Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 04
“Ah, badai
datang....!” Cin Liong memperingatkan tiga orang muda itu dan diam-diam dia
mengharapkan bahwa munculnya badai ini akan mengurungkan niat jahat para
penjahat di atas empat buah perahu itu.
Akan tetapi,
kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata enam
orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.
Tiga orang
cucu Pendekar Super Sakti itu segera bergerak. Ceng Liong menyambut seorang
penjahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan
terlempar keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan
sambaran pedangnya, sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang
lain. Sisanya, dua orang lagi, disambut tendangan serta pukulan Cin Liong,
terlempar keluar perahu!
Akan tetapi,
kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu,
terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan
aba-aba di antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya
berloncatan ke air.
Cin Liong
dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba
perahu mereka terguncang hebat dan miring, bahkan hampir terbalik. Barulah Cin
Liong mengerti bahwa penjahat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk
menggulingkan perahu kecil!
“Cepat,
loncat ke perahu lawan!” teriaknya dan tiga orang muda itu pun mengerti.
Cin Liong
sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu
terdekat. Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri
telah menyambutnya dengan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Karena tubuhnya
masih melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat
dia melemparkan Ceng Liong ke atas geladak perahu dan barulah dia menangkis
dengan lengan kanannya. Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan
tubuh paman cilik itu, maka biar pun dia masih dapat menangkis, namun pukulan
itu meleset dan mengenai pangkal lengan kanannya.
“Dessss....!”
Hebat sekali
benturan tenaga itu dan andai kata Ceng Liong masih berada dalam pondongan Cin
Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan
dahsyat itu. Biar pun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak
terlambat, namun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak
mempunyai tempat berpijak dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu
membuat tubuhnya terlempar jauh keluar dari perahu.
“Byuurrrrr....!”
Tubuh Cin
Liong segera disambut gelombang lautan yang sudah makin mengganas itu. Bahkan
para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i Mo-ong
menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali
karena memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan badai mengamuk itu.
Apalagi Cin
Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang mencapai
tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah
dikeroyok para anak buah penjahat itu. Akan tetapi gelombang air membuat dia
terseret menjauh.
Tiba-tiba
tangannya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah ujung
perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan
tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu.
Akan tetapi
perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam
dibarengi bentakan nyaring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat,
maklum bahwa kembali dia diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang
amat kuat, menggunakan sebatang dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke
kiri.
“Byuurrr....!”
Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan mulut gelombang yang menganga lebar.
“Darrrrrr....!”
Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong!
Kiranya,
penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara
ketawa ini takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara
mati-matian berjuang kembali melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini
dia tidak kuasa mempertahankan diri dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya
semakin jauh dari perahu-perahu besar di mana tiga orang keturunan Pulau Es itu
sedang dikeroyok ketat.
Ketika
melihat bayangan hitam terapung, kemudian dia meraih dan ternyata itu adalah
sepotong kayu, pecahan dari perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas,
lalu menarik tubuhnya ke atas papan itu dan tergolek tak sadarkan diri di atas
papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.
Ceng Liong
mengamuk dengan mati-matian. Biar pun usianya baru sepuluh tahun, namun anak
ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam
Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu,
bahkan ibunya pun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain
ahli ilmu silat juga ahli sihir! Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah
bundanya, kemudian diasuh dan dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di
Pulau Es, maka biar pun dia baru berusia sepuluh tahun, namun sukarlah dicari
seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.
Para
penjahat itu tadinya tentu saja memandang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi
sikap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang
anggota penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke lautan untuk tidak
muncul kembali! Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin
terpental jatuh bangun. Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini
bukanlah makanan lunak dan mereka pun tidak segan-segan dan tidak malu-malu
lagi untuk mencabut senjata dan mengeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau
pedang!
Namun,
dengan ilmunya Sin-coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berubah menjadi ular
atau belut saking licinnya, melesat ke sana-sini di antara sambaran golok dan
pedang, kemudian dengan tendangan-tendangan Soan-hong-kwi yang membuat kedua
kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat para pengeroyoknya
kocar-kacir!
Betapa pun
juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih
lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam. Maka setelah
dikepung oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan
pakaiannya mulai koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya.
Biar pun
demikian, anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh, juga semangatnya makin
bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng Liong dapat melihat dengan ujung
matanya bahwa kedua orang kakaknya, yaitu Suma Hui dan juga Ciang Bun, telah
terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang membuat mereka itu
berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk
memecah-belah kekuatan para pengeroyok.
Sedangkan
Cin Liong sudah tidak nampak lagi bayangannya sejak tadi. Kenyataan ini membuat
Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia melihat betapa Cin Liong terlempar
keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu tidak muncul, itu hanya
berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut! Dan kedua orang kakaknya
tidak mungkin membantunya karena keadaan mereka tentu tiada bedanya dengan
dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus
melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!
“Majulah!
Majulah kalian semua....!” Dia membentak sambil berloncatan ke sana ke mari dan
membagi-bagi pukulan dan tendangan. “Keroyoklah aku! Inilah dia cucu Pendekar
Super Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!”
Diam-diam
semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa sekali.
Pakaiannya telah penuh darah, tubuhnya telah luka-luka akan tetapi gerakannya
masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih bernyala-nyala dan
sedikit pun tidak nampak dia gentar.
Karena badai
mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itu pun tidak dapat memusatkan
pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berkelahi ini pun nampak lucu,
kadang-kadang terguling roboh sendiri karena perahunya oleng. Juga Ceng Liong
beberapa kali terguling roboh karena olengnya perahu.
Empat buah
perahu itu sudah terpisah-pisah tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di
mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya hanyalah bahwa dia berada sendirian
saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas perahu itu.
Anehnya,
secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu
gelap lagi, hujan pun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat
lagi dan ketika anak ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok,
kakinya menginjak papan yang licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali
layar.
Tiba-tiba
ada yang menarik tali itu dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu lantas
tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan kepalanya di bawah. Dia
terus meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah penjahat.
“Anak
bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!”
“Kita siksa
dia! Enak benar dibunuh begitu saja!”
“Pakai dia
sebagai umpan memancing ikan besar!”
“Cambuki dia
sampai hancur daging-dagingnya!”
Ceng Liong
sudah tidak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia
memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang merubungnya itu. Wajah-wajah
yang menyeringai seperti setan-setan. Tetapi sedikit pun dia tidak takut.
Bahkan ia masih mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram
wajah-wajah itu sehingga para penjahat itu melangkah mundur.
“Siksalah!
Cincanglah! Bunuhlah! Siapa takut mampus? Aku cucu Pendekar Super Sakti majikan
Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu
malu!” Ceng Liong membentak dan memaki-maki.
Memang anak
ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam dirinya tidak terdapat rasa takut atau
kelemahan sedikit pun juga. Ketika kakeknya dan dua orang neneknya meninggal,
dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan kedukaannya, sama
sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengkeraman maut yang mengerikan,
ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikit pun dia tidak kelihatan takut!
“Wah, dia
malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?” bentak seorang yang
tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya
mulas dan sampai kini masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan
membacokkan goloknya ke arah leher Ceng Liong.
Anak ini
tidak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip, memandang datangnya golok
yang akan memenggal lehernya, sedikit pun tidak kelihatan takut.
“Plakkk!”
Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.
“Lancang!
Siapa suruh membunuhnya?” Hek-i Mo-ong membentak marah.
Dan sekali
lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya
hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika
tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam
karena tendangan tadi sudah membunuhnya! Memang demikianlah kehidupan di antara
kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapa pun kecilnya tentu
akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada
pimpinannya.
Tetapi sikap
Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya
terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap
musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak
membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong? Mereka
semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran.
Hal ini
dapat diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong,
memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.
“Huh, siapa
pun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang
akan menyiksanya sampai mampus!”
Mendengar
ucapan Raja Iblis ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan mereka pun
tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh,
kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon
korbannya.
Ceng Liong
sendiri pun tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris
melayang di bawah bacokan golok tadi kini malah telah diselamatkan oleh Hek-i
Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Ia menganggap kakek
raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang
yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, kakek ini jelas
merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor
satu ini telah menyelamatkan nyawanya.
Sejak kecil,
orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam
batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi,
memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin sekarang dia akan
memusuhi, apa lagi mendendam, kepada orang yang telah menyelamatkan nyawanya
dari ancaman maut? Dia telah berhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong!
Kenyataan
ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya
bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu
memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih
semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itu pun terkulai
pingsan.
Setelah
siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan
kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika
dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan
tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat
berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih,
akan tetapi luka-luka itu pun mengering.
Pakaiannya
masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan pada saat dia dikeroyok tadi.
Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia
menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.
Dari
guncangan dan ayunan yang dirasakannya, dia pun tahu bahwa dia masih berada di
dalam perahu dan dia pun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong.
Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa
betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa
makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya.
Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan
tindakan.
Ceng Liong
lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walau pun hanya air
tawar dingin saja. Lalu dia pun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu
banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong.
Setelah
selesai makan, dia pun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata
amat kuat, tertutup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus
untuk tempat tawanan! Dan dia pun melihat empat orang penjaga duduk di luar
bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.
“Kita ini
anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong,”
terdengar seorang di antara mereka mengomel.
“Hushh,
perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang
tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan setelah berhasil menangkap gadis itu,
Jai-hwa Siauw-ok malah lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!”
“Hemm, gadis
Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!”
“Dan kita
tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin
kita itu!”
“Yang dua
orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!”
“Sayangnya,
Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu
bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?”
“Kenapa
mesti ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong jauh lebih enak. Dia lebih
berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.”
Mendengarkan
percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang
sangat buruk. Agaknya enci-nya Suma Hui sudah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Walau pun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat
menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat
Kecil) itu. Tentu enci-nya itu terancam bahaya yang mengerikan pula.
Akan tetapi,
dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimana pun juga, percakapan
anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih
hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dirinya khawatir
adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong.
Mereka
berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari
ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapa pun lihainya kakaknya, Ciang
Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu tidak akan mampu berbuat
banyak terhadap amukan air laut dalam badai.
“Akan tetapi
kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang
hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita
yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi!
Apa sih maksudnya?”
“Hushh,
perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!”
“Pula, masa
begitu saja engkau tidak tahu?” sambung suara lain. “Biasa, kalau hendak
memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?”
“Ha-ha-ha,
engkau benar!”
“Hemm,
jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti
keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru
dia akan dibunuh.”
“Ya,
kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di
tangan keluarga Pulau Es selama ini.”
Ceng Liong
merasa sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring,
“Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?”
Empat orang
penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan
memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.
“Bocah
keparat!”
“Kurobek
mulutnya!”
“Kalau aku
yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!”
Akan tetapi
Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan dia pun mengusir segala
kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila
dan tenggelam dalam semedhi…..
***************
Beberapa
hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu, karena
yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan
diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada
di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan
terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda.
Hek-i Mo-ong
lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera
dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda yang besar. Para anak buah, sebagian
ditinggalkan di perahu-perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda
mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.
Setelah
melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di
sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan
antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat
inilah yang telah terpilih untuk pertemuan para datuk itu…..
***************
Siapakah
adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca cerita Suling Emas Naga Siluman tentu telah
mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui.
Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar. Rambutnya putih semua
sejak muda dan matanya agak kebiruan.
Dahulu
pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan
sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat,
merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang. Belasan tahun
lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan
sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam), Hek-i Mo-ong memimpin
gerombolannya itu, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua
pejabat setempat menjadi sekutunya.
Akan tetapi
akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu
keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini
menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi
tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri
dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.
Usahanya
untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan
Im-kan Ngo-ok tewas semua oleh para pendekar muda. Hancurlah semua impian Hek-i
Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi.
Selama
beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil
memperdalam ilmu-ilmunya. Biar pun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia
tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk
menguasai dunia kang-ouw.
Kehancuran
perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan
untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, lalu menghimpun beberapa
orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang
akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus dapat mengangkat namanya
setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es!
Oleh karena
para datuk kaum sesat memang menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh
bebuyutan nomor satu, setelah melihat kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang
datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang
akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemudian Ulat Seribu yang tewas di tangan
nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-jiauw-pang yang tewas
di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-satunya pembantu
yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.
Akan tetapi,
biar pun dia dan sekutunya berhasil menewaskan dua orang nenek, isteri dari
Pendekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh
Pendekar Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama-sama Jai-hwa
Siauw-ok dan sisa anak buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari terlalu jauh dan
masih mengintai, maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya ketika
melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang muda itu
melarikan diri dari Pulau Es.
Hek-i Mo-ong
cepat mengajak orang-orangnya untuk menghadang dan akhirnya dia berhasil
menawan cucu Pendekar Super Sakti, sedangkan Si Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok
agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu, sedangkan dua orang muda
lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga Sakti Gurun
Pasir, telah tewas ditelan ombak!
“Betapa
membanggakan hasil hasil besar itu,” pikirnya girang.
Keluarga
Pulau Es telah dapat dibinasakannya, dan sebagai bukti dia membawa salah
seorang cucu majikan Pulau Es sebagai tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah
hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat namanya, dan akan memudahkan dia
untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa semua datuk kaum sesat yang
tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu membantunya, kini sedang menanti di
bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat
apakah usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!
Meski dia
kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam
penyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil menghancurkan keluarga Pulau Es dan
menawan seorang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri
melarikan cucu perempuan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena
perbuatan itu pun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan
merupakan bahan cerita yang baik baginya. Dia akan menceritakan kepada para
tokoh kaum sesat bahwa seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat
ditakuti dunia hitam itu kini menjadi permainan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah
terkenal buas terhadap wanita yang telah dirampasnya!
Akan tetapi
ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan
pengalamannya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa
menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu
kepandaiannya seperti punah dan tiada gunanya! Padahal, selama beberapa tahun
ini dia telah tekun bertapa untuk memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu
sihirnya. Ternyata kini bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya
ketika dia menyerang kakek tua renta itu.
Mulailah dia
kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri yang tadinya dia anggap sudah
tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu banyak. Dan
musuh-musuhnya bukanlah orang-orang lemah, walau pun kiranya tak mungkin
sehebat Pendekar Super Sakti. Oleh karena itu, dia harus mengumpulkan
rekan-rekannya untuk memperkuat kedudukannya.
Yang
menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih
tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka sudah berkumpul di dalam hutan
itu, tinggal di pondok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan
ganas, ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari
bermacam-macam kalangan, kini semua telah berkumpul untuk mendengar bagaimana
hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama rekan-rekannya kabarnya pergi menyerbu
Pulau Es.
Begitu
kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki
yang mukanya agak pucat namun sepasang matanya memandang berani, muncul dari
pintu kereta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan
kirinya, sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan
orang-orang dari golongan sesat itu sambil berkata dengan suara nyaring dan
bernada gembira.
“Kawan-kawan
sekalian, ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es sudah kami binasakan, bahkan pulau
itu sendiri telah habis dimakan api dan tenggelam! Dan semua penghuni Pulau Es
telah dapat kami binasakan dan kami tawan.”
Ucapan ini
disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka
adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pulau Es, bahkan
sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu.
Memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan
semenjak puluhan tahun telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum
penjahat yang menaruh dendam sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.
Siapakah
yang tidak mengenal keluarga Pulau Es? Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri
pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi.
Bahkan di samping ilmu silatnya, dia pun terkenal sekali dengan ilmu sihirnya
sehingga dijuluki Pendekar Siluman! Juga kedua orang isteri pendekar sakti itu
amat ditakuti oleh dunia penjahat. Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu
sering memimpin pasukan pemerintah sebagai seorang panglima wanita yang juga
sudah banyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan gerombolan-gerombolan
penjahat. Nama Lulu isteri ke dua dari pendekar itu pun pernah dikenal orang.
Selain sang
pendekar sakti bersama kedua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal
sebagai pendekar-pendekar yang sangat ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam.
Puteri mereka, yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga
merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang
lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng.
Kedua orang
putera dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Lee dan
Suma Kian Bu. Terutama sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya
sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena
persamaannya dengan Pendekar Siluman, ayahnya.
Kalau mantu
pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah perkasa, maka dua orang mantu
wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee bernama Kim Hwee Li,
seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang sebagai seorang
gadis dari dunia hitam yang murtad dan memalingkan mukanya menentang dunia
kejahatan itu sendiri, maka tentu saja ia pun dianggap musuh oleh dunia
penjahat.
Mantu wanita
ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bahkan mantu ini
memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biar pun ilmu sihirnya tidak
sehebat Pendekar Super Sakti, namun kalau ia pergunakan, cukup membuat repot
lawannya. Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam,
maka tentu saja pengumuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan
keluarganya telah terbasmi disambut dengan sorak-sorai gembira.
Akan tetapi,
yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan
rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu
mudah saja keterangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa
hebatnya keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak
berani maju ketika Hek-i Mo-ong mengajak mereka bersekutu untuk menyerbu pulau
keramat itu.
“Mo-ong,
bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan? Engkau
berangkat berlima dan pulang hanya sendirian saja. Mana buktinya bahwa usaha
penyerbuan ke Pulau Es itu berhasil dengan baik?” terdengar seorang di antara
para tokoh itu bertanya.
Pertanyaan
ini segera didukung oleh banyak tokoh yang lainnya. Suara mereka saling
susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.
“Apa
buktinya?”
“Ya, mana
buktinya?”
“Kalian
masih tidak percaya kepadaku?” Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh
kemarahan sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadi pun
padam dan semua orang memandang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu.
Melihat ini,
dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi,
suara ketawanya mengandung khikang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung
semua orang yang hadir di situ.
“Ha-ha-ha-ha!
Kalian ingin bukti? Lihatlah baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari
Pendekar Super Sakti Suma Han.” Berkata demikian, dengan gerakan tiba-tiba
Hek-i Mo-ong kemudian melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas.
Tubuh itu
terlempar ke udara. Ceng Liong merasa terkejut sekali, tetapi dia diam saja,
bahkan lalu menarik kaki tangannya yang lelah dan lemah. Ketika tubuhnya
meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan melemparkannya kepada para
pembantunya yang berada di belakangnya.
“Gantung
kakinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!”
Dengan
girang anak buahnya melakukan perintah ini. Akan tetapi mereka sudah kapok
untuk berlancang tangan, sehingga tidak ada yang mengganggu Ceng Liong kecuali
hanya menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua
pergelangan kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan
yang berani mengganggu, menampar pun tidak.
Sementara
itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu dan
bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i
Mo-ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.
Ceng Liong
yang digantung pada kedua kakinya itu hanya mendengarkan saja dan dia mengambil
keputusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super
Sakti! Dia tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan semedhi
sambil tergantung seperti itu. Dia merasa betapa detik jantungnya menjadi aneh,
apalagi ketika dia mengikuti jalan darahnya dan menghimpun hawa sakti di pusar.
Tiba-tiba
saja, hawa sakti yang diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini
berputar-putar dan mendatangkan kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya
seperti berputar itu menjadi semakin ringan dan yang lebih aneh, panca
inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam, telinganya dapat
mendengarkan suara dari jauh! Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua olehnya,
demikian jelasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detik jantung
orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!
Dua minggu
yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, bagaikan mimpi saja dia merasa
dibangunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar
kamar. Malam itu tiada bulan namun langit amat cerah, membentang biru penuh
dengan bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajaknya ke
tepi pantai yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila
berhadapan dengan kakeknya.
“Ceng Liong,
aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan kelak dapat kau jadikan
pusat pengerahan sinkang kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah
kulihat dan engkaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan
ini dapat menjadi dahsyat sekali dan jika disalah gunakan, kelak hanya akan
memukul dirimu sendiri. Nah, ulurkan kedua lenganmu dan buka semua jalan darah,
hentikan semua kesibukan dalam diri dan batinmu.”
Seperti
dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya pada telapak tangan
kakeknya. Dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air
membeku, dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua
tangannya, makin lama semakin panas sampai dia hampir tidak tahan lagi, kemudian
perlahan-lahan menjadi dingin dan terus semakin dingin sampai dia merasakan
seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik menjadi panas lagi.
Dihantam
serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhirnya dia tidak ingat
apa-apa lagi. Setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku,
duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan
telah terendam air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di
depannya.
“Kerahkan
hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin,” kakeknya berkata lirih
namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga
seolah-olah suara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya.
Tiba-tiba
Ceng Liong dapat merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di
bagian bawah tubuhnya itu melenyap, dan terganti dengan hawa hangat yang amat
menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas
sekali!
“Kerahkan
sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Engkau gunakan pernapasan
untuk mengatur pembagian hawa...,” kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya
menyentuh dan menekan kedua pundaknya.
Mula-mula
dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua,
bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu
kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu,
seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya
menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.
Semalam suntuk
dia dilatih dan tanpa disadarinya, ia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga
sinkang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam
keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu
ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan
hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!
Setelah
Hek-i Mo-ong selesai bercerita, menyombongkan hasil usahanya yang telah
membakar Istana Pulau Es dan membinasakan keluarga Pulau Es, dia tertawa dan
menutup ceritanya.
“Hua-ha-ha,
hancurlah sudah musuh nomor satu kita semua! Pendekar Super Sakti dan kedua
orang isterinya itu telah tewas. Seorang cucunya, gadis cantik itu, tentu akan
hancur pula karena terjatuh ke tangan Jai-hwa Siauw-ok! Siapa tidak tahu
keganasan Siauw-ok terhadap wanita? Dan seorang cucu pria terjatuh ke laut,
bersama jenderal muda musuh kita pula, putera Naga Sakti Gurun Pasir itu.
Mereka berdua tak mungkin dapat hidup ditelan ombak badai itu. Tinggal yang
seorang ini, cucu keluarga Pulau Es yang tidak kubunuh karena hendak
kuperlihatkan kepada kalian semua. Ha-ha-ha!”
“Maaf,
Mo-ong, kukira keadaannya belum begitu membesarkan hati sehingga kita boleh
tergesa-gesa bergembira dengan hasil itu.”
Semua orang
menoleh dan memandang kepada orang yang bicara. Begitu beraninya orang ini
bicara yang sedikit banyak dapat merupakan celaan terhadap Mo-ong, atau
mengecilkan arti pembinasaan Pulau Es itu.
Hek-i Mo-ong
sendiri dengan perlahan menoleh dan membalikkan tubuh menghadapi orang yang
bicara itu. Semua orang menghentikan suara mereka dan keadaan menjadi hening
karena mereka semua ingin mendengar apa yang akan dibicarakan antara dua orang
ini. Apalagi setelah semua orang melihat bahwa yang bicara itu adalah orang
yang amat aneh, dan yang tadi tidak mereka lihat berada di situ. Agaknya orang
ini, seperti setan saja, tahu-tahu muncul di situ dan berani mencela Hek-i
Mo-ong.
Sebaliknya,
begitu Hek-i Mo-ong melihat orang itu, alisnya yang berkerut itu membuyar dan
wajahnya berseri, mulutnya tertawa ramah.
“Ha-ha-ha,
tadinya kusangka siapa yang berani lancang mencelaku. Kiranya See-thian
Coa-ong! Ha-ha-ha-ha, di antara sahabat sendiri, memang sebaiknya kalau kita
bicara blak-blakan saja. Nah, jelaskan, kawan, mengapa kita tidak boleh bergembira
dengan hasil baik ini?”
Banyak di
antara mereka terkejut saat mendengar disebutnya nama See-thian Coa-ong (Raja
Ular Dunia Barat) itu. Nama itu adalah nama seorang tokoh besar dunia
persilatan yang termasuk orang aneh, tidak dapat dibilang berpihak pada kaum
pendekar atau pun pendukung golongan sesat. Dia seorang di antara tokoh-tokoh
sakti yang berdiri bebas dalam keanehan mereka sendiri, tidak perduli akan
golongan-golongan dan tidak mau mencampuri dalam arti kata tidak mau terlibat.
Setelah kini mereka memandang penuh perhatian, diam-diam mereka dapat mengakui
akan keanehan orang ini, keanehan yang mengerikan.
See-thian
Coa-ong ini bukanlah seorang Han. Hal itu jelas nampak dari wajahnya dan
kulitnya. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan tubuhnya hampir telanjang
bulat. Hanya ada kain cawat penutup tubuhnya. Kulitnya kehitaman dan karena
sangat kurus, maka nampak tinggi sekali. Kepalanya botak kelimis. Dua
telinganya yang terlalu lebar itu dihias anting-anting perak.
Kedua
pergelangan tangannya yang hanya kulit membungkus tulang itu terhias
gelang-gelang perak. Di lehernya terdapat kalung, bukan kalung perak atau emas,
melainkan kalung hidup, yaitu seekor ular kobra belang yang amat berbisa. Ular
seperti ini kalau menggigit, kabarnya tidak ada obatnya lagi dan si korban langsung
mati! Melihat ular ini saja, mereka yang mengenal kehebatan racunnya, sudah
merasa ngeri dan mereka yang berdiri dekat sudah menggeser tempatnya menjauh.
Ada bau harum amis datang dari kakek ini.
Para pembaca
cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat kepada kakek aneh ini.
Kurang lebih sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, See-thian Coa-ong pernah
muncul dan membimbing pendekar wanita Bu Ci Sian dalam ilmu menaklukkan
ular-ular dan memperdalam ilmu silat pendekar itu. Kakek ini lalu menghilang
karena memang dia seorang perantau yang biasa berkelana ke gunung-gunung,
terutama di Pegunungan Himalaya.
See-thian
Coa-ong adalah seorang Nepal yang bernama Nilagangga. Akan tetapi, sejak
mudanya dia sudah sering kali datang ke daerah Tiongkok sehingga dia menguasai
pula Bahasa Han, dan juga dia mengenal banyak tokoh-tokoh dunia kang-ouw.
Banyak pula dia mendapatkan ilmu-ilmu silat dari daerah Sin-kiang dan di daerah
Sin-kiang inilah dia dahulu berkenalan dengan Hek-i Mo-ong. Pada saat itu Hek-i
Mo-ong masih memimpin perkumpulan Hek-i-mo di Sin-kiang. Itulah sebabnya
mengapa peranakan Kozak ini bersikap ramah kepada Raja Ular itu.
“Hek-i
Mo-ong, menurut ceritamu tadi, biar pun engkau telah berhasil membinasakan
Pulau Es dan para penghuninya, akan tetapi engkau pun telah kehilangan banyak
sekali kawan-kawanmu. Bahkan orang-orang yang lihai sekali seperti Ngo-bwe
Sai-kong, Si Ulat Seribu, dan Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas dalam penyerbuan
itu, belum lagi dihitung banyaknya anak buahmu. Dan untuk semua pengorbanan
itu, engkau hanya dapat menewaskan Pendekar Super Sakti dan dua orang
isterinya, tiga orang yang sudah tua renta dan yang tanpa diserbu sekali pun
akan mati sendiri tidak lama lagi. Apakah hal itu boleh dibuat gembira?”
Wajah Hek-i
Mo-ong menjadi agak merah akan tetapi dia masih tersenyum lebar. “Aha, Coa-ong!
Agaknya engkau lupa bahwa pengorbanan seperti itu jauh terlalu ringan dan murah
dibandingkan dengan hasilnya. Bayangkan saja! Pendekar Super Sakti dan dua
orang isterinya! Dan Pulau Es juga terbakar habis. Belum lagi tiga orang cucu
mereka tentu akan tewas, ditambah lagi Jenderal Muda Kao Cin Liong yang sudah
banyak menimbulkan susah kepada kawan-kawan kita, terutama di barat.”
Kakek
See-thian Coa-ong menghela napas panjang. “Baik, baiklah.... katakanlah bahwa
hasilnya cukup besar. Akan tetapi apakah kita lalu dapat mengatakan bahwa
kematian mereka itu akan membebaskan kalian dari lawan kalian? Mo-ong, apakah
artinya hasil itu kalau engkau ingat bahwa di sana masih hidup keturunan Pulau
Es yang amat lihai? Lupakah engkau pada Puteri Milana, puteri Pendekar Super
Sakti dan suaminya orang she Gak yang amat lihai itu? Dan lupakah engkau pada
putera-putera Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Kian Lee dan terutama
sekali Suma Kian Bu Si Pendekar Siluman Kecil? Dan juga, kalau benar Jenderal
Muda Kao Cin Liong tewas, engkau harus berani menghadapi Naga Sakti Gurun
Pasir! Dan.... ah, masih banyak lagi para pendekar sakti yang akan merupakan
lawan berat bagimu, Hek-i Mo-ong. Lupakah engkau kepada keluarga Bu-taihiap
yang kini tinggal di kota raja? Bu-taihiap dan isteri-isterinya saja sudah amat
lihai, apalagi mantunya! Tentu engkau tidak akan melupakan Kam Hong yang
dijuluki Pendekar Suling Emas itu, bukan? Juga keluarga Cu di Lembah Naga Siluman.
Hemm, aku sendiri sebagai orang luar merasa amat khawatir akan masa depanmu,
Hek-i Mo-ong!”
Wajah Hek-i
Mo-ong yang tadinya merah itu kini menjadi agak pucat. Diingatkan kepada para
pendekar sakti itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya kecut. Rasa gentar
menyelinap di sanubarinya karena apa yang diucapkan oleh Raja Ular itu sama
sekali tidak keliru. Mereka semua itu adalah orang-orang hebat dan harus
diakuinya bahwa ketika menghadapi Pendekar Suling Emas Kam Hong dia terdesak
hebat, dan nyaris tewas kalau tidak mempergunakan sihirnya untuk melarikan
diri...
“Wah, bukan
main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak seperti
ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sungguh seorang anak ajaib, seorang dengan
tubuh dewasa! Cukup pantas untuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!”
Teriakan
penuh kekaguman ini menarik perhatian semua orang. Bahkan Hek-i Mo-ong sendiri,
yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat
seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung
jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan
berulang ulang mengeluarkan pujiannya.
“Aih,
tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di
sini, rata di sini.... ahh, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan
bersih, bukan main!”
Kakek itu
tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya,
mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan
kusut dan rambut awut-awutan. Tubuhnya tinggi kurus bagaikan orang yang selalu
kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya
mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantung sebuah kantung
butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak.
Meski kakek
ini nampak demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai
seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong
Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh,
tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang
terkenal sekali di daerah selatan.
Dialah
Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak
mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya,
tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, walau pun dia ini
merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini
tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.
Melihat
kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan
mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.
“Darahnya
murni dan ada hawa sinkang yang sangat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat
di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat
yang seperti ini!”
See-thian
Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan dia pun mendekat. Kepala ular
cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir saja menyentuh muka Ceng
Liong, akan tetapi anak ini sedikit pun tidak kelihatan takut, bahkan dengan
sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh,
ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepalanya saat See-thian
Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang
membuat binatang itu gelisah.
Segera
terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i
Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.
“Aihhh, Raja
Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!” Dia meraba-raba kepala
dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan, “....memang hebat! Anak
ini tubuhnya sekuat naga!”
Bagaikan dua
orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan
See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya,
memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan
telinga, meraba tulang-tulangnya.
“Ha-ha-ha,
Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak
ajaib) yang bertulang dewa!” Kakek Pengemis itu tertawa.
“Siapa yang
tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih
berharga dari pada sebuah senjata pusaka! Jika kuberi kepandaianku kepadanya,
dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai dari pada aku. Dia akan menjadi
murid yang terbaik di dunia ini!”
“Eeiitt,
eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat
anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!” Koai-tung Sin-kai Bhak Sun
berkata dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah
See-thian Coa-ong. Biar pun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun
keluarlah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.
“Hemm, belum
tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!” jawab See-thian Coa-ong dan kakek
ini pun menggerakkan lengan menangkis.
“Dukkk....!”
Orang-orang
yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang
ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang
saling mengadu lengan itu pun tergetar mundur dua langkah, masing-masing
terkejut melihat kekuatan lawan.
“Bocah itu
cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!”
Teriakan
seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es
ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara
kaum sesat hingga mereka pun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu
untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.
Sejak tadi
Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala
yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut mau pun bangga ketika
Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan
memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan
bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena
itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti
kepada dirinya.
Sekarang dia
melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong
lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua
orang neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan
berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun kini
Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.
“Tidak
boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!” See-thian Coa-ong membentak dan kakek
ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.
“Siapa yang
berani mengganggu calon muridku?” Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri
menghadang, melindungi Ceng Liong.
“Dia musuh
besar! Bunuh!”
“Semua
keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!”
Dan dua
puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan
Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga pertempuran yang
seru pun terjadilah. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam
beberapa gebrakan saja sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh,
terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan
tetapi, para pengeroyok itu pun rata-rata mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi
dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.
Ceng Liong
menonton semua ini dan dia pun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh
mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang,
bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu.
Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan
oleh dua mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam dia pun berpikir. Semua
ucapan Coa-ong tadi tidak keliru.
Musuh-musuhnya
masih sangat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas
Kam Hong yang pernah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga
Bu-taihiap. Mungkinkah dia bisa mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin
tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang
tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya,
atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu.
Anak itu
merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Dia pun sudah menduga akan hal
itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya
diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali
lipat lebih pandai dari padanya. Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya
dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik
anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu
dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!
Hek-i Mo-ong
menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan
Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh
sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga
tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang
lihai sekali.
“Pengkhianat-pengkhianat
busuk!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu.
Tubuhnya
sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah
Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Walau
pun tombaknya ini bukan tombak pusaka asli seperti yang biasa dipergunakan
karena tombak asli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super
Sakti, namun tombak biasa ini pun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena
digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.
“Tranggg....!”
Tongkat
bambu itu menangkis, sedangkan suara nyaring itu adalah suara tombak yang
tertangkis. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis
yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja.
Akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris
kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat
menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis, lalu meloncat
bangun lagi.
“Brettttt....!”
Totokan
gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh
See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat
yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu
saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat-cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong
sambil membereskan lagi cawatnya.
See-thian
Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan bisa menang melawan Hek-i Mo-ong, maka dia
pun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata,
“Raja Iblis, silakan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu
hanya membuktikan kebodohanmu!”
Koai-tung
Sin-kai juga sudah menjauhkan diri. “Engkau akan menyesal jika membunuh
sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!”
Dan dia pun
segera melarikan diri, menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa jika
melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i
Mo-ong dan para tokoh sesat itu, sama artinya dengan bunuh diri.
“Bunuh bocah
setan itu!” Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat
betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek
tadi yang melindungi Ceng Liong.
“Bunuh
keturunan Pulau Es!”
Enam orang
tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit
hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap
seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum
mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.
Seperti juga
tadi, menghadapi serangan keenam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata
dari semua jurusan, Ceng Liong tetap membelalakkan matanya dengan penuh
keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti
yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai, bahwa seorang
pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan ketika menghadapi kematian
sekali pun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang
dia pun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!
Akan tetapi
dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam
orang itu terpelanting ke kanan kiri. Senjata mereka terlempar setelah
mengeluarkan bunyi nyaring. Mereka pun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan
itu membuat mereka roboh dan terluka.
Kiranya,
dalam keadaan yang teramat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong
telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu
sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan
memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.
“Dia ini
tawananku, dia ini milikku! Siapa pun tak boleh mengganggunya dan yang boleh
menentukan mati hidupmya hanyalah aku seorang!” Hek-i Mo-ong membentak sambil
melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.
“Tetapi,
Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak
dia tidak akan menyusahkan kita!” terdengar beberapa orang tokoh memprotes.
“Dengarlah
kalian semua, kawan-kawan!” Hek-i Mo-ong berteriak nyaring. “Akulah orang yang
telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku
dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!”
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng
Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.
Ceng Liong
telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya
tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasehat mendiang kakeknya,
Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang
dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya
terhadap kakek itu pun ramah.
Hal ini
terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini lalu bertanya kasar, “Mau apa
engkau memandangku dengan senyum-senyum?”
“Hek-i
Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,” jawab Ceng Liong.
Orang
seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan
tiba-tiba menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itu menotok jalan darah di
pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan hanya untuk
menyiksa.
Totokan pada
jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang
ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu
keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan
kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.
“Tukkk....!”
Raja Iblis
itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ
terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa
yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari
tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sinkang yang amat kuat,
yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh
kulit yang amat kuat dan kebal?
Akan tetapi
Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini! Memang sesungguhnyalah. Sumber
tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika
dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat
tajam dan peka, tetapi juga membuat tenaga sinkang di tubuhnya itu secara
otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya.
Dan semua
ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa
dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia
hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini malah dianggapnya sebagai
sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.
Sementara
itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat
See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai memuji-muji Ceng Liong, hatinya jadi
tergerak. Dia pun melihat kenyataan, betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan
harus diakuinya bahwa seorang diri saja kiranya tak mungkin bagi dia untuk
menandingi semua musuh-musuhnya itu.
Kalau saja
dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat seperti anak ini! Kalau saja
anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya anak
ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai
baginya apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus
dapat menguasai anak ini dengan sihirnya!
Maka dia pun
segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha
menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan
anak itu untuk tidur. Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh.
Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia
merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga
cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau
dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu!
Dia teringat
bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir
luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri. Benar kata dua orang kakek
tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya,
dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan
mampu melindunginya!
Ceng Liong
sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir. Dia
hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini
dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah
seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tak seperti tokoh-tokoh sesat
lainnya. Biar pun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan
tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.
“Mo-ong,
sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,” kata Ceng Liong
lagi.
Sementara
itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada
wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan
terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan
dapat melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka
sampai mati. Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan
dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula.
Yang lebih
penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang
telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua
mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai
karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es,
merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu segera
mati di depan mata mereka.
“Harap
Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimana pun caranya!”
Ucapan ini
mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah
orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua
memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.
Hek-i Mo-ong
memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang, “Sobat-sobat
semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberi tahukan
kabar keberhasilan kami menyerbu Pulau Es. Sepatutnya kalian bergembira tentang
itu dan berterima kasih kepadaku. Sekarang aku hendak pergi dulu, membawa bocah
ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas
dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!”
Setelah
berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang
menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan
seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan
tidak puas. Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong,
apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka
bersungut-sungut kemudian bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi
kembali.
Sementara
itu, bagaikan terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh
Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat
sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tak tahu bagaimana jalan pikiran
kakek iblis ini, tetapi dia ingat benar bahwa bagaimana pun juga, iblis ini
telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa
tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat
yang haus darah.
Tiba-tiba,
ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan
melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat-cepat bangkit
berdiri dan memandang kepada kakek itu.
“Hek-i
Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?” tanyanya berani.
“Bocah yang
berhati naga, siapakah namamu?”
“Namaku Suma
Ceng Liong.”
Kakek itu
mengangguk-angguk. Namanya berarti ‘Naga Hijau’ dan memang anak ini seperti
seekor naga.
“Ceng Liong,
apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi
itu?”
“Engkau
telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.”
“Benarkah
itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?”
Ceng Liong
mengerutkan alis. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah
menyerbu Pulau Es, namun dia pun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa
dia tidak boleh mendendam, maka dia pun menggelengkan kepalanya.
“Ceng Liong,
tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kelak kubunuh?”
Ceng Liong
menggeleng kepala. “Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati
tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!”
“Hemm, aku
mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau
boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo
pilih!”
Ceng Liong
tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula
ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat
aneh, dingin dan keras bukan main.
“Hek-i
Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu
di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi
kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi
murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja
aku memilih menjadi muridmu.”
Hek-i Mo-ong
mendengus untuk menutupi rasa gembiranya. “Bagus, kalau begitu mulai saat ini
engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid
lagi.”
“Agaknya aku
tidak mempunyai pilihan lain. Hek-i Mo-ong, aku mau menjadi muridmu dan
mempelajari ilmu-ilmu darimu, tetapi terus terang saja, aku tidak sudi
mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan
pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang
kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik dari pada hidup sebagai manusia
jahat.”
“Ha-ha-ha,
engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana
bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa
mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan
engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.”
“Akan
tetapi, walau pun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku juga menjadi
muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.”
“Ehhh?
Mengapa?” kakek itu membentak, penasaran.
“Aku adalah
keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh saja aku
mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak
boleh berguru kepada aliran lain,” jawab anak itu dengan suara mantap karena
memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.
“Hemm,
lantas engkau akan memanggil apa kepadaku?” tanya Hek-i Mo-ong semakin
penasaran.
“Panggilan
apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.”
Biasanya,
Hek-i Mo-ong sudah merasa bangga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena bagi
seorang tokoh sesat, makin seram panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan
tetapi kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya
sendiri akan menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.
“Dan engkau
tidak akan berbakti sebagai murid, melainkan menganggapku sebagai musuh?
Begitukah?” Dia sudah marah sekali dan andai kata anak itu mengangguk atau
menyatakan benar demikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh
cucu Pendekar Super Sakti itu.
Akan tetapi
dengan tenang Ceng Liong mengelengkan kepalanya. “Sudah kukatakan bahwa aku
hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu
kepadaku, berarti budimu akan bertambah besar. Dan aku bukanlah keturunan
orang-orang yang suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan
kejahatan. Tidak, aku tidak akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas.”
Hek-i Mo-ong
termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar baginya
kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang
amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan
bukan tidak mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan
bahkan melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya. Teringat akan hal ini, dia
lalu tertawa bergelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.
“Ha-ha-ha,
mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!”
Demikianlah,
sejak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan
lenyapnya Pulau Es, terjadi perubahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng
Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang keturunan
keluarga yang terkenal sebagai keluarga pendekar-pendekar yang kenamaan, secara
tiba-tiba saja dia menjadi murid seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga
amat terkenal dalam kesesatannya. Sungguh anak ini telah pindah ke dalam
keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya semula, semenjak dia
lahir sampai dia berusia sepuluh tahun itu…..
***************
Ke manakah
perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu? Seperti kita
ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para
penjahat, mereka berempat melakukan perlawanan. Karena banyaknya penjahat yang
mengepung, kemudian perahu mereka digulingkan, empat orang muda itu membela
diri dengan terpaksa berpencar.
Suma Hui
meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang
tokoh jahat yang amat dibencinya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang
pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau
Es.
“Heh-heh-heh,
selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya
berseri dan pandang matanya penuh nafsu birahi. “Akhirnya engkau datang juga
kepadaku, heh-heh-heh!”
“Iblis
jahanam!” Suma Hui membentak.
Dan dengan
kemarahan meluap dia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, menggunakan
Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak
buah penjahat mengepungnya. Dan melihat munculnya seorang dara jelita, tanpa
diperintah lagi enam orang penjahat ini telah berebut maju ingin menangkapnya.
Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggota-anggota penjahat
yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini.
Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.
Namun mereka
kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di
tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi
darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena
mereka cepat membuang diri ke belakang saja!
Tetapi, pada
saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok telah menubruknya
dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang
dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan
Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya.
Suma Hui
hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga
sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan
sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari
belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Perahu
terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menawan dara itu
menjadi girang bukan main. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia
tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong. Maka
diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui
melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai
itu.
Suma Hui
rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia
tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan
saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan
gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan ia pun mabok.
Setelah
badai lewat dan perahu kecil itu telah jauh meninggalkan perahu-perahu besar
lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah
tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang
dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super
Sakti, keturunan keluarga Pulau Es!
Bukan main
bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa)
dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali
ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah
seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa
itu amat penting dan besar.
Dan dia pun
tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan
terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan
dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar
dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak bisa dibanggakan kepada
orang-orang sedunia kang-ouw! Betapa akan bangga hatinya jika ia dapat
memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es!
Selain itu,
dia pun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok
atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat pada
saat melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan
penyiksaannya.
Jai-hwa
Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walau pun dia tak
dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak
muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda dia
pun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia menggunakan kepandaian
silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya.
Dia berwajah
tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong
padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya. Akan
tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia
menangkap basah isterinya yang berjinah dengan seorang pelayan pria dalam rumah
mereka sendiri, wataknya pun berubah.
Dia membunuh
isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan
yang berwajib. Kemudian dia pun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi
tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid
dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang
muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi.
Bahkan Ji-ok
mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng
dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walau pun
tak begitu sempurna karena hasil curian. Dan semenjak itulah dia menjadi
seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin
suka padanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh
sesat yang dianggap jahat seperti iblis!
Demikianlah
riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh
tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini
ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau
Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong.
Dan ternyata
hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan
terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia
malah memperoleh hasil gemilang, yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu
perempuan dari Pendekar Super Sakti.
Ketika
siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki
dan tangannya tidak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan
membuka matanya yang segera terbelalak pada waktu dia mendapatkan dirinya telah
terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil.
Ia pun
teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah
Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu
Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.
“Aihhh, nona
manis, engkau kini sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok
berkata dengan ramah sambil kedua tangannya meraih tempat makanan dan minuman.
“Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.
Akan tetapi
Suma Hui membuang muka.
“Marilah,
nona....,” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan
sumpitnya.
Ketika dara
itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di
antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat birahinya timbul dan
dia pun tersenyum-senyum.
“Bukalah
mulutmu, daging ini enak sekali....”
Tiba-tiba
Suma Hui menggerakkan kaki dan tangan dengan pengerahan sinkang, akan tetapi ia
mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa
ia dalam keadaan tertotok.
“Mari,
makanlah nona....”
“Tidak
sudi!” Suma Hui membentak dan biar pun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan
menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.
“Ahhh, jangan
begitu, nona. Aku sama sekali tidak ingin melihat engkau mati kelaparan atau
kehausan....”
“Engkau
sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa
takut mati?” Suma Hui membentak.
“Membunuh
engkau? Aihhh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.
“Kalau
begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.
“Ahh, nona
manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang
muda itu....”
Tentu saja
Suma Hui terkejut bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan
biar pun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi
kini terpaksa ia bertanya, “Apa.... apa yang telah terjadi dengan mereka....?”
Siauw-ok
tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali. “Engkau makan dan
minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”
“Tidak
sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut.
Siauw-ok
mengangkat kedua pundaknya dan dia pun makan minum sendirian sambil
tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang
keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya.
Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampur adukkan. Kadang-kadang
halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya
penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.
Suma Hui
merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua
orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya
kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Ia pun melirik dan melihat laki-laki itu
makan minum dengan tenangnya.
Bagaimana
pun juga, ketika melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa
menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa kerongkongannya kering dan haus
sedangkan perutnya lapar sekali. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua
itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan.
Hanya, sukar
baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan
terutama kedua oraag adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu
mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.
“Apakah yang
sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau
menceritakannya kepadaku.”
Siauw-ok
memandang wajah manis itu dan tersenyum, dalam hatinya bersorak karena merasa
menang. “Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat
engkau sengsara, maka aku pun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau
makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”
“Baik,
lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan
minum.”
“Aihh, mana
mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super
Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan
engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Jika kedua tanganmu tidak
dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kau punahkan, tentu aku celaka.
Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan
makanan dan minuman padamu.”
Suma Hui
sudah hendak memaki dan marah-marah lagi, akan tetapi ia tahu bahwa hal itu
tidak ada gunanya dan keinginan tahunya untuk mendengar tentang nasib
adik-adiknya membuat dia akhirnya mengalah. Ketika sumpit yang membawa potongan
daging itu didekatkan pada mulutnya, ia pun membuka mulut dan menyambutnya.
Tentu saja
Siauw-ok merasa girang bukan main. Dia pun mulai bercerita, akan tetapi dia bercerita
secara lambat-lambat sehingga terpaksa Suma Hui menerima makanan dan minuman
yang cukup banyak untuk dapat mengikuti penuturan itu.
Setelah
menceritakan jalannya pertempuran yang tidak begitu penting bagi Suma Hui,
akhirnya Siauw-ok kemudian berkata, “Aku melihat betapa pemuda yang menurut
Hek-i Mo-ong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir itu terlempar ke lautan. Laut
sedang dilanda badai mengganas, maka biar seorang yang amat pandai bermain di
air sekali pun tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari amukan badai
seperti itu! Dia sudah pasti terseret ombak dan tenggelam atau disambut oleh
ikan-ikan hiu yang ganas. Belum lagi bahayanya kalau dihempaskan oleh ombak ke
tubuh perahu, tentu akan lumat-lumat tubuhnya. Pemuda itu sudah pasti tewas, hal
ini tak dapat disangsikan lagi.”
Suma Hui
membayangkan dengan hati penuh duka. Keponakannya itu adalah seorang yang gagah
perkasa dan sudah banyak membela keluarga Pulau Es, tak disangkanya hidupnya
akan berakhir secara demikian menyedihkan. Apalagi kalau ia teringat betapa ia
pernah membalas segala pertolongan dan pembelaan pemuda itu dengan
tamparan-tamparan yang diterima oleh pemuda itu dengan mengalah. Tanpa terasa
lagi kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dengan kekerasan hatinya,
dilawannya rasa duka itu sehingga ia dapat membendung keluarnya air matanya.
Siauw-ok
adalah seorang lelaki yang telah berpengalaman. Dia dapat melihat kedukaan
membayang di wajah yang ayu itu, dan melihat pula betapa dara itu menggunakan
kekerasan hati membendung air matanya. Hatinya merasa panas oleh cemburu.
“Nona,
apamukah pemuda putera Naga Sakti Gurun Pasir itu? Mengapa dia membela keluarga
Pulau Es secara mati-matian ?” tanyanya penasaran.
Suma Hui
tidak menjawab pertanyaan ini, dia hanya berkata, “Hemm, lihat saja nanti
bangkitnya Naga Sakti Gurun Pasir untuk membalaskan kematian puteranya!”
Mendengar
ucapan ini, bagaimana pun juga Siauw-ok bergidik ngeri. Dia belum pernah
bertemu dengan Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dia sudah mendengar nama
besar pendekar itu yang sejajar dengan keluarga Pulau Es!
“Ah, bukan
aku yang membunuhnya....” Ucapan ini dihentikannya di tengah jalan karena dia
sadar bahwa ucapan itu membayangkan rasa takutnya.
Maka dia pun
lalu menyuapkan sepotong besar daging ke mulut itu dan melihat dengan penuh
gairah betapa mulut yang kecil dengan bibir merah dan deretan gigi putih itu
terbuka menerima daging, nampak bagian dalam mulutnya yang lebih merah lagi.
Suma Hui mengunyah daging itu dengan perlahan.
“Dan
bagaimana dengan kedua orang adikku?” tanyanya setelah daging itu agak lembut
dikunyah.
“Ahhh, jadi
dua orang pemuda cilik itu adalah adik-adikmu? Pantas mereka itu
hebat-hebat....”
Kembali Suma
Hui terpaksa menerima suapan makanan walau pun perutnya sudah merasa kenyang
dan sebetulnya ingin sekali dia menyemburkan makanan itu ke muka Siauw-ok.
Tetapi ia membutuhkan keterangan tentang adik-adiknya sehingga terpaksa ia
menahan sabar.
“Nih,
minumlah dulu,” kata Siauw-ok.
Dan Suma Hui
juga menerima minuman air tawar yang disodorkan ke mulutnya. Bagai mana pun
juga, makanan dan minuman itu membuat ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali.
“Kedua
adikmu itu.... sungguh sayang sekali, agaknya mereka pun tak mungkin dapat
hidup, dan besar kemungkinan sekarang pun sudah tewas.”
“Mak....
maksudmu....?”
“Adikmu yang
besar itu, seperti juga putera Naga Sakti Gurun Pasir, terlempar ke dalam
lautan dan tentu saja dia pun tidak mungkin dapat terhindar dari cengkeraman
maut. Sedangkan adikmu yang kecil, setan cilik yang luar biasa itu, mungkin dia
ditangkap oleh Hek-i Mo-ong. Entah bagaimana jadinya dengan mereka aku tidak
tahu karena aku lebih menyibukkan diri untuk menyelamatkanmu.”
Siauw-ok
berhenti dan tersenyum ramah. “Coba pikir, di antara empat orang muda, hanya
engkau seorang yang selamat, kuhindarkan dari bahaya maut, bahkan kujaga dan
kusuapi makanan dan minuman. Bukankah aku orang baik sekali, manis?”
Suma Hui
menyemburkan makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu membuang muka dan
menangis! Baru sekarang ia dapat melemparkan semua rasa sebal, marah, dan duka
di dalam hatinya. Terutama sekali perasaan duka karena gelisah mendengar akan
nasib kedua orang adiknya, dan juga Cin Liong.
Tiba-tiba ia
menghentikan tangisnya ketika merasa betapa rambut kepalanya dibelai orang.
Rasanya seperti tiba-tiba ada ular menyusup ke balik bajunya. Ia terperanjat
dan juga jijik bukan main, apalagi ketika merasa betapa jari-jari tangan itu bukan
hanya membelai rambut, melainkan juga mengusap pipi, dagu dan lehernya. Dan
sepasang mata itu! Memandangnya seperti mata seekor harimau yang hendak
menerkam kelinci!
“Sudahlah,
jangan menangis, nona manis. Ada aku di sini yang cinta padamu. Asal engkau
suka menuruti segala kehendakku, engkau akan menjadi muridku yang terbaik dan
hidupmu akan berbahagia....”
“Tutup
mulutmu, iblis terkutuk!” Tiba-tiba Suma Hui memaki.
Ketika
merasa bahwa tenaga atau pengaruh totokan pada tubuhnya mulai mengendur, ia lalu
mengerahkan sinkangnya dan tiba-tiba ia menggerakkan kaki tangannya.
“Brettt!
Brettt....!”
Tali
pengikat kaki tangan dara itu putus semua, tidak kuat menahan pengerahan tenaga
sinkang dari Suma Hui, tenaga asli dari keluarga Pulau Es...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment