Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 12
"Begitukah?
Aku pun setuju saja asalkan Hong Bwee tidak diganggu, aku kasihan kepadanya.”
“Ha-ha-ha,
aku tahu, Ceng Liong. Sekecil ini engkau sudah mulai jatuh hati terhadap gadis
cantik, ha-ha-ha!”
Wajah Ceng
Liong menjadi merah. Kalau bukan gurunya yang bicara seperti itu, tentu sudah
diserangnya. “Jangan berkata begitu, Mo-ong. Aku kasihan kepadanya karena ia
amat baik kepadaku.”
“Aku tahu,
dan aku pun yakin engkau akan dapat melihat kehidupan seperti aku ini. Jatuh
cinta kepada seorang wanita merupakan suatu penyakit, suatu tanda kelemahan
yang akan mendatangkan banyak derita batin. Nah, sekarang kita harus bekerja.
Kita kembali ke istana dan kita menghadap Wan-taihiap. Engkau laporkan bahwa
sang puteri telah diculik oleh enam orang bertopeng, dan ketika engkau lari
pulang, engkau bertemu denganku di tengah jalan karena aku sedang berbelanja
obat, mengerti?”
Ceng Liong
mengangguk.
“Untuk
membuktikan bahwa engkau telah melakukan perlawanan mati-matian untuk membela
sang puteri, engkau harus menderita luka. Bersiaplah menerima beberapa
pukulanku, Ceng Liong!” Secepat kilat tangan kakek itu bergerak. Ceng Liong
menerima pukulan itu.
“Plakk!
Plakkk!”
Ceng Liong
terpelanting, tapi hanya merasakan panas pada pundak dan pipinya. Ketika dia
meraba, pipinya membengkak dan kulit pundak di bawah baju itu pun nampak merah
kehitaman. Kiranya Raja Iblis itu hanya mempergunakan tenaga luar saja yang
cukup keras. Menunjukkan bukti perlawanan yang cukup meyakinkan bagi Ceng
Liong. Dan kakek itu pun diam-diam gembira sekali melihat sikap Ceng Liong yang
tenang saja menerima pukulan itu, tanda bahwa muridnya memang cerdik dan tidak
hanyut oleh perasaan.
“Mari kita
pergi!” ajaknya dan mereka pun mempergunakan lari cepat meninggalkan hutan itu
menuju ke Kota Raja Bhutan.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi ketika menerima
laporan guru dan murid itu.
“Kami datang
membawa kabar buruk, taihiap,” demikian Phang-sinshe mulai dengan pelaporannya.
“Ketika saya keluar membeli obat, saya bertemu dengan murid saya yang tubuhnya
bengkak-bengkak bekas pukulan dan dia menceritakan bahwa puteri paduka, nona
Wan Hong Bwee telah diculik orang....” Kakek itu memandang ke arah keranjang
berisi bahan-bahan obat yang diletakkannya di atas meja, bahan-bahan obat yang
sengaja dibelinya sebelum dia dan muridnya menghadap keluarga Wan.
“Apa yang
telah terjadi dengan anakku? Bagaimana ia sampai diculik orang?” Wan Tek Hoat
bertanya, suaranya mengandung rasa penasaran dan juga keheranan.
Selama dia
berada di Bhutan, dia tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun, kecuali tentu
saja para penjahat yang dibersihkannya dari kerajaan itu. Sementara itu, Syanti
Dewi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Ceng Liong dengan
muka pucat. Ia melihat betapa pipi kanan anak itu bengkak-bengkak dan pada saat
itu, Phang-sinshe juga menyingkap baju Ceng Liong agar kulit pundak yang matang
biru itu nampak.
“Ceng Liong,
kau ceritakanlah.” Kakek itu menyuruh muridnya.
Ceng Liong
menelan ludah sebelum mulai bicara. Untung bahwa dia tidak disuruh membohong,
biar pun ada beberapa bagian yang harus dirahasiakannya.
“Kami berdua
sedang bermain-main dan berburu di hutan ketika muncul enam orang bertopeng
yang memaksa nona Hong Bwee untuk ikut dengan mereka. Kami berdua mengadakan
perlawanan, akan tetapi saya.... saya tidak berhasil melindungi nona Hong Bwee.
Ia dilarikan dan saya dipukul roboh.... harap taihiap sudi memaafkan saya....”
Suara Ceng Liong terdengar sedih karena memang hatinya sangat gelisah dan sedih
memikirkan nasib Hong Bwee yang tentu amat ketakutan sekarang ini.
“Apa engkkau
tidak mengenal seorang di antara mereka? Suaranya? Perawakannya?” tanya Wan Tek
Hoat sambil memandang tajam.
“Tidak,
taihiap. Mereka semuanya memakai topeng yang menyembunyikan muka dari hidung ke
bawah. Akan tetapi mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar dan suaranya,
karena mereka berbicara dalam bahasa Bhutan, seperti terdengar tidak sama
dengan orang-orang di sini, agak asing bagi pendengaran saya yang belum faham
benar dalam Bahasa Bhutan.”
Tek Hoat
lalu minta penjelasan tentang tempat di mana puterinya diculik orang. Setelah
menerima penjelasan dari Ceng Liong, dia sendiri bersama isterinya lalu
berangkat ke tempat itu untuk mencari jejak para penculik. Sementara itu, Ceng
Liong dan Phang-sinshe dengan sikap setia lalu ikut bersama mereka, terutama
Ceng Liong yang harus menjadi penunjuk jalan.
Mereka tiba
di dalam hutan setelah hari menjelang sore. Tentu saja mereka tidak dapat
menemukan apa-apa karena sukarlah mencari jejak tapak kaki di tanah yang
tertutup daun-daun kering dan rumput-rumput hijau itu. Tek Hoat dan isterinya
mencari-cari dan memanggil-manggil nama anak mereka tanpa hasil. Ceng Liong dan
gurunya pura-pura ikut mencari. Setelah hari mulai gelap, Phang-sinshe mohon
diri, bahkan membujuk suami-isteri itu untuk pulang dan mengerahkan pasukan
untuk melakukan pencarian.
“Isteriku,
engkau pulanglah dan laporkan hal ini kepada panglima, minta supaya dia
mengerahkan pasukan-pasukan pilihan untuk bantu mencari, malam ini juga. Aku
sendiri akan terus mencoba mencari jejak mereka di hutan ini.”
Syanti Dewi
mengangguk dan dengan muka pucat dan menahan tangis saking gelisah hatinya,
wanita ini meloncat dan berlari lebih dulu. Melihat gerakan ini, diam-diam
Phang-sinshe terkejut bukan main. Nyonya itu dapat berlari cepat secara hebat
sekali sehingga dia sendiri pun agaknya tidak akan mampu menandingi kecepatan
nyonya itu.
Juga Ceng
Liong terbelalak memandang tubuh yang sebentar saja sudah jauh sekali itu. Guru
dan murid ini tentu saja tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah mewarisi ilmu
ginkang dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, murid dari seorang pendeta wanita sakti
yang telah menguasai ilmu ginkang luar biasa, yaitu Kim Sim Nikouw.
Phang-sinshe
dan muridnya lalu kembali ke kota raja. Di tengah perjalanan, Ceng Liong yang
sudah diam-diam merencanakan siasatnya itu, berkata, “Mo-ong, rencanamu itu
memang baik sekali. Kalau Negara Bhutan sendiri kacau-balau karena kehilangan
nona Hong Bwee, tentu Wan-taihiap tidak sempat mencampuri urusan Nepal menyerbu
Tibet. Akan tetapi, jangan main-main terhadap Wan-taihiap dan isterinya. Kalau
sampai puteri mereka itu terganggu sedikit saja, mereka akan mengamuk dan kalau
ketahuan bahwa kita mencampuri urusan penculikan itu, tentu kita akan dimusuhi
mereka mati-matian.”
“Ha-ha-ha,
jangan takut, muridku. Belum tentu aku kalah oleh mereka, dan juga, siapa pula
yang akan mengganggu nona Hong Bwee? Ia diculik hanya untuk mengalihkan
perhatian dan juga sebagai sandera agar Bhutan, terutama sekali Wan-taihiap,
tidak mencampuri penyerbuan Nepal ke Tibet.”
“Rencanamu
memang bagus, akan tetapi apakah orang-orang Nepal itu boleh engkau percaya?
Ingat, Mo-ong, aku telah banyak mendengar tentang kebiadaban orang-orang Nepal
terhadap wanita taklukan. Dan nona Hong Bwee amat cantik jelita. Kalau sampai
dia terganggu, kita pun harus bertanggung jawab.”
Kakek itu
mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, ucapan muridnya ini menimbulkan
keraguan di dalam hatinya. Kalau yang dikhawatirkan muridnya itu terjadi, pasti
kelak akan menimbulkan kesulitan.
“Wah, kalau
begitu bagaimana baiknya?” tanyanya ragu-ragu.
“Mo-ong,
serahkan saja nona itu kepadaku untuk menjaganya. Pertama, kalau aku yang
menjaga, ia tidak akan ketakutan, dan kelak akan melaporkan kepada ayah
bundanya bahwa ketika ditawan, ia diperlakukan dengan baik. Ke dua, di bawah
pengawasanku, ia tidak akan mengamuk dan engkau tentu lebih percaya kepadaku
dari pada kepada orang-orang kasar itu. Ketahuilah bahwa usulku ini bukan hanya
terdorong oleh rasa kasihan kepada nona Hong Bwee, tetapi juga untuk
melancarkan jalannya siasatmu.”
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Baik, baik.... bagus sekali pendapatmu itu. Mari kita
langsung ke sana!”
Ceng Liong
tidak merasa heran ketika dia diajak memasuki kota raja oleh gurunya, kemudian
masuk ke sebuah gedung besar tempat tinggal seorang perwira tinggi! Dia memang
sudah dapat menduga sebelumnya bahwa tentu ada ‘orang-orang dalam’ yang ikut
memegang peranan dalam persekutuan busuk itu.
Perwira
Brahmani, mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup menjadi perwira tinggi di
Kerajaan Bhutan itu, menyambut kedatangan mereka dengan wajah gembira. Akan
tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat Ceng Liong.
“Anak
ini.... dia....”
Hek-i Mo-ong
menggerakkan tangannya ke atas. “Cocok sekali dengan rencana kita, Brahmani.”
Sekarang setelah mereka menjadi sekutu, Hek-i Mo-ong menyebut nama perwira
tinggi yang menjadi mata-mata Nepal itu begitu saja. Bahkan sikapnya juga
sebagai seorang atasan. “Dengan begitu Wan Tek Hoat tidak akan mencurigai kami.
Nah, sekarang di mana nona kecil itu? Sudah dapat diamankan di tempat rahasia?”
Mereka
dipersilakan masuk dan duduk di ruangan dalam. “Jangan khawatir. Anak itu telah
berada di dalam kamar rahasia di bawah tanah, di rumah ini. Siapa pun tidak
akan mencari ke sini. Siapa yang akan menduga dan menuduh aku menjadi penculik
puteri Pangeran Wan?” Brahmani tertawa puas ketika Hek-i Mo-ong mengangguk dan
memuji kecerdikannya.
“Ketahuilah,
Brahmani. Muridku ini memang sengaja mengambil sikap melindungi anak itu. Hal
ini amat penting untuk menghindarkan kecurigaan kepada kami. Dan sekarang, aku
berpendapat bahwa sebaiknya kalau muridku yang melakukan penjagaan terhadap
puteri Wan Tek Hoat itu, atau setidaknya, muridku inilah yang dibolehkan
menjenguknya sewaktu-waktu.”
Brahmani
mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, sinshe, anak itu sudah dijaga siang malam
oleh selosin anak buahku yang cukup lihai. Ia tidak mungkin dapat lolos dari tempat
tahanannya, dan tidak ada seorang pun dari luar tahu bahwa di rumah ini
terdapat kamar rahasia bawah tanah, apalagi mengetahui bahwa puteri itu berada
di sini. Penjagaan sudah cukup kuat!”
“Bukan
kekuatan itu yang kumaksudkan, akan tetapi dari segi keamanan. Kalau muridku
yang ikut mengamati, anak perempuan itu tidak akan ketakutan dan memberontak.
Bayangkan kalau sampai anak itu mogok makan dan rewel terus sampai jatuh sakit,
bukankah hal itu berbahaya sekali? Kalau sampai ia mati, tentu akibatnya amat
besar, mengingat akan kesaktian dan kekuasaan Wan Tek Hoat. Muridku dapat
menghiburnya dan menenteramkan hatinya.”
Brahmani
mengangguk-angguk walau pun dia masih memandang kepada Ceng Liong dengan sinar
mata ragu-ragu dan curiga. Dia teringat betapa pemuda cilik ini tadi merobohkan
seorang anak buahnya dan membuat anak buahnya nyaris tewas oleh tendangan yang
amat keras itu.
Mereka
bertiga lalu menjenguk keadaan Hong Bwee. Ternyata di dalam ruangan tidur
perwira itu, terdapat sebuah lubang di balik almari, lubang yang merupakan
terowongan bawah tanah dan berhenti pada sebuah kamar di bawah tanah. Tempat
itu cukup luas dan hawanya masuk dari lubang-lubang angin yang dipasang secara
bersembunyi, juga memperoleh penerangan dari lampu yang bernyala siang malam.
Biar pun demikian, tentu saja orang yang disekap di dalamnya akan menderita
karena tak dapat melihat keluar dan tidak terkena sinar matahari.
Di dalam
ruangan itu terdapat sebuah dipan kecil, sebuah meja, sebuah kursi. Dua buah
lampu tergantung di dinding dan ada lukisan-lukisan cukup indah ditempel di
atas dinding. Cukup menyenangkan dan bersih.
Hong Bwee
sedang duduk dengan wajah muram di atas dipan ketika tiga orang itu masuk.
Pintu besi yang atasnya terdapat ruji yang kokoh kuat itu terbuka dan masuklah
Brahmani, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Begitu melihat anak laki-laki itu, Hong
Bwee meloncat turun dan memandang dengan mata terbelalak, dan wajahnya menjadi
cerah dan gembira ketika ia mengenal Phang-sinshe.
“Phang-sinshe....!
Ceng Liong....!” Anak itu lari ke depan dan merangkul Ceng Liong sambil
menangis saking lega dan girang hatinya, terbebas secara mendadak dari rasa
khawatir, takut, dan marah semenjak ia ditawan.
Ceng Liong
memeluk anak perempuan itu dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia coba menghibur,
akan tetapi dia membiarkan Hong Bwee melepaskan semua kegelisahannya melalui
air mata. Sementara itu, Hek-i Mo-ong dan Brahmani saling pandang, kemudian
diam-diam meninggalkan kamar dan memesan kepada para penjaga agar Ceng Liong
diperbolehkan keluar masuk kamar tahanan itu.
Ketika Hong
Bwee sudah puas menangis, mengangkat mukanya dari dada Ceng Liong dan
memandang, gadis cilik ini terkejut karena Phang-sinshe sudah tidak berada di
situ lagi dan pintu kamar tahanan itu sudah tertutup lagi.
“Ceng
Liong....!” teriaknya kaget. “Apakah engkau ditawan juga? Dan gurumu?”
“Tenanglah,
nona.... ehhh, Hong Bwee, tenanglah. Memang engkau dijadikan tawanan atau
sandera, akan tetapi aku menjamin bahwa engkau tak akan diganggu. Sedangkan
aku.... aku dan guruku tidak ditawan. Eh, terus terang saja, aku malah
ditugaskan untuk menjagamu....”
“Ihhh....?
Berarti engkau dan gurumu telah berkhianat dan memusuhi keluargaku?” Gadis
cilik itu marah sekali dan mengepal kedua tinju tangannya.
“Tenanglah
dan dengarkan ucapanku baik-baik. Mari kita duduk di sana.” Ceng Liong mengajak
anak perempuan itu duduk di atas dipan. Mereka duduk bersanding sambil
memandang ke arah daun pintu karena takut kalau-kalau ada yang mengintai atau
mendengarkan. Dia berbisik-bisik.
“Kini ada
persekutuan rahasia di Bhutan yang menentang kebijaksanaan sri baginda. Mereka
itu bersekutu dengan Nepal dan mereka tidak ingin melihat Bhutan campur tangan
kalau Nepal menyerbu ke Tibet. Akan tetapi mereka takut kepada ayahmu, maka
mereka menawanmu di sini untuk melumpuhkan ayahmu. Jadi, engkau hanya ditawan
dan tidak akan diganggu. Aku tanggung jawab akan hal itu.”
Dua mata
yang indah itu masih terbelalak dan mukanya merah karena kemarahan. “Akan
tetapi engkau.... dan gurumu ikut dalam persekutuan busuk itu! Padahal ayahku
telah menerima kalian sebagai tamu terhormat! Beginikah cara kalian membalas
budi orang?”
“Ssstt,
jangan keras-keras bicara, Hong Bwee. Dengarlah, engkau bukan anak kecil lagi
dan aku tahu engkau tidak bodoh. Harus pandai bersiasat. Menggunakan kekerasan
saja kita berdua mampu berbuat apakah? Akan tetapi engkau yakinlah bahwa selama
ada aku di sini, engkau tidak akan diganggu. Aku harus pura-pura mentaati
mereka, akan tetapi aku akan mencari jalan agar engkau dapat bebas dengan aman.
Tapi engkau harus menurut semua pesanku. Bagaimana, percayakah engkau
kepadaku?”
Mereka
saling berhadapan muka. Melihat betapa pipi anak laki-laki itu masih bengkak,
Hong Bwee teringat betapa Ceng Liong telah mencoba untuk melindunginya ketika
enam orang bertopeng itu muncul. Maka ia pun mengangguk.
“Habis, kita
harus berbuat apa? Dan di mana aku sekarang? Aku dibawa ke sini dengan kedua
mata ditutup sapu tangan hitam.”
“Engkau
berada dalam sebuah kamar bawah tanah dari gedung tempat tinggal perwira
Brahmani.”
“Ahhh, dia
mengenal baik orang tuaku!”
“Tentu saja
karena dia mata-mata Nepal yang diselundupkan di sini. Engkau tenang-tenang
saja dan jaga kesehatanmu baik-baik. Makan dan minumlah agar engkau tidak jatuh
sakit. Aku akan mencari jalan bagaimana baiknya untuk menolongmu. Percayalah
bahwa biar pun aku murid Phang-sinshe, akan tetapi aku tidak sudi bersekongkol
dan melakukan kejahatan. Akan tetapi, untuk menentang dengan kekerasan tentu
saja aku tidak berani.”
“Ceng Liong,
tolong engkau beritahukan ayah, tentu mereka akan dihajar dan aku akan
dibebaskan.”
“Hemm, tidak
semudah itu, Hong Bwee. Kita berhadapan dengan orang-orang yang sudah nekat dan
mereka itu akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuan mereka. Engkau
dijadikan sandera, maka kalau ayahmu datang menyerbu, mungkin sekali
keselamatanmu terancam. Kita harus pakai siasat. Aku akan mencari akal itu
supaya mereka dapat dihancurkan tetapi engkau pun harus dapat diselamatkan.
Sementara ini, engkau bersikaplah tenang, tidur dan makan minum secukupnya agar
jangan sampai jatuh sakit. Aku akan mencari akal supaya dapat membawamu keluar
dari sini dan mengabarkan kepada ayahmu tentang semua ini. Aku harus hati-hati
agar guruku dan persekutuan itu tidak menaruh curiga kepadaku. Maka, di depan
mereka, kalau aku bersikap kasar terhadap dirimu, harap engkau tidak salah
sangka.”
Anak
perempuan itu mengangguk-angguk dan memandang ke atas meja di mana terdapat
hidangan yang sejak tadi belum dijamahnya. Memang perutnya lapar sekali dan
tenggorokannya haus, akan tetapi dengan keras hati ia tidak mau menyentuh
makanan dan minuman yang dihidangkan kepadanya. Kini, mendengar omongan Ceng
Liong, dan setelah hatinya merasa lega karena di situ terdapat Ceng Liong yang
akan menolongnya, ia pun baru merasakan kelaparan dan kehausan itu. Diraihnya
cangkir teh dan diminumnya sedikit.
“Nah, kau
makanlah, aku harus keluar dulu. Tidak baik berlama-lama di sini,” kata Ceng
Liong sambil bangkit berdiri.
“Jangan
terlalu lama meninggalkan aku sendirian saja di sini,” kata anak perempuan itu
dengan suara sedih.
“Tentu saja
tidak. Aku akan sering datang menengokmu dan memberi kabar tentang perkembangan
selanjutnya.”
Ceng Liong
lalu keluar, diikuti pandang mata Hong Bwee yang hanya mengharapkan bantuannya
untuk dapat keluar dengan selamat dari dalam kamar tahanan itu. Oleh para
pengawal, pintu dibuka dan setelah pemuda itu keluar, daun pintu ditutup dan
dikunci lagi dari luar. Wajah dua orang penjaga nampak di luar jeruji besi,
memandang kepada Hong Bwee yang sedang makan itu sambil menyeringai menakutkan.
Hong Bwee membuang muka, tidak sudi bertemu pandang dengan mereka dan terdengar
mereka itu tertawa mengejek.
Para
pengawal itu menyampaikan keadaan anak perempuan yang ditawan kepada Brahmani,
bahwa anak itu sudah mau makan minum dan tidur nyenyak semenjak Ceng Liong
masuk ke situ dan bercakap-cakap cukup lama. Hal ini menggirangkan hati
Brahmani dan kini dia mulai percaya penuh kepada murid Hek-i Mo-ong yang
tadinya dicurigainya itu.
Dia makin
kagum akan kecerdikan Hek-i Mo-ong yang menyuruh muridnya itu pura-pura
melindungi puteri Pangeran Wan itu sehingga memperoleh kepercayaan dari si anak
perempuan. Karena, kalau sampai terjadi puteri itu mogok makan minum dan jatuh
sakit, rencana siasat mereka akan menjadi rusak dan mereka bahkan dalam keadaan
berbahaya. Seorang sandera harus berada dalam keadaan segar bugar, barulah ada
harganya, karena kalau sampai mati, sandera itu tidak ada artinya lagi.
Hek-i Mo-ong
sendiri sangat girang dengan hasil pendekatan muridnya ini dan semenjak itu,
Ceng Liong memperoleh kepercayaan besar untuk menghibur dan menemani Hong Bwee.
Dia makin sering datang bercakap-cakap di dalam kamar tahanan Hong Bwee, dan
diceritakannya semua perkembangan di luar tempat tahanan itu kepada gadis cilik
ini.
Ternyata
siasat yang diatur oleh persekutuan itu berjalan dengan lancar dan berhasil
baik sekali. Sepucuk surat diterima oleh Wan Tek Hoat yang telah mengerahkan
semua pasukan mencari puterinya dengan sia-sia. Tentu saja dia sama sekali
tidak pernah menduga bahwa puterinya berada tidak jauh dari istana, dalam
gedung seorang perwira tinggi!
Maka ketika
dia menerima sepucuk surat dari Siwananda, Koksu Nepal, dia hanya dapat membaca
dengan muka kemerahan saking marahnya. Bagaimana pun juga ini menyangkut
keselamatan puterinya, dan juga kewibawaan Kerajaan Bhutan, dua hal yang saling
bertentangan. Maka, bersama isterinya dia membawa surat itu menghadap raja.
Raja Badur
Syah mengerutkan alisnya ketika Wan Tek Hoat memperlihatkan surat dari
Siwananda itu. Isinya ringkas saja, yaitu bahwa Nepal tidak bermaksud memusuhi
Bhutan, hanya minta agar diperbolehkan melewati daerah Bhutan sebelah utara
untuk pasukan Nepal yang mengadakan penyerbuan ke Tibet. Agar Bhutan tidak
mencampuri urusan itu dan sebagai tanda terima kasih, Nepal akan menjaga Puteri
Gangga Dewi baik-baik dan akan mengantarkannya kembali dalam keadaan sehat dan
selamat.
“Keparat!”
Raja Badur Syah membentak marah. “Tak kusangka Kerajaan Nepal akan
mempergunakan kecurangan yang begini tidak tahu malu! Menculik anak kecil untuk
memaksakan kehendaknya kepada kerajaan kita!”
“Bagaimana
baiknya, rakanda?” tanya Syanti Dewi sambil meremas-remas tangannya sendiri.
“Kami ayah dan ibu dihadapkan pada dua masalah yang sama pentingnya bagi kami.
Di satu fihak, masalah keselamatan anak tunggal kami dan di lain fihak masalah
wibawa kerajaan yang terancam!”
Raja Badur
Syah mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa suami isteri di depannya ini adalah
tulang punggung pemerintahannya. Tidak mungkin kiranya membiarkan Gangga Dewi
terancam bahaya maut. Akan tetapi, jika ia membiarkan pasukan Nepal menyerbu
Tibet dengan mengambil jalan lewat Bhutan, hal ini pun akan besar akibatnya.
Pertama, Bhutan akan dianggap musuh oleh Tibet, dan terutama sekali, Kerajaan
Ceng-tiauw tentu akan menganggap Bhutan bersekutu dengan Nepal. Akibat ini
lebih hebat lagi bagi kerajaannya.
“Serba
salah.... serba salah memang,” akhirnya raja itu berkata. “Memang, bagi Nepal,
jalan satu-satunya menuju ke Tibet hanya melalui daerah kita sebelah utara.
Menurut catatan, dahulu pernah Nepal menyerang ke Tibet melalui daerah mereka
sendiri di utara, akan tetapi Nepal kehilangan banyak prajurit yang tewas dalam
perjalanan karena perjalanan itu melalui puncak-puncak yang tinggi dan
jurang-jurang yang curam, amat sukar dilalui manusia. Kita berdiri di
tengah-tengah, antara dua negara yang sedang bermusuhan. Kalau kita membiarkan
Nepal melewati daerah kita, kita dapat dianggap bersekongkol dan menentang
Kerajaan Ceng. Sebaliknya, jika kita menolak permintaan Nepal, kita dapat
dianggap menentangnya. Serba salah, serba susah!”
“Menurut
surat itu, kita masih mempunyai waktu dua pekan. Selama dua pekan ini kami akan
mencari jejak anak kami, kalau perlu, kami atau saya sendiri akan memasuki
Nepal, mencari di mana anak kami itu ditawan,” Tek Hoat berkata sambil mengepal
tinju.
“Kami amat
mencinta anak kami dan tentu saja mengutamakan keselamatannya, akan tetapi,
rakanda, kami juga tahu bahwa kewibawaan Kerajaan Bhutan tidak mungkin
dibiarkan untuk diinjak-injak secara begitu saja oleh Nepal. Suamiku berkata
benar, masih ada waktu dua pekan sebelum pasukan Nepal mempergunakan daerah
kita untuk lewat menyerbu Tibet. Kalau dalam waktu itu kita sudah berhasil
menemukan Gangga Dewi dengan selamat, maka kita akan menolak permintaan itu!
Kalau andai kata kami tidak....berhasil terserah saja kepada keputusan
rakanda!”
Raja Badur
Syah mengangguk-angguk. Memang tiada pilihan lain. Raja ini lalu melepas
kepergian suami isteri itu sambil berulang kali menghela napas panjang. Tak
diduganya bahwa kerajaannya yang makmur dan tenteram itu kini dilanda ancaman
mala petaka, bahkan yang langsung terkena adalah adik tirinya, Puteri Syanti
Dewi.
***************
Sepekan lagi
hari yang disebutkan oleh fihak Nepal untuk menyeberang ke Tibet melalui Bhutan
tiba. Dan selama itu, Tek Hoat belum juga berhasil menemukan puterinya yang
hilang. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk berdua pergi ke Nepal
dengan cara menyelundup karena merasa yakin bahwa anak mereka tentu ditawan di
kerajaan itu.
Akan tetapi,
sebelum mereka berangkat yang menurut rencana akan mereka lakukan pada keesokan
harinya pagi-pagi benar, malam itu Ceng Liong menghadap mereka.
“Locianpwe,
saya mau bicara penting sekali!” kata anak itu sambil celingukan ke kanan kiri.
Melihat
sikap anak itu yang telah mereka kenal kecerdikannya, Tek Hoat lalu menarik
tangannya diajak masuk ke ruangan dalam. Syanti Dewi cepat mengikuti setelah
puteri ini merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihat anak laki-laki itu
memasuki istana.
“Apa yang
hendak kau bicarakan, Ceng Liong? Di mana Phang-sinshe?” tanya Tek Hoat sambil
memandang tajam penuh selidik.
“Locianpwe,
ada persekutuan yang malam ini hendak turun tangan mengacau. Mereka bahkan
berusaha untuk menduduki istana sri baginda!”
“Apa?!” Tek
Hoat terkejut sekali.
Dia memegang
pundak anak itu, lupa akan tenaganya sendiri dan terkejutlah Tek Hoat ketika
dari pundak anak itu keluar tenaga penolak yang amat hebat. Dia cepat menarik
kembali tangannya dan memandang anak itu dengan mata terbelalak. Tidak pernah
disangkanya bahwa anak ini memiliki tenaga sinkang yang sedemikian hebatnya.
Ceng Liong tahu bahwa sumber tenaganya itu kembali telah bergerak otomatis,
maka dia merasa tidak enak sekali.
“Apa yang
terjadi?” tanya Tek Hoat, lebih ingin tahu tentang persekutuan itu dari pada
tentang kekuatan tersembunyi di tubuh Ceng Liong.
“Locianpwe,
beberapa orang pembesar dan panglima telah bersekongkol dengan orang Nepal.
Malam ini mereka akan melakukan pengacauan dan penyerbuan ke istana untuk
memancing perhatian, agar semua kekuatan ditujukan untuk menghadapi kekacauan
itu sehingga tentara Nepal dapat melewati daerah utara dengan aman.”
Tek Hoat
semakin terkejut. Teringatlah dia akan pemberontakan yang dahulu dilakukan oleh
Mohinta, putera mendiang Panglima Tua Sangita yang berhasil dia hancurkan saat
dia membela Bhutan. Apakah kini terulang lagi peristiwa pemberontakan itu?
Panglima Jayin telah tiada, telah meninggal dunia karena usia tua, dan kini
para panglima Bhutan adalah muka-muka baru, walau pun mereka itu sejak muda
sudah mengabdi kepada kerajaan.
“Hemm,
ceritakan semua apa yang kau ketahui dan bagaimana engkau bisa tahu!” bentak
Tek Hoat, belum mau percaya begitu saja keterangan anak itu.
“Saya
mendengar sendiri percakapan mereka dalam rapat sore tadi, locianpwe, bahkan
saya hadir pula bersama guru saya....”
“Phang-sinshe?
Dia ikut bersekongkol?”
Ceng Liong
menarik napas panjang. Tak ada gunanya lagi menyembunyikan kenyataan itu.
“Benar, locianpwe. Dia bersekongkol dengan perwira Brahmani dan yang
lain-lain.”
“Brahmani
orang Nepal itu? Keparat! Dan engkau sendiri? Bukankah engkau muridnya
Phang-sinshe?”
“Memang saya
muridnya, akan tetapi murid untuk mempelajari ilmu kepandaian, bukan murid
untuk mempelajari kejahatan.”
“Biarkan dia
bercerita terus. Ceng Liong, ceritakanlah sejelasnya dan apakah engkau tahu
pula di mana Gangga Dewi anakku?”
“Di mana
dia?!” Tek Hoat membentak. Dia sudah mencengkeram lagi ke arah pundak Ceng
Liong.
Akan tetapi
dari samping isterinya memegang pergelangan tangan suamimya, “Sabar dulu,
mungkin dialah yang akan dapat menyelamatkan anak kita,” tegurnya.
“Harap
locianpwe berdua tidak perlu khawatir. Selama ini saya telah menghibur dan
menemaninya.”
“Bocah
setan! Engkau dan gurumu telah menerima budi kebaikan orang, akan tetapi
membalasnya dengan perbuatan keji. Kenapa tidak semenjak dahulu engkau memberi
tahukan kami tentang anak kami? Begitu jahatkah kalian?!” Tek Hoat membentak
lagi.
“Lebih baik
cepat katakan di mana anakku supaya kami dapat segera menyerbu dan
membebaskannya!” Syanti Dewi juga berkata dengan hati penuh ketegangan dan amat
gelisah.
“Jangan,
jangan lakukan itu. Itulah sebabnya kenapa saya tidak sejak kemarin memberi
tahu kepada ji-wi locianpwe. Jika locianpwe menggunakan kekerasan menyerbu
tentu dengan mudah mereka akan membunuh puteri locianpwe. Mereka adalah
orang-orang kejam. Harus diatur dengan baik agar puteri locianpwe dapat
diselamatkan, dan juga agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan.”
Tek Hoat
seketika sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang anak yang amat cerdik dan
berpemandangan luas. Seperti seorang dewasa saja anak ini, pikirnya kagum.
“Baiklah,
bagaimana keadaannya yang sebenarnya? Dan bagaimana engkau akan bisa
menyelamatkan anak kami?”
“Mereka
terdiri dari mata-mata Nepal, yaitu perwira Brahmani, beberapa orang pejabat
tinggi dan beberapa orang panglima pasukan, juga.... juga guru saya ikut di
dalamnya. Malam ini, menjelang tengah malam, mereka akan melakukan penyerbuan
dan kini mereka sudah berkumpul di markas yang dipimpin oleh Panglima Ram
Rohan.”
“Panglima
Ram Rohan?” Tek Hoat terkejut sekali karena panglima itu masih saudara sepupu
dari mendiang Mohinta, putera Panglima Tua Sangita yang dahulu pernah
memberontak itu.
Inilah
akibatnya kalau raja terlalu lunak terhadap mereka. Setiap kali ada kesempatan,
hati yang membenci itu tentu kambuh pula dan mereka ini akan mudah melakukan
pemberontakan untuk membalas dendam atas kesalahan mereka yang lalu.
“Saya
memberi tahu locianpwe agar supaya penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan.
Sedangkan mengenai nona Hong Bwee, sayalah yang akan melarikannya dari tempat
tahanan. Mereka semua percaya kepada saya sebagai murid Phang-sinshe. Dan untuk
keperluan ini, saya hanya minta dibekali seguci arak terbaik yang sudah
dicampuri obat bius untuk membuat selosin penjaga di dalam itu lumpuh. Lalu
saya akan mencoba membawanya keluar dari gedung itu melampaui para pengawal
yang berjaga di luar.”
Melihat
gawatnya suasana, Tek Hoat tidak membuang banyak waktu lagi. Dia segera
berunding dengan isterinya. Dia sendiri akan cepat-cepat melapor kepada sri
baginda, mempersiapkan pasukan yang kuat untuk mengepung dan menghancurkan
markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan, menghancurkan persekutuan
itu. Sedangkan isterinya akan membantu Ceng Liong dan membayanginya dari
belakang, melindunginya kalau sampai dua orang anak itu diancam oleh para
penjaga di luar gedung di mana anak perempuan itu disekap.
Kepada Ceng
Liong lalu diberikan seguci arak merah yang wangi dan sudah dicampuri obat bius
oleh Tek Hoat yang pernah mempelajari ilmu pengobatan, bahkan memiliki
kepandaian membuat racun perampas ingatan yang diwarisinya dari Pulau Neraka.
Sebelum
berangkat, Ceng Liong membalik dan berkata, “Locianpwe, saya minta obat
penawarnya.”
“Ehhh? Untuk
apa?”
“Siapa tahu
para penjaga itu curiga kepada saya dan tidak mau minum arak ini, maka kalau
mereka memaksa saya ikut minum, sebelum saya menjaga diri dengan obat
penawarnya, kan celaka....”
Tek Hoat
mengangguk-angguk dan semakin kagum kepada anak kecil ini. Diambilnya dua butir
pel merah. “Telanlah ini dan biar pun engkau harus menghabiskan seguci arak
itu, engkau tidak akan mabok atau terbius.”
Ceng Liong
menerimanya dengan girang, lalu pergi dari situ diam-diam dibayangi oleh Syanti
Dewi. Sedangkan Wan Tek Hoat sendiri secepatnya pergi untuk menghadap sri
baginda. Karena dia yang datang, maka para pengawal berani melaporkan ke dalam
bahwa pangeran itu minta ijin menghadap raja karena ada keperluan yang amat
penting dan gawat.
Sementara
itu, Ceng Liong segera pergi membawa guci arak menuju ke gedung perwira
Brahmani, bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi menghampiri para penjaga. Para
penjaga di luar gedung sudah mengenal anak ini dengan baik dan mereka semua
sudah tahu bahwa anak ini adalah murid Phang-sinshe yang dipercaya sebagai
satu-satunya orang yang boleh memasuki kamar tahanan di mana Puteri Gangga Dewi
ditahan.
“Hei, Ceng
Liong, engkau membawa arak baik ya?”
“Beri kita sedikit
ah!”
Ceng Liong
tersenyum kepada mereka dengan sikap ramah. “Mana aku berani? Arak ini adalah
pesanan Brahmani tai-ciangkun, kalau berkurang sedikit saja aku akan celaka!
Biar nanti kucarikan untuk kalian yang lain saja.” Sambil berkata demikian Ceng
Liong menyelinap ke dalam gedung tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun.
Dua belas
orang pengawal pilihan yang berjaga di luar kamar tahanan Hong Bwee mengira
bahwa Ceng Liong membawakan makanan atau minuman untuk anak yang ditawan, akan
tetapi melihat anak laki-laki itu membawa guci arak, mereka menjadi heran.
“Ehhh, Ceng
Liong, untuk siapa engkau membawa seguci besar arak itu?” tegur komandan jaga.
Tentu saja mengherankan melihat anak itu membawakan seguci arak untuk tawanan,
seorang anak perempuan yang jarang minum arak.
Ceng Liong
tertawa. “Untuk siapa lagi kalau bukan untuk kakak-kakak sekalian? Melihat
kakak sekalian siang malam berjaga tak mengenal lelah, aku merasa kasihan dan
tadi aku melihat arak berlimpahan dalam pertemuan para panglima. Maka aku minta
kepada suhu-ku untuk diperkenankan membawa seguci arak wangi untuk dihadiahkan
kepada kalian.”
Dua belas
orang pengawal itu bersorak gembira dan banyak tangan menerima guci arak itu.
Tutup guci dibuka dan terciumlah keharuman arak yang amat sedap, membuat mereka
bergegas mencari cawan. Akan tetapi, komandan jaga cepat membentak.
“Jangan
sentuh dulu arak itu!”
Para anak
buahnya terkejut dan kecewa. Mereka lalu memandang kepada komandan mereka
dengan alis berkerut.
“Kenapa? Apa
salahnya dengan arak ini?”
“Kita sudah
bersusah payah, sudah selayaknya menerima hadiah minuman baik!”
Namun
komandan jaga itu tidak menghiraukan omelan anak buahnya. Dia menghampiri guci
arak, mencium-cium dan memeriksa isinya. Diam-diam Ceng Liong merasa terkejut
sekali. Tak disangkanya bahwa kepala jaga ini orangnya demikian cerdik dan
banyak curiga. Akan tetapi, dia bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum.
Semua
pengawal melihat komandan mereka menuangkan arak dari guci ke dalam sebuah
cawan dan mereka mengilar melihat arak merah yang jernih dan wangi itu. Akan
tetapi komandan itu tidak minum arak ini, melainkan menyodorkan cawannya kepada
Ceng Liong sambil berkata, “Ceng Liong, kau minumlah arak ini!”
Semua
pengawal memandang heran dan Ceng Liong juga mengambil sikap seperti orang
merasa kaget dan heran. “Akan tetapi, aku sengaja membawa arak ini untuk kakak
sekalian!” bantahnya.
“Hemm,
bagaimana kami tahu bahwa arak ini tidak beracun kalau engkau tidak mau minum
dulu secawan?” kata si komandan dengan muka berseri, merasa bangga
memperlihatkan kecerdikannya.
Kini para
anak buahnya, pengawal-pengawal yang berpengalaman, terkejut dan timbul pula
kecurigaan mereka. Beramai-ramai mereka lalu mendesak kepada Ceng Liong untuk
minum arak dalam cawan itu.
“Hemm, aku
tidak pernah atau jarang sekali minum arak, akan tetapi untuk memuaskan hati
kakak sekalian, apa boleh buat, akan kuminum arak ini. Akan tetapi, tolonglah
aku nanti kalau sampai mabok.” Tanpa meragu lagi, Ceng Liong lalu mengangkat
cawan arak itu, menempelkan ke mulutnya dan menenggaknya sekaligus sampai
habis! Dia menjilati bibirnya, nampak keenakan sekali dan mengangguk-angguk.
“Wah, belum
pernah aku minum arak seenak ini. Bolehkah aku minta secawan lagi?”
Begitu Ceng
Liong berkata demikian, para pengawal itu segera berebut mengisi cawan arak
mereka dari guci itu tanpa memperdulikan permintaan Ceng Liong, sambil
tertawa-tawa. Si komandan jaga juga tidak lagi melarang mereka, bahkan dia pun
menuntut agar diberi lebih dahulu.
Tentu saja
dua belas orang pengawal itu kini percaya sepenuhnya bahwa arak itu tidak
mengandung sesuatu yang tidak baik setelah anak itu berani minum secawan dan
tidak kelihatan ada akibat yang mencurigakan. Memang arak itu arak tua yang
harum dan lezat, maka mereka pun seperti berlomba, minum sebanyak-banyaknya.
Akan tetapi, baru menghabiskan dua cawan saja, mereka sudah roboh terguling,
terbius dan tidur pulas atau pingsan, malang-melintang tidak teratur di tempat
penjagaan di luar kamar tahanan itu.
Ceng Liong
tidak mau membuang terlalu banyak waktu lagi. Diambilnya kunci pintu kamar
tahanan itu dari saku baju komandan jaga, dan dibukanya pintu kamar tahanan.
Hong Bwee telah mendengar akan kedatangan Ceng Liong dan mendengar percakapan
antara Ceng Liong dan para penjaga, mendengar betapa mereka minum arak dan
tertawa-tawa. Kini, anak perempuan itu merasa heran sekali mengapa suasana di
luar kamar tahanan begitu sunyi seolah-olah semua penjaga telah pergi dan
nampak Ceng Liong masuk sendirian saja.
“Ceng Liong,
apa yang telah terjadi?”
“Ssttt,
diamlah dan mari ikut denganku keluar dari tempat ini,” kata Ceng Liong sambil
menaruh telunjuk di depan mulutnya.
Biar pun
semua penjaga di luar kamar tahanan telah roboh, akan tetapi masih banyak
pengawal yang berjaga di luar gedung dan dia harus berhati-hati untuk dapat
membawa keluar anak perempuan itu dari gedung tanpa terlihat mereka.
Ketika ia
digandeng keluar dari dalam kamar tahanan oleh Ceng Liong dan melihat dua belas
orang penjaga itu malang-melintang dalam keadaan seperti sudah tewas saja, Hong
Bwee terkejut dan merasa ngeri. “Apa yang terjadi dengan mereka?” bisiknya.
“Mereka
hanya pingsan minum arak yang ada obat biusnya, yang kudapat dari ayahmu. Mari
kita pergi melalui pintu belakang.”
Pada saat
itu terdengar suara ribut-ribut di luar gedung, seperti suara orang berkelahi.
Ceng Liong yang membawa Hong Bwee menyelinap ke belakang, melihat beberapa
orang pengawal yang berjaga di bagian belakang gedung itu berlarian ke depan.
Kesempatan ini dipergunakannya untuk membawa anak perempuan itu lari keluar
dari gedung, menyusup ke dalam taman yang gelap lalu menjauhkan diri.
Ternyata di
luar gedung memang terjadi keributan. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu,
Puteri Syanti Dewi sendiri yang tadi membayanginya, telah mengamuk dan
menghajar para penjaga, anak buah Brahmani yang memberontak itu. Para penjaga
melawan dengan hati kecut, karena mereka tahu siapa adanya puteri ini, akan
tetapi mereka pun setia kepada Brahmani yang pada saat itu berkumpul di rumah
Panglima Ram Rohan dan siap untuk menyerbu atau mengacau istana raja.
Akan tetapi,
para penjaga yang berjumlah belasan orang itu mana mampu menandingi Puteri
Syanti Dewi yang memiliki gerakan seperti burung terbang itu? Cepat bukan main
sang Puteri bergerak di antara mereka, merobohkan mereka dengan tamparan atau
tendangan. Sang puteri ingin sekali segera membebaskan puterinya yang menurut
Ceng Liong ditawan di dalam kamar bawah tanah di belakang gedung perwira
Brahmani yang ternyata adalah mata-mata Nepal itu.
Akan tetapi,
setelah para penjaga itu berantakan dan sebagian besar melarikan diri tidak
berani lagi melawan sang puteri yang memiliki gerakan cepat seperti pandai
menghilang itu, dan Syanti Dewi berhasil memasuki gedung, ia tak dapat
menemukan lagi puterinya.
Kamar
tahanan itu telah kosong dan para penjaganya masih menggeletak tak sadar di
luar kamar. Dan Ceng Liong pun tidak nampak di situ. Sang puteri pun paham
bahwa anaknya sudah diajak lari keluar gedung oleh murid Phang-sinshe. Dia pun
cepat pergi meninggalkan gedung itu untuk membantu suaminya yang sedang
mempersiapkan pasukan untuk menghajar kaum pemberontak yang berkumpul di markas
Panglima Ram Rohan.....
***************
Tentu saja
para pemberontak yang sudah berkumpul di markas pasukan yang dipimpin oleh
Panglima Ram Rohan terkejut sekali ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet
dan tambur dan nampak obor mengepung markas itu. Ternyata tempat mereka itu
telah dikepung oleh pasukan kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Wan Tek
Hoat!
Melalui
seorang pelantang yang berteriak lantang melalui corong, Wan Tek Hoat segera
memerintahkan para pemberontak untuk cepat menyerahkan diri tanpa melawan. “Ram
Rohan! Brahmani! Persekutuan kalian telah diketahui! Dan tempat ini telah
terkepung! Menyerahlah tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!”
Tentu saja
mereka yang berada di dalam markas itu menjadi kaget dan bingung. “Ahh, tentu
ada yang membocorkan rahasia kita,” kata Phang-sinshe. “Tentu ada pengkhianat
di antara kita!”
“Dan aku
tahu siapa pengkhianatnya!” bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya menatap
tajam wajah Phang-sinshe.
“Siapa?
Siapa pangkhianatnya?” tanya semua orang yang berada di situ.
“Siapa lagi
kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?” kata Brahmani. “Hanya dia seorang yang
tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar
markas untuk menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati
kita?”
“Jangan
menuduh sembarangan!” bentak Phang-sinshe. “Apa buktinya bahwa muridku yang
berkhianat?”
“Buktinya
memang belum ada, akan tetapi dengan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa
lagi yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu? Dan dia seoranglah
yang tahu akan semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan
kecil itulah yang mengkhianati kita!” bentak Brahmani marah.
“Awas, jaga
mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!” Kini
Phang-sinshe berubah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya
dituduh sebagai pengkhianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiri pun
mulai menaruh curiga kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan
hatinya.
“Sudahlah,
tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri,” kata
Panglima Ram Rohan. “Lebih baik mari cepat membantuku mengatur pasukan untuk
menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan
kerajaan untuk membikin kacau dari dalam.”
Karena
keadaan sudah mendesak, mereka semua tidak berbantahan lagi dan mereka pun
memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah
karena pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu hanya melawan setengah
hati saja setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang
memimpin pasukan musuh adalah Pangeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti...
Memang
terjadi pertempuran sengit antara pasukan pemerintah dengan pasukan pilihan
yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani
selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak. Akan tetapi
setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan
malam, pasukan inti ini pun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya
menjadi semakin jeri. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar
senjata menyerah.
Hanya di
sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, yaitu di antara
para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk. Tiada seorang
pun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan
banyak sekali prajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri
yang sebenarnya.
Dengan
tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang
kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada
prajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan
perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para
perwira Bhutan.
Ketika Wan
Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada
orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh
isterinya. Terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang
iblis itu. Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar
kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut
itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji
dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!
“Hek-i
Mo-ong, kiranya engkaukah ini?!” bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh
Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.
Hek-i Mo-ong
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di
Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!”
Marahlah Tek
Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam
perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini telah dilolos dari
sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Sinarnya membuat orang banyak
terpaksa melangkah mundur dengan perasaan gentar. Pedang ini merupakan pedang
peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka, yang kemudian
diwarisi oleh Tek Hoat.
“Hek-i
Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!”
Sambil mengeluarkan
lengkingan panjang yang menyeramkan, Tek Hoat menyerang dengan pedangnya.
Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika
pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.
“Cring!
Cring! Tranggg....!”
Bunga api
berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka
masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang,
Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya
tidak rusak dan sebaliknya, ketika Hek-i Mo-ong memeriksa tombaknya, ujungnya
patah dan dia menjadi marah sekali.
Kakek iblis
ini maklum bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang sedikit, tetapi
senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu. Maka kini sambil
mengeluarkan bentakan hebat dia pun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan
tombaknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi
ketika menyambar dekat, berubah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh
ujung kipas yang runcing.
Tek Hoat
cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga
membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi
dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu
tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak
berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga
sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada
besi sembrani.
Selagi dia
mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba
terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti
api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih
oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa
menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan
tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.
Melihat
suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya
mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya telah menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong
dari samping.
Kakek itu
terkejut sekali, tak pernah mengira bahwa puteri itu bisa bergerak secepat itu,
bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan
yang bagaikan terbang saja itu! Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan
pandang matanya, maka dia hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja,
menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher
karena tusukan itu benar-benar amat cepat.
“Tranggg....!”
Tubuh Syanti
Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu ginkang-nya yang hebat puteri ini dapat
menghindarkan diri agar tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik
membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong
merasa lega. Biar pun sang puteri itu memiliki ginkang yang luar biasa
hebatnya, namun dalam hal tenaga sinkang, tidaklah sekuat Si Jari Maut,
sehingga tidak terlalu membahayakan baginya.
Akan tetapi,
pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan
tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh
Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan
mengepung kakek itu dengan busur terpentang. Bagaimana pun juga, Hek-i Mo-ong
takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai
melenyapkan diri atau terbang seperti burung.
Kakek itu
pun maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka
dia pun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari
tempat itu dalam keadaan hidup, maka dia pun lantas mengamuk dengan senjatanya,
menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Diam-diam
Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang
jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu
dengan orang yang mempunyai ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki
kegigihan yang luar biasa. Jika orang dengan watak dan kepandaian seperti ini
disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung
sebuah negara yang boleh diandalkan.
Bagaimana
pun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itu pun hanyalah seorang manusia, sudah tua
pula. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah
banyak menurun walau pun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh
banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan
Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah.
Akan tetapi,
hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia bahkan menjadi penasaran
dan marah.
“Haiiiiiitttt!”
Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya
membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat.
Terdengar
jeritan mengerikan. Dua orang perwira Bhutan roboh dan tewas seketika. Akan
tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar
dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar
tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar
dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur.
Ketika
meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya
pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan
sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas! Marahlah kakek itu, akan
tetapi diam-diam dia pun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua
tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak
yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun
pada pedang itu amatlah ampuhnya.
Melihat ini,
Tek Hoat yang merasa kagum itu lalu membentak, “Hek-i Mo-ong, apakah engkau
masih belum mau menyerah?”
Tiba-tiba
kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri
datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!”
“Siapkan
anak panah!” Tek Hoat memberi aba-aba.
Sepasukan pemanah
yang telah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke
arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba
terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu
tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.
“Tahan!
Jangan bunuh dia!”
Semua orang
terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang
lengan kiri Hong Bwee. Wajahnya berubah pucat dan dia pun cepat sekali
membentak, “Tahan semua senjata!”
Syanti Dewi
juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa
artinya. Ia menjadi marah, hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan
puterinya. Akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia
tenang.
“Ceng Liong,
apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?” bertanya Tek Hoat dengan
suara lantang. Dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya.
Akan tetapi,
puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah
siap untuk mengirim serangan maut. Hal ini diketahuinya dari cara anak itu
memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah
puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seakan-akan tidak sedang dalam
ancaman maut.
“Aku minta
agar guruku dibebaskan!”
“Tidak
mungkin....!” Tek Hoat berseru marah.
“Kutukar
nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!” Ceng Liong berkata lagi,
suaranya lantang, sedikit pun dia tidak kelihatan gentar. Matanya penuh
kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke
belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari
belakang atau samping.
Mendengar
ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Jangan
ganggu anakku!”
“Aku tak
akan mengganggunya, selembar rambutnya pun tidak, asal guruku dibebaskan dan
kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman,” jawab Ceng
Liong tenang.
Tek Hoat
saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali
melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang
melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga
pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang menyelamatkan
Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Mengapa sekarang Ceng Liong
berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?
“Ceng Liong,
apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa
engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu
ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum
sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah
bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan
mengancam puteri kami?”
“Aku
berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus
dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku
berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia
jahat ataukah tidak. Andai kata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi
kebaikan kepadaku, apa harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang
perbuatannya, bukan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru
kejahatan.”
Jawaban yang
keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan
dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya
tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja.
Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan
nyawa banyak prajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan
bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan
bencana-bencana baru di antara manusia?
“Ceng Liong,
aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega
mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!”
katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.
Akan tetapi,
terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata
seekor naga. “Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apa
pun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta
agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”
“Ceng Liong,
engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, dan engkau akan dikutuk!” Tek
Hoat masih membantah.
“Aku tidak
menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan
atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri,
semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!”
Kembali
jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat.
Syanti Dewi
yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi
dan nyaring, “Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!”
Wajah Ceng
Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum
lalu menjura ke arah Syanti Dewi. “Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri
seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka
suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan
Bhutan dengan aman.”
Syanti Dewi
mengangguk dan berkata lagi dengan lantang, “Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya
pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapa pun juga dilarang untuk mengganggu
atau menghalangi kepergian mereka!”
Ceng Liong
melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu.
“Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga.”
Kini anak
perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih,
“Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?”
Ceng Liong
mengangguk. “Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan
dapat bertemu lagi.”
“Benarkah?
Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?”
Ceng Liong
mengangguk.
Syanti Dewi
sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia
memandang pada Ceng Liong dengan alis berkerut, lalu berkata agak ketus,
“Pergilah cepat!”
Ceng Liong
menghampiri gurunya. Sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng
Liong lalu berkata, “Mo-ong, mari kita pergi.”
Mendadak
Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang
yang melihat merasa terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu
akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu.
Akan tetapi
Ceng Liong tenang-tenang saja. Ternyata kakek itu malah memondongnya,
mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara
tawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.
“Ha-ha-ha!
Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi
penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan
merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, dan engkau tepat menjadi
muridku. Ha-ha-ha-ha!”
Kakek itu
lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil
tertawa-tawa. Tidak seorang pun berani menghalanginya. Pertama, karena Sang
Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya, dan kedua kalinya, karena
memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.
Tek Hoat
menggelengkan kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya.
Dan muridnya itu bahkan lebih hebat lagi.
Peristiwa
pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu,
maka Bhutan pun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke
Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar
wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa
kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar…..
***************
Himalaya
merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai
puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap
Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan
di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia
ramai.
Karena
tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang
lebih luhur dari pada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan
tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini,
karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat
bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.
Banyak pula
orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula
yang tinggal karena memang dapat menikmati keheningan yang luar biasa itu. Akan
tetapi sebagian besar dari mereka itu, biar pun dipandang suci dan luhur oleh
orang-orang awam, sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya
mereka itu hanyalah orang-orang yang masih mencari sesuatu, orang yang masih
didorong oleh keinginannya memperoleh sesuatu.
Pada
lahirnya mereka mengatakan, juga kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka
mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa dan bersepi di tempat sunyi,
menyendiri, nampaknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan
tetapi, kalau mereka mau menjenguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan
nampak dengan jelas bahwa kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada
lain hanyalah merupakan suatu pelarian dan suatu usaha untuk mencari sesuatu
yang mereka nilai lebih tinggi dari pada hal-hal biasa, sesuatu yang mereka
harapkan akan dapat mendatangkan kebahagiaan kepada mereka!
Batin yang
mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, meski yang menyenangkan itu sudah
disulap menjadi sesuatu yang suci murni dan membahagiakan, berarti bahwa batin
itu masih sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biar pun kita tinggal
di tempat hening, mana mungkin dapat menyelami keheningan sejati? Untuk dapat
menikmati dan menyelami keheningan, maka batin haruslah hening lebih dulu,
dalam arti kata batin yang bebas dari pada segala keinginan memperoleh apa pun
juga.
Seorang
pertapa boleh mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan
tetapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama artinya dengan mencari sesuatu,
kecuali kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah
tidak baik bagi kita lahir mau pun batin. Dan bentuk pencarian, betapapun
agungnya yang dicari-cari itu, berarti suatu pengejaran, suatu keinginan, suatu
cita-cita. Dan di mana ada cita-cita, tentu timbul dalil bahwa cita-cita
menghalalkan segala cara.
Dan dalam
cara inilah letak persoalannya, karena cara inilah yang menentukan bersih dan
kotornya. Bukan cita-cita yang hanya merupakan khayal dan keinginan yang belum
tercapai saja. Yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya itulah. Dan
cara-cara yang curang dan kotor timbul dengan ditutupi pakaian berupa alasan
untuk atau demi cita-cita!
Seorang yang
bercita-cita menjadi raja, tentu akan mempergunakan segala macam cara untuk
melaksanakan cita-citanya agar terkabul. Kalau perlu, dia akan menyingkirkan
semua rintangan dan saingannya, baik dengan cara jujur atau curang, bisa saja
dia mencelakakan atau membunuh saingan-saingan yang menjadi penghalang
cita-citanya, berjuang mati-matian demi mencapai cita-citanya itu. Hal ini
bukan dongeng kosong belaka melainkan dapat kita lihat sendiri di seluruh
penjuru dunia dan di negara mana pun juga. Sebaliknya, walau pun tanpa
cita-cita menjadi raja, seorang yang benar-benar cakap dan berbakat dan tepat
untuk kedudukan itu, bisa saja dipilih atau diangkat menjadi raja!
Seorang yang
bercita-cita menjadi orang baik, akan berusaha sedapatnya untuk melakukan
‘hal-hal baik’ yang sesuai dengan penilaian umum, dan berbuatlah dia hal-hal
yang sebenarnya palsu, mungkin berlawanan dengan hati nuraninya, hanya untuk
memenuhi cita-citanya agar menjadi orang baik!
Kebaikan
yang dilakukan adalah kebaikan palsu yang sangat berbahaya bagi dirinya sendiri
mau pun bagi orang lain. Kemunafikan adalah ibarat harimau bertopeng domba, dan
ini lebih berbahaya dari pada harimau dengan mukanya sendiri sehingga kita
dapat menghindar atau berjaga diri. Orang yang hidupnya disinari cahaya cinta
kasih, berbuat tanpa pamrih, wajar dan apa adanya, tidak menilai perbuatannya
sebagai baik atau buruk. Perbuatan apa pun di dunia ini yang didasari cinta
kasih, sudah jelas baik adanya!
Hek-i Mo-ong
keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk
melaksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para
pendeta di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di
Himalaya ketika dia sedang mematangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenalan
dan sahabat baik di daerah ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara
soal ilmu dan secara sambil lalu dia mulai menghasut dan mengadu domba antara
pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka dengan membanding-bandingkan
ilmu mereka, mencela yang satu memuji yang lain.
Ceng Liong
merasa girang dan suka sekali dengan perjalanan ke Himalaya ini. Dia bertemu
dengan bermacam orang yang lihai-lihai. Dan para pertapa itu hampir semua suka
kepadanya, melihatnya sebagai seorang anak yang amat berbakat dan mereka tidak
pelit untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Ceng Liong.
Anak ini
memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa tidak mungkin untuk memetik hasil dari
pertemuan dengan orang-orang sakti itu kalau hanya dalam waktu beberapa hari,
maka ia pun mencatat dan menghafal semua ilmu atau petunjuk yang diterimanya
dari mereka dengan keputusan untuk kelak perlahan-lahan semua teori itu dilatih
dan dipraktekkan.
Ceng Liong
bukan hanya menerima banyak petunjuk dan menambah pengalamannya dalam hal ilmu
silat, akan tetapi dia juga mulai berkenalan dengan orang-orang ahli ilmu gaib
dan mistik. Dia belajar pula tentang meditasi dan yoga dari seorang pertapa
bangsa India. Dia tidak memperdulikan apa yang dikerjakan oleh gurunya, tidak
mau mencampurinya, melainkan tekun belajar dari para pertapa yang sakti.
Hek-i Mo-ong
adalah seorang tokoh besar yang dipercaya oleh sebagian besar para pendeta dan
pertapa. Oleh karena itu, tidak aneh kalau hasutan-hasutannya menemui sasaran
dan berhasil baik. Terjadilah ketegangan-ketegangan dan kesalah pahaman di
antara para tokoh sakti di pegunungan itu. Walau pun mereka itu belum sampai
saling serang secara terbuka, tapi setidaknya mereka telah saling tak percaya
dan kehilangan persatuan sehingga ketika bala tentara Nepal melintasi
pegunungan itu untuk menyerbu ke Tibet, mereka pun diam saja dan tidak memperdulikannya.
Berkat usaha
Hek-i Mo-ong yang sementara itu telah mengajak muridnya kembali ke timur,
akhirnya pasukan-pasukan Nepal dapat menyerbu Tibet dan menduduki Tibet.
Penguasa Tibet dibunuh dan sebagai penggantinya, diangkatlah seorang pendeta
Lama yang menjadi boneka Nepal.
Kaisar Kian
Liong mendengar akan peristiwa penyerbuan dan penaklukan Tibet oleh pasukan
Nepal. Marahlah kaisar. Tibet merupakan daerah yang biar pun tidak dijajah,
namun merupakan daerah yang telah mengakui kedaulatan Dinasti Ceng. Penyerbuan
Tibet oleh pasukan Nepal yang malah mendudukinya itu berarti merupakan tamparan
bagi muka kerajaannya dan sebagai tantangan.
Maka kaisar
lalu memanggil Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk menghadap. Setelah kaisar juga
memanggil para panglima lain mengadakan perundingan, diperintahkannya agar
Jenderal Muda Kao Cin Liong membawa pasukan besar membebaskan Tibet dari
cengkeraman pasukan Nepal dan juga agar memberi hajaran kepada Kerajaan Nepal
yang sudah berani melakukan penghinaan terhadap Kerajaan Ceng.
Berangkatlah
bala tentara besar dari Kerajaan Ceng dan terjadilah perang besar antara bala
tentara Kerajaan Ceng melawan pasukan-pasukan Nepal untuk memperebutkan Tibet.
Perang memperebutkan Tibet ini merupakan adu kekuatan antara dua negara yang
sudah lama saling bermusuhan ini dan yang celaka adalah rakyat Tibet di mana
perang itu terjadi.
Jika sebuah
dusun diduduki tentara Nepal, rakyat dusun itu dipaksa untuk membantu pasukan
Nepal dan karenanya mereka dicap sebagai kaki tangan Nepal. Kalau tentara Nepal
mundur dan dusun itu jatuh ke tangan tentara Ceng, tentu seisi dusun yang
dianggap kaki tangan Nepal itu akan dihancurkan! Dan demikian sebaliknya.
Bangsa Tibet
tidak dapat memilih, karena mereka adalah bangsa yang lemah dan tidak pandai perang.
Mereka harus mengorbankan harta bendanya, bahan makanan, anak-anak perempuan
dan isteri-isteri yang masih muda. Mereka ditindas, diperas, dihina tanpa ada
yang dapat melindungi mereka. Hanya doa mereka saja yang semakin banyak dan
semakin kuat dilontarkan kepada para dewa yang agaknya tidak juga mau
mendengarkan dan memenuhi permintaan dalam doa-doa mereka.
Perang
antara Kerajaan Nepal dan Kerajaan Ceng ini terjadi dengan hebat dan banyak
korban jatuh di kedua pihak. Jenderal Muda Cin Liong dibantu oleh para panglima
harus mengerahkan tenaga sebab pihak musuh bukanlah pasukan lemah, melainkan
pasukan terlatih yang sudah berhasil melintasi Pegunungan Himalaya yang
demikian sukarnya.
Akan tetapi,
akhirnya bala tentara Nepal yang terhalang Pegunungan Himalaya dengan
kerajaannya sehingga sukar menerima bala bantuan itu, terpaksa mundur. Kao Cin
Liong pernah terluka dalam perang besar ini, akan tetapi setelah berobat dan
sembuh, dia memimpin lagi pasukannya melakukan pengejaran, bahkan terus
menyerbu masuk ke dalam Negara Nepal! Perang itu dilanjutkan sampai ke Nepal,
berlarut-larut sampai makan waktu kurang lebih dua tahun lamanya!
Dan perang,
seperti terbukti dalam sejarah semenjak jaman dahulu sampai sekarang, merupakan
mala petaka paling mengerikan bagi umat manusia. Harta benda musnah, banyak
nyawa melayang dengan sia-sia, di mana-mana terjadi kekejaman-kekejaman yang
mengerikan, setiap negara mengorbankan nyawa bangsanya yang tidak sedikit
jumlahnya. Dan semua itu hanya untuk mencapai apa yang disebut kemenangan!
Kemenangan
yang sementara saja, karena sementara itu yang kalah selalu mencari kesempatan
untuk bangkit lagi, untuk membalas dendam. Rakyat dijadikan permainan beberapa
gelintir orang yang dinamakan pemimpin, dan di lain pihak, beberapa gelintir
pemimpin ini pun menjadi permainan dari nafsu keinginan mereka masing-masing,
menjadi korban permainan ambisi.....
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui, dan sekarang marilah kita mengikuti
perjalanannya…..
Dengan hati
yang dihimpit kedukaan, kekecewaan dan kemarahan gadis ini minggat dari
rumahnya, meninggalkan sepucak surat untuk orang tuanya, mengatakan bahwa ia
pergi hendak mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Hatinya dihimpit kedukaan dan
kekecewaan mengingat akan perbuatan Cin Liong terhadap dirinya dan
pernyataannya dalam surat bahwa ia hendak mencari dan membunuh Cin Liong tidak
dilebih-lebihkan, karena memang pada saat itu satu-satunya keinginan hatinya
adalah bertemu dengan Cin Liong, menantangnya dalam perkelahian yang akan
berakhir dengan kematian Cin Liong atau kematian dirinya sendiri.
Dan ia marah
kepada ayahnya yang memaksanya berjodoh dengan Tek Ciang. Kenapa ayahnya tidak
mau tahu bahwa ia tidak cinta kepada suheng-nya itu dan tidak mungkin menjadi
isterinya? Ia sudah memberi alasan dan mengajukan syarat agar Tek Ciang dapat
mengalahkannya, tapi ayahnya malah membantu Tek Ciang dengan menjanjikan untuk
mewariskan semua ilmunya kepada pemuda itu agar dapat mengalahkannya. Ia
sungguh marah dengan keputusan ayahnya itu!
Tentu saja
tempat yang ditujunya untuk mencari Cin Liong adalah kota raja. Semua orang
tahu siapa Jenderal Muda Kao Cin Liong dan di mana letak istananya. Akan
tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika mendengar bahwa jenderal muda itu telah
pergi ke barat memimpin pasukan untuk memerangi pasukan Nepal yang telah
menguasai Tibet.
Dengan
nekat, gadis yang hidupnya menjadi pahit getir oleh rasa dendam ini menyusul ke
barat, ke Tibet! Dapat dibayangkan betapa susah payahnya perjalanan yang amat
jauh itu. Apalagi dengan adanya perang di Tibet, keadaan di tengah perjalanan
menjadi tidak aman. Orang-orang jahat yang suka mengail di air keruh banyak
mempergunakan kesempatan itu untuk beraksi. Banyak perampok bermunculan di
jalan-jalan.
Suma Hui
adalah seorang pendekar wanita yang sama sekali tidak gentar menghadapi semua
gangguan di perjalanan. Akan tetapi, oleh karena setiap kali bertemu penjahat
ia tentu turun tangan dan membasminya, dan baru puas kalau ia sudah berhasil,
maka perjalanannya menjadi semakin lambat. Setelah melakukan perjalanan
berbulan-bulan, barulah ia tiba di perbatasan Tibet.
Akan tetapi,
betapa kecewa rasa hatinya ketika ia mendengar bahwa perang di daerah itu telah
selesai dan kini pasukan pemerintah Ceng melakukan pengejaran terhadap pasukan
musuh ke Negara Nepal! Biar pun Suma Hui seorang gadis yang keras hati dan
tabah, bahkan selama perjalanan berbulan-bulan itu ia tidak pernah mau menyerah
dengan keadaan yang sukar dan tetap tabah, kali ini tidak dapat menahan air matanya
karena kecewa. Ia meninggalkan perbatasan itu, kembali ke timur dan ketika ia
berhenti di luar sebuah dusun yang sunyi, ia duduk di atas batu dan menangis.
Ia tidak
dapat menghentikan kenangannya akan masa lalu, mengingat kembali nasib yang
menimpa dirinya. Rasanya baru kemarin terjadinya. Mula-mula ia hidup dengan
riang gembira bersama Ciang Bun dan Ceng Liong di Pulau Es. Akan tetapi dalam
satu hari saja, berubahlah seluruh kehidupannya, dimulai dengan penyerbuan
Pulau Es oleh para datuk sesat dan sejak hari itu, bermacam mala petaka
menghantuinya.
Cintanya
dengan Cin Liong terhalang oleh tentangan ayahnya, kemudian yang terakhir
sekali peristiwa terkutuk di malam jahanam itu ketika Cin Liong menghancurkan
segala-galanya dalam dirinya, lahir batin. Semua itu masih ditambah beban batin
lagi ketika ayahnya mendesaknya untuk menikah dengan Tek Ciang.
“Ya
Tuhan.... apa yang harus kulakukan....?” Demikian gadis itu menangis dan
merintih dalam batinnya.
Kemudian
timbul lagi semangatnya. Bagaimana pun juga, ia akan menanti sampai Cin Liong
kembali dari perang, kemudian mencarinya dan menuntut balas. Kalau ia kalah dan
tewas di tangan pemuda itu, hal yang ia merasa yakin pasti terjadi mengingat
bahwa pemuda itu jauh lebih lihai dari padanya, maka hal itu baik sekali.
Memang Cin Liong sama dengan telah membunuhnya, membunuh semua gairah hidupnya
dengan melakukan perbuatan terkutuk memperkosanya itu.
Akan tetapi
kalau pemuda itu mengalah dan tidak melawan, dia akan membunuhnya! Dan setelah
itu, entah apa yang akan dilakukannya! Setidaknya, ia masih mempunyai satu
tujuan dalam hidupnya, yaitu menanti dan menemui Cin Liong untuk membalas
dendam! Dengan jalan pikiran ini, hatinya terasa lebih tenang dan tangisnya
terhenti.
Duka adalah
permainan pikiran yang mengenang kembali hal-hal yang telah lalu atau
membayangkan hal-hal yang belum terjadi sehingga terciptalah rasa iba diri yang
menimbulkan rasa duka. Kenangan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa yang
merugikan dirinya lahir mau pun batin, dan bayangan-bayangan masa depan yang
suram dan tidak menyenangkan.
Tanpa
mengenangkan masa lalu atau membayangkan masa depan, melainkan menghadapi saja
kenyataan saat ini dengan penuh kewaspadaan, akan melenyapkan rasa duka. Di
dalam pengamatan penuh kewaspadaan akan saat ini, yaitu setiap saat dalam hidup
ini, tanpa pamrih untuk menemukan sesuatu, hanya mengamati saja dengan waspada,
tanpa prasangka, tanpa penilaian atau perbandingan, berarti kita hidup dalam
arti kata yang sesungguhnya!
Sesungguhnyalah
bahwa hidup adalah saat ini, bukan kemarin dan bukan esok, bukan tadi dan bukan
nanti. Ini bukan berarti bahwa setiap saat kita harus bersenang-senang atau
mengejar kesenangan! Akan tetapi, apa manfaatnya membenamkan diri ke dalam
lembah duka dari kekecewaan?
Setelah
hatinya tenang, Suma Hui melanjutkan perjalanannya. Tiada gunanya baginya untuk
menanti di daerah Tibet yang baru saja dilanda perang dan rakyatnya masih dalam
keadaan panik dan sengsara itu.
Dia kembali
ke timur dan setelah melakukan perjalanan berbulan lamanya, pada suatu hari
tibalah ia di kota Ceng-tu di Propinsi Se-cuan. Di sebelah selatan kota ini
terdapat Omei-san, sebuah gunung yang indah dan menjadi tempat pesiar penduduk
daerah itu. Karena tertarik, pada suatu pagi yang cerah, Suma Hui juga mendaki
Omei-san untuk menikmati pemandangan indah di gunung itu di mana terdapat
pohon-pohon yang ratusan tahun usianya dan bunga-bunga yang tidak dapat
ditemukan di daerah timur.
Tetapi
agaknya ia datang terlalu pagi. Tempat itu masih sunyi, belum ada pengunjung
lain yang datang. Namun bagi Suma Hui, hal ini malah kebetulan karena orang
yang sedang murung biasanya lebih suka menyendiri. Ia bahkan dapat menikmati
matahari terbit muncul dari balik puncak tanpa terganggu oleh kehadiran orang
lain.
Angin pagi
pegunungan amat sejuk dan menyegarkan udara yang bersih itu. Cuaca amat lembut
dengan cahaya matahari yang belum muncul sepenuhnya, mengecat segala sesuatu
dengan warna keemasan yang cemerlang. Mutiara-mutiara embun bergantung di ujung
daun-daun pohon berkilauan amat indahnya, juga ujung rumput-rumput hijau subur
dihias mutiara embun sehingga sekilas pandang rumput-rumput itu seperti hiasan
dari batu giok hijau yang dirias mutiara.
Sinar
matahari lembut yang menerobos celah-celah daun pohon menciptakan seberkas
cahaya yang mempesonakan, seolah-olah merupakan bukti hubungan yang tak dapat
terpisahkan antara bumi dan langit. Apakah artinya bumi tanpa adanya cahaya
matahari yang menghidupkannya dan yang membuatnya demikian indahnya?
Sebaliknya, apa pula artinya cahaya matahari tanpa adanya bumi yang
menampungnya? Kesatuan Im dan Yang ini menciptakan kemukjijatan, kebesaran,
keagungan, dan keindahan yang amat hebat dan mengharukan. Namun sayang, manusia
terlalu disibukkan oleh hal yang remeh-remeh, yang kecil-kecil, yang bersumber
kepada kepentingan dan kesenangan diri pribadi sehingga kemukjijatan itu tidak
pernah dapat dinikmati atau dikaguminya lagi.
Suma Hui
duduk di atas batu besar dan pada saat itu, ia menikmati semua keagungan ini.
Ia seperti ditelan oleh keheningan yang mempesona. Ia tidak merasa bahwa
dirinya terpisah dari semua itu, tidak terpisah dari cahaya matahari, dari
rumput-rumput dan mutiara-mutiara embun itu, dari burung-burung yang mulai
berloncatan, beterbangan dan berkicau riang.
Ia seperti
kehilangan dirinya yang sudah dilebur menjadi satu dengan keheningan itu
sendiri. Tidak ada duka, tidak ada kecewa, tidak ada sengsara, tidak ada
apa-apa lagi. Yang ada hanyalah keheningan yang amat indahnya, bukan indah lagi
karena sudah tidak dapat diukur oleh pikiran dan akal budi.
Tiba-tiba
telinganya menangkap bentakan-bentakan disusul suara angin pukulan tanda-tanda
orang berkelahi. Bagaikan diseret kembali ke dalam dunia kenyataan, Suma Hui
menengok ke kiri, ke arah dari mana datangnya suara itu dan melihat seorang
pemuda dikeroyok oleh tiga orang. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang
gadis.
Dari jauh
Suma Hui melihat bahwa pemuda yang dikeroyok itu memiliki gerakan yang lebih
mantap dan cepat, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu mengalah sehingga terdesak
hebat oleh tiga orang pengeroyoknya yang kelihatan marah sekali itu. Akan
tetapi, Suma Hui terkejut sekali dan tertarik hatinya ketika mengenal gerakan
pemuda yang dikeroyok itu. Gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Cepat tubuhnya
melesat dan ia pun sudah berlari turun dari lereng itu menghampiri mereka yang
sedang berkelahi. Setelah kini dapat melihat jelas, ia menjadi semakin kaget
mengenal bahwa pemuda yang dikeroyok itu bukan lain adalah adiknya sendiri,
Suma Ciang Bun!
Pada saat itu,
Ciang Bun yang selalu mengalah, tidak pernah membalas itu terkena hantaman
tangan kanan pemuda yang mengeroyoknya, terkena pukulan pada pundak sehingga
tubuhnya terjengkang dan roboh. Akan tetapi, biar pun pukulan itu keras sekali,
agaknya tidak sampai melukai tubuh Ciang Bun yang terlatih dan dengan
sinkang-nya pemuda ini dapat melindungi tubuhnya. Maka dia pun sudah dapat
bangkit lagi sambil berkata, “Kenapa engkau memukulku....?”
Melihat ini,
Suma Hui tidak dapat menahan sabarnya lagi. Adiknya dikeroyok tiga dan jelas
bahwa adiknya mengalah. Kalau adiknya balas menyerang, ia merasa yakin bahwa
tiga orang itu tidak akan dapat bertahan lama. Maka ia pun mengeluarkan suara
melengking panjang dan tubuhnya meluncur ke depan, kaki tangannya bergerak cepat
bukan main dan ia telah terjun ke dalam gelanggang perkelahian, menyerang tiga
orang pengeroyok itu bertubi-tubi. Hebat bukan main serangan Suma Hui ini,
terlampau cepat bagi tiga orang lawannya.
“Plakk!
Plakk! Dukkk!”
Dua orang
gadis pengeroyok itu telah kena ditamparnya, sedangkan pemuda itu harus
menerima tendangannya. Tubuh mereka terpelanting dan terdengar mereka mengaduh.
Masih untung
bagi mereka bahwa Suma Hui tidak menggunakan semua tenaganya. Dara ini memang
tidak bermaksud membunuh mereka. Ia belum tahu urusannya maka dia pun hanya
menyerang untuk menghentikan pengeroyokan mereka saja. Walau pun yang dikeroyok
adiknya sendiri, akan tetapi sebelum ia tahu urusannya, ia tidak mau menurunkan
tangan maut.
“Enci,
jangan....!” Suma Ciang Bun berseru.
Pemuda ini
sudah memegangi lengan enci-nya, agaknya merasa khawatir kalau-kalau enci-nya
akan melanjutkan serangannya menghajar tiga orang pengeroyok itu.
Suma Hui
memandang adiknya dan merangkulnya. Sudah kurang lebih dua tahun ia tidak
berjumpa dengan adiknya dan wajah adiknya yang tampan itu kini nampak kurus.
“Bun-te....!”
“Enci
Hui.... aku mencarimu ke mana-mana tanpa hasil....”
“Bun-te
apakah yang telah terjadi? Siapakah mereka ini?”
Agaknya
Ciang Bun baru teringat akan ketiga orang pengeroyoknya dan jawabannya sangguh
membuat enci-nya terheran-heran, “Mereka.... adalah sahabat-sahabatku.”
Tentu saja
selain merasa heran, hati dara perkasa itu juga marah sekali. Ia melepaskan
rangkulannya dari pundak adiknya dan melangkah maju, menghadapi tiga orang yang
kini telah bangkit berdiri itu.
“Hemm,
kalian ini manusia-manusia tidak tahu malu. Kalian mendengar sendiri betapa
adikku menyebut kalian sahabat-sahabat dan tadi jelas bahwa adikku mengalah.
Kalau tidak, apa sukarnya bagi adikku untuk merobohkan atau bahkan membunuh
kalian dalam sepuluh jurus saja?”
Dua orang
gadis pengeroyok itu hanya cemberut dan Suma Hui kini melihat bahwa mereka
adalah dua orang gadis yang cukup manis. Sedangkan pemuda yang tampan dan
usianya antara dua puluh tahun itu menarik napas panjang, memandang Suma Hui
dan berkata dengan nada suara sedih, “Kami tahu bahwa dia adalah seorang
pendekar yang berkepandaian tinggi, akan tetapi budinya tidak setinggi
kepandaiannya sehingga kami melupakan kebodohan sendiri dan terpaksa
menentangnya.”
Suma Hui
menoleh kepada adiknya. Ia ingin tahu persoalannya, akan tetapi ia lebih senang
mendengarnya dari mulut adiknya dari pada mendengarkan keterangan fihak lawan.
“Bun-te, apakah yang telah terjadi?”
Pemuda itu
menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, enci Hui, akulah
yang bersalah.” Dan dia pun tidak mau bicara apa-apa lagi, nampak sungkan dan
malu.
Akan tetapi
Suma Hui menjadi semakin penasaran. Tidak mungkin adiknya salah. Ia mengenal
benar watak adiknya yang halus budi dan tidak mau melakukan hal-hal yang tidak
betul. Maka ia pun menoleh kepada pemuda tampan tadi dan bertanya, “Coba
ceritakan, apa kesalahan adikku maka kalian bertiga mengeroyoknya secara tak
tahu malu.”
Bagaimana
pun juga, suara Suma Hui agak lunak ketika melihat bahwa tiga orang itu
sebenarnya mempunyai pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Tadi
ketika mereka mengeroyok Ciang Bun, mereka hanya menggunakan tangan kosong, hal
ini saja membuktikan bahwa biar pun mereka marah-marah kepada Ciang Bun, akan
tetapi mereka tidak berniat untuk membunuh.
Pemuda itu
lalu bercerita. Akan tetapi bagaimana pun juga jujurnya, tentu saja ceritanya
mengandung dasar memenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kalau
kita mengikuti sendiri pengalaman Suma Ciang Bun sampai dia bertemu dengan
mereka dan mengapa dia sampai dikeroyok oleh tiga orang muda itu.
Seperti kita
ketahui, sepeninggal enci-nya, Ciang Bun merasa tidak betah di rumah dan tak
lama kemudian dia pun pergi meninggalkan rumahnya untuk mencari enci-nya. Dia
merasa gelisah memikirkan enci-nya, dan juga dia merasa sakit hati mendengar
bahwa ayahnya akan mewariskan semua ilmu keluarga mereka kepada Tek Ciang yang
tidak disenanginya.
Akan tetapi,
tidaklah mudah mencari jejak seorang gadis seperti Suma Hui yang melakukan
perjalanan diam-diam dan cepat pula. Dengan susah payah Ciang Bun mencari encinya,
sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Bahkan dia pun sudah pergi ke kota raja,
karena dia menduga bahwa encinya yang pergi mencari Cin Liong tentu menyusul ke
kota raja.
Akan tetapi,
di kota raja dia tidak dapat menemukan enci-nya. Dia mendengar bahwa Cin Liong
juga tidak berada di kota raja karena jenderal muda itu memimpin pasukan untuk
mengusir Bangsa Nepal yang menduduki Tibet.
Pemuda yang
cerdik ini berpendapat bahwa encinya sedang mencari Cin Liong. Kalau jenderal
itu kini pergi ke Tibet, encinya yang keras hati itu besar kemungkinannya pergi
menyusul ke Tibet pula. Dengan pikiran ini, dia pun mengambil keputusan untuk
pergi menyusul ke barat, akan tetapi kesempatan itu hendak digunakannya untuk
menikmati keramaian kota raja...
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment