Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 05
"Ehhh....!"
Jai-hwa
Siauw-ok Ouw Teng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa dara ini adalah cucu dari
Pendekar Super Sakti dan memiliki kepandaian yang tidak lumrah gadis lainnya.
Akan tetapi sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dapat
meloloskan diri secara tiba-tiba seperti itu!
Pada saat
itu, Suma Hui sudah meloncat bangkit berdiri dan mengirim pukulan dengan tangan
kanannya, menampar ke arah kepala Siauw-ok.
“Hyaaaaatttt....!”
Dara itu
mengeluarkan suara melengking nyaring. Karena pukulan dilakukan dari jarak
dekat dan perahu itu amat kecil sehingga tidak mungkin bagi Siauw-ok untuk
mengelak lagi, maka Siauw-ok terpaksa mengangkat lengannya menangkis, menjaga
agar jangan sampai tenaganya terlalu besar dan melukai dara yang membuatnya
tergila-gila ini.
“Dukkkkk....!”
Tubuh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terjongkok dan menggigil kedinginan!
Kiranya dara
itu telah mempergunakan tenaga yang belum lama dilatihnya di Pulau Es, yaitu
tenaga Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang amat hebat. Untung bagi
Jai-hwa Siauw-ok bahwa gadis itu belum matang benar latihannya karena andai
kata demikian, dia akan menderita luka dalam yang parah.
Cepat dia
mengerahkan tenaga sakti dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya
dan mengusir hawa dingin. Dia merasa berbuat salah sendiri karena terlalu
memandang ringan sehingga hampir celaka. Bagaimana pun juga, tenaganya masih
lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dara itu, maka kalau tadi dia mengerahkan
seluruh tenaga, tentu dia lebih kuat.
“Haiiiittt....!”
Melihat
pukulannya yang pertama hanya membuat lawan terjongkok, Suma Hui merasa
penasaran dan dia pun sudah menyerang lagi dengan dua kali hantaman tangan
kanan lurus-lurus ke arah dada lawannya.
Kembali
Siauw-ok terpaksa menangkis, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan sinkang dan
mempergunakan tenaga kasar dan panas yang lebih kuat untuk mengimbangi hawa
dingin yang terkandung dalam pukulan dara itu.
“Dessss....!”
Dua tenaga
dahsyat bertemu melalui lengan mereka dan akibatnya, tubuh Siauw-ok terdorong
keras dan terpelanting keluar dari perahu.
“Byuuurrr....!”
Siauw-ok
yang terjungkal ke air menyelam. Dia terkejut bukan main karena ternyata dara
itu tidak lagi mengerahkan tenaga berhawa dingin, melainkan pukulannya tadi
mengandung hawa panas dan kekuatan yang amat hebat. Dia tidak tahu bahwa itulah
ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api).
Karena keras
bertemu keras dan tenaganya kalah ampuh, ditambah lagi kekagetannya ketika
merasa betapa ada hawa panas membakar tubuhnya melalui lengan, maka tubuh
Jai-hwa Siauw-ok terlempar dan terpelanting ke dalam lautan. Tentu saja hati
Suma Hui merasa lega dan girang sekali dan cepat ia mengambil tali kemudi untuk
mengemudikan layar perahu.
“Krakkk....!”
Tiba-tiba
tiang layar yang tidak berapa besar itu patah. Kiranya Siauw-ok telah muncul di
balik perahu dan memukul patah tiang layar itu dengan tangannya.
“Iblis jahat
kau!” Suma Hui memaki dan cepat menyambar dayung untuk menyerang kepala yang
muncul di permukaan air itu.
“Pratttt....!”
Air muncrat
ke atas, akan tetapi kepala itu lenyap dan dayung hanya memukul air. Suma Hui
tidak perduli lagi dan hendak mendayung perahu kccil itu, akan tetapi tiba-tiba
perahu itu terguncang keras dan terbalik! Tentu saja dara itu pun terlempar dan
terjatuh ke air.
“Byuuurrr....!”
Air muncrat
lagi dan Suma Hui cepat menggerakkan kaki tangannya untuk mencegah tubuhnya
tenggelam.
“He-he-he,
nona manis....!” Mendadak ada lengan yang merangkul pinggangnya yang ramping.
“Lepaskan,
jahanam!” Suma Hui menjerit dan memukul ke belakang.
Akan tetapi
Siauw-ok yang lebih pandai bermain di air itu telah menyelam. Dan tiba-tiba
Suma Hui menjerit ketika kakinya ada yang menangkap dari bawah dan terus tangan
itu menyeretnya ke bawah permukaan air! Dara itu meronta-ronta dan mencoba
untuk menendang atau memukul. Terjadi pergumulan di dalam air.
Suma Hui
melawan mati-matian dan berusaha sedapat mungkin. Namun, ternyata ia jauh kalah
mahir sehingga ia gelagapan dan banyak menelan air laut. Apalagi Siauw-ok
menggumulnya sehingga di samping ia memang kalah pandai, juga ia merasa jijik
dan geli merasa betapa dirinya dirangkul dan dipeluk. Akhirnya ia terkulai
pingsan!
Masih untung
baginya bahwa ambisi Siauw-ok untuk membanggakan kemenangan dan menyombongkan
dirinya demikian besarnya sehingga biar pun melihat dara itu dengan pakaian
basah kuyup nampak amat merangsang, pakaian basahnya melekat ketat pada
tubuhnya yang padat, namun penjahat cabul itu tidak menuruti nafsu birahinya
dan bertahan diri, tidak memperkosanya. Siauw-ok membawa Suma Hui kembali ke
dalam perahu yang telah kehilangan layarnya itu, menotoknya kembali dan
sekarang dengan bersungut-sungut dia mendayung perahunya melanjutkan
perjalanan.
Pada suatu
senja, perahunya berlabuh di sebuah pantai yang sunyi di sebelah selatan kota
Ceng-to di Propinsi Shan-tung. Siauw-ok menarik perahunya ke pantai, kemudian
memondong tubuh Suma Hui yang masih tertotok, lalu membawanya berlari memasuki
sebuah hutan yang telah mulai gelap. Setelah malam tiba, nampak Siauw-ok
memasuki sebuah pekarangan depan rumah yang berdiri terpencil di luar kota
Ceng-to.
Rumah itu
bercat merah yang mungil. Bagi para laki-laki hidung belang di kota Ceng-to,
rumah ini amat terkenal karena rumah ini merupakan rumah milik Ang Bwee
Nio-nio, seorang bekas pelacur kenamaan yang kini telah berusia empat puluh
tahun dan telah mengalihkan pekerjaannya dari seorang pelacur kenamaan menjadi
seorang mucikari kenamaan pula. Hampir semua pelacur di daerah Ceng-to
mengenalnya. Dan pelacur mana pun juga akan merasa terhormat kalau dipanggil
oleh mucikari ini karena para langganan dari Ang Bwee Nio-nio hanyalah
orang-orang besar yang berkedudukan penting atau yang kaya raya saja.
Karena sejak
sore tadi hujan turun dan sekarang pun masih gerimis, rumah pelacuran itu
sunyi. Memang Ang Bwee Nio-nio tidak pernah menyediakan pelacur di rumahnya. Ia
hanya memanggil pelacur-pelacur yang dipesan para langganannya saja,
menyediakan kamar-kamar yang cukup mewah dan bersih, dan juga melayani makan
minum yang cukup lengkap dan lezat. Ia hanya hidup bersama dua orang pelayan
yang tinggal di situ, pelayan-pelayan wanita setengah tua.
Ketika
Jai-hwa Siauw-ok mengetuk pintu depan, terdengar suara jawaban dari dalam dan
tak lama kemudian daun pintu dibuka orang. Seorang wanita berpakaian pelayan
memandang dan wajahnya segera berubah ramah.
“Aih,
kiranya Ouw-taiya (tuan besar Ouw) yang datang. Tapi.... tapi mengapakah nona
ini....?” katanya menunjuk kepada Suma Hui di atas pundak Siauw-ok.
“Jangan
ribut. Apakah malam ini banyak tamu?”
“Sepi,
taiya, habis hujan.”
“Tutupkan
daun pintunya dan malam ini tidak boleh menerima tamu, katakan saja toanio
sakit. Mengerti?” Pandang mata Siauw-ok penuh ancaman.
“Baik, taiya....!”
kata pelayan itu takut-takut.
“Di mana
toanio? Panggil ia keluar.”
Pelayan itu
berlari masuk setelah menutupkan daun pintu. Tak lama kemudian nampak seorang
wanita datang setengah berlari. Ia sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi
masih pesolek. Pakaiannya indah, mukanya berbedak tebal, alisnya dicukur dan
dilukis, bibirnya diberi gincu merah, demikian pula kedua pipinya. Memang dia
bekas seorang wanita yang cantik menarik. Inilah Ang Bwee Nio-nio, dahulu
terkenal sebagai Ang Bwee (Bunga Bwee Merah), pelacur tingkat tinggi di
Ceng-to.
“Ahhh, baru
sekarang engkau muncul, Ouw-koko....!” Wanita itu segera menghampiri Siauw-ok
dan merangkul dengan sikap manja dan mesra.
Memang ia
adalah kekasih lama Siauw-ok, tetapi sudah lama Siauw-ok meninggalkan dan
menjauhinya. Ketika dirangkul oleh wanita ini dan mencium bau wangi semerbak
yang menusuk hidung, Siauw-ok mengerutkan alisnya dengan sebal dan tangannya
lalu mendorong!
Untung
wanita itu agaknya bukan wanita sembarangan sehingga dorongan yang akan
merobohkan setiap orang yang bertubuh kuat itu hanya membuatnya agak terhuyung.
Wanita itu pun dapat cepat menggeser kaki memasang kuda-kuda sehingga tubuhnya
tidak sampai terpelanting.
“Ouw-koko....!”
Dalam seruan ini terkandung rasa penasaran dan kedukaan yang besar walau pun
pandang mata wanita itu terhadap Siauw-ok masih terkandung kemesraan dan rasa
sayang yang amat besar. “Kenapa kau....?”
“Sudahlah,
jangan ganggu aku, Ang Bwee. Aku lelah sekali. Kau tahu dari mana aku datang
dan siapa adanya gadis ini?”
Ketika
wanita itu menggelengkan kepala dan memandang kepada Suma Hui dengan mata
terbelalak dan rasa ingin tahu, sambil tersenyum penuh kebanggaan Siauw-ok lalu
menyambung, “Aku baru saja kembali dari penyerbuan ke Pulau Es, dan gadis yang
kutawan ini adalah cucu perempuan Pendekar Super Sakti.”
“Ahhhh....!”
Mata wanita itu terbelalak dan ia nampak terkejut bukan main.
“Nah, jangan
ganggu aku. Cepatlah kau sediakan kamar untuk gadis ini dan lebih dulu ambilkan
belenggu kaki tangan dari baja. Engkau masih punya, bukan? Yang biasa untuk
membelenggu gadis yang bandel. Cepat ambil sepasang.”
Ang Bwee
Nio-nio mengangguk-angguk lalu berlari ke dalam. Tak lama dia sudah keluar
kembali dan membawa sepasang belenggu kaki tangan dari baja yang memakai kunci.
Belenggu-belenggu itu lalu dikenakan pada kaki tangan Suma Hui dengan amat
cekatan oleh wanita itu.
“Sekarang,
bawa dara ini ke kamarnya, kemudian layani aku makan minum sepuasku. Aku akan
menceritakan kesemuanya padamu sampai kau puas, Ang Bwee.”
Wanita itu
menerima tubuh Suma Hui yang masih dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya
terbelenggu, memandang wajah yang jelita dan meraba tubuh yang padat itu lalu
menarik napas panjang. “Seorang gadis yang indah sekali, Ouw-koko.”
“Ha-ha-ha,
kau kira bagaimana? Kalau tidak demikian, perlu apa aku bersusah payah
membawanya? Sudah, simpan ia baik-baik dan aku mau mandi dan bertukar pakaian
dulu.”
Dengan
gembira Siauw-ok kemudian mandi dan bertukar pakaian. Sedangkan wanita itu
memondong tubuh Suma Hui, dibawanya masuk ke dalam sebuah di antara kamar-kamar
rumahnya dan merebahkan dara itu di atas pembaringan.
Sebetulnya
sejak tadi Suma Hui sadar, akan tetapi dara ini berpura-pura tidak sadar dan
bergantung lemas. Ketika kaki tangannya dibelenggu, diam-diam ia mengeluh.
Selama ini ia selalu mencari kesempatan, akan tetapi semenjak perlawanannya di
atas perahu sampai ia ditawan kembali, Siauw-ok selalu memperhatikannya dan
amat teliti. Dan sekarang, kaki tangannya malah dibelenggu, dengan belenggu
baja sehingga andai kata ia dapat memperoleh kesempatan dan totokan ini tidak
lagi menguasai dirinya, sukarlah baginya untuk membebaskan diri dari belenggu
ini.
Wanita itu
merebahkannya terlentang di atas pembaringan. Dan betapa kaget rasa hati Suma
Hui ketika rantai belenggu kaki tangannya itu dikaitkan kepada kaitan-kaitan
yang sudah tersedia di pembaringan itu sehingga kaki dan tangannya terpentang
dengan masing-masing tangan dan kaki terikat pada kaitan di empat penjuru
pembaringan!
Sebagai
seorang wanita kang-ouw yang sudah banyak mendengar tentang kejahatan kaum
sesat, ia mengerti bahwa kini dirinya terancam bahaya yang amat hebat bagi
seorang wanita. Bahaya pemerkosaan! Dan ia tidak akan mampu mempertahankan
diri!
Ngeri sekali
rasa hatinya membayangkan hal ini, akan tetapi segera kekerasan hatinya dapat
menguasai dirinya lagi. Biarlah. Ia akan selalu berusaha untuk menghindarkan
diri dari malapetaka itu, akan tetapi andai kata semua itu terjadi pula, ia
akan pura-pura memyerah, kemudian jika kesempatan terbuka, ia akan membunuh
musuhnya sebelum membunuh diri untuk mencuci noda dan aib yang menimpa dirinya!
Setelah
mengikatkan kaki dan tangan Suma Hui pada kaitan-kaitan di empat sudut
pembaringan, Ang Bwee Nio-nio bersungut-sungut sambil memandangi tubuh gadis
itu. “Dasar laki-laki yang tak mengenal budi! Maunya bersenang-senang saja,
bahkan tidak segan-segan menusuk hatiku dengan menolak diriku dan lebih memilih
bocah dari musuh besar. Sungguh merupakan penghinaan yang tiada taranya! Ouw
Teng, kalau sekali ini engkau tak memperdulikan diriku, engkau pun tak akan
dapat menikmati gadis ini....!”
Setelah
berkata demikian, wanita itu lalu pergi keluar kamar dan menguncikan pintu
kamar itu dari luar. Tentu saja Suma Hui yang ditinggal seorang diri itu
menjadi gelisah. Sudah dikerahkannya tenaganya untuk membebaskan diri dari
totokan, namun belum juga ia berhasil. Kalau sudah bebas dari totokan,
setidaknya ia akan dapat berusaha membebaskan diri dari belenggu kaki
tangannya. Memang sedikit sekali kemungkinan akan berhasil, akan tetapi
setidaknya ia dapat berusaha dan melakukan sesuatu, tidak seperti sekarang ini,
rebah terlentang tak berdaya sama sekali!
Tak lama
kemudian, Suma Hui dapat mendengar suara-suara dari sebelah kanan. Ia
mengangkat muka dan menoleh dan ternyata suara itu datang dari lubang-lubang
angin di dinding kamar. Ia dapat mengenal suara Siauw-ok yang dibencinya dan
suara wanita tadi. Mereka sedang pesta makan minum agaknya!
Terdengar
suara Siauw-ok menceritakan tentang penyerbuan di Pulau Es itu diselingi suara
ketawa-ketawa bangga dan seruan-seruan heran si wanita. Agaknya Siauw-ok banyak
minum arak karena terdengar berkali-kali Ang Bwee Nio-nio memerintahkan pelayan
mengambilkan guci arak baru.
Kemudian,
setelah cerita itu habis, terdengar suara wanita itu membujuk dan merayu. Lalu
terdengar kata-kata keras Siauw-ok menolak. Mereka lalu bercekcok dan
lapat-lapat terdengar oleh Suma Hui suara keras seperti orang ditampar disusul
jerit tertahan si wanita.
“Pergilah,
dan jangan ganggu aku, ha-ha-ha! Aku harus mengumpulkan tenaga untuk
tawananku.” Terdengar Siauw-ok tertawa-tawa keras.
Suma Hui
mendengarkan semua itu dengan hati semakin tegang. Sejak tadi ia terus berusaha
dan akhirnya kini ia mulai dapat menggerakkan kaki tangannya. Pengaruh totokan
itu sudah mulai berkurang dan sebentar lagi ia akan bebas dari pengaruh
totokan! Mulailah ia mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat sinkang-nya dan
pada saat ia berhasil mengusir sama sekali pengaruh totokan dan jalan darahnya
sudah lancar kembali ke seluruh tubuhnya, tiba-tiba saja daun pintu terbuka
perlahan.
“Ahhh....!”
Suma Hui menahan jeritnya.
Dia cepat
memejamkan mata, mengintai dari balik bulu matanya. Jika terpaksa ia harus
menderita mala petaka hebat itu, maka ia akan membuat dirinya pingsan dan untuk
ini ia sudah siap siaga. Ia tahu bagaimana caranya mematikan rasa atau membuat
dirinya pingsan.
Tetapi,
hatinya terasa lega dan juga heran ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah
wanita itu! Dia melihat betapa wanita itu menangis. Air matanya masih membasahi
pipi dan mata, dan pipi kanan wanita itu membengkak! Kiranya wanita ini tadi
datang untuk melampiaskan dendam terhadap Siauw-ok kepadanya. Bukankah tadi
sebelum pergi ia telah menyatakan bahwa ia akan menghalangi Siauw-ok agar tidak
dapat menikmati gadis tawanannya? Bukankah itu berarti wanita ini hendak
membunuhnya?
Dan ia tidak
akan dapat melawan sedikit pun juga, walau jalan darahnya telah pulih kembali.
Paling banyak ia hanya akan dapat mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang
diserang, membuat bagian tubuh itu kebal. Akan tetapi wanita ini agaknya bukan
wanita sembarangan pula dan tentu akan tahu bagaimana caranya untuk membunuh
orang yang memiliki kekebalan.
Kini Ang
Bwee Nio-nio menghampiri pembaringan, dan sejenak dia berdiri memandangi wajah
dan tubuh Suma Hui. Dan terdengarlah suaranya berbisik-bisik, “Aku mendengar bahwa
Pendekar Super Sakti sekeluarga adalah pendekar-pendekar yang selain amat sakti
juga memiliki watak yang budiman, sudah banyak menolong manusia lain. Aku
sendiri sejak kecil bergelimang kejahatan. Biarlah dalam kekecewaan dan
penghinaan ini aku melakukan suatu kebaikan, mungkin aku diperalat oleh Thian
untuk membalas segala kebaikan keluarga Pendekar Super Sakti.”
Setelah
berkata demikian, wanita itu mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Suma Hui
sudah bersiap-siap, menyangka bahwa wanita itu tentu akan mengeluarkan senjata
tajam. Akan tetapi, yang dikeluarkan ternyata sebuah kunci dan dengan cekatan
wanita itu lalu membuka belenggu kedua kaki dan tangan Suma Hui!
Gadis ini
terkejut, girang dan heran, akan tetapi sekali meloncat, ia telah turun dari
pembaringan. Tentu saja Ang Bwee Nio-nio terkejut juga dan makin percayalah
wanita ini akan kehebatan gadis cucu Pendekar Super Sakti itu. Siapa duga bahwa
gadis yang kelihatan sama sekali tak berdaya itu, begitu dibuka belenggunya,
sudah dapat bergerak sedemikian gesitnya.
“Ssstt,
nona. Engkau harus cepat melarikan diri dari tempat ini....,” bisiknya.
“Terima
kasih atas pertolonganmu,” kata Suma Hui kembali.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara ketawa diikuti langkah-langkah kaki menuju ke
kamar itu.
“Ssttt, dia
datang. Biar aku mencoba mencegahnya masuk,” kata Ang Bwee Nio-nio.
Dan ia pun
cepat membuka daun pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintunya.
Suma Hui yang maklum akan kelihaian Jai-hwa Siauw-ok, sudah meloncat lagi ke
atas pembaringan dan pura-pura rebah tak berdaya, memasangkan kembali rantai
belenggu seolah-olah masih tetap mengikatnya. Ia harus menggunakan siasat,
pikirnya. Menyerang tokoh sesat itu secara berterang, jelas ia tidak akan
menang. Biarlah ia akan menyerang tiba-tiba sebelum orang itu tahu bahwa ia
telah bebas.
Ia mendengar
kembali suara Ang Bwee Nio-nio membujuk-bujuk dan merayu di luar kamar,
seolah-olah hendak menyeret Siauw-ok yang setengah mabok itu agar pergi ke
kamarnya sendiri. Akan tetapi terdengar Siauw-ok menolak dan mereka pun cekcok
lalu terdengar suara perkelahian di luar kamar!
Ahh, mereka
berkelahi, pikir Suma Hui. Inilah saatnya yang baik untuk turun tangan,
membantu Ang Bwee Nio-nio mengeroyok Siauw-ok yang lihai. Ia menoleh ke kanan
kiri mencari senjata, akan tetapi di dalam kamar yang biasa dipergunakan orang
untuk pelesir dan bermain cinta itu mana ada senjata? Ia lalu nekat, dengan
tangan kosong ia akan menerjang keluar dari pintu.
Akan tetapi
kedatangannya terlambat. Pada saat ia muncul, Jai-hwa Siauw-ok dengan tubuh
setengah berjongkok sudah memukulkan kedua tangannya ke arah dada Ang Bwee
Nio-nio dan wanita itu terjengkang, dari mulutnya muntah darah segar! Siauw-ok
sudah memukul bekas kekasihnya sendiri dengan sebuah pukulan Hoa-mo-kang yang
dipelajarinya secara curian dari Su-ok. Pukulan ini jahat sekali dan wanita itu
tidak kuat menerimanya, terjengkang, terbanting dan tewas seketika.
Suma Hui
sudah marah sekali, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang. Karena
maklum akan kelihaian lawan, Suma Hui segera mainkan gabungan Ilmu Silat
Pat-mo-kun dan Pat-sian-kun, karena baru ilmu inilah yang pernah dipelajarinya
secara mendalam. Gerakannya lincah sekali dan kedua tangannya diisi dengan
kedua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berganti-ganti.
“Ha-ha-ha,
engkau sudah siap untuk menyambutku, nona manis? Ha-ha-ha, mari kita main-main
sebentar sebelum engkau kutangkap dan sekarang harus kupaksa engkau untuk
melayaniku, mau atau tidak mau!” Di dalam kata-kata ini terkandung ejekan dan
juga ancaman karena tokoh sesat ini benar-benar merasa jengkel melihat betapa
gadis cucu Majikan Pulau Es ini berkali-kali dapat melepaskan diri dan
merepotkannya saja.
Akan tetapi
dia pun terkejut melihat ilmu silat yang sangat hebat itu. Juga dia harus
berhati-hati terhadap sinkang yang bisa berubah-ubah sifatnya itu, dari lembek
menjadi keras, dari dingin menjadi panas. Bagaimana pun juga, tingkat
kepandaiannya masih lebih tinggi dan Suma Hui masih kurang matang ilmu-ilmunya,
maka setelah bertanding selama lima puluh jurus lebih, mulailah dara itu
terdesak hebat.
“Ha-ha,
menyerahlah, manis. Perlu apa kau habiskan tenagamu? Masih kau butuhkan untuk
melayani aku nanti, ha-ha-ha!” Kata-kata Siauw-ok makin cabul karena birahinya
semakin bernyala, terdorong oleh arak dan juga oleh perkelahian itu.
Beberapa
kali Suma Hui terhuyung. Diam-diam gadis ini mengambil keputusan bahwa sebelum
ia tertawan, lebih baik ia membunuh diri saja. Ia akan melawan terus sampai
napas terakhir. Pendeknya, ia hanya mempunyai dua pilihan. Lolos atau mati, dan
tidak akan membiarkan dirinya tertawan kembali!
Tiba-tiba
Siauw-ok mengeluarkan suara tawa dan tubuhnya lenyap, menjadi berpusing seperti
gasing! Suma Hui terkejut dan menjadi bingung. Ilmu silat macam apakah ini?
Tubuh orang itu berpusing sehingga ia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya
dan dari dalam pusingan itu kadang-kadang mencuat cengkeraman tangan yang
hendak menangkapnya dan jari-jari yang hendak menotoknya.
Dara itu
tidak tahu bahwa itulah Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), ilmu
curian yang berasal dari ilmu yang dimiliki Sam-ok. Sebelum Suma Hui dapat
mengelak, tangan kanannya telah kena ditangkap! Gadis ini terkejut sekali, akan
tetapi kembali pergelangan kirinya kena ditangkap! Ia menjadi gugup, tidak
dapat ia membunuh diri setelah kedua tangannya ditangkap.
“Jahanam
busuk, lepaskan dia!”
Tiba-tiba
saja ada angin menyambar dahsyat ke arah kepala Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang
datangnya dari belakang. Demikian hebatnya angin itu menyambar sehingga
Siauw-ok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa serangan yang ditujukan dari
belakang ke arah kepalanya itu merupakan pukulan maut, maka terpaksa dia harus
melepaskan cengkeramannya pada pergelangan kedua tangan gadis itu. Dia lalu
membalik sambil merendahkan tubuhnya dan menggunakan kedua lengannya menangkis
ke depan.
“Dessss....!”
Tubuh
Siauw-ok terdorong ke belakang dan dia pun terhuyung. Dengan mata terbelalak
dia memandang kepada penyerangnya. Bukan main kagetnya ketika mengenal pemuda
ini sebagai putera Naga Sakti Gurun Pasir yang dilihatnya telah terlempar ke
lautan dalam badai itu!
“Cin Liong....!”
Teriakan Suma Hui ini terdengar penuh dengan rasa haru, gembira dan terkejut.
Bukankah pemuda itu dikabarkan telah tewas?
“Cin Liong,
jangan lepaskan jahanam itu!”
Akan tetapi
Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang agaknya melihat gelagat buruk, sudah menggerakkan
kedua lengannya ke depan, ke arah dua orang muda itu. Terdengar bunyi bercuitan
dan melihat ini, Cin Liong terkejut sekali.
“Hui-i....
awas....!”
Dan dia pun
sudah menubruk maju dan menggerakkan kedua lengan menghadang dan menangkis
pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan itu. Itulah Ilmu Jari Pedang atau
Kiam-ci yang amat ampuh. Akan tetapi ketika tertangkis, kembali Siauw-ok
terdorong ke belakang dan tiba-tiba tubuhnya telah meloncat keluar pintu,
menggunakan kesempatan selagi Cin Liong melindungi Suma Hui dan menjauhi pintu
tadi.
“Kejar
dia....!” Suma Hui yang amat membenci pria itu berteriak.
Cin Liong
juga meloncat mengejar. Akan tetapi, karena di luar gelap dan Siauw-ok tidak
nampak lagi bayangannya, juga tidak diketahui ke arah mana larinya, dia pun
kembali memasuki pondok itu.
Di situ dia
melihat dua orang pelayan wanita setengah tua berlutut dan menangisi mayat
seorang wanita yang mukanya penuh darah yang dimuntahkan dari mulutnya sendiri,
sedangkan Suma Hui juga berlutut dan memeriksa wanita itu.
Dara itu
bangkit berdiri ketika melihatnya, dan bertanya, “Bagaimana dengan jahanam
itu?”
Cin Liong
mengangkat dua pundaknya dan mengembangkan lengannya. “Di luar amat gelap dan
dia sudah menghilang seperti setan.”
“Sayang....,”
kata Suma Hui sambil menudingkan telunjuk ke arah mayat itu. “Ia adalah pemilik
rumah ini dan ia telah berusaha menolong dan membebaskan aku.” Lalu Suma Hui
mengguncang pundak seorang pelayan sambil bertanya, “Bibi, siapakah penjahat
kejam itu tadi? Katakan padaku karena aku akan mencari dan membalaskan kematian
majikan kalian.”
“Dia adalah
teman lama dari toanio, seorang langganan yang sangat baik. Namanya
Ouw-taiya.... Ouw Teng....”
“Dan
julukannya adalah Jai-hwa Siauw-ok,” sambung orang ke dua.
Mendengar
disebutnya julukan ini, Cin Liong kemudian mengerutkan alisnya. “Jai-hwa
Siauw-ok....?”
“Engkau
mengenal nama itu?” Suma Hui bertanya.
Cin Liong
mengangguk, lalu berkata, “Hui-i, marilah kita pergi dari sini dan nanti kita
bicara.”
Suma Hui mengangguk
dan tanpa pamit mereka lalu pergi berloncatan meninggalkan dua orang pelayan
wanita yang masih menangisi mayat Ang Bwee Nio-nio itu. Karena Suma Hui telah
kehilangan semuanya, bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya sudah amat kotor
dan kusut, Cin Liong mengajaknya untuk memasuki kota Ceng-to dan bermalam di
sebuah rumah penginapan, menggunakan dua kamar yang berdampingan.
Suma Hui
hanya mengangguk menyetujui. Dia hanya dapat memandang dan menerima dengan
penuh rasa haru dan terima kasih ketika pemuda itu datang membawakan beberapa
stel pakaian baru untuknya, yang dibeli oleh pemuda itu dari toko.
“Cin Liong,
sekarang ceritakanlah tentang adik-adikku. Apakah engkau melihat mereka?
Bagaimana keadaan mereka?”
Pertanyaan
ini sebetulnya sudah sejak ia bertemu dengan Cin Liong ingin ditanyakan, akan
tetapi selalu ditahannya karena ia merasa ngeri untuk mendengar yang
buruk-buruk. Kini, pertanyaan itu diajukan dengan suara penuh getaran dan
sepasang mata itu memandang penuh duka dan gelisah. Semua ini terasa sekali
oleh Cin Liong ketika dia mendengar pertanyaan itu.
Mereka duduk
berhadapan di ruangan luar kamar mereka. Malam itu amat sunyi karena rumah
penginapan itu pun sepi dan kosong. Mereka menghadapi meja dan saling pandang
di bawah penerangan lampu gantung.
Wajah gadis
itu nampak amat memelas bagi Cin Liong. Rambutnya masih kusut tidak tersisir
rapi dan pakaian yang dipakainya itu tentu saja tidak cocok benar karena
dibelinya dari toko, agak kelonggaran. Wajah yang cantik itu agak pucat dan
matanya membayangkan kegelisahan yang mendalam.
Rasa iba
menyelubungi sanubari Cin Liong. Ingin dia memegang kedua tangan yang
diletakkan di atas meja itu, ingin dia merangkul dan menghibur gadis ini. Tapi
gadis ini adalah bibinya! Bibinya!
Cin Liong
menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang. Kemudian dia mengangkat
muka memandang dan dari sinar matanya terpancar rasa iba.
“Sayang
sekali, aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaan mereka, Hui-i. Ketika kalian
dikeroyok di atas perahu, aku telah lebih dulu terlempar keluar dan tercebur ke
lautan, ditelan badai dan hanya kekuasaan Thian sajalah yang dapat
menyelamatkan aku dari bencana maut di lautan yang ganas itu. Aku tidak melihat
bagaimana keadaan kedua paman itu.” Lalu dia menceritakan pengalamannya ketika
terlempar ke lautan sampai dia berhasil selamat dan akhirnya naik papan dan
mendarat.
“Jadi engkau
sama sekali tidak tahu bagaimana nasib kedua orang adikku?” Gadis itu
memejamkan matanya dan menghapus air mata yang mulai menetes turun. “Menurut
penuturan jahanam Siauw-ok itu, mereka.... mereka mungkin telah tewas. Ciang
Bun terlempar ke lautan sedangkan Ceng Liong ditawan oleh Hek-i Mo-ong.”
“Ahh!” Cin
Liong mengepal tinju, “mereka itu orang-orang jahat. Aku akan mengerahkan
pasukan untuk mencari dan membasmi mereka semua itu!”
“Aku pun
tidak akan berhenti sebelum menumpas mereka!” Suma Hui mengepal tinju, teringat
akan kehancuran keluarga Pulau Es. Kemudian dipandangnya pemuda perkasa itu dan
ia pun bertanya, “Bagaimana engkau dapat tiba di pondok itu dan menolongku, Cin
Liong?”
“Hanya
kebetulan saja, Hui-i. Baru kemarin aku mendarat dan memasuki kota. Setelah
berganti pakaian dan memulihkan kekuatan, siang tadi aku mendatangi pantai di
luar kota Ceng-to, untuk menyelidiki kalau-kalau ada di antara kalian bertiga
yang selamat dan mendarat pula. Di dalam penyelidikan itulah, sore tadi aku
mendengar percakapan dua orang nelayan yang katanya melihat seorang kakek
memondong tubuh seorang gadis yang pingsan dan katanya kakek itu berlari cepat
menyelinap di antara pohon-pohon. Mendengar ini, aku lalu melakukan pengejaran
dan akhirnya aku tiba di pondok itu. Ketika aku melihat Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng
sedang makan minum di dalam pondok, aku pun merasa yakin bahwa tentu dia yang
dilihat dua orang nelayan itu dan gadis yang pingsan itu tentu engkau. Maka aku
pun masuk dan kebetulan sekali aku tiba pada saat yang tepat.”
“Cin
Liong....,” Suma Hui menelan ludah, sukar agaknya melanjutkan kata-katanya.
“Ya, Hui-i?”
“Engkau....
engkau baik sekali, Cin Liong. Engkau telah membela kami, bahkan engkau telah
berkali-kali menyelamatkan aku.”
“Ahhh, harap
jangan berkata demikian, Hui-i. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membela
keluarga Pulau Es? Bukan keluarga sekali pun tentu akan kubela, karena bukankah
sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang kejahatan?”
“Ya,
tapi.... tapi....”
“Tapi apa,
Hui-i?”
Seperti
tanpa disadarinya, Suma Hui memegang tangan pemuda itu yang terletak di atas
meja pula. Ia meremas jari-jari tangan itu. “Cin Liong.... berkali-kali aku
terkenang akan hal itu.... engkau begini baik dan aku.... aku....”
Cin Liong
merasa terharu bukan main ketika merasa betapa tangannya dipegang dan
diremas-remas oleh gadis itu. Betapa lembutnya telapak tangan gadis itu, lembut
hangat dan mengandung penuh getaran yang menggetarkan pula jantung Cin Liong.
“Engkau pun
seorang gadis yang amat baik, Hui-i. Baik sekali....”
“Aku telah
menamparmu berkali-kali....! Nah, itulah yang selalu terkenang dengan hati
perih olehku, Cin Liong. Engkau hampir berkorban nyawa berkali-kali untuk
membela kami, sedangkan aku sudah menghina dan menyakitimu. Maukah.... maukah
engkau memaafkan aku, Cin Liong?” Di dalam suara itu terkandung isak.
Pemuda itu
merasa semakin terharu dan dia pun balas meremas tangan yang lembut itu
sehingga jari-jari tangan mereka saling bertautan.
“Tidak ada
yang perlu dimaafkan, Hui-i. Sudah sepatutnya engkau menamparku, karena memang
aku telah menyakitkan hatimu. Bahkan sekarang pun aku bersedia andai kata
engkau hendak menambah beberapa tamparan lagi.”
“Ih, jangan
begitu, Cin Liong. Aku sungguh menyesal, dan aku minta maaf. Penyesalan itu
selamanya akan mengganggu hatiku sebelum engkau memberikan maafmu.” Sambil
berkata demikian, gadis itu memandang kepada wajah Cin Liong dengan sinar mata
penuh permohonan.
Cin Liong
tidak tega membiarkan gadis itu tenggelam dalam penyesalan diri. “Baiklah,
kalau engkau menghendaki demikian. Aku maafkan semua perbuatanmu, Hui-i.”
Wajah yang
cantik itu menjadi berseri-seri dan tiba-tiba saja, seolah-olah baru melihat
betapa tangannya saling cengkeram dengan tangan pemuda itu, perlahan-lahan Suma
Hui menarik kembali tangannya. “Ahh, engkau memang baik sekali, Cin Liong.
Belum pernah selama hidup aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau.”
“Jangan
terlalu memuji, Hui-i. Engkau sendiri pun seorang gadis yang teramat baik.”
Suma Hui
tersenyum. “Ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau rendah hati. Mana mungkin
seorang gadis buruk watak seperti aku ini kau katakan baik?”
“Sungguh,
Hui-i, aku bicara setulusnya, keluar dari dalam lubuk hatiku.”
Wajah yang
manis itu menjadi semakin merah dan kini Suma Hui menunduk. “Bagiku, engkau
adalah orang yang paling baik di dunia ini.”
“Bagiku,
engkau pun demikian, Hui-i.”
“Ihh,
benarkah itu? Tidak ada lain gadis yang seperti aku?”
“Banyak
gadis di dunia ini, akan tetapi bagiku tidak ada yang seperti engkau, Hui-i.”
Hening
sejenak dan gadis itu menunduk, agaknya kini ia hampir tidak berani menentang
pandang mata pemuda itu karena ia melihat sesuatu dalam pandang mata itu yang
membuatnya menjadi malu dan bingung.
“Cin
Liong....”
“Apa yang
hendak kau katakan, Hui-i?”
“Kulihat
engkau sudah lebih dari dewasa....”
“Usiaku
sudah hampir tiga puluh tahun, Hui-i.”
“Kiranya
sudah lebih dari cukup untuk.... menikah.”
“Sudah lebih
dari cukup, terlambat malah.”
“Lalu kenapa
sampai kini engkau belum menikah?” Kini gadis itu berani mengangkat muka
memandang dan sebaliknya malah Cin Liong yang kini menundukkan mukanya.
Beberapa
kali pemuda ini menarik napas panjang. Pertanyaan Suma Hui itu seolah-olah
merupakan serangan ujung tombak ke arah hatinya dan membuat dia mau tidak mau
teringat kembali kepada Bu Ci Sian, gadis pertama yang pernah merampas hatinya
akan tetapi kemudian gagal menjadi jodohnya. Akan tetapi dengan cepat dia
mengusir bayangan itu dari ingatannya karena Bu Ci Sian kini telah menjadi
isteri orang lain, isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.
“Hui-i,
tadinya aku mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya, akan tetapi
setelah aku berjumpa denganmu....”
“Ya,
bagaimana, Cin Liong?”
“Pendirianku
lalu goyah....” Kini Cin Liong yang mengulur tangan dan memegang tangan Suma
Hui di atas meja itu, dipegangnya dengan lembut seperti memegang seekor anak
burung yang lemah. “Sejak bertemu denganmu, aku tahu bahwa aku ingin
menikah.... aku ingin dapat hidup bersama denganmu selamanya, Hui-i....”
“Cin
Liong....!” Tangan dalam genggaman Cin Liong itu menggelepar bagai anak burung
ketakutan, namun tangan itu tidak ditarik seperti tadi dan gadis itu menunduk
dengan muka merah sekali, lalu perlahan-lahan menjadi pucat dan dua titik air
mata mengalir turun.
“Maafkanlah
aku jika menyinggung perasaan hatimu, Hui-i,” kata Cin Liong, wajahnya agak
pucat karena pemuda ini dilanda kekhawatiran kalau-kalau dia harus mengalami patah
hati yang amat pahit untuk kedua kalinya setelah dahulu dia pernah patah hati
karena cintanya ditolak oleh Bu Ci Sian.
“Tidak ada
yang harus dimaafkan dan engkau tidak menyinggung, Cin Liong. Akan tetapi....
lupakah engkau bahwa.... bahwa aku ini bibimu dan engkau keponakanku? Ayahku,
Suma Kian Lee dan ibumu, Wan Ceng, keduanya adalah putera dan cucu dari nenek
Lulu. Setidaknya, kita berdua adalah darah dari mendiang nenek Lulu....”
“Itulah yang
selama ini menjadi ganjalan hatiku, Hui-i. Kita adalah seorang pemuda dan
seorang gadis, dan usiaku lebih tua darimu, tetapi.... mengapa engkau malah
menjadi bibiku?”
“Kita harus
dapat melihat kenyataan itu, Cin Liong. Kiranya.... tidak mnngkin kalau di
antara kita ada ikatan.... perjodohan....”
“Kenapa tak
mungkin, Hui-i? Apa salahnya? Jika kita sudah sama-sama mencinta, apa lagi
halangannya? Bagaimana pun juga, hubungan kekeluargaan antara kita terhitung
jauh, karena kakek kita berbeda, dan she (marga) kita pun berbeda. Engkau she
Suma sedangkan aku she Kao, sungguh sudah amat jauh terpisahnya. Hui-i, terus
terang saja, aku cinta padamu, Hui-i, dan kalau aku tidak salah pandang, kalau
perasaan hatiku tidak menipuku, engkau pun cinta padaku!”
“Cin
Liong....!” Kini gadis itu terisak dan menutupi mukanya dengan tangan.
“Hui-i,
harap jangan menangis. Kenapa berduka? Mengenai rintangan itu, jika memang kita
sudah sama-sama mencinta, marilah kita hadapi bersama! Apa pun kesulitan dan
kesukarannya yang akan kita tempuh, kita hadapi bersama. Maukah engkau, Hui-i?”
Suma Hui membuka
tangannya dan memandang dengan muka basah air mata, bahkan kini air mata masih
bercucuran keluar dari kedua matanya, lalu ia menarik tangannya dan bangkit
berdiri, berkata dengan suara lirih dan parau, “Jangan bicarakan hal itu
sekarang, Cin Liong. Berilah waktu padaku untuk berpikir. Aku sedang dilanda
duka, karena kehilangan keluarga nenek moyang di Pulau Es, karena kehilangan
kedua orang adikku yang masih belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Dan kita
dihadapkan pula dengan kenyataan adanya hubungan keluarga antara kita. Aku
menjadi bingung, berilah waktu padaku, Cin Liong....”
Cin Liong
menjura. “Maafkan aku, Hui-i. Memang seharusnya kalau engkau beristirahat. Nah,
tidurlah, Hui-i. Urusan ini dapat kita bicarakan kelak, kalau engkau
menghendaki.”
Suma Hui
mengangguk dan memandang dengan sayu, kemudian dia melangkah lesu memasuki
kamarnya.
Akan tetapi,
dua orang muda itu tidur dengan gelisah sekali, tenggelam dalam lamunan
masing-masing, lamunan yang bahkan tak dapat dikatakan sedap atau menyenangkan.
Masalah-masalah berdatangan kepada mereka, bertumpuk dan saling susul-menyusul.
Kedukaan dan kegelisahan bertumpuk-tumpuk. Dan kini mereka dihadapkan kepada
kenyataan yang sungguh membingungkan dan mendatangkan rasa duka dan khawatir.
Mereka saling mencinta, padahal mereka adalah bibi dan keponakan!
Cin Liong
gelisah dan tak dapat tidur. Beberapa kali dia bangkit dan bangun, duduk
termenung memikirkan nasibnya. Sebagai seorang jenderal muda, dia dapat
dibilang berhasil baik sekali. Kedudukannya tinggi dan terhormat, juga
dipercaya oleh kaisar. Di bidang ini dia memang beruntung sekali, juga dia
tidak pernah kekurangan harta benda.
Sesungguhnya,
harus diakuinya bahwa hidupnya cukup terhormat, mulia, berkecukupan dan
menyenangkan. Namun di bidang cinta, ternyata dia tidak beruntung. Kegagalannya
yang pertama ketika ia jatuh cinta kepada Bu Ci Sian sudah terasa amat berat,
dan luka yang dideritanya sampai bertahun-tahun masih terasa.
Bagi seorang
pendekar, perasaan hati merupakan sesuatu yang teguh. Kalau sekali mencinta,
maka cintanya itu tak akan rapuh melainkan kokoh kuat pula seperti keadaan
jasmaninya yang tergembleng. Maka kegagalan cintanya itu membuatnya hampir jera
untuk mendekati wanita lain, bahkan dia mengambil keputusan untuk tidak menikah
saja.
Ayah dan
ibunya sudah berkali-kali mendesaknya, akan tetapi dia berkeras menyatakan
belum ingin menikah. Bahkan ayah ibunya menganjurkan kepadanya untuk mengambil
selir saja kalau belum menemukan seorang gadis yang dianggap cocok untuk
menjadi isterinya. Akan tetapi Cin Liong tetap saja menolak bujukan mereka
walau pun dia tahu bahwa ayah bundanya itu sudah rindu sekali untuk menimang
seorang cucu!
Di dalam
kehidupan terdapat bermacam kebutuhan yang kesemuanya amat penting. Kecukupan
lahiriah berupa pangan dan papan. Kesehatan jasmani. Kerukunan dalam keluarga,
dan sebagainya lagi. Semua itu merupakan bagian-bagian dari kelompok yang
dinamakan keperluan atau kebutuhan hidup. Dan kesemuanya itu perlu, tidak kalah
pentingnya dari bagian yang lain.
Mementingkan
satu bagian saja merupakan kebodohan karena yang satu harus ditutup oleh yang
lain. Orang yang hidupnya kaya raya dan serba kecukupan, tetap saja akan
menderita dalam hidupnya kalau kesehatannya terganggu. Orang yang sehat sekali
pun tetap akan menderita kalau kekurangan makan dan pakaian. Bahkan orang yang
sehat dan kaya sekali pun akan hidup menderita kalau tidak mempunyai kerukunan
dalam keluarga.
Di waktu
sakit berat, orang yang kaya raya akan rela kehilangan semua kekayaannya
asalkan dia dapat sembuh. Sebaliknya, orang sehat melupakan segala dan
mati-matian mempertaruhkan kesehatannya demi mengejar dan menumpuk harta benda.
Demikianlah
kenyataannya, hidup ini merupakan sekelompok kebutuhan-kebutuhan yang memang
mutlak penting. Akan tetapi, biar pun mementingkan yang satu saja tanpa
memperdulikan yang lain merupakan kebodohan, dan mengabaikan kesemuanya
merupakan sikap lemah yang bodoh, sebaliknya terlalu mengejar kesemuanya itu
pun akan menjerumuskan!
Banyak orang
beranggapan bahwa kalau sudah kaya raya dan berkedudukan tinggi, tentu orang
akan hidup bahagia. Karena itu, semua orang lalu berlomba-lomba untuk mengejar
kekayaan dan kedudukan. Padahal, semua yang digambarkan sebagai kebahagiaan itu
sesungguhnya hanya bayangan kesenangan belaka. Dan kesenangan itu selalu hanya
dirasakan oleh orang yang belum mencapai atau memilikinya.
Kalau kita
menjenguk ke dalam kehidupan orang-orang berkedudukan tinggi atau kaya, barulah
kita akan melihat bahwa gambaran khayal dari kita bahwa mereka itu hidup
bahagia adalah keliru sama sekali. Bahkan mereka itu sudah tidak lagi dapat
merasakan kesenangan atau menikmati hartanya mau pun kedudukannya, atau
setidaknya, tidak seindah atau senikmat ketika mereka membayangkannya sebelum
memilikinya.
Sesungguhnyalah
bahwa kesenangan dapat dicari, namun kebahagiaan tidak! Yang bisa dikejar dan
dicari hanyalah kesenangan, tapi kesenangan ini amat pendek umurnya dan
tempatnya selalu diperebutkan oleh kebosanan, kekecewaan dan kesusahan!
Bukanlah
berarti bahwa kita harus menolak kesenangan seperti yang dilakukan oleh
orang-orang yang bertapa di puncak gunung. Mereka ini justru mencari kesenangan
dengan cara lain, yaitu cara menyiksa diri atau cara menolak kesenangan
lahiriah untuk mencari kesenangan batiniah yang pada hakekatnya sama juga!
Tidak menolak!
Kesenangan
hidup adalah kenikmatan yang telah menjadi hak kita untuk menikmatinya. Tubuh
kita sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat-alat untuk menikmati kesenangan
hidup melalui panca indra. Bukan menolak, melainkan tidak mengejar-ngejar!
Kalau ada kesenangan itu, kita nikmati sebagai anugerah, namun dalam keadaan
tetap waspada sehingga kita tidak menjadi mabok kesenangan dan menjadi buta.
Namun, kalau tidak ada, kita tidak mengejar-ngejarnya, yang biasanya diberi
pakaian kata muluk ‘cita-cita’.
Dan, kalau
kita sudah bebas dari pengejaran ini, di dalam segala sesuatu terdapat
keindahan, kenikmatan yang menyenangkan itu! Di dalam segelas air sekali pun,
di dalam hal-hal yang biasanya dipandang sebagai hal sederhana yang tak
berarti, akan nampak sesuatu yang amat indah, menyenangkan dan mendatangkan
nikmat hidup.
***************
Di luar kota
Cin-an, hanya lima belas li jauhnya dari kota Cin-an, terdapat sebuah dusun
yang makmur walau pun rakyatnya hidup sederhana. Dusun ini bernama Hong-cun,
terletak di lembah Sungai Huang-ho yang subur. Rakyatnya bercocok tanam,
kadang-kadang kalau tanaman sudah tidak membutuhkan penggarapan lagi, mereka
pergi mencari ikan sebagai kaum nelayan yang pandai.
Di dusun ini
tinggal seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw, akan
tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun lamanya tidak pernah menonjolkan
dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu bahwa warga dusun Hong-cun
itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir semua tokoh dunia
persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan sebagai
Pendekar Siluman Kecil!
Ya, pendekar
itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera tunggal
dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma
Kian Bu mirip dengan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan panjang beriapan dan
semua telah menjadi putih seperti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat
puluh enam tahun, namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan
kuat seperti tubuh orang muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia
pantas kalau dikatakan bahwa usianya hampir setengah abad.
Isterinya
pun bukan orang sembarangan, karena isterinya yang bernama Teng Siang In dan
yang telah berusia empat puluh empat tahun itu pun dahulu terkenal sebagai
seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial cerita Suling Emas
sampai Pendekar Super Sakti dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa
Suma Kian Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya
dia masih berdarah keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan
panglima lagi. Dan pendekar inilah yang merupakan putera Pendekar Super Sakti
yang paling lihai.
Selain
ilmu-ilmu dari keluarga ayahnya, yaitu ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia
memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, yang membuat dia dapat bergerak
seperti pandai menghilang saja. Isterinya, selain hebat pula dalam ilmu silat,
bahkan mempunyai keahlian dalam ilmu sihir.
Memang amat
mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup
suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biar
pun rumah mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai
petani yang menggarap sawah, bahkan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk
pula mencari ikan dengan perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun,
keluarga ini amat dihormati dan walau pun keluarga itu tidak pernah menonjolkan
kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat menduga bahwa keluarga ini
adalah keluarga yang lihai.
Apalagi
karena setiap kali ada penduduk kampung yang sakit, suami isteri ini dapat
menolongnya dan memberi obat. Dan setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal
di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa orang penjahat yang tadinya
beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal aneh menimpa
diri mereka.
Ada penjahat
yang katanya digondol setan dan dilemparkan dari puncak pohon tinggi sekali.
Akan tetapi sebelum tubuhnya remuk terbanting di atas tanah, ‘setan’ itu telah
menyambar tubuhnya. Setan itulah yang mengancam agar dia menghentikan perbuatan
jahatnya atau pergi dari dusun itu.
Bermacam hal
aneh terjadi kepada para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih
dari kejahatan, bahkan para penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker
dan keramatnya dusun Hung-cun, tiada yang berani mencoba-coba beroperasi di
situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi makmur dan semua penghuni dusun,
sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai keluarga sakti! Mereka pun
menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong), dan isteri
pendekar itu disebut Toanio.
Di dalam
kisah Suling Emas dan Naga Siluman telah diceritakan bahwa sepasang suami
isteri pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan
seorang keturunan. Putera mereka itu mereka namakan Ceng Liong, karena mereka
berhasil memperoleh keturunan setelah menggunakan obat mustika ular hijau.
Dan seperti
kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es untuk
memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti
dan dua orang isterinya. Juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka
yang sudah tua itu.
Pada siang
hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian
mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan
lumpur. Mereka berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang
dihidangkan oleh seorang pelayan mereka.
Sejenak
mereka duduk minum teh tanpa berkata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka
semenjak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya
Ceng Liong meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung
penuh kerinduan kepada puteranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang
diri, dia suka menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja
Suma Kian Bu tahu akan hal ini. Sudah kurang lebih seperempat abad lamanya dia
menjadi suami Teng Siang In, maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap
perubahan air muka isterinya itu.
Ketika
mereka berdua duduk minum teh pada siang hari itu, dia pun sudah maklum bahwa
kembali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadi pun isterinya sudah diam
saja, kehilangan kegembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang
lincah dan biasa bergembira.
“In-moi,
kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya sang suami yang bahkan sampai hampir tua
pun masih terus menyebut In-moi (dinda In) kepada isterinya, sebutan yang mesra
dan penuh kasih.
Teng Siang
In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah
membikin panas kedua matanya, lalu menjawab, “Suamiku, apakah engkau tidak
merasakan kesepian yang mencekam hati ini?”
Jawaban itu
sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia lalu mengangguk-angguk. “Kesepian semenjak
anak kita pergi? Aku pun merasakan hal itu, isteriku dan diam-diam aku pun
merasakan penderitaan batin yang amat tidak enak ini.”
Pendekar ini
maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah
begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati
isterinya. Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah mengerti
bahwa semua bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan
ini mendatangkan kesengsaraan.
Kalau kita
sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda, manusia, atau pun
hanya nama, maka timbullah pengikatan di dalam batin. Kita tidak ingin
kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita akan menjaganya kuat-kuat
untuk melawan kemungkinan kehilangan itu. Kalau perlu kita siap mempergunakan
kekerasan untuk mempertahankan sesuatu itu.
Akan tetapi,
memiliki tidaklah berdiri sendiri. Memiliki sudah pasti disambung dengan
kehilangan. Karena itulah muncul usaha keras untuk menjaga atau mempertahankan
agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada rasa
takut. Takut akan kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang
menyenangkan. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apa pun
juga, selalu berada dalam keadaan bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat
atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah yang mengikat.
Teng Siang
In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa
sikapnya itu tidak semestinya, maka ia pun menarik napas panjang. “Suamiku, aku
tahu bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan
yang kokoh kuat, dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga
tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati
seorang ibu ini.... maafkanlah kelemahanku.”
Suma Kian Bu
memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur. “Aku maklum, isteriku, dan
aku tidak menyalahkanmu. Karena kita pun tidak terikat oleh apa-apa di tempat
ini, marilah kita berdua pergi ke Pulau Es untuk menengok Ceng Liong sekalian
berpesiar.”
Hampir saja
Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul dari suaminya ini. Dia
meloncat bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya. “Terima kasih....!
Ahhh, betapa girang hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!”
“Siapa
bilang aku suami buruk?” Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya
melihat kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih mendalam dari pada
kegembiraan isterinya.
“Kapan kita
berangkat? Kapan?”
“Kapan saja.
Kalau kau kehendaki, sekarang pun boleh.”
“Sekarang?
Ahhh, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas,
suamiku!” Dan tanpa menjawab wanita itu berlari-lari seperti seorang anak kecil
yang kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan
mereka bawa melakukan perjalanan jauh itu.
Pada waktu
suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa pergi
ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang
tamu yang ingin bertemu dengan mereka.
“Siapa
mereka dan ada keperluan apa?” Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan
alisnya karena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin diganggu.
Pelayan yang
sudah membantu mereka semenjak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah
berseri. “Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak
kenal, dia seorang pemuda.”
“Suma
Hui....?” Suami isteri itu saling pandang dengan wajah kaget, heran dan juga
gembira.
Suma Hui
juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong. Maka,
seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil
berlari dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggelengkan
kepala sambil tersenyum, tak merasa terlalu heran menyaksikan sikap kedua orang
majikannya yang memang aneh itu.
Ketika
sepasang suami isteri itu tiba di ruangan depan di mana Suma Hui dan Cin Liong
dipersilakan duduk, Suma Hui cepat bangkit berdiri dan segera menubruk Teng
Siang In sambil menangis.
“Bibi....
paman.... ah, sungguh celaka....!” Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu
dalam pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya,
terkejut dan juga gelisah.
“Hui-ji
(anak Hui).... ada apakah? Apa yang telah terjadi, nak?” Teng Siang In bertanya
sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.
Yang ditanya
semakin terisak dan mengguguk. “Bibi.... sungguh celaka, mala petaka telah
menimpa kita....” Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan
kata-katanya.
Melihat ini,
Suma Kian Bu mengerutkan alisnya. “Suma Hui....!” Suaranya membentak penuh
wibawa sehingga sangat mengejutkan hati Cin Liong. “Sudah patutkah sikapmu
itu?” Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat
sikap keponakannya sebagai seorang cucu majikan Pulau Es yang telah
memperlihatkan kelemahan yang seperti itu.
Akan tetapi,
Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap tidak mampu mengeluarkan
suara dan masih terus sesenggukan.
“Suma
Hui....!” Suara Suma Kian Bu makin penasaran.
Melihat Suma
Hui dibentak dan gadis itu semakin berduka, Cin Liong merasa kasihan dan dia
pun menjura sambil berkata, “Sesungguhnya begini....”
“Siapa
engkau?” Suma Kian Bu memotong ucapan Cin Liong dan memandang tajam wajah yang
tampan dan gagah itu, diam-diam dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah
orang sembarangan. “Dan bagaimana engkau dapat datang bersama Suma Hui?” Tentu
saja dia merasa tidak senang melihat keponakannya itu, seorang gadis dewasa,
muncul bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
Kini Suma
Hui yang seperti bangkit dari tangisnya dan menjawab cepat, “Paman, dia adalah
keponakanku sendiri....”
“Keponakanmu....?”
Teng Siang In memotong, terbelalak, tentu saja terheran dan tidak dapat percaya
bahwa Suma Hui bisa mempunyai seorang keponakan yang menurut taksirannya tentu
jauh lebih tua dari pada gadis itu.
“....namanya
Kao Cin Liong,” sambung Suma Hui.
“Ahhh....!
Jenderal muda putera Ceng Ceng itu?” Suma Kian Bu berseru, wajahnya berseri.
“Jadi engkaukah putera Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
Cin Liong
kembali memberi hormat kepada pendekar yang masih terhitung paman kakeknya ini!
“Harap maafkan kelancangan saya. Sebetulnya saya baru pulang dari Pulau Es dan
mengalami segala peristiwa yang terjadi di sana, sampai dapat datang ke sini
bersama dengan bibi Hui....”
“Mari kita
duduk di dalam dan bicara.”
Suma Kian Bu
mengajak Cin Liong dan Teng Siang In juga menggandeng Suma Hui yang masih
menangis itu. Mereka berempat lalu duduk di ruangan dalam dan kini Suma Hui
sudah mulai dapat menguasai hatinya yang berduka.
“Nah,
sekarang ceritakanlah semuanya,” kata Suma Kian Bu.
Bersama
isterinya dia menanti untuk mendengarkan penuturan itu dengan jantung berdebar
penuh ketegangan.
Cin Liong
memandang kepada Suma Hui seolah hendak bertanya apakah dia yang akan
bercerita. Suma Hui yang juga melirik kepadanya menggeleng kepala sedikit lalu
ialah yang mulai bercerita.
Setelah
menarik napas panjang, mengerahkan tenaga batin untuk menekan perasaan duka
yang mencekik, ia lalu memandang kepada paman dan bibinya sejenak, kemudian
dengan suara lirih namun jelas, seolah-olah mengatur agar kedua orang tua itu
tidak sampai terkejut, ia pun berkata, “Paman dan bibi, harap jangan terkejut.
Pulau Es telah tertimpa bencana hebat, diserbu oleh puluhan orang penjahat yang
dipimpin oleh lima orang datuk kaum sesat.”
“Nanti dulu,
katakan siapa lima orang datuk itu?” Suma Kian Bu memotong.
“Menurut
penyelidikan kami terutama Cin Liong, kami ketahui bahwa mereka itu adalah
Hek-i Mo-ong, Ngo-bwe Sai-kong, Eng-jiauw Siauw-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan
wanita yang berjuluk Ulat Seribu....”
Suma Kian Bu
mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. Nama-nama besar di dunia hitam,
terutama sekali Hek-i Mo-ong.
“Lanjutkan
ceritamu.”
“Mula-mula
kami bertiga, saya, adik Ciang Bun dan adik Ceng Liong, sedang berlatih silat
ketika muncul Ngo-bwe Sai-kong dan anak buahnya hendak membunuh kami bertiga.
Nenek Lulu datang dan menghajar mereka. Nenek Lulu dikeroyok dan berhasil
memukul mundur musuh, bahkan berhasil menewaskan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai.
Akan tetapi nenek Lulu.... ia sendiri terluka parah dan setelah dapat masuk ke
dalam istana, ia.... ia meninggal dunia karena luka-lukanya....”
“Aihhh....!”
Teng Siang
In menahan jeritnya dan mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali karena
marah. Sementara itu, Suma Kian Bu memejamkan matanya. Wajahnya tidak
menunjukkan sesuatu, hanya nampak dia menarik napas panjang.
“Lanjutkan....
lanjutkan....,” katanya tanpa membuka matanya.
“Sisa para
penyerbu itu lalu dihajar oleh nenek Nirahai sehingga mereka lari cerai-berai
meninggalkan pulau. Malamnya kami tiga orang anak melakukan penjagaan dan
muncul Cin Liong dalam keadaan luka-luka pula. Dia mendarat di Pulau Es dan
hampir saja terjadi salah paham karena pada waktu itu kami bertiga tidak
mengenal bahwa dia adalah keponakan kami.”
Suma Kian Bu
mengangkat tangan dan membuka matanya, memandang kepada Cin Liong. “Hentikan
dulu ceritamu, Hui-ji, dan kau ceritakanlah bagaimana engkau dapat sampai ke
Pulau Es dalam keadaan luka-luka, Cin Liong.”
Cin Liong
lalu menceritakan pengalamannya secara singkat namun jelas sekali. Dia
menceritakan betapa dia bertugas menyelidiki keadaan dan betapa dia mengikuti
rombongan penjahat yang hendak menyerbu Pulau Es, dan betapa di tengah
pelayaran dia ketahuan dan hampir saja tewas ketika dia terlempar ke dalam
lautan, namun akhirnya dia berhasil juga mendarat di Pulau Es walau pun sedikit
terlambat, yaitu rombongan pertama dari kaum sesat telah menyerang ke pulau
yang mengakibatkan tewasnya nenek Lulu.
“Demikianlah,
saya lalu dibawa menghadap kakek buyut Suma Han dan bersama dengan keluarga
Pulau Es saya lalu ikut melakukan penjagaan.” Cin Liong mengakhiri ceritanya.
“Dialah yang
banyak berjasa, paman. Kalau tidak ada dia, mungkin keadaan kami akan menjadi
lebih parah lagi. Seperti yang telah diduga oleh nenek Nirahai, gerombolan
penjahat itu datang lagi menyerbu, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan tiga orang
datuk lainnya. Kekuatan mereka berpuluh orang dan kami semua, kecuali kakek
Suma Han yang tetap duduk bersila di dekat peti mati nenek Lulu, kami semua
dipimpin oleh nenek Nirahai lalu mengadakan perlawanan mati-matian. Akan tetapi,
pihak musuh terlampau banyak. Walau pun kami sudah merobohkan banyak orang,
tetap saja kami kalah kuat. Nenek Nirahai telah berhasil menewaskan Si Ulat
Seribu, dan Cin Liong berhasil pula membunuh Eng-jiauw Siauw-ong yang lihai.
Kemudian.... sesuai dengan perintah nenek Nirahai, Cin Liong membawa kami
bertiga bersembunyi karena keadaan gawat....”
Suma Kian Bu
dapat mengerti akan siasat ibu kandungnya. “Hemm, tentu disuruh bersembunyi di
ruangan bawah tanah, bukan?”
“Benar,
paman. Aku sungguh tidak setuju sama sekali dan ingin aku mengamuk terus. Akan
tetapi, Cin Liong mentaati perintah nenek Nirahai dan aku ditotoknya. Memang,
kalau tidak disembunyikan, kami bertiga dan Cin Liong tentu telah tewas semua,
akan tetapi sedikitnya dapat menambah jumlah kematian pihak musuh.”
“Lanjutkan,
lanjutkan....!”
“Setelah
kami keluar dari tempat persembunyian, ternyata musuh sudah pergi semua, bahkan
mereka membawa pergi teman-teman yang tewas dan luka. Akan tetapi.... akan
tetapi.... kami melihat nenek Nirahai telah tewas pula di samping peti mati
nenek Lulu....” Sampai di sini Suma Hui tak dapat menahan tangisnya dan kembali
ia terisak-isak lalu sesenggukan.
Teng Siang
In menggigit bibirnya. Wanita ini tidak menangis, artinya tidak mengeluarkan
suara menangis walau pun air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Juga
Suma Kian Bu hanya termenung dengan muka tidak menunjukkan sesuatu. Semua ini
terlihat oleh Cin Liong dan pemuda ini teringat akan kegagahan Ceng Liong dan
menjadi kagum.
Melihat
keadaan keponakannya itu, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Dia tidak dapat
menyalahkan keponakannya itu. Sebagai seorang gadis, Suma Hui cukup gagah dan
pengalaman yang amat menyedihkan itu tentu saja mengguncang perasaan gadis itu.
“Cin Liong,
sekarang engkaulah yang melanjutkan ceritanya,” katanya kepada pemuda itu.
Cin Liong
memandang kepada Suma Hui yang masih sesenggukan dengan sinar mata penuh kasih
sayang dan rasa iba, dan hal ini sama sekali tidak lewat begitu saja dari pengamatan
Suma Kian Bu, akan tetapi pendekar ini diam saja.
“Ketika kami
memasuki ruangan, kami melihat nenek buyut Nirahai telah tewas di dekat peti
mati nenek buyut Lulu, sedangkan kakek buyut masih duduk bersila di tempat
semula. Biar pun kami tidak melihat dan tidak tahu apa yang telah terjadi, akan
tetapi melihat betapa semua musuh telah pergi dan kakek buyut masih duduk
bersila, maka besar sekali kemungkinannya kakek buyut telah berhasil mengusir
mereka, entah dengan cara bagaimana. Kami semua melakukan penjagaan dan
kemudian baru kami tahu, biar pun ada suara kakek buyut yang memesan agar
jenazah mereka kami bakar di kamar sembahyang, dan agar kami semua cepat
meninggalkan pulau senja hari itu juga dan kami diharuskan kembali ke rumah
masing-masing, baru kami tahu bahwa sesungguhnya kakek buyut Suma Han juga
telah meninggal dunia....”
“Ayahhh....!”
Seruan ini pendek saja namun menggetarkan seluruh rumah itu dan Cin Liong
merasa terkejut sekali.
“Ayaaahh....
ohhh, ayaahhh....!” Teng Siang In menubruk suaminya, menyembunyikan mukanya di
dada suaminya. Keduanya menangis tanpa suara!
Cin Liong
menatap wajah Pendekar Siluman Kecil itu dan hatinya tergetar. Wajah yang gagah
itu nampak menakutkan sekali. Dengan memberanikan diri dia pun berkata lirih,
“Mendiang kakek buyut meninggalkan pesan bahwa kematian adalah wajar, tidak
perlu diributkan atau disusahkan....”
Terdengar
helaan napas panjang dan pendekar itu seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia
memandang kepada Cin Liong dan berkata lirih, “Terima kasih, Cin Liong.
Begitulah hendaknya. Isteriku, lekas keringkan air matamu yang tiada gunanya
itu dan mari kita mendengarkan penuturan mereka ini lebih lanjut.”
Kini Suma
Hui yang sudah dapat menguasai hatinya melanjutkan cerita itu. “Paman dan bibi,
setelah kami melakukan perintah terakhir dari kakek, kami berempat meninggalkan
pulau dengan perahu dan dari jauh kami melihat betapa istana itu terbakar,
kemudian.... sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali.... kebakaran itu
menjalar terus dan dalam waktu semalam itu, seluruh pulau terbakar habis!”
“Hemmm....!”
Suma Kian Bu mengangguk-angguk, kembali dia maklum akan maksud ayahnya yang
hendak melepaskan semua ikatan dengan dunia.
“Dan pada
keesokan harinya, pulau itu sudah lenyap! Pulau Es telah tenggelam!” gadis itu
melanjutkan ceritanya.
Kembali Suma
Kian Bu mengangguk-angguk. Memang Pulau Es adalah sebuah pulau yang aneh, maka
peristiwa itu pun tidaklah luar biasa.
“Kemudian
bagaimana dengan kalian berempat?” tanyanya
Dan kini
ayah dan ibu ini kembali dicekam rasa gelisah karena kenyataannya kini, dari
empat orang itu tinggal dua orang, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak ada bersama
mereka. Ini berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan kedua orang anak
itu.
“Kami berempat
melanjutkan pelayaran untuk menuju ke daratan besar, akan tetapi di tengah
lautan kami dihadang dan dikepung oleh puluhan orang penjahat, sisa mereka yang
agaknya melarikan diri dari Pulau Es, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa
Siauw-ok.”
“Kedua nama
jahanam itu takkan pernah kulupakan!” kata Teng Siang In dengan sinar mata
berapi-api.
“Kami
diserang dan perahu kami digulingkan. Kami membela diri mati-matian, akan
tetapi Cin Liong terlempar le laut, demikian pula Ciang Bun, padahal ketika itu
badai sedang mengamuk. Saya sendiri tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dibawa
lari, sedangkan menurut keterangan Cin Liong kemudian, adik Ceng Liong juga
tertawan dan dibawa pergi oleh Hek-i Mo-ong.”
“Ahh....!”
Teng Siang In meloncat bangun dan mukanya menjadi merah sekali, sepasang
matanya mencorong. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku, aku bersumpah
untuk merobek-robek kulit Hek-i Mo-ong dan mencincang hancur dagingnya!”
“In-moi,
tenanglah, tidak baik membiarkan perasaan menguasai batin,” terdengar Suma Kian
Bu berkata dan nyonya itu lalu terduduk kembali, wajahnya kini agak pucat akan
tetapi sepasang matanya masih berapi-api dan kedua tangannya dikepal.
“Hui-ji,
lanjutkan ceritamu.”
“Saya
dilarikan oleh si jahanam Jai-hwa Siauw-ok dan nyaris mengalami bencana dan aib
yang hebat. Untung muncul Cin Liong yang tiba pada saat yang tepat menolongku
dan sayang sekali bahwa si keparat itu berhasil melarikan diri dari kejaran
kami. Kami lalu langsung pergi ke sini untuk melaporkan kepada paman dan bibi.”
“Dan Ciang
Bun? Ceng Liong?” Teng Siang In bertanya.
Suma Hui
mengerutkan alisnya, wajahnya diselimuti kedukaan dan ia menggelengkan kepala.
“Kami tidak tahu, bibi. Yang diketahui oleh Cin Liong hanya bahwa Ciang Bun
terlempar ke lautan dan Ceng Liong ditawan Hek-i Mo-ong. Jahanam Siauw-ok itu
pun bercerita demikian kepadaku.”
“Kita harus
mencarinya sekarang juga!” Teng Siang In berkata sambil memandang kepada
suaminya.
Suma Kian Bu
yang sudah mengenal baik watak isterinya maklum bahwa andai kata dia menolak
sekali pun, tentu isterinya akan berangkat sendiri. Memang mereka harus cepat
melakukan pengejaran dan mencari Ceng Liong untuk dirampas kembali, dan
bagaimana pun juga, mereka memang sudah berkemas-kemas untuk pergi merantau ke
Pulau Es.
“Baik, kita
mencarinya hari ini juga. Cin Liong dan Hui-ji, kalian hendak pergi ke mana?”
“Paman, saya
harus cepat-cepat pulang ke Thian-cin memberi kabar kepada ayah dan ibu.”
“Saya akan
menemani bibi Hui.”
Suma Kian Bu
mengangguk dan bersama isterinya dia mengantar pemuda dan pemudi itu sampai ke
pintu depan. Setelah mereka berdua berpamit dan menjura untuk yang terakhir
kalinya, Suma Kian Bu memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam, lalu
berkata, “Cin Liong dan Suma Hui, jalan yang kalian tempuh penuh rintangan,
akan tetapi berjalanlah terus, doa restuku bersama kalian dan semoga Thian
memberkahi kalian.”
Cin Liong
dan Suma Hui balas memandang dan wajah mereka seketika menjadi merah. Mereka
menjura lagi dan hampir berbareng keduanya berkata, “Terima kasih....”
Kemudian
mereka pergi meninggalkan suami isteri yang dicekam rasa gelisah karena
mendengar putera tunggal mereka ditawan Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang
telah mereka dengar akan kekejamannya. Setelah kedua orang muda itu lenyap di
sebuah tikungan jalan, Teng Siang In menoleh kepada suaminya.
“Engkau juga
melihat bahwa mereka itu saling mencinta?”
“JeIas
sekali!”
“Dan engkau
malah mendorong mereka! Mana mungkin hal itu berlangsung? Mereka adalah bibi
dan keponakan!”
“Bukan
urusan kita, melainkan urusan mereka berdua. Aku hanya percaya kepada cinta
kasih, tidak percaya kepada semua peraturan-peraturan yang kaku. Nah, mari kita
berangkat, isteriku.”
Suami isteri
pendekar ini meninggalkan pesan kepada pelayan wanita yang membantu rumah
tangga mereka, meninggalkan uang, juga meninggalkan pesan agar hati-hati
menjaga rumah, kemudian mereka pun pergi. Karena mereka tidak tahu ke mana
Hek-i Mo-ong melarikan Ceng Liong, dan tidak tahu harus melakukan pengejaran ke
jurusan mana, maka mereka mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja karena
di tempat ramai inilah pusat segala macam berita tentang dunia kang-ouw.
Karena
mereka melakukan pencarian tanpa arah tertentu, maka mereka melakukan
perjalanan lambat, melakukan penyelidikan dengan teliti, menanyai orang-orang
dan tokoh-tokoh persilatan di sepanjang jalan, walau pun hati mereka gelisah
dan ingin sekali mereka cepat-cepat menemukan kembali putera mereka.....
***************
Sebagaimana
kemudian tercatat di dalam sejarah, Kaisar Kian Liong merupakan kaisar yang
paling besar, paling bijaksana, dan paling lama menduduki tahta Kerajaan Ceng
dibandingkan dengan semua kaisar Bangsa Mancu. Kaisar ini akan memerintah
selama enam puluh tahun!
Memang
Kaisar Kian Liong inilah merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil dalam
pemerintahannya. Kebesarannya bahkan menandingi kebesaran kakeknya, yaitu
Kaisar Kang Shi (1663-1722). Kalau kakeknya itu memegang kendali pemerintahan
dengan kedua tangan besi, Kian Liong menggunakan satu tangan besi dan yang
sebelah pula tangan bersarung sutera.
Pemberontakan-pemberontakan
yang muncul memang ditindasnya dengan tangan besi, tetapi kaisar ini mengatur
pemerintahan di dalam dengan lembut sehingga sebagian besar rakyat mencintanya.
Tentu saja, tidak ada orang yang mampu memuaskan hati semua orang lain.
Karena Kian
Liong memperhatikan nasib rakyat dan menggunakan kekerasan bukan saja terhadap
pemberontakan akan tetapi juga terhadap para penjahat, maka diam-diam para
penjahat itu kehilangan tempat berpijak. Hal ini, terutama mereka yang menjadi
korban operasi dan gerombolannya dihancurkan, menimbulkan dendam dan sakit
hati, juga kebencian terhadap Kaisar Kian Liong yang masih muda.
Inilah
sebabnya mengapa bukan jarang kaisar ini mengalami serangan-serangan gelap
ketika melakukan perjalanan. Ketika dia masih menjadi seorang pangeran, Kian
Liong sudah biasa merantau dan menyamar sebagai rakyat biasa sehingga dia mampu
menyelami keadaan kehidupan rakyat seperti kenyataannya, bukan hanya mendengar
pelaporan-pelaporan saja yang biasanya palsu karena para pejabat yang melapor
selalu melaporkan yang baik-baik untuk mencari muka.
Dan semenjak
masih menjadi pangeran, banyak sudah usaha para penjahat untuk melenyapkan atau
membunuh pangeran ini. Tetapi, betapa pun banyaknya penjahat yang anti, masih
banyak mereka yang pro dan yang melindungi dan membela pangeran itu. Apalagi
kini, sebagai seorang kaisar tentu saja dia selalu dikelilingi dan dilindungi
oleh para pengawal istana.
Ketika itu,
sudah dua tahun Kaisar Kian Liong menduduki tahta kerajaan dan sudah banyaklah
kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam pemerintahannya. Baru saja bala tentara
kaisar berhasil melakukan pembersihan ke selatan dan di sepanjang pantai timur.
Kini, ada kabar angin yang mendesas-desuskan bahwa di utara dan barat mulai ada
gerakan-gerakan pemberontakan.
Sang kaisar
telah menugaskan panglima yang amat dipercayanya, yaitu Jenderal Muda Kao Cin
Liong, untuk melakukan penyelidikan. Dia percaya bahwa jenderal muda itu akan
dapat menemukan kenyataan-kenyataan mengenai berita yang tidak baik itu dan
dengan hati tenang, Kaisar Kian Liong pada suatu hari pergi berpesiar ke Telaga
Teratai di sebelah selatan kota raja.
Dia
bermaksud untuk merayakan hasil operasi pembersihan di timur dan selatan itu,
karena setiap kali usahanya membebaskan rakyat dari tekanan dan kesengsaraan
berhasil, hatinya gembira sekali. Perjalanan dilakukan dengan kereta yang
dikawal oleh pasukan pengawal.
Dalam
perjalanan pesiar ini, Kaisar Kian Liong ditemani oleh belasan orang dayang dan
juga tiga orang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Sampai dua tahun
setelah menjadi kaisar, dia belum mempunyai seorang permaisuri, hanya mempunyai
tiga orang selir itu yang belum juga ditambahnya walau pun para pembesar dengan
usaha mereka mencari muka banyak yang menawarkan dara-dara cantik jelita untuk
menambah kumpulan selir-selirnya.
Telaga
Teratai itu sesungguhnya adalah sebuah telaga buatan yang mengambil airnya dari
Terusan Besar, dibuat sebuah telaga yang indah dikelilingi taman bunga dan
telaga itu terhias dengan bunga-bunga teratai yang mekar sepanjang masa.
Beberapa buah perahu besar mewah milik istana dipergunakan untuk pesiar oleh
Kaisar Kian Liong.
Akan tetapi,
tidak seperti kaisar lain yang mengutamakan kesenangan dengan hiburan
tari-tarian, makan enak, kemudian bersenang-senang dengan para wanita cantik,
Kaisar Kian Liong mempunyai cara bersenang-senang yang lain lagi. Kesenangannya
amat bersahaja, seperti kesenangan rakyat jelata. Para dayang dan pengawal
menahan rasa geli hati mereka tanpa merasa heran sedikit pun ketika perahu
kaisar telah tiba di tengah telaga, Kaisar Kian Liong lalu mulai dengan
hobby-nya, yaitu mengail ikan!
Orang yang
tidak biasa mengail ikan, tidak akan mengetahui apa sebabnya banyak sasterawan,
filsuf, dan orang-orang besar di jaman dahulu suka mengail ikan. Akan tetapi
mereka yang mempunyai hobby ini akan dapat merasakan bahwa di dalam keasyikan
mengail ini orang akan menemukan kedamaian hati, ketenteraman, dan kebahagiaan
yang hanya dapat dinikmati orang dalam keadaan sunyi dan hening.
Orang yang
mengail dihanyutkan di dalam keheningan yang penuh harapan, kejutan tiba-tiba
yang amat menggairahkan hati apabila umpan pancingnya disambar ikan, ketegangan
yang mendebarkan jantung apabila ikan itu meronta-ronta dengan kuatnya untuk
melepaskan diri, dan akhirnya kepuasan yang membanggakan apabila ikan itu dapat
dinaikkannya ke atas, menggelepar di bawah kakinya. Inilah kepuasan seorang
pemenang dan hasil dari pada kesabaran dan ketekunan.
Seorang
pengail ikan dapat saja menganggap pekerjaan memburu binatang di hutan sebagai
pekerjaan kejam, atau seorang yang memiliki hobby mengail ikan menganggap kejam
orang yang berburu binatang sebagai hobby saja. Berburu binatang merupakan
suatu perkosaan, pikir mereka, karena kita berburu binatang tertentu yang dikejar-kejar
sampai dapat dan dibunuh di bawah mata dengan darah dingin.
Akan tetapi
tidak demikian dengan mengail ikan. Kita mengail ikan tanpa ditujukan kepada
ikan tertentu, bahkan tanpa kesengajaan untuk menangkap ikan tertentu. Yang
terkena umpan adalah ikan yang kebetulan menyambar umpan itu, jadi.... salahnya
ikan itu sendiri atau tergantung kepada nasib sang ikan atau juga kepada
kerakusannya! Tentu saja ini adalah pendapat seorang yang suka mengail ikan!
Kaisar Kian
Liong kelihatan gembira sekali karena ternyata di telaga itu terdapat banyak
ikan rakus! Sebentar saja umpan pancingnya disambar ikan yang cukup besar dan
setelah dia berhasil menarik ikan itu ke atas perahu dan ikan itu dilepas dari
pancing oleh pembantunya, kemudian mata kail dipasangi umpan baru, sebentar
saja dia telah menarik ikan lain. Berturut-turut kailnya mengena dan sebentar
saja dia telah berhasil memancing belasan ekor ikan yang cukup besar!
Kaisar ini
sama sekali tidak tahu betapa sebelum mengail, para thaikam yang selalu
berusaha untuk menyenangkan hati kaisar telah lebih dulu melepaskan banyak
ikan-ikan besar di tempat itu. Terjadi pula kelucuan yang tidak diketahui oleh
kaisar muda itu, yakni bahwa di antara ikan yang terdapat olehnya itu ada
beberapa ekor ikan yang sebetulnya hanya bisa didapatkan di Sungai Yang-ce!
Di tepi
telaga buatan itu terdapat banyak rakyat yang sengaja datang untuk menonton
perahu kaisar. Bahkan ada pula yang memberanikan diri naik perahu. Memang
telaga buatan itu pada hari-hari biasa dibuka dan kaisar memperbolehkan rakyat
untuk bermain-main di situ. Bahkan kaisar yang sudah biasa dengan rakyat itu
tidak pula melarang rakyat bermain-main pada saat dia sedang berlibur di situ.
Hal ini
sesungguhnya membuat para komandan pengawal mengerutkan kening karena tidak
setuju, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menentang. Sebaliknya,
rakyat berterima kasih dan memuji sikap kaisar yang sama sekali berbeda dengan
kaisar-kaisar lain, yang biasanya amat congkak dan tidak sudi berdekatan dengan
rakyat, apalagi rakyat kecil yang miskin.
Di antara
beberapa orang nelayan yang mendayung perahu mencari ikan di telaga itu,
terdapat seorang wanita muda yang pakaiannya seperti nelayan, memakai caping
lebar untuk melindungi wajahnya yang manis dari sengatan sinar matahari yang
mulai naik tinggi. Perlahan-lahan, perahu wanita nelayan ini makin mendekati
perahu kaisar.
Para
pengawal yang awas memasang mata, melihat nelayan wanita ini, akan tetapi
karena ia hanya seorang wanita nelayan yang sendirian saja dalam sebuah perahu
kecil, asyik memancing ikan pula, maka mereka tidak menaruh kecurigaan. Pula,
apa yang dapat dilakukan oleh seorang wanita muda terhadap kaisar yang dijaga
ketat oleh para pengawal?
Memang benar
bahwa kaisar tidak dikerumuni terlalu banyak pengawal, dan di perahu itu pun
hanya terdapat enam orang pengawal, akan tetapi itu pun sudah cukup kalau
diingat bahwa mereka berada di atas perahu di tengah telaga, sedangkan di
pantai telaga berkumpul pasukan pengawal. Selain itu, juga para anak buah
perahu bukanlah orang lemah dan dapat pula membantu jika timbul keadaan bahaya.
Kalau terlalu banyak perahu nelayan yang berani mendekat perahu kaisar, tentu
para pengawal akan melarangnya. Akan tetapi hanya sebuah perahu kecil seorang
nelayan wanita saja tidak menjadi soal.
Tetapi para
pengawal ini sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu nelayan yang
berada agak jauh dari perahu kaisar itu terdapat penumpang-penumpangnya yang
amat mencurigakan. Dari sikap, bentuk tubuh dan pakaian mereka, jelaslah bahwa
mereka itu bukan nelayan biasa. Sama sekali bukan nelayan karena mereka adalah
orang-orang kang-ouw, kaum sesat yang menaruh hati dendam terhadap kaisar
karena mereka adalah orang-orang yang menjadi korban pembersihan, bekas
raja-raja bajak dan perampok yang telah kehilangan anak buah dan mata
pencaharian mereka, kehilangan kerajaan kecil mereka.
Ada lima
orang penjahat besar di perahu-perahu kecil terpisah dan para pengawal tidak
tahu betapa tidak lama kemudian perahu-perahu itu kosong dan para penghuninya
lenyap. Barulah para pengawal itu menjadi panik dan geger ketika tiba-tiba ada
lima orang yang pakaiannya basah kuyup berloncatan masuk ke dalam perahu dengan
tangan memegang senjata tajam!
Pada saat
itu, Kaisar Kian Liong sedang menghadapi panggang ikan hasil kailnya tadi dan
melihat munculnya lima orang ini, tentu saja kaisar menjadi terkejut dan heran.
Namun, bukan baru sekali ini saja kaisar itu menghadapi ancaman bahaya. Ketika
masih menjadi pangeran, sudah sering kali dia menghadapi ancaman maut, maka
sekali ini pun dia bersikap tenang saja. Bahkan kaisar muda ini melanjutkan
makan minum sambil nonton betapa enam orang pengawalnya sudah menerjang dan
menyambut lima orang penyerbu gelap itu.
Akan tetapi,
ternyata lima orang penyerbu ini rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi.
Mereka itu terlalu kuat bagi enam orang pengawal dan berturut-turut, sudah ada
tiga orang pengawal yang roboh mandi darah!
“Ha-ha-ha,
Kaisar Kian Liong, engkau hendak lari ke mana sekarang?” seorang di antara para
penyerbu yang bertubuh seperti raksasa bermuka hitam itu kini mengangkat golok
besarnya dan menyerbu ke arah kaisar yang sedang makan daging ikan.
Kaisar itu
maklum bahwa tidak ada jalan lari baginya, maka dia pun melanjutkan makan,
bangkit pun tidak dari tempat duduknya!
Melihat
ketenangan orang itu, si penjahat menjadi termangu-mangu dan ragu-ragu,
memandang ke kanan kiri untuk melihat apa yang menyebabkan kaisar begitu tenang
seolah-olah ada yang diandalkan. Penjahat ini sudah mendengar betapa kaisar ini
sejak menjadi pangeran dahulu selalu dilindungi oleh para pendekar dan menurut
dongeng dilindungi oleh dewa-dewa yang tidak nampak!
Kaisar Kian
Liong tersenyum melihat keraguan orang itu. “Orang kasar, apa sebabnya engkau
hendak membunuh kami?”
Penjahat itu
nampak marah lagi. “Engkau menjadi kaisar bertindak sewenang-wenang terhadap
golongan kami, menindas dan membasmi golongan kami. Maka kami harus
membunuhmu!”
“Ahhh, lalu
apa untungnya kalau engkau membunuhku? Tetap saja kalian akan hidup sengsara
karena ulah kalian sendiri. Bertobatlah dan bertindaklah di atas jalan yang
benar dan kalian akan menemukan kehidupan baru....”
“Tak perlu
banyak cakap lagi!” Si penjahat yang agaknya sudah menemukan kembali
keganasannya itu melompat ke depan, mengayun goloknya.
“Trrangggg....!”
Bunga api
berpijar menyilaukan mata kaisar yang melindungi mukanya dengan kedua tangan
agar bunga api itu tidak mengenai mukanya. Dia melihat munculnya seorang wanita
muda berpakaian nelayan yang memakai caping lebar sehingga sukar bagi kaisar
untuk dapat melihat muka wanita itu yang tertutup caping. Wanita itu memegang
sebatang pedang dan tadi telah meloncat ke perahu sambil menangkis sambaran
golok penjahat raksasa itu.
Kini
terjadilah perkelahian di atas perahu. Wanita muda itu lihai sekali permainan
pedangnya sehingga penjahat tinggi besar menjadi kewalahan juga. Penjahat itu
kalah lincah dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu mendesak dan
menghimpitnya, membuat dirinya hanya mampu menangkis sambil mundur-mundur saja.
Akan tetapi,
segera datang penjahat-penjahat lain dan karena tidak lama kemudian semua
pengawal yang berjumlah enam orang itu telah roboh semua, si wanita nelayan
terpaksa melawan kelima orang penjahat itu sambil terus melindungi kaisar! Ia
memutar pedangnya, berloncatan ke sana-sini menghadang agar mereka tak dapat
mengganggu kaisar.
Betapa pun
pandai dan gagahnya wanita itu, ia tidak mampu menandingi lima orang penjahat
yang ganas itu dan dia sudah menerima beberapa kali bacokan sehingga pakaiannya
mulai penuh dengan bercak-bercak darah. Melihat ini, kaisar menjadi marah dan
tidak tega.
“Kalian
berlima ini sungguh orang-orang jahat kejam dan tidak tahu malu, mengeroyok seorang
wanita. Hentikan pengeroyokan itu!”
Akan tetapi,
lima orang penjahat itu menghendaki nyawa kaisar dan si wanita menjadi
penghalang, tentu saja mereka tidak memperdulikan bentakan-bentakan kaisar.
Karena merasa bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi,
wanita itu lalu berkata dengan suara gemetar.
“Sri
baginda, larilah.... larilah dari sini selagi ada kesempatan....!”
Akan tetapi,
biar pun dia sendiri bukan pendekar, Kaisar Kian Liong sejak dulu memiliki
watak yang gagah. Ada seorang wanita yang membela dan melindunginya terancam
bahaya maut, bagaimana mungkin dia mau melarikan diri begitu saja meninggalkan
wanita itu sendiri saja menghadapi maut? Dia lalu bertepuk tangan dan berkata
kepada para anak buah perahu yang berdiri dengan bingung.
“Jangan diam
saja. Bantulah wanita ini menghadapi penjahat!”
Mendengar
perintah kaisar, barulah belasan orang anak buah perahu itu berbondong-bondong
maju dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak ikan, ada yang membawa
dayung, dan tukang masak datang bersenjatakan pisau dapur yang besar. Mereka
juga bukan orang-orang lemah, akan tetapi tentu saja bukan apa-apa bagi lima
orang penjahat lihai itu. Sebentar saja mereka pun sudah terlempar ke sana-sini
terkena tendangan para penjahat dan kembali wanita itu dikeroyok.
“Desss....!”
Sebuah
pukulan yang keras sekali dengan sebuah ruyung mengenai punggung wanita itu.
Wanita itu mengeluh dan muntah darah, dan pada saat itu pula, sebatang golok
membacok lambungnya. Darah muncrat dan wanita itu pun terhuyung. Namun, dengan
pedangnya ia juga masih mampu menghalau sebatang golok yang menyambar ke arah
kaisar! Wanita itu sungguh gagah perkasa dan mati-matian melindungi kaisar.
“Bunuh
perempuan ini lebih dulu, baru kita sembelih kaisar!” kata si tinggi besar dan
kini mereka semua menerjang ke arah wanita yang sudah lemah itu.
Si wanita
memutar pedangnya untuk melindungi diri, namun karena tenaganya sudah lemah, ia
terlempar ke belakang, jatuh menimpa pangkuan kaisar! Kaisar merangkulnya,
tidak perduli akan darah wanita itu yang membasahi lengan dan jubahnya. Dan
kaisar terkesiap kaget ketika caping itu terbuka dan wajah yang manis itu
nampak.
“Li
Hwa....!” Kaisar Kian Liong berseru dan memandang terbelalak. “Kau.... kau....
Li Hwa....!”
Wanita itu
mencoba untuk tersenyum. “Ampunkan hamba.... hamba tidak berhasil....
menyelamatkan paduka....”
“Li
Hwa....!” Kaisar mendekap kepala itu dan merangkulnya ketat.
Lima orang
penjahat itu tertegun menyaksikan peristiwa ini, akan tetapi segera si tinggi
besar berseru, “Bunuh mereka!”
Lima orang
itu menyerbu, seperti lima ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang,
menerjang ke arah kaisar yang duduk memeluk tubuh wanita nelayan itu.
“Wuuuutttt....
blaarrrr....!”
Lima orang
penjahat itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Mereka merasa seperti
disambar halilintar saja dan ketika mereka bangkit berdiri dan
menggoyang-goyang kepala mengusir pening, mereka melihat di situ telah berdiri
seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh enam tahun, berpakaian
sederhana dengan rambut riap-riapan, sepasang matanya mencorong seperti mata
naga, dan di sebelahnya berdiri pula seorang wanita berusia beberapa tahun
lebih muda, namun masih nampak cantik dan bertubuh ramping padat, berpakaian
rapi dan pesolek, di punggungnya tergantung sebuah payung.
Sepasang
suami isteri ini bukan lain adalah pendekar sakti Suma Kian Bu yang dikenal
sebagai Pendekar Siluman Kecil dan isterinya yang bernama Teng Siang In. Akan
tetapi karena memang selama belasan tahun Suma Kian Bu dan isterinya tidak
pernah berkecimpung di dunia kang-ouw dan tidak membuat nama besar, maka lima
orang penjahat itu pun tidak mengenal mereka.
Dan inilah
celakanya bagi para penjahat itu. Apa bila mereka mengenal suami isteri
pendekar itu, tentu mereka akan lari tunggang-langgang tidak berani melawan,
meloncat ke air telaga dan berenang ke perahu masing-masing seperti yang mereka
lakukan ketika mengadakan penyerbuan tadi.
Akan tetapi,
kini mereka bangkit dan memandang marah, lalu menghampiri suami isteri itu
dengan sikap mengancam. Mereka adalah kumpulan orang-orang kasar yang hanya
mengandalkan kekerasan dan kepandaian sendiri saja, tak tahu diri dan tidak
melihat bahwa terjangan Suma Kian Bu tadi saja sudah cukup menjadi bukti bahwa
mereka sama sekali bukanlah tandingan pendekar sakti ini.
Mereka sudah
hampir berhasil, sudah menyudutkan kaisar yang demikian tidak berdaya lagi.
Sekali menggerakkan golok saja sudah cukup untuk membunuh kaisar dan kini
muncul dua orang penghalang yang tak disangka-sangka, tentu saja mereka menjadi
penasaran. Mereka maju menghampiri dan membagi kelompok, tiga orang menghampiri
Suma Kian Bu dan dua orang menghampiri Teng Siang In.
Para anak
buah perahu yang tadi dipukul jatuh bangun, sekarang berdiri berkelompok.
Dengan tubuh babak-belur mereka memandang ke depan, dengan penuh harapan mereka
berpihak kepada suami isteri yang muncul pada saat yang tepat itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment