dan mengatur rencana bagaimana kita dapat
berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah.”
“Harus lebih
dulu dipilih seorang bengcu (pemimpin rakyat)!” terdengar teriakan-teriakan di
antara mereka yang hadir.
Sim Hong Bu
tersenyum dan mengangkat kedua tangan minta agar mereka itu tenang. Setelah
keadaan menjadi tenang, dia berkata. “Memang seperti yang cu-wi kehendaki,
pertama-tama kita memilih pimpinan. Karena itu maka tadi saya katakana, bahwa
saya hanya untuk sementara memimpin pertemuan ini, atau sebagai juru bicara.
Kita akan mengangkat seorang pemimpin dan pemimpin itulah yang kemudian
menentukan para pembantunya. Setujukah cu-wi?”
“Setuju….!”
Semua orang kembali berisik menyatakan setuju.
Tosu gendut,
yaitu yang pernah ribut dengan Bi Eng, mengacungkan tangan ke atas. Dengan
suara yang menggeledek dia berkata. “Kami calonkan ketua kami menjadi bengcu!”
Ucapan ini disambut sorak-sorai anak buah Pek-lian-pai.
“Kami
usulkan pimpinan kami Giam San-jin menjadi bengcu!” teriak seorang di antara
anak buah Pat-kwa-pai. Teriakan ini pun disambut sorak-sorai anak buah
perkumpulan itu.
“Kami
usulkan toako kami Su Ciok menjadi calon bengcu!” teriak anak buah Thian-li-pai
disambut sorak-sorai teman-temannya.
Kembali Sim
Hong Bu mengangkat kedua tangannya ke atas untuk memberi isyarat supaya suasana
kembali tenang. Setelah keadaan tenang, dia pun berkata. “Memang untuk memilih
bengcu, harus lebih dahulu diajukan calon-calon. Seorang calon yang diajukan
harus memenuhi syarat, dan harus dikemukakan kebaikan-kebaikan apa maka dia
dipilih menjadi bengcu. Saya akan mulai dengan locianpwe Ci Hong Tosu pimpinan
Pek-lian-pai yang tadi sudah diajukan sebagai calon. Harap dikemukakan
alasan-alasan mengapa dia dicalonkan.”
Sim Hong Bu
telah tahu siapa adanya tosu kurus yang sekarang memimpin rombongan
Pek-lian-pai itu. Dia tahu bahwa biar pun tosu itu memiliki ilmu kepandaian
tinggi, akan tetapi berwatak tinggi hati, bahkan kadang-kadang sombong dan
terlalu memandang rendah orang lain.
Tosu gendut
yang tadi mengusulkan agar ketuanya dipilih bengcu, berkata. “Suhu Ci Hong Tosu
mempunyai pengetahuan yang luas, di samping itu kepandaiannya tinggi, dan
terutama sekali di samping itu semua, beliau adalah seorang tokoh Pek-lian-pai
dan siapakah yang tidak tahu bahwa sejak dahulu Pek-lian-pai adalah perkumpulan
yang selalu berjuang untuk mengusir penjajah?”
“Susiok
kami, Giam San-jin belum tentu kalah dibandingkan dengan tokoh Pek-lian-pai!”
tiba-tiba terdengar pula suara dari rombongan Pat-kwa-pai. “Dan mengenai
perjuangan menentang pemerintah penjajah, Pat- kwa-pai juga sudah amat
terkenal.”
“Dalam hal
perjuangan, Thian-li-pai tidak kalah! Dan dalam hal kepandaian, juga toako kami
Su Ciok boleh diandalkan!” teriak orang-orang Thian-li-pai.
Kembali
keadaan menjadi berisik karena tiga golongan ini bicara sendiri semaunya.
Sementara
itu, semenjak tadi Ceng Liong tidak memperhatikan mereka yang ribut-ribut
mengajukan calon-calon bengcu karena dia sibuk mencari-cari Bi Eng dengan
matanya. Begitu melihat munculnya guru dan calon ayah mertua kekasihnya, dia
sudah menoleh dan memandang ke sana-sini, mencari-cari dengan pandang matanya
serta merasa gelisah mengapa gadis itu belum juga muncul.
Akhirnya dia
melihat berkelebatnya bayangan Bi Eng di antara penonton di sebelah selatan,
maka dia pun segera menyusup ke sana menghampiri dan Bi Eng yang juga
melihatnya kemudian bergerak pula menghampirinya. Seperti telah mereka janjikan
dan setujui berdua, mereka lalu berdiri di tempat yang tidak begitu
berdesak-desak, berdiri berdampingan dan bersama-sama memandang ke arah Sim
Hong Bu yang memimpin pertemuan itu.
“Suhu-mu
memang gagah perkasa,” Ceng Liong memuji lirih.
“Ya, dan
kalau menurut aku, tak ada yang lebih baik dari pada suhu untuk menjadi calon
bengcu. Dia penuh semangat dan berilmu tinggi, juga kegagahan dan kebersihannya
tidak perlu diragukan lagi,” jawab Bi Eng lirih.
“Kalau
begitu, kenapa tidak kau usulkan agar dia dicalonkan pula?”
“Engkau
benar! Orang-orang seperti mereka itu dicalonkan, mengapa suhu tidak?”
Setelah
berkata demikian, sekali menggerakkan kakinya, gadis itu sudah meloncat ke
depan, ke arah bagian tanah yang agak tinggi meski tidak setinggi tanah datar
di mana gurunya berada. Dengan pengerahan khikang yang membuat suaranya
melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan ia berkata. “Cu-wi, saya juga
mengajukan seorang calon bengcu, yaitu bukan lain guru saya sendiri Sim Hong Bu
yang cu-wi semua sudah mengenalnya!”
Usul ini
disambut sorakan setuju dari sebagian banyak orang, mungkin lebih tertarik
karena melihat kecantikan dan keberanian Bi Eng dibandingkan dengan kepercayaan
mereka terhadap Sim Hong Bu sendiri.
Melihat ulah
muridnya, Sim Hong Bu tertawa dan mengangkat kedua tangan ke atas. “Cu-wi
sekalian, harap maafkan murid saya. Akan tetapi karena ia sudah mengajukan saya
sebagai calon, tentu saja terserah kepada cu-wi. Nah, siapa lagi yang hendak
mengajukan calon?”
Ternyata
banyak juga calon yang diajukan oleh para pendekar itu. Di antara mereka bahkan
terdapat Bu-taihiap atau pendekar Bu Seng Kin yang terkenal sebagai seorang
pendekar sakti banyak isteri dan kekasihnya itu, yang kini telah berusia enam
puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak ganteng dan gagah! Bu-taihiap hanya
tersenyum-senyum saja mendengar betapa dia dicalonkan sebagai bengcu yang akan
memimpin para pendekar dan patriot untuk berjuang menentang pemerintah
penjajah. Agaknya pendekar ini merasa gembira bahwa masih ada orang yang
percaya kepadanya dan diam-diam dia merasa bangga karenanya. Jumlah para calon
itu ada tujuh belas orang!
“Jumlah
calon begini banyak, bagaimana harus diadakan pemilihan di antara yang tujuh
belas ini?” Sim Hong Bu menjadi bingung sendiri melihat demikian banyaknya
calon yang diajukan. Apalagi mereka itu nampak damikian bernapsu untuk menang
dalam pemilihan ini.
“Mudah saja
diatur! Kita adalah orang-orang yang sudah biasa mengandalkan ilmu silat untuk
melewati hidup. Karena itu, untuk menentukan pilihan, sebaiknya kalau dipilih
di antara kita yang paling tangguh. Nah, aku sebagai seorang di antara
calon-calon sudah maju untuk menandingi calon lain yang merasa berkepandaian
tinggi!”
Yang bicara
ini adalah seorang pria tinggi besar bermuka hitam yang sudah meloncat ke
depan, di tempat datar itu, bersikap menantang. Semua orang memandang
kepadanya. Pria ini tadi dipilih oleh kawan-kawannya dan dia terkenal sebagai
seorang yang ditakuti di Tai-goan, bahkan di Propinsi Shan-si dia dikenal
sebagai jagoan atau tukang pukul yang disegani. Karena dia tidak pernah berbuat
kejahatan, walau pun agak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan selalu
ingin benar sendiri, maka dia selalu mengangap diri sendiri sebagai seorang
pendekar!
Pria ini
bernama Tang Gun, dan pria yang tinggi besar bermuka hitam ini berusia empat
puluh tahun, terkenal memiliki banyak macam ilmu silat di antaranya ilmu-ilmu
silat dari Siauw-lim-si dan tenaganya amat besar. Sebelum yang lain-lain sempat
mengemukakan pendapatnya dan juga sebelum Sim Hong Bu sempat mencegahnya,
nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Su Ciok, tokoh Thian-li-pai, sudah
berada di atas tanah datar itu menghadapi Tang Gun!
“Bagus,
engkau hendak menantang pibu? Baik sekali, akulah lawanmu. Sekarang lihat
seranganku!” bentak Su Ciok sambil menerjang dengan pukulannya yang kuat.
Tokoh
Thian-li-pai ini memang berwatak keras, tidak banyak cakap namun suka sekali
berkelahi. Begitu mendengar usul dan tantangan Tang Gun tadi, dia sudah naik
darah dan menyambut tantangan itu tanpa banyak cakap lagi.
“Heh, engkau
ini tokoh Thian-li-pang tadi?” bentak Tang Gun sambil menangkis dengan
pengerahan tengannya yang besar.
“Dukkk....!”
Pertemuan
dua lengan yang sama besar dan sama kuatnya itu membuat keduanya terdorong ke
belakang sampai terhuyung. Keduanya terkejut, tak mengira bahwa lawan memiliki
tenaga yang demikian besar. Akan tetapi kini Tang Gun marah dan membalas
serangan tadi dengan cengkeraman tangan ke depan, disusul hantaman tangan kiri
ke arah kepala lawan. Karena kini dia tahu bahwa lawannya juga memiliki tenaga
besar, maka melihat datangnya serangan yang kuat berbahaya itu, Su Ciok
mengelak dan balas menyerang. Serang-menyerang pun terjadilah dengan serunya.
Dan ternyata
dua orang yang sama tinggi besar dan sama kuatnya ini memang memiliki
kepandaian dan tenaga seimbang. Berkali-kali lengan mereka saling bertemu dan
selalu keduanya terdorong ke belakang. Ketika mereka bertanding sampai dua
puluh jurus lebih, tiba-tiba berkelebat bayangan tubuh ke medan perkelahian
itu. Kiranya bayangan itu adalah Giam San-jin tokoh Pat-kwa-pai.
“Plakk!
Plakk!”
Kakek
berpakaian pertapa ini menggerakkan tangannya menyambut pukulan dua orang yang
sedang berkelahi itu. Demikian kuat tamparan tangannya ketika mengenai lengan
mereka sehingga Tang Gun dan Su Ciok yang bertenaga besar itu pun terpelanting
dan hampir terbanting roboh! Tentu saja keduanya terkejut bukan main.
“Kalian
mundurlah!” kakek itu membentak dengan mata mencorong kepada mereka.
Dua orang
kuat itu terbelalak dan sejenak bimbang. Dari pertemuan tenaga tadi saja mereka
pun maklum bahwa kakek tokoh Pat-kwa-pai ini memang hebat sekali, maka mereka
menjadi ragu dan jeri, lalu mundur untuk membiarkan kakek itu bicara.
Giam San-jin
memberi hormat ke empat penjuru, kemudian berkata dengan suara halus. “Kami
setuju dengan usul untuk menentukan siapa yang menjadi bengcu melalui ujian
kepandaian. Akan tetapi bukan secara kasar dan tak teratur seperti yang
diperlihatkan dua saudara tadi. Sebelumnya harus diadakan peraturan agar tidak
kacau-balau. Dan pertama ingin kami mendengar, apakah cu-wi yang hadir di sini
setuju bahwa untuk menentukan bengcu diadakan ujian kepandaian di antara para calon,
dan yang paling pandai berhak menjadi bengcu?”
“Siancai....!
Itulah jalan yang paling baik. Kami setuju!” Terdengar Ci Hong Tosu tokoh
Pek-lian-pai berseru, suaranya tinggi melengking hingga terdengar jelas sebab
memang tosu ini hendak memperlihatkan kekuatan khikangnya.
Selain ketua
Pek-lian-pai, banyak pula di antara para tokoh yang sudah dicalonkan tadi
menyetujui. Kembali suasana menjadi gaduh karena ada pula di antara para
pendekar yang nampaknya tidak setuju dengan usul pertandingan adu kepandaian
itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment