Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 10
"Aihh,
Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang gagah perkasa! Angin baik dari
manakah yang meniup kalian sampai terbang ke sini?” tegur Kim Hwee Li dengan
gembira.
Suami isteri
tamu itu memberi hormat kepada tuan rumah dengan menyebut ‘paman’ dan ‘bibi’.
“Perkenalkan,
inilah anak-anak kami, Suma Hui dan Suma Ciang Bun. Anak-anak, ketahuilah bahwa
yang datang ini adalah kakak-kakak kalian, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan
isterinya yang terkenal itu.” Kim Hwee Li melanjutkan sambutannya. Suma Hui dan
Ciang Bun segera memberi hormat selayaknya, dibalas pula oleh Kao Kok Cu dan
isterinya.
“Silakan
masuk, kita bicara di ruangan dalam,” Suma Kian Lee berkata, sikapnya ramah
akan tetapi wajahnya dingin.
Suami isteri
itu mengikuti mereka masuk ke dalam dan segera mereka semua duduk di ruangan
tamu menghadapi meja yang panjang dan besar.
“Sungguh
kami sekeluarga merasa gembira sekali melihat datangnya Kao-taihiap suami isteri
dan kami mengucapkan selamat datang. Akan tetapi di samping kegembiraan itu,
kami juga dipenuhi rasa heran karena kalau sampai Kao-taihiap meninggalkan
Istana Gurun Pasir dan datang ke rumah kami, tentu ada keperluan yang sangat
penting,” Suma Kian Lee memulai percakapan mereka, setelah pelayan datang
menghidangkan minuman dan segera pergi lagi ke ruangan dalam.
Kao Kok Cu
saling pandang dengan isterinya dan dalam pertemuan pandang mata ini
mengertilah Wan Ceng bahwa suaminya minta agar dia saja yang bicara. Nyonya ini
tersenyum memandang tuan rumah dan menilai betapa Kian Lee sekarang telah
banyak berubah, lebih serius dan selain nampak agak tua juga agaknya
kelembutannya yang biasa itu kini menyembunyikan kekerasan di baliknya. Maka,
dengan hati-hati ia pun berkata.
“Kami datang
untuk membicarakan suatu hal yang amat penting dengan paman dan bibi berdua,
maka kami harap kedua adik ini....” Ia memandang kepada Suma Hui dan Suma Ciang
Bun.
“Mereka
adalah dua orang anak kami yang sudah dewasa. Tidak ada rahasia di antara
keluarga kami, maka engkau boleh bicarakan kepentinganmu itu di depan mereka,”
Kian Lee sengaja memotong kata-kata Wan Ceng karena dia sudah tahu kepentingan
apa yang hendak dibicarakan itu.
Tiada lain
tentu tentang perjodohan antara puterinya dan Cin Liong! Pelanggaran adat
kekeluargaan ini saja sudah dianggapnya melanggar susila dan membuatnya marah.
Maka, dia sengaja menahan anak-anaknya, terutama sekali Suma Hui, agar supaya
ikut mendengarkan sehingga gadisnya itu akan sekaligus mendengar keputusannya
yang tentu saja akan menolak keras.
Mendengar
ucapan tuan rumah yang memotong itu, Wan Ceng dan suaminya kembali saling
lirik. Sikap suaminya tetap tenang dan pandang mata suaminya mengisyaratkan
agar dia melanjutkan bicaranya. Maka dari itu, setelah menarik napas panjang
untuk menenangkan hatinya, Wan Ceng melanjutkan.
“Sebenarnya,
kedatangan kami berdua ini selain ingin berjumpa dan menengok karena sudah lama
sekali tidak jumpa, juga ada keperluan penting yang menyangkut diri adik....
ehhh, Suma Hui ini.”
Sukar sekali
rasanya menyebut ‘adik’ kepada seorang gadis yang akan dilamar menjadi
mantunya.
“Tentu paman
dan bibi sudah mengetahui akan adanya hubungan yang amat erat antara Suma Hui
dan Cin Liong, putera tunggal kami….” Sampai di sini dia berhenti seperti
kehabisan keberanian dan akal, bahkan kemudian menundukkan mukanya saat bertemu
pandang mata dengan Suma Kian Lee dan melihat sepasang mata pamannya itu
mencorong tanda kemarahan.
Melihat
keadaan isterinya itu, hati Kao Kok Cu merasa tidak tega dan dia pun cepat
menyambung keterangan isterinya, “Terus terang saja, betapa berat rasa hati
kami untuk melaksanakan tugas ini, akan tetapi sebagai orang tua yang ditangisi
anak, kami memberanikan diri menghadap paman dan bibi yang mulia untuk
mengajukan pinangan atas diri Suma Hui untuk dijodohkan dengan anak kami Kao
Cin Liong.”
“Tidak....
tidak pantas....!” Hanya itulah yang keluar dari mulut Suma Kian Lee, namun
sudah lebih dari cukup apa yang dimaksudkan.
Kim Hwee Li
yang lebih bebas dalam hal adat keluarga, dan lebih mementingkan hati
puterinya, segera memperhalus sikap suaminya itu dengan kata-kata yang lunak.
“Kao-taihiap
berdua tentu maklum betapa mengejutkan pinangan ini terdengar oleh suamiku.
Puteri kami adalah adik kalian, berarti puteri kami adalah bibi putera kalian.
Kalau mereka dijodohkan, apa akan kata orang-orang terhadap kita?”
Kao Kok Cu
menarik napas panjang. “Kami bukan tidak mengerti akan hal itu. Akan tetapi,
sudah lama sekali kami membebaskan diri dari pendapat orang sedunia. Yang
penting adalah benar bagi kami dan karena mereka berdua saling mencinta, maka
kami memberanikan diri untuk meminang, hanya untuk melancarkan tali perjodohan
yang telah mereka ikat sendiri. Harap paman dan bibi suka memaafkan dan
memaklumi keadaan kami.”
“Brakkkk!”
Tiba-tiba
Suma Kian Lee menggebrak meja, mukanya merah dan sepasang matanya mengeluarkan
sinar kemarahan. “Tidak! Ini penghinaan namanya!”
Pada saat
itu, Suma Hui meloncat bangkit dari tempat duduknya. Mukanya merah sekali dan
perubahan sudah terjadi pada dirinya sejak dua orang tamu tadi datang tanpa ada
yang memperhatikannya. Ia seperti mengalami ketegangan yang makin lama semakin
memuncak dan sekarang agaknya kemarahannya telah mencapai puncaknya dan ia
tidak dapat menahannya lagi.
“Aku pun
tidak sudi menikah dengan jahanam Kao Cin Liong! Penghinaan ini harus ditebus
dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darahnya!”
Semua orang
meloncat bangkit dari tempat duduk masing-masing dengan hati merasa kaget
sekali. Bukan hanya Kao Kok Cu dan isterinya saja yang terkejut mendengar
kata-kata itu, bahkan Suma Kian Lee, Kim Hwee Li dan juga Suma Ciang Bun
sendiri merasa kaget sekali.
“Enci
Hui....!” Suma Ciang Bun berteriak kaget.
“Hui-ji,
sikapmu ini sungguh tidak patut!” Kim Hwee Li menegur puterinya.
“Hui-ji,
engkau harus dapat mempertanggung jawabkan ucapanmu dan mengemukakan alasan
mengapa engkau mengeluarkan pernyataan itu!” Suma Kian Lee juga terkejut sekali
karena dia merasa yakin puterinya tidak akan mengeluarkan ucapan seperti itu
kalau tidak ada alasannya yang kuat sekali.
“Dia.... dia
telah menodaiku....!” Hanya sekian saja Suma Hui mampu bicara karena ia sudah
menangis sesenggukan.
“Ahhhh....!”
Seruan ini terdengar keluar dari semua orang yang hadir di situ, dan Kim Hwee
Li sudah meloncat dan merangkul puterinya. Belum pernah ia melihat puterinya
menangis sesedih ini.
“Anakku....
apakah yang telah terjadi....?” tanyanya penuh kegelisahan.
“Hui-ji,
ucapanmu itu harus segera dijelaskan!” bentak Suma Kian Lee sambil mengepal
sepasang tinjunya.
Ada pun Kao
Kok Cu dan isterinya hanya saling pandang, akan tetapi wajah mereka pun berubah
agak pucat karena tuduhan yang dilontarkan terhadap putera mereka itu terlalu
hebat, terlalu keji!
Suma Hui
menyembunyikan mukanya di dada ibunya. Ia mengerahkan tenaga melawan tangisnya,
kemudian dengan isak tertahan ia bercerita.
“Malam itu
aku sudah hampir tertidur ketika aku mencium bau harum. Aku sadar bahwa ada bau
asap pembius, akan tetapi terlambat. Ketika aku meloncat bangun, kepalaku
pening dan pada saat itu, ada orang menyerbu kamar dan aku ditotoknya.
Kemudian.... aku.... aku tidak berdaya ketika dia memperkosaku....”
“Engkau tahu
benar siapa pelakunya?” Suma Kian Lee bertanya, suaranya gemetar penuh nafsu
amarah yang ditahan-tahan.
“Dia adalah
jahanam Kao Cin Liong!”
Terdengar
suara menggeram seperti seekor harimau dan sepasang mata Suma Kian Lee seperti
mengeluarkan api ketika dia memandang kepada kedua orang tamunya. “Hemmmm,
pantas Louw-kauwsu menuduhnya jai-hwa-cat dan menyerangnya sampai tewas di
tangan keparat itu. Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa!”
Wan Ceng
melangkah maju menghadapi Suma Kian Lee. Semangatnya timbul seketika mendengar
puteranya diancam. Mukanya menjadi merah, sikapnya penuh tantangan ketika dia
berhadapan dengan Suma Kian Lee. “Bohong! Aku tak percaya! Tak mungkin puteraku
melakukan perbuatan hina seperti itu.”
Menghadapi
seorang wanita yang nampaknya juga marah sekali itu, Suma Kian Lee menjadi agak
tercengang. Kalau saja yang menentangnya itu Kao Kok Cu, tentu sudah
diserangnya, akan tetapi dia tidak mungkin mau menyerang seorang wanita,
apalagi wanita itu Wan Ceng yang pernah menghuni dalam hatinya.
Akan tetapi
Kim Hwee Li yang tadi merangkul anaknya, mendengar ucapan Wan Ceng itu,
meloncat dan menghadapi wanita itu. “Keterangan anakku kau katakan bohong?”
bentaknya marah.
“Kalau tidak
bohong dia tentu salah lihat!” Wan Ceng membantah “Suma Hui, apakah engkau
benar-benar berani sumpah melihat sendiri bahwa yang melakukan perbuatan
terkutuk itu adalah Cin Liong?”
“Kamar
gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya, tetapi suaranya.... dan bicaranya....
dia adalah Kao Cin Liong, tak salah lagi.”
“Fitnah....!”
Wan Ceng membentak.
“Wan Ceng!
Kao Kok Cu! Kalian dua orang tua yang tidak tahu malu, tidak becus mendidik
anak, sehingga melakukan perbuatan hina terhadap anak kami yang malang, dan
sekarang kalian malah hendak menuduh anakku membohong? Untuk apa anakku
membohong? Sungguh tidak tahu malu!” Kim Hwee Li marah sekali dan dia sudah
menerjang maju untuk menampar muka Wan Ceng.
Akan tetapi,
wanita ini tentu saja tidak mau ditampar dan cepat ia pun sudah menangkis dan
membalas dengan menampar pula.
“Dukkk....!
Wuiiitttt!”
Balasan
tamparan itu luput karena dielakkan oleh Kim Hwee Li dan tumbukan kedua lengan
mereka itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Kim Hwee Li sudah menerjang
lagi, kini mengirim pukulan-pukulan berantai yang dahsyat. Namun lawannya
bukanlah seorang wanita biasa. Isteri dari Naga Sakti Gurun Pasir itu dapat
mengelak, menangkis bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah
dahsyatnya.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Kim Hwee Li kehilangan lawannya.
Kiranya tubuh Wan Ceng telah disambar oleh suaminya dan dibawa keluar lapangan
perkelahian itu dan kini pendekar lengan satu itu menjura dengan sikap tenang.
“Segala
urusan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Menggunakan kekerasan
bukanlah jalan baik untuk mengatasi persoalan. Kami berdua datang karena tidak
mengetahui adanya persoalan itu, kalau kami tahu tak mungkin kami berani datang
sebelum membikin terang persoalan ini. Juga agaknya kedua paman dan bibi baru
tahu sekarang. Tidak mungkin putera kami melakukan perbuatan tidak senonoh itu,
juga agaknya tidak mungkin kalau puteri paman berdua bicara bohong. Oleh karena
itu, tentu ada apa-apa di balik semua ini, rahasia inilah yang harus diselidiki
dan dipecahkan.”
Melihat
sikap pendekar sakti itu yang mengalah, sabar dan tenang, Suma Kian Lee juga
menahan dirinya, walau pun hatinya sudah terbakar oleh pengakuan puterinya
bahwa puterinya telah diperkosa oleh Cin Liong.
“Kalian
sebagai orang tua tentu dapat merasakan bagaimana hebatnya penderitaan kami
mendengar pengakuan puteri kami. Tepat seperti dikatakan puteri kami tadi,
penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darah!”
“Hemm, paman
Suma Kian Lee. Kao Cin Liong masih mempunyai ayah ibu, dan kami sebagai orang
tuanya berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi benarkah
dia melakukan perbuatan itu? Hal ini yang harus kami selidiki lebih dahulu.
Kalau memang benar putera kami yang melakukan perbuatan biadab itu, kami berani
mempertanggung jawabkannya dan kami yang akan menghukumnya.” Berkata demikian,
pendekar berlengan satu ini saling pandang dengan isterinya dan wajah keduanya
menjadi merah.
Teringatlah
oleh pendekar ini betapa dahulu, di waktu mudanya, karena rangsangan racun, dia
sendiri pun melakukan pemerkosaan atas diri Wan Ceng yang kini menjadi
isterinya. Apakah ada sesuatu yang mendorong putera mereka melakukan perbuatan
yang sama? Apakah ini hukum karma? Ataukah ada hal-hal yang serba rahasia di
balik ini? Bagaimana pun juga, mereka menjadi prihatin sekali.
Setelah
menjura ke arah fihak tuan rumah tanpa dibalas, Kao Kok Cu segera menarik
lengan isterinya yang masih marah-marah itu dan meninggalkan rumah keluarga
Suma. Betapa jauh bedanya dengan ketika mereka datang tadi. Tadi mereka datang
dengan gembira dan dengan hati mengandung penuh harapan. Kini mereka pergi
dengan hati sedih, penasaran dan juga marah.
Setelah
kedua orang itu pergi, Suma Hui kemudian menangis dan menjambak-jambak
rambutnya sendiri. “Aku akan membunuhnya.... aku akan membunuhnya....!”
Hatinya
hancur berkeping-keping. Ia mencinta Cin Liong, bahkan sampai saat itu pun ia
tak dapat melupakan pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu telah menghancurkan
semua harapan dan kebahagiaannya dengan perbuatan yang keji itu!
Kim Hwee Li
bisa merasakan kehancuran hati anaknya, maka ibu ini pun merangkulnya sambil
menangis pula.
Suma Kian
Lee terduduk dengan muka pucat dan tubuh lemas. Tak disangkanya telah terjadi
mala petaka seperti itu! Kini jelas tak mungkin puterinya menjadi jodoh Cin
Liong yang masih keponakan puterinya sendiri itu. Akan tetapi, bagaimana
mungkin pula puterinya dapat melanjutkan perjodohannya dengan Tek Ciang setelah
dirinya ternoda? Bagaimana dia dapat menyampaikan hal itu kepada pemuda itu?
Dan bagaimana pula kalau Tek Ciang menolak? Dia merasa pening memikirkan hal
ini dan hatinya semakin jengkel melihat isteri dan puterinya bertangisan.
“Kalau
kalian hendak bertangisan, ajaklah ia ke kamarnya dan biarkan aku sendiri di
sini. Ciang Bun, keluarlah engkau!” kata pendekar itu dengan wajah lesu.
Kim Hwee Li
tahu bahwa suaminya sedang menahan nafsu amarah yang menggelora, maka ia pun
lalu menuntun puterinya masuk ke kamar Suma Hui di mana gadis itu melempar diri
di atas pembaringan dan menangis sesenggukan, dipeluk oleh ibunya. Sedangkan
Ciang Bun, dengan tubuh terasa lesu, pergi ke taman belakang di mana dia
melihat Tek Ciang duduk termenung seorang diri.
Dia menahan
langkahnya dan memandang pemuda itu dari belakang. Sampai sejauh manakah
pengetahuan Tek Ciang tentang enci-nya itu? Bukankah ketika ayah ibunya pergi
mencarinya, di rumah ini hanya ada enci-nya, pelayan dan Tek Ciang? Tentu
pemuda yang menjadi suheng-nya itu tahu, atau setidaknya mengetahui hal-hal
yang ada hubungannya dengan peristiwa itu.
Dia sendiri
masih belum dapat percaya begitu saja bahwa Cin Liong telah melakukan hal yang
sedemikian rendahnya. Memperkosa enci-nya! Dia mengenal betul jenderal muda
itu. Seorang pendekar yang gagah perkasa, yang telah mati-matian membela Pulau
Es, bahkan telah menyelamatkan enci-nya dari mala petaka pada saat enci-nya
dilarikan oleh penjahat keji Jai-hwa Siauw-ok. Mana mungkin kalau kemudian Cin
Liong sendiri yang memperkosa enci-nya?
Akan tetapi,
dia pun tahu bahwa enci-nya adalah seorang yang keras hati dan jujur, yang
sampai mati rasanya tidak akan mau membohong. Kalau enci-nya mengatakan dengan
yakin bahwa pemerkosanya adalah Cin Liong, maka hal itu pun sukar untuk
diragukan lagi. Sungguh membingungkan!
Tek Ciang
agaknya merasa akan kedatangannya, karena pemuda itu menoleh dan begitu melihat
Suma Ciang Bun, dia bangkit dari bangku taman. “Ahhh, sute, apakah tamunya
sudah pulang?”
Ciang Bun
masih termenung dan hanya mengangguk.
“Siapakah
tamunya, sute?”
“Tamunya
adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya. Mereka datang untuk
meminang enci Hui!” Suma Ciang Bun berkata dengan tegas sambil menatap wajah
suheng-nya dengan tajam. “Mereka meminang enci Hui untuk dijodohkan dengan Cin
Liong.”
“Ahhh....!”
Pemuda itu nampak terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa, hanya alisnya
berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
Ciang Bun
mengerti bahwa tentu suheng-nya ini tak suka kepada Cin Liong karena Cin Liong
telah menyebabkan kematian ayahnya. Ciang Bun lalu menghampiri suheng-nya.
“Suheng, mari kita duduk, aku ingin bicara denganmu.”
Tek Ciang
duduk kembali. Mereka duduk berdampingan dan Tek Ciang memandang wajah sute-nya
dengan heran. “Bicara apakah, sute?”
“Tentang....
Cin Liong!”
“Ada apa
dengan.... dengan Kao-taihiap?”
“Dia telah
membunuh ayahmu, bukan? Apakah engkau telah bicara dengan dia setelah peristiwa
matinya ayahmu?”
Pemuda itu
menarik napas panjang, nampak sedih. “Sudah, dan Kao-taihiap mengakui telah
berkelahi dengan mendiang ayah. Dia diserang oleh ayah dan dia hanya membela
diri saja. Tentu saja ayah bukan tandingan Kao-taihiap dan.... dan menurut
keterangan Kao-taihiap, ayah.... membunuh diri setelah kalah.”
“Engkau
percaya akan keterangan itu?”
“Bagaimana
tidak? Dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal malah.”
“Engkau
tidak mendendam?”
Tek Ciang
nampak bingung. “Tentu saja aku berduka sekali karena kematian ayah, tapi aku
pun tidak dapat menyalahkan Kao-taihiap karena dia lebih dahulu diserang oleh
ayah, yang menyangkanya seorang jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.”
“Apakah
engkau percaya bahwa Cin Liong pantas menjadi jai-hwa-cat, suheng?”
“Apa....?
Ahhh, entahlah, sute, aku menjadi bingung....”
Hening
sejenak. Suma Ciang Bun memutar otak, bagaimana untuk dapat membongkar rahasia
terpendam yang mungkin diketahui oleh suheng-nya ini. Sedangkan Tek Ciang
bersikap waspada, kini tidak gugup lagi dan dia sudah bersiap-siap untuk
menghadapi semua pertanyaan sute-nya.
“Louw-suheng,
dahulu sebelum kami pulang, engkau seoranglah yang menemani enci Hui di rumah.
Maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya?”
Diam-diam
Tek Ciang terkejut dan dia memandang kepada sute-nya yang masih remaja dan yang
sikapnya halus itu dengan curiga di hati. Akan tetapi dia mengangguk tanpa
menjawab.
“Suheng,
apakah engkau melihat terjadinya sesuatu yang aneh antara enci Hui dan Cin
Liong?”
“Sesuatu
yang aneh? Apakah yang kau maksudkan, sute?”
“Ketika Cin
Liong datang berkunjung ke sini, bagaimanakah hubungan antara mereka?”
“Baik
sekali! Mereka kelihatan akrab sekali, dan sikap Kao-taihiap amat manis.”
“Suheng,
kenana engkau menyebutnya Kao-taihiap? Tidak tahukah engkau bahwa dia adalah
keponakanku? Jadi dapat disebut murid keponakanmu juga!”
Wajah Tek
Ciang menjadi merah dan dia tersenyum. “Ahhh, bagaimana mungkin aku berani
menyebutnya sebagai keponakan apalagi murid keponakan? Usianya lebih tua dariku
dan ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku.”
“Dan dia
sendiri menyebut apa padamu, suheng?”
“Itulah yang
membuat hatiku tidak enak sekali, sute. Dia menyebut susiok kepadaku!” Tek
Ciang tersenyum malu-malu dan Ciang Bun terpaksa tertawa juga.
Memang aneh
kalau seorang pendekar sakti seperti Cin Liong itu menyebut susiok (paman guru)
kepada Tek Ciang. Sungguh merupakan keadaan yang terbalik, melihat usianya mau
pun tingkat kepandaiannya.
“Sekarang
harap kau jawab sebenarnya, suheng. Pernahkah engkau melihat mereka
bertengkar?”
Ditanya
demikian, Tek Ciang menjadi ragu-ragu dan agaknya merasa sungkan sekali untuk
menjawab. Hal ini memang disengaja sehingga dia nampak seolah-olah merasa tidak
enak hati kalau harus menceritakan sesuatu yang hendak dirahasiakan. Ciang Bun
yang masih hijau dalam hal menilai sikap orang tentu saja menjadi tertarik.
“Suheng,
katakanlah. Engkau sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Kalau ada
terjadi sesuatu, sepatutnya kalau suheng berterus terang kepada kami. Kalau
suheng tak berani bicara langsung kepada ayah, katakanlah saja kepadaku dan aku
yang akan menyampaikan kepada ayah. Apakah pernah terjadi pertengkaran antara
enci Hui dan Cin Liong?”
Tek Ciang
menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah-olah dia terpaksa untuk bicara.
“Apa boleh buat, mungkin engkau benar, sute, bahwa aku harus menceritakan
segala yang kuketahui. Sesungguhnyalah, aku pernah melihat mereka berkelahi!”
“Berkelahi?”
“Sebenarnya
bukan berkelahi, tetapi sumoi yang menyerang Kao-taihiap mati-matian dengan
pedangnya, dan Kao-taihiap hanya menghindarkan semua serangan itu. Terjadi pada
pagi hari dan akhirnya Kao-taihiap melarikan diri dan dikejar oleh sumoi. Aku
mencoba melerai, akan tetapi dengan kepandaianku yang tidak seberapa, aku dapat
berbuat apa? Tak lama kemudian sumoi kembali dan agaknya ia tak berhasil
menyusul Kao-taihiap yang amat lihai itu.”
“Hemm,
begitukah? Apakah enci Hui menyerang sungguh-sungguh? Ataukah hanya main-main
saja ataukah hanya untuk menguji?”
“Kurasa
sungguh-sungguh, sute, karena aku melihat sumoi marah sekali dan benar-benar ia
bermaksud hendak membunuh Kao-taihiap.”
“Hemm,
sungguh aneh. Kenapa enci Hui marah-marah dan hendak membunuhnya?”
Tek Ciang
menggeleng kepala dan wajahnya kelihatan seperti orang menyesal dan ikut
bersedih. “Aku tidak tahu mengapa, sute. Pada waktu aku bertanya, sumoi juga
tidak mau menceritakan.”
“Apakah
tidak terjadi sesuatu di rumah ini pada malam hari sebelumnya?”
Tek Ciang
menggeleng kepala.
“Malam itu
engkau berada di mana, suheng?”
“Aku? Ahh,
aku meronda keliling kota. Aku hendak menyelidiki jai-hwa-cat yang tadinya
dicari-cari oleh mendiang ayah. Dan aku sempat melihat Kao-taihiap berkelahi
melawan seorang yang amat lihai. Mereka sama-sama lihai sehingga aku yang
menonton dari tempat persembunyian tak dapat membedakan mana Kao-taihiap dan
mana lawannya. Akhirnya mereka berkejaran dengan amat cepat. Aku ikut mengejar,
tapi tertinggal jauh dan malam itu aku mencari-cari tanpa hasil. Menjelang pagi
baru aku pulang. Hanya itulah yang kuketahui, sute. Akan tetapi, sute
bertanya-tanya ini, sebenarnya ada terjadi apakah? Aku sendiri pun
bertanya-tanya dalam hati mengapa sumoi begitu membenci Kao-taihiap dan hendak
membunuhnya, padahal tadinya hubungan mereka sedemikian akrabnya?”
Kini Ciang
Bun yang menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Tidak tahulah,
suheng, tidak tahulah....” dan pemuda remaja ini pun meninggalkan suheng-nya
dengan hati yang tidak puas.
Semua
keterangan Tek Ciang itu tidak membuat terang persoalan. Benarkah Cin Liong
melakukan perbuatan yang demikian keji, memperkosa enci-nya? Kemudian setelah
mereka kembali bertemu pagi itu, enci-nya lalu mati-matian menyerangnya? Dia
menjadi bingung sendiri dan mengepal tinju kalau mengingat akan nasib enci-nya
yang malang.
***************
“Sudahlah,
Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah....” Kim Hwee Li mencoba untuk
menghibur hati puterinya.
Suma Hui
mengangkat muka memandang kepada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air mata,
sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya.
Belum pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun
lebih sering menangis dari pada enci-nya di waktu kecil. Bahkan diam-diam dia
sering merasa heran, mengapa puterinya berhati baja bagaikan seorang jantan
sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.
“Ibu....
ibu.... rasanya aku ingin mati saja....”
Mendengar
ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya. Mereka bertangisan, baru sekarang Hwee Li
benar-benar menangis. Dia pun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya
karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya
itu adalah pria yang dicintanya!
“Aku tahu
betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah,
tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan
tangis. Betapa pun besar mala petaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih
ada pedang kita untuk dapat menebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas
diri kita, bukan?”
Ucapan ini
membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air matanya.
Hwee Li membereskan rambut di kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah
kedukaan dan keharuan hati mereka agak mereda, dengan halus Hwee Li lalu
berkata, “Sekarang coba kau ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya telah
terjadi, agar aku dapat ikut memikirkan.”
Suma Hui
lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena
kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas.
Tentu saja Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena marahnya, dan beberapa
kali wanita ini mengepal kedua tinju tangannya serta mengeluarkan suara kutukan
perlahan.
Setelah
puterinya selesai bercerita, dia bertanya, “Begitu gelapkah cuaca malam itu di
dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali wajahnya?”
“Selain
gelap sekali, juga kepalaku masih pening oleh pengaruh obat bius itu, ibu.”
“Asap yang
berbau harum seperti hio?”
“Benar.”
“Itulah dupa
harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran sekali
bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berubah menjadi
seorang jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita mana pun kiranya
akan bisa dia dapatkan!”
“Mungkin itu
suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi juga
menodai cintaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku!”
“Tapi,
bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?”
“Mana aku
bisa salah, ibu. Suaranya sudah kukenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika
merayu.... ahhh, ibu.... sungguh dia bukan manusia....” Gadis itu mengusap
kedua matanya yang menjadi basah kembali. “Aku.... aku mencintanya, dan dia pun
kelihatan begitu cinta padaku...., akan tetapi, mengapa dia lakukan perbuatan
keji itu terhadapku? Mengapa....? Mengapa, ibu....?” Gadis itu menangis lagi.
Kim Hwee Li
hanya duduk bengong terlongong, bingung tak tahu harus menjawab bagai mana.
Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan keluar yang baik bagi puterinya yang
tertimpa mala petaka itu. Ia tahu bahwa jika tidak dicarikan jalan yang
terbaik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat disembuhkan
lagi.
Tiba-tiba ia
mendapatkan akal yang dianggapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi puteri
seorang datuk sesat, biar pun hanya puteri angkat dan ia pun pernah menjadi
seorang tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memperdulikan sama sekali
apa artinya kegagahan atau jiwa pendekar. Dia baru berubah betul-betul setelah
bertemu dengan Suma Kian Lee yang kini menjadi suaminya (bacaKisah Jodoh
Sepasang Rajawali).
Apa yang
dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah
perbuatan itu mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti? Apakah
dengan perbuatannya itu lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak
dapat menjadi baik kembali? Dan mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong
menggauli puterinya dengan paksa, maka jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan
mereka berdua agar menjadi suami isteri!
“Anakku,
dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang
menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji.”
“Aku tahu,
ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya
nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!”
“Bukan, ada
jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengarlah, bukankah engkau amat
mencintanya?”
“Itu dulu
sebelum....”
“Dan dia pun
mencintamu....?”
“Aku tidak
percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan....”
“Perbuatannya
itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apa pun yang
mendorongnya, hal itu sudah terjadi. Satu-satunya jalan untuk membersihkan
namamu dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin
Liong....”
“Tidak....!
Tidak....!”
“Mengapa
tidak? Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai
menantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka
sebagai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan
keluarga Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan
cara menikahimu....”
“Tidak....!
Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku dari pada harus menjadi isteri
seorang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu
hanyalah kematiannya. Cintaku sudah hancur dan berubah benci oleh perbuatannya
yang keji itu!”
“Tapi, ini
demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan nama keluarga
kita.”
“Tidak, aku
harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, aku pun tidak mau lagi
hidup lebih lama di dunia ini.”
“Jangan
bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!”
“Kalau
begitu, biar aku mati di tangannya. Dia pun sudah membunuhku sekarang ini,
membunuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membunuh harapanku....!”
“Hui-ji!
Jangan putus asa seperti itu, anakku....!” Kim Hwee Li merangkul dan hatinya
berduka sekali.
Akan tetapi,
ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan sukarlah membujuk hati
Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama. Mungkin kalau
kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan mau
mengerti dan dapat diajak berunding mengenai masalah yang mereka hadapi.
Manusia
telah kehilangan cinta kasih di dalam hidupnya. Seperti cinta Suma Hui terhadap
Cin Liong, dalam seketika dapat saja berubah menjadi kebencian yang amat
mendalam, kebencian yang hanya akan terpuaskan kalau ia dapat membunuh orang
yang dibencinya.
Tanpa kita
sadari, kita sekarang pun hanya memiliki cinta yang semacam ini saja. Kita
mencinta seseorang, dan tanpa kita sadari bahwa cinta kita itu sesungguhnya
hanya merupakan jual beli saja. Kita mencinta seseorang karena ada sesuatu pada
orang itu yang menyenangkan hati kita. Karena wajahnya mungkin. Karena
hartanya. Karena sikapnya yang manis. Karena pandainya. Karena namanya,
kedudukannya atau lain hal lagi. Pendeknya, kita mencinta karena sesuatu yang
ada pada dirinya, sesuatu yang menyenangkan kita. Jadi, bukan orangnya yang
kita cinta, melainkan sesuatu pada dirinya yang menyenangkan kita itulah.
Karena itu,
apabila sesuatu yang menyenangkan itu berubah atau hilang, cinta kita pun
luntur dan berubah menjadi benci! Karena kalau tadinya kita disenangkan, kini
kita merasa disusahkan. Suma Hui tadinya cinta setengah mati kepada Cin Liong
karena di samping segala segi baiknya, juga kebaikan pemuda itu menyenangkan
hatinya. Kemudian, karena merasa bahwa pemuda itu memperkosanya, menghinanya,
kebaikan itu baginya berubah menjadi keburukan dan kalau tadinya disenangkan,
kini ia merasa disusahkan dan karena itu, cintanya yang setengah mati itu pun
berubah menjadi benci setengah mati!
Yang
beginikah cinta kasih? Ataukah ini bukan hanya sekedar cinta birahi saja, atau
keinginan memiliki sesuatu yang menyenangkan? Di luar kesadaran kita, kita
sendiri pun menjadi pencinta-pencinta seperti ini! Kalau kita mau mendiamkan
pikiran yang sibuk ini dan merenung, mengamati ‘cinta’ kita terhadap
orang-orang yang kita cinta, isteri, suami, pacar, sahabat dan sebagainya, maka
segera nampak nyatalah betapa ‘mengerikan’ wajah dari cinta kita itu.
Sesungguhnyalah,
kalau yang kita cinta itu orangnya, maka kita tentu akan mampu menerima orang
itu dengan segala baik buruknya, segala cacat celanya, segala kelebihan dan
kekurangannya, bukan? Cinta kasih itu sesuatu yang indah, tanpa ukuran, tidak
membandingkan, tanpa pamrih, wajar, tanpa hari kemarin atau hari esok. Cinta kasih
itu sekarang, saat ini, karenanya langgeng.
Ketika Kim
Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin Liong
untuk menebus aib yang telah menimpa keluarga mereka itu, Suma Kian Lee
termenung dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak
bicara dan dia memikirkan pendapat isterinya itu dengan hati yang tidak karuan
rasanya.
Kenyataan
bahwa Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak
setuju dan menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong tega melakukan
perbuatan yang demikian keji terhadap Suma Hui. Akan tetapi, pendapat isterinya
itu harus diakuinya sebagai jalan keluar yang satu-satunya dan yang terbaik.
Kalau Suma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti penghinaan itu pun tertebus
dan aib pun terhapus.
Hanya ada
satu hal saja yang memberatkan, yaitu bahwa Suma Hui menikah dengan keponakan
sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu, puterinya itu akan menderita selama
hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama keluarga mereka akan
tercemar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan keluarga Kao
sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayangkan akibatnya kelak.
Akan tetapi,
masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui, biar pun
gadis itu sudah ternoda! Tentu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus
dan dia pun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu!
Dan tentang dendam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.
“Pendapatmu
itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih mempunyai
jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang.
Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya.”
“Tapi....!”
Isterinya membantah dengan kaget. “Mana mungkin itu terjadi setelah....? Apakah
dia perlu diberitahu tentang aib itu? Ahh, dia tentu menolak dan sebaiknya
kalau hal itu tak diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa
saja membatalkan pertalian jodoh itu setelah kini ayahnya meninggal.”
Akan tetapi,
dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya. “Aku tahu bahwa Tek
Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau
melanjutkan perjodohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan
mewarisi ilmu-ilmuku kelak.”
“Apa? Ilmu
keluarga kita akan kau wariskan kepada orang lain? Bagaimana dengan Ciang Bun
dan Hui-ji?” isterinya bertanya, penasaran.
“Ingat,
isteriku. Kalau dia sudah menjadi mantu kita, dia bukan orang lain lagi
namanya! Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut
bagi seorang pria, dan Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak.”
Kim Hwee Li
tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan
suaminya mengenai persoalan ini, karena dia pun mengerti alangkah kukuh
suaminya memegang peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali dengan Suma
Kian Bu, yang lebih bebas dan liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi
ia tidak mengeluh, bahkan sebenarnya watak suaminya itulah yang mampu menundukkannya,
mampu menjinakkan keliarannya.
“Terserah
kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?”
“Kalau dia
menolak, dia tak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja, dan
barulah kita memperbincangkan usul dan pendapatmu tadi.”
Jawaban ini
melegakan hati Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu
tentu menolak dan suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal
ini bukan berarti bahwa ia sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai
mantu, melainkan karena ia tahu bahwa puterinya tidak mencinta Tek Ciang,
melainkan mencinta Cin Liong. Andai kata puterinya mencinta Tek Ciang, ia
sendiri tentu tidak keberatan karena yang tidak disukainya akan diri Tek Ciang
hanya sikapnya yang terlalu sopan, terlalu merendah dan terlalu kelihatan baik
itulah.
“Sekarang
juga kita hadapi dia,” kata pula Kian Lee dan dia memanggil Tek Ciang untuk
datang menghadap.
Kedua suami
isteri ini sengaja memilih ruangan dalam untuk mengadakan pembicaraan dengan
pemuda itu dan ketika Tek Ciang datang bersama Ciang Bun, Kian Lee segera minta
kepada puteranya untuk keluar dari dalam ruangan itu.
“Bun-ji,
ayah dan ibumu ingin bicara sesuatu yang penting dengan Tek Ciang, maka
biarkanlah kami bertiga sendiri dan larang siapa pun juga memasuki ruangan ini
tanpa ijin kami,” demikian katanya dengan sikap tegas.
Ciang Bun
menoleh sejenak kepada suheng-nya, kemudian keluar dari ruangan itu dan segera
menemui enci-nya, yang berada di ruangan belakang.
Dengan
jantung berdebar-debar akan tetapi muka tetap tenang dan hormat, Tek Ciang
memasuki ruangan itu dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suhu dan
subo-nya.
“Bangkitlah
dan duduklah di atas kursi itu, Tek Ciang,” kata Kian Lee sambil menunjuk
sebuah kursi di seberang meja.
“Teecu tidak
berani....”
“Diperintah
guru berani membantah tapi masih mengatakan tidak berani?!” Kim Hwee Li
membentak.
Pemuda itu
terkejut, lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu, berhadapan dengan
guru-gurunya terhalang meja. Kikuk sekali rasanya duduk semeja dengan gurunya,
apalagi dengan ibu gurunya yang galak, yang kini menatap wajahnya dengan penuh
perhatian dan seperti orang menyelidik.
Kalau saja
Hwee Li tahu betapa jantung pemuda itu berdegup keras, tentu ia sendiri akan
merasa heran mengapa pemuda ini menjadi begitu gelisah dipanggil menghadap
gurunya. Akan tetapi, Tek Ciang memang memiliki keahlian menyembunyikan
perasaan hatinya. Wajahnya yang tampan itu nampak tenang saja, penuh rasa
hormat.
“Tek Ciang,
kami ada urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu,” Kian Lee mulai
bicara.
“Teecu siap
mendengarkan dan mentaati, suhu,” jawab Tek Ciang dengan sikapnya yang selalu
teramat baik itu.
Hwee Li
mengerutkan alisnya. Kalau ia yang mempunyai murid seperti ini, tentu sudah
dijewernya dan dilarangnya bersikap demikian terlalu amat baik yang berbau
kepalsuan itu.
“Beginilah,
Tek Ciang. Sebelum ayahmu meninggal dunia, antara dia dan aku telah ada suatu
perjanjian mengenai dirimu. Apakah ayahmu pernah bercerita mengenai hal itu
kepadamu?”
Tek Ciang
tahu betapa kedua orang itu, terutama sekali subo-nya, memandang kepada
wajahnya dengan sinar mata penuh selidik, maka dia menarik muka bodoh seperti
orang yang benar-benar tidak tahu-menahu apa-apa dan dia menggelengkan kepala.
“Teecu tidak pernah diceritakan apa-apa oleh mendiang ayah, suhu.”
“Bagus!
Sudah kuduga bahwa ayahmu tentu akan memegang dan memenuhi janjinya kepadaku.
Karena ayahmu meninggal tanpa kita duga-duga sama sekali, sekarang aku terpaksa
yang memberi tahu kepadamu tentang janji kami itu. Ayahmu dan aku telah
mengikatkan perjodohan antara anakku Suma Hui dan engkau, Tek Ciang.” Berkata
demikian, Suma Kian Lee menatap wajah yang tampan itu dan di sampingnya, Kim
Hwee Li juga memandang dengan penuh perhatian.
Demikian
pandainya Tek Ciang bersandiwara sehingga dia mampu membuat wajahnya nampak
kaget sekali, agak pucat, kemudian berubah merah dan dia lalu menundukkan
mukanya, tidak berani memandang kepada suhu-nya atau subo-nya! Sungguh seperti
seorang perjaka tulen yang masih hijau mendengar dirinya akan dikawinkan!
Melihat ini,
Suma Kian Lee bertanya. “Bagaimana tanggapanmu tentang janji ikatan kami itu,
Tek Ciang?”
“Apa.... apa
yang dapat teecu katakan, suhu? Apa lagi selain rasa terima kasih dan keharuan
yang sedalamnya bahwa suhu dan subo sudah begitu baik terhadap diri teecu?
Teecu tidak mungkin dapat membalas kebaikan ini dan biarlah kelak pada lain
penjelmaan teecu akan menjadi anjing atau kuda peliharaan suhu berdua....”
Kalau tak
ada suaminya di situ, tentu Kim Hwee Li akan tertawa geli mendengar ucapan
pemuda ini yang mengingatkan ia akan adegan sandiwara wayang saja! Betapa pun
juga, diam-diam ia mengagumi pemuda ini yang amat pandai membawa diri dan
pandai pula mengatur kata-kata menyenangkan hati orang.
“Jadi engkau
setuju menjadi calon jodoh Suma Hui?” tanya pula Kian Lee menegaskan.
Tiba-tiba
Tek Ciang menjatuhkan diri berlutut kepada mereka dan menangis! Kim Hwee Li
tadinya sudah hendak menggunakan kepandaian untuk melempar kembali pemuda yang
berlutut itu ke atas kursinya, akan tetapi melihat pemuda itu benar-benar
menangis dan bercucuran air mata, ia pun tercengang.
“Ehh, kenapa
engkau menangis?” bentaknya heran sedangkan Suma Kian Lee juga memandang dengan
heran.
“Teecu....
teecu adalah seorang anak yatim piatu yang tak berguna.... akan tetapi di dunia
ini muncul ji-wi suhu dan subo yang begini baik terhadap diri teecu.... ahh,
teecu tidak dapat menahan keharuan hati teecu....”
Agak terharu
juga hati Hwee Li. Apakah selama ini ia terlalu memandang ringan kepada anak
ini? Apakah benar-benar anak ini memang merupakan seorang pemuda yang pandai
membawa diri, sopan santun, mengenal budi orang, berhati lembut dan berbudi
luhur?
“Tek Ciang,
engkau duduklah kembali dan dengarkan kata-kataku lebih lanjut. Belum habis aku
bicara dan ada hal-hal yang lebih penting lagi untuk kau dengar selanjutnya.”
Suara Kian
Lee terdengar penuh kegelisahan. Pemuda itu menyusut air matanya dan duduk
kembali, sambil menundukkan muka. Pipinya masih basah dan matanya agak merah.
“Jadi engkau
setuju menjadi calon suami anak kami?” tanya Kian Lee.
“Teecu
berterima kasih sekali dan merasa terhormat sekali, tentu saja teecu setuju
dengan sepenuh hati teecu.”
“Baik,
sekarang dengarkan hal yang amat penting. Kami bukanlah orang-orang curang
seperti pedagang yang menjual kucing dalam karung. Kami akan bicara sejujurnya
dan kemudian terserah kepadamu untuk mengambil keputusan. Kami hanya
menghendaki kepastian bahwa kalau engkau menjadi mantu kami, engkau bukannya
karena terpaksa melainkan karena suka rela. Mengertikah engkau, Tek Ciang?”
“Teecu
mengerti dan siap mendengarkan.”
“Tek Ciang,
menurut penuturan Ciang Bun, engkau tahu bahwa sumoi-mu, atau juga tunanganmu
itu, pernah menyerang dan hendak membunuh Cin Liong. Benarkah itu?”
“Benar,
suhu. Teecu mencoba melerai namun tidak berhasil.”
“Tahukah
engkau mengapa tunanganmu itu menjadi marah, membenci dan hendak membunuh Cin
Liong pada pagi hari itu?” tanya pula Kian Lee, suaranya lirih.
“Teecu tidak
tahu dan sudah lama teecu bertanya-tanya di hati. Sumoi juga tidak mau memberi
tahu kepada teecu.”
Suara Suma
Kian Lee semakin lirih dan agak gemetar ketika dia bicara lagi, “Malam itu ada
seorang jai-hwa-cat memasuki kamar sumoi-mu dan jai-hwa-cat itu ternyata adalah
Kao Cin Liong dan....”
“Ahhh....!”
Pemuda itu terbelalak, mukanya pucat.
“....dan....
dan sumoi-mu terkena asap pembius dan.... sumoi-mu diperkosa olehnya....”
“Tidak....!
Jahanam itu....! Keparat keji itu....! Teecu bersumpah akan membunuhnya kalau
teecu ada kemampuan!” Kini Tek Ciang bangkit berdiri, mukanya merah sekali penuh
geram, matanya mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangannya dikepal kuat-kuat.
Kim Hwee Li melihat ini semua dan Suma Kian Lee juga.
“Tenang dan
duduklah, Tek Ciang. Bukan itu yang penting bagi kami,” kata pendekar sakti
itu.
“Maaf,
suhu....” Tek Ciang lemas kembali dan duduk, mukanya masih keruh dan bengis
membayangkan kebencian yang mendalam.
“Tek Ciang,
setelah engkau mengetahui bahwa sumoi-mu, tunanganmu itu kini telah ternoda,
apakah.... apakah engkau masih mau untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini?
Apakah engkau masih mau menerima Suma Hui menjadi calon isterimu?” Di dalam
suara pendekar itu terkandung kegelisahan yang membuat hati isterinya terharu.
Hwee Li tahu
bahwa kalau pemuda ini menolak, suaminya tidak akan dapat berbuat sesuatu dan
tentu suaminya akan mengalami kehancuran hati yang hebat. Maka, biar pun
tadinya ia ingin pemuda ini menolak saja agar ia dapat mengusahakan perjodohan
antara putrinya dan Cin Liong, kini hatinya bercabang. Kalau pemuda ini
menolak, perasaan suaminya akan hancur dan ia sendiri akan ikut merasa berduka.
Sebaliknya
kalau pemuda ini menerima, ia akan ikut membujuk Suma Hui agar mau menjadi
calon isteri Tek Ciang. Tidak ada jalan lain yang lebih baik...
Hening
sejenak, kemudian terdengar suara Tek Ciang, lantang dan tegas, “Kenapa teecu
tidak mau, suhu? Kejadian terkutuk itu bukanlah kesalahan sumoi, melainkan
kesalahan manusia terkutuk itu. Tentu saja teecu mau melanjutkan ikatan
perjodohan ini dan mau menerima sumoi sebagai calon isteri teecu.”
Wajah Suma Kian
Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee Li juga
merasa terharu. Pemuda ini memang benar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang
berhati lapang, berpandangan luas dan bijaksana. Ya, bijaksana! Jarang ada
pemuda seperti ini.
“Terima
kasih, Tek Ciang! Engkaulah yang telah dapat menerangkan persoalan yang
mengeruhkan hati kami sekeluarga. Engkaulah yang telah menjadi penolong kami
dan menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang,
karena dengan demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau
yang akan mewarisi ilmu keluarga kami!” Ucapan Suma Kian Lee keluar dari hati
yang setulusnya dan Tek Ciang kelihatan gembira sekali, lalu pemuda ini kembali
menjatuhkan dirinya berlutut.
“Terima kasih,
suhu, terima kasih!”
Hwee Li kini
tidak lagi ingin melempar pemuda itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan
menyentuh pundak pemuda itu. “Anak bodoh, apakah engkau masih juga menyebut
suhu kepada ayah mertuamu?”
“Tek Ciang,
bangkit dan duduklah kembali,” kata Suma Kan Lee.
Tek Ciang
bangkit dan duduk. Mukanya merah oleh karena malu mendengar ucapan subo-nya
tadi, malu akan tetapi girang. Subo-nya yang biasanya bersikap galak itu pun
kini bersikap manis kepadanya!
“Suhu dan
subo, teecu belum berani lancang merubah sebutan sebelum teecu yakin betul
bahwa sumoi akan.... akan mau.... menjadi....” Tek Ciang tidak melanjutkan dan
menundukkan mukanya kembali.
Hwee Li
saling pandang dengan suaminya. Ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan
menyadarkan mereka! Sungguh-sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang
bersangkutan bahkan belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma
Hui belum diberi tahu dan belum ditanya pendapatnya?
Membayangkan
kemungkinan puterinya menolak, Suma Kian Lee sudah marah. Anak perempuan itu
sungguh mendatangkan banyak pusing saja. Petama jatuh cinta kepada keponakan
sendiri, ke dua tentunya peristiwa perkosaan itu, dan kalau sekarang sampai
menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang, dia
sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
“Panggil dia
ke sini sekarang juga!” katanya memerintah kepada Tek Ciang.
“Baik,
suhu.”
Pemuda itu
lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan sumoi-nya itu sedang
duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.
“Sumoi, suhu
memanggilmu agar menghadap sekarang juga,” katanya dengan sikap halus seperti
biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perubahan sehingga Suma Hui tidak
mencurigai sesuatu.
“Ada urusan
apakah ayah memanggilku, suheng?”
“Suhu tidak
memberi tahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan subo
menanti di ruangan dalam,” jawab Tek Ciang dengan suara biasa.
Suma Hui
saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya dan menarik napas
panjang, lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari
Ciang Bun bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam bertiga saja dengan
Tek Ciang, agaknya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga
ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk keluar dan tidak memperkenankan siapa pun
juga masuk tanpa ijin. Selain itu, Ciang Bun juga menceritakan kepadanya
tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan dia dapat melihat bahwa
suheng-nya itu memang baik sekali. Dan kini suheng-nya disuruh memanggilnya
menghadap orang tuanya!
Agak
berdebar juga hati Suma Hui melihat wajah ayah bundanya yang serius, bahkan
ibunya kini juga nampak serius dan pendiam sekali, tidak seperti biasa terhadap
dirinya. Ia dapat menduga bahwa yang akan dibicarakan tentulah hal yang teramat
penting.
“Duduklah di
situ, Hui-ji,” kata Suma Kian Lee menunjuk ke kursi di samping kiri Tek Ciang.
Suma Hui duduk tanpa mengeluarkan kata-kata.
“Hui-ji,
ketahuilah engkau bahwa lama sebelum Tek Ciang kuterima menjadi muridku, di
antara ayahnya, yaitu mendiang Louw-kauwsu dan aku telah ada perjanjian untuk
mengikat keluarga kami berdua dengan perjodohan antara engkau dan Tek
Ciang....”
“Ayah....!”
“Dengar
dulu!” Ayahnya memotong.
Suma Hui
menunduk sebentar, lalu mengangkat muka lagi. Dengan muka pucat akan tetapi
sepasang mata menentang, ia memandang ayahnya.
“Hal itu
hanya kami berdua yang mengetahui, bahkan Tek Ciang pun baru tadi kuberi tahu
tentang perjodohan itu. Memang belum kami resmikan karena tadinya aku hendak
menanyakan lebih dulu pendapatmu.”
Legalah hati
Suma Hui. Kiranya ayahnya tidaklah begitu lancang mengikatkan dirinya menjadi
calon isteri orang tanpa bertanya kepadanya.
“Perlu apa
dibicarakan lagi, ayah? Hal itu telah berlalu dan kini tak mungkin
dilanjutkan!” katanya singkat, dengan maksud agar ayahnya mengerti bahwa
setelah dirinya ternoda, mana mungkin ia dijodohkan dengan orang? Hal itu
berarti akan mencemarkan nama sendiri karena akhirnya akan ketahuan bahwa ia
bukanlah perawan lagi dan tentu akan menimbulkan keributan yang mengakibatkan
nama dan kehormatan keluarga Suma tercemar. Sama dengan membongkar dan
memperlihatkan aib sendiri.
“Hui-ji,
dengarkan baik-baik. Tek Ciang bukanlah orang lain. Selain dia calon suamimu,
juga dia adalah muridku yang akan mewarisi semua ilmu keluarga kita. Oleh
karena itu, aku pun telah terang-terangan menceritakan kepadanya tentang mala
petaka....”
“Ayah....!”
Kembali Suma Hui menjerit dan sekali ini mukanya menjadi pucat sekali.
Akan tetapi
Suma Kian Lee mengangkat tangan kanan ke atas menyuruhnya tenang. “Tenang dan
lapangkan dadamu, anakku. Tek Ciang bukanlah seorang manusia busuk. Dia adalah
seorang gagah yang dapat menghadapi kenyataan yang betapa pahit pun juga. Dia
tak menyalahkanmu, Hui-ji, manusia keparat itulah yang terkutuk. Tek Ciang
memaklumi keadaanmu, dan ia dengan suka rela hati suka menerimamu menjadi calon
isterinya dan melupakan hal yang telah terjadi.”
“Tidak
mungkin....!” kata Suma Hui.
“Hui-ji,
ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana
dia mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya engkau berterima kasih. Bukankah
itu merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga
kita? Bukankah engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu? Nah,
hanya inilah jalannya, bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang,
seorang isteri yang terhormat.”
Suma Hui
menjadi bengong, tidak tahu harus berkata bagaimana. Tentu saja ia dapat
melihat kebenaran kata-kata ibunya. Noda dan aib pada dirinya akan terhapus
kalau ia menjadi isteri terhormat dari seorang pemuda, dan pemuda seperti Louw
Tek Ciang bukan pilihan yang buruk. Apalagi bagi seorang yang telah kehilangan
kehormatannya seperti dirinya itu!
Tapi....
tapi.... ia mencinta Cin Liong! Bahkan setelah apa yang terjadi, biar pun ia
sudah membenci Cin Liong, rasanya tidak mungkin ada pria lain yang menggantikan
Cin Liong di dalam hatinya menjadi teman hidup di sisinya.
“Ohh,
ibuuuu....!” Ia menubruk pangkuan ibunya dan menangis.
Ibunya
merangkulnya, ikut menangis dan membiarkan saja puterinya menangis terisak-isak
sampai akhirnya Suma Hui dapat menguasai dirinya. Ia menyusut air matanya, lalu
bangkit dan duduk kembali.
“Ayah,
ibu.... sebenarnya ada satu saja tersisa cita-cita di dalam sisa hidupku, yaitu
membunuh Kao Cin Liong.”
“Aku akan
membantumu, sumoi!” tiba-tiba Tek Ciang berkata penuh semangat.
Suma Hui
menoleh dan memandang kepada suheng-nya atau tunangannya yang duduk di sebelah
kanannya itu, lalu mendengus. “Engkau jangan ikut campur urusanku ini!”
Ucapannya keluar dengan jengkel mengingat bahwa kepandaian suheng-nya sangat
rendah. Ia sendiri saja bukan tandingan Cin Liong, apalagi suheng-nya yang
belum ada seperempatnya.
“Hui-ji,
jangan bersikap keterlaluan terhadap kemauan baik Tek Ciang,” kata Suma Kian
Lee menegur puterinya.
“Ayah, dia
ini mau bisa apa terhadap Kao Cin Liong? Ayah, dengarkan baik-baik. Ayah dan
ibu, pendeknya, aku baru mau menikah dengan Louw-suheng kalau dia sudah bisa
mengalahkan aku dalam ilmu silat!”
“Hui-ji....!”
ibunya menegur.
“Habis,
apakah lebih baik kalau kukatakan saja bahwa aku hanya mau menikah dengan orang
yang dapat mengalahkan aku?” balas puterinya menantang.
“Baiklah!”
kata Suma Kian Lee. “Akan tetapi ingat, seorang gagah tidak akan menjilat
kembali ludahnya sendiri. Engkau sudah berjanji!”
“Saya tidak
akan mengingkari janji!” bantah Suma Hui. “Sewaktu-waktu suheng boleh mencoba
kepandaiannya kepadaku!”
“Lihat saja
nanti. Tek Ciang bukan saja akan dapat mengalahkanmu, bahkan dialah yang kelak
akan dapat membalas dendammu terhadap jahanam Kao Cin Liong!”
Akan tetapi
Suma Hui sudah lari meninggalkan ruangan itu dan memasuki kamarnya di mana ia
menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya pada bantal.
Hati Suma
Kian Lee marah melihat sikap puterinya itu, akan tetapi dia hanya berkata
kepada Tek Ciang, “Mulai hari ini, engkau harus mempersiapkan diri untuk
mempelajari ilmu-ilmu silat dengan tekun supaya dalam waktu singkat engkau akan
sudah dapat melampaui Hui-ji!”
Pada saat
Suma Kian Lee mengeluarkan kata-kata itu, muncul Suma Ciang Bun yang tadi
melihat enci-nya berlari keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka seperti
orang menangis. Karena khawatir melihat keadaan enci-nya, pemuda ini nekat lalu
memasuki ruangan dan dia masih sempat mendengar ucapan ayahnya kepada
suheng-nya itu. Hatinya merasa tidak senang mendengar ayahnya hendak
mengajarkan ilmu kepada suheng-nya agar dapat melampaui enci-nya dalam waktu
singkat. Apa artinya itu?
“Ayah,
apakah yang telah terjadi? Kenapa enci Hui keluar dari sini sambil menangis?”
“Ciang Bun,
mulai hari ini, enci-mu telah menjadi tunangan suheng-mu,” Suma Kian Lee
berkata tanpa menjawab pertanyaan tadi secara langsung.
“Ahhh....?”
Suma Ciang Bun tertegun dan bengong karena tidak disangkanya bahwa
suheng-nyalah yang akan menjadi suami enci-nya, padahal enci-nya sudah
mengalami aib.
Melihat
puteranya hanya bengong saja sambil memandang Tek Ciang, Suma Kian Lee menegur.
“Bun-ji, di mana sopan santunmu? Sepatutnya engkau menghaturkan selamat kepada
calon ci-humu (kakak iparmu)!”
Ditegur
demikian, Ciang Bun terkejut dan dia pun cepat memberi hormat kepada Tek Ciang
sambil berkata, “Suheng, kionghi (selamat)!”
“Terima
kasih, sute,” jawab Tek Ciang dengan sikap malu-malu.
Malam itu
Suma Hui tak keluar dari kamarnya dan ketika ibunya datang menjenguknya, ia pun
tidak mau menemui ibunya, mengunci pintu dari dalam. Ibunya mengerti bahwa hati
puterinya itu sedang dalam gundah, dan ia sendiri pun tahu harus bagaimana
untuk menghibur hati puterinya. Maka dia pun membiarkannya saja dengan harapan
bahwa pada keesokan harinya, setelah kedukaan hati puterinya mereda, dia akan
bicara dan menghiburnya.
Akan tetapi,
betapa kaget rasa hati Kim Hwee Li dan juga Suma Kian Lee ketika melihat bahwa
kamar Suma Hui sudah kosong dan dara itu telah pergi membawa buntalan pakaian,
meninggalkan sesampul surat di atas meja. Hanya sedikit sekali tulisan yang
ditinggalkan oleh dara itu di dalam suratnya, yaitu bahwa ia pergi untuk
mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Itu saja!
Suma Kian
Lee menjadi marah. “Anak yang tak tahu diri! Sudah ada bintang penolong berupa
Tek Ciang dan ia masih bertingkah. Ia mencari Cin Liong mau apa? Apa yang akan
dapat dilakukannya?”
“Biar aku
menyusul dan membujuknya pulang,” kata isterinya.
“Hemm, kau
kira mudah mencari anak keras hati itu kalau ia sudah mengambil suatu keputusan
untuk melarikan diri? Ke jurusan mana engkau hendak mengejar dan mencarinya?
Biarkanlah, ia tentu akan gagal dan akan pulang juga,” bantah suaminya dan Hwee
Li tak dapat membantah.
Memang dia
pun tahu akan kekerasan hati puterinya itu dan seandainya dia dapat mencarinya,
hal yang tentu saja sangat sukar karena puterinya sudah pergi sejak semalam,
belum tentu puterinya mau dibujuknya untuk pulang.
Kekecewaan
demi kekecewaan menimpa suami isteri pendekar itu. Tiga hari kemudian, Ciang
Bun juga pergi meninggalkan rumah tanpa pamit dan seperti juga enci-nya, pemuda
remaja ini meninggalkan sepotong surat singkat yang menyatakan bahwa dia pergi
untuk mencari enci-nya!
Sungguh pun
benar Ciang Bun pergi untuk mencari enci-nya, tapi yang mendorongnya pergi
bukanlah semata untuk mencari Suma Hui, melainkan karena pemuda ini merasa
menyesal dan kecewa bahwa ayahnya telah mencurahkan perhatian sepenuhnya hanya
kepada Tek Ciang saja, dan agaknya ayahnya sudah mengambil keputusan bulat
untuk mengangkat Tek Ciang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga mereka. Hal
ini sangat menyakitkan hati Ciang Bun, apalagi ditambah dengan kegelisahan
hatinya melihat enci-nya pergi mencari Cin Liong, maka akhirnya pemuda ini pun
pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diperkenankan.
Hati Kim
Hwee Li yang merasa kecewa dan berduka ditinggalkan kedua orang anaknya itu
dihiburnya sendiri dengan pendapat bahwa memang sudah sepatutnya kalau mereka
itu, sebagai pendekar-pendekar muda, meluaskan pengalamannya dengan perantauan.
Bukankah ia sendiri di waktu mudanya juga suka merantau dan hidup di alam bebas
tanpa pengekangan segala peraturan rumah tangga dan keluarga?
Sedangkan
Suma Kian Lee yang merasa kecewa dan marah itu menghibur hatinya dengan
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Tek Ciang, calon mantu dan
juga pewaris ilmu-ilmunya. Dia menggembleng Tek Ciang mati-matian sehingga
pemuda yang memang amat cerdik dan berbakat itu memperoleh kemajuan yang amat
cepat.....
***************
Malam itu
gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan
lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi
angin malam menghembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas
untuk keluar dari dalam rumahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi
udara menghalang sinar bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman.
Sunyi dan dingin.
Akan tetapi
Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus
pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa
Siauw-ok untuk datang ke kuil itu setiap minggu sekali.
Selama
beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi
Tek Ciang tetap datang tiap pekan sekali dan biar pun malam hari ini amat
sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya. Pemuda ini maklum bahwa
menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia harus memegang janji.
Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidupnya,
bahkan juga yang memegang kunci rahasia pribadinya.
Dia tahu
bahwa berhubungan dengan datuk itu amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu
atau pun sebagai guru. Sebaliknya, mempunyai seorang lawan seperti Jai-hwa
Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya, amatlah berbahaya.
Setelah tiba
di dalam kuil, Tek Ciang memasuki ruangan satu-satunya yang masih terlindung di
kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinyalakannya dua batang lilin seperti
sudah mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tanda rahasia mereka
agar masing-masing dapat mengenal teman.
Setelah dua
batang lilin itu bernyala dan diletakkannya di atas lantai, dia pun lalu duduk
bersila menanti. Dia akan menanti sampai dua jam di tempat itu, seperti biasa.
Kalau selama itu Jai-hwa Siauw-ok tidak muncul, ia akan memadamkan lilin dan
meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa
diketahui oleh suhu atau subo-nya. Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi
berjalan-jalan.
Sekarang,
menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih semedhi seperti
yang diajarkan oleh suhu-nya kepadanya. Selama kurang lebih enam bulan ini, dia
telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya, bukan saja dalam gerakan
ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam latihan menghimpun tenaga sinkang.
Bahkan kini dia mulai dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti
Api) yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es!
Maka dalam
menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok, dia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu.
Apalagi kuil itu menjadi tempat yang amat baik untuk bersemedhi menghimpun
tenaga dalam. Selain tempatnya sunyi, juga malam itu amat dingin, cocok untuk
berlatih.
Tiba-tiba
perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca
inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itu pun dapat
didengarnya dan dia pun siap waspada karena tidak tahu siapa yang muncul.
Tiba-tiba ada desir angin lembut. Dia terkejut dan sudah mengerahkan tenaga
untuk menjaga diri dan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan
tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya, melainkan menyambar ke
arah dua api lilin sehingga padam!
Melihat
kenyataan ini, Tek Ciang terkejut sekali. Itulah serangan jarak jauh yang amat
ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, dia pun tahu bahwa
yang datang itu tidak berniat jahat kepadanya.
“Siapa....?”
bentaknya sambil meloncat berdiri.
“Sssttt....
Tek Ciang, aku sengaja memadamkan lilin-lilin itu!”
“Locianpwe....!”
teriak Tek Ciang dengan girang saat mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.
“Ssttt,
jangan berisik. Cepat ke sini....,” suara itu berbisik.
Tek Ciang
merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam
keadaan bingung atau ketakutan. Dia pun cepat ke luar melalui pintu belakang
dan dalam cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu
angin dan ada sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi,
dia melihat sesosok bayangan yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.
Tek Ciang cepat memberi hormat.
“Locianpwe,
ada apakah....?” tanyanya heran.
“Aku berada
dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong....”
“Apa....?
Di.... di mana dia....?” Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.
“Sementara
aku dapat terlepas dari bayangannya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga.”
“Kenapa
tidak dilawan saja, locianpwe?” tanya Tek Ciang penasaran.
“Ahhh, kau
tidak tahu. Dia lihai sekali dan biar pun belum tentu aku kalah, aku sedang
lelah dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan
diri dari kejarannya, Tek Ciang.”
Otak pemuda
itu bekerja dengan cepatnya. “Jangan khawatir, locianpwe. Locianpwe bersembunyi
saja di dalam hutan dan aku akan memancingnya agar dia mengejarku. Kebetulan
kita menggunakan mantel yang hampir bersamaan. Karena hari hujan saya pun
memakai mantel hitam ini. Nah, cepatlah locianpwe bersembunyi. Dari jurusan
manakah dia datang mengejar?”
“Dari
sana.... nah, aku pergi. Kau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini!”
Bayangan Jai-hwa Siauw-ok itu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan.
Tek Ciang
tidak membuang waktu lagi, terus dia menuju keluar kuil dan mengintai dari
balik sebatang pohon besar ke arah dari mana mungkin munculnya Cin Liong. Ada
satu jam dia menanti dan akhirnya di bawah penerangan bintang-bintang yang
makin banyak bertebaran di angkasa, dia melihat bayangan berkelebatan datang.
Dia tidak
dapat melihat jelas wajah bayangan itu, akan tetapi bentuk tubuh itu masih
dikenalnya. Tidak salah lagi agaknya, orang itu tentulah Kao Cin Liong. Di
depan kuil tua itu, dia melihat bayangan itu berhenti dan seperti ragu-ragu,
menoleh ke kanan kiri. Tek Ciang tahu bahwa itulah saat baginya untuk memancing
pengejar Jai-hwa Siauw-ok itu meninggalkan tempat itu, maka dia pun cepat
meloncat ke depan dan lari secepatnya.
“Engkau
hendak lari ke mana?” Kini tak salah lagi karena Tek Ciang mengenal suara Cin
Liong.
Dia
melarikan diri dengan cepat. Karena dia sering datang ke hutan ini, dia
mengenal jalan dan dia berloncatan sambil menyelinap di antara pohon-pohon dan
semak-semak. Bayangan itu terus mengejarnya. Akan tetapi Tek Ciang dapat
memancingnya sampai jauh meninggalkan kuil itu, ke arah yang berlawanan dari
tempat Jai-hwa Siauw-ok tadi bersembunyi.
Sambil
berlari, diam-diam timbul suatu niat di dalam hati Tek Ciang. Dia sudah
berlatih setengah tahun dan menurut suhu-nya, dia memperoleh kemajuan pesat
yang hanya dapat dicapai orang lain setelah berlatih sedikitnya tiga tahun!
Bagaimana kalau dia mencoba kepandaiannya terhadap Cin Liong? Dalam keadaan
seperti ini, mudah saja baginya untuk menggunakan alasan karena dia dikejar-kejar
dan tidak mengenal siapa pengejarnya.
Maka dia
kemudian menyelinap di balik semak-semak belukar dan menanti. Tak lama kemudian
munculah bayangan Cin Liong yang mengejarnya. Tek Ciang membentak keras dan
meloncat ke depan, menyerang Cin Liong. Langsung saja dia menggunakan Ilmu
Hwi-yang Sin-ciang. Pukulannya menyambar ganas dan mendatangkan hawa yang amat
panas!
Cin Liong
yang mengira bahwa lawannya adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikejarnya dan
dibayanginya, karena sudah maklum akan kelihaian datuk ini, cepat mengelak dan
balas menyerang. Akan tetapi lawannya ini dapat menangkis dan dia merasakan
hawa panas menjalar melalui lengannya ketika tertangkis itu, juga ketika lawan
itu membalas, dia merasa betapa dalam pukulan itu terkandung hawa amat panas.
Ilmu seperti ini hanyalah dimiliki keluarga Pulau Es. Dia meragu, lalu
menangkis lagi untuk mencoba.
“Dukk!”
Lawannya terpental dan terhuyung, akan tetapi dia merasa lengannya panas.
“Hwi-yang
Sin-ciang....!” serunya kaget.
Namun
lawannya sudah menyerang lagi bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan dahsyat dari
Hwi-yang Sin-ciang! Cin Liong yang menjadi terheran-heran itu cepat mengelak
beberapa kali, lalu meloncat ke belakang.
“Tahan....!”
katanya.
Tek Ciang
juga berhenti bergerak dan mendekat. Kini, di bawah cahaya redup
bintang-bintang di angkasa, mereka saling mengenal.
“Louw-susiok....!”
“Kao-taihiap....!”
Tek Ciang berseru dan mendahului. “Kukira tadinya penjahat cabul itu....!”
“Ehh? Justru
aku mengira bahwa susiok adalah Jai-hwa Siauw-ok yang kukejar dan kubayangi
selama beberapa hari ini! Mantelnya mirip dan munculnya di tempat yang sama,
jadi aku telah keliru sangka. Aih, Louw-susiok, bagaimana engkau dapat muncul
di sini....?”
“Aku sore
tadi berburu kelinci ke hutan ini seperti yang sering kulakukan dan aku
kehujanan, meneduh di dalam kuil tua itu. Karena keenakan di situ dan hawanya
dingin sehabis hujan, aku tertidur dan baru setelah gelap aku terbangun. Ketika
hendak pulang, baru keluar dari kuil aku bertemu dengan seorang pria yang
kukenal adalah penjahat cabul yang dulu pernah kulihat berkelahi denganmu
itu....”
“Nah, dia
itu Jai-hwa Siauw-ok!” kata Cin Liong. “Lalu bagaimana? Ke manakah dia?”
“Aku
melupakan kelemahan sendiri. Mengenali dia sebagai orang yang pernah berkelahi
denganmu, aku menduga bahwa tentu dia itu penjahat cabul, maka aku pun lantas
menyerangnya. Akan tetapi, dia lihai sekali. Dalam beberapa jurus saja aku
sudah terdesak, bahkan nyaris celaka kalau aku tidak cepat-cepat meloncat ke
dalam gelap dan bersembunyi di balik pohon. Aku mendengar dia menggerutu, ‘Huh,
tidak ada tempat aman, lebih baik sembunyi di kota raja’ dan dia pun lenyap. Ehhh,
tak lama kemudian dia muncul lagi maka aku melarikan diri. Kiranya yang muncul
adalah engkau yang kukira penjahat itu. Setelah aku lari terus dan akhinya
tidak kuat lagi, aku nekat dan menyerangmu yang kukira dia!”
“Dan
kusangka engkau adalah Jai-hwa Siauw-ok! Hemm, dia memang cerdik. Kiranya dia
hendak bersembunyi di kota raja? Kalau tidak kebetulan engkau mendengarnya,
siapa akan mengira dia bersembunyi di kota raja? Bagus, aku akan menangkapnya
di sana!”
“Kao-taihiap,
bagaimana pula engkau dapat mengejarnya sampai ke sini?” Tek Ciang bertanya,
suaranya mengandung kekaguman.
“Ahhh, sudah
lama kucari-cari dia. Ingin aku bertanya dia tentang peristiwa malam itu di
Thian-cin. Akan tetapi dia tidak pernah mau bicara, bahkan melawanku atau lari.
Aku membayangi terus sampai ke sini. Susiok, bagaimana keadaan.... ehhh,
keadaan.... bibi Hui dan keluarganya?”
“Apakah
engkau tidak mendengarnya, Kao-taihiap?”
Cin Liong
menarik napas panjang, menggeleng kepala. “Aku tidak berani mendekati keluarga
Suma, bahkan aku belum pernah kembali ke kota raja. Aku berkeliaran saja
mencari Jai-hwa Siauw-ok dan hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia
beberapa hari yang lalu. Selain itu, juga banyak urusan mengenai pemberontakan
yang harus kutangani.”
“Ahh, banyak
hal terjadi di dalam keluarga Suma, taihiap, dan aku sendiri sungguh menjadi
tidak enak dan berada dalam kedudukan yang serba salah.”
“Apakah yang
telah terjadi, susiok?” Cin Liong mendesak. “Apakah paman kakek Suma Kian Lee
belum pulang?”
“Sudah, suhu
dan subo sudah pulang bersama sute Suma Ciang Bun.”
“Hemm,
syukurlah kalau paman Ciang Bun sudah dapat pulang dengan selamat. Lalu
peristiwa apa yang membuatmu tidak enak?”
“Aku melihat
suami isteri yang gagah perkasa datang bertamu. Aku sendiri tidak berani ikut
menyambut. Akan tetapi mendengar bahwa mereka adalah ayah ibumu, taihiap, yaitu
Kao Kok Cu-locianpwe dan isterinya.”
“Benarkah?”
Jantung Cin Liong berdebar tegang. “Lalu bagaimana?”
“Mereka
hanya sebentar saja bertamu, lalu keluar lagi dan baru kemudian aku dengar
bahwa mereka datang untuk meminang sumoi untukmu.”
“Lalu....?”
“Agaknya
pinangan itu oleh suhu ditolak, taihiap. Maklumlah, mungkin karena masih ada
hubungan keluarga.”
Tentu saja
Cin Liong merasa terpukul, walau pun dia sudah dapat menduga akan hal itu. Lagi
pula, setelah sekarang Suma Hui membencinya dan bahkan berkeras hendak
membunuhnya, apa lagi artinya andai kata pinangan diterima juga?
“Kemudian
bagaimana?”
“Kemudian....
kemudian pada suatu hari suhu memanggilku. Suhu dan subo memberi tahu bahwa
sebetulnya antara suhu dan mendiang ayah telah ada perjanjian untuk....
menjodohkan sumoi dan aku....”
“Hemm,
begitukah? Lalu....?”
“Lalu suhu
dan subo minta agar perjodohan itu dilanjutkan....”
“Dan
engkau....?”
“Itulah,
taihiap, yang membuat aku merasa tidak enak dan serba salah. Aku adalah seorang
yatim piatu yang tidak berharga dan tidak berguna. Kemudian keluarga suhu dan
subo sudah melimpahkan kebaikan kepadaku dan sudi mengambil aku sebagai murid.
Bagaimana mungkin aku dapat menolak kalau mereka mengajukan permintaan agar
perjodohan itu dilanjutkan?”
“Hemmm....”
“Di lain
pihak, hatiku juga merasa berat sekali karena aku tahu betul bahwa antara
taihiap dan sumoi....”
“Ya....?”
“Terdapat
pertalian cinta kasih yang mendalam! Mana mungkin aku merusak hubungan baik
kalian itu?”
Tentu saja
diam-diam Cin Liong merasa berterima kasih sekali kepada pemuda ini yang
dianggapnya benar-benar seorang yang bijaksana dan baik. “Ahh, terima kasih,
susiok. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu itu, walau pun sekarang baru dalam
taraf pernyataan. Akan tetapi, sekarang, lalu bagaimana baiknya?”
“Kita harus
bersabar, taihiap. Aku juga sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat keluar
dari kesulitan ini dengan baik. Sementara itu, kurasa sebaiknya kalau taihiap
tidak memperlihatkan diri lebih dulu kepada keluarga Suma.”
Cin Liong
mengangguk-angguk dan menganggap bahwa pendapat itu memang tepat. Muncul dalam
keadaan sekarang ini sungguh tidak menguntungkan. Bukan hanya Suma Hui yang
tiba-tiba membencinya, akan tetapi juga keluarga Suma agaknya telah menolak
pinangan ayah ibunya.
“Baiklah,
aku akan melanjutkan pengejaranku terhadap Jai-hwa Siauw-ok. Aku yakin bahwa
dia ada sangkut-pautnya dengan sikap Suma Hui terhadap diriku. Sampai jumpa,
Louw-susiok!”
“Selamat
jalan, taihiap!”
Cin Liong
berkelebat lenyap dari depan pemuda itu. Sampai lama Tek Ciang termenung dan
berusaha menenteramkan perasaannya yang tadinya terguncang. Jelaslah bahwa
tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi Cin Liong!
“Bagus....
bagus sekali! Engkau telah memperoleh kemajuan hebat dalam kecerdikan.
Ha-ha-ha, engkau sungguh membuat aku kagum dan bangga, Tek Ciang!”
Pemuda itu
terkejut bukan main melihat munculnya Jai-hwa Siauw-ok secara tiba-tiba itu.
“Ssshhh, locianpwe, jangan ke sini dulu. Bagaimana kalau dia datang kembali?”
“Ha-ha-ha,
jangan bodoh. Aku tidak akan sesembrono itu. Sudah kulihat bahwa dia pergi jauh
menuju ke kota raja. Ha-ha-ha!”
Legalah hati
Tek Ciang dan dia pun tertawa. “Yang belum kuat harus menggunakan
kecerdikannya, locianpwe.”
“Tepat. Yang
belum kuat, bukan tidak kuat. Engkau akan menjadi orang yang kuat, jauh lebih
hebat dari pada aku. Aku suka sekali kepandainmu, dan malam ini engkau telah
menyelamatkan nyawaku. Ketahuilah, aku bertemu dengan jendral muda itu selagi
aku terluka dalam sebuah pertempuran. Maka, aku tidak mungkin dapat melawannya
sepenuh tenagaku. Untung engkau mendapat akal yang sebaik itu, mengatakan aku
ke kota raja. Mari kita kembali ke dalam kuil dan bicara.”
Mereka
berdua kembali ke kuil tua itu dan dengan penerangan dua buah lilin mereka
duduk bersila berhadapan. Jai-hwa Siauw-ok membuka bajunya dan ternyata ada
bekas luka yang cukup dalam di pundaknya, bekas tusukan pedang. Tek Ciang
melihat datuk itu mengobati lukanya.
“Apakah yang
telah terjadi, locianpwe? Bagaimana orang sesakti locianpwe sampai terluka?”
Kakek
pesolek itu tertawa. Memang merupakan watak kakek cabul ini untuk selalu
bergembira dan selalu memandang kehidupan ini dari segi yang menggembirakan.
Maka dalam keadaan terluka sekali pun dia masih bisa tertawa gembira.
“Kau kira
orang seperti aku ini sudah tidak dapat dilukai atau dikalahkan orang? Ketahuilah,
Tek Ciang. Betapa pun tingginya gunung masih ada awan yang lebih tinggi lagi.
Karena itu, engkau harus belajar sebanyak mungkin. Engkau harus lebih lihai
dari pada aku, dan hal ini tidak mustahil bagimu yang kini menjadi murid yang
akan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es. Luka ini gara-gara seorang perempuan yang
tadinya kusangka perawan tidak tahunya janda genit. Sialan!”
Dia tertawa
lagi dan menceritakan betapa di kota Pao-ting, seperti biasa, ketika melihat
seorang gadis cantik bersembahyang di kelenteng, hatinya tertarik. Dia
membayangi gadis itu sampai ke rumahnya dan pada malam harinya, jai-hwa-cat ini
seperti biasa mendatangi rumah itu, melepas dupa asap pembius dan berhasil
menculik wanita itu.
Akan tetapi
dia ketahuan dan dikepung. Tak disangkanya bahwa pemilik rumah gedung di mana
wanita itu tinggal adalah seorang jago pedang yang lihai dari Bu-tong-pai
bersama saudara-saudara dan murid-muridnya. Betapa pun lihainya, karena dia
sambil memanggul tubuh wanita yang diculiknya, akhirnya dia terkena tusukan dan
melarikan diri sambil membawa wanita itu.
“Aku
berhasil membawanya keluar kota, ha-ha-ha, dan jerih payahku terbayar, luka di
pundakku tidak kurasakan ketika aku berdua saja dengannya. Akan tetapi, sialan,
dia hanya seorang janda genit yang menjadi selir jago pedang itu. Maka setelah
puas kubunuh saja janda itu. Tak tahunya para pengejar tiba dan aku dikeroyok
lagi. Untung aku dapat melarikan diri membawa luka.”
Wajah Tek
Ciang berseri dan matanya bersinar-sinar ketika dia mendengar cerita datuk itu
tentang penculikan wanita dan pemerkosaan korbannya. Dia membayangkan betapa
menyenangkan hal itu.
“Lalu
locianpwe bertemu dengan Cin Liong?”
Kakek itu
mengangguk dan menyumpah. “Memang aku sedang sial! Dalam perjalanan menuju ke
Thian-cin karena aku ingin beristirahat dan minta bantuanmu akibat aku sedang
terluka, aku bertemu dia dan dia segera menyerangku. Tentu saja payah bagiku
untuk dapat melawan sepenuhnya karena lukaku terasa nyeri sekali. Aku melarikan
diri dan untung ada engkau yang menyelamatkan aku.”
Kakek itu
sudah selesai mengobati luka di pundaknya dengan obat yang selalu dibawa dalam
saku jubahnya, lalu dipakainya kembali baju dan jubahnya. Mendadak tangan
kirinya bergerak dan nampak sinar berkilat di bawah cahaya lilin. Tek Ciang
terkejut sekali melihat bahwa tangan kiri kakek itu sudah memegang sebatang
pisau belati yang berkilau tajam. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya
sehingga kelihatan tenang saja.
“Tek Ciang,
engkau tahu bahwa kita sudah saling tolong. Aku suka padamu dan aku melihat bahwa
kelak engkaulah orang yang dapat mengangkat tinggi namaku. Aku ingin mewariskan
ilmu-ilmuku kepadamu.”
Tentu saja
Tek Ciang girang sekali dan cepat berlutut. “Locianpwe maksudkan untuk
mengambil saya sebagai murid?”
“Bodoh!
Engkau adalah murid Pulau Es! Tidak, bukan murid, tapi sebagai anakku!”
“Anak....?”
“Ya, di
antara kita terdapat kecocokan yang mungkin melebihi kecocokan anak dan ayah.
Bagaimana, maukah engkau menjadi anak angkatku dan kelak mewarisi seluruh
kepandaianku dan melanjutkan kebesaran namaku?”
Tek Ciang
maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang aneh. Dia memang
suka kepada orang ini dan kalau dia menolak, bukan hal aneh kalau orang ini
begitu saja membunuhnya dengan pisau itu! Jelas jauh lebih banyak untungnya
kalau dia menerima dari pada menolak.
“Locianpwe
telah begini baik kepadaku, bagaimana aku berani menolak?”
“Engkau mau?
Mau menjadi puteraku?”
“Tentu saja
aku mau.”
“Bagus! Hayo
kau sebut ayah padaku!”
“Ayah!”
“Ha-ha-ha!”
Jai-hwa Siauw-ok tertawa bergelak, lalu merangkul pemuda yang sedang berlutut
itu dan menciumi pipinya dan suara ketawanya kini berubah menjadi setengah
menangis! Menangis saking girangnya. Lalu tertawa lagi sehingga diam-diam Tok
Ciang mengkirik seram.
“Ha-ha-ha,
selamanya aku tidak bisa mempunyai keturunan, karena itu aku tidak mau
beristeri. Tapi tanpa isteri kini aku punya anak, sudah sebesar engkau,
setampan dan secerdik engkau. Hati siapa takkan girang? Ke sinikan lenganmu!”
Tek Ciang
menjulurkan lengan kirinya. Kakek pesolek itu menangkap lengan itu dan
menyingsingkan lengan bajunya, juga dia sudah menyingsingkan lengan baju tangan
kirinya, kemudian secepat kilat pisaunya menyambar. Tek Ciang terkejut, tetapi
pemuda yang cerdik ini maklum bahwa andai kata datuk itu hendak membunuhnya
sekali pun, dia tidak akan mampu melarikan diri, maka dia pun pasrah dan
sedikit pun tidak nampak takut.
Hal ini
agaknya menggirangkan hati Jai-hwa Siauw-ok dan ujung pisaunya sudah menggurat
permukaan lengan Tek Ciang. Terasa perih sedikit dan nampaklah darah menitik
keluar lengan. Lengan kiri Jai-hwa Siauw-ok sendiri pun sudah luka tergores dan
berdarah pula.
Datuk sesat
itu lalu menempelkan bagian lengannya yang terluka dan berdarah itu pada lengan
Tek Ciang yang berdarah sehingga darah yang menetes-netes keluar dari luka
lengan mereka itu bercampur dan ketika kakek itu mengangkat kembali lengan
kirinya, darah yang sudah bercampur itu sebagian melekat di lengannya dan
sebagian melekat di lengan Tek Ciang. Dia lalu mengisap dan menjilati darah di
lengannya itu.
“Hayo minum
darah di lenganmu itu!” katanya.
Tek Ciang
mencontoh perbuatan ayah angkatnya, mengisap dan menjilati, menelan darah yang
berlepotan di lengannya sampai bersih.
“Ha-ha-ha, kita
sekarang sudah sedarah, bukan? Engkau anakku dan aku ayahmu. Mulai sekarang,
engkau akan kulatih dengan diam-diam sehingga kelak engkau akan mewarisi semua
ilmu-ilmuku.”
Demikianlah,
mulai saat itu juga, Tek Ciang memperoleh pengganti ayah dan juga guru. Tentu
saja dia menjadi semakin lihai. Namun dengan amat cerdiknya, pemuda ini dapat
merahasiakan semua ilmu yang diperolehnya dari ayah angkatnya sehingga Suma
Kian Lee dan isterinya yang cerdik itu pun sama sekali tidak pernah
menduganya.....
***************
Biar pun
pada waktu itu Kerajaan Mancu, yaitu Dinasti Ceng, sedang mengalami masa
jayanya di bawah bimbingan Kaisar Kian Liong yang bijaksana dan pandai. Namun
karena negara itu amat luasnya dan meliputi daerah yang amat jauhnya dari
pusat, tidaklah mengherankan apabila timbul usaha-usaha untuk berdiri sendiri
di daerah-daerah yang terpencil.
Kaisar Kian
Liong dengan pasukan-pasukannya yang amat kuat berhasil menundukkan semua
daerah yang hendak memberontak. Akan tetapi pada waktu itu, terdengar
desas-desus tentang gerakan-gerakan yang sibuk dilakukan orang di daerah
perbatasan jauh di barat.
Karena
jauhnya dan juga karena sukarnya mengendalikan daerah pegunungan yang liar di
barat itu maka Kaisar Kian Liong agak terlambat mengetahui bahwa diam-diam
telah terjadi persekutuan di barat dan ada rencana-rencana jahat diatur oleh
para pembesar di daerah barat. Mereka diam-diam mengadakan persekutuan dengan
Kerajaan Nepal, dengan orang-orang Tibet yang hendak memberontak, yang dibantu
pula oleh orang-orang Mongol barat untuk menyerang dan menduduki Tibet. Mereka
kemudian akan menyusun kekuatan gabungan di daerah barat untuk menentang
Kerajaan Ceng.
Setelah
mendengar desas-desus itu barulah kaisar memerintahkan Jenderal Muda Kao Cin
Liong untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi sunqguh sayang bahwa jenderal
muda itu sendiri terlibat dalam persoalan pribadinya dengan Suma Hui sehingga
tentu saja pelaksanaan tugasnya menjadi terganggu.
Gubernur
Yong Ki Pok dan sekutunya ternyata telah mendahului usaha penyelidikan kaisar
ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gubernur Yong setelah bertemu
dengan para sekutunya, memperoleh pembantu baru yang dapat diandalkan, yaitu
Hek-i Mo-ong!
Setelah
menerima datuk sesat ini sebagai pembantu utama, bahkan sudah menjanjikan
kedudukan koksu kelak kalau perjuangan mereka berhasil, Gubernur Yong Ki Pok
lalu mengutus Hek-i Mo-ong dengan sebuah tugas pertama yang amat penting. Datuk
itu ditugaskan untuk melakukan penyelidikan ke barat, ke daerah Bhutan dan Himalaya.
Dia
ditugaskan untuk melenyapkan penghalang dan menghimpun tenaga yang sehaluan
agar rencana mereka, yaitu menyerbu ke Tibet dari Nepal. Kemudian bersama-sama,
kekuatan gabungan persekutuan itu akan membentuk pertahanan kuat untuk kemudian
menyerang ke timur.
Bhutan
merupakan penghalang besar bagi Nepal karena Bhutan letaknya di sebelah timur
Nepal. Hanya melalui Bhutan sajalah pasukan besar dapat melakukan perjalanan ke
timur dengan mudah. Bagi Kerajaan Nepal, pasukan-pasukan mereka hanya dapat
melakukan penyerbuan ke Lhasa di Tibet melalui Bhutan, karena kalau tidak,
perjalanan mereka akan terhalang Gunung Yolmo Langma yang menjulang tinggi dan
daerahnya selain berbahaya juga amat melelahkan bagi pasukan mereka. Selain
itu, juga kalau Bhutan membocorkan rahasia mereka dan mengirim berita ke timur,
hal itu mungkin saja akan menggagalkan semua rencana.
Bhutan
sebetulnya hanya merupakan sebuah kerajaan yang kecil saja. Sebuah kerajaan
kecil yang terletak di tengah-tengah Pegunungan Himalaya yang amat luas dan panjang
itu. Daerah yang berhawa dingin ini memiliki dataran-dataran subur,
lembah-lembah yang indah.
Bangsa
Bhutan hidup sederhana dan berbahagia dalam tradisi kehidupan mereka yang sudah
tua. Mereka tidak pernah berambisi untuk meluaskan daerah untuk mengeduk
keuntungan dari daerah lain, oleh karena itu tidak pernah melakukan perang
dengan negara tetangga, tidak seperti Kerajaan Nepal. Kerajaan Bhutan selalu
dalam keadaan tenang dan nampaknya mereka hidup selalu dalam suasana damai
sejahtera.
Pada waktu
itu, yang menjadi raja di Bhutan adalah Raja Badur Syah yang usianya sudah
hampir enam puluh tahun. Mestinya, setelah raja tua meninggal dunia kurang
lebih sepuluh tahun yang lalu, yang harus menggantikannya adalah puteri
mahkotanya, yaitu Puteri Syanti Dewi. Namun puteri ini tidak bersedia menjadi
ratu, dan menunjuk kakak sepupunya, yaitu Pangeran Badur untuk menggantikannya.
Maka, Raja Badur Syah kini memimpin kerajaan yang tenteram itu dan Puteri
Syanti Dewi bersama suaminya menjadi pembantu-pembantu dan penasehatnya yang
paling utama.
Para pembaca
cerita seri ‘Suling Emas Naga Siluman’ tentu tidak asing lagi dengan nama
Syanti Dewi ini. Dalam cerita-cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali
telah diceritakan dengan jelas semua pengalaman Syanti Dewi yang amat menarik.
Kemudian dalam kisah ’Suling Emas Naga Siluman’ diceritakan bahwa Puteri Bhutan
ini akhirnya menikah juga dengan pria idamannya, setelah mengalami banyak
sekali halangan.
Suaminya itu
bukan lain adalah pendekar sakti Wan Tek Hoat yang pernah mendapat julukan Si
Jari Maut. Ketika kedua orang ini masih muda, perjodohan mereka selalu menemui
halangan dan kegagalan sehingga keduanya mengalami banyak penderitaan batin
yang amat hebat.
Akan tetapi
akhirnya, walau pun keduanya sudah berusia cukup lanjut, yaitu Wan Tek Hoat
berusia tiga puluh delapan tahun dan Syanti Dewi berusia tiga puluh enam tahun,
mereka dapat berkumpul kembali. Sekarang usia mereka telah mendekati lima puluh
tahun dan mereka hidup dengan rukun, tenteram dan berbahagia di Bhutan. Selama
itu mereka tidak pernah lagi meninggalkan kerajaan kecil yang penuh ketenangan
itu.
Oleh karena
semenjak muda selama bertahun-tahun Syanti Dewi merantau ke timur, meninggalkan
kerajaan ayahnya dan berkenalan dengan banyak orang kang-ouw dari berbagai
golongan, bahkan mengenal pula dengan baiknya Kaisar Kian Liong ketika masih
menjadi pangeran, maka tentu saja kini dia menganjurkan Raja Bhutan untuk
selalu bersahabat dengan Kaisar Kian Liong. Apalagi mengingat bahwa Wan Tek
Hoat juga seorang Han.
Tidaklah
aneh jika garis politik pemerintah Kerajaan Bhutan menentang Kerajaan Nepal
yang hendak memusuhi Kerajaan Ceng di timur itu. Setiap tahun, Raja Bhutan
selalu mengirim utusan membawa upeti atau hadiah-hadiah tanda mengakui
kebesaran Kaisar Kian Liong. Kiriman ini tidak menjadi sia-sia, karena selain
dapat mempererat hubungan persahabatan antara tetangga, juga utusan itu selalu
membawa pulang hadiah-hadiah yang selalu lebih besar dan lebih berharga dari
pada upeti yang dikirimkan.
Selain kerajaan
kecil Bhutan ini, juga para pertapa dan pendeta yang berada di daerah
Pegunungan Himalaya tidak lepas dari perhatian Kerajaan Nepal dan para
sekutunya. Mereka ini, para pertapa dan pendeta, adalah orang-orang yang
memiliki kesaktian dan mereka ini berpengaruh pula, mengingat bahwa mereka
mempunyai banyak murid-murid yang menjadi pendekar-pendekar dan juga
pembesar-pembesar.
Maka, Hek-i
Mo-ong diutus untuk menyelami keadaan mereka dan sedapat mungkin menarik mereka
untuk berpihak kepada persekutuan mereka dan menentang Kerajaan Ceng di timur.
Ke dua tempat inilah Hek-i Mo-ong harus pergi, melakukan penyelidikan dan
mengatur sedemikian rupa agar keadaan menguntungkan rencana persekutuan
mereka...
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment