Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 11
Hek-i Mo-ong
merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi
‘koksu’ dari Gubernur Yong Ki Pok. Dia menerima tanda kuasa dari sang gubernur,
juga bekal emas yang cukup banyak. Dan untuk melakukan tugas dengan hasil baik,
dia harus menyamar. Tak mungkin kalau dia bertindak sebagai Hek-i Mo-ong, datuk
kaum sesat yang sudah terkenal sekali itu.
Untung
baginya, hanya namanya saja yang terkenal. Hek-i Mo-ong adalah nama julukan
yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal
oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan
putih mau pun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya.
Dia bukan
sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui
orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia
akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.
Dalam
penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang
sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, sekarang
pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa
dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan dia pun menyuruh Ceng Liong untuk
mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.
“Kita akan
melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita
harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap,
dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku
adalah kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap
bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau
jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan
kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh saja memakai nama
keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?”
“Baik,
kong-kong,” jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut
kong-kong. “Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke
Bhutan? Atau ke Himalaya?” Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan
gubernur, maka dia pun mengerti akan tugas gurunya.
Akan tetapi
Hek-i Mo-ong menggeleng kepala. “Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota
Ceng-tu di Se-cuan.”
Karena Ceng
Liong tidak mengerti, dia pun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru
dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak ke Se-cuan?
Hek-i Mo-ong adalah seorang yang sangat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan
sudah diperhitungkannya dengan masak, termasuk ke dalam rencananya untuk
melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.
Gubernur
Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari
mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung
Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia
dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Se-cuan.
Hek-i Mo-ong
tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang telah
berusia empat puluh dua tahun ini. Ia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa
yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka
gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa
pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.
Demikianlah,
pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu
yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi
rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat
tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP.
Di atas
tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang
tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang
ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali
mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada
semua orang yang memperhatikan kereta itu.
Hek-i Mo-ong
sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut
di dalam kereta. Namanya yang asli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia
kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal
nama aslinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aslinya dengan tenang.
Ketika
terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang
menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung
pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tidak lama
kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya
ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan
sulap yang amat menarik. Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini
tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan
permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton.
Kemudian dia
pun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening,
sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagai mana
pun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal
ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan
ringan.
Ada pula
yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan atau pun
meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang
merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu.
Kakek dan
cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari
mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja,
terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa
Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat
murah.
Pada suatu
pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk
melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan
obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan
dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan,
melainkan kereta seorang pembesar. Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan
pengawal.
Sebelum
kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang
dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe
Phang menjadi girang sekali. Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas
tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong.
Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu.
Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan dia pun sudah siap
membantunya.
Kini kereta
mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para
pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat
menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang. Pintu dan jendela
kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun,
berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia
kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua,
manis sekali.
Orang-orang
yang mengenal wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur
Yung Hwa, seorang di antara selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang
menonton pertunjukan Sinshe Phang bersama puterinya. Memang wanita ini
mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah lama ia menderita pening-pening
pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi tidak juga peningnya
hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin menyaksikan
sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, ia pun akan minta pengobatan.
Sinshe Phang
pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang
memperhatikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam
dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat
menggembirakan anak perempuan di dalam kereta itu. Bahkan saat dia menyulap
sepotong batu berubah menjadi seekor burung dara yang terbang melayang ke
udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan bersorak, “Bagus! Bagus....!”
Akan tetapi
ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa orang
yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala
pening. Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari
tangannya menekan di sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum
emas menusuk beberapa tempat tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau
mengeluarkan darah, kemudian melihat orang-orang itu dapat disembuhkan
seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.
Pada saat
itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka
itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta
itu duduk santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi
makanan di depannya.
Biar pun
para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan tetapi
gerakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorang pun di
antara mereka yang melihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari tangannya
meluncur dua butir batu kecil yang dengan tepatnya menghantam dan melukai
pantat dua ekor kuda yang sedang makan itu.
Tiba-tiba
dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu
meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak
duduk miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan
terbanting ke atas tanah. Para pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor
kuda itu kabur.
Beberapa
orang penonton bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan
orang-orang berteriak-teriak ketakutan karena dua ekor kuda itu membalap tanpa
ada yang mengendalikan. Akan tetapi, ketika kusir kereta tadi terpelanting, ada
bayangan kecil yang dengan cekatan telah melompat ke atas tempat duduk kusir.
Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua orang mengenalnya sebagai cucu
Sinshe Phang. Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan dari dalam kereta.
Ceng Liong
yang sudah diberi isyarat oleh gurunya memang sudan siap siaga. Maka ketika dia
melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan
jari tangan, dia sudah mendekati kereta. Begitu kuda kabur dan kusir terlempar
keluar, dia sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tempat
duduk kusir.
Dia segera
menyambar tali kendali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian
terlepas dan berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu
meloncat turun ke atas punggung seekor kuda. Anak ini menarik kendali sambil
mengeluarkan bujukan-bujukan untuk menghentikan dua ekor kuda itu. Sedangkan
para pengnwal kini sudah memburu, ada yang naik kuda, ada yang berlarian.
Akan tetapi,
dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal dapat menyusul, kereta itu
telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng Liong yang masih
duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat dan
dua orang penghuninya juga selamat!
Melihat ini,
semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan. Mereka memuji Ceng Liong yang
dianggap seorang anak yang amat sigap dan berani. Anak perempuan itu menangis
terisak-isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berubah pucat sekali.
Melihat betapa yang menolong menghentikan dua ekor kuda yang kabur itu adalah
anak kecil cucu Sinshe Phang, ibu muda itu segera membimbing anaknya turun dari
kereta yang sudah dibawa kembali ke tempat semula oleh Ceng Liong.
“Sinshe,
saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan cucumu,” katanya.
Phang-sinshe
cepat memberi hormat dan mengangguk-angguk. “Ahh, toanio, kebetulan saja cucu
saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah melindungi toanio dan siocia,”
kata Sinshe Phang dengan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah
biasa memalingkan mukanya kepada Tuhan!
“Engkau anak
yang baik sekali!” kata nyonya muda itu kepada Ceng Liong.
Anak ini pun
menjura tanpa berkata apa-apa, matanya memandang tajam kepada anak perempuan
yang masih nampak ketakutan itu. Biar pun ketakutan dan bekas menangis, anak
ini amat cantik dan manis.
“Ibu, apakah
yang menghentikan kuda tadi dia ini?” Anak perempuan itu menuding ke arah Ceng
Liong.
“Benar, Kui
Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?”
Ceng Liong
menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ banyak
orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata
kagum dan memuji.
“Ha-ha,
kenapa kau diam saja, Ceng Liong? Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu
saya ini namanya Ceng Liong.”
“Kui Lan,
hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong,” perintah ibunya yang selalu
mendidik puterinya untuk bersikap baik.
Kui Lan
melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi
dan sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian. “Ceng Liong, aku
kagum padamu dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan
ayahku adalah gubernur dari kota ini.”
Ceng Liong
hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya muda
itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut
bersamanya ke gedung gubernuran.
“Kami ingin
minta pertolongan sinshe mengobati suatu penyakit,” demikian tambahnya.
Sinshe Phang
menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia mau
bersusah payah ‘membuka praktek’ di pasar itu. Tak pernah disangkanya pintu
gubernuran akan sedemikian mudahnya terbuka baginya.
“Saya merasa
terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit,” katanya dan
dia pun cepat menyuruh cucunya berkemas.
Tidak lama
kemudian, kereta nyonya itu telah berjalan kembali. Sekali ini bukan hanya
diiringkan sepasukan pengawal, akan tetapi juga diiringkan sebuah gerobak kuda
yang telah mulai dikenal baik di kota itu. Di sepanjang perjalanan, orang-orang
membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu. Semua orang tahu
bahwa tentu sinshe itu diundang ke gubernuran untuk mengobati orang sakit dan
tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri karena telah
menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.
Begitu tiba
di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang kereta
selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cucu Sinshe Phang, menjadi terkejut
akan tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk memanggil sinshe
itu menghadap. Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat
cucunya yang tampan dan gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia
mengucapkan terima kasih dan memuji Ceng Liong.
“Hamba
merasa terhormat sekali dapat memperoleh kesempatan untuk mengobati keluarga
paduka yang sakit. Hamba sudah siap untuk mengobatinya,” Sinshe Phang berkata
dengan sikap merendahkan diri.
“Sinshe,
yang sakit adalah aku sendiri,” tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum
ramah. “Apakah engkau bisa menolongku?”
Sinshe Phang
menjura. “Mudah-mudahan hamba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit apakah yang
diderita oleh toanio?”
“Sudah lama
sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang.
Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi
penyakit itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja.”
Sinshe Phang
mengangguk-angguk. “Maaf, hamba harus memeriksa lebih dulu sebelum menentukan
penyakit dan obatnya.”
Gubernur
Yung Hwa yang amat mencinta isterinya itu berkata, “Mari, silakan masuk ke
kamar, Sinshe Phang.”
Sinshe Phang
menghaturkan terima kasih, “Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan
bersikaplah yang baik.”
“Biar Kui
Lan menemaninya,” kata nyonya itu.
Dan Kui Lan
yang memang merasa kagum dan suka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng
Liong dan mengajaknya untuk pergi ke taman. Ceng Liong menurut saja walau pun
dia merasa sungkan dan juga malu.
Melihat
sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala. “Cucumu itu
kelak tentu menjadi orang yang gagah.”
Sambil
mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab, “Ahhh,
seorang seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?”
Sang
gubernur tertawa. “Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang
kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati seperti engkau ini, tentu
seorang kang-ouw yang lihai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat
menyelamatkan isteri dan anakku, tentu dia pun telah kau gembleng dengan
ilmu-ilmu yang tinggi!”
Diam-diam
Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimana pun juga, gubernur ini
dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang, maka
tentu banyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek
itu.
Setelah
berada di dalam kamar, dengan disaksikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe Phang
memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian memeriksa beberapa bagian
kepala dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang diderita oleh
nyonya itu tidaklah begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk
jarum, dengan mudah dia dapat menghilangkan penyakit itu.
Tentu saja
gubernur dan selirnya merasa berterima kasih dan girang sekali. Gubernur Yung
Hwa lalu menjamunya. Mereka makan minum berdua saja sambil bercakap-cakap
karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang sekarang telah
bersahabat dengannya.
“Ceng Liong,
aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat.” Di
waktu bermain-main Kui Lan berkata.
Ceng Liong
memandang tajam. Anak ini boleh juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.
“Kenapa
engkau berkata demikian, nona?”
“Sedangkan
anak laki-laki putera para pembesar saja biasanya bersikap sombong dan kasar,
padahal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas,
kulihat pandai dan bukan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pendiam dan
pandai merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukanlah anak
dusun. Engkau pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!”
Ceng Liong
tertawa. “Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli
pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya.”
Kui Lan
menarik napas panjang. “Sukar dipercaya! Dan di mana rumahmu? Di mana rumah
kakekmu itu?”
“Di mana
saja, nona. Dunia ini adalah rumahku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau
dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya gerobak kami, di situlah
kami tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal
tetap, nona, seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon mana pun
bebas!”
Sepasang
mata yang bening itu berseri memandang wajah tampan Ceng Liong. “Ihhh, bicaramu
juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas
melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam
sangkar!”
“Nona adalah
puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana mungkin bisa dibandingkan
dengan aku?”
“Aku suka
padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak
akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan
menunggangi kuda yang sedang kabur itu. Ihhh, masih ngeri kalau aku mengingatnya.”
Ceng Liong
lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum dengan
Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sinshe Phang untuk
berkenalan dan menjajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus
dia pun membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan
negara.
“Engkau
banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan
selatan? Apakah kehidupan rakyat baik dan keamanan pun baik?” Gubernur itu
bertanya demikian karena dia juga sudah mendengar bahwa terjadi pergerakan dan
pergolakan di barat dan utara.
Kakek itu
mengerutkan alis, bersikap pura-pura sedang keberatan untuk menyatakan
pendapatnya.
Sang
gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung, “Harap engkau
jangan khawatir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur, maka engkau pun boleh
menyatakan sejujurnya bagaimana keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol
sebagai dua orang teman, bukan pemeriksaan seorang pejabat terhadap terdakwa!”
Gubernur itu tertawa dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.
“Terus
terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu
baik. Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di
sana-sini terdapat gejala pergerakan menentang pemerintah.”
Gubernur itu
menghela napas. “Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin dapat
memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak
puas. Ketika mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang kendali pemerintahan,
banyak fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat
akan sifat-sifatnya yang keras dan kadang-kadang penuh kelaliman. Akan tetapi,
sekarang kendali pemerintahan dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi
dan bijaksana. Bagaimana pun juga, tak mungkin beliau dapat memuaskan hati
semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini, tidak ada yang sempurna.”
Mendengar
ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikit pun rasa
dendam dalam ucapan itu.
“Bagaimanakah
pendapat paduka tentang pergolakan-pergolakan yang sedang terjadi di
mana-mana?”
Gubernur itu
mengerutkan alisnya. “Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang merasa
dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bijaksana Kaisar Kian Liong, maka yang
merasa dirugikan sehingga penasaran dan memusuhinya tentulah orang-orang yang
tidak bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih
tinggi. Mereka itu tidak tahu bahwa andai kata kekuasaan tertinggi berada di
tangan orang lain, tidak seperti Kaisar Kian Liong, maka keadaan negara tentu
menjadi lebih kacau dan sengsara.”
Sekarang
yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mungkin orang dengan pendirian seperti
gubernur ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk
membocorkan rahasianya kepada seorang seperti gubernur ini. Bagaimana pun juga,
dia harus dapat menarik keuntungan dalam perjumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa
supaya tidak percuma semua jerih payah yang telah diperhitungkan dan
direncanakannya.
“Bagaimana
pun juga, hamba sendiri tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan negara.
Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah
yang terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi
kedudukannya sampai yang paling rendah, melalui pengobatan dan hiburan
permainan sulap, hamba sudah merasa cukup puas.”
“Sinshe
adalah seorang yang bijaksana dan dapat menolong orang-orang lain, sungguh
kehidupan itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan panjang usia. Kami mengharap
agar engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silakan menempati gedung
kami dan sinshe akan kami anggap sebagai tamu terhormat.”
Sinshe Phang
bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. “Taijin sudah melimpahkan kebaikan
kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi? Hamba telah
mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan
perjalanan hamba dalam perantauan ini.”
Gubernur itu
nampak kecewa. “Ahh, mengapa begitu tergesa-gesa?”
“Hamba
tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat
kambuh kembali. Hamba memang sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke
Bhutan....” Dia menghentikan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah
gubernur itu, walau pun nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia
melihat betapa wajah itu berseri.
“Ke
Bhutan....? Ahh, apakah sinshe mempunyai keperluan di negara yang jauh itu?”
“Hamba
pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan dia
pun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain
menemui sahabat itu, juga hamba telah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan
keindahan negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba
khawatirkan.”
“Apakah itu,
Phang-sinshe?”
“Hamba
adalah seorang asing di Bhutan, selain sahabat itu tidak mempunyai kenalan.
Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, hamba khawatir kalau-kalau
dicurigai dan akan menemui halangan di negara asing itu.”
“Ahhh,
jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai
pengaruh dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku
tanggung takkan ada yang mengganggumu di Bhutan sana.”
Bukan main
girangnya hati kakek itu. “Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin.”
Gubernur itu
lalu membuat sehelai surat pernyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe Phang
adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk
membantunya dalam segala hal. Surat itu ditanda tanganinya dan dibubuhi cap
kebesarannya.
Setelah
berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula
sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah Sinshe
Phang dan Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka. Kui Lan sendiri mengantar
keberangkatan itu sampai di pekarangan luar gedung gubernuran dan anak
perempuan itu menangis ketika melihat Ceng Liong menggerakkan kuda
memberangkatkan kereta dan melambaikan tangan kepadanya…..
***************
Biar pun
hanya merupakan sebuah kerajaan kecil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki
banyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali
karena kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, tidak
pernah melakukan perang, baik dengan negara tetangga mau pun antara suku dan
bangsa sendiri, maka rakyatnya dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan
tenang.
Kerajaan
Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di
antara puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di
Himalaya yang bersuhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini
beserta rakyatnya mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka. Pada
umumnya rakyatnya beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.
Raja Badur
Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan
bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya
menjadi puteri mahkota. Sang puteri ini tak mau menjadi ratu karena memang ia
ingin bebas dari pada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu
pendekar sakti Wan Tek Hoat dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan
Hong Bwee alias Gangga Dewi. Puteri tunggal ini berusia sembilan tahun dan
bukan saja menjadi cahaya dalam kehidupan ayah bundanya, akan tetapi juga
menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana mau pun di luar istana.
Walau pun
Wan Tek Hoat dan isterinya tidak memangku suatu jabatan tertentu, tetapi
pendekar ini disebut pangeran. Dia bersama isterinya merupakan
penasehat-penasehat utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bahwa
keamanan Kerajaan Bhutan itu berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini.
Mereka yang
mempunyai pikiran buruk dan niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Para penjahat merasa jeri. Pendeknya,
Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh penting di Bhutan, yang ditakuti
lawan dan disegani kawan.
Tidak
mungkin ada yang sempurna di dunia ini. Setiap ada yang menganggapnya baik,
tentu akan bertemu dengan fihak lain yang menganggapnya tidak baik. Ini
tergantung dari pada si penilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan
untung rugi. Baik buruk hanyalah penilaian banyak fihak yang pada dasarnya
selalu ditunggangi oleh perhitungan untung rugi inilah.
Kalau
Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tentu saja karena dianggap
menguntungkan bagi fihak itu, tentu ada pula fihak lain yang menganggapnya
tidak baik sebab merasa dirugikan. Mereka yang diam-diam menganggapnya tidak
baik, tentu saja tidak berani berterang karena terutama sekali adanya wibawa
dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas.
Sudah jamak
di satu pemerintahan negara mana pun juga, di antara orang-orang yang merasa
diri sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh
pemerintahan, ada yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang berkuasa pada
saat itu. Ketidak puasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak memperoleh
kedudukan yang sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan
politik pemerintahan, akan tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah
mereka yang merasa dirugikan, baik lahir mau pun batin. Tidak mungkin ada suatu
pemerintahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan semua fihak yang masing-masing
mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan kadang-kadang keinginan-keinginan itu
saling bertentangan.
Demikian
pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa
puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula
pembesar-pembesar yang merasa tidak puas dan diam-diam dalam hati mereka
menentang kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama
sekali menentang kebijaksanaan pemerintah yang lebih condong bersahabat dengan
Kaisar Kerajaan Ceng dan yang menentang gerakan Nepal.
Mereka akan
merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat dengan Nepal, yang selain menjadi
negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan agama yang masih serumpun.
Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang Bangsa Han yang
telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasehat nomor satu
dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu
tidak berani mengeluarkan isi hati mereka secara berterang.
Pada suatu
siang yang cukup terang, suatu keadaan yang amat menyenangkan bagi daerah
Bhutan yang dingin itu, nampak seorang anak perempuan yang cantik dan lincah
berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng
bukit. Anak perempuan ini usianya sembilan tahun, wajahnya bulat telur dengan
dagu meruncing dan kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar. Mulutnya
kecil mungil dengan bibir yang penuh dan merah, sepasang matanya
bersinar-sinar, lebar dan terang. Dua kuncirnya yang gemuk dan panjang itu ikut
melambai-lambai ketika ia berloncatan.
Anak ini
sungguh cantik, gerakannya amat lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya
membayangkan kejenakaan dan kegembiraan. Tangan kirinya memegang busur kecil,
tangan kanannya memegang anak panah, sedangkan di punggungnya masih terdapat
beberapa batang anak panah cadangan. Tidaklah terlalu mengherankan kalau anak
perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah dan sigap gerakannya
karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal dari pendekar
sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi.
Semenjak
kecil, baru saja dapat berjalan, ayahnya telah menggemblengnya sehingga meski
usianya baru sembilan tahun, tetapi Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat
dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali yang besar. Apalagi anak ini memang
gemar berburu, pekerjaan yang umum di daerah Bhutan. Sudah sering kali anak ini
mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa dan binatang-binatang
hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai menggunakan
pedang kecil yang tergantung di pinggang itu.
“Heiii, tuan
puteri.... perlahan dulu....!” Terdengar suara seorang wanita menegur dari
belakang.
“Di dalam
hutan mana ada puteri-puteri segala macam?” Hong Bwee mengomel tanpa
menghentikan kedua kakinya yang berloncatan dengan sigap di antara semak-semak
belukar.
“Nona....
nona Hong Bwee, kalau nona berlari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan
burung-burung terbang menjauh!” teriak suara wanita ke dua.
Mendengar
ini, Hong Bwee menghentikan larinya, kemudian menoleh sambil tersenyum melihat
dua orang wanita cantik yang berpakaian ringkas seperti para pemburu
berlari-lari mengejarnya. Dua orang wanita itu adalah para pengawalnya karena
pada siang hari ini Hong Bwee hendak berburu sendiri, hanya ditemani dua orang
pengawal itu. Tentu saja kedua orang wanita itu bukan wanita sembarangan,
melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.
Sebagai
puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki
wibawa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri
bekas puteri mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala,
bahkan kalau berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan
yang mengikatnya, ingin hidup seperti anak-anak lainnya dan karena itulah, tadi
ia menegur seorang pengawalnya yang menyebut tuan puteri. Ia lebih suka disebut
nona begitu saja sehingga tidak semua orang tahu bahwa ia seorang puteri dari
istana.
“Sungguh
sialan benar kita hari ini.” Anak itu mengomel. “Sampai begini siang dan sudah
berjalan sangat jauh, belum juga bertemu dengan seekor pun rusa atau binatang
lain!”
“Nona,
sebaiknya kita segera kembali ke kota. Kita telah hampir sampai di perbatasan!”
seorang pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.
“Tidak, kita
belum memperoleh seekor pun binatang buruan, bagaimana bisa kembali? Aku akan
malu kalau pulang tidak membawa hasil,” bantah Hong Bwee.
“Itu mudah
diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa
gemuk dan....”
“Tak tahu
malu!” Hong Bwee memotong ucapan pengawal yang hidungnya mancung itu. “Pemburu
macam apa itu? Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di
pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya?
Aku mau mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!”
“Ihhh....
jangan ke sana!” seru pengawal beralis tebal.
“Kenapa?”
“Bukit itu
tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada
beruang-beruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!”
“Aku tidak
takut!”
“Tapi....
tapi beruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya.”
Hong Bwee
memandang kepada dua orang pengawalnya sambil bertolak pinggang, sepasang
alisnya dikerutkan. “Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang sekarang ini
menemaniku? Kalau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sendiri. Aku tidak
akan pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga
sekali kalau dapat menyeret pulang bangkai seekor beruang yang menjadi korban
anak panah atau pedangku!”
Setelah
berkata demikian, anak itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya.
Kemarahannya telah hilang dan ia berlari-lari sambil bersenandung gembira. Dua
orang pengawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya kemudian
cepat mengikuti anak yang berada di bawah perlindungan mereka.
Ketika
mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke
belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali
melihat bahwa tidak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan
rumput. Bagus, pikir mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan
seekor rusa, tentu tidak perlu lagi mereka mendatangi bukit yang berbahaya di
depan itu. Mereka pun cepat mempersiapkan busur dan anak panah. Angin bertiup
ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap menghampiri rusa-rusa itu
dengan aman.
Dua orang
pengawal itu agaknya sudah mengenal baik watak Hong Bwee. Jika mereka
mendahului menggunakan anak panah merobohkan rusa, tentu anak itu akan marah.
Maka mereka pun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka
bertiga berindap-indap mendekati, menyelinap di antara semak-semak belukar
sebagai pemburu-pemburu yang berpengalaman, Hong Bwee nampak membidikkan anak
panah dari balik semak-semak.
Ia berada di
depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata
mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak.
Ia harus berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga
binatang itu. Ia membidik dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang
paling gagah, besar dan tegap di antara kelompok rusa itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh, lalu menghampiri seekor rusa
betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina ini
pun indah dan rusa ini pun senang dicumbu. Mendadak wajah anak itu berubah
merah. Ia tahu apa artinya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh depannya di
belakang rusa betina.
Rasa jengah
membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan dua
ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang
nampak menjulang tinggi.
“Wuuuutt....
singggg.... ceppp!”
Rusa jantan
mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan dalam
sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan berlompatan melarikan diri dari
tempat itu. Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan ini
tentu merupakan pekik peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadi pun
sudah menghilang. Rusa jantan yang terkena anak panah di lehernya itu
terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan diri naik ke bukit.
Sejenak dua
orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika
melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantan yang sedang
bermain cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua
macam kesalahan. Kesalahan pertama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil
di antara para pemburu, yaitu menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan
kesalahan ke dua adalah menyerang rusa pemimpin kelompok dengan anak panah
sekecil itu.
Orang-orang
Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah memanah
dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya.
Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu
mereka yang sedang bermain asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati
dan bermain cinta dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas.
Raja ini
agaknya memandang rendah kutuk yang dilontarkan oleh rusa itu. Setibanya di
rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu
dan bermain cinta dengan mereka. Dia pun kena kutuk dan roboh tewas.
Dongeng ini
menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak sekali-kali
mengganggu rusa atau binatang lain yang sedang bermain asmara, dari burung
sampai binatang buruan lain yang besar-besar. Dan sekarang, Hong Bwee telah
melanggar pantangan itu! Dan kesalahan ke dua adalah kesalahan yang bodoh.
Seekor rusa jantan sekuat itu mana dapat dirobohkan oleh sebatang anak panah,
walau pun bidikannya tepat mengenai leher? Kalau tepat menembus jantung,
barulah rusa itu akan roboh seketika.
Akan tetapi
pada saat itu, Hong Bwee sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan
mengejar rusa yang sudah terluka dan kabur naik ke bukit yang penuh hutan lebat
itu.
“Nona,
jangan kejar....!” teriak mereka, akan tetapi melihat anak itu sama sekali
tidak perduli dan terus lari memasuki hutan, terpaksa mereka pun mengejar
secepat mungkin.
Ketika
akhirnya kedua orang pengawal itu dapat menyusul Hong Bwee, tiba-tiba mereka
menghentikan langkah dan memandang terbelalak ke depan. Rusa merupakan binatang
yang dapat berlari paling cepat. Larinya sambil berlompatan tinggi sehingga
sukarlah bagi Hong Bwee untuk dapat menyusulnya.
Ketika anak
ini berlari sambil berloncatan memasuki hutan, ia kehilangan jejak rusa itu dan
tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan seekor beruang hitam betina yang amat
besar, yang berada di situ bersama seekor beruang hitam kecil, anaknya yang
baru sebesar anjing. Binatang itu nampaknya juga kaget ketika tiba-tiba bertemu
dengan Hong Bwee.
Kini Hong
Bwee telah menarik busurnya dan membidikkan anak panah yang sudah siap itu ke
arah si beruang kecil. Wajah anak ini berseri-seri, sepasang matanya
bersinar-sinar. Ia berhadapan dengan beruang dan mendapat kesempatan merobohkan
seekor beruang! Hanya kegembiraan ini sajalah yang memenuhi pikirannya pada
saat itu, yang membuat ia lupa akan bahaya yang mungkin mengancamnya.
“Prattt....
wirrrr.... ceppp....!”
Anak panah
itu menyambar dan anak beruang itu pun roboh terguling, menguik-nguik dan
bergulingan di atas tanah. Pada saat itulah kedua orang pengawal itu datang dan
mereka terbelalak berdiri di belakang Hong Bwee, wajah mereka pucat dan
khawatir sekali.
Kekhawatiran
mereka itu segera terbukti. Beruang betina itu mengeluarkan gerengan dahsyat
yang seolah-olah menggetarkan bumi, lalu menerjang ke depan. Sejak tadi Hong
Bwee yang gembira melihat betapa anak panahnya berhasil merobohkan anak beruang
kecil, sudah mempersiapkan anak panah lagi. Kini, melihat beruang besar lari
maju, dengan tabah ia pun lalu menyambut dengan lepasan anak panahnya.
Anak panah
itu meluncur dan menyambar ke arah beruang betina. Namun ketika anak panah itu
mengenai pundak beruang itu, anak panah meleset dan hanya mendatangkan luka
kecil saja. Kulit beruang itu dilindungi bulu yang kuat! Dua orang pengawal
juga cepat melepaskan anak panah mereka, akan tetapi beruang itu tiba-tiba
berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan kini dua kaki depannya
digerak-gerakkan ke depan, menyampok runtuh anak panah yang menyambar, kemudian
dia pun menyerang dan menubruk ke depan.
“Nona, cepat
lari....!” teriak seorang pengawal sambil menarik lengan Hong Bwee ke belakang.
Dua orang pengawal itu mencabut pedang mereka dan menyambut serangan beruang
itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi
beruang itu sungguh kuat luar biasa. Dia berani menyambut dan menangkis pedang
dengan kedua lengan telanjang. Lengannya dilindungi bulu yang kuat dan
pedang-pedang tajam itu hanya mampu melukai sedikit saja. Sebaliknya, begitu
kedua tangannya menyambar dan menangkis, dua batang pedang itu terlempar dan
terlepas dari tangan dua orang wanita pengawal itu.
Beruang itu
menerjang terus. Tamparan-tamparan dua tangannya tak dapat dihindarkan oleh
wanita-wanita pengawal itu yang mencoba untuk menangkis. Akan tetapi, begitu
lengan mereka bertemu dengan tangan bercakar itu, terdengar bunyi tulang patah
dan tubuh mereka terbanting keras ke kanan kiri, membuat mereka tidak mampu
bangkit kembali. Mereka hanya mengeluh kesakitan sambil memandang dengan muka
pucat dan mata terbelalak ketika melihat binatang yang sudah menjadi semakin
buas karena kemarahan itu menerjang ke arah Hong Bwee...
Akan tetapi
anak ini pun bukan sembarangan bocah. Walau pun ia hanya merupakan seorang anak
perempuan yang usianya belum genap sepuluh tahun, namun ia sejak kecil telah
mengalami gemblengan lahir batin oleh ayahnya yang sakti sehingga biar pun ia
melihat dua orang pengawalnya sudah roboh dan kini beruang itu menyerangnya, ia
masih dapat bersikap tenang dan tidak gugup sama sekali.
Dengan
sigapnya Hong Bwee meloncat ke kiri, jauh dari jangkauan cakar itu sambil
melolos pedangnya. Dia tahu bahwa menyerang beruang itu sama dengan mencari
celaka karena beruang itu amat kuat dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang
sama seperti yang dilakukan oleh dua orang pengawalnya tadi. Mereka itu mudah
celaka dan roboh karena kesalahan sendiri berani menyerang lawan yang demikian kuatnya.
Kini Hong
Bwee tidak mau menyerang, hanya menanti dengan pedang di tangan dan waspada
terhadap keadaan di sekitarnya. Ia mundur sampai di depan sebatang pohon,
sebisa mungkin hendak memancing agar binatang itu menjauhi dua orang
pengawalnya yang sudah terluka. Karena kalau binatang itu kini menyerang
mereka, tentu mereka akan tewas dalam keadaan mengerikan, mungkin akan
dicabik-cabik oleh binatang yang sedang marah itu.
Karena
tubrukannya yang pertama tidak berhasil, beruang itu mengeluarkan gerengan
dahsyat saking marahnya. Agaknya, naluri yang peka dari binatang itu membuat ia
tahu siapa yang membunuh anaknya dan kini diserangnya Hong Bwee dengan
kemarahan memuncak. Anak itu yang berdiri di depan sebatang pohon, kembali
mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya, menusuk ke
arah muka beruang itu.
“Braaakkk....!”
Pohon itu tumbang dilanda tubuh beruang yang menubruk sekuat tenaga tadi.
Dilemparkannya
pohon itu dan dia membalik. Hong Bwee sudah siap dengan busurnya. Ketika
beruang itu membalik, anak itu melepas tiga batang anak panah berturut-turut
dan tiga batang anak panah itu bertubi-tubi menyambar ke arah mata beruang!
Beruang itu
menggerak-gerakkan kedua tangannya, berusaha menangkap anak panah. Akan tetapi
dia hanya berhasil meruntuhkan dua batang, sedangkan yang sebatang lagi
menyerempet tepi matanya, menimbulkan luka yang cukup membuat sebelah matanya
perih dan tidak dapat dibuka lagi. Tentu saja dia menjadi semakin marah.
Diserangnya Hong Bwee bertubi-tubi. Anak itu meloncat ke sana-sini dan pada
saat ia kehabisan tempat untuk mengelak, ia menangkis dengan pedangnya.
“Trakkk!”
Pedang itu terlempar jauh dan tubuh Hong Bwee terguling.
Ketika itu
beruang yang sudah marah menubruk ke depan. Anak itu hanya terbelalak, maklum
bahwa ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Pada saat yang amat
berbahaya bagi Hong Bwee, nampak sesosok tubuh kecil menyambar ke depan dan dua
buah kaki meluncur cepat menghantam dada beruang yang berdiri di atas kedua
kaki belakang dan hendak menubruk Hong Bwee.
“Bukkkkk....!”
Tendangan yang merupakan tendangan terbang itu tepat mengenai dada beruang.
Binatang itu
tidak terjengkang, tapi terhuyung ke belakang dan sebaliknya anak laki-laki
yang melakukan tendangan luar biasa itu terpental dan hanya dengan berjungkir
balik dia mampu menghindarkan dirinya terbanting. Bagaimana pun juga, dia telah
berhasil menyelamatkan Hong Bwee karena anak perempuan ini memperoleh kesempatan
untuk bangkit berdiri dan menjauh.
Anak
laki-laki yang berusia sepuluh tahun lebih itu adalah Suma Ceng Liong. Sejak
tadi dia datang bersama Hek-i Mo-ong Phang Kui dan keduanya melihat dengan
jelas betapa seorang anak perempuan dengan gagah beraninya melakukan perlawanan
terhadap amukan seekor beruang betina yang besar. Bahkan dengan anak panahnya,
anak perempuan itu sempat melukai tepi mata binatang itu, padahal dua orang
wanita pengawalnya telah terluka dan tidak berdaya membantunya.
Ceng Liong
memandang kagum bukan main dan Hek-i Mo-ong juga menonton sambil tersenyum,
sedikit pun tidak mempunyai keinginan membantu anak perempuan kecil yang sedang
diancam oleh beruang buas. Bahkan diam-diam ada rasa tegang yang amat
menggembirakan hatinya. Ketegangan mendebarkan yang hanya dapat dirasakan oleh
seorang kejam seperti dia membayangkan betapa tubuh anak perempuan yang lunak
lembut itu nanti akan dicabik-cabik oleh tangan binatang buas yang amat kuat
itu.
Akan tetapi,
ketika melihat anak perempuan itu roboh dan terancam bahaya maut, bangkitlah
jiwa kependekaran di dalam hati Ceng Liong. Tanpa memperdulikan gurunya yang
diam saja, dia sudah meloncat ke depan dan menendang dada binatang itu untuk
menyelamatkan Hong Bwee.
Pada saat
itu pula terdengar suara berdengung. Itulah suara terompet tanduk rusa yang
ditiup orang. Mendengar ini, Hong Bwee memasang kedua tangan di depan mulut,
membentuk corong kemudian mengeluarkan pekik melengking. Tidak lama kemudian
berkelebat datang seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dengan pandang matanya
yang mencorong tajam, pria ini memandang ke arah Hong Bwee, kemudian Ceng Liong
dan akhirnya ke arah kakek berpakaian petani serba hitam itu.
“Ayah,
beruang itu berbahaya sekali!” teriak Hong Bwee yang menjadi girang melihat ayahnya
datang.
Sementara
itu, beruang yang marah itu sekarang sudah menggereng. Tadi agaknya dia bingung
dan ragu, mana yang harus diserangnya, anak perempuan itu ataukah anak
laki-laki yang baru saja membuat dadanya terasa sesak dan nyeri itu. Tetapi sebelum
dia bergerak, Wan Tek Hoat, ayah Hong Bwee, sudah mendahuluinya, menyerangnya
dua kali dengan sambaran kedua tangan. Gerakan Wan Tek Hoat cepat sekali.
Beruang itu terlalu lamban untuk dapat mengelak atau sempat menangkis, dan
tahu-tahu secara beruntun, kedua telapak tangan Tek Hoat telah menyambar dan
tepat mengenai dada, kemudian kepalanya.
“Plakkk!
Plakkk!”
Nampaknya
hanya tamparan biasa saja yang mengenai dada dan kepala beruang itu, namun
akibatnya sungguh hebat. Beruang itu meraung dan sempoyongan, mencoba untuk
meloncat ke depan membalas serangan, akan tetapi dia terpelanting, roboh dan
berkelojotan lalu mati!
Melihat ini,
diam-diam Hek-i Mo-ong Phang Kui terkejut bukan main. Sebagai seorang datuk
kaum sesat, tentu saja dia mengenal pukulan sakti yang amat ampuh. Dapat
merobohkan beruang sebesar itu hanya dengan dua kali tamparan merupakan bukti
bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli yang amat tangguh. Apalagi ketika dia
melirik dan melihat betapa di dada dan kepala beruang yang penuh bulu itu
nampak tanda telapak jari tangan dan di bagian itu, bulu-bulunya rontok seperti
terbakar dan tanda telapak jari tangan itu nampak nyata.
Maka dia pun
segera dapat menduga siapa adanya laki-laki berusia kurang dari lima puluh
tahun yang gagah perkasa ini. Bukankah di Bhutan, seperti telah didengarnya,
terdapat seorang Han yang kini menjadi pangeran, suami Puteri Syanti Dewi
bernama Wan Tek Hoat yang pernah dijuluki Si Jari Maut? Agaknya inilah
orangnya, pikirnya dengan gembira sekali. Pertemuan yang sungguh amat
menguntungkan dia!
“Ayah....!
Kau hebat....!” Hong Bwee meloncat menghampiri beruang yang mati itu dan memandang
kepada ayahnya dengan wajah berseri.
“Hong Bwee,
engkau terluka....!” kata Tek Hoat sambil meraih puterinya.
Ternyata
anak peremnpuan itu terluka di dekat pundaknya, di pangkal lengan kanan. Luka
ini terjadi ketika pedangnya tertangkis dan pedang yang mencelat itu sempat
melukai pundaknya sendiri. Untunglah ia cepat-cepat melepaskan pedang dan
menarik lengannya sehingga lengannya tidak sampai patah-patah tulangnya bertemu
dengan tangan beruang.
“Ayah, anak
laki-laki itulah yang tadi menyelamatkan aku dari terkaman beruang,” kata Hong
Bwee yang agaknya tidak memperdulikan luka di pundaknya.
Agaknya baru
sekarang Tek Hoat teringat kepada anak laki-laki dan kakek itu. Dia lalu
menoleh, memandang Ceng Liong penuh perhatian, melihat bahwa anak ini sungguh
merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki sifat-sifat kegagahan yang
membayang pada wajahnya, pandang matanya dan sikapnya.
Kemudian dia
memandang kepada kakek itu. Seorang kakek yang berpakaian petani serba hitam,
sederhana, namun ada sesuatu yang membuat Tek Hoat menduga bahwa kakek ini
pasti bukan orang sembarangan. Entah nampak pada sinar mata yang tajam
berwibawa itu, atau pada sikapnya yang terlampau tenang itu.
“Dua
pengawalku telah roboh terluka oleh beruang. Aku mempertahankan diri dengan
pedang dan anak panah, akan tetapi aku pun roboh dan tentu aku sudah diterkam
oleh binatang itu kalau anak laki-laki ini tidak muncul. Dia berani meloncat
dan menendang dada beruang dengan kedua kaki! Gaya terjangannya itu indah dan
hebat sekali, ayah!”
Hong Bwee
memang luar biasa. Dalam keadaan terancam bahaya maut mengerikan tadi, ternyata
ia masih sempat memperhatikan gaya terjangan Ceng Liong ketika anak laki-laki
itu menyerang beruang.
Mendengar
penuturan puterinya, Tek Hoat segera menjura kepada kakek berpakaian petani
hitam itu. Dia tahu bahwa di Himalaya berkeliaran banyak sekali pertapa-pertapa
dan orang-orang tua yang sakti, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu kakek
ini seorang yang sakti pula bersama muridnya.
“Kami
menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe dan adik kecil
ini atas bantuan yang diberikan sehingga anak perempuan kami terhindar dari
malapetaka.”
Hek-i Mo-ong
cepat membalas penghormatan itu. “Aih, taihiap sungguh membuat saya malu dengan
sebutan locianpwe! Taihiap yang demikian perkasa, dapat membunuh beruang buas
hanya dengan tangan kosong, sungguh amat mengagumkan dan belum pernah saya
melihat kegagahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang
sulap murahan saja, merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu
dengan taihiap. Perkenalkan, saya adalah Phang Kui atau biasa disebut
Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah perkasa ini terluka pundaknya,
dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang lengannya. Kalau boleh,
biarlah saya mengobati mereka.”
Tentu saja
Tek Hoat mengangguk, mengijinkan dengan hati girang. Ketika dia bersama para
pemburu mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat.
Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Phang-sinshe cepat turun tangan. Mula-mula dia
memeriksa dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, barulah anak
perempuan ini merasakan keperihan lukanya. Akan tetapi dia tidak pernah
mengeluh, hanya menggigit bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum
saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu mengobati dua orang wanita pengawal itu dan
sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek Hoat dapat melihat bahwa kakek ini
memang ahli dalam hal pengobatan dan menyambung tulang patah. Maka dia pun
merasa semakin girang.
Pada waktu
itu, selosin pemburu yang semuanya terdiri dari pengawal-pengawal istana, sudah
tiba di situ, membawa kuda yang besar-besar. Tek Hoat bercakap-cakap dengan
Phang-sinshe yang menceritakan bahwa dia memang memiliki kesenangan merantau,
dan sekarang sedang merantau ke daerah Himalaya.
“Saya
mendengar bahwa Himalaya merupakan daerah yang penuh dengan ahli-ahli yang
memiliki kepandaian tinggi, maka saya ingin meluaskan pengetahuan saya dalam
ilmu pengobatan. Tanpa saya sadari, saya memasuki daerah Bhutan.”
“Apakah anak
itu murid sinshe?” tanya Tek Hoat sambil menunjuk kepada Ceng Liong yang
bercakap-cakap dengan Hong Bwee tak jauh dari situ.
“Benar,
namanya Ceng Liong dan dia itu dapat dikata murid atau juga pembantu saya.”
“Namaku Wan
Tek Hoat dan aku tinggal di Kota Raja Bhutan....”
Kakek itu
memperlihatkan muka terkejut. Sambil terbongkok-bongkok memberi hormat dia
berkata, “Ahhh.... saya sudah pernah mendengar bahwa di Bhutan terdapat seorang
pangeran yang berasal dari Bangsa Han, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi
sekali dan menjadi suami dari puteri mahkota Bhutan. Apakah... apakah...
taihiap orangnya?”
Tek Hoat
tersenyum. Tidak mengherankan jika dalam perantauannya di Himalaya kakek ini
mendengar tentang dirinya. Pernikahannya dengan Syanti Dewi memang pernah
menghebohkan daerah itu. Dia mengangguk.
“Tidak
salah, Phang-sinshe. Aku adalah pangeran itu, dan ia itu adalah anakku, puteri
tunggal kami yang bernama Wan Hong Bwee atau juga Puteri Gangga Dewi.”
“Ahh, kalau
begitu harap maafkan bahwa saya bersikap kurang hormat,” Phang-sinshe segera
memberi hormat.
Akan tetapi
Tek Hoat cepat membalas. “Harap jangan terlalu sungkan, Phang-sinshe. Muridmu
telah menyelamatkan puteriku, dan engkau sudah mengobati puteriku dan dua orang
pengawalnya. Kalau engkau suka, kami persilakan engkau dan muridmu untuk ikut
kami ke istana dan menjadi tamu kehormatan kami.”
Pucuk
dicinta ulam tiba! Memang kedatangan Phang-sinshe ke Bhutan adalah untuk melakukan
penyelidikan dan untuk mempengaruhi negara kecil itu. Dia sedang mencari jalan
bagaimana untuk dapat memasuki kerajaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan dan
bagaimana dia dapat menghubungi kalangan atas di negara itu. Dan kini, tanpa
disengaja, muridnya telah menolong puteri pendekar sakti Wan Tek Hoat yang
memiliki pengaruh dan wibawa besar di istana sebagai keluarga istana. Dan kini,
pendekar itu mengundang dia dan muridnya untuk menjadi tamu agung di istana!
“Ahh, terima
kasih, Wan-taihiap, terima kasih!” katanya berulang-ulang sambil memberi
hormat. “Semenjak lama saya mendengar tentang keindahan Negara Bhutan dan sudah
lama saya ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Kini taihiap
mengundang saya berkunjung ke sana, tentu saja saya merasa girang dan berterima
kasih sekali!”
Ketika Hong
Bwee mendengar bahwa Ceng Liong dan gurunya menerima undangan ayahnya untuk
berkunjung ke istana, anak ini menjadi girang sekali dan bersorak. Ia tadi
telah bercakap-cakap dan berkenalan dengan Ceng Liong. Kini ia menarik tangan
anak laki-laki itu.
“Mari Ceng
Liong, mari kita berangkat lebih dahulu! Ayah, kami ingin menunggang Si Putih!”
Tek Hoat
hanya tertawa karena sebelum dia menjawab, puterinya itu telah mengajak Ceng
Liong meloncat ke atas punggung kuda putih miliknya yang merupakan kuda pilihan
paling besar di Bhutan. Dengan cekatan Hong Bwee meloncat ke atas punggung
kuda, lalu menggapai Ceng Liong untuk meloncat di belakangnya.
Bagaimana
pun juga, Ceng Liong adalah seorang anak yang baru berusia hampir sebelas
tahun, maka melihat betapa Hong Bwee memperlihatkan kesigapannya, dia pun tidak
mau kalah. Dengan mengenjotkan kakinya ke tanah, tubuhnya melayang ke atas dan
dengan lunaknya dia dapat duduk tepat di belakang anak perempuan itu.
Gerakannya
memang ringan dan indah sehingga diam-diam Tek Hoat memuji. Juga pendekar ini
suka sekali melihat betapa anak laki-laki itu duduknya agak menjauh dari tubuh
Hong Bwee, tidak mau menyentuh atau mepet dan ini hanya dapat diartikan bahwa
anak laki-laki itu mempunyai kesopanan tinggi. Melihat Ceng Liong telah duduk
di belakangnya, Hong Bwee membalapkan kudanya dan kembali Tek Hoat kagum
melihat betapa tubuh anak laki-laki itu, tanpa berpegangan, dapat duduk tegak
di atas punggung kuda agak di bagian belakang yang melengkung.
Seekor kuda
diserahkan kepada Phang-sinshe dan rombongan itu kemudian berangkat
meninggalkan bukit menuju ke Kota Raja Bhutan. Rombongan itu di sepanjang
jalan, ketika melewati dusun-dusun, disambut oleh para penduduk dengan gembira.
Pendekar Wan Tek Hoat yang dikenal sebagai pangeran yang dihormati itu memang
dikenal baik oleh penduduk.
Apalagi
melihat betapa rombongan pengawal membawa hasil buruan berupa seekor beruang
hitam besar dan anaknya, rakyat lalu menyambut sambil mengeluarkan pujian.
Diam-diam Phang Kui memperhatikan hal ini dan tahulah dia bahwa Wan Tek Hoat
merupakan tokoh penting dan dicinta oleh rakyat Bhutan.
Ketika
rombongan sudah tiba di istana, kakek itu pun mengagumi keindahan istana tua
itu. Suasananya tertib dan tenteram, dan wajah-wajah yang dijumpainya di kota
raja, dari jalan-jalan raya sampai ke para petugas istana, nampak gembira,
tanda bahwa negara itu dapat dikatakan cukup makmur.
Wan Tek Hoat
memang tinggal di lingkungan istana, yaitu di bagian bangunan sebelah kanan.
Pendekar ini langsung mengajak Phang-shinshe untuk memasuki gedungnya dan di
ruangan dalam mereka berdua melihat betapa dengan lagak yang lincah jenaka,
Hong Bwee sedang bercerita kepada ibunya tentang semua pengalamannya yang hebat
dan Ceng Liong berada pula di situ, duduk di atas sebuah kursi dengan sikap
canggung di depan ibu anak perempuan itu.
Diam-diam
Phang-sinshe memperhatikan wanita yang diajak bicara oleh Hong Bwee dan
kagumlah dia. Wanita itu sukar ditaksir usianya. Melihat kecantikan wajahnya
dan kepadatan tubuhnya, tentu baru berusia sekitar tiga puluhan. Akan tetapi,
dia sudah mendengar akan puteri mahkota Bhutan ini hampir tiga puluh tahun yang
lalu ketika puteri ini dengan perantauannya ke timur terlibat dengan
urusan-urusan penting di dunia kang-ouw. Menurut taksirannya berdasarkan hal
itu, puteri itu tentu usianya sudah empat puluh tahun lebih, tetapi
kenyataannya, puteri ini sedemikian cantiknya sehingga nampak belasan tahun
lebih muda.
Memang
sesungguhnya, Syanti Dewi pada waktu itu telah berusia empat puluh enam tahun!
Memang, setelah ia menikah, dari gurunya, juga sahabatnya yang paling dekat
dengannya, yaitu Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Bayangan) Ouw Yan Hui, ia telah
menerima obat penawar dari ramuan yang membuatnya awet muda.
Seperti
diceritakan dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’, Syanti Dewi dulu pernah
mendapat obat yang membuatnya awet muda dan kecantikannya menjadi cemerlang!
Memang ia seorang wanita yang memiliki kecantikan yang luar biasa, akan tetapi
berkat obat yang didapatnya dari Maya Dewi, guru dalam ilmu kecantikan dari Ouw
Yan Hui, kecantikannya pada waktu itu menjadi tidak wajar. Sebelum menikah
dengan Wan Tek Hoat, ia telah menerima obat penawar atau pemunah sehingga
kecantikannya menjadi wajar lagi. Kini, walau pun ia sudah tidak memakai obat
pembuat awet muda, berkat kecantikannya yang memang luar biasa dan
kepandaiannya berhias, puteri ini masih nampak muda sekali.
Dengan ramah
Tek Hoat lalu memperkenalkan tamunya pada Syanti Dewi yang segera mengucapkan
selamat datang dan juga ucapan terima kasih kepada kakek itu. Lalu Phang-sinshe
dan Ceng Liong dipersilakan menempati sebuah kamar dalam lingkungan istana itu
sebagai tamu agung atau tamu yang dihormati.
Sebagai
seorang tuan rumah yang baik dan yang berterima kasih, ketika tamunya
menyatakan keinginannya untuk menghadap raja dan berkenalan dengan para pejabat
tinggi, Tek Hoat lalu mengajaknya menghadap Raja Badur Syah, juga berkenalan
dengan para pejabat tinggi, para menteri dan panglima di Bhutan. Maka
dikenallah nama Sinshe Phang Kui sebagai seorang ahli pengobatan dan sulap yang
selain pandai, juga yang menjadi sahabat baik dan tamu terhormat dari keluarga
Pangeran Wan Tek Hoat.
Berkat
‘nasib’ baik ditambah dengan kecerdikannya, akhirnya Phang-sinshe berhasil
menghubungi para pembesar yang mempunyai ambisi besar, berkenalan pula dengan
para pejabat yang benar-benar setia dan jujur. Bahkan pada suatu hari, setelah
sepekan dia berada di Bhutan, dia bertemu dengan seorang perwira muda yang
bertubuh tinggi besar, berdarah bangsawan atau pendeta. Dia sedang duduk di
kamarnya pada saat pengawal melaporkan bahwa ada seorang perwira muda mohon
untuk bertemu.
Memang pada
waktu itu, banyak juga para pejabat tinggi dan sedang minta pertolongan sinshe
itu untuk menyembuhkan suatu penyakit, maka kunjungan perwira muda tinggi besar
ini pun diterima dengan ramah oleh Phang-sinshe. Tamu itu dipersilakan duduk
dan mereka duduk berhadapan terhalang meja.
“Maafkan
kalau saya mengganggu. Phang-sinshe yang mulia. Saya bernama Brahmani dan saya
ingin minta pertolongan sinshe yang pandai.”
Diam-diam
Phang-sinshe mengamati tamunya. Seorang muda raksasa yang bertubuh kuat dan
sehat, sedikit pun tidak menunjukkan adanya gejala atau gangguan penyakit. Akan
tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya.
“Ciangkun
menderita penyakit apakah?”
Brahmani
tersenyum. “Saya ingin minta bantuan dalam hal lain, bukan untuk mengobati
penyakit.”
“Bantuan
dalam hal lain? Apakah itu? Ciangkun membingungkan saya.” Phang-sinshe
memandang tajam penuh selidik. Orang ini nampaknya cerdik sekali, dia harus
waspada agar rahasianya jangan sampai terbuka.
“Saya
mendengar bahwa sinshe adalah orang yang banyak merantau dan sudah amat
berpengalaman, dan sebelum tiba di Bhutan tentu telah menjelajah daerah-daerah
utara dan timur. Tentu saja sinshe sudah banyak mengenal orang-orang pandai,
bukan?”
Oleh karena
belum mengerti ke mana arah tujuan percakapan itu, Phang Kui hanya mengangguk
dan terus memasang sikap mendengarkan dan tutup mulut.
“Begini,
Phang-sinshe, saya ingin sekali mengetahui apakah sinshe mengenal seorang tokoh
besar yang bernama....” Perwira itu celingukan dan setelah merasa yakin bahwa di
situ tidak terdapat orang lain, melanjutkan, “Hek-i Mo-ong?”
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati kakek itu mendengar nama julukannya yang
dirahasiakan itu disebut! Dia menatap tajam untuk beberapa lamanya, tanpa
perubahan sedikit pun pada air mukanya dan dia pun bertanya perlahan-lahan,
“Aku memang banyak merantau dan banyak mengenal orang. Akan tetapi sebelum aku
menjawab pertanyaanmu tadi, aku ingin tahu ada hubungan apakah ciangkun dengan
dia? Apakah ciangkun temannya ataukah musuhnya?”
Berkata demikian,
diam-diam Hek-i Mo-ong alias Phang-sinshe telah mempersiapkan diri. Kalau
perlu, untuk menjaga rahasianya, dia akan membunuh orang ini. Kalau dia turun
tangan, menggunakan serangan maut yang cepat, siapa yang akan melihat atau
mengetahuinya?
Brahmani
juga bersikap hati-hati sekali, tapi karena dia sudah memperoleh keterangan
dari atasannya tentang kakek ini, dia bersikap tenang dan sambil tersenyum dia
pun berkata, “Sinshe, harap jangan menaruh curiga. Ketahuilah bahwa aku
mendengar mengenai dia dari saudara Siwananda dan dari beliau itulah saya
mengetahui akan kedatangan sinshe di Bhutan ini.”
Phang-sinshe
mengangguk-angguk. “Hemm, apa buktinya?”
Brahmani
lalu menggambarkan tentang pertemuan puncak antara Hek-i Mo-ong, Thai Hong
Lama, Pek-bin Tok-ong, yang menghadap Gubernur Yong Ki Pok dan dapat
menceritakan jalannya pertemuan itu, apa yang dirundingkan dan akhirnya
berkata, “Aku pun mendengar dari atasanku bahwa sinshe akan datang ke Bhutan
dan aku telah siap-siap untuk melakukan hubungan dengan sinshe. Akan tetapi
melihat betapa sinshe selalu amat akrab dengan Pangeran Wan Tek Hoat dan para
sahabatnya, aku menjadi takut dan ragu-ragu, sehingga baru sekarang berani
mendekati sinshe.”
Sekarang
Hek-i Mo-ong tidak ragu-ragu lagi. Kiranya Brahmani ini adalah anak buah
Siwananda, Koksu Nepal itu. Tentu perwira muda ini seorang mata-mata Nepal yang
berhasil menyelundup bahkan menduduki pangkat perwira di Bhutan! Dia merasa
girang sekali dan mereka lalu bercakap-cakap dengan baik.
Dari
Brahmani, Phang-sinshe memperoleh keterangan dan gambaran tentang keadaan di
Bhutan yang terjadi secara rahasia. Yaitu tentang pangeran-pangeran dan
menteri-menteri yang merasa tidak puas dengan kekuasaan Raja Badur Syah, para
pejabat tinggi yang berambisi dan yang telah menjadi sekutu rahasia dari Nepal!
Bahkan sudah ada panglima-panglima yang terpengaruh dan mereka ini sudah makan
suap yang besar dari Nepal, sudah berjanji bahwa kalau saatnya tiba, mereka akan
menggerakkan pasukannya yang berada di bawah bimbingan mereka untuk membantu
Nepal!
Tentu saja
hati Phang-sinshe menjadi girang bukan main. “Kalau persiapannya sudah begitu
masak, kenapa tidak cepat-cepat dilaksanakan? Bukankah kalau Bhutan sudah
jatuh, penyerbuan ke Tibet menjadi lebih sederhana dan mudah?” tanyanya.
Brahmani
menarik napas panjang. “Ada dua hal yang penting sehingga persiapan kami
tertunda-tunda. Pertama dengan adanya Pangeran Wan Tek Hoat yang amat ditaati
dan dicinta rakyat, bahkan oleh pasukan-pasukan Bhutan, membuat pemberontakan
atau penyerbuan tidaklah semudah itu. Dengan adanya dia, bahkan pasukan-pasukan
para panglima yang sudah menjadi sahabat kita itu pun akan enggan melakukan
perlawanan terhadap pendekar itu. Dan ke dua, kami tengah menanti perintah dari
koksu kami. Kami menerima perintah untuk menghubungi sinshe sebab satu-satunya
cara untuk membuat lemah pimpinan Bhutan adalah kalau Pangeran Wan Tek Hoat
dienyahkan dari sini.”
Mereka lalu
kasak-kusuk mengatur siasat, bagaimana sebaiknya untuk melumpuhkan Raja Badur
Syah dan para pembantunya, agar Bhutan dengan mudah dapat diduduki oleh pasukan
Nepal untuk maksud penyeberangan mereka ke Tibet dan ke timur…..
***************
“Ceng Liong,
mari kita berlomba menangkap kelinci itu!” Hong Bwee berteriak sambil melompat
ke depan ketika dia melihat seekor kelinci lari menyusup ke dalam semak-semak.
Melihat
kelincahan anak perempuan itu, Ceng Liong tersenyum. Usianya sendiri baru
sebelas tahun, akan tetapi dia merasa seperti sudah dewasa ketika berhadapan
dengan Hong Bwee yang lincah jenaka. Kini, melihat keriangan anak itu, timbul
kegembiraannya dan dia lupa bahwa dia seharusnya bersikap dewasa dan ‘matang’
di depan gadis cilik ini.
“Baik, yang
kalah nanti mendapat ekornya saja!” dia pun berseru dan mengejar.
Oleh karena
kelinci itu menyusup ke dalam semak-semak berduri, mereka tidak berani menyusul
dan hanya menggebrak dari luar semak-semak. Kelinci itu meloncat dan lari,
dikejar oleh mereka berdua sambil tertawa-tawa. Akan tetapi ternyata kelinci
itu gesit sekali, kalau saja berlari terus di tempat terbuka tentu sudah
tertangkap. Akan tetapi tidak, binatang ini menyusup-nyusup ke dalam
semak-semak belukar sehingga sukar sekali ditangkap.
Lebih dari
dua jam mereka mengejar-ngejar tanpa hasil, sampai napas Hong Bwee
terengah-engah dan keringat membasahi leher bajunya. Keadaannya sama dengan
kelinci itu yang setiap kali berhasil menyusup ke dalam semak-semak dan
bersembunyi, napasnya megap-megap hampir putus dan seluruh tubuhnya menggigil.
Ceng Liong
menjadi gemas karena merasa kasihan kepada gadis cilik yang kelelahan itu.
Diambilnya dua potong batu dan dengan sebuah batu dia menyambit ke tengah
semak-semak belukar di mana kelinci itu bersembunyi. Kelinci itu meloncat
keluar, dekat sekali dengan Hong Bwee yang segera berseru girang dan
menubruknya. Akan tetapi, kelinci mengelak dan anak itu terpeleset, jatuh
terpelanting.
“Aduhhh....!”
Berbareng
dengan sambatnya anak itu, kelinci yang lari tadi tiba-tiba juga terpelanting
dan diam tak bergerak, kepalanya retak oleh batu yang dilontarkan Ceng Liong
karena marah melihat Hong Bwee terjatuh tadi.
“Engkau
tidak apa-apa?” Ceng Liong membantu gadis itu bangkit.
Hong Bwee
menggeleng kepala. Hanya bajunya yang agak kotor terkena bagian tanah basah dan
juga lengan dekat siku terluka oleh batu.
“Aku sudah
menangkapnya untukmu!” kata Ceng Liong menuding ke depan.
Hong Bwee
memandang dan terbelalak, kemudian lari menghampiri bangkai binatang itu.
Diangkatnya bangkai itu dan didekapnya, dan gadis itu membalikkan tubuhnya,
memandang kepada Ceng Liong dengan mata basah sambil mencela.
“Ceng Liong,
engkau amat kejam!” Lalu diusapnya bulu kelinci itu. “Kelinci yang malang,
engkau telah menjadi korban kekejaman orang....”
Tentu saja
Ceng Liong menjadi penasaran mendengar dirinya dituduh kejam. Dengan langkah
lebar dia menghampiri gadis itu. “Nona, mengapa engkau mengatakan aku kejam?”
Di dalam hatinya dia mengomel. Dia sudah membantu menangkap kelinci itu, tidak
memperoleh pujian dan terima kasih, malah dimaki kejam!
“Ehh, nona,
kita mengejar kelinci sejak tadi. Setelah aku membantumu menangkapnya, engkau
mengatakan kejam. Bagaimana sih ini?”
Akan tetapi
Hong Bwee tak menjawab, hanya mengerling tajam dan mulutnya cemberut. Ia lalu
berjongkok, meletakkan bangkai kelinci itu hati-hati ke atas tanah, kemudian ia
menggali lubang dalam tanah, menggunakan pedangnya. Semua ini dilakukan dengan
mulut masih bersungut-sungut dan mata masih merah menahan tangis. Melihat nona
kecil itu masih marah, Ceng Liong hanya berdiri dan memandang saja. Akhirnya
gadis cilik itu menghentikan pekerjaannya dan dengan sikap penuh khidmat ia
mengubur bangkai kelinci itu.
Ceng Liong
membelalakkan kedua matanya, terheran-heran. Akan tetapi dia diam saja. Baru
setelah gadis cilik itu menimbuni lubang dengan tanah setelah meletakkan
bangkai itu di dalamnya, Ceng Liong bertanya, hati-hati akan tapi tidak luput
dari nada mengejek karena hatinya juga panas melihat dia dipersalahkan dan
kelinci yang dirobohkannya itu malah dikubur!
“Apakah nona
hendak menyembahyanginya? Sayang, kita tidak membawa dupa....”
Hong Bwee
tidak menjawab, akan tetapi kerlingan matanya yang tajam menyambar, membuat
Ceng Liong terdiam. Dia seorang anak yang biasanya gembira dan jenaka, juga
nakal, akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dia seperti menjadi jinak oleh
kerling mata gadis cilik puteri Bhutan itu. Dan dia pun makin heran, sampai
terbelalak ketika melihat betapa gadis itu kini berlutut di depan kuburan
kelinci, lalu menyembah dan mulutnya berkemak-kemik seperti orang membaca doa!
Akhirnya
gadis cilik itu selesai dengan ‘upacara’ sembahyang itu dan duduk di atas akar
pohon. Mukanya yang cantik itu masih kemerahan, mulutnya masih agak cemberut
walau pun sinar matanya tidak semarah tadi. Akan tetapi pandang matanya kepada
Ceng Liong hanya melalui kerlingan, tidak langsung.
Ceng Liong
yang merasa penasaran juga duduk di atas batu depan gadis cilik itu. Dia
menekan perasaannya supaya suaranya tidak terdengar marah. “Nona, sungguh aku
merasa penasaran dan tidak mengerti sama sekali mengapa engkau marah-marah
kepadaku. Kenapa pula engkau mengubur bangkai kelinci dan bahkan berdoa di
depan kuburannya? Apa artinya semua ini?”
Kini Hong
Bwee memandang dan alisnya berkerut. “Engkau kejam! Kenapa engkau membunuhnya?”
“Tapi....
bukankah engkau yang mengajak kita memburu kelinci itu, nona?”
“Memang,
tapi bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk menangkapnya. Aku ingin
memelihara dan menjinakkannya, untuk diajak bermain-main. Akan tetapi engkau
telah membunuhnya. Aku tadi berdoa mintakan ampun atas kekejaman dan
kelancanganmu!”
Kini Ceng
Liong yang terbelalak memandang gadis cilik itu. Minta ampun kepada kelinci
yang terbunuh? Apa-apaan ini?
“Tetapi,
nona. Bukankah nona sendiri seorang pemburu yang sudah membunuh entah berapa
banyak binatang? Pada waktu kita bertemu untuk pertama kalinya, engkau pun
membunuh anak beruang, bahkan juga mencoba untuk membunuh induknya. Binatang
buruan memang untuk dibunuh!”
“Membunuh
dan membunuh ada banyak macam dan perbedaannya! Membunuh harus ada alasannya
dan engkau tadi membunuh tanpa alasan! Engkau tidak tahu aturannya membunuh!”
“Wah,
membunuh tapi pakai aturan?” Ceng Liong melongo dan melirik ke atas. “Nona,
tolong beritahu kepadaku bagaimana sih aturan-aturannya?” Dia merasa lucu dan
geli, akan tetapi juga heran dan ingin tahu.
“Engkau
banyak merantau akan tetapi bodoh,” kata gadis cilik itu bersungut-sungut.
“Nah, kau dengarkan baik-baik ajaran-ajaran yang kudapat dari ayah ibuku dan
kaum cendekiawan di Bhutan. Kalau kita terancam bahaya, untuk mempertahankan
nyawa dan keselamatan diri, tentu saja kita harus merobohkan atau membunuh
lawan yang mengancam keselamatan kita itu, baik dia binatang atau pun manusia.
Pembunuhan ini namanya bukan pembunuhan, melainkan usaha bela diri dan ini
benar adanya.” Gadis itu berhenti sebentar memandang dan Ceng Liong mengangguk-angguk
tanda mengerti.
“Ada lagi
pembunuhan ke dua. Kalau kita membutuhkan daging binatang misalnya, maka sudah
benarlah kalau kita membunuhnya, baik untuk mengenyangkan perut atau untuk
memuaskan selera. Akan tetapi ada pembunuhan ke tiga yang dipantang oleh bangsa
kami, yaitu membunuh tanpa alasan, hanya untuk menyenangkan hati saja. Dan ini
dosa besar namanya, kekejaman yang akan mendatangkan kutuk bagi diri kita. Dan
engkau tadi membunuh kelinci tanpa dua alasan itu. Kelinci itu bukan musuh kita,
tidak mengancam keselamatan kita, juga kita tidak membutuhkannya sebagai
santapan. Dan engkau membunuhnya seperti pembunuhan yang ke tiga tadi, kejam
dan kelinci itu mati sia-sia!”
Ceng Liong
terbelalak. Masuk akal juga ucapan gadis cilik ini, bijaksana juga aturan dari
bangsa ini. Dia sendiri sudah melihat banyak orang membunuhi binatang tanpa
alasan itu, hanya untuk kesenangan hati. Bahkan kaisar sendiri kalau berburu
hanya untuk bersenang-senang, hasil buruannya tidak dimakan, tapi dilemparkan
dan dibuang begitu saja.
“Tapi,
nona....” Dia membantah, bermaksud untuk ‘meringankan’ dosanya. “Ketika aku
merobohkannya tadi, aku mengira bahwa engkau malah hendak menangkapnya dan
membunuhnya, hendak makan dagingnya.”
“Benarkah
itu?” Hong Bwee memandang tajam.
Sinar mata
lembut akan tetapi tajam itu seakan-akan berubah menjadi ujung pedang yang
ditodongkan ke depan dadanya sehingga otomatis Ceng Liong menarik tubuh atas ke
belakang menjauh.
“Tentu saja
benar.”
“Kalau
begitu, engkau tidak berdosa. Dan aku sudah mintakan ampun kepada kelinci itu
untuk dosamu yang kukira membunuh dengan kejam. Akan tetapi sudahlah, berdoa
pun baik saja. Kalau lain kali hendak membunuh sesuatu, beritahu dulu aku, ya?”
Sekarang
wajah yang manis itu telah menjadi terang dan berseri kembali. Senyumnya
mengembang lagi, seperti matahari baru muncul di ufuk timur setelah bumi
dicekam kegelapan yang menyedihkan.
Melihat ini,
Ceng Liong juga ikut bergembira dan dia pun tersenyum. “Maaf, karena tidak tahu
dan salah sangka, aku telah membuatmu berduka, nona.”
“Hi-hi-hik,
kalau sudah mengaku salah tentu tidak akan menolak kalau didenda atau dihukum,
bukan?”
Ceng Liong
mengangkat dadanya. “Tentu saja! Seorang pendekar tidak akan takut
mempertanggung jawabkan perbuatannya!”
“Nah,
terlepas sekarang! Engkau seorang pendekar!”
Ceng Liong
merasa telah terlanjur bicara, maka dengan tersipu-sipu berkata, “Ahh, aku
hanya murid Phang-sinshe, hanya bisa mempelajari pengobatan, itu pun masih
dangkal, paling-paling aku hanya bisa mengobati orang menderita penyakit kudis,
dan tentang ilmu sulap, wah, ada beberapa macam yang kupelajari.”
“Bohong!
Engkau tentu pandai silat. Buktinya engkau mampu melakukan perjalanan sampai ke
Bhutan, begitu jauhnya....”
“Ahh, engkau
hanya menduga saja, nona.”
“Ceng Liong,
aku bernama Hong Bwee, atau Gangga Dewi, jangan panggil nona-nona segala
macam!”
“Habis, nona
adalah seorang puteri istana, bagaimana aku berani....”
“Nah, itu
malah sudah berani membantah. Aku memerintahkan engkau mulai sekarang menyebut
namaku saja, tanpa embel-embel nona.”
“Baik,
non.... ehh…. Hong Bwee.”
Nona kecil
itu tersenyum geli. “Sekarang dendanya atas dosamu tadi. Engkau harus
memperlihatkan kepandaianmu kepadaku!”
“Nona....
ehhh, engkau tidak berpenyakit kudis. Hong Bwee, bagaimana aku dapat
membuktikan kepandaianku mengobati?”
“Bukan itu,
yang satunya lagi.”
“Ohh, main
sulap? Baiklah, kau lihat batu kecil ini, kugenggam di tangan kanan! Nah,
sekarang batu di tangan kanan itu akan kusulap agar pindah ke tangan kiri. Hip-hup-hah!”
Ceng Liong
membuat gerakan dengan kedua lengannya, diputar-putar sehingga sedikit
mengaburkan pandang mata Hong Bwee. Tentu saja dia tidak pandai sulap, karena
ilmu sulap gurunya adalah ilmu sihir dan dia belum pernah mempelajarinya. Akan
tetapi dengan kecepatan gerak tangannya, dia dapat memindahkan batu itu dari
tangan kanan ke tangan kiri tanpa dapat terlihat oleh Hong Bwee.
“Lihat batu
ini!” Dan ketika dia membuka tangan kiri, di situ nampak batu yang tadi
tergenggam di tangan kanan. Dan ketika dia membuka tangan kanan, ternyata di
situ terdapat sehelai daun hijau.
“Ah, tidak
aneh! Biar pun aku tidak dapat mengikuti gerakanmu, aku tahu bahwa engkau tadi
memindahkan batu dan menyambar sehelai daun. Itu hanya dapat dipakai menipu
kanak-kanak saja! Bukan kepandaian itu yang kumaksudkan.”
“Habis, yang
mana lagi? Aku tidak bisa apa-apa.”
“Jangan
engkau membantah hukuman. Aku menghukummu agar sekarang juga engkau
mempertunjukkan ilmu silatmu.”
“Aku tidak
bisa....”
“Bohong, nah
aku akan mengujimu!” Tiba-tiba gadis cilik itu sudah meloncat sambil memukulkan
tinjunya ke arah dada Ceng Liong.
Tentu saja,
sebagai anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, dengan otomatis
tubuh Ceng Liong bergerak mengelak. Hong Bwee menyerang terus dengan pukulan,
tendangan dan tamparan, bahkan ia mempergunakan pula cengkeraman-cengkeraman
kedua tangannya. Gerakannya cepat dan teratur baik sekali, berkat ilmu silat
yang dipelajarinya dari Wan Tek Hoat.
Melihat
gerakan gadis ini mainkan Pat-mo Sin-kun yang dikenalnya, Ceng Liong menjadi
kagum. Dia pun tahu bahwa ayah gadis ini, seperti yang pernah dituturkan oleh
ayahnya kepadanya, masih terhitung cucu keponakan dari ayahnya sendiri,
keponakan tiri, masih agak jauh huhungan darah antara dia dengan Wan Tek Hoat,
bahkan sama sekali tidak ada hubungan darah. Dia mendengar bahwa Wan Tek Hoat
adalah anak kandung dari seorang yang menjadi anak kandung nenek Lulu, dengan
demikian, Wan Tek Hoat adalah keponakan ayahnya dan gadis cilik ini masih
terhitung keponakannya sendiri, atau keponakan tiri dari Suma Ciang Bun dan
Suma Hui. Gadis cilik ini adalah cucu buyut nenek Lulu.
Agaknya Hong
Bwee memang sungguh-sungguh ingin menguji ilmu silat pemuda itu dan ia mendesak
terus, mengirim serangan bertubi-tubi.
Diam-diam
Ceng Liong harus mengakui bahwa anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat
dan terutama sekali amat cekatan dan gerakannya cepat. Maka dia pun tidak
berani main-main lagi karena kalau dia lengah, tentu dia akan kena pukul dan
dia tidak mau hal ini sampai terjadi. Harga dirinya sebagai laki-laki akan
turun kalau sampai dia terkena pukulan atau tendangan yang bertubi-tubi itu.
Maka dia pun
segera mainkan Sin-coa-kun, satu-satunya ilmu keluarga Pulau Es yang sudah
dilatihnya dengan matang. Ilmu-ilmu lain hanya baru dipelajari teorinya saja
dan dia kurang latihan. Akan tetapi, Sin-coa-kun yang telah dilatihnya dengan
matang itu cukup hebat.
Kini
keadaannya terbalik. Begitu Ceng Liong menangkis dan balas menyerang, repotlah
Hong Bwee. Ia terdesak terus sampai terpaksa menggunakan langkah-langkah
mundur. Hal ini membuatnya penasaran. Sejak kecil Hong Bwee memang memiliki
watak keras dan tidak mau kalah kalau berlatih silat. Ceng Liong hanya sebaya
dengannya, paling-paling setahun lebih tua dan hanya seorang tukang obat
perantau. Tidak mungkin kalau ia harus kalah dalam ilmu silat oleh anak
laki-laki ini.
“Heiiiiittt....!”
Tiba-tiba
saja gadis cilik itu menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang dikuncir hitam
tebal panjang yang tadi tergantung di belakang tengkuk, kini menyambar ke
depan, ujungnya yang seperti moncong ular mematuk ke arah hidung Ceng Liong.
“Ehhh....!”
Ceng Liong terkejut sekali dan biar pun dia sudah menarik tubuh atasnya ke
belakang, tetap saja ujung kuncir itu masih menampar pipinya.
“Plakk!”
Ceng Liong melompat mundur dan mengusap pipinya yang terasa panas.
“Sudahlah,
engkau yang menang,” katanya.
Wajah Hong
Bwee menjadi kemerahan. “Tidak.... sebetulnya tadi aku yang kalah. Kau maafkan
aku, Ceng Liong.”
Pada saat
itu muncullah enam orang, semuanya memakai topeng yang menutupi muka mereka
dari hidung ke bawah sehingga sukar untuk mengenal wajah mereka. Mereka
mengurung dua orang anak itu dengan sikap menyeramkan.
Melihat
keadaan mereka yang bertopeng dan bersikap galak, tahulah Ceng Liong bahwa
mereka adalah orang-orang yang mempunyai niat buruk maka dia pun sudah siap
siaga untuk melawan, menyelamatkan diri sendiri dan juga Hong Bwee. Biar pun
masih kecil, Ceng Liong sudah memiliki kecerdikan dan pandai menarik
kesimpulan, maka dia pun menduga bahwa mereka ini datang untuk mengganggu Hong
Bwee sebagai puteri istana, bukan dia yang hanya seorang anak asing di situ dan
tidak mempunyai harga untuk diganggu.
Dugaannya
memang tepat karena seorang di antara mereka menghampiri Hong Bwee dan berkata
dalam bahasa Bhutan, “Anak baik, engkau ikutlah kami baik-baik agar kami tidak
usah mempergunakan kekerasan terhadap anak kecil.” Tanpa menanti jawaban, orang
yang bertubuh jangkung kurus ini langsung menggerakkan lengannya hendak
menangkap pundak Hong Bwee.
“Siapa kau,
manusia jahat?” Hong Bwee membentak marah sambil mengelak.
Gerakan
gadis cilik ini memang lincah, maka terkaman itu pun luput. Orang bertopeng itu
mengerutkan alisnya dan sepasang matanya membayangkan kemarahan. Dia pun lalu
menubruk lagi, sekali ini dengan kasar dan lebih cepat.
“Plakkk!”
Hong Bwee
menangkis sambil mengelak lagi dan untuk kedua kalinya tubrukan itu tidak
berhasil. Orang tadi kini marah sekali dan menyerang dengan tamparan dan
tendangan, akan tetapi Hong Bwee melawan dengan gagah. Melihat kawannya sukar
menangkap anak perempuan itu, orang ke dua membantu. Akan tetapi baru saja dia
menubruk ke depan, dari samping datang sambaran angin. Orang ke dua itu
terkejut dan berusaha membalik sambil memutar lengan, akan tetapi dia
terlambat.
“Desss....!”
Lambungnya
kena ditendang Ceng Liong, tendangan Soan-hong-twi yang keras sekali karena
tanpa disadarinya, sumber tenaga saktinya bergerak dan tersalur ke kakinya yang
menendang. Orang itu terlempar sampai tiga meter jauhnya dan terbanting roboh!
Ceng Liong
hendak mengamuk untuk melindungi Hong Bwee, akan tetapi pada saat itu seorang
di antara mereka yang bertubuh tinggi besar sudah meloncat menghadangnya. Ceng
Liong yang marah itu langsung saja mengirim tendangan, menyambut lawan yang
menghadangnya ini. Namun terkejutlah dia ketika orang ini dengan mudah mengelak
dari tendangan-tendangannya yang dilakukan secara berantai itu. Maklumlah dia
bahwa orang ini lihai sekali, maka dia pun segera mengeluarkan Ilmu Silat
Sin-coa-kun dan mendesak.
Orang yang
menjadi lawannya itu hanya menangkis atau mengelak saja, akan tetapi diam-diam memancing
Ceng Liong makin menjauhi sang puteri yang kini dikeroyok oleh empat orang
bertopeng! Tentu saja hanya dalam waktu singkat sang puteri telah dapat
diringkus dan dibawa pergi.
“Ceng
Liong.... Ceng Liong.... tolonggg....!”
Akan tetapi
seorang di antara mereka membungkamnya dan mengikatkan sapu tangan di depan
mulut anak perempuan itu sehingga tidak lagi mampu berteriak.
Ceng Liong
marah sekali dan memperhebat serangannya. Akan tetapi lawannya benar-benar amat
tangguh dan biar pun lawannya belum pernah membalas serangannya, dia pun sudah
tahu bahwa orang ini bukan tandingannya.
“Ceng Liong,
hentikan perlawananmu.”
“Mo-ong....!”
Ceng Liong berseru heran sekali dan memandang kepada wajah yang kini sudah
tidak tertutup lagi oleh topeng itu. “Apa artinya semua ini? Mengapa Hong Bwee
ditawan....?”
“Sabarlah
dan mari dengarkan keteranganku. Mereka tidak akan mengganggu nona Hong Bwee.
Mereka....”
“Mereka itu
siapa?”
“Mereka
adalah kawan-kawan kita sendiri. Kau tentu masih ingat akan pembicaraanku waktu
itu dengan Gubernur Yong, bukan? Nah, usahaku datang ke Bhutan adalah untuk
mengumpulkan dan menghubungi teman-teman sehaluan, untuk membantu penyerbuan
tentara Nepal ke Tibet. Dan aku sudah berhasil mengadakan hubungan dengan mereka.
Satu-satunya penghalang bagi teman-teman itu untuk membantu Nepal, atau paling
tidak jangan mencampuri urusan Nepal kalau menyerbu ke Tibet, hanyalah
keberadaan pendekar Wan Tek Hoat yang disegani orang di sini. Maka, jalan
satu-satunya untuk membuat pendekar itu sibuk dan tidak mencampuri urusan Nepal
menyerbu Tibet, hanyalah dengan menculik anak satu-satunya itu. Jika Nepal
sudah berhasil menduduki Tibet, barulah kita kembalikan puteri itu kepada orang
tuanya.”
Selagi
gurunya bicara, Ceng Liong memutar otak. Tak mungkin dia menentang gurunya ini
dengan kekerasan. Dia seorang diri mana mampu menentangnya? Maka dia pun
mengangguk-angguk seperti menyatakan setuju, padahal di dalam hatinya, dia sama
sekali tidak senang akan siasat keji ini.
“Siasat itu bagus
sekali,” dia berkata dan gurunya tersenyum lebar.
“Kami
sengaja membiarkan engkau tadi membantu sang puteri, bahkan merobohkan seorang
penculik dengan tendanganmu. Engkau hebat, muridku. Dengan demikian, tentu sang
puteri menganggap bahwa engkau benar-benar seorang kawan yang setia, dan dengan
sendirinya tidak akan ada yang mencurigai aku bercampur tangan dalam penculikan
ini.”
“Akan
tetapi, bagaimana pun juga, aku minta agar nona Hong Bwee tidak diganggu.
Kasihan, dia seorang anak yang baik, sikapnya baik sekali terhadap kita, juga
orang tuanya pun sangat baik terhadap kita. Apakah budi mereka itu harus kita
balas dengan kejahatan?”
“Ha-ha-ha-ha,
muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan kenyataan hidup
yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku? Kalau engkau ingin
maju dalam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Melepas budi atau menerima
budi hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang
terpenting adalah hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau
bicara tentang budi, maka adanya hanya merupakan balas-membalas yang
kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang budi kepada kita karena engkau menolong
puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik karena kita membutuhkan bantuan
puteri mereka, untuk memaksa orang tuanya agar jangan menghalangi rencana kita.
Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana kita bisa
maju kalau begitu?”
Ceng Liong
mengerutkan alisnya. Dalam hatinya, dia sama sekali tidak bisa menyetujui
pendapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini. Akan
tetapi, selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutunya, dia harus
bersikap cerdik dan tidak menentang, sehingga dia akan dapat leluasa bergerak
untuk berusaha menyelamatkan Hong Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara,
tidak bermaksud untuk menolong atau membantu Bhutan, akan tetapi bagaimana pun
juga, dia harus menolong Hong Bwee...
Terima Kasih Telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment