Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 25
Kui Lok yang
semenjak tadi mengerahkan sinkang untuk melawan suara itu, memungut pedang
suheng-nya, menyambar tubuh itu dan memanggulnya.
“Locianpwe,
maafkan kami....!” katanya terengah-engah.
Dia pun lalu
melarikan diri sambil memanggul tubuh Tek Ciang. Mukanya pucat sekali,
keringatnya bercucuran dan kedua kakinya menggigil. Hampir dia tidak kuat
menahan, dan dia memaksakan diri lari meninggalkan tempat itu, diiringkan dua
suara suling dan suara senandung itu. Untung baginya suara itu menghilang, tidak
mengejarnya lagi dan ketika tiba di sebuah lapangan rumput di kaki bukit, Kui
Lok tidak kuat lagi, roboh bersama Tek Ciang yang dipanggulnya dan dia pun
pingsan!
Sementara
itu, keluarga Kam dan murid mereka itu bangkit berdiri. Wajah Bu Ci Sian
berwarna merah dan sepasang matanya berkilat. “Aku ingat sekarang! Pemuda
pendek itu, bukankah dia yang dahulu datang menyerbu bersama Hek-i Mo-ong dan
Jai-hwa Siauw-ok? Benar, dialah orangnya!”
Kam Hong
seperti diingatkan. Tadi dia sudah merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing
baginya. “Ahhh, benar. Dia murid Jai-hwa Siauw-ok dan agaknya dia merupakan
cucu murid Ngo-ok yang mewarisi ilmu-ilmu Lima Jahat itu. Akan tetapi,
bagaimanakah cucu murid Ngo-ok dapat menguasai pula ilmu-ilmu dari Pulau Es
semahir itu? Dan dia pun jelas menguasai ilmu silat dari Lembah Naga Siluman!
Bahkan kini datang mewakili keluarga Cu untuk menandingi kita.”
Bu Ci Sian
mengerutkan alisnya. “Jelaslah bahwa keluarga Cu telah mencari dua jago muda
itu, yang seorang malah murid Kun-lun-pai. Dua orang itu agaknya mereka didik
untuk kemudian menjadi utusan mereka, mewakili mereka untuk menyerbu ke sini.
Kita harus tangkap mereka!” Nyonya ini hendak melakukan pengejaran, namun
suaminya mencegah.
“Tidak perlu
dikejar. Mereka itu hanya utusan yang diperintah untuk menandingi kita, untuk
mengalahkan aku. Kini mereka kalah dan melarikan diri, tidak ada alasannya
untuk dikejar lagi.”
“Akan
tetapi, mereka itu datang dari Lembah Naga Siluman dan aku khawatir sekali akan
keadaan anak kita di sana. Bukankah Bi Eng berada di sana. Lalu apa yang
terjadi dengan anak kita itu kalau keluarga Cu masih memusuhi kita?”
Kam Hong
menarik napas panjang. “Melihat bahwa tiga tahun yang lalu, dua orang locianpwe
she Cu itu datang ke sini untuk mengajak pulang Houw-ji, kurasa Bi Eng tidak
tinggal di sana. Tentu terjadi pertentangan antara saudara Sim Hong Bu dan
keluarga Cu. Dan aku yakin bahwa saudara Sim tentu bertanggung jawab atas
keselamatan anak kita. Bahkan sekarang waktu tiga tahun yang kita janjikan
dengan dia sudah lewat, kurasa tidak lama lagi tentu dia akan datang memberi
kabar.”
Seperti
biasa, Bu Ci Sian tunduk kepada keputusan suaminya dan walau pun hatinya
mendongkol, namun ia bersabar dan mereka bertiga menanti berita dari Sim Hong
Bu. Tentu saja mereka mempertajam kewaspadaan semenjak terjadi peristiwa itu
agar pihak lawan yang berniat buruk tidak dapat mempergunakan kecurangan untuk
mengganggu mereka.
Tek Ciang
dan Kui Lok tidak lama jatuh pingsan di lapangan rumput itu. Ketika sadar
kembali, Tek Ciang yang menderita luka dalam cepat duduk bersila dan
mengumpulkan hawa murni, mengobati luka di dalam dadanya sendiri. Kui Lok
bersila di sampingnya, memulihkan tenaganya. Setelah rasa nyeri dalam dadanya
mereda, Tek Ciang menarik napas panjang dan menyeka darah yang mulai mengering
di sudut bibirnya.
“Keluarga
iblis Kam yang keparat!” dia memaki gemas.
Kui Lok memandang
kepada suheng-nya dengan alis berkerut. “Suheng, tahanlah rasa penasaran dan
kemarahanmu itu. Aku sendiri merasa malu sekali terhadap keluarga Kam. Jelaslah
betapa kita kelihatan jahat dan rendah dibandingkan dengan mereka. Kalau mereka
menghendaki, betapa mudah bagi mereka untuk membunuh kita. Tadi, baru dengan
suara suling saja mereka mampu mengusir kita dan membuat kita tidak berdaya
sama sekali.”
Tek Ciang
mengepal tinjunya. Tentu saja hatinya semakin penasaran dan dendamnya menebal.
Dulu, ketika dia menyerbu bersama Jai-hwa Siauw-ok, dia sudah kalah dan terluka
oleh keluarga Kam. Sekarang, setelah lewat tiga tahun dan digembleng ilmu oleh
keluarga Cu, masih saja dia kalah dan kembali terluka. Sungguh memalukan dan
menggemaskan.
“Aku masih
belum mau menerima kalah! Sute, kita telah menerima budi besar keluarga Cu
selama tiga tahun. Kalau untuk membalas budi itu mereka hanya minta kita untuk
mengalahkan Kam Hong, kini sebelum hal itu terlaksana, mana kita ada muka untuk
berjumpa dengan kedua orang suhu kita? Aku masih merasa penasaran. Kalau kita
mengeluarkan semua ilmu kita, belum tentu kita kalah. Kita tadi hanya kalah
oleh suara suling mukjijat itu.”
“Janganlah
terlampau membesarkan kepandaian sendiri dan meremehkan kemampuan orang lain,
suheng. Aku tahu bahwa kepandaian yang kau dapat dari pendekar keluarga Pulau
Es amatlah hebat. Akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Kam itu pun memiliki
ilmu silat tinggi yang sukar dikalahkan. Aku tadi heran, suheng. Ilmu silatmu
banyak dan aneh-aneh, ini sudah kuketahui. Akan tetapi apa maksudnya ucapan
isteri pendekar Kam itu? Ilmu pukulanmu dengan jari yang hebat itu.... benarkah
seperti katanya tadi disebut Kiam-ci dan merupakan ilmu dari.... Ngo-ok?
Benarkah engkau ada hubungan dengan tokoh-tokoh hitam yang terkenal seperti
iblis itu?”
Tek Ciang
tersenyum. “Tidak kusangkal, sute. Memang ilmu itu namanya Kiam-ci dan kudapat
dari keturunan Ngo-ok. Akan tetapi tidak berarti bahwa aku memiliki hubungan
dengan Ngo-ok yang sudah tiada. Memang aku suka sekali mempelajari segala macam
ilmu silat, sute. Apa salahnya memperluas pengetahuan dengan mempelajari
ilmu-ilmu yang tinggi, dari mana pun datangnya? Sekali waktu akan berguna bagi
kita. Kalau tadi mereka tidak menggunakan suara suling mukjijat itu, belum tentu
aku kalah.”
Kui Lok
menyangsikan kebenaran kalimat terakhir itu, akan tetapi dia enggan berbantah
dengan suheng-nya, apalagi setelah mereka berdua menderita kekalahan. Dia tak
mau menyinggung perasaan suheng-nya.
“Aku rasa
ilmu itulah yang oleh suhu Cu Han Bu disebut sebagai ilmu meniup suling
Kim-kong Sim-in yang harus kita hadapi dengan waspada. Tak kusangka suara
tiupan suling akan sehebat itu. Kita sudah digembleng oleh suhu untuk
menghadapi suara itu. Kalau hanya menghadapi suara suling yang tadi menyerang
kita itu, cukup bagi kita mengerahkan sinkang untuk bertahan. Akan tetapi apa
artinya kalau kita hanya selalu bertahan? Begitu kita menyerang, tenaga kita
lalu membalik dan memukul diri sendiri, seperti yang kau alami tadi, suheng.”
Tek Ciang
mengangguk-angguk, wajahnya muram, hatinya kesal. “Ah, kalau kita tidak dapat
memperoleh ilmu untuk menandingi suara suling itu, habislah harapan kita untuk
mengalahkan mereka, dan bagaimana kita mempunyai muka untuk menghadap suhu di
Lembah Naga Siluman?”
Kui Lok
merasa kasihan melihat kemuraman wajah Tek Ciang. Dia tahu akan rahasia hati
suheng-nya ini. Dia tahu bahwa antara suheng-nya ini dan suci (kakak perempuan
seperguruan) mereka, yaitu Cu Pek In, puteri guru mereka Cu Han Bu, yang
kabarnya sudah menjadi janda karena ditinggal pergi suaminya, terdapat suatu
hubungan yang amat erat dan akrab, bahkan mesra sekali.
Biar pun
usia suci itu sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi suci mereka itu tetap
cantik dan terutama sekali mempunyai kepandaian yang cukup hebat. Diam-diam dia
menduga bahwa telah terjalin hubungan asmara antara keduanya itu secara gelap.
Walau pun dia merasa tidak cocok, namun karena bukan urusannya, dia pura-pura
tidak tahu saja. Hanya dia merasa heran bagaimana suheng-nya yang masih muda
dan cukup tampan dan gagah itu dapat jatuh cinta kepada seorang wanita yang
sepuluh tahun lebih tua.
Kini dia
tahu betapa resah hati suheng-nya itu karena tugas yang hanya satu-satunya itu
gagal. Suheng-nya tidak hanya merasa malu terhadap suhu-suhu mereka, melainkan
terutama sekali malu terhadap kekasihnya atas kegagalannya.
“Suheng, aku
sekarang teringat. Ketika masih belajar di Kun-lun-pai, suhu pernah bercerita
tentang suatu ilmu yang mirip dengan suara suling dari keluarga Kam itu. Ilmu
itu disebut Sin-liong Ho-kang (Ilmu Gerengan Naga Sakti). Akan tetapi ilmu itu
dianggap sebagai ilmu yang berbahaya oleh para tokoh pimpinan Kun-lun-pai,
dianggap sebagai ilmu yang kejam dan sesat sehingga tidak ada murid Kun-lun-pai
yang diperbolehkan mempelajarinya.”
“Ahhh,
sungguh sayang sekali. Kalau begitu berarti ilmu itu telah lenyap dari
perguruan Kun-lun-pai!” kata Tek Ciang menyesal.
“Tidak,
suheng. Sebetulnya tidaklah lenyap sama sekali. Ilmu itu masih disimpan
baik-baik dalam ujud kitab, akan tetapi kitab itu selalu disimpan di dalam
kamar pusaka dan tidak ada seorang pun murid yang boleh membuka atau
membacanya. Dan biasanya, murid-murid Kun-lun-pai amat patuh karena sudah
terikat oleh sumpah kami.”
“Ahhh,
begitukah, sute? Jadi memang ada pelajaran itu, masih berupa kitab? Sute,
maukah engkau bermurah hati kepadaku?”
“Maksudmu
bagaimana, suheng?”
“Maukah
engkau membawaku ke Kun-lun-pai dan minta ijin kepada ketua Kun-lun-pai agar
mengijinkan aku mempelajari ilmu itu?”
“Hemm,
rasanya sukar, suheng....”
“Sute,
larangan itu hanya terbatas pada murid-murid Kun-lun-pai, bukan? Dan aku
bukanlah murid Kun-lun-pai. Tetapi karena engkau seorang murid Kun-lun-pai
tersayang dan kita sudah terikat persaudaraan, kalau kita menceritakan tentang
kegagalan kita, mengingat pula hubungan baik antara gurumu dan para tokoh
keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, kurasa akan banyak harapan aku akan
diperkenankan mempelajarinya. Bukan untuk maksud keji, melainkan hanya untuk
melawan suara suling keluarga Kam itu atau setidaknya mencari cara untuk
mengatasinya.”
Kui Lok
mengerutkan alis, lalu mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kucoba. Kitab-kitab
Kun-lun-pai aslinya memang berada di pusat Kun-lun-pai di pegunungan
Kun-lun-san, amat jauh dari sini. Akan tetapi semua cabangnya mempunyai
salinan-salinannya dan ada kulihat suhu memiliki juga salinan kitab ilmu
Sin-Liong Ho-kang itu. Mari kita coba menghadap suhu dan mudah-mudahan saja
permintaan kita akan dikabulkan.”
Tek Ciang
merangkul sute-nya. “Ah, aku tahu bahwa memang engkau seorang saudara yang amat
baik sekali, sute!”
Berangkatlah
mereka menuju ke kuil Kun-lun-pai yang letaknya tidak berapa jauh dari situ,
hanya perjalanan dua hari saja.....
***************
Seperti
dapat dibuktikan di dalam catatan sejarah, pemerintahan Kaisar Kian Liong
merupakan bagian yang paling gemilang dari masa Kerajaan Ceng, yaitu kerajaan
penjajah Mancu atas seluruh Tiongkok. Harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong
adalah seorang kaisar yang semenjak mudanya pandai dan bijaksana dalam
mengendalikan pemerintahan.
Bahkan dia
berhasil pula menarik simpati para pemuka rakyat dengan cara melebur diri
menjadi seperti orang Han, bukan seperti orang asing yang menjajah. Ia
memerintahkan semua pejabat untuk mempelajari kebudayaan rakyat, bersikap baik
terhadap rakyat, akan tetapi di samping itu, dia juga menyiapkan pasukan yang
kuat untuk menjaga kewibawaan pemerintahannya. Dia mempergunakan tangan besi
bersarung sutera.
Akan tetapi,
para pendekar bukanlah orang-orang yang bodoh semua. Di antara para pendekar
ada yang tahu benar rahasia apa yang terjadi di balik semua kebaikan yang
diperlihatkan kaisar itu. Pergolakan yang berkecamuk dalam hati para pendekar
bukan hanya karena jiwa patriot yang memberontak melihat nusa bangsa dijajah
oleh bangsa asing, melainkan juga disebabkan pula oleh ulah Kaisar Kian Liong
sendiri.
Memang harus
diakui bahwa Kaisar Kian Liong, sejak mudanya, sejak masih pangeran, suka
bergaul dengan rakyat jelata sehingga ia amat populer di kalangan rakyat.
Bahkan sejak ia masih pangeran, para pendekar selalu melindungi dan menjaga
keselamatan pangeran yang dianggap sebagai calon kaisar yang baik dan
menguntungkan rakyat jelata ini.
Tetapi di
balik semua kebaikan yang memang harus diakui ada pada diri Kian Liong, dia
memiliki suatu kelemahan, yaitu suka pelesir dan berhubungan dengan
wanita-wanita cantik. Akan tetapi karena memang perangainya baik dan terdidik
sebagai seorang sasterawan, dia tidak pernah mau mengganggu wanita baik-baik
dengan kekerasan, tidak mau mempergunakan kedudukannya atau kekayaannya untuk
memaksa wanita baik-baik menjadi kekasihnya. Dia lebih suka mengunjungi
rumah-rumah pelacuran.
Tentu saja
banyak pula gadis-gadis dan wanita baik-baik yang tertarik kepada pangeran itu,
baik karena kedudukannya mau pun ketampanannya, yang menyerahkan diri tanpa
paksaan. Maka tersiarlah berita bahwa Kaisar Kian Liong mempunyai banyak anak
yang lahir dari wanita-wanita yang pernah berhubungan dengan dia pada waktu dia
masih pangeran yang sempat berkelana dan bertualang itu.
Sejak masih
pangeran, Kian Liong memiliki seorang kepercayaan yang memungkinkan dia sering
pergi meninggalkan istana dan menyamar sebagai pemuda biasa, dan orang
kepercayaannya ini pula yang memungkinkan dia mengunjungi rumah-rumah pelacuran
dan berhubungan dengan pelacur-pelacur paling terkenal di kota raja dan
kota-kota besar lainnya. Orang kepercayaannya ini adalah seorang thaikam
(pelayan kebiri) yang amat cerdik, bernama Siauw Hok Cu.
Saat Kian
Liong masih menjadi pangeran, di dalam istana sendiri terjadi suatu peristiwa
yang kalau ketahuan orang luar atau kalangan istana sendiri tentu akan
mendatangkan aib dan kehebohan. Akan tetapi, thaikam Siauw Hok Cu demikian
pandai menjaga rahasia majikannya dan memang Pangeran Kian Liong sendiri amat
cerdik sehingga peristiwa itu merupakan rahasia yang tidak pernah diketahui
orang lain.
Peristiwa
itu dimulai dengan pertemuan antara Pangeran Kian Liong yang pada waktu itu
baru berusia delapan belas tahun dengan nyonya Fu Heng, kakak iparnya sendiri
karena nyonya ini adalah isteri seorang pangeran yang menjadi kakak tiri Kian
Liong terlahir dari selir.
Bertemu
dengan nyonya yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini, Pangeran Kian Liong
seketika jatuh cinta dan bahkan tergila-gila. Akan tetapi, karena nyonya itu
adalah isteri kakak tirinya, tentu saja dia tak berani bersikap kurang ajar dan
hanya menyimpan kerinduan hatinya itu di dalam dada saja.
Nyonya Fu
Heng memang cantik jelita, kulitnya putih halus tanpa cacad, mukanya yang putih
itu agak kemerahan tanpa alat kecantikan, mukanya bulat telur, dan sepasang
matanya sipit akan tetapi lebar dan bagai sepasang bintang berkilauan.
Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak naik seperti menantang, dan
terutama sekali mulutnya amat mungil, dengan bibir yang selalu kemerahan dan
selalu basah dan segar. Dalam usianya yang tiga puluh tahun dan belum mempunyai
anak, tubuh wanita ini penuh dan matang, dengan gerak gerik lembut penuh daya pikat
yang amat kuat.
Hanya
thaikam Siauw Hok Cu yang tahu akan penyakit rindu birahi yang menyerang
majikannya, pada waktu Pangeran Kian Liong sering kali nampak termenung di
dalam kamarnya atau di kebun bunga.
“Pangeran,
harap paduka jangan banyak termenung berduka. Seekor kumbang takkan kehabisan
akal untuk dapat menghisap madu kembang yang disukai dan dipilihnya.” Thaikam
gendut itu menghibur sambil mendekati majikannya yang sedang duduk serta
termenung pada suatu malam dalam taman bunga.
Pangeran
Kian Liong mengangkat muka, memandang orang kepercayaan itu dengan heran dan
bertanya, “Hok Cu, apa maksudmu? Jangan kau main-main!” Karena hatinya sedang
kesal, kata-kata yang belum dimengerti maksudnya itu dianggap mengganggu
hatinya.
Akan tetapi
thaikam gendut itu tersenyum. Mukanya yang seperti muka anak-anak yang gendut
dan sehat itu berseri, sepasang matanya menjadi semakin sipit sampai hampir
terpejam. “Pangeran, hendaknya paduka mengetahui bahwa nyonya Fu Heng adalah
sahabat baik sekali dari Sang Puteri Kim.”
Mendengar
ini, Pangeran Kian Liong memandang dengan penuh perhatian. Dia kagum akan
kecerdikan orang ini, yang agaknya sudah dapat menerka apa yang disusahkan.
Puteri Kim adalah puteri istana yang juga menjadi saudara iparnya. Tetapi
disebutnya nama nyonya Fu Heng jelas membuktikan bahwa orang kepercayaannya ini
tahu akan isi hatinya.
“Kau
tahu....?”
Thaikam itu
mengangguk. “Jangan khawatir, hanya hamba seoranglah yang berhasil
mengetahuinya.”
“Lalu, apa
maksudmu mengatakan bahwa ia sahabat baik Puteri Kim?”
“Pangeran,
sudah beberapa kali nyonya Fu menjadi tamu Puteri Kim, bahkan sampai bermalam
selama satu dua hari. Biasanya, nyonya itu berkunjung atas undangan sang puteri
dan keduanya bersantai di Taman Musim Semi!”
“Lalu, kalau
begitu mengapa?” tanya sang pangeran yang masih belum mengerti apa yang
dimaksudkan pelayan yang mukanya penuh senyum gembira itu. “Apa artinya
Cang-cun-yuan (Taman Bahagia Musim Semi) itu bagiku?”
“Pangeran
tentu ingin sekali bertemu berdua saja dengan nyonya Fu Heng, bukan?”
Wajah sang
pangeran menjadi kemerahan. Bagaimana pun juga, memalukan sekali diketahui
rahasia hatinya bahwa dia jatuh cinta kepada kakak iparnya sendiri! Tetapi
orang ini adalah satu-satunya orang yang dipercayanya, maka dia pun mengangguk.
“Nah, kalau
begitu hamba yang tanggung bahwa pada besok malam, paduka akan dapat
menjumpainya seorang diri saja di taman itu.”
“Di
Cang-cun-yuan? Bagaimana caranya?”
“Mudah saja,
pangeran. Hamba akan membuat surat undangan atas nama Sang Puteri Kim,
mengundang nyonya itu untuk berkunjung ke Taman Musim Semi. Nah, hamba akan
menyogok para dayang di taman itu agar dapat diatur sebaiknya, mempersiapkan
pertemuan antara paduka dan nyonya cantik jelita itu.”
Wajah sang
pangeran berseri gembira. “Ahhh, engkau cerdik sekali. Kau lakukanlah itu, Hok
Cu, kau lakukan itu, akan tetapi hati-hati, jangan sampai bocor dan awas,
jangan gagal, karena ini menyangkut nama baik keluarga istana, kau tahu?”
“Tanggung
beres, pangeran. Hamba jamin dengan nyawa hamba yang tidak berharga!”
Demikianlah,
thaikam Siauw Hok Cu yang cerdik itu kemudian menjalankan siasatnya, membuat
surat undangan atas nama Puteri Kim kepada Nyonya Fu Heng agar pada besok sore
sudi datang berkunjung ke Cang-cun-yuan seperti biasanya dan kemudian
mengirimkan undangan itu kepada nyona cantik itu.
Menerima
surat undangan ini, Nyonya Fu Heng tidak menaruh hati curiga sedikit pun. Juga
suaminya tidak menaruh curiga karena suami ini mengetahui betapa akrabnya
hubungan antara isterinya dan adik tirinya. Bahkan isterinya boleh bermalam di
taman itu bersama adik tirinya selama beberapa malam tanpa harus minta ijin
lagi darinya.
Pada sore
yang ditetapkan, berangkatlah Nyonya Fu Heng, seperti biasa melakukan perjalanan
yang cukup melelahkan itu dari kota raja ke istana sebelah barat, di ujung
barat kota. Perjalanan itu ditempuh dengan naik joli yang dipikul oleh empat
orang yang dikawal beberapa orang pengawal saja.
Kunjungannya
ke taman itu disambut beberapa orang dayang yang sudah dipersiapkan oleh
thaikam Siauw Hok Cu! Para pemikul joli beserta pengawal diperkenankan pulang
dengan pesan supaya besok sore dijemput karena nyonya itu akan bermalam di
situ. Kemudian para dayang yang sudah dipengaruhi thaikam Siauw Hok Cu,
mengantar nyonya cantik itu ke dalam pondok mewah dan dipersilakan untuk mandi
karena Puteri Kim akan datang, dalam waktu satu dua jam lagi.
Nyonya Fu
Heng baru saja melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka begitu ditawari
mandi, dia menerimanya dengan gembira. Bangunan kecil di antara pohon-pohon
bambu indah itu amat romantis dan mendatangkan rasa gembira dalam hatinya.
Nyonya itu lalu dibawa oleh para dayang ke dalam kamar mandi dan mandilah Nyonya
Fu Heng, dibantu oleh para dayang. Setelah selesai mandi, para dayang
memberikan sebuah kimono yang halus terbuat dari sutera yang tembus pandang dan
meninggalkan nyonya itu di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah.
Nyonya Fu
sudah mengenal baik kamar ini. Biasanya dia memang bermalam di dalam kamar ini
bersama adik suaminya, yaitu Puteri Kim kalau ia berkunjung ke sini. Kini,
sambil menunggu datangnya adik itu, dia duduk menghadapi cermin besar, mengurai
rambutnya yang hitam panjang itu dan mulai menyisiri rambutnya yang harum
lembut.
Sunyi sekali
keadaan di bangunan itu dan cuaca mulai remang-remang. Tiba-tiba daun pintu
yang menembus ke ruangan belakang, terbuka dari luar. Nyonya Fu mengira bahwa
yang masuk itu tentulah Puteri Kim atau seorang di antara para dayang.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa yang masuk itu adalah
Pangeran Kian Liong, adik suaminya, pangeran yang amat terkenal sebagai seorang
pangeran yang bijaksana dan baik budi, juga sangat tampan dan halus penuh
kesopanan. Munculnya sang pangeran di dalam kamar membuat Nyonya Fu demikian
terkejut, heran dan membuatnya tak mampu berkata-kata, hanya terbelalak
memandang pangeran itu melalui cermin di depannya.
Pangeran
Kian Liong menghampirinya sambil tersenyum dan di tangan pangeran itu terdapat
setangkai bunga mawar merah.
“Alangkah
indahnya rambutmu....!” kata Pangeran Kian Liong halus, lalu dipasangnya
setangkai bunga itu di atas rambut nyonya cantik itu.
Nyonya Fu
Heng hanya memandang dengan mata merah sambil berusaha menutupi dadanya dengan
kedua tangan karena kimono tipis yang tembus pandang itu tak dapat
menyembunyikan tubuhnya dengan baik.
“Alangkah
halusnya kulitmu....!” Pangeran Kian Liong membungkuk dan menyentuh leher itu
dengan bibirnya.
Nyonya Fu
tersentak bangkit berdiri dan hendak menjerit, tetapi tiba-tiba pangeran yang
sudah tergila-gila itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut sambil mencabut
pedangnya.
“Kalau
engkau menolak cintaku, lebih baik sekarang juga aku membunuh diri di depan
kakimu dari pada hidup menanggung rindu dan malu!”
Tentu saja
nyonya cantik itu terkejut sekali. Pangeran yang berlutut di depan kakinya ini
adalah pangeran mahkota, yang akan menggantikan kaisar yang kini sedang
menderita sakit hebat. Pangeran ini adalah calon kaisar, maka kalau sampai
membunuh diri di depannya, tentu hal itu merupakan mala petaka dan bencana
hebat bagi dirinya dan keluarganya.
“Tidak....!
Aduh…., pangeran, jangan bodoh.... harap simpan kembali pedang paduka itu....!”
Pangeran
Kian Liong tersenyum gembira. Pencegahan itu tentu saja boleh diartikan bahwa
nyonya cantik ini menerima cintanya. Dia melepaskan pedangnya, lalu bangkit
berdiri sambil memondong tubuh nyonya itu. Nyonya Fu Heng menahan jeritannya,
dan terkulai lemas tak berdaya lagi setelah berada dalam pondongan pangeran
muda itu.
Pangeran
Kian Liong membawa kekasihnya ke pembaringan dan dia menumpahkan rasa cinta dan
rindunya dengan penuh kemesraan. Nyonya Fu hanya bisa memejamkan mata, tidak
berani berteriak atau menolak. Namun, nyonya ini merasakan pengalaman baru yang
tidak pernah didapatkannya selama ini. Dia merasakan kemesraan yang luar biasa,
yang membuatnya menerima pangeran itu dengan hati terbuka.
Semenjak
malam itu, Nyonya Fu Heng tidak mau lagi digauli suaminya dan sering kali ia
mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Kian Liong. Hal ini terjadi sampai
sang pangeran menjadi kaisar. Bahkan ketika kaisar tua meninggal, Pangeran Kian
Liong menerima berita kematian itu di dalam kamar ketika dia sedang mengadakan
pertemuan asyik masuk dengan Nyonya Fu Heng!
Akan tetapi
hubungan itu pun seperti putus pada saat dia naik tahta dan Nyonya Fu
melahirkan seorang putera keturunan Kian Liong! Hanya kadang-kadang saja Kaisar
Kian Liong mengadakan pertemuan dengan kekasihnya yang masih menjadi kakak
iparnya itu.
Setelah
menjadi kaisar, kesukaan Kian Liong akan wanita-wanita cantik bahkan semakin
menjadi. Tak dapat disangkal bahwa dia melakukan tugasnya sebagai kaisar dengan
amat baik, memerintah dengan bijaksana dan adil. Namun, kesukaannya akan wanita
menimbulkan banyak persoalan, bahkan rasa kebencian kepada sebagian orang,
terutama para pendekar yang memang sudah tidak suka melihat bangsanya dijajah
oleh Bangsa Mancu.
Orang
pertama yang memperoleh bagian kemuliaan saat Pangeran Kian Liong menjadi
kaisar adalah Thaikam Siauw Hok Cu. Begitu pangeran itu naik tahta menjadi
kaisar, thaikam ini lalu diangkat menjadi Kepala Thaikam dan diberi nama Hok
Sen. Thaikam Hok Sen ini terkenal dalam sejarah sebagai seorang thaikam yang
berhasil menumpuk kekayaan yang luar biasa banyaknya dan menikmati kedudukan
tinggi dan mulia selama Kian Liong menjadi kaisar sampai puluhan tahun!
Peristiwa
yang belum lama ini terjadi, kembali membuat hati para pendekar menjadi marah.
Agaknya, setelah berusia tiga puluh tahun lebih dan hidupnya sudah dikelilingi
banyak sekali wanita cantik yang seolah-olah berlomba memperebutkan perhatian
dan cintanya, Kaisar Kian Liong belum juga merasa puas.
Memang
demikianlah kalau manusia sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Nafsu itu dapat
tumbuh menjadi keinginan apa saja, dalam makanan, tontonan, pemuasan sex,
penumpukan harta, pengejaran kedudukan dan sebagainya. Sekali saja manusia
sudah dicengkeram dan menjadi hamba nafsu, maka dia tidak akan mengenal puas.
Memang
segala macam nafsu itu menjurus ke arah kepuasan, tetapi, kepuasan seperti itu
tidaklah dapat bertahan lama, segera disusul oleh kekecewaan dan kekurangan,
ingin yang lebih hebat, lebih enak, lebih besar, lebih banyak dan selanjutnya.
Justru pengejaran kepuasan inilah yang meniadakan kepuasan yang sesungguhnya,
karena harapan selalu lebih besar dari pada kenyataan.
Kaisar Kian
Liong yang sudah dikelilingi banyak wanita cantik itu masih kurang puas, masih
menghendaki sesuatu yang lebih dari pada semua yang telah ada itu!
Sudah
menjadi hal yang wajar bahwa di dalam suatu pemerintahan terdapat banyak
orang-orang berambisi yang ingin mencari kedudukan bagi dirinya sendiri.
Pengejaran kedudukan ini menimbulkan pelbagai cara yang curang dan kotor, di
antaranya sifat menjilat. Dalam sebuah pemeritahan, selalu ada dan banyak saja
orang-orang yang suka menjilat sebagai jalan untuk memperoleh imbalan. Menjilat
untuk menyenangkan atasan agar atasan membalas jasanya dengan kenaikan pangkat,
dengan hadiah dan sebagainya.
Demikian
pula dengan Kaisar Kian Liong. Setelah kelemahannya diketahui orang, maka
banyaklah para pembesar korup yang mendekatinya dan menjilat-jilat dengan cara
menyuguhkan gadis-gadis cantik yang mereka dapatkan dengan berbagai cara,
kadang-kadang dengan cara yang kotor pula. Gadis-gadis itu mereka haturkan
kepada kaisar dengan harapan kaisar akan merasa senang dan tentu akan memberi
imbalan jasa yang lumayan. Apalagi kalau sampai gadis pemberian mereka itu
kelak memperoleh kedudukan penting, tentu sang gadis tidak akan melupakan orang
yang mula-mula membawanya kepada kaisar!
Pada suatu
hari, seorang di antara para penjilat kaisar yang melihat kebosanan kaisar
terhadap para wanita cantik yang ada, memberi tahukan pada kaisar bahwa di
Sin-kiang terdapat seorang wanita yang luar biasa cantiknya! Wanita itu di
seluruh Sin-kiang terkenal dengan sebutan Puteri Harum!
“Apakah ia
masih gadis?” Kaisar Kian Liong segera saja memperlihatkan sikap tertarik
sekali.
“Sayang
bahwa ia telah menikah dengan seorang kepala suku di Sin-kiang, sri baginda,
dan dia adalah puteri kepala suku Ho-co. Akan tetapi, hamba sendiri pernah
melihatnya dan hamba berani bersumpah bahwa selama hidup hamba, belum pernah
hamba melihat seorang wanita secantik itu! Tiada cacat-celanya sedikit pun juga
dan tubuhnya mengeluarkan bau harum, bukan keharuman yang dibuat dengan minyak.
Kabarnya sejak kecil ia diberi minum semacam obat rahasia yang membuat keringat
dan tubuhnya berbau harum. Dan ia masih amat muda, sri baginda, baru dua puluh
lima tahun dan belum mempunyai anak.”
Selanjutnya
si penjilat ini menggambarkan kecantikan Puteri Harum dengan kata-kata bermadu,
membuat Kaisar Kian Liong tergila-gila dan sampai beberapa hari dia tidak dapat
tidur nyenyak atau makan enak. Yang terbayang hanyalah Sang Puteri Harum dari
Sin-kiang itu!
Akhirnya
Kaisar Kian Liong tidak dapat menahan lagi kerinduan hatinya. Dia tergila-gila
mendengar adanya seorang wanita yang memiliki kecantikan sedemikian luar biasa
seperti yang belum pernah didengarnya sebelumnya, apalagi dilihatnya. Maka,
dengan nekat dia lalu memanggil Jenderal Cao Hui, seorang jenderal
kepercayaannya untuk membawa pasukan besar dan menyerbu ke Sin-kiang.
Dia tidak
mau mengutus Jenderal Kao Cin Liong karena terhadap jenderal muda ini dia
merasa malu. Perasaannya meyakinkan hatinya bahwa jenderal Kao Cin Liong tentu
akan menentang dan tidak akan menyetujui rencana gila itu, menyerbu ke barat
dan mengadakan perang hanya untuk merampas seorang wanita!
Pasukan yang
dipimpin Jenderal Cao Hui itu berhasil menyerbu Sin-kiang, membunuh banyak
prajurit suku bangsa Ho-co, dan menawan Sang Puteri Harum, dibawa ke timur dan
pada suatu hari, tercapailah idam-idaman hati Kaisar Kian Liong untuk
berhadapan dengan sang puteri!
Tentu saja
peristiwa ini mendatangkan rasa penasaran dan kemarahan besar di antara para
pendekar. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berani menentang karena
bukankah yang diserbu itu hanyalah suku bangsa terpencil di barat yang tidak
termasuk bangsa pribumi Han?
Kaisar Kian
Liong terpesona menatap kecantikan asing dari sang puteri yang menangis ketika
dihadapkan kepadanya sebagai tawanan. Tubuh yang ramping padat itu, kulit yang
putih halus kemerahan, bibir yang merah basah, mata yang lebar dan indah bening
kebiruan, hidung yang mancung, bulu mata yang panjang-panjang melengkung.
Sungguh kecantikan yang berbeda sama sekali dengan kecantikan yang biasa dia
lihat. Apalagi bau harum yang jelas tercium oleh hidungnya walau pun sang
puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai. Seluruh ruangan itu seolah-olah baru
saja disiram sebotol minyak harum atau seakan-akan ruangan itu berubah menjadi
taman bunga-bunga mawar yang baru mekar!
“Thian Yang
Agung....,” kaisar itu berbisik dekat Hok Sen, sang kepala thaikam sambil
menatap tanpa berkedip. “Ia tentu seorang bidadari yang turun dari sorga....”
“Hamba yakin
memang demikian, sri baginda, dan hanya paduka sajalah yang patut
mendampinginya....,” bisik thaikam yang pandai menyenangkan hati itu.
Pada saat
itu juga, Kaisar Kian Liong menganugerahkan pangkat Selir Harum kepada sang
puteri tawanan, menghadiahkan banyak pakaian dan perhiasan, juga ditempatkan di
dalam kamar terindah di dalam istana, menjadi selir baru yang paling dicinta.
Akan tetapi,
Puteri Harum tidak mau menyerahkan diri dan hanya menangis. Ia berduka sekali
mengingat akan kematian ayahnya dan suaminya. Berbagai macam cara para dayang
menghiburnya, namun dia tetap menangis dan tidak mau bersolek, tidak mau
melayani Kaisar Kian Liong. Hal ini tentu saja membuat sang kaisar menjadi
kecewa sekali.
Akan tetapi,
kembali kepala thaikam Ho Sen yang muncul sebagai penasehatnya. Atas nasehat
sang thaikam yang pandai itu, kaisar Kian Liong segera memerintahkan
orang-orangnya membangun sebuah bangunan istana kecil mungil yang baru, yang
diberi nama Istana Bulan Indah. Bukan hanya merupakan sebuah istana yang indah,
akan tetapi juga modelnya dibuat seperti bangunan di Sin-kiang, dan untuk
menghibur hati selirnya, kaisar juga memerintahkan orang-orangnya membangun
sebuah kota tiruan di dekat istana, sebuah kota yang lengkap dengan kuil dan
para penghuninya yang semua beragama dan berpakaian orang-orang Sin-kiang.
Di loteng
Istana Bulan Indah, Puteri Harum dapat melihat semua ini sehingga agak
terhiburlah kedukaan hatinya. Dia merasa seolah-olah dia masih berada di
kampung halamannya. Dia berterima kasih dan hatinya tergerak oleh kebaikan hati
kaisar kepada dirinya. Akhirnya dia pun menyerahkan dirinya kepada Kaisar Kian
Liong dengan suka rela dan semenjak itu, Puteri Harum menjadi selir terkasih
dari kaisar itu.
Demikianlah,
semua ulah kaisar ini menambahkan rasa tidak suka di hati para pendekar yang
ingin memberontak, walau pun tentu saja masih teramat banyak mereka yang setia
kepada Kaisar Kian Liong.
“Pouw-sute,
engkau tentu tidak lupa akan pesan mendiang suhu dan juga peraturan Kun-lun-pai
yang telah dipegang teguh selama ratusan tahun. Engkau tahu bahwa tiada seorang
pun murid Kun-lun-pai, tanpa terkecuali, yang boleh membuka dan membaca kitab
ilmu pusaka Sin-liong Ho-kang. Bagaimana mungkin engkau mengharapkan pinto
untuk melanggar peraturan itu?” Ucapan ini keluar dari mulut Hong Tan Tosu,
ketua Kun- lun-pai di Tung-keng.
Tosu tinggi
kurus yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini adalah suheng dari Pouw
Kui Lok dan dia mengetuai kuil yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai itu, di
mana dahulu Kui Lok diambil murid oleh suhu mereka. Seperti kita ketahui, Pouw
Kui Lok menuruti permintaan suheng-nya yang baru, yaitu Louw Tek Ciang, untuk
berusaha mempelajari ilmu larangan dari Kun-lun-pai itu dalam tekadnya untuk
menandingi ilmu meniup suling yang ampuh dari keluarga Kam.
Pouw Kui Lok
dan Louw Tek Ciang disambut dengan ramah oleh ketua kuil itu yang merasa
gembira melihai sute-nya dan sahabatnya itu telah kembali setelah mengikuti
keluarga Cu yang sakti ke Lembah Naga Siluman di barat. Akan tetapi, ketika Kui
Lok menyatakan keinginan hatinya untuk meminjam sebentar kitab Sin-liong
Ho-kang untuk dipelajari isinya, tosu tua itu terkejut dan mencela sute-nya.
Mendengar
ucapan ini, Kui Lok tidak mampu menjawab dan Tek Ciang cepat-cepat maju memberi
hormat kepada tosu tua itu. “Harap totiang sudi memaafkan Pouw-sute.
Sesungguhnya, bukan sute yang menginginkan kitab itu untuk dipelajari, karena
sute adalah seorang yang menjunjung tinggi peraturan perguruan Kun-lun-pai.
Yang amat membutuhkan bantuan Kun-lun-pai untuk dapat sekedar mempelajari
Sin-liong Ho-kang itu adalah saya sendiri, totiang. Pouw-sute hanya mencoba
membantu saya saja untuk memintakan ijin dari totiang.”
“Siancai,
siancai....!” Tosu itu mengangguk-angguk. “Louw-sicu, hendaknya sicu suka
memaafkan pinto. Ketahuilah bahwa ilmu itu oleh perguruan kami dianggap sebagai
ilmu yang keji dan sesat, kalau digunakan hanya akan mengancam keselamatan
nyawa manusia lain saja. Yang mau mempergunakan ilmu seperti itu hanyalah
iblis-iblis yang berwatak curang. Oleh karena itu, semua murid Kun-lun-pai
dilarang keras mempelajari ilmu itu. Kalau murid sendiri saja tidak boleh
mempelajarinya, apalagi orang luar. Harap sicu suka memaafkan dan tidak menjadi
kecil hati.”
Kembali Tek
Ciang memberi hormat. “Maaf, totiang. Saya pun cukup mengerti dan bisa menerima
alasan yang totiang kemukakan itu. Akan tetapi tentu totiang sependapat dengan
saya bahwa keji tidaknya suatu ilmu, sesat tidaknya, tergantung sepenuhnya pada
penggunaannya, bukan? Betapa pun keji kelihatannya suatu ilmu, jika digunakan
untuk kebaikan, tentu menjadi ilmu yang baik pula.”
“Siancai,
ada benarnya memang pendapat Louw-sicu itu. Akan tetapi kita tidak boleh lupa
bahwa adanya suatu ilmu amat mempengaruhi pemiliknya. Bagaimana orang dapat
melakukan suatu perbuatan keji kalau tidak memiliki ilmu keji itu sendiri?
Sebaliknya, biar pun hati seseorang tadinya tidak mempunyai niat keji, kalau
sudah memiliki ilmu yang keji itu, mudah saja terbujuk untuk melakukan
perbuatan keji menggunakan ilmu itu. Tiada bedanya dengan kekuatan. Orang tidak
akan melakukan pemukulan kalau tidak memiliki kekuatan, sebaliknya, setelah
memiliki kekuatan, akan timbul dorongan untuk mempergunakan kekuatan itu
memukul atau menindas orang lain. Nah, karena itulah, sicu, maka murid-murid
Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajari ilmu itu.”
Tek Ciang
mengerutkan alisnya. Sukar memang membujuk tosu yang agaknya kukuh ini. Akan
tetapi Tek Ciang adalah seorang yang cerdik dan licik sekali. Dia tidak
memperlihatkan kekecewaan atau pun kemendongkolan hatinya, melainkan tersenyum
ramah. Lalu dengan suara halus dia bertanya.
“Hong Tan
totiang, saya tahu bahwa totiang adalah sahabat baik sekali dari para suhu kami
di Lembah Naga Siluman, yaitu para tokoh keluarga Cu. Tentu persahabatan itu
berdasarkan rasa kagum akan kegagahan masing-masing.”
Tosu tinggi
kurus itu memandang dengan alis berkerut, tidak mengerti ke mana arah tujuan
kata-kata pemuda ini. Akan tetapi dia mengangguk. “Tentu saja, mereka adalah
keluarga yang sakti dan gagah perkasa, dan pinto ikut merasa gembira sekali
bahwa Pouw-sute dapat menerima gemblengan keluarga Cu.”
“Totiang, di
antara sahabat, baru dapat dikatakan akrab dan benar kalau di situ terdapat
kesetiaan dan pembelaan, bukan?”
“Tentu,
tentu....” Tosu itu mengangguk-angguk.
“Jadi, andai
kata ada suatu mala petaka menimpa keluarga para suhu kami di Lembah Naga
Siluman, tentu totiang akan sudi membela dan membantu mereka?”
“Tentu saja,
selama tenaga pinto yang sudah tua dan lemah ini mengijinkan. Akan tetapi ada
apakah yang telah terjadi dengan mereka, sicu?” Dan tosu ini pun menoleh dan
memandang kepada Kui Lok yang hanya menundukkan mukanya, maklum akan siasat
yang dijalankan oleh Tek Ciang.
“Nah, baru
sahabat saja sudah akan membela dan membantu, totiang. Apalagi murid-murid
seperti kami ini. Ketahuilah bahwa kami, saya dan Pouw-sute, sedang memikul
tugas yang dibebankan oleh kedua suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, akan tetapi
kami berdua telah gagal dan harapan satu-satunya kami hanyalah bantuan totiang
melalui ilmu Sin-liong Ho-kang itu.”
“Apa yang
telah terjadi? Pouw-sute, apakah yang telah terjadi dengan keluarga Cu di
Lembah Naga Siluman? Coba ceritakan kepada pinto.”
Tosu itu
sekarang menoleh kepada sute-nya untuk minta penjelasan untuk meyakinkan
hatinya. Biar pun dia sudah mengenal Louw Tek Ciang yang menjadi sahabat
sute-nya dan kini bahkan menjadi suheng dari sute-nya itu karena mereka berdua
berguru kepada keluarga Cu, namun dia belum mengenal benar keadaan Tek Ciang
sehingga keterangan pemuda itu tidak mungkin dapat diterimanya begitu saja.
“Suheng,
memang apa yang dikatakan oleh suheng Louw Tek Ciang itu benar. Setelah tiga
tahun menerima pelajaran ilmu di Lembah Naga Siluman, kedua orang suhu di sana
mengutus kami berdua untuk mencari dan menebus kekalahan kedua suhu dari
seorang musuh mereka. Suhu tidak mengikatkan kami dengan urusan pribadi di
antara mereka, hanya suhu minta agar kami berdua sebagai murid-muridnya menebus
kekalahan yang pernah mereka derita dari orang itu. Kami berdua sudah memenuhi
perintah suhu, bertemu dengan lawan itu, akan tetapi kami berdua gagal karena
lawan memiliki ilmu semacam Sin-liong Ho-kang. Sebab itulah maka suheng
mengajakku untuk menghadap ke sini dan mohon diberi kesempatan mempelajari ilmu
Sin-liong Ho-kang, hanya untuk dipakai melawan ilmu dari lawan itu.”
Kakek itu
mengerutkan alisnya dan nampak bimbang. “Siapakah lawan yang dapat mengalahkan
orang-orang gagah dari keluarga Cu itu?” Dia memang merasa heran sekali
mendengar ada lawan yang mampu mengungguli pendekar-pendekar seperti Cu Han Bu
dan Cu Seng Bu.
“Dia adalah
orang she Kam dan tentu totiang belum mengenalnya. Dia sombong sekali!
Sebaiknya kalau totiang tidak mengenal agar tidak terlibat dalam urusan pribadi
antara keluarga Cu dan keluarganya. Kami pun hanya melaksanakan tugas dan kalau
kami belum dapat mengalahkannya, bagaimana saya dan Pouw-sute masih ada muka
untuk menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman? Oleh karena itu, sekali lagi,
mohon kerelaan hati totiang untuk menolong kami, atau lebih tepat lagi,
menolong keluarga Cu dari rasa malu kalau sampai dua orang murid dan wakil
mereka kembali dikalahkan oleh musuh lama itu.”
Tosu tua itu
merasa terdesak dan tersudut. Tentu saja dia merasa tidak enak sekali kalau
menolak pemintaan bantuan yang pada hakekatnya adalah membantu para sahabatnya,
keluarga Cu itu. Padahal dahulu, di waktu mudanya, pernah Cu Han Bu menolongnya
dari kekalahan, bahkan mungkin sekali kematian dari tangan seorang musuh yang
tangguh. Andai kata Louw Tek Ciang datang seorang diri, tentu ia memiliki
alasan untuk menolak, dan hatinya tidak akan bimbang ragu. Akan tetapi kini Tek
Ciang datang menghadap bersama Pouw Kui Lok yang tentu saja sudah amat
dipercayanya.
“Louw-sicu,
biar bagaimana pun juga, murid Kun-lun-pai tidak boleh mempelajari ilmu
itu....”
“Totiang,
saya bukan murid Kun-lun-pai!”
“Maksud
pinto adalah Pouw-sute, dia tidak boleh sama sekali mempelajari ilmu itu, tepat
dan sesuai dengan sumpahnya sebagai murid Kun-lun-pai yang taat. Dan biar pun
tidak ada peraturan melarang orang luar mempelajari ilmu itu, akan tetapi kalau
pinto berikan kepadamu, berarti pinto yang bertanggung jawab jika sampai kelak
ilmu itu digunakan untuk membunuh orang....”
“Totiang,
apakah totiang tidak percaya kepada saya dan tidak percaya pula kepada
Pouw-sute? Tadi sudah kami ceritakan bahwa kami membutuhkan ilmu itu hanya
untuk menandingi ilmu yang serupa dari musuh keluarga Cu.”
“Baiklah,
Louw-sicu. Pinto mengingat akan kebaikan-kebaikan keluarga Cu, memberi
kesempatan kepadamu untuk mempelajari ilmu itu. Akan tetapi ada syarat-syaratnya.”
“Apakah
syaratnya, totiang?”
“Pertama,
sicu harus bersumpah dahulu bahwa ilmu itu hanya dipelajari khusus untuk
menghadapi ilmu musuh keluarga Cu itu. Dan ke dua, ilmu itu hanya khusus
dipelajari di dalam ruangan perpustakaan di mana kitab itu disimpan, sama
sekali kitab itu tidak boleh dibawa keluar dari ruangan perpustakaan. Dan ke
tiga, sicu hanya pinto beri waktu satu bulan saja untuk mempelajarinya. Setelah
lewat sebulan, sicu sudah harus meninggalkan ruangan perpustakaan itu dan....
maaf, meninggalkan pula kuil ini agar tidak mengingatkan pinto bahwa pinto
telah melakukan pelanggaran.”
“Baiklah,
totiang dan terima kasih atas kebaikan hati totiang. Saya akan bersumpah
sekarang juga.”
Louw Tek
Ciang kemudian diajak ke depan meja sembahyang dan di depan meja sembahyang ini
Tek Ciang mengucapkan sumpahnya dengan suara lantang. “Teecu Louw Tek Ciang
bersumpah, bahwa teecu yang diberi kesempatan mempelajari ilmu Sin-liong
Ho-kang, akan mempergunakan ilmu itu untuk menghadapi ilmu suara suling dari
keluarga Kam, dan tidak untuk keperluan lain. Kalau teecu melanggar sumpah ini,
semoga teecu dijatuhi hukuman tewas di tangan musuh-musuh teecu!”
“Cukup,
sicu,” kata tosu tua itu dengan hati lega.
Akan tetapi
dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tek Ciang mentertawakan sumpah itu.
Orang seperti Tek Ciang ini mana bisa mengucapkan sumpah dengan bersungguh
hati? Dia hanya bersumpah sebagai siasat saja. Bahkan Pouw Kui Lok sendiri pun
tidak menduga akan hal ini. Demikian pandainya Tek Ciang membawa diri dan
bersandiwara.
"Pouw-sute, engkaulah yang harus
mengawasi supaya Louw-sicu memenuhi janjinya dan tidak membawa kitab itu keluar
dari ruangan perpustakaan, bergilir dengan murid keponakanmu.”
Tosu itu
mengambil sebuah genta dan membunyikan genta itu. Terdengar suara nyaring
berkeloneng dan tak lama kemudian dari pintu belakang muncullah seorang gadis
yang berpakaian ringkas dan membawa pedang di punggungnya. Gadis ini memakai
pakaian ringkas sederhana, wajahnya tidak dirias, tanpa bedak dan gincu, bahkan
rambutnya pun hanya digelung secara sederhana sekali.
Akan tetapi
harus diakui bahwa gadis ini manis bukan main, dan tubuhnya padat dan ramping.
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang manis dan juga kelihatan gagah
dengan gerak gerik yang tangkas. Gadis itu maju dan berlutut di depan Hong Tan
Tosu dan terdengar suara halus merdu dari bibirnya yang merah.
“Suhu
memanggil teecu? Ada perintah apakah, suhu?”
Tosu tua itu
tersenyum, agaknya bangga kepada muridnya yang selain manis juga amat berbakti
ini. “Kui Eng, selama ini engkau belum pernah bertemu dengan susiok-mu (paman
gurumu) Pouw Kui Lok karena ketika tiga tahun yang lalu dia datang, engkau
sedang memperdalam ilmu di Kun-lun-san. Nah, ini dia, berilah hormat kepada
paman gurumu.” Tosu itu menuding kepada Pouw Kui Lok yang memandang kagum
kepada murid keponakannya yang baru sekali ini dilihatnya.
Gadis
bernama Can Kui Eng itu bangkit dan menoleh kepada Pouw Kui Lok. Biar pun ia
seorang gadis dewasa dan paman gurunya itu ternyata masih muda, namun ia tidak
kelihatan canggung atau malu-malu. Sambil tersenyum sopan dia memberi hormat
kepada Pouw Kui Lok.
“Pouw-susiok,
terimalah hormatnya Can Kui-Eng, murid keponakanmu.”
Kui Lok
cepat membalas penghormatan itu. “Ahh, kiranya suheng mempunyai seorang murid
perempuan yang begini gagah. Dan sudah pernah digembleng di Kun-lun-san pula?
Nona....”
“Susiok,
seorang paman guru tidak menyebut nona kepada murid keponakannya.” Gadis itu
memotong dan wajah Kui Lok menjadi merah. Biar pun usianya sudah dua puluh tiga
tahun kurang lebih, akan tetapi pengalamannya terhadap wanita masih nol.
“Baiklah,
Kui Eng. Dan perkenalkan ini adalah suheng-ku sendiri, akan tetapi bukan
saudara seperguruan di Kun-lun-pai, melainkan dari guru yang lain, namanya Louw
Tek Ciang.”
Kui Eng
memberi hormat pula dan sepasang matanya yang bening itu memandang penuh
selidik, lalu alisnya agak berkerut. Ada sesuatu pada pandang mata pria ini
yang membuat dia merasa tidak enak dan gelisah. Tek Ciang menyambut
penghormatan itu dengan senyum memikat.
“Kui Eng,
engkau kupanggil dan kuberi tugas. Engkau bersama susiok-mu bertugas untuk
menjaga dan mengamati agar supaya Louw-sicu bisa mempelajari kitab Sin-liong
Ho-kang dengan tenang di dalam kamar perpustakaan selama satu bulan. Dan kitab
itu sama sekali tidak boleh dibawa keluar dari dalam kamar perpustakaan....”
“Sin-liong
Ho-kang....?” Gadis itu terbelalak dan menatap wajah suhu-nya dengan penuh
kekagetan dan penasaran. “Dia.... sicu ini hendak mempelajari ilmu larangan
itu....? Tapi, tapi, suhu....”
“Kui Eng,
sudahlah. Ini adalah urusan dan tanggung jawab pinto sendiri. Engkau tentu
yakin bahwa semua keputusan yang pinto ambil sudah melalui pertimbangan yang
matang. Mulai sekarang engkau tinggal melaksanakan tugas jaga bergiliran dengan
susiok-mu, menjaga agar Louw-sicu ini memenuhi janjinya, mempelajari kitab itu
hanya selama satu bulan dan sama sekali tidak boleh membawa kitab itu keluar
dari dalam ruangan perpustakaan.”
“Baik, suhu!
Akan teecu jaga agar dia tidak melanggar janjinya!” Ucapan yang bernada keras
ini saja sudah membuktikan bahwa di dalam hatinya, gadis itu merasa tidak
senang kepada Louw Tek Ciang, juga merasa tidak senang melihat betapa suhu-nya
kini mengijinkan orang luar mempelajari ilmu larangan itu, padahal setiap orang
murid Kun-lun-pai tidak diperkenankan mempelajarinya. Tetapi Louw Tek Ciang
menghadapi sikap gadis ini dengan senyum ramah saja.
Demikianlah,
terhitung mulai hari itu, Tek Ciang mulai memasuki ruangan perpustakaan dan
membuka-buka kitab kuno yang sudah kekuningan itu, mempelajari ilmu yang
dinamakan Sin-liong Ho-kang. Ilmu ini berdasarkan kekuatan khikang yang keluar
dari pusar, mengerahkan tenaga khikang ini melalui suara gerengan yang mengandung
getaran amat kuatnya.
Ilmu ini
serupa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang dan sebagainya, kekuatan yang terkandung
dalam gerengan dan auman binatang-binatang buas yang melumpuhkan korban hanya
dengan suara gerengan dahsyat itu, akan tetapi Sin-liong Ho-kang ini lebih
hebat lagi. Bukan hanya getaran hebat yang terkandung dalam gerengan dahsyat
menggelegar, tetapi juga siapa yang sudah menguasainya dengan baik, akan dapat
mengeluarkan suara dari jauh, mengirimkan suara dari jauh untuk dapat didengar
oleh orang yang ditujunya saja tanpa didengar orang lain. Bahkan orang yang
menguasai ilmu itu dapat mengeluarkan suara yang tinggi melengking sampai
hampir tidak terdengar, akan tetapi semakin halus suara itu, makin hebatlah
getarannya dan amat berbahaya bagi lawan!
Akan tetapi,
Tek Ciang mendapatkan kenyataan bahwa untuk dapat menguasai ilmu ini secara
sempurna, dibutuhkan waktu yang lama, sedikitnya setengah tahun! Maka dia pun
segera mempelajari teori-teorinya saja untuk dilatih kelak. Memang dia licik
dan cerdik.
Tahulah dia
bahwa tosu tua itu sudah menggunakan akal. Pada lahirnya saja memberi ijin
kepadanya untuk mempelajari ilmu itu, tetapi pada hakekatnya tosu itu
berkeberatan. Buktinya dia hanya diberi waktu satu bulan, waktu yang hanya
cukup untuk menghafal teori atau isi kitab. Juga larangan berlatih di luar
kamar perpustakaan merupakan bukti bahwa tosu itu memang berkeberatan dia
menguasai ilmu larangan itu karena untuk dapat berlatih, orang membutuhkan
udara terbuka, bukan dalam kamar.
“Tua bangka
sialan!” gerutunya, akan tetapi tentu saja Tek Ciang tidak menyatakan sesuatu
kepada Kui Lok, apalagi kepada Kui Eng, gadis yang bertugas menjaga dan
mengamatinya itu.
Penjagaan
itu dilakukan secara bergilir oleh Kui Lok dan murid keponakannya. Dan dia mendapat
kenyataan bahwa Kui Eng memang seorang murid Kun-lun-pai yang lincah dan
cekatan, memiliki ginkang yang mengagumkan dan ilmu pedangnya juga lihai. Jika
Kui Lok hanya melakukan penjagaan untuk patut-patut saja karena tentu saja dia
sudah amat percaya kepada Tek Ciang sehingga tidak berjaga dengan sesungguhnya,
tidak demikian dengan gadis itu.
Kui Eng
berjaga dengan sikap sangat waspada dan sungguh-sungguh, seolah-olah dia
menganggap bahwa Tek Ciang seorang yang tidak dapat dipercaya dan amat perlu
diawasi! Melihat sikap gadis ini, diam-diam Tek Ciang mendongkol sekali dan dia
pun bersikap hati-hati, tidak berani melanggar janjinya terhadap ketua cabang
Kun-lun-pai itu.
Kurang lebih
sepuluh hari sudah Tek Ciang dengan tekun mempelajari ilmu dari kitab kuno itu,
hanya meninggalkan ruangan perpustakaan tanpa kitab itu bila ada keperluan
makan atau mandi dan ke belakang saja. Bahkan tidur pun ia lakukan di dalam
ruangan itu!
Pada suatu
malam pelajaran dalam kitab itu sudah sampai pada bagian cara berlatih menghimpun
tenaga khikang yang harus dilakukan di udara terbuka, di bawah sinar bulan
purnama! Dan malam itu kebetulan bulan sedang purnama, jadi sesungguhnya amat
tepat untuk memulai latihan di luar kuil! Akan tetapi, hatinya merasa penasaran
dan mendongkol sekali karena dia sudah terikat oleh janji dan pada malam itu,
yang melakukan perjagaan adalah gadis yang amat tekun mengamatinya itu!
“Sialan....!”
gerutunya dalam hati.
Kalau bukan
gadis itu yang berjaga, tentu dia akan dapat menyelinap keluar barang satu dua
jam untuk mempraktekkan ajaran di dalam kitab, yaitu cara menghimpun tenaga
khikang di bawah sinar bulan purnama.
“Mengapa
tidak?” Demikian hatinya berbisik. “Gadis itu, bagaimana pun juga hanyalah
murid keponakan Pouw Kui Lok, masih amat muda dan kepandaiannya pun tak berapa
tinggi.”
Pikiran ini
membuat Tek Ciang mulai gelisah. Kalau dia dapat menggunakan ilmunya untuk
menyelinap tanpa diketahui, atau membuat gadis itu tak berdaya untuk beberapa
lama, misalnya dengan menotoknya pingsan, bukankah dia akan memperoleh banyak
kesempatan untuk mencoba dengan latihan menghimpun khikang.
Tek Ciang
memperhatikan sekeliling. Biasanya, gadis itu berjaga di luar perpustakaan,
berkeliaran di sekitar kamar perpustakaan, terutama sekali di depan pintu, dan
di depan jendela. Akan tetapi keadaan di sekeliling kamar itu kini sepi saja.
Dengan menahan
napas, Tek Ciang dapat mengikuti setiap gerakan di luar kamar itu dengan
pendengarannya yang terlatih. Sunyi. Tidak ada orang di luar kamar itu! Ke mana
perginya gadis itu, pikirnya dan dia pun mulai bangkit dan berindap-indap ke
jendela, mengintai ke luar. Sepi sekali dan cuaca amat indahnya, karena sinar
bulan purnama membuat malam itu terang dan sejuk.
Setelah
menyimpan kitab itu, Tek Ciang keluar dari dalam kamar perpustakaan. Dia tidak
berani membawa kitab itu keluar sebelum dia yakin benar bahwa tidak ada orang
melihatnya. Akan tetapi benar-benar sunyi, tidak nampak bayangan Kui Eng. Malam
itu sudah menjelang tengah malam dan tentu penghuni lainnya sudah tidur. Ke
manakah perginya gadis itu? Benarkah kali ini Kui Eng meninggalkannya dan tak
mengawasinya?
Akan tetapi
ketika dia keluar dari kuil, dia melihat dua bayangan berkelebat ke samping
kuil di mana terdapat sebuah kebun dan ladang yang penuh dengan pohon-pohon
buah dan tanaman sayuran. Tek Ciang merasa curiga karena gerakan dua orang yang
amat cepat itu mengandung rahasia. Kalau orang Kun-lun-pai, kenapa harus
menyelinap ke tempat gelap? Dia pun menggunakan kepandaiannya, menyelinap dan
memasuki kebun itu sambil mencurahkan perhatian. Akhirnya dia melihat dua orang
berdiri berhadapan di bawah pohon dan dia cepat menyelinap mendekati dan
mengintai.
Kiranya
seorang di antara mereka adalah Kui Eng! Dan gadis itu berada dalam pelukan
seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan gagah. Tek Ciang
tersenyum sinis. Hemm, pikirnya, kiranya gadis itu meninggalkannya untuk
berpacaran di kebun ini! Akan tetapi, ketika dia mendengarkan percakapan mereka
yang berbisik-bisik itu, dia tertarik dan lupa akan pertemuan mesra itu.
“Eng-moi,
urusan ini tidak bisa ditunda lagi. Pertemuan rahasia itu akan diadakan dua
minggu lagi di hutan cemara sebelah selatan kota raja. Dan engkau harus
menghadiri bersamaku. Penting sekali, Eng-moi.”
“Aihh,
Koan-koko, alangkah inginnya aku pergi bersamamu menghadiri pertemuan para
pendekar patriot itu di sana. Memang sekarang inilah saatnya para pendekar
harus membebaskan tanah air dari penjajah Bangsa Mancu! Akan tetapi, ahhh....
orang she Louw yang menjemukan itu....!”
“Siapa?
Mengapa? Apakah yang terjadi sehingga engkau begini lama bertahan di kuil
suhu-mu ini?”
“Tanpa
kusangka-sangka, datang susiok-ku bersama seorang temannya di kuil ini dan dia
oleh suhu diperbolehkan untuk mempelajari Sin-liong Ho-kang selama satu bulan.
Dan aku diberi tugas mengawasinya supaya dia tidak melatih ilmu itu di luar
ruangan perpustakaan. Aku tidak dapat meninggalkan tugas ini dan baru berjalan
dua belas hari, masih delapan belas hari lagi....”
“Kalau
begitu akan terlambat!”
“Harus
bagaimana, koko, aku tidak mungkin dapat meninggalkan tugas ini. Dan berterus
terang kepada suhu juga berbahaya. Sudah kukatakan kepadamu bahwa Kun-lun-pai
masih bersikap ragu-ragu, belum mau menyambut rencana pemberontakan para
patriot yang hendak mengenyahkan para penjajah itu.”
Mendengar
suara gadis itu yang demikian kecewa dan berduka, si pemuda kemudian mendekap
dan mencium pipinya dengan mesra, dengan sikap menghibur. “Sudahlah, Eng-moi,
tidak perlu engkau berduka. Biarlah aku yang akan menghadiri pertemuan itu dan
kelak kusampaikan semua hasilnya kepadamu. Juga masih ada tugas untukmu dari
kawan-kawan. Biar pun engkau tidak akan dapat menghadiri pertemuan itu, akan
tetapi biarlah kuserahkan tugas yang lebih penting lagi kepadamu, setelah
engkau bebas dari tugasmu di sini.”
“Tugas
apakah itu, koko?” Si gadis nampak bersemangat.
“Begini....”
Suara itu kini bisik-bisik perlahan, akan tetapi masih dapat tertangkap oleh
pendengaran Tek Ciang yang amat tajam. “....ini ada satu surat untuk
Gan-ciangkun, seorang panglima yang mendukung para patriot. Surat ini membujuk
Gan-ciangkun untuk mencari akal guna menarik jenderal Muda Kao Cin Liong
menjadi sekutu kita, atau kalau pun dia menolak, agar dicarikan akal supaya
jenderal itu dapat dienyahkan. Sebab, selama ia masih mendukung kaisar, gerakan
kawan-kawan kita akan terhalang. Nah, surat ini penting sekali, bukan? Dengan
begitu, biar pun engkau tidak dapat hadir dalam pertemuan itu, tugasmu ini
bahkan lebih penting lagi.”
“Aihh,
Koan-ko.... tapi.... tapi aku.... tugas ini demikian besar dan aku.... ihhh,
gemetar tanganku dan berdebar jantungku, apakah kau pikir aku.... cukup
berharga untuk tugas sepenting itu?”
Kembali
pemuda itu menciumnya, lalu melepaskan pelukannya, mengambil sesampul surat
kemudian menyerahkan sampul panjang itu kepada Kui Eng. “Sudahlah, Eng-moi.
Engkaulah orang yang paling tepat untuk menyampaikan surat itu. Tidak akan ada
orang lain mencurigaimu, dan sekarang kita harus berpisah....”
“Koan-ko,
baru saja kita bertemu.... aku masih rindu....”
“Ssttt,
sayang, bersabarlah. Kita telah berjanji akan menikah jika perjuangan ini
selesai bukan? Nah, selamat tinggal dan simpan baik-baik surat itu.” Setelah
berkata demikian, pemuda tinggi besar itu berkelebat dan lenyap di balik
bayangan pohon-pohon.
Kui Eng
menoleh ke kanan kiri, lalu menyimpan surat di balik bajunya dan pergi dari
situ. Ketika dara ini tiba di luar ruangan perpustakaan dan menjenguk dari
jendela, dia melihat Tek Ciang masih sibuk membaca kitab!
Ketika ia
hendak meninggalkan jendela itu, Tek Ciang menoleh dan sambil tersenyum
berkata, “Nona, masuklah sebentar.”
Kui Eng
mengerutkan alisnya. Dia menaruh curiga kepada orang yang sinar matanya
berkilat dan kalau memandang kepadanya jelas membayangkan nafsu dan kurang ajar
itu. Beraninya orang ini menyuruh ia masuk!
“Ada urusan
apakah?” tanyanya dari luar jendela sambil memandang tajam.
“Masuklah,
nona, aku mengetahui sesuatu yang sangat penting tentang Koan-kokomu itu!”
Wajah yang
manis itu seketika menjadi pucat, lalu merah dan tanpa banyak bicara lagi
sekali loncat ia sudah melayang masuk ke ruangan itu melalui jendela yang
terbuka, berdiri di depan Tek Ciang dengan kedua tangan bertolak pinggang. “Apa
kau bilang? Koan-koko siapa yang kau maksudkan itu?”
Tek Ciang
bangkit berdiri menghadapi nona itu sambil tersenyum lebar. “Nona manis, tidak
perlu berpura-pura lagi. Lebih baik kau serahkan saja surat untuk Gan-ciangkun
itu kepadaku!”
Seketika
wajah gadis itu menjadi pucat dan di lain saat dara itu sudah mencabut pedang
dari punggungnya. Akan tetapi, baru saja pedang tercabut, tubuhnya sudah
terkulai lemas karena secepat kilat Tek Ciang sudah mendahuluinya, menotok
jalan darahnya membuat Kui Eng roboh lemas tak mampu berkutik lagi.
Tek Ciang
menyambut pedangnya sebelum senjata itu jatuh ke atas lantai dan dia pun
menotok jalan darah di leher gadis itu untuk mencegah gadis itu mengeluarkan
suara. Lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke atas lantai. Kui Eng tidak
pingsan, hanya tidak mampu bergerak, tidak mampu bersuara. Gadis itu hanya
memandang saja ketika jari- jari tangan yang nakal itu membukai kancing bajunya
dan nampaklah sampul surat panjang itu di atas buah dadanya yang tidak tertutup
lagi. Tek Ciang mengambil sampul surat itu sambil tersenyum lebar dan cepat
memasukkan sampul surat itu ke dalam saku jubahnya.
“Hemm, nona
manis, engkau dapat bicara apa lagi sekarang? Engkau pemberontak hina, ya?” Dan
secara kurang ajar sekali, bukan karena tertarik melainkan karena ingin
menggoda dan menghina gadis itu, tangannya menggerayangi tubuh orang.
Pada saat
itu berkelebat bayangan orang dan Kui Lok telah berdiri di situ dengan mata
terbelalak melihat Tek Ciang tengah jongkok di dekat tubuh Kui Eng yang bajunya
telah terbuka sehingga nampak dadanya.
“Louw-suheng,
apa.... apa artinya ini....?” Dia begitu kaget dan heran sehingga sukar
mengeluarkan kata-kata.
“Sute, nanti
saja kuceritakan. Ia terluka, yang penting sekarang kita harus mengobatinya
lebih dulu. Penjahat datang melukainya dan aku hanya berhasil mengusir penjahat
itu. Lekas kau periksa nona Kui Eng, sute....”
Pouw Kui Lok
terkejut sekali mendengar itu dan kecurigaannya terhadap suheng-nya itu lenyap.
Dengan penuh kekhawatiran dia berjongkok dan memeriksa tubuh keponakan muridnya
dengan teliti. Akan tetapi hatinya lega mendapat kenyataan bahwa Kui Eng tidak
terluka, hanya merasa heran bukan main karena ternyata gadis itu lumpuh dan
gagu karena tertotok. Kui Lok mengerahkan tenaganya hendak menotok dan mengurut
leher dan punggung gadis itu agar totokannya terbebas. Akan tetapi pada saat
itu ada angin menyambar dahsyat dari belakang kepalanya.
“Wuuuttt....
crettt....!” Jari tangan yang amat kuat itu menyambar dan menusuk ke arah
tengkuk Kui Lok.
Kui Lok
terkejut sekali dan berusaha mengelak, akan tetapi karena pada saat itu dia
sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada murid keponakannya yang sedang dia
coba untuk membebaskan totokannya, dan karena serangan itu dilakukan secara
tiba-tiba dari jarak sangat dekat, biar pun ia sudah mengelak, tetap saja jari
tangan yang amat kuat itu menyambar dan mengenai bawah tengkuknya.
“Oughhh....!”
Kui Lok hanya dapat mengeluarkan suara itu, kemudian terpelanting dan dan dia
pun tak sadarkan diri.
Demikian
hebatnya ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang tadi dipergunakan Tek Ciang untuk
memukul sute-nya sendiri. Biar pun pukulan itu tidak mengenai sasaran dengan
tepat, namun pukulan pada pangkal tengkuk itu mengguncangkan isi kepala dan
pendekar Kun-lun-pai itu pun roboh pingsan.
Tek Ciang
terpaksa memukul sute-nya karena dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat
mengelak lagi dari kenyataan tentang surat yang dirampasnya. Kini dia
menghadapi keadaan yang amat gawat. Dia harus bertindak cerdik, pikirnya dan
sepasang matanya bergerak liar ketika otaknya diperas untuk mencari akal agar
dia dapat mengatasi kegawatan ini dengan selamat. Lalu nampak dia menyeringai
kejam, kemudian dia pun mengayunkan lagi jari tangannya, dengan ilmu pukulan
keji Kiam-ci dia menotok ke arah pelipis kepala Pouw Kui Lok.
Kelihatannya
hanya perlahan saja totokannya itu, akan tetapi tubuh Kui Lok terkulai karena
pada saat itu juga dia telah tewas! Sungguh menyedihkan sekali bahwa seorang
pendekar demikian gagahnya seperti Kui Lok terpaksa harus mati konyol, mati
secara mengecewakan sekali di bawah tangan suheng-nya sendiri yang keji dan
curang.
Setelah
mendapat kenyataan bahwa sute-nya telah tewas, Tek Ciang menyeringai. Kini dia
membalik kepada Kui Eng yang biar pun dalam keadaan tak berdaya, tidak mampu
bergerak mau pun bersuara, tapi dapat menyaksikan semua peristiwa itu dengan
muka pucat sekali. Kini manusia yang sudah seperti kemasukan iblis jahat itu
menubruk.
Hati Kui Eng
menjerit, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya dan biar pun ia ingin
meronta dan melawan, namun kaki tangannya lemas dan hanya mampu bergerak-gerak
sedikit saja.
Terjadilah
perbuatan yang amat terkutuk, perbuatan yang bagi Tek Ciang biasa saja karena
dia pun sudah amat terlatih untuk melakukan perkosaan terhadan wanita-wanita
semenjak dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok!
Dapat
dibayangkan betapa hancur perasaan hati Can Kui Eng yang dalam keadaan sadar
namun tidak mampu bergerak ini menghadapi malapetaka yang menimpa dirinya. Ia
diperkosa tanpa bisa bergerak maupun berteriak. Mala petaka yang lebih
mengerikan dari pada maut. Gadis itu tidak kuat menahan kehancuran hatinya dan
ia pun pingsan. Hal ini lebih baik baginya karena ia tidak tahu atau merasakan
lagi apa yang diperbuat manusia iblis itu terhadap dirinya.
Setelah
selesai dengan perbuatan yang sangat terkutuk itu, Tek Ciang melanjutkannya
dengan kekejaman yang lebih hebat lagi. Dia mencabut pedang gadis itu, menaruh gagang
pedang dalam kepalan tangan kanan Kui Eng, kemudian dia memaksa tangan yang
mengepal gagang pedang itu untuk menusukkan pedang ke dada sendiri.
Sungguh amat
kasihan nasib gadis Kun-lun-pai itu. Baru saja dia mengalami perkosaan yang
menghancurkan hati dan kini ia dipaksa untuk membunuh diri! Pedangnya sendiri,
didorong oleh Tek Ciang, menusuk dan menembus dada sendiri. Darah bercucuran
dan tubuh itu berkelojotan sedikit lalu rebah dan tewas. Baiknya gadis itu
mengalami semua itu dalam keadaan pingsan sehingga mengurangi penderitaannya.
Tek Ciang
menyeringai puas. Dia lalu membuka-buka pakaian yang menempel di tubuh jenazah
Kui Lok, mengawut-awut rambut mayat itu sehingga keadaan pemuda itu bagai orang
yang baru saja melakukan perkosaan. Tek Ciang sendiri telah merapikan pakaian
dan rambutnya, dan setelah memeriksa lagi dengan teliti keadaan dua mayat itu,
dia lalu berteriak-teriak sambil meloncat keluar ruangan perpustakaan.
“Tolong....!
Pembunuhan....! Tolonggg....!”
Dia
melakukan ini setelah menyambar kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang, dan bersama
surat dalam sampul untuk Panglima Gan di kota raja dia menyembunyikan di tempat
aman, yaitu di balik baju dalamnya.
Teriakan-teriakannya
itu mengejutkan semua penghuni kuil dan berserabutanlah para tosu berlari
keluar dari kamar masing-masing. Juga Hong Tan Tosu sendiri nampak berlari-lari
datang ke tempat itu. Dengan muka pucat Tek Ciang menutupi muka sendiri dan
membiarkan para tosu itu melihat sendiri dua tubuh yang sudah menjadi mayat
menggeletak di lantai kamar penpustakaan.
Tentu saja kematian
Pouw Kui Lok dan Can Kui Eng amat mengejutkan mereka semua, terutama sekali
Hong Tan Tosu. Kakek ini memandang dengan muka pucat sekali. Sute-nya telah
tewas dan nampaknya tidak mengalami luka, sedangkan muridnya yang terkasih
menggeletak mandi darah, dadanya tertembus pedangnya sendiri dan tangan
kanannya masih memegang gagang pedang itu. Dilihat sepintas lalu saja jelaslah
kalau gadis itu telah membunuh diri dengan pedang sendiri.
Dan melihat
keadaan pakaian Kui Eng yang hampir telanjang bulat, dan pakaian Kui Lok yang
setengah telanjang, tidak sukar diduga apa yang terjadi antara kedua orang itu.
Inilah yang membuat Hong Tan Tosu pucat dan penasaran. Sute-nya berjinah dengan
muridnya? Ah, dia tidak percaya akan hal itu. Sute-nya adalah seorang pendekar
sejati, dan muridnya juga seorang murid yang sangat patuh. Akan tetapi, agaknya
kenyataan menunjukkan demikian.
“Louw-sicu,
apakah yang telah terjadi? Apakah yang terjadi dalam kamar ini?” Akhirnya dia
menghampiri Tek Ciang dan mengguncang pundak pemuda yang masih menangis itu.
Dengan mata
merah karena tangis, atau lebih tepat karena dia gosok-gosok dengan punggung
tangan, Tek Ciang memandang tosu itu dengan muka sedih sekali. “Ahhh, totiang,
bagaimana aku harus bercerita? Aihhh.... mengapa hal ini menimpa diri kami?
Aku.... aku telah membunuh Pouw-sute yang kusayang.... Ahhh, totiang, kalau aku
berdosa, silakan totiang menjatuhkan hukuman kepadaku....” Dia pun terisak
menangis.
Tosu tua itu
mengerutkan alisnya. “Siancai.... segala hal telah terjadi. Sebelum tahu apa
yang terjadi dan apa sebabnya, pinto tidak dapat menghakimi. Ceritakanlah, apa
yang telah terjadi di sini dan mengapa pula engkau membunuh Pouw-sute?”
“Totiang,
sungguh aku masih merasa bingung dan tidak tahu mengapa sute tiba-tiba saja
dapat melakukan semua itu seperti orang kemasukan setan! Karena aku merasa
lelah setelah membaca kitab sejak pagi, aku pergi keluar untuk mencari hawa
sejuk. Kitab kutinggalkan di atas meja dan aku pun berjalan-jalan di luar kuil,
bahkan sampai ke luar dusun, sampai tubuh terasa segar kembali. Kurang lebih
satu setengah jam aku pergi meninggalkan kuil. Ketika aku kembali, aku terkejut
sekali melihat sute.... sute....” Dia berhenti dan menutupi muka dengan kedua
tangannya.
“Siancai....!
Lanjutkanlah, sicu dan kuatkan hatimu,” kata tosu tua itu hampir tidak sabar.
“Aku melihat
dia.... dia sudah memperkosa nona Kui Eng! Begitu saja, di atas lantai kamar
perpustakaan ini. Entah sebelum itu apa yang terjadi aku tidak tahu. Setahuku
hanya bahwa mereka melakukan penjagaan seperti yang totiang perintahkan. Ah,
masih ngeri dan bingung aku mengenang semua itu....”
“Lanjutkan,
sicu. Lanjutkan....!” Hong Tan Tosu mendesak, sedangkan para tosu lain yang
menjadi pengurus kuil juga ikut mendengarkan dengan muka pucat. Mereka tidak
pernah menyangka bahwa peristiwa memalukan seperti ini akan dapat terjadi di
kuil mereka. Suatu aib yang amat mencemarkan.
“Ketika aku
datang, Pouw-sute sudah mengakhiri perbuatannya yang biadab itu. Tentu saja aku
langsung menegurnya, akan tetapi dia malah marah dan menyerangku seperti orang
gila. Totiang maklum betapa lihainya sute, maka aku pun terpaksa melayaninya
dan pada saat itu, aku melihat nona Kui Eng mengeluarkan pedang dan membunuh
diri. Melihat ini, aku menjadi marah sekali kepada sute yang masih menyerangku,
maka aku pun lalu membalas serangannya dan akhirnya aku berhasil memukulnya
roboh. Bukan niatku membunuhnya, akan tetapi.... ah, dia terlalu kuat untuk
dapat dirobohkan begitu saja....”
Hong Tan
Tosu menunduk dan memandang pada dua mayat yang masih menggeletak di situ. Di
dalam hatinya dia meragukan kebenaran cerita Tek Ciang. Ingin dia berteriak
untuk menyangkal, tidak percaya akan apa yang diceritakan mengenai perbuatan
Kui Lok. Akan tetapi, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, keadaan dua mayat
itu, jelas merupakan kenyataan akan kebenaran cerita Tek Ciang.
Melihat
keadaan pakaian mereka, dan melihat pedang yang menusuk dada Kui Eng sendiri
sedangkan tangan gadis itu menggenggam gagangnya, merupakan bukti yang sukar
untuk disangkal.
“Dan yang
lebih mengejutkan hatiku, totiang, kitab Sin-liong Ho-kang yang tadinya aku
tinggalkan di atas meja telah lenyap....”
“Apa....?”
Kini tosu tua itu benar-benar terkejut dan pandang matanya kepada Tek Ciang
penuh keraguan serta kecurigaan. “Sicu, harap engkau jangan main-main.
Engkaulah yang selama ini membaca kitab itu! Mengenai muridku dan suteku,
katakanlah ada buktinya sehingga ceritamu dapat pinto percaya. Akan tetapi
hilangnya kitab Sin-liong Ho-kang, bagaimana cara membuktikannya bahwa
benar-benar kitab itu hilang? Dan siapa yang akan dapat mengambilnya?”
Wajah Tek
Ciang menjadi merah dan dia bangkit berdiri. “Totiang, aku bukanlah orang yang
tidak mau bertanggung jawab. Aku yakin sekali bahwa kitab itu tentu ada yang
mengambilnya, tentu sebelum aku kembali ke dalam kamar ini. Bahkan aku
mempunyai dugaan yang amat menyakitkan hati.”
“Hemm,
dugaan apakah?”
“Mau tidak
mau aku harus menduga bahwa memang Pouw-sute telah kemasukan iblis, telah
berubah sama sekali. Agaknya dia sendiri yang menyembunyikan kitab itu, lalu
dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap nona Kui Eng di kamar ini. Agaknya
memang dia sengaja melakukan semua itu dengan maksud untuk menjatuhkan fitnah
atas diriku, kemudian, dengan menuduh aku menyembunyikan kitab dan memperkosa
nona Kui Eng. Untung aku datang terlebih dahulu sehingga memergoki perbuatannya
yang laknat itu....”
“Louw-sicu!
Jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap sute yang sudah tidak ada! Apa
buktinya bahwa dia yang menyembunyikan kitab?”
“Memang kini
tidak ada buktinya, totiang. Akan tetapi aku akan mencarinya, dan aku bersumpah
bahwa aku akan menemukan kitab itu dan mengembalikannya kepadamu. Nah, selamat
tinggal!” Tek Ciang lalu meloncat ke luar dan dalam sekejap mata saja dia pun
lenyap dari situ.
Hong Tan
Tosu ingin mencegah, tetapi dia maklum bahwa tidak ada di antara mereka yang
akan mampu menyusul pemuda itu, apalagi menandinginya. Pula, apa alasannya
untuk menahan Tek Ciang yang sudah bersumpah untuk mencari dan mengembalikan
kitab? Dia pun hanya dapat menyesal dan berduka, lalu menyuruh anak buahnya
untuk mengurus kedua jenazah.
**************
Apa yang
disampaikan pemuda tinggi besar yang menjadi pacar Kui Eng kepada gadis itu
memang benar dan sudah menjadi rahasia para patriot yang hendak mengadakan
pertemuan untuk mulai mengatur pergerakan mereka dan mengangkat seorang bengcu
(pemimpin rakyat) agar perjuangan mereka dapat teratur dan tidak simpang siur.
Pemuda
tinggi besar itu adalah seorang pendekar muda she Kwee dari perguruan
Kong-thong-pai yang bertemu dan berkenalan dengan Kui Eng dalam perantauan, di
mana keduanya secara kebetulan menghadapi dan menentang gerombolan perampok
yang mengganas di sebuah dusun. Perkenalan itu disusul dengan rasa cinta kedua
pihak.
Sebagai
seorang pendekar muda yang penuh semangat mendukung gerakan para patriot yang
hendak menumbangkan kekuasaan penjajah, sebentar saja Kwee Cin Koan, demikian
nama murid Kong-thong-pai itu, memperoleh kepercayaan di antara para tokoh patriot
dan karena itu, tidak mengherankan kalau dia menerima tugas menghubungi
Gan-ciangkun melalui sepucuk surat. Dan tidak aneh pula kalau Cin Koan
mengoperkan tugas itu kepada Kui Eng, kekasihnya yang agaknya tidak mempunyai
kesempatan hadir dalam pertemuan para pendekar dan patriot. Tentu saja sama
sekali pendekar ini tidak pernah membayangkan bahwa kekasihnya akan tertimpa
mala petaka demikian hebatnya sampai menewaskannya.
Di sebelah
selatan kota raja terdapat hutan-hutan yang cukup lebat, yang berkelompok-kelompok
di sepanjang kaki Pegunungan Tai-hang-san, berbaris bagai benteng sebelah
barat. Dan di antara hutan-hutan ini terdapatlah sebuah hutan yang berada di
atas bukit, penuh dengan pohon cemara dan karena itu maka hutan ini dinamakan
Hutan Cemara.
Hutan Cemara
tidak begitu disuka oleh binatang-binatang hutan, karena selain kurang rimbun,
juga cemara tidak menghasilkan sesuatu yang dapat dimakan, buahnya tidak, daun
mau pun batangnya pun tidak. Karena itu hutan ini sunyi dari binatang, bahkan
jarang terdapat burung-burung di situ, kecuali burung yang terbang lewat.
Hutan-hutan
lain yang mempunyai tumbuh-tumbuhan liar dan lebat, dengan semak-semak belukar
dan rimbun, penuh dengan binatang-binatang dan para pemburu juga lebih suka
berkeliaran di dalam hutan-hutan liar ini untuk berburu binatang.
Pencari-pencari kayu pun jarang memasuki hutan pohon cemara yang dibiarkan
sunyi dan kering, jarang sekali nampak ada orang memasuki hutan ini.
Akan tetapi
justru kesunyian hutan inilah yang membuat para patriot yang hendak mengadakan
pertemuan memilih tempat ini. Tempat itu selain sunyi, juga jauh dari kota mau
pun dusun. Dan di sekitar pegunungan itu terdapat banyak hutan liar di mana
para pemburu suka berkeliaran sehingga kedatangan para pendekar di tempat seperti
itu tidak akan menimbulkan perhatian.
Pada hari
itu, tempat yang amat sunyi itu nampak ramai dengan hilir mudiknya orang-orang
yang datang dari segala jurusan. Dan mereka ini adalah pendekar-pendekar dan
orang-orang gagah, dapat dikenal dari pakaian dan sikap mereka. Ada pula yang
berpakaian aneh-aneh dan nyentrik, berpakaian pertapa, sasterawan, bahkan ada
yang berpakaian pengemis!
Biar pun di
antara mereka belum terbentuk suatu perkumpulan dan belum teratur, akan tetapi
mereka semua sudah maklum sendiri dan mereka datang ke tempat itu tidak secara
berkelompok sehingga tidak menyolok mata dan tidak menarik perhatian. Dan
rata-rata mereka berwajah gembira karena selain menghadiri suatu pertemuan
antara patriot yang sehaluan, juga mereka itu mendapatkan kesempatan untuk
saling kenal dan bertemu dengan tokoh-tokoh yang namanya sudah lama mereka
kagumi.
Di antara
banyak pendekar tua muda laki perempuan yang berdatangan ke tempat itu,
kelihatan seorang pemuda berusia paling banyak dua puluh tahun, bertubuh tinggi
besar dan bersikap gagah perkasa. Wajahnya selalu tersenyum, sepasang matanya
bersinar-sinar dan dia kelihatan periang dan lincah jenaka. Tidak ada seorang
pun di antara para pendekar yang mengenal pemuda ini dan memang tidak aneh
karena pemuda ini adalah seorang tokoh baru yang belum lama berkecimpung di
dunia kang-ouw dan namanya masih belum dikenal orang banyak.
Akan tetapi
kalau orang mengetahui siapa dia, tentu dia akan menjadi pusat perhatian karena
pemuda ini adalah salah seorang keturunan Para Pendekar Pulau Es. Ia adalah
Suma Ceng Liong, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, ilmu-ilmu
dari Pulau Es, bahkan telah pula digembleng oleh raja iblis Hek-i Mo-ong selama
bertahun-tahun!
Para
pendekar yang berdatangan ke hutan itu, ada yang bertemu dengan Ceng Liong
dalam perjalanan, akan tetapi mereka tidak saling mengenal dan mereka hanya
memandang kepada pemuda itu dengan kagum, menduga-duga siapa adanya pemuda yang
wajahnya cerah akan tetapi memiliki pandang mata yang mencorong seperti mata
naga itu.
Dan Ceng
Liong yang selalu rendah hati, tidak mau mendekati mereka, segan kalau harus
memperkenalkan diri karena dia tahu bahwa setiap orang pendekar setelah
mendengar bahwa dia she Suma, tentu lalu mengaitkannya dengan keluarga Pulau Es.
Apalagi kalau mereka tahu bahwa dia benar-benar cucu asli dari Pendekar Super
Sakti di Pulau Es, tentu pandang mata mereka berubah, penuh kagum, juga
mengandung iri!
Semuda itu,
karena memiliki kesadaran yang tinggi dan selalu waspada membuka matanya, Ceng
Liong sudah dapat melihat kepalsuan-kepalsuan yang menguasai hati dan tindakan
manusia tanpa disadari lagi oleh manusia.
Manusia
semenjak dahulu telah mempunyai kebiasaan turun-temurun untuk membentuk
gambar-gambar dari diri sendiri atau pun dari diri orang-orang lain.
Penilaian-penilaian muncul dalam hati setiap orang terhadap orang lain, dan
penilaian ini biasanya amat kuat dipengaruhi oleh keadaan orang yang dinilainya
itu, kedudukannya, kekayaannya, kepintarannya, nama keluarganya atau namanya sendiri.
Bahkan ada pula yang menilai seseorang hanya dari tindakannya pada suatu saat,
tindakan yang langsung dirasakan akibatnya oleh yang menilai!
Tentu saja
hal ini menimbulkan penilaian-penilaian palsu, menimbulkan sikap menjilat-jilat
kepada yang dinilainya tinggi dan ada sikap memandang sebelah mata atau
menghina kepada yang dinilainya rendah. Juga terdapat penilaian palsu terhadap
seseorang yang melakukan satu perbuatan saja yang akibatnya langsung dirasakan
si penilai. Kalau akibat perbuatan orang itu menguntungkan si penilai, maka
orang itu dicap sebagai orang baik, dan kalau sebaliknya merugikan, dicap
sebagai orang jahat. Dan penilaian ini biasanya membentuk gambar orang itu,
gambar orang baik atau gambar orang jahat.
Tentu saja
penilaian seperti ini palsu adanya. Baik buruknya seseorang tidak mungkin
dinilai dengan hanya satu perbuatannya saja. Bahkan tak mungkin dapat dinilai
melihat perbuatannya itu saja tanpa melihat latar belakang dan sebab perbuatan
itu sendiri.
Sudah lajim
bahwa pengaruh Im-yang menguasai hampir seluruh manusia di dunia ini, pengaruh
ganda yang disebut baik dan buruk. Perbuatan yang dianggap baik dan buruk itu
silih berganti dilakukan manusia, mungkin hari ini baik, mungkin juga besok
buruk, mungkin hari ini pemarah dan besok menjadi ramah. Mungkin hari ini penuh
kecurangan dan besok amat jujur atau sebaliknya. Karena kita sudah biasa
menilai berdasarkan untung rugi kita, berdasarkan rasa senang tidak senang
kita, maka akibatnya tidak ada sesuatu pun benda di dunia ini, yang mati atau
yang hidup, yang hanya mempunyai satu sifat saja. Kesemuanya itu mempunyai
sifat ganda, baik dan buruk, berguna dan tidak berguna.
Mengapa kita
tidak berhenti saja menilai dan menghadapi segala sesuatu seperti apa adanya?
Kalau batin kita bersih dari pada penilaian, maka kita baru dapat menghadapi
siapa pun dengan hati dan pikiran bebas. Kita tak akan membeda-bedakan antara
orang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, berkedudukan tinggi atau rendah,
menguntungkan atau merugikan lagi. Dan tidak ada pula sikap menjilat-jilat dan
menghormat di samping sikap meremehkan dan memandang rendah.
Kalau kita
sudah bebas dari pada penilaian, maka kita berhadapan dengan manusia saja,
tanpa embel-embel yang mengotori diri manusia itu dengan sebutan kedudukan,
kekayaan, kehormatan, bangsa, agama dan sebagainya. Tanpa penilaian kita tak
akan menciptakan gambaran-gambaran tentang diri sendiri mau pun manusia lain.
Lenyaplah gambaran AKU yang selalu benar atau dia dan kamu yang selalu salah.
Mengapa kita
tak berhenti saja menilai orang lain dan menujukan seluruh kewaspadaan ke arah
diri sendiri, mengamati diri sendiri setiap saat sehingga nampak jelas oleh
kita betapa pikiran menciptakan AKU yang selalu ingin senang, ingin menang,
ingin benar. Dan melihat betapa pikiran yang penuh keinginan inilah yang dapat
menjerumuskan kita sendiri, yang meniadakan dan merusak ketenangan hidup, yang
meniadakan bahagia, yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antara manusia,
menciptakan iri hati, cemburu, dengki dan dendam?
Karena hari
pertemuan seperti yang ditentukan masih kurang dua hari lagi, Ceng Liong
berjalan-jalan di sekitar tempat itu dan melihat-lihat keadaan. Selama ini
timbul rasa ragu dalam hatinya. Meski dia sudah mendengar penjelasan ayahnya,
juga penjelasan orang gagah Sim Hong Bu tentang perjuangan para patriot,
tentang penjajahan negara dan bangsa oleh Bangsa Mancu, namun dia masih
ragu-ragu apakah itu merupakan jalan yang benar kalau melakukan pemberontakan
terhadap Kaisar Kian Liong. Dia teringat betapa tadinya para pendekar mendukung
Kian Liong sebelum menjadi kaisar. Dan kini, sikap dan keinginan hendak
memberontak terhadap kaisar ini sungguh masih agak sukar untuk diterima begitu
saja.
Katakanlah
memang benar bahwa kaisar itu suka berenang dalam kesenangan dengan
wanita-wanita cantik. Katakanlah bahwa dia memiliki isteri dan selir yang
jumlahnya banyak. Namun, apa hubungannya kelemahan pribadi ini dengan roda
pemerintahan? Bagaimana pun juga, dia dapat mengerti bahwa pemberontakan yang
benar adalah satu perjuangan yang mencakup seluruh nasib bangsa, menentang
pemerintahannya, bukan karena kebencian pribadi. Jadi, bukan kelemahan pribadi
kaisar itulah yang mendorong pemberontakan, melainkan karena pemerintahannya,
yaitu pemerintah penjajah!
Betapa pun
baiknya Kaisar Kian Liong, tetap saja dia seorang penjajah, seorang asing,
seorang berbangsa Mancu yang menjajah Bangsa Han. Nampak olehnya kini betapa
semua pejabat tinggi adalah orang-orang Mancu belaka. Memang ada pula
orang-orang Han yang menduduki pangkat, namun kekuasaannya terbatas. Bahkan ada
peraturan-peraturan dari pemerintah Mancu yang dianggap menghina bangsa
pribumi, seperti keharusan mengenakan kuncir dan sebagainya. Keyakinan inilah
yang mendorongnya untuk ikut menghadiri pertemuan itu, walau pun tetap saja
hatinya diliputi keraguan.
Karena masih
ada waktu dua hari, malam itu Ceng Liong berjalan seorang diri menjauhi Hutan
Cemara yang dijadikan tempat pertemuan, menuju ke sebuah bukit kecil tak jauh
dari situ. Malam itu terang bulan dan tempat yang sunyi dan indah itu menarik
perhatiannya. Bagaimana pun juga keraguan hatinya, ingatan bahwa keluarga Pulau
Es masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar Mancu, membuat hatinya
terasa agak nelangsa dan dia ingin menyendiri.
Untung bahwa
neneknya sudah meninggal, pikir Ceng Liong sambil berjalan menuju ke bukit
kecil yang nampak dari jauh seperti diliputi cahaya emas dari sinar bulan
purnama. Nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, pikirnya. Andai kata
neneknya itu masih hidup dan melihat dia, cucunya, kini turut menghadiri
pertemuan orang-orang yang hendak memberontak terhadap kerajaan, apa yang akan
dikata oleh neneknya itu? Ada perasaan malu terhadap neneknya itu ketika Ceng
Liong teringat akan hal ini.
Mengapa
manusia terpecah-pecah dan terpisah-pisah menjadi bangsa ini dan bangsa itu,
beragama ini dan beragama itu, kelompok ini dan kelompok itu? Perpecahan dan
pemisahan-pemisahan ini selalu menimbulkan pertentangan.
Setelah tiba
di dekat puncak bukit itu, berjalan perlahan mendaki sambil menikmati
pemandangan yang mentakjubkan di bawah bukit, tiba-tiba Ceng Liong mendengar
sayup-sayup suara orang laki-laki bernyanyi. Dia mencurahkan perhatiannya
kepada suara yang datang melayang dari puncak bukit itu dan dapat menangkap
kata-kata nyanyian itu dengan jelas. Suara itu cukup merdu, akan tetapi di
dalam suara nyanyian terkandung getaran orang yang sedang dirundung kedukaan
atau kegetiran hati.
Masa bodoh
bulan tak bersinar
Masa bodoh
bintang tak berpijar
Asal kau
cinta padaku!
Tak peduli
burung tak menembang
Tak peduli
bunga tak berkembang
Asal kau
cinta padaku!
Masa bodoh
bumi tak berputar
Tak peduli
dunia akan kiamat
Masa bodoh
matahari tak bercahaya
Tak peduli
langit tiada awan
Asal kau
cinta padaku, sayang
Asal kau
cinta padaku!
Ceng Liong
tertegun dan hatinya tersentuh keharuan. Ada sesuatu dalam nyanyian itu yang
membuat hatinya terharu. Dia seperti dapat ikut merasakan betapa mendalam
perasaan cinta menguasai hati penyanyi itu. Dan betapa suara itu mengandung
getaran-getaran duka atau kekecewaan.
Hati Ceng
Liong merasa terharu dan tertarik, maka dia pun menggerakkan kakinya. Dengan
hati-hati ia mendaki bukit kecil itu mencari penyanyi itu. Akhirnya ia
melihatnya. Seorang laki-laki yang duduk sendirian di puncak bukit, laki-laki
yang sedang menatap bulan purnama seolah-olah kepada bulanlah dia tadi
bernyanyi.
“Kak Ciang
Bun....!” Ceng Liong berseru memanggil dengan gembira sekali ketika dia
menghampiri orang yang sedang bersunyi sendiri itu dan mengenalnya. Biar pun
laki-laki itu kini bukan pemuda remaja lagi, tidak seperti keadaannya sembilan
tahun yang lalu, akan tetapi Ceng Liong masih ingat akan bentuk wajahnya yang
tampan.
Laki-laki
itu menoleh dengan kaget. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Liong, sejenak
dia terbelalak, lalu meloncat berdiri, membalikkan tubuh menatap wajah Ceng
Liong dengan ragu-ragu. Memang orang itu adalah Ciang Bun dan kini dia memandang
kepada Ceng Liong dengan hati bimbang. Dia mengenal wajah Ceng Liong, akan
tetapi perubahan yang terjadi atas diri Ceng Liong memang amat besar.
Ketika
bertemu dengan adik misannya ini untuk yang terakhir kalinya, yaitu semenjak
mereka berdua meninggalkan Pulau Es, Ceng Liong adalah seorang anak laki-laki
berusia sepuluh tahun. Dan sekarang, Ceng Liong sudah menjadi seorang pemuda
gagah perkasa, bertubuh tinggi tegap, berusia hampir dua puluh tahun!
“Kau....
kau....,” dia berkata ragu.
Ceng Liong
melangkah lebar menghampiri sampai berada tepat di depan Ciang Bun, tersenyum
lebar dan memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. “Bun-ko, apakah
engkau lupa kepadaku, adikmu Ceng Liong?”
“Ceng
Liong....? Ahhh, Ceng Liong ....!” Ciang Bun maju dan merangkul.
Keduanya
berangkulan dengan hati gembira bukan main. Ciang Bun menjadi demikian terharu
sampai kedua matanya menjadi basah. Melihat ini, diam-diam Ceng Liong lalu
merasa heran. Kakak misannya ini sampai kini masih saja memperlihatkan
kehalusan perasaannya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment